Burung-burung bercicit riuh di sisi bantal.
Dalam cahaya matahari yang masuk miring melalui jendela, Hazel membuka mata.
“Ah! Telat!”
Ia meloncat bangun seakan terpental dari ranjang.
Dalam mata yang masih mengantuk, terpampanglah pemandangan kamar.
Alih-alih wallpaper usang dan gelap dari rumah sewa 2 gold per bulan, kini dindingnya tampak putih bersih berlapis kapur. Bau jamur yang dulu menusuk hidung tak ada lagi, berganti dengan aroma harum bantal jerami.
Ah, benar. Aku sudah pindah rumah.
Hazel menghela napas lega.
Memang belum ada banyak furnitur, tapi sinar matahari dan angin yang bebas masuk membuatnya tak terasa kosong. Ia merentangkan tubuh, lalu turun perlahan dari tempat tidur.
Oven kayu yang kokoh di dapur berkilau bersih tanpa setitik debu pun. Di bawah lemari kayu tergantung panci, periuk tembaga, dan wajan. Meja makan memang sudah tua, tapi Hazel menggosoknya dengan rajin menggunakan air rebusan teh hitam sampai warna kayu dan seratnya kembali hidup.
Hazel keluar rumah.
Tanaman herbal di kebun kecil sebelah dapur tampak segar dan hijau seperti biasa.
Ia memang baru menanam chicory, tapi mungkin karena benihnya sudah terlalu lama, belum ada tanda-tanda kecambah. Sebaliknya, foxmint yang ia tanam di hari pertama sudah tumbuh sepanjang ruas jari.
Tanah ini memang luar biasa.
Hazel menangkupkan tangan di dahi, menatap sekeliling.
Hari ini ia harus menyiangi gulma dan menyirami tanaman. Tak lama lagi sayur-sayuran enak pasti akan mulai tumbuh. Selebihnya... yah, kalau saja ada kandang ayam, kandang ternak, dan hamparan ladang gandum luas seperti di Martin Farm milik Belmont, tentu lebih baik. Tapi bahkan yang sekarang pun sudah terasa seperti mimpi.
Sebagai langkah awal dari sebuah pertanian, ini sudah sangat hebat.
Setelah meneliti kebun dengan saksama, Hazel masuk kembali. Ia menaburkan daun teh kering ke lantai untuk membersihkan debu sambil berpikir.
Hari ini makan roti panggang telur saja.
Tepung terigu yang ia bawa dari rumah sewaan Rochelle tinggal separuh. Dari situlah ia mencoba membuat roti sendiri.
Roti yang baru keluar dari oven, dikoyak dengan teriakan “Panas! Panas!”, sungguh tiada tanding. Tanpa olesan mentega atau selai pun rasanya sudah luar biasa.
Setengah roti itu langsung habis saat itu juga, sisanya ia simpan di lemari. Kini Hazel mengambilnya dan memotong dua iris.
—“Roti panggang telur bisa bikin otak encer,” kata Bibi Martha dulu.
Setiap kali anak-anak harus belajar hitung-hitungan, ia menyiapkan menu ini untuk sarapan. Kadang, kalau Paman Carl menjual angsa dengan harga konyol dan kena marah, keesokan paginya pun roti panggang telur hadir di meja makan...
Hazel tersenyum mengingat wajah Paman Carl yang memerah malu setiap kali itu terjadi.
Mungkin karena kenangan masa kecil itu, Hazel terbiasa membuat roti panggang telur setiap kali ia butuh berpikir serius.
Membuatnya pun mudah.
Pertama, dengan sendok ia menekan bagian tengah roti hingga membentuk cekungan. Lalu, kocok telur dengan sedikit susu, gula, dan garam. Roti dilumuri adonan telur itu, lalu tepat di tengah cekungan ia pecahkan sebutir telur mentah. Tinggal dipanggang di wajan.
Sementara roti panggang telur matang, Hazel membuka kantong kopi yang dulu terjatuh di depan kantor Departemen Dalam Negeri. Setelah memastikan aromanya belum rusak karena teroksidasi, ia menyeduhnya dengan air panas.
Roti panggang telur dengan secangkir kopi. Sepotong kertas dan pulpen berlogo Bank Kota Rochelle.
Lengkaplah yang ia sebut sebagai “Meja Pagi untuk Berpikir.”
Begitulah nama yang Hazel berikan.
Ketika ia memotong bagian tengah roti yang sudah berwarna cokelat keemasan, kuning telur setengah matang mengalir perlahan. Asap putih mengepul hangat dari permukaan.
Momen inilah yang tak boleh dilewatkan.
Hazel segera menyuapkan sepotong.
Rasa asin gurih kuning telur bercampur dengan manis lembut roti yang menyerap adonan telur, berpadu dengan sempurna. Potongan hangat itu turun dengan lembut, mengisi perut kosong dengan rasa nyaman.
Bagus. Sempurna.
Hazel memberi nilai kelulusan pada kreasinya, lalu meraih pena.
Masalah yang harus ia pikirkan hari ini: soal hari Minggu.
Hari Minggu nanti, Sir Lewis berjanji datang untuk membantu bekerja di ladang.
Saat itu, Hazel memang terlalu sibuk menggosok periuk dengan kain cuka dan bubuk bata sehingga hanya merasa senang tanpa menyadari arti sebenarnya.
Kini ia paham.
Arti sebenarnya adalah:
Untuk pertama kalinya, seorang pekerja akan datang ke Hazel’s Farm!
Di pertanian, saat musim sibuk, pekerja tambahan pasti dipanggil. Hari itu selalu terasa meriah. Dan di hari seperti itu, makan siang harus ada hidangan spesial. Semua duduk bersama, riuh bercakap, sambil menyantapnya.
Hidangan spesial.
Tangan Hazel tanpa sadar menggambar panci besar dengan dua gagang, penuh rebusan daging dan sayuran yang mendidih.
Tak lain dan tak bukan: stew. Beef stew.
Potongan besar daging sapi yang empuk, direbus lama dalam saus tomat kental dengan aroma wine merah yang dalam. Aneka sayuran menggugah selera. Semua itu selalu membuat lidah tergoda.
Hazel ingin menghidangkan stew untuk Lewis. Lebih dari itu, Hazel sendiri amat ingin memakannya. Sudah lama ia tak mencicipi beef stew yang dimasak perlahan, lalu disantap bersama roti desa yang kenyal—dicocol atau ditaruh di atasnya. Hanya dengan membayangkannya saja, Hazel hampir tak tahan.
Ada orang-orang yang, bila menginginkan suatu makanan, harus memakannya apa pun caranya. Meski harus menempuh perjalanan berjam-jam ke restoran dan rela antre, atau berdiri lama di dapur menyiapkan puluhan bahan. Hingga akhirnya mencicipi, pikiran mereka terus dihantui bayangan rasa itu.
Hazel pun demikian. Ia ingin beef stew.
Dan untuk stew, Hazel percaya diri. Sejak kecil ia sudah memasaknya ratusan kali. Bahkan dengan mata tertutup ia bisa menghadirkan cita rasa khas pedesaan. Hanya saja…
Hazel mulai menulis daftar bahan.
Daging sapi. Kaldu sapi. Tomat. Seledri. Bawang bombay. Wortel. Kentang. Jamur. Kacang polong. Wine merah. Thyme. Rosemary. Daun salam…
“Tidak ada. Tidak ada. Tidak ada. Tidak ada. Tidak ada. Tidak ada…”
Kertas penuh tanda silang. Di lemari hanya tersisa kentang, beberapa herbal, dan sebotol wine merah.
“Hm…”
Hazel mengetuk meja dengan jari.
Sayuran di kebun baru bisa dipanen musim panas nanti. Jadi kalau mau makan, ia harus mulai belanja di pasar.
Masalahnya…
Ya, inilah masalah serius yang butuh roti panggang telur untuk dipikirkan.
Kalau keluar dari Istana, bagaimana dengan larangan bicara itu?
Apakah orang-orang tak bersalah akan terkena hukuman hanya karena menyapanya?
Hazel mulai memutar otak, memikirkan batasan hukum itu.
***
Iskandar mulai merenungi batas-batas kelonggaran yang bisa ia berikan.
‘Berita itu’ baru sampai ke telinganya cukup terlambat. Semua gara-gara larangan bicara, sehingga gosip tak bisa beredar dengan semestinya. Begitu ia berhasil menafsirkan ucapan-ucapan samar tanpa subjek jelas, Iskandar langsung naik pitam dan memanggil Lewis.
“Sekalipun kau suka bercanda, ini sudah keterlaluan! Apa kau sengaja berpihak pada perempuan itu hanya untuk mempermainkanku?”
“Perempuan mana?”
Lewis menatap dengan mata bulat penuh ketulusan.
“Aku tidak berbicara dengan perempuan mana pun dalam beberapa hari terakhir. Kalau matamu bisa melihat seseorang yang tidak terlihat oleh orang lain, kupikir lebih baik kau panggil tabib istana, bukan aku.”
Dengan wajah setenang itu, ia memberi nasihat tanpa rasa bersalah sedikit pun, lalu pergi begitu saja.
Sungguh, siapa sangka larangan bicara itu justru akan menjadi jerat baginya!
Iskandar merasakan tekanan darahnya naik drastis, sesuatu yang sudah lama tidak terjadi.
Mimpinya sederhana: menjadi seorang kaisar yang lumayan baik.
Itu tidak sulit, pikirnya. Ia hanya perlu melakukan kebalikan dari apa yang ayahnya lakukan.
Seandainya ayahnya yang masih berkuasa, rumah itu pasti sudah rata dengan tanah tanpa ampun. Pemiliknya hanya bisa menitikkan air mata darah, sementara kompensasi yang tak seberapa akan lenyap di tangan para pejabat serakah.
Iskandar tidak ingin menempuh jalan itu.
Proyek renovasi istana ini adalah proyek besar pertama yang ia canangkan sejak naik takhta. Ia ingin menunjukkan bahwa zaman sudah berubah. Bahwa semuanya ditangani dengan adil dan transparan. Itu memang selaras dengan sifatnya, tetapi juga sebuah kebutuhan.
Rakyat Kekaisaran Bratania perlu mendengar kisah semacam itu: bahwa negara kini berusaha keras agar tidak ada seorang pun yang dirugikan. Ia ingin memulihkan setidaknya secuil kepercayaan yang telah dihancurkan ayahnya.
Namun ternyata ketulusan itu justru dimanfaatkan seperti ini!
Iskandar yakin betul pemilik tanah di Petak 79 punya maksud tersembunyi. Bagaimana mungkin ia menolak tawaran harga yang sudah begitu tinggi tanpa pikir panjang?
Ia tidak bisa memahami satu hal: bahwa karena cinta, seseorang bisa bertindak seperti itu. Bahwa bila sesuatu sudah diterima dengan jiwa dan raga, maka uang bukan lagi ukuran.
Iskandar tahu banyak hal di dunia, tapi ia sama sekali tidak tahu bahwa ada perasaan seperti itu. Maka, yang ia rasakan hanya pengkhianatan.
Berani-beraninya mempermainkan kemurahan hati seorang Kaisar!
Apalagi lawannya seorang gadis muda—sedikit saja salah langkah, martabat negara bisa jatuh. Maka ia hanya berharap si gadis itu segera sadar dan mundur sendiri.
Tapi pikirannya keliru. Ia tak bisa hanya duduk diam.
“Mayfield, ya…?”
Iskandar mengernyitkan dahi, larut dalam pikirannya.
***
Lewis Gallardo adalah ikon mode.
Apa pun yang ia kenakan selalu terlihat berkelas. Kadang ia memadukan pakaian formal dengan warna-warna berani, kadang ia mengejutkan semua orang dengan aksesori yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Hampir setiap tren mode lahir dari eksperimen beraninya.
Namun hari itu… penampilannya sungguh sulit dimengerti.
Hari Minggu itu, ketika ia berkunjung ke istana, orang-orang hanya bisa melongo melihatnya.
Ia mengenakan kemeja cokelat kusam yang tak sedap dipandang, dipadukan dengan rompi merah menyala yang tampak norak. Celana longgar yang digulung sampai lutut, sepatu bot hitam pekat, dan—yang paling mencolok—sebuah garpu besar yang disampirkan miring di bahunya.
Tapi Lewis sangat puas dengan gaya “petani” ini. Ia bahkan menikmati tatapan bingung orang-orang, sambil menunggu dua bawahannya yang ditunjuk sebagai asisten hari itu.
Tak lama kemudian mereka datang.
Pertama, Angelo “Sang Biarawan” Giovanni.
Ia adalah seorang ksatria keturunan vampir. Julukan “Sang Biarawan” sempat dianggap penghinaan, tapi begitu orang melihat sosoknya, mereka hanya bisa bergumam, “Ah, pantas saja.”
Angelo adalah ksatria paling kurus dari seluruh empat Ordo Suci. Pipi cekung, pinggang lebih ramping dari seorang pengantin wanita. Lewis menempatkannya di peringkat pertama daftar “orang yang ingin kubawa ke ladang maroni.”
Yang kedua, Henry Dunby. Ia tidak punya julukan khusus. Tubuhnya sehat, selera makannya besar. Dan yang terpenting, ia anak seorang pemilik perkebunan besar.
Karena ini adalah pengalaman pertama Lewis bertani, ia merasa perlu ditemani seseorang yang lahir di keluarga petani sukses.
Begitu tiba, Henry langsung berseru,
“Ini konyol sekali! Tidak ada manusia yang bercakap-cakap dengan topi jerami! Aku tak sudi melakukan hal semacam itu!”
“Kalau begitu?”
“Biar topi pemburu ini yang bicara!”
Ia mengeluarkan topi berburu, dan Lewis berseru kagum.
“Luar biasa! Kau benar-benar teliti. Dan kau memang paham soal pertanian, kan?”
“Tentu saja!”
Hati Lewis pun berbunga-bunga.
Cuaca cerah, angin sepoi-sepoi. Ia yakin hari itu akan jadi hari indah di ladang maroni.
Namun harapannya langsung hancur.
Dari balik topiari besar di taman kerajaan, dua sosok muncul. Mereka adalah Sir Siegwald Sachsenpiegel, Komandan Ordo Benteng, dan Sir Cayenne Runebard, Komandan Ordo Angin.
Keduanya menatap Lewis dengan wajah tercengang. Cayenne langsung membentak.
“Apa yang kau lakukan dengan pakaian itu?”
Dua bawahan Lewis langsung pucat pasi. Lewis buru-buru berkata,
“Tenang, semuanya baik-baik saja.”
“Baik-baik saja apanya!”
Cayenne makin naik pitam.
“Jelaskan sekarang juga!”
Tanpa banyak bicara, keduanya menggandeng Lewis di kanan-kiri dan menyeretnya menuju lapangan latihan istana, dengan tatapan seolah sedang mengiring seorang pengkhianat.
“Baju macam apa itu!”
Siegwald yang biasanya damai bahkan ikut berteriak. Itu pertanda ia benar-benar terkejut.
“Untung Lorendel tidak melihat ini!”
“Betul! Kau masih beruntung yang melihat hanya kami! Kalau sampai hye elf tahu, reputasimu akan hancur sepanjang hidup panjang mereka! Ratusan tahun kemudian pun mereka masih akan menertawakan kebodohan Lewis hari ini!”
Cayenne sudah siap melanjutkan ceramah panjangnya, tapi kebiasaan buruknya kambuh. Ia tanpa sadar mengeluarkan cakar kucingnya dan mulai mengasahnya ke pohon raksasa di dekat situ—yang kebetulan adalah Pusaka Nasional Nomor 354, Pohon Jenderal.
Begitu tersadar, ia hendak menarik tangannya, tapi terlambat. Salah satu cabang besar patah dan jatuh ke tanah.
“……!”
Semua terdiam, wajah pucat.
Cayenne pun membeku. Ia buru-buru duduk menindih cabang itu, pura-pura tidak terjadi apa-apa.
“Bangun.”
Suara Siegwald datar.
“…….”
“Percuma bersembunyi. Berdirilah.”
Dengan ragu-ragu, Cayenne berdiri.
Kini persoalan Lewis dilupakan. Semua menatap cabang yang tergeletak di tanah.
Cabang itu kering dan bengkok. Daun-daunnya layu kekuningan di tepinya.
Lewis mengangkat cabang itu, memeriksa ujungnya—bagian dalamnya menghitam.
“Pohon Jenderal membusuk!”
Ia menjerit kaget.
Dan ketika menatap ke atas, mereka melihat daun-daun kuning bukan hanya satu-dua, melainkan tersebar di banyak tempat. Batangnya penuh lubang dan serangga merayap.
Siegwald gelisah.
“Pohon Jenderal sakit. Mustahil… kenapa bisa?”
“Ya! Seharusnya tidak mungkin!”
Lewis mendecak kesal, melirik Cayenne.
“Bukankah sudah kubilang hentikan kebiasaan itu? Kini kau malah merusak pusaka nasional! Apa jadinya kalau ini terbongkar?”
“Aku tahu peraturannya. Pernah dibahas dalam seminar. Berdasarkan Undang-Undang Khusus Pengelolaan Pusaka Nasional, semakin tinggi jabatan pelaku, hukumannya semakin berat. Karena jabatan kita memberi akses ke ruang harta istana, maka—”
Cayenne pucat pasi.
“—aku harus dicopot. Komandan Ordo Angin tak bisa lagi kujabat.”
Kini giliran Lewis tersadar.
Tak peduli bagaimana mereka berdalih, penyelidikan ahli pasti menemukan bekas cakaran khas bangsa cat-kin. Semua orang istana tahu kebiasaan buruk Cayenne itu. Bila berita keluar, tamatlah sudah.
“Tak ada cara lain.”
Siegwald menatap serius.
“Kita harus menyembuhkan Pohon Jenderal.”
“Tapi bagaimana caranya?”
Cayenne sudah panik.
Dalam matanya berkelebat bayangan: ejekan orang banyak, upacara pelepasan yang memalukan, perpisahan menyakitkan dengan para kesatria Ordo Angin, hingga hidup terbuang di tanah leluhurnya sebagai anak tak berguna.
Betapa bangganya kaum cat-kin di Nine Hills ketika akhirnya keluarga Runebard yang selalu melahirkan penyihir, berhasil melahirkan seorang komandan kesatria!
“Aku tak mau dipecat… Tapi bagaimana cara menyembuhkan pohon? Pernahkah kalian menyembuhkan pohon?”
“Lorendel pasti bisa.”
“Gila kau!”
Lewis langsung menepis ide Siegwald.
“Kalau melibatkan Lorendel, itu artinya kita sudah bunuh diri. Dia tak bisa berbohong! Dengan mata merah karena kurang tidur ia akan berkeliaran sambil menyiarkan ke semua orang, ‘Aku menyembunyikan sesuatu!’ Lalu ketika sedikit ditekan, semua rahasia terbongkar.”
“Itu memang benar, tapi—”
“Aku tahu satu orang.”
Lewis memotong tegas.
Siegwald dan Cayenne saling pandang.
“Jangan bilang….”
“Tidak mungkin.”
Lewis berkerut dahi.
“Kalian ini, kenapa memperlakukannya seolah ia penyihir jahat? Dia ahli pertanian. Cukup biarkan dia melihat kondisi pohon. Kalau gagal pun kita tak rugi apa-apa. Situasi kita sudah cukup parah, tak ada lagi yang bisa hilang.”
Itu memang benar. Siapa tahu kapan orang lain masuk dan melihat kondisi Pohon Jenderal. Rasanya seperti duduk di atas bom waktu.
Maka mereka pun nekat menggenggam seutas harapan tipis.
Dengan hati penuh doa, Lewis melempar dadu terakhirnya.
***
Saat itu, Hazel sedang bekerja di ladang.
Sup tetap tidak sempat ia siapkan. Bagaimanapun juga, dengan adanya larangan berbicara, pergi berbelanja jelas mustahil. Hazel khawatir malah akan menyeret orang lain ke dalam masalah.
Akhirnya, ia memutuskan untuk mengosongkan semua bahan yang ada di rumah.
Pertama, ia memanggang dua roti pedesaan besar. Lalu ia memetik selada air, daun bit, dan arugula dari kebun sayurnya yang dulu ditanami chicory. Ia berencana menyajikan salad segar dengan keju, sosis asap, serta kentang baru yang ditumis dengan mentega.
Namun, Louis tak kunjung datang.
“Apa ini…?”
Hazel, kebingungan, hanya bisa berkedip sambil terus mencabut gulma. Saat itu, dari belakang rumah terdengar suara. Seperti ada orang yang bercakap-cakap mendekat.
Hazel buru-buru menaruh cangkul kecilnya dan segera pergi melihat.
Akhirnya Louis datang juga.
Lewat catatan kecil yang diselipkan di celah pintu, Louis sudah memberi tahu sebelumnya: hari ini ia akan membawa dua anak buahnya. Satu yang tubuhnya terlalu lemah, sehingga ingin diberi makanan enak. Dan satu lagi yang pandai bertani.
Benar saja.
Di belakang Louis berjalan seorang ksatria muda berambut pirang. Wajahnya tampak cerdas, tetapi kulitnya begitu pucat, hampir kebiruan. Seolah bisa roboh kapan saja.
Di sisinya berjalan seorang ksatria lain yang bertubuh sangat kekar. Alis tebal, bibir terkatup rapat, wajahnya kuat sekaligus sarat aura bangsawan. Bahkan lebih tinggi dari Louis, hingga Hazel harus benar-benar mendongak untuk melihat wajahnya.
“Yang satu lemah, yang satu bisa kerja keras, ya…”
Hazel mengangguk dalam hati, tapi tiba-tiba wajahnya membeku.
Pakaian mereka bukan seragam Ksatria Cahaya Suci. Warna mantel pun berbeda. Namun lencana dan tanda pangkat di pundak mereka… sama persis dengan milik Louis.
Itu bukan anak buah Louis.
Mereka adalah komandan-komandan Ksatria Suci!
Pria tinggi dan kekar itu bukan manusia biasa—ia jelas berasal dari bangsa berserk, setengah manusia setengah binatang. Hazel segera teringat perkataan kakek tua yang ditemuinya saat baru tiba di ibu kota: ia pasti komandan Ksatria Petir dari ras Warbear. Dan yang satunya lagi…
Elf?
Hazel sempat berpikir begitu, tapi segera menyadari bukan.
Rambut di atas kepalanya menonjol seperti telinga hewan, pupil matanya tipis berkilat keemasan di bawah sinar matahari sore.
Jelas sekali: ia adalah seorang Cat-sìth. Tepatnya dari ras Golden Cat-sìth, yang memiliki bulu emas di antara Sembilan Bukit.
Hazel benar-benar melongo. Dua orang komandan ksatria tiba-tiba muncul di sini? Tanpa sadar, ia pun bertanya:
“Eh… ada urusan apa…?”
Sigvald dan Cayenne menatap gadis bertopi jerami itu.
Di hadapan mereka berdiri seorang petani desa sederhana.
Ekspresinya—keras kepala khas orang kampung, bercampur kewaspadaan halus terhadap "orang penting dari luar"—terlalu sempurna. Keduanya langsung punya pikiran yang sama.
Kalau bukan jenius akting kelas dunia, berarti benar-benar seorang petani.
Kalau memang aktris, ia sudah jadi bintang panggung, bergelimang harta, bukan tersia-sia di sini.
Berarti benar-benar petani…?
Saat itu Louis menyikut bahu keduanya.
“Oh, ya.”
Mereka segera melakukan sesuai rencana: pura-pura tidak ada siapa-siapa, lalu pergi duduk di tumpukan kayu bakar.
Terasa konyol begitu melakukannya. Tapi, dalam kondisi di mana mereka tak bisa berbicara leluasa, ini satu-satunya cara menyampaikan keadaan dengan cepat.
Louis mulai bicara.
“Hari ini, karena keadaan darurat, kami masuk lewat lorong rahasia, jadi keluarnya di belakang rumah. Tapi masalahnya… Jenderal sedang sakit. Jenderal kita, Leonhardt Maximus Reutenberg, yang terdaftar sebagai Harta Nasional Nomor 354, selama ini jadi maskot Arena Latihan Istana yang digunakan kaisar dan para komandan ksatria. Tapi tiba-tiba jatuh sakit.”
Hazel menoleh kaget.
(Apa-apaan sih gaya bicara ini?)
Seperti menonton sandiwara saja.
“Itu semua salahku.”
Komandan Cat-sìth menyambung dengan nada kaku, seperti membaca naskah drama.
“Selama ini aku mengasah kukuku di tubuh Jenderal. Bisa jadi itulah yang membuatnya sakit. Aku benar-benar tidak menyangka akan begini. Tak ada pohon setangguh dia di seluruh istana. Aku merawatnya dengan sepenuh hati, tapi kenapa…?”
“Aku juga sudah merawatnya.”
“Aku pun begitu.”
Ketiganya menarik napas panjang, seolah bumi runtuh. Louis melanjutkan,
“Pokoknya ini masalah besar. Kalau kabar ini bocor, Cayenne harus mundur dari jabatan Komandan Ksatria Angin sesuai Undang-Undang Khusus Pengelolaan Harta Nasional. Semakin tinggi jabatan, semakin besar pula tanggung jawab.”
“Tapi ini tidak adil! Cayenne tidak menjual atau merusaknya. Jenderal hanya sakit sebentar. Kalau kita cepat menolong, pasti sembuh.”
“Masalahnya kita tidak tahu apa-apa soal pohon.”
“Eh? Sigvald, Cayenne. Lihat ke sana. Ada gadis pakai topi jerami! Siapa pun yang pakai topi sebagus itu pasti ahli pohon. Ayo kita tanya, mungkin dia pernah mengobati pohon sakit?”
Barulah Hazel benar-benar paham duduk perkaranya. Ia bisa merasakan betapa genting masalah yang sedang mereka hadapi.
“Ya, saya pernah.”
Ketiganya hampir meloncat kaget.
Louis begitu gembira, langsung bangkit dari tumpukan kayu.
“Pemilik topi jerami sebaik itu pasti sibuk, tapi kalau mau ikut bersama kami, anggap saja sedang menyelamatkan seekor kucing, vampir, dan beruang!”
Ia segera melangkah memimpin.
Hazel, setengah bingung, pun mengikuti ketiga komandan ksatria itu.
Mereka keluar pagar ladang, menyusuri jalan berliku taman labirin hingga tiba di saluran air buatan. Sigvald mengangkat patung lumba-lumba pemancar air, dan sebuah lempeng batu raksasa di dasar saluran turun ke bawah.
Di sana, sebuah tangga menuju bawah tanah terbuka.
“Istana punya banyak lorong rahasia. Ini salah satu yang paling jarang diketahui. Saat perluasan, lorong tua ini disambungkan, ujungnya langsung menuju arena latihan.”
Louis menjelaskan sambil pura-pura bicara sendiri.
Mereka menuruni lorong gelap cukup lama, hingga muncul tangga lain. Naik ke atas—dan pandangan terbuka luas.
Sebuah tanah lapang terbentang.
Rumput terpangkas rapi, di tengahnya berdiri manekin ksatria berzirah dan bertopi baja. Di kejauhan berderet sasaran panah. Di sisi lain, berbagai senjata aneh berjajar.
Inilah Arena Latihan Istana. Tempat kaisar dan para komandan ksatria berlatih.
Di pusat bangku melingkar, berdiri sebatang pohon elm.
Louis kembali bersandiwara menjelaskan,
“Sejarah pohon ini kembali ke masa Raja Ramstein III. Saat perang saudara merebut tahta, Pangeran Ramstein IV sempat dikepung. Ia lari lewat lorong rahasia dan bertahan di arena ini. Serangan pasukan kakaknya begitu ganas, tapi pangeran bersembunyi di balik pohon besar itu. Pohon menerima puluhan tebasan demi melindungi calon raja. Akhirnya ia mendapat nama, tanah, dan gelar Jenderal. Sejak itu, meski berabad-abad berlalu, tetap kokoh.”
“Pantas, enak sekali dipakai mengasah kuku, ya.”
“Benar, menempel pas banget di kuku—”
Cayenne buru-buru menggigit lidah dan menutup mulut.
Hazel menatap pohon itu seksama.
Salah satu cabang besar patah, meski Louis sudah menutupinya seperti menata rambut nenek botak agar tak terlihat. Tapi jelas penyakitnya parah.
Batangnya penuh bercak busuk. Daunnya menguning, beberapa bahkan menghitam. Jelas sekali sakitnya sudah kritis.
“Kita harus segera bertindak. Tapi saya datang dengan tangan kosong. Saya butuh pisau kecil yang tajam, lima botol anggur, alkohol untuk disinfeksi, dan kain bersih.”
Louis, Sigvald, dan Cayenne buru-buru keluar, lalu kembali membawa semua yang diminta.
(Bisakah benar-benar sembuh…?)
Beruang dan kucing itu menahan napas cemas.
Hazel segera mulai “operasi”.
Kulit pohon elm terkenal berkhasiat melawan radang. Tapi kulit berharga itu kini busuk di sana-sini. Hazel mencabut bagian yang lapuk, lalu dengan pisau tajam mengiris habis bagian dalam yang terinfeksi. Setelah itu, ia menyeka bersih dengan kain yang dibasahi alkohol.
Ketiganya menatap tanpa suara.
Itu jelas bukan pertama kalinya Hazel melakukan ini. Gerakannya presisi, seperti ahli bedah. Tapi bercak busuk terlalu banyak. Pekerjaan itu sangat melelahkan.
Keringat membasahi dahinya. Rambut cokelat gelapnya menempel di kulit ketika ia akhirnya selesai. Di hadapan mereka, Hazel membuka segel anggur dan menenggaknya langsung.
(Minta anggur cuma buat diminum?!)
Cayenne melongo.
(Tega-teganya suruh aku jadi pelayan arak?!)
Tapi Hazel justru menghancurkan gabus botol dengan batu, lalu menumbuknya halus dengan pisau. Lubang besar di batang pohon ditambalnya dengan itu.
Mereka semua terbelalak. Cayenne tak tahan bertanya:
“Kenapa… gabus?”
“Karena gabus dibuat dari kulit pohon cork oak.” Hazel menjawab tenang.
“Artinya bisa menggantikan kulit pohon yang hilang. Anggur istana pasti pakai gabus berkualitas, kuat dan tahan lama. Jadi setelah membuang bagian sakit, kita lindungi dengan itu.”
Hazel bahkan mengorek serangga dari lubang batang tanpa sedikit pun meringis, lalu mensterilkan kembali.
Barulah saat senja, operasi selesai.
“Semua bagian sakit sudah dibersihkan. Sekarang tergantung Jenderal sendiri untuk pulih. Biarkan istirahat malam ini, besok pagi saya periksa lagi.”
Ketiganya mengangguk patuh.
Keesokan dini hari.
Kali ini, taman istana sepi. Mereka tak perlu lewat lorong rahasia. Hazel, dengan jubah hitam menutupi dirinya, mengikuti Louis, Sigvald, dan Cayenne menuju Jenderal.
Namun, betapa terkejutnya mereka.
Tak ada perubahan. Pohon itu tetap sakit parah.
Tiga komandan muram.
“Kenapa belum juga membaik?”
“Mungkin sudah terlalu tua?”
“Kalau begini, apa yang bisa kita lakukan…”
Hazel melepas tangannya dari batang pohon.
“Kita tunggu satu hari lagi saja.”
“Kalau ada orang lain melihat pohon ini bagaimana?”
Cayenne menggigit bibir, lalu mengangkat tangannya.
Ilusi Cat-sìth pun muncul.
Ilusi semacam itu memang membebani alam, tapi bebas pajak sihir.
Kabut sihir menutup seluruh area pohon. Cayenne berkata,
“Aku sudah ‘menyembunyikannya’ di balik kesadaran orang. Tapi kalau ada yang khusus datang mencari pohon ini, ilusi langsung pecah.”
“Ah, Permaisuri Ibu Suri! Beliau suka sekali pohon ini.”
Sigvald panik, tapi Louis menenangkan,
“Belakangan beliau jarang berjalan-jalan. Is mungkin sibuk entah dengan apa, Lorendel juga tak akan datang sendiri.”
Mereka pun bubar.
Waktu memang berhasil mereka beli, tapi Hazel masih tak mengerti.
Biasanya roh tumbuhan sederhana. Jika bagian sakit dibersihkan, mereka segera membaik. Ia yakin tidak ada kesalahan di prosesnya. Semuanya ia lakukan teliti.
Di kebunnya, sayuran tumbuh subur. Tunas herbal muncul penuh semangat. Bahkan benih di ladang pun mulai tumbuh. Semuanya berjalan baik.
Hanya pohon ini yang tetap sakit.
Hazel resah.
Keesokan paginya, mereka datang lagi dengan harapan. Tapi Jenderal tetap terkulai.
Hazel hampir putus asa.
“Kenapa… bisa begini!”
Cayenne menghela napas melihat gadis topi jerami itu lebih sedih darinya. Ia menatap kosong dan bergumam,
“Kau sudah melakukan yang terbaik. Itu sudah cukup. Kami akan menerimanya, bagaimanapun hasilnya.”
Hazel tak tahu harus bagaimana. Pulang dengan langkah berat, ia berguling di ranjang jerami sambil berpikir keras.
(Tidak bisa. Tidak boleh Jenderal mati begini. Tidak boleh juga komandan Ksatria Angin jatuh dalam aib. Ini tak bisa dibiarkan!)
Ia mengulang semua dari awal. Hingga teringat ucapan mereka:
Hazel tiba-tiba duduk tegak. Kilatan pencerahan menyambar.
(Salah! Cara kita salah!)
Ia langsung berlari keluar, hanya mengenakan mantel tipis di atas piyama.
(Ini bukan penyakit atau hama!)
Sambil berlari, ia teringat masa lalu.
Sejak kecil Hazel memang tertarik pada pohon.
Saat berusia 13 tahun, setiap Rabu ia bekerja di rumah seorang bangsawan tua bernama Godfrey, menuliskan kisah hidupnya. Pekerjaan itu membosankan, tapi ada hiburan kecil: di jalan menuju rumah itu, ada perkebunan baru yang sedang ditanami.
Ia selalu berhenti lama di sana, kagum melihat pohon ditanam dan dirawat. Ia haus ilmu.
Suatu hari, ia melihat pekerja merawat pohon yang tampak sakit. Hazel langsung mendekat, menatap dengan mata berbinar. Suatu hari ia ingin punya hutan chestnut sendiri, jadi ia ingin belajar lebih awal.
“Kenapa pohon itu begitu? Apa sakit? Itu apa? Kalian sedang apa?”
Pekerja awalnya kesal dengan gadis kecil yang terlalu ingin tahu. Tapi karena ia terus bertanya, akhirnya mereka menjelaskan:
“Ini bukan penyakit. Inilah gejala yang sering disalahartikan sebagai serangan hama, yang sudah menjerumuskan banyak petani. Sebenarnya, ini adalah…”
Ingatannya itu membuat Hazel berlari makin kencang.
Para penjaga istana melihat sosok berlari seperti kucing malam, rambut cokelatnya tergerai. Mereka bingung.
Tapi dekret Kaisar jelas: mereka seolah tidak melihat apa-apa. Bahkan melapor pun dilarang, karena subjeknya tak boleh disebut.
Para penjaga resah, tapi akhirnya hanya membuntuti diam-diam. Mereka melihat “gadis itu” melewati taman, menuju arena latihan istana lama.
“Kalau pun dia pembuat onar, di sana dia tak bisa macam-macam. Ada lampu tanda: komandan ksatria sedang berlatih di dalam.”
Mereka pun mundur, berpura-pura tak melihat.
Sementara itu, Hazel berlari semakin cepat. Hatinya begitu cemas, sampai tak sadar bahwa arena terang benderang, tanda sedang dipakai. Ia menerobos masuk begitu saja.
Saat itu Cayenne sedang menghela napas.
“Tidak ada yang bisa dilakukan. Semua ini salah kami sendiri…”
Baru ia tersadar pintu tak terkunci. Ia terlonjak.
Lalu Hazel menerobos masuk.
“Hah?”
Cayenne, Louis, dan Sigvald—yang masih berjaga karena terlalu khawatir—serempak terkejut.
Hazel langsung berlari ke pohon Jenderal, mencakar tanah di sekitarnya. Ia menggosok tanah di jari, lalu menjilatnya. Matanya berbinar.
“Benar saja!”
Tiga komandan ternganga.
Harapan terakhir mereka akhirnya menunjukkan tanda!
Tapi ada satu masalah.
Karena buru-buru keluar dari ranjang, rambut cokelat Hazel tergerai polos.
Topi jeraminya tidak ada.
Bagaimana mereka akan bicara dengannya?
Kayan yang panik akhirnya berhasil menemukan satu ide. Ia membuka salah satu novel dari tumpukan buku yang dibawanya untuk menemani sang Jenderal, lalu dengan cepat menelusuri isinya.
Ada satu kalimat yang tepat. Jadi ia membacanya lantang.
“Bolehkah saya bertanya, Lady, apa yang sebenarnya sedang terjadi sekarang?”
“Akhirnya aku menemukan jawabannya!”
Hazel berseru penuh semangat.
“Nanti akan kujelaskan! Untung semua sedang berkumpul di sini! Sekarang juga aku butuh bubuk kapur! Dan juga kembang kol kerdil! Pastikan akarnya lebar dan sehat, butuh sekitar tiga puluh sampai empat puluh batang! Carilah di pasar bunga grosir tempat rakyat biasa berbelanja, ketuk pintunya dan mintalah dengan sungguh-sungguh!”
Louis, Siegfalt, dan Kayan langsung melesat keluar secepat kilat.
Sementara itu Hazel mengambil tongkat latihan dari alun-alun dan mulai menggali tanah dengan hati-hati. Akar pohon itu memang tidak semuanya sehat, tetapi anehnya masih ada akar-akar yang kuat dan kokoh menopang.
“Syukurlah… masih ada harapan.”
Hazel bergumam.
Tak lama kemudian, ketiganya kembali. Walau sudah lewat tengah malam, mereka berhasil membawa semua yang diminta. Wajar saja—tidak ada yang mustahil bagi komandan Ksatria Suci Kekaisaran di ibukota ini.
Sekarang tinggal masalah waktu.
Hazel segera menaburkan bubuk kapur ke tanah. Ia bahkan menggunakan salah satu senjata yang tergeletak di alun-alun—sebuah halberd yang sesungguhnya merupakan koleksi kaisar dari utara—untuk menggali. Semua ikut membantu, dan mereka menanam bibit kembang kol kerdil melingkari tanah tempat Jenderal berdiri.
Akhirnya, pekerjaan selesai.
“Sudah selesai.”
Hazel menepuk-nepuk tangannya yang penuh tanah.
Tapi sebenarnya… apa yang baru saja mereka lakukan?
Louis, Siegfalt, dan Kayan menatap Hazel dengan wajah penasaran yang hampir membuat mereka mati penasaran. Begitu mata Hazel bertemu dengan mereka, ketiganya cepat-cepat berpaling—karena secara prinsip, memang seolah tidak ada siapa-siapa di sana.
Kayan kembali mengangkat novel dan membacakan dialognya.
“Bolehkah saya bertanya, Lady, apa arti dari tindakan barusan?”
Hazel menjawab tenang.
“Perawatan keracunan.”
“Keracunan?”
Mereka semua terkejut. Louis sampai berteriak.
“Apakah seseorang mencoba meracuni Jenderal?”
“Benar. Jenderal hampir saja diracun. Racun itu bernama ‘Persahabatan’.”
“Apa?!”
Kayan sampai lupa melanjutkan membaca novelnya dan spontan bertanya.
Apa maksudnya ini?
Mereka semua kini hanya menunggu penjelasan Hazel dengan tatapan tajam. Bagaimana mungkin racun bernama “Persahabatan” hampir membunuh pohon?
Dan dengan demikian, percakapan serius pun dimulai meski masing-masing masih berpura-pura menatap jauh ke kejauhan.
“Pikirkan baik-baik. Pohon yang selama ini sehat tiba-tiba sakit. Itu pasti akibat adanya perubahan pada satu titik waktu tertentu—perubahan di lingkungan sekitarnya. Menurut dugaanku, ada satu peristiwa yang membuat kalian semua mendadak khawatir terhadap kesehatan pohon ini.”
“Benar. Hari itu.”
Siegfalt menyahut. Lalu Kayan menambahkan penjelasan.
“Beberapa waktu lalu, aku mengasah kuku tepat di batang Jenderal di depan semua orang. Mereka bilang kalau aku terus begitu, aku bisa mencelakakan Jenderal. Jadi masing-masing dari kami menegurku.”
Wajahnya memerah, karena ia kembali teringat perkataan memalukan yang sempat ia lontarkan pada gadis ini di hadapan semua orang…
“Seperti yang kuduga.”
Hazel mengangguk.
“Dan sejak hari itu, karena merasa khawatir, kalian masing-masing melakukan sesuatu. Tapi ternyata bukan hanya satu orang saja. Dua lainnya juga diam-diam datang ke sini dan melakukan hal yang sama. Kalian khawatir jika Jenderal benar-benar sakit, maka sahabat kalian akan kesulitan. Jadi kalian melakukan satu hal: memberi pupuk. Kalian semua diam-diam membawakan pupuk untuk Jenderal.”
Ketiganya terperangah.
“Apa?! Jadi kalian juga melakukannya?”
“Kita semua?”
“Jadi bukan cuma aku yang memberi pupuk?”
Namun itu belum semuanya.
“Masalahnya ada pada pupuk itu sendiri.”
Hazel menatap mereka dengan serius.
“Katakan, pupuk seperti apa yang kalian beli?”
“Yang paling mahal.”
Mereka menjawab bersamaan, lalu saling melirik dengan wajah terkejut.
“Dan belinya di mana?”
“Di toko terbesar.”
Sekali lagi jawaban mereka sama.
“Itu dia jawabannya!”
Hazel merasa puas karena dugaannya tepat.
“Kalian semua membeli pupuk yang sama dari toko yang sama. Harganya mahal bukan karena kualitasnya lebih baik, melainkan karena isinya banyak. Jadi bayangkan, meski pupuknya biasa saja, kalau tiga karung besar ditumpahkan sekaligus, pasti akan menimbulkan masalah. Dan kebetulan sekali, pupuk itu adalah pupuk boron. Akibatnya tanah kelebihan boron dan pohon pun keracunan.”
“Keracunan boron…?”
“Ya. Gejala keracunan boron memang sangat mirip dengan serangan hama, sehingga banyak petani yang tidak menyadarinya. Mereka hanya sibuk membasmi hama, sampai akhirnya kehilangan pohon berharga mereka. Aku juga baru pertama kali melihat pohon sebesar ini kena keracunan boron, jadi awalnya tidak menyadarinya. Bayangkan, seberapa banyak pupuk yang kalian taburkan….”
Ketiganya tertunduk. Hazel benar-benar berkata tulus dengan nada kagum, tapi tetap saja mereka merasa sangat bersalah.
Ternyata benar kata kakeknya: “Hidup adalah latihan sesungguhnya.” Begitu benar-benar turun ke ladang, semuanya berbeda. Kalau bukan karena kondisi-kondisi khusus yang kebetulan bertemu, kejadian ini tidak akan pernah terjadi.
Tak disangka, di istana yang begitu menyeramkan ini, ia bisa mengamati kasus khusus seperti ini. Hazel senang karena mendapatkan pengetahuan baru tentang pertanian.
Tentu saja… seandainya saja bukan kesehatan Jenderal yang jadi taruhannya.
Hazel menatap pohon yang layu di bawah sinar bulan.
“Aku sudah menaburkan kapur agar boron tidak lagi terserap oleh akar. Dan kembang kol kerdil ini akan menjadi ksatria penyelamat. Tanaman ini terkenal sangat pandai menyerap boron. Dengan begitu, keracunan bisa diatasi. Tolong beri sedikit waktu lagi. Aku yakin Jenderal bisa melewatinya.”
“Baiklah…”
Louis, Siegfalt, dan Kayan mengangguk.
Lalu mereka menyadari sesuatu.
Awalnya mereka semua berpura-pura tidak saling menatap, namun entah sejak kapan mereka sudah saling berhadapan dan berdiskusi serius. Larangan Kaisar tentang percakapan pun nyaris dilanggar sepenuhnya.
Atau… mungkin masih ada celah untuk lolos.
“Eh, itu… betul-betul… jubah yang pandai bicara ya!”
Louis buru-buru mencari alasan.
Begitulah keributan tengah malam itu akhirnya mereda.
Hazel sangat lelah. Tapi kali ini, ia bisa benar-benar merebahkan diri dan tidur dengan tenang.
Jenderal, bertahanlah.
Ia menyemangati dalam hati sambil menenggelamkan wajah ke bantal.
***
Keesokan harinya ia bangun lebih pagi.
Beberapa hari belakangan langit biru dihiasi gumpalan awan putih yang bertingkat-tingkat. Itu tandanya cuaca akan terus cerah.
Ada orang yang, bila hatinya gelisah, tak bisa mengerjakan apa pun. Tapi Hazel berbeda. Kalau pikirannya melayang entah ke 어디, tahu-tahu ladangnya sudah bersih. Setelah merapikan kebun sayur yang sebentar lagi akan bertunas, bahkan menyelesaikan semua pekerjaan rumah sehari penuh, ia masih punya waktu tersisa.
Hazel berbaring di ranjang sambil menatap brosur alat pertanian yang dibawa dari Rochel. Ia mengamati dengan penuh perhatian barang-barang yang sama sekali tak ada gunanya untuknya—seperti penghancur apel, mesin pembuat serbuk gergaji, atau penyebar pupuk beroda—dan membiarkan waktu berlalu begitu saja.
Namun, tak ada kabar yang datang.
Keesokan harinya pun sama. Bahkan Louis tak menampakkan wajahnya.
Mereka bertiga pasti sedang menggunakan segala cara dan upaya yang dimiliki Komandan Kesatria Kekaisaran untuk menjaga agar lapangan latihan istana benar-benar tertutup rapat...
Hari keempat, menjelang fajar.
Saat Hazel duduk melamun di atas ranjang, terdengar suara gedoran keras.
Ia segera bangkit dan bergegas keluar.
Louis berdiri di sana, wajahnya penuh kegembiraan, mengetuk pintu yang bahkan tak terkunci itu dengan bersemangat.
Kali ini Hazel tak lupa mengenakan topi jerami dan langsung mengikutinya.
Masih pagi buta, mereka menyelinap melintasi istana yang sunyi, dan di sana semua sudah berkumpul. Wajah ketiganya terlihat sangat letih, dengan lingkar hitam di bawah mata akibat beban pikiran, tetapi sorot mata mereka berbinar saat menunjuk ke satu bagian tubuh sang Jenderal.
Di sana, tumbuh tunas mungil berwarna hijau muda.
Akhir dari penyakit dan awal dari pemulihan selalu berdampingan, namun di antara keduanya ada garis pemisah yang jelas dan tegas. Siapa pun yang pernah merawat orang sakit dengan hati yang gelisah pasti tahu itu. Begitu seseorang menyeberang ke dunia pemulihan, kekhawatiran akan kemunduran bisa dilepaskan.
Jenderal itu jelas telah melangkah ke dunia pemulihan.
Ia tidak lagi layu. Daun-daun mati memang berjatuhan hingga cabang-cabangnya tampak kosong, tetapi itu lebih menyerupai tubuh yang ramping saja. Tak seorang pun kini bisa meragukan kesehatannya.
Racun di tanah telah tersingkir. Bayangan mimpi buruk pun terusir jauh.
Rasa lega yang mendalam, juga ikatan tak terucapkan dari orang-orang yang diam-diam telah melewati kesulitan bersama, memenuhi ruang itu dengan kehangatan. Semua tersenyum menatap pohon elm tua tersebut.
Cayenne bergumam,
“Persahabatan memang indah, tapi terkadang niat tulus untuk membantu teman bisa saja berubah jadi racun.”
Lalu ia sendiri terkejut oleh ucapannya.
Kucing hutan cerdas ini sering kali mendapat pencerahan dari hal-hal tak terduga. Dan benar, apa yang baru saja mereka alami jelas memberi suatu pelajaran.
Sigvald, si beruang hutan yang tampak garang tapi sesungguhnya penuh perenungan, juga ikut terdiam, seakan memikirkan hal yang sama.
Namun sebelum keduanya sempat mengucapkan sesuatu, Hazel sudah lebih dulu berbalik dan berjalan pergi. Punggungnya, dengan topi jerami yang menutupi kepala, segera menghilang dari pandangan.
Sigvald dan Cayenne tertegun.
“Sudah pergi?”
“Begitu saja?”
Louis menjawab,
“Memang begitu orangnya. Begitu selesai melakukan apa yang perlu, ia hanya ingin cepat-cepat kembali ke ladang kesayangannya.”
“Tapi...”
Mereka bahkan belum sempat mengucapkan terima kasih.
Cayenne menelan kembali kata-kata itu. Ucapan terima kasih tak mungkin diucapkan. Itu berarti melanggar dekret Kaisar.
Dekret bisu yang menyebalkan itu.
Sigvald juga tampak berpikiran sama, wajahnya berkerut tak senang.
Louis melihat dengan tepat. Hazel memang hanya berpikir untuk cepat kembali ke ladang. Karena tunas kecil di tubuh sang Jenderal mengingatkannya pada sesuatu.
Hari ini mungkin saatnya...
Langkahnya kian cepat.
Para pelayan yang sedang menyapu taman istana buru-buru membalikkan badan, pura-pura tak melihatnya. Untung mereka sudah tahu bahwa sosok terlarang dalam dekret bisu itu sering muncul tiba-tiba di sekitar sana. Kalau tidak, pasti mereka sudah mengira hantu bertopi jerami muncul dan jantung mereka bisa copot.
Begitu pula sepasang kekasih gelap yang bersembunyi di taman labirin dengan alasan olahraga pagi, juga seekor tupai yang menggigit buah di mulutnya—semuanya tanpa sengaja ia buat terkejut—Hazel terus melangkah kembali ke ladang di tengah taman istana.
Langsung ia menuju kebun sayurnya. Perlahan langkahnya terhenti.
Kebun kecil itu, tempat ia pertama kali datang dan berdebat dengan Chamberlain Cecil sambil mencabuti rumput liar dan menanam benih dengan penuh semangat. Kebun yang setiap hari ia rawat dengan tekun. Di sana, sepanjang barisan tanah yang rapi, kini tampak warna hijau segar.
Tunas-tunas telah muncul.
Hazel berjongkok di depannya.
Baik terong, tomat, labu, maupun jagung, semuanya berhasil bertunas dengan selamat. Hazel menyentuh lembut pucuk mungil yang menyembul dari tanah. Begitu rapuh, begitu halus.
“Bagus sekali!”
Hazel merasa terharu.
Benar, menabur benih dan menyiraminya sudah semestinya membuat benih bertunas. Namun, seperti orang tua yang selalu menganggap anaknya jenius saat melakukan hal-hal kecil, ia pun merasakan kebanggaan yang sama. Rasanya ingin segera menunjukkan dan membanggakannya pada semua orang.
Sekali lagi, ia merasa sangat bersyukur memiliki ladang seindah ini. Dan ia pun berpikir,
Harus membuat pupuk kompos.
Begitu tunas tumbuh sedikit lebih besar dan mulai berdaun, ia ingin memberinya makanan bergizi. Dengan pupuk kompos ala ladang, tanaman itu pasti akan tumbuh subur. Bukan dengan pupuk mahal dari toko...
Lalu, ia teringat sesuatu saat mengumpulkan abu kayu.
Dulu, ketika menggali tanah di bawah Jenderal, Hazel jelas melihat ada sejumlah akar rimpang yang kokoh menopang tubuh pohon. Memang, pohon itu sendiri sudah kuat dan tangguh. Tapi ada yang jelas-jelas telah menambahkan kekuatan ekstra di sana.
Ada seseorang yang diam-diam memberi pupuk.
Komandan Kesatria Kekaisaran jumlahnya ada empat. Dan setidaknya satu orang di antaranya pasti tahu cara menggunakan pupuk dengan benar.
Siapa orangnya sudah jelas.
Sahabat para pohon—seorang Elf.
***
Komandan Kesatria Pohon Suci, Sir Lorendel Blenheim, menatap terpaku ke arah pohon elm raksasa di hadapannya.
“Apa ini?”
Benda-benda bulat yang tak diketahui namanya mengelilingi Jenderal, Pusaka Nasional No. 354.
Itu jelas sayuran yang bisa dimakan. Tapi kalau itu dimaksudkan untuk menghias Sang Jenderal, rasanya mustahil untuk dipahami sebagai bentuk estetika apa pun.
Sementara itu, Iskandar menemukan tanah menempel pada halberd yang dibawanya dari Utara, dan menatapnya dengan bingung.
“Apa-apaan ini?”
Keduanya saling berpandangan dengan wajah penuh tanda tanya.
“Selama beberapa hari ini, apa yang sebenarnya terjadi di sini?”
“Entahlah.”
Lorendel mengedarkan pandangan ke sekitar lapangan latihan.
“Yang jelas mereka tidak sedang mengembangkan senjata biokimia.”
Wajah rapi seorang High Elf tampak berkerut sedikit.
Beberapa hari lalu, Louis, Ziegvalt, dan Kayen mengajukan tawaran kepadanya—apakah ia mau bekerja sama mengembangkan senjata biokimia dengan memanfaatkan air liur lengket para orc. Lorendel tentu saja menolak mentah-mentah. Air liur orc, katanya! Sejak saat itu ia bahkan tidak mendekati lapangan latihan.
Namun, ia membawa kabar yang harus segera disampaikan pada Ziegvalt.
Kebakaran besar melanda Basel. Untungnya api berhasil dipadamkan, tetapi untuk merapikan lokasi dan menyingkirkan reruntuhan, kekuatan dari Order of Thunder Knights, klan beruang buas Berserk, sangat dibutuhkan. Itulah sebabnya ia dan Iskandar datang mencarinya. Tapi tak ada seorang pun di tempat, hanya lapangan latihan yang sudah jadi begini.
“Ada yang aneh.”
Lorendel bergumam.
“Kalau dipikir-pikir, bukankah mencurigakan kalau belakangan mereka bertiga tiba-tiba akrab lagi dengan Louis? Jangan-jangan…”
“Tidak mungkin.”
Iskandar langsung menepis.
“Beberapa hari lalu mereka masih sama-sama menyalahkan Louis. Mereka bilang aku sengaja disiksa untuk hiburan, bahwa Louis sampai mengerahkan bawahannya untuk membuat sandiwara konyol.”
“Itu memang benar, tapi tetap saja…”
Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya.
Bagaimanapun, ia harus segera menyampaikan berita penting itu pada Ziegvalt. Orang suruhannya mengatakan Ziegvalt berangkat pagi-pagi sekali menuju istana, tapi di mana dia bersembunyi sekarang, tidak jelas.
Iskandar dan Lorendel keluar dari lapangan latihan. Mereka berkeliling mencari Ziegvalt hingga akhirnya tiba di hutan sunyi di belakang Istana Matahari.
“...Aku benar-benar ingin gali tanah terus sembunyi waktu itu!”
“Aku juga lihat, mukamu merah padam.”
Suara Kayen dan Louis terdengar. Lalu terdengar juga gumaman rendah tanda setuju dari Ziegvalt.
“Kau yang bilang waktu itu, kan? ‘Dia pasti segera binasa. Kalau tak ada yang memperhatikan, dia akan kering dan mati...’ Wah, kau begitu bersemangat waktu itu. Tapi siapa sangka justru dia mendapat bantuan!”
Louis menambahkan. Walau subjeknya sengaja dihilangkan, jelas mereka sedang membicarakan pemilik tanah di jantung istana.
Tapi… bantuan apa maksudnya?
Iskandar dan Lorendel saling memandang heran.
Jangan-jangan…
Mereka buru-buru mendekat.
Sementara itu, Louis, Kayen, dan Ziegvalt masih terus berbicara tanpa sadar.
“Dengan kejadian ini semua pasti sadar. Makanya, jangan sembarangan bicara soal sesuatu yang tidak kau ketahui.”
“Benar. Ngomong-ngomong, siapa yang dulu membicarakan soal kotoran sapi itu, ya?”
“……”
“Pokoknya, yang ingin kukatakan ini. ‘Persahabatan memang indah, tapi kadang niat tulus untuk menolong teman justru bisa berubah jadi racun.’ Selama ini kita selalu membela Is tanpa syarat. Tapi mungkin justru itu racun baginya.”
Iskandar dan Lorendel terhenti di tempat.
Kayen melanjutkan.
“Bukankah begitu? Saat itu kami pikir keputusan mengeluarkan larangan bicara adalah hal yang tepat. Tapi ternyata tidak. Sekarang aku sungguh menyadarinya. Kalau salah langkah, kita bisa saja jadi seperti pupuk boraks bagi Is.”
“Benar.”
Ziegvalt pun menyetujui.
“Aku cukup sepakat. Pertanian ternyata bisa memberi pencerahan begini. Tidak buruk juga kalau istana punya ruang seperti itu.”
“Ya kan? Lagipula siapa bisa mengusirnya dengan paksa? Dia sedang menuntut hak sah atas tanah itu, dan melakukannya dengan cara yang sangat bermanfaat bagi orang lain.”
“Lho! Aku sudah bilang berkali-kali! Tapi waktu itu kalian sama sekali tidak mau dengar!”
Louis bersorak gembira.
“Tapi sekarang akhirnya kalian mengerti. Tinggal bagaimana kita membujuk Is…”
“Tak perlu dibicarakan lagi.”
Suara asing terdengar dari belakang. Ketiganya tersentak kaget.
Lorendel berdiri tegak. Wajahnya pucat pasi, matanya bergetar karena rasa dikhianati.
“Bagaimana bisa begini? Kalian tahu betapa Is tersiksa karena masalah itu!”
“Itu….”
Louis menggigit bibir, gelisah.
“Kami sudah meluruskan kesalahpahaman. Ini hal yang hanya bisa dimengerti kalau kau melihat langsung. Is, kau juga—”
“Apa yang tidak bisa dimengerti!”
Iskandar membentak.
“Jadi bukan lelucon? Kalian sungguh-sungguh? Itu orang yang dengan jelas aku larang untuk berhubungan! Dan sekarang kalian, yang katanya orang-orang terdekat kaisar, malah bersekongkol dengannya?”
Louis mengangkat bahu.
“Kau sedang terlalu marah. Apa pun yang kami katakan sekarang tak akan masuk ke telingamu. Tidak ada gunanya bicara lagi.”
Lalu ia berbalik dan pergi. Ziegvalt dan Kayen diam-diam mengikutinya.
“……”
Iskandar terdiam, lidahnya kelu.
Usia dua puluh dua memang bukan lagi seperti anak dua belas yang hidupnya bergantung penuh pada teman. Tapi juga bukan usia tiga puluh dua, ketika seseorang sudah punya dunia kokoh miliknya sendiri.
Dan ini bukan sekadar teman biasa. Mereka adalah sahabat masa kecil yang bersama-sama menempuh kerasnya istana di bawah mendiang kaisar. Mereka adalah rekan seperjuangan yang berkali-kali berbagi medan tempur.
Tapi kini, bukan karena benturan politik, bukan karena perbedaan posisi sosial, melainkan gara-gara seseorang mencoba “nempel tanah” tepat di samping istana kekaisaran—sebuah persoalan yang jelas-jelas hitam putihnya—mereka berselisih.
“Mereka semua jelas sudah tidak waras! Aku benar-benar tak bisa mengangkat kepala lagi!”
Lorendel bahkan lebih marah daripada dirinya. Namun anehnya, bukannya lega, Iskandar justru merasa ada keganjilan yang sulit diusir.
Ia tidak percaya pada takdir. Wajar saja—jika kau salah satu dari tiga pendekar pedang terbaik di dunia, kau tak butuh kata-kata seperti itu.
Namun ada firasat tajam yang bergerak di dalam dirinya.
Ada sesuatu yang sedang terjadi di sekeliling Mayfield tanpa ia ketahui. Tiga sahabatnya sudah berpihak padanya, bahkan sampai berniat membujuk dirinya.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Kepalanya mulai berdenyut sakit. Ia merasa ini akan jadi masalah besar.
Bahkan sebagai Kaisar, katanya, tak bisa begitu saja mengusir seorang bangsawan wanita yang membuka salon di atas tanah pribadinya. Ia harus membuatnya pergi dengan kemauannya sendiri.
Dan akhirnya, sebuah rencana terlintas dalam benaknya.
Ia kembali ke ruang kerjanya dan memanggil seorang pelayan.
“Panggil Sage Rastaban.”
“Baik, Paduka.”
Tak lama, sang bijak datang tergesa-gesa, alisnya hampir terbang karena terburu-buru. Wajahnya penuh semangat.
“Apakah akhirnya Baginda mengizinkan eksperimen itu? Selama ini Baginda resah karena tak ada lokasi yang tepat.”
Iskandar menjawab.
“Lakukan saja di dalam istana. Tepat di atas kebun, sebelah istanaku.”
Sage Rastaban terbelalak.
“Apa? Kalau begitu pemandangan dari jendela Baginda hanyalah hujan terus-menerus….”
“Lebih baik itu daripada bau pupuk kandang, bukan?”
“……!”
Sang Sage langsung tersadar.
“Benar-benar bijak, Baginda. Jika kawasan itu ditetapkan sebagai wilayah eksperimen meteorologi negara, sekalipun lintah paling keras kepala akan menyerah. Siapa yang bisa bersikeras bertani di tanah yang diguyur hujan tanpa henti?”
Iskandar memotong bicaranya.
“Efeknya pasti, kan?”
“Tentu saja! Teknologi hujan buatan kami sempurna. Dengan itu, kami bisa mengatasi bencana seperti kekeringan yang menimpa daerah Valhash. Bahkan juga tragedi yang baru saja kami dengar pagi tadi… kebakaran hutan di Basel. Teknologi ini adalah solusi terbaik.”
Iskandar mengangguk.
Namun baru saja hendak berbicara, rasa firasat buruk melintas di dadanya. Ia merasa langkah ini akan membawa kemalangan besar.
Tidak mungkin. Hanya ilusi belaka.
Ia menyingkirkan perasaan itu.
“Baiklah. Aku izinkan eksperimen itu. Laksanakan segera.”
***
Pada saat yang sama.
Zigvald baru saja terlambat menerima kabar, lalu buru-buru meninggalkan istana dan pulang ke rumah. Saat sedang menuntun kuda tunggangannya keluar, ia berpapasan dengan adik kembarnya yang baru berusia tujuh tahun. Mereka mendekat dengan langkah ragu-ragu.
Lidahnya benar-benar kelu…
“Di Basel terjadi kebakaran hutan, aku harus segera pergi.”
“Ya, kami tahu, Kak.”
Anna-Sophia menjawab dengan tegar sambil menahan air mata. Isabella pun berusaha keras menahan tangis, sehingga matanya yang sudah besar semakin membesar.
Dua anak itu tampak seperti boneka gula di atas kue—begitu mungil dan manis—dengan rambut pirang ikal yang tergerai dari bawah topi bertepi lebar, dan gaun muslin yang mereka kenakan. Zigvald bisa membayangkan betapa girangnya mereka ketika mempersiapkan piknik ini.
Ia menatap kedua adiknya dengan rasa iba.
Anak-anak keluarga Sachsen-Spiegel memang lemah dan rentan sebelum berusia sepuluh tahun. Itu sudah menjadi takdir keluarga.
Ayah mereka, yang namanya tersohor karena memburu monster-monster mengerikan, juga kedua bibi mereka yang menunggang kuda perang dan mengayunkan gada baja demi melindungi rakyat wilayahnya—semuanya pernah selemah kapas sebelum mencapai usia itu. Dari belasan saudara kandung, hampir semuanya meninggal akibat penyakit ringan seperti flu atau tetanus. Hanya mereka bertiga yang berhasil bertahan.
Dan kini, adik kembar yang lahir terlambat itu sedang melalui masa paling berat. Satu-satunya hiburan mereka adalah piknik musim semi.
Musim Maret di ibu kota Avalon terkenal dengan perbedaan suhu yang ekstrem antara siang dan malam. Bulan April selalu banyak hujan. Hanya Mei yang paling sempurna. Hampir sebulan penuh cuaca cerah. Pada hari kerja yang tenang, di taman istana yang aman, ditemani kakak paling dapat dipercaya, mereka bisa merasakan seolah-olah benar-benar berpetualang di hutan. Itu adalah momen paling membahagiakan.
Dengan kenangan itu saja, Anna-Sophia dan Isabella bisa bertahan hidup nyaris terkurung di rumah sepanjang tahun. Maka tak heran bila mereka begitu menantikannya…
Tapi kali ini, memang tidak ada pilihan lain.
Kondisi di Basel benar-benar kacau, dan bara api masih menyala. Menangani bencana seperti itu adalah tugas Ksatria Menara Petir.
“Maafkan aku. Nanti aku coba ajukan cuti lagi.”
Zigvald menghela napas panjang.
Saat itu juga—
Seseorang melangkah masuk ke halaman depan rumah. Semua orang menoleh dengan mata terbelalak.
“Kalau soal cuti, aku yang sudah mengajukannya. Kau bisa kembali setelah makan siang.”
Lorrendel berkata begitu tanpa menatap Zigvald.
Meski tadi pagi sempat berselisih karena hal sepele… tetap saja Zigvald adalah sahabatnya. Ia tidak bisa membiarkannya sendirian.
“Tuan Blenheim!”
Dua gadis kecil itu langsung bersorak gembira, berlari ke arahnya. Sekejap saja wajah mereka yang muram berubah cerah berbunga.
“Sepertinya malah lebih baik begini, ya.”
Zigvald tersenyum pahit.
Ia melirik sekilas sahabatnya yang masih enggan menatap dirinya, lalu naik ke atas kuda dengan hati yang jauh lebih ringan. Bersama para ksatria Menara Petir yang sudah menunggu, ia segera berangkat menuju Basel.
Sementara itu, Lorrendel mengangkat Isabella ke dalam pelukan, dan menggenggam tangan Anna-Sophia dengan sebelah tangan lainnya.
“Tak ada hari yang lebih sempurna untuk piknik selain hari ini. Cuacanya benar-benar bagus.”
“Hoho, memang betul. Cuaca hari ini sungguh indah.”
Itu adalah suara nenek Esmeralda yang tertawa kecil. Perempuan tua dari ras Warwolf itu sudah setua Pohon Suci bangsa Elf, dan kata-katanya tak pernah sekali pun meleset.
Lorrendel tersenyum menanggapi.
“Ya. Hari ini benar-benar cerah.”
***
Anna-Sophia sangat bahagia.
Walau kakak kandungnya tak bisa ikut, Lorrendel datang menggantikan. Dan bagi Anna-Sophia, Tuan Lorrendel Blenheim adalah ksatria paling gagah di dunia.
Lebih dari itu, ia tak pernah sekalipun keliru membedakan dirinya dari si kembar Isabella, dan tak pernah lupa siapa yang lebih tua. Bahkan barusan, Isabella digendong sementara dirinya hanya digandeng—sebuah pengakuan halus bahwa dialah sang kakak.
Maka, piknik ini jelas akan sempurna.
Matahari bersinar bening, awan seputih kapas. Mereka melewati kolam istana yang indah, seperti lukisan yang tergantung di kamar ibu mereka. Lalu melewati istana megah baru yang dibangun oleh Yang Mulia Kaisar, sahabat kakaknya. Akhirnya mereka masuk ke hutan kecil yang menempel langsung dengan taman besar istana.
Di situlah lokasi pikniknya.
“Tempat ini bagus.”
Lorrendel menggelar kain kotak-kotak di bukit kecil yang penuh bunga anemone ungu. Keranjang yang dibawa dari rumah pun penuh dengan sandwich dan makanan lezat.
Semuanya benar-benar sempurna, persis seperti yang dibayangkan Anna-Sophia.
Setelah puas memakan kue madu hingga kenyang, kedua gadis kecil bermain masak-masakan dengan Lorrendel. Kemudian mereka menggambar. Saat ingin memamerkan hasilnya, mereka mendapati sang ksatria sedang bersandar di pohon dengan buku di tangan—dan sudah tertidur.
“Pasti lelah sekali.”
“Menjadi komandan ksatria memang berat.”
Kedua gadis itu saling berpandangan penuh arti.
“Sekarang waktunya!”
Mereka berjalan perlahan, mendekat tanpa suara, lalu meraih segenggam rambut perak Lorrendel. Sejak dulu mereka sangat ingin mencoba mengepang rambutnya seperti untaian gandum.
Tangan mungil mereka bergerak cepat dan hati-hati.
Padahal, Lorrendel sebenarnya tidak tertidur. Ia hanya memejamkan mata sebentar. Namun melihat kedua anak itu begitu senang, ia berpura-pura tidur lebih lama. Sampai akhirnya, benar-benar terlelap juga. Beberapa hari terakhir ia kurang tidur, terlalu sibuk memikirkan masalah Luis. Dan dengan sinar matahari yang hangat serta suasana tenang, kantuk pun tak tertahankan.
Anna-Sophia dan Isabella terus berusaha mengepang, tapi hasilnya tidak sesuai bayangan. Rambut itu tidak jadi menyerupai bulir gandum, sehingga mereka menyerah.
“Sudah, ayo kita lakukan hal lain.”
Kali ini, mereka memutuskan membuat mahkota bunga untuk nenek Esmeralda. Mereka pun berlari-lari memetik anemone ungu, daisy putih, frisia kuning—berbagai bunga yang bermekaran di sana-sini.
Namun tiba-tiba, sesuatu jatuh di dahi Anna-Sophia. Ia mendongak.
Butiran air dingin menetes ke hidung dan pipinya. Langit yang tadinya biru jernih, kini menghitam kelam.
Kedua gadis kecil itu saling berpandangan dengan wajah pucat.
“Hujan!”
Dan seketika itu juga, hujan deras mengguyur.
Pandangan mereka langsung kabur. Mereka bahkan tak tahu lagi sedang berada di mana. Rupanya terlalu jauh berjalan saat memetik bunga.
“Bagaimana ini!”
“Ke sini, cepat!”
Anna-Sophia menggenggam erat tangan adiknya dan berlari. Mereka harus menemukan bangunan untuk berteduh. Tapi sejauh mata memandang, tidak ada bangunan sama sekali.
Seharusnya kalau sejauh ini sudah terlihat istana kaisar! Namun yang mereka temui hanyalah semak belukar dan pepohonan lebat.
Mereka tidak sadar—seharusnya belok untuk menuju istana. Karena panik, mereka hanya berlari lurus tanpa arah, hingga akhirnya turun dari bukit dan masuk ke taman besar istana…
“Kak… aku kedinginan…”
Bibir Isabella membiru. Anna-Sophia segera memeluknya erat. Tubuh adiknya terasa dingin dan kaku, seperti memeluk kayu basah. Saat melihat kuku-kukunya yang sudah ungu, ia sadar ini berbahaya.
Mereka tak boleh lagi terus kehujanan.
Anna-Sophia menyeret Isabella masuk ke semak-semak, meski di dalamnya hujan tetap mengguyur tanpa ampun. Ia merentangkan bahu dan lengannya untuk menahan air, melindungi adiknya sebisanya. Lalu ia berteriak.
“Tolong kami! Ada siapa saja, tolong!”
Namun tak ada jawaban.
“Tolong! Tolong kami, kumohon!”
Teriakan seorang anak kecil menggema di atas taman yang diselimuti hujan. Sementara itu, langit kelabu semakin pekat, diselimuti awan hitam yang cepat menyebar.
***
Hazel sedang bekerja di ladang, sama sekali tak menyadari apa yang terjadi di atas kepalanya.
Benar-benar tidak ada firasat apa pun. Sampai sesuatu yang dingin jatuh pluk di tengkuknya.
“Hah?”
Dalam sekejap, titik-titik hitam bermunculan di tanah. Tanah basah dan aroma tanah yang khas menyeruak.
Hazel panik.
Pagi ini, embun putih masih menempel di ladang. Langit bersih tanpa selembar awan. Semua tanda memberi tahu bahwa hari ini akan cerah.
Tapi tiba-tiba hujan turun. Bukan hujan biasa, melainkan hujan deras yang mengguyur tanpa ampun. Dari arah luar pagar ladang, dekat air mancur, terdengar suara teriakan panik dan langkah-langkah orang yang berlarian mencari tempat berteduh.
Ini gawat.
Tanah yang tadi ia rawat dengan lembap namun tetap gembur, kini sudah berlubang-lubang.
Hazel buru-buru berlari ke gudang dan mengambil papan kayu. Di tengah hujan deras, ia menancapkannya untuk menahan tanah dan melindungi bibit muda agar tidak hanyut.
Tiba-tiba, terdengar suara teriakan.
Awalnya Hazel mengira hanya halusinasi, tapi suara itu terdengar lagi. Kali ini jelas sekali, penuh keputusasaan.
Seorang anak kecil?
Hazel melempar papan yang sedang ia pegang dan berlari.
Hujan deras membuat pandangan tertutup. Air masuk ke matanya, membuatnya nyaris tak bisa melihat. Ia terus mengusap wajah, berusaha menembus hujan yang menggelegar di telinga. Saat itu, lagi-lagi terdengar jeritan melengking.
“……Tolong!”
Di sana!
Hazel langsung berlari menembus taman labirin. Dari balik dinding hijau, ia melihat sehelai kain putih yang tersangkut keluar. Segera ia menyingkap semak-semak.
“Tolong… selamatkan…”
Dua anak perempuan kecil meringkuk di sana. Mereka basah kuyup, wajahnya pucat pasi, tampak sangat mengenaskan.
“Ya Tuhan….”
Hazel ternganga. Seorang ia gendong, seorang lagi ia tarik, lalu dengan panik berlari pulang ke rumah.
Setelah diletakkan di ranjang, keadaannya terlihat jauh lebih parah.
Mata mereka kehilangan fokus. Bibir membiru sepekat tinta, bawah mata menghitam kebiruan. Tubuh keduanya menggigil hebat seperti daun kering tertiup angin. Anehnya, anak yang sempat berteriak minta tolong justru tampak lebih buruk kondisinya.
Ini benar-benar berbahaya!
Hazel segera menyalakan perapian dan melemparkan kayu bakar ke dalamnya. Ia bahkan memasukkan batu-batu yang tadi diambil dari ladang. Satu-satunya kain besar di rumah hanyalah selimut. Untung belum dicuci hari ini—ia pun cepat-cepat menggunakannya untuk mengeringkan tubuh anak-anak itu.
Ia menanggalkan pakaian basah mereka, lalu memakaikan baju wol tebal dari koper perjalanan. Setelah itu, ia membungkus mereka dengan selimut dan mengambil batu panas dari perapian. Batu hangat itu ia letakkan di sekujur tubuh mereka. Tapi meski begitu…
“Dingin… dingin sekali…”
Anak-anak itu masih tak sadarkan diri, menggigil hebat.
—Sampai ke tulang pun seperti tertancap es!
Ucapan favorit Nyonya Martha terlintas di kepala Hazel.
……Perlu sesuatu.
Sebuah suara seperti bergema dalam benaknya.
Itu yang dibutuhkan!
Hazel pun bergegas keluar.
Anak-anak ini butuh obat. Bukan sekadar obat flu biasa, melainkan ramuan khusus.
Nyonya Martha pernah mengajarkan:
“Kalau kau punya rumah, pertama-tama tanamlah foxmint.”
Foxmint adalah sejenis herba, keluarga dari peppermint liar.
Nyonya Martha selalu berkata:
“Seorang petani Belmont harus selalu menyimpan biji foxmint di kalungnya. Sekalipun jadi pengemis yang tidur di jalan, kau tetap harus menanam foxmint di tanah dekat koran bekas yang kau bentangkan. Bahkan kalau dokter bilang umurmu tinggal sehari, malam itu juga kau tetap harus menanamnya.”
Tak peduli apa pun, tanamlah dulu.
Begitulah indoktrinasi Martha. Karena itu, setiap kali Hazel pindah rumah kontrakan, ia selalu menaruh pot kecil di jendela dan menanam foxmint. Begitu punya ladang baru pun, hal pertama yang ia lakukan adalah menabur biji foxmint di kebun herba dekat dapur.
Namun, sebenarnya bukan foxmint itu sendiri yang diyakini Martha, melainkan ramuan yang dibuat darinya.
Sirup Peziarah.
Itulah resep rahasia yang diwariskan turun-temurun di kalangan para peziarah. Sirup itu mampu melancarkan pernapasan, memperkuat daya tahan tubuh, menetralisir racun, dan yang terpenting: menjaga suhu tubuh agar tetap hangat meski harus berjalan di tengah hujan deras. Flu separah apa pun bisa dipukul mundur seketika.
Nyonya Martha selalu membuatnya banyak-banyak, menjadikannya obat wajib di rumah.
Hazel sendiri belum sempat membuatnya.
Foxmint memang mudah tumbuh. Selama cukup cahaya, tanaman itu bisa hidup tanpa sering disiram. Tapi Hazel baru menanamnya belum lama. Tingginya baru sebatas satu jengkal dari tanah.
Padahal, ia hanya butuh satu sendok saja!
Hazel kalut, mengobrak-abrik kebun herba di tengah hujan deras.
Untuk ramuan yang manjur, dibutuhkan daun dengan bagian bawah berkilau keperakan, menggulung seperti ekor rubah. Daun muda tidak ada gunanya. Menurut perhitungannya, setidaknya butuh lima lembar daun.
Ia menyibak batang-batang basah, berdoa keras-keras.
Tolong, semoga ada lima.
Satu. Dua. Tiga. Empat. Dan berhenti di situ.
Tak cukup.
Tangannya bergetar saat terus mencari. Hingga akhirnya—di balik daun-daun yang saling menumpuk—ia menemukan sehelai yang kuat dan sempurna.
“Haaah!”
Hazel menarik napas lega. Rasanya seperti sebuah keajaiban. Saat itu juga, ia benar-benar percaya bahwa ada yang sedang menjaga kedua anak itu dari atas sana.
“Terima kasih… terima kasih banyak.”
Ia mengucap syukur sebagai seorang petani sejati, lalu segera kembali ke rumah.
Anak-anak itu masih menggigil tak berdaya.
Tolong, bertahanlah sedikit lagi.
Hazel mengiris daun foxmint dengan pisau. Menurut aturan, daun itu harus diseduh dengan air mendidih sampai sarinya keluar. Tapi ia tak punya waktu. Ia mengirisnya secepat kilat agar sari herba bisa keluar, lalu menambahkan air secukupnya. Setelah disaring, ia mencampurnya dengan madu yang ada.
Jadilah sirup Peziarah versi kilat.
Hazel segera menghampiri kedua anak itu dengan ramuan di tangannya.
***
AnnaSophia kedinginan.
Hanya itu saja yang terlintas dalam pikiran. Di mana dirinya berada, siapa dirinya, semua terasa kabur dan hanya kebekuan yang memenuhi kesadarannya.
Saat itu, seseorang membuka mulutnya dan meneteskan sesuatu. Ia tidak tahu apa itu, tapi aroma madu langsung tercium. Jadi ia menelannya.
Keheningan dingin dalam tubuhnya langsung digantikan oleh sesuatu yang hangat yang mengalir melewati tenggorokannya.
Seketika rasa panas menyebar cepat. Rasanya mirip saat ia dulu iseng menyentuhkan lidahnya pada minuman keras yang ayahnya simpan di ruang kerja. Bedanya, kalau waktu itu lidahnya terasa terbakar dan getir, kali ini justru sebaliknya. Hawa panas menjalar deras, menghangatkan tubuh dari dalam.
Hidungnya terasa lega, lalu aroma lain menyeruak.
Ini bau mint.
Aroma yang dulu ia benci, tapi anehnya sekarang menenangkan.
Hawa panas itu turun sampai ke perut. Di sana, ia menetap, bagaikan bara api yang menyala, menghangatkan tubuhnya dari inti hingga ke ujung.
Rasa dingin pun lenyap.
AnnaSophia mulai sadar. Di sampingnya, Isabella juga menggeliat dan menggelengkan kepala, perlahan sadar dari kondisi pingsan.
Keduanya mendapati diri mereka duduk di depan tungku dengan mantel besar sampai lutut, tubuh terbungkus rapat dalam selimut.
AnnaSophia mengucek mata.
Tempat ini aneh.
Apakah ini rumah? Ia belum pernah melihat rumah sekecil ini sebelumnya. Dan perempuan yang ada di depannya…
“Siapa…?”
Ia hendak bertanya, tapi perempuan itu buru-buru menutup mulutnya dengan panik.
“Kalian tidak boleh bicara padaku. Dan kalian harus berpura-pura kalau aku tidak terlihat.”
Mata kedua anak itu membelalak.
Mereka nyaris tak percaya.
Seorang peri! Mereka benar-benar menemukan rumah peri di tengah hutan!
Tentu saja Hazel tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh dua anak itu.
“Waaah! Hebat sekali!”
“Ini pasti mimpi!”
Kedua anak yang rambutnya masih basah dan hidungnya masih tersumbat itu tiba-tiba bersemangat entah kenapa.
Syukurlah, bahaya terlewati.
Hazel agak lega, tapi ia tak bisa mengendurkan kewaspadaan. Api kecil yang baru ia hidupkan harus terus dijaga agar menyala.
“Mereka harus makan sup panas sebanyak mungkin.”
Hazel menyingsingkan lengan bajunya.
Kedua anak itu sama sekali tidak tahu. Di luar sana, hujan badai masih mengguyur. Lorendel sedang dilanda kepanikan, wajahnya pucat pasi ketika berlari ke sana kemari, putus asa mencari mereka…
***
Lorendel terbangun ketika hujan deras tiba-tiba mengguyur. Refleks ia meraih sebelahnya, tapi kembar itu tidak ada.
“AnnaSophia? Isabella?”
Tidak ada jawaban.
Yang terlihat hanyalah beberapa orang yang berlarian panik menghindari hujan deras, tapi dua anak kecil dengan topi lebar itu tidak tampak.
“AnnaSophia! Isabella!”
Ia berteriak sekuat tenaga, tapi hanya suara hujan deras yang menjawab. Lorendel berlari panik, menyisir taman, hingga ke pintu hutan, lalu bergegas ke Istana Kekaisaran. Ia menahan seorang penjaga.
“Kau lihat adik kembar Sir Siegfalt?”
“Tidak, Tuan. Mereka tidak ke arah sini.”
“Segera kerahkan orang untuk menyisir!”
Ia kembali mencari dengan putus asa.
“AnnaSophia! Isabella!”
Suara tenggorokannya serak, tapi tetap tidak ada jawaban. Ia tidak bisa mengerti. Langit sebelumnya cerah tanpa tanda hujan, kenapa tiba-tiba badai sebesar ini?
Tidak. Itu hanya alasan.
Ia tidak bisa memaafkan dirinya yang lengah sampai tertidur.
Mereka baru tujuh tahun! Ia seharusnya tidak melepaskan perhatian walau sekejap pun.
Mereka bahkan bukan adiknya sendiri. Mereka adik dari sahabatnya. Jika sesuatu menimpa mereka karena dirinya…
Kegelapan menutup penglihatannya.
“AnnaSophia!”
Ia terus berlari, tapi kembar itu tetap tak ada.
Waktu sudah terlalu lama. Hujan deras bisa menghisap panas tubuh dengan cepat. Apalagi pada anak sekecil itu. Mustahil mereka masih bertahan.
Bayangan buruk memenuhi kepalanya.
Dua tubuh mungil yang tergeletak di lumpur. Mata biru yang keruh menatap kosong, rambut pirang kusut berlumuran tanah, tubuh kecil kaku membeku dalam posisi menyedihkan.
Gambaran itu menyiksa Lorendel, membuatnya hampir runtuh.
Mereka anak-anak yang begitu manis…
Dan semua salahnya. Ia tidak akan pernah bisa menebus dosa ini. Bahkan kematian pun tak cukup. Bagi bangsa Elf, penderitaan batin jauh lebih menyiksa daripada siksaan fisik.
Di tengah siksaan itu, sesuatu membuatnya berhenti mendadak.
Sebuah pita merah muda, jatuh di tanah berlumpur.
Matanya terbelalak.
Kembar itu pernah lewat di sini!
Ia memandang sekeliling. Bukan arah yang tadi ia sisir. Maka, mereka pasti ke depan.
Ia berlari sekuat tenaga menembus hujan.
Kabut tebal menyelimuti, tapi akhirnya terlihat pagar kayu dan sebuah rumah kecil.
Lorendel terhenti.
Rumah itu selalu ia hindari. Hanya menatapnya saja membuatnya merasa sedang melanggar hukum. Namun, sekarang bukan waktunya memikirkan itu.
Ia bergegas membuka pintu.
“Tidak boleh! Kalau makan terlalu banyak, kalian tak bisa kembali ke dunia kita. Kalian akan tinggal selamanya di negeri peri.”
“Tapi rasanya enak sekali, bagaimana bisa berhenti!”
Suara riang terdengar.
Api tungku menyala, aroma hangat dan gurih memenuhi rumah.
AnnaSophia dan Isabella duduk di lantai, meniup sendok kayu lalu dengan lahap menyantap sup krim kental. Di belakang mereka, pemilik rumah sedang mengeringkan rambut keduanya dengan handuk.
Lorendel terpaku.
Seluruh ketegangan yang mencengkeram tubuhnya seketika putus. Kepalanya berputar, dan ia jatuh terduduk di lantai.
“……?”
Hazel berhenti, menatap kosong.
Yang masuk adalah seorang High Elf berambut perak pucat berkilau, begitu menawan sampai ruangan terasa terang. Namun wajahnya seolah dunia runtuh. Melihat kembar itu selamat, ia akhirnya roboh karena lepas kendali. Hazel menatapnya heran, lalu…
“Sir Blenheim!”
Kembar itu berseru riang.
Ternyata mereka saling kenal.
Hazel pun segera paham. Jadi ia kehilangan dua anak ini, dan wajah penuh penderitaan itu kini masuk akal.
Tak apa, semua sudah baik-baik saja.
Ia hendak menenangkan, tapi…
Kembar itu lebih dulu berkata.
“Kakak peri yang menemukan kami dan membawa kami ke sini!”
“Kakak peri juga memberi obat, mengeringkan pakaian kami, dan memasak sup krim terenak di dunia!”
Mereka bercerita dengan bangga.
Tentu, mereka tahu bertemu peri harus dirahasiakan, tapi High Elf masih kerabat peri, jadi itu tidak termasuk rahasia… begitu mereka berpikir polos.
“Begitu… rupanya…”
Lorendel menatap sekitar.
Api menyala bukan di perapian, melainkan di oven. Selimut, mantel, semuanya dipakai sembarangan. Batu panas berserakan.
Tindakan darurat yang cepat.
Namun itu saja tak mungkin memulihkan mereka begitu cepat.
Pandangan Lorendel tertumbuk pada meja. Ada sisa tumbukan daun, dan sebuah botol madu tergeletak.
Pengobatan tradisional?
Ia menatap pemilik rumah.
Perempuan itu hanya sebentar menatap anak-anak yang berceloteh, lalu kembali sibuk mengeringkan rambut mereka. Seolah berkata, biar dunia runtuh, aku tetap lakukan tugasku.
Sangat berbeda dari bayangan yang ia dengar lewat rumor.
Bajunya masih basah, rambut bawahnya juga kuyup seperti hitam. Di lengannya ada bekas merah terbakar, mungkin saat ia terburu-buru mengambil batu dari oven.
Lorendel panik.
“Ah, itu…”
“Di situ.”
Perempuan itu menunjuk ke arah topi jerami yang tergantung di oven.
“Saya ingin menaruhnya di depan, tapi sedang tidak bisa. Jadi, tolong bicara lewat itu.”
“……”
Lorendel terdiam.
Ia tahu aturan komunikasi dengan orang yang terkena larangan berbicara. Ia sendiri pernah mencemooh aturan itu.
Namun kini, setelah menyaksikan semua…
Wajahnya terasa panas.
Semua orang meremehkannya. Bahkan dirinya pun ikut menghina.
Tapi justru perempuan inilah yang menyelamatkannya dari bencana besar. Tidak hanya dirinya, tapi juga sahabat-sahabatnya. Utang budi sebesar ini tak mungkin bisa dibalas.
Lorendel menunduk, malu.
Tapi suasana itu tak berlangsung lama.
Brak!
Pintu kembali terbuka, dua sosok masuk terburu-buru.
“Kalian baik-baik saja, Topi Jerami!”
Louis dan Cayenne datang.
Mereka berhenti mendadak, bingung melihat pemandangan dalam rumah.
“AnnaSophia! Isabella! Kenapa kalian ada di sini?”
“Oh! Hari ini hari piknik, ya ampun! Jadi…”
Keduanya terkejut.
Mereka sebenarnya sedang melatih prajurit di barak ketika kabar aneh datang: hujan deras turun hanya di sekitar taman kerajaan.
Mencurigakan, jadi mereka langsung menyelidiki. Setelah tahu kebenarannya, mereka segera menyusul, sadar bahwa temannya telah melakukan tindakan gegabah.
Namun, yang mereka temukan sungguh di luar dugaan.
Mereka cepat menyambungkan benang merah. Lorendel, demi membantu Siegfalt, menjaga anak-anak—dan lalu ini terjadi.
Ketiganya bertukar pandang.
Bayangan betapa tipisnya mereka nyaris terjerumus ke tragedi membuat bulu kuduk berdiri.
“Hampir saja jadi malapetaka!”
“Untung ada rumah ini…”
Kembar kembali bersemangat, mendengar Louis dan Cayenne membicarakan “petualangan kecil” mereka. Ketika ingat bahwa Cayenne juga keturunan peri, mereka menariknya ke depan Hazel.
“Bilang salam pada Peri Penjaga Hutan ini.”
“Eh, ehm…”
Cayenne kikuk.
“Dia bukan peri. Sudah, cukup sampai di sini. Tidak seorang pun boleh melihat atau bicara tentang pemilik rumah ini.”
“Kenapa?”
“Itu perintah Kaisar.”
“Kenapa?”
“Karena… beliau menganggapnya orang berbahaya yang bisa merusak negeri.”
Kembar bertukar pandang.
“Itu tidak benar.”
“Tidak benar sama sekali…”
Louis berdeham.
“Benar, kan? Anak-anak pun tahu, sementara orang dewasa pura-pura tidak tahu.”
Ia melirik Lorendel tajam. Hazel, yang masih sibuk mengeringkan rambut anak-anak, ikut-ikutan menoleh.
Lorendel makin tertekan.
“Bukan begitu…”
“Itu melanggar hukum. Harus bicara lewat Topi Jerami.”
Cayenne menambahkan.
Lorendel terdiam, wajahnya mulai menegang.
“Keterlaluan.”
“Kami sudah bilang, kan?”
“Kau punya hak yang sah.”
“Kami sudah bilang!”
Louis menatap sahabatnya seolah berkata: Akhirnya kau sadar, meski telat.
“Dan ini belum seberapa. Tahu apa yang lebih parah?”
Ia lalu membisikkan detail kejadian.
Lorendel terperanjat. Pandangannya beralih dari kembar ke Hazel, lalu ia langsung bangkit dan berlari keluar dengan wajah penuh amarah.
Lorendel marah!
Louis dan Cayenne saling pandang. Napas mereka masih terengah, tapi Louis cepat berkata:
“Topi Jerami, sampaikan ke tuanmu: kami sebenarnya datang untuk membantu. Pasti sedang mencemaskan ladang yang kehujanan.”
“Ah…”
Hazel melirik ke luar jendela.
Ladang benar-benar porak-poranda. Hatinya perih, tapi ia sudah memilih, saat melempar papan demi menyelamatkan anak-anak itu.
“Bibit-bibit pasti rusak parah… tapi tidak apa-apa. Alam memang seperti itu.”
“Sayang sekali, bukan alam, tapi ulah manusia,” kata Louis.
“……?”
Hazel menatap bingung.
Apa maksudnya hujan bukan fenomena alam?
Sementara Hazel masih tercengang, Cayenne menatap kosong ke udara dan bergumam seolah sendiri.
“Tak kusangka Kaisar benar-benar menetapkan kebun raya sebagai lokasi eksperimen hujan buatan. Dan kebetulan sekali, di bawahnya ada salon istana yang ia benci…”
“Apa…?”
Hazel tertegun. Terlalu konyol sampai sulit percaya.
“Itulah sebabnya kami marah. Lorendel sudah pergi, kami juga harus menyusul. Topi Jerami, katakan pada tuanmu, tolong jaga anak-anak sedikit lebih lama!”
Mereka pun bergegas pergi, meninggalkan Hazel yang masih linglung.
Di depan istana utama, mereka bertemu Siegfalt.
Sejak tadi, ia merasa resah saat di lapangan, sehingga segera meninggalkan tugas pada bawahannya dan buru-buru kembali.
Melihat wajah tegang kedua sahabatnya, jantungnya berdegup kencang. Ia langsung tahu ada masalah besar di acara piknik musim semi.
“Siapa? Anak-anak? Atau Lorendel?”
“Tenang, semuanya selamat.”
Mereka merasa lega, karena sahabat yang sempat tidak ada justru kembali tepat di momen krusial. Tanpa buang waktu, mereka segera melangkah bersama.
***
Ruang Riset Lantai 5, Perpustakaan Istana Kekaisaran.
Iskandar sedang mengamati hujan lebat melalui teleskop. Di sampingnya, Sang Bijak Rastaban memberi penjelasan.
“Jika wyvern yang terlatih dengan baik dikendalikan lewat alat pengendali jarak jauh, lalu menebarkan benih awan buatan Menara Pengetahuan dalam jumlah besar, maka partikel awan akan menggumpal dan turun menjadi hujan. Kuncinya, harus menyesuaikan jenis benih dengan awan yang sedang melayang di langit.”
“Benih awan, ya….”
Iskandar mendengarkan sambil terus mengintip ke teleskop.
Saat itu, pintu ruang riset tiba-tiba terhempas terbuka. Lorendel, kuyup oleh hujan, berlari masuk.
“Kau baru saja hampir membunuh dua adik sahabatmu!”
Ia berteriak lantang.
Meski di hadapan para pejabat, ucapannya begitu gamblang. Saking terburu-burunya, logat kuno bahasa purba pun tercampur dalam bicaranya. Iskandar sampai tidak langsung mengerti dan balik bertanya.
“Aku apa?”
“Anna Sophia dan Isabella terjebak dalam hujan itu!”
“Apa?”
Iskandar terperanjat.
Ia segera menampar panel kendali jarak jauh untuk menghentikan alat. Perasaan buruk yang sempat melintas di kepalanya kini nyata menjadi kenyataan. Wajahnya seketika pucat saat ia berdiri tegak.
“Di mana mereka sekarang?”
“Syukurlah ada seseorang yang menemukannya di tengah hujan. Berkat pertolongan pertama yang tepat, mereka kini selamat.”
“Haa….”
Iskandar menahan napas panjang, menenangkan diri.
Tentu saja ia tahu tentang tradisi bermain musim semi keluarga Sachsenpiegel. Namun ia tidak tahu bahwa Siegvalt sedang cuti hari itu. Sesuai sifatnya yang pendiam, sahabatnya itu sama sekali tak menunjukkan tanda apa pun sebelum pergi ke Basel.
Mungkin karena itu Lorendel yang akhirnya menjaga kedua anak itu. Dan seandainya sesuatu yang buruk sungguh terjadi pada mereka….
Rasanya seperti lehernya sudah menyentuh bilah guillotine.
“Siapa yang menyelamatkan mereka? Aku harus segera memberi penghargaan….”
“Itu yang ingin kusampaikan!”
Lorendel menjawab tegas.
“Sekalipun kau bertanya, aku tak bisa menyebutkan namanya. Ucapan terima kasih pun tak akan sampai. Meski ia mempertaruhkan segalanya menembus hujan, menemukan anak-anak, dan berjuang menyelamatkan mereka… tetap saja, karena perintahmu, orang itu harus diperlakukan seakan tak pernah ada!”
Kata-kata Lorendel menggema bagai petir di telinga Iskandar yang masih terpaku.
“Atas nama Weisswald, Dewan Penasihat Kekaisaran yang langsung berada di bawah kaisar, kami mengajukan permintaan resmi agar Baginda mempertimbangkan kembali dekret tersebut! Karena seluruh anggota dewan mengakui, telah terjadi salah paham serius dan penuh prasangka terhadap seorang perempuan pemilik Salon Istana.”
Ia berlutut, melepaskan pedang, dan meletakkannya di depan Iskandar.
“Dengan ini, aku menuntut pencabutan Larangan Kata yang diberlakukan pada 2 Mei lalu—sebuah dekret yang mencoreng martabat Kekaisaran Bratania serta menjatuhkan harga diri para ksatria!”
Para bijak dan pejabat yang tadinya terpaku, buru-buru mundur memberi ruang.
Itu adalah hak istimewa Weisswald: “Deklarasi Nasihat dengan Taruhan Nyawa.”
Banyak yang salah paham, mengira meletakkan pedang berarti “pecatlah aku bila mau.” Padahal, makna sebenarnya jauh lebih serius: bila penguasa menolak mendengar, maka pedang itu boleh digunakan untuk menebas kepala sang penasihat. Sebuah nasihat sungguhan yang dipertaruhkan dengan nyawa.
Iskandar sungguh terkejut.
Ia mengenal baik sifat High Elf itu.
Dulu, saat suku Bizanthe yang kejam melancarkan invasi lalu terdesak oleh pasukan Kekaisaran, kepala suku memerintahkan perlawanan mati-matian. Mereka membakar desa sendiri dan membunuh anak-anak agar tak ada alasan untuk menyerah.
Pasukan Iskandar beserta empat Divisi Ksatria Suci mendidih oleh amarah. Saat pengejaran berikutnya, kepala suku yang hampir kabur berteriak putus asa:
—“Jangan ke elf! Lebih baik memohon belas kasihan vampir daripada mereka!”
Itulah Lorendel.
Meski biasanya lembut, dalam hal yang diyakininya benar, ia tak pernah kompromi. Dan jika ia sudah sampai menaruh nyawa untuk mengucapkan kata-kata ini….
Maka itu adalah kebenaran.
Iskandar kembali terdiam, linglung.
Tanpa ia sadari, Louis, Siegvalt, dan Cayenne sudah datang. Ia menatap sahabat-sahabatnya dengan wajah bingung.
“Kesalahpahaman serius… prasangka…”
Jadi, perempuan itu bukan spekulan tanah?
Sama sekali tak pernah terpikir olehnya.
Jika bukan untuk menunggu harga tanah naik, mengapa ia bersikeras bertahan di sana, bahkan rela menentang kehendak kaisar? Apa benar seperti yang dikatakannya, hanya demi bertani?
Benarkah begitu?
Wajah Iskandar berubah-ubah.
“Ck, ck….”
Louis, sambil menyilangkan tangan, menatapnya.
Ia sudah hampir 20 tahun mengenal sahabatnya itu. Jalannya alur pikirannya terbaca jelas.
Itu adalah proses runtuhnya prasangka.
Persis seperti yang mereka sendiri pernah alami.
Akhirnya Iskandar pun menyadari. Hanya saja, karena ia mengenakan zirah tebal bernama “absolutisme,” prosesnya memakan waktu lebih lama….
Namun kini tampaknya ia sungguh tersadar.
Untunglah tak terjadi tragedi. Anna Sophia dan Isabella malah semakin bahagia, berkata bahwa hujan membawa mereka bertemu “kakak peri” dalam mimpi indah. Lebih dari itu, berkat ramuan herbal yang dibuat Hazel, keduanya bahkan tampak lebih segar daripada biasanya.
Itu semua berkat peternakan kecil itu.
Louis, Siegvalt, dan Cayenne saling bertukar pandang.
—“Istana butuh angin baru. Maukah kau ikut denganku?”
Louis sudah menyampaikan secara diam-diam arahan rahasia dari Menteri Dalam Istana kepada mereka.
Sungguh, sang menteri punya pandangan jauh. Iskandar memang penguasa mutlak baik lewat kekuasaan maupun kekuatan. Namun masih ada sesuatu yang kurang.
Entah apa itu, tapi angin segar dari peternakan itu jelas bisa melengkapi.
Kalau saja Iskandar mau sekalian mengakui secara resmi peternakan kecil itu, betapa baiknya. Semua orang bisa keluar-masuk tanpa harus mencuri pandang ke arah kaisar.
Mata ketiganya berbinar.
Kebetulan Lorendel sedang berkata bijak.
“Sekalipun kau kaisar dan Grand Chevalier, jangan sembarangan menyentuh alam. Kepakan sayap kupu-kupu saja bisa memicu badai, apalagi ulah manusia. Itu bisa mengundang tragedi yang tak terduga.”
“Benar sekali.”
Louis cepat menimpali.
“Keputusan sepihak dan berlari sendirian mungkin diagungkan di medan perang, tapi tidak di istana. Kalau begitu, untuk apa ada Dewan Penasihat Kekaisaran? Apa gaji kami tidak terlalu mahal untuk sekadar pajangan?”
Siegvalt menambahkan.
“Syukurlah aku bukan kaisar. Untungnya aku tidak punya kekuasaan absolut, jadi tidak bisa bikin bencana terlalu besar.”
Cayenne pun ikut menyahut.
“Aku juga lega bukan kaisar. Kalau salah paham dan bikin kesalahan, paling aku sendiri yang malu sambil mengguling di ranjang. Tidak sampai jadi catatan sejarah turun-temurun, apalagi dijadikan soal ujian!”
Kata-kata mereka menusuk tepat sasaran. Iskandar tak bisa membantah.
“Cukup. Jangan kebanyakan, nanti jadi mirip dia.”
Siegvalt memberi komentar yang entah mendinginkan atau malah memanaskan. Ia menatap Iskandar.
“Tapi kekuasaan punya kelebihannya: bisa memperbaiki keadaan.”
Tentu ia akan bertanggung jawab.
Iskandar hendak mengiyakan, tapi tiba-tiba terhenti.
Di sebelah Siegvalt, Louis menatap dengan mata berbinar aneh. Dalam bola mata ungunya seakan terapung kata-kata seperti “kemungkinan simbiosis abadi” dan “masa depan bahagia bersama peternakan.”
“…!”
Iskandar tersentak. Ada sesuatu bergolak di dadanya.
“…Tidak bisa.”
“Apa?”
“Ya. Semua yang kalian katakan benar. Aku memang keliru, terjebak prasangka dan bertindak gegabah. Tapi aku hanya bisa mengakui sampai di situ.”
Iskandar menutup mulut rapat setelah itu.
Mereka saling berpandangan.
Ya, tentu saja. Harapan mereka memang kelewat tinggi.
Cayenne pun menyimpulkan.
“Baiklah. Kami mengerti. Kita tidak perlu memaksakan kehendak. Mari kita tempuh jalan masing-masing.”
“Setuju.”
“Tunggu! Maksudku bukan bubar sekarang!”
Iskandar yang hendak pergi, cepat-cepat ditahan Cayenne.
“Masih ada urusan penting. Bukankah kau berjanji memperbaiki kesalahan hari ini?”
“Ah, benar. Jadi, apa yang harus kulakukan?”
Cayenne tersenyum lebar, seperti sudah menunggu.
“Pertama-tama, seperti kata Lorendel, cabut dulu Larangan Kata yang konyol itu. Aku sudah muak melihat komandan Ksatria Suci kita ngobrol serius dengan seorang gadis ber-topi jerami! Lalu, soal perusakan properti pribadi, jangan lupa. Itu butuh kompensasi yang pantas. Aku sudah kepikiran sesuatu, hehe….”
Wajah Iskandar langsung masam. Tapi tidak ada jalan lain.
Tak lama kemudian, para pengunjung istana menyaksikan pemandangan luar biasa: empat komandan Ksatria Suci Kekaisaran berjalan gagah dengan wajah puas, jubah mereka berkibar.
Arah mereka: menuju Taman Agung.
***
“Di sini ada!”
“Di sini juga!”
Hazel menatap si kembar yang sedang mengacak-acak ladang becek karena hujan.
Yang mengejutkan, katanya anak-anak ini adalah adik dari Sir Ziegvalt. Sulit dipercaya. Bagaimana mungkin anak sekurus dan selemah itu bisa disebut Warbear? Tapi melihat mereka mengendus-endus ke sana kemari dan benar-benar berhasil menemukan bibit yang masih tersisa, Hazel pun sedikit은(sedikit) bisa mengakui bakat mereka.
Indera penciuman beruang konon sepuluh kali lebih tajam dari anjing.
“Ini, silakan.”
Si kembar menyodorkan kecambah yang mereka temukan dengan sangat khidmat, seakan sedang mempersembahkan persembahan pada dewa pertanian. Padahal sudah berkali-kali Hazel menegaskan agar mereka jangan mengajaknya bicara, tapi mereka sama sekali tak mengindahkan. Akhirnya Hazel pun menyerah.
Masa iya, anak sekecil ini akan dihukum?
Begitu teringat pada Kaisar, perut Hazel kembali terasa panas karena kesal.
Meski sudah berusaha sekuat tenaga, sepertiga dari bibit tetap tak bisa diselamatkan. Hanya membayangkannya saja membuat wajah Hazel memerah karena amarah.
Selama hidup, Hazel sudah mengalami banyak hal konyol. Tapi meski begitu, dia jarang benar-benar menyimpan kebencian pada seseorang.
Alasannya hanya satu—membuang waktu untuk membenci orang itu percuma.
Sebesar apa pun kerugian yang diterima, sesebal apa pun ucapan seseorang, marah-marah tak akan mengubah apa pun. Lebih baik diabaikan, lalu menghirup sekali lagi aroma harum herba—itu jauh lebih bermanfaat.
Tapi soal pertanian, itu pengecualian.
“Orang-orang berpangkat tinggi itu memang…!”
Hazel hampir saja melontarkan cercaan pedas, tapi buru-buru menahan diri. Anak-anak ada di depannya. Lagi pula, bukankah mereka sendiri juga termasuk “orang berpangkat tinggi” yang sudah punya tanah warisan beberapa bidang?
“……”
Hazel akhirnya memilih kembali menimbun tanah.
Setelah beberapa kali menghunjamkan cangkul dan meluruskan punggungnya, dari balik pagar ladang tampak sekelompok orang berjalan cepat ke arah sini. Lorendel, Luis, Ziegvalt, Cayenne—dan beberapa orang lainnya ikut di belakang.
Hazel kaget.
Ada apa lagi sekarang?
Saat Hazel masih melongo kebingungan, Lorendel sudah lebih dulu masuk ke ladang. Ia langsung berdiri tegak di depan Hazel.
“Nona Mayfield!”
Mau terang-terangan melanggar larangan?
Hazel terbelalak.
“Nona Mayfield tidak ada di sini!”
Namun High Elf itu tidak peduli. Ia malah semakin lantang bersuara.
“Nona Mayfield! Terima kasih sudah menyelamatkan saya dari bahaya besar hari ini. Semua Elf Bratania akan selamanya menganggap Anda sahabat berharga!”
Suara Lorendel yang keras dan jelas bergema ke seluruh taman besar. Setelahnya, tiga orang lain bergantian maju dan bersuara lantang.
“Nona Mayfield! Terima kasih sudah mengenyangkan perut para pengikutku yang lapar, juga sudah memberiku kesempatan mencicipi apple tart terenak di dunia! Aku, Luis Gallardo, bersama seluruh darah keturunan Noble One bersumpah menjadi sahabatmu!”
“Bukan hanya keluarga Runbard, tapi seluruh Cat Si dari Nine Hills pasti akan terkesima mendengar kisah petualanganku ini. Tidak bisa kuceritakan di sini, tapi… kau adalah pahlawan kami! Jika butuh sihir, cukup katakan saja.”
“Dua ahli waris keluarga Sachsenspiegel, Anna Sophia dan Isabella, berhutang nyawa padamu. Kebaikan itu akan dikenang selamanya oleh seluruh keluarga kami.”
Lalu mereka semua memberi hormat dengan khidmat.
Hazel saking terkejutnya sampai tak bisa berkata lancar.
“Kalian ini… apa maksudnya? Bukankah aku masih kena Larangan Bicara…?”
“Larangan itu sudah dicabut.”
Seseorang dari belakang mereka maju ke depan. Rambut peraknya disisir rapi ke belakang—Count Albert, kepala istana.
Hazel terbelalak lagi.
“Dicabut? Larangan bicara itu…?”
“Sudah kujelaskan. Sekarang Nona Mayfield boleh berbicara bebas dengan siapa pun.”
Belum sempat rasa terkejut reda, Count Albert tersenyum lebar sambil menyodorkan selembar kertas. Hazel langsung bertanya.
“Itu apa lagi?”
“Sertifikat tanah.”
“Sertifikat… tanah?”
“Baginda Kaisar mengakui kesalahan besar dalam pemilihan lokasi uji coba hujan buatan. Atas kerusakan besar yang menimpa salon Anda, beliau menyampaikan permohonan maaf, sekaligus memberi kompensasi berupa sebidang tanah milik negara. Letaknya persis di depan dan belakang salon—masing-masing setengah bidang, jadi total satu bidang penuh.”
“Apa?”
Hazel hanya bisa bengong.
Tak pernah terpikir akan mendapat ganti rugi. Kaisar yang begitu tinggi kedudukannya… ternyata bisa berpikir sejauh itu?
Pasti semua orang sudah berusaha keras untukku.
Hazel terharu.
Ladang akan jadi lebih luas. Bisa menanam lebih banyak. Mungkin saja… ya, mungkin saja bahkan bisa membangun kandang ayam!
Jantungnya berdebar kencang.
Tapi…
Hazel buru-buru menekan rasa gembira itu, lalu dengan wajah muram dan serius menjawab,
“Aku tidak bisa menerimanya. Dia itu pembantai bibit.”
“Oh! Jangan khawatir soal itu!”
Count Albert tetap tersenyum santai.
“Tak seorang pun memaksa Anda memaafkan Baginda. Maaf dan ganti rugi adalah dua hal berbeda. Ini murni kompensasi yang memang pantas Anda terima.”
Lalu ia mengedipkan mata nakal.
“Kalau ladang orang hancur, tentu harus bayar ganti rugi.”
Benar juga.
Ya, siapa pun yang merusak ladang orang tak bisa lepas begitu saja. Untuk apa menolak?
“Kalau begitu, dengan senang hati kuterima.”
Hazel berseru, pipinya kembali memerah—tapi kali ini karena bahagia.
“Terima kasih banyak! Aku benar-benar senang!”
“Kalau begitu, apa kami mulai bantu mencabut dan memindahkan pohon? Aku senang sekali bila bisa membantu pekerjaan berat.”
Ziegvalt, yang tak pandai berbicara, menyampaikan tawarannya dengan sungguh-sungguh. Luis yang berdiri di sebelahnya sampai ikut memperhatikan wajah serius temannya itu.
Larangan bicara sudah dicabut, ladang menjadi dua kali lebih luas. Hasil ini saja sudah sangat memuaskan. Tapi istana adalah tempat yang keras. Kini Hazel resmi masuk dalam lingkaran pergaulan, dan itu berarti dia butuh lebih banyak kekuatan penopang.
Kesempatan ini tidak boleh dilewatkan. Si vampir pun menyelip masuk pembicaraan.
“Urusan menata ladang tentu Nona Mayfield yang paling tahu. Tapi kalau soal balas budi… bagaimana kalau kau menjamu kami dengan makan malam lezat?”
Apa-apaan itu!
Ziegvalt terperangah. Biasanya orang justru menawarkan jamuan, bukannya meminta. Pasti gara-gara terlalu banyak hal yang terjadi hari ini, lidah si vampir jadi salah bicara. Ia buru-buru hendak meluruskan, tapi…
“Baiklah!”
Hazel menjawab ceria sambil tersenyum lebar.
Sebenarnya, Larangan Bicara tidak terlalu mengganggu urusan bertani. Tapi tetap saja, bisa berbicara leluasa dengan orang-orang baik membuatnya gembira.
Dan ada satu keuntungan besar lain.
Kini dia bisa pergi belanja. Tak perlu lagi merasa waswas berjalan ke pasar dengan membawa “bom waktu” berupa titah Kaisar.
“Besok malam, datanglah makan malam ke sini!”
Hazel untuk pertama kalinya dengan percaya diri mengucapkan undangan.
Namun kemudian ia terdiam sebentar.
“Oh, tapi… kursi harus bawa sendiri ya…”
***
Lengkung marmer dipenuhi mawar bulan Mei yang mekar indah. Taman istana yang tertata dengan rapi, setiap bagian dipisahkan dengan presisi, tampak dari sudut mana pun bagai lukisan.
Di antara topiari hasil pangkasan ahli taman—yang membentuk semak-semak menjadi pola geometris—dan patung-patung marmer, para bangsawan dan pejabat Bratania saling bertukar senyum sopan sambil berjalan santai.
Dan di sanalah, para komandan Ksatria Suci Kekaisaran berjalan… masing-masing memanggul sebuah kursi.
Luis Gallardo membawa kursi beludru dengan bantalan empuk. Lorendel Blenheim membawa kursi antik berhias ukiran rumit berbentuk sulur kayu. Ziegvalt Sachsenspiegel memilih kursi bundar kecil tanpa sandaran agar tidak makan tempat.
Untung saja begitu.
Sebab satu-satunya yang tidak peka adalah Cayenne Runbard—yang dengan santainya membawa singgasana raksasa Raja Peri, barang rongsokan yang sudah lama menganggur di rumahnya.
Namun apa pun alasannya, undangan makan malam yang meminta setiap tamu membawa kursi sendiri sungguh unik dan segar.
Mereka pun melangkah dengan hati riang di jalan setapak.
Langit senja berwarna ungu lembut, di antara pepohonan tampak sebuah rumah kecil di balik pagar. Di satu sisi rumah itu tumbuh subur tanaman herba, dan dari jendela memancar cahaya hangat. Mereka menyeberangi ladang harum tanah basah menuju rumah itu, hingga jelas terlihat papan nama bertuliskan “Salon Pertanian Marronnier”.
“Selamat datang!”
Hazel segera membuka pintu dan menyambut mereka.
Para tamu menaruh kursi aneka rupa yang mereka bawa, lalu duduk mengelilingi meja makan. Sambil melirik heran ke arah dinding bercat putih dan tungku kayu bakar, mereka menatap Hazel dengan wajah penuh harap.
Inilah momen yang Hazel tunggu sepanjang hari. Segalanya telah dipersiapkan sempurna.
Sejenak sempat terlintas pikiran nakal—sekarang sudah punya ladang, bagaimana kalau tabungan dikuras untuk sekali saja pesta besar membeli bahan-bahan mewah?
Tapi itu cuma sebentar. Hazel segera menenangkan diri. Ia mencari pasar rakyat dengan bertanya sana-sini, lalu membeli bahan segar dengan hemat.
Hasilnya, hidangan pertama jamuan malam ini adalah—
TANG!
Hazel menaruh talenan kayu di atas meja.
Di atasnya ada roti besar buatan sendiri, ditemani keju segar.
“Ah… roti desa.”
Tak apa. Dia pernah makan di medan perang, roti sekeras batu pun tak masalah. Ia dengan gagah berani menggigit—dan langsung terkejut. Begitu juga teman-temannya.
Ternyata ini bukan roti keras. Kulit luarnya renyah, tapi dalamnya lembut dan berurat. Tekstur renyah bercampur lembut, rasa gandum yang gurih membuatnya istimewa.
“Tepung gandum utuh. Roti desa memang dipanggang dari tepung gandum yang digiling utuh tanpa membuang kulitnya. Rasanya paling pas dimakan dengan keju buatan rumah.”
Mereka pun meniru Hazel, menaruh keju di atas roti. Kejunya bukan tipe lembut berkrim, melainkan agak kenyal, dengan rasa ringan dan lembut. Gurihnya keju berpadu dengan roti desa yang agak kasar, membuatnya tak henti dimakan.
Saat semua larut dalam makan, Hazel kembali meletakkan mangkuk besar di meja.
Mata mereka seketika berbinar.
Kali ini salad warna-warni yang penuh dan melimpah.
Daun selada segar dari kebun belakang rumah, ditambah zaitun, tomat, irisan tipis bawang ungu, telur setengah matang, dan batang kacang tumis. Salad ala ladang, penuh bahan segar seadanya, hanya dilihat pun sudah menyegarkan. Mereka menirukan Hazel, mengambil porsi banyak dan mencicipinya.
“Lezat sekali!” Luis berseru.
Hanya diberi dressing sederhana—minyak zaitun segar dengan sedikit herba. Ringan, segar, dan penuh rasa alami bahan-bahannya.
Gunungan salad pun lenyap dalam sekejap.
Ah, sungguh makan malam yang sehat.
Mereka sedang menikmati kenyang yang menyenangkan ketika Hazel menaruh panci besar di tengah meja.
DUK!
Semua terlonjak kaget.
“Inilah hidangan utama malam ini.”
Hazel dengan santai berkata, membuat mereka semua bingung.
Jadi… yang tadi belum hidangan utama?
Panci besar itu dipenuhi sup kental dengan potongan besar daging dan sayur. Aroma harum memenuhi ruangan. Itu adalah stew daging sapi.
“Ya. Aku memang ingin sekali membuat stew sapi seperti ini!” Hazel menjawab dengan bangga.
Akhirnya, bayangan stew yang menghantui pikirannya selama berhari-hari kini terwujud di meja makan—hangat, harum, dan sempurna.
Ziegvalt heran melihat sahabatnya begitu heboh. Ia pun menyuap stew dengan sendok kayu.
Begitu dikunyah, jus daging lembut meluber di mulut. Jamur harum gurih, kentang lembut empuk, semuanya berpadu sempurna dalam saus tomat yang kaya. Setiap bahan masak hingga ke dalam, menghasilkan harmoni rasa yang luar biasa.
Namun yang membuat mereka kaget bukan hanya kelezatannya.
“Mengapa?”
“Metode… apa?”
“Biasanya stew disajikan dalam mangkuk pribadi. Tapi bila keluarga besar duduk bersama, kadang ada mangkuk yang tak kebagian daging. Supaya tetap adil, setiap bahan diberi bumbu dengan teliti sejak awal. Jadi meski hanya dapat kentang atau sayur, rasanya tetap kaya. Itulah yang dilakukan nenek dari Campo itu—agar semua orang makan enak, bersama-sama.”
“Ah…”
Ziegvalt termenung. Mereka dulu mendobrak rumah nenek asing, dan tetap disuguhi makanan hangat penuh kasih. Stew itu ternyata bukan sekadar lezat, tapi juga sarat kebaikan hati.
Hangatnya kuah seolah menyatu dengan hangat di dada.
Mereka tersenyum, menikmati stew sampai habis, bahkan membersihkan sisa dengan roti seperti waktu itu di rumah nenek Campo.
Perut pun penuh sesak.
Apakah mereka bisa pulang jalan kaki? Atau harus pulang diangkut kereta? Semua mulai khawatir.
Namun Hazel tiba-tiba kembali dengan nampan besar—dipenuhi tart stroberi mini dengan krim tebal.
“Tidak lagi! Kami menyerah!” mereka berteriak.
Hazel tersenyum puas.
Inilah suara yang ia tunggu—“Tidak bisa lagi!” “Ampun!”—jeritan khas jamuan ladang.
Berhasil.
Dengan hati riang, Hazel mengambil satu tart dan menggigitnya.
Melihat Hazel makan lahap, para ksatria juga perlahan-lahan ikut meraih tart. Manisnya stroberi segar berpadu lembut dengan krim, membuat mereka terus melahap meski perut sudah penuh.
Malam pun dipenuhi obrolan hangat dan gelak tawa.
***
Sementara itu, di aula istana…
Kesunyian menekan.
Iskandar duduk sendirian di meja panjang, menatap sederet hidangan mewah. Ia hanya memandangi lama, lalu mengambil sepotong daging dingin. Rasanya pahit. Segelas anggur pun terasa pahit. Udang bakar Palomares yang tampak indah—tetap saja pahit.
Ia menghela napas, meletakkan garpu.
Tiba-tiba terdengar suara tsks-tsks dari pintu.
“Bila di malam musim semi seindah ini Anda makan seorang diri, artinya saatnya merenungkan hidup.”
Iskandar mendongak. Menteri Dalam Negeri berdiri di sana.
“Lysander.”
“Ya, hamba.” Ia masuk dengan langkah mantap.
“Melihat Baginda makan sendirian sungguh menyedihkan. Keuntungan Anda biasanya masih mau mendengar sahabat… tapi malam ini, bahkan itu pun tidak ada.”
“Tidak ada masalah. Kami sudah bicara. Semua saling menghormati pilihan masing-masing. Tak ada yang berubah. Mereka hanya keluar karena undangan.”
“Undangan… ke tempat yang lebih menyenangkan dari sini. Saya tadi mendengar tawa dari kejauhan.”
“Kalau mereka bahagia, itu bagus.”
Iskandar menjawab singkat. Lysander hanya menghela napas.
“Baginda terlalu kaku dengan ‘harus begini, harus begitu’. Tak semua hal di dunia ini perlu sempurna. Jangan terlalu membenci. Menurut saya, taman istana kita sudah indah luar biasa.”
“Coba cium bau pupuk setiap pagi, pasti berubah pikiran.”
“Lebih baik daripada bau darah istana.”
“Saya harus pergi.”
“Bukankah Anda masuk untuk makan bersama?”
“Itu memang bagus… tapi sebenarnya saya ingin tahu. Apa yang tersaji di jamuan pertama Salon baru itu? Hanya melihat piring kosong atau mencium aromanya pasti lebih nikmat daripada menyantap makanan dingin ini. Untung saya sudah diberi izin masuk bebas.”
“Salon memang terbuka untuk semua.”
“Tidak. Bila pemiliknya menolak, ia bisa saja menyuruh ksatria setianya melempar pengunjung keluar. Meski… jelas bukan saya yang dimaksud. Tidak seperti Baginda…”
Lysander kembali menatap dengan senyum licik bercampur iba.
“Bagaimanapun, saya hanya datang untuk memberikan ini.”
Ia meletakkan kotak kecil di meja.
“Pikir saya, lidah Baginda sedang pahit.”
Dengan senandung ringan, ia pun pergi.
Iskandar memandang cokelat itu. Dimasukkan ke mulut. Manis, harusnya manis. Tapi tetap saja pahit. Sangat pahit.
Ia meremukkan bungkusnya, lalu kembali menatap keluar jendela.
Rumah kecil di tengah taman, bercahaya hangat.
Apa yang ada di sana?
Apa yang membuat semua orang berubah begitu setelah sekali masuk?
Dan… siapa sebenarnya pemilik rumah itu?
Untuk pertama kalinya, Kaisar benar-benar merasakan rasa ingin tahu yang kuat.
