Jumat, 29 Agustus 2025

9. Hati yang Lebih Rapuh dari Daun, Namun Lebih Tangguh dari Baja (1)

Pedang para ksatria pengawal berkilat tajam, mengepung dari segala arah. Satu langkah saja—mereka siap menebas.

Hazel membeku total.

“Tempat ini… zona terlarang?”

“Masih juga tidak sadar!”

Perempuan bangsawan berambut emas membentak. Mata merahnya menyala murka, seolah memercikkan api.

Tabib istana yang bergegas datang menerima sang anak ke pelukannya dan berseru,

“Kau telah mengejutkan pangeran! Bagaimana kau akan menebus dosa ini!”

“Pangeran? Kalau begitu, Nyonya adalah….”

“Berani sekali! Di hadapan Yang Mulia Putri Terdahulu!”

Putri Terdahulu?

Hazel baru pertama kali mendengar gelar itu.

Wajar saja. Perempuan itu tak pernah tampil di muka umum. Ia hidup seolah terlupa di dalam istana.

Kaisar terdahulu, Ramstein VIII, memiliki seorang adik laki-laki dan seorang adik perempuan.

Adik laki-lakinya adalah ayah Grand Duchess Athena. Sedangkan adik perempuannya adalah perempuan berbusana berkabung yang kini gemetar marah di hadapan Hazel—Katarina.

Karena tak menikah, gelarnya berkali-kali berubah. Pada akhirnya, gelar Putri Terdahulu—yang juga samar—menetap padanya. Putranya, Rowan, pun sama samar statusnya karena bukan anak yang didapat melalui pernikahan resmi.

Meski demikian, ia satu-satunya putri Ramstein VII—kedudukannya setara raja negeri. Kelak, bila dewasa, putranya akan mewarisi salah satu kerajaan vasal di bawah kekaisaran.

Jika kelak ia selamat dewasa.

Bahkan bagi Hazel yang tak tahu apa-apa, kondisi sang anak tampak buruk. Wajahnya pucat seperti mayat, dan anggota badannya lemas tak bertenaga.

Hazel kembali teringat bagaimana anak itu duduk lunglai di rerumputan lalu oleng dan roboh.

Gejala itu jelas….

Ia melamun sedetik, namun segera tersadar oleh bentakan.

“Tempat ini adalah lokasi yang kerap didatangi Yang Mulia Putri Terdahulu saat bertamasya bersama pangeran! Berani-beraninya menerobos!”

“Aku tidak menerobos. Aku—”

“Tak ada alasan yang bisa diterima! Ada tabu tertinggi di istana: apa pun alasannya, kau tak boleh membahayakan darah kerajaan! Tak ada ampun bagimu! Hukuman berat Yang Mulia Putri Terdahulu akan turun!”

Pedang para pengawal makin rapat menekan. Ujung yang memantulkan cahaya matahari membuat benak Hazel memutih.

Apa pun alasannya….

Memang, meski tak disengaja, karena dirinyalah sang pangeran kaget lalu pingsan—itu fakta yang tak terbantahkan.

Bagaimana ini?

Ketika Hazel terpojok, tak mampu bergerak sejengkal pun—

Ada seseorang yang menyaksikan keributan dari kejauhan.

Siberius, Pengawas Anggur Istana.

Dalam perjalanan ke gudang anggur yang sejuk dan terpencil di istana, ia menangkap hiruk yang tak biasa.

Apa itu?

Ia mencondongkan telinga ke arah pintu samping di batas area izin masuk. Dari riuh-rendahnya, ia cepat menangkap situasi.

Siberius terperanjat.

Perkara sebesar ini!

Ia menanggalkan semua urusan dan lari. Dalam benaknya hanya satu: segera melapor pada Paduka sebelum siapa pun, demi meraih nilai tinggi.

Iskandar tengah menelaah berkas para menteri di ruang kerja.

Sebagian besar cukup dibubuhi persetujuan; hanya beberapa butuh naskah dekret persetujuan terpisah. Demi menghemat waktu, ia menyusun draf dalam benaknya sembari membaca—ketika Siberius datang tergesa-gesa membawa laporan.

Sekejap saja, draf di kepala Kaisar lenyap.

“Apa? Kau dengar apa dan di mana?”

“Di makam kekaisaran! Saat Yang Mulia Putri Terdahulu Katarina berjalan-jalan dengan Pangeran Rowan, pemilik peternakan itu menerobos makam—zona terlarang! Pangeran kaget dan pingsan!”

Tiga kalimat saja cukup membuat Kaisar benar-benar terkejut.

Putri Terdahulu….

Sebuah nama yang sengaja disingkirkan ke pinggiran kesadaran.

Seusai naik takhta, Iskandar bermaksud memberi perhatian lebih pada ibu-anak itu. Namun watak Putri Terdahulu yang sukar didekati menolak segalanya.

Pangeran terlampau rapuh untuk hidup seperti orang kebanyakan. Kami harus berhati-hati dalam segala hal. Mohon berikan kami istana kecil paling terpencil di kompleks ini. Lalu lupakan kami. Maka pangeran akan pulih. Bila ia sehat, kami akan menyembah.

Ia tak punya pilihan selain mengikuti kehendaknya.

Kecuali beberapa kali setahun, mereka seolah ada-tak-ada.

Isu yang beredar: Putri Terdahulu kerap berjalan di makam istana; selebihnya, kadang-kadang saja bertemu Permaisuri Dowager. Karena itu, kecuali saat betul-betul perlu, ia adalah kerabat yang nyaris terlupa.

Namun bagaimanapun, ia adalah bibi sang Kaisar.

Kaisar terdahulu, yang di awal mengabulkan permohonan Putri Terdahulu untuk tak dilengserkan, begitu segalanya berakhir malah menunjuknya sebagai Putri Dibuang. Gelar itu kemudian dipulihkan oleh Iskandar.

Alhasil, meski secara hierarki ia berada di bawah sang Grand Duchess—ia tetap perempuan ketiga tertinggi kedudukannya di istana.

“Yang Mulia Putri Terdahulu kini murka! Tabu tertinggi istana telah dilanggar—beliau hendak menjatuhkan hukuman berat lalu mengusirnya!”

Iskandar tersentak, bangkit dari lamun.

“Tidak boleh!”

Bentakan Kaisar membuat Siberius terkejut.

“Ke… kenapa, Paduka?”

Saat itu, lembaran di atas meja menarik mata Iskandar: draf penghargaan untuk kasus Sindrom Bulan pada Unicorn. Beberapa kandidat tertera—tak satu pun terasa pas. Ia terus bimbang.

Di saat genting, sebersit akal muncul.

“Dia seharusnya sedang menerima penghargaan!”

Siberius sempat bengong. Lalu paham.

“Ah! Paduka telah mengutus orang untuk menganugerahkan penghargaan padanya?”

“Benar.”

“Sungguh beruntungnya gadis itu! Ampun, Paduka—laporan hamba malah tak membantu.”

“Bukan. Itu laporan yang sangat baik. Siberius, pendengaranmu tajam juga.”

Siberius nyaris tak percaya telinganya.

Paduka bukan hanya mengingat namaku—sepertinya juga ingat kejadian di malam pesta dansa! Karierku benar-benar di jalur emas!

Dengan riang, ia pamit.

Iskandar segera memanggil pelayan istana. Kepadanya—yang belum tahu apa-apa—ia memberi perintah:

“Gadis pemilik Salon Istana, Nona Mayfield, akan menerima penghargaan. Cepat panggil kemari.”

“Baik, Paduka.”

“Segera!”

“Ya!”

Pelayan itu berlari sekencang-kencangnya ke peternakan.

Namun Nona Mayfield tak ada. Ia keluar, mencari ke mana-mana.

Kabar pun mulai merembes. Seseorang membisikkan sesuatu pada pelayan yang mencari Nona Mayfield.

“Apa?” Pelayan itu terperanjat—lalu lari menuju makam kekaisaran.

Saat itu, tempat tersebut berada di ambang ledakan.

“Ikat rapat dan seret!”

“Siap!”

Begitu perintah Putri Terdahulu jatuh, para ksatria mengulurkan tangan. Tatapan mereka seakan mampu meremuk orang tanpa sisa.

Apakah ini akhirnya?

Penglihatan Hazel menggelap. Ia pasrah.

Saat itu juga—

“Berhenti!”

Sebuah suara lantang menggema.

Pelayan istana berlari datang. Ia mengibaskan kedua lengan, berteriak:

“Titah Kaisar! Paduka memerintahkan: bawa gadis itu segera menghadap!”

Putri Terdahulu terbelalak.

“Paduka sudah mengetahui kelancangan ini?”

“Bukan begitu….”

Saat itu juga, seorang dayang istana berlari datang, rambutnya berkibar.

Ia mengerem tepat di depan Hazel, lalu mengeluarkan saputangan untuk menyeka keringat di kening Hazel. Gaunnya yang kusut pun lekas dirapikan.

Putri Terdahulu mengangkat alis, tak percaya.

“Apa yang kau lakukan?”

“Paduka juga mengutus hamba. Semua orang tahu gosip bahwa gadis ini tak disukai Paduka. Bila ia muncul dalam keadaan tak pantas saat menerima penghargaan, orang-orang akan melirik Paduka dan berbisik di belakang. Karena itu, Paduka memerintahkan agar kami memastikan setitik pun ia tak terluka dan membawanya dengan baik.”

Ucapan sang dayang lebih tak masuk akal ketimbang tindakannya. Namun ada satu bagian yang tersangkut jelas di telinga Putri Terdahulu.

“Menerima penghargaan?”

“Benar.”

“Apa-apaan itu?”

“Maafkan kelancangan kami, barangkali Yang Mulia kurang mengetahui karena tinggal di istana kecil.”

Pelayan istana menimpali:

“Gadis ini Nona Mayfield, pemilik Salon Istana.”

“Salon istana? Bukankah sistem itu sudah tinggal sejarah?”

“Panjang ceritanya. Lewat serangkaian suka-duka, Nona Mayfield membuka salon di dalam kompleks istana. Baru-baru ini, beliau menemukan cara menyembuhkan Sindrom Bulan pada unicorn.”

“Sindrom Bulan…?”

“Benar. Karena itulah Paduka hendak menganugerahkan penghargaan—hari ini juga. Namun ketika hamba menjalankan titah mencari Nona Mayfield, kebetulan terjadi peristiwa ini. Seperti Yang Mulia mafhum, titah kaisar berada di atas segalanya. Karena itu, hamba akan membawa Nona Mayfield sekarang.”

“Tidak! Perempuan ini melanggar tabu tertinggi istana!”

“Benar. Itu dosa besar sekali. Namun menurut titah Paduka, kami tetap harus membawa sang gadis lebih dulu. Urusan lainnya—apa pun bentuknya—menyusul kemudian. Bukankah demikianlah tata aturan?”

“…….”

Karena kata-kata pelayan istana itu beralasan, Putri Terdahulu tak menemukan sanggahan.

Atas titah kaisar, para ksatria pengawal pun menurunkan pedang.

Barulah Hazel bisa bernapas.

Namun ia tetap kebingungan. Seolah tak merasakan tanah yang dipijak, ia membiarkan diri dituntun dayang, linglung keluar dari tempat itu.

Begitu benar-benar meninggalkan pemakaman yang suram, barulah akalnya pulih sedikit.

Saat baru melintasi taman bergaya asing, keributan terdengar di depan.

Louis, Lorendel, Siegfalt, dan Cayenne tampak datang. Begitu mendengar kabar, mereka menanggalkan semua urusan dan berlari kemari.

“Apa yang terjadi! Hazel, kau baik-baik saja?”

“Aku baik-baik saja.”

Hazel mengangkat kedua tangan. Melihat mereka—yang sama terkejutnya—berlari menemuinya, barulah hatinya sedikit tenang.

Sekaligus merasa bersalah.

“Aku yang salah. Begitu membaca catatan kalau masih ada mawar yang mekar, aku langsung terpikir ingin membuatkan lebih banyak rose water untukmu, jadi tanpa pikir panjang aku pergi….”

Lorendel melirik Louis.

“Kau yang minta rose water tambahan?”

“Bukan! Bukan Louis! Itu cuma ucapanku saja!”

Hazel buru-buru membela Louis.

“Bagaimanapun, ini salahku.”

“Tidak. Ini salah kami.”

Cayenne—jarang-jarang—berwajah muram.

“Harusnya dari awal kami sudah memberitahumu yang tinggal di dalam istana. Soal kompleks makam itu, karena nyaris tak pernah kami pikirkan, kami malah benar-benar lupa.”

“Bukan. Salah ada pada orang yang mengirim catatan.”

kata Siegfalt.

Ia benar. Seseorang merancang siasat kotor. Ia tahu betul bila pergi ke makam, kemungkinan besar Hazel akan berpapasan dengan Pangeran Rowan yang lemah.

Catatan itu…!

Hazel cepat-cepat merogoh saku. Tak ada.

Sepertinya memang hilang… pikirnya—lalu teringat sesuatu. Ia menyelipkan tangan ke saku dalam.

Di sana.

Begitu menyadari ada yang tak beres, tanpa sadar ia sudah menyimpan barang bukti itu baik-baik.

“Lihat ini. Ada orang yang menipuku.”

Hazel mengeluarkan catatan dan memperlihatkannya.

Mereka menatap kertas itu dengan wajah serius.

Makin dipikir, makin busuk.

Pengirim catatan tahu Hazel belum lama masuk istana dan belum mengenal seluk-beluknya. Huruf koran yang dipotong untuk menyamarkan tulisan menunjukkan watak licik dan gigih.

Lorendel bertanya,

“Catatan ini ditemukan di mana?”

“Diselipkan di pintu saat aku pulang dari keluar.”

“Baik. Aku akan memerintahkan anak buah untuk mencari saksi. Kita pasti akan menemukan pelakunya.”

Meski begitu, gurat cemas tak hilang dari keningnya.

“Namun, sekalipun kita buktikan kau dijebak, bukan berarti semuanya akan mudah.”

“Aku tahu. Katanya apa pun alasannya, tak boleh membahayakan darah kerajaan, kan?”

ujar Hazel.

Suasana sejenak mengendap.

“Setidaknya—untung.”

Ucapan singkat Warbear yang hemat kata memecah hening.

Cayenne menerjemahkan panjang lebar,

“Dalam situasi seruwet ini, untung Is memutuskan hari ini juga memberikan penghargaan. Tadinya mau kuomeli karena kelamaan menunda, tak disangka segalanya pas seperti ini! Aku sampai ingin memuji Paduka lagi.”

“Sapi mundur selangkah, eh dapat tikus,” sahut Louis dengan peribahasa ala pedesaan yang akhir-akhir ini ia gemari.

Hazel pun, diam-diam, merasa itu sebuah keberuntungan. Entah sial bagi kaisar atau mujur untuknya—yang jelas, hukuman hanya tertangguh, bukan lenyap.

Dalam hati yang kalut, terbayang lagi sosok pangeran kecil yang limbung lalu ambruk.

Dengan perasaan semakin berat, Hazel melangkah.

Mereka menuju bangunan utama istana dengan hati campur aduk.

Iskandar pun sedang memegangi kepala, pusing di ruang kerjanya.

Ia sudah kadung mengumumkan, tapi bisa ditebak apa yang akan dilakukan Putri Terdahulu yang berang itu. Sampai pangeran jatuh pingsan, tentu saja ia akan menuntut Hazel diserahkan untuk dihukum sesuka hati.

Tak ada dasar untuk mencegahnya.

Mencegah pun terdengar tak masuk akal—seharusnya, kaisarlah yang turun tangan menghukum.

Bagaimana baiknya?

Satu-satunya kartu di tangan: penghargaan atas penemuan obat Sindrom Bulan pada unicorn. Untuk saat ini, ia harus mengulur waktu dengan itu sebisanya.

Iskandar memeras otak.

“Nona Mayfield sudah tiba di bangunan utama,” lapor pelayan.

Pandang Iskandar yang mengawang mendadak fokus.

Ini dia.

Sebuah akal terlintas.

Tak lama kemudian, Lorendel masuk.

“Waktunya menganugerahkan penghargaan.”

“Bagaimana kalau kau saja yang melakukannya?” jawab Iskandar.

“Apa?” Lorendel sampai lupa beradab saking herannya.

“Kau saja. Aku sibuk.”

Iskandar mengulang. Lorendel menatapnya tak percaya, lalu keluar.

“Sebenci apa pun, bukankah ini seharusnya disampaikan langsung?” gumamnya, kembali ke rekan-rekan.

Di tengah kekhawatiran untuk Hazel, diam-diam ia menaruh harapan kecil.

Iskandar belum benar-benar melihat Hazel.

Mungkin saat menganugerahkan penghargaan, melihat sosoknya yang polos, jujur, lembut—hatinya akan luluh?

“Aku harus menekankan sekali lagi,” ujarnya sambil hendak kembali ke ruang kerja.

Cayenne menahannya.

“Salah. Di mata elf, semua tampak polos, jujur, lembut. Tapi ingat, Is benci Hazel, Hazel pun benci Is. Syukur kalau penghargaan itu tidak dilemparkan bagai setan neraka menyembur api. Lebih baik mereka tak saling lihat.”

“Benar juga.”

Lorendel mengangguk.

Lagi pula, dipikir-pikir, penghargaan yang diserahkan oleh Panglima Ksatria Pohon Suci—yang sangat tertolong oleh penemuan itu—memiliki makna tersendiri. Ia pun bisa menyampaikan rasa terima kasih sepuasnya.

Mereka pun menuju ke “Aula Kemuliaan”.

Aula bundar untuk upacara penting itu sudah ramai.

Orang-orang lebih banyak bergunjing soal nasib Hazel ketimbang prestasinya. Namun begitu Sir Lorendel Blenheim masuk, mereka bungkam.

Lorendel menerima selembar kertas berisi rincian penghargaan dari pelayan. Ia meneliti sepintas.

Sekejap saja, semua kalimat manis klasik yang hendak ia sampaikan pada Hazel menguap dari kepala.

Melihat matanya membulat, Siegfalt bertanya,

“Hadiah apa?”

“Alat kunci Rumah Kaca Labirin,” jawab Lorendel dengan wajah bingung.

Semua terhenyak. Aula yang sempat tenang kembali riuh.

Hazel tak paham.

“Itu apa?”

“Rumah kaca milik kekaisaran,” jawab Louis; wajahnya mendadak cerah.

“Beberapa generasi lalu—entah pangeran yang mana—punya hobi menyusuri labirin bawah tanah yang misterius. Setiap pulang, ia membawa tanaman untuk ditanam di rumah kaca….”

Ia menurunkan suara,

“Tapi yang mereka bicarakan bukan rumah kacanya. Mana peduli mereka? Yang jadi soal itu kuncinya.”

“Kenapa dengan kuncinya?”

“Karena berbahaya, kunci itu disegel dalam peti baja. Disebut ‘Segel Kebijaksanaan’. Untuk membukanya, semua kunci yang dipegang para resi istana harus dipasang sekaligus. Mengingat resi-resi itu entah ngumpet di mana saja…. Mengumpulkan kuncinya bisa makan waktu sebulan.”

Memang. Orang-orang berbisik:

“Duh! Seenggan itu, ya, Paduka memberi hadiah!”

Namun para panglima ksatria berpandangan—mata mereka berbinar.

Seolah Iskandar sedang menolong kami. Tentu itu tak mungkin, tapi….

Sementara itu, mata Hazel pun berbinar. Ia menatap dengan degup kencang saat para pelayan menggulung masuk sebuah peti baja besar.

Rumah kaca berisi tanaman dari labirin bawah tanah—betapa menakjubkan! Meski nasibnya belum jelas, menerima hadiah seperti itu tetap menggembirakan.

“Tak disangka akan mendapat hadiah sebagus ini. Aku akan menerimanya dengan syukur dan memanfaatkannya sebaik mungkin—asal aku selamat dari ini semua.”

“Semoga begitu,” Lorendel menyungging senyum getir; hatinya agak ringan.

“Kalau begitu, mari kita mulai mencari para resi satu per satu. Nona Mayfield, silakan pulang dulu menunggu kami beres men—”

Ucapannya terputus.

Pintu aula mendadak gaduh.

“Yang Mulia Putri Terdahulu Katarina!”

seru pelayan.

Semua terkejut.

Sudah berapa lama nama itu tak menggema di acara resmi?

Sebagian besar bangsawan di sana bahkan belum pernah melihatnya sejak wafatnya kaisar terdahulu. Mata mereka membesar saat melihat sosok itu sudah berada di tengah aula.

Wujud yang mereka ingat masih jelas—hanya lebih matang oleh usia. Di atas gaun berkabung hitam, rambut emasnya berkilau; pancarnya menyilaukan pandang.

Ia menatap singgasana terlebih dahulu. Kosong. Ia segera bertanya pada pelayan,

“Paduka di mana?”

“Di… di ruang kerja.”

Putri Terdahulu langsung berbalik ke koridor. Orang-orang bagai awan, bergerombol mengikutinya.

Hazel tak tahu harus berbuat apa—tercengang, takut, bingung berbaur jadi satu.

Para panglima ksatria pun berwajah sama.

“Kita juga harus menyusul.”

Mereka berbalik mengikuti. Hanya Louis yang tampak amat gelisah, ragu di tempat.

“Ada apa?” tanya Hazel.

“Tidak, tak apa.”

Akhirnya, keduanya jadi yang paling belakangan menyusul.

Ruang kerja sudah riuh.

Hazel tak sanggup masuk; dari balik kerumunan orang di lorong, ia serasa bisa melihat sosok Yang Mulia Kaisar di kejauhan.

Saat itu, orang-orang yang berpihak pada Hazel berbisik padanya.

“Bagaimanapun, Anda memang melanggar pantangan tertinggi di istana. Lebih baik jangan sampai tertangkap mata Paduka. Ke sini.”

“Ah, terima kasih.”

Hazel bersembunyi di balik punggung mereka. Dari sana pun suara Putri Terdahulu masih terdengar jelas.

“Paduka, berkat perawatan tabib istana, Pangeran sudah siuman. Kini saatnya menjatuhkan hukuman.”

Tatapan menyala-nyala itu diarahkan pada keponakannya, sang kaisar.

“Begitu penganugerahan selesai, serahkan si pelaku untuk diadili.”

Iskandar serasa disambar petir.

Si permaisuri lama yang biasanya hanya berjalan-jalan di pemakaman atau menjenguk Ibu Suri, sampai mengejar ke sini!

Bukan berarti ia takut.

Katarina, Putri Terdahulu, sedang tersilap amarah hingga melanggar tata krama.

Saat ini, atas nama kaisar, penghargaan sedang dianugerahkan pada rakyat. Upacara belum selesai—bahkan masih jauh dari selesai.

Ia ingin mengatakannya. Tapi mulut tak kunjung terbuka. Di sini ada seorang ahli “pembeda suara” yang setajam hantu.

Andai suara Sir Valentine keluar dari mulut sang kaisar—itu skenario terakhir yang harus dihindari sekuat apa pun.

Namun jika keselamatan Hazel benar-benar terancam, mau tak mau ia akan bicara. Suka atau tidak.

Ketika Iskandar masih bergulat dengan pikirannya—

“Yang Mulia Putri Terdahulu, Nona Mayfield tidak bersalah.”

Suara bening Lorendel menggema.

“Dalang sebenarnya orang lain. Jika hendak menghukum, tangkaplah dia.”

“Itu bukan sekadar klaim si gadis? Bagaimana membuktikan ia tak berniat jahat mencelakai Pangeran Rowan?”

“Cukup dipikir sejenak. Apa untungnya sengaja melangkah ke zona terlarang demi menakuti pangeran? Saya tak melihatnya. Begitu pula mayoritas yang hadir di sini. Nona Mayfield selama ini menjaga kebunnya dengan teguh meski ditempa berbagai kesulitan. Tidak masuk akal ia bertaruh semua itu demi keuntungan yang bahkan tak bisa kita duga. Ia jelas dijebak. Bukti sudah kami pegang. Mohon kelapangan hati Yang Mulia untuk mengampuni rakyat yang terseret tak bersalah, dan sebaliknya, mohon jatuhkan hukuman berat pada pelaku sebenarnya.”

Ya, begitu!

Iskandar bersorak dalam hati. Dadanya yang pengap seakan plong oleh penjelasan runtut sang elf tinggi.

Sementara Iskandar menyemangati dalam hati, Hazel—dengan bantuan orang-orang di sekeliling—mengirimkan barang bukti ke depan. Pelayan menerimanya dan menyodorkan pada Putri Terdahulu.

Namun beliau bahkan tak sudi membukanya.

“Benda seperti ini siapa pun bisa merekayasa.”

“Jika hendak mencari-cari cela begitu, tak akan ada ujungnya.”

“Sir Blenheim, apakah Anda hendak membela pelaku?”

“Nona Mayfield telah banyak berjasa bagi yang hadir di sini. Bahkan kita berkumpul untuk menganugerahkan penghargaan atas temuannya menyembuhkan Sindrom Bulan pada unicorn. Yang Mulia mestinya menghadap Paduka setelah penganugerahan usai.”

Lorendel tetap sopan, namun tak memberi celah.

Kebanyakan orang akan ciut nyali menghadapi hawa dingin sang high-elf.

Tapi Katarina tak mudah digoyah. Ia memotong tegas,

“Kapan penganugerahan selesai?”

“Akan memakan waktu lama.”

Lorendel melirik balik pada pelayan yang membawa peti—dan menunjuknya.

“Cisplikan nasib: hadiahnya Kunci Rumah Kaca Labirin. Karena disegel dengan ‘Segel Kebijaksanaan’, kita harus mengumpulkan semua kunci dari para resi untuk membukanya.”

Darah naik ke wajah Putri Terdahulu.

Ia berbalik, melangkah pada pelayan, lalu merenggut peti baja itu. Jemarinya mengencang.

Sesuatu yang tak masuk akal terjadi.

Dhup!

Peti baja itu remuk dalam satu genggaman tangan rampingnya. Dari celah yang terlipat bagai kertas, kunci rumah kaca jatuh tuk.

Hazel terbelalak.

Bagaimana mungkin sekuat itu!

Bukan dia saja yang terkejut. Semua terpaku dengan mulut menganga.

Tubuh Putri Terdahulu sendiri sempat goyah.

Si dayang yang setia membayanginya sigap menyangga. Sebutir pil merah segera diselipkan ke mulut sang majikan.

“Tak apa. Aku baik-baik saja.”

Beliau kembali tegak.

“Kemurahan hati harus diberikan pada tempatnya. Anak itu jantungnya lemah; suara kecil saja membuatnya terkejut. Karena itu kami mencari pemakaman sunyi untuk berjemur—satu-satunya hiburannya. Kini ia ketakutan; bahkan itu pun tak bisa lagi. Satu-satunya hiburan telah hilang. Bagaimana kegeraman ini tertuntaskan? Bila pelaku utama tertangkap, kirimkan padaku. Untuk saat ini, gadis itu harus dibawa ke pengadilan.”

Giginya terkatup. Dari tiap kata memancar tekad untuk benar-benar menuntaskan—seakan “menghabisi”—bagaimanapun caranya.

Iskandar kalang kabut.

Dasar hukum? Ada. Empati publik? Meluap. Alasan untuk tidak menyerahkan? Nihil.

Sekalipun dewa Bratan turun, perkara ini takkan bisa dibendung.

Satu langkah tersisa:

Guncangkan papan.

Iskandar berdiri.

“Paduka!”

Seruan Putri Terdahulu refleks membuat Hazel menoleh.

Di balik kerumunan, sekilas terlihat. Pintu di sisi ruang kerja terbuka—Sang Kaisar melangkah cepat, langsung pergi.

“Tak bisa dibiarkan!”

Putri Terdahulu murka.

“Bagaimana mungkin membelakangi tanpa sepatah kata! Sekalipun hubungan kami renggang—”

“Bukan begitu.”

Menteri Dalam Istana menerobos kerumunan, muncul begitu saja.

“Renggang bagaimana? Paduka selalu menaruh kasih pada Anda dan Pangeran. Justru Yang Mulia salah kaprah hari ini. Paduka tentu akan menanganinya sepatutnya, tetapi Anda menerobos urusan negara dan berteriak-teriak? Sekalipun Anda Putri Terdahulu, ini pelanggaran tata tertib istana. Orang lain sudah takkan selamat. Paduka memaklumi—karena Anda.”

Katarina tersentak.

Ucapannya menyadarkan hal yang teramat penting:

Penguasa di sini adalah kaisar.

Dipikir-pikir, tindaknya memang keliru. Wajar jika Sang Kaisar murka.

Menteri Dalam Istana membaca gelagat itu dan berkata lembut,

“Pulanglah dulu, Yang Mulia. Pangeran Rowan pasti sedang mencari ibunya.”

“Tetapi aku sudah berjanji takkan kembali sebelum menyeret pelaku ke pengadilan.”

Ia masih bersikeras.

Hazel hanya merasa kepalanya memutih.

Saat itu—

Louis melangkah ke depan.

“Katarina.”

Wajah tegas Putri Terdahulu seketika berubah.

Begitu menatap Louis, darah surut dari parasnya; mimik pedih nan perih menyeruak.

Hazel heran.

Apa ini?

Louis selalu tegap. Bahkan saat minum di masa larangan atau memanjat tembok karena terlambat, ia tetap setegap batu karang.

Namun kali ini ia kikuk.

“Semua salah keluarga kami. Ampuni kami, Yang Mulia.”

Katarina memandangnya kosong. Lalu, seolah tak kuasa, memalingkan muka.

“Kenapa kau yang minta maaf?”

Melihat Louis, ia seperti tersadar. Ia memandang getir ke sekeliling koridor yang padat.

“Bayangan masa lalu muncul dan membuat gaduh sejenak. Kini bayangan itu kembali ke gelap.”

Sosoknya yang tegak dalam gaun berkabung menghilang di sela orang istana. Bersama dayang, lenyap dari pandang.

Badai lewat.

Louis kembali ke kawan-kawan. Hatinya tak enak.

Ia baru saja “memakai” fakta itu.

Ia benci cara seperti ini. Tapi demi mencegah Hazel diseret ke pengadilan, tak ada pilihan lain.

Hazel menatap Louis dengan syukur. Namun pikirannya justru kian ruwet.

Apa sebenarnya? Dari mana Putri Terdahulu memperoleh tenaga sebesar itu? Dan kenapa wajahnya begitu saat melihat Louis? Kisah apa yang tersembunyi?

Seribu tanya timbul. Tapi tak kuasa untuk bertanya.

Louis seakan membaca isi hati Hazel.

“Kau pasti tak mengerti apa-apa. Ayo ke kebun. Aku perlu yang manis-manis.”

Saat itu juga, pelayan istana menyelusup di antara mereka. Ia menyelipkan Kunci Rumah Kaca Labirin ke tangan Hazel.

“Penganugerahan selesai.”

“Ah, ya….”

“Dan sekarang kita harus menuruti Hukum Istana. Karena pemegang keputusan—Putri Terdahulu—telah kembali ke istana kecilnya, sampai ada titah berikutnya Anda ditempatkan dalam tahanan rumah.”

Pasukan Pengawal Istana mendekat mengelilingi Hazel.

Tak seorang pun bisa lagi maju.

Hukum Istana. Berkat hukum itulah Hazel bisa mempertahankan kebunnya melalui “salon dalam istana”. Bahkan kaisar tak bisa semena-mena.

Setidaknya dikurung di kebun sendiri masih mending. Itulah tempat yang paling ia cintai. Dan, seperti biasa, dayang istana setia menempel, menyeka keringat di kening Hazel dan merawatnya dengan telaten.

“Paduka mengkhawatirkan sorot mata orang. Anda harus dibawa aman—sedikit pun tak boleh terluka.”

Berkat dayang yang demikian setia pada kaisar, Hazel digiring pergi dengan selamat. Sambil melangkah, ia memberi isyarat mata pada Menteri Dalam Istana dan para panglima: aku baik-baik saja.

Padahal kenyataannya jauh dari “baik-baik saja”.

Bagaimana keluar dari jerat ini?

Ingin membalik cara pandang, tapi kepala serasa buntu. Pertanyaan tak terjawab terus mengusik hati—kondisi pangeran kecil, raut pedih Putri Terdahulu….

Hazel gentar pada wanita yang menjerumuskannya ke cobaan sebesar ini.

Namun bagaimana mungkin seseorang menanggung duka sedalam itu di wajahnya?

Itu membuat hati Hazel makin kusut.

Sejak kebun kecil berdiri di Taman Agung istana, inilah sore paling sepi.

Kebun dan kandang ayam senyap ganjil. Seperti masa “larangan bertutur”, langkah orang lenyap di jalan setapak.

Senja turun di pagar. Kelam merayap jadi pekat yang menutup sekeliling.

Namun rumah kecil tak menyalakan lampu.

Dalam status tahanan rumah, ia dilarang menyalakan api. Hanya tali merah yang membentang keliling halaman—terpantul suram oleh sinar bulan—menandai garis larangan keluar-masuk.

Seseorang berdiri di depan garis merah itu.

“Larangan masuk atas titah kaisar… kalau begitu, kupersilakan diriku sendiri.”

Ia mengangkat garis itu dan melangkah masuk tanpa ragu.

Pria yang bisa mengubah isi titah kapan pun ia mau—tentu saja, kaisar sendiri.

“Nona Mayfield?”

Panggilan lirih itu menyentak Hazel.

Suara Sir Valentine?

Mustahil. Hari begini ia takkan datang. Pasti salah dengar.

Ternyata tidak.

Pintu terbuka senyap, lihai. Seorang ksatria berjubah hitam—gelap pekat bahkan dalam kegelapan—masuk tanpa suara.

Astaga, dia benar-benar datang!

Mata Hazel membesar.

Ia menyukai kesunyian di kebun. Tapi berjam-jam sendirian dalam gelap tanpa lampu rasanya seperti amblas ke perut bumi.

Maka kedatangan “langganan” kebun itu begitu melegakan.

Di sisi lain, konyol juga rasanya.

“Sir Valentine, rumah ini anehnya gelap, ya? Aku bukan kehabisan minyak, tahu. Aku sedang tahanan rumah. Tali merah yang melingkari halaman ini bukan tali jemuran—itu garis larangan masuk.”

Ia menjelaskan dengan ramah. Sir Valentine menanggapi begini:

“Aku tahu. Dan aku memang masuk dengan sadar.”

Hazel makin melongo.

Bukan karena Louis dkk tak tahu cara melewati tali merah larangan masuk itu. Mereka tak melangkah karena itu titah kaisar.

Tapi orang ini? Ia begitu saja melangkah masuk.

Kesimpulannya satu.

Di tengah nasib sial ini, setidaknya ada satu kabar baik.

“Bagus sekali. Akhirnya Anda memutuskan berhenti kerja.”

Hazel benar-benar gembira saat mengucapkannya.

Iskandar melirik Hazel.

“Sepertinya kau sungguh, betul-betul ingin aku berhenti jadi ksatria istana….”

“Iya!”

“Sayang sekali, tidak.”

“Tidak berhenti? Kalau begitu cepat keluar! Ini pembangkangan perintah.”

“Tenang. Aku punya hak imunitas untuk kasus seperti ini—bebas dari hukuman.”

“Imunitas itu bukan untuk dipakai buat beginian, kan?”

“Sudahlah. Jangan cemas. Aku pergi begitu urusanku selesai.”

Ia melangkah masuk besar-besar.

“Hieek!”

Hazel memekik aneh.

“Ini terlalu nekat, tahu! Kalau pun ada urusan, manusia itu harus selalu sisakan jalan mundur.”

Ia buru-buru masuk kamar.

“Jangan lewati ambang pintu. Kalau sampai ketahuan penjaga, bilang saja kau masuk karena aku tak kelihatan—kau harus cek apakah aku kabur atau tidak.”

Serius, aku benar-benar aman kok.

Iskandar membatin.

Karena Hazel kelewat khawatir, lebih baik menurut saja. Jadi setelah Hazel menyelinap ke kamar, ia duduk di ambang pintu.

Kadang-kadang, gelap justru memperlihatkan lebih banyak daripada terang.

Dalam cahaya bulan samar dari jendela, tiap gerak kecil tampak jelas. Dari gerakan halusnya, Hazel menangkap: meski enggan, ia memilih menurutinya.

Aneh, tapi hati jadi tenang.

Di saat yang sama, Iskandar pura-pura tak melihat namun melirik Hazel. Menilai watak si gadis kebun, ia kurang-lebih menebak kondisinya.

Pasti berjuta tanda tanya beterbangan di kepalanya.

Sebelum semua itu terurai, dia takkan bisa melangkah ke tahap berikut. Setelah semua terjawab, barulah ia merapikan pikiran dan mengambil keputusan.

Karena itu ia membuka percakapan.

“Sekarang kau pasti punya banyak pertanyaan.”

“Iya, betul.”

Hazel cepat mengangguk.

“Semua yang terjadi sore ini terasa janggal. Louis hendak menjelaskan, tapi tepat saat itu aku ditahan. Tadi sampai pusing memikirkannya—otakku tak menemukan ujungnya.”

“Kalau begitu, biar aku yang jelaskan.”

Hazel memiringkan kepala.

“Aku tahu Sir Valentine sangat berpengetahuan. Tapi ini menyangkut rahasia keluarga kekaisaran….”

“Tak apa. Itu justru bidang keahlianku.”

Tidak terdengar bohong.

“Kalau begitu….”

Hazel bertanya hati-hati.

“Apakah Louis itu… putri kandung Yang Mulia Putri Terdahulu?”

“Bukan.”

Hazel tersentak.

Hah? Kok tahu apa yang mau kutanya? Rambut pangeran dan Louis sama-sama merah menyala, dan melihat wajah Putri Terdahulu yang begitu pedih, Hazel sempat menyangka Louis itu putri rahasia.

“Lalu kenapa Yang Mulia bersikap begitu aneh saat melihat Louis? Itu ekspresi paling pilu yang pernah kulihat.”

“Itu karena….”

Iskandar menjawab hati-hati.

“Louis sangat mirip seseorang.”

“Siapa?”

“Mendiang pamannya, Sir Balthazar—ayah kandung Pangeran Rowan.”

Hazel terkejut.

“Berarti Pangeran berdarah campuran vampir?”

Satu keping teka-teki yang mengapung di benaknya pas pada tempatnya.

Tak terpikir olehnya bahwa langkah maju Louis tadi punya arti sedalam itu. Hazel merasa terharu sekaligus bersalah.

“Pantas. Dan rahasia di balik kekuatan Putri Terdahulu juga terjawab. Itu terkait vampir. Beliau menerima kekuatan vampir.”

“Benar.”

Iskandar mengangguk.

“Almarhum kaisar murka saat tahu adiknya, Katarina, diam-diam menjalin asmara dengan Sir Balthazar. Kendati bangsawan dari keluarga besar, Balthazar tetap seorang vampir.”

“Ya. Semakin tinggi derajat, semakin anti pada darah campuran.”

“Kekaisaran menaruh nyawa pada kemurnian garis darah. Sekalipun jodoh beda kasta, minimal pasangannya manusia. Vampir? Mustahil. Andai begitu saja, ia bisa menurunkan gelar dan mengusirnya. Mereka mungkin bahagia. Tapi—Sang Kaisar hendak melenyapkan mereka bertiga, termasuk bayi dalam kandungan.”

“Padahal itu adik kandungnya?”

“Dia bukan tipe yang terikat oleh hal begitu. Saking merasa dikhianati, amarahnya meledak. Ia ingin menjadikannya contoh.”

Kening Iskandar berkerut. Mengingat watak ayahnya, ia masih bergidik.

“Banyak pihak menahan semampunya, sia-sia. Sang Kaisar adalah maestro siasat—tiada tanding. Akhirnya, Sir Balthazar mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan Putri Terdahulu dan bayi yang baru lahir.”

“Itu bagaimana caranya?”

“Vampir menyebutnya ‘darah suci’—esensi hidup—yang ia serahkan seluruhnya pada Putri Terdahulu. Detailnya aku tak tahu. Yang jelas, vampir melakukannya selagi hidup—katanya, bagi manusia tak terbayangkan rasa sakitnya. Mengetahui itu, Putri Terdahulu tetap menerimanya. Ia mungkin menyesal tak bisa ikut mati.”

“Itu mengerikan.”

Hazel merinding, seolah mencium anyir darah.

“Beliau lalu kabur membawa bayi, menghilang total seolah mereka bertiga tewas. Tapi tangan panjang tetap menjangkau. Suatu hari, orang-orang yang mengaku bekas bawahan suami mendiang menghubungi.”

“Itu jebakan.”

“Ya. Umpan agar istana kecil itu kosong. Begitu kembali, kastil sudah jadi lautan darah. Manusia hingga hewan dicincang kejam. Putri Terdahulu mencari membabi buta; akhirnya menemukan sang pangeran dalam perapian yang gelap. Dayang yang cerdik menukar pakaian anaknya dengan sang Pangeran dan menyelamatkannya di detik terakhir.”

“Ya Tuhan—mengorbankan anak sendiri….”

“Dayang yang luar biasa. Rowan selamat, tapi nyaris tinggal nyawa. Semua orang yang menyayanginya ia saksikan dicincang di depan mata. Bagi anak kecil, itu trauma terlampau besar. Sejak hari itu, melihat setetes darah saja ia kejang ketakutan.”

“Fobia darah? Pada campuran vampir?”

Hazel kaget, paham implikasinya.

“Kalau begitu… bagaimana ia bisa hidup?”

“Ya.”

Iskandar menghela napas.

“Kalau vampir kelas atas seperti Louis mungkin beda. Tapi bagi vampir biasa dan campuran, mereka perlu rutin mengonsumsi darah olahan. Pil merah yang diminum Putri Terdahulu setelah mengerahkan tenaga—itu tadi. Terlebih di masa pertumbuhan, asupan harus baik. Tapi Rowan tak bisa. Begitu sadar itu produk darah, ia kejang. Parahnya, kini obat pilek biasa yang mirip bentuknya pun tak bisa.”

“Begitu rupanya.”

Hazel akhirnya yakin. Bayangan Pangeran Rowan yang limbung kembali jelas.

“Intinya anemia berat—dan karena kondisi mental pasien, obat apa pun tak bisa dipakai.”

“Benar. Kendati mendatangkan tabib terbaik, percuma. Alih-alih, pengobatan bisa membahayakan anak itu. Yang bisa dilakukan hanya terapi simptomatik—menyelamatkan nyawanya saat krisis.”

“Tentu.”

Wajah Hazel mengeras, larut berpikir.

Keadaan sang pangeran sangat rumit dan khusus. Fakta ia masih bernapas saja sudah mukjizat.

Meski tak disengaja, menakuti anak seperti itu sampai kehilangan satu-satunya hiburan—berjemur di makam—pantas membuat Putri Terdahulu murka. Andai tak bertepatan dengan penganugerahan, nasib Hazel mungkin sudah tamat.

“Dengan jantung selembut kaca begitu… apa yang bisa kita lakukan?”

Gumaman Sir Valentine terdengar.

“Tak kusangka seserius ini. Selama ini, sebagai ibu, ia menutup akses siapa pun. Tapi janji dulu lain, bukan? Katanya kalau kita tidak mengusik, pangeran akan kembali kuat. Sehat dan akan datang menyampaikan salam….”

Saat itu juga, langkah sepatu kulit penjaga mendekat.

Iskandar menegang. Terlalu fokus pada urusan keluarga barusan—ia kecolongan.

Hazel menangkap kegundahannya.

“Kenapa?”

“Penjaga datang. Aku harus menghilang sejenak.”

Sosoknya lenyap.

Baru tadi ada di depan mata—kini seolah menyatu dengan gelap.

Kenapa aku tak dengar apa pun?

Hazel memasang telinga.

Tetap hening.

Sendirian di rumah sunyi senyap bagai biara, ia menata kembali cerita barusan.

Tentang Sir Balthazar, paman Louis. Tentang Putri Terdahulu, Katarina. Tentang Pangeran Rowan….

Tak lama kemudian, seorang penjaga masuk dengan lampu. Sepertinya sudah lebih dari sepuluh menit sejak Sir Valentine menyingkir.

Sepeka apa pendengarannya?

Penjaga memastikan Hazel baik-baik saja.

“Tak ada apa-apa?”

“Tidak.”

Ia menjawab.

Penjaga menyisir rumah dengan lampu, tak menemukan yang janggal, dan pergi.

Begitu benar-benar sepi, Sir Valentine muncul lagi. Ia kembali duduk di ambang pintu.

“Sekarang kau kira-kira mengerti apa arti insiden ini bagi Putri Terdahulu.”

“Iya. Aku mengerti.”

“Dalam kondisi sekarang, tak ada yang bisa meredakan amarahnya. Tekadnya sangat keras. Ia akan berupaya menghukummu atas pelanggaran terhadap keluarga kekaisaran—lalu mengusirmu dari istana.”

Pengusiran.

Sudah diduga, tapi mendengarnya tetap membuat Hazel gelap mata.

“Kalau aku diusir, apa jadinya tanah ini?”

“Menjadi tanah tanpa tuan.”

“Ya Tuhan….”

Itu pun sudah ditebak.

Bagaimana susah payah aku mempertahankan kebun ini. Bagaimana telatennya aku merawatnya. Dan kini harus pergi karena alasan yang tak pernah kubayangkan.

“Tentu aku akan membongkar dalang yang menyusun tipu daya ini. Ia akan bayar.”

Kata Iskandar.

“Tapi sekalipun begitu, fakta kau akan dihukum tak berubah. Putri Terdahulu takkan mengubah keputusan, dan dasar hukumnya kuat.”

“Aku tahu. Tak ada yang bisa dilakukan. Toh sejak awal aku bisa berkebun di sini berkat Hukum Istana.”

“Benar. Karena itu tak ada cara untuk menembus keadaan ini.”

“…….”

“Sebenarnya ada satu.”

Hazel mendongak.

“Ada cara?”

“Ada.”

Iskandar mengangguk.

“Sebagai ganjaran atas jasamu menemukan obat Sindrom Bulan pada unicorn, kau menerima Kunci Rumah Kaca Labirin. Dengan itu, ada cara yang tak terpikirkan orang untuk lolos dari hukuman.”

“Itu apa?”

“Lenyap di Rumah Kaca Labirin.”

Ia menyatakan dengan yakin.

Itulah intinya. Itulah kalimat yang ia datang untuk mengucapkan.

“…….”

Namun reaksinya sama sekali tak seperti yang dibayangkan.

Hazel tidak berseru, “Ide yang brilian!” seperti di kepalanya. Sebaliknya, ia mengerutkan hidung seperti tupai yang menemukan biji ek berbau aneh.

“Sir Valentine, itu terdengar aneh. Maksudnya, demi menghindari hukuman aku disuruh bunuh diri?”

“Bukan! Bukan betul-betul hilang. Hanya seolah-olah hilang. Sampai keadaan reda.”

“Begitu ya.”

Hazel menjawab dengan ekspresi ragu.

“Tapi aku tak paham apa gunanya. Pada akhirnya aku tetap harus angkat kaki dari kebun ini, kan?”

“Di dalam labirin pun kau bisa bertani sesukamu. Hanya tanamannya saja yang berubah. Misalnya tanaman pemakan serangga….”

“…….”

“Kau juga tetap bisa memasak. Hanya bahannya yang sedikit berganti….”

“…….”

“Aku juga sesekali akan datang melihat-lihat. Intinya, hidupmu tidak banyak berubah.”

“Begituuu….”

Hazel menelusuri dia dari atas ke bawah.

“Benar-benar sudah dipikirkan masak-masak, ya.”

“Seharian penuh kupikirkan.”

“Begitu rupanya.”

Orang ini memang agak aneh.

Begitu batin Hazel.

Meski begitu, ia tetap berterima kasih. Inilah Sir Valentine yang dulu turut pusing memikirkan gaun peninggalan nenek.

Maka Hazel menghaluskan nada suaranya.

“Mungkin… itu bisa jadi salah satu cara.”

“Cara yang kau ucapkan hanya demi sopan santun, kedengarannya.”

“Iya. Jujurnya, itu bukan cara yang baik. Rumah Kaca Labirin jelas-jelas hadiah. Kaisar memang menganugerahkannya padaku, tapi rasanya itu seperti hadiah untuk kita berdua. Karena itu buah dari perbuatan baik, aku ingin masuk ke sana dengan kepala tegak—bukan menyelinap untuk bersembunyi.”

Iskandar mendengarkan tanpa menyela.

“Seperti kubilang tadi, Hukum Istana-lah yang memungkinkan aku menjejakkan kaki dan hidup di sini. Dulu aku memanfaatkannya, dan kali ini karena itulah aku terjepit. Benar. Ini krisis terbesarku. Kalau aku diam saja, kebun keluarga kami—yang selama ini kujaga mati-matian bahkan berani membentak di depan Yang Mulia Kaisar—akan lenyap begitu saja. Tak ada jalan keluar.”

“…….”

“Sebenarnya ada satu. Mendapatkan maaf dari Putri Terdahulu.”

“Aku mengira kau bicara apa. Putri Terdahulu takkan pernah memaafkanmu. Panjang lebar kuceritakan barusan justru supaya kau memahami itu.”

“Tapi ada satu cara untuk mendapatkan maafnya.”

Iskandar, yang semula menatap heran, tiba-tiba tersentak.

“Jangan-jangan….”

“Itu dia.”

“Kau mau menyembuhkan Pangeran Rowan?”

Ia terbelalak. Sulit membayangkan hal yang lebih mengejutkan.

“Kau tahu kondisi Rowan sekarang?”

“Tahu. Anemia berat yang tak bisa ditangani obat apa pun.”

“Dan kau masih mengucapkan itu… berarti kau punya cara? Cara baru?”

Nada suaranya meninggi karena bersemangat.

Hazel memberi isyarat agar ia mengecilkan suara.

“Mendengar betapa rumit situasi Pangeran, aku berpikir: semua cara sudah dicoba, katanya. Tapi benarkah semua? Tidak. Ada satu cara yang pasti belum mereka coba. Aku melihatnya di desa. Cara yang lahir dari kearifan orang kampung. Para ahli istana takkan kepikiran.”

Hazel menyambung cepat.

“Kalau begitu, patut dicoba. Bisa jadi—di luar dugaan—itulah solusi paling sederhana.”

“Bagus kalau berhasil. Tapi kau belum yakin?”

“Mau berhasil atau tidak, tetap harus dicoba. Kita harus melewati krisis ini. Aku tak bisa duduk diam menunggu diusir.”

Dengan tekad, Hazel menatap ksatria berjubah hitam di hadapannya.

“Sir Valentine. Maukah Anda membantuku?”

Ia membuka mulut.

“Tentu saja.”

Dalam gelap, mata keduanya beradu—berkilat dengan tekad yang sama.

Pagi pun merekah.

Semua orang menunggu Putri Terdahulu menyatakan sikap. Kuncinya ada di tangannya.

Bagaimanapun juga, beliau adalah adik perempuan dari mendiang kaisar yang menakutkan itu.

Lorendel berjalan mondar-mandir resah di sekitar lapangan latihan. Setelah lama berkeliling, ia memutuskan untuk kembali fokus.

Ia masih punya kewajiban, meski hari itu hari libur.

Lorendel menemukan Sir Rigel Kirov juga sedang melangkah gelisah. Ia memanggil dengan isyarat.

“Orang yang menjebak Nona Mayfield menyelipkan secarik pesan di pintunya. Entah ia sendiri atau menyuruh orang lain, mungkin ada saksi yang bisa bersaksi. Kumpulkan informasi sebanyak mungkin. Ini seperti mencari jarum di tumpukan jerami, tapi kupikir kau orang yang tepat.”

Sir Rigel memang sedang mencari cara membalas budi pada Hazel yang pernah membantunya tanpa pamrih. Perintah itu membuatnya girang.

“Serahkan saja pada saya!”

Matanya berkilat penuh tekad.

Di distrik ke-2 ibu kota, kawasan kediaman mewah.

Di rumah vampir bergaya kastel tua dengan menara-menara, Cayenne berkunjung ke kediaman Louis.

Keduanya cepat sadar.

Sebelum Putri Terdahulu menyatakan sikap, mereka takkan bisa berkonsentrasi pada apa pun.

Louis berpikir:

Kalau mendengarkan ocehan kucing ini, waktu akan berjalan lebih cepat.

Sementara Cayenne berpikir:

Kalau mendengar ocehan vampir ini, waktu akan berjalan lebih cepat.

Akibatnya—

Rumah itu jadi setenang biara.

Tak terbayangkan untuk mereka berdua pada hari biasa. Kepala pelayan menggeleng kecil sambil menyiapkan teh.

Kala itu pun, ia menyiapkan teh begini adanya.

Sejak peristiwa menakjubkan ketika Nona membawa pulang seorang teman, diam-diam hatinya berdebar.

Mungkinkah lingkar pertemanan Nona akan berkembang pesat? Mungkin ia akan punya banyak teman yang ramah dan cerewet begitu?

Namun itu tak terjadi.

Yang berkembang bukanlah sifat ramah-tamah sang Nona; nyatanya, kemampuan si teman—yang jelas-jelas rakyat jelata—memang luar biasa.

Mengingat hari saat kedua nona tertawa-tawa di rumah mode itu, sementara Tuan Muda Ziegvaldt berdiri tersenyum memandang—dada sang kepala pelayan terasa perih.

Hidup di istana, memang apa pun bisa terjadi.

Ia sudah melihat banyak hal melewati tahun-tahun yang getir.

Namun kian menua, hati makin melunak. Disembunyikan pun, saat mengangkat teko teh bibirnya bergerak sendiri:

“Semuanya akan baik-baik saja.”

Sambil berkata begitu, ia menuangkan teh untuk Nona dan Tuan Muda.

Kediaman keluarga Adipati Sachsenpiegel.

Di rumah batu cokelat tua yang turun-temurun dipakai keluarga saat berada di ibu kota—Anna Sophia dan Isabella duduk dengan mata cekung.

Mendengar kabar dari istana, malam tadi mereka gelisah sampai pagi. Di gelap, aneka bayangan suram melintas.

Begitu pagi, mereka berdiri saling berhadapan, menepuk-nepuk pipi pucat satu sama lain berkali-kali. Jika ketahuan tak bisa tidur karena cemas, Nenek Esmeralda takkan mau bercerita lagi.

Anna Sophia dan Isabella menunggu para pelayan yang datang–pergi membawa kabar baru, duduk di ruang keluarga.

Keheningan kedua anak itu ikut menambah muram suasana rumah.

Ziegvaldt duduk di ruang keluarga, segunung berkas di hadapannya. Banyak urusan yang harus ia tangani menggantikan ayah yang sedang bepergian. Mestinya dikebut di hari libur, tapi tak ada kemajuan.

Saat itulah—

Ibu yang duduk tenang di kursi tiba-tiba bangkit.

Sang Adipatni Sachsenpiegel sejak lahir kuat dan tegak.

Menggantikan suami yang kerap jauh, ia kian kokoh. Hampir tak pernah menunjukkan emosi.

Misalnya saat kedua putrinya tersesat di istana dan nyaris membeku, ia hanya berkata, “Begitu, ya?”

Wanita yang seperti baja itu melangkah ke luar tanpa sepatah kata. Ia memerintahkan kusir menyiapkan kereta—dan berangkat.

Kereta menuju istana.

Sang Adipatni meminta kereta berhenti di sisi utara gedung utama. Ia berjalan bersama pelayan tua menuju istana kecil di ujung paling terpencil—kediaman Putri Terdahulu.

Ia adalah istri pahlawan besar negeri ini. Tak seorang pun berani bertanya hendak ke mana.

Putri Terdahulu—yang selain Permaisuri Ibu tak pernah menerima tamu—tak sanggup menolak kunjungan perempuan lurus dan dihormati banyak orang ini. Fakta bahwa beliau sampai masuk istana saja sudah sangat mengherankan.

Istana kecil Putri Terdahulu tak terbiasa menerima tamu. Ruang duduk harus dibereskan, perabot diambilkan.

Selagi menunggu, sang Adipatni berdiri tenang, seolah hal biasa.

Begitu siap, ia duduk tanpa sungkan. Seakan kemarin dan lusa pun datang untuk bercakap ringan, ia menyapa seolah-olah menanyakan kabar rutin.

“Seperti biasa saja. Terima kasih atas perhatian Anda….”

Putri Terdahulu menjawab dengan basa-basi.

Kini semua orang menahan napas sambil mengamati wajahnya.

Adipatni pun pastilah datang membawa suatu permohonan. Namun sekalipun dirinya, bila mengucap sepatah kata yang menyinggung suasana hati sang putri, takkan diberi ampun.

Tapi Adipatni hanya berbicara sebagai seorang ibu yang juga membesarkan anak sakit.

Putri Terdahulu teringat. Riwayat terkenal keluarga itu.

Benar. Begitulah adanya.

Adipatni lalu bercerita.

Tentang apa yang pernah dilakukan Yang Mulia Kaisar demi memaksa pemilik kebun di Taman Besar berkemas dan hengkang. Juga bagaimana perempuan itu menyelamatkan dua anak yang nyaris celaka besar….

Adipatni menyampaikannya ringan, seolah mengobrol sekilas.

Hanya itu.

Tanpa menambah sepatah pun, ia bangkit setelah menghabiskan teh. Berpamitan sopan, lalu pergi.

Usai kepergiannya, Putri Terdahulu tetap duduk tanpa bergerak.

Kedatangan Adipatni Sachsenpiegel sedikit menggoyahkan hati sang putri.

Saat ini, ia bisa berbuat sesuka hati. Ia punya hak, dan tak seorang pun berani menyanggah.

Namun….

Sebuah tanya yang lama tak muncul tiba-tiba menohok.

Apakah aku sedang bertindak benar sebagai atasan?

Putri Terdahulu memang lama mengasingkan diri dari dunia, tapi didikan istana tetap melekat.

Ia sudah menangkap gelagat bahwa banyak orang hendak membela pemilik kebun kecil itu. Hanya saja, tak disangkanya Adipatni Sachsenpiegel pun akan turun tangan.

Dengan kata lain, sampai-sampai beliau pun bergerak….

Putri pun larut dalam renungan.

Saat itu—

“Yang Mulia Putri Terdahulu!”

Seorang dayang berlari masuk dengan panik.

“Masalah besar! Dahi Yang Mulia Pangeran panas membara!”

“Apa?”

Katarina, Putri Terdahulu, terperanjat dan segera bergegas.

Putranya meringkuk dengan wajah pucat, mengaduh menahan sakit.

Dokter istana dan para perawat dari berbagai bidang berebut menangani.

“Cepat, kompres air dingin!”

“Nyalakan dupa! Arahkan asap ke sini!”

Ia anak yang rapuh, sampai-sampai tak bisa diberi obat atau terapi apa pun.

Setelah mengerahkan segala cara cukup lama, barulah demamnya turun. Satu jam terasa seperti sepuluh tahun—waktu neraka.

Anak sekecil ini salahnya apa!

Amarah Putri Terdahulu menyala lagi.

Mungkin demamnya naik karena kaget di makam.

Kalau begitu, bagaimana mungkin memaafkan? Sebagai ibu, sebagai putri kerajaan—takkan pernah.

Ia keluar kamar dan memanggil juru warta.

“Panggilkan si pesakitan!”

“Baik!”

Juru warta bergegas keluar dari istana kecil.

Untuk menunaikan titah, ia menuju gedung utama istana. Baru hendak mencari Komandan Pengawal, tiba-tiba seorang bangsawati muda mencengkeramnya.

“Kau! Sedang apa di sini?”

“Eh?”

Perempuan itu merendahkan suara.

“Aku kan sudah titip urusan itu secara diam-diam. Bagaimana hasilnya?”

Ia tampaknya mengira juru warta itu orang lain.

Juru warta gugup. Saat ia gagap, dirinya sudah terjerat dan tak bisa beranjak.

Dari balik pilar, seorang dayang memperhatikan adegan itu.

Dayang itu berbalik lari. Lalu berbisik pada bangsawati lain yang menunggu di kejauhan.

Dialah Nyonya Branches, kepala dayang Adipati Agung Atena.

“Yang Mulia Adipati Agung! Yang Mulia!”

Seruan heboh kepala dayang membuat Adipati Agung tersentak. Ia menandai berkas yang sedang dibaca, kemudian menengadah.

“Kenapa ribut sekali?”

“Harus lekas, ini kesempatan emas! Adikku, Kerual, sedang menahan seorang juru warta!”

“Juru warta siapa? Jelaskan yang jelas.”

“Juru warta utusan Putri Terdahulu! Beliau barusan memerintahkan agar pesakitan dihadapkan! Belum seorang pun tahu ini! Kita harus bergerak sekarang juga!”

“Bergerak bagaimana?”

“Campur tanganlah! Walau Putri Terdahulu lebih sepuh, dalam urutan tata krama Anda lebih tinggi. Anda berhak turun tangan. Jika keponakan menggantikan bibi untuk menjatuhkan hukuman, itu tampak berwibawa dan punya dasar.”

“Tapi ‘menjatuhkan hukuman’… Gadis itu sebenarnya tak bersalah.”

“Tentu bukan sungguh-sungguh menghukum. Hanya buat gaung seolah-olah dihukum, lalu diam-diam lepaskan.”

“Kenapa harus berpura-pura begitu?”

“Karena manfaatnya besar! Pikirkan: banyak orang sebenarnya memihak gadis itu, hanya tak berani muncul ke depan. Terutama empat Komandan Ksatria Suci dan Tuan Menteri Dalam Negeri—mereka ingin apa pun caranya mencegah gadis itu menderita. Mereka sedang gelisah. Dalam situasi begini, jika Anda maju melindungi sang gadis, Anda menganugerahkan budi besar pada mereka. Bukankah Anda berkali-kali mengatakan, ‘Aku ingin meraih hati orang-orang yang paling dekat mendampingi Yang Mulia. Aku ingin mereka di pihakku….’ Kini saatnya!”

Kepala dayang berapi-api meyakinkan.

Namun respons Adipati Agung tak seperti yang dibayangkan: datar.

“Aku paham maksudmu. Tapi tak bisa. Putri Terdahulu itu bukan hanya bibiku, beliau juga bibi Yang Mulia Kaisar. Kalau kelihatan menipu beliau dan Yang Mulia murka, bagaimana?”

“Ini bukan tipu daya, ini mediasi! Sejak ribuan tahun nyonya-nyonya istana selalu melakukan hal begini!”

“Cukup. Lagi pula ini berarti menyelamatkan gadis kebun itu dari bahaya, kan? Yang Mulia sangat tidak menyukainya. Belakangan pun sering menghela napas sambil melirik ke sana. Baru sekarang ada kesempatan menyingkirkannya, masakan aku masuk mencampuri? Beliau akan makin tak berkenan padaku.”

“Masakan sampai begitu? Yang Mulia menyayangi Anda, adik beliau. Lihatlah gambaran besarnya. Budi yang akan Anda berikan pada empat komandan dan Tuan Menteri itu tak terhingga. Sekalipun Yang Mulia sesaat mengerutkan kening—”

“Cukup!”

Adipati Agung mengernyit.

“Apapun itu, bila Yang Mulia bisa saja tak berkenan, aku takkan melakukannya. Jika karena ini beliau menjauh dariku, apakah Kepala Dayang mau menanggungnya?”

Nyonya Branches tak berkutik.

Namun mundur begitu saja sayang sekali.

“Tolong lihat gambaran besar.”

Ia mencoba lagi, tetapi Adipati Agung bergeming.

Sementara itu….

“Juru warta lolos.”

Seorang dayang melapor lagi.

Aduh!

Kepala dayang menepuk-nepuk dadanya menahan sayang.

Lepas dari adiknya Kerual, si juru warta akhirnya bertemu Komandan Pengawal Istana.

“Putri Terdahulu Katarina memerintahkan agar pesakitan dihadapkan. Lakukan tanpa menimbulkan kegaduhan.”

“Baik.”

Komandan punya kesan baik pada Hazel. Saat melihatnya naik pitam dan menjatuhkan hukuman pada pasangan Count Diabelli, ia merasa cocok.

Namun tugas adalah tugas.

Ia hanya bisa memerintahkan anak buahnya agar jangan kasar.

Tak lama, para prajurit masuk ke kebun dengan tenang.

Saatnya juga tiba.

Hazel menurut dan mengikuti mereka.

Para pembantu Putri Terdahulu serta para juru warta dan dayang menggunakan jalur berbeda untuk menuju sana. Jalan yang tidak mencolok.

Melalui jalur itu Hazel sampai di istana kecil.

Istana di ujung utara itu nyaris terpisah dari bagian istana lain. Dilingkari pepohonan rimbun, pandangan dan suara sama-sama teredam. Andaikan ada yang mati, bahkan jeritannya pun takkan terdengar keluar.

Mereka membawa Hazel ke ruang audiensi.

Di ujung karpet beludru merah, Putri Terdahulu Katarina duduk di takhta.

Hazel berlutut di hadapannya. Putri Terdahulu menatap dingin.

“Kau tahu kenapa kupanggil, bukan?”

“Yang Mulia Putri Terdahulu, hamba ada yang hendak disampaikan.”

“Diam! Bagaimanapun, aku akan menjatuhkan hukuman. Jangan mengiba!”

“Bukan itu.”

Hazel menggeleng.

“Aku tidak berniat mengeluh soal ketidakadilan. Ada satu hal yang ingin hamba tanyakan pada Yang Mulia Putri Terdahulu.”

Hazel menarik napas dalam-dalam, lalu berkata:

“Jika hamba berhasil membuat Pangeran Rowan sehat kembali… apakah Yang Mulia sudi memaafkan hamba?”

Putri Terdahulu seketika terperangah. Ia menatap gadis kecil itu dengan perasaan begitu absurd, seolah tak masuk akal sama sekali.

“Jika benar-benar bisa melakukannya, bukan sekadar memaafkan! Aku bahkan akan menggendongmu ke mana pun pergi!”

“Tidak perlu sampai menggendong, cukup maafkan hamba. Bagaimanapun caranya, hamba akan membuat Pangeran sehat kembali.”

Semua orang terbelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.

Putri Terdahulu mengernyit.

“Aku dengar kau memang tahu sedikit soal herbal. Tapi Rowan bukan anak yang bisa diberi obat. Saking takutnya, kini bahkan obat flu pun tak bisa ditelan. Takut ada sesuatu yang dia anggap seperti ‘itu’ masuk ke tubuhnya.”

“Aku tahu itu. Karena itu hamba tidak berniat menyembuhkan lewat obat.”

Hazel menatap Putri Terdahulu lurus-lurus.

“Hamba akan menyembuhkan lewat makanan.”

Ruang audiensi riuh seketika.

Para pengikut Putri Terdahulu yang sejak awal sudah menganggap Hazel lancang, makin terheran mendengar kata-kata yang terdengar konyol.

“Apa? Menyembuhkan lewat makanan?”

“Kalau begitu, Donald pasti sudah lama menyembuhkan beliau!”

Semua mata serentak beralih pada seorang pria berpostur tinggi, berwajah keras dengan kumis tebal—Donald, kepala juru masak istana kecil ini.

Dialah yang sejak lama bertanggung jawab penuh atas makanan Putri Terdahulu dan Pangeran Rowan. Di istana kecil ini, posisinya memiliki bobot yang tak kalah dengan Menteri Dalam Negeri bagi Kaisar, atau kepala pelayan bagi keluarga bangsawan besar.

Karena itulah, kata-kata Hazel membuatnya merasa dihina.

“Apa katamu? Menyembuhkan lewat makanan? Kau tahu siapa yang sedang kau bicarakan? Hmph! Kalau saja Pangeran mampu melahap sepuluh porsi daging mentah sekali makan, mungkin saja bisa! Tapi kenyataannya beliau makan jauh lebih sedikit dibanding anak biasa!”

Donald meminta izin pada Putri Terdahulu, lalu maju dan menegur Hazel dengan tajam.

“Kau kira aku diam saja selama ini? Pikir tempat ini sekadar dapur pedesaan? Aku sudah menjelajahi seluruh daratan demi menemukan bahan-bahan dengan khasiat memperbaiki darah! Tak terhitung resep yang kucoba! Tapi apa daya, pencernaan beliau terlalu lemah. Banyak pun tak bisa, sedikit pun tak sanggup. Kalau makanan bisa jadi obat, tentu sudah sejak lama kuselesaikan! Dasar lancang, bicara seakan tahu segalanya!”

Hazel mengecilkan bahu.

Ruang audiensi ini memang dirancang untuk membuat orang ciut. Apalagi di sini hanya ada pengikut Putri Terdahulu. Mendapat hardikan keras dan tatapan menusuk dari segala penjuru jelas membuatnya gemetar.

Tapi jika rasa gentarnya terlihat, maka secercah kesempatan pun akan lenyap.

Hazel menggertakkan gigi dan membalas dengan tegas:

“Aku bisa membayangkan betapa keras usaha Anda selama ini. Tapi bukan berarti orang lain tak boleh memberi pendapat, bukan? Aku juga tahu betul penderitaan yang dialami Pangeran. Karena itu, sebagai tanda permintaan maaf kepada Yang Mulia Putri Terdahulu, aku akan berusaha menyembuhkan beliau. Mohon berikan hamba waktu… tiga hari saja.”

“Omong kosong!”

Putri Terdahulu mendengus.

“Kau kira aku bodoh? Tiga hari agar bisa kabur, bukan?”

“Sudah kuduga begitu Yang Mulia akan berkata. Kalau begitu, beri aku dua hari.”

“Sehari pun takkan kuberi!”

“Sudah kuduga begitu pula yang akan Anda jawab. Kalau begitu… cukup satu malam saja.”

Putri Terdahulu hampir terbahak karena tak masuk akal.

Gadis ini sedang menawariku?

Belum genap dua puluh tahun, namun sikapnya begitu berani. Pasti hatinya sebesar gunung.

Putri Terdahulu menatap Hazel dengan tatapan marah. Namun Hazel tidak sedikit pun mengalihkan pandangan.

Itulah yang membuatnya kian tercengang.

“Dalam semalam, apa yang bisa kau lakukan?”

“Yang penting bukan lamanya waktu. Ada satu cara—mungkin sederhana, mungkin tampak sepele—tapi sejauh yang kutahu, belum pernah dicoba pada Pangeran. Kalau berhasil, itu bisa jadi solusi yang mengejutkan.”

“Ha….”

Semakin didengar, semakin tak masuk akal. Para pengikut menggeleng, mendesak:

“Yang Mulia, cukup sudah. Jangan dengarkan lebih jauh. Segera bawa ke pengadilan dan jatuhkan hukuman!”

Putri Terdahulu tetap diam. Aneh. Mungkin karena kunjungan Adipatni Sachsenpiegel tadi.

Ia merasa ada sesuatu dalam dirinya yang sedikit berubah.

Hazel tetap berlutut, menatapnya teguh tanpa gentar.

Jika sorot mata gadis itu penuh kelancangan, Putri Terdahulu pasti sudah meledak, melempar benda, dan memerintahkan agar gadis itu segera diseret untuk dihukum.

Namun yang ada hanyalah keyakinan.

Dan berkat cerita Adipatni Sachsenpiegel, ia tahu satu hal: gadis ini sudah pernah mempertaruhkan segalanya untuk menyelamatkan nyawa orang lain.

Hanya satu malam.

Dalam satu malam, tak peduli sehebat apa pun, ia takkan bisa kabur ke langit atau lenyap ke dalam bumi.

Baiklah. Putri Terdahulu membuat keputusan.

“Baik. Akan kuberi satu malam.”

Semua terkejut.

“Yang Mulia Putri Terdahulu!”

Itu sungguh tak seperti dirinya. Bahkan melihat dan mendengar langsung pun orang-orang sulit mempercayainya.

“Besok pagi, kau akan kembali dihadapkan. Jika kau gagal membuktikan kata-katamu, aku akan menimpakan padamu tuduhan penghinaan, lalu menjatuhkan hukuman mati. Jadi, gunakan malam ini sebaik-baiknya!”

“Yang Mulia! Tolong, pertimbangkan kembali!”

“Cukup.”

Putri Terdahulu mengibaskan tangan jemu.

Para pengawal kembali menggiring Hazel keluar dari istana kecil itu.

***

Salah satu hal yang paling awal berkembang bersama masyarakat bangsawan adalah budaya kuliner. Seni memasak memiliki sejarah yang begitu panjang.

Terutama para juru masak yang bekerja di istana kekaisaran—mereka adalah para ahli terbaik di seluruh negeri. Kebanggaan mereka tak terlukiskan.

Dunia mereka, bila ditelisik lebih dalam, adalah sebuah masyarakat bertingkat yang sangat ketat dalam tradisi magang. Seorang guru melatih murid, lalu murid itu kelak menjadi guru bagi generasi berikutnya.

Di puncak hierarki itu berdiri seorang tokoh legendaris: Meister Henkel.

Ia adalah kepala juru masak di Istana Permaisuri Janda, sekaligus koki terbesar yang masih hidup. Murid-murid yang ditempanya kemudian menjadi kepala juru masak di berbagai kediaman bangsawan istana.

Donald, juru masak pribadi Putri Terdahulu Katarina, juga merupakan salah satu dari murid-muridnya.

Dalam rapat rutin yang mempertemukan para murid sekaligus kepala juru masak itu, Donald tak kuasa menahan amarahnya.

“Segala yang masuk ke mulut Pangeran Rowan ada di bawah tanggung jawabku! Itu wilayahku! Bagaimana mungkin seorang gadis ingusan tiba-tiba menginjak wilayahku begitu saja! Aku tidak bisa tidak marah!”

Keluhan itu segera memicu gumaman berat dan desahan kesal dari para rekannya.

“Sudah kuduga suatu saat akan terjadi masalah. Sejak dia membuat heboh dengan makanan-makanan kampung itu!”

“Benar! Bukan aku saja rupanya yang terganggu. Mana bisa itu disebut masakan? Hanya bahan mentah yang dipanaskan begitu saja. Apa bedanya dengan manusia purba yang memasak di atas api unggun?”

“Kalau saja semuanya selalu dimasak, masih mending! Kadang malah tidak dimasak sama sekali! Hanya menaruh bahan mentah di piring lalu disajikan. Betapa mudah hidupnya! Bayangkan, orang-orang yang menjual air suci dari Gunung Arcane harus menempuh jalur mendaki hingga kaki lecet. Sementara dia? Tinggal memetik buah dan meletakkannya di meja, lalu semua orang bersorak ‘wah, enak!’”

“Orang-orang itu tertipu! Lidah mereka hanya kaget oleh rasa liar yang mentah, lalu salah mengira itu sebagai ‘lezat’!”

Semua orang seakan berebut melampiaskan kekesalan yang selama ini mereka pendam.

“Tapi tidak sepenuhnya begitu. Aku sendiri mencicipinya, dan memang enak.”

Satu-satunya yang membela Hazel adalah Giorgio, juru masak kantin para ksatria.

Ck, ck….

Xavier Fontaine, kepala juru masak Istana Kaisar, menggeleng dalam hati.

Bodoh sekali, dia tak sadar hal penting.

Yang Mulia Kaisar sebenarnya sedang menggunakan kesempatan ini untuk menguji kesetiaan para juru masaknya. Tetapi Giorgio, tanpa tahu diri, justru paling cepat mengadopsi gaya masakan desa itu. Ia sudah berkali-kali menerima pujian dari para ksatria yang makanannya terasa “lezat.” Kini, seakan-akan tak ada lagi yang bisa menghentikannya.

Siapa yang akan senang mendengarnya?

Seperti dugaan, tatapan tajam pun segera menghujani Giorgio, diiringi bisik-bisik tak menyenangkan. Suasana yang makin riuh itu dipotong dengan bentakan lantang sang guru.

“Kalian memalukan!”

Semua sontak terdiam.

Henkel terkenal keras dan tegas. Ia pernah berkali-kali mendapat penghargaan negara karena menyukseskan acara kenegaraan. Bahkan mendiang Kaisar yang kerap memanggil juru masak hanya untuk menghukum, tetap mengakui keahlian dan wawasannya.

Ia menatap murid-muridnya dengan sorot dingin.

“Memasak adalah seni tertinggi—perpaduan estetika indra penglihatan, penciuman, dan peraba. Puncak dari budaya bangsawan. Kalau pun gadis itu bisa menggugah selera sebagian bangsawan dengan beberapa hidangan, itu bukanlah masakan. Itu sekadar mengolah bahan mentah. Jadi kenapa kalian, para koki sejati, harus terusik olehnya? Urus saja pekerjaan kalian dengan benar!”

“Baik, Guru.”

Donald menunduk dengan wajah memerah.

Henkel benar. Seharusnya tak perlu ia hiraukan.

Namun…

Donald tetap merasa tak enak. Sekadar mendengar seorang gadis desa bicara soal makanan saja sudah cukup untuk menggores harga dirinya. Seolah wibawa yang ia bangun selama ini tercoreng.

Dan itu bukan satu-satunya alasan.

Jauh di dalam dadanya, ada satu titik kegelisahan.

Bagaimana jika… gadis itu benar-benar berhasil? Bagaimana jika ia sungguh-sungguh mampu menyembuhkan Pangeran Rowan lewat makanan, seperti yang ia katakan?

Tak mungkin… tapi andai terjadi?

Donald hanya membayangkannya saja sudah membuat keringat dingin bercucuran.

Apalagi mengingat bagaimana Hazel bersikap di hadapan Putri Terdahulu. Begitu tegar, begitu percaya diri, seakan memang memiliki rahasia yang tak seorang pun tahu.

Benarkah ada cara semacam itu?

Donald makin gelisah.

Namun rupanya, ia tak sendirian.

Seusai rapat, ia melihat murid kesayangannya, Zeca, juga berwajah penuh beban.

“Guru,” ucap Zeca ragu. “Memang kecil kemungkinan, tapi kalau gadis itu berhasil bagaimana? Mohon maaf, tapi ini bukan hal yang bisa diremehkan. Bukankah belum lama ini terjadi hal serupa? Dia berhasil menyembuhkan penyakit bulan merah pada unicorn, padahal semua tabib istana yakin mustahil. Ingatlah bagaimana para ahli itu dipermalukan. Hingga kini orang-orang masih mengejek mereka, katanya ‘tabib bergaji istana kalah oleh gadis desa’.”

Donald menelan ludah. Zeca melanjutkan dengan nada tegang.

“Bahkan Putri Terdahulu sendiri—kita tahu betapa keras kepala beliau. Tadinya begitu murka, bersikeras menghukum segera. Namun tiba-tiba memberi gadis itu waktu satu malam. Itu masuk akal? Tidak. Pasti ada sesuatu.”

“Ya… itu yang membuatku resah juga.”

“Guru, Hazel bukan gadis biasa. Kalau kita meremehkan, kita bisa bernasib sama dengan para tabib itu. Segala yang sudah kita bangun bisa runtuh. Lebih baik berhati-hati, kan?”

Kata-kata murid itu benar-benar sejalan dengan isi hati Donald. Ia mengangguk-angguk.

“Benar. Lebih hati-hati tidak ada ruginya.”

Donald menoleh ke sekitar, memastikan tak ada orang lain. Lalu ia menunduk dan berbisik ke Zeca dengan suara berat:

“Jangan masuk dapur malam ini. Awasi diam-diam apa yang dilakukan gadis itu. Jika kau melihat dia memperoleh bahan aneh atau melakukan sesuatu yang mencurigakan—lapor padaku segera.”

“Baik, Guru.”

Zeca mengangguk, wajahnya tegang namun mantap.

***

Donald kepala juru masak memang suka ceplas-ceplos, tetapi para orang kepercayaan Putri Terdahulu yang hadir di ruang audiensi tidak demikian. Para abdi dan dayang pun terbiasa tidak menebarkan urusan majikan mereka ke luar.

Karena itu, kabar dari dalam paviliun nyaris tak pernah benar-benar menyebar.

Bahwa Putri Terdahulu memanggil Hazel kembali—itu terdengar ke luar. Tetapi setelahnya tak ada kabar berarti. Gadis pemilik kebun yang sempat membuat Pangeran Rowan terkejut itu hanya kembali lalu dikenai tahanan rumah.

Kenapa tidak langsung dibawa ke pengadilan?

Semua yang menaruh minat pada perkara ini pun bertanya-tanya.

Namun tak ada yang bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya melirik kebun kecil yang tenang disekat tali larangan masuk, tanpa berani mendekat.

Sebenarnya apa yang terjadi?

Seseorang lain juga bergulat dengan pertanyaan yang sama: Zeca, murid kesayangan Donald, yang mendapat perintah untuk mengawasi.

Begitu menerima perintah, ia langsung bersembunyi di tempat yang strategis mengamati kebun.

Zeca punya kemampuan menyamarkan diri yang lumayan. Demi memenuhi lidah para bangsawan yang rewel, ia terbiasa memburu belibis liar dan memancing ikan segar—keahlian yang tanpa sadar mengasah tekniknya.

Ia melebur di antara pepohonan di luar pagar kebun. Pohon-pohon di Taman Agung menjadi perisai alami; dari sudut mana pun, bayangannya tak terlihat.

Namun meski pengawasan begitu ketat, tidak terjadi apa-apa.

Hazel sama sekali tidak bergerak.

Kalau hendak mencari bahan, bukankah harus keluar?

Benar-benar tak masuk akal.

Sebenarnya apa yang hendak ia lakukan?

Perintah tahanan rumah belum resmi dicabut. Tapi Hazel saat ini diizinkan keluar—Putri Terdahulu memberi waktu satu malam.

Namun ia tetap tidak bergeming.

Zeca sudah siap membuntuti begitu Hazel melangkah keluar. Dengan situasi begini, ia dibuat bingung.

Masa iya ia sesumbar tanpa rencana?

Tidak. Mustahil. Para tabib istana saja pernah dikelabui habis-habisan. Tak boleh lengah.

Zeca menajamkan pandangan, terus mengawasi.

Sementara itu senja merambat. Siluet rumah kecil di depan mata pelan-pelan memudar ditelan gelap.

Masa mau tidur begitu saja?

Lampu tak boleh dinyalakan, jadi tak ada yang terlihat. Menyesakkan. Zeca tak berani merenggangkan ototnya yang kaku; ia hanya menatap pekatnya malam.

Saat itu juga—

Klik.

Terdengar bunyi kecil.

Pintu terbuka. Sebuah sosok kecil menyelinap ke luar.

Akhirnya!

Zeca bersorak dalam hati.

Hazel melangkah pelan di dalam gelap. Begitu jarak cukup, Zeca bangkit tanpa suara dan membuntuti.

Pelan-pelan begitu… mau ke mana?

Ia mengikuti rapat-rapat… dan—ternyata ke kandang ayam.

Hazel memberi pakan anak-anak ayam.

Apa-apaan ini!

Saat ia masih terpana, Hazel mendadak menoleh cepat.

Hah!

Zeca tersentak dan menekuk tubuh di balik batang pohon.

Mengintip di sela dahan, ia melihat Hazel memeriksa sudut-sudut kebun.

Jantungnya membeku.

Jangan-jangan aku ketahuan?

Ternyata tidak.

Hazel hanya menelisik kebun, lalu melangkah cepat ke sisi lain.

Kali ini aku tidak tertipu.

Demi berhati-hati, Zeca tetap diam. Tetapi bayangan Hazel makin menjauh.

Tidak! Itu sungguhan!

Ia buru-buru mengejar.

Hazel melintas keluar pagar. Ia melangkah cepat di antara pepohonan Taman Agung. Zeca mengerahkan seluruh fokus agar tidak kehilangan jejak.

Tiba-tiba Hazel menukik masuk ke Taman Labirin.

Eh? Eh?

Zeca panik.

Tempat ini sulit untuk membuntuti. Tapi kalau jarak diperpendek, risiko ketahuan membesar. Bagaimana?

Seketika, siluet Hazel—yang tadi mati-matian dijaga di tepi pandangan—menghilang tanpa bekas.

Apa! Ke mana perginya!

Zeca mondar-mandir gelisah, menoleh ke segala arah. Hazel tak tampak.

Kenapa harus Taman Labirin! Mustahil terjadi kecuali ia sengaja mengibaskan buntut!

Kesal, Zeca meninju batang pohon. Saking ganjilnya, ia bergumam tanpa sadar.

“Tidak mungkin dia tahu sedang diikuti…”

Dan itu memang benar.

Hazel tidak tahu ada yang membuntutinya. Ia hanya berhati-hati demi seseorang yang hendak ia temui.

Seseorang yang seharusnya sama sekali tak boleh menemuinya. Karena dia seorang Ksatria Kekaisaran.

Lagi pula belum mengundurkan diri. Jangan sampai pekerjaannya melayang gara-gara aku.

Karena memikirkan nasib pekerjaan Sir Valentine, Hazel tanpa sengaja berhasil mengelabui sang penguntit.

Mereka janji bertemu pukul sembilan. Tempatnya di belakang gudang preparat kupu-kupu istana.

Konon dulu ada seorang bangsawan ditinggal kekasih, lalu gantung diri di sana. Kadang muncul hantu, sehingga selepas senja tempat itu sepi total.

Mengingat kisah itu membuat Hazel merinding. Langkahnya melambat, menyeret seperti keong.

Untungnya Sir Valentine sudah tiba lebih dulu.

Langkah Hazel kembali ringan.

“Cepat juga datangnya.”

“Lebih mudah dari perkiraan.”

Jawabnya singkat.

Di sampingnya ada seekor kuda.

Seekor Black Pegasus bernama Ras Algethi. Saat biasa, sayapnya disembunyikan sehingga tampak seperti kuda hitam berperawakan besar.

Namun saat berlari—itu lain cerita. Sekalipun tanpa sayap terlihat, lajunya seolah terbang.

Kuda yang terkenal di seluruh istana ini tentu tak bisa sembarang diperlihatkan pada Hazel. Untuk berjaga-jaga, kudanya pun harus “disamarkan”.

Syukurlah ada berbagai ramuan sihir untuk mengubah warna bulu hewan. Iskandar menyaru si hitam itu menjadi kuda belang: dasar putih dengan bercak cokelat, lalu menuntunnya kemari.

“Jadi ini tunggangan Sir Valentine.”

Hazel menyapa si kuda belang sejenak. Sementara itu Iskandar kembali memeriksa kekencangan pelana.

“Tapi kita akan pergi ke mana persisnya?”

“Memang mau kutanyakan. Waktu tea party, Anda bilang Palomares masih bisa ditempuh pulang-pergi.”

“Ke sana saja?”

“Tidak. Lebih dekat daripada pelabuhan. Saat aku dan Lady Louise ke Loiret membeli susu perah, di sekitarnya kulihat desa-desa yang belum tersentuh urbanisasi. Kita perlu ke sana.”

Röwen maksudmu.”

Iskandar mengangguk.

“Ke sana masih sempat pulang-pergi.”

“Syukurlah.”

“Tunggu.”

Ia menahan Hazel yang hendak naik. Lalu menyerahkan sebuah benda.

Sebuah selimut.

Dulu Cayenne pernah meminjam kuda ini dan pulang dalam keadaan beku kaku. Iskandar masih mengingatnya.

“Meski tengah musim panas, angin kencang di atas pelana tetap menusuk. Perlu penghangat.”

“Begitu rupanya.”

Hazel menyelubungi diri dengan selimut.

“Nih, satu lagi.”

“Baik.”

“Satu lagi.”

“……”

“Satu lagi.”

“……sebentar, ini tidak kebanyakan?”

Suara Hazel teredam dari balik gulungan.

Cukup.

Iskandar mengangkat “gulungan” itu dan menaruhnya di pelana. Ia sendiri duduk di belakang.

“Kalau begitu, berangkat.”

Begitu komando terdengar, kuda pun melesat. Pagar istana dilompati tanpa suara, lalu menukik kencang. Pemandangan berkelebat, Iskandar memacu sekencang mungkin—hingga ia sadar kudanya terus melirik.

Sorot mata itu…

Aneh juga.

Baru ia ingat: ini pertama kalinya kuda itu membawa penumpang perempuan. Dan posisi penumpang—secara alami—membuatnya berpegangan dari belakang.

Ia reflek menahan laju.

Kuda mengerem mendadak karena tarikan tali kekang. Dari dalam gulungan selimut yang ia dekap erat agar tak jatuh, terdengar suara Hazel.

“Ada apa?”

“Tidak, tidak apa-apa.”

Iskandar lekas menata diri dan kembali memacu kuda.

Jalannya berbahaya; Hazel tak bisa dibonceng di belakang. Mengikatnya di sisi pelana malah lebih berbahaya. Posisi sekarang sudah tepat.

Yang jadi soal: apakah Hazel menyadari alasan itu?

Apa nanti ia salah paham? Mengira aku sengaja…?

Seharusnya tidak. Kalau iya, pasti ia sudah protes, “Ini kenapa! Turunkan saya sekarang juga!” Karena tak ada reaksi, artinya semua baik-baik saja…

Ia kembali menahan kendali—kali ini untung tak mengerem.

Ia memang seorang yang banyak pikir. Kebiasaan yang lahir dari seringnya bergerak sendirian di luar istana.

Selama niat lurus, untuk apa ragu. Kerjakan tugasmu.

Ia melirik “gulungan” di depannya.

Selimut-selimut tebal itu punya fungsi lain.

Agar cepat pulang, mereka harus lewat jalan pintas—melewati Gunung Bröhen.

Siang hari tak apa. Tapi malam, ada sesuatu yang berkeliaran. Malam adalah wilayah mereka.

Di kaki Bröhen, Iskandar turun sejenak. Sebelum menjejak wilayah “milik mereka”, ia menyalakan kertas sihir Lux—tanda permisi.

Nyala biru yang hanya dilihat makhluk malam melesat ke langit. Sampai puncak, cahaya itu meledak lalu padam, menyisakan kilau menyilaukan.

Iskandar naik kembali.

Baru beberapa saat menanjak, sesuatu melayang cepat dari depan.

Padahal sudah “minta izin”, tapi ada yang tetap menyerang. Artinya: boleh dibunuh.

Sambil memacu kuda, Iskandar menarik pedang dengan satu tangan.

Srak!

Makhluk yang hendak menerkam terbelah dua seketika.

Hazel terlonjak.

“Itu… apa?”

“Hanya ranting.”

“Tapi ada matanya.”

“Kau salah lihat.”

jawab Iskandar datar.

Sepertinya… bukan salah lihat.

Hazel sempat berpikir macam-macam, tapi memilih diam saja.

Situasi yang sama terulang beberapa kali.

“Baru saja punya tangan dan kaki, lho?”

“Salah lihat.”

“Padahal jelas-jelas bergerak.”

“Itu cuma ilusi optik.”

“Bahkan bernyanyi.”

“Salah dengar.”

Hazel tahu jawaban itu sudah baku, tapi tetap saja ia bertanya terus.

Karena benar-benar menakjubkan.

Selama ini para ksatria yang ia lihat selalu lebih dulu “mengumpulkan napas dan tekad”—seolah memberi aba-aba, sekarang aku akan menebas!—baru bertindak.

Sedangkan dia, mengayun begitu saja seolah tanpa beban.

Tak tampak ada tenaga yang terkumpul di mana pun; bahkan saat sedang bicara pun, ritme napasnya tak pernah goyah.

Yang paling mencolok: tidak pernah meleset sedetik pun.

Membelah sekali tebas hal yang biasa. Hanya satu kilasan gerak, dan monster besar langsung tercerai-berai—Hazel sampai ternganga.

Jadi ksatria kekaisaran memang harus segitu, ya.

Karena tak paham soal ilmu pedang, Hazel menerima saja begitu.

Sambil menyingkirkan makhluk-makhluk aneh itu, mereka melaju jauh, hingga akhirnya menyeberangi Gunung Bröhen.

Kuda terus memacu. Pemandangan di dataran berkelebat cepat.

Hazel mengintip semampunya dari sela-sela selimut.

Ini di mana? Pemandangan ini mirip yang kulihat dari jendela saat pergi membeli susu bersama Lady Louise…

Pada suatu titik, kuda memperlambat laju lalu berhenti.

Mereka tiba.

Pedalaman yang belum tersentuh urbanisasi. Wilayah Röwen di pinggiran ibu kota.

Iskandar turun dulu, menurunkan “gulungan selimut” ke tanah.

Hazel akhirnya bisa melepaskan selimut-selimut pengap itu. Ia memberi isyarat agar lekas bergerak, lalu cepat masuk ke desa.

Dinding batu abu-abu, atap jerami. Rumah-rumah desa betulan berkelompok rapat.

Hazel melongok ke balik pagar anyaman di sana-sini. Iskandar mengikut di belakang.

Bahan apa yang ia cari?

Ia penasaran setengah mati.

Namun ia tak bertanya, takut mengganggu alur pikir Hazel.

Hazel melewati enam, tujuh, delapan rumah. Lalu tiba-tiba berhenti di depan sebuah rumah.

“Ah, ini dia.”

Ia menunjuk sesuatu yang tergantung di pagar.

Iskandar menoleh.

Apa yang Hazel tunjuk sangat berbeda dari dugaan Iskandar. Nyaris keterlaluan.

“Jadi ini bahan yang akan kau pertaruhkan untuk menang-kalah?”

“Benar.”

Hazel mengiyakan.

“Kalau berhasil, ini mungkin bisa menyelamatkanku.”

Ia menatap benda itu lekat-lekat.

Itu adalah wajan hitam bertangkai.

Wajan besi tuang khas pedesaan—benar-benar dari besi tempa—yang sepertinya digantung di luar setelah dicuci bersih untuk menghilangkan bau.

Tak ada yang istimewa selain itu. Dari tampak luarnya, ya… hanya wajan.

Iskandar tak paham dan bertanya,

“Itu kan cuma alat masak?”

“Betul.”

“Kukira kau akan menemukan bahan khusus seperti telur para gnom itu waktu itu… Jangan-jangan kau bermaksud memberi makan wajan itu pada Pangeran Rowan?”

“Tidak begitu, tapi juga tidak bisa dibilang sama sekali tidak. Sedikit banyak akan ‘dimakan’.”

Benar-benar akan dimakan?

Mata Iskandar membesar. Hazel menjelaskan perlahan.

“Aku bilang pada Putri Terdahulu bahwa aku akan menyembuhkan lewat makanan, tapi sebenarnya yang paling penting bukan makanannya, melainkan alat untuk memasaknya. Wajan besi.”

Hazel mengulurkan tangan dan mengambil wajan itu.

“Wajan besi betulan seperti ini makanan gampang lengket, beratnya bikin pergelangan pegal, dan perawatannya repot agar tidak berkarat. Karena itu pelan-pelan tersingkir. Tapi di desa-desa miskin, masih dipakai. Tahu kenapa?”

“Untuk menghemat biaya membeli alat baru?”

“Bukan. Ini obat manjur untuk anemia.”

“Apa?”

“Dalam besi terkandung zat yang sama dengan yang ada dalam darah manusia. Yang mencengangkan, saat memasak, zat itu larut sedikit demi sedikit dan meresap ke dalam makanan. Orang desa sudah lama menemukan hal itu. Jadi mereka tidak membuang wajan besi. Untuk ekonomi rumah tangga miskin, ini pemasok gizi yang luar biasa.”

Jadi intinya mengikis besi perlahan dan membuat anak-anak menelannya secara alami?

Aneh, tapi masuk akal.

Iskandar tiba-tiba teringat.

“Benar juga. Menurut penelitian para bijak, sejak dunia tercipta, ‘intisari kehidupan’ tersimpan di dalam besi—dan itu juga mengalir dalam darah kita. Para bijak menamainya prima essentia dan menelitinya. Jika bisa diserap, tentu menyehatkan… hanya saja tak terpikir ‘memakan besi’. Ternyata orang desa sudah melakukannya?”

“Ya. Di desa, apa pun diupayakan untuk bisa dimakan.”

Hazel terkekeh.

“Dari situ mereka menemukan manfaatnya. Anak di desa biasanya banyak. Daging jelas jarang, sayur pun kurang. Anemia jadi-jadian, tapi tak ada yang bisa diberikan. Wajan besi menjadi penyelamat. Bahkan pada anak dengan gizi berlebih, bisa timbul keracunan sehingga perlu dibatasi—saking manjur.”

“Begitu rupanya.”

Iskandar mendengarkan dengan kagum.

Kearifan rumah tangga di kampung ternyata sejalan dengan riset para bijak.

Intisari kehidupan—prima essentia—katanya cukup masuk dalam jumlah kecil dan tidak mudah terbuang dari tubuh. Maka benar, pada kondisi gizi berlebih ada risiko toksik.

“Luar biasa! Ternyata memang ada cara manusia ‘memakan besi’!”

Iskandar bersemangat.

Semua orang tahu kondisi Pangeran Rowan amat khusus.

Seorang peranakan vampir yang takut darah—di alam liar, sudah lama tersisih.

Ia bertahan hidup karena darah bangsawan; banyak tangan menalangi nyawanya. Namun sampai di situ. Terlalu rapuh dan sensitif untuk diterapi—hanya disangga agar tetap hidup.

Tapi Pangeran Rowan yang ini…

Metode ini betul-betul brilian.

“Dengan cara ini, tanpa obat, tanpa memaksa porsi makan dilipatgandakan, anemia parah bisa ditangani. Dan caranya sangat sederhana! Sekalipun anaknya sangat sensitif, ia tak akan menyadari apa pun.”

“Betul. Meski porsi Pangeran lebih kecil dari anak biasa, metode ini tetap mungkin. Sebab lewat wajan besi, kita memadatkan kandungan dalam jumlah kecil. Memang ada beberapa aturan. Tapi semuanya kuingat. Aku bisa.”

Hazel bicara mantap.

Saat itu juga—

Pintu kecil rumah petani berderit. Seorang bocah keluar sambil membawa pelita, masih dengan wajah setengah mengantuk.

Hazel dan Iskandar kelabakan.

Terlalu semangat membahas wajan besi, mereka membangunkan anak dengan pendengaran peka.

“……!”

Melihat dua orang di luar pagar, bocah itu tersentak kaget.

Hazel buru-buru bicara.

“Kami bukan orang mencurigakan!”

Sebentar.

Baru diucap, ia sadar… Seorang perempuan memegang wajan besi dan seorang pria berjubah hitam legam. Lebih mencurigakan daripada ini sulit.

Sebelum sang bocah berteriak “maling!”, Hazel menambahi cepat,

“Maaf mengejutkan. Kami sedang mencari wajan besi tua seperti ini. Boleh kami membelinya?”

“Berapun yang kau minta, kami bayar.”

Iskandar sigap membantu, memperlihatkan sekeping koin emas. Mata si bocah membulat.

“Aku tanya Ibu dulu!”

Ia berlari masuk.

Entah apa yang dikatakannya, orangtua pemilik rumah dan adik-adiknya berhamburan keluar.

Wajar bila mereka tercengang: dua orang asing datang tengah malam, menawar wajan lama dengan harga tinggi.

Bagaimanapun, transaksi berjalan mulus.

Mereka menatap lama koin di telapak, curiga seperti kena sihir goblin. Tentu saja koin itu tak menghilang, dan besok anak-anak rumah itu akan makan enak.

Mendapatkan yang dicari, Hazel senang bukan main. Ia memeluk erat wajan besi yang berat itu.

“Berkat Sir Valentine, kita dapat barang bagus. Tinggal berharap besok ini bekerja baik. Menghindari pengasingan memang penting, tapi aku benar-benar ingin pangeran kecil itu sehat.”

“Aku juga.”

Iskandar mengangguk.

Menyembuhkan anemia dengan perabot besi—metode ini hampir pasti belum pernah dicoba siapa pun.

“Dan caranya tidak memicu sensitivitas Pangeran Rowan. Kurasa ini memang ditakdirkan berhasil.”

“Kalau Sir Valentine bilang begitu, rasanya aku juga makin yakin.”

Sambil bercakap, mereka meninggalkan desa.

Pegasus Ras Algethi tetap tenang menunggu meski tidak diikat. Namun saat keduanya mendekat, ia kembali melirik—sorot matanya aneh.

Iskandar selama ini mengira kudanya berperilaku santun. Sepertinya sudah saatnya mengajarinya etiket sedikit.

Sementara itu, jauh di sana—kembali menuju ibu kota dan istana—di tengah-tengahnya berdiri sebuah ladang kecil. Di sana masih bersembunyi seorang pengintai.

Zeka, murid kesayangan Kepala Juru Masak Donaldo, akhirnya menyerah setelah mencari Hazel ke sana kemari—gagal, lalu pulang ke posisi semula.

Sudahlah. Cepat atau lambat dia akan kembali. Saat itu saja kuperhatikan baik-baik.

Begitu pikirnya.

Hazel tidak segera kembali. Berarti ia pergi cukup jauh. Zeka menunggu dan menunggu.

Entah berapa lama waktu berlalu.

Dalam sunyi malam, bunyi kriiiik memecah udara. Zeka sontak membuka mata.

Ia tersentak—tanpa sadar tertidur.

Gadis itu?

Di rumah kecil dalam ladang, seberkas cahaya menyala. Lalu cepat padam.

Hazel sudah pulang.

“Sial!”

Ia panik.

Seharusnya ia melihat momen kepulangan itu. Barulah bisa tahu bahan aneh apa yang dibawanya. Seharian jungkir-balik demi hal ini, tapi detik terpenting justru terlewat.

Sialan!

Bagaimanapun caranya, ia harus menyelinap masuk ke ladang dan mengintip isi rumah itu.

Ia memegang pagar.

Baru menapak untuk memanjat, kayu berderit. Di heningnya malam, suaranya besar sekali.

Lampu di rumah kecil itu menyala lagi.

Hah!

Zeka kalang kabut, kembali meringkuk di tempat semula.

Beberapa saat kemudian, pintu terbuka sedikit. Hazel keluar dan meneliti sekeliling ladang.

Zeka menahan napas. Telapak tangannya basah oleh keringat.

Kenapa sensitif sekali!

Lalu ia paham.

Siang hari, suara alami dari Taman Besar menutupi banyak hal. Dengan lalu-lalang orang sebagai kamuflase, ditambah teknik berburu belibis hutan, ia bisa bersembunyi tanpa ketahuan.

Tapi sekarang? Mustahil.

Lalu bagaimana?

Zeka memutar otak—dan menemukan cara bagus.

Kalau tak bisa masuk diam-diam, masuklah terang-terangan.

Ia langsung lari ke pos jaga di dalam istana.

Karena sering minum bersama penjaga yang piket malam, ia paham betul situasi dalam.

Ia masuk pos seakan hendak menemui seseorang.

Di ruang ganti ada sebuah manekin. Dipasang untuk mengajarkan rekrutan baru cara memakai seragam dengan benar.

Zeka sudah lama menandai manekin itu. Mungkin ia memang merasa—suatu hari ini akan berguna.

Ia melepas topi dan seragam dari manekin, satu per satu.

Saat keluar, ia juga menyelip sebuah lampu.

Mengenakan seragam penjaga untuk menyamar itu pelanggaran berat. Ketahuan—tamat.

Tapi mana mungkin ketahuan!

Zeka berganti baju di tempat gelap, lalu menuju ladang. Ia membuka gerbang pagar dengan santai, seolah benar prajurit piket.

Hazel yang tak bisa tidur berdiri dan mengintip. Melihat penjaga berpatroli, ia kembali duduk.

Tak terpikir olehnya bahwa itu bukan prajurit sungguhan. Yang ia pikirkan hanya, “Wah, kerja sampai larut juga, ya.”

Zeka masuk dengan wajah tenang.

“Ada yang janggal?”

“Tidak.”

Hazel menjawab.

Zeka menyapu ruangan dengan lampu.

Tak terlihat bahan istimewa.

Ia mengulang, menyisir lebih teliti. Lalu menemukan sesuatu di atas meja makan—tertutup kain.

Hm?

Ia sangat penasaran.

Ia keluar lagi dengan santai. Kembali ke pos, melepas seragam, lalu memasangnya lagi di manekin rapih-rapih.

Kemudian segera menuju ke istana bagian sayap—ke kediaman Putri Terdahulu.

Kepala Juru Masak Donaldo sudah mendaftar piket dan menunggu kabar muridnya di dapur.

Zeka segera melapor.

Donaldo ikut terkejut.

“Apa? Tidak ada bahan khusus, hanya sebuah wajan besi?”

“Benar, Guru. Sisanya hanya jamur, sayuran, daging—yang biasa. Cuma wajan besi itu yang ditutup kain seolah penting sekali.”

“Ini aneh.”

Donaldo mengerutkan kening, berpikir.

Tiba-tiba sesuatu melintas di benaknya.

“Jangan-jangan…”

“Jangan-jangan apa?”

“Dari awal ‘bahan khusus’ itu cuma dugaan kita. Si biang kerok itu hanya bilang akan menyembuhkan Pangeran lewat makanan. Barangkali rahasia hidangan itu… bukan pada bahan, melainkan pada alat masaknya?”

Bulu kuduk mereka meremang.

“Gawat!”

Donaldo pucat dan berteriak.

“Itu dia! Pasti itu! Aku sudah mencoba semua bahan. Ternyata jawabannya bukan di bahan, tapi di peralatan! Alat itu pasti punya khasiat sangat kuat untuk mengatasi anemia!”

Zeka miringkan kepala.

“Memangnya mungkin, Guru?”

“Kalau si kampungan itu bilang begitu—pasti benar! Aduh! Kenapa aku tak terpikir? Celaka! Kita kecolongan!”

Wajahnya kini benar-benar kebiruan.

“Guru, tenanglah!”

Zeka menenangkan.

“Terlalu dini untuk bicara begitu. Kalau akhirnya hanya akan pasrah, buat apa Anda menyuruhku memata-matai?”

Ia menurunkan suara, berbisik.

“Mulai sekarang… itu jadi ide kita.”

“Ah?”

Mata Donaldo membesar. Otaknya seperti tersadar.

“Benar! Benar juga!”

Ia segera memanggil pelayan dapur dan memerintah,

“Sekarang juga ke pasar! Bangunkan pemilik toko, beli beberapa wajan besi—yang dari besi sungguhan!”

“Baik, Tuan Juru Masak.”

Pelayan menjawab cepat.

Tak lama, berbekal surat izin keluar, kuda pelayan itu melesat melewati gerbang istana.

Pagi pun tiba.

Hazel menunggu utusan dari istana sayap Putri Terdahulu. Semua persiapan sudah beres sejak lama.

Namun…

Sampai lewat pukul sepuluh, tak ada kabar.

Padahal Putri Terdahulu jelas-jelas berkata akan memanggilnya pagi-pagi.

Saat Hazel resah mondar-mandir, akhirnya seorang juru istana muncul.

“Ah!”

Hazel menyambutnya.

Meski sudah menunggu, saat orangnya datang juga—rasanya tetap gugup.

Ini dia…

Nasibnya akan diputuskan hari ini; wajar jika tegang.

Hazel mengambil keranjang bahan. Ia juga menenteng wajan besi—dibungkus kain agar tak berdebu.

Saat itu, si juru istana melangkah ke depan.

Sebelum keluar, ia menerima titah khusus dari Kepala Juru Masak Donaldo:

—Kalau gadis itu tahu situasinya lalu bikin ribut di istana sayap, penyakit Pangeran bisa memburuk. Cegah agar tak ada kegaduhan.

Di mata juru istana, wajan besi berat itu tampak terlalu cocok untuk menimbulkan keributan. Bahkan bisa jadi senjata.

Ia pun mengangkat tangan, mencegah.

“Itu, jangan dibawa.”

“Eh?”

Hazel kaget.

“Kenapa? Ini penting.”

“Tak boleh sembarang barang dibawa masuk kediaman keluarga kekaisaran. Terlebih ke tempat Pangeran yang sedang sakit. Jika benar-benar wajib, barang itu harus diperiksa dulu sebelum boleh masuk.”

Itu masuk akal. Hazel tak punya pilihan selain menerima.

“Baik. Tolong uruskan, ya.”

“…….”

“Ini benar-benar perlu.”

“……Baiklah.”

Berbeda dari juru istana yang selama ini ditemuinya, sikap pria ini terasa dingin dan ketus.

Selain itu, ada hal lain yang mengganjal. Begitu keluar, yang menjemput bukan para penjaga, melainkan hanya para juru istana dari kediaman putri.

“Ayo cepat!”

Mereka mendesak Hazel.

Rombongan pun bergerak.

Karena lewat jalan sunyi dan bergerak diam-diam, nyaris tak ada yang melihat Hazel menuju istana sayap. Hanya anak-anak ayam di kandang yang memperhatikannya.

Kenapa perasaanku tak enak terus ya? Apa karena tegang jadi terlalu peka?

Hazel terus menoleh kiri-kanan.

Tak pernah terlintas di kepalanya bahwa urusan menyembuhkan sang pangeran akan menemui kendala. Setidaknya urusan ini, yakin betul semua pihak akan memberi dukungan penuh.

Tapi ada yang aneh.

Begitu gerbang istana sayap yang terpencil itu terkunci di belakang, para juru istana malah membawa Hazel ke arah lain. Bukan ke aula audiensi dan ruangan-ruangan utama, melainkan ke arah sebaliknya.

“Kita harusnya menemui Putri Terdahulu dulu, bukan?”

“Tidak.”

“Mengapa?”

Juru istana itu menatap Hazel.

Sampai di sini, ia merasa sekalipun gadis itu ribut, tak ada gunanya lagi.

“Kasihan, Nona. Sudah selesai semuanya.”

“Apa?”

Hazel bingung.

“Belum juga mulai, apa yang selesai? Aku datang untuk mengobati Pangeran Rowan. Beliau di mana?”

“Sekarang bersama Kepala Juru Masak Donaldo. Semalam Tuan Juru Masak tak tidur setelah mendengar ocehanmu yang berani itu. Ia membolak-balik buku-buku keahlian, memikirkan berbagai cara, dan akhirnya menemukan metode bagus untuk menyembuhkan Pangeran lewat makanan. Bukan dengan bahan khusus seperti biasanya, melainkan dengan mengubah alat masaknya.”

“Apa?”

Dada Hazel turun naik.

“Tapi beliau berjanji memberiku kesempatan lebih dulu, kan?”

“Siapa peduli? Tuan Juru Masak bilang ini urgen, jadi subuh-subuh beliau sudah audiensi dan menjelaskan rinci. Putri Terdahulu menilai itu ide cemerlang dan memutuskan segera mencoba cara itu dulu. Urusanmu ditangguhkan.”

“Tak mungkin….”

Rasa tak enak menyambar. Jangan-jangan cara yang dipikirkan Donaldo… adalah memakai wajan besi?

Kalau begitu, tak ada lagi jalan baginya menghindari pengusiran.

Ia gelisah.

“Tunggu sebentar!”

Hazel melepaskan diri dari pegangan juru istana dan berlari.

Mengikuti jejak aroma masakan, ia sampai ke dapur istana sayap.

Para asisten juru masak sibuk menguji “metode baru”, hilir-mudik ke sana kemari. Di tangan mereka, satu benda yang sama menonjol.

Wajan besi.

Kepala Hazel berputar.

“Bagaimana bisa kebetulan separah ini! Metode yang kusiapkan juga itu! Memasak dengan wajan besi!”

Para juru masak saling menoleh, lalu terkekeh tidak percaya.

“Benar dugaanku—tepat seperti kata Tuan Juru Masak.”

“Memangnya beliau bilang apa?”

“Bahwa kau sebenarnya tak punya siasat apa pun. Hari ini pun cuma mau mengulur waktu dengan licik. Lihat saja: masuk dapur, mengintai, lalu langsung berbohong! Sudahi saja akal bulusmu dan bersiap menerima hukuman!”

Mata Hazel gelap.

Bagaimana bisa!

Tepat di hari ketika ia berhasil memperoleh kesempatan mencoba cara baru, Kepala Juru Masak Putri Terdahulu kebetulan memikirkan metode yang sama! Ia yakin, tanpa pernah hidup di desa, orang takkan tahu cara ini.

Benar-benar nasib yang kejam.

Lututnya lemas. Ia sempat terhuyung, dan wajan besi di tangan seorang juru masak tiba-tiba memenuhi pandangannya.

Hah?

Hazel tersentak.

Dilihatnya wajan lain di tangan juru masak yang lewat. Sama persis. Semuanya identik.

Kepala Juru Masak membuat kesalahan seperti ini?

Kesadarannya kembali jernih.

Dan Hazel langsung paham.

Itu bukan gagasan asli kepala juru masak. Kalau ia mengerti prinsipnya, ia takkan berbuat kesalahan begini. Yang ia tahu hanya “asal wajan besi”—seolah itu saja sudah cukup.

Artinya….

Ini bukan kebetulan!

Entah bagaimana caranya, rahasia itu bocor.

Rentetan kejadian semalam berkelebat di benaknya.

Siapa yang menyusup dan mengabarkan pada kepala juru masak?

Hanya satu yang mungkin: “penjaga” yang datang patroli larut malam. Sudah pasti itu utusan kepala juru masak.

Amarahnya naik ke ubun-ubun.

Donaldo begitu licik dan kotor. Merebut milik orang lain tanpa peduli cara—hanya demi pamer kemampuan.

Dengan wajan besi di tangannya, ia bakal….

“Jangan! Itu berbahaya untuk Pangeran!”

Hazel berteriak.

Saat itu juga, para juru masak terbelah ke kiri-kanan, kaget. Di celah mereka, Kepala Juru Masak Donaldo melangkah lebar.

Dia orangnya.

Melihat wajah tak tahu malunya, emosi Hazel kembali bergolak.

“Bagaimana bisa melakukan itu? Mengintai diam-diam dan mencuri informasi! Lalu mengaku-aku seakan temuan sendiri! Hentikan sekarang juga! Begini caramu, bukan menyembuhkan Pangeran—justru memperburuk keadaannya!”

“Apa omong kosongmu!”

Donaldo membentak.

Memperburuk Pangeran? Ia sudah yakin cara ini akan berhasil. Perasaannya begitu kuat.

Dia ini selalu asal ceplas-ceplos demi lolos, ya!

Ia melotot pada Hazel.

“Tolong! Ada siapa pun di sana? Hentikan Kepala Juru Masak! Caranya salah! Kalau begini, kondisi Pangeran justru makin buruk!”

Suara si gadis ladang ini memang keras. Menyebalkan—dan ia takut Putri Terdahulu mendengarnya.

Bagaimanapun, gadis ini sudah tamat. Tinggal dirinya menyembuhkan Pangeran dan menerima pujian.

Ia mengeras dan berteriak,

“Kubilang apa? Jangan biarkan dia bikin ribut! Kunci di ruang kosong mana pun sampai Putri Terdahulu memanggilnya!”

“Siap!”

Para juru istana menangkap lengan Hazel.

“Lepaskan! Ini demi Pangeran!”

Hazel melawan.

Tapi mereka ahli. Kakinya terangkat tak menyentuh lantai; ia diangkut ke ujung lorong dan dikurung dalam kamar kecil.

“Diam di situ sampai dipanggil lagi.”

Klek—kunci diputar dari luar.

“Hey! Jangan pergi! Aku bilang ini demi Pangeran!”

Hazel berteriak.

Mereka sudah pergi. Ia menumbuk pintu, sia-sia. Dihantam dengan bahu pun tak bergerak.

Situasi ini memang menyakitkan, tapi yang lebih mencemaskan: Pangeran.

Hazel menoleh ke sekeliling.

Kamar kecil itu berbau apak menusuk. Sepertinya dulu, saat istana sayap ini masih aktif di kalangan sosial, ruangan ini dipakai sebagai ruang tunggu tamu.

Apa tak ada cara kabur?

Pintu terlalu kokoh—ia menyerah. Ia menoleh ke jendela.

Jendela geser itu dikunci kait dari dalam.

Untungnya, ini bukan sel tahanan; kuncinya tidak dipasang dari luar—hanya dari dalam.

Bodoh juga ya mereka?

Hazel girang dan memutar kait sembilan puluh derajat untuk membuka.

Tak bergerak.

Entah karena terlalu tua, atau memang disengaja supaya tak bisa dibuka—hanya tangan yang pegal.

Tentu saja.

Memecahkan kaca? Orang akan berdatangan. Terlalu berisiko.

Hazel kembali mencari celah. Bau apak kembali menusuk hidung.

Bau busuk.

Sebuah ide berkelebat.

Hazel menunduk menatap kusen jendela.

Seperti bagian lain di kamar, kusen itu juga totol-totol jamur. Air hujan merembes lewat jendela dan membusukkan kayu.

Pindah-pindah rumah membuat pemandangan seperti ini jadi biasa. Bila kusen busuk, tinggal dikorek pakai pahat, lalu dilapisi kayu tambahan atau plester perekat.

Dari situlah ide bagus muncul.

Kalau kukorek habis bagian busuknya seperti memperbaiki kusen?

Kait tak bisa kulepas, tapi bagian kayu tempat kait menancap… bisa saja kuremukkan.

Kalau kayu penahan kait hilang, jendela geser itu akan bisa dibuka!

Cara kabur yang tenang tanpa menimbulkan keributan.

Hazel bergegas.

Ia perlu alat pengganti pahat.

Di laci lemari hias, ia menemukan satu set teh. Sebilah pisau mentega berwarna perak tampak kokoh—bilahnya lebar dengan lambang kekaisaran terukir penuh, pas untuk mencongkel.

Hazel menempel di jendela. Ia mengeruk bagian busuk dengan hati-hati.

Cat putih terkelupas; di baliknya jamur merajalela. Ia menyusupkan pisau mentega ke sela serat kayu yang merekah. Kayu rontok seperti pai yang dipotong.

Pekerjaan ini butuh teknik. Bagian yang benar-benar busuk mudah terkelupas; yang keras harus dipaksa.

Hazel bertarung lama dengan pisau mentega di tangan.

Akhirnya sampai tepat di bawah kait. Bagian itu keras, pisaunya tak bisa menembus.

Sudah terkikis sejauh ini—coba saja.

Ia menoleh.

Sekarang butuh sesuatu yang mirip palu.

Di atas perapian, ada patung kuningan kecil—seorang dewi mungil. Panjang setelapak lengan, ramping, pas di genggaman.

Hazel mengambilnya.

Ia membalik, lalu menghantam pangkal kait dengan kepala dewi sekuat tenaga.

Tong! bunyi berat berdentang. Ia cemas orang berdatangan—tak ada yang datang.

Ia hantam lagi.

Tong! Kaitnya miring sedikit.

“Bagus.”

Meski kasihan pada dewi kecil itu, Hazel kembali mengayun kepala patung menghantam titik busuk di bawah kait.

Tong!

Bagian bawah kait penyok dan terangkat. Ia membidik bagian paling busuk dan menghantam sekali lagi—kait pun mencelat.

“Berhasil!”

Hazel mendorong jendela geser ke atas.

Celahnya terbuka.

Seret, tapi cukup untuk melewatkan tubuh.

Hazel mengambil pijakan kaki dari bangku sandaran. Ia lilitkan rok panjang di betis, naik ke pijakan itu, tubuh bagian atas melesat keluar. Kedua tangan menyanggah ambang, kaki menyusul. Lalu ia melompat ke halaman kecil di bawah.

Berikutnya masalah.

Semua orang di istana sayap ini memusuhinya.

Jauh lebih aman kalau kabur ke luar dan mencari bantuan. Di sana ada teman-temannya—dan orang-orang yang bisa diajak berpikir waras.

Tapi tak ada waktu.

Kondisi Pangeran Rowan mendesak. Sedikit saja terlambat, Kepala Juru Masak Donaldo akan memaksakan kehendaknya.

Jadi Hazel memilih menerobos langsung. Ia memutari bangunan dan kembali menuju pintu utama.

“Berhenti! Kau!”

Seorang ksatria patroli mengejar.

“Aku tidak kabur!”

Hazel, yang susah payah meloloskan diri, justru berlari masuk lagi ke dalam bangunan istana sayap.

Ia tak tahu Putri Terdahulu berada di mana. Tapi kemungkinan besar di tempat paling ramai dan riuh.

Untung mudah ditemukan.

Semua orang di istana sayap berkumpul di depan sebuah kamar di lantai dua.

Hazel menangkap siapa pun yang terdekat dan berseru,

“Tolong pertemukan aku dengan Putri Terdahulu! Hentikan Kepala Juru Masak! Hidangan yang ia suguhkan justru akan memperburuk kondisi Pangeran!”

Semua orang menoleh. Terkejut melihat Hazel ada di situ.

“Bagaimana dia bisa lolos?”

Mereka mengeras wajah dan mengepung Hazel.

Di antara mereka ada Zeka, murid kebanggaan kepala juru masak. Ia menunggu di luar pintu tempat gurunya berada.

Mendapati Hazel—yang katanya sudah dikurung—muncul lagi, ia mendecak.

“Benar-benar keras kepala! Menyerahlah. Pangeran sudah menghabiskan semua hidangan baru buatan guruku.”

“Apa!”

Hazel terperanjat.

“Tidak! Tolong, pertemukan aku dengan Putri Terdahulu!”

“Cepat bawa dia pergi! Kunci di ruang bawah tanah supaya tak bisa kabur lagi!”

Adu mulut meledak di lorong sempit itu.

Saat itulah—

Dari dalam kamar, kegaduhan tiba-tiba meletup. Para juru istana berlari terburu-buru.

“Tuan Tabib! Di mana Tuan Tabib?”

“Aku di sini! Ada apa? Kenapa?”

“Pangeran memuntahkan semua yang beliau makan barusan! Beliau sangat kesakitan!”

“Apa!”

Semua terperanjat. Hazel berteriak,

“Aku sudah bilang! Kalian salah!”

Zeka terpaku. Sulit dipercaya.

Bagaimana bisa salah? Padahal sama-sama pakai wajan besi!

Tabib istana dan para asistennya bergegas masuk, membuat keadaan kacau balau.

Hazel memanfaatkan kekacauan itu untuk menepis tangan para juru istana.

Aku harus bicara pada Putri Terdahulu!

Ia menyelinap cepat ke dalam.

Beberapa saat sebelumnya.

Jauh dari istana sayap yang gaduh, di gedung utama istana.

Iskandar, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, duduk melingkar di bangku marmer halaman belakang bersama para bijak.

Peristiwa tadi malam mengingatkannya: sesekali ia memang harus memanggil para bijak—menunaikan “kewajiban” seorang kaisar.

Ia memang memanggil mereka, tapi pikirannya melayang. Ia memutuskan menganggap sesi ini sekadar “menjemur” aset negara yang bernama para bijak, sementara dirinya bebas melamun.

Pada saat ini, Hazel pasti sudah dipanggil ke istana sayap. Ia yakin sebentar lagi kabar gembira datang: gadis ladang itu berhasil meringankan gejala Pangeran dengan cara cerdik.

“...Menurut fosil yang baru ditemukan di pesisir barat, hipotesis lama keliru. Centaurus bukan gabungan kuda dan manusia; sejak awal mereka adalah ras baru.”

“Ah-hem. Itu terlalu radikal, bukan?”

Bijak Devasu tiba-tiba meninggikan suara. Iskandar yang melamun menoleh sekilas.

Saat itu ia terkejut.

Di antara kedua kaki Devasu yang duduk melingkar, ada sesuatu yang kuning.

Tiberius?

Iskandar tak percaya pada matanya.

Unggas itu kabur lagi memanfaatkan kelengahan pemiliknya!

Sang bijak bahkan tak sadar ada anak ayam di kakinya dan tetap berapi-api berargumentasi. Saat ia terbawa emosi mengentak, “Bukan begitu!”—kakinya menghantam tanah.

Tiberius melesat keluar, menghindari kaki si bijak ini dan itu, lalu selamat sampai ke sisi Iskandar. Ia bersembunyi di belakang betis sang kaisar.

Ada apa dengan unggas ini?

Iskandar membungkuk, memungut si piyik.

Para bijak amat tumpul. Sibuk berdebat, mereka tak memerhatikan sang kaisar memungut anak ayam dari tanah. Bahkan kalau Iskandar pergi pun, mungkin mereka tak sadar.

Ia tergoda kuat untuk melakukan itu.

Tapi nanti para bijak—yang susah payah dipelihara istana—bisa kena sengatan matahari massal... Jadi ia putuskan untuk mengakhiri pertemuan cepat-cepat dan berbalik.

Setelah menyingkirkan para pelayan yang setia menguntit, ia mengeluarkan anak ayam itu.

“Bukankah kau sudah kapok kemarin?”

Ia menaruhnya ke lantai dan menegur.

Ada yang aneh.

Tiberius langsung kabur, tapi berhenti di suatu titik, menoleh, dan menatapnya. Lalu terdiam.

“Mau apa?”

Saat Iskandar mendekat, Tiberius kembali berlari di depan. Lalu berhenti lagi, menoleh.

Burung memang dibilang tak terlalu cerdas. Tapi makhluk kecil ini seperti sedang menyampaikan maksud. Rangkaian geraknya seolah…

Sedang mengajak.

Perasaan Iskandar mendadak tak enak.

Jangan-jangan ada apa-apa?

Bisa jadi.

Sekali saja mengintip?

Hilang tanpa jejak dari pandangan orang adalah keahlian Iskandar. Ia segera melesat menuju ladang—hanya beberapa menit dari situ.

Di rumah, tak ada tanda orang. Benar: Hazel dipanggil ke istana sayap.

Iskandar mengintip lewat jendela.

Di atas meja ada benda yang sangat ia kenal: wajan besi yang semalam mereka beli di Löwen.

Apa ini?

Ia mengernyit.

Ia yakin ada yang keliru. Wajan besi itu penting. Hazel tak mungkin meninggalkannya.

Ia kembali memandang Tiberius.

Binatang paling peka terhadap bahaya—apalagi bila menyangkut sarang. Mungkin dalam proses Hazel dipanggil ke istana sayap, ada aura berbahaya yang membuat hewan kecil ini resah.

Hewan bisa belajar konsekuensi tindakannya.

Piyik ini, dari pengalaman kemarin, sudah paham: jika Iskandar menemukannya, ia akan diantar pulang. Ia memanfaatkan itu untuk memanggil Iskandar ke ladang.

“Bagus.”

Iskandar memasukkan Tiberius ke kandang ayam. Lalu langsung meninggalkan taman agung.

“Paduka! Ke mana saja tadi?”

Para pelayan berlari menghampiri.

Jelas ada yang terjadi, tapi belum ada yang mengetahuinya. Ia merasa genting. Hatinya mendesak.

Tanpa pikir panjang, Iskandar berbalik.

“Ke istana sayap Putri Terdahulu.”

“Eh? Baik, Paduka.”

Dengan jubah berkibar, kaisar melangkah cepat; para pelayan pontang-panting mengikut.

Rombongan panjang menuju istana sayap.

Saat itu, istana sayap porak-poranda.

Hazel memanfaatkan ribut-ribut untuk masuk—ternyata itu kamar Pangeran.

Di bawah kelambu yang terangkat sampai puncak tiang, Pangeran Rowan yang pucat terbujur. Dada naik-turun berat.

Putri Terdahulu Katarina menghitung napas sambil mondar-mandir, lalu melempar jam. Wajahnya campuran takut dan marah.

“Katanya akan segera membaik! Kenapa jadi begini! Bukankah kau jamin akan segera ada perbaikan?”

Kepada semprotan itu, Kepala Juru Masak Donaldo tak berani mengangkat kepala.

“Hamba duga, ini reaksi pemulihan, Paduka. Gejala tampak memburuk sesaat sebelum membaik.”

“Berkurang sesaat? Disangka aku bodoh? Bahkan makanan yang tak mengingatkan pada darah pun dimuntahkan semua! Itu setelah kau paksa beliau makan!”

“Saya tak bersalah! Metode saya tidak keliru!”

“Tidak. Keliru.”

Hazel menyela setelah menerobos kerumunan.

Mendengar suara tak terduga, Putri Terdahulu menoleh tajam. Alisnya bergetar.

“Kusudah bilang urusanmu ditunda!”

Tatapan setajam pisau terlempar.

Kali ini Hazel tak gentar. Wajah pangeran yang merana memberinya nyali.

Ia bicara lagi.

“Paduka, hamba harus menyampaikan ini. Cara Kepala Juru Masak salah. Bahkan itu bukan caranya. Itu caraku.”

“Apa? Donaldo datang subuh-subuh mengajukan siasat!”

“Sebelumnya, dia menyuruh prajurit mengintai apa yang kupersiapkan. Lalu cepat-cepat menyodok duluan. Memang begitulah dia—demi jasa, tak peduli cara. Maka gampang ditebak.”

“Apa yang gampang ditebak?”

“Menu. Ia pasti menyodorkan hidangan yang lebih kuat aroma dan rasanya—merangsang—dan mendorong Pangeran makan terus. Dikira makan banyak akan mempercepat efek.”

Itu benar. Donaldo hari ini menyuguhkan aneka hidangan megah, dan memaksa walau satu suap lagi.

“Andai mengerti prinsipnya, masih mending. Tapi tanpa tahu prinsip, dipaksakan—bagaimana tak celaka? Karena itulah aku berteriak tadi. Kalau tidak dihentikan, kondisi Pangeran akan memburuk. Tapi tak seorang pun mengindahkan.”

Putri Terdahulu menoleh berkeliling.

“Benarkah?”

Semua saling pandang, tak berani menjawab.

“Benarkah dia mengatakan itu pada kalian?”

Didesak lagi, seorang juru istana ragu-ragu angkat suara.

“Benar. Gadis ini berkata demikian. Metode Tuan Kepala Juru Masak keliru; jika tak dihentikan, keadaan Pangeran memburuk. Semua itu sesuai kenyataan.”

“Apa?”

Ekspresi terperanjat melintas di wajah Putri Terdahulu.

Saat itu juga.

Seorang pelayan dari luar berlari terburu-buru.

“Paduka Putri Terdahulu! Bahaya!”

“Apa—”

Belum selesai, suara lantang mengguntur.

“Paduka Kaisar berkenan hadir!”

Sekejap, semua orang membatu. Ruangan panas dan riuh dingin membeku.

Kaisar?

Hazel terpegun, hanya matanya yang bergerak. Apa-apaan ini?

Putri Terdahulu sama kagetnya.

“Kenapa Baginda tiba-tiba datang? Bukankah beliau memilih tak turun tangan di sini?”

“Sepertinya Baginda sudah mengetahui semua keributan hari ini. Beliau sangat murka. Pangeran akan dirawat para ahli—Paduka diminta segera ke aula audiensi.”

“Ah….”

Dengan wajah sangat tak nyaman, Putri Terdahulu berdiri. Ia menatap putranya sekejap, lalu bergegas pergi.

Begitu gaun berkabungnya menghilang, Donaldo melangkah ke depan.

“Kau!”

Ia hendak menyergap lengan Hazel, tapi seseorang bergerak secepat kilat, menangkis, dan mencengkeram pergelangannya.

Seorang srikandi istana.

“Nona ini tak boleh terluka sehelai pun! Ia harus selalu tampak rapi dan pantas!”

Ia cepat-cepat menyeka keringat di dahi Hazel—lalu terbelalak.

“Apa ini? Jaring laba-laba? Jangan-jangan kalian mengurung nona ini?”

“Itu… dia terlalu ribut….”

“Tunggu! Tangannya ini apa lagi! Kenapa jadi begini!”

Si juru wanita melompat marah.

Hazel menunduk melihat tangannya—kaget. Ia tak sadar: merah bengkak, tergores di sana-sini, perih seperti tertusuk duri.

“Kalian ini waras? Jika Nona ini berkeliaran begini, para tukang gosip istana bakal bilang apa? Mereka akan berbisik, ‘lihat—kalau dibenci Baginda, jadinya mengenaskan begitu!’ Kalau Baginda lewat dan mendengar, betapa tidak adilnya! Padahal, demi catatan sejarah yang menulis ‘ia adalah kaisar baik—tak seperti ayahandanya’, Baginda menahan diri mati-matian, padahal hatinya ingin langsung mengubah Nona ini jadi selai stroberi merah! Dan kalian, tega memperlakukan Nona ini serampangan—benar-benar nekat!”

Karena gertakan srikandi itu, wajah semua orang sontak pucat.

Namun, sesuatu terasa agak aneh.

“……?”

Hazel menatap wajahnya. Dan terkejut.

Penelope, Yang Mulia Ksatria!

Baru sekarang ia sadar, gadis dengan wajah licik itu adalah salah satu pengikut Cayenne. Ternyata telinga kucingnya tersembunyi di balik topi pelayan, sehingga ia tak mengenalinya.

Sir Penny yang datang sendiri!

Hazel benar-benar gembira. Di tengah kepungan musuh, bagai penyelamat yang tiba-tiba muncul.

“Sebentar, kita pindah ke sana dulu untuk mengobati luka, bagaimana?”

Penny menarik Hazel ke sudut koridor. Sambil mencabut duri yang menancap di tangannya, ia berbisik pelan.

“Tenang saja. Di luar ada banyak sekali orang kita.”

“Lalu tugas penjagaanmu?”

“Semua urusan pemerintahan sudah terhenti. Baginda mendadak datang ke istana peristirahatan ini.”

“Ah.”

Mendengar bahwa di luar banyak orangnya, Hazel pun makin lega.

“Masalahnya sudah besar sekali, ya. Mengapa Baginda tiba-tiba datang ke sini?”

“Kalau beliau datang, pasti ada alasan penting. Jangan terlalu rumit dipikirkan, Nona Hazel. Ini akan lebih menguntungkan bagi kita, tidak mungkin merugikan.”

“Benarkah?”

“Tentu saja. Buktinya saya bisa menyusup ke sini. Saya mendapat perintah langsung: melindungi keselamatan Nona Hazel sekaligus melaporkan situasi di dalam istana ke luar.”

Penny kembali mencabut satu duri lagi.

“Ngomong-ngomong, bagaimana bisa begini? Saya kira Anda masih ditahan di pertanian. Apa yang sebenarnya terjadi?”

“Itu, sebenarnya….”

Hazel mulai menceritakan semuanya. Tentang tawaran yang ia berikan pada mantan Permaisuri, tentang bagaimana kepala juru masaknya ikut campur lalu mencuri rahasianya, hingga akhirnya semua berantakan. Bagaimana ia dijebloskan ke ruang tunggu lalu berhasil kabur.

Penny terbelalak.

“Ya ampun! Untung saja si juru masak itu menggali lubangnya sendiri. Kalau tidak, betapa besar ketidakadilan yang akan menimpa Anda.”

Ia lalu melotot ke arah Donald si juru masak yang berdiri di kejauhan.

Ia ingin segera menyampaikan kabar ini kepada kapten dan pasukan di luar, tetapi jika ia meninggalkan tempatnya, lelaki itu pasti akan berbuat lagi. Maka Penny memutuskan tetap berada di sisi Hazel.

“Ngomong-ngomong, di sini tidak ada kursi empuk, apa? Bagaimana kalau nona sampai pingsan! Harusnya kalian ingin Baginda melihat nona ini digotong di atas tandu, lalu dicemooh?”

Bentakan kerasnya membuat semua orang terkejut.

“Segera kami bawakan.”

Seorang pelayan buru-buru berlari menuruni tangga.

Namun di bawah, ia berhenti kaget. Dari ruang audiensi terdengar suara lantang menggema sampai ke lorong.

Baginda benar-benar murka.

Ia ingin sekali mengintip ke dalam ruangan, tapi ia menahan diri dan langsung mencari perban sebelum berlari kembali ke atas.

Sementara itu, di ruang audiensi, suasana semakin memanas.

Iskandar mendengar penjelasan dan tak bisa menahan rasa muaknya.

Juru masak rendahan itu berani merebut hasil jerih payah orang lain!

Lebih parahnya lagi, tindakan sang mantan Permaisuri juga bermasalah. Meski terkait keselamatan putranya, tindakannya membuat tatanan jadi kacau.

Ia pun tak tahan untuk menegur.

“Walau lawanmu hanyalah orang kecil, jika sudah memberi izin, semestinya ditepati! Kalau berubah secepat membalik telapak tangan, ke depan siapa yang akan percaya pada kata-kata Anda? Apa pantas seorang putri kekaisaran berbuat seperti itu?”

“Ya, aku… aku tahu itu….”

Kecaman tajam membuat mantan Permaisuri yang biasanya garang pun tergagap.

“Baginda, saat itu saya benar-benar tak punya pilihan lain. Kalau soal lain, tentu tak masalah. Tetapi ini menyangkut nyawa sang pangeran. Donald telah merawatnya dengan tulus selama bertahun-tahun. Saat mendengar perkataan berani gadis itu, ia mengaku merenung sepanjang malam, lalu pagi-pagi sekali datang memohon pada saya dengan jawaban baru….”

“Itu bukan jawaban baru! Itu hasil pemikiran orang lain! Bagaimana bisa yang asli disingkirkan, lalu mempercayakan pada pencuri?”

“Bagaimana saya bisa tahu Donald mencuri ide itu? Ia tampak begitu bersemangat, dan saya hanya ingin berpegangan pada seutas harapan….”

“Perasaan itu saya mengerti.”

Iskandar mengerutkan dahi.

“Karena menyangkut keselamatan keluarga kerajaan, semua orang takut ikut campur. Namun, pemegang kendali—yaitu Anda—justru kehilangan kejernihan berpikir. Maka, sebagai keponakan, saya akan membereskan hal ini. Jadi….”

Mantan Permaisuri merasa jantungnya seakan jatuh. Wajahnya pucat pasi, menatap bibir keponakannya. Tidak, jangan sampai….

“Gadis itu harus diberi kesempatan sekali lagi.”

“Eh?”

Mantan Permaisuri melongo.

Dari alur percakapan, ia mengira Iskandar akan merebut putranya. Namun ternyata bukan. Ia justru memerintahkan memberi kesempatan kedua bagi gadis petani itu.

“Tidak boleh! Bahkan Donald, seorang ahli, sudah gagal. Mana mungkin….”

“Itu adalah perintah Kaisar.”

Iskandar menutup mulutnya setelah berkata tegas.

Dalam keheningan, mantan Permaisuri segera menyadari makna di baliknya.

Darahnya membeku. Ia tak bisa lagi berkata apa pun. Di hadapan titah kaisar, hanya kepatuhan yang tersisa.

“…Baiklah, Baginda.”

Ia menundukkan kepala.

Pelayan-pelayan di luar saling berpandangan, penuh tanda tanya.

Sementara itu, di lantai dua istana peristirahatan, ketegangan lain juga mengalir.

“Apa? Ada apa tadi?”

Suara lantang menggema.

Saat Iskandar tengah berunding dengan mantan Permaisuri, di sini muncul satu tokoh tambahan selain Penelope Killingsworth.

Dengan menyambar mantel seorang bawahan untuk menyamarkan diri seadanya, tanpa niat benar-benar menyembunyikan identitasnya—hadirlah Sir Luis Gallardo, Kapten Ordo Ksatria Api Suci.

“Pantas saja, juru masak istana. Ternyata kau memang pandai menggulung bukan hanya makanan, tapi juga….”

Ia menggerakkan bibir tanpa suara.

…hidupmu sendiri.

Donald pun memerah padam mendengar olok-olok itu.

“Sir Luis! Saya adalah kepala juru masak mantan Permaisuri! Walau Anda Kapten Ksatria Api Suci sekaligus penasihat langsung Baginda, Anda tak berhak menghina saya!”

“Sir Luis, katamu?”

Ia melirik sekeliling.

“Entahlah siapa itu, tapi bukankah orangnya seharusnya sedang bertugas? Saran saya, lebih baik urus keselamatanmu sendiri. Ujian negara bisa diulang, tapi leher yang sudah terpenggal tidak bisa kembali.”

Sambil berkata begitu, ia meletakkan tangannya di gagang pedang.

Donald yang tadi memerah kini langsung pucat pasi.

“Ap-apa ini sah disebut ancaman?”

Ia gemetar marah, tapi Luis tetap tenang.

Ia bahkan tidak menatapnya langsung, tidak menyebut nama.

Luis memang ahli dalam mengejek para bajingan dengan cara yang tetap aman dari jerat hukum.

Hazel dan Penny merasa banyak yang bisa dipelajari dari sikap dan ucapannya. Rupanya, inilah kecakapan sejati yang diperlukan di istana.

Saat mereka bertiga tengah ‘belajar’ dari Luis, seorang pelayan datang membawa kabar baru.

Donald, si juru masak, bisa bernapas lega. Semua orang tadi terlalu kaget hingga sempat melupakannya.

“Ada titah Kaisar. Gadis itu diperintahkan untuk kembali melakukan apa yang semula ia ingin lakukan.”

Mereka bertiga saling menatap.

Tak disangka, Baginda memberi kesempatan baru. Situasi berbalik dengan cara yang tak pernah terpikir.

Penny berkomentar:

“Sepertinya kasus Wolmangjeung benar-benar memengaruhi Baginda. Meski beliau sangat menyukai selai stroberi, hal itu saja sudah cukup membuatnya tidak bisa mengabaikan.”

“Aku tidak pernah berharap diakui. Aku melakukannya hanya demi Sir Rigel dan Wind Song.”

“Jangan begitu keras pada dirimu.”

Luis tersenyum masam.

“Setidaknya untuk urusan ini, Baginda sepemikiran dengan kita. Rowan adalah sepupu Kaisar, anggota keluarga kekaisaran. Jadi Iskandar tak mungkin lagi berdiam diri. Ia harus berunding dengan sang bibi.”

“Itu benar juga.”

“Tentu, Rowan juga bagian dari garis keturunan keluarga kita. Tapi itu tak bisa diungkapkan secara terbuka.”

Luis menambahkan dengan perasaan yang sulit digambarkan.

Mantan Permaisuri dan putranya adalah sosok yang seharusnya dilupakan. Selama ini menjadi topik tabu, tersembunyi dalam bayang-bayang. Namun kini, karena satu kejadian, keduanya terseret ke cahaya.

Mungkin bagi mereka saat ini adalah titik balik. Tetapi harus didekati dengan sangat hati-hati.

Hazel tetap menunggu di sana bersama Luis dan Penny.

Dari dalam kamar, suara langkah tergesa-gesa tiba-tiba menghilang. Tak lama kemudian, tabib istana keluar.

“Syukurlah, berkat cepat dimuntahkan, keadaan Pangeran mulai stabil.”

“Syukurlah.”

Mereka bertiga menjawab serentak.

“Seharian penuh hampir tak ada yang masuk ke perutnya…. Nanti setelah bangun, kita beri bubur encer dulu untuk menenangkan lambung. Jika merasa lapar, barulah dihidangkan makanan ringan.”

Tabib itu lalu menatap Hazel.

“Jadi, sekarang mulai bersiaplah.”

Hazel pun menegang.

“Baik.”

Para pelayan lalu mengantar Hazel menuju dapur istana peristirahatan.

Tadi Hazel memang sempat melihat dapur, tapi karena suasana begitu kacau, ia tak sempat mengamatinya dengan benar. Lagi pula, para asisten juru masak berdesakan sehingga pandangan pun terhalang. Maka bisa dibilang, kali ini adalah pertama kalinya ia benar-benar menyaksikannya.

Begitu melangkah masuk, matanya langsung membesar.

Dapur itu luar biasa luas.

Salah satu dinding dipenuhi deretan perapian besar, bukan hanya satu, melainkan lima buah sekaligus. Semua menyala dengan api yang berkobar. Selain itu, ada juga oven kayu dengan pengatur panas yang lebih halus.

Meja persiapannya begitu lebar, seolah cukup untuk menghidangkan jamuan besar. Di baliknya, seluruh dinding dipenuhi aneka perkakas yang rapat tergantung—alat-alat yang belum pernah Hazel lihat sebelumnya. Pemandangan itu benar-benar menakjubkan.

Di sisi lain, berderet tong kayu besar berisi keju dan gentong-gentong anggur raksasa, menumpuk bagai gunung.

Saat Hazel terpana berkeliling, suasana di pintu masuk berubah gaduh.

Seorang wanita bergaun hitam berkabung melangkah masuk. Itu adalah mantan Permaisuri.

“Aku akan mengawasi bagaimana kau melakukannya.”

Para pengikutnya menyusul, termasuk Juru Masak Donald dan para asistennya.

Hazel sempat menoleh ke 주위를 살폈다. Mantan Permaisuri segera menebak maksudnya.

“Baginda tidak mungkin punya waktu untuk tinggal di sini. Beliau hanya menyampaikan titah lalu segera kembali. Jadi jangan pedulikan hal lain, tunjukkan saja kemampuanmu.”

“Baik, Yang 전하.” Hazel menjawab dengan tenang.

Saat itu, Luis dan Penny juga menyelinap masuk.

Keduanya tahu sang Kaisar sudah pergi. Seharusnya mereka juga kembali ke pos masing-masing, namun mereka berpura-pura tak mendengar, lalu menarik kursi dan duduk. Alasannya sederhana: “Pihak kami pun harus menjadi saksi.”

Kini semua perhatian tertuju pada Hazel, yang berdiri di depan meja kerja.

Seorang pelayan mendekat.

“Apakah ini benar barangnya?”

Yang ia sodorkan adalah sebuah cast iron pan—wajan besi tuang.

Hazel mengenalinya seketika. Itu memang miliknya, yang ia beli bersama Sir Valentine saat ke desa.

“Benar.”

Ia menerima wajan itu. Beratnya terasa mantap di 손에.

Inilah satu-satunya kesempatan yang berhasil ia peroleh. Kesempatan terakhir untuk membatalkan perintah pengusiran dan menyelamatkan pertanian keluarganya.

“Aslinya bahan yang kau persiapkan sudah tak segar lagi. Jadi silakan gunakan semua bahan yang ada di gudang dapur ini.”

“Baiklah.”

Hazel mengangguk, lalu menunduk menatap meja.

Untuk hidangan yang baik bagi penderita anemia, masakan berkuah yang dimasak lama—seperti sup atau saus—lebih efektif. Terutama yang asam, seperti tomato stew atau saus apel. Masakan seperti itu sangat cocok dengan wajan besi, karena unsur zat besi meresap sempurna.

Sebaliknya, makanan keras dan kering—seperti kacang, biji-bijian, sayuran berserat tanpa air—hampir tak memberi manfaat apa pun dari wajan besi.

Itu semua adalah pengetahuan turun-temurun dari rakyat desa. Mereka tidak bisa menjelaskannya secara ilmiah seperti para sarjana, namun pengalaman hidup membuatnya jadi kearifan yang diwariskan dari mulut ke mulut.

Dengan pengetahuan itu, hidangan apa yang harus ia buat?

Hazel berbalik dan melangkah cepat menuju gudang bahan makanan di sisi dapur.

Gudang istana penuh sesak dengan aneka bahan. Rak-rak besar dijejali berlapis-lapis makanan, bahkan ada ruang pendingin terpisah. Bagi pecinta memasak, ini benar-benar surga.

Awalnya Hazel berniat membuat tomato stew.

Namun ia segera berubah pikiran. Kali ini ia ingin menyiapkan sesuatu yang lebih istimewa, yang benar-benar bisa membangkitkan selera sang pangeran.

Makanan bergizi memang penting, tapi bukan satu-satunya jawaban. Sejak kecil hingga kini, sang pangeran hanya disuguhi makanan penambah tenaga—lidahnya pasti sudah jenuh.

Mungkin yang ia butuhkan adalah hidangan segar, ringan, dan menyenangkan.

Tiba-tiba sebuah kenangan melintas: suasana riuh gembira di bawah pohon besar pada musim panas.

Hazel mantap mengambil keputusan. Ia melangkah cepat menuju rak bahan.

“Dia mau apa?” bisik orang-orang yang menunggu di dapur.

Rasa penasaran membuat mereka perlahan bangkit, lalu mengintip ke arah gudang.

Donald dan muridnya, Zecca, juga ikut menyelinap.

Mereka hanya 한 가지 바람: semoga Hazel gagal. Itulah satu-satunya jalan agar mereka bisa selamat. Jika Hazel berhasil, tamatlah riwayat mereka.

Hazel jongkok di rak bawah dan mengambil sesuatu—apel musim panas dari Avalon.

Lalu ia membuka lemari pendingin. Tangannya melewati daging-daging mahal, dan justru mengambil iga babi.

“뭐지…?” Donald dan Zecca saling pandang, bingung.

Hazel kembali ke meja kerja dengan bahan-bahan itu.

Pertama, ia menuangkan jus apel ke dalam wajan besi. Biasanya orang memakai air, namun kali ini ia memilih jus agar rasa asam-manisnya lebih pekat.

Kemudian ia memotong apel menjadi potongan kecil, lalu memasukkannya ke dalam wajan bersama gula. Setelah menutup tutupnya, ia mulai merebus perlahan.

Hazel sedang membuat saus apel.

Hidangan utama untuk sang pangeran hari ini: iga babi panggang dengan saus apel.

Itulah hidangan yang selalu mengingatkannya pada musim panas. Di pasar, ia membeli apel dan iga babi, lalu memasak di dapur sempit rumah.

Saat itu, suasana terasa seperti kembali ke pertanian Belmont yang cerah. Ia seolah mendengar kakak-kakaknya tertawa riang di sampingnya.

Itulah perasaan yang ingin Hazel sampaikan kepada Pangeran Rowan.

Ia tahu, sejak kecil sang pangeran menjalani hari-hari penuh penderitaan. Karena tubuh yang rapuh, ia dikurung di istana, tak pernah merasakan sinar matahari bebas.

Ia tak tahu rasanya berlari sampai lapar, lalu menyantap iga panas yang baru keluar dari panggangan.

Hazel ingin memberinya kenangan itu—meski hanya melalui rasa makanan.

Ia pun tenggelam dalam pekerjaannya, melupakan semua tatapan di sekelilingnya.

Apel mendidih, teksturnya hancur lembut, aromanya segar menyebar. Begitu matang sempurna, ia menyingkirkannya dari api. Saus apel itu berkilau indah, hampir menyerupai cahaya emas sore musim panas.

Hazel menuangkannya ke wadah terpisah.

Lalu ia membersihkan wajan, meletakkan iga babi, dan mulai memanggang.

“치익—!” Suara daging terkena panas membuat semua orang menelan ludah. Aroma daging panggang segera memenuhi dapur.

Hazel membiarkan kedua sisi menjadi cokelat keemasan, lalu menaburi garam dan lada dengan takaran tepat.

Kemudian ia mengambil sendok besar saus apel, menyiram iga panggang itu hingga terlapisi penuh, lalu memanggang sekali lagi.

Kini aroma manis-asam saus bercampur dengan harum daging bakar.

Biasanya satu porsi saus sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan zat besi sehari. Tapi Rowan adalah darah campuran vampir—jadi Hazel menuangkan dua porsi penuh agar meresap sempurna.

Iga babi panggang itu semakin matang, aromanya begitu kuat hingga semua orang di dapur tak kuasa menahan air liur.

Saat itulah seorang pelayan datang tergesa.

“Sudah selesai? Pangeran lapar katanya.”

“Ya, sudah siap.” Hazel menjawab dengan suara tegang.

Ia menyerahkan wajan panas itu. Pelayan menutupinya dan meletakkannya di atas troli.

Mantan Permaisuri memberi isyarat.

“Sebaiknya kau sendiri yang menjelaskan kepada Pangeran. Itu lebih baik.”

Itulah yang Hazel harapkan. Ia segera mengikuti pelayan ke kamar pangeran.

Rowan duduk bersandar di tempat tidur. Rambut merahnya kontras dengan wajah pucat pasi.

“Yang Mulia, ini makan malam Anda. Gadis ini yang menyiapkannya. Katanya, ini sebagai permohonan maaf karena sempat menakuti Anda di pemakaman hari itu.”

Pelayan membuka tutup wajan.

Uap panas mengepul, menyingkap iga babi berlapis saus apel keemasan.

Rowan menatapnya penuh rasa ingin tahu.

“Apa ini?” suaranya lemah.

“Iga babi panggang dengan saus apel, Yang Mulia,” Hazel menjawab lembut.

“Di musim panas, semua orang memakannya bersama. Setelah berlarian di bawah pohon besar, kami bergegas pulang. Paman baik hati sudah menyiapkan banyak iga babi panggang untuk kami. Kami menyantapnya lahap, panas-panas, sampai pipi belepotan saus, lalu saling tertawa.”

Ia tersenyum ke arah sang pangeran.

“Bagi saya, ini salah satu kenangan paling bahagia. Saya ingin Yang Mulia juga merasakannya.”

Dalam hati, Hazel berdoa: Semoga suatu hari, Pangeran juga merasakan musim panas yang cerah seperti itu.

Rowan tak menjawab. Ia hanya menatap hidangan itu lama.

“Biasanya dimakan dengan tangan, tapi bisa juga dipotong.”

Hazel memperlihatkan dengan pisau—daging begitu empuk hingga lepas sendiri dari tulang.

Aromanya menggoda semua orang di ruangan, bahkan para pelayan.

“Cukup. Biarkan Pangeran makan sendiri.” Mantan Permaisuri memberi perintah.

Hazel menunduk lalu keluar.

Baru sadar, ia sejak tadi menggenggam erat rok gaunnya karena tegang. Ingin sekali ia turun ke bawah menemui Luis dan Penny, tapi tubuhnya lemas.

Tak tahu berapa lama menunggu. Hingga seorang pelayan akhirnya keluar.

“Semua dihabiskan.”

“…Ah.”

Setidaknya Pangeran memakannya. Itu saja sudah cukup membuatnya lega.

Hazel turun, menemui Luis dan Penny yang menanti.

Luis berkata pelan, “Kalau dia sampai memuntahkannya, berarti tak pantas kusebut sepupu.”

“Bukankah sejak awal kalian memang tidak bisa mengakuinya sebagai sepupu?” Penny menyela. Luis tidak menanggapi.

“Semua tahu aku seperti apa. Kalau benar dia darah keluargaku, tak mungkin ia muntahkan makanan seenak itu.”

Setelah itu mereka semua terdiam.

Hazel berpikir, Kalau aku sendirian, pasti tak akan mampu menahan ketegangan ini.

Tiba-tiba, lantai atas menjadi gaduh. Hatinya mencelos.

Seorang pelayan perempuan berlari menuruni tangga. Hazel mencoba tetap tenang, tapi—

“Sudah berhenti!”

Jantung Hazel nyaris 멎었다. 세상이 빙 돌았다.

“Berhenti? Apa yang berhenti?”

“Getaran tangan Pangeran! Sudah berhenti gemetar! Yang Mulia sendiri pun heran!”

Kakinya goyah. Ketegangan yang menumpuk akhirnya runtuh, hampir saja ia terjatuh.

Berhasil? Benarkah aku berhasil?

Masih kalut ketika seorang pelayan berlari mendekat.

“Non! Yang Mulia Mantan Permaisuri memanggil Anda!”

Luis dan Penny saling bertukar pandang sambil menahan Hazel di sisinya.

Sekarang mereka super sopan!

Mereka pun buru-buru menuju ruang audiensi.

Katarina, Mantan Permaisuri, tampak sangat terharu—begitu terpukul oleh kabar yang baru didengarnya hingga saat Luis, keponakan dari kekasihnya yang telah tiada, melangkah masuk, ia hanya sedikit tersentak. Jika mengingat apa yang baru saja terjadi pada putranya, hal lain seakan tak berarti.

“Aku mengira berhalusinasi sampai berkali-kali mengucek mata! Tapi itu sungguhan! Getaran di tangannya benar-benar berhenti!”

“Tentu saja. Izinkan saya menjelaskan. Dalam perkara ini, saya ragu ada ahli yang lebih paham daripada saya.”

Luis berbicara mantap.

Memang benar—ia memimpin dan melatih Ordo Ksatria Api Suci, tempat banyak vampir dan darah-campuran vampir bergabung.

“Jika, karena berbagai alasan, pasokan darah olahan tak masuk tepat waktu, tubuh mereka mulai ‘membeku’. Ibarat perapian yang dingin karena kehabisan kayu bakar. Sejak muncul reaksi penolakan terhadap darah, Rowan sama sekali tak mendapat pasokan. Perapiannya bukan sekadar dingin—sudah membatu. Tinggal menunggu runtuh. Lalu, lewat metode Hazel, kayu bakar kembali dimasukkan dan api disulut. Bukan sedikit, tapi dalam jumlah besar. Benar begitu, Hazel?”

“Benar.”

Hazel mengangguk.

“Biasanya, satu cangkir saus atau sup saja cukup untuk kebutuhan harian. Tapi karena Yang Mulia adalah darah-campuran vampir, saya pikir kebutuhannya jauh lebih tinggi daripada anak biasa. Jadi saya pakai dua cangkir penuh, dan dagingnya pun saya masak di wajan besi. Iga babi panggang memang pilihan yang pas untuk itu.”

“Tuh kan, Yang Mulia. Perapian yang membatu mulai menyala. Panas kembali dihasilkan. Fungsi tubuh sebagai darah-campuran vampir kembali bergerak. Memang, daya pulih darah-campuran lebih rendah dari vampir murni, tetapi tetap jauh melampaui manusia biasa—Anda pun tahu itu. Oh, tentu saja ini bukan alasan untuk lengah. Besok, pasok seperti hari ini. Lusa juga, besok lusa juga, dan seterusnya. Kita harus memantau kondisi Pangeran dengan saksama.”

“Itu jelas!”

Mantan Permaisuri mengangguk sedemikian kuat hingga nyaris menundukkan kepalanya ke lantai.

“Tak kusangka caranya sesederhana ini!”

Ia menatap Hazel penuh kekaguman.

“Sederhana—namun justru karena mematahkan pakem, jadi lebih sukar terpikir. Bukan lewat ‘makanan khusus’ seperti yang selama ini semua bayangkan, melainkan lewat alat masak dari besi. Donald juga menjelaskannya begitu.”

Ia kemudian mengernyit tipis.

“Tapi ada yang tak kumengerti. Donald juga memasak dengan wajan besi untuk Pangeran. Mengapa saat itu tak ada efek sama sekali? Jangan-jangan palsu? Bukan besi sungguhan?”

“Bukan begitu.”

Hazel menggeleng.

“Lebih cepat kalau Yang Mulia melihat langsung.”

Ia meminta pelayan mengambil kedua wajan besi—punya Donald di dapur, dan miliknya sendiri—untuk diletakkan berdampingan di lantai.

Semua menatap lekat-lekat.

“Kelihatannya sama.”

Wajah-wajah bingung memenuhi ruangan.

Saat itu Penny berseru:

“Tidak sama! Ada bedanya!”

“Di bagian mana?”

“Lihat! Yang ini mengilap!”

Ia menunjuk wajan besi milik Donald.

Barulah semua menyadarinya.

Memang tidak identik. Wajan Hazel hitam legam dan kusam; wajan Donald mengilap berkilau.

“Mengapa yang itu berkilau?”

Atas pertanyaan Mantan Permaisuri, Hazel menjawab:

“Karena berlapis enamel.”

“Enamel?”

“Ya. Wajan besi bagus untuk mencegah anemia, tapi punya kelemahan: makanan gampang lengket, mudah berkarat, dan susah dicuci. Karena itu, banyak orang melapisinya dengan enamel. Memang jadi lebih praktis, tapi unsur bermanfaat dari besi tak lagi bisa larut ke dalam makanan—lapisan enamel menutupinya.”

“Ah…”

Mantan Permaisuri kembali tertegun.

“Sangat masuk akal—sesederhana itu!”

“Benar. Inilah yang menyelamatkan saya. Wajan yang dipakai juru masak dan para asistennya semuanya berlapis enamel. Mereka tahu ‘harus pakai besi’, tapi tak paham mengapa. Mungkin mengira soal distribusi panas, atau alasan lain yang melenceng. Atau terlalu terburu-buru merebut ide hingga tak sempat berpikir. Andai mereka paham bahwa unsur besi harus meresap ke makanan, pasti mereka akan mencari wajan besi sungguhan seperti yang dipakai di desa.”

“Jadi kau pergi ke desa dan mendapatkannya sendiri?”

Penjelasan Hazel yang mengalir mulus terhenti sejenak.

“Saya… dibantu seseorang.”

Luis menangkap kegugupan Hazel. Ia tak tahu kenapa—apa Hazel “menyogok” seseorang dengan masakan?—tapi ia hendak menengahi.

Tepat saat itu, seorang pelayan perempuan memanfaatkan jeda dan membisikkan sesuatu di telinga Mantan Permaisuri.

“Hm?”

Alis Mantan Permaisuri terangkat. Ia menoleh pada Hazel.

“Boleh kulihat tanganmu?”

“Tangan saya?”

“Tolong ulurkan.”

Hazel menuruti perintah, menunjukkan kedua tangannya.

Kulitnya masih memerah bengkak karena tergores kayu kasar. Tak berdarah, namun perih dan nyeri.

Mantan Permaisuri mengernyit.

“Kenapa tanganmu begini?”

Hazel pun tak punya pilihan selain mengaku: bagaimana ia dikurung di ruang tunggu paviliun, lalu merusak kait jendela dan sebuah pisau mentega berukir lambang kekaisaran untuk melarikan diri.

Mendengar itu, ekspresi Mantan Permaisuri kian tak percaya.

“Aku tidak mengerti. Untuk apa melakukan itu? Meski kau diam saja, Donald tetap akan gagal. Ia sudah salah pada titik krusial; gagal itu pasti. Saat itu, kau tinggal minta membandingkan dua wajan besi dan meminta satu kesempatan lagi—selesai. Mengapa harus melukai tangan dan susah payah kabur? Dan kalau sudah kabur, kenapa justru kembali menerobos masuk ke istana?”

“Aku tahu alasannya.”

Seorang ksatria pengawal maju selangkah.

Semua mata tertuju padanya.

Hazel mengenali wajah itu—ksatria yang kaget dan sempat mengejarnya sesaat setelah ia meloloskan diri.

“Aku ada di tempat kejadian. Aku pun bertanya-tanya hal yang sama seperti Yang Mulia. Jadi aku mengikuti gadis ini.”

“Lalu?”

“Dia langsung mencari Yang Mulia. Ia ingin secepat mungkin keluar dan menghentikan Juru Masak, apa pun caranya. Mendengar Pangeran sudah menyantap masakan si juru masak, ia amat putus asa. Baginya, yang penting bukan membuktikan kegagalan Juru Masak. Yang jauh lebih penting adalah mencegah pria tamak itu memaksa Pangeran makan lebih banyak.”

“……”

Mantan Permaisuri kehilangan kata-kata.

Luis mengangkat bahu.

“Sekarang Anda paham, kan? Siapa yang paling memikirkan Rowan kecil?”

“……”

“Bagaimana? Maukah Yang Mulia memaafkan temanku?”

Mantan Permaisuri masih tak bisa bersuara.

Memaafkan.

Ia bahkan sempat lupa bahwa ia tengah marah.

Sejak kapan ia lupa? Mungkin sejak gadis desa itu membawa masakan untuk Rowan dan bercerita padanya—sejak saat itu.

Selama ini, tak seorang pun pernah memasakkan makanan seperti itu sambil berbicara lembut pada anak itu.

Rowan, untuk pertama kalinya, menghabiskan isi piringnya.

Apa itu memaafkan? Melupakan sepenuhnya hal yang membuatmu marah.

Apa artinya melupakan sepenuhnya? Saat melihat orang itu, tak ada lagi yang mengganjal.

Lantas… apakah saat ia melihat gadis itu, benar-benar tak ada yang mengganjal?

Di situlah hatinya tersandung.

Ia merasa malu.

Ia memutar kembali semua ucapan dan tindakannya sejak insiden di pemakaman—dan kian merasa malu, dari hati yang paling dalam.

Akhirnya, Mantan Permaisuri membuka suara.

“Atas nama Katarina, Mantan Permaisuri, aku mencabut seluruh dakwaan yang hendak kulayangkan. Yang tersisa hanyalah jasamu. Soal itu, Pangeran Rowan sendiri yang akan menyampaikan terima kasihnya.”

Ucapnya dengan sedikit terbata.

Wajah Luis pun berbinar. Penny, yang sedari tadi menunggu di belakang ruang audiensi, cepat-cepat mendekat.

Hazel sangat gembira.

Ia sendiri yang maju untuk memohon pengampunan. Kini, setelah pengampunan didapat, menurutnya itu saja sudah cukup.

Namun karena ingin sekali bertemu lagi dengan Pangeran Rowan, ia memutuskan untuk tak mengucapkan basa-basi penolakan.

Bertiga, mereka melangkah ringan meninggalkan istana peristirahatan.

Bayang pepohonan di dalam gelap menyambut mereka. Entah berapa lama waktu berlalu—tahu-tahu malam telah tiba.

Hazel menarik bahu lurus-lurus.

“Rasanya kembali menjadi orang bebas tanpa dakwaan apa pun! Udara malam yang kuhirup dengan hidung merdeka ini terasa amat segar.”

Ia menoleh pada dua ksatria di sisinya.

“Lapar, kan? Bagaimana kalau stew yang dibuat oleh tangan yang juga sudah merdeka?”

Luis tampak sangat serba salah.

“Aku ingin sekali bergegas, tapi harus melapor pada Baginda terlebih dahulu….”

“Aduh, sayang sekali, Kapten Luis.”

Penny berkomentar enteng lalu berbalik—namun segera ditangkap Luis.

“Mau ke mana? Tahu tidak, ada banyak warga baik-baik yang menunggu hasil kabar ini! Kalau kau ksatria, sudah semestinya mengabdi!”

Kalau dirinya tak bisa pergi, orang lain pun tak boleh—kurang lebih begitu pikirnya.

Penny melongo, bulu di ekornya sampai berdiri.

Namun ketika menoleh lagi, tampak bayangan kelelahan di bawah mata Hazel. Penny menggaruk pangkal hidungnya.

“Lebih baik hari ini kau istirahat saja.”

Baru saat itu Hazel menyadarinya.

Astaga, apa aku kelihatan lelah?

Begitu terpikir, rasa lelah benar-benar menyerbu. Bayangan ranjang hangat di bawah temaram lampu oranye seolah terhampar di pelupuk mata.

“Baiklah. Pestanya kita tunda. Terima kasih untuk semuanya hari ini.”

Ia berpamitan pada dua ksatria, lalu berbalik.

Sudah lama rasanya tidak menyalakan lampu terang benderang di rumah.

Dengan pikiran itu, ia melangkah cepat menuju pertaniannya di kejauhan.

Sementara itu, di ruang kerja kaisar, Iskandar, Lorendel, Ziegwald, dan Cayenne telah berkumpul.

Semuanya karena Menteri Urusan Istana.

Hari ini Baginda tiba-tiba menanggalkan urusan negara dan meluncur ke istana peristirahatan; sang menteri pun kelabakan.

Namun, ia sama sekali tak menyimpan keberatan.

Urusan negara boleh ditangguhkan kapan saja saat darurat.

Nona Hazel kita terkepung di istana mantan permaisuri yang mengerikan, dan putus kabar! Kalau itu bukan darurat, lalu apa lagi!

Demikian ia berteriak dalam hati.

Hanya saja, karena mendadak harus menggantikan posisi kaisar, ia cukup kewalahan. Maka Cayenne terpaksa memijat pundaknya dengan telapak tangan kucingnya.

“Aduh, enak sekali. Kalau ada air mawar, lengkap sudah.”

Gumam sang menteri.

Lorendel menggeleng pelan mendengarnya.

“Justru karena air mawar itu semua ini terjadi….”

“Hmm? Apa maksudmu?”

“Sepertinya ada yang ingin dibuatkan air mawar lagi. Karena itulah, begitu melihat catatan kecil itu, beliau langsung tinggalkan segala urusan dan bergegas ke sana.”

Sejenak, dada Iskandar tercekat.

Orang terakhir yang meminta air mawar adalah dirinya. Saat menerimanya, ia mungkin terlalu menampakkan kegembiraan. Hazel bahkan sempat bilang sayang, karena mawar segar tinggal itu satu-satunya.

Jangan-jangan… karena aku?

Memang sudah gelisah, kini ia makin tak tenang.

“Aku tak bisa begini. Beri kabar segera kalau ada perkembangan. Baginda, saya mohon pamit dulu.”

Begitu sang menteri pergi, mereka bertahan menunggu di ruang kerja, gelisah.

Lantas seorang abdi berlari masuk melapor.

“Sir Luis datang!”

Semua sontak bangkit.

Luis masuk.

“Bagaimana?” Iskandar bertanya tak sabar.

Tahu semua orang menunggu, ia langsung menyampaikan hasilnya dulu.

“Berhasil. Yang Mulia Mantan Permaisuri sudah memberi pengampunan.”

“Begitukah?”

Iskandar menghela napas panjang; barulah ia benar-benar lega.

“Syukurlah!”

Namun ekspresi para sahabatnya agak aneh. Lorendel berkata,

“Membaiknya kondisi Pangeran Rowan dengan cara sesederhana itu—sungguh luar biasa.”

“Hebat, memang. Tapi Luis, apa kau dari tadi tetap berada di sana?”

Luis tersentak.

“Ke—kebetulan saja.”

“Bagus. Sangat bagus.”

“Bukan, bukannya aku yang mau… maksudku, harus ada orang yang memantau keadaan secara objektif. Ya, kan?”

“Benar. Bagus sekali! Katanya tadi semua orang berbondong-bondong ikut menonton? Ide yang sangat baik. Hebat.”

“…….”

Keempat kapten ksatria itu beringsut-beringsut lalu menghilang begitu saja.

“Eh, tunggu! Pembicaraan bahkan belum dimulai!”

Hening.

Apa-apaan ini? Iskandar mengernyit.

Kenapa semua seperti cari-cari alasan sambil saling melirik!

Sungguh menjengkelkan.

Tadi aku tulus, benar-benar tulus! Kenapa ditangkap sebagai sindiran!

Orang-orang istana ini jelas ada yang tak beres.

Sampai kapan kalian terus salah paham? Mengira kaisar kerajaan raya ini menyimpan dendam picik pada gadis petani kecil itu?

Tak kuasa menahan gejolak, Iskandar menghentak langkah ke sudut ruang kerja, membuka lemari pajangan.

Ia memutar gagang tersembunyi dan membuka ruang rahasia.

Di dalamnya berderet botol anggur—“Anggur Ksatria”: anggur keemasan dari panen akhir musim gugur, yang dulu Hazel perkenalkan. Karena sangat menyukainya, ia memborong banyak untuk disimpan.

Ia mengambil sebotol dan membukanya.

Segelas saja cukup meredakan sesak di hatinya.

Oh, rupanya mereka tidak tahu karena aku tak mengatakannya.

Ia tersadar.

Untuk meluruskan salah paham, orang harus bicara.

“Kaisarmu tidak peduli apakah dia bertani di sebelahku atau tidak. Jadi tolong hentikan prasangka konyol itu!”

Hmm. Sepertinya kurang pas.

Dan lagi…

Memang seharusnya dia tidak bertani tepat di sebelahku, kan?

Iskandar sempat bimbang. Ia menuang lagi.

Bagaimanapun, ini memang tidak benar.

Barusan saja, contohnya.

Ia ingin melihat langsung bagaimana kondisi Rowan membaik dengan olahan wajan besi. Namun begitu melangkah ke dapur istana peristirahatan, ia mengurungkan niat—takut identitasnya ketahuan.

Kendala semacam itu tak terhitung.

Selalu harus menyamar. Kalau mendesak, sampai-sampai harus menyurukkan kepala di balik helm. Pada momen krusial, justru terpaksa menyingkir. Tak berani bersuara karena takut dikenali. Jika di pertanian ada tamu lain, ia tak bisa masuk. Setiap saat waspada, khawatir ada yang datang. Dan ketika ia jujur, semuanya ditafsirkan sebagai sindiran.

Semuanya amat merepotkan. Dan, terus terang—tidak masuk akal.

Aku ini kaisar! Kaisar, tahu! Kenapa aku harus berkeliaran seperti tikus!

Cukup sudah.

Aku tidak mau hidup begini.

Iskandar mengambil keputusan.

Kebenarannya harus dibuka!

Ia punya satu kartu truf: Sir Valentine.

Kaisar mungkin dibenci, tetapi Valentine tidak. Di pertanian, ia jelas mendapat perlakuan yang baik. Jadi, mengapa tidak bicara jujur saja?

“Sebenarnya, akulah kaisar.”

Ya. Kenapa tidak?

Iskandar hampir saja melesat… lalu berhenti.

Sebentar. Uji perasaan dulu, secara halus.

Ia hampir melangkah lagi… lalu kembali ragu.

Tidak. Tidak. Hari ini pasti dia sangat lelah. Mengajak bicara orang yang sedang lelah hanya akan berakhir buruk.

Sebaiknya tunggu saat kondisi terbaik.

Lagipula, meski urusan ini tampak selesai, sejatinya belum. Masih banyak yang harus dibereskan. Sebelum semuanya benar-benar tuntas, damai yang sesungguhnya belum kembali ke pertanian itu.

Yang terpenting: dalang utama.

Masih ada sosok licik yang mengirim catatan kecil untuk memancing ke area terlarang. Pelakunya harus ditangkap. Jika itu beres, si pemilik pertanian pasti akan merasa melayang.

Saat itulah ia akan “mengintip” tanggapannya.

Ya. Begitu saja.

Iskandar mantap.

Prioritas pertama: si mata-mata.

“Berani-beraninya mencuri seragam dan menyamar sebagai penjaga istana?”

Iskandar benar-benar berang pada si penyusup yang menyaru sebagai prajurit jaga dan menyelundupkan informasi keluar. Bukan hanya karena kejahatannya—ada alasan tambahan yang membuatnya terasa lebih menjijikkan di matanya.

Itu murni alasan pribadi.

Bahkan aku, kaisar negeri ini, berpikir penyamaran identitas saja sudah tak pantas—sampai rela menanggung segala kerepotan! Harus mengobrak-abrik gudang pengap berbau jamur, menemukan lalu menyelundupkan seragam lama milik ksatria istana!

Ia pun terlebih dulu menangkap Zecca, murid kesayangan Juru Masak Mantan Permaisuri, dengan tuduhan itu.

Bagi Pengawal Istana, ini betul-betul petir di siang bolong.

“Bagaimana dia bisa tahu seragam itu ada di sana dan mencurinya untuk dipakai?”

“Kalau begini, kita ini jadi apa? Memang niatnya mempermalukan kita!”

“Kita sudah sering memudahkan urusannya—balasnya malah begini?”

Para pengawal murka sampai ubun-ubun dan menyeret si mata-mata tak tahu malu itu.

Hazel dipertemukan langsung dengan Zecca yang kini mengenakan seragam Pengawal Istana. Sekilas melihatnya saja, ia mengangguk.

“Malam itu yang masuk memang orang ini. Ternyata kau juru masak yang waktu itu membentakku habis-habisan, ya?”

“Saya difitnah! Saya tidak mencuri seragam Pengawal Istana! Itu bukan seragam sungguhan, hanya contoh yang dipakaikan ke manekin! Kalau manekin boleh memakainya, kenapa manusia tidak boleh?”

Zecca mengoceh dengan dalih yang tak masuk akal.

Penyamaran identitas adalah hal yang dilarang keras oleh titah kekaisaran.

Di samping itu, ia menerobos masuk tanpa izin pemilik salon, dan terutama melakukan spionase serta membocorkan rahasia teknik hingga menimbulkan kerugian fisik dan mental bagi warga yang tak bersalah. Dengan dakwaan-dakwaan itu, ia langsung ditahan.

Asisten ditahan, Donald pun ciut nyali.

Berikutnya giliranku.

Dan benar saja—ia juga didatangi Pengawal Istana. Karena ia adalah orangnya Mantan Permaisuri Katarina, Donald pun diseret menghadap beliau.

“Yang Mulia! Saya dizalimi! Semua ini ulah si Zecca! Dialah yang membujuk agar aku mencuri metode milik gadis petani itu! Aku sebenarnya tak ingin sejauh itu….”

“Omong kosong!”

Mantan Permaisuri membentaknya.

“Katanya kau sendiri yang memerintahkan pengawasan? Asistenmu sudah mengaku semua! Ada banyak saksi yang melihat kau menyuruh pelayan dapur membeli wajan besi di toko! Semua ini ulahmu! Berani-beraninya melempar kesalahan ke orang lain! Hanya karena dia tak berkuasa, kau menipu atasan dan menginjaknya diam-diam? Karena ulahmu, aku ikut melakukan kebodohan! Tahu tidak, aku sudah dimarahi Baginda habis-habisan! Dosa besarmu!”

Donald buru-buru bersujud.

“Saya salah! Sejenak mata saya silau! Karena ingin menyenangkan Yang Mulia dan Pangeran, saya jadi gegabah dan bertindak ceroboh! Semuanya demi Pangeran!”

“Apa? Demi Pangeran?”

Mantan Permaisuri makin tak habis pikir—semakin memohon, semakin memicu amarahnya.

“Demi Pangeran kau mencuri metode orang lalu memakainya tanpa menelaah dengan benar? Demi Pangeran kau mendorong makanan yang pekat dan menstimulasi secara berlebihan?”

“Sa—saya kira begitu beliau akan pulih….”

“Cukup! Ada orang yang justru memikirkan sampai sejauh itu, sampai tangannya bengkak-bengkak karena mendobrak jendela demi mencegah Pangeran tersedak! Sementara Juru Masak malah bertindak tanpa pikir demi tamaknya sendiri dan mungkin membahayakan Pangeran? Kalau benar demi Pangeran, itu tidak akan kau lakukan! Aku akan menyeretmu ke pengadilan. Biar hukum menghukummu!”

“Yang Mulia!”

Wajah Donald pucat pasi.

“Jangan serahkan saya ke pengadilan! Ampuni saya sekali ini saja! Selama ini saya setia melayani Yang Mulia dan Pangeran! Saya sudah bekerja sekuat tenaga! Dengan susah payah saya sampai di posisi ini!”

“Kalau kau sendiri tahu betapa berharganya semua itu, seharusnya tidak kau hancurkan dalam satu hari!”

Mantan Permaisuri mengusirnya.

Di istana, tanggung jawab seorang juru masak sangat berat. Ia menyiapkan makanan yang langsung masuk ke mulut keluarga kekaisaran; tak ada satu pun yang boleh sembrono.

Jabatan juru masak menuntut integritas moral setinggi-tingginya. Mengacaukan kondisi Pangeran karena serakah—bahkan bisa dihukum mati.

Namun kenyataannya, selama ini ia memang telah meneliti berbagai makanan penambah tenaga dan merawat Pangeran sepenuh hati.

…Dengan mempertimbangkan hal itu, bebaskan dari hukuman mati.

Katarina menulis keputusan itu dan menyerahkannya pada pelayan.

Ia sendiri tak yakin tulisannya rapi. Sudah berapa lama sejak terakhir kali ia menulis surat resmi. Ia kembali merasakan betapa otaknya memadat sepanjang masa pengasingan.

Tak boleh lagi hidup begitu.

Ia menekan pelipis.

Hanya menghadapi Donald saja sudah menguras tenaganya. Ia ingin beristirahat, tapi masih ada satu surat yang harus ditulis.

Ia melirik meja.

Setumpuk kertas di sana—resep masakan.

Sebenarnya, sebelumnya ia telah mengutus pelayan untuk menyampaikan tawaran pada Hazel: bersediakah ia menjadi juru masak baru di istana peristirahatan menggantikan Donald.

Namun Hazel menolak.

Saya punya pertanian.

Ia tak menambahkan apa-apa lagi. Dan, katanya, Hazel juga memang berniat berpamitan, seraya menyerahkan beberapa resep masakan dengan wajan besi yang baik untuk anemia.

“Hm….”

Mantan Permaisuri memutar-mutar pena bulu.

Sejujurnya, ia tak berharap Hazel akan menerima.

Ia sudah mencari tahu tentang gadis itu—bagaimana ia memperoleh pertanian kecil itu; bagaimana ia mempertahankannya bahkan jika harus berseberangan dengan Baginda Kaisar.

Itulah kenapa Hazel begitu gentar pada dekrit pengusiran, kenapa ia berani mengajukan usul demi memperoleh pengampunan—semuanya demi pertanian kecil itu.

Larut dalam pikirannya, Mantan Permaisuri meletakkan pena dan memanggil para pelayan.

Tak lama, iring-iringan megah para pelayan dan dayang berangkat meninggalkan istana peristirahatan.

Pada saat yang sama, di Pertanian Marronnier.

Hazel tengah mengangkat tong kayu besar ke halaman depan.

Seiring bertambahnya isi rumah, cucian pun kian menumpuk. Sepertinya ia perlu membeli bak tembaga besar baru untuk merebus cucian.

Ia menepuk-nepuk cucian dan menjemurnya satu per satu, ketika tiba-tiba pagar seberang menjadi ramai. Ia menoleh dan terperanjat.

Barisan panjang pelayan dan dayang sedang menuju ke arahnya. Di paling depan, seorang wanita pirang bergaun berkabung melangkah gagah.

“Mantan Permaisuri Katarina…?”

Hazel buru-buru menurunkan cucian dan menyongsong kedatangannya.

Mantan Permaisuri melangkah masuk dan menatap berkeliling.

“Jadi ini pertanian itu?”

Di bawah matahari musim panas, tanaman tumbuh subur. Di kandang ayam, anak-anak ayam yang mulai berwujud remaja mengepakkan sayapnya. Hembusan angin membuat bunga-bunga liar di dinding rumah kecil itu bergoyang.

Mantan Permaisuri menyapu pemandangan itu dengan wajah tertarik.

Hazel gugup.

“Eh, apakah Anda mau saya suguhkan teh?”

“Tidak perlu.”

Jawabnya tegas.

Hazel makin kikuk. Ia ragu sejenak, lalu berhati-hati berkata,

“Kalau soal juru masak, maka….”

“Aku datang bukan untuk itu.”

Ia memotong sekali lagi. Menatap sayuran hijau pekat di bedengan, ia tiba-tiba bersuara:

“Aku memang membelakangi dunia dan mengasingkan diri. Tapi mulai sekarang, akan berbeda. Aku akan menjalankan peran Putri Kekaisaran sebagaimana mestinya.”

“Baik….”

“Dari perkara ini aku belajar. Baginda Kaisar benar: jika orang di atas sudah berucap, harus ditepati. Jika berubah-ubah seperti membalik telapak tangan, kelak tak ada yang mau mendengar. Tatanan harus ditegakkan. Kata-kata seorang Putri Kekaisaran tak pernah remeh. Dan hari ini, aku datang untuk menunjukkannya.”

Ia melirik para pelayan.

Mereka maju, membentangkan kain merah di tanah. Mantan Permaisuri berlutut di atasnya.

Lalu berkata,

“Naiklah ke punggungku.”

Mulut Hazel menganga.

“Maaf?”

Ia tak salah dengar.

Katarina duduk tegap di atas karpet, membelakangi Hazel—jelas-jelas dalam posisi hendak menggendong seseorang.

“Benarkah… Anda akan menggendong saya?”

“Bukankah aku pernah bilang? Jika kau menyembuhkan Pangeran Rowan, aku akan menggendongmu ke mana-mana!”

“Ah.”

Baru saat itu Hazel ingat.

Saat ia pertama kali mengajukan rencana penyembuhan, Mantan Permaisuri memang mencibir dan mengucapkan kalimat itu.

Tapi bukankah itu cuma ungkapan hiperbolis yang lazim? Tak perlu sungguh-sungguh, kan…?

Namun Mantan Permaisuri tampaknya benar-benar sudah bulat tekad.

“Ayo! Sampai kapan kau akan membuatku begini?”

Para pelayan pun mendesak:

“Apa lagi? Yang Mulia telah memerintahkan. Apa kau berniat menolak titah beliau?”

Sudahlah.

Hazel akhirnya menuruti, menaiki punggung Mantan Permaisuri.

Katarina berdiri tegak. Awalnya agak oleng, tetapi segera mantap.

Lalu langsung keluar dari pertanian.

Iring-iringan pelayan dan dayang memanjang di belakang mereka.

Orang-orang yang sedang berjalan di Taman Agung Istana tercengang melihat pemandangan di jalan setapak di antara pepohonan.

Cangkir kopi terlepas dari tangan kaum bangsawan. Para nyonya, hanya terpaku menatap ke arah itu, berebut menabrakkan payung mereka ke batang-batang pohon.

Para Pengawal Istana yang melintas di Taman Agung pun menyaksikan kejadian itu. Karena prajurit paling depan mendadak berhenti, barisan di belakang menabrak satu sama lain.

Mantan Permaisuri tetap melangkah tegap, Hazel di punggungnya.

Tak lama, mereka keluar dari Taman Agung dan memasuki gedung utama istana—tempat paling ramai.

Pemandangan aneh itu membuat seluruh gedung geger.

Di ruang kerja kaisar di gedung utama,

Suara riuh dari jendela yang terbuka kian jelas.

Ada apa di bawah sana?

Telinga kucing emas itu tegak. Cayenne berdiri, menengok ke bawah.

“……!”

Suara aneh yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata lolos dari bibirnya.

Luis bertanya,

“Kenapa?”

Cayenne tak sanggup menjelaskan, hanya menunjuk ke bawah. Luis, Lorendel, dan Ziegwald buru-buru ikut menengok.

Dan mereka bertiga serempak mengeluarkan suara aneh.

Apa itu?

Iskandar pun berdiri. Ia menyelip di antara teman-temannya, menunduk menatap ke bawah—dan terperanjat.

Bibinya, Mantan Permaisuri Katarina, muncul di halaman.

Itu saja sudah mengejutkan. Tapi ia berjalan sambil menggendong Hazel di punggungnya.

Semua orang tak percaya pada mata mereka.

Di bawah, kekacauan total. Di tengah hiruk-pikuk itu, ada orang nekat yang bertanya: lagi apa, Yang Mulia? Suara nyaring Mantan Permaisuri terdengar:

“Karena aku bilang kalau dia menyembuhkan Pangeran, akan ku gendong! Jadi kugendong! Kenapa?”

Ia sangat percaya diri. Sementara Hazel di punggungnya tampak sudah pasrah.

Keduanya mengitari gedung utama satu putaran, lalu menghilang.

Iskandar berkata,

“Ini benar-benar lucu.”

Semua melirik ke arahnya. Ia segera menjelaskan,

“Maksudku—bukan ironi. Aku benar-benar… ya, lucu saja.”

“Baik, baik! Ayo, kembali bekerja!”

Cayenne secepat kilat mengalihkan topik. Ia tak ingin kejadian hari ketika urusan negara dihentikan dan semua orang kabur berbondong-bondong ke istana peristirahatan kembali diungkit.

Lagi pula, ada urusan yang sangat mendesak.

Mereka harus menemukan pelaku yang mengirim catatan kecil untuk memancing Hazel ke pemakaman.

Seseorang sengaja menggunakan pihak ketiga untuk menakut-nakuti Pangeran yang berhati lemah. Ini masalah serius yang tak bisa dibiarkan.

Lorendel sudah lebih dulu menugaskan Rigel melakukan penelusuran.

Sang ksatria elf yang bersemangat itu menanggalkan semua pekerjaan lain dan menyisir petunjuk dengan teliti. Ia berniat menemui satu per satu orang yang melintasi Taman Agung pada hari dan jam itu.

“Sudah disisir segila itu pun hampir saja luput. Kuncinya ada pada pemasok bahan pangan yang masuk istana dua kali seminggu. Pelakunya sangat lihai.”

Lorendel menyampaikan semua temuan Rigel.

Saat pemasok itu menjalani prosedur masuk istana, si pelaku mendekati anak yang dibawanya.

Ia mengiming-imingi permen dan menyuruhnya menyelipkan secarik catatan di sela pintu rumah kecil di tengah Taman Agung. Lalu menakut-nakuti: jika membocorkan hal ini, celaka.

Sehari penuh sang anak menyimpan rahasia. Namun karena sangat takjub melihat hewan peliharaan yang tak ada di rumah teman-temannya—di rumah kecil itu—ia tanpa sengaja menceritakannya saat makan malam.

Anak-anak ayam itu berjasa lagi, pikir Iskandar.

Mendengar cerita itu, si pemasok merasa sangat curiga. Ia menduga suatu saat akan ada orang datang menanyai.

Sebelum si anak melupakan detailnya, ia menanyai ciri-ciri orang tersebut. Esoknya ia ulang lagi pertanyaan yang sama—jawaban si anak konsisten, maka ia menuliskannya persis di buku catatan.

“Warga teladan.”

Semua memujinya.

Menurut kesaksian sang anak, pelakunya laki-laki muda dengan tinggi rata-rata. Karena menenggelamkan wajah di balik topi lebar, warna rambut dan mata tak jelas.

Namun ada satu hal mencolok. Selain menaikkan kerah mantel tipis musim panas setinggi-tingginya, ia juga melilitkan syal sutra di leher—di panas seperti ini!

“Sekalipun keadaan berubah, kebiasaan sulit ditanggalkan,” ujar Iskandar.

“Gagasan ‘membawa seseorang ke zona terlarang di dalam istana hingga menjerumuskannya’ bukan tipe ide yang mudah terpikir oleh kaum courtier. Saat pertama kali mulai keluar-masuk istana di masa kecil, hal-hal seperti ini ditanamkan paling awal dengan sangat keras. Seperti larangan makan di kamar mandi—sepele tapi tertanam sampai alam bawah sadar.”

Ia menyimpulkan:

“Orang yang sangat peka terhadap area terlarang adalah orang luar. Seseorang yang baru-baru ini mulai masuk istana, atau sedang berada di ambang mendapat akses masuk.”

Jadi: laki-laki muda, bukan orang istana. Memiliki kebiasaan selalu melindungi leher. Artinya: seorang penyanyi. Dan seseorang yang punya dendam pribadi terhadap Hazel.

Semua ciri itu hanya cocok pada satu orang.

Andre Delgado, mantan tenor tetap di gedung opera.

Hanya saja, penolakan Hazel terhadap tawaran bisnisnya adalah hal yang hanya disaksikan Iskandar. Bukti tambahan masih diperlukan.

Polisi segera bergerak menuju rumahnya.

Mereka mendapati Andre Delgado yang terlilit utang sudah lama kabur di tengah malam.

Seluruh rumah digeledah, tiap sudut diperiksa saksama.

Andre tidak meninggalkan satu pun hal yang bisa merugikannya.

Namun di bagian terdalam perapian yang tak lagi dipakai, polisi menemukan sobekan koran yang hangus sebagian. Pada potongan itu tampak bekas huruf-huruf yang digunting. Saat dicocokkan dengan catatan yang diserahkan Hazel, hasilnya betul-betul cocok.

Bukti paling menentukan pun didapat.

Andre Delgado naik status dari terperiksa menjadi tersangka.

Perintah penangkapan dikeluarkan.

Pelabuhan Palomares.

Kapal-kapal layar sibuk bersiap untuk berangkat. Di bawah langit mendung, tiang-tiang layar menjulang tegar.

Di antara gerobak-gerobak penuh muatan yang lalu-lalang, seorang pria melangkah dengan topi menutupi wajah dan kerah mantel ditegakkan.

Andre Delgado meraba saku.

Tiketnya masih aman. Tiket menuju hidup baru.

Untuk sampai ke sini tanpa ketahuan para lintah darat, ia melalui seribu satu kesulitan. Kini, semua itu akan berakhir.

Keluar dari wilayah kekaisaran, tak akan ada lagi yang mengenal dirinya.

Sekalipun telah kehilangan segalanya, ia masih punya suara bernilai sejuta gold dan wajah tampan. Dengan itu, ia takkan mati kelaparan.

Andre melihat arloji saku.

Masih ada waktu sebelum kapal bertolak. Ia pun masuk ke kedai terdekat.

Di dalam yang temaram, beberapa tamu duduk. Seorang biarawan kurus kering bagai tengkorak menatap buku menu. Di sudut lain, sosok yang tampak seperti pemburu minum bersama kawan-kawannya sambil bercakap riuh.

Andre duduk sembarang, memesan anggur murah dan ikan goreng, lalu pergi ke kamar kecil.

Selesai urusan dan hendak keluar, ia tersentak. Biarawan kurus tadi berdiri membeku di depan pintu, bak hantu.

Apa-apaan? Mengejutkan saja.

Andre menepi sedikit.

Namun si biarawan tidak masuk; ia hanya berdiri, tak bergerak.

“Apa maumu?”

Andre merasa janggal dan berbalik.

Dan—apa ini? Biarawan itu sudah kembali berdiri tepat di hadapannya. Tanpa suara, tanpa jejak—seolah berpindah seketika.

Ap—apa ini…?

Wajah Andre memucat. Ia kembali berbalik.

Di sana berdiri orang lain. Si pemburu yang tadi ia lihat.

Pria itu melepas topi pemburunya. Menatap topi itu, ia bergumam:

“Wahai topi pemburu, orang ini yang mengganggu kawanmu si topi jerami. Apa yang harus kulakukan padanya?”

“Dasar orang gila apa—”

Andre tak sempat menyelesaikan kalimatnya.

Ciiing! Suara logam tajam menggema dari segala arah. Sekejap saja, mata-mata pedang menyilaukan mengitari tubuhnya.

Para tamu di kedai—entah sejak kapan—telah mencabut pedang dan mengepungnya. Mata mereka berkilat memerah, taring runcing tampak jelas.

“Va—vampir…?!”

Si biarawan berkata pada Andre yang dicekam ngeri:

“Kami adalah para ksatria suci kekaisaran. Andre Delgado, atas tuduhan percobaan pembunuhan terhadap keluarga kekaisaran, kau ditangkap.”

Andre terperanjat hingga nyaris pingsan.

“Pembunuhan keluarga kekaisaran? Aku tak tahu-menahu! Aku tidak tahu apa-apa!”

Ia meronta mati-matian namun sia-sia. Ia diseret dan dilempar ke dalam kereta tahanan.

Dalam perjalanan menuju ibu kota, Andre Delgado mengalami saat-saat yang takkan terlupa.

Hasilnya, terungkaplah semuanya: bagaimana ia menyimpan dendam karena Hazel menolak mentah-mentah tawaran bisnisnya; bagaimana ia mendekati seorang markis tua perempuan untuk mengorek informasi tentang zona terlarang, dan seterusnya.

Percobaan pembunuhan terhadap keluarga kekaisaran—itu bukan sekadar ancaman.

Entah bermula dari dendam pribadi atau apa pun, ia sengaja memakai pihak ketiga untuk membahayakan keluarga kekaisaran. Secara de facto, itu adalah percobaan pembunuhan. Hukumannya adalah mati. Dengan pengacara yang sangat cakap, mungkin bisa diturunkan menjadi penjara seumur hidup di menara.

Satuan tugas khusus Ordo Ksatria Api Suci merenungi hal itu sembari mempercepat laju kereta.

Seolah-olah koran-koran di seluruh kekaisaran sudah tampak di pelupuk mata—heboh untuk kesekian kalinya.

Pagi-pagi benar, Iskandar menerima laporan dengan isi demikian.

Semakin ia membaca, jemarinya kian mencengkeram lembaran kertas.

Kurang lebih ia sudah menduga, tapi melihat pengakuan hitam di atas putih membuat amarahnya membuncah.

Sudah dihukum atas kelancangan yang diperbuat, bukannya bertobat—malah menyimpan benci dan nekat melakukan kejahatan seperti ini!

Di mana-mana memang ada orang semacam itu. Begitu ada celah, tabiat aslinya mencuat.

Tak peduli setinggi apa pendidikannya, sehalus apa sikapnya. Seperti permata yang tampak mulus dari depan, tapi penuh goresan jika dibalik.

Barangkali, semua orang memang begitu? Hanya karena tak pernah melihat dari sisi lain, seolah tak ada apa-apa. Begitu disorot, sama saja.

Ia tenggelam dalam renungan—lupa bahwa biasanya ia menyalahkan dirinya sendiri karena terlalu banyak berpikir—ketika…

Mendadak, dari luar jendela, terdengar suara menggelegar.

“Muuuu!”

Renungan tentang tabiat manusia lenyap seketika dari benaknya.

‘Muu’?

Jangan-jangan.

Dadanya tercekat.

Iskandar melompat berdiri dan menengok ke luar jendela. Pekarangan rumah sebelah terlihat jelas.

Desah keluar tanpa sadar.

“Ya ampun….”

Ini di luar nalar.

Ia hampir berlari turun saat mendadak berhenti.

Dalam situasi genting sekalipun, ia tak bisa begitu saja pergi. Ia mengambil ramuan dan pakaian, lalu menyamar sebagai ksatria. Pagi masih dini; istana belum ramai. Ia bergegas menuruni tangga.

Semoga hanya halusinasi.

Ia berharap sekuat hati.

Ternyata bukan.

Setiba di pertanian, “itu” benar-benar ada.

Tubuh besar. Bulu putih dengan totol-totol hitam. Ekor yang bergoyang riang di atas pantat.

Pupil Iskandar bergetar hebat.

Saat itu juga—

“Sir Valentine?”

Dari belakang rumah, Hazel muncul, menenteng keranjang penuh daun-daun herba basah oleh embun pagi.

“Sungguh, kukira aku salah lihat. Pagi-pagi begini, ada keperluan apa?”

“Miss Mayfield, itu… sapi perah, bukan?”

“Ah! Anda kenal sapi perah juga!”

Hazel berseru. Lebih dari sekadar gembira—seperti bangga.

Kau kira aku tak tahu sapi perah?

Tanpa tahu apa yang berkecamuk di kepalanya, Hazel pun bercerita dengan bangga:

“Kemarin Pangeran Rowan datang ke pertanian. Beliau masih belum bisa berjalan, jadi duduk di kursi sutra berkait. Tangan beliau sekarang sudah bisa menggenggam pena. Katanya, sebentar lagi bisa menggenggam iga babi juga—apa saja bisa! Dan beliau menghadiahkan ini pada saya.”

“Sapi perah… dari Pangeran Rowan?”

“Ya. Sapi perah ras Velasco. Selama ini Pangeran belum pernah minum susu. Karena khawatir susu memperparah anemia, beliau benar-benar tidak diizinkan menyentuhnya. Jadi ketika sembuh nanti, beliau ingin merasakan susu pertama dalam hidupnya—susu dari Pertanian Marronnier kita. Tahu apa komentar Sir Luis saat mendengar itu? ‘Memang benar, darah keluarga kami! Kerjaannya memikirkan makan terus!’”

Iskandar hanya terpaku.

Di balik wajah Hazel yang tersenyum bercerita, sapi perah berbulu putih dengan totol hitam tampak jelas.

Pemandangan yang menyapu bersih segala pikiran di kepalanya.

Anak ayam masih bisa ia tahan. Ayam? Itu pun masih bisa.

Tapi sapi perah—lain cerita. Itu tak tertahankan.

Kebetulan, pelaku sudah tertangkap dan urusan pasca-kejadian beres semua. Waktunya telah tiba. Saat untuk sebuah pengumuman besar.

Tentu bukan detik ini juga.

Dari kejauhan, ia menangkap tanda-tanda kesibukan.

Rutinitas pagi istana akan segera dimulai. Sebelum ada yang melintas di sekitar sini, ia harus cepat kembali.

Iskandar berkata pada Hazel,

“Nanti sore aku datang lagi.”

“Eh? Hari ini Anda datang dua kali?”

“Ya.”

Ia menelan ludah, lalu berkata,

“Ada sesuatu yang ingin kutanyakan pada Miss Mayfield.”

“Silakan.”

Jawab Hazel.

Saat ia menoleh lagi, sosok pria itu telah lenyap.

Kenapa wajahnya setegang itu?

Ia mengernyit, lalu berbalik.

Hari itu Hazel super sibuk.

Dalam beberapa hari yang kacau, tanaman tomatnya bermasalah.

Daun-daunnya menguning. Setelah diperiksa saksama—hama. Serangga kecil dari keluarga kutu kebul menempel rapat di bawah daun, mengisap getah dengan rakus.

“Tidak mungkin!”

Hazel terperanjat.

Hama kutu kebul berkembang biak sangat cepat. Mereka mencari daun-daun muda lalu meluluhlantakkan. Begitu terlihat, harus ditangani segera.

Untungnya, ia menemukannya di tahap awal.

Hazel mengenakan sarung tangan kebun, menyusuri barisan tomat satu per satu. Semua daun yang terkena hama ia cabut dan dibakar.

Asap membubung tinggi di langit musim panas.

Para pejabat yang lewat melirik-lirik. Ada yang mendekat ke pagar, mengendus-endus.

“Harumnya! Begini rupanya romantika pedesaan!”

Hazel hanya membalas dengan senyum. Kalau dibilang itu asap hama yang dibakar, bisa-bisa para pejabat modis itu pingsan.

Saat matahari tepat di ubun-ubun, ia berhenti sejenak dan pergi ke pasar. Setelah membeli bahan untuk makan malam, ia memeriksa ulang seluruh pertanian.

Karena itulah, waktu berlalu tanpa sempat bernapas.

Ketika menoleh, seekor kepik kecil hinggap di bahunya. Meski lengan diayun-ayunkan, ia tak terbang juga.

Hazel menganggapnya teman, dan seharian bekerja bersama. Usai semua pekerjaan, ia melepaskannya perlahan ke atas sehelai daun.

 

Nunaaluuu Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review