Jumat, 29 Agustus 2025

6. Pemandangan Pesta Dansa dengan Jamuan Awal Musim Panas

Di balik pepohonan rindang, melampaui kolam sebening cermin, berdirilah deretan bangunan megah Istana Kekaisaran.

Albert, Count sekaligus Menteri Dalam Istana, melangkah masuk ke jalan setapak yang dibatasi deretan pohon peneduh hijau pekat seperti dinding.

Saat mata mulai lelah oleh taman geometris dengan topiari berbentuk kerucut yang berjajar rapi, tampak pagar kayu di antara pepohonan lanskap. Di baliknya, terbentang kebun sayur hijau segar, dan sebuah rumah kecil nan sederhana berdiri di sana.

Sungguh pemandangan yang menyenangkan!

Menteri Dalam Istana itu tersenyum puas.

Ia benar-benar senang menyadari bahwa dirinya ikut berperan dalam perubahan kecil yang terjadi di istana besar ini. Tanpa sadar, ia bahkan bersenandung kecil. Akhir-akhir ini ia sering begitu. Melihat angin perubahan yang mulai bertiup di berbagai sudut membuatnya bersemangat untuk berangkat kerja setiap hari.

Maka ia pun mempercepat langkahnya menuju kebun kecil di dalam istana itu.

***

Matahari sudah cukup terik—musim panas mulai tiba.

Namun di dalam rumah teduh itu, terasa sejuk dan tenang.

Tak jauh dari sana, rumah para menteri dipenuhi suara debat dan derap sepatu baja para pengawal, tetapi angin yang berhembus ke arah rumah kecil itu seakan menyingkirkan semua kebisingan. Dari jendela yang terbuka lebar, hanya tirai putih tipis yang berkibar pelan.

Hazel sedang tertidur di meja makan, tepat di samping jendela itu.

Di peti kayu—yang sudah diganti dua kali—anak-anak ayam yang kakinya memanjang dan ekornya mulai tumbuh bulu, juga sedang terlelap. Hanya Tiberius, yang entah kenapa pertumbuhannya jauh lebih lambat, tetap kecil sendirian.

Ketenangan damai itu segera dipecah oleh sebuah suara.

Tok! Tok!

Tamu tak sabaran itu mengabaikan sopan santun mengetuk, dan langsung masuk bersamaan dengan bunyi ketukan.

“Nona Mayfield! Ini bukan saatnya tidur siang!”

“Hah?”

Hazel melonjak kaget.

“Hujan turun? Atau ada percobaan cuaca?”

Masih setengah sadar, ia mengigau.

Namun tidak. Di luar jendela, langit tetap cerah. Kelopak matanya kembali hendak terpejam.

“Nona Mayfield!”

“Ah, Count Menteri Dalam!”

Barulah Hazel benar-benar terbangun.

“Maafkan saya. Ada nenek di pasar yang memberi kacang, jadi saya masak dengan kuah daging… kebanyakan makan, jadinya mengantuk.”

“Sekarang bukan waktunya bicara santai begitu!”

Menteri Dalam Istana membentak.

“Pertama-tama, selamat. Pesta teh pembukaan salon, L’Ouverture, berhasil besar. Di mana-mana terdengar kabar baik. Tapi jangan terlena! Itu belum bisa disebut keberhasilan. Nona Mayfield baru berdiri di garis awal. Jangan lupa, hanya belum lama ini status Anda adalah yang paling rendah, terkena larangan bicara. Dengan sukses pesta teh itu, barulah terbuka jalan sehingga Anda dianggap ‘seorang debutan baru’. Kini Anda memang sibuk mengelola kebun ini, tapi tanpa ada pihak yang benar-benar mendukung, posisi Anda bisa tersapu habis kapan saja. Dan bukan hanya soal perkenan Kaisar—tempat ini adalah medan perang. Musuh ada di mana-mana. Karena itu, gunakan kesempatan ini untuk memperkuat fondasi. Tinggalkan jejak nyata di kalangan sosial, bangun jaringan sebanyak mungkin…”

Kata-katanya, yang semula meluncur deras, perlahan melambat.

Semilir angin masuk dengan lembut.

Meja kayu tua yang digosok mengilap hingga memantulkan bayangan awan. Peralatan dapur dan peranti makan yang bersih berkilau. Kebun hijau di luar jendela. Bunga-bunga liar kecil bermekaran di tepi ladang…

Semuanya seolah berbisik.

Kenapa harus terburu-buru? Nikmati saja dengan tenang.

Dan tepat pada saat itu, secangkir teh tersaji di hadapannya.

“Ini teh apple-mint yang saya sajikan di pesta teh. Karena Count tidak sempat hadir waktu itu, silakan coba sekarang.”

“Ah, kebetulan sekali! Grace, petugas protokol itu, begitu heboh menceritakan. Katanya ia heran bagaimana bisa memetik rumput di kebun lalu diseduh jadi teh. Orang kota memang! Bisa jadi Grace bahkan tak tahu kalau wortel dalam kue wortel kesukaannya itu sebenarnya tanaman.”

Menteri tertawa sambil mengambil cangkir.

Namun sebenarnya, minuman ini asing baginya. Baginya, minuman sejati hanyalah kopi.

Apple-mint? Bukankah itu terdengar terlalu eksperimental? Bagaimana kalau pahit atau amis?

Ia meneguk sedikit dengan ragu.

Dan Hazel, seperti biasa, tak mengecewakannya.

Rasanya seperti semilir angin segar yang menyapu kepala, nafas pun jadi wangi.

Aroma apel tidak berlebihan, hanya sekadar menyapa, “Aku apel.” Lalu berpadu lembut dengan aroma mint. Segar, jernih, dan menenangkan.

“Luar biasa. Rasanya seperti segala beban hati terangkat…”

Wajahnya benar-benar tampak damai, membuat Hazel ikut senang.

“Minumlah sepuasnya. Seandainya ada es, pasti lebih nikmat. Tapi kecuali untuk pesta teh, saya tak bisa bermewah-mewah begitu.”

“Tidak. Ini sudah cukup segar. Justru bagus karena tidak terlalu dingin…”

Menteri terhenti sejenak.

Kata-kata Hazel mengingatkannya kembali pada tujuan kedatangannya: mendorong gadis polos ini untuk melangkah ke tahap berikut.

“Ah iya, Count! Keranjang itu sudah diterima kan? Saya bingung cara menyerahkannya, tapi kebetulan bertemu Cecil, jadi saya titipkan.”

“Sudah tentu! Kebetulan sekali, persediaan chicory coffee saya hampir habis. Kau mengirim tepat waktu! Berkat itu, saya bisa terus berjuang. Dan kue kacang kenari yang ikut kau kirim, rasanya sungguh pas di lidahku…”

Menteri terkekeh sambil berbasa-basi, lalu mendadak mengeraskan wajah.

“Tapi Nona Mayfield. Terlalu sering bermurah hati begitu tidak baik. Kebun Marronnier ini masih baru, masih belajar berjalan. Harga-harga di ibu kota mahal, dan pemasukan hampir tak ada. Sampai kebun ini benar-benar mapan, kau perlu mencari sumber lain. Misalnya… lewat sebuah kompetisi.”

“Benar! Seperti kontes babi unggul. Saya cukup percaya diri. Memang sedang mencari tahu…”

Hazel meraih koran tiga hari lalu yang ia pungut di taman, tapi menteri buru-buru menepuknya.

“Bukan itu! Mengapa cari jauh, padahal ada yang lebih cocok di dekatmu? Kompetisi memasak. Bidang yang Nona Mayfield sangat kuasai.”

“Kompetisi… memasak?”

“Ya. Sebenarnya bukan kompetisi resmi, lebih tepatnya hiburan dalam acara Bal Bunga yang akan segera digelar. Tradisinya berasal dari kebiasaan para nona bangsawan yang menyiapkan hidangan keluarga untuk dipersembahkan kepada Maharatu atau Permaisuri. Meski keluargamu telah jatuh, kau sekarang adalah lady salon resmi, jadi sah ikut serta. Juri akan menilai rasa masakan dan memilih pemenang utama. Hadiahnya sebuah cincin emas.”

“Cincin emas?”

Hazel langsung terperangah.

“Itu emas asli, kan?”

“Tentu! Hanya saja ada lambang negara yang membuat nilainya sedikit berkurang, tapi menjualnya takkan sulit. Kalau berminat, temui Kepala Dayang jam tiga nanti untuk mendaftar. Datang saja ke gedung utama istana, mereka akan membantu.”

“Terima kasih! Terima kasih banyak!”

“Syukurlah kalau bermanfaat. Kalau ada kesempatan lain untuk menghasilkan uang, akan saya kabari juga.”

Menteri puas meregangkan badan.

“Ah, malas rasanya beranjak. Ini sungguh istirahat yang menyenangkan. Ada lagi yang ingin ditanyakan?”

“Tidak ada… ah, tunggu sebentar.”

“Katakan saja.”

Hazel hendak bertanya sesuatu, tapi bibirnya terhenti tepat sebelum kata-kata itu keluar.

“Tidak, bukan apa-apa.”

“Hm? Tak apa, kapan pun bisa ditanyakan.”

“Ya, terima kasih.”

Setelah mengantarnya pergi, Hazel duduk kembali di meja.

Meski pesta teh berjalan sukses, ada satu hal yang masih mengganjal.

Sir Valentine.

Ksatria itu yang muncul tiba-tiba di tengah malam, memberi bantuan, lalu menghilang. Sejak itu Hazel tak pernah lagi melihatnya. Padahal pesta teh sukses berkat pertolongannya, ia bahkan belum sempat mengucapkan terima kasih.

Tadi ia hampir saja menanyakannya pada Menteri Dalam, yang pasti punya jaringan luas. Tapi itu berbahaya. Menteri itu terlalu tajam. Lagi pula, Valentine membantu dengan mempertaruhkan posisinya. Kalau sampai ketahuan, ia bisa makin terjepit.

Apa yang harus kulakukan? Aku harus mengucapkan terima kasih…

Hazel resah. Tanpa sadar, ia mulai menggambar sosok ksatria itu di kertas. Saat tersadar, buru-buru menaruh pena.

Oh, benar. Aku harus segera mendaftar ke kompetisi itu.

Ia pun bangkit berdiri dengan semangat.

***

Di koridor utama istana, berjajar banyak ruangan.

Masing-masing ruangan memiliki julukan sesuai sejarah atau dekorasi interiornya—seperti Ruang Cermin Perak, Ruang Burung Bulbul, atau Kamar Putri Agung Anne. Tidak ada yang secara resmi menamai ruangan-ruangan ini, namun dari waktu ke waktu mereka berubah-ubah fungsi: kadang jadi ruang audiensi, kadang ruang rapat, kadang ruang tunggu. Dengan begitu, mereka seakan hidup, dan semuanya berfungsi sebagai pusat politik.

Sesil, seorang pejabat istana, lahir dari keluarga cendekiawan. Ia tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di medan perang. Namun, setiap kali memasuki koridor ini, ia merasa seakan sedang maju berperang. Di sinilah berbagai kepentingan saling berbenturan. Terutama saat percikan pertempuran benar-benar membara—yaitu ketika penguasa tertinggi negeri ini muncul, seperti sekarang.

“Paduka Yang Mulia!”

Sejak pagi, Marchioness Oclair sudah menunggu. Tanpa peduli pada kehormatan diri, ia berlari sambil mengangkat sedikit rok gaunnya. Dengan tangan lainnya, ia menggenggam erat pergelangan tangan seorang gadis berambut merah.

Entah kenapa, Sesil selalu teringat turnamen jousting setiap kali melihat pemandangan seperti ini—dua kesatria saling bertarung dengan latar padang luas.

“Marchioness Oclair.”

“Ya, Paduka! Seperti yang pernah hamba sampaikan, keponakan cantik hamba kini datang ke ibu kota dan akan tinggal di sini mulai sekarang. Cepatlah, Nak! Segeralah memberi hormat pada Paduka!”

“Na… nama saya… Rozeti Chernie.”

“Paduka dengar, bukan? Nama Chernie pasti memberi kesan istimewa sekaligus hangat di telinga Paduka. Dia adalah cucu dari kesatria setia yang gugur saat mempertahankan Kastil Antou. Mohon Paduka berkenan mengingat anak ini.”

“Ah, Nona Chernie.”

Sekilas, Iscandar menatap Rozeti—gadis berambut merah indah yang wajahnya merona malu-malu. Sesaat, mata Marchioness Oclair berkilau penuh harapan. Namun—

“Tentu saja aku akan mengingatnya.”

“Oh! Paduka! Betapa mulianya!”

“……hingga hari aku mati. Pertemuan singkat ini akan selalu kuingat.”

Sang Kaisar meletakkan tangan di dadanya dengan gerakan teatrikal, lalu tersenyum sempurna tanpa cela, sebelum berbalik pergi.

Crasshh!

Semua orang seolah mendengar suara itu—suara harapan yang runtuh.

Tiga menit duel penuh keberanian Marchioness Oclair, yang bahkan berani menghalangi jalan Kaisar dengan seluruh pengaruh dan kekuasaan yang dimilikinya, berakhir dengan kekalahan. Namanya pun ditambahkan ke daftar panjang para pecundang.

Namun tinta catatan itu bahkan belum kering, ketika pasukan penyerbu berikutnya datang.

“Paduka Yang Mulia!”

Kali ini para imam dari Kuil Agung. Mereka berlari tergesa, mengangkat tinggi sebuah benda yang mirip akar pohon kering.

“Dari Mariscal, kami membawa Tangan Palatino I. Tampaknya mukjizatnya telah pudar, sebab bahkan penderita penyakit kulit tidak mendapat kesembuhan meski menyentuhnya. Kami mohon Paduka memberkati tangan ini agar kembali suci.”

“Oh, begitu?”

Iscandar menerima relik suci itu—dan krek!—membelahnya jadi dua.

“Sudah kuberikan berkat.”

“Paduka!!”

Para imam menjerit ngeri.

“Sebaliknya, kirim bantuan medis ke Mariscal.”

Belum sempat mereka membalas, sang Kaisar sudah lenyap.

Dalam sekejap, koridor medan perang ini dipenuhi para pecundang. Sesil hanya bisa menyunggingkan senyum getir.

Semua orang yang berkumpul di sini bukanlah orang biasa. Saat Kaisar yang bahkan belum genap dua puluh tahun naik takhta, mereka semua yakin bisa dengan mudah mengendalikan anak muda itu sesuai kepentingan masing-masing.

Namun ternyata tidak. Mereka segera sadar bahwa selama ini sang putra mahkota hanya berpura-pura jinak. Begitu memperoleh kekuasaan mutlak, ia menghancurkan setiap kepentingan yang terlalu gamblang tanpa ampun.

Beberapa waktu lalu, ketika Kaisar sempat bersitegang dengan Dewan Penasihat Negara—satu-satunya lembaga yang ia perhitungkan—mereka mengira semangatnya akan meredup.

Ternyata salah besar. Akhir-akhir ini justru terlihat ia semakin matang, bahkan lebih kuat dan berbahaya.

Siapa yang sanggup menundukkan semangat seperti itu?

Sesil terhenti dalam lamunan—karena orang di depannya juga berhenti mendadak.

Pemandangan tak masuk akal terpampang di depan mata. Kaisar berdiri kaku, bak patung batu. Tatapannya terpaku pada sesuatu di kejauhan.

Segera Sesil mengikuti arah pandangnya.

Siapa yang ada di sana?

Namun, yang terlihat hanya beberapa pelayan istana. Sepertinya seseorang baru saja berbelok di tikungan.

Ia mengucek mata, tapi orang itu sudah lenyap di balik sudut.

“Apa itu barusan?”

Saat Sesil kembali menoleh, Kaisar sudah tidak ada.

“Ah! Paduka tadi berpesan agar selalu dijaga erat! Paduka! Paduka!!”

Sesil panik mencari-cari.

Namun Iscandar kini sudah berada di koridor lain, menatap lurus ke arah kerumunan dengan tatapan penuh keterkejutan.

Di antara lautan seragam sutra dan gaun gemerlap, ada satu sosok yang mencolok karena kesederhanaannya—seorang gadis berambut cokelat gelap, membawa keranjang.

Tak salah lagi, itu Hazel.

Bagaimana mungkin?

“Bukankah sekarang seharusnya ia sibuk di ladang? Mengapa tiba-tiba ada di sini?”

Kebetulan, Lady Ilina—seorang pejabat istana—mendengar gumamannya. Biasanya ia selalu netral dalam politik, namun kali ini entah mengapa hatinya terusik.

“Paduka, seorang Lady dari Salon Istana berhak keluar-masuk Istana Agung sesuka hatinya.”

Suara Ilina yang tegas membuat Iscandar terperangah.

“Aku hanya benar-benar penasaran, itu sebabnya aku bergumam begitu!”

Tanpa sadar, suaranya meninggi.

Tepat saat itu, keributan terdengar dari depan.

“Nona Mayfield! Mau ke mana tiba-tiba? Jalannya ke arah sini!”

“Tunggu sebentar! Aku rasa ada orang yang kukenal di sana! Aku dengar suaranya!”

Langkah tergesa, suara sepatu menembus kerumunan.

Deg.

Iscandar kembali membeku.

Naluri penyelamatkan dirinya.

Ia adalah satu-satunya Grand Chevalier di kekaisaran ini. Saat perlu menyembunyikan keberadaan, ia bisa benar-benar melenyapkan jejak.

Tidak boleh ketahuan.

Begitu terlintas di pikirannya, tubuhnya bergerak sendiri. Dalam sekejap mata, ia sudah menghilang di balik daun pintu pastel dari pintu ganda koridor itu.

Bagaimana mungkin telinganya setajam itu? Dia manusia? Atau kelinci hutan raksasa dengan sihir polimorf?

Iscandar hanya bisa menggelengkan kepala heran sambil menajamkan pendengaran di balik pintu.

Sementara itu, Lady Ilina sama sekali tidak menyadari. Baginya, Kaisar seolah ditelan bumi. Ia kaget sesaat, namun segera merasa lega ketika melihat gadis berambut cokelat gelap muncul.

Betapa kebetulan yang ajaib!

Dengan tatapan lembut, Ilina menyapa Hazel. Wajahnya berbinar seakan berkata, “Barusan aku melawan demi dirimu, tahu? Aku berani membantah Kaisar sendiri demi membelamu….”

“Halo, Nona Mayfield.”

“Ah, Lady Ilina!”

Hazel agak gugup saat membalas salam itu.

Ia sebenarnya sedang mengikuti pemandu istana, tapi tadi ia yakin mendengar suara khas Sir Valentine—nada keras penuh protes yang tak mungkin salah. Itu pasti dirinya.

Namun setelah ia bergegas ke arah suara, ternyata tak ada siapa-siapa. Hanya Lady Ilina yang menyambutnya.

Hazel memang senang bertemu dengannya, tetapi ada hal yang lebih mendesak.

“Um… Lady, apakah tadi ada seorang ksatria di sini? Ke mana dia pergi?”

“Ksatria? Tidak ada. Di koridor ini tak ada seorang ksatria pun.”

“Benarkah?”

Hazel merasa kikuk. Rupanya ia hanya terbawa bayangan, mengira Sir Valentine ada di sini.

“Anda mencari seseorang? Ada yang mengganggu Anda?”

Ilina bertanya lembut.

“Ah… tidak. Maaf mengganggu.”

Hazel segera berpaling. Ia kembali mengikuti pemandu yang sudah menunggunya dengan cemas.

“Maafkan saya.”

Ilina menghela napas sambil menatap punggung Hazel yang menghilang di antara kerumunan. Lalu buru-buru mengingat tugasnya sendiri dan bergegas pergi.

Barulah Iscandar perlahan keluar dari balik pintu.

Nyaris ketahuan.

Wajahnya mengeras, pikirannya larut dalam perhitungan.

Hazel yang biasanya tak pernah meninggalkan ladang, tiba-tiba muncul di istana.

Ia tidak mungkin berubah pikiran begitu saja. Ada alasan besar yang membawanya kemari.

Ia harus mengetahuinya.

Baru dengan begitu, ia bisa mengatur langkah dan menyusun siasat.

Dengan langkah ringan namun penuh kewaspadaan, Iscandar mulai mengikuti arah Hazel pergi.

***

Di sebuah ruangan yang memajang piring raksasa bergambar adegan perburuan Sri Paus Kaspar IV,

ruangan itu—disebut Ruang Perburuan—kini dipakai sebagai tempat persiapan lomba memasak. Mulai saat ini, semua persiapan acara akan dilakukan di sana.

Karena keributan kecil tadi, Hazel tiba agak lewat, lebih dari pukul tiga. Begitu pelayan membuka pintu, tampak para gadis bangsawan seusianya sudah berbaris menunggu giliran.

Begitu ada orang baru masuk, perhatian pun tertuju padanya. Seorang gadis berambut rapi yang digelung cantik berteriak.

“Berani-beraninya datang ke istana dengan pakaian kasual begitu!”

“Rumahku sangat dekat, lho.”

Hazel menunjuk ke luar jendela.

“Kelihatan dari sana, kan?”

Wajah gadis itu langsung merah padam karena jengkel.

“Tapi sungguh, dari penampilanmu mirip sekali dengan pelayan…….”

“Diam!”

Sekelompok gadis mendadak meloncat maju, cepat-cepat menutup mulutnya.

Mereka adalah para putri bangsawan yang dulu pernah menyerbu meja pencuci mulut mentega. Kini wajah mereka pucat pasi ketika menatap Hazel.

“Namun bagaimana bisa berpakaian seperti itu…….”

“Bisu, cepat!”

“Dan membawa keranjang berisi buah aneh pula…….”

“Cukup!”

Setiap kali ada yang hendak mengejek Hazel, mulutnya langsung dibungkam. Tak seorang pun berani bersuara lagi.

Hazel sampai terbelalak.

Bagaimana mungkin seseorang bisa berubah sejauh ini?

Dadanya terasa hangat.

Mereka, yang dulu suka main kuasa dan penuh intrik, kini bisa jadi begitu jinak—hanya karena bersentuhan dengan tanah dan makanan sehat.

Hazel sama sekali tak tahu bahwa bagi mereka, pengalaman hari itu justru meninggalkan trauma. Dengan polos ia hanya tersenyum ramah.

“Datang main lagi, ya!”

Para gadis itu hanya bergidik merinding sambil pura-pura tak mendengar.

Hazel mengira mereka masih malu-malu.

Saat ia sedang berpikir demikian, terdengar suara pelayan dari luar.

“Duchess Winterfelt datang!”

Tuan rumah lomba akhirnya tiba.

Seorang wanita tinggi melangkah masuk, seketika ruangan terasa lebih terang. Rambut pirang keemasan, perhiasan antik yang berkilau, dan gaun biru tua yang anggun membuat semua orang spontan menundukkan kepala.

Bisik-bisik pun terdengar.

“Amazon…….”

Di lingkaran sosial istana, nama itu melegenda.

Saat masih muda dan dipanggil Nona Adelaide, ia masuk istana sebagai dayang permaisuri. Dengan gagah berani ia melawan semua intrik yang mengincar majikannya. Bahkan di hadapan Camila Berganza—selir menakutkan yang nyaris memonopoli kasih sayang kaisar sebelumnya—Adelaide tidak pernah mundur. Meski diusir lebih dari sepuluh kali, ia selalu kembali untuk setia mendampingi sang permaisuri.

Karena itu, orang-orang menjulukinya “Amazon Gagah Berani Milik Permaisuri”. Julukan itu dulunya juga sarat ejekan, namun setelah rezim berganti, kini menjadi sanjungan tertinggi.

Duchess Winterfelt kini menjabat kepala dayang Permaisuri Dowager, dan telah menjadi bangsawan wanita paling berpengaruh. Dengan satu lirikan saja ia bisa mengguncang istana. Namun meski memiliki kuasa sebesar itu, ia tetap mempertahankan kebiasaannya dulu: turun tangan langsung bahkan untuk acara kecil seperti lomba hari ini.

Aneh, kenapa suasananya begitu sunyi hari ini?

Sambil berpikir begitu, Duchess menerima satu per satu formulir pendaftaran lomba.

Sampai akhirnya ia berhenti sejenak.

Di antara tumpukan formulir tebal—dengan tulisan indah karya juru tulis profesional, dihiasi cap emas dan semprotan parfum—terselip selembar formulir yang amat sederhana.

‘Keluarga: Mayfield

Peserta: Hazel

Alasan mendaftar: Cincin Emas’

Duchess menoleh. Di sana berdiri si pemilik formulir.

Rambutnya agak kusut karena baru saja melepas topi. Mata hijaunya berkilau jernih. Wajahnya segar merona sehat. Blus dan rok yang ia kenakan bersih, tapi jelas sudah dicuci lebih dari sepuluh kali—tampilan yang sangat sederhana.

Ah, rupanya ‘gadis itu’.

Duchess segera teringat rumor yang belakangan ramai dibicarakan. Ia mengangguk kecil.

“Ditulis dengan sangat jujur, ya.”

Hazel menjawab dengan sedikit gugup.

“Sejujurnya…… saya tidak sempat menyusun kebohongan.”

“Segar sekali. Di sini justru kebanyakan orang butuh waktu lama hanya untuk menuliskan kebenaran.”

Duchess menaruh formulir itu ke tumpukan belakang.

“Lagipula ini hanya formalitas. Tapi Nona Mayfield, kau sungguh paham dengan apa yang kau daftarkan? Lomba ini hanyalah bagian sampingan dari pesta dansa. Dan tentu saja, Yang Mulia Kaisar sendiri akan hadir di pesta itu.”

“Ah……?”

Hazel terperanjat.

Ia benar-benar tak menyangka. Padahal, kalau dipikir-pikir, itu sudah jelas.

Bayangan pun muncul di kepalanya—Kaisar yang sudah marah karena tanahnya bukannya bertambah malah makin dirampas, sementara inspektur rahasia yang ia kirim justru pulang dengan tangan hampa karena terlalu jujur. Situasi sudah serba canggung.

Dan kini Hazel harus muncul di pesta dansa?

Ia langsung bisa membayangkan seorang penjilat menunjuknya sambil berseru, “Dialah perempuan itu, Paduka!” Diikuti sang Kaisar yang berteriak murka, “Apa?!”

Hazel pun mencengkeram erat rok panjangnya.

“Bagaimanapun, saya tidak bersalah. Masa saya harus rela kehilangan cincin emas hanya karena itu…….”

“Terang-terangan menyebut cincin emas, begitu jujur sampai tak bisa dipercaya! Tak masalah. Lagipula Paduka biasanya tak lama bertahan di pesta dansa, dan tak peduli pada apa pun yang terjadi di sudut ruangan. Aku hanya ingin memastikan bahwa Nona Mayfield benar-benar siap menjalankan peran sebagai peserta lomba. Kalau kau tak peduli pada faktor luar, itu hal yang sangat baik. Ngomong-ngomong, satu hal penting—kau punya gaun, bukan?”

“……Apa?”

“Gaun pesta. Itu syarat mutlak. Aku juga menganggap aturan ini kuno, tapi apa boleh buat—itu bahasa sosial. Jika kau hadir di pesta dansa tanpa gaun, tak seorang pun mau mendengarkanmu.”

Cahaya di mata Hazel langsung meredup. Bayangan penuh percaya diri yang tadi ia bentuk runtuh seketika.

“Betapa tidak masuk akal! Aku ingin mencari uang justru karena tak punya uang, tapi malah harus mengeluarkan biaya besar di awal…….”

“Sekarang bahkan cincin emas pun kau singkirkan dan hanya bicara soal uang? Baiklah, aku akan terus terang juga. Kalau kau ingin berkiprah di lingkaran sosial untuk mencari uang, tetapi bahkan tidak punya satu pun gaun—itu tak masuk akal. Anggap saja ini kesempatan. Belilah satu gaun yang layak. Kalau bingung, mintalah bantuan teman yang paham soal gaun untuk memilihkan.”

Duchess merapikan semua formulir.

“Besok bawa rancangan menu.”

“Baik!”

Jawaban serempak menggema.

Duchess pun meninggalkan ruangan, dan para peserta bubar. Hazel ikut keluar.

Tiba-tiba soal gaun memenuhi kepalanya.

Ia sama sekali tak sadar bahwa dari kejauhan, sepasang mata sedang mengawasinya.

Mata merah darah.

Milik Kaisar Kekaisaran itu sendiri.

***

Iskandar sudah sejak awal duduk di tempat terbaik.

Sebuah kursi emas yang tersembunyi sempurna di balik patung kuda raksasa, terletak di aula kecil yang menjadi pertemuan beberapa lorong.

Ia duduk di sana, hanya menatap lurus ke arah pintu Ruang Perburuan.

Orang-orang yang melihat pemandangan itu terbelalak, langkah mereka pun 멈췄다.

“Paduka, hamba mohon maaf, tapi sapu tangan putri hamba kebetulan terbang ke arah sana.”

“Lucu sekali. Sapu tangan para bangsawan negeri ini selalu saja jatuh ke tanah. Seharusnya disebut ‘kain pel’ saja, bukan?”

Meski merasa terganggu oleh para gadis yang berlagak manja dan mencoba mendekat, Kaisar seperti biasa tidak mengusir mereka dengan kasar. Itu saja sudah jadi hal aneh.

Lagi pula, ekspresi beliau yang tampak seolah sedang larut dalam pemikiran, menatap penuh semangat ke satu arah tertentu, memberi kejutan segar pada semua yang hadir.

Bagi mereka yang lebih cerdas dari kebanyakan orang, yang terbiasa mendapatkan apa pun yang diinginkan, pemandangan itu cukup untuk menumbuhkan sebuah harapan manis.

Sekaranglah saatnya!

Demi pesta dansa yang kian dekat, mereka pun menjadi lebih berani. Dipenuhi ambisi, para gadis itu berlomba-lomba mencoba menarik perhatian Sang Kaisar. Namun, tiba-tiba…

“……!”

Paduka Kaisar meninggalkan segalanya dan bergegas pergi.

Yang tertinggal hanya wajah-wajah kecewa dan bingung.

Apa-apaan ini?

Meninggalkan segudang tanya di belakangnya, Iskandar sudah keluar dari aula utama. Dengan langkah ringan tanpa suara, ia mengikuti Hazel.

***

“Untuk ikut lomba harus punya gaun…”

Saat itu pikiran Hazel hanya dipenuhi hal tersebut. Pemandangan sekitar sama sekali tak terlihat.

Karena itulah ia salah jalan, berbelok ke arah lorong timur, bukan ke pintu keluar.

Salah satu sisi lorong itu terbuat dari kaca. Tempat itu memang dirancang layaknya rumah kaca, agar orang bisa berjalan-jalan meski di dalam ruangan. Dulu sempat populer, tapi sejak ada taman besar, tempat ini jadi sepi.

Iskandar memastikan tak ada satu pun orang di sana. Lalu ia bersembunyi di balik pepohonan, memanggil lirih:

“Putri Mayfield!”

Namun Hazel, yang tenggelam dalam kegelisahan, tak mendengar. Iskandar memanggilnya lagi beberapa kali, tetap tak berhasil.

Dengan cemas, pandangannya tertumbuk pada sebuah baju zirah yang dipajang di sudut lorong. Seketika ia melepas helmnya, membalik dan mengenakannya. Lalu ia meraih jubah dan menyelimutkannya di atas jubah kebesaran kaisar, lalu bergegas mendekat.

Hazel terlonjak kaget ketika seseorang tiba-tiba menghadang jalannya.

“Hiiik─!”

Matanya membesar, tubuhnya membeku. Iskandar buru-buru berkata:

“Maaf sudah mengejutkanmu…”

“Ah, Tuan Valentine!”

Hazel langsung berseri-seri. Rasa waspada pun seketika lenyap.

“Tak disangka! Benar-benar bertemu! Ini bagus sekali. Tadi sampai rasanya seperti mendengar suara hantu. Saya tidak bisa hidup dengan tenang sebelum membalas budi. Anda pasti bingung dengan maksud saya, kan? Karena sebagai ksatria, tentu Tuan Valentine tak bisa tahu banyak soal kebun kami. Sebenarnya pesta teh itu berhasil besar.”

“Begitukah?”

Ia tak boleh sampai ketahuan menguping. Demi itu, Iskandar pun tanpa sadar mulai berakting.

“Benar-benar di luar dugaan. Terus terang, awalnya saya ragu, tapi ternyata berhasil…”

“Itu semua berkat botol kaca Tuan Valentine. Dengan itu, saya bisa membuat sesuatu yang istimewa. Mau coba tebak?”

“Hmm… sesuatu yang bisa dimasukkan ke dalam botol… mungkin jeli? Pasti sejenis kudapan, kan?”

“Bukan. Saya isi penuh dengan permen.”

“Permen? Ide yang bagus juga.”

“Bohong, hehe. Sebenarnya itu anggur dandelion.”

“Anggur dandelion? Dari bunga itu bisa dibuat minuman keras?”

“Tentu saja. Kalau penasaran, lain kali saya bawakan sebotol. Lagipula, kita akan segera bertemu lagi di istana ini.”

Jantung Iskandar berdegup kencang.

“……Kenapa?”

Hazel hanya menatapnya dengan serius, lalu mendadak bertanya dengan nada penuh beban:

“Apakah Anda punya gaun?”

……Apa?

Kepala Iskandar seakan kosong.

“…….”

Keheningan canggung menyelimuti mereka.

Hazel tersentak, buru-buru sadar.

Tunggu, apa yang baru saja kuucapkan? Gara-gara terlalu pusing, aku langsung lompat ke kesimpulan!

“Maksud saya, tentu bukan Anda yang harus mengenakan gaun! Maksud saya, katanya gaun yang mahal harganya bisa setara sebuah kereta kuda, kan? Tapi keluarga Valentine makmur, jadi saya pikir mungkin ada gaun lama milik nenek Anda yang tersimpan di gudang. Kalau begitu, saya ingin menyewanya, tentu dengan bayaran pantas…”

Suara Hazel makin lama makin lirih.

Di balik helm perak yang kuno itu, terpancar aura serius yang membuatnya ciut. Kemudian dari celah helm terdengar suara berat:

“Gaun…”

“Maaf! Sungguh lancang saya bertanya begitu pada seorang ksatria…!”

“Sayangnya…”

“……?”

“Semua gaun nenekku sudah dipajang di museum.”

“……”

Oh… ternyata beliau sungguh memikirkannya serius?

Hazel menghela napas panjang. Ia menatap Ksatria Valentine yang berdiri begitu tegap dengan helm dan jubah itu.

Kenapa aku sampai curhat begini pada orang yang baru beberapa kali kutemui… apalagi ksatria pribadi kaisar?

Memang agak bodoh, tapi kalau dipikir lagi, masuk akal juga.

“Dunia ini kan ada dua macam orang. Ada yang ketika mendengar masalah orang lain, langsung menganggap itu kelemahan. Lalu mereka memandang rendah, bilang ‘ternyata kamu juga tak ada bedanya’. Tapi ada juga yang benar-benar mau mendengar dan ikut memikirkan sejenak. Tuan Valentine jelas bukan tipe pertama. Kalau tidak, malam itu Anda tak akan repot-repot membawakan botol kaca. Itu sikap ksatria sejati.”

Hazel menatapnya sambil sesekali melirik.

Ia memang benar-benar orang yang tak bisa mengabaikan kesulitan orang lain. Dan kalau diberi sesuatu, beliau akan menerimanya dengan tulus.

Andai bisa lebih sering datang ke kebun… apakah beliau bisa pindah pekerjaan?

Hazel tersenyum tipis sambil melamun. Dan dari balik helm, Iskandar juga curi-curi pandang padanya.

Ia sudah bisa menebak apa yang sebenarnya membebani Hazel.

Tentu Hazel tak sungguh-sungguh ingin memakai gaun nenek-nenek. Masalahnya uang. Ia sedang kebingungan karena harus punya gaun, tapi tak punya biaya.

Tatapan matanya yang suram tadi jelas menunjukkan itu. Sampai-sampai Iskandar merasa ingin mencopot gaun kerajaan di museum dan memberikannya padanya.

Benarkah…? Meski ia bekerja sekuat ini, tetap saja miskin… kasihan sekali……

Iskandar tersentak, buru-buru menghentikan pikirannya.

Apa yang kupikirkan!

Dia itu pesaing. Tetangga yang merepotkan. Aku bahkan mengikuti langkahnya hanya untuk mengawasi gerak-geriknya. Tapi malah terbawa arus percakapan begini…

Sadarlah!

Ia menggeleng kuat. Hazel baru saja berkata mereka akan bertemu lagi di pesta dansa. Dan sekarang sedang mencari gaun. Maka jawabannya hanya satu.

“Apakah gaun itu untuk pesta dansa?”

“Betul! Saya ikut lomba masak yang diadakan di sana.”

“Begitu rupanya……”

Iskandar menjawab seolah tenang, tapi pikirannya kusut.

Kaisar adalah pusat pesta dansa. Walau selama ini Hazel tak tahu wajahnya, di sana ia tak bisa luput. Akan ada banyak kesempatan. Cepat atau lambat, ia pasti sadar siapa dirinya.

Tidak! Itu tidak boleh.

Ia makin gelisah.

Hazel pun menunduk, tiba-tiba teringat sesuatu.

“Oh iya! Dalam perjalanan tadi saya memetik ceri. Kebetulan Anda sedang keluar tugas, jadi… ini, silakan—”

Tapi begitu ia mengangkat kepala, Ksatria Valentine sudah lenyap.

“Lagi?”

Hazel hanya bisa menghela napas. Aksi menghilang aneh itu tetap saja membuatnya tidak terbiasa. Ia pun berjalan menuju pintu keluar lorong.

“Ya sudah. Tidak makan ceri seenak ini, yang rugi dia sendiri.”

Dan memang benar.

Ceri di bulan Juni ranum sempurna, merah mengilap, sarinya manis pekat di setiap butirnya.

Namun seseorang baru saja melewatkan harta itu. Saat ini ia sudah sampai di sisi lain gedung, menendang pintu ruang rapat dengan keras.

“……!”

Para pejabat protokol yang sedang menyiapkan pesta dansa terlonjak kaget. Wajah mereka memucat.

“Paduka! Mohon tenang! Bila terjadi sesuatu pada kami, kabar akan langsung sampai pada Menteri Istana!”

“Apa maksudmu?”

“Meski Paduka menahan kami, pesta dansa ini tetap tak bisa dibatalkan!”

“Bukan itu! Aku hanya mau memberi usul tentang pesta dansa!”

“Kalau usul untuk membatalkan, itu jelas mustahil!”

“Siapa yang bilang begitu! Adakan! Tapi wajib jadi pesta topeng!”

“……Apa?”

Semua menatap terkejut.

Iskandar menegaskan sekali lagi:

“Harus pesta topeng. Kalau tidak, tidak jadi. Mengerti?”

“Ba… baik, Paduka!”

Begitu kaisar pergi, para pejabat saling bertukar pandang.

“Barusan… Paduka Kaisar memberi usul tentang pesta dansa?”

“Itu pun langsung pesta topeng? Lihat seleranya.”

“Tak bisa dipercaya! Hidup segini lama, baru sekali lihat hal ini!”

Mereka saling berpelukan, gembira.

Sebagai pakar pesta dansa, mereka selama ini tak pernah dianggap. Selalu jadi orang buangan di istana. Kini kesempatan emas tiba-tiba datang.

“Tapi kenapa Paduka tiba-tiba peduli soal pesta dansa?”

“Jelas saja.”

Helen, kepala protokol, menyatakan dengan yakin:

“Itu pasti karena wanita. Akhirnya, setelah 22 tahun, beliau punya wanita!”

Andai Iskandar mendengar, pasti ia meloncat marah. Tapi… ucapan itu tak sepenuhnya salah.

***

Pesta topeng, harus diadakan.

Iskandar merasa puas. Ia bahkan tak tahu betapa satu kalimatnya itu membuat para pejabat geger. Dengan langkah mantap ia kembali ke ruang kerjanya.

Satu masalah sudah beres. Berikutnya, gaun…

Sekonyong-konyong pikirannya berhenti.

Gaun? Apa yang kupikirkan! Aku tidak bisa membantunya! Biarlah ia jatuh, biar ia diejek koran, baru dia akan sadar!

Ia menegur dirinya sendiri.

Tapi…

  • “Itu sikap ksatria sejati.”

Ucapan Hazel tadi, dengan mata yang berbinar, terus terngiang. Begitu juga wajahnya yang muram saat membicarakan harga gaun.

Berikutnya gaun… berikutnya gaun…

Tidak!

Iskandar berteriak dalam hati.

Urusan gaun, kain, mode—semuanya dunia asing baginya!

Namun ketika sedang bergulat dengan pikirannya sendiri, ia melihat dari kejauhan seorang pria berambut merah yang sangat dikenalnya.

Benar juga!

Alis Iskandar terangkat lega.

Ia hampir lupa, punya sahabat yang punya lemari pakaian raksasa, terkenal sangat modis. Bahkan pria itu sudah disebut “pengkhianat” gara-gara terlalu terpikat oleh si gadis kebun.

Tak ada orang yang lebih cocok.

“Luis!”

Ia segera menghampiri, memanggil keras.

“Ya?”

Luis pura-pura terkejut.

“Lihat pria itu. Bukankah ia mirip sekali dengan Kaisar kita yang seolah tak pernah hadir di dewan penasihat? Aku hampir lupa wajah Kaisar saking jarangnya melihatnya akhir-akhir ini…”

“Besok pulang cepat. Perintah Kaisar. Jam tiga kau boleh bebas pergi ke mana pun kau mau.”

“……?”

Tanpa sempat bertanya, Iskandar sudah berlalu.

Luis hanya bisa melongo, lalu menoleh pada para bawahannya.

“Barusan… aku baru saja dipecat?”

“Tidak, Tuan. Yang beliau maksud hanya besok Anda boleh pulang lebih cepat, bukan untuk selamanya.”

“Wah… sungguh aneh.”

Luis masih tak percaya.

Bukankah biasanya tugasnya justru menanggung beban agar sorotan pesta tak jatuh pada Kaisar?

“Apakah aku terlihat terlalu lelah?”

“Tidak juga. Wajah Tuan seterang biasanya… alias pucat.”

“Yah, bagaimanapun baguslah.”

Luis merasa bersemangat.

Memikirkan kesempatan untuk main ke kebun lagi setelah sekian lama, ia pun melangkah ringan ke lapangan latihan, penuh semangat baru.

***

Keesokan harinya, Hazel bangun lebih pagi dari biasanya. Ia mengenakan topi jerami, membawa keranjang, lalu pergi mencari pohon ceri yang kemarin ditemukannya.

Di pagi buta yang sunyi senyap itu, hanya suara regu jaga para pengawal yang terdengar bergema di Istana. Hazel memetik buah ceri sambil menajamkan telinga.

“Apakah itu benar-benar buah yang bisa dimakan?”

“Tentu saja! Ini ceri!”

“Ceri bisa berbuah di pohon…?”

Seorang sarjana muda menatapnya tak percaya. Hazel hanya tersenyum dan memberinya segenggam penuh, lalu buru-buru kembali ke kebun.

Saat itu ia melihat sesuatu.

Di bawah dinding Labirin Taman, yang di musim panas tampak makin rimbun dan padat, ada sesuatu yang menyembul keluar. Tepatnya dua pasang kaki—yang satu mengenakan sepatu sutra biru kehijauan, yang lain cokelat tua.

Hazel terkejut lalu segera berlari mendekat.

“Apakah kalian baik-baik saja?”

Ia menarik mereka keluar, ternyata dua orang tua renta, begitu lemas hingga nyaris tak mampu bicara.

Hazel tak tahu, mereka sebenarnya adalah Adipati Acebedo dan Adipati Montealegre, yang selalu bersaing memperebutkan tanah.

Belakangan ini, Kaisar makin lihai bermain petak umpet, dengan lihai menghindari siapa pun yang mencoba mendekat. Kedua adipati itu pun nekat berjaga, menunggu kesempatan. Namun pikiran mereka sama: “Kalau aku pergi, orang itu akan sendirian bersama Paduka.” Karena itu, mereka tetap bertahan, tak makan, tak tidur, hingga akhirnya jatuh pingsan di tempat.

Hazel, yang tidak tahu duduk perkaranya, hanya bisa terkejut.

Astaga, kok ada pengemis berpakaian mahal sampai terkapar di jalan begini? Apa-apaan istana ini?

Ia buru-buru menyeret mereka ke tempat teduh. Kedua orang tua itu menggeliat, lalu membuka mata.

“Nona… apakah yang ada di keranjang itu… bisa dimakan?”

“Ya! Benar sekali!”

Hazel cepat-cepat menyodorkan ceri pada tangan mereka yang gemetar. Tapi setelah melihat betapa kelaparan mereka, ia berlari pulang, mengumpulkan semua makanan dari dapur, lalu kembali lagi.

“Oh, makanan…”

Kedua orang tua itu langsung berbinar. Dengan tangan bergetar, mereka menyantap roti campur biji-bijian yang agak kasar, lalu daging ham dingin. Perlahan-lahan wajah mereka mulai bersemu kembali.

Mereka juga mencicipi jamur tumis dengan minyak zaitun segar, yang rasanya luar biasa. Pancake yang sudah dingin pun tetap tebal dan lembut, jelas buatan tangan yang terampil.

Tak disangka bisa mendapat sarapan semewah ini!

Mereka makan dengan sangat puas, hingga semua isi keranjang habis.

Dan yang paling mereka sukai ternyata adalah…

“Ini sungguh makanan istimewa.”

“Tangan tak berhenti saja. Seolah tak bisa dilawan.”

Hazel menatap mereka dengan mata terbelalak.

Dua bangsawan yang jelas berstatus tinggi itu, justru paling lahap makan kacang rebus.

Kacang-kacangan yang diberikan gratis oleh nenek penjual di pasar, yang tadinya akan Hazel buat sup, ternyata malah memikat selera mereka.

“Benarkah ini yang paling enak?”

“Betul. Makin dikunyah, makin gurih. Pas sekali dengan lidahku.”

“Begitu juga denganku. Rasanya segar, tak bikin bosan.”

Keduanya bahkan sampai berebutan mengambil kacang, mulut mereka sibuk mengunyah.

Saat itu Hazel mendapat pencerahan.

Para bangsawan istana sudah kenyang dengan segala hidangan mewah. Teknik memasak atau resep rumit tidak akan lagi mengejutkan mereka.

Kalau ingin benar-benar meninggalkan kesan, yang harus ditawarkan adalah rasa alam itu sendiri—kesegaran murni dari bahan-bahan sederhana.

Sebenarnya Hazel sudah merasakannya sejak awal datang ke sini. Kini berkat dua orang tua itu, keyakinannya semakin mantap.

Menu harus diubah.

Hatinya bergegas.

Hazel segera membereskan keranjang kosongnya dan berpamitan.

“Terima kasih!”

“Eh? Nona! Tunggu sebentar!”

“Jangan pergi! Setidaknya sebutkan namamu!”

Namun gadis bertopi jerami itu sudah menghilang dari pandangan. Acebedo dan Montealegre hanya bisa saling pandang dengan wajah kebingungan.

“Apakah… barusan kita bertemu dengan Dewi?”

“Benar! Dewi Terra, Dewi Bumi, pasti menjelma sebagai gadis desa untuk menolong kita!”

Sementara dua orang tua itu larut dalam kesimpulan aneh, Hazel sudah kembali ke kebun. Ia duduk di meja makan, langsung menulis ulang semua menu. Dan ketika membaca kembali hasilnya, keyakinan pun muncul.

Inilah jawabannya!

Perasaan gembira meluap di dada.

Hazel ingin menyalurkan rasa bahagia itu, maka ia memutuskan membuat pai krim ceri berukuran besar.

Sebenarnya membuatnya tidak sulit. Di musim panas, ketika buah melimpah, asal bahan dasar sudah siap, pai bisa diselesaikan dengan cepat.

Hazel mengambil biskuit dari lemari. Itu biskuit yang ia panggang dari tepung, baking powder, kayu manis, dan tetes tebu.

Biskuit dihancurkan, dijadikan dasar pai, ditambah kacang almond cincang agar harum gurih.

Lalu ia keluarkan krim dari ruang pendingin berlapis timah di bawah lemari. Krim itu terbuat dari susu, mentega, dan kuning telur. Ia menuangkannya di atas dasar biskuit. Terakhir, ia menyiapkan isian ceri—buah ceri yang dimasak sebentar dengan perasan lemon, gula, dan esens almond—lalu menumpahkannya di atas krim.

Maka jadilah pai krim ceri segar, manis dan cantik, sangat cocok untuk musim panas.

Hazel tersenyum puas memandangi karyanya sejenak, lalu menyimpannya kembali ke ruang pendingin.

Siang menjelang, ia berangkat ke gedung utama istana. Menu barunya ia serahkan kepada Nyonya Adipati, lalu buru-buru keluar sebelum pembicaraan soal gaun sempat muncul.

Tapi saat itu juga…

Ia merasa sesuatu.

Ada yang sedang mengawasi aku.

Hazel refleks menoleh ke belakang.

Namun tak ada siapa pun. Yang terlihat hanya punggung para nona bangsawan yang berjalan menjauh.

Apa aku terlalu sensitif?

Tidak. Perasaan itu jelas nyata.

Siapa ya? Apa ini ada hubungannya dengan lomba?

Hazel mendesah. Kalau benar begitu, berarti yang harus ia waspadai bukan hanya soal makanan.

Sementara Hazel meningkatkan kewaspadaan, di sisi lain Istana, di tengah Taman Agung, seseorang sedang memanjat pagar kebun Hazel.

Itu Luis.

Ia datang dengan langkah ringan, tapi segera kecewa karena Hazel tak terlihat di kebun.

“Nona Mayfield? Nona Hazel? Hazel!”

Ia memeriksa rumah, ternyata kosong.

Heran, ia keluar lagi. Saat berkeliling, matanya tertumbuk pada sesuatu yang aneh.

Sebuah tong besar, penuh bunga biru bercahaya aneh.

“Ah, ini dia. Apa namanya ya? Bunga… apa, ya.”

Luis melangkah mendekat dengan santai. Tapi tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang janggal.

Aneh. Kenapa dari bunga asing ini aku merasakan aura seorang teman?

Bukan aroma biasa, melainkan semacam getaran yang familiar.

Bunga ini jelas tumbuh dengan bantuan sihir. Dan dari pola sihirnya, Luis bisa merasakan energi yang dikenalnya. Itu bukan milik Siegvalt, bukan juga Cayenne, dan jelas bukan Lorendel.

Kalau begitu… siapa?

Mata Luis yang bergerak cepat mendadak terhenti.

Kabut biru naik dari kelopak bunga, melingkupinya.

Luis merasa tubuhnya lemas, lalu ambruk begitu saja. Semua pikiran yang tadi melintas pun lenyap, ia jatuh dalam tidur nyenyak.

Pada saat itu, Hazel baru saja keluar dari istana, mempercepat langkah.

Perasaan tak nyaman karena merasa diawasi masih menempel di hati, tapi ia tetap buru-buru kembali ke kebun.

Dan di sana, ia kaget—pintu rumahnya terbuka lebar.

Deg. Jantungnya tercekat.

Siapa?

Hazel meraih sekop yang disandarkan di gudang, lalu masuk perlahan. Tapi rumah kosong.

Keluar lagi, barulah ia melihat.

Di samping tong kayu tempat bunga teratai Rotopagos ditanam, tergeletak seorang ksatria berambut merah.

“Sir Luis!”

Hazel cepat membalik tubuhnya. Rupanya ia hanya tertidur pulas.

“…….”

Hazel menahan kepala yang mendadak pusing.

Aneh sekali. Hari ini orang pingsan di jalan kok banyak ya.

Ia mengguncang bahu Luis.

“Bertemu seperti ini memang menyenangkan, tapi… bukankah seharusnya Anda bekerja?”

“Ah!”

Luis membuka mata terkejut. Dalam pandangannya, Hazel tampak berdiri dengan cahaya matahari di belakangnya.

Ia pun sontak melompat bangun.

“Kenapa aku tertidur?”

“Itu karena bunga ini. Teratai Rotopagos. Efeknya membuat tubuh rileks dan hati tenang.”

“Ah…”

Luis menatap bunga biru itu kosong-kosong.

Barusan… ia seakan memikirkan sesuatu yang penting. Tapi sekarang semuanya buyar.

“Di saat genting, aku malah tertidur!”

“Ini memang varietas yang sudah dijinakkan, efeknya seharusnya ringan saja. Mungkin Anda sedang terlalu lelah.”

“Ya, benar juga.”

Luis mengangguk, lalu tiba-tiba teringat sesuatu.

“Tidak! Aku tak bisa begini! Aku sudah pulang kerja!”

“Sudah? Bukankah masih siang?”

“Cuti lebih awal. Mengejutkan sekali, ini perintah langsung Paduka Kaisar. Kemarin beliau lihat aku di lorong, tiba-tiba saja memberi izin.”

“Benarkah? Apa jangan-jangan ada rencana berbahaya hari ini? Soalnya belakangan Paduka Kaisar terlalu sunyi. Jujur saja, aku mulai cemas. Tentu, meski begitu pekerjaan kebun tetap harus jalan, sih…”

Hazel sambil bicara mengambil gunting, lalu pergi ke kebun.

Luis mengikutinya, penasaran.

“Tenanglah. Kalau beliau mulai lagi bertindak sewenang-wenang, aku segera kabari. Untuk saat ini, yakin saja. Paduka pasti sedang sibuk kesal karena harus menghadiri pesta dansa.”

“Oh begitu.”

Hazel menjawab datar sambil memotong batang kecil tomat muda. Luis kaget.

“Kenapa dipotong? Itu salah, kan? Atau sedang marah?”

“Bukan. Itu tunas samping. Karena tanah subur, pohon tomat tumbuh terlalu lebat. Kalau dibiarkan, makanan akan terbagi ke sana-sini dan buahnya jadi kurang enak. Karena itu harus dipangkas sejak awal.”

Hazel menjelaskan. Luis baru mengerti.

“Oh, begitu… Memang lebih baik energi tidak menyebar, melainkan terfokus. Eh, mirip sekali dengan kebiasaan Is.”

“Siapa?”

“Kaisar. Kakeknya dulu tukang main perempuan, bikin banyak masalah. Ibu Suri dan semua orang sampai stres. Karena itu, Is sejak kecil bersumpah: hanya akan mencintai calon permaisuri, tidak ada yang lain.”

“Itu masuk akal? Harusnya kan bertemu dulu, mengenal dulu baru bisa tahu orang itu baik atau tidak. Apa dia pikir punya ilmu baca pikiran?”

“Lihat kan? Hazel memang pintar. Itu juga yang selalu kupikirkan. Sampai Menteri Istana pusing tujuh keliling. Hatinya terlalu dingin, beku.”

“Ya wajar saja.”

Hazel lalu tersenyum tipis. Ada satu rahasia dalam bertani: kalau para pekerja punya bahan gosip yang sama, mereka bisa bekerja lebih giat tanpa merasa bosan.

Mulut Hazel makin lancar, tangannya pun makin cepat. Luis ikut menirukan, akhirnya ia pun mahir memangkas tunas samping.

“Lihat! Aku berhasil!”

Hazel sampai kaget. Luis hanya memotong bagian benar-benar perlu, sisanya tetap rapi sempurna.

“Hebat sekali!”

“Hahaha! Seperti kuduga, aku memang punya bakat bertani!”

“Tidak. Itu bukan bakat bertani. Tolong jangan gunakan teknik membunuh untuk urusan kebun.”

“Ah, rasanya aku ingin berhenti kerja dan buka kebun saja.”

“Apakah Anda dengar penjelasan saya barusan?”

Keduanya bercakap-cakap sambil terus bekerja.

Angin sepoi-sepoi bertiup. Harum tanah terasa menenangkan.

Luis merasa semua stres pekerjaannya lenyap. Bertani ternyata menyenangkan.

Hazel juga gembira. Rasanya menyenangkan bisa ditemani tetangga vampir yang mau membantu dan ngobrol.

Tak lama, pekerjaan selesai. Luis menepuk-nepuk tangannya, lalu meluruskan punggung.

“Sekarang apa lagi? Pemupukan?”

“Tidak. Cukup sampai sini. Ayo ikut aku.”

Hazel membawanya masuk ke rumah.

“Kebetulan sekali, tadi aku membuat pai ceri. Ukurannya terlalu besar untuk dimakan sendiri. Syukurlah Anda datang tepat waktu.”

Ia membuka ruang pendingin kecil berlapis timah, mengeluarkan pai.

Mata Luis langsung terbelalak.

Di atas tumpukan krim putih selembut salju, ceri merah berkilauan tertata rapi. Meski sempat direbus, buah itu masih tampak segar, ranum, dan kenyal.

Saus merah manis beraroma ceri mengalir di atas krim dengan menggoda. Luis nyaris kehilangan akal. Begitu diberi piring, ia langsung menyendok besar-besar dan melahapnya.

“Ah… inilah surga…”

Luis hampir meleleh saking nikmatnya.

Saat tubuh terasa lelah karena melatih para ksatria muda. Saat kadar gula turun begitu cepat. Saat tiba-tiba merasa butuh pencuci mulut.

Itulah rasa ideal yang seketika muncul dalam benak.

Krim buatan tangan di kebun sendiri begitu kental dan lezat, sampai dengan itu saja sudah membuat puas. Tetapi ada pula ceri. Ceri sungguhan yang tidak melewati jalur distribusi panjang, tidak kehilangan kesegarannya. Ceri yang matang sempurna di bawah sinar matahari, penuh dengan jus merah berkilauan.

Pai yang dibuat dengan ceri semacam ini tidak boleh dimakan asal-asalan, hanya mengikis bagian atasnya saja. Harus dipastikan garpu menembus hingga dasar, lalu menyuapkan semuanya sekaligus ke dalam mulut.

Dasar pai dari biskuit buatan sendiri yang dihancurkan, krim pekat beraroma susu, dan ceri manis segar—semuanya masuk bersamaan.

Hanya dengan begitu, keajaiban trinitas rasa itu bisa dirasakan sempurna. Hanya dengan begitu, pai krim ceri benar-benar telah disantap dengan layak.

“Benar. Inilah dia……”

Luis merasa bahkan desah napasnya pun berubah manis. Ia begitu terhanyut, sampai tak sempat berbicara sambil terus menyuapkan pai ke mulut.

“Krimnya masih ada lagi di sini.”

Hazel mendorong sebuah toples kecil ke hadapan Luis.

“Ceri juga masih ada. Dimakan dengan krim segar pun tetap enak, kan? Sayangnya yang ini agak hangat. Kalau saja ada ruang di lemari pendingin, pasti lebih segar.”

“Ah……”

Luis baru sadar lalu memandangi dapur itu sekeliling. Baginya, rumah petani mungil itu selalu tampak seperti rumah boneka kecil. Kini ia menyadari sesuatu.

“Tidak ada lemari pendingin, ya.”

“Ya.”

Hazel mengangguk.

“Andai saja ada lemari penyimpanan sungguhan. Bukan sekadar ruang kecil di bawah rak, tapi lemari kayu ek besar yang dilapisi rapat timah atau seng, dengan bahan insulasi seperti gabus padat memenuhi celah-celahnya. Kalau ada itu, betapa bagusnya. Tapi sekarang mustahil membelinya. Sesuai kata Tuan Pengawas Istana, kebun ini memang sangat butuh dana. Karena itu……”

Sedang ia menjelaskan, matanya tiba-tiba melebar.

Hari ini ternyata ada satu lagi alasan mengapa kunjungan mendadak Luis merupakan sebuah keberuntungan.

Selain membantu memangkas tunas tomat dan berbagi pai krim ceri raksasa, mungkin kali ini ia juga bisa meminta bantuan untuk hal lain.

Namun kali ini, ia tidak boleh salah bicara. Jadi Hazel berhati-hati bertanya:

“Sir Luis, Anda punya nenek?”

“…Apa?”

Luis menoleh dengan alis terangkat.

“Ada, kan? Nenek. Dengan kata lain, mantan Vampire Lord.”

“Kalau begitu… apakah nenek itu punya banyak gaun?”

“Tidak. Karena seleranya, beliau hanya mengenakan gaun hitam berkabung.”

“Begitu, ya.”

Hazel mengerutkan kening, tenggelam sebentar dalam pikirannya.

Luis kebingungan.

“Kenapa? Kenapa tiba-tiba tertarik dengan gaun nenekku?”

“Begini. Untuk mengumpulkan dana pengelolaan kebun, aku memutuskan ikut serta dalam kompetisi memasak yang akan diadakan saat pesta dansa nanti.”

“Itu ide yang sangat bagus!”

“Hanya saja… katanya ada aturan dasar lomba. Peserta harus mengenakan gaun. Bagaimana pun kupikir, situasi sekarang tak memungkinkan untuk menjahit gaun baru. Maka Nyonya Adipati menyarankan, sebaiknya aku meminta bantuan teman yang paham urusan seperti ini…”

Luis hampir tak percaya telinganya. Teman? Hatinya berdebar kencang.

“Tapi aku tidak punya teman. Jadi… terpaksa meminta bantuan Sir Luis.”

Perasaan yang sempat melambung langsung jatuh. Namun segera melesat lagi. Luis berdiri dengan semangat membara.

“Syukurlah aku datang hari ini! Benar-benar pertolongan dari langit! Kalau soal gaun, aku bisa meminjamkan sebanyak yang kau mau!”

“Eh? Tapi kalau gaunnya milik nenek bertubuh mungil, mungkin masih cocok. Kalau gaun Sir Luis, aku pasti akan terlihat seperti memakai karung goni.”

“Jangan khawatir. Ayo ikut aku ke rumah. Sebagai balasan untuk pai krim ceri lezat ini, aku akan mengurus masalahmu!”

Luis menepuk dadanya penuh keyakinan.

“Tunggu sebentar saja. Aku akan mengirim orang lebih dulu, biar mereka mempersiapkan penyambutan tamu.”

“Tidak perlu sampai begitu—”

Belum sempat Hazel mencegah, Luis sudah melesat seperti anak panah.

Hazel hanya bisa melongo. Akhirnya ia bersiap-siap juga, memeriksa rumah dan mengenakan topi jalan-jalan.

Tak lama, Luis kembali. Namun kali ini ada sosok besar yang mengikutinya: Warbear raksasa, Siegvalt.

Meski Luis berlari zig-zag, menyelinap di antara pepohonan, bahkan menebarkan debu tanah untuk mengelabui, Siegvalt tetap teguh mengekor.

“Kenapa kau harus ikut juga!”

“Aku juga tahu soal gaun.”

Padahal Siegvalt sama sekali tidak tahu tentang gaun. Ia ikut hanya karena khawatir.

Luis, demi menyembunyikan identitas vampirnya, bertahun-tahun hidup dengan menyamar sebagai ksatria pria. Ia tidak pernah punya teman dekat perempuan yang sebaya. Siegvalt sungguh berharap kali ini Luis bisa berteman akrab dengan Nona Mayfield. Kalau pun ia hendak melakukan kebodohan, Siegvalt sudah bertekad untuk melayangkan satu bogem agar ia pingsan lebih dulu.

Itulah misinya hari ini.

Lorendel dan Cayenne pun mendukung sepenuh hati. Mereka bahkan membantu membagi tugas menjaga pasukan Ksatria Suci, supaya Siegvalt bisa ikut mengawasi.

Hazel, yang sama sekali tidak tahu soal ini, hanya senang karena kini ia mendapat satu penolong lagi yang katanya paham tentang gaun.

Demikianlah rombongan aneh itu berangkat.

Rumah Sir Luis Gallardo, Komandan Ksatria Api Suci, terletak di Jalan Kedua. Hanya lima belas menit dari gerbang utama istana.

Hazel menduga rumahnya pasti megah. Namun kenyataannya jauh lebih mencengangkan.

Di balik gerbang besi tinggi, terbentang taman rumput terawat rapi. Di tengahnya berdiri mansion kuno nan mewah, atap-atapnya menjulang seperti menara.

Begitu pintu terbuka, kepala pelayan berambut putih berlari tergopoh-gopoh menyambut.

Seorang nona baru—teman bagi majikannya.

Seumur hidupnya ia sering melihat putra bangsawan itu membawa pulang rekan sesama ksatria, atau kadang bawahan yang mabuk. Tapi seorang teman perempuan? Ini pertama kali.

Hazel yang mengenakan topi jalan-jalan berhias pita biru tua jelas-jelas tampak gadis dari kalangan rakyat jelata. Kepala pelayan berusaha keras menahan diri agar tidak terus melirik.

“Silakan lewat sini.”

Lorong dihiasi patung marmer, karpet tebal terbentang sepanjang jalan. Hazel berjalan sambil terpesona, mengikuti pelayan.

Mereka tiba di sebuah ruangan. Begitu masuk, Hazel langsung mengerti mengapa Luis tadi begitu yakin.

Ruangan besar itu penuh dengan gaun. Segala ukuran tersedia, semuanya baru.

“Ayo, pilih sesukamu.”

Luis menaruh setumpuk gaun ke pelukan Hazel.

“Ini memang hobiku. Kalau ada gaun cantik, aku pasti membelinya. Kupikir suatu hari nanti, kalau ada anak kenalan, atau keponakan, atau… bahkan anak anjing, pasti akan ada kesempatan untuk memberikannya.”

“Anak… anjing?”

Hazel buru-buru menaruh kembali gaun merah muda yang baru saja ia pegang. Tadi ia merasa ukurannya terlalu mungil. Rupanya memang begitu.

“Jadi semua ini untuk hadiah?”

“Ah.”

Sekilas wajah Luis meredup.

“Memang terlalu berlebihan, ya? Membuat orang ilfeel, kan?”

“Tidak, sama sekali! Terus terang, menurutku selama itu membuat Sir Luis bahagia, tak ada masalah. Bukankah setiap gaun ini dibeli dengan perasaan senang? Kalau begitu ruangan ini penuh gaun yang mengandung kebahagiaan. Bagiku, itu sangat indah.”

“Benarkah?”

Mata Luis terbelalak.

“Kalau begitu, bagaimana kalau tidak sekadar meminjam—kau miliki saja? Aku belum pernah sekalipun memberikan hadiah dari semua ini.”

“Eh…?”

Hazel sempat bingung. Namun akhirnya berkata pelan:

“Baiklah.”

Ia teringat pada ucapan Paman Karl: bila seseorang baik hati memberi hadiah, sudah sepatutnya menerimanya dengan wajah gembira.

Dan memang benar. Wajah Luis kini bersinar terang, membuat Hazel merasa keputusan itu tepat.

“Lihat, gaun ini cantik sekali! Renda di bawahnya mengembang seperti kelopak mawar. Lengan bajunya juga terjurai manis.”

“Kalau yang ini? Satin berkilau begini juga indah, kan? Ah, dan gaun sutra biru kehijauan dengan tulle hitam ini kupikir terlalu mempesona, jadi langsung kubeli…”

“Itu sepertinya lebih cocok untuk Sir Luis sendiri. Coba dekatkan ke tubuhmu. Tuh, kan? Pas sekali.”

“Hehe, masa? Kalau begitu Hazel juga coba yang ini. Gaun muslin kuning dengan pita di bahu. Rambut cokelat gelapmu pasti serasi sekali.”

Hazel dan Luis bersenda gurau di depan cermin. Mereka saling menempelkan gaun ke tubuh masing-masing, lupa waktu.

Sementara itu, kepala pelayan yang khawatir—membayangkan tuannya kaku dan canggung di hadapan seorang nona—mengintip diam-diam.

Namun yang dilihatnya justru dua gadis yang tertawa ceria sambil memilih gaun.

Saat ia melirik Siegvalt yang duduk di kursi, ksatria itu sekadar mengangguk, memberi isyarat bahwa semuanya terkendali.

Kepala pelayan pun tersenyum lega, lalu memberi sinyal rahasia ke arah lorong.

Tak lama kemudian, para pelayan mendorong masuk kereta dorong berisi suguhan.

Piring bertingkat berisi kue mini, mousse, scone, puding, kue sus, meringue, sandwich—menjulang seperti menara.

Teapot porselen berhias emas, cangkir-cangkir mungil, sendok garpu perak. Bagi Hazel, semuanya begitu mewah hingga matanya berbinar-binar.

Luar biasa…

Maka dimulailah jamuan teh ala mansion bangsawan sejati.

Camilan buatan tangan para pâtissier profesional tak hanya indah dipandang, tapi juga rasanya luar biasa.

Luis dan Siegvalt mengaku sudah bosan dengan hidangan semacam ini. Tapi bagi Hazel, ini adalah pelajaran baru.

“Hmm… ternyata mereka menaburkan serbuk emas di atas makaron.”

Hazel merasa itu terlalu mewah, sesuatu yang mungkin tak pernah bisa ia terapkan.

Saat ia minum teh bersama vampir dan beruang, kepala pelayan kembali datang, kali ini membawa sebuah buku besar berkulit merah.

“Mungkin ini bisa membantu nona-nona sekalian.”

Itu adalah buku ilustrasi berisi gambar busana para bangsawan yang menghadiri pesta dansa di istana.

Hazel membersihkan tangannya dengan serbet, lalu membuka halaman pertama. Seketika matanya terbelalak melihat gaun pesta nan gemerlap.

“Wow… silau sekali.”

“Itu gaun resmi Sang Permaisuri Ibu.”

Luis menjelaskan.

“Beliau tidak hadir di pesta dansa. Karena sejak muda terlalu banyak menderita, kondisi kesehatannya tak memungkinkan. Kalau bisa, aku ingin memperkenalkanmu secara diam-diam. Aku yakin beliau akan sangat menyukaimu.”

“Pasti.”

Siegvalt menimpali dengan sungguh-sungguh. Dari ucapannya jelas betapa mereka berdua mencintai dan menghormati Permaisuri Ibu.

Permaisuri Ibu pasti orang yang baik, pikir Hazel sambil membalik halaman.

Tiba-tiba matanya tertumbuk pada seragam yang amat dikenalnya. Tangannya berhenti.

“Ah, ini…”

“Seragam Ksatria Kekaisaran?”

Luis dan Siegvalt memandang gambar itu sejenak, lalu tersenyum samar, larut dalam kenangan.

“Jadi ingat Sir Randolph, ya. Tepat menjelang pesta dansa, lagi pula.”

“Beliau ksatria yang hebat.”

“Andai saja bisa bersama Nona Adelaide. Keduanya serasi sekali, dan sama-sama orang kepercayaan Permaisuri Ibu.”

Hazel yang sedang menggigit sandwich tiba-tiba memasang telinga.

Mengabdi pada Permaisuri Ibu?

Rasa penasaran membuatnya tak bisa menahan diri.

“Bukankah para ksatria seharusnya langsung berada di bawah Kaisar?”

“Tidak selalu. Sir Randolph, misalnya, saat itu setia pada Permaisuri, yang sekarang menjadi Permaisuri Ibu.”

“Ah…”

Hazel buru-buru mengangkat cangkir, menutupi wajah terkejutnya. Sambil meneguk teh dengan cepat, ia mencerna ucapan Luis.

Jadi tidak semua ksatria berada langsung di bawah Kaisar…

Kalau dipikir-pikir…

Sir Valentine sendiri tidak pernah menyebut dirinya bawahan Kaisar. Saat pertama kali bertemu di halaman, Hazel hanya berasumsi begitu.

Mungkinkah aku selama ini salah menilai?

Ucapan Louis dan Zigvald semuanya menggunakan bentuk lampau, dan Hazel sama sekali tidak menyadari bahwa ksatria kerajaan dengan seragam seperti itu kini sudah tidak ada lagi.

Sebenarnya siapa dia?

Itu만 계속 떠올랐다. 그러다 보니 티타임이 끝났다.

Sekarang saatnya kembali memilih gaun. Namun Hazel sudah tidak bisa lagi berkonsentrasi seperti tadi.

Sebenarnya apa identitasnya?

Hanya itu saja yang berputar-putar di kepalanya.

Sementara itu, Louis……

“Lihat ini. Gaun bermotif filsuf. Lucu, kan? Ah, coba lihat topi ini. Motifnya kapal bajak laut, lho.”

Ia asyik memperlihatkan koleksi anehnya kepada Hazel.

Dan Zigvald……

“……”

Ia terus memperhatikan Louis dengan mata tajam penuh kewaspadaan.

Begitulah, ketiganya sama-sama teralihkan perhatiannya, hingga tujuan semula jadi tersisih begitu saja.

Baru setelah melihat jendela di balik tirai sudah gelap, mereka tersentak. Bergegas, Hazel memilih gaun, rasanya mirip seperti mengisi lembar jawaban dengan tebakan di detik-detik terakhir sebelum ujian dikumpulkan.

Bagaimanapun juga, Hazel kini memiliki sebuah gaun.

“Terima kasih. Akan kupakai dengan baik.”

Hazel memeluk kotak yang diikat pita, lalu berpamitan dengan kedua komandan kesatria itu.

Itu adalah hadiah indah dari tetangga yang baik hati. Masih teringat manisnya rasa dessert tadi, Hazel melangkah pulang ke istana dengan hati gembira.

Dengan mengenakan topi jalan dan memeluk kotak besar, Hazel berjalan terpincang-pincang melintasi taman besar istana.

Beberapa saat kemudian, cahaya jingga menyala di sebuah rumah kecil.

Itu adalah kamar pribadi Kaisar, tepat di sebelah.

Dari balik jendela di sana, Iskandar yang tengah memeriksa tumpukan dokumen mengangkat kepalanya.

Semuanya berjalan sesuai rencana.

Louis yang tiba-tiba pulang lebih awal, bersemangat menuju pertanian. Dengan sesama perempuan, Hazel tentu lebih mudah mencurahkan isi hati. Tak lama kemudian, kabar datang bahwa mereka pergi bersama ke kediaman Louis.

Misi pengaturan ini sukses besar.

Gadis miskin dari pertanian itu kini menerima gaun terbaik dari tetangganya—orang yang dikenal sebagai kolektor gaun terbanyak di seluruh Bratania.

Menempatkan orang tepat di posisi yang tepat, masalah pun terselesaikan. Kini ia bisa tenang.

Iskandar tanpa sadar menggigit ujung pena.

Tunggu sebentar. Tenang, katamu?

……Ah, benar. Kalau Hazel sibuk meraih sukses besar di kompetisi memasak, dia tak akan sempat menoleh pada Kaisar yang menyamar. Maka tak akan ada situasi merepotkan.

Iskandar mengangguk kecil.

Sudahlah, kembali bekerja saja.

Pagi tadi, ada kecelakaan ledakan gerobak di kediaman keluarga Hargreaves.

Syukurlah tak ada korban luka, tapi kabar burung segera menyebutnya aksi teror kelompok radikal. Namun hasil penyelidikan para agen kepercayaannya yang tersebar di berbagai penjuru kota memastikan bahwa itu hanyalah kecelakaan biasa……

Di meja kerjanya menumpuk laporan-laporan semacam itu.

Iskandar tetap duduk di tepi jendela hingga larut malam, tekun membaca satu per satu.

***

Di langit pagi, terbentang garis mutiara yang tipis dan jelas.

Awan panjang dan ramping itu disebut “Tali Jemuran Peri.” Menurut legenda kuno Bratania, saat itu para peri di langit sedang menjemur pakaian lama mereka.

Seperti halnya setiap kali ujian pegawai negeri musim dingin tiba, udara dingin pasti menggigit, maka hari-hari singkat nan cerah di awal musim panas ini juga selalu bertepatan dengan “Pesta Dansa Bunga.”

Tahun ini pun tak terkecuali. Awan putih nan suci itu melintang di langit, menghiasi pagi tiga hari menjelang pesta dansa.

Sinar matahari yang berkilau seolah bercampur debu peri tumpah ke kebun pertanian Hazel. Daun-daun berkilat tampak begitu indah. Bedengan-bedengan tersusun rapi, siapa pun yang melihat pasti mengakui betapa sempurnanya kebun itu.

“Ini, air dari istana.”

Hazel menyirami kebun dengan air melimpah, lalu memeriksa setiap sudut pertanian untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Setelah itu ia menyiapkan sarapan.

Hari ini ia harus cepat menyelesaikan pekerjaan lalu pergi ke pasar. Karena akan banyak mengangkat barang berat, ia harus memulai pagi dengan sarapan yang mengenyangkan.

Pertama, ia memanggang roti putih lembut. Saat baru keluar dari oven dan masih panas, ia mengolesi banyak mentega buatan pertanian. Panas roti membuat mentega segera meleleh.

Hanya itu saja sudah terasa begitu mewah. Ditambah lagi telur setengah matang yang lembut, serta jus jeruk dari sisa buah pesta teh kemarin.

Sarapan yang sempurna.

Setelah sejenak mengagumi tampilan hidangannya di meja, Hazel segera menyambar roti sebelum mentega benar-benar habis meleleh.

Roti, mentega, telur, dan jus jeruk—semuanya luar biasa lezat.

Usai sarapan yang mengenyangkan, ia dengan sigap membereskan pekerjaan rumah dan kebun. Makan siang yang agak terlambat nanti ia putuskan untuk membeli di pasar. Mengenakan topi dan membawa keranjang belanja, Hazel bersiap berangkat.

Namun tepat sebelum melangkah keluar pintu, ia berhenti.

Hazel menoleh hati-hati, meneliti keadaan luar.

Tidak ada tanda-tanda mencurigakan. Tapi perasaan tak enak kembali muncul.

Di siang bolong begini, saat taman besar sepi tanpa orang berlalu-lalang, ia teringat lagi pada perasaan pernah diawasi itu.

Bagaimana kalau sesuatu terjadi pada rumahku saat aku pergi?

Namun ia juga tidak bisa tidak pergi ke pasar.

Kalau begitu……

Harus berpikir sebaliknya.

Hazel memutuskan untuk memasang perangkap kecil.

Ia mengambil selembar kertas, lalu menulis besar-besar:

“Menu Lomba Memasak.”

Hazel menuliskan isi menu di bawah judul itu, lalu menyebarkannya secara alami di atas meja makan bersama koran dan coretan-coretan lain. Sebagai sentuhan terakhir, ia mencabut sehelai rambutnya dan menyelipkannya di antara kertas menu dan lembaran lain.

Perangkap selesai.

Jika nanti ia kembali dan tak seorang pun terjerat, maka syukurlah. Itu berarti hanya perasaan paranoid belaka dan lomba pun tak akan terganggu.

Namun kalau ada yang benar-benar terjerat? Itu pun tetap menguntungkan—karena ia bisa bersiap lebih dulu.

Bagaimanapun juga, tidak ada ruginya.

Dengan begitu pikirannya jadi tenang, Hazel pun akhirnya bisa meninggalkan rumah.

Ia melangkah ringan, mendorong pintu pagar kayu, lalu menyeberangi taman besar yang sepi. Menyusuri jalan utama tempat para penjaga berbaris, Hazel berjalan cepat hingga keluar dari istana.

Pasar pusat, seperti biasa, penuh sesak.

Meski tidak bisa dibilang luas, pasar itu padat dengan buah, sayur, daging, dan hasil laut yang dibawa dari seluruh penjuru Kekaisaran.

Hazel kini sudah mulai akrab dengan beberapa pedagang.

“Nenek! Kacang yang Nenek berikan waktu itu rasanya sungguh enak. Saya memberikannya kepada dua orang tua miskin, dan mereka juga bilang rasanya luar biasa.”

“Benarkah? Kau melakukan hal baik sekali, Nak!”

Hazel pun mengobrol sebentar dengan nenek penjual sayur, lalu memilih bahan terbaik dari tumpukan sayur yang menggunung di lapaknya.

Sayur yang bagus dan segar bisa langsung terasa hanya dengan disentuh.

Wortel ini matang sempurna. Pasti hasil kebun sendiri.

Kalau ada firasat begitu, berarti itu pilihan tepat.

Hazel membeli banyak sayuran segar untuk lomba memasak, kemudian beralih ke lapak ayam dan telur.

Saking seriusnya memeriksa, penjual telur sampai jantungnya berdegup kencang seolah sedang diperiksa oleh pejabat pengawas. Hazel pun memilih butir-butir terbaik dan memasukkannya ke keranjang belanja.

Ia berjalan lagi dan berhenti di depan toko ikan yang semerbak dengan aroma laut.

“Ada sarden, kan?”

“Tentu saja!”

Hazel menerima sebundel sarden segar.

Pada saat yang sama.

Di tengah istana, di dalam pagar besi megah yang melingkari ladang kecil, sebuah rumah mungil menebarkan tanda-tanda aneh.

Seseorang menyelinap masuk ke rumah kosong itu. Pintu yang tadi Hazel kunci rapat kini terbuka sedikit.

Saat penyusup melangkah menuju meja makan, dari celah pintu muncul bayangan kecil yang melesat cepat keluar.

Ia menoleh sebentar, lalu langsung berlari menuju istana.

***

Iskandar sedang berjalan-jalan di antara deretan pohon yang tertata rapi.

Tentu saja, seperti semua kegiatan kaisar, “jalan-jalan” ini pun hanyalah bagian dari urusan kenegaraan dengan rombongan pejabat mengikutinya dari belakang.

“‘Ghost’, sebutannya begitu?”

“Ya. Untuk sementara mereka dijuluki begitu. Menurut laporan yang Count Gwyn buru-buru kumpulkan, monster aneh itu sangat lemah terhadap belerang. Karena itu ia mengirim permintaan bantuan.”

“Memang bisa diandalkan. Segera kirim bantuan penuh.”

Setelah menerima laporan tentang monster aneh yang muncul di perbatasan dan memberi perintah, Iskandar berniat mengakhiri kegiatan hariannya.

Namun tiba-tiba, di balik pasukan ksatria yang sedang berbaris di depannya, sesuatu yang aneh terlihat.

Seekor makhluk kecil berwarna kuning, berpura-pura menyatu dengan barisan ksatria seakan-akan ia pun salah satu dari mereka.

Iskandar mengucek matanya.

Tiberius!

Kapan ia menghafal wajah dan nama unggas kecil itu, entahlah……

Anak ayam itu berusaha mengejar ksatria-ksatria dengan kaki mungilnya, tapi segera kehilangan jejak dan kebingungan di tempat.

Saat itu juga, dari arah berlawanan muncul pasukan kavaleri kerajaan.

Melihat pemandangan yang luar biasa besar, anak ayam itu panik, mondar-mandir tak tentu arah. Namun derap kuda perkasa sudah bergemuruh mendekat.

Tiberius membeku di tempat.

Kuda-kuda kerajaan berlari tanpa henti. Derap kuku besi menghentak keras, tanah bergetar. Kaki-kaki kuda perkasa menghantam jalan berbatu, meloncat dengan tenaga penuh. Dan di hadapan mereka, anak ayam itu berdiri terpaku seperti batu.

Tak terhindarkan lagi—dalam sekejap ia akan terinjak, menjadi gumpalan kuning yang pipih. Gambaran mengerikan itu begitu jelas di benak Iskandar.

Tanpa sadar ia berteriak:

“Berhenti!”

Para prajurit kavaleri yang sedang bergegas berganti tugas sontak terkejut mendengar perintah langsung dari kaisar yang tiba-tiba muncul.

“Berhenti! Berhenti!”

Mereka segera menarik kendali kuda, menghentikan langkah dengan suara seret keras. Debu tebal pun membubung.

Anak ayam itu, kaget mendengar suara menggelegar yang dikenalnya, justru berlari ke arah sumber suara.

Burung memang bisa cukup cerdas—seperti merpati di alun-alun yang berkerumun saat mendengar suara pemberi makanan.

Iskandar panik.

Jangan mendekat padaku di depan umum!

Namun Tiberius tak mengerti isyarat itu, berlari membabi buta ke arahnya.

Di depannya, sebuah saluran air hitam menganga.

“Ya ampun……”

Tak ada pilihan lain.

Iskandar melompat secepat kilat, tubuhnya melayang, lalu menangkap anak ayam itu tepat waktu.

Para pejabat yang mengiringinya melongo.

Seketika, sang kaisar lenyap dari hadapan mereka—tahu-tahu muncul jauh di seberang, seolah ia berpindah tempat dalam sekejap.

“……?”

Para prajurit kavaleri yang buru-buru turun dari kuda pun bingung. Mereka melihat kaisar berpose aneh, satu tangan tersembunyi dalam jubah.

Apakah itu semacam isyarat politik?

“Paduka, ada titah?”

“Ah, tidak. Kalian sudah bekerja keras di panas begini.”

Tak disangka, mereka malah menerima pujian.

Beliau sengaja menghentikan kami hanya untuk menyemangati? Prajurit rendahan seperti kami? Sang penakluk yang selalu tampak tegas ternyata juga punya sisi manusiawi!

“Terima kasih, Paduka!”

Semua prajurit terharu, semangat mereka melonjak.

Situasi berhasil ditutup dengan baik.

Iskandar menghela napas lega, lalu rasa marahnya meletup.

Apa sebenarnya yang dipikirkan pemilik ayam ini?!

Ia hampir saja memerintahkan pengiringnya untuk segera membawa unggas ini kembali ke pertanian. Namun tiba-tiba ia terhenti.

Instingnya bekerja.

Kalau sampai ada rumor bahwa kaisar sendiri mengirim ayam kembali ke ladang, orang pasti salah paham. Mereka akan menduga ini semacam senjata rahasia berbentuk unggas. Padahal kenyataannya, hanya seekor anak ayam yang kabur dari rumah.

Tak ada jalan lain.

Iskandar menyuruh pengiringnya pergi, lalu menyelinap ke sudut sepi. Ia mengeluarkan anak ayam itu dari balik jubah.

“Kembalilah sendiri.”

Tiberius tampak ragu. Masih trauma setelah kejadian barusan, ia berjalan beberapa langkah lalu kaku mendengar suara derap kuda lagi.

Kalau begini, dia bisa mati terinjak kapan saja.

Bayangan anak ayam yang panik berlari ke arahnya tadi masih melekat di benak Iskandar.

Meski pertama kali bertemu ia langsung membekap mulut makhluk ini, nyatanya si kecil malah berlari padanya seakan menemukan orang yang dikenalnya.

Hatinya yang biasanya keras, kembali melembut.

“Kemari!”

Ia mengangkat anak ayam itu lagi.

Situasi ini sungguh merepotkan. Menyebalkan juga. Tapi Iskandar menganggapnya sebagai salah satu ujian dari kehidupan di istana.

Medan perang dan istana memang berbeda—namun ia akan membuktikan bahwa tantangan apa pun sanggup ia atasi.

Dengan wajah serius, ia memasukkan Tiberius ke dalam saku jubah.

Anak ayam itu gemetar di dalam, seolah merasa selamat. Itu membuatnya agak jengkel.

“Kenapa gemetar? Aku adalah kaisar negeri ini. Tak seorang pun bisa menyakitimu.”

Membawa anak ayam tersembunyi di saku, Iskandar menyelesaikan sisa pekerjaan hari itu. Setelah melepas para pejabat dan menyingkirkan para pengiring yang masih membuntuti, ia kembali ke kamar pribadinya. Di sana ia mengambil perlengkapan penyamaran.

Saat ia mengubah warna rambut dan mata, Tiberius duduk di atas meja, menatapnya tanpa berkedip. Tampaknya unggas ini lebih pintar daripada dugaan. Untunglah ia hanya bisa bercicit dalam bahasa ayam Bratania.

Setelah berganti pakaian, Iskandar meninggalkan kamar kaisar.

Monster dilepaskan? Itu berarti perang!

Dengan pikiran itu ia menyerbu masuk ke ladang Hazel……

Tapi orangnya tidak ada.

Bahkan sebelum melewati pagar, ia sudah tahu. Dalam jangkauan inderanya tidak terasa satu pun kehadiran manusia. Pintu pun terkunci rapi. Pemilik rumah jelas sudah pergi sejak lama.

Iskandar menoleh ke anak ayam.

“Kalau begitu, bagaimana kau bisa kabur?”

Saat ia membuka kunci dan masuk, hidungnya menangkap aroma samar.

Harum tajam bercampur kesan berbahaya.

Ia yakin pernah menciumnya di masa lalu.

Nama aroma itu hampir muncul di benaknya, tapi lenyap begitu saja.

Namun yang jelas—ada penyusup yang masuk ke rumah ini.

Iskandar menajamkan konsentrasinya. Ia memaksimalkan indera untuk melacak sisa aroma aneh itu.

Jejak paling kuat ada di meja makan. Artinya penyusup menghabiskan waktu paling lama di sana.

Apa yang menarik di sini?

Ia menunduk menatap meja. Di antara lembaran kertas yang berserakan, tulisan “Menu Lomba Memasak” langsung menarik perhatiannya. Tanpa pikir panjang ia membaca, lalu tertegun.

“Apa-apaan ini? Apa dia berniat menghancurkan lomba total?”

Kebingungan, ia membaca ulang, sekali lagi, dan sekali lagi.

***

Saat itu Hazel baru saja kembali, membawa keranjang belanjaan sambil melintasi taman istana yang luas. Begitu sampai di pertanian kecilnya, ia langsung menyadari sesuatu: pintu yang tadi sudah ditutup rapat kini terbuka sedikit.

Naluri langsung memberitahunya.

Seseorang terjebak dalam perangkapnya.

Jantung Hazel berdebar kencang.

Ia meletakkan keranjang, lalu meraih sekop.

Harus dilumpuhkan seketika, sebelum sempat melarikan diri. Hazel bahkan bisa membayangkan sensasi ngeri yang akan menjalar lewat gagang sekop jika benar-benar menghantam sesuatu.

Namun demi lomba masak, ia harus melakukannya. Demi semua orang yang sudah membantunya, ia harus berani.

Hazel melangkah masuk perlahan, sekop terangkat tinggi.

Saat itu juga—

“Piyik! Piyik! Piyik! Piyik!”

Suara pekikan riuh seekor anak ayam pecah di udara.

Hazel tertegun sejenak. Di sela waktu singkat itu, pemandangan dapur langsung terlihat jelas. Di depan meja makan berdiri seorang ksatria tinggi berambut hitam.

…Sir Valentine?

Barulah Hazel memahami arti pekikan itu.

—Sekutu! Jangan serang!

Ia menoleh ke arah anak ayam yang berlari tergesa-gesa.

“Tiberius?”

Mendengar nama itu, Iscandar cepat menoleh.

Tadi ia sedang tercengang membaca menu lomba yang aneh, namun kini terkejut karena Hazel sudah pulang. Lebih terkejut lagi melihat sekop terangkat siap menyerang.

“Tenanglah! Aku bukan penyusup. Aku hanya masuk untuk mengembalikan anak ayam ini. Rupanya ia kabur saat ada orang menyusup.”

“Apa? Kabur?”

Hazel segera memeriksa kondisi Tiberius. Selain bulu yang agak berantakan, tidak ada luka berarti.

“Dasar nakal, sebaiknya kau nanti kuikat saja seperti anjing.”

Ia menegur tegas lalu mengembalikan Tiberius ke kandang.

“Terima kasih banyak. Aku benar-benar merepotkanmu lagi.”

Hazel menunduk tulus pada Sir Valentine, kemudian segera bergegas memeriksa meja. Lembar menu yang tadi ia sisipkan sehelai rambut di antara kertas lainnya kini kosong. Rambut itu sudah hilang—ada yang membukanya.

“Benar saja.”

Hazel menghela napas.

“Sudah kau duga?” tanya Iscandar.

“Ya. Sepertinya ada yang berusaha merusak masakanku untuk lomba.”

“Siapa?”

“Aku tidak tahu. Hanya firasat. Jadi aku membuat perangkap sederhana sebelum pergi tadi. Lawanku tidak tahu menu apa yang kupersiapkan. Normalnya mereka akan mencoba mencari tahu ke pihak panitia, tapi Kepala Dayang, Duchess Winterfeld, terlalu ketat untuk dibobol. Karena itu aku menduga mereka akan langsung mengincarku. Makanya kutinggalkan menu palsu ini.”

“Menu ini….”

“Tentu saja palsu.”

“Pantas.”

Iscandar akhirnya paham.

“Pai sarden dengan saus peterseli hijau… hanya orang yang hilang akal karena stres lomba yang akan membuat itu.”

Hazel sedikit terkejut mendengar komentarnya.

“Sir Valentine tahu hidangan itu? Padahal itu hanya makanan desa pesisir terpencil.”

“Aku sudah berkelana ke banyak tempat. Sudah makan berbagai makanan aneh, tapi pai sarden itu salah satu yang paling ekstrem.”

“Benar. Kepala ikan yang nongol dari kulit pai saja sudah menyeramkan. Ditambah perpaduan rasa tepung dan amis ikan… sekali gigit bisa bikin mulut bau berjam-jam.”

“Kalau sampai menelan, sebaiknya segera tutup jendela rapat-rapat. Kalau tidak, baunya terbawa angin dan semua orang menjerit.”

“Kau sangat tahu rupanya.”

Hazel terkekeh.

“Makanya aku tambahkan saus peterseli segar di atasnya, supaya makin buruk rasanya.”

“Kenapa? Kau dendam dengan para juri lomba?”

“Tidak. Ini jebakan.”

“Jebakan? Bagaimana bisa?”

Apa lagi yang direncanakan gadis petani ini?

Iscandar menatapnya penuh rasa ingin tahu.

“Itu semacam strategi menjebak pengkhianat dengan memberi informasi palsu. Bedanya kali ini untuk menangkap penyusup.”

Hazel menjelaskan,

“Di hari lomba nanti aku akan menaruh pai ini lebih dulu. Para gadis bangsawan pasti menjauhi makanan amis menjijikkan ini. Hanya satu orang yang akan mendekat: orang yang tahu pai sarden adalah menu pilihanku.”

“Begitu rupanya. Jadi itu caramu menangkap dalang di balik semua ini.”

Iscandar mengangguk, akhirnya mengerti. Strategi sederhana, tapi sangat sesuai dengan lawan yang setingkat gadis bangsawan yang hobi mencuri makanan manis.

Hazel memang luar biasa. Bermodal naluri saja ia berani pasang jebakan dan pergi meninggalkan rumah.

Tapi sebentar… Kenapa aku malah mengakuinya?

Ekspresi Iscandar berubah-ubah, namun Hazel tak menyadarinya karena sibuk melepas topi dan menggantungnya di dinding.

“Aku pasti akan menemukan penyusup itu dan menggagalkan rencananya. Aku tak akan membiarkan siapapun merusak masakanku.”

“Padahal, hidangan ini sendiri sudah cukup rusak, bukan?”

“Memang. Tapi ambisi para pesaing jauh lebih kuat dari yang bisa kubayangkan. Aku sendiri sampai jadi paranoid. Rasanya seperti kisah ‘Si Babi Kecil Zachary’ yang selalu takut dimakan siapa pun. Tak kusangka aku akan bernasib sama.”

“Zachary?”

“Kau tak baca waktu kecil? Dongeng terkenal itu. Seekor babi kecil yang yakin seluruh dunia mau memakannya.”

Hazel heran melihat ekspresi aneh di wajah Iscandar.

Kenapa tampak begitu kagum?

Tentu ia tidak tahu, sang kaisar terpesona karena seorang gadis desa pernah membaca dongeng di masa kecilnya.

Apalagi, membacanya dengan sikap kritis di usia tujuh tahun? Bagaimana sebenarnya ia tumbuh?

Iscandar hanya melirik Hazel sekilas, lalu berbalik.

“Kalau begitu, aku pamit dulu.”

“Baik. Sampai jumpa di pesta dansa. Aku akan pakai gaun kuning.”

“Ah, gaun.”

Langkah Iscandar terhenti.

Hanya menyebut gaun saja sudah membuatnya puas—bukti bahwa usahanya berbuah hasil. Siapa yang tidak senang pekerjaannya diakui?

“Pasti gaun yang indah, kan?”

“Tentu. Lord Lewis, kolektor gaun terbaik di istana, dengan murah hati memberikannya padaku. Bahkan Sir Siegbalt, yang ahli mode, ikut memilihkannya.”

“Sebentar. Siapa ahli apa?”

“Sir Siegbalt, Komandan Ksatria Petir.”

…Ahli? Dia itu hanya maniak kulit beruang!

Kegelisahan mulai merayap.

“Boleh kulihat gaunnya?”

Hazel agak heran dengan minat mendadak Sir Valentine, tapi segera bergegas mengambil kotak dan membukanya penuh kebanggaan.

“Cantik, kan?”

Wajah Iscandar langsung membeku.

Kekhawatirannya nyata.

Apa-apaan ini? Kostum badut?

Satin kuning mengilap bagai sisik ikan, ditambah desain yang kelewat ramai. Rok berlapis-lapis penuh renda, bahu menonjol menjulang tinggi, plus selempang raksasa seperti jenderal perang.

Hazel melihat ekspresinya dan langsung tahu ada yang tidak beres. Ia panik dan buru-buru beralasan.

“A-aku pikir harus besar dan mencolok supaya menarik perhatian. Kainnya kupilih sesuai warna favorit Lord Lewis, sementara selempang melambangkan kemenangan—”

“Itu bukan gaun! Itu totem!”

“Totem? Maksudnya apa?”

“Simbol keagamaan!”

Iscandar menepuk kening.

Padahal ia sudah mengirimkan orang untuk membantu, tapi tampaknya semua sibuk dengan urusan lain. Untung saja ia sempat meminta Hazel menunjukkan gaunnya.

“Aku bukan pakar busana, tapi aku tahu satu hal: kalau kau masuk ke pesta dansa istana dengan gaun ini, semua orang akan menertawakanmu. Lewis pun akan malu. Lihat saja renda ini—sudah kusut seperti kertas koran.”

“Karena aku terlalu senang, jadi sering kubuka untuk kulihat lagi….”

“Baiklah, ayo kita rapikan dulu. Tolong pegang bagian bawahnya.”

Hazel menurut. Mereka berdua menarik ujung rok bersamaan.

Kreekk!

Renda bawah gaun terlepas bersih.

“Ah!”

Keduanya melotot kaget.

“Biasanya begini cara merapikan lipatan sprei, kan?”

“Betul… tapi gaun ini….”

Keduanya terdiam, menatap gaun yang kini mendadak menjadi mini. Hazel pucat pasi, berbisik lirih:

“Bagaimana ini…?”

Iscandar pun ingin sekali memutar balik waktu.

Satu-satunya cara: membuat ulang.

Tapi membeli gaun di butik istana berarti jadi bahan gosip. Tidak ada pilihan.

“Harus kita perbaiki sendiri.”

“Ya, tapi… aku benar-benar tak tahu caranya. Aku bahkan tak pernah melihat gaun secara langsung selain ini. Sir Valentine mungkin lebih berpengalaman?”

“….”

Ya, sebenarnya benar. Seorang kaisar jelas lebih sering melihat gaun istana daripada gadis desa.

Sekarang beban ada padanya.

Iscandar termenung.

Baiklah. Aku yang bilang untuk merapikan, aku yang harus bertanggung jawab.

Namun… duduk di rumah sederhana, menatap gaun kuning robek—rasanya sungguh absurd.

Siapa aku? Di mana ini?

Aku Iscandar Lionsroar deon Alecto, Kaisar Kesembilan Ramstein, pewaris sah darah naga Angheles. Dan sekarang… aku dipaksa memperbaiki gaun pesta?

Saat ia hampir karam dalam renungan eksistensial, suara Hazel menariknya kembali.

“Mungkin harus dijahit lagi?”

“Tidak. Itu berisiko makin merusak.”

“Benar juga….”

“Izinkan aku memikirkannya. Aku harus ingat gaun-gaun yang biasa kupakai.”

Iscandar menutup mata, mengerahkan teknik meditasi yang ia kuasai lewat latihan keras. Ingatannya menajam.

Pagi tadi saja, ia sudah melihat 27 wanita bangsawan dan satu pria bersalin gaun melewatinya. Ia mengulang satu per satu dalam pikirannya.

Akhirnya pandangannya berhenti pada rok berlapis-lapis Hazel.

“Pertama-tama, semua lipatan berlebihan ini harus dibuang. Di istana tidak ada gaun seperti ini.”

“B-Baik….”

“Jangan khawatir, Lady Mayfield. Intinya hanya meniru apa yang sudah ada.”

Hazel pun menatap ksatria berambut hitam itu yang kini berbicara penuh keyakinan.

Paradoksnya, meski sama sekali bukan bidang seorang ksatria, ketika Iscandar membongkar dunia gaun, justru terpancar keberanian, keyakinan, dan wibawa khas seorang prajurit. Andai ini benar-benar medan perang, Hazel merasa dirinya bisa saja menjadi salah satu prajurit yang rela mengikutinya tanpa ragu.

“Baiklah.”

Hazel segera mengambil kotak peralatan jahit.

“Aku akan percaya sepenuhnya pada Sir Valentine.”

“Akan kulakukan sebisaku.”

Begitulah perbaikan gaun dimulai.

Hiasan ruffle yang bergelombang bagai gumpalan telur kodok ternyata adalah hasil kerja tangan seorang penjahit, yang dengan telaten menjahitkan lipatan kain satu per satu. Hazel hati-hati menggunting benang jahit bagian dalam dengan gunting kecil agar kain satin mahal itu tidak tergores.

Begitu semua hiasan lipit terlepas, kain pun terhampar rata. Gaun yang tadinya tampak terpotong kini kembali panjang. Memang agak kusut, tapi jauh lebih baik dari sebelumnya.

“Jangan pernah dilipat lagi.”

“Setuju, jangan sekali-kali.”

Keduanya cepat sepakat.

Berikutnya, Iscandar mencabut selempang bahu raksasa yang begitu dibencinya. Setelah berpikir sejenak, mereka memanfaatkannya sebagai ikat pinggang. Hazel menarik kedua ujungnya hingga terbentuk pita besar yang lentur dan hidup.

Harapan mulai terlihat.

Bagian bahu, yang tadinya menggelembung aneh, dipotong langsung oleh Iscandar dengan gunting tajam tanpa ragu. Begitu bantalan tebal di dalamnya dikeluarkan, bahu gaun pun langsung melorot lembut. Hazel merapikan bagian sisa kain, lalu menjahitnya kembali.

“Hmm… agak polos ya.”

“Bahkan tampak miskin.”

Mata mereka serempak tertuju ke lantai.

Di sana tergeletak renda bagian bawah yang tadi mereka copot.

Hazel memotong bagian renda yang paling indah dan halus. Setelah berdiskusi sebentar, mereka sepakat menambahkan renda itu di garis bahu. Hasilnya, gaun sederhana itu kini memiliki sentuhan pesona lembut.

Perbaikan pun selesai.

Iscandar menilai gaun itu dari atas ke bawah.

Aksesori besar yang konyol sudah dibuang, digantikan oleh renda lembut di bahu dan pita besar di pinggang. Karena bahannya memang sangat mewah, hasil jahitan amatir pun justru terlihat seperti desain yang disengaja. Secara keseluruhan, gaun itu kini tampak manis, muda, dan sesuai dengan rambut cokelat gelap serta mata hijau Hazel. Dipakai di pesta nanti, Hazel bahkan bisa mendapat poin tambahan hanya dari kecocokan warnanya.

“Bagus. Lolos.”

Kaisar Ramstein IX merasa puas.

Hazel pun puas.

Sekalipun ia bukan ahli gaun, jelas gaun ini jauh lebih baik dibanding semula. Jahitannya memang tidak terlalu rapi, tapi cukup kuat untuk bertahan semalam.

Hazel berseri-seri, tapi tiba-tiba wajahnya menegang.

“Ah, tapi kalau Lord Lewis melihat gaun ini…”

“Tak perlu khawatir. Kalau Lewis yang dikenal pandai bergaya bisa sampai memilih gaun seperti tadi, berarti pikirannya sedang melayang entah ke mana. Dia bahkan mungkin sudah lupa. Begitu melihatmu dengan gaun ini, ia malah akan membanggakan dirinya: ‘Benar kan? Pilihanku memang tepat.’ Dan Sir Siegbalt? Dia tahu kenyataannya, tapi pasti akan diam saja.”

“Semoga benar begitu….”

Hazel menjawab sambil memutar bola matanya pelan.

Sepertinya Sir Valentine mengenal Lewis dan Siegbalt dengan baik. Bahkan tadi sempat hampir memanggil “Zig” sebelum menahan diri.

Kalau sekadar menyebut nama saja sih wajar. Tapi “Zig” jelas panggilan akrab.

Hazel melirik pria berambut hitam di depannya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.

Mungkinkah mereka berteman dekat?

Meski baru sebentar tinggal di istana, Hazel sudah merasa akrab dengan Lewis dan Siegbalt. Keduanya hangat dan ramah. Tak heran Hazel penasaran.

‘Apakah Sir Valentine dekat dengan mereka?’

Pertanyaan itu hampir saja meluncur dari bibirnya, tapi ia menahan diri. Bukan saatnya membahas hal semacam itu.

Hazel melirik keluar jendela. Langit sudah temaram, artinya sudah lewat pukul tujuh.

Lebih dulu ia harus menyiapkan makan malam. Itu yang utama.

Pria ini memang sulit ditebak, tapi Hazel mulai sedikit memahami caranya bergerak.

“Sir Valentine… bukankah sekarang sudah saatnya Anda menghilang begitu saja?”

Iscandar tersentak.

Sejak kapan ia duduk bersandar santai di kursi, bahkan menyilangkan kaki?

Segera ia bangkit berdiri.

“Benar juga. Ini biasanya saat aku dipaksa makan malam dulu sebelum pulang.”

“Tidak. Kali ini tidak ada makan malam.”

“Tidak ada?”

Hazel berbalik.

“Masalah gaun sudah beres, jadi kita harus lanjut ke tahap berikutnya. Gaun memang penting, tapi yang benar-benar penting adalah masakan. Aku akan mulai latihan membuat hidangan utama untuk lomba: sebuah jamuan bergaya pertanian, terinspirasi dari para bangsawan kere yang tumbang di taman kemarin. Karena ini latihan sungguhan, akan lebih baik kalau ada seorang bangsawan yang bisa mencicipinya….”

Iscandar hanya terpaku mendengar gumaman itu.

Dia sempat lengah ketika mendengar “tidak ada makan malam.” Itu kesalahan fatal.

Nyatanya, tetap saja Hazel berniat memasak.

Dan anehnya, hanya mendengar kata “jamuan bergaya pertanian” saja, perutnya mendadak keroncongan. Seperti nyanyian siren yang tak bisa ditolak, setiap kali gadis itu bicara soal makanan, ia langsung tergoda.

Jamuan bergaya pertanian yang sederhana.

Kalau dipikir, ia memang seharian penuh tersiksa dengan urusan negara, lalu dipaksa berpikir keras soal gaun. Bahkan barusan menjahit pun rasanya seperti kerja kasar.

Ya. Aku lapar.

Segala gengsi pun runtuh.

Persetan. Kenapa aku harus menahan lapar? Aku ini kaisar! Seharian bekerja demi negara, wajar kalau aku makan!

“Kenapa aku bicara sendiri begini? Sir Valentine biasanya sudah lenyap di saat-saat seperti ini….”

“Belum pergi.”

“Kalau begitu, makanlah roti ini.”

Hazel secepat kilat meletakkan piring berisi roti jelai yang sudah dipotong tebal-tebal, ditemani sepotong kecil mentega.

Pemandangan sederhana itu saja sudah terasa menenangkan.

“……”

Iscandar perlahan meraih sepotong.

Di masa lalu, siapa pun yang berani menyajikan roti beberapa hari lewat kepada kaisar pasti dihukum mati.

Tapi roti ini berbeda. Disimpan dengan baik, aromanya bersih, teksturnya kenyal dengan kulit keras yang menjaga kelembapan. Rasa jelai memberi keharuman gurih, apalagi bila diberi sedikit mentega.

Hazel bersorak dalam hati melihat roti itu cepat habis.

Ya, beginilah seharusnya. Seorang tamu tak boleh dipulangkan dengan perut kosong. Apalagi Sir Valentine sudah dua kali menolongnya. Ia punya kewajiban memberi jamuan yang layak.

Hazel pun mengeluarkan ayam segar dari keranjang. Untuk latihan, tapi kualitasnya sebanding dengan ayam yang akan dipakai di lomba. Iscandar, sambil terus makan roti, memperhatikan.

“Menu lombanya ayam, ya?”

“Benar. Aku akan memanggangnya dengan cara tradisional, tapi seenak mungkin.”

“Ooh….”

Bagi Iscandar, ayam panggang bukan hal asing. Saat menjadi pangeran pengembara yang kerap tidur di luar, ayam cukup dipetik bulunya lalu dibakar di api unggun.

Tapi cara Hazel tampak berbeda.

Ia memotong sayap dan ekor, membuang lemak, lalu melumurinya dengan mentega herbal. Di dalam perut ayam, ia masukkan daun salam dan bawang putih. Lalu menggosok kulitnya dengan minyak zaitun murni agar renyah di luar dan juicy di dalam.

Akhirnya, ayam dibumbui dengan garam, merica, dan sedikit rempah sebelum masuk oven.

Sambil ayam dipanggang, Hazel menyiapkan telur rebus air. Ia memecahkan telur segar ke dalam air mendidih yang diberi garam dan cuka. Putih telur kenyal dan kokoh, kuningnya montok berkilau.

Begitu matang, ia menaburinya dengan sedikit peterseli.

“Ini telur yang luar biasa segar. Sebaiknya dimakan sebagai poached egg untuk merasakan rasa aslinya.”

Iscandar meletakkan telur di atas roti jelai, menusuknya dengan garpu, dan kuning telur yang kental pun mengalir menggoda. Satu suapan saja sudah membuatnya terpesona.

“Luar biasa.”

Ia melahap terus sambil tak henti memuji.

Aroma ayam panggang memenuhi udara. Hazel kini mengeluarkan sayur-mayur segar dari keranjangnya.

“Aku akan memasaknya sederhana, supaya rasa aslinya tetap menonjol.”

Sayuran itu terlihat mengilap, segar, dan ranum.

Iscandar mengambil satu wortel. Warnanya oranye pekat hingga seakan bisa meneteskan jus manis. Bahkan sebelum dimasak, aromanya segar dan manis.

Ia sedang terpukau ketika suara kecil Hazel terdengar di sampingnya.

“Cantik sekali. Benar-benar tampan….”

Iscandar spontan mengernyit.

Ucapan itu terlalu sering ia dengar sejak kecil, biasanya dari orang yang ingin mencari muka. Dan kini gadis desa ini juga begitu? Sedikit jengkel, ia menoleh—

Ternyata bukan dirinya yang dipuji.

Hazel sedang menatap kentang dengan mata berbinar.

“Bagaimana bisa kentang secantik ini? Bisa bikin banyak petani jatuh hati.”

“……”

Tanpa sadar, Iscandar mengepalkan tinju. Plok! wortel di tangannya hancur berantakan.

Hazel terlonjak kaget.

“Sir Valentine, tenaga Anda luar biasa! Tapi… kenapa tiba-tiba menghancurkan wortel?”

Iscandar gugup mencari alasan.

“A-Aku hanya… membantu.”

“Apa?”

Hazel makin heran.

Biasanya, tamu yang membantu di dapur adalah hal biasa di desa—sebuah kebersamaan yang hangat. Tapi ksatria ini?

Hebat sekali. Hazel semakin kagum.

Namun wortel remuk itu membuatnya cepat sadar: kalau tangannya bisa menghancurkan wortel sekeras itu, maka siapa pun musuhnya pasti harus ekstra hati-hati.

“Baiklah… tapi bantuanmu agak berlebihan. Sebenarnya wortel ini hanya akan kukukus sederhana agar rasa aslinya keluar.”

“……?”

“Lihat, aku akan kukus bersama kembang kol. Kalau Sir Valentine benar-benar ingin membantu…”

Hazel menumpahkan sekeranjang kacang polong ke meja.

“…tolong kupas ini.”

Iscandar membelalak.

Menyuruh Kaisar Kekaisaran Ramstein mengupas kacang? Sungguh lancang!

Namun Hazel justru merasa sedang bermurah hati. Menurutnya, mengupas kacang adalah bagian paling menyenangkan, jadi pantas diberikan pada tamu.

Hazel mulai memotong sayuran lain, sementara Iscandar terpaksa membuka polong demi polong, mengeluarkan butir kacang satu per satu. Anehnya, pekerjaan sederhana itu membuatnya tenang, bahkan terasa menyenangkan.

Ini… lumayan juga.

Ia kaget sendiri menyadari pikirannya.

Hazel terus berceloteh sambil sibuk menyiapkan bahan.

“Bayangkan, pasar sedekat itu dan barangnya sehebat ini! Benar kata kakek, lokasi rumah ini memang terbaik. Semua hasil bumi dari berbagai penjuru dikirim ke sini. Suatu hari nanti, aku akan menanam semuanya. Ya, semua yang ada di pasar itu akan kutanam sendiri!”

Apa-apaan… semua?

Iscandar hanya bisa tertegun, lalu melirik tangannya sendiri. Hazel kini sedang membersihkan sejenis jagung mini berwarna gading pucat.

“Apa itu jenis jagung kecil?”

“Bukan, ini jagung biasa. Bedanya dipetik lebih awal sebelum diserbuki. Jadi teksturnya lembut, manis, dan bisa dimakan utuh.”

“Ah…”

Iscandar menatap jagung mungil itu dengan wajah seolah tertampar kenyataan baru.

“Ternyata bahkan saat masih sekecil ini pun bisa dimakan. Kalau tahu begitu, waktu itu pasti sudah kumakan.”

Hazel mengernyit heran.

“Kapan maksudnya?”

“Waktu aku tersesat. Seharian penuh berputar-putar tanpa arah, tapi di mana pun kulihat hanya ada jagung-jagung muda. Baru setelah keluar aku sadar, itu ternyata ladang jagung liar.”

“……?”

“Di wilayah perbatasan.”

“……??”

“Aku sedang dalam ekspedisi. Kalau pergi terlalu jauh, bisa berhari-hari tak bertemu siapa pun, jadi harus bisa bertahan hidup sendiri.”

“Ah, begitu….”

Hazel mengangguk setengah paham.

Apa-apaan lagi cerita aneh ini? Benar-benar orang yang sulit dimengerti.

Sambil berpikir begitu, ia memeriksa kukusan.

Kacang terakhir sudah matang. Hazel mengeluarkan sayur-sayuran yang masih mengepulkan uap panas, lalu menatanya di piring dengan warna-warna yang serasi.

“Biasanya, untuk hidangan kukus sayuran seperti ini, orang akan menambahkan batang herbal lalu dikukus bersama, atau meneteskan jus lemon ke dalam air agar aromanya meresap, atau menyajikannya dengan saus khusus. Tapi untuk lomba kali ini, aku akan menyajikannya apa adanya, tanpa tambahan apa pun—hanya sayuran terbaik yang kupilih.”

Artinya, ia mempertaruhkan hasilnya pada kualitas bahan.

Iscandar mencicipi satu per satu, dan segera mengerti bahwa itu strategi yang cemerlang.

Berbicara soal perbatasan, ia jadi teringat satu kejadian. Seusai memenangkan pertempuran, dalam perjalanan pulang, gerobak perbekalan tertukar sehingga mereka terpaksa menjalani hari-hari dengan makanan serba sayuran. Bagaimanapun perut harus diisi, jadi mereka bahkan melahap wortel sampai tak bersisa, meski wajah semua prajurit tampak sengsara.

Saat itu, seorang juru masak dari desa tiba-tiba bersuara:

“Kalau Bapak pernah mencicipi wortel asli, yang langsung dicabut dari tanah… begitu digigit, rasanya seperti masuk surga. Kedengarannya bohong, kan? Tapi sungguh. Setelah sekali mencicipi, wortel lain terasa hambar.”

Kisah itu, yang dulu terdengar seperti legenda di balik uap sup sayur…

Baru sekarang Iscandar benar-benar mengerti.

Wortel asli yang dimaksud adalah ini.

Setelah seumur hidup makan masakan istana yang penuh lemak, rasa sayur yang sederhana ini justru terasa begitu harum dan langka.

Jagung mini segar, penuh jus manis dengan gigitan renyah. Kembang kol putih lembut, asparagus dengan sedikit rasa pahit yang justru menggugah selera. Semuanya baru, bersih, dan segar—seolah sedang mencicipi hidangan kukus mewah dengan bahan dari negeri asing.

Dan di antara itu semua, bagaikan permata kecil, tersebar kacang putih, kacang merah, dan kacang polong hijau. Hanya dengan melihatnya saja sudah terasa menyenangkan. Benar-benar semangkuk kebun sayur—sebuah hidangan yang menjadi simbol pertanian itu sendiri.

“Aneh sekali. Padahal dulu saat aku memanggang kacang di api unggun, rasanya sungguh buruk….”

“Itu karena ada caranya. Kalau polongnya ditaburi garam lalu dipanggang utuh sampai renyah, rasanya luar biasa. Kalau nanti Tuan bertualang lagi, coba saja.”

“Hm… kurasa untuk sementara itu tidak mungkin.”

Percakapan mereka terasa seperti kadang nyambung, kadang tidak. Saat Hazel menghabiskan piringnya…

Akhirnya ayam panggang matang.

Inilah hidangan utama jamuan malam ini.

Begitu oven kayu merah menyala dibuka, panasnya sampai hampir membakar kulit. Ayam panggang yang mengilap keemasan muncul. Iscandar spontan berdiri hendak mendekat—

“Jauh, jauh. Jangan mengganggu.”

Hazel melambaikan tangan, mengusirnya. Tidak mungkin ia menyerahkan momen membanggakan ini—menyajikan ayam panggang sempurna di atas meja—bahkan pada ksatria yang sudah banyak membantunya.

Setelah ratusan kali berlatih, Hazel dengan cekatan mengangkat nampan dan menaruhnya dengan mantap di meja.

Minyak menetes dari ayam panggang, meletup-letup dengan suara menggoda. Kulit yang dioles minyak zaitun dan dipanggang garing merekah sendiri, mengeluarkan uap putih harum.

Iscandar terpana.

Padahal sudah makan roti, telur, dan sayur kukus, tapi tiba-tiba rasa lapar menyerangnya lagi, seolah tak pernah makan seharian.

“Lihatlah, matangnya sempurna.”

Hazel menjepit paha ayam gemuk dengan penjepit, merobeknya, lalu menaruh satu di piring tamu, satu lagi di piringnya sendiri.

Dan mereka mulai makan.

Paha ayam terasa kenyal, berbumbu pas. Kulitnya garing, dengan garam dan merica yang membuat rasa semakin mantap. Dagingnya empuk, lembut, lumer di mulut—inilah arti sebenarnya dari “meleleh di lidah.”

Setiap kali daging disobek, uap panas dan aroma gurih bercampur lemak harum menyeruak, meresap ke dalam bawang, kentang, dan labu yang diletakkan di bawah ayam.

Seandainya masih ada ruang, aku lebih memilih tambah ayam lagi daripada makan ini semua.

Begitu ia pikir. Namun setelah mencicipi kentang yang matang sempurna, ia tak bisa berhenti.

“Dengan ini pasti lebih nikmat.”

Hazel membuka botol cider apel dari pasar. Manis segar cider berpadu dengan daging ayam yang sudah lembut, menghasilkan rasa luar biasa.

Tak diragukan lagi—ini ayam panggang terenak di dunia.

Iscandar makan dengan penuh perasaan, bahkan sampai ke tulang rawan pun terasa lezat. Hampir saja ia menggerogoti tulangnya juga. Perutnya sudah penuh sesak, tapi ia tak bisa berhenti sebelum bawang dan labu pun habis.

Ketika sadar, Hazel menatapnya dari seberang meja, mulut sedikit ternganga.

Iscandar jadi salah tingkah.

Baru teringat—ini seharusnya sesi menilai masakan.

“Masakan yang sangat luar biasa, Nona Mayfield. Bahan yang unik, ide yang segar, dan teknik memasak yang tinggi. Aku yakin hasilnya akan sangat baik.”

Nada serius dan tegasnya seolah ingin mengubur habis kenyataan bahwa barusan ia makan dengan rakus tanpa henti.

Hazel tak mempermasalahkan. Baginya, tamu sudah kenyang adalah tujuan utama. Ia puas.

Tapi Iscandar sendiri merasa amat canggung.

Sejak lahir, seorang kaisar selalu jadi tontonan. Ia terbiasa memandang dirinya lewat mata orang lain, seakan tak pernah ada waktu benar-benar pribadi. Rasanya seperti aktor yang seumur hidupnya tak pernah turun panggung.

Namun kenapa tadi ia melahap ayam tanpa peduli pandangan siapa pun?

Tadi jelas-jelas aku datang dengan pikiran: ini perang, aku akan menghadapi monster….

Memikirkan itu, ia makin malu.

Hazel, tak tahu isi hati lawan bicaranya, mulai membereskan meja sambil berkata:

“Terima kasih atas pujiannya. Kalau semua berjalan baik, itu berkat Lord Valentine. Dress untuk masuk ke pesta dansa sudah Tuan betulkan dengan sangat baik.”

“Ah, soal itu….”

“Aku tahu. Tidak akan kuberitahu siapa pun. Bahkan kalau kita bertemu di pesta nanti, aku akan berpura-pura tidak kenal.”

“Pesta itu… aku tidak akan hadir. Ada tugas lain.”

“Benarkah? Ternyata Tuan sibuk sekali. Kalau begitu… selamat malam. Oh, tunggu.”

Hazel berlari kecil ke kandang ayam, menggendong Tiberius yang baru saja tertidur.

“Waktu itu aku menuduhmu penyiksa anak ayam, kutarik kata-kataku. Tiberius, kalau bukan karena Lord Valentine, kau pasti sudah tak ada. Ayo, beri hormat.”

“Cukup, Tiberius.”

Iscandar segera berbalik.

Ia meninggalkan ruang hangat yang dipenuhi cahaya lampu dan aroma lezat, masuk ke dalam kegelapan pekat.

Sambil berjalan, ia melanjutkan pikirannya.

Tempat itu benar-benar membuat orang lupa siapa dirinya. Wajar jika Menteri Dalam Negeri, Lewis, bahkan Cayenne pulang dari sana dengan wajah lebih tenang.

Akhirnya ia menemukan jawabannya.

Tapi… itu bukan kelemahan.

Sudahlah. Merepotkan.

Perut kenyang, kantuk, dan rasa bersalah bercampur aduk membuat pikirannya semakin kusut.

Ia berjalan cepat, seperti ksatria dalam misi rahasia, kembali ke istana. Bahkan sebelum para penjaga menyadarinya, ia sudah lenyap di dalam.

Di waktu yang sama, dari kejauhan, Hazel berdiri di ambang pintu rumah, menatap arah ia menghilang. Kali ini benar-benar ingin memastikan, tapi hanya dengan sekali kedipan mata, Lord Valentine sudah lenyap lagi.

“Kau lihat?”

Ia menoleh ke Tiberius. Anak ayam itu hanya memutar bola mata.

“Pasti ada rahasia besar.”

Hazel berdiri sejenak, lalu kembali masuk. Saat membereskan dapur, matanya tertumbuk pada selembar kertas berisi menu palsu.

“Sekarang ini sudah tak perlu.”

Ia segera merobek kertas itu dan membuangnya.

***

Pada saat yang sama.

Di Jalan Latrafontaine, deretan rumah besar tempat para bangsawan daerah menyewa kediaman agar bisa menetap dan beraktivitas di ibu kota.

Dari sebuah rumah mewah berdinding bata merah dengan teras megah, terdengar suara pertengkaran keras.

“Orang tua bukanlah pelayan yang mengerjakan tugas etiket untukmu! Masa hal sepele begini pun harus kami yang mengatur?”

“Hanya kali ini saja! Tidak akan ada yang kedua!”

Di hadapan orang tuanya yang membentak, Kitty Diavelli bergetar hebat.

Namun, rasa takutnya bukan karena amarah orang tua.

Hazel Mayfield.

Gadis petani itu kini menjadi sumber kegelisahannya.

Nona Mayfield ternyata sama sekali bukan lawan yang mudah.

Aku butuh rencana yang jauh lebih sempurna.

Kitty menggigit bibirnya.

Beberapa hari terakhir ia benar-benar dibuat pusing.

Hazel benar-benar nyaris tanpa celah. Apalagi setelah insiden tea party, kewaspadaannya terhadap makanan yang dibuat orang lain semakin meningkat. Mustahil baginya untuk sekadar menyelundupkan cairan ungu yang diberikan ibunya.

Perlu penyelidikan lebih dulu.

Kitty berusaha dengan segala cara mencari tahu menu yang sedang disiapkan Hazel. Namun semua upaya mendekat berujung kegagalan. Akhirnya, ia memikirkan satu cara lain: pasar.

Kalau mau memasak, tentu harus belanja.

Maka ketika Hazel pergi ke pasar, Kitty diam-diam membuka pintu rumahnya yang terkunci. Kebetulan ia melihat selembar kertas tergeletak di meja makan. Itu menu masakan Hazel. Tapi masalahnya……

“Aneh sekali. Terlalu mudah. Apakah benar semudah ini? Rasanya tidak masuk akal. Tidak mungkin sesederhana itu.”

“Apa maksudmu!”

Ibunya membentaknya.

“Gadis tani itu pasti lengah. Dan wajar saja lengah, karena menunya sudah sempurna. Pai sarden! Licik sekali. Membuat pai dari sarden, siapa yang bisa membayangkan? Kau juga harus belajar. Sekali kau mampu menghancurkan pola pikir orang, setengah kemenangan sudah di tangan. Meski rasanya biasa saja, orang akan merasa itu istimewa.”

“Apalagi tangan masaknya terkenal hebat, bukan? Pai sarden itu pasti luar biasa enak.”

Count dan Countess Diavelli menelan ludah. Membayangkan makanan lezat membuat siapa pun ngiler, bahkan pasangan tamak seperti mereka.

Mereka sama sekali tak tahu, menu itu hanyalah jebakan yang menyebarkan bau amis.

Pada saat itu juga—

‘Gadis tani’ Hazel Mayfield, yang mereka waspadai mati-matian, sedang……

“Haaah, ngantuk sekali.”

Menguap sambil memotong-motong sarden.

Hari yang panjang membuat tubuhnya letih, tetapi ia harus segera memasak. Minyak amis dari sarden perlu waktu cukup lama untuk meresap ke kulit pai, dan ada alasan lain yang lebih penting.

Naluri Hazel selalu mendorongnya membuat masakan se-enak mungkin. Ia khawatir jangan-jangan secara tidak sengaja ia benar-benar membuat pai sarden itu lezat. Karena itu, ia sengaja memanggangnya setengah mengantuk.

“Jangan buang semua isi perutnya… cukup campur kasar saja….”

Dengan mata setengah terpejam, ia mengaduk asal-asalan dengan satu tangan.

“Pokoknya seadanya. Serba asal.”

Begitulah, ketika setiap orang sibuk dengan pikiran masing-masing—seperti aneka sayuran dalam kukusan—

Hari pesta dansa akhirnya tiba.

***

Di Kekaisaran Bratania, pesta dansa awal musim panas di istana disebut “Pesta Bunga”. Sebab pada masa itu, taman istana penuh bunga—mawar, iris, peoni, hortensia, lili—bermekaran dengan paling indah.

Dan pada hari pesta, taman itu berubah semakin gemerlap.

“Orang-orang memang suka kalau kami pamerkan kekayaan begini.”

“Sedikit saja tahanlah, meski berat.”

Para pelayan wanita yang sedang menggantung lentera berbentuk bunga di pepohonan menoleh kaget.

Di bawah lengkung putih, seorang gadis berambut pirang emas menawan sedang berjalan.

Wajahnya pucat seputih renda yang menghiasi gaun ungu muda, tangannya halus terselip di balik lengan gaun berpotongan lebar sesuai mode terbaru. Mata birunya sebening langit.

Itulah Lady Athena, Grand Duchess, yang tersohor sebagai wanita tercantik di seluruh kekaisaran.

Para pelayan tertegun sejenak. Seseorang bahkan berdesah lirih:

“Hari ini beliau terlihat makin cantik.”

Athena mendengarnya.

Tanpa basa-basi, pujian jujur seperti itu membuat hatinya bahagia. Memang, sanjungan soal kecantikan tak pernah membosankan.

Para bangsawan muda yang mengiringinya segera ikut menyanjung:

“Lihatlah. Bahkan para ahli bunga pun tak bisa menahan diri. Semua bunga di taman ini kalah bersinar oleh kecantikan Grand Duchess.”

“Anda bagaikan perwujudan bunga itu sendiri. Bahkan Dewi Flora pun pasti malu hingga menutupi wajahnya.”

Semua berlomba mengucap sanjungan. Mereka yakin, suatu saat sang calon permaisuri akan menghargai kesetiaan mereka dan menjodohkan mereka dengan pria tampan kaya raya.

Namun di balik sanjungan dan rasa kagum tulus itu, ada pula bisikan batin gelap:

Athena begitu cantik dan berkuasa—bukankah suatu hari ia bisa jatuh? Saat itu, mungkin akulah yang akan menggantikan posisinya sebagai permaisuri.

Athena, yang seumur hidup tak pernah merasa minder, tentu saja tak menyadari. Segala hal baginya terasa terlalu mudah.

Misalnya……

“Grand Duchess! Grand Duchess!”

Madam Branches, kepala dayang sekaligus pelayannya, berlari tergopoh-gopoh dengan wajah merah padam.

“Kenapa memanggilku begitu keras?”

“Anda sudah berdandan begitu indah, tapi malah berkeliaran! Bukankah Anda berjanji akan duduk manis? Kami sudah mencari Anda ke mana-mana!”

“Maaf. Aku hanya mampir sebentar ke Istana Permaisuri Janda. Aku ingin memperlihatkan penampilan ini.”

Athena tersenyum manis penuh pesona. Dengan begitu, tak seorang pun bisa benar-benar marah padanya. Sejak kecil ia selalu berhasil begitu.

Dayang kepala pun langsung luluh.

“Betapa baktinya Anda! Bagaimana kabar Yang Mulia?”

“Wajah beliau tampak cerah hari ini. Beliau menggenggam tanganku dan berkata, semoga pestanya berlangsung menyenangkan.”

“Kasih sayang menantu dan mertua yang sedemikian tulus, sungguh berkah besar bagi kekaisaran!”

Dalam imajinasi dayang itu, Athena sudah menjadi permaisuri, bahkan sudah melahirkan dua pangeran gemuk yang menggemaskan. “Berkah besar” ia ulangi berkali-kali, baru tersadar—

Oh, pernikahannya bahkan belum berlangsung.

Tapi apa bedanya? Cepat atau lambat pasti akan terjadi.

Belakangan, sang Grand Duchess makin giat menjalankan amal. Bertemu langsung “orang-orang tanpa pendidikan” tentu bukan hal yang menyenangkan, tapi ia melakukannya demi mengambil hati sang kaisar. Betapa mengharukan cinta yang tulus itu.

Bahkan hati beku Yang Mulia perlahan-lahan mulai mencair. Karena itu… gaun pengantin nanti sebaiknya disulamkan berlian di sepanjang garis bahu.

Dayang kepala itu melangkah sambil berkhayal.

“Sebentar lagi taman ini pasti riuh ramai. Menikmati ketenangan sesaat seperti ini memang menyenangkan.”

“Memang enak kalau dekat. Siapa pula yang bisa hadir ke pesta istana secepat aku?”

Ketika Athena berkata demikian—

Mereka melihatnya.

Di Istana Bulan Sabit, tempat pesta akan digelar, sudah ada seseorang yang datang lebih awal darinya. Seorang gadis dengan rambut cokelat gelap menjuntai di atas gaun satin kuning lemon.

“Siapa itu?”

Semua menatap curiga. Seorang bangsawati muda tiba-tiba berseru:

“Ah, aku tahu! Lihat itu!”

Ia menunjuk keranjang piknik besar yang dibawa gadis asing itu. Di keranjang itu tertera lambang dua angsa yang saling berhadapan memegang perisai.

“Itu keranjang sihir untuk lomba memasak! Aku mendengarnya dari Lady Krantz saat latihan berkuda. Katanya, peserta lomba memasak tahun ini termasuk dia—yang jadi bahan gosip belakangan ini!”

“Gosip berisik? Siapa maksudmu?”

“Pemilik tempat itu! Apa namanya? Yang dikelilingi pagar! Tempat bercocok tanam itu!”

“Oh, ‘ladang’! Maksudmu yang di balik pepohonan sana? Hmph, kalau begitu wajar saja dia datang lebih cepat daripada Grand Duchess. Letaknya lebih dekat daripada istana kecil Anda.”

Athena yang tadinya berdiri sedikit menjauh demi menghindari percakapan, mengernyit samar. Kepala dayangnya cepat-cepat bertanya:

“Apakah Anda baik-baik saja?”

“Entahlah. Rasanya agak panas.”

“Tuh kan, sebaiknya kita masuk sekarang. Anda juga harus memilih topeng.”

Sambil mengibaskan kipas beraroma sage yang sejuk, dayang itu menuntun Grand Duchess masuk ke dalam.

***

Ketika hari pesta dansa tiba, para tamu undangan bangun sepagi mungkin untuk berdandan dengan sungguh-sungguh. Mereka memilih pelayan yang paling gagah untuk dijadikan ajudan, lalu menaiki kereta yang telah dipoles mengkilap demi hari ini, dan meluncur menuju istana.

Tentu saja, hal itu menimbulkan kekacauan besar.

Hazel sudah menduga semuanya dan berangkat lebih awal. Tinggal di jalur utama transportasi memang menguntungkan. Bahkan ia tidak perlu repot-repot mengenakan gaun panjang berumbai sejak dari rumah.

Sebenarnya, ia sudah berkali-kali dilarang keras untuk itu.

“Jangan coba-coba memakainya sendiri di rumah lalu malah merobeknya. Bawa saja dengan tenang ke ruang persiapan pesta. Para pelayan wanita yang siaga untuk perbaikan darurat akan dengan senang hati membantu memakaikannya padamu.”

Begitulah pesan ramah dari Duchess Winterfeldt, kepala pelayan permaisuri sekaligus penyelenggara acara, yang menyempatkan diri memberi tahu Hazel di tengah kesibukannya.

Hazel sungguh berterima kasih atas kepedulian itu. Kalau ia mencoba memakainya sendiri, pasti tak akan bisa menaklukkan puluhan kancing jepret yang tersembunyi di dalam gaun jadi tersebut.

Begitu satu kancing terpasang, kancing lain malah terbuka—sungguh menjengkelkan. Namun, di tangan para pelayan istana, semuanya terkunci rapat seolah sihir. Bahkan, mereka hanya butuh lima belas menit untuk menyesuaikan ukuran dengan tali di bagian dalam gaun.

Hazel pun keluar dari ruang persiapan dalam wujud yang sama sekali berbeda.

Katanya, mengenakan busana yang sesuai dengan interior megah istana adalah etiket dasar dalam pesta dansa. Kini ia benar-benar mengerti maksudnya. Begitu mengenakan gaun panjang dan mewah, ia merasa jati dirinya sebagai rakyat kecil tiba-tiba membengkak luar biasa.

“Ah, aneh sekali.”

Seperti orang yang baru potong rambut atau membeli pakaian baru, Hazel tak bisa menahan diri untuk berhenti di setiap permukaan yang memantulkan bayangan. Bahkan bayangan dirinya yang terdistorsi pada gagang pintu logam pun ia tatap sambil memiringkan kepala ke segala arah…

Sampai akhirnya ia sadar.

Bukan saatnya begini!

Ia harus segera mengeluarkan pai sarden jelek itu dari keranjang makanan. Meski keranjang itu dilengkapi fungsi pelindung agar bau tidak merembes keluar, tetap saja membuatnya gelisah.

Namun ternyata ia datang terlalu cepat.

“Maaf, meja untuk lomba belum siap.”

Petugas berkata dengan wajah canggung, dan Hazel pun terpaksa berjalan-jalan tanpa tujuan.

Koridor panjang menuju aula dansa dipenuhi hiruk-pikuk. Para pelayan menaiki tangga untuk menyalakan lilin di lampu gantung. Dari jendela, terlihat teknisi menyiapkan kembang api.

Dari dalam aula terdengar alunan waltz tiga ketukan yang dimainkan orkestra. Dalam suasana seperti itu, mengenakan gaun satin berkilau membuat Hazel merasa bersemangat.

“Ini… lumayan juga.”

gumamnya.

Saat itulah sesuatu menarik pandangannya. Hazel menatap lebar.

Oooh…

Ia segera mengangkat sedikit rok dan bergegas mendekat.

Itu bunga.

Di samping bunga iris putih, terselip mawar ungu tua yang indah. Hazel terpesona.

“Midnight Rose! Kalau daun mawar menghitam, biasanya orang mengira terkena penyakit bercak hitam lalu mencabutnya. Padahal, dalam kemungkinan satu banding tiga puluh ribu, bisa saja itu adalah Midnight Rose yang terselip di antara varietas biasa. Petani yang tahu nilainya pasti berani ambil risiko… rupanya Tuan berhasil berjudi, ya?”

Florist Merlin terkejut dan menoleh.

Seorang gadis berdiri di sana dengan mata berkilau.

Melihat gaun yang dikenakannya, jelas dia peserta pesta dansa. Anehnya, ia juga tahu soal varietas mawar langka, bahkan menghargai kerja kerasnya.

“Siapa kau ini?”

“Ah, saya… kebetulan mengelola perkebunan kecil di sana. Kalau nanti sudah cukup stabil, saya berencana mencoba bidang florikultura juga. Jadi dulu saya rela berjalan jauh hanya untuk mendapatkan majalah tua tentang bunga. Mawar itu seperti anak burung, selalu butuh banyak nutrisi, kan….”

Merlin sempat berbincang dengannya. Gadis itu benar-benar berkesan.

Pengetahuannya memang agak ketinggalan zaman, bahkan ia membaca Coudal menjadi “Kuhudal” karena tidak tahu huruf ‘h’ di sana bisu—jelas tanda belajar otodidak. Tapi, tetap saja menyenangkan bisa mengobrol seperti ini setelah sekian lama.

Para murid Merlin melongo: sejak kapan guru pemarah mereka begitu ramah?

Hazel pun baru tersadar.

“Ah, maaf mengganggu.”

Ia hendak mundur, namun florist itu menahan.

“Tidak! Mau kemana! Kau harus lihat ini juga!”

Dengan antusias, Merlin menyeret Hazel ke depan hydrangea hijau. Dalam hati ia berpikir:

Kalau hal sepele begini saja membuatnya terpukau, begitu melihat altar bunga di tengah aula, dia pasti jatuh pingsan.

Ia tersenyum puas.

Dan memang benar.

Hiasan yang terdiri dari lebih dari seratus jenis mawar dan peony memang sungguh indah, namun Hazel terkejut bukan karena itu.

Di samping altar, seseorang dengan suara yang sangat dikenalnya tengah berbincang santai bersama para komandan dari empat Ordo Ksatria Suci Kekaisaran.

“Kerja keras.”

Iskandar berkata pada para sahabatnya.

“Akhirnya selesai juga hari ini!”

Louis berseru lega.

“Tinggal bertahan beberapa jam lagi, lalu kita bebas. Tapi ada satu kabar buruk untukmu, Is.”

“Apa itu?”

“Kode darurat barumu juga sudah bocor. Seorang wartawan yang terlalu jeli menulis panjang lebar tentang itu, jadi sekarang seluruh kekaisaran sudah tahu. Artinya, kali ini meskipun kau menjatuhkan gelas anggur buah lalu menginjak zaitun untuk memberi tanda, kami tak bisa lagi menyelamatkanmu dari acara membosankan ini.”

“Ah, soal itu tak perlu khawatir.”

Jawaban Iskandar membuat Lorendel terperanjat.

“Jangan-jangan kau sudah memikirkan cara baru? Sebuah kode penyelamatan baru yang tak sama dengan dua puluh sembilan yang sebelumnya? Luar biasa juga daya cipta itu.”

“Bukan begitu.”

“Kalau begitu, sebaiknya kami siapkan hiburan.”

Kayan cepat menyahut.

“Sama seperti terakhir kali. Prajuritku akan menyamar jadi badut sambil membawa teka-teki. Kau bisa memecahkannya dari jauh untuk mengusir rasa bosan.”

“Tidak. Itu tak perlu. Malah mengganggu. Hapus semua.”

“……?”

Saat semua menatap heran, Iskandar berbalik badan.

“Urusan kita belum selesai.”

Sigvald tanpa sadar menepuk bahu sahabatnya, namun begitu wajah bertopeng hitam itu menoleh, ia pun tersentak.

“Maaf. Aku harus berlatih sesuatu.”

Iskandar melangkah pergi sambil mengibaskan jubah merah darahnya.

“Jangan-jangan latihan dansa?”

Lorendel bergumam curiga.

“Memang agak aneh. Dia yang tiba-tiba mengusulkan pesta dansa bertopeng, dan sekarang semua orang berbisik—katanya ini menyangkut ‘selera rahasia’ Yang Mulia….”

“Mereka masih saja tertipu? Selera apa! Jelas ada maksud lain.”

Louis mendengus. Di sampingnya, Kayan menggeleng sambil mengeklik lidah.

“Kalau begitu, setidaknya pilih topeng yang lain. Siapa sih yang masih pakai topeng yang menutupi hampir seluruh wajah seperti itu?”

Sigvald hanya bergumam pendek.

“Siapa yang tahu apa yang ada di balik dirinya?”

Semua akhirnya mengangguk setuju dan menghela napas.

Sesungguhnya, hati Iskandar memang dipenuhi kegelisahan. Dalam bayangan masa depan, pesta dansa seperti ini sudah berulang kali berubah menjadi tragedi.

Namun, sejauh ini ia hanya punya firasat, belum ada bukti. Ia tak bisa mengeluarkan perintah apa pun, apalagi bergerak mencolok sebagai kaisar.

Maka ia memikirkan satu cara.

Jika jebakan Hazel dengan menu palsu berhasil, setidaknya mereka bisa tahu siapa penyusupnya. Dan saat itu tiba…

Iskandar menatap telapak tangannya.

Dulu, seorang pengembara misterius pernah mengajarinya sebuah teknik aneh. Ilmu bela diri yang menyalurkan tenaga ke telapak tangan lalu melepaskannya seperti angin. Nama aneh itu—Jangpung.

Kalau dipikir-pikir, teknik itu mungkin bisa diarahkan hanya pada satu target tertentu.

Setiap orang punya aura unik. Jika ia bisa mengamati dengan cermat lalu menyelaraskan tenaganya dengan aura itu, maka sesaat saja, kekuatannya bisa menarik sasaran bagaikan magnet.

Untuk membuktikan teori itu, ia butuh percobaan. Kebetulan ia menemukan target.

Komandan pengawal istana—yang karena alasan kesehatan dilarang menyentuh buah—sedang berusaha menyelinapkan sebuah apel untuk dimakan diam-diam. Tepat saat apel itu hampir menyentuh bibirnya, Iskandar melepaskan Jangpung.

Pluk!

Apel itu terhempas oleh hembusan angin dan jatuh ke lantai.

Komandan itu buru-buru memungutnya, mengelap dengan jubah, lalu kembali menyuapkan ke mulut. Lagi-lagi, hembusan angin membuat apel itu terlempar.

“Aneh sekali….”

Ia mengerutkan kening sambil mengambil kembali apel malangnya.

Begitulah, ketika Iskandar sibuk berlatih sembari diam-diam menjaga kesehatan bawahannya, keempat komandan Ordo Ksatria Suci—yang sedang merundingkan apakah perlu membuntuti kaisar atau tidak—tiba-tiba mendengar suara cerah menggema di aula.

“Ya, Tuan Merlin! Maksud saya, hiasan bunga di tengah itu, kan?”

Semuanya menoleh.

Si gadis petani yang sudah mereka kenal dengan baik masuk dengan langkah ringan. Mata Louis membelalak sebesar piring.

“Tunggu! Tunggu! Siapa sangka! Itu kau!”

Hazel berhenti kaget. Ia tak menyangka semua komandan ksatria berkumpul di sana. Meski senang, tetap saja ada sesuatu yang sangat mengganggunya.

“Umm, Lord Louis. Tentang gaun ini….”

Ia berbisik pelan, tapi…

“Lihat itu! Itu gaun yang kuberikan padanya! Aku tahu pilihanku tak pernah salah! Sungguh cocok sekali!”

Louis berseri-seri bangga.

Hazel hanya bisa membelalak dalam hati.

Tepat sekali. Lord Valentine memang sangat mengenalku.

Namun, ia tak sanggup membiarkan kebaikan itu dibayar dengan kebohongan. Hazel pun mengaku.

“Sebetulnya… gaun ini sudah saya ubah sedikit.”

“Benarkah?”

Mata Louis membesar.

“Hm. Meski kuteliti, aku sama sekali tak bisa melihat di mana letak perubahannya. Tapi tak apa, yang penting indah! Bahkan kau pun hebat merombaknya, Hazel!”

Hazel hanya bisa tersenyum kaku. Untunglah Louis hanya tulus bahagia.

Di sampingnya, Sigvald mengusap tengkuknya dengan canggung, lalu berkata panjang lebar—hal yang jarang ia lakukan.

“Sejujurnya, sejak hari itu aku selalu resah. Aku sering terbangun karena mimpi buruk, melihat gaun yang kami pilih ternyata memiliki ikat bahu raksasa… ternyata itu bukan mimpi.”

“Jangan khawatir. Ikat bahu itu sudah kuubah menjadi pita.”

“Ha ha. Syukurlah. Saat itu kami berdua memang kurang fokus. Maafkan kami, Lady Mayfield.”

“Tidak, jangan begitu! Gaun aslinya pun sebenarnya bagus. Hanya saja, begitu diperiksa ahli…”

“Bagaimanapun, sekarang sudah beres. Itu yang terpenting.”

Tiba-tiba wajah pirang Cassie menyelip di antara mereka.

“Ngomong-ngomong, ini ‘Keranjang Madame Dubarry’, bukan? Meski tampak biasa, katanya teknologi sihir terbaru tertanam di dalamnya. Bisa menjaga makanan tetap segar seolah baru dibuat, tanpa berat, tanpa guncangan. Katanya uang yang dipakai mengembangkan satu keranjang ini setara harga kereta kuda dua roda kelas atas.”

“Betul. Ceritanya persis seperti yang kudengar. Rupanya lomba masak ini benar-benar bergengsi. Banyak pemenang yang kemudian sukses besar. Madame Dubarry sendiri contohnya. Sebagai salah satu pemenang awal, ia langsung mendapat perhatian kalangan sosialita dan akhirnya jadi saudagar besar….”

“Kalau begitu, apa sebenarnya yang ada di dalam keranjang luar biasa ini?”

Kayan akhirnya tak tahan dan bertanya blak-blakan. Semua basa-basi sopan ala kaum bangsawan hilang karena rasa penasaran.

“Oh.”

Barulah Hazel tersadar. Ia terlalu larut membicarakan keranjang, padahal tentu saja yang menarik perhatian adalah isi di dalamnya.

“Mau lihat?”

Hazel membuka tutupnya lebar-lebar.

Louis, Sigvald, dan Lorendel ikut maju dengan penuh antusias. Sejujurnya, mereka pun sangat ingin tahu masakan apa yang dibawa Hazel untuk lomba hari ini.

Namun begitu melihat, mereka semua langsung membeku.

Di atas tumpukan, berdiri gagah sebuah pai raksasa.

Delapan ekor ikan sarden dengan mata kuning kusam menjulur keluar dari kulit pai, seakan-akan meriam yang menembus lubang benteng.

Ya ampun…

Hazel buru-buru menutup kembali. Tapi sudah terlambat.

Aroma amis pekat dari pai itu sudah memenuhi udara di antara mereka.

Hazel gelisah, tak tahu harus bagaimana… ketika sebuah suara lembut mendadak terdengar.

“Sungguh mengesankan.”

Suara indah Lorendel, sang elf agung, bergema.

“Strategi yang cerdas. Menarik perhatian dengan penampilan jenaka, lalu menawan dengan rasa. Kulit pai yang matang sempurna pasti menyimpan bahan-bahan lezat di dalamnya, menimbulkan rasa penasaran. Bahkan jika ternyata kosong, tak apa. Semua tahu kepala ikan penuh gizi.”

Padahal, masakan itu objektifnya memang mengerikan. Namun Lorendel berusaha mati-matian memuji dengan tulus, agar Hazel tidak merasa terluka—meski ia sendiri berdiri tepat di tengah awan bau amis, menahan diri dengan kesabaran luar biasa.

“Mari ke sini sebentar.”

Hazel cepat-cepat menariknya keluar dari lingkaran bau itu. Hatinya terasa kecil sekali di hadapan kemurahan hati sang elf, hingga akhirnya ia pun mengaku.

“Sebetulnya… ini jebakan. Ada seseorang yang mencoba merusak masakan saya, jadi saya membuat umpan.”

Louis langsung mengangkat alis.

“Siapa yang berani?”

“Aku tidak tahu. Tapi seseorang jelas masuk ke rumahku diam-diam dan melihat menuku. Aku tahu ini terdengar seperti paranoia, tapi…”

“Tidak.”

“Bukan begitu.”

Semua menggeleng. Lalu Cayenne berkata:

“‘Di tempat yang berbau busuk, pasti ada ikan busuk.’ Tak ada pepatah lama bangsa Cat-ssi yang lebih cocok dari ini. Hal-hal seperti ini sangat sering terjadi, baik di lingkaran sosial maupun di dunia usaha. Rasa iri dan dengki membuat orang merusak jerih payah orang lain. Jadi inilah alasanmu membuatnya, ya?”

Si kucing cerewet tak tahan lagi, ia menutup hidungnya rapat-rapat.

“Maaf ya. Tapi ini benar-benar bau sekali. Apalagi aku benci ikan. Namun sejak datang ke ibu kota, setiap ulang tahun aku selalu mendapat hadiah segala macam ikan. Mereka pikir hanya karena aku peri kucing, otomatis aku suka ikan. Benar-benar menyebalkan—stereotip yang menjengkelkan!”

Meski hidungnya tertutup, si kucing cerewet tetap saja bicara tanpa henti. Hazel, sambil berpikir “Benar-benar cerewet sekali,” terus mengipasnya dengan tangan.

“Maafkan aku. Sebenarnya aku juga ragu, apa perlu dibuat sebau ini. Tapi untuk bisa menjebak penyusup yang sudah tahu menu palsu, aku butuh semacam penghalang.”

Saat menjelaskan itu, Hazel melihat sesuatu. Sang vampir, entah kenapa, menatap tajam pada pai sarden itu dengan mata ungu yang kini tampak buram.

Hazel terperanjat.

“Jangan, Lord Louis!”

“Pai ini benar-benar mengerikan! Tidak terasa baunya menusuk hidungmu?!”

Hazel berteriak keras, tapi Louis tetap tidak mengalihkan pandangan dari pai sarden.

“Tidak, ini pasti enak. Aku lebih percaya pada kemampuan memasak Nona Hazel daripada hidung atau mataku sendiri….”

“Tidak! Aku sengaja membuatnya sambil setengah tidur, takut kalau aku sadar penuh malah membuatnya jadi benar-benar enak. Bahkan waktu aku hanya mencolek sedikit minyak yang menetes di luar, rasanya sudah membuatku mual hampir seharian tak bisa makan apa pun. Aku serius.”

Baru saat itu Louis sadar. Tangan yang tadi hampir terulur pun perlahan ia turunkan.

“Baiklah. Kalau begitu, sebaiknya segera kita letakkan benda itu di tempat yang pas.”

“Serahkan padaku!”

Para komandan kesatria seakan mendapatkan mainan baru.

Bagi mereka, pesta dansa ini juga membosankan. Karena menjadi orang terdekat kaisar, mereka harus menghadapi perhatian semua orang, dan menggantikan Iscandar yang tidak ramah untuk menyambut banyak tamu.

Membayangkannya saja sudah cukup membuat kepala pusing. Tapi ternyata di balik pesta yang membosankan ini, tersembunyi intrik dan jebakan di ajang kompetisi memasak!

Mereka segera menyiapkan meja khusus untuk perlombaan. Lalu memanggil seorang pelayan yang terkenal pendiam, dan dengan penuh wibawa menyuruhnya menaruh pai sarden itu di salah satu sudut ruangan.

Setelahnya, mereka semua bersembunyi dan mengamati.

“……Hah?”

Beberapa pelayan yang kebetulan lewat terperanjat. Ada yang ternganga, ada yang mengucek mata, memastikan mereka tidak salah lihat.

Satu hal jelas: tak seorang pun berani mendekat ke sekitar pai sarden itu.

“Memang ada orang yang seleranya aneh, suka makanan mengerikan….”

“Namun itu sudah lewat dari sekadar selera. Itu tampak berbahaya.”

“Luar biasa. Jebakan ini berhasil.”

Louis, Cayenne, dan Siegfalt ikut bangga atas keberhasilan Hazel. Hanya High Elf yang berhati lembut itu masih berusaha mencari cara untuk memuji.

“Setidaknya jarak antar sarden yang ditancapkan sangat presisi. Itu patut dipuji.”

Begitulah caranya.

Ketika mereka masih asyik bercakap-cakap tentang pai sarden itu, tiba-tiba dari luar terdengar suara terompet yang nyaring.

Mereka semua tersentak.

“Sudah mulai?”

“Tapi kita belum menempatkan posisi!”

Louis, Lorendel, Siegfalt, dan Cayenne buru-buru menentukan posisi mereka masing-masing untuk menyambut tamu sekaligus menyebar agar lebih efektif. Itu memang tugas mereka sejak awal—namun karena sibuk dengan Iscandar, lalu teralihkan oleh Hazel, mereka sampai lupa.

“Nona Mayfield, mohon maaf, tapi kami harus keluar sebentar. Para tamu sebentar lagi akan masuk.”

Lorendel berpamitan sopan.

“Peserta pesta dansa harus melewati barisan kehormatan Kesatria Kekaisaran dan berjalan di atas karpet merah. Itu layanan dari negara untuk menutupi sikap dingin Yang Mulia Kaisar.”

“Semua orang sangat menyukainya. Itu membuat suasana jadi megah! Nona Hazel, ayo ikut keluar dan masuk lagi bersama mereka.”

Louis menggamit lengannya, tapi Hazel menolak dengan tenang.

“Terima kasih, tapi aku masih ada yang harus dijaga.”

Benar. Ia harus menjaga pai sarden itu, bukan ikut barisan megah kesatria.

Setelah melepas para komandan kesatria yang kini memakai topeng keluar aula, Hazel menyelinap ke balik altar bunga raksasa karya sang dekorator Merlin.

“Baik, mulai.”

Begitu konduktor naik podium, orkestra pun memainkan waltz. Para pelayan sudah siaga di posisi masing-masing.

Tamu-tamu pertama pun muncul. Para peserta pesta dansa bertopeng, juga para bangsawan muda yang membawa keranjang sihir berisi makanan.

Pesta dansa istana adalah panggung sosial.

Dengan kata lain, pasar besar para bangsawan.

Para bangsawan muda yang tampan sudah sibuk menyebar, berusaha mendapat perhatian. Para nyonya saling bertukar kabar, sambil mengambil tart kecil dari nampan pelayan.

Di satu sisi, toko perhiasan yang sudah mendapat izin khusus memperkenalkan koleksi barunya. Para bangsawan tua bahkan sudah membuka meja permainan kartu.

Di tengah hiruk-pikuk itu, para bangsawan muda perempuan akhirnya tiba di sisi aula yang dikhususkan untuk kompetisi memasak. Dan yang pertama menyambut mereka adalah—pai sarden raksasa dengan delapan ekor sarden mencuat bak meriam dari dinding benteng.

“Apa… apa itu?”

Mereka semua terkejut mundur selangkah. Seorang pelayan yang kebetulan lewat melirik lalu menjawab:

“Itu… katanya salah satu hidangan yang dilombakan.”

“Punya siapa?”

“Entahlah. Hanya mendengar begitu.”

Saat itu, penyelenggara lomba sekaligus kepala pelayan agung Permaisuri Janda, Duchess Winterfeld, muncul.

Ia melangkah penuh wibawa, rambut pirangnya berhias mutiara, gaun emas berkilau, aura masih menyiratkan kejayaan masa mudanya sebagai ‘Amazon’. Namun bahkan dia pun terhenti sejenak melihat keangkeran pai itu.

“Apa ini?”

“Katanya salah satu hidangan lomba.”

Para gadis menjawab serempak. Duchess baru hendak bertanya “Punya siapa?” ketika seorang pelayan senior berlari tergesa-gesa.

“Sudah siapkah kalian?”

“Ah! Cepat, lakukan pemeriksaan terakhir! Waktu kita tinggal sedikit!”

Para peserta lomba pun buru-buru berpencar. Hazel pun segera bergabung, menyusup di antara mereka seolah-olah sejak awal ikut sibuk.

Kompetisi memasak pun dimulai.

“Turki? Dengan saus jeruk?”

“Paté spesial keluarga Count Alquette!”

“Itu… kaviar, bukan?”

Dalam suasana tegang penuh saing-menying, saling melirik hidangan lawan, Hazel membuka keranjangnya. Ia tampak tenang mengeluarkan makanan, tapi seluruh indranya fokus ke arah belakang.

Di ujung meja, pai sarden itu teronggok. Semua orang menjauh, ngeri melihat rupa mengerikan itu.

Hazel menunggu dengan napas tertahan. Dan akhirnya—seseorang mendekat.

“……!”

Hazel berbalik cepat.

Sosok itu segera berpaling dan menghilang. Yang sempat Hazel lihat hanya gaun hitam berhias renda, rambut hitam, dan wajah sebagian tertutup topeng.

Tapi perasaan Hazel langsung yakin.

Itulah penyusupnya.

Ketegangan memuncak. Di antara orang banyak ini, ada si pengganggu yang terus memperhatikannya….

Saat Hazel waspada penuh, seorang pelayan mendekat.

“Apakah ini semua yang Anda siapkan?”

“Belum! Masih ada satu hidangan andalan. Itu akan saya umumkan nanti!”

Hazel mengatakannya keras-keras, sengaja agar terdengar banyak orang.

Percakapan riuh pun terhenti sejenak, banyak mata beralih menatap Hazel. Pesta dansa memang belum sepenuhnya dimulai, jadi kompetisi ini jadi tontonan menarik.

Saat itu, dari kerumunan tamu muncul beberapa wanita pengurus istana. Mereka menolak semua sapaan dan langsung menuju Hazel.

“Jadi benar! Kudengar Nona ikut lomba memasak di pesta dansa… tak kusangka nyata!”

Hazel segera mengenali salah satunya, pengawas perhiasan istana. Ia berusaha tersenyum sambil tetap waspada.

“Ah, Nona Duval! Lama tak bertemu sejak pesta teh.”

“Panggil saja Milène. Ah, seandainya kami juga punya hak menilai! Sayang, sebagai pejabat kami hanya boleh mengurus acara. Tapi jangan khawatir, aku pasti mengawasi dari jauh. Jujur saja, aku khawatir para juri tolol ini tidak bisa menilai masakan Nona Hazel yang kelas tinggi….”

“Itu terlalu berlebihan─”

Hazel belum selesai bicara, tiba-tiba ia berputar cepat. Dengan kecepatan kilat, ia menyerbu.

Para pejabat wanita yang tadi tersenyum pun terperanjat.

Barusan apa yang berkilat itu? Lawan bicara mereka mendadak lenyap.

Saking cepatnya, yang mereka lihat tadi hanyalah bayangan. Hazel yang ‘asli’ kini sudah berada di ujung meja, mencengkeram pergelangan tangan seorang gadis bergaun hitam.

“Apa yang kau lakukan?”

Hazel menatap tajam.

Gadis itu tadinya mengira Hazel lengah karena asyik mengobrol, lalu mencoba beraksi. Ternyata jebakan itu justru ia gigit sendiri. Walau wajahnya tertutup topeng berukir rumit, Hazel tak ragu lagi soal identitasnya.

Benar saja—Christina Diabelli!

Tak cukup merusak pesta teh, kini ia hendak menghancurkan lomba memasak juga.

Hazel marah besar.

“Kenapa diam saja?! Christina! Apa maksudmu ini?!”

“Aku? Apa yang kulakukan?”

“Jangan pura-pura! Kau tadi hendak memasukkan sesuatu ke dalam masakanku!”

Hazel membalik kasar pergelangan tangannya. Sesuatu jatuh.

Flaap.

Hazel membelalak.

Hanya sehelai kelopak bunga layu.

Christina tersenyum sinis.

“Kenapa begitu? Aku cuma mau membuang kelopak bunga yang menempel di atas pai. Tidak pantas kalau ada kotoran menempel di hidangan yang dipersiapkan dengan susah payah, kan?”

“……”

“Lepaskan. Sakit tahu.”

Hazel kaget dan buru-buru melepas tangannya.

Orang-orang di sekitar menatap. Dari peserta lain terdengar bisik-bisik.

“Seram sekali….”

Hazel merasa teramat teraniaya.

Ia yakin Christina adalah penyusupnya. Kalau bukan, mana mungkin si gadis licik itu berani mendekati pai sarden yang berbau busuk seperti kubangan itu?

Apalagi dengan dalih “membuang kelopak bunga”? Siapa yang percaya?!

Memang Christina lawan yang sulit. Rupanya ia hanya sedang “menguji” situasi.

Akhirnya Hazel berhasil memastikan identitas penyusup. Tapi bersamaan dengan itu, jebakan pai sarden pun terbongkar. Dan lawan cerdik itu tak akan terjebak untuk kedua kalinya.

Namun masalah Hazel tidak berhenti di situ.

“KYAAA!”

Tiba-tiba terdengar jeritan tajam.

Semua orang menoleh.

Pasangan Count Diabelli jatuh terhuyung ke belakang.

“Ya ampun! Ini serangan teroris!”

“Rasanya… sungguh mengerikan!”

Mereka muntah-muntah, wajah penuh siksaan.

Jangan-jangan—…?

Hazel menatap pai sarden itu.

Saat itu juga ia terperanjat. Sebagian sudut pai telah lenyap.

Sang putri hanya mencicipi, tapi sang ayah dan ibu benar-benar “mencoba isi perutnya.” Entah apa yang mereka pikirkan, namun akibatnya sungguh parah.

“Uwek!”

Pasangan bangsawan itu muntah hingga perut mereka seolah terbalik. Mereka begitu lemas sampai-sampai seorang pelayan harus menempelkan botol brendi ke hidung mereka.

Begitu sadar kembali, pasangan bangsawan itu langsung meninggikan suara.

“Apakah pai mengerikan ini milik Nona?”

“Bagaimana bisa kau mengajukan hal seburuk ini dalam Lomba Masak Istana?”

Hazel merasa sangat serba salah.

Situasi jadi berbelok ke arah yang tak terduga. Keluarga Count Diabelli adalah orang-orang yang sudah sangat berpengalaman di kalangan sosialita. Hazel tidak tahu bagaimana harus menjawab tanpa memberi mereka celah untuk mencari-cari kesalahan.

Di tengah ketegangan itu, suara lantang seorang pelayan menggema.

“Yang Mulia Kaisar!”

Semua orang terkejut.

“Sudah datang?”

“Bukankah seharusnya belum saatnya?”

“Kenapa begitu cepat?”

Bagi Hazel, ini benar-benar bagaikan malapetaka bertubi-tubi. Musuh besarnya muncul di tengah situasi buruk seperti ini.

Tidak apa-apa. Aku sudah menduganya. Aku tidak bersalah.

Hazel berpura-pura tegar dengan sengaja memalingkan wajah.

Maka ia tidak melihat pemandangan mencengangkan yang terjadi di arah tatapan semua orang.

“Yang Mulia Kai…”

Belum selesai teriakan kedua sang pelayan, Kaisar sudah masuk terburu-buru ke aula pesta, hampir menyeret Grand Duchess. Begitu tergesa-gesanya, tombak para pengawal upacara di pintu belum sempat ditarik sehingga nyaris menghantam dahi Kaisar.

Mata seluruh hadirin membelalak.

Beberapa saat sebelumnya, di ruang tunggu Kaisar yang terhubung dengan aula pesta.

Iskandar mengenakan seragam putih berhias epaulet emas. Ia tengah menunggu ketika petugas pakaian datang membawa selempang bahu penuh lambang kaisar. Tapi tiba-tiba terdengar suara.

“Tidak boleh! Lord Lewis! Pai ini benar-benar mengerikan!”

Itu suara Hazel.

Jangkauan pendengaran Grand Cavalier tidak bisa dibandingkan dengan orang biasa.

Selain itu, mengenali suara seseorang dari jauh juga tidaklah sulit. Struktur pita suara dan cara berbicara membuat setiap orang memiliki pola unik yang tak bisa disamakan. Bagi telinga mereka, setiap suara bagaikan punya label nama. Biasanya fitur itu dimatikan karena terlalu merepotkan.

Namun entah mengapa, kali ini tiba-tiba aktif.

Apa tadi? Apakah Lewis sedang mencoba pai sarden itu?

Ekspresi Kaisar berubah aneh, membuat petugas pakaian kaget hingga menarik tangannya.

“Haruskah saya ambilkan selempang lain?”

“Tidak! Tidak! Serahkan sini!”

Iskandar hampir merampas selempang itu.

Petugas pakaian heran. Biasanya Yang Mulia begitu malas mengikuti tata cara pesta, kenapa hari ini begitu kooperatif?

Sambil melirik, ia nekat memasangkan rantai emas mewah pada seragam Kaisar. Hal yang selama ini tak pernah berani ia lakukan.

Tapi Iskandar sama sekali tak memperhatikan. Ia terlalu sibuk menyimak jalannya peristiwa di aula, seolah sedang menonton drama menarik.

“……kau hendak memasukkan sesuatu ke dalam masakan!”

Akhirnya ketahuan, pikirnya. Tapi tiba-tiba terdengar teriakan nyaring. Lalu ada yang terdengar seperti saling tuduh. Begitu ramai hingga sulit ditangkap jelas, tapi Hazel jelas sedang terpojok.

Bukankah ada empat temannya dari Knight Commander di sana? Mereka kan sudah jadi “tahanan” si gadis desa itu.

Itu yang dipikirkan Iskandar, sebelum terdengar suara raungan keras seekor monster.

“Krraaang!”

Itu suara griffin milik Order of Thunder Knights yang tengah menghibur. Para bangsawan Britania bersorak riang menyambut atraksi itu.

Iskandar tersentak.

Benar juga. Mereka tidak ada di aula. Mereka sedang bertugas di luar, sebagai pengganti sang Kaisar yang tak pernah serius pada acara pesta.

“Yang Mulia, bagaimana dengan desain topeng ini…?”

Petugas pakaian terperanjat saat Kaisar meraih topeng dan langsung mengenakannya tanpa berkata sepatah kata pun, lalu buru-buru berbalik.

“Aku harus pergi.”

Semua orang panik.

“Yang Mulia! Tunggu!”

“Tak perlu.”

“Tapi Anda harus membawa Grand Duchess!”

Ah, benar.

Iskandar segera meraih sepupunya dari ruang tunggu keluarga kekaisaran. Lady Athena sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi saat ia terseret keluar. Para pelayan terpencar ketakutan.

Begitulah Iskandar membuat kekacauan…

“Yang Mulia Kaisar!”

…dan menjatuhkan meteor ke tengah aula pesta.

Sejenak, segalanya membeku.

Bahkan cegukan pengawal upacara terdengar jelas saat Kaisar masuk bagaikan badai. Rambut emasnya berkilau, seragam putihnya gemerlap, tampak gagah—tetapi gaya masuknya begitu terburu-buru, hingga para bangsawan konservatif menganggapnya tidak pantas.

“Apa gerangan yang terjadi?”

“Mungkin Yang Mulia benar-benar ingin menikmati hidup mulai sekarang?”

“Tuh kan! Aku bilang juga, lama-lama kehidupan istana pasti mengubah beliau.”

Orang-orang berbisik sambil menatap Kaisar bertopeng.

Sementara itu Athena, yang baru saja ditarik kasar, merasa jantungnya berdebar tak karuan.

Yang Mulia……

Bagaikan melangkah di atas awan, ia mengikuti Kaisar menuju singgasana yang disiapkan di meja utama. Begitu girangnya ia, sampai tak menyadari bahwa Iskandar terus-menerus melirik ke arah tertentu.

Di sisi aula, agak jauh dari pusat tarian.

Itulah tempat orang-orang mencari hiburan selain menari: bermain kartu, melihat koleksi perhiasan, atau sekadar mencicipi kudapan dari baki perak sambil mengobrol.

Tepat di tengah-tengahnya berlangsung lomba masak para bangsawati muda.

“Anakku tidak salah apa-apa! Tapi melihat tatapanmu yang penuh dendam, pasti pai sarden ini buatanmu!”

“Benar-benar pai neraka yang menjijikkan! Tak perlu melihat yang lain, kau tak pantas ikut lomba ini!”

Count Diabelli dan istrinya masih terus menyerang. Apa pun jawaban Hazel pasti akan mereka salahkan. Mulut Hazel kering karena bingung mencari cara bertahan.

Namun, siapa sangka.

Kedatangan Kaisar justru menjadi penyelamat tak terduga.

“Bagaimanapun juga, pai ikan menjijikkan ini…!”

Count Diabelli hendak melanjutkan. Namun dari kejauhan, Kaisar di kursi utama mengangkat satu tangan.

Sekejap kemudian musik waltz kembali menggelegar. Semua orang segera sadar diri.

“Baiklah, mari cepat mulai!”

Duchess Winterfeldt, sang penyelenggara, buru-buru maju.

Protes keluarga Kitty pun lenyap begitu saja. Seorang pelayan menutup pai sarden dengan tudung kaca besar, menahan sekaligus baunya yang menusuk.

“……!”

Mata Hazel dan Kitty saling bertemu di atas pai itu.

Aku tahu semua tipu muslihatmu.

Tatapan mereka saling meneriakkan hal yang sama.

Mereka mengira hanya sedang berduel berdua. Tak seorang pun menyangka Kaisar dari kursi utama diam-diam mengawasi sudut itu.

“Hmm…….”

Iskandar berpikir keras, merangkai potongan-potongan peristiwa.

Jebakan pai sarden tampaknya berhasil. Berkat itu, identitas penyusup terbongkar.

Pemimpinnya tak lain adalah babi hutan betina liar itu.

Namun ia tidak bergerak sendiri. Orang tuanya pun terlibat. Count Diabelli dikenal kaya dan licik.

Orang seperti itu selalu bertingkah semena-mena begitu ada kesempatan.

Walau hanya lomba kecil, ini tetap acara resmi istana. Mengacaukannya dengan cara kotor harus dihukum keras.

Saat itu suara lembut Grand Duchess Athena terdengar di telinganya.

“……Yang Mulia?”

Barulah Iskandar sadar ia berdiri bengong di depan singgasana. Ia buru-buru duduk.

“Betapa indahnya pesta dansa ini. Semua berkat Yang Mulia Kaisar dan Yang Mulia Ratu Ibu.”

Para sesepuh istana menyanjung dengan penuh hormat. Para bangsawan Britania pun serentak berlutut memberi hormat.

Saat itulah pintu masuk kembali ribut.

“Belum mulai kan? Belum kan?”

Lewis berlari masuk sambil bertanya. Lorendel, Siegvald, dan Cayenne mengikutinya dari belakang. Mereka segera menuju posisi masing-masing, sempat melirik Hazel dan memberi salam kecil.

“Ah.”

Hazel segera sadar diri.

Tepat pada saat itu, pelayan berseru lantang.

“Dengan ini, salah satu acara ‘Pesta Bunga’, yaitu Lomba Masak para bangsawati Britania, resmi dimulai!”

Saat Hazel kembali menoleh, Kitty Diabelli sudah menghilang.

Namun ia pasti akan muncul lagi. Menunggu Hazel lengah.

Satu kali saja ia sudah goyah. Tidak boleh lagi. Tujuan mereka jelas: menggagalkan segalanya.

Aku harus menang!

Hazel segera kembali ke tempatnya.

“Lomba ini dinilai dari dua aspek. Pertama, popularitas. Para bangsawan Britania akan mencicipi dan memberikan tanggapan, lalu kita pilih yang paling baik. Sudah siap semuanya?”

“Ya!”

Para bangsawati serentak menjawab. Mereka sudah menyiapkan hidangan masing-masing. Dan kemudian……

“Sudah mulai!”

“Boleh langsung mencicipi kan?”

Para tamu mulai berdatangan.

Hazel buru-buru mengeluarkan hidangan dari keranjangnya.

Roti gandum harum. Telur rebus lembut. Sayuran segar berwarna seperti permata. Dan ayam panggang yang masih mengepulkan asap panas.

Sesuai petunjuk, begitu selesai dimasak ia menaburkan bubuk peri untuk mengawetkan. Saat pelindungnya hilang, semua makanan itu kembali menebar aroma menggugah selera seakan baru matang.

Hazel menguatkan tekadnya lagi.

Jangan goyah. Aku sudah menyiapkan ini sepenuh hati.

Ia menata satu per satu di atas meja hingga tampak menggoda. Lalu menghadapi para tamu dengan senyum cerah.

Namun……

Semua orang malah melewati begitu saja.

“Tunggu! Bumbu ini apa?”

“Itu safron.”

“Safran? Yang mahal itu dipakai sebanyak ini?”

Orang-orang segera berbondong-bondong ke arah sana. Di sisi lain pun situasinya sama.

“Ini jamur truffle.”

“Daging sapi muda pegunungan Albaran, dipanggang lembut.”

Setiap kali penjelasan keluar, seruan kekaguman pun bergema.

Gila! Kalau bahan-bahan itu dihitung, harganya pasti setara sepuluh cincin emas!

Hazel terperangah.

Semua peserta lain benar-benar tak segan menghamburkan biaya untuk bahan masakan. Itu karena momen menerima penghargaan dari Kepala Dayang Permaisuri Agung di balai dansa istana hanya sekali seumur hidup—momen di mana seluruh sorotan tertuju pada mereka. Dan pengakuan itu adalah sesuatu yang tak bisa dibeli dengan uang.

Hidangan-hidangan mewah itu berkilau bagai disinari cahaya suci.

Di tengah-tengah semua itu, masakan Hazel tampak seperti tanpa warna. Para pengunjung yang datang mencicipi pun seakan tak menyadari keberadaannya. Sesekali ada komentar, tapi…

“Itu masakan si gadis petani, kan? Kelihatannya biasa saja.”

“Ya, sudah kuduga begitu.”

Hanya ucapan hambar semacam itu.

Hazel mulai panik.

“Tolong, cobalah dulu! Ini juga enak, sungguh!”

Namun tak seorang pun mau mendengarkan. Semua sibuk menikmati hidangan-hidangan megah itu.

Dari jauh, keadaan ini terlihat jelas pula dari bangku utama.

Bodoh sekali mereka!

Tanpa sadar, Iscandar berdiri dengan kasar. Orang-orang di sekitarnya langsung berseru seperti sudah menunggu momen itu.

“Ya, Paduka! Mohon sampaikan sepatah kata untuk pesta dansa malam ini!”

“……”

Hari ini tak ada pidato yang direncanakan. Iscandar sengaja berniat untuk tidak banyak bicara, takut kuping kelinci itu mendengar sesuatu.

Ia buru-buru duduk kembali.

Namun sementara itu, situasi sama sekali tidak membaik. Masakan Hazel tetap saja diabaikan.

“Tuh kan, aku sudah bilang begitu.”

“Benar. Tingkat budaya kulinernya memang rendah.”

Para pelayan istana wanita yang mengawasi dari jauh menggelengkan kepala penuh iba. Begitu pula Lewis, Lorendel, Siegvard, dan Cayenne—masing-masing terkepung tamu di posisi mereka, namun mata mereka terus melirik ke arah Hazel dengan resah.

Dan saat itulah kejadian itu terjadi.

“Ya Tuhan! Dewi Terra! Engkau ada di sini?”

Terdengar suara serak dua orang tua yang melengking.

Hazel menoleh.

“Ah, pasangan itu…”

Dua pengemis bangsawan.

Hampir saja ia keceplosan menyebut mereka begitu keras.

Mereka adalah dua bangsawan tua yang dulu nyaris mati kelaparan di taman, berkat merekalah Hazel mendapat inspirasi untuk menu hari ini. Tak disangka bisa bertemu mereka lagi di ajang ini.

“Dewi, katanya?”

Hazel tidak kuasa menahan tawa.

“Saya manusia, bukan dewi! Saya mengelola sebuah pertanian di dalam istana. Mungkin Anda pernah dengar, Namanya Ladang Marronnier. Saya ikut lomba masak ini untuk mendapatkan biaya mengelola ladang itu.”

“Ahh…”

Wajah Count Acevedo dan Count Montealegre langsung memerah.

Jadi bukan dewi. Malu sekali.

Namun rasa malu itu tak bertahan lama. Begitu mendengar kata “masakan”, telinga mereka pun tegak.

“Pagi itu, hidangan yang kau beri sungguh lezat! Dan sekarang kau menyiapkan santapan surgawi lagi!”

Kebetulan mereka memang lapar, jadi keduanya serentak menyambar hidangan Hazel dan menggigitnya.

Dan seketika mereka terperanjat.

Hangat dan harum aromanya. Saat digenggam terasa padat, sempat khawatir gigi tak sanggup menembus. Namun begitu digigit, hancur lembut begitu saja.

Uap panas menyebar, rasa gurih pekat nan bersahaja membanjiri lidah. Dan terakhir, jejak asin lembut di ujung lidah benar-benar menjadi pemungkas sempurna.

“Belum pernah kurasakan yang seperti ini!”

Kedua bangsawan tua itu gemetar. Count Montealegre dengan suara bergetar bertanya,

“Gadis manis! Apa nama hidangan segar nan berkelas ini?”

Hazel kaget setengah mati.

Kenapa justru memilih itu? Padahal itu bukan menu resmi. Ia hanya mengisinya untuk melengkapi meja.

“Umm, itu cuma kentang kukus…”

“Apa?”

Count Acevedo terbelalak.

“Itu… kentang? Tanaman darurat itu?”

Suaranya bergemuruh seperti biasa.

Para tamu yang sedang mencicipi di sekitar pun menoleh. Akhirnya, perhatian mereka mulai tertuju pada hidangan Hazel yang tadinya sama sekali tak dilirik.

“Tanaman darurat?”

“Tanaman darurat…?”

Bisik-bisik terdengar di mana-mana.

Namun Count Acevedo masih ternganga sambil memegang kentang.

“Mustahil! Bagaimana mungkin tanaman darurat bernama kentang bisa memiliki warna dan bentuk seindah ini?”

“Betul, kan?”

Hazel buru-buru menimpali dengan penuh semangat.

“Bahkan saat mengupasnya saya kagum. Cantik sekali bentuknya, bukan?”

“Eh, cantik… hmm, tidak tahu soal wajah jelas atau tidak, tapi yang pasti tampak begitu berkelas! Kukira ini hasil seni kulinermu yang sangat halus!”

“Dan ternyata hanya kentang kukus? Kentang yang dimatangkan dengan uap panas? Hah! Kentang ternyata bisa jadi bahan makanan selezat ini?”

Mereka menjilat bibir, menikmati lagi sisa rasa asin kentang yang melekat. Sudah seperti ketagihan.

“Tak diragukan lagi, ini hidangan yang benar-benar unik! Kukusan yang sempurna! Tak terlukiskan dengan kata-kata!”

“Tangan gadis ini luar biasa! Lihatlah—setiap hidangan di meja ini bagaikan permata langka!”

“Dan orang-orang malah mengabaikannya? Mereka buta rasa! Sungguh keterlaluan!”

“Benar-benar menyedihkan! Ini sangat lezat! Aku, Felipe Alonso Acevedo, menjaminkan namaku bahwa ini sungguh luar biasa!”

Hanya berdua, tapi suara gaduh mereka setara dua puluh orang. Mustahil orang-orang tidak menoleh.

“Terima kasih banyak atas pujian Anda.”

Hazel segera menuangkan sari apel segar ke dalam cawan mereka.

Dan saat itulah ia melihatnya.

Di antara kerumunan yang mulai berdesis penasaran, seorang wanita maju ke depan. Rambut peraknya ditata anggun.

Marchioness Masala.

Ia benar-benar terhibur.

Dua bangsawan tua yang biasanya saling memaki sampai istana bergetar, kini kompak memuji satu suara. Aneh. Hidangan yang tampak sederhana itu justru membuat mereka makan dengan lahap. Lebih aneh lagi.

Sejak musim panas tiba, seleranya terus menurun. Namun melihat dua lelaki renta itu dengan ceria mencapit dan menyuapinya begitu rakus, entah kenapa air liurnya menetes.

“Benarkah makanan itu seenak itu?”

“Tentu saja! Ayo coba, Salome!”

Count Acevedo dan Count Montealegre buru-buru mengait lengannya.

Tak bisa menolak desakan mereka, Marchioness Masala pun mengambil sepotong kecil dan memasukkannya ke mulut.

Sekejap matanya membelalak.

Matang sempurna hingga meletus lembut begitu digigit. Teksturnya kenyal namun ringan, rasanya hangat dan nyaman.

Bahkan tanpa rempah mewah, rasa gurihnya begitu dalam, kian kaya tiap kali dikunyah.

“Tak mungkin!”

Ia berseru kagum, sekaligus merasa kesal.

“Ini benar-benar cocok di lidahku! Bagaimana bisa ada makanan seenak ini, tapi aku baru mencicipinya di usia enam puluh dua tahun?”

Putranya, Sir Verbena, yang sejak tadi gelisah, buru-buru maju.

“Wajar saja Ibu belum pernah makan. Itu kentang. Mana mungkin masuk ke meja makan bangsawan. Itu makanan memalukan.”

Apa?!

Hazel hampir menjatuhkan sari apel karena terkejut.

Bukan begitu!

Hampir saja dia berteriak seperti itu.

Namun saat ini para tamu sedang bebas mencicipi hidangan. Sepertinya lebih baik bila dirinya mundur selangkah agar mereka bisa bereaksi secara alami.

Hazel pun berusaha tetap tenang. Tapi ada seseorang yang tidak mampu melakukannya.

“……Tidak.”

Suara itu tiba-tiba terdengar dari balik topeng Yang Mulia Kaisar, membuat Menteri Urusan Istana menoleh ke arahnya.

“Ya? Apa yang tidak, Paduka?”

“Tidak.”

Sang Kaisar kembali menatap lurus ke depan.

Aneh. Bukankah seharusnya beliau sudah kabur pada saat-saat seperti ini?

Menteri Urusan Istana mengerutkan dahi.

Di aula dansa, pesta tarian nan anggun tengah berlangsung. Dalam alunan waltz, gaun-gaun berwarna-warni berputar-putar. Dengan wajah tertutup topeng, pasangan-pasangan itu berpura-pura tak saling mengenali, lalu berdansa beberapa kali. Saat itulah, sebuah pintu kecil di aula terbuka.

Penari-penari dengan topeng emas berbentuk angsa masuk berbaris. Begitu mereka bergabung dengan pesta dansa, tawa riang pecah dari segala penjuru.

“Pementasan yang menarik sekali!”

Putri Agung pun ikut bertepuk tangan dengan gembira.

Dan kemudian……

“…….”

Sang Kaisar masih saja fokus. Tidak ada sedikit pun tanda-tanda bosan.

Menteri Urusan Istana merasa sangat puas.

Sungguh lancar!

Kalau begitu…… sebentar saja tidak apa-apa kan?

Dia pun diam-diam mengeluarkan teropong opera dari balik jubahnya. Lalu diarahkan ke sudut aula yang ramai.

Yang pertama memenuhi pandangan hanyalah sebuah pai sarden yang terguling ke samping.

Bukan, bukan itu!

Dia buru-buru memutar sudut pandang.

Di sana, putra Marchioness Masala, Sir Verbena, sedang menjelaskan dengan suara lantang.

“Tanaman bernama kentang ini tumbuh di dalam tanah. Anak-anak kegelapan! Pemandangan saat dicabut bersama bongkahan tanah benar-benar menjijikkan. Tanah itu kan sarang segala macam serangga! Betapa tidak higienisnya! Terlebih lagi, kentang adalah tanaman darurat. Hanya dimakan saat gandum kurang karena kemarau.”

“Apa?”

Marchioness Masala terkejut.

“Betul, kan? Mengejutkan, bukan? Nah, serahkan saja kemari.”

Putranya hendak merebut si tanaman darurat itu dari tangan ibunya.

Namun sang Marchioness tak melepaskannya. Sebaliknya, ia malah membentak.

“Anak bodoh! Aku terkejut bukan karena itu! Kita ditipu! Betul-betul ditipu! Kita telah dipermainkan!”

“Dipermainkan oleh siapa?”

“Oleh para monopolis kentang!”

Marchioness berbisik dengan penuh rahasia.

“Mereka menyebarkan fitnah kotor itu lalu diam-diam memonopoli makanan lezat ini! Pasti ada gudang rahasia entah di mana, penuh dengan kentang emas ini! Di sanalah mereka berpesta pora!”

“Itu masuk akal juga!”

“Benar-benar terdengar logis!”

Duke Azevedo dan Duke Montealegre berseru serempak. Dan ketiga bangsawan agung itu pun serentak menyerbu makanan.

Pilihan Marchioness jatuh pada jagung. Melihat baby corn mungil yang lucu dalam hidangan sayur rebus, ia tak mampu menahan diri.

Jagung yang dimasak Hazel lembut dan manis. Cairan segar dalam batang mudanya langsung membasahi tenggorokan. Rasa haus yang selama ini mengganggu sang Marchioness sejak awal musim panas seolah terhapus seketika.

“Lebih mujarab daripada ramuan penguat apa pun!”

Marchioness Masala menyanjung tanpa henti.

Penonton makin lama makin banyak hingga membentuk lingkaran rapat. Dari dalam kerumunan itu, suara seorang bocah terdengar nyaring.

“Ibu selalu bilang aku harus mencontoh para bangsawan agung, bukan? Kalau begitu, aku juga mau mencicipi masakan-masakan pertanian itu.”

Countess Kendrick hampir melotot mendengar ucapan putranya. Dengan wajah memerah karena gugup, ia tergagap menjawab.

“Tapi itu hanya garnish……”

“Garnish itu apa?”

“Pelengkap untuk mempercantik hidangan utama. Tak seorang pun benar-benar memakannya. Sama saja dengan mengunyah piring. Kalau kau benar-benar ingin mencoba, makanlah ayam itu saja. Setidaknya itu terlihat seperti hidangan sungguhan.”

Dengan putranya, Countess Kendrick pun maju mendekat ke meja. Sambil memegang ujung gaunnya dengan kedua tangan, ia menunduk sopan dan berkata:

“Lady, bolehkah saya sedikit memotong daging ayam ini?”

“Ah, tentu saja! Silakan ambil sesuka hati!”

Hazel segera menyahut.

Countess Kendrick pun mengambil penjepit kecil yang tersedia, lalu menyobek sedikit daging dari paha ayam tebal itu.

Namun seketika ada sesuatu yang berbeda.

Serat daging terbelah lembut, lalu jus yang terkunci di dalamnya menetes deras. Aroma harum yang tak tertahankan langsung menghantam hidungnya.

“……?”

Ia seakan terbius sejenak. Bukannya menyuapkan potongan itu ke mulut putranya yang ternganga, ia justru spontan memasukkannya ke dalam mulut sendiri.

Dan daging ayam itu langsung meleleh seketika.

Belum pernah ia mencicipi ayam panggang selezat ini. Dengan lidahnya yang luar biasa sensitif sekalipun, ia tak menemukan bau amis sedikit pun. Bawang putih, rempah, mentega…… berpadu sempurna dengan daging empuk yang sarat jus. Untuk pertama kalinya, perutnya bergetar karena kenikmatan sejati.

Kruuuuk!

Suara keras menggema, menembus korset ketatnya. Tapi Countess sama sekali tak peduli. Matanya terpaku pada potongan ayam yang sedang Hazel potong besar-besar. Ia segera menyambutnya dengan rakus. Daging kenyal itu memenuhi mulutnya, dan perasaan yang muncul di saat itu adalah……

“Bahagia sekali!”

Dengan mata berkaca-kaca, ia berseru lantang.

Seruan tulus itu akhirnya menyalakan api.

“Saya juga mau mencicipinya!”

“Biarkan saya coba juga!”

Orang-orang yang tanpa sadar sudah condong ke depan berhamburan maju, berebut mengantre. Mereka yang semula mencicipi hidangan kontestan lain pun meletakkan garpu dan lari ke sana. Dalam sekejap terbentuk antrean panjang mengular.

“Tak mungkin…….”

Mademoiselle Blanchard bergetar. Rambut pirangnya yang indah disanggul cantik tampak hampir meledak keluar. Sementara di sebelahnya, Mademoiselle Liline justru terlihat lega.

“Ahh, sudah tamat. Tamat benar-benar.”

Ia menyingkirkan gratin truffle-nya jauh ke samping. Menepuk-nepuk tangan, lalu diam-diam ikut mengantre di barisan belakang.

Kalau sudah begini, lebih baik makan daripada rugi.

Begitulah pikirnya. Sebagai mantan babi hutan liar, ia sudah tahu betul betapa lezatnya masakan Hazel.

Siapa yang pernah makan pasti paham. Para pelaku teror tea party yang sebelumnya hanya menelan ludah pun segera ikut antre.

Akhirnya, kontestan lain pun satu per satu bergabung. Bahkan Mademoiselle Blanchard yang hampir meledak rambutnya itu pun tak tahan dan diam-diam berdiri paling belakang.

“Sayur kukus ini benar-benar mengguncang seluruh persepsi saya!”

“Bagaimana mungkin telur bisa menghasilkan rasa seperti ini…… bagaimana mungkin……!”

“Tak perlu kata-kata indah! Ini sekadar…… enak! Sangat, sangat enak!”

Reaksi yang meledak-ledak.

Meski berada di sudut aula, keramaian itu begitu heboh hingga tanpa mata-mata sekalipun, atmosfernya terasa sampai pusat aula dansa.

“……Lihat! Aku bilang kan? Tak jelas apakah itu tarian atau sekadar jalan-jalan, semua orang marah. Tapi justru katanya itulah inti keindahan tarian upacara istana……”

Louis yang sedang menjalankan kewajibannya di antara para bangsawan Bratania merasa gembira luar biasa. Lorendel, Siegvalt, dan Cayenne pun sama.

Belum lama ini, Hazel masih berada di bawah larangan bicara. Itu setara dengan hukuman mati.

Namun, tanpa koneksi maupun harta, gadis petani ini berhasil menunjukkan kemampuannya. Dan akhirnya, bahkan para bangsawan konservatif di pesta dansa ini pun mengakuinya……

Ya. Tepat begitu.

Menteri Urusan Istana merasa puas dan menurunkan teropong operanya.

Namun mereka bukanlah satu-satunya yang diam-diam mengawasi.

“Bagaimana menurutmu? Semuanya sesuai dengan daftar pengajuan.”

“…….”

“Tuan Perwira Istana? Anda dengar tidak?”

“Ah, ya!”

Milen, petugas permata yang sedang memeriksa koleksi baru, tersentak kaget dan buru-buru mengalihkan pandangan dari Hazel. Para perwira istana lain pun masing-masing sibuk bekerja, namun senyum tipis terukir di wajah mereka.

Namun justru Hazel sendirilah yang tegang.

Sungguh ramai……

Orang-orang yang mengantre sambil bertanya macam-macam, mereka yang memberi komentar, para penonton yang asyik melihat. Semua itu membuat suasana sekitar meja jadi seramai pasar.

Pasti Lady Diavelli masih mengawasi dari suatu tempat.

Kalau Hazel yang jadi dia, tentu saat seperti inilah yang akan dimanfaatkan.

Pikiran itu membuatnya semakin gugup.

Sementara di kursi kehormatan, Iscandar pun sudah merasakan hawa aneh di udara. Berpura-pura menatap para penari, ia justru menajamkan perhatian pada sisi pandangannya.

Hingga suatu saat——

Di antara gaun-gaun berkilauan yang berputar, sosok bangsawati berambut hitam dengan topeng muncul sekilas. Meski hanya sekejap, ia yakin itu dirinya.

Seperti yang diduga, dia sudah kembali bergerak.

Iscandar segera memusatkan perhatian penuh ke arah sana. Karena itu, ia sampai luput menyadari sesuatu.

“Heran. Kenapa Paduka Kaisar terus berdiri lalu duduk lagi begitu?”

“Barangkali tema penyamaran beliau malam ini adalah meerkat?”

Para bangsawan Bratania berbisik-bisik.

Bisikan itu pun sampai ke telinga Putri Agung Athena.

Waktu keberadaan Sang Kaisar di pesta dansa sudah memecahkan rekor terlama sepanjang sejarah. Bahagia karenanya, untuk pertama kalinya ia menyadari ada yang janggal.

Athena menatap seksama Iscandar di balik topengnya.

Beliau gelisah. Apa sebabnya?

Ia mengedarkan pandangan ke seluruh aula dansa dengan rasa ingin tahu.

Dari panggung musik berhias bunga, alunan orkestra bergema. Penari bertopeng berputar, bulu-bulu di kepala mereka bergetar. Tombol emas di seragam berkilau terang. Semua tangan berbalut sarung renda putih bergandengan di udara. Mereka saling bertukar pandangan, berbicara pelan dengan senyum menggoda.

Semuanya tampak seperti pesta dansa biasa.

Lalu mengapa?

Athena kembali menoleh ke arah Iscandar dengan dahi berkerut.

Pandangannya memang lurus ke depan, topeng hampir menutupi wajahnya. Siapa pun akan mengira beliau sedang fokus pada pesta dansa.

Namun ada gerakan halus yang hanya Athena bisa tangkap. Setelah 13 tahun diam-diam mengamatinya, ia bisa membacanya jelas:

Sang Kaisar sebenarnya sedang teralihkan. Beliau ingin sekali menoleh, tapi mati-matian menahan diri. Gerakan kecil yang tertahan itu bagi Athena tampak sebesar isyarat terang-benderang.

Kalau begitu…… alasan beliau masih bertahan di kursi ini pasti lain.

Pesta dansa yang meriah sudah tak menarik lagi. Athena menepis semua yang mencoba mendekat dan mengajaknya bicara.

Hampir saja dia berteriak.

Namun, saat ini para tamu sedang bebas mencicipi hidangan. Lebih baik ia mundur sedikit agar semua orang bisa bereaksi dengan alami.

Hazel tetap menjaga sikap tenang. Tapi, ada seseorang yang 그렇지 못했다.

“……Tidak.”

Suara itu tiba-tiba terdengar dari balik topeng Kaisar. Menteri Dalam Negeri menoleh kaget kepadanya.

“Maaf, Yang Mulia? Apa yang tidak?”

“Bukan begitu.”

Sang Kaisar kembali menatap lurus ke depan.

Aneh. Bukankah seharusnya beliau sudah pergi diam-diam sekarang?

Menteri Dalam Negeri mengernyit bingung.

Sementara itu, di aula pesta dansa, lantunan waltz memenuhi ruangan. Gaun berwarna-warni berputar anggun, pasangan-pasangan menari dengan wajah tertutup topeng, pura-pura tak saling mengenali. Saat mereka menari beberapa kali, pintu kecil di ujung aula terbuka.

Sekelompok penari yang menyamar sebagai angsa bertopeng emas masuk beriringan. Begitu mereka bergabung ke dalam tarian, tawa riang terdengar di berbagai sudut.

“Menarik sekali pertunjukannya!”

Grand Duchess Athena pun bertepuk tangan senang.

Namun……

“…….”

Sang Kaisar tetap menatap fokus ke depan. Tidak ada sedikit pun tanda kebosanan.

Menteri Dalam Negeri sangat puas.

Begitu lancar jalannya!

Kalau begitu…… mungkin sebentar saja tidak apa-apa.

Ia mengeluarkan kacamata opera yang disembunyikan di balik jubahnya, lalu mengarahkannya ke sudut yang sedang ramai.

Yang terlihat pertama kali adalah pai sarden yang terguling miring memenuhi pandangan.

Bukan, bukan itu!

Ia buru-buru mengubah sudut.

Yang tertangkap lensa adalah Sir Verbena, putra Marchioness, sedang menjelaskan dengan lantang.

“Tanaman kentang tumbuh di dalam tanah. Anak-anak kegelapan, begitu. Cara menggali bersama gumpalan tanahnya sungguh menjijikkan. Tanah itu sarang segala macam serangga! Betapa tidak higienis! Dan yang terpenting, kentang hanyalah tanaman darurat. Makanan yang hanya dimakan saat gandum langka karena bencana.”

“Apa?”

Marchioness Masala terperanjat.

“Benar, mengejutkan, kan? Nah, sini biar saya buang saja.”

Putranya hendak mengambil kentang itu dari tangan ibunya.

Namun Marchioness tidak melepaskannya. Sebaliknya, ia malah membentak.

“Bodoh! Bukan itu yang membuatku terkejut! Kita ditipu! Benar-benar dipermainkan!”

“Ditipu oleh siapa?”

“Oleh para monopolis kentang itu!”

Marchioness berbisik penuh rahasia.

“Mereka menyebarkan fitnah seperti itu, lalu enaknya mereka sendiri yang menikmati makanan lezat ini. Pasti ada gudang rahasia penuh kentang emas yang ditimbun! Dan di sana mereka berpesta pora semaunya!”

“Itu masuk akal!”

“Bisa jadi begitu!”

Duke Acevedo dan Duke Montealegre berseru serempak. Ketiganya lalu, seakan berjanji, menyerbu ke arah makanan.

Pilihan Marchioness jatuh pada jagung. Begitu melihat jagung kecil yang tampak imut di antara sayuran rebus, ia tidak sanggup menahan diri.

Jagung olahan Hazel lembut dan manis. Kelembapan dari batang mudanya membasahi tenggorokan. Dahaga yang selama ini menyiksanya sejak awal musim panas terasa lenyap seketika.

“Lebih mujarab daripada jamu manapun!”

Marchioness Masala tak henti melontarkan pujian.

Kerumunan penonton makin bertambah, hingga membentuk dinding manusia yang mengelilingi meja hidangan. Di tengah hiruk-pikuk itu, suara seorang anak laki-laki terdengar lantang.

“Ibu selalu menyuruhku mencontoh para bangsawan agung, kan? Aku juga ingin mencicipi masakan dari ladang itu!”

Countess Kendrick hampir meloncat kaget. Wajahnya yang pemalu langsung memerah. Ia tergagap menjawab.

“Tapi itu kan hanya garnish……”

“Garnish itu apa, Bu?”

“Pelengkap untuk memperindah hidangan. Tidak ada yang benar-benar memakannya. Sama saja dengan memakan piring. Kalau kamu ingin benar-benar mencicipi, lebih baik ayamnya saja. Setidaknya itu tampak seperti hidangan sungguhan.”

Ia menggandeng putranya mendekati meja. Setelah menunduk sopan sambil meraih ujung gaun, ia berkata penuh hormat.

“Lady, bolehkah saya mengambil sedikit ayam ini?”

“Tidak perlu sungkan! Silakan saja!”

Hazel segera menjawab.

Countess Kendrick lalu mengambil penjepit kecil yang tersedia, memetik sedikit daging dari paha ayam besar.

Namun, sesuatu terasa berbeda.

Daging itu terbelah lembut, lalu tetesan jus daging yang terperangkap di dalamnya menetes keluar. Aroma harum yang menggoda langsung menyerang indera penciumannya.

“……?”

Ia mendadak linglung. Alih-alih menyuapi putranya yang sudah membuka mulut lebar, ia justru tanpa sadar memasukkan potongan itu ke mulutnya sendiri.

Daging ayam itu langsung meleleh begitu saja.

Belum pernah ia makan ayam panggang selezat ini. Lidahnya yang sangat peka tak merasakan bau amis sedikit pun. Rasa bawang putih, rempah, dan mentega berpadu sempurna dengan daging lembut yang penuh aroma. Perutnya bergolak hebat karena kenikmatan tak terduga ini.

Krooong!

Suara keras terdengar menembus korset ketatnya, tapi Countess bahkan tidak peduli. Tatapannya sepenuhnya terpaku pada ayam yang dipotong besar oleh Hazel. Ia lahap menyambutnya dan menggigit lagi.

Perasaan yang muncul saat itu……

“Bahagia sekali!”

Seruan tulus dengan mata berkaca-kaca itu langsung memicu ledakan.

“Saya juga mau!”

“Biar saya coba juga!”

Orang-orang yang sudah tak sadar tubuhnya condong ke depan langsung menyerbu membuat antrean. Mereka yang tadinya sibuk mencicipi hidangan lain pun meletakkan garpu dan ikut mengantre. Dalam sekejap, barisan panjang terbentuk.

“Tak bisa jadi…….”

Mademoiselle Blanchard yang berambut pirang gemetar hebat. Rambut indah yang ditata rapi hampir berantakan seluruhnya. Sebaliknya, di sampingnya, Lady Rilain justru tampak lega.

“Ah, selesai sudah. Benar-benar selesai.”

Ia menyingkirkan gratin truffle jauh-jauh. Setelah menepuk tangannya, ia pun menyelinap ke barisan.

Kalau sudah begini, lebih baik ikut makan. Rugi kalau tidak.

Begitulah pikirannya. Karena dulunya ia seekor babi hutan liar, ia tahu betapa nikmatnya masakan Hazel.

Mereka yang pernah mencicipinya pasti tahu. Para pelaku "teror pesta teh" yang hanya menelan ludah pun segera ikut antre.

Akhirnya, semua peserta lain juga menyusul. Bahkan Mademoiselle Blanchard yang kesal pun akhirnya masuk antrean paling belakang.

“Sayur kukus ini benar-benar menghancurkan semua prasangkaku!”

“Bagaimana mungkin telur bisa seenak ini…… bagaimana……!”

“Tak perlu kata-kata indah! Ini hanya…… lezat! Sangat luar biasa!”

Responnya benar-benar fenomenal.

Meski hanya di satu sudut aula, kegaduhan itu begitu besar hingga suasananya merambat sampai ke tengah aula pesta dansa.

“……Hah! Katanya tak jelas apakah itu menari atau jalan-jalan saja, tapi justru itulah daya tarik tarian istana……”

Sir Louis, yang sibuk memenuhi kewajiban berbaur dengan para bangsawan Bratania, jadi ikut gembira. Begitu juga Lorendel, Siegvalt, dan Cayenne.

Beberapa waktu lalu Hazel masih dijatuhi larangan bicara. Hukuman seberat itu hampir sama dengan vonis mati.

Namun, tanpa koneksi dan tanpa harta, gadis ladang ini berhasil membuktikan bakatnya. Dan akhirnya, ia memperoleh pengakuan dari para bangsawan konservatif di pesta dansa……

Ya. Begitulah.

Menteri Dalam Negeri tersenyum puas sambil menurunkan kacamata operanya.

Mereka bukan satu-satunya yang mengamati diam-diam.

“Bagaimana menurutmu? Semua sesuai dengan proposal.”

“…….”

“Yang Mulia Pengurus Istana? Apakah Anda mendengarkan?”

“Ah, iya!”

Milen, pejabat pengawas permata, tersentak kaget saat menyadari ia terlalu larut menatap Hazel. Pengurus istana lain pun tersenyum tipis sambil tetap sibuk dengan urusannya masing-masing.

Namun, Hazel sendiri justru tegang.

Kacau sekali……

Orang-orang mengantre sambil bertanya macam-macam, menyampaikan pendapat, atau sekadar menonton. Suasana di sekitar meja benar-benar seperti pasar malam.

Entah di mana, Lady Diavelli pasti masih mengawasi.

Kalau dirinya yang jadi Lady itu, pasti saat seperti ini yang akan dimanfaatkan.

Memikirkannya saja membuat Hazel makin gugup.

Sementara itu, di kursi kehormatan, Iskandar juga merasakan ada sesuatu di udara. Ia menatap pasangan yang sedang menari, tapi sesungguhnya ia fokus pada sudut pandangnya.

Lalu pada suatu saat.

Di antara gaun-gaun berputar, sekilas tampak seorang bangsawati berambut hitam dengan topeng. Muncul sekejap lalu lenyap, tapi ia yakin itu dia.

Seperti yang diduga, ia kembali bergerak.

Iskandar pun memusatkan seluruh inderanya ke arah itu. Karena hal itu, ia justru melewatkan sesuatu.

“Kenapa Yang Mulia Kaisar tiba-tiba berdiri tegak begitu?”

“Jangan-jangan tema penyamarannya kali ini…… meerkat?”

Bangsawan Bratania berbisik-bisik.

Ucapan itu sampai ke telinga Grand Duchess Athena.

Ia tengah larut bahagia karena Kaisar bertahan di pesta lebih lama daripada biasanya. Baru kali itu ia merasa ada yang aneh.

Athena mulai mengamati Iskandar dengan cermat di balik topeng.

Beliau gelisah! Kenapa?

Ia lalu melirik sekeliling aula pesta.

Orkestra masih bermain di panggung yang dihiasi bunga. Pasangan bertopeng berputar-putar, bulu-bulu hiasan di kepala mereka bergoyang, kancing emas memantulkan cahaya. Tangan berbalut sarung renda putih bertaut, bisikan lembut diselipkan di antara senyum menggoda.

Sekilas, tak ada yang janggal. Hanya pesta dansa biasa.

Lalu kenapa?

Athena kembali menoleh ke Iskandar.

Tatapannya lurus ke depan, topeng menutupi wajah sehingga tampak seakan ia fokus menonton pesta.

Namun, ada gerakan sangat halus yang hanya Athena—pengamat rahasianya selama 13 tahun—yang bisa mengenalinya.

Kaisar sesungguhnya sedang terganggu. Ingin menoleh ke satu arah, tapi mati-matian menahannya. Gerakan kecil yang tertahan itu, bagi Athena, tampak jelas seperti gerakan besar.

“Sebenarnya beliau sedang mencurahkan perhatian pada apa, ya?”

Dengan seluruh fokusnya, Athena akhirnya menyadari jawabannya.

Itu seorang wanita.

Seorang bangsawati berambut hitam yang mengenakan topeng.

Setiap kali sosoknya muncul di tengah arus manusia, Sang Kaisar menunjukkan reaksi samar.

Athena merasa darahnya membeku.

Ini pertama kalinya ia melihat hal semacam itu.

Kenapa bisa begitu? Tidak mungkin.

Bagian mana dari dirinya yang bisa menarik pandangan Sang Kaisar?
Apakah cara dia menari ringan seperti kupu-kupu?
Atau senyum malu-malu yang ia tunjukkan mengikuti alunan musik lembut?
Atau mungkin sosoknya yang tampak menyendiri, jauh dari hiruk-pikuk pesta, tenggelam dalam lamunan?

Athena menatapnya tajam, wajahnya memucat.

Sang bangsawati berambut hitam itu…

Dia…

Muncul di sana-sini, ke timur lalu ke barat. Dilihat lebih saksama, ternyata ia menyelak barisan dengan gigih. Dan tempat yang begitu mati-matian ia masuki adalah arena kompetisi masak.

“Apa… Yang membuatnya menarik justru karena menyelak antrean…?”

Athena benar-benar bingung.

Namun tak lama, sosok si bangsawati berambut hitam itu lenyap lagi.

***

“Bagaimana bisa kacang hanya dikukus, tapi rasanya jadi seperti ini?”

“Kau tuli, hah? Katanya memang cuma dikukus! Tidak ditambahkan apa pun!”

“Ajaib sekali! Dengan tepung jelai saja bisa jadi roti selezat ini!”

Hidangan sederhana ala pedesaan ternyata meraih kesuksesan besar.

Pasangan Count Diabelli menyaksikan pemandangan itu dengan wajah penuh kepuasan. Dan kepuasan itu bukan kepura-puraan—mereka benar-benar merasa bangga.

Mereka berpikir:

“Idenya sungguh luar biasa!”

Mereka belum mengatakannya pada putri mereka, tapi pasangan itu sebenarnya punya sebuah “rencana besar”. Begitu pesta dansa selesai, mereka akan segera mencari seorang penduduk desa, mempekerjakannya, lalu memaksa putri mereka mempelajari semua keterampilan pedesaan itu. Setelah itu, mereka berniat membuka sebuah salon pedesaan.

Jika rencana itu berhasil…

Count dan Countess Diabelli membayangkan sebuah ilusi indah.

Di tengah keramaian, menerima pujian yang tiada habisnya, berdirilah putri mereka sendiri dengan topi jerami.

“Siapa gerangan nona cantik yang mampu membuat hidangan sehebat ini?”

“Itu Lady Christina! Putri Count Diabelli!”

“Sungguh iri! Bagaimana mungkin Anda memiliki putri yang begitu sempurna?”

Di bawah tatapan penuh kagum para bangsawan, pasangan itu berdiri paling anggun dan gemilang.

Namun untuk mewujudkan fantasi memabukkan itu, ada satu halangan yang harus disingkirkan.

***

Di tengah kerumunan orang yang melimpahkan pujian, dengan pipi merona, seorang gadis berambut cokelat gelap tampak seperti sedang mabuk akan kejayaan.

Pasangan Diabelli menatapnya dengan pandangan penuh kebencian.

Padahal kenyataannya, Hazel sama sekali tidak sedang mabuk oleh pujian.

Sekilas memang tampak demikian, namun sebenarnya wajahnya hanyalah seperti pegawai bank yang kepalanya panas karena sibuk menghitung bunga pinjaman yang rumit di loket.

Hazel sedang fokus mati-matian.

Agar sebanyak mungkin orang dapat mencicipi hidangan ala pertanian, ia tak boleh berhenti menggerakkan tangannya barang sedetik pun. Namun, pada saat yang sama, ia juga memasang seluruh inderanya, mengamati pergerakan di aula pesta.

Para tamu yang tadinya sibuk bermain kartu atau mengagumi perhiasan dan gaun kini hampir semuanya berkumpul di arena kompetisi masak. Sementara di sisi lain, tepat di ruang utama yang luas, pesta dansa tampaknya telah mencapai puncaknya.

Tiba-tiba, sudut pandangnya menangkap sesuatu.

Di bagian high table—meja kehormatan di aula.

Meski dirancang agar bisa terlihat dari mana saja, Hazel sejauh ini sengaja menghindari melihat ke sana.

Dan kini, di tempat itu berdirilah seseorang dengan topeng, mengenakan seragam putih yang dihiasi simbol-simbol kekaisaran yang berkilauan.

Ihkk!

Hazel nyaris terlonjak.

Sang Kaisar!
Tetangganya yang agung, namun yang belum pernah sekalipun ia temui langsung, kini berdiri di hadapannya.

Tapi ada yang aneh.

Kenapa beliau berdiri begitu tiba-tiba?

Menurut Sir Luis dan para komandan ksatria lainnya, Kaisar terkenal membenci pesta dansa. Tapi mengapa sekarang tampak seolah ada urusan penting?

Pikiran Hazel terhenti di situ.

***

Seketika itu juga—

Tanpa tanda-tanda, tanpa peringatan, dengan sangat alami namun begitu berani—
sebuah tangan putih tiba-tiba terjulur ke dalam pandangannya.

“Ah!”

Hazel buru-buru meraih tangan itu. Tepat di atas hidangan ayam bakar ala pertanian yang dagingnya nyaris habis, kedua tangan mereka saling bertaut, terhenti di udara.

“……!”

Mata Kitty terbelalak.

Ia berniat berbuat jahat diam-diam dalam kekacauan ini, tapi malah ketahuan basah kuyup. Jantungnya hampir copot.

“Apa yang sedang kau lakukan?”

Hazel menggenggam erat tangannya sambil mendesak.

Wajah di balik topeng itu memerah karena malu. Namun, sekejap kemudian, sorot matanya berubah—penuh keputusasaan.

Kitty memutar pergelangan tangannya sekuat tenaga.

Hazel terperanjat.

Sekilas, ia melihat tutup logam di telapak tangan itu. Klik! terdengar suara mekanisme berputar.

“Tidak boleh!”

Orang-orang sekitar menatap dengan bingung. Suasana riang di lantai dansa sama sekali tidak menyadari apa yang tengah terjadi.

Hanya satu orang yang berbeda.

Iskandar, yang sejak tadi memperhatikan “badai dalam cangkir teh”, berpikir:

Sekaranglah waktunya. Waktunya menyelesaikan tugas hari ini.

Ia sudah melatih teknik itu berkali-kali pada kepala pengawal, sampai bisa melakukannya beruntun.

Menggunakan energi pribadi yang disebut Aura. Ia merasakan aura targetnya, lalu menyelaraskannya dengan auranya sendiri, dan melepaskan energi padat yang orang asing itu sebut sebagai “Jangpung”—angin pukulan.

Aura target saat ini berwarna ungu pekat. Iskandar memusatkan kekuatannya ke tangan kanan. Dari balik jubahnya, hembusan angin sunyi tercipta, begitu halus hingga Athena yang berdiri di sampingnya pun tak menyadarinya.

Gumpalan energi tak kasat mata melesat bagai anak panah.

Seiring lantunan waltz, para penari mendadak terhenti. Hiasan kepala bergetar, ujung jas berkibar, mereka kaget dan meraih pakaian mereka.

“Angin dari mana itu?”

Namun, secepat datangnya, semuanya kembali seperti semula. Seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Mungkin hanya perasaan.

Tepat saat semua orang berpikir demikian, hembusan keras menghantam Kitty.

Pukulan itu tepat mengenai tangan kanannya yang terkepal. Begitu kuat hingga nyaris mematahkan pergelangan, membuat benda di genggamannya terlempar jauh.

“Ahhh!”

Kitty menjerit, wajahnya seketika pucat pasi.

Hazel pun terkejut.

Apa itu barusan?

Dalam sepersekian detik ia sempat melihat sebuah botol kecil berwarna ungu beterbangan jauh.

Ke mana jatuhnya?

Sambil mencari-cari dengan pandangan, telinganya menangkap sesuatu. Di sela musik pesta dan suara orang-orang, terdengar panggilan jelas.

Tiberius……!

Suara rendah tapi tegas.

Sir Valentine!

Hazel kembali terperanjat.

Jangan-jangan… Si pembuat onar itu berhasil menyelinap masuk ke pesta ini?

Tidak, mustahil. Hari ini dia sudah diikat dengan tali kulit yang kuat.

Apa aku berhalusinasi?

Sementara Hazel kebingungan, Count dan Countess Diabelli wajahnya memerah padam.

Gadis petani licik itu ternyata menyadari dan berhasil menggagalkan rencana. Dalam perebutan, botol itu malah terlempar jauh.

“Dasar Kitty, bahkan hal sepele pun tidak becus!”

Countess hampir saja maju untuk menarik rambut putrinya, tapi Count menahannya.

“Sekarang bukan waktunya marahi dia! Kalau ketahuan, kita yang akan celaka!”

“Apa maksudmu?”

“Kau masih pura-pura tidak paham? Semua orang lihat barusan! Kitty jelas mencoba melakukan sesuatu, lalu ketahuan di tempat!”

Wajah Countess mendadak pucat pasi.

“Lalu… kita harus bagaimana?”

“Aku punya ide bagus. Kau cepat cari botol itu dan sembunyikan.”

“Baik!”

Countess segera bergegas mencari botol itu. Sementara Count menembus kerumunan dan dengan lantang berteriak pada Hazel.

“Benar-benar kebangetan! Kalau tidak suka berbagi makanan, bilang saja! Kenapa harus main kasar dan menampar tangan putriku begitu?”

Perkataannya terdengar jelas oleh Duke Acevedo dan Duke Montealegre yang berdiri di sisi Hazel. Kedua orang tua itu langsung melotot tak percaya.

“Omong kosong apa itu! Kami melihatnya dengan mata kepala sendiri!”

Mereka menunjuk Kitty, yang masih terpaku membeku di depan meja.

“Urus dulu tangan putrimu sendiri! Gadis itu jelas berusaha menyusupkan sesuatu ke dalam masakan ini!”

“Betul. Ini buktinya.”

Count Diabelli menunduk, lalu berpura-pura memungut sesuatu dari lantai. Padahal sebenarnya ia mengeluarkan botol kecil yang selalu ia bawa di sakunya.

“Ini hanya cengkih. Putriku memang punya masalah lambung, jadi ia selalu membawa bubuk cengkih untuk ditaburkan ke makanannya.”

Mendengar itu, Hazel tersentak.

“Itu bohong! Itu bukan bubuk cengkih! Aku jelas melihatnya—sebuah botol berisi cairan ungu!”

Count kaget.

Dia sempat melihatnya dalam sekejap begitu?

Ia melirik istrinya. Countess buru-buru mengibaskan tangan, memberi isyarat bahwa botol itu tak ada di mana pun.

Memang benar. Ini ruang pesta dansa. Meski botol itu cukup kuat, dengan begitu banyak kaki berlalu-lalang, sudah pasti terguling, terinjak, dan hancur berkeping-keping tanpa jejak.

Tak perlu repot mencari. Buktinya sudah musnah sempurna.

Count Diabelli pun menegakkan bahu, berbicara dengan lantang.

“Botol berisi cairan ungu? Baiklah! Anggap saja kata nona ini benar. Kalau begitu, di mana botol itu sekarang? Seharusnya tergeletak di sekitar sini! Jadi mana buktinya, hah?”

“Itu terhempas jauh. Ada hembusan angin kencang tiba-tiba yang membuatnya terlempar.”

Jawaban Hazel tenang.

Count Diabelli nyaris tertawa. Ketegangan yang sempat ia rasakan barusan mendadak terasa konyol.

“Hah!”

Ia lalu meledak tertawa, pura-pura keheranan.

“Di sini ada jendela terbuka, kah? Atau mungkin langit-langit balai dansa kekaisaran ini bocor, ada celah angin masuk? Bagaimana mungkin tiba-tiba ada hembusan angin? Setidaknya carilah alasan yang masuk akal! Apa kau pikir boleh menipu semua orang seenaknya begitu? Baru menang sedikit dalam lomba, langsung besar kepala, ya? Mengarang kebohongan konyol seakan-akan semua orang akan percaya begitu saja!”

Wajah Hazel memanas, pipinya merah padam.

“Kalau botol ungu itu ternyata masih ada, bagaimana? Kalau kutunjukkan buktinya, apakah kau akan mengaku? Bahwa kalian memang berusaha merusak masakanku dengan mencampurkan racun?”

“Ha! Sungguh!”

Count berpura-pura memegangi tengkuknya, sementara matanya melirik ke arah istrinya.

Namun Countess tetap memberi isyarat panik: botol itu sama sekali tidak ada. Sudah hancur tanpa bekas.

“Baiklah! Tentu saja aku akan mengaku!”

Count berteriak dengan penuh percaya diri.


Pesta dansa kekaisaran selalu dimulai dengan megah dan berakhir dengan anggun. Setidaknya, begitulah yang seharusnya terlihat di mata sang penguasa tertinggi.

Semua orang memahami itu.

Namun, pesta dansa juga berarti berkumpulnya segala macam bangsawan Bratania dalam satu ruangan.

Sedang bangsawan… adalah makhluk yang hubungan sosialnya selalu rumit dan berliku. Maka benturan pun tak pernah bisa dihindari.

Meski panggung utama selalu tampak tenang, di sudut-sudut ruangan pasti ada saja keributan—pertengkaran cinta, tantangan duel, adu mulut, tuduhan, pengaduan… Semua gosip itu menyebar lebih cepat dan lebih senyap dibanding kabar apa pun.

Keributan kecil di lomba masak itu pun tak terkecuali—“badai dalam cangkir teh” yang segera bergulir menjadi bahan bisik-bisik.

Aula utama terlindung oleh tembok suara yang tebal—musik orkestra yang gegap gempita, drama tari yang riuh, percakapan yang tak henti. Badai kecil itu tak mampu menembus dinding itu. Namun sedikit desis tetap berhasil merembes keluar.

Seekor telinga halus dari seorang High Elf yang sedang membelakangi aula bergerak pelan.

“…Karena itu, sebaiknya naskah iluminasi itu belum dipublikasikan ke dunia luar…”

Para bangsawan terpelajar masih sibuk menyampaikan pendapat. Tapi High Elf itu, tiba-tiba saja, berbalik badan dan melangkah pergi.

“Lord Blenheim?”

Yang lain terkejut.

Namun mereka segera maklum. Semua tahu reputasi elf itu hanya bersandar pada kelembutan budi, bukan keterampilan bersosialisasi. Jadi, kepergiannya dianggap hal biasa.

Lorendel menembus sisi kiri aula, lalu tanpa basa-basi meraih Luis yang sedang dikerumuni pemilik butik terkenal, dan langsung menyeretnya pergi.

Pemandangan aneh itu pun segera menarik mata seseorang.

“Hah?”

Mata emas kucing Cayenne membelalak.

Seperti biasanya, meski sibuk menerima kartu perkenalan yang tiada henti, pupilnya yang tipis tetap awas memantau sekitar.

Melihat Lorendel menyeret Luis, Cayenne segera melompat ke atas patung dan melambaikan tangan memberi isyarat pada sahabat warbear-nya.

“Hm?”

Sigvald mengangkat alis, bingung.

Para bangsawan Bratania punya satu kebiasaan buruk: begitu melihat tubuh besar dan wajah seriusnya, mereka langsung teringat akan segala macam masalah pelik, lalu membebankannya pada dia.

Maka, hari itu pun ia lagi-lagi harus membuka “pos pengaduan darurat” dadakan. Namun begitu melihat isyarat dari kucing sahabatnya, ia segera menutupnya dan bergegas keluar.

Akhirnya, keempatnya bertemu di tengah aula. Lorendel berwajah serius.

“Sepertinya ada sesuatu yang terjadi di lomba masak.”

Saat itu juga, para ksatria muda vampir yang sejak tadi mencari-cari Luis muncul. Julien berteriak:

“Komandan! Di sini Anda rupanya! Tahukah Anda? Hidangan surgawi yang kami makan waktu itu ternyata hanya kentang! Tapi yang lebih gawat—Count Diabelli sedang mencari gara-gara pada Tuan Putri Petani!”

“Benar-benar gila!”

Luis berseru. Bahkan sebelum kalimatnya selesai, ia sudah melangkah maju dengan cepat.

Sebelum memulai keributan, seharusnya seseorang memastikan dulu apakah lawannya punya tetangga yang kebetulan jago berpedang. Dan Luis berniat mengajari Count Diabelli pelajaran pahit itu.

Namun saat itu—

“Tidak! Tidak perlu panggil Kepala Pelayan!”

Di balik kerumunan, suara Hazel terdengar lantang.

“Itu justru yang diinginkan Count itu! Dia ingin masalah ini membesar tanpa batas! ‘Silakan saja, toh aku sudah dibenci Kaisar!’ Begitulah pikirnya! Tapi apa aku akan membiarkannya? Tidak! Aku bisa membuktikan sendiri kalau aku tidak bersalah!”

Keempat komandan ksatria langsung terhenti.

Mereka baru sadar sesuatu: karena terlalu tergesa datang, mereka lupa memperhitungkan satu hal. Semua mata kini sudah tertuju pada arah itu. Ke mana pun mereka bergerak, tatapan-tatapan pun mengikuti.

Cayenne berbisik hati-hati.

“Kalau kita berbondong-bondong ke sana, Nona Mayfield pasti tidak akan senang.”

Sigvald pun menatap panik.

“Baiklah, mundur.”

Namun, kaki mereka tetap berat untuk berbalik. Terutama Luis, yang gelisah berputar-putar seperti anak anjing besar, tubuh tinggi tegapnya jelas tak cocok untuk itu.

Lalu mendadak matanya berbinar.

“Aku tahu! Kita bisa membantu diam-diam!”

Ia memberi isyarat pada para ksatria muda yang kebetulan berada dekat. Bocah-bocah itu memang paham situasi dengan cepat.

“Lord Falci! Anda di sini rupanya! Apa banyak menang malam ini?”

Dengan suara keras mereka mendekat perlahan. Tak lama, para ksatria—beruang, serigala, elf, dan kucing—yang sudah mendapat instruksi dari komandannya pun ikut bergabung.

Mereka membentuk dinding alami, mengelilingi Hazel secara samar, menahan tatapan-tatapan tak diinginkan. Sebuah “barikade hidup” yang bergerak.

Dan dari dalam lingkaran itu, terdengar suara-suara kesal para penonton:

“Huh! Seratus kali pun dianggap bubuk cengkih, mana mungkin ditaburkan begitu saja ke hidangan lomba? Kalau pun benar obat lambung, bukannya ditaburkan ke piringnya sendiri? Apa dia berniat mulia sampai-sampai mau mengobati lambung semua orang di sini?”

“Intinya jelas—itu bukan rempah sama sekali!”

Orang-orang waras mulai menggerutu.

Sementara itu, tak jauh dari sana, dua bangsawan tua berkeliling dengan cemas.

“Ke mana jatuhnya botol sialan itu?”

Duke Acevedo dan Duke Montealegre sampai-sampai meminjam tongkat untuk mengaduk-aduk lantai.

Saat itu Hazel menyadari sesuatu.

Entah sejak kapan, jumlah ksatria di sekelilingnya meningkat drastis.

Bahkan ia melihat Lady Louise. Perempuan itu berpura-pura menonton balet angsa di tengah aula, tapi jelas seluruh perhatiannya terpusat di sini, siap menerjang kapan pun.

Hazel merasa hatinya hangat.

Ada orang-orang yang mempercayainya.

Itu membuatnya lebih berani.

Bagaimanapun juga, di hadapan Count Diabelli, Hazel tetap pihak yang lemah. Dia tidak akan mundur sedikit pun kecuali Hazel berhasil membuktikan kebenarannya secara mutlak.

“Ah, sudahlah. Pasti memang tidak ada. Sudah lama dibuang, kan.”

Duke Montealegre mendengus sambil menusuk-nusuk lantai dengan tongkat.

“Lihat saja sikap Antonin Diabelli itu, jelas dia sudah lebih dulu menyingkirkan botolnya.”

“Tidak.”

Suara Hazel terdengar tegas. Semua orang menoleh.

Namun Hazel sedang menatap ke arah lain.

Countess Diabelli masih saja sibuk mencari-cari di lantai. Bahkan mereka sendiri pun belum berhasil menemukan buktinya.

“Botol itu pasti masih ada di sini, di suatu tempat.”

Hazel mendeklarasikan.

Ia berdiri tegak, mirip kucing yang mengembang semua bulunya agar terlihat lebih garang.

Padahal, sebenarnya dadanya terasa sesak.

Namun…

Aku punya sekutu rahasia yang orang lain tidak tahu. Aku percaya itu.

Hazel memejamkan mata sejenak, lalu mengingat kembali momen sebelumnya.

Ia jelas melihat ke mana botol ungu itu terhempas terbawa angin aneh—bukan ke arah tengah, tempat Countess sibuk mencari, melainkan ke sisi lain, menubruk dinding. Dan saat itu—

Tiberius…!

Ya. Ia mendengar suara Lord Valentine.

Itu bukan halusinasi. Hazel yakin sekali. Dia memang berada di sana, meski kembali lenyap secepat bayangan.

Lord Valentine melihat ke mana botol itu jatuh.

Dia pasti ingin turun tangan. Dengan aura gelapnya yang khas, dia ingin menunjukkan diri. Karena dia tipe yang tidak bisa diam melihat ketidakadilan.

Namun sebagai Ksatria Kekaisaran, ia terikat. Tak bisa bertindak terang-terangan.

Sebagai gantinya, ia meninggalkan petunjuk.

Seruan “Tiberius!” bukanlah teriakan kaget, melainkan kode.

Hazel pun meneguhkan hati.

Ia menatap tajam Count Diabelli.

“Count sendiri yang bilang, kan? Kalau aku berhasil menemukan botol itu, Anda akan mengakui semua persekongkolan ini. Seorang bangsawan sekelas Anda tentu tidak akan menelan kata-katanya sendiri, bukan?”

Lalu Hazel berbalik.

Semua mata mengikutinya.

Tiberius…

Ia menoleh sekilas, berjaga-jaga kalau-kalau si “anak ayam pelarian” benar-benar muncul. Tapi tidak. Dia pasti masih terikat tali kecil yang melingkari dadanya. Tidak mungkin lepas.

Kalau begitu… apa maksudnya?

Hazel mengikuti arah botol tadi terlempar, menyisir setiap sudut dengan teliti.

Tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada sebuah vas porselen berisi bulu burung unta kuning.

Itu kah?

Ia buru-buru memeriksa, tapi ternyata bukan.

“Jangan-jangan cuma buang-buang waktu?”

“Begini terus, pesta dansa keburu selesai!”

Beberapa orang berteriak keras. Jelas suara-suara itu sudah disiapkan—orang suruhan Count Diabelli.

Namun Hazel tak peduli. Ia terus melangkah dengan mata tajam, setenang pemburu elang yang mengincar mangsa.

Akhirnya pandangannya berhenti pada sebuah titik.

Sebuah mural di dinding balai dansa. Lukisan agung karya pelukis ternama—sejenis karya yang biasa dijadikan soal ujian masuk akademi. Menggambarkan Dewi Panen Ceres bersama sekawanan burung merak.

Yang penting bukan itu, melainkan bagian bawah lukisan. Di kaki para merak, terlihat anak-anak burung yang berbulu kusut, berjalan beriringan mengikuti induknya.

Dan anak-anak burung itu… sangat mirip anak ayam.

Jantung Hazel berdentum keras.

Mungkinkah…?

Ia melangkah cepat ke sana.

Semua orang terdiam, menahan napas.

Di samping mural berdiri pilar marmer. Hazel berhenti tepat di depannya, menarik napas panjang.

Lord Valentine pasti benar.

Ia memejamkan mata erat-erat, lalu mengulurkan tangan ke balik pilar gelap itu.

Ujung jarinya menyentuh permukaan kaca dingin. Ia segera menggenggamnya erat.

Ya. Botol itu. Botol kecil berisi cairan ungu, milik Christina Diabelli.

“Di sini ada.”

Hazel menampilkan botol itu dengan lantang.

Kerumunan yang sempat menahan napas sontak meledak seperti sarang lebah yang diganggu.

“Ini… ini tidak mungkin…!”

Wajah Count Diabelli pucat drastis. Countess, yang entah sejak kapan sudah kembali ke sisi suaminya, buru-buru bersuara.

“Apa buktinya itu milik putri kami? Ini semua fitnah! Gadis itu jelas sudah menyiapkan botol palsu untuk menjebak kami!”

Kerumunan langsung mencemooh.

“Omong kosong! Kau sendiri yang menantangnya: ‘kalau dia bisa menemukan botol itu, kau akan mengakui segalanya!’”

“Aku tidak tahu apa-apa!”

Countess mulai berteriak histeris.

Namun tiba-tiba—

“Cukup.”

Suara dingin bergema.

Semua orang serentak menoleh.

Di belakang, para pelayan istana wanita berdiri dengan wajah menahan amarah. Dari antara mereka, seorang perempuan maju ke depan dengan langkah mantap.

Milène Duval, pengawas permata istana.

“Botol ini jelas buatan Grimaldo, terkenal karena kekuatan kacanya. Penutupnya memiliki mekanisme khusus—harus ditekan dari atas dan samping sekaligus baru bisa terbuka. Pengrajin yang mampu membuat model seperti ini tidak lebih dari dua puluh bengkel di seluruh negeri. Dan semuanya adalah rekanan lamaku. Begitu buku transaksi diperiksa, kita akan tahu jelas siapa pemesannya.”

“Tentu. Dan aku yakin namanya memang ada di sana.”

Seorang perempuan lain dengan jubah putih ikut bersuara. Olenca Benici, apoteker istana.

“Karena bahan dasar cairan ungu ini termasuk tanaman yang sangat diawasi. Jalur distribusi gelapnya? Semua ada di bawah pengawasanku. Dan aku bisa bersaksi di sini—Count Diabelli dan istrinya! Atas tuduhan menyelundupkan tumbuhan narkotik nomor 18, Belladonna, ke dalam istana, aku resmi menuntut kalian!”

“Belladonna…?”

Kerumunan sontak terhenyak.

Wajah pasangan Count Diabelli seketika kehilangan seluruh darahnya.

Itu adalah serangan balik yang sama sekali tak terduga.

Hazel membelalakkan mata, kaget.

Benar saja, para perempuan pelayan istana ini bukanlah orang yang baru sehari dua hari mengabdi di dalam istana. Setiap kata-kata mereka memancarkan wibawa dan pengalaman panjang yang tak bisa dipandang remeh.

Di sisi lain, identitas cairan ungu itu pun mengejutkan.

Belladonna. Secara harfiah berarti wanita cantik.

Ekstraknya biasa dipakai untuk kecantikan. Jika diteteskan ke mata, pupil akan membesar sehingga sorot mata tampak jernih dan berkilau.

Namun bagi sebagian orang, ada fungsi lain yang lebih berbahaya. Para petani di selatan menyebut buah bundar berwarna ungu pekat hingga kehitaman itu sebagai “air mata hitam sang iblis.”

Hazel mengingatnya dengan jelas. Jika tanaman itu tumbuh di ladang, ia harus segera mencabut dan membuangnya sebelum anak-anak sempat memetik buahnya.

Belladonna adalah tanaman berbahaya.

Konsumsi ekstraknya bisa menimbulkan halusinasi, pusing, hingga kehilangan kesadaran diri—gejala khas kecanduan narkotik. Jika ekstrak diambil dari bagian akar yang paling beracun, bisa berakibat kematian.

Karena sifatnya yang berbahaya sekaligus berguna, kaum bangsawan istana dulu kerap memakainya. Mereka bisa diam-diam mencelakai pesaing dengan Belladonna, lalu jika ketahuan, tinggal berkilah: “Aku tidak tahu, itu hanya kosmetik biasa.”

Maka, ketika rezim berganti, masuknya Belladonna ke dalam istana akhirnya dilarang keras.

“Ya Tuhan! Kupikir mimpi buruk itu sudah berakhir!”

Para nyonya bangsawan tua pucat pasi. Bagi mereka, nama Belladonna mengingatkan trauma lama—teman yang pernah menjadi korban fitnah, kehilangan suara, bahkan nyawa karena racun itu.

“Antonin Diabelli! Untuk apa kau dan istrimu melakukan semua ini?”

“Aku rasa jawabannya jelas.”

Hazel menatap Count dengan mata penuh amarah.

“Bahkan di koran sempat ramai, bukan? Kisah pemilik restoran ternama yang ternyata mencampurkan narkoba dalam saus krimnya. Sama saja—mereka ingin menuduhku menaruh narkoba dalam masakanku untuk menjelaskan kenapa orang-orang begitu menyukainya.”

“Omong kosong! Itu fitnah! Salah paham! Aku hanya keliru! Ramuan yang biasa kupakai untuk lambungku, aku sempat tertukar sebentar! Semua orang tahu aku memang punya masalah pencernaan!”

Count Diabelli berusaha berdalih sambil memandang kanan-kiri, mencari penyokongnya.

Namun tak seorang pun menemuinya. Semua orang menghindari tatapan. Di depan kerumunan sebesar ini, kedoknya sudah benar-benar tercabut. Bahkan dewi pergaulan sekali pun takkan bisa menyelamatkannya.

Akhirnya Count pun sadar.

Segala yang telah ia bangun dengan susah payah kini hancur seketika.

Perasaan getir dan amarah meletup. Ia menoleh tajam ke arah putrinya yang membeku di tempat.

“Sudah kubilang, lakukan dengan benar!”

Plak!

Tamparan keras bergema.

Hazel, yang semula bersiap melancarkan serangan terakhir, terlalu kaget hingga terdiam.

Sejurus kemudian, rasa terkejutnya berubah menjadi murka.

Bagaimana bisa dia memperlakukan anaknya begitu!

Di samping, Countess Diabelli pun ambruk.

“Aku tidak bersalah! Semua orang tua pasti sama! Siapa yang tak ingin anaknya selalu bersinar di mana pun berada? Apakah itu dosa?”

Namun bahunya yang bergetar lemah segera dicengkeram oleh tangan kokoh.

Itu adalah penjaga istana yang sudah dipanggil.

Mereka sudah terbiasa dengan urusan semacam ini. Begitu jelas siapa yang bersalah, mereka datang cepat, bekerja sunyi, dan membawa pergi targetnya.

Keluarga Diabelli segera digiring keluar.

“Kerja bagus. Anda berhasil menghentikannya tepat waktu.”

Kepala pengawal istana berkata.

“Berkat Anda, percobaan meracuni banyak orang bisa digagalkan sebelum sempat terjadi. Meski begitu, hanya karena menyelundupkan zat terlarang ke pesta dansa istana, gelar kebangsawanan mereka pasti dicabut dan mereka diusir dari ibu kota. Urusan setelah itu, serahkan pada kami.”

Ia menepuk dadanya dengan bangga.

“Begitu, ya……”

Hazel hendak menjawab, lalu tersentak.

Putri Diabelli yang ikut digiring pergi, topengnya sudah terlepas. Wajahnya tampak kaku bak boneka lilin, kedua matanya kosong seperti lubang gelap, meski iris hitamnya jelas terlihat.

“……Kita harus melanjutkan kompetisi.”

Suara pelayan istana menyadarkan Hazel.

“Ah.”

Ia buru-buru kembali fokus.

Kejadian besar tadi hampir membuatnya lupa bahwa saat ini tengah berlangsung lomba paling penting.

Keributan pun mereda. Semua orang kini berwajah letih, ingin segera menyingkirkan rasa getir yang ditinggalkan insiden menjijikkan itu.

Hidangan ala ladang Hazel memang sudah dingin.

Namun hanya makanan yang dingin—antusiasme orang-orang justru semakin panas. Antrian yang tadinya sudah panjang kini terasa lebih panjang lagi.

“Tak kusangka harus menunggu selama ini!”

Salah satu nyonya berseru sambil bercanda, mengangkat piring kosongnya.

Ironisnya, saat Christina Diabelli hendak meneteskan ekstrak Belladonna tadi, memang giliran nyonya ini. Akibat keributan, ia jadi menunggu dengan tangan kosong hampir setengah jam.

“Ah, maafkan saya!”

Hazel buru-buru melayani dengan panik.

Dan benar saja—antrian yang kian mengular bukanlah ilusi.

Nama Belladonna menyebar cepat. Layaknya kabar hantu, tapi justru menjadi promosi yang sensasional. Hidangan Hazel ludes diserbu dalam sekejap.

Hasil akhirnya segera diputuskan.

“Peringkat pertama penilaian popularitas jatuh kepada Lady Hazel Mayfield! Dan dalam penilaian juri untuk kategori kualitas pun, peringkat pertama sekali lagi jatuh kepada Lady Hazel Mayfield! Dengan ini, kami umumkan pemenang Kompetisi Memasak Istana Kekaisaran ke-25 adalah Lady Hazel Mayfield! Selamat!”

Suara pelayan yang bertugas menggema nyaring.

Tepat pada saat itu—

“Lambat sekali. Terlalu lambat.”

Duchess Winterfeld, kepala dayang Permaisuri Agung sekaligus penyelenggara acara, kembali ke aula.

Ketika tadi suasana sudah hampir mengarah ke pengumuman pemenang, ia buru-buru pergi sebentar.

Gadis miskin tanpa gaun pesta bisa menjadi juara pertama! Ya! Beginilah seharusnya sebuah kompetisi—selalu ada kejutan!

Sudah lama ia tak merasa sesegar ini.

Tentu, sebagai penyelenggara, ia tak bisa menunjukkan perasaan condong ke satu pihak. Tapi ia sudah repot-repot memilih cincin—yang logamnya paling tebal dan lambang negara diukir paling samar—khusus untuk hadiah.

Karena itulah ia sedikit terlambat.

“Selama aku pergi, tak ada apa-apa kan?”

Ia bertanya santai, tapi jawaban yang ia terima membuatnya tertegun. Dalam beberapa menit saja, sesuatu yang luar biasa telah terjadi.

Puluhan tahun hidup di istana, Duchess Winterfeld sudah ditempa hingga jarang sekali menunjukkan emosi.

Namun kali ini…

“Selamat, Lady Mayfield.”

Ia menyerahkan kotak sutra berisi cincin emas. Dan sembari melakukannya, ia tak kuasa menahan diri untuk melirik gadis berambut cokelat gelap di hadapannya dengan mata yang terbelalak lebar.

***

Suasana pesta dansa kini benar-benar mencapai puncaknya, lalu perlahan mengarah pada penghujung acara.

Perlombaan kecil yang menjadi hiburan sampingan pun telah usai. Para tamu memberikan tepuk tangan meriah kepada gadis berbaju satin kuning yang naik ke panggung menerima hadiah.

Setelah itu, tibalah momen yang semua orang tunggu-tunggu—pertunjukan kembang api.

Di luar jendela besar yang tirainya sudah tersibak, kembang api meledak dengan riuh, memancarkan cahaya gemerlap. Sosok seekor Pegasus berkilauan menghiasi bingkai jendela emas berhias sulur.

“Pesta dansa yang sungguh luar biasa, Paduka.”

Petugas minuman istana membungkuk sembari menuangkan sampanye ke piala Kaisar. Malam ini memang dipenuhi momen indah. Namun ada satu momen yang benar-benar puncaknya.

Saat tiba-tiba Kaisar sendiri menyebut namanya.

Bagaikan cahaya menyinari seluruh hidupnya, ia merasa dirinya begitu berarti. Hanya saja…

Ia memberanikan diri berkata:

“Nama saya bukan Tiberius, Paduka. Saya Siberius. Tiberius itu… raja pelarian.”

Kaisar menoleh, menatapnya.

“Ah, begitu.”

Beliau mengangguk perlahan.

Sekarang, Beliau pasti sudah benar-benar mengingat namaku.

Siberius, sang petugas minuman, bersorak dalam hati.

Di sisi lain, Putri Agung Athena mencuri pandang pada Kaisar yang berambut emas memesona itu.

Beliau duduk di singgasana tinggi dengan santai, wajah terlihat sangat puas.

Athena pun tersadar bahwa prasangkanya tadi keliru.

Ia sempat salah paham, mengira Sang Kaisar terpikat pada gadis berambut hitam itu, sampai-sampai mengamatinya dengan tekun. Namun nyatanya tidak begitu.

Beberapa saat kemudian, suasana di seberang ruangan mendadak gaduh. Athena menerima laporan rahasia dari orang kepercayaannya—dan terkejut.

Keluarga Count Diabelli membuat skandal.

Ternyata Kaisar sudah mengetahui siasat mereka sejak awal.

Menyelundupkan zat terlarang ke dalam istana!

Athena gemetar, terkejut akan kelancangan mereka, tapi sekaligus terpesona.

Bagaimana mungkin Beliau mengetahuinya lebih dulu? Hebat sekali!

Namun, sejak saat itu sesuatu terasa aneh.

Kaisar tidak berkata apa-apa, hanya sesekali melirik ke arah sana.

Kemudian tiba-tiba Beliau terlihat sangat santai—bahkan tanpa alasan jelas, tiba-tiba saja memanggil keras-keras petugas minuman.

Apa maksudnya ini?

Kepala Athena penuh tanda tanya.

Ia ingin bertanya pada sang ahli, tetapi pejabat dalam negeri yang seharusnya selalu waspada justru entah mengapa menghilang.

Athena pun terpaksa memutar otak seorang diri.

Dan akhirnya sampai pada kesimpulan tunggal.

Begitu Kaisar tahu bahwa target intrik keluarga Count itu adalah “gadis itu”—si duri dalam daging di dalam istana—Beliau segera kehilangan minat.

Tidak ada penjelasan lain.

Tak lama kemudian, pejabat dalam negeri akhirnya kembali.

“Aku… baru saja ke kamar kecil. Perutku tiba-tiba sakit…”

Tak ada yang bertanya, tapi ia buru-buru mencari alasan.

Menyusul setelahnya, Kepala Pengawal Istana masuk melapor. Ia merinci kejadian yang baru saja terjadi di sudut aula dansa. Kaisar mendengarkan diam tanpa mengungkapkan bahwa Beliau telah menyaksikan semuanya dari singgasana.

Setelah laporan selesai, sang kepala pengawal bertanya:

“Baginda, bagaimana perlakuan terhadap orang-orang durhaka itu?”

Kaisar langsung memberi jawaban.

Athena mendengarkan dengan seksama, lalu mengangguk dalam hati.

Benar. Beliau memang sudah kehilangan minat.

Melihat sang pengawal mundur dengan sopan, Athena sendiri mengangguk seakan mengerti segalanya.

***

Pesta dansa pun berakhir.

Hazel kini dikerumuni banyak orang.

Louis, Lorendel, Siegfalt, dan Cayenne akhirnya kembali setelah sempat lengah dari tugasnya, buru-buru mendekat.

Namun, tempat terbaik sudah diduduki para pelayan istana.

Wajah mereka memerah, mata berbinar penuh semangat. Bagi mereka, pengalaman malam ini adalah sebuah petualangan luar biasa. Tak seorang pun rela meninggalkan Hazel.

Hazel merasa seakan dirinya seorang pahlawan. Padahal, justru mereka inilah pahlawan sesungguhnya baginya.

“Terima kasih banyak sudah membantu saya!”

“Kami hanya melakukan tugas kami.”

Petugas perhiasan dan apoteker mengangguk singkat.

“Kadang hidup di istana terasa seperti berputar-putar dalam roda. Bekerja, mengurus keluarga, hari-hari berlalu begitu saja, sampai rasanya hidup ini tak punya arti.”

“Tapi ternyata tidak sia-sia. Dengan ilmu dan pengalaman yang sudah kami kumpulkan, kami bisa menolong orang lain. Dan momen itu—momen ketika diri kami terasa berarti—Anda yang telah mengingatkan kami akan betapa berharganya hal itu.”

Para pelayan istana tersenyum hangat.

Mereka sedang merayakan kemenangan bersama ketika tiba-tiba Kepala Pengawal Istana muncul, menyibak kerumunan. Dengan wajah agak kikuk, ia menyampaikan sesuatu pada Hazel.

Hazel terbelalak.

“Benarkah?”

“Benar.”

Kepala pengawal mengangguk.

“Aku memang sempat berlagak, bilang urusan ini serahkan saja pada kami. Tapi ternyata, Baginda sendiri berfirman begini: segalanya akan diputuskan sepenuhnya sesuai kehendak pihak korban.”

Semua orang terperanjat.

Itu sungguh di luar dugaan.

“Pasti ada maksud politik di baliknya!”

Orang-orang mulai berbisik, saling berpendapat.

Namun tak seorang pun tahu.

Kenyataannya, sejak naik takhta, inilah pertama kalinya Iskandar mengambil keputusan tanpa motif politik sedikit pun. Maka ketika semua orang sibuk mencari-cari alasan, mereka tentu salah menebak.

“Tidak biasanya seperti Baginda!”

Louis akhirnya berhasil menyusup masuk ke dalam lingkaran.

“Sekalipun Beliau seorang Grand Chevalier yang tak terpengaruh racun, tetap saja—biasanya kasus sekecil apa pun Beliau kaji dan putuskan sendiri! Apa ini pertanda Beliau hanya merasa… malas?”

Hazel berdiri di sampingnya, masih linglung.

Sekilas bayangan wajah Kaisar kembali muncul di benaknya.

Pertemuan pertama itu terjadi tanpa ia sadari, di tengah konsentrasi lomba. Wajahnya tak terlihat karena topeng, tapi rambut emas yang berkilauan dan seragam putih yang memantulkan cahaya—ia melihat jelas wibawa agung yang terpancar darinya.

Aku tadi berani bersuara keras… di hadapan orang seperti itu.

Barulah Hazel benar-benar menyadari.

Seluruh istana megah ini ada hanya untuk Kaisar. Betapa kecil dirinya terasa dibandingkan Beliau.

Kalau Kaisar mau, menekan gadis kecil dari keluarga baron seperti dirinya hanyalah perkara sepele.

Seperti kata Sir Louis—mungkin Baginda hanya malas.

Namun Hazel tahu itu tak mungkin.

Kasus ini sudah jadi bahan gosip. Saat ini pun kabar menyebar cepat di kalangan bangsawan. Semua orang menunggu keputusan nasib keluarga Count Diabelli.

Dan kini, menyerahkan keputusan itu kepada Hazel berarti satu hal—

Gadis kecil pemilik ladang ini, kini didorong naik ke panggung besar.

Hazel menarik napas.

“Aku tahu apa yang harus kulakukan jika ingin mendapat penilaian baik dari banyak orang. Aku hanya perlu memaafkan mereka, meminta keringanan hukuman bagi keluarga Count.

Tapi aku tidak bisa. Sekalipun semua orang memperhatikan dan menunggu, sekalipun aku bisa meraih simpati kalangan bangsawan… aku tidak bisa melakukannya hanya demi mencari muka.”

Hazel berkata tegas.

“Apapun maksud politiknya, toh pada akhirnya wewenang sudah diserahkan padaku. Maka aku akan melakukannya dengan cara yang menurutku benar. Dengan cara peternakan.”

Semua orang serentak bertanya:

“Itu maksudnya apa?”

“Di ladang, kalau ada hama atau penyakit tanaman, pertama-tama kami pastikan sejauh mana penyebarannya. Lalu semua bagian yang terinfeksi harus dipotong habis. Hanya dengan begitu, penyakit itu tidak akan muncul lagi.”

Hazel menjelaskan.

“Kalian juga melihat bagaimana Count tadi masih berani muncul tanpa rasa malu sedikit pun, bukan? Bahkan setelah bukti jelas-jelas terbongkar, dia justru bersikap seolah dirinya yang paling dizalimi. Itu sudah jadi tanda. Ini pasti bukan yang pertama kalinya. Selama ini, mereka berdua pasti sudah merentangkan tangan ke banyak tempat, sembari mondar-mandir keluar-masuk istana.”

Lalu ia menoleh ke Kepala Pengawal.

“Sebelum mencabut gelar dan mengusir mereka, ada satu hal penting. Jangan sampai mereka sempat pulang dulu, karena itu akan memberi kesempatan menutupi banyak hal. Segera kirim tim penyelidik untuk menggeledah seluruh kediaman mereka. Aku yakin akan ditemukan lebih banyak lagi dosa. Semuanya harus diungkap tanpa terkecuali, dan diproses sesuai hukum.”

Soal reputasi dan penilaian orang lain, Hazel tak peduli. Begitu ia berkata demikian, hatinya terasa lega.

“Baik.”

Kepala Pengawal mengangguk.

“Kalau soal penilaian di kalangan bangsawan, mungkin lebih baik seorang Lady tampil lemah lembut dan patuh. Tapi, bagaimanapun juga, aku pribadi sangat menyukai jawabanmu. Bagus sekali. ‘Permintaan korban adalah penggeledahan menyeluruh…’.”

Ia menulis cepat di buku catatannya, lalu tiba-tiba menambahkan dengan nada rendah:

“Oh, dan mengenai Lady Diabelli.”

Hazel seketika tertegun. Bayangan tatapan kosong si putri bangsawan itu kembali terlintas.

Kabar sudah tersebar luas bahwa orang tuanya sendiri menekan putrinya habis-habisan.

“Kau akan dicabut dari gelar, diusir, dan kehilangan seluruh harta.”

Karena itulah, dengan wajah begitu putus asa, dia nyaris meneteskan obat terlarang itu.

“…Tak usah khawatir soal dirinya. Dia sudah mendapat hukuman larangan seumur hidup untuk masuk istana.”

Kepala Pengawal melanjutkan:

“Selain itu, toh usahanya pun hanya berakhir sebagai percobaan yang gagal. Dan mengingat dia hanya seorang anak yang tak bisa memilih orang tuanya, serta tindakannya dilakukan di bawah paksaan dan ancaman, kemungkinan besar dia akan mendapat keringanan hukuman. Tapi pada akhirnya, bukankah dia sudah jatuh ke jurang juga? Sekalipun dipertimbangkan secara hukum, hidupnya sudah hancur. Itu sendiri sudah jadi hukuman.”

“Begitu ya…”

Hazel kembali terdiam, hatinya diliputi perasaan campur aduk.

Ia merasa kasihan.

Bukan karena kini dirinya berada di atas dan bisa memandang rendah gadis itu yang terperosok ke dasar. Bukan.

Hazel termenung.

Para komandan ksatria dan para pelayan istana saling bertukar pandang.

Mereka ingin merayakan kemenangan Hazel atas juara pertama. Tapi jelas sekarang pikirannya sedang rumit. Maka mereka sepakat untuk lain kali saja datang berkunjung ke peternakan.

Dengan senyum, mereka pun berpisah.

Acara selesai, meja besar sudah kosong. Tinggal tersisa satu hidangan—pai sarden yang kini setengah hancur.

Mungkin lebih baik kuberikan saja pada kucing-kucing jalanan di ibu kota.

Hazel mengambil pai itu dan pulang.

Rumah kecil di peternakan tenggelam dalam kegelapan. Ia menyalakan lampu minyak, memeriksa keadaan dalam rumah.

Tiberius sudah terlelap bersama teman-temannya.

Anak ayam punya kaki yang rapuh. Jika salah urat atau patah, ia bisa kehilangan kemampuan berjalan selamanya. Karena itu Hazel melepas tali kulit dari tasnya, lalu membuat ikatan lembut di sekitar dadanya agar tetap aman.

“Anak ayam kalau kakinya cedera… tak akan bisa berjalan lagi.”

Hazel berbisik pelan. Kata-kata itu entah kenapa menusuk hatinya dalam-dalam.

“Padahal kamu tak tahu apa yang terjadi hari ini.”

Ia menyeduh secangkir teh lavender, duduk, dan menghirup hangat serta aromanya, berusaha menenangkan hati.

“Bukankah semua orang ingin anaknya selalu bersinar, di mana pun berada?”

Ucapan Countess Diabelli terngiang kembali.

Dan Hazel sadar… itu bukan hanya urusan orang lain.

Kakeknya juga pernah menginginkan hal yang sama—agar Hazel hidup sebagai Lady bangsawan yang bersinar. Walau keluarga mereka telah jatuh, ia ingin cucu semata wayangnya tumbuh sebagai wanita mulia yang tak perlu menyentuh setetes pun air cucian.

Namun akhirnya, ia menyerah.

Sebagian karena kenyataan bahwa ia tak mampu menyiapkan uang mas kawin sepeser pun. Tapi lebih dari itu, ia akhirnya mengerti—cucunya memang tidak menginginkan kehidupan seperti itu.

Ya, mungkin kakeknya tak pernah benar-benar melepaskan impian itu seratus persen. Namun, sejak Hazel berusia empat belas, mereka akhirnya memilih untuk saling menerima pilihan hidup masing-masing.

Dan Hazel mencintai kakeknya karena itu.

Meski sering mengeluh sambil bergumam “tskk”, ia tetap menyayanginya. Hazel dulu mengira itu hal yang wajar—karena mereka keluarga. Namun setelah keluar ke dunia, barulah ia sadar: itu bukan sesuatu yang bisa dianggap lumrah.

Itu adalah sebuah keberuntungan besar.

Tak ada seorang pun yang bisa memilih orang tua tempat ia dilahirkan.

Dan memang, ada orang tua yang benar-benar seperti neraka.

Namun jika ditelusuri, sering kali mereka pun hanyalah korban dari orang tua yang sama kerasnya.

Tetapi bagaimanapun, mereka adalah orang dewasa.

Kalau setelah dewasa tetap membuka mata dan telinga pada banyak hal, lalu sedikit saja berani menoleh ke dalam diri sendiri, kesempatan untuk berubah pasti ada. Jika tetap tak berubah sama sekali, bukankah itu pilihan mereka?

Sedangkan anak-anak berbeda. Seperti kata Kepala Pengawal, mereka tak bisa lepas dari bayang-bayang orang tua.

Ingat tatapan putus asa Lady Diabelli saat hampir meneteskan obat itu—Hazel tak bisa melupakannya.

Hazel membencinya. Karena mencoba mencelakakan orang lain tanpa alasan selain rasa iri, itu jelas salah.

Namun setelah tahu bahwa semua itu hanyalah hasil cuci otak orang tuanya… perasaannya jadi jauh lebih rumit.

Hazel bangkit berdiri. Lama ia hanya berdiri terpaku, sebelum akhirnya melangkah perlahan ke arah lemari dapur.

Isinya kosong. Semua bahan sudah ia habiskan untuk lomba. Tak ada yang tersisa.

Kosong—seperti tatapan mata Lady Diabelli.

Hazel memejamkan mata rapat-rapat, menggelengkan kepala.

Ia keluar, menuju gudang. Ia membuka karung yang tersimpan rapi. Lalu kembali ke dapur, membuka wadah kecil. Isinya hampir habis. Tapi dengan sendok, ia keruk hingga bersih.

Beberapa saat kemudian, Hazel keluar rumah membawa sebuah keranjang di pelukannya.

***

Dikatakan bahwa Christina Diabelli berada di ruang pengakuan dosa dalam kuil istana.

Karena bukan ditahan secara resmi, siapa pun bisa menemuinya. Tidak diperlukan prosedur khusus untuk menjenguk.

Seorang penjaga istana memberi tahu hal itu, lalu menambahkan:

“Tadi ada beberapa Nona lain yang sudah mencoba menemui. Tapi mereka tidak mendapat jawaban apa pun, jadi terpaksa kembali.”

Itu karena mereka tidak tahu caranya.

Hazel memutuskan memakai trik Menteri Istana. Mengabaikan arti sosial dari “mengetuk pintu”, dan justru menerobos masuk bersamaan dengan ketukan.

Ruang pengakuan dosa itu sempit dan dingin. Bau kayu tua begitu pekat, sementara cahaya lilin yang bergetar berusaha mengusir kegelapan.

Putri keluarga Count Diabelli meringkuk di sudut ruangan.

Sekalipun Hazel masuk, ia tidak menunjukkan reaksi apa pun. Kedua matanya masih tetap kosong, ibarat gua hitam tak berujung.

Hazel perlahan mendekat.

“Sejak aku menyiapkan lomba masak, kau terus membuntutiku, bukan? Kau menyelinap masuk, mencuri lihat menu. Memang itu menu palsu, tapi tetap saja… bisa menembus kerumunan sebesar itu di aula lomba, lalu hampir melaksanakan rencana tepat di depan semua orang… terus terang, aku kagum.”

“……”

“Aku serius. Tidak semua orang bisa melakukan itu. Kegigihan dan tekadmu sungguh luar biasa. Untuk Christina yang seperti itu, aku ingin memberi saran. Bagaimana kalau kau coba mengelola sebuah peternakan?”

Putri Diabelli menoleh. Untuk pertama kalinya, ia mengalihkan tatapannya pada Hazel.

Apa maunya anak ini?

Itulah sorot matanya.

Hazel mengangkat bahu ringan.

“Tentu saja aku tak berharap kau menerimanya. Itu hanya kata-kata yang kukatakan pada semua orang. Tapi sebenarnya, bukan itu alasan aku datang ke sini. Yang ingin kusampaikan adalah—”

“Keluar. Sekarang juga.”

“Aku sudah mendengar soal ibumu. Pasti terus menekankan padamu, bahwa sebagai anak dari keluarga tertentu, kau harus selalu paling bersinar. Tapi menurutku, kita tidak harus jadi orang yang bersinar.”

Sekejap, putri Diabelli terhenyak. Wajahnya tampak kaget, seolah terkena titik lemah. Ia terdiam sejenak, lalu bergumam:

“Begitu rupanya. Jadi, justru dengan tidak berusaha bersinar, seseorang bisa tampak paling bercahaya. Perhitungan yang cerdik sekali. Memang kau pintar.”

“Bukan itu maksudku.”

Hazel menggeleng keras.

“Lupakan semua teori itu. Yang kumaksud: tidak apa-apa hidup biasa saja. Kenapa harus selalu lebih hebat dari orang lain? Serius, Christina… kau tidak perlu bersinar.”

Ucapan itu membuat Kitty terdiam membeku. Rasanya seperti kepalanya dipukul sesuatu.

“Tidak perlu bersinar…?”

“Asal kau bahagia, itu sudah cukup. Menurutmu, jika kau terus menuruti keinginan orang tuamu, apa kau benar-benar akan bahagia? Pernahkah kau memikirkannya?”

Di telinga Kitty, suara Hazel terdengar jauh sekali.

Ia belum pernah membayangkan hidup lain. Hidup di luar jalur: bukan menjadi pemenang yang menyingkirkan semua saingan, bukan menikah dengan orang paling berkuasa. Tidak. Tak pernah ada yang memintanya membayangkan itu.

“Coba pikirkan sekali saja.”

Hazel berbalik, melangkah keluar.

Pintu kayu ruang pengakuan tertutup. Cahaya dari luar berubah menjadi kotak kecil, lalu lenyap.

Kitty menatap hampa ke arah gelap. Baru kemudian ia sadar.

Hazel meninggalkan sebuah keranjang.

Apa ini?

Ia membukanya.

Di dalamnya ada sesuatu yang dibungkus kain rapat-rapat. Dibuka, ternyata masih ada gulungan kertas membungkus lagi. Lapisan demi lapisan, Hazel melipat begitu banyak hingga butuh waktu lama untuk membongkarnya.

Akhirnya, setelah semua kain terlepas, aroma mentega menyengat menusuk hidung.

Apa-apaan ini!

Mata Kitty mendadak menyala. Untuk pertama kalinya sejak pesta dansa, ada percikan api di bola mata hitamnya.

Itu adalah kentang panggang mentega.

Kentang—makanan yang membuatnya begitu benci. Mentega—hal yang lebih dibencinya lagi. Gara-gara dua hal inilah semua malapetaka ini terjadi! Hazel bahkan berani mengejeknya sampai akhir?!

Kitty berdiri dengan geram, melangkah ke jendela. Ia mengangkat keranjang itu tinggi-tinggi, siap membuangnya keluar.

***

Keesokan harinya cuaca cerah.

Pesta dansa sudah berakhir, kini tiba saatnya Hazel kembali merawat ladang yang sempat ia tinggalkan beberapa waktu.

Bulan Juni adalah masa ketika tanah menjadi sangat kering. Dengan tidak lupa rajin menyirami, itu saja sudah berarti setengah dari pekerjaan bertani terselesaikan.

Tanaman di kebun tumbuh subur, berhiaskan butiran air yang berkilau. Namun, bersama dengan itu, rumput liar pun ikut tumbuh lebat. Hazel sibuk mencabut buttercup yang menumpuk di ladangnya.

Ketika tepi langit mulai memerah, seorang tamu datang ke pertanian itu.

Seorang ksatria berjubah hitam—Sir Valentine.

Hazel segera berdiri. Kebetulan sekali, ia memang sedang penasaran padanya.

Sir Valentine tidak datang dengan tangan kosong. Ia membawa banyak sekali batang kayu, mirip potongan pentungan. Hazel bertanya:

“Itu apa?”

“Aku pikir lebih baik bersiap daripada menyesal kalau muncul masalah lagi…”

Dengan tekad bulat, ia mengangkat kayu-kayu itu tinggi ke arah ladang. Hazel terperanjat.

“Tunggu sebentar!”

“…Aku akan membuat kandang ayam.”

“Oh, begitu.”

Masalahnya adalah suasana menegangkan yang selalu ia bawa. Di tangannya, kayu biasa terlihat seperti senjata.

Barulah Hazel sadar, kayu itu bukan sembarang kayu. Itu adalah papan cedar berkualitas tinggi—tahan busuk dan kuat terhadap hama.

Sir Valentine mulai bekerja dari dasar kandang ayam, memakukan papan-papan dengan terampil. Hazel memperhatikannya sambil berkata tiba-tiba:

“Sir datang ke aula pesta, kan? Saat itu, Anda berteriak ‘Tiberius!’ agar saya tahu di mana botol itu berada, bukan?”

Valentine mengangguk sekali. Lalu kembali menancapkan paku dengan mantap.

Hazel menatapnya sejenak, lalu tersenyum.

“Terima kasih.”

Pada saat itulah, tangan Valentine terpeleset. Bukannya paku, ia justru menghantam telapak kirinya dengan keras.

Hazel kaget setengah mati.

“Tidak apa-apa?!”

Ia mengira ksatria itu pasti mengalami cedera parah, minimal berdarah. Segera ia mendekat.

Namun, tangannya ternyata tidak apa-apa. Tidak tangan yang retak—melainkan palu yang patah dan terpental. Hazel hampir tak percaya meski melihat dengan mata kepala sendiri.

Baru diingat-ingat, ketika ia menghantam, seolah ada cahaya yang berkilat singkat dari tangan kirinya.

Apa sebenarnya orang ini…?

Sir Valentine tampak jelas-jelas gugup. Ekspresinya sangat berharap Hazel pura-pura tidak melihat apa-apa.

Tetapi tangan kirinya memang makin memerah.

Hazel segera keluar, lalu menuju ke sudut kebun di mana tumbuh beberapa rumpun calendula liar. Ia memetik daunnya, menumbuknya di dalam ulekan, lalu membawanya kembali.

“Nih. Daun calendula bagus untuk memar.”

Valentine menerimanya. Namun, ia hanya meletakkannya begitu saja, sehingga remasan daun itu jatuh menggelincir. Hazel sontak panik dan menahannya.

“Bukan begitu! Harus ditempelkan!”

Ia memegang lengan Valentine dan menekan ramuan herbal itu langsung ke bagian yang bengkak.

Valentine diam membeku, tubuhnya kaku seakan-akan mulutnya pun ikut ditempeli ramuan itu.

Sepertinya tidak terbiasa dengan luka…

Hazel menatapnya lekat-lekat.

“Jujur saja, ada satu hal lagi yang terasa aneh.”

Ia mulai berbicara pelan.

“Cara Anda berteriak ‘Tiberius!’ agar saya bisa mendengar, itu hanya berhasil jika Anda tahu saya punya pendengaran tajam. Kapan Anda mengetahuinya? Saya yakin itu saat saya menyerahkan formulir lomba masak di istana. Sir Valentine benar-benar ada di lorong waktu itu, kan?”

Ia menjawab jujur:

“Benar.”

Hazel merasa puas, karena tebakannya tepat.

Namun, yang sebenarnya ingin ia tanyakan adalah sesuatu yang lain.

Ketika hampir saja masakannya dicampuri beladona—tiba-tiba ada hembusan angin misterius yang menjatuhkan botol, dan menaruhnya begitu rapi di balik pilar seolah disembunyikan.

Hazel tidak bisa menahan pikiran: Apakah itu juga ulah Sir Valentine?

Namun dugaan itu terasa terlalu mengada-ada. Ia tidak berani menanyakannya.

Tidak lama kemudian, palu yang diperbaiki kembali patah, bahkan sebelum digunakan beberapa kali.

Valentine mengangkat bahu.

“Sepertinya tidak bisa hari ini. Aku akan selesaikan kandang ayam lain kali. Meskipun, entah kapan bisa datang lagi.”

“Tak apa. Biar saya yang menyelesaikannya.”

Begitu kata Hazel, ia sudah menghilang.

Hazel berdiri memandangi tempat di mana ksatria berjubah hitam tadi berdiri.

Benar-benar ksatria yang aneh.

Senyum tipis muncul di bibirnya.

***

Setelah pesta usai, semua orang kembali ke kehidupan sehari-hari. Mereka sibuk mengejar pekerjaan yang sempat tertunda.

Lalu, mereka pun pergi menemui teman-teman. Karena ingin menceritakan hal-hal menyenangkan yang terjadi di pesta.

Koran-koran Kekaisaran selama beberapa hari penuh memberitakan kabar dari pesta dansa.

Dan di ladang Hazel pun mulai berdatangan tamu-tamu.

Ketika sedang mengelap air dari piring, ia mendengar suara bisik-bisik di luar. Suara yang tidak asing. Hazel pun meletakkan lap tangan dan keluar.

“Harusnya belok kiri di sini.”

“Pantas saja tidak ada ladang yang terlihat! Mari kita kembali.”

Dua bangsawan tua—Adipati Acevedo dan Adipati Montealegre—tampak kebingungan dengan peta kusut di tangan. Sepertinya memang mereka yang mencari Hazel, tetapi anehnya bisa tersesat padahal pagar ladang sudah tepat di depan mata.

“Selamat siang?”

Hazel menyapa, membuat kedua lelaki tua itu terlonjak kaget.

“Kami mampir ingin berkunjung. Ada kabar yang ingin kami sampaikan juga.”

“Tapi kami sempat tersesat cukup lama.”

Hazel tidak mengerti kenapa untuk sekadar berkunjung saja mereka sampai butuh peta. Memang, bangsawan besar selalu punya cara yang berbeda.

Ia segera mengajak mereka masuk dan menyajikan teh peppermint yang dingin.

“Aduh, kaki ini…”

Kedua bangsawan tua itu duduk di kursi sambil meletakkan gulungan kertas yang mereka bawa. Bukan hanya peta, ternyata ada tumpukan dokumen lain juga.

“Itu apa ya?”

“Oh, benar.”

Mereka berdua agak kikuk. Entah sejak kapan, dokumen itu hanya jadi semacam aksesori yang selalu mereka bawa tanpa benar-benar dibaca.

“Sebenarnya ada sebidang tanah yang membuat kami pusing. Tanah Las Salinas, yang dulu—sekitar seratus tahun lalu—Maria Acevedo bawa sebagai mas kawin saat menikahi Vicente Montealegre.”

“Belakangan tanah itu menjadi tak bertuan, jadi status kepemilikan jadi abu-abu. Keluarga Acevedo bersikeras bahwa karena mereka bercerai, tanah itu seharusnya kembali ke pihak mempelai wanita.”

“Namun, seorang petualang datang membawa surat-surat ini ke keluarga Montealegre. Menurutnya, perceraian itu hanya rekayasa untuk menipu Kaisar. Jadi tanah itu tetap sah milik pihak mempelai pria.”

Kedua bangsawan itu menjelaskan panjang lebar.

“Begitu rupanya.”

Hazel menatap surat-surat tua itu dengan rasa ingin tahu. Namun mendadak ekspresinya berubah.

“Tunggu sebentar.”

Ia meraih salah satu lembar surat, mengendusnya, lalu tiba-tiba menjilat dengan lidah.

“Eh!”

Kedua bangsawan tua itu terkejut.

“Apa yang kau lakukan! Kenapa kau memakannya!”

“Sepertinya benar dugaan saya…”

Hazel mengusap mulut lalu berkata:

“Masalah kalian sudah selesai.”

“Bagaimana maksudmu?”

“Itu palsu. Ada trik menggunakan air rebusan kopi untuk membuat kertas tampak tua. Kalian tertipu oleh penipu.”

“Apa?!”

Kedua bangsawan itu saling berpandangan.

Tumpukan surat yang membuat mereka bertengkar begitu lama ternyata palsu belaka.

Mereka terdiam, antara kaget dan lega.

Namun, alih-alih marah karena ditipu, rasa lega lebih besar.

Meski sering bertengkar seperti musuh bebuyutan, dalam berbagai kejadian terakhir mereka justru menyadari betapa cocok bekerja sama. Saat insiden lomba masak, mereka pun saling mengandalkan dengan baik. Jadi, melanjutkan perseteruan kini malah terasa canggung.

Sekarang, mereka tidak perlu bertengkar lagi.

Dan itu sungguh melegakan.

Keduanya tertawa terbahak-bahak.

“Masalah besar kita bisa selesai secepat ini!”

“Benar-benar urusan yang tak ada jalan keluarnya! Namun kau bisa menyelesaikannya begitu mudah! Gadis ini lebih hebat daripada Yang Mulia Kaisar sendiri!”

“Ah! Jangan bilang begitu!”

“Benar! Ucapanmu bisa jadi masalah besar!”

“Aku tidak bilang apa-apa!”

Acevedo melambai-lambaikan tangan gugup. Saking paniknya, surat dan koran di atas meja pun berserakan.

Montealegre mengambil salah satunya. Itu adalah coretan Hazel yang dibuat tanpa sadar.

“Ini… tentang Ksatria Kekaisaran?”

“Betul!”

Hazel berseri-seri.

“Apakah kalian tahu banyak tentang Ksatria Kekaisaran? Kudengar mereka tidak hanya menjalankan perintah Kaisar…”

Namun seketika wajah kedua bangsawan tua itu mengeras.

“Jangan pernah cari tahu tentang mereka. Mereka sangat berbahaya.”

“Jangan pernah selidiki mereka! Kalau tidak, bisa celaka.”

Wajah para bangsawan sepuh yang sudah kenyang pengalaman itu diliputi rasa takut sungguh-sungguh. Mereka benar-benar gentar terhadap Ksatria Kekaisaran.

“Begitu ya…”

Hazel merasa hatinya gelisah. Ia tidak tahu bagaimana harus merespons. Rasanya lebih baik tidak mengungkitnya.

Untungnya Montealegre cepat-cepat mengalihkan topik.

“Ngomong-ngomong! Kita hampir lupa tujuan utama datang ke sini! Tentang pasangan suami istri Antoni Diabelli itu!”

“Ah, bagaimana kelanjutannya?”

“Dugaanku tepat. Semakin banyak bukti kejahatan mereka ditemukan. Tidak hanya pencabutan gelar dan pengasingan, tapi jauh lebih berat. Bahkan sebelum menikah, mereka sudah bersekongkol untuk menjebak orang-orang tak bersalah. Sekarang masih diselidiki, tetapi mereka pasti akan kehilangan semua harta dan dijatuhi hukuman berat.”

“Kami langsung datang ke sini begitu mendengarnya. Ingin kau menjadi orang pertama yang tahu kabar ini.”

Acevedo menambahkan:

“Terima kasih. Lalu bagaimana dengan putri mereka?”

“Gadis itu kini jadi yatim piatu tanpa sepeser pun. Katanya akan diasingkan ke biara wanita suci. Karena tidak punya tempat lain, hanya di sana ia bisa tinggal.”

“Ke biara suci…?”

Bagi Hazel, itu tempat yang mengerikan. Hidup hanya dengan roti keras dan air tawar. Menyiksa diri dengan cambuk atau mandi air es sebagai bentuk pertapaan.

Membayangkan Christina harus ke sana membuat Hazel membisu.

Ia larut dalam pikiran, sampai tidak sadar kedua bangsawan tua itu berpamitan.

Mereka keluar melewati pagar, lalu tiba-tiba berhenti.

“Oh ya! Ksatria Kekaisaran itu sudah tidak ada, kan?”

“Benar, Kaisar sudah berganti!”

“Haruskah kita kembali dan menenangkannya agar tak usah takut?”

“Tidak. Lagipula, gosip sudah tersebar bahwa gadis itu tidak disukai Kaisar. Lebih baik biarkan dia berhati-hati sendiri.”

“Benar. Kau tepat. Selama kita masih di ibu kota, mari kita bantu gadis itu.”

“Ya, betul. Lalu sekarang mari kita minum.”

Keduanya berjalan pergi sambil berangkulan.

Namun bahkan setelah mereka pergi, Hazel masih tidak bisa fokus bekerja.

Ketika pikirannya begitu penuh, sebaiknya membuat makanan yang rumit.

Ia pun memutuskan untuk membuat Sunday Cake ala Belmont.

Kue itu adalah sejenis pound cake dengan banyak kacang dan buah kering. Biasanya dibuat hari Minggu untuk dimakan bersama keluarga.

Kali ini Hazel ingin membuatnya lebih besar dari biasanya.

Ia mengumpulkan sisa kacang dan buah kering dari koper perjalanannya. Semuanya ia bersihkan satu per satu.

Kacang dicincang kecil, lalu dipanggang hingga renyah. Dalam mangkuk besar, ia kocok mentega dan gula sampai lembut dan mengembang. Kemudian telur dimasukkan satu per satu dan diaduk rata.

Saat ia sedang mencampurkan tepung, tamu lain datang.

Belum terlihat sosoknya, suara ribut mereka sudah terdengar. Hazel pun langsung tahu siapa.

Para komandan Ordo Ksatria Suci Kekaisaran.

Hazel menyambut mereka dengan senang hati, apalagi karena sedang merasa kacau pikiran.

“Tunggu sebentar, aku akan siapkan makan siang yang enak.”

“Tidak perlu!”

Keempatnya buru-buru melambaikan tangan.

“Hari ini kau istirahat saja. Sebagai balasan atas semua hidangan lezat yang sudah kau berikan, kami masing-masing membawa makanan sendiri.”

Kata Cayenne mewakili mereka.

Itu sungguh ide yang menyenangkan!

Lorendel membawa manisan buah hutan ala Elf dan wine dari raspberry. Wadahnya bergambar sulur emas, seperti makanan dari dongeng.

Siegvalt membawa roast beef yang dibuat bersama ibunya dan kedua adik perempuannya. Sesuai dengan keluarga setengah binatang yang liar, porsinya sangat besar dan berat.

Cayenne membuat omelet dengan empat jenis keju favoritnya. Hari ini telur matang dengan sempurna, tidak gosong ataupun hancur, sehingga ia bisa menyajikannya dengan penuh kebanggaan.

Louis membawa ikan salmon asap segar dalam jumlah banyak. Ia bahkan belajar langsung dari pelayan rumahnya cara membuat saus Olivito, dan menyajikannya bersama salmon. Meski sausnya sudah mulai terpisah menjadi lapisan minyak, siapa peduli? Itu adalah saus pertama yang ia buat sendiri.

Dengan semua hidangan itu, meja makan penuh sesak.

Mereka semua mengambil kursi dan duduk. Dengan garpu kayu desa, mereka mencicipi makanan sambil bercanda gembira…

Tanpa mereka sadari, seseorang sudah ikut bergabung diam-diam.

Itu Penelope, ksatria gadis kucing. Dengan langkah ringan seperti kucing, ia masuk tanpa ada yang sadar.

“Aku juga punya hak untuk ada di sini. Lady Mayfield berjanji akan mentraktirku sebagai balasan karena aku menangkap pencuri pencuci mulut.”

Ia berkata dengan penuh percaya diri.

Dan tak seorang pun keberatan. Kecuali satu orang.

Louis menahan rasa tak nyaman, lalu kembali mencoba makan.

Namun setiap kali ia hendak mengambil sesuatu, garpu Penelope selalu mendahuluinya. Salmon asap, omelet, roast beef—semua berhasil direbut.

Akhirnya Louis meledak. Begitu makan siang selesai, ia langsung menarik Penelope ke luar.

“Hey, Killingsworth! Kenapa datang ke sini di hari sibuk begini? Apa maksudmu?”

“Aku juga ingin dekat dengan Hazel.”

“Bohong.”

“Kalau begitu, aku ingin bekerja sama dengan Hazel mengelola bisnis mentega dari ladangnya.”

“Benar kan? Ada udang di balik batu.”

“Tapi sebenarnya aku ingin dekat dengan Hazel sekaligus berbisnis bersamanya.”

“…”

“Dan sebenarnya aku juga ingin—”

“Hentikan menyebut ‘Hazel’ begitu terus! Aku menyebut namanya dengan sangat hati-hati, tahu tidak?!”

Louis meledak marah.

Saat itu juga—

“Hazel! Hazel! Nama bunga ini apa?”

Cayenne berteriak sambil berlari.

Louis dan Penelope terbelalak. Mereka menatap punggung Cayenne yang berlari, tak mampu menahan getaran di mata.

“Apa-apaan sih orang-orang ini?”

Siegvalt hanya bisa bergumam, sementara Louis dan Penelope kini sudah berdiri di samping Hazel, ikut menatap bunga liar bersama.

Siapa sangka ketiganya bisa begitu akrab.

Lorendel hanya tersenyum sambil mencium aroma daun.

Pesta santai itu akhirnya ditutup dengan kue besar.

Sunday Cake Belmont penuh kacang dan buah kering itu masih tersisa banyak meski sudah dimakan puas-puas. Hazel membungkusnya untuk para tamu.

“Bawa pulang dan bagikan.”

Semua orang menuruti kata-katanya.

Sebelum hari berakhir, potongan kue itu menyebar ke seluruh istana, membawa senyum bersamanya.

“Ini tidak bisa dibeli di toko manapun!”

Menteri Istana membagikan kue dengan bangga, seolah dialah pembuatnya.

“Tidak! Aku tidak melihat apa-apa!”

Chef Xavier Fontaine, yang bersumpah setia pada Kaisar, lari ketakutan dari kue itu seolah melihat hantu.

“Benarkah untuk kami? Kami sungguh boleh memakannya?”

Julien dan para ksatria vampir yang sedang berlatih hampir menangis terharu.

Satu potong yang bentuknya paling rapi dibawa ke istana zamrud, tempat Permaisuri Janda beristirahat.

Pelayan wanita meletakkan kue di atas piring putih bermotif bunga biru, bersama teh hangat.

Saat itu tepat ketika Archduchess Athena berkunjung. Melihat kue, ia langsung cemberut dan menegur pelayan.

“Kenapa bawa hal remeh begitu?”

“Tapi Chef Giorgio dari ruang makan ksatria mengatakan tidak ada masalah.”

“Meski begitu, bagaimana bisa kalian menyajikan makanan tak jelas begitu untuk Permaisuri Janda? Buang sekarang juga!”

Ia marah-marah lalu pergi.

Pelayan kebingungan. Mereka sudah bersusah payah mendapatkannya, demi menyajikan suguhan istimewa.

Namun kepala pelayan wanita muncul.

“Ada apa itu? Apa yang kalian buang?”

Setelah mendengar penjelasan, ia hanya tertawa kecil.

“Oh, Nyonya Archduchess tidak tahu saja. Permaisuri Janda pasti menyukainya. Jangan khawatir, bawakan saja. Dan ceritakan juga apa yang terjadi di pesta dansa.”

“Baik, Nyonya!”

Para pelayan pun tersenyum lebar.

Masih tersisa satu potong Sunday Cake Belmont.

Hazel duduk sendirian di meja, beristirahat sambil merapikan hari yang hampir usai. Lalu ia melihat secarik kertas kecil terselip di bawah pintu.

Ia membukanya.

“Di bukit, jam 7.”

Tulisan kasar, tergesa-gesa.

Akhirnya saatnya tiba.

Hazel mengambil keranjang besar lalu bergegas keluar.

Di bukit kecil yang berbatasan dengan taman besar istana, di balik pohon ek, seseorang menunggu.

Seorang gadis dengan jubah berkerudung. Wajahnya pucat, tubuhnya bergetar.

Hazel berjalan mendekat. Keranjang di tangannya terasa berat.

Di dalamnya ada sandwich besar dari roti desa, botol susu, biskuit buttermilk, tiga jenis selai, sedikit makanan yang tadi siang dibawa teman-teman, dan tentu saja—Sunday Cake Belmont.

Christina pasti akan menolaknya dengan kasar.

Namun Hazel tetap akan memberikannya. Karena begitulah tradisi desa: memberikan keranjang penuh makanan pada seseorang yang akan pergi.

Hazel berdiri di hadapannya.

“Nona Christina, kau akan pergi sekarang?”

“Ya. Gara-gara kau.”

Ia menggertakkan gigi.

“Hidupku sudah berakhir. Tanpa harta, bahkan tanpa gelar putri bangsawan. Aku tidak punya apa-apa lagi. Jika bukan karena kau, semua ini tidak akan terjadi! Aku membencimu! Sangat membencimu!”

“…”

“Tapi…”

“…”

“Tapi kentang yang kau beri… sangat enak.”

Air mata mengalir deras dari mata Christina Diabelli.

“Kau memakannya?”

“Ya.”

Dengan suara bergetar ia berkata:

“Pada saat aku ketakutan sambil membawa botol itu… aku melihat mereka. Teman-teman yang dulu selalu bersamaku berbuat nakal, kini berkumpul tanpaku, berbaris rapi sambil makan dengan gembira. Sementara aku begitu putus asa. Aku iri. Aku ingin tahu rasanya. Jadi aku tidak bisa membuangnya keluar jendela. Aku juga ingin merasakan.”

Untuk pertama kalinya, tanpa takut dibilang tak pantas, ia menangis tersedu-sedu.

“Saat itu aku sadar. Aku bodoh. Kupikir aku harus selalu patuh pada orang tua, kalau tidak, akan terjadi hal mengerikan. Itu sebabnya aku melakukan hal yang konyol dan memalukan. Kau benar. Aku seharusnya tidak begitu. Aku sebenarnya punya bakat hebat, bisa jadi orang luar biasa…”

Ia mengusap air mata.

“Aku tidak akan masuk biara suci. Aku tidak akan ke sana. Aku tahu apa yang benar-benar ingin kulakukan. Aku bisa bergerak dengan lebih cerdik daripada siapa pun. Aku punya kegigihan lebih kuat daripada siapa pun. Jadi… aku akan menjadi jurnalis. Jurnalis terbaik di dunia. Bahkan lebih dari dirimu. Jadi, kalau kita bertemu lagi… kalau kita bertemu lagi…”

Ia ragu. Tak sanggup menatap Hazel, hingga akhirnya berbisik:

“Saat itu, bisakah kau memanggilku Kitty?”

Hazel menatapnya.

“Baiklah.”

Ia meletakkan keranjang besar itu di tanah. Lalu, dalam cahaya senja yang merah merona… ia menggenggam tangan kecil yang bergetar itu.

Langit perlahan berubah warna—dari putih seperti gula kapas, ke merah seperti anggur, lalu keemasan dan akhirnya biru tua.

Itu adalah salah satu senja terindah sepanjang tahun.

Senja itu memenuhi jendela besar di kamar Kaisar.

Iscandar berdiri di dekat jendela.

Dari tempat tinggi ini, seluruh pemandangan terbentang luas.

Di bukit kecil dekat istana, tampak dua sosok berdiri, saling menggenggam tangan di bawah langit senja.

Ia tidak perlu mendengar untuk tahu apa yang sedang terjadi.

Di istana barunya yang megah, kini muncul tetangga asing yang tak diinginkan


 

Nunaaluuu Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review