Istana pada siang hari selalu ramai, berisik, dan penuh dengan campuran berbagai macam aroma parfum para bangsawan. Namun, begitu malam tiba, jumlah orang berkurang drastis dibandingkan luasnya istana, membuat suasananya jauh lebih lapang dan nyaman.
Bangunan-bangunan megah bergaya klasik berkilau lembut dalam kegelapan. Sulur-sulur yang melilit pilar marmer tampak seindah helaian rambut sang dewi. Menyusuri jalan setapak kecil yang berkilau diterpa sinar bulan di antara pepohonan taman, akhirnya mereka menemukannya.
Dalam kegelapan, bintang-bintang kuning keemasan seolah bertaburan.
Itu adalah pohon lemon, dengan cabang-cabang yang melengkung berat karena sarat dengan buah.
“Ya ampun!”
Hazel terkejut berseru.
“Di taman umum ternyata ada pohon seperti ini! Hampir setiap hari aku berjalan-jalan di sini, tapi bagaimana bisa aku tidak menyadarinya?”
Tentu saja.
Iskandar berpikir dalam hati.
Awalnya tempat ini bukanlah taman umum. Namun, baru kemarin, lewat titah kaisar, lokasi ini resmi dijadikan bagian dari taman umum.
“Biasanya di depan pohon buah ini, para pelukis dipanggil untuk melukis potret bangsawan. Tapi Nona Mayfield tak perlu khawatir. Aku sudah menyelidikinya. Potret itu penting apa? Yang lebih penting jelas makan enak.”
“Lord Valentine! Bagaimana mungkin Anda bisa selalu punya pemikiran yang begitu luar biasa dan benar?”
Hazel bertepuk tangan kagum.
Buah-buah lemon yang menggantung tampak sangat menggoda. Begitu bulat dan montok, hampir mirip bola kecil. Tak ada sedikit pun noda kelabu, semuanya berwarna kuning cerah dengan kilau mengilap.
“Bisa memetik lemon seperti ini benar-benar keberuntungan besar!”
Hazel dengan riang mulai meraih satu per satu dan memetiknya.
“Nih, gunakan ini.”
Iskandar segera membawa sebuah tangga. Hazel naik ke atasnya, sementara ia berdiri kokoh memegangi tangga agar tidak goyah, membantu dengan penuh semangat.
Hatinya saat itu sedang begitu lapang. Bagaimana mungkin tidak? Hanya dengan mengingat pesta penting itu berhasil diselenggarakan dengan sukses, seluruh beban terasa lenyap seakan semua penyakit terobati.
Untuk lemon remeh-temeh begini?
Ia merasa ingin berkata: Selama kau mau, ambil saja semuanya.
Tentu saja, membiarkan seseorang membuka perkebunan pribadi di dalam istana jelas tak bisa ditoleransi…
“Silakan, ini untuk Anda.”
Mendadak Hazel berkata dari atas. Iskandar kaget, lalu reflek menyambut benda yang diulurkan. Di tangannya kini ada sebuah lemon yang montok.
“Cobalah gosok kulitnya sedikit, lalu hirup aromanya. Rasanya benar-benar menyegarkan.”
“Seperti ini…?”
Ia menggosok kulit lemon dengan ujung jari, lalu mengangkatnya ke dekat hidung, sesuai petunjuk Hazel.
Segera saja aroma segar lemon menyebar, berpadu dengan udara sejuk malam musim panas. Harum asam yang tajam menusuk hidung, membuat kepala terasa ringan dan hati jadi segar.
Melihat Iskandar mengerutkan hidung sambil kikuk memegang sebutir lemon, Hazel menahan tawa.
Benar-benar gaya orang kota yang canggung!
“Aroma lemon ini katanya bisa memperlancar peredaran darah, mengisi kembali energi, dan juga mengusir serangga. Jadi makin sering menghirup, makin baik hasilnya.”
Setelah memberi tahu begitu, Hazel kembali memetik buah. Ia memilih yang besar dan bagus, lalu menatanya dengan rapi ke dalam keranjang.
Saat membayangkan memetik lemon, biasanya yang terlintas adalah cahaya matahari yang menembus rimbun dedaunan hijau, sementara tangan-tangan meraih buah kuning cerah satu per satu.
Namun, memetik di bawah sinar bulan ternyata punya pesona tersendiri.
Buah lemon yang disinari cahaya bulan tampak kuning keemasan begitu indah. Aroma harumnya pun terasa semakin pekat dalam udara malam yang hening dan sejuk.
Sesungguhnya, banyak petani sengaja memanen buah pada malam hari.
Suhu yang lebih rendah membuat buah tak cepat lembek sehingga lebih tahan lama. Selain itu, tak ada ancaman tawon berbahaya yang datang mengerubungi.
Maka mereka pun memetik hingga beberapa keranjang penuh. Sebuah wadah kayu besar dengan dua pegangan akhirnya terisi penuh.
Iskandar mengangkatnya dengan mudah. Mereka pun berjalan kembali menuju pertanian.
“Tunggu sebentar.”
Hazel buru-buru melangkah mendahului.
“Aku akan memastikan dulu apakah ada penjaga di sekitar. Kalau sampai mereka melihat Lord Valentine…”
“Tidak usah khawatir. Semuanya baik-baik saja.”
Iskandar menggeleng mantap dan melangkah penuh percaya diri.
Setiap jalan yang mereka lalui benar-benar kosong. Ia memang sudah mengatur agar para penjaga di wilayah itu dipindahkan sementara sejak sehari sebelumnya.
Mereka melangkah di jalan yang bermandikan cahaya bulan, hingga akhirnya tiba di pertanian.
Sebuah lentera kecil memancarkan cahaya oranye hangat, membuat rumah sederhana itu terasa nyaman.
Di samping rumah, sapi betina bernama Julia yang sedang rebahan menyambut dengan lambat menggoyang ekornya. Mereka masuk dengan hati-hati agar tidak membangunkan ayam-ayam yang tertidur pulas di kandang.
Iskandar menjatuhkan keranjang besar berisi lemon ke lantai.
“Kayu bakar masih ada. Itu bisa kita urus besok saja.”
“Besok Anda akan datang lagi?”
Hazel terkejut bertanya.
Ia tampak jelas tertegun, sempat bergumam tidak jelas, lalu akhirnya menjawab dengan singkat, “Tentu.” Setelah itu ia memberi salam perpisahan dengan sikap tenang, lalu melangkah keluar rumah.
Hazel berdiri di ambang pintu, memandang punggungnya.
Sosok berjubah hitam itu melangkah cepat menembus kegelapan di balik pagar.
Ke mana sebenarnya ia pergi?
Tiba-tiba timbul keinginan untuk diam-diam mengikutinya.
Namun, ia segera menggeleng pelan.
Ia harus menahan diri.
Membongkar rahasia Lord Valentine berarti segalanya akan berakhir. Mengingat kembali ramalan dari daun teh, Hazel menarik napas dan memaksa dirinya berbalik.
***
Hazel sejak datang ke tempat ini sebenarnya tidak terlalu peduli dengan suasana luar.
Wajar saja.
Sejak memutuskan untuk bertani tepat di jantung istana, dia sudah merelakan reputasi di sini. Kalau harus memikirkan setiap tatapan sinis, sudah lama ia jatuh sakit karena stres. Lagi pula, pekerjaan ladang terlalu banyak hingga tak ada waktu untuk memikirkan hal-hal seperti itu.
Namun, ia jelas 느꼈다—setelah pesta sang Ksatria Pahlawan, suasana memang benar-benar berubah.
Para bangsawan kini menyapanya lebih dulu, seolah sudah kenal baik dengannya.
Wajah mereka tampak familiar. Dari mana pernah melihatnya? Hazel mencoba mengingat. Ah, sepertinya mereka yang dulu ditemui di salon Permaisuri.
Kebun kecil ini perlahan mulai menjadi pusat perhatian kalangan sosialita. Bahkan orang-orang yang lewat kini sering berhenti hanya untuk melongok ke dalam.
Rumah mungil dengan dinding putih yang dihiasi tanaman merambat yang makin hari makin rimbun, sapi perah yang santai mengunyah rumput, ayam-ayam dan anak ayam berlarian di kandang—semua itu tampak begitu menarik di mata mereka.
Tapi kebanyakan mata pengunjung selalu terarah ke satu titik.
Ke ungu-ungu yang menggantung lebat di ladang.
Terong sudah masak.
Cara memastikan terong sudah matang adalah dengan melihat daging buahnya—harus berwarna krem yang menggoda. Namun, petani berpengalaman tidak perlu sampai membelahnya. Mereka tahu kapan saatnya panen, yakni ketika kulitnya masih licin berkilat. Begitu kehilangan kilau dan tampak kusam, itu artinya sudah terlambat.
Kini terong-terong di Ladang Marronnier tampak berkilat indah.
“Minggu ini aku akan panen terong.”
Hazel dengan bangga memberi tahu teman-temannya yang datang berkunjung ke kebun.
Mendengar itu, semua langsung berebut menawarkan bantuan.
Mereka yang benar-benar sibuk hingga tak bisa meluangkan waktu otomatis gugur. Begitu juga orang-orang yang bahkan tidak tahu apa itu terong.
Yang tersisa hanyalah beberapa ksatria suci, dua-tiga orang dayang istana, serta pembantu dapur—Gemma dan Tina.
“Nah, inilah kebun terong.”
Hazel menuntun mereka ke ladang yang penuh terong bergelantungan.
Namun, tiba-tiba Hazel merasa ada tatapan kuat yang menusuknya. Ia menoleh dan mendapati sekelompok sosialita sedang mengintip dari balik pagar. Tatapan mereka penuh rasa iri.
‘Apa-apaan ini?’
Para pekerja dadakan itu jadi kikuk, tapi sekaligus bangga.
Setiap kali Hazel berhasil melakukan sesuatu, kelompok yang menentangnya semakin kehilangan semangat. Kini bahkan ada bangsawan yang ingin diam-diam menjalin hubungan baik dengan Hazel, sembari menghindari tatapan Kaisar.
Namun, mendekat sekarang bukanlah hal mudah.
Mereka hanya bisa menatap iri pada para “teman kebun” yang sudah akrab duluan.
‘Huh! Dulu sibuk menyebut kami kelompok pro-pertanian, sekarang malah iri!’
Semua orang di dalam pagar menahan tawa puas dalam hati.
Mereka sebenarnya datang untuk membantu, bukan untuk bermain. Namun suasana berubah sehingga rasanya seperti sedang piknik.
“Wah, menyenangkan! Belum mulai saja sudah seru!”
Sir Henry Dunby dari Ordo Ksatria Cahaya bahkan berteriak riang.
Seolah sedang menerima kehormatan besar, semua orang dengan senyum lebar mengenakan sarung tangan yang Hazel bagikan.
“Harus pakai ini, ya. Soalnya tangkai, daun, dan bunga terong punya duri. Kalau tertusuk, susah dicabut dan bisa meradang.”
“Baik!”
“Kalau terong masih berduri, itu tandanya segar. Jadi kalau beli di pasar, pilih yang masih ada durinya.”
“Baik!”
Mereka kompak menjawab seperti anak ayam mengekor induknya.
Dengan hati-hati mereka memotong tangkai terong satu per satu.
Dengan penuh semangat, tak lama kemudian semua jatah panen hari itu selesai.
Sayangnya, mereka masih ingin lanjut.
“Tidak ada lagi yang bisa dipetik?”
Kalau ada, bahkan kancing baju pun akan mereka petik.
Namun, karena tak bisa lama meninggalkan pekerjaan, mereka harus pulang dengan pelukan penuh terong segar sebagai oleh-oleh.
“Nanti kalau kalian datang lagi, aku akan masakkan terong ini jadi hidangan lezat.”
Hazel melepas mereka dengan senyum tulus.
Kini yang tersisa hanyalah setumpuk hasil panen berwarna ungu.
Dibakar, dibuat gratin, lasagna, digoreng, atau kroket—apa pun dibuat, pasti masih akan bersisa.
Mungkin kali ini sebaiknya ia buka lapak jualan kecil?
Hazel masih sibuk membereskan panen ketika terdengar tok tok.
Seseorang mengetuk pintu.
Ketika keluar, Hazel melihat beberapa orang asing berdiri di depan.
Mereka berbeda usia, berbeda gaya pakaian—ada yang glamor, ada yang sederhana. Hazel tidak bisa menebak siapa mereka.
“Siapa kalian? Kalau mau ikut panen, maaf, jatahnya sudah habis…”
“Bukan itu.”
Mereka merogoh saku, mengeluarkan kartu nama, dan menyerahkannya.
“Kami pengelola restoran.”
“Restoran?”
“Ya. Baru-baru ini Nona mengadakan presentasi tentang jamur labirin, bukan? Kami mendengar kabar itu dari Jenderal Lafranque dan lainnya yang hadir.”
“Katanya jamur itu luar biasa lezat. Sampai-sampai kalau dimakan berdua, salah satunya mati pun tak sadar! Kami ingin memasukkan jamur itu ke menu baru restoran kami.”
“Karena Rumah Kaca Labirin adalah hadiah khusus untuk Anda, maka semua tanaman di dalamnya menjadi milik Anda. Itulah sebabnya kami datang.”
“Ah…”
Hazel akhirnya paham.
Memang benar, hal lezat selalu membawa kabar baik. Testimoni bagus menarik orang lain untuk datang.
Para pemilik restoran menjelaskan dengan sangat detail: restoran mana, bagaimana konsep menunya, rencana peluncuran, semua sudah tertulis rapi.
Hazel membaca satu per satu, lalu memilih satu.
“‘Pavilion’. Aku pilih yang ini.”
Pemilik Pavilion langsung bersorak gembira.
“Jadi resmi, ya! Pasti jalan!”
Mereka bahkan langsung membayar uang muka di tempat.
Hazel terkejut saat membuka kantong: satu, dua, tiga, empat, lima koin emas. Total 5 gold!
Pendapatan tak terduga.
‘Bagaimana ya menghabiskan 5 gold ini dengan baik?’
Hazel pun menanyai orang-orang di sekitarnya.
Kayenne berkata, “Kalau menurutku, belikan cat tower agar kebun terlihat lebih cantik.”
Lorrendel menambahkan, “Sebaiknya tinggalkan sebentar kebun, habiskan waktu dengan alam. Aku bisa rekomendasikan tur sehari ke Gunung Arcane.”
Bahkan Sir Valentine pun dimintai pendapat. Ia menjawab serius, “Kalau begitu, bukankah sebaiknya kau membeli sesuatu yang dulu tidak mampu kau beli saat kecil?”
Hazel tertegun, lalu mengangguk kagum. “Benar juga. Dulu aku ingin sekali membeli seri buku dongeng, boneka yang bisa dipakaikan gaun sungguhan, atau kuda kayu dengan pelana…”
Dengan 5 gold itu, Hazel pun membuat fasilitas penyaring air, memperbaiki gudang, dan memanggil dokter hewan untuk memeriksa sapi Julia dan ayam kecil Tiberius. Bahkan setelah semua selesai, masih tersisa 2 gold.
Semua orang sebelumnya berkata, “Gunakan untuk dirimu sendiri.” Hanya satu orang saja yang menyarankan cat tower.
‘Baiklah, kali ini aku akan sedikit bermewah-mewah.’
Hazel tersenyum.
Tepat saat itu, seorang pelayan elegan datang membawa keranjang bunga mawar biru dan perak, serta sebuah undangan dari Rose Allison—mengajaknya menghadiri peluncuran Water Narcissus, kosmetik baru, di Briarguide.
Hazel girang bukan main.
‘Ah! Inilah tempat yang tepat untuk memakai 2 gold tersisa. Aku bisa beli blus dan rok baru yang pantas dipakai di acara elegan.’
Ia pun bersiap, bahkan mengajak Lewis dan Penny untuk ikut hadir.
Pada hari acara, Hazel muncul dengan blus putih berhias pita, rok pink pastel berpinggang tinggi dengan ruffle di bawah, serta topi berhias bulu putih. Rambut dibiarkan terurai ikal.
Namun yang membuatnya benar-benar terkejut adalah Lewis.
Naik ke kereta, Hazel melihat seorang wanita cantik dalam gaun satin merah anggur duduk menyilangkan kaki dengan anggun.
“Lewis! Ini operasi penyamaran?” Hazel hampir berteriak.
Lewis hanya tertawa sambil membuka kipas. “Hari ini aku hadir sebagai putri bangsawan, bukan kapten ksatria. Kalau aku datang pakai seragam, semua mata akan tertuju padaku, bukan pada produk baru Rose. Itu sama saja seperti datang ke pernikahan dengan gaun putih. Makanya aku pakai ini.”
Hazel dan Penny saling pandang sambil menahan senyum.
Sepanjang perjalanan mereka bahkan bermain-main dengan “stiker tahi lalat imut” yang Lewis bawa, menempelkan titik-titik mungil di wajah membentuk rasi bintang.
Rasanya benar-benar seperti sedang piknik, bukan menghadiri peluncuran kosmetik.
Setibanya di Briarguide, ada kejutan lain—kerumunan wartawan. Hazel langsung melihat seorang gadis berambut hitam menyelinap gigih di antara mereka.
“Kitty!”
Hazel memanggil dengan gembira.
Meski biasanya Lewis tidak suka gadis sosialita ambisius, dan Penny punya pengalaman pahit ketika rambutnya tercabut saat ribut-ribut di pesta, keduanya tahu apa yang pernah dilakukan Kitty untuk menyelamatkan Hazel.
Mereka pun menyambutnya hangat.
“Kitty! Rose bilang boleh membawa teman. Ayo ikut masuk!”
Kitty ragu, karena ia datang untuk meliput. Tapi ajakan begitu menggoda. Cahaya lampu gantung kristal, musik orkestra, hidangan kecil, anggur mewah… siapa yang bisa menolak?
“Yuk, ikut saja, Kitty!” Hazel menambahkan.
Kitty gelisah. “Tapi… bajuku…”
“Kalau begitu, pakai ini.”
Penny dengan senang hati melepas cape renda yang ia kenakan, lalu memakaikannya di atas gaun kotak-kotak sederhana Kitty.
Masalahnya pun langsung terselesaikan dengan bersih.
Hari ini Kitty memutuskan untuk pulang lebih awal dari pekerjaan.
Mereka berempat berjalan bersama menuju toko kosmetik baru milik Rose.
Setelah melewati gerbang marmer yang berjejer para pelayan dengan frak rapi, mereka masuk ke aula yang luas.
Di tengah kerumunan orang banyak, tampak Rose. Ia mengenakan gaun dengan bahu terbuka dan hiasan renda elegan di bagian dada, sedang menjelaskan dengan 열정 tentang parfum barunya.
Sosoknya terlihat anggun dan penuh percaya diri, benar-benar mencerminkan seorang pengusaha sukses.
Hazel merasa dadanya hangat.
Saat itu, Rose menoleh ke arah pintu masuk.
Begitu melihat Hazel datang, ia buru-buru menghentikan penjelasannya lalu berlari tergesa-gesa, sampai sepatunya hampir terlepas.
“Hazel!”
Rose menepuk tangan, dan seketika para pelayan berlari membawa karpet merah. Orkestra kecil yang bermain pun langsung menghentikan musiknya dan menabuh genderang.
Sambutan itu benar-benar setara dengan jamuan untuk tamu negara.
Lewis, Penny, dan Kitty sebenarnya belum pernah bertemu Rose. Tetapi melihat bagaimana Hazel diperlakukan, mereka merasa seolah-olah sudah langsung menjadi teman akrabnya.
“Mari lewat sini.”
Rose membawa Hazel dan rombongan ke tengah toko.
Di atas meja pajangan berdiri botol parfum baru, “Narcissus Water”. Botolnya ramping, lehernya jenjang, seakan menangkap keanggunan bunga bakung air itu sendiri.
Hazel memang sudah lama penasaran dengan parfum baru karya Rose ini.
Ia membuka tutup botol yang dibuat menyerupai kelopak bunga bakung dan mendekatkannya ke hidung.
Awalnya terkesan terlalu lembut, tetapi selang beberapa detik, aroma yang kaya segera menyebar. Manis dan romantis, namun ada kesejukan segar seperti mint yang mengikutinya.
Hazel meneteskan sedikit di punggung tangannya. Cairannya lembap, membuat kulitnya segera terasa lembut dan halus.
“Luar biasa!”
Hazel terkagum.
Entah kenapa, orang-orang di sekitarnya langsung bertepuk tangan. Ada yang saling pandang dan mengangguk puas.
Rupanya pengakuan Hazel dalam acara peluncuran ini sangatlah penting. Dengan begitu, seakan-akan parfum Narcissus Water resmi mendapat pengakuan sebagai penerus sah dari parfum Rose Water.
“Begitulah cara membuat barang laku!”
Rose tertawa cerah, lalu mengantar Hazel, Lewis, Penny, dan Kitty ke kursi empuk yang sudah disiapkan.
Segera para pelayan masuk membawa kanape mewah berkilau emas, aneka dessert, bahkan memberi kipasan agar tidak kepanasan, serta menambahkan bantal empuk dan sandal rumah. Benar-benar pelayanan kelas satu.
Tak lama, para bangsawan wanita dan nona-nona muda yang hadir dalam acara itu mengelilingi mereka.
“Hazel, senang sekali bisa bertemu denganmu.”
“Aku sudah lama ingin berkenalan denganmu.”
Sambutan hangat mengalir dari segala arah.
Kalau mengingat dinginnya perlakuan yang dulu ia terima di ruang rias Opera Avalon, perbedaan ini terasa bak siang dan malam.
Tentu saja ada alasannya.
Toko kosmetik keluarga Briar ini jauh dari dunia politik, sehingga semua orang merasa bebas untuk datang.
Selain itu, undangan acara hari ini adalah pelanggan pilihan yang sebelumnya sudah dipilah oleh Rose. Mereka semua pernah merasakan sendiri khasiat Rose Water, sehingga menatap Hazel dengan penuh kekaguman.
“Lihatlah! Setelah memakai Rose Water milik Hazel, lemak tubuhku hilang, badanku jadi ramping! Seumur hidupku belum pernah segini kurusnya!”
“Aku malah sedikit gemukan. Tapi justru kelihatan lebih segar! Yang terpenting, pusing-pusingku hilang—rasanya hidupku kembali!”
Semua berlomba-lomba memuji Rose Water, seakan itu air suci dari dewa. Hazel hanya bisa tersenyum.
“Pada dasarnya, semua masalah kalian berasal dari stres. Rose Water hanya membantu tubuh mengembalikan keseimbangannya. Selebihnya, tubuh kalianlah yang memulihkan diri.”
Namun, dari ekspresi mereka, jelas kata-kata Hazel kurang masuk di telinga.
“Seperti sekte agama saja,” gumam Lewis.
Di sampingnya, Penny sibuk mengunyah kanape salmon sampai pipinya menggembung.
“Komandan, beginilah cara berdagang.” Kitty berbisik, lalu menoleh ke Rose.
“Tapi bukankah Rose Water hanya diproduksi terbatas secara handmade? Bagaimana bisa menghasilkan keuntungan sebesar ini?”
Meskipun sudah pulang cepat, insting jurnalisnya tetap muncul.
“Kuncinya adalah kepercayaan,” jawab Rose mantap.
“Awalnya, aku hanya mencoba membuat sabun dan lilin wangi dari kelopak mawar yang tersisa. Ternyata semuanya ludes terjual. Pelanggan percaya pada namaku. Dari situ aku bekerja sama dengan perusahaan terpercaya untuk memproduksi berbagai produk berbahan bunga, tetap dalam pengawasanku. Hasilnya? Terjual seperti kacang goreng.”
Hazel tersenyum cerah.
“Luar biasa, Rose!”
“Karena kualitasnya bagus, semua kalangan menyukainya—pria maupun wanita, muda maupun tua. Bahkan seorang bangsawan besar rutin datang membeli produknya.”
“Hebat sekali!”
“Dan lebih dari itu… ketika aku hidup dalam keadaan terpuruk dulu, Hazel dengan tulus membantuku. Aku tak akan pernah lupa itu. Sekarang setelah sukses, aku mulai merekrut perempuan lain yang ingin mandiri sepertiku. Berita itu menyebar dari mulut ke mulut, dan malah membuat popularitasku makin tinggi. Suksesku rupanya memberi harapan bagi banyak orang.”
“Rose, kau benar-benar mengagumkan!”
Orang-orang sempat terkejut dengan cara Rose yang kini sangat percaya diri dan terus-menerus memuji dirinya sendiri.
Namun segera mereka mengerti.
Itu semua karena Hazel. Setiap kali Hazel memberi pujian, Rose tampak begitu bahagia hingga tak bisa menyembunyikannya.
Dan itu wajar.
Para pelanggan pun mengangguk setuju.
Waktu pun berlalu tanpa terasa. Mereka begitu betah menikmati layanan bak tamu agung dan berkeliling toko.
“Sedikit lagi… hanya sebentar lagi…” pikir Hazel, sampai akhirnya menyadari ia sudah terlalu lama tinggal.
Hanya setelah rombongan tamu terakhir pergi, barulah mereka sadar waktu sudah larut.
“Kita juga harus pulang.”
Hazel, Lewis, Penny, dan Kitty berdiri. Rose terlihat menyesal meski sudah larut malam.
“Mulai sekarang aku akan sering ada di toko ini. Hazel, datanglah kapan saja. Begitu juga para ksatria dan Nona Christina, jangan lupa mampir bila lewat.”
“Tentu saja.”
Mereka menjawab serempak lalu melangkah keluar.
Tiba-tiba, sesuatu tersangkut di depan pintu.
Seorang pelayan menunduk dan mengambil sebuah kotak besar.
Hazel mendekat dengan rasa penasaran.
“Itu apa ya?”
Wajah Rose yang semula berseri karena bahagia langsung berubah.
“Bukan apa-apa!”
Ia buru-buru merebut kotak itu.
Namun dalam kepanikan, tangannya gemetar sehingga kotak terlepas dan jatuh ke lantai.
Isinya pun berserakan.
Semua orang membeku.
Berserakanlah sketsa-sketsa.
Bukan lukisan biasa. Itu adalah gambar Rose—saat ia bekerja, saat ia berbicara dengan orang, saat menjual parfum—semuanya digambar diam-diam dengan arang. Hanya melihatnya saja sudah membuat bulu kuduk berdiri.
Ada pula tumpukan catatan. Rose buru-buru meraihnya, tapi di bahunya jelas terbaca sepotong kalimat:
“Meskipun kita kini terpisah oleh keadaan, bagiku selamanya hanya ada dirimu…”
“Count Bern!”
Hazel berteriak geram.
“Ternyata ulah mantan suamimu! Kenapa harus sebegitu menjijikkan? Sudah sejak kapan begini?”
“Sudah cukup lama,” Rose menghela napas. Ia menatap ke arah tikungan jalan dengan wajah pasrah.
“Tapi sekarang dia tidak ada.”
“‘Sekarang’?” Kitty menyorot tajam.
“Dia setiap hari datang ke toko cabang pertama. Meski menyamar, aku langsung mengenalinya. Dari toko buka pagi hingga tutup malam, dia selalu berdiri di tikungan jalan, mengawasiku.”
“Itu pelecehan!” Penny hampir berteriak.
“Kau sudah lapor polisi?”
“Tentu. Tapi mereka menanggapi dingin saja. Bagi mereka, aku hanyalah janda biasa. Lelaki usil yang mengganggu bukan satu-dua orang, jadi mereka tidak menganggap serius.”
Rose menutup mata sejenak, tampak lelah.
“Bagaimanapun, aku sedang mencari jasa pengawal pribadi yang bisa dipercaya. Aku sudah mandiri berkat bantuan Hazel, jadi masalah ini harus kuatasi sendiri.”
Mereka berempat saling berpandangan.
“Ya, Rose pasti bisa menanganinya.” Hazel mengangguk, yang lain ikut menyetujui.
“Benar. Rose sekarang sudah pengusaha sukses.”
“Tepat. Di negeri ini, uang bisa menyelesaikan segalanya.”
“Betul. Kami tidak akan khawatir.”
Mereka mengucapkan salam perpisahan kepada Rose dan berbalik pergi.
Namun begitu keluar toko, wajah mereka langsung berubah serius.
“Meski sekarang aku hanya mengenakan gaun tanpa pedang, aku tetaplah ksatria Kekaisaran! Tidak mungkin aku diam saja!”
“Benar! Aku juga, meski cuma petani yang diakui sebagai ksatria kehormatan, tidak bisa tinggal diam! Bagaimana bisa percaya pada perusahaan pengawal? Mereka semua laki-laki! Pasti akan menjadikan alasan itu untuk menggoda Rose!”
“Tepat sekali! Count Bern yang menjijikkan itu! Mari kita yang memberi pelajaran!”
“Dan tolong, biarkan aku yang menamparnya terakhir. Urusan tampar-menampar, aku ahlinya.”
Mereka berempat segera sepakat, semangat membara.
***
Keesokan harinya.
“Paduka… Paduka?”
Iskandar tersadar dari lamunan.
Kepala Kepolisian sudah kembali menghadap. Padahal ia tidak pernah memanggilnya.
“Ada urusan apa?”
“Ini tentang si brengsek bernama Wolfhound, Paduka. Meski semua bukti sudah ditumpuk di depan matanya, ia tetap enggan membuka mulut. Bukan hanya itu saja—tadi malam bahkan ada percobaan melarikan diri dari penjara.”
“Apa? Percobaan melarikan diri?”
“Tepatnya… percobaan untuk mencoba melarikan diri, Paduka. Saat kunjungan, adiknya mencoba menyelundupkan sebilah pisau kecil kepada tahanan, tapi ketahuan oleh sipir. Adiknya langsung ditangkap di tempat dan kini ditahan terpisah.”
“Begitu rupanya…”
Wolfhound adalah penjahat berat yang pernah mencoba mencelakai Hazel.
Iskandar semula mengira cepat atau lambat dia akan mengaku. Tak disangka malah muncul masalah seperti ini. Ia sudah menduga ada dalang di belakangnya, sebab itu kasus ini sudah dimasukkan dalam kategori prioritas utama. Tidak boleh ada celah sedikit pun—harus ditangani tuntas.
Sepertinya ia sendiri yang harus turun tangan.
Dengan pikiran itu, tanpa sadar ia menatap keluar jendela.
Di atas peternakan kecil yang baru-baru ini direnovasi, gumpalan awan putih bergulir santai.
Ujung awan memerah, langit perlahan menggelap.
***
Hazel duduk di meja makan.
Setiap kali terdengar suara kecil, kepalanya seketika terangkat.
Tapi ternyata bukan.
Ia kembali menunduk, menatap kertas di atas meja.
Itu adalah rencana untuk menangkap Baron Bern. Hazel ingin memperlihatkannya kepada Lord Valentine dan meminta pendapatnya.
Namun, pria itu sama sekali tidak tampak.
Padahal selama beberapa hari berturut-turut ia selalu datang berkunjung. Begitu ada urusan, mendadak menghilang. Apa maksudnya itu?
Hazel merenung sejenak, lalu menggeleng. Kalau terus begini, ia bisa terlambat pada janji temu.
Ia menuliskan catatan singkat di atas meja:
“Saya pergi sebentar.”
Lalu keluar rumah.
Di depan lapangan latihan Ksatria Suci, Hazel bertemu Louis dan Penny. Bertiga mereka menuju gerbang istana. Di sana Kitty sudah menunggu.
Mereka berempat hanya bertukar tatapan penuh tekad, tanpa banyak kata.
Mereka menyewa kereta, menuju Briar Street, tempat toko baru Rose berdiri. Namun mereka turun agak jauh lebih dulu, lalu berjalan pelan-pelan mendekat.
“Baik, mari kita cari.” bisik Kitty.
Ia menoleh ke kiri dan kanan. Tak lama, Penny menunjuk dengan jari.
“Itu orangnya, bukan?”
Benar saja. Sesuai penuturan Rose, di seberang tikungan ada seorang pria berdiri, menatap toko lekat-lekat. Fedora ditarik rendah menutupi wajah, kerah mantel musim panas ditegakkan.
Baron Bern!
Sekejap, sosok Louis lenyap dari pandangan.
Detik berikutnya, ia sudah muncul di belakang pria itu. Sebelum sempat sadar, sebuah pukulan keras mendarat di perutnya.
Bugh!
Pria itu terhuyung, jatuh tersungkur tanpa sempat bersuara.
Louis segera mengangkatnya, menyeret ke gang belakang, lalu melemparkannya begitu saja. Penny mengikatnya dengan “tali penderitaan” yang dibawa dari rumah—sudah pasti mengikat dengan sangat menyakitkan. Hazel memercikkan air ke wajahnya, sementara Kitty merampas topinya.
Saat melihat wajahnya, Hazel terkejut.
“Itu bukan Baron Bern!”
Plak!
Kitty menamparnya tanpa ampun.
“Pokoknya dia orang yang ganggu Rose!”
Pria malang itu menjerit histeris setelah mendapat tamparan profesional.
“Tunggu! Saya bukan orang jahat!”
“Tidak ada kebohongan yang lebih basi dari itu.”
Louis baru hendak menendang bagian vitalnya ketika—
“Itu benar!”
Tiba-tiba seorang pria lain berlari-lari kecil menghampiri.
Begitu cahaya mengenai wajahnya, tampaklah seorang pemuda pirang, tampak rapi, sekitar akhir usia dua puluhan.
Louis terperanjat.
“Marquis Ranley?”
Pemuda itu menunduk hormat.
“Lord Louis, Nona-nona sekalian. Saya mohon maaf sebesar-besarnya. Orang ini adalah pelayan saya.”
“Pelayan Marquis adalah kriminal!” Hazel memprotes.
Ranley tampak sangat cemas.
Namun memang ada yang aneh.
“Sebentar… Marquis, Anda bersembunyi di sekitar sini tanpa pengawal, tanpa kereta? Seorang bangsawan tinggi sekelas Anda?” Hazel bertanya curiga.
“Saya hanya kebetulan lewat dan ingin memastikan. Izinkan saya menjelaskan. Bolehkah saya meminjam sedikit waktu Anda?”
Nada bicaranya sopan. Hazel menoleh pada Louis.
“Marquis Ranley bukan orang aneh,” katanya.
“Iya, dia pria terhormat. Reputasinya baik,” Kitty menambahkan.
Akhirnya mereka memutuskan ikut.
Ranley membawa pelayannya ke penginapan terdekat, menitipkannya dengan sejumlah uang. Lalu ia menuntun rombongan ke kedai teh, menyewa ruang kecil khusus, mempersilakan semua duduk, kemudian memulai penjelasan.
“Nama orang malang itu adalah Boshko. Ia hanya menjaga pintu toko. Dan memang benar—saya sendiri yang memerintahkannya. Tugasku, jika ada pria mencurigakan berkeliaran tanpa maksud membeli rosewater, segera laporkan padaku.”
“Apa?”
“Saya akui salah. Tidak ada gunanya lagi menutupi. Sebenarnya… saya diam-diam jatuh hati pada Nona Rose.”
Keempatnya ternganga.
Hazel sampai sempat kehilangan kata.
“Jadi, alasan menempatkan pelayan itu…”
“Boshko dulunya petarung profesional. Setelah tahu Nona Rose bercerai, saya khawatir. Wanita cantik yang sukses setelah bercerai pasti jadi incaran lalat-lalat. Maka saya membalik cara berpikir—saya yang akan mengusir para lalat itu. Lewat Boshko, saya juga tahu mantan suaminya masih sering berkeliaran di sekitar toko. Saya menduga Anda juga ke mari untuk memberi pelajaran pada Baron Bern… tapi, izinkan saya memberi kabar baik: masalah itu sudah selesai.”
Ia mengeluarkan selembar kertas. Sebuah surat pernyataan.
Hazel terbelalak.
“Marquis sendiri yang menyelesaikannya?”
“Ya. Semalam akhirnya kutangkap. Saat melihatnya kembali mengganggu sampai ke toko baru, aku benar-benar tak bisa menahan amarah. Aku memaksa dia menulis sumpah: tak akan mendekat lagi seumur hidupnya.”
Tulisan tangannya gemetar, jelas menggambarkan betapa keras tekanan yang ia alami saat itu. Semua bisa membayangkan adegan aslinya.
Mereka saling pandang. Hazel menyusutkan bahu.
“Begitu rupanya… lalu, bagaimana dengan Boshko? Kasihan sekali…”
“Tidak, tidak usah khawatir.”
Ranley menggeleng.
“Meski tidak menyangka akan kena tinju salah satu ksatria terkuat di kekaisaran, tapi ia sudah mengenakan sabuk pelindung tebal, jadi pasti baik-baik saja. Boshko itu pria baja. Sama sekali tak perlu risau.”
“Syukurlah kalau begitu…”
Tetap saja Hazel merasa sungkan. Penny berdeham.
“Setidaknya kita terhindar dari bencana besar. Bayangkan seandainya pukulan itu mendarat tepat di bagian vital… betapa beruntungnya Marquis berada di dekat sana. Tentu tujuannya menemui Rose, bukan?”
Wajah Ranley seketika merah.
“Demi Tuhan, saya tak bermaksud lancang. Saya hanya… ingin tahu apakah tokonya berjalan lancar, apakah ada yang bisa kubantu…”
“Dan sambil menatap wajahnya dari kejauhan?”
“…Iya, sambil menatap sekali saja…”
Tanpa sadar ia mengaku. Louis berhasil memancingnya dengan mudah.
Mereka semua menahan tawa.
Jelas sudah: Marquis muda ini benar-benar tergila-gila pada Rose. Ia sendiri yang membuka hati dengan kesungguhan polos.
“Pasti Anda semua cemas. Tapi ketahuilah, saya tak pernah menganggap enteng. Bagi saya, Rose adalah sosok yang kucari seumur hidup. Jantungku berdegup kencang sejak pertama kali melihatnya.”
Matanya berkilat penuh gairah.
“Karena ia pernah terluka oleh lelaki, aku tak berani gegabah mendekat. Tapi begitu semua pengganggu enyah, aku akan menyatakan perasaanku dengan hormat.”
“Dan itu kapan?” tanya Kitty.
Ranley tampak gelisah.
“Yah… setidaknya saat dia sudah mengingat wajahku…”
“Apa? Jadi sekarang pun belum kenal?”
“Benar. Meski aku belanja setiap hari, mengobrol sebentar, sepertinya dia tak sadar siapa aku. Khawatir sekali, jangan-jangan rambutku sudah memutih pun dia tak hafal namaku.”
Mereka semua terenyuh, berusaha menghiburnya. Hazel tiba-tiba teringat sesuatu.
“Tidak, Marquis. Rose sebenarnya tahu tentang Anda. Kemarin dia sempat bercerita.”
“Betul! Dia bahkan bangga bilang, setiap hari Marquis pun belanja di tokonya!” Louis menimpali.
“Benarkah? Tepatnya apa yang dia katakan?” Ranley menatap penuh harap.
Hazel mengulang persis:
“‘Bahkan seorang Marquis pun datang setiap hari membeli barang,’ begitu katanya.”
Ranley langsung menggenggam kalimat itu, mengulanginya berulang-ulang.
“Seorang Marquis… itu aku! Itu cukup!”
Raut wajahnya penuh semangat.
Kitty berbisik nakal, “Kalau Marquis ingin berhasil, Anda harus dekat dengan Hazel. Rose selalu menuruti perkataan gadis peternakan ini.”
“Benarkah?”
Ranley menatap Hazel penuh kesungguhan.
“Nona Hazel! Anggap saya pelayan setia Anda. Saya punya sedikit pengaruh di dalam maupun luar istana. Apa pun yang sulit, katakan saja—saya akan berlari datang.”
Hazel tak kuasa menahan tawa. Dalam hati ia bergumam:
Tak perlu. Aku sudah punya seseorang seperti itu. Marquis, Anda memang baik, tapi dia… jauh lebih baik.
Lalu Hazel tersentak.
Apa yang kupikirkan barusan?
Wajahnya terasa panas, buru-buru menghapus pikiran itu dari benak.
Kebetulan percakapan pun berakhir.
“Wah, ternyata terlalu lama menahan Anda semua.”
Marquis Ranley dengan sopan memanggil kereta, bahkan memberikan uang banyak kepada kusir agar mengantar mereka dengan selamat sampai ke rumah masing-masing.
Louis yang kaya raya pun tak pernah sehalus itu. Ia pun terkesan.
“Seperti diperlakukan layaknya putri kerajaan!”
“Benar, jelas-jelas ia ingin mencetak nilai di hadapan kita.” Kitty ikut kagum.
“Bagus sekali. Hari ini kita dapat teman baru dan jodoh untuk Rose!” Penny menambahkan.
Mereka tertawa.
Tapi tetap saja, bila mengingat Boshko, hati mereka agak miris.
Hazel menghela napas.
“Kita ini sebenarnya barusan melakukan apa?”
“Tak perlu khawatirkan Rose lagi. Ia sudah punya pelindung sehebat itu.” ujar Louis riang.
“Suasananya bagus, bagaimana kalau mampir ke rumahku untuk minum?”
Semua setuju.
Begitu kereta berhenti di depan rumah, para nona berhamburan turun. Butler rumah Louis sampai melongo.
Nona Louis… membawa begitu banyak teman?
Biasanya hanya Hazel yang ia kenal baik. Kini semuanya tampak normal—tidak ada yang berkepala dua.
Apa yang sedang terjadi dengan nona kita ini?
Namun ia merasa sangat bangga.
Dengan wajah sumringah, ia segera berlari masuk. Alih-alih teh, ia menyiapkan sampanye—sungguh pilihan tepat.
Mereka berganti sandal rumah, duduk di meja teh.
Sampanye berkilauan, ham asap, tart salmon, stik mentega—semuanya tersaji. Obrolan pun mengalir deras.
“Heran juga. Bagaimana mungkin Rose tak menoleh pada Marquis muda tampan yang tiap hari belanja di tokonya?” kata Kitty.
Hazel menjawab, “Mungkin karena kepalanya penuh dengan urusan bisnis sekarang.”
“Tapi tetap saja. Mantan suaminya sampah, sekarang ada bangsawan muda kaya, belum menikah… luar biasa, kan?”
Kitty menyeringai nakal.
“Kalau begitu, bagaimana dengan kalian? Louis, Penny—selalu dikelilingi ksatria gagah. Ada yang menarik perhatian?”
“Sebagai pengamat ekosistem, tentu aku selalu…”
“Bukan itu maksudnya, Penny! Kita kan sedang santai. Louis, tipe pria idamanmu apa?”
Louis terdiam sejenak.
“Belum pernah kupikirkan. Tapi kalau ada pria ingin kuanggap laki-laki sejati, minimal dia harus sekuat aku. Kalau bisa bertahan dari pukulanku, baru lolos babak penyisihan.”
Hazel spontan berseru, “Kalau begitu, di seluruh kekaisaran cuma ada empat orang! Jadi kau harus pilih dari mereka saja.”
“Eh?!”
Louis melompat, wajahnya penuh jijik. Penny cepat-cepat menenangkan—
“Barusan Nona Christina mengatakan sesuatu yang benar-benar tak pantas diucapkan. Kapten kami, Kapten Louis, para kapten lain, dan Yang Mulia Kaisar, mereka semua itu seperti saudara kandung. Kalau mau dijelaskan lebih sederhana, bagi Kapten Louis mereka hanyalah adik laki-laki di rumah yang malas-malasan, pakai piyama sambil garuk-garuk perut.”
“Maaf! Saya salah bicara!”
Kitty buru-buru memohon ampun.
“Soalnya saat melihat Nona Rose bersama Marquis Ranry, hati saya jadi gatal-gatal, berdebar aneh. Cinta pada pandangan pertama! Betapa romantisnya, pria yang diam-diam melindungi wanita yang ia cintai, mengawasinya dalam kegelapan, berjuang mati-matian untuk menjaganya tanpa ketahuan! Dari dulu saya suka sekali cerita-cerita semacam itu. Ikut diam-diam saat dia keluar rumah! Menghadapi preman demi keselamatannya!”
“Hmm, itu memang bagus, tapi bagaimana kalau begini?”
Penny angkat bicara.
“Sang wanita yang dicintai sedang dalam bahaya. Entah karena urusan penting tiba-tiba terganggu atau ada masalah yang sulit diatasi. Saat itu pria itu muncul tiba-tiba dan berkata, ‘Hal sepele begini, gampang,’ lalu menyelesaikannya seperti penyihir. Menurut saya, pria paling mempesona justru ketika menunjukkan kemampuannya.”
“Ya, betul. Melindungi diam-diam bagus, memperlihatkan kemampuan juga bagus.”
Louis ikut menambahkan pendapatnya.
“Tapi menurutku, yang paling keren itu ketika dia mau mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Masalah sepele pun dianggap serius bersama-sama! Ucapan kecil yang terkesan lewat saja, tapi diingat lalu suatu saat diperhatikan kembali! Menurutku, pria paling mempesona justru saat seperti itu.”
Hazel mendengarkan sambil menganalisis krim tart salmon yang ada di depannya, lalu tiba-tiba tangannya berhenti.
Hah?
Kenapa semuanya terdengar sangat familiar?
Diam-diam pergi ke alun-alun lebih dulu lalu menyingkirkan preman. Muncul tiba-tiba saat ia butuh botol kaca, wajan besi, atau hampir terlambat ke kompetisi memasak, lalu menyelesaikan masalah seperti sulap. Menganggap serius masalah kecil seperti tidak punya gaun. Menghubungi atasan untuk menyiapkan bantuan saat ia khawatir soal korban kejahatan.
Itu semua… hal-hal yang sudah dilakukan oleh Sir Valentine.
“Versi lain bisa begini. Saat nyawa sang wanita terancam, dia datang dan menyelamatkannya!”
“Itu versi lain? Itu justru klasik! Sekeras apa pun dinding hati, dalam situasi begitu pasti luluh! Bicara soal klasik, tentu saja dia harus datang dengan menunggang kuda! Bukan begitu?”
“Benar, Sir Louis! Anda memang tahu betul! Setelah menyelamatkannya, tentu dia harus mengangkat sang wanita ke atas kudanya. Wanita itu memeluk erat dari belakang, merasakan otot-otot lengannya yang kuat! Lalu di belakangnya, jantung berdebar kencang, dugun-dugun!”
Astaga.
Barulah Hazel menyadari.
Kenapa waktu itu ia tidak jatuh dari kuda?
Karena ia dipeluk dari belakang.
Waktu itu Hazel harus benar-benar mengubah seluruh menu kompetisi memasaknya, meski sedang menunggang kuda dan tanpa kertas catatan. Itu pekerjaan yang butuh konsentrasi penuh.
Tapi… bagaimana bisa dia tidak menyadarinya sama sekali?!
Kepalanya berkunang-kunang. Rasanya kesadarannya terbang entah ke mana.
Louis, Penny, dan Kitty yang tadinya bercanda sambil tertawa terbahak, kini menoleh ke arahnya. Mereka terkejut.
“Hazel! Kenapa wajahmu merah padam begitu?”
“Coba lihat! Kalau ditempelkan gelas sampanye, pasti langsung ‘pssst!’ mendesis! Apa kamarnya terlalu panas?”
Penny dan Louis buru-buru berdiri sambil mengipasinya.
“Bukan begitu.”
Kitty menyeringai penuh arti.
“Jelas sekali. Dia sedang memikirkan sesuatu sendirian.”
Hazel panik.
“Bukan! Bukan begitu!”
“Ah, jelas sekali! Jangan coba-coba membohongiku. Aku tahu persis….”
Hazel hendak cepat-cepat menutup mulut Kitty, tapi Kitty lincah menghindar.
“Pasti lagi mikirin tanaman lagi! Entah, ‘Apa yang harus kutanam ya?’ atau soal alat-alat pertanian! Pasti salah satunya!”
“Benar! Ketahuan!”
“Wajar saja, pikirannya Hazel selalu cuma soal pertanian.”
Mereka bertiga menepuk meja teh sambil tertawa.
Hazel menjatuhkan tangannya lemas.
Mereka benar-benar memperlakukannya seolah ia gila bertani. Ya… memang benar sih, tapi tetap saja….
Lalu entah kenapa, ketiganya kembali memandang Hazel yang kini tampak lunglai.
“Tunggu. Ngomong-ngomong….”
Kitty tiba-tiba matanya berbinar.
“Situasi yang barusan kita bicarakan itu, Hazel kan pernah mengalaminya langsung, bukan? Ada ksatria misterius yang menyelamatkannya dari para penculik.”
“Oh iya! Betul!”
Suasana kembali riuh. Louis buru-buru bertanya.
“Nona Christina, kau melihat ksatria itu langsung, kan? Bagaimana dia?”
“Memang wajahnya tak sempat kulihat, tapi dengan insting tajamku yang tak pernah meleset dalam menilai pria, aku bisa melihat dengan mata hati. Tingginya semampai, dan pasti tampan sekali!”
“Benarkah?”
Penny pun tampak sangat penasaran.
“Aku juga dengar cerita itu. Bahkan bukan sekali, tapi sudah beberapa kali dia menolongmu? Kalau begitu, bisakah kau beritahu kami diam-diam, siapa sebenarnya ksatria itu?”
Hazel langsung bingung.
“Sepertinya tidak bisa. Aku sudah berjanji akan menjaga rahasia tentang identitasnya.”
Hazel kira Louis akan menolongnya keluar dari situasi itu, tapi ternyata tidak.
“Itu kan cuma berlaku untuk Hazel! Bukan untuk kita! Jadi Hazel boleh diam, tapi kita bisa tetap menduga-duga!”
Louis justru makin bersemangat.
Hazel makin terjepit.
Tapi ia juga tidak bisa begitu saja berdiri dan pergi. Meski tahu harus menutup telinga, ia terlalu penasaran dengan arah pembicaraan mereka, sampai akhirnya malah serius mendengarkan.
“Ada banyak hal yang aneh, sebenarnya.”
Louis mulai menganalisis.
“Pertama, sudah beberapa kali dia menolong Hazel, tapi tak seorang pun pernah melihatnya. Padahal jelas-jelas dia ada di dalam istana.”
“Benar. Sangat aneh.”
“Kedua, pria misterius itu memakai seragam Ksatria Kekaisaran. Tapi semua tahu, ordo itu sudah lama dibubarkan.”
“Ah, jadi yang kulihat malam itu memang seragam Ksatria Kekaisaran? Pantas aku merasa aneh. Gerakannya jelas bukan ksatria biasa. Dia melompati pagar sambil menunggang kuda, seakan tubuhnya tak berbobot. Dan menghilang begitu cepat!”
“Itu belum seberapa. Sudah baca laporan polisi? Dia tidak hanya mengalahkan belasan penculik, tapi juga monster-monster yang dilepaskan di luar gedung terbengkalai. Semua itu dilakukan sendirian dalam waktu singkat. Itu kekuatan yang tak masuk akal!”
Penny menambahkan, dan Louis teringat sesuatu.
“Ah! Benar! Saat di Labirin Rumah Kaca, Hazel bilang, ‘Menembus perangkap sulur api itu mudah saja.’ Waktu itu aku heran. Tapi ternyata karena dia sudah pernah melihat ksatria itu melakukannya!”
Louis mengernyit.
“Janggal sekali. Dari ceritanya, kekuatannya di luar nalar. Bahkan aku sendiri akan keberatan menghadapi hal semacam itu, tapi dia? Kalau ada ksatria sekuat itu di istana, bagaimana mungkin aku sama sekali tak tahu? Itu mustahil. Satu-satunya kemungkinan adalah….”
Mendadak Louis tersentak.
“Haah!”
Semua terkejut.
“Ada apa?”
“Kenapa begitu, Sir Louis?”
Louis terdiam. Ia menata kembali semua petunjuk yang sudah terkumpul. Bola matanya yang ungu bergetar hebat, wajahnya seperti tak percaya.
“Kalau dipikir lagi, semua ini hanya mungkin kalau jawabannya satu.”
Ia menelan ludah.
“Aku tahu siapa dia sebenarnya!”
“Siapa?!”
Penny dan Kitty langsung mencondongkan tubuh.
Hazel juga, meski berjanji tak akan membuka mulut, kini menajamkan telinganya ke arah Louis.
“Kalian masih belum sadar?”
Louis menatap mereka dengan wajah terkejut.
“Tak ada seorang pun di istana yang tahu siapa dia. Dia hampir tak pernah muncul di hadapan orang lain selain Hazel. Dia selalu muncul tiba-tiba lalu menghilang. Bergerak seringan bayangan. Memiliki kekuatan tak masuk akal. Mengenakan pakaian lama yang tak lagi dipakai siapa pun…. Bagaimana kita bisa tidak menyadarinya? Semua ini hanya menunjuk pada satu hal.”
Ia menarik napas dalam-dalam.
“Jawabannya adalah… hantu!”
“Apa?!”
Dalam sekejap, bulu kuduk semua orang meremang. Sama sekali tak terpikir sebelumnya, tapi begitu disebutkan, masuk akal sekali.
Hantu?
Hazel merasa seolah kepalanya dipukul benda keras.
Tak mungkin! Sir Valentine tidak mungkin hantu!
Karena panik, ia sampai lupa akan janjinya untuk tetap diam. Hazel buru-buru membela.
“Tidak! Ksatria itu punya bayangan!”
“Itu bukan bayangan. Itu tangan-tangan neraka yang mengikuti arwah.”
“Dia bisa menyentuh Tiberius berkali-kali. Dia bisa memegang benda dengan bebas. Tangannya tidak tembus cahaya! Bahkan dia mengerjakan pekerjaan rumah!”
“Poltergeist juga termasuk hantu, dan mereka bisa menggerakkan benda. Wujud tanpa tubuh pun bisa memberi dampak fisik kalau mau.”
“Aku bahkan pernah menarik jubahnya. Itu kain sungguhan. Dan waktu aku terluka kena palu, dia mengobatiku!”
“Itu hanya ilusi yang otakmu percayai. Kau tidak akan menyangka dia hantu, jadi semua terasa nyata. Itu efek sugesti. Sama seperti orang kehausan di gurun, menemukan oase, merasa minum air segar… tapi saat sadar, mulutnya penuh pasir.”
“Kalau begitu, bagaimana dengan makanan? Hantu tidak bisa makan. Kalaupun terlihat makan, nanti makanannya masih utuh di meja, bahkan sudah membusuk. Tapi ksatria itu sungguh-sungguh menghabiskannya!”
“Pikirkan lagi. Apa makanannya hilang terlalu cepat, seolah menghilang begitu saja?”
“Ya… selalu habis secepat itu.”
“Nah, itu dia! Bukan dimakan. Makanan itu diserap ke dalam kehampaan arwah.”
“…….”
Hazel terdiam. Ia tak bisa lagi membantah.
Keheningan jatuh.
Tiba-tiba—
“Boo!”
Penny berteriak.
Mereka bertiga menjerit. Louis bahkan paling keras.
“Maaf, aku hanya ingin menguji sesuatu,” kata Penny sambil tertawa kecil. “Ternyata benar, Kapten Louis takut hantu. Tapi kenapa seorang vampir takut hantu?”
“Takut? Aku? Omong kosong!” Louis menyangkal keras. Tapi lalu menghela napas dan jujur.
“Baiklah, memang benar. Kami, kaum kegelapan, sangat tidak nyaman dengan arwah. Karena kalau jatuh ke dalam kegelapan, roh-roh itu akan menggerogoti kita. Itu akhir paling mengerikan bagi vampir. Sejak kecil aku sudah sering dengar cerita itu, jadi aku malah jadi semacam ahli hantu.”
Penjelasannya terdengar masuk akal. Semua potongan teka-teki seolah menyatu.
Mau tak mau, bahkan Hazel pun terguncang.
Sir Valentine memang lebih sering muncul malam hari. Kalau pun siang, biasanya wajahnya tertutup helm. Benar-benar seperti “ksatria hantu” dari legenda.
Ia juga tak pernah hadir di acara besar: pesta teh, jamuan resmi, ujian evaluasi ksatria. Padahal kalau benar pengawal Kaisar, seharusnya setidaknya sekali terlihat.
Bahkan saat di Pesta Bunga, ia tak terlihat—hanya suara yang terdengar, lalu ada angin misterius yang menolong Hazel.
Semua cocok bila ia memang hantu.
Ia juga tahu rahasia keluarga kekaisaran, tentang Putri Terdahulu dan Pangeran Rowan. Ibu Martha pernah berkata:
—Kalau orang mati jadi arwah, ia akan mengetahui semua rahasia.
Astaga.
Hazel merasa kepalanya berputar. Ia terhuyung, lalu membenturkan kepala ke meja teh.
Sir Valentine hantu?
Ingatannya menari liar. Ia teringat saat dipeluk di atas kuda—jantungnya berdebar kencang karena itu… ternyata mungkin karena pelukan arwah?!
“Tidak.”
Hazel mendongak cepat.
Louis, Penny, dan Kitty menatap dengan wajah penuh kekhawatiran.
Penny berkata:
“Dahimu ada bekas.”
“Terima kasih.”
Hazel mengusap dahinya sambil menjawab.
“Bagaimanapun, menurutku itu bukan hantu. Aku hanya merasa begitu saja. Dan sekalipun memang hantu... lalu kenapa? Tamu yang datang berkunjung ke peternakan tidak pernah dibeda-bedakan. Kalau pun ternyata hantu, kita tetap bisa hidup berdampingan.”
“Apa maksudmu, Hazel!”
Kitty menegurnya dengan wajah pucat pasi.
“Jangan berkata begitu. Hantu itu bisa menyedot energi kehidupan manusia.”
“Kalau aku sih sama sekali tidak merasakannya. Aku juga tidak pernah merasa pusing. Kalau memang itu masalahnya, bukankah cukup dengan menambah porsi makan?”
“Itu tidak bisa diselesaikan hanya dengan makan beberapa kali lipat.”
Louis ikut menimpali.
“Sepertinya ksatria itu adalah hantu yang sangat kuat. Ada satu hal yang perlu diketahui: menurutmu, hantu seperti apa yang bisa menjadi sangat kuat? Ada contoh yang terkenal—seorang revolusioner bernama Quivis yang dipenggal di guillotine. Sosoknya begitu menyerupai saat hidup sehingga para pemilik kedai tidak sadar sudah menjamunya, bahkan ia bisa menimbulkan angin ribut dan membuat air mengalir berlawanan arah! Biasanya, arwah yang menyimpan dendam mendalam dan mengalami kisah tragis seperti itulah yang menjadi hantu kuat.”
Ia melanjutkan penjelasannya.
“Namun tentu saja, bukan berarti ksatria itu adalah roh jahat. Jelas-jelas ia adalah hantu yang baik. Saat kita terikat oleh kedudukan atau kewajiban sehingga tidak bisa bergerak, dialah yang membantu Hazel. Aku pun berharap dia bisa terus tinggal di sini, tapi….”
Louis menggeleng dengan wajah iba.
“Kasihan sekali. Setelah mati pun, ia tak kunjung menemukan peristirahatan dan harus terus berkelana begini.”
“Benar juga.”
Penny pun berkata dengan wajah sendu.
“Seorang ksatria seadil itu seharusnya segera menemukan ketenangan. Ia harus kembali ke sisi Dewa Bratan dan meraih kemuliaan sejati.”
“Aku juga setuju. Meski hanya sebentar melihatnya, dia benar-benar seorang ksatria yang hebat. Dan juga tampan.”
Kitty menimpali sambil mengusap bulu kuduk yang meremang.
Mereka bertiga sudah benar-benar yakin bahwa Lord Valentine adalah hantu. Semua bukti memang mengarah ke sana.
Namun, tetap saja….
Hazel belum bisa langsung menerima kenyataan itu.
Ia harus berhati-hati.
Lagipula, bukankah Permaisuri Dowager dulu dikira peri, padahal sebenarnya manusia? Jadi seaneh apa pun kejadiannya, mungkin saja ada orang yang memang bisa melakukan hal-hal aneh itu.
Sebelum percaya begitu saja, ia harus memastikan kebenarannya terlebih dahulu.
Seperti biasa, Hazel memutuskan mencari jawabannya pada alam.
Setelah pesta kecil di rumah Lord Louis usai, Hazel segera pulang, lalu mengambil keranjang dan melangkah keluar.
Istana tengah malam begitu sunyi. Suasananya berbeda dengan saat ia pergi memetik lemon bersama Lord Valentine.
Wajah patung-patung yang berjajar di taman tertutup bayangan pekat. Setiap kali ia menoleh sekilas, seolah ekspresinya berubah. Ranting-ranting pohon pun bergoyang meski angin tak berembus.
Entah kenapa, suasana terasa menyeramkan.
Namun itu juga cocok dengan tujuan yang sedang ia tuju malam ini.
Hazel melewati alun-alun latihan istana dan terus berjalan ke arah utara. Ia masuk ke dalam hutan kecil di ujung jalan besar yang menghubungkan berbagai bangunan istana.
Di depan istana kecil milik mendiang Putri Mahkota, ia berpapasan dengan beberapa pelayan. Mereka terperanjat melihat Hazel.
“Nona Mayfield! Ada urusan apa malam-malam begini?”
“Aku ingin mencari beberapa ramuan. Putri Mahkota Katarina sendiri sudah mengizinkanku bebas berkeliling di sini….”
“Oh, tentu saja! Silakan, mari ikut kami!”
Mereka pun segera mengantarnya tanpa keberatan.
Kini, bukit yang mengarah ke makam kerajaan tak lagi menjadi area terlarang bagi Hazel. Ia bisa keluar masuk sesuka hati, seolah halaman belakang rumahnya sendiri.
Hazel berkeliling di bukit liar itu—tempat yang tak pernah disentuh tangan para tukang kebun—sambil meneliti ke segala arah.
Di antara nisan tua yang tersinari cahaya bulan, akhirnya ia menemukannya.
Aroma tajam dan menusuk hidung lebih dulu menyapanya.
Tumbuhan dengan daun kecil berbentuk sekop mungil tumbuh bergerombol di sana. Karena sudah bulan Agustus, bunga kuningnya telah gugur dan mulai berbuah.
Hazel memetik tanaman itu sampai penuh satu keranjang, lalu membawanya pulang ke peternakan.
Di dunia ini, ada berbagai macam tumbuhan yang dipercaya bisa mengusir aura jahat.
Seperti rosemary yang bila dimasukkan ke dalam bantal dapat mengusir mimpi buruk. Atau witch’s nail, yang bila dikalungkan pada orang yang kerasukan, langsung bisa menyadarkannya. Ada pula pohon copal yang diyakini mampu menyucikan energi jahat….
Namun, yang paling manjur di antara semuanya adalah tumbuhan bernama rue.
Nama lainnya adalah herba rue atau dalam bahasa lokal disebut “rumput anugerah.” Tumbuhan ini diyakini memiliki kekuatan luar biasa untuk menangkal roh gentayangan dan kegelapan.
Hazel memotong batang-batang rue, lalu menggantungkannya di atas pintu dan jendela. Ia juga menggosokkan batang segarnya ke seluruh lantai rumah. Di depan pintu masuk, ia menumpuk beberapa tangkai dengan rapi.
Jika benar Lord Valentine adalah hantu, ia pasti akan menunjukkan reaksi sebelum bisa melangkah masuk ke rumah yang sudah dilindungi oleh aura rue.
Dengan begitu, kebenaran akan terungkap.
Sambil berpikir demikian, Hazel pun bekerja dengan sungguh-sungguh mempersiapkan segalanya.
***
Sebuah kereta hitam memasuki istana kerajaan melalui jalan rahasia.
Di dalamnya, terhalang jeruji besi, seorang pria paruh baya duduk terikat dengan borgol di tangan dan kaki.
Itulah Wolfhound.
Andaikan ada orang yang mengenalnya hadir di tempat itu, mereka pun tak akan mengenali tahanan ini.
Rambutnya kini memutih seluruhnya. Kedua pipinya cekung hingga hampir saling menempel. Tubuhnya yang dulu gagah kini tinggal tulang-belulang yang berderak.
Lebih parah lagi, hari ini ia mendapat panggilan menghadap.
Ia cukup cerdas untuk segera menyadari arti dari pemindahan mendadak ini.
Kini ia akan berdiri di hadapan Sang Kaisar.
Ia sempat mengira tidak ada lagi rasa takut yang bisa menguasainya setelah menunggu pengadilan. Namun kini ia justru diteror oleh ketakutan lain—takut mulutnya lepas dan membocorkan rahasia sumber dana rahasia di hadapan Kaisar.
Untuk menghadapi saat seperti ini, pemimpin kafilah Abbas Mamon pernah memberinya sesuatu. Ia tak pernah menyangka benar-benar harus menggunakannya….
Wolfhound menjilat bagian dalam mulutnya.
Dengan ujung lidah, ia mendorong sebuah kapsul kecil yang ditanam di bagian dalam bibir atas, tepat di sambungan dengan gusi. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya cangkangnya pecah.
Dari sana, kegelapan pekat merembes keluar.
Kesadarannya pun larut dalam kegelapan itu.
Tak lama kemudian.
“Seret dia keluar!”
“Siap!”
Para penjaga menyeretnya turun.
Bila seorang bangsawan atau pelaku kejahatan besar ditangkap, kerap kali Kaisar beserta para pejabat tinggi akan menghadiri proses interogasi.
Dan Kaisar Iskandar sering memanggil tahanan untuk dihadapkan padanya, meski kasusnya tak selalu sebesar itu.
Alasannya sederhana namun sangat efektif.
Dengan duduk diam di balik interogator dan membiarkan aura membunuh khas Grand Chevalier memancar, para tahanan akan diliputi teror luar biasa sehingga mustahil bisa berbohong.
Ia adalah pendeteksi kebohongan hidup.
Sampai hari ini, tugas itu selalu berjalan mulus.
Namun kali ini berbeda.
Ia merasa kesulitan—bukan karena yang lain, melainkan karena sulit mengendalikan amarahnya.
Kebusukan yang ditinggalkan era Kaisar sebelumnya sudah berakar terlalu dalam. Tak peduli seberapa sering ia mencabutnya, tetap saja ada yang muncul di tempat tak terduga.
Biasanya, ia mampu menekan amarah dan hanya fokus pada penghukuman. Tapi kali ini, untuk pertama kalinya, ia hampir tak bisa mengendalikannya.
Ingat, hukum adalah malaikat pelindungmu, bajingan.
Iskandar bersedekap, mengulang kalimat itu dalam hati.
Namun meski duduk agak jauh, hawa tekanannya tetap memenuhi ruang interogasi.
Dan kemudian—
“Apa maksud Anda? Bagaimana mungkin saya menjadi tangan kanan rahasia sebuah kafilah? Saya sama sekali tak tahu apa-apa soal itu.”
Sudah empat jam interogasi berjalan, tetapi Wolfhound tetap bersikeras membantah.
“Semua itu saya lakukan sendirian. Saya mendapat kabar dari seorang pelayan bahwa nona itu hendak melapor soal saya. Saya takut usaha saya runtuh. Maka saya menyewa para preman yang saya temui di arena judi untuk menculiknya. Sungguh, saya tak berniat menjualnya. Saya hanya ingin memberinya sedikit pelajaran selama satu malam.”
Meski terus didesak, jawabannya selalu sama. Sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda berbohong.
Akhirnya interogasi terhenti di situ.
Wolfhound kembali diseret keluar. Itulah akhir yang layak bagi seorang kesatria kekaisaran yang mencemarkan kehormatannya.
Iskandar meninggalkan ruang interogasi.
Tak ada lagi yang bisa digali darinya. Ia harus mencari jalur lain.
Kompri.
Ya, herba yang terdapat dalam salep terlarang itu. Mungkin dengan menelusuri sumbernya, ia bisa menemukan sesuatu.
Iskandar segera menyelesaikan urusan kenegaraan, lalu mengambil peralatan dan pakaian penyamaran. Dengan diam-diam ia keluar dari istana menuju pertanian itu.
Begitu pagar kayu terlihat, perasaannya menjadi jernih seketika, seolah semua kotoran jiwa akibat pekerjaan tadi tersapu bersih.
Hari itu, pertanian tersebut terasa lebih istimewa. Dari keheningan, aroma tajam dan segar rerumputan memenuhi udara.
Hmm… entah kenapa, menenangkan sekali.
Ia menarik napas panjang, menikmati aroma asing itu.
Apa lagi yang sedang Hazel kerjakan kali ini?
Dengan penuh harap, ia melangkah ke dalam rumah kecil itu.
Pintu terbuka lebar, pertanda tamu dipersilakan masuk. Tanpa curiga, ia masuk begitu saja.
Saat itu juga—
Kakinya menyentuh tumpukan besar herba di depan pintu, membuat semuanya berhamburan ke segala arah.
“Hh!”
Ia terperanjat.
Apapun itu, jelas ia baru saja merusak hasil panen Hazel.
Hazel memang murah hati, tetapi menyentuh hasil pertaniannya tanpa izin adalah pantangan mutlak. Ia sudah pernah merasakan akibatnya saat insiden hujan buatan.
Celaka!
Iskandar panik, buru-buru membungkuk.
Saat itu—
“Siapa di sana?”
Hazel, yang sedang mengganti tirai kamar, berlari keluar karena merasakan keberadaan seseorang.
Tiba-tiba, di hadapannya sudah berdiri Sir Valentine! Dan wajahnya tampak diliputi ketakutan.
Jantung Hazel seakan berhenti berdetak.
“Ah… ternyata benar….”
Cahaya memudar dari mata Hazel.
Iskandar langsung basah kuyup oleh keringat dingin.
Ketahuan begitu cepat!
“Bukan! Tidak! Semuanya baik-baik saja!”
Dengan gerakan secepat kilat, ia meraih semua herba dan menyusunnya kembali persis seperti semula.
“Hah?”
Hazel tertegun.
Apa-apaan ini?
Dalam sekejap, Iskandar berhasil membereskan segalanya, lalu berkata seolah tak terjadi apa-apa:
“Eh, tujuan kedatanganku hari ini sebenarnya….”
Ia mencoba mengalihkan pembicaraan dengan tenang.
Namun Hazel tak mendengarkan. Matanya terpaku pada bayangan di lantai—bayangan Iskandar.
“…Nona Mayfield?”
“Ah.”
Hazel baru tersadar.
“Ya. Tadi… Sir datang ke sini untuk urusan apa?”
“Itu, soal si Wolfhound.”
Iskandar duduk di kursi, lalu berkata:
“Tak pantas seorang kesatria kekaisaran melakukan kejahatan macam itu. Ia pasti harus dihukum. Tapi sebelum itu, aku perlu memeras informasi darinya. Masalahnya, sekeras apa pun aku desak, dia tetap bungkam. Padahal tidak seorang pun bisa berdusta di hadapanku.”
“Hah?”
Hazel kembali membisu, menatapnya dengan wajah bingung.
—Kalau seseorang mati dan jadi roh, maka ia akan mengetahui segala rahasia.
Suara Bibi Martha terngiang di kepalanya.
“Jadi… Sir Valentine bisa mengetahui segalanya? Termasuk rahasia orang lain?”
“Sebagian besar, ya.”
Iskandar menjawab tanpa ragu, mengira Hazel hendak memintanya menekan seseorang. Namun alih-alih senang, wajah Hazel justru semakin pucat.
Kenapa begitu?
Ia mulai khawatir.
“Apakah kau sakit? Maaf, aku terlalu fokus pada urusan kerja tadi sampai tidak sadar.”
“Ah, tidak! Bukan itu! Soal interogasi itu memang penting sekali. Bagaimana kalau… saya bantu?”
“Bagus. Aku berencana mengubah fokus penyelidikan ke herba Kompri. Pasti ada jalur distribusi dalam jumlah besar. Kalau kau bisa memberiku informasi rinci soal tanaman itu, akan sangat membantu.”
Hazel tertegun.
Kenapa tidak memanggil pakar herbal saja dari istana? Kenapa harus aku? Atau… karena pakar itu tak bisa melihat hantu?
Ia buru-buru menyingkirkan pikiran menyeramkan itu.
“Baiklah. Akan saya tuliskan. Kompri adalah tanaman herba tahunan berdaun ganda….”
Hazel merobek selembar kertas, lalu menuliskan informasi lengkap soal Kompri.
Sementara menunggu, Iskandar mengamati sekeliling.
Dekorasi ruangan tampak berbeda. Ada ranting herba yang digantung di atas pintu dan jendela. Dari lantai pun tercium aroma segar dan getir.
Entah sejak kapan, ia mulai menyukai aroma seperti ini. Dengan lega, ia menghirup dalam-dalam.
“Wanginya enak sekali.”
Hazel kembali terlonjak kaget.
“Apa? Tidak bolehkah aku menyukai baunya?”
“B-bukan! Bukan begitu!”
Hazel buru-buru menulis lebih cepat.
Ia menuliskan semua ciri Kompri, cara kemungkinan Wolfhound dan kelompoknya mengolahnya, hingga metode membedakannya dari herba lain.
Terakhir, ia menggambar bentuk Kompri, lalu menyerahkan kertas itu.
“Nah, ini dia.”
“Bagus. Akan segera kusampaikan ke tim penyelidik.”
Iskandar menerima kertas itu dan berbalik. Namun setelah beberapa langkah, ia tiba-tiba menoleh cepat.
“Hik!”
Hazel, yang tengah melamun, langsung terlonjak ketakutan.
Kenapa lagi dia begitu?
Iskandar mengerutkan dahi tipis.
Jelas Hazel sedang memikirkan sesuatu yang aneh lagi. Tapi waktu mendesak. Ia harus segera menyerahkan informasi ini sebelum pihak lawan sempat menghapus jejak.
Dalam sekejap, ia pun pergi meninggalkan tempat itu.
Hazel yang tertinggal sendirian dilanda kebingungan.
Apa? Apa sebenarnya?
Sir Valentine tadi jelas terkejut melihat tumpukan Rue di pintu. Itu reaksi ketakutan yang nyata.
Saat itu, jantung Hazel seolah copot. Ia panik, ingin segera menyingkirkan Rue itu.
Namun justru Sir Valentine sendiri yang membereskannya.
Dari situlah kebingungan Hazel dimulai.
Ketakutan itu memang benar adanya, tapi bukan karena Rue. Itu hanyalah rasa takut menghadapi amarah seorang petani yang amat mencintai hasil panennya.
Karena Hazel tak mengetahui hal itu, pikirannya jadi kusut.
Ditambah lagi, Sir Valentine tanpa ragu berkata ia bisa membaca rahasia orang lain—seolah mengaku dirinya hantu.
Dan setelah itu ia masih berkata, “Wanginya enak sekali.”
Apa itu semacam ancaman? Maksudnya, herba remeh-temeh ini takkan pernah bisa menahannya, jadi jangan sekali-kali mencoba lagi?
Tidak mungkin. Sir Valentine bukan tipe orang jahat seperti itu.
Ahh! Aku benar-benar tak mengerti!
Hazel menunduk, menempelkan dahinya ke dinding.
Malam itu, ia tak bisa tidur sama sekali.
Keesokan harinya, tubuhnya lemas. Ia hanya menyelesaikan pekerjaan yang paling mendesak, lalu duduk di luar rumah sambil membelai Julia, anjing kesayangannya.
Tanpa sadar waktu berlalu, hingga ia melihat seseorang mendekat dari balik pagar.
Rambut perak menyilaukan milik seorang High Elf langsung mencolok di antara pepohonan.
Hazel segera berdiri.
“Sir Lorendel?”
“Salam sejahtera, Nona Hazel.”
Ia menunduk hormat.
Sebagai komandan kesatria High Elf, Lorendel memang sering berjalan-jalan di sekitar ladang. Tapi ia jarang benar-benar masuk kecuali ada urusan penting.
Itulah sebabnya Hazel agak heran.
“Apakah ada sesuatu?”
“Ada satu hal yang perlu saya beri tahu.”
Lorendel berkata:
“Karena Nona Hazel berasal dari luar daerah, mungkin Anda belum tahu. Di ibu kota ini, menjelang akhir musim panas, ada fenomena aneh di mana suhu mendadak turun drastis hanya selama satu malam. Orang-orang menyebutnya ‘Malam Baba Yaga’, diambil dari nama para penyihir hutan. Tapi jangan khawatir—fenomena itu tak pernah merusak tanaman. Jadi jangan sampai kaget nanti.”
“Ah, begitu….”
Hazel mengangguk.
“Terima kasih, Sir Lorendel. Anda memang sangat perhatian. Senang rasanya ada Elf yang sering berkeliling ladang.”
“Ah, itu bukan apa-apa.”
Lorendel menjawab ringan, meski diam-diam hatinya puas. Bahkan Lewis, Siegfalt, atau Cayenne pun tak terpikir sampai sejauh itu.
“Dan satu lagi. Malam Baba Yaga juga dikenal karena sering disertai kejadian-kejadian menyeramkan yang tak dapat dijelaskan. Jadi, bila Nona Hazel khawatir ada makhluk iseng atau iblis kecil yang berkeliaran, jangan sungkan memanggil para kesatria muda kami—seperti Penelope atau Julian. Mereka semua akan senang hati membantu, apalagi Nona Hazel adalah penyelamat Ordo kami.”
Iblis.
Pikiran Hazel langsung buyar.
Mendadak, sorot mata yang tadinya jernih menjadi kosong.
Lorendel panik melihatnya.
“Nona Hazel?”
Ia bahkan melambaikan tangan di depan wajahnya.
“Ah.”
Hazel baru tersadar kembali.
Lorendel menatap Hazel dengan wajah penuh kekhawatiran. Sebagai elf yang peka terhadap perubahan emosi orang di sekitarnya, ia segera menyadari kondisi Hazel.
“Ada sesuatu yang mengganggu pikiran Anda?”
Hazel hanya menatapnya tanpa kata.
Tak ada lawan bicara yang lebih tepat untuk mencurahkan isi hati selain seorang elf.
Mereka pendengar yang baik, dapat dipercaya untuk menjaga rahasia, dan karena menjalani kehidupan yang sangat pribadi, urusan orang lain pun cepat mereka lupakan.
“Ceritakan saja pada saya. Jika bisa membantu, saya akan senang sekali. Saya janji akan menyimpan rahasia ini.”
ucap Lorendel dengan sungguh-sungguh.
“Kalau begitu…… mungkin akan terdengar konyol…….”
Hazel dengan hati-hati membuka mulut.
“Ada seorang tamu yang sering datang ke kebun…… aku rasa dia mungkin hantu.”
“Apa?”
Lorendel sempat tertegun mendengar jawaban tak terduga itu.
Tepat pada saat yang sama.
Di istana kekaisaran, tepat di kamar pribadi Kaisar yang bertetangga dengan kebun itu, Iskandar kembali berdandan dengan penyamaran.
Sejak kemarin, sikap Hazel yang aneh terus menghantui pikirannya. Ia harus mencari tahu, kira-kira apa yang sedang dipikirkannya. Setelah menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat hari ini, ia pun segera menuju kebun.
Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika sampai di balik pohon cemara besar yang biasa ia jadikan tempat berlindung.
Ada seseorang di kebun. Suara Hazel terdengar, sedang bercakap dengan seseorang. Suara yang sangat familiar.
Lorendel?
Biasanya, kalau Hazel sedang menerima tamu lain, ia memilih mundur.
Tapi kali ini berbeda. Nada bicara Hazel terdengar serius, seakan ada beban besar yang sedang ditanggung.
Ada apa ini? Kenapa tidak bicara padaku? Apakah masalahnya begitu parah?
Tanpa sadar, ia melangkah lebih dekat.
“……Tidak. Sama sekali tidak terdengar konyol bagi saya.”
Lorendel berkata.
“Bagi kaum elf, hidup dan mati adalah satu kesatuan. Maka tak aneh jika roh mereka yang sudah menyeberang ke sungai kematian sesekali kembali. Bahkan hantu pun bisa saja datang berkunjung ke kebun.”
Hantu? Apa maksudnya ini? Di kebun ada hantu?
Iskandar menajamkan telinga.
“Masalahnya, aku tidak yakin apakah dia benar hantu. Semua tanda memang mengarah ke sana, tapi perasaanku mengatakan tidak. Anda juga pasti begitu, kan? Saat bingung, kita mencari jawabannya pada alam.”
“Luar biasa. Jadi, apa yang sudah Anda lakukan?”
“Aku menggunakan Rue—herba yang ditakuti para roh. Aku menaruhnya di seluruh rumah dan bahkan membuat semacam dinding di depan pintu. Dan benar saja, tamu itu menyentuhnya lalu gemetar ketakutan sambil berteriak.”
Tunggu sebentar.
Iskandar membelalak.
Kenapa terdengar begitu familiar?
Apa yang Hazel ceritakan persis sama dengan kejadian yang dialaminya tadi malam. Kalau begitu…… jangan-jangan……
Aku itu hantunya?
Gemetar ketakutan, katanya? Kapan? Aku hanya sedikit panik!
Iskandar terdiam, tak tahu harus bereaksi bagaimana, sementara percakapan mereka terus berlanjut.
“Itu aneh. Manusia biasa tidak akan takut pada herba semacam itu.”
“Jadi benar dia hantu?”
“Bisa jadi. Apakah Anda pernah melihatnya terikat pada sesuatu, seakan ada yang membuatnya enggan pergi?”
“Hmm…… masakan desa? Air mawar? Atau buah persik dalam es teh?”
“Jadi dia bahkan setelah mati masih terobsesi dengan kesehatan? Apa jangan-jangan dia datang ke kebun karena semasa hidupnya tidak bisa bertani, lalu menyesal…….”
“Tidak mungkin. Dari ujung rambut sampai ujung kaki dia orang kota. Hantu kota, mungkin lebih tepat. Tapi sejujurnya aku tidak melihat adanya dendam atau penyesalan. Bahkan kemarin, dia melewati barikade herba itu dan tetap bekerja dengan rajin. Hantu macam apa yang begitu rajin?”
“Tunggu dulu. Tak ada dendam, tak ada penyesalan, hanya bekerja dengan tekun…… Kalau begitu mungkin dia bukan hantu, melainkan orang yang perilakunya aneh? Eh, tidak—!”
Lorendel tiba-tiba kaku. Hazel terkejut.
“Kenapa, ada apa?”
“Sekarang aku paham! Dia tidak sadar kalau dirinya sudah mati! Karena itu dia berperilaku persis seperti saat masih hidup. Astaga! Itu menakutkan sekali!”
Wajah Iskandar di balik pagar langsung mengeras.
Dasar elf menyebalkan……
Tanpa tahu betapa sakitnya mendengar langsung sebagai orang yang dituduh, mereka masih saja meneruskan percakapan dengan serius.
“Memang ada hantu seperti itu, ya?”
“Ya. Tidak begitu populer, tapi cukup banyak kasus. Terutama di istana tua seperti ini, banyak cerita tentang arwah kaisar, pangeran, bangsawan, atau kesatria yang tidak sadar kalau mereka sudah mati. Justru karena yakin masih hidup, mereka punya kekuatan yang besar. Hantu, tapi benar-benar seperti manusia.”
“…….”
Hazel kembali terdiam.
Kata-kata Lorendel masuk akal. Sebuah kisah menyeramkan terjalin jelas di kepalanya.
Seorang kesatria istana bernama Sir Valentine, yang wafat mendadak karena kelelahan di masa Kaisar terdahulu. Karena kematiannya begitu tiba-tiba, ia tidak sadar sudah mati dan tetap bekerja meski kaisar telah berganti. Suatu hari ia mendapati ada kebun yang tiba-tiba muncul di halaman istana, datang untuk mengawasi, tapi karena sifatnya yang tak bisa mengabaikan orang lain, ia malah ikut membantu mengurus kebun……
Hazel meremas kedua lengannya, tubuhnya gemetar.
Itu benar-benar masuk akal……
Ia menghela napas panjang.
“Apa yang harus kulakukan? Kalau dia manusia, ini hanya lucu saja. Tapi kalau benar hantu, aku tidak bisa membiarkannya begitu saja. Meski aku senang kalau dia terus datang—bahkan sangat terbantu olehnya…… tetap saja aku tidak bisa egois. Dia orang yang luar biasa, atau roh yang luar biasa. Tidak pantas dibiarkan terus berkeliaran. Dia harus menemukan kedamaian.”
“Itu memang yang terbaik baginya.”
Lorendel mengangguk khidmat.
“Tapi pertama-tama, kita harus memastikan dulu. Itu masalahnya. Kita tidak bisa langsung bertanya padanya.”
“Benar. Kalau aku bertanya langsung, dia pasti akan tersinggung.”
“Bukan soal tersinggung. Bayangkan jika ia memang tidak sadar sudah mati, lalu Anda mengatakan itu…… ingatannya bisa terpicu, dan ia bisa berubah menjadi roh jahat.”
“Tidak! Jangan sampai!”
Hazel segera berseru panik.
“Hantu saja sudah menakutkan, apalagi jadi roh jahat! Aku tidak akan sanggup menanggungnya!”
“Hmm……”
Lorendel berpikir sejenak, lalu wajahnya cerah.
“Ada cara yang bagus. Saya akan bawakan Anda air suci.”
“Air suci?”
“Air suci dari Kuil Agung Istana sangatlah ampuh. Dibandingkan kuil lain, kekuatan sucinya jauh lebih pekat.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Itu karena sejarah.”
Lorendel menjelaskan.
“Dulu para penguasa cukup dekat dengan pihak kuil. Terutama kaisar sebelumnya, yang percaya takhayul. Pada masa itu, para imam di Kuil Agung bersekutu dengan selir kesayangan, Camila Berzanza, sehingga berkuasa besar.”
“Dan sekarang tidak lagi, bukan?”
“Ya. Sejak kaisar berganti, segalanya berubah. Lagi pula, bagi seorang Grand Chevalier, takdir dan takhayul tak lagi punya daya tarik. Apalagi Is—maksud saya, Yang Mulia Kaisar sekarang, justru selalu melakukan kebalikan dari yang ayahandanya lakukan. Maka para imam kini hanya mendapat perlakuan buruk. Kalau mereka membawa benda suci untuk diberkati, biasanya hanya dimarahi: ‘Jangan mengandalkan itu, cari solusi nyata!’ lalu dibuang begitu saja. Jadi apa lagi yang bisa dilakukan para imam? Akhirnya mereka hanya berdoa siang malam.”
“Jadi mereka menjalani hidup saleh, begitu?”
“Tepat. Tak bisa lagi campur tangan politik, tak bisa menguasai pergaulan bangsawan, tak bisa menimbun kekayaan. Waktu mereka hanya untuk berdoa. Maka sekarang kita memiliki air suci yang lebih murni dari zaman mana pun.”
“Begitu rupanya…….”
Hazel mengangguk.
“Kalau begitu, dengan air suci itu, kita bisa membantu tamu di kebun?”
“Ya. Air suci akan menunjukkan kebenarannya. Jika dia hantu, tubuhnya akan diselubungi cahaya. Dan ia akan menemukan kedamaian dalam berkah itu.”
“Tapi aku tidak tega menyiramkannya langsung…… pasti dingin sekali.”
“Tak perlu. Cukup disentuhkan. Bagaimana kalau digunakan untuk memasak?”
“Itu ide bagus……”
Semakin hari semakin runyam.
Iskandar menggelengkan kepala.
Namun tiba-tiba sebuah pikiran melintas.
Tunggu sebentar!
Ia segera meninggalkan tempat itu, melesat kembali ke istana. Para pelayan hanya merasakan hembusan angin sekilas sebelum ia sudah masuk ke kamar.
Begitu masuk, matanya langsung tertuju pada sudut ruangan. Sebuah botol perak berdiri di sana.
Sesuai tradisi, di setiap kamar anggota keluarga kekaisaran selalu tersedia air suci.
Selama ini ia tak pernah peduli pada benda itu. Tapi kini ia buru-buru meraihnya.
Ia berdiri di depan cermin, membuka tutupnya, lalu menyiramkan air itu ke wajahnya sendiri.
Sekejap, wujudnya berubah.
Rambut hitam kembali menjadi pirang. Bola mata hitam berubah merah.
Obat sihir ‘Eksperimen 382’ yang selama ini digunakannya memang sederhana, tapi dibuat oleh para bijak yang dibiayai istana, sehingga kualitasnya bagus. Efeknya bertahan sampai ia sendiri memutuskan untuk menghapusnya.
Namun tetap saja, itu hanya ilusi.
Air suci memiliki kekuatan pemurnian. Sekadar menyentuhnya saja sudah cukup untuk menyingkap segala tipu daya. Memaksa orang untuk menampakkan wujud asli.
Kalau saja ia datang ke kebun tanpa tahu nasihat Lorendel, dan tanpa sadar menyentuh makanan yang dibuat Hazel dari air suci…… ia pasti akan langsung ketahuan.
‘Sir Valentine! Ternyata Anda adalah Kaisar?’
Ia bisa membayangkan Hazel berteriak dengan mata hijau berkilat penuh kemarahan.
‘Selama ini kau menipuku! Aku percaya padamu!’
Rasa dikhianati. Jijik. Benci. Amarah. Tatapan itu menusuk tajam, seakan anak panah menembus dadanya.
Apa……?
Iskandar menyentuh dadanya tanpa sadar.
Selama ini ia memang pernah membayangkan kemungkinan itu. Tapi baru kali ini terasa begitu nyata.
Ia berdiri mendadak, lalu menggoyangkan lonceng pemanggil. Para pelayan bergegas masuk.
“Yang Mulia! Ada apa?”
“Bawa semua air suci dari Kuil Agung kemari, sekarang!”
“Baik!”
Tak lama kemudian, ruang kecil di samping kamar penuh dengan botol-botol air suci. Cahaya perak memantul ke seluruh ruangan.
“Ini semuanya?”
“Ya, Yang Mulia.”
“Pastikan tidak ada yang tersisa.”
“Tenanglah, kami sudah mengumpulkan semuanya. Hanya…… para imam ingin tahu alasannya. Mengapa tiba-tiba Anda memerintahkan semua air suci dibawa ke sini…….”
“Untuk memadamkan api.”
“Baik, akan kami sampaikan begitu.”
Para pelayan pergi. Iskandar memandang botol-botol itu.
Ia tidak berbohong. Setidaknya untuk sementara, masalah besar sudah teratasi.
Namun di sisi lain, perasaan aneh merayap.
Tadi ia begitu panik. Untung saja tak seorang pun melihatnya.
Iskandar duduk di kursi.
—Dia orang yang luar biasa, atau roh yang luar biasa. Tidak pantas dibiarkan terus berkeliaran. Dia harus menemukan kedamaian.
Kata-kata Hazel tadi terngiang di telinganya.
Perasaan aneh itu kembali menyeruak.
Hazel mencurigainya sebagai hantu, bahkan berencana menggunakan air suci untuk membuktikannya. Itu sungguh konyol.
Tapi anehnya, ia tidak merasa marah.
Karena dalam kata-kata Hazel, ia bisa merasakan ketulusan. Semua itu demi melindunginya.
Iskandar menyandarkan punggung.
Sejak kecil ia sudah membaca buku harian para kaisar terdahulu. Hampir setiap dua halaman sekali, selalu ada keluhan: kosong, sepi, sia-sia.
Dulu, kata-kata itu hanya terdengar membingungkan. Tapi entah kenapa, belakangan ia mulai memahaminya.
‘Sejak kecil, hanya segelintir orang yang benar-benar tulus padaku. Sisanya hanya sibuk menjilat, berpura-pura tunduk sambil diam-diam mencari untung.’
‘Istriku dan aku sudah lama kehilangan perasaan. Anak-anakku hanya sibuk berebut takhta. Orang-orang yang dulu kupercayai, siapa tahu kapan mereka menikamku dari belakang.’
‘Andai ada satu orang saja yang benar-benar peduli padaku…… apa gunanya jadi kaisar kalau tetap merasa kosong?’
Dulu ia tak mengerti. Kini, ia mulai mengerti.
Tapi alasannya justru karena ia berbeda.
Karena ia tidak seperti itu.
Saat ke kebun, Hazel selalu menyambutnya dengan senyum dan masakan hangat. Ia bahkan selalu khawatir dirinya akan dipecat dari pekerjaannya.
Hal-hal kecil, tapi hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang sungguh peduli.
Dan tadi…… kalimat Hazel itu sangat menentukan.
Hazel benar-benar tulus memikirkannya.
Benar. Benar.
Suara lain di dalam hatinya menyahut.
Tapi jangan lupa. Yang dipedulikan Hazel adalah Sir Valentine, bukan Kaisar.
Iskandar terperanjat.
Saat itu ia baru menyadari sesuatu.
Alasan mengapa ia begitu takut rahasianya terbongkar. Alasan mengapa ia benci membayangkan Hazel marah padanya.
Karena jika ketahuan, maka Sir Valentine akan lenyap.
Sebab Valentine hanya bisa ada selama Hazel mengakuinya.
Mata Iskandar membesar.
Aku…… menyukai hidup sebagai Sir Valentine.
Sir Valentine adalah pribadi yang hebat. Berkat dirinya, unicorn-unicorn kekaisaran tak lagi sakit, Pangeran Rowan kembali sehat, dan para kesatria tua bisa pulang dengan penuh kehormatan. Semua itu terjadi karena ia membantu Hazel.
Tapi bukan hanya itu.
Lebih dari menjadi Kaisar, ia menikmati hidup sebagai kesatria berjubah hitam.
Berdebat soal tanah, saling mencari kelemahan, bolak-balik datang ke kebun, lalu jika ada masalah mereka bekerja sama, berhasil, merayakannya, lalu kembali berdebat soal tanah……
Ia menyukai keseharian seperti itu.
Jujur saja, ia tak bisa hidup tanpa itu lagi.
Dan bukankah Hazel juga berkata:
—Meski aku senang kalau dia terus datang, meski aku selalu sangat terbantu olehnya…… aku tidak bisa egois.
Kalimat itu terpatri jelas dalam ingatan. Suaranya sedikit bergetar, seakan menahan kesedihan.
Ya. Bukan hanya aku. Kami berdua membutuhkan Sir Valentine.
Kesadaran itu membuat pikirannya jernih.
Apa pun yang terjadi, ia tak akan membiarkan Sir Valentine lenyap. Ia akan melawan kesalahpahaman ini, apa pun taruhannya.
Aku pernah menjaga perbatasan kekaisaran. Masa aku tidak bisa menjaga satu tokoh rekaan?
Iskandar berdiri tegak. Ia mengunci rapat ruangan penuh air suci itu, lalu berbalik dengan tekad yang membara.
***
Istana Matahari, kediaman para bangsawan kekaisaran di sisi timur istana.
Di sebuah salon yang dipenuhi cahaya matahari, sebentar lagi akan digelar pertemuan para bangsawan muda dari kalangan tertinggi.
Athena, Putri Agung yang memimpin pertemuan ini, tengah melakukan pemeriksaan terakhir terhadap materi presentasi hari itu.
Namun saat matanya menelusuri tumpukan tebal kertas penuh tulisan rapat-rapat, jemarinya tiba-tiba berhenti. Pandangan matanya kosong, melayang di antara huruf-huruf yang padat itu.
Nyonya Branches, kepala pelayan wanita, menyadarinya. Ia berdecak kecil dengan nada iba dan bertanya:
“Apakah Nona masih memikirkan hal itu lagi?”
Athena terperanjat, buru-buru sadar.
“Tidak! Sama sekali tidak!”
Ia segera kembali menunduk pada catatan, berpura-pura menekuni materi. Namun pikirannya tetap tak berada di sana.
Ucapan kepala pelayan memang benar.
Sejak pesta para Ksatria Agung itu, Athena tak pernah benar-benar merasa tenang. Bayangan gadis ladang itu terus saja menghantui pikirannya.
Sosok yang berdiri percaya diri di hadapan semua orang, memberi arahan pada para pelayan dapur. Sosok yang menerima ucapan terima kasih tulus dari para ksatria pahlawan. Sosok yang semua orang akui, bahkan dengan kekaguman yang tak tersembunyi.
Andai saja itu dirinya!
Hazel lebih muda darinya. Status sosial mereka tak bisa dibandingkan. Tapi seolah semua orang diam-diam berkata lewat tatapan mereka:
“Hal seperti itu seharusnya dilakukan oleh seorang Putri Agung.”
Membayangkan orang-orang menilainya dengan penuh iba membuatnya hampir jatuh sakit. Pinggang gaunnya bahkan kini sudah terasa longgar.
Namun itu bukanlah hal yang paling penting.
Athena berusaha menenangkan diri dengan satu pikiran:
“Sebanyak apa pun yang kau miliki, semua tak ada artinya bila kau sampai kehilangan restu Paduka Kaisar.”
Dengan itu ia kembali menekuni catatan.
Tak lama kemudian, para bangsawan muda mulai berdatangan.
Putri para adipati, putri para markis, cucu para jenderal—semua berasal dari keluarga yang silau oleh prestise. Mereka masing-masing pun memimpin sebuah salon atas nama keluarga mereka.
Dalam kalangan sosial, perkumpulan ini dikenal dengan sebutan Lingkaran Emperia. Menjadi bagian dari lingkaran ini adalah kehormatan tertinggi bagi seorang putri bangsawan di Kekaisaran.
“Menyembah, Paduka Putri Agung.”
Mereka memberi hormat kepada Athena terlebih dahulu, lalu secara cepat saling melirik, menilai satu sama lain.
Perhatian utama mereka semua sama:
Menjadi Permaisuri.
Demi tujuan itu, mereka mengerahkan kecerdasan, kelihaian, dan pengaruh keluarga masing-masing, sekaligus berbagi informasi lewat pertemuan ini.
Dengan kata lain, Lingkaran Emperia adalah semacam “perkumpulan para kandidat” yang mempersiapkan diri untuk meraih posisi setara emas murni: pernikahan dengan Kaisar. Namun hanya satu yang akan terpilih—sebuah lubang jarum yang lebih kecil dari lubang jarum sesungguhnya.
Karena itu, setiap kali bertemu, yang pertama mereka perhatikan adalah wajah satu sama lain.
“Kalau ada yang sudah menarik perhatian Paduka Kaisar, itu tak mungkin bisa disembunyikan. Perasaan sebesar itu pasti akan terlihat jelas.”
Namun hari ini pun sama saja. Semua tampak seperti biasanya.
“Jadi kau juga belum terpilih, ya?”
Dengan perasaan lega yang bercampur rasa senasib, para bangsawan muda pun mulai mencair.
Athena kemudian menyapukan pandangannya dan berkata:
“Baiklah, sudahkah kalian memikirkan tema kali ini? ‘Rencana kegiatan amal untuk mengatasi kemiskinan kronis di wilayah barat-tengah Asienne.’”
“Sudah, Paduka Putri Agung.”
Mereka semua mengeluarkan berkas tebal masing-masing.
Di masa mendiang Kaisar sebelumnya, Lingkaran Emperia juga sudah ada. Namun kala itu mereka hanya berkumpul untuk melukis, bermain musik, menyulam, atau merangkai bunga.
Kini topiknya berubah—hanya pembicaraan amal yang bisa menarik perhatian Paduka Kaisar.
“Penyebab kemiskinan di barat-tengah berakar dari sentimen daerah sejak masa Istana Agung lama….”
“Untuk mencegah arus keluar pasangan muda, kita harus membangun fasilitas pendidikan lebih dulu….”
Mereka pun bersungguh-sungguh mencari jalan keluar.
Putri-putri bangsawan berpendidikan tinggi kini mencurahkan tenaga untuk merancang kegiatan amal. Mau bagaimana pun, hal ini jelas bermanfaat bagi negeri.
Mereka bahkan menyusun gambaran pesta penggalangan dana, lalu menutup pertemuan hari itu.
Pelayan-pelayan Athena masuk sambil membawa teh.
Namun meski diskusi telah selesai, wajah-wajah mereka tak juga cerah. Belakangan ini memang selalu begitu.
“Katanya harus menatap langit untuk meraih bintang. Tapi sudah bosan rasanya mengulang pepatah itu. Mengapa begitu sulit sekali bertemu Paduka Kaisar?”
“Benar. Dulu masih ada gosip, ‘kemarin Paduka berlatih tanding dengan Sir Ziegvalt di alun-alun,’ semacam itu. Tapi belakangan? Bahkan itu pun tak ada lagi. Terlalu parah. Sejak terakhir terlihat di ruang kerja atau ruang sidang, seolah lenyap begitu saja.”
“Betul. Terakhir yang jelas hanya saat Baginda menyalin Kitab Ksatria. Setelah itu, benar-benar tak ada kabar.”
“Paduka Putri Agung, sungguh tak tahu apa-apa? Bukankah Anda yang paling berpeluang sekarang? Kudengar para tetua menganjurkan agar demi kemurnian darah, pernikahan berikutnya sebaiknya antar-royal. Bagaimana pun, mohon bagikan sedikit informasi.”
Athena menghela napas panjang.
“Tidak ada. Aku benar-benar tidak tahu! Seandainya bisa membalikkan dadaku dan menunjukkan isinya, tentu akan kulakukan! Bahkan aku pun jarang sekali bertemu belakangan ini.”
Melihat wajah pucat Putri Agung, semua yakin ucapannya bukan kebohongan.
Para bangsawan muda akhirnya berpamitan dan keluar dari Istana Matahari.
Namun pertanyaan tetap menggantung:
Mengapa Baginda Kaisar selalu begitu sibuk di malam hari?
Bahkan para pelayan istana yang dekat dengan keluarga bangsawan pun tak tahu. Para menteri yang kerap bertemu Baginda pun sama saja.
Chef istana, Xavier Fontaine, juga tak merasakan keanehan. Hanya satu hal yang unik: Baginda selalu makan malam sendirian.
Itu pun tak dianggap masalah. Hidangan selalu kembali dengan piring bersih, tandas disantap.
Namun, Xavier sempat melirik pelayan yang mengantarkan piring-piring itu.
“Kenapa anak ini semakin lama semakin gemuk?”
Ia hanya menggeleng, tak pernah menduga apa yang sebenarnya tersembunyi.
Sementara itu, Kepala Pelayan Istana mulai merasa ada yang ganjil.
Ia dikenal tajam. Saat menemukan hal aneh, ia mendatangi Menteri Dalam Istana.
“Yang Mulia Menteri, ada sesuatu yang janggal. Tiga hari lalu Paduka Kaisar memerintahkan agar kami membawa daftar buku ini. Tapi lihatlah—Kebijakan Nasionalisasi Tanah melalui Batu Perbatasan Era Palatino I—judul yang sama sudah diminta empat hari sebelumnya. Baru seminggu, tapi diminta lagi. Mengapa satu buku yang sama?”
“Hm?”
Menteri mengernyit, menatap daftar.
Tiba-tiba perasaan aneh merayap. Ia tak bisa langsung menjelaskan, tapi daftar itu terasa… hambar. Terlalu rapi, seakan hanya formalitas.
Dua puluh tahun melayani, ia sudah terbiasa dengan pola Baginda. Seperti anjing pemburu terlatih yang bisa membedakan telur dari batu bercorak, instingnya berkata:
“Daftar ini seolah tak bernyawa. Seperti hanya alasan. Mungkinkah Baginda tidak benar-benar membaca, melainkan menggunakan waktu itu untuk sesuatu yang lain?”
“Untuk apa, kira-kira?”
“Siapa tahu. Apa urusan seorang Kaisar sampai perlu menyembunyikan dari bawahannya? Kalau bukan untuk diam-diam keluar istana…. Heh. Jangan-jangan memang itu?”
“Keluar diam-diam, Yang Mulia?”
“Baginda bisa saja menghilang seperti manusia tak kasat mata. Kita tidak bisa masuk kamar beliau tanpa dipanggil. Jika Baginda ingin keluar tanpa terlihat, tentu tak ada yang tahu.”
“Kalau begitu… tujuan beliau apa? Apakah mungkin… seorang wanita cantik?”
“Seorang wanita….”
Menteri mendadak merasa aneh.
Seandainya benar Baginda diam-diam menemui seorang wanita, itu justru kabar baik! Itu yang selalu mereka harapkan.
Namun entah kenapa, hatinya terasa tak nyaman.
“Asal bukan sekadar gadis cantik dari kalangan sosialita….”
Padahal beberapa waktu lalu ia tak pernah memikirkan hal semacam itu. Kenapa kini hatiku berubah?
Ia menggeleng cepat.
Apa pun alasannya, yang terpenting adalah memahami maksud Baginda. Itu tugas seorang bawahan: peka, cepat menangkap perubahan, lalu menyesuaikan diri dengan sempurna.
“Baik. Tapi bagaimana kita memastikan kebenarannya?”
“Bukankah Yang Mulia terkenal suka menerobos masuk begitu saja dengan dalih darurat? Bagaimana kalau kali ini—”
“Tidak. Itu cara terakhir. Kau yang cari tahu lebih dulu. Aku sudah siapkan satu metode.”
Ia pun memberi instruksi rahasia.
Malam itu, terdengar dentang alarm kebakaran dari kamar Kaisar.
“Paduka Kaisar!”
Kepala pelayan berlari masuk. Tapi kamar itu kosong. Tak ada tanda-tanda orang sempat berada di sana.
“Benar! Menteri benar. Baginda pasti diam-diam keluar!”
Ia mengamati setiap sudut. Namun tiba-tiba—
“Ada apa di sini?”
Pintu kamar kecil di sisi ruangan terbuka, Kaisar keluar sambil basah kuyup.
Kepala pelayan panik. “Ampun, Paduka! Dentang alarm kebakaran terdengar—!”
“Aku juga mendengarnya. Tapi bukan di sini.”
Jawaban singkat. Baginda mengambil sebuah buku di meja, lalu kembali masuk ke kamar kecil.
Kepala pelayan ternganga. Rupanya ia salah sangka. Baginda memang sedang tenggelam dalam penelitian, bahkan rela menyiram diri dengan air agar tetap terjaga.
“Ya ampun, apa yang sudah kulakukan…!”
Ia menggaruk kepala. Malu mengingat ucapan yang sudah ia laporkan ke Menteri.
Sementara itu, Iscandar—sang Kaisar—menutup pintu kamar kecilnya dan tersenyum tipis.
“Pasti mereka mengira aku diam-diam keluar. Nah, sekarang kecurigaan sudah pupus.”
Demi melindungi sosok samaran Sir Valentine, ia jadi semakin waspada. Kali ini kebetulan ia memang sedang menyiram diri, sehingga cukup keluar sebentar dan pura-pura saja.
“Sempurna. Rapi tanpa celah.”
Namun begitu melihat botol air suci di hadapannya, rasa puasnya sirna.
“Andai saja sejak awal aku menyamarkan bukan hanya warna rambut dan mata, tapi juga tinggi, tubuh, usia, suara… tak akan ada repot seperti ini. Kenapa dulu tidak kulakukan?”
Ia bergumam lirih, lalu kembali ke eksperimen.
Air suci mematahkan sihir penyamaran dengan mudah.
Air berpadu kekuatan suci membentuk jalinan khusus yang langsung menghapus ilusi sederhana seperti perubahan warna rambut dan mata.
Satu-satunya solusi: perisai alami seorang Grand Chevalier. Kemampuan memantulkan serangan luar secara instan.
Tapi masalahnya, air suci dianggap tak berbahaya. Karena itu refleks pertahanan selalu terlambat.
Iscandar kembali berlatih. Ia mengenakan sihir penyamaran, menggenggam botol air suci.
“Ini berbahaya.”
Ia membisikkan sugesti, lalu menyiram wajahnya.
Tetap gagal. Sihir buyar seketika.
Ia ulangi lagi, dan lagi.
Malam kian larut, ia tak berhenti.
Mengelabui orang paling curiga di Kekaisaran ternyata bukan hal mudah.
Selain latihan, ia merasa perlu dukungan.
Masalah ini muncul karena kebetulan teman-temannya yang tahu adalah Louis dan Lorendel.
Louis sejak kecil penakut pada hantu. Lorendel tergila-gila pada legenda peri dan kisah mistik.
“Kenapa harus mereka berdua? Sialnya undian buruk sekali.”
Kalau begitu, seimbangkannya dengan dua lainnya.
“Datanglah, Kucing. Datanglah, Beruang.”
Esok paginya, ia menyiapkan dua lembar surat izin cuti. Satu diambil dari tumpukan kertas bekas, satu lagi dicetak baru oleh sekretariat istana. Ia stempel dengan segel Kaisar, lalu pergi menerima para pemohon audiensi seperti biasa.
Tak lama, surat-surat itu sampai ke tujuan.
Cayenne melongo menatap surat cuti yang selama ini hanya jadi “pesawat kertas” baginya.
Ziegvalt juga bingung—bagaimana mungkin libur yang batal sejak kebakaran Basel tiba-tiba disetujui lagi setelah tiga bulan? Bukankah Kaisar terkenal paling pelit soal cuti?
Tapi apalah—mereka girang bukan main.
Sementara itu, Hazel bangun pagi-pagi, pergi ke pasar. Lemari persediaan harus diisi, lapak penjualan terong harus dicek.
Di kota, suasana festival sudah terasa.
Bendera bergambar topi penyihir tergantung di setiap jalan. Rambut palsu putih, tongkat tengkorak, sapu terbang, hingga rumah-rumahan di atas kaki ayam—semua laku keras.
“Ah, sebentar lagi Malam Baba Yaga rupanya.”
Orang-orang ramah menyapanya.
“Non, sudah siapkan mantel berbulu?”
“Anggur kayu manis kami paling enak! Ayo mampir!”
Bagi warga ibu kota, Malam Baba Yaga adalah pesta.
Dan yang paling ditunggu adalah Tangga Surgawi.
Hazel menerima selebaran dari seorang pria bertopi penyihir.
Ia membaca kisah tentang Cermin Kebenaran, ditaruh di puncak Tangga Surgawi. Hanya muncul pada malam itu, tapi untuk mencapainya ada syarat: tak boleh berbicara meski digoda oleh segala macam hal.
Hazel merasa kisah itu menarik, terutama di saat ia sendiri tengah dihantui rasa ingin tahu soal “hantu.”
Saat ia hendak berlalu, seseorang memanggil:
“Halo… Hazel, kan?”
Seorang perempuan muda, sekitar awal 20-an. Rambut cokelat diikat longgar ke samping. Hazel tak mengenalinya.
“Aku Marie. Kau mungkin tak ingat… malam itu, di gudang….”
“Ah!”
Hazel teringat.
Salah satu korban penculikan bersamanya. Marie dulu hanya berbaring putus asa.
Kini meski wajahnya belum cerah, setidaknya tak seputus asa dulu. Hazel senang sekali, segera berjalan bersama.
Mereka berbincang—tentang trauma, tentang rasa lega, tentang surat rekomendasi dari istana yang membuat Marie merasa diakui.
Lalu Marie menyebut sesuatu:
“Katanya hukuman itu langsung perintah Baginda Kaisar, benar ya?”
Hazel sempat menjawab asal, tapi lalu terdiam.
Seperti kilat, sebuah kesadaran menghantam.
Benar! Kalau Sir Valentine itu hantu, bagaimana bisa ia menyampaikan usul ke Kaisar?
Akhirnya ada bukti tandingan!
Hazel merasa dadanya lega.
Setelah berpisah dengan Marie, ia pulang dengan hati gembira.
Namun kejutan lain menantinya di ladang.
Dua ksatria agung—Ziegvalt si Beruang, Cayenne si Kucing—sedang berkunjung, mengagumi Julia si sapi.
Mereka membantu memberi makan hewan-hewan, lalu Hazel dengan hati-hati membuka percakapan.
“Kalau ada seseorang yang hanya muncul malam hari, datang dan pergi tiba-tiba, punya kekuatan tak masuk akal, menghindari ramuan pengusir roh jahat, bahkan seolah tahu isi hati orang lain… apakah dia hantu? Louis dan Lorendel yakin begitu….”
“Apa?”
Cayenne terbahak.
“Kenapa tanya mereka berdua! Sudah jelas jawabannya keliru!”
Ziegvalt mengangguk sambil menahan tawa.
Hazel bingung.
“Kenapa?”
“Louis? Bayangan selimut jatuh pun dia sudah teriak ‘hantu!’ Lorendel? Dia pecinta kisah peri dan setan. Tentu saja keduanya akan bilang ya! Tapi jelas, orang seperti yang kau ceritakan itu bukan hantu.”
“Benarkah? Kau yakin?”
“Tentu! Hantu itu tak punya bentuk tetap. Mereka tak bisa konsisten. Kalau betul hantu, tak mungkin begitu stabil hingga kau menyangka dia manusia. Kadang jelas, kadang kabur. Kadang kuat, kadang lemah. Mereka tak bisa belajar, tak bisa berpikir logis. Jadi jawaban akhirnya jelas: bukan hantu.”
Kucing bertelinga emas itu berbicara panjang lebar tanpa henti.
“Sepertinya Hazel sama sekali tidak merasakan ada yang aneh dalam hal itu. Kalau begitu, dia jelas bukan hantu. Semuanya hanya kebetulan belaka. Kalau dia sendiri yang mendengar, pasti akan terbahak-bahak. Jadi hati-hati, jangan sampai ketahuan.”
Begitu Cayenne selesai dengan penjelasannya, Siegfalt langsung menambahkan.
“Dia pasti manusia. Mungkin karena suatu alasan ia meninggalkan masa lalunya dan hidup sebagai orang baru, atau bisa jadi dia terikat sumpah bisu ksatria hingga mati pun tak bisa mengucapkan kata-kata tertentu. Alasannya bisa macam-macam.”
Memang benar, berbeda dengan Louis atau Lorendel, sorot mata keduanya memancarkan ketenangan dan penilaian yang logis.
Mendengar perkataan mereka, Hazel merasa jauh lebih yakin untuk menyingkirkan keraguannya.
Memang, perkataan pertama yang didengar sering kali sangat memengaruhi pendapat seseorang.
Hazel pun berpikir.
Tentu saja Lord Louis dan Lord Lorendel bisa salah paham, karena mereka belum pernah benar-benar bertemu dengannya. Tapi aku? Aku bertemu setiap hari, dan tetap saja mencurigainya.
Wajahnya memanas.
Meskipun karena khawatir, tetap saja dirinya terlalu bodoh.
Cukup! Benar-benar cukup! Selesai sudah!
Ia menyingkirkan semua pikiran tentang hantu atau apa pun itu dari kepalanya. Lalu membawa keduanya masuk ke dalam rumah.
“Hampir lupa, kemarin aku sempat memanggang kue kacang kenari. Aku bisa buat karena membeli kenari dari sisa uang muka kontrak jamur labirin.”
“Oh ya! Katanya kau sudah mulai memasok bahan makanan, bukan?”
Sambil minum teh apple mint dan memakan kue kenari, mereka bertiga mengobrol tentang rumah kaca labirin. Kalau urusan ini berjalan lancar, sepertinya Hazel harus pergi lagi untuk memanen jamur raksasa.
Siegfalt dan Cayenne membantu berbagai pekerjaan kecil di sekitar pertanian cukup lama, lalu pergi sambil membawa kantong kertas besar berisi kue kenari.
Setelah mereka pergi, Hazel membersihkan saluran air dengan hati yang lega.
Memang bagus kalau fasilitas semakin berkembang, tapi itu berarti pekerjaan pun semakin banyak. Ia meraup daun-daun yang menumpuk di satu sisi dengan garu hingga bersih, tanpa sadar waktu sudah banyak berlalu.
Saat matahari mulai terbenam dan udara lembap, ia mengangkat jemuran dan membawanya masuk.
Ketika sedang melipat cucian, Hazel melihat tali apron-nya hampir putus. Ia pun mengambil peralatan jahit dan mulai menjahit kembali. Saat itu, bayangan jatuh menutupi kepalanya.
Hazel mendongak.
Seorang ksatria kekaisaran berambut hitam dengan jubah hitam berdiri di sana.
“Ah…….”
Hazel agak gugup.
Ia hendak menyapa dengan canggung, tapi pria itu tiba-tiba mengulurkan sesuatu ke depan.
Sebuah botol perak.
“Itu apa?”
“Air suci. Tadi kutemukan di jalan.”
“Eh? Air suci ditemukan di jalan? Walaupun ini istana…….”
“Tapi kenapa panas sekali ya?”
Ia memotong ucapannya, lalu menyiramkan air suci itu ke wajahnya sendiri.
Hazel terlonjak kaget.
Apa-apaan ini?
Tentu saja, penampilannya tetap baik-baik saja. Tidak ada bagian tubuh yang menjadi tembus pandang atau meleleh. Wajar saja. Karena dia manusia.
Hazel mulai berkeringat dingin.
Ketahuan!
Sepertinya Lord Valentine sudah menyelidiki tanaman herbal yang ia gunakan. Padahal itu bukan perkara mudah bagi orang kota. Mungkin karena itulah ia sempat menghilang.
Wajah Hazel kembali memerah.
“Maafkan saya. Sungguh maaf. Saya hanya khawatir. Kalau Lord Valentine benar-benar hantu, kupikir aku harus membantumu menemukan peristirahatan, bukan terus berkeliaran……”
“Itulah masalahnya. Kalau orang lain salah paham begitu, tak masalah. Tapi Nona Mayfield tidak boleh. Karena sekali kau memutuskan sesuatu, kau akan benar-benar melakukannya. Kalau aku bukan hantu, kau pasti akan membuatku jadi hantu hanya agar bisa ‘menemukan peristirahatan.’”
“Itu salah paham!”
Hazel buru-buru menjelaskan, tapi dia tidak mendengarkan.
Tok!
Ia menaruh sebuah buku di meja makan. Sebuah kitab kuno berbahasa arkais, digunakan untuk upacara pengusiran iblis.
“Akhir-akhir ini inilah bacaan favoritku.”
Lalu ia melirik Hazel, seolah menunggu reaksi.
“……Lord, sungguh, aku tidak mencurigaimu lagi.”
“Lihat teko ini. Sudah kuelap sampai bersih, sampai-sampai bayanganku jelas terlihat. Sendok ini juga. Bisa memantulkan wajahku dengan jelas.”
Ia menekankan hal itu sambil kembali melirik Hazel, mencari reaksi.
Tentu saja bayangannya terlihat di mana-mana, karena memang dia manusia…… tapi kenapa harus sekuat tenaga begini?
Lord Valentine tampaknya benar-benar menyiapkan banyak hal. Betapa sakit hati dan kesalnya ia karena dituduh hantu!
Hazel hanya menatapnya tanpa berkata-kata.
Tiba-tiba, sebuah pikiran konyol muncul.
Tidak, jangan berpikir begitu.
Hazel mencoba menahan diri.
Namun ia tidak bisa menahannya. Tangannya terkepal, sedikit gemetar.
Tapi ini terlalu lucu!
Sebuah niat iseng mulai muncul.
“Tenanglah. Aku percaya, sungguh. Mana mungkin Lord Valentine hantu? Ngomong-ngomong, ulang tahunmu kapan?”
“September…… kenapa tiba-tiba tanya itu?”
“Hanya untuk memastikan. Katanya hantu, karena milik dunia kematian, tidak bisa menjawab kalau tiba-tiba ditanya tanggal lahir.”
“Apa?”
Iskandar jelas kelabakan.
Padahal sudah menyiapkan segala macam pembuktian! Apakah dia masih tidak percaya? Ia menatap Hazel dengan mata yang bergetar.
Hazel tidak bisa menahan tawa lagi.
“Itu hanya bercanda! Maaf! Sungguh maaf! Tapi barusan Lord Valentine memang tidak bisa langsung menjawab, kan? Ah, tidak, tidak! Aku tidak benar-benar mencurigaimu……”
“…….”
Iskandar terdiam.
Tentu saja aku bukan hantu. Hanya saja…… ulang tahunku sama dengan hari kelahiran Kaisar, jadi aku tidak bisa mengatakannya.
Tetap saja, kenyataannya dia gagal menjawab.
Padahal ia sudah berhasil lolos ujian air suci, menunjukkan tidak takut kitab pengusiran iblis, bahkan membuktikan bayangannya terlihat di segala permukaan…… tapi ujian baru yang tidak terduga ini, ia gagal.
Hazel Mayfield memang si peragu terbesar di Kekaisaran!
Bagaimana caranya agar ia benar-benar berhenti mencurigai?
Ia berpikir keras. Lalu matanya tertumbuk pada sesuatu.
“Baik. Ini dia.”
“Apa maksudmu?”
“Untuk membuktikan aku bukan hantu, diperlukan bukti yang berwibawa. Jadi, sesuai sejarah dan tradisi Kekaisaran, aku akan melakukan ini.”
Iskandar menunjuk ke atas meja.
Hazel mengikuti arah jarinya.
Di bawah cangkir teh ada selebaran. Brosur acara ‘Tangga Surga’ yang sempat ia ratakan untuk ditempel di buku catatannya.
“Jangan bilang…… kau mau naik ke sana?”
“Benar. Seperti dalam legenda, aku akan naik sampai ujung tangga. Di sana ada Cermin Kebenaran. Dengan itu, aku akan membuktikan di depan matamu bahwa aku manusia, bukan hantu.”
Nada bicaranya begitu serius, seperti mengumumkan hendak pergi berperang.
Astaga…….
Hazel meliriknya sekilas.
Padahal sebelumnya ia memang sudah penasaran ingin pergi ke sana. Tidak disangka alasan konyol seperti ini yang akhirnya membuat mereka benar-benar pergi.
Pergi ke tempat wisata festival.
Jantung Hazel berdebar penuh antusias.
“Hmm……. Baiklah, kalau begitu. Kalau di sana bisa terbukti, mungkin aku akan percaya.”
“Kau harus percaya! Ini legenda yang sudah diwariskan sejak lama! Bukankah petani percaya semua legenda?”
“Baiklah. Aku akan percaya.”
Hazel menjawab dengan pura-pura pasrah.
Namun diam-diam ia mulai khawatir.
Bagaimana kalau malam Baba Yaga tidak datang?
Untungnya, itu tak perlu dikhawatirkan.
Keesokan paginya, Hazel terbangun dengan perasaan aneh.
Ujung hidungnya terasa dingin. Dari balik selimut tipis musim panas, hawa sejuk meresap. Pepohonan yang mengelilingi pertanian bergemiricik, seakan berbisik.
Malam penyihir akan datang.
Hazel langsung melompat bangun.
Hewan-hewan di pertanian pun tampak menyadari sesuatu. Julia menundukkan kepala besar dan mencium tanah, mendengus. Ayam-ayam tidak berkeliaran seperti biasa, melainkan diam berkumpul, bergemuruh pelan. Tiberius juga membelalakkan mata, heran dengan perubahan cuaca mendadak.
Semua sedang menghadapi malam Baba Yaga untuk pertama kalinya.
Dengan perasaan takjub, Hazel keluar rumah.
Istana pun sudah hiruk-pikuk sejak pagi.
Demi melewati malam dengan selamat, persiapan menghadapi dingin pun dimulai. Para pelayan sibuk mengeluarkan permadani tebal, tungku api, lilin, hingga batu penghangat ruangan. Ada juga yang membawa setumpuk mantel bulu.
Hazel asyik mengamati, lalu mendapati seseorang lain yang juga sedang menyaksikan pemandangan ini.
Seorang wanita berambut pirang dengan mata merah menyala. Dan seorang anak lelaki berambut merah mungil nan manis.
Wajah Hazel langsung berseri.
“Yang Mulia Katarina! Pangeran Rowan!”
Mereka menoleh, wajah ikut berbinar.
Itu adalah pertama kalinya Hazel bertemu lagi dengan Pangeran Rowan setelah hadiah kuda Julia diberikan. Dulu ia masih harus didudukkan di kursi dan diangkat oleh pelayan, tapi sekarang sudah tidak perlu.
Ternyata kesehatannya benar-benar jauh lebih baik. Kecuali tubuh yang masih kurus, ia nyaris tak bisa dibedakan dari anak-anak normal.
“Pangeran! Anda benar-benar sehat sampai sulit dikenali.”
“Ya. Semua berkat Nona Hazel, sekarang aku bisa berjalan sendiri.”
Rowan menjawab dengan tegas. Hazel kembali mengamati bocah itu, kagum.
“Benar juga, Lord Louis memang bilang kalau darah vampir membuat penyembuhan jauh lebih cepat.”
Mendengar itu, sang putri tersenyum bangga.
“Tepat sekali! Tahun lalu, malam Baba Yaga datang, kami masih sibuk menjaga tempat tidurnya. Bukan, bahkan bukan tahun lalu—belum lama ini pun begitu!”
Lalu ia melirik Hazel.
“Ngomong-ngomong, kudengar kau sempat memetik tanaman di tamanku?”
“Maksud Anda pemakaman istana? Betul.”
“Kenapa tidak mampir padaku sekalian?”
“Waktu itu terlalu larut. Aku tak ingin menimbulkan keributan. Kalau itu membuatmu tersinggung, aku minta maaf.”
“Tidak, tidak! Kukira kau sengaja menghindar karena aku kasar dan bicaraku keras!”
Katarina pun terlihat lega.
“Permaisuri Ibu memang lembut dan berwibawa, tapi aku lebih suka bicara lugas dan akrab. Lagipula, kalau aku menikah umur tiga belas, pasti sekarang sudah punya anak seusiamu, kan?”
Ia melempar perkataan tak masuk akal sambil tersenyum dengan matanya.
Ternyata kepribadiannya manis juga. Bukan petani, tapi jelas bisa bikin banyak pria jatuh hati.
Hazel terkekeh dalam hati.
“Kalau begitu, kapan-kapan datanglah bersama Pangeran ke pertanian lagi.”
“Kebetulan dia memang sedang berlatih supaya bisa berjalan sampai ke sana. Baik aku maupun Rowan, karena darah vampir, lebih suka berjalan malam. Tapi malam ini…… entahlah.”
“Kalau begitu kenakan pakaian tebal saja, lalu jalan-jalan?”
“Masalahnya bukan dingin.”
Katarina menggeleng.
“Malam seperti ini tidak baik berkeliaran di dalam istana. Apalagi tempat ini penuh arwah masa lalu. Saat malam Baba Yaga, banyak hantu bergentayangan. Terutama……”
Ia melirik sekeliling, lalu berbisik.
“Kalau kau melihat hantu anak lelaki berambut hitam sekitar dua belas tahun, larilah secepatnya.”
“Siapa dia?”
“Adrian.”
Suaranya mengecil lagi.
“Anak haram mendiang kaisar.”
Hazel langsung teringat.
Kaisar sebelumnya memang terkenal bejat. Ia ingat pernah mendengar orang-orang di jalan bergosip tentang anak haram kaisar.
“Ibunya, Camilla, nyaris saja menyingkirkan Permaisuri sekarang dan menjadi permaisuri sendiri. Tapi berkat perlindungan Dewa Bratan, dia tiba-tiba meninggal. Adrian pun akhirnya mati diam-diam di dalam istana ini. Tentu saja ia menyimpan dendam besar. Jadi hati-hati. Oh, dan hati-hati juga dengan hantu pria tua berbaju merah. Itu Kanselir Mercurio, seorang cabul tak tahu diri. Dia dulu begitu tergila-gila padaku! Dari wajahmu, aku yakin dia juga akan menyukaimu. Waspadalah!”
“Ugh…….”
Hazel merinding.
“Terima kasih banyak atas informasinya, Yang Mulia. Untunglah malam ini aku memang berencana keluar istana.”
“Benarkah? Mengejutkan juga. Kukira kau pasti akan menghabiskan malam bersama tanamanmu.”
Pangeran Rowan membuka mata lebar-lebar, kagum. Hazel menatapnya penuh sayang, tersenyum.
“Lord Lorendel bilang ini dingin ajaib, jadi tanaman tidak akan apa-apa. Tapi…… ternyata dia hanya bilang tanaman, tidak menyebut manusia.”
“Itulah ciri khas elf!”
Katarina terkagum.
“Manusia bisa sakit karena hawa dingin ini. Bisa masuk angin. Dari panas langsung berubah dingin begitu.”
“Benar juga! Kalau begitu semua harus berhati-hati. Oh ya, ada obat sederhana yang bisa dibuat dari bahan-bahan rumah tangga untuk masuk angin.”
“Apa itu?”
“Namanya susu hangat berempah. Bahannya susu, remah roti, pala…….”
Hazel berhenti bicara, menyadari sedang berbicara dengan keluarga kerajaan yang jelas tidak pernah mengurus rumah tangga.
“Lebih baik biar aku yang membuatkannya saja.”
“Betapa baiknya kau!”
Putri tersenyum bahagia. Ia bahkan belum tahu apa itu susu hangat berempah, tapi namanya saja sudah membuatnya penasaran.
“Kalau begitu, aku juga boleh mencicipi? Atau karena ini minuman beralkohol, aku tidak boleh?”
Rowan bertanya hati-hati.
“Boleh, tentu saja. Namanya memang ‘susu arak,’ tapi sebenarnya lebih mirip obat. Kau pasti suka. Tapi aku harus bergegas sekarang. Masih banyak pekerjaan pertanian sebelum keluar, dan aku harus menyiapkan susu arak itu juga.”
“Baiklah.”
“Ya.”
Ibu dan anak menjawab bersamaan.
Hazel berpamitan, lalu pergi. Sang putri menatap punggung Hazel yang menjauh sambil menggenggam tangan anaknya, tersenyum puas…… lalu mendadak berpikir.
Tunggu, keluar istana? Pergi sendiri? Atau dengan seseorang?
Harusnya tadi kutanyakan!
Ia menoleh ke sana ke mari, mencoba melihat lebih jelas bayangan Hazel yang semakin jauh.
Untuk membuat susu arak, pertama Hazel menuangkan dua botol susu ke dalam panci tua penyok. Ia mengaduk dengan sendok kayu agar tidak gosong.
Saat buih kecil mulai muncul, ia menambahkan remah roti. Lalu menurunkan panci sebentar dari api.
Selanjutnya, ia mengambil telur, hanya kuningnya, lalu mencampurnya dengan sherry pahit khusus masak.
Cairan kuning itu diberi gula—lebih banyak kali ini, karena Pangeran Rowan juga akan minum. Kemudian ia menaburkan pala secukupnya untuk memberi aroma.
Di dalam panci, susu sudah mengental bercampur dengan remah roti. Hazel mengaduk, uap hangat mengepul. Agar tidak menggumpal, ia menuangkan campuran telur dan sherry sedikit demi sedikit sambil terus diaduk.
Susu arak penyembuh masuk angin pun siap.
Hazel menyiapkan mangkuk besar dan kecil, menuang satu porsi untuk setiap orang, lalu menutupinya dengan kertas. Setelah dingin, nanti akan dituangkan ke dalam botol kecil.
Satu pekerjaan penting selesai.
Kemudian ia menuju gudang.
Jerami baru dari Siegfalt dan Cayenne sudah menumpuk seperti gunung, mengeluarkan aroma menyenangkan. Benar-benar seperti gudang pertanian pedesaan.
Hazel memeriksa apakah ada celah udara yang bisa membuat angin dingin masuk. Lalu ia membawa masuk ayam-ayam satu per satu. Tiberius diikat dengan tali kulit di dadanya.
Terakhir, Julia didudukkan di tengah-tengah tumpukan jerami.
“Malam ini malam Baba Yaga. Sebentar lagi udara akan sangat dingin. Jadi diam di sini, ya.”
Ia menasihati hewan-hewan pertaniannya.
Semua hewan itu belum genap berumur satu tahun, jadi ini pertama kalinya mereka mengalami fenomena aneh ini. Begitu mendekati pintu dan merasakan tanda-tanda hawa dingin yang menusuk, mereka segera kembali dan duduk diam.
Begitu pula dengan yang terjadi di peternakan Belmont.
Sama seperti manusia, hewan pun menyukai kehangatan dan membenci hawa dingin. Bahkan, mereka mungkin lebih menyukai hangatnya tempat daripada manusia sendiri.
Begitu cuaca tiba-tiba menggigilkan tulang, anak-anak anjing yang biasanya tak bisa diam pun enggan keluar rumah. Jumlah hewan yang kabur berkurang drastis.
Karena itu, hari ini tidak perlu terlalu khawatir.
Hazel pun berpamitan pada hewan-hewan peternakan agar tetap tenang, lalu masuk ke rumah.
Ia membuka koper perjalanan yang dibawanya dari Rochelle. Dari dalam, ia mengeluarkan pakaian musim dingin yang dulu pernah berguna ketika si kembar keluarga Ziegvalt terserang flu.
Lalu ia mulai bersiap untuk pergi keluar.
Sementara itu, istana utama juga sibuk mempersiapkan diri menghadapi malam Baba Yaga.
Selain menyusun langkah-langkah untuk menahan hawa dingin, ada banyak hal lain yang perlu diperhatikan.
Pernah suatu ketika hawa dingin gaib ini merusak lukisan berharga di istana. Karena itu, sejak beberapa hari lalu mereka sudah mulai menutup karya seni berharga dengan kain pelindung.
Hari ini, yang tersisa hanyalah menutup lukisan dinding kuno di langit-langit.
“Lebih tinggi! Tarik lagi ke atas! Rentangkan lebih lebar!”
Di tengah suasana hiruk-pikuk itu, Menteri Dalam Negeri sedang menerima laporan dari kepala pelayan istana.
“Jadi begitu? Beliau hanya mengurung diri di ruang baca dan tenggelam dalam buku? Tidak sedang menemui ‘seorang nona jelita’?”
“Benar, saya sendiri yang memastikan. Yang Mulia justru terlihat lebih giat membaca dari biasanya.”
“Kalau begitu, daftar buku yang tercatat ganda itu hanya kekeliruan sepele?”
“Tampaknya demikian. Mohon maaf, saya sudah membuat Anda cemas dengan laporan itu….”
“Tidak, tidak apa-apa. Kita harus selalu waspada. Bahkan hal-hal yang tidak beliau katakan pun sudah sepantasnya kita perhatikan. Hmm… kalau begitu, apakah hari ini juga beliau akan membaca seperti biasa?”
“Tidak. Karena hari ini hari istimewa, beliau berkata akan keluar melakukan penyamaran. Beliau menegaskan akan pergi lebih awal dan kembali larut, jadi tak usah mencarinya. Walaupun, memang setiap kali melakukan penyamaran beliau selalu berkata begitu.”
“Hmm…”
Menteri Dalam Negeri terdiam sejenak.
Saat itu, dari ujung lorong utama terdengar keributan.
Keempat komandan ksatria suci Kekaisaran datang sambil bercakap dengan suara keras.
“Entah bagaimana, seluruh stok air suci di kapel agung raib begitu saja! Kami sudah meminta bantuan ke tempat lain, tapi sialnya, karena malam Baba Yaga semua tempat sudah kehabisan….”
Lorendel, yang sedang cemas, buru-buru menutup mulut begitu melihat Menteri Dalam Negeri, lalu segera memberi salam.
“Count Albert! Anda benar-benar sibuk sepanjang hari, ya?”
“Justru sekaranglah awal kesibukan. Lalu, apa rencana kalian malam ini?”
“Seperti yang Anda tahu, kami semua harus siaga semalaman.”
Louis mendengus.
“Bukan hanya siaga. Kami harus berada di sisi para bawahan yang ketakutan.”
“Maksudmu, para bawahan yang justru berada di sisimu.”
Ziegvalt menyelutuk, membuat Louis menjulurkan lidah dengan geli.
“Bukan itu maksudku. Aku dan para bawahan akan berada di sisi Yang Mulia Kaisar.”
“Luar biasa, tampaknya kau benar-benar ketakutan! Tapi sayang sekali, kabar dari kepala pelayan barusan mengatakan Yang Mulia akan keluar malam ini untuk melakukan penyamaran.”
“Apa?”
Lorendel menatap dengan wajah kebingungan.
“Sepertinya beliau bahkan tidak sadar bahwa hari ini malam festival. Kasihan sekali, begitu sibuk dengan urusan kerja sampai tak tahu hari apa….”
“Bukan begitu. Beliau jelas tahu, karena berkata sendiri bahwa hari ini adalah hari istimewa.”
“Benarkah? Kalau begitu, kalau saja kami tahu lebih awal, pasti kami sudah mencari cara untuk ikut juga!”
Kayenne tampak menyesal.
“Belakangan ini komunikasi terasa kurang, ya?”
“Benar. Sempat sering terlihat, lalu tiba-tiba menghilang lagi. Apa mungkin kita terlalu banyak membicarakan soal peternakan?”
Ziegvalt ikut mengernyit bingung.
Menteri Dalam Negeri kembali larut dalam pikiran.
Begitu ia merasa ada yang janggal, semua kabar terdengar makin aneh di telinganya.
Yang jelas, belakangan ini memang sulit sekali bertemu muka dengan Yang Mulia. Padahal kalau hanya berdiam di istana, seharusnya kemungkinan bertemu malah lebih besar.
Tidak beres. Aku harus memastikan dengan mata kepala sendiri.
Ia menyimpannya dalam hati, tanpa memperlihatkan apa pun.
Baru saja ia berbalik setelah berpisah dengan para komandan ksatria, langit mulai terbakar warna jingga.
Cahaya senja menyebar seperti sayap burung raksasa yang terbentang di cakrawala. Sementara dari atas, bayangan biru gelap merayap turun, menutupinya seperti tirai.
Langit musim dingin yang sempurna.
“Celaka, tahun ini pasti lebih dingin dari biasanya.”
Menteri Dalam Negeri bergumam.
Dari luar istana, terdengar samar teriakan bercampur sorak sorai orang banyak.
Begitu matahari terbenam, udara hangat yang tadi terasa langsung lenyap, digantikan hembusan angin dingin.
“Dingin sekali!”
Teriakan riang bercampur keluhan terdengar di mana-mana.
Jalanan dipenuhi kerumunan. Orang-orang yang seharian kepanasan keluar semua. Mereka terkesima melihat napas berubah menjadi uap putih.
Penduduk menaruh wadah berisi air di depan rumah, berharap bisa mendapatkan es gratis.
Namun, hawa dingin gaib sang penyihir punya sifat khusus. Air yang sengaja ditaruh tidak akan membeku. Sebaliknya, air yang tercecer di jalan justru langsung membeku, membuat orang-orang terpeleset.
Angin dingin pun bekerja dengan cara yang sama. Ia seakan sengaja memilih orang yang berpakaian tipis untuk diselimuti hawa menusuk.
“Brrr! Beku rasanya!”
Di tengah teriakan itu, ada juga orang-orang yang justru melepas baju sambil berlagak konyol.
Persis seperti yang kubayangkan—ternyata memang seru!
Hazel menyesuaikan tudung mantel musim dinginnya, lalu mempercepat langkah.
Di lapangan, api unggun dinyalakan di banyak tempat. Di tengah-tengah, orang-orang berputar sambil menari mengikuti musik akordeon, seolah sedang mengusir penyihir.
Sebagian mengenakan topi runcing ala penyihir, menghangatkan tangan di api unggun sambil meneguk anggur panas. Dari kios-kios berlampion oranye mengepul asap putih makanan hangat.
Semua tampak seperti pemandangan musim dingin pada umumnya. Namun, menyadari bahwa semua ini baru muncul semalam dan besok akan hilang, membuatnya terasa begitu istimewa.
Hazel menembus kerumunan hingga akhirnya tiba di depan menara jam alun-alun.
Di antara orang-orang yang menunggu janji temu, ia melihat Sir Valentine berdiri dengan tangan bersedekap, wajahnya tersembunyi di balik jubah hitam.
Ternyata ia lebih dulu datang.
Hazel bergegas menghampiri.
“Sir Valentine!”
Iskandar tersentak.
Baru saja, pikirannya melayang entah ke mana.
Apa yang sedang kulakukan di sini?
Seorang Kaisar yang kabur dari istana dan berdiri di depan menara jam alun-alun? Siapa pun akan menganggap itu cerita bohong.
Namun, begitu Hazel muncul dengan mantel bertudung, kesadarannya kembali. Semangatnya bangkit.
Sang warga paling curiga se-Kekaisaran akhirnya datang juga!
Gadis ini selalu punya cara menyusahkan dirinya. Bahkan membuatnya ikut menghadiri festival yang paling ia benci.
Saat ia menatapnya, Hazel sempat berhenti sejenak untuk membeli dua cangkir anggur panas dari pedagang kaki lima, lalu berjalan mendekat.
“Untunglah. Tak seorang pun menyadari betapa anehnya penampilan Sir Valentine malam ini.”
“Sepertinya begitu.”
“Tunggu dulu… jangan-jangan Anda tak terlihat sama sekali oleh orang lain?”
Sekejap, Iskandar merasa darahnya mendidih. Hazel malah terbahak.
“Bercanda kok! Bercanda! Nih, aku beli anggur panas untuk kita.”
Namun saat hendak memberikannya, Hazel mendadak terkejut.
“Hah, mereka cuma kasih satu sendok! Padahal jelas-jelas aku beli untuk dua orang!”
“……!”
“Ah, ternyata ada satu sendok lagi di sini.”
Hazel kembali terkekeh.
Iskandar sekali lagi merasa naik darah.
Tunggu saja! Aku pasti akan membuktikannya!
Ia mengepalkan tangan di balik jubah.
“Ayo, kita berangkat sekarang.”
“Baik!”
Mereka pun melangkah pergi.
Iskandar ingin cepat sampai, tapi hari ini tak bisa menggunakan Pegasus. Kereta pun dilarang lewat karena terlalu berbahaya di tengah keramaian.
Akhirnya, mereka hanya bisa berjalan kaki.
“Tak apa. Selangkah demi selangkah saja.”
Ia menyemangati dirinya sendiri.
Sebenarnya, ia ingin sekalian memantau kondisi jalan, juga meninjau masalah pedagang liar yang belakangan bikin pusing.
Namun, setelah dua kali jadi bahan olok-olok Hazel tadi, pikirannya kacau.
“Tak kusangka di ibu kota ada situs peninggalan kuno seperti itu.”
“Memang tidak ada hubungannya dengan pertanian, jadi wajar kau tak tahu.”
Akhirnya, mereka hanya bisa mengobrol santai sambil menyeruput anggur panas.
Setelah berjalan lebih dari satu jam, mereka tiba di tempat tujuan.
‘Tangga Surgawi’—menara raksasa yang menjulang seperti tangga menuju langit.
Di depannya, kerumunan orang ramai berkumpul. Riuh sekali.
Inilah target malam ini.
Iskandar menarik napas panjang, meneguhkan tekadnya.
Sementara Hazel berkeliling dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu.
Banyak orang gagal mendaki hingga puncak. Bahkan sekarang pun, beberapa turun dengan langkah gontai.
Meski begitu, kerumunan orang yang ingin mencoba terus bertambah. Di antara mereka, para pedagang sibuk menawarkan dagangan.
“Ayo, sini! Jubah Keberuntungan! Dengan ini, kalian pasti bisa mendaki sampai puncak Tangga Surgawi! Hanya sepuluh silver saja!”
Hazel tersenyum miring.
“Siapa juga yang sebodoh itu membeli—”
Iskandar langsung membeku.
Di tangannya ada dua mantel.
Saat tatapan mereka bertemu, Sir Valentine langsung membeku seperti batu.
Pegangan di tangannya perlahan ter풀며, ia mencoba menjatuhkan mantel itu seolah-olah tidak sengaja. Usaha alami untuk menghilangkan barang bukti.
Hazel terkejut.
“Tidak! Tidak! Kalau sudah beli ya harus dipakai!”
Ia segera maju dan meraih mantel itu.
“……”
Iskandar hanya berdiri terpaku.
Ia sendiri tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lakukan.
Selama ini ia tidak pernah percaya pada takhayul. Ia juga muak dengan trik dagang semacam itu.
Namun begitu mendengar kalimat “mantel keberuntungan yang akan membawamu sampai ke puncak tangga”, tangannya bergerak begitu saja. Ia membeli benda konyol itu, seolah-olah ada sesuatu yang merasuki dirinya.
Itu menunjukkan betapa besar keinginannya untuk berhasil.
Iskandar segera menguasai diri dan kembali melangkah. Hazel melihatnya dan hampir tidak bisa menahan tawa.
Begitu bersemangat, sampai-sampai membeli barang murahan begitu!
Padahal, Sir Valentine biasanya terlihat begitu berhati-hati dan dingin. Dan sekarang ia membeli barang dari pedagang keliling? Betapa besar tekadnya untuk berhasil!
Hazel pun merasa sedikit bersalah.
Mungkinkah ia terlalu keterlaluan dengan leluconnya?
Namun begitu matanya tertumbuk pada seragam ksatria kekaisaran yang tersembunyi di balik mantel keberuntungan itu, pikirannya kembali berubah.
Seragam yang sekarang sudah tidak ada lagi—seragam itulah yang membuat mereka semua mengira dirinya hantu.
Bagaimana bisa seseorang berjalan-jalan dengan pakaian yang seakan tercabut dari masa lalu? Kalau memang ada alasannya, tentu ia bisa mengerti. Tetapi…
Hazel hampir saja melakukan ritual pengusiran roh dengan mahkota daun di kepalanya demi menyelamatkan “jiwa yang belum menemukan peristirahatan.” Ia sungguh-sungguh pernah khawatir kalau Iskandar adalah roh gentayangan.
Hmph. Biar saja dia repot sedikit lebih lama.
Hazel memutuskan untuk tetap bersikap tenang.
“Baiklah, kalau begitu, untuk membuktikan apakah Sir Valentine benar-benar hantu atau bukan, bagaimana kalau kita coba naik ke atas tangga tinggi itu?”
“Ya. Mari kita pergi.”
Keduanya pun menuju ke sana.
Sebenarnya, reruntuhan kuno ini bahkan tidak terlalu dikenal oleh penduduk asli ibu kota, apalagi oleh orang luar seperti Hazel. Meski menjulang tinggi, gunung di belakangnya membuatnya tidak terlalu menonjol. Lagipula, tidak ada yang terlalu indah dari bangunan ini.
Namun, di malam Babayaga, suasananya berbeda.
Bangunan itu berdiri tegak dalam udara dingin, memandang ke bawah pada kerumunan orang banyak, menghadirkan aura agung.
Ada banyak alasan mengapa orang-orang berkumpul di Cermin Kebenaran malam ini.
Karena hanya bisa dilihat malam ini. Karena katanya indah. Karena siapa tahu mendapat berkah kalau naik ke sana. Karena seru. Karena konon sudah seratus tahun tidak ada yang berhasil mencapai puncak…
Orang-orang membicarakan banyak hal.
Tapi dari semua orang ini, hanya kami yang benar-benar berniat melihat diri kami di cermin itu.
Dengan begitu Hazel menatap ke arah Tangga Surga.
Tangga berbentuk zig-zag itu memang bisa didaki hingga ke puncak. Hanya saja, seperti yang tertulis di selebaran, ada satu aturan.
“Menurut legenda, siapa pun yang menaiki Tangga Surga tidak boleh membuka mulut sampai benar-benar tiba di puncak. Kalau sampai berbicara…”
Belum sempat Hazel menyelesaikan ucapannya, terdengar jeritan.
“Uwaahhh!”
Seorang peserta terpeleset dari tangga di atas, jatuh terduduk dengan keras.
Ia mencoba naik lagi, tapi entah kenapa tidak bisa maju. Seakan ada dinding tak kasat mata yang menghalangi, langkahnya tidak bergerak dari tempat semula.
Akhirnya ia menyerah dan turun bersama teman-temannya.
“Itu karena sihir kuno. Seluruh tangga ini dipenuhi dengan semacam sihir misterius.”
Iskandar menganalisis.
Bukan sihir jahat. Hanya semacam aturan, seperti larangan “tidak boleh memakai topi di dalam kuil.”
Masalah sesungguhnya adalah iblis. Iblis-iblis penjaga Cermin Kebenaran yang suka mempermainkan orang.
“Sekarang saatnya dimulai.”
Hazel menapakkan kaki di anak tangga pertama.
Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi, jadi Iskandar memutuskan untuk tidak berjalan di depan atau di belakang, melainkan sejajar dengan Hazel.
Bagian bawah tangga ramai dipenuhi orang. Suasananya masih ringan dan ceria. Tapi makin ke atas, semakin terasa sunyi dan menyeramkan.
Sekarang tidak bisa lagi bercanda.
Sebelum benar-benar serius, Hazel memutuskan untuk sekali lagi menggoda Sir Valentine.
“Hhh!”
Ia menahan 숨소리, lalu berpura-pura terkejut sambil menunjuk ke belakangnya.
Ia pikir trik sesederhana ini tidak akan berhasil. Tapi ternyata…
Iskandar langsung terkecoh.
Sejak awal ia memang sangat tegang. Bukan karena iblis, melainkan karena penjaga reruntuhan.
Setiap situs kuno punya penjaganya. Semacam roh yang mengawasi. Mereka berpura-pura tak peduli, tapi sebenarnya memperhatikan setiap tamu dengan teliti, layaknya pelayan di pintu balairung istana.
Tangga Surga pasti juga punya penjaga.
Kalau tiba-tiba muncul sambil berseru, “Wahai Kaisar Manusia!” dengan gema yang mengguncang, itu akan jadi masalah besar. Maka ia berusaha keras untuk tidak bereaksi.
Kalau aku menyapanya, aku mati.
Namun begitu Hazel tiba-tiba berpura-pura terkejut, ia ikut kaget. Ia buru-buru menoleh, khawatir penjaga itu muncul di belakangnya.
Tapi tidak ada apa-apa.
Melihat ekspresi bingung Iskandar, Hazel merasa sedikit bersalah. Karena tidak bisa bicara, ia hanya memberi isyarat dengan tangan.
‘Salah lihat.’
Tapi tepat saat itu—
“Apa-apaan! Hazel! Kamu di sini rupanya? Kok bisa-bisanya pergi jalan-jalan tanpa ajak aku?”
Suara keras terdengar dari belakang.
Louis! Bagaimana bisa Sir Louis ada di sini?
Hazel tidak percaya telinganya. Ia hampir menoleh karena terkejut.
Namun seketika itu juga, kepalanya seakan menabrak tembok tak terlihat. Mulutnya langsung terkunci. Lalu, sesosok kabur berwarna putih susu melintas cepat di sampingnya.
Suara barusan hanyalah ilusi.
Itu ulah iblis penjaga Cermin Kebenaran. Banyak orang jatuh terjebak dengan cara itu—tak sadar menoleh atau membuka mulut, lalu terpeleset.
Hazel hampir ikut celaka.
Tapi saat menyadari bagaimana dirinya selamat barusan, wajahnya memanas.
Iskandar pun sama terkejutnya. Dalam kepanikan, ia spontan meraih Hazel dari belakang, menutup mulutnya dengan tangannya agar ia tidak bicara.
Ia sendiri segera sadar tindakannya mirip dengan insiden opera—seorang penyanyi yang pernah bersikap lancang kepada Hazel.
Maka Iskandar buru-buru melepaskannya, mundur selangkah, dan dengan gerakan tangan terburu-buru menjelaskan bahwa ia sama sekali tidak punya maksud buruk, hanya ingin mencegahnya gagal.
Gerakannya kacau dan penuh panik.
Namun Hazel mengerti maksudnya.
‘Baiklah, saya paham.’
Ia mengangguk pelan.
Sementara itu, di sekitar mereka peserta lain terus berguguran.
Iblis-iblis di situs kuno ini berbeda. Tidak bisa diusir begitu saja seperti waktu di Gunung Broehen.
Iskandar mencoba, tapi mereka langsung muncul lagi. Iblis-iblis itu tidak punya wujud nyata, hanya ilusi suara dan bayangan yang terus mengganggu.
Mereka harus tetap fokus.
Hazel menutup rapat mulutnya dan melangkah bersama Sir Valentine.
Pelan-pelan, suara-suara dan bayangan itu memudar. Baru saja ia merasa lebih tenang, tantangan baru menanti.
Awalnya Hazel tidak sadar.
Mereka melangkah bersama, tapi entah kenapa ia merasa ada yang janggal.
Saat menyadari, ternyata ia sudah dua anak tangga lebih dulu di depan.
Iskandar terkejut.
Mereka ingin memisahkan kami dan menghabisi satu per satu.
Dan benar saja.
Peserta yang tadinya bersama-sama kini terpisah tanpa sadar. Begitu sendirian, mudah sekali jatuh dalam ilusi.
Iskandar memandang Hazel. Ia ragu sejenak, lalu mengulurkan tangan.
Gerakannya elegan dan sopan, hasil pendidikan ketat sebagai putra mahkota sejak kecil. Tidak ada sedikit pun kesan lancang.
Namun matanya menunjukkan kecemasan.
‘Tidak ada maksud buruk, hanya ingin memastikan kamu tidak tertinggal.’
Hazel mengangguk.
Ia menyambut uluran tangan itu.
Ia kira tangan Iskandar akan sedingin es, sama seperti hawa di sekitar tangga. Tapi ternyata hangat.
Perubahan suhu mendadak itu membuat jantungnya berdegup cepat.
Keduanya tanpa sadar berpikir hal yang sama.
Apakah detak jantungku bisa terdengar lewat genggaman ini?
Tidak. Fokus!
Mereka kembali menaiki tangga, kali ini sambil bergandengan tangan.
Dengan penglihatan tajam dan kepekaan seorang Grand Chevalier, Iskandar jadi pemandu yang sangat baik. Perjalanan jauh lebih cepat dibanding saat terpisah.
Tak lama, mereka sudah mencapai pertengahan tangga.
Namun lagi-lagi, rintangan menunggu.
“Uwaahhh!”
“Argh!”
Teriakan terdengar dari atas. Peserta lain terlempar jatuh.
Bayangan hitam melompat-lompat, mendorong orang-orang jatuh begitu saja. Itu adalah zona terlarang.
Iskandar kembali menatap Hazel dengan mata penuh maksud.
‘Tidak ada niat buruk, hanya untuk melindungimu.’
Hazel mengangguk.
Kali ini ia meraih Hazel lebih hati-hati.
Awalnya berniat menahan bahunya, tapi dirasa kurang aman. Ia menurunkan tangan, melingkari pinggangnya. Lalu ia sadar Hazel menggigil kedinginan, sehingga sekali lagi memberi tatapan penuh penjelasan.
‘Aku tidak punya maksud lain…’
Hazel mengibaskan tangannya dengan kesal.
‘Aku tahu, lakukan saja sesukamu!’
Iskandar pun membuka mantelnya dan merangkul Hazel, menyelimutinya.
Hazel praktis terkurung dalam pelukannya.
Lalu ia kembali memegang pinggang Hazel, namun berhenti sejenak, tangannya bergerak pelan.
Apa lagi sekarang?
Hazel sempat bingung, lalu sadar. Rupanya sabuk logam di seragamnya menekan tubuh Hazel, jadi ia memutarnya ke samping agar tidak menyakitinya.
Sungguh berlebihan, tapi ternyata ia sampai sejauh itu untuk membuatnya nyaman.
Ia mengirimkan tatapan penuh terima kasih atas perhatian itu.
Lalu kembali menaiki tangga.
Makhluk-makhluk aneh berteriak-teriak sambil berlari mendekat. Namun mereka tak mampu mendorongnya. Berkali-kali mencoba, tetap saja tubuhnya tak bergeming.
Ia berhasil melewati bagian itu tanpa kesulitan.
Setelah naik lebih jauh, di sana tak ada seorang pun.
Masih cukup jauh menuju puncak. Tentu saja ini belum berakhir. Baru saja Iskandar berpikir demikian, tanah di bawah kakinya tiba-tiba amblas.
Itu adalah tangga palsu.
Di antara tangga asli, banyak sekali yang diselipkan tangga-tangga palsu. Sekilas, sulit sekali membedakannya.
Sepertinya sihir pemindahan ruang kuno telah dipasang di situ. Barang siapa menginjak tangga palsu, maka ia terlempar dan kembali ke titik awal.
Keduanya saling menatap.
‘Tak ada pilihan lain. Demi menaklukkan puncak.’
‘Demi menaklukkan puncak.’
Tatapan itu menjadi kesepakatan di antara mereka.
Begitu mendapat restu, Iskandar membungkuk dan hati-hati mengangkat Hazel ke dalam pelukannya. Untuk memastikan keselamatan sekaligus tetap mengawasi jalur, hanya ada satu posisi yang memungkinkan.
Yang biasa disebut “gaya menggendong putri”.
Hazel, agar tidak jatuh, meraih lehernya dengan satu tangan. Secara alami, wajahnya menghadap ke depan, dan pandangannya pun tertuju pada wajah Iskandar.
Ah ini… cukup memalukan.
Perasaan aneh itu tak bisa ia ungkapkan dengan kata lain.
Andai saja ada hal lain untuk dipikirkan. Kalau hari ini masih ada menu baru yang harus disusun, tentu lebih baik.
Sayangnya, tidak ada.
Akhirnya Hazel hanya bisa terus menatapnya.
Sementara itu, Sir Valentine tengah berkonsentrasi penuh. Dengan tatapan tajam ia mengamati setiap pijakan, hanya memilih tangga yang asli.
Ia masih menyangka Hazel terus meragukannya. Karena itu, ia berniat menunjukkan kebenaran lewat Cermin Kebenaran—maka seluruh tenaganya ia kerahkan.
Hazel, menatap wajahnya yang begitu serius, tiba-tiba menyadari sesuatu.
Tapi… setidaknya wajahnya memang lumayan.
Mau tidak mau ia harus mengakui hal itu.
Sesuatu yang sulit sekali diakui pada orang lain.
Sementara Hazel sibuk dengan pikirannya, Iskandar dengan lincah melompati tangga-tangga palsu, bergegas naik ke atas.
Tak lama, bagian berbahaya pun berakhir.
Namun cara ini ternyata lebih cepat. Maka ia memutuskan untuk terus melanjutkan seperti itu.
Akhirnya, ujung reruntuhan kuno yang menjulang itu terlihat. Tangga berkelok yang mengitari bangunan berhenti di satu titik. Dari sana, pemandangan putih berkilauan di puncak menampakkan diri.
Mereka tiba di puncak.
Iskandar perlahan menurunkan Hazel.
Aura sihir kuno yang memenuhi udara menghilang begitu saja. Hazel pun berteriak lega.
“Berhasil!”
Di puncak reruntuhan kuno itu, debu putih berkilauan menumpuk seperti salju.
Di udara dingin, formasi aneh menjulang dengan cahaya transparan, seakan tumbuh sendiri layaknya tanaman. Penampilannya mirip bongkahan kristal.
Di tengahnya berdiri sebuah cermin.
Cermin Kebenaran, yang hanya muncul pada malam Baba Yaga.
Cermin raksasa itu tegak sendiri, menyerupai sebuah pintu. Bingkainya terukir simbol-simbol asing yang tidak dikenal di dunia, di dalamnya berputar-putar cahaya kebiruan. Di sampingnya terdapat patung tengkorak dan apel—lambang dewa Veritas.
Akhirnya mereka sampai di sini.
Iskandar menarik napas panjang.
“Baiklah, sekarang aku akan membuktikan bahwa aku bukan hantu.”
Ia melangkah perlahan, berdiri di depan cermin.
Untuk momen ini, ia sudah mempersiapkan diri sepenuhnya.
Cahaya misterius dalam cermin berkumpul menjadi satu. Bersiap untuk memantulkan sosok yang berdiri di depannya.
Seperti yang diduga, prinsipnya mirip dengan air suci—hanya saja jauh lebih kuat.
Dari dalam cermin, cahaya menyilaukan memancar, seolah malam tiba-tiba berubah seputih siang.
Lalu, sihir kuno yang menyingkap wujud sejati menghantam dengan kuat.
Namun bersamaan, mekanisme pertahanan dalam diri Iskandar aktif. Tanpa suara, ia menepis sihir itu.
Dan cermin pun menampilkan sosoknya.
Seorang ksatria berambut hitam, bermata hitam—utuh sepenuhnya.
Tak ada bagian tubuh yang transparan, tak ada kaki yang melayang.
Dengan mantap ia bertanya:
“Bagaimana?”
“Memang benar, Sir Valentine adalah manusia.”
Hazel akhirnya mengakuinya.
Namun pada saat itu juga…
Cahaya misterius dalam cermin kembali berkumpul, lalu membentuk tulisan dalam bahasa kuno.
‘Yang sejak awal tidak jujur, takkan pernah abadi.’
Iskandar terkejut.
Rasanya bukan kebetulan. Seolah pesan itu ditujukan khusus untuknya.
Apakah Hazel melihatnya?
Ia buru-buru mengamati ekspresinya.
Namun Hazel menatap ke tempat lain—pada seragam Sir Valentine, tepatnya di lututnya.
Debu putih berkilau yang memenuhi tempat ini menempel di sana. Sepertinya tadi, saat Iskandar menurunkannya.
Padahal seorang ksatria kekaisaran takkan pernah berlutut, kecuali di hadapan tuannya. Dan ia pun tadi jelas tidak berlutut.
Namun ia merendahkan tubuh hampir setara dengan itu, demi menurunkan Hazel tanpa menimbulkan guncangan, agar mendarat dengan lembut.
Hazel merasa hatinya bergetar.
Dan aku malah terus mempermainkannya…
Ia berkata pada sosok ksatria yang masih waspada, memastikan tidak ada bahaya di sekitar.
“Maaf. Sebenarnya aku hanya ingin sekali ke sini. Aku sudah lama tidak meragukanmu sebagai hantu. Semua sikap mencurigakan itu hanya… lelucon.”
“Apa?”
Iskandar menatapnya dengan ekspresi tak percaya.
Jadi semua ini hanya lelucon?
Aneh, tapi meski merasa dibohongi, ia sama sekali tak marah. Ia justru merasa lega karena keraguan Hazel sudah hilang.
Lagipula perjalanan ke sini cukup menyenangkan. Tak ada alasan untuk mengeluh.
Melihatnya diam, Hazel kembali meminta maaf.
“Benar-benar maaf. Seharusnya aku tidak melakukannya.”
“Tidak.”
Iskandar menggeleng.
“Aku yang salah, karena sikapku memang mencurigakan. Justru hebat bagimu bisa menghapus keraguan dalam situasi seperti itu…”
Ia terdiam. Sebab di cermin, tulisan tadi muncul lagi.
‘Yang sejak awal tidak jujur, takkan pernah abadi.’
Seolah dewa Veritas sendiri sedang menegurnya, menembus batinnya.
Kenapa terus-menerus muncul begini?
Saat ia masih ragu, Hazel tiba-tiba berkata:
“Itu karena Yang Mulia Kaisar.”
Iskandar tersentak.
“Apa?”
“Karena beliaulah aku menghapus keraguanku. Sebenarnya aku bertemu secara kebetulan dengan Nona Marie. Orang yang dulu juga diculik.”
Kini ia mengerti maksud Hazel.
Mengingat korban itu membuatnya merasa berat.
“Seharusnya aku mencegah kejahatan itu sejak awal.”
“Seandainya bisa begitu tentu lebih baik. Tapi, sekalipun dunia berada di zaman terbaik, tidak ada satu hari pun tanpa kejahatan, bukan? Ada pepatah, ‘Meski seseorang bertekad bulat melakukan kebaikan, ia takkan mampu melawan orang yang bertekad bulat melakukan kejahatan.’”
“Ungkapan yang bagus. Siapa yang mengatakannya?”
“Itu hanya perkataanku sendiri. Bagaimanapun, Nona Marie sudah merasa tenang sekarang. Meski kejahatan tak bisa sepenuhnya dicegah, ada orang yang memikirkan para korban—dan itu berarti banyak.”
“Korban itu sendiri yang berkata begitu?”
“Ya.”
Sedikit beban di hati Iskandar terangkat.
“Tapi apa hubungannya dengan keraguanmu padaku?”
“Karena Yang Mulia Kaisar tak mungkin berpikir begitu sendirian.”
“……”
Iskandar merasa menyesal sudah bertanya.
“Itu pasti karena saranmu, Sir Valentine. Dari situ aku langsung menghapus kecurigaanku. Cukup logis, bukan?”
Padahal ia tak bermaksud mencari pujian. Namun mendengar itu, rasanya seperti hatinya ditusuk.
Iskandar menatap Hazel lama.
“Apakah… kau benar-benar sebegitu membenci Yang Mulia?”
“Sejujurnya…”
Hazel merenung sejenak.
“Tentu saja beliau punya sisi baik. Saat menghukum penjahat, beliau bertindak tegas. Bahkan kalau ada orang yang menyebalkan, tetap bisa memberi penghargaan bila memang pantas. Selera musiknya juga tidak buruk. Dan beliau mau mendengar saran bawahannya—itu nilai plus. Selain itu, beliau sahabat dekat para komandan kesatria suci yang sangat kuhormati. Semua orang tampaknya menyukai Yang Mulia. Hanya saja…”
“Hanya saja?”
“Sir Valentine, karena ini denganmu aku bisa bicara terus terang…”
Hazel menurunkan suara.
“Aku tidak akan pernah bisa memiliki perasaan baik pada penguasa. ‘Kalau aku mau, kapan pun bisa menyingkirkanmu. Hanya saja aku sedang menahan diri.’ Sifat seperti itu… sangat mengganggu.”
“……”
“Tentu bukan berarti aku berniat memberontak. Hanya dalam urusan bersosialisasi. Pengalaman menunjukkan, kesan pertama yang buruk tak pernah bisa diperbaiki. Hubungan terbaik dengan orang semacam itu hanyalah sebatas kerja sama formal. Jangan pernah menjadi dekat, karena pada akhirnya kau akan dikhianati.”
Hazel jujur membuka semuanya.
Kurasa jawaban ini cukup jelas.
Tapi setelah itu, suasana mendadak kikuk. Ekspresi Sir Valentine, meski berusaha ditutupi, tampak seperti orang yang terluka.
Kenapa juga dia harus bertanya?
Hazel mendesah dalam hati.
Pasti dia berharap aku bisa sedikit lebih menyukai atasan tertingginya. Sungguh tipikal seorang idealis.
Dan ada satu cara untuk memecah kekakuan suasana ini.
“Itu apa, ya!”
Hazel menunjuk ke arah bongkahan kristal misterius yang mengelilingi tempat itu.
Iskandar segera sadar kembali.
Benar. Anggap saja kata-kata yang baru didengar tadi tidak pernah ada. Aku bukan Kaisar. Aku adalah Sir Valentine.
“Benar juga. Itu apa, ya?”
Ia mengikuti Hazel ke sana.
Di puncak menara misterius itu, angin tak pernah berhenti berhembus. Serbuk putih berkilau berkumpul dan membentuk wujud yang berbeda-beda. Pohon dan bebatuan dari kristal mengelilingi seolah membentuk hutan.
“Ini mirip Tiberius, bukan?”
“Betul. Benar-benar sama!”
Keduanya berkeliling di puncak, tak sadar waktu berlalu. Angin kencang membuat udara terasa dingin, tapi entah kenapa keduanya enggan turun.
Namun mereka tak bisa berlama-lama.
Lantai bergemuruh, bergetar keras. Dari hutan kristal itu, serbuk bercahaya beterbangan.
“Sepertinya ini menyuruh kita segera turun, ya?”
“Kelihatannya kita sudah mulai mengganggu.”
Mereka pun kembali ke arah tangga.
Tapi saat itu, kaki Hazel tidak bisa bergerak. Kedua telapak kakinya seperti terpaku ke lantai. Saat panik sebentar, ia cepat sadar.
“Ini gara-gara ini.”
Hazel mengeluarkan bongkahan kristal kecil berbentuk Tiberius dari saku mantelnya.
“Maaf, peninggalan kuno. Aku cuma ambil karena mirip anak ayamku.”
Barulah kakinya bisa lepas. Ia terhindar dari nasib menjadi patung beku di puncak Tangga Surgawi.
“Kalau suka yang seperti ini, bilang saja. Di rumahku, seluruh dinding dipenuhi benda-benda semacam ini.”
“Tak salah lagi, rumah Anda memang luar biasa kaya.”
Sambil berbincang begitu, keduanya menuruni tangga berdampingan.
Berbeda dengan saat naik, perjalanan turun sama sekali tanpa masalah. Tangga itu hanyalah jalur panjang berliku hingga ke bawah.
Iskandar merasa sedikit kecewa.
Di kaki menara, suasana riuh. Rupanya orang-orang melihat cahaya terang yang meledak dari Cermin Kebenaran.
“Siapa yang berhasil?”
“Siapa orangnya?!”
Semua orang menoleh, mencari sang penantang yang sukses.
Iskandar dan Hazel menyelinap masuk ke antara kerumunan para peserta yang gugur, lalu turun bersama.
Dalam keramaian itu, tak ada yang mengenali sang Kaisar. Namun tetap saja Iskandar menarik tudung jubahnya lebih rapat menutupi wajah.
Sudah waktunya kembali.
Mereka berjalan pulang ke istana, lebih dari satu jam, sambil membicarakan tentang cermin dan hantu secara acak.
“Entah rumah Sir Valentine di mana, tapi bagaimanapun, rumahku di sini. Jadi aku masuk dulu, ya.”
Hazel berpamitan lalu menoleh.
Ia pikir lelaki itu pasti sudah lenyap. Namun ternyata ia masih ada di situ.
“Kalau begitu, sampai besok.”
Iskandar tanpa sadar mengangguk.
“Ya. Sampai besok.”
Hazel berbalik dan menghilang ke kerumunan orang di depan istana.
Padahal sebenarnya rumah mereka ada di tempat yang sama.
Iskandar merasa agak getir.
Bagaimanapun juga, satu krisis sudah kembali terlewati. Besok ia bisa datang ke pertanian kecil itu lagi seolah tak terjadi apa-apa.
Memikirkan itu, hatinya sedikit lega. Semua jerih payah malam ini terbayar.
Ia berdiri terpaku sejenak, lalu berbalik. Ada satu urusan terakhir yang harus diselesaikan sebelum kembali ke istana.
Iskandar pun menyelam lagi ke tengah keramaian.
Di tengah tiupan angin musim dingin di jantung istana, sebuah rumah kecil dengan lampu oranye menunggu tuannya.
Hazel lebih dulu membuka gudang.
Bau jerami dan aroma hewan langsung tercium. Aroma khas sebuah pertanian.
Mungkin nanti jika hewan-hewan makin banyak, bau itu akan berubah. Tapi sejauh ini, wanginya masih nyaman, hampir manis.
Julia dan ayam-ayam baik-baik saja. Tiberius juga, rupanya tak suka dingin, jadi menyelip di antara teman-temannya yang berbadan lebih besar.
“Hari ini aku lihat kristal sebesar dirimu.”
Anak ayam tentu tak mungkin mengerti. Tapi Nyonya Martha selalu bilang, hewan pun punya telinga. Jadi Hazel cepat menambahkan,
“Tapi tenang, meski aku punya kristal itu, aku tidak akan pernah menjualmu.”
Ia menutup gudang sebelum semua hawa hangat hilang keluar.
Setelah memeriksa kebun sayur, Hazel masuk ke rumah.
Karena semalam ia menurunkan api, udara agak dingin. Ia segera menambahkan kayu bakar.
Ketika berbalik, matanya membelalak.
Di atas meja makan, butiran cahaya berkilau berterbangan. Hazel mengucek mata.
Apa itu?
Saat membuka kain penutup, ia terkejut.
Susu fermentasi yang dibuat siang tadi berubah. Setiap mangkuk beku menjadi putih keras.
Mata Hazel membesar.
“Ini jadi es krim!”
Benar. Itu bukan lagi minuman susu fermentasi. Kini ia berubah menjadi es krim susu dengan gula dan sherry.
Air dan bahan makanan lain sama sekali tidak membeku. Benar-benar ajaib.
Hazel terpana sejenak.
Lalu ia mengambil sendok. Menyendok es krim susu beku itu dan mencicipinya.
Seruan kagum langsung keluar.
Tak ada yang lebih manis dari ini. Hanya dengan satu suapan, rasanya seperti menjadi tokoh dongeng; hatinya mencair dalam kebahagiaan.
Hazel mengambil sesendok lagi es krim putih berkilau itu.
Namun saat itu—
Tiba-tiba sebuah gejala aneh muncul.
Sebelum sempat berbuat apa-apa, ia bersin keras.
“Hachoo!”
Barulah ia sadar.
Ia terlalu lama berada di tempat dingin. Saat naik tangga tadi, sempat kepanasan, lalu kedinginan lagi. Kondisi sempurna untuk terserang flu.
Hazel bangkit dari meja.
Ia meraih Sirup Peziarah yang disimpan di lemari, lalu terlintas sebuah pikiran.
Jangan-jangan Sir Valentine juga……?
Tapi rasanya mustahil.
Ia sulit membayangkan lelaki itu jatuh sakit karena flu.
Lagipula, bagaimana mungkin Grand Chevalier satu-satunya di Kekaisaran terserang penyakit biasa seperti itu?
Namun kenyataannya—
Saat menuntaskan urusan terakhirnya, berkeliling ke sana kemari, Iskandar memang mulai merasa tubuhnya berat.
Tapi ia kira hanya karena lelah.
Ia menuntaskan patroli singkat di tengah suasana meriah ibu kota, lalu kembali.
Istana pun gaduh karena hawa dingin mendadak.
Pengawal dengan seragam musim dingin berjaga, mantel panjang hingga lutut berhiaskan kancing perak berkilau.
Seperti biasa, Iskandar lewat tanpa terdeteksi. Tak seorang pun tahu ia masuk ke kamar Kaisar.
Di sana, ia melepas penyamaran yang dipakai sepanjang malam. Seragam kesatria kerajaan ia tanggalkan. Rambut pirang dan mata merahnya kembali tampak saat ia keluar dari ruang ganti.
Pelayan yang baru masuk koridor terkejut. Mereka segera berlari menghampiri.
“Paduka! Kapan Baginda kembali?”
“Baru saja.”
“Semua keluarga kerajaan berkumpul di Velvet Hall, Paduka. Apakah Baginda hendak hadir?”
“Tidak.”
Iskandar menjawab singkat.
Tubuh yang berat kini disertai sakit kepala. Ia hanya memberi tahu bahwa dirinya sudah pulang, lalu kembali masuk ke kamar tidur.
Dari luar masih terdengar keributan.
Di aula utama istana—Velvet Hall, dinamai karena banyak kursi berlapis beludru—para bangsawan kerajaan tengah bercakap.
Jumlah mereka sedikit. Mantan Kaisar memperlakukan mereka buruk, hingga banyak yang mati muda atau mengasingkan diri jauh. Kini hanya segelintir yang tersisa.
Menteri istana lalu-lalang di antara mereka.
Terlalu lama hidup bersama membuat mereka terasa seperti kerabat jauh—cerewet, tak peka, kadang memberi harapan, tapi pada akhirnya selalu mengecewakan.
Hari ini pun, mereka tak melepaskannya.
“Di mana Paduka Kaisar? Aku ketakutan sekali. Kalau Baginda tak mau datang, paling tidak kau yang menemani kami. Kau kan tidak takut hantu.”
“Iya……”
Itu memang benar.
Sejak istrinya meninggal, menteri istana tidak lagi takut hantu. Kalau hantu sungguh ada, berarti ada kemungkinan ia bisa bertemu istrinya lagi.
Ia melamun sejenak.
Lalu—
“Cukup!”
Suara nyaring seorang wanita tua terdengar. Itu Lady Pelmata, cicit dari penjelajah labirin terkenal, Adipati Nicholas.
Menteri istana segera menghampirinya.
“Ada apa, Nyonya?”
“Aku dengar cerita mengerikan.”
Lady Pelmata gemetar.
“Katanya Adrian, anak haram mantan Kaisar, sebenarnya tidak mati! Bukankah ia seharusnya diracun? Tapi jasad yang ditemukan adalah mayat yang tenggelam. Berarti itu palsu!”
“Ah, lagi-lagi kisah itu. Bukankah bosan mendengarnya? Jasad Adrian benar-benar asli.”
“Tidak! Adrian yang asli pasti masih hidup, sedang merencanakan pemberontakan. Kalau saja si licik Camilla tak mati, Adrian sudah naik tahta menggantikan Paduka sekarang…….”
“Siapa yang menyebarkan cerita omong kosong ini lagi?”
Menteri istana bertepuk tangan, mencoba mengalihkan suasana. Lady Pelmata yang terlalu emosional diberi secangkir teh hangat.
Memang, orang-orang ini tak bisa ditinggal barang sejenak.
Setelah lewat tengah malam—saat dipercaya hantu paling aktif—barulah para bangsawan kembali ke kamar.
Akhirnya, kebebasan.
Menteri istana segera meninggalkan Velvet Hall tanpa menoleh.
Inilah momen yang ia tunggu.
Ia menuju kamar Kaisar. Menyuruh pengawal menyingkir.
“Ada urusan penting yang harus kusampaikan diam-diam pada Baginda.”
“Baik, Tuan.”
Agak aneh memang, tapi mereka menurut. Bagaimanapun itu menteri istana, dan malam ini malam yang istimewa.
Di koridor kosong, ia mengeluarkan benda rahasianya.
Kunci berhiaskan mahkota emas dan lambang kerajaan.
Setiap kali digunakan, laporan resmi harus dibuat. Tapi ia sudah menyiapkan alasan.
Dengan keahlian yang diasah puluhan tahun, ia membuka pintu secara diam-diam.
Pintu emas besar kamar Kaisar pun terbuka.
Namun hanya itu batas kemampuannya.
Begitu pintu terbuka, biasanya kegaduhan besar terjadi. Saat itu ia harus menggunakan sepenuhnya kemampuan Mata Elang, menangkap setiap detail mencurigakan dari Kaisar yang terkejut.
Ia melangkah masuk dengan tekad bulat.
Tapi—
Hening.
Ia tertegun.
Apakah Baginda sudah kabur lagi?
Tidak.
Di ranjang ada seseorang. Kaisar. Tertidur lelap, tak sadar ada yang masuk.
Menteri istana dilanda keraguan.
Mustahil. Grand Chevalier seperti beliau tak mungkin tidur selelap itu.
Apa ini jebakan?
Ia mendekat pelan, mengulurkan tangan ke busur besar milik Kaisar.
Busur itu adalah harta dari Utara. Sangat berharga, tak seorang pun boleh menyentuhnya.
Namun meski tangannya hampir menyentuh, tetap tak ada reaksi.
Benar-benar tidur.
Luar biasa!
Menteri istana hampir bersorak gembira.
Kesempatan emas. Ia segera mengedarkan pandangan.
Ia menemukan jubah abu-abu yang dipakai Kaisar saat menyamar. Segera ia memeriksa saku.
Sesuatu terjatuh. Selembar kertas penuh catatan kecil. Ia buka, menerawang dengan cahaya bulan.
Isinya laporan tentang kondisi keamanan ibu kota. Catatan patroli, penyelidikan kemungkinan gerakan baru setelah organisasi kriminal dibasmi, catatan pengamatan selama festival.
“Eh…….”
Menteri istana merasa canggung.
Ternyata Baginda benar-benar cuma bekerja!
Ia cepat-cepat memasukkan kembali kertas itu.
Padahal ini adalah siasat Iskandar. Ia tahu, hanya menteri istana yang selalu curiga sampai berlebihan. Maka ia benar-benar melakukan patroli, menyiapkan jubah lain, lalu sengaja meninggalkan catatan itu.
Dan siasat itu berhasil.
Namun kini tubuhnya lemah, ia pun tertidur nyenyak, tak tahu-menahu.
Menteri istana, tentu saja, tak paham semua ini. Dengan temuan itu, ia sudah tak bisa lagi mencurigai apa pun.
Benar juga.
Ia hendak berbalik meninggalkan ruangan.
Namun—
“Uhuk!”
Suara batuk rendah terdengar dari ranjang.
Menteri istana langsung kaku, mata terbelalak.
Apa?
Kaisar bergeliat, hampir bangun.
Tak bisa dibiarkan.
Ia kabur secepatnya, keluar tanpa ketahuan.
“Hhh……”
Menteri istana menghela napas lega.
Tapi pikirannya penuh tanda tanya.
Baginda begitu tak berdaya, bahkan sampai batuk?
Apakah itu flu?
Tidak, mustahil. Kaisar tidak mungkin terserang flu. Ia menempelkan telinga ke pintu.
Sunyi.
Mungkin hanya salah dengar.
Ia menggeleng dan pergi.
***
Keesokan harinya.
Hazel bangun dini hari.
Berkat minum Sirup Peziarah sebelum tidur, gejala flu bisa ditekan sejak awal. Tapi belum sepenuhnya pulih.
Ia bangkit perlahan. Udara pagi terasa berbeda.
Semalam dinginnya musim dingin terasa, tapi kini sudah reda. Meski lebih sejuk dari biasanya, matahari akan segera membawa kembali hangatnya akhir musim panas.
Hari ini kalau bekerja seharian hingga berkeringat, flu pasti hilang.
Hazel membuka gudang, mengeluarkan hewan-hewan ternak dan menempatkan mereka di posisi masing-masing. Setelah itu, ia membuka lemari pendingin.
Es krim yang dibuat semalam ia simpan di rak paling dingin.
Bagian pinggir sedikit mencair, tapi karena membeku oleh hawa dingin sihir, kondisinya masih bagus.
Ia sedang menyiapkan sendok untuk tiap mangkuk ketika terdengar ketukan di pintu.
“Hazel!”
Suara Menteri Istana. Hazel tertegun.
“Pagi-pagi begini, ada apa mendadak?”
Menteri Urusan Istana langsung masuk ke dalam.
“Kaget ya? Kebetulan lewat, lihat-lihat sepertinya kau sudah bangun.”
“Ah, begitu rupanya. Tapi kenapa Anda masuk istana sepagi ini?”
“Bukan sepagi ini, tapi memang semalam aku tidak pulang ke rumah sama sekali.”
Di akhir kalimatnya, ia menguap.
“Silakan duduk sebentar.”
Hazel menurunkan teko dari atas api. Tak lama kemudian, Menteri Urusan Istana sudah menerima secangkir teh chamomile hangat.
Semalam, ia sudah menuangkan teh untuk para bangsawan, tapi dirinya sendiri belum sempat menyeruput seteguk pun.
Ia menghirup aroma yang menenangkan itu dalam-dalam. Semua pikiran seolah terlupakan, hanya ada waktu sejenak untuk beristirahat.
Dalam suasana santai itu, matanya tertumbuk pada mantel bertudung yang tergantung.
“Ngomong-ngomong, Yang Mulia Putri Dowager bilang semalam kau keluar istana, ya?”
“Oh, iya. Saya pergi sebentar lihat festival.”
Hazel menjawab sambil mengeluarkan sebuah mangkuk. Menteri Urusan Istana bertanya:
“Itu apa?”
“Es krim arak susu. Tadinya aku buat arak susu, tapi malah membeku.”
“Oh, begitu? Padahal belum ada kabar di luar kalau ada yang membeku. Rupanya Baba Yaga juga merasa heran dengan kebun kecil ini di dalam istana, ya.”
Menteri itu menatap es krim dengan rasa ingin tahu.
“Kelihatannya enak!”
“Andai saja bukan pagi-pagi begini dan perut kosong, saya pasti tawarkan untuk mencicipi. Tapi nanti akan saya bawakan.”
“Bukankah sebelum itu sudah keburu mencair? Ah iya! Bagaimana kalau kau pinjam keranjang milik Madame Duberry, yang waktu itu dipakai saat lomba masak? Kalau taruh di situ, makanan bisa awet. Biar nanti kubilang pada pelayan untuk mengantarkannya.”
“Itu ide bagus!”
Hazel berseru riang.
Tepat pada saat itu—
“Uhuk! Uhuk!”
Karena agak keras bersuara, ia tiba-tiba batuk. Menteri Urusan Istana pun kaget, “Astaga!” sambil buru-buru mencari saputangan.
Namun ia tertegun.
Eh?
Itu bukan sekadar batuk karena tersedak. Itu jelas batuk orang yang sedang masuk angin.
“Nona Hazel, jangan-jangan kau sedang sakit flu?”
“Hanya sedikit meriang. Mungkin kedinginan semalam.”
Menteri itu memutar bola matanya pelan.
“Semalam kau pergi sendirian?”
“Tidak….”
Hazel menggantungkan jawabannya.
Menteri itu tak lagi mendesak. Tapi dalam hati ia merasa janggal.
Sejauh pengetahuannya, hanya Hazel saja yang sakit flu di istana. Kalau memang suara batuk yang ia dengar semalam tidak salah, maka orang lain itu adalah—Yang Mulia Kaisar.
Nona Hazel keluar semalam bersama seseorang misterius. Kaisar juga keluar.
Jangan-jangan… mereka berdua pergi bersama?
Ia buru-buru membantah pikirannya sendiri.
Omong kosong apa itu!
Itu jelas-jelas spekulasi berlebihan. Hanya karena sebuah titik noda, bukan berarti anak anjing belang dan anak sapi belang bisa disamakan. Benar-benar pemikiran mengada-ada dan kekanak-kanakan.
Namun ia memang tipe orang yang selalu mempertimbangkan segala kemungkinan.
Satu kesamaan kecil yang ia temukan memberi arah baru. Ia pun mulai menghubungkan dua orang yang sebelumnya tak terpikirkan untuk disatukan.
Bahkan saat lomba masak untuk para ksatria agung, ketika Hazel menghilang, Yang Mulia Kaisar juga sempat tak diketahui keberadaannya. Katanya sih bersembunyi di gudang arak, tapi…
Sosok misterius yang membantu Hazel hari itu.
Kalau tempat itu diisi dengan sosok Kaisar, semuanya cocok. Seperti menemukan potongan puzzle yang hilang.
Tidak mungkin!
Menteri Urusan Istana berpamitan dengan Hazel lalu keluar. Ia memanggil pelayan, memerintahkan agar keranjang Madame Duberry dibawa ke kebun Hazel. Lalu segera menuju markas Ordo Ksatria Cahaya.
“Yang Mulia Menteri!”
Louis yang sedang duduk di meja langsung berdiri menyambutnya.
“Kebetulan sekali. Saya mau mencari Anda. Bolehkah saya bocorkan ke koran soal turnamen berburu musim gugur?”
“Terserah. Itu bukan hal penting sekarang.”
“Lalu apa yang penting?”
“Sir Louis sering mengobrol dengan Nona Hazel, bukan? Tentang sosok misterius yang konon sering membantu nona itu secara diam-diam… barangkali Anda tahu sedikit?”
“Tidak tahu.”
Louis langsung memotong.
“Jangan tanya lagi. Hazel sudah bersumpah menjaga rahasia. Jadi saya pun, selama dia tidak ada di sini, takkan mengucapkan sepatah kata pun.”
“Tolonglah bekerja sama. Aku hanya khawatir kalau sosok itu ternyata orang berbahaya!”
Itu memang benar. Jika dugaannya tepat, maka sosok itu bukan hanya “aneh”, tapi sesuatu yang benar-benar di luar bayangan. Jantungnya berdegup kencang.
Melihat wajah serius Menteri, Louis pun merasa gelisah.
Hazel memang selalu bisa menjaga dirinya sendiri, tapi rasa khawatir tetap ada.
Orang aneh? Kalau benar begitu, malah lebih baik kalau dia manusia betulan!
Louis akhirnya membuka sedikit kegelisahannya.
“Memang mencurigakan. Saya sudah coba menganalisis dengan kepala dingin. Pertama, tak seorang pun di istana tahu identitasnya. Kedua, dia hanya muncul di hadapan Hazel, tidak pernah di depan orang lain. Ketiga, selalu datang tiba-tiba dan pergi tiba-tiba. Keempat, bergerak seakan tanpa bobot, bahkan punya kekuatan fisik mustahil dimiliki manusia. Kelima, dia memakai seragam ksatria kerajaan yang sebenarnya sudah lama tidak ada.”
Ia menghela napas berat.
“Menurut saya, bukankah dia kemungkinan besar hantu?”
Itu kan… jelas-jelas Yang Mulia Kaisar!
Menteri Urusan Istana terperanjat.
Sampai-sampai sahabat dekat pun benar-benar tidak tahu. Tapi semakin diselidiki, semakin cocok. Seolah setiap petunjuk saling mengunci.
Astaga…
Ia menoleh pada Louis.
“Bukan hantu. Kau tak perlu khawatir. Dan mari kita biarkan ini terkubur. Demi kebaikan Hazel.”
“Eh?”
Louis melongo tak mengerti.
Menteri tak lagi mendengarkan. Ia melangkah pergi, terhanyut dalam pikiran.
Yang Mulia Kaisar, menyamar sebagai ksatria, diam-diam menemui Hazel. Dari hipotesis itu, ia tak bisa keluar lagi.
Tapi mungkinkah?
Hazel jelas tahu bahwa rambut emas dan mata merah adalah ciri khas keluarga kerajaan.
Lalu bagaimana bisa ia tak menyadari siapa sosok itu?
Harus mencari tahu. Itu satu-satunya jalan untuk mengubah dugaan menjadi kepastian.
Menteri menata pikirannya dengan giat. Di sela itu, kekhawatiran lain muncul.
Jangan-jangan Baginda memang sakit?
Menyelidiki kebenaran memang penting, tapi kewajiban utamanya tidak boleh diabaikan. Ia mempercepat langkah ke istana utama.
Untunglah, Kepala Pelayan sudah menjalankan tugas dengan baik.
Menteri sejak pagi-pagi sudah berpesan:
“Mungkin hanya perasaanku, tapi sepertinya Baginda kurang sehat. Hari ini jagalah beliau seperti bayangan. Perhatikan setiap gerak-gerik. Kalau ada tanda-tanda ketidaknyamanan, segera tanggap. Ingat, bila Baginda goyah, seluruh negeri pun ikut goyah.”
Karena itu, Kepala Pelayan benar-benar mengikuti Kaisar ke mana pun, mengamati dengan penuh konsentrasi.
Namun sejauh ini, tak ada tanda aneh.
Wajah, nada bicara, langkah—semuanya sama seperti biasa.
Tetap saja, karena titah Menteri, ia harus makin waspada.
“……”
Sementara itu, Iscandar mulai berkeringat dingin di bawah tatapan itu.
Setiap setengah jam, Kepala Pelayan bertanya apakah beliau merasa kurang enak badan. Dan setiap kali ia jawab tegas, “Tidak.”
Namun kenyataannya berbeda.
Tidur semalaman pun tak membuatnya lebih baik. Kepalanya berdenyut, perutnya pun mual.
Pasti hanya karena kelelahan.
Iscandar menahan diri, tetap menatap tumpukan laporan.
Sejak kemarin sore, akibat “Malam Baba Yaga”, pemerintahan nyaris lumpuh. Pekerjaan menumpuk, artinya malam ini pun ia harus lembur lagi.
Tetap saja, ia berniat menyempatkan diri pergi ke kebun Hazel. Mungkin ada ramuan yang bisa meredakan rasa letih.
Tapi sebelum itu…
Ia terdiam, larut dalam pikirannya.
Matahari sudah condong ke barat, sinarnya menembus pucuk pohon-pohon tinggi.
Hazel sempat berhenti di bawah pohon cemara. Cahaya sore menurun lembut dari atas. Ia terhanyut sesaat dalam lamunannya, lalu segera melangkah lagi.
Seperti yang diberitahu para pelayan istana kecil, Putri Dowager Katarina bersama Pangeran Rowan sedang melihat angsa di tepi danau.
“Halo, Yang Mulia Putri, Yang Mulia Pangeran.”
Hazel menyapa ramah, lalu mengeluarkan dua mangkuk dari keranjang Madame Duberry.
Mata Pangeran Rowan berkilat.
“Itu apa?”
“Itu arak susu yang pernah saya ceritakan. Semalam saya tinggalkan di meja, ternyata beku jadi es krim.”
“Luar biasa! Di tempatmu selalu ada kejadian menarik!”
Putri Dowager sungguh kagum. Meski sudah puluhan kali mengalami “Malam Baba Yaga”, belum pernah sekali pun susu membeku jadi es krim.
“Aku sudah coba rasanya, manis sekali dan enak. Cepatlah dimakan sebelum cair. Aku harus mengantarkan yang lain juga.”
Hazel memberikan sendok kayu, lalu pamit pergi.
Ibu dan anak itu saling berpandangan.
“Ibu, ini pertama kalinya aku makan es krim.”
“Ya. Ibu juga. Arak susu saja sudah unik, apalagi es krim arak susu! Ibu pun baru pertama kali.”
Dengan penuh harap, mereka menyendok es krim bersamaan.
Namun begitu masuk mulut, ekspresi mereka berubah aneh.
Pangeran Rowan menelan dan berkata,
“Ibu, rasanya ini…”
“Diam.”
Putri Dowager menempelkan jari di bibir. Ia menatap ke arah Hazel yang sudah pergi, wajahnya penuh tanda tanya.
Sementara itu, Hazel terus berjalan sambil membawa keranjang.
Di pintu utara taman besar, ia bertemu tiga orang akrab: Lorendel, Siegfalt, dan Cayenne.
Cayenne mengangkat alis.
“Eh? Tidak bertemu Louis?”
“Tidak.”
“Katanya mau menemui Hazel. Sepertinya kalian berpapasan.”
Lorendel menambahkan:
“Ngomong-ngomong soal air suci… semua stok di ibukota habis gara-gara Malam Baba Yaga…”
“Ah! Betul!”
Hazel menepuk dahi.
Ia hampir saja lupa. Hampir saja membuat para High Elf mencari air suci sepanjang hidup mereka.
“Maafkan saya! Benar-benar kelupaan. Tapi tidak perlu lagi. Aku sudah pastikan dia bukan hantu.”
“Benarkah?”
Mereka tampak penasaran, tapi tidak bertanya lebih lanjut. Siegfalt berkata:
“Louis mungkin masih di sekitar kebun.”
“Terima kasih. Nah, ini ada es krim untuk kalian.”
Hazel menyerahkan tiga mangkuk. Cayenne bertanya:
“Es krim apa ini?”
“Arak susu. Semalam membeku karena hawa dingin. Rasanya manis sekali. Aku harus buru-buru cari Louis.”
Ia memberikan sendok kayu lalu berlalu di antara deretan pohon cemara.
“Es krim yang tercipta karena sebab seperti itu…”
Lorendel menatap heran pada arak susu beku.
Cayenne sudah tak tahan, ia segera menusukkan sendok ke dalam putih berkilau itu. Lorendel dan Siegfalt pun segera ikut.
Begitu mencicipi, ekspresi mereka pun berubah ganjil.
“……”
Ketiganya menoleh ke arah Hazel menghilang.
Sementara itu, di ruang kerja istana utama.
Iscandar baru saja menuntaskan pemeriksaan semua dokumen anggaran negara dan menandatanganinya.
Tentu saja, masih banyak pekerjaan lain menunggu.
Namun kepalanya terasa pening. Ia ingin sekali meninggalkan semuanya, sekadar beristirahat di tempat tanpa pejabat dan tanpa aturan.
“Sebelum itu…”
Ia bergumam, menuruni tangga menuju ruang bawah tanah istananya. Membuka pintu sebuah ruangan, memandang ke arah dinding yang dipenuhi kristal.
Pada saat yang sama.
Hazel akhirnya menemukan Louis di depan air mancur taman. Mereka saling berseru gembira.
“Hazel!”
“Sir Louis!”
Entah kenapa, mereka saling menggenggam tangan dan menggoyangnya penuh suka cita.
“Tapi kenapa kau mencari aku?”
“Aku mau menemui Christina. Untuk membalas budi, kuberi dia sedikit bahan berita. Masalahnya, aku tidak tahu di mana kantor korannya. Jadi ayo ikut!”
“Baiklah. Kitty pasti senang sekali. Kebetulan di keranjang ini juga ada es krim.”
“Es krim?”
“Arak susu yang kubuat semalam membeku jadi es krim karena hawa dingin. Kita makan bersama saja, dengan Sir Penny juga.”
Dengan hati riang, mereka pergi ke markas Ordo Angin Suci. Di sana, Penny sedang bersantai bersama para ksatria kucing yang diam-diam bermalas-malasan karena komandannya tidak ada. Mereka bertiga lalu naik kereta menuju kantor Harian Fajar.
Mendapat berita itu, Kitty melonjak kegirangan.
“Jadi, semuanya tentang turnamen berburu musim gugur sudah diputuskan? Terima kasih banyak, Sir Louis! Kita bisa terbitkan berita lebih dulu dari semua orang. Wah, aku bisa berjalan dengan dada tegak untuk sementara waktu!”
“Ah, itu sepele.”
Sang vampir kembali memamerkan sisi manusiawinya.
Kitty melapor pada pemimpin redaksi, lalu keluar bersama yang lain. Mereka memutuskan mengadakan pesta kecil es krim.
Di sebuah kedai teh dekat kantor, keempatnya duduk mengelilingi meja. Bahkan sebelum teh datang, suasana sudah penuh keceriaan.
“Rasanya segar sekali bisa kabur dari para bawahan yang membosankan itu!”
Louis berseloroh, disambut Kitty:
“Benar! Sesekali kita memang harus bersantai, menikmati hidangan manis, sambil ngobrol seru. Eh, waktu itu kita sampai di bagian mana ya?”
“Kalau tidak salah, tentang sosok pria idaman.”
“Ah iya…”
Sejenak hening.
“Hm. Kupikir, semua teori itu tak perlu. Aku sendiri yang paling keren.”
Louis mengangkat bahu dengan percaya diri.
“Ya, jatuh cinta dengan bangsawan muda dan tampan itu indah. Tapi jauh lebih keren kalau akulah bangsawan muda itu.”
Kitty ikut menimpali.
“Bagiku, semua itu hanya bahan observasi sosial saja. Entah keren atau tidak, aku tak peduli.”
Penny pun ikut bicara.
Hazel hanya menatap mereka dengan wajah bingung.
“Ini benar melanjutkan obrolan kemarin? Rasanya kok beda sekali.”
“Itu karena…”
Louis menyisir rambutnya ke belakang.
“Kemarin aku hanya ikut-ikutan saja. Padahal salah satu impianku itu sebenarnya—berkumpul dengan teman perempuan dan ngobrol soal romansa!”
“Eh? Sir Louis juga? Aku pun! Makanya aku juga pura-pura ikut.”
“Aku juga. Itu mimpiku.”
Penny dan Kitty kompak mengaku.
Yah… Hazel juga, sesekali ingin mencoba hal seperti itu.
“Bagaimanapun juga, buat apa mencari pria keren? Bukankah kita sendiri sudah keren?”
Louis merangkum dengan mantap.
“Meski begitu, kalau suatu saat benar-benar jatuh cinta pada seseorang, bukankah bersama dengannya juga indah?”
Mereka semua pun tertawa lepas. Rasanya itu memang kesimpulan yang pas.
Tak lama, teh hangat pun terhidang.
Kami menikmati obrolan ringan sambil menyeduh teh hitam yang tidak terlalu pahit, ditemani biskuit asin.
Dan akhirnya, waktunya pun tiba.
Teh hitam membuat tubuh hangat. Biskuit asin membuat mulut kering. Kondisi yang sempurna untuk menikmati es krim.
“Sudah waktunya mencicipi bintang utama hari ini, bukan?”
Lewis, penuh antusias, menatap keranjang.
“Baunya seperti susu dan sherry, ya?”
“Benar. Asalnya memang dari wine susu. Tidak kusangka wine susu yang dibuat menjadi es krim bisa begitu manis dan lezat! Itu hadiah dari Baba Yaga.”
Hazel mengeluarkan mangkuk-mangkuk dari keranjang Madame Duberry.
Di atas es krim berwarna krem, butiran kristal es berkilauan indah. Kitty menatapnya dengan wajah terpesona.
“Cantiknya luar biasa!”
“Selamat makan!”
Penny langsung menusukkan sendok lebih cepat daripada siapa pun, dan secepat kilat memasukkannya ke mulut. Namun, beberapa detik kemudian, ekspresinya berubah aneh.
Hazel bertanya:
“Kenapa? Terlalu manis?”
“Ah, bukan begitu. Hanya saja…”
“Lady Penny! Sedang diet, ya? Aku tidak!”
Kitty buru-buru menyendok es krim ke mulutnya. Tetapi sama saja. Ekspresi wajah Kitty pun berubah aneh.
“Ada apa dengan kalian?”
Hazel merasa ada yang tidak beres. Ia pun mengambil sendok kayu dan mencicipinya.
Dan ia terkejut.
Rasanya hambar. Benar-benar tak ada rasa sama sekali. Hanya gumpalan dingin yang hambar, meleleh sia-sia di lidah.
“Itu ulah Baba Yaga. Dia telah mencuri rasa dari es krim ini. Sesekali hal seperti ini memang terdengar dalam cerita-cerita di kalangan kaum peri, tapi ini pertama kalinya aku menyaksikannya sendiri.”
Penny menjelaskan.
“Tapi aneh juga, meski tanpa rasa, rasanya tetap enak!”
Sementara hanya Lewis yang asyik menikmatinya, Hazel dilanda kebingungan.
Kalau begitu, apakah Hazel semalam benar-benar menyajikan es krim hambar ini pada Princess Katarina, Pangeran Rowan, Sir Lorendel, Sir Siegfried, dan Lord Cayenne?
Padahal jelas-jelas semalam rasanya manis, begitu manis hingga lidah serasa meleleh.
Jika Baba Yaga memang mencuri rasa itu, seharusnya semalam pun sama saja. Tetapi mengapa semalam es krim hambar ini terasa begitu manis?
“…Hazel?”
Kitty memanggilnya, namun Hazel tak mendengar. Ia tenggelam dalam pikiran.
Kemudian, tiba-tiba ia bangkit berdiri.
Melihat Hazel dengan wajah panik, Lewis buru-buru menenangkan.
“Tak apa! Hal seperti ini bisa saja terjadi! Bagiku tetap enak, sungguh!”
“Bukan itu masalahnya… Aku hanya perlu memikirkan sesuatu sendirian.”
Hazel menyampaikan salam sekadarnya lalu keluar. Pikirannya benar-benar melayang entah ke mana.
Tiga orang yang tertinggal hanya bisa memandang bingung ke arah punggungnya.
Sementara itu, di ruang bawah tanah istana, Iskandar akhirnya berhasil mengeluarkan sebuah kristal dari dinding. Ia mengangkatnya dan menatap lekat-lekat.
Bentuknya menyerupai bongkahan oval besar dan kecil yang menyatu.
Kristal yang paling mirip Tiberius.
Akhirnya.
Iskandar menyimpannya dengan hati-hati.
Namun karena terlalu lama berkonsentrasi, kepalanya kembali berdenyut. Dahi panas, tubuh terasa berat. Ia segera kembali ke kamar tidur.
Aneh. Kenapa sampai selelah ini?
Meski pusing, tangannya otomatis meraih perlengkapan penyamaran. Sudah dilakukan puluhan kali hingga menjadi kebiasaan.
Tak lama kemudian, ia sudah menjelma menjadi ksatria biasa, lalu menyelinap keluar gedung istana tanpa diketahui siapa pun. Ia melintasi taman kerajaan di bawah cahaya senja.
Ia ingin segera menyerahkan kristal itu, menghirup udara segar yang menyejukkan, menyantap sup dan roti hangat di ladang, berbincang tentang hal-hal sepele…
Setelah itu, pasti sakit kepalanya mereda dan ia bisa kembali bekerja.
Namun Hazel tak ada di sana.
Julia, yang diikat dengan tali panjang, sedang malas mengunyah jerami yang dibawa dari kandang istana. Ayam-ayam sibuk mematuk biji-bijian di celah lantai kayu. Tiberius berkeliaran tanpa minat.
Semuanya ada di tempat, kecuali sang pemilik ladang. Hanya gulma yang tercabut rapi, sementara ia entah ke mana.
Air di tempayan penuh, berarti Hazel tidak sedang menimba air. Keranjang yang selalu dibawanya ada di dapur, berarti bukan sedang mengumpulkan tanaman.
Ke mana dia?
Api di tungku dikecilkan, tidak dipadamkan. Jadi Hazel tidak pergi jauh.
Iskandar mondar-mandir di dalam rumah sambil menunggu.
Namun hampir satu jam berlalu, Hazel belum juga kembali.
Ia tak bisa menunggu lebih lama. Pekerjaan menumpuk, semua orang pasti mencarinya. Dokumen harus segera ia periksa dan putuskan.
Dengan berat hati, Iskandar meninggalkan ladang itu.
Kepala kembali berdenyut. Ia menahan rasa sakit, berjalan cepat di antara bayangan pepohonan, lalu tiba-tiba berhenti. Tenggorokan terasa gatal, hampir batuk.
Kenapa batuk?
Ia mengangkat tangan—dan terkejut. Tangan serta lengan bajunya penuh debu putih asing.
Barulah ia sadar, tadi ia memegang kristal-kristal itu tanpa sarung tangan. Terlalu terburu-buru.
Padahal Hazel sama sekali tidak memintanya. Ia hanya kagum melihat banyaknya batu kristal di istana.
Keputusan untuk memberikannya adalah pilihannya sendiri. Ia hanya merasa Hazel menyesal tidak bisa membawa pulang kristal mirip Tiberius dari reruntuhan kuno.
Kenapa ia begitu peduli?
Kenapa setiap kata dan tindakan Hazel begitu mengganggunya?
Sampai sekarang, tak pernah terjadi hal seperti ini.
Mengapa sekarang?
…Hazel juga sedang tenggelam dalam pikiran.
“Non, naik kereta saja?”
“Mau ke mana, nona manis?”
Para kusir berteriak menawarkan tumpangan, tetapi Hazel tak mendengar. Ia melangkah di jalanan ramai dengan pikiran penuh.
Kenapa?
Mengapa es krim yang sudah kehilangan rasa, semalam terasa begitu manis?
Itu karena…
…karena perasaan suka.
Pada saat yang sama, di tempat berbeda, kesadaran itu datang hampir bersamaan di hati keduanya.
Itu karena untuk pertama kalinya, seseorang telah masuk ke dalam hati mereka.
Penemuan yang membingungkan.
Mau menyangkal, tetap tak bisa. Seperti biji yang terbawa angin dan diam-diam bertunas, perasaan itu sudah mengakar dalam-dalam.
Kini mereka mengerti mengapa berkata begitu, mengapa bertindak begitu. Semua tingkah aneh sebelumnya akhirnya masuk akal.
Mereka jatuh hati.
Kesadaran yang datang terlambat membuat keduanya terdiam lama, seolah kehilangan jiwa.
Sementara itu, istana dilanda kekacauan.
Kaisar yang sedang beristirahat tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Semua orang panik mencarinya.
Di tengah kegaduhan, Menteri Dalam Negeri berpikir:
Sekaranglah saatnya!
Inilah satu-satunya kesempatan untuk mencari bukti yang mendukung kecurigaannya.
Ia kembali mengeluarkan kunci darurat. Berdiri sejenak di depan potret Kaisar pendiri, lalu bersumpah dalam hati.
"Aku hanya ingin setia pada Baginda. Tak ada maksud lain."
Ia membuka pintu dan masuk.
Ia teringat ucapan kepala pelayan: Baginda terlihat keluar dari ruang kecil yang menempel di kamar tidur. Maka ia memutuskan memeriksa ruang itu lebih dulu.
Dan di sanalah ia terdiam.
Botol-botol air suci menumpuk di dalam ruangan. Air yang diberkati para imam di katedral istana.
Mengapa Baginda mengumpulkan semua ini?
Tiba-tiba ia teringat sesuatu.
Saat malam Baba Yaga dipersiapkan, Sir Lorendel pernah mengeluh:
—Aku tak tahu ke mana perginya semua air suci. Aku sudah coba pesan dari tempat lain, tapi pas malam Baba Yaga begini malah habis total…
Jelaslah.
Kaisar-lah yang mengambil semuanya. Agar Lorendel tak bisa mendapatkannya.
Mengapa?
Jawabannya sederhana. Air suci bisa mengusir arwah.
Mereka mencurigai Kaisar sebagai arwah. Maka mereka ingin menggunakan air suci. Kaisar mencegah itu.
Mengapa? Karena ia memang tak bisa terkena air suci.
Benar… inilah jawabannya!
Kini, ia tahu persis apa yang harus dicari. Entah gulungan sihir, cincin, kalung, batu permata, atau botol ramuan.
Akhirnya, ia menemukannya.
Sebuah buku kosong di rak, dengan botol ramuan tersembunyi di dalamnya.
Ia meneteskan sedikit ke punggung tangannya. Tak ada reaksi.
Bukan untuk mengubah tubuh atau wajah, sepertinya.
Ia meneteskan pada kipas bulu angsa yang terselip di vas. Seketika bulu putih berubah hitam legam.
“Ini dia!”
Tanpa sadar ia berseru, lalu cepat menutup mulut.
Bukti nyata telah didapat.
Kaisar menggunakan ramuan sihir ini untuk menyamar dan berkeliaran ke ladang. Hazel tak pernah benar-benar memperhatikan wajah Kaisar. Selama rambut pirang dan mata merah tersembunyi, ia bisa tertipu.
Misteri terakhir akhirnya terpecahkan.
Ia mengembalikan botol ramuan, lalu keluar dengan hati-hati.
Baru saja pintu dikunci kembali, terdengar suara.
“Lysander.”
Ia hampir jatuh pingsan karena terkejut. Cepat menoleh—dan mendapati Permaisuri Ibu berdiri di sana.
“Baginda Ratu Ibu! Bagaimana bisa Anda ada di sini…?”
“Kalau ke ladang yang jauh saja bisa, apalagi ke sini.”
Ratu Ibu menjawab santai, lalu membawanya ke ruang kecil di sebelah.
Sekilas, Lysander merasa: beliau sudah tahu segalanya.
Begitu pintu tertutup, ia langsung bertanya.
“Kapan Yang Mulia mendapatkan buktinya?”
Permaisuri Ibu menghela napas ringan, menanggalkan wibawanya, lalu berbicara lembut seperti seorang sahabat.
“Lysander, pikir baik-baik. Untuk apa butuh bukti? Bukankah anakku sudah menunjukkan dengan jelas?”
“Baginda? Kapan?”
Mendadak, Lysander teringat sesuatu.
Beberapa waktu lalu, saat jamuan para ksatria pahlawan. Hazel sukses mengalahkan Henkel, meski itu tak sesuai rencana Kaisar. Tetapi Kaisar justru tersenyum lebar.
Saat itu Lorendel berkata: Baginda sedang mabuk berat.
Ia percaya begitu saja. Namun sekarang, ketika dipikir ulang…
Baginda tidak mabuk. Itu ekspresi bahagia.
Tentu saja. Jika Baginda sendiri yang menyelamatkan Hazel, memastikan ia kembali dengan selamat… tentu saja ia akan begitu gembira. Wajar bila wajahnya dipenuhi kebahagiaan.
“Hahaha…”
Lysander hanya bisa tertawa hambar, menyadari kebodohannya.
“Seharusnya aku sudah menyadarinya sejak dulu. Jadi memang benar, Baginda tidak bisa menahan diri. Semua sahabat Hazel satu per satu jatuh hati padanya, jadi Baginda pun penasaran. Mula-mula mencurigainya seperti para pengacau licik di masa lalu, tapi setelah tahu bukan begitu… Baginda pun tak kuasa menahan perasaan.”
Ia pun berkata lirih:
“Hazel adalah gadis yang luar biasa. Wajar bila bahkan Baginda pun jatuh hati.”
“Benar.”
Permaisuri Ibu mengangguk.
“Dia sedang jatuh cinta, meski sendiri belum sadar karena ini pertama kalinya.”
“Luar biasa. Akhirnya ada gadis yang mampu merebut hati Baginda, setelah 22 tahun!”
Saat itu Lysander benar-benar tersadar. Betapa besar rasa sayangnya pada gadis bertopi jerami itu. Ia hanya berharap Hazel selalu bahagia.
“Tapi bagaimana dengan Hazel sendiri?”
Ia bertanya pelan.
“Kurasa dia tidak membencinya. Berkali-kali sudah ditolong, pasti ada perasaan baik. Tapi aneh, ya? Ia membenci Kaisar, tapi menyukai Kaisar yang menyamar. Rumit sekali.”
“Makanya Iskandar kebingungan begitu. Usahanya memang patut dihargai… tapi dia tidak tahu satu hal penting. Hubungan yang dimulai dengan kebohongan, pada akhirnya akan runtuh saat kebenaran terungkap.”
“Benar. Ini kesalahan besar Baginda. Hazel belum memaafkan beliau, tetapi diam-diam mendekatinya dengan penyamaran? Saat kebenaran terbuka, luka hatinya akan sangat besar.”
Lysander menggeleng.
“Apalagi Hazel punya pesaing besar: pertaniannya sendiri. Itu sudah jadi penghalang besar. Ditambah lagi penyamaran ini… sungguh pelik.”
Ia lalu sadar pada siapa ia sedang bicara, jadi merasa agak canggung.
“Ah, maaf. Tapi toh Yang Mulia sendiri menyukai Hazel, bukan? Bahkan mungkin sudah menilainya cocok jadi permaisuri. Bukankah Anda bisa mengatur agar semuanya berakhir baik, menutupi kesalahan Baginda?”
Namun Permaisuri Ibu menggeleng.
“Tidak.”
“Maaf? Maksudnya?”
“Aku tidak akan begitu.”
Lysander terkejut.
“Jadi Anda sebenarnya tidak menyukai Hazel?”
“Bukan begitu.”
Wajah Permaisuri Ibu berubah serius.
“Kalau kami ikut campur, membantu Iskandar, menyusun skenario agar mereka bersama… mungkin memang berhasil. Bagaimanapun, seorang raja yang rela menyerahkan segalanya demi seorang gadis, tentu gadis itu akan luluh. Terlebih Hazel pun menyukai sisi dirinya yang lain.”
“Benar. Mana ada gadis yang tak pernah bermimpi dipuja seorang raja? Apalagi Hazel memang punya perasaan, meski tak disadari.”
“Dan itulah masalahnya.”
Permaisuri Ibu menghela napas panjang.
“Kalau semua berjalan baik, tentu aku senang. Semua ibu ingin anaknya bahagia bersama pasangan baik. Karena itu aku mengamati Hazel. Tapi hanya sebatas itu. Aku tidak bisa memaksakan kehendakku. Tidak setelah masa lalu yang kulalui…”
Matanya berkabut, seolah mengingat masa lalu.
“Cinta tidak selalu indah. Bila cinta justru mematahkan sayapmu, membuatmu kehilangan mimpimu… bagaimana? Menjadi permaisuri bukan hanya kebahagiaan. Itu beban yang berat. Aku sendiri tak sempat memikirkannya dulu. Jika sempat, apakah aku tetap menerima lamarannya waktu itu?”
Lysander hanya mendengarkan dengan hormat.
“Aku tidak akan biarkan Hazel menapaki jalan yang sama. Ia harus tahu lebih dulu apa arti menjadi pasangan seorang Kaisar. Beban dan kesulitannya. Setelah tahu semuanya, barulah ia memilih dengan sadar. Jalan yang paling membahagiakan baginya.”
Dalam dirinya, Lysander seolah melihat bayangan seorang gadis muda dengan gaun satin putih dan mahkota berkilau, melangkah penuh cinta dan harapan menuju altar.
Sekarang ia mengerti. Mengapa Permaisuri Ibu tak ingin ikut campur.
“Ya. Aku juga hanya ingin Hazel selalu bahagia. Tidak karena dipaksa, tidak karena terbawa perasaan, tapi karena memilih jalannya sendiri.”
“Benar, Lysander.”
Permaisuri Ibu tersenyum hangat.
“Tugas kita bukan menyusun tipu muslihat. Cukup berada di sisinya. Menopangnya agar tidak runtuh. Itulah yang harus kita lakukan.”
“Benar. Tepat sekali.”
Lysander mengangguk penuh semangat. Senyum hangat pun merekah di wajahnya.
***
Hazel membuka mata.
Cahaya matahari terasa berbeda. Kicau burung pun terdengar berbeda. Angin yang berhembus juga terasa berbeda.
Sebenarnya, tidak ada yang benar-benar berubah. Yang berubah hanyalah keadaan hatinya. Hazel berbaring, melamun sambil berpikir.
Kemarin, pada akhirnya Lord Valentine tidak datang.
Dengan pikiran kosong, ia pulang mengikuti langkah kakinya yang seperti 이끄는 대로 bergerak, dan saat tiba di rumah hari sudah larut malam. Lama ia berguling-guling di tempat tidur sebelum akhirnya tertidur.
Bagaimanapun juga, kenyataan bahwa Valentine tidak datang adalah sebuah keberuntungan. Kalau dia datang, pasti karena terlalu gugup Hazel akan bertingkah aneh. Bisa-bisa ia malah “memasak piring” atau menyimpan Tiberius di dalam lemari.
Hazel terus berpikir sambil berbaring miring, menggunakan lengan sebagai bantal.
Kemarin ia merasa telah mendapat pencerahan besar, seolah-olah dunia akan terbalik. Tapi setelah dipikir-pikir, tidak ada yang banyak berubah.
Kemarin sampai hari itu, ia hanya mengurus ladang seperti biasa.
Hari ini, ia mengurus ladang dalam keadaan sudah memiliki seseorang yang disukai.
Perbedaannya hanya itu.
Kalau ada arti lain, mungkin… kelak ketika sudah tua, saat duduk bersama para pemilik kebun tetangga di balkon terbuka sambil menikmati cider apel, ia akhirnya bisa ikut bercerita.
—“Waktu aku berusia sembilan belas, aku pernah menyukai seorang ksatria yang sering datang ke kebunku…”
Sampai di situ, Hazel baru sadar: agak aneh juga kalau ada ksatria yang sering main ke kebun. Memang latar belakang kehidupannya begini, tapi tetap saja terdengar janggal.
Ia memutuskan akan sedikit mengubahnya.
—“Seorang tetangga pemilik kebun yang sering datang berkunjung.”
Ya, begitu saja. Kebohongan kecil semacam itu pasti bisa dimaafkan.
Dengan begitu, pikiran yang tadinya kusut mulai terasa lebih rapi.
Pertanyaan seperti: “Kalau Lord Valentine datang lagi, bagaimana aku harus bersikap? Lebih baik sembunyi? Atau pura-pura pingsan?” pun ia temukan jawabannya. Ia harus tetap tenang, karena suatu saat kelak ia akan mengenang semua ini sambil minum cider.
Hazel bangkit dari tempat tidur.
Meski sudah bangun, pikirannya masih melayang. Ia merasa seperti berjalan di atas awan.
Namun ketika melangkah ke dapur, kesadarannya mendadak kembali.
“Ya ampun, kepalaku ini!”
Hazel berseru.
Di sudut dapur, bertumpuklah terong hasil panen.
Terong tidak suka tempat yang terlalu dingin. Mereka harus disimpan di tempat teduh, lebih sejuk dari suhu ruangan, tapi tidak kena sinar matahari langsung. Tidak boleh dibungkus kertas karena akan cepat busuk. Juga harus dijauhkan dari bawang atau kentang.
Untungnya semua itu sudah ia perhatikan, jadi kondisinya masih cukup baik.
Tapi kalau terus dibiarkan, sebentar lagi pasti akan rusak. Saat kulit ungu mengilapnya masih segar, sebaiknya segera dibawa ke pasar untuk dijual. Itulah jalan terbaik untuk terong-terong itu.
Hazel pun mengambil keranjang. Ia memilih beberapa terong terbaik untuk dijadikan contoh.
Saat itulah ia kembali teringat sesuatu.
“Ah! Aku benar-benar pelupa!”
Ia sama sekali lupa mengembalikan keranjang milik Madame Duberry, yang dipinjamkan dari istana.
Begitu ingat kembali es krim yang tidak enak kemarin, wajahnya langsung panas.
Tapi ia yakin, bahkan momen memalukan seperti itu kelak akan jadi bahan cerita menyenangkan saat duduk di balkon bersama cider.
Pikiran itu cukup menenangkan hatinya.
Hazel menarik napas panjang. Dengan hati yang lebih tenang, ia pun berangkat sambil membawa dua keranjang.
***
“…Yang Mulia. Yang Mulia?”
Iskandar mulai sadar.
Sekejap, kepalanya kembali berdenyut. Tubuhnya terasa panas.
Ia tidak ingat bagaimana kemarin bisa berdiri lama di taman istana lalu pulang. Tidak ingat bagaimana ia melepas penyamarannya dan kembali bekerja. Tidak ingat bagaimana ia menjalani semua tugas.
Yang tersisa hanyalah satu pikiran.
Apa ini lelucon nasib?
Selama ini ia tidak percaya pada takdir. Tapi kali ini… ia mulai ragu. Mungkin memang benar-benar ada hal semacam itu.
Bagaimana bisa? Tadinya ia berusaha keras menjauhkan diri. Tapi tanpa sadar, justru ia jatuh hati. Pada siapa lagi kalau bukan tetangganya, yang awalnya hanya dianggap lawan yang merepotkan?
Dunia serasa jungkir balik.
Tidak. Bukan hanya perasaan—kepalanya benar-benar berputar.
Iskandar menekan pelipisnya.
Kenapa justru di saat seperti ini tubuh terasa begitu lemah? Kenapa pekerjaan terasa begitu menumpuk? Rasanya ingin kabur saja…
Dan di tengah pikiran itu, wajah Hazel kembali jelas terbayang.
Sepertinya memang benar: dirinya sedang dalam masalah besar.
Iskandar melamun.
Saat itu, seseorang kembali memanggilnya.
“Yang Mulia!”
Ia menoleh. Ternyata itu Joshua, kepala pelayan istana.
“Kepala Polisi ingin melapor sebentar di tempat yang tenang. Ke mana harus saya arahkan?”
“Ah…”
Dengan sisa tenaga, Iskandar mencoba mengendalikan diri.
“Bilang saja ke balkon lantai tiga.”
***
Saat itu, Hazel juga sedang bertemu dengan salah satu pelayan istana.
“Terima kasih banyak. Keranjang ini sangat membantu.”
Ia baru saja mengembalikan keranjang milik Madame Duberry, ketika pelayan lain, Cecil, menatap penasaran ke keranjang yang satunya lagi.
“Itu… terong, ya?”
“Ah, betul.”
Hazel menunjukkan isi keranjang. Terong-terong ungu gemuk berkilauan di dalamnya.
“Untuk apa dibawa keluar? Jangan bilang kau sedang mengajaknya jalan-jalan?”
Hazel terkekeh.
“Cecil, imajinasimu sungguh luar biasa. Aku akan membawanya ke pasar sebagai contoh. Katanya, untuk buka lapak harus ada izin resmi.”
“Lapak?”
Cecil tampak heran.
“Kenapa repot-repot? Terong itu kan sudah terkenal di sini. Kalau aku, lebih baik langsung menjualnya di istana.”
“Eh? Boleh begitu?”
Cecil baru sadar ia keceplosan.
“Eh… tentu tidak. Tapi kau bisa membuat kontrak penjualan. Itu masih masuk ranah obrolan sosial, jadi tidak melanggar aturan.”
“Ah, begitu… Terima kasih atas sarannya.”
Hazel tersenyum lalu berpamitan.
Baru terpikir: dulu pelayan ini yang pertama kali berlari hendak mengusirnya dari istana, tapi sekarang justru mereka bisa saling bertukar info sehari-hari. Itu membuat Hazel sedikit bangga.
Begitu keluar dari gedung utama, beberapa bangsawan menoleh padanya.
Itu juga perubahan yang terasa akhir-akhir ini. Ke mana pun ia pergi, ada saja tatapan orang yang mengikutinya.
“Miss Mayfield! Apa kabar?”
Beberapa bahkan menyapanya lebih dulu.
Hazel pun teringat kata-kata Cecil tadi, dan memutuskan untuk mencoba.
“Baik sekali. Ngomong-ngomong, saya sedang berniat menjual terong ini. Ada yang berminat?”
Reaksi langsung muncul.
Beberapa orang yang sedang mengobrol mendadak menoleh. Bahkan ada yang buru-buru menghampiri.
“Itu terong yang ditanam sendiri di kebun Anda? Saya tertarik. Berapa kira-kira harganya?”
Hazel sempat bingung melihat sikap mereka yang begitu serius, hampir seperti negosiasi dagang sungguhan.
“Tunggu sebentar. Terong ini mau dipakai untuk apa?”
“Untuk barang promosi, tentu saja.”
“Apa? Tidak bisa. Terong ini ditanam untuk dimakan. Kalau bukan untuk masakan, saya tidak akan menjualnya.”
Hazel menolak mereka semua.
Namun tidak lama kemudian, semakin banyak orang yang mendekat, memohon agar ia mau menjualnya. Meski tutur kata mereka sopan, desakan mereka tak kalah kuat.
Bagaimana cara keluar dari situasi ini?
Saat itulah…
“Ada apa di sini?”
Seseorang melangkah masuk ke kerumunan.
Hazel menoleh, dan langsung tersenyum lega.
“Lord Ranley!”
***
Sementara itu, Iskandar keluar ke balkon.
Kepalanya terasa sakit sekali. Ia butuh udara segar. Bersandar di pagar balkon, ia menarik napas panjang.
Namun lagi-lagi, wajah Hazel muncul jelas di benaknya.
Ia hanya ingin semua urusan cepat selesai, agar bisa segera pergi ke kebun Hazel. Hanya itu yang ada di hatinya.
Dan tiba-tiba, terdengar suara Hazel.
Iskandar menggeleng keras-keras. Tapi suara itu tidak juga hilang.
Apakah aku sudah separah ini, sampai mulai berhalusinasi?
Ia menunduk.
Dan saat itulah ia melihatnya.
Bukan halusinasi—Hazel memang ada di sana, tepat di bawah balkon.
Tapi ia tidak sendirian.
Mata Iskandar melebar.
Hazel sedang bersama seorang pria muda bangsawan, bercakap-cakap berhadapan. Dan pria itu bukan sembarang orang.
Arthur Ranley, Marquis Ranley.
Iskandar hampir tidak percaya.
Arthur Ranley adalah seorang bangsawan setia, lajang, sangat kaya, dan disebut-sebut sebagai calon suami paling ideal di kalangan sosialita.
Dan kini, ia berdiri bersama Hazel, sama sekali tak peduli pada tatapan orang-orang sekitar. Dari ekspresinya saja sudah jelas: baginya, hanya Hazel yang ada di dunia ini. Setiap gerakan Hazel, sekecil apa pun, ditanggapi dengan penuh perhatian. Jelas sekali ia ingin mendapatkan hati Hazel dengan cara apa pun.
Sedangkan Hazel… matanya berkilat. Pipi merona. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kewaspadaan. Itu wajah penuh ketertarikan, jelas berbeda dengan saat bersama penyanyi opera.
Iskandar merasa dadanya gelap.
Bagaimana mungkin…!
Dalam keterkejutan besar itu, ia tersadar. Selama hidupnya, ia selalu melindungi sesuatu. Ia pikir kali ini pun cukup dengan cara yang sama: cukup dijaga, maka semua akan baik-baik saja. Tapi tidak.
—“Segala sesuatu yang sejak awal tidak jujur, tidak akan pernah bertahan selamanya.”
Kata-kata di cermin itu menghantam kepalanya.
Ia sadar sudah salah langkah.
Dengan identitas palsu, ia takkan bisa apa-apa. Bahkan bila ia pikir sudah menggenggam, ternyata bisa terlepas kapan saja. Tepat seperti ini.
Ia seharusnya jujur sejak awal.
Tidak. Bahkan sekarang pun belum terlambat. Meski mendadak, setidaknya…
Ia buru-buru berseru:
“Tunggu sebentar—”
Tapi kata-katanya terputus. Suaranya hilang.
Saat berbalik, kepalanya kembali berputar.
Pandangan gelap. Tanah terasa mendekat.
Namun sebelum tubuhnya terbanting, seseorang sigap menahan. Itu kepala pelayan senior, yang memang diam-diam ditugasi Perdana Menteri untuk selalu mengawasi kaisar.
Dari luar, seolah tak ada yang aneh. Tapi ia tidak pernah lengah. Dan benar saja—Yang Mulia pingsan lagi!
“Yang Mulia!”
Dengan cepat ia memberi isyarat pada para pelayan yang berlari menghampiri.
“Mau lihat seluruh istana geger? Jangan ribut. Angkat beliau pelan-pelan ke dalam.”
“Ba… baik.”
Mereka pun membawa kaisar yang tak sadarkan diri kembali ke dalam, tanpa menimbulkan keributan.
***
Sementara itu, Hazel baru saja berpisah dengan Marquis Ranley dan hendak pulang.
Namun tiba-tiba, ia merasa aneh.
Sepertinya tadi ia mendengar suara Lord Valentine.
Hazel menoleh ke sekeliling. Tapi jelas, dia tidak ada di sana. Setelah dipikir-pikir, suara itu terdengar seakan datang dari atas langit.
“Aduh, sekarang aku bahkan dengar halusinasi.”
Muka Hazel merona. Ia buru-buru pulang.
Karena tadi terlalu lama membuang waktu, beberapa terong mulai agak layu. Untuk pasar, ia harus menggantinya dengan hasil lain.
Terong ini lebih baik dimasak menjadi gratin.
Hazel mengeluarkan terong dari keranjang dan mulai mencucinya.
Saat itulah, terdengar ketukan di pintu.
Seorang wanita bangsawan muda berdiri di sana. Ia mengenakan gaun bermotif bunga kecil dengan selendang renda tipis di bahunya.
Dengan senyum ramah, ia menyapa.
“Selamat siang. Saya Countess Manfredi. Kebetulan lewat, saya ingin menanyakan sesuatu tentang pohon-pohon di taman rumah kami. Kalau tidak keberatan, boleh saya mencuri sedikit waktu Anda?”
“Oh!”
Hazel menyambut dengan gembira.
“Tentu saja. Silakan masuk.”
Wanita itu menutup payungnya. Tanpa sengaja Hazel melihat: di balik sarung tangan renda, jari kelingking tangan kanannya hilang.
“Saat kecil dulu, saya mengalami kecelakaan…”
Mendengar itu, Hazel langsung sadar ia sudah berbuat sangat tidak sopan dengan tatapannya. Wajahnya memerah.
“Maafkan saya, Countess Manfredi.”
“Panggil saja aku Dianne.”
“Baik, Dianne.”
Hazel pun mempersilakan tamunya masuk.
