Kereta yang ditarik dua kuda hitam memasuki istana kekaisaran.
Di jendela kecil kereta hitam itu, dua gadis kecil menempelkan wajahnya, berusaha melihat keluar. Mereka adalah Anna-Sophia dan Isabella, adik kembar Siegvaldt.
Kedua anak itu, sesuai riwayat kesehatan keluarga mereka, memiliki daya tahan tubuh yang lemah. Sampai berusia sepuluh tahun, mereka nyaris selalu harus dikurung di rumah besar keluarga Duke.
Namun musim peralihan tahun ini terasa aneh—aneh karena sangat tenang. Mereka bahkan tidak sekali pun terserang batuk.
“Semua ini pasti berkat para Nona kecil yang rajin bermain, meski hanya di dalam rumah. Permainan menanam benih, bermain bajak sawah, dan semacamnya. Semoga mereka terus merasa tertarik pada itu, ya.”
Itulah yang selalu dikatakan Esmeralda, pengasuh tua, kepada sang Duchess.
Duchess tahu betul kalau putrinya rajin ‘menyogok’ pengasuh dengan cokelat dan kue. Meski begitu, berlarian setiap hari membuat tubuh mereka jauh lebih kuat—dan itu tak bisa dibantah. Setelah mempertimbangkan matang-matang, sang Duchess pun mengizinkan sebuah pengecualian: sebuah perjalanan keluar rumah.
Tak perlu ditanya lagi betapa gembiranya kedua anak itu.
Kereta kecil keluarga Duke berhenti di tempat penyimpanan kereta di istana kekaisaran. Kembar itu turun bersama sang pengasuh, lalu berjalan menuju taman besar.
“Bukankah jalannya jadi lebih lebar?” bisik Isabella dengan mata berbinar.
Anna-Sophia hanya menatap tajam sambil merapatkan bibir.
Kau sudah lupa? Kita sepakat akan bertingkah tenang, seperti para nyonya sejati yang tiap hari datang ke salon pertanian ini!
Namun saat di antara pepohonan musim gugur yang berwarna-warni muncul bangunan kecil yang disebut salon pertanian, bahkan Anna-Sophia tak kuasa menahan diri.
“Waaah, pertaniannya benar-benar makin besar!”
Di depan kebun kecil tempat Hazel dulu memunguti bibit yang hanyut terbawa hujan, kini berdiri sebidang ladang baru. Barisan tanaman hijau tumbuh subur, rapi berjajar.
Rumah mungil itu dipenuhi sulur-sulur tanaman, dengan buah merah ranum menggantung lebat. Di belakangnya berdiri rumah kecil lain dengan cerobong yang mengepulkan asap putih, membawa aroma daging asap yang menggoda.
Tak jauh dari situ, pagar kayu kecil telah dibangun, dan di dalamnya seekor sapi perah dengan bulu berkilau berdiri sambil mengibaskan ekornya. Para pelayan istana baru saja menurunkan tumpukan jerami untuk pakan sapi itu.
Hazel sedang membantu mereka menurunkan jerami ketika melihat pengasuh dan si kembar Worbear datang.
“Anna-Sophia! Isabella!”
Meski sudah menerima surat undangan resmi beberapa hari lalu, Hazel tetap terkejut sekaligus gembira bisa benar-benar bertemu.
“Peri kakak!”
Kedua anak itu segera berlari dan memeluknya erat. Esmeralda meletakkan keranjang bawaan di tanah: minyak zaitun berkualitas, ekstrak vanila, berbagai rempah—semua bahan yang amat berguna.
“Kenapa repot-repot membawa semua ini?”
Tapi dalam hati Hazel gembira; keranjang sebesar itu pas sekali untuk mengirim balik beberapa pai musim gugur.
“Ayo, masuklah!”
Di atas meja, pai labu baru saja keluar dari oven, masih mengepulkan uap harum. Di sampingnya, sekeranjang penuh telur segar—jenis yang sama yang selalu disantap Yang Mulia Permaisuri setiap pagi.
Di lantai, beberapa keranjang penuh buah tersusun. Dari oven kayu, aroma sup yang sedang mendidih menyeruak, sementara dari dinding dan langit-langit tergantung ikatan-ikatan herbal yang sedang dikeringkan.
“Waaah…”
Kembar itu berkeliling dengan mata penuh takjub. Bahkan Esmeralda pun tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya.
“Terima kasih sudah memilih datang ke sini, padahal ini kesempatan langka kalian untuk keluar rumah. Saya sengaja tidak merapikan semuanya, supaya bisa menunjukkan keadaan apa adanya….”
Hazel terhenti. Ketiganya—kedua anak dan pengasuh—sedang melirik ke sekeliling dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
“….”
Ekspresi Hazel berubah canggung.
Bahkan kembar Worbear pun tahu? Apa jangan-jangan seluruh dunia sudah tahu?
Ya sudahlah. Apa pun yang terjadi, biarlah.
“Ya, benar. Yang Mulia Kaisar sering datang pagi dan sore. Beliau sangat tertarik pada pekerjaan di sini. Beliau sendiri yang membuat kandang ayam dan kandang sapi, juga selalu memastikan persediaan kayu bakar tidak habis. Bahkan baru-baru ini, setelah melihat orang menabur kapur di tanah, beliau jadi sangat penasaran….”
Hazel akhirnya menuturkan semua yang ingin mereka ketahui. Bahkan mengajak mereka berkeliling pertanian, menjelaskan tiap detailnya.
“Benarkah? Yang Mulia sendiri?”
Bagi si kembar, semua itu sungguh mengejutkan. Sosok Kaisar yang mereka kenal memang ramah, tetapi juga menakutkan. Membayangkan beliau sibuk dengan kerjaan tani terasa mustahil.
Namun tentu itu bukan satu-satunya alasan mereka datang.
Hazel melepaskan ayam-ayam ke halaman, membiarkan kembar itu menebarkan pakan. Ia juga menunjukkan oven baru di ruang pengasapan tempat roti dipanggang, bahkan membiarkan mereka sendiri mendorong adonan di atas papan kayu panjang masuk ke dalam api.
“Jadi ini rasa roti desa yang baru matang!”
“Kakak selalu membanggakannya!”
Kedua anak itu makan dengan lahap: roti besar, omelet telur, sosis asap, pai labu, apel karamel dengan krim susu. Perut mereka pun penuh.
“Seperti yang kuduga, kami sudah merepotkanmu.”
Tapi Hazel cepat menggeleng.
“Tidak, sama sekali tidak.”
Itu bukan basa-basi. Melihat mata para tamunya, Hazel seakan merasakan kembali rasa kagum murni masa kecilnya. Dengan tamu sepolos ini, ia benar-benar ingin selalu membuka pintu lebar-lebar.
Setelah puas bermain, si kembar dan pengasuh kembali pulang, meninggalkan Hazel dengan senyum bahagia.
Belakangan ini, semakin banyak orang datang ke pertanian. Salon unik itu makin ramai setiap harinya.
Namun untuk masuk ke dalam salon ini, ada etiket khusus. Etiket itu tentu berbeda sesuai ciri khas tiap salon. Dan Salon Marronnier ini punya aturan paling unik: pengunjung harus benar-benar peduli pada pertanian.
Itu bisa berarti keluarga mereka punya bisnis perkebunan, atau sekadar menanam sayur di pojok taman rumah, bahkan membawa pot bunga yang hampir mati sekalipun.
Hazel menegakkan aturan itu dengan keras. Kalau tidak, salon hanya akan jadi ajang gosip biasa, mengganggu pekerjaan tani.
Musim gugur membuat pekerjaan kian menumpuk. Suatu hari, Hazel mengajak para ksatria Holy Order yang dulu sempat jadi rekan kerjanya untuk memetik sisa apel di istana.
Musim ujian tahunan ksatria membuat semua sibuk luar biasa, tapi justru karena itu mereka butuh jeda.
“Kalau bicara soal pencuci mulut musim gugur, tidak ada yang mengalahkan pai apel! Satu-satunya alasan kayu manis ada di dunia ini, ya karena pai apel! Dan dengarkan ini, teman-teman. Penikmat sejati selalu siapkan es krim. Pertama, nikmati satu pai tanpa apa pun. Lalu pai berikutnya dengan es krim. Sempurna!”
“Siapa bilang kau dapat dua pai?”
Louis dan Lorendel saling berdebat sambil memetik apel. Suasana benar-benar menyenangkan.
“Makanlah apel segar sebanyak mungkin sekarang. Nanti kalau dikeringkan juga enak sih, tapi rasanya beda. Ah, aku juga mau coba buat apple butter kali ini.”
“Apple… butter?”
Ekspresi Cayenne berubah aneh.
“Itu apa? Kedengarannya aneh… tapi kalau Hazel yang bikin, pasti enak. Meski tetap saja… aneh.”
“Itu bukan mentega asli. Dulu orang desa sering membuatnya. Apel dimasak lama sekali sampai gulanya berubah karamel. Jadinya saus apel pekat untuk dioleskan ke roti.”
Begitulah, sambil bercakap tentang makanan, musim gugur pun semakin dalam.
Dan makanan musim gugur memang melimpah. Waktu Hazel di dapur semakin panjang. Ia sibuk luar biasa.
Namun ada satu hal yang tak boleh ia lewatkan. Sesuatu yang jauh lebih penting dari semua itu.
Pepohonan elm di hutan istana pun kini menguning. Hazel membawa dua keranjang dan menuju istana permaisuri.
“Ini, Nyonya Kepala Pelayan.”
Satu keranjang ia serahkan kepada Duchess Winterfelt, kepala pelayan Permaisuri.
“Luar biasa! Terima kasih banyak.”
Duchess itu keluar membawa keranjang. Sejak beberapa waktu lalu, setiap kali Hazel datang, para pelayan selalu tahu diri untuk memberi mereka ruang.
“Yang Mulia, saya datang.”
“Selamat datang.”
Seperti dua tetangga yang bertemu santai, mereka menyapa. Hazel lalu mengeluarkan isi keranjang.
Pancake telur dengan jamur hasil petikan Louis dari hutan istana, pai labu dengan krim, ubi manis dengan sirup maple hadiah kembar Worbear—meja penuh dengan kenikmatan musim gugur.
“Kalau begini terus, tubuh saya akan jadi dua kali lipat besarnya!”
“Kalau Yang Mulia jadi dua kali lipat, bukankah itu juga kabar baik?”
Mereka saling bergantian menyiapkan kudapan. Permaisuri selalu memuji masakan desa Hazel setinggi langit, tapi masakan istana yang ia sajikan pun tak kalah lezat. Sup bisque lobster, khususnya, sangat pas disantap di musim gugur.
“Baiklah, mari kita lihat…”
Permaisuri mengeluarkan kacamata, lalu menarik selembar kertas dari bawah kitab tebal yang selalu disimpan keluarga kekaisaran.
“Pertama-tama, mari kita pikirkan tujuan kelompok Abbas Mamon,” ujar Sang Permaisuri Dowager pelan. “Untuk memengaruhi keputusan penting negara, cara paling efektif adalah menanamkan sebanyak mungkin orang mereka di pusat Istana. Itu adalah jalan klasik untuk meraih kekuasaan. Selama ini sudah banyak faksi yang berusaha menyusup ke jantung Istana, demi kekuasaan, demi keuntungan ekonomi… Dan dari sekian banyak, kelompok Abbas Mamon tampaknya menjalankan rencana yang amat cermat selama bertahun-tahun.”
Permaisuri Dowager lalu menyerahkan berkas-berkas hasil penyelidikannya kepada Hazel.
“Kaum barbar kelas atas biasanya tidak menggunakan gelar resmi, melainkan nama kuno dari iblis. Mereka percaya nama itu adalah sumber kekuatan, sehingga tak akan pernah ditanggalkan. Jika dugaanku benar, meskipun ‘Abbas’ hanyalah nama samaran, maka ‘Mamon’ jelas punya arti penting. Mamon adalah iblis yang melambangkan kekayaan dan kerakusan. Jadi besar kemungkinan Abbas Mamon dulu menduduki posisi tinggi di bidang keuangan. Itu memang baru sebatas hipotesis.”
“Dia masih belum mau buka mulut?” tanya Hazel.
“Begitulah. Kaum barbar terkenal menganggap mutilasi tubuh sendiri sebagai pantangan. Tapi orang ini bahkan merusak wajahnya demi menyembunyikan identitas dan menyusup ke negeri kita. Fakta bahwa ia bisa membangun jaringan begitu cepat hanya berarti satu: dia pasti bekerja sama dengan seseorang yang sangat mengenal keadaan di sini. Tapi siapa dalang di baliknya, sampai mati pun ia tidak mau bicara.”
“Hmm…”
Permaisuri Dowager termenung. Tatapannya beralih pada meja di depannya, seolah mencari jawaban.
“Entah kenapa, kurasa ini bukan saat yang tepat membicarakan hal itu…”
“Kenapa tidak? Bukankah sebaiknya kita pertimbangkan semua kemungkinan?”
“Anak itu meninggal saat sedang makan pai. Mendadak memuntahkan darah dan roboh. Napasnya langsung terhenti di tempat.”
“Ah…”
Hazel buru-buru menurunkan garpu berisi pai labu dari mulutnya.
“Jadi… ia diracun?”
“Belum sempat menyelidikinya lebih jauh, jasadnya tiba-tiba lenyap. Beberapa hari kemudian, tubuhnya ditemukan di kolam Istana. Lalu bermunculan kabar—konon Raja Terdahulu sengaja menyembunyikannya untuk melindungi dari musuh. Tapi kenyataannya, Adrian memang meninggal. Saat itu beberapa saksi dari pihak kami sendiri sudah berkali-kali memastikan ia tak bernyawa.”
Nada suara Permaisuri Dowager begitu tegas, seolah ia sendiri yang menyaksikan. Hazel akhirnya mengangguk pelan. Kalau begitu, memang sudah mati.
Ia menggigil sejenak, lalu kembali menyuap pai. Syukurlah, pai labu ini sungguh lembut dan manis. Dengan taburan krim kocok bercampur bubuk kayu manis, rasanya membuat segala kekhawatiran lenyap. Dan jelas tak ada racun di dalamnya.
“Rahasia?” Hazel mencondongkan tubuh.
“Kau tahu sendiri, sejak muda aku dilarang sering keluar. Bukan karena ada yang memaksaku, tapi tubuhku rapuh—setiap kali aku batuk, seluruh Istana gempar. Lama-lama aku sendiri yang memilih tak keluar, meski sering terasa amat menyesakkan.”
“Ya… aku bisa membayangkan.”
“Yang paling menyedihkan, aku tak bisa sering melihat Pohon Sang Jenderal yang begitu kusukai. Pohon yang pernah kau selamatkan itu.”
“Sejak pertama kali masuk Istana, aku memang jatuh cinta pada pohon itu. Melihat sosok agung Sang Jenderal, aku merasa kuat kembali meski dalam keadaan terburuk. Maka kuputuskan mencari cara agar bisa melihatnya diam-diam… dan akhirnya aku menemukan ini.”
Permaisuri Dowager mengeluarkan selembar peta usang dari dalam kitab suci. Hazel menatapnya, matanya membelalak.
“Ini… jalur rahasia?”
“Tepat sekali. Ada jalan keluar dari kediamanku menuju luar Istana tanpa diketahui siapa pun.”
“Itu tolong banyak menjelaskan! Jadi waktu Baginda Permaisuri datang menyamar ke ladangku dulu, jalur ini yang dipakai, ya? Aku sendiri tahu memang ada beberapa lorong rahasia di Istana. Saat mengobati Sang Jenderal dulu pun aku menggunakan salah satunya.”
“Ya. Bagian Istana yang baru—seperti tempat tinggal Kaisar sekarang, Taman Agung, juga area pertanian—tidak punya itu. Tapi di bangunan lama masih ada jalur-jalur kuno, dibuat sejak Istana pertama kali didirikan. Aku sempat menelusuri beberapa, meski tak sempat menyelidikinya semua.”
Kata-katanya penuh keyakinan. Hazel pun paham maksudnya. Jika di wilayah yang telah diperiksa tak ada, maka jawabannya ada di tempat yang belum. Bisa jadi, di dalam jalur-jalur rahasia tua inilah benda itu bersembunyi.
Permaisuri Dowager percaya pada kemampuan investigasi Hazel, hanya saja ia tahu betapa sibuknya gadis itu dengan urusan ladang. Karena itu ia tidak berani memintanya secara langsung.
Hazel lalu menceritakan tentang Diane, juga pertemuan anehnya dengan seorang Madam di perpustakaan. Baru kali ini ia sadar—ia pernah melihat wanita itu sebelumnya.
“Ah! Benar juga! Dialah yang kulihat waktu tanganku berubah aneh setelah menerima cincin tunangan! Dia berdiri di dekat ladang. Anehnya, waktu itu ia sama sekali tak mau meminjamkan sarung tangan, tapi di perpustakaan justru seperti sengaja memperlihatkan rahasianya.”
“Memang sangat mencurigakan.” Permaisuri Dowager mengangguk. “Kalau begitu, sebaiknya kita cari tahu siapa dia. Kau ingat ciri-cirinya?”
Hazel mengingat-ingat. “Lebih tinggi dariku, rambut cokelat kemerahan.”
“Duke’s Daughter Athena?” Hazel refleksif kaget.
“Kenapa? Ada masalah?”
“Ah, tidak…” Hazel buru-buru menutupinya.
“Kalau begitu, mulailah dengan dia dulu. Akan lebih jelas.”
Mereka berbincang sedikit lagi sebelum Hazel pamit.
Namun yang tidak mereka ketahui, di kediaman Lady Athena—Sunflower Palace—sudah lebih dulu beredar kabar tentang pelayan itu.
Sejak rahasianya terbongkar oleh Iskandar, Athena kehilangan semangat. Ia sudah tidak peduli apa-apa lagi. Tak butuh penasihat, tak butuh strategi. Bahkan keberadaan Caruelle—pelayan yang selalu ada di sisinya—tiba-tiba lenyap.
“Ehm… itu…” Branches menunduk gelisah. “Dia menghilang, Yang Mulia. Membawa semua barangnya. Sepertinya pulang ke kampung halaman.”
“Apa? Tanpa pamit padaku?”
“Itu memang kurang ajar. Tapi secara resmi, dia bukan pelayan pribadi Yang Mulia. Hanya karena keluarga kami bekerja di sini, ia seperti dianggap pelayan. Tapi sebenarnya tidak ada ikatan langsung.”
Athena baru menyadarinya. Posisi Caruelle memang samar. Harusnya dari dulu ia berhati-hati, tidak membiarkan orang semacam itu terlalu dekat.
Branches terkejut. “Ah… jadi Yang Mulia juga melihatnya. Padahal kupikir sudah kusembunyikan agar tak menyinggung para bangsawan.”
“Apa maksudmu?”
“Jarinya. Dia kehilangan jari. Itu ulah Camilla.”
Athena terbelalak. Jadi Caruelle dulunya adalah pelayan Lady Camilla Verganza?
“Kenapa tampak kaget? Waktu itu banyak yang bernasib begitu. Caruelle sudah masuk Istana sejak kecil. Wajah cantik, pandai membaca situasi. Camilla langsung mengambilnya. Tapi… Camilla itu gila. Dia percaya bisa memperpanjang kecantikan lewat ritual terkutuk, dan memotong jari-jari pelayannya yang masih muda. Sejak saat itu Caruelle membencinya setengah mati. Bayangkan, gadis seusia itu, bahkan belum menikah, harus kehilangan jarinya.”
Branches bergidik mengingatnya.
Saat itulah Hazel muncul.
Kunjungan mendadak—Athena tak sempat menolaknya. Hazel sudah duduk di ruang tamu ketika ia datang.
Hazel menatap sebentar vas bunga di atas meja—dihiasi krisan oranye, lemon mint, dan bunga liar putih-ungu musim gugur. Kemudian ia menoleh.
“Saya ingin bertanya tentang salah satu pelayan Anda, Lady.”
Athena tersentak. Hazel jelas-jelas datang membicarakan Caruelle. Sungguh kebetulan aneh.
Ia ragu sebentar. Haruskah ia menceritakan? Tapi akhirnya ia putuskan untuk terbuka. Caruelle memang penuh misteri. Dan bila memang ada sesuatu yang disembunyikan, lebih baik dibongkar sekarang.
Athena pun menuturkan semua yang ia ketahui. Hazel mendengarkan dengan terkejut, namun sekaligus lega.
“Jadi begitu. Ternyata Anda juga sudah menyelidikinya.”
“Tentu saja,” jawab Athena datar.
Mereka berbincang cukup lama. Anehnya, setelah itu Athena justru merasa lebih ringan.
Ia sadar, ia takkan bisa keluar dari Istana. Kalau begitu, mungkin lebih baik hidup berdampingan dengan Hazel, meski seadanya. Toh dirinya hanya perlu menjalankan peran sebagai sepupu Kaisar.
Apakah hidup semacam itu mungkin?
Mungkin saja—selama tidak ada hal lain yang terjadi.
Athena menatap lama vas bunga di meja setelah Hazel pergi, larut dalam pikirannya sendiri.
***
Musim gugur adalah masa ketika persiapan menghadapi musim dingin harus benar-benar dilakukan.
Alat-alat pertanian besar dan mahal harus segera dicek. Kalau rusak tapi tidak ketahuan lalu dibiarkan begitu saja sepanjang musim dingin, bisa-bisa alat itu tak akan pernah bisa dipakai lagi.
Hewan ternak pun harus diperiksa. Yang sudah tidak bisa lagi beranak atau sedang sakit biasanya pada masa ini dilepas. Karena saat itu kondisi tubuhnya masih lumayan baik—gemuk dan sehat—harganya bisa terjual tinggi.
Hazel sempat memikirkan hal itu, lalu menggeleng.
Apa benar ia sanggup melepas hewan ternak yang sudah begitu lama dipelihara? Kalau ia sudah lewat usia dua puluh dan menjadi petani yang lebih profesional mungkin lain cerita.
Bagaimanapun juga, itu belum berlaku di perkebunan Marronnier.
Untuk saat ini, Hazel memilih pekerjaan sederhana: mengumpulkan daun-daun gugur. Daun kering adalah bahan pupuk yang sangat bagus.
Pekerjaan yang memakan banyak tenaga ini rencananya akan dibantu oleh Iskandar.
Namun satu masalah besar muncul.
Iskandar tidak memberi tahu siapa pun. Jadi, seperti biasa, para petugas kebersihan istana sudah menyapu bersih semua daun gugur dan membuangnya. Begitu melihat jalan setapak yang kosong melompong, Iskandar nyaris jatuh terjengkang.
Satu-satunya cara:
Iskandar mengeluarkan uang pribadinya untuk membeli daun gugur. Bayangkan, ada orang yang rela membayar untuk sampah seperti ini! Warga pun terheran-heran sekaligus gembira, lalu menawarnya setinggi mungkin.
Sementara itu para petugas kebersihan istana hanya bisa bingung saat harus menaburkan kembali daun-daun yang barusan mereka sapu bersih. Memang diberi uang lembur, tapi tetap saja—apa-apaan ini?
Aksi konyol ini cepat terbongkar. Daun-daun yang ditebarkan sama sekali tak cocok dengan jenis pepohonan yang ada di sekitar jalan.
Meski mereka masih sering berbeda pandangan, Hazel merasa tidak keberatan. Paling tidak, ini menyenangkan.
Toh, daun-daun gugur tetap diperlukan, dan tak mungkin mereka menyuruh petugas kebersihan menyapu dua kali. Akhirnya Hazel dan Iskandar turun tangan sendiri, menyapu dan mengumpulkan daun-daun itu dengan sapu besar.
Sambil bekerja, Hazel membuka cerita tentang Athena.
“Para pelayan Lady Duke memasang bunga yang kukirim kemarin lusa di ruang tamu. Untuk buket yang kukirim kemarin dan hari ini, aku tidak tahu bagaimana nasibnya…”
“Jadi kau benar-benar mengirim bunga setiap hari untuk Athena? Untuk apa?”
“Tak ada alasan khusus. Mungkin karena terlalu sering kita memikirkan segalanya secara rumit, jadinya selalu bermasalah. Sebenarnya aku tidak berpikir macam-macam. Aku hanya ingin Lady Duke melihat bunga indah dan merasa sedikit lebih baik.”
Sambil mendengarkan Hazel bercerita tentang apa yang terjadi di ruang tamu sore itu, Iskandar ikut menyapu daun kering yang berkeresek. Cerita soal Keruel akan diselidiki terpisah, tapi yang membuat Iskandar lega adalah Hazel sudah bisa berbincang lama dengan Athena.
Mungkinkah hubungan mereka berdua akan berjalan baik?
Meluluhkan hati Athena memang pekerjaan sulit. Tapi mungkin Hazel bisa melakukannya.
Iskandar merasa beban di dadanya berkurang. Hatinya terasa jauh lebih ringan.
Malam itu, seperti biasa, ia kembali mengatur jalur patroli para prajurit istana. Semua dipindahkan ke tempat lain.
Memang masih ada yang diam-diam berjalan-jalan saat lembur, atau menjadikan sudut-sudut sepi istana sebagai tempat pertemuan rahasia. Tapi orang-orang tahu diri: kalau tak ada penjaga, lebih baik jangan lewat jalur itu. Salah-salah bisa membuat murka Sang Raja!
Di jalan setapak yang lengang itu, Iskandar dan Hazel terus bekerja. Mereka memasukkan daun kering sampai penuh ke dalam karung, menaruhnya di gerobak, lalu menyusunnya bertingkat di samping gudang perkebunan.
“Pupuk tahun ini pasti sangat bagus!”
Mendengar kata-kata itu, Iskandar berpisah dengan perasaan senang.
Bahkan setelah kembali ke istana, senyumnya tak hilang. Ke mana pun ia melihat, semuanya terasa seakan penuh dengan orang-orang pro-pertanian.
Siapa pun akhirnya akan kuajak ke pihakku. Bukankah itu hebat?
Ia merasa sangat puas dengan dirinya sendiri.
Keesokan harinya, saat masuk ruang rapat untuk ujian evaluasi ksatria, rasa puas itu makin besar. Di sana berkumpul para pendukung pertanian paling berpengaruh di kerajaan.
Mungkin karena terlalu larut dalam rasa puas, ia menjadi lengah.
“Baik, mari mulai dari notulen rapat…”
Saat Cayenne mengangkat setumpuk kertas, Iskandar menyadari dirinya baru saja melakukan kesalahan besar.
Sudah terlambat. Mata emas Cathy sudah sempat melirik cepat isi dokumen itu.
Itu adalah sebuah rencana. Rencana untuk mengungkap rahasia: “Siapakah utusan Ceres sebenarnya?”—dan mengungkapkannya kepada Hazel tepat di hari ulang tahunnya.
Selain itu, di situ juga tercatat berbagai rencana untuk membuat hari itu menjadi hari yang sempurna. Siapa pun yang membaca akan mengira itu perayaan ulang tahun seorang petani, bukan hari besar seorang Raja.
“Uh…”
Cayenne tampak panik.
“Akhir-akhir ini penglihatan agak kabur… huruf-huruf sulit terbaca.”
Ia buru-buru menjatuhkan tumpukan kertas itu. Wajahnya bergetar hebat, seakan baru saja melihat sesuatu yang tak seharusnya.
Semua sudah ketahuan.
Iskandar pasrah.
Ia sudah menutupinya cukup lama. Kini ia tak bisa lagi menipu sahabat-sahabatnya. Bahkan hatinya terasa tertusuk rasa bersalah.
“Ada sesuatu yang harus kuakui…”
Ia akhirnya berbicara dengan berat hati.
“Mungkin kalian akan terkejut mendengarnya. Sebenarnya… aku menyukai Hazel.”
Louis, Lorendel, Siegvaldt, Cayenne—semua terperangah.
Jangan-jangan? Dia sungguh mengira kami belum tahu?
Dari wajah Iskandar jelas terlihat keseriusannya. Ia benar-benar percaya telah berhasil menipu mereka selama ini.
Padahal sejak turnamen berburu semua sudah jelas! Bahkan yang paling lamban sekalipun menyadarinya saat drama pertunangan palsu itu.
Mereka ingin menegaskan kebenaran itu.
Tapi kalau begitu, Iskandar pasti akan malu bukan main—mungkin sampai menghancurkan ruang rapat. Dan itu bukan sekadar kemungkinan; ia adalah seorang Grand Cavalier yang baru saja naik ke tingkat lebih tinggi setelah mengalahkan ksatria selevel.
Jadi, mereka sepakat untuk ikut bermain.
“Tidak mungkin! Kau menyukai Hazel? Aku sama sekali tak menyangka!”
“Kenapa tidak bilang pada kami lebih awal? Kami sahabatmu, kan!”
Cayenne dan Louis berakting sebaik mungkin. Lorendel dan Siegvaldt yang kurang berbakat akting hanya bisa melongo.
“Aku benar-benar minta maaf. Aku terlalu pintar menyembunyikannya, ya?”
Iskandar menggaruk tengkuk dengan wajah memerah. Cayenne melanjutkan perannya.
“Kalau begitu, bagaimana dengan Hazel? Bagaimana perasaannya padamu?”
“Sepertinya dia tidak membenciku.”
“Luar biasa! Jadi kalian diam-diam sudah berpacaran?”
“Yah… semacam itu. Tapi menurut kalian, apa aku sudah melakukan yang benar?”
Bagaimana kami bisa tahu!
Mereka semua ingin berteriak begitu.
Tapi setelah dipikir, sebenarnya ada satu hal yang bisa mereka katakan.
Lorendel, Siegvaldt, dan Cayenne teringat kejadian beberapa waktu lalu. Setelah pura-pura bertunangan untuk menyelamatkan diri, Iskandar dan Hazel berpisah sambil berkata, “Sampai besok.” Lalu masing-masing pulang begitu saja. Rasanya ada yang aneh.
“Ada satu hal yang agak mengganjal…”
Lorendel membuka suara. Namun ia sendiri tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Saat semua terdiam, Siegvaldt menemukan ide.
“Kita panggil saja ahli percintaan.”
Ia segera keluar ruangan, lalu kembali dengan dua orang.
“Ini dia. Para ahli cinta.”
Dua orang itu ternyata Chef istana, Xavier Fontaine, dan Chef kantin ksatria, Giorgio. Begitu mendengar masalah Sang Raja, mereka pun berpura-pura terkejut.
“Eh? Dengan Nona Hazel? Astaga, sama sekali tidak menyangka!”
“Benar-benar kabar mengejutkan!”
Iskandar menatap mereka dengan tegas.
“Ini rahasia. Jangan sampai bocor. Kalau sampai jadi berita, Hazel pasti merasa terbebani. Tapi kalian benar-benar ahli cinta, kan?”
“Tentu saja, Yang Mulia. Saya tak pernah gagal. Buktinya? Saya tidak pernah menikah.”
“Sementara saya sudah tiga kali menikah. Itulah bukti kesuksesan saya.”
Keduanya berbicara penuh keyakinan.
Hmm… apakah benar bisa dipercaya?
Iskandar maupun para kapten ksatria tidak punya pilihan selain menerima begitu saja.
Begitu mendengar cerita, kedua “ahli” itu langsung menggeleng.
“Itu salah besar.”
“Maksudmu apa?”
“Itu bukan pacaran, tapi juga bukan tidak pacaran. Mana ada pasangan yang berpisah begitu mudah setelah bersama?”
“Betul sekali. Biasanya malah mencari alasan untuk lebih lama bersama. ‘Aku antar kau pulang,’ lalu sampai di rumah si dia berkata, ‘Sekarang biar aku antar kau pulang.’ Begitu terus, bolak-balik puluhan kali.”
“Ah! Itu dia!”
Lorendel, Siegvaldt, dan Cayenne akhirnya mengerti. Bahkan bagi mereka yang awam, jelas sekali letak masalahnya.
“Benar! Teman perempuan saja pun sering begitu!”
Louis ikut menimpali.
Tiba-tiba suasana menjadi seperti pengadilan. Iskandar merasa terpojok.
“Aku juga tentu ingin begitu. Tapi Hazel sibuk dengan pekerjaannya di kebun…”
“Kalau begitu, jalannya masih panjang. Sangat panjang.”
Kedua Chef itu menggeleng. Xavier Fontaine berbicara mantap.
“Percayalah pada orang yang tiga kali menikah. Saat waktunya tiba, Anda akan merasakannya. Yang Mulia, jangan lewatkan momen itu.”
“Dan kalau tidak ingin melewatkannya… apa yang harus kulakukan?”
“Terserah! Yang penting lakukan sesuatu. Ciumlah dia, misalnya!”
Iskandar menatap Chef-nya dengan pandangan dingin.
Dasar gila. Bagaimana bisa aku bersikap seperti buaya darat?
Namun, entah akan datang atau tidak, saat itu masih terasa sangat jauh.
“Sudahlah, cukup.”
Iskandar mengusir kedua “ahli cinta” itu. Matanya lalu melirik ke buku tua yang ada di bawah tumpukan kertas tadi.
Itu adalah manuskrip kuno dari ruang harta karun istana, salah satu dari sedikit yang menuliskan kisah dewa-dewi agrikultur.
Ia sempat membuka beberapa lembar. Ada puluhan halaman mengenai Dewi Ceres. Tentang utusannya pun pasti tercatat di situ.
Ia harus segera menyelesaikan tugas hari ini, lalu mempelajarinya.
Sambil berpikir begitu, ia memanggil kembali para kapten ksatria yang masih berbisik-bisik.
Sementara itu, Hazel memulai penjelajahannya sendiri.
Ia masih ingat jelas letak jalur rahasia itu.
Melewati taman labirin menuju pusat istana, di sana ada kanal buatan. Saat dulu Siegvaldt mengangkat patung lumba-lumba di sana, sebuah tangga menuju bawah tanah muncul.
Hazel mengikuti ingatan itu. Patung lumba-lumba masih menyemburkan air.
Perlu bantuan?
Ia mencoba mengangkatnya. Anehnya, patung itu ringan, mudah sekali terangkat. Wajar saja—kalau keadaan darurat, bahkan anak kecil atau orang tua harus bisa membukanya.
Lantai kanal pun turun, menyingkap tangga.
“Bagus.”
Hazel menyalakan lentera dan turun.
Dinding batu halus berkilau diterpa cahaya.
Dulu, ia hanya fokus pada Sang Jenderal, sehingga tak sadar ada banyak cabang selain ke arah lapangan latihan.
Dengan hati-hati, ia berjalan sambil melengkapi ingatannya dengan peta dari Permaisuri Dowager.
Setelah lama berjalan, muncullah sebuah pintu keluar. Ia menaiki tangga dan perlahan membuka pintu.
Bau hewan langsung menyergap.
Ternyata itu kandang kuda.
Setelah memastikan tak ada suara manusia, Hazel membuka pintu sepenuhnya—dan langsung berhadapan dengan seekor kuda hitam pekat.
“Rasalgethi!”
Itu adalah Pegasus milik Iskandar. Rupanya ini kandang khusus Sang Raja.
Pegasus itu tampak sangat senang melihat Hazel. Ia menghentakkan kaki sampai ember baja penyok berisik.
Gawat!
Hazel buru-buru menutup kembali pintu itu dan turun.
“Kandang Sang Raja.”
Ia mencatatnya di peta, lalu menuju cabang lain. Yang satu menuju Menara Para Bijak. Ia tandai. Yang lain menuju ruang harta karun istana. Juga ditandai.
Tak ada jalur lain.
Atau benarkah begitu?
Hazel memeriksa lebih teliti dengan lentera. Di salah satu bagian, dindingnya berbeda. Tampak seperti ditutup belakangan.
Ia menekannya—tidak bergerak.
Haruskah aku minta bantuan?
Tapi ia ingin melakukannya sendiri. Ingin memberi kejutan untuk Permaisuri Dowager.
Saat berpikir begitu, ia teringat sesuatu.
Hazel kembali ke jalur kandang kuda. Membuka pintu.
Pegasus hitam itu ternyata masih menunggu, seakan sudah menduga Hazel akan datang.
“Diam, ya.”
Hazel memberi isyarat.
Pegasus adalah makhluk mistis. Katanya, jika ia mau, ia bisa melewati tempat sempit mana pun. Pasti ada alasan mengapa jalur rahasia ini terhubung dengan kandang Raja.
Hazel pun membawa Rasalgethi masuk. Aneh sekali: ruang sempit itu seolah melebar sendiri, dan Pegasus masuk tanpa masalah.
“Aku butuh bantuanmu.”
Hazel menunjuk dinding yang aneh tadi, lalu memberi isyarat menghantam.
Duuar!
Sekali hentakan, dinding batu hancur.
Di baliknya terbentang jalur lain. Hazel masuk. Setelah lama berjalan, ia menemukan sebuah pintu besar menuju ruang bawah tanah.
Mungkinkah di sini artefak itu disimpan?
Dengan jantung berdebar, ia mendorong pintu.
Angin dingin menyambut. Di bawah kubah bulat, berjajar patung-patung kecil.
Itu ternyata ruang pemakaman kerajaan—kolumbarium bawah tanah istana.
Hazel kecewa.
Itu adalah salah satu tempat pertama yang diperiksa Permaisuri Dowager, lalu ditutup karena suasananya menakutkan.
Apa aku harus jadi tukang batu dan menutupnya lagi?
Sambil kembali, ia menemukan lagi dinding aneh lain. Ditutup belakangan, arahnya ke taman besar.
Hazel mengernyit.
Bagian itu adalah sayap baru yang dibangun Iskandar. Dulunya hanya perumahan di luar istana. Mengapa ada jalur rahasia ke sana?
Mungkin sebagai jalur darurat untuk melarikan diri?
Hazel melirik Pegasus.
Memanfaatkan pekerja yang sudah datang untuk sekalian memperbaiki sumur, parit, pagar—itu trik hidup hemat yang bagus. Kalau ada jalur rahasia dekat taman, bukankah berguna? Kalau pun tidak, toh tidak rugi.
Hazel pun mengajak Pegasus ke sana.
Walau tentu saja, Rasalgethi bukan buruh bayaran. Tapi saat diminta menghancurkan dinding itu, Pegasus malah bersemangat.
Duuar!
Sekali hentakan, runtuh sudah.
Pegasus itu memang terlalu pintar. Sepertinya ia paham bahwa ini jalur rahasia yang menghubungkan istana dan perkebunan. Entah apa yang ia bayangkan, tapi jelas ia senang.
Debu reda. Tampaklah jalur baru.
Hazel hampir saja masuk, tapi berhenti.
Ia sudah terlalu lama meminjam Pegasus. Kalau pengurus kandang datang, bisa-bisa mati kaget.
“Kita kembali dulu.”
Rasalgethi tampak enggan, matanya berkilat penuh antusias. Tapi akhirnya ia ikut Hazel kembali ke kandang.
Syukurlah, sepertinya tak seorang pun menyadari apa yang baru saja terjadi. Rupanya kuda itu memang biasa saja menghancurkan ember besi atau meloncat-loncat liar, jadi tidak ada yang merasa aneh.
“Terima kasih. Nanti malam akan kubuatkan makanan spesial untukmu.”
Hazel mengucapkan rasa terima kasihnya, lalu melepas sang kuda kembali ke kandang. Ia kembali menyalakan lentera dan melanjutkan penjelajahan.
Ternyata, lorong rahasia yang baru saja ia temukan tembus langsung ke tengah-tengah taman agung. Hanya beberapa langkah saja dari lahan pertanian. Penemuan yang benar-benar tak terduga, membuatnya merasa seolah-olah mendapatkan keuntungan besar.
Mungkin ada yang lain juga?
Hazel menyusuri lorong bawah tanah itu dengan teliti, mengelilinginya sampai tiga kali. Dan akhirnya, ia menemukan sesuatu lagi.
Kali ini, dinding yang terasa aneh. Tapi berbeda dari jalur-jalur rahasia yang sebelumnya ia temukan.
Batu-batunya tampak sama persis dengan dinding sekitar. Itulah sebabnya ia sempat beberapa kali melewatkannya begitu saja. Tapi setelah diperhatikan lebih dekat, ia sadar ada sesuatu yang janggal dengan lumut yang menempel.
Hazel mengangkat lentera lebih dekat ke dinding.
Bagi orang yang tak tertarik pada tanaman, semua lumut terlihat sama saja.
Namun Hazel, sejak menerima didikan Nyonya Masa sebelas tahun lalu, selalu mencurahkan perhatian besar pada segala jenis tumbuhan. Karena itu, ia langsung menyadari sebuah fakta.
Pada dinding bagian ini, berbeda dari tempat lain, terdapat dua jenis lumut yang tumbuh berdampingan.
Dan polanya sungguh aneh.
Satu batu bata penuh ditumbuhi lumut bersisik, sementara tepat di sebelahnya hanya lumut berbentuk jarum. Begitu seterusnya, acak tapi jelas, setiap bata bergantian—bersisik atau berjarum.
“Ohh…!”
Mata Hazel berkilat.
Sepertinya aku benar-benar menemukan sesuatu.
Ia segera mengeluarkan buku catatan pertaniannya, menggambar peta kecil, dan mencatat distribusi lumut secara detail. Ia juga memetik sampel kedua jenis lumut itu, menyimpannya ke dalam kantung kecil yang selalu ia bawa.
Tapi, apa artinya semua ini?
Hazel mengerutkan kening. Untuk saat itu, ia belum bisa memastikan.
Apa aku harus minta bantuan sekarang?
Ia sempat ragu, namun akhirnya menggeleng. Lebih baik menggali sebanyak mungkin dengan kekuatan sendiri, baru nanti mempersembahkan hasilnya kepada Permaisuri Dowager.
Selama ini ia sudah belajar satu hal: ada gudang pengetahuan yang bisa diandalkan untuk hal-hal seperti ini.
Hazel pun keluar dari lorong rahasia. Setelah kembali ke rumah pertanian, ia membuka lemari dapur. Dua jam kemudian, ia sudah membawa keranjang besar penuh makanan.
Dan ia pun melangkah ke Menara Para Sage.
Sore mulai merambat ke malam. Bagi para Sage yang terbiasa hidup terbalik, itu artinya hari baru baru saja dimulai.
“Selamat malam!”
Hazel menyapa dengan ceria ketika masuk.
“Siapa kau?”
Sambutan yang kembali terdengar dingin.
Para Sage memang tidak ramah dengan tamu, apalagi yang datang saat mereka baru mulai “pagi”. Mereka tahu siapa Hazel, tapi karena ia bukanlah Kaisar yang membiayai mereka, lebih mudah pura-pura tak tahu.
Hazel tak peduli. Ia hanya membuka keranjang.
Seketika, aroma harum menyeruak.
Sage-sage yang tadinya tenggelam dalam buku perlahan mengangkat kepala.
Bau ayam goreng renyah dengan bawang putih memenuhi ruangan, seakan menarik rambut mereka untuk menoleh. Kulit yang garing, minyak yang masih hangat, daging putih beruap, dan bersama itu, aroma sari apel, ubi tumbuk berkrim, serta muffin blueberry yang merekah bagai topi koki.
Para Sage menelan ludah.
Karena terlalu sibuk dengan penelitian, mereka sering makan seadanya. Bagi mereka, makan hanya sekadar “mengisi bahan bakar untuk otak”, tak lebih. Lidah mereka pun makin lama makin tumpul.
Tapi bukan berarti mereka tak pernah merindukan makanan enak. Kadang, dalam hati kecil, muncul teriakan: “Ah, andai ada yang menyuapi makanan lezat!”
Dan sekarang… benar-benar ada orang yang datang membawa itu semua.
Seumur Menara berdiri, belum pernah ada tamu yang datang membawa keranjang penuh hidangan panas.
Dan yang lebih luar biasa: si tamu bukan hanya membawa makanan, tapi juga langsung mengajak mereka bicara soal penelitian!
Riset sambil menyantap ayam goreng renyah? Inikah surga?
“Benda bernama Black Relic itu? Kami memang sedang meneliti atas perintah Yang Mulia Kaisar,” ucap salah satu Sage.
Karena Hazel datang sebagai orang terpercaya, mereka tak ragu membagi apa yang sudah diketahui. Sambil terus mengunyah, mereka menjawab pertanyaan Hazel.
“Bukankah dikatakan tak ada yang berhasil menemukan karena mendiang Kaisar menyembunyikannya rapat-rapat?”
“Itu benar. Tapi, mengetahui keberadaan sesuatu membuat segalanya berbeda. Dokumen kuno yang tadinya tak jelas bisa ditafsir ulang. Kami membandingkan catatan bangsa Utara, misalnya…”
Hazel mengangguk, mendesak lagi. “Lalu? Apa ada informasi baru?”
Para Sage berbagi potongan fakta.
“Sepertinya tiap bangsa memang memiliki Black Relic dengan sifat berbeda, sesuai legenda pendiriannya. Di Utara, misalnya, kamu sendiri sudah lihat: wujudnya kutukan beracun. Tanah terkutuk itu disucikan oleh Relic, lalu di atasnya berdirilah kerajaan.”
“Kalau itu hukum umum… berarti untuk Kekaisaran kita, jawabannya ada di legenda pendiriannya. Persatuan banyak ras, penaklukan monster, dan kejayaan berkat pengetahuan bersama…”
Hazel bergumam, namun benangnya belum ketemu. Ia menyimpan dulu, lalu mengeluarkan catatan lumut.
“Kalau begitu… bisakah kalian melihat ini? Lumut-lumut yang kutemukan.”
Segera, Sage spesialis bryophyta, Ayana, dipanggil.
Jawabannya sederhana: itu memang lumut bersisik dan lumut jarum. Bedanya, lokasi tumbuh ditentukan kondisi mikro—suhu, kelembapan, cahaya.
Hazel mengangguk. Semakin jelas arah yang terbentuk.
Ayana lalu menganalisis sampel Hazel. Dengan mata seorang peneliti 50 tahun, ia berkata:
“Ini menarik. Ada perbedaan usia sekitar 600 tahun. Dulu area ini ditumbuhi lumut bersisik, lalu sebagian dihapus dengan sengaja, dan barulah lumut jarum tumbuh menggantikannya.”
Para Sage langsung berseru serempak:
“Pola sandi!”
Jelas. Enam abad lalu, seseorang sengaja mengikis lumut dari bata tertentu untuk menandai pola.
“Coba dorong bata yang ditumbuhi lumut jarum. Jika bergeser, itu pasti pintu rahasia. Dorong semuanya, maka pintu terbuka.”
Hazel mendengarkan dengan mata berbinar. Ia berterima kasih, meminta mereka menyimpan rahasia dulu, lalu kembali ke lorong.
Dengan jantung berdebar, ia mengikuti catatan dan menemukan dinding aneh itu lagi.
“Bersisik, berjarum…”
Ia pilih satu bata berlumut jarum, mengikis lumutnya. Tangan bergetar. Ia dorong perlahan.
Sreng…
Bata itu benar-benar bergeser.
Hazel makin bersemangat, segera membersihkan semua lumut jarum dan mendorong batanya satu per satu.
Saat yang terakhir ditekan, terdengar duk!—dinding berlumut mulai bergerak, terbelah ke dua sisi, membuka jalan.
Hazel menelan ludah.
Haruskah ia memanggil bantuan sekarang?
Tapi di dalam, sesuatu berputar cepat, cahaya aneh berkelip-kelip. Ia merasa kalau terlambat sedikit saja, itu akan hilang.
Hazel nekat melangkah.
Di dalam, cahaya biru terapung-apung dengan pola misterius. Mirip dengan yang ia lihat dulu—saat menaiki Tangga Langit dan menatap Cermin Kebenaran.
Itu pasti… Relic juga!
Hazel mendekat, tangannya terulur. Ujung jarinya menyentuh benda keras. Sebuah kotak kecil. Mirip kotak segel yang pernah menyimpan kunci labirin, dihiasi ukiran suci.
Hatinya hampir berhenti berdetak.
Benarkah… aku menemukan Relic?
Namun tiba-tiba, pintu di belakang bergetar lagi. Bergegas menutup! Hazel terkejut, segera menyambar kotak itu dan berlari keluar.
Sementara itu, Iskandar sedang menekuni kamus bahasa kuno. Kata demi kata ia teliti, bentuk nomina, verba, adjektiva hingga variasi perubahan ke-10. Akhirnya, kalimatnya jelas:
Mata Iskandar membelalak. Semakin dibaca, semakin jelas.
Ia meloncat berdiri, langsung meninggalkan istana, menuju kandang ayam di pertanian.
Di antara ayam-ayam, seekor anak ayam kuning berlari kecil.
Iskandar meraih dan mengangkatnya tinggi.
“…Kau?”
Ia menatap Tiberius dengan mata terbelalak.
“Jadi kau… makhluk suci itu?”
Anak ayam kecil itu hanya mengedipkan mata hitamnya. Seolah pura-pura tak tahu.
Tapi semua cirinya cocok. Tubuh mungil. Bulu kuning bagai matahari. Kebiasaan kabur dari kandang, ternyata demi memberkati bumi. Bahkan dulu, di atas reruntuhan, ia melihat kristal dengan bentuk identik.
“Tak bisa dipercaya…”
Iskandar terpana. Semua kenangan bersama Tiberius berkelebat: saat ia menyumpal paruhnya agar tak ketahuan menyusup, saat menyelamatkannya dari injakan kuda, saat Tiberius setia datang meski Hazel menjauh…
Ternyata dari awal, Tiberius adalah makhluk suci.
Iskandar tersenyum kecil. Hazel pasti akan sangat bahagia mendengar ini. Dan kebetulan, sebentar lagi hari ulang tahunnya.
Hadiah yang sempurna.
Namun ia sadar: sudah terlalu lama menahan ayam kecil itu. Ia segera mengembalikan Tiberius ke kandang, lalu pergi sehening kedatangannya.
Sayangnya, ia tak tahu—hanya beberapa detik setelah ia pergi, Hazel keluar dari lorong rahasia, napas terengah, mata berbinar dengan kotak Relic di pelukan.
Kalau saja Iskandar terlambat sedikit, mereka pasti berpapasan.
Hazel menutup pintu rahasia dengan hati-hati, menutupi dengan tanah dan daun. Lalu kembali ke rumah, masih dengan dada berdebar, seakan baru keluar dari dongeng petualangan.
Di dapur, ia menyiapkan teh hangat, mencoba menenangkan diri. Kemudian ia keluarkan kotak kecil itu.
Tak ada celah kunci, tak bisa dicongkel. Hanya balutan ukiran suci pada permukaannya yang kusam.
Hazel menatapnya lama. Tak menemukan petunjuk, tapi firasatnya berkata: benda ini tidak berbahaya bagi manusia biasa.
Mungkin inilah Black Relic yang disebut-sebut—benda yang hanya berbahaya bagi Grand Cavalier.
Malam itu, Hazel membungkusnya dengan kain dan meletakkannya di bawah bantal.
Esok harinya, ia membawanya bersama keranjang telur segar, menuju kediaman Permaisuri Dowager.
Seperti biasa, sang Permaisuri sudah menunggu, momen favoritnya setiap hari: menerima kabar pertanian sekaligus telur baru.
Namun kali ini, ada kejutan tak terduga.
Hazel meletakkan sesuatu selain telur.
Permaisuri membelalak. “Ini… apa?”
“Yang Mulia, tahukah Anda apa yang kutemukan kemarin?”
Hazel pun mulai menceritakan petualangannya.
Sang Permaisuri Dowager terperanjat mendengar cerita itu. Tak pernah terbayangkan olehnya Hazel rela menomorduakan urusan bertani demi menyelidiki hal itu dengan begitu tekun. Lebih tak terduga lagi, ternyata di dalam lorong bawah tanah benar-benar tersembunyi sesuatu yang mirip dengan relik suci.
“Ya Tuhan…”
Beliau tak bisa menutup mulut karena terkejut.
Melihat reaksi itu, Hazel merasa puas.
Itulah tepatnya ekspresi yang ia ingin lihat.
Rasanya luar biasa melihat informasi yang ia peroleh bisa menghasilkan sesuatu yang nyata. Belakangan ini Permaisuri Dowager memang tampak lebih segar, namun kini beliau terlihat seakan dua puluh tahun lebih muda.
“Ya ampun, Hazel! Apakah ini benar-benar benda yang selama ini kita cari?”
“Dilihat dari situasinya, kemungkinan besar begitu. Semoga saja benar. Kalau iya, akhirnya kita bisa tidur nyenyak tanpa was-was. Bagaimana cara memastikan kebenarannya, Yang Mulia?”
Permaisuri Dowager menimbang-nimbang kotak itu di tangannya.
“Kurasa tak sulit. Bila benar ini relik suci, pasti ada penanda khusus yang membedakannya. Lihat, ukiran di bagian luar ini—itu bukan sekadar hiasan. Itu tulisan suci. Kalau dibawa ke para imam di Kuil Istana, mereka bisa segera membacanya.”
“Jadi ini tulisan? Saya kira hanya pola hiasan saja.”
“Betul. Biarkan para imam menafsirkannya, maka jelaslah kebenarannya.”
Hazel dan Permaisuri Dowager memang serasi dalam banyak hal, namun dalam satu hal khusus keduanya benar-benar sama: sikap penuh aksi.
Jemurlah jerami selagi matahari bersinar.
Itulah prinsip hidup mereka. Karena itu, tanpa menunda, mereka memutuskan langsung menuju Kuil Agung untuk memastikannya.
Saat itu Hazel sempat berharap kecil: mungkinkah Permaisuri Dowager akan menunjukkan jalur rahasia yang tidak pernah beliau tandai di peta? Jalur rahasia untuk keluar masuk istana tanpa diketahui siapa pun.
Namun jelas Permaisuri Dowager berniat menyimpan rahasia itu sendiri. Alih-alih membawa Hazel ke perapian rahasia, beliau hanya menyodorkan selendang renda putih yang biasa dikenakan jemaat.
“Bilang saja pada mereka: aku hendak berdoa syukur atas panen bersama Nona Hazel.”
Setelah berkata begitu kepada dayang-dayangnya, beliau menggandeng tangan Hazel dan berjalan langsung menuju Kuil Agung.
Tampaknya beliau memang sering ke sana seorang diri. Para imam, termasuk Sang Imam Agung, menyambut beliau tanpa canggung.
“Selamat datang, Permaisuri Dowager. Apa gerangan yang membawa Anda ke tempat sederhana ini?”
“Ada urusan penting, Imam Agung. Tolong lihat benda yang ditemukan gadis ladang ini di dalam tanah.”
Hazel mengeluarkan kotak yang dibalut kain dari keranjang. Seketika seluruh kuil riuh seakan sarang lebah terusik.
“Ini… ini relik kuno!”
Para imam mengenalinya seketika.
Wajar saja. Menurut Sir Lorendel, para imam Istana kini adalah yang paling murni dan unggul sepanjang sejarah. Karena kuasa kuil telah meredup, mereka benar-benar hanya mengabdi pada doa. Konon, Imam Agung kadang hanya dengan mengangkat sendok sudah memancarkan cahaya suci.
Tak butuh lama, mereka segera menganalisisnya.
“Semua ukiran di permukaan ini adalah sandi suci. Berdasarkan itu, benda ini disebut Relik Hitam yang diwariskan turun-temurun di Keluarga Kekaisaran…”
“Ah!”
Hazel dan Permaisuri Dowager berseru bersamaan.
Benar—mereka berdua bersama-sama berhasil menemukan rahasia besar. Saat mereka hendak bertanya lebih jauh, Imam Agung mendahului.
“Boleh saya tahu, di mana tepatnya benda ini ditemukan?”
“Di dalam lorong rahasia kuno.”
Hazel menceritakan bagaimana ia menemukannya. Imam Agung mendengarkan penuh perhatian, lalu mengangguk perlahan.
“Seharusnya, hanya imam dengan kuasa suci yang bisa masuk ke tempat semacam itu. Aku heran bagaimana nona ini bisa masuk….”
“Mungkin ada kaitannya dengan ‘Tangan Sang Matahari’?”
Permaisuri Dowager mengangkat tangan Hazel dengan bangga. Imam Agung menggeleng.
“Tidak, bukan itu. Ruang itu sebenarnya sudah runtuh. Dalam istilah kami: berada dalam keadaan Chaos—seperti telur pecah. Seseorang dulu memaksa masuk dan merusaknya.”
“Ya. Kami memeriksa lumut di dinding, dan ada jejak yang menunjukkan sekitar enam ratus tahun lalu memang ada orang yang masuk.”
“Begitu rupanya…”
Imam Agung menghela napas.
“Sayangnya, relik ini sudah kehilangan seluruh kekuatannya. Kami sudah mengujinya dengan segala cara—tak lebih dari sebongkah batu. Maafkanlah, sungguh disayangkan.”
Wajah tuanya dipenuhi rasa iba.
Hazel dan Permaisuri Dowager saling berpandangan.
Jadi, kekuatannya sudah lenyap…
Imam Agung mengira mereka kecewa karena kerja kerasnya sia-sia. Namun bagi keduanya, sejujurnya itu justru kabar lega.
Mereka yakin Iskandar takkan pernah tergelincir ke jalan tirani demi merebut kekuasaan. Kalau memang perlu, cara menahan Grand Cavalier di masa depan bisa diteliti dan diwariskan lagi. Dengan kekuatan dan sumber daya Iskandar, itu bukan hal mustahil.
“Kalau begitu…”
Permaisuri Dowager jelas terlihat lega. Selama ini diam-diam beliau sangat khawatir.
“Namun, mungkin tetap sebaiknya kita coba membukanya,” usul Hazel.
Imam Agung menatapnya seperti seorang kakek melihat cucu yang bersikeras memperbaiki mainan rusak.
“Baiklah. Bawalah. Untuk membukanya, cukup hadapkan pada ‘Teka-teki Terakhir Istana’. Itu sendiri yang akan membukanya.”
“Teka-teki Terakhir Istana?”
Hazel terbelalak. Imam Agung sadar ia keceplosan menyebut nama itu, buru-buru hendak menjelaskan—namun Hazel sudah berseru lebih dulu.
“Baik! Aku akan memecahkannya sendiri sampai akhir!”
Imam Agung terperangah. Permaisuri Dowager hanya tersenyum lembut.
“Silakan, Hazel. Lakukanlah.”
“Ya, Yang Mulia! Kalau sudah berhasil, saya akan segera melapor!”
Hazel membungkuk hormat, lalu bergegas keluar.
Imam Agung menggaruk kepalanya.
“Sebenarnya, ‘Teka-teki Terakhir Istana’ hanyalah kisah bohong yang diciptakan Permaisuri Dowager, bukan?”
“Benar.”
Beliau mengangguk.
“Dulu suasana istana seperti berjalan di atas es tipis. Aku tahu bila aku dijatuhkan, Camilla pasti menggunakan cara-cara jahat. Jadi aku menanamkan keyakinan palsu, seolah ada teka-teki yang melindungi patung itu dari kekuatan gelap.”
“Ya. Bahkan Yang Mulia Kaisar dan para Kapten Paladin terperdaya. Mereka rela begadang hingga tengah malam, membaca kamus dari awal hingga akhir hanya untuk mencari jawabannya.”
“Betul. Dan tampaknya Iskandar menyimpannya sebagai kenangan indah masa kecil. Mungkin sudah ia ceritakan juga pada Hazel. Karena itu aku yakin Hazel akan bisa menebaknya cepat atau lambat.”
Setelah berkata begitu, Permaisuri Dowager menatap Imam Agung lagi.
“Pastikan padaku sekali lagi, relik itu benar-benar tak punya kekuatan, bukan?”
“Benar, Yang Mulia. Kami bahkan sudah menggunakan Cermin Kudus milik Kaisar Pendiri untuk memeriksanya. Tak ada apa-apa di dalamnya.”
Permaisuri Dowager mengangguk lega.
Sementara itu, Hazel melangkah pulang ke ladang sambil menggaruk kepala, penuh pertanyaan. Dan tepat di pintu masuk, ia berpapasan dengan Menteri Istana.
“Ah, Tuan Menteri! Pas sekali. Apakah Anda tahu apa itu ‘Teka-teki Terakhir Istana’?”
“Nona Hazel!”
Sang Menteri langsung menggenggam tangannya erat.
“Sekarang bukan waktunya bermain teka-teki! Katakan padaku, kau mau bertani di istana untuk waktu lama, bukan?”
“Tentu saja, saya ingin bertani di sini selama mungkin.”
“Kalau begitu, lupakan teka-teki aneh itu! Fokuslah menyiapkan hadiah ulang tahun untuk Yang Mulia!”
“Oh, itu toh maksudnya. Tenang, saya sedang menyiapkan sesuatu. Kalau Tuan Menteri sendiri, apa yang Anda siapkan?”
“Pesta besar! Memang Baginda tidak begitu suka pesta, tapi kali ini berbeda. Aku mengikuti tren terbaru!”
Ia melirik penuh arti, seakan berkata: kau pun pasti tahu maksudku.
Apa ya? Aku sungguh tak tahu…
Hazel hanya bisa memiringkan kepala. Bukan teka-teki yang terjawab, malah bertambah satu lagi.
Hari berganti—sampai akhirnya di hari ulang tahun Baginda, barulah salah satu teka-teki itu terungkap.
Setelah selesai makan siang di ladang, Hazel melangkah keluar dan… matanya terbelalak.
Seluruh halaman Istana dipenuhi petani!
Tidak, tunggu. Ia belum berpindah ke desa lewat sihir teleportasi. Ini masih Taman Agung Istana. Namun di sana, lautan manusia berbusana petani memenuhi pandangan.
“Ya ampun! Luar biasa!”
Hazel spontan berseru. Beberapa dari mereka menoleh dan melambaikan tangan.
“Nona Mayfield!”
Hazel baru sadar—mereka bukan petani sungguhan. Mereka adalah bangsawan, para sosialita paling terkenal, yang rela datang lebih awal demi pesta.
Dan karena mereka semua berdandan ala petani, satu hal jadi jelas.
Tema pesta hari ini adalah… pertanian!
Hazel ternganga.
Jadi maksud Tuan Menteri dengan tren terbaru itu… ini toh!
Ternyata dunia memang sudah berubah sampai sejauh ini.
Para bangsawan saling memamerkan alat pertanian yang mereka bawa. Ada yang dengan bangga mengangkat garpu rumput kayu, ada yang membawa keranjang sayuran, bahkan ada yang mengikat ayam dengan tali dan menyeretnya masuk.
Bukan pesta mewah, melainkan nyaris pasar desa sungguhan.
Hazel terharu. Bergegas ia cuci muka, ganti pakaian, lalu melompat keluar.
“Semua orang!”
“Nona Mayfield!”
Mereka menyambutnya hangat, sebagai pencetus tren ini. Dikelilingi oleh “para petani”, Hazel tak kuasa menahan senyum.
“Kalian terlihat sangat cocok! Benar-benar seperti petani sungguhan. Bagaimana kalau sekalian ikut aku melihat ladang?”
Namun para bangsawan mendadak kikuk.
“Eh… kami sebenarnya mau main kartu sambil menunggu pesta dimulai…”
“Ya, aku harus berlatih tarian baru. Kostum ini agak sulit dipakai…”
Mereka perlahan mundur.
Hazel langsung paham.
Hanya tren sesaat.
Ya, seperti serangga sehari. Tak lama lagi semua topi jerami dan alat pertanian ini akan tersimpan di gudang, terkubur bersama mode lama lain.
Hazel hanya bisa tersenyum kecut.
Namun tetap saja, pemandangan Taman Agung dipenuhi “petani” adalah sesuatu yang tak ternilai.
Kenapa tidak menikmati momen ini saja?
Ia menyapu pandangan, mengagumi para bangsawan yang berjalan sok angkuh dengan kostum petani.
Lalu ia teringat sesuatu.
Tapi kenapa hari ini sang tokoh utama begitu sepi?
Iskandar biasanya keluar masuk ladang pagi sore. Namun menjelang ulang tahunnya, ia tiba-tiba menghilang.
Dulu Hazel mungkin cemas. Sekarang ia tahu apa artinya.
Pasti sedang menyiapkan sesuatu.
Hazel jadi penasaran.
Namun kali ini, setiap kali ingin menyelinap ke rumah sebelah, langkahnya terhenti.
Ia pasti sedang menyiapkan hadiah ulang tahun untukku…
Pikiran itu membuatnya jadi canggung.
Tanpa ia tahu, Iskandar sebenarnya sudah berkali-kali menyelinap ke ladang.
Apa yang ia lakukan? Mengukur tubuh kecil Tiberius, si anak ayam.
Mudahkah mengukur ayam mungil yang lincah itu? Jangankan Hazel—bahkan seorang Kaisar dan Grand Cavalier pun kewalahan.
Dan mengukur saja belum cukup. Ada proses lebih rumit setelahnya.
Namun bila Iskandar sudah bertekad, ia pasti menuntaskannya.
Hari-hari menjelang ulang tahun dihabiskannya di balik pintu tertutup, penuh tumpukan “gagal-cetak”. Hingga akhirnya, ia berhasil.
“Baginda! Pesta sudah dimulai! Meski tuan rumah boleh datang terlambat, tapi sekarang sudah waktunya mengenakan busana perayaan!”
“Baik! Aku segera ke sana!”
Ia berdiri tegak, meninggalkan tumpukan karya gagal, lalu bergegas keluar.
Di Aula Besar Istana, pesta sedang memuncak.
Para bangsawan berbusana petani menari gembira mengikuti musik rakyat. Meja-meja kayu penuh dengan roti desa, buah anggur, tong jagung, bahkan seekor babi panggang. Alih-alih penyanyi opera, yang bernyanyi adalah para tetua mabuk.
“Bagaimana menurutmu?”
Menteri Istana tersenyum penuh harap. Hazel menjawab jujur.
“Benar-benar seperti pesta desa!”
Menteri itu bersorak puas.
“Tak sia-sia aku lakukan survei!”
“Survei?” Hazel takjub.
Benar, ia memang bekerja keras. Hasilnya adalah pesta segar yang belum pernah ada di Istana. Semua orang menikmatinya.
“Ha ha ha!”
Terdengar tawa renyah dari kursi kehormatan. Permaisuri Dowager duduk di sana, memakai topi jerami dan apron kerja, bahagia sekali.
Hazel menoleh, dan di antara keramaian, ia juga melihat Duke Acevedo dan Duke Montealegre. Perut buncit mereka makin menonjol dalam rompi petani, sambil menggendong angsa masing-masing.
Pangeran Rowan tampil dengan kemeja kasar ala anak petani, sementara Putri Katarina membawa gunting wol. Marquis Renly bahkan memanggul kaleng susu.
Namun… mata mereka semua mencari sesuatu.
Hazel tersentak. Ia merasa seperti semua orang tengah mencari dirinya.
Mereka semua orang yang ia kenal, yang kisah terbaru mereka ingin ia dengar.
Tapi bukan sekarang waktunya. Ada satu teka-teki yang belum terjawab.
Ia mundur pelan, namun tiba-tiba bertemu dengan kelompok lain: para Kapten Paladin.
“Hazel!”
Mereka menyambutnya penuh semangat, berkerumun mengelilinginya.
Sebagai pecinta pertanian sejati, mereka tampil paling meyakinkan. Baju lusuh, rompi terbuka hingga dada, celana longgar, sepatu bot berlumur lumpur—benar-benar mirip petani baru datang dari desa.
Hazel tak kuasa menahan tawa.
“Dari mana dapat pakaian ini semua?”
“Kami menunggang kuda tanpa henti, mencari para petani dengan pakaian yang cocok. Begitu menemukannya, kami tukar pakaian! Rasanya seperti jadi tokoh utama novel petualangan!”
Sir Lewis menjawab riang.
Benar—adegan semacam itu sering muncul dalam kisah ksatria.
Hazel terhibur membayangkannya. Lalu ia bertanya tiba-tiba.
“Ngomong-ngomong, kalian sudah siapkan hadiah ulang tahun?”
“Tentu saja. Seperti biasa, yang terbaik.”
Sir Lorendel menjawab mantap. Hazel penasaran.
“Apa itu?”
“Ini.”
Ia menunjuk dirinya sendiri dan kawan-kawannya.
“Kami. Bukankah kehadiran sahabat karib yang tetap sehat dan setia setiap tahun adalah hadiah terbaik? Benar bukan, Nona Hazel?”
Kalau orang lain yang berkata begitu, Hazel mungkin mengira alasan untuk tidak membeli hadiah.
Namun keluar dari mulut high elf ini—yang meski berpakaian petani tetap tak bisa menyembunyikan wibawa—ucapan itu terdengar elegan. Hazel bahkan sempat tergerak.
Haruskah aku juga berkata begitu?
Namun ia segera menggeleng.
Tidak, itu menjiplak! Kata-kata seperti itu hanya pantas diucapkan sahabat lama mereka. Sejak kecil mereka pasti selalu mengulanginya…
Tunggu.
Hazel terhenti.
Pikiran itu menuntunnya pada sesuatu.
Teka-teki Terakhir Istana.
Jangan-jangan… itu jawabannya?
Jantungnya berdegup kencang. Iskandar belum datang. Harus dicoba sebelum ia muncul!
“Permisi sebentar!”
Hazel berbalik. Seperti biasa, bila satu ide muncul di kepalanya, dunia seolah tak lagi ada di sekelilingnya.
“Kenapa tiba-tiba pergi? Iskandar sebentar lagi datang!”
“Aku cuma sebentar, segera kembali!”
Meninggalkan para Kapten Paladin dengan wajah kebingungan, Hazel bergegas keluar.
Di dekat pintu duduklah Athena. Ia mengenakan bonnet putih dari kain tipis dan apron panjang khas pakaian kerja.
“Bagaimana mungkin beliau secantik itu!”
Pujian terdengar dari segala arah.
Dulu, Athena akan senang mendengarnya. Tapi kali ini semuanya terasa hambar. Ia hanya mengaduk anggur desa yang keras dengan sebatang jerami, lalu diam-diam menyadari Hazel menyelinap keluar.
Mau masuk bersama dia, ya?
Athena mengerutkan kening. Kalau sampai melihat mereka berdua masuk dengan mesra, hatinya akan makin gelisah.
Sudah, cukup tunjukkan muka. Itu saja.
Ia berdiri mendadak.
“Lady Duke, ke mana hendak pergi?”
“Kepalaku agak sakit…”
Saat berjalan keluar, ia bertabrakan dengan seseorang. “Aduh!” Ketika menoleh, ternyata Lady Felmata, bangsawan tua dari keluarga kekaisaran yang sudah agak pikun. Dari tangannya terjatuh sebuah buku tipis.
“Aduh! Itu hadiah untuk Yang Mulia!”
“Maafkan saya.”
Athena buru-buru memungutnya.
“Buku ini hendak dijadikan hadiah?”
“Ya! Karena Yang Mulia pasti menyukainya, aku diminta untuk memberikannya!”
“Siapa yang memintamu?”
“Camilla, tentu saja!”
Sekeliling langsung riuh.
“Omong apa itu! Camilla sudah lama meninggal!”
“Betul! Lagipula malam ini bukan Malam Baba Yaga ketika arwah gentayangan!”
Lady Felmata menoleh ke kiri dan ke kanan dengan tatapan keruh.
“Ah, iya! Bukan Camilla… Pokoknya, katanya di buku ini ada jawaban dari teka-teki yang tak pernah bisa dipecahkan oleh Yang Mulia. Teka-teki Singa Perak. Katanya, kalau berbisik kata tertentu di telinga singa, maka ia akan terbang ke langit!”
Sambil bergumam, ia menaruh buku itu di atas babi guling.
Athena terperanjat. Sebelum buku itu jatuh ke api, ia segera meraih kembali.
“Kenapa dibakar? Bukankah ini hadiah untuk Yang Mulia?”
“Hadiah?”
Mata Lady Felmata kembali sayu. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari pelukan.
“Hadiahku kan ini, cokelat. Buku apa itu?”
Ya ampun.
Athena mendesah pelan dan menyelipkan buku itu ke dalam pelukannya.
Ia sendiri memiliki kenangan dengan patung Singa Perak di taman istana. Pernah beberapa kali ikut Iskandar dan para sahabatnya ketika mereka membawa kamus, menyelinap keluar malam hari hanya untuk bermain teka-teki.
Benarkah buku ini menyimpan jawaban?
Athena penasaran.
Lagi pula ia memang berniat meninggalkan aula itu. Kalau bisa duduk sendirian di taman, menyibukkan diri dengan teka-teki, setidaknya bisa melupakan kegelisahannya.
Dengan langkah ringan, ia pun pergi.
Tak lama kemudian, suara lantang Kepala Pelayan bergema di aula besar.
“Yang Mulia Kaisar!”
Iskandar melangkah masuk dengan wibawa, tapi hatinya tergesa-gesa. Bahkan sebelum semua orang sempat menyelesaikan penghormatan, ia sudah berjalan cepat ke dalam.
Di saku jubahnya, sesuatu yang kecil bergerak-gerak.
Ia tak bisa langsung berangkat tadi. Demi acara besar hari ini, ia sempat mampir ke ladang untuk menjemput Tiberius.
Kini setelah semua persiapan matang, ia masuk ke aula—namun Hazel tak terlihat.
“Yang Mulia…”
Seorang pelayan berbisik hati-hati.
“Lady Mayfield baru saja keluar.”
“Ke mana?”
“Ke arah sana…”
Belum sempat menjelaskan, sosok Kaisar sudah lenyap.
Kepala Pelayan mendesah. Bagaimana harus melaporkan bahwa Yang Mulia yang baru masuk dengan gagah, dalam hitungan detik sudah menghilang lagi? Kepala mulai terasa pening.
Sementara itu, Hazel tiba di halaman tengah Istana Singa Perak.
Patung singa itu berdiri megah diterpa cahaya bulan. Ingatannya kembali ke masa lalu.
Musim panas, bunga-bunga rimbun. Seusai jamuan para Ksatria Pahlawan, ia berbincang dengan Sir Valentine tepat di sini. Di akhir percakapan, pria itu berkata:
—Patung Singa Perak ini menyimpan legenda…
Konon, jika tengah malam seseorang naik ke punggung singa dan membisikkan satu kata tertentu, singa itu akan terbang ke langit. Karena itulah Valentine dan kawan-kawan pernah membawa kamus, membacakan kata-kata satu per satu.
Hazel membayangkan sosok kecil Iskandar, Luis, Lorendel, Siegvaldt, dan Cayenne, bergiliran mencoba peruntungan. Senyum tipis terbit di wajahnya.
Tapi Iskandar tak pernah menemukan kata rahasia itu. Bukankah itu justru teka-teki terakhir yang tersisa?
Mungkin hanya dongeng belaka.
Namun melihat patung singa yang gagah di samping pancuran air, Hazel ingin percaya. Seolah patung itu memang menyimpan kekuatan gaib.
Ia mengeluarkan kotak bersegel yang disembunyikan rapat-rapat. Lalu berlutut di depan patung, mengangkat kotak itu tinggi.
“Singa Perak, bukalah ini.”
Sejenak hening.
Lalu… cahaya aneh berkilau di mata patung singa. Bersamaan dengan itu, kotak di tangannya bergetar.
Benar-benar terjadi?
Hazel menahan napas.
Saat itulah Iskandar tiba di halaman, setelah menanyai orang sana-sini. Melihat kilauan aneh dari arah patung, ia segera mendekat.
“Ah!”
Hazel mengenali siluetnya dan panik. Ia bangkit tergesa.
“Jangan datang ke sini!”
Iskandar tertegun.
“Kenapa?”
“Ini bisa berbahaya!”
Ia makin tak mengerti. Kalau berbahaya, justru aku harus mendekat! Dengan cekatan ia melompati semak rendah.
“Jangan, saya bilang jangan!”
Hazel melemparkan kotak bersegel itu jauh ke belakang, lalu berdiri menghadang.
Iskandar menatap heran.
“Ini semua apa? Kenapa meninggalkan perjamuan…”
“Aku menemukan Black Star!”
Hazel menjelaskan cepat.
“Ternyata benda itu juga disembunyikan di negeri kita. Persis seperti yang dikatakan Ivator!”
“Apa? Bagaimana kau menemukannya? Aku seharusnya yang menyelidikinya…”
“Yang Mulia Permaisuri yang menolongku. Tapi katanya benda ini sudah kehilangan kekuatannya, hanyalah batu tak berguna sekarang. Meski begitu, aku tetap ingin memastikan. Katanya bagi orang biasa tak berbahaya, jadi sebaiknya kau mundur.”
Hazel merentangkan tangan, berdiri teguh di depan Iskandar. Hatinya bergetar.
“Betapa berani dirimu! Siapa sebenarnya Grand Cavalier di sini?”
“Ah, tidak! Aku hanya berani karena tahu sudah aman.”
“Tidak bisa begitu! Di dunia ini tak ada yang benar-benar pasti! Menyingkirlah, kalau ada bahaya kita hadapi bersama!”
“Tidak boleh! Itu benda berbahaya yang diwariskan turun-temurun untuk melawan Grand Cavalier!”
“Tubuhku sudah cukup kebal terhadap kutukan! Menyingkirlah!”
Mereka saling beradu tekad.
Lalu sama-sama menyadari… tak terjadi apa pun.
Hazel perlahan menoleh. Iskandar ikut mengintip di baliknya.
Kotak sudah terbuka lebar.
Di dalamnya hanya ada sebuah botol kecil yang tergeletak di lantai. Tutupnya terbuka… isinya kosong.
“Hanya… kosong?”
Hazel tak bisa berkata-kata.
Iskandar memungut botol itu. Ia membaca ukiran rune di permukaan kotak.
“‘Pada hari kotak ini terbuka, pedang agung akan kehilangan ketajamannya.’ Hmm… Jadi isi botol ini adalah Lethe, zat penghapus ingatan. Sekali terhirup, seseorang akan kehilangan pengetahuan, kebijaksanaan, bahkan semua ilmu pedangnya.”
“Ya ampun… lalu apa yang terjadi pada orang itu?”
“Dua kemungkinan. Jadi orang dungu, atau jadi orang gila. Jujur saja, kutukan bangsa utara mungkin lebih baik. Itu menyiksa tubuh, tapi tidak mencuri jiwamu.”
Hazel menelan ludah. Tapi toh botol sudah kosong.
Mereka saling pandang, agak canggung mengingat betapa seriusnya tadi.
Tiba-tiba sesuatu kuning kecil berlari-lari di belakang.
Astaga!
Iskandar baru sadar. Saku jubahnya kosong. Dalam kekacauan tadi, Tiberius kabur.
Untungnya si anak ayam tak lari jauh, hanya berputar di sekitar mereka sambil menatap.
Sepertinya berkata: kalian dua benar-benar cocok.
Iskandar cepat-cepat menangkapnya.
Hatinya tergetar. Hazel begitu peduli pada keselamatannya, sampai berani menghadapi kutukan sendiri. Kini saatnya ia membalas.
Ia mengeluarkan sesuatu.
Sebuah pedang mungil, panjang hanya sejengkal, namun lengkap dengan batu permata suci di hulu.
Sambil meletakkan Tiberius di telapak tangan, ia menyentuhkan pedang kecil itu.
Sekejap, cahaya emas memancar dari tubuh si anak ayam.
Hazel ternganga.
“Apa… apa itu?”
“Hadiah ulang tahunku untukmu. Penyelidikan membuktikan—Tiberius bukan ayam biasa. Dia adalah utusan Ceres, Dewi Padi.”
“APA?”
Hazel hampir tak percaya.
Petani mana pun berharap anak ayamnya tumbuh sehat, paling banter menang lomba unggas. Tapi ini?
“Benarkah? Anakku ayam ternyata… hewan suci?”
“Buktinya jelas. Ia bereaksi pada pedang suci. Semua catatan kuno menyebut tanda-tanda itu: warna emas, tubuh mungil, selalu mencari tanah luas untuk memberkahinya.”
Hazel melongo. Semua cocok. Dan kini—cahaya ilahi di depan matanya.
“Ya ampun… aku bahkan sering mengomelinya. Maafkan aku, Tiberius!”
“Dia tak akan marah. Karena Tiberius adalah Singa Ceres, sahabat abadi tangan sang matahari.”
Iskandar menyerahkan ayam kecil itu kembali. Lalu dengan khidmat menempelkan pedang mungil ke pundaknya.
“Dengan nama Kaisar, kuanugerahkan gelar kesatria. Mulai hari ini, engkau adalah Sir Tiberius.”
Batu permata di pedang berkilau terang.
Tak hanya itu, Iskandar juga mengeluarkan syal merah mungil, melilitkannya di leher si ayam.
Syal itu pas sekali, hasil ukur yang teliti.
Kini Tiberius resmi menjadi Ksatria Kekaisaran, lengkap dengan sebidang tanah kecil yang akan menghasilkan pemasukan tahunan.
“Sir Tiberius!” Hazel berseru gembira.
Ia tak menyangka, rahasia kelahiran justru ada pada ayam peliharaannya.
Keajaiban benar-benar nyata.
“Tapi… kenapa hari ini? Ini bukan ulang tahun Tiberius, bukan pula ulang tahunku.”
Iskandar menjawab mantap:
“Karena ini akan membahagiakanmu. Dan kalau kau tersenyum bahagia, itu hadiah terbesar bagiku.”
Hazel tercekat. Bagaimana mungkin ada orang yang berpikir begitu?
Pipinya merona. Dadanya berdebar. Ia ingin kabur untuk menenangkan diri.
Namun Iskandar menahan lengannya. Tangannya hangat, bahkan hampir panas. Ia berkata, agak gugup:
“Para ahli bilang… seharusnya kita tidak begini.”
“Eh?”
“Katanya ini bukan cara yang benar.”
“Maksudmu? Bukankah kita sudah melakukan yang terbaik? Bahkan ada kemajuan besar berkat aliansi utara…”
“Ya. Tapi kata mereka, kalau benar-benar saling mencintai, kita tidak boleh berpisah.”
Hazel tersenyum tipis.
“Benar. Aku juga sudah menyadari. Ada orang yang tidak akan pernah bisa kau lepaskan, apapun yang terjadi. Asal bersama, semua cobaan bisa diatasi.”
Mereka saling mengerti tanpa perlu kata-kata.
Dan saat itu, Iskandar mencondongkan tubuh. Dengan lembut, bibirnya menyentuh kening Hazel.
Hazel membeku. Matanya melebar, pipinya panas bagai terbakar. Ia bahkan spontan menutupi mata Tiberius.
Dilakukannya…!
Iskandar pun sama memerah, malu setengah mati. Ia ingin lari masuk tanah.
Takut semakin canggung, ia berbalik dan benar-benar kabur.
Hazel masih terpaku lama. Saat sadar, wajahnya makin merah padam.
Inikah… cinta?
Ia memeluk Tiberius erat-erat, wajahnya merah menyala di kegelapan malam, melangkah keluar taman dengan hati melayang.
Sementara itu…
Athena terduduk lemas di balik pohon besar. Buku teka-teki masih di tangannya.
Ia datang untuk mencari patung singa, tapi malah harus mendengar percakapan mesra mereka lagi.
Kenapa selalu aku?
Ia merintih dalam hati. Ada banyak orang yang ingin menguping, tapi kenapa yang paling tak ingin justru dirinya yang harus mendengar?
Dan tadi, kata-kata Iskandar—
“Karena ulang tahunku, ingin kuberitahu rahasia ini padamu…”
Suara lembut itu masih menggema di telinga Athena, membuat dadanya makin sesak.
Ia menggertakkan gigi.
Lebih baik ketahuan sekalian!
Ia sengaja membuat suara gemerisik, berharap mereka sadar.
Namun bukan hanya Hazel, bahkan Iskandar pun tak menyadari kehadirannya.
Ke mana hilangnya kepekaan seorang Grand Cavalier—yang konon bisa merasakan hanya dengan sekali tarikan napas makhluk di sekitarnya? Begitu dalamnya mereka larut dalam satu sama lain, sampai tak ada ruang untuk menyadari orang lain.
“……Kupikir ini juga akan menjadi hadiah besar untukku.”
Percakapan berlanjut.
Wajah Athena semakin mengeras.
Itu bukan sekadar pertemuan rahasia singkat di tengah pesta dansa. Mereka sedang berbicara tentang sesuatu yang jauh lebih penting.
Ia mendongak, menatap dua sosok di balik pepohonan.
Siapa pun yang melihat akan segera tahu: ada perasaan yang kuat mengikat keduanya. Tak seorang pun bisa menyelipkan diri di antara mereka.
Athena pikir ia sudah menyerah.
Namun, jauh di lubuk hati, sisa-sisa harapan kecil ternyata masih tersisa.
Dan kini, sisa itu pun diinjak-injak. Kini ia sadar: selamanya tak akan ada tempat untuk dirinya.
Kakinya goyah.
Ia berusaha keras menenangkan hati, tapi saat melihat dan mendengar kenyataan dengan mata kepala sendiri, semuanya runtuh. Hatinya hancur berkeping-keping.
Tak lama kemudian, keduanya pergi.
Athena tetap duduk tertegun cukup lama. Dunia di hadapannya sama pekatnya dengan kegelapan malam.
Saat itu juga—
Di bawah tanah Menara Inferna, tempat tahanan politik disekap.
Sipir Dietrich sedang meneliti berkas-berkas. Satu lembar dokumen membuat tangannya terhenti.
Tunggu sebentar.
Keningnya berkerut. Ia mendekatkan kertas itu ke lampu minyak, menajamkan mata.
Dan ia terperanjat.
“Tidak mungkin!”
Stempel itu sekilas tampak resmi. Namun di sudutnya ada sesuatu yang janggal.
Memang benar itu stempel kekaisaran—tetapi angka kecil yang tertera berbeda. Bukan “Ⅸ”, lambang Kaisar sekarang, melainkan “Ⅷ”—lambang mendiang kaisar sebelumnya.
“Bagaimana bisa…!”
Wajahnya pucat pasi. Hal yang tak terpikirkan baru saja terbukti di depan mata. Bagaimana mungkin segel dari masa kaisar lama masih beredar?
Saat itu juga, seseorang memasuki ruang bawah tanah.
“Siapa di sana?”
Sipir hendak bertanya, tapi sebelum sempat, orang itu menepuknya cepat.
Dietrich ambruk seketika.
Dari balik jubah hitam, sosok perempuan berambut merah kecokelatan muncul.
Kerual menepuk tangannya, seakan habis menyentuh sesuatu yang menjijikkan.
Akhirnya sadar juga?
Seperti yang diduganya: semua orang bodoh. Ada yang sama sekali tak sadar sampai akhir, ada pula yang baru sadar setelah tak berguna lagi.
Ia menoleh, menatap ke dalam sel.
Di sana Abbas Mammon terikat dalam belenggu.
Seandainya rencana berjalan mulus, pria itu masih punya nilai untuk dimanfaatkan.
Namun, salahnya sendiri. Andai ia berhasil menyingkirkan hambatan yang muncul tiba-tiba, posisi tinggi sudah hampir pasti dalam genggamannya.
Kerual mengeluarkan kotak kecil tipis dari balik bajunya.
Kotak lipstik. Kertas berwarna tipis yang ditempelkan sebentar di bibir akan menyalurkan warna ke kulit.
Namun kali ini, kertas di dalamnya bukan merah—melainkan hitam.
Kertas yang amat ditakuti Abbas Mammon.
Mungkin lebih baik baginya dalam kondisi tak sadar. Kerual berpikir begitu sambil mendorong kertas hitam itu ke dalam sel.
Asap pekat hitam segera mengepul.
Sebelum kabut itu hilang, Kerual sudah berbalik pergi.
Nasib manusia kadang hanya ditentukan oleh sebuah persimpangan. Satu langkah salah, bisa berakhir mati tergilas kereta. Begitu acaklah kehidupan.
Abbas Mammon sudah memilih salah. Sedangkan dirinya sendiri… masih belum tahu.
Keluar dari Menara Inferna, Kerual sempat teringat masa lalu.
Saat seorang gundik Kaisar, yang wajah jelitanya sudah membusuk hingga tinggal tulang hitam berbau busuk, menyerahkan sepucuk surat.
—“Pastikan ini sampai pada Yang Mulia. Jangan pernah membukanya, apa pun yang terjadi….”
Keputusan apa yang ia ambil waktu itu? Apakah benar, atau salah?
Jawabannya segera terungkap.
Kerual naik ke kereta yang menunggu di pintu keluar, lalu dengan suara rendah menunjukkan perintah palsu pada kusir.
“Ke istana.”
***
Athena terhuyung kembali ke kamarnya. Para pelayan bergegas mendekat.
“Yang Mulia sudah kembali? Bagaimana dengan pestanya…?”
“Keluar! Semua keluar!”
Ia mengusir mereka, lalu terduduk sendirian di kamar besar itu, tenggelam dalam keputusasaan.
Saat itulah—
Pintu terbuka tanpa suara, seseorang melangkah masuk.
“Aku bilang keluar….”
Athena terhenti.
Kerual berdiri di ambang pintu.
Athena terbelalak.
“Kau….”
Kejutan segera berganti kewaspadaan. Ia berusaha menegakkan wibawa seorang Grand Duchess, wajahnya mengeras.
“Identitasmu sudah terungkap. Kau dulu pelayan Camilla Berganza. Jari itu—itu buktinya! Buktimu disiksa si jalang itu!”
“Oh, bukan begitu.”
Kerual tersenyum tipis.
“Camilla memang kejam, benar dia menyiksa para pelayannya. Tapi jari yang terpotong bukan bukti siksaan—itu justru tanda kesayangan.”
“Apa? Mengapa memotong jari kalau sayang?”
“Untuk menjadikannya mata-mata. Kalau kukatakan Camilla melakukan hal mengerikan itu, orang-orang tentu percaya buta, lalu rahasia apa pun bisa kutarik keluar dengan mudah.”
Athena terperangah.
“Jadi kau memang kaki tangan Camilla!”
Kerual terbahak.
“Camilla sudah jadi tanah busuk. Bagaimana mungkin dia mengendalikan orang hidup seperti aku? Jangan khawatir, aku berpihak padamu, Yang Mulia. Bukankah kau berjanji dulu? Saat jadi Permaisuri, aku akan jadi Kepala Pelayanmu.”
Amarah membuncah di dada Athena.
“Masih juga ingin menipuku! Kau tahu tak ada lagi harapan! Kaisar… Kaisar telah….”
“Masih ada cara.”
“Bukankah setiap kali kau selalu berkata begitu?!”
“Kali ini sungguh. Hanya perlu sedikit perubahan rencana. Pikirkanlah: apa yang lebih tinggi dari Permaisuri? Jawabannya: Kaisar.”
Athena terhenyak.
“Apa… apa katamu?”
“Itu bukan mustahil. Kaisar belum punya pewaris. Menurut garis suksesi, Grand Duchess adalah pewaris nomor satu.”
“Kau gila!”
Wajah Athena pucat pasi. Ia takut ada yang mendengar. Ingin mengusir Kerual, tapi wanita itu tetap tenang.
“Kau tak pernah berkhianat pada beliau. Tidak sedetik pun. Justru Kaisar yang berkhianat padamu.”
Athena terdiam.
“Kau berikan seluruh hati, dan balasannya? Dingin, acuh tak acuh. Ingatkah kata-kata mendiang Kaisar? Saat tiba waktunya beliau mengkhianatimu… saat itulah….”
Dan tiba-tiba, dari kedalaman ingatan, suara mendiang Kaisar muncul.
Hari itu—hari terakhir sebelum wafatnya, saat semua dipanggil untuk perpisahan terakhir.
“—Athena, kemari.”
Ia mendekat. Aroma dupa pekat menyeruak. Bukan dupa biasa—melainkan asap gelap yang merayap tak terlihat orang lain.
Dalam kabut itu, sang Kaisar berbisik.
“Dengar baik-baik. Ini rahasia penting. Kau harus menikahi Iskandar. Jika dia mengkhianatimu dan pernikahan itu gagal, maka….”
Simpan cincin pernikahan di harta kekaisaran. Sisipkan di tengah lambang Pegasos Emas di ruang pribadi Kaisar.
Itulah pesan sang Kaisar.
Bukan hanya gerakan bibir—ia benar-benar mengucapkannya. Namun karena kabut hitam aneh itu, Athena melupakan semuanya… sampai saat ini.
Ia menegakkan kepala.
Kerual menatapnya.
Athena menggigit bibir. Rahasia ini tak boleh bocor. Lebih baik mati daripada membiarkannya keluar.
Tiba-tiba, Kerual mendorongnya.
Dari sentuhan itu, kilatan api kecil muncul. Sakit menusuk menjalar. Kerual segera berbalik, berlari keluar.
“Tidak!”
Athena berteriak.
Ia tak tahu persis apa yang terjadi. Satu hal pasti: Kerual telah mencuri rahasianya dengan sihir busuk.
Harus dihentikan!
Athena segera berlari menuju harta kekaisaran.
Namun tepat saat itu—
Clang.
Suara aneh menggema, lebih mirip getaran daripada bunyi. Ia mendengar bukan dengan telinga, tapi dengan hati.
Athena menoleh, terperanjat.
Jauh di istana Kaisar, bayangan hitam mengepul.
Salah perhitungan!
Kerual tak menuju harta kerajaan—dia sudah lebih dulu mendapat cincin itu, dan kini langsung menuju istana Kaisar!
“Tidak!”
Athena berlari sekuat tenaga.
***
Iskandar tak kembali ke aula pesta.
Hatinya penuh gejolak bahagia.
Ia tak ingin kembali ke kerumunan berisik. Biarlah pesta berlanjut tanpa dirinya; ia ingin berjalan sendirian di taman malam.
Para bangsawan mabuk tergeletak di sana-sini, tapi malam ini bahkan itu tak mengganggunya. Dunia seakan berkilau dalam cahaya.
Berulang kali ia mengitari taman, lalu akhirnya kembali ke kediamannya, hati masih tak tenang.
Begitu melangkah masuk ke kamar tidur—
Clang.
Suara aneh menggema keras. Seperti dentuman, tapi lebih tepat disebut getaran.
“Apa itu?”
Iskandar bergegas keluar.
“Barusan… suara apa itu?” ia bertanya pada para pelayan yang bersiap bertugas malam.
“Suara apa, Yang Mulia?”
Mereka tak mendengar apa-apa.
Iskandar melangkah cepat menuruni tangga—dan berhenti mendadak.
Dari jendela, pemandangan luar tertutup kabut hitam pekat, mengepung pintu gerbang besar. Para pelayan yang ikut melihat langsung pucat pasi.
“Itu… apa?”
Iskandar menatap tajam kabut itu.
Aura yang dikenalnya. Substansi Hitam.
Tak masuk akal. Benda terlarang itu seharusnya sudah musnah lama. Bagaimana bisa muncul di sini?
Namun satu hal pasti:
Ia tak bisa mendekat. Begitu Grand Cavalier menghirup kabut itu, segalanya hilang—pikirannya lenyap, menjadi kosong.
Ia menutup hidung dan mulut, mencari celah keluar yang belum dikuasai kabut. Satu demi satu, pelayan ambruk tak sadarkan diri.
Seluruh istana telah berubah menjadi jebakan raksasa.
Saat itu Athena tiba.
Pintu besar sudah terkunci rapat. Tak terlihat pelayan, tak ada penjaga.
“Yang Mulia! Yang Mulia!”
Athena menumbuk pintu dengan kedua tangan. Tak ada jawaban.
Ia mencoba segala cara, hingga teringat—
Jendela!
Jendela-jendela Istana Kaisar satu per satu ditelan kegelapan. Athena berlari tergesa, mengulurkan tangan, tapi sudah terlambat. Hampir saja bisa meraihnya, namun setiap jendela lebih dulu diselimuti bayangan hitam.
Akhirnya, jendela terakhir pun menghitam sepenuhnya. Tak peduli sekuat apa ia coba, jendela itu tak bergeming.
“Halo! Ada orang di dalam?”
Athena mengetuk pintu keras-keras, berseru. Namun tak ada jawaban. Hanya gaung suaranya sendiri yang kembali.
Apa yang sudah aku lakukan?
Andai saja bisa memutar waktu! Seandainya saat itu tidak mempercayai omong kosong Kerual, dan langsung memerintahkan untuk menahannya!
Penyesalan yang menggigit menghantamnya, tapi ia buru-buru menyingkirkannya. Ini bukan waktunya untuk meratapi kesalahan.
Belum ada yang tahu kejadian ini. Dari arah aula perjamuan, suara musik dan tawa masih menggema riang.
Satu-satunya pilihan jelas.
Athena berbalik cepat, lalu berlari ke arah pertanian kecil yang berdiri tak jauh dari sana, bercahaya di tengah gelap.
—
Sesampainya di rumah pertanian, Hazel langsung menurunkan Tiberius.
Seekor anak ayam, binatang suci, sekaligus ksatria kekaisaran yang baru saja diangkat—namun sekarang harus kembali dimasukkan ke kandang ayam.
Mau bagaimana lagi. Hazel bertekad mencari tempat yang lebih pantas baginya nanti. Tapi untuk saat ini, tampaknya Tiberius senang bersama kawan-kawannya di kandang.
Hazel sempat memeriksa Julia dan kebun stroberi, lalu masuk ke rumah. Ia duduk di meja makan.
Tubuh lelah, tapi mata tak mengantuk. Malam ini ia tahu tak akan bisa tidur.
Seperti masih melayang di atas awan. Bahkan tak terpikir untuk menyeduh teh; hatinya sudah penuh sesak.
Ia menoleh perlahan.
Tak ada kucing, tak ada burung kecil. Setelah memastikan benar-benar sendiri, Hazel mengangkat tangannya ke dahi. Kulitnya panas sekali, sampai membuatnya khawatir.
Saat itulah—
Clank.
Suara aneh terdengar dari luar. Hazel tersentak, buru-buru menjauhkan tangan dari dahi.
“Apa itu?”
Ia melangkah ke jendela, menengok keluar—dan terbelalak. Dari arah Istana Kaisar yang bertetangga dengan pertanian, asap pekat berwarna hitam membubung naik.
Apa…?
Hazel mengucek mata. Bukan ilusi. Kabut hitam itu kian merambat, menelan sekitarnya.
Lalu—bang!—pintu rumahnya terbuka dengan keras.
Athena masuk tergesa, wajah kacau penuh ketakutan.
“Apa yang harus kulakukan!”
Ia hampir menangis ketika berteriak.
“Aku telah melakukan kesalahan yang mengerikan!”
Hazel hanya bisa menatapnya bengong. Jelas sekali ada sesuatu yang sangat tidak beres.
“Apa maksud Anda, Yang Mulia Putri Agung? Tolong, jelaskan perlahan.”
“Tak ada waktu!”
Athena terisak, lalu menjelaskan dengan cepat.
“Almarhum Kaisar pernah memberiku sebuah rahasia! Kupikir aku tak pernah mengucapkan apa pun, tapi ternyata aku telah mengatakannya! Baru sekarang aku ingat! Dan Kerual… dia mencurinya dariku! Dia menggunakan rahasia itu untuk menyegel Istana Kaisar! Sekarang, Paduka terjebak di dalam!”
“Apa…?”
Hazel tercekat.
Iskandar? Terjebak di dalam sana? Padahal baru saja mereka bersama… Bagaimana bisa begini tiba-tiba?
“Menyegel, maksud Anda? Memang bisa begitu?”
“Aku juga tak tahu! Tapi aku bisa merasakannya—sebuah kekuatan yang amat kuat! Pintu, jendela… semuanya terkunci! Seperti tak akan pernah bisa ditembus!”
Kata-kata itu menghantam telinga Hazel. Kepalanya mendadak kacau balau, tapi kemudian sebuah pikiran muncul.
“……Tidak.”
“Percayalah padaku, Hazel! Aku tidak berbohong!”
“Saya percaya, Yang Mulia. Maksud saya, bukan itu. Saya rasa… ada cara untuk masuk.”
Hazel meraih sekop dan segera berlari keluar. Di dekat pagar, ia menggali tanah dengan cepat. Dan benar saja—sebuah pintu tersembunyi muncul.
Athena membelalak.
“Apa ini?”
“Jalur rahasia.”
Hazel buru-buru membuka pintu itu ke atas. Seketika kabut hitam menyeruak, berusaha menutup kembali. Hazel menahan keras-keras.
“Kita butuh sesuatu untuk menahannya!”
“Mengerti!”
Entah dari mana keluar tenaganya, Athena mengangkat sebongkah batu besar, lalu menghantamkannya ke pintu agar tetap terbuka.
Bam!
Batu itu mengganjal pintu. Kabut hitam berhamburan, seperti kaget.
“Apa itu tadi?”
“Siapa di sana?”
Suara lain terdengar. Beberapa orang datang tergopoh. Azevedo Duke dan Montealegre Duke, wajah merah karena mabuk, bersama Sekretaris Istana Cecil yang sedang sibuk mencari mereka.
“Hazel! Putri Agung!”
“Tak ada waktu menjelaskan!” Hazel berseru. “Segera beri tahu Permaisuri Janda dan Komandan Ksatria Suci! Istana Kaisar dalam bahaya! Paduka Kaisar terjebak di dalam!”
“Apa!?”
Dua Duke itu langsung siuman. Mereka bertiga menoleh ke istana, akhirnya melihat kabut hitam pekat menyelimutinya. Wajah mereka pucat pasi.
“Baik! Kami segera melapor!”
Sekretaris Cecil berlari lebih dulu, disusul dua Duke itu.
Hazel menoleh pada Athena. “Yang Mulia, lebih baik ikut bersama mereka. Saya akan masuk lewat sini untuk menjemput Paduka dan para pelayan.”
“Tidak! Aku juga ikut.”
Athena menggeleng, tekadnya jelas.
“Baiklah.”
Hazel segera kembali ke rumah, mengambil lentera dan dari gudang sebuah garpu besi—bukan tiruan untuk pesta, melainkan senjata asli.
“Yang Mulia, ini untuk Anda.”
Ia menyerahkan sabit panjang pada Athena. Gadis itu menerimanya dengan wajah penuh keberanian.
“Mari kita pergi.”
“Ya.”
Keduanya menuruni tangga rahasia.
Jauh berbeda dibanding waktu mencari air hitam. Saat itu hanya terasa dingin dan lembap. Sekarang, hawa menyeramkan menyelimuti lorong. Cahaya lentera seakan goyah dihadang kegelapan yang bergolak.
Hazel membuka peta pemberian Permaisuri Janda. “Kita ikuti jalur ini.”
“Baik. Ayo cepat.”
Athena melangkah di depan, lalu mendadak berhenti. Ada sesuatu yang bergerak dalam gelap.
Mungkin cuma bayangan. Ia menggeleng, melanjutkan langkah.
Namun tak lama, sesuatu dingin menyapu tengkuknya.
“Ah!”
Ia buru-buru menutup mulut sendiri, lalu menoleh pada Hazel dengan mata terbelalak.
“Kau merasakannya?”
“Ya.” Hazel pucat, mengangguk. “Ada sesuatu di sini.”
Tangan yang memegang lentera bergetar. Bayangan di dinding tampak seperti daging berdenyut.
Ketakutan menggenggam keduanya. Mereka berpegangan tangan.
Namun mundur bukan pilihan. Di depan, Iskandar dan para pelayan terjebak. Mereka harus sampai sebelum jalur ini pun tertutup.
Mereka melangkah lagi. Tiba-tiba sesuatu dingin menyapu kaki mereka.
“꺄악!”
Keduanya menjerit bersamaan. Dalam panik, Hazel menjatuhkan lentera.
“Tunggu!” Hazel buru-buru membungkuk mengambilnya.
Saat itu juga—sesuatu menyembul dari kegelapan tepat di belakang Hazel. Cahaya lentera yang goyah memantulkan kilau benda tajam.
“Hati-hati!”
Athena mendorong Hazel.
Rasa sakit membakar bahunya. Darah hangat mengalir deras, membasahi gaun yang robek.
“Yang Mulia!” Hazel berteriak.
Athena terdiam, menatap luka mengerikan di tubuhnya sendiri. Pertama kali dalam hidupnya mengalami luka seperti ini. Ia hampir yakin akan pingsan.
Tapi tidak.
Pikirannya yang kalut justru mendadak jernih. Dorongan tadi… itu murni insting. Bukan karena ingin mengambil hati Kaisar, bukan karena siapa pun.
Dalam keadaan darurat, bangsawan harus bertanggung jawab. Ia harus melindungi rakyat agar tidak terluka.
Itulah yang diajarkan padanya.
Aku adalah Putri Agung Kekaisaran.
Kegelapan yang selama ini mengikat pikirannya terasa mulai terangkat.
“Yang Mulia!” Hazel menekan lukanya dengan saputangan. Cepat sekali kain itu merah.
“Kita harus kembali!”
“Tidak.”
Athena menggeleng keras.
Darah mengotori saputangan, panasnya mulai memudar jadi dingin. Rasa perih membakar bahunya. Semua mengerikan. Putri kebanggaan istana tak pernah mengalami hal semacam ini.
Namun ia bisa menahan.
Lihatlah. Aku bisa melakukannya.
Kesadaran itu melahirkan keberanian.
“Aku baik-baik saja.”
Ia berdiri, menekan bahunya sendiri, menatap lurus pada kegelapan.
“Mungkin tidak sepenuhnya baik, tapi aku tidak akan mati. Dan yang terpenting…”
Tanpa menyelesaikan kalimat, ia mengayunkan sabit.
Thunk! Sesuatu tertusuk, lalu kabur tergesa.
“Yang Mulia!” Hazel terkejut.
Athena meluruskan lengan, lalu memutar pergelangan, menusuk tepat sasaran.
Hazel mengenali ketepatan gerakan itu—efisien, tanpa gerakan sia-sia. Bahkan dilakukan dengan tangan kiri.
“Kau… kau bisa bertarung?” Hazel tak bisa menahan diri bertanya.
“Bukan benar-benar bertarung. Aku hanya belajar sedikit cara menggunakan sabre.”
“Sabre?”
“Pedang bermata satu yang biasa dipakai kavaleri.”
Athena sempat tersenyum tipis, meski situasi mengerikan. Pertama kalinya ia berhasil melukai sesuatu dengan senjata.
“Katanya aku lumayan punya bakat. Tapi tangan kananku mulai berotot, jadi aku pindah ke kiri, lalu berhenti sama sekali. Meski begitu, ada satu hal yang pasti kuterapkan.”
“Apa itu?”
“Serangan adalah pertahanan terbaik!”
Ia kembali menghujam ke kegelapan. Sesuatu kembali mengaduh dan melarikan diri.
“Luar biasa…”
Hazel ternganga.
Athena terlihat begitu menakjubkan. Rambut awut-awutan, gaun compang-camping, namun lebih bercahaya dari segala perhiasan yang pernah ia kenakan.
“Baik, ikuti aku!”
Suara Athena penuh keberanian.
Dan keberanian, sama seperti rasa takut, bisa menular. Hazel pun merasa dadanya mengeras, langkahnya lebih mantap.
“Sebentar. Kurasa senjata ini lebih cocok untukmu.”
Mereka bertukar. Athena kini menggenggam garpu besi, serangan menusuknya lebih mematikan. Hazel memegang sabit, bisa menyapu lebih luas.
Serangan adalah pertahanan terbaik.
Mengingat pepatah itu, keduanya menggenggam erat alat pertanian mereka.
Di balik gelap, jelas terdengar ada sesuatu yang bergerak. Bukan hanya satu atau dua.
Namun ketika keduanya maju dengan ayunan yang penuh tenaga, seolah tercipta perisai tak kasat mata. Apa pun itu, makhluk-makhluk misterius itu tak berani mendekat.
“Menurut peta yang diberikan Yang Mulia Permaisuri Ibu, arahnya ke sini.”
“Tunggu sebentar.”
Athena menusukkan garpu besinya ke arah sudut. Sesuatu yang bersembunyi di sana kabur dengan cepat.
Benar. Ini dia.
Menerobos kegelapan, perasaan lega dan puas memenuhi dadanya. Bertindak tanpa ragu, menilai dengan nalurinya sendiri—betapa menyenangkan rasanya. Untuk pertama kali dalam hidup, ia benar-benar merasakan kebebasan tanpa ikatan apa pun.
Hazel pun bisa merasakan perubahan itu.
Bayangan kelam yang selalu menutupi wajah Athena setiap mereka bertemu, kini sirna. Hal itu sering membuat mereka sulit berkomunikasi. Tapi kali ini berbeda.
Ketika hati selaras, langkah mereka juga ringan. Mengikuti peta yang digambar Permaisuri Ibu, keduanya berbelok ke sana ke mari, mencari jalan keluar rahasia menuju Istana Kekaisaran.
Cahaya obor memantul pada dinding batu tua, menampilkan sosok menyeramkan, seakan mereka berjalan di dalam perut binatang raksasa.
Athena berhenti sebentar, mengusap keringat. Luka di bahu kanan memang sudah berhenti mengalirkan darah, tapi karena hanya bisa menggunakan satu tangan, lengannya terasa nyeri.
“Hah… Mereka pasti sama sekali tak menyangka kita mencari jalan ini dengan susah payah, ya?”
“Tentu saja. Meski Permaisuri Ibu dan para Kapten Paladin tahu soal lorong rahasia ini, kemungkinan besar mereka tak terpikir sama sekali. Saat keluar masuk ladang pun, Yang Mulia lebih memilih menyamar daripada memakai lorong.”
“Kalau saja sedikit teringat, dan mau menunggu di tengah jalan, tentu lebih mudah….”
“Itu mustahil. Lorong suram seperti sarang tikus ini pasti sudah terhapus dari benaknya. Baginda terlalu menjunjung kejujuran dan keterbukaan….”
Dengan nada sulit ditebak apakah itu pujian atau keluhan, keduanya melanjutkan perjalanan.
Setelah melewati bagian dengan batu tua, muncullah lorong yang dibangun dengan batu baru. Pasti inilah jalur rahasia menuju Istana yang baru. Mereka terus maju, mengusir makhluk-makhluk gelap yang mengintai di sekitar.
Akhirnya, di depan mereka tampak sebuah tangga sempit yang menanjak ke atas. Hazel menunjuk pada peta.
“Ini dia.”
Mereka saling bertukar pandang.
Hampir sampai.
Entah ke mana pintu itu bermuara, mereka hanya berharap Iskandar selamat. Dan kalau bisa, berada tak jauh dari sana.
Dengan tekad yang bulat, keduanya menapaki tangga curam itu.
Pada saat yang sama, Iskandar berdiri di depan aula utama istana.
Ia menghabiskan waktu lama mengangkat satu per satu para pelayan yang tumbang, memindahkan mereka ke tempat aman.
Kini mereka semua terlelap, bersandar satu sama lain. Benar saja, kabut hitam itu tak melukai orang biasa, hanya menenggelamkan mereka dalam tidur nyenyak.
Berjalan berkeliling, Iskandar menemukan satu fakta lain.
Kabut hitam itu bereaksi terhadap gerakannya. Di mana pun ia melangkah, kabut seolah sengaja menebal, menghadang jalan.
Ia mencoba segalanya. Menebas kabut dengan pedang. Menggunakan kecepatan Grand Cavalier untuk melesat melewatinya. Bahkan mengerahkan teknik hembusan angin yang diajarkan pengembara untuk menyapu bersih. Sampai melancarkan tebasan jarak jauh dengan ledakan energi.
Namun, semua sia-sia.
Sekencang apa pun Grand Cavalier, ia tetap tak bisa bergerak di ruang tanpa udara.
Sekali memaksa menerobos, kabut langsung menyerang. Tanpa bentuk, ia meresap masuk. Hanya dengan sedikit sentuhan, kepala terasa kosong, hampir kehilangan kesadaran.
Tak bisa asal seruduk. Ia harus berpikir.
Iskandar menatap tembok kabut pekat itu.
Kabut tak punya mata, tak punya hidung. Lalu bagaimana bisa mengenali dirinya? Apa yang menjadi patokan?
Pertanyaan itu baru terlintas ketika—
Dug! Dug! Dug!
Suara gedoran pintu menggema, memecah kesunyian. Iskandar mendongak, terperanjat.
Ada orang lain?
Sumber suara berasal dari lantai atas. Tepatnya—kamar pribadinya.
Tapi siapa yang bisa ada di sana?
Dug! Dug! Dug!
Suara itu terdengar lagi.
Iskandar segera berlari menaiki tangga.
Ketika membuka pintu kamar, ia segera ingat. Bukan seseorang.
Benar, ia hampir melupakannya. Saat membangun ulang Istana Kekaisaran, lorong rahasia bawah tanah diperpanjang hingga ke sini.
Ada yang masuk lewat sana. Tepat sebelum istana terkepung kabut sepenuhnya.
Pintu masuk rahasia itu tersembunyi di balik rak buku. Hanya dengan membuka kunci dan menggeser rak, lorong akan terbuka.
Iskandar buru-buru menghampiri.
“Siapa di sana?”
“Itu kami!”
Sebuah suara menjawab cepat dari balik rak.
“Hazel? Athena?”
Iskandar kian terkejut.
Tak terbayangkan mereka yang muncul. Bagaimana caranya mereka bisa menembus semua itu? Ia tak tahu. Yang jelas, ia harus segera bertemu mereka.
“Tunggu sebentar!”
Hampir saja ia menarik rak buku, namun tangan terhenti.
Kabut terkutuk itu sudah menyusup, berkumpul dengan cepat.
Tak bisa gegabah. Sekejap saja tersentuh, akal sehatnya lenyap, menjadi mayat hidup yang tak berguna.
Lalu bagaimana kabut ini bisa mengenalinya?
Iskandar menurunkan pandangan.
Pedang Grand Cavalier.
Benar. Kabut itu bukan menargetkan dirinya, melainkan pedang yang selalu ia gunakan. Energi Grand Cavalier yang melekat di pedang itu—itulah penunjuknya.
Iskandar menjauhkan pedang dari tubuhnya.
Tak lama, kabut bergeser. Perlahan tapi pasti, ia mengikuti pedang.
Ini dia.
Iskandar menoleh ke arah rak lagi.
“Tunggu sebentar. Ada satu persiapan terakhir. Kalau kuberi tanda, bukalah pintu. Tapi sebelumnya, tutup mulut dan hidung kalian. Hirup kabut ini, kalian akan jatuh tidur.”
Mereka terdengar berbisik sejenak, lalu menjawab serempak.
“Baik!”
Hazel segera menyerahkan dua kain penutup kepada Athena. Ia sendiri juga menutup rapat hidung dan mulut. Untung selalu membawa persediaan lebih.
Hanya ada satu kesempatan.
Mereka saling bertukar pandang dengan mata penuh tekad.
Lalu tibalah tanda.
Dug! Dug! Dug!
Keduanya mendorong rak dengan sekuat tenaga.
Dan saat itu juga, kabut hitam menyembur masuk.
Apa yang mereka lihat membuat keduanya terlonjak kaget.
“Anda…!”
“Bagaimana mungkin Anda!”
Di balik kabut, yang muncul bukan Iskandar. Melainkan seorang wanita muda bergaun elegan—Kerual.
Iskandar baru menyadari keadaan sudah terlambat.
Saat ia tengah mencari tempat untuk melemparkan pedangnya sejauh mungkin, kabut sudah meledak dari arah rak buku. Gelap gulita melingkupi segalanya.
“Apa yang terjadi!”
“Itu Kerual! Pelayan Camilla yang merancang semua ini!”
Athena berteriak.
Tak masuk akal. Kerual muncul begitu saja, seakan keluar dari tanah. Ia bahkan tak menutup mulut atau hidung. Bebas melangkah di dalam kabut hitam.
Bagaimana mungkin?
Jawabannya datang dari keahlian tak terduga milik Athena.
Ia, yang selalu terobsesi menjadi paling cantik, terbiasa mengamati detail penampilan orang lain. Tak ada perhiasan sekecil apa pun yang luput dari matanya.
Dan di leher Kerual, ia melihat benda asing—sebuah botol kecil.
Itu dia!
Athena langsung mengenalinya.
Seringkali wanita bangsawan menggantungkan botol parfum mungil sebagai kalung.
Tapi botol milik Kerual bukan berisi parfum. Meski samar tertutup kabut, jelas terlihat botol itu mengeluarkan asap hitam yang sama.
Athena mundur selangkah, memberi peringatan pada Hazel.
“Botol itu mencurigakan.”
“Ah!”
Hazel baru menyadarinya, mata terbelalak.
“Kenapa wanita itu punya benda itu? Bukankah isi kotak segel sudah lenyap enam ratus tahun lalu….”
“Itu sama dengan Black Matter yang kita temukan bersama Permaisuri Ibu, bukan?”
“Benar. Katanya, ia menghapus ingatan—memutuskan bagian penting dari identitas seseorang. Dengan itu, ia menjadikan seluruh istana perangkap.”
“Tapi aneh. Istana ini terkunci rapat, bagaimana Kerual bisa masuk? Kalau dia bersembunyi sebelumnya, Baginda pasti tahu.”
Athena menatap aliran kabut di sekitar tubuh Kerual. Dan ia mengerti.
“Aku tahu! Karena dia menyelubungi tubuhnya dengan zat yang sama. Itulah sebabnya hanya dia yang bebas keluar masuk.”
Ia berbisik pada Hazel.
“Itu kuncinya!”
“Ah…”
Hazel menahan keterkejutannya.
Kekuatan relik tua itu memelintir ruang. Tempat ini sudah tak lagi seperti kamar Iskandar, melainkan ruang lain yang aneh. Di sinilah, menyembunyikan emosi justru lebih menguntungkan.
Kerual berdiri diam di balik kabut. Tak ada ejekan, tak ada tawa menggema. Ia tak merasa perlu berkata apa pun. Seperti menonton sandiwara membosankan.
Dan justru itu yang paling menakutkan. Karena tak seorang pun tahu apa langkahnya selanjutnya.
Semuanya salahku.
Athena menundukkan kepala.
Kenangan lama kembali.
“Di istana asing itu, aku bertemu seorang ksatria muda yang bersinar bak matahari. Aku menatapnya lama, wajahku memerah tanpa kusadari.”
Ia berbisik lirih.
“‘Itulah Baginda. Kelak kalian berdua akan menikah.’ Semua orang berbisik begitu. Masa depan yang sempurna. Aku percaya itu milikku. Maka ketika semua mulai melenceng, aku memaksa. Aku bersikeras.”
“Ah….”
Hazel mengangguk pelan.
“Itu memang keras kepala. Tapi justru karena itu aku bisa yakin, Anda memang satu darah dengannya. Mungkin sebab itu aku tak bisa membenci Anda, Lady.”
Ia bicara sejujurnya.
Athena menoleh, menatap Hazel.
Karena ia menampakkan diri dengan cara seperti itu, Hazel justru merasa lebih tenang.
Entah siapa yang berbuat apa pun, Hazel seolah tipe orang yang akan menjawab, “Iya, begitu toh.” lalu melewatkannya. Tanpa disadari, ia mungkin akan mendekat santai ke samping, lalu dengan wajah riang mengulurkan keranjang penuh dengan berbagai hasil segar sambil berkata, “Bisa jadi begitu. Tapi bagaimana kalau coba ini?”
Mungkin karena itu semua orang merasa mudah membuka hati padanya. Bahkan kakaknya sendiri pun…
Hazel menatap Iskandar di balik kabut.
Kabut hitam itu menempel begitu lengket, seolah ia punya nyawa sendiri.
Tak pernah terpikir kabut akan menjadi musuh yang merepotkan sampai sejauh ini. Ia bisa melebar kapan pun, mengambil bentuk apa pun, nyaris tak beda dengan udara itu sendiri. Bahkan Iskandar pun kewalahan menghadapinya.
Namun ia tidak menyerah.
Bagaimanapun, ia bertekad membawa Hazel dan Athena keluar dengan selamat. Ia percaya penuh bahwa dirinya bisa melakukannya.
Karena keyakinan itulah, cahaya terpancar darinya.
“Huuh…”
Athena menarik napas panjang.
Ia tahu betapa bodohnya pria itu, tapi tetap saja mencintainya. Dan itu adalah cinta yang benar-benar tulus, tak pernah goyah.
Namun…
Seandainya cinta itu, betapapun tulusnya, berubah menjadi belenggu yang membuatnya kehilangan jati diri…
Maka saat itu tiba, ia harus berani melepaskannya.
Dengan pikiran itu, hatinya tiba-tiba terasa ringan.
Athena melangkah berani keluar dari kabut.
“Kyyaa!”
Teriakannya yang tiba-tiba membuat Hazel dan Iskandar terkejut.
“Tidak! Aku takut! Tolong hentikan! Aku tidak salah apa-apa! Bukankah aku yang membantumu memasang jebakan? Jadi keluarkan aku dari sini! Setidaknya biarkan aku sendiri yang selamat! Aku akan lakukan apa saja! Kalau aku jadi Kaisar, aku akan ikuti semua perintahmu! Kumohon…!”
Athena meratap memohon pada Kerual.
“Baru sekarang kau menyadarinya rupanya.”
Kerual muncul dari balik kabut.
Dan saat itu jelas: inilah yang sebenarnya ia tunggu-tunggu.
“Ingat? Aku bilang aku bukan anjing. Aku yakin Yang Mulia Putri Mahkota sudah mengerti pada siapa harus menundukkan kepala agar bisa tetap hidup. Jangan pernah lupakan itu.”
Ia mengulurkan tangan untuk menarik Athena ke arahnya.
Namun seketika—
Athena bergerak cepat. Tangannya meraih botol kecil yang tergantung di leher Kerual. Lalu ia berteriak pada Hazel:
“Ambil kunci ini dan segera keluar bersama Yang Mulia!”
Kerual terbelalak.
Athena melakukan hal seperti ini?
Selama ini ia hanya mementingkan dirinya sendiri, buta karena obsesi akan kasih sayang Kaisar.
Tak mungkin ia yang berani begini!
Untuk pertama kalinya Kerual yang selalu tenang benar-benar kehilangan kendali. Ia segera menerjang Athena sebelum botol itu sempat dilempar.
“Serahkan padaku!”
Kerual memelintir lengan Athena. Kali ini ia menyasar bahunya yang terluka, mencakarnya dengan kejam.
“Arrgh!”
Athena menjerit kesakitan, tapi tetap menggenggam erat botol itu.
“Putri Mahkota!”
“Athena!”
Hazel dan Iskandar berusaha menembus kabut, mencari sosoknya.
“Aku di sini!”
Athena menggapai ke arah suara mereka. Dalam kabut pekat itu, tiba-tiba tangan Hazel muncul, menyambar.
“Putri Mahkota!”
“Ya! Sini!”
Kerual mengamuk.
“Tidak boleh!”
Pisau kecil yang tajam entah dari mana muncul di tangannya.
Kalau ia tak bisa keluar, semuanya tamat. Ia akan membunuh Athena saat itu juga dan merebut kembali botol itu.
Namun Athena bertahan. Dengan nekat, ia beradu tenaga dengan Kerual, berteriak keras.
“Putri Mahkota!”
Hazel menemukan Athena lebih dulu daripada Iskandar. Dan Athena berteriak sekuat tenaga:
“Cepat! Aku akan menahan perempuan ini sampai akhir! Bawa Yang Mulia keluar sekarang juga!”
Pisau beberapa kali nyaris menembus pertahanannya. Satu tangan saja tak cukup lama untuk menahan.
Tapi ia sudah siap dengan konsekuensinya.
“Bodoh!”
Kerual mengayunkan pisau dengan segenap kekuatan.
Saat itu kabut tersibak sesaat. Iskandar melihat jelas keduanya.
“Athena!”
Athena mengulurkan tangan pada Hazel, sementara tangan lainnya mencengkeram Kerual. Namun ia tak cukup kuat.
Pisau itu menembus celah pertahanan. Athena memejamkan mata rapat.
“Biarkan aku. Ini kebodohanku, biar aku menebus dengan cara ini…”
“Apa yang kau katakan!”
Iskandar berteriak.
Kekuatan yang selama ini ia kumpulkan meledak keluar. Tepat sebelum pisau itu menusuk jantung Athena, angin dahsyat menerpa mereka.
Teknik itu adalah pengembangan dari serangan angin yang dulu ia latih.
Bruak!
Tubuh keduanya terhempas jauh.
Dan tiba-tiba hal aneh terjadi.
Athena menabrak dinding kamar, lalu tubuhnya begitu saja menembus keluar, seakan melewati gelatin.
Benar saja—tempat ini memang bukan ruang normal.
Athena berteriak dari luar.
“Kita harus keluar bersama! Cepat, ke sini!”
Ia mengulurkan tangan sejauh-jauhnya ke arah Hazel dan Iskandar.
Keduanya segera berlari.
Mereka hampir sempat menggenggam tangannya, tapi terlambat. Tubuh Athena tersedot ke luar, lenyap seketika.
“Tidak!”
Tangan yang ia ulurkan terakhir kali hilang ke balik dinding, masih menggenggam erat kunci itu.
“….”
Hazel dan Iskandar saling berpandangan.
“Tak apa! Kami juga akan keluar!”
“Kita bertemu di luar! Janji!”
Teriakan keduanya bersahutan.
Kerual yang sempat terhempas bangkit dengan wajah terkejut. Athena ternyata menusuknya dari belakang.
Putri Mahkota berkhianat…!
Kabut hitam yang memenuhi ruang mulai menghilang. Tapi pintu dan jendela tetap terkunci rapat oleh kekuatan suci Black Star.
“Siapa sebenarnya kau!”
Iskandar menyergap Kerual sebelum ia sempat kabur. Hazel cepat-cepat menimpali:
“Dia pelayan Camilla Berganza!”
“Sekalipun begitu, bagaimana bisa ia menguasai ilmu ini? Bukankah itu pengetahuan rahasia milik mendiang Kaisar?”
Kerual terdiam.
Iskandar mendesaknya.
“Katakan semuanya! Kalau kau bicara, mungkin nyawamu masih bisa kuselamatkan! Rencanamu gagal. Menyerah saja!”
“Gagal?”
Wajah Kerual terdistorsi.
“Benar, Yang Mulia. Katamu tepat. Sebuah konspirasi pun punya aturan main. Tapi semua hancur karena kalian. Mendiang Kaisar, Camilla, Mammon, aku… Di sini hanyalah dunia Chaos, tempat semua kegagalan bercampur jadi satu. Mari lihat apakah kalian bisa menemukan jalan keluar. Kalau mampu.”
“Apa…?”
Iskandar membelalak.
Tiba-tiba, bumi bergetar. Gemuruh keras mengguncang seluruh istana. Kerual memanfaatkan celah itu untuk kabur.
“Berhenti!”
Hazel mengejarnya.
Kerual berlari menembus lorong dan masuk ke sebuah ruangan. Tapi saat pintu dibuka, yang muncul hanyalah tembok bata.
“Apa? Padahal dia jelas masuk ke sini?”
Iskandar menghantam dinding sekuat tenaga. Bahkan dengan kekuatan Grand Cavalier, batu itu tak retak sedikit pun.
Padahal palu baja bisa hancur sebelumnya…
Hazel memandang sekeliling.
Tempat ini benar-benar aneh. Dari luar mungkin istana sudah kacau, tapi ke sini tak terdengar suara sedikit pun. Seakan mereka berada jauh di dasar laut.
“Jadi apa sebenarnya dunia Chaos itu?”
“Tempat tanpa aturan. Langit bisa jadi lantai, masa lalu dan sekarang bisa saling menukar.”
“Ya ampun…”
Gelap rasanya.
Terngiang lagi ucapan utusan dewa dari Utara yang berwujud seperti ubi—bahwa bersama Iskandar, usianya bisa lebih singkat. Apakah ini maksudnya?
Tidak.
Hazel menggeleng kuat.
“Tak apa. Seperti biasa, nanti semua penderitaan ini akan kita kenang sambil tertawa.”
“Benarkah?”
“Iya. Walau tanpa alasan logis.”
Senyum tipis sempat kembali ke wajah Iskandar, lalu sirna lagi.
Mereka pun terus maju perlahan melalui lorong.
Tiba-tiba, ada sesuatu bergerak di depan.
Kerual?
Mereka menahan napas, melangkah setenang mungkin.
Tapi ternyata seorang anak kecil. Jaket biru kehijauan dengan hiasan emas, rambut hitam.
Langkah Iskandar terhenti. Ia menatap punggung kecil itu dengan tatapan tak percaya.
“Adrian…?”
“Apa?” Hazel terkejut.
“Tapi anak itu sudah meninggal, bukan?”
“Benar. Seharusnya sudah mati….”
Namun itu tak terlihat seperti ilusi.
Gerakan pakaiannya nyata, bahkan bunyi langkahnya berbeda tergantung permukaan lantai.
Iskandar menggeleng tak percaya.
“Bagaimana mungkin? Apa dia selama ini hidup, bersembunyi di istanaku?”
“Kita ikuti saja dulu. Siapa tahu ada jawabannya,” ujar Hazel.
Keduanya pun mengikuti langkah kecil itu.
Tapi Adrian tiba-tiba berhenti. Ia berdiri diam, tak bergerak sedikit pun. Lama sekali, ia hanya berdiri kaku.
“Kenapa begitu?”
Hazel nekat melangkah lebih dekat.
“Hati-hati!” Iskandar memperingatkan.
Suara Hazel sempat agak keras tanpa sengaja, tapi Adrian tak juga 돌아봤다. Ia hanya berdiri diam, seperti boneka pegas yang habis tenaga.
Apa ini…?
Hazel mendekat, sekilas melirik wajah Adrian—dan langsung terperanjat.
Wajah itu terlalu mengerikan. Seperti tengkorak yang masih menempel sedikit kulit di sana-sini, seakan tubuhnya membusuk selagi masih hidup.
“Bagaimana bisa….”
“Benar dugaanku, dia sudah mati. Dipaksa untuk dihidupkan kembali… tapi gagal.”
Iskandar menggeleng, wajahnya penuh jijik.
Adrian tetap berdiri kaku. Baru kini Hazel menyadari, salah satu matanya yang berlubang kosong itu terus menatap gagang pintu di hadapannya.
Kenapa pintu…?
Sekilas Hazel melirik lagi, dan baru mengerti. Anak itu tak punya kedua tangan—sudah membusuk dan terlepas.
“Baiklah. Aku bukakan pintunya.”
Hazel pun membuka pintu itu.
Dan hampir saja menjerit.
Seorang wanita berambut hitam muncul. Cantik luar biasa, wajahnya memesona, mata almondnya begitu dalam dan memikat.
Sekilas Hazel langsung tahu.
Itu Camilla Berganza, wanita yang terkenal karena keburukannya.
Wujudnya mula-mula tampak nyata, hidup. Namun begitu tersentuh udara luar, sosoknya langsung kabur, tinggal bayang samar. Ia berbalik ke arah dalam ruangan.
“Dia memang selalu membenciku,” ujar Iskandar.
“Tak peduli seberapa besar jasaku, bukan bangga yang dia tunjukkan. Sebaliknya, ia tak tahan melihat rakyat kagum padaku. Ia lebih menyayangi Adrian, yang licik dan pandai mengambil hati. Kupikir aku aman karena status Grand Cavalier, tapi ternyata dia punya rencana. Dia sengaja terus mengirimku keluar, menguras tenagaku, lalu saat waktunya tiba, akan membunuhku dengan racun Black Star. Lalu mengangkat Adrian sebagai Putra Mahkota. Tapi…”
Iskandar menatap ngeri pada anak yang ada di hadapannya.
“…Adrian tiba-tiba mati. Camilla yakin akulah pelakunya, tapi kami punya bukti tak bersalah. Hingga kini siapa pembunuhnya tetap jadi misteri.”
Hazel berlutut, menatap mata Adrian yang kosong.
“Siapa yang melakukannya? Siapa yang membunuhmu?”
“Kenapa bicara padanya!” Iskandar terkejut.
Adrian tetap tanpa reaksi. Hazel sempat yakin dia tak akan menjawab… sampai tubuh kecil itu bergerak perlahan. Ia berjalan kaku menuju tirai.
Hazel pun membuka tirai itu.
Terlihat jendela besar sebuah mansion mewah. Di dalamnya, Camilla mengenakan gaun berkabung hitam, menangis meraung.
Saat itulah, seseorang datang diam-diam, membawa seorang pria. Wajahnya berbeda dari sekarang, tapi Hazel langsung mengenali: Abbas Mamon.
“Dia…?”
Hazel dan Iskandar sama-sama tercengang.
Ternyata barbar itu sudah lama menjulurkan tangan ke jantung kekaisaran.
“Mamon yang meracunimu?”
“Untuk apa? Apa alasan dia membunuh Adrian?”
Iskandar menatap lama pada pemandangan kabur di luar jendela.
Selama ini ia tak pernah bisa menebak siapa. Tapi begitu tahu Abbas Mamon muncul di sisi Camilla setelah kematian Adrian, benang-benang mulai terhubung.
“Sekarang jelas. Kaum barbar mahir necromancy. Kita sudah lihat sendiri—mereka bisa menghidupkan kembali mayat, menjadikannya boneka. Dengan kemampuan itu, Mamon ingin mendekati Camilla. Tapi agar berhasil, harus ada seseorang yang mati lebih dulu. Seseorang yang sangat berharga baginya.”
“Ya Tuhan…” Hazel terperanjat.
Waktu itu, tak seorang pun di Kekaisaran sempat memikirkan barbar. Masalah internal saja sudah membuat semua kalang kabut.
Tapi bagi barbar, jelas berbeda. Mereka berbatasan langsung, tentu mereka sangat peduli siapa yang akan jadi Kaisar berikutnya. Kalau Iskandar naik takhta, posisi mereka jelas terancam.
“Jadi mereka bunuh Adrian, lalu berpura-pura punya cara untuk menghidupkannya kembali. Camilla, yang kehilangan anak dan setengah gila karena dukanya, langsung terpikat.”
“Benar. Mereka membantu menjatuhkanku, sekaligus merebut hati Camilla, calon Permaisuri Ibu. Dua keuntungan sekaligus. Camilla tak tahu bahwa justru musuh yang membunuh anaknya itu yang kini ia gandeng. Tapi…”
Iskandar mengernyit.
“…necromancy hanya bisa membangkitkan mayat sebagai monster atau boneka. Yang Camilla inginkan tentu bukan itu. Ia ingin Adrian benar-benar hidup kembali. Dan untuk itu… metode biasa takkan cukup.”
Tiba-tiba, dari bawah terdengar jeritan memilukan.
Hazel merinding. Bersama Iskandar, ia menuruni tangga.
Di hadapan mereka, tersingkap pemandangan neraka.
Itu sebuah ruang bawah tanah. Penuh dengan gelandangan yang ditangkap dari berbagai sudut ibu kota.
Anak buah Camilla sedang membunuh mereka satu per satu, menyedot esensi kehidupan sesuai ritual necromancy. Setiap kematian hanya memberi cahaya kecil seperti kunang-kunang. Untuk memenuhi satu botol kaca, butuh ribuan nyawa.
“Ya Tuhan…”
Hazel menggigil.
Tak hanya mereka berdua yang merasa ngeri. Bahkan para pengikut Camilla dalam bayangan itu juga demikian. Meski hanya ilusi, emosi mereka terasa nyata.
Mereka saling berbisik, lalu salah satunya, dengan wajah waspada, mengeluarkan lembaran kertas tersembunyi.
Ilusi lain muncul.
Kali ini berisi rencana rahasia Camilla bersama Kaisar terdahulu.
Jika mekanisme tertentu diaktifkan, Istana akan runtuh. Dari dinding-dindingnya, mayat hidup akan berhamburan, menyerang siapa saja tanpa henti.
Dalam kekacauan itu, Iskandar menyelamatkan rakyatnya, sampai akhirnya terkubur bersama reruntuhan.
Sungguh rencana yang keji.
Mereka hendak mengorbankan ribuan orang tak bersalah hanya demi menjatuhkan Iskandar.
Para pengikut Camilla marah besar.
Mereka sendiri ternyata juga ditakdirkan jadi korban, dibungkam selamanya.
“Kalau begitu, jelas mereka yang lebih dulu menusuk dari belakang. Kalau tidak, mereka akan dituduh pembunuhan.” Iskandar mendesis.
Seakan mengiyakan kata-katanya, terdengar suara gedebuk dari kamar lain.
Mereka mendapati Camilla sedang sekarat, darah hitam mengucur dari mulutnya. Di sekelilingnya, para pelayan yang kehilangan jari kelingking memandang dengan ketakutan.
Camilla, dengan sisa tenaga, menulis pesan dengan darahnya. Beberapa lembar surat penuh, lalu menyegelnya, menyerahkan kepada seorang pelayan.
Dan tiba-tiba—
“Camilla, Nyonya.”
Suara dingin terdengar.
Hazel dan Iskandar menoleh.
Kerual berdiri di sana. Bukan bayangan, melainkan nyata.
Iskandar menatapnya tajam.
“Kau membuka surat darah itu, bukan?”
“Tentu saja.” Kerual tersenyum tipis.
“Siapa yang bisa menahan diri? Itu surat terakhir gundik terkenal bagi Kaisar, kutulis dengan darah sendiri. Isinya sudah bisa ditebak—Camilla menuliskan segalanya dalam delirium. Dia berharap Kaisar melanjutkan rencananya. Dan satu pesan tambahan: ‘Aku takkan biarkan anak wanita itu naik takhta. Bila kelak kita mati dan tak ada lagi rasa takut, gunakan Athena, seperti yang pernah kubisikkan.’”
Tatapan Kerual menantang.
“Camilla selalu selangkah di depan. Dia tahu cepat atau lambat pembangunan Istana Baru akan dimulai. Dan dia sudah menyiapkan hadiah bagi Yang Mulia—sebuah peti mati raksasa berbentuk istana.”
Hazel terhenyak.
Pantas selama ini bahkan Permaisuri Ibu tak pernah menemukan jawabannya. Bukan jimat, bukan benda kutukan, tapi seluruh bangunan baru itu sendiri adalah perangkap.
Pekerja bangunan yang sama, yang selalu mengerjakan proyek istana, diminta menanam racun Black Star dalam pondasi, tanpa mereka sadari.
Kerual berbicara dengan wajah bersinar, penuh gairah.
“Bayangkan rasanya, mengetahui cara termudah membunuh Kaisar masa depan. Itu mengubah hidupku.”
Hazel hanya bisa menelan ludah.
Dan cerita makin kelam, sampai akhirnya Kerual menebar kertas hitam—sisa racun Camilla.
Sekilas Hazel bingung. “Untuk apa ini? Tak mempan bagi orang biasa.”
Kerual tertawa lantang.
“Itulah rahasianya! Dengan kertas ini, aku bisa menghapus ingatan, mengendalikan orang. Bagaimana menurutmu aku bisa menundukkan Abbas Mamon? Dengan benda inilah.”
Hazel pucat pasi.
“Celaka… aku sempat menghirup asapnya…!”
Iskandar pun panik. “Kau masih ingat aku? Kau masih ingatku?”
“Masih ingat.”
“Syukurlah… setidaknya untuk sekarang.”
Namun lantai tiba-tiba bergetar. Kertas-kertas itu menyerap energi, memicu badai hitam.
Iskandar terpaksa menghunus pedang. Hazel ikut membantu sebisanya.
Kerual tertawa, lalu melompat ke celah yang terbuka akibat benturan energi.
Namun seketika, ribuan tangan kurus mencengkeramnya dari dalam celah.
“Tidak! Lepaskan! Tolong!”
Hazel menjerit kaget—itu pasukan monster mayat hidup, sama seperti yang pernah dipakai Abbas Mamon.
“Hadiah dari Camilla…” Iskandar berbisik ngeri.
Kerual melawan, tapi jumlahnya terlalu banyak. Dalam hitungan detik ia terseret, raungannya memanjang, lalu lenyap ditelan kegelapan.
Kertas-kertas yang tadi mengamuk tiba-tiba kehilangan nyawa dan jatuh berserakan. Pemiliknya telah mencapai akhir.
Itulah akhir dari seorang ambisius yang berusaha menggenggam Kekaisaran.
Kalau saja saat itu kita yang lebih dulu menerobos celah itu….
Hazel bergidik membayangkan kemungkinan itu.
Pusaran mengerikan yang menekan Iskandar lenyap begitu saja. Namun tak ada waktu untuk merasa lega.
Tuk! Tuduk!
Retakan muncul di mana-mana. Tak terhitung banyaknya mayat berusaha menerobos keluar.
Suasana gempar, tak ada tempat lari.
“Ini gawat….”
Iskandar cepat meraih Hazel dengan lengan kirinya dan, di saat bersamaan, mencabut pedangnya.
“Tak perlu khawatir. Semuanya bisa kutangani.”
Hazel menggigit bibir.
Ya, ia adalah seorang Grand Cavalier. Betapa kuatnya Iskandar, ia pun tahu.
Tapi lawan kali ini adalah mayat. Mereka jatuh, bangkit lagi. Ditebas, tetap berdiri.
Sampai kapan bisa bertahan?
Pikiran itu membuatnya sesak. Namun Hazel segera menggeleng.
Harus ubah cara pandang.
Kartu yang selalu ia gunakan setiap kali terjepit—mungkin kali ini adalah kesempatan terakhir. Ancaman nyata benar-benar menelan mereka.
Kesedihan sejenak ia singkirkan. Hingga detik terakhir, yang bisa ia lakukan hanya berusaha sekuat tenaga. Waktu semakin sempit. Dengan hati cemas, Hazel menyusun ulang pikirannya.
Siapa sebenarnya makhluk-makhluk ini?
Hadiah dari Camilla Berganza. Mayat-mayat yang disembunyikan saat pembangunan Istana Kaisar.
Tunggu….
Kilasan terang melintas dalam benaknya.
“Di lokasi pembangunan…?”
Iskandar mendengar gumaman itu. Tanpa melepas pandangan dari mayat-mayat yang berebut keluar, ia menuntun Hazel ke tempat lebih aman sambil menjawab:
“Benar. Semua ini sudah direncanakan dari awal.”
“Tapi… ada satu hal yang tak pernah bisa dia perhitungkan!” Hazel berteriak.
“Bagian lahan yang tak pernah tersentuh pembangunan!”
Wajah Iskandar menegang.
Benar. Di seluruh wilayah baru yang dibangun, hanya satu tempat yang tak pernah disentuh—tanah milik keluarga Mayfield.
Kutukan itu tak menjangkau sana.
“Tapi bagaimana kita bisa sampai ke sana?”
“Terowongan rahasia tadi! Kalau saja belum tertutup….”
Saat itu, retakan pertama benar-benar pecah. Mayat jatuh bergelimpangan, saling injak berebut keluar.
“Uwaaaah!”
Jeritan menggema. Gelombang mayat berlari ke arah mereka. Retakan-retakan lain pun pecah, memuntahkan mayat.
“Cepat pergi!”
Iskandar menggenggam Hazel dan berlari.
Kekacauan menguasai ruang itu. Tak ada yang bisa dipercaya—mata maupun telinga. Hanya naluri sendiri yang harus diandalkan.
Mereka mencari kamar tidur. Anehnya, jalannya tersembunyi di balik lemari di ruang cuci.
“Di sini!”
Mereka segera berlari.
Dari belakang, jeritan mayat menggelegar seperti badai.
“Tutup cepat!”
Pintu rahasia ditutup, lalu mereka menuruni tangga.
Tak lama, pintu digedor hebat hingga hancur. Mayat-mayat berjatuhan di tangga, saling tindih, lalu meluncur turun.
Hazel tak sengaja menoleh—dan langsung menyesal.
Mayat-mayat itu menerobos tangga tanpa takut jatuh, memenuhi lorong bawah tanah, bergerak dengan kecepatan mengerikan.
“Kenapa bisa secepat itu!”
Iskandar segera menggendong Hazel, seperti saat menaiki Tangga Surgawi, dan berlari kencang.
Mereka sampai di pintu keluar menuju ladang. Cepat menaiki tangga.
“Uwaaaah!”
Mayat sudah begitu dekat. Tangan-tangan busuk terjulur, saling tindih, naik dengan liar.
Srak!
Ujung jari mencengkeram rok Hazel. Dengan sekali sentak, kain tertarik keras.
“Hah!”
Darah Hazel seakan membeku.
Untung, di detik terakhir, mereka berhasil menerobos pintu yang terbuka.
Iskandar segera menurunkannya, lalu menutup pintu bawah tanah dan menindihnya dengan batu besar.
Dung! Dung!
Suara gebukan menggema.
Namun pintu tetap tertahan. Setelah beberapa kali, suara itu perlahan mereda.
Hazel menelan ludah, membayangkan apa yang terjadi di bawah sana—mayat-mayat itu tertindih berlapis, saling menghancurkan dalam lorong sempit.
“Uh….”
Ia gemetar, menjauh dari pintu itu.
Meski lolos, mereka belum benar-benar bebas.
Ladang dikepung kabut putih. Tak bisa ditembus, meski ditusuk dengan pedang. Tak tergores sedikit pun oleh apapun.
“Seperti kuduga, wilayah ini juga bagian dari ruang terlarang.”
“Karena kita membuka jalur rahasia tadi….”
Mereka mencoba berjalan ke dalam kabut. Namun langkah tak pernah mencapai ujung. Ruang terpuntir. Akhirnya, mereka kembali ke ladang.
Anehnya, ladang tampak damai.
Matahari bersinar, angin sepoi. Kontras sekali dengan mimpi buruk barusan.
Hazel menghela napas.
“Jangan-jangan kita selamanya terperangkap di sini? Meski, yah… lebih baik daripada di tempat tadi….”
“Benar juga. Lagipula ladang ini bisa menopang hidup kita.”
Saat percakapan itu berlangsung—
BOOM!
Getaran mengguncang dari bawah pintu yang ditindih batu.
Bukan sekadar gebukan. Itu suara sesuatu yang meledak.
Hazel dan Iskandar saling pandang, terperangah.
“Itu… suara ledakan, kan?”
Pertanyaan Hazel baru selesai, ledakan kedua mengguncang tanah.
“Jangan-jangan… runtuhnya ruang?”
Wajah Iskandar menegang. Hazel buru-buru bertanya:
“Itu maksudnya apa?”
“Seingatku….” Ia mengingat pelajaran dari para bijak.
“Ruang kekacauan tak bisa hidup berdampingan dengan dunia kita. Kalau sebatas ruang terbatas, seperti kamar atau kotak, itu bisa. Tapi begitu keluar dari batasnya, ruang itu harus melebur jadi bagian dari tatanan.”
“Dan tadi, makhluk-makhluk itu keluar….”
“Ya. Mereka sudah keluar dari istana.”
BOOM! Tanah di bawah ladang bergetar hebat. Hazel pucat.
“Jadi ladang ini juga akan runtuh?”
“Bukan begitu… setelah ruang kolaps, tempat ini tetap ada. Tapi suatu hari, entah besok, sepuluh tahun lagi, atau seratus tahun lagi, tiba-tiba ambruk. Dan kita hanya ditemukan sebagai jasad di reruntuhan.”
“Pada akhirnya tetap hancur juga! Bedanya apa!”
Iskandar terdiam. Ingin menyangkal, tapi tak ada kata yang bisa ia ucapkan.
Tapi, untuk apa memperdebatkannya?
Dalam bentangan luas dunia, manusia hanyalah semut. Bahkan Grand Cavalier pun hanyalah semut yang pandai berpedang.
Itulah keyakinan Iskandar.
“Tak ada yang bisa selamat dari runtuhnya ruang. Bahkan naga sebesar gunung pun hancur seperti serangga. Jadi… mungkin lebih baik kita diam menunggu takdir.”
Hazel tersenyum tipis. “Begitu ya.”
Ladang tetap sunyi.
Seolah tak ada yang akan runtuh dalam sekejap. Hewan-hewan di kandang pun tak tahu apa-apa.
“Itu artinya, mimpiku terkabul.” Hazel mengangkat bahu.
“Aku ingin menutup hidupku di ladang, bersama orang yang kucintai. Sayang, rambutnya belum memutih….”
Iskandar terbelalak.
Bukan karena dibandingkan dengan rambut putih. Tapi karena kata-kata sebelum itu.
Orang yang kucintai.
Di lomba berburu, Hazel hanya bilang mereka saling menyukai. Sekarang, sudah berkembang menjadi cinta.
Dan memang benar. Kini kata itu terasa pantas. Mereka sudah bersumpah tak akan berpisah, bahkan berciuman di kening.
“Benar. Setidaknya kita bisa bersama sampai akhir.”
“Ya.”
Mereka saling menggenggam erat.
Lalu—
KRAK!
Suara aneh datang dari balik kabut. Seperti sesuatu yang retak.
“Apa itu?”
Mereka berlari ke arah suara.
Di sana, pusaran kecil muncul dalam kabut. Sebelumnya tak ada.
Hazel buru-buru mengambil tongkat panjang dari gudang dan menusukkannya ke pusaran.
Masuk tanpa hambatan, lalu ditarik kembali.
Ujungnya berdebu kelabu.
Mereka berpandangan.
“Apakah ini jalan keluar?”
“Mungkin….”
Dari kabut, terdengar lagi dentuman. Dari berbagai arah.
Hazel matanya berbinar.
“Mereka sedang menghancurkannya dari luar!”
“Sepertinya begitu!”
Iskandar menghantam pusaran sekuat tenaga.
DUAAR!
Seluruh ruang bergetar. Namun pusaran tetap utuh.
“Pasti lebih mudah dihancurkan dari luar.”
“Ya. Kita bagian dari ruang ini. Yang bisa menghancurkan hanyalah dari luar.”
Beberapa dentuman lagi terdengar.
Namun hanya pusaran ini yang terbentuk.
“Tempat ini yang paling rapuh, kelihatannya….”
Hazel menjerit ke pusaran. “Kami di sini! Tolong!”
Ia kembali menusukkan tongkat, menggoyangkannya.
Tak ada jawaban.
Saat itu, tanah berguncang keras. Mereka saling berpegangan.
Getaran terus datang. Waktu mereka hampir habis.
“Kita harus beri tanda yang jelas! Supaya tahu harus hancurkan bagian ini!”
“Kalau bisa mengirim pesan….”
Utusan. Saingan.
Mereka berdua mendapat ide yang sama.
“Tiberius!”
Mereka berlari ke kandang ayam. Menangkap anak ayam kecil yang wajahnya gagah penuh wibawa.
“Hanya kau yang bisa menyelamatkan kami!”
“Pergilah, Sir Tiberius!”
Mereka mengangkatnya tinggi-tinggi ke arah pusaran.
Dengan gagah, Tiberius meloncat masuk.
Jika tongkat kayu bisa lewat, maka utusan Ceres pasti bisa lebih jauh.
Larilah, pahlawan kecil.
Mereka menunggu dengan jantung berdebar.
DUAAR!
Pusaran bergetar. Dari celah kecil, cahaya api menyala.
“Louis!” Iskandar berseru.
Dentuman maha dahsyat mengguncang. Retakan merambat.
“Sir Ziegvalt!” Hazel menjerit.
Di luar, cahaya sihir menyembur. Lorendel dan Cayenne ikut mengerahkan tenaga. Retakan melebar.
Tiba-tiba tanah di bawah amblas.
“Ah!”
Iskandar cepat meraih Hazel. Mereka hampir terjatuh, tapi ia berhasil mencengkeram tepi retakan.
DUAAR!
Sinar terang menyeruak.
Dari sisi lain, seseorang menggenggam lengan Iskandar.
“Tolong tarik mereka!”
Hazel terperanjat.
“Yang Mulia Permaisuri Ibu!”
“Mother!” Iskandar juga kaget.
Dengan tangan rapuh tapi kuat, Permaisuri Ibu menarik mereka. Orang-orang lain segera membantu.
Brak!
Mereka akhirnya terhempas ke sisi lain. Ke tanah keras. Dunia nyata.
Mereka kembali.
Hazel bangkit dengan mata berkaca.
“Yang Mulia Permaisuri Ibu!”
Ia memeluknya erat. Hampir menangis sungguhan.
“Kalau memelukku, bagaimana dengan Iskandar? Harusnya kalian berpelukan!” Permaisuri Ibu menggoda, meski suaranya juga bergetar.
“Hazel!”
“Is!”
“Yang Mulia!”
Louis, Lorendel, Ziegvalt, Cayenne—semua berlari menghampiri. Bersama para pejabat, bangsawan, dan para kesatria.
Di tangan Louis, Tiberius digendong penuh kasih, selamat.
Semua orang tampak berlumur keringat dan debu. Begitu berantakan, tapi wajah mereka berseri-seri penuh senyum.
Hazel tersadar.
Rusa putih, rubah merah, kawanan burung yang ribut, kucing-kucing kecil…
Teman-teman peternakan seperti itu juga ada di istana ini. Tempat ini pun tak lain adalah “lahan pertanian” berharga miliknya. Perasaan haru menyeruak ke dada.
“Semua orang tidak tahu… betapa aku mencintai kalian!”
Iskandar, yang tengah menepuk-nepuk debu di punggung Hazel dari belakang, terhenti seketika.
Mencintai? Semua orang?
Dan saat itulah—
Di balik kerumunan yang saling berpelukan penuh sukacita, seseorang perlahan muncul. Athena, dengan luka di bahunya yang telah dibalut.
Kerumunan segera memberi jalan.
Mereka saling menatap. Athena akhirnya membuka mulut.
“Katanya kita akan bertemu di luar. Kau menepati janji.”
Tatapannya yang semula tertuju pada Hazel, perlahan bergeser pada Iskandar. Mata itu penuh dengan emosi yang sulit di 읽다.
Sesaat kemudian, Athena mengeluarkan sebuah botol kecil dari balik jubahnya. Botol yang dulu disimpan Kerual.
“Kalau begitu… selamat tinggal.”
Ia menenggak habis isinya.
Hazel tersentak.
Bukan begitu seharusnya…
Ia tak sempat menjelaskan.
Cairan dalam botol itu adalah black star substance murni, tanpa pengolahan. Bukan sesuatu yang bisa menghapus ingatan seperti yang dipercayai banyak orang—kecuali bagi Grand Cavalier. Bagi orang biasa, itu hanya menimbulkan kantuk.
Mata Athena bergetar.
Sepertinya dia baru menyadarinya terlambat.
“……”
Namun segera, ia kembali tenang.
Toh, hal itu tak penting. Semuanya bergantung pada hati. Selama hatinya cukup kuat, ia akan baik-baik saja.
Athena pun berbalik dengan tatapan kosong, tanpa emosi. Dalam langkahnya yang ringan, Hazel merasakan ketulusan: ia sungguh telah memilih hidup baru. Hidup yang tak lagi dikendalikan emosi. Hidup yang bebas.
Itu pilihannya—dan pilihan itu patut dihormati.
Hazel bertukar pandang dengan Iskandar, keduanya memahami hal yang sama.
Namun orang-orang lain menatap mereka dengan penuh rasa ingin tahu. Cayenne akhirnya tak tahan dan bertanya,
“Jadi, ayo cerita sekarang. Sebenarnya apa yang terjadi?”
“Panjang sekali ceritanya. Duduk dulu, lalu—”
Iskandar hendak duduk, tapi mendadak terhenti.
Tak ada kursi.
Barulah ia menyadari. Sekitar mereka hanyalah puing-puing.
“Sebentar. Ini… kita ada di mana?”
“Eh, jadi begini…”
Lorendel menunjuk ke lantai.
Potret Kaisar pendiri, yang biasanya tergantung di koridor, kini tergeletak di tanah. Kacanya pecah tepat di bagian wajah.
Artinya—
Mata Iskandar bergetar.
“Jangan bilang… kalian menghancurkan istanaku?”
“Kalau tidak dihancurkan, kau pikir bagaimana kami bisa masuk?” jawab Luis, santai.
Iskandar terdiam, kehabisan kata.
Ya. Mereka baru saja menghancurkan sisi peternakan. Dan di samping peternakan itu berdiri—istana kaisarnya. Istana baru yang megah.
“Kalau begitu… aku harus bagaimana sekarang?”
Ia menoleh pada Hazel dengan wajah putus asa.
Hazel hanya mengangkat bahu.
“Yah… mau bagaimana lagi?”
