Senin, 01 September 2025

13. Rasa Rahasia yang Lebih Pahit dari Jahe dan Duri Thistle

Memiliki ladang tepat di depan rumah adalah sebuah anugerah luar biasa.

Baru saja berjalan santai sebentar, Hazel sudah kembali dengan keranjang penuh sayuran—terong, tomat, dan beragam herba harum. Ia bahkan memetik satu buah labu.

Keranjang yang tadinya kosong kini terasa berat di tangan.

Seolah-olah ia baru saja menyelesaikan pekerjaan paling agung di dunia. Tak perlu makan pun rasanya perutnya sudah kenyang. Keringat yang menetes seakan berubah jadi kebanggaan yang memenuhi dada...

Begitulah perasaan yang seharusnya ia nikmati saat ini.

Namun, hari ini berbeda.

Meski pelukan penuh dengan hasil panen yang gemilang, pikirannya tak bisa fokus pada kebahagiaan itu.

Kepalanya hanya dipenuhi pertanyaan.

Apa ini? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?

Hazel mengernyit sambil menatap pagar.

Ia sudah menyiapkan hati dengan susah payah, mencoba menenangkan diri. Sampai akhirnya ia merasa siap. Seandainya Sir Valentine datang, ia yakin bisa bersikap tenang.

Silakan datang. Kalau berani, hadapilah.
Itu semangat yang ia bangun.

Tapi…

Sir Valentine tak juga muncul.

Memang, sosok pria itu selalu diliputi misteri. Muncul tiba-tiba, lalu menghilang tanpa jejak.

Namun kali ini ada sesuatu yang berbeda.

Waktu terakhir mereka berpisah di reruntuhan, Valentine jelas-jelas mengatakan bahwa mereka akan bertemu lagi. Dan Hazel tahu, ia bukan tipe orang yang akan mengingkari janji.

Aneh sekali, kan?

Hazel mengangkat kepala, menatap ke arah atas.

Di balik rindang pepohonan Taman Agung, berdiri menjulang megahnya istana kekaisaran.

Entah mengapa, suasana di sana pun terasa tak wajar.

Ia tak bisa menunjuk dengan pasti bagian mana yang berbeda. Tapi seperti tetangga yang bisa merasakan perubahan sekecil apa pun di rumah sebelah, Hazel tahu—ada yang tidak biasa di istana.

Apa yang sedang terjadi?

Rasa ingin tahunya membuat semua pekerjaan terasa sia-sia. Setelah buru-buru memberi makan hewan ternak, ia memutuskan keluar rumah.

Begitu sampai di sekitar istana utama, kecurigaannya terbukti.

Para pejabat istana yang sudah berumur terlihat mondar-mandir berkelompok. Sesuatu jelas sedang terjadi.

Hazel celingukan mencari, sampai pandangannya menangkap wajah yang familiar—Ilina, seorang pelayan istana. Mereka saling menyapa.

“Hazel!”

“Halo, Nyonya Ilina.”

Hazel segera mendekat.

“Suasananya agak berbeda dari biasanya. Ada sesuatu yang terjadi di istana, ya?”

“Ah, sebenarnya…”

Ilina menurunkan suaranya.

“Yang Mulia Kaisar jatuh sakit karena kelelahan, jadi beliau harus beristirahat beberapa hari.”

“Yang Mulia Kaisar?”

Hazel terperangah. Ia sudah menduga ada masalah, tapi bukan ini.

“Mengejutkan, bukan? Aku pun kaget. Memang beliau bekerja tanpa henti, bahkan tanpa cuti. Saat ekspedisi melawan suku barbar pun, beliau hampir tak pernah meninggalkan tugasnya. Memang ada sistem darurat yang bisa mengisi kekosongan, tapi tetap saja beberapa urusan pemerintahan akan tertunda. Ada urusan pentingmu di sini, Hazel?”

“Ah, bukan. Aku hanya lewat.”

Hazel buru-buru berpamitan.

Kaisar jatuh sakit karena kelelahan?
Mungkinkah karena itu Valentine juga tak bisa bergerak leluasa?

Ia mendongak, menatap istana tempat sang kaisar beristirahat, wajahnya dipenuhi rasa cemas.

***

Di bawah langit-langit berhiaskan emas yang berkilauan, Iscandar terbaring di ranjangnya.

Kenapa tubuhku begini?

Pikiran pertamanya terarah pada air suci.

Demi sebuah rencana darurat, ia sempat memaksa mengubah mekanisme pertahanan alami tubuhnya. Mungkin itu yang membuat sistem tubuhnya kini kacau.

Namun, ia tahu bukan hanya itu penyebabnya.

Ada sesuatu… kecil, licik, dan jahat… yang lolos dari pengamatannya.

Bayangan penjahat bernama Wolfhound tiba-tiba melintas dalam benaknya.

Aku harus mengusir kekuatan busuk ini…
Namun betapa pun ia mencoba memusatkan konsentrasi, pikirannya terus buyar.

Yang muncul justru bayangan Hazel sedang bercengkerama hangat dengan Arthur Ranley.

Ia berusaha menepisnya, namun semakin keras berusaha, semakin jelas bayangan itu menyiksa pikirannya.

Apa yang sudah kulakukan? Betapa bodohnya aku…

Ia ingin segera bangkit. Detik demi detik terasa genting. Namun tubuhnya menolak bergerak.

Sakit kepala yang tajam kembali menyerangnya.

Di sekelilingnya terdengar suara-suara gelisah.

Loren Del, Louis, Ziegvalt, dan Cayenne berjaga di samping ranjang, sementara tabib istana baru saja menyelesaikan pemeriksaan.

“Yang Mulia sudah menahan sakit ini beberapa hari, bukan? Masih sempat mengurus pemerintahan dalam kondisi begini… sungguh luar biasa.”

Hening. Tak ada yang menanggapi.

Tabib itu terbatuk kecil, lalu mengulang ucapannya lebih keras.

“Sudah beberapa hari begini, namun beliau tetap mengurus negara. Luar biasa sekali.”

“Aah.”

Baru kali ini para ksatria memperhatikan.

Tabib itu adalah Mateo, pria yang dikenal di istana sebagai “Si Manusia Transparan.” Entah kenapa, sejak diangkat sebagai tabib pribadi kaisar, keberadaannya semakin tak terlihat.

Lagipula, kaisar Grand Chevalier tak benar-benar membutuhkan tabib biasa. Ia tak pernah sakit, tak bisa diracuni, bahkan jarang terluka.

Selain itu, Iscandar benci pemeriksaan medis. Ia selalu menolak dengan alasan tubuhnya baik-baik saja. Karena itu, posisi Mateo makin lama makin mengecil, sampai hampir terlupakan.

Mungkin karena itulah, ucapannya hanya terdengar jika diulang dua kali.

Mateo akhirnya menjelaskan,

“Seperti yang juga sudah saya katakan kepada Yang Mulia Permaisuri Dowager, menurut saya, tubuh beliau sebenarnya sehat. Hanya saja fungsi tubuh yang biasanya bekerja dengan lancar, kali ini sedikit kacau.”

“Kenapa bisa begitu?”

tanya Cayenne.

Mateo menelan ludah, gugup dikelilingi para komandan ksatria elit. Namun ia mengingat pesan sang kaisar:

Kalau suatu saat aku jatuh sakit dan kau tak bisa menemukan jawabannya, jangan pernah takut akan dihukum. Aku ini orang yang tubuhnya unik, bahkan mungkin satu-satunya di kekaisaran.

Ingat akan kemurahan hati itu, tangan Mateo bergetar—bukan karena takut, melainkan karena tekad. Ia tak ingin kehilangan majikan yang sebaik ini.

“Menurut saya… ada banyak faktor. Jujur saja, terlalu rumit untuk dipahami sepenuhnya. Tapi satu hal yang saya yakini, Yang Mulia baru saja mengalami guncangan emosional besar.”

“Guncangan… emosional?”

Para ksatria menatap kaget.

“Benar. Itu yang memicu semua gejala sekaligus, hingga beliau tumbang. Namun jangan khawatir—beliau pasti akan bangkit kembali.”

Mateo menunjuk beberapa bagian tubuh sang kaisar.

“Jantung beliau sangat kuat, berdegup kencang seperti ingin segera pulih. Fungsi tubuh lain pun normal. Peredaran darahnya lancar, kondisinya prima. Asal cukup istirahat, beliau akan segera bangkit dari ranjang.”

“Kalau begitu, syukurlah…”

Ziegvalt menghela napas, meski wajahnya tetap serius.

“Tapi guncangan emosional? Dari mana datangnya itu? Apa yang sebenarnya beliau lakukan seorang diri?”

“Kita juga tidak tahu. Beliau jarang sekali muncul, bahkan di ruang rapat.”

Louis menimpali.

Semua kembali menatap Iscandar yang terbaring. Saat itu, Loren Del memperhatikan sesuatu.

“Eh? Ke mana perginya? Kalung dengan biji aneh itu, yang selalu dipakainya.”

“Ah, Batu Bijak maksudmu?”

Cayenne memeriksa leher kaisar. Benar saja, tak ada apa-apa di sana.

“Padahal biasanya selalu dipakai, katanya harta karun berharga.”

“Kapan ia melepasnya?”

Para ksatria saling berbisik. Dan mereka sadar tabib Mateo menatap dengan sorot penuh harap, meski tak berani bicara.

“Ah, ya. Yang penting beliau butuh istirahat. Mari kita tinggalkan dulu.”

“Ya. Nanti kalau bangun, beliau sendiri yang akan menjelaskan.”

Mereka pun keluar.

Beberapa langkah kemudian, Louis tiba-tiba berhenti.

“Tunggu. Bicara soal istirahat… bukankah kita kenal seseorang yang sangat ahli di bidang itu?”

“Ah!”

Semua langsung teringat.

“Hazel, tentu saja. Dia bisa merawat lebih baik daripada kebanyakan elf.”

“Bahkan mungkin terbaik di dunia.”

Loren Del dan Cayenne sepakat.

“Ini bisa jadi kesempatan emas.”

Ziegvalt menambahkan.

Meski singkat, semua langsung paham maksudnya. Loren Del mengangguk.

“Benar. Saatnya memperbaiki hubungan yang kaku ini. Selalu menghindar bukan solusi. Mungkin inilah momen yang tepat.”

“Hazel sudah banyak berjasa. Kalau dengan perawatannya kondisi kaisar membaik, Iscandar tak punya pilihan selain melunak.”

Cayenne ikut menambahkan optimisme.

“Kalau benar begitu… betapa bagusnya!”

Louis berseru penuh harap.

“Tapi bagaimana dengan Hazel? Dia sangat tidak menyukai kaisar. Bagaimana kalau justru ia jadi membenci kita karena memaksanya?”

“Itu tidak akan terjadi.”

Loren Del menggeleng.

“Hazel selalu punya hati untuk orang yang menderita. Lihatlah Iscandar sekarang—bukankah ia tampak sangat menyedihkan? Mari kita coba bicarakan padanya.”

“Pertama-tama kita tanyakan dulu pada tabib.”

Ziegvalt menyarankan, dan semua sepakat.

Mereka kembali menemui Mateo.

“Tabib, bagaimana kalau seorang wanita dari Salon Istana—yang memiliki pengetahuan pengobatan tradisional—ikut mendampingi Anda merawat Yang Mulia? Tentu, bila Anda merasa keberatan, kami tidak akan memaksa.”

Mendengar pertanyaan sopan Loren Del, Mateo termenung sebentar.

Ia tahu siapa yang mereka maksud. Hazel.

Ia sudah sering mendengar kisah tentang gadis itu, juga keinginannya untuk merawat unicorn Windsong dan Pangeran Rowan. Sebagai tabib, ia selalu merasa pengetahuannya belum cukup untuk menangani tubuh unik sang kaisar.

“Keberatan? Sama sekali tidak. Justru saya sangat membutuhkan pendamping perawat. Bila gadis itu memang benar, mungkin kami bisa bertukar pikiran dan menemukan cara terbaik bersama.”

“Begitu ya?”

Empat sahabat itu saling bertukar pandang penuh arti.

Sekarang semuanya bergantung pada keputusan Hazel.

Para Komandan Ksatria Suci segera datang ke pertanian. Setelah mendengarkan penjelasan mereka, barulah Hazel memahami situasinya.

“Jadi, Yang Mulia Kaisar sebenarnya bukan sedang beristirahat, melainkan tiba-tiba jatuh pingsan begitu saja?”

“Menurut tabib kerajaan, beliau akan segera bangun.”

Louis cepat-cepat menambahkan.

“Katanya kalau bisa dibantu supaya tenang, pemulihannya bisa lebih cepat… itulah sebabnya kami buru-buru datang kemari. Tentu saja kau pasti tidak suka. Bahkan mungkin sangat tidak suka. Tapi bagaimanapun juga, bukankah beliau tetaplah kaisar negeri ini? Kata tabib, sepertinya keseimbangan dalam tubuhnya terganggu. Jadi… mungkin kau bisa membantu agar beliau sedikit lebih nyaman. Ya, aku tahu, pasti tidak menyenangkan bagimu, tapi….”

Suaranya lama-lama mengecil.

Hazel terdiam, merenung.

Memang benar, ia takut pada kaisar. Merasa terbebani, merasa tidak nyaman. Kalau bisa, ia ingin menua dengan tenang tanpa harus berhadapan muka lagi dengannya.

Namun, tiba-tiba wajah Sir Valentine terlintas dalam benaknya.

Percakapan mereka di puncak reruntuhan kembali teringat. Waktu itu kaisar bertanya apakah Hazel benar-benar begitu membencinya, lalu ketika Hazel menjawab dengan jujur, wajahnya tampak begitu terluka.

Tentu, hatinya belum sepenuhnya luluh. Kalau diingat-ingat bagaimana kaisar begitu saja ingin mengusirnya, Hazel masih merasa kesal.

Tapi sekarang… katanya beliau sedang sakit. Dan para Komandan Ksatria Suci ini jelas sangat mengkhawatirkannya. Kalau Hazel sedikit saja mengalah dan datang, bukankah itu akan membawa kebaikan bagi semua pihak?

Mungkin Sir Valentine juga ada di sana. Kalau ia melihat Hazel masuk… betapa terkejut dan senangnya ia nanti.

Akhirnya Hazel mengambil keputusan.

“Kalau begitu… aku bersedia menemui Yang Mulia.”

“Benarkah?”

Mereka semua tampak kaget—lalu serentak gembira.

“Seperti yang kuduga! Hatimu benar-benar malaikat, Hazel!”

Louis meraih kedua tangan Hazel dan mengguncangnya heboh. Hazel jadi salah tingkah karena reaksinya begitu berlebihan.

“Aku tidak bisa berbuat banyak untuk seseorang yang begitu luar biasa seperti beliau. Tabib juga bilang, pada akhirnya Yang Mulia sendiri yang harus bangkit. Aku hanya akan membantu sedikit untuk menenangkan pikiran dan hati beliau. Jadi… jangan terlalu berharap banyak.”

“Itu saja sudah sangat berarti.”

Lorendel tersenyum hangat. Ia tahu Hazel pasti merasa berat, tapi tetap saja bersedia. Itu membuat mereka semua merasa terharu.

Wajah para komandan memang jelas menggambarkan rasa syukur. Hazel melihat reaksi mereka itu justru terasa agak menggelikan.

“Biasanya kalian terkesan dingin satu sama lain, tapi kalau beliau sakit begini, semua langsung bersatu hati mengkhawatirkan. Benar-benar seperti saudara kandung, ya?”

“Sejak kecil kami memang tumbuh bersama. Hubungan kami… campuran antara cinta dan benci, bisa dibilang begitu.”

Cayenne menimpali.

Sejak kecil?

Hazel tiba-tiba merasa ada yang janggal.

“Tapi bukankah tiap ras punya umur yang berbeda-beda? Bagaimana bisa kalian tumbuh bersama dan seolah-olah sebaya? Apalagi dengan elf, bukankah itu hampir mustahil….”

“Pertanyaan itu wajar.”

Lorendel menjawab tenang.

“Sebenarnya, dilahirkan sebagai High Elf bukanlah hal yang sederhana. Bisa dibilang seperti pohon purba yang tertidur lama, lalu terbangun sebentar. Begitulah adanya. Aku sendiri… sebelumnya selalu tertidur. Baru ketika Ys lahir, aku pun terbangun dalam wujud bayi, untuk memulai kehidupan yang baru. Kemudian seorang tetua membawaku ke istana.”

“Kami pun sama. Ketika tiba di ibu kota, kami tumbuh bersama sebagai teman bermain putra mahkota, menyesuaikan umur masing-masing. Rasanya begitu alami sampai tidak pernah kami pertanyakan. Mungkin memang Ys yang membuat semua itu terjadi.”

Cayenne menambahkan.

Jadi, status Grand Chevalier itu bahkan bisa memengaruhi pertumbuhan ras lain?

Hazel merasa takjub. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi para komandan terlihat benar-benar sibuk.

Memang, setelah Hazel memberi persetujuan, mereka jadi tergesa-gesa.

“Kalau begitu, kami akan segera melapor kepada Yang Mulia Ratu Ibu untuk mendapatkan persetujuan akhir.”

Ucap Louis.

“Tentu beliau akan mengizinkan, karena ini menyangkut keselamatan kaisar. Tapi tetap saja prosedur resmi harus dijalani. Di istana masih banyak kaum penentang.”

Mereka pun berangkat menuju istana utama dengan langkah tergesa.

***

Sementara itu, Ratu Ibu mendengar kabar putranya jatuh sakit dan kaget luar biasa. Setelah mendengar penjelasan tabib, barulah ia bisa sedikit tenang.

Masalahnya tampak jelas: beban batin. Naluri seorang ibu membuatnya yakin bahwa hal itu pasti berkaitan dengan Hazel.

Kalau dipikir, ini mirip sakit karena cinta yang tak tersampaikan.

Namun, negara tidak bisa dibiarkan kacau. Ia terpaksa melanggar sumpah untuk tidak ikut campur, dan kembali turun tangan mengurus pemerintahan.

Bersama para pejabat tinggi, ia menimbang segala langkah dengan hati-hati.

Saat itu juga, para Komandan Ksatria tiba.

“Kalau begitu, serahkan surat ini padaku.”

Lorendel menerima catatan tulisan tangan kaisar dan mulai menerjemahkan coretan sahabatnya yang terkenal buruk. Sementara itu, Louis maju ke hadapan Ratu Ibu.

“Yang Mulia, kabarnya jika Ys merasa tenang, beliau bisa lebih cepat pulih?”

“Benar, begitu kata tabib.”

“Maka kami berpikir… bagaimana kalau Nona Mayfield—Hazel—yang sekarang mengelola salon di istana, membantu mendampingi beliau?”

Ratu Ibu dan Perdana Menteri Istana langsung tegang.

Mereka sebelumnya sepakat untuk tidak mencampuri urusan pribadi dua orang itu. Biarlah berjalan secara alami.

Ratu Ibu, tanpa menunjukkan emosi, bertanya tenang.

“Lalu bagaimana menurut tabib kerajaan? Bagaimanapun beliau yang paling bertanggung jawab dalam perawatan ini.”

“Kami sudah menanyakannya. Tabib juga setuju, bahkan menyarankan, karena mungkin bisa sangat membantu.”

“Baiklah. Mateo memang orang yang teliti. Kalau dia sudah menilai demikian, aku percaya. Tapi bukankah Nona Mayfield punya perbedaan pendapat yang tajam dengan kaisar soal hak atas tanahnya?”

“Itu juga sudah kami tanyakan. Nona Mayfield bersedia dengan senang hati.”

Persiapan mereka memang sangat matang. Ratu Ibu dan Perdana Menteri bertukar pandang.

“Kalau begitu, lakukanlah. Dalam kasus penyakit yang sulit diatasi, mencari bantuan dari berbagai bidang adalah… tradisi lama, bukan?”

“Benar, Yang Mulia.”

Para Komandan tampak lega sekaligus gembira.

Setelah mereka pergi, Perdana Menteri mendekat dan berbisik ke telinga Ratu Ibu.

“Sepertinya inilah jalannya. Nona Hazel akan mendampingi di sisi ranjang kaisar, dan akhirnya mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Memang ia akan terkejut, tapi hati Hazel sangat lembut. Melihat beliau terbaring sakit, ia takkan bisa benar-benar marah. Mungkin dari sinilah semuanya akan terurai dengan baik.”

“Hmm….”

Ratu Ibu tidak memberi jawaban pasti. Namun, wajahnya yang tegang mulai melunak. Walau bersumpah tidak akan ikut campur, harapan kecil itu sulit ia cegah: mungkinkah akhirnya semua akan berjalan baik?

“Tapi sekarang, mari kembali bekerja.”

Ia meraih kertas berisi terjemahan tulisan kaisar yang ditinggalkan Lorendel.

***

Hazel, yang tahu ia akan segera bertemu kaisar, merasa tegang bukan main.

Saat sibuk menyiram tanaman, mencabut gulma, dan memeriksa hama, ia bisa sedikit melupakan rasa gugup itu. Tapi begitu selesai, kegelisahan kembali menyerang.

Kata mereka, kaisar terlalu istimewa sehingga sulit ditangani dengan pengobatan biasa.

Apa yang bisa dilakukan seorang petani dalam kasus begini?

Rasa ragu menyelimutinya.

Namun, mendengar bahwa kondisi kaisar disebabkan ketidakseimbangan, Hazel langsung teringat pada jamur langka bernama Telur Gnome—yang tumbuh di batang pinus mati. Bagi manusia pun itu obat mujarab. Bangsa utara bahkan menganggapnya harta karun.

Ngomong-ngomong, Hazel juga pernah dengar bahwa di utara ada seorang Grand Chevalier. Salah satu dari hanya tiga orang yang diketahui di seluruh dunia.

Mungkin itu tidak ada hubungannya dengan Telur Gnome. Tapi entah kenapa, Hazel ingin menuliskan catatan tentang hal itu untuk tabib kerajaan.

Ia pun mengambil kertas dan pena. Menulis tentang tumbuhan selalu jadi kegemarannya. Sedang asyik menulis, terdengar ketukan di pintu.

Aneh, pintunya sebenarnya terbuka.

Hazel keluar, menemukan seorang wanita berpayung berdiri. Itu adalah Countess Manfredi, Diane, yang belakangan sering datang ke pertanian.

“Ah, ternyata Anda! Silakan masuk, Diane!”

Hazel menyambut ramah.

Seperti biasa, Countess yang gemar memakai gaun bermotif bunga itu langsung membicarakan taman.

“Karena masih September dan tanah hangat, saya ingin menanam lebih banyak tanaman tahunan.”

“Begitu ya?”

Hazel pun mengobrol dengannya. Tentang krisan untuk mengisi ruang kosong, umbi daffodil yang cocok ditanam sekarang….

Obrolan berlangsung seru. Hazel sempat bangkit untuk menyiapkan kudapan. Diane, yang duduk di meja, melirik kertas yang tadi Hazel tulis.

“Apa ini? Daftar tanaman musim gugur?”

“Oh, itu hanya catatan kecil.”

Hazel buru-buru menjauhkan kertas. Catatan itu untuk tabib kerajaan. Tak pantas ditunjukkan pada tetangga yang sekadar mampir.

“Tidak penting, cuma urusan akademis.”

Hazel tersenyum, kembali menyiapkan teh.

Tiba-tiba ia merasa ada sesuatu menyentuh pundaknya—seperti sengatan kecil. Hazel kaget, berbalik.

Diane sudah berdiri di belakangnya dengan wajah terkejut, satu tangan masih terangkat.

“Ada serangga menempel, jadi saya coba menepuknya. Maaf, belakangan kulit saya kering sekali gara-gara terlalu sering berkebun.”

Ia tersenyum canggung. Hazel justru merasa tidak enak.

“Anda terlalu sering mencuci tangan, ya? Saya punya sedikit minyak calendula. Mau saya berikan?”

“Oh, calendula! Kebetulan saya juga ingin membuat minyak dari bunga calendula di halaman, sebelum embun beku turun. Bunganya indah sekali di bawah sinar matahari….”

Obrolan pun berlanjut, kali ini tentang bunga calendula.

Setelah cukup lama, Diane pamit.

“Sampai jumpa lagi.”

“Ya, datanglah kapan saja.”

Hazel melepasnya dengan senyum. Ia menatap punggung Diane yang menyeberangi ladang menuju pagar luar. Tiba-tiba Hazel mengernyit.

Obrolan selalu menyenangkan… tapi ada kalanya, entah mengapa, Diane terasa seperti “tidak fokus”.

***

Sementara itu, Countess Manfredi—Diane—keluar dari pertanian dan meninggalkan istana.

Ia berjalan cepat di trotoar berbatu. Tanpa sengaja bertabrakan dengan seorang pekerja yang sibuk, tapi ia tak menoleh sedikit pun.

Kakinya menendang seekor kucing. Kucing itu mengeong marah dan mencoba mencakar, tapi ia tetap berjalan lurus tanpa reaksi.

Senyum yang tadi terpampang saat bersama Hazel kini sudah lenyap. Wajahnya benar-benar datar, tanpa emosi.

Diane terus berjalan melewati jalanan sempit keluarga Hargreaves yang selalu lembap dan suram. Rumah-rumah berwarna merah muda, biru, dan hijau berjajar di sepanjang jalan. Ia masuk begitu saja ke salah satunya.

Para pelayan di depan pintu segera menyingkir memberi jalan.

Ia menaiki tangga kayu, menuju sebuah pintu besar di lantai dua. Para pelayan perempuan yang berjaga di sana membukakan pintu.

Di dalam, sebuah ruangan bercahaya redup. Tirai tertutup rapat. Sejumlah bangsawan duduk melingkar, semuanya menatap seorang pria.

Jika Hazel melihat pria ini, ia pasti merasakan déjà vu.

Wajahnya cacat, tengkoraknya tidak simetris, menyerupai monster aneh yang menjaga reruntuhan di tanah tandus.

Dialah dalang sebenarnya dari kasus penculikan itu—tuan besar dari Perusahaan Mammon, Abbas Mammon.

Begitu Diane masuk, Abbas meletakkan penanya.

“Sudah kembali rupanya.”

Diane hanya duduk di sofa ungu, tanpa menjawab. Wajahnya tetap tanpa ekspresi.

Para bangsawan di sekeliling menatapnya penuh minat. Salah satunya berkomentar.

“Setidaknya kali ini kau masuk tanpa ribut.”

“Kalau kelebihannya hanya itu, tidak cukup.”

Abbas Mammon mengalihkan pandangan ke dinding di belakang meja.

Di sana, beberapa potret tergantung. Dari antara itu, tiga di antaranya telah dicoret besar-besaran dengan tanda silang merah. Potret itu milik penyanyi opera Andre Delgado, Baroness Fiorenti yang pernah hadir saat pembelahan jamur labirin, dan juga Wolfhound.

Para bangsawan yang melihat itu kembali meluap amarahnya.

“Berapa banyak usaha yang kita kerahkan untuk menanamkan orang-orang kita di kalangan sosial! Sekarang tiga orang sekaligus terbuang percuma! Padahal Wolfhound sangat berguna!”

“Kerugian kita sudah berapa besar? Begini terus bisa tembus sepuluh ribu gold!”

“Seluruh proyek ini mempertaruhkan hidup dan mati kita! Dan pasti si gadis kecil itu akan muncul lagi untuk menghalangi!”

“Kalau sampai polisi mencium sesuatu, semua yang sudah kita bangun akan hancur berantakan!”

Abbas Mammon hanya memberi isyarat dengan dagunya kepada seorang pelayan perempuan.

Pelayan itu membawa sebuah cermin aneh tanpa bingkai, lalu meletakkannya di atas pangkuan Dianne yang duduk kaku seperti boneka.

Tak lama kemudian, bayangan muncul di dalam cermin.

Itu adalah dokumen tentang telur Gnome yang telah disusun Hazel. Bayangan itu berubah menjadi asap, lalu berganti rupa.

Kabur, namun masih dapat dikenali: sosok seorang ksatria yang hampir seluruh tubuhnya tertutup mantel hitam.

“Bagus sekali. Akhirnya berhasil didapat.”

Abbas Mammon tersenyum puas.

“Lihatlah. Inilah orang yang menolong si pengacau malam itu. Akhirnya, meski hanya sebagian, kita bisa melihat wajahnya! Selama ini, tak peduli bagaimana kita mencari, selalu nihil. Dia benar-benar menyembunyikan identitasnya. Tapi ini sudah cukup. Dengan ini, dia bisa dengan mudah disingkirkan.”

“Bagaimana caranya, Tuan?”

“Cara paling pasti untuk menyingkirkan seseorang? Hanya ada satu. Menuduhnya pengkhianatan—rencana makar terhadap tahta.”

Keheningan menelan ruangan. Semua orang menelan ludah, hanya memandang mulut Mammon.

“Komandan Ordo Ksatria Suci? Permaisuri Janda Agung? Tak ada artinya. Bahkan seorang pangeran pun bisa kehilangan kepala karena tuduhan ini. Cukup dengan kecurigaan, habislah sudah. Bukti? Itu bisa kita buat. Pada saat kebenaran terbongkar, semuanya sudah terlambat.”

Mammon melirik cermin itu sekali lagi.

“Memang dia punya sekutu, tapi bahkan identitasnya pun tak bisa dibuka lebar-lebar….”

Ia bersandar ke kursi, menyalakan pipa.

“Paling-paling, siapa sih dia? Tak ada yang istimewa.”

***

Seperti halnya para bangsawan yang gemar mencampuri politik, Adipati Agung Athena juga punya jaringan informan yang luas.

Sejak Iskandar tumbang, ia mengurung diri di kuil leluhur, menyalakan ribuan lilin, berdoa untuk kesembuhannya.

Lalu kabar itu datang.

“Apa?! Pemilik perkebunan itu yang merawat Sri Baginda? Tidak! Aku tidak terima!”

Athena sampai berteriak, lupa bahwa para imam masih berada di sekelilingnya.

Kebencian yang sejak lama ia pendam kini benar-benar menyala. Tidak bisa lagi hanya duduk diam.

Ia segera melepas jubah doanya dan bangkit berdiri. Nyonya Brančes, kepala dayang, terkejut.

“Kemana hendak pergi, Nyonya?”

“Yang merawat Baginda harus aku! Aku sendiri yang akan lakukan!”

“Tapi Nyonya sama sekali tidak punya pengetahuan tentang herbal. Seekor anak kuda pun belum pernah Anda obati.”

“Kalau begitu aku akan menemui gadis itu! Aku akan melarangnya secara sah menurut hukum istana!”

“Tidak boleh, Nyonya!”

Dayang itu cepat-cepat menahan sang Adipati Agung.

“Itu justru bertentangan dengan hukum. Nona Mayfield diizinkan keluar masuk salon Yang Mulia Permaisuri Janda dengan bebas. Kalau aku bertemu dengannya di lorong istana, akulah yang harus memberi salam lebih dulu.”

Ia menasihati dengan sabar.

“Selama ini, Nyonya sudah pura-pura tidak melihat keberadaan gadis itu. Sekarang tiba-tiba muncul hanya untuk menegurnya? Itu membuat Anda tak ada bedanya dengan petengkar-petengkar kecil di kalangan sosialita. Semua reputasi Nyonya sebagai perempuan paling anggun dan bijak di Kekaisaran akan hancur. Bagaimana bisa, putri mendiang Kaisar dan sepupu Sang Kaisar sendiri, yang memiliki segalanya, sampai cemburu pada pemilik perkebunan?”

“Itu bukan cemburu!”

Athena menepuk dadanya dengan geram.

“Pokoknya aku tidak suka! Sangat tidak suka! Memang Baginda tidak akan menaruh perhatian padanya, tapi aku benci kalau ada yang begitu dekat!”

Ia menggigit bibir, lalu menoleh pada kepala dayang.

“Aku ingin bertemu dengan adikmu.”

Akhirnya juga.

Sang dayang menghela napas dalam hati.

Adiknya, Kerual, adalah perempuan yang licin dan berinsting tajam. Dulu, saat Putri Mahkota menuduh Hazel, dialah yang menyarankan agar justru menarik Hazel ke pihak mereka.

Sayang, Adipati Agung kala itu ragu-ragu hingga kehilangan kesempatan emas.

Sekarang ia tak mau kehilangan lagi.

Dayang itu lalu berbisik pada seorang pelayan kepercayaannya.

Tak lama kemudian, seorang wanita berambut merah kecokelatan masuk. Wajahnya cantik menawan, lebih mirip gadis muda ketimbang seorang nyonya.

Ia segera berlutut, memegang sisi rok dengan kedua tangan.

“Hamba sudah menantikan panggilan ini.”

“Kerual!”

Athena langsung meraih tangannya erat-erat.

“Kau pasti sudah dengar gosipnya, kan? Aku harus menghalangi gadis desa itu merawat Baginda. Apa pun caranya! Ada ide?”

“Tentu saja, Nyonya.”

Kerual menjawab tanpa ragu, seolah memang sudah menunggu.

***

Keesokan harinya.

Hazel berangkat dari perkebunannya dengan hati tegang.

Hari ini, ia akan bertatap muka dengan Kaisar untuk pertama kalinya—meski Baginda hanya terbaring sakit.

Karena yakin Hazel pasti gugup, para sahabatnya, para Komandan Ordo Ksatria Suci, memutuskan menemaninya.

“Tenang saja. Kalau Baginda bangkit marah melihatmu, itu justru kabar baik! Artinya kau membuatnya sembuh. Kau tinggal tambahkan itu ke daftar panjang jasamu. Selebihnya biar kakak sebelah rumah ini yang bereskan.”

Louis menepuk pundaknya dengan santai.

Melihat sikapnya yang selalu tenang, Hazel ikut merasa lebih lega. Ia yakin bisa melakukannya.

Andai saja Sir Valentine juga hadir di sana. Membayangkan wajahnya terkejut bila mereka bertemu di sisi Kaisar membuat jantung Hazel berdebar. Pasti ia akan bahagia karena Valentine akhirnya memilih belas kasih ketimbang amarah.

Dengan perasaan itu, Hazel berjalan bersama para komandan melewati taman besar menuju pusat istana. Mereka tiba di depan paviliun tempat kamar Kaisar berada.

Namun, tiba-tiba—

“Tunggu sebentar!”

Suara lantang menggema.

Mereka semua menoleh—dan terbelalak.

Puluhan bangsawan tua berbaris, masing-masing membawa panji dengan lambang keluarga mereka.

“Sir Mortimer? Sir Ames?”

Lorendel berseru kaget.

“Ada urusan apa ini?”

Para tetua itu tidak menjawab. Mereka justru menjatuhkan diri berlutut keras di lantai.

“Komandan! Berhenti! Kami tidak bisa membiarkan orang yang statusnya kabur merawat Sri Baginda! Jika kalian bersikeras, maka kalian harus melangkahi mayat kami dulu!”

Serentak, suara logam berdering. Semua orang tua itu mencabut pedang mereka, meletakkannya di hadapan, lalu menutup mata rapat-rapat.

Hazel dan para komandan terkejut.

“Ada kesalahpahaman, sepertinya.”

Cayenne segera maju.

“Status kabur bagaimana maksud Anda? Nona Mayfield adalah putri baron. Ia bahkan mengelola salon di istana.”

“Kami tahu. Kami juga tahu dia sudah banyak berjasa. Tapi masalahnya bukan itu. Semua orang seenaknya menyebutnya ‘gadis desa’, ‘gadis kampung’. Padahal kenyataannya ia ‘gadis kota’. Katakan, sebelum datang ke sini, apa yang kau lakukan di Rochelle?”

Hazel masih bingung, tapi menjawab jujur.

“Saya bekerja di bank.”

“Itu dia! Gadis itu melakukan hal yang tidak pantas! Menyamar, menyembunyikan statusnya, lalu masuk bekerja di bank!”

“Aku tidak pernah menyembunyikan apa pun. Tidak ada yang pernah bertanya, ‘Apakah kau bangsawan?’ jadi kenapa harus kujawab?”

Jawaban Hazel membuat mereka terdiam sesaat. Namun salah satu bangsawan tua bangkit lagi.

“Tentu saja! Siapa yang akan menduga seorang bangsawan melamar pekerjaan di bank?! Bangsawan Bratania hanya mengabdi pada Kaisar dan Permaisuri Janda. Tidak mungkin bekerja di bawah orang lain! Begitu melakukannya, hak bangsawanmu seharusnya langsung dicabut! Malulah kau!”

“Tidak! Aku tidak merasa malu! Justru kalau aku duduk diam tanpa bekerja padahal keluargaku miskin, itulah yang memalukan!”

Hazel balas berteriak.

Para tetua itu sampai hampir pingsan, memegangi tengkuknya.

“Ya ampun! Astaga, sungguh keterlaluan!”

“Tak heran Baginda jatuh sakit!”

“Dengan tangan yang terbiasa menulis angka di bank, mana bisa kau merawat Kaisar! Daripada melihat itu, lebih baik aku mencungkil mataku sendiri!”

Mereka keras kepala. Tidak peduli apa pun alasannya, mereka sudah bertekad menghalangi Hazel masuk.

Semua orang saling pandang, serba salah.

Majelis Para Penasehat Senior ini terkenal dengan “pernyataan mati-matian” mereka. Meski biasanya hanya gertakan, tapi orang-orang tua keras kepala ini benar-benar berani menumpahkan darah.

Siapa yang sengaja mengusik sarang lebah tua ini?

Pasti ada yang sengaja meniupkan prasangka buruk terhadap Hazel ke telinga mereka.

“Siapa yang membocorkan soal pekerjaannya di bank?”

Louis mendesak. Namun tak ada yang mau bicara. Wajah mereka keras, hanya terus menghalangi.

Dulu, ketika Kaisar lama hendak menceraikan permaisuri dan mengangkat selir Camilla, merekalah yang menghalangi. Dengan satu kalimat: “Itu melanggar hukum istana!” Mereka berbaring di lantai, memegang kaki sang tiran, melindungi Permaisuri Janda dengan nyawa mereka.

Dari seratus lebih orang, hanya beberapa puluh yang selamat. Karena itu mereka dijuluki pahlawan abadi istana.

Bahkan orang terdekat Kaisar sekalipun tidak bisa mengusir mereka dengan paksa.

Saat itulah, para pelayan istana juga berhamburan keluar.

“Tolong hentikan! Sri Baginda perlu ketenangan. Kalau ini berlanjut, kami semua akan kehilangan kepala!”

Benar juga.

Akhirnya, diputuskan begini:

Hazel sementara kembali ke perkebunan. Louis, Sigvald, dan Lorendel akan menenangkan para tetua. Cayenne berangkat memanggil Permaisuri Janda.

Namun pada saat yang sama—

Di Ruang Bulbul istana, dua bangsawan tengah berbisik.

“Ini nyata! Informasi ini luar biasa. Kalau kau melaporkannya, kau akan meraih jasa besar. Tentu saja, jasa sebenarnya milik kami yang menemukannya, tapi kau boleh ikut mencicipi.”

Bangsawan berambut merah itu menyerahkan setumpuk dokumen tebal pada Count Jansen.

“Kalau begitu aku harus bersiap. Gelarku pasti naik satu tingkat!”

Ia tertawa terkekeh, lalu bergegas pergi.

“Naik gelar, katanya? Dasar omong kosong.”

Jansen tertawa hambar. Namun begitu membuka dokumen itu, wajahnya mendadak pucat.

“Demi dewa…”

Di dalamnya tercatat rahasia mengejutkan. Jantungnya berdegup kencang. Dengan tangan gemetar, ia meremas dokumen itu.

Aku harus melapor!

Jansen berlari terburu-buru menuju markas Pengawal Istana. Ia langsung menyeret komandan yang sedang bersiap upacara pergantian jaga.

“Cepat baca ini!”

Komandan itu awalnya bingung. Namun saat membaca, wajahnya pun ikut pucat.

“Adrian Berganza… Anak haram mendiang Kaisar masih hidup?!”

Setumpuk dokumen itu benar-benar membuktikannya.

Seorang pemuda berambut hitam awal dua puluhan. Usia dan ciri fisik semuanya cocok. Puluhan kesaksian, aktivitas penggalangan dana… Riwayat hidup yang begitu detail, seolah bisa terlihat jelas di depan mata.

Itu saja bukan.

Ada hal yang jauh lebih mengejutkan.

Putra tidak sah Sang Kaisar terdahulu, Adrian, ternyata diam-diam sedang membangun kekuatan di dalam istana ini sendiri. Baru-baru ini ia bahkan bekerja sama dengan pengelola salon istana yang tiba-tiba saja muncul—Hazel Mayfield.

“Lihatlah! Sudah kuduga ada yang aneh! Hanya demi sebidang farm kecil ia begitu keras kepala menuntut haknya? Alasannya sungguh konyol! Tapi sekarang semuanya masuk akal! Salon itu berdiri di area independen dalam istana, jadi kecuali dalam keadaan darurat seperti tahanan rumah, bahkan pasukan patroli pun tak bisa masuk, bukan?”

“Dewa-dewi saksi. Astaga…”

Kepala Pasukan Pengawal Istana menggeleng berulang kali. Pria sederhana itu, yang kesalahan terbesarnya sejauh ini hanyalah mencuri apel dari tabib, kini matanya membelalak karena syok.

“Tidak… tidak. Nona itu bukan orang seperti itu. Pasti ia lagi-lagi terjebak dalam konspirasi.”

“Tapi coba kau lihat situasi sekarang! Selalu menghindar, lalu tiba-tiba memutuskan merawat Yang Mulia! Dan tepat pada saat kritis ini! Apa artinya itu? Kita harus menghentikannya sebelum sesuatu yang tak bisa diperbaiki terjadi!”

Kepala Pengawal terhenyak.

Ia kembali menurunkan pandangan pada berkas pengaduan yang baru saja ia baca. Matanya berhenti pada lembar yang berisi potret terlampir.

Ya… memang benar.

Rasa cemas menyambar dadanya. Ia sontak bangkit dan berlari keluar.

…Tidak boleh terjadi!

Di saat yang sama, Iskandar membuka matanya lebar-lebar.

Tidak. Ia tak boleh terus berbaring begini.

Meski penglihatannya masih kabur, ia memaksa duduk. Dengan sisa tenaga ia bangkit, dan memang, rasanya demamnya sedikit reda.

Itu terbilang cepat.

Namun Iskandar sama sekali tidak merasa cepat. Justru hatinya dicekam oleh rasa gelisah, seolah waktu mengejarnya.

Harus segera.

Ia mengangkat tubuhnya dengan paksa.

Sekejap kemudian, dunia berputar. Pusing yang mengguncang kembali melanda.

***

Sementara itu, Hazel baru saja melintasi taman agung untuk pulang ke farm.

Hei, apa orang mengira aku datang merawat si pembantai bibit itu karena aku suka padanya? Tidak. Itu karena dia atasanku. Aku cuma mau cari muka sedikit, itu saja.

Sambil menggerutu, Hazel berhenti melangkah.

Ada tamu menunggu. Seorang pria paruh baya bertubuh kecil, menjepit tas di sisi tubuhnya.

Mata Hazel membesar.

“Eh? Bukankah Anda dokter hewan? Bagaimana Anda bisa datang ke sini?”

“Ah!”

Sang dokter hewan menoleh.

“Bukan Nona yang memanggil saya hari ini. Jujur tadi sempat repot di pintu masuk, tapi untung identitas saya sebagai warga resmi bisa dipastikan.”

Ia tertawa cerah lalu bertanya:

“Ngomong-ngomong, si kecil itu masih baik-baik saja?”

“Ah, maksud Anda Tiberius?”

Seharusnya ayam kecil itu ada di kandang yang sedang dilihat si dokter. Namun sudah lama ia kabur. Hazel menengok ke belakang sekop, tempat Tiberius biasa bersembunyi, dan benar saja—si mungil itu sedang gemetaran di sana.

“Dia tak pernah jauh-jauh. Rupanya tetap takut pada dokter.”

“Hahaha!”

Dokter mengangkat Tiberius ke telapak tangannya dan menatapnya lekat-lekat.

“Benar-benar aneh, anak ini!”

“Anda ke sini hanya karena rindu melihatnya?”

“Itu juga, tapi sebenarnya saya sempat kepikiran, lalu saya meneliti kenapa dia tidak tumbuh besar. Akhirnya saya menemukan satu hal….”

Ia memiringkan kepala sambil memeriksa Tiberius.

“Nona, apakah ayam ini pernah bertemu dengan Yang Mulia Kaisar?”

Hazel hampir terlonjak.

“Eh? Tiberius bertemu Kaisar?”

“Bisa jadi ia memang spesies unik. Tapi saya menemukan kasus serupa. Seekor anak kambing kecil. Saat banjir besar, ia naik ke pohon lalu hampir jatuh. Yang Mulia yang kala itu meninjau daerah bencana, menolongnya. Sejak itu, pertumbuhan anak kambing berhenti. Rupanya kekuatan khusus yang dimiliki Kaisar tanpa sengaja merembes padanya. Anehnya, anak kambing itu justru menjadi sangat sehat dan kepalanya mengeras. Tidakkah Tiberius sama? Sangat sehat, bukan?”

“Benar. Dan anehnya, kakinya memang kuat sekali….”

“Coba pikirkan baik-baik. Bukankah mungkin hal serupa terjadi pada Tiberius? Kapan tepatnya pertumbuhannya berhenti? Bulan Mei, bukan? Apakah saat itu ia mungkin sempat ditangkap Yang Mulia? Atau hampir terinjak?”

“Tidak.”

Hazel menggeleng mantap.

“Baru belakangan ini saya bertemu Kaisar untuk pertama kalinya. Tidak mungkin Tiberius kabur sejauh itu saat baru saya adopsi. Waktu itu paling jauh ia ke halaman belakang.”

“Hm, begitu. Kalau begitu mungkin ia memang jenis unggas mistis.”

Sang dokter terus meneliti, tapi akhirnya menyerah dan menyerahkan Tiberius kembali.

“Harus diteliti lebih lanjut.”

“Terima kasih, Dokter.”

Hazel mengantarnya pulang.

Ia memasukkan Tiberius kembali ke kandang, lalu masuk ke rumah dan duduk termenung.

Meski tadi ia menyangkal, ada yang terasa janggal.

Memang benar, Grand Chevalier (Garda Agung) memiliki kekuatan yang bisa memengaruhi pertumbuhan makhluk lain. Dan kebetulan sekali, ia tinggal tepat di samping.

Tiberius berhenti tumbuh hanya sesaat setelah ia diadopsi. Kakinya luar biasa kuat. Bagaimana kalau memang sempat disentuh secara tak sengaja oleh Grand Chevalier?

Hazel tersentak, bangkit berdiri.

Ia harus memastikan lagi. Harus melihat Tiberius. Hanya itu caranya untuk menenangkan pikirannya.

Ia membuka pintu. Namun langkahnya terhenti.

Di luar, berdiri seorang ksatria berjubah hitam. Sejenak Hazel mengira itu ilusi.

Tapi tidak. Dia benar-benar ada.

Sir Valentine berdiri terpaku.

Hazel panik.

Mengapa ia muncul tiba-tiba begini!

Menyembunyikan kegugupannya, Hazel berkata cepat:

“Siang bolong begini kenapa datang? Bagaimana kalau ada yang melihat? Cepat masuklah.”

Namun tanpa menjawab, ksatria itu melangkah masuk. Begitu hendak melewati ambang pintu, ia tiba-tiba meraih Hazel dengan paksa.

Hood-nya tergeser, memperlihatkan wajahnya.

Hazel kembali terperanjat.

Itu bukan Sir Valentine. Melainkan seorang perempuan jangkung dengan bahu bidang. Hazel hampir menjerit, tapi mulutnya segera dibekap.

Dari balik bayangan, para pengawal istana muncul senyap bagai hantu.

“Ya ampun.”

Kepala Pasukan Pengawal melangkah mendekat.

Saat itu hatinya hancur.

Nona Mayfield ternyata memang memiliki hubungan dekat dan rahasia dengan pria misterius yang sesuai deskripsi laporan.

Jadi benar ia bersekongkol dengan putra tidak sah Sang Kaisar terdahulu?

Dengan wajah muram, ia berkata:

“Jangan melawan. Kami tahu semua rencanamu.”

“……?”

Hazel melotot bingung. Wanita pengawal itu segera mengangkat tubuhnya dan membungkusnya dengan mantel. Pengawal lain mengepung rapat.

Ia harus dibawa secara diam-diam. Jika Adrian benar berkeliaran bebas di istana, kabar penangkapan kaki tangannya akan membuatnya kabur.

Dengan isyarat, Kepala Pengawal memimpin pasukannya.

Mereka bergerak seolah hanya pasukan patroli biasa, membawa Hazel tanpa jejak melintasi taman agung.

Hazel berusaha meronta, namun sia-sia. Ia tak mengerti apa yang terjadi, dan sebelum sadar sudah berada di dalam gedung utama.

Sesaat kemudian, pengawal menjatuhkannya.

Hazel terhuyung di atas permadani tebal. Ia terengah, lalu mendongak.

Sebuah aula luas. Lantai marmer dengan karpet merah panjang. Di ujung, di atas podium tinggi, berdiri sebuah kursi dengan mahkota emas dan lambang kekaisaran terukir di bawahnya.

Itu—Takhta Sang Kaisar.

Ruang audiensi.

Mengapa aku dibawa ke sini?

Hazel menatap cemas ke arah pengawal.

Sementara itu, di lorong menuju markas darurat, Cayenne berlari, namun tiba-tiba berpapasan dengan Permaisuri Janda (Empress Dowager).

Sang Permaisuri baru saja mendengar keributan di luar, lalu meninggalkan para pejabat tinggi untuk menyelidiki langsung, diiringi para dayang.

“Yang Mulia! Para tetua itu keras kepala sekali!”

“Sudah kuduga. Ayo cepat.”

Keduanya menuju kamar Kaisar.

Namun di luar, jumlah bangsawan tua semakin bertambah. Bahkan mereka yang sakit-sakitan datang membawa panji keluarga.

Kehadiran tiga Grand Master Knight justru semakin memicu semangat mereka, seolah mereka para pahlawan melawan naga.

Lalu muncullah Permaisuri Janda.

“Yang Mulia Permaisuri Janda!”

Para tetua sujud, memohon dengan keras:

“Mohon tarik kembali keputusan ini! Kami tidak bisa menerimanya! Ampun, tapi ini bertentangan dengan hukum istana!”

Sang Permaisuri melirik ke arah empat sahabat putranya. Ia berbisik:

“Menyingkirlah sebentar. Aku harus segera memanggil Hazel kembali, jadi jangan jauh-jauh.”

“Baik.”

Mereka pun memutari bangunan, lalu mengintip dari kejauhan.

Namun tiba-tiba tubuh Permaisuri Janda terhuyung.

“Yang Mulia!”

Louis hampir berlari maju, tapi segera ditahan oleh Siegvault.

Kini mereka sadar. Dayang utama terlihat sangat tenang, terlalu tenang.

“Aha,” Lorendel bergumam, paham maksudnya. Sang Permaisuri sengaja berpura-pura jatuh untuk meredakan keributan, sama seperti kini para tetua dibuat kalang kabut.

“Sepuluh menit lagi semuanya reda, dan kita akan tahu siapa dalang di balik ini,” kata Louis.

Cayenne mengangguk. “Tapi selama itu kita ngapain?”

Lorendel tersenyum, mengeluarkan secarik kertas.

“Bagaimana kalau ini?”

Mereka pun berdiskusi kecil—tentang harapan Hazel bisa merawat Kaisar dengan baik, mempercepat kesembuhan, lalu mengadakan jamuan perdamaian di farm.

Namun Siegvault tiba-tiba menunjuk catatan. “Tanggal ini… bukankah saat kerusuhan Pangeran Rowan?”

Wajah mereka berubah.

***

Pada saat yang sama, Iskandar berhasil bangkit dari pusing yang mendera. Dengan susah payah ia mengenakan pakaian resmi, lalu keluar kamar.

“Yang Mulia!” seru Kepala Dayang kaget.

Namun Iskandar hanya melambaikan tangan, berjalan cepat. Di ujung lorong, ia melihat Kepala Pasukan Pengawal, tampak gelisah.

“Yang Mulia!”

“Ada apa?”

“Mohon ampun, baru saja kami menangkap seorang pengkhianat.”

“…Apa?”

Iskandar membelalak.

“Siapa?”

“Silakan ikut, Yang Mulia.”

Dengan langkah cepat, Iskandar menuju ruang audiensi.

***

Sementara itu, empat Grand Master Knight masih berdebat ketika Sekretaris Istana, Cecil, berlari tergopoh-gopoh.

“Lord Louis! Kalian semua! Apa yang kalian lakukan di sini!”

“Kami menunggu panggilan Permaisuri Janda. Kami harus segera menjemput Hazel kembali.”

“Hazel tidak ada di farm sekarang!”

“Apa?”

Cecil menelan ludah.

“Menurut Count Jansen, ksatria misterius yang membantu Hazel itu tak lain adalah pengkhianat Adrian Berganza!”

“Apa?!”

Mereka serempak kaget.

***

“Eh?”

Hazel ternganga.

“Barusan… apa yang Anda katakan?”

Meski jelas ia mendengar, otaknya menolak menerima.

Apa-apaan ini? Sir Valentine disebut putra tidak sah Sang Kaisar? Adrian, yang katanya mati muda itu? Dan aku dituduh bersekongkol dengannya?

Hazel nyaris terbahak saking tak masuk akal.

“Tidak, Lord Kepala Pengawal. Saya tidak tahu Anda mendengar gosip dari mana, tapi saya hanya sibuk mengurus farm….”

Tiba-tiba—

Pintu ruang audiensi terbuka dengan keras.

“Yang Mulia Kaisar!”

Dengan seruan khas seorang abdi, Iskandar masuk ke dalam ruangan.

Ia sebenarnya belum sepenuhnya pulih. Masih harus beristirahat, tapi memaksakan diri untuk bangkit. Pusing yang menusuk masih belum hilang.

Namun, di tengah kondisi itu, muncul kabar bahwa seorang pengkhianat tertangkap?

Bukan berarti tidak mungkin. Masih ada cukup banyak sisa-sisa kelompok dari masa mendiang Kaisar terdahulu. Mereka yang dulu menjilat tiran, bergelimang dalam korupsi, dan hidup mewah.

Iskandar, setelah naik takhta, hal pertama yang ia lakukan adalah menyeret mereka keluar dan menghukum mati.

Namun sebagian kecil di antaranya berhasil menghapus jejak dan melarikan diri kembali ke tanah leluhur mereka di daerah.

Penyelidikan dilakukan secara diam-diam dan berkali-kali, tetapi bukti tak mudah ditemukan. Mereka semua pandai berpura-pura, menampilkan diri sebagai abdi setia yang tak tertandingi.

Iskandar tahu benar: sebagaimana dirinya mengasah pedang, mereka pun menyembunyikan cakar, menunggu kesempatan untuk bangkit kembali.

Maka kali ini pun, ia yakin: yang tertangkap pasti kelompok bajingan itu.

“Di sini, Yang Mulia. Inilah para komplotan pengkhianat yang kami tangkap. Anda pun mengenal baik orang ini.”

Aku mengenal?

Dengan mata yang menyala, Iskandar menoleh ke arah yang ditunjuk oleh komandan pengawal istana.

Dan seketika, amarahnya hilang arah.

“……?”

Orang yang ditunjuk membuatnya terdiam.

Sekilas ia kira sedang berhalusinasi.

Saat sakit didera gejala aneh, hanya satu orang yang memenuhi pikirannya: Hazel. Bahkan di saat genting, ketika kudeta meletus, bayangan itu tak juga hilang.

‘Aku harus segera menemuinya. Aku harus menjelaskan sebelum segalanya terlambat.’

Itulah yang mendorongnya bangkit meski tubuh belum pulih.

Namun kini, Hazel benar-benar ada di hadapannya.

Ia mengedipkan mata.

Bukan halusinasi.

Rambut kepang panjangnya terlepas sebagian, mungkin karena dipaksa. Roknya kusut, menempel pada karpet tebal di aula audiensi, seolah ia terseret masuk.

Ini nyata.

Pengawal istana benar-benar menyeret Hazel, mendudukkannya di atas permadani merah.

Apa yang mereka lakukan!

Iskandar melongo.

Kepala yang masih panas oleh demam segera dipenuhi pikiran absurd:

‘Mungkin aku mengigau saat sakit. Mulutku membocorkan isi hati. Mereka tahu perasaanku. Lalu mereka melakukan sandiwara ini. Menyeret Hazel kemari hanya untuk bercanda: "Lihat, Yang Mulia, ini dia pencuri hati Anda! Tertangkap basah! Ha ha ha!" Lalu semua tertawa, kesalahpahaman terurai, aku mengaku, Marquis Lenry keok, dan….’

“Seperti yang diduga, Yang Mulia pun terguncang. Memang, ia dikenal sebagai sosok jujur. Tapi ini kenyataan. Nona Mayfield, pengelola pertanian istana, ternyata adalah komplotan pengkhianat.”

Kepala Iskandar berputar.

Komandan itu percaya sungguh-sungguh. Wajahnya diliputi kesedihan dan tekad.

Ia bukan pria dungu. Kalau begitu, siapa yang menanamkan ide sesat ini?

Iskandar menelan pening, hendak segera menghardik dan menghentikan sandiwara bodoh ini. Namun—

Bang!

Pintu aula audiensi terhempas.

“Hazel!”

Para kapten Ordo Paladin menerobos masuk. Bahkan dalam keadaan panik, mereka sempat memberi hormat singkat pada Kaisar, lalu langsung membentuk tameng hidup di depan Hazel.

“Yang Mulia! Ini fitnah yang keterlaluan!”

Louis berteriak lantang.

Siapa pun yang mengenal vampir berambut merah api itu tahu: bila Louis murka, lawannya hanya bisa bersiap menjadi abu.

“Pengkhianatan? Sungguh omong kosong! Yang Mulia, jangan sampai tertipu tuduhan palsu seperti ini!”

Suara Louis bergemuruh. Tiga lainnya ikut maju.

“Yang Mulia, akhir-akhir ini ada kelompok yang bentrok dengan Nona Mayfield soal urusan dagang. Ini pasti ulah mereka. Ingin menyingkirkannya agar tidak menghalangi bisnis mereka!”

“Seperti yang selalu saya katakan, seseorang yang memiliki sesuatu berharga takkan gegabah memberontak. Nona Mayfield sudah puas hanya dengan pertanian kecil itu. Ia tak punya alasan melakukan pengkhianatan.”

“Benar. Ini fitnah. Yang harus kita buru adalah dalang sebenarnya, bukan dia.”

Cayenne, Lorendel, dan Siegvald bersuara bergantian. Mereka mengepung Hazel rapat, siap berperang bila ada yang mencoba menyentuhnya.

Ketegangan menebal, hingga komandan pengawal angkat bicara dengan suara berat.

“Namun, orang itu memang Adrian. Yang Mulia, saya pernah berkata: sepuluh tahun lalu, saya ada di tempat ketika jasadnya ditemukan. Ada banyak hal janggal, tapi mendiang Kaisar menutupinya. Saya menduga, putra kesayangannya itu diselamatkan secara rahasia. Dan kini kebenarannya terungkap.”

Ia menyerahkan berkas tebal. Louis melirik sekilas, lalu menghardik:

“Itu semua bisa dipalsukan!”

“Namun, ada bukti kunci. Sketsa wajah dari beberapa saksi. Meski hanya sebagian, kemiripan dengan Adrian—yang wajahnya jarang diketahui orang—terlalu mencolok. Bila ia hidup dan tumbuh dewasa, pasti seperti ini.”

Iskandar, di tengah kebingungan, akhirnya memahami.

Tentu.

Siapa pun yang pernah melihat Sir Valentine dan menuliskan ciri-cirinya pasti menemukan kemiripan dengan Adrian. Karena mereka saudara seayah.

Komandan itu tidak salah jika merasa yakin.

Pusing kembali menghantam.

“Tidak mungkin!”

Para pejabat pro-pertanian ikut masuk, berdiri di belakang para Paladin, membela Hazel dengan riuh.

“Komandan, Anda juga punya anak, bukan? Anak tidak tumbuh dengan wajah yang sama persis. Bentuk tulang berubah, wajah pun berbeda.”

“Andai pun itu Adrian, Nona Hazel tak bersalah! Kalau pun ia tertipu oleh penyamar, itu bukan salahnya.”

“Tidak! Dia bukan pengkhianat!”

Suara keras menggema.

Hazel sudah lolos dari lingkaran pelindung para Paladin. Sekejap kemudian, ia sudah berlutut di depan takhta.

“Dia bukan pengkhianat! Saya bisa menjamin itu! Dia adalah ksatria yang penuh keadilan! Semua hal yang berhasil saya lakukan adalah berkat bantuannya! Yang Mulia, tolong, pertimbangkan dengan bijak!”

Suara bergetar, namun teguh.

“Bagaimana kau bisa keluar?!”

Para prajurit panik, hendak menyeretnya lagi.

Dan saat itu—

“Jangan sentuh dia!”

Suara menggelegar, menggetarkan ruangan.

Hazel tertegun.

Sir Valentine?

Ia menoleh cepat.

Namun suara itu berasal dari atas takhta. Dari Kaisar.

Rambut pirang. Mata merah.

Wajah itu… asing, tapi sekaligus amat familiar.

‘Tidak mungkin….’

Valentine? Kaisar?

Dunia Hazel terbalik.

“Pengkhianat yang kalian maksud itu, akulah orangnya!”

Iskandar berdiri.

“Aku yang melakukannya semua! Membantu pesta agar lancar, membuang botol Belladonna, mencari obat untuk Unicorn, membawa Rowan ke desa penyembuh, mengalahkan monster di Wasteland… semua itu kulakukan dengan menyamar sebagai Sir Valentine!”

Suasana membeku.

Orang-orang menatap, tak percaya.

Iskandar mengepalkan tinju.

“Tak seorang pun bersalah! Nona Mayfield hanya tertipu olehku. Pengawal hanya mengikuti perintah. Bahkan Komandan pun, kau hanya menjalankan tugasmu. Kau mengira aku mirip Adrian? Wajar. Karena kami memang saudara tiri. Adrian sudah lama mati, tapi itu rahasia negara. Jadi, salah ini hanya padaku. Semua ini… kesalahanku!”

Aula audiensi tenggelam dalam keheningan.

Di belakang, Dowager Empress dan Kepala Kementerian Istana berdiri. Seolah mereka sudah tahu sejak awal. Mereka hanya menghela napas, menatap Hazel.

Hazel gemetar. Kata demi kata Kaisar menancap di telinganya.

Ya Tuhan… jadi begitu?

Tiba-tiba semuanya masuk akal: kemunculan Valentine yang misterius, kekuatan tak masuk akal, kemampuan membaca hati orang.

Bukan hantu. Bukan legenda. Melainkan Kaisar sendiri, menyamar.

Namun satu hal masih tak bisa diterima.

“Tidak masuk akal! Kita pernah berdiri di depan Cermin Kebenaran! Dan yang kulihat adalah Sir Valentine, bukan Anda!”

“Aku sudah melatih diri. Menggunakan ramuan magis agar penyamaran bertahan, bahkan di depan Cermin.”

Hazel ternganga.

Segala fondasi keyakinannya runtuh.

“Kenapa? Untuk apa semua itu?”

Iskandar terdiam sejenak, lalu berkata lirih:

“Awalnya… untuk menemukan kelemahanmu. Agar bisa memaksamu menghentikan pertanian.”

Hazel membeku.

“Tapi itu cuma alasan. Sebenarnya aku—”

“Cukup.”

“Aku ingin jujur, meminta maaf. Tapi aku pingsan sebelum sempat—”

“Cukup!”

Air mata hampir pecah, tapi Hazel menahannya.

“Lebih baik Anda tidak berkata apa-apa lagi. Semua terdengar seperti kebohongan. Empat bulan penuh… saya percaya pada Valentine. Saya kira ia ksatria terbaik. Namun ternyata, semua hanya peran yang Anda mainkan.”

Tangannya mengepal, kuku menancap ke telapak.

“Jadi sosok itu tidak pernah ada. Ksatria terbaik itu hanya ilusi.”

Iskandar terdiam.

Hazel menatap lurus, penuh luka.

“Yang Mulia… saya tidak mengerti Anda!”

Ia berteriak, menghentak lantai, lalu lari keluar.

Tak ada seorang pun berani menghentikannya.

Keheningan menutup aula.

Para Paladin menatap Kaisar dengan campuran amarah dan keterkejutan.

‘Apa yang kau lakukan, Is!’

Mereka ingin memarahi. Tapi di wajah Kaisar sudah jelas terlihat: ia sendiri sudah menerima hukuman.

Wajah hancur, seolah kehilangan segalanya.

Mereka akhirnya sadar.

Iskandar jatuh cinta.

Cinta pertama setelah 22 tahun hidup.

Menyadari itu, mereka hanya bisa menganga.

Sungguh… gila.

Sementara Kaisar sendiri, tak peduli pandangan siapa pun, hanya merasakan perih di dada, seakan berlubang dan berdarah.

“Yang Mulia… saya tak tahu harus berkata apa.” Komandan pengawal maju, wajah pucat.

Iskandar memejam mata, memaksa diri tegar.

“Cukup. Hubungi Police Bureau. Gerebek semua orang yang terlibat dalam tuduhan ini. Mereka pasti lengah, mengira akan menerima hadiah. Tangkap mereka dengan barang bukti yang mereka buat sendiri. Segera adili, buang ke penjara bawah tanah. Setelah itu aku sendiri yang akan menginterogasi—”

Kata-kata terhenti. Pandangannya berputar.

“Iss!”

Para sahabat akhirnya tersadar dan berlari.

Lorendel, Ziegvald, dan Cayenne buru-buru menahan Iscandar. Sementara itu, Louise langsung berlari keluar.

Kenapa aku sebegitu tidak peka!

Ia menyalahkan dirinya sendiri.

Bukan hanya Iscandar yang jatuh hati pada Hazel.

Reaksi Hazel setiap kali nama sang Knight itu disebut, dan sikapnya hari ini di ruang audiensi—semuanya menunjuk pada satu hal yang jelas.

Hazel juga menaruh perasaan pada Duke Valentine.

Kalau begitu, ia tidak bisa membiarkan semua berakhir begitu saja.

Louise berlari tergesa-gesa, otaknya bekerja keras.

Kalau diam saja, paling tidak tidak akan salah langkah—begitu katanya dulu. Saat kecil, ia mengira itu hanya alasan pengecut. Namun setelah menjalani hidup di masyarakat, ia sadar: ada kalanya itu memang pilihan yang bijak.

Dan sekarang pun situasinya persis begitu.

Perkara ini rumit. Kalau salah langkah, bisa jadi ia akan merenggang dengan Hazel.

Itu yang Louise paling takutkan.

Saat pertama kali menginjakkan kaki di peternakan kecil itu, ia tidak pernah menyangka akan sejauh ini. Namun tanpa sadar Hazel sudah menjadi sahabat yang amat berharga baginya.

Kalau ingin mempertahankan sahabat, seharusnya ia hanya diam. Itu yang paling aman.

Namun—

Kalau dibiarkan, dua orang itu akan terluka parah.

Hazel yang berlari tergesa di halaman depan istana sudah tampak di depan.

Louise menggertakkan gigi, lalu berlari mengejar. Demi keduanya, ia harus berani mengambil risiko dan menahan Hazel.

“Hazel! Tolong dengar aku sebentar!”

Hazel menoleh.

Begitu melihat Louise mengejarnya, matanya seketika memerah.

Ia benar-benar tak ingin bertemu siapa pun. Rasanya seperti hatinya terkunci rapat. Namun saat wajah Louise benar-benar muncul di hadapannya, emosi yang dipendam pun pecah.

“Bagaimana mungkin seorang Kaisar bersikap seperti itu?”

“Maafkan aku, Hazel. Aku seharusnya lebih cepat menyadarinya! Dasar bodoh, malah sibuk bicara soal arwah! Harusnya aku menyelidikinya saat itu juga!”

“Tidak.”

Hazel menggeleng.

“Dia menyembunyikannya sedemikian rupa, mana mungkin kita tahu? Kenapa Duke Louise yang harus minta maaf? Aku juga sama bodohnya. Dokter hewan sudah memberitahu, kan? Bahwa Tiberius bertemu Grand Chevalier! Tapi aku malah ditangkap tiba-tiba, jadi—!”

Kata-kata keluar tanpa henti, tersendat-sendat.

“Iya, iya, aku tahu.”

Louise menepuk lembut bahunya.

“Iscandar yang salah. Dari awal sampai akhir, semua salahnya. Aku sedikit pun tak ingin membelanya. Tapi aku bilang begini demi kamu, Hazel. Aku cuma ingin kamu jangan terlalu terluka.”

Louise bicara dengan hati-hati, memilih kata demi kata. Ia tahu dirinya bukan orang yang halus, jadi upaya ini saja sudah sangat berat baginya.

“Hazel, saat ini aku berani bertaruh dengan segalanya. Percayalah. Memang, Iscandar juga manusia—bisa saja berniat buruk. Tapi dasarnya dia selalu berusaha hidup dengan benar. Orang seperti itu tidak mungkin sampai begitu lama, begitu tekun, bersiasat hanya demi niat jahat. Tolong, sebagai sahabat kalian berdua, aku mohon. Jangan buru-buru menolak. Pikirkan sekali lagi saja, ya?”

Louise menggenggam tangan Hazel erat. Seandainya ia bukan vampir, pasti tangan itu terasa hangat.

Namun meski dingin, ketulusan hati Louise tetap sampai.

Hazel kembali terharu melihat wajah sahabatnya—tegang, penuh cemas, dan berbicara begitu serius.

Louise memang sahabat yang baik.

“Pikirkan, Hazel. Dia itu Kaisar. Kalau mau, cukup perintahkan orang untuk menyeretmu, tapi kenapa dia rela dicaci-maki? Itu karena, menurutnya, memang pantas dia ditegur.”

Ucapan itu perlahan menenangkan benaknya yang sempat porak-poranda. Hazel bergumam lirih.

“Duke Louise benar-benar percaya begitu? Tapi dadaku sakit sekali. Bagaimana kalau semua ini memang niat buruk dari awal?”

“Itu bukan begitu.”

Suara tiba-tiba muncul dari kegelapan.

Itu Chancellor dari Departemen Dalam Istana.

Melihat Louise berlari, ia pun segera menyusul. Ia ingin membantu Hazel.

Kebetulan sekali, ia memang membawa sesuatu yang harus diperlihatkan pada Hazel. Ia tak tahu persis benda itu apa, tapi memutuskan untuk mempertaruhkan segalanya.

“Yang bersalah adalah Kaisar. Tapi izinkan aku, dari posisi netral, meminta satu hal. Hazel, tolong lihat benda ini.”

Kasdam utama melangkah maju, membawa gulungan kain. Ia mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya dan menyerahkannya pada Hazel.

Begitu kain dibuka, cahaya menyilaukan mata.

Itu sebongkah kristal, berbentuk oval ganda yang menyatu. Orang lain mungkin hanya menganggapnya aneh, tapi Hazel langsung tahu apa itu.

Kristal yang menyerupai Tiberius.

Kasdam berkata:

“Sepertinya ini beliau ambil dari ruang harta kerajaan. Saat Kaisar roboh, benda ini jatuh dari sakunya.”

Hazel menatap kristal itu tanpa berkata.

Kalau sampai digenggam saat sakit begitu parah, berarti beliau sengaja mencarinya.

Untuk apa sampai sejauh itu?

Pikirannya kembali kusut.

Saat Hazel masih termenung, seseorang berlari tergesa.

“Chancellor!”

Itu Chamberlain Cecil. Wajahnya ketakutan, menoleh ke segala arah, lalu mendekat diam-diam.

“Kalau ketahuan, habis kita.”

“Anggap saja kita tak melihat apa pun.”

“Betul. Aku memang keluarkan, tapi aku sendiri tak lihat isinya.”

Salah satu pelayan yang datang bersama Cecil berkata, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil yang disembunyikan dalam mantel.

Menurut Chancellor, kristal tadi memang tampak seperti kentang. Mungkin saja itu benda penting bagi Hazel, sebab Kaisar sampai berusaha keras menyimpannya.

Namun bisa juga cuma salah paham.

Karena itu, ia berencana menggantungkan harapan terakhir pada benda lain—laci rahasia Kaisar.

Cecil berbisik gelisah:

“Kalau yang ini juga aneh, bagaimana?”

Mereka semua menatap Hazel, mencari reaksi.

Namun Hazel tetap tanpa ekspresi, membuat mereka bingung. Padahal di dalam hatinya badai bergolak.

Setangkai mawar yang tak pernah selesai ditulis, dan secarik kertas berisi kutipan para Knight legendaris.

Itulah yang disimpan dalam laci rahasia.

Hazel terdiam lama menatapnya, kenangan percakapan mereka pun terlintas kembali.

Akhirnya ia menarik napas panjang.

Chancellor menggeleng pelan.

“Tak seorang pun bisa tahu isi hati Kaisar. Tapi kalau semua ini sekadar tipuan, tak mungkin beliau sampai segitunya. Hazel, kaulah yang paling mengerti. Beliau pasti menghargai setiap momen bersamamu. Dan sekarang, aku yakin, beliau sedang menyalahkan diri sendiri. Tidak bisa memaafkan dirinya karena membuatmu terluka begini.”

Louise menimpali:

“Pada akhirnya, dia mengalami hal yang sama dengan kita.”

Memang ada perbedaan besar, tapi intinya sama.

“Awalnya penuh prasangka. Tapi setelah tahu kebenaran, hati terbuka. Waktu yang tadinya tak berarti, tiba-tiba jadi bahagia. Maka ia tak ingin kehilangan itu. Dan karena berpikir ‘ketahuan berarti tamat’, dia jadi terdesak. Saat orang benar-benar putus asa, kadang melakukan kebodohan yang sama sekali tak masuk akal. Bagi orang lain tak bisa dimengerti, tapi baginya terasa logis.”

Hazel mendengarkan dengan diam.

Air mata hampir jatuh, entah kenapa.

Saat menatap kristal berbentuk anak ayam bercahaya, ingatan di reruntuhan kuno kembali hadir.

—Apakah kau benar-benar membenciku sedemikian rupa?

Ia sempat menanyakannya dengan ragu.

Dan Hazel menjawab sejujur-jujurnya. Ia ungkapkan semua alasan kenapa membenci Kaisar, dan kenapa selamanya tak mungkin bisa menyukainya. Panjang lebar, tanpa sisa.

Lalu ingatan lain muncul.

—Benar-benar kabar baik. Akhirnya kau berhenti bekerja.

—Aku juga merasakan hal sama waktu melihat kecambah hanyut terbawa hujan. ‘Ah, ini tidak akan pernah bisa kuterima, bahkan sampai mati.’

Hazel merosot bahu, merasa lelah.

Betapa sering ia mengumbar kebencian pada Kaisar.

Mungkin karena itu sang Kaisar tak bisa mengucapkan perasaan sesungguhnya. Bagaimanapun, dia memang penguasa Kekaisaran, tapi pemilik salon tetaplah Hazel.

Kemarahan yang sempat mendidih kini mulai reda.

Hazel berbisik:

“Benar juga. Aku pun melakukan kesalahan yang sama. Aku tak berusaha melepaskan prasangka.”

Ya, begitu pula Kaisar. Begitu menginjak peternakan, ia pasti menyukainya. Tapi terlalu gengsi untuk mengaku, sehingga semuanya kebablasan.

Kalau dipikir begitu, memang masuk akal.

Hazel menarik napas panjang lagi.

“Tapi kalau begitu, kenapa beliau tak bisa menjelaskan langsung? Justru karena bungkam, semua jadi berantakan. Apa gunanya mulut kalau hanya untuk diam… ah, iya. Itu memang aku yang menghentikannya.”

“Bukan hanya itu.”

Cecil berkata hati-hati.

“Andai pun tak dihentikan, tetap sulit bagi beliau bicara langsung. Karena sekarang beliau terbaring sakit.”

“Sakit?”

Hazel terkejut.

“Grand Chevalier itu kenapa bisa sering sekali tumbang?”

“Bukan sering, tepatnya… kelanjutan dari kejadian beberapa hari lalu. Menurut dokter, beliau belum benar-benar pulih. Seharusnya istirahat sehari lagi.”

Hening sejenak.

“Aku harus menengoknya.”

Louise segera berbalik. Lalu ia menatap Hazel, seolah mengajaknya ikut.

Dan saat itu, Hazel merasa aneh.

Peristiwa ‘pembantaian kecambah’ yang tadinya ia pikir takkan pernah bisa dilupakan—entah kenapa terasa seperti sesuatu yang bisa dilepas. Bahkan mungkin suatu hari ia bisa menertawakannya.

Hazel termenung sejenak.

Mungkin ia bisa melupakan semuanya.

Kalau saja dia orang lain.

Tapi…

Justru karena sempat menyukai, hatinya sakit.

Membayangkan wajah itu—rambut pirang, mata merah—membuat Hazel benar-benar sadar. Semuanya sudah berakhir.

Dulu, ia pernah berkhayal.

Suatu hari, saat para petani tetangga berkumpul di balkon dengan sari apel, ia bercerita begini:

—Saat aku sembilan belas tahun, ada Knight yang sering main ke peternakan. Atau lebih tepatnya, seorang tuan tanah tetangga. Dan aku menyukainya…

Canda tawa ramai. Suasana riang. Senja di peternakan.

KhayaIan berhenti di situ.

Namun jauh di lubuk hati, ia teruskan diam-diam.

Setelah pulang sebelum matahari tenggelam, di ladang ada seorang pria menyambut melambaikan tangan. Rambutnya sudah putih, tapi tubuhnya masih tegap.

—Siapa sangka, aku akan berakhir bersamanya!

Sambil mengingat cerita tadi, wajah tuanya pun tersenyum bahagia…

Itu masih jauh di masa depan.

Namun Hazel tak bisa menahan khayalan. Meski rapuh bak gelembung sabun, ia tetap membiarkan diri percaya.

Mungkin saja tidak mustahil…

Pipi Hazel panas membara.

Seandainya saja ia tidak pernah menyukainya.

Hazel mengepalkan tangan.

“Sepertinya aku pun manusia biasa. Meski otak mengerti, hati tetap tak bisa menerima…”

Ia menatap semua yang menunggunya.

“Bagaimanapun juga, aku sudah tak sanggup menatap wajahnya lagi.”

Mengucapkan itu, ia berbalik. Lalu melangkah tegap menembus kegelapan.

“……”

Mereka yang tertinggal hanya saling pandang.

Louise mengangkat bahu.

Baiklah. Aku mengerti.

Itu maksudnya.

***

“Ya ampun! Aku hampir saja menyadarinya lebih awal!”

Suara besar menggema di ruang tamu mansion Louis. Kitty, bersemangat setengah berteriak, berseru.

“Pantas saja rasanya aneh! Kuda hitam itu… aku merasa mirip sekali dengan Pegasus Yang Mulia! Tentu saja kalau aku bilang sekarang, siapa juga yang bakal percaya?!”

“Benar, Nona Christina. Tidak ada yang percaya.”

Penny menanggapi santai sambil menyeruput salmon.

“Sekarang kan gampang saja bicara. ‘Ah, aku sudah curiga sejak awal. Aku tahu ada yang aneh.’ Semua orang sambil mengelus belakang kepala yang terasa perih, pura-pura begitu.”

“Tapi aku serius! Kalau aku masih di dalam istana, pasti aku sudah mengungkapnya lebih dulu! Kalau saja aku tidak diusir!”

“Kalau tidak diusir, lalu kau betulan mengungkap hal itu… bukankah akhirnya tetap akan diusir juga?”

“Ah, iya juga ya?”

Kitty dan Penny saling balas celetukan.

Bagi orang luar, terdengar seperti obrolan tak berguna. Tapi sebenarnya, mereka sedang berusaha keras menghibur Hazel.

Penny boleh saja kelihatan hanya peduli pada selai, tapi Louis cukup peka. Kitty, apalagi. Cukup sekali melirik wajah Hazel yang muram, mereka tahu semuanya.

Bagaimana mungkin menghiburnya?

Pria yang menjadi cinta pertamanya, ternyata tidak lain adalah Kaisar yang begitu ia benci.

Hal seperti itu, tidak ada kata yang mudah untuk menghibur.

Kalau ikut-ikutan mencaci lelaki itu, salah ucap sedikit saja bisa bikin persahabatan mereka retak. Terutama kalau Hazel masih belum benar-benar melepaskan perasaannya.

Sebaliknya, kalau mencoba membela lelaki itu agar Hazel tak terlalu marah, sama saja bikin luka makin dalam—akhirnya Hazel justru merasa dikhianati.

Menemukan keseimbangan yang tepat itu… masih terlalu sulit bagi mereka. Louis bahkan sama sekali tidak berani mencoba.

Akhirnya, keduanya hanya memilih berceloteh kosong, sementara sisanya diam mendengarkan.

Ternyata, bagi Hazel itu pun cukup.

Kitty dan Penny terus berceloteh, pandai menjaga batas agar tidak sampai menyinggung tuduhan penghinaan.

Hazel hanya duduk mendengarkan, dan perlahan hatinya terasa lebih ringan.

Saat itulah—

“Lewat sini, Nyonya.”

Seorang bangsawan perempuan berambut cokelat masuk terburu-buru, dipandu pelayan. Itu adalah Rose.

Hazel terkejut.

“Nona Rose! Bagaimana dengan toko Anda?”

“Aku tutup sebentar.”

“Itu maksudnya apa? Toko itu harus tetap jalan!”

Hazel menegur dengan tegas, seperti saat membuat air mawar. Tapi Rose bergeming. Ia malah mengeluarkan selembar kertas.

Hazel menajamkan mata. Itu adalah sertifikat deposito—atas nama Hazel sendiri.

“Eh… ini…?”

Bahkan Louis pun terperangah.

“Aku cuma memanggilmu ke sini untuk memberi semangat sebagai senior dalam hidup. Kenapa malah memberikan uang?”

“Itu… sejujurnya…”

Rose wajahnya memerah.

“Sepertinya aku tak bisa meniru Hazel yang selalu tegas dan elegan.”

“Apa maksudmu?”

“Jujur saja, aku sudah lama menabung secara diam-diam. Uang sampingan.”

Ia mengaku lirih.

“Aku ingin suatu saat bisa menirumu. Seperti waktu kau bilang, ‘kekuatan sejati berasal dari ekonomi’.”

“Itu sebenarnya kata-kata Menteri Dalam Istana, loh.”

“Pokoknya begitu.”

Rose kembali merona.

Ia mendengar kabar apa yang Hazel alami, dan rasanya begitu janggal di hatinya.

Depan-depannya diusir, tapi diam-diam malah ditolong. Itu perbuatan macam apa?

Itulah kesan jujurnya.

Soal detailnya, ia tak tahu. Informasi di luar istana terbatas.

Namun, Rose punya pengalaman hidup.

Begitu mendengar pelayan Louis memintanya menghibur Hazel, ia langsung mengerti apa yang dibutuhkan Hazel.

‘Laki-laki memang selalu begitu!’

Sambil menggerutu dalam hati, ia langsung menutup tokonya dan bergegas kemari.

“Ini uang yang sah, Hazel. Jangan menolak lagi. Banyak orang yang setiap kali aku membuat merek baru, selalu minta bagian. Anggap saja begitu. Mulai sekarang, setiap kali air mawar terjual, kau pun akan mendapat bagianmu. Supaya kau bisa berkata, ‘Sekalipun kau mengusirku, aku punya banyak jalan lain.’ Pegang prinsip itu, dan tetap kuat. Nilainya memang belum seberapa, tapi aku akan menjual lebih banyak lagi agar kau punya simpanan besar.”

“Rose…”

Hazel merasa hatinya perih dan hangat sekaligus.

Waktu itu aku benar-benar menghadiahkan semua air mawar itu padanya…

Dia sebenarnya tak kekurangan uang. Tapi lebih dari jumlahnya, yang menyentuh adalah niat Rose. Ia diam-diam menabung demi Hazel. Seperti seorang kakak. Hazel tahu, kalau suatu saat ia benar-benar terdesak, uang ini akan menjadi penyelamat.

“Terima kasih. Mulai sekarang, aku akan hidup lebih berani.”

“Itu dia! Bagus sekali.”

Rose mengangguk mantap.

Louis, Kitty, dan Penny hanya terpana menyaksikan. Rasanya mereka baru saja belajar satu pelajaran hidup penting.

Obrolan berlanjut, dan perlahan hati Hazel terasa jauh lebih ringan.

Ya. Aku baik-baik saja.

Hazel membusungkan dada, lalu kembali ke peternakannya.

Namun hanya sebentar saja.

Begitu masuk rumah, perasaan ganjil kembali menyeruak.

Lampu minyak dinyalakan, dan matanya langsung tertumbuk pada tumpukan kayu bakar. Itu kayu yang dipotong Valentine sebagai hobi.

“Ugh…”

Hazel buru-buru memalingkan wajah. Tapi justru ia melihat kursi yang biasa diduduki pria itu.

“Uhh…”

Ke mana pun mata diarahkan, ada saja jejak Valentine. Hazel menggigit bibir dan keluar rumah.

Di luar, ia malah melihat kandang ayam yang dibuat Valentine. Juga Tiberius dan Julia. Semua mengingatkannya pada dia.

Kembali ke dalam.

Mungkin membuat adonan roti bisa mengalihkan pikiran.

Tapi tangan berhenti. Ingatan datang begitu saja—waktu itu, saat kesal pada Viscount Bern, ia menghantam adonan keras-keras. Lalu Valentine masuk, ikut memaki Bern bersamanya.

“Ah, sudah! Tolong berhenti!”

Hazel menjatuhkan kepala ke lemari.

Ia mencintai peternakan itu. Tapi… mungkin memang harus pergi sebentar.

Kemana?

Satu tempat muncul di benaknya.

Hazel terkejut sendiri, buru-buru menepis pikiran itu.

“Tidak. Tidak boleh.”

Ia menasihati diri sendiri.

Tempat itu bukan tujuan yang tepat. Justru sekarang, makin tidak boleh ke sana. Ia harus menenangkan hati, jangan sembarangan.

Tapi esoknya… hati tetap kacau.

Bayangan knight berjubah hitam yang kini tak lagi ada, terlalu banyak tertinggal di peternakan. Baik di dalam maupun di luar, semuanya masih menyimpan jejaknya.

Mungkin di sini tidak ada lagi kan?

Tanpa sadar, Hazel menoleh ke pojok halaman belakang. Di sana ada sebuah tong besar. Dari batu filsuf yang pernah ia rawat, bunga teratai muncul menyembul.

Kalah.

Hazel angkat tangan.

Ia memberi makan hewan-hewan, lalu meninggalkan peternakan. Kakinya melangkah tanpa tujuan, hanya mengikuti arus pikiran.

Dan akhirnya, tanpa sadar, ia sudah sampai di depan istana beratap hijau, dikelilingi pohon elm.

Istana Sang Dowager Empress.

Hazel melangkah masuk seolah terhipnotis.

“Seharusnya aku tidak datang ke sini.”

Hazel berdiri di ambang, seperti saat pertama kali ia mengunjungi salon itu—mengintip hati-hati dari luar.

Di dalam, Dowager Empress tampak dikelilingi para bangsawan, berbincang santai. Hari itu, Crown Princess juga hadir, bersama Pangeran Rowan untuk minum teh.

Hazel terpaku menatap, sampai akhirnya Dowager Empress menoleh ke arahnya.

Seketika, beliau berdiri. Tanpa sepatah kata pun, ia membuka kedua tangan, menyambut.

Hazel tidak berniat memeluk. Namun, saat itu ia tidak bisa melawan lagi.

Ia segera berlari dan tenggelam dalam pelukan Dowager Empress.

“Yang Mulia… aku benar-benar menyayangi Anda. Kalau saja Anda tidak pernah punya hubungan dengan Kaisar… betapa indahnya itu.”

Kata-kata tumpah, tak terkendali.

Tentu saja itu omong kosong. Tanpa melahirkan Kaisar, mana mungkin seseorang menjadi Dowager Empress.

Namun, tak seorang pun menegur.

Dowager Empress hanya tersenyum, menepuk lembut punggung Hazel.

“Tak usah bicara apa pun. Mulai hari ini, di salon ini, semua pembicaraan tentang lelaki-lelaki dari keluarga itu… dilarang.”

Hazel mendongak, menatap wajah lembut penuh kasih.

Ia sudah siap jika Dowager Empress membela putranya, bahkan mungkin menegur dirinya karena lancang. Bagaimanapun, beliau adalah ibu Kaisar. Tapi justru—Dowager Empress menutup rapat segala kemungkinan itu.

Hazel merasa dadanya ringan.

“Betul! Mari kita tetapkan larangan bicara tentang mereka!” seru Crown Princess dengan puas.

Kalau soal lelaki dari keluarga itu, dialah yang punya cerita paling kelam. Seketika, tercipta rasa kebersamaan di antara mereka bertiga.

Rowan, dengan wajah polos penuh cemas, bertanya,

“Ibu… apakah aku juga termasuk lelaki dari keluarga itu?”

“Tidak, kau? Mulai hari ini, kau bagian dari keluarga kita.”

Jawaban Crown Princess enteng saja, tapi cukup membuat Rowan lega.

Ia termenung sejenak, lalu menatap Hazel dengan kesungguhan yang jarang terlihat dari anak seusianya.

“Jangan khawatir, Lady Mayfield. Kelak, saat aku mewarisi kerajaan, aku akan mengangkatmu sebagai Perdana Menteri. Kau tidak perlu lagi berkeliling memetik bunga liar, karena aku akan memberimu semua mawar yang ada di negeri ini. Bukankah itu lebih baik dari yang bisa diberikan Empire?”

Ucapan itu membuat semua yang hadir tergelak. Hazel pun akhirnya tertawa keras.

“Benar juga. Yang Mulia Pangeran jelas bukan termasuk ‘lelaki dari keluarga itu’.”

Seketika wajah kecil Rowan berseri bahagia.

Hazel menghabiskan waktu lama di salon Dowager Empress. Di sana ia menerima pelukan hangat yang berbeda dari sekadar hiburan teman-teman.

Ketika keluar, semangatnya telah pulih sepenuhnya.

Ia merasa beruntung memiliki orang-orang baik di sisinya. Ia bisa bangkit kembali.

“Mulai sekarang, aku hanya akan fokus pada pertanian!”

Ia menetapkan hati.

Namun ketika Hazel berhasil menata diri, di tempat lain ada seseorang yang justru memasuki jalan penderitaan.

Orang pertama yang menyadarinya adalah Grand Duchess Athena.

Atas saran adik dari kepala pelayan, Athena menggerakkan para bangsawan tua dari faksi konservatif garis keras. Seperti yang diperkirakan, mereka langsung menentang Hazel merawat Kaisar.

Setelah itu, Athena bersembunyi di kapel Istana, memastikan tak seorang pun bisa menemukannya.

Karena itulah ia baru mengetahui kabar itu sehari kemudian. Bahwa keadaan berkembang ke arah yang sama sekali tak ia bayangkan.

“Eh? Apa katamu?”

Ia, sama seperti semua orang yang mendengar pertama kali, tidak langsung mengerti. Baru setelah pelayan menjelaskan perlahan, ia bisa menangkap maksudnya.

“Yang Mulia Kaisar… setiap hari diam-diam mengunjungi peternakan itu?”

Athena menatap kosong.

Tidak masuk akal. Mengapa? Untuk apa?

Dengan alasan memeriksa dokumen, ia buru-buru menuju kediaman Kaisar.

Namun, saat mengintip ke dalam—Athena menyaksikan wajah Kaisar.

Beliau duduk termenung di meja, wajahnya suram, alis berkerut berat.

Athena merasakan dadanya merosot.

Beliau tak pernah seperti ini…

Dunia terasa runtuh.

Ia terhuyung keluar, hampir tak bisa berdiri.

Keesokan paginya, Iskandar terbangun dengan tubuh sepenuhnya pulih.

Ringan, bugar, seolah sakit tak pernah singgah.

Namun pikirannya berbeda.

“Ya, Lady Mayfield bilang ia bisa mengerti kenapa ini terjadi. Tapi katanya itu hanya dalam konteks akademis. Dia juga menegaskan tidak lagi mengakui hubungan baik dengan Yang Mulia, bahkan menyatakan ketidaksukaan yang kuat…”

Grand Chamberlain Cecil akhirnya menyerah menutup-nutupi.

“Katanya, ‘Aku tak sudi melihat wajah orang seperti itu lagi.’”

Iskandar hanya terdiam.

Ia tak menyangka Louis dan Menteri Istana yang paling keras justru berusaha membantunya. Tapi semua itu sia-sia. Hal ini bukan persoalan yang bisa diselesaikan oleh orang lain.

Ia hanya bisa bersyukur bahwa Hazel masih sempat memahami, walau sedikit, bahwa semua itu bukan kesalahan yang disengaja.

Namun akhirnya, ia hanya bisa menarik napas panjang. Lalu pergi menemui ibunya.

“Sekarang kau mengerti, bukan? Bahkan seorang Kaisar pun sulit meraih hati manusia,” kata Dowager Empress lembut.

Itu saja.

Maka Iskandar pun menyimpulkan.

Pemilik peternakan itu memang manis, polos, dan menyenangkan. Makanan di peternakannya lezat, hewan-hewan pun menggemaskan.

Namun… kalau dia membenciku, apa yang bisa kulakukan?

Aku hanya terhanyut sesaat.

Dengan itu, ia menutup hati.

Saat itulah Kepala Pelayan mendekat, berbisik,

“Yang Mulia kini sehat kembali, syukur. Tapi ingat, tubuh tak bisa melawan kelelahan tanpa batas. Para elder juga resah. Mungkin sudah saatnya Yang Mulia sedikit menikmati hidup. Bagaimana kalau mulai menghadiri acara sosial, bertemu para lady muda yang terhormat?”

“Baiklah.”

Iskandar mengangguk tanpa ragu.

Kepala Pelayan pun sibuk mengatur. Ball memang terlalu mendadak, tapi konser kecil bisa. Ia segera mengundang Maestro Conci untuk memperdengarkan aria baru.

Para putri bangsawan pun dipanggil. Tiba-tiba, semua bersemangat berdandan.

Malam itu, musik bergema di Hall of Music.

“Yang Mulia Kaisar hadir!”

Begitu beliau masuk, para lady menahan napas.

Ada yang berbeda. Rambutnya sedikit berantakan, sorot matanya dalam, wajahnya diliputi duka.

Aneh—tapi justru membuat mereka terpesona.

“Yang Mulia sungguh pelindung seni.”

“Bolehkah hamba tahu pandangan Yang Mulia terhadap komposisi Maestro…?”

Mereka berlomba mencari perhatian.

Namun Iskandar segera sadar.

Ajaibnya—ia sama sekali tidak tertarik. Membosankan. Melelahkan.

Tapi karena Maestro sudah memulai, ia tidak bisa pergi begitu saja.

Maka ia bertahan.

Tiba-tiba, matanya tertumbuk pada permata zamrud besar di topi salah satu lady.

Hijau. Begitu indah, menyakitkan.

Secepat itu, bayangan sepasang mata bening dan senyum cerah kembali menghantamnya.

Lalu, bait aria menusuk telinga:

“Dosa bodohku membuat hatimu tersakiti. Oh, cintaku, wajah berseri itu takkan kulihat lagi…”

Iskandar tertegun.

Bagaimana bisa… lirik itu sama persis dengan isi hatinya?

Seluruh lagu seperti menyanyikan perasaannya.

“Bahagia bersama itu takkan kembali. Andai waktu bisa diputar ulang…”

Konser berakhir. Ia tak mendekati seorang lady pun. Hanya dua jam duduk, tenggelam dalam musik.

Upaya menikmati hidup pun gagal. Malah ia makin melankolis.

Akhirnya, ia kembali pada kesimpulan lama: lebih baik bekerja.

Untungnya, setidaknya ia tak perlu lagi bersembunyi dari sahabat-sahabatnya. Rahasia sudah terbongkar; kini mereka bisa bertemu tanpa pura-pura.

Bagi para Captain Knight, itu hanya berarti satu hal—

“Pekerjaan menumpuk lagi!”

Iskandar masuk ruang rapat, menenteng setumpuk dokumen.

Ia kira akan dicaci habis-habisan oleh sahabat-sahabatnya. Anehnya, mereka hanya melirik-lirik, tanpa komentar.

Ya, lebih baik begitu.

Ia duduk, membuka dokumen, meninjau laporan-laporan.

Lalu sebuah catatan menarik perhatiannya.

Dokumen pembelian tanah oleh bangsawan lokal—isi detailnya: peternakan, sapi perah, kebun anggur, ayam, bahkan penggilingan…

Iskandar mendadak melamun lagi. Menghitung-hitung, meski salah semua.

Keempat sahabat hanya saling pandang.

“…Astaga.”

Cayenne bangkit, mengintip, lalu berbisik pada yang lain,

“Hitungannya berantakan.”

***

Kejadian itu membuat seluruh istana terhenyak. Semua orang memutar kembali kenangan, baru sadar akan tanda-tanda yang luput.

Chef Xavier Fontaine di dapur istana pun mendengar gosip itu.

Astaga! Jadi begitulah semuanya terjadi?!

Kepalanya seakan dipukul. Ia merasa tertipu habis-habisan.

Selama ini aku masak mati-matian… hanya untuk dimakan para pelayan?!

Ia hampir meledak.

“Perintah Kaisar! Aku juga takut rahasiaku terbongkar!” bela salah seorang pelayan. Anehnya, wajahnya malah sehat berseri—tanda jelas ia kenyang.

Tapi Fontaine tak bisa berbuat banyak. Ia tahu posisi pelayan itu bukan di bawahnya.

Yang lebih mendesak adalah pertanyaan lain: Sekarang bagaimana?

Mau tidak mau, makan malam tetap harus tersaji.

Fontaine memilih menu ringan—daging bebek muda dengan saus jeruk, ikan kukus dengan sedikit rempah, roti lembut, ayam rebus dalam wine obat. Semua ia susun hati-hati.

Namun ekspresi Kaisar saat makan—seperti mengunyah kertas. Padahal jelas-jelas lapar.

Fontaine menghela napas.

Ia tahu gejala ini.

Banyak penguasa besar dulu jatuh cinta pada pesona sederhana seorang gadis desa: mata jernih, senyum polos, sikap apa adanya. Kerap kali perjalanan inspeksi berakhir dengan membawa serta seorang village maiden.

Tapi pesona seperti itu tak pernah lama. Paling bertahan enam bulan.

Karenanya, orang-orang menganggap ini tak begitu serius.

Namun Fontaine berbeda.

Ia tahu satu hal: begitu lidah jatuh cinta pada rasa—itu tak bisa dilupakan.

Wajah cantik? Bisa dilupakan. Kepandaian? Bisa dihindari. Tapi makanan? Tidak. Setiap hari, tiga kali sehari, rasa itu terus menghantui.

“Semua orang meremehkan. Padahal masalah ini jauh lebih serius…” gumamnya.

Piring-piring kembali ke dapur, hampir tak tersentuh.

Beberapa orang mengabaikan. Tapi yang tajam mata segera berlari menyebarkan kabar.

Salah satu tujuan berita itu: ruang tamu Madame Palmer, pakar sosial Empire.

“Madame! Kau takkan percaya gosip baru ini! Ternyata Yang Mulia Kaisar…”

Namun Madame Palmer hanya mengipasi diri dengan tenang.

“Ya. Beliau memang petani nomor satu Empire sekarang.”

Tok tok!

Pagi itu, suara ketukan terdengar di pintu peternakan Hazel.

Ia baru saja menepuk bantal jerami ketika buru-buru keluar. Saat pintu dibuka—matanya terbelalak.

Tamu yang sama sekali tak ia duga berdiri di sana.

Jubah sutra, rompi emas, stoking berkilau. Dua lelaki tua bangsawan, yang ia kenal baik.

“Duke Acevedo! Duke Montealegre!”

Hazel hampir melompat kegirangan.

“Sudah berapa lama ini? Ke mana saja kalian?”

“Kami pulang ke wilayah masing-masing. Harus membawa kabar—bahwa sengketa dua keluarga akhirnya selesai.”

Kedua Duke tersenyum lebar.

“Semua orang bahagia. Mereka kira kami akan berduel.”

“Benar. Kalau itu terjadi, salah satu pasti tewas atau cacat. Semua ini berkat Lady. Mereka semua berterima kasih.”

“Ah, itu bukan apa-apa. Aku hanya kebetulan saja.”

Hazel membalas senyum. Ia masih ingat jelas—bagaimana surat palsu yang nyaris menghancurkan kedua keluarga itu ia bongkar sendiri, lalu membuat kedua Duke berdamai. Itu menjadi salah satu kenangan paling manis.

“Apakah Anda sudah sarapan?”

“Aku memang makan dini hari tadi, tapi…….”

Duke Acevedo dan Duke Montealegre saling bertukar pandang sebelum melanjutkan pembicaraan.

Sebenarnya, mereka sudah melakukan sesuatu yang lain setibanya di tanah leluhur. Sesuatu yang amat penting. Itu ada hubungannya dengan janji teguh mereka: untuk menjadi sandaran kekuatan bagi Hazel.

“Sejujurnya, begini……”

Duke Acevedo membuka mulut.

“Kalau harus mengelola sebuah farm sendirian di dalam istana, tentu akan banyak kesulitan, bukan? Aku ini orang lama, jadi selalu merasa harus ada pagar yang kokoh. Bukan pagar kayu, tapi pagar manusia. Karena itu, kami sudah menyiapkan beberapa bujangan baik-baik. Mau kau temui mereka?”

“Apa?”

Hazel terbelalak.

“Bujangan baik-baik? Maksud Anda aku harus ketemu pria sekarang juga?”

“Tentu saja! Status, tampang, harta, kepribadian…… semuanya tak ada yang kurang!”

“Tidak, terima kasih. Tapi aku benar-benar tidak perlu.”

“Ah, paling tidak bertemu saja. Bagaimanapun, kau pun suatu hari akan menikah, bukan? Dan ini benar-benar pemuda yang pantas.”

“Mau pantas atau tidak, untuk saat ini aku bahkan tidak mau melirik laki-laki. Urusan menikah atau tidak, itu baru akan kupikirkan setelah aku melewati umur dua puluh.”

“Setidaknya lihatlah dulu. Kami sungguh-sungguh memilihnya dengan hati-hati.”

“Tidak, sungguh. Aku tidak butuh. Terima kasih, tapi tidak.”

Hazel akhirnya mendorong dua orang tua itu keluar.

Bahwa mereka repot-repot menyiapkan semua itu karena khawatir ia sendirian mengelola farm, memang menyentuh hatinya.

Namun, seandainya mereka membawa cangkul atau sabit baru, mungkin lebih berguna.

Waktu sungguh tak tepat. Mereka baru saja kembali ke ibu kota, jelas tidak tahu apa-apa soal keadaan terkini.

Hazel hanya mengangkat bahu, lalu masuk kamar untuk menepuk-nepuk bantalnya hingga mengembang lagi.

Hari ini ada urusan yang sangat penting.

***

Sejak pagi, pusat kota sudah riuh.

Saat melewati deretan toko, Hazel sekilas mendengar percakapan.

“……kalau itu benar, berarti ini pertama kalinya dalam seratus tahun terakhir tantangan itu berhasil, bukan?”

“Kalau sudah berhasil, kenapa mereka menghilang tanpa sepatah kata pun?”

“Kira-kira siapa orang-orang itu?”

Orang-orang berbisik sambil menyingkirkan selebaran Cermin Kebenaran.

Hazel berhenti sebentar, memperhatikan mereka.

Tak lama kemudian, ia kembali melangkah tegar.

Tidak ada waktu untuk melamun. Hari ini, ia harus menjual semua terong itu. Seperti Uncle Karl dulu—tak boleh menyisakan satu pun.

Ia pun mendorong gerobak menuju pasar.

Pasar pusat ibu kota dikelola oleh guild.

Hazel memang bukan anggota guild, tapi meski begitu, dengan sedikit biaya ia tetap bisa berjualan di lapak pasar—asal barang dagangannya lolos standar kualitas.

Untuk itu, ia mendatangi kantor pusat guild di tengah pasar.

Ketua guild sendiri yang memeriksa. Ia mengambil satu buah terong, meneliti dengan seksama, lalu berseru kagum.

“Luar biasa! Terong yang sangat bagus!”

Kualitasnya diakui. Hazel pun tersenyum lega.

“Terima kasih. Jadi aku bisa menjualnya di pasar, ya?”

“Bisa sih. Tapi bukankah sayang kalau terong sebagus ini hanya dijual murah di pasar? Kau sudah bekerja keras, harusnya mendapat harga yang terbaik. Bagaimana kalau mencoba restoran?”

Saran itu membuat Hazel teringat sesuatu.

Beberapa waktu lalu, para pemilik restoran pernah datang menemuinya untuk menandatangani kontrak pembelian jamur labyrinth. Di antara mereka, Hazel memilih sebuah restoran bernama Pavilion untuk bekerja sama.

Sekalian saja, ia putuskan untuk membawa terong itu ke sana.

Dengan susah payah mendorong gerobak, Hazel menuju Chelini Street—tempat Pavilion berada, sesuai peta restoran yang pernah ia lihat di kantor wisata.

Setelah hampir empat puluh menit berjalan, akhirnya bangunan restoran megah itu tampak. Benar-benar layak dengan namanya.

Saat Hazel menyampaikan maksud kedatangannya, sang pemilik langsung keluar dengan wajah berseri.

“Nona Mayfield!”

Ia menyambut Hazel dengan senang, meski tampak agak terkejut—karena biasanya pihak salon yang mengirim perwakilan, bukan Hazel sendiri.

“Kebetulan sekali! Aku memang berniat menemuimu. Rancangan menu sudah selesai, kami akan segera mulai produksi penuh.”

“Begitu, ya. Jangan khawatir. Panen jamur, teman-temanku sudah berjanji akan membantu…….”

Ucapan Hazel terhenti. Ia tiba-tiba teringat saat berlari bersama Sir Valentine, menggunakan jamur labyrinth raksasa sebagai payung.

“……Nona Mayfield?”

“Ah, iya! Aku bicara sampai mana tadi?”

“Anda bilang panen jamur akan dibantu oleh teman-teman Anda.”

“Ya, betul. Sebenarnya hari ini aku datang untuk menjual terong. Ketua guild menyarankan untuk mencoba restoran.”

“Terong, ya?”

Pemilik restoran menengok isi gerobak.

“Luar biasa. Sejujurnya, aku ingin membelinya semua untuk restoran ini. Hanya saja……”

“Hanya saja apa?”

“Kalau kujujurkan, kau bisa mendapatkan harga lebih tinggi lagi. Ada satu tempat di ibu kota yang selalu membeli hasil pertanian terbaik.”

“Itu di mana?”

“Di istana.”

“…….”

Hazel kehilangan kata-kata.

Benar juga. Bahan makanan untuk istana selalu berasal dari produk terbaik.

Artinya, ia bisa menjual langsung ke sana. Sangat mudah, dan dengan harga tertinggi.

Hazel pun pulang dengan gerobak penuh terong, langkahnya berat.

Apa yang sebenarnya sudah kulakukan?

Rasanya perjalanan menjadi seorang petani hebat masih jauh sekali.

Sementara itu, Iskandar masih sibuk dengan penyelidikan.

Para tahanan yang dijebloskan ke penjara bawah tanah tidak langsung diinterogasi. Mereka harus melewati masa menunggu yang penuh teror, dalam suasana lembap dan mencekam, membayangkan sendiri seperti apa akhir dari nasib mereka. Orang-orang di Kepolisian menyebut masa itu sebagai “proses pematangan”.

Barulah setelah proses itu selesai, para tahanan digiring masuk.

Mereka begitu yakin akan mendapat hadiah atas laporan pengkhianatan yang telah mereka buat. Mereka bahkan bersulang merayakannya. Namun tiba-tiba saja ditangkap tanpa sempat mengerti alasannya.

Bahkan sampai saat diseret masuk ke ruang interogasi, mereka belum juga memahami apa yang terjadi—hingga melihat sosok Yang Mulia Kaisar sendiri sedang duduk di sana. Seketika mereka terperanjat.

“Apakah mungkin seseorang berkhianat terhadap dirinya sendiri?”

Iskandar bertanya dengan nada sungguh-sungguh, seolah benar-benar penasaran.

“Kalau dipikir-pikir, mungkin memang bisa. Karena itu kalian melaporkannya, bukan?”

Saat itulah para tahanan akhirnya sadar.

Mereka telah melakukan kesalahan yang tak terbayangkan.

Ternyata gadis desa yang mereka kira hanya dibantu oleh seorang ksatria dengan kisah tragis, sesungguhnya tengah dilindungi oleh Kaisar sendiri. Identitasnya selama ini tersimpan rapat, tak seorang pun bisa menebaknya.

—Kalau saja tahu dari awal, mana mungkin berani!

Namun sudah terlambat. Mereka sendiri yang menulis nama, membubuhkan tanda tangan di berkas laporan pengkhianatan. Tidak ada jalan untuk mengelak.

“Menuduh orang lain berkhianat dengan fitnah sama saja dengan pengkhianatan itu sendiri. Kalian berpura-pura sebagai hamba setia, lalu berani memperdaya junjunganmu! Hukuman untuknya akan sama beratnya dengan pengkhianatan sungguhan.”

“Mohon ampun, Tuanku! Kami mohon belas kasihan!”

Mereka langsung runtuh seketika.

Namun itu bukan sekadar gertakan. Berdasarkan hukum, fitnah berupa tuduhan pengkhianatan bisa dijatuhi hukuman setara pengkhianatan asli. Iskandar tidak punya alasan untuk mengampuni orang-orang yang sadar akan hal itu tapi tetap nekat melakukannya.

Hanya saja, masih ada hal yang harus digali. Iskandar mengedarkan pandangan, menatap para tahanan.

“Menurut hasil penyelidikan, kalian semua hampir bangkrut sebelum tiba-tiba mendadak kaya raya. Ada yang sukses lewat investasi percetakan, ada yang lewat lelang permata, ada juga lewat opera. Alasannya berbeda-beda, tapi waktunya anehnya sama. Siapa dalang di balik semua ini?”

Tak seorang pun berani menjawab. Mereka hanya menelan ludah.

Iskandar pun memperhatikan salah satu dari mereka: seorang bangsawan berambut merah yang terlihat paling gelisah.

Interogasi hari itu ditutup setelah semua tahanan dibawa keluar.

Keesokan harinya, hanya bangsawan itu yang diam-diam dipanggil kembali.

“Count Denal. Belum lama ini kau dijatuhi sanksi karena mencuci uang lewat perdagangan cuka, bukan? Kau satu-satunya yang punya catatan hitam. Maka kau seorang diri akan berdiri di bawah guillotine.”

“Guillotine? Hanya saya seorang diri, Yang Mulia?”

“Kalau tidak suka, cobalah bernegosiasi. Barangkali hukumannya bisa diringankan.”

Kepala Kepolisian menambahkan.

Count Denal berpikir cepat. Kalau semua mati bersama, mungkin masih bisa diterima. Tapi mati sendirian? Tidak bisa.

“Aku tidak tahu apa sebenarnya rencana Abbas Mamon. Dia hanya bilang akan memberiku keuntungan besar. Jadi aku ikut berinvestasi.”

Akhirnya ia membuka mulut. Dan begitu sudah terbuka, kata-kata mengalir deras. Ia membeberkan semua yang diketahuinya: markas rahasia kelompok dagang, jalur transaksi, semuanya.

Polisi segera melakukan penggerebekan.

Namun sang Ketua Guild, Mamon, sudah lenyap tanpa jejak. Bahkan uang haram yang menurut pengakuan Count Denal harusnya tersimpan di bawah lantai kayu pun menghilang.

—Licik benar!

Iskandar naik pitam. Ia memerintahkan agar setiap sudut diperiksa.

Sampai akhirnya mereka menemukan sebuah potret di balik dinding. Wajah Wolfhound tercetak di sana, dicoret silang dengan tanda merah. Dan tepat saat Iskandar menatapnya, tiba-tiba muncul riak hitam pekat di udara, berkelebat di depan matanya.

Apa itu tadi?

Saat interogasi Wolfhound dulu, hal itu tak terlihat. Namun setelah ia jatuh sakit dan pulih kembali, barulah sesuatu yang aneh itu tampak.

Iskandar segera memanggil Kepala Kepolisian.

“Wolfhound, di mana dia sekarang?”

“Di sisi Dewi Hela.”

“Apa?”

“Itu maksudnya dia sudah jatuh ke neraka, Yang Mulia. Kami mengeksekusinya. Tepat sebelum bulan berganti, dari Agustus ke September.”

Kasus itu pun kembali tenggelam dalam kabut.

Iskandar termenung. Lalu tiba-tiba teringat sesuatu.

—Tidak. Ada yang berbeda.

Ia bangkit berdiri. Kenangan saat menginterogasi Wolfhound kembali jelas di kepalanya.

Setelah interogasi itu, ia langsung menemui Hazel. Saat tiba di kebun, mencium aroma herba, anehnya suasana hatinya langsung membaik.

Kini baru terasa ganjil.

Ada sesuatu pada herba itu.

Ia ingat nama herba itu: Rue. Katanya punya kekuatan untuk mengusir segala yang jahat.

Dari sana Iskandar menarik kesimpulan.

Wolfhound pasti menggunakan semacam kekuatan gelap untuk menyembunyikan informasi. Tanda-tandanya sempat terlihat di ruang interogasi. Tapi kekuatan itu begitu licik, mampu menyelinap di celah kesadaran.

Namun sebagian kecil tetap meresap—dan itulah yang ditolak, dibersihkan oleh kekuatan herba Rue. Hasilnya, ia merasa segar luar biasa.

Logika itu masuk akal.

Iskandar tidak tahu banyak soal ilmu obat. Namun satu hal ia tahu pasti: tak ada ramuan yang bisa menyembuhkan segalanya. Herba apa pun pasti punya ranah khusus di mana khasiatnya benar-benar menonjol.

Rue pun pasti begitu.

Kalau bisa menelusuri ranah khasiatnya, maka akan terbuka pula jenis kekuatan gelap yang dipakai Wolfhound.

Bagaimana cara mencapainya?

Iskandar memutar otak.

Tak lama kemudian, sebuah ide muncul.

Itu berhubungan dengan misi khusus.

Dan untuk itu, ia butuh bantuan Hazel. Bagaimanapun, dialah orang paling tepat. Semua kondisi pas dengan dirinya.

“Sepertinya tak ada pilihan lain.”

Iskandar bergumam lirih.

Ia harus mengaku, meski sulit, bahwa perasaannya pada Hazel belum sepenuhnya terselesaikan.

Namun kali ini bukan soal perasaan. Ia harus menemukan petunjuk, apapun caranya.

“Ya. Tak ada jalan lain.”

Ia mengulanginya lagi.

Masalahnya justru ada pada Hazel. Gadis itu begitu membencinya. Ada kemungkinan ia menolak bekerja sama.

Itu tidak boleh terjadi. Ia harus membuatnya setuju, bagaimanapun caranya.

Hanya ada satu cara yang terlintas di benaknya.

Iskandar mengangguk pelan.

Tak disangka-sangka, alasan inilah yang membawanya kembali menuju ladang itu.

Setidaknya ada satu keuntungan dari identitasnya yang kini terbongkar: ia tak perlu lagi menyamar.

Meski begitu, karena misi ini harus dirahasiakan, ia tetap harus datang di waktu Hazel sendirian.

Saat itulah sebuah nama tiba-tiba muncul di benaknya. Nama yang selama beberapa hari terakhir sengaja ia jauhkan.

Marquis Ranley.

Sekejap dadanya terasa mual.

Ia tahu itu tidak pantas. Tidak selayaknya berpikir begitu tentang seorang hamba yang setia. Tapi ia hanya bisa berharap tidak perlu berhadapan dengannya.

Cepat-cepat ia usir nama itu dari kepalanya.

Pada saat yang sama.

Hazel sedang berada di Kantor Urusan Istana. Tempat itu menangani segala macam urusan kecil di dalam istana.

Para pegawai masih mengingat jelas saat Hazel pertama kali datang untuk mengumumkan keberadaan “Salon Ladang”. Jadi ketika melihat gadis bertopi jerami itu kembali muncul, mereka otomatis tegang.

“Ada urusan apa lagi?”

“Aku mau menjual terong.”

Mata para pegawai langsung membesar.

Kalimatnya singkat padat, tapi malah terdengar seperti pedagang kaki lima. Hazel buru-buru menambahkan penjelasan.

“Aku baru panen dari kebun Salon. Sepertinya panen akan terus berlanjut sampai embun beku pertama tiba. Lahan memang tidak terlalu luas, jadi jumlahnya terbatas. Tapi tetap terlalu banyak kalau hanya untuk dimakan sendiri. Jadi aku ingin menjual sisanya ke istana.”

“Ah, begitu.”

Barulah mereka paham.

“Jadi maksudnya kau ingin jadi pemasok bahan makanan untuk istana?”

“Benar.”

“Kalau begitu, ambil berkas ini. Ini dokumen standar kualitas hasil pertanian. Sesuai aturan, terong harus dikelompokkan ke dalam kelas: spesial, kelas satu, kelas dua, atau kelas rendah. Setelah itu, nanti akan kami hubungkan dengan pejabat yang bertugas agar bisa diuji kualitasnya.”

“Baik, terima kasih.”

Hazel pun pulang dengan membawa berkas.

Ia menata terong-terong hasil panen di meja, lalu mulai mengelompokkan satu per satu.

Banyak hal sudah ia lalui belakangan ini. Termasuk tuduhan sebagai pengkhianat. Karena sibuk, sebagian terong memang agak menurun kesegarannya.

Namun syukurlah, masih cukup layak masuk kategori standar. Bahkan hasil panen terbaru bisa masuk kelas spesial.

Cukup memuaskan.

Hazel terus sibuk memilah.

Matahari perlahan condong ke barat. Cahaya jingga menembus jendela kecil, membanjiri dapur dengan sinar hangat.

Jam-jam seperti ini selalu memberi Hazel kebiasaan tertentu—terlintas satu pikiran tanpa sadar.

—Inilah biasanya waktu ia datang.

Ia termenung.

Saat itu—tok tok.

Seseorang mengetuk pintu.

Padahal pintu terbuka sedikit. Kalau orang biasa, pasti sudah masuk sambil memberi salam. Tapi kali ini, hanya mengetuk sopan.

Hazel langsung curiga. Jangan-jangan dua bangsawan tua itu kembali lagi dengan daftar calon suami?

Ia meletakkan terong di tangan, lalu berdiri.

“Siapa di luar sana?”

Ia menarik pintu, membukanya lebar. Dan seketika tubuhnya membeku seperti batu.

Yang berdiri di luar bukanlah dua orang tua itu.

Pirang. Mata merah. Jubah resmi yang penuh hiasan berkilau meski suasana redup. Benar-benar sosok yang tidak pantas berdiri di depan rumah kecil ini.

Saat tatapan mereka bertemu, dia berkata:

“Agar tidak mengulangi kesalahan seperti sebelumnya, lebih dulu akan kujelaskan identitasku. Aku adalah Kaisar Imperium—”

Bam!

Tanpa sadar, Hazel langsung menutup pintu.

Tidak melihat apa-apa. Sama sekali tidak ada yang dilihat.

Begitu gugup, dia malah lari dari kenyataan.

Jantungnya berdegup kencang. Hazel menempel di balik pintu, berusaha keras menenangkan diri.

Tapi dari luar kembali terdengar ketukan.

Kenapa dia bisa datang ke sini? Seorang diri pula, tanpa pengiring ataupun pelayan.

Bukankah perasaan Hazel terhadap dirinya sudah disampaikan oleh Kepala Istana? Tapi kenapa dia masih nekat datang?

Hazel kalut, terlalu bingung untuk segera merespons. Saat itulah suara itu terdengar lagi:

“Nona Mayfield! Aku datang karena ada hal yang harus kukatakan. Sangat penting.”

Itu suara Sir Valentine. Nada bicaranya juga sama—bukan seperti mengobrol, melainkan seperti menyatakan fakta. Tepat gaya bicara Sir Valentine.

Hazel jadi merinding. Rasanya seolah-olah yang berdiri di luar pintu memang benar Sir Valentine. Segala kenangan tentangnya berputar tak menentu di kepala.

Dia menggeleng keras-keras.

Tenang. Kau harus menghadapi.

Setelah menarik napas panjang, Hazel pun membuka pintu.

Iskandar berkata:

“Ini tentang urusan pemerintahan.”

Tatapan mereka kembali bersirobok. Ah, tidak, ini tetap tidak baik.

“Semoga sukses, Yang Mulia.”

Hazel hendak menutup pintu lagi. Namun seketika Iskandar menahan dengan cepat:

“Aku punya tawaran yang tak bisa kausangkal.”

“Tidak ada yang benar-benar ‘tak bisa ditolak’.”

“Kalau kau berhasil kali ini, akan kuberikan tanah.”

Tangan Hazel berhenti.

Tanah? Tadi dia bilang tanah?

Rasanya terlalu sederhana kalau dia terpikat hanya dengan itu… tapi apa boleh buat. Kata “tanah” selalu membuat telinga Hazel tergerak.

Dia menatapnya lagi.

Masih wajah asing sekaligus akrab.

“Jujur saja. Jangan-jangan yang Yang Mulia maksud tanah di pelosok terpencil, bukan? Begitu aku menyetujuinya, aku akan dipaksa pindah ke sana?”

“Tidak.”

Iskandar menggeleng.

“Tanah di sekitar pertanian ini. Sama luasnya dengan yang sudah kuberikan saat eksperimen hujan buatan itu—sebagai kompensasi. Jika kau setuju, pertanianmu akan menjadi dua kali lipat dari warisan aslinya. Aku bersumpah ini bukan tipu daya.”

Nada suaranya benar-benar serius.

Hazel mulai goyah.

Masih teringat bagaimana kepalanya sempat dihantam karena ulah orang ini. Masih ingin tidak lagi melihat wajahnya. Untungnya wilayah ini adalah Salon, tempat semi-otonom yang memberi kebebasan itu.

Namun… tanah! Lahan pertanian jadi dua kali lebih luas!

Sulit sekali menolak.

Hazel pun melepaskan tangannya dari pintu.

“Baiklah. Mari kita dengarkan tawaran itu dulu.”

Dia bergeser, memberi jalan.

Iskandar menghela napas lega dalam hati.

Benar. Orang boleh saja membenci seseorang, tapi tidak akan pernah membenci tanah. Cara ini memang punya peluang.

Sebelum Hazel berubah pikiran, dia segera melangkah masuk.

Sudah serasa seratus tahun sejak terakhir kali ke rumah ini.

Lampu minyak menyala di atas meja kayu. Di oven kayu, air mendidih. Samar-samar tercium aroma saus tomat.

Ya. Tempat ini penuh dengan atmosfer yang seakan membangkitkan nostalgia masa rakyat jelata—padahal dia sendiri tak pernah benar-benar mengalaminya.

Iskandar menyapu pandangan ke sekeliling ruangan, tanpa sadar mencari tanda-tanda tamu lain.

Tak ada jejak. Aneh. Hazel baru saja keluar dari tahanan karena dituduh makar, bukankah Marquis Lanry seharusnya bergegas datang menghibur dan mengambil hati?

Pikiran itu membuatnya tersadar.

Apa-apaan aku ini? Aku datang ke sini untuk bekerja!

Dia pun duduk di kursi yang biasa didudukinya. Menyelinap melirik Hazel yang sedang menyiapkan teh.

Syukurlah, tampak baik-baik saja.

Beberapa hari ini Hazel terus menghantui pikirannya, membuat resah. Namun kini, saat bertatap muka, justru ada ketenangan.

Bagus. Kalau begini, semua bisa diselesaikan dengan rapi.

Namun semakin dipikir, sepertinya itu bukan ketenangan—melainkan rasa aman karena berada di ruangan yang sama dengannya.

Tidak, jangan ke sana. Fokus.

Sementara itu, Hazel juga diam-diam meliriknya sambil menuang teh.

Betapa aneh: Kaisar berambut pirang dengan jubah penuh perhiasan, duduk di dapur petani.

Tapi anehnya, dari leher ke bawah, sosok itu tampak alami.

Wajar. Tubuh yang dipakai adalah tubuh Sir Valentine. Wajar bila duduk di kursi kayu pun terlihat selaras—

Hazel tersentak.

Terlalu selaras, rupanya.

Di atas pahanya, seekor gumpalan kuning sudah dengan santainya bertengger.

“Tiberius!”

Hazel terpekik.

Iskandar pun tersentak, menunduk, baru menyadari.

Seekor anak ayam kecil sudah mendarat nyaman di pahanya tanpa ia sadari sedikit pun.

“Kapan kabur lalu naik ke sini? Atau tadi diam-diam mengikutiku masuk?”

Bagaimana mungkin aku tidak menyadari!

Hazel panik.

“Serahkan padaku.”

Iskandar mengangkat si anak ayam dari atas meja, tapi Tiberius lincah melompat turun—lalu kembali menclok di pahanya.

“Tiberius! Apa-apaan kau ini?”

Hazel menegur, tapi si anak ayam tetap bergeming.

Iskandar menatap Tiberius dengan perasaan aneh. Belakangan, perasaannya memang gampang tersentuh.

Mungkin… hanya kau satu-satunya yang memahami hatiku?

Dia mengangkat pandangan, menatap Hazel.

“Aku dengar kabar, katanya Tiberius tak bisa tumbuh besar karena aku?”

“Bukan begitu. Tiberius hanyalah bayi naga berbulu. Tidak ada hubungannya dengan Yang Mulia. Jadi, jangan khawatir.”

“Dulu pernah ada kasus mirip ini. Para sage bilang, pertumbuhan bukan berhenti, tapi melambat drastis. Bagaimanapun, jika memang salahku, biar aku yang bertanggung jawab merawatnya sampai dewasa.”

“Tidak bisa. Tiberius adalah ayam di pertanian. Dia tidak bisa hidup terkurung di sangkar istana.”

Hazel berhenti sejenak.

Astaga, sejak kapan mereka berdiskusi santai seperti ini? Kaisar dan dirinya, memperdebatkan hak asuh anak ayam.

Sudahlah. Langsung ke inti urusan.

Hazel duduk di hadapannya.

“Jadi, apa sebenarnya tawaran Yang Mulia?”

Iskandar pun menegakkan sikapnya.

Beberapa bulan penelitian yang absurd memang berakhir sia-sia. Tapi tidak sepenuhnya tanpa hasil. Ia jadi tahu banyak tentang pemilik ladang ber-topi jerami ini.

Cerdas. Pandangan politiknya tajam. Tegar, penuh inisiatif, cepat menyesuaikan diri.

Orang yang paling tepat menjalankan misi ini—tak lain Hazel Mayfield.

Dia mulai berbicara.

“…Pihak yang mengadu Kaisar sebagai pengkhianat telah terungkap. Dalangnya adalah Merchant Guild Maron, dipimpin Abbas Maron. Orang-orang yang terlibat: André Delgado, Baroness Fiorenti, dan pria berjuluk Wolfhound.”

Hazel terbelalak.

“Jadi Maron itu sudah ditangkap?”

“Hampir, tapi dia berhasil kabur.”

“Ya ampun! Kenapa mereka begitu terobsesi ingin mencelakai saya?”

“Sejak kau menjual rosewater, kebencian itu muncul. Produk mereka jatuh bangkrut. Markas besar mereka sudah porak-poranda, para investor ditangkap. Tapi Maron membawa lari dana gelap dalam jumlah besar.”

“Tak meninggalkan jejak sedikit pun?”

“Itulah masalahnya. Karena itulah aku datang padamu.”

Hazel langsung fokus.

“Jadi… ada petunjuk, kan? Apa itu?”

Iskandar mengingatkan:

“Kau masih ingat hari itu? Saat kau mengira aku hantu, lalu menumpuk dinding herbal di pintu masuk—”

“Oh.”

Hazel langsung ingin menutup wajah. Malu sekali mengingat kebodohan itu.

“Ya, hari itu.”

“Persis sebelum itu, kau bilang sempat bertemu Wolfhound. Saat diinterogasi, meski kuancam dari belakang, dia tetap bersikeras tidak tahu apa-apa—”

“Ya, saya ingat.”

Justru itulah yang membuat Hazel semakin yakin pada kesalahannya.

“Jadi, maksud Yang Mulia… itulah petunjuk? Bahwa dia tidak membocorkan sedikit pun?”

“Tepat sekali.”

Iskandar mengangguk.

“Aku tiba-tiba teringat: saat mencium aroma herbal itu, aku merasa segar. Aneh sekali.”

Hazel terbelalak.

“Benar juga! Padahal Rue beraroma keras menusuk. Wanita hamil atau orang lemah saja bisa pusing karena baunya. Kebanyakan orang pasti mengernyit.”

“Namun aku tidak. Justru rasanya nyaman. Tenang. Bukankah itu berarti herbal itu memang mengusir energi jahat? Jika Wolfhound menggunakan kekuatan gelap untuk menutup mulutnya, mungkin jejak itu ikut merembes ke tubuhku tanpa kusadari…”

“Bisa jadi. Rue memang dikenal mampu menetralkan kekuatan jahat.”

Iskandar menatap serius.

“Maka kita harus menyelidiki lebih lanjut. Jenis kekuatan gelap macam apa yang bisa ditangkal oleh Rue? Itu bisa jadi kunci.”

Ia melanjutkan, nadanya tegas:

“Di masa lalu, korupsi dianggap kewajaran, kekuasaan membuat orang kebal hukuman. Banyak yang masih merindukan zaman itu, meski menyembunyikannya di balik topeng moralitas. Kasus ini konyol, tapi bisa jadi kesempatan membalik keadaan.”

Hazel terdiam, menunggu.

“Abbas Maron bukan bangsawan, tapi mampu berpengaruh besar. Itu berarti ada kaum aristokrat yang melindunginya. Kini, setelah kegagalan ini, mereka pasti resah. Akan cepat-cepat memutus hubungan. Gerak-gerik abnormal itu hanya bisa diketahui jika ada yang menyusup ke inti lingkaran sosial.”

Hazel menatapnya tercengang.

“Jangan bilang… saya?”

“Tepat sekali. Ada lingkaran putri-putri bangsawan bernama Emperia. Kau bisa masuk ke sana. Dengan wajah malaikatmu, senyum ramahmu, pesonamu yang…”

Iskandar tiba-tiba menggigit lidah.

Astaga, kenapa aku malah memujinya?

Untung Hazel hanya fokus pada bagian penting.

“Jadi maksudnya, saya menjadi agen rahasia Yang Mulia di kalangan bangsawan?”

“Kesempatan akan kubuatkan untukmu.”

“Dan di saat yang sama, menyelidiki Rue juga?”

“Ya. Lalu kita bisa bongkar tujuan asli Maron, sita dana gelapnya, jatuhkan para aristokrat yang melindunginya. Kau dapat tanah, aku dapat keadilan. Menang untuk kita berdua.”

Hazel menghela napas.

“Tapi ini bukan urusan kecil. Bagaimana bisa pekerjaan sepenting itu diserahkan pada tetangga petani?”

“Karena aku yakin kau tidak akan mengkhianati keadilan.”

Iskandar menjawab mantap.

“…Lagipula ada keuntungan lain. Kau ingat, apa yang kita lakukan di aula audiensi?”

“Kita bertengkar.”

“Ya. Itu. Semua orang tahu. Berita sudah menyebar luas. Tidak ada yang akan menyangka bahwa kau bekerja sama denganku. Justru itu membuatmu aman.”

Ia kemudian mengeluarkan sesuatu.

Medali berukir Pegasus emas.

Hazel menatapnya kagum.

“Apa ini?”

“Medali Penyidik Rahasia Kaisar. Dengan ini, kau kebal dari segala tuduhan. Tak seorang pun berhak menyeretmu. Ucapanmu sama kuatnya dengan titah Kaisar. Jika ada yang melanggar, hukumannya setara pengkhianatan.”

Hazel menahan napas.

Luar biasa… persis seperti kisah dalam buku yang dulu dibacakan kakek—pahlawan yang mengemban misi rahasia Kaisar, berbekal medali suci.

Jantungnya berdegup kencang.

Tentu, ia masih sibuk mengurus pertanian. Tapi demi kepentingan rakyat—dan pertanian juga—ini patut dilakukan.

Hazel akhirnya mengangguk.

“Baik, Yang Mulia. Mari kita lakukan.”

Iskandar tampak berseri.

Baru sadar betapa dia tadi cemas Hazel akan menolak. Karena Hazel adalah satu-satunya yang mampu melakukannya.

Saat suasana sedikit cair, pandangannya jatuh pada kartu nama di meja. Arthur Lanry.

Marquis Lanry.

Tersusun rapi, seolah disayang.

Tiba-tiba, adegan di balkon teringat lagi—Hazel dan Lanry terlihat begitu akrab. Rasa kesal mendidih dalam dadanya.

Apa hebatnya Marquis Lanry dibanding aku?

Aku Kaisar. Dia hanya Marquis.

Dalam duel pun aku menang telak. Harta, kuasa, popularitas—semua jauh lebih tinggi dariku.

Menyadari isi kepalanya, wajahnya memerah.

Begitu kekanak-kanakan. Tapi Hazel selalu berhasil membuatnya seperti itu.

Kesal.

Iskandar bangkit berdiri.

“Kalau begitu, aku pamit.”

Hazel pun berdiri.

“Selamat jalan, Yang Mulia.”

Kata-kata penuh tata krama, sesuai etiket bangsawan. Justru semakin mengusik hati Iskandar.

“Cara masuk ke lingkaran sosial itu akan segera kuberitahu.”

Lalu dia pergi, meninggalkan rumah kecil itu.

Hazel hanya bisa memandang punggungnya menjauh.

Rajin sekali orang ini bekerja.

Namun begitu melihat rambut pirang itu, rasa jengkel kembali naik.

Tidak ada istilah “laki-laki brengsek” di luar sana. Hanya ada laki-laki yang membuatmu menderita. Dan dalam hal ini, Kaisar adalah yang paling brengsek dari semuanya.

“Jangan sampai terjerat lagi.”

Hazel bergumam.

Dan begitulah—karena berpisah dalam keadaan sama-sama kesal, keduanya berpikir hal yang sama pada saat bersamaan:

Ini akan cepat selesai.


 

Nunaaluuu Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review