Jumat, 29 Agustus 2025

1. Secangkir Kopi Harum dan Pai Stroberi Liar

Hazel Mayfield sama sekali tidak tertarik pada politik.

Mungkin itu bukan sesuatu yang patut dibanggakan.

Namun, ia justru menganggap hal itu sebagai sesuatu yang sangat positif. Begini maksudnya. Bila seseorang yang duduk di tempat tinggi menjatuhkan air kotor kepadamu sekali, kau akan menengadah untuk melihat wajahnya. Bila dua kali, kau akan hafal namanya. Dan bila tiga kali, kau akan menyalakan mata, mengawasi dengan penuh amarah sampai kapan orang itu akan tetap duduk di sana.

Karena logikanya seperti itu, maka jika seorang warga kecil seperti Hazel bisa hidup tanpa peduli sedikit pun pada keadaan negara, artinya negara memang berjalan dengan baik.

Bukankah itu sudah cukup?

Hazel berharap bisa terus hidup tanpa harus memikirkan “orang-orang di atas sana.”

Namun, harapan itu hancur pada suatu hari di musim semi, saat ia berusia sembilan belas tahun.

Hazel sedang berdiri terpaku menatap papan nama bertuliskan “Mayfield” yang terpancang tepat di jantung Istana Kekaisaran yang megah.

Semua orang tahu bahwa kaisar muda penuh ambisi, Ramstein IX, sedang merenovasi ibu kota besar-besaran. Tentu saja yang pertama kali ia rapikan adalah rumahnya sendiri.

Istana lama yang pernah Hazel lihat saat berkunjung bersama kakeknya adalah bangunan berusia ratusan tahun. Sudah usang, tidak nyaman, dan—yang terburuk—sempit. Sama sekali tidak sepadan dengan kejayaan Kekaisaran Bratania yang membentang ke timur, barat, selatan, dan utara.

Maka kaisar pun membeli tanah-tanah di sekitar istana lama. Baik para bangsawan besar maupun rakyat jelata menyerahkan rumah mereka dengan sukarela atas permintaan sang kaisar yang bagaikan langit. Hanya ada satu orang yang tidak mau bekerja sama.

Seorang penjudi nekat. Baron Archibald Sebastian Mayfield.

“Ah, Kakek……”

Wajah Hazel memucat, kepalanya menggeleng keras.

“Ini tidak masuk akal. Kita tidak mungkin melawan kaisar. Kita harus mengibarkan bendera putih seperti para gelandangan di bawah tembok kota. Itulah yang paling bijak.”

Ia bergumam sendiri, lalu tersentak.

Tanpa sadar, dirinya sudah berdiri tepat di depan pintu kecil pada dinding sementara. Lebih dari itu, entah kapan tangan kanannya sudah menggenggam gagang pintu.

Hazel buru-buru hendak menurunkan tangannya. Namun, ia tak bisa menggerakkannya. Matanya pun seakan terkunci pada tanah yang terlihat di celah pintu.

Seseorang berbisik.

Hazel, kau lihat itu? Itu tanah. Tanahmu. Satu-satunya di dunia, atas nama dirimu sendiri.

Seolah terhipnotis, Hazel mendorong pintu kecil itu dan masuk.

Di dalam, semuanya dipenuhi semak dan rumput liar. Di tengah semak-semak berdiri sebuah rumah kecil. Seperti kata kakeknya, rumah itu memang mungil, tetapi cukup luas bagi seseorang untuk tinggal sendirian. Dan kemudian……

Hazel menunduk.

Di balik rerumputan, tampak tanah cokelat yang subur. Jantungnya berdegup kencang.

“Jangan kaget. Aku pemilikmu.”

Seperti membaca mantra, ia berbisik sambil menyentuhkan tangannya ke tanah. Jemarinya mengais sedikit lapisan atas yang kering.

Sensasi segar seketika menjalar. Tanah itu penuh nutrisi. Sudah lama dibiarkan beristirahat tanpa ditanami. Kini seakan-akan memohon agar ditanami sesuatu.

“Ah!”

Hazel seketika kehilangan akal sehat.

—Selama namaku tertulis di sertifikat tanah ini, tak seorang pun bisa merampasnya dariku!

Bukankah ia pernah bersumpah begitu dengan mulutnya sendiri? Orang desa tidak sembarangan bersumpah. Sumpah yang diucapkan akan mendatangkan kutukan bila dilanggar. Maka sekali terucap, ia harus menepatinya.

Dalam pandangan yang kabur, Hazel melihat papan nama tua di rumah itu. Seketika, sebuah dorongan kuat menyergapnya.

Ia membuka koper perjalanannya, mengeluarkan kapur putih dari serbuk kapur, lalu menuliskan sesuatu di papan itu—seperti yang sudah berkali-kali ia impikan dalam tidurnya.

Ladang Marronnier.”

Gelombang perasaan tak terlukiskan memenuhi dadanya.

Tergambar jelas di benaknya: sebuah perkebunan cerah di selatan, dikelilingi hutan Marronnier. Wajah ramah Paman Carl, Bibi Martha, Emily, Belle, dan Noel seakan hadir di hadapannya.

Akhirnya, kini ia juga punya ladang sendiri.

Memang, tetangganya terlampau menakutkan…… tetapi, coba ubah sudut pandang!

Hazel mengeluarkan kartu keberuntungannya.

Apakah aku akan gemetar dan tidak melakukan apa-apa, atau memulai impian sebelas tahun untuk mengelola ladang?

Tentu saja jawabannya jelas. Bahkan kaisar sendiri sulit mengusir pemilik sah tanah ini. Dan kalau pun itu terjadi, Hazel tidak khawatir. Kedua kakinya sudah berakar di sini. Saat pengusiran benar-benar tiba, ia mungkin sudah mati di tanah ini!

Dengan pikiran ekstrem khas usia sembilan belas, ia menyingkirkan semua kekhawatiran. Yang tersisa hanyalah rumah dan sebidang tanah barunya.

Dadanya kembali mengembang penuh semangat.

“Mulai sekarang!”

Hazel melangkah masuk ke dalam rumah.

Pintu berderit panjang.

Keadaannya parah. Debu menumpuk di setiap sudut, dinding retak menyingkap batu bata, dan lantainya kotor karena banyak orang pernah keluar masuk.

Namun, di kamar tidur ada jendela besar seperti yang selalu Hazel idamkan. Dapur punya tungku kayu yang kokoh dan luas. Masih ada kayu bakar dan ranting kering yang cukup, hanya perlu dibersihkan. Lemari penyimpanan berisi panci, wajan, dan peralatan makan.

“Sepertinya dulu ada keluarga yang tinggal di sini.”

Hazel berkeliling dengan gembira. Ia sudah membayangkan bagaimana mengubah rumah ini menjadi rumah petani sejati. Dengan hati berdebar, ia membuka “peti harta” yang dibawanya.

Matahari masih sekitar dua jam lagi akan terbenam. Ia mengenakan topi jerami, menyiapkan keranjang berisi alat-alat pertanian dan biji-bijian, lalu keluar.

Di bawah cahaya sore, Hazel memandang lautan rerumputan bergoyang.

Di tengah-tengahnya, ia melihat batang tanaman yang familiar. Daun hijau subur—tanaman kentang.

Kentang itu tumbuh sehat di sini, penuh cahaya matahari. Tak lama lagi ia bisa memanen kentang muda yang lezat. Hazel begitu gembira dengan hadiah tak terduga itu.

Di halaman belakang dekat dapur, tumbuh aneka sayuran dan herba: seledri, chicory, rosemary, peppermint, sage. Bahkan lavender sudah mulai membentuk kuncup. Membayangkan bunga ungu yang segera bermekaran saja sudah membuatnya bahagia.

Hazel menanam biji-biji yang ia bawa di samping tanaman itu.

Herba Nepeta yang kuat akan bisa dipanen daunnya hanya dalam dua minggu. Selain itu ada adas manis, basil, serai, serta Cakar Wyvern—semua herba berguna bagi kehidupan di ladang.

Yang tersisa hanyalah gulma. Itu bisa dicabut habis.

Hazel pun duduk dengan cangkul kecil di tangan.

Bagi petani, gulma biasanya jadi musuh menyebalkan.

Namun bagi Hazel, mencabutnya terasa menyenangkan. Entah kenapa sejak kecil, sekali ia sentuh, akar-akar kecil itu bisa tercabut tuntas dengan mudah.

“Sebetulnya kata gulma itu tidak tepat. Kalian pasti punya kegunaan juga. Hanya saja manusia belum menemukannya. Tapi untuk saat ini aku harus menanam sayuran……”

Sambil mengobrol dengan gulma, Hazel terus mencabuti sambil tenggelam dalam pekerjaannya. Ia sampai lupa waktu……

Karena itu, ia sama sekali tidak sadar.

Di luar dinding sementara yang mengelilingi rumah kecil dan kebun itu, melintasi taman agung istana, beberapa orang sedang berjalan mendekat.

Mereka adalah pejabat berseragam hitam dengan ikat pinggang emas dan para pelayan istana. 

***

Cecil, seorang pejabat muda istana, adalah seorang yang lulus ujian seleksi dengan nilai tertinggi.

Seperti yang sudah diduga, pekerjaan di Departemen Rumah Tangga Istana memang sangat banyak. Di bawah komando dingin bak es dari Menteri Rumah Tangga yang ia kagumi, mereka harus mengurus segala hal tentang keluarga kekaisaran: mulai dari tata upacara, pengelolaan keuangan, pakaian dan makanan, kesehatan, pembelian serta perawatan buku-buku, seni, kereta dan kuda, sampai perbendaharaan kekaisaran—semuanya ada di bawah tanggung jawab mereka.

Karena harus berlarian tanpa henti, setiap sore tubuh Cecil terasa seberat kapas basah.

Namun hari ini berbeda. Langkahnya terasa ringan seolah terbang. Para pelayan istana yang mengikutinya pun sama.

“Wah, akhirnya urusan menyebalkan dengan Rumah Nomor 79 itu selesai juga!”

“Betul sekali. Setiap kali lewat taman agung, rasanya selalu jadi duri di mata. Sekarang kita bisa merobohkannya dengan lega!”

“Andai saja dari dulu begini. Jujur saja, beda sekali antara ayah dan anak, bukan? Kalau almarhum Kaisar yang dulu, pondok reot begitu sudah lama habis dibabat.”

“Benar juga. Tapi Yang Mulia sekarang justru memerintahkan agar batas waktu dipenuhi sampai akhir. Begitu keras dan tegasnya. Tapi yah, toh hari ini semua berakhir.”

Sambil bercakap-cakap riang, mereka tiba-tiba melihat pemandangan tak terduga. Pintu kecil pada pagar sementara yang mengelilingi Lahan Nomor 79—tanah yang gagal mereka beli—sedikit terbuka.

“Hah? Ada lagi yang nyelinap masuk buat merokok, ya?”

Cecil bergegas membuka pintu itu dengan kasar.

Fakta bahwa ada sebidang lahan berpagar di tengah jantung istana bukan hanya merusak pemandangan, tapi juga membawa masalah. Para pelayan dan pekerja sering menyelinap ke sana untuk minum, merokok, atau berpacaran. Pernah pula ada bangsawan yang ketahuan mencoba menyuap demi monopoli distribusi minuman keras istana.

Dengan pikiran semacam itu, Cecil dan para pelayan memasuki area itu dengan mata menyipit penuh curiga—hanya untuk mendapati pemandangan sama sekali tak mereka bayangkan.

Di tengah Lahan Nomor 79, seorang gadis berambut cokelat tua dengan topi jerami sedang jongkok. Tangannya cekatan memegang alat kecil, mencabut rumput liar dengan suara cek-cek-cek. Dalam sekejap tanah jadi bersih, sementara tumpukan rumput liar meninggi bagai bukit.

Cecil tertegun.

“Apa yang sedang Anda lakukan di sini?”

Hazel, yang begitu tenggelam dalam mencabuti rumput, langsung menoleh kaget mendengar suara asing itu.

Di hadapannya berdiri seorang pejabat muda bangsawan, diikuti kerumunan pelayan istana.

Saatnya telah tiba.

Namun Hazel tak merasa bersalah sedikit pun.

“Aku sedang mencabuti rumput.”

“Maaf?!”

“Itu langkah awal sebelum menanam tanaman. Dasar dari bertani.”

Ia menjelaskan dengan ramah.

“Oh, begitu…”

Cecil sempat mengangguk, lalu tersentak.

“Tunggu, bertani? Maksud Anda ingin bertani di sini?”

“Ya.”

“Astaga! Aku malah terkecoh karena jawabannya terlalu normal. Hampir saja aku kira Anda gila. Cepat, tarik dia keluar!”

Hazel berdiri tegak.

“Kalian tak bisa mengusirku. Kalian tahu siapa aku?”

“Biasanya orang yang bicara begitu tak pernah benar-benar menakutkan. Sekalipun Anda putri tunggal Gold Dragon, tidak akan ada bedanya. Ini adalah taman kaisar, ingatlah itu.”

“Aku memang bukan putri Gold Dragon. Tapi ada satu orang yang tak bisa diusir dari sini, bahkan oleh Kaisar sendiri. Itu adalah Mayfield.”

Sontak semua terkejut. Cecil pun bertanya dengan wajah pucat.

“Jangan-jangan… Anda… pemilik asli lahan ini, Archibald Sebastian Mayfield?!”

“Beliau adalah kakekku. Tanah ini diwariskan padaku.”

Hazel berlari kecil masuk ke dalam, lalu kembali dengan tas dokumen.

“Ini sertifikat tanahnya. Dan ini akta hibah dari kakek untukku. Yang ini surat pengesahan bahwa aku adalah cucu sekaligus satu-satunya ahli waris beliau.”

Cecil memeriksa lembar demi lembar, lalu terdiam dengan mulut terbuka. Persis seperti yang Hazel perkirakan.

“Bagaimana? Sudah jelas, kan?”

“Memang benar, tapi…”

Cecil benar-benar kebingungan menghadapi kenyataan mengejutkan itu.

Asli! Pemilik tanah yang sesungguhnya muncul!

Ia mengacak-acak rambutnya yang biasanya rapi, lalu menatap Hazel dengan getir.

“Nona Mayfield, mohon maaf sebesar-besarnya. Tak terpikir sedikit pun bahwa pemilik tanah akan muncul di hari terakhir. Departemen Rumah Tangga Kekaisaran Bratania sangat ingin membeli lahan ini. Tanah di sekelilingnya sudah kami beli rata-rata 480 gold per bidang. Namun jika Nona berkenan, kami siap membayar hingga batas tertinggi anggaran: 600 gold.”

“……”

Hazel terdiam.

Rumah kecil sederhana, kebun herbal di samping dapur, tanah di bawah kaki, cahaya matahari, hembusan angin… semua itu sudah menyinari hatinya dengan cahaya yang tak tergantikan. Hazel sudah jatuh cinta pada lahan kecil ini.

Ia sama sekali tak bisa menyerah, betapapun besar dan menakutkan pihak yang menghadapinya.

“Berapa pun harganya, tak akan kujual. Ini adalah ladangku.”

Hazel berkata demikian, lalu menancapkan cangkul kecil ke tanah.

Cecil sontak mundur setapak. Sosok mungil gadis bertopi jerami itu kini tampak sebesar gunung. Sebagai seorang pejabat istana yang hanya mengenal buku, ia merasakan betapa tak sebanding kekuatan yang ia hadapi.

Ini bukan lawan yang bisa kuhadapi.

Cecil pun berbalik dan berlari terbirit-birit, diikuti para pelayan yang panik.

Melihat jubah sutra berkilauan itu menghilang bersama debu yang berhamburan, Hazel merasa badai besar akan segera datang.

Namun sekalipun topan menerjang…

Ia menunduk lagi, menatap tanah.

Aku akan tetap melakukan apa yang harus kulakukan.

Hazel kembali duduk, menggenggam cangkul kecilnya, dan mulai mencabuti rumput satu demi satu.

***

Istana Kekaisaran Bratania, Gedung Utama, ‘Aula Emas’.

Di bawah langit-langit megah yang dilukis dengan adegan dramatis dari mitos pendirian kerajaan, dan di antara tiang-tiang keemasan yang menjulang menopang ruang sidang agung, suasana khidmat menyelimuti tempat itu.

Ruang sidang terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, barisan panjang para pejabat yang duduk rapi. Di atas panggung berdiri para menteri dari tiap departemen serta empat komandan Ksatria Suci yang membentuk dewan penasihat kekaisaran, Baeklimwon. Dan lebih tinggi lagi, di atas takhta berkilau yang agung, duduklah Kaisar Ramstein IX, Iskandar, penguasa Kekaisaran Bratania. Ia dikenal sebagai reinkarnasi dewa perang, satu-satunya Grand Chevalier di seluruh kekaisaran.

Kadang-kadang, perpaduan dari garis keturunan terbaik justru menghasilkan kegagalan. Namun, dalam dirinya, daya tarik kuat dan maskulin khas keluarga kerajaan berpadu sempurna dengan kecantikan memukau sang permaisuri, seorang wanita yang pernah disebut sebagai salah satu terindah sepanjang sejarah.

Selain tampan, wataknya pun tegas dan lurus. Sangat berbeda dari mendiang kaisar yang terkenal bejat dan semaunya sendiri. Terkadang sifatnya yang terlalu kaku membuat orang-orang takut akan murka yang bisa jatuh kapan saja, tetapi pada saat yang sama, sifat itu membawa angin segar di istana.

Sebagian besar wanita istana jatuh cinta pada kaisar muda yang baru berusia 22 tahun itu. Hanya segelintir yang lebih bijak, yang lebih awal memilih menyerah, sadar bahwa jalan itu hanyalah duri penuh penderitaan. Mereka memang benar—sebab tatapan merah darah sang kaisar tidak pernah sekalipun tertuju pada wanita mana pun. Ia hanya menatap… laporan.

Ya. Masa pemerintahan Ramstein IX adalah zaman di mana jumlah wanita yang iri pada laporan mencapai rekor tertinggi dalam sejarah.

Kaisar meneliti halaman terakhir laporan dengan teliti, lalu berkata:

“Baik. Urusan penanggulangan kemiskinan di wilayah Valhash telah tertangani dengan baik.”

“Segala hormat, Paduka.”

“Selanjutnya. Bagaimana laporan sementara mengenai pengembangan senjata baru berbasis sinar?”

Seorang pejabat tua maju dengan sopan, menyerahkan dokumen.

Tidak seorang pun berani bernapas keras di tengah suasana yang begitu serius.

Tiba-tiba, kaisar mengangkat kepalanya.

“Apa itu?”

Semua orang menoleh mengikuti pandangan kaisar. Di belakang, seorang kasim muda bernama Cecil berdiri dengan wajah pucat, tampak gugup.

Ia tak menyangka sidang negara masih berlangsung. Tadi ia tanpa sadar menarik lengan penjaga dan berseru, “Masih belum selesai? Aku harus segera menemui Menteri Urusan Dalam Istana!”—dan rupanya, pendengaran tajam kaisar telah menangkap kata-kata itu.

“Ada urusan apa?”

“Euh, begini…”

Cecil kembali sadar betapa sulitnya menyembunyikan sesuatu dari penguasa ini. Mengaku sejujurnya adalah pilihan terbaik. Ia pun dengan terbata maju dan bersujud.

“Paduka, sebenarnya… Sebagai bagian dari proyek peringatan kemenangan, istana diperluas dengan pembangunan ruang pribadi baru untuk Paduka, serta sebuah Taman Agung di sampingnya. Nah, di lahan pembangunan itu, ada sebidang tanah yang hari ini berakhir masa tenggat pengumumannya, sehingga harusnya masuk sebagai properti negara….”

“Apakah maksudmu, sebidang lahan nomor 79?”

“Benar, Paduka. Masalahnya, pemilik sah tanah itu tiba-tiba muncul. Ia bersikeras ingin bertani di sana.”

“Apa katamu?”

Kabar absurd itu mengguncang ruang sidang yang tadinya hening. Para pejabat mulia mulai ribut.

“Jika lahannya dipilih untuk istana, seharusnya merasa terhormat dan menyerahkannya!”

“Bertani di tengah taman istana kaisar? Gila! Tak pernah terdengar hal semacam itu!”

“Ini bukan gila, tapi benar-benar rendah. Itu adalah kebiasaan buruk di kalangan spekulan tanah, disebut pagar betis!”

“Apa itu?”

“Itu trik ketika lahan untuk proyek besar—jalan, perumahan, atau taman—tidak dijual pemiliknya hingga akhir. Karena tak mungkin membangun tanpa lahan itu, maka harganya akan melonjak. Pemiliknya pun meraup untung besar.”

“Ha! Jadi ada cara semacam itu? Betapa lancang!”

Keributan para bangsawan dihentikan oleh tatapan dingin sang kaisar.

“Jangan berpura-pura tidak tahu. Kalian semua pernah melakukannya. Terutama Anda, Menteri Keuangan—melihat betapa keras Anda berpura-pura tak tahu, pasti sudah sering melakukannya.”

Wajah Menteri Keuangan memerah.

“Pa… Paduka, saya—”

“Memanfaatkan kesulitan orang lain untuk keuntungan sendiri sudah pantas dihukum. Apalagi berani melakukannya di dalam istana kaisar?”

Kaisar mengerutkan wajahnya.

Bertani di tengah istana—terlalu konyol. Ia tak percaya itu benar. Sama seperti yang lain, ia yakin ini hanya dalih seorang spekulan.

“Pagar betis? Selama aku berkuasa, kebiasaan busuk itu harus dicabut sampai ke akar! Betapa bodoh mereka! Orang itu takkan menerima kompensasi sepeser pun. Sebagai hukuman atas keserakahannya, ia akan ditelanjangi dan diusir untuk dijadikan contoh!”

Cecil panik.

“Paduka, tapi… pemiliknya seorang wanita. Gadis muda, bahkan belum genap 20 tahun.”

Kaisar terkejut. Sekretaris istana segera berbisik:

“Apakah saya harus menghapus ucapan tadi dari catatan rapat, Paduka?”

“Tidak. Itu tidak boleh.”

Ia kembali menatap Cecil.

“Benarkah ia seorang gadis muda?”

“Benar. Dan setelah saya periksa, ia juga keturunan bangsawan.”

Ruangan bergemuruh.

“Apa? Seorang bangsawan wanita Bratania jadi spekulan tanah?”

Bangsawan-bangsawan menggelengkan kepala, penuh cemooh.

“Dari keluarga mana?”

“Katanya keluarga Mayfield.”

“Nama itu asing bagiku.”

“Dari penampilannya, tak ada bedanya dengan rakyat jelata. Pasti bangsawan jatuh miskin.”

“Namun sekalipun jatuh miskin, masih ada harga diri! Bagaimana bisa putri bangsawan melakukan hal memalukan begitu?”

“Cukup! Diam!”

Kaisar mengangkat tangan, menghentikan keributan.

“Justru dengan kita ribut begini, itulah yang ia inginkan. Ia ingin jadi pusat perhatian. Maka aku tetapkan larangan berbicara! Mulai sekarang, siapa pun di istana dilarang menyebut tanah nomor 79 ataupun spekulan itu. Anggap saja orang itu tidak pernah ada!”

“Baik, Paduka!”

Suara serempak menggema.

Di atas panggung, keempat komandan Ksatria Suci yang membentuk Baeklimwon menyaksikan perdebatan singkat itu.

Lorendel Blenheim dari keluarga High Elf menatap jijik, wajah pucatnya meringis. Luis Gallardo, bangsawan vampir kelas tinggi Noble One, tersenyum geli seolah menikmati tontonan. Sigvald Sachsenpiegel dari keluarga Warbear tetap bungkam, seperti biasa. Cayenne Runbard dari keluarga Golden Catxi sudah kehilangan minat, hanya menggelindingkan mata emasnya ke arah lain.

Di sisi mereka duduk seseorang: rambut perak disisir rapi, kacamata satu lensa, mata tajam bagai bilah pisau. Dialah Menteri Urusan Dalam Istana, Albert, Comte Besi dan Darah, yang memegang kendali atas seluruh urusan internal istana.

Dengan wajah masam, ia menatap Cecil. Begitu sidang usai, ia segera menghampiri anak muda itu.

“Memalukan sekali! Apa-apaan ini?”

“Saya tak punya alasan, Tuan Menteri. Tapi pemilik tanah itu bukan main. Meski ada larangan bicara, tetap saja—”

“Cukup! Kau tak mampu mengurus masalah sepele begitu?”

Dengan tatapan dingin, ia berbalik menemui kaisar.

“Paduka, memalukan sekali bila tepat di samping kamar pribadi Paduka, seorang spekulan bisa mengacau. Sebagai Menteri Urusan Dalam Istana, saya malu. Izinkan saya menyelesaikan urusan ini sebersih-bersihnya, segera.”

“Baiklah. Wajar, para pemula memang masih canggung. Kalau engkau sendiri turun tangan…”

Saat itu, dari kejauhan, para bangsawan wanita melambaikan tangan. Menteri Urusan Dalam Istana baru teringat sesuatu.

“Oh, Paduka. Ada urusan yang lebih penting. Mengenai ‘Pesta Dansa Bunga’ yang segera tiba. Dengan wanita manakah Paduka akan memasuki aula nanti…?”

“Athena.”

Seperti biasa, kaisar tanpa pikir panjang menyebut nama sepupunya sendiri. Perut Menteri Urusan Dalam Istana langsung terasa perih.

“Paduka, tidak boleh lagi! Tolong pilih wanita lain, bukan Sang Nona Agung.”

“Itu tidak mungkin. Nanti ia mengira aku tertarik padanya.”

“Biar saja! Sekali pun hanya sandiwara, tidakkah lebih baik jika istana ini sedikit terselimuti kabut merah muda? Tolonglah, pura-pura tertarik saja pada siapa pun! Jika tidak, saya akan mati diserbu para ibu bangsawan yang terus memaksa memperkenalkan putri dan keponakan mereka kepada Paduka…”

“Omong kosong.”

“Paduka, seorang pria sejati juga harus pernah merasakan cinta! Tolong, berilah perhatian sedikit saja pada gadis-gadis istana ini—”

“Wanita yang patut aku perhatikan hanya satu. Dia yang kelak akan menjadi Permaisuri Kekaisaran Bratania.”

Ucapannya tegas, final.

Menteri Urusan Dalam Istana merasakan pusing yang hebat.

Bukan karena ia tak paham. Justru karena ia sangat paham.

Ia telah tiga puluh tahun mengabdi di istana. Menyaksikan langsung bagaimana mendiang permaisuri yang lembut harus menderita karena intrik selir, dan bagaimana pangeran kecil harus menanggung penderitaan.

Maka wajar bila kaisar bersumpah tidak akan pernah seperti ayahnya. Namun… ini menyangkut masa depan negara!

“Jangan buang waktu untuk hal tak berguna. Fokuslah pada tugasmu.”

Kaisar berbalik. Bayangan wajah sombong yang seakan sudah terbiasa sejak lahir menghilang di balik jubah berkibar. Wajah tampan tanpa cela itu adalah wajah yang berkali-kali digambar dalam lamunan para wanita istana—dan sekalipun melewati ratusan pertempuran, tak seorang pun pernah bisa menorehkan luka padanya.

Menteri Urusan Dalam Istana entah mengapa merasa kesal. Sejak bayi dalam kain sutra hingga kini, ia telah mendedikasikan kesetiaannya tanpa cela, namun saat ini ia begitu ingin mencubit pipi mulus itu.

Jika tidak ada mukjizat yang terjadi…

Ia kembali merasa sakit kepala. Seperti kata tabib, semua penyakitnya akan kambuh. Ah, seandainya ia bisa meneguk “itu” walau seteguk saja.

“Ughhh…”

Dengan wajah berkerut, ia melangkah berat-berat. Para kasim berbisik-bisik di belakangnya.

“Sekarang kita benar-benar dalam masalah.”

“Gadis spekulan itu, niatnya bagus, tapi akan hancur lebur.”

“Baginda tidak pernah berbelas kasihan hanya karena lawannya perempuan. Apalagi setelah ‘hari itu’, beliau semakin kejam.”

Dari lorong istana yang diterangi senja, mereka menatap punggung sang menteri tua yang berjalan bagai badai.

“Badai darah akan segera bertiup.”

***

Saat itu Hazel sedang tenggelam dalam sesuatu.

Ternyata, ia sedang asyik mencabuti rumput liar.

Rasanya begitu menyenangkan saat rumput-rumput itu terlepas dari tanah, sampai-sampai ia tak sadar waktu berlalu. Baru ketika hari gelap dan tak bisa lagi melihat tangannya sendiri, Hazel menghentikan pekerjaannya.

“Ah.”

Hazel kaget menyadari matahari sudah terbenam. Ketika melihat sekeliling, ia baru sadar betapa banyaknya rumput liar yang sudah ia cabut, sampai membentuk tumpukan seperti gunung kecil. Meski pekerjaan menyiangi ladang belum sepenuhnya selesai, setidaknya ia merasa waktu menjelang senja terpakai dengan sangat baik.

Itu tentu hal yang bagus, tetapi…

Kenapa tidak ada seorang pun yang mengganggunya?

Hazel mengernyitkan dahi.

Ia benar-benar tak mengerti. Bukankah tadi si petugas itu lari dengan tergesa-gesa? Tapi sampai sekarang masih tetap sunyi.

Hazel sempat merenung, lalu akhirnya memilih untuk tak ambil pusing.

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Toh, tidak ada yang benar-benar menyerang saat ini.

Hari ini adalah hari pertamanya di sini. Jika ingin makan malam dengan sup hangat lalu segera tidur, ia harus membereskan bagian dalam rumah dulu.

Hazel berbalik. Pekerjaan di luar sudah selesai, sekarang giliran pekerjaan di dalam rumah.

Ia mendorong pintu yang berderit, dan pemandangan yang benar-benar menyerupai rumah terbengkalai pun tersingkap. Segunung pekerjaan menanti. Anehnya, Hazel justru merasa bersemangat.

“Baik! Mulai dari mana, ya?”

Dengan penuh tenaga Hazel berseru sambil menatap sekeliling.

…Tapi tak terlihat apa-apa.

Tentu saja. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menyalakan penerangan.

Hazel meraba-raba tumpukan barang di sudut dapur dan menemukan lampu minyak tua. Di dalamnya masih ada lilin bekas terbakar. Karena sulit mencari kotak korek api di dalam koper besar berisi barang-barang, ia akhirnya menggunakan batu api untuk menyalakan nyala kecil.

Hazel menyukai cahaya terang. Maka ia pun mengumpulkan potongan-potongan lilin yang tersebar di berbagai sudut dan menyalakannya satu per satu. Rumah itu pun terang benderang diterangi cahaya hangat—dan juga menyingkap debu yang beterbangan akibat ia mengobrak-abrik isi rumah.

“Uhuk!”

Hazel batuk-batuk lalu kembali keluar. Ia mengikatkan rumput liar ke sebuah batang kayu, membuat sapu darurat. Lalu, ia melipat kain bersih, menutup mulut dan mengikatkannya ke belakang kepala sebelum mulai membersihkan rumah.

Urusan bersih-bersih adalah keahliannya.

Debu yang menumpuk hingga keras pun hilang satu per satu. Sebagian besar perabot memang sudah rusak parah dan harus dikeluarkan, tapi meja makan masih bisa dipakai. Satu kursi juga berhasil diselamatkan.

Dengan lap basah dan kerja keras, warna kayu asli pun kembali tampak, menggantikan abu-abu kotor sebelumnya. Bahkan tungku kayu yang tertutup kerak pun akhirnya berkilau bersih.

Setelah sejauh itu, Hazel yang tangguh sekalipun akhirnya merasa lelah.

“Istirahat dulu, ah.”

Untungnya, ada air bersih—entah air hujan yang tertampung atau memang ada yang menaruh sebelumnya.

Hazel menyalakan api di tungku kayu dan merebus air. Dari koper kesayangannya, ia mengeluarkan set minum teh bermotif kelinci yang selalu ia jaga baik-baik. Malam ini, teh rosehip hangat sepertinya pas untuk menghilangkan penat.

Ia juga menyiapkan biskuit dengan banyak mentega. Baru saja hendak menikmatinya ketika tiba-tiba—

Duar! Suara keras terdengar. Tak lama, langkah kaki berat semakin mendekat. Hazel terbelalak, masih dengan biskuit di mulutnya.

Ada orang datang. Seseorang benar-benar datang.

Refleks, Hazel hampir berdiri, tapi kemudian ia berpikir—

Kenapa aku harus tegang? Ini rumahku, kan?

Hazel kembali duduk, lalu menatap pintu dengan penuh wibawa.

“Selamat datang.”

Pintu berderit terbuka.

Yang muncul adalah seorang pejabat tua. Rambut peraknya yang memantulkan cahaya lampu tampak kemerahan, tersisir rapi ke belakang. Ia memakai monokel, dan di dada jubah berhias emasnya tersemat tanda kehormatan yang berkilau.

Hazel segera menyadari sesuatu.

“Jadi Anda atasan dari petugas yang tadi, ya? Bagaimanapun juga…”

Ia hendak menjelaskan soal haknya atas rumah ini, namun pejabat itu bahkan tak menoleh ke arahnya. Seakan-akan Hazel sama sekali tidak ada. Lebih buruk lagi, setelah melangkah masuk, pandangannya sempat berhenti pada papan nama di depan rumah.

“Pertanian? Hah, tempat tak berguna…”

Katanya enteng.

Hazel tak percaya pada telinganya.

Apa barusan aku mendengar benar?

Ia merasa dilecehkan habis-habisan, sampai refleks menatap lurus pejabat itu.

Dan saat itulah ia terkejut.

Belum pernah Hazel melihat orang yang tampak sebegitu lelah. Wajahnya pucat pasi. Sepertinya orang itu bahkan belum makan malam sama sekali.

Sekejap, rasa jengkel Hazel hilang begitu saja.

Tidak semua tamu di sebuah pertanian datang dengan sikap ramah. Kadang ada juga petugas pajak yang menuntut setoran. Tapi Nyonya Martha, pemilik tanah tempat Hazel dulu bekerja, selalu menjamu siapa pun tamunya tanpa kecuali.

“Begitu, ya. Bagaimanapun, Anda tetap tamu pertama di Maronnier Farm ini.”

Hazel bangkit dengan cepat. Ia mengeluarkan satu cangkir bermotif kelinci lagi, tapi tanpa sengaja sesuatu jatuh terhempas ke lantai. Sebungkus biji kopi, hadiah ketika ia berhenti mengajar privat tiga tahun lalu.

Pejabat itu langsung melompat mundur, seolah tak sudi kakinya menyentuh bungkusan itu.

“Ah, maaf sekali.”

Hazel buru-buru mengambilnya kembali.

Ia menaruh kantong teh rosehip ke dalam cangkir baru dan menuangkan air mendidih. Ia juga menambahkan biskuit.

“Saya sedang minum teh. Bagaimana kalau kita makan dulu baru bicara?”

Namun pejabat itu sama sekali tak menggubris.

Padahal biskuit itu dulunya hanya ia makan di hari-hari paling berat saat bekerja di bank. Bahkan satu-satunya kursi yang masih layak pakai pun sudah ia serahkan. Tapi lelaki itu tetap memasang wajah dingin, lalu berjalan melewatinya begitu saja.

Hazel benar-benar terpukul.

Ternyata bukan perasaannya saja—ia memang diperlakukan seperti manusia tak kasatmata.

***

Seperti badai yang 몰아치듯 들어온 궁내부 대신, Albert Count, benar-benar dibuat terperangah.

Menurut Cecil, gadis itu bahkan belum genap dua puluh tahun. Dan memang benar, seorang gadis berambut cokelat dengan tubuh mungil.

Namun lihat saja tindakannya—betapa berani dan cepat tanggapnya. Rumpun liar di kebun sayur habis dicabut, papan nama bertuliskan “Peternakan” pun sudah dipasang, dan rumah yang tadinya berantakan kini tampak bersih setelah dibereskan.

“Ya ampun! Benar-benar berniat tinggal menetap rupanya?”

Tak sadar, ia bergumam. Namun gadis itu langsung menjawab tegas:

“Tentu saja. Ini rumah saya. Anda pun tahu tak seorang pun bisa mengusir saya.”

Sekonyong-konyong, Menteri Dalam Negeri merasa darahnya mendidih.

Gadis ini sama sekali tak menyadari apa yang sedang ia lakukan. Haruskah ia sebut sebagai “otak kosong”, seperti istilah anak muda zaman sekarang? Sudah cukup—tak bisa lagi ia menahan diri. Ada yang harus memberi pelajaran pada gadis tamak ini.

Namun masalahnya ada pada Larangan Bicara.

Ia segera melirik sekeliling. Di dinding, di atas meja makan, tergantung sebuah topi jerami. Albert Count berbalik menatapnya lalu berkata dengan nada mengejek:

“Pemilikmu sungguh tak tahu malu.”

Hazel terbelalak.

“Kenapa bicara pada benda itu?”

“Pemilikmu tak paham betapa seriusnya situasi ini! Ada hal-hal yang tak pantas dijadikan rebutan. Berani-beraninya mencoba meraup keuntungan dari proyek pembangunan istana. Apa maksudnya hendak menantang Kaisar? Bahkan tak takut pada Sri Baginda, hah?”

“Itu salah paham besar. Saya sama sekali tak berniat menjual tanah ini. Memang kebetulan sekali ternyata berada tepat di sebelah istana kaisar, saya pun sangat terkejut…….”

“Hah! Pandai juga berpura-pura! Baginda sudah lebih dulu membaca niat culasmu itu, maka dikeluarkanlah Larangan Bicara. Tak seorang pun boleh menyapamu, bahkan tak boleh menyebutmu dalam percakapan. Itu semacam hukuman sosial—setara dengan hukuman mati di dunia pergaulan.”

“Bukan hukuman mati yang sebenarnya, kan? Kalau begitu tak masalah. Itu takkan mengganggu pertanian saya.”

“Tetap saja pemilikmu ini terus berkoar-koar soal bertani! Sampaikan padanya agar segera berhenti berkhayal. Besok pagi-pagi sekali, dia akan diusir juga.”

“Saya bilang, tanah ini milik saya yang sah!”

“Bagus! Kalau begitu kita akan bicara dengan hukum!”

Ia membentak lantang.

“Kau kira kepemilikan saja cukup? Di dalam istana ada hukum-hukum tersendiri. Pemilikmu pasti tak tahu siapa aku sebenarnya. Aku adalah Menteri Dalam Negeri—aku hafal seluruh aturan, bahkan yang sudah lama dilupakan orang. Aku bisa menemukan puluhan alasan untuk merobohkan bangunan ini dan menyita tanahnya. Mari kita mulai dengan Hukum Kebersihan Istana, bagaimana?”

Matanya berkilat tajam, ia menyapu pandangan ke seluruh ruangan sambil mengeluarkan alat tulis saku untuk mencatat.

“Eh……?”

Hazel mendadak panik.

Ini bukan gertakan. Ia serius!

Harus dihentikan!

Dengan gugup, Hazel spontan meraih tirai di dekatnya dan mengguncangnya kuat-kuat. Seketika, debu tebal mengepul putih seperti kabut.

“Khuuhuk! Khuuhuk!”

Menteri Dalam Negeri batuk keras-keras sambil terhuyung mundur.

“Sampaikan pada tuanmu untuk segera berhenti! Aku ini punya alergi debu!”

“Saya sudah menduganya. Biasanya para lelaki tua yang rapih memang begitu. Atau jangan-jangan, justru alergi debu yang membuat seseorang jadi begitu rapih?”

“Cukup sudah!”

Akhirnya, sang Menteri menyerah dan angkat bendera putih.

Ia datang dengan gagah, berniat mengusir Hazel seorang diri. Namun di tengah kabut debu yang menyengat ini, mustahil baginya melakukan penyelidikan. Terlebih lagi, kacamata kesayangannya kini buram tertutup debu.

Sudahlah. Bagaimanapun, ini hanya jalan buntu sementara. Sekadar upaya terakhir.

“Bersiaplah! Besok kau akan diusir juga!”

Ia terbatuk-batuk sambil cepat-cepat meninggalkan tempat itu.

Baru setelahnya Hazel menghentikan tangannya. Debu yang sempat mengepul kini perlahan mereda.

Apa yang harus kulakukan?

Mengapa? Mengapa mereka mengira Hazel seorang penipu rakus?

Dulu, di pertanian keluarga Martin pun kerap datang para penagih pajak dengan wajah keras penuh salah paham. Namun setelah menerima jamuan hangat dari Nyonya Martha, mereka selalu luluh, tersenyum, lalu pulang dengan damai.

Andai saja bisa begitu juga kali ini.

Hazel memandang meja makan.

Teh dan biskuit yang ditolak mentah-mentah kini dibiarkan tergeletak, tertutup debu putih.

Ingin rasanya menangis.

Menteri Dalam Negeri terlalu tangguh. Bahkan lebih dingin dari semua penagih pajak yang pernah datang ke pertanian keluarga Martin jika mereka dijumlahkan sekalipun.

Benarkah dia manusia?

Sejak memasuki rumah ini, ia nyaris tak menunjukkan emosi sama sekali. Tidak, tunggu. Ada satu kali. Saat Hazel tak sengaja menjatuhkan kantong kopi.

Ah, benar!

Hazel tersentak.

Tadi ia terlalu gugup untuk memikirkannya dalam-dalam. Tapi kenapa, kenapa Menteri Dalam Negeri begitu terkejut melihat kopi?

Memang Hazel pun ikut kaget—kopi itu mahal. Sayang sekali jika sampai tumpah.

Namun pria itu jelas tak miskin. Satu kancing emas di bajunya saja bisa membeli puluhan cangkir kopi. Jadi bukan soal sayang uang.

Kalau begitu, kenapa reaksinya seperti melihat ular berbisa?

Apakah…… ia menderita fobia kopi?

Benarkah ada hal semacam itu?

Hazel selalu penasaran dengan beragam hasil alam dan reaksi unik manusia terhadapnya. Sejak kecil, rasa ingin tahunya tak bisa dibendung. Sekalipun kakeknya menegur habis-habisan, Hazel takkan berhenti sebelum menemukan jawabannya.

Ia segera bangkit. Tanpa pikir panjang, Hazel buru-buru mengejar Menteri Dalam Negeri yang baru saja keluar.

Pasti ada rahasia di balik ini!

Belum jauh ia pergi, Hazel sudah bisa melihat punggungnya di kejauhan, di jalan setapak luar tembok sementara. Ia tampak jengkel, sibuk menepuk-nepuk debu dari bajunya.

“Benar-benar hari yang melelahkan!”

Setelah menepuk debu hingga bersih, ia kembali melangkah tegak penuh wibawa.

Tiba-tiba, beberapa pelayan istana yang sedang bercengkerama di depan sana terperanjat melihatnya. Mereka tergesa-gesa menjatuhkan cangkir kopi yang mereka pegang.

Hazel hampir meloncat saking kagetnya.

Astaga! Kopi semahal itu dibuang begitu saja!

Aroma pekat kopi segera menyebar terbawa angin malam. Para pelayan panik, mengibaskan tangan ke udara. Menteri Dalam Negeri berdecak kesal melihat tingkah mereka.

“Berhenti membuat ribut!”

Bukan rasa takut. Bukan itu.

Hazel langsung menyadari.

Wajah pucat, sikapnya yang tegang—ya, inilah jawabannya. Sebuah ide terang-benderang melintas di kepalanya. Saking semangatnya, Hazel lupa ia sedang membuntuti seseorang, dan refleks berteriak:

“Menteri Dalam Negeri!”

Albert Count berhenti kaget. Suara itu jelas suara si gadis pemilik tanah tak tahu malu itu. Tapi kenapa ia mengikutinya?

“Anda dilarang meminum kopi, bukan? Jadi meskipun menginginkannya, Anda sama sekali tak bisa, benar begitu?”

Ia terperanjat lagi. Tanpa sadar, bahunya bergetar.

Hazel melihat jelas reaksi itu.

Bagus. Tepat sasaran.

“Baiklah! Seperti yang Anda bilang, besok Anda harus datang! Hari ini Anda menolak jamuan saya, dan itu sungguh melukai perasaan saya sebagai tuan rumah! Besok, saya akan menyiapkan sesuatu yang tak mungkin Anda tolak!”

Itu semacam tantangan. Lalu Hazel berlari cepat-cepat pergi.

Albert Count tak kuasa menahan diri. Ia berbalik. Dari kejauhan, tampak bayangan gadis itu menghilang di balik jalan setapak Taman Agung.

Ia mengernyit.

“Gadis ini…… apa maunya sebenarnya?”

Sementara itu, Hazel yang berlari pulang langsung menuju halaman belakang. Ia mengisi keranjang penuh dengan hasil panen terbaik.

Dipilih, dibersihkan, dijemur. Sambil bekerja, Hazel merenung.

Perlu kudampingi dengan kudapan.

Biskuit dari “kotak harta karun” memang lezat, namun untuk jamuan, ia merasa terlalu sederhana. Hazel sedikit menyesal, seharusnya lebih bersungguh-sungguh menyiapkan hidangan.

Ia masih punya tepung dan gula. Ada juga mentega yang kualitasnya cukup bagus, meski bukan buatan ladang sendiri. Hanya saja, bahan utama kurang. Maka Hazel kembali keluar rumah.

Lucunya, meskipun ada Larangan Bicara, para prajurit istana sama sekali tak menghentikan seorang gadis berkeranjang dan bertopi jerami berjalan di dalam Taman Agung. Para bangsawan yang kebetulan lewat pun hanya melirik sekilas lalu berpaling begitu saja.

Itu sungguh memudahkan. Hazel bisa bebas menjelajah taman istana tanpa diganggu. Hingga akhirnya, ia menemukan yang dicari.

Di sudut tersembunyi Taman Labirin, semak-semak dipenuhi stroberi liar.

Kecuali yang berada dalam pagar, rumah kaca, atau taman pribadi para pangeran, buah-buah itu boleh dipetik. Lebih baik begitu daripada dibiarkan jatuh ke tanah lalu terinjak. Hazel masih ingat—saat kecil ia pernah mendengar seorang pelayan tua menjelaskan hal itu kepada para turis ketika ia berkunjung bersama kakeknya.

“Bagus sekali!”

Hazel bersorak kecil, lalu mendekati semak stroberi.

Namun tepat saat itu—

“……Entahlah. Bagaimana bisa memetik bintang tanpa menengadah ke langit?”

Dari balik kegelapan, muncul sekelompok gadis bangsawan dalam gaun mewah. Mereka kebetulan memilih bangku tepat di depan semak stroberi, berceloteh riang.

“Katanya, pesta dansa nanti beliau akan masuk bersama Lady Arpège, bukan? Ah, betapa iri rasanya.”

“Apa yang pantas diirikan? Beliau hanya tak tahu isi hati sepupunya itu. Kalau sampai ketahuan bahwa Lady Arpège diam-diam mencintainya, tentu Baginda akan menjauhkannya segera.”

“Namun tetap saja, pada akhirnya Lady Arpège yang akan mendapatkan Baginda. Beliau sangat cerdas menyembunyikan perasaan, dan di samping itu…… sungguh cantik jelita. Seumur hidup, belum pernah kulihat yang secantik itu. Seandainya bisa hidup dengan wajah seperti itu walau hanya sehari.”

“Aku juga. Hanya sehari saja menjadi Athena Arpège, dan berjalan bergandengan dengan Baginda.”

“Bukan itu harapanku. Andai saja Baginda bukan seorang Kaisar, melainkan kesatria biasa…… atau bahkan orang miskin sekalipun, aku akan lebih bahagia.”

“Oh, Nona Langford yang malang! Rupanya kau jatuh cinta begitu dalam. Jangan sampai seorang pun mengetahuinya. Kalau ingin terus melihat Baginda dari kejauhan, rahasiakan baik-baik.”

Terkadang mereka menghela napas sendu, lalu tertawa cekikikan sambil terus mengobrol.

Hazel hanya bersembunyi diam-diam dalam kegelapan. Bukan karena takut ketahuan. Bukan pula karena tertarik mendengarkan gosip istana.

Satu-satunya alasan: kalau ia muncul tiba-tiba, gadis-gadis itu pasti kaget dan berdiri tergesa-gesa—lalu stroberi yang ranum itu akan jatuh dan terinjak.

Bagi Hazel, yang terpenting tetaplah hasil panen.

Setelah cukup lama, para gadis itu pergi juga.

Hazel segera maju dan memetik stroberi. Karena tak pernah tersentuh tangan siapa pun, buahnya besar-besar dan montok. Ia memetik hingga keranjang penuh, lalu tersenyum puas menatapnya.

“Ini sudah cukup.”

Menyusuri taman yang masih basah oleh embun malam, ia kembali pulang dan mulai bekerja serius.

Mengupas, menyangrai, menumbuk jadi bubuk, membuat adonan, memanggang…… ia sibuk tanpa henti. Hingga tanpa disadari, cahaya fajar telah perlahan menyinari langit.

***

Dalam remang cahaya fajar itu, Menteri Dalam Negeri gelisah di pembaringannya.

Kali ini Anda tidak akan bisa menolak!

Ucapan nyaring dari seorang nona bangsawan jatuh miskin yang berani menduduki lahan tepat di samping taman pribadi Yang Mulia Kaisar, terus berputar-putar di kepalanya.

Apa maksudnya itu sebenarnya?

Ia berguling ke kiri, lalu ke kanan, hingga akhirnya bangkit berdiri.

Bagaimanapun hari ini ia memang harus bangun lebih awal. Sebelum rutinitas pagi dimulai, ia akan segera mengusir penjajah tak tahu malu itu. Setelah itu, ia akan melapor pada Kaisar: “Sudah ditangani bersih.”

Menteri Dalam Negeri bergegas bersiap dan meninggalkan kediamannya.

Di depan bangunan utama istana, pasukan penjaga sedang melakukan upacara pergantian jaga. Ia lewat sambil berkata sepintas pada komandan:

“Datanglah sebentar lagi ke lokasi proyek Taman Agung sebelum kau istirahat. Akan ada pekerjaan pembongkaran.”

“Baik, Yang Mulia.”

Ia pun mempercepat langkah, menyusuri jalan setapak yang berkilauan karena embun, hingga memasuki sebidang kecil tanah yang dikelilingi pagar sementara.

Rumah reyot itu tampak sunyi.

Bagus. Tak perlu repot membangunkan penyusup itu, cukup sekali berkeliling saja ia akan menemukan puluhan pelanggaran.

Perlahan ia mendorong pintu masuk—dan langsung membeku di tempat.

“Selamat datang.”

Hazel, yang duduk di meja makan, segera berdiri. Meski ada bayangan gelap di bawah matanya—tanda ia begadang—ekspresinya justru penuh semangat.

“Tadi malam saya sudah bilang, kan? Kali ini Anda tidak mungkin bisa menolak!”

Sambil berkata begitu, Hazel menunjuk hidangan di atas meja.

Itu adalah kopi.

Aroma pekatnya mengepul dari cangkir putih. Seluruh rumah dipenuhi wangi yang harum dan dalam.

Menteri Dalam Negeri sontak berang.

“Kurang ajar! Kau tahu aku tidak bisa minum kopi!”

Hazel hanya mengedipkan mata jenaka.

“Cobalah dulu. Ini berbeda.”

“……”

Sebenarnya, hidungnya yang peka sudah lebih dulu menangkapnya. Ada sesuatu yang lain dari kopi ini. Tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tapi jelas berbeda.

Dan sepertinya tidak berbahaya.

Ia pun meraih cangkir hangat itu hati-hati.

Kapan terakhir kali ia minum kopi?

Aroma dalam itu terasa begitu menyentuh hati. Dengan penuh perasaan, Count Albert—Menteri Dalam Negeri—menyesap seteguk.

Lalu terkejut.

“Apa ini?”

Hazel menjawab:

“Itu kopi rakyat biasa.”

“Kopi rakyat biasa?”

“Kopi dari akar chicory.”

Mata Hazel berbinar. Albert menatapnya dengan wajah linglung.

“Chicory…? Chicory itu….”

Ia mengorek ingatan dari pojok terdalam ensiklopedia pengetahuannya yang jarang dipakai.

Chicory: gulma liar yang tumbuh berkelompok di mana saja.

Dan itu yang dijadikan kopi?

Ia kembali menyesap, masih sulit percaya.

Rasanya pekat namun lembut, dengan kehangatan yang menenangkan. Lidah dan hidungnya sepakat: ini benar-benar kopi.

“Bagaimana mungkin?”

“Kalau akar chicory disangrai lalu ditumbuk jadi bubuk, bisa dipakai sebagai pengganti kopi. Rasanya mirip sekali. Memang ada sedikit perbedaan, tapi saya tahu cara menyangrai agar hasilnya menipu lidah.”

“Begitu rupanya….”

Ia terkesiap.

Tunggu. Aku ini sedang apa?

Terlena pada kopi, ia baru sadar sudah melanggar titah Kaisar sendiri—berbicara dengan nona yang dikenai larangan berbicara!

Wajah Albert memucat. Ia panik.

Namun Hazel dengan santai menunjuk ke meja.

Di sana terletak sebuah topi jerami.

Jelas-jelas sudah diletakkan sebelumnya dengan sengaja. Supaya kelihatan seolah-olah ia sedang bicara dengan topi itu, bukan dengan pemilik rumah.

Ya ampun. Gadis ini….

Albert merasa seolah sedang disihir.

Entah bagaimana, tahu-tahu ia sudah duduk di kursi, memegang cangkir dengan kedua tangan, menyesap lagi dan lagi.

“Hah! Baru sekarang aku merasa hidup kembali!”

Pujaan pun meluncur tanpa bisa ditahan.

“Selama ini aku begitu merindukan rasa dan aroma ini! Memang benar… aku pecandu kopi. Meski istana penuh hiruk-pikuk, secangkir kopi bisa membuatku kuat kembali. Aku bisa minum enam sampai delapan cangkir sehari!”

“Wah! Pantas saja Anda sampai sakit.”

“Benar. Pada akhirnya aku tersiksa oleh pusing, mual, jantung berdebar, dan insomnia. Dokter bahkan memperingatkan aku bisa mati mendadak jika tak segera berhenti. Sejak hari itu, nerakaku dimulai. Betapa menyiksanya hidup tanpa kopi! Dan yang paling menusuk hati adalah ketika para bawahan setiap kali heboh menyingkirkan cangkir kopi dari hadapanku, seolah aku makhluk rapuh!”

Ia mengeluh panjang lebar pada topi jerami.

“Kadang aku memang tergoda mencuri beberapa teguk. Tapi tiap kali perutku melilit, jantungku berdebar. Namun… kopi ini berbeda. Minum sebanyak apa pun tetap nyaman di lambung!”

“Benar sekali.”

Hazel tersenyum.

“Chicory itu sayuran menyehatkan. Akar chicory membantu pencernaan dan menguatkan perut. Kopi chicory adalah kopi rakyat jelata. Karena tak mampu membeli kopi mahal, rakyat miskin menemukannya. Dan ternyata menyehatkan pula—bukankah itu hadiah alam? Gulma yang tampak tak berguna pun ternyata ada gunanya.”

Albert tertegun.

“Ya Tuhan… sekarang aku paham! Jadi begitu maksudnya!”

“Apa maksudnya?”

“Untuk menyangrai akar, menggilingnya jadi bubuk, lalu menyeduhnya, pasti butuh kerja keras. Kau melakukan semua itu hanya demi memberiku pelajaran, ya? Balas dendam karena aku semalam mengatakan pertanian itu tak berguna?”

“Hah?”

Kali ini Hazel yang bingung.

“Tidak, bukan karena itu.”

“Bukan?”

Albert menatap curiga.

“Lalu untuk apa?”

“Memang, kata-kata Anda sempat membuat saya sakit hati. Tapi saya cepat melupakannya.”

Hazel menatap lurus dan menjawab:

“Alasan saya membuat kopi chicory semalaman… hanya karena Anda adalah tamu di Maronnier Farm. Tamu pertama, malah. Jadi saya ingin menyuguhkan sesuatu yang benar-benar Anda sukai.”

Lalu ia tersenyum lebar.

“Balas dendam? Tidak masuk akal. Saya hanya melakukan apa yang saya suka. Saya mencintai pekerjaan bertani. Baru kemarin lusa saya masih ditegur atasan karena salah hitung di meja akuntansi. Sekarang saya merasa benar-benar bahagia!”

Albert terdiam, menatapnya tak berkedip.

“Ngomong-ngomong, soal jamuan… kemarin saya benar-benar kurang sopan. Memalukan bagi seorang pemilik kebun.”

Hazel berputar.

Di meja dapur dekat tungku, ada pai besar berisi stroberi liar. Sudah didinginkan secukupnya agar hangat manis buahnya menyatu dengan kulit pai yang gurih.

Setiap kali menyajikan makanan seperti ini, Hazel selalu merasa lebih agung daripada ratu.

“Ini cocok sekali dengan kopi. Silakan cicipi.”

Tak ada yang lebih membahagiakan Hazel selain melihat orang menikmati masakan buatannya.

Melihat mata gadis itu berbinar penuh harap, Albert jadi kikuk. Ia bukan penggemar manis. Haruskah ia berpura-pura?

Namun setelah mencicipi sepotong kecil, ia kembali terkejut.

“Tidak terlalu manis! Manisnya lembut, alami. Kau tidak pakai gula, bukan?”

“Tentu. Buah stroberinya sendiri sudah manis. Tahukah Anda dari mana buah ini dipetik? Dari Taman Agung Yang Mulia Kaisar sendiri.”

“Benarkah?”

“Saya tunjukkan tempatnya kalau mau….”

Obrolan pun berlanjut hangat, dengan topi jerami sebagai perantara. Tanpa sadar, setengah pai besar habis, dan tiga cangkir kopi chicory pun tandas.

“Silakan tambah lagi secangkir!”

“Tidak, cukup. Aku kenyang sekali.”

Albert menepis halus. Wajahnya yang tadi pucat kini bersemu merah segar.

Hazel mengangguk.

“Bagus. Sekarang Anda siap mendengar.”

“Eh? Bukankah kita sudah bicara dari tadi?”

“Sekarang saatnya pembicaraan penting. Tolong dengarkan saya. Saya yakin Anda akan paham jika dijelaskan perlahan. Saya akan buktikan bahwa tanah ini memang sah milik saya. Saya tidak berniat menjual mahal. Saya sungguh ingin bertani di sini.”

“……Aku tahu.”

“Maaf? Anda bilang apa?”

“Tampaknya aku sudah salah besar.”

Count Albert, Menteri Dalam Negeri, merasa sangat malu.

Betapa memalukan dirinya semalam datang dan membentak tanpa tahu apa-apa. Betapa menyedihkannya ia sekarang harus berpura-pura berbicara dengan topi jerami, karena tak sanggup menatap mata jernih Miss Mayfield yang hanya dipenuhi ketulusan.

“Aku pergi dulu.”

“Eh? Sudah? Tunggu sebentar!”

Hazel cepat-cepat menyodorkan sesuatu: bungkusan bubuk kopi chicory hasil semalam suntuk, serta sebuah keranjang berisi pai stroberi besar.

Albert menerimanya dengan bingung, lalu melangkah keluar.

Di luar, komandan penjaga menunggu bersama pasukannya.

Melihat sang menteri keluar dengan wajah kosong, ia segera memanggil:

“Yang Mulia! Count Albert!”

“Apa?”

“Anda memanggil kami untuk pembongkaran, bukan?”

“Ah, benar.”

Albert mengibaskan tangan.

“Bubar.”

“Eh?”

Komandan bingung menatap punggungnya. “Yang Mulia!” ia memanggil lagi.

Namun Albert, yang memeluk keranjang erat-erat, sudah tenggelam dalam pikirannya sendiri dan tak mendengar apa pun lagi.

***

Gungnaegwan Cecil melirik penuh waswas ke arah atasannya.

Ia sudah siap menerima amarah besar gara-gara urusan lahan nomor 79. Tapi, betapa terkejutnya dia ketika melihat sang Menteri Istana yang dihormati masuk kerja dengan wajah berseri-seri, pipi bersemu merah, nyaris bercahaya. Seperti masa-masa ketika beliau bisa minum kopi sepuasnya.

Jangan-jangan… sudah melanggar pantangan?

Tidak, itu mustahil. Kalau benar beliau minum kopi, kondisinya pasti parah—langsung sakit perut dan kalang kabut.

Kalau begitu, kenapa tampak begitu baik-baik saja?

Seketika Cecil didera pikiran mengerikan.

Cahaya terakhir sebelum padam—fenomena ketika seseorang tampak lebih baik sesaat sebelum menempuh jalan tanpa kembali.

Oh, jangan sampai begitu.

Cecil bergidik ngeri.

Sang atasan memang menakutkan, tapi bagaimanapun dia benar-benar menghormatinya. Semua pejabat istana pun sama. Jadi tolonglah, jangan sampai……

“……Sempurna.”

Suara itu membuat Cecil terlonjak kaget.

“Maaf, apa tadi?”

“Sangat sempurna. Luar biasa.”

“Err… bukannya mungkin maksud Anda laporan saya?”

“Jauh sekali. Maksudku pai ini.”

Baru saat itu Cecil menyadari ada piring kecil di meja sang Menteri Istana. Atasan yang garang itu sedang menikmati potongan pai dengan wajah puas, seakan menyantap sesuatu yang sungguh lezat.

“Pai apa itu? Sepertinya baru pertama kali saya lihat.”

“Buah beri semak. Kau tahu tidak, di taman agung Yang Mulia ternyata tumbuh begitu banyak buah beri semak?”

“Tidak, saya sama sekali tidak tahu.”

“Aku pun tak tahu. Hm… benar. Memang sudah lama tidak ada.”

“Yang tidak ada itu buah berinya?”

“Apa maksudmu! Orang ini sungguh lucu! Maksudku, orang yang menarik sudah lama tidak ada! Buah beri semak jelas-jelas banyak, barusan juga kubilang! Bagaimana bisa sebegitu lamban berpikir! Benar-benar tidak ada gunanya……”

Kata-kata yang sudah jadi kebiasaan itu mendadak terhenti.

“Aku putuskan untuk tidak lagi mengucapkan kalimat itu.”

Mata Cecil membelalak.

Dan kejutannya belum selesai.

Sang Menteri Istana tiba-tiba membatalkan semua pekerjaan mendesak, lalu mengambil buku tebal beribu halaman, Kitab Hukum Agung Istana.

“Anda kan sudah hafal luar kepala, kenapa dibuka lagi?”

“Ada hal yang ingin kupastikan.”

Baru setelah lama membolak-balik, ia menemukan bagian tertentu, mengangguk-angguk puas.

“Benar juga, ternyata begini.”

Lalu ia tersenyum tipis.

“Sepertinya angin baru akan berhembus di istana……”

***

Angin berembus, menyapu sapu lidi yang berdiri di luar hingga roboh.

Hazel bangkit dari pekerjaannya menjahit seprai. Saat membuka pintu, sesuatu menyentuh kakinya.

Keranjang yang kemarin ia serahkan pada sang Menteri Istana. Saat diangkat, terdengar bunyi berkeresek dari dalamnya.

Ia membuka penutupnya.

Di dalamnya ada amplop tebal bertuliskan:

“Dari Count Lysander Albert, Menteri Istana, kepada Si Topi Jerami.”

“Beliau ternyata orang yang cukup menarik.”

Hazel pun membuka amplop itu.

Surat yang ditulis dengan huruf indah berlembar-lembar itu dimulai dengan menanyakan kabar si Topi Jerami. Apakah ada jerami yang copot, apakah ada serangga yang mengganggu… begitu penuh perhatian.

Lalu beliau meminta maaf atas kejadian semalam. Katanya, seharian ia tak sempat meneguk setetes kopi pun, sementara harus menghadapi atasan keras kepala yang tak mau mendengarkan nasihatnya. Akibatnya, sarafnya benar-benar tegang.

“Oh, tentu saja saya mengerti. Sangat paham.”

Hazel pun teringat kepala bagian bank kota Rochelle yang menyebalkan, dan ikut merasakan hal serupa. Lalu ia membalik halaman berikutnya.

Di sana, Menteri Istana menuliskan sebuah kisah lama untuk dibagikan pada si Topi Jerami.

Hazel membaca dengan mata berbinar, semakin lama semakin terbelalak.

Hingga akhirnya ia tak kuasa menahan diri, bangkit berdiri dengan terburu-buru. Satu-satunya kursi di rumahnya jatuh tergeletak, tapi ia tak sempat memedulikannya. Ia berlari keluar rumah.

***

Pegawai Istana, Marianne, kebetulan melihat ke luar jendela, lalu terpekik.

“Astaga! Astaga!”

Seorang gadis berambut cokelat gelap mengenakan topi jerami tengah berjalan mendekat.

Bagi Marianne, itu memang pertama kali bertemu muka. Tapi ia bisa segera mengenali karena sudah ada surat edaran resmi lengkap dengan ciri-cirinya.

“Apa yang harus kita lakukan?”

“Ya sudah jelas, ikuti petunjuk. Abaikan saja. Kalau dia bicara, pura-pura tidak dengar.”

Para pegawai sudah bersiap. Namun begitu Hazel masuk dan menaruh dokumen di meja dengan bruk! keras, semuanya terlonjak kaget.

Hazel berkata:

“Kalau saya memang tak terlihat, setidaknya dokumen ini masih bisa terlihat, bukan?”

Itu masuk akal. Para pegawai pun ragu-ragu menunduk membaca dokumen itu—dan langsung terperanjat.

‘Formulir Permohonan Pembukaan Salon Istana’.

Begitu tertulis di sana.

“Di dalam istana memang tidak boleh ada lahan pribadi, tapi ada satu pengecualian. Yaitu salon para bangsawati. Undang-undang itu dibuat oleh Ramstein II, yang mendorong hadirnya budaya baru melalui salon-salon berpengaruh. Meski sudah lama dilupakan, secara hukum masih berlaku penuh. Jadi, tidak seorang pun bisa mengusir saya. Kalau ada yang keberatan, silakan sampaikan langsung pada si Topi Jerami ini.”

Tak seorang pun bisa membantah.

Hazel pun semakin percaya diri.

Terima kasih, Yang Mulia Menteri Istana.

Dalam hati ia mengucapkan rasa syukur, lalu pulang. Di bawah papan nama besar bertuliskan Pertanian Chestnut, ia menambahkan tulisan kecil dengan kapur:

‘Salon’.

Hazel Mayfield tersenyum puas.

 

Nunaaluuu Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review