Jumat, 29 Agustus 2025

10. Peri Jamur, Tomat, dan Pertanian

Hari demi hari, cuaca kian panas.

Di halaman depan istana yang luas bagaikan alun-alun, teriknya matahari menyinari tanpa ampun. Hanya dengan melihat para penjaga istana yang berbaris rapi dengan seragam terpasang ketat hingga kancing paling atas, orang sudah merasa gerah.

Kebetulan sebuah kereta kecil baru saja masuk ke dalam istana. Penumpangnya, seorang bangsawan wanita, sudah menyerah duduk di dalam kereta dan memilih duduk di luar sambil terus-menerus mengipas diri. Air mancur yang menyemburkan air putih bening pun tak mampu mengusir hawa panas. Para tukang kebun sibuk menyirami pohon-pohon tua yang telah menjadi saksi sejarah panjang istana.

Merpati putih yang letih oleh panas mengepakkan sayapnya dan terbang.

Ia melintas di antara patung-patung marmer yang berwajah muram, tersenyum, maupun meringis; melewati dinding hijau pekat yang dibentuk dari perdu-perdu yang dipangkas rapi, hingga akhirnya terlihat pagar kayu.

Merpati itu hinggap di bawah naungan pagar. Barulah ia bisa merasakan sedikit keteduhan, lalu mengepakkan sayapnya sekali dan mulai terlelap.

Di balik pagar, tampak kebun sayuran yang tumbuh subur. Di sebelah kebun, kandang ayam penuh dengan ayam remaja yang masih lincah mematuki tanah. Di samping rumah kecil nan sederhana, seekor sapi perah belang santai mengunyah jerami.

Sebuah pemandangan damai yang seolah tak serasi dengan megahnya istana.

Dan di dalamnya, seorang pemilik kebun berTopi jerami sedang tekun mencabuti rumput liar.

Hazel berdiri setelah cukup lama membungkuk. Ia meluruskan punggungnya dan menggunakan topi jerami sebagai kipas.

Kerja keras menyiram tanaman meski di tengah terik panas ternyata tak sia-sia. Buah tomat yang hijau berkilau semakin montok karena sarat air.

Berkat bantuan Sir Lewis yang rajin memangkas tunas-tunas samping, tomat itu tumbuh begitu sehat.

Deretan batang yang sarat buah bulat hijau sampai ke ujung kebun menjadi pemandangan yang menakjubkan. Hanya dengan melihatnya saja Hazel sudah merasa seolah ia menjadi orang kaya.

Di tepi kebun, marigold dan lavender yang ia tanam di sela-sela waktu juga tumbuh baik. Mereka adalah “teman-teman kecil” yang rajin mengusir hama.

Hazel menatap sebentar keindahan tomat, marigold, dan lavender yang berpadu indah. Lalu ia kembali jongkok untuk mencabut gulma.

Meskipun hujan belum turun, rumput liar tumbuh lebat. Sehari penuh ia cabuti, besok pagi sudah tumbuh lagi sebanyak itu.

Itulah gulma yang selalu dikeluhkan Paman Carl dan Bibi Martha.

Namun bagi Hazel, pekerjaan itu tetap menyenangkan.

Betapa berharganya waktu di kebun, bekerja dengan tenang tanpa ada yang mengganggu. Baginya, kebahagiaan sederhana memang seperti ini.

Dan tentu saja, ada satu lagi hal yang tak kalah penting dari kebahagiaan:

Setelah bekerja keras, memetik hasil kebun yang segar, memasak hidangan lezat, lalu duduk bersama tamu-tamu yang datang ke kebun untuk menikmati makan malam dengan suasana hangat.

Hari ini adalah hari yang tepat untuk itu.

Pesta makan malam diputuskan untuk diadakan di luar rumah. Dapur mungil tidak cukup menampung banyak orang.

Hazel mengeluarkan meja besar dari gudang. Ia membersihkannya hingga mengilap, lalu menutupinya dengan kain kotak-kotak yang bersih. Vas dari botol kaca tua diisi bunga liar untuk hiasan.

Di atas meja sederhana itu, pertama-tama hadir sebuah keranjang besar.

Di dalamnya, kentang goreng yang baru saja diangkat dari minyak panas, masih mengepulkan aroma harum.

“Wah, lezat sekali!”

Para pelayan wanita istana bersorak kegirangan.

Mereka begitu senang menerima undangan Hazel. Begitu pula dengan Menteri Dalam Negeri, yang tertawa lebar sambil cepat-cepat mengambil sepotong kentang goreng panas.

Di luar, mereka adalah atasan dan bawahan dengan aturan ketat. Tapi di kebun ini, mereka hanyalah tetangga yang berkumpul untuk makan malam bersama.

“Dan ini juga tak boleh ketinggalan.”

Hazel mengeluarkan sebuah botol besar.

Ginger beer dingin buatan kebun segera disambut dengan sorakan meriah.

“Seperti yang kami harapkan!”

Semua berebut menuangkan minuman itu ke dalam gelas.

Memang, apapun yang digoreng dalam minyak panas selalu enak. Tapi kentang goreng ini luar biasa.

Potongan berbentuk wedge memudahkan untuk dimakan. Sebelum digoreng, kentang direbus sebentar dalam air garam sehingga bagian luar garing tapi dalamnya matang sempurna.

Bubuk lada dan rempah digosokkan hingga meresap, memberi aroma kaya yang membuatnya makin istimewa. Hazel sengaja menambahkan sedikit lebih asin dari biasanya, untuk menyegarkan tamu-tamunya yang kepanasan seharian.

“Ya! Ini dia rasa yang kami tunggu!”

Menteri dan para pelayan istana terus-menerus menyambar kentang goreng, seakan tangan mereka tak berhenti bergerak.

Hazel cepat-cepat menyajikan menu berikutnya sebelum mereka terlalu kenyang.

“Tolong coba ini juga.”

Dari keranjang lain mengepul aroma harum: gorengan daging sapi. Potongan daging berselimut adonan tipis, digoreng hingga kuning keemasan. Senyum puas segera merekah di wajah semua orang.

“Ini kan makanan yang dijual di warung pasar, bukan?”

“Betul. Saya pernah mencicipinya saat jalan-jalan dengan Sir Lewis dan Sir Cayenne. Di sana, mereka menambahkan saus putih pedas. Itu unik dan enak juga, tapi saya kira dengan ini lebih pas.”

Hazel mengeluarkan garam lemon rosemary.

Semua orang mencelupkan daging goreng ke dalam garam itu dan mencicipinya. Lalu berseru serempak.

“Lezat tak terhingga!”

Aroma rosemary segar dari kebun memperkaya rasa daging goreng, sementara lemon memberi kesegaran ringan di akhir.

Hasilnya: tak ada yang bisa berhenti makan.

Ketika haus, mereka meneguk ginger beer dingin. Sempurna!

Lalu Hazel membagikan piring lain: pasta segar buatan tangan, dibulatkan dengan lembut. Sausnya terbuat dari bayam kebun yang dicampur keju krim.

“Tidak! Perutku sudah penuh!”

Menteri dan para pelayan berteriak sambil tertawa.

Hazel tertawa bahagia. Jika ada yang sampai berteriak kenyang, itu pertanda pesta makan malam di kebunnya kembali sukses besar.

Keistimewaan makan malam musim panas di luar ruangan adalah: bisa menikmati cahaya matahari sore, suasana senja, hingga datangnya malam sekaligus.

Saat cahaya meredup, Hazel menyalakan lentera. Pohon-pohon di sekitar kebun berpendar jingga, seolah pemandangan dongeng.

Suasana itu membuat rasa masakan kebun semakin nikmat. Walau sudah kenyang, tamu-tamu tetap menghabiskan isi piring.

Hidangan penutup: aprikot yang direndam dalam arak.

Saat semua sedang menikmati manisnya, apoteker istana, Olenka, mengeluarkan sebuah botol besar dengan wajah sedikit malu.

“Ini wine dandelion. Aku coba buat sendiri.”

“Wah, Nona Olenka!”

Hazel cepat-cepat membawa banyak cangkir kayu. Ia membuka tutup botol, menuangkan cairan emas transparan itu, lalu semua mencicipinya bersama-sama.

“Lezat sekali! Kau hebat!”

Hazel memuji dengan tulus.

“Benarkah?”

Olenka semakin tersipu, tapi hatinya hangat penuh kebahagiaan.

Baginya ini hal yang luar biasa: sampai malam, ia belum juga merasa ingin pulang!

Dulu ia selalu gelisah, bergegas kembali karena tak percaya penuh pada pengasuh. Ia harus mengawasi anak-anaknya sendiri.

Namun kini ia bisa duduk dengan tenang.

Di kebun kecil ini, semua terasa sepele.

Anak-anak? Pasti baik-baik saja. Atau kalaupun mereka sempat bertengkar, apa salahnya? Makan jajanan tak sehat sekali-sekali juga bukan bencana. Suaminya kan ada di rumah.

Pekerjaan? Masalah serumit apa pun rasanya bisa teratasi. Kalau pun tidak, biarlah. Untuk apa dipikirkan malam ini?

Karena waktu ini—tak ternilai harganya.

Dirinya sendiri, yang paling berharga, sedang merasa begitu bahagia!

“Silakan, Tuan Menteri, minum lagi.”

Olenka, dengan wajah penuh senyum, menuangkan wine dandelion ke semua gelas. Bahkan mengisi penuh cawan Hazel yang tersenyum cerah di hadapannya.

Ia pernah membantu Hazel mengungkap identitas asli Belladonna dalam lomba masak, dan sejak itu Hazel selalu merasa berutang budi kepadanya.

Namun seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, yang paling layak menerima ucapan terima kasih justru adalah Olenka sendiri.

Semua orang yang hadir di sana merasakan hal yang sama.

Sambil menikmati aprikot yang direndam arak dan menyeruput wine dandelion, mereka bercakap-cakap riang.

“Dengar sendiri, kan, apa yang orang-orang sebut tentang kita? Pro-petani! Menurutku itu sebutan untuk orang-orang paling bahagia di dunia.”

“Benar sekali! Betul itu!”

Ucapan Ilina, salah satu pelayan istana, langsung disambut sorakan setuju.

“Lihat saja, Maronier Farm ini begitu menyenangkan. Entah kenapa masih ada saja orang yang sibuk menyusun intrik aneh-aneh.”

“Tak apa. Justru semakin banyak intrik, Lady Hazel akan makin bersinar, bukan?”

“Betul! Mereka malah memberi panggung tanpa sadar. Orang-orang yang iri hati itu sekarang pasti ciut setengah mati.”

“Ya! Kasus si penyanyi tenor itu pasti sudah jadi pelajaran berharga. Salah langkah sedikit saja, akhirnya menggali kubur sendiri, bukan?”

Percakapan itu membuat Menteri Dalam Negeri tertawa terbahak-bahak.

“Itu memang benar! Tapi kalau semua orang bisa belajar sendiri hanya dengan melihat contoh, aku tak perlu khawatir lagi, kan?”

“Ah! Maafkan kami.”

“Benar, kami minta maaf.”

Setengah mabuk, para pelayan refleks menunduk.

“Bukan kalian maksudku! Maksudku, bagaimana kalau di kebun ini dipelihara seekor anjing penjaga?”

“Anjing, ya?”

Hazel berseri-seri.

“Itu ide bagus sekali!”

Di ladang keluarga Martin juga ada anjing kampung bernama Peter. Kalau di sini ada seekor, pastinya suasana kebun akan makin lengkap. Hanya membayangkannya saja sudah membuat Hazel bahagia.

Tapi ia cepat sadar: belum saatnya.

Ini memang sebuah kebun, tapi tetap berada di tengah kota. Untuk membawa anjing, Hazel perlu meminta izin tetangga. Dan tetangga itu—rumah besar yang begitu menyeramkan—bukan tempat mudah untuk mengetuk pintu.

Kalau saja ada yang tiba-tiba menghadiahkan anjing, seperti halnya Julia si sapi perah… itu lain cerita. Tapi keberuntungan besar tak mungkin datang dua kali.

Lagipula, kebun ini sudah terasa penuh. Julia memang besar tapi belum tumbuh sepenuhnya, ditambah kandang ayam, ruang gerak sudah terbatas. Seekor anjing tak akan bisa berlari bebas. Pada akhirnya, semua hewan justru bisa jadi kurang bahagia.

Namun berkhayal tetap boleh. Hazel membiarkan dirinya larut dalam bayangan indah: seekor anjing seperti Peter berlarian di kebun dengan telinga berkibar.

Ada rasa haru yang muncul. Awalnya, Hazel hanya merasa beruntung bisa sekadar menjejakkan kaki di sini. Namun perlahan, hewan-hewan satu per satu bertambah. Kebun itu kian hari kian berakar kuat.

Setelah para tamu pulang, Hazel duduk di samping lampu minyak.

“……Yang kuinginkan hanyalah hidup tenang, sederhana, panjang dan tipis seperti benang.”

Begitu ia tulis di buku hariannya.

Dan sesuai harapannya, keesokan harinya pun berjalan damai. Begitu pula hari setelahnya.

Hingga akhirnya, di tengah rutinitas tenang itu, datang sebuah kabar menggembirakan.

***

“Ekspedisi Rumah Kaca Labirin?”

Hazel terperanjat mendengar kabar yang tiba-tiba datang.

“Benar. Kini akses ke Rumah Kaca Labirin sudah dibuka.”

Pelayan istana, Cecil, menjawab tenang sambil menyerahkan berkas.

Hazel teringat: ia pernah menerima kunci tempat itu sebagai penghargaan setelah menemukan petunjuk penting bagi pengobatan Sindrom Unicorn.

Rumah Kaca Labirin adalah tempat yang menampung berbagai tanaman dari labirin bawah tanah.

Apa itu labirin bawah tanah?

Singkatnya, istana para monster.

Makhluk buas seperti Minotaur, si manusia berkepala lembu, menggali lorong berliku di bawah tanah dan menjadikannya sarang. Mereka menjebak petualang atau memancing monster lain ke dalam sana untuk dimangsa.

“Lebih dari seratus tahun lalu, Adipati Nicholas—seorang bangsawan kekaisaran yang juga petualang—mencurahkan hidupnya untuk menjelajahi labirin bawah tanah.”

Cecil menjelaskan sambil berjalan.

“Selain petualang, ia juga penggemar tanaman. Usai menaklukkan Labirin Besar Memnoika, ia membawa pulang berkarung-karung tanaman aneh dan memeliharanya di rumah kaca. Lalu dari Labirin Besar Parakosmos juga begitu. Setelah menjelajahi Labirin Besar Oneiro, sama saja. Tanaman labirin terus ditambah, hingga akhirnya…….”

Mereka berhenti. Hazel mendongak memandang bangunan di hadapan.

“……Lahirlah monster aneh ini.”

“Persis sekali.”

Cecil mengangguk.

Rumah Kaca Labirin berdiri jauh di belakang perpustakaan istana.

Bangunannya tiga lantai, terbuat dari rangka besi hijau dan kaca buram. Dari luar saja, aura kelam dan aneh sudah begitu kuat.

Tak seorang pun menginjakkan kaki ke dalamnya selama bertahun-tahun. Ia hanya jadi bangunan raksasa yang aneh dan tak berguna.

Namun penampilan ganjil itu tak memadamkan rasa ingin tahu Hazel. Begitu pula kelompok pro-petani.

Mereka semua menantikan ekspedisi ini. Mereka yakin, Hazel pasti bisa menemukan sesuatu bahkan di tempat seperti ini.

Hari ekspedisi pun tiba.

Hazel bangun pagi-pagi sekali, berkemas, lalu menuju Rumah Kaca Labirin bersama Cecil—yang entah bagaimana tampak seperti koordinator resmi acara ini.

Masuk sendirian tidak diperbolehkan. Tapi hanya masuk berdua dengan pegawai sipil yang ringkih itu juga rasanya bukan ide bagus.

Ketika Hazel bingung, Cecil menunjuk ke kejauhan.

“Lihat, mereka sudah datang.”

Hazel menoleh.

Rekan-rekan ekspedisi mulai berdatangan.

Lorendel membawa longbow, tabung anak panah penuh di punggung.
Zigvald menyandang pedang raksasa di bahu.
Lewis dengan dua pedang di pinggang dan deretan belati di ikat pinggang kulitnya.
Sementara Cayenne berbalut jubah tebal, memegang tongkat sihir peri dengan permata besar yang berkilauan.

Mereka tampak seperti para pahlawan siap membunuh naga.

Hazel reflek menunduk menatap dirinya sendiri.

Jubah merah. Rok renda berumbai. Sepatu Mary Jane dengan pita di pergelangan. Dan sebuah keranjang berisi bekal makan siang dan alas kotak-kotak.

“…….”

Saat itu juga, Hazel sadar.

Sepertinya aku salah besar dalam membaca suasana.

“Karena dibilang kita boleh menjelajah Rumah Kaca Labirin, kukira itu artinya sudah aman! Aku pulang dulu ganti perlengkapan!”

Hazel buru-buru berbalik.

“Tidak perlu! Sudah cukup!”

“Begini pun tak masalah!”

Semua mencegah Hazel. Lewis berkata dengan cengang.

“Sepertinya kami yang kebablasan mempersiapkan diri. Maklum, sudah lama tidak ada urusan begini, jadi agak terlalu bersemangat. Pada akhirnya ini kan cuma kebun raya? Ya kan, Administrator?”

“Benar, tentu saja. Kebun raya saja.”

Pegawai istana Cecil menyingkir sedikit ke samping lalu berkata:

“Kalau begitu, ekspedisi Rumah Kaca Labirin dimulai.”

“Baik!”

Hazel mengeluarkan kunci hadiah yang pernah ia terima. Ia memasukkannya ke lubang kunci bermotif klasik di tengah pintu besi rumah kaca.

Diputar ke samping—klik!—pintu pun terbuka.

“Kalau begitu, selamat menjelajah.”

Cecil langsung berbalik badan. Hazel memandangi punggungnya yang menghilang dalam sekejap.

“Bukankah itu seperti kabur?”

“Mana mungkin.”

Zigvald maju dan membuka daun pintu.

Pintu besi bergerak sambil berderit panjang. Urutan masuk: Zigvald, Lorendel, Lewis, Hazel, dan Cayenne.

Begitu masuk, udara panas-lembap menyergap. Rasanya seperti hutan tropis dalam buku dongeng.

Karena lama terbengkalai tanpa perawatan, tanaman-tanaman labirin tumbuh kelewat liar. Pohon-pohon besar yang tak pernah terlihat sebelumnya dan sulur-sulur tebal saling lilit hingga rapat.

Hazel menatap lebar-lebar.

“Lebih gila dari dugaanku.”

Cayenne yang menyusul mengangkat bahu.

“Ya, seperti kata Lewis, toh ujung-ujungnya tetap tanaman, kan? Tanaman mau apa ke kita? Kalau kepepet ya tinggal dicabut terus dimakan.”

Saat itu juga, terdengar suara aneh: sssrrkk!

Hazel menunduk. Seekor sulur mencurigakan sedang merayap menuju Cayenne.

“Tak ada yang susah, kok. Jujur saja, aku bukan tipe pemakan sayur, tapi Miss Hazel sudah membuatku jatuh cinta pada sayuran.”

“Iya, tapi, Sir Cayenne…”

“Hari seperti ini—kami berempat bisa kosong seharian—jarang terjadi. Jadi rencanaku, kita sapu bersih sampai lantai tiga hari ini juga. Toh ‘cuma’ tanaman—”

Whup!

Seketika sosok Sang Komandan Ksatria Kucing menghilang dari pandangan.

“Sir Cayenne!”

Hazel terpekik.

“Sir Cayenne tertangkap!”

“Tidak!”

Suaranya terdengar dari kejauhan. Menyusul dentum keras—dan kilat menyilaukan meledak. Sulur-sulur tebal hancur berkeping-keping dan terpental ke segala arah.

Dari balik asap, Cayenne muncul.

“Aku baik-baik saja.”

Semua menatap… ekornya.

Bulu-bulu ekor itu mengembang berdiri satu per satu, menggelembung—bukti telanjang syok dan ngeri yang baru dialami seekor kucing.

“Aku bilang baik-baik saja!”

Cayenne buru-buru menyembunyikan ekor.

“Tapi selain aku, kalian semua harus ekstra hati-hati. Di dalam sana parah sekali. Ada semacam tanaman karnivor raksasa.”

“Tanaman karnivor?”

“Itu dulu yang kita bereskan.”

Lewis memungut sebongkah batu di lantai. Ia mengincar bagian terdalam yang dipenuhi sulur, lalu melempar.

Duk!

Batu mengenai sesuatu.

Atas saran mereka, Hazel mundur ke sudut yang aman dan menunggu.

Beberapa saat hening.

Lalu, tiba-tiba, gedebuk-gedebuk menggelegar. Tanah bergetar seperti diinjak raksasa yang berlari.

Detik berikutnya, anyaman sulur di depan mata tercabik-cabik.

Di sela-selanya, muncul sosok raksasa.

Sekilas—bola hijau aneh.

Batang-batang setebal lengan orang dewasa saling belit tak keruan. Sebagian batang menggumpal membentuk “kaki” yang bergerak.

“Kenapa barang beginian ada di rumah kaca!”

Lorendel, tak habis pikir, mengangkat longbow.

Hujan anak panah elf melesat.

Si tanaman buas membalas dengan memecutkan sulur-sulur tebal ke segala arah. Sekali sentuh saja, rasanya lengan-kaki bisa lepas.

Namun di pihak ini ada empat komandan Ordo Ksatria Suci.

Lewis mencabut pedang bermata bergelombangnya. Sepanjang bilah flamberge, api sungguhan menyala. Sekali diayun—whoosh!—pecahan cambuk-sulur tertebas bersih dan dilalap api.

Pedang besar Zigvald menggilas gulungan sulur-sulur hijau sekaligus, seolah menggencet gumpalan adonan.

Sulur-sulur yang menyambar dari udara untuk menghantam kepala-kepala mereka terpental oleh sihir angin Cayenne; saling lilit dan kacau sendiri.

Tanaman buas itu sibuk pontang-panting menghindari serangan bertubi-tubi.

Di tengah kekacauan, sesaat terlihat celah di bagian dalam. Di sela sulur-sulur, tampak bunga raksasa—si “tubuh utama”.

Lewis dan Cayenne serentak menoleh dan berteriak:

“Itu dia!”

“Di situ! Cepat!”

Tapi di sana… tak ada siapa-siapa.

Lorendel mengerutkan kening, tak percaya.

“Kalian ngomong pada siapa?”

“Ah, iya! Kupikir Is ada di sini…”

Biasanya, urusan begini selalu berlima bersama Iskandar. Kebiasaan membuat mereka salah ucap. Keduanya sempat kikuk dan hampir tersabet sulur.

Meski sempat ada momen meleset…

Begitu bunga raksasa—titik vitalnya—terbuka, sisanya mudah.

Anak panah Lorendel menembus angin, bertubi-tubi menghunjam pusat bunga. Sihir Cayenne menyambar di atasnya. Tanaman buas yang sudah compang-camping itu ambruk seketika.

Hazel melongo.

“Hebat sekali!”

“Ah, beginian cuma makan waktu dan bikin repot…”

Lewis menyentil-nyentil tanaman tumbang itu dengan ujung sepatu.

“Bagaimanapun, ini ‘Tanaman Labirin No. 1’. Kita periksa dulu. Mungkin ada gunanya.”

“Baik.”

Hazel jongkok memeriksa.

Ditusuk-tusuk—keluar cairan aneh. Dicoba dikupas—kulitnya terlalu liat.

Kelopak yang lunglai disibak. Bagian dalamnya sudah lembek, mulai lumer.

“Hmm… sepertinya tak ada gunanya.”

“Kalau begitu, cari yang lain.”

Kali ini Lorendel memimpin.

Baru menembus “rimba” beberapa langkah, sesuatu berderai jatuh dari atas.

“Apa itu?”

Zigvald sekali kibas dengan pedang besarnya—semuanya tersapu. Di punggung bilah tampak… biji dandelion raksasa.

Tapi bagian bawahnya aneh. Kait-kait tajam bergerak-gerak seperti capit.

Tak sulit menebak fungsinya: menyergap dari atas dan mengoyak-ngoyak daging mangsa.

“Untuk apa Adipati Nicholas mengumpulkan beginian!”

Lorendel memaki, gusar.

Biji-biji dandelion aneh itu menutupi langit, jatuh bak hujan pekat.

Namun di bawah sergapan empat komandan, mereka tak berkutik. Sebagian besar terserok oleh ayunan pedang raksasa Zigvald; sisanya dihancurkan menjadi serpihan oleh anak panah Lorendel, tebasan Lewis, dan irisan Cayenne.

“Tanaman Labirin No. 2: Dandelion Mengerikan.”

Hazel meneliti serpihannya.

“Ini juga… tak berguna. Baik dimakan maupun dipakai untuk hal lain.”

“Jangan-jangan seluruh tempat ini cuma penuh tanaman tak berguna?”

kata Cayenne—pertanyaan yang masuk akal.

Hazel mengamati celah di antara sulur-sulur yang tercerai-berai.

“Tapi di sana seperti ada sesuatu. Mirip padang rumput. Entah kenapa ada ‘padang’ di dalam rumah kaca.”

“Mari kita lihat.”

Zigvald membuka jalan.

Saat itulah—

Di balkon lantai dua rumah kaca, api menyala mendadak.

Sulur-sulur api sebesar tambang melesat menembus udara. Mereka berputar, membentuk lingkaran, berputar makin cepat hingga memusingkan mata.

Cincin api raksasa berdiri di depan, menghadang.

“Apa lagi ini!”

Semua spontan berhenti.

Hazel menatap sulur-sulur api yang berputar gila-gilaan.

“Hmm… lambat, ya?”

Semua menoleh dengan wajah ngeri.

“Apa? Itu dibilang lambat?”

“Miss Hazel! Jangan-jangan Anda sekelas Grand Cavalier?”

Tatapan terkejut menumpuk di mata mereka.

Hazel kelabakan.

Bagaimana bisa salah paham sejauh itu?

Ia buru-buru menjelaskan.

“Mana mungkin! Maksudku, dibandingkan kecepatan kalian, itu terasa lambat.”

“Ah, begitu toh? Syukurlah. Kukira Kekaisaran punya satu Grand Cavalier lagi.”

Cayenne menghela napas—entah kenapa tampak lega.

“Terima kasih sudah menilainya setinggi itu. Tapi kita harus memutar lewat tangga di sana. Bukan cuma kita yang lewat; Miss Hazel juga harus bisa lewat dengan aman.”

“Saya sangat berterima kasih atas perhatiannya, tapi… bukankah lebih mudah kalau kalian langsung menembus celah itu sambil menghancurkan semuanya jadi serpihan? Kenapa tidak begitu saja?”

Mendengar itu, semuanya tertawa.

Hazel kembali kebingungan.

“Kenapa tertawa?”

“Bukan tidak mau, tapi tidak bisa begitu.”

Lorendel menjelaskan dengan senyum di bibir.

“Ini jebakan yang cukup presisi. Di mata orang awam semua cincin api tampak mirip, tapi tiap-tiap ring punya kecepatan yang sangat berbeda. Kalaupun kita menghindari satu, menembus ‘begitu saja sambil menghancurkan semuanya’ tanpa menyentuh yang lain tidak sesederhana membalik telapak tangan. Kalau ada banyak objek bergerak secara kompleks begini, kita harus lewat sambil menghitung matang.”

“Serius?”

Hazel terkejut.

“Kukira para ksatria bisa melakukan hal begitu setiap saat. Kukira itu hal gampang. Bukan ksatria biasa pula, melainkan para komandan Ordo Ksatria Suci…”

“Imuuut!”

Lewis berseru.

“Kau menganggap kami sehebat itu! Ternyata di matamu, ksatria tampak sangat luar biasa! Betapa polos dan menggemaskan!”

Lorendel, Zigvald, dan Cayenne juga tersenyum. Mereka tak berkata apa-apa, tapi jelas menganggapnya manis.

Hazel makin kikuk.

Bukan begitu maksudku…!

Ketika ia hanya membuka-tutup mulut tanpa suara, Lewis berkata lembut:

“Kita ini satu tim. Sekalipun harus memutar, kita tetap lewat jalan yang sama—bersama-sama. Lagi pula, setengah dari rencana hari ini memang untuk… piknik makan siang.”

“Oh, benar! Bekal! Bekal itu memang sangat penting.”

Hazel cepat berbalik.

Namun, di dalam hati, rasa herannya belum hilang.

***

Sore itu.

Sambil mengerjakan pekerjaan rumah, Hazel memikirkan kejadian siang tadi.

“Aneh sekali.”

Ia menimba air, lalu mengambil kapak untuk membelah kayu.

Baru saja mengangkat kapak, bayangan hitam tiba-tiba muncul dari balik pagar.

Omong-omong, orangnya datang.

Hazel menyapa dengan gembira.

“Sudah datang?”

“Miss Mayfield, hari ini kau terlihat… baru, ya?”

“Ah.”

Hazel meletakkan “item sihir” yang bisa membuat lawan jadi lebih ramah.

“Maaf kalau mengejutkan. Aku sedang akan membelah kayu.”

“Membelah kayu? Boleh kuserahkan padaku? Aku suka sekali.”

Ada juga ya orang yang suka begituan?

Hazel mengernyit heran, tapi tetap menyerahkan kapak.

Detik berikutnya—

Brak! Brakk! Braaak!

Balok-balok kayu terbelah rapi berhamburan.

Pantas saja bisa suka…

Sambil maklum, rasa penasaran yang sejak tadi mengusik kepala Hazel justru semakin kuat.

Tetap saja, ini aneh.

Hazel melirik Sir Valentine berulang kali. Tepat saat itu, ia membuka topik yang pas.

“Kau ke Rumah Kaca Labirin, ya?”

“Ya! Rupanya gosip sudah sampai… entah ke mana.”

“Tapi katanya kalian tak membawa pulang satu pun tanaman labirin?”

“Betul. Tempat itu lebih menakutkan dari perkiraan.”

Iskandar sempat ragu, lalu berkata:

“Jujur saja, aku juga ingin melihatnya.”

Oho?

Mata Hazel berbinar.

“Tentu harus ke sana! Lagipula, Rumah Kaca Labirin ini kita dapat berkat siapa? Kepemilikan bersama, tahu!”

Ia mengambil kunci dan segera berangkat.

Datang pada malam hari memberi suasana berbeda. Hazel membuka kunci dan masuk.

Bagian dalam terang benderang. Di balik rimbun tanaman yang seperti hutan, ada sumber cahaya bak matahari. Bekas-bekas penjelajahan siang tadi masih jelas terlihat.

Hazel menunjuk-nunjuk sambil menjelaskan:

“Ini Tanaman Labirin No. 1—bunga raksasa yang menyerang dengan sulur seperti cambuk. Dan ini Tanaman Labirin No. 2—kami menyebutnya ‘Dandelion Mengerikan’. Area yang kami jelajahi siang tadi sampai di sini.”

Lalu ia menoleh ke sekeliling. Seperti yang diduga—di pagar lantai dua, api kembali menyala.

“Lihat! Sulur api mulai bergerak lagi. Kalau mau lewat bersama-sama sekaligus, kita harus memutar lewat tangga di sana…”

Ucapan Hazel terputus.

“Kenapa tidak langsung tembus saja?”

Bahkan sebelum kata-katanya selesai, pandangannya sudah dipenuhi semburat api.

Apa?

Saat Hazel masih bingung, Sir Valentine—entah sejak kapan menghilang—mendadak muncul kembali. Jubah hitamnya mengepak ketika ia mendarat; pijaran bara berputar di belakang punggungnya.

Dan hanya itu. Sulur-sulur api yang tadi menyumbat jalan dengan garang lenyap tanpa sisa.

Hazel menatap kosong pada ruang yang kini hampa. Lalu, seketika, sesuatu menggelegak di dada.

“Tuh kan! Kataku juga begitu!”

Iskandar menatapnya heran.

“Apa?”

“Buktinya benar! Tapi Sir Lewis, Sir Lorendel, Sir Zigvald, dan Sir Cayenne tadi memperlakukanku seperti anak kecil!”

Hazel mengadu, merasa tak adil. Iskandar tak paham maksudnya.

“Para komandan Ordo menghina Miss Mayfield?”

“Bukan begitu.”

Hazel menceritakan percakapan siang tadi.

“……Waktu kutanya apa itu hal sederhana bagi ksatria, mereka tertawa! Katanya mustahil melakukan teknik seperti yang baru saja Sir Valentine tunjukkan. Tiba-tiba aku jadi dianggap bocah. Padahal mereka harusnya melihat Sir Valentine!”

Iskandar tercekat.

Ternyata Hazel melihat dengan jelas apa yang terjadi malam itu di Gunung BrÅ“hen—bahkan mengingat kecepatannya.

Mengira gadis kebun tak paham ilmu pedang adalah keliru. Hazel punya mata setajam yang bisa menangkap kutu di balik daun tomat.

Ia hanya ingin menembus jebakan cepat-cepat agar bisa menunjukkan area baru di labirin.

Hanya ingin melakukannya dengan baik.

Tapi tanpa sadar ia meninggalkan jejak bukti yang berbahaya.

“Namun tetap aneh. Kenapa mereka bicara seyakinnya begitu? Mereka sendiri bilang tak bisa. Jangan-jangan… Sir Valentine lebih kuat daripada para komandan Ordo?”

“Tidak!”

Iskandar berseru.

“Mustahil! Hanya… bidangnya berbeda saja!”

Lalu ia cepat-cepat menunjuk ke arah seberang.

“Itu dia, padang rumput! Padang rumput! Sepertinya ada banyak tanaman aneh tumbuh di sana!”

“Ah.”

Sekejap, semua pikiran lain di kepala Hazel lenyap.

Ya, tentu para Komandan Ordo Ksatria Suci lebih kuat daripada Ksatria Kekaisaran. Seperti kata Sir Valentine, ini cuma soal bidang yang berbeda. Yang penting sekarang adalah padang rumput di depan mata.

Di atas sulur-sulur besar yang tumbang ke tanah, lumut hijau segar merambat. Dalam cahaya miring yang menembus, tanaman-tanaman kecil melayang seperti kupu-kupu.

Lalu itu… pohon tua?

Hazel memperhatikan lebih saksama, lalu terbelalak.

“Lihat! Itu jamur raksasa!”

Ia menatap takjub.

Di padang rumput aneh dalam Rumah Kaca Labirin, berdiri jamur-jamur setinggi manusia, bahkan lebih. Ukurannya tak kalah dengan pohon besar.

“Memang luar biasa. Jamur macam apa yang bisa tumbuh sebesar itu?”

Iskandar melangkah mendekat.

Saat itulah—

Dari atas, sesuatu menetes deras. Bukan hujan, melainkan cairan lengket. Begitu menyentuh ujung jari, timbul rasa mati rasa yang aneh.

“Hati-hati! Itu punya efek lumpuh yang kuat!”

“Apa?”

Hazel buru-buru menyelimuti diri dengan shawl. Tapi jelas tak cukup.

Iskandar segera mencabut jamur raksasa, menggunakannya sebagai payung untuk menangkis tetesan cairan sambil menarik Hazel mundur.

Kini Hazel benar-benar mengerti kenapa teman-temannya lebih memilih bekal piknik ketimbang melanjutkan penjelajahan.

Tempat ini terlalu aneh.

Membawa warga sipil masuk lebih dalam hanya akan berisiko. Kalau sampai Rumah Kaca hancur, ia akan sangat sulit menyembunyikan identitasnya.

Akhirnya, mereka memilih keluar.

“Kita lanjutkan perlahan saja lain kali. Sayang sekali, hari ini tanpa hasil.”

“Tidak, tidak juga.”

Hazel mendongak.

Sebenarnya ada satu hal yang mereka bawa keluar.

Tanaman Labirin Nomor 3: Jamur Raksasa.

Mereka nyaris tak sengaja “memanen”nya.

Cairan lumpuh yang menetes deras tak mampu menembus kulit jamur itu, langsung terpental saja. Karena itulah jamur bisa bertahan hidup di lingkungan ekstrem itu.

Iskandar menyeret jamur keluar, Hazel pun memeriksanya teliti.

“Hmm… aku merasa jamur ini bisa bermanfaat.”

“Benarkah? Ya, benar juga. Telur Gnome itu juga termasuk jenis jamur.”

Iskandar matanya berbinar.

Program nasional budidaya Poria (jamur obat) sedang berjalan mulus. Siapa tahu si pemilik kebun yang penuh rasa ingin tahu ini bisa menemukan harta baru lagi.

“Bagaimana? Mau kau teliti dan kembangkan?”

“Tentu, saya mau. Tapi ada masalah.”

Hazel mengukur jamur dengan pandangan serius.

“Subjek penelitian ini terlalu besar. Dapurku bisa jebol kalau dibawa masuk.”

“Kalau begitu, tinggal perluas dapurnya.”

“Tanahnya tidak ada, Sir.”

Iskandar terdiam.

Itu memang masalah.

Meneliti tanaman labirin adalah ide bagus. Tapi memperluas lahan kebun jelas mustahil.

“Kita harus mencari cara lain.”

“Betul. Dan harus hati-hati juga.”

Hazel yakin jamur itu tak berbahaya. Namun siapa tahu ternyata bisa mengeluarkan gas tawa atau hal aneh lainnya.

Maka mereka sepakat membiarkannya di luar semalam.

Begitulah akhir penjelajahan hari itu.

Ketika hendak berpisah, Iskandar ragu-ragu lalu berkata:

“Itu… soal bekal makan siang…”

Lewis terlalu membanggakannya. Hampir tak tertahankan.

“Ah! Bekal!”

Hazel berseru.

“Tentu! Setelah penjelajahan, kita harus makan bekal!”

Mereka bergegas kembali ke kebun.

Isi bekal yang Hazel siapkan siang tadi:

Salad telur. Gorengan daging sapi. Stik sayur dengan krim keju. Roti gulung kismis. Es teh persik.

Roti gulung dan es teh masih tersisa. Hazel cepat-cepat memotong sayuran dan menggoreng daging, lalu menghidangkan penuh meja.

Iskandar mencicipi roti gulung dulu.

“Padahal aku paling benci kismis… tapi anehnya kismis di kebunmu enak sekali.”

“Itu kismis beli di pasar, lho. Di sini kan tak ada kebun anggur.”

Aneh? Kenapa rasanya lebih enak?

Ia menyerah menilai masakan, lalu langsung ke pokok persoalan:

“Bekal ini sama persis dengan yang dimakan Sir Lewis, kan?”

“Hmm… tidak.”

“Apa bedanya?”

“Sir Lewis sangat suka potongan persik dalam es tehnya. Dia selalu minta lebih. Jadi khusus untuknya, kuberi sekitar satu setengah kali lipat.”

Iskandar langsung mengambil botol sirup persik dan menuangkan banyak ke gelas. Isinya sampai meluap.

Lalu ia tersenyum puas, seperti menang perang.

Hazel hanya bisa berpikir:

Sir Valentine, Anda memang tetap saja aneh…

Meski begitu, es teh persik yang hampir meluap itu memberinya energi luar biasa.

Keesokan harinya, Iskandar bekerja dengan semangat lebih dari biasanya. Seusai jam kerja, ia malah membongkar Kitab Hukum Kekaisaran.

Kitab hukum? Siapa lagi yang akan kena “digebuk” kali ini?

Para pejabat tinggi saling pandang cemas.

Kalau orang pernah kena api, lihat kayu bakar pun takut. Terlebih lagi, Kaisar mereka adalah Grand Chevalier. Sepuluh kali lebih menakutkan daripada kaisar biasa.

Mereka akhirnya memilih kabur pelan-pelan dari istana utama.

Namun sesungguhnya, kekhawatiran itu tak perlu.

Iskandar sama sekali tak memikirkan mereka.

Yang ada di kepalanya hanya satu: Bagaimana caranya meneliti jamur raksasa tanpa memperluas dapur?

Ia yakin pernah membaca sesuatu di kitab hukum… tentang “penelitian baru Lady Salon” atau semacamnya.

Dan benar saja, setelah mencari, ia menemukannya.

Iskandar mengangguk mantap.

“Ini harus kuberitahukan pada Hazel.”

Saat ia lega menemukan solusi, datang pula kabar baik lain.

Duke Hartenberg, Menteri Hukum Kekaisaran, masuk dan berkata:

“Paduka, penyelidikan sudah selesai.”

“Benarkah?”

“Ya, ini daftarnya.”

Iskandar cepat mengambil daftar itu.

Beberapa waktu lalu, ia memang memerintahkan khusus:

“Bawa semua nama orang-orang yang bersalah.”

Menteri Hukum yang ambisius itu betul-betul menyelidiki habis-habisan.

“Bagus. Kerja bagus.”

Iskandar memuji, lalu membawa daftar itu ke meja. Namun ia tertegun.

Di atas meja sudah ada dokumen lain—pengumuman tentang jadwal acara yang segera tiba.

Iskandar menatapnya dalam-dalam.

Tak terasa sudah waktunya lagi. Semoga kali ini tak gagal seperti sebelumnya…

Ia termenung sejenak.

“Paduka? Lebih cepat lebih baik. Kalau terlambat, informasinya bisa bocor.”

Suara Hartenberg membuatnya kembali fokus.

“Benar. Panggil Komandan Pengawal Istana.”

“Baik, Paduka!”

Seorang pelayan segera berlari.

Tak lama kemudian, komandan pengawal datang. Iskandar menyerahkan daftar itu padanya.

Beberapa saat kemudian, semua bangsawan dalam daftar dipanggil ke istana.

“Sejak kapan kalian begitu suka memasak?”

Pertanyaan Kaisar membuat semua terperangah.

“Ma… maaf?”

“Sejak kapan kalian hobi kuliner, sampai bela-belain membeli cuka balsamik berusia ratusan tahun? Itu pun bukan satu-dua botol, tapi puluhan, ratusan! Hidup seumur pun tak bakal habis memakainya.”

Wajah para bangsawan pucat pasi.

Kenyataannya terbongkar: mereka memalsukan catatan keuangan, mencatat cuka balsamik—yang lebih mahal dari emas—sebagai cuka biasa demi mencuci uang.

Di hadapan bukti jelas, tak ada yang bisa membela diri. Mereka harus membayar denda berlipat ganda, bahkan ada tambahan hukuman karena berani memperdaya negara.

Menangkap maling pajak begini terasa benar-benar memuaskan.

“Ya ampun! Bagaimana Baginda bisa tahu hal sekecil itu?”

“Cuka balsamik! Aku bahkan tak tahu benda itu ada!”

Suara kagum terdengar di sana-sini. Iskandar makin gembira. Kekhawatiran yang tadi menghimpit dadanya sempat terlupakan.

Mereka takkan pernah menebak dari mana aku mendapat informasi ini.

Saat berjalan pulang dengan hati riang, matanya menangkap sebuah pemandangan.

“Tunggu…”

Iskandar cepat menghampiri.

“Eh, apa-apaan ini…”

“Yah, berkat jasamu aku bisa memenangkan lelang permata itu. Anggap saja ini ungkapan terima kasih. Katanya, sudah biasa kalau memberi sepuluh persen sebagai balasan.”

Count Wagner menyerahkan arloji saku mewah pada Count Jansen.

“Wah, jangan begini, aku sungguh tak enak hati!”

Mereka masih basa-basi menolak, tapi tiba-tiba merasakan tatapan panas. Bersamaan mereka menoleh.

Sang Kaisar berdiri tepat di samping mereka.

“Ugh!”

Keduanya melompat kaget.

“Paduka! Ini hanya tanda terima kasih! Hanya mengikuti adat saja! Ada memberi, ada menerima!”

“Aku tahu.”

Iskandar berbalik.

Dan ia tersadar.

Benar. Aku juga harus memberi balasan.

Meskipun sedang bersaing soal tanah, tak boleh dibiarkan menggantung. Justru harus dibereskan dengan jelas.

Tapi… balas dengan apa?

Uang tunai tentu paling disukai. Tapi rasanya tak sreg memberikan uang begitu saja.

Ia lalu membolak-balik daftar inventaris harta kekaisaran.

Hingga pandangannya terpaku pada satu benda:

“Cangkul: berlapis perak, gagangnya bertatahkan mutiara.”

Sebuah cangkul, berlapis perak, gagang bertatah mutiara?

Inilah dia!

Entah kenapa benda seperti itu ada di gudang harta istana, tapi pokoknya ini hadiah balasan yang sangat sempurna. Seperti terlihat jelas dalam <Romansa Pedesaan>, Hazel selalu “kalang kabut” bila menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan pertanian.

Bagus. Ini saja yang kuhadiahkan.

Iskandar langsung pergi ke gudang harta istana dan membawa keluar cangkul berlapis perak dengan hiasan mutiara.

Saat itu juga—

“Paduka! Ternyata Baginda di sini!”

Seorang pelayan berlari menghampiri.

“Ada apa?”

“Utusan dari Istana Permaisuri Dowager datang!”

Dari Istana Permaisuri Dowager?

Iskandar terkejut.

Ibunda kandungnya, Permaisuri Dowager, dulu begitu menderita hingga kesehatannya rapuh dan kini menjalani perawatan dengan berdiam di istananya.

Sang Ibu hampir tak pernah mengirim dayang. Apalagi di jam sibuk urusan negara.

Dada Iskandar berdebar.

Jangan-jangan…?

Ia segera menatap dayang yang berdiri di belakang pelayan.

“Ada apa!”

“Bukan ada kejadian apa-apa, Paduka,” jawab dayang sepuh itu cepat sambil mengangkat tangan menenangkan.

“Permaisuri Dowager mengutus hamba untuk menyampaikan satu permohonan kepada Paduka. Hanya itu.”

“Permohonan?”

“Sebentar lagi para Ksatria Pahlawan akan berkunjung, bukan? Mengenai hal itu.”

“Ah.”

Iskandar menurunkan bahu.

Tentu ia tahu. Jadwal yang tadi tergeletak di mejanya adalah soal itu.

Para Ksatria Pahlawan akan memasuki ibu kota dalam dua minggu. Mengingatnya saja kembali menekan batinnya.

Dayang berbicara tenang, setahap demi setahap.

“Titah Permaisuri begini: ‘Para Ksatria Pahlawan adalah tamu agung keluarga kekaisaran. Namun kunjungan sebelumnya, meski kita menyiapkan segalanya dengan sepenuh hati, kita belum mampu menyambut mereka setuntasnya. Jangan sampai terulang. Karena itu, bagaimana jika Paduka Kaisar dan Sang Putri Agung menunjukkan bakti: sucikan raga dan batin, lalu menyalin Kitab Ksatria huruf demi huruf untuk dibuat salinan iluminasi sebagai hadiah?’”

“Salinan iluminasi?”

“Benar, Paduka. Itulah permohonan Permaisuri Dowager.”

Dayang memerhatikan raut Iskandar.

“Apakah memberatkan?”

“Bukan, hanya saja…”

Iskandar menggantungkan kalimat.

Membuat salinan iluminasi adalah salah satu khazanah budaya kaum ningrat kekaisaran.

Sejak dulu, saat negara tertimpa urusan genting, kaisar atau permaisuri akan menyalin kitab suci dengan hiasan emas-perak dan mempersembahkannya di altar. Permaisuri Dowager kini meminta tradisi itu.

Kunjungan lalu sudah bersusah-payah, tapi penyambutan dirasa masih kurang. Menjelang kunjungan kedua, bila kaisar dan putri agung sendiri menyalin Kitab Ksatria dan menganugerahkannya, tentu akan berkesan kuat.

Itu ide bagus. Hanya satu hal yang mengganjal.

Untuk membuat salinan iluminasi, mereka harus mewarnai dengan cat yang dilebur dari emas dan perak, dan menghias setiap huruf indah-indah.

Untung Kitab Ksatria tidak terlalu panjang. Namun, sekalipun dibagi berdua, butuh beberapa hari. Selama hari-hari itu mereka harus menjaga laku tapa: tak bebas ke mana-mana.

Iskandar punya reputasi suka berkeliaran di berbagai sudut istana. Athena pun dikabarkan sering menyelinap ke Istana Permaisuri Dowager.

Kalau dua orang ini “dikunci” di kamar… Sang Ibu meraih kebebasannya.

Iskandar baru menyadari dan tergeragap.

Jangan-jangan, itu memang maksud Ibu? Ingin melakukan sesuatu tanpa sepengetahuan kami?

Dayang melihat perubahan rona wajah Baginda dari detik ke detik, lalu bertanya hati-hati.

“Jika Paduka berkeberatan, beliau berpesan Baginda bebas menolak. Atau bila ada yang mengganjal, mungkinkah Paduka berkenan sendiri datang ke Istana Permaisuri untuk membicarakannya?”

“Hm, begitu ya? Tapi…”

Iskandar hendak berbalik, lalu terhenti.

Jika ia melakukan “kunjungan resmi”, tempat yang tenang itu pasti jadi hiruk-pikuk. Ibunya harus bangkit, menyingkap tirai, memberi sembah.

Ia sudah mencoba menghapus tata-krama semacam itu. Namun Permaisuri sendiri memotong tegas:

Paduka adalah yang tertinggi di Kekaisaran. Di hadapan khalayak, hukum dan adat harus ditegakkan lurus.

Melihat ibunya bangkit terpincang, ditopang kepala pelayan, demi memberi hormat—tak ada yang lebih membuat hatinya sesak.

Maksud apa lagi? Dasar penyakit curiga! Sekarang ibumu sendiri pun kau curigai?

Iskandar menegur dirinya.

Para Ksatria Pahlawan adalah lambang keberanian. Saat ibu dan putrinya menderita di bawah tirani mendiang kaisar, merekalah—meski dari kejauhan—yang memberi semangat. Wajar bila sang Ibu menaruh perhatian.

Ia menoleh pada dayang.

“Tadi aku hanya melamun. Sampaikan pada Permaisuri: akan kulakukan sebagaimana titah.”

“Baik, Paduka. Hamba akan menyampaikannya.”

Dayang memberi hormat lalu berlalu.

Begitu sosoknya lenyap, wajah Iskandar merunduk muram.

Setidaknya beberapa hari ke depan, ia akan terkurung di sel kecil nan suci itu.

Di usia sekuat ini, kerjaannya mewarnai naskah? Membayangkannya saja dadanya sesak.

Terutama—sementara waktu, dilarang keluar.

“Hmm…”

Ia menatap peti harta di tangannya.

Malam ini aku tak bisa datang.

Terpaksa, ia melepaskan sebuah ketopong dari baju zirah ksatria yang dipajang di koridor. Di hari sepanas ini, ia pun menutupi kepala dengan baja, lalu menuju kebun.

Namun Hazel tak ada.

Ke mana?

Ia sempat bingung, lalu teringat.

Ah! Pasti ke sana.

Iskandar bergegas membawa peti harta.

Tebakannya tepat.

Seusai membereskan pekerjaan kebun, Hazel langsung menuju Rumah Kaca Labirin.

Jamur itu masih berbaring manis di tempatnya. Syukurlah, tak ada gas aneh.

Ia ingin memeriksa lebih teliti, namun sulit dilakukan di sini. Di bawah bayang pepohonan terlalu suram. Jongkok lama-lama, kaki pun kesemutan.

Bisa tidak ya, memindahkannya ke tempat lain?

Saat itu juga—suara ranting patah terdengar di belakang.

Hazel menoleh.

Seorang ksatria, berbalut jubah hitam dan bertopeng ketopong baja, berdiri tegak.

Orang lain pasti menjerit “hantu!”. Begitu kelam dan antik rupanya.

Tetapi Hazel tak terlalu kaget.

Ia sudah pernah melihat sosok itu.

“Sir Valentine! Mau dinas luar, ya?”

“Dinas… dinas luar, ya…”

Entah karena ketopong, suaranya terdengar sayu.

“Bisa dibilang begitu.”

Ia bergumam lalu menyodorkan peti.

“Ini balasan atas informasi soal cuka balsamik waktu itu.”

“Wah!”

Hazel membukanya terkejut.

“Selamat, Sir Valentine, kalau investasinya sukses. Sudah senang karena bisa membantu menambah pemasukan, eh masih pula diberi hadiah.”

“Coba dibuka.”

“Boleh?”

Hazel membuka. Ia mengira akan ada boneka porselen. Ternyata… isinya jauh di luar bayangannya.

Cangkul berlapis perak bertatah mutiara.

Seumur hidup, ia belum pernah menerima hadiah se-absurd itu.

Iskandar mengamati ekspresinya.

“Kenapa? Tak suka?”

“Bukan! Mana mungkin! Justru karena bertengger di atas cangkul, perak dan mutiara itu terlihat makin berkilau!”

“Benar, kan? Kupikir berguna—bisa jadi alat pertanian, dan kalau terdesak, bisa jadi tabungan darurat.”

“Ehm… kupikir tak bisa dipakai sebagai alat bertani sih…”

Namun Hazel menerimanya dengan tulus.

“Sebagai balasan, malam ini akan kusiapkan jamuan besar.”

Tiba-tiba ia tampak tersiksa. Meski tertutup ketopong, perasaannya jelas terbaca.

Hazel bertanya.

“Kenapa?”

“Terus terang, beberapa hari ke depan aku sangat sibuk.”

“Ya ampun!”

“Tak apa. Bagaimanapun, selama itu kau juga akan sangat sibuk.”

“Kenapa?”

“Aku membawa solusi.”

Ia mengeluarkan selembar kertas.

“Jika tak ada ruang untuk meneliti jamur, pinjam saja dapur istana.”

“Dapur istana?”

Hazel melongo.

“Benarkah bisa dipinjam? Kurasa mereka takkan mengizinkan.”

“Tidak. Bukankah kebun ini sekaligus salon, dan kau adalah Lady Salon? Tugas salon adalah memperkenalkan budaya baru. Atas nama itu, minta pinjam dapur istana—mereka tak bisa menolak. Pakailah sepuasnya, lalu adakan ‘presentasi elegan memperkenalkan budaya baru’ di akhir.”

“Begitu rupanya.”

Hazel mengangguk, masih terperangah.

“Intinya, yang penting ada presentasi elegan di penghujungnya?”

“Ya. Itu kuncinya.”

“Kalau begitu beres! Masalah selesai sudah. Aku memang lagi pusing memikirkannya.”

“Syukurlah…”

Hazel meliriknya.

Tetap saja aneh. Meski wajahnya tak terlihat, ujung kalimatnya serak, nadanya merosot.

“Benar-benar tak ada apa-apa? Baginda terlihat murung.”

“Tidak.”

Iskandar cepat menegakkan badan.

“Hanya sibuk. Sebenarnya aku ingin menyaksikan langsung penelitian jamur raksasa itu.”

“Bagaimanapun, mau bagaimana lagi. Yang penting akan kucoba hasil terbaik.”

“Nanti aku pasti datang menengok.”

Ia berbalik.

Namun langkahnya di balik semak tak lagi lincah seperti biasa. Seperti orang yang digiring paksa.

“Hm…”

Hazel menatap punggungnya lekat-lekat.

Rasanya seperti seseorang yang sedang dipaksa pergi ke suatu tempat?

Jangan-jangan rahasianya membantu aku terbongkar?

Membayangkannya saja jantungnya tercekat.

Tapi mungkin bukan.

Toh akhirnya ia berjanji akan datang menengok. Dan ia selalu menepati janji.

Sepertinya hanya karena kerja berlebih, jadi murung.

Hazel menggeleng kecil. Sekaligus bertekad:

Kalau-kalau ketahuan, aku harus lebih pandai menjaga rahasia.

Ia sekali lagi memeriksa Tanaman Labirin Nomor 3 yang tergeletak, lalu beranjak. Ia langsung menemui Menteri Dalam Istana untuk membicarakan jamur itu.

“Jadi begitu, ya. Katanya dapur istana bisa dipinjam?”

“Dari mana kau tahu?”

“Sumber tepercaya yang memberi tahu.”

Menteri Dalam Istana diam-diam bangga.

Mendapat informasi bagus berarti Hazel mulai menempati posisi menguntungkan dalam dinamika istana.

“Bagus! Apa pun yang ingin Hazel bedah, aku setuju!”

“Eh… jangan apa pun juga, Tuan Menteri…”

“Coba kulihat…”

Beliau sudah membuka buku jadwal.

Istana Mawar Putih cocok. Dapurnya luas. Belum lama ini juga dipakai untuk acara para bangsawan-pegawai. Jamur sebesar ini akan sulit ditangani sendirian, tapi koki dan para pelayan dapur di sana bisa membantu.”

“Syukurlah!”

Hazel bersorak gembira.

Segala sesuatunya mengalir mulus.

Aku harus menemukan keunggulan jamur raksasa ini dan membalas budi.

Itulah tekadnya.

***

Sejak beberapa waktu lalu, para koki istana jadi sangat enggan masuk kerja ke istana.

“Dokter saja tak bisa menyembuhkan penyakit itu, tapi gadis itu berhasil! Dan lewat makanan pula!”

“Katanya ia bahkan tak pernah belajar masak secara formal? Dari mana dia dapat pengetahuan seperti itu?”

“Jelas lebih hebat dari seratus koki!”

Ke mana pun mereka pergi, orang-orang membicarakan itu.

Topik lain sedang dibahas pun, begitu koki lewat, obrolan langsung berbelok ke sana.

Sampai kapan ini mau terus begini?

Segerombolan koki masuk ke dapur dengan muka masam. Namun rekan-rekan yang sudah datang lebih dulu malah berwajah pucat seperti mayat.

“Kenapa kalian? Ada apa?”

“Belum dengar?”

Sambil gemetar karena geram, mereka menyampaikan kabar. Gadis pemilik kebun itu akan meminjam dapur Istana Mawar Putih untuk sementara waktu.

Seperti petir menyambar di siang bolong.

Kadang-kadang Lady sebuah salon memang meminjam dapur aula perjamuan yang sedang kosong. Tetapi itu selalu putri bangsawan berpangkat sangat tinggi. Lagi pula, tujuannya resmi dan mulia demi kemaslahatan umum.

Tapi seorang gadis kampung berani-beraninya menapakkan kaki di dapur istana!

Mereka ini menembus susah payah—seolah mengikis tulang—baru bisa menjadi koki istana. Lalu dia? Pernahkah dia bersusah payah barang sedikit?

“Lama-lama kebangetan!”

“Sampai kapan kita harus menahan diri?”

Para koki kompak meluapkan unek-unek.

Bendung yang lama ditekan akhirnya jebol.

***

Baroness Fiorenti meneguk air es besar-besaran.

Rambut pirang limau, kulit seputih susu. Di istana, ia termasuk sepuluh besar nyonya tercantik.

Namun pesaingnya, “Lady Tiga Detik” Nona Lamarche, akhir-akhir ini kian memesona.

Pipi ranum dan mata berbinar. Ia bahkan sengaja tak memakai sarung tangan renda, memamerkan jemari sehalus sutra.

Rahasia kecantikannya: air mawar.

Ya, air mawar itu.

Asal-usul resepnya terpampang jelas di bawah merek dagang! Sekalipun ingin cantik, masak sampai sebegitu tak berpikir?

Meski banyak yang menutup-nutupi, daftar siapa saja yang memakainya sudah beredar luas.

Harusnya digerakkan boikot!

Baroness Fiorenti meneguk lagi air esnya.

Sebenarnya ada alasan lain kenapa hatinya begitu mendidih.

Ia memiliki hubungan erat dengan sebuah serikat dagang. Ketika serikat itu hendak masuk bisnis barang mewah, ia merekomendasikan beberapa produk: sarung tangan beraroma, pomade untuk kaum pria, sisir kayu eboni, dan lain-lain.

Salah satunya meledak laris.

Air Mawar Amor.

Merebus kelopak mawar lalu menambahkan zat pewarna dan pewangi—mendulang untung puluhan kali lipat. Berkat pamor di kalangan sosialita, versi ekonominya bahkan laris manis di masyarakat umum.

Tuan serikat dagang sangat puas.

Artinya, kariernya akan melaju mulus.

Namun mimpi manis itu sekejap buyar.

Usaha Air Mawar Amor ambruk begitu saja dalam satu hari.

Penjualan sudah jeblok sejak munculnya air mawar baru itu; skandal Andre Delgado lantas mematahkan napas terakhir bisnisnya.

Dunia pun gelap gulita.

Kepada pemilik serikat—Abbas Mammon yang menakutkan—ia harus berkata apa?

Semua ini gara-gara bocah itu.

Andai saja ia tak menghasut Nyonya Viscount Bern untuk membuat air mawar!

Baroness Fiorenti begitu mendongkol pada Hazel.

Kaubikin usahaku bangkrut—kau juga harus hancur!

Ia berdoa tiap hari.

Saat gadis kampung itu kedapatan memasuki area terlarang istana, ia mengira doanya terkabul.

Tapi nyatanya?

Bukan diusir, si gadis malah menyembuhkan sang pangeran dan namanya kian melambung. Bahkan di klub baca-baca ini—yang biasanya manyun setiap kali isu pro-pedesaan muncul—orang-orang mulai menyinggungnya.

“Kudengar sekarang dia meminjam dapur Istana Mawar Putih. Benarkah?”

“Tentu. Pagi-pagi koki keluarga kami, Gustav, menemuiku sambil mengeluh.”

“Aku juga dengar dari koki-koki kenalan. Orang yang tulus mengabdi pada pekerjaannya sampai harus menanggung aib seperti ini! Hati saya ikut sakit.”

“Mereka bisa apa? Kaum pro-pedesaan berdiri kokoh. Para komandan ksatria juga—waduh—semakin menjadi-jadi.”

“Mereka yang terbiasa di medan laga mana paham intrik? Mereka kira semua orang jujur lurus macam mereka. Orang seperti itu justru gampang tertipu siasat.”

“Betul. Hanya pemain tingkat tinggi yang bisa membaca pemain tingkat tinggi.”

Begitu topik mengalir, semua ikut nimbrung.

Baroness Fiorenti memandangi mereka.

“Astaga! Rupanya kita semua sama-sama miris, ya? Aku juga. Kalau bocah itu mau ngapa-ngapain sendirian di kebunnya, bukan urusan kita. Tapi berani menyentuh dunia pergaulan? Kita tak bisa tinggal diam, bukan?”

Ia meneguk segelas air es lagi, lalu melanjutkan.

“Sekalian kita ambil sikap. Yang berpendapat gadis kampung itu tak boleh mendapat tempat di kalangan kita, mari balikkan sendok teh yang sedang dipegang.”

Para nyonya mengangkat sendok teh. Satu demi satu, mereka meletakkannya terbalik.

Semuanya terbalik.

“Setidaknya, yang hadir di sini sependapat.”

Senyum miring menyentuh bibir Baroness Fiorenti.

Hazel sama sekali tak tahu bahwa dirinya kini menjadi sasaran para koki istana dan sebagian nyonya kalangan sosialita.

Karena sukses, seseorang bisa dibenci dan disingkirkan.

Kemungkinan itu tak terlintas di benaknya. Kepalanya hanya penuh jamur raksasa.

Di terik siang, ia tak bisa berkebun. Jadi, waktu itu ia pakai untuk meneliti Tanaman Labirin. Cara pemanfaatan hari yang sangat efektif.

Ada nilai tambah lain: bertemu orang-orang baru.

Para koki dan pelayan dapur istana. Bayangkan: membedah jamur sambil belajar menggunakan bermacam-macam alat dapur dari mereka.

Betapa serunya!

Dengan hati berbunga-bunga, Hazel berangkat dari kebun.

Istana Mawar Putih bukan istana hunian keluarga kekaisaran, melainkan istana yang lazim dipakai untuk pesta.

Ia melintasi halaman berumput, lalu masuk ke dalam. Seorang abdi sudah menunggu untuk mengantar.

Mereka menapaki aula besar, melewati “Ruang Cermin”, “Tangga Merah”, “Ruang Palem”, dan seterusnya, hingga tiba di aula makan. Tepat di belakangnya, dapur Istana Mawar Putih.

Abdi itu masuk dan mengumumkan:

“Nyonya pemilik Salon Kebun Maronier, salon kediaman dalam istana, Nona Mayfield, telah datang. Sebagai upaya memperkenalkan budaya baru ke istana, beliau akan melakukan pembedahan dan penelitian Tanaman Labirin yang baru dikumpulkan di tempat ini. Mohon kerja samanya.”

Usai mengucapkan dengan lantang, ia pun undur diri. Hazel menatap sekeliling dapur.

Karena dipakai untuk perjamuan, ukurannya bahkan jauh lebih besar daripada dapur di istana kecil Sang Permaisuri Dowager.

Di bawah lengkung lengkung atap dapur kubah nan megah, terbentang meja kerja raksasa yang bisa dipakai tidur satu keluarga. Panci, periuk, dan alat-alat masak bertumpuk melimpah. Pada tiap pilar, bergelantungan batang-batang rempah mahal.

Fasilitas yang benar-benar memuaskan.

Di dapur, sekitar belasan koki istana dan enam atau tujuh pelayan dapur sibuk hilir-mudik.

Hazel menebar senyum cerah dan menyapa mereka.

“Halo. Saya Hazel. Mohon bimbingannya selama beberapa hari ke depan.”

“…….”

Tak ada jawaban.

Mungkin terlalu sibuk, jadi tidak dengar?

“Saya Hazel. Mohon kerja samanya selama beberapa hari, ya.”

Ia mengulang lebih lantang.

“…….”

Tetap tak ada reaksi.

Apa memang adatnya tak saling menyapa?

Hazel mengedikkan bahu. Ia menanyai pelayan dapur yang sedang mengelap talenan tepat di depannya.

“Tadi pagi, Tanaman Labirin sudah diantar ke sini, kan? Jamur itu…”

Belum selesai bicara, pelayan itu berlalu begitu saja.

Hazel terkesiap. Ia bertanya pada pelayan lain di dekatnya; yang ini malah mengerutkan wajah dan menjawab ketus,

“Tidak tahu.”

Hembusan dingin menyambar.

Padahal kalau jamurnya seukuran kacang mungkin tak kelihatan. Tapi ini dua orang pun bisa memakainya sebagai payung. Mustahil tak terlihat.

Ia melirik, dan—di sana, beberapa langkah dari tempat para pelayan lewat—terlihat sesuatu yang raksasa.

Hazel menuju ke sana.

Ketika kain penutup disingkap, benar: si jamur raksasa.

“Tolong bantu memindahkannya ke meja kerja, ya?”

“…….”

“Kita pindahkan jamurnya, yuk?”

“…….”

Tak ada yang menanggapi. Pada titik ini, jelas ada yang tidak beres.

Mereka sengaja berniat membekukan Hazel. Membuatnya terperangah sekaligus geram.

Aku tahu orang-orang membicarakan “kelompok pro-pertanian” dan semacamnya.

Tapi urusan kali ini jelas mengikuti tata aturan istana. Abdi sudah secara resmi meminta kerja sama.

Kenapa mereka begini?

Dengan wajah tak percaya, Hazel menatap para koki, pelayan, dan dayang dapur istana.

Saat itu juga, pintu masuk dapur mendadak riuh. Sekelompok nyonya dengan gaun mewah berbondong-bondong masuk.

Hazel terkejut.

“Ada keperluan apa?”

Seorang nyonya berambut pirang berkilau di barisan terdepan menjawab,

“Kami datang sebagai pengamat. Kami juga masing-masing mengelola salon. Kami ingin mendapat pencerahan dari nona tentang budaya baru itu.”

Hazel memandangnya, kebingungan.

Nada bicaranya terang-terangan memperlakukan Hazel seperti bocah ingusan. Sesama Lady salon tak saling bicara begitu.

Jelas mereka datang dengan niat tak baik.

Dugaannya tak keliru.

“Tolong bantu memindahkan jamurnya ke meja kerja, ya?”

“…….”

Melihat para pelayan dan dayang dapur mengacuhkan Hazel, para nyonya itu mengeklik lidah.

“Bawahannya saja tak bisa diatur!”

“Inikah yang nona sebut ‘budaya baru’?”

“Apakah semua yang terjadi di salonnya nona seperti ini?”

Seakan memang berniat mencari-cari celah, mereka mulai menyindir. Dada Hazel sesak.

“Anda, yang membawa nampan perak; Anda, yang memegang sapu; dan Anda, yang sedang menyeka tangan dengan lap! Bisa bantu pindahkan jamur ini ke meja kerja?”

Begitu ia tunjuk satu per satu, mereka tak bisa lagi pura-pura tak dengar.

“Kalau terjadi sesuatu yang berbahaya di jalan, orang cenderung jadi penonton, jadi tunjuk beberapa pejalan kaki secara spesifik untuk diminta membantu.”

Hazel terpaksa menerapkan kiat menghadapi situasi darurat semacam itu, barulah pelayan-pelayan itu bergerak. Masuk akal kah ini?

Dan itu pun belum selesai. Tiga pelayan itu bergerak sangat enggan dan lamban.

“Bukan—pegangnya di sini. Kalian berdua ke sisi sana, ya.”

Ia harus berkutat lama menghadapi sikap tidak kooperatif mereka. Akhirnya, si jamur raksasa berhasil juga dinaikkan ke atas meja kerja.

“Huh….”

Hazel mengusap keringat di kening.

Saat itu juga, pintu masuk kembali gaduh. Rombongan tamu lain bergegas masuk.

Para kepala koki istana dengan topi berlencana emas.

Di depan mereka berjalan seorang kepala koki sepuh berambut putih. Para nyonya memberi salam kecil setengah menekuk lutut.

“Maestro Henkel, ada keperluan apa?”

“Kudengar ada seorang nona bangsawan meminjam dapur Istana Mawar Putih untuk melakukan sesuatu, jadi kuputuskan menengok.”

Ia melirik Hazel.

Tatapannya tajam seolah membedah tubuh hingga ke dalam. Sebelum Hazel sempat bicara, keningnya sudah berkerut, lalu ia berucap,

“Belum mengerjakan apa-apa rupanya!”

“Tidak. Bagaimana mungkin tak mengerjakan apa-apa? Jamurnya sudah di atas meja kerja. Perlu waktu satu jam untuk menemukan jamur—yang konon ‘terlalu kecil sampai tak terlihat’—lalu meletakkannya di sini. Sungguh kerja sama yang mengagumkan, bukan!”

Hazel tak tahan, lepas kendali menyindir.

Percuma. Toh mereka sekongkol.

Benar saja.

“Bukan begitu, Maestro. Ini hal yang asing bagi kami, jadi tampaknya kami tak sigap mengikuti instruksi nona.”

“Hm. Wajar. Toh kalian bukan pelayan yang biasa diatur nona itu.”

“Di rumah saya tak pernah punya pelayan, kebetulan.”

Ucapan Hazel diabaikan.

“Kalau persiapan sudah, mari tunjukkan sesuatu. Pengamatnya sebanyak ini—harus ada yang bisa dilihat.”

“Baik….”

Hazel menoleh ke sekeliling. Tapi pisau tak terlihat.

“Pisau di mana?”

Tak ada yang menjawab.

Dihujani tatapan sinis, ia mengobrak-abrik sudut-sudut dapur. Lemari penyimpanan pisau akhirnya ketemu, tetapi tak ada pisau yang cocok.

“Pisau besar di mana? Anda, koki bertopi terbalik, lihat pisau dapur kotak besar?”

“Hari keburu habis begini!”

Seorang kepala koki berseru.

“Guru! Dari satu hal saja sudah terlihat semuanya. Tak ada yang perlu diamati lagi.”

“Hm!”

Maestro Henkel membalik badan. Para kepala koki istana menggeleng sambil keluar.

Silakan. Selamat jalan.

Hazel memandang mereka dengan wajah kecut.

Saat itu, koki berjanggut yang paling belakang sempat ragu, lalu menoleh dan—diam-diam—mengedip.

Apa itu?

Berbeda dari yang lain, ia tak tampak beritikad buruk. “Sebentar,” kata Hazel, lalu cepat menyusul.

Di lorong, ia menoleh kiri-kanan. Koki itu melambai dari balik sudut.

“Aku Giorgio, kepala koki ‘Aula Daun Salam’ yang sering disambangi para ksatria. Nona butuh ini, kan?”

Ia mengeluarkan sesuatu dari balik celemek.

Pisau dapur kotak besar. Mata Hazel berbinar.

“Betul! Ini dia!”

“Menyembunyikan pisau—jurus klasik. Aku sudah menduganya.”

Kepala Koki Giorgio berkata, jelas mengetahui sesuatu.

“Orang-orang itu memang sedang mempersulitku, kan?”

“Tentu. Mempermainkan, dan dengan cara paling kotor.”

“Kenapa? Apa aku lupa menyapa dewa masak di ambang pintu, lalu kita semua kena kutuk? Kalau bukan, aku tak paham.”

“Itu rumit.”

Giorgio pun menceritakan duduk perkara.

Para koki sakit hati karena Hazel menyembuhkan Pangeran Rowan lewat makanan dan menyebabkan Chef Donald didepak. Di sisi lain, ada nyonya-nyonya yang tak suka karena popularitas air mawar. Dua kelompok itu kini bersekutu.

Mendengar latar belakang itu, Hazel terperangah.

“Tak menyangka ada yang seperti itu! Keterlaluan! Ini murni cari-cari perkara!”

“Aku setuju. Tapi dalam urusan antarmanusia, berapa banyak sih yang sesuai logika? Semua soal emosi. Karena itu, justru sekarang kau harus meneguhkan hati dan menuntaskannya dengan baik. Aku tak bisa membantu lebih jauh….”

“Tidak! Tidak perlu!”

Hazel mengibaskan tangan.

“Tuan Giorgio juga kepala koki istana; posisinya serba salah. Bantuan sampai sejauh ini saja sudah sangat berarti.”

“Sejujurnya….”

Ia tersenyum canggung.

“Tak bisa kukatakan tanpa pamrih. Kalau ada kesempatan, ajari aku beberapa hidangan desa. Cara membuat ginger beer, misalnya…. Kau tak tahu betapa senangnya para ksatria kalau aku menyajikan masakan kampung.”

“Baik. Jangan khawatir. Setelah urusan ini selesai dengan gemilang, aku pasti ajarkan.”

“Terima kasih!”

Usai berpamitan, Hazel kembali ke dapur.

Saat belum tahu alasannya, ia bingung. Begitu tahu, ia marah.

Aku tak akan kalah.

Semangatnya menyala.

Hazel menggenggam pisau dapur kotak besar dan kembali berjuang.

“Tolong pegang tubuh jamur di sisi ini, ya? Bukan, butuh tiga orang. Bukan di situ. Maaf, bisa agak menyingkir?”

Para koki istana dan pelayan dapur tetap sangat tidak kooperatif. Para nyonya pengamat terus saja mencari-cari cela.

Akhirnya, tanpa sempat benar-benar mengiris jamur, waktu habis. Hazel membereskan peralatan dan keluar.

“Capek….”

Energinya habis oleh stres akibat manusia. Ia ingin cepat pulang ke kebun untuk beristirahat. Begitu mempercepat langkah, di gerbang kebun terlihat seseorang berdiri. Dari luar pagar, melongok ke dalam. Seorang perempuan bertopi jerami.

“Anda siapa?”

Perempuan itu kaget dan menoleh.

“Ah, maaf. Aku juga tertarik pada urusan bertani….”

Hah?

Hazel tak percaya telinganya.

Tertarik pada urusan bertani?

Butuh hanya beberapa detik bagi seseorang untuk menilai orang lain. Dalam perjumpaan pertama yang amat singkat, kebanyakan informasi sudah tertangkap.

Topi jerami si nyonya cukup lebar hingga menutup sampai leher dari terik matahari musim panas. Apronnya terbuat dari bahan kaku yang tak mudah ternoda tanah.

Di bawah rok kerja yang longgar dan nyaman, tampak sepatu bot yang solnya sudah aus. Di pangkal leher terselip sapu tangan katun untuk menyeka keringat.

Mata Hazel membesar.

Seorang petani sungguhan! Tak disangka ia akan bertemu petani betulan di dalam istana!

Ia nyaris tak percaya.

“Selamat datang! Benar-benar datang waktunya! Ayo, silakan masuk!”

Ia berlari ke depan, mengayun palang pagar lebar-lebar. Rasanya ingin menggelar karpet merah dan segera mengantar tamu itu ke dalam.

“Kalau begitu, boleh kulihat-lihat sebentar….”

Sang nyonya—disambut bak badai—masuk perlahan.

Kebetulan angin sore yang sejuk berembus. Sayuran di kebun kecil, hijau dan segar, bergelombang lembut.

Sang nyonya memandangi pemandangan itu sejenak, lalu pelan-pelan menggeser pandangannya.

Rumah kecil yang manis di balik halaman depan dengan bunga liar yang mekar rapat. Halaman samping mungil yang rimbun oleh aneka herba. Seekor sapi perah berbulu mengilap. Ayam remaja yang montok dan seekor anak ayam yang sibuk mondar-mandir di kandang.

“Ini kebun yang sangat menawan!”

Nada suaranya benar-benar tulus.

“Menakjubkan. Beberapa bulan lalu di sini belum ada apa-apa! Tomat, terong, labu….”

Mata Hazel kembali membesar.

“Anda bisa mengenali semuanya! Saya yang justru kagum! Ini pertama kalinya bertemu orang seperti Anda. Orang-orang di sini biasanya cuma bilang, ‘Yang hijau itu rumput, kan.’”

“Tentu. Bisa kuduga.”

Sang nyonya tersenyum sambil kembali menatap kebun. Pandangannya berhenti pada tanaman tomat.

Meski panas, tomat-tomat itu sarat air, tegang seakan siap meletup. Kebanyakan masih hijau pekat, tapi beberapa sudah mulai bersemu jingga.

Tomat sebaiknya dipanen agak awal. Saat mulai memerah, dipetik lalu dimatangkan lewat proses paska-panen. Dengan begitu, selain matang bagus, juga terhindar dari hama—sekali dayung dua tiga pulau terlampaui.

Dengan pikiran itu Hazel melirik.

Pandangan si nyonya tak juga lepas dari tomat—sepertinya benar-benar terpikat oleh buah-buah yang ranum itu.

Maka Hazel menyelutuk pelan,

“Mau kita petik beberapa buah sekarang?”

“Boleh? Benarkah?”

Dugaan Hazel tepat—sang nyonya hampir melompat kegirangan.

Hazel cepat mengambil dua keranjang.

Ia menyingkap rimbun daun dan memilih buahnya. Ia mengangkat tomat bersemu jingga selembut menimang bayi. Lalu menekan pangkal tangkainya dengan jari—krek—putus rapi.

“Ini penting, sisakan mahkotanya….”

Sambil berkata begitu, Hazel melirik—dan melihat si nyonya sudah melakukannya dengan sempurna.

Oh iya, beliau memang petani betulan.

Hazel tertawa kecil, agak kikuk.

Sang nyonya memetik satu per satu sambil berdecak kagum.

“Bagaimana bisa semua matang seelok ini? Aku belum pernah lihat tomat seindah dan setampan ini—bentuk dan warnanya! Bisa langsung dilukis untuk buku pelajaran!”

“Terima kasih, Nyonya. Rasanya semua kerja keras terbayar.”

Sambil bercakap riang, mereka memetik sekitar dua puluh buah. Lalu membawa keranjang itu ke rumah.

Di depan rumah, si nyonya tak langsung masuk. Ia menatap pemandangan. Menunjuk sulur mawar liar yang merambat di dinding dan tersenyum.

“Tahun depan, mawar pasti mekar di bawah atap.”

“Benar. Aku sengaja memindahkannya ke situ agar bisa melihat pemandangan itu.”

“Pilihan yang sangat tepat. Rumah pedesaan memang semestinya dihiasi sulur bunga di bawah atap.”

“Anda benar-benar paham!”

Hazel girang dan menunjuk ke sisi pintu. Si nyonya sontak berseru.

“Wah! Pot dari kendi pecah! Rumah desa memang wajib punya yang begitu!”

“Ya, kan? Kubuat susah payah!”

Hazel bersemangat mengantar tamunya masuk.

Di ambang pintu, si nyonya mendadak tertegun. Pipi di bawah topi jerami merona.

“Aduh…!”

Sepertinya ia jatuh hati pada suasana interior.

Tungku kayu yang berkilap. Lemari piring penuh aneka wadah warna dan bentuk yang berjejal rapi. Botol-botol bumbu tertata dalam jangkauan tangan. Berbagai peranti masak bergantung di dinding putih. Meja makan kayu dengan serat yang hidup. Roti desa di atas talenan.

Tatapannya berhenti pada satu sudut. Ia menunjuk sambil tersenyum lebar.

“Tirai itu! Persis seperti yang kuingat!”

Di kedua sisi jendela berjeruji, tirai kotak-kotak merah bergoyang ditiup angin—“tirai nasional” yang wajib ada di rumah sederhana.

Hazel menyalakan lampu kecil di ambang jendela. Lalu ia menyalakan semua lampu lain di rumah. Keranjang tomat ditaruh di meja.

“Mau mencicipi?”

“Boleh?”

Pipi si nyonya kembali bersemu di bawah topi.

Ada satu tomat yang matang pas untuk dimakan.

Salah satu cara terbaik menikmati tomat yang baru dipetik adalah menikmatinya bersama roti desa.

Hazel mengiris roti yang dipanggang kemarin. Ia membelah bawang putih. Roti disangrai sebentar agar permukaannya renyah, lalu digosok dengan bawang putih agar sarinya meresap. Tomat cincang dicampur minyak zaitun dan herba, disajikan bersama roti.

Ia menumpuk tomat di atas roti dan menggigit.

Tomat baru panen itu sarat sari. Padat namun tak keras. Asam-manisnya langsung membangkitkan selera yang lunglai oleh panas.

Dengan roti desa yang renyah-kenyal dan gurih, hidangan sesederhana itu pun tak kalah dari pesta.

Sari bawang putih yang meresap secukupnya memberi peran penting—membuat rasa sederhana itu jadi kaya dan bertingkat.

“Kenapa bisa seenak ini?”

Sang nyonya tak henti memuji, menyantap beberapa potong sekaligus.

Hazel paling bahagia saat tamu makan dengan lahap. Apa pun rasanya jadi dua tiga kali lebih lezat.

Satu tomat cepat habis.

Melihat si nyonya tampak belum puas, Hazel segera berkata,

“Masih ada bayam!”

Sedikit bayam dari panen pertama masih tersisa—sudah sekali dikukus dan disimpan di lemari pendingin.

Memang tak bisa menandingi yang baru dipanen, tapi masih layak untuk olahan.

Hazel mencelupkan bayam sebentar dalam air panas. Di panci lain, ia mendidihkan air lalu memecah telur untuk membuat telur ceplok air (poached). Bayam dibubuhi garam tipis agar rasa aslinya terjaga, lalu diberi telur di atasnya. Taburan peterseli membuatnya makin menggugah selera.

“Sesederhana ini tapi sungguh istimewa!”

Sang nyonya memuji sambil menusuk telur. Putih telur yang lembut kenyal terbelah, kuning telur kuning cerah mengalir. Ia menggulung bayam di garpu, mencelupkannya ke kuning telur, lalu menyuap.

Bayam yang dibesarkan hati-hati sepanjang musim semi terasa lembut dan gurih. Hampir tanpa bumbu pun, rasa asin gurih kuning telur jadi bumbu sempurna.

Sang nyonya benar-benar kagum.

“Teramat lezat!”

“Nih, silakan tambah sesuka hati.”

Hazel menyajikan sepiring lagi bayam dengan telur ceplok air. Ia mengiris roti desa dan menaruh banyak mentega di piring. Mata si nyonya berkilau.

“Mentega buatan kebun sendiri?”

“Tentu!”

Sang nyonya menyendok mentega banyak-banyak untuk mencicipi.

“Rasanya begitu penuh! Tak ada mentega mahal di dunia yang bisa menandingi mentega kebun dari krim segar yang dikumpulkan sendiri.”

“Tentu! Aku juga percaya begitu. Mentega itu vital—makanya dari awal aku beli pengocok yang bagus.”

Hazel sekalian membawa pengocok dan menunjukkannya.

Melihat alat kokoh itu, si nyonya tampak sangat gembira.

“Boleh kusentuh?”

“Tentu! Silakan!”

Keduanya larut bercakap panjang di depan pengocok mentega.

Entah berapa lama waktu berlalu.

Dari kejauhan, lonceng kuil berdentang.

“Oh, ya ampun!”

Si nyonya terlonjak berdiri.

“Sudah jam sembilan? Tak kusangka! Maaf. Tadinya cuma mau lihat sekilas, jadi malah menyita waktu.”

“A-ah! Tidak sama sekali!”

Hazel menggeleng kuat-kuat.

“Terima kasih sudah datang. Aku benar-benar senang. Hariku berat sekali, rasanya seperti dapat kejutan manis.”

Ia mengucapkannya begitu saja.

Sekonyong-konyong, wajah sang nyonya di balik topi menegang samar. Tatapan matanya—sulit ditebak warnanya—mencermati wajah Hazel.

“Kudengar kau melakukan sesuatu di dapur istana. Begitu melelahkan, ya?”

“Ah, bukan begitu….”

Hazel berniat menggampangkan. Ia tak ingin menjejali tamu yang sedemikian berharga dengan cerita getir.

Tapi si nyonya sepertinya sudah menangkap sesuatu.

“Sekeras apa pun kerja, melelahkanmu takkan sampai seperti itu. Ini persoalan orang. Mereka tak mau mendengar, ya? Kenapa? Karena takut pada pandangan Yang Mulia?”

“Bukan itu….”

Di bawah pertanyaan yang tajam, Hazel tak sanggup berbohong. Ia pun menjelaskan singkat: bagaimana dua keberhasilannya menyinggung perasaan para koki dan beberapa nyonya kalangan sosialita.

Ekspresi sang nyonya berubah. Wajahnya jelas memandang jijik dan tak sreg pada ulah mereka.

Namun ia segera menata kembali rautnya.

“Awalnya kau pasti menyongsong mereka dengan ramah, lembut, dan baik.”

“Ya. Aku suka para koki. Juga para pelayan dapur. Soal nyonya-nyonya… aku tak begitu paham….”

“Tidak semua orang membalas kebaikan dengan kebaikan. Menyedihkan, tapi kenyataan. Simpanlah kelembutanmu untuk orang-orang yang juga lembut. Saat seusiamu, aku belum mengerti itu. Tatap mata mereka, dan sampaikan dengan jelas. Kau tak perlu berkata-kata—cukup berikan isyarat: ‘Kalau kau tak menuruti ucapanku, kau akan sangat kesulitan.’ Hanya seterang itu pun sudah cukup.”

Hazel mendengar dengan mulut ternganga.

Dalam nasihatnya memancar wibawa. Tak bisa dibandingkan dengan nyonya-nyonya yang tadi siang datang “mengamati”. Inilah nyonya sejati—berwibawa dan elegan.

Simpan kelembutan untuk orang-orang yang juga lembut.

Itu sungguh kalimat sejati. Dada Hazel yang sesak rasanya lapang, pikirannya jernih.

“Jangan patah semangat.”

Demikian kata pamungkas sang nyonya sebelum berpamitan.

Hazel mengantar sampai ambang. Ia lama menatap punggung tamunya yang menghilang menyeberangi kebun gelap.

Syukur memuncak di dadanya.

Ia pulang dengan tubuh remuk. Namun berkat nyonya misterius itu, lelahnya lenyap seketika.

Semangatnya kembali penuh. Tapi satu hal masih menggelitik.

Bagaimana bisa petani sejati yang mencintai bertani tiba-tiba muncul tepat di jantung istana?

Sudah beberapa bulan sejak Kebun Maronier berdiri. Seandainya ia seorang nyonya yang punya akses ke istana, pastilah sejak dulu sudah datang.

Ada yang ganjil.

Kemunculannya yang tiba-tiba. Wibawanya yang sulit dijelaskan. Caranya yang seolah sengaja tak memperlihatkan wajah dengan jelas.

Hanya ada satu jawaban.

Ia peri—peri pertanian!

Hazel menarik kesimpulan itu dan berbalik. Ia kembali ke dalam dan duduk di meja.

Bagaimanapun, ucapan sang peri adalah kebenaran.

Semuanya soal adu wibawa. Jenis manusia itu lemah pada yang kuat dan galak pada yang lemah.

Hazel pun sebenarnya tahu. Ia menahan diri demi bisa bekerja akur dan rukun.

Tapi tampaknya mereka tak punya niat yang sama.

Kalau begitu, tak ada pilihan.

Keesokan harinya.

Hazel datang ke dapur Istana Mawar Putih tepat waktu.

“Selamat pagi.”

Tetap tak ada sahutan.

Ia memang tak berharap. Hazel langsung bekerja.

Jamur raksasa sudah di atas meja. Diselubungi kain penutup besar agar tak cepat kering.

Ia sempat heran—bagaimana orang-orang se-tidak kooperatif itu mau repot-repot menutup jamur? Segera ia tahu alasannya.

Beberapa koki menopang meja sambil mengobrol. Tangan mereka menekan kain penutup. Hazel menarik sekuat tenaga, tak bergeming.

Penutup itu jelas dipasang untuk keisengan macam itu.

Macam-macam saja gaya menakut-nakuti orang baru.

Hazel mendengarkan obrolan mereka sebentar. Ia berhasil mengetahui nama salah satunya—koki dengan dahi lebar.

“…….”

Saat Hazel menatap saja tanpa bicara, mereka melirik. Tatapan bertemu.

Hazel menatap tepat ke mata si dahi lebar dan berkata,

“Tuan Fritz, minggir.”

Koki Fritz tersentak.

Apakah aku pernah menyebutkan namaku pada gadis kampung ini?

Tentu saja tidak.

Namun ia menyebut nama dengan tepat dan bernada tegas—seketika nyalinya menciut.

Obrolan para koki sontak terputus.

Langkah awal berjalan mulus.

Hazel berpikir.

Peri pertanian menyuruh memberi isyarat: “Kalau tak menuruti ucapanku, kau akan sangat kesulitan.”

Seperti apa “kesulitan” itu? Ia agak ragu. Tapi peri bilang tak perlu diucapkan.

Jadi Hazel membayangkan dari sudutnya sendiri: tiba-tiba diseret negara, atau kena pajak menggila. Sambil membayangkan itu, ia menatap wajah para koki satu per satu.

Efeknya nyata.

“A-aku kan cuma menopang sebentar.”

Fritz menggerutu sambil melepaskan tangan. Padahal jelas niatnya mengusili.

Koki lain ikut membereskan sikap dengan gumaman tak jelas.

Berhasil!

Saatnya ke langkah berikutnya.

Setelah berpikir semalaman, Hazel menyimpulkan dua kaidah yang harus dipegang agar tak dipandang remeh.

Pertama: kekuatan mereka ada pada kekompakan. Maka jangan beri waktu untuk “kompak”.

“Ngomong-ngomong, Tuan Fritz, Anda bukan pro-pertanian, kan?”

“Apa?”

“Sepertinya aku pernah lihat Anda menyelundupkan alat pertanian.”

Hazel melontarkan kalimat apa saja—lalu brukk, ia mendorong jamur.

Jamur raksasa dari miogung itu mendadak menimpa. Para koki kaget bukan main. “Uwek!” teriak mereka sambil menahan.

Nah, begitu.

Hazel menyungging senyum puas.

Kaidah kedua: selalu pegang “senjata”.

Pisau dapur kotak besar sudah dalam genggamannya. Hazel memutarnya, lalu cok!—menusuk pangkal jamur.

“Tolong pegang kuat-kuat.”

Tiga koki istana yang kebetulan kebagian menahan jamur kelabakan. Kenapa aku melakukan ini?

Para pelayan dapur lebih kelabakan lagi.

“Aduh, Tuan Koki! Biar kami saja!”

Mereka buru-buru maju menggantikan para koki untuk memegang jamur.

Seperti yang kuduga.

Jika kau menyuruh atasan mengerjakan kerjaan kasar seenaknya, bawahan langsung goyah—gelisah seperti berdiri di wajan panas.

Siapa yang pernah hidup dalam organisasi pasti paham psikologi itu. Bank Roschel memang menyebalkan, tapi pengalaman di sana ternyata berguna.

Hazel tersenyum manis.

“Ayo, pegang erat-erat.”

Ia mulai membedah jamur.

Pisau hadiah Giorgio dari kantin ksatria itu betul-betul alat jempolan.

Dengan tebasan tekun, Hazel berhasil memisahkan pangkal jamur. Akar jamur raksasa itu duk jatuh ke lantai.

“Berhasil!”

Hazel memeriksa bidang potongan.

Bagian dalam jamur berwarna putih. Jaringan padat rapat. Ia menekan batang dengan siku dan mencoba mengiris sebagian.

Tapi pisaunya tak mempan.

Perlu alat lain?

Hazel berbalik, menggeledah sana-sini. Para koki berkerut kening.

“Jangan sentuh sembarangan. Satu pisau kecil pun tak diletakkan asal. Semuanya punya tempat sesuai tradisi dapur dan kebiasaan kami, para koki istana.”

“Begitu ya? Orang-orang sini saja tak menjaga ‘tempatnya’. Rupanya barang lebih disiplin daripada orang!”

Hazel menyahut sambil terus mencari.

Saat membuka lemari, yang ada hanya aneka bumbu. Ternyata dapur istana juga memakai wadah garam dan lada yang sama seperti di rumah. Hazel sempat mengamati dengan takjub, lalu tiba-tiba terpikir sesuatu.

Kenapa akarnya mudah dipotong, tapi batangnya tidak?

Ia teringat saat memanen jamur itu bersama Sir Valentine.

Tanaman misterius dari Miogung meneteskan butiran hujan lengket dari udara. Namun tetesan dengan efek bius kuat itu sama sekali tak berpengaruh—langsung memantul dari permukaan jamur.

Tahan air!

Hazel buru-buru kembali ke meja.

Ia kembali mencermati daging jamur dan permukaannya, teliti dari dekat.

Memang sulit dibedakan dengan mata telanjang. Tapi ia bisa menduga ada semacam kulit yang melekat sangat rapat.

“Ya. Itu dia.”

Hazel melangkah ke deretan tungku menyala di dinding. Ia menarik sebatang kayu kecil menyala dari salah satunya.

Para pekerja dapur terkejut.

“Apa yang dia lakukan?”

“Memang diutus untuk melakukan hal konyol begitu?”

Mereka geleng-geleng kepala, bersedekap, hanya menonton.

Alasannya jelas. Mereka menunggu Hazel menyenggol sesuatu lalu menimbulkan kebakaran, atau menyentuh api lalu berteriak “Aduh panas!” dan melemparkan kayu sehingga terjadi kecelakaan besar—begitulah tatapan mereka.

Hazel tentu paham.

Ia justru ekstra hati-hati mengendalikan api. Dengan cekatan, ia memanasi tipis permukaan jamur Miogung memakai kayu kecil menyala.

Bagian yang terpapar panas mulai menggelembung.

Benar, ada kulit tipis di sana.

Bagus!

Ia memanggang melingkari permukaan, lalu mencoba mengelupasnya dengan tangan—kulit itu pun terangkat pelan-pelan.

Namun hambatan berikutnya segera muncul.

Meski kulitnya sudah terkelupas, dagingnya masih sangat liat. Jaringannya padat rapat hingga sulit diapa-apakan.

Bagaimana ini?

Hazel berpikir sejenak.

Saat itu juga, suara ketukan tumit bergema keras di dapur luas. Para “pengamat” datang lagi seperti biasa.

Para nyonya masuk dengan santai, yakin Hazel akan kelabakan. Tetapi ternyata sudah ada kemajuan: pangkal jamur terpotong, kulitnya pun terkelupas.

Mereka memandang para koki dan para pelayan dapur dengan heran.

“Kenapa dibiarkan?”

Orang dapur menjawab dengan menggeleng pelan saja.

Ah, jadi kalian sempat berulah lagi.

Raut para nyonya jadi masam.

“Wah, patut ditiru sekali!”

Baronessa Fiorenti memimpin sindiran.

“Tapi kami tidak terbiasa dengan hal seperti itu. Mengangkat kayu seperti pelayan laki-laki, misalnya! Kau ini putri bangsawan kecil juga, bukan?”

“Luar biasa. Kupikir kau tak tahu sopan santun, melihat tingkahmu sedari tadi.”

Hazel membalas.

Keributan itu rupanya terdengar hingga koridor; pelayan pemandu menoleh ke dalam sekilas. Begitu ada pihak ketiga, mereka langsung bungkam.

Pelayan itu berkata pada Hazel,

“Sebentar lagi harus disudahi.”

Kebetulan. Hazel menahan pelayan yang hendak melangkah lagi, lalu menunjuk jamur di atas meja.

“Lihat, kulitnya sudah kulepas semua.”

“Oh begitu?”

Si pelayan menjawab sekenanya, tampak mengira ini cuma ocehan bocah bangsawan yang tak paham.

Biarpun begitu, sukses besar!

Hazel menatap para nyonya dan orang dapur dengan makna yang jelas.

Hari ini ada kemajuan. Pelayan pemandu ini melihat sendiri sampai tahap mana prosesnya.

Besok dia juga yang akan menuntun Hazel ke sini. Kalau selama Hazel tidak ada, terjadi sesuatu pada jamur, dialah saksi.

Jadi jangan sentuh.

Itulah isyaratnya.

Wajah semua orang tampak makin asam. Sepertinya mengerti.

Hazel pun meninggalkan dapur Istana Mawar Putih.

“Huuuh….”

Ia menghela napas panjang.

Ada hasil, memang.

Namun setiap menitnya terasa seperti perang. Untuk melakukan satu hal saja, otaknya harus berputar. Seluruh tubuhnya seperti tertusuk-tusuk tajamnya tatapan.

Ia sudah berniat menuntaskan ini.

Tapi bukan berarti tidak melelahkan.

Hazel melangkah gontai pulang ke kebun. Ia ingin cepat-cepat kembali ke tempat sunyi itu untuk menenangkan hati.

Namun ketika hampir sampai, ia melihat seseorang di luar pagar.

Siluet perempuan berskirt kerja dan bertopi jerami.

Hazel menatap terpana.

Ia mengedip-ngedip. Bahkan mencubit pipinya.

Perempuan itu menoleh, mungkin merasakan keberadaan Hazel.

“Baru pulang?”

Ia tersenyum menyapa hangat.

Benar-benar dia!

Hazel hampir melompat kegirangan.

“Ya Tuhan! Tak menyangka Anda datang lagi hari ini! Sudah lama menunggu?”

“Tidak. Aku juga baru datang.”

Mereka segera masuk bersama.

Baru saja berada di dalam, sang nyonya—rupanya tak tahan ingin tahu—langsung bertanya,

“Hari ini bagaimana?”

“Tunggu sebentar. Pertama-tama….”

Hazel membuka lemari dan mengambil roti.

Tomat yang dipetik kemarin ia taruh di tempat hangat; satu di antaranya kini cukup matang untuk dimakan.

Sama seperti kemarin, ia menaruh banyak tomat segar di atas roti desa yang permukaannya disapukan sari bawang putih. Lalu ia membuat salad bayam dengan kenari dan keju putih.

Wajah si nyonya langsung berbinar.

“Keju susu domba!”

“Bagaimana Anda tahu?”

“Kelihatan. Keju susu domba buatan tangan dengan cara kebun seperti ini—rasanya istimewa.”

“Betul!”

Hazel kegirangan.

Punya sahabat petani sungguhan itu memang paling menyenangkan.

Mereka menyantap sajian sederhana dan hangat itu dengan lahap, sambil Hazel menceritakan satu per satu kejadian di dapur Istana Mawar Putih hari ini.

Jelas itu bukan pengalaman menyenangkan.

Namun ketika dicurahkan pada sahabat yang sejiwa, sesuatu yang baik terjadi.

Seperti akar jackberry liar yang jika dibiarkan pada suhu ruang akan hilang pahitnya dan tinggal manisnya; kenangan pahit hari itu pun menguap, menyisakan bagian yang bisa ditertawakan.

“…Ketika kukatakan dengan cara berputar bahwa dia sungguh kurang ajar dan tak tahu adab, wajahnya langsung pucat kebiruan.”

“Bagus sekali.”

Mereka saling pandang, tertawa bersama.

Di bawah topi jerami, senyum lembut nan keibuan mengembang di wajah si nyonya. Hazel merasakan dadanya berdebar hangat.

Ia tak pernah tahu wajah ibunya. Kedua orang tuanya meninggal saat Hazel masih bayi.

Namun bila ibunya masih hidup, mungkinkah beliau akan menatapnya dengan ekspresi seperti itu?

Pikiran itu melintas, dan tanpa sadar senyum hangat serupa pun mengembang di wajah Hazel.

Sang nyonya yang misterius menghabiskan waktu menyenangkan, lalu berdiri.

“Sudah waktunya pulang.”

Hazel mengantar sampai pintu.

“Hati-hati di jalan.”

Ia melambaikan tangan.

Begitu sosok perempuan itu lenyap di kegelapan kebun, Hazel bergegas masuk.

Ia menarik tas dari bawah ranjang. Ia mengeluarkan tumpukan barang kecil, meraih buku dongeng di dasar tas. Cepat-cepat ia buka.

Setelah menelusuri, ia pun sadar.

“Ah, begitu rupanya!”

Kunjungan peri tidak selalu sekali datang lalu hilang.

Saat si penebang disiksa tuan tanah jahat, peri datang setiap hari membantu. Barulah ketika sang tuan tanah diciduk naga dan semua selesai, peri menampakkan jati diri dan berpamitan.

Selama cobaan berlangsung, peri akan terus datang membantu. Baru ketika ujian berakhir, tugasnya tuntas dan ia pun pergi.

“Tak heran….”

Hazel menutup buku.

Jadi peri sedang membantuku!

Kepercayaan dirinya mencuak.

Besok juga semangat!

***

“Kurang ajar!”

Baronessa Fiorenti pulang ke rumah dengan napas memburu. Ia begitu murka sampai-sampai tidak menyadari ada kereta hitam terparkir di sudut halaman.

“Uhm, Nyonya…”

“Apa!”

Ia membentak pelayan, lalu baru sadar.

Di balik punggung pelayan yang menciut berdiri seorang pria berambut merah dengan rahang tegas—seorang bangsawan paruh baya.

Baronessa menjatuhkan kipasnya.

Sir Wolfhound.

Tangan besar yang tersembunyi di balik Kafilah Mamon milik Abbas Mamon.

Wajahnya seketika memucat.

“Nyonya,”

suara Wolfhound berat dan menekan,

“tak ada yang ingin Anda sampaikan pada kami?”

“Itu… itu…”

Baronessa Fiorenti, yang tadi begitu garang, kini gemetar seperti kijang di hadapan serigala.

“Apa-apaan ini! Anda memaksa kami investasi di bisnis air mawar dengan begitu yakin! Tahu kerugian yang kami tanggung?”

“Tapi beberapa waktu lalu kita masih untung besar! Kalau bukan karena perempuan bernama Hazel itu menghancurkan usaha kami—!”

“Lalu, sudah Anda balas?”

“Akan kubalas!”

“Hm.”

Wolfhound jelas tak percaya.

“Kalau berhasil, akan kuurus ke atasan. Tapi kelihatannya sulit.”

Ia meninggalkan kata-kata itu dan pergi.

Baronessa Fiorenti menggigit bibirnya. Ia meraih vas terdekat dan melemparkannya ke dinding.

Kring!

Vas pecah berkeping-keping.

Amarahnya tak juga surut. Ia melompat berdiri dan kembali ke istana.

Entah bagaimana, para nyonya yang tadi siang berkumpul sudah muncul semua.

“Baru terasa setelah mengalaminya! Bocah itu benar-benar lancang dan menjijikkan!”

Mereka melempar tatapan bernada celaan pada para koki istana.

“Malulah kalian! Bukannya mempermalukan, malah kelimpungan diatur-atur!”

Baronessa Fiorenti segera ikut-ikutan menghardik.

“Katanya mau memulihkan wibawa yang diinjak-injak! Ini apa? Seorang kampungan saja tak becus kalian singkirkan!”

“Nyonya, tenanglah. Ini belum selesai, bukan?”

Para koki berbisik licik.

“Kalau nekat tidak tahu diri, akhirnya akan tersandung oleh kakinya sendiri.”

“Betul. Kita permalukan habis-habisan lalu usir.”

“Pasti ada cara yang bagus.”

Mereka pun menempelkan kepala, berunding.

***

Keesokan harinya.

Hazel melangkah dengan tegap menuju Istana Mawar Putih.

“Hari ini akan kutuntaskan, dan sekaligus kuadakan presentasi. Tolong siapkan.”

Pelayan pemandu melotot.

“Baik.”

Dengan semangat yang sama, Hazel masuk ke dapur.

Begitu berdiri di depan meja, para “pengamat” pun masuk.

Tak peduli.

Hazel tak mengindahkan mereka dan meraih “senjata” hari ini: sebuah pentung kayu tebal.

Ia menghantam jamur sekuat tenaga.

Duk! Duk! Duk!

Bunyi padat bergaung. Semua memandang dengan wajah terperanjat.

Setelah telapak tangannya basah keringat, Hazel berhenti sejenak mengamati. Berhasil. Di sela serat yang rapat, cairan merembes keluar dan seratnya tampak.

Hazel meletakkan pentungnya. Mengikuti arah serat yang terlihat jelas, ia merobeknya dengan tangan.

Gerak tangannya cekatan dan mantap; seketika semua terbius menonton. Mereka sampai lupa situasi, pandangan bergerak mengikuti jemari Hazel.

“Sudah.”

Hazel mengambil sepotong.

“Cukup cicipi—kita akan tahu fungsinya.”

Ia memasukkan potongan jamur Miogung itu ke mulut dengan hati-hati.

Sekejap, ia terbelalak.

Hah?

Semua fokus pada Hazel.

Sejak kasus bulan-gelap, desas-desus sudah beredar: pemilik kebun kecil ini pernah mencicipi hampir semua herba liar; dengan klasifikasi rapi di kepalanya, ia bisa menebak khasiat hanya dari rasa—bakat yang aneh.

Apakah itu benar?

Para nyonya pengamat, setengah percaya, bertanya,

“Menemukan khasiat khusus?”

“Penemuan besar. Jamur ini…”

Hazel hendak menjawab, lalu menutup mulut.

“Aku tidak bisa mengatakannya.”

“Pengamat bertanya, kau tak jawab?”

“Itu aturannya. Aku meminjam dapur istana, jadi harus mengadakan ‘presentasi anggun memperkenalkan budaya baru’, bukan? Kalau ingin tahu, tanyakan di sana.”

Jawaban rapat tanpa celah itu membuat mereka terdiam.

Hazel mulai membedah jamur Miogung.

Ia menekan para pelayan—yang masih saja enggan bekerja—untuk menarik serabut batang jamur mengikuti arah serat. Tudung berbentuk payung berbau tak sedap, jadi diputuskan untuk dibuang.

Pembelahan selesai.

Hazel membagi potongan jamur ke dalam mangkuk. Lalu menuju lemari yang kemarin sudah ia intip.

Karena tahu isinya, ia tak butuh bantuan siapa pun.

Ia segera menemukan wadah garam. Kecuali beberapa potong untuk spesimen, sisanya ia taburi garam tipis-tipis.

Sekejap, para nyonya dan orang dapur saling melirik. Tatapan mereka sarat makna.

“Sudah.”

Hazel keluar memanggil pelayan.

“Presentasinya siap, kan?”

“Ya, tentu.”

Semua berjalan mulus.

Tak lama, presentasi digelar di taman Istana Mawar Putih.

Karena berlangsung super cepat, kabarnya belum sempat menyebar. Hanya orang-orang yang kebetulan melintas di sekitar istana pesta itu yang datang penasaran.

Siapa pun boleh.

Di hadapan mereka Hazel mengumumkan,

“Lewat eksplorasi Rumah Kaca Miogung, kami berhasil mengumpulkan Tanaman Miogung No. 3: jamur raksasa. Inilah potongan jamur yang telah dibedah. Dalam kapasitas sebagai Lady salon, hasil penyelidikan menyatakan kita menemukan sesuatu yang agung. Mengejutkan, jamur ini…”

Semua menajamkan telinga.

“Jamur ini luar biasa enak.”

kata Hazel.

Sejenak hening.

Seorang pria berkacamata monokel bertanya,

“Selain itu, khasiat lain?”

“Tidak ada. Hanya sangat enak.”

“Ada kandungan nutrisi khusus?”

“Tidak. Hanya sangat enak.”

Saat itu, barang yang sudah ia pesan dibawa para pelayan.

Dalam kuali bulat besar, kayu bakar menyala. Di atasnya dipasang kisi panggang.

Hazel menaruh potongan jamur di atasnya. Segera terdengar suara desis gemerisik.

Ia meniup potongan yang paling matang, lalu memasukkannya ke mulut.

Seperti perkiraannya.

Semula, potongan kenyal-keras itu tak bisa dipotong pisau dan hanya bisa disobek mengikuti serat.

Namun setelah dipanggang, ia menjadi lembut; permukaannya meleleh seperti keju elastis.

Rasanya pun mirip keju, hanya lebih ringan dan sarat umami. Taburan garam tipis mengangkat aroma dan citarasa jamur ke puncaknya.

Tak perlu banyak kata.

“Akan kubuktikan. Silakan.”

Hazel menyuapkan potongan jamur pada para penonton.

Mereka mengunyah tanpa sempat menolak; mata pun membesar. Jempol-jempol pun langsung terangkat.

“Benar-benar lezat!”

“Bukan?”

Hazel mengangguk.

“Jamur ini tak punya khasiat ajaib atau nutrisi aneh. Tetapi rasanya luar biasa. Itu saja sudah cukup menjadikannya tumbuhan agung. Karena yang lezat membuat orang bahagia. Di Rumah Kaca Miogung, kita menemukan sesuatu yang sungguh besar.”

“Betul juga.”

Orang-orang mengangguk.

Mengunyah potongan jamur dengan luar biasa—kulitnya renyah, dalamnya kenyal—membuat kata-kata itu terasa sangat masuk akal.

“Hebat! Hebat! Tapi sepertinya ada yang kurang?”

Seorang jenderal berambut perak mengeluarkan botol kecil.

Ide cemerlang. Yang membawa botol saku pun ikut mengeluarkannya.

Asap dari kuali mengepul. Aroma jamur panggang menggoda. Di tengah itu, pesta minum ceria pun pecah.

Para nyonya yang mendaftar sebagai pengamat menatap tak percaya.

Bagaimana bisa dia seteguh ini melakukan kemauannya!

Baronessa Fiorenti tak habis pikir dan berteriak,

“Katanya mengadakan ‘presentasi anggun memperkenalkan budaya baru’!”

“Sudahlah. Mau bagaimana?”

“Biarkan mereka bersenang-senang.”

Para koki istana berbisik lirih.

“Bagaimanapun juga, rencana kita berjalan sesuai rencana, bukan? Sekarang saatnya bergerak.”

Memang begitu.

“Baik. Habis sudah kau.”

Baronessa Fiorenti menebarkan senyum puas.

***

Presentasi pun berakhir meriah.

Hazel keluar dari Istana Mawar Putih dengan hati yang lega.

Meski banyak kesulitan, akhirnya ia menutupnya dengan indah. Ia melangkah pulang ke kebun dengan perasaan bangga—lalu mendadak berhenti.

Tampak punggung seorang wanita bermakota jerami.

Ah, jadi hari ini yang terakhir.

Mata Hazel tiba-tiba panas.

Ia sudah terlanjur sayang pada “peri pertanian” itu. Membayangkan sang peri akan menyingkap jati diri lalu lenyap membuatnya sedih bukan main.

Saat itu, sang wanita menoleh. Melihat wajah Hazel, ia terkejut.

“Astaga! Tidak berjalan baik?”

“Ah, bukan begitu.”

Hazel cepat-cepat merapikan rautnya.

Kalau berpisah, biarlah dengan riang. Layani sampai akhir dengan sebaik-baiknya!

Ia mengambil keputusan.

Ada bahan yang pas untuk santap malam terakhir bersama sang peri: jamur Miogung.

“Semuanya berjalan sangat baik. Lihat, ini jamurnya.”

Hazel membuka wadah.

“Ajaibnya, jamur ini rasanya sangat enak. Begitu masuk mulut, aku langsung paham. Memang tidak punya khasiat khusus, tapi itu sudah cukup.”

“Benar. Makanan yang enak sendiri adalah harta.”

Seperti biasa, pikirannya klop dengan “peri pertanian”.

Hazel menyelipkan kisi panggang ke perapian berapi kayu. Jamur segera mendesis.

Ia segera mengangkatnya sebelum gosong. Bekas kisi terpatri di permukaan; ia meniupnya, lalu menyuap.

Dalam suasana akrab seperti ini, rasanya makin nikmat. Peri pertanian pun tampak sangat menyukainya.

“Tak bisa dipercaya! Rumah Kaca Miogung yang seram itu menyimpan jamur selezat ini!”

“Reaksi penonton presentasi juga sangat bagus. Wajah mereka merah padam sambil memanggil orang yang lewat. Berbagi yang enak-enak itu memang hal yang indah, tapi nyaris saja aku tak keburu membawa pulang sisanya.”

“Memang rasa yang membuat siapa pun jatuh hati. Hanya dibubuhi bumbu ringan tanpa tambahan apa pun, bukan?”

“Betul. Kuperasa tambahan lain malah merusak rasa jamur ini, jadi hanya kutaburi sedikit garam.”

Sang wanita melirik potongan jamur mentah. Seketika, gurat aneh melintas di wajahnya.

“Hmm?”

Ekspresi yang sulit diungkapkan.

Hazel bingung.

“Ada apa?”

Ia mengambil sepotong dari wadah dan mencicipinya.

Asin—sewajarnya.

Hazel bertanya hati-hati.

“Apakah aku berbuat salah?”

“Hmm. Tidak, tidak.”

Peri pertanian tersenyum lembut.

“Kau melakukannya dengan sangat baik.”

Mendengar pujian itu, Hazel lega.

Mereka mengobrol sambil menyantap jamur panggang. Lama-lama perut pun kenyang. Seolah berjanji, mereka keluar rumah.

Kemarin di kebun tomat hampir tak ada yang bisa dipetik; hari ini justru banyak yang siap.

Kadang hari ini kosong, esok penuh—begitulah alam, pikir Hazel. Sekalipun hari ini berat, besok bisa saja membaik.

Saat Hazel mengucapkannya sambil memetik tomat, sang wanita tertawa.

“Petani selatan memang optimistis. Banyak orang tidak berpikir begitu. Menyenangkan mengetahui ada yang hidup santai dan bahagia di negeri ini.”

Hazel tercekat.

Tunggu. Bagaimana dia tahu aku dibesarkan di pertanian selatan?

Ah ya, dia kan peri. Wajar.

Sementara Hazel bertanya jawab dalam hati, sang wanita melanjutkan,

“Di kampungku, ada pepatah: kalau bulan April sering berkabut, panen akan bagus. Di selatan juga ada yang begitu?”

“Oh, tentu!”

Topik seperti ini sangat disukai Hazel.

“Kami memperhatikan arah angin. Pada Hari Santo Florianus, kalau angin bertiup ke utara, tahun itu pohon berbuah lebat. Kalau ke selatan, ternak banyak beranak. Kalau ke barat, hama akan merajalela.”

“Menarik!”

Mereka memasukkan tomat ke keranjang satu per satu.

Akhirnya semua tomat selesai dipetik.

Huft, benar-benar sudah sampai di ujungnya.

Hazel menatap peri pertanian dengan mata sayu.

Namun tak terjadi apa-apa.

Hazel berkata,

“Tak apa. Aku sudah menyiapkan hati.”

Sang wanita memandang heran.

“Menyiapkan hati untuk apa?”

“Tak apa sungguh. Meskipun kau berubah jadi cahaya lalu menghilang…”

Sesuatu yang panas mendesak di dadanya.

“Aku takkan pernah melupakanmu.”

“Maaf… apa?”

Peri itu menatap Hazel dengan bingung.

Saat itu juga…

Pintu pagar terkuak. Sekelompok orang masuk: para nyonya sosialita yang kemarin ikut mengamati riset jamur, beserta para koki Istana Mawar Putih.

Mereka menyeret seorang pengawas istana dan menerobos kebun. Auranya jelas tidak ramah.

Hazel menaruh keranjang dan bertanya,

“Ada urusan apa?”

“Usai kau meminjam dapur Istana Mawar Putih, para pelayan dapur menemukan kejanggalan saat bersih-bersih.”

jawab pengawas. Hazel bertanya lagi,

“Kejanggalan apa?”

“Bahan makanan hilang. Namanya garam Geumgang.”

“Itu apa?”

“Garam berlian. Begitu mahal hingga hanya dipakai untuk hidangan Keluarga Kekaisaran. Kini habis—tinggal dasar wadahnya.”

Garam?

Hazel merasa seperti dihantam di kepala.

“Jangan-jangan garam itu?”

“Kau memakai garam?”

“Ya. Tapi mana mungkin! Garam itu ada di wadah bumbu biasa.”

“Itu tradisi di dapur istana.”

Koki bernama Fritz berkata pada pengawas,

“Karena banyak yang keluar masuk, sering ada penyalahgunaan—bahan mahal dicatut sedikit-sedikit dan dijual. Untuk mencegahnya, kami sengaja menyimpan bahan berharga dalam wadah sederhana. Semua yang keluar masuk dapur istana tahu adat ini.”

Hazel ternganga.

“Kenapa tak seorang pun memberi tahu aku?”

“Kenapa kau justru menuduh kami?”

si koki membalik menggertak.

“Gadis ini benar-benar seenaknya. Dapur istana dia obrak-abrik seperti rumah sendiri. Seolah dirinya siapa.”

“Benar. Kami melihatnya.”

para nyonya menyahut.

“Siapa sangka ia menghambur-hamburkan bahan semahal itu! Sekalipun matamu gelap, tak begini caranya!”

“Garam berlian—yang hanya Keluarga Kekaisaran nikmati—kau siramkan seperti air untuk jamur remeh itu! Hasil besarnya juga tidak ada. Kalian semua lihat presentasi berantakan tadi, bukan?”

“Dapur istana bukan tempat setiap orang bisa masuk seenaknya. Karena kurangnya dasar etiketlah ia menimbulkan masalah sebesar ini! Keluarga bangsawanmu sudah jatuh—bagaimana kau mau mengganti rugi?”

Kepala Hazel kosong. Para nyonya dan koki bersekongkol membuat perangkap sehina ini!

Pengawas bertanya,

“Apakah kau mengakui telah memakai garam berlian semaumu?”

“Aku benar-benar tidak terima. Situasinya dibuat supaya aku mudah terkecoh. Akan kuceritakan semuanya dengan rinci. Tapi biarkan tamuku pulang dulu. Begitu seharusnya etika tuan rumah.”

Tamu?

Para nyonya dan koki melirik.

Baru sadar ada seseorang: seorang wanita berseragam kerja sederhana dengan topi jerami.

Mereka tak peduli dan kembali mendesak.

“Berhenti ngeles! Ikut kami sekarang!”

“Kalau salah, akui saja!”

“Kali ini kau takkan lolos!”

Wajah peri pertanian tampak sangat tak nyaman. Ia menatap kerumunan dan berkata,

“Tenanglah. Bukankah kalian terlalu keras?”

Sudah panas kepala, Baronessa Fiorenti langsung menyambar,

“Nyonya urus saja kebunmu. Apa yang kau tahu sampai ikut campur?”

Sangat kurang ajar. Darah Hazel mendidih.

“Apa-apaan itu! Tak seorang pun boleh menghina temanku! Minta maaf sekarang juga!”

Ia melotot, menantang langsung sang baronessa. Tentu saja wanita itu tak menggubris.

“Kau sendiri tak punya kata-kata untuk membela diri?”

“Apa lagi? Minta maaf pada Nyonya!”

Saat itulah—

Seolah tak bisa menahan diri lagi, sang wanita berbalik menghadap mereka.

“Masalahnya, gadis ini memakai garam berlian untuk masakan, bukan? Lalu bagaimana jika hidangan itu dimakan Keluarga Kekaisaran?”

“Apa maksud—”

“Aku bertanya: bagaimana kalau yang memakannya adalah Permaisuri Janda Kekaisaran!”

Ia mengangkat wajah. Paras yang selama ini disamarkan tampak jelas.

Para nyonya dan koki terkejut setengah mati.

“Se… Se-ri!”

Kaki mereka lemas, ambruk di tempat. Kepala Hazel berdengung karena syok.

Apa? Peri pertanian itu bukan peri, melainkan…

Permaisuri Janda?!

Peristiwa yang teramat besar terjadi begitu saja.

Mengapa Yang Mulia Permaisuri Janda ada di sini?

Para nyonya dan koki kehilangan akal. Jatuh berlutut saja belum cukup; mereka berebut menelungkupkan kepala ke tanah.

“Se… Seri…”

Mengingat tingkah mereka barusan di hadapan Permaisuri Janda, jantung mereka mencelos. Tubuh bergetar seperti daun.

Di atas kepala mereka, teguran dingin pun menghujani.

“Kau bilang gadis ini membongkar-bongkar dapur sesuka hati? Jika kalian sepakat untuk tak memberi tahu apa pun, bagaimana dia harus berbuat? Jika kalian mencari-cari cela dan tak mau bekerja sama, bagaimana dia harus melangkah!”

“Bu… Bukan begitu…”

“Bukan bagaimana! Dalam keadaan begitu pun dia tak gentar—meneliti bahan asing dan menemukan cara mengolahnya—betapa patut dipuji! Kebetulan saja aku mendengar semua ini secara rinci; kalau tidak, hampir saja ada orang tak bersalah yang diperlakukan semena-mena!”

Suara Permaisuri Janda setajam es.

“Lewat kejadian ini, aku mengetahui betapa dalam berakarnya penyakit tak kasatmata di istana ini! Ini terjadi karena aku, Permaisuri Janda, gagal menertibkan mereka yang mengurus rumah tangga istana! Maka aku akan bertanggung jawab—biaya garam berlian itu kubayar dari kas pribadiku!”

Hati orang-orang yang sejak tadi membeku serasa jatuh ke jurang. Seakan jiwa mereka melayang.

“Ampuni kami! Kalau ini sampai ke telinga Yang Mulia Kaisar, kami tamat!”

“Tolong kurangi saja gaji kami! Hukum saja kami!”

“Kami salah! Kami benar-benar berdosa!”

Para nyonya dan koki meratap sambil memohon ampun; suara isak tangis membelah langit.

Namun di telinga Hazel, semua itu tak terdengar.

Permaisuri Janda…?

Ia begitu terpukul sampai tak bisa berpikir.

Tatapannya kosong, memantulkan pemandangan di balik pagar.

Orang-orang yang terkejut oleh kejadian besar ini bergegas lari—hendak menyebarkan kabar.

***

Pusat utama Istana Kekaisaran—jantung negara.

Beberapa hari terakhir, suasana di sana mencapai puncak kebosanan yang menjemukan.

Setiap selesai urusan kenegaraan, Iskandar pergi langsung ke ruang kecil yang menempel pada Ruang Upacara. Ia mengenakan jubah abu-abu polos tanpa hiasan, duduk di kursi kayu keras, lalu menyalin naskah berhias.

Memang tradisi kuno, tetapi para penguasa terdahulu biasanya menyerahkan pekerjaan itu pada bawahan dan hanya menyelesaikan sentuhan akhir sendiri.

Namun Iskandar tak terpikir untuk mengakali demikian. Seperti titah ibunda, kepada para ksatria pahlawan beruban itu, keluarga kekaisaran wajib menunjukkan ketulusan.

Hanya saja… teramat membosankan.

Awalnya paduan suara bernyanyi, tapi ia bosan dan menyuruh mereka keluar. Ia juga muak pada aroma kayu dupa, jadi memerintahkan agar disingkirkan.

Para abdi berjalan jinjit, melayani dengan senyap. Suasana begitu hening dan khidmat hingga bunyi setitik cat menetes terdengar besar.

Dalam hening itu, pikiran liar terus melintas.

Apakah riset tumbuhan Miogung berjalan lancar?

Sambil mengecat lingkar cahaya di punggung para ksatria dengan cat dari emas cair, Iskandar berpikir.

Kalau tenang-tenang saja, berarti berjalan baik, kan?

Tidak, tentu saja tenang—ia sudah memerintahkan suasana diatur senyap agar tak ada gangguan.

Tetapi…

Bukankah ini terlalu tenang?

Ketika ia menyalin aksara kuno di atas perkamen sambil dihantui pikiran tak berujung, tiba-tiba—

“Paduka! Paduka!”

Seorang abdi berlari pontang-panting masuk. Topinya miring, scarf-nya terlempar ke belakang.

“Begini, begitulah—!”

Ia melapor tergesa, sampai-sampai sulit menarik napas.

Berita itu begitu tak masuk akal; saking anehnya Iskandar mula-mula tak paham.

“Barusan kau bilang apa?”

“Yang Mulia Permaisuri Janda keluar diam-diam dari kediaman beliau! Saat ini beliau berada di… kebun salon di sebelah itu! Sedang memarahi para nyonya sosialita dan para koki Istana Mawar Putih!”

“Apa?”

Iskandar melompat berdiri.

“Apa maksudnya! Jelaskan rinci!”

Saat itu juga—

“Paduka!”

Kepala dayang Permaisuri Janda, Adiputri von Winterfeldt, datang bersama para dayang. Mereka juga tampak kalang-kabut—hiasan rambut lunglai, kerah kusut.

“Ampuni kami! Kami bersalah besar!”

Sejak kecil Iskandar mengenal sang adiputri; belum pernah melihat wajahnya sepucat itu. Nyata sudah: ibundanya benar-benar “kabur” dari kediaman.

“Tapi bagaimana bisa?”

“Yang Mulia Putri Tua Katarina menyusun siasat. Kami kira selama ini beliau berdua hanya menghabiskan waktu berdua tiap sore. Rupanya semua perlengkapan untuk menyamar pun Putri Tua yang siapkan.”

“Menyamar?”

“Ya, Paduka. Selama ini Permaisuri Janda mengeluh jenuh karena hanya berbaring berobat. Jadi kami sering menceritakan segala peristiwa di istana. Yang paling menghibur tentu saja kabar tentang kebun itu. Lama-lama beliau penasaran. Begitu keluar dari Kediaman Permaisuri Janda, beliau langsung menuju ke sana. Beberapa hari ini, beliau menyaru sebagai nyonya biasa dan… melakukan macam-macam.”

“Macam-macam?”

“Memetik tomat… misalnya…”

Adiputri menunduk, tak sanggup melanjutkan.

Kepala Iskandar mendenging.

Istana luas; kalau mau “kabur”, banyak tujuan.

Tapi kenapa harus ke sana! Bahkan ikut-ikutan bertani!

Apa yang harus kulakukan sekarang!

Pantas saja beliau tiba-tiba “meminta tolong” hal itu.

Ini siasat yang telaten. Iskandar dikurung di ruang kecil ini, Athena dikunci di istananya, sementara ibunda bebas hilir mudik.

“Tapi, aman-aman saja beliau berkeliaran begitu?”

“Amat bugar, Paduka. Baginda memarahi para nyonya sosialita dan koki yang berbuat curang pada gadis itu seperti singa betina murka. Kami belum pernah melihat beliau seberenergi itu. Karena itu, Paduka… sebaiknya jangan segera berangkat ke sana…”

Lagipula ia tak bisa pergi.

Iskandar menggeleng.

Ia benar-benar tak tahu bagaimana menanggapi kekacauan ini.

Di tengah pikiran yang semrawut, mendadak ia tersadar akan satu hal.

Menyamar diam-diam ke sana…

Benar-benar ibu dan anak sejenis!

Ia mendesah.

Pada saat yang sama, keadaan di kebun memanas lebih cepat.

“Aku katakan, biayanya kubayar dari harta pribadiku! Dengan itu, bubarlah kalian!”

Wibawa Permaisuri Janda setajam embun beku. Para nyonya dan koki memohon-mohon, tapi beliau tak bergeming.

Dengan wajah basah air mata dan ingus, mereka merangkul Hazel.

“Nona! Tolong, sampaikan pada Permaisuri Janda agar kami cukup dipotong gaji dan dijatuhi sanksi! Mohon katakan itu demi kami!”

“Tolong, ucapkan satu kata itu saja!”

Dengan tatapan kosong, Hazel membuka mulut.

“Tolong kurangi gaji mereka dan jatuhkan sanksi…”

“Hmm.”

Baru saat itu Permaisuri Janda melunak sedikit. Para nyonya dan koki makin meratap pada Hazel.

“Nona! Nona!”

“Tolong jatuhkan sanksi bagi mereka.”

Hazel mengulang. Wajah Permaisuri Janda mengendur.

“Jika Nona Mayfield berkata demikian… baiklah. Akan kuterima kemurahan hatimu.”

Beliau berpura-pura “mengalah”, lalu menatap Hazel; rautnya luluh.

“Maaf menyembunyikan jati diri. Kesehatanku buruk; selama ini hanya berbaring di kediaman. Tapi berkat hari-hari menyenangkan bersamamu di kebun kecil ini, aku merasa jauh lebih segar. Aku benar-benar berutang budi…”

Seketika, seolah bukan beliau yang barusan menghajar mereka, suaranya kembali lembut memuji Hazel berulang-ulang.

Saat itu—

“Ketua dayang sudah mengabarkan pada Paduka Kaisar.”

bisik seorang dayang.

“Ah… Harus kembali rupanya.”

Raut Permaisuri Janda diliputi sayang yang berat ditinggal.

“Beberapa hari ini aku begitu bahagia. Sekarang kebahagiaan itu usai. Selesai sudah.”

Wajahnya kembali tegas. Beliau melayangkan tatapan dingin pada para nyonya dan koki yang masih menelungkup.

“Kalian membuat onar sehingga kini aku tak bisa datang ke sini dengan tenang lagi! Bagaimana aku harus menilai perbuatan ini!”

“Yang Mulia Permaisuri Janda! Kami sungguh bersalah!”

Mereka panik lagi. Benar-benar seperti di neraka.

Permaisuri Janda menoleh perlahan.

“Terima kasih untuk semua yang menyenangkan.”

ujarnya pada Hazel, lalu berbalik dengan wajah penuh sayang yang berat ditinggal.

Orang-orang yang menonton dari luar pagar menyingkir ke samping sambil menunduk. Seruan “Yang Mulia Permaisuri Janda!” bergema riuh.

“…….”

Para nyonya dan koki yang datang dengan dada membusung kini seperti kehilangan ruh.

Sekalipun lolos sementara, masa depan mereka tamat.

Terutama Baronessa Fiorenti—yang tadi bersikap menghina pada Permaisuri Janda—takkan bisa bangkit lagi. Wajahnya yang tegang dan cantik seketika tampak menua berpuluh tahun.

Abbas Mammon…

Ia mengulang nama itu dalam ketakutan.

Untuk saat ini, mereka harus lekas pergi dari sini.

Mereka tersuruk keluar kebun, saling mendahului; lutut lemas, nyaris tersungkur berkali-kali.

Akhirnya semua lenyap.

Hazel berdiri termangu di kebun yang hening. Begitu mereka pergi, tegangnya luruh. Seluruh tenaganya seolah keluar dari tubuh.

“Peri pertanian…”

gumamnya, lalu ia ambruk duduk.

***

Di gedung utama istana ada “Ruang Koridor” yang panjang dan sempit, menghubungkan satu kamar ke kamar lain.

Biasanya, para sesepuh berkumpul di sana—bangsawan tua yang menyerahkan wilayah pada anak lalu hidup santai di kediaman kota. Mereka gemar duduk dan menganalisis perpolitikan.

Pernah sekali Permaisuri Janda jadi bahan bicara.

“Beliau hebat!” “Luar biasa!” “Benar-benar negarawan!” demikian kebanyakan berpendapat. Lalu Adipati Benito mengajukan keraguan hati-hati.

“Aku tak paham. Jika benar sehebat itu, mengapa dulu beliau sampai menanggung kehinaan? Terus terang saja—mungkin sebenarnya beliau biasa-biasa saja?”

Adipati Mikhail tersenyum tipis.

“Pikirkan. Di mana kini sang mendiang kaisar yang menakutkan itu? Dan siapa yang menduduki puncak kuasa sekarang? Siapa yang, sebagai ibunda Kaisar, berada di zenit kekuasaan?”

“Ah!”

Baru di situ Adipati Benito menepuk lutut.

Entah bagaimana jalannya di awal, yang tersenyum di akhir ialah pemenang. Permaisuri Janda kembali membuktikan kebenaran lama itu.

Saat putranya naik takhta, ia menjadi ibunda Kaisar. Cukup menggerakkan alis, badai bisa bertiup di istana.

Namun hingga kini, beliau dikesampingkan dari panggung politik besar—karena habis menderita, kesehatannya merosot, dan ia beristirahat tenang di Kediaman Permaisuri Janda.

Tetapi…

Mendadak beliau menampakkan diri di hadapan semua orang.

Bukan di tempat lain, melainkan di kebun itu. Konon, beliau menyelinap ke sana dengan menyamar.

Kabar dahsyat. Lingkaran sosial bak diseruduk lebah.

“Astaga, tak ada harinya tanpa badai!”

“Itu dia. Kapan kiranya gadis malang itu bisa bertani dengan tenang?”

Menteri Rumah Tangga Istana dan para pejabat perempuan mengeluh.

Tetapi setelah semua berlalu, senyum kecil menyelinap ke sudut bibir mereka.

Para nyonya dan para koki itu memang sangat menyebalkan. Namun justru itulah yang menghadirkan keberuntungan besar bagi Hazel.

Permaisuri Janda!

Itu koneksi emas—bahkan berlian!

Mereka bertukar pandang sambil menahan tawa puas.

***

Kabar mengejutkan itu sampai juga ke istana Putri Agung.

“Ibu Suri ke sana?”
Athena terperanjat.

“Beliau sampai menyelinap keluar dengan bantuan Yang Mulia Putri Tua! Bolehkah beliau bepergian sendiri begitu? Kenapa sampai menipu aku juga!”

“Benar sekali, bahkan Yang Mulia Putri Agung pun beliau permainkan!”
Kepala dayang, Ny. Branchès, terus geleng-geleng.

“Dan tahukah Anda apa yang lebih mengejutkan? Di depan orang banyak, beliau memperlakukan gadis desa itu dengan begitu akrab! Semua sampai tak percaya mata mereka! Artinya apa menurut Anda?”

Ia menepuk-nepuk pahanya, menyesal.

“Makanya dulu saat Yang Mulia Putri Tua menolongnya, kita harus membalas budi. Harusnya dijadikan dayang setia Anda, Yang Mulia.”

“Sudah kubilang hentikan pembicaraan itu.”

“Sayang sekali! Setelah Menteri Urusan Istana dan para Komandan Ordo Ksatria, kini sampai Ibu Suri juga! Adik saya, Kerual, lari ke tempat kejadian dan melihat sendiri. Ia tak henti-hentinya berkata, ‘Cepat jadikan gadis itu orang kita’.”

“Jadikan orang kita… bagaimana caranya?”

“Panggil saja dan ajak bicara. Tanyakan apakah ia kesulitan, apa yang bisa kita bantu. Gadis muda itu putri bangsawan merosot yang sangat miskin—sepertinya sudah banyak makan asam garam. Jika Yang Mulia yang laksana langit memperlakukannya ramah, ia pasti terharu.”

“Tidak mau!”

Athena langsung menolak.

“Aku tahu adikmu sangat cerdas dan peka. Tapi baik waktu itu maupun sekarang, rasanya kalian terlalu dramatis. Ibu Suri itu orang yang tenang. Seperti kebanyakan yang berdarah biru, beliau hanya menyamar sebentar sebagai orang biasa untuk menyegarkan pikiran. Perkara itu sudah selesai.”

“Hmm…”
Kepala dayang mengangkat bahu.

“Ya, kebanyakan orang pun berpikir begitu. Lagipula gadis desa itu telaten sekali menentang selera Paduka Kaisar!”

“Itu maksudku.”
Athena mengangguk.

“Aku akan menunggu dan melihat.”

***

Pada saat itu juga—

Hazel berada di tempat yang tak terduga.

Ruang sidang Dewan Penasihat Negara.

Matahari belum benar-benar terik, tapi kepalanya sudah pening, jadi ia menghentikan pekerjaan lebih awal. Dengan langkah lemas, ia mencari Sir Louis.

“Aku… ingin curhat sedikit…”

Kebetulan Louis memang hendak membahas urusan ini dengan kawan-kawannya. Begitu si pelaku utama datang, ia langsung membawa Hazel ke ruang sidang.

Ruang itu sangat bergaya kuno dan megah.

Dewan Penasihat Negara punya julukan “Balai Hutan Putih”.

Konon Kaisar Pendiri, Krauze I, menerima tiga belas nasihat untuk memerintah dengan baik dari makhluk-makhluk gaib di tengah hutan pohon putih—itulah asalnya.

Ruang sidang punya langit-langit indah untuk mengingatkan legenda itu.

Kontras tajam antara kayu putih bersih dan emas tua. Mengelilingi langit-langit, tiga belas lukisan indah memancarkan cahaya di dalam bingkai bundar, masing-masing menggambarkan satu pasal nasihat.

Di tengah karpet merah berhias lambang kekaisaran, berdiri meja bundar anggun yang konon dipakai para pahlawan pendiri negara.

Dalam keadaan lain, Hazel pasti asyik berkeliling mengagumi.

Tapi kini, satu pun hiasan tak masuk ke matanya.

Ia hanya duduk termangu di depan cangkir teh.

Louis melambaikan tangan di depan wajahnya.

“Ayo, tetap fokus.”

Hazel menggumam menjawab.

Zigvald memiringkan kepala. Ia tak berkata apa-apa, hanya menatap turun ke tangan Hazel.

Baru saat itu Hazel sadar.

Dalam keadaan bengong, ia terus-menerus merendam stik gula ke dalam teh.

Seharusnya cukup diaduk dua kali, tapi ia malah mencairkan seluruh batangnya. Teh hitam seduhan High-Elf berubah jadi air gula yang sampai menyengat lidah.

“Ah, duh.”

Ia hendak cepat-cepat menenggak untuk melenyapkan barang bukti, tapi Cayenne secepat kilat merebutnya.

Lorel mendemangkan teh baru.

“Tak perlu begitu ketakutan. Ibu Suri bukan orang yang menakutkan. Beliau orang baik.”
Katanya lembut sambil meletakkan cangkir baru.

“Terima kasih.”

Hazel menerima teh. Lalu berujar,

“Aku bukan takut. Hanya… terlalu, terlalu kaget…”

Kepalanya kembali pening.

Sejak pertama bertemu nyonya di luar pagar kebun, segala tingkahnya berkelebat di benak seperti kilas balik.

“Tak pernah terbayang. Beliau itu memang petani sungguhan. Sampai-sampai kukira peri pertanian.”

Hazel mendesah.

“Bagaimana Ibu Suri Kekaisaran bisa begitu paham soal bertani? Apa beliau putri petani?”

“Bukan.”
Mereka serempak menjawab.

“Ibu Suri putri bangsawan besar. Kami pun sempat heran. Lalu sadar, ada alasan mengapa beliau menaruh hati pada pertanian.”
Lorel menjelaskan.

“Saat masih Permaisuri, tak lama setelah melahirkan Paduka Kaisar sekarang, beliau pernah diusir dari istana.”

Hazel terperanjat.

“Diusir? Permaisuri diusir dari istana?”

“Betul. Karena intrik Camilla, selir jahat yang memonopoli kasih sayang mendiang kaisar. Saat itu bayi beliau dirampas, dan beliau diusir. Dikurung di rumah reyot di luar tembok ibu kota, dikepung prajurit, dua tahun lamanya. Penderitaan yang tak terlukiskan. Namun kelak Ibu Suri berkata: di rumah itu ada kebun kecil, dan itu menjadi pelipur lara. Menyaksikan benih tumbuh membuat rindu dan cemasnya pada sang bayi sedikit terobati.”

“Begitu rupanya.”

Barulah Hazel paham mengapa Ibu Suri fasih soal urusan kebun.

Sekaligus dadanya perih. Ada kisah getir di baliknya…

“Berkat jerih payah banyak orang, akhirnya fitnah itu terbongkar dan beliau kembali. Namun sekalipun begitu, Ibu Suri tetap harus menanggung berbagai siksaan dari selir itu. Jika dipikir, meski dipisahkan paksa dari bayinya… masa ketika beliau menenangkan hati lewat berkebun sambil menerima kabar yang diselundupkan orang setia, mungkin adalah ‘damai kecil di tengah badai’. Ketika beliau berkunjung ke kebunmu, kenangan masa itu pasti menyeruak kembali.”

“Mungkinkah…”

Hazel mendesah lagi. Louis menepuk-nepuknya menenangkan.

“Hazel benci kebohongan lebih dari apa pun, kan? Tapi sekali ini, bolehkah dimaafkan? Dengan menanggalkan statusnya sebagai Ibu Suri, berkebun bersama Hazel yang hangat dan bersahabat—beliau menemukan ketenangan batin. Pasti beliau sangat bahagia.”

“Aku tahu.”

Bahunya merosot.

“Marah? Sama sekali tidak. Aku juga senang. Ibu Suri orang yang sangat baik. Sulit sekali menemukan teman ngobrol yang bisa berbagi cerita pertanian dengan gembira seperti itu.”

“Lantas apa masalahnya?”

“Sekalem apa pun aku, ada satu hal yang sangat kutahu. Ibu Suri adalah ibunda Kaisar. Orang yang melahirkan Kaisar. Artinya, ada tembok besar di antara kami—tembok bernama Paduka Kaisar.”

“Kalau begitu, manfaatkan kesempatan ini untuk—”

Zigvald buru-buru menutup mulut Cayenne. Lorel dan Louis melotot pada si kucing licik.

“Aku mengerti perasaanmu. Tapi Ibu Suri bukan orang yang peduli hal-hal begitu. Seperti katamu, seorang sahabat untuk berbagi obrolan tentang kebun itu sangat berharga. Di sudut mana di ibu kota ini ada kawan seperti itu?”
kata Lorel. Louis menimpali,

“Kau tak melakukan kesalahan dengan bersikap apa adanya pada beliau. Malah sangat tepat. Tapi kalau hatimu masih ganjal, bagaimana kalau kau menghadap beliau?”

Hazel tersentak.

“Menghadap? Ke Kediaman Ibu Suri?”

“Bukankah itu akan menenangkan hati?”

Louis mengedip nakal.

Entahlah…

Hazel kembali melamun. Di tengah pikiran yang berserakan, sesuatu tiba-tiba muncul.

—Tak seorang pun boleh menghina sahabatku!

Ia berteriak begitu pada nyonya jahat tadi. Ia dengan bangga menyebut Ibu Suri Kekaisaran sebagai “sahabatku”.

Pipinya panas. Hazel menelungkupkan kepala di meja.

“Sudahlah. Lebih baik aku… lenyap saja dari dunia ini.”

Mereka saling pandang di atas kepalanya, menahan tawa.

“Ayo, pikirkan baik-baik.”
Louis menyikutnya pelan. Hazel hanya menggeliat.

Teman berkebun ternyata Ibu Suri?

Jalan cerita begini… terima kasih, tapi tidak.

Kebunku ternyata di dalam istana? Kejutan hidup cukup sampai di sana.

Kenapa nasibku sebegitu sial.

Aku menemukan teman berkebun yang lebih langka dari mandragora di kota ini. Namun…

“Kenapa pekerjaan dia harus Ibu Suri…”

“Itu bukan pekerjaan.”
Hazel tak menggubris komentar Cayenne dan kembali menelungkup.

“Uuuh…”

Ia tenggelam dalam galau.

Keesokan harinya.

Kediaman Ibu Suri, yang dilingkari hutan kecil pohon elm, riuh sejak pagi.

Sang Kaisar datang berkunjung—sudah lama tak terjadi. Tak lama, Putri Agung Athena pun tiba.

Saat mereka masuk, Ibu Suri tidak di ranjang, melainkan duduk di kursi, tengah berbicara dengan kepala dayang.

“…Kau kira aku ingin begitu? Gadis tak bersalah itu hampir ditimpa fitnah—aku tak punya pilihan. Sedihnya bukan main. Betapa nyamannya menyamar dan keluar masuk tanpa diketahui!”

Melihat ibunda yang menyesal begitu, Iskandar kembali meneguhkan niat.

Aku tak boleh ketahuan.

Bagaimanapun, beliau memang tampak jauh lebih bugar.

Di bawah rambut perak yang digelung rapi oleh para dayang, mata birunya bening. Wajahnya pun segar.

Melihat ibunya setegar itu, ia lega.

Namun di sisi lain, rasanya juga seperti dibohongi habis-habisan.

Ia hendak mengutarakan hal itu, tapi ibunya lebih dulu berbicara.

“Berkat perawatan semua orang, akhir-akhir ini kesehatanku jauh membaik. Berkali-kali kukatakan ingin menghirup udara luar, tapi semua sibuk mempertahankan posisi masing-masing hingga tak mendengarkan! Lalu apa lagi yang bisa kulakukan? Harus kutunjukkan langsung.”

“…”

Iskandar tak sanggup berkata-kata.

Selama ini ia berulang-ulang berpesan: jaga Ibu Suri baik-baik; kalau lalai sedikit saja dan terjadi apa-apa, kalian tanggung akibatnya.

“Maafkan kami.”

“Cukup bagiku bahwa kesehatanku sudah kubuktikan—meski caranya sedikit heboh.”

Dengan demikian, Ibu Suri merampungkan perkara menipu mereka lewat tugas penyalinan naskah berhias, lalu piawai mengganti topik.

“Aku paham, kini rumor dan spekulasi pasti merajalela. Tapi aku tak berniat ikut campur urusan negara. Itu wilayah Paduka Kaisar. Hanya saja, agar beliau bisa mencurahkan perhatian pada pemerintahan, bagian dalam istana harus tertib dan berjalan lancar—dan tampaknya itu kurang.”

Putri Agung Athena cepat-cepat menunduk.

“Tak ada pembelaan. Meski selalu mengawasi, aku masih sangat kurang…”

“Istana terlalu luas. Dan tiap departemen kebanyakan orang. Sulit kau tangani sendiri.”

Ibu Suri berkata lembut.

“Mengetahui kondisi begitu, mana bisa aku duduk diam? Meski sudah mundur dari garis depan, aku akan mendengar cerita banyak orang di belakangmu dan menolong sebisaku.”

Jika diterjemahkan—

Beliau takkan tampil ke luar, tapi bukan berarti tak melakukan apa-apa. Beliau akan melakukan sesuatu dengan caranya.

Apa yang hendak beliau lakukan?

Iskandar termenung sejenak.

Bagaimanapun, ucapan itu tak bisa dibantah. Itulah pernyataan yang sangat teladan bagi seorang Ibu Suri.

“Terima kasih atas titahnya.”
kata Iskandar.

“Terima kasih atas titahnya.”
Athena menyusul.

***

Semangat baru berhembus di dalam istana kekaisaran.

Pintu Kediaman Ibu Suri, yang lama tertutup rapat, kini terbuka lebar.

Tak lama kemudian, merebak kabar bahwa Ibu Suri akan membuka kembali salonnya. Artinya beliau hendak kembali ke kegiatan sosial.

Desas-desus itu sampai juga ke kebun kecil.

“Itu maksudnya apa lagi? Karena Hazel tak kunjung main ke sana, ya beliau membuka pintunya lebar-lebar, kan?”
Louis kembali menyikutnya.

“Dia satu-satunya sahabatmu buat ngobrol soal bertani, kan? Memangnya penting siapa yang ia lahirkan? Masa mau diskriminasi? Diskriminasi berdasarkan status itu buruk, lho.”

Memang benar. Diskriminasi status itu buruk.

Hazel merasa tertohok.

Dan bukan hanya itu.

Ia berusaha menata pikiran dengan bekerja lebih giat di ladang. Saat memetik tomat yang mulai memerah jingga, ia menemukan sesuatu.

Awalnya ia pikir salah lihat.

Tapi setelah menyibak rimbun daun lagi—ternyata benar.

Tomat bermotif bintang!

Ada tomat dengan tanda kebiruan membentuk bintang tergantung ranum di sana.

Ini sungguh langka. Katanya, satu banding sejuta.

Kalau di sebuah petak tumbuh hasil panen yang istimewa lezat, para peri kecil bumi akan datang diam-diam malam hari dan memetiknya. Agar jejak pencurian tak ketahuan, mereka mencomot satu bintang dari langit dan menggantungkannya sebagai pengganti.

Benar tidaknya legenda itu tak ada yang tahu.

Yang pasti, bila di ladang muncul sayuran bermotif bintang, seluruh panenan di petak itu rasanya akan luar biasa. Itu sudah jadi pengetahuan umum di kalangan petani.

“Bintang Peri muncul di kebunku!”

Hazel melonjak kegirangan. Di saat bersamaan, ia merasa kosong.

Makna sejati “Bintang Peri” hanya dipahami para petani. Tak ada yang bisa diajak berbagi kebahagiaan ini!

Ia berbaring menatap langit-langit, gelisah tak bisa tidur.

Akhirnya Hazel mengambil keranjang. Ia mengangkat tomat bermotif bintang, mengelapnya hati-hati dengan kain bersih, lalu menaruhnya dalam keranjang dengan penuh sayang.

Dan berangkat meninggalkan kebun.

Di Taman Agung istana, para bangsawan birokrat seperti biasa berjalan santai. Hazel menahan salah satu dan bertanya,

“Permisi, di mana Kediaman Ibu Suri?”

Benar saja: Hazel bahkan tak tahu letaknya.

Dengan bertanya pada sana-sini, ia akhirnya menemukan.

Kediaman Ibu Suri berada di sisi timur relatif terhadap bangunan utama istana. Bahkan sebelum bangunannya terlihat, deretan pohon elm raksasa sudah lebih dulu memikat mata.

Deretan pohon tua nan megah seperti itu—Hazel jatuh cinta pada pandangan pertama.

Namun hanya sampai di situ.

Begitu sosok istana tampak di sela pepohonan, ia langsung ciut nyali. Saat masuk ke dalam diantar pelayan, perasaannya makin menciut.

Di bawah langit-langit berjajar lengkung-lengkung dekoratif, lorong istana dipenuhi sosok-sosok berpakaian gemerlap.

Karena salon Ibu Suri kembali dibuka, orang-orang berbondong-bondong. Rasanya semua bangsawan di negeri ini datang.

Kondisi Ibu Suri baru pulih, jadi beliau tak menerima terlalu banyak tamu dalam sehari.

Para bangsawan ramai-ramai menulis nama di buku tamu untuk menunggu giliran. Bahkan untuk menulis nama pun harus mengantre. Yang tak kebagian, mengambil nomor antrean cadangan, berharap ada kursi kosong di tengah jalan.

Dalam suasana seperti itu, Hazel sulit untuk tak menciut.

Terdorong ke sana kemari, ia hanya berhasil sampai di depan pintu salon. Sejumlah orang berdiri di sana, mengintip ke dalam.

Hazel tak punya nyali sebesar itu. Ia hanya bersembunyi di balik daun pintu, menyembulkan separuh wajah.

Saat itu juga.

Ibu Suri, yang sejak tadi sambil bercakap-cakap beberapa kali melirik ke arah pintu, kebetulan menoleh dan tepat menangkap sosok Hazel.

Wajah Ibu Suri langsung berbinar.

“Teman kecilku!”

Beliau berdiri dari kursi, melangkah beberapa tapak, dan menyambut hangat.

Semua orang menoleh, terkejut.

Menyaksikan siapa yang begitu disambut Ibu Suri, mereka tambah terperanjat.

“Teman kecilku”…?

Dada Hazel hangat. Jarak canggung yang sempat ia rasakan setelah tahu jati diri beliau langsung menguap.

“Ibu Suri!”

Ia hendak bergegas mendekat, namun tiba-tiba teringat sesuatu dan berhenti.

Ia menaruh keranjangnya sejenak di lantai. Lalu, seperti diajarkan kakek semasa kecil, ia memegang ujung rok dengan kedua tangan, menekuk lutut, dan memberi hormat sebagaimana layaknya putri keluarga baron.

“Hamba mohon ampun telah berlaku lancang karena tak mengenali Paduka Ibu Suri.”

“Apa itu tadi!”

Ibu Suri sampai melonjak kecil.

“Aku sengaja menyamar agar tak dikenali! Kalau ada yang dituduh menipu, itu akulah pelakunya. Justru aku yang salah. Aku sangat senang kau tak berkecil hati dan datang kemari. Ayo, ayo. Masuklah.”

Beliau sendiri menggandeng Hazel masuk ke dalam salon. Sambil jalan, matanya berkilat-kilat.

“Omong-omong, apa yang ada di dalam keranjang itu?”

“Ah, sebenarnya inilah alasan aku datang. Aku ingin sekali memperlihatkannya pada Paduka.”

Hazel mengeluarkan tomat ranum dari keranjang.

Ibu Suri terperanjat.

“Ya ampun! Bintang Peri!”

Seperti dugaan—beliau mengenalinya seketika.

“Katanya peluangnya satu banding sejuta! Tak kusangka muncul di kebun tepat di sebelah!”

“Aku juga kaget. Awalnya kupikir salah lihat.”

“Pantas tomat-tomatnya terlihat montok dan menggoda. Selamat! Kalau terong atau wortel, aku pernah melihat sendiri. Tapi tomat—baru pertama…”

Obrolan soal hasil kebun pun mengalir panjang.

Hazel berceloteh riang.

Begitu riang hingga ia tak menyadari satu hal: setiap getar halus dalam suara Ibu Suri terdengar jelas.

Salon luas itu senyap bagai tak berpenghuni.

Para bangsawan sosialita yang datang ke salon Ibu Suri menatap keduanya dengan mulut ternganga.

Paduka Ibu Suri, bercakap-cakap akrab dengan sukacita sedemikian rupa—hanya karena sebutir tomat! Dan lawan bicaranya gadis kebun itu!

Dan bukan hanya itu.

“Harus kita lihat lebih dekat. Kemarilah.”

Ibu Suri menarik si gadis kebun ke kursi empuk di sisi beliau. Melihat Hazel duduk bersebelahan dengan malu-malu, mata para tamu hampir meloncat.

Ini perlakuan yang terlalu luar biasa.

Selama ini, Ibu Suri tak pernah sedekat itu dengan putri bangsawan mana pun. Bahkan Athena, Putri Agung yang statusnya tertinggi di negeri ini, belum tentu pernah duduk berdampingan demikian.

“Y-ya ampun…!”

Tak ada yang sanggup merangkai kalimat. Hanya suara napas tersengal yang terdengar.

Mengingat rendahnya status Hazel dan posisinya di istana, pemandangan ini sungguh membuat gamang.

Jadi kejadian di kebun itu bukan sekadar episode selesai begitu saja?

Apakah beliau hendak melanjutkan “persahabatan”?

Tak seorang pun berani bersuara. Hanya tatapan mereka saling bersilang, sampai-sampai seakan tercipta jejak kilau di udara.

Namun, siapa peduli.

Ibu Suri tenggelam dalam percakapan.

“Ngomong-ngomong, ada yang ingin sekali kutanyakan. Hari itu kau bilang sesuatu yang aneh. Katamu, ‘tak apa berubah jadi cahaya dan lenyap’, ‘aku sudah menyiapkan hati’… apa maksudnya?”

“Se—sebenarnya, hamba… sempat menyangka Paduka itu peri pertanian…”

Hazel memerah.

“Ya ampun!”

Ibu Suri menengadahkan kepala dan tertawa lepas.

“Ngomong-ngomong, gadis ini juga pernah disangka peri, lho. Kudengar sendiri dari Sir Zigvald.”
Kepala dayang menyelipkan komentar tepat waktu.

“Zigvald? Anak yang jarang bicara itu? Cepat, ceritakan!”

Ibu Suri mendorong.

Dalam suasana hangat, percakapan terus mengalun tanpa henti.

Hingga tiba-tiba, patung dewi di jam sudut ruangan menggelindingkan lonceng kecilnya—kring… kring…

Hazel menoleh tanpa pikir, lalu terkejut.

“Sudah satu setengah jam!”

Ia berdiri tergesa.

“Paduka harus beristirahat, tapi hamba terlalu banyak berceloteh. Mohon maaf.”

“Apa pula itu!”

Ibu Suri buru-buru mengibas tangan.

“Bisa berbincang seasyik ini rasanya dadaku plong. Aku sungguh bahagia.”

Beliau bangkit, menggenggam tangan Hazel.

“Tolong datang lagi, ya.”

Pipi Hazel merona.

“Benarkah boleh? Kalau begitu, hamba… akan datang lagi…”

“Ya. Hati-hati di jalan.”

Ibu Suri, masih menggenggam satu tangan Hazel, menepuk halus punggungnya dengan tangan yang lain, mengantarnya beberapa langkah.

Diantar langsung!

Momen itu menjadi puncak dramatis yang menutup hari penuh kejutan. Para bangsawan di salon bahkan kehabisan kata.

Syukurlah Hazel menuruti saran Sir Louis untuk datang.

Benar-benar waktu yang membahagiakan.

Dengan wajah berbinar, Hazel meninggalkan salon Ibu Suri.

Punggungnya diiringi tatapan semua orang.

Mereka tak tahu harus menyikapinya bagaimana. Ada pula yang memilih “sudah, pura-pura tak lihat saja,” sambil memejam.

Di tengah itu, Ibu Suri menyesap teh dengan tenang.

Namun dari balik cangkir, beliau mengamati satu per satu reaksi para bangsawan sosialita dengan saksama.

Satu pikiran yang sedari tadi berputar kian menguat.

Beliau mengangguk pelan.

Sore harinya.

Matahari merendah dan angin jadi agak sejuk. Waktu yang pas bagi para petani yang menghindari terik siang untuk mengejar ketertinggalan pekerjaan.

Hazel cekatan memetik tomat. Keranjangnya makin berat; rasa letih pun tak terasa.

Sementara itu, Iskandar merampungkan tugasnya hari itu.

Penyalinan naskah berhias akhirnya selesai. Mulai hari ini: bebas.

Baru ia memikirkan itu, datang selembar laporan.

Sebuah nota penjelasan dari Meister Henkel, kepala juru masak Kediaman Ibu Suri sekaligus pemimpin para koki istana.

“Lady Hazel Mayfield, pengelola salon istana, meminjam dapur Istana Mawar Putih untuk meneliti tanaman dari Labirin. Namun para koki istana tidak bekerja sama, sehingga terjadi salah paham yang berujung pada terbuangnya satu tabung Garam Berlian. Karena itu, kami menjatuhkan sanksi pemotongan gaji dan kewajiban menulis surat pernyataan kepada seluruh koki.”

Iskandar mengerutkan kening.

Ia tak menyangka para koki istana menyimpan dendam. Tak terlintas bahwa mereka sampai sebegitu bencinya pada Hazel.

Hati manusia!

Ia menarik garis di kertas, hendak menjatuhkan hukuman lebih berat.

Namun tangannya berhenti.

Apakah itu tindakan tepat?

Baginya, lingkungan istana ibarat air tergenang.

Bisa saja menyemprotkan racun keras untuk memusnahkan hama. Tapi racun itu juga menyebar ke mana-mana.

Karena sikap berat sebelah yang sudah terang, Hazel telah benar-benar jadi sasaran kebencian mereka. Dalam keadaan seperti ini, amarah massa kian mudah terfokus padanya.

Itu bukan jalan keluar yang benar.

Ia meletakkan pena.

Sekalipun ia kaisar dan seorang Grand Chevalier, ada hal-hal yang tak bisa diatasi hanya dengan kekuasaan—seperti hati dan opini publik.

Ia tahu Hazel tidak goyah dan tegar melalui semuanya, tetapi…

“Susah. Susah sekali.”

gumam Iskandar.

Saat-saat begini, ia merasa betul minimnya pengalaman: menengahi sekian banyak orang dengan kepentingan berseberangan—itu tak banyak ia pelajari.

Kepalanya berdenyut.

Sepertinya ia perlu ke kebun.

Masalah pelik yang menekan pikirannya mungkin lebih baik dibicarakan. Hazel kerap melontarkan hal-hal nyeleneh, namun justru sering memantik petunjuk.

Iskandar cepat-cepat kembali ke kamarnya.

Ia membuka laci rahasia dan baru akan mengambil reagen ketika—

“Paduka. Paduka.”

Suara seorang dayang terdengar dari luar.

Suara yang tak ia kenal. Pasti dari istana lain.

“Siapa?”

“Dari Kediaman Ibu Suri. Beliau memanggil Paduka.”

“Perihal apa?”

“Katanya ada urusan rahasia yang perlu dibicarakan.”

“Urusan rahasia?”

Iskandar heran.

Mengenal watak ibunya, beliau takkan memanggil kalau tak penting.

Sedikit saja terlambat, urusannya bisa runyam. Untung ia belum memakai reagen. Ia mengembalikan semuanya ke tempatnya.

Mengunci laci rapat, ia melangkah ke koridor. Ia memerintahkan para abdi untuk tidak mengikutinya, lalu pergi sendirian ke Kediaman Ibu Suri.

Ibu Suri menunggu di kamar. Begitu masuk, Iskandar bertanya,

“Perkara apa hingga memanggil hamba?”

Ibu Suri memberi salam, menyuguhkan teh dingin, lalu mulai berbicara.

“Pendek kata—tentang kebun itu.”

Iskandar tak sadar refleksnya tersentak. Ia tak menyangka beliau akan mulai tepat ke pokok itu.

“Jangan terlalu tegang, Paduka.”

Kalimat berikutnya membuatnya kembali tersentak.

Memang ibunya: sulit berbohong di hadapannya.

“Aku kurang-lebih mengerti ada banyak hal rumit di sana. Aku bukan hendak mengomentari keputusan Paduka. Aku tak menampik bahwa aku mendapat penghiburan di tempat itu—itu fakta. Tapi jangan mencari-cari maksud tersembunyi dari ibumu. Urusan publik ya publik, urusan pribadi ya pribadi. Tak pantas ibunda kaisar memaksa-maksa demi kepentingan pribadi, bukan?”

Ujaran yang sangat masuk akal.

“Ya, Bunda.”

“Masalahnya, dari kejadian ini aku menemukan satu hal penting—sesuatu yang kelak bisa jadi batu sandungan dalam menegakkan suasana yang benar di dalam dan luar istana. Dengarkan, Paduka. Pengelola salon istana adalah bagian dari istana. Ketika seorang anggota istana mencapai prestasi nyata, ada orang-orang yang merendahkan—bahkan menginjak—hanya karena statusnya rendah atau posisinya kurang kuat. Hal seperti ini tak boleh dibiarkan. Paduka setuju, bukan?”

“Tentu. Sudah seharusnya kita cabut sampai akarnya.”

“Karena itu aku memikirkannya.”

Ibu Suri pun membisikkan gagasannya.

Mata Iskandar memantul cahaya.

Memang ibunya.

Dengan cara ini, persoalan bisa ditarik ke permukaan dan dituntaskan dengan tegas. Sekaligus, satu kekhawatiran lain yang selama ini membebani dadanya juga bisa dibereskan.

Dua urusan terselesaikan sekaligus—siasat jitu.

Dan ia yakin semuanya akan berjalan baik. Ia percaya pada kemampuan Hazel.

Selesai menjelaskan, Ibu Suri memerhatikan wajah putranya dan bertanya,

“Bagaimana, setuju?”

Tentu saja sangat setuju.

Namun kalau ia bilang begitu blak-blakan, rasanya ia akan ketahuan hatinya.

“Hmm…”

Iskandar pura-pura menimbang.

“Begini atau begitu, jujur saja aku tak rugi. Hamba akan mengikuti titah Bunda.”

“Baiklah. Kalau begitu, biar urusan ini aku yang memimpin sebagai Ibu Suri.”

“Itu akan sangat membantu.”

jawab Iskandar.

Sulit sekali menutupi rasa gembiranya.

***

Keesokan harinya.

Karena rajin bekerja pagi–petang, buah-buah tomat mulai menghilang dari batang. Hatinya sempat terasa kosong.

Sebagai gantinya, tomat-tomat yang telah melalui proses pemeraman kini matang merah menyala.

Sepanjang memetik tomat, Hazel memikirkan akan dibuat apa. Banyak ide muncul, tetapi pada akhirnya yang paling dasar adalah saus tomat.

Hazel lebih suka apa pun yang terasa potongan besarnya saat dikunyah. Jadi saus tomatnya pun ia putuskan untuk dihancurkan dengan tangan.

Baru saja ia menyingsingkan lengan—

“Ada orangnya?”

Seorang dayang melangkah masuk lewat pintu yang terbuka lebar.

“Ada, rupanya. Nona, Ibu Suri memanggil.”

“Ibu Suri?”

Kini itu sudah menjadi nama yang akrab. Wajah Hazel langsung merona.

Namun dayang ini sangat peka.

“Ini bukan untuk bertamu santai. Anda diminta ke aula audiensi.”

“Aula audiensi?”

Hazel bingung.

Untung saja ia belum mulai menghancurkan tomat. Ia menurunkan kembali lengan bajunya, merapikan pakaian, lalu mengikuti sang dayang.

Aula audiensi masih kosong.

Saat Hazel berdiri sambil mengerutkan alis, tiba-tiba pintu masuk jadi ramai. Sekelompok orang masuk bersamaan.

Di paling depan, seorang kepala juru masak berambut putih dengan raut tajam.

Meister Henkel.

Hah?

Makin lama makin aneh.

Hazel mengangguk menyapa.

Tentu saja mereka tak membalas. Hanya Kepala Koki Giorgio yang memberi isyarat dengan mata; selebihnya menatap Hazel dingin penuh ketidaksenangan, mengukur dari ujung kepala sampai kaki.

Saat itu juga—

“Paduka Ibu Suri hadir!”

Suara pelayan bergema lantang.

Ibu Suri muncul. Kepala dayang dan para dayang berbaris di belakangnya.

“Hormat kepada Paduka Ibu Suri.”

Semua menunduk memberi salam.

Ibu Suri duduk di takhta aula audiensi. Rambut perak yang disanggul, kerah berhiaskan berlian—menambah wibawa.

Pada saat itu, semua orang berpikiran serupa: kursi sesepuh sejati yang lama lowong di istana—kini kembali terisi.

“Ada yang hendak kusampaikan kepada kalian yang berkumpul di sini.”

Suara Ibu Suri lembut namun tegas.

“Dari peristiwa penelitian tanaman Labirin belakangan ini, aku mengetahui ada penyakit berakar dalam yang tak kasatmata di istana ini. Entah bagaimana aku ikut terseret dalam urusan itu. Tapi campur tanganku hanya menekan keluh-kesah dengan paksa. Mereka yang bertanggung jawab memang sudah dihukum, para nyonya yang menghasut juga takkan bisa lagi menginjakkan kaki di istana. Namun, apakah itu solusi mendasar?”

“…….”

Tak seorang pun menjawab. Ibu Suri meneruskan:

“Betul. Itu tak bisa menjadi solusi akar masalah. Sumber persoalan ini adalah para koki yang termakan hasutan nyonya-nyonya kalangan sosialita. Tapi alasan paling mendasar apa? Karena tak mampu menerima kenyataan walau bukti di depan mata. Karena menolak mengakui, maka mati-matian memalingkan muka. Karena itu, agar tak terulang, aku hendak mengajukan satu usul untuk mencabut akar masalahnya.”

Ibu Suri menyapu hadirin dengan tatapan.

“Kita adakan sebuah pertandingan.”

Pertandingan?

Semua menatap Ibu Suri dengan wajah bingung.

“Sebentar lagi istana akan kedatangan tamu: para Ksatria Pahlawan. Sesuai rute ziarah, mereka lama tak singgah dan kini akan kembali menginjakkan kaki di istana. Mereka adalah tamu agung kita. Namun waktu itu, meski kita bersiap sebaik-baiknya, kita gagal menjamu mereka dengan memuaskan. Ada yang kurang. Kali ini tak boleh begitu lagi.”

Ibu Suri melafalkan tiap kata dengan jelas.

“Maka pada jamuan kali ini, Nona Hazel Mayfield dan seluruh juru masak istana masing-masing akan mempertandingkan kepiawaiannya. Penilai adalah para Ksatria Pahlawan. Pihak yang kalah harus menerima dengan lapang dada. Penuhi kehendak pihak pemenang dan pastikan tak ada lagi suara sumbang.”

Titah pun dijatuhkan.

Pertandingan memasak, untuk jamuan Ksatria Pahlawan?

Tak ada yang lebih mengejutkan dari ini.

Mereka hanya bisa menatap Ibu Suri dengan wajah terperangah—tanpa sepatah kata pun.

 

Nunaaluuu Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review