Kamis, 30 Oktober 2025

Ep. 67 - Forgotten People of the Scenario

Ch 356: Ep. 67 - Forgotten People of the Scenario, I

Sudah seminggu sejak Yoo Joonghyuk menghilang.
Dalam waktu itu, atmosfer di Kim Dokja’s Company berubah.

Semua orang jadi pendiam.
Bukan karena tak peduli—mereka hanya memilih bungkam sambil terus berlatih.
Jung Heewon termasuk di antaranya. Mereka melatih tubuh dan skill… atau lebih tepatnya, berpura-pura melatih sambil melirik seseorang.

“Aah! Aku nggak tahan lagi! Sampai kapan suasana gini?!”

Lee Hyunsung yang sedang mengeksekusi Great Mountain Push ke tanah langsung kaget.
Bahu Shin Yoosung gemetar saat ia sedang menjalankan Advanced Diverse Communication.
Paling kaget, tentu Lee Jihye yang sedang latihan kendo.

Jung Heewon mendesaknya.
“Jihye! Kamu! Kamu nggak akan ngomong sama Dokja-ssi lagi?”

“…Aku nggak tahu.”

“Kamu masih marah? Minimal bicara dulu.”

“Aku nggak marah! Kalau kupikir, ini bukan masalah besar… mirip kayak para nabi. Aku tau ahjussi orang baik. Aku cuma benci dibilang ‘karakter’!”

Seminggu sejak Kim Dokja menjatuhkan bom itu.
Semua anggota memikirkan kata-katanya dengan cara masing-masing.

Singkatnya, prosesnya begini:

Hari pertama: shock total.
Hari kedua: “Hm… mirip para konstela.” (kata Jung Heewon)
Hari ketiga: “Seberapa pentingkah aku dalam cerita itu?” (Lee Seolhwa)
Hari keempat: “Hyung pasti dewa.” (Lee Gilyoung)
Hari kelima: “Mungkin yang paling berat itu ahjussi.” (Shin Yoosung)

Mendengar itu, Lee Hyunsung berkomentar,
“Benar juga. Kita nggak tahu apa yang Dokja-ssi rasakan. Beberapa hari lalu, Joonghyuk-ssi juga menghilang…”

Semua angguk.
Lalu tatapan mengarah pada Lee Jihye.

“Jihye.”

“Aaah kenapa sih?! Aku… gimana bisa ngomong sama ahjussi kalau dia jalan kayak zombie begitu?!”

“Tetap saja—”

“Dan kenapa ahjussi nggak ngomong duluan? Dia yang sembunyi dan bohong…!”

“Jihye.”
Suara Heewon menghentikannya.
“Kita nggak bisa mengabaikan pilihan Dokja-ssi cuma karena kita nggak paham. Pasti ada alasannya. Dia pasti mikir panjang.”

“Unnie… kamu beneran percaya kita cuma karakter?”

“Aku juga nggak tahu. Tapi kalaupun iya? Itu bukan salah Dokja-ssi. Dia cuma pembaca yang terseret.”

Itu benar.
Dunia ini memang bukan ciptaan Kim Dokja.
Dari awal, skenario ini milik Star Stream—kami boneka konstela.

Jihye menggigit bibir, lalu akhirnya bicara.
“Aku ngerti. Aku akan bicara sama dia. Tapi Yoosung, Hyunsung-ahjussi ikut, ya.”

Mereka saling pandang.

“Uh… aku udah ke sana setelah makan malam kemarin…”

“Aku bicara sama dia tiga hari lalu.”

“Eh?!”
Jihye pucat. “Jadi… cuma aku yang belum?”


Aku punya perasaan campur aduk mendapati anggota tim datang satu per satu.

Lee Seolhwa muncul tengah malam lalu menyuntikkan story pack ke lenganku yang bahkan baik-baik saja.
Pagi-pagi, tiba-tiba di depanku muncul monster raksasa dan raja serangga.

Aku yang salah.
Tapi aku… tak tahu bagaimana menanggapi perhatian itu.

—Kalau kami karakter, Dokja-ssi itu yang melindungi karakter berkali-kali. Aku ingat, dan yang lain juga.”
—Jung Heewon

—Ahjussi, aku belum terlalu paham. Tapi aku tahu ini berat buatmu.”
—Shin Yoosung & Lee Gilyoung

—Manual-ku nggak ada cara menangani ini. Jadi jangan terlalu memikirkan dan kembali seperti biasa.”
—Lee Hyunsung

—Aku nggak jago menghibur. Kalau aku benar di novelmu, kamu harusnya sudah tahu.”
—Lee Jihye

Perhatian itu terkumpul seperti rintik hujan musim semi.
Hening… tapi hangat.

Di bawah, warga tengah membersihkan salju.
Bahkan di dunia kacau penuh monster, salju tetap harus disingkirkan.
Kalau tidak, itu akan membeku dan membahayakan semua orang.

“Sudah siap?”

Kyrgios melayang di udara.
Ia pulih kekuatannya dan melatih teknik martial party.

“Aku berusaha.”

Great War of Saints and Demons akan dimulai.
Kami baru di skenario 60-an; harus kumpulkan cerita untuk menembus Context of the Constellations ke-2, agar bisa ikut skenario ke-80.

“Progres bagus. Semua skenario 60-an kita lewati mulus.”

Mulai dari Demon Realm’s Spring sampai Torch That Swallowed the Myth.
Sekarang, tak ada nebula di level 60-an yang bisa menahan kami.

Promo dengan Mass Production Maker sudah berjalan.
Harga saham Kim Dokja’s Company melesat.
Lalu, iklan itu muncul di langit.

–Skenario punya banyak jalan.
–Tapi kekuatan sejati adalah berlari di jalan yang belum ada.

Han Sooyoung di X-grade Ferrarigini melaju tanpa portal.

Logo Mass Production Maker muncul.

Aku merasakan pahit.
Kakek gila itu pakai kata-kataku untuk iklan…

[Constellation ‘Abyssal Black Flame Dragon’ menyukai iklan ini.]
[Constellation ‘Prisoner of the Golden Headband’ menginginkan X-grade Ferrarigini.]

…Ya ampun.

Kyrgios mendecak.

“Aku tidak mengerti. Kenapa naik mesin itu? Aku bisa lari lebih cepat.”

“Itu benar.”

“Disciple Breaking the Sky belum kembali?”

Aku terdiam.
Dia hanya bisa bicara soal satu orang itu.

“Aku percaya dia akan menemukan jalannya.”

Tapi… aku khawatir.
Aku selalu khawatir soal regressor bodoh itu.

Namun sekarang, aku harus percaya.
Seperti saat aku hanya mengenalnya dari tulisan.

“Dia akan muncul.”

“Reincarnation Island tidak mudah.”

“Aku tahu.”

Kyrgios menatap jauh.
Jang Hayoung berdiri sendirian, sedikit jauh dari yang lain.

“Bawa Hayoung. Dia berkembang. Tidak akan jadi beban.”

“Aku memang akan membawanya.”

Itu tempat pertama kali ia dipanggil King of Transcendents.
Aku melambai. Hayoung buru-buru mengalihkan pandang.

Jam di pergelangan bergerak.
21 hari tersisa.

Aku membuka Ways of Survival.
Karena novel ini, aku melukai mereka.
Tapi juga karena novel ini… aku bisa melihat mereka.

Kalimat pertama bab Great War:

“Musim kehancuran akhirnya perlahan tiba di dunia ini.”


Nebula Eden

Di depan dojo Eden yang biasanya sepi, malaikat-malaikat menonton.

[Apakah itu… manusia?]
[Ototnya…?]

Yoo Joonghyuk, bertelanjang dada, mengayunkan pedang—
tidak sembarang ayunan; ia membelah udara, memperpanjang sepersekian detik waktu.

Aura meledak pelan, seperti naga mengepak sayap dalam tidur.

[Hebat. Constellation tingkat naratif pun tak bisa menyerang sembarangan.]

Yoo Joonghyuk menoleh. Metatron berdiri, pucat dan tenang.

[Aku datang beri nasihat. Kalau kau mau buka baju tiap latihan, pindah tempat.]

“Probabilitas Eden paling stabil di sini.”

[Tapi moral malaikat—]

“Kenapa kau tunjukkan revelation itu padaku?”

Metatron menghela napas.

[Kau sepakat berpihak pada ‘baik’ saat Duet. Itu saja.]

“Kau ingin memecah Kim Dokja’s Company?”

[Eden tidak melakukan hal kekanak-kanakan begitu.]

“Kau mengawasinya. Kau tidak ingin kekuatannya terlalu besar.”

[Dan kau mogok di sini, bertelanjang dada.]

“Jawabanmu tidak masuk akal.”

Metatron hanya menutup mata lelah.
Yoo Joonghyuk terus menebas udara.

[Kalau mau lanjut demonstrasi ilegal ini, keluarlah resmi dari kelompok Kim Dokja dan bergabung dengan Eden. Maka kau boleh telanjang—]

“Beri aku bab berikutnya dari revelation. Itu semua yang kau punya?”

[Mungkin aku menipumu.]

“Itu lebih baik daripada demon king yang pembohong.”

[Makanya kau datang ke kami, bukan Asmodeus?]

“Kalau demon king tahu, berarti kau juga tahu.”

Metatron masih ingat hari Yoo Joonghyuk menerobos Eden sendirian—nyaris mati di tangan Michael.

“Berikan revelation-nya. Aku sudah mengikuti permainanmu.”

Metatron menatap dingin.

[Informasi itu bukan revelation. Itu datang dari eksistensi… khusus.]

“Eksistensi khusus?”

[Kau benar-benar mau tahu?]

Langit Eden bergetar.
Malaikat-malaikat jatuh terduduk.

Yoo Joonghyuk memegang Black Heavenly Demon Sword.

…Bukan demon king.
Lebih kacau dari itu.

[Patron-mu merasa terganggu oleh keberadaan ini.]

Sekejap, dunia berganti.
Kegelapan tanpa bentuk.

[Constellation ‘Secretive Plotter’ menatap Yoo Joonghyuk.]

Suara bergema.

“Sudah lama, boneka Oldest Dream.”

Ch 357: Ep. 67 - Forgotten People of the Scenario, II

Musim dingin berlalu cepat.
Kim Dokja’s Company menyapu skenario sampai ke 65th scenario, dan seminggu lalu kami akhirnya mencapai Context of the Constellations kedua.
Kami resmi memenuhi syarat minimum untuk menantang 80th scenario.

[Pembayaran iklan dari Mass Production Maker telah tiba.]
[Kamu menerima 2.500.000 coins.]

Dana nebula naik gila-gilaan.
2,5 juta koin—kelihatannya penjualan X-grade Ferrarigini sedang meledak.
Ini baru pembayaran awal. Sisanya nanti masih mengalir.

“Waktunya.”

Hari skenario akhirnya datang.
Aku menatap para anggota yang sudah bersiap:
Lee Hyunsung, Jung Heewon, Lee Jihye, Shin Yoosung, Lee Gilyoung.
Dan juga Jang Hayoung…

“Dokja-ssi, apa benar kita berangkat begini saja?”

Nada Lee Hyunsung terdengar cemas. Wajar. Seminggu ini aku memerintah: “Istirahat total. Jangan lakukan apa pun sampai skenario ke-80 dibuka.”

“Disiplin santai seperti ini rasanya aneh…”

Tentu, kata-kata seorang prajurit sejati yang kehilangan pelatuk dan pin pengamannya.

“Tidak peduli apa yang kita lakukan di sini, mustahil mengejar konstela papan atas. Yang penting bukan persiapan di sini… tapi apa yang kita lakukan di sana.”
Aku menghela napas. “Ngomong-ngomong, rasanya ada yang kurang.”

“Sooyoung-ssi sudah berangkat duluan,” ujar Jang Hayoung. “Dia tidak bisa disuruh.”

Memang tak ada satu pun orang di perusahaan ini yang patuh.
Tapi Han Sooyoung pasti bisa bertahan.

Aku menoleh. Ibuku berdiri di depan gerbang kompleks industri, bersama para wanderer.

“Kalau begitu, kami pamit.”

“Hati-hati.”

Aku menyerahkan keamanan Seoul pada ibu dan para wanderer.
Mereka tidak mengincar skenario besar.
Mereka memilih hidup dengan cara mereka sendiri dibanding mengejar akhir cerita.
Lee Seolhwa dan Gong Pildu tetap tinggal mengurus para inkarnasi.

“Kuserahkan Seoul padamu.”

Lee Seolhwa mengangguk tenang.
Di seberang alun-alun, Gong Pildu dikerubungi inkarnasi baru dan membentak:

“Yang penting rebut posisi terbaik! Kuasai lahan strategis sebelum orang lain! Mengerti?!”

…Sepertinya akan aman.

–Aku menyusul nanti bersama Breaking the Sky Sword Saint. Pergilah duluan.

Aku mengangguk pelan ke arah Kyrgios, lalu memberi sinyal ke udara.
Sebuah dokkaebi kelas rendah yang menangani transfer muncul.

[Kim Dokja’s Company. Sudah siap?]

“Mulai.”

Portal terbuka di bawah kaki.
Kali ini portalnya premium—tidak ada sensasi mual atau pusing saat ruang terlipat.

[Kamu memasuki ruang tunggu 80th scenario.]

Bukannya Gwanghwamun, kami tiba di aula marmer putih.
Penuh konstela & inkarnasi yang datang lebih dulu.

[Kapan mulai?]
[Ayo cepat buka!]

Aku melihat wajah-wajah familiar.
Brash Swamp Predator—kupikir dia mati sejak Demon King Selection… tapi ternyata masih hidup.

“Heol, banyak konstela besar,” gumam Jung Heewon.

“Ahjussi, itu Ranveer Khan! Dan Feihu!” Yoosung menunjuk.

“Aku lihat Papyrus… dan Tamna.” Lee Gilyoung menelan ludah.

Mereka menempel di belakangku seperti penguin kena salju.
Rombongan desa masuk Seoul vibes.

Lee Jihye menelan ludah. “Ahjussi… kita harus gimana?”

“Tersenyum. Selagi masih bisa.”

Di kejauhan, konstela Olympus melambaikan tangan—Dionysus & Aphrodite.
Lalu konstela Vedas: Surya.
Mungkin Anna Croft dan Yoo Joonghyuk juga ada di antara mereka.

[Demon King ‘Duke of Everywhere’ menatapmu.]
[Demon King ‘Eyes that See the Forbidden’ mengamati.]

Ya, mereka juga datang.

[Constellation ‘Guardian of Youths and Travel’ menguap bosan.]
[Constellation ‘Saviour of Corruption’ menunjukkan niat membunuh.]

Para archangel Eden, tentu saja.
Skala skenario ke-80 jelas bukan main.
Kali ini kami benar-benar harus melawan raksasa.

Di tengah alun-alun, sosok muncul.
Bihyung.

[Selamat datang. Aku Dokkaebi Bihyung, penanggung jawab skenario ini.]

Skenario sebesar ini biasanya dijalankan dokkaebi agung.
Jadi posisi Bihyung pasti naik drastis sejak terakhir kami bertemu.

[Awalnya panggung Great War of Saints and Demons ditetapkan di tempat lain. Tapi… Reincarnation Island dipilih karena alasan khusus. Bos ya bos.]

Konstela tertawa.
Humor Star Stream—aneh.

[Beberapa mungkin belum familiar. Pulau ini sangat tua. Nyaris dilupakan.]

Layar surreal muncul di langit—gambar pulau melayang di alam semesta.

[Kami datang untuk perang! Tidak peduli panggungnya!]
[World view pedang suci & magician lingkaran 9 lagi? Membosankan.]

Bihyung tersenyum lebar.

[Pedang master? Lupakan. Pulau ini… lebih tua dari semua itu.]

Konstela mulai murmur.
Gourmet Association terlihat paling serius—sepertinya mereka tahu sesuatu.

[Kalian akan mulai dari pulau - pulau kecil (tutorial). Dari sana menuju pulau utama.]

“Tutorial? Kami ini konstela!”

[Kalian boleh skip. Tapi silakan mati cepat kalau coba lewat jalur cepat.]

Yep. Bahasa dokkaebi =
“Lewati tutorial = neraka mode nightmare 4D.”

Bihyung melirikku dan berkedip iseng.

[Pilih pulau awal. Yang mau bareng, pilih pulau yang sama.]

Kami memilih pulau yang sama.
Beberapa konstela langsung ikut memilih pulau yang kutuju.

“Tahu apa yang harus dilakukan?” aku tanya.

Jung Heewon mengangguk.
“Begitu muncul, langsung lari ke tengah pulau.”

“Benar. Jangan berkelahi. Jangan berhenti.”

Reincarnation Island bukan skenario biasa.
Bahkan di tutorial, kau bisa mati.
Mereka percaya padaku… dan entah kenapa, itu membuat dadaku terasa berat.

[Transfer dimulai!]

Aku menggenggam Unbroken Faith.
Setiap detik berharga.

“Ketemu di desa.”

Cahaya menelan tubuh kami.

[Main Scenario #80 – Reincarnation Island dimulai.]

Gelap.
Lalu hawa hutan.
Aku mendarat sendirian.

[Kamu berada di Island 531. Temukan desa.]
[Hidden Scenario – Survival Game dimulai.]

Langit bergemuruh.

[Clear: masuk desa atau bunuh pesaing.]
[Limit: 24 jam. Hadiah: 50.000 coins. Gagal: mati.]

Sudah kuduga.

Rasa aura mematikan muncul.
Terlambat untuk sembunyi.

[Demon King ‘Magic Peacock of Geometry’ menunjukkan permusuhan.]

Andrealphus. Demon King lantai 65.

[“Jadi kau yang menghabisi Amdusias?”]

Bulu-bulu mengilap, sihir biru pekat berkumpul.
Dia pakai banyak skill—magus tipe pencakar langit.

Ia meludah seperti burung meremehkan.

[“Jangan sombong seperti kuda pejantan.”]

Ia meluncur sambil chanting.
Aku ikut berlari.

[“Gerakanmu payah. Hanya manusia biasa.”]

Aku diam dan memacu kaki.
Tanpa Way of the Wind—lambat. Tapi cukup.

Andrealphus mendecak.

[“Mati.”]

Hellfire, lingkaran ke-9.
Api neraka menghantam udara—

Dan hanya… berkelip kecil. Psst—padam.

[Hellfire ditolak oleh probabilitas pulau.]

Aku sudah di depan wajahnya.

“Di pulau ini… tidak ada sword master, tidak ada magician circle-9.”

Mata Andrealphus melebar kaget.

“Jadi menurutmu Hellfire bisa?”

[Pengaruh besar probabilitas!]
[Attributes Window dinonaktifkan.]
[Stat di-reset.]
[Skill generasi setelah ‘Angkatan Pertama’ DIBATASI.]

Semua kemampuan… dihapus.

Andrealphus mencoba bertahan—terlambat.

Aku mengayun Unbroken Faith—murni teknik, tanpa skill.
Kring!
Pedang menusuk jantungnya.

Tubuhnya tumbang.
Tanganku gemetar—pedang terasa jauh lebih berat dari biasanya.
Matahari menyengat, otot-ototku lemah.

Aku menghela napas, mencabut pedang.

“Inilah kenapa aku benci cerita tua.”

Tidak ada sistem.
Tidak ada SSS-grade Hunter.
Tidak ada Sword Master.
Hanya tubuh, napas, teknik asli.

[Old Stories menatapmu.]

Reincarnation Island.
Kuburan para ‘kisah generasi pertama’—yang sudah punah dalam Star Stream.

Ch 358: Ep. 67 - Forgotten People of the Scenario, III

Lee Hyunsung punya satu pikiran:
Mungkin beginilah perasaan kakeknya ketika ikut perang Vietnam.

Hutan lebat, dedaunan rimbun.
Ia berbaring rendah di antara pepohonan raksasa, mengingat pelatihan survival militernya.

‘Merayap rendah menuju ilalang, tetap di bawah garis pandang musuh.’

Lee Hyunsung berpindah—low crawl, high crawl—bergantian.
Rasanya ingin langsung lari ke lapangan terbuka, tapi beberapa kelompok konstela sedang bergerak di sana.

Seseorang bergerak di antara pepohonan. Hyunsung menahan napas dan merapat ke batang pohon.

[Demon King of Salvation jelas memilih pulau ini.]
[Kalau kita berhasil memburunya, bagiannya gimana?]
[Yang motong kepalanya dapet setengah.]

Bisik-bisik konstela. Semua mengincar Kim Dokja.
Hyunsung ingin lompat keluar dan langsung patahkan leher mereka.

Tapi—

“Pokoknya lari ke tengah pulau.”

Itu perintah Kim Dokja.
Hanya begitu cara bertahan hidup di survival game ini.
Pria itu tahu masa depan dunia ini.

Hyunsung menyesal tidak bertanya lebih banyak soal Ways of Survival.
Semakin banyak isi “manual”, semakin aman.
Seperti… bagaimana nasib versi dirinya nanti?

‘Sekarang bukan waktunya mikir yang nggak penting.’

Ia menepuk pipi. Kalau Dokja-ssi tidak menjelaskan, pasti ada alasannya.
Fokus pada situasi.

Semak bergerak. Tidak ada suara bicara.
Gerakan hati-hati—orang yang paham taktik penyamaran. Semakin dekat.

Hyunsung mengeluarkan belati. Dokja bilang hindari bertarung… tapi kadang itu mustahil.

‘Kalau tak bisa hindari, lakukan dengan bersih.’

Ia bukan lagi prajurit yang mundur dari ketidakadilan di skenario pertama.

Sosok memasuki jarak serang. Siluet seragam spesial…

“...Heewon-ssi?”

“Uwaaa!”

Sword of Judgment menembus semak. Hyunsung refleks menunduk.
Tak lama, kepala Jung Heewon muncul.

“Hyunsung-ssi?! Sorry!”

“Tidak apa. Kamu baik-baik saja?”

Dia tidak sempat lega—dua anak menempel erat di pinggang Jung Heewon: Shin Yoosung & Lee Gilyoung.
Wajah keduanya pucat pasi.

“Apa kondisi mereka?”

“Aku juga baru ketemu. Sepertinya barusan lihat sesuatu yang… berat.”

Ya, pulau ini memang aneh.
Heracles Shield di punggung Hyunsung terasa sangat berat—padahal biasanya seperti kapas.

Hyunsung mengangkat Yoosung. “Kita harus menuju tengah pulau. Temui Dokja-ssi.”

“Arah tengah?”

“Arah asap itu.”

Asap mengepul di atas pepohonan.

Mereka bergerak. Degup jantung terasa aneh—ada rekan kuat di samping, tapi sesuatu mencengkeram dada.

Tak lama, tepi hutan muncul.
Hamparan padang luas. Asap tidak jauh. Tapi—di antara mereka dan tujuan, sekelompok konstela berkumpul, penuh relic & senjata bintang.

“Dikejar?” Heewon berbisik.

Tak ada pilihan. Masuk ke lapangan = langsung terlihat.
Mutar lewat hutan? Tidak tahu berapa lama.

Yoosung mengangkat tangan, suara kecil, “Ahjussi…”

Ia menunjuk sisi lain lapangan.

Ada sesuatu berlari dari sana.

Suara raungan kasar.
Hyunsung kenal bentuk itu—monster klasik dari ratusan manhwa & novel fantasi.

Heewon membelalak. “Orc? Kok bisa muncul di skenario ke-80? Mereka kan… lemah?”

Orc. Monster sejuta umat.
Ironis—mereka sudah sampai titik ini tanpa pernah bertemu satu pun orc.

Di tengah lapangan:

[Berani sekali mengabaikan kita!]
[Lelucon apa ini?!]

Satu konstela maju, wajah jengkel.
Meninju orc dengan santai—

Dan… KRAKKK!
Tangannya remuk.

“...Apa?”

Kapak batu terbang, DUAR!
Kepala konstela meledak. Tubuh inkarnasinya tumbang konyol.

Dua orc saja sudah menjadikan lapangan itu lautan darah.

[Kuaaaak!]

Konstela—para penguasa gunung & laut—disobek begitu saja.

Hyunsung & Heewon terperanjat.

Secepat itu?
Konstela… mati oleh orc?

“Hei, kabur!”

Dalam hitungan detik, 10 konstela berubah daging cincang.
Orc menoleh ke arah hutan.

Mereka melihat… dan berlari.

Ke arah mereka.


Tolong jangan orc. Tolong jangan orc.
Aku mengulang doaku sambil berjalan terseok di hutan lembap ini.

Napas putus-putus, keringat membanjir.
Tanpa stats, stamina tubuh manusia biasa… busuk sekali.

Bahuku rasanya seperti diikat beban pasir.

Reincarnation Island.
Tempat kisah-kisah tertua Star Stream berkumpul.
Semua buff, sistem, kemampuan reset.

Hanya tubuh murni.

Karena itulah aku bisa menebas demon king tadi.
Banyak konstela manja tidak pernah latihan fisik.

Kasihan Andrealphus.
Terlalu percaya kekuatan sistem.
Hasilnya: mati seperti ayam.

[Kamu telah membunuh 1 kompetitor.]
[Bonus diberikan saat masuk safe zone.]

Aku minum air jernih dari sungai kecil.
Dingin, menyucikan.

“Air generasi pertama… bersihnya absurd.”

Sebagai pembaca, aku suka cerita klasik.
Petualangan, pedang, naga, elf, dwarf.

Masalahnya: sekarang aku hidup di dalamnya.
Tidak ada sistem. Tidak ada jendela status.
Tidak ada resistensi dingin. Tidak ada anti-penyakit.

Beberapa konstela di novel asli bahkan mati karena flu.

Konstela, penguasa bintang — kalah sama demam dan orc.

Ironis.

[Peserta Pulau 861 musnah.]
[Peserta Pulau 1896 musnah.]

Dimulai.
Pulau penuh tragedi.

Konstela mati karena monster yang dulu mereka remehkan.

[Banyak konstela syok.]
[Banyak protes pada biro!]

Tidak berguna. Ini aturan pulau.
Demon king atau archangel sekalipun bisa mati bila ceroboh.

Semak bergerak.
Suara khas. Kulit hijau, tinggi setengah badan—

Goblin.

Syukurlah, bukan orc.

Teriakan kecil—aku refleks mengayun pedang.
Tubuhku ikut terdorong—lemah sekali.

Goblin pertama tumbang.
Tapi—

「Hukum generasi pertama: goblin tidak pernah sendirian.」

Dua goblin muncul, memukul dengan gada.
Gada satu mengenai paha kiri—panas menusuk.

Sial. Goblin di sini lebih menakutkan daripada demon king.

[Fourth Wall aktif!]

Baru saja…
Suara berat bergema dari langit.

[Administrator pulau menilai skill-mu tidak adil.]
[Skill Fourth Wall diblokir.]
[Probabilitas Star Stream menyetujui.]

Dunia bergetar.

Fourth Wall…
menipis.

「Kim Dok… ja… maaf…」
「Aku… tidak punya kekuatan di pulau ini…」

“…Apa?”

[Penguatan mental hilang.]
[Reduksi rasa sakit hilang.]
[Pertahanan spiritual kembali normal.]

Sakit. Sakit sekali.
Darah merembes, napas panas—

Sialan.

Ch 359: Ep. 67 - Forgotten People of the Scenario, IV

Aku menelan sumpah serapah.
Kalau Fourth Wall menipis begini…

Rasa sakit aneh yang sempat kulupa saat bertarung—kini kembali.
Luka di tulang kering dan lengan menyengat.
Kaos basah lengket di kulit, panas hutan berputar di kepala.

Harusnya aku lebih rajin olahraga…

Sebuah gada berduri terayun ke arah kepalaku.
Aku berguling, menghindar. Sendi berderit saat kupaksa bergerak cepat. Goblin itu mengikuti arahku, menghantam tanah seperti sedang main whack-a-mole.

Bulu di punggung tanganku berdiri ketika darah menetes dari gada penuh duri itu.
Bau besi. Bukan pertama kali. Tapi rasanya… aneh.

[The Fourth Wall has become very thin.]
[The ‘Fourth Wall’ is shaking dangerously.]

Aku melompat, mengatur posisi pedang.
Dua goblin menatapku dengan mata merah, mengepung. Sedikit saja celah, mereka akan menerkam dan mencabikku hidup-hidup.

Begitu keinginan membunuh mereka kubaca, rasa takut mati menyergap.

Dari balik Fourth Wall yang menipis, emosi yang selama ini kutekan…
tumpah keluar.

Jadi… beginilah cerita yang sebenarnya selama ini.

Aku mengatur napas yang gemetar.
Harus bertarung. Bisa bertarung. Semua rekanku melewati ketakutan ini.
Selama ini aku satu-satunya pengecut yang memakai dinding untuk lari dari rasa sakit.

「Kim Dokja menggenggam Unbroken Faith dengan tangan yang bergetar.」

Pikir.
Dengan tubuh lemah begini, bagaimana cara melukai goblin? Skill tidak bisa dipakai.
Tapi stigma…

Masih bisa—meski level-nya reset.

Goblin mendekat. Aku mengaktifkan Song of the Sword.

[This isn’t your stigma.]
[Effect fixed to minimum.]

「Hari kedua. Cerah. Aku bangun pagi dan memeriksa senjata.」

Unbroken Faith hanya berkilau tipis—lalu kembali normal.

Sial… kukira bakal keluar panah api atau apa.

Sedikit saja lebih ringan, untungnya.

Kieeeek?
Goblin itu mengejek dan menghantam pedangku.

KLANG!

Rasanya pergelangan tanganku pecah.

Goblin mungkin terlihat tolol—tapi tubuh mereka diciptakan untuk bertahan hidup di tempat ini.

Gada kedua meluncur ke pinggangku. Terlambat untuk menangkis.
Aku menendang gada itu—durinya menusuk telapak kakiku.

Kupaksa rahangku menahan teriakan. Darah meruap. Goblin makin liar mencium bau itu.

Kalau stigma tak bisa…
Maka metode kedua.

[Giant Story ‘Demon Realm’s Spring’ responds to your will.]
[Giant Story ‘Torch That Swallowed the Myth’ responds to your will.]

Di pulau ini, bukan skill. Cerita.

[You cannot control these stories.]
[Your stories reject your command.]

Astaga.
Aku terlalu lemah sekarang—bahkan ceritaku sendiri tak mau menuruti.

[‘Demon Realm’s Spring’ watches you with regret.]
[‘Torch That Swallowed the Myth’ covets your weakened body.]

Panas naik di dada. Goblin mundur sepersekian detik, ketakutan pada cerita-cerita itu—tapi lalu kembali menyerang.

Stigma diblokir. Cerita tidak nurut.
Tersisa cara terakhir. Yang tak ingin kupakai.

Saat aku menghimpun sihir di dalam tubuh—

Swoosh!

Sebuah belati menembus tengkorak goblin.
Yang satu lagi ditebas lehernya oleh pedang cepat yang kukenal.

Ponytail berkibar.
Aku menghela napas.

“Ahjussi, kamu nggak apa-apa?”

Lee Jihye, penuh lumpur, menatapku.


Sebenarnya aku sengaja pakai Song of the Sword barusan.
Bukan cuma untuk lawan goblin.

Karena kalau kupakai stigma itu—pemilik aslinya pasti sadar.

“…Syukurlah kamu yang muncul.”

Lee Jihye mencuci muka di sungai. Wajahnya kusut, seperti habis diseret hidup-hidup.

“Apa sih tempat gila ini? Skill nggak bisa, stigma nggak bisa. Kalau bukan karena pelatihan dari kakek Kyrgios, aku sudah mati!”

“Kamu terluka?”

“Nggak. Aku sembunyi.”
Ia menatapku curiga. “Kamu kenapa sampai babak belur begini?”

“Hanya… begitu.”

Aku mengoleskan Cut Medicine pemberian Lee Seolhwa.
Tidak kusangka, lawan goblin saja seberat ini.
Bagaimana nanti?

Jihye menghela napas, lalu—tanpa sabar—merebut obat itu.

“Kasih sini. Kamu nggak bisa nempelin sendiri di punggung.”

“Awas. Sakit sedikit aja aku mati.”

“Jangan manja. Ngomong-ngomong, dari dulu kamu sekecil ini?”

“…Massa ototku cuma sedikit berkurang.”

“Bahu kita kayaknya sama lebar, tahu nggak?”

Aku mengulurkan tangan ingin merebut obat—dan gagal. Jihye lebih kuat.

“Gerak, patah nanti tulang bahumu.”

Sudah lama aku tak merasa setidak berdaya ini.

“Sudah.”

Luka cepat membaik.
Bahkan di “generasi pertama”, ada obat dan teknik macam ini.

Kami berjalan lagi. Langit mulai gelap.

“Kita kemping di sini?” kata Jihye.

Aku mengangguk.
Malam = bahaya. Tidak ada skill malam. Monster lebih parah.

[Night has fallen.]
[Some system functions restored.]
[Dokkaebi Bag available.]

Aku buka Dokkaebi Bag, beli perlengkapan: tenda, alarm, item penyembuh.

Jihye mengedip. “Pertama generasi tapi bisa belanja?!”

“Di dunia mana pun, skenario tetap butuh… uang.”

Ia pasang tenda, memandangku seperti aku anak TK.

“Ahjussi katanya pernah wajib militer. Masa dirikan tenda aja nggak bisa?”

“Sudah lama sekali aku Wamil. Kamu kenapa jago?”

“Aku dulu pramuka.”

Tepat. Setting Jihye.
Dia selesai bantu, lalu kami duduk di depan api kecil.

Diam.
Dia menunggu. Aku tahu.

Akhirnya ia bicara pelan, “Ahjussi… boleh tanya?”

“Tanya.”

“Waktu novel itu mulai… kapan?”

“Lebih dari 10 tahun lalu.”

Ia menunduk.
“Kalau begitu… aku bagaimana dituliskan?”

Aku mengingat:

Admiral Lee Jihye. Gadis yang mengayunkan pedang demi melindungi rekan-rekannya. Pride-nya tinggi tapi hatinya paling lembut. Semua emosi tertulis jelas di wajahnya.

Aku pilih kata hati-hati, menghindari lukanya.
Ia mendengus.

“Terlalu bagus. Sampai aku curiga. Detailnya sebanyak itu?”

“Novelnya panjang.”

“Tapi kok kamu ingat semua? Gimana bisa?”

“Aku baca ulang terus.
Saat SMP, hobiku cuma baca novel itu.”

“…Ahjussi waktu itu masih SMP?” ia tertawa. “Berarti lebih muda dari aku pas baca. Konyol.”

“Semuanya pernah umur 15.”

[‘Abyssal Black Flame Dragon’ mengangkat kepala.]

Jihye menatap gantungan kecil di sarung pedangnya.
Aku juga tahu benda itu.

“Kamu tahu benda ini?”

“Sedikit.”

“Itu bukan hal pribadi."

Gantungan itu—pemberian teman yang mati di skenario pertama.

「Jihye. Bunuh aku. Tidak apa-apa.」

Lee Jihye.
Pedang Iblis yang Terluka.
Sifat itu takkan hilang meski “ceritanya” berubah.

“Ahjussi… aku… di akhir novel… apa yang terjadi padaku?”

Aku tahu jawabannya.
Dan… tidak ingin mengatakannya.

Tanda alarm berbunyi—keras, ritmis, menakutkan.

Jingle jingle jingle—

“Ahjussi.”

Ada sesuatu datang.
Bukan goblin. Bukan orc. Lebih buruk.

Aku menelan ludah. “Kamu hidup sampai akhir. Bahagia.
Seperti di novel.”

Itu bohong.
Tapi novel ini… sejak awal memang penuh kebohongan.

“Hidup dan lari ke desa. Aku tahan dia.”

“Aku nggak mau! Ahjussi kabur! Kamu lebih lemah!”

“Kamu tidak bisa lawan ini. Cepat. Bawa bantuan. Itu satu-satunya cara kita selamat.”

“…Beneran?”

“Percaya siapa aku?”

Jihye menatapku sebentar, mengangguk. “Bertahan. Aku balik!”

Begitu ia pergi—
troll hijau raksasa menembus hutan. Tiga meter, gigi kotor, gada penuh serpihan tulang.

Sial. Troll, bukan orc.
Tidak ada jalan kabur. Walau seluruh party pun, mustahil menang.

Grrrr…

Aku mengangkat Unbroken Faith dan tertawa kering. Sekali pukul saja aku tamat.

Suara benda berat menghantam tanah—

THUD

Troll meraung—
karena pedang menusuk perutnya.

Lee Jihye berdiri di sampingku, napas memburu.

“Aku tahu kamu bohong. Dasar ahjussi tukang ngibul.”

「Sang Admiral tidak meninggalkan rekannya, meski harus mati.」

Aku juga tertawa. Troll menarik pedang keluar—lukanya sembuh instan.

“Kalau mati, kita mati bareng ya, ahjussi.”

“Aneh. Tapi… ya.”

Suara denting pedang dari hutan—

Swoosh!

Cahaya perak membelah gelap.
Leher troll terbang, tubuhnya tumbang.

「Tema favorit generasi pertama: cinta, persahabatan, romansa.」

Para tokoh dari kisah pertama muncul.

“381 tahun… baru lihat pengorbanan macam ini lagi.”

“Tidak perlu kata-kata. Teman sejati.”

Satu per satu sosok keluar dari gelap.

Siluet yang kukenal.

“Lama ya. Di luar baru tiga tahun?”

Aku menyalakan nama di ingatanku.
Aku tahu mereka.

Ch 360: Ep. 67 - Forgotten People of the Scenario, V

Janggut tebal dan alis tebal yang tampak gagah. Bibir penuh yang menyiratkan karakter tegas dan lurus. Pria yang muncul dari kegelapan itu persis sama seperti ketika terakhir kali kutemui tiga tahun lalu.

Pedang Pertama Goryeo?

“Aku tak menyangka akan bertemu di tempat seperti ini, Kim Dokja.”

Konstelasi Semenanjung Korea, Cheok Jungyeong, berada di Reincarnation Island.


Dari Dark Castle sampai Demon King Selection, aku berutang banyak padanya.
Aku menahan rasa lega yang hampir bocor keluar. Cheok Jungyeong memang konstelasi yang baik… tapi tujuan kedatangannya belum jelas. Kalau tujuan kami saling bertentangan, itu akan jadi masalah besar.

“Aku khawatir karena kau tidak mengirim pesan-pesan tidak langsung lagi.”

“Aku menahan diri untuk tidak muncul di stream untuk sementara.”

Lebih dekat, aku melihat seluruh tubuh Cheok Jungyeong terlihat lebih tajam, lebih matang dibanding dulu.
Sesuatu terlintas di benakku.

“Jangan-jangan… kau sudah datang sejak sebelum skenario mulai?”

“Sudah 15 tahun.”

Lima belas tahun?
Kalimat Ways of Survival langsung muncul.

「 Reincarnation Island berada di Dark Fault. 」

Tiga tahun di dunia luar, tapi waktu di Dark Fault berjalan beberapa kali lebih cepat.
Kyrgios dan Breaking the Sky Sword Saint juga pernah ke sini.
Sekarang, kepadatan waktunya sekitar lima kali lipat.

“Jadi alasanmu di sini…”

Cheok Jungyeong menggeleng.

“Walau itu mungkin outer god… aku tetap tidak bisa menahannya.”

Aku melihat kembali momen tiga tahun lalu — saat 73rd Demon Realm hancur. Cheok Jungyeong kehilangan tubuh inkarnasinya melawan bencana itu.

Dia, orang yang begitu bangga, bahkan terpukul karena ada eksistensi seperti itu di dunia.

Dan justru itu membuktikan betapa keras kepala dan mulianya dia.
Konstelasi lain hanya melihat saja lalu runtuh dalam ketakutan, sementara dia — terus berusaha menghancurkan monster itu.

Begitulah tema dari sosok bernama Pedang Pertama Goryeo.

“Aku merasa harus berlatih ulang dari dasar. Dan pulau ini adalah tempat yang sempurna.”

Cheok Jungyeong menatap para orang yang bergerak lincah di balik semak. Mereka bergerak cekatan meski hutan panas dan lengket begini.
Mereka adalah para ‘yang terlupakan’ — orang-orang yang sudah hidup berkali-kali di pulau ini.

Salah satu dari mereka menyadari tatapanku dan mendekat.

“Kau berhasil selamat. Biasanya, konstelasi dari luar mati dalam waktu kurang dari satu jam. Ah, kecuali monster bernama ‘Cheok’ itu.”

“Terima kasih atas bantuannya. Aku Kim Dokja.”

Aku tidak menyebut julukanku. Di generasi pertama, terlalu pamer itu dianggap menjijikkan.

Pria itu tertawa kecil, puas dengan jawabanku.

“Aku sudah melupakan namaku. Semua orang di sini begitu.”

Mereka bukan benar-benar lupa.
Mereka hanya terlalu lelah untuk mengingat masa lalu.

Aku bisa mencium “aroma tua” yang pekat dari cerita-cerita mereka — tajam, kokoh, mengeras lewat waktu.

Lee Jihye berbisik rendah, “Kenapa mereka begitu kuat?”

Wajar dia penasaran.
Para ‘yang terlupakan’ itu membunuh troll yang hampir membantai kami hanya dengan sekali pukul.

“Jumlah dan kualitas cerita mereka lebih tinggi dari kita,” gumamku.

“Sebagus apa pun cerita, percuma kalau kau tak bisa memakainya dengan benar.”

Aku hendak menjelaskan… tapi Cheok Jungyeong mendahului.

“Benar. Meski kau punya sepuluh pedang, manusia hanya bisa menggenggam dua dengan benar.”

Dia — adalah pedang. Tubuh, hati, dan kisahnya — semuanya adalah pedang.

Jihye menatap tangannya seolah baru tercerahkan.

Cheok Jungyeong menatapku dalam.

“Kau sudah mengumpulkan banyak cerita besar. Sekarang kau tidak kalah dari para konstelasi top.”

“Kau melebih-lebihkan.”

“Tapi… kau mengumpulkannya terlalu cepat. Kau tahu apa kondisimu sekarang?”

Aku terdiam.
Dia benar.

[Giant Story ‘Torch That Swallowed the Myth’ mengincar tubuh inkarnasimu!]
[Story ‘Person who Opposes the Miracle’ meragukanmu!]
[Story ‘One Who Killed an Outer God’ tidak puas padamu!]

Aku membesarkan cerita-cerita raksasa ini secara salah.
Sedikit lagi saja, aku akan direbut oleh ceritaku sendiri — seperti konstelasi yang karam di Duet Between Good and Evil.

“Jangan lupa. Setelah sebuah eksistensi menciptakan cerita… cerita itu akan menciptakan eksistensinya.”

Aku mengangguk.

“Aku tahu. Karena itu aku datang ke sini.”

Sesaat kemudian —

[You have arrived in the first safe zone!]

Kami memasuki desa.

Rumah sederhana. Anak-anak. Hewan ternak. Orang-orang bekerja.
Terlihat biasa — tapi terasa tidak biasa.

Sebuah dunia yang menolak mati.


‘Yoo Sangah-ssi?’

(Maaf, mengejutkan?)

‘Tidak masalah. Bisa bicara sekarang?’

(Iya. Lagi waktu istirahat. Dindingnya juga sibuk.)

Suara Yoo Sangah terdengar lebih dekat dari biasanya — karena Fourth Wall menipis.

(Desa ini seperti mural yang dilukis oleh banyak tangan selama ratusan tahun…)

Aku mengiyakan dalam hati.

Orang-orang di sini hidup seperti sudah melihat segalanya.
Datar. Jenuh. Tapi utuh.

Sementara itu…

Para konstelasi lain memasuki desa dari gerbang lain — salah satunya…

[Demon King ‘Eyes that See the Forbidden’ melihat ke arahmu.]

Flauros.
Demon King ke-61.
Si kucing hitam gila kekuasaan yang pernah kubunuh bersama Yoo Joonghyuk di putaran 1863.

Dia melihatku, meremehkan, lalu berpaling — sadar ini bukan tempat untuk cari ribut.

Untung ada Cheok Jungyeong di sisiku.


“NPC, cepat pandu kami lanjut!”

Salah satu konstelasi besar ribut.
Para penduduk menatap… datar.

Anak kecil mengisap permen dan berkata santai,
“Kalian serangga yang belum hidup seribu tahun jangan berisik.”

Wajah Flauros menghitam.

[Tidak ada larangan membunuh NPC kan?]

Dia mengangkat status. Para konstelasi tertawa mendukung.

Penduduk?
Mereka bosan saja. Satu mencuci baju. Satu potong kayu. Satu beri makan sapi.

Flauros, dipermalukan, mengincar anak kecil itu.

[Mati kau!]

Dia melesat.

Dan dalam sekejap — DUAR!

Kepalanya meledak seperti kembang api.

[Eyes that See the Forbidden has been eliminated from the scenario.]

Hening.
Shock.
Tak ada upacara. Tak ada minat.

Anak itu hanya berkata datar, “Minggir. Aku nggak mau lihat kalian.”

Konstelasi gemetar, lalu kabur satu per satu ke portal.

[Giant Story ‘Torch That Swallowed the Myth’ menggertakmu!]

Aku mendekati anak itu.

[Jika kau mendekat, tubuh inkarnasi akan dihancurkan!]

Aku mengabaikannya.

“Apa? Kau mau bernasib seperti dia?” anak itu mendelik.

“Satu Tinju Tak Terkalahkan, Yoo Hoseong. Guru dari Breaking the Sky Sword Saint dan Kyrgios.”

Anak itu, yang telah hidup ribuan tahun, menyipitkan mata.

“Siapa kau? Apa hubunganmu dengan anak-anak itu?”

Aku merasakan darah naik ke tenggorokan.
Tapi aku maju.

“Aku datang ke sini untuk satu alasan.”

Aku menunduk, suara berat.

“Tolong ajari aku Story Control.”

 

 

 

 

 

 

Nunaaluuu Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review