Sophie membuka matanya lebar-lebar.
Hari ini mulai aku resmi menjadi dayang Yang Mulia Permaisuri!
Begitu teringat kenyataan itu, jantungnya berdegup kencang. Ia tak sanggup berbaring lagi dan segera meloncat turun dari ranjang asrama dayang.
Biasanya, hanya para putri bangsawan kelas atas dari kalangan sosialita yang dipilih menjadi dayang bagi Permaisuri atau Ibu Suri. Itu sudah menjadi tradisi lama yang tak pernah dipertanyakan.
Namun kali ini berbeda. Para dayang dipilih dari berbagai wilayah secara merata. Bahkan anak perempuan dari keluarga sederhana dan jauh dari pusat, seperti keluarga Sophie, juga mendapat kesempatan. Bukankah ini bagaikan mimpi yang jadi nyata?
Ia segera berangkat ke ibu kota dan menata barang-barangnya di Istana. Hati Sophie yang baru berusia lima belas tahun dipenuhi semangat menyala.
Aku pasti akan mengabdi sebaik-baiknya!
Namun, ada yang aneh. Fajar sudah menyingsing, tapi asrama dayang masih sunyi senyap.
Bukankah seharusnya mereka sudah sibuk menyiapkan pagi-pagi?
Menurut apa yang dipelajari Sophie, seharusnya sejak subuh semua dayang sudah bergerak. Heran bercampur cemas, ia pun mengintip keluar.
Lorong pun sama sepi. Tak tampak seorang pun. Berjalan pelan-pelan, Sophie akhirnya sampai ke kediaman Kaisar dan Permaisuri. Tetap tak ada satu dayang pun.
Celaka!
Pasti ada yang tidak beres. Matahari sebentar lagi terbit, dan ia merasa Permaisuri bisa memanggil kapan saja.
Dengan tergesa-gesa Sophie menemukan ruang pelayan, mengambil kendi berisi air dan handuk, lalu berdiri gugup di depan pintu kamar tidur Kaisar dan Permaisuri.
Dan ia menunggu.
Menunggu lama sekali, sampai akhirnya seseorang datang.
Sophie mengenal wajah itu. Itu adalah Mayer, dayang senior. Saat melihat Sophie, Mayer tampak seolah baru melihat hantu.
“Sanders! Kau sedang apa di sini?”
“Eh? Saya hanya... tidak ada yang keluar menyiapkan air cuci muka, jadi saya—”
Mayer memandanginya dengan wajah bingung. Lalu, dengan cepat mengambil kendi dari tangan Sophie, kemudian membuka pintu kamar tidur sedikit.
Di dalam... kosong.
Hanya ada ranjang yang sudah rapi. Rupanya sang pemilik kamar sudah pergi sejak lama.
Apa-apaan ini...?
Sophie melongo. Menoleh ke Mayer dengan wajah tak paham. Dayang senior itu berkata pelan.
“Jujur saja, kau belum terlalu tahu tentang Yang Mulia Permaisuri, kan?”
“...Iya.”
“Kalau begitu, sebaiknya kau mulai belajar dari situ dulu.”
Mayer tersenyum lembut, merangkul bahunya, lalu membawanya kembali ke asrama.
Langit di luar sudah terang. Sambil berjalan, Sophie masih kebingungan. Lalu ia baru sadar—sejak tadi terlalu bersemangat sehingga tak memperhatikan—bahwa taman istana ini ternyata...
Semuanya adalah kebun anggur!
Pilar-pilar panjang berderet sampai ke ujung mata, diliputi sulur-sulur anggur yang rimbun. Laksana lautan hijau segar.
Dan di tengah gelombang hijau itu, tampak sepasang topi jerami.
Hazel sedang merapikan sulur, memangkas ranting berlebih. Supaya pohon menghasilkan anggur berkualitas, jumlah cabang harus dibatasi.
Tok. Tok.
Satu per satu cabang dipangkas. Di sampingnya, sesuatu melintas begitu cepat. Cabang yang baru saja dipotong tersusun rapi dalam sekejap.
“Ohh...”
Hazel menghentikan pekerjaannya sejenak. Tak pernah bosan melihatnya.
Kekuatan Grand Chevalier sungguh berguna untuk bertani. Pekerjaan berjam-jam di bawah terik matahari bisa selesai hanya dalam hitungan detik.
Namun, tiba-tiba angin puyuh yang berlari di antara kebun itu berhenti mendadak, membeku di tempat.
Hah?
Hazel segera menghampiri.
“Ada apa?”
“...”
Tak ada jawaban. Iskandar berdiri kaku, tubuhnya bergetar. Hazel melongok melewati bahunya.
Di tanah, tergeletak seuntai anggur kecil. Entah binatang apa yang menjatuhkannya, tapi terlalu kecil untuk dimakan, lalu dibiarkan membusuk.
“Pemusnah anggur!”
Iskandar menggeram, wajahnya penuh duka dan amarah.
Hazel tak tahan menahan tawa.
Dulu ia paling benci urusan bertani. Kini justru ia yang paling terpukul bila ada tanaman rusak. Bahkan lebih dari Hazel sendiri.
“Tak apa. Memang sedih, tapi...”
Hazel mengangkat anggur kotor itu dan menaruhnya di samping. Lalu memandang sekeliling.
“Tapi lihatlah, yang lainnya tumbuh begitu banyak.”
“Hmm... benar juga.”
Iskandar mengangguk.
Kebun anggur itu penuh dengan buah bergelantungan. Sungguh menakjubkan bila mengingat bagaimana kebun ini tercipta.
Dulu, saat tanah di pinggiran ibu kota akan dibebaskan untuk pembangunan, penduduk menanam anggur secara tergesa-gesa demi mendapat ganti rugi lebih besar.
Itulah yang pertama kali diungkap Permaisuri—sebagai pencapaian awalnya.
Pohon-pohon anggur yang dicabut secara asal itu awalnya dalam kondisi buruk. Hazel dan Iskandar memindahkannya ke tanah terbaik di istana, lalu merawatnya siang malam.
Hasilnya: kebun ini seolah sudah tumbuh bertahun-tahun. Siapa pun yang melihat akan mengira pohon-pohon ini sudah lama ada di sini.
Kebun anggur ini adalah kebanggaan pasangan Kaisar dan Permaisuri.
Mereka kembali sibuk bekerja, diiringi cahaya matahari pagi, embun yang masih menempel, dan aroma segar semerbak.
Anjing kecil Toffee berlarian di antara pilar, sementara Tiberius yang dilepas sejak pagi mengejarnya.
Suasana begitu damai... sampai akhirnya kebisingan terdengar dari sisi lain kebun.
Hazel dan Iskandar saling berpandangan.
Pagi di istana benar-benar dimulai.
Sekelompok orang datang dengan riuh.
“Jadi soal yang kemarin saya katakan—”
“Jangan bilang Anda sudah lupa? Minggu lalu kita sudah bicarakan—”
Dikelilingi para bangsawan, muncullah seorang lelaki tua berambut putih.
Dengan mantel biru tua model terbaru, lengan hijau zaitun bersulam benang emas, dan stoking sutra merah menyala—Archibald Sebastian Mayfield Baron, tampil mencolok bak burung merak.
Ia kini salah satu tokoh paling populer di istana. Dengan langkah penuh rasa bangga, ia segera melihat Hazel dan Iskandar di kebun, lalu meninggalkan rombongannya dan berlari.
“Oh! Yang Mulia! Dan Permaisuri kita!”
Ia memberi hormat pada Kaisar, lalu cepat-cepat mencium pipi Hazel.
Segalanya masih terasa bagai mimpi baginya.
Taruhannya membuahkan hasil luar biasa. Hidupnya benar-benar berbalik.
Kini ia ayah mertua Kaisar. Para Duke dan Marquis pun menunduk menyapanya. Ia sedang mempertimbangkan dengan santai gelar kebangsawanan barunya.
“Anggur! Anggur memang luar biasa! Kemarin saya berkunjung ke gudang anggur istana, dan sungguh, semua anggur di sana tiada duanya!”
Baron memuji tanpa henti.
Namun Iskandar tak mendengar. Matanya terpaku pada sulur anggur yang baru saja terinjak tangan Baron, kini hancur di bawah pilar.
Siapa pun selain kakek Hazel pasti sudah kena marah. Tapi ini kakeknya. Wajah Iskandar hanya semakin pucat.
“Kakek!”
Hazel cepat menarik tangannya menjauh.
“Oh, astaga! Kesalahan saya!”
Baron meralat posisinya, tapi tak lama kemudian tangannya kembali bergerak tanpa sadar, membuat wajah Iskandar lagi-lagi pucat.
Tepat saat itu, penyelamat muncul.
“Is! Hazel!”
Suara lantang menggema. Louis, Lorendel, Siegfalt, dan Cayenne datang berlari penuh semangat.
Melihat mereka, Baron berseri-seri.
“Komandan! Jangan lupa utang kalian dari permainan kemarin!”
“...!!”
Sekejap saja, keempat Komandan Ksatria Agung itu serentak berbalik dan kabur seolah memang berniat begitu sejak awal.
“Tunggu! Lord Louis!”
Hazel memanggil. Tapi mereka sudah lenyap.
“Utang judi mereka sebenarnya berapa sih?”
“Cukup banyak.”
Kakeknya malah tersenyum bangga.
Pemandangan sungguh absurd.
Saat Hazel dan Iskandar sibuk berbulan madu di Belmont, di istana justru terjadi perburuan besar.
Kakeknya kabur mati-matian, sampai-sampai empat Komandan Ksatria harus turun tangan untuk menangkapnya. Bahkan ada desas-desus butuh obat bius gajah.
Maka, betapa malunya Baron Mayfield setelah semuanya terungkap!
Selama pelarian itu, ia menghindari mati-matian para komandan yang dulu pernah ia buat sengsara.
Namun kini, entah bagaimana, mereka malah duduk satu meja bermain kartu. Dan tiba-tiba keadaan berbalik.
“Berhenti! Jangan pura-pura tak dengar!”
Baron mengayunkan tongkat, mengejar para Komandan Ksatria yang lari terbirit-birit.
“Aduh, aku harus menunjukkan ‘Anggur Nomor 1’ pada Lord Louis...”
Hazel menghela napas.
Louis sudah lama menandai seikat anggur sebagai miliknya. Ia ingin melihat prosesnya dari pohon hingga jadi anggur, lalu menikmatinya.
“Bukankah itu agak kejam? Anggur itu dibantai begitu saja...”
Iskandar menggerutu. Cintanya pada kebun itu makin lama makin dalam. Sepertinya kebun anggur ini pada akhirnya hanya akan jadi tanaman hias di bawah pengawasannya.
“Mungkin saja.”
Hazel tertawa kecil sambil memetik daun layu.
Setelah kembali tenang, keduanya kembali bekerja.
Selesai berkebun, mereka pulang ke rumah pertanian. Hazel mengelus perut Julia yang mulai membesar, lalu sarapan sederhana: omelet telur, bacon, roti desa, dan yogurt dengan madu.
Madunya adalah hadiah dari Lorendel saat pernikahan—anehnya tak pernah habis, seolah ada sihir elf di dalamnya.
Usai makan dengan nikmat, lonceng dari gedung utama istana berbunyi.
“Sudah?”
Mereka berdua segera bangkit.
Waktunya mulai bekerja. Sejak kantor kerja ditempatkan di kebun pertanian, kebiasaan itu kini menjadi tradisi.
Berkat kemampuan Grand Chevalier, pekerjaan bertani pagi bisa selesai lebih cepat. Kini giliran Hazel menunjukkan bakatnya di istana.
Hari sibuk menanti. Tapi mereka gembira—karena bersama. Inilah tujuan mereka menikah.
“Mari berangkat!”
“Ayo!”
Mereka mengangguk serius.
Pemandangan pasangan Kaisar dan Permaisuri kembali ke istana sambil membawa keranjang hasil panen membuat para bangsawan hanya bisa geleng-geleng kepala.
Siapa sangka mereka tetap bertani setelah menikah? Awalnya semua mengira itu hanya sementara.
Ternyata bukan.
Lambat laun, taman-taman istana berubah menjadi ladang.
Apa mereka sungguh akan terus hidup begini?
Mereka teringat pertanyaan yang dulu sering diajukan kepada Hazel setelah menikah.
“Sekarang Anda Permaisuri, tentu bertani tak lagi jadi prioritas. Ladang kecil itu pasti harus ditinggalkan, bukan?”
“Atau jangan-jangan, istana malah akan dinomorduakan setelah ladang? Sebagai Permaisuri Kekaisaran, sungguh akan begitu?”
Apa pun jawaban Hazel, pasti akan dikritik. Namun Hazel hanya membuka mata lebar-lebar dengan wajah heran.
“Apa maksudnya? Bukankah semuanya rumahku?”
Benar. Bagi Hazel, semua itu hanyalah satu kesatuan.
Dan seperti itulah mereka hidup, mengejutkan semua orang, dengan cara bebas dan bahagia.
***
Yang Mulia Permaisuri muncul sambil membawa keranjang telur.
Bagi para pelayan istana, inilah saat hari benar-benar dimulai. Mereka yang semula menahan napas penuh ketegangan langsung berlari menghampiri.
“Yang Mulia!”
“Selamat pagi!”
Hazel membagikan setangkai bunga liar yang dipetik dari perkebunan kepada para pelayan.
Rutinitas aneh pasangan Kaisar dan Permaisuri ini sempat membuat para pelayan kebingungan. Namun, kini sebagian besar sudah terbiasa. Kadang kala mereka tetap salah langkah dan melakukan kesalahan. Namun, reaksi Hazel selalu sama.
Yah, bisa saja begitu.
Begitu sedikit pun ia tak peduli, bahkan tak sempat mengucapkan “tak apa.” Seakan-akan setiap kesalahan menguap dari kepalanya dalam waktu kurang dari satu detik.
Itulah sebabnya para pelayan cepat beradaptasi, meski setiap kali mereka merasa seperti baru saja lolos dari maut.
“Semua sudah menunggu.”
Para pelayan mengiringi Hazel menuju kamar pribadinya.
Begitu pintu dibuka, tawa terdengar memenuhi ruangan.
Dinding putih, wallpaper dengan motif sulur sederhana, perabot kayu. Semua didekorasi sesuai selera Hazel—cerah dan nyaman.
Penelope Killingsworth, ksatria wanita yang menjadi pengawal pribadi Permaisuri, duduk di dekat jendela, bersandar sambil terkantuk. Mantan anggota Ordo Ksatria Angin Suci itu tampak menemukan tempat tidur siang favorit barunya.
Di sampingnya berdiri Kitty, sibuk mencatat dengan serius sambil mendengarkan pelayan dapur bercerita tentang dessert.
“…Puding plum dingin dan kue tabur gula lemon. Itu yang disajikan ketika Duke Acevedo dan Duke Montealegre datang.”
Para pelayan dapur yang kini menjadi penyaji pribadi itu berseri-seri. Gadis baik hati yang dulu menolong mereka menyiapkan jamuan ksatria pahlawan, kini menjadi Permaisuri—dan ia bahkan tidak melupakan mereka! Hari ketika mereka menerima tawaran untuk masuk lingkaran dalam, adalah hari paling membahagiakan sejak mereka menginjakkan kaki di istana.
“Yang Mulia, hari ini harus mengenakan gaun ini. Putri Mahkota Katarina membelikannya untuk kami dengan sangat memohon agar Anda mengenakannya.”
“Jika Anda menyapanya dengan gaun ini, beliau pasti sangat senang. Jangan lupa untuk memanggil beliau ‘Bibi’ setidaknya lima kali, ya.”
Para pelayan mengeluarkan gaun hadiah sang Putri Mahkota lagi.
Rowan, putra kecil yang dulu sakit-sakitan, kini tumbuh amat lincah—kadang bahkan terlalu lincah. Putri Mahkota sering kali melirik putranya dengan cemas, tetapi rasa syukur pada Hazel tak pernah pudar. Kini mereka sudah menjadi satu keluarga, sehingga ia terus memberi hadiah tanpa henti.
“Wah… kenapa repot-repot.”
Hazel menerima gaun itu dengan rasa terima kasih.
Bahan kotak-kotak lembut, gaun berlengan pendek yang elastis dan nyaman. Cocok sekali dipadukan dengan topi jerami.
Saat sedang bercermin memastikan tidak ada yang salah, pintu tiba-tiba terbuka.
“Hazel!”
Suara jeritan. Louis masuk tergopoh. Sepertinya akhirnya berhasil kabur ke sini.
“Berapa banyak yang kalah dalam permainan kartu kali ini?”
“Jumlah yang bahkan Permaisuri pun tak bisa bayangkan… Tapi itu bukan masalah! Dengarkan! Penata rias pribadi sedang menuju ke sini. Semua cepat pasang wajah tenang! Julienne dan gengnya melihat sesuatu semalam…”
Dan benar saja, sesosok wanita melangkah masuk. Rose, penata rias pribadi Permaisuri.
Rose tak pernah berhenti menjalankan bisnisnya. Pekerjaan pelayan hanya ia jalani sambilan, karena Permaisuri ini jarang sekali butuh berdandan berlebihan.
“Yang Mulia! Aku bawa korsase baru!”
“Wah, banyak sekali yang kau buat?”
“Tadi malam aku tak bisa tidur…”
Rose mengeluarkan bunga sutra harum beraroma parfum, wajahnya segar meski semalam begadang.
Ia menatanya di atas meja, lalu tanpa sadar bersenandung. Karena semua diam, suara itu terdengar jelas.
Rose langsung terhenti, kikuk.
“‘Meski kita terpisah jauh’… aria paling populer belakangan ini, kan? Dimanapun terdengar!”
Kitty dengan cekatan menutupinya. Di belakang, Louis pura-pura mengangkat opera glass.
Pasti nonton opera!
Semua melirik satu sama lain dengan geli.
Pikiran mereka melayang ke insiden balkon—hari bersejarah pernikahan Hazel dan Iskandar. Karena burung merpati yang seharusnya terbang malah kabur, diadakan undian. Rose terpilih mewakili wanita, Marquis Ranley mewakili pria.
Penonton bersorak:
“Ciuman! Ciuman! Ciuman!”
Marquis Ranley menenangkan kerumunan, lalu dengan wajah pucat berbisik pada wanita di sisinya.
“Lebih baik aku melompat dari balkon ini daripada membuat Rose dalam posisi sulit.”
Rose terbelalak.
Tentu saja ia tidak melompat. Ia memilih cara lebih cerdas.
“Untuk mengenang pernikahan Yang Mulia Kaisar dan sahabatku Nona Hazel, aku akan memberikan kereta emas milikku kepada salah seorang rakyat yang hadir!”
Sorak-sorai langsung beralih ke undian hadiah. Rose pun lolos dari ciuman paksa.
Namun semua orang jelas bisa melihat Marquis Ranley menyembah Rose layaknya dewi. Hanya tersentuh sedikit pun wajahnya memerah bak bocah.
Sejak saat itu, sesuatu tampak berubah di hati Rose. Mereka sering terlihat mengobrol di butik parfum.
Hazel hanya bisa tersenyum: Biar Rose sendiri yang tentukan.
Begitu teringat insiden balkon, pikiran Hazel pun melayang ke pai.
Setelah kembali dari Selatan dan mendengar cerita itu, ia ingin sekali masuk ke lubang tikus. Siapa sangka ada tradisi salam balkon!
Iskandar mencoba mengembalikan kereta emas kepada Marquis Ranley, tetapi sang Marquis menolak mentah-mentah. “Itu hadiah pernikahan,” ujarnya.
Maka Hazel memutuskan untuk membuat pai sebesar roda kereta dengan adonan berkilau keemasan, lalu mengirimkannya lewat pelayan. Marquis Ranley menerimanya. Hingga kini, Hazel sudah mengirim lima kali.
Berapa banyak lagi pai emas yang harus kubuat agar setara dengan harga kereta?
Hazel menghela napas panjang, larut dalam kegelisahan. Namun suara Kitty segera membuyarkan lamunannya.
“Laporan! Sarung tangan berkebun yang Yang Mulia pegang waktu rapat Dewan minggu lalu, sekarang sold out. Gunting kebun, syal bergambar petani menabur benih, kartu pos dengan gambar anak ayam—semua sold out! Sold out, Yang Mulia!”
“Jangan bilang…”
Hazel menoleh curiga ke arah Louis. Gadis itu terlonjak.
“Bukan aku! Aku tidak beli satu pun! Padahal aku ingin, tapi kupikir jangan sampai merebut kesempatan orang lain. Jadi kutahan diri!”
Wajahnya benar-benar menjerit aku tidak bersalah.
“Maaf, aku salah sangka.” Hazel buru-buru minta maaf.
“Aku masih belum terbiasa saja. Hanya karena aku memegang barang itu, semua orang jadi berlomba membelinya? Rasanya aneh sekali!”
“Itu karena Yang Mulia sangat populer.”
Kitty menjawab tegas.
“Setiap gerak-gerik Anda jadi bahan pembicaraan. Ngomong-ngomong, berita terbaru tentang Yang Mulia hari ini?”
Hazel menjawab cepat. “Beberapa perhiasan dan mangkuk makan anjing dari perak dikembalikan. Ada permintaan kunjungan dari organisasi perempuan di guild industri dan anak-anak desa tambang. Avalon Bank juga meminta agar Yang Mulia memberi kuliah tentang pengalaman menjadi pegawai bank…”
Kitty mencatat serius. Begitu briefing selesai, Hazel langsung berdiri.
“Aduh, aku terlambat!”
Sambil mengangkat keranjang telur untuk Permaisuri Dowager, ia terburu-buru bersiap. Kitty mencatat sambil tersenyum nakal.
“‘Pasangan pengantin baru yang tak bisa berjauhan lebih dari sepuluh menit…’.”
“Jangan tulis begitu! Apa salah rakyat harus membaca itu?”
Kitty pura-pura tak mendengar, wajahnya licik. Para pelayan menahan tawa. Rose ikut tersenyum, tapi tiba-tiba wajahnya memerah, teringat sesuatu. Penny tetap tertidur pulas, tak peduli dunia.
Pemandangan itu sama setiap pagi.
Hazel sempat menoleh sebelum keluar kamar. Ruangan itu kini terasa seperti kebun kecil yang ia rawat dengan sepenuh hati—penuh teman baik dan benda kesayangannya.
“Kalau begitu, aku berangkat dulu!”
Louis segera meraih lengannya. “Sebagai pengawal pribadi Permaisuri, aku harus ikut!”
Dulu ia sempat kesal ketika sahabat dekatnya menikah, bahkan lantang menentangnya. Namun sekarang ia menemukan sisi baik: bisa terus mengikuti Hazel dengan alasan mengawal Permaisuri.
“Istana itu penuh bahaya, tahu.”
“Benar. Bahkan di rumah pun kecelakaan bisa terjadi.”
Mereka bercanda sambil melangkah ke taman.
Kini bagi Hazel, istana benar-benar sudah menjadi “rumah.” Dan ia merasa tak mungkin ada hal besar terjadi hanya dengan berpindah ruangan di dalam rumah.
Namun ternyata ada.
“Kalau kau bertemu organisasi perempuan, boleh aku ikut? Aku juga perempuan, dan ksatria adalah organisasi juga!”
“Tentu, alasan itu saja sudah cukup membuat mereka senang. Tapi kau tidak sibuk?”
“Sejak Is menikah, ia jarang sekali mengganggu kami. Hidup jadi lebih mudah!”
Mereka tertawa kecil, tapi tiba-tiba Louis berhenti mendadak.
“Itu apa?”
Hazel menoleh—terlihat sepasang sepatu kecil di bawah semak.
Apa lagi? Seorang bangsawan yang jatuh pingsan di taman?
Ia buru-buru menarik tubuh mungil itu keluar.
Kali ini bukan bangsawan besar yang kelaparan. Seorang gadis remaja, mungkin empat belas atau lima belas tahun, wajahnya pucat pasi. Ia tampak kesakitan.
“Kenapa? Apa yang terjadi?”
“P…perutku…”
Gadis itu hanya mengerang.
Tak butuh waktu lama untuk mengerti. Ia sedang mengalami sakit bulanan perempuan. Sialnya, demi masuk ke istana ia mengenakan gaun ketat lengkap dengan korset kawat, yang menekan perutnya makin keras. Rasa sakit pun jadi tak tertahankan.
“Ya ampun!”
Hazel dan Louis segera membawanya ke rumah pertanian. Korset dilepaskan, lalu gadis itu dibaringkan di tempat tidur.
Hazel menyiapkan teh jahe hangat untuk melancarkan peredaran darah dan menghangatkan tubuh. Louis, mengikuti petunjuk Hazel, membuat kantong herbal berisi lavender, kayu manis, dan beberapa herba lembut. Setelah dipanaskan, kantong itu ditempelkan ke perut gadis itu.
“Terima kasih…”
Rasa sakit mereda, air mata pun mengalir di pipi sang gadis. Hazel hanya bisa membayangkan betapa sakit dan sedihnya ia tadi.
“Istirahatlah dulu.”
Setelah keluar, Hazel mendesah panjang.
“Tak heran kalau dia memaksa memakai itu. Louis, kau lihat artikel itu kan?”
“Tentu! Benar-benar keterlaluan.”
Beberapa hari lalu, koran gosip besar menertawakan putri keluarga Lamarche. Saat pesta, sedikit lemak perutnya tampak dari balik korset, dan koran itu memuat karikatur yang menghina habis-habisan.
“Itu benar-benar berbahaya. Dampaknya buruk untuk semua.”
“Setuju seratus persen!”
Dua sahabat itu langsung sepakat. Mereka pun mulai menyusun rencana.
“Ini akan seru! Serahkan detailnya pada Cassie. Aku akan menyelidiki. Tunggu sebentar, nanti aku menyusul di salon Permaisuri Dowager.”
Hazel mengangguk dan melanjutkan perjalanan ke istana utama.
Di sana, Iskandar sudah menunggu, dikerubungi para pelayan yang melaporkan ini-itu. Begitu melihat Hazel, semua langsung beralih menyambutnya.
“Selamat pagi, Yang Mulia Permaisuri!”
Mereka sudah terbiasa sekarang. Awalnya, ketika Permaisuri lebih dulu menyapa “Selamat pagi!”, mereka sampai hampir menjatuhkan barang yang dibawa.
Bagi para pelayan yang biasa diperlakukan seperti perabot, salam sederhana itu sungguh mengguncang. Kini bahkan para pelayan senior yang biasanya dingin mulai menyapa balik, dan suasana lorong istana pun berubah hangat.
Iskandar menatap Hazel penuh selidik.
“Kau pasti sedang merencanakan sesuatu lagi.”
Hazel terdiam kaku.
Belakangan ini, kemampuan Iskandar membaca wajahnya makin tajam. Ia hanya berharap suaminya itu tidak berkembang sampai level Grand Chevalier.
“Itu rahasia.”
Sambil berpegangan pada keranjang telur, ia tersenyum licik. Meski suaminya Kaisar, hak membawa hadiah untuk Permaisuri Dowager tidak akan ia serahkan.
Salon Permaisuri Dowager terbuka lebar, dengan jendela yang dibiarkan agar angin segar masuk.
“Masuklah cepat!”
Permaisuri Dowager bangkit menyambut mereka, penuh semangat.
Ada kabar baik: salep baru hasil penelitian mereka bekerja sangat efektif. Campuran minyak kamper dari kayu camphor dengan minyak mint dan beberapa ekstrak herbal itu meredakan nyeri otot dengan sempurna.
“Aku mencobanya sendiri, sakit di pundakku hilang seketika! Kalau kita bisa menanam lebih banyak camphor, akan sangat bermanfaat bagi rakyat.”
Hazel dan Iskandar ikut gembira.
“Ini berarti semua penelitian kita berhasil,” ujar Permaisuri Dowager. “Dengan pengalaman ini, aku yakin proyek besar Permaisuri pun akan berhasil.”
Ia menyebutnya “proyek besar,” karena tahu betapa penting hal itu bagi Hazel—berkaitan dengan mendiang orangtuanya.
Barulah setelah menikah, Hazel mendengar kebenarannya dari sang kakek: ibunya meninggal karena demam nifas setelah melahirkannya. Seandainya ada antiseptik murah dan efektif kala itu…
Hazel pun bertekad menemukan obatnya. Pencariannya berujung pada satu tanaman: Bunga Matahari Surya, tanaman langka dari labirin yang konon memiliki daya antibakteri kuat melawan infeksi nifas. Kini bijinya tersisa sedikit di gudang museum.
Para bijak bekerja siang malam mencoba membudidayakannya di luar labirin.
“Semoga berhasil…” bisik Hazel, hati diliputi kecemasan.
Iskandar justru tersenyum santai. “Itulah tugas para penasehat: mengkritik. Biar saja. Hasilnya akan datang.”
Tak lama kemudian, Louis masuk dengan kabar baru. “Ada pesanan! Bisa dibuat khusus!”
Hazel tak kuasa menahan diri. Permaisuri Dowager melirik tajam. “Apa lagi yang kau rencanakan?”
Hazel menjelaskan samar-samar soal gadis yang pingsan karena korset. Itu saja sudah cukup membuat semua orang paham.
“Sepertinya akan ada kejutan lagi,” ucap Permaisuri Dowager, tersenyum.
Para pelayan bersemangat. “Kami tidak sabar menunggu!”
Iskandar tiba-tiba bersuara datar. “Sepertinya semua orang lebih menyukai Permaisuri daripada Kaisar.”
“Ya, aku juga,” tambahnya tanpa ekspresi. “Ternyata aku cocok dengan orang-orang membosankan di sini. Mungkin aku sendiri sudah jadi membosankan.”
Salon mendadak hening.
Ia pun berdiri dan pergi. Permaisuri Dowager melongo. “Itu barusan… lelucon? Putraku bisa bercanda? Aku tidak tahu!”
“Dia sering begitu,” jawab Hazel santai.
Semua orang makin penasaran, apa saja sebenarnya yang dibicarakan pasangan Kaisar dan Permaisuri saat berdua.
Siang harinya, Hazel menghadiri jamuan teh bersama para putri bangsawan. Topiknya? Tentu saja artikel memalukan tentang Lamarche muda dan perut tiga detik-nya. Semua geram karena standar ganda yang tak masuk akal.
“Tubuhku, pilihanku! Kalau mau pakai korset, ya kupakai. Kalau tidak mau, ya tidak usah. Apa urusannya mereka?”
Hazel mengangguk setuju. “Kita harus mulai melawan. Ini berbahaya, terutama bagi gadis-gadis muda.”
Semua mendukung.
Beberapa hari kemudian, sebuah acara amal digelar. Hazel ikut memanggang daging untuk rakyat, sementara anak-anak membawakan kudapan sederhana untuk berbagi dengan Permaisuri.
Acara berlangsung meriah—sampai para tamu bangsawan melihat sesuatu aneh.
Perut Hazel tiba-tiba menggembung di balik gaun. Bukan hanya dia, beberapa putri bangsawan muda lain pun sama.
Itu ulah kantong sihir buatan Cassie yang mengembang saat terkena panas tubuh.
Para bangsawan mencoba berpura-pura tak melihat. Tapi begitu perut Hazel mendorong piring daging di meja hingga bergeser, semua mata tak bisa menahan diri lagi.
Hazel menoleh santai.
“Ah, jangan terlalu dipikirkan. Orang hidup bisa saja perutnya buncit, bukan?”
Ia pun mendorong perutnya lebih maju. Para putri bangsawan yang ikut serta serempak menirukannya.
Luis juga sama. Ia membuka beberapa kancing seragamnya dan dengan bangga memamerkan perut buncitnya.
Itu jelas-jelas sebuah bentuk protes.
Sebagian besar kaum bangsawan konservatif pada dasarnya tak merasa ada masalah. Bagi mereka, seorang lady cantik dari kalangan sosialita yang membiarkan tubuhnya melar adalah bahan olok-olok yang pantas. Begitu mereka berpikir.
Namun ketika mulai muncul orang-orang yang benar-benar marah pada sikap itu, barulah mereka sedikit menahan diri.
Tentu saja perubahan besar tak terjadi.
Meski begitu, perlahan mulai terdengar suara tentang betapa buruknya dampak korset bagi kesehatan, terutama pada gadis-gadis muda yang masih dalam masa pertumbuhan. Dalam pertemuan sosial, jika ada yang dengan lantang berkomentar soal tubuh seseorang, pasti ada dua tiga orang yang langsung melirik tajam. Koran yang pernah membuat artikel satir tentang perut Lady Lamarche pun akhirnya memuat surat permintaan maaf.
Ternyata saat suara dilontarkan, ada juga yang merespons.
Namun insiden itu benar-benar membuat sejumlah orang gatal telinganya.
“Yang Mulia Permaisuri, berperilaku seperti itu sungguh tidak pantas.”
Madam Blackburn, penasihat etiket Permaisuri, menahan Hazel dan mulai mengomel.
“Yang Mulia seharusnya menjadi teladan bagi semua. Tunjukkanlah citra paling sempurna. Saya sungguh khawatir. Anda begitu bebas berjemur, membiarkan tangan kasar karena bekerja, bahkan tubuh dibiarkan tanpa dirawat. Sekarang mungkin masih muda, tapi kecantikan akan cepat pudar. Lalu tahu apa yang akan terjadi? Hati Yang Mulia Kaisar akan berpaling dari Anda!”
“Eh?”
Hazel menatap dengan bingung. Blackburn menduga kata-katanya mulai masuk, tapi ternyata tidak.
“Yang Mulia menikahi saya bukan karena penampilan. Rasanya tak ada orang di dunia ini yang sesantai beliau soal wajah, deh.”
Dari kejauhan, Iskandar yang sedang mendengarkan percakapan itu langsung terguncang.
‘Apa? Tapi aku kan sebenarnya sangat peduli pada wajah?’
Ia ingin membantah, tapi tidak tega memotong. Jadi hanya bisa melirik Hazel dengan wajah penuh kekesalan.
Selain perbedaan pandangan kecil semacam itu, keduanya sejatinya sangat sejalan. Ketika Permaisuri berhasil membuat koran meminta maaf atas ejekan terhadap Lady Lamarche, sebagian bangsawan yang selalu khawatir mulai melapor pada Kaisar.
Salah satunya Menteri Keuangan yang baru diangkat.
“Maaf, Yang Mulia, saya cemas Permaisuri sudah mulai menggunakan kasih sayang Anda untuk mengendalikan kalangan sosialita. Mengapa harus mengerahkan pengaruh sebesar itu hanya untuk membela lady malas dengan perut menonjol? Itu sungguh tak elok. Bahkan di acara-acara besar, banyak gadis menonjolkan perut dengan bangga! Bahkan para young lady yang biasanya pemalu pun jadi ikut-ikutan. Sungguh memalukan bagi martabat kekaisaran.”
“Begitu? Lalu bagaimana ya?”
Mendengar Kaisar tertegun, sang menteri merasa ucapannya berhasil menggugah. Tapi kenyataannya tidak.
“Gawat sekali. Menteri Keuanganku ternyata sibuk melirik pinggang para wanita.”
Menteri Keuangan pun terdiam, lidah kelu.
Kaum konservatif di istana terus menganggap Permaisuri terlalu bebas. Namun setiap kali mereka mengadu, Kaisar tak pernah memberi reaksi seperti yang mereka harapkan.
Mereka akhirnya hanya bisa mundur sambil menggerutu.
‘Kenapa tidak bisa sesederhana ini? Biarlah setiap orang memilih sendiri, mau pakai korset atau tidak. Lagipula, kenapa justru para pejabat tua yang seumur hidup takkan pernah pakai korsetlah yang paling keras berteriak?’ Hazel sungguh tak mengerti.
Beberapa hari kemudian, Baron Mayfield berkunjung ke rumah pertanian.
“Tentu saja, Permaisuri! Kakek ini baik-baik saja! Sampai-sampai orang-orang menahanku dan tak mau melepaskan! Pernah kuceritakan kisah memancing bersama Mateo, tabib istana itu? Astaga, pria itu bahkan di danau pun nyaris tak kelihatan, sampai ikan-ikan malah berkerumun ke arahnya….”
Dengan riang ia melantur tentang petualangan-petualangannya.
Namun begitu semua orang pergi, ia langsung diam. Menggeleng pelan, lalu berkata lirih.
“Anak sayang, masih ingat nasihat kakek dulu?”
“Yang ‘perjudian tak pernah berhenti, hanya bisa ditahan’ itu?”
“Bukan itu.”
“Yang ‘orang yang tahu cara makan udang, pasti mulai dari kepalanya’?”
“Bukan itu juga.”
Baron Mayfield menarik napas panjang.
“‘Tak ada tempat yang sekaligus punya gunung dan sungai terbaik.’ Ingat itu?”
“Ah… iya, memang ada juga. Kakek benar-benar selalu punya banyak kata bijak.”
“Ya. Intinya, tak ada yang bisa selalu sempurna. Sekalipun kita yakin sudah melakukan yang benar, akan ada orang yang menolak. Bahkan kebenaran sederhana seperti satu tambah satu sama dengan dua pun, pasti ada saja yang berkata tidak. Jadi jangan sampai patah semangat.”
Nada suaranya persis seperti dulu ketika Hazel masih kecil. Seketika Hazel merasa dirinya kembali jadi bocah berusia delapan.
“Betul. Rasanya sebal sekali.”
Ia pun menumpahkan isi hatinya.
“Orang-orang seenaknya berkata apa pun, asal diselipkan kata ‘saya khawatir’. Kalau benar-benar khawatir, tentu saya berterima kasih. Tapi kata-kata itu sebenarnya artinya cuma satu: ‘Aku tidak suka caramu.’”
“Ya, ya. Mereka akan selalu menilai setiap langkahmu. Kau tentu tahu itu sebelum menerima lamaran Kaisar, bukan?”
“Tidak, kakek.”
“Apa? Jadi kau tak tahu?”
“Bukan, maksudku… justru aku yang melamarnya lebih dulu.”
Hazel mendesah, mengerutkan hidung.
Pada akhirnya, semua tempat sama saja—baik di bank Rochelle, kalangan sosialita, maupun istana. Orang baru selalu diuji, dipaksa menunjukkan bahwa mereka sama seperti kelompok yang ada.
Namun Hazel tak pernah berniat jadi ‘sama’.
Lebih mudah mengikuti arus, tapi ia memilih jalan sulit: hidup berbeda.
Berbicara dengan kakek membuat dadanya terasa lega. Itu hal yang tak bisa ia ungkapkan di tempat lain.
“Tenang saja. Aku tetap akan jalani hidup sesuai keinginanku.”
“Ya, memang kau selalu begitu.”
Setelah itu sang Baron pergi bermain kartu.
Keesokan harinya, tiba-tiba Kantor Audit Kekaisaran meminta akses untuk memeriksa buku catatan pengelolaan harta pribadi Permaisuri. Memang undang-undang memperbolehkan mereka sekali sebulan melakukan itu, tapi kenyataannya baru kali ini mereka benar-benar meminta.
Namun setelah meneliti, para pejabat keras kepala itu tak menemukan masalah apa pun. Satu-satunya yang tercatat hanyalah bahwa Permaisuri menggunakan tabungan banknya sendiri untuk mendanai proyek restorasi “Bunga Matahari”.
‘Permaisuri kan cuma pasangan Kaisar yang saling mencintai. Itu saja sudah cukup.’ Hazel tetap teguh dalam hatinya.
Ia tak perlu—dan tak akan—berusaha jadi sosok Permaisuri seperti yang orang lain harapkan.
Yang paling sulit hanyalah pesta dansa.
Bagi semua orang, Permaisuri harus jadi sosok pemujaan. Laki-laki mengaguminya, perempuan mendambakannya. Ia harus jadi bunga paling indah yang menerangi aula dansa.
‘Aku? Tidak, terima kasih!’
Hazel memilih caranya sendiri. Ia berkeliling menyapa orang-orang di sudut ruangan yang biasanya terabaikan.
Dan justru dari merekalah ia mendengar banyak kisah menarik.
“Benarkah ada pejabat khusus yang tugasnya menangkap tikus? Lalu, bagaimana gajinya dibayar?”
Hazel terus menanyai mereka.
Ternyata mereka belum tahu tentang jebakan tikus baru yang sedang populer—dengan mekanisme kawat menjepit dari empat arah. Rupanya tren itu belum sampai ke ibu kota.
“Jebakan itu benar-benar tak memberi jalan keluar. Tentu kalau ingin menangkap hidup-hidup, kandang kawat lebih bagus….”
Hazel pun bersemangat membahas topik penangkapan tikus.
Iskandar hanya tersenyum puas. ‘Permaisuriku memang tahu segalanya.’ Wajahnya sampai bersinar-sinar.
Ya, di aula itu akhirnya benar-benar ada bunga yang menyinari ruangan. Dan itu sudah cukup.
Sementara itu, di ladang anggur panen makin matang.
Dari sisi bisnis, kabar baik juga berdatangan. Hidangan jamur labirin di Restoran Pavilion sukses besar, membuat orang-orang tak lagi jijik pada tanaman labirin.
Hazel pun berhasil mengikat kontrak penjualan asparagus labirin dengan syarat lebih menguntungkan. Asparagus itu sangat lembut dengan rasa seperti mentega, hingga laku keras.
Dengan keuntungan itu, mereka memulai peternakan lebah. Lorendel bahkan menjanjikan akan mendapatkan rahasia pemanenan madu dari para tetua High Elf.
Saat panen bawang putih selesai, kabar mengejutkan datang—Menteri Dalam Negeri akhirnya pulang dari cuti panjangnya.
Hazel tak sabar menunggu, ia bahkan berdiri di depan istana sejak fajar.
Tak lama, muncullah sang Menteri yang kini kulitnya hitam legam terbakar matahari.
“Yang Mulia!”
“Oh, astaga! Permaisuriku!”
Keduanya saling merangkul dengan hangat.
“Banyak minum jus buah di pantai, kan? Aku sampai takut Anda langsung pensiun saja!”
“Hahaha! Tidaklah. Kecuali mungkin nanti kalau Permaisuri benar-benar menguasai seluruh urusan negara… barulah kupikirkan.”
Sang Menteri tampak penuh semangat, seolah 20 tahun lebih muda.
“Wah, sepertinya perjalanannya sangat menyenangkan.”
“Entahlah. Justru sepanjang jalan aku memikirkan istana ini! Pada akhirnya, perjalanan hanya untuk menyadarkan bahwa kampung halamanlah yang terbaik. Semua di sini sungguh kurindukan!”
Ia melangkah gagah ke arah aula utama.
Namun satu jam kemudian, Hazel melihat wajahnya sudah kelam.
“Dasar bodoh… semua bodoh….” gumamnya geram.
Barulah Hazel benar-benar merasa sang Menteri, pahlawan sejati istana, telah kembali. Ia segera menyuguhkan kopi chicory.
Malam itu pun diadakan pesta penyambutan meriah.
Hazel, Kaisar, Permaisuri Janda, para ksatria sahabat Iskandar, bahkan kakeknya, semua bergotong royong menyiapkan jamuan di kebun anggur.
“Jamuan paling terhormat sepanjang sejarah!” seru Menteri kagum.
Mungkin benar. Bagaimana tidak? Permaisuri Janda, Kaisar, Permaisuri, sang Baron, dan Dewan Penasihat Negara, semua menyumbang tangan mereka untuk menyiapkan hidangan itu.
Dari sup tomat dingin berbumbu herba, pasta buatan tangan yang kenyal sempurna, daging sapi panggang, angsa beraroma jeruk, hingga babi dengan garam batu. Semua hidangan menyalakan kembali gairah sang Menteri hanya dalam sehari.
“Kalian tak tahu betapa aku merindukan cita rasa ini!” serunya.
“Rasa kampung halaman….” Luis, Lorendel, Sigvald, dan Cayenne hampir bersamaan memikirkan hal itu.
Bagi vampir, rasa kampung halaman mungkin darah. Bagi elf, buah atau embun. Bagi warbear, madu atau daging mentah. Bagi catfolk, keju atau ikan.
Namun kini, bagi mereka semua, rasa kampung halaman berarti masakan pertanian Hazel. Itu pun semacam “rekayasa ingatan”.
Hazel menutup dengan hidangan penutup: buah segar dengan krim ringan di atas crepe tipis.
Hari-hari panen terus terasa seperti pesta.
Namun nasib kembali berputar.
Suatu malam, kabar buruk mengguncang—semua “Bunga Matahari” yang sedang ditanam tiba-tiba mati. Hanya dalam semalam, semuanya lenyap.
Para Sage menunduk tak tahu harus bagaimana.
“Tak ada benih lagi.”
Segera publik geger. Selama ini proyek itu selalu dielu-elukan media. Kini, kegagalan itu menyalakan amarah rakyat.
Rapat Dewan Penasihat Negara digelar. Semua mengusulkan jalan keluar.
Luis: “Bagaimana kalau coba necromancy? Kalau manusia bisa dibangkitkan, mungkin tanaman pun bisa….”
Namun teman-temannya langsung menatap dingin.
Lorendel: “Aku sudah kirim surat ke para tetua. Mungkin para hero knight yang berkeliling negeri juga tahu. Masalahnya, di mana mereka sekarang….”
Sigvald berdiri. “Aku akan pergi mencarinya.”
Hazel segera menahan. “Jangan. Ini tanggung jawabku.”
“Untuk para ibu miskin, tanggung jawab itu milik kita semua.”
Tiba-tiba Cayenne menyela. “Eh, aku ingat sesuatu. Waktu aku diculik penculik spesialis catfolk—”
Luis langsung protes. “Astaga, itu kisahmu yang ke-60 kali! Harus sekarang?”
“Tunggu dulu! Waktu aku coba melarikan diri dengan menggali tanah, aku menemukan biji-bijian aneh. Karena penasaran, aku simpan. Ternyata benih tanaman labirin. Katanya, hewan pengerat suka menyimpan benih itu di tanah sebagai cadangan lalu lupa. Jadi mungkin….”
Hazel tersentak.
Mungkin itu satu-satunya harapan.
Namun masalah baru muncul: lokasi “Bunga Matahari” pertama kali ditemukan kini sudah jadi tanah pribadi. Pemiliknya menolak keras memberi izin.
Hazel akhirnya bersuara. “Kalau begitu, biar aku pergi sendiri.”
Istana pun geger.
Bahkan kalangan konservatif makin tak bisa menerima tingkah laku Permaisuri.
Namun Iskandar tetap tegas: “Perang setiap orang berbeda bentuknya. Jika Permaisuri harus berperang di sana, siapa kita melarang?”
Hazel menatapnya—dari awal, ia seolah sudah tahu keputusan itu.
Akhirnya, dengan dukungan Permaisuri Janda, ia pun berangkat bersama Pegasus hitam, Tiberius, Lasalgeti, dan pengawal catfolk muda, Penny.
Mereka tiba di Gidon, bekas lokasi Labirin Besar yang kini jadi padang rumput milik seorang nenek tua.
Begitu rombongan memperkenalkan diri, sang nenek langsung menolak.
“Aku tidak percaya pada negara! Tak peduli siapa yang kalian bawa, tanah ini tak akan kuberi!”
Namun ketika anjing gembalanya mendekat pada Hazel dan ia cekatan mencabut kutu di bulunya, sang nenek tampak ragu.
Penny lalu berkata, “Beliau Permaisuri.”
Sang nenek mendelik. “Itu? Gadis desa itu Permaisuri? Jangan anggap aku bodoh. Aku baca koran juga!”
Hazel pun melangkah maju. “Kami tak akan merusak tanah ini. Anak ayam ini yang akan mencari benih, dan hanya di satu titik kecil. Kami akan mengembalikannya seperti semula, dengan kompensasi penuh. Tolonglah. Semua ini untuk para ibu dan bayi yang terancam demam nifas.”
Sejenak, wajah sang nenek berubah.
Namun kemudian ia mendengus. “Tak peduli alasanmu. Tanah ini nyawaku. Tak seorang pun boleh mengusiknya.”
Hazel menghela napas, tapi tidak menyerah. Ia menatap lurus ke mata sang nenek.
“Kami tidak akan merusak tanah ini,” ujarnya tegas.
“Aku seorang petani.”
Tak ada kata lain yang diperlukan.
Sejenak hening menyelimuti.
Nyonya tua itu mengangkat satu tangan tanpa sepatah kata pun. Tangannya hanya melambai kecil ke arah Hazel.
“Kebetulan aku memang sedang butuh pekerja.”
“Eh? Hei! Nyonya!”
Protes Penny tak digubris sama sekali. Hazel lalu berbisik pada kucing ksatria yang sudah melompat-lompat marah.
“Untuk sementara, pergilah ke penginapan dulu.”
Itu bukan sekadar perintah seorang Permaisuri, melainkan permintaan seorang sahabat. Penny tak bisa menolak dan akhirnya berbalik langkah.
Hazel pun masuk ke peternakan.
Ia lebih dulu menurunkan Tiberius ke tanah. Hazel menunjukkan pada si ayam jantan herbal-herbal mati yang pernah ia lihat di istana, sambil memberi penjelasan. Sebagai utusan Dewa Ceres, Hazel yakin Tiberius akan mengerti.
“Kalau ada biji yang kau temukan, segera beritahu aku.”
Tiberius pun bergegas berkeliling, gesit menghindari kawanan domba maupun anjing penjaga ternak.
Hazel lalu menambatkan Ras Algethi di dekat seekor poni, kemudian langsung mulai bekerja.
Ia membersihkan kotoran yang berserakan di peternakan, merapikan peralatan, menimba air bersih untuk mencuci pakaian. Setelah itu ia mengambil tepung, memanggang roti, menyiapkan sayuran untuk sup.
Semuanya sudah menjadi rutinitas yang tak asing baginya.
Setelah memberi makan domba, sang nenek pemilik peternakan masuk ke rumah.
Di dapur yang kini bersih, sup mendidih dengan aroma harum. Roti baru saja keluar dari tungku, lembut meski dimakan tanpa mentega—walau Hazel tetap menyiapkan krim dari susu untuk membuat mentega nanti.
Keesokan paginya, sarapan mereka adalah panekuk hangat ditemani teh herbal sebagai pencuci mulut. Tumpukan handuk bersih tersusun di sebelah meja makan. Anjing ternak pun sudah disisir rapi, bulunya berkilau.
Mungkin merasa Hazel bukanlah seorang pembual, sang nenek membiarkannya bebas berkeliling peternakan.
Di hari keempat, Tiberius akhirnya menemukan sesuatu. Ia terus mondar-mandir di dekat gudang, dan ketika Hazel menggali tanah pelan-pelan, segenggam biji-bijian muncul. Bentuknya mirip biji bunga matahari.
“Ketemu!”
Hazel memeluk Tiberius dengan penuh suka cita.
Peternakan itu pun sudah banyak berubah. Rumput terlihat bersih, domba tampak lebih putih. Di dapur, dua roti besar terbungkus rapi di atas meja. Panci besar yang dulu penuh sarang laba-laba kini berkilau dan sudah digunakan untuk sup. Perabot lain pun dipoles dengan daun teh hingga mengilap.
“Terima kasih. Mohon pamit.”
Hazel menyimpan biji itu dengan hati-hati, lalu menunggangi Ras Algethi bersama Tiberius.
Ia kembali ke penginapan tempat Penny sudah menunggunya gelisah, lalu keduanya pulang ke istana. Yang pertama Hazel lakukan adalah menyampaikan kabar gembira itu pada Iskandar.
“Aku menemukan bijinya!”
“Seperti yang kuduga!”
Kabar itu segera menyebar luas.
Selama Hazel berada di luar istana, isu ini makin membesar.
Apakah Permaisuri benar-benar akan berhasil membawa biji itu pulang? Apakah ia keras kepala? Atau sebenarnya ia hanya tulus memikirkan para ibu miskin? Kisah mendiang ibunya pun tersiar luas, menambah kehebohan.
Dan akhirnya, dengan bantuan hewan suci, Hazel benar-benar kembali dengan biji itu.
Sebuah kisah indah. Tapi hanya sampai di situ.
Para bijak pandai menciptakan lingkungan sempurna dan siang-malam berusaha, namun biji itu tak kunjung berkecambah.
“Semua sudah mati.”
Hazel menghela napas panjang sambil menggendong anak ayam.
“Tiberius, sepertinya bukan ini.”
Tak ada pilihan lain. Ia kembali lagi ke peternakan Gidon.
“….”
Sang nenek pemilik peternakan membukakan pintu tanpa komentar.
Hazel menurunkan barang-barang di kamar kecil tempat ia tidur empat hari sebelumnya. Ia kembali menimba air, membersihkan rumah, memanggang roti, mengurus domba, sambil mencari biji yang lain.
Kali ini Tiberius tampak agak bingung.
Saat Hazel menggali di tempat yang ditunjukkan si ayam, tiba-tiba bayangan besar menutupi kepalanya. Sang nenek berdiri di sana, memperhatikannya.
“Bukan orang biasa, rupanya. Bahkan seorang Permaisuri pun.”
Ia mengambil cangkul dan mulai menggali tanah lebih dalam. Dari tanah yang basah muncul biji-biji yang terbungkus lumpur.
Hazel sungguh berterima kasih.
Ia membawa pulang semua biji yang tertimbun itu.
Kali ini, karena disimpan lebih dalam, Hazel lebih yakin. Ia menitipkan peternakan dan istana pada Iskandar serta para sahabat, lalu sepenuhnya mencurahkan diri pada tugas itu.
Namun rintangan tetap menghadang.
Labirin itu sendiri adalah lingkungan dengan keseimbangan sempurna. Menciptakan ulang keseimbangan itu di luar sangat sulit. Bahkan para bijak gagal karenanya.
Hazel pun nyaris tinggal di ruang tanam, hanya sesekali tidur dengan alarm kecil di sisinya.
Akhirnya, ia berhasil membuat biji itu berkecambah. Tapi kemudian muncul masalah baru.
Bagaimana kalau setelah ini mati lagi?
Segalanya jadi beban besar. Bila gagal, cemoohan akan menantinya.
Seharusnya tadi berhenti saja?
Saat ia duduk melamun, alarm berbunyi. Waktu menyiram.
Hazel mengaktifkan alat, kabut air pun turun dari langit-langit ruang tanam.
Selesai, ia sadar wadah air hampir kosong. Saat hendak menimba lagi dengan gayung, ternyata air menetes dari dasar gayung yang sudah retak.
Padahal ia sudah berkali-kali menimba dengan gayung itu. Kayu yang begitu keras saja sampai aus, apalagi manusia.
Lelah luar biasa melanda. Hazel meninggalkan ruang tanam, langkahnya tanpa sadar membawanya ke rumah keluarga.
Saat membuka pintu, seseorang sudah menunggu di meja makan.
Kakeknya. Seakan tahu Hazel akan datang.
“Kakek…”
“Ya, aku di sini.”
Sang Baron menepuk punggung cucunya. Hazel bersandar tanpa berkata-kata, sampai hatinya perlahan tenang.
“Apa sebenarnya artinya menjadi Permaisuri? Kupikir itu hal sepele, tapi ternyata….”
“Memang sepele.”
“Namun, terasa bukan sekadar itu juga.”
“Itu pun benar.”
Baron mengusap rambut Hazel.
“Jangan dipikir terlalu rumit. Semua orang punya krayon. Mereka menggambar dengan krayon itu. Jadi Permaisuri hanya berarti kau punya jauh lebih banyak warna dibanding orang lain. Gunakan saja untuk menggambar gambar yang lebih berwarna.”
“Benarkah begitu?”
“Tentu saja! Kalau pun hasilnya buruk, jangan patah semangat. Kau bisa menggambar ulang kapan saja.”
Permaisuri hanyalah orang dengan lebih banyak krayon.
Bukan apa-apa, tapi sekaligus sesuatu yang luar biasa.
Menjadi Permaisuri bukanlah akhir, melainkan awal. Ada banyak hal yang bisa dilakukan. Sukses hanya akan menjadi satu dari sekian banyak sukses lain yang akan datang. Gagal pun hanya satu dari sekian banyak kegagalan.
Dengan pikiran itu, semangat Hazel kembali menyala.
Ia kembali ke ruang tanam, lagi-lagi meninggalkan segala urusan lain demi bunga itu.
Suatu malam, Iskandar datang menemuinya.
Ia sangat sibuk mengurus pemerintahan sekaligus menahan segala kritik dari luar. Namun ia tetap menyempatkan diri.
Dengan cemas, ia berkata, “Tak ada yang bisa kubantu?”
“Hmm…”
Saat itu alarm kembali berbunyi. Hazel hendak berdiri tapi terlalu lelah.
“Air di alat penyiram perlu diisi. Cukup ambil dengan gayung dari tong di samping….”
“Baik.”
Iskandar bergegas ke ruang tanam.
Lama tak ada kabar. Hazel yang setengah tertidur akhirnya bangun dan berjalan ke sana. Ia terkejut melihatnya.
“Oh iya, gayung itu….”
Ia lupa kalau gayung sudah retak. Air menetes setiap kali ditimba.
Namun, tangki alat penyiram kini penuh.
Iskandar telah menimba berkali-kali, mungkin puluhan bahkan ratusan kali, hingga penuh.
“Jadi kau tetap melakukannya? Meski bocor begitu?”
“Sedikit aneh memang, tapi…”
Ia tersenyum malu.
“Aku pikir salahku kalau meragukan ucapanmu. Pasti ada maksud yang bijak di baliknya. Karena selama ini memang begitu. Permaisuriku adalah wanita paling bijaksana di dunia.”
Hazel terdiam.
Iskandar tahu Hazel mungkin keliru. Tapi ia sengaja melakukannya, untuk menunjukkan keyakinan mutlak padanya. Di luar sana, semua orang meragukan Hazel. Maka ia ingin menunjukkan: aku tidak akan meragukanmu, apapun yang kau katakan.
Jika ada kesalahan, maka itu salahku—bukan salahmu.
Itulah yang ia sampaikan dengan tindakannya.
“Isk…”
Hazel menitikkan air mata, lalu memeluknya erat.
Kekuasaan bisa membungkam mulut orang. Cukup beri mereka ketakutan.
Iskandar bisa saja meredam semua kritik dengan mudah. Namun itu bukan caranya. Itu akan merusak arti perjuangan Hazel.
Ia percaya Hazel bisa melakukannya sendiri. Seperti dirinya, yang dulu pun akhirnya menjadi pendukung abadi Hazel.
Kepercayaan itu adalah harta terbesar. Salah pun tak apa. Gagal pun tak apa.
Jika jatuh, aku akan menangkapmu.
Itu pesannya.
Dari pengalaman ini, Hazel kembali membuka mata. Ia menilai lagi situasinya.
Bunga Matahari Suci dirawat dengan ketat. Tapi ujungnya harus bisa tumbuh di luar labirin.
“Tujuan akhirnya adalah menyesuaikan tanaman ini dengan lingkungan luar, perlahan menurunkan tingkat kontrol,” kata para bijak.
Mereka memberi instruksi agar semuanya dikontrol ketat—air, cahaya, tanah. Puluhan orang mencatat setiap perubahan.
Hazel pun menurut. Ia tak ingin gagal.
Namun ia mulai bertanya-tanya. Apakah ini benar?
Ia pun menemui Lorendel, High Elf pecinta tumbuhan.
Lorendel datang ke ruang tanam, penasaran melihat tempat yang selalu dibicarakan teman-temannya.
“Kami sudah mengatur semuanya sempurna, tapi tetap tak berhasil. Aku takut mereka akan mati lagi,” Hazel mengeluh.
Lorendel berpikir, lalu menjawab polos, “Saya tidak tahu pasti. Tapi mungkin saya bisa mainkan lute sepanjang hari di sini. Musik bisa membuat tumbuhan lebih bersemangat.”
Hazel tersenyum, sejenak lupa kegelisahannya. Persahabatan tulus Lorendel selalu membuatnya merasa hangat.
“Itu ide bagus, tapi tak mungkin aku menahan Kapten Ksatria Pohon Suci hanya untuk itu. Aku cuma ingin tanya satu hal sederhana.”
“Apa itu?”
“Kalau Anda adalah tanaman ini, apa yang pertama kali akan Anda rasakan?”
Pertanyaan aneh. Tapi Lorendel merenung serius, lalu berkata:
“Sesak…?”
Jantung Hazel bergetar.
“Aku tidak ingin mati, tapi juga tak punya semangat hidup. Kenapa aku dibawa ke sini? Kenapa aku harus menyesuaikan diri? Siapa manusia-manusia ini…?”
“Baiklah, cukup. Terima kasih.”
Hazel memulangkannya dengan sopan.
Ia sudah menduga. Cara mereka salah. Terlalu banyak perhatian justru menyesakkan.
Hazel kembali ke ruang kerjanya. Sebagai Permaisuri, ia juga memiliki kantor sendiri—meja mahoni dihiasi porselen indah.
Ia menulis surat pada Nyonya Martha, seorang petani di Belmont, Selatan.
Sebagai Permaisuri, Hazel punya hak istimewa: kurir istana yang sangat cepat. Meski biayanya harus ditanggung pribadi.
Beberapa hari kemudian, balasan datang.
Hazel minta dijawab bukan sebagai Permaisuri, tapi sebagai Hazel. Jawaban Martha sederhana:
‘Aku tidak tahu apa itu labirin atau tanaman labirin. Tapi kalau sudah dirawat baik-baik tetap layu, artinya mereka sudah kenyang. Saatnya membiarkan mereka tumbuh kuat sendiri.’
Hazel tahu, itu benar.
Kini ia harus memutuskan: bagaimana cara memperlakukan “anak-anak kecil” ini?
Saat ia merenung, teman-temannya pun tahu kabar itu.
“Kalau begitu aku boleh ikut campur juga!”
Louise langsung datang, membawa banyak barang yang biasanya ia jauhi. Hazel terbelalak melihatnya.
“Buku apa itu?”
“Aku cuma coba mikir sederhana lagi.”
Louis langsung meraih tangan Hazel dan meng들kkannya.
“Ini Tangan Matahari. Dan itu adalah Bunga Matahari. Pasti ada hubungannya, kan? Kalau nggak ya sudah.”
Ia berkata riang sambil menumpahkan tumpukan buku yang katanya berkaitan dengan Tangan Matahari di atas meja.
Nada bicaranya seakan hanya asal memungut buku di jalan, tapi jelas terlihat ada edisi langka yang tercampur di sana. Setelah Hazel cek, ternyata buku-buku itu bahkan tidak ada di perpustakaan simpanan kekaisaran.
Ya, memang ada hal-hal yang tak bisa dilakukan negara, tapi bisa dilakukan oleh seorang miliarder.
Hazel semakin menyadari betapa luar biasanya kekayaan sang kapten kesatria vampir itu.
Tentu saja, nilai persahabatannya jauh lebih berharga daripada hartanya. Walau ia alergi debu dan huruf cetak, Louis tetap nekat memboyong buku-buku tua itu hanya demi Hazel. Hazel pun membaca sambil dihujani rasa terima kasih.
Ia membaca dengan sungguh-sungguh. Lagi, dan lagi.
Namun, hanya itu.
“Apa sih maksudnya ini…?”
Kepalanya berputar. Sama sekali tak paham maksud isinya. Lama merenung, akhirnya Hazel menyerah dan meminta bantuan Iskandar.
“Ini sebenarnya ngomongin apa sih?”
Iskandar membaca beberapa baris lalu langsung mengerutkan kening.
“Terjemahannya kacau sekali!”
Ia segera menulis daftar baru untuk program subsidi negara dengan catatan besar: terjemahan, lalu ikut membantu dengan wajah serius.
“Menurut legenda… hm? Ini ada kisah tentang Grand Chevalier juga.”
“Apa katanya?”
“Para tokoh legendaris, termasuk Grand Chevalier sang ahli pedang, serta mereka yang mewarisi kemampuan kuno, semuanya pertama kali muncul di era yang sama. Itu adalah masa ketika peradaban sedang berada di puncak kejayaan, disebut sebagai Zaman Keemasan.”
“Tangan Matahari juga muncul pertama kali di zaman itu?”
“Itulah masalahnya.”
Iskandar mengambil buku lain dan meringkas isinya cepat-cepat.
“Di antara semua legenda itu, hanya Tangan Matahari yang pengecualian. Ia muncul di zaman berbeda—yakni di Zaman Kegelapan, saat dunia dilanda kelaparan dan kehancuran. Tidak seperti tokoh lain yang lahir alami mengikuti arus zaman, Tangan Matahari justru hadir karena kebutuhan yang sangat mendesak.”
“Ah…”
Hazel termenung.
Tangan Matahari. Dan Bunga Matahari.
Akhirnya ia merasakan sesuatu.
Itu bukan hasil logika yang jelas. Lebih seperti dorongan hati. Tapi bagi Hazel, dorongan itu jauh lebih meyakinkan daripada alasan mana pun.
Saatnya berjudi lagi.
“Baiklah.”
Hazel mengangguk.
“Bagus.”
Iskandar juga mengangguk.
“Tapi… apa yang mau kau lakukan?”
Hazel berbisik di telinganya, menguraikan rencana.
“Jadi… untuk sementara aku bisa ‘meminjam’ ibunda Anda?”
“Beliau pasti sangat senang!”
Iskandar langsung sumringah.
***
“Inilah kolam istana kekaisaran.”
Pemandu menjelaskan dengan fasih kepada para mahasiswa dari aliansi barat yang sedang berkunjung ke kekaisaran.
“Indah sekali!”
Para mahasiswa berdecak kagum.
Saat mereka berkeliling, terlihat dua sosok berkerudung topi jerami sedang sibuk bekerja di pojok taman. Awalnya mereka hampir saja berlalu, tapi sang pemandu berujar:
“Dan beliau adalah Yang Mulia Permaisuri Dowager serta Yang Mulia Permaisuri.”
“Hah?”
Mahasiswa itu mengira salah dengar.
“Siapa tadi?”
“Permaisuri Dowager dan Permaisuri kekaisaran.”
Keributan pun pecah. Mahasiswa lain yang tadinya melihat bagian lain langsung berlarian ke arah itu.
“Kenapa Permaisuri Dowager dan Permaisuri jongkok di tanah begitu?”
“Seperti yang kalian lihat, mereka sedang berkebun.”
“Tapi kenapa? Apakah itu pantas? Kenapa para dayang membiarkan ini terjadi?”
Pertanyaan mengalir deras. Pemandu hanya mengangkat bahu.
“Memangnya dayang bisa melarang apa? Sejak mulai berkebun bersama Permaisuri, kesehatan Permaisuri Dowager jauh lebih baik. Dulu beliau bahkan jarang keluar kamar.”
“Tidak mungkin…”
Para mahasiswa menatap takjub.
Pemandu makin bersemangat melihat reaksi mereka. Saat menoleh lagi, ia menunjuk ke arah lain.
“Ah! Lihat, Yang Mulia Putri Senior Katarina dan Pangeran Rowan juga datang!”
Keriuhan makin besar.
Hazel terus bekerja tanpa henti.
Dulu ia sering harus merancang dan mengeksekusi segalanya seorang diri. Tapi sekarang ia punya sekutu.
Dan sekutu itu bukan sembarangan.
Dengan Permaisuri Dowager, ia merasa sangat cocok. Selain bisa dipercaya untuk menjaga rahasia, beliau juga ahli soal pertanian dan kebun.
Mereka bekerja sebelum matahari terik. Tak lama, Putri Katarina dan putranya, Rowan, ikut penasaran dan datang berkeliling.
“Apa yang kau lakukan, Hazel? Katakan padaku, ya?”
“Pada saya juga, kan?”
Ibu dan anak itu malah berebut ingin tahu, sambil sibuk mengangkat batu besar dengan kekuatan vampir separuh darah mereka.
Namun Hazel harus berhati-hati. Keduanya punya lidah yang ringan—rahasia mereka cepat jadi gosip seluruh istana. Jadi Hazel menutup rapat.
“Kami hanya membuat taman, Rowan.”
“Ya, benar. Hanya taman saja, Yang Mulia Putri.”
Mereka membangun benteng kata.
Orang-orang tentu curiga. Apa sebenarnya yang sedang dikerjakan Permaisuri?
***
Sementara itu, di rumah kaca, tanda-tanda buruk muncul. Bunga Matahari makin merana.
Lalu suatu malam Hazel tiba-tiba memberi perintah:
“Cabut semuanya.”
Para bijak terperanjat.
“Maaf, Yang Mulia?”
“Semua harus dikeluarkan.”
“Tidak bisa! Mereka akan mati!”
“Mohon tarik kembali perintah ini!”
Bahkan ada yang berlinang air mata.
Para bijak yang selama ini tenggelam dalam buku, kini telah jatuh hati pada bunga yang mereka rawat.
Hazel baru sadar akan hal itu. Ia harus menenangkan mereka dulu.
“Aku tidak berniat membunuh mereka.”
Hazel menatap lembut.
“Selama ini kita salah paham. Mereka bukan mati karena kita lalai. Bukan sekadar salah perhitungan. Yang kurang adalah kemauan hidupnya sendiri. Mereka perlu diguncang, agar kekuatan itu bangkit.”
“Makanya Anda ingin mengeluarkan mereka?”
“Ya. Mereka harus keluar.”
Mau tak mau, para bijak patuh. Mereka mencabut tanaman dengan hati berat, menolak bantuan pelayan, lalu mengangkat pot dengan tangan sendiri.
Hazel memimpin mereka ke taman baru.
“Di sini. Tanam di tanah kosong itu.”
Itu adalah lahan yang ia dan Permaisuri Dowager persiapkan sebelumnya.
Para bijak pun jongkok, merapikan bunga. Saat itulah bulan keluar dari balik awan.
Cahaya perak membanjiri taman. Daun Artemisia dan Dusty Miller berkilau bagaikan salju. Bunga Oenothera dan mawar musim panas bermekaran di malam hari.
Semua terpesona.
“Yang Mulia, ini…?”
Hazel tersenyum.
“Ini adalah Taman Bulan.”
Permaisuri Dowager menambahkan dengan suara tenang:
“Itulah rencana Permaisuri. Memindahkan Bunga Matahari ke tempat yang berlawanan dengan rumah kaca: luar ruangan yang gelap, hanya diterangi bulan. Di sanalah mereka bisa terbangun.”
Iskandar segera ikut membantu. Para pejabat pun bersorak mendukung. Hingga akhirnya semua orang turun tangan, menggali tanah dan menanam.
Dalam sekejap, Taman Bulan berdiri megah.
***
Namun, bunga masih tampak layu. Daun kuning, batang lemah. Orang-orang berbisik, menganggap percobaan ini sia-sia.
Hazel menolak putus asa. Ia percaya ini hanya “gejala awal” sebelum pemulihan. Ia berdoa di kapel istana, bahkan Iskandar ikut duduk pura-pura berdoa di sampingnya.
Sampai suatu pagi, kabar besar datang.
“Yang Mulia! Bunganya bertunas! Kuncup sudah muncul!”
Hazel berlari. Dan benar—di antara dedaunan, sebuah kuncup hijau kecil merekah.
Air matanya hampir tumpah. Ia memeluk para bijak yang kotor oleh tanah. Kini mereka benar-benar merasa seperti keluarga.
Dan Bunga Matahari itu akhirnya berkembang pesat. Saat direbus, ia terbukti mujarab untuk meredakan infeksi pasca-melahirkan dan bahkan sebagai antiseptik. Obat murah yang bisa menyelamatkan banyak nyawa.
Permaisuri Dowager segera memerintahkan media untuk memberitakan luas, lalu menggelar pertemuan dengan para bangsawan, membagikan benih. Para bangsawan yang biasanya malas, kali ini justru bersemangat—karena mereka tahu, populasi rakyat adalah sumber kekuatan.
Hazel menatap hasil kerjanya dengan puas.
Jabatannya adalah beban, tapi juga senjata. Jika digunakan dengan benar, ia bisa mengubah dunia.
Mungkin memang itulah jalannya.
Dengan senyum penuh tekad, ia menulis surat untuk Athena—sahabat sekaligus pesaing sehatnya di dunia pertanian.
Hazel membayangkan suatu hari mereka bisa bertemu kembali.
Namun, untuk sekarang, surat-surat itu saja sudah cukup.
Setelah selesai menulis, ia membawa amplop tebal itu ke kantor pos istana. Ia memasukkannya ke dalam kotak surat, lalu dalam perjalanan kembali bertemu dengan seseorang yang begitu dikenalnya.
“ Kakek!”
“ Oh, Yang Mulia Permaisuri!”
Baron Mayfield buru-buru menyingkirkan orang-orang lalu menghampiri cucunya. Mereka berdua pergi ke balkon yang sepi dan duduk berdampingan.
“ Yang Mulia Kaisar masih juga tertahan di sana rupanya.”
“ Begitulah. Untuk membuat orang-orang benar-benar mengerti, beliau harus menjelaskan hal yang sama berulang-ulang kali.”
“ Tapi beliau tampak sangat gembira. Seakan-akan lebih bahagia daripada saat meraih keberhasilan sendiri.”
Baron tersenyum lebar dan menggenggam tangan cucunya.
“ Aku juga bahagia. Selama ini aku hanya mendengar kabar kalau kau berhasil melakukan banyak hal di istana, tapi tidak pernah menyaksikannya langsung dengan mataku sendiri. Bisa melihatnya begini, rasanya aku sudah tak punya lagi yang bisa kuharapkan. Nak, aku sungguh lega kau bisa meraih kebahagiaanmu.”
“ Kakek juga bahagia, bukan? Semua kemewahan ini, kehormatan, kekayaan… semuanya memang sudah lama Kakek impikan.”
“ Benar juga.”
Baron mengangguk pelan.
Hening sejenak menyelimuti keduanya. Lalu ia kembali membuka mulut.
“ Tapi… apakah kemegahan dan kekayaan seperti ini sungguh bisa membuatku bahagia?”
Mendengar kata-kata itu, Hazel langsung merasa firasatnya benar.
Keesokan harinya, Baron Mayfield menghilang begitu saja.
“ Baron! Baron!”
Banyak orang mencarinya dengan wajah putus asa.
Cayenne bahkan lebih kalut dibanding siapa pun. Rupanya ia sangat menikmati masa-masa dulu ketika Baron berlarian karena dikejar utang judi.
“ Sungguh, beliau ke mana sebenarnya? Yang Mulia Permaisuri, apa Anda tidak punya dugaan?”
“ Beliau pergi mengikuti panggilan jiwanya.”
Jawab Hazel tenang. Lalu ia menceritakan kembali pada kucing bermuka sedih itu tentang kata-kata lama kakeknya.
Jiwa kita masing-masing berbeda bentuk, seperti halnya kaki kita. Permata yang menempel pada sepatu tidak akan membuat kaki bahagia. Yang membuat bahagia hanyalah sepatu yang pas dan nyaman.
Itulah sebabnya kita harus terus mencari sepatu yang benar-benar sesuai.
Itulah kata-kata sang kakek.
Waktu pun bergulir. Bunga-bunga mekar lalu gugur, lalu kembali mekar, begitu terus. Hingga tiga tahun pun berlalu…
Di pasar pusat ibukota, seorang gadis kecil duduk termenung.
Di depannya, keranjang-keranjang tomat menumpuk. Dari pagi ia sudah menata semuanya, tapi belum laku satu pun.
Kapan semua ini akan terjual?
Ia menghela napas dalam-dalam, seolah tanah hendak runtuh menimpanya.
Lalu, seseorang yang lewat tiba-tiba berhenti. Gadis itu cepat-cepat berseru.
“ Tomatnya enak sekali! Harganya murah! Satu keranjang hanya 3 silver! Semua ditanam dengan penuh kasih sayang di rumah kami!”
“ Memang terlihat begitu.”
Orang itu menjawab. Bukannya mengambil dompet, ia malah berbalik dan berseru lantang ke arah para pejalan kaki.
“ Di sini ada tomat segar yang luar biasa lezat! Langsung dipetik dari kebun! Jangan lewatkan kesempatan ini! Hanya 5 silver per keranjang! Murah sekali, ayo cepat!”
Suara jernih dan lantang itu penuh percaya diri.
Orang-orang yang tadinya berjalan terburu-buru pun berhenti. Seakan-akan terhipnotis, mereka menoleh ke arah lapak tomat.
Tomat merah ranum, bulat dan montok. Kulitnya berkilau basah, seakan masih ada embun yang menempel meski di bawah terik matahari.
Lapak itu seketika diserbu.
“ Satu keranjang untukku!”
“ Aku ambil dua keranjang!”
“ Taruh saja langsung di sini!”
Tomat yang menumpuk setinggi gunung lenyap dalam sekejap.
Gadis kecil itu menatap orang ber-topi jerami dengan wajah terpana.
“ Te… terima kasih banyak…”
Namun orang itu sudah tak ada di sana. Ia sudah berjalan jauh meninggalkan lapak.
Di belakangnya, tiba-tiba muncul seorang ksatria.
“ Lagi-lagi Anda menghilang begitu saja!”
Suara protes itu keluar dari seorang kesatria dengan telinga kucing yang menyembul di balik helmnya. Seorang Cat-kin Knight…
Sir Penelope Killingsworth!
Gadis kecil itu membelalak.
Sir Penny adalah ksatria pengawal pribadi Permaisuri. Itu berarti… orang aneh dengan topi jerami tadi adalah Yang Mulia Permaisuri sendiri?
Tak bisa dipercaya! Gadis itu buru-buru menyambar uang hasil penjualan tomat, menjejalkannya ke apron, lalu berlari tergopoh-gopoh.
“ Tunggu! Aku selalu ingin sekali bertemu dengan Anda! Yang Mulia Permaisuri! Permaisuri!”
“ Apa? Permaisuri?”
Orang-orang di pasar terkejut dan menoleh.
“ Di mana Permaisuri?”
“ Itu! Itu orang dengan topi jerami!”
“ Benarkah? Yang Mulia Permaisuri Hazel!”
Kerumunan berteriak-teriak sambil berusaha mengikuti.
Tapi semuanya sia-sia. Sosok dengan topi jerami dan sang pengawal ksatria itu menghilang secepat kilat.
“ Ah, hari ini pun gagal bertemu lagi!”
Para pedagang pasar hanya bisa menjatuhkan bahu dengan kecewa. Walau Permaisuri sering turun ke kota secara diam-diam, belum sekali pun mereka berhasil melihatnya dari dekat.
“ Aku benar-benar ingin bertemu walau sekali saja…”
“ Bagaimana bisa beliau menghilang secepat itu?”
“ Bukankah Beliau seharusnya sudah layak masuk jajaran Grand Chevalier?”
Sementara orang-orang menyesali, bendera perayaan berdirinya kerajaan berkibar anggun. Pada kain itu tergambar wajah Kaisar dan Permaisuri—dua sosok yang kini paling dicintai rakyat.
“ Tapi bagaimana jika Anda benar-benar ketahuan? Orang-orang berbondong-bondong mendekat. Bahkan kalau pun Anda berkata akan membuat selai dari tomat-tomat itu, tak seorang pun mau mendengarkan. Mereka malah menjadikannya bahan bercanda.”
“ Maaf, Sir Penny. Aku hanya tidak tahan melihat tomat segar seperti itu tak laku sama sekali…”
Hazel meminta maaf sambil melangkah masuk ke aula utama istana. Para menteri dan pejabat istana langsung menyongsongnya.
“ Yang Mulia Permaisuri! Ini laporan terbaru. Salinannya sudah kami serahkan juga pada Yang Mulia Kaisar.”
“ Cepat sekali seperti biasa!”
Hazel menerima laporan mengenai peresmian jalan kereta di distrik tengah ibukota.
Setiap hari, tak terhitung banyaknya undangan untuk menghadiri acara sebagai tamu kehormatan. Namun, itu bukanlah keputusan yang bisa dibuat semata-mata oleh Kaisar atau Permaisuri.
Segala sesuatu lebih dulu ditelaah dengan cermat oleh Menteri Dalam Negeri bersama departemen terkait: seberapa penting acara itu, apa keuntungan bagi negara bila Kaisar atau Permaisuri hadir, hingga dampaknya bagi perekonomian lokal. Setelah itu barulah keputusan akhir dibuat.
“ Baiklah. Wilayah Marcello memang cukup tertinggal. Aku sudah lama ingin kita berkunjung besar-besaran ke sana. Kalau Kaisar dan Permaisuri berangkat, setidaknya semua gerobak tua yang terbengkalai di jalanan akan segera dibersihkan. Di tempat-tempat seperti itu kejahatan bisa saja terjadi… Omong-omong, apa pendapat Yang Mulia Kaisar?”
“ Sama persis denganku.”
Iskandar tiba-tiba muncul dan menjawab.
Keduanya saling bertukar senyum.
Sejak menikah, hampir semua hal mereka lakukan bersama—kecuali satu: menyamar turun ke kota.
Awalnya mereka pergi bersama-sama, tapi tak lama kemudian selalu berubah jadi kencan romantis dan akhirnya ketahuan.
“ Hidup Kaisar dan Permaisuri!”
Mereka pernah mendapat tepuk tangan meriah dari puluhan orang di jalan sambil memegang sate bakar. Sejak itu, mereka hanya bisa turun ke kota secara terpisah.
“ Jadi, bagaimana dengan hari ini? Ada temuan menarik?”
“ Tidak ada yang istimewa. Aku lebih banyak berkeliling pasar…”
Hazel tengah bercerita ketika dari belakang Iskandar, pelayan istana Illina melambai besar-besaran. Gerakan tangannya jelas berarti: Yang Mulia, tolong bantu kami!
“ …Kurasa cukup sampai di sini. Nanti kita lanjutkan sambil minum kopi.”
Hazel segera menutup pembicaraan, mengantar Iskandar kembali ke ruang kerjanya, lalu bergegas menghampiri Illina.
“ Seperti yang kuduga, hanya Anda yang bisa diandalkan, Yang Mulia!”
“ Apa yang terjadi?”
“ Dari Departemen Keuangan, Nona Lycia meminta bantuan. Untuk proyek nasional yang baru ini, mereka perlu menggaet para konglomerat agar berinvestasi. Jadi kita harus mengadakan presentasi yang benar-benar meyakinkan…”
“ Ah, aku mengerti maksudmu.”
Hazel melangkah cepat sambil berbincang hangat dengan Illina.
Menteri Dalam Negeri yang melihat punggung keduanya berjalan berdampingan tak kuasa menahan senyum bahagia.
Beberapa tahun lalu, setiap sore tubuhnya terasa berat bagai kapas basah karena lelah. Dengan Permaisuri yang sakit-sakitan dan Kaisar yang dingin, kekhawatirannya seolah tak berkesudahan.
Mengingat masa itu, terasa seperti kehidupan di masa lalu.
Sekarang, ia benar-benar bisa menikmati hidup. Pensiun bahkan tak lagi ada di pikirannya. Ia ingin mempertahankan pekerjaan indah ini selama puluhan tahun ke depan.
“ Hidup sungguh indah…”
Ia bersenandung kecil sambil kembali ke ruang kerjanya.
Dan sang tokoh utama yang menyelamatkan seorang pejabat tua itu, Permaisuri, terus berkeliling istana dengan penuh semangat.
Karena percaya bahwa tidak apa-apa melakukan kesalahan, segala pekerjaan terasa jauh lebih mudah. Dengan hati ceria, ia selalu bisa memberikan yang terbaik.
Hal yang sama berlaku pada pertanian.
Kebun anggur makin subur dari tahun ke tahun. Pohon-pohon anggur berbaris rapi hingga menjulur sampai ke depan gedung-gedung megah istana.
Jumlah pengunjung terus meningkat, dan sempat terpikir untuk memperluas rumah pertanian. Tapi pesona rumah itu justru terletak pada kesederhanaannya. Rancangan baru terasa asing.
Akhirnya mereka memilih mendirikan pondok-pondok kecil di berbagai sudut taman istana: di kebun mawar, di tepi danau tempat angsa berenang, di samping rumah kaca… Pondok-pondok sederhana itu cocok dengan tempat mana pun. Siapa pun bisa beristirahat nyaman di sana, bahkan ikut berkebun jika berkehendak.
Karena dirawat banyak orang, kebun bunga istana pun berkembang pesat.
Bunga-bunga yang tumbuh bukan sekadar hiasan. Mereka berkualitas tinggi, indah, dan selalu bermekaran sesuai musim.
Setiap ada pesta pernikahan atau festival besar, semua orang ingin membeli bunga dari istana.
“ Ini bunga lili dari istana.”
Begitu disebut, orang-orang menatap penuh kagum. Apalagi jika disebut bahwa bunga itu ditanam langsung oleh Permaisuri, harganya bisa melonjak tinggi.
Semua uang hasil itu dialokasikan untuk amal. Seperti kata Iskandar: distribusi alami kekayaan.
Dengan berkembangnya kebijakan kesejahteraan, jumlah orang miskin sedikit demi sedikit berkurang. Minat pada pertanian pun ikut meningkat—Hazel yakin itu salah satunya berkat mereka.
Setiap kali surat kabar memuat foto Kaisar dan Permaisuri bekerja di ladang, topik pertanian kembali ramai dibicarakan. Para bangsawan pun menyebut betapa elegannya menanam sendiri makanan keluarga. Lalu bermunculanlah tren farmhouse weekend—membeli atau menyewa tanah di pinggiran kota untuk bercocok tanam tiap akhir pekan.
Namun, bencana pun tiba.
Di wilayah utara-tengah, distrik Havis, jalur naga (dragon vein) tiba-tiba terbuka. Jalur itu adalah bekas jalan lava yang dahulu diciptakan naga.
Ada tanda-tanda seperti bau belerang pekat sebelumnya, sehingga warga sempat mengungsi bersama ternak mereka. Tapi hamparan padang luas itu hancur jadi abu.
Seluruh distrik pun terancam kelaparan.
Mendengar kabar itu, kerajaan utara mengirim utusan. Mereka menawarkan untuk menjual ubi dataran tinggi dengan harga murah.
“ Omong kosong!”
Hazel dan Iskandar hanya menertawakan.
Dengan telur-telur Gnome yang menghasilkan devisa melimpah, jelas kerajaan utara ingin mengacaukan keadaan.
Maksud mereka jelas—menjual ubi murah untuk membuka jalan, lalu begitu lidah rakyat terbiasa, harga pun dinaikkan.
Namun, tawaran itu sama sekali tak diperlukan.
Tanpa impor ubi murah, kelaparan di Havis tetap bisa diatasi. Sebab, di kekaisaran sendiri, sudah ada hobi baru yang populer.
“ Sayang sekali. Kami justru kebingungan karena kentang terlalu berlimpah. Ini sudah lebih dari cukup untuk mengatasi krisis pangan. Bagaimana kalau kalian saja yang mengimpor kentang kami?”
Mendengar usulan Iskandar, utusan itu pun tak bisa berkata-kata dan kembali pulang.
Begitulah krisis itu berhasil diatasi.
Namun bencana jalur naga itu ternyata tidak berhenti sampai di sana.
Akibat tanah yang berguncang, jauh di sisi lain kerajaan, distrik Everett, sebuah tambang runtuh.
Lima ratusan penambang terkubur di dalam tanah.
Seluruh negeri pun geger.
Pasukan Kesatria Suci segera dikerahkan. Tapi untuk operasi penyelamatan besar-besaran, tenaga mereka jelas tidak cukup.
“ Izinkan aku ikut.”
Marquis Renly adalah yang pertama menawarkan diri. Wilayah itu memang tak jauh dari kampung halamannya. Ia merasa berkewajiban membantu.
“ Kalau begitu, sangat kami hargai.”
Iskandar langsung menyetujui. Marquis Renly pun berangkat menuju Everett dengan puluhan gerobak penuh bahan makanan untuk para korban.
Dayang pribadi Sang Permaisuri yang bertugas menangani busana, Rose, sejak saat itu kehilangan kata-kata. Ia berusaha tampak tenang, namun setiap kali sendirian wajahnya selalu tampak kosong dan linglung.
Apakah ini akhirnya akan membuatnya menyadari cinta?
Para pelanggan tetap Salon Permaisuri berbisik-bisik penuh rasa ingin tahu.
Namun, perkara ini ternyata tidak sesederhana itu.
“Berita besar! Berita besar!”
Kitty berlari-lari kecil sambil berteriak. Berita yang pertama kali diperoleh oleh pemimpin redaksi Surat Kabar Fajar itu benar-benar mengejutkan.
“Dua orang itu ternyata sudah menikah diam-diam enam bulan yang lalu! Dan… Nyonya Rose bahkan sudah mengandung!”
Mulut semua orang, termasuk Hazel, terbuka lebar.
Rose memang tidak menginginkan pesta pernikahan mewah. Ia hanya menggelar pernikahan rahasia di sebuah desa indah, hanya berdua saja. Rencananya, ia akan perlahan memberitahu orang-orang di sekitarnya pada waktu yang tepat.
Namun, lebih dulu dari rencana apa pun, seorang bayi telah datang.
Itu adalah kabar yang sangat membahagiakan. Rose memang sudah lama ingin memiliki anak.
Sayangnya, suaminya tidak berada di sisinya untuk ikut merayakan kabar gembira itu, karena ia sudah berangkat menjalankan misi bantuan kemanusiaan.
Kabar itu segera menyebar ke mana-mana. Tentu saja sampai juga ke telinga Iskandar.
“Sejauh mana mereka ingin membuatku terlihat seperti iblis, hah!”
Ia benar-benar terperanjat.
“Masa calon ayah dibiarkan pergi ke tempat berbahaya begitu saja! Seolah-olah memang sengaja mau menyiksanya!”
“Tenanglah, Is. Tidak ada yang berpikiran seperti itu.”
Memang benar begitu. Namun Iskandar tetap merasa bersalah. Ia pernah salah paham dengan Hazel dan Marquis Ranley, bahkan sempat benar-benar berniat mengirimnya pergi jauh.
“Aku harus menjemputnya kembali.”
“Bersabarlah. Ada banyak hal yang harus kau urus dari sini. Jangan khawatir, Marquis Ranley pasti baik-baik saja.”
Hazel pun terjebak dalam posisi serba salah: ia harus menenangkan keduanya sekaligus.
Marquis Ranley, meski tidak sekeras Iskandar, adalah orang yang lurus dan teguh. Tipe orang yang baru akan merasa tenang jika telah menunaikan tugasnya dengan sempurna.
Ia pergi bukan karena tidak mencintai keluarganya, melainkan justru karena ia mencintai mereka. Ia ingin menjadi suami yang pantas, tanpa cela, dan tentu saja ingin pulang dengan selamat.
Begitulah Marquis Ranley.
Lima ratus penambang berhasil bertahan dengan baik di dalam tambang dan akhirnya diselamatkan tanpa korban. Misi bantuan pun selesai dengan sukses. Tidak lama kemudian kabar datang bahwa Marquis Ranley akan segera pulang.
“Ya Tuhan!”
Rose pun tak kuasa menahan tangis, lupa bahwa ia sedang berada di hadapan Sang Permaisuri. Emosi yang meluap membuatnya akhirnya mengakui semuanya.
“Aku benar-benar mencintai dia!”
“Aku sudah tahu.”
Semua orang pun berkaca-kaca dan memberi selamat kepada Rose atas pernikahan dan kehamilannya.
Tangisan berganti dengan tawa. Dalam suasana penuh sukacita itu, rasa usil mereka pun kembali muncul.
“Bagaimana kalau kita umumkan sebagai kejutan saat upacara penyambutan nanti?”
Kitty bersinar-sinar penuh ide nakal. Untuk urusan seperti ini, tidak ada yang bisa menandinginya.
Empat hari kemudian, para pahlawan yang telah menyelamatkan ratusan nyawa dan menanggulangi bencana itu akhirnya kembali. Seluruh rakyat ibu kota berbondong-bondong sampai ke gerbang tembok kota untuk menyambut mereka.
Kereta-kereta penuh debu pun tiba, dan sorak-sorai nyaris membuat tembok kota bergetar.
“Hidup Ordo Kesatria Suci!”
“Ranley! Mortimer! Kranz!”
Mereka menyerukan nama keluarga-keluarga yang ikut serta dalam misi bantuan.
Di tengah sorakan itu, Marquis Ranley turun dari kereta. Hal pertama yang ia lakukan adalah mencari istrinya dengan mata. Meski hanya berpisah beberapa hari, ia merasa lega melihatnya baik-baik saja, lalu tersenyum.
“Baik, mari kita berkumpul sebentar. Untuk keperluan koran, kita perlu gambar sederhana.”
Atas arahan Menteri Dalam Negeri, para komandan Ordo Kesatria Suci dan para bangsawan pun dikumpulkan.
Tentu saja, si Menteri Tua juga ikut campur. Dengan lihai, ia menempatkan Marquis Ranley tepat di tengah.
Saat itu Kitty maju ke depan.
“Siapa yang di tengah itu? Ah, rupanya Marquis Ranley. Kalau begitu, tolong angkat tinggi-tinggi kertas bertuliskan ‘Selamat atas Kembali dengan Selamat’ ini.”
Marquis Ranley menerima kertas itu tanpa curiga.
Begitu membentangkan dan mengangkatnya, tiba-tiba sorakan pecah lagi. Kerumunan orang tertawa terbahak-bahak sambil bertepuk tangan ke arahnya.
Eh? Kenapa reaksinya begini?
Dengan wajah bingung, ia menurunkan kertas itu dan membacanya.
Ternyata tertulis:
‘Orang ini sebentar lagi akan menjadi seorang ayah.’
Marquis Ranley terpaku. Saking terkejutnya, otaknya bahkan sulit memproses makna kalimat itu.
Begitu akhirnya mengerti, ia langsung diliputi kegembiraan yang luar biasa besar.
“Benar-benar? Rose!”
“Arthur!”
Rose segera berlari ke arahnya dan memeluknya erat. Itu adalah momen yang telah ia nantikan begitu lama.
“Jadi aku benar-benar akan menjadi seorang ayah!”
Air mata pun mengalir di pipi sang Marquis.
“Ck, ck. Hanya karena begitu saja sampai menangis begitu….”
Para bangsawan tua menggelengkan kepala. Namun ketika melirik sekitar untuk mencari persetujuan, mereka buru-buru menutup mulut. Ekspresi Yang Mulia sendiri pun dipenuhi rasa haru.
“Suami-suami muda zaman sekarang aneh sekali.”
“Jauh berbeda dengan kita dulu.”
Mereka berbisik-bisik.
Namun tak peduli bisik-bisik itu, Rose dan Marquis Ranley tetap saling berpelukan erat. Semua orang tertawa dan memberi ucapan selamat, tapi keduanya seolah tak mendengar apa pun.
Kebahagiaan memang menular.
Hazel pun ikut merasa sangat bahagia. Begitu juga Iskandar. Keduanya sepakat berjalan kaki pulang ke istana, menikmati momen langka itu.
“Nyonya Rose memang pantas berbahagia. Aku juga senang akhirnya cinta lama Marquis Ranley terbalas.”
“Dua orang itu benar-benar serasi. Hmm, hadiah pernikahan apa yang cocok ya? Bagaimana kalau mulai dengan memberinya sebuah medali kehormatan? Kudengar dia sangat berjasa kali ini….”
“Pasti dia akan senang. Bayangkan saja, seorang Marquis tanpa satu pun medali di seragam resminya….”
Sambil berbincang ringan, keduanya berjalan pelan.
Saat melewati tepi danau di taman, seorang anak kecil yang berlari-lari tersandung batu. Tubuhnya terangkat ke udara.
Hazel bahkan belum sempat berteriak, ketika Iskandar dengan refleks menangkapnya. Gerakannya sangat alami.
“Kyahaha!”
Anak itu malah tertawa riang, lalu minta digendong lagi sambil memeluk Iskandar.
“Kenny!”
Ibunya berlari dengan wajah pucat, lalu memarahi anaknya.
“Sudah kubilang jangan lari terlalu cepat! Ampun, sungguh minta maaf, dan terima kasih banyak.”
Si ibu hendak membawa anaknya kembali, tapi bocah itu enggan lepas dari Iskandar. Sepertinya sangat menyukai pria tinggi besar itu.
Melihat pemandangan si bocah berambut ikal dengan pipi tembam yang menempel manja di dada Iskandar, Hazel pun tertawa.
“Pemandangan yang bagus.”
Dengan wajah kikuk, Iskandar menyerahkan anak itu kembali ke ibunya.
Mereka pun kembali berjalan. Di tengah kicau burung, Iskandar ragu-ragu membuka mulut.
“Kalau begitu….”
“Apa? Aku tidak dengar.”
“Maksudku… kalau begitu….”
“Kalau begitu apa?”
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita juga punya satu saja?”
Akhirnya ia beranikan diri mengucapkannya lantang, lalu wajahnya memerah sampai telinga.
Hazel mendadak melihat sosok lelaki besar itu tampak sangat menggemaskan. Ia pun menjawab tegas.
“Tidak.”
“Ah, kupikir memang terlalu cepat.”
“Bukan begitu….”
Hazel menggeleng.
“Sejak dulu aku selalu berpikir, angka yang paling sempurna itu tiga.”
“……?”
Iskandar melongo sebentar. Namun setelah sadar maksudnya, wajahnya berseri-seri.
“Tiga anak? Benarkah?”
“Tentu saja. Anak pertama haruslah perempuan. Namanya akan kupanggil Emily. Dan tentu saja, anak kedua juga harus perempuan. Namanya Belle. Lalu yang ketiga, barulah laki-laki, dan namanya Noel.”
Hazel tersenyum bahagia membayangkan itu.
“Tiga anak yang mirip kita berdua… pasti sangat imut dan manis. Ya, sekaligus menyusahkan juga.”
“Eh?”
Mata Iskandar langsung bergetar. Ia tidak sanggup membantah, tapi jelas tersinggung mendengar calon anaknya disebut menyusahkan.
Bagaimana mungkin dia berkata begitu? Memang benar istriku selalu benar, tapi tetap saja… bagaimana bisa anak-anakku disebut menyusahkan?
Wajahnya jelas-jelas menampakkan calon ayah yang kelak akan sangat dimanjakan oleh anak-anaknya.
“Ah, satu hal lagi. Lady Athena juga bilang akan datang. Mungkin tidak bisa lama karena harus mengurus perkebunan, tapi dia janji akan menengok begitu aku melahirkan.”
“Itu benar-benar baik sekali.”
Mereka kembali berjalan. Namun tak lama, Iskandar tiba-tiba terhenti, wajahnya serius.
“Tapi aku kepikiran sesuatu….”
“Apa lagi sekarang? Kenapa wajahmu begitu serius?”
“Bagaimana kalau anak pertama kita ternyata bukan perempuan?”
Hazel tertawa kecil.
“Kau ini, khawatir macam-macam saja! Tenanglah, pasti akan baik-baik saja.”
Mereka melangkah lagi. Namun kali ini Hazel yang terhenti.
“Tapi memang benar juga ya. Kita tidak bisa tahu duluan. Kalau ternyata anak pertama bukan perempuan, bagaimana?”
Ia pun ikut dilanda cemas.
“Tidak apa-apa.”
Kali ini Iskandar yang menenangkannya.
“Anak pertama kita pasti perempuan. Lihatlah, bahkan langit pun bilang begitu. Laksana matahari yang bersinar terang, Emily kita pasti perempuan.”
Namun tepat pada saat itu—
Awan tiba-tiba menutup langit, dan hujan deras turun begitu saja. Hujan musim panas yang datang mendadak. Orang-orang di taman berteriak panik berlarian mencari tempat berteduh.
Hazel dan Iskandar tidak sempat bergerak. Mereka terlalu terkejut.
Dalam sekejap mereka basah kuyup.
Keduanya saling menatap dengan wajah tak percaya. Lalu, serentak tertawa.
“Kalau ternyata anak laki-laki dan bernama Emily, sepertinya tidak terlalu buruk juga.”
“Benar juga.”
Mereka pun kembali berjalan sambil bergandengan tangan, air menetes dari ujung rambut dan pakaian.
Ya, terkadang segalanya bisa melenceng. Tidak selalu sesuai keinginan.
Namun selama ada hati yang cerah dan tidak pernah menyerah, pada akhirnya segalanya akan baik-baik saja.
Hutan yang baru saja diguyur hujan kini tampak bersih. Sinar matahari menembus ranting, jatuh berkilauan.
Di bawah cahaya itu, mereka melangkah beriringan.
