Sabtu, 25 Oktober 2025

Ep. 1 – Starting the Paid Service

Ch 2: Ep. 1 – Starting the Paid Service, I
 

「Aku Kim Dokja¹.」

¹ ‘Dokja’ bisa berarti ‘anak tunggal’, ‘pembaca’, atau ‘individualis’ dalam bahasa Korea.

Biasanya aku memperkenalkan diri seperti itu. Dan setiap kali, kesalahpahaman yang sama selalu terjadi.

“Oh, jadi kau anak tunggal?”

“Iya, tapi bukan itu maksudnya.”

“Huh? Lalu maksudnya apa?”

“Namaku Dokja. Kim Dokja.”

Ayah memberiku nama itu dengan harapan aku tumbuh menjadi pria yang kuat, bahkan jika harus sendirian. Tapi karena nama itu juga, aku malah benar-benar hidup sendirian—laki-laki biasa tanpa keistimewaan, terjebak dalam kesunyian.

Singkatnya, hidupku begini:
Kim Dokja, 28 tahun, lajang.


Ilustrasi resmi novel (kanonik)

Hobiku? Membaca webnovel di kereta bawah tanah, saat berangkat dan pulang kerja.

“Kalau begini terus, kau bisa tersedot ke dalam ponselmu, tahu.”

Di tengah kebisingan kereta, aku refleks menoleh. Sepasang mata penasaran menatapku lurus-lurus.
Pemiliknya—pegawai dari tim HR, Yoo Sangah.

“Ah, halo.” sapaku canggung.

“Pulang kerja juga?”

“Iya. Yoo Sangah-ssi² sendiri?”

² -ssi adalah sapaan formal dalam bahasa Korea, digunakan saat berbicara sopan dengan seseorang.

“Kebetulan manajer sedang dinas luar hari ini,” jawab Yoo Sangah sambil duduk begitu kursi di sebelahku kosong. Ada aroma lembut dari pundaknya yang entah kenapa membuatku gugup.

“Biasanya kau naik kereta juga?”

Ekspresinya berubah muram seketika.
Benar juga, ini pertama kalinya aku melihat Yoo Sangah naik kereta.
Dari Manajer Personalia Kang sampai Manajer Keuangan Han, semua orang tahu rumor: setiap hari Yoo Sangah selalu dijemput pria berbeda dari kantor. Tapi tiba-tiba saja dia berkata,

“Sepedaku dicuri.”

“Sepeda?” aku mengulang, heran.

“Iya! Soalnya akhir-akhir ini aku sering lembur, jadi jarang olahraga. Kupikir kalau berangkat kerja naik sepeda sekalian bisa olahraga juga. Tapi ya, ada masalah kecil juga… hal-hal semacam itu.”

Ah, begitu rupanya.


Ilustrasi fan (tidak kanonik)

Yoo Sangah tersenyum cerah.
Melihatnya dari jarak sedekat ini, aku mulai mengerti kenapa banyak pria tergila-gila padanya. Tapi pada akhirnya, itu tak ada hubungannya denganku.
Setiap orang hidup dalam “genre” yang berbeda—dan Yoo Sangah jelas hidup di genre yang berbeda dariku.

Setelah obrolan canggung itu, kami sama-sama kembali menatap ponsel.
Aku membuka aplikasi webnovel yang tadi kubaca, sementara Yoo Sangah…

Puede prestarme dinero.

“Hah?”

“Bahasa Spanyol.”

“…Oh. Apa artinya?”

“Tolong beri saya uang,” jawabnya bangga.

Belajar bahasa asing di kereta sepulang kerja—benar-benar genre lain.
Tapi untuk apa dia belajar kalimat semacam itu?

“Kau rajin juga.”

“Ngomong-ngomong, Dokja-ssi lagi lihat apa?”

“Ah, aku…”

Baru aku hendak menutup layar, tapi terlambat—matanya sudah tertuju ke LCD ponselku.

“Itu… novel, ya?”

“Iya, bisa dibilang begitu. Aku sedang belajar bahasa Korea lewat bacaan.”

“Wah, aku juga suka novel. Tapi akhir-akhir ini nggak sempat baca.”

Aku agak terkejut.
Yoo Sangah suka membaca novel?

“Penulis seperti Murakami Haruki, Raymond Carver, Han Kang…”

Ah, tentu saja.

“Dokja-ssi sendiri suka penulis siapa?”

“Kau nggak bakal tahu meski kusebut namanya.”

“Aku banyak baca kok. Siapa mereka?”

Sulit menjawab. Bagaimana mungkin aku bilang kalau hobiku membaca webnovel?
Aku melirik judul di layar.

[The World after the Fall]
Penulis: Sing Shong.

Tidak, aku tidak bisa bilang aku sedang membaca The World after the Fall karya Sing Shong.

“Cuma novel fantasi. Apa ya… mirip-mirip Lord of the Rings gitu.”

“Aha, Lord of the Rings! Aku nonton filmnya!”

“Iya, filmnya bagus.”

Hening.
Dia masih menatapku, seolah menunggu aku bicara lagi.
Rasanya canggung, jadi aku ganti topik.

“Sudah setahun ya sejak kita masuk kerja? Waktu cepat banget berlalu.”

“Iya, benar. Dulu kita sama-sama nggak ngerti apa-apa, ya?”

“Haha, iya. Rasanya baru kemarin… sekarang masa kontrak udah mau habis.”

Begitu melihat ekspresi Yoo Sangah, aku sadar baru saja salah bicara.

“Ah, aku…” katanya pelan.

Benar.
Aku lupa—bulan lalu dia dapat pujian besar dari buyer luar negeri dan sudah diangkat jadi pegawai tetap.

“Oh iya, aku lupa ngucapin selamat. Terlambat banget, ya. Haha. Harusnya aku juga belajar bahasa asing lebih giat.”

“T-tidak apa-apa, Dokja-ssi! Masih ada evaluasi tahunan juga, jadi…”

Aku tak bisa menampik, pemandangan Yoo Sangah bicara begitu… keren.
Wajahnya seolah disinari lampu sorot dunia—seakan semua fokus hanya padanya.

Kalau dunia ini sebuah novel, maka tokoh utamanya pasti orang seperti dia.
Itu wajar.

Saat aku sibuk bermalas-malasan…
Yoo Sangah bekerja keras.

Saat aku membaca webnovel murahan di internet…
Yoo Sangah belajar sungguh-sungguh.

Jadi, wajar kalau dia jadi pegawai tetap, sementara kontrakku akan berakhir.

“U-um, Dokja-ssi.”

“Ya?”

“Kalau kau mau… aku bisa kasih tahu aplikasi yang kupakai belajar.”

Entah kenapa suaranya terasa begitu jauh.

Seolah dunia menjauh dariku sedikit demi sedikit.
Untuk menahan pikiranku yang melayang, aku menatap lurus ke depan.

Seorang anak laki-laki duduk di kursi seberang.
Mungkin berumur sepuluh tahun.
Ia memegang jaring serangga di tangan kanan, tersenyum cerah di sisi ibunya.

“…Dokja-ssi?”

Bagaimana rasanya… kalau aku hidup dengan genre yang berbeda?
Bukan seperti ini.
Bagaimana jika genre hidupku bukan “realisme”, tapi “fantasi”?

Apakah aku bisa jadi tokoh utama?

Siapa tahu.

Mungkin itu sesuatu yang takkan pernah kutahu.
Tapi ada satu hal yang kupahami dengan jelas.

“Tidak apa-apa, Yoo Sangah-ssi.”

“Eh?”

“Mau kau beri tahu aplikasinya juga, percuma.”

Genre hidupku cuma “realisme.”

“Karena Dokja tetap punya kehidupan seorang Dokja¹.”

“Hm? Maksudmu apa…”

“Yah, ada orang yang memang begitu dalam hidup.”

Dalam genre ini, aku bukan protagonis.
Aku hanya seorang Reader.

“Kehidupan seorang Dokja…”

Wajah Yoo Sangah tampak serius. Aku tersenyum kecil dan melambaikan tangan, menunjukkan aku sungguh baik-baik saja.
Entah kenapa, dia tampak benar-benar mengkhawatirkanku.
Yah, dia orang HR—mungkin sudah tahu performa kerjaku yang payah.

“Dokja-ssi kadang mengucapkan hal yang keren juga.”

“Hah?”

“Kalau begitu, aku juga punya hidupku sendiri—kehidupan seorang Sangah.

(‘Sangah’ berarti ‘gading’ dalam bahasa Korea, jadi kalimat ini juga bisa diartikan ‘kehidupan gading’.)

Setelah mengatakannya, Yoo Sangah tersenyum dan kembali fokus ke buku pelajaran Spanyolnya.
Aku menatapnya sebentar, lalu kembali ke novelku.
Semuanya tampak normal lagi, tapi entah kenapa, jariku sulit menggulir layar.
Mungkin karena aku baru menyadari beratnya kenyataan.

Saat itu, sebuah notifikasi muncul di bagian atas layar ponsel.

[Kau menerima satu email baru.]

Dari penulis Ways of Survival.

Kubuka pesan itu.

–Reader-nim³, novelnya akan jadi berbayar mulai pukul 7 malam. Semoga ini bisa membantumu. Semoga beruntung.

³ -nim adalah bentuk kehormatan tinggi dalam bahasa Korea, dipakai untuk menunjukkan rasa hormat.*

[1 lampiran.]

Jadi ini hadiah yang dia maksud?
Aku penasaran.

…Seperti namaku, aku memang seorang pembaca sejati.
Dan kali ini, aku benar-benar menantikan “hadiah” itu.
Tidak buruk, hidup sebagai pembaca.

Kulihat jam. 6:55 malam.
Tepat lima menit sebelum novel itu jadi berbayar.
Aku membuka daftar novel favorit di aplikasi.
Sebagai satu-satunya pembaca, setidaknya aku harus meninggalkan komentar selamat dan memberi semangat pada penulisnya.

Tapi…

–Karya tidak ditemukan.

Aku coba ketik “ruined” berkali-kali di kolom pencarian.
Hasilnya sama.
Papan diskusi Ways of Survival juga hilang tanpa jejak.
Aneh.
Sejak kapan ada novel yang dihapus begitu saja sebelum dimonetisasi?

Saat itu juga, lampu kereta padam.
Gelap total.

Kiiiiiik—!
Kereta bergetar keras, disertai suara logam bergesekan.
Yoo Sangah menjerit dan memegangi lenganku.
Penumpang lain mulai ribut.
Cengkeramannya begitu kuat sampai aku malah lebih fokus ke rasa sakit di lenganku daripada hentakan kereta.
Butuh belasan detik sampai kereta berhenti sepenuhnya.

Suara-suara panik bermunculan dari segala arah.

“Eh, apa-apaan ini?”

“A-Apa yang terjadi?”

Beberapa lampu dari ponsel mulai menyala di tengah kegelapan.
Yoo Sangah masih menggenggam lenganku erat-erat.

“D-Dokja-ssi? Ada apa ini?”

Aku mencoba terdengar tenang.

“Tenang. Nggak apa-apa. Paling cuma gangguan kecil.”

“B-Benar begitu?”

“Mungkin ada yang… bunuh diri. Nanti pasti ada pengumuman dari masinis.”

Dan tepat setelah ucapanku, suara masinis terdengar melalui speaker.

“Untuk semua penumpang di dalam kereta…”

Suasana ribut langsung hening.
Aku menghela napas dan membuka mulut.

“Lihat, kan? Nggak ada apa-apa. Sebentar lagi pasti minta maaf, terus lampunya—”

“S-semua orang lari… lari…!”

“Apa—?”

Suara beep! terdengar, lalu siaran mati total.

Kacau.

“D-Dokja-ssi?! Apa yang—?!”

Cahaya terang meledak dari arah depan gerbong.
Suara dentuman keras diikuti letupan “duar!”.
Sesuatu sedang mendekat dari arah kegelapan.

Kebetulan mataku sempat melihat jam digital di atas pintu kereta: 7:00 malam.

Tik.

Rasanya waktu berhenti.

Lalu…
Sebuah suara menggema di kepalaku.

[Layanan gratis sistem planet 8612 telah berakhir.]
[Skenario utama telah dimulai.]

Itulah saat di mana genre hidupku berubah.

Ch 3: Ep. 1 – Starting the Paid Service, II

「Dokkaebi¹. Begitulah seseorang menyebutnya saat pertama kali ia muncul.」

¹ Dokkaebi adalah makhluk legendaris dalam folklore Korea, sering disebut juga “goblin Korea.”

Entah kenapa, kalimat itu tiba-tiba muncul di kepalaku.
Kereta bawah tanah yang berhenti, ruangan gelap… semua terasa aneh familiar.
Kereta bawah tanah memang kadang berhenti, tapi kali ini terasa berbeda.
Kenapa ya?
Kata-kata dari sebuah novel yang dulu kubaca mendadak terlintas dalam pikiranku—konyol memang. Mana mungkin hal itu terjadi?

Tepat saat itu, pintu gerbong 3807 terbuka lebar, dan listrik kembali menyala.
Di sampingku, Yoo Sangah bergumam pelan,

“…Dokkaebi?”

Kepalaku berdenyut.
Aku gemetar, tubuhku kaku tak nyaman saat dunia novel yang kukenal dan kenyataan di depanku mulai tumpang tindih.

「Dengan dua tanduk kecil di kepalanya dan mengenakan tikar jerami kecil, makhluk aneh itu melayang di udara.」

「Terlalu aneh untuk disebut peri, terlalu tenang untuk disebut iblis, dan terlalu jahat untuk disebut malaikat.」

「Itulah sebabnya makhluk itu disebut ‘dokkaebi’.」

Dan aku tahu persis apa hal pertama yang akan dikatakannya.

「&아#@!&아#@!...」

[&아#@!&아#@!...]

Fiksi dan realitas kini bertumpuk sempurna di depan mataku.

“Apa ini?”
“Augmented reality?”

Di tengah kebingungan orang-orang, aku merasa seolah terlempar sendirian ke dunia lain.
Tidak diragukan lagi—itu dokkaebi, makhluk yang memulai tragedi bagi ribuan orang dalam Ways of Survival.

Suara Yoo Sangah membuyarkan pikiranku.

“Kedengarannya mirip bahasa Spanyol. Apa aku harus bicara padanya?”

Aku menatapnya kaget.

“…Kau tahu itu apa? Kau mau minta uang padanya?”

“Bukan begitu, tapi…”

Dan saat itulah suara berbahasa Korea yang jelas terdengar.

[Ah. Ah. Sekarang terdengar, kan? Wah, patch bahasa Koreanya susah banget tadi. Semua orang, bisa dengar suaraku?]

Begitu mendengar bahasa yang familier, wajah orang-orang mulai tenang.
Orang pertama yang maju ke depan adalah pria besar berjas.

“Hei, apa yang kau lakukan? Sedang syuting, ya? Aku harus cepat ke audisi.”

Sepertinya dia aktor tidak terkenal, wajahnya asing.
Kalau aku jadi casting director, mungkin aku akan tertarik dengan ambisinya.
Sayang sekali—yang di depannya sekarang bukan sutradara.

[Ah, audisi! Ya, benar juga. Ini juga semacam audisi. Haha, aku kekurangan data, jadi baru masuk saat sistem dimonetisasi pukul 7 malam.]

“Apa…? Apa maksudmu?”

[Nah, nah. Semuanya tenang di tempat duduk masing-masing dan dengarkan baik-baik. Sekarang aku akan memberitahu sesuatu yang sangat penting!]

Dadaku terasa sesak.

“Apa? Cepat turun dari kereta!”
“Seseorang panggil masinis!”
“Apa-apaan sih, kenapa polisi nggak datang?”
“Ibu, itu apa? Kartun?”

Tak salah lagi—ini persis seperti alur di novel itu.
Aku tahu apa yang akan terjadi.
Aku tak mau terlibat… tapi tak ada pilihan.
Orang-orang di sini tak akan mendengarkan makhluk kecil lucu yang tampak seperti efek CG itu.

Yang bisa kulakukan hanyalah mencegah Yoo Sangah yang mulai berdiri dari kursinya.

“Yoo Sangah-ssi, bahaya. Jangan ke mana-mana.”

“Huh?”
Matanya membesar, bingung.
Aku tak bisa menjelaskan semuanya—tapi memang tak perlu.

[Haha, ribut banget, sih.]

Suara itu—tegas, memaksa, dan menggema seperti mengguncang udara.

[Aku bilang, diam.]

Dokkaebi itu perlahan menutup matanya.
Begitu membukanya lagi, cahaya merah menyalang di sana.

Duar!

Sesuatu meledak.
Dan seluruh kereta langsung terdiam.

“U… uh…”

Ada lubang besar di dahi pria berjas yang tadi bicara soal audisi.
Dia jatuh seketika.

[Ini bukan syuting film.]

Krak!
Suara retakan terdengar lagi—kali ini dari arah orang yang berteriak soal masinis.

[Ini bukan mimpi. Bukan juga novel.]

Satu, dua… darah menyembur di udara saat kepala beberapa orang pecah.
Mereka semua—yang protes, yang berteriak, yang panik.
Siapa pun yang membuat keributan, langsung mati dengan lubang di kepalanya.
Dalam sekejap, gerbong kereta berubah jadi neraka.

[Ini bukan ‘realitas’ yang kalian kenal. Mengerti? Jadi tutup mulut dan dengarkan.]

Lebih dari separuh orang tewas.
Darah dan potongan tubuh berserakan di lantai.
Tak ada yang berani berteriak lagi.
Seperti kera primitif di hadapan predator buas, semua hanya menatap dokkaebi itu dengan ketakutan.

Aku gemetar, menahan bahu Yoo Sangah yang tersedu di sebelahku.

Ini nyata.
Pesan aneh yang tadi kudengar, makhluk yang muncul di depanku, dan kereta yang kini jadi lautan darah…

[Hidup kalian selama ini menyenangkan, bukan?]

Seorang nenek di kursi prioritas menatap dokkaebi itu dengan mata gemetar.

[Kalian hidup terlalu lama secara gratis. Hidup terlalu murah! Kalian lahir dan tak pernah membayar harga untuk bernapas, makan, buang air, dan berkembang biak! Haha! Dunia yang luar biasa, bukan?]

Gratis?
Tidak ada satu pun dari orang di sini yang hidup gratis.
Mereka semua bekerja keras demi bertahan hidup, pulang dari lembur, menumpang kereta terakhir malam ini.
Tapi tak ada yang berani membantah.

[Tapi sekarang, masa-masa indah itu berakhir. Sampai kapan kalian bisa hidup gratis? Kalau mau bahagia, kalian harus membayar harganya. Bukankah begitu?]

Tak ada yang menjawab.
Lalu, seseorang perlahan mengangkat tangan.

“A-Apa kau mau uang?”

Aku menoleh—dan terkejut mengenali wajahnya.

“Yoo Sangah-ssi… itu, Kepala Departemen Han dari tim keuangan, bukan?”

“...Benar.”

Tak salah lagi.
Han Myungoh, kepala tim keuangan—orang dengan koneksi kuat di perusahaan, sekaligus yang paling dihindari karyawan baru.
Tapi kenapa dia naik kereta bawah tanah?

“Aku akan memberimu uang! Ambil saja! Aku orang penting, kau tahu?”
Han Myungoh mengeluarkan kartu namanya dengan gaya percaya diri.
Orang-orang mulai bersorak kecil—suasana seperti pahlawan yang berhadapan dengan teroris.

“Berapa kau mau? Banyak? Dua kali lipat?”

Jumlah yang ia sebut bahkan berlebihan untuk posisinya.
Konon, Han Myungoh adalah putra bungsu pimpinan anak perusahaan besar.
Melihatnya sekarang, mungkin rumor itu benar.

[Hmm, jadi kau memberiku uang?]

“B-Benar! Aku tak punya banyak uang tunai, tapi… aku bisa kasih apa saja asal aku bisa keluar dari sini!”

[Uang, bagus. Serat tanaman yang disepakati banyak manusia sebagai alat tukar.]

Wajah Han Myungoh langsung cerah.
‘Lihat kan, uang menyelesaikan segalanya,’ begitu ekspresinya.
Sungguh menyedihkan.

“Ini, semua yang kumiliki—”

[Itu cuma berlaku di ruang dan waktu kalian.]

“Hah?”

Api muncul di udara.
Cek-cek yang dipegang Han Myungoh langsung terbakar habis.

“Uwaaaah!”
Dia menjerit panik.

[Kertas itu tak punya nilai di dunia makrokosmos. Lakukan itu sekali lagi, dan kepalamu akan kuledakkan.]

“U-Uhh…”
Ketakutan menyebar lagi di antara para penumpang.
Aku tahu persis apa yang sedang mereka pikirkan—karena aku pernah membacanya.

「Apa yang akan terjadi sekarang…?」

Dan hanya aku yang tahu jawabannya.

[Huh, utangnya bertambah selama kalian ribut. Yah, baiklah. Daripada kujelaskan seratus kali, lebih cepat kalau kalian cari uang sendiri, bukan?]

Tanduk dokkaebi itu bergetar seperti antena, dan tubuhnya perlahan melayang ke langit-langit gerbong.

Beberapa detik kemudian—sebuah pesan muncul di udara.

[#BI-7623 channel is open.]
[Constellations have entered.]

Sebuah jendela kecil muncul di depan mata semua orang.

[The main scenario has arrived!]

[Main Scenario #1 – Proof of Value]
Kategori: Main

Tingkat Kesulitan: F

Kondisi Penyelesaian: Bunuh satu atau lebih makhluk hidup.

Batas Waktu: 30 menit

Hadiah: 300 coin

Kegagalan: Kematian

Dokkaebi itu tersenyum samar, tubuhnya menjadi transparan, lalu menghilang ke ruang berikutnya.

[Kalau begitu, semoga beruntung semuanya. Tunjukkan padaku cerita yang menarik.]

Ch 4: Ep. 1 – Starting the Paid Service, III

「Reaksi orang-orang berbeda setelah dokkaebi itu menghilang.」

Beberapa orang mencoba keluar dari kereta, sementara yang lain sibuk menelepon polisi.
Yoo Sangah termasuk kelompok yang terakhir.

“P-polisinya nggak jawab! Gimana ini, apa yang harus aku…”

“Tenang dulu, Yoo Sangah-ssi.”

Aku menatap lurus ke mata Yoo Sangah yang tampak kosong.

“Yoo Sangah-ssi. Pernah main game buatan tim developer, kan? Game yang dunia di dalamnya hancur dan cuma segelintir orang yang bisa bertahan.”

“Hah? Apa maksudmu—”

“Pikirkan baik-baik. Kita sedang ada di dalam game sekarang.”

Yoo Sangah menggigit bibirnya pelan.

“Game…”

“Sederhana saja. Jangan ragu, lakukan apa pun yang kukatakan. Paham?”

“P-paham. Jadi, aku harus ngapain?”

“Untuk sekarang, jangan gerak.”

Aku menarik napas dalam-dalam.
Aku sendiri butuh waktu untuk menerima semua ini.

『Three Ways to Survive in a Ruined World』

Deskripsi yang dulu cuma ada di novel kini terpampang jelas di depan mataku.

「Dokkaebi itu mengulurkan antenanya.」
「Tubuh-tubuh yang berserakan seperti sampah di dalam gerbong.」
「Pegawai kantoran yang berlumuran darah, gemetar di tempatnya.」
「Seorang nenek tua mengerang pelan di kursinya.」

Aku menatap tiap adegan itu lekat-lekat.
Seperti Neo dalam The Matrix, yang mulai meragukan kenyataan—mengamati, menimbang, dan akhirnya percaya.
Aku harus mengakui:
Aku tidak tahu bagaimana atau kenapa, tapi tak ada keraguan lagi.

『Ways of Survival』 telah menjadi kenyataan.

Sekarang… bagaimana caranya aku bisa bertahan hidup di dunia baru ini?


“Semuanya tenang dulu! Tolong tenang! Tarik napas dalam.”

Seseorang maju ke depan lima menit setelah dokkaebi menghilang.
Pria kekar berambut cepak, tinggi satu kepala di atas rata-rata.
Suaranya lantang dan stabil.

“Sudah tenang? Tolong hentikan semua tindakan dan dengarkan aku sebentar.”

Tangisan dan panggilan telepon berhenti.
Begitu semua mata tertuju padanya, pria itu kembali berbicara.

“Seperti yang kalian tahu, dalam keadaan darurat nasional, gangguan kecil bisa menyebabkan korban besar. Karena itu, aku akan mengambil alih situasi ini.”

“Apa? Siapa kau?”
“Keadaan darurat nasional? Maksudmu apa?”

Beberapa orang mulai protes keras.
Pria itu mengeluarkan kartu identitas dari dompetnya.

“Aku Letnan Angkatan Darat yang sedang bertugas di unit 6502.”

Wajah beberapa orang mulai lega.

“Seorang tentara! Dia tentara sungguhan!”

Tapi mereka lega terlalu cepat.

“Aku baru saja menerima pesan dari satuanku.”

Orang-orang langsung berkumpul di sekitar ponselnya.
Aku bisa membaca isi pesannya karena berdiri cukup dekat.

–Telah terjadi situasi darurat nasional level 1. Seluruh pasukan segera berkumpul.

Suara napas tertahan terdengar di mana-mana.
Darurat nasional.

Aku tidak kaget—aku sudah menduganya.
Yang membuatku benar-benar terkejut adalah hal lain.

Letnan Angkatan Darat Lee Hyunsung.

‘Lee Hyunsung’—aku tahu nama itu.
Ini pertama kalinya aku melihat wajahnya secara langsung, tapi aku mengenalnya dengan baik.

“Steel Sword” Lee Hyunsung.

Salah satu tokoh pendukung utama dalam Ways of Survival.

Karakter dari novel itu kini berdiri di depanku.
Aku tak bisa lagi menolak kenyataan ini.

“Tentara-nim! Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Aku berusaha menghubungi satuanku tapi—”
“Istana Biru! Hubungi Istana Biru! Presiden harus tahu!”

“Maaf. Aku hanya tentara biasa, aku tak punya jalur langsung ke Istana Biru,” jawab Lee Hyunsung tenang.

“Lalu kenapa kau yang memimpin?”

“Demi keselamatan semua warga…”

Suaranya tetap stabil, meski situasi kacau.
Aku teringat kembali pada deskripsi di novel.
Tapi… apakah Lee Hyunsung muncul di bagian ini?

Tidak.
Dalam Ways of Survival, dia baru muncul di akhir skenario pertama.
Jadi, kenapa sekarang?

Kepalaku terasa berat.
Kalau saja aku bisa membaca Ways of Survival lagi, pasti aku akan tahu apa yang salah.


“Perdana Menteri sedang pidato! Ini benar-benar darurat level 1!”

Semua orang langsung menyalakan ponsel mereka.
Yoo Sangah menyorongkan layarnya ke arahku.

“Dokja-ssi… lihat ini.”

Tak perlu mengetik apa pun—di semua portal, berita utama sama:
‘Pidato Perdana Menteri’

Tentu saja aku tahu isi pidatonya.

–Kepada seluruh warga negara, saat ini teroris tak dikenal aktif di beberapa wilayah, termasuk Seoul.

Isi pesannya sederhana.
Pemerintah akan menggunakan segala cara untuk melawan para teroris, dan tak akan ada negosiasi.
Semua warga diimbau untuk tetap tenang dan melanjutkan kehidupan seperti biasa.

Saat membaca novel, aku tak terlalu memperhatikannya.
Tapi mendengarnya langsung sekarang terasa… menyesakkan.

Terorisme, ya.
Kalau saja benar, mungkin aku akan lebih tenang.

“Tapi kenapa presiden nggak bicara? Kenapa Perdana Menteri yang muncul?”

“Katanya… presiden sudah kena serangan.”

“Hah? Serius?”

“Aku baca di komentar Naver—”

“Komentar apaan! Itu pasti hoaks!”

Tentu saja aku tahu—itu bukan hoaks.

“Uwaaaaaaaah! A-apa itu?!”

Suara tembakan terdengar dari ponsel orang-orang.
Bukan dari luar… tapi dari layar mereka sendiri.
Chiiik!
Suara berderak diikuti percikan darah di layar.

Beberapa detik kemudian, semua menatap terpaku.

“P-Perdana Menteri…”

Kepalanya meledak.
Disiarkan langsung.
Beberapa kali suara tembakan lagi terdengar sebelum layar hitam total.
Dan kemudian, wajah dokkaebi muncul.

[Semuanya, aku sudah bilang, kan? Ini bukan permainan seperti ‘terorisme’.]

Orang-orang tak mampu berkata apa-apa.
Mulut mereka terbuka lebar, seperti ikan mas bodoh di akuarium.

[Masih belum mengerti? Dasar keras kepala. Kalian masih merasa ini game?]

Nada santainya justru membuat bulu kudukku berdiri.
Tanpa sadar, aku mengepalkan tangan.

[Haha, menurut data, orang-orang di negeri ini sangat ahli main game. Jadi, bagaimana kalau aku naikkan tingkat kesulitannya?]

Beeeep!
Sebuah timer besar muncul di udara dan langsung mulai menghitung mundur cepat.

[Waktu tersisa dikurangi 10 menit.]
[Sekarang tersisa 10 menit.]
[Jika tidak ada pembunuhan pertama dalam lima menit ke depan, semua orang di gerbong ini akan dihapus.]

“A-apa ini? Lelucon?!”

“Hei, kau nggak dengar barusan? Ini bukan bercanda!”

“Tentara-nim! Apa yang harus kita lakukan sekarang?! Kenapa polisi belum datang?!”

“Semuanya, tolong dengarkan aku—”

Tapi suasana di gerbong sudah terlalu kacau.
Bahkan Lee Hyunsung tak bisa mengendalikan mereka lagi.
Aku bisa merasakan tangan Yoo Sangah mencengkeram kerah bajuku erat-erat.

Namun ada hal yang terus mengganjal pikiranku.
Lee Hyunsung sudah muncul—karakter pendukung utama.
Tapi kenapa dia belum muncul?

Menurut ceritanya, seharusnya aku sudah melihatnya sekarang.


“T-tolong! Ada pembunuhan di gerbong belakang!”

Melalui jendela di lorong, aku bisa melihat ke arah gerbong 3907.
Wajah si pelaku pucat pasi.

“Tutup pintunya! Jangan biarkan siapa pun masuk!”

Orang-orang menahan pintu besi, tapi percuma.
Musuh sebenarnya bukan di luar.

[Semua akses menuju gerbong akan dibatasi sampai skenario selesai.]

Begitu pesan itu terdengar, orang-orang terlempar mundur seperti menabrak dinding tak terlihat.

“A-apa lagi ini?!”

Suara dokkaebi terdengar lagi.

[Haha, ada tempat yang seru, tapi ada juga yang masih sepi. Baiklah, ini layanan spesial. Aku akan tunjukkan apa yang terjadi kalau kalian tidak melakukan apa-apa dalam lima menit.]

Sebuah layar besar muncul di langit-langit kereta.
Tayangan memperlihatkan sebuah ruang kelas.
Beberapa siswi berseragam biru tua gemetar ketakutan.

“Itu… seragam SMA Daepong, ya?” gumam seseorang.

Beep-beep-beep-beep!

Suara peringatan terdengar.
Lalu, jeritan menggema.

[Waktu yang diberikan telah habis.]
[Proses pembayaran dimulai.]

Duar!
Kepala siswi di barisan depan meledak.
Lalu satu lagi.
Dan lagi.
Dan lagi.

Siswi-siswi lain menjerit histeris, berlari ke arah pintu dan jendela.
Alat pel dan kursi patah, paku mencuat—tapi pintunya tak terbuka.
Tak satu pun bisa keluar.
Ledakan kepala terus berlanjut.

Salah satu siswi akhirnya mencekik temannya sendiri.
Tubuh temannya jatuh dengan erangan lirih.
Setelah beberapa lama, layar menampilkan hanya satu siswi yang tersisa—matanya kosong menatap sekeliling.

[#Bay23515 channel. Daepong Girls’ High School, Kelas 2-B, penyintas: Lee Jihye.]

Gambar gadis itu menghilang, dan dokkaebi kembali muncul.

[Bagaimana? Menarik, bukan?]

Ia tersenyum.
Tapi tak ada lagi yang menatap layar.
Orang-orang kini saling menjauh satu sama lain, perlahan tapi pasti.

“Sialan! Apa-apaan ini?!”

Bahkan Yoo Sangah melepaskan cengkeramannya padaku.
Tapi ia tak pergi.
Tanganku kini bebas, dan aku segera menyalakan ponsel.

Kenapa dia belum muncul?
Informasi yang kutahu dari novel bercampur dengan hal-hal baru yang tidak kukenal.
Satu-satunya cara untuk memahami situasi ini adalah membaca Ways of Survival lagi.

Tapi… di mana aku bisa menemukannya?
Novel itu tak cukup populer untuk punya salinan ilegal.

…Tunggu dulu.

[1 attachment.]

Aku menatap notifikasi di ponsel dengan napas tercekat.

Mungkinkah…?

Tanganku bergetar saat kubuka lampiran email itu.

Nama file yang dikirim penulis:

[Three Ways to Survive in a Ruined World.TXT]

Ch 5: Ep. 1 – Starting the Paid Service, IV

「Tawa kecil lolos dari bibirku.」

Aku sampai harus mengusap mataku untuk memastikan aku nggak salah lihat.
Ekstensi file itu… .TXT.

Jadi maksudnya, hadiah yang dikirim penulis padaku adalah—
salinan novelnya sendiri?


[Kau telah memperoleh exclusive attribute.]
[Slot exclusive skill telah diaktifkan.]

Suara notifikasi menggema di telingaku begitu file dijalankan.
Aku bahkan tidak kaget lagi. Dunia ini memang sudah berubah jadi 『Ways of Survival』.

Dalam dunia itu, setiap orang yang berhasil bertahan memiliki exclusive attribute dan exclusive skill sendiri.

Aku segera membisikkan dalam hati,

“Attribute Window.”

Kalau aku mau bertahan, aku harus tahu dulu kemampuan yang kumiliki.

[Kau tidak bisa membuka Attribute Window.]

“Hah?”
Aku coba lagi.

“Attribute Window.”

Tapi hasilnya sama.
Tak bisa dibuka.

Aku mengerutkan kening.
“Gila. Bahkan ada bug kayak begini?”

Tanpa jendela atribut, aku nggak bisa tahu apa pun tentang diriku sendiri—
apa skill-ku, apa kemampuanku.
Dan tanpa tahu diriku… bagaimana aku bisa menghadapi musuh?

Mengetahui dirimu dan lawanmu adalah syarat untuk bertahan.
Sekarang, aku bahkan tak tahu siapa diriku sendiri.

Aku menghela napas panjang.
Akhirnya, aku menyerah dan memutuskan membaca teks yang dikirim penulis.


[Kecepatan membaca meningkat karena efek dari exclusive attribute.]

Aku tidak tahu apa tepatnya atributku, tapi efeknya luar biasa.
Kurang dari satu menit, aku sudah menuntaskan bab pertama Ways of Survival.
Dan di sanalah aku menemukannya.

Tempat di mana jariku berhenti—
bagian awal cerita, saat tokoh utama sedang melakukan “aksi” di dalam kereta.


「Ia melihat orang-orang berkumpul di pintu belakang gerbong 3707.
Roda pemantik yang ia genggam terasa dingin.
Dalam hidup ini, ia tidak boleh membuat kesalahan.
Ia akan melakukan apa pun demi tujuannya.
Wajah-wajah ketakutan itu…
Ia tak merasa bersalah. Segalanya fana.
Ia menatap mereka dengan mata tanpa ampun.
Beberapa detik kemudian, ujung jarinya bergerak—dan api menyala.
Lalu semuanya dimulai. 」


Sebuah hawa dingin menjalar di punggungku.
Aku membaca ulang paragraf itu lagi dan lagi.
Dan akhirnya, aku sadar apa yang membuatku gelisah.

“...3707.”

Aku refleks melirik nomor gerbong tempatku duduk.

[3807].

Gerbong yang kutempati… tepat di belakang gerbong tokoh utama.

Tanganku bergetar.

“Tunggu. Kalau begitu, berapa orang yang selamat di sini…?”

Aku cepat menggulir teks.


「Ia menatap melalui jendela buram ke arah gerbong 3807.
Sudah terlambat. Itu tak terelakkan.
Bagaimanapun juga, hanya dua orang yang selamat di gerbong itu. 」


Hanya dua orang.
Itu berarti semua yang lain—mati.

Dan aku tahu siapa dua orang itu.

Aku menatap Yoo Sangah yang duduk di depanku dengan pandangan kosong.
Mungkin… dia akan mati.
Dan aku juga.


“Dokja-ssi… apa kita nggak sebaiknya menghentikan ini?”

Yoo Sangah menunjuk ke arah suara gaduh.
Seseorang sedang berteriak.

Seorang pemuda berjongkok di depan nenek tua, wajahnya garang.

“Sial! Aku lagi bad mood, dan nenek ini terus merengek! Bisa diam nggak, hah?!”

Pemuda itu—kurus, rambutnya dicat putih.
Namanya tertera di badge seragam sekolahnya.

Kim Namwoon.

Aku mengenal nama itu.

「Hanya Lee Hyunsung dan Kim Namwoon yang selamat di gerbong itu.
Tak masalah. Mereka berdua saja sudah cukup. 」


“Sudah kubilang diam, kan?!”

Kim Namwoon menarik kerah nenek itu dengan kasar.
Kakinya yang rapuh goyah, lalu—plak, plak.

Tamparan berubah jadi pukulan.

“T-tolong… tolong aku…”

Suara pukulan daging yang ditinju bergema di udara.
Beberapa pria di sekitarnya tampak hendak maju, tapi tak satu pun yang benar-benar bergerak.

Yang pertama bereaksi justru Han Myungoh.

“Hei anak muda! Bagaimana bisa kau memperlakukan orang tua seperti itu—”

“Ajusshi, kau mau mati?”

“...Apa?”

“Kau belum paham situasinya, ya?”

“Apa omong kosongmu, dasar brengsek—”

Kim Namwoon hanya tertawa, menunjuk ke langit-langit gerbong.

“Lihat itu.”

Layar hologram di atas kepala mereka menampilkan siaran langsung.

[S-Selamatkan aku!]
[Aaaaack!]
[Matilah!]

Adegan kematian dari seluruh negeri—bukan hanya dari kereta atau sekolah.
Semuanya ditayangkan langsung.

“Masih belum paham? Tentara nggak bakal datang menyelamatkan kita.
Seseorang harus mati.”

“A-apa maksudmu…?”

“Kita harus memilih satu orang untuk mati.”

Wajah Han Myungoh pucat.

“Kau gila…”

“Gila? Nggak. Ini logis. Kalau nggak ada yang mati, kita semua mati.
Kau mau mati karena moralmu, ajusshi?”

Kata-katanya menusuk seperti belati.
Dan perlahan, wajah orang-orang lain pun mulai berubah.

“Dunia yang kalian kenal… sudah berakhir. Dunia baru butuh hukum baru.”

Kim Namwoon—pemuda yang paling cepat beradaptasi dengan dunia Ways of Survival—kembali memukuli nenek itu.
Kali ini, tak ada yang menghentikannya.
Bahkan Lee Hyunsung, sang tentara, hanya berdiri terpaku, tangannya bergetar hebat.

Mungkin dia pun sedang menimbang pilihan yang sama.

“Ayo, sulit memang membunuh. Tapi kau mau hanya menonton?
Mau tertinggal?”

Rasa takut mengubah manusia.
Mata-mata mereka—yang tadinya hanya ragu—kini mulai berkaca api.

「Jika dalam lima menit tidak ada yang terbunuh, semua orang di gerbong ini akan mati.」

「Kalau nenek itu tidak mati, kita semua akan mati dalam lima menit.」

Dan akhirnya, mereka dikuasai oleh naluri paling dasar manusia:
keinginan untuk hidup.

“Dia benar… kalau nggak, kita semua mati!”

Seorang pria pertama kali maju.
Ia menendang nenek itu, yang tergeletak lemah di lantai.

“Kau lupa, seseorang harus mati! Biar kita hidup!”

“Sial… terserah!”

Lalu yang kedua, ketiga…
Mahasiswa yang merekam dengan ponsel, ibu dari seorang anak kecil, bahkan Han Myungoh sendiri.
Semua ikut menyerang.
Mereka menendang dan memukul nenek itu seperti algojo yang menarik tuas hukuman mati—
agar tak tahu siapa yang benar-benar membunuh.

Dan aku—aku hanya menonton.

Seolah menatap layar dari dunia lain.
Nenek itu… memang ditakdirkan mati dalam skenario asli.
Jadi, aku tidak berdosa karena hanya menyaksikan.

Atau begitulah yang kupercaya—
sampai Yoo Sangah berdiri.

“Kau bakal mati,” gumamku sambil menarik lengannya spontan.
“Kubilang jangan bergerak.”

Tangannya bergetar di genggamanku, tapi ia menggenggam tinjunya kuat-kuat.

“Aku tahu… aku tahu…”

“Yoo Sangah-ssi akan mati kalau kau maju sekarang.”

Matanya bergetar karena takut—tapi juga karena tekad.
Dan saat itu aku sadar, meski dunia berubah, masih ada orang yang tetap bersinar.

“Duduk, Yoo Sangah-ssi.”

Namun, bukan dia yang akan mengubah cerita ini.
Yoo Sangah bukan protagonis dunia ini.

“Tapi—”

“Tolong, dengarkan aku kali ini saja. Setelah ini, aku nggak akan ikut campur.”

Aku menekannya duduk, lalu menarik napas panjang.
Punggungku tegak, tangan dan pergelangan kukendurkan perlahan.

Sebenarnya ini sedikit terlalu cepat.
Awalnya aku tidak berencana turun tangan sekarang.
Tapi… waktunya sudah tiba.

“…Dokja-ssi?”

Aku tak menjawab.
Tatapanku fokus ke arah orang-orang yang masih memukuli nenek itu.

Aku bukan diam karena takut.
Aku hanya menunggu saat yang tepat.

Dan—

Kwaaaang!

Ledakan mengguncang gerbong.
Asap tebal menyebar dari ujung kanan depan.
Jeritan bergema.

Saat itulah aku bergerak.
Kaki kananku menendang lantai keras-keras, melesat melewati orang-orang yang berteriak.

“A-apa?!”
“Eeeek!”

Tubuh Kim Namwoon terhempas ke lantai dengan teriakan nyaring.
Sekilas, tampak seolah aku sedang menyelamatkan nenek itu—
tapi bukan itu tujuanku.

Aku menoleh cepat.
Seseorang terjatuh di dekat nenek itu karena ledakan.
Anak kecil, menangis ketakutan, memegang jaring serangga di tangannya.

“Permisi sebentar.”

Aku mengambil jaring itu darinya.
Kutelusuri bagian dalamnya—ujung jariku menyentuh tubuh keras seekor belalang.
Aku mengeluarkannya, lalu menaruhnya di tangan anak itu.

Setelah itu, aku berdiri dan menatap kerumunan.

“Semuanya, hentikan. Kalian nggak akan hidup kalau membunuh nenek itu.”

Suaraku terdengar jelas di tengah keheningan yang mengikuti ledakan.
Satu per satu, pandangan mereka beralih padaku.

“Anggap kalian membunuh nenek itu. Lalu apa selanjutnya?”

Wajah mereka bingung.
Bagus.
Kubiarkan jeda itu bekerja.

“Kalau benar kata dokkaebi, setiap orang harus membunuh satu makhluk hidup.
Jadi setelah nenek itu mati, siapa berikutnya? Orang di sebelah kalian?”

Seketika, mereka mundur dari satu sama lain, ketakutan.
Semua sadar—nenek itu baru permulaan.

Kim Namwoon menyeringai.

“Heh, kenapa takut? Kalau begitu, bunuh dia selanjutnya!
Dasar pengecut! Gilirannya adil, kok!”

Aku sudah memperkirakan reaksi itu.
Kutelunjukkan tangan pelan-pelan.

“Tidak perlu berjudi seperti itu.
Ada cara untuk bertahan… tanpa membunuh siapa pun.”

“Apa?”
“C-cara apa?”

Orang-orang jadi heboh.
Kim Namwoon menatapku dengan mata marah.

Aku menunjuk ke langit-langit, ke tulisan hologram di udara.

“Kalian lupa? Kondisi skenario bukan membunuh seseorang.

Beberapa orang mulai sadar.

[Bunuh satu atau lebih makhluk hidup.]

Benar.
Dari awal, dokkaebi tidak pernah menyebut kata manusia.

“Makhluk hidup” berarti… apa pun yang hidup.

Seseorang berseru, menunjuk jaring di tanganku.

“Serangga! Serangganya!”

Belalang dan jangkrik di dalam jaring meloncat-loncat.
Mata orang-orang langsung berbinar.

Aku mengangguk.

“Benar. Serangga.”

Aku merogoh jaring itu dan mengeluarkan satu ekor belalang gemuk.

“K-berikan padaku! Cepat!”
“Satu saja! Aku cuma butuh satu!”

Aku mundur perlahan, menatap mereka yang mendekat seperti kawanan buas.
Dan di tengah ketegangan yang mencekik itu…
aku tersenyum.

Kenapa?
Karena jantungku berdegup cepat—bukan karena takut, tapi karena semangat.

“Kalian mau ini?”

Aku menggoyangkan jaring itu, seperti pelatih yang memancing binatang buas.
Beberapa orang langsung meloncat mendekat.

“Kalau begitu—terimalah.”

Aku menghancurkan belalang itu di genggamanku.


[Kau telah mencapai ‘First Kill’ Achievement!]
[100 coin diperoleh sebagai kompensasi tambahan.]


Di saat bersamaan, aku melempar jaring di tangan satunya ke arah seberang,
jauh dari nenek dan kerumunan orang-orang.

“Sial! Ini gila!”

Serangga-serangga itu terbang keluar, meloncat berhamburan untuk mencari kebebasan.

Ch 6: Ep. 1 – Starting the Paid Service, V

「Orang-orang panik begitu melihat serangga-serangga itu berlarian di seluruh gerbong.」

“H-halo! Kenapa kau melakukan hal seperti—”

Sementara beberapa hanya bisa melongo, yang lain langsung bereaksi, berdesak-desakan ke arahku.

“Bajingan!”

“…Lebih baik kalian cepat cari. Waktu tinggal tiga menit.”

Begitu kalimat itu keluar dari mulutku, semuanya jadi gila.

Orang-orang merangkak di antara kursi, merobek tas, menyapu lantai, seperti binatang kehilangan akal.

“Aku dapat! Aku dap—Aaaaack!”

Teriakan bahagia mereka yang berhasil menemukan serangga bercampur dengan jeritan orang-orang yang diserang karena iri.
Gerbong berubah menjadi neraka.

“Kenapa kau melakukan itu? Kenapa nggak langsung kasih aja ke mereka?”

Aku menoleh. Kim Namwoon sudah bangkit, tubuhnya tegap dan lehernya menegang.

“Masih ada dua belas orang yang tersisa,” kataku pelan.

“…Apa?”

“Di jaring itu, cuma tersisa tiga serangga.”

Kim Namwoon mengernyit sebentar, lalu tertawa keras.

“Hahaha! Dua belas lawan tiga, ya? Benar juga. Nggak mungkin semuanya bisa hidup, kan? Jadi kau lempar itu biar mereka saling bunuh?”

“Ya.”

“Jangan bercanda.”

“…?”

“Orang waras nggak bakal ngelakuin itu hanya karena alasan itu.”
Senyumnya makin lebar.
“Jujur aja. Kau cuma pengin lihat pemandangan ini, kan?”

Aku mengingat Kim Namwoon yang kukenal dari Ways of Survival.
Dan seolah menjawab pikiranku, suara pesan berbunyi di telingaku.


[Exclusive skill, ‘Character List’ telah diaktifkan.]


Sebuah jendela terbuka di depan mataku.
Akhirnya aku tahu sebagian dari attribute milikku.


[Character Summary]

Nama: Kim Namwoon
Usia: 19
Sponsor: Tidak ada (Dua constellation saat ini menunjukkan ketertarikan padanya)
Exclusive Attribute: Chuunibyou (General)
Exclusive Skills: Unusual Adaptability Lv.3, Knife Fighting Lv.1, Blackening Lv.1
Overall Stats:
Physique Lv.3 | Strength Lv.4 | Agility Lv.6 | Magic Power Lv.4
Evaluasi: Seorang chuunibyou yang terdistorsi oleh kejadian spesial. Sebaiknya jangan terlibat dengannya.


Sebagian besar chuunibyou dalam Ways of Survival akhirnya bunuh diri—tidak tahan menghadapi mimpi buruk yang jadi nyata.
Tapi Kim Namwoon berbeda.

Dia adalah Delusion Demon, sang iblis delusi.
Pemuda yang seakan telah menunggu kehancuran dunia sepanjang hidupnya.
Dan dia beradaptasi dengan kecepatan luar biasa.

“Gabung denganku. Gimana?” katanya tiba-tiba.


[Karakter ‘Kim Namwoon’ memiliki kesan baik terhadapmu.]
[Pemahamanmu terhadap karakter ‘Kim Namwoon’ meningkat.]


Kalau aku bergabung dengannya, kemungkinan besar aku bisa selamat untuk sementara.
Tapi kalau aku belum pernah membaca Ways of Survival, mungkin aku akan berpikir berbeda.

“Maaf, tapi aku lebih suka sendirian.”

“Oh begitu? Sayang sekali.”
Dia menjilat bibirnya dan melangkah mendekat.
“Kalau begitu, minggir. Aku ada urusan dengan nenek tua di belakangmu.”

Aku menoleh.
Nenek itu—berlumuran darah, tubuhnya gemetar—masih hidup, tapi napasnya tersengal.

“Apa yang mau kau lakukan?”

“Kau masih perlu tanya?”

“Kau nggak mau tangkap serangga?”

“Serangga?”
Dia tertawa kecil.
“Aku sudah dapat satu serangga di depanku.”

Dingin.
Aura membunuhnya jelas terasa.
Inilah Kim Namwoon yang sebenarnya—monster yang dulu hanya ada di halaman novel.


[Kesan ‘Kim Namwoon’ terhadapmu menurun sedikit.]


“Ngapain bengong? Cepat minggir.”

“Sulit.”

“Apa?”

“Aku nggak akan minggir.”

“Haha, apa sekarang kau mau jadi pahlawan keadilan? Kau punya kepribadian ganda, hah?”

Aku tak menjawab.
Bayangan hitam mulai menjalar di wajahnya, matanya berkilat dingin.

“Tunggu… jadi kau lempar jaring itu memang buat ini, ya?
Serius?”

“…”

“Kau mau nyelamatin nenek itu? Hahaha! Gila! Kau serius?!”

Aku tetap diam.
Dan sejenak, kenangan lama muncul di kepalaku.

“Ah, rupanya kau tipe orang yang paling kubenci.
Dasar orang tua sok suci.”

Begitulah dia dulu.
Selalu memuakkan—dan berbahaya.


[Karakter ‘Kim Namwoon’ membencimu.]


“Apa katamu?”

Aku menunduk tepat waktu—fist-nya melayang di udara, nyaris mengenai wajahku.

“Heh, lumayan.”
Dia menyeringai puas.

Tapi aku sempat merasakan panas dari angin tinjunya.
Itu bukan pukulan biasa.


[Blackening Lv.1]


Aura hitam menyelimuti tubuhnya, bergetar seperti api.
Skill khusus dari chuunibyou attribute.
Sangat jarang ada yang bisa mengaktifkannya di skenario pertama—
tapi Kim Namwoon bukan orang biasa.

Peeok!

Bahuku menegang setelah pukulan itu.
Kalau ini berlanjut, aku pasti kalah.

Haruskah aku pakai itu sekarang...?

Aku menghitung waktu di kepalaku.


[Pemahamanmu terhadap karakter ‘Kim Namwoon’ meningkat.]
[Kondisi penggunaan untuk exclusive skill ‘Omniscient Reader’s Viewpoint Lv.1’ telah terpenuhi.]


Omniscient Reader’s Viewpoint...?
Apa itu?


[Kondisi penggunaan terpenuhi!]


Tinju Kim Namwoon menghantam lantai, meninggalkan bekas cekungan di sana.

“Hahaha! Kuat banget, kan?”

Pukulan demi pukulan menabrak lantai.
Setiap kali, suaranya seperti bom kecil meledak.
Dia mulai frustasi.

“Kenapa aku nggak bisa mengenai kau?!”

Tentu saja dia tidak bisa.
Karena skill-ku sudah aktif.


[Exclusive skill, Omniscient Reader’s Viewpoint Lv.1 telah diaktifkan!]


Begitu skill aktif, arah serangannya terpampang jelas di benakku.
Seolah aku bisa membaca pikirannya.

「 Kanan. 」

Aku menggeser tubuh ke kiri.

「 Mata kanan. 」

Aku menunduk—tinju melayang di atas kepalaku.

“Kau jago banget menghindar, ya?!”

Aku tak bisa membalas serangan—fisikku masih lemah.
Tapi untuk mengulur waktu, ini cukup.

「 Paha kiri. 」

Aku bergeser lagi.

“Waktu tinggal dua menit, bocah,” kataku tenang.

Wajahnya menegang.
Matanya bergantian menatapku dan nenek itu.

“Sial!”

Dia berbalik—menuju nenek itu.
Aku menubruk nenek itu dan berguling ke belakang.
Kalau dia mati, Kim Namwoon akan lulus skenario.
Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.

“Haha, aku tahu kau bakal bergerak begitu.”

Dari tasnya, sesuatu berkilat.

Sebuah pisau lipat.

Aku baru ingat—Kim Namwoon itu military otaku.

Skill Knife Fighting + Blackening = kombinasi berbahaya.

Arah serangan berikutnya… sudah kutahu.

「 Jantung. 」

Aku tak bisa menghindar.
Jadi kutentukan: lebih baik terluka daripada mati.

Chiiik!
Pisau itu menggores bahuku, dalam dan panas.
Rasanya seperti terbakar.

“Hahaha! Sekarang mati kau!”

Sisa waktu—1 menit 30 detik.

Aku menatap nenek itu.
Maaf, nenek. Sekarang aku benar-benar harus menggunakan ‘itu’.

“Siswa tahun dua, SMA Chungil, Kim Namwoon.
Aku cuma mau tanya satu hal.”

“…Apa?”

“Menurutmu, telur serangga itu makhluk hidup?”

Aku mengeluarkan bangkai belalang dari sakuku.
Di perutnya, kantung telur yang menggembung.

Pop.
Suara kecil terdengar. Cairan kental menetes di tanganku.
Dan serentak, notifikasi masuk bertubi-tubi.


[Kau telah membunuh makhluk hidup.]
[100 coin diperoleh.]
[Kau telah membunuh makhluk hidup.]
[100 coin diperoleh.]


Kim Namwoon menatapku bengong.

“Telur serangga? Apa maksudmu? Kau buang-buang waktu?!”

“Mungkin.”

“Aku mana tahu hal begituan? Aku tidur terus di kelas Biologi!”
Dia menatap bahuku yang berdarah dan tertawa.
“Tapi ada satu hal yang kutahu pasti.”

“Apa?”

“Kau akan mati sekarang juga!”

Dia mengayunkan pisaunya.
Aku sudah tak perlu mendengar notifikasi lagi.


[Sejumlah besar coin telah diperoleh! Apakah kau ingin melihat tips penggunaannya?]


“Tidak, justru kau yang akan mati.”
Aku berbisik pelan.


[2,700 coin telah diinvestasikan ke ‘Physique’.]
[Physique Lv.1 → Lv.10]
[Level tubuhmu meningkat pesat!]
[Ketahanan fisikmu melonjak drastis!]


Pisau Kim Namwoon menusuk tepat ke dadaku—
atau seharusnya begitu.

Klang!
Pisau itu memantul.
Kulitku keras seperti batu.
Hanya goresan tipis yang tersisa.

Wajah Kim Namwoon membeku.

“B-bagaimana bisa?!”

“Jawaban dari pertanyaanku tadi,” kataku datar.
“Telur itu makhluk hidup.”

“A-apa?”

“Dan saat musim kawin, belalang bisa bertelur lebih dari seratus.”

Telur. Makhluk hidup. Seratus.

Sayangnya, otaknya yang tumpul tak cukup cepat memproses arti kalimat itu.

“Apa maksudmu?!”

“Tak penting. Waktu tinggal satu menit.”

Rasa takut akhirnya muncul di wajahnya.

“Aaaaa! Mati kau! Mati!”

Pisau itu menebas ke leherku.
Aku tak repot-repot menghindar.

Kakakang!
Tebasannya hanya meninggalkan goresan dangkal.

Aku menatapnya datar.

“Kau benar, Kim Namwoon.
Aku juga manusia sepertimu.”

Di belakangnya, orang-orang lain masih merangkak, saling menyakiti demi hidup.
Mungkin… aku bisa menyelamatkan beberapa dari mereka.
Tapi—

“Sialan! Kenapa kau nggak mati?! Kenapa?!”

55 detik… 50… 45…

Pisau terus menebas, tapi tak menembus kulitku.
Darah mengalir, tapi tipis.

30 detik.
Kim Namwoon menjatuhkan pisaunya, lalu berlutut.

“T-tolong aku. Kumohon… selamatkan aku…”

25 detik.

“Tolong! Aku nggak mau mati!”

“Kenapa aku harus menyelamatkanmu?”

20 detik.

“Karena… nyawa itu penting! Nyawa manusia penting!”

“Itu aturan dunia lama.
Dunia baru—punya hukum baru.”

10 detik.

“Aku nggak mau! Aku nggak mau mati! Aaaaaaah!”

5 detik.
Kim Namwoon menjerit dan menerjangku, menodongkan pisau ke mataku.

Dan saat ujung pisaunya nyaris menusuk retina—


[Waktu yang diberikan telah habis.]
DUAR!


Kepalanya meledak.
Darah memercik ke wajahku.


[Proses pembayaran dimulai.]


Satu per satu, kepala di sekelilingku ikut meledak.

Satu.
Dua.
Tiga.
Empat.

Ledakan-ledakan itu seperti kembang api yang menyambut kelahiran dunia baru.

Dan aku menatapnya—tanpa takut.
Hanya perasaan aneh… campuran lega, bersalah, dan senang.
Seperti sedang membaca cerita yang sudah kukenal.


[Kau telah membunuh 124 makhluk hidup.]
[Riwayat Pembunuhan: 1 belalang, 123 telur belalang.]
[Kau membunuh makhluk tanpa perlawanan, jumlah coin berkurang setengah.]
[6,200 coin diperoleh.]
[Coin yang digunakan untuk peningkatan stat otomatis dipotong.]
[Total coin tersisa: 3,500.]
[Achievement: ‘Mass Murderer’ diperoleh karena pembunuhan berlebihan.]


Aku menatap refleksi di jendela gelap kereta.

Wajah itu… bukan wajah yang kukenal.
Padahal aku sudah melihat wajahku di cermin ribuan kali sebelumnya.
Aku menyeka darah di pipiku—tapi darahnya tak hilang.

Itu darah di jendela.

Kkiiiiik.

Kereta tiba-tiba bergerak lagi.
Bunyi logam khas kereta terdengar—
dan cahaya menerobos dari balik jendela.

Kami akhirnya keluar ke jalur permukaan antara Apgujeong dan Oksu.

Di luar jendela, terbentang Sungai Han—dan Seoul.

“Ahh…”
Seseorang mengerang lirih, penuh lega.
Masih hidup. Masih bernafas.

Tapi tak lama, suara itu berubah jadi jeritan ngeri.

Pemandangan Seoul di luar jendela…
bukan lagi Seoul yang mereka kenal.

Asap dan debu membumbung dari kota yang hancur.
Jembatan Sungai Han roboh.
Air sungai merah—penuh mayat tentara.
Dan di antara reruntuhan gedung, seekor monster raksasa menginjak tank K1 seperti mainan.


[Main Scenario #1 – Proof of Value telah berakhir.]
[300 coin diperoleh sebagai hadiah penyelesaian dasar.]
[100 coin dikurangi untuk biaya penggunaan channel.]
[Proses kompensasi tambahan dimulai.]


Satu dunia telah berakhir.
Dan dunia baru lahir.

…Dan aku—
adalah satu-satunya reader yang tahu bagaimana cerita ini akan berakhir.


 

Nunaaluuu Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review