Bulan Mei, saat alam berdenyut penuh kehidupan.
Ke ladang Maronier pun, tamu-tamu berdatangan.
Saat itu Hazel sedang membuat sabun cuci dari abu kayu. Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.
“Siapa ya?”
Begitu keluar, tampak seorang ksatria dengan wajah tertutup topi berburu. Ia bertanya:
“Halo. Apakah ada topi jerami?”
“Ada, kok. Tapi… hm, perintah larangan sudah dicabut, lho.”
Ksatria itu menurunkan topi berburu.
“Maaf telah mengganggu.”
Setelah memberi salam sopan, ia pun pergi.
Apa dia sebenarnya ingin bicara sesuatu padaku?
Hazel memiringkan kepala, bingung. Wajahnya benar-benar mengingatkan pada seekor luak. Luak-luak memang kadang datang ke ladang, melakukan hal-hal aneh, lalu pergi begitu saja.
Ketika Hazel sedang memperbaiki palang pagar yang baru diperluas, seorang tamu lain muncul. Seorang wanita paruh baya, memakai topi putih dan gaun berwarna ungu-violet. Sekilas, seolah ia menduduki jabatan penting di dalam istana. Wanita itu berdiri di luar pagar, menghirup aroma dari ladang.
“Itu bunga lavender,” kata Hazel.
Wanita itu hanya menundukkan kepala tipis-tipis, lalu pergi.
Hazel berpikir, itu seperti seekor rusa putih—amat anggun, tapi juga rewel. Kadang mereka muncul begitu saja, menilai ladang dengan tatapan penuh pertimbangan, lalu pergi.
Seekor lebah madu dari taman mawar istana beterbangan sambil berdengung. Hazel menjadikannya teman dan terus bekerja di kebun.
Menjelang siang, Kapten Ksatria Cassie, Cayenne, datang membawa sebuah buku tebal. Hazel menyambutnya dengan gembira.
“Lord Runbard! Seandainya datang sedikit lebih awal pasti lebih baik. Aku menemukan kismis di tas dan membuat roti madu, tapi karena terlalu enak, sudah kuhabiskan semua.”
Cayenne tampak sedikit kecewa, tapi segera menggeleng.
“Masa aku terus-terusan ditraktir. Aku sudah makan siang kenyang kok.”
Ia lalu mengeluarkan Takhta Raja Peri dari gudang, meletakkannya di dekat jendela yang diterangi cahaya, dan duduk di atasnya.
“Tahu ‘white noise’? Aku suka suara di ladang ini. Seperti white noise yang menenangkan—bikin lebih fokus.”
Begitulah ia berkata sambil membuka buku tebalnya. Tapi tidak lama, di samping Hazel yang sedang menggosok mangkuk kayu dengan suara berderak, ia sudah tertidur pulas. Hazel tak begitu menghiraukannya, terus saja membersihkan. Namun ketika jam saku menunjukkan pukul dua, Hazel mulai sedikit khawatir.
“Bukankah harus kembali ke istana?”
“Ah!”
Cayenne langsung terlonjak bangun, terburu-buru berlari keluar. Dari balik seragamnya, sesuatu yang panjang, kuning, dan berbulu lebat bergoyang-goyang.
“Ekormu kelihatan!”
Hazel cepat-cepat menegur. Cayenne segera menarik ekornya sambil berlari.
Kucing ladang!
Hazel menatapnya dengan puas.
Kini ada seekor kucing yang suka bermain ke ladang. Itu tandanya ladang ini benar-benar aman dan nyaman. Di ladang keluarga Martinga di Belmont, memang banyak kucing yang sering berkunjung.
Harus tambah beberapa ekor lagi.
Hazel mengepalkan tangan, menetapkan target baru.
Hari yang damai pun berlalu.
Namun, ketika semua pekerjaan selesai, seorang tamu ribut seperti burung jalak hinggap.
Itu Louise. Dalam perjalanan menuju kepala pelayan istana untuk membicarakan urusan protokol pesta dansa, ia memutuskan menyingkat jalan melewati taman istana. Saat melihat Hazel mengikat pita topi untuk keluar rumah, ia bertanya:
“Mau ke mana?”
“Sebentar saja, ke pasar.”
“Aku juga mau ke pasar!”
Louise pun segera menyingkirkan urusan protokol.
“Tapi Miss Mayfield, bawa uang?”
“173 gold.”
“Wah! Itu cukup untuk berfoya-foya seharian!”
“Itu uang yang kukumpulkan selama dua tahun, lho.”
“…….”
Di hadapan perbedaan gaya hidup yang begitu besar, Louise panik dan akhirnya kabur.
Tak lama setelah itu, Emilio Moretti mendapati kapten ksatria duduk di ‘Kursi Pertobatan’ milik Ordo Ksatria Suci. Louise bergumam lirih:
“Makanya aku nggak punya teman……”
Setelah sungguh-sungguh menyesali diri, ia kembali ke ladang. Tapi Hazel sudah tak ada. Menunggu Louise rasanya hanya akan buang waktu, jadi Hazel pergi sendiri.
Biasanya di desa, pergi ke pasar berarti harus menempuh perjalanan jauh yang dijadwalkan khusus.
Tapi di sini lain. Seperti kata kakeknya, lokasi ladang ini memang luar biasa. Dari gerbang istana, hanya perlu berjalan cepat 20 menit untuk sampai ke pasar kecil. Hazel membeli apa yang diinginkan seharga 2.5 silver, lalu buru-buru kembali.
Ladang menunggu dengan tenang, seolah menyambut tuannya.
Hazel membuka keranjang, mengeluarkan benda-benda kuning yang baru dibeli. Melihatnya, ia merasa satu langkah lebih dekat lagi dengan pemandangan yang telah ia impikan selama sebelas tahun.
Ia menjalani semuanya dengan mantap. Hazel merasa puas.
Namun di balik itu, entah kenapa, ada sedikit keresahan yang muncul di hatinya.
Ia tidak boleh lengah.
Karena, karena……
Hazel menatap tanah baru yang ia dapatkan, dengan perasaan waswas yang sulit dijelaskan.
***
Sehari dalam Kehidupan Kaisar Bratania
Hari resmi Kaisar Bratania dimulai pukul delapan.
Pagi hari diisi dengan audiensi. Siapa pun yang perlu ditemui akan dipanggil menghadap. Jika urusannya penting, maka dilakukan sambil bersantap pagi. Hari ini pun ada jamuan sarapan bersama. Tamu kali ini adalah para saudagar besar Kekaisaran. Topik yang diangkat hanyalah dalih belaka—katanya tentang reformasi pajak. Yang sebenarnya mereka inginkan, setelah mengumpulkan kekayaan melimpah, tak lain hanyalah gelar kebangsawanan.
Iskandar memang berniat memberikan salah satu dari mereka gelar bangsawan. Kandidat yang ada dalam pikirannya adalah seorang bernama Granville, yang menjadi kaya raya berkat tambang berlian. Ia dikenal giat melakukan kegiatan sosial. Kabar tentang rumah penampungan yang dikelolanya cukup baik, meski kebenarannya masih meragukan. Iskandar berencana menyelidikinya sendiri secara diam-diam sebelum menjatuhkan keputusan. Gelar kebangsawanan Kekaisaran tidak bisa diberikan sembarangan.
Usai sarapan, ia memulai rutinitas pagi di Aula Pegasus, ruang kerjanya. Tugas utamanya: memeriksa laporan dan mengeluarkan perintah. Di antara sekian banyak urusan hari ini, ada satu yang menonjol: laporan terenkripsi dari Count Castille, agen rahasia Kaisar yang secara resmi "dinyatakan diasingkan" ke Wolfsden. Laporan itu, seperti biasa, berakhir dengan satu kalimat yang sama:
"……Bagaimana titah Paduka?"
Iskandar menuliskan jawabannya dengan sandi. Selalu cepat, namun tetap mempertimbangkan segala dampak. Keputusan yang diambilnya bisa mengubah hal-hal besar dalam sekejap.
Tanpa terasa, jam makan siang tiba—pukul satu siang.
“Paduka, semuanya sudah siap.”
Menteri Pertahanan, Milov, melapor. Wanita berusia lima puluhan dengan rambut pendek rapi itu termasuk salah satu pejabat paling cakap di Kekaisaran. Iskandar makan siang bersama Milov dan para pejabat kementerian, lalu berlanjut dengan uji coba senjata baru yang pernah dilaporkan kepadanya. Sebuah jenis baja baru bernama Aeon, yang berarti keabadian.
Dengan pedang dari baja Aeon, Iskandar mencoba membelah peluru meriam. Namun entah bagaimana, ia malah menebas meriamnya sekalian.
“Wah!”
Kekacauan kecil pun terjadi. Milov hanya mengangkat bahu di depan wartawan.
“Sesungguhnya, bukankah Paduka Kaisar sendiri adalah kekuatan militer terkuat yang dimiliki Kekaisaran?”
“Kalau begitu, mengapa Kementerian Pertahanan harus repot-repot mengembangkan senjata baru?”
“Karena Kaisar tidak bisa berada di semua tempat sekaligus.”
“Itu bagus. Jadikan kalimat itu sebagai tajuk berita.”
Setelah uji coba selesai, Iskandar buru-buru kembali ke istana utama.
Dari sana dimulailah pekerjaan sore. Karena sempat terpotong acara uji coba, ia mempercepat ritme dan tepat pukul enam semua urusan selesai.
Rutinitas resmi Kaisar Bratania berakhir di situ.
Namun tentu saja, setelah jamuan malam masih ada pekerjaan tak resmi—pekerjaan lembur yang harus ditangani. Meski begitu, ia punya satu jam kosong sebelum pukul tujuh.
Itulah satu-satunya waktu luang dalam sehari.
Namun waktu itu pun tidak benar-benar dibiarkan kosong. Para pelayan istana setiap hari membawa berbagai buku baru ke kamarnya. Bagi Iskandar, momen membaca buku sendirian di ruangan hening untuk menimba ilmu sangatlah berharga. Tak seorang pun berani mengganggunya.
Akan tetapi……
Hari ini, ia berniat mempelajari pengetahuan jenis lain.
Iskandar membuka sebuah kotak yang diam-diam dibawanya keluar dari Gudang Para Bijak. Di dalamnya terdapat botol berisi cairan dan kotak berisi bubuk.
“Penelitian No. 382.”
Itu adalah obat yang dapat mengubah warna rambut dan mata. Awalnya dikembangkan sebagai produk khusus pesta topeng. Namun seperti banyak penelitian para bijak lainnya, akhirnya dibatalkan.
Bukan karena tidak efektif. Justru karena terlalu efektif.
Konsep pesta topeng adalah pura-pura tidak mengenali orang lain meski sebenarnya tahu. Intinya, permainan yang sudah diatur. Tapi kalau benar-benar tidak bisa mengenali siapa pun dan mulai menggoda sembarangan? Itu bisa menghancurkan rumah tangga dan merusak masyarakat.
“Paduka menyetujui penelitian ini? Jelas sekali Anda tidak paham apa-apa soal pesta topeng.”
Ucapan bernada sindiran dari Menteri Urusan Istana masih terngiang jelas.
Bagaimanapun…… benda yang tadinya tak berguna itu akhirnya menemukan fungsinya.
Iskandar membuka botol. Dengan pipet kecil, ia meneteskan cairan ke kedua matanya. Warna merah darah di maniknya berubah pekat menjadi hitam. Lalu, ia menaburkan bubuk ke rambutnya. Pirang khas keluarga kerajaan pun lenyap, berganti hitam kelam.
Kemudian, ia melepas seragam kaisar dengan hiasan mewah. Dari ruang penyimpanan, ia mengambil seragam lama Kesatria Kerajaan yang sudah tak lagi dipakai sejak aturan penyamaran identitas dilarang. Pakaian yang sederhana ini paling aman digunakan.
Saat bercermin, hasilnya benar-benar meyakinkan. Seolah-olah ia memang terlahir berambut hitam dan bermata hitam.
Tak seorang pun akan mengenali Kaisar dalam sosok kesatria berambut hitam ini. Selama tidak ada yang menatap wajahnya terlalu lama.
Dengan tenang ia melangkah keluar istana.
Matahari senja menyelimuti taman istana. Pohon dan semak terendam cahaya kemerahan. Orang-orang yang lewat di Taman Agung tidak menyadari bahwa seorang kesatria berambut hitam baru saja berjalan melewati mereka. Bayangannya menyatu dengan gelap, langkahnya senyap seperti angin.
Iskandar akhirnya sampai di tujuan: lahan pertanian yang baru diperluas.
Pahit. Lagi-lagi tanah harus diserahkan. Kekalahan pahit. Penyebabnya jelas: ia tidak memahami lawan. Maka ia menyusun rencana. Mulai hari ini, ia akan mengamati lawan barunya selama satu jam setiap hari, selama sebulan penuh. Dari pengamatan itu, ia akan menemukan celah. Lalu menyusun strategi sempurna.
Saat matahari semakin tenggelam, ia menatap ladang itu dengan tajam.
Dan pada detik itulah—
“Pyiak.”
Suara aneh, bukannya langkah kaki, terdengar. Ia menunduk.
Seekor anak unggas berwarna kuning. Begitu mata mereka bertemu, anak ayam itu langsung berlari menghampirinya.
“Piyik-piyik-piyik!”
Kaget, Iskandar buru-buru menangkapnya.
Diamlah!
Ia menjepit paruhnya dengan dua jari.
Namun saat itu juga—
“Tiberius!”
Seseorang berteriak memanggil nama unggas itu, disusul suara langkah tergesa. Dan ia pun berhadapan langsung, tanpa sempat menghindar.
Rencana pengamatan jangka panjangnya yang disusun untuk sebulan penuh hancur hanya dalam satu menit. Iskandar membeku di tempat, masih memegang anak ayam itu.
Dialah orangnya……
Dalam cahaya merah senja, akhirnya ia melihat langsung sosok lawan yang selama ini merepotkannya.
Rambut cokelat gelap dikepang agar tidak mengganggu pekerjaan, tangan penuh tanah, rok dengan paku-paku terselip di lipatannya.
Incaran utamanya: Hazel.
Sang “inkarnasi pertanian” berdiri terkejut, mata hijau besarnya membelalak, menatap langsung pada jemari Iskandar yang menjepit paruh anak ayam.
Ah.
Terlambat. Hazel sudah menyaksikan semuanya.
“Penganiaya anak ayam….”
Hazel benar-benar tidak bisa mempercayai situasi ini.
Baru saja ia meninggalkan Louise lalu berlari ke pasar dan membeli lima ekor anak ayam kuning. Dari antara mereka, ada satu yang sangat lihai melarikan diri, sehingga Hazel menamainya Tiberius—mengambil nama seorang pelarian terkenal. Nah, si Tiberius ini, dalam sekejap mata, kembali kabur dari kandang. Saat Hazel keluar untuk menangkapnya, ternyata…
Ia justru berada dalam genggaman seorang asing.
Tidak, Hazel harus menghadapi kenyataan.
Penganiaya anak ayam ini sebenarnya bukan orang asing. Hazel bisa langsung mengenali identitasnya dalam sekali pandang. Justru karena itu, kemarahan dalam dirinya semakin membesar.
Dugaannya yang paling buruk ternyata benar. Ia benar-benar datang.
Pengunjung berambut hitam dan bermata hitam itu, sosok yang mudah sekali larut dalam kegelapan—sangat tidak menyenangkan.
Meskipun ia berpura-pura hanya sebagai ksatria biasa yang melayani istana, tapi bahkan dalam keadaan konyol, yakni sedang “menangkap” seekor anak ayam, tetap saja tidak bisa menyembunyikan aura kebangsawanan dan kewibawaan yang aneh. Sikapnya, caranya berdiri—semuanya menunjukkan betapa lama ia terbiasa hidup dengan penuh keangkuhan, tanpa rasa takut, dan tanpa peduli pada orang lain.
Lebih dari apa pun, naluri Hazel berteriak.
Orang ini menyebalkan! Menjengkelkan! Tanpa alasan pun aku sudah benci!
Kesimpulannya jelas hanya satu.
Hazel menggigit bibir dan menatapnya lurus.
“Kalau Anda menginterogasi anak ayam itu, Anda akan tahu bahwa ia penutur asli bahasa anak ayam Bratania. Dengan kata lain, jelas bukan mata-mata asing.”
“……?”
“Jadi, lepaskan dia.”
“……??”
“Lepaskan, saya bilang.”
“Ah.”
Iskandar buru-buru menaruh makhluk kecil itu kembali ke tanah.
Anak ayam. Tentu saja ia tahu. Hanya saja kata itu jarang sekali ia ucapkan sehari-hari, jadi agak terasa asing di lidah.
“Anak ayam. Anak ayam….”
Sambil bergumam, ia melihat unggas mungil itu langsung kabur dengan kecepatan kilat, masuk ke dalam rumah melalui pintu yang terbuka lebar. Kalau saja ia punya tangan, mungkin sudah sekalian menutup pintu itu rapat-rapat.
Iskandar berharap pemilik anak ayam itu ikut masuk, tapi ternyata tidak. Hazel hanya berdiri dengan tangan terlipat di dada, menatapnya tajam.
Bagaimana cara menyelesaikan situasi ini?
Dalam rencananya, ia baru akan melakukan percakapan apa pun dengan musuh bebuyutannya ini setelah paling tidak tiga puluh hari. Tapi semua urutan berantakan gara-gara seekor anak ayam yang tiba-tiba muncul.
Ia sangat buruk dalam berpura-pura. Berbohong saja sudah cukup sulit baginya. Dan kalau sampai identitasnya terbongkar sekarang….
“Kau sedang berpikir, ‘jangan sampai ketahuan identitas sekarang,’ kan?”
“……!”
“Tenang saja. Aku sudah tahu kok. Kau adalah—”
“Bukan!”
“—inspektur rahasia yang dikirim langsung oleh Yang Mulia Kaisar, bukan begitu?”
Hazel dengan penuh keyakinan melontarkan tuduhan itu.
Inspektur rahasia—pejabat yang bertugas mengawasi secara diam-diam untuk mencari tahu apakah ada pelanggaran hukum: penganiayaan hewan ternak, budidaya tanaman terlarang, pembuangan limbah sembarangan, sampai perdagangan gelap tahi lalat gua.
Keberadaan lembaga itu sendiri tidaklah masalah; menjaga hukum memang penting. Tapi masalahnya: inspektur itu dikirim oleh kaisar.
Dan inilah sumber kecemasan Hazel selama ini.
Tidak mungkin seorang kaisar dari kekaisaran sebesar itu akan diam saja setelah tanahnya diambil alih oleh rakyat kecil. Meski terpaksa membayar ganti rugi, tetap saja ada kemungkinan ia mencari-cari alasan hukum untuk menyita kembali.
Hazel sempat mengira dirinya terlalu paranoid. Tapi ternyata, kaisar memang jauh lebih licik dari perkiraannya.
Terlebih, Hazel masih menyimpan kepahitan di hati. Ia mungkin bisa melupakan banyak hal, tapi soal keamanan ladangnya—itu tidak bisa.
Kalau memang begini caranya, Hazel pun siap melawan.
Wajahnya jadi sinis, matanya menyorot penuh kecurigaan saat menatap ksatria berpakaian hitam itu dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Usahamu lumayan, tapi semua petani punya insting untuk mengenali inspektur rahasia. Jadi percuma kau menyamar. Ksatria yang dikirim langsung oleh Yang Mulia Kaisar, siapa namamu?”
“…….”
Iskandar kaget.
Inspektur rahasia?
Itu tuduhan yang sama sekali tak ia duga.
Untungnya, identitas aslinya tidak terbongkar. Tapi siapa tahu kapan bisa terbongkar nanti. Yang jelas, rencananya hancur total. Ia harus segera pergi dari sini.
“Kalau begitu, saya pamit….”
“Tidak mau menyebut nama? Kalau begitu saya anggap Anda seorang penyusup. Bagaimana kalau saya sebarkan kabar bahwa ada penyusup masuk ke salon istana?”
“Ti… tidak….”
Itu akan jadi masalah besar. Panik, Iskandar buru-buru mencari-cari sesuatu. Pandangannya jatuh pada selembar koran kusut yang memuat iklan minuman keras.
“……Valentine.”
“Lord Valentine.”
Hazel langsung mengeluarkan buku catatan pertaniannya dan menulis nama itu.
“Jangan tegang. Aku hanya diajari untuk selalu mencatat nama orang penting yang datang berkunjung. Tapi kalau dipikir lagi, Lord Valentine memang pantas sedikit tegang. Pertama-tama, cara bicaramu… agak tidak enak didengar, ya?”
“Cara bicara…?”
“Jujur saja, tidak terdengar seperti bahasa sopan seorang ksatria. Untung aku tahu kau dikirim Kaisar, kalau tidak, aku sudah mengira kau orang kasar. Masak sih bukan karena kurang pendidikan? Atau jangan-jangan… kau sakit?”
Iskandar tersentak. Ia bahkan tidak menyadari seperti apa caranya berbicara. Benar, tentu tidak terdengar sopan. Sejak lahir, selain kepada orang tua, ia terbiasa hanya berhubungan dengan orang-orang yang berada di bawahnya.
Terkejut, ia tanpa sadar menjawab:
“P-pe… penyakit turunan….”
“Oh, jadi Lord Valentine punya penyakit turunan. Kalau begitu aku bisa maklum. Karena penyakit itulah kau tidak bisa bicara dengan sopan. Ya sudah, kalau begitu lihatlah ladangku dengan baik. Ada sesuatu yang kau cari?”
Iskandar mengira maksudnya adalah tanaman. Maka ia menjawab singkat:
“Ada.”
“Apa?!”
Hazel langsung meninggikan suara.
“Di sini ada tanaman terlarang?! Ini semua hanya sayur dan rempah untuk rumah tangga!”
“Ah….”
“Kenapa ragu-ragu begitu? Jangan bilang kau bahkan tidak bisa membedakan tanaman? Tidak bisa dipercaya! Atasanmu terkenal sangat teliti, kukira ia pasti mengirim bawahan yang paham pertanian. Ternyata malah orang yang sama sekali tidak tahu!”
Hazel menepuk tangannya seakan baru mendapat pencerahan.
“Ah, tentu saja! Kalau kau paham pertanian, pasti tidak akan menemukan celah untuk menyalahkanku. Jadi sengaja dikirim orang yang tidak mengerti apa-apa. Kaisar memang cerdik sekali! Bagus. Kalau begitu laporkan saja bahwa aku sedang merencanakan pemberontakan!”
Dia pandai sekali memaki, pikir Iskandar, sekaligus merasa kesal.
“Tidak. Aku tidak akan berbohong.”
Hazel pun terdiam. Tatapan ksatria hitam itu serius sekali. Dari sana, jelas terlihat ia orang yang jujur.
Hmm….
Mungkin aku terlalu keras?
Kemarahan Hazel pun sedikit mereda. Ia mulai merasa bersalah.
Bagaimanapun, bawahan hanya mengikuti perintah. Sama seperti dulu Hazel di bank Rochelle, harus patuh pada perintah atasannya.
Kini, Lord Valentine terlihat benar-benar kaku.
Kalau sampai ia memang ksatria berbakat yang dipilih langsung oleh Kaisar, tentu selama ini tidak pernah diperlakukan seburuk ini.
Hazel pun sedikit melunak.
“Tadi aku keterlaluan.”
Ia mengaku jujur.
Saat itu, selembar koran kusut tertiup angin. Judul besar bertuliskan ‘Raja Penakluk, Ditaklukkan!’ terlihat jelas. Hazel buru-buru menginjaknya.
“Itu bukan berarti aku sengaja menyimpan artikel itu. Koran bekas berguna untuk membersihkan jendela, jadi aku kumpulkan saja.”
Ia menendang kertas itu ke samping.
“Bagaimanapun, meski berita seperti itu dicetak, toh surat kabarnya tidak ditutup. Kekaisaran Bratania bukan negara yang membungkam rakyat. Walau Lord Valentine memang membungkam mulut anak ayam tadi… intinya, dunia sudah berubah. Dulu, waktu aku kecil, orang bilang kalau salah bicara sedikit saja bisa langsung ditangkap Kaisar. Tapi entah sejak kapan, ucapan seperti itu sudah tidak terdengar lagi. Hidup jadi lebih baik. Aku sendiri bisa hidup damai bertahun-tahun tanpa tahu siapa kaisar yang baru. Itu sebabnya aku pikir kaisar yang baru ini cukup baik.”
Ucapan itu, meski keluar dalam situasi aneh, sebenarnya cukup menyentuh.
Tapi Hazel segera menambahkan dengan nada dingin:
“Aku pikir… begitu.”
“Ah, ternyata bentuk lampau….”
Kalimat yang awalnya seperti pujian, berakhir sebagai sindiran. Iskandar rasanya pening. Apa yang sedang ia lakukan di sini? Bukankah seharusnya sekarang ia sedang membaca buku di kamarnya?
Hazel melihat wajah ksatria itu semakin lama semakin kaku.
Astaga, aku harus berhenti.
Ia mencoba mengalihkan topik, tapi tanpa sadar tetap terdengar menyindir.
“Maaf. Kau bilang akan melapor dengan jujur. Aku salah paham. Kalau begitu, silakan masuk.”
Hazel menyingkir sedikit, memperlihatkan isi rumah.
Lampu-lampu kecil menyala terang. Dari tungku besi hitam, api kayu berkobar hangat. Rak di dinding berjejer piring dan mangkuk kayu yang berkilau. Meja makan pun tampak berkilat.
Rasanya seperti rumah boneka yang nyaman. Iskandar sampai terpaku menatap.
“Sebagai permintaan maaf, biar aku jamu makan malam.”
Iskandar terkejut.
Ia sudah mencari tahu sebelumnya. Semua orang yang pernah datang ke sini, entah bagaimana, selalu berubah pikiran setelah mencicipi masakan tempat ini.
Karena itu, ia bersumpah tidak akan memakan apa pun di sini.
“Tidak, terima kasih.”
Ia buru-buru menolak dan hendak pergi.
“Tunggu sebentar.”
Hazel menahannya.
Bukan lagi sekadar mengajak makan malam. Ada sesuatu yang berbeda dari tatapannya.
Sejak tadi, Hazel tidak pernah benar-benar menatap Iskandar. Hanya melirik sekilas, atau menatap dengan sinis. Tapi sekarang, ia menatap lekat-lekat.
Apa aku ketahuan?
Iskandar panik. Haruskah tadi ia langsung kabur saja?
Namun segera ia sadar: pandangan Hazel tidak berhenti pada wajahnya, melainkan sedikit lebih rendah.
Di sana tergantung…
Iskandar menunduk.
Di atas seragam ksatria, sebuah liontin kecil berhiaskan batu hijau pucat berkilau dalam cahaya lampu. Biasanya ia simpan di balik pakaian, tapi tadi lupa.
Cahaya lampu menembusnya, memperlihatkan butiran halus di dalamnya yang berkilau.
“Itu….”
Iskandar menjelaskan dengan nada kaku, seperti sedang berpidato.
“Dulu, saat berlayar dari Abyssos ke Hellenomia, kapal kami dihantam badai dan terdampar di kerajaan pulau asing. Seorang tetua bijak memberiku batu ini. Meski kami tak bisa bicara, dari ekspresinya aku tahu ini sesuatu yang sangat berharga. Aku menyimpulkannya sebagai ‘Batu Sang Bijak’, dan sejak itu selalu kusimpan. Tapi sampai sekarang aku belum bisa mengungkap rahasianya….”
“Bukan begitu.”
Hazel menatapnya dengan wajah tak percaya.
“Itu benih.”
Benih?
Iskandar melongo.
Selama ini ia mengira itu harta karun, Philosopher’s Stone! Ia menjaganya bagai nyawa, mempelajarinya, bahkan pernah meminta nasihat orang bijak dan filsuf.
Tapi ternyata… hanya sebutir benih?
Iskandar menatapnya lagi.
“Kalau itu benih… benih apa?”
“Itu aku juga tidak tahu.”
“Tapi bagaimana bisa kau yakin?”
“Itu jelas. Sama seperti aku tahu ini manusia, itu anjing, itu kucing… begitu saja aku tahu itu benih.”
Hazel menjawab sambil menatap lekat-lekat.
Untunglah benih itu dilindungi oleh wadah emas kecil, jadi tidak rusak. Kalau tidak, mungkin sudah mati lama di leher ksatria ini.
Tapi jelas, benih itu masih hidup.
“Bentuknya aneh sekali. Apa pun itu, pasti tanaman yang luar biasa. Jadi memang harus ditanam. Dari situlah rahasianya akan terungkap.”
Menanam Batu Sang Bijak?
Iskandar merasa konyol sekali. Tapi justru karena konyol, ide itu terasa baru. Sesuatu yang belum pernah terpikir oleh siapa pun.
Ia jadi termenung.
Bagaimana kalau benar-benar tumbuh?
Saat itu, suara samar terdengar di telinganya. Dentang lonceng dari kejauhan—lonceng senja kuil.
Itu tanda waktunya ia dipanggil.
Iskandar tersadar.
“Kalau begitu, saya pergi dulu.”
Ia berbalik.
“Tunggu!”
Hazel memanggil.
Tapi sosok ksatria hitam itu sudah lenyap, seakan melebur dalam kegelapan.
“Apa-apaan itu?”
Hazel melangkah masuk, masih bingung.
Dari semua tamu yang datang hari ini, Lord Valentine jelas yang paling aneh. Seperti gagak hitam yang datang tanpa suara lalu menghilang begitu saja.
Paling tidak, gagak biasanya masih mau makan. Tapi ksatria itu menolak jamuan makan malamnya begitu saja.
Setidaknya benih itu bisa kulihat lebih lama….
Bayangan benih misterius itu kembali jelas di kepalanya.
Hazel bergumam pelan.
“Ah, aku lupa bilang hal penting.”
***
Keesokan harinya.
Hingga embun pagi mengering dan burung-burung beterbangan pergi, Hazel masih terbuai dalam mimpi tentang pohon.
Anak-anak ayam pun menenggelamkan kepala mereka di sudut peti dan kembali tidur. Sudah lama rasanya ia bisa menikmati pagi dengan tidur agak lama.
Sementara itu, tepat di istana sebelah, Iscandar bangun lebih awal dari biasanya. Ia membatalkan seluruh audiensi pagi hari dan langsung menuju Menara Pengetahuan. Seperti biasa, para bijak yang baru saja melewatkan malam tanpa tidur hampir saja melompat dari kursinya ketika bukannya pengantar kopi yang mereka tunggu, melainkan sang Kaisar sendiri yang tiba-tiba masuk.
“P-Paduka!”
“Apakah ini mungkin saja sebuah benih?”
Iscandar langsung bertanya tanpa basa-basi.
Sang bijak, Debash, kebingungan. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa Kaisar tiba-tiba datang sepagi ini dengan pertanyaan aneh seperti itu.
Apa ini… ujian ideologi?
“Eh, yah… itu semua tergantung kehendak Paduka. Bila Paduka mengatakan itu benih, maka itu benih. Bila Paduka mengatakan bukan, maka bukan pula.”
Ia kira jawabannya cukup bijaksana, tapi wajah Kaisar justru mengeras.
“Omong kosong apa itu! Akan kutanya sekali lagi! Bukan dari sudut pandang politik, tapi secara ilmiah—apakah ini bisa dianggap sebagai benih?”
“Ah, dari sudut pandang ilmiah maksudnya? Kalau begitu jelas berbeda. Batu filsuf itu termasuk mineral, dan semua mineral bukanlah benih. Maka, batu filsuf bukan benih.”
“Bukan itu maksudku. Bagaimana bila benda ini sejak awal bukan batu filsuf, melainkan memang benih?”
Para bijak saling berpandangan. Mereka tetap tidak memahami apa yang dimaksud sang Kaisar.
“Kalau bukan batu filsuf melainkan sejak awal benih… maka tentu itu benih. Benih ya benih.”
“……Cukup. Aku harus memanggil ahli botani.”
Tak lama kemudian, Bouchard—seorang otoritas di bidang botani—dipanggil.
Padahal ia sedang asyik sarapan omelet, jadi ia datang dengan wajah kebingungan. Saat Kaisar menunjukkan batu filsuf dan bertanya apakah itu benih, ia semakin terperangah.
“Paduka, benih pada dasarnya adalah embrio tanaman yang dilindungi oleh kulit luarnya. Menurut saya, bagian ini memang mirip kulit… tapi sekaligus tidak juga….”
Benihkah ini?
Jantung Iscandar berdegup cepat.
“Kalau begitu, cobalah tanam. Jika benar benih, sebentar lagi akan berkecambah.”
“Baik, Paduka.”
Dengan gugup, Bouchard menanam batu filsuf ke dalam pot. Baru saja hendak menaruhnya di dekat jendela, cahaya samar yang semula merembes keluar dari tanah tiba-tiba meredup. Bouchard terperanjat.
“Saya tidak bersalah, Paduka!”
Ia ketakutan sampai gemetar, jadi Iscandar menyuruhnya keluar dulu. Kaisar pun mencoba sendiri.
Hasilnya sama saja.
Begitu batu filsuf ditanam, debu bercahaya di dalamnya segera kehilangan sinarnya. Dahi Iscandar berkerut.
“Jadi bukan benih? Padahal tadi aku begitu yakin… salahkah aku?”
“Ada satu cara untuk memastikan.”
Suara itu datang dari belakang, milik bijak Rastaban.
“Apa itu?”
“Dibelah saja menjadi dua.”
“Itu akan merusaknya, bukan?”
“Bagaimanapun, kita tetap memperoleh pengetahuan.”
“Benar juga. Silakan tinggalkan aku sebentar.”
“Baik.”
Ruangan penelitian pun kembali sunyi.
Iscandar mencoba meneliti lebih jauh dengan berbagai alat di sana, namun akhirnya menyerah dan keluar.
Tidak ada seorang pun yang tahu.
Kecuali satu orang.
Namun… ke sanalah yang paling tidak mungkin. Menurut ungkapan Menteri Dalam Negeri, hubungan mereka lebih mirip tetangga yang selalu bertikai hebat. Bila ia salah langkah dan identitasnya terbongkar…
Tidak. Mustahil.
Iscandar menggeleng.
Dengan pikiran kusut, ia berjalan menuju bangunan utama. Tepat ketika hendak melewati Taman Agung Istana, ia bertemu rombongan Ksatria Api Suci.
“Ah!”
Para ksatria muda langsung membeku melihat Kaisar. Sesuatu terlepas dari tangan mereka dan bergulir di tanah.
“…Kayu bakar?”
“P-Paduka!”
Dengan wajah pucat, mereka serentak berlutut. Beberapa di antara mereka bahkan dikenal oleh Iscandar.
“Lafayette? Kenapa membawa kayu bakar?”
“Ampunilah kami, Paduka!”
Julien dan teman-temannya akhirnya mengaku dengan suara nyaris tak terdengar.
“Sesungguhnya, kami hendak pergi ke ladang di dalam taman. Setiap hari kami meletakkan sepotong kayu bakar di sana. Kadang, kalau ketahuan, Lady dari Salon itu akan merebus bongkahan tanah liat itu lagi untuk kami… tapi entah kenapa kami selalu bergerak secepat angin, jadi sampai sekarang belum pernah ketahuan… ah, bukan itu maksud saya!”
“Pokoknya, begitulah alasan kami bergiliran membawa kayu bakar ke sana. Paduka, mohon ampun.”
Iscandar menatap mereka lama-lama tanpa berkata apa-apa.
“Hmm…”
Ia pun berbalik meninggalkan mereka.
“Kenapa harus ketahuan Paduka sendiri! Beliau pasti murka luar biasa!”
“Beliau pasti mengira kita seperti pengkhianat.”
“Padahal beliau bahkan tidak suka sang Komandan pergi ke sana….”
Julien dan teman-temannya berbisik dengan wajah pucat. Mereka tak pernah membayangkan bahwa Kaisar justru sedang memikirkan hal yang sama sekali berbeda.
Dengan kepala penuh beban, Iscandar masuk ke gedung utama. Dari lorong sudah terdengar suara ramai.
“…kuberi tahu saja. Siegvalt dengan licik menempelkan tulisan ‘Sumbangan’ di kursinya, makanya ia bisa mendapat satu tempat di meja makan.”
“Tidak. Itu karena ia pandai memilih kursi.”
“Benar. Kursi yang diambil Siegvalt memang cocok dengan rumah itu. Aku penasaran kapan Hazel akan menghancurkan singgasana Raja Peri yang jelek itu dengan kapak.”
“Dia sudah berjanji tidak akan membuangnya! Selama setelah dipakai dikembalikan ke gudang, katanya. Bahkan kemarin Hazel juga….”
Begitu melihat Iscandar, Louis, Siegvalt, Lorendel, dan Cayenne langsung terdiam.
“Isc! Baru pulang jalan-jalan?”
Cayenne menyapa ceria.
Iscandar hanya berlalu tanpa menjawab. Louis melirik teman-temannya dengan wajah kikuk.
“Kelihatannya seperti kita sengaja menunggu di sini untuk menyindirnya.”
“Betul. Kukira beliau masih di ruang kerja! Pasti sakit hati.”
Cayenne menghela napas. Lorendel menyesal.
“Seharusnya kita ngobrol di ruang istirahat saja. Baru saja kehilangan tanah, lalu mendengar ini di sini….”
“Hati-hati mulai sekarang.”
Siegvalt pun ikut menunduk.
Mereka semua tidak tahu—Kaisar sama sekali memikirkan hal lain.
Semua orang bebas keluar masuk.
Kecuali aku.
Iscandar duduk di kursi ruang kerjanya.
“…Hazel, ya.”
Ia mencari kembali dokumen yang pernah ia terima.
“Ah, Hazel. Hazel Mayfield.”
Memang benar, “Almond” agak aneh untuk nama orang.
Tapi tetap saja…
Sambil membolak-balik dokumen, Iscandar gelisah.
Kenapa harus dia? Kenapa satu-satunya orang yang punya wawasan soal batu filsuf justru dia? Rencana untuk menyamar sebagai ksatria kekaisaran dan menyelidikinya kini jelas gagal—lebih aman mencari cara lain.
Namun…
Tetangga aneh itu sama sekali tidak peduli wajah orang. Yang menarik perhatiannya hanya tanaman. Begitu ia mengeluarkan batu filsuf, Hazel pasti akan fokus padanya dan tidak peduli siapa dirinya. Artinya, sekalipun ia datang sekali lagi, identitasnya takkan terbongkar.
Ini semua demi ilmu pengetahuan. Rahasia batu filsuf harus diungkap.
Ia pun bulat memutuskan.
Sementara itu, Hazel…
Sedang menjemur cucian, lalu menarik napas panjang.
Seharian penuh ia tidak bisa berkonsentrasi. Benaknya terus dipenuhi oleh benih misterius itu. Seperti apa tunasnya? Rahasia apa yang tersembunyi di dalamnya?
Tidak boleh. Itu milik bawahan Kaisar.
Ia mencoba menepis pikirannya. Namun, ketika langit mulai berwarna merah senja—tepat saat Sir Valentine datang kemarin—ia tanpa sadar melirik ke arah hutan di balik pagar.
Dan ternyata benar.
Sosok ksatria hitam berdiri di sana.
“Ah!”
Hazel langsung berdiri tegak.
Benih itu datang!
Ia lupa semua soal bawahan Kaisar, lalu berlari menyambut sang penjaga benih dengan gembira.
“Sir Valentine!”
Dadanya berdebar kencang.
“Ah, ya.”
Ksatria hitam itu mengangguk agak kaku. Ada sesuatu yang berbeda dari kemarin. Hazel menatapnya dari ujung kepala hingga kaki.
“Anda terlihat sangat lelah. Banyak hal yang terjadi hari ini, ya?”
“Sesungguhnya, memang….”
Iscandar hampir meluapkan emosinya.
“Para bijak hanya bicara omong kosong! Ada yang bilang harus dibelah dua! Ahli botani malah lari karena tidak tahu! Lalu ketika kutanam di pot, cahayanya meredup seolah hendak mati!”
“Di pot?”
Mata Hazel membesar.
“Tidak! Itu tidak boleh!”
“Tapi bukankah kemarin kau bilang harus ditanam?”
“Bukan di tanah! Itu harus ditanam di dalam air!”
…Apa?
Iscandar terperanjat.
Hazel pun menjelaskan.
“Itu kuncinya. Harus ditaruh di air supaya bisa berkecambah. Seharusnya kemarin kujelaskan, tapi Sir Valentine buru-buru pergi.”
“Tapi….”
Iscandar masih bingung.
“Bukankah kau bilang tidak tahu benih apa itu? Bagaimana kau bisa yakin harus ditanam di air?”
“Kalau bukan untuk ditanam, benda ini untuk apa lagi?”
Hazel menunjuk kepalanya.
“Bentuk luar benih bisa memberi banyak petunjuk. Tiap spesies berbeda, tapi ada yang bisa dikelompokkan berdasarkan kekerabatan. Begitu aku melihatnya, aku langsung tahu. Ini kerabat tanaman yang sangat kita kenal. Bahkan ada di istana ini juga.”
“Apa itu?”
“Teratai.”
“Ah, yang selalu mengapung di kolam taman?”
“Ya. Tepatnya, ini lebih mirip kerabat bunga lotus daripada teratai biasa. Bedanya, lotus memiliki tangkai bunga yang menjulang di atas permukaan air, sementara teratai tidak. Lotus tidak tumbuh di negeri kita, tapi dulu saat aku bekerja di Pameran Dunia, aku pernah melihatnya.”
Hazel sempat terhanyut dalam kenangan.
Pekerjaan dengan upah 2 gold sehari—memasarkan penyangga kayu bakar dari kuningan. Ia berniat bekerja keras agar mendapat bonus tambahan, tapi malah dipecat sebelum sempat mulai. Hanya karena salah masuk ruangan saat mengambil celemek… kebetulan yang dimasukinya adalah ruang pameran tanaman.
“Jadi kau juga melihat benih lotus di sana? Apakah mirip dengan ini?” tanya Iscandar.
Hazel kembali sadar.
“Tidak sama. Benih lotus tidak transparan begini, dan tidak ada serbuk cahaya misterius di dalamnya. Tapi dari ciri lain, jelas satu kerabat. Jadi pasti harus berkecambah di air.”
“Begitu.”
Iscandar bergumam.
“Kalau memang begitu, sungguh keterlaluan seorang ahli botani kekaisaran tidak mengetahuinya….”
Nada menyesal itu membuat Hazel cepat menggeleng.
“Bukan begitu. Pikirkanlah. Seorang ksatria hitam Kaisar tiba-tiba muncul dan berkata, ‘Ini batu filsuf milikku. Menurutmu, apakah ini benih?’ Bayangkan juga kalau tanpa sadar tangan Sir Valentine sempat menyentuh gagang pedangnya. Dalam situasi itu, apa yang bisa dipikirkan si ilmuwan malang itu?”
“……”
Iscandar tidak bisa membantah.
Hazel menatapnya.
Memang, ksatria ini kaku dan dingin. Sulit ditebak apa yang dipikirkannya. Saat diam membisu, ia bahkan tampak mengintimidasi.
Namun, faktanya ia kembali membawa benih itu. Salah memilih profesi saja mungkin… selain itu, bisa jadi ia tidak seburuk kelihatannya.
Hazel pun tersenyum tipis.
“Ada kabar baik. Di air, benih akan lebih cepat berkecambah dibanding di tanah. Pasti Sir Valentine juga penasaran bunga aneh apa yang akan tumbuh, kan? Ayo kita tanam sekarang juga.”
Hazel mendahuluinya masuk ke rumah. Saat ia menoleh, ksatria berambut hitam itu justru tampak ragu-ragu di ambang pintu.
“Kenapa?”
“Ah, t-tidak.”
Iscandar akhirnya masuk.
Ini semua demi pengetahuan. Asalkan aku tidak menyentuh makanan, tak masalah.
Ia menenangkan diri sambil menatap sekeliling rumah.
Persis seperti yang ia lihat kemarin lewat celah pintu. Tungku kayu menyala dengan cahaya oranye hangat. Peralatan masak tergantung di dinding, piring tertata di rak. Meja kayu berkilau, bersih mengilap.
Ia sempat terpaku sejenak, lalu mengalihkan pandangan. Di sudut, lima ekor anak ayam tidur pulas di dalam peti kayu.
Pemandangan yang meruntuhkan seluruh kewaspadaannya.
“Syukurlah ada satu kursi tambahan.”
Hazel menunjuk kursi kayu dengan tulisan besar “Sumbangan” di sandarannya.
Iskandar duduk di sana lalu melepas kalungnya. Dari kantong emas berbandul kait, ia dengan hati-hati melepaskan Batu Bijak.
Sementara itu Hazel sudah kembali dengan membawa sebuah baskom besar berisi air bersih.
“Untungnya biji bunga teratai bisa bertahan hidup sangat lama. Waktu pameran aku dengar, bahkan biji yang berusia ratusan tahun pun masih bisa berkecambah. Tentu saja, itu kalau dirawat dengan benar.”
Seperti yang kuduga.
Brak!
Hazel menghantam Batu Bijak itu dengan palu. Iskandar hampir meloncat kaget.
“Apa yang kau lakukan, Nona Mayfield?!”
Katanya akan merawat, tapi malah dihancurkan begitu saja?!
Ia hanya bisa menatap, ternganga tanpa kata. Namun Hazel tampak penuh keyakinan.
“Memang harus begitu. Biji ini sudah terlalu lama sehingga kulitnya mengeras. Kalau dibiarkan, kecambah tidak akan mampu menembus keluar. Jadi harus sedikit dibelah. Tentu saja tidak bisa sembarangan, karena biji punya pori-pori khusus untuk bernapas.”
“Ah……”
Iskandar duduk kembali dengan wajah kikuk. Selama ini ia tak pernah dicap bodoh oleh siapa pun, tapi entah kenapa, di hadapan gadis pemilik ladang ini ia terus saja terlihat dungu.
Kesadaran itu membuatnya gelisah. Tanpa sadar, ujung jarinya mengetuk-ngetuk meja sementara matanya terpaku pada Hazel.
“Kalau begitu, aku lanjut ya.”
Hazel membawa biji itu ke depan lampu, memeriksa dengan teliti apakah ada kerusakan. Setelah yakin aman, ia mengambil kertas amplas dan menghaluskan bagian yang tadi dibelah. Supaya kelak tunas bisa keluar dengan mudah. Lalu ia menjatuhkan biji itu ke dalam air bersih di baskom.
Kemudian ia menutup mata dan menempelkan telapak tangan di atas wadah.
Sepertinya baik-baik saja.
Tapi agak sensitif, jadi perlu perhatian lebih.
Hazel membuka mata. Iskandar segera bertanya:
“Sekarang sudah selesai?”
“Belum. Harus menunggu.”
Hazel bangkit, membuka lemari, dan mengambil sebuah wadah. Di dalamnya terdapat beberapa gumpalan yang aneh.
Iskandar sedikit bingung. Sekilas benda itu mirip potongan daging yang sedang diasinkan dengan lada hitam.
Pasti ada maksud mendalam.
Ia memilih diam dan memperhatikan.
Hazel membawa wadah itu ke meja, lalu memecahkan telur ke dalam baskom besar. Ia mengocoknya hingga rata, menambahkan peterseli, bawang putih cincang, dan garam.
Kelihatannya sedang membuat adonan telur……
Pasti ada makna lain.
Iskandar tetap menunggu.
Hazel memasukkan potongan daging itu ke dalam adonan telur, membalurkannya dengan rata. Lalu ia bertanya tiba-tiba:
“Jadi, pulau itu memang begitu misterius?”
“Ah.”
Iskandar mengangguk.
“Itu adalah Pulau Para Bijak. Bukan para ‘sarjana’ kekaisaran yang sibuk dengan riset aneh-aneh, melainkan para bijak sejati yang menghabiskan hari-hari mereka dalam meditasi. Tatapan mata mereka saja sudah cukup membuktikan—mereka pasti mengetahui kebenaran yang mendalam.”
“Lalu apa yang Tuan Valentine harapkan untuk diperoleh?”
“Aku berharap sebuah pencerahan dalam ilmu bela diri.”
“Bela diri? Apa bisa melalui bunga?”
“Tentu saja. Segala bentuk memiliki hukumnya. Bahkan Grand Cavalier pertama dalam sejarah konon mencapai puncak tertinggi setelah memahami hukum alam dari wujud-wujud di sekitarnya……”
Iskandar berhenti.
Sebuah déjà vu merambati benaknya. Ia pernah mengucapkan kata-kata serupa—waktu keluar dari pulau itu dan kembali bergabung dengan armada para sahabatnya.
—“Seperti sebuah legenda!”
Zigvald kala itu terpukau, menyesal tidak ikut menyaksikan langsung.
Namun yang bereaksi normal hanya Warbear.
—“Gila… Kau yakin tidak sedang mabuk?”
Luis bahkan memeriksa mata Iskandar, khawatir ia mengonsumsi sesuatu.
—“Itu trik penipuan klasik kaum peri. Jangan-jangan ‘orang bijak’ itu malah menawari Anda sebuah pulau pribadi?”
Kayen mengorek detail dengan penuh curiga.
Sementara Lorendel hanya menatap Batu Bijak lekat-lekat……
—“Ada yang aneh dengan ini.”
Dan tiba-tiba ingin menggigitnya. Iskandar sontak panik dan merebutnya kembali.
Sejak saat itu, ia tak pernah lagi menyinggung soal Batu Bijak di hadapan mereka.
Namun sekarang—bukankah mereka semua sering mampir ke ladang ini? Apa jadinya bila sang pemilik ladang menceritakan tentang Batu Bijak di depan mereka?
Iskandar mendadak berdiri.
“Nona Mayfield!”
Hazel, yang sedang menggoreng daging di wajan besar, tersentak.
“Sudah matang!”
“Ah, bijinya tumbuh?!”
“Tidak! Apa maksudnya itu?”
Hazel menatapnya dengan wajah heran.
“Benar-benar tidak tahu, ya? Tidak mungkin tunas muncul secepat itu. Setidaknya butuh dua sampai tiga hari. Itu pun sudah cepat, karena terendam air.”
“Kalau begitu tadi, yang harus ditunggu itu apa?”
“Makan malam, tentu saja.”
Hazel menaruh piring di meja dengan bunyi keras.
“Aku merasa beberapa hari ke depan akan butuh tenaga lebih. Jadi untuk menyemangati diri, aku membuat cutlet daging sapi.”
Iskandar kehilangan kata-kata.
Pantas tadi kelihatan seperti masakan… ternyata memang masakan.
Ia lagi-lagi terjebak dalam salah paham konyol.
“……”
Hazel memperhatikan ia hanya berdiri bengong, lalu berkata:
“Jangan bilang kau tidak tahu cara memakannya? Atasanmu yang kaya raya tidak pernah mentraktirmu ini? Nih, begini caranya. Saat masih panas, potong lalu makan begitu saja. Pertama hanya daging. Kedua kali, tambahkan sedikit asinan kol di atasnya. Rasanya akan lebih segar dan pas.”
Iskandar hanya menatap terpana.
Namun masakan Hazel terasa berbeda.
Minyak dalam wajan bergolak riuh. Daging yang masuk seketika berubah kecokelatan. Meski dibaluri remah roti tebal, bagian dalam tetap matang sempurna.
Saat dipotong, lapisan cokelat renyah itu mengungkap daging berair yang mengilap. Aroma daging panas berpadu dengan bawang putih, menghasilkan wangi menggoda yang sulit dilukiskan.
Lapar……
Iskandar merasa pusing. Seolah hidupnya tengah menghadapi krisis terbesar.
“Nih, aku goreng banyak kok.”
Hazel menaruh sepiring cutlet panas di meja, lalu tertegun. Sang tamu justru menatap makanan itu dengan wajah tegang, seakan menatap musuh bebuyutan.
“Lord Valentine?”
“Aku… harus pergi.”
Ia bergegas keluar.
Apa-apaan itu?
Hazel benar-benar kebingungan. Hanya ada satu penjelasan atas reaksi itu.
“Jadi… ada juga orang yang tidak suka cutlet daging sapi.”
Hazel menghela napas.
Padahal hari ini ia memang menyiapkan dua porsi. Bahkan sudah menghabiskan semua daging yang dibeli di pasar. Kini meja dapur penuh tumpukan cutlet.
Bagaimana ini……
Meski begitu, tak masalah. Cutlet daging sapi selalu enak.
Hazel duduk. Ia memotong sepotong, memasukkannya ke mulut.
Lapisan tepung roti renyah pecah di gigi. Meski masakan baru digoreng biasanya memang lezat, ini sungguh luar biasa. Tambahan aroma bawang putih membuatnya semakin sempurna.
Hazel lalu mengambil asinan kol manis-asam yang dibuat kemarin. Ditaruh hati-hati di atas potongan cutlet, lalu dimakan.
Ya! Inilah rasanya!
Rasa bahagia meluap, seolah dunia hanya miliknya. Namun saat itu, matanya bertemu dengan bayangan hitam yang berdiri di depan pintu.
“Ah!”
Hazel hampir tersedak.
Lord Valentine entah kenapa kembali lagi. Ia berdiri kaku di sana, menatap Hazel dengan wajah tersiksa seakan sedang menjalani interogasi.
Tentu saja. Dia kan tidak suka cutlet daging sapi.
Hazel buru-buru menelan potongan daging dan bertanya:
“Kenapa kembali lagi?”
“Ada hal penting yang lupa kusampaikan……”
“Apa itu?”
“Aku tidak bisa sering datang ke sini.”
“Aku tahu. Kesatria kaisar pasti sibuk.”
“Jadi, bila suatu saat Batu Bijak itu bertunas, kuharap kau memasang tanda di atap. Misalnya bendera……”
“Baik.”
“Dan… soal Batu Bijak ini, biarlah hanya menjadi rahasia kita berdua.”
“Akan kujaga.”
Hazel mengangguk.
Namun saat ia kembali menatap, Iskandar sudah lenyap, menghilang secepat angin.
***
Kepala juru masak Istana Kekaisaran, Xavier Fontaine, meneliti tiram yang tiba pagi itu.
Semuanya berkilau cerah dengan cahaya seperti mutiara. Saat ditekan perlahan, betapa kenyalnya hingga hampir membuat jarinya terpental kembali.
“Luar biasa!”
Ia puas.
Tiram segar seperti ini, hanya dengan sedikit perasan lemon saja, bisa menghadirkan cita rasa bak surga. Baginda pasti akan sangat menyukainya. Dengan penuh percaya diri, ia pun menggulung lengan bajunya.
Namun saat itu juga, seorang pelayan kaisar berlari tergesa-gesa dan menyampaikan kabar.
Xavier terperangah.
“Apa? Cotolette?”
“Baginda berkata, ‘kalau memungkinkan’.”
Namun baik si pelayan maupun Xavier sama-sama tahu. Begitu titah terucap, sekalipun harus mencari telur naga, mereka wajib menyediakannya.
Tapi, cotolette? Mengapa Baginda, yang biasanya jarang meminta sesuatu, tiba-tiba menginginkan hidangan sederhana itu?
Tunggu dulu. Sederhana, katanya……
Jangan-jangan itu maksudnya?
Dada Xavier terasa dingin.
Ia segera berlari ke gudang bahan makanan istana, mengambil daging sapi muda dan berbagai bahan lainnya. Lalu ia memasak dengan sepenuh hati.
Waktu yang dinanti pun tiba.
“Baginda, sesuai titah, hamba sajikan cotolette daging sapi.”
Xavier membuka tudung perak.
Di atas piring, ia menata cotolette sapi muda berempah, digoreng sempurna, dan dikelilingi udang merah jambu yang dipanggang dengan mentega, menyerupai kelopak mawar. Lalu disiram saus Alfonso berwarna krim yang dibuat dari tiga puluh bahan, dihiasi lengkungan daun bawang dan batang asparagus dengan garis melengkung metafisik.
“……”
Sang Kaisar menatap mahakarya itu dalam diam.
Kemudian perlahan mulai menyantapnya.
Usai makan, Xavier bertanya hati-hati.
“Bagaimana menurut Baginda?”
“Luar biasa. Namun…….”
Kaisar mengerutkan alis sedikit.
“Tidakkah kau pernah terpikir untuk mencoba menyajikan sesuatu yang… lebih sederhana?”
Dada Xavier berdegup kencang.
Benar saja. Itu maksud Baginda.
Ia buru-buru berlari lagi ke gudang bahan makanan. Saat ia panik mengobrak-abrik persediaan, pengawas istana mendekat dengan terkejut.
“Ada apa, Chef?”
“Belakangan saja. Aku sedang sibuk.”
Benar. Ia memang sangat sibuk.
Ujian kesetiaan.
Itulah yang sedang datang.
Belakangan, setelah hukum lama memperbolehkan berdirinya sebuah salon di dalam istana, perselisihan pun muncul. Anehnya, seluruh Dewan Penasihat Kekaisaran berada di pihak yang berlawanan dengan Baginda. Terutama Sir Louis yang bersuara paling lantang—semua gara-gara ia jatuh hati pada masakan pedesaan sederhana yang disajikan di salon itu.
Kabar itu dibawa Giorgio, kepala dapur kesatria.
Hal itu membuat suasana hati Baginda sangat buruk. Namun Giorgio yang tidak peka justru mulai menambahkan satu per satu hidangan sederhana itu ke menu. Ia bersorak gembira karena sambutannya baik.
Jika Baginda tahu? Giorgio pasti akan ditebas.
Tidak—Baginda pasti sudah tahu. Karena itulah beliau menguji.
‘Xavier Fontaine, apakah kau juga akan berkhianat?’
Tentu saja tidak mungkin.
Xavier ingin mengabdi lama kepada Kaisar baru. Siapa pun koki yang pernah melayani Kaisar terdahulu pasti menginginkan hal yang sama.
Untunglah, berkat kejelian yang diwarisi dari ibunya yang dulu bekerja di istana, ia berhasil lolos dari ujian pertama. Namun kini menanti ujian kedua. Sama halnya dengan sebelumnya, ia harus membuktikan kesetiaan lewat cotolette—dan kali ini bukan cotolette sederhana, melainkan yang paling jauh dari kata “biasa”.
Sambil menggenggam kaviar dan kerang scallop, Xavier bersumpah dalam hati.
“Jangan khawatir, Baginda! Xavier Fontaine adalah abdi setia Anda selamanya!”
Ketika sang kepala juru masak bersumpah penuh semangat itu, di taman besar istana tak jauh dari sana, penyebab segala kekacauan ini—Hazel—sedang mengganti kertas koran di bawah kandang anak ayam.
Tinggal di tengah istana punya satu keuntungan lagi: mudah mendapat koran. Di bangku taman besar, koran bertebaran. Sangat berguna untuk mengelap kaca jendela—cukup basahi dan gosok, noda hilang seketika. Dan tentu saja, pas sekali untuk alas kandang anak ayam.
Hazel menuangkan pakan millet ke wadah kecil dan mengisi air segar. Saat membuang koran lama, Tiberius sudah melompat-lompat heboh.
Dia memang agak tenang belakangan ini, tapi rupanya tabiat aslinya tak pernah berubah.
“Diam! Nanti ksatria kaisar menangkapmu lagi!”
Ucapan itu membuat Hazel kembali teringat sesuatu. Ia cepat-cepat menggelengkan kepala.
Belum boleh.
Sejak pagi ia sudah menahan diri puluhan kali. Baru semalam berlalu, jelas belum ada perubahan. Tapi rasa penasaran tentang apa yang terjadi pada Batu Bijak begitu menggelisahkan.
Namun tidak boleh mengganggu. Nanti, menjelang malam, ia akan mengintip sekali saja.
Hazel menekan rasa ingin tahu.
Masih banyak pekerjaan di ladang. Bayam, terong, tomat, labu, jagung—semuanya tumbuh cepat. Karena tak turun hujan dan matahari terik, ia harus rajin menyiram. Waktunya memberi pupuk tambahan juga hampir tiba.
Di dapur, masalah lain menunggu. Gunungan cotolette dari kemarin harus dibereskan.
Untuk makan siang, ia membuat sandwich dengan roti desa berisi cotolette. Saat malam, ia menambahkan keju ke adonan telur, menghasilkan cotolette keju.
Akhirnya, dengan jantung berdebar, ia menengok mangkuk berisi Batu Bijak.
Biji itu membesar. Penuh menyerap air.
“Bagus. Kau hebat sekali.”
Hazel menyemangati biji itu.
Keesokan harinya, ia bekerja sambil bersemangat. Usai mengurus ladang, ayam, dan pupuk, ia langsung lari ke rumah untuk memeriksa.
Seperti yang diharapkan—tunas hijau kecil muncul dari ujung biji yang sempat ia pecahkan.
Hazel sangat gembira.
Ia harus segera memberi tahu pemilik biji itu!
Ia cepat-cepat mengambil tangga dari gudang, membentangkan selimut di atap sebagai sinyal, lalu turun kembali.
Seharian bekerja membuat perutnya lapar. Sir Valentine juga pasti akan datang sebentar lagi……
Hari ini, Hazel bertekad harus menjamunya dengan makanan.
Namun baru saja ia menaruh panci di atas tungku, ksatria hitam itu tiba-tiba muncul di depan pintu.
Hazel terkejut.
Bagaimana bisa secepat itu?
Satu-satunya kemungkinan, ia terus mengawasi atap rumah ini. Hazel menatapnya dari atas ke bawah dengan rasa ingin tahu.
“……”
Iskandar segera mengalihkan pandangan.
Ya, ada satu keuntungan menjadi tetangga—dari kamarnya ia bisa langsung melihat rumah Hazel.
Ia sudah bersiap menunggu, karena diperkirakan butuh dua-tiga hari. Begitu kain sinyal terbentang di atap, ia langsung berlari.
“Sudah bertunas?”
“Benar!”
Hazel segera membawa mangkuk itu.
Jelas terlihat—tunas kecil berwarna hijau keluar dari ujung biji.
“Benar saja! Batu Bijak ternyata sebuah biji!”
Iskandar berseru.
Momen ketika dugaan gila terbukti benar selalu menegangkan, apalagi jika itu meruntuhkan pola pikir lama.
Keduanya berdiri sejenak menatap mangkuk itu. Lalu sama-sama menyadari sesuatu.
“Tapi…….”
“Sepertinya agak layu, ya?”
Hazel panik.
Benar saja. Tunas itu terlalu tipis, warnanya pucat, tampak lemah. Tidak ada tenaga kehidupan yang seharusnya terasa.
Dengan pengalaman melihat banyak tanaman, Hazel tahu betul.
Dengan keadaan seperti ini, ia tidak akan bertahan.
Kali ini, Hazel sendiri pun bingung.
“Mungkin karena berasal dari negeri jauh. Begitu keluar, ternyata air dan udara Bratania tidak cocok. Lalu bagaimana ini?”
“Aku punya satu ide.” kata Iskandar.
“Bagaimanapun, kita tak bisa menunggu sampai tunas ini tumbuh besar. Bagaimana kalau kita langsung menggunakan sihir pertumbuhan? Dengan begitu kita bisa tahu apa tanaman ini sebenarnya.”
“Sihir?”
Hazel terbelalak.
“Memangnya kau punya uang sebanyak itu?”
Tanpa sadar ia berseru.
Di Bratania, penelitian sihir memang marak. Namun memakainya urusan lain.
Sihir bisa mengganggu keseimbangan alam, karenanya semua jenis sihir—kecuali ilusi—dikenakan pajak yang sangat tinggi. Hanya orang-orang kaya raya yang sanggup membeli mantranya.
“Jadi begitu. Sir Valentine ternyata sekaya itu.”
Iskandar yang asal bicara tadi langsung terdiam, tak tahu harus menjawab apa.
Untung Hazel tak mempermasalahkan.
“Memang sebaiknya tidak memakai sihir pertumbuhan. Kalau mengganggu proses alami, pasti ada dampaknya. Tapi khusus kali ini, aku juga setuju. Terlalu sulit bagi tanaman asing untuk tumbuh sendiri di tanah baru. Lebih baik kita bantu agar bisa tumbuh kuat. Lagipula aku juga penasaran, bunga apa yang akan muncul.”
“Baiklah. Besok aku akan bawa sihir pertumbuhan, dan juga semua catatan tentang tumbuhan air yang pernah diketahui.”
“Ide bagus. Besok kita benar-benar bisa tahu kebenaran apa yang ingin disampaikan sang bijak dari negeri kepulauan.”
Mereka berbicara penuh antusias, hingga tiba-tiba Hazel mencium aroma minyak goreng.
Ah! Panci di tungku!
Ia buru-buru berbalik.
“Tunggu sebentar, Sir Valentine. Kita lanjut bicara sambil aku menggoreng cotolette.”
Iskandar refleks tertegun.
Cotolette!
Sial, lagi-lagi ujian itu datang.
Sejak kemarin, kepala juru masak istana terus-menerus menyajikan cotolette eksperimental yang aneh. Bahkan sudah bukan daging sapi lagi, tak dilapisi tepung roti, tak digoreng, tapi tetap disebut cotolette.
Padahal Baginda hanya meminta cotolette biasa.
Semakin aneh sajian itu, semakin kuat keinginan untuk makan cotolette sederhana. Namun tentu Kaisar tak mungkin merengek soal makanan. Jadi beliau hanya diam menahan diri.
Kini, saat melihat potongan daging masuk ke minyak panas, mendengar suara gemericik menggoda—Iskandar hampir pusing.
Beberapa saat kemudian, Hazel mengangkat cotolette yang matang keemasan.
“Itu urusan lain. Tapi soal makan malam─”
Ia menoleh hendak bertanya apakah Iskandar sudah makan.
Tapi sang ksatria sudah lenyap.
Sekali lagi, ia pergi begitu saja.
“Apa-apaan, sih…….”
Hazel menggeleng bingung.
Sementara itu, ia mengingat cotolette yang baru matang. Ia angkat semua ke piring besar dan membawanya ke meja makan.
Duduk sendirian, ia menghela napas lalu mulai makan.
Cotolette sapi memang lezat. Apalagi baru matang, dimakan panas-panas sambil ditiup. Tidak ada tandingannya.
……Tapi Hazel sudah muak.
Tujuh kali makan berturut-turut hanya cotolette. Dicoba pakai roti, pakai keju, pakai saus dingin, bahkan dengan salad. Kini benar-benar sampai batas.
“Ugh……”
Sambil menahan eneg, Hazel tetap melahapnya.
Untung, berkat kerja keras dua hari penuh, tinggal sedikit yang tersisa. Besok semua akan habis.
Benar-benar perjalanan panjang……
“Besok, untuk merayakan, aku akan masak sesuatu yang enak.”
Ia menghibur diri sendiri.
Lalu satu pikiran lain membuatnya mengernyit.
Pelayan Kaisar, biarlah mereka kelaparan sedikit.
Tapi Sir Valentine? Ia sudah terlalu sering pergi tanpa makan. Padahal ia tamu di ladang ini. Dua kali datang, dua kali pulang dengan perut kosong.
Itu memalukan bagi tuan rumah.
Hazel pun termenung dalam-dalam.
***
Hari yang Dinanti
Akhirnya, hari yang dinanti pun tiba.
Hazel sudah memindahkan benih itu ke dalam wadah besar, lalu hanya tinggal menunggu malam.
Iskandar pun sama.
Pagi-pagi sekali ia pergi ke Menara Pengetahuan untuk memesan sihir pertumbuhan khusus tanaman, lalu mampir ke Perpustakaan Istana agar semua bahan bacaan tentang tanaman air dikumpulkan untuknya.
Kedua hal itu tiba di ruang kerjanya menjelang sore.
Sejak saat itu, ia hanya menunggu pekerjaannya selesai. Begitu jam menunjukkan pukul enam tepat, ia segera menyamar dan menyelinap keluar dari istana.
Hazel dengan cemas menyambutnya.
“Cepatlah! Tunasnya makin layu!”
“Baik!”
Iskandar merasa semakin tergesa.
Untungnya, ia tak memerlukan kata kunci untuk memicu mantranya. Ia langsung merobek mantra kuno bertuliskan kata pertumbuhan “crescere” menjadi dua.
Cahaya menyilaukan meledak, menyelimuti benih.
Tunas yang semula lunglai langsung tumbuh menjulang. Akar menembus dari biji, batang-batang kecil bermunculan, lalu dalam sekejap daun-daun lebar merekah dan kuncup bunga terbentuk. Hanya dalam hitungan detik, kelopaknya terbuka penuh, menampilkan bunga yang mekar sempurna.
Hazel terbelalak.
Bunga itu mirip teratai yang pernah ia lihat di Pameran Dunia, tapi sekaligus sangat berbeda. Kelopaknya berpendar biru pucat, dan di antaranya berkelabat kabut tipis yang membuat pandangan terasa mengawang.
“Apa ini sebenarnya?”
“Coba kulihat.”
Iskandar buru-buru membuka buku panduan botani. Setelah cukup lama membolak-balik, akhirnya ia menemukan gambar bunga yang mirip.
“Bukankah ini?”
Mereka sama-sama menunduk menatap halaman itu—dan sontak wajah keduanya membeku.
“Lord Valentine! Ini monster!”
Hazel menjerit kaget.
Tertulis: Pulau Lotophagos.
Begitulah catatan di buku itu.
Konon, dahulu seorang Raja Pahlawan bersama rombongannya terdampar di sebuah pulau. Penduduk di sana menyambut ramah, lalu memberi mereka buah aneh untuk dimakan.
Mereka yang memakannya langsung melupakan tanah air. Semua kenangan sirna, dan mereka hanya ingin bermalas-malasan, hidup dari buah itu selamanya di pulau tersebut. Raja Pahlawan akhirnya terpaksa mengikat para pengikutnya di kapal agar bisa melarikan diri……
Itu jelas di luar dugaan Hazel.
“Bukan para bijak, tapi iblis! Iblis yang menjerat para pengembara! Anda benar-benar tidak tahu?”
“Kalau kupikir-pikir……”
Iskandar mengingat-ingat.
“Memang mereka berkali-kali mencoba menyuapi kami…… Tapi karena kami hanyalah sarjana miskin, aku tak tega mengurangi persediaan mereka, jadi kutolak terus. Kalau sampai memakan itu, pasti kami takkan bisa pulang. Benar juga…… bunga ini berbahaya sekali!”
Kemudian ia tersentak.
“Namun sekarang…….”
“Tidak terasa apa-apa, ya?”
Hazel menatap bunga yang tumbuh di wadah kayu di atas meja.
“Padahal menurut buku, tanaman ini berbahaya, tapi justru entah kenapa aku merasa tenang dan rileks. Lagi pula, kalau diperhatikan baik-baik, bunga ini agak berbeda. Tak sebesar dan tak sepekat warna seperti di gambar. Benihnya memang lain. Kelihatan jauh lebih lembut dan jinak.”
“Kalau begitu…… orang tua itu benar-benar memberikannya dengan niat baik?”
“Kurasa begitu. Sebenarnya, apa yang terjadi di pulau itu? Tolong ceritakan lagi secara detail.”
Iskandar kembali mengingat-ingat.
“Seperti sudah kukatakan, kami sama sekali tidak memakan apa pun yang mereka tawarkan…… Ya, ingat. Saat itu mereka sedang duduk berjemur bermeditasi, jadi aku menegakkan tiang untuk membuatkan naungan. Aku juga memperbaiki gubuk mereka yang roboh karena badai, bahkan membangun sumur baru karena yang lama sudah kotor.”
“Itu semua kau lakukan? Padahal sedang terdampar?”
“Daripada menganggur sementara kapal diperbaiki, lebih baik kulakukan sesuatu. Lagi pula, pemandangan berantakan itu sungguh membuatku resah.”
“Ya ampun……”
Hazel berdiri, lalu menuju lemari dapur.
Ia sudah bisa menebak.
Untuk menguji dugaannya, ia mengeluarkan sendok kayu dan menaruhnya rapi di depan Lord Valentine. Semuanya sejajar, kecuali satu sendok yang sengaja ia miringkan.
“Tolong perhatikan saja.”
Iskandar menatap sendok-sendok itu.
Tak lama kemudian, tangannya terangkat sendiri. Hazel memperhatikannya. Ia buru-buru menurunkan tangan, tapi sebentar lalu tangannya kembali bergerak. Akhirnya ia tak tahan dan merapikan sendok yang miring itu.
“Sudah kuduga.”
Hazel mengangguk.
Sejak kecil, ia sering bertemu orang seperti ini—ia menyebut mereka “pengendali segala”. Orang-orang yang tak bisa diam kalau ada sesuatu yang tidak sesuai standar mereka. Biasanya jenis ini banyak di kalangan pejabat.
Ternyata, Lord Valentine juga begitu. Hazel menatapnya dengan rasa iba.
“Tuan selalu tak bisa membiarkan sesuatu tak beres, kan? Kalau ada yang salah sedikit, harus diluruskan sesuai cara Anda.”
“Bukankah semua orang begitu?”
“Tidak sama sekali.”
Hazel menunjuk ilustrasi penduduk asli di buku.
“Mereka pasti bingung. Pulau reyot yang tadinya cocok untuk menjebak pengembara, tiba-tiba jadi bersih dan rapi. Memang lebih nyaman, tapi mereka pasti heran: ‘Kenapa orang ini sengaja menyusahkan diri?’ Maka dengan tatapan aneh mereka memberimu benih ini. Misterinya terpecahkan, bukan? Sekarang Tuan juga bisa menebak maksud sang tetua. Pesan mendalam yang ia titipkan lewat benih itu adalah…….”
“……Saat merawat bunga ini, belajarlah untuk melupakan sedikit.”
Iskandar bergumam kosong.
“Belajarlah untuk santai.”
Rasanya seperti kepalanya dipukul keras.
Bahwa Batu Bijak yang ia simpan mati-matian ternyata hanyalah benih saja sudah mengejutkan. Lebih mengejutkan lagi: orang-orang itu bukanlah bijak, dan pesan yang terkandung justru kebalikan dari yang ia duga.
Tak pernah ia sangka kebenaran Batu Bijak ternyata begini.
“Memang benar…… manusia mudah terjebak dalam prasangka. Hanya berandai-andai sesuai pikirannya, lalu salah paham total.”
Iskandar termenung.
Toh, itu bukan hal baru. Bahkan tentang ladang Hazel ini pun, ia sudah menilainya sesuka hati hanya berdasarkan efisiensi. Ia mulai berpikir: mungkin dalam hubungan antar manusia, kebiasaannya yang selalu cepat menilai dan memutuskan justru menjadi masalah.
“Belakangan memang ada yang berkata padaku, sudah waktunya meninjau kembali hidup.”
“Begitu ya.”
Hazel kembali menatapnya dengan iba.
“Kalau sampai orang lain menasihati begitu, berarti Tuan memang terlalu keras bekerja. Itu tidak salah, tapi sesekali berhenti dan beristirahat juga penting, kan? Untuk orang seperti Tuan, aku sarankan punya ladang sendiri.”
“Apa…… sarankan?”
“Ladang. Kalau Tuan menyentuh tanah, melihat benih tumbuh dan berkembang, hati jadi tenang. Uang Anda banyak, kenapa tidak membuka kebun di tanah milik sendiri?”
“Ti-tidak…… Aku tak minat.”
“Ya, aku juga tak terlalu berharap. Aku hanya mengatakannya saja. Kalau ladang bertambah banyak, dunia pun jadi lebih baik. Tapi aku tahu, ksatria kaisar yang sibuk siang malam tentu takkan sempat bertani. Sebenarnya, yang sungguh ingin kuserahkan ini.”
Saatnya tiba.
Hazel cepat-cepat membuka lemari, mengambil botol yang sejak kemarin ia simpan di tempat sejuk. Ia menaruhnya di meja dengan bunyi tak.
“Ini namanya Anggur Ksatria.”
Iskandar menoleh.
Ia tidak begitu suka minuman keras karena bisa membuat pikirannya kabur. Biasanya ia hindari kecuali terpaksa. Namun kali ini, namanya begitu aneh sehingga menarik perhatian.
“Anggur Ksatria?”
Baru pertama ia mendengar istilah itu.
“Memang ada?”
“Itu nama yang kuberi sendiri,” jawab Hazel.
“Cider apel yang kubawa dari rumah sudah habis. Anggur merah kupakai untuk memasak. Tinggal botol ini. Sebenarnya, waktu aku meninggalkan kebun di Belmont sebelas tahun lalu, Paman Carl diam-diam menyelipkannya di buntalan barangku.”
“Bukan hadiah yang tepat untuk anak kecil…… Tapi kalau begitu, ini barang berharga.”
“Benar. Tapi karena Tuan Valentine sudah memberiku kesempatan melihat tanaman langka, aku juga harus membalas. Kupikir seorang ksatria pasti menyukai ini.”
Hazel tanpa ragu membuka tutup botol.
Ia menuangkannya ke cangkir kayu sederhana. Cairan putih keemasan memenuhi wadah, memancarkan aroma luar biasa unik, berbeda dari anggur mana pun.
Iskandar makin penasaran.
“Kenapa kau beri nama Anggur Ksatria?”
“Nanti kalau minum, Tuan akan paham.”
Kalimat itu justru semakin membakar rasa ingin tahunya.
Lagipula, ia sudah haus sejak tadi. Ia beralasan: minuman ini bukan hasil ladang Hazel, jadi tidak melanggar tekadnya.
Akhirnya, ia mengangkat cangkir.
Begitu menyentuh bibir, aroma pekatnya menyeruak seperti tirai tebal.
Satu tegukan—dan ia kaget.
Rasanya amat kaya dan penuh, seolah cahaya keemasan senja tertuang di dalamnya. Bukan sinar terik tengah hari, melainkan pancaran lembut saat matahari tenggelam membakar langit.
“Ini mengingatkanku pada…… senja.”
“Benar sekali!” seru Hazel senang.
“Biasanya anggur dipetik paling lambat bulan Oktober. Tapi ada sebagian yang sengaja dibiarkan sampai akhir musim gugur, tetap bertahan di kebun meski embun beku turun. Buah yang matang paling akhir itu rasanya paling pekat, lebih kaya daripada anggur biasa. Karena itu kusebut Anggur Ksatria. Sama seperti ksatria tua yang tetap teguh menjaga medan perang hingga akhir.”
Iskandar mengangguk paham.
Itu persis gambaran yang ia idamkan: ksatria tua yang tetap berdiri di garis depan hingga napas terakhir. Tak heran anggur ini terasa begitu memikat.
Ia pun menenggak habis semua yang Hazel tuangkan.
Namun setelah dahaga reda, perut kosongnya mulai menuntut. Anggur dingin menyalakan selera.
Saat itu juga, Hazel berkata dengan nada penuh keyakinan.
“Minum anggur itu harus ada camilannya, bukan begitu?”
“……”
“Lord Valentine memang bawahan dari si Pembantai Tunas, tepatnya Penyiksa Anak Ayam, tapi…… meskipun begitu aku tetap bisa menyajikan masakan untukmu. Bibi Martha pernah bilang, alam itu tidak memilih-milih orang untuk diperlakukan. Di ladang ini, siapa pun berhak menikmati makanan enak yang alam berikan. Jadi, sebut saja apa yang kamu mau.”
Sebut apa saja, katanya. Ucapan itu terlalu menggoda.
Sekarang Iscandar sedang ingin sesuatu yang hangat. Sesuatu yang berminyak, digoreng hingga garing, dan ketika disentuh akan berbunyi krispi. Lidahnya, mabuk oleh anggur, bergerak sendiri.
“…Kotellet.”
“Apa?”
Hazel membelalakkan mata.
“Tadi kau bilang kotellet?”
“……”
“Jadi benar-benar ingin makan kotellet? Aku kira kau membencinya karena selalu menatapku dengan tatapan seperti ingin membunuh. Ternyata sebenarnya mau makan, tapi menahan diri saja! Tapi kenapa harus begitu…?”
Ucapannya terputus ketika Hazel sendiri tersadar.
“Oh, aku mengerti. Kau terpaksa menahan diri karena atasanmu tidak suka, kan? Memang benar, orang besar itu jelas sangat membenci tempat ini. Tapi di sini adalah salon. Siapa pun boleh mampir dan menerima jamuan dari pemilik salon. Itu sah secara hukum. Hanya saja, masalahnya adalah……”
Hazel tampak sedikit kebingungan.
“Aku kira Lord Valentine tidak suka kotellet, jadi aku bersusah payah menghabiskan semuanya sendirian selama dua hari. Kalau saja kau bilang lebih cepat! Sekarang tersisa cuma satu potong. Itu pun aku sengaja sisakan karena sudah terlalu eneg untuk menggoreng lagi……”
“Itu pun boleh.”
Iscandar buru-buru menjawab.
Hazel segera menaruh panci kecil di atas api kayu, menuangkan minyak banyak-banyak, lalu menggoreng potongan terakhir kotellet itu.
Ia terburu-buru menyajikannya sampai-sampai potongan itu masih berdesis di atas piring.
Iscandar langsung memotongnya besar-besar dan memasukkannya ke mulut.
Ia sudah membayangkan ribuan kali bagaimana rasanya menyantap daging sapi kotellet ini. Tapi bayangan hanyalah bayangan—tak pernah bisa seindah kenyataan.
Rasanya luar biasa. Kulit roti yang digoreng garing membungkus daging lembut dan juicy. Begitu digigit sekali saja, daging itu seakan langsung larut di lidah. Bumbu garam, lada, dan bawang putih yang meresap selama proses perendaman membuat selera makan melonjak tajam.
Satu potong kotellet itu lenyap dalam sekejap. Rasanya sama sekali tidak cukup. Seperti melemparkan satu kerikil kecil ke lautan luas.
Ketika rasa kecewa mulai merayap, tiba-tiba sebuah piring besar muncul di depannya.
Di atasnya terletak pai raksasa. Adonan tipis yang dipanggang dengan keju berlimpah, ditambah daging asap, lalu dibakar dalam oven kayu.
“Silakan coba ini. Camilan yang sangat cocok untuk anggur.”
Tak perlu dibujuk, tangan Iscandar sudah lebih dulu bergerak.
Kerenyahan kulit pai, keju yang meleleh, dan daging asap berpadu sempurna. Hanya tiga bahan sederhana, tapi rasanya lebih menakjubkan daripada masakan kelas atas mana pun.
Apalagi setelah berminggu-minggu lidahnya disiksa dengan aneka “kotellet” aneh buatan juru masak istana, pai sederhana ini terasa bak anugerah surgawi. Ketika asin mulai terasa, seteguk anggur mengalir turun—dan dunia seolah sempurna.
“Ini juga cobalah.”
Hazel menyodorkan piring lain.
Kali ini sate panggang. Bawang bombai, jamur, tomat, daging sapi—semuanya bahan sisa dari membuat sup. Dibumbui garam, lada, lalu diperciki sedikit minyak zaitun. Sederhana, tapi rasanya sampai membuat mata berair.
Iscandar sedang lahap menikmati sate beraroma asap ketika tiba-tiba terlintas pikiran.
Tunggu dulu, kok familiar?
Tangkai satenya mirip anak panah. Bahkan seperti ada lambang kekaisaran di ujungnya.
Apakah aku mabuk?
Sepertinya begitu.
“Eh? Sudah habis?”
Di hadapannya Hazel mengangkat botol kosong terbalik.
“Tidak apa-apa. Aku juga akan menanam anggur. Aku akan singkirkan semua lahan tetangga, membuat kebun anggur super besar, dan menanamnya di sana.”
Ucapannya sudah mulai agak cadel. Iscandar langsung sadar, mabuknya hilang seketika.
Aku… barusan mendengar apa?
Seperti mendengar pengakuan mabuk yang bisa mengguncang fondasi Kekaisaran. Tapi lebih dari itu, fondasi hidupnya sendiri sedang terguncang.
Ia menatap ngeri tumpukan piring kosong di depan mata. Janji untuk tak menerima jamuan, tekad untuk mengusir pemilik ladang ini, pertimbangan sulit antar tetangga…… semua yang sempat dilupakan kembali menghantam kepalanya.
Apa yang sudah kulakukan?!
Iscandar berdiri mendadak.
“Aku harus pergi.”
“Eh.”
Hazel juga segera siuman. Memang tadi ia agak mabuk anggur, tapi petani tidak sampai tumbang hanya karena itu.
“Tunggu sebentar, Lord Valentine! Mau ke mana?”
“Tak bisa lagi makan lebih banyak.”
“Bukan itu, kau belum bawa bunganya!”
Iscandar terhenti.
Benar juga.
Ia menoleh ke meja. Bunga teratai Rotophagos masih mengeluarkan kabut menenangkan dari dalam wadah air.
Ini bukan tanaman berbahaya.
Kalau dipikir-pikir, meski tak bisa berkomunikasi dengan baik, bunga ini menyimpan kenangan bersama suku asing di negeri kepulauan. Ada juga pelajaran bijak dari seorang “sage” yang pantas direnungkan.
Sebagai kenang-kenangan, bunga itu cukup berharga.
Namun Iscandar menggeleng.
Kalau bunga seaneh ini tiba-tiba muncul di istana, gosip pasti menyebar. Bisa-bisa menarik perhatian wartawan dan jadi berita.
“Bunga dari Batu Bijak Kaisar kini mekar…”
Ia bisa dengan jelas membayangkan Hazel menemukan artikel itu saat sedang membersihkan jendela dengan kertas koran. Membayangkan saja sudah membuat bulu kuduk merinding.
“Bunga ini akan kuhibahkan untuk tetap di sini.”
“Apa? Tidak boleh! Menanam tanaman yang dikategorikan monster itu gawat! Kali ini aku benar-benar bisa diusir!”
“Nona Mayfield cukup bilang kau menemukannya saat menggali tanah. Kasus seperti ini pernah terjadi. Kalau dilaporkan ke Departemen Dalam Istana, tak ada masalah.”
“Benarkah?”
“Aku jamin.”
Iscandar berkata mantap.
Dengan itu, urusan selesai.
Kalau pun ada yang bertanya, ia bisa bilang Batu Bijak itu hilang karena talinya putus. Para sage istana pasti sudah lupa, dan para ahli botani berusaha menghapus memori hari itu. Bahwa sebenarnya Batu Bijak itu adalah benih dan kini menumbuhkan bunga—tak seorang pun akan tahu.
“Tapi sekali lagi, urusan ini……”
“Aku tahu. Rahasia, kan?”
Hazel mengangguk.
“Berkatmu aku dapat bunga langka!”
Wajah Hazel memerah karena senang, mengelus bunga itu penuh kasih. Sementara di sampingnya, Iscandar kembali larut dalam pikirannya.
Ladang ini memang tempat yang aneh.
Awalnya hanya berniat menyelidiki, tapi entah bagaimana jadi begini. Sepertinya sebelum punya rencana matang, lebih baik tidak kembali ke sini.
Namun saat matanya tertumbuk lagi pada tumpukan piring kosong, pikirannya berubah.
Tidak. Sebaiknya tak pernah kembali sama sekali. Menahan diri dari masakan di sini hampir mustahil.
Hazel, tak tahu sama sekali apa yang berkecamuk di benak tamunya, mengangkat wadah bunga itu dengan ceria.
“Terima kasih, Lord Valentine. Aku akan merawatnya baik-baik.”
Ia menoleh untuk mengucapkan syukur.
Tapi Iscandar sudah tiada. Yang tersisa hanya pintu kayu yang bergoyang diterpa angin malam.
Hazel bergumam.
“Benar-benar orang aneh.”
Ia menoleh sambil mengucapkan terima kasih.
Namun orang itu sudah tak ada lagi. Yang tersisa hanyalah pintu kayu yang berderak digoyang angin malam.
Hazel bergumam pelan.
“Orang itu benar-benar aneh.”
Cayenne Lumbard sedang menikmati kue keju sambil kagum.
“Kue ini benar-benar sempurna!”
Kue itu berwarna kuning terang. Adonannya diuleni hingga terasa ringan dan lembut, lalu diberi keju dalam jumlah yang sangat banyak. Menurut Hazel, entah bagaimana semalam sisa bubuk keju di dapur begitu melimpah.
Bagi Golden Cat yang memang pencinta keju, ini sungguh keberuntungan. Cayenne pun bahagia luar biasa sambil menyantap kue. Baru kemudian ia teringat sesuatu.
“Oh iya, tadi Anda sempat bertanya, kan?”
Ia berkata agak canggung.
“Jawabannya, sebenarnya memang bisa.”
Hazel terkejut.
“Benarkah?”
“Ya. Itu semacam gangguan fungsi otak. Tepatnya bagian pusat bahasa yang terpengaruh. Kalau begitu, kendali bisa hilang. Misalnya pada penderita demensia, fungsi bahasa bisa terganggu, sehingga kata-kata kasar yang biasanya tidak pernah diucapkan bisa meluncur tanpa henti. Jadi, penyakit yang membuat seseorang tidak bisa menggunakan bahasa sopan sangat mungkin ada. Tidak ada alasan pula mengapa itu tak bisa menjadi penyakit turunan.”
“Begitu ya…… Jadi aku salah paham.”
“Tapi ini sebenarnya tentang siapa?”
“Ah, bukan apa-apa.”
Hazel buru-buru menaruh lebih banyak kue ke atas piring.
Ternyata penyakit turunan yang membuat seseorang tak bisa berbicara sopan benar-benar mungkin ada. Hazel tadinya mengira Lord Valentine hanya berbohong.
Ia jadi merasa agak bersalah.
Nanti kalau bertemu lagi, aku tidak boleh terlalu membentak.
Hazel bertekad begitu.
Namun, kapan ya kira-kira pengawasan rahasia berikutnya akan dilakukan?
Saat ia sedang penasaran, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.
Seperti kata pepatah: kalau sedang memikirkan pejabat, pejabat pun datang.
Tamu itu adalah Sesil, pejabat istana.
Mereka memang sempat bertemu sekali di hari pertama Hazel datang ke sini. Setelah itu Hazel tahu, ternyata Sesil tidak semenakutkan bayangannya. Meski begitu, tetap saja Hazel tegang ketika seorang pejabat muncul.
“Tuan Sesil, Anda sudah melihat laporan yang saya serahkan pagi tadi, kan?”
“Oh, itu tidak perlu.”
“Tidak perlu? Bagaimana maksudnya?”
“Awalnya saya pikir ini akan merepotkan karena katanya tanaman langka…… Tapi ternyata, sudah terdaftar sebagai tanaman yang diizinkan untuk dibudidayakan di Bratania. Namanya ‘Teratai Lotophagus – varietas jinak’.”
“Benarkah?”
Hazel kaget.
Betapa kebetulan yang luar biasa. Teratai Lotophagus – varietas jinak ternyata sudah lebih dulu terdaftar.
Seandainya Hazel berpikir lebih jauh, mungkin ia akan curiga mengapa segala sesuatunya bisa berjalan begitu mudah. Tapi ia tak sampai ke sana. Hazel jelas tak bisa membayangkan bahwa Yang Mulia Kaisar sudah mengatur segalanya jauh sebelumnya.
“Kalau begitu bagus sekali! Jadi aku tinggal menanamnya, kan?”
“Tentu saja.”
Sesil menyerahkan surat izin budidaya lalu pergi.
Hazel pun lega. Ia membuka kain penutup di sudut ruangan.
Ia berniat mengeluarkan tong air ke luar, tapi tong itu sama sekali tak bergeming. Awalnya Hazel pikir tongnya terlalu kecil, jadi ia ganti dengan tong besar dan mengisinya penuh dengan air. Rupanya itu terlalu berlebihan.
“Biar saya saja!”
Cayenne segera maju.
Namun……
Golden Cat ini ternyata juga bukan tipe yang kuat. Tong besar itu tetap tak bergerak.
“Hmm, terpaksa aku harus pakai kekuatan suci…….”
Cayenne baru saja hendak mencabut pedangnya, ketika tiba-tiba Siegvalt masuk tanpa suara. Ia langsung mengangkat tong itu dengan mudah dan membawanya keluar.
“Terima kasih banyak!”
Hazel menyapanya dengan penuh syukur.
“Kebetulan aku memang berniat mengirimkan kue untuk Nona Annasophia dan Nona Isabella. Mau bawa sebagian?”
“Mereka pasti akan senang sekali.”
Siegvalt menjawab dengan tulus, lalu melirik sekilas ke arah tong yang baru saja ia pindahkan.
Cayenne yang sedari tadi penasaran langsung bertanya.
“Itu apa sebenarnya? Teratai Lotophagus? Rasanya aku pernah dengar…….”
“Ya, katanya begitu. Aslinya bunga ini bisa menghapus ingatan, cukup berbahaya. Tapi yang ini varietas jinak, jadi aman. Malah bisa membantu merilekskan pikiran. Makanya aku ingin menanamnya dan memperbanyak bibitnya.”
“Kalau begitu…….”
Siegvalt pun masuk ke gudang. Hazel penasaran apa yang akan ia lakukan. Tak lama, ia keluar membawa kayu dan langsung mulai membuat tong yang jauh lebih besar.
Itu ide yang bagus. Hazel dan Cayenne pun ikut membantu.
Dari suatu tempat, seekor kupu-kupu kuning terbang melintas.
Ketika Hazel menoleh, di balik pagar sudah berdiri seekor rusa putih…… tidak, tepatnya seorang wanita paruh baya bergaun ungu-violet yang elegan, sama seperti kemarin. Kali ini ia tidak sendiri. Ada beberapa orang lain yang mirip dengannya.
Mereka datang berkelompok!
Kalau tamu yang pernah berkunjung datang lagi, bahkan membawa rombongan, artinya kebun ini memang dianggap baik.
Hazel senang bukan main.
Para wanita itu mencium harum lavender dengan wajah penuh penilaian, sembari menonton Siegvalt, Cayenne, dan Hazel yang sibuk membuat tong raksasa.
Dan memang, itu pemandangan yang menarik.
Pelan-pelan, orang-orang yang sedang berjalan-jalan di Taman Agung istana ikut berkumpul.
Mereka berdiri di luar pagar, penasaran melihat apa yang sedang dilakukan Komandan Ksatria Suci Petir dan Komandan Ksatria Suci Angin bersama pemilik salon aneh itu, serta bunga asing yang ada dalam tong besar itu.
Di antara kerumunan itu, ada satu orang.
Count Diavelli.
Wajahnya masam sekali. Ia pulang dengan perasaan sangat kesal, lalu pertama-tama mencari putrinya.
Ketika melihat sang putri sedang belajar seni merangkai bunga bersama guru privat di ruang lukis, amarahnya langsung meledak.
“Itu saja yang bisa kau lakukan?!”
“Eh?”
“Pergi sana, lihat sendiri! Salon di istana! Kebun itu! Kalau mau pakai otak, gunakanlah untuk hal seperti itu! Kau ini sudah melakukan apa saja selama ini?!”
Sang ibu juga segera ikut bergabung.
“Kami menaruh begitu banyak harapan padamu!”
Christina Diavelli — yang biasa dipanggil “Kitty” — benar-benar kena semprot habis-habisan.
Soal salon kebun itu, tentu saja ia tahu. Tapi ia sama sekali tak memberi perhatian. Menurutnya, terlalu berisiko sampai bisa membuat Kaisar murka. Suasana di kalangan bangsawan istana pun jelas begitu. Semua orang membicarakannya setengah berbisik. Entah sejak kapan arus berubah…… Kitty sama sekali tak menyadarinya.
Mata birunya yang jernih kini berkilat dengan cahaya penuh racun.
Kitty Diavelli adalah “ular kecil” istana.
Keluarga Diavelli kaya raya, tapi tidak punya kedudukan sosial. Begitu putri cantik lahir, mereka mati-matian ingin menikahkannya ke keluarga terpandang. Maka sejak kecil Kitty terus dipaksa dan ditekan.
“Kenapa kau tak bisa belajar berjalan dengan lebih anggun!”
“Kenapa ocehanmu tidak terdengar lebih berbudaya!”
Di keluarga seperti itu, bahkan seorang bayi malaikat pun akan segera berubah menjadi iblis cemburu, Leviathan.
Kebun! Salon kebun, katanya!
Kitty menggigil penuh amarah.
Ia segera mengumpulkan lingkaran pertemanan terdekatnya dan bergegas masuk ke istana. Mereka langsung menuju salon kebun itu.
Begitulah, tanpa ia sadari…… Kitty menjadi tamu gadis pertama di sana.
Hazel, yang sedang menjemur cucian, terkejut melihat sekelompok gadis sebayanya melompati pagar masuk ke kebun.
Seorang gadis cantik berambut hitam, yang berdiri paling depan, lebih dulu memegang rok lalu membungkuk anggun memberi salam. Setelah itu, ia langsung melontarkan semacam pernyataan perang.
“Taman ini benar-benar indah.”
Untuk pertama kalinya, tamu perempuan sebaya Hazel datang. Dan mereka bahkan memuji kebun ini. Hazel jadi sangat gembira.
“Terima kasih!”
Namun para gadis itu saling pandang dengan wajah aneh. Rupanya sindiran halus mereka sama sekali tak mempan. Seseorang pun mencoba memperjelas.
“Menurutmu tempat ini benar-benar taman?”
“Bukan! Ini kebun!”
Para gadis itu merasa dadanya sesak, seperti tersumbat. Maka mereka memutuskan untuk lebih blak-blakan.
“Ya ampun! Bau apa ini?”
“Itu pupuk kompos.”
“Aku tidak sedang bertanya!”
“Ah, maaf. Aku tak mengenali seorang ahli rupanya.”
Hazel pun membuka lebar pintu lumbung, memamerkan tumpukan komposnya.
Para gadis langsung menjerit pelan dan mundur. Beberapa menutup mulut dengan sapu tangan beraroma parfum, menahan mual.
Sungguh lawan yang lihai.
Kitty segera menarik kesimpulan.
Tangannya yang berbalut sarung tangan sutra bergetar. Sudah berapa lama ia tidak bertemu lawan sekuat ini? Kini saatnya “ahli pengendali situasi” Kitty Diavelli turun tangan.
Ia melangkah berani di atas tumpukan tanah, lalu berkata,
“‘L’Ouverture’ tentu sudah kau lakukan, bukan?”
Hazel sedikit memiringkan kepala. Kata itu asing. Tapi entah kenapa, terdengar lezat. Apakah itu nama keju yang sedang populer di ibu kota?
“Belum.”
“Kalau begitu, sebentar lagi pasti akan, kan?”
Pasti memang nama keju! Hazel membatin. Dan karena ia memang berencana mencoba semua jenis keju……
“Iya.”
Hazel menjawab mantap.
Kena. Kitty tersenyum tipis.
“Dengar, semuanya! Nona Mayfield sebentar lagi akan membuka L’Ouverture!”
Ia menyatakannya keras-keras, sampai terdengar jelas oleh para penonton di luar pagar.
……Membuka?
Hazel baru menyadari ada yang janggal. Keju tidak “dibuka”, tapi “dipotong” atau “dimakan”. Jadi ini jelas bukan soal keju.
“Itu apa sebenarnya?”
Kitty menatapnya seolah berkata masa begitu pun tidak tahu?
“Itu pesta teh. Pembukaan salon dengan tea party.”
Pesta teh?
Mata Hazel langsung membesar bulat.
