Senin, 01 September 2025

14. Susu, Telur, dan Harga Diri Seorang Kaisar (1)

Hazel menggenggam garpu yang baru saja dibelinya dari pasar.

Garpu dengan empat belas mata tajam itu kokoh dan solid. Hazel langsung jatuh hati.

Ia mengayunkannya seperti pedang suci, lalu berkeliling ladang. Semua pekerjaan ia tangani dengan itu, dan terakhir, ia sedang rajin-rajinya mengais daun-daun yang hanyut di parit ketika kejadian itu terjadi.

Tok.

Sebuah bola kain berwarna kuning melayang melewati pagar. Hazel menoleh ke arah kebun, ke luar pagar.

Dan seketika, matanya membesar.

Anak-anak kucing berdiri di sana.

Mereka adalah para knight kecil dari Ordo Angin Suci, berusia sekitar delapan atau sembilan tahun, berseragam lengkap. Di atas rambut keriting mereka, telinga-telinga mungil yang berkilau dalam warna emas, perak, belang, hingga bergaris-garis berdiri tegak.

“Maaf, bolehkah kami mengambil kembali bola itu?”

Seorang knight kecil dengan telinga belang kuning bertanya serius.

“Tentu saja!”

Hazel tersenyum sambil menjawab.

Para knight cilik itu pun berlari masuk, mengambil bola mereka. Namun alih-alih langsung pergi, mereka malah berkeliling dengan langkah-langkah penuh rasa ingin tahu.

Seperti yang sudah Hazel duga.

Mata para anak kucing itu berkilat penuh penasaran. Melempar bola ke dalam pagar hanyalah trik mereka untuk bisa masuk.

Padahal, mereka bisa saja datang bermain tanpa perlu akal-akalan begitu.

Sifat licik semacam itu jelas meniru gaya sang Knight Captain mereka.

Namun Hazel tak keberatan. Setiap kali ada kucing datang ke ladang, ia merasa senang. Semakin ramai, semakin hangat pula suasana ladang.

Hazel kembali mengayunkan garpu.

Karena pemiliknya tak terlalu memperhatikan, para knight kecil itu pun bebas berkeliaran. Mereka mengintip kebun berisi terung dan tomat, mengagumi sapi-sapi perah berbulu licin, hingga melongok gudang yang penuh benda aneh.

Namun yang paling menarik perhatian mereka tentu saja—kandang ayam.

“Bukankah ini jauh lebih bagus dari asrama kita?”

Bisik-bisik kagum terdengar di antara mereka.

Tahukah kalian, siapa yang membangun kandang ayam ini?

Hazel sempat berhenti sejenak, hanyut dalam kenangan.

Tiba-tiba, salah satu anak kucing berteriak.

“Lady! Ayamnya aneh sekali!”

Hazel pun tersadar kembali.

‘Aneh?’ Bagi anak-anak kota, apa pun memang terlihat asing.

Dengan pikiran itu, Hazel mendekat dan mengintip ke dalam kandang.

Lalu, matanya membesar lagi.

Ayam betina cokelat yang dulu ia beri nama Lena, tapi belakangan lebih sering ia panggil Tontong, memang bertingkah aneh.

Saat ayam-ayam lain mondar-mandir dengan santai, Tontong justru tampak gelisah. Ia terus-menerus mematuk jerami di lantai, lalu meletakkannya di atas tenggeran. Lagi dan lagi, tanpa henti.

“Kenapa dia begitu, Lady?”

“Apakah dia kelaparan?”

“Atau sakit?”

Pertanyaan bertubi-tubi keluar dari mulut para knight kecil.

Hazel tersenyum lebar dan menjawab,

“Bukan, sepertinya dia sebentar lagi akan bertelur.”

Itu benar-benar kabar menggembirakan sekaligus mengejutkan.

Sudah lebih dari empat bulan sejak Hazel membeli anak-anak ayam pertamanya. Dalam lingkungan yang baik, seekor ayam bisa mulai bertelur sejak usia empat bulan.

“Dia akan bertelur!”

Knight kecil-kecil itu bersorak. Mereka merasa seolah menyaksikan momen bersejarah di ladang ini.

“Terima kasih sudah cepat memperhatikan dan memberi tahu,” ucap Hazel dengan tulus. Ia lalu menyiapkan sarang nyaman dengan jerami kering yang empuk agar ayam itu bisa bertelur dengan tenang.

Keesokan harinya.

Hazel bangun lebih pagi dari biasanya. Ia langsung menuju kandang ayam, memeriksa sarang Tontong terlebih dahulu.

Di antara jerami, tersembunyi sebutir telur cokelat.

Benar-benar ada!

Hazel menahan teriakannya, tangan refleks meraih telur itu.

Masih hangat, baru saja dikeluarkan. Ukurannya memang kecil, telur pertama biasanya begitu, tetapi baginya itu sempurna.

Mulai sekarang, ia tak perlu khawatir soal persediaan telur.

Dadanya mengembang penuh rasa bangga.

Kalau Tontong sudah mulai bertelur, maka tak lama lagi Si Putih dan Si Judes juga akan menyusul. Tiga ekor ayam itu bisa menghasilkan satu-dua butir sehari, dan kelak ayam-ayam lain pun menyusul. Bayangkan—telur segar setiap pagi!

Hazel menggenggam telur pertama itu dengan hati-hati, seolah sedang membawa permata.

Namun sayang, terlalu berharga untuk langsung dimakan.

Ia menaruhnya di dalam keranjang kecil berlapis kain, menghias pegangan keranjang dengan pita sisa, lalu merapikan diri sebelum berangkat keluar.

Salon Yang Mulia Dowager Empress sudah ramai sejak pagi.

“Nona Mayfield, selamat datang.”

Para pelayan mengenalinya dan segera mengantarnya masuk.

Dari tengah ruangan, lantunan lembut harpa terdengar. Dowager Empress tengah menikmati musik pagi itu.

Mungkin bukan waktu yang pas untuk membawa kabar semacam ini, tapi Hazel tak peduli—

“Yang Mulia Permaisuri! Ayam betina di rumah saya baru saja bertelur untuk pertama kalinya!”

Begitu melihatnya, Hazel langsung melapor dengan penuh kebanggaan. Lalu ia mempersembahkan sebuah keranjang kecil.

“Telur pertama ini akan saya hadiahkan untuk Yang Mulia Permaisuri.”

“Benarkah?”

Permaisuri tampak sangat gembira ketika menerima persembahan itu.

“Selamat!”

Para dayang segera berkumpul. Mereka menatap telur di dalam keranjang dan tak henti-hentinya berdecak kagum.

“Telur baru menetas itu benar-benar imut sekali!”

“Ya ampun, mungilnya menggemaskan!”

Bahkan reaksi mereka pun membuat Hazel merasa terhibur. Sambil tersenyum ia menjawab:

“Itu karena ayam betinanya masih muda dan ini adalah telur pertamanya. Kalau diberi makan dengan baik, nanti akan bertelur lebih besar dan lebih sehat.”

“Benar sekali. Aku sendiri sudah beberapa kali menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana tetangga kita yang satu ini merawat ayam-ayamnya.”

Permaisuri pun menambahkan dengan penuh keyakinan.

“Telur seperti ini sulit sekali didapat di tengah ibu kota. Tapi betapa menyenangkan, ternyata bisa didapat dari tetangga dekat. Andai bisa mencicipi satu butir telur segar setiap hari, tentu luar biasa menyenangkan. Bagaimana kalau kita buat kontrak saja?”

“Oh! Benarkah?”

Hazel tampak berbinar.

Bayangkan, pelanggan pertama telur dari kebunnya adalah Permaisuri sendiri. Itu benar-benar hal yang menakjubkan.

Tentu saja, kalau mengikuti kata hati, ia ingin memberikan telur sebanyak mungkin setiap hari. Namun, dari sorot mata Permaisuri, jelas beliau ingin memperlakukan Hazel layaknya benar-benar seorang petani desa, bukan sekadar memberi belas kasih.

“Baiklah. Lalu berapa harga telur-telur itu?”

“Hmm…”

Hazel berpikir sejenak. Ia harus memberikan jawaban yang tepat agar tidak mengecewakan.

“Waktu saya lihat di toserba bahan pangan, telur dari ayam yang dipelihara bebas harganya dua butir 1 silver. Tapi di sana memang semua barang mahal. Jadi saya pikir, tiga butir untuk 1 silver adalah harga yang adil.”

“Tiga butir untuk 1 silver?”

Nyonya Augusta, yang bertugas menata rambut Permaisuri, langsung terbelalak.

“Bukannya satu butir saja sudah seharga 1 gold?”

“Tidak, kalau Anda ke pasar akan tahu. Harga itu memang sewajarnya.”

“Benar. Harga itu memang wajar. Hanya saja…”

Permaisuri mengangkat kedua tangannya.

“Aku tidak punya 1 silver sekarang. Ada yang bisa meminjamkannya?”

Ruangan langsung jadi riuh. Rupanya semua sama saja, tidak ada yang membawa uang receh sekecil itu.

“Sebentar.”

Miss Templeton, yang tadinya memainkan harpa, tiba-tiba berdiri.

“Tak disangka! Betapa mulianya, aku bisa meminjamkan koin untuk Yang Mulia Permaisuri.”

Ia pun mengeluarkan sekeping 1 silver berlubang di tengah. Koin itu ia bawa karena bentuknya unik, semacam jimat.

Permaisuri senang sekali menerimanya, lalu menyerahkannya kepada Hazel.

“Dengan ini, selama tiga hari penuh aku bisa menikmati telur segar dari kebun tetangga.”

“Dan setelah itu, Yang Mulia harus meminjam lagi dari orang lain,” celetuk Duchess Winterfelt, kepala dayang.

Semua pun tergelak.

Permaisuri membeli telur dengan sungguh-sungguh, dan Hazel menjualnya dengan sungguh-sungguh pula. Justru keseriusan itulah yang membuat semua merasa riang.

Tanpa terasa, para dayang yang selalu mendampingi Permaisuri pun mulai menantikan kedatangan Hazel. Setiap kali ia berkunjung, Permaisuri tampak jauh lebih bersemangat.

“Obat macam apa lagi yang bisa sebanding dengan ini?” begitu pikir semua orang.

Begitulah, Hazel keluar dari istana Permaisuri dengan membawa 1 silver pertamanya.

Tentu uang itu penting. Tapi yang lebih membuatnya bahagia adalah kenyataan bahwa hasil kerja kerasnya bisa dinikmati orang lain dengan suka cita.

Semua berawal dari anak-anak ayam kecil yang ia besarkan.

Betapa benarlah: pertanian adalah kebahagiaan itu sendiri. Semakin besar kebun, semakin besar pula kebahagiaan.

Misalnya saja…

Hazel teringat obrolannya di toko bunga pasar. Setelah berbincang kesana-kemari dengan pemilik toko, ia sempat bertanya lirih:

“Kalau di ibu kota begini, masih sempatkah menanam stroberi musim dingin?”

“Kenapa tidak? Kalau mau, tinggal beli bibit saja. Aku bisa kenalkan tempat bagus dekat sini.”

Jawaban si pemilik toko membuat hatinya berbunga. Hazel seakan bisa melihat dengan jelas sebuah kebun stroberi terhampar di hadapannya—barisan semak hijau penuh buah merah yang bergelantungan sepanjang galur.

Mungkin itu bukan sekadar mimpi. Kalau ia berhasil dengan urusan kali ini, kebun stroberi itu bisa jadi nyata.

Hazel melangkah ringan dengan semangat membara.

Namun, saat ia melewati alun-alun tengah istana, suasana mendadak gaduh. Para bangsawan dan pejabat tinggi segera menyingkir ke kiri dan kanan. Suara riuh terdengar:

“…Yang Mulia Kaisar!”

Kaisar?

Hazel refleks menegakkan badan.

Ia sudah menduga suatu saat pasti akan berpapasan langsung dengan Yang Mulia. Sekarang, ketika tak ada lagi alasan untuk menghindar, akhirnya saat itu benar-benar datang. Meski begitu, rasa tegang tetap sulit dibendung.

“Inilah saatnya.”

“Yang Mulia, di depan ada Lady Mayfield.”

Itu suara Cecil, kepala pelayan istana, yang cepat-cepat memberi tahu.

Namun wajahnya tampak masam. Ia teringat kejadian lama—saat pesta bunga menjelang, Hazel tanpa sengaja mengenali suara Kaisar di tengah keramaian, membuatnya kehilangan jejak Yang Mulia untuk pertama kalinya.

Mengingat bagaimana ia panik mencari-cari waktu itu, Cecil pun tak tahan berkomentar:

“Yang Mulia, sekarang Anda tak perlu kabur lagi, bukan?”

“…”

Wajah Iskandar menegang.

Bagaimanapun, pertemuan ini memang tak terhindarkan. Ada pesan yang harus ia sampaikan.

Kaisar melangkah dengan langkah panjang, tanpa memperhatikan siapapun di sekeliling.

Hazel pun, layaknya orang lain, menyingkir sedikit ke tepi jalan. Ia menunduk memberi hormat, seakan tidak peduli siapa pun yang lewat.

“Yang Mulia.”

“Lady Mayfield.”

Keduanya bertukar salam dengan wajah sama-sama masam.

Skenario kali ini justru menuntut mereka untuk tampak saling membenci di hadapan banyak mata. Dan itu tidaklah sulit.

“Pria menyebalkan!”

“Perempuan yang tak tahu diri!”

Itulah yang mereka pikirkan dalam hati. Wajah pun secara alami ikut mencerminkan isi hati.

Hmph!

Dengan dengusan pendek mereka pun berpapasan. Namun pada saat itu, sesuatu kecil menyentuh ujung gaun Hazel.

Sebuah kertas kecil.

Gerakan itu begitu cepat dan licin, tak seorang pun menyadari. Hanya seorang Grand Chevalier yang bisa melakukan trik penyelundupan pesan sehalus itu.

Hazel segera menyelipkannya dengan hati-hati. Setelah rombongan Kaisar berlalu, ia menyelinap ke balik sebuah pohon.

Di sana ia membuka gulungan kecil itu.

‘Seperti yang kubilang sebelumnya, aku sudah menyiapkan jalan masuk ke perkumpulan sosial Emperia. Kau akan segera dipanggil. Tidak ada cara yang lebih mudah dari ini. Jadi jangan berlagak nekat mencari sendiri lalu berakhir seperti terakhir kali—terperangkap di bawah selimut dan pura-pura sakit….’

Ceklek.

Tangannya spontan meremas kertas itu kuat-kuat.

“Berani-beraninya bilang aku bahkan tak bisa membedakan gulma dari tanaman!”

Kertas itu pun tergencet.

Hari ini, lagi-lagi ia membencinya setengah mati.

Tapi anehnya, perasaan yang dulu rumit kini terasa jauh lebih sederhana.

Masuk ke lingkaran sosial kelas atas.

Bahkan Menteri Dalam Negeri pun pernah menugaskannya hal yang sama. Waktu itu Hazel memang tak begitu tertarik, tapi karena menghormati ucapan sang menteri senior, ia sempat menyimpannya dalam hati.

Untung ia lakukan. Sekarang ia sudah paham garis besarnya.

“Berteman secara alami, gali informasi soal faksi Mammon, serahkan pada Kaisar, lalu dapatkan tanah.”

Hazel merangkum sekali lagi. Sambil itu, tangannya menyentuh medali Pegasus Emas yang tersembunyi di balik gaun.

Ya, ia harus mengakui: benda itu memberinya rasa aman.

Tapi apa yang sudah dipersiapkan Yang Mulia? Jangan-jangan sesuatu yang aneh? Hmm, walau begitu, beliau memang rajin bekerja. Pasti sudah mempersiapkan dengan baik. Tapi… apa ya?

Sambil menimbang rasa ingin tahu itu, Hazel kembali ke kebun. Ia harus siap kapan saja dipanggil.

Ia pun bergegas mencuci pakaian, merapikan segala urusan rumah, memastikan tak ada yang tertunda.

Lalu, ia memanggang roti. Tepung berhamburan di atas meja saat ia menguleni adonan, dan tepat saat itulah—akhirnya, surat panggilan resmi datang. Seorang pelayan istana membawanya.

“Segera akan ada acara penting di istana. Para calon terpilih diharuskan menanggalkan segala urusan pribadi dan berkumpul di istana.”

Hazel mengangguk. Pasti inilah kesempatan untuk mendekati para putri bangsawan dari lingkaran Emperia.

“Baiklah.”

Ia melepaskan adonan roti, berganti pakaian, lalu bergegas menuju Aula Timbangan.

Tempat itu biasanya dipakai untuk acara para pejabat tinggi istana.

Saat Hazel tiba, ruangan sudah ramai. Rupanya para putri bangsawan lain segera bergegas begitu menerima kabar, datang langsung dari pergaulan istana mereka.

“Ayahku bilang, para pelayan istana membocorkan kabar, katanya akan ada pesta dansa kejutan….”

Para gadis berceloteh riang. Tapi begitu Hazel muncul, obrolan mereka langsung terputus.

Eh? Kenapa dia ada di sini?

Pandangan mereka jelas menunjukkan rasa heran bercampur ketidaknyamanan.

Semua tahu dengan baik peristiwa yang terjadi di ruang audiensi belum lama ini. Karena itu, Hazel kini hanya dianggap sebagai “putri bangsawan jatuh miskin yang terlalu berani.” Tak pelak, di antara mereka dan Hazel sudah terbentang dinding yang tebal.

Hazel melihat sekeliling. Satu pun tak ada yang sederhana—semuanya tampil gemerlap dengan gaun mewah dan penuh aksesori. Hidung mereka pun meninggi setinggi menara.

Dan kini Hazel harus masuk ke dalam kerumunan itu.

Tampak seperti hal yang nyaris mustahil. Namun demi tanahnya, Hazel tak punya pilihan selain berhasil menembusnya.

Saat ia diam-diam mengamati, terdengar suara lantang dan nyaring.

“Baiklah, kita mulai sekarang.”

Seorang wanita tua melangkah masuk.

Rambutnya seputih salju, jelas usianya sudah lewat enam puluh. Tetapi selain itu, ia tampak seperti berusia tiga puluhan—wajahnya kencang seperti disetrika, pinggangnya lurus bak papan kayu.

“Ini adalah Madame Elegance, penanggung jawab acara kali ini. Beliau sudah dua puluh tahun menjadi penasihat resmi upacara kerajaan.”

Seorang pelayan memperkenalkan. Lalu menambahkan,

“Putri Agung Athena berhalangan hadir karena sedang sakit.”

“Baik, saya mengerti.”

Madame hanya menjawab singkat, lalu menyapu para gadis bangsawan itu dengan sorot mata tajam.

“Tadi waktu masuk, saya dengar kalian sibuk mengoceh hal-hal tak berguna. Ingatlah, acara yang digagas Istana kali ini bukanlah pesta dansa murahan. Kalian dipanggil karena ada perintah langsung dari Yang Mulia Kaisar.”

Para gadis bangsawan pun heboh berbisik.

“Perintah dari Kaisar sendiri?”

“Benar. Berkat lindungan Tuhan atas Kekaisaran, Yang Mulia Ibu Suri yang kita hormati telah pulih kesehatannya. Beliau sejak lama menyukai kisah-kisah kepahlawanan Kekaisaran. Karena itu beliau ingin ikut hadir di Turnamen Perburuan mendatang dan merasakan suasana langsung di sana.”

Madame Elegance melanjutkan, menatap satu per satu.

“Atas keinginan itu, Yang Mulia Kaisar mendapat sebuah ide. Ada legenda yang sangat disenangi Ibu Suri. Konon, di masa lalu, setelah Kaisar Pendiri dan para sahabatnya menaklukkan naga hitam, mereka begitu letih hingga hampir tumbang. Saat itu, muncullah para santo wanita bersama para peri. Mereka memanggang dedaunan yang berubah menjadi daging, menuangkan air yang berubah menjadi anggur harum, hingga semua orang kenyang dan segar kembali.”

“Ya, Madame. Legenda itu sangat terkenal.”

“Betul. Maka Yang Mulia Kaisar ingin legenda itu dipentaskan sebagai drama alam terbuka, demi menyenangkan hati Ibu Suri. Dan jika para gadis bangsawan terhormat berkenan memerankan sosok para santo wanita, beliau akan sangat menghargai.”

Mata para gadis langsung membesar.

Mereka selama ini hanya mendambakan bisa berada dekat dengan Kaisar, walau sebentar saja. Kini kesempatan itu terbuka di depan mata—jauh lebih besar daripada dugaan awal mereka.

Harus berhasil. Apa pun caranya, aku harus berhasil.

Tatapan mereka kini menyala penuh ambisi, saling menakar dengan semangat persaingan membara.

“Luar biasa! Kaisar kita memang penguasa sejati!”

“Bagaimana bisa terpikir ide seindah itu?”

Pujian pun berhamburan.

Sebenarnya, Iskandar memang memikirkan rencana ini dengan cukup serius.

Untuk membawa seseorang masuk ke inti lingkaran sosial kaum bangsawan, tak ada cara yang lebih baik daripada sebuah acara besar. Bagi sosok yang selama ini diabaikan, ini kesempatan emas untuk mendapat sorotan.

Namun Iskandar sendiri tak punya kreativitas merancang acara. Jadi ia membongkar naskah-naskah lama. Ketemulah catatan tentang acara serupa tujuh puluh tahun silam—dan buru-buru ia tiru.

Meski begitu…

Hazel justru kelimpungan.

Katanya jalan masuknya gampang?

Apa ini yang disebut gampang?! Di antara gadis-gadis bangsawan papan atas ini, bagaimana mungkin ia bisa terpilih jadi santo wanita? Persaingan jelas ketat! Lagi-lagi ia merasa seolah ditikam dari belakang oleh si ahli tipu itu.

Padahal tidak.

Iskandar sungguh percaya itu mudah—karena ia yakin Hazel pasti dipilih pertama tanpa keraguan.

Tapi, Madame Elegance bukan orang sembarangan.

Selama dua puluh tahun, ia sukses menukangi berbagai acara kenegaraan.

Keahliannya adalah membentuk manusia. Seekor anak anjing pemburu umur tiga bulan pun, di tangannya bisa tampil bak gentleman sempurna.

Namun melihat gadis-gadis bangsawan terhormat ini… ia hanya bisa menggeleng.

Dan satu di antara mereka sungguh membuatnya terperangah.

Madame memandang Hazel.

Apa-apaan ini? Seekor kuda liar?

Rambut cokelat tua bergelombang, sikapnya sulit dinilai dari mana harus dimulai. Madame sampai tak jadi menegur dan mengalihkan pandangan.

Jelas semua masih sangat kurang. Tapi justru itu sebabnya ia memanggil mereka hari ini.

“Kaisar memberikan perintah yang tampak sederhana, tapi sesungguhnya sulit. Meski kalian bangsawan bergengsi dan berpendidikan, memainkan peran ini bukan perkara mudah. Jadi kita mulai dari dasar.”

Madame Elegance menepukkan tangan. Sekelompok orang masuk berbondong-bondong.

Hazel terkejut melihat wajah-wajah yang dikenalnya.

“Kenapa tiba-tiba ada para koki?”

Para gadis berbisik bingung.

Madame menjelaskan, “Mereka ini para koki istana, yang kelak berperan jadi para peri hutan dalam drama nanti. Santo wanita harus bisa bekerja selaras dengan mereka. Itu dasar dari dasar. Maka saya beri tugas uji coba—silakan bersama para koki ini, siapkan hidangan teh untuk saya.”

“Hah?”

Semua melongo kaget.

Reaksi yang sudah ia duga.

Madame tahu betul—sejak kecil para gadis ini hidup dipuja, sehingga merasa diri paling hebat.

Padahal untuk acara istana, sikap itu harus dihancurkan dulu.

Dan lawan terbaik untuk mereka adalah… para koki istana.

Para koki ini sama keras kepalanya. Mereka susah payah lolos seleksi, lalu merasa jasa mereka layak dibayar mahal. Dekat dengan keluarga kerajaan membuat hidung mereka sama tinggi. Secara lahiriah sopan, tapi di baliknya selalu menghitung status para bangsawan dengan teliti.

Apalagi kalau berhadapan dengan putri muda yang belum tahu apa-apa, makin besar rasa meremehkan.

Bagaimanapun, aku lebih tahu daripada nona muda manja ini. Aku lebih lama makan garam di istana.

Madame paham benar. Karena itu sengaja memanggil koki-koki yang belum pernah bertugas di Balai Timbangan ini.

Biar mereka merasakan pahitnya.

Benar saja, dalam hitungan menit ruangan jadi kacau.

Koki-koki sendiri pun bingung. Mereka bukan pelayan, tiba-tiba diseret untuk urusan di luar bidangnya.

“Ah, Nona, saya juga tidak tahu letak teh di sini. Tapi jelas bukan di situ.”

“Air panasnya harus ambil dari mana ya? Saya tidak tahu.”

“Itu boleh dipakai atau tidak? Harus tanya penanggung jawab… entah siapa.”

Begitulah jawaban mereka. Semua serba mandek.

Bagi para gadis, ini bencana. Mereka terbiasa tinggal jentik jari, semua beres. Kini otak mereka kosong melompong.

Pas sekali.

Madame menyunggingkan senyum puas.

Namun seketika wajahnya berubah.

Di tengah kekacauan, ada satu sudut yang berbeda.

“Ya, Nona Mayfield! Air panas sudah siap!”

“Saya sudah dapat kunci pantry! Ada teman lama saya yang bekerja di sini.”

“Susu segar biar saya ambilkan! Saya belum tahu tempatnya, tapi akan ketemu. Mohon tunggu sebentar!”

“Ini cangkir teh! Silakan pilih motifnya, Nona! Mana yang berkenan?”

Di hadapan satu orang itu saja, para koki bergerak gesit.

Hazel.

Bahkan tanpa diminta, mereka sudah sibuk mengatur segala keperluan, lalu menunggu instruksinya.

“Bagus juga.”

Saat Hazel berkata begitu, wajah mereka lega.

“Ada yang lain?”

Saat Hazel bertanya, mereka panik dan buru-buru lari mencari tambahan.

Kepatuhan mutlak.

Madame sampai lupa etika, mulutnya ternganga. Para gadis lain pun melirik tak percaya.

Sementara para koki sendiri sama sekali tak sadar. Mereka hanya merasa tertekan—karena tahu betul, kalau sampai membuat sang pemilik ladang itu marah, akibatnya fatal.

Tak lama kemudian, hidangan tersaji.

Para gadis lain gagal total. Ada yang hanya berhasil menyuruh bikin teh tapi tanpa kudapan, ada yang kalah cepat sehingga tak dapat cangkir, bahkan ada yang sama sekali tak menyiapkan apa-apa.

Hanya Hazel yang sukses penuh.

Teh hitam dalam cangkir berlapis emas, biskuit di piring dengan krim mawar, bahkan buah rosehip segar sebagai hiasan musim.

Kualitasnya tak sebanding dengan yang lain.

Madame terbelalak.

Ini bukan sekadar bisa memerintah bawahan—Hazel membuat mereka tunduk sepenuh hati.

Tugas yang sengaja dibuat untuk gagal, justru ia pecahkan dengan gemilang.

Bagaimana bisa?

Selama karier panjangnya, belum pernah ia melihat hal semacam ini.

Ia mengucek mata, menatap Hazel lagi.

Benar, itu kuda liar tadi. Tapi kini tampak berbeda—seolah bersinar dengan kemampuan luar biasa.

Engkaulah yang terbaik di sini!

Sebenarnya terlalu cepat mengakui, bisa-bisa jadi manja. Namun Madame tak sanggup menahan diri dan berseru,

“Lulus!”

“Lulus? Sekarang juga?”

Para gadis terperanjat.

Bagaimana bisa, si bangsawan jatuh miskin yang sok berani itu justru jadi yang pertama lolos?!

Mereka enggan mengakui, tapi mata mereka sendiri menyaksikan. Tak bisa membantah.

Hazel pun sama kagetnya.

Dari nada Madame, ia kira akan disiksa setidaknya sepuluh hari. Tak menyangka bisa lulus secepat ini.

Tentu, itu bukan akhir. Madame Elegance menambahkan dengan tegas,

“Namun sikap tubuhmu harus diperbaiki. Kenapa berdiri miring begitu?”

“Ah.”

Hazel buru-buru merapikan posisinya.

“Soalnya… entah kenapa saya terus merasa sedang ditikam dari belakang.”

“Ditikam? Oleh siapa maksudmu?”

“Bukan apa-apa.”

“Dan wajahmu itu, kenapa penuh jerawat?”

“Saya belakangan mengalami guncangan mental besar, jadi…”

Hazel sempat menjawab begitu saja, membuat seseorang terkikik. Madame segera melotot.

“Berani-beraninya tertawa?!”

Ia menatap kesal ke arah gadis-gadis lain.

“Bukan soal wajahnya. Semua orang terlahir cantik. Tapi kalian tak bisa merawat kecantikan itu. Terutama kalian, para putri bangsawan! Air minum pun disuapi, malam-malam habis di pesta, lalu diet tak sehat. Akibatnya beginilah—kulit pucat lesu, rambut kusam tak terurus! Dengan begitu, kalian bahkan tak lolos babak penyisihan!”

Madame menilai tanpa ampun. Wajah para gadis pun langsung pucat pasi.

Orang hidup, ada kalanya terlihat letih dan kusut. Rambut pun bisa jadi seperti bulu anjing. Lalu kenapa?

Begitulah cara Hazel memandangnya.

Tapi menurut standar tinggi Madame Elegance, jelas tidak begitu. Sepertinya dia benar-benar akan menolak semuanya.

Begitulah caranya Lingkaran Emperia, kelompok tertinggi itu, hampir runtuh begitu saja.

“Apa yang harus kita lakukan?”

“Bagaimanapun caranya kita harus lolos seleksi!”

Semua menggigit bibir dengan wajah putus asa.

Hazel justru merasa ini keberuntungan—karena Madame Elegance begitu pilih-pilih, ia pun mendapat ide bagus untuk menembus lingkaran sosial itu.

Hazel buru-buru pulang ke peternakan.

Saat melihat kandang ayam, ia menemukan hal aneh lagi. Ayam betina yang diberi nama “Philia”, tapi lebih sering ia panggil “Si Putih”, sedang mematuk jerami dan menumpuknya. Persis seperti yang pernah dilakukan oleh Si Gembul.

Hazel segera menyiapkan sarang yang empuk untuknya.

Kebetulan sekali. Ia bisa mendapatkan telur berkualitas pada waktu yang tepat.

Namun, satu hal masih mengganjal di hatinya.

Di sisi lain, Iscandar menerima laporan dari Kepala Polisi.

Wolfhound mencoba menambahkan tanaman berbahaya bernama comfrey ke dalam salep serba-guna Hazel dan menjualnya.

Untuk menggali lebih dalam, Iscandar mengambil data dari Hazel lalu menyerahkannya ke polisi. Penyelidikan pun segera dimulai.

Comfrey dapat merusak fungsi organ dalam dan bahkan memicu tumor. Kabar tentang bahayanya, terutama bagi orang tua dan ibu hamil, sudah tersebar luas. Karena itu, banyak petani mulai berhenti menanamnya.

Namun, tanaman itu tak bisa sepenuhnya dimusnahkan, sebab khasiatnya memang besar.

Polisi akhirnya menemukan bahwa comfrey diedarkan dengan nama lain: “rumput kecil lonceng”. Kebanyakan dalam skala kecil. Tapi ada satu aliran distribusi besar yang ketahuan—dicampur dengan jerami. Waktunya tepat sekali bertepatan dengan periode ketika Wolfhound sedang memproduksi dan menjual salep.

Mereka pun menelusuri jalur itu dan berhasil menangkap apoteker yang ditugasi Wolfhound membuat salep.

“Saya tidak tahu apa-apa! Saya hanya mengikuti perintah Lord Wolfhound!”

Apoteker itu sempat mengira semua rahasia mereka sudah terkubur bersama Wolfhound. Tapi begitu ditangkap, ia ketakutan setengah mati. Tidak ada lagi yang harus ia lindungi, jadi ia langsung buka mulut dengan imbalan keringanan hukuman.

Polisi segera menyerbu pabrik salep Wolfhound.

Dari luar, tempat itu hanya tampak seperti sebuah mansion biasa yang dijual. Tidak ada yang akan percaya bahwa di sana diproduksi salep ilegal.

Sejak penjualannya dilarang, mansion itu ditutup. Tapi semua peralatan dan bahan masih tersisa utuh.

“Fasilitasnya cukup besar dan strukturnya rumit. Kami sedang menggeledah setiap sudutnya. Pasti ada sesuatu.”

“Baik. Bagus sekali, kerja kerasmu.”

Iscandar membaca laporan itu dengan teliti, lalu merangkai kesimpulannya dalam benak.

Dan saat ia selesai, hampir tiba waktunya janji temu.

Ia berdiri.

Kini ia tidak perlu lagi menyamar. Tapi karena urusannya masih rahasia, ia tetap menghindari mata para pelayan istana dan diam-diam menuju peternakan.

Hazel baru saja kembali dari luar ketika pintu rumahnya diketuk.

Tak lama, suara yang sangat ia kenal terdengar.

“Boleh aku masuk?”

Hazel terperanjat.

Itu suara Sir Valentine.

Sesaat otaknya salah sangka. Namun bayangan itu hancur ketika seorang pria berambut emas berkilauan, Kaisar sendiri, masuk begitu saja.

Wajah Hazel langsung mengeras.

“Ternyata Yang Mulia Kaisar. Ada apa mendadak datang begini?”

“Mendadak? Apa maksudmu?”

Iscandar mengerutkan kening.

“Aku datang untuk menerima laporan. Bukankah sudah kutulis di catatan itu, jam enam sore aku akan datang mendengarnya langsung?”

“Hah?”

Hazel buru-buru merogoh sakunya, mengeluarkan kertas kusut. Begitu melihatnya, wajah Iscandar pun sama kusutnya.

“Ini berlebihan. Itu surat rahasia dari Kaisar, tahu.”

Hazel pura-pura tak dengar sambil merapikan kertas itu.

Di bawah kalimat ‘Jangan bersembunyi di balik selimut dan rebah saja……’, memang tertulis jelas: ‘Seharusnya aku memanggil Nona Mayfield untuk menerima laporan, tapi karena harus menyelidiki rahasia ini tanpa sepengetahuan para bangsawan dan pejabat, aku sendiri yang akan datang jam enam sore untuk mendengar laporan.’

“Baiklah, Yang Mulia.”

Hazel menyembunyikan kertas kusut itu dan duduk tegap.

“Kalau begitu, izinkan saya melapor. Tadi saya menerima surat resmi—dan ternyata Yang Mulia sedang menyiapkan drama outdoor untuk Festival Berburu. Lewat proses pemilihan ‘Saintess’, tujuan Anda adalah mendekati Lingkaran Emperia, bukan?”

“Tepat sekali. Jadi, hasilnya?”

“Saya lolos. Dan saya juga menemukan cara untuk mendekati lingkaran itu dengan aman.”

“Bagaimana?”

“Dengan telur dan susu.”

“Telur dan susu?”

Iscandar mengulang dengan heran. Benda itu terlalu biasa. Mustahil para nona bangsawan tertarik hanya dengan itu.

Namun Hazel pasti punya pertimbangan sendiri.

“Lalu, apakah kita harus membelinya?”

“Untuk telur, kebetulan ada yang sangat bagus. Ayam-ayam di peternakan kami baru saja mulai bertelur. Masalahnya susu. Kalau bisa menyiapkan susu sebaik telur ini, tentu lebih sempurna.”

“Kalau begitu, cukup diperah saja, bukan?”

Iscandar menunjuk ke luar.

“Sudah saya duga Yang Mulia akan berkata begitu. Tapi Julia belum mengeluarkan susu. Susu itu muncul untuk menyusui anak. Menurut Anda, apakah Julia punya anak? Tidak, kan? Bahkan ia belum punya pasangan jantan. Seekor sapi harus lebih dulu kawin dan beranak agar bisa menghasilkan susu. Itulah hukum alam. Bahkan Kaisar pun tak bisa membuat sapi betina tiba-tiba menghasilkan susu.”

Hazel mengucapkannya tanpa beban.

Namun kata-katanya menyinggung sesuatu di dalam hati Iscandar.

“Tidak!” serunya.

“Tidak… maksudnya?”

“Bisa dilakukan.”

“Hah? Tidak mungkin! Bagaimana bisa seekor sapi yang belum pernah bunting—”

Iscandar mengangkat tangannya, menyuruh Hazel diam.

“Siapkan semuanya dan tunggu.”

Ia berdiri dan langsung keluar bergegas.

Hazel berkedip bingung.

Barusan… itu perintah Kaisar?

Sepertinya harus menganggapnya begitu.

Ia pun pergi ke Julia. Sapi itu melingkarkan ekornya lalu melenguh panjang.

“Ya, aku juga tidak tahu, Julia.”

Hazel menarik talinya dan menuntunnya ke gudang.

Ia membuka tumpukan jerami, meratakannya jadi alas empuk, lalu menempatkan Julia di atasnya. Setelah itu ia menyiapkan air hangat, kain bersih, sabun, dan ember.

Sementara itu, Iscandar bergegas ke Menara Pengetahuan di dalam istana.

Para bijak terkejut melihat Kaisar datang terburu-buru, mengira ada masalah besar.

“Yang Mulia! Apa yang terjadi?”

“Bagaimana caranya membuat sapi betina yang belum bunting segera mengeluarkan susu?”

“……”

Para bijak terdiam.

Kaisar memang sering melontarkan pertanyaan aneh, sebagai imbalan karena sudah memberinya kebebasan penuh untuk riset. Tapi ini termasuk yang paling absurd.

Namun desakan Kaisar datang cepat.

“Cepat! Ini menyangkut harga diri Kaisar!”

Mereka sama sekali tak mengerti apa hubungan susu sapi, kehamilan, dan harga diri Kaisar. Tapi titah Kaisar adalah mutlak.

“Hmm, sebenarnya…”

Akhirnya Sage Debash membuka suara.

“Kalau boleh bicara, sahabat dekat Yang Mulia, Sir Cayenne Runbard, pasti mengetahuinya dengan baik.”

“Cayenne?”

“Ya. Seperti yang Anda tahu, kaum Catsey sangat menyukai susu. Dahulu ada peri yang sangat tidak sabaran, hingga ia meneliti cara membuat sapi menghasilkan susu tanpa kehamilan dan kelahiran. Semua menganggapnya gila. Tapi ternyata cara itu lebih ramah, bahkan memperlancar sirkulasi tubuh sapi, sehingga saat akhirnya betulan memproduksi susu, mereka lebih sehat dan jarang sakit. Itu berkembang menjadi cabang kecil dalam dunia peternakan peri. Namun karena biaya dan kesulitannya tinggi, metode itu tidak menyebar ke kalangan petani biasa…”

Sage itu menjelaskan panjang lebar, lalu memberikan gulungan berisi cara tersebut.

Iscandar segera membawanya ke peternakan. Hazel sudah menunggu di luar.

Benarkah dia sungguh menemukan cara?

Hazel menatapnya penuh keraguan. Ia lalu menyerahkan selembar kertas.

“Nih.”

“Apa ini?”

“Mantra Kehamilan Imajinasi.”

Hazel tak percaya telinganya.

“Yang barusan Anda bilang apa?”

“Namanya sesuai artinya: membuat sapi seolah hamil melalui imajinasi. Menurut penelitian, satu kali mantera ini akan memperlancar sirkulasi tubuh sapi, sehingga mengurangi penyakit di kemudian hari. Biayanya memang mahal, makanya tak dipakai umum. Tapi aku Kaisar, jadi semua sihir gratis bagiku. Tepatnya, aku hanya membayar pajak pada diriku sendiri.”

Hazel menatap kertas itu dengan wajah kosong.

Baru saja ia bicara asal—dan Kaisar benar-benar pergi lalu kembali dengan cara ajaib.

Dadanya tiba-tiba berdebar.

Sosok ksatria berjubah hitam, yang selalu terlalu serius hingga kadang bertindak konyol, terlintas jelas di benaknya. Sosok yang tak bisa lagi ia temui.

Aku ingin melihatmu lagi.

Dadanya terasa perih.

Hazel tersentak.

Pria ini adalah Kaisar. Lalu mengapa ia merasakan hal seperti ini?

Apa hatinya sudah pulih? Apa ia akhirnya bisa melupakan masa lalu dan memaafkan?

Ia mencoba menatap lurus pria di hadapannya.

Namun begitu melihat rambut emas itu, kebencian kembali menyeruak.

Tidak. Aku belum bisa memaafkan.

Hatiku sendiri pun tak bisa kupahami. Mengapa begitu bergejolak?

“Baiklah, kalau begitu.”

Iscandar melirik Hazel yang masih berdiri terpaku.

Ia menoleh untuk melihat sekeliling. Pintu lumbung terbuka lebar. Di dalamnya ada seekor sapi perah.

“Akan kucoba melemparkan sihir ke hewan itu.”

Iskandar melangkah masuk ke dalam lumbung. Ia mengangkat kertas sihir sambil mendekati Julia.

Saat itu juga—

Bang!

Julia memutar ekornya 360 derajat dan menghantam kepalanya dengan keras. Hazel terperanjat.

Astaga!

Tapi anehnya, pada detik itu juga, semua pikiran rumit yang memenuhi kepalanya lenyap seketika. Yang tersisa hanya rasa lega luar biasa, seolah semua beban runtuh. Tak ada yang lebih melegakan daripada itu.

Hazel pun berseru:

“Bagus sekali, Julia!”

Iskandar menoleh cepat, wajahnya penuh keterkejutan.

Tak masuk akal. Ia merobek kertas sihir itu dan melafalkan mantra ke arah Julia, menanamkan sihir kehamilan semu sambil menggerutu:

“Seharusnya dulu kau tidak membelanya. Benar juga, kau memang bersekongkol dengan pengkhianat!”

“Pengkhianat yang Anda maksud… adalah diri Anda sendiri yang hendak mengkhianati dirinya?”

“Itu bukan maksudku! Aku masih ingat jelas kata-kata pertamamu waktu minum anggur pertama kali. Kau bilang mau merobohkan istana kekaisaran dan membuat kebun anggur di atasnya.”

Hazel tersentak. Baru sadar—orang di hadapannya adalah Kaisar.

Saat itu juga, cahaya memancar dari tubuh Julia. Beberapa detik waktu berharga berhasil mereka peroleh.

“Orang mabuk bisa bicara apa saja, bukan?”

Hazel mencelupkan tangan ke dalam baskom berisi air panas sambil menjawab.

“Menyimpan kata-kata orang yang tidak tahu identitas Anda, lalu menghukumnya di kemudian hari… bukankah itu tidak adil? Kalau tidak ingin begitu, seharusnya Anda tidak menyembunyikan jati diri Anda. Kalau saya tahu Anda Kaisar, apa saya berani bicara seperti itu?”

“Benar juga. Kau bahkan takkan bisa berbicara denganku sama sekali. Kau bahkan takkan diizinkan masuk.”

“Persis! Anda sendiri yang tahu jawabannya.”

Hazel meraih sabun, lalu menambahkan dengan senyum kecut:

“Kadang tahu terlalu banyak pun tidak selalu baik. Andai saja Anda dari awal jujur secara sederhana, segalanya takkan serumit ini. Paling tidak, tidak akan ada peristiwa konyol dalam sejarah Kekaisaran di mana Kaisar sendiri dituduh sebagai pengkhianat. Itu akan tercatat selamanya dalam sejarah, bukan?”

Iskandar kaku sejenak.

“Karena itulah aku berniat memanfaatkan kesempatan ini untuk menyingkirkan faksi konspirasi itu….”

Namun ia menyerah, tak bisa merangkai alasan.

“Memang harus sampai sejauh itu? Aku tahu menjaga tekad awal itu baik, tapi apa harus menekan aku sebegitunya? Bahkan para pelayan dapur mendapat kemurahan hati darimu, tapi Kaisar sendiri tidak? Apa itu yang kau sebut adil?”

“Manusia bukan mesin. Tidak mungkin bisa selalu bersikap sama pada semua situasi. Ada hal-hal yang bisa ditoleransi, ada pula yang terasa menusuk hati.”

Hazel gerah, lalu melemparkan syal dari bahunya.

Namun di balik semua itu, dadanya terasa begitu lega.

Ia tak pernah menyangka bisa mengobrol seperti ini lagi. Sejak tahu Lord Valentine ternyata Kaisar, Hazel pikir mereka takkan pernah bisa bicara dengan jujur lagi.

Namun anehnya, di tengah memerah susu sapi, percakapan itu justru mengalir.

Penyamaran Kaisar adalah topik sensitif. Tapi setelah diucapkan, ternyata tak sebesar yang dibayangkan.

“Itu bukan salah saya. Bukankah Anda seorang Grand Cavalier sekaligus Kaisar? Kenapa harus takut pada kata-kata seorang perempuan lemah yang bahkan tak bisa mengangkat pedang?”

“Lalu bagaimana jika aku memang dididik untuk takut pada keluhan rakyat? Bagaimana kalau itu hasil didikan dari Yang Mulia Permaisuri Dowager—yang begitu kau hormati—yang berkata seperti itu?”

“……”

“Tak bisa membantah, ya?”

“……”

“Kalau menghadapi hal sepele saja kau terdiam, bagaimana kau bisa menghadapi para bangsawan di pergaulan? Jangan-jangan kau akan kembali bersembunyi di balik selimut? Apa susu dan telur benar-benar akan berhasil? Atau sebenarnya kau hanya ingin minum susu?”

“Tidak mungkin! Aku pasti berhasil! Kalau pun gagal, maka….”

Saat itu juga—

“Moooo!”

Julia melenguh keras.

Keduanya menoleh, terbelalak.

Mantra sang Sage benar-benar kuat. Susu Julia membengkak penuh, memperlihatkan bentuk sejati seekor sapi perah.

Hanya dengan kehamilan semu saja bisa seperti ini!

Hazel kagum. Lalu tersadar.

“Apa yang sedang kulakukan sekarang?”

“Aku harus memerah susunya. Mohon keluar, Yang Mulia. Kita harus menjaga privasi Julia.”

Iskandar, setengah bingung, berbalik. Hazel membuka pintu lumbung untuk mengantarnya keluar.

Namun di sana sudah ada seseorang.

Sang Sage, Devash.

Sejak tadi ia diam-diam mengikuti Kaisar. Ia tak habis pikir apa hubungan antara kehamilan semu seekor sapi dengan harga diri Kaisar, dan rasa ingin tahunya tak terbendung.

Namun seperti biasa, ia kehilangan jejak.

Saat kebingungan mencari, seorang pelayan berbisik:

“Mungkin Baginda ke ladang kecil itu lagi. Kalau menghilang, biasanya memang ke sana.”

“Ah, begitu rupanya.”

Devash memang pernah mendengar ada ladang kecil di tengah taman istana, tapi tak tahu detailnya. Ia pun berjalan ke sana. Dari luar ia melihat cahaya dari lumbung, tapi tak berani masuk, jadi ia menunggu di luar.

Akhirnya pintu terbuka—

Dan ia membeku.

Dari dalam, Kaisar keluar bersama seorang gadis muda. Wajah keduanya memerah, pakaian pun agak berantakan.

Devash terperanjat.

“Ya ampun! Aku tidak melihat apa-apa, Baginda! Sama sekali tidak!”

Dengan wajah pucat, ia kabur terbirit-birit.

Apa-apaan?

Iskandar menatap punggung sang Sage, bingung. Lalu firasat buruk muncul.

“Tunggu!”

Ia buru-buru mengejarnya.

Apa sih yang terjadi dengan mereka berdua?

Hazel menatap sekilas ke arah kegelapan, lalu kembali ke dalam lumbung.

Setelah adu argumen dengan Kaisar, hatinya terasa jauh lebih ringan. Seolah-olah setiap hari ia makin pandai membereskan pikirannya.

Ia mengangkat bahu, lalu bersiap memerah susu.

Kebersihan adalah segalanya. Jika lalai, sapi bisa terkena penyakit. Pertama-tama ia mencuci tangan dengan sabun, lalu mengelap ambing Julia dengan kain basah. Setelah kering, ia pijat lembut selama setengah jam agar sapi merasa tenang.

Saatnya tiba.

Hazel menaruh ember di bawah tubuh Julia, menggenggam puting besar itu, lalu memerah dengan lembut.

Aliran susu putih menyembur deras.

Julia berdiri tenang, tampak nyaman. Hazel bisa merasakannya.

“Bagus sekali. Pintar, Julia.”

Ia terus memerah hingga lengannya pegal, sampai ember terisi penuh. Susu pertama dari ladang Marronnier akhirnya berhasil didapat.

“Kerja bagus, Julia.”

Hazel membersihkan tubuh sapi itu sekali lagi, lalu mengikatnya kembali di tempat semula.

Sekarang saatnya mensterilkan susu.

Hazel merebus susu sebentar dengan api kecil, lalu mendinginkannya. Setelah itu ia mengambil es yang disimpan di lemari es batu khusus. Susu didinginkan dengan es yang melimpah hingga benar-benar segar.

Keesokan harinya, susu itu membeku membentuk bongkahan padat.

Hazel memecah bongkahan ke dalam mangkuk besar. Ia menaruh mangkuk itu di atas es, lalu menambahkan air abu sedikit demi sedikit sambil mengaduk. Dengan sabar ia terus mengolah sampai bongkahan larut menjadi krim putih pucat.

Krim itu lalu ia campur dengan minyak zaitun berkualitas tinggi, diaduk dengan pengocok sampai hampir jatuh tangan. Setelah cukup lama, campuran itu mengental.

Hazel menuangkannya ke dalam kotak kertas kecil, menunggu sampai mengeras.

Beberapa jam kemudian, hasilnya padat. Permukaan krim pucat itu memunculkan butiran air. Hazel menyekanya, lalu mengangkat bongkahan mungil itu.

Selesai—sabun susu.

Sekarang giliran telur.

Hazel memecahkan telur segar dari ayam-ayam di ladang. Kuning telurnya pekat dan kenyal. Ia menambahkan garam dan cuka, lalu mengaduk. Perlahan ia tuangkan minyak zaitun, terus mengocok dengan semangat.

Tak lama, adonan berubah jadi kuning kental—mayones.

Resep klasik yang konon ditemukan koki sebuah kastil. Cocok dimakan dengan sayuran segar atau hidangan telur lembut.

Hazel menatap mayones itu.

Kalau Mama Martha dan Paman Karl tahu apa yang akan ia lakukan, mereka pasti terkejut. Tapi kalau tahu bahwa itu demi mendapatkan tanah, mereka akan mendukungnya.

Hazel merebus air panas, memenuhi bak mandi. Ia membasahi rambutnya, lalu mengoleskan mayones buatan sendiri dengan telaten, memastikan tak ada yang terlewat sebelum membungkusnya dengan handuk.

Kemudian ia masuk ke bak mandi. Dengan sabun susu yang baru ia buat, Hazel menggosok wajahnya hingga berbusa.

Seluruh ruangan mandi dipenuhi aroma gurih mayones dan wangi susu segar.

 

Nunaaluuu Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review