Salon adalah ruang tamu kaum bangsawan wanita yang dijadikan ajang pergaulan.
Banyak perempuan kelas atas di Bratania memiliki salonnya masing-masing.
Ada salon tempat para sastrawan berkumpul untuk membacakan puisi dan novel, menyalakan api semangat berkarya. Ada juga salon yang dihadiri para musisi, memperdengarkan lagu baru dan saling bertukar pendapat. Ada salon yang hanya membicarakan anjing pemburu, ada pula yang menjadi pusat tren rajutan di seluruh kekaisaran.
Seperti itulah, salon memiliki wajah berbeda sesuai dengan kepribadian pemiliknya. Dan agar sebuah salon bisa berjalan baik di kalangan sosial, ada satu hal yang sangat penting.
Itulah yang disebut ‘Ouverture’, pesta teh pembuka.
Melalui pesta inisiasi ini, sebuah salon baru bisa memperkenalkan diri secara luas ke kalangan sosial. Jika cukup menarik perhatian, koran pun bisa menulis beritanya.
Di dunia pergaulan, kabar dari mulut ke mulut sangatlah penting. Nama harus terus diperbincangkan agar posisinya kokoh.
“... Jadi, pesta teh ini sangat penting.”
Sampai di situ, Louis berhenti sejenak. Sebenarnya ia tidak terlalu ingin membicarakan hal itu. Namun jika Hazel belum mengetahuinya, membiarkannya tetap tidak tahu jelas bukan pilihan.
“Lalu, tentang para gadis itu...”
Hazel yang tadinya melamun baru sadar akan kegelisahan Louis. Ia menghela napas ringan, berterima kasih atas perhatiannya.
“Aku tahu. Aku juga pernah bergaul di masyarakat.”
Meski begitu, kesadarannya memang datang agak terlambat. Ia terlalu bersemangat menerima kunjungan gadis-gadis seusianya tadi.
Saat mendengar soal pesta teh, ia sempat bingung. Baru kemudian ia menyadari bahasa yang terselip di balik ekspresi para gadis itu.
Itu adalah territorial instinct.
Seperti burung yang segera mengepung pendatang baru di ladang, mematuk dan mengepakkan sayap untuk mengusirnya.
Yang ditunggu akhirnya datang.
Memikirkan itu, Hazel merasa tegang.
“Kalau pesta tehnya tidak ada yang datang bagaimana?”
“Itu tak perlu dicemaskan.”
Louis mengedipkan sebelah mata.
“Memang benar, akhir-akhir ini orang-orang agak menahan diri karena Kaisar... karena Yang Mulia. Tapi tetap ada orang-orang yang tidak perlu sungkan.”
“Siapa mereka?”
“Wanita kelas atas yang punya jabatan dengan embel-embel ‘Kwan’ (관) di Istana. Mereka punya karier yang tak mudah digantikan, jadi selama tidak melanggar hukum, posisi mereka tidak akan goyah. Kalau ada sesuatu yang segar dan baru, mereka akan datang tanpa ragu.”
Ah, para rusa putih itu.
Hazel mengangguk paham.
“Kalau begitu, mereka akan datang ke pesta teh ini?”
“Tentu saja. Mereka bahkan sudah memberi sinyal. Mereka itu anggun sekaligus pilih-pilih. Selera mereka sangat tinggi. Beberapa waktu lalu ada restoran mewah yang baru buka di Jalan ke-3, mereka datang mencicipi... dan hanya dengan tatapan saja, tanpa sepatah kata pun, restoran itu langsung gulung tikar!”
“Apa? Itu menyeramkan...”
“Tapi Hazel pasti bisa. Cukup sekali suap, semua orang akan jatuh hati. Aku jamin.”
Louis berkata penuh keyakinan. Menatap mata ungu itu yang sarat kepastian, Hazel pun meneguhkan hati.
“Benar. Ini adalah ladang impian yang ku dambakan selama 11 tahun. Satu-satunya tanah keluarga kami. Aku akan melakukannya dengan sebaik mungkin, tanpa rasa malu.”
Dalam hati, Louis tersenyum puas.
Menyemangati Hazel memang baik, tapi ada satu hal yang lebih penting...
Baru saja ia memanggil Hazel dengan namanya, dan tidak ketahuan.
Mulai sekarang, ia akan menambah jumlah panggilan itu sehari sekali.
Begitulah rencana yang ia susun.
Saat itu, terdengar ketukan halus di pintu yang sedikit terbuka.
“Apakah Nona Mayfield ada di dalam?”
Itu suara Lorendel. Seketika wajah Louis berubah.
“Gawat.”
“Kenapa?”
“Teman elf kita akhirnya memutuskan mengubah jalur jalan-jalannya. Mulai hari ini dia memilih melewati depan ladang ini.”
Mungkin mendengar suaranya, Lorendel pun masuk. Mengabaikan Louis, ia langsung bicara pada Hazel.
“Aku kebetulan lewat. Barangkali ada yang bisa kubantu?”
“Ini benar-benar gawat. Hazel sekarang akan menerima balasan panjang seumur hidup dari seorang high elf. Selama ratusan tahun ke depan, Lorendel akan mampir ke sini setiap hari. Bahkan nanti, ketika ladang ini diwariskan pada keturunanmu, dia akan tetap menanyakan hal yang sama.”
“Louis—”
“Ada yang bisa Anda bantu.”
Hazel menyela tiba-tiba.
“Aku baru saja menentukan tema pesta teh. Tolong beri pendapat.”
“Apa temanya?”
Keduanya bertanya bersamaan. Hazel menjawab,
“Butter. Menggunakan butter emas buatan ladang ini, aku akan membuat berbagai hidangan kecil yang bisa menonjolkan kelezatannya. Pie, kue kering, mini cake, croissant...”
“Itu ide yang brilian!”
Louis langsung berseru.
Cukup mengganti butter saja bisa mengubah rasa secara drastis. Apalagi butter emas buatan ladang ini—pasti pekat dan harum gurih.
“Menurutku juga bagus.”
Lorendel mengangguk serius.
“Tema itu menunjukkan ciri khas ladang sekaligus tetap mudah diterima oleh semua kalangan.”
“Kalau begitu, syukurlah. Hanya saja, masalahnya... di ladang ini belum ada sapi perah. Kalau harus membeli susu di ibu kota, pasti harganya sangat mahal...”
“Ah!”
Louis tiba-tiba berseru.
“Itu yang sebenarnya ingin kusampaikan!”
“Apa maksudmu?”
“Wakil dari Departemen Dalam Istana bilang padaku. Karena ini adalah Salon Istana, ada subsidi untuk pesta pembuka.”
Mata Hazel terbelalak.
“Benarkah?”
“Tentu saja. Jika Yang Mulia Putri Adipati menyetujui, dana itu langsung cair.”
“Putri Adipati... siapa maksudmu?”
“Putri Adipati Athena, sepupu Kaisar.”
Lorendel yang menjelaskan.
“Selain Permaisuri Dowager, beliaulah wanita dengan kedudukan tertinggi di Istana. Saat ini beliau mewakili Permaisuri Dowager.”
“Begitu rupanya...”
Hazel mengangguk penuh kekaguman.
Subsidi. Ia tak pernah membayangkan hal itu. Rasanya seperti mendapat seribu pasukan tambahan.
***
Di depan gerbang megah yang sempurna simetris, dipahat dari kayu berkilau gading gajah dan dihiasi emas halus, Athena Arpège seperti biasa menarik napas dalam-dalam.
“Yang Mulia Adiputri telah tiba!”
Para pelayan membuka pintu lebar-lebar.
Kaisar negeri ini, sepupunya sekaligus kakak yang ia kagumi, sedang duduk bekerja dengan lambang agung kuda bersayap Pegasus—simbol Kekaisaran—sebagai latar belakang.
Athena menghela napas kecil.
Sering kali, saat menunggu kabar darinya, rasa rindu itu berubah jadi getir. Namun begitu wajahnya tampak di depan mata, semua kebencian itu pun mencair seperti salju yang terkena sinar matahari.
Sejak pertama kali tersesat di hutan istana lama dan bertemu dengan seorang ksatria muda berambut emas—tanpa tahu siapa dirinya—hatinya hanya tertuju pada satu orang: dia.
Athena melangkah perlahan di atas permadani.
Di ruangan yang dipenuhi gading dan emas, ia tampak tak ubahnya seperti salah satu patung elegan yang menghiasi tempat itu.
Wajahnya, yang disebut-sebut sebagai yang tercantik di seluruh istana, bahkan mungkin di seluruh kekaisaran, dihiasi semburat merah muda samar. Hari ini, Athena mengenakan gaun satin anggun berwarna lembut, yang menonjolkan keelokan mata biru langitnya.
“Pagi ini saya sudah bertemu perwakilan korban kebakaran Basel. Atas nama Sri Ratu Ibu Suri, saya menyampaikan penghiburan.”
“Hmm.”
Iskandar mengangkat kepala.
“Kerja bagus.”
Sekilas ia menatapnya, lalu kembali menunduk pada meja kerjanya.
Sungguh sikap yang dingin. Namun bagi seorang gadis berusia dua puluh tahun yang terbuai dalam cinta buta, bahkan sikap dingin itu pun terasa manis.
“Ini laporan resminya.”
Athena menyerahkan berkas. Tanpa sadar, ia membayangkan pesta dansa yang sebentar lagi akan tiba—dan momen ketika ujung jari mereka yang bersarung tangan akan bersentuhan.
Tiba-tiba Iskandar mengangkat kepala dan menatapnya. Athena kaget; ia mengira tatapan hari ini sudah selesai. Tanpa sempat menyembunyikan, pipinya langsung memerah.
“Ini apa? Surat persetujuan anggaran untuk Taman Salon Istana?”
“Eh? Ah……”
Athena tersentak. Ia baru sadar telah salah menyerahkan dokumen, dan wajahnya seketika memanas karena gugup.
“Itu…… salon istana yang sedang ramai dibicarakan itu berencana mengadakan pesta teh pembukaan pada hari Sabtu, tanggal 1 Juni. Kegiatan itu sendiri tidak menyalahi hukum, jadi saya harus menyetujui anggarannya atas nama Sri Ratu Ibu Suri……”
Ia tahu kata-kata itu pasti terdengar tidak menyenangkan di telinga Iskandar. Seandainya bisa, ia ingin menggigit lidahnya sendiri. Namun berkat didikan keras sebagai keluarga kekaisaran, ia mampu menyelesaikan kalimatnya tanpa gemetar.
“Jangan marah, Yang Mulia. Gadis itu sendiri pasti tahu betapa Anda tidak menyukainya. Mana mungkin ia berani mengadakan pesta teh yang berani seperti itu? Pasti ada wanita lain yang memaksanya. Mereka mencari celah—menemukan fakta bahwa pesta belum digelar, lalu menjadikannya senjata. Itu hal sepele. Hanya gesekan kecil yang biasa terjadi di kalangan sosial.”
Athena tanpa sadar mencoba membela, sembari memperhatikan wajahnya.
Namun di luar dugaan, Iskandar tetap tenang.
“Aku mengerti.”
“Ya.”
“Jangan terlalu memaksakan diri. Sesekali, istirahatlah.”
“……Baik.”
Athena, dengan wajah bingung, mundur perlahan. Saat hendak keluar dari ruang kerja, ia menoleh sekali lagi. Mengejutkan, Sang Kaisar tampak sedang termenung.
“Apa yang beliau pikirkan?”
Athena bertanya dalam hati, lalu meninggalkan ruangan.
Namun kenyataannya, Iskandar tidak sedang merenungkan hal yang mendalam.
Pesta teh? Itu hanya akan menambah kekuatan pihak itu.
Ia mendesah dalam hati.
Ia sudah tahu para wanita pejabat istana yang kerap memimpin tren di kalangan bangsawan memang tertarik pada perkebunan itu. Begitu hari Minggu tiba, gosip pasti akan menyebar ke seluruh penjuru: makanan apa yang enak, apa yang unik……
Sudahlah. Jangan dipikirkan.
Iskandar menggelengkan kepala.
Ia sedang terlalu sibuk. Ada sengketa tanah Las Salinas antara Adipati Acevedo dan Adipati Montealegre.
Secara hukum, persoalan itu berada di wilayah abu-abu, sehingga mereka menyerahkan keputusan akhir kepada Kaisar. Iskandar harus segera menyiapkan solusi. Dua lelaki tua yang sudah pantas jadi buyut, kini hampir saja menantang duel! Padahal, sepanjang hidup mereka, yang paling tajam mereka pegang hanyalah pisau pemotong kertas.
Iskandar membuka lembaran hukum sejak awal berdirinya kekaisaran, mencari celah atau preseden yang bisa dijadikan pijakan. Kadang-kadang ada bahasa kuno yang sulit dimengerti, namun ia teliti sampai habis……
Tapi ada sesuatu yang mengganggunya.
Sebuah detail kecil dari perkataan Athena tadi.
Ia berusaha menangkap benang tipis itu, namun akhirnya menyerah.
Jangan dipikirkan.
Ia kembali tenggelam dalam kitab hukum.
Sore berganti malam tanpa hasil apa pun.
“Kalau coba memanah sebentar…… mungkin ide bagus akan muncul.”
Iskandar keluar dari istana.
Saat itu juga—
“Yang Mulia!”
Dari balik pagar mawar, Adipati Acevedo meloncat keluar.
“Yang Mulia!”
Dari arah topiary, Adipati Montealegre juga muncul.
Sial!
Iskandar buru-buru masuk ke taman labirin.
Taman itu memang rumit, sangat cocok untuk menghindari pengejaran. Seolah memang dibangun untuk tujuan itu. Ia bersembunyi di balik pagar hijau rapi dan menahan napas.
Sudah pergi?
Tidak terdengar lagi teriakan orang tua yang mencarinya. Yang terdengar hanyalah bisikan beberapa nona istana dari balik pagar.
Ia tak berniat menguping, tapi kata “pesta teh” menyusup ke telinganya.
Sudah kuduga. Mereka sudah membicarakannya.
Iskandar mengangkat bahu.
Abaikan saja.
Ia berbalik hendak pergi, tapi tiba-tiba—
Nada gelisah dalam percakapan itu menahan langkahnya.
“……Sampai sekarang semuanya berjalan baik, tapi kali ini kita benar-benar salah perhitungan. Kau tahu kenapa Sir Louis dan para komandan ksatria lain sering ke perkebunan itu? Makanannya! Masakan perkebunan itu!”
“Benar. Mungkin memang ada yang dilebih-lebihkan, tapi kalau kabar itu nyata, kita hancur. Bukannya menjebak, malah menyediakan panggung untuk bersinar. Pesta tehnya pasti mengagumkan. Kita justru terjebak oleh rencana kita sendiri. Seharusnya kita selidiki lebih jauh!”
Seseorang terkekeh pelan. Gadis yang bicara tadi tampak kesal.
“Ini semua gara-gara kau! Bisa-bisanya kau tertawa sekarang?”
“Kenapa tidak?”
Suaranya merdu, nyaris seperti bernyanyi.
“Pestanya akan sukses besar. Semua orang akan memuji setinggi langit. Pengikutnya akan bertambah banyak.”
“Apaan itu! Kau bercanda?”
“Asal saja pestanya benar-benar bisa digelar. Jangan khawatir. Pesta teh ‘mengagumkan’ itu…… tidak akan pernah berlangsung.”
Langkah Iskandar terhenti.
Akhirnya ia paham.
Kenapa perkataan Athena tadi terasa janggal.
Kalau mereka bisa mempersoalkan fakta bahwa pesta belum digelar, berarti mereka sudah memiliki informasi cukup banyak tentang perkebunan itu. Dan kalau begitu, mustahil mereka tidak tahu bahwa makanan di sana sedang jadi buah bibir.
Namun mereka tetap memaksa pesta itu digelar?
Tentu saja. Sejak awal, tujuannya adalah menjatuhkan.
Bukan panggung untuk bersinar, melainkan untuk dipermalukan di depan penonton paling kritis.
Baru sekarang ia melihat jelas siasat itu.
Tapi bagaimana caranya?
Iskandar menajamkan pendengaran, namun percakapan sudah berhenti. Mereka tampaknya berpindah ke tempat lain untuk berbicara lebih rahasia. Ia mencari, tapi tak menemukan siapa pun.
Siapa? Suara itu milik siapa?
Dengan wajah tegang, Iskandar meninggalkan taman. Kebetulan seorang pejabat istana tua lewat, dan ia segera bertanya:
“Siapa yang memaksa pesta teh itu digelar di Salon Istana?”
“Yang Mulia!”
Pejabat itu kaget lalu membungkuk.
“Memang benar, pesta itu pastilah sangat mengganggu hati Yang Mulia. Namun hamba mohon, jangan sampai Anda berusaha mengungkap siapa penggeraknya! Itu tidak pantas bagi martabat seorang Kaisar!”
Ia berkata dengan suara gemetar.
Iskandar terdiam.
“Salah paham.”
“Mohon hentikan, Yang Mulia!”
Beberapa bangsawan menoleh dan mulai berbisik.
Terpaksa ia berbalik.
Benar. Dari luar, seolah ia hendak melacak seorang gadis muda hanya karena pesta teh yang membuatnya kesal. Itu tampak picik.
Kalau begitu, sekalipun ia Kaisar, ia tidak bisa memaksa nama seseorang keluar dengan cara yang begitu rendah.
Tapi…… lalu bagaimana?
Iskandar merasa serba salah.
Perkebunan itu memang tidak boleh dibiarkan berkembang terlalu besar. Namun ketidakadilan pun tak bisa dibiarkan.
Ia pernah menghadapi hal serupa di ketentaraan.
Saat ia mulai menerapkan sistem promosi berbasis kemampuan, banyak yang tidak terima. Mereka mengeluh, “Kenapa orang seperti itu yang dapat jabatan?”
Kalau saat itu ia menggunakan kekuasaan untuk menekan, masalah mungkin selesai sebentar. Tapi di luar jangkauan mata Kaisar, masalah yang sama akan muncul lagi.
Karena itu, biarlah mereka sendiri yang membuktikan diri.
Dan benar saja, orang-orang yang ia percaya tidak mengecewakannya. Mereka menunjukkan dengan jelas siapa yang pantas, sampai tak ada lagi yang berani bersuara.
Itulah cara yang benar. Yang tak mampu membuktikan diri pada akhirnya akan runtuh juga.
Baiklah. Lupakan saja.
Iskandar mengambil keputusan. Namun hatinya tetap terasa gelisah.
Karena terngiang suara seorang gadis tadi—suara yang licin seperti ular berbisa, penuh niat jahat.
Akhirnya ia kembali berpikir:
“Cara untuk menghancurkan pesta teh…… apa yang mereka rencanakan?”
Ia bergumam lirih.
Seorang pejabat wanita, Irina, yang sedang lewat sambil membawa map tebal, mendengarnya.
“Menghancurkan pesta teh?”
Ia terkejut, lalu menggeleng pelan.
“Aku bisa mengerti perasaan itu, tapi……”
Ia memilih berpaling. Bagaimanapun juga, ia punya tugas penting.
Dan tujuan tugas itu tidak jauh dari sana—sebuah perkebunan kecil yang bersinar diterangi lampu minyak.
***
“Ini adalah dana bantuan untuk Teaparty.”
“Benar-benar keluar hari ini juga!”
Hazel membuka kantung yang diberikan oleh pejabat istana, dan terbelalak. Di dalamnya ada cukup banyak koin emas.
“Satu, dua, tiga, empat… apa? Mereka benar-benar memberi 10 Gold? Eh, tunggu. Apa ini pajak, ya?”
“Bukan, ini dana resmi dari kekaisaran.”
Mendengar itu, Hazel bisa bernapas lega dan membiarkan dirinya bergembira.
Sepuluh Gold itu hampir setara dengan gaji sebulan penuh seorang pegawai bank tingkat bawah. Bayangkan, bisa menggunakan seluruh gaji sebulan hanya untuk pesta! Kalau Hazel yang dulu, saat masih bekerja di bank, mendengar hal ini, ia pasti tidak akan pernah percaya.
Ia merasa harus segera menyiapkan sebuah keranjang besar sebagai tanda terima kasih untuk Menteri Urusan Istana.
Sementara Hazel masih larut dalam kegembiraannya, Ilina—seorang pejabat istana—meneliti dapur mungil khas pedesaan itu dengan mata penuh perhatian. Perempuan berambut cokelat tua dengan mata hijau itu juga diam-diam mengamati sang pemilik rumah.
Hazel baru belakangan sadar akan tatapan itu.
Di leher pejabat perempuan ini, berbeda dengan Cecile sang pejabat istana tingkat bawah, terikat pita berwarna biru. Itu artinya, ia berpangkat lebih tinggi. Hazel segera teringat ucapan Louis—bahwa di kalangan wanita bangsawan, ada mereka yang dijuluki sebagai “trendsetter” alias penentu arah mode dan kebiasaan sosial.
Tak bisa menahan rasa penasarannya, Hazel pun bertanya:
“Apakah Anda juga akan datang ke Teaparty nanti?”
“Entahlah…”
Wanita itu menjawab dengan nada samar, lalu dengan gerakan elegan tanpa cela, ia meraih topinya, memberi salam singkat, dan pergi.
Hazel kembali menegang.
Benar-benar sulit ditebak, pikirnya.
Tapi bagaimanapun, karena dana bantuan sudah cair, sekarang persiapan bisa benar-benar dimulai.
Jumlah tamu yang ditentukan adalah 30 orang. Hazel sebenarnya ingin mengundang tanpa batasan, tapi secara umum, l’ouverture atau pesta pembukaan salon memang diadakan dengan skala seperti itu.
Kalau dipikir jernih, menyiapkan jamuan untuk 30 orang sambil tetap mengurus ladang dalam hitungan hari sebenarnya pekerjaan yang sangat berat.
Untungnya ada relawan. Meskipun mereka sendiri sibuk dengan urusan seremoni menjelang pesta dansa besar, mereka tetap berjanji akan menyisihkan waktu sedikit-sedikit untuk membantu.
“Aku akan mendesain kartunya.”
Orang pertama yang menawarkan diri adalah Lorendel.
Dalam Teaparty pembukaan, setiap tamu memang diberikan kartu kecil berisi nama salon dan daftar hidangan.
Lorendel merancang kartu dengan tema pohon maronier yang sangat indah. Namun Cayenne langsung menolak begitu melihatnya.
“Ini apaan! Mana sempat menggambar bayangan di setiap daun satu-satu! Nona Mayfield ini tidak punya umur sepanjang hidupmu, Lorendel!”
Akhirnya diputuskan untuk membuat kartu yang sederhana saja. Sebagai gantinya, Lorendel melipat ketiga puluh kartu itu dengan cara tradisional elf, sehingga tetap terlihat istimewa.
Setelah itu giliran urusan bahan. Louis segera ikut serta.
“Mau pergi ke pasar?”
“Pertama ke peternakan dulu. Untuk membuat butter emas dari ladang ini, kita butuh susu segar yang baru diperah pagi ini. Ada peternakan dekat sini, tidak?”
“Di Loiret! Susu dari sana terkenal enak. Hazel pasti suka.”
Mereka pun naik kereta menuju peternakan Loiret. Susu di sana memang berkualitas tinggi—tapi harganya juga luar biasa mahal. Kalau bukan karena dana bantuan, Hazel takkan berani membelinya.
Ia bertekad, cepat atau lambat, harus membeli sapi perah sendiri.
Dengan pikiran yang sebaiknya tidak sampai terdengar orang lain itu, Hazel membawa pulang gerobak penuh botol susu.
Musimnya kebetulan tepat. Susu sapi yang sepanjang musim semi makan rumput segar adalah bahan terbaik untuk membuat butter. Tentu saja, kalau hanya membeli krim jadi, pekerjaan bisa lebih mudah. Tapi untuk pesta sepenting ini, Hazel ingin melakukannya dengan cara tradisional.
Selama dua hari penuh, Hazel memisahkan krim dari susu dengan metode ladang kuno.
Saat menyendok krim, tidak boleh ada setetes susu pun yang ikut. Itulah kuncinya agar butter berwarna keemasan dan kaya rasa. Hazel sudah melakukannya begitu lama sampai bisa dengan mata tertutup sekalipun.
Krim yang sudah terkumpul dimasukkan ke dalam pengaduk kayu besar yang baru saja ia beli dari pasar.
Hazel terus mengocoknya sampai krim itu menggumpal. Setelah itu, gumpalan disaring untuk membuang cairannya. Cairan itu tidak dibuang, melainkan dikumpulkan—itulah buttermilk, bahan sempurna untuk membuat biskuit.
Setelah cairan keluar semua, gumpalan butter dicuci dengan air bersih, dipotong kecil-kecil, lalu dipadatkan dengan spatula. Terakhir, dibungkus satu per satu dengan kertas.
Butter emas dari ladang Hazel akhirnya jadi.
Sekarang waktunya memanggang.
Karena dapur Hazel terlalu kecil untuk menampung 30 porsi dessert, Siegbalt membangunkan ruang penyimpanan darurat. Ia bersama dua bawahannya dengan cepat mendirikan tiang dan menutupnya dengan tenda sederhana.
Sementara itu, Hazel menguji resep dengan membuat satu jenis tiap hidangan.
Butter cake yang lembut, biskuit pedesaan tradisional, pastry berisi selai stroberi, aprikot, dan blueberry, butter sandwich penuh krim, lalu untuk menyeimbangkan rasa ada pula cake teh hitam dan jeli buah segar.
Begitu hidangan uji coba selesai, Cayenne membawa seorang bawahannya—seorang kesatria muda dari ras Golden Cat, sama seperti dirinya.
“Ini Penelope Killingsworth.”
“Dia putri seorang pâtissier terkenal. Di Nine Hills, siapa pun tahu nama Killingsworth Patisserie.”
Sang kesatria muda berambut pirang itu menyibakkan rambutnya dengan gaya congkak.
“Aku mengikuti jejak ayahku, hanya saja adonan yang kuuleni dengan tinju, dan selai yang kubuat dengan pedang.”
“Jangan hiraukan. Itu cuma gaya soknya. Tapi benar, Penny ini sejak giginya belum tumbuh sudah terbiasa dengan segala macam kue. Lidahnya luar biasa tajam. Kalau dia bilang enak, berarti benar-benar enak.”
Cayenne sengaja membawanya agar Hazel merasa lebih yakin. Hazel sungguh berterima kasih.
“Baiklah, kupercayakan padamu.”
Hazel menyajikan semua dessert di atas piring besar.
Penelope mulai dengan butter sandwich, mengunyah perlahan. Hazel tak tahan menunggu.
“Bagaimana rasanya?”
“Hmm… sulit dikatakan. Aku perlu mencicipi lebih banyak.”
Ia lalu mencoba ketiga pastry, kemudian butter cake. Hazel kembali tak sabar.
“Sekarang bagaimana?”
“Masih belum jelas. Aku perlu mencoba lebih banyak la—”
“Berapa banyak lagi baru kau bisa bilang enak atau tidak!”
Louis yang tak tahan merebut piring, tapi Penelope lebih cepat memeluknya.
“Sebanyak mungkin! Karena rasanya… luar biasa enak!”
“Sudah kuduga! Kau licik! Cayenne, kenapa selalu saja kau membawa anak buah yang mirip dirimu?”
“Lho, siapa yang mirip siapa!” protes Cayenne.
Apa pun itu, Hazel akhirnya bisa bernapas lega. Butter cake, biskuit, pastry, butter sandwich, cake teh hitam, dan jeli buah—semuanya mendapat sambutan antusias.
Resep sudah teruji. Saatnya produksi massal.
Hazel bangun pagi-pagi buta, menyelesaikan pekerjaan ladang lebih cepat dari biasanya, menunda pekerjaan rumah tangga, lalu seharian penuh memanggang tanpa henti.
Ruang penyimpanan darurat kini penuh dessert harum butter. Hazel memandanginya dengan wajah puas.
Semua sudah siap.
“Besok akhirnya tiba juga!”
Jantungnya berdebar. Ia berbaring lebih awal, dan karena lelah, langsung terlelap.
Ia sama sekali tak tahu bahwa ada seseorang yang memperhatikannya dari jauh.
Malam itu, Iskandar duduk di tepi jendela.
Ia melihat Louis dan Hazel membawa gerobak penuh susu. Ia melihat Siegbalt membangun tenda penyimpanan itu. Ia juga melihat Cayenne membawa seorang anak buah berwajah licik.
Kalau dipikir-pikir, bahkan Lorendel pun sempat ia lihat berdiri di depan pintu rumah sambil memeriksa setumpuk kartu.
Ya. Ia ternyata sama sekali tak bisa mengalihkan perhatian dari sana.
Sehari menjelang Teaparty, teman-temannya terus keluar masuk ladang itu. Besok pun pasti sama.
Baiklah. Kalau mereka semua ada di sana, tentu takkan ada masalah.
Iskandar mencoba menepis rasa gelisah. Tapi urat tegang di dalam dirinya tetap menolak tenang.
Beberapa hari terakhir, semuanya terasa terlalu tajam. Apa pun yang ia lihat atau dengar, seakan langsung terukir di dalam kepalanya.
Ia mulai meninjau kembali semua hal yang terjadi.
Taman jadi sepi. Patroli penjaga jarang terlihat. Saat ia termenung, tiba-tiba sebuah pikiran melintas:
Mungkin bukan besok.
Dan seakan itu memicu sesuatu, sebuah informasi tak berkaitan tiba-tiba muncul di benaknya.
Siang tadi ia melihat pejabat istana menyuruh pelayan membawa lilin ke Balairung. Katanya, beberapa nona bangsawan akan berjaga malam di sana, menyalin kitab suci sambil berdoa semalaman.
Itu sebenarnya hal biasa.
Tapi… bagaimana jika tidak?
Sebuah firasat buruk mulai bergerak.
Dalam keadaan normal, seorang kaisar sebaiknya tak turun tangan dalam urusan semacam ini. Tapi hanya jika semuanya berjalan wajar.
Seburuk apa pun ia ingin menyingkirkan tetangga yang mengganggu, tidak boleh ada ketidakadilan. Sebagai Kaisar, itu hal yang tak boleh ia biarkan.
Iskandar segera menyamar dan keluar dari istana. Ia berlari menuju Balairung di utara. Namun, di sana tak ada siapa pun.
Ternyata benar dugaan buruknya!
Ia pun kembali berlari.
***
Sedikit lebih awal.
Di tengah Taman Agung, sekelompok bayangan bergerak diam-diam.
Mereka adalah para putri bangsawan.
Agar terlihat seolah sedang melakukan doa malam tanpa henti, mereka mengenakan pakaian hitam polos, lalu perlahan melompati pagar peternakan.
“Kita sudah bersusah payah membangun posisi di dalam Istana Kekaisaran. Tapi sekarang, batu yang baru saja menggelinding hampir saja menyingkirkan batu yang sudah tertanam.”
“Istana bukanlah tempat yang bisa dipandang remeh. Mari tunjukkan pelajaran yang pantas.”
“Setuju.”
Dipimpin oleh Kitty Diavelli, para putri itu masuk ke dalam tenda.
Dan benar saja.
Di sana berdiri sebuah kerajaan pencuci mulut. Di bawah kertas transparan, roti, kue, dan jeli menumpuk bak gunung kecil.
“Ugh….”
Kitty menutup hidungnya. Bau itu jelas aroma yang bisa membuat gemuk.
“Benar-benar menjijikkan. Cepat kita bereskan dan keluar.”
Ia menurunkan musang peliharaan yang dibawanya. Musang itu duduk diam di lantai tanpa bergerak. Tidak masalah—lagipula itu hanya sekadar alasan saja.
“Keistimewaan sebuah tea party ada di sini. Untuk menghadirkan rasa terbaik, hidangan biasanya disiapkan sehari atau dua hari lebih awal. Sekarang, sesuai rencana, mari kita hancurkan semuanya.”
“Baik.”
Para putri masing-masing mengangkat nampan.
Saat itulah, Kitty berhenti sejenak. Sepertinya ia melihat sesuatu yang aneh. Ia mengarahkan lampu ke arah itu.
Tiba-tiba, seorang gadis membeku terkena cahaya. Tangannya menggenggam butter sand penuh krim, mulutnya terbuka “aah” seakan hendak menyuapnya.
Kitty melotot.
“Sena! Apa yang sedang kau lakukan?”
“…….”
Serpina terkejut dan menjatuhkan tangannya. Namun, meski begitu, ia tetap menggenggam erat butter sand itu.
“Aku hanya ingin mencium baunya.”
Serpina buru-buru mencari alasan, tetapi tidak berhasil.
“Tapi mulutmu terbuka!”
“Buang cepat!”
Teguran pun bertubi-tubi.
“Tapi… lihatlah ini. Rotinya dipanggang dengan sangat sempurna. Ringan seperti bulu. Begitu masuk mulut, pasti langsung meleleh.”
Serpina menatap butter sand itu dengan penuh kerinduan.
“Aroma ini… kira-kira mereka pakai mentega macam apa, ya? Kau tahu kan, katanya delapan puluh persen rasa roti ditentukan oleh mentega. Kalau buttercream ini dibuat dengan mentega yang sekaya ini, pasti rasanya surgawi. Begitu terpikir begitu, tanpa sadar tanganku sudah hampir memasukkannya ke mulut. Aku sudah terlalu lama tidak mencicipi krim.”
“Sena! Harus sedetail itu penjelasannya?”
Para putri berteriak panik.
Di kalangan sosialita, mereka terbiasa saling menilai dan dinilai. Mereka selalu terobsesi harus ramping dan cantik setiap saat. Itu berarti diet ketat yang harus dipatuhi dengan keras. Tapi bagi gadis-gadis muda berusia 17–19 tahun, hal itu sungguh berat.
Mereka menjalani hidup dengan menutup mata dari berbagai makanan lezat yang melimpah di dunia. Dan kini, tiba-tiba mereka dilemparkan ke tengah kerajaan mentega ini. Bahkan tugas mereka adalah menghancurkannya.
Mereka baru sadar—betapa bodohnya rencana ini.
Mau tak mau mereka harus melihat dessert itu dengan mata kepala sendiri, mencium aroma mentega yang pekat, lalu menjatuhkannya ke lantai. Padahal bentuknya jauh lebih menggoda daripada pencuci mulut pilihan yang sesekali boleh mereka santap sebulan sekali.
Para putri menelan ludah.
“Kalian sadar kan, meskipun kita melemparkannya ke lantai, bukan berarti benar-benar hancur?”
“Benar juga. Pemilik peternakan mungkin bisa mengumpulkannya lagi dan menyelamatkannya.”
“Kalau ingin menghancurkannya sepenuhnya, satu-satunya cara adalah… memakannya.”
“Ya. Itu lebih kejam dan lebih efektif.”
Sepertinya aroma mentega membuat kepintaran mereka menurun. Mereka tahu itu terdengar bodoh, tapi tak mampu menghentikan diri.
Pertarungan tatap mata dimulai, disertai pembenaran-pembenaran konyol di kepala. Serpina berpikir, Aku paling kurus, jadi boleh makan sedikit. Yang lain pun berpikir, Kalau Serpina yang paling kurus saja makan, berarti kita juga boleh.
“Baik! Kita lakukan!”
Kitty, yang dari tadi hampir mual menahan bau mentega, terkejut setengah mati.
“Kalian sudah gila? Kalian bakal menyesal seumur hidup kalau begini!”
Namun segel sudah pecah. Semacam sempoa penghitungan kalori yang biasanya selalu berputar di kepala mereka pun runtuh. Para gadis segera meraih dessert yang paling mereka incar.
Serpina akhirnya menyuapkan butter sand yang hampir remuk karena terlalu ia genggam. Begitu digigit, buttercream langsung meledak di antara roti empuk.
“Uhh….”
Keluar suara aneh dari mulutnya.
Anehnya, rasanya bahkan lebih pekat daripada aromanya. Biasanya sebaliknya, bukan? Seharusnya rasa semacam ini membuat eneg, tapi tidak—rasanya ringan, lembut, seperti rasa sinar matahari. Setelah hidup bertahan dengan hanya makan dedaunan, akhirnya ia merasa benar-benar hidup.
“Uhuh….”
Mata Serpina memerah sambil mengunyah. Rasa sesak memenuhi dada. Kalau ada rasa seperti ini di dunia, kenapa aku harus hidup menyiksa diri begini?
Begitu suapan habis, tangannya tak terkendali meraih lagi.
Kali ini ia menggigit pastry. Lapisan pai penuh mentega berkualitas tinggi hancur sesuai seratnya, melepaskan rasa segar blueberry muda yang baru panen akhir Mei. Bagaimana bisa direbus selezat ini?
Di tengah keterpukauannya, terdengar teriakan Eliseette.
“Ya ampun! Ini gila! Kalian harus coba ini!”
Para gadis berebut kue mentega.
Itu hanyalah sponge cake sederhana dari telur, gula, dan sedikit vanila. Tapi mentega di dalamnya berperan seratus kali lipat.
Inilah andalan tea party kali ini. Dengan berani ditambahkan mentega dalam jumlah besar, rasanya jadi luar biasa, tak pernah mereka cicipi di tempat lain. Begitu masuk mulut dan ditelan, ia lenyap seketika, hanya meninggalkan jejak rasa mentega yang pekat.
Cecilia bergetar sambil berkata,
“Rasa iblis….”
Semua mengangguk setuju sambil terus menyambar kue.
Rasa bersalah karena “tidak boleh makan” justru membuat rasanya makin nikmat. Kue teh hitam yang sedikit pahit serta jeli buah yang segar juga membantu menetralkan lidah. Nampan-nampan mulai kosong, tapi tangan mereka tak berhenti. Rasanya terlalu sayang untuk dibiarkan hilang—bahkan masuk ke mulut sendiri pun terasa “sayang.”
Kitty hanya bisa melongo menyaksikan penghancuran senyap ini.
“Kalian….”
Namun, dalam matanya yang linglung, tiba-tiba bayangan hitam terpantul. Ia terkejut menoleh.
Di pintu, berdiri seorang pria. Wajahnya tak terlihat jelas, tapi jelas ia seorang ksatria berambut hitam legam. Suaranya rendah dan dingin, namun penuh tekanan.
“Apa yang kalian lakukan?”
Gadis-gadis itu langsung tersadar. Tanpa dikomando, mereka serentak berdiri dan kabur.
Salah satu dari mereka panik, menabrak pilar. Meski bangunan itu hanya semi permanen, namun karena dibangun oleh Zigvalt, kekuatannya sangat kokoh.
Bruak!
Terdengar suara menggelegar.
“Ah!”
Jeritan keras bergema hingga ke dalam rumah peternakan. Anak-anak ayam ketakutan, berciap-ciap.
Hazel tersentak bangun.
Apa itu tadi?
Dalam kantuknya yang berat, jelas ada sesuatu yang terjadi di luar. Tanpa sempat mengenakan selendang, ia buru-buru keluar.
Di sana, dalam kegelapan, berdiri sosok seorang ksatria berambut dan bermata hitam.
Hazel terbelalak.
“Tuan Valentine…?”
Bukan hanya itu. Di sekelilingnya, gadis-gadis berjubah hitam tampak panik. Hazel langsung mengenali wajah dingin Kitty Diavelli dan dadanya berdegup kencang.
“Lady Diavelli?”
“Ah, Lady Mayfield.”
Begitu melihat Hazel, Kitty mendadak berlinang air mata.
“Aku benar-benar minta maaf. Kami tak bermaksud. Malam ini kami sedang melakukan doa malam di kuil dalam Istana. Tiba-tiba musang peliharaanku kabur, lari masuk ke dalam bangunan itu. Saat kami mengejarnya….”
Ia terhenti.
Seharusnya ia melanjutkan, kami berusaha menangkapnya hingga membuat makanan berantakan. Tapi kenyataannya—mereka sudah memakannya.
“Pokoknya, aku minta maaf. Besok aku akan kirim pelayan untuk mengganti kerugian.”
Kitty buru-buru melarikan diri. Yang lain pun lari terbirit-birit.
Apa ini…?
Hazel merasa firasat buruk. Ia bergegas menuju ruang penyimpanan. Tapi tepat saat itu, Sir Valentine menghadang.
“Bisa dibuat ulang.”
“Apa…? Jangan-jangan….”
Hazel menyingkir cepat dan masuk. Yang pertama terlihat adalah nampan-nampan kosong, berkilat di bawah sinar bulan.
Astaga…
Bersih. Terlalu bersih. Semua dessert untuk tiga puluh orang habis tak bersisa. Sekecil apa pun porsinya, tetap saja mustahil makan sebanyak itu.
Hazel merasa gelap di depan mata.
Bagaimana aku harus menghadapi ini besok?
“Besok adalah hari tea party, bukan?”
Suara Valentine terdengar di samping. Rupanya ia ikut masuk.
“Ya.”
Hazel mendongak, heran melihat wajahnya.
Kenapa dia ikut kelihatan susah hati? Ia tidak tampak seperti tipe orang yang mudah berempati. Hazel pun mengabaikannya.
Padahal, Iskandar punya alasan sendiri merasa sulit.
Tea party yang jadi buah bibir hancur total. Walau ada alasan yang masuk akal, tetap saja akan muncul bisik-bisik:
“Sesungguhnya, Yang Mulia Kaisar….”
Hanya membayangkannya saja membuatnya muak.
Dalam catatannya, kaisar paling kekanak-kanakan sepanjang sejarah adalah Palatino III, yang pernah mengusir semua berang-berang dari ibu kota hanya karena cemburu kekasihnya terlalu menyukai hewan itu. Kini namanya sendiri hampir disandingkan dengan aib serupa.
Kaisar yang membalikkan meja tea party.
Iskandar mendidih.
“Kalau kalian pikir bisa lolos begitu saja, salah besar. Semua itu dibuat dengan dana subsidi kerajaan. Harus diganti sepenuhnya.”
“Tidak mungkin.”
Hazel menggeleng.
“Itu dibuat dengan mentega peternakan. Aku butuh dua hari penuh mengumpulkan krim untuk membuatnya. Bagaimana bisa diganti?”
“Aku seharusnya menghentikannya lebih cepat.”
Iskandar menghela napas.
“Siapa pun yang mengalami ketidakadilan semacam ini, tanggung jawabnya ada padaku.”
“Itu apa lagi maksudnya?”
Hazel melirik wajah seriusnya dengan bingung.
“Ngomong-ngomong… kenapa Tuan ada di luar jam segini?”
“Hanya patroli.”
“Di jam segini masih disuruh kerja?”
“Bukan perintah. Aku sendiri yang memilih.”
“Ya ya, kerja lembur ‘sukarela’ yang sebenarnya terpaksa itu kan.”
Meski begitu, setidaknya berbicara dengannya membuat Hazel bisa sedikit mengendalikan keterkejutannya.
Ia kembali menyapu ruang penyimpanan dengan pandangan.
Tetap sama. Nampan kosong di mana-mana. Berkali-kali ia mengucek mata, hasilnya tak berubah.
“Bagaimana bisa….”
“Benar-benar pemandangan gila. Hampir kukira makanannya berpindah tempat.”
“Ya Tuhan….”
Hazel menepuk kening.
“Tapi… tetap saja mereka memakannya.”
“……?”
“Kalau tujuan mereka benar-benar menghancurkan pesta, pasti mereka akan menjatuhkan dan menginjak-injaknya. Kalau begitu, aku pasti akan langsung mengejar mereka sendiri, tanpa menunggu Tuan Valentine. Ada banyak hal yang bisa kutoleransi, tapi kalau menyangkut hasil peternakan… mataku bisa langsung terbalik.”
“……Benar.”
“Tapi mereka memakannya. Itu pun sampai bersih begini. Artinya memang benar-benar enak. Sedikit pun krim tidak tumpah. Lihat saja ini, bersih seperti sudah dicuci. Aku tidak sempat melihat mereka makan, itu saja 아쉽네!”
“Sadar, mereka itu pencuri.”
“Di ladang, babi hutan liar yang menyerbu datang itu sudah sering terjadi.”
Iskandar sedikit terkejut.
Ucapan pemilik ladang ini bahkan lebih keras dari perkataannya sendiri.
Ia melirik sekilas, tapi Hazel sudah larut dalam pikirannya sendiri.
Tentu saja, demi menjaga ladang ke depannya, para babi hutan liar itu harus ditangkap dan diberi pelajaran. Namun, yang lebih mendesak adalah pesta teh di depan mata.
Mereka sudah berusaha merusak acara resmi pertama Marronnier Salon. Itu berarti tidak boleh kalah. Justru semakin keras mereka menunjukkan sikap teritorial, semakin gemilang pesta ini harus berhasil. Itu adalah balas dendam paling indah.
Tetapi…… hidangan penutup utama pesta teh sudah tidak ada.
Lalu, apa yang harus dilakukan?
Dalam kebimbangan, Hazel menemukan sesuatu.
Ia membuka lebar pintu yang masih terkuak. Dari baliknya, nampak nampan-nampan berjejer. Itu adalah kue mentega.
“Untungnya ini masih selamat! Semua ini bisa kuselamatkan karena Tuan Valentine datang tepat waktu!”
Hazel berseru penuh harapan.
Sedikit rasa lega muncul, begitu pula Iskandar.
“Kalau begitu, kita butuh hidangan penutup lain untuk disajikan bersama ini. Apakah ada sesuatu yang bisa dibuat dengan cepat? Aku akan pergi mencari bahannya.”
Rasa kantuknya sudah lenyap. Ia memperhitungkan kecepatan kuda kesayangannya, Ras Algethi.
“Bahkan ke Palomares pun sempat.”
“Palomares? Haha, walau hanya bercanda, tetap kuucapkan terima kasih. Tapi…….”
Hazel menggeleng.
“Kalau bahan itu dibeli lalu diolah, hasilnya hanya kue biasa. Tidak ada artinya. Ini adalah pesta pembukaan Marronnier Farm. Kalau begini, akan benar-benar berantakan.”
Namun……
Justru pada saat seperti ini……
Mari ubah cara pandang.
Hazel akhirnya kembali mengeluarkan kartu lamanya.
Apakah mentega dari ladang saja sudah cukup?
Pertanyaan itu tak pernah terpikirkan sebelumnya.
Setiap tamu yang datang ke ladang berhak merasa bahagia. Mereka harus pulang dengan hati gembira. Tapi, siapa tamu kali ini?
Para pejabat perempuan kelas atas istana.
Mereka jelas berbeda dengan para gadis kelaparan yang menyerbu makanan tadi. Mereka adalah wanita dewasa, setidaknya berusia dua puluhan. Bangsawan, anggun, penuh kendali, dengan tatapan tajam bak rusa putih yang menilai segala sesuatu tanpa belas kasihan.
Agar tamu seperti itu dapat sungguh menikmati pesta teh di ladang ini……?
Mungkin sejak awal Hazel memang keliru dalam cara berpikir.
Ia mendongak.
“Tuan Valentine.”
“Katakan.”
“Kalau benar-benar ingin membantu, bisakah Anda mendapatkan beberapa botol kaca untukku?”
“Botol kaca?”
Iskandar balik bertanya dengan heran.
“Ya, botol kaca. Botol bening seukuran botol anggur, sebanyak 30 buah. Kalau ada cadangan, lebih baik. Aku tahu ini permintaan yang agak berlebihan di tengah malam seperti ini, tapi…….”
“Bukan.”
Iskandar menggeleng.
“Waktu bukan masalah. Asal tetap dirahasiakan.”
“Itu sudah pasti. Bagaimanapun, Tuan Valentine adalah ksatria Kaisar. Aku akan membayar harga botolnya.”
“Tak perlu.”
(Sama saja, toh dana pesta ini dari sakuku.)
Pikir Iskandar, lalu segera berbalik. Bahkan sebelum Hazel sempat menahannya, ia sudah lenyap dari pandangan.
Uang bahkan dianggap merepotkan? Sebenarnya seberapa kaya sih orang ini?
Hazel mengerutkan hidung sambil berpikir.
Lalu ia tiba-tiba tersadar.
Ia masih mengenakan pakaian tidur. Untungnya, modelnya sederhana dan praktis khas rakyat jelata, sehingga sekilas tampak seperti pakaian biasa.
“Pantas agak dingin.”
Hazel buru-buru masuk ke dalam rumah. Ia menenangkan anak-anak ayam yang kaget karena sebelumnya ribut, lalu mengenakan selendang, mengambil lampu minyak serta keranjang besar, dan kembali keluar.
Seluruh lampu di taman besar sudah padam. Hanya sinar bulan yang menerangi.
Hazel berjalan hingga ke ujung taman, lalu mencapai hutan kecil di dalam kompleks istana. Dari sana, ia berbelok menuju bukit tempat ia pernah berpiknik bersama Lorendel dan si kembar keluarga Siegbalt.
Dan benar saja.
Di bawah cahaya bulan, bunga-bunga dandelion kuning bermekaran di sana-sini. Biasanya bunga ini mekar pada April hingga Mei, jadi meski agak terlambat, jumlahnya tetap cukup.
Hazel pun sibuk memetik bunga-bunga terbaik dengan cekatan.
Sementara itu, tak jauh dari sana, di kandang kerajaan……
Iskandar sudah menuntun keluar Ras Algethi, kuda Pegasus hitamnya. Biasanya, sayapnya tersembunyi sehingga tampak seperti kuda biasa—kecuali kecepatannya yang luar biasa.
Menjelaskan kepada penjaga mengapa seorang ksatria menunggangi kuda Kaisar jelas merepotkan. Jadi Iskandar langsung melompati pagar begitu saja, melewati menara lonceng, lalu melesat di jalanan gelap ibukota secepat angin.
Ia tahu secara garis besar di mana saja bengkel kaca berada di pinggiran kota.
Saat itu, Robin, sang pengrajin kaca, sedang terkantuk-kantuk bersandar pada tungku hangat. Tiba-tiba, hembusan angin dingin membuatnya terbangun.
Pintu bengkel terbuka lebar. Seorang ksatria berambut hitam berdiri di sana.
“……!”
Begitu ksatria itu mengangkat medali berukir lambang kerajaan, pikiran Robin langsung kosong. Ia bahkan tak ingat apa saja yang diucapkan pria itu.
“……Apa?”
“Katakan, semua botol kaca yang kau punya, tunjukkan padaku.”
“Oh, ya. Ya, tentu.”
Robin panik dan buru-buru mengeluarkan semua botol. Sang ksatria lalu memilih beberapa di antaranya.
“Bisa dibungkus agar tidak pecah?”
“Tentu, tentu saja.”
Robin membungkus botol-botol itu rapat dengan kertas, lalu dimasukkan ke dalam karung besar. Ksatria itu segera membawanya pergi secepat kilat.
Semua terasa seperti mimpi. Kecuali, beberapa koin yang tertinggal di atas meja kerjanya.
Enam silver untuk tiap botol.
Harga standar resmi yang dilaporkan pada negara.
Apa-apaan ini?
Robin mengedip.
Siapa sebenarnya orang ini, sampai tahu persis harga resmi yang ditetapkan negara?
Sementara pengrajin kaca itu masih kebingungan, Iskandar sudah berpindah ke bengkel kaca lain.
Begitulah, ia mengumpulkan botol-botol dari bengkel yang masih beroperasi malam itu. Karungnya kini penuh dan berat. Dalam perjalanan pulang, ia tak bisa memacu kuda terlalu kencang, takut botol-botol pecah.
“Cukup merepotkan juga.”
Ia memang tak terbiasa dengan jenis pekerjaan ini. Biasanya, ia tak pernah harus membawa apa pun. Kalaupun terpaksa, ia tak perlu repot memikirkan keselamatannya.
Kini, dengan karung besar berisi botol yang berderak-derak di atas kuda, ia jadi lelah. Meski musim semi, udara malam tetap lembap dan dingin. Berkeliling hingga larut membuat perutnya pun lapar.
Andai ada sesuatu yang hangat untuk dimakan…….
Dengan pikiran itu, ia tiba di rumah ladang. Begitu pintu dibuka, aroma harum langsung menyergap.
Hazel menoleh.
“Pas sekali Anda datang.”
Di atas meja kayu tua, sepanci besar cream stew mengepul, penuh dengan isian.
Iskandar terbelalak.
Apa dia bisa membaca pikiran?
“Malam hari paling cocok dengan cream stew yang lembut.”
Hazel meletakkan keranjang penuh roti desa di sampingnya sambil tersenyum.
Iskandar diam-diam duduk, mengambil sepotong roti, lalu mencelupkannya ke dalam sup. Rasanya begitu lezat hingga rasa lelahnya luluh seketika. Hangat, nyaman, membuat tubuhnya terasa ringan.
Sambil terus makan tanpa banyak bicara, ia bergumam dalam hati.
Jadi…… jelas bukan untuk dimakan tamu. Tapi, apa sebenarnya yang ingin ia lakukan dengan semua botol kaca itu?
Rasa penasaran itu semakin membesar.
