Senin, 01 September 2025

15. Satu Sendok Bahan Rahasia untuk Keadaan Darurat Negara (2)

Tanaman labirin yang tumbuh rapat di dalam rumah kaca berguncang hebat seperti satu massa hidup. Gelombang kejut yang dahsyat menyapu dari belakang kepala hingga membuat tengkuk terasa dingin.

Tak perlu melihat untuk tahu.

Itu adalah serangan Iskandar, yang memanfaatkan sesaat konsentrasi Aivator terlepas karena panik.

Sesama Grand Chevalier tidak pernah saling menantang. Bila pedang bersilang, maka duel hanya akan berakhir dengan kematian salah satu pihak.

Jika Grand Chevalier dari Utara tewas di wilayah Kekaisaran, maka masalahnya akan sangat besar. Belum lagi—jika Iskandar sendiri yang mati, bencana akan jauh lebih besar.

Karena itulah, duel di antara mereka adalah hal yang seharusnya mustahil.

Namun, semua itu hanya berlaku bila keduanya berada dalam posisi seimbang.

Dan kali ini, Aivator yang lebih dulu memperlihatkan celah. Melewatkan kesempatan emas itu sama saja dengan kebodohan.

“Tenang saja. Dia takkan bertindak terlalu jauh. Ada urusan diplomatik yang harus dijaga.”

Luis, satu-satunya orang biasa di antara mereka, melingkarkan tangan melindungi sahabatnya.

Di saat singkat itu, Hazel melihat sebuah botol kecil terhempas dan berguling.

Aroma yang familiar menyeruak bersama hembusan angin. Itu adalah botol minyak suci yang dibawa Aivator.

“Ohh!”

Mata Hazel berkilat.

Mengambil barang berguna yang jatuh di tanah lebih cepat daripada siapa pun adalah salah satu kebajikan seorang petani. Saat Luis menutupi tubuhnya, tangannya merayap di antara sulur tanaman dan berhasil meraih botol minyak suci itu.

Tak lama kemudian, gelombang kejut pun reda.

Semua orang menoleh dari balik dedaunan.

Tempat mereka berdiri tadi telah menjadi tanah kosong, gundul, seolah sebuah bom buatan pemberontak meledak dan menyapu segalanya.

Di sana, dua Grand Chevalier berdiri tegak.

Iskandar terlihat tenang.

Begitu pula Aivator. Tudung mantel sudah tersingkap, memperlihatkan wajah keras dingin bak serigala. Tanpa satu goresan pun.

Hazel mengernyit.

Apakah serangan itu gagal?

Namun saat diperhatikan lebih seksama, wajah Aivator tampak sangat pucat.

Dan ada hal aneh lain. Iskandar masih menggenggam pedang. Sedangkan di tangan Aivator… tak ada apa-apa.

Terlempar ke mana, pedangnya?

Hazel mengedarkan pandang, namun tak menemukan bilah itu di manapun.

Apa yang sebenarnya terjadi?

“Aivator-nim!”

Taougar, Jaougar, dan Chechel yang sempat menyingkir, buru-buru mendekat. Saat kedua pihak kembali berkumpul, Lorendel menatap tajam dan bersuara keras:

“Apa maksud semua ini? Apakah kau mencoba mencelakai Yang Mulia Kaisar Kekaisaran?”

“Mana mungkin!”

Jaougar, salah satu dari kembar raksasa, menyela.

“Justru kami melindungi Yang Mulia dari tanaman aneh yang merajalela di sini. Dengan minyak suci.”

Kebohongan mengalir begitu lancar.

Sebenarnya, ucapan mereka tak sepenuhnya tak masuk akal.

Melempar kantong berisi minyak suci, atau menyelubungkan energi pedang dengan wangiannya ke arah Iskandar—bagi orang luar, itu bisa tampak samar, tak mudah dipastikan sebagai ‘upaya mencelakai’.

Namun bagi yang melihat langsung, jelas berbeda.

Hazel maupun para Kapten Ksatria Suci tahu persis. Minyak itu mengandung kutukan yang mematikan bagi Grand Chevalier. Meski begitu, mereka bisa berani menyangkal sedemikian terang-terangan.

“Bahkan ingin menyalahkan kami karena memberkati dengan minyak suci? Silakan! Katakan saja di pengadilan kerajaan kami bahwa Iskandar dihukum karena Aivator hendak memberkati beliau dengan minyak suci!”

Hazel mendidih.

Tanpa pikir panjang, ia merogoh celemek dan mengeluarkan botol yang tadi ia pungut. Sebelum siapa pun sempat menghentikan, ia langsung memercikkan isinya ke arah Aivator.

Aroma khidmat memenuhi udara.

“—!”

Para pengikut Aivator terbelalak ngeri. Para Kapten Ksatria Suci di pihak kekaisaran pun tak kalah terkejut.

Kapan dia sempat mengambil itu?

Namun yang lebih mengejutkan adalah reaksi Aivator.

Meski tahu betul minyak itu berbahaya, ia sama sekali tidak bergerak. Tidak menghindar, tidak menangkis. Hanya menerima begitu saja, seolah tubuhnya lumpuh.

Isinya sudah tinggal sisa. Hanya beberapa tetes.

Namun efeknya nyata.

Tetesan yang menyentuh wajah Aivator segera berubah jadi noda hitam. Noda itu berdenyut seperti cacing, merembes masuk ke dalam kulit, menyebar cepat hingga wajahnya membiru kehitaman.

Hazel teringat cerita menyeramkan dari kakeknya. Tentang seorang pria yang digigit ular berbisa. Racunnya menyebar begitu cepat hingga sang kakek harus mengikat erat lengan pria itu, lalu menebasnya dengan kapak tebang pohon sebelum racun merambat ke seluruh tubuh.

“Dan ini yang kau niatkan untuk dilemparkan padanya?!”

Hazel berteriak geram.

Iskandar menoleh.

Sejak tadi ia diam, hanya memperhatikan Aivator. Barulah setelah puas mengamati, ia menatap Hazel.

“Sejak kapan kau menyimpan itu?”

Nada suaranya melunak, wajahnya pun berbeda dari dinginnya barusan. Bahkan di tengah situasi ini, teman-temannya hampir tertawa melihat perbedaan sikapnya.

Hazel, terlalu terbakar emosi, tak menyadarinya.

“Tadi terlempar ke sampingku. Aku pungut. Kupikir, kalau benar barang berharga ini begitu ‘luar biasa’, maka Aivator juga pantas merasakannya!”

“Begitu, ya…”

Iskandar hanya mengangguk, lalu melirik Aivator.

“Padahal aku sudah berjanji tak setetes pun akan menyentuhmu. Mengapa repot-repot ikut campur? Ya sudah. Sebagai ksatria… kupikir aku tak berniat membuka ini di depan umum, tapi sepertinya tak ada pilihan.”

Dari entah mana, ia mengeluarkan sesuatu. Seolah menariknya begitu saja dari udara.

Tiba-tiba, terdengar dengungan berat. Tubuh Aivator yang tadinya tegar mulai goyah.

Hazel terbelalak menatap benda itu.

Itu adalah pedang Aivator. Tapi hanya tersisa gagang—bilahnya patah.

“Lalu sisanya?” tanya Siegvalt.

Iskandar mengangguk ke arah Aivator.

“Di dalam sana.”

“Di dalam…?”

“Atau, di mana-mana.”

“Di mana-mana…?”

Semua orang mendadak hanya bisa mengulang bodoh kata-katanya.

Akhirnya rahasia terkuak.

Sekilas serangan Iskandar tampak tak membuahkan hasil. Tapi kenyataannya, ia berhasil mematahkan pedang Aivator. Bilah itu hancur berkeping-keping oleh benturan energi dahsyat, lalu menancap di sekujur tubuh pemiliknya.

Kayen menatap Aivator dengan wajah kosong.

“Kalau begitu, pecahannya pasti mengalir mengikuti aliran darahnya. Masalahnya… itu pedang suci.”

“Ya. Pedang itu bahkan berusaha menyatu kembali. Pecahannya hendak kembali ke gagang.”

Iskandar menjawab datar, lalu menyelipkan kembali gagang pedang itu entah ke mana.

Sekonyong-konyong, dengungan berhenti.

Kini jelas: suara itu adalah getaran ratusan pecahan pedang yang berusaha kembali ke asalnya.

Dan Aivator… bertahan di tengah rasa sakit mengerikan itu, berdiri tegak tanpa keluhan. Seperti yang memang layak bagi seorang Grand Chevalier.

Mengapa ia hanya terdiam setelah benturan? Karena ia tahu, dirinya hancur.

Ia membawa minyak terkutuk, hendak melemparkannya pada Iskandar.

Itu dosa besar, tak termaafkan. Hazel maupun para Kapten Ksatria Suci mendidih amarahnya.

Namun melihat keadaannya sekarang, amarah itu pun mereda.

Ia menerima ganjaran setimpal.

Kekaisaran memang telah menyiapkan banyak hal untuk kedatangan delegasi utara.

Namun yang benar-benar penting ternyata adalah persiapan lama—air suci yang dulu pernah disiramkan ke wajah Iskandar. Berkat itu, serigala liar kini telah dipasangi kalung besi.

Iskandar bersuara dingin.

“Semuanya, katakan. Untuk apa sebenarnya kau datang ke Kekaisaran?”

“…”

Aivator hanya diam.

Iskandar mengangkat tangan, seakan hendak kembali mengeluarkan pecahan pedang. Wajahnya tanpa belas kasihan, dingin seperti seorang psikopat.

“Tunggu.”

Aivator bersuara, tenang namun tergesa.

“Aku hanya berniat menyingkirkan zat berbahaya itu, jauh dari negeri kami.”

“Dengan cara melemparkannya ke tubuh orang lain?”

Luis mendengus.

Aivator membela diri:

“Hanya ada dua orang di dunia ini yang punya tubuh seperti aku. Salah satunya hilang, tak bisa ditemukan. Satu-satunya yang bisa kutemui hanyalah Grand Chevalier ini. Aku ingin mengujinya. Reaksi tubuhnya akan lebih tepat daripada uji coba pada tubuhku sendiri. Ini demi keselamatan Grand Chevalier, namun jelas Kaisar Kekaisaran bahkan tidak tahu akan hal itu.”

Iskandar menajamkan tatapan.

“Berdasarkan apa kau berasumsi aku tidak tahu?”

“Itu sudah jelas, bukan? Bahkan di Kachatoya kami tahu apa yang terjadi saat suksesi kekaisaran berlangsung.”

Sejenak, keheningan menutup ruangan.

Hazel menatap semua orang dengan mata penuh rasa ingin tahu.

Apa sebenarnya yang terjadi?

“Aku sendiri saudara kandung Raja, tapi tetap saja tidak tahu sampai sekarang. Para Grand Chevalier seperti kami sepenuhnya diputus dari informasi itu. Aku baru tahu secara kebetulan. Tentang keberadaan sesuatu yang disebut ‘Air Hitam’.”

Ivator melanjutkan dengan bahasa Kekaisaran yang fasih.

Grand Chevalier adalah kekuatan terbesar yang bisa dimiliki sebuah negara. Tapi sekaligus juga ancaman terbesarnya. Karena itu, seorang penguasa yang menjaga tatanan negara harus bisa mengendalikan Grand Chevalier sepenuhnya.”

“Dan benda-benda ini ada hubungannya dengan itu?”

“Benar. Semua kerajaan yang mewarisi peradaban kuno memiliki sesuatu yang disebut Air Hitam. Bagi orang biasa, itu adalah relik suci, tapi bagi Grand Chevalier, benda itu bisa membawa luka fatal. Hanya penguasa yang duduk di takhta secara turun-temurun yang tahu keberadaannya, dan pantang untuk membocorkannya. Tapi kakakku mencoba menggunakannya untuk mengancamku.”

Ucapan Ivator jelas berasal dari sudut pandangnya sendiri. Sulit untuk sepenuhnya mempercayainya.

Namun satu hal pasti: Raja Utara dan adiknya tidak akur.

“Aku menggunakan segala cara untuk mengetahui kebenaran, dan akhirnya aku berhasil. Air Hitam yang disimpan turun-temurun di istana Kachatoya adalah minyak suci ini. Setelah mendapatkannya, aku penasaran. Apakah Grand Chevalier Kekaisaran mengetahui kutukan yang mengancam kita semua ini? Jawabannya jelas: ‘tidak.’ Karena seperti kubilang tadi, kami pun tahu apa yang terjadi pada saat suksesi kekaisaran.”

Akhirnya Hazel tidak tahan lagi untuk tidak bertanya.

“Apa yang sebenarnya terjadi?”

“Itu….”

Cayenne yang menjawab.

“Tidak terjadi apa-apa.”

“Hah?”

Hazel melongo.

“Kalau begitu kenapa tadi semua orang mendadak terdiam?”

“Itulah masalahnya.”

Lorendel menjelaskan dengan tenang.

“Iss adalah Kaisar. Dia seharusnya tahu semua rahasia yang mutlak diperlukan untuk menjaga tatanan negara. Hal-hal semacam itu tak bisa ditulis di dokumen. Itu hanya disampaikan langsung dari mulut penguasa lama ke telinga penerusnya saat menyerahkan takhta. Tapi mendiang Kaisar sebelumnya tidak meneruskan apa yang dia dengar dari Kaisar Agung kepada anaknya. Dia menyimpannya sendiri dan membawanya ke liang lahat.”

Hazel hampir terbatuk.

“Kenapa begitu?”

“Untuk menyusahkan. Semua orang tahu mendiang Kaisar jauh lebih mencintai selirnya daripada Permaisuri sekarang, bukan? Selir berbahaya itu, Camilla Berganza.”

Begitu nama itu keluar dari mulut temannya, wajah Iskandar menegang.

Nama Camilla Berganza selalu membuat perutnya melilit setiap kali terdengar.

Namun kali ini, kenangan lain ikut terangkat. Kenangan tak menyenangkan yang sudah lama ia kubur.

Benar juga….

Iskandar menatap Hazel, wajahnya sangat serius.

Sementara itu, Lorendel terus melanjutkan penjelasannya.

“Selain itu, mendiang Kaisar lebih menyayangi putra haram dari Camilla, Adrian, daripada Iss yang merupakan pewaris sah. Dia berencana mengangkat Camilla sebagai Permaisuri dan menjadikan Adrian sebagai Putra Mahkota. Untungnya Camilla ‘tiba-tiba sakit dan meninggal,’ jadi rencana itu gagal. Sebelum mendiang Kaisar bisa membuat rencana lain, penyakit mengerikan yang merusak tubuhnya datang. Hukuman atas kehidupan bejat yang dia jalani terlalu lama. Akhirnya dia terpaksa turun takhta. Tapi hingga akhir, dia tetap bersikap kejam. Semua rahasia yang seharusnya diteruskan, dia bawa mati.”

“Oh begitu.”

Hazel mengangguk.

Rakyat jelata tidak tahu kisah sedetail itu. Setelah mendengarnya, bulu kuduknya berdiri.

“Kurasa aku bisa paham. Kedengarannya aneh, tapi di bank tempatku dulu bekerja ada juga orang seperti itu. Membuat segudang masalah, lalu akhirnya dipecat. Tapi dia pergi tanpa sedikit pun menyerahkan catatan penting. Bayangkan betapa kami semua sengsara dibuatnya!”

“Persis begitu! Saat awal penobatan, betapa kami menderita karenanya!”

“Ngomongnya jadi jauh sekali dari topik….”

Sigvald akhirnya menyimpulkan.

“Intinya, Ivator mencoba berjudi dengan Air Hitam itu. Sama persis seperti yang dilakukan Iss padanya. Dia ingin menundukkan Grand Chevalier lain.”

Jika berhasil, keuntungan yang didapat akan luar biasa.

Bahkan Hazel, yang seorang rakyat biasa, bisa langsung mengerti.

Begitu Ivator mendapat Air Hitam, nafsu serakahnya muncul. Tapi justru ia sendiri yang terjerat.

Itu sudah cukup menjawab sebagian besar pertanyaan.

Atau begitulah Hazel pikir. Namun masih ada yang mengganjal.

“Kalau begitu, apa itu Tangan Matahari?”

Iskandar yang bertanya.

Ah, benar juga. Hampir terlupakan.

Hazel kembali memusatkan perhatian pada Ivator.

“Itu perkara lain.”

Ivator menjawab tegas.

Iskandar segera menyentuh gagang pedang suci. Ivator buru-buru menambahkan.

“Yang sebenarnya kubutuhkan bukan Tangan Matahari.”

“Lalu apa?”

“Seperti yang sudah bisa kalian duga, aku ingin menggulingkan Raja dan naik takhta. Tapi untuk itu, menurut tradisi Kachatoya, aku harus membuktikan legitimasi kekuasaan. Aku membutuhkan simbol bahwa para ksatria, pengrajin, pedagang, dan petani bersama dengan Raja baru. Dari empat itu, tiga sudah kudapat. Tapi….”

Ivator melirik Hazel sekilas.

“Hanya satu yang belum: simbol pertanian. Salah satunya adalah ‘Utusan Ceres,’ pembawa pesan Dewi Padi. Dukun Agung Kachatoya menerima wahyu setelah upacara. ‘Utusan Ceres akan selalu bersama Tangan Matahari. Tangan Matahari ada di selatan.’ Bahkan ia menggambarkan ciri-cirinya lewat cermin suci.”

“Jadi selama ini semua omonganmu bohong belaka?”

Hazel nyaris berteriak, merasa muak.

“Kalau kau menculikku untuk kerja di ladang, mungkin aku masih bisa terima! Tapi menjadikan pertanian suci sebagai alat politik? Itu keterlaluan!”

Jaugar dan Taugar, yang sudah putus asa, melirik Hazel.

“Seperti kuduga, hanya tahu soal pertanian.”

“Wahyu Dukun Agung tidak salah, rupanya….”

Mereka mulai berbisik dalam bahasa asli mereka setelah sempat terbiasa dengan bahasa Kekaisaran.

Hazel mendengus dalam hati. Kenapa mereka begitu getol belajar bahasa Kekaisaran? Apakah hanya karena bertetangga dengan negara besar ini?

Ivator juga hendak menambahkan sesuatu, tapi tubuh besar dengan jubah upacara langsung berdiri di depannya. Iskandar benar-benar memutus kesempatan itu.

“Kalau begitu, kunjungan selesai. Mari kita pergi.”

Dia berbalik lebih dulu, meninggalkan para utusan.

Sikapnya jelas-jelas menunjukkan ia sudah tidak menganggap mereka ancaman. Bagi delegasi Kachatoya, itu menyakitkan. Tapi nasi sudah menjadi bubur.

Hazel ikut melangkah keluar, merasa puas.

Waktu di dalam labirin rumah kaca ternyata sudah lama. Mereka masuk sore hari, kini matahari sudah terbenam. Atap emas istana berkilau merah di bawah cahaya senja.

Di depan rumah kaca, para pejabat dan pelayan sudah berkumpul, gelisah.

Agenda itu memang tidak diumumkan ke luar, tapi karena tak seorang pun keluar selama berjam-jam, orang-orang mulai curiga. Bahkan Sesil si kasim licik, juga Menteri Istana, ikut datang.

“Paduka, bagaimana dengan delegasi itu?”

“Sebentar lagi keluar.”

Hazel melirik kasim tua itu dengan tatapan penuh makna: nanti akan kuceritakan pelan-pelan sambil minum teh.

Dengan itu, mereka bisa menyerahkan urusan sisanya kepada para pejabat.

“Syukurlah sudah lewat.”

Begitu Iskandar bersuara, semua orang otomatis menghela napas. Besar kecil, semua tanda lega.

“Kupikir Ivator memang sudah punya rencana, begitu dia berhasil mendapat minyak aneh itu….”

Cayenne lebih dulu angkat bicara.

“Sepertinya mereka sudah memulai kudeta, ya? Kalau mereka kembali, mungkin akan ada pertumpahan darah.”

“Belum tentu. Tanpa legitimasi, bisa saja ditunda.”

Sigvald menanggapi singkat.

“‘Utusan Ceres akan selalu bersama Tangan Matahari’….”

Luis bergumam, lalu matanya melirik Hazel dengan berbinar.

“Eh, jangan-jangan aku ini Utusan Ceres?”

Lorendel menatapnya penuh iba.

“Itu hewan suci. Bukan manusia.”

“Oh, gitu ya?”

“Lagipula kau tidak suka biji-bijian. Bagaimana bisa jadi utusan Dewi Padi?”

“Benar juga sih. Kalau begitu bagaimana kalau kita mampir ke pertanian Hazel? Siapa tahu memang ada Utusan Ceres di sana….”

Cayenne menyela dengan bersemangat.

Sebenarnya, dia memang ingin mengunjungi pertanian bersama Iskandar. Dia ingin sekali menggoda Kaisar dengan segala macam artefak di sana.

Namun wajah Iskandar yang sempat reda kini kembali serius.

“Tunggu. Ada yang lebih penting.”

Dia langsung menggenggam tangan Hazel erat-erat, lalu melangkah cepat tanpa melihat sekeliling.

Hazel terkejut.

“Kita mau ke mana?”

“Ke Ibu.”

“Yang Mulia Permaisuri Janda? Untuk apa?”

“Ada hal mendesak yang harus kutanyakan.”

Wajah Iskandar penuh kekhawatiran. Hazel pun terpaksa mempercepat langkah.

Mereka tiba di Istana Permaisuri Janda saat malam sudah turun sepenuhnya. Para dayang yang sedang menyiapkan makan malam terperanjat.

“Paduka!”

“Bagaimana kabar Ibu? Tidak ada yang aneh, kan?”

“Tidak, Paduka. Beliau dalam keadaan sangat baik.”

Iskandar baru bisa bernapas lega, lalu masuk. Permaisuri Janda, yang sedang bersantai setelah jamuan, menyambut dengan kaget.

“Kunjungan rumah kaca berjalan lancar?”

“Ya. Tapi ada satu hal yang ingin kutanyakan. Tentang Camilla Berganza.”

Iskandar langsung menyebut nama itu tanpa basa-basi. Kepala dayang dan para pelayan seketika kaku.

Mereka tidak lagi takut pada Camilla yang sudah lama mati. Tapi mendengar namanya mendadak di momen tak terduga tetap membuat bulu kuduk berdiri.

“Sebelum mati, wanita itu mengutukku. ‘Kau tidak akan bertahan hidup sebagai Kaisar. Semua Permaisuri-mu akan mati muda. Aku akan pastikan garis keturunanmu terputus.’ ….”

Dia menyampaikan semua kata-kata mengerikan yang pernah dilontarkan selir ayahnya, dengan nada datar.

Hazel terperanjat. Terlalu kejam! Jantungnya berdegup kencang. Tapi yang lain tampak biasa saja, tanda mereka sudah terbiasa dengan mulut busuk Camilla semasa hidup.

“Kalau kutukan memang sekuat itu, bukankah itu berarti tunanganku juga dalam bahaya? Bagaimana kalau ada kekuatan aneh yang mencelakakannya?”

“Ah, jadi itu alasannya kau membawa Hazel kemari?”

Permaisuri Janda mengangguk paham.

“Tenanglah. Camilla bukan hanya mengutuk dengan kata-kata. Dia memang pernah mencoba mencelakaiku dan anakku dengan berbagai sihir busuk. Tapi semua itu sudah lama dibersihkan. Semua benda mencurigakan sudah dibuang. Tak ada satupun barang terkait sihir tersisa di istana ini.”

“Begitukah….”

Iskandar akhirnya melembut. Baru kini ia menyadari betapa tergesa-gesanya ia datang ke kediaman ibunya bersama Hazel. Wajahnya sedikit kikuk.

Nyonya Winterfelt, Duchess sekaligus kepala pelayan perempuan istana, awalnya berniat berpura-pura tidak mendengar demi menjaga wibawa Yang Mulia. Namun lidahnya bergerak lebih cepat dari pikirannya hingga tanpa sadar melontarkan komentar jujur:

“Lagipula itu hanya pertunangan palsu, apa bedanya?”

“Ya, orang-orang di istana memang tahu kalau itu hanya pertunangan palsu. Tapi kutukan dan benda-benda terlarang itu mungkin saja tidak tahu…….”

Iskandar menjelaskan dengan penuh keyakinan pada logikanya sendiri.

Hazel hanya tersenyum lembut sambil mendengarkan. Sangat jelas terlihat betapa ia mengkhawatirkannya. Dan disukai oleh seseorang hingga begitu dipedulikan… sungguh membuat hati hangat.

Hazel pun sama: ia juga mengkhawatirkan dirinya. Semoga tak ada musibah yang menimpa. Bahkan kejadian di rumah kaca tadi sore pun—syukurlah—bisa dilewati dengan selamat hingga kini mereka berdiri di hadapan Yang Mulia Dowager Empress.

Namun, ketika sedang diliputi rasa lega itu, ia mendadak menyadari sesuatu.

Ada yang aneh dengan suasana sekitar.

Duchess Winterfelt dan para pelayan perempuan menatap ke arah lain, seolah berpura-pura sibuk dengan pemandangan jauh. Wajah mereka kaku, seperti berusaha keras menahan sesuatu. Bahkan Dowager Empress sendiri pun sama. Meski tampak mendengarkan putranya dengan serius, sudut bibirnya bergetar kecil, hampir seperti menahan tawa.

Ah.

Hazel akhirnya sadar.

Semuanya sudah tahu.

Sekejap wajahnya merona panas.

Tentu saja. Dowager Empress adalah wanita yang sangat cerdas—tak mungkin tidak menyadarinya sejak lama. Hanya saja Hazel dan Iskandar terlalu polos, terus melanjutkan sandiwara bodoh itu.

Betapa memalukan!

Hazel jadi gugup dan kikuk, membuat Iskandar menatapnya heran.

“Kenapa? Bukankah beliau bilang tak ada yang perlu dikhawatirkan?”

Hmm……

Hazel tak tahu harus bagaimana. Tapi satu hal jelas: orang paling tak peka di ruangan ini sebaiknya segera dikeluarkan dulu.

“Kalau begitu, mungkin sebaiknya kita cukupkan sampai di sini untuk hari ini.”

“Kenapa?”

“Saya ada sedikit yang ingin dibicarakan berdua dengan Yang Mulia Dowager.”

“Pembicaraan yang tak boleh kudengar?”

Ia memandang bingung. Para pelayan perempuan tersenyum geli sambil maju menengahi.

“Tentu saja, Yang Mulia. Bahkan lebih dari itu. Sebenarnya ruangan ini memang wilayah larangan bagi pria keluarga kekaisaran.”

“Benar. Salon ini sejak dulu tertutup untuk mereka.”

Dan sebelum sempat menyadari, Iskandar pun sudah tersingkir keluar.

Setelah itu, Duchess Winterfelt dan para pelayan juga meninggalkan ruangan dengan cekatan. Kini hanya Hazel dan Dowager Empress yang tersisa.

Dowager Empress tersenyum tenang, seolah berkata: Bicaralah dengan hati ringan.

“Baru saja saya mendengar banyak kisah lama.” Hazel memulai.

“Kisah di masa mendiang Kaisar masih hidup. Tak terlalu rinci, tapi cukup memberi gambaran betapa beratnya masa itu bagi semua orang.”

Dowager Empress mengangguk perlahan.

“Ya. Masa yang sangat berat.”

“Namun meski begitu, Yang Mulia tetap tumbuh tanpa kehilangan pijakan. Untuk bisa demikian, pastilah beliau harus terus-menerus menguatkan diri, mengalahkan banyak cobaan. Jika memikirkannya, saya merasa beliau sungguh luar biasa.”

Hazel berhenti sejenak, lalu menatap lurus.

“Yang Mulia mungkin sudah lama menyadarinya… tapi saya tetap ingin mengatakan. Saya menyukai Yang Mulia. Sangat.”

“Oh.”

Senyum cerah merekah di wajah Dowager Empress. Kata-kata sederhana namun tulus itu menyentuh hatinya, meski ia sudah tahu segalanya sejak dulu.

“Terima kasih. Itu hal yang sungguh patut disyukuri.”

Ucapan hangat nan murah hati. Seolah ia benar-benar sudah melupakan kenyataan bahwa gadis desa tanpa harta dan kedudukan ini dulu kerap berbantah dengan sang Kaisar.

Hazel pun ikut terharu. Rasa haru kecil itu membuat mereka berdua semakin dekat.

Karenanya, Hazel tanpa ragu menceritakan apa yang terjadi sore itu di rumah kaca labirin—tentang rencana jahat kelompok Aibator, bagaimana Iskandar menghentikannya, hingga caranya mengalahkan serigala Utara dan membongkar kebenaran.

Wajah Dowager Empress beberapa kali berubah seiring cerita. Terutama saat mendengar ada relik rahasia yang diwariskan untuk menandingi Grand Chevalier.

“Kerajaan kita juga penerus peradaban kuno, bukan?” Hazel menambahkan. “Mungkin saja benda bernama Black Star Relic itu tersembunyi di suatu tempat.”

“Benar.”

“Kalau begitu, mungkinkah mendiang Kaisar benar-benar membawa rahasia itu ke liang lahat sendirian? Tidak membisikkan pada siapa pun? Entah kenapa, saya terus merasa gelisah. Seharusnya saya berhenti mencurigai, tapi…….”

“Tidak.” Dowager Empress menggeleng.

“Di sini, memastikan segala sesuatu dengan jelas adalah kebiasaan baik. Terutama di istana. Kecurigaan—itu justru modal penting bagi seorang courtier. Kaisar sendiri, para Knight Commander pun, meski tak menunjukkannya, pasti masing-masing berusaha mencari tahu.”

“Kalau begitu kita juga harus begitu!” seru Hazel.

“Yang lain mungkin tak ingin membebani Yang Mulia dengan kecemasan. Tapi menurut saya, justru sebaliknya. Yang Mulia sudah cukup sehat, dan semakin sibuk dengan hal-hal penting, semakin kuat pula kesehatan Yang Mulia.”

“Ya, benar sekali!”

Dowager Empress tak mampu menahan kegembiraan, menggenggam erat tangan Hazel. Betapa menenangkan—gadis ini benar-benar memahami isi hatinya.

“Kalau begitu, mari kita cari kebenaran bersama. Kita pasti bisa.”

“Suatu kehormatan, Yang Mulia. Saya akan lakukan yang terbaik. Oh, ada yang ingin saya tanyakan… Apakah benar pihak kita yang meracuni Camilla?”

Ekspresi Dowager Empress berubah rumit.

Ups.

Hazel buru-buru merasa menyesal. Pertanyaan itu terlalu tajam untuk suasana hangat ini.

“Maaf, sebaiknya saya tanyakan lain waktu.”

“Tidak, tak apa.” Dowager Empress menggeleng.

“Itu bukan ulah kita. Karena kita harus berbeda dari mereka. Untuk naik takhta, kami tak boleh kehilangan keadilan, bahkan dalam hal kecil sekali pun. Itulah sumber kekuatan kita.”

Ia menarik napas dalam.

“Camilla diracuni oleh orang-orang terdekatnya sendiri.”

Hazel terbelalak.

“Orang-orang terdekatnya?”

“Ya. Saat itu dua faksi bertarung sengit: Permaisuri dan Putra Mahkota, melawan Selir Agung dan anak haram. Aku sempat kalah dari Camilla dan terusir, tapi kemudian kembali dengan nama bersih. Ironisnya, itu justru membuat kubu Permaisuri semakin solid. Camilla tak sabar, lalu menyiapkan rencana berikutnya untuk menyingkirkan kami selamanya. Namun justru saat itu, orang-orang kepercayaannya mengkhianatinya.”

“Kenapa? Karena tak yakin akan berhasil?”

“Mungkin. Atau karena terlalu ngeri hingga ciut nyali. Apa pun alasannya, kita takkan pernah tahu. Mereka semua mati tak lama kemudian. Setelah Camilla tewas, semua bukti sudah musnah. Itu pun salah satu rahasia yang dibawa mendiang Kaisar ke kuburannya.”

Dowager Empress menghela napas kecil.

“Rahasia itu selalu menghantuiku. Namun sekarang aku merasa kita sudah melihat ujung benang. Besar kemungkinan rencana itu terkait dengan Black Star Relic. Apa sebenarnya benda itu, hingga membuat orang-orangnya sendiri tega berkhianat?”

“Benar juga.”

Hazel pun menghela napas.

“Sepertinya kita takkan bisa tenang sebelum menemukannya.”

Dowager Empress merenung sejenak.

“Sebenarnya… ada satu hal yang mengusikku.”

“Apa itu?”

“Athena.”

Hazel terkejut.

“Lady Duke itu?”

Sekejap wajahnya memanas, teringat kembali kejadian di arena perburuan.

“Dia mungkin korban paling parah dari semuanya.” Dowager Empress bergumam.

“Mendiang Kaisar sangat memanjakannya. Padahal itu semua bagian dari perhitungan. Ia dibuat berbeda, dipisahkan, agar hanya bergantung pada Kaisar dan Camilla. Itu sebabnya sampai sekarang pun Athena tak pernah bisa benar-benar menyatu dengan orang lain.”

Hazel tercekat.

Ia teringat komentar para Red Fox. Memang, Athena terlihat begitu canggung dalam bersosialisasi. Jika benar mendiang Kaisar yang membentuknya demikian… sungguh ia telah meninggalkan bayang panjang di kehidupan banyak orang.

“Baiklah. Mari kita juga menanyakan pada Athena. Ia pun berhak ikut dalam pencarian jawaban ini.”

“Benar.” Hazel mengangguk.

Dowager Empress memanggil pelayan.

Sementara itu, di Sunflower Palace, kediaman Lady Athena.

Ia duduk di studio lukis bersama para pelayan, menerangi ruangan dengan banyak lilin. Di depannya, seekor anak kucing bermain dengan gulungan benang—ia sedang melukisnya di kanvas.

Anak kucing itu sengaja dibawa salah satu pelayan untuk menghiburnya, karena akhir-akhir ini Athena tampak murung dan linglung. Dan itu memberi alasan baginya menahan semua orang hingga larut malam. Bahkan Kerual pun tak bisa meninggalkan posnya.

Athena pura-pura fokus melukis, padahal sesekali menatap Kerual diam-diam. Saat itulah suara terdengar dari luar pintu:

“Utusan dari kediaman Dowager Empress. Beliau tak bisa tidur karena hiruk pikuk kunjungan delegasi. Beliau bertanya apakah Lady Athena punya salinan manuskrip yang bisa dipinjam.”

Athena memang pandai menyalin naskah, hingga Dowager Empress gemar membaca hasil tulisannya. Permintaan semacam itu sudah biasa.

Tanpa curiga, Athena mengenakan mantel tipis di atas night dress-nya, lalu membawa beberapa naskah pilihan yang baru saja disalinnya. Ia mengikuti pelayan menuju kediaman Dowager Empress.

Namun begitu pintu ruang dalam terbuka, wajahnya menegang.

“Lady Duke.”

Hazel menyambut dengan anggukan sopan.

Kenapa gadis desa ini ada di sini?

Athena melirik para pelayan dengan tatapan bertanya. Tapi Dowager Empress menenangkannya dengan suara lembut:

“Hazel datang untuk membicarakan urusan penting bersama kita. Hazel, maukah kau menceritakan pada Athena apa yang terjadi di rumah kaca labirin tadi?”

“Ya, Yang Mulia.”

Hazel pun menjelaskan secara singkat.

Mendengarnya, Athena pucat pasi. Membayangkan Iskandar berada dalam bahaya begitu besar membuat tubuhnya gemetar.

“Bagaimana bisa utusan berbuat sejauh itu!”

“Syukurlah semua bisa dilewati, tapi kita tak boleh lengah.”

Dowager Empress menatapnya dalam-dalam.

“Karena itu aku merasa, mungkin kuncinya justru ada padamu.”

“Pada saya?”

“Ya. Ingatkah hari mendiang Kaisar wafat? Bukankah saat itu ia memanggilmu, lalu membisikkan sesuatu di telingamu?”

Athena langsung pucat.

“Beliau tidak mengatakan apa-apa pada saya. Saya kira setidaknya Yang Mulia percaya pada kata-kata saya……”

“Tentu aku percaya.” Dowager Empress menegaskan.

“Hanya saja ini terlalu penting. Jadi aku harus memastikan lagi. Athena, tolong pikirkan baik-baik. Benarkah beliau sama sekali tidak meninggalkan sepatah kata pun?”

Athena menggigit bibirnya erat.

Kenangan hari itu masih begitu jelas.

Begitu ia masuk ke kamar besar yang berisi ranjang megah, para anggota keluarga kekaisaran dan pejabat tinggi sudah berkumpul. Aroma dupa yang menusuk kepala pun tak mampu menutupi bau busuk yang menyeruak dari tubuh Sang Kaisar Terdahulu yang terbaring di ranjang.

Begitu Athena masuk, Sang Kaisar melambai lemah, memintanya mendekat. Seolah hendak berbisik sesuatu.

Dan lalu, hal aneh pun terjadi.

Sang Kaisar jelas-jelas menggerakkan bibirnya. Tapi tak ada suara yang keluar. Hanya gerakan bibir, seakan sedang mengatakan sesuatu yang penting. Namun, dari sudut pandang orang lain di ruangan itu, terlihat seolah ia benar-benar membisikkan kata-kata terakhirnya.

Athena menahan rasa jijik dan mengecup pipi Sang Kaisar yang sudah membiru kehitaman.

Begitu ia mundur, semua orang langsung mengepungnya. Mereka ingin tahu, apa sebenarnya pesan terakhir Sang Kaisar.

Ketika ia berkata jujur, tak seorang pun mempercayainya. Mereka yakin Athena hanya ingin menyimpan rahasia itu sendiri, bersikap licik seolah hanya dialah pewaris wasiat terakhir.

Namun dulu maupun sekarang, jawabannya tetap sama.

“Aku tidak mendengar sepatah kata pun. Beliau hanya menggerakkan bibir, seolah hendak mengucapkan sesuatu yang penting.”

Athena menegaskan, kedua matanya penuh ketidakadilan.

Itu adalah sorot mata yang jujur.

Dia memang berkata apa adanya. Tak ada sedikit pun kebohongan dalam kisah hari itu.

“Begitu, ya.”

Permaisuri Janda menarik napas panjang.

“Hanya kejam sampai akhir, rupanya. Seolah berpura-pura hendak meninggalkan rahasia khusus untukmu, padahal hanya permainan belaka. Dia memang menyukai cara mengendalikan orang seperti itu. Bahkan setelah mati pun, kita tetap tak lepas dari bayangannya.”

Wajah Permaisuri Janda, yang bahkan di larut malam masih selalu penuh vitalitas, kini tampak letih. Guratan usia terlihat jelas.

“Sebaiknya Yang Mulia beristirahat.”

Kepala dayang berkata pelan.

“Ya, kalau begitu kami mohon pamit.”

Keduanya memberi hormat, lalu keluar dengan tenang.

Begitu Hazel keluar, Athena sudah tidak ada di sana.

Ia sebenarnya ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk bicara. Sayang, ternyata tak bisa.

Hazel akhirnya hanya menyapa para dayang, lalu melangkah keluar dari kediaman Permaisuri Janda. Hutan elm di sekitar tampak sunyi.

Teramat sunyi, bahkan terasa janggal.

Hazel terbiasa keluar malam. Ia sering berkeliaran untuk memetik atau mengumpulkan sesuatu.

Namun malam ini terasa lebih kelam. Mungkin karena baru saja mendengar kisah kelam dari masa lalu.

Tiba-tiba terdengar suara ranting bergeser dari atas pohon.

Hazel merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia menoleh cepat—dan saat itu juga, angin dingin menyapu tengkuknya.

Udara terasa menusuk. Padahal musim gugur baru mulai, tapi hawa dinginnya berbeda. Hazel merapatkan shawlnya dan menatap ke depan.

Bangunan megah Istana Kekaisaran menjulang di hadapannya.

Biasanya ia selalu lebih memilih berjalan di luar ruangan. Tapi malam ini, entah mengapa, ia ingin menyeberang menuju taman besar melalui bangunan utama.

Ia mendorong pintu berat itu dan masuk.

Lorong dipenuhi cahaya lilin yang dipasang dengan jarak teratur. Remang, tapi cukup untuk berjalan.

Baiknya cepat-cepat lewat saja.

Hazel mempercepat langkah menyusuri lorong panjang.

Saat itu, sesuatu tiba-tiba berkelebat di depan. Seseorang tanpa suara muncul, menghadang jalannya.

Hazel langsung tahu gaya bergerak itu.

Tapi itu bukan Iskandar. Yang berdiri di sana adalah Aivator, sang Grand Chevalier dari Utara, dengan jubah khas bangsanya dan tudung menutupi kepala.

“Eh…?”

Hazel menahan keterkejutan, lalu berkata tenang.

“Apa yang Anda lakukan di sini? Dan kenapa menghadang jalan orang? Meski lorong ini kosong, di luar masih banyak orang. Tahu kan, suara saya terkenal sangat nyaring. Mau dengar buktinya?”

“Sebentar saja.”

Suara Aivator berat dan serius. Dari balik tudung, wajahnya tampak muram.

“Tak usah terlalu waspada. Aku sudah menyerah mencari Utusan Ceres. Memang tadinya aku bersikeras, tapi sebenarnya bukan sesuatu yang harus kuperjuangkan mati-matian. Ah… di sini juga kalian memakai istilah ‘mati-matian’, bukan?”

Hazel tidak merasa perlu menanggapi. Bukan waktunya jadi guru bahasa malam-malam begini.

“Kalau boleh jujur, membawamu ke negeri kami memang akan lebih mudah. Tapi kalau tidak bisa, ya tidak masalah.”

Ia menatap Hazel dari atas, sudut yang jelas disengaja.

Kenapa laki-laki suka sekali melihat dari sudut itu?

Hazel bertanya dalam hati.

“Itu sudut yang buruk, tahu? Semua kelemahan wajah jadi terlihat. Kalau wajahmu bulat mirip kentang, sudut ini malah memperburuk. Jadi sebaiknya dihindari.”

Ia dengan santai memberi saran soal ‘angle’ kepada Grand Chevalier Utara.

“Sekarang itu yang penting?” Aivator nyaris melongo.

“Kalau begitu, apa yang penting?” Hazel menatap balik.

“Tidak ada yang pernah berani melempar sesuatu ke wajahku. Kau yang pertama—laki-laki maupun perempuan. Karena itu kuberi tahu: kalian berdua tampak teramat mesra. Kalau itu hanya main-main, tak masalah. Tapi kalau sungguh menikah….”

Ia menurunkan suaranya, hampir berbisik.

“Kau akan mati.”

Hazel hanya mengedip sekali, wajah tetap datar.

Aivator terbelalak, tak menyangka.

“Sudah tahu?”

“Apa yang perlu diketahui? Menikah dengan Kaisar bukan berarti hidup abadi. Tentu saja suatu saat aku akan mati!”

“….” Aivator bengong.

Hazel mendengus, emosi meninggi.

“Tentu saja aku paham maksudmu! Aku cuma muak mendengar semua orang bicara soal pernikahan. Umurku belum genap dua puluh, tapi semua orang, bahkan orang asing, sudah sibuk mengomel tentang kapan aku menikah! Aku ingin mereka tahu: keputusan ada di tanganku!”

“Tapi aku bilang, kau akan mati sungguhan!”

Ia menekankan.

“Matamu tak bisa melihatnya, tapi aku bisa. Saat kalian berdua bersama, nasibmu berlumur darah. Itu pertanda kematian.”

“Takdir seperti itu bisa diubah. Kubuat saja takdirku mati dengan damai di usia panjang.”

Aivator benar-benar kehilangan kata-kata.

“Jadi… dia begitu berharga bagimu?”

“Pertanyaan tingkat tinggi terus ya!” Hazel mendengus.

“Jawabannya sudah jelas. Tapi kalau kau memaksa, kupastikan satu hal: semua situasi yang kau ciptakan—ketika kau hendak membawaku ke Utara, ketika kau mencoba mencelakai Kaisarku—justru membuatku semakin yakin. Kami tidak bisa berpisah!”

Begitu mengucapkannya, Hazel sendiri terhenyak.

Memang begitu. Setiap kali krisis datang, ia selalu merasa: tak mungkin kami berakhir di sini. Perasaan itu jauh lebih kuat daripada saat-saat tenang sehari-hari.

“Terima kasih sudah mengingatkanku akan hal penting.”

Hazel membalikkan badan, hendak pergi.

“Sebentar!”

Aivator kembali menghadang.

“Jawab satu hal saja. Aku masih tak habis pikir. Bagaimana Kaisarmu bisa begitu sempurna menangkis Minyak Suci? Sesuatu yang tak seharusnya bisa dilawan, bagaimana ia melakukannya begitu alami?”

“Oh, itu?”

Hazel mengangkat bahu.

“Rahasia ada di pertanian.”

“…Apa?”

“Coba saja. Pulang ke Utara, kelola sebuah pertanian. Meski kau sudah Grand Chevalier, pertanian bisa membawamu ke tingkat lebih tinggi.”

Ia bahkan sempat ‘menjual’ ide pertanian, lalu berbalik pergi.

Beberapa langkah kemudian, saat menoleh, Aivator sudah menghilang.

Hazel melanjutkan berjalan menyusuri lorong panjang istana. Dari jendela-jendela berjeruji, kegelapan di luar tampak kian pekat.

Malam ini memang aneh… bayangan nyaris tak terlihat. Kalau ada yang mengikutiku diam-diam, aku mungkin takkan sadar.

Itu benar.

Karena ada satu orang lagi yang mengikutinya.

Mengenakan gaun malam ungu pucat dengan jubah tipis, orang itu adalah Athena.

Ia memang berjalan di belakang Hazel, tapi bukan untuk memata-matai.

Athena hanya tidak ingin bertemu muka langsung, jadi ia keluar lebih dulu. Tapi begitu melangkah, hawa dingin dan mencekam membuat langkahnya melambat.

Ia benci mengakuinya, tapi ia takut. Hingga akhirnya melihat Hazel—dan merasa lebih baik mengikutinya daripada berjalan sendirian.

Maka, Athena pun masuk ke bangunan utama, mengikuti Hazel.

Saat itu, muncul Aivator. Kedua orang itu begitu sibuk dengan percakapan mereka, sampai-sampai tidak menyadari ada orang ketiga yang menguping.

Athena nyaris bersorak.

Apa ini? Grand Chevalier Utara dan Hazel, diam-diam di lorong istana pada malam hari?

Matanya berbinar. Ia menahan napas, mendengarkan.

Tapi percakapan mereka ternyata kaku, lebih mirip negosiasi ketimbang rahasia romantis.

Athena merasa kecewa. Ya, jelas saja.

Namun ia tetap mengikuti. Lagi-lagi, bukan karena ingin mengintai, tapi karena takut berjalan sendirian.

Lorong panjang itu penuh bayangan jendela yang terhampar di lantai. Hazel terus berjalan, menyusuri bayangan-bayangan tak berujung itu.

Athena merasa janggal.

Sejak kapan lorong ini sepanjang ini?

Merinding, ia menoleh kanan-kiri. Hazel tampak berjalan seperti orang linglung, seakan terhanyut pikiran.

Itu berbahaya.

Athena tahu. Ia sudah lama tinggal di istana. Kadang, hal-hal aneh memang terjadi—terutama pada perempuan, anak-anak, atau orang tua. Orang bilang itu karena arwah Camilla Berganza masih gentayangan, mengutuk istana.

Alasannya tidak penting. Yang jelas, jika terus begini Hazel bisa celaka.

Dan jika itu terjadi… orang terakhir yang bersamanya adalah—

—aku!

Athena hampir menjerit.

Beberapa dayang jelas melihat ia dan Hazel keluar bersama dari kediaman Permaisuri Janda. Permaisuri sendiri juga bisa menjadi saksi.

Jika Hazel celaka, orang pertama yang dituduh tentu dirinya.

Tak boleh dibiarkan!

Athena tahu caranya. Ia pernah menghadapi hal semacam ini.

Caranya mirip membangunkan orang dari mimpi buruk. Harus ada suara keras, sesuatu yang mengejutkan.

Ia segera mencari sesuatu di sekitar.

Ia memanjat kusen jendela, merobek sehelai tirai, lalu menyelimutkannya ke tubuh bagai jubah. Dengan itu ia berlari, mendekati Hazel.

Harus ada yang dilempar.

Matanya tertumbuk pada vas bunga di meja kecil. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu menghantamkannya ke lantai.

Crang!

Bersamaan dengan itu, ia mendorong Hazel sekuat tenaga.

Hazel terjatuh, tersentak, dan langsung siuman.

Apa yang barusan kulakukan?

Ia melihat sekeliling. Padahal sudah lama berjalan, tapi masih saja berada di lorong yang sama.

Jelas ada yang tidak beres.

Hazel menoleh, melihat sosok berjubah kain tirai itu.

Dan perempuan itu segera melarikan diri.

“Tunggu sebentar!”

Hazel langsung mengejarnya.

Di tikungan sempit itu sempat terjadi sedikit pergulatan. Dalam tarik-menarik, mantel terlepas begitu saja. Rambut pirang yang berkilauan bahkan di bawah cahaya lilin pun langsung terbuka.

Hazel menarik napas kecil.

“Seperti yang kuduga… rupanya menyembunyikan jati diri memang sudah turun-temurun di keluarga itu.”

Situasi ini tak mungkin lebih canggung lagi. Keduanya sama-sama berlumuran lilin panas yang kini mengeras sedikit demi sedikit.

“Aku pernah dengar cerita,” ujar Hazel, tak tahan dengan keheningan.

“Kalau jalan-jalan sendiri di dalam istana, bisa tersesat. Karena kutukan Camilla itu…”

Begitu mengucapkannya, terdengar konyol sekali. Ia buru-buru mengalihkan topik.

“Um, Yang Mulia Grand Duchess, waktu itu pun Anda menolong saya, kan? Saat turnamen berburu.”

“Itu semata supaya aku tidak diusir dari istana.”

“Lalu kali ini?”

“Tak ada pilihan lain. Orang terakhir yang bersama Hazel itu aku. Kalau aku tidak membantu, semua tuduhan bakal jatuh padaku—”

Ah, begitu.

Hazel merasa mengerti.

Grand Duchess punya logikanya sendiri. Semua dilakukan demi dirinya sendiri.

Tapi meski begitu… cara pikir yang otomatis mengarah ke situ tetap luar biasa.

“Grand Duchess memang orang baik! Aku sudah menduga. Darah keturunan memang tak bisa bohong!”

Hazel berseru gembira.

Athena menatapnya dengan pandangan aneh.

Kenapa begini?

“Orang baik” — kata itu tak pernah sekalipun ia dengar ditujukan padanya. Rasanya asing, getir, tapi juga… mengguncang.

Lalu Hazel tiba-tiba menunduk dalam-dalam.

“Waktu di drama suci itu aku bersikap seperti itu… jujur, karena aku iri pada Grand Duchess. Mungkin karena itu aku menerima begitu saja tawaran teman-teman di Circle. Dan bukan hanya itu, semua hal yang pernah membuat Grand Duchess tersinggung… semuanya salahku. Aku sungguh minta maaf. Mulai sekarang aku akan berusaha lebih baik. Kalau kita bisa berteman…”

Athena terbelalak.

Tak pernah ia sangka Hazel akan bicara seperti ini. Mengalah duluan, menundukkan kepala. Bukankah sekarang saatnya ia larut dalam kemenangan, menginjak-injak lawannya lebih dalam?

Ia menatap Hazel yang masih menunduk.

Begitu asing. Si gadis bertopi jerami itu selalu tampak tegak dan percaya diri, di depan siapa pun. Setidaknya begitu yang ia ingat.

“…Aku tidak mau.”

“Eh?”

Athena menggertakkan gigi.

“Kau bisa menunduk seperti ini hanya karena kau menang. Karena kau yakin telah mendapatkan hati His Majesty. Di depan seorang pecundang, kau sedang menunjukkan kelapangan hati seorang pemenang.”

Hazel melongo.

“Aku?”

“Kita tidak bisa jadi teman! Aku tidak akan pernah mengakui ini! Hanya membayangkan orang lain di sisi His Majesty saja sudah membuatku marah, rasanya seperti terbakar! Sejak kecil aku hanya mencintai beliau, hanya itu satu-satunya! Aku tidak bisa mengendalikan perasaan ini! Lalu apa yang harus kulakukan?!”

Athena berbalik.

Meninggalkan tempat itu dengan langkah cepat, lalu akhirnya berlari.

Murni kekanak-kanakan. Tak ada satu pun yang masuk akal. Ia sedang merengek, merengek sebagai pecundang. Pecundang. Pecundang.

Saat berlari menembus pintu gedung utama—

Ada seseorang berdiri tegak di dalam gelap.

Aibator?

Tidak.

“Ah…”

Athena hampir tercekik oleh napasnya sendiri.

Itu adalah Iskandar.

Setelah keluar dari salon Permaisuri Dowager, ia sempat kembali ke kamar untuk menyusun hasil kunjungan utusan asing kali ini.

Namun tiba-tiba ia merasakan aura aneh. Ia meletakkan pena, lalu berlari keluar.

Aura Grand Cavalier milik Aibator kini sangat lemah karena luka-lukanya.

Karena itu, jika benar-benar ditekan, ia bisa menyembunyikannya. Bisa lepas dari pengindraan Iskandar untuk sementara, keluar diam-diam dari paviliun tamu.

Tapi gara-gara Hazel mengatakan hal-hal aneh tadi, konsentrasi Aibator pecah. Auranya bocor.

Dan ketika Iskandar menangkap sinyal itu dan berlari, Aibator sudah menghilang.

Ia lantas memeriksa keadaan. Begitulah ia tanpa sengaja mendengar percakapan Hazel dan Athena.

“…”

Athena menatap wajahnya.

Mereka sudah bersama sejak kecil. Ia tahu hanya dari ekspresinya saja.

Sudah lama sekali ia menyembunyikan perasaan itu. Tapi kini selesai sudah. Semua rahasia terbongkar.

“Aku…”

Athena merasa ingin mati saat membuka mulutnya.

“Ya. Sejak pertama kali bertemu, aku mencintai His Majesty. Bukan perasaan lain, hanya cinta. Aku tak pernah membayangkan masa depan tanpa menjadi Empress.”

“…”

Iskandar terdiam, tak tahu harus bagaimana.

Athena merasakan kepahitan menusuk lidah.

Betapa menyulitkan baginya. Betapa tidak menyenangkan menerima perasaan dari orang yang tak ia inginkan. Menyaksikan orang yang dicintainya tampak begitu terganggu… membuat dirinya muak pada diri sendiri.

“Kalau begitu…” suaranya bergetar.

“Kalau begitu aku akan pergi ke Utara. Entah dengan Aibator atau siapa pun, aku akan menikah dengan salah satu bangsawan kerajaan di sana. Setidaknya begitu aku bisa berguna bagi Kekaisaran, meski dari jauh.”

Saat itu, ia tertegun.

Sebuah tangan terulur ke kepalanya. Menepuknya pelan dua kali.

Dulu, waktu kecil, ia sering melakukan itu. Tapi setelah dewasa, tak pernah sekalipun ia memulai sentuhan itu lagi.

“Utara akan kacau untuk sementara. Kalau kau memang menginginkannya, tentu bisa ke mana pun. Tapi jika tidak… jangan pergi ke mana pun. Bukankah selama ini kau selalu mengikuti kehendak orang lain? Itu yang membuatmu tersiksa.”

Mata Athena menjadi kabur. Di dalam kabut itu, terdengar suara Iskandar.

“Semua salahku.”

Wajah dan suara itu tetap kaku seperti biasa, tapi matanya penuh emosi. Belas kasih, iba. Untuk pertama kalinya, mata merah itu dipenuhi perasaan semacam itu.

“Sejak awal kau selalu menuruti aku. Aku selalu bersyukur, menganggapmu kakak perempuan yang baik.”

Ia menghela napas.

“Tapi kalau kupikir lagi, aku hanya memandang dari sisiku sendiri. Saat kau memperlihatkan sesuatu yang mengecewakan, aku merasa dikhianati, seolah kau bukan kakak baik yang kukenal. Itu salah. Aku menilaimu hanya dengan standarku. Saat kau tak sesuai, aku kecewa. Itu sebabnya kau terus menderita. Harus menyesuaikan diri dengan standar dariku, dan dari orang lain juga.”

Akhirnya air mata Athena jatuh. Tenggorokannya tercekat, tak mampu bicara.

“Maaf. Karena selalu memaksamu menjalankan peran Grand Duchess, peran kakak perempuan yang baik. Kau boleh hidup sesuai keinginanmu. Aku tidak akan memaksa lagi.”

Ia menatap Athena.

“Tenangkan hatimu. Apa pun yang kau lakukan, kau tetap keluargaku. Tetap adikku.”

Air mata mengalir deras dari mata Athena.

Kata-kata itu hangat, tapi juga begitu hampa.

Hanya itu, ya. Selamanya ia hanya adik.

“…”

Tanpa sepatah kata pun, Athena berbalik. Ia berjalan tertatih, bahkan tak peduli mengusap air mata.

Ia sudah banyak berubah. Bukan lagi sosok yang dulu ia kenal.

Ia selalu sempurna. Tapi kadang Athena berharap ia tidak terlalu sempurna. Seandainya ia bisa lebih menunjukkan perasaan. Seandainya ia bisa mengerti hati orang lain. Pernah ia membayangkan itu.

Ternyata tidak mustahil.

Hanya saja bukan dirinya yang membuatnya berubah. Orang lain yang bisa melakukannya dengan mudah.

Athena merasa hancur.

Apa yang harus ia lakukan sekarang?

Kepalanya hanya dipenuhi putih kosong.

Dari kejauhan, sepasang mata mengawasinya.

***

「……Rombongan diplomat yang terdiri dari para ahli perdagangan dan diplomasi telah menyelesaikan agenda selama tiga hari dua malam, lalu berangkat menuju Negeri Utara. Tujuan kunjungan kali ini adalah mempererat hubungan persahabatan antar kedua negara serta bertukar pandangan mengenai kerja sama di bidang ekonomi dan perdagangan…….」

Hazel melipat koran itu.

Rombongan utusan dari Utara sudah pulang. “Negosiasi perdagangan yang sukses.” Hanya itulah yang ditekankan keluar.

Namun, mereka meninggalkan riak jauh lebih luas dan dalam, di tempat-tempat yang tak terlihat.

Hazel melangkah keluar, sekilas menoleh ke arah istana kekaisaran.

—Bisa menundukkan kepala seperti itu, karena kau merasa menang. Karena kau yakin sudah merebut hati Yang Mulia. Di depan pecundang, kau sedang menunjukkan kelapangan hati seorang pemenang.

Ucapan Grand Duchess terlintas di kepalanya.

Hazel terdiam sebentar, lalu menggelengkan kepala.

“Sudahlah, kerja saja.”

Gumamnya sambil meraih cangkul.

Setelah merawat kebun stroberi, ia menuju bagian dalam istana.

Kerja gotong royong memang sudah selesai, tapi Hazel memutuskan menggunakan siang harinya untuk hal baru.

Satu-satunya yang bisa mengancam Grand Cavalier. Benda bernama Black Star yang konon tersembunyi di dalam istana. Ia dan Permaisuri Dowager sepakat untuk menelusurinya bersama.

Tapi setelah berbincang beberapa kali, Hazel sadar satu hal.

Aku ini ternyata tak punya dasar pengetahuan sama sekali!

Tentang kekaisaran, tentang sejarah kuno, ia tahu terlalu sedikit. Jadi ia memutuskan, setidaknya dua hari sekali harus menyempatkan diri pergi ke perpustakaan.

“Selamat siang, Wakil Kepala.”

“Oh! Nona Hazel!”

Cordelia, pustakawan istana, menyambutnya dengan ramah. Salah satu rusa putih yang dulu hadir di tea party. Di baliknya, perpustakaan penuh sesak dengan rak-rak berisi buku.

Musim gugur ini memang tak ada panen gandum, tapi menuai pengetahuan semacam ini rasanya tak kalah berharga.

Hazel tersenyum tipis lalu melangkah ke rak buku.

Mungkin karena musim gugur identik dengan membaca, perpustakaan cukup ramai. Ia menelusuri daftar rekomendasi bacaan, lalu berkeliling rak.

“<Sejarah Kuno Kekaisaran>….”

Buku yang dicari ada di rak paling atas. Hazel mengulurkan tangan, tapi masih kurang sedikit.

Ia hendak berbalik mencari pijakan ketika seorang wanita tinggi melangkah mendekat, meraih buku itu, lalu menyerahkannya padanya.

“Ah, terima kasih seba—”

Hazel terdiam.

Saat tangannya bersentuhan, ia menyadari sesuatu. Di balik sarung tangan renda, terasa ada kekosongan. Jari kelingking wanita itu hilang.

Apa?

Seketika, ingatan yang sempat terkubur muncul kembali.

Seorang wanita tanpa jari kelingking. Tamu yang dulu meminta nasihat soal taman. Wanita yang kemudian ditemukan mati di markas besar Mammon—Countess Manfredi. Yang katanya sudah lama meninggal.

“……Dianne?”

Tapi itu bukan Dianne.

Di tengah kerumunan, rambut cokelat kemerahan itu lenyap begitu saja. Dan entah mengapa, Hazel merasa wajah itu tak asing.

“Madam! Madam!”

Hazel buru-buru mengejarnya sambil memanggil.

Orang-orang terkejut menoleh ke arahnya. Ia baru sadar—ini perpustakaan. Meski suasana agak ramai dengan para bangsawan, tetap saja bukan tempat untuk berteriak.

“Maafkan saya, sungguh maaf.”

Hazel segera menunduk minta maaf lalu berlari ke arah di mana wanita itu menghilang.

Namun, sudah tak ada siapa-siapa.

Di antara rak-rak tinggi tempat patung para sarjana agung berdiri, bayangan wanita itu tak ditemukan.

Tak juga di antara para bangsawan yang duduk santai di kursi beludru, berbincang ringan.

Tak juga di antara para pelayan yang sedang mengangkat tongkat panjang untuk mengambil buku dari rak atas.

Bagaimana bisa menghilang begitu saja? Apa mungkin ia hafal seluk-beluk istana seperti telapak tangannya?

Hazel menghela napas, lalu merapikan topi jeraminya yang miring. Ia keluar dari perpustakaan, masih memikirkan kejadian tadi.

Ia mencoba mengingat lagi.

Dianne, kaki tangan Abbas Mammon, memang kehilangan jari kelingking tangan kanan karena kecelakaan masa kecil. Wanita berambut cokelat kemerahan itu juga sama—tak punya jari kelingking kanan.

Mungkin saja, kebetulan. Seseorang lain juga bisa kehilangan jari dengan cara serupa. Bukan mustahil.

Namun, entah kenapa hati Hazel terusik.

Sebuah wajah terlintas dalam benaknya.

Sepasang mata merah. Bagi musuh, itu simbol ketakutan. Namun bagi mereka yang butuh bantuan, mata itu selalu mendengarkan, bahkan untuk perkara sepele sekalipun.

Hazel segera membalikkan langkah. Melintasi taman istana yang sudah beraroma musim gugur, ia menuju gedung utama.

Di koridor, para bangsawan sibuk berdiskusi tentang kunjungan utusan dari Utara. Hazel melewati mereka lalu masuk ke ruang kerja kaisar.

“Lady Mayfield.”

Para pelayan di lorong memberi salam dan menyingkir memberi jalan. Hazel melangkah masuk ke ruang kerja yang pintunya terbuka lebar.

Iskandar tampak dari belakang, duduk di kursi berhias ukiran, menghadap jendela dengan tumpukan dokumen di tangannya. Hazel berhati-hati membuka suara.

“Yang Mulia—maksudku, Iskandar. Kau sibuk, jadi aku akan singkat saja. Aku penasaran, apakah di istana ini ada arti khusus bagi seseorang yang kehilangan jari kelingking tangan kanan?”

“……”

Tak ada jawaban. Bahunya justru tampak kaku. Hazel mencoba lagi.

“Apakah itu sesuatu yang serius?”

“……”

Masih sunyi.

Hazel mulai tegang. Sampai ia melangkah lebih dekat, melihat wajahnya, dan ekspresinya berubah aneh.

Iskandar sedang memejamkan mata.

Dari belakang, seolah sedang tekun membaca dokumen. Tapi kenyataannya, ia tertidur lelap.

Hazel nyaris kehilangan kata-kata.

Belakangan memang banyak yang membuatnya sibuk. Terutama kedatangan utusan Utara.

Bukan sekadar utusan—tapi Grand Cavalier sendiri. Setelah berhasil menghadapinya dan mengembalikannya dengan selamat, wajar saja jika tubuhnya melepaskan semua ketegangan.

Tak heran ia tertidur di kursi kerja, menyamar seolah masih bekerja.

Hazel tersenyum tipis.

“Kalau begitu, tidurlah nyenyak.”

Ia berjinjit keluar dengan hati-hati.

Di lorong, ia berpapasan dengan wajah yang familiar—Menteri Dalam Istana.

“Nona Hazel! Apa yang membawamu ke sini?”

Menteri tua yang disiplin itu jelas sibuk. Selama kunjungan utusan, hampir semua urusan tertunda dan kini menumpuk. Ia bekerja mati-matian agar semua tetap berjalan lancar.

Namun entah bagaimana, Hazel hampir selalu kebetulan bertemu dengannya setiap kali datang ke sekitar ruang kerja kaisar.

“Apa yang sedang begitu serius kau pikirkan?”

“Ah, tidak apa-apa. Sebenarnya aku hanya ingin menanyakan sesuatu pada Yang Mulia, tapi ternyata beliau sedang tertidur pulas. Aku kira sedang bekerja! Benar-benar tampak meyakinkan.”

“Itu memang kemampuan beliau sejak kecil. Bahkan aku pun kadang terkecoh. Jadi, kau ingin menanyakan apa?”

“Hmm… soal seorang wanita yang kehilangan jari kelingking tangan kanan. Apakah itu ada maknanya di sini?”

“Hmm… tidak ada yang langsung terlintas di benakku. Kenapa tiba-tiba kau tanyakan itu?”

“Karena Dianne. Wanita yang dulu disuruh Abbas Mammon untuk mendekatiku. Barusan aku bertemu seorang wanita dengan ciri sama persis—jari kelingking kanan hilang. Bisa saja kebetulan, tapi… aku merasa ada yang janggal.”

“Baiklah. Akan kucari tahu. Nanti kalau Yang Mulia bangun, akan kusampaikan juga.”

“Terima kasih. Kau selalu tahu sepuluh hal dari satu kata, itu menyenangkan sekali. Kalau sudah agak longgar, mampirlah ke kebun.”

“Aku benar-benar ingin. Sayangnya, sebentar lagi malah makin sibuk.”

“Kenapa?”

“Karena ulang tahun Yang Mulia sebentar lagi. Tanggal terakhir bulan September.”

“Ah…”

Hazel tertegun.

Ia teringat sesuatu.

Valentine pernah setengah terpaksa menyebutkan bulan kelahirannya, “September….” Saat itu Hazel mencoba menguji apakah ia hantu atau manusia.

Hazel mencatatnya, tapi sejak tahu jati diri Valentine yang sebenarnya, ia sampai lupa.

“Pesta ulang tahun kaisar, tentu acaranya meriah. Semuanya harus sesuai tren terbaru. Apa yang akan jadi tren tahun ini…? Hahaha, nanti lihat saja!”

Menteri tua tertawa lepas.

Anehnya, wajahnya kini lebih segar, rambut putihnya terlihat lebih lebat, jauh lebih bugar daripada para pejabat muda yang kelelahan karena lembur. Waktu pertama kali datang ke kebun Hazel, siapa sangka beliau akan berubah begini?

“Kenapa menatapku begitu lekat?”

“Bukan apa-apa.”

Hazel tersenyum, lalu berpisah dengannya.

Daun-daun di taman istana mulai berwarna-warni. Semak-semak dipenuhi buah kecil. Seekor tupai abu-abu melintas cepat, membawa buah di mulutnya.

Hazel sempat terpana melihatnya, hingga seseorang memanggilnya.

“Hazel!”

Saat ia menoleh, beberapa pelayan istana sudah mengepungnya. Di antaranya, Mylene, pengawas perhiasan, berseru penuh semangat.

“Kami sudah dengar! Kau punya tangan Matahari?!”

“Itu cuma sebutan untuk kemampuan bertani yang sedikit lebih baik dari orang lain, kok.”

“Bagaimanapun juga, itu luar biasa! Boleh kami lihat?”

“Silakan.”

Hazel mengulurkan tangannya.

Para pelayan berdesakan ingin menyentuh. Mirip sekali dengan keluarga Martin dulu.

“Tidak terasa panas ya? Lembut sekali, malah.”

“Benar juga, padahal banyak bekerja, tapi tangannya halus. Apa karena semua pekerjaan jadi lebih ringan baginya?”

Mereka saling mendiskusikan sambil kagum. Lalu tiba-tiba seorang bocah berlari menghantam kerumunan hingga nyaris jatuh.

“Pangeran Rowan!”

Hazel cepat menangkapnya.

“Dimana Yang Mulia Putri?”

“Beliau sedang menunggang kuda. Belakangan ini sibuk berlatih lompat rintangan di hutan istana.”

“Ah…”

Hazel tersenyum. Putranya kini cukup sehat untuk berlari sendirian. Sang Putri pun akhirnya bisa punya kehidupan sendiri. Itu membuat Hazel lega sekaligus bahagia.

“Lalu, apa yang kau lakukan?”

“Aku tadi bersama para Knight Commander. Minta diajari pedang. Sir Lorendel setuju. Tapi Sir Luis melarang. Katanya, aku harus bisa mengalahkan kucing Lady Pelmata dulu.”

“Lalu? Kau berhasil?”

Rowan terlihat kikuk, tapi berusaha menjawab dengan wibawa.

“Kalau begitu, menurutmu aku sekarang sedang dikejar siapa?”

Dan seketika ia melesat pergi.

Hazel dan para pelayan tertawa bersamaan.

Hatinya terasa hangat.

Siapa sangka saat pertama kali datang ke kebun kecil itu, kini bisa tertawa bersama semua orang di sini?

Setelah badai besar berlalu, barulah ia sadar—hari-hari sederhana seperti ini begitu berharga.

Orang-orang istana dulu ingin menyingkirkannya. Hazel dulu hanya bisa bersikeras menanam akar di tanah itu. Namun entah sejak kapan, ia telah jadi bagian dari mereka.

Dan itu, tak boleh hilang.

Hazel percaya pada firasat. Petani berpengalaman selalu peka. Mereka tahu saat langit berubah. Beberapa menit terakhir sebelum badai datang, masih bisa dimanfaatkan untuk bersiap.

Ia harus tetap waspada.

Hazel menggenggam tekad itu dalam hati, lalu pulang menuju kebun.

Sementara itu, di ruang kerja kaisar—

Iskandar masih tertidur dengan posisi yang sama.

Seolah semua masalah sudah selesai, hanya satu kekhawatiran yang tersisa: Athena, sang sepupu. Kekhawatiran itu juga berarti memikirkan Hazel.

Pikirannya berputar, sampai ia tertidur.

Namun bahkan dalam tidur, pikirannya tak berhenti. Hingga suara itu membangunkannya.

“Yang Mulia—maksudku, Iskandar. Kau sibuk, jadi aku akan singkat saja……”

Begitu mendengar suara Hazel, ia langsung terjaga.

Iskandar ingin membuka matanya. Ia ingin memberi tahu bahwa dirinya sudah terbangun. Namun tubuhnya seakan terkunci, seperti sedang terkena kelumpuhan tidur—tak bisa menggerakkan satu jari pun.

Akhirnya Hazel mendekat, menunduk untuk melihat wajahnya. Ia hanya bisa menghela napas kecil melihat betapa nyenyak tidurnya Iskandar, nyaris tak terganggu sedikit pun.

Meski kedua matanya tetap terpejam, Iskandar bisa merasakan semua reaksi itu. Bahkan samar-samar ia menangkap aroma asap halus dari ruang pengasapan yang menempel di celemek Hazel, bercampur wangi ramuan herbal.

“Kalau begitu, silakan terus tidur.”

Hazel berbisik singkat lalu melangkah pelan keluar.

“Kalau begitu, terus tidur”—lebih enak jika ucapannya sedikit lebih akrab, seperti “Teruslah tidur saja.” Untuk bisa mendengar Hazel berkata begitu, mereka harus menjadi pasangan yang jauh lebih dekat. Dirinya pun harus berusaha lebih keras.

Pikiran-pikiran tak menentu itu muncul lalu lenyap begitu saja. Namun ada hal lain yang lebih penting.

Para wanita yang kehilangan jari kelingking kanannya…?

Sesuatu hampir muncul di kepalanya, namun segera menghilang.

Seseorang sedang mempermainkanmu.

Suara itu bergema dari dalam hatinya.

Dalam keadaan setengah terjaga, setengah terlelap, meditasi khas seorang Grand Cavalier pun dimulai. Dalam keheningan batin yang dalam itu, kadang datang sebuah wahyu yang tak terduga.

Sambil memikirkan Hazel dan berbagai keadaan di sekitarnya, tiba-tiba sebuah bisikan yang kuat terlintas.

“Carilah utusan Dewi Padi, Ceres.”

Itu bukan sekadar kilasan acak dari bawah sadar. Itu adalah wahyu yang sangat jelas, penuh desakan. Ia harus menemukannya—untuk Hazel.

Dan itu… berada sangat dekat.

Iskandar pun membuka mata lebar-lebar.

Sekarang, itulah hal terpenting.

 

Nunaaluuu Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review