Rabu, 22 Oktober 2025

Chapter 031-040

 

Chapter 31

Lilica menghela napas, membuat Ludia menoleh padanya.

“Ada apa?”

“Tidak apa-apa.”

Lilica menggeleng pelan. Ludia tersenyum tipis dan bertanya,

“Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Diare? Kau menyukainya?”

“Iya.”

Lilica mengangguk. “Syukurlah,” gumam Ludia ringan.

Diare Wolfe.

Sebelum masa kembalinya Ludia—ketika ia dijatuhi hukuman mati dan menanti ajalnya—nama itu sudah dikenal luas.

Saat itu, Diare telah menjadi salah satu dari tiga kesatria terkuat di kekaisaran. Ia terkenal bukan hanya karena keahliannya, tapi juga karena sifatnya yang keras kepala.

“Kalau tidak salah, dia pengguna artefak keluarga Wolfe, kan? Namanya ‘Fangs’, ya?”

Keluarga kuno memiliki berbagai artefak pusaka. Jumlah artefak yang mereka miliki menjadi simbol kejayaan keluarga tersebut.

Beberapa artefak yang ditemukan dari reruntuhan pulau utama yang tenggelam telah menjadi legenda—ada yang terkenal, ada pula yang diselimuti misteri.

Karena seni penciptaan artefak telah lama hilang bersama dengan sihir kuno, semua keluarga menjaga artefak mereka seperti harta paling berharga.

Sebagian artefak memiliki syarat penggunaan yang rumit, dan Fangs termasuk salah satunya.

Artefak itu hanya menjadi nama tanpa makna selama bertahun-tahun, karena tak ada satu pun pewaris keluarga Wolfe yang mampu menggunakannya—hingga Diare lahir.

Diare menjadi pengguna Fangs termuda sepanjang sejarah keluarga Wolfe.

“Aku memang tidak tahu banyak soal artefak itu…”

Yang Ludia tahu hanyalah bahwa Fangs dapat meningkatkan kemampuan fisik pemiliknya secara luar biasa.

Mengetahui ada talenta sehebat itu yang sebaya dengan Lilica, ia pun memilih untuk menempatkan Diare di sisi putrinya.

“Meski masih muda, dia sudah dijuluki Diare si Tak Tergoyahkan.”

Ludia berpikir, Lilica harus belajar membangun koneksi, dan Diare adalah awal yang tepat.

“Kalau kau merasa sedih atau tertekan, kau harus bilang pada Ibu, ya?”

“Iya,” jawab Lilica sambil mengangguk.

Namun, bukan Diare yang terlintas di benaknya, melainkan Fjord.

Fjord pasti akan senang mendengar kabar ini.

‘Tapi Atil pasti marah.’

Tidak, bukan “pasti”—dia akan marah.

Lilica menelan ludah, menahan keluhan yang hampir keluar. Apa yang harus ia katakan pada Atil nanti?

Sambil memikirkan hal itu, ia memakan kudapan kecil di depannya. Rasanya manis, tapi anehnya meninggalkan rasa getir di mulut karena pikirannya yang tak tenang.

Tak ingin larut dalam kecemasan, Lilica berdiri dari kursinya.

“Ibu, aku pamit dulu.”

“Sudah mau pergi? Ibu mau memesan gaun baru, ayo sekalian kita buatkan untuk Lilica juga.”

“Aku tidak apa-apa. Lagipula minggu ini sudah dua kali aku diukur untuk jahitan baru.”

Lilica menggeleng cepat. Sebenarnya, ia ingin sekali punya gaun bergaya putri sejati, tapi karena ibunya selalu mengenakan gaya bustle, ia tidak berani meminta.

Ludia mengecup pipi putrinya dengan lembut sebelum membiarkannya pergi.

Begitu tiba di kamar, Lilica menutup rapat pintu ruang belajarnya dan mengeluarkan secarik kertas dari sakunya.

Perlengkapan: Pendulum.

“Pendulum? Apa itu?”

Kata asing itu membuatnya terdiam sesaat.

Masih bingung, Lilica keluar kamar dan memanggil,

“Brynn.”

“Ya, Yang Mulia Putri?”

“Brynn tahu pendulum itu apa?”

“Tentu. Itu bola kecil yang diikat dengan tali. Dulu sempat populer, digunakan untuk mencari sumber air, atau untuk ramalan arah dan nasib.”

“!!”

Mata Lilica langsung berbinar.

Melihat ekspresi itu, Brynn segera paham dan bertanya pelan,

“Apakah Yang Mulia membutuhkannya? Ingin saya carikan?”

“Bisa dipesan?”

“Bisa, tentu saja. Pilih saja batu permata yang diinginkan, nanti pengrajin akan membuatkannya.”

“Tapi aku butuhnya hari ini…”

“Kalau begitu, kita bisa buat sementara malam ini.”

“Bisa?”

Brynn menepuk dadanya dengan percaya diri. “Tentu bisa, saya ini Brynn Sol milik sang putri.”

Ia memanggil pelayan untuk membawa kotak perhiasan, melepas liontin dari kalung batu permata miliknya, lalu dengan cekatan mengikatnya pada seutas tali halus.

“Nah, ini bisa digunakan sementara. Pegang ujung talinya seperti ini. Lihat, batu permatanya akan berayun seperti pendulum. Inilah pendulum.”

“Begitu, ya.”

Lilica menatap batu itu berayun pelan, lalu tersenyum pada Brynn.

“Terima kasih, Brynn.”

“Sama sekali bukan masalah. Nanti pagi saya akan hubungi pengrajin untuk membuat yang asli.”

Pendulum memang sempat populer di kalangan bangsawan muda, bersamaan dengan astrologi.

Dulu, mereka saling memamerkan pendulum dari emas, perak, atau batu berharga—jadi tidak sulit menemukan pembuatnya lagi.

‘Karena ini milik sang putri, tentu harus terlihat imut,’ pikir Brynn sambil tersenyum puas.

Namun Lilica masih tampak ragu.

Brynn menunduk sedikit, menatapnya lembut. “Ada yang lain yang Yang Mulia inginkan?”

“Itu…”

Hari ini adalah pelajaran sihir pertamanya. Ia ingin tampil sedikit lebih formal.

Kini ia tahu, di hadapan Yang Mulia Kaisar, ia harus berpenampilan pantas. Tapi Lilica tak punya tenaga untuk mengganti pakaian sendiri.

‘Waktu kita membahas buku sihir, Brynn bilang tidak apa-apa…’

Dengan suara kecil, Lilica berbisik,

“Aku akan bertemu Yang Mulia malam ini, tapi… soal pakaianku.”

“Apakah pendulum itu juga untuk pertemuan dengan Yang Mulia?”

Lilica mengangguk. Brynn tidak bertanya lebih lanjut.

“Baiklah, saya akan menyiapkan sesuatu yang indah untuk dipakai.”

Lilica langsung memeluknya erat dengan rasa terima kasih.

“Terima kasih, Brynn.”

“Saya juga yang berterima kasih, Yang Mulia.”

Sebagai pelayan kepercayaan, tak ada kebanggaan yang lebih besar daripada dipercaya untuk urusan pribadi sang putri.

Malam itu, Brynn menyiapkan pakaian seorang diri agar tak menarik perhatian.

Setelah makan malam, Lilica mengenakan satu per satu pakaian yang telah disiapkan: gaun dengan kerah lebar, pita mungil di dada, kaus kaki selutut, dan sepatu kulit dengan kancing emas.

Rambutnya diikat rapi agar mudah bergerak, dan sebuah topi kecil menjadi sentuhan akhir.

Sambil menggenggam pendulum erat-erat, Lilica menatap cermin.

“Seperti murid sekolah.”

Ia teringat ilustrasi dongeng—murid hewan kecil yang belajar sihir dengan seragam lucu.

Sekejap saja, hatinya terasa ringan. Ia membayangkan bisa mengayunkan pendulum ini dengan gagah, melindungi ibunya, dan mengalahkan penjahat.

“Hehehe…”

Tawanya sendiri membuatnya malu. Brynn tersenyum dan berbisik,

“Kalau begitu, saya pamit dulu.”

“Mm.”

Lilica mengangguk, dan Brynn keluar menutup pintu perlahan.

Lilica duduk di dekat jendela, menunggu diam-diam dengan tangan di pangkuan.

‘Belum datang juga?’

Ia menatap ke luar, berusaha mendengar kalau-kalau ada suara batu kecil dilempar ke jendela.

Mungkin beliau sibuk.

Tepat saat ia menghela napas—

“Kau sudah siap untuk kelas, rupanya.”

“!!”

Lilica terlonjak.

Altheos menangkap kursi yang hampir jatuh.

“Kau makin gesit seperti anak kuda.”

“Bagaimana… bagaimana bisa—”

Kaisar mengangkat bahu santai.

“Tak ada satu pun tempat di istana ini yang tak bisa kumasuki.”

Secara hukum maupun kekuatan.

Lilica menatap kagum. Altheos mengulurkan tangan.

“Ayo.”

“I-iya!”

Begitu tangan mereka bersentuhan, angin kencang berembus di dalam ruangan.

‘Angin? Di dalam kamar?’

“Woah?!”

Ia menutupi wajahnya dengan tangan, tapi ketika membuka mata, semuanya berhenti.

Dan Lilica tertegun.

Mereka kini berdiri di taman istana, diterangi cahaya bulan.

Tak ada satu pun lentera. Hanya sinar perak bulan yang menyelimuti taman dalam keheningan.

“Indah sekali…”

Ia berbisik kagum. Suasana malam membuat tempat yang sama terasa sepenuhnya berbeda.

“Apa yang kau katakan pada Brynn?”

Lilica mengangkat tangan.

“Aku bilang aku akan bertemu Yang Mulia. Brynn bilang akan bantu memesan pendulum, dan membuat versi sementara dari kalung ini.”

Ia menunjukkan pendulum itu.

Altheos menatap batu safir yang berkilau di bawah cahaya bulan, lalu mengangguk.

“Baik.”

Ia menatap gadis kecil di depannya—seorang penyihir mungil yang hidupnya bahkan lebih singkat dari kilasan bintang jatuh.

Seorang yang akan memohon pada bintang.

Kesayangan para dewa.

Baginya, agak ironis bahwa seorang naga seperti dirinya kini menjadi guru sihir bagi manusia kecil ini. Tapi itu tetap lebih baik daripada membiarkannya sendirian.

“Ada tiga hal yang harus diwaspadai oleh penyihir.”

Hal-hal seperti menembus pikiran orang lain,
menertawakan kehidupan dan kematian,
serta mencemarkan kehidupan makhluk hidup—semuanya terlarang.

“‘Berhati-hati’ artinya bisa dilakukan. Dahulu, penyihir memang sekuat itu.”

Altheos menatap Lilica dalam-dalam.

“Aku tak tahu akan jadi seperti apa dirimu nanti.”

“Aku tidak akan melakukannya.”

Lilica menggeleng cepat. Ia tidak ingin menyentuh hal-hal menakutkan seperti itu.

“Baiklah. Untuk pelajaran pertama, tutup matamu. Dengarkan pendulummu.”

Lilica menuruti perintah.

“Bayangkan ada jalur dari hatimu menuju batu di ujung tali itu.”

Sebuah jalur dari hati… jalur dari hati…

Dalam pikirannya, jalur itu tersusun dari kerikil berkilau dan air jernih yang mengalir di atasnya perlahan.

Tiba-tiba, tali di tangannya terasa dingin.

“!”

Ia nyaris terkejut, tapi sepasang tangan besar menopang bahunya dengan lembut.

“Sebagai penyihir, sihir pertama yang harus kau pelajari adalah cahaya. Temukan cahaya di dalam hatimu, kirimkan lewat tali menuju pendulum itu. Cahaya yang tak memancarkan panas.”

Cahaya tanpa panas…

Ia langsung memikirkan bulan yang bersinar lembut di langit malam.

“Jika kau sudah mengumpulkan cahaya di dalamnya, ucapkan ‘Erhi.’”

“Erhi.”

Seketika, cahaya terasa menembus kelopak matanya yang tertutup.

“Sekarang buka matamu.”

Ketika ia membuka mata, pendulum itu memancarkan sinar lembut.

“Wah!”

Lilica menatap terpukau—namun terhenti saat melihat wajah Altheos.

Wajah itu datar. Tapi bukan sekadar tanpa ekspresi—seperti patung kuno yang sudah terkikis waktu. Wajah yang tampak lelah… dan kesepian.

‘Beliau tampak begitu sendiri…’

Lilica mendadak merasa sedih.

Altheos bertemu pandang dengannya, lalu tersenyum tipis.

“Kenapa wajahmu murung, padahal kau berhasil?”

“Itu…”

Ia tak berani mengucapkan bahwa itu karena beliau tampak kesepian.

Tangan besar itu mengusap rambutnya lembut.

“Selama kau tahu bahwa kau bisa menciptakan cahaya kapan pun kau mau, kau tak perlu takut pada gelap.”

Lilica menepis kesedihan itu dan mengangguk mantap.

“Tapi aku tetap takut kalau sendirian. Aku takut kalau Yang Mulia tidak di sini. Tapi… seperti kata Yang Mulia—aku tetap bisa melangkah maju.”

Meskipun takut, ia akan tetap berjalan.

Altheos terdiam sejenak, lalu berkata pelan,

“Itu juga tak buruk.”

Ia menurunkan tangannya.

“Baiklah, pelajaran hari ini selesai. PR-mu adalah mencari tahu arti kata Erhi dalam bahasa kuno. Kau perlu mempelajari bahasa kuno kalau ingin memahami sihir. Minggu depan, jam yang sama.”

Sekejap kemudian, mereka kembali ke kamar Lilica. Pelajaran itu singkat tapi membekas.

“Jangan beri tahu siapa pun kau belajar sihir. Bahkan ibumu pun tidak.”

“Baik.”

Lilica mengangguk sungguh-sungguh. Altheos menepuk dahinya ringan sebelum menghilang begitu saja.

Ia muncul di kamarnya sendiri, melangkah melewati pintu kamar pasangan kerajaan dan masuk ke kamar sang Permaisuri.

Ludia baru saja kembali dari makan malam dan sedang dibantu para pelayan untuk melepas pakaian.

“Tinggalkan kami.”

Begitu mendengar perintah Kaisar, para pelayan buru-buru menyingkir dengan kepala menunduk.

Ludia mengerutkan kening.

“Kenapa menyuruh mereka pergi? Merepotkan saja.”

“Aku bisa melakukannya untukmu.”

Nada tenangnya membuat Ludia tertawa kering.

Cincin pernikahan di jarinya berkilat saat ia lepaskan dan letakkan di atas nampan perak.

Altheos mendekat, mulai melonggarkan tali korset di punggungnya.

Satu-satunya suara di ruangan hanyalah gesekan lembut renda sutra yang melonggar.

“Ada apa?” tanya Ludia, melihat wajahnya di cermin yang tampak suram.

Altheos menunduk, berbisik di telinganya.

“Kita bukan pasangan yang perlu saling peduli.”

“Memang,” jawab Ludia tenang.

Jari-jarinya yang putih menyusuri garis rahang sang Kaisar, menatapnya lewat pantulan cermin.

“Tapi tetap saja, aku penasaran.”

Tatapan biru itu menusuk dalam. Ludia memang selalu begitu.

“Tidakkah kau takut padaku?”

“Takut?”

“Karena aku seekor naga.”

“Tidak.”

“Kenapa?”

“Karena kau tidak akan membunuh atau menyakitiku.”

Ludia menjawab ringan. Terlepas dari kemanusiaannya, Altheos selalu menepati janji.

Mereka telah mengikat kontrak—dan itu sudah cukup untuk membuatnya aman.

“Itu saja cukup bagimu?”

“Ada yang lebih penting dari itu?”

Tali korset jatuh ke lantai tanpa suara.

Setelah korset dilepas dengan terampil, Ludia berbalik, mengenakan gaun linen putih tipis.

Suara Altheos terdengar lebih tajam.

“Bagi sebagian orang, itu justru masalah terbesar.”

Ludia mengangguk.

“Pasti ada orang seperti itu. Tapi kenapa tidak kau buang saja ilusi tentang manusia itu, lalu jadilah manusia seutuhnya dan nikmati hidup mereka?”

“Apa maksudmu?”

Ludia berbicara pelan, santai.

“Makan makanan enak, memakai pakaian indah. Ada kesedihan, rasa sakit, penderitaan… tapi selama masih ada kebahagiaan, ketenangan, dan sukacita—semua itu akan berlalu.”

Ia mengerutkan kening sejenak, lalu tersenyum miring.

“Padahal ini bukan sesuatu yang pantas aku katakan padamu.”

Itu adalah kebenaran yang baru ia sadari belakangan ini.

Ia menatap makhluk di depannya—seekor naga dalam wujud manusia, yang hidup membawa luka purba dan tak tahu cara mengekspresikan perasaannya sendiri.

Ludia sadar, ia bukanlah orang yang pantas memberi nasihat pada makhluk seperti itu.

Namun ia tetap melakukannya.

‘Sepertinya aku mulai meniru Lilica.’

Pikiran itu membuatnya tersenyum samar.

Keheningan menyelimuti mereka cukup lama.

Altheos menunduk, bulu matanya yang panjang menimbulkan bayangan di pipinya.

Tubuhnya sempurna seperti pahatan dewa—dan Ludia tahu, di balik kemeja itu, kulit gelapnya begitu halus, hangat, dan kuat.

Tangan besar itu melingkari pinggang rampingnya.

Ludia menahan napas. Ia bisa merasakan panas tubuhnya menembus kain tipis gaunnya.

“Benar,” suara Altheos terdengar rendah, dalam.

“Aku tahu satu kelebihan menjadi manusia.”

Chapter 32

Lilica membuka buku tentang bahasa kuno, lalu setelah memastikan tak ada orang di sekitar, ia mengeluarkan pendulum dari saku bajunya.

Pedagang yang dibawa Brynn sebelumnya kini bersimpuh dengan penuh hormat di hadapannya, menanyakan motif seperti apa yang diinginkan sang putri kecil.

Sambil berpikir, Lilica teringat pada pelajaran sihir pertamanya.

Bulan… dan hati.

Ketika ia menyebutkan dua hal itu, si pedagang langsung mengangguk mengerti.

Ia melihat Brynn menarik pria itu untuk menanyakan lebih lanjut tentang apa yang sudah dibicarakan.

Pendulum yang datang tak lama setelah itu benar-benar sesuai dengan selera Lilica.

Ia tidak tahu bahan apa yang digunakan, tapi permukaan batu permata berwarna merah muda itu berkilau keemasan saat dimiringkan ke satu arah, dan menampilkan warna pelangi saat dilihat dari sisi lain.

Bentuknya menyerupai bulan sabit, dan di ujung bawahnya tergantung batu ruby merah menyala yang dipoles menjadi bentuk hati.

Sebuah tiara kecil dari emas bertengger di atas kepala bulan itu.

“Karena ini milik seorang putri,” ujar Brynn ramah.

Tali pendulumnya terbuat dari platinum yang diproses khusus hingga ikut berkilau.

Untuk memudahkan pemakaian, di ujung tali terdapat cincin bundar berhiaskan permata warna-warni, sehingga mudah dipegang atau diselipkan ke jari.

Lilica mengangkat pendulum itu, lalu menatap salep di sampingnya.

“Louverda.”

Pendulum itu bersinar. Serbuk berkilau mulai turun dan menimpa permukaan salep.

Lilica segera meletakkan pendulum itu kembali dan menatap salepnya dengan kagum. Kini, di dalam salep itu seolah ada butiran kuarsa yang memantulkan cahaya lembut.

Ia mengambil jarum kecil tanpa ragu.

Ketika menusuk ujung jarinya, setetes darah merah segar keluar.

Ia mengisap sedikit jarinya, lalu mengoleskan salep itu perlahan—dan luka di sana lenyap tanpa bekas.

“Berhasil!”

Lilica mengepalkan tangan dengan semangat. Tugas hari ini juga selesai.

Ia menutup wadah salep dengan rapat, lalu menutup buku tebal itu.

Karena ukuran buku kuno itu terlalu besar, ia sampai perlu bantuan Lauv untuk mengembalikannya ke tempat semula.

“Sihir memang luar biasa.”

Lilica bersenandung kecil sambil keluar membawa salep di tangannya.

“Sudah selesai belajar?” tanya Brynn.

Lilica mengangguk. Kini ia mulai merasakan betapa bergunanya kegiatan belajarnya itu.

“Apakah Ibu punya waktu hari ini?” tanyanya agak gugup.

“Beliau bilang punya,” jawab Brynn.

“Benarkah?”

“Ya.”

Wajah Lilica langsung berseri cerah mendengar jawaban itu.

“Diare juga bilang dia akan datang. Kalian sudah janjian untuk menunggang kuda bersama, kan?”

“Oh, kalau begitu bolehkah aku pergi dengannya?”

“Nanti akan kutanyakan.”

Tak lama kemudian, seorang pelayan datang membawa kabar.

“Beliau mengizinkan.”

“Bagus sekali!”

Lilica tersenyum lebar. Ia tak sabar memperkenalkan Diare pada ibunya.

‘Diare pasti akan terpesona melihat kecantikan Ibu,’ pikirnya senang.

Diare yang datang lebih awal dari perkiraan sempat terkejut ketika tahu ia akan bertemu langsung dengan Permaisuri, tapi tetap mengangguk tegas.

“Baiklah.”

Melihat wajah Diare yang tampak berusaha menyiapkan diri, Lilica tersenyum dan menggenggam tangannya.

Pipi Diare memerah samar.

“Ayo pergi.”

“Ya.”

Ludia menyambut keduanya dengan senyum yang lembut dan bercahaya.

Tanpa sadar, rahang Diare ternganga kecil.

Ia belum pernah melihat seseorang seindah itu.

Bahkan ruangan di sekitar Permaisuri seolah ikut berpendar, seperti ada serpihan cahaya yang melayang di udara.

Dan ini adalah pertama kalinya Diare menghadiri jamuan teh bersama orang dewasa.

Ketika Ludia berbicara padanya dengan nada lembut, Diare merasa dirinya sudah tumbuh besar.

Tadinya ia berencana menanyakan hal-hal seperti “Mengapa Yang Mulia memilih saya?” atau “Apa yang Anda sukai dari saya?”...

Namun saat benar-benar duduk menikmati teh bersama, ia malah terpukau oleh cahaya lembut di sekitarnya hingga waktu berlalu tanpa terasa.

“Aku titip Lily padamu,” kata Ludia akhirnya.

“Ya, tentu saja,” jawab Diare gugup, tak mampu berkata apa-apa lagi.

Setelah jamuan usai, Diare menarik napas panjang sambil berjalan menyusuri koridor istana.

“Permaisuri sungguh luar biasa cantik,” gumamnya pelan.

“Kan? Kan?”

Lilica langsung menimpali dengan ekspresi puas.

“Ya, dan suasananya begitu megah sampai aku nyaris tak bisa fokus…”

Diare menempelkan tangan di dadanya, memandangi Lilica dengan kagum.

Ia membayangkan seperti apa sahabat kecilnya ini ketika dewasa nanti.

‘Dia pasti akan jadi wanita yang luar biasa cantik juga.’

Sekarang saja sudah manis, apalagi nanti.

“Aku tetap paling suka jamuan teh bersama Yang Mulia, Putri,” katanya sambil tersenyum.

Meski teh bersama Permaisuri begitu memesona, yang bersama Lilica terasa lebih nyaman, lebih hangat.

Bagi Diare yang jarang bergaul, ini sudah lebih dari cukup. Ia menggenggam tangan Lilica erat-erat.

“Nanti, kalau sudah dewasa dan banyak orang di sekelilingmu, jangan lupakan aku, ya? Ajak aku lagi ke jamuan teh seperti ini.”

Keinginan khas keluarga Wolfe untuk memiliki sesuatu sepenuhnya mulai tampak dalam ucapannya.

Meskipun kini Lilica hanya berbincang dengannya, setiap bangsawan tinggi pasti punya banyak teman bicara.

“Akulah teman bicaramu yang pertama,” kata Diare sungguh-sungguh.

“Tentu,” Lilica mengangguk lembut. “Diare selalu yang pertama.”

Wajah Diare langsung berseri. Ia memeluk sang putri kecil dengan lembut.

“Terima kasih.”

Lilica terkekeh pelan.

“Kalau begitu, ayo kita berkuda sekarang?” ujar Diare riang.


Keluarga Wolfe memang membiarkan anak-anaknya menjelajahi pegunungan.

Itulah salah satu alasan mengapa mereka melindungi hutan hitam di wilayah kekuasaan mereka tanpa menebangnya.

Namun, wilayah itu tak punya banyak padang rumput luas yang cocok untuk menunggang kuda.

Maka, setiap kali datang ke arena berkuda kerajaan, Diare akan menunggang dengan sepuas hatinya.

Sekarang, kemampuan berkuda Lilica sudah meningkat pesat—ia bahkan bisa menyaingi kecepatan Diare.

“Kalau terus berlari, Saebyeol bisa kelelahan,” kata Lilica sambil terengah. Pipi mungilnya memerah karena panas dan angin.

Diare mendekat dan mengangguk.

“Kalau begitu, kita istirahat dan makan dulu.”

“Mm.”

Mereka mengambil keranjang dari Brynn dan menyiapkan tempat duduk di bawah pohon.

Diare mulai membicarakan rerumputan, bunga, dan serangga di sekitar mereka.

Lilica mendengarkan penuh minat, lalu berkata,

“Diare, aku ingin menata taman. Mau ikut membantuku?”

“Taman?”

“Ya. Taman rahasia di istana.”

Bisikan itu membuat mata Diare berbinar.

“Tentu saja aku mau.”

“Tapi tamannya sudah lama dibiarkan, jadi pasti akan melelahkan.”

“Tidak apa-apa.”

“Baiklah, nanti aku akan mengundangmu.”

“Itu janji, ya.”

Lilica tersenyum gembira mendapat tambahan tangan untuk membantunya.

Diare pun tampak puas.

Setelah melambaikan tangan dan berpamitan, Lilica menoleh ke Brynn.

“Brynn, soal tukang kebun yang pernah kamu sebut…”

“Semuanya sudah siap, Putriku. Tinggal menunggu perintah saja.”

“Benarkah? Kalau begitu, besok ya.”

“Tentu.”

Brynn tersenyum, dan Lilica membalasnya dengan senyum bahagia.

“Brynn selalu mengurus segalanya untukku, jadi aku tenang sekali.”

“Itu sebabnya aku ada di sini,” ujar Brynn dengan bangga. “Kemampuan adalah bukti keberadaanku.”

Bros perak pemberian Lilica berkilau di dadanya.

Malam itu, Lilica menulis surat undangan untuk Diare agar datang keesokan harinya.


Keesokan harinya, Lilica diam-diam menemui tukang kebun itu bersama para pengiringnya.

Brynn selalu kagum karena sang putri tahu jalan-jalan kecil yang jarang dilalui di istana.

Tukang kebun itu seorang wanita berkulit kecokelatan berusia empat puluhan yang tampak penuh semangat.

“Nama saya Ulrang, Yang Mulia Putri. Suatu kehormatan besar bisa bertemu Anda.”

Ulrang melepas topinya, menaruhnya di dada, lalu membungkuk dalam-dalam.

“Senang bertemu denganmu, Ulrang.”

Setelah memastikan kesediaannya untuk menjaga rahasia, Lilica membuka pintu taman dengan kunci miliknya.

Ulrang mengenakan kembali topinya sambil berdecak kagum.

“Tempat ini luar biasa. Rasanya bukan taman istana.”

“Seburuk itu?”

“Bukan, bukan buruk… hanya saja taman istana biasanya tertata dengan pola tertentu, sementara ini terasa lebih alami dan nyaman.”

“Ah, mungkin karena itu aku menyukainya.”

Lilica tersenyum kecil.

Suatu hari nanti, ketika ia hidup bersama ibunya di luar istana, ia ingin punya taman seperti ini—penuh tanaman herbal dan buah raspberry.

‘Untuk itu, aku harus belajar sungguh-sungguh sekarang.’

Ulrang mengeluarkan alat-alat kebunnya.

“Kalau begitu, mari kita mulai dengan menyingkirkan gulma dulu.”

Lilica menerima cangkul kecil yang diberikan.

“Bentuknya aneh, ya.”

“Ini alat baru. Bisa mencabut gulma sampai ke akarnya. Tapi untuk yang tinggi-tinggi itu…”

Lauv sudah menghunus pedangnya.

“Akan kutebas.”

Ulrang tertawa lebar sambil mengayunkan sabit.

“Kalau begitu, kita bekerja bersama. Yang lain juga, ayo mulai.”

Di bawah arahan Ulrang, semua orang ikut bekerja.

Diare mengambil garu dan mulai merapikan rumput yang sudah ditebas Lauv.

Meski tubuhnya kecil, tenaganya cukup kuat.

Matahari begitu terik hingga keringat mengalir di punggung mereka.

Diare mendongak dan terbelalak.

“Wah…”

Taman yang semula tampak seperti hutan liar itu kini mulai berubah bentuk.

Begitu gulma disingkirkan, tanah dan jalan batu yang tersembunyi muncul kembali.

“Menakjubkan.”

Ia merasa bangga.

Selama ini, ia berlatih pedang tanpa tahu apakah dirinya berkembang atau tidak.

Namun berkebun memberikan hasil yang bisa langsung dilihat.

Aroma rumput segar memenuhi udara, dan batu-batu jalan terlihat kembali.

Diare menyadari—ia menikmati pekerjaan ini lebih dari dugaannya.

Tak seberat latihan pedang, tapi memuaskan melihat hasil nyata.

“Silakan beristirahat dan makan camilan dulu,” ujar Brynn sambil datang membawa keranjang.

Lilica bersorak kecil dan berlari menghampiri.

Mereka membentangkan kain bermotif kotak-kotak di atas rumput.

Di atasnya ada sandwich tebal berisi daging sapi dingin, scone hangat, clotted cream, dan selai.

Yang paling menggoda adalah teh es dengan titik-titik embun di gelasnya.

Setiap orang mendapat segelas penuh, bahkan masih tersisa.

Khusus untuk Lilica, Brynn menambahkan irisan jahe.

“Irisan jahe bisa mencegah sakit perut,” ujarnya bangga.

Meski sederhana, rasanya sungguh lezat.

Brynn membuat handuk dingin dan melingkarkannya di leher Lilica.

“Ah, segarnya~”

Lilica menatap Brynn dengan wajah bahagia, lalu yang lain juga menerima handuk serupa.

Ulrang tertawa pelan.

“Pekerjaan menyiangi rumput memang paling berat, tapi juga paling memuaskan. Tapi gulma akan terus tumbuh, Putri. Apakah Anda sudah memikirkan bibit yang ingin ditanam?”

“Hm… aku ingin tetap mempertahankan bentuknya sekarang, tapi sedikit lebih cantik. Sebenarnya aku belum tahu banyak soal taman. Aku ingin mendengar pendapat Ulrang.”

“Menjaganya tetap alami, ya.”

“Ya. Raspberry bisa dipanen, dan herbal bisa dipakai untuk masakan. Aku juga ingin memperbaiki pondok itu supaya lebih indah.”

“Jadi taman yang praktis sekaligus indah. Baiklah.”

Ulrang mengangguk mantap.

“Nanti akan kuatur seperti itu.”

“Terima kasih.”

Brynn membersihkan remah scone di sudut bibir Lilica sambil berkata,

“Di sebelah pondok ada sumur tua. Tutupnya agak lapuk, tapi airnya masih bagus.”

“Benarkah? Hebat sekali.”

Lilica tersenyum cerah, lalu menatap kedua Wolfe yang masih sibuk makan.

Sementara ia baru menghabiskan satu sandwich, keduanya sudah menuntaskan empat.

‘Brynn membawa semua ini sendirian?’ pikirnya kagum sekaligus bersalah.

“Terima kasih banyak semuanya. Ini seharusnya tugasku dan Ulrang, tapi kalian ikut membantu.”

“Tidak apa-apa.”

“Jangan dipikirkan.”

“Senang kok.”

Lauv, Brynn, dan Diare menjawab hampir bersamaan.

Lilica tersenyum lembut—ia harus berterima kasih pada mereka nanti.

Pekerjaan merapikan taman tentu tak selesai dalam sehari. Butuh beberapa minggu, dikerjakan sedikit demi sedikit.

Sementara itu, Brynn diam-diam mengatur pekerja untuk membongkar pondok lama dan membangun yang baru.

Ketika Lilica melangkah ke dalam pondok yang kini terang dan bersih, ia tertegun kagum.

Bangunan itu terlalu besar untuk disebut pondok, tapi terlalu kecil untuk disebut rumah mewah.

Langit-langitnya tinggi, ada ruang duduk dengan perapian, dan dapur kecil di satu sisi.

Rak piring tersusun rapi, sementara panci dan wajan tembaga berkilau tergantung di dinding.

Jendela besar di ruang duduk dan dapur membuat sinar matahari masuk dengan indah.

Ada dua kamar tidur mungil, bahkan ada loteng kecil yang bisa dicapai dengan tangga.

Lilica menghela napas takjub—semuanya terasa seperti rumah boneka hidup.

Istana memang megah, tapi terasa jauh dari kenyataan. Sedangkan pondok ini…

‘Inilah rumah impianku,’ pikirnya.

Rumah yang tak bocor saat hujan, diterangi cahaya hangat matahari, dan penuh kedamaian.

Suatu hari nanti, ketika ia punya cukup uang, ia ingin tinggal di rumah seperti ini.

“Brynn, cantik sekali. Bagaimana kau bisa membuatnya seperti ini?”

“Keluarga Sol harus menyelesaikan setiap tugas yang diberikan dengan sempurna. Apakah Putri menyukainya?”

“Mm, sangat cantik.”

Lantai kayunya halus, terasa aman bahkan jika ia berlari tanpa alas kaki.

Brynn kemudian menunjukkan pintu di samping—ternyata ada gudang bawah tanah kecil dengan rak untuk menyimpan selai dan bahan makanan.

“Brynn seperti penyihir sungguhan,” seru Lilica berulang kali.

Ketika keluar, ia melihat sumur yang kini diberi pijakan baru dan ditutup rapat.

Brynn memperingatkan, “Jangan menimba air sendirian, ya. Aku akan mengisi gentong di dapur untuk digunakan.”

“Baik.”

Kini taman itu benar-benar berubah. Ulrang menanam bibit dan berkata sambil tersenyum,

“Taman sejati hanya bisa tercipta seiring waktu. Kita hanya membantu sedikit.”

Ia terus mengajari Lilica berbagai teknik berkebun, mulai dari memangkas hingga menanam umbi.

Lilica bertekad suatu hari nanti akan memiliki taman seperti ini saat ia keluar dari istana.

Dan meski malam datang dengan rasa lelah yang luar biasa, ia tak lupa untuk tetap berlatih sihir sebelum tidur.

Chapter 33

Salep ajaib itu sudah selesai, dan kini Lilica sedang membuat beberapa hal lainnya.

Membuat karangan bunga dari herba pengusir serangga ternyata sangat berguna. Jika digantung di dalam atau sekitar kabin, tidak akan ada serangga yang berani mendekat.

Ia membuat beberapa yang kecil dan membagikannya kepada semua orang yang bekerja di taman agar bisa dipakai di tubuh masing-masing.

“Kenapa kau tidak menggunakan sihir langsung saja untuk membuat benda-benda seperti ini?”

Lilica menimbang pertanyaan Yang Mulia sejenak, lalu menjawab pelan.

“Aku tidak ingin orang lain tahu bahwa aku seorang penyihir.”

“Benar. Jangan sampai ketahuan. Karena itu, gunakan benda sebagai perantara. Keuntungannya, artefak bisa digunakan siapa pun.”

Keduanya duduk berdampingan di depan meja batu di taman.

Di atas meja, beberapa botol kaca bundar berkilau lembut memancarkan cahaya samar.

Itu adalah artefak yang dibawa oleh Altheos.

“Aku telah memberi kristal itu sihir. Ia akan menyerap cahaya matahari di siang hari dan bersinar di malam hari.”

“Menakjubkan sekali.”

“Kalau ingin memberinya sihir jangka panjang, kau memerlukan lingkaran sihir…”

Ia mulai mencoretkan garis-garis tertentu dengan pena. Lilica menatap dengan penuh perhatian.

Akhir-akhir ini, ia merasa hubungannya dengan Yang Mulia semakin dekat.

Ia menyukai belaian di kepalanya, dan batas antara pujian serta teguran dari pria itu sangat jelas.

“Yang Mulia bukan seorang penyihir, bukan?”

“Benar.”

“Tapi bagaimana Anda tahu semua hal ini?”

“Dulu aku mengenal seorang penyihir.”

Jawabannya singkat, namun di dalam suaranya terselip nada tak senang. Bahunya Lilica langsung mengerut.

“Maafkan saya.”

“Hm?”

“Soalnya aku terlalu banyak bertanya…”

Altheos berkerut kening mendengar gumaman itu. Ia mengetuk meja dengan ujung pena. Lilica sampai menahan napas, takut ujung pena yang mahal itu akan rusak.

“Apakah biasanya seorang ayah akan marah pada anaknya hanya karena hal seperti itu?”

Lilica langsung menoleh cepat ke arahnya. Ia masih berkerut, lalu melanjutkan,

“Kalau aku tak mau menjawab, aku tak akan menjawab sejak awal. Aku tahu aku tidak membesarkan Atil dengan benar, tapi aku tidak pernah marah padanya.”

Ia hanya memperingatkan Atil agar tidak mudah mempercayai orang di sekitarnya.
Dan Atil pun pasti akan setuju kalau ayahnya tidak pernah marah padanya.

Lilica berbicara pelan, menundukkan pandangan.

“Bukan karena aku takut Anda marah… meskipun, yah, sedikit takut juga…”

“Lalu kenapa?”

“Soalnya aku takut membuat Yang Mulia teringat hal-hal yang tidak menyenangkan…”

“Apakah kau melakukannya dengan sengaja? Kau mau mengerjaiku?”

“Apa?! T-tentu saja tidak.”

“Kalau begitu.”

Altheos menjawab singkat, lalu menambahkan,

“Kalau orang lain yang melakukannya, mungkin sudah ku tampar entah disengaja atau tidak. Tapi kau berbeda. Kau istimewa. Pertama-tama, kau adalah putriku.”

Pipi Lilica langsung memerah. Ia tampak setengah malu, setengah lega.

“Coba bayangkan kalau aku marah pada ibumu hanya karena hal seperti itu.”

“Apa?”

Nada suara Lilica meninggi, dan alisnya ikut terangkat.

Altheos tertawa kecil—ekspresinya jelas berkata, ‘Masa iya kau akan marah pada Ibu karena hal sepele begitu?’

“Benar, kan?”

Sambil berkata begitu, Altheos menggenggam pipi Lilica. Lembut sekali.

Setiap hari Ludia selalu berkata…

“Lilica kita adalah gadis paling manis, paling lucu, dan paling menggemaskan di seluruh alam semesta.”

Mungkin karena sering mendengarnya, saat wajah putrinya diremas ringan, suara aneh keluar dari mulut Lilica—“Huah huah”—hingga Altheos tertawa keras.

Tubuhnya lemah, seolah bisa meledak kalau ditekan sedikit, tapi yang ia sukai, Lilica punya mental yang jauh lebih kuat dari kelihatannya.

‘Kalau aku sengaja mengganggu Ludia, apa dia bakal ngejar aku sambil bawa sapu?’

Bayangan itu melintas di kepalanya dan membuatnya mendengus geli.

“Jadi, tak perlu lagi minta maaf untuk hal-hal sepele seperti itu. Mengerti?”

Saat ia menatap menunggu jawaban, Lilica mengangguk pelan. “Iya.” Baru setelah itu Altheos melepaskannya.

Ia menatap kembali kertas di hadapannya, lalu kembali menjelaskan soal sihir.

“Penyihir itu mengkhianatiku. Ia berkata cinta, tapi menusukku dari belakang. Menggunakan obat untuk melemahkanku.”

Hanya dengan mengingatnya, amarah kembali naik. Ia menarik napas panjang.

Kalau Ludia tahu, pasti dia akan sangat marah.

‘Ini bukan cerita untuk anak kecil… tapi aku tetap mengatakannya.’

“Itu bukan cinta.”

Altheos menoleh. Wajah Lilica memancarkan kemarahan murni. Tangannya mengepal.

“Mengkhianati seseorang bukanlah cinta. Cinta itu selalu mendahulukan orang lain.”

“Begitukah?”

Nada ragu Altheos membuat Lilica berdecak pelan.

“Ya! Aku tahu karena aku sangat mencintai Ibu. Umm… nanti kalau Yang Mulia mencintai seseorang, pasti akan paham.”

Menyakiti orang lain hanyalah bentuk keegoisan.

Setelah mengatakan itu, Lilica merasa dirinya terdengar cukup dewasa, jadi ia menegakkan bahunya bangga.

“Cinta, huh.”

Kalau orang lain yang mengatakannya, mungkin ia akan menertawakan. Tapi melihat wajah serius anak itu, ia tak bisa.

Lagi pula, ia tahu betul betapa besar cinta Lilica pada ibunya.

Cinta, ia merenung sebentar, lalu berkata,

“Akan kupikirkan.”

“Iya.”

Lilica mengangguk, lalu mereka kembali fokus pada pelajaran mereka.

Seperti biasa, setelah mengantar Lilica ke Kamar Naga Putih, Altheos kembali ke kamar tidur.

Ia menemukan Ludia sedang menulis surat dengan serius di ruang kerja Kamar Naga Perak.

Akhir-akhir ini, ia sering bertemu orang-orang dari kelompok pedagang. Kabar beredar bahwa ia tengah menandatangani kontrak eksklusif agar mereka jadi pihak pertama yang bisa mendapatkan rancangan busana hasil karyanya.

Saat Altheos bersandar di ambang pintu, Ludia mengangkat kepala dengan ekspresi heran.

“Kalau sudah datang, bilang saja datang. Kenapa berdiri di situ saja?”

“Hanya ingin melihat.”

Ludia mendengus.

“Akhir-akhir ini kau sering keluar malam. Kalau memang sedang berkencan diam-diam, tolong lakukan dengan tenang. Aku masih harus menjaga reputasiku sebagai Permaisuri yang disukai.”

Ucapan itu membuatnya sedikit tertekan—mood-nya langsung menurun.

Altheos melangkah mendekat, menaruh tangan di meja, lalu berkata,

“Ada yang menyuruhku untuk mencoba merasakan cinta.”

“Apa? Siapa yang berani mengatakan hal seperti itu padamu?”

Putrimu sendiri.

Ia nyaris mengatakan itu, tapi menahannya dan menjawab datar,

“Ada. Sepertinya reputasiku belum cukup menakutkan.”

“Jangan-jangan itu gadis muda yang jatuh cinta padamu pada pandangan pertama?”

“Bukan… Pokoknya setelah mendengar itu, kupikir tidak terdengar buruk juga.”

“Hm.”

Bagi Ludia, hal itu tidak terlalu penting. Tapi kalau mereka tampak seperti pasangan bahagia di mata publik, itu jelas akan menguntungkannya sebagai permaisuri.

“Kalau begitu, kau tidak perlu mencari selir—”

“Aku sudah punya istri, kenapa harus mencari?”

“Apa?”

“Bukankah seharusnya aku mencintai istriku sendiri?”

“Apa??”

Kening Ludia langsung berkerut. Ia menoleh cepat dan memelototinya.

“Apa maksudmu sekarang?”

“Tunggu, apakah itu berarti kau menolak?”

“Lalu apa aku harus mengiyakan?! Astaga. Aku sudah muak dengan hal-hal seperti itu. Aku tidak butuh laki-laki lagi. Lilica sudah cukup bagiku.”

“……Tunggu dulu, kau muak? Kedengarannya seperti bukan cuma satu laki-laki yang kau maksud.”

“Pokoknya, carilah orang lain yang bisa kau cintai.”

Gerakan tangannya yang menepis dengan jijik justru memicu semangat Altheos.

“Tidak mau.”

“Hah?”

“Aku tidak mau.”

“Ya ampun, kau ini benar-benar…”

Ludia menaikkan alis dengan kesal, tapi Altheos tetap tak terganggu.

“Kita toh harus berpura-pura jadi pasangan harmonis. Kalau begitu, tidak masalah kalau aku melakukannya sungguh-sungguh.”

“Y-ya, terserah saja kalau begitu.”

Ludia buru-buru menjawab untuk mengakhiri topik, lalu kembali menulis suratnya.

“……”

Altheos menyentuh bahunya, mengangkat rambut pirangnya yang terurai, lalu bibirnya menyentuh lembut belakang lehernya.

“……”

Ludia berusaha mengabaikan, tapi tubuh yang sudah terbiasa dengan sentuhannya bereaksi lebih dulu. Ia berbalik dan menarik kerah bajunya.

Bibir mereka nyaris bersentuhan. Matanya yang biru menyipit.

“Kalau hanya sebatas tubuh, tak masalah.”

“Kalau begitu, kita mulai dari situ.”

Altheos menelan napas kecil yang lolos dari bibirnya.

Di ambang batas kesadarannya, ia sempat berpikir—

‘Mungkin yang pertama harus kutaklukkan adalah Lilica.’

Karena bagi Ludia, segalanya hanya tentang Lilica. Maka, memenangkan hati anak itu adalah langkah pertama.

Hal pertama yang terlintas di benak Altheos adalah hal yang sama seperti yang akan dilakukan oleh banyak pria lain yang pernah jatuh cinta pada Ludia.


Lilica menatap rak di dalam kabin dengan penuh kebanggaan.

Kini banyak benda sihir yang tersusun di sana—awalnya hanya ada satu salep, tapi sekarang sudah ada tiga atau empat macam.

Ada batu bercahaya, kantung berisi biji-bijian penghangat, dan kristal pemurni air.

Ia sudah membuat beberapa kristal pemurni dan melemparkannya ke dalam tempayan air serta sumur.

Tentu saja, di dinding juga tergantung karangan bunga pengusir serangga.

“Jalan setapak dari batu di taman itu ide yang bagus juga. Walau pembuatannya agak menyulitkan.”

Diare, yang sedang melihat keluar jendela, tersenyum kecil. Lilica mengangguk setuju.

Benar, mengganti jalan tanah dengan batu datar membuat langkah lebih ringan dan sepatu tak lagi kotor.

Lilica berdiri di samping Diare. Di sana diletakkan bangku kecil agar ia bisa mengintip keluar jendela.

Ia melihat Lauv sedang menggantungkan ayunan pada pohon di depan kabin.

Ayunan itu buatan Lauv sendiri.

Lilica memujinya dengan sungguh-sungguh, mengatakan bahwa itu ide yang hebat, sementara Diare hanya diam.

Di sisi taman, sudah terpasang sebuah meja dan payung besar.

Lilica menghela napas kecil saat melihatnya.

“Ada apa?”

tanya Diare. Akhir-akhir ini, Lilica sering seperti itu—menarik napas panjang justru di saat ia sedang bahagia.

“Itu…”

“Boleh aku tahu?”

Desakan lembut Diare membuat Lilica akhirnya mengaku.

“Ada seseorang yang kuminta menjadi teman bicara.”

“Oh begitu.”

“Tapi sampai sekarang tidak ada kabar apa pun…”

“Mungkin orang itu tidak mau?”

“Tidak!”

Nada Lilica mengeras. Mata hijau Diare berkedip pelan.

“Orang itu malah yang lebih dulu bilang ingin jadi temanku.”

“Kalau begitu, mungkin keluarganya tidak mengizinkan.”

“Benarkah? Tapi kalau memang begitu, bukankah lebih baik kalau mereka memberitahuku saja? Aku sudah mengirim surat karena khawatir… tapi tidak ada balasan sama sekali.”

“Kalau begitu, mungkin mereka sedang terlalu membanggakan diri.”

“Apa?”

Lilica menatap Diare tak percaya, dan pelayan itu menjawab tanpa ragu sedikit pun.

“Tentu saja. Padahal Yang Mulia Putri sudah memikirkan dan gelisah berhari-hari, bahkan yang lebih dulu menjangkau untuk menjalin hubungan, tapi mereka malah bersikap seolah terlalu penting untuk membalas. Itu namanya sombong.”

“Miss Diare, tolong jaga bahasamu.”

Brynn langsung menegur dengan nada lembut. Diare menepuk mulutnya dengan gaya berlebihan.

“Oh, ampun! Benar, benar. Aku kurang sopan, kurang sopan.”

“Tapi, Fjord…”

Begitu mendengar nama itu, Diare seketika menegang.

“Fjord? Fjord dari Barat?”

“Uh-huh…”

“Yang jadi teman bicara itu Fjord dari Barat?”

“Iya.”

Ada banyak hal yang ingin Diare katakan, tapi melihat wajah sang putri yang muram, ia menahan diri.

Sebagai gantinya, ia hanya berkata,

“Kalau memang dari keluarga Barat, mereka memang bisa menolak.”

“Benarkah?”

“Ya.”

Diare mengangguk sambil dalam hati berharap semoga hubungan itu tidak jadi.

“Tetap saja…”

Lilica kembali menghela napas pelan.

Kini Diare malah merasa canggung.

Meski ia berharap Barat menolak, Lilica sedang sedih karena alasan lain.

Seperti anak anjing yang tahu tuannya sedang murung, Diare melirik ke luar jendela dan menemukan sesuatu untuk dialihkan. Lauv tengah menarik tali ayunan, memastikan bahwa posisinya kuat.

“Sepertinya ayunannya sudah jadi!” serunya cepat.

“Oh? Benarkah?”

Lilica segera berjinjit, berusaha melihat lebih jelas.

Ia melihat Lauv sedang membereskan peralatannya. Suaranya kembali ceria.

“Ayo kita lihat ke luar!”

“Baik.”

Topik pun berganti dengan mulus.

Diare mengangguk lega sambil menepuk dadanya perlahan.

Mereka membuka pintu kabin dan berlari kecil menuju ayunan.

“Sudah selesai?”

Lauv tersenyum kecil dan mengangguk.

“Sudah bisa dicoba sekarang.”

Lilica dengan senang hati menyerahkan giliran pertama pada Diare.

“Eh, aku?”

“Iya, kau duluan, Diare.”

“Tidak, Yang Mulia saja dulu. Silakan.”

Mendengar itu, Lilica tampak ragu di depan ayunan dan berbisik lirih.

“Sebetulnya… aku belum pernah naik ayunan sebelumnya. Jadi aku tidak tahu cara memainkannya.”

“!!”

Mata Diare membulat, lalu dengan cepat ia duduk di ayunan.

“Begini caranya! Lihat ya.”

Ia mendorong tanah kuat-kuat dengan kakinya, lalu memiringkan tubuh ke belakang dan maju lagi.

Ayunan melambung tinggi, makin lama makin cepat. Brynn dengan sigap menarik Lilica sedikit mundur.

Ketika ayunan mencapai puncaknya, Diare tiba-tiba berteriak, “Haa!” dan melompat!

Ia berputar beberapa kali di udara sebelum—

“!!”

Lilica terpaku kaget, sedangkan wajah Brynn seketika mengeras dingin.

Diare mendarat sempurna, tersenyum bangga.

“Nah, begitulah cara bermain ayunan!”

“Tidak.”

“Bukan begitu.”

Brynn dan Lauv berkata bersamaan. Lilica menatap mereka bergantian.

“Bukan begitu?”

“Padahal itu benar, kan?” protes Diare dengan wajah kecewa.

Brynn tersenyum manis pada Lilica dan menjelaskan lembut,

“Kau tidak perlu melompat seperti itu di akhir.”

“Benar, kadang keluarga Wolfe—yah, sebenarnya sering sekali… haah…”

Lauv menghela napas berat, sementara Diare kebingungan.

“Jadi itu bukan caranya?”

Bukankah biasanya kalau bermain ayunan, di akhir harus melompat dari titik tertinggi dan berlomba siapa yang terbang paling jauh atau berputar paling banyak di udara?

“Kau cukup naik turun perlahan, lalu berhenti. Jangan lakukan hal berbahaya seperti itu. Sini.”

Brynn menuntun Lilica duduk di ayunan. Gadis kecil itu memegang tali erat-erat.

Pohon itu besar, dan tali ayunannya cukup panjang.

“Angkat kakimu, nanti aku dorong sedikit.”

“Mm.”

Brynn mendorong punggungnya pelan. Ayunan mulai bergerak maju mundur.

Semakin lama, gerakannya makin mantap. Jantung Lilica berdebar kencang—campuran antara takut dan gembira.

Ia tertawa lepas.

Angin yang menerpa rambut terasa menyenangkan, dan pemandangan dari puncak ayunan terlihat menakjubkan.

Diare menyipitkan mata mendengar tawa itu.

Setiap kali datang ke taman, tidak, setiap kali bersama sang putri untuk menjadi teman bicara, ia selalu merasa senang.

Putri benar-benar pekerja keras, pikirnya.

Tubuh kecil itu bergerak cekatan dan rajin, rumput yang baru dipotong langsung lenyap ke sisi lain taman.

Secepat tupai yang berlari membawa kacang di mulutnya.

Ulrang pun sempat terkesan.

Melihat Lilica tertawa dan bekerja sungguh-sungguh, Diare juga merasa bahagia.

Berbeda ketika bersama orang lain—bersama putri, hatinya terasa tenang, seolah sungai yang mengalir lembut di dalam dadanya.

“Begitu rupanya.”

Diare berbisik dan menghela napas panjang, sebuah senyum lembut terlukis di wajahnya.

Di sisi Putri, aku tidak perlu menahan diri untuk menjadi siapa pun selain diriku sendiri.

Chapter 34

Putri itu tidak pernah memaksanya melakukan apa pun, juga tidak pernah berusaha memaksakan apa yang benar atau salah.

Berkebun terasa menyenangkan.

Diare merasakan kegembiraan yang murni.

Tak ada apa pun yang menindasnya.

Usahanya diakui, kerja kerasnya tidak diabaikan.

Pembicaraan tentang apakah dirinya lebih mirip Sandra atau Wolfe pun kini terasa jauh sekali.

Saat berdiri di samping sang putri yang mungil dan manis itu, Diare merasakan dorongan untuk melindunginya.

Rasanya seperti ia akhirnya menemukan tempatnya sendiri.

‘Seolah aku menjadi seseorang yang berarti.’

Ia bukan lagi Diare yang tak diakui baik oleh Wolfe maupun Sandar.

Ia bukan lagi si “anak kecil” yang selalu disingkirkan dengan kata, “Kau pasti lelah, pergilah sana.”

Meski banyak hal telah terjadi, Lilica dengan santai memberinya tempat di sisinya.

“Pasangan percakapan…” gumamnya pelan.

‘Suatu hari nanti, pasangan percakapan Putri pasti akan bertambah.’

Diare sangat menyadari hal itu.

Sebagian besar anggota keluarga kekaisaran memang begitu. Lilica dan Atil hanyalah pengecualian yang langka.

Namun, ia berharap keadaan itu bisa bertahan lama.

Ia berharap Lilica akan terus menjadi “putrinya”—hanya miliknya seorang.

Pikiran egois itu sempat melintas di hatinya.

‘Fjord Barat.’

Namun, sepertinya hal itu tak mungkin, sebab kini sudah muncul nama calon pasangan percakapan lain.

Meskipun sang putri berkata bahwa dirinya adalah yang pertama, Diare ingin mempertahankan posisi itu dengan kekuatannya sendiri.

Ia benar-benar ingin menjadi teman, bukan sekadar pasangan percakapan karena alasan politik.

Ia sungguh ingin menjadi seseorang yang berharga bagi Putri Lilica.

‘Aku bisa mengerti kenapa Lauv memilihnya.’

Kini ia paham mengapa Lauv, yang biasanya menyendiri, bisa begitu setia di sisi sang putri.

Saat itu juga, Lilica berseru riang.

“Aku rasa aku bisa melompat seperti Diare tadi!”

“Itu berbahaya,” ucap Brynn cepat-cepat, tapi Lilica menggeleng.

“Tidak, aku yakin bisa.”

Ia menoleh pada Lauv dan berkata dengan nada main-main, “Kalau aku jatuh, Lauv akan menangkapku, kan?”

Tanpa ragu, Lauv menjawab, “Tentu saja.”

Begitu mendengar jawabannya, Lilica melompat dari ayunan di titik tertinggi—seperti yang dilakukan Diare.

“Putri!”

Brynn berlari panik, namun Lauv lebih cepat.

Tubuh Lilica jatuh tepat ke pelukannya dengan bunyi lembut, plop. Lauv terjatuh ke belakang, menahan benturan agar sang putri tidak terluka.

Brynn segera menghampiri mereka.

“Itu berbahaya, Putri…!”

Lilica terengah, matanya membelalak.

Ketinggiannya ternyata lebih menakutkan dari yang dibayangkannya, dan kecepatan jatuhnya membuat jantungnya berdegup kencang.

Kalau bukan karena Lauv, pergelangan kakinya pasti terkilir.

Namun anehnya, perasaan yang muncul justru keberanian dan kegembiraan. Tawa bahagia pun lolos dari bibirnya.

Itu tindakan yang ceroboh, tapi menyenangkan.

“Aku tahu ini berbahaya, tapi aku percaya Lauv akan menangkapku,” katanya sambil menatap pria itu.

“Benar, kan?”

Lauv sempat terdiam, lalu tersenyum—senyum tulus yang jarang terlihat. Lilica pun ikut tersenyum cerah.

Ia membantu sang putri berdiri dan berkata dengan nada tegas penuh keyakinan,

“Aku akan selalu menangkapmu, kapan pun kau membutuhkanku.”

Apakah ada kata-kata yang lebih manis daripada janji setia dari seseorang yang kau percayai?

Tak peduli dari ketinggian mana pun ia jatuh, Lauv akan selalu siap menangkapnya.

Ia tak pernah ingin melepaskan perannya itu—dan tak akan menyerahkannya pada siapa pun.

Brynn hanya menyilangkan tangan sambil menghela napas, sementara Lilica masih tertawa gembira.

Diare merasa agak tersisih, jadi ia cepat-cepat menggenggam tangan sang putri.

Lilica terkejut, namun tetap membalas genggaman itu dengan hangat. Diare menunduk malu, pipinya memanas.

“Kalau begitu, bagaimana kalau kita kembali?” ujar Brynn kemudian. “Kupikir pekerjaan berkebun bisa diserahkan pada Ulrang dulu.”

“Baiklah, tapi aku akan tetap memeriksanya sesekali,” jawab Lilica.

“Hanya sebagai hobi, ya. Kalau terlalu sering, tanganmu bisa jadi kasar.”

Lilica mengangguk, meski dalam hati ia bertanya-tanya, Benarkah begitu?

Ia ingin belajar dengan sungguh-sungguh sekarang, agar kelak ketika meninggalkan istana, ia bisa mengurus semuanya sendiri.

Namun menjaga tangan tetap halus dan putih juga bagian dari citra seorang putri yang sempurna.

‘Ngomong-ngomong soal tangan putih…’

Ia tiba-tiba teringat Fjord.

‘Seperti kata Diare, tapi kurasa Fjord bukan tipe yang akan diam tanpa alasan.’

Ada apa sebenarnya?

Ia tak tahu.

Rasa khawatir kembali muncul, dan ia pun memutuskan untuk mengirim surat lagi.


Lilica merasa ada yang aneh dengan gigi depannya.

‘Apa yang terjadi?’

Usai sarapan, ia berbicara pada Brynn dengan wajah serius.

“Gigi depanku terasa aneh sekali.”

Brynn menatapnya penuh perhatian. “Boleh kulihat sebentar?”

“Silakan.”

Brynn memeriksa, lalu dengan lembut menggoyangkan giginya.

“!!”

Lilica langsung menegang, tapi Brynn tersenyum tipis dan berkata,

“Sepertinya sudah waktunya dicabut.”

“Dicabut?”

Brynn mengangguk.

“Gigi barumu akan tumbuh sebentar lagi. Agar tumbuh dengan rapi, gigi yang goyah harus dicabut.”

“T-tapi…” Lilica memucat.

Dicabut? Giginya? Sekarang?

Melihat sang putri yang mulai panik, Brynn menenangkan dengan lembut.

“Buka mulutmu sedikit… ah begitu. Masih ada waktu, sepertinya. Dua hari lagi saja, supaya bisa dicabut dengan bersih dan tanpa rasa sakit.”

“Benarkah?”

“Tentu. Aku tak akan berbohong padamu.”

Keyakinan dari Brynn membuat Lilica sedikit lega. Setidaknya, hari ini belum perlu dicabut.

Segera setelah sarapan, Lilica menulis surat kedua untuk Fjord.

Karena tak juga mendapat kabar, ia mulai cemas kalau sesuatu telah terjadi.

Namun Brynn meyakinkannya bahwa jika benar ada masalah dengan Young Duke Barat, kabarnya pasti sudah sampai ke istana.

Surat kali ini penuh dengan kata-kata kekhawatiran. Setelah menulisnya, ia memutuskan untuk berjalan-jalan.

Musim panas sudah tiba, waktu terbaik untuk berjalan santai adalah pagi atau sore hari.

Selesai berkeliling Sky Palace yang ramai, ia berjalan menuju Sun Palace.

Atil tampak sering pergi ke Sky Palace untuk urusan para bangsawan, tapi Lilica tidak percaya diri dalam hal itu.

Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap di depan para bangsawan.

“Tapi bermain teh dengan boneka setiap hari juga…” pikirnya.

Tentu ia bahagia, tapi pasti lebih menyenangkan jika punya teman sungguhan.

‘Apa aku bisa punya teman tanpa harus jadi pasangan percakapan seperti Diare?’

Sambil merenung, Lilica berjalan di taman dengan payung barunya.

Payung kuning cerah buatan ibunya itu ringan dan cantik—ia sangat menyukainya.

Mawar-mawar telah layu, digantikan oleh bunga crape myrtle merah dan peony besar yang bermekaran indah.

“Ternyata kau di sini, Putri Robin-ku.”

Suara familiar muncul di balik semak.

Lilica menoleh—dan matanya membesar.

“Fjord!”

Ia berlari menghampiri dengan gembira, tapi langkahnya terhenti tiba-tiba.

“Fjord, kau baik-baik saja?”

Wajah pemuda itu pucat, dengan bekas pukulan di sudut bibirnya.

Anehnya, luka itu justru membuat penampilannya semakin indah—nyaris menyakitkan untuk dilihat.

Fjord tersenyum tipis.

“Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu, Putriku?”

Lilica melirik sekeliling. Hanya Lauv dan Brynn yang ada di belakangnya.

“Apakah kau… menungguku?”

“Aku menunggu sebentar.”

Lilica mendekat, bingung. “Ada apa? Kau yakin baik-baik saja?”

“Aku sudah bilang, aku baik-baik saja.”

Namun senyumnya terasa aneh—dingin dan lemah sekaligus.

Lilica menggenggam tangannya, dan langsung terkejut.

“Fjo…rd…”

Tangannya panas membara.

Sementara wajahnya begitu pucat, kontras yang membuat Lilica sadar ada yang sangat tidak beres.

“Fjord, ayo ke kamarku sekarang. Aku akan panggil tabib ke—”

“Aku tidak mau.”

“Fjord!”

“Aku benar-benar baik-baik saja.”

Ia menarik napas dalam, lalu berbicara lembut,

“Terima kasih sudah menominasikan aku sebagai pasangan percakapanmu. Tapi Duke sangat menentang. Maaf, meski aku yang mengusulkan ini lebih dulu…”

Ia menggenggam tangan Lilica lebih kuat—nyaris menyakitkan.

“Aku rasa… aku tidak bisa menjadi pasangan percakapanmu.”

Lilica menginjak tanah keras-keras.

“Itu tidak apa-apa! Tapi jangan memaksakan diri, kau tidak terlihat baik! Tabib, sudah kau panggil—”

“Apakah kau… baik-baik saja?”

Fjord memandangnya kosong, seolah tak mendengar perkataannya. Genggamannya makin kuat.

“Fjord, lepaskan! Kau sakit!”

Namun sebelum ia sempat menarik diri, Lauv sudah maju dan memegang lengan Fjord.

“—!”

Fjord memutar pergelangannya, menarik Lauv mendekat dan menghantamkan sikunya.

Lauv menahan serangan itu, membalas menahan tangannya dengan cepat.

Namun di detik berikutnya, tubuh Fjord tiba-tiba terdiam, rambutnya bergetar meski tak ada angin.

Udara di sekeliling mereka berubah—seperti bergetar dan menusuk kulit.

Batu-batu kecil di tanah ikut bergetar.

“Fjord!!”

Lilica menjerit.

Tatapan mereka bertemu—dan perlahan, cahaya di mata Fjord kembali.

Angin berhenti. Rambutnya jatuh pelan ke sisi wajahnya.

Lalu ia roboh seperti boneka tali yang putus.

Lilica berlari, tapi Lauv menahannya.

Brynn segera berdiri di depan sang putri, sementara Lauv memeriksa kondisi Fjord.

“Dia pingsan,” katanya akhirnya.

“Bawa ke pondok,” ujar Lilica cepat.

Brynn menatapnya ragu. “Apakah itu bijak, Putri?”

Lilica mengangguk tegas.

“Dia tak boleh dilihat siapa pun dalam keadaan seperti ini. Tapi kita juga tak bisa membiarkannya di sini.”

Kalau Atil tahu bahwa Fjord dibawa ke taman rahasia, ia pasti akan marah besar—tidak, pasti murka.

‘Tapi aku tidak punya pilihan lain.’

Mereka tak bisa membawanya ke Kamar Naga Putih, dan tak mungkin meninggalkannya begitu saja.

Lauv memanggul Fjord di punggungnya, dan Brynn menuntun mereka lewat jalur tersembunyi.

Mereka tiba di pondok tanpa terlihat siapa pun.

Lauv membaringkan Fjord di ranjang.

Kini wajahnya begitu merah hingga tampak mustahil ia yang tadi pucat pasi.

Napasnya tersengal berat.

“Sepertinya Young Duke Barat terluka,” kata Lauv.

“Luka?”

“Aku mencium bau darah.”

Brynn menatapnya serius. “Kalau begitu, bajunya harus dilepas. Putri dan aku tidak bisa melakukannya.”

Ia melirik Lauv tajam.

Lauv menunduk, menghela napas, lalu berkata, “Baik.”

Beberapa saat kemudian, ia keluar dari kamar dengan wajah lelah.

Lilica yang menunggu di ruang tamu langsung berdiri.

“Bagaimana? Lukanya parah?”

“Tubuh bagian atasnya penuh bekas luka. Seolah-olah… berbagai jenis senjata pernah diuji padanya, dari yang kuno sampai yang paling baru. Terlihat sistematis—”

Namun melihat wajah Lilica yang memucat, ia segera menghentikan kalimatnya.

Brynn mengerutkan alis tajam padanya. “Aku akan ambil obat dan perban. Sudah kau lakukan perawatan awal?”

Lauv mengangguk.

“Baik. Tapi luka itu harus dibersihkan lagi dan dibalut setelah dioles obat.”

“Iya.”

“Putri, apakah Anda ingin ikut?” tanya Brynn lembut.

Lilica menggeleng. “Tidak, aku akan menunggu di sini.”

Brynn mengangguk, lalu bergegas keluar.

Begitu hanya berdua dengan Lauv, Lilica menatapnya cemas.

“Lauv… apakah lukanya sangat parah?”

Lauv terdiam, berpikir keras bagaimana menjawabnya.

Sebenarnya, luka itu terlalu mengerikan untuk dilihat anak seusia sang putri. Tapi ia juga bukan tipe yang pandai berbohong.

Sementara ia masih ragu untuk berbicara, Lilica menutup mata sejenak—lalu membukanya kembali dengan tekad di wajahnya.

Chapter 35

“Fjord, bukan… maksudku, Young Duke Barat itu orang berpangkat tinggi, bukan?”

“Itu benar.”

“Ka—kalau begitu, siapa yang bisa melukainya seperti itu... Oh, jangan-jangan itu bekas latihan duel?”

Ketika ia mengingat ucapan Fjord sebelumnya dan menebak begitu, Lauv menggeleng pelan. Luka itu bukan dari latihan, melainkan luka yang ditorehkan sepihak pada seseorang yang tidak bisa melawan.

“Begitu... begitu, ya.”

Lilica menggigit bibirnya.

“Aku tidak akan menanyakan detailnya. Fjord pasti juga tidak ingin aku tahu. Dia terus bilang kalau dirinya baik-baik saja. Lebih baik aku tidak melihat lukanya.”

“Aku juga berpikir begitu,” jawab Lauv dengan nada lega.

Lilica menatapnya dan berkata,
“Yang perlu dilakukan sekarang hanya membersihkan lukanya, kan? Maaf, tapi bisakah aku mempercayakannya pada Lauv?”

“Tentu saja.”

Mereka berdua merebus banyak air dan merendam handuk di dalamnya sambil menunggu Brynn kembali.

Meskipun sedang musim panas dan udara terasa panas, Lilica tidak mengeluh sedikit pun.

Lauv masuk dengan seikat handuk lembap dan keluar beberapa waktu kemudian.

Handuk-handuk itu kini berlumuran darah, namun Lilica tidak bergeming sama sekali.

Tak lama kemudian, Brynn datang membawa perban dan cairan disinfektan.

Lilica menyerahkan semua salep kuning yang ada di rak kepada Lauv.

Sementara Lauv membalut luka Fjord, Brynn keluar lagi dan kembali membawa sebungkus besar es.

“Luka sebesar itu bisa menyebabkan demam tinggi. Lebih baik kita jaga suhunya.”

“Mm.”

Saat itu, Lauv keluar dari kamar dan berkata,
“Lukanya sudah ditangani.”

“Boleh aku masuk dan melihatnya sekarang?”

“Silakan.”

Setelah mengatakan itu, Lauv terpaku menatap Lilica. Ia tahu bahwa salep kuning itu buatan tangan sang putri sendiri.

Kabarnya, salep itu terbuat dari bunga dandelion. Namun ia baru menyadari keajaibannya setelah mengoleskannya tadi.

‘Lukanya sembuh terlalu cepat...’

Awalnya ia mengira mungkin itu karena kemampuan penyembuhan alami para darah biru, tapi ternyata bukan.

Sebelum salep itu dioleskan, darah masih terus mengucur dari luka yang telah dibersihkan. Ia jelas melihat sayatan terbuka di tubuh Fjord.

‘Tapi ketika aku mulai mengoleskan salep itu, darah berhenti seketika.’

Beberapa waktu berlalu, dan luka-luka kecil di sekitarnya sudah menutup.

‘Kalau ini benar-benar kekuatan salep itu...’

Ia bahkan tak tahu harus berkata apa.

Lilica berlari melewatinya menuju kamar, lalu keluar lagi beberapa saat kemudian.

Lauv bertanya heran, “Ada sesuatu yang salah?”

“Terima kasih, Lauv.”

Begitu mengucapkannya, Lilica langsung memeluknya. Lauv membeku di tempat.

“Brynn juga, terima kasih! Brynn membawa es, jadi minumlah teh dingin sambil menunggu, ya!”

Begitu melihat sang putri bergegas kembali masuk ke kamar, bahu Lauv yang kaku perlahan melonggar.

Brynn menatap pintu kamar yang setengah terbuka dan bertanya,
“Dia boleh masuk tanpa kau temani? Aman?”

“Kurasa tidak apa-apa.”

Brynn mengerutkan kening mendengarnya, lalu menghela napas pendek dan mengangguk.

Teh dingin segera disiapkan—teh panas disiram ke atas bongkahan es yang dipecah kecil dengan pemecah es.

“Nah, ini dia. Teh dingin yang dihidangkan langsung oleh sang putri.”

Brynn mengulurkan nampan, dan Lauv menerimanya dengan sopan.

Brynn melirik ke arah kamar.
“Untuk menurunkan panas tubuhnya, aku akan menyiapkan air es juga.”

Lauv menatap Brynn lekat-lekat. Ketika Brynn membalas pandangannya, ia bertanya,
“Apakah salep kuning itu benar-benar buatan sang putri sendiri?”

“Ya, memang.”

Brynn menjawab dengan ekspresi menantang, seolah berkata, ‘Lalu kenapa?’

Lauv menyesap tehnya pelan dan berkata datar,
“Kurasa lebih baik mulai sekarang asal-usulnya disembunyikan.”

“Cukup katakan bahwa itu resep rahasia keluarga kekaisaran.”

Brynn menjawab tanpa ragu sedikit pun. Lauv mendengus kecil mendengar jawabannya.

“Kenapa tertawa?”

Lauv berdeham ringan lalu menjawab,
“Aku merasa seperti baru bergabung dalam sebuah lingkaran.”

Kalau Brynn masih menganggapnya orang luar, pasti ia akan menyangkal bahwa sang putri membuat salep itu sendiri—atau berkilah bahwa itu resep rahasia keluarga Takar.

Namun kali ini, Brynn jujur apa adanya.

Artinya, ia sudah mengakui Lauv sebagai orang yang berdiri di sisi Putri Lilica.

Entah kenapa, itu membuat hatinya terasa hangat.

Brynn mendengus, “Hmph,” lalu mengayunkan pemecah esnya.
“Bukan karena keinginanku. Hanya karena sang putri mempercayaimu.”

Lauv mendekat dan berkata,
“Itu benar. Kalau begitu, biar aku yang menyiapkan air esnya.”

Brynn buru-buru menyembunyikan alat pemecah es.
“Biar aku saja. Kau isi saja bak airnya.”

“Baik.”

Lauv menuruti tanpa protes.

Sementara ia mengisi bak air, Brynn masuk membawa baskom kuningan penuh air es.


Lilica duduk di tepi ranjang dengan wajah serius.

Saat Brynn melirik sekilas kondisi pasien, benar seperti kata Lauv—Young Duke Barat tampak stabil.

‘Bahkan jika dia sadar, dalam kondisi ini mustahil dia bisa menyerang sang putri.’

“Aku bawa air es, Yang Mulia. Karena dia demam, menempelkan ini di dahinya akan membuatnya lebih nyaman.”

“Terima kasih, Brynn.”

Lilica cepat-cepat membasahi handuk dan menempelkannya ke dahi Fjord. Ia bertanya pelan,
“Brynn, bolehkah aku tidur di sini malam ini?”

“Kalau Ratu atau Pangeran Mahkota tahu, apa mereka tidak akan kaget?”

“Mungkin.”

Lilica menatap sekeliling, matanya berputar- putar mencari ide, lalu berseru, “Ah!”

“Bagaimana kalau aku pura-pura berpamitan, bilang selamat malam, lalu kembali ke sini setelah mereka tidur?”

Brynn menatapnya lembut.
“Kau benar-benar khawatir, ya? Aku bisa tinggal di sini kalau kau mau.”

“Ya, tapi…”

Lilica teringat saat ia sakit perut dulu. Betapa nyamannya ketika sang ibu mengelus perutnya sepanjang malam.

Ia ingin menenangkan Fjord dengan cara yang sama—dengan kehadirannya sendiri.

“Lebih baik kalau dia ditemani oleh seseorang yang akrab dengannya, kan?” katanya ragu.

Brynn tersenyum tipis.
“Baiklah, mari kita cari jalan keluarnya bersama.”

“Brynn!”

Tersentuh, Lilica langsung memeluknya erat. Brynn tersenyum lembut.

Sejujurnya, ia tidak suka berurusan dengan keluarga Barat.

Namun, Fjord Barat adalah karya terbesar keluarga itu.

Dan tampaknya sang putri benar-benar terpikat pada pemuda itu hingga tak melihat apa pun selain dirinya.

‘Pengkhianat dari dalam istana terkadang justru yang paling berguna.’

Tentu saja, aku akan tetap waspada setiap saat, pikir Brynn.

Keluarga Barat terkenal licik—mereka bisa memutar luka menjadi kisah simpati dan menjadikannya alat untuk memikat orang.

Namun selama ini tidak membahayakan sang putri, Brynn takkan menghalanginya.

“Kalau begitu, kita lihat saja dulu keadaannya.”

“Ya, aku tahu ini permintaan egois, tapi terima kasih sudah mau mendengarkan. Maaf, Brynn, akhir-akhir ini aku seperti anak kecil manja.”

Brynn tersenyum dan menepuk punggungnya pelan. Rambut ungu gelapnya bergoyang lembut di bahu.

“Tidak apa-apa. Aku justru senang menerima kemanjaanmu. Lagipula ini belum bisa disebut manja.”

“Tapi aku selalu membuat permintaan yang merepotkan.”

“Tidak sama sekali.”

Lilica menatapnya penuh terima kasih, dan Brynn menatap balik sambil tersenyum.

“Aku hanya menuruti keinginan sang putri, itu saja.”

Mendengar itu, mata Lilica melebar, lalu ia menatap dengan tekad kuat.

“Baiklah, aku akan bertanggung jawab atas semuanya.”

Jika Atil marah lagi, mungkin dia akan memukul Fjord lagi.

Kalau Atil memukulnya seperti dia memukul Fjord, Lilica mungkin tak sanggup berdiri.

Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat.

“Aku akan melindungimu, Brynn. Jangan khawatir.”

“Ya, Yang Mulia.”

Brynn tersenyum lembut.


Fjord merasakan hembusan angin sejuk.

Kulitnya yang lengket karena keringat dilap dengan handuk hangat, terasa nyaman sekali.

“Perlu kita bergantian jaga?”

“Tidak, aku baik-baik saja.”

“Kau tidak lelah?”

“Aku cuma duduk saja.”

Ia membuka mata perlahan karena mendengar suara lembut itu.

Dalam pandangan buramnya, sesuatu bergerak maju mundur.

Begitu penglihatannya mulai jelas, ia sadar bahwa itu adalah kipas bulat.

“Ah, Fjord, kau sudah sadar?”

Kipas berhenti, dan wajah bulat muncul di baliknya. Fjord menatap kosong dan bertanya,
“Apakah ini mimpi?”

“Sayangnya tidak? Atau mungkin untungnya? Hmm… pokoknya bukan mimpi.”

Sambil menjawab, Lilica kembali mengipasnya pelan.

Setelah merenungi jawabannya sambil menikmati angin sepoi, Fjord tiba-tiba bangkit tegak.

Kepalanya berputar, tubuhnya goyah. Lilica yang terkejut segera turun dari kursinya dan menahan bahunya.

“Kau baik-baik saja? Panasmu memang sudah turun, tapi jangan bergerak dulu.”

“Di mana… sudah berapa lama aku…?”

Ucapannya terputus-putus. Lilica menjelaskan dengan tenang,
“Ini pondok kecil di sudut taman. Kita bertemu kemarin pagi. Sekarang sudah lewat tengah malam—hari baru.”

Ia lalu menyodorkan cangkir, “Kau pasti haus.”

Fjord menerima cangkir itu hati-hati.

Setelah meneguk air madu hangat bercampur sedikit garam, ia dibantu Lilica untuk berbaring lagi.

“Istirahatlah dulu. Demammu baru saja turun.”

“Tapi…”

Kepalanya masih terasa berat. Ia tidak yakin bolehkah ia tetap di sini.

“Aku akan tetap di sisimu,” ucap Lilica lembut.

Kata-kata itu saja cukup untuk meluruhkan ketegangannya.

Lilica kembali duduk di kursi tinggi dan mengipas perlahan.

Flick, flick—angin lembut mengibaskan rambut peraknya.

Suara serangga malam terdengar dari jendela. Semerbak bunga melati terbawa angin dingin.

Pondok baru itu masih beraroma kayu segar. Seprai katun kering matahari terasa renyah di kulit.

“……”

Jika ia menoleh sedikit, tampak seekor robin kecil duduk di kursi tinggi—dengan pita merah menyala di rambut cokelatnya.

Meski malam hari, mata biru toskanya tetap berkilau seperti batu mulia.

Begitu pandangan mereka bertemu, Lilica berseru kecil, “Oh, ya ampun,” lalu mengipas lebih cepat.

“Tidurlah.”

“Aku takut kalau memejamkan mata, ini semua hanya mimpi.”

Kalau memang mimpi, biarlah bertahan sedikit lebih lama, pikirnya.

Lilica menyelipkan kipas di bawah dagunya, lalu naik ke ranjang seperti ibunya dulu.

“!!”

Ia menarik kepala Fjord yang kaget agar bersandar di bahunya.

“Tidak apa-apa, kan?” bisiknya.

“……Iya……”

Fjord menoleh cepat, tak tahu apakah jawabannya benar atau tidak.

Saat itu ia melihat seekor gagak—lambang keluarga kekaisaran—berdiri di pojok ruangan.

‘Dan seekor serigala juga.’

Tidak buruk, pikirnya.

Jika ini mimpi, setidaknya sang putri aman. Maka ia pun memejamkan mata.

Tidak ada yang akan melukainya.

Dan ia pun tak akan melukai siapa pun.

Tempat ini… terasa aman.

Ia merasakan kehangatan dari bahu kecil tempatnya bersandar.

Tak lama, ia pun kembali tertidur lelap.

Tidur yang dalam dan damai—begitu tenang hingga ia tak menyadari ada setetes air mata menuruni pipinya.

Lilica hendak menghapusnya, tapi tangannya terhenti di udara.

Ia tak ingin mengusik tidurnya.

‘Kupikir aku sudah dewasa di usia ini…’

Anak-anak di daerah kumuh akan merasa dewasa begitu tubuh mereka tumbuh lebih tinggi darinya.

Dan ketika Lilica melihat kakak-kakak itu, ia pun ingin cepat menjadi dewasa.

Mungkin tidak begitu.

Orang dewasa yang sesungguhnya mungkin adalah mereka—Tan, Lat, dan Baginda Raja.

Lilica mengangkat kipasnya lagi, mengipas perlahan. Rambut perak Fjord bergetar lembut tertiup angin, pemandangan itu menenangkan.

‘Aku mengantuk…’

Tadi malam, demam Fjord naik tinggi sampai Lilica panik tak tahu harus apa. Namun keajaiban terjadi—suhu tubuhnya perlahan turun.

Semua kembali baik-baik saja.

Lauv menenangkannya, berkata bahwa Fjord kini sedang dalam masa pemulihan.

Ia terjaga semalaman.

Begitu melihat Fjord membuka mata, hatinya lega. Dan kelegaan itu pun berubah jadi kantuk.

Kepalanya menunduk, perlahan tertidur.

Brynn dengan sigap menangkap kipas yang hampir jatuh dari tangan mungil itu, meletakkan tangan sang putri di atas kasur, lalu menyelimutinya.

Menginap di luar istana seperti ini memang membuat gugup…

Brynn menggigit bibirnya.

Baiklah, kita kembali sebelum fajar.


Sebelum matahari terbit, Fjord terbangun mengikuti kebiasaannya.

Setelah menyadari situasi, ia menoleh pelan ke arah Lilica.

Melihatnya tidur pulas membuat dada Fjord terasa hangat aneh.

Ia ingin berbaring lebih lama seperti ini.

Tapi tentu saja, itu mustahil.

Ia bangkit perlahan. Tubuhnya terasa ringan.

Setelah memastikan tidak ada rasa sakit, ia melangkah turun dari ranjang.

Ketika merasakan pergerakan di luar, nalurinya langsung mencari sesuatu untuk dijadikan senjata.

Namun yang membuka pintu dengan tenang hanyalah gagak istana.

Brynn melirik sekilas, lalu mengabaikannya sama sekali. Ia melangkah ringan mendekati ranjang dan membangunkan Lilica.

“Yang Mulia, sudah saatnya kembali ke White Dragon Chamber.”

“Unngh…”

“Yang Mulia.”

Fjord berdiri agak jauh, masih terdiam.

Setelah beberapa kali dipanggil, Lilica mengucek matanya, menguap kecil, lalu tersentak melihat Fjord sudah berdiri.

“Fjord! Kau sudah sehat?”

“Ya, aku baik-baik saja.”

Lilica tersenyum lega.
“Syukurlah.”

Ia tak bisa menahan senyum balasannya.

Meski ingin menanyakan apa yang terjadi, sepertinya bukan waktu yang tepat.

Namun saat itu—

“Apa ini? Jadi selama ini kau membuat semua ini diam-diam—”

Atil membuka pintu dengan wajah berseri, lalu langsung membeku di tempat.

Fjord menahan napas.

Chapter 36

‘Aku ceroboh.’

Mata Brynn ikut membelalak.

Lauv jelas-jelas sedang di luar, jadi bagaimana bisa—?

Tanpa sadar, Brynn melirik ke arah pintu, lalu melangkah miring ke depan Lilica.

Menahan langsung di depan terlalu mencolok; jadi posisi miring begini sudah cukup.

“A—Apa ini?”

Wajah Atil dipenuhi keterkejutan, kemarahan, dan rasa dikhianati.

Dengan langkah besar, ia masuk ke dalam.

Sebelum Brynn sempat menahannya, Lilica cepat-cepat berdiri menghadang.

“Atil, tunggu dulu—”

“Menjauh dariku!”

Atil mendorongnya. Lilica berusaha menahan, menggenggam lengan Atil.

“Maaf, tapi biarkan aku menjelaskan dulu.”

“Minggir!”

Atil menepis tangannya dengan kasar.

Tubuh Lilica yang jauh lebih kecil langsung terhuyung ke belakang, dan lengannya yang terayun sempat mengenai wajahnya.

Biasanya, dia akan jatuh sambil berteriak “Aduh!”

Biasanya.

Tapi kali ini Lilica tertegun. Ia menutup mulutnya dengan tangan.

Tring—

Dua gigi putih jatuh ke telapak tangannya. Seketika darah mulai mengalir keluar dari mulutnya.

“Putri!”

Fjord berlari menghampiri dengan teriakan panik.

Atil pun terkejut luar biasa, sampai-sampai tak sempat menahan Fjord. Lilica juga memandangnya dengan mata terbelalak.

‘Gigi depan? Ah!’

Itu gigi yang sejak dua hari lalu sudah goyah.

Rencananya memang akan dicabut hari ini atau besok.

Tak ingin Atil merasa bersalah, Lilica buru-buru bicara.

“Aku tida’ apa-apa—”

Karena tak ingin menelan darah, mulutnya penuh cairan merah dan ucapannya terdengar aneh. Saat berbicara, darah kembali menetes keluar.

Sebenarnya bukan sepenuhnya darah—ada air liur tercampur, tapi tetap saja tampak mengerikan.

Brynn, yang langsung memahami situasinya, tetap paling tenang di antara mereka semua.

Ia mendekat dan menyodorkan sapu tangan yang sudah dilipat.

“Tolong gigit ini kuat-kuat, Putri.”

“Ung.”

Lilica mengangguk pelan. Ia ingin berbicara lagi dengan Atil, tapi tatapannya beralih pada Fjord.

Tangan yang memegang bahunya bergetar.

Mata keemasan Fjord bergetar gelisah.

Lilica menepuk tangan itu perlahan.

“Aku tida’ apa-apa.”

Ucapannya terhalang sapu tangan, suaranya terdengar lembek. Ia menahan napas panjang.

“Ini…”

Suara Atil bergetar, ia mengepalkan tinjunya.

Lalu tiba-tiba ia menerjang ke arah Fjord.

“Ini semua salahmu!”

“Aku bukan orang yang memukul Putri—kau yang melakukannya!”

Dengan amarah sama besarnya, Fjord membalas.

Keduanya langsung saling mencengkeram kerah. Hanya tinggal sedikit lagi sebelum benar-benar berkelahi.

Lilica yang panik menatap Brynn. Tapi Brynn justru tersenyum santai.

Selama sang putri baik-baik saja, sisanya bukan urusannya.

Melihat ketenangan itu, Lilica sampai melongo.

Baiklah. Dalam situasi seperti ini—

Lilica menarik napas dan berseru keras,

“Lauv!”

Brak!

Pintu terbuka keras.

Semua orang menoleh kaget. Di sana berdiri Lauv, dengan napas berat dan wajah penuh amarah.

Lilica sempat lega, tapi kemudian membeku.

Sekilas, penampilannya seperti habis berguling di tumpukan daun kering.

Ia melangkah masuk dengan langkah panjang, wajahnya menunjukkan kemarahan yang jarang sekali terlihat.

Dengan rahang mengeras, ia berkata di antara giginya.

“Yang Mulia, kali ini lelucon Anda sudah terlalu jauh.”

Lilica yang tak tahu apa yang terjadi, menatap bergantian antara Atil dan Lauv.

“Maaf, aku—”

Tapi Lauv sudah berlari ke arahnya, menatap keadaan sang putri dengan cemas.

“Putri!”

Lilica ingin menjelaskan kalau dia baik-baik saja, tapi hanya bisa tersenyum menenangkannya. Dalam hati, ia menghela napas—berapa kali hal seperti ini terjadi?

Namun senyum itu sama sekali tidak menenangkan Lauv.

Ia langsung sadar bahwa gigi sang putri tanggal.

Untuk bisa menjatuhkan gigi seseorang, pukulannya pasti sangat kuat.

Sementara dia tidak ada di tempat, tuannya sampai terluka begitu parah.

Seseorang telah memukul Lilica dengan kekuatan sebesar itu.

Pikiran itu membuat tubuh Lauv bergetar.

Dalam benaknya hanya ada satu hal: seseorang telah menyerang sang putri.

“Siapa yang melakukannya?”

Suara itu keluar di sela-sela gigi yang terkatup rapat.

Amarahnya sulit dikendalikan. Darah serigala yang mengalir di tubuhnya berdesir ganas.

Ia hampir kehilangan tuannya—rasa takut itu memicu instingnya.

Pupil matanya mengecil, warna matanya memucat terang.

Dari bibirnya yang sedikit terbuka, tampak ujung taringnya.

Lilica yang kaget langsung berseru,

“Lauv Wolfe!”

Sapu tangan terjatuh dari mulutnya, tapi ia tak peduli.

“Aku baik-baik saja! Aku tidak diserang! Tenanglah!”

“Tapi—”

“Benar! Gigi ini memang sudah waktunya copot! Atil juga kaget, kan? Giginya sudah longgar, makanya jadi begini!”

Darah kembali keluar saat ia bicara, membuatnya menutup mulut lagi.

Brynn mengeluarkan sapu tangan baru, menyeka ujung bibir Lilica dan menaruhnya kembali di mulut sang putri.

Lilica kira setelah menjelaskan, semua orang akan berkata “Oh, begitu,” dan suasana akan mereda. Tapi tidak—suasana tetap tegang.

Saat ia bingung sendiri, Brynn menjawab dengan tenang,

“Kalaupun begitu, kalau insiden itu tidak terjadi, gigi Putri tidak akan copot.”

Kalimat itu membuat Lilica tak tahu harus bereaksi bagaimana.

Ia menepuk bahu Fjord dan menunjuk sofa. Lalu berlari kecil, menarik tangan Atil.

Ia melirik suasana hatinya—syukurlah, kali ini Atil tidak menepis.

Lilica menariknya keluar kabin, dan Atil menuruti saja, kehilangan semangat untuk melawan.

Begitu keluar, dua pengawal yang tadi menahan Lauv berdiri di depan pintu, sama-sama tampak kusut.

Keduanya saling bertukar senyum kecut.

Lilica kaget melihat penampilan mereka yang berantakan.

‘Lebih parah dari Lauv, bahkan.’

Ia membawa Atil ke meja di depan kabin.

Setelah melepas sapu tangan dari mulutnya, Lilica berkata pelan,

“Maaf, Atil. Aku tahu kau sangat menghargai tempat ini, dan kau juga tidak suka pada Fjord. Tapi aku tetap membawanya ke sini.”

“Kenapa kau minta maaf?”

“Apa?”

Lilica menatapnya, terkejut. Atil menggertakkan gigi.

“Kenapa… kenapa kau minta maaf?”

Nada pertanyaannya yang terputus-putus membuat Lilica bingung. Mata biru kehijauannya bergetar.

Dan justru itu membuat Atil makin gelisah—atau marah—atau mungkin sesuatu yang lain.

“Karena aku salah?”

“Apa?”

“Seperti yang sudah kukatakan—”

“Aku sudah memberikan tempat ini padamu. Siapa pun yang kau undang ke sini, terserah padamu.”

“Itu tidak sepenuhnya milikku. Kita sepakat untuk berbagi kepemilikan.”

“Tapi kau punya hak untuk membawa siapa pun ke sini.”

Semakin lama ia bicara, semakin suram wajah Atil. Kenapa mereka malah berdebat tentang ini?

Bukan ini yang ingin ia bicarakan. Ada hal lain yang sebenarnya ingin ia ungkapkan.

Namun semakin Lilica meminta maaf, semakin sulit baginya untuk bicara jujur.

Ia menggenggam tangan Lilica dan menekan sapu tangan itu kembali ke mulutnya. Ia benci tatapan bingung itu.

“Kenapa kau tidak menyuruhku minta maaf?”

Kedipan mata Lilica yang polos menunjukkan: dia bahkan tidak terpikir begitu. Dan itu malah membuat Atil kesal.

Ia mengangkat dagu, menahan kata-kata dengan keras.

“Tak apa kalau kau marah. Kau boleh marah. Meski aku sedang tersulut emosi, memukulmu jelas hal yang konyol. Aku…”

Ia berhenti, menghela napas berat.

Kenapa dia harus menjelaskan ini?

“Aku tidak bermaksud menyakitimu.”

Kalimat itu tak pernah keluar. Sebagai gantinya, kata-kata tajam meluncur begitu saja.

“Kau yang terluka, tapi malah minta maaf dan berkata tidak apa-apa. Jangan bersikap rendah diri begitu—itu hanya menonjolkan asal-usulmu.”

Begitu kalimat terakhir keluar, Atil langsung menyesal.

Wajah Lilica memerah.

Ia menepis tangan yang memegang dagunya, melempar sapu tangan itu, dan berteriak,

“Aku sama sekali tidak malu pada asal-usulku!”

“Aku—”

“Aku tidak pernah rendah diri! Ya, kena pukul memang sakit, tapi Yang Mulia juga kaget, kan? Wajahmu waktu itu benar-benar bingung! Lagipula, giginya juga memang udah longgar! Dan lagi—ptui!”

Atil terpaku saat Lilica meludah ke tanah.

Ia menyeka sudut bibirnya dan mengumpat pelan.

Kata pendek tapi tajam itu membuat Atil menahan napas.

Tatapan Lilica menatapnya lurus—matanya menyala terang.

Dia memang anak dari jalanan kumuh.

Tapi ia tidak pernah merasa malu. Di sanalah harga diri dan kebanggaannya.

“Aku tahu betapa Yang Mulia membenci Barat. Tapi tetap saja aku mengambil keputusan ini. Aku tahu kau akan marah, tapi aku tetap melakukannya.”

Mata biru kehijauannya berkilau.

“Itulah kenapa aku meminta maaf. Tapi perasaanku tak berubah. Karena…”

Tadi, saat Atil datang, wajah dan suaranya penuh harap.

Dia bahkan menyelinap masuk setelah membuat dua pengawal melempar Lauv keluar.

Lilica sudah berjanji untuk mempercantik taman dan mengembalikannya—Atil pasti tahu ada aktivitas di sini.

Mungkin juga dia sadar Lilica tidak ada di istana pagi tadi.

Makanya, dia langsung datang ke kabin ini.

Pasti mengira Lilica sedang menyiapkan kejutan untuknya.

Tapi ketika yang dilihatnya adalah Lilica bersama seorang Barat—bagaimana mungkin dia tidak merasa dikhianati?

Namun, bahkan dalam amarahnya, Atil tidak memukul Lilica karena benci.

Ia hanya… terlalu peduli.

“Itu karena aku menyukai Yang Mulia.”

Karena dia menyukainya, ia khawatir bila membuatnya marah.

Karena dia menyukainya, ia merasa bersalah melihat Atil terluka.

Baginya, satu tamparan bukanlah harga yang mahal.

Kata-kata itu sederhana, tapi tulus.

Atil langsung kehilangan tenaga. Ia duduk di kursi dan menutupi wajah dengan kedua tangannya.

Kenapa adik kecil ini begitu berani mengatakan hal-hal yang tak bisa ia ucapkan sendiri?

Tidakkah dia takut?

Menyukai seseorang berarti memperlihatkan titik lemahnya sendiri. Itu mudah dimanfaatkan.

Berapa banyak orang yang memakai rasa suka untuk melukai balik?

“Yang Mulia?”

Panggilan itu lagi—dan Atil seketika merasa gentar.

Sejak tadi dia dipanggil Yang Mulia, bukan Atil.

Ia mengangkat kepala perlahan. Di depannya, wajah Lilica tampak cemas.

Dan melihat itu, kata-kata yang tertahan akhirnya keluar juga.

“Maaf.”

Kata itu singkat, tapi tulus. Lilica tersenyum lembut.

“Untuk sekarang, aku terima permintaan maaf itu, Yang Mulia.”

Atil menarik lengannya pelan, membuatnya mendekat. Ia menghela napas, lalu bertanya pelan,

“Sebenarnya apa yang kau lihat dari bocah itu?”

“Hmm… dia cantik sekali, dan sikapnya sopan—”

“Wajah? Jadi karena wajah? Ah, benar juga. Apa lagi yang bisa dipuji dari orang Barat selain wajah mereka?”

Apapun bisa dijelekkan, tapi kalau soal penampilan, bangsa Barat memang tak tertandingi.

Bahkan Atil pun harus mengakuinya.

Ia memandang adiknya tanpa percaya.

Wajah Lilica memerah.

“Uh, bukan karena wajahnya! Dan entah kenapa… ada sesuatu yang mengusik perasaanku.”

“Maksudmu, wajahnya?”

“Sudah kubilang bukan itu! Sungguh bukan! Ibuku adalah wanita tercantik di dunia!”

Atil tertegun mendengar pengakuan mendadak itu.

Lilica berkata dengan nada penuh kemenangan,

“Itulah sebabnya, aku tidak akan pernah kalah hanya karena wajah yang cantik.”

Apakah dia hanya dianggap wajah tampan semata?

Atil menelan kembali kata-kata yang nyaris terucap di ujung lidahnya.


Fjord merasa seolah sedang duduk di atas bantal penuh duri.

Ia menunduk, memandangi lengannya sambil duduk tegak di sofa.

Ketika ia menggulung lengan blus sifonnya, tampak perban yang membalut rapat di sana.

Ia mengepalkan tangan, lalu membuka kembali, memutar bahunya perlahan.

Tidak ada rasa sakit sama sekali. Luka itu memang tak terlihat, tapi ia tahu — tubuhnya sudah benar-benar pulih.

Perban itu hanya formalitas semata.

“Dalam semalam?”

Seharusnya ia masih kesakitan setidaknya selama seminggu.

Itu memang terasa aneh, tapi Fjord tidak berusaha mencari tahu. Bahkan tidak bertanya.

Keluarga tua selalu punya satu dua ramuan rahasia, juga tiga atau empat artefak tersembunyi.

Matanya melirik ke arah jendela dengan cemas.

Dari tempat duduknya ia tak bisa melihat, tapi di luar sana Lilica dan Atil tengah berbincang.

Atil Sau Takar.

Ia memejamkan mata.

Saat kecil dulu, ia membenci pria itu tanpa alasan yang masuk akal.

Semua penderitaan yang ia alami, kematian ayahnya — semuanya, katanya, adalah karena Atil.

Ia tumbuh besar dengan racun kata-kata semacam itu, yang tersebar di mana-mana.

Terutama dari ibunya.

Tubuhnya refleks menegang saat bayangan tentang sang ibu muncul di pikirannya.

Ibunya — wanita yang melakukan segalanya demi mengangkat nama Barat setinggi mungkin.

Ibunya — yang selalu berusaha sekuat tenaga.

Ia bahkan mencampurkan darahnya dengan keluarga Takar yang begitu ia benci, menikahkan keturunan langsung keluarga kekaisaran dengan keluarganya sendiri.

Berkat ibunya itu, ia lahir menjadi mahakarya terbaik keluarga Barat.

“Lucu, ya?” gumamnya getir.

Pola pikir itu mulai retak ketika pesta ulang tahun Atil digelar.

Atil baru berumur sepuluh tahun — ulang tahun pertamanya dengan dua digit usia. Sebuah pesta besar diadakan untuk memperkenalkan anak itu kepada semua orang.

Saat itulah Fjord pertama kali bertemu Atil.

Ia masih ingat jelas jemari ibunya yang mencengkeram rambutnya, memutar wajahnya, dan memaksanya menatap anak laki-laki itu.

“Itu musuhmu.”

Bisikan itu masih begitu jelas menggema di telinganya hingga kini.

Jadi, itu lah Atil — anak yang seharusnya ia benci sepenuh hati...

Kini, ketika ia mengingatnya kembali, yang muncul justru tawa pahit.

Atil hanyalah anak kecil.

Anak kecil yang menatapnya dengan mata penuh ketakutan dan kebencian — sama seperti dirinya sendiri.

Dia sama saja denganku.

Fjord tersadar.

Bukan Atil yang membuatnya menderita. Bukan Takar.

Tapi tangan yang dulu bertengger di atas kepalanya.

Seorang Barat.

Hasrat untuk menjadi Takar, menjadi yang terbaik, yang tak peduli dengan cara apa pun — bahkan jika harus menelan air mata dan rasa malu.

Ambisi keluarga Barat untuk terus naik ke puncak.

Itulah sumber semua luka yang ia tangisi selama ini.

Sejak saat itu, Fjord tak pernah lagi benar-benar membenci Atil.

Saat Atil menatapnya tajam, Fjord hanya bisa tersenyum getir.

Ia mengerti betul alasan kebencian itu.

Ia sendiri akan memaki keluarga seperti Barat bila melihat apa yang mereka lakukan — kalau saja ia bukan bagian dari mereka.

Namun ia adalah seorang Barat.

Itulah sebabnya ia selalu menghindar, selalu memilih jalan memutar yang lebih jauh.

Tapi...

Tapi kemudian, Fjord bertemu dengan Lilica.

Gadis itu — dengan setiap gerak penuh perhatian, setiap kata yang lembut, setiap kebaikan yang seolah sudah menjadi naluri, setiap ketulusan yang tak pernah menuntut balasan.

Semuanya hal kecil.

Kecil — seperti remah-remah kue gula yang berkilauan seperti kaca.

Namun ia terpesona oleh manisnya rasa yang belum pernah ia cicipi, oleh aromanya, oleh warna yang berpendar lembut — dan tak sanggup memalingkan pandangannya lagi.

Ia ingin sedikit lebih dekat.

Ia ingin mengumpulkan remah-remah kecil itu satu per satu.

Rasanya seperti setetes air jatuh di bibir seseorang yang seumur hidupnya belum pernah minum air sama sekali.

Chapter 37

Satu tetes saja tak cukup.

Yang ia rasakan hanyalah haus yang membakar.

Ia ingin kembali mengecap rasa manis yang memesona itu—rasa yang menenangkan namun membuat candu.

Namun tangannya tak berani terulur pada kue di atas meja.

Yang bisa ia lakukan hanyalah memunguti remah-remahnya.

Bagaimana bisa… bagaimana beraninya dia?

Bagaimana mungkin Fjord Barat bermimpi tentang Lilica Nara Takar?

Bahkan jika yang ia dapat hanyalah remah simpati yang lahir dari kemurahan hatinya, itu sudah lebih dari cukup.

‘Tidak, bukan begitu.’

Ia mendengus pelan, membetulkan pikirannya yang berusaha menipu diri sendiri.

‘Aku hanya mengira itu sudah cukup.’

Jika memang benar begitu, ia tidak akan pernah mengucapkan keinginannya untuk menjadi teman bicara sang Putri.

Ia tahu itu permintaan yang tak seharusnya diucapkan—namun tetap saja, kata-kata itu lolos dari bibirnya.

Dan ketika surat datang menanyakan kesediaannya menjadi pendamping percakapan Lilica, ia melompat kegirangan.

Sebaliknya, ibunya langsung murka.

“Berani-beraninya kau, darah campuran rendahan!”

Ucapan-ucapan tajam itu terus mengalir tanpa jeda.
Namun Fjord, dengan seluruh keberanian yang ia miliki, menjawab,

“Bukankah lebih baik mendekati musuh?”

Saat itu juga, ibunya meledak.

Seperti biasa—dengan alasan ‘Aku melakukan ini demi kebaikanmu’—padahal sesungguhnya itu hanyalah cara melampiaskan amarah.

Sebagai Duke of Barat, sang ibu terbiasa menahan emosinya. Karena itu, setiap kali meledak, akibatnya selalu mengerikan.

Setelah kemarahan itu mereda, Fjord hanya bisa menahan rintihan dan menyesali diri.

“Apa yang harus kukatakan pada sang Putri nanti?”

Ia sudah menerima tawaran itu. Akan sangat menyakitkan bila ia menolak secara langsung.

Namun ia juga tak ingin menimbulkan salah paham. Ia harus menjelaskan bahwa ini bukan keinginannya sendiri.

Bagaimana jika sang Putri kecewa? Bagaimana jika ia terluka karenanya?

Pertanyaan itu terus menghantuinya sepanjang malam, bahkan ketika ia terbaring di ranjang dengan tubuh penuh luka.

Ia berusaha keras menenangkan diri. Ia harus menyampaikan pesannya sesegera mungkin.

Ia masih ingat jalan menuju taman istana cukup panjang. Ia mengulang-ulang kalimat yang akan ia ucapkan di kepalanya.

Tapi setelah itu—semuanya menjadi kabur.

‘Aku tak ingat apa pun setelahnya.’

Mungkin ia memang bertemu dengan sang Putri. Tapi semua setelahnya seperti kabut.

Apakah sang Putri memanggil namanya? Atau itu hanya halusinasi?

Ia tidak tahu.

Ia pasti pingsan, tapi tidak tahu kapan, atau bagaimana.

Semuanya baru menjadi jelas saat ia membuka mata di atas tempat tidur.

Suara lembut yang membujuknya untuk kembali tidur sambil mengipasinya masih begitu nyata di telinganya.

‘Aku pantas dihukum karena itu.’

Fjord Barat kehilangan kesadaran dan tidur di tempat yang tak ia kenal—tanpa perlindungan, tanpa kehormatan.

Seharusnya hal seperti itu tidak pernah terjadi lagi.
Namun anehnya, di dalam dirinya juga tumbuh perasaan, ‘Tak apa… bahkan jika semuanya berantakan.’

Fjord bukanlah karya seni yang gagal.

Ucapan sang Putri itu tiba-tiba terlintas di benaknya, membuat Fjord tertawa pelan.

Bagaimana mungkin dia hanya bisa mengucapkan hal-hal manis seperti itu?

Benar-benar tak terbayangkan.

Tapi hari ini, sisa remah kemurahan hati itu telah berakhir.

Sekalipun ia dimaafkan sekali, apakah Putra Mahkota akan memaafkannya untuk kedua kalinya?

Dan… mungkinkah ini akan membuat sang Putri…

Merinding menjalar di punggungnya saat mengingat darah yang sempat menetes dari bibir Lilica tadi.

Jika Lilica terluka karena dirinya, Fjord tak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.

Namun mungkin saja, bagi Lilica, Atil jauh lebih berharga.

Semakin ia memikirkannya, semakin dalam pikirannya tenggelam ke arah yang gelap.

Saat itulah pintu terbuka, dan Lilica masuk.

Fjord segera berdiri tegak.

Ketika Lilica memberi isyarat menulis dengan tangannya, Brynn bergegas membawa lempeng batu tulis.

Kain perban yang tersisa dari semalam pun dengan cekatan dipotong dan diberikan kepada sang Putri.

Lilica menulis di atas batu tulis dengan pensil batu, lalu memperlihatkannya pada Lauv.

[Yang Mulia meminta maaf karena terlalu keras. Kudengar beliau menyuruh dua orang menyerangmu, Lauv?]

Lauv menghela napas.

“Itu salahku karena terlalu terpancing oleh suara orang. Sebagai pengawal, seharusnya aku tetap di sisi tuanku.”

[Kali ini hati-hati lagi, ya.]

Percakapan mereka memakan waktu lama, tapi tak ada yang keberatan.

Lauv mengepalkan tangannya dan berkata dengan nada tegas,

“Hal seperti ini tidak akan terjadi lagi.”

Namun senyumnya terlihat dipaksakan.

Setiap kali Lauv tersenyum begitu—ramah tapi berjarak—Lilica selalu merasakan perasaan aneh yang tak bisa dijelaskan.

Namun sekarang bukan saatnya membahas itu.

“Mm.”

Lilica mengangguk. Brynn kemudian bertanya,

“Apakah Yang Mulia sudah kembali?”

“Mm.”

“Biasanya sekarang waktu makan…”

Lilica menatap bahagia.
Sebenarnya, ia memang sudah lapar sejak tadi.

Dulu ia bisa saja melewatkan satu-dua kali makan tanpa masalah.
Tapi kini tubuhnya yang terbiasa makan teratur mulai memprotes keras karena belum mendapat sarapan.

“Mm!”

Brynn tertawa kecil melihatnya.

“Aku minta maaf, tapi kau belum boleh makan sebelum darahnya benar-benar berhenti.”

“!!”

Mata Lilica membulat kaget, lalu bahunya merosot lesu.

‘Benar juga…’

Ia menunduk pasrah—dalam kondisi begini, makan memang bukan pilihan.

Ketika ia menunjuk ke arah Fjord, Brynn menimpali,

“Ah, Young Duke Barat pasti juga lapar. Aku akan siapkan makan untukmu.”

Fjord hendak menolak—mengatakan “tidak apa-apa”—

Tapi ia sadar, jika ia menolak, mungkin ia akan diusir karena urusannya sudah selesai.

Saat ia masih ragu, Lilica menulis cepat di batu tulis dan memperlihatkannya.

[Makanlah dulu sebelum pergi.]

Fjord menjawab pelan, menunduk sopan.

“Dengan senang hati.”

Brynn kembali bertanya,

“Aku khawatir, apakah Yang Mulia benar-benar baik-baik saja?”

“Ung.”

Lilica mengangguk cepat, lalu menulis lagi dan menunjukkan pada semua orang.

[Karena ibuku adalah wanita tercantik di dunia!!]

“……?”

Semua orang menatap satu sama lain, tanda tanya besar tergantung di kepala mereka.

Namun Lilica terlihat puas—seolah penjelasan itu sudah cukup sempurna.

‘Secara objektif, ibuku memang wanita tercantik di dunia. Benar.’

Walau semua penasaran dengan maksudnya, berbicara lewat batu tulis tentu tidak mudah, sementara makanan harus segera disiapkan.

Brynn hanya tersenyum dan berkata,

“Kalau begitu, kalian bisa makan di sini saja. Aku akan menyiapkannya.”

[Maaf.]

“Tidak apa-apa sama sekali.”

Dengan wajah yang tampak nyaris berlinang air mata, Lilica menulis permintaan maaf.

Brynn tertawa kecil, menggeleng, lalu pergi setelah memberi hormat singkat.

Tak lama kemudian, sarapan datang dengan cepat, seolah disiapkan lewat sihir.

Brann masuk membawa perlengkapan makan, meletakkannya dengan sopan, dan tersenyum pada Fjord.

Fjord membalas salamnya dengan hormat.

Brann memperhatikan kondisi Lilica dan berkata lembut,

“Aku minta maaf, Putriku.”

Lilica menggeleng, lalu menunjuk ke arah Fjord, alisnya turun sedikit.

Brann menahan tawa.

‘Jadi maksudnya, karena aku membawa Fjord, ini salahku.’

Siapa sangka perasaan seperti itu bisa disampaikan dengan begitu jelas tanpa kata.

“Kalau begitu, mampirlah nanti ke Black Dragon Chamber. Aku akan menyiapkan es krim untukmu.”

“Mm!”

Lilica tersenyum lebar. Setelah Brann pergi, Brynn segera menata sarapan.

Menu itu sederhana: roti panggang, mentega, selai, dan sup hangat.

Fjord duduk berhadapan dengan Lilica, memegang alat makan dengan canggung.

Lilica menulis di batu tulis dan menunjukkan padanya.

[Apa kau sudah merasa lebih baik?]

“Ya, aku baik-baik saja.”

Lilica menghapus tulisan itu dan menulis lagi.

Fjord menunggu—setengah makan, setengah menatapnya.

[Kau tidak bisa jadi teman bicara, kan?]

“……Ya.”

Ia mencoba menjawab ringan, tapi bahkan ia tahu suaranya terdengar patah.

Lilica menatapnya, lalu menulis lagi.

[Kalau begitu, jadilah temanku saja.]

Mata Fjord membelalak.

Ia menatap tulisan itu berulang kali, memastikan dirinya tidak salah baca.

Tulisan tangan Lilica tidak halus seperti hasil latihan bangsawan—sedikit miring, tak beraturan.

Namun justru di situlah kejujuran yang menyentuh.

Ia menatap tulisan itu lama, seperti ingin mengukirnya di hatinya sendiri.

Lilica kembali menulis di bawahnya.

[Kau tidak mau?]

Fjord menunggu sejenak agar emosinya tak meluap, lalu tersenyum elegan.

“Aku mau.”

Tanpa berlebihan, tanpa terlihat memaksa.

Lilica pun tersenyum.

[Aku juga.]


“Tidak kusangka gigimu copot. Tapi, oh, gigi kecilmu lucu sekali.”

Ludia menatap gigi susu putrinya yang terlepas dengan antusias.

‘Aku bahkan lupa kalau anak-anak akan melewati tahap ini.’

Ingatan masa kecilnya perlahan muncul kembali.

Ia sudah lupa akan hal itu—sampai gigi Lilica benar-benar copot.

“Kalau gigi itu dilempar ke atap, nanti burung biru akan membawanya pergi, dan kau akan tumbuh dengan gigi yang indah.”

Lilica berbicara riang, dan Ludia bertanya sambil tersenyum,

“Benarkah? Di mana kita harus melemparkannya?”

“Di tempat pertama kali aku pergi! Tempat pertama kali aku bertemu Ibu!”

“Ah, Dawn Palace?”

“Ya! Aku yakin burung biru pasti datang kalau dilempar di sana!”

“Baiklah, kita lakukan itu.”

Lilica mencondongkan tubuhnya dengan gembira.

“Ibu juga ikut?”

“Tentu saja, sayang. Ibu akan ikut.”

Tawa Lilica terdengar lepas saat Ludia memeluknya. Celah kecil di giginya membuat senyumnya makin menggemaskan.

Belakangan ini Ludia memang sangat sibuk.

Menyelidiki para pedagang, menakar kekuatan faksi bangsawan, dan mencari tahu apa yang tengah dilakukan keluarga Barat.

Bahkan Altheos sempat mencibir, “Kau ini lebih sibuk dariku.”

Tentu saja aku sibuk, pikir Ludia. Aku harus bekerja keras demi Lilica.

Bagi seorang wanita muda yang membesarkan anak seorang diri, dunia penuh ancaman.

Dulu ia sempat memanfaatkan situasi itu—kini tidak lagi.

Ia tak mau.

Terlalu mudah bagi laki-laki memperlakukan seorang janda seenaknya.
Hal itu sesuatu yang Altheos takkan pernah pahami.

Senyumnya menegang.

Itulah sebabnya aku butuh kekuatan untuk melindungi Lilica.

Kekayaan dan kedudukan—dua hal itulah kekuatan terbesar.

Untuk melindungi dirinya dan anaknya dari para serigala dan jakal yang mengincar mereka, ia harus memiliki keduanya.

Maka, ia bekerja tanpa henti, siang dan malam.

Namun ironisnya, justru karena itu waktu kebersamaannya dengan Lilica berkurang.

“Lily.”

Ludia menggenggam tangan kecil putrinya erat.

“Ibu bisa bekerja sekeras ini hanya karena ada Lily. Ibu bisa pergi sejauh ini karena Lily menjaga rumah dengan baik.”

Lilica menggenggam balik tangan ibunya.

“Aku juga bisa semangat karena ada Ibu.”

Ludia tersenyum lembut, tapi suaranya merendah.

“Karena itu, Ibu minta maaf tidak bisa selalu bersamamu. Ibu sungguh menyesal.”

Ia menyibakkan rambut putrinya dan berbisik lembut.

Namun Lilica menggeleng cepat dan memeluk pinggang ibunya erat.

Harum lembut memenuhi pelukan itu.

“Tidak apa-apa, Ibu. Aku tahu Ibu bekerja keras karena aku. Jangan terlalu menyalahkan diri. Aku tetap mencintai Ibu, apa pun yang terjadi.”

“Mm… terima kasih, Lily.”

Ludia hanya bisa bertahan karena cinta dari anak itu.

Dulu ia kira kasih sayang seperti itu hanya keinginannya sendiri. Kini ia tahu — cinta itu saling terbalas.

Mungkin jika Lily di masa lalu tidak mati, jika ia tidak dibakar di tiang hukuman, ia takkan pernah menyadari hal ini.

Ia terlalu bodoh kala itu.

Senyum getir melintas di bibirnya.

Ia memeluk Lilica erat, mengusap punggung kecil itu, menikmati kehangatannya.

Lilica beraroma musim semi dan permen manis.

Kini giginya telah tanggal — sebentar lagi ia akan berusia sepuluh, tiga belas, lalu dewasa.

Kali ini, aku harus melihatnya tumbuh melewati usia itu.

Pelukannya mengerat.

Ia tak ingin terjebak dalam perasaan sentimental.

Karena sekarang, Lilica hidup, menatapnya dengan mata penuh cahaya.

“Kalau begitu, Lily, bagaimana kalau kita pergi sekarang?”

“Benarkah?”

“Tentu saja.”

“Tapi… Ibu tidak sibuk?”

“Tidak apa-apa.”

Ludia tertawa kecil, menepuk pipi putrinya.

Sudah lama mereka tak keluar bersama, dan Lilica terlihat sangat gembira.

Hari itu cerah dan hangat.

Pemandangan Permaisuri baru dan sang Putri berjalan bergandengan tangan melintasi taman membuat semua orang menoleh.

Bisikan kekaguman terhadap kecantikan Ludia terdengar di mana-mana, dan Lilica membusungkan dada bangga.

‘Lihat, kan? Ibuku cantik sekali!’

Ketika ia menengadah, sepasang mata biru bunga jagung menatapnya lembut.

“Ada apa?”

“Karena Ibu yang tercantik di dunia.”

“Oh, kau ini. Lilica juga yang tercantik di dunia.”

Ucapannya lembut, tapi Lilica tahu — ia belum bisa menandingi keanggunan ibunya.

Dawn Palace tetap seindah pertama kali ia melihatnya.

Bangunan marmer berwarna mutiara dan merah muda itu berkilauan di bawah sinar matahari.

Lilica menatap atap tinggi dan menyerahkan giginya.

“Sir Lauv.”

Dengan satu ayunan ringan, Lauv melempar gigi itu ke atas atap.

“Kalau begitu, sebelum pulang, bagaimana kalau kita minum teh di sini? Lilica boleh minum teh ringan — teh yang terlalu kuat tidak baik untuk anak-anak.”

Ludia menyampaikan fakta baru yang baru ia pelajari, membuat Lilica mengerutkan kening heran.

“Benarkah?”

“Ya, jadi lebih baik tehnya dibuat lebih lembut.”

Ia menatap Brynn, yang langsung mengangguk.

“Teh yang diminum sang Putri memang sudah dibuat ringan.”

“Begitu? Syukurlah.”

Kepala pelayan di sisi mereka bertanya sopan,

“Yang Mulia, cuacanya panas hari ini. Saya berniat menyiapkan lemon sherbet. Bagaimana menurut Anda? Karena gigi sang Putri baru copot, sesuatu yang dingin akan membantu mengurangi bengkak.”

“Oh, kalau begitu, mari kita makan itu.”

Tak lama, lemon sherbet disajikan dalam mangkuk kaca indah.

Setiap suapan menyebarkan rasa segar manis dan asam di mulutnya.

“Enak?” tanya Ludia.

Lilica mengangguk antusias.

Benar-benar hidangan penutup yang pas untuk hari musim panas.

Sambil terus menyuapkan sendok kecilnya, Lilica berkata pelan,

“Ngomong-ngomong, Ibu… Fjord bilang dia tidak bisa jadi teman bicaraku.”

“Oh, begitu.”

Ludia memang sudah menduga. Tapi tetap saja hatinya mengeras mendengar kabar itu.

Mengapa ia harus mengatakan sesuatu yang akan melukai anaknya?

“Tidak apa-apa? Kau pasti kecewa.”

“Yah, karena itu aku bilang tidak apa-apa kalau dia bukan teman bicaraku. Kami bisa jadi teman saja.”

“Dengan Fjord Barat?”

Lilica mengangguk.

Dan tanpa sadar, ia menatap wajah ibunya—khawatir.

Nada di balik pertanyaan Ludia tadi terasa… tidak menyenangkan.

Secara naluriah, bahunya pun menurun.

Chapter 38

“Aku… tidak boleh…? Maaf karena aku memutuskan sendiri…”

“Hmm, Lily.”

Ludia terdiam, tenggelam dalam pikirannya.

Fjord Barat meninggal di usia lima belas tahun.

Mahakarya terbesar Keluarga Duke Barat.

Namun, ia tahu sangat sedikit tentang bocah itu.

Yang ia ingat hanyalah ekspresi kelam yang melekat di wajahnya ketika mereka berpapasan di kediaman keluarga Duke.

“Lagi pula, ada rumor kalau dia libertine.”

Katanya, Fjord lebih suka berburu dan berjudi dengan lingkaran bobrok daripada belajar.

Karenanya, putra itu menjadi aib bagi Keluarga Duke Barat.

‘Rizert baru muncul setelah kematiannya.’

Apakah Rizert anak tidak sah?

Banyak orang menduga begitu.

Namun karena kematian Fjord, sang Duchess tak punya pilihan selain memperkenalkan “putri” yang selama ini ia sembunyikan kepada publik.

Katanya si gadis dididik di biara pedesaan—tapi rasanya tidak seperti itu sama sekali.

Dia lebih seperti mahakarya rusak milik keluarga Barat.

Sifat kejamnya pun ikut terpelintir.

“Jadi dia akan mati.”

Pikiran itu melintas, dan Ludia memandangi putrinya.

Tatapan cemas balas menatap dirinya.

“Lily, apa kamu benar-benar harus begitu dekat dengan Fjord?”

“Uhm…”

Lilica ragu dan memalingkan pandangan. Ludia berkata lembut.

“Kemari, bisikkan pada Ibu.”

Lilica berdiri perlahan, mendekat dengan hati-hati.

Ia sudah memastikan berulang kali bahwa wajah ibunya tidak menunjukkan tanda-tanda marah, tapi tetap saja ia gugup.

“Itu karena…”

“Karena?”

Lilica menutupi mulut ibunya dengan tangannya, lalu berbisik pelan.

“Karena dia sangat… cantik…”

“!!”

Mata Ludia membulat kaget, lalu ia menatap putrinya.

Pipi Lilica merah menyala.

“Benarkah?”

Tanpa sadar Ludia mengucapkannya—kemudian tertawa lepas.

Lilica menggenggam tangannya, bingung harus berbuat apa.

Dia memang cantik.

Itu bukan satu-satunya alasan, tapi hanya itu kata yang bisa merangkum semuanya.

Sinar pelangi dari rambut peraknya, cara dia memberi hormat dengan anggun, mata merah-keemasannya yang tampak rapuh, langkahnya yang menyesuaikan dengan Lilica, dan panggilan lembutnya—“Putri Robin.”

‘Cantik’ mencakup semuanya.

“Kalau begitu, apa boleh buat?”

Ludia tersenyum geli.

Wajar saja manusia menyukai sesuatu yang indah.

Dan sejujurnya, secara strategis, tak ada yang salah jika Lilica dekat dengan Fjord.

Kalau ini dulu, ia pasti akan memanfaatkannya di berbagai kesempatan.

Tapi dulu berbeda dengan sekarang.

Setelah berpikir cukup lama, Ludia berkata,

“Untuk saat ini tak apa, tapi kalau nanti ada masalah dengan Fjord… Ibu akan melarangmu bertemu dengannya.”

Lilica mengangguk.

“Kalau begitu, kami tak boleh bertemu lagi?”

“Ya, benar.”

“Baik, berarti janji, ya.”

Ia menggenggam tangan ibunya dan mengayunkannya tiga kali.

“Kalau begitu, tak apa kalau kalian bertemu santai. Oh, dan kalau, kebetulan…”

Ibunya berbisik di telinganya.

“Kalau kamu tahu apakah Fjord punya saudara lain, beritahu Ibu, ya?”

“Iya.”

Meski sedikit kaget, Lilica mengangguk mantap.

Tak masalah, selama ibunya mengizinkan.

Ludia tersenyum, menatap lembut.

“Uva akan kembali minggu depan.”

“Benarkah?!”

“Ya, kita tunggu bersama apa yang dia bawa nanti.”

Lilica berseri gembira mendengarnya.

‘Syukurlah dia bisa kembali dengan selamat.’

“Sekarang, sherbet-mu akan meleleh. Cepat habiskan.”

“Baik!”

Lilica segera berlari ke tempat duduknya dan mulai menyendok sherbet lemon itu dengan semangat.

Rasa dingin, manis, dan asam bercampur jadi kebahagiaan kecil.

Ia terus menghela napas kagum sambil mendengarkan cerita ibunya.

“Aku juga tak sabar ingin membantu Ibu.”

“Lily sudah banyak membantu Ibu.”

“Tidak, maksudku… aku ingin seperti Ibu, membuka salon, berbicara dengan banyak orang.”

“Itu bisa, kalau kamu sudah sepuluh tahun.”

Lilica mendesah kecil.

“Baik…”

Ia ingin cepat tumbuh dewasa.

Ludia menatapnya penuh kasih.

“Ada yang kamu inginkan? Mungkin pakaian baru? Bagaimana kalau jubah?”

“Apa? Tidak perlu.”

Lilica menggeleng, tapi Ludia bersikeras.

“Jangan begitu. Ibu selalu memilih barang yang Ibu anggap cantik. Sekarang, apa ada sesuatu yang Lilica suka?”

Lilica tampak ragu.

Saat ia masih bimbang, ibunya menegaskan,

“Apa pun boleh, katakan saja.”

Lilica menatap mangkuk sherbet kosongnya, lalu memberanikan diri.

“Sebenarnya… aku ingin pakai gaun krinolin.”

“Apa?”

Ludia nyaris tak percaya dengan apa yang baru ia dengar.

Kata itu menimbulkan gambaran jelas di kepalanya.

‘Gaun kuno itu? Yang sudah benar-benar ketinggalan zaman? Putriku mau memakainya? Mustahil!’

Kalimat ‘apa yang terjadi dengan seleramu?’ nyaris keluar, tapi Ludia menahannya mati-matian.

Astaga.

“Gaun yang Ibu pakai sekarang jauh lebih cantik dari itu, kan?”

“Iya…”

Lilica menunduk, menatap mangkuknya lagi. Ludia merasa tidak nyaman.

Entah kenapa, perasaannya tak enak. Ia lebih rela jika Lilica membanting kaki sambil berteriak, “Tidak! Aku mau krinolin!”—seperti anak-anak lainnya.

Ludia berdeham.

“Gaun krinolin itu tidak nyaman, sayang. Apa yang kamu sukai darinya?”

“……”

“Tak apa, Ibu hanya penasaran saja.”

Setelah diyakinkan begitu, barulah Lilica menjawab pelan,

“Karena mirip pakaian putri di poster drama itu…”

“Ah.”

Ludia mengepalkan tangannya pelan.

Ia tak ingin putrinya memakai krinolin.

Apa kata para wanita bangsawan nanti?

Mereka mungkin akan berpikir sang Permaisuri telah menyerah.

Apakah benar begitu penting menuruti selera anak kecil?

Gaun yang ia kenakan sekarang jauh lebih indah.

Lagipula nanti Lilica akan menginginkan busana paling modis begitu ia besar nanti—

“Tak apa, Ibu. Pakaian Ibu sekarang juga cantik sekali. Aku suka.”

Karena keheningan makin panjang, Lilica buru-buru menatap ibunya dan berkata lembut.

“Maaf, aku keras kepala. Aku juga pikir gaun bustle jauh lebih cantik, kok…”

Lilica gelisah, takut sudah menyinggung ibunya—Permaisuri yang justru mempopulerkan model bustle itu.

Akhirnya Ludia tak bisa melanjutkan teguran. Ia memaksa tersenyum.

“Jadi kamu ingin gaun yang bagian bawahnya mengembang, ya?”

“Apa? Tidak, aku suka bustle.”

“Tidak apa, Ibu akan pesan satu untukmu. Sekarang juga.”

“Hah? T-tapi—”

“Tak masalah, Ibu tak akan buat krinolin. Itu terlalu berat dan sulit bergerak. Tapi Ibu akan buat yang kamu suka.”

Ia memberi isyarat agar kepala dayang memanggil desainer istana.

“Jangan khawatir. Ibu akan pastikan gaunnya sesuai seleramu.”

“Iya.”

Lilica mengangguk.

Meski tadi bilang tak perlu, hatinya hangat karena diperhatikan.

Wajahnya berseri karena gembira.

‘Menyembuhkan sekali,’ pikir Ludia.

Stres akibat Altheos—yang belakangan sering bicara soal cinta—menguap begitu saja.

‘Pria itu, atau tepatnya, naga itu…’

Entah dari mana dia belajar kata-kata aneh itu.

Ia menulis puisi, mengirim bunga, memberi kotak perhiasan pilihannya sendiri—semuanya aneh, tapi…

Ia menghela napas kecil.

Yang aneh justru karena semua itu… terasa masuk akal.

Suaranya merdu ketika membaca puisi, buket bunganya indah, dan perhiasan yang ia pilih benar-benar terbaik.

‘Masalahnya, terlalu masuk akal.’

Para dayang tertawa geli, sementara para bangsawan wanita yang minum teh bersamanya justru menatap iri.

‘Sejujurnya? Menyebalkan.’

Ludia tersenyum lelah lalu menatap Lilica. Gadis kecil itu langsung bertanya,

“Ibu kenapa?”

“Tidak, tak apa-apa.”

Ia tak bisa menceritakan hal ini pada Lilica.

Menggeleng ringan, Ludia berganti topik.

“Jadi, ada tambahan yang kamu inginkan untuk gaunnya?”


Saat berjalan di koridor, Lilica menghela napas pada Brynn.

“Sebenarnya tak perlu dibuatkan…”

Tapi daripada bilang tak perlu, ia berkata, “Aku suka, tapi apa ini benar boleh,” hingga membuat Brynn tertawa kecil.

“Bagaimanapun juga, Permaisuri ingin mendahulukan keinginan Putri.”

Pipi Lilica memerah.

“Benarkah?”

“Tentu. Beliau sangat mencintaimu.”

“Hehe.”

Lilica menekan dadanya sambil tersenyum malu.

Rasa senangnya bukan hanya karena akan memakai gaun indah, tapi karena ibunya memikirkannya.

Hangat.

Lembut seperti sherbet lemon—warna kuning bahagia.

Saat itu, ia melihat Pi berjalan dari ujung lorong.

“Pi!”

“Putri.”

Pi segera mendekat dan memberi salam.

“Apakah Putri hendak kembali ke White Dragon Chamber? Jika berkenan, mampirlah sebentar ke Black Dragon Chamber.”

“Benar juga, Brann memintaku datang untuk makan es krim bersama. Katanya juga ingin ngobrol dengan Yang Mulia.”

Pi langsung menangkap perubahan panggilan itu dan mengedip pelan. Brynn ikut menatap heran.

“Benar juga, sejak kapan Putri memanggil Yang Mulia dengan gelar resminya?”

“Iya, Yang Mulia…”

Lilica memberi isyarat agar Brynn menunduk. Ia berbisik pelan.

“Dia bertanya, apakah aku bersikap sopan karena latar belakangku.”

“Oh, oh, oh, astaga.”

Brynn sampai mengulang tiga kali. Lilica mengangguk mantap.

“Jadi aku mau sedikit jahil. Kalau aku panggil dengan gelar, bukankah dia akan kesal?”

Brynn menutup mulutnya, tertawa kecil.

“Menurutku itu pantas sekali.”

“Kan?”

Pi, yang melihat mereka tertawa, menahan diri agar tidak ikut tersenyum getir.

Ia baru saja melihat kekhawatiran Atil—yang jelas berpura-pura tak peduli—dan sekarang menyaksikan sisi lembut Lilica.

‘Tapi perlahan jadi lebih hangat. Itu hal yang bagus.’

Sebagai orang kepercayaan dan calon penasehat Atil, Pi bersyukur perubahan ini terjadi.

Karena meski Atil tak perlu mempercayai semua orang, tapi hidup dalam ketidakpercayaan total pasti melelahkan.

“Yang Mulia sebenarnya sangat khawatir.”

Pi membuka suara.

Kata-kata yang Atil takkan pernah ucapkan langsung, menjadi tanggung jawab Pi untuk disampaikan.

“Benarkah?”

Lilica berjalan sambil tersenyum.

Pi berjalan di sampingnya, Brynn satu langkah di belakang.

“Iya, sangat. Tapi tentu dia tak akan mengatakan itu secara terang-terangan.”

Lilica tertawa kecil mendengarnya.

Mereka berjalan di lorong panjang. Para pelayan yang berpapasan menunduk dan menyingkir ke sisi.

Sambil melangkah, Lilica bertanya,

“Pi dan Yang Mulia sering bertemu tamu di Sky Palace? Aku juga bertemu beberapa orang di Sun Palace, tapi mereka tak pernah mengajak bicara.”

“Itu karena orang yang berpangkat rendah tidak boleh memulai percakapan dengan bangsawan.”

“Mm, aku lega sih, tapi… apa tak apa kalau terus mengabaikan begitu?”

Bagaimana kalau mereka menyapa? Apa yang harus ia katakan?

Namun di sisi lain, terus mengabaikan mereka juga membuatnya khawatir.

Apa kata orang nanti?

Kalau dia ingin jadi putri yang baik, bukankah seharusnya menyapa lebih dulu?

Kadang ia melihat anak-anak lain seusianya—mungkin sedikit lebih tua—menyapa dengan sopan.

“Aku sering lihat anak-anak yang seumuran denganku.”

Pi tersenyum.

“Itu agar Putri atau Yang Mulia bisa dengan mudah memulai percakapan.”

“Apa?”

Lilica menatapnya kaget. Pi menjelaskan dengan tenang.

Rambutnya yang berwarna krim berkilau saat melewati cahaya dan bayangan lorong.

“Mereka membawa anak-anak mereka ke istana karena berharap Putri memperhatikan dan memulai percakapan.”

“Benarkah?”

“Tentu.”

Pi berhenti di bawah pilar, menatap Lilica yang berdiri dalam cahaya.

“Di Istana Kekaisaran, tak ada yang namanya kebetulan.”

Mata turquoise Lilica membulat.

Pi mengangkat jari telunjuk, menaruhnya di bibir.

“Dan tak ada rahasia yang benar-benar sempurna.”

Ia mengetuk dadanya perlahan.

“Sebuah rahasia hanya sempurna… bila disimpan sendiri.”

Mendengar itu, Lilica tiba-tiba teringat pada liontin di sakunya.

‘Jadi, kalau aku juga penyihir… dan Yang Mulia tahu… itu berarti bukan rahasia?’

Jika dua orang tahu, apakah masih bisa disebut rahasia?

Pi tersenyum melihat wajahnya yang tampak bingung.

“Sepertinya Putri punya rahasia, ya.”

“Hah? H-hah?”

Lilica gugup, gagap seketika, membuat Pi tertawa pelan.

“Rahasiakan baik-baik, Yang Mulia Putri.”

Lilica mengangguk cepat.

Kebiasaannya yang selalu mengiyakan membuat Pi tersenyum lega.

Adik-adiknya dulu tak seperti ini—mereka akan diam atau membantah.

Lilica melangkah ke sisi bayangan, berdiri di samping Pi.

Lalu ia berkata pelan,

“Tapi Pi.”

“Ya?”

“Kalau kamu tak pernah membagi rahasiamu dengan siapa pun… kamu takkan pernah tahu siapa yang bisa kamu percaya.”

Suara lembutnya seperti pukulan telak bagi Pi.

Ia nyaris tertawa, tapi menahan diri.

‘Putri ini…’

Bukan gadis polos tanpa pertimbangan.

Lilica menatapnya dengan kepala sedikit miring.

Pi mengangguk.

“Benar juga. Itu cara untuk membedakan permata dari batu kerikil.”

Ada banyak cara lain—mengungkap siapa pengkhianat, atau memanfaatkan kebocoran informasi—tapi Lilica tidak bicara sejauh itu.

Namun maknanya jelas: dengan berbagi rahasia, kau bisa tahu siapa yang pantas dipercaya.

Ia tak berbicara tentang cahaya tanpa memahami gelap; ia bicara tentang cahaya sambil menyadari keberadaan gelap itu.

‘Benar juga.’

Baik kegelapan di lorong kumuh maupun di bawah gemerlap istana, tetaplah kegelapan.

“Aku sepertinya bicara terlalu banyak.”

“Tidak, Pi bilang begitu karena khawatir padaku, kan?”

“Terima kasih sudah memahaminya. Kalau begitu, ayo cepat. Yang Mulia sudah menunggu cukup lama.”

Lilica tertawa kecil dan mempercepat langkahnya.

Karena langkahnya masih kecil, Pi menambahkan,

“Jika Putri berkenan—”

Tapi sebelum kalimat itu selesai, Lilica sudah mengangguk paham.

Chapter 39

Tepat saat Pi hendak membungkuk, Lauv melangkah maju.

“Aku saja.”

Ia dengan cepat mengangkat Lilica, kini memeluknya dengan cara yang lebih mantap dan aman.

Pi menambahkan sesuatu yang sekiranya bisa membantu Atil nanti.

“Kalau kau penasaran dengan pembicaraan kami bersama orang-orang di Istana Langit, silakan tanya langsung pada Yang Mulia.”

“Oh, benar juga.”

Lilica mengangguk kecil.

Tak lama kemudian, rombongan tiba di depan Black Dragon Chamber.

Ukiran naga hitam yang menghiasi pintu itu terbuat dari obsidian, berkilau dan tampak seperti karya seni halus.

“Kau bisa menurunkanku sekarang.”

Sementara Lauv menurunkannya dengan hati-hati, Pi membuka pintu itu sendiri.

Pintu ruang depan sudah terbuka sebelumnya.

Brann melangkah cepat menyambut mereka.

“Selamat datang, Yang Mulia Putri.”

“Halo, Brann.”

Setelah menyapa, Lilica membungkuk sopan, lalu berkata,

“Salam untuk Yang Mulia Pangeran.”

Alis Atil terangkat mendengar sapaan itu.

Namun ia tidak langsung menegur. Ia tahu dirinya juga tidak sepenuhnya tanpa salah.

“Duduklah.”

Begitu Lilica duduk, Brann segera menyajikan es krim dalam gelas panjang.

Raspberry yang diawetkan dalam gula tersusun di antara lapisan es krim vanila.

Di atasnya, sebutir permen berbentuk raspberry yang dibuat dari gula memahkotai hidangan itu.

Lilica tak bisa menahan desah kagumnya.

“Waaah—”

Sekilas, Atil tampak lega. Ia menyodorkan sendok perak panjang.

“Nih, pakai ini.”

Setelah Lilica menerimanya, Atil menjelaskan,

“Kau bisa mulai dengan memecahkan permen di atasnya pelan-pelan.”

Lilica mengetuk permen itu dengan sendoknya. Begitu retak, sirup merah mengalir dari dalamnya.

Desah kagumnya kembali terdengar.

Cuaca di luar masih menyengat, dan hawa sejuk dari sherbet lemon cepat lenyap.

Ia bahkan sempat berkeringat di perjalanan ke sini.

Lilica mencicipi es krim vanila dengan sirup raspberry.

“Enak sekali.”

Ucapan polos itu membuat Atil menggigit bibir sambil tersenyum kecil.

“Aku sudah duga.”

Lilica menatapnya.

Benar saja — dari ekspresinya, jelas Atil sedang menahan tawa.

Ketika mata mereka bertemu, senyumnya berubah lembut.

“Benar-benar enak?”

“Ya,” jawab Lilica patuh.

Karena memang — kalau sesuatu enak, ya enak!

“Nikmatilah, Yang Mulia Putri.”

Brann menambahkan dengan nada cemas, takut Lilica makan terlalu cepat dan sakit perut.

Lilica pun memperlambat gerakannya. Ia juga tahu perutnya bisa protes kalau terlalu banyak.

“Darahnya sudah berhenti?”

“Sudah.”

Lilica mengangguk, lalu menoleh pada Lauv.

“Sir Lauv melemparkan gigi itu ke atap.”

“Oh.”

Atil tahu itu cuma takhayul, tapi ia tak berniat mengomentarinya.

Adiknya yang sedang asyik menikmati es krim terlihat terlalu lucu untuk disanggah.

Ia melirik Brann, yang tersenyum ringan.

Brann-lah yang menyiapkan es krim itu.

Kepercayaannya pada para pengikut setianya pun semakin kuat.

Ketika Pi duduk, Brann menyuguhkan dua cangkir teh dingin.

Lilica bertanya,

“Yang Mulia tidak makan es krim?”

“Tak apa. Kau saja yang habiskan.”

Lilica memiringkan kepala, lalu menyendok sedikit es krim.

“Tapi tetap saja, nih.”

Atil sempat kaget ketika sendok es krim tiba-tiba sudah di depan bibirnya. Namun, ia tetap membuka mulut menurut.

Sambil mengelap sudut bibir, ia berkomentar singkat,

“Tidak buruk.”

“Enak, kan?”

Lilica tersenyum lebar — gigi depannya yang ompong langsung terlihat jelas.

Atil mendengus tertahan.

“Pfft.”

Ia menahan tawa mati-matian, tapi bahunya tetap bergetar.

Lilica panik.

“Hah? Yang Mulia tersedak? Tak apa?”

Atil menggeleng cepat.

Kalau ia tertawa keras-keras sekarang, hasilnya pasti buruk. Ia batuk beberapa kali, baru tenang.

“Tidak, aku baik-baik saja. Hem, hem.”

Sambil berdeham, ia menatap wajah Lilica yang penuh kekhawatiran.

“Tak apa. Lanjutkan makanmu.”

“Baik, Yang Mulia.”

Setelah itu, Atil akhirnya bertanya,

“Kau akan terus memanggilku begitu?”

“Maksud Yang Mulia?”

“Memanggilku ‘Yang Mulia’.”

“Tapi kalau seorang putri dengan latar belakang sepertiku tidak memanggilmu begitu, nanti bagaimana, Yang Mulia?”

Atil mendesah kecil. Ia harus menjawab dengan benar kali ini.

Setelah berpikir sebentar, ia berkata,

“Tak peduli asal-usulnya, adikku tetaplah adikku.”

Lilica menatapnya lama, membuat Atil gugup.

Lalu ia mengangguk pelan.

“Kalau Atil berpikir begitu.”

‘Bagus.’

Atil mengepalkan tangan di bawah meja, tersenyum kecil.

Masalah pertama di antara mereka pun selesai dengan damai.

Pi lalu membuka suara.

“Ngomong-ngomong, aku dengar Putri mengizinkan Fjord Barat tinggal di kabin.”

“Mm…”

Lilica mengangguk pelan. Pi menggeleng.

“Bukan bermaksud menginterogasi, aku hanya penasaran alasannya.”

“Soalnya Fjord waktu itu sedang sakit.”

Lilica menjawab lirih, lalu menatap ke atas.

“Saat aku bertemu dengannya di taman, dia tiba-tiba pingsan. Badannya panas sekali. Aku tak bisa meninggalkannya begitu saja, tapi kehadiranku juga tidak boleh diketahui orang. Jadi… hanya tempat itu yang terpikir.”

“Aku mengerti.”

Pi mengangguk.

Kalau diketahui bahwa Fjord Barat pingsan setelah bertemu sang putri, itu bisa jadi masalah bagi kedua pihak.

Keputusan sang putri untuk menyembunyikannya memang tepat.

Hanya saja, kenapa harus di sana, dari semua tempat yang ada?

“Kenapa dia bisa pingsan?”

Lilica mengalihkan pandangan.

“Dia hanya… kurang sehat.”

Ia tak ingin membicarakan luka parah yang dimiliki Fjord.

Itu soal harga diri lelaki itu.

Lagipula, tak pantas dibicarakan di depan banyak orang ketika ia sendiri tak tahu pasti.

Pi tersenyum tipis.

“Baiklah.”

Respons cepatnya justru membuat Lilica terkejut.

Pi menambahkan lembut,

“Kalau memang tak enak badan, ya wajar. Sekarang dia sudah sembuh?”

“Sudah. Jadi aku pulangkan dia.”

Nada Lilica membuatnya terdengar seperti seseorang yang baru melepas hewan kecil ke alam liar.

Pi melirik Atil.

Keduanya tahu gosip kelam yang beredar tentang keluarga Duke Barat.

Atil menyilangkan tangan.

Pi bertanya lagi,

“Apakah Putri akan terus berhubungan dengannya?”

Lilica mengangguk, lalu menepuk tangan, “Ah!”

“Ibu juga sudah memberi izin. Katanya, kalau nanti muncul rumor buruk tentang Fjord, aku harus berhenti berteman dengannya. Aku setuju.”

“Begitu.”

Pi mengangguk, melirik Atil lagi.

Lilica pun ikut menatap Atil.

Rasanya seperti Pi sedang menyampaikan pertanyaan-pertanyaan Atil.

Atil menghela napas.

“Kalau Bibi bilang begitu, pasti ada alasannya.”

Kalau soal Lilica, bibinya pasti akan jadi orang pertama yang menembakkan “api biru” dari matanya.

Kalau sudah memberi izin, berarti anak itu tidak berbahaya.

Yang tersisa hanyalah perasaan pribadinya sendiri.

Sudut bibir Atil terangkat.

“Bukankah baik hati kalau aku bersikap dermawan pada calon rakyatku nanti?”

Setelah kejadian terakhir, ia merasa terlalu mudah terpancing.

Apalagi di depan Fjord Barat.

Anak itu terlihat jauh lebih tenang, dan entah kenapa, itu membuat Atil kesal.

Ya sudah — tidak ada alasan untuk tidak bersikap lapang dada.

Meskipun… menyebalkan.

Ia menyandarkan dagu di tangan dan berkata malas,

“Terserah kau saja.”

Lilica langsung berdiri, matanya berbinar. “Benarkah?”

“Aku tidak akan mengulanginya.”

Mendengar itu, Lilica berlari memeluknya.

“Terima kasih.”

Atil mencubit pipinya.

“Tapi ingat, anak itu orang luar.”

Kami keluarga. Kami terhubung.

Berbeda dengan dia — sama sekali di luar silsilah.

Lilica mengangguk mantap.

“Aku tahu.”

“Benarkah?”

“Ya. Atil selalu yang paling utama.”

Ucapan lugas itu membuat Atil tersenyum puas.

“Bagus. Selama kau tahu itu.”

Lilica terkekeh dan hendak melepaskan diri, tapi Atil berkata, “Ada apa?”, sambil menariknya ke pangkuan.

Brann segera menaruh gelas dan sendok di hadapan Lilica.

Lilica mendongak. Atil mengangkat sendok.

“Mau kusuapi?”

“Tidak perlu.”

Lilica cepat-cepat merebut sendoknya kembali. Suara ting terdengar ketika logam menyentuh kaca.

“Ngomong-ngomong, Atil.”

“Hmm?”

“Kau sering ke Istana Langit, kan? Biasanya bicara apa dengan orang-orang di sana?”

“Apa ya? Ya, bicara saja.”

Lilica mengerutkan dahi karena jawabannya setengah hati. Tumit kecilnya menendang pelan betis Atil.

“Halo? Maksudku, bicara tentang apa? Kalau seseorang menyapa, aku ingin menyapa balik. Tapi setelah itu, pasti harus mengobrol, kan?”

“Haruskah menyapa balik?”

“Kalau terus diabaikan, reputasimu bisa jelek, tahu?”

“Daripada basa-basi, lebih baik tak usah bicara sama sekali. Lagipula, nanti umur sepuluh tahun kau akan mulai menghadiri acara resmi juga.”

Mendengar itu, Lilica berpikir lama, lalu mengangguk.

Atil benar juga.

Kalau sekarang, ia pasti masih akan terbata-bata seperti, “Uhhh…”

‘Aku harus belajar keras dua tahun ke depan.’

Begitu usianya sepuluh tahun, ia pasti harus tampil di acara publik, suka tak suka.

‘Aku akan pastikan tak ada kesalahan waktu itu.’

Untuk saat ini, biarlah ia tetap begini dulu.

‘Toh ada Diare dan Fjord. Aku takkan kesepian.’

Mengingat Diare membuatnya tersenyum.

Diare yang jujur, kikuk, tapi selalu perhatian — sungguh menggemaskan.

Dan rambutnya yang tebal berwarna merah muda itu… siapa pun pasti jatuh hati.

Tentu saja, kalau ada yang berani menyentuhnya karena menganggapnya “imut”, mereka akan digigit.

“Apa yang kau pikirkan?”

“Oh, tentang Diare.”

“Dia mengganggumu?”

Lilica tertawa kecil.

“Tidak, sama sekali tidak.”

Ia bersandar di dada Atil.

“Tapi rasanya menyenangkan punya seseorang yang akan membelaku kalau aku diganggu.”

“Kau pernah bilang iri akan hal itu. Jadi kalau ada yang berani mengganggumu, panggil aku. Mengerti?”

“Ya.”

Lilica mengangguk.

Walau sebenarnya, tak ada yang akan berani mengganggunya di dalam istana.


Beberapa hari kemudian, seperti yang dikatakan ibunya, Uva akhirnya kembali.

Kapal-kapal yang membawa barang-barang hasil perjalanannya membuat istana heboh.

Uva datang bersama tanaman dan benda-benda langka, lalu mengunjungi Lilica lebih dulu.

“Uva!”

Lilica berlari menghampirinya dengan senyum cerah.

Uva, yang sudah berlutut menunggu sambil menundukkan kepala, tersenyum hangat setelah melepas topinya.

Bulu-bulu di topi itu masih besar dan mencolok seperti biasa.

“Hamba memberi hormat, Yang Mulia Putri.”

“Aku juga senang sekali bisa bertemu lagi! Syukurlah kau selamat.”

Uva hendak mengangkatnya, tapi segera dihentikan oleh Lauv.

Tatapan biru-keabuannya tajam, seperti serigala waspada.

Lilica buru-buru menjelaskan, seperti seseorang yang lupa memperingatkan bahwa anjing peliharannya galak.

“Lauv, tidak apa. Uva, ini pengawalku, Lauv. Dan ini Uva — petualang yang aku danai.”

Lauv berkedip sekali, lalu tersenyum tipis.

“Aku Lauv Wolfe.”

Uva yang sempat bingung pun menunduk sopan.

“Namaku Uva.”

Lilica kembali merasakan sensasi aneh di wajah Lauv — sesuatu yang sulit dijelaskan, tapi terasa tidak sepenuhnya manusia.

Ia memutuskan untuk memperhatikannya lebih lama nanti.

Uva tersenyum.

“Sebaiknya biarkan pengawalmu yang melakukan itu. Aku akan menunggu sampai identitasku lebih jelas nanti.”

Ia menurunkan tangannya dengan sedikit kecewa, lalu menunduk lagi sopan.

“Hamba datang terlebih dahulu kepada Putri yang telah berinvestasi besar. Silakan pilih barang pertama.”

“Aku? Bukan Ibu?”

“Hamba akan menemui Yang Mulia Permaisuri setelah ini, jadi mohon tenang.”

Begitu Uva memberi isyarat, para pelayan mulai menata barang-barang.

Ada tanaman dalam pot kecil, mineral dalam peti, buah beri kering dari pohon-pohon jauh, dan lainnya.

“Aku tak bisa membawa semuanya, jadi ini katalog barangnya.”

Brynn menerima katalog dari Uva dan membukanya untuk Lilica.

Lilica memandang halaman-halaman itu dengan takjub, lalu menoleh ke barang-barang nyata di hadapannya.

“Cantik sekali.”

Uva menunjuk sebuah batu mineral yang berkilau seperti bola salju.

“Kalau dibakar, api yang muncul akan berwarna biru terang dan tahan lama.”

“Benarkah?”

“Ya.”

“Menakjubkan…”

Lilica menyentuh batu itu pelan, lalu menarik tangannya.

Yang semacam ini pantas untuk ibunya.

Ia kemudian menunjuk tanaman paling sederhana, hanya berdaun hijau polos.

“Apa ini?”

“Akarnya besar seperti lobak, dan rasanya manis sekali.”

“Lobak manis?”

“Benar.”

Lilica menatap tanaman itu lama.

Tidak cantik, tidak mahal — jadi aman dipilih olehnya.

Kalau ditanam di sekitar kabin, ia bisa menikmati sesuatu yang manis setiap saat.

Dan nanti, bisa ditanam ulang di rumahnya sendiri.

“Kalau begitu, aku pilih ini.”

“Baiklah.”

Uva tersenyum puas. Lilica menatapnya dan berkata,

“Sebenarnya aku ingin mendengar kisah petualanganmu, tapi kau harus menemui Ibu, kan?”

“Ya. Kalau nanti kau mengundangku lagi, aku akan membawakan semua lobak manis di kapal itu.”

“Mm!”

Lilica mengangguk gembira.

Setelah salam terakhir, Uva pergi.

Lilica menatap pot tanaman itu.

“Kira-kira benar-benar manis nggak, ya? Brynn tahu soal tanaman manis?”

“Yang kuketahui, gula dibuat dari tebu yang tumbuh di selatan.”

“Gula berasal dari tanaman?”

Lilica terkejut, dan Brynn mengangguk.

“Ya. Kalau Putri penasaran, mau kita cari di ensiklopedia?”

“Mau, ayo, ayo!”

Saat Lilica bersiap ke perpustakaan, Uva sudah menemui Yang Mulia Permaisuri.

Semua barang dari tiga kapal yang dibawanya bernilai tinggi.

Ludia menatapnya satu per satu sambil tersenyum puas.

Namun semakin lama, ekspresinya menurun.

‘Tidak ada lobak gula?’

Padahal, salah satu hasil paling menguntungkan dari ekspedisi ini seharusnya adalah lobak gula — bahan manis dari utara, sebagaimana tebu dari selatan.

Kalau itu ditemukan, harga gula akan turun, permintaan melonjak, dan wilayah utara akan memiliki komoditas unggulan.

‘Dan manusia-manusia bodoh itu akan menanam lobak gula alih-alih gandum dan jelai. Bagus sekali.’

Tapi semua itu tidak bisa terwujud kalau lobak gula belum ditemukan dari Lautan Pepohonan.

‘Haruskah aku puas dengan kopi saja? Mungkin cerita sudah bergeser karena kehadiranku. Mungkin akan ditemukan di pelayaran berikutnya.’

Ludia tersenyum tipis.

“Kerja bagus, Uva. Selain barang-barang yang kupilih, bagi keuntungannya sesuai kontrak.”

“Semuanya berkat bantuan Yang Mulia Permaisuri.”

Uva membungkuk dalam-dalam.

Chapter 40

Beberapa hari kemudian, Ludia mengetahui bahwa Lilica sedang menanam lobak gula.

“Lily!”

“Ibu? Apa…”

Sebelum Lilica sempat bertanya dalam hati, ‘Kenapa Ibu tiba-tiba datang,’ Ludia sudah memeluknya.

“Manisku.”

“Heok?”

Saat dipeluk oleh ibunya, Lilica terkejut, tapi tetap tersenyum.

“Seperti yang Ibu harapkan dari putriku, pintar sekali. Sangat pintar.”

Setelah memujinya berkali-kali, Ludia tersenyum dan berbicara pada Lilica.

“Kukira kau memilih lobak gula dari daftar yang diberikan Uva?”

“Apa? Ya.”

“Kenapa tidak dibagi dengan Ibu?”

“Hah?”

Ludia tersenyum nakal.

“Ibu akan mencari tempat untuk menanam, jadi mari kita bagi jika nanti untung.”

“Tidak apa-apa. Kalau Ibu membutuhkannya, ambil saja semuanya.”

“Uh-oh.”

Mata Ludia menyipit, lalu ia menempelkan jarinya di bibir putrinya.

“Meski kita keluarga, semuanya harus jelas.”

Lilica tersenyum mendengar perkataan ibunya.

Melihat senyum dewasa di wajah putrinya, Ludia merasa seperti posisi mereka tertukar.

Wajah itu terlihat seolah Lilica mengikuti keras kepala ibunya.

Lilica mengangguk.

“Saya mengerti.”

Ludia menggenggam tangan Lilica dengan erat dan berkata,

“Lobak gula akan tumbuh subur di Utara. Kau kan sudah menerima wilayah, Lilica? Sepertinya kita bisa menanamnya di sana.”

“Ah!”

Lilica baru saja teringat wilayah yang diterimanya, lalu mengangguk.

Ludia tersenyum tipis.

“Kalau begitu, mari kita bicarakan rinciannya.”

“Ya!”


Ini adalah pertama kalinya Lilica menandatangani kontrak, jadi membaca istilah-istilah sulit cukup membuat pusing.

Seandainya bisa langsung menandatangani saja, pasti lebih mudah, tapi ibunya menyuruhnya membaca, bilang ini juga pengalaman.

“Kesepakatan? Konsultasi?”

Brynn yang berdiri di sampingnya menjelaskan dengan sabar.

“Konsultasi itu untuk meminta pendapat pihak lain, sedangkan kesepakatan untuk memastikan kedua pihak sudah sepakat. Kesepakatan jauh lebih menguntungkan.”

“Sepertinya sama saja!”

“Tidak.”

Brynn tersenyum.

“Lihat ini juga. Frasa seperti ‘permanen’ atau ‘kepemilikan penuh’, ‘semua hak’, ‘alih ke pihak ketiga atau orang yang ditunjuk’ sebaiknya dihapus semua.”

Lilica menatap ibunya dengan agak kesal.

Ibunya hanya tersenyum.

“Syukurlah Brynn bisa mengurusku, tapi kupikir aku juga butuh seseorang yang bisa meneliti semua ini.”

“Itulah sebabnya setiap keluarga punya pengacara.”

“Benarkah?”

“Ya, tentu saja. Tapi lebih menguntungkan jika kita tahu dasarnya. Sebab cukup umum bagi bangsawan menandatangani kontrak lisan.”

“Aku rasa aku butuh tutor……”

Saat Lilica bergumam, Ludia berkata.

“Mau Ibu pasangkan satu orang untukmu?”

“Ya.”

Lilica mengangguk dalam-dalam.

Dia mengulurkan dua jarinya.

“Dalam dua tahun, aku juga akan menerima sapaan resmi, tapi kupikir aku sudah belajar semua yang perlu dari Madam Gwendolyn.”

“Ya, ya.”

Ludia membuka kipasnya dengan senyum menawan.

“Mari panggil seseorang dari keluarga Inro.”

Mendengar itu, Brynn menatap terkejut, sementara Lauv berkedip.

Lilica kebingungan dengan suasana saat itu.

“Inro?”

Dari reaksi mereka, sepertinya keluarga itu cukup terkenal, tapi Lilica belum pernah mendengar namanya.

Brynn menjelaskan.

“Barat dari Flowers, Inro dari Snow. Mereka salah satu keluarga duke yang berkontribusi dalam pendirian Kekaisaran. Tapi mereka sudah mundur total dari pusat politik, dan tidak turun…”

“Ya, benar. Tapi mereka sempurna untuk menjadi guru Lily.”

Ludia berbicara pada Lilica dengan percaya diri.

“Serahkan saja pada Ibu.”

“Ya.”

Daripada dirinya yang sama sekali tidak mengerti dunia sosial, ibunya pasti tahu jauh lebih banyak.

Lilica merasa takjub.

Dia selalu berpikir berulang kali bahwa dia harus melindungi ibunya.

‘Sekarang, Ibu yang ingin melindungiku.’

Pipi Lilica memerah dan tawa muncul tanpa disadari.

“Ehehe—”

Saat tertawa, ibunya berkata, “Oh, manisnya!” dan memeluknya erat lagi.

Pikiran, ‘Ah, sepertinya aku memang manis,’ terus muncul di kepalanya.

“Nanti aku akan minta mereka datang setelah kontraknya direvisi. Lilica nomor 4 dan Ibu nomor 6.”

“Ya.”

Dia memang sudah menyerahkan wilayah itu kepada ibunya, jadi nomor empat sudah lebih dari cukup.

Malahan, dia bertanya-tanya apakah itu terlalu banyak.

Ibu tersenyum dan berkata.

“Kalau dipikir-pikir, sebaiknya Ibu juga perkenalkan mereka padamu?”

“Siapa?”

“Kepala kelompok pedagang yang akan menjual barang-barang yang dibawa Uva.”

Ludia tersenyum ringan.

“Dia mungkin dari padang pasir, tapi kemampuannya cukup bisa dipercaya.”

“Dia dari padang pasir?”

Tidak ada seorang pun yang pernah kembali setelah melewati padang pasir.

Sehingga, padang pasir sangat berbeda dari Sea of Trees dalam hal tanah yang bisa dikelola.

Adalah hal umum bagi penjahat Kekaisaran melarikan diri ke padang pasir, sehingga muncul gosip bahwa semua orang yang tinggal di sana adalah penipu atau penjahat.

Orang-orang memandang rendah penduduk padang pasir yang kulitnya berwarna emas gelap seperti terbakar matahari.

Orang-orang bergosip soal asal-usul Kaisar Altheos, yang memiliki warna kulit serupa, karena alasan yang sama.

“Aku ingin bertemu dengannya.”

Mendengar itu, ibunya tersenyum dan berkata, “Baiklah.”

Setelah urusan kontrak selesai, ibunya mencium kedua pipi Lilica dan pergi untuk urusan padatnya.

“Apakah Ibu terlalu sibuk?”

“Sejauh yang kutahu, ada tiga atau empat usaha baru yang didirikan Her Majesty the Empress. Tentu saja dia akan sibuk.”

“Usaha?!”

Kata-kata Brynn yang diucapkan sambil tersenyum membuat Lilica cemas.

‘Usaha, lagi-lagi?’

Banyak orang gagal dalam usaha mereka dan berakhir di daerah kumuh.

Tapi ibunya justru membuka usaha?

‘Kalau Ibu sampai bangkrut, aku harus bekerja keras agar dia tidak perlu khawatir soal biaya hidup.’

Dia sama sekali tidak berniat menaruh uang di usaha yang bisa bangkrut.

Tapi dia harus punya sesuatu untuk hidup setelah bangkrut.

Mari cari tempat investasi yang lebih aman.

[T/N: lol Lilica sama sekali tidak percaya sama Ludia XDD]


Bulan purnama lebih besar dari biasanya.

Berbagai aroma bercampur di udara malam musim panas, membuatnya sesak.

Lauv bersembunyi di bayangan dan menarik napas dalam-dalam.

Meski berusaha keras untuk tidak menatap bulan, pandangannya tetap tertuju padanya.

Darah dalam tubuhnya mendidih, seolah akan meledak.

Ini adalah tugasnya sebagai pengawal.

Dia tahu seharusnya tidak meninggalkan posisinya. Dia sadar itu, tapi tetap tidak tahan.

Dia berpikir akan lebih baik jika daripada di kastil yang dibungkus dinding batu, dia keluar ke taman terbuka, tapi tidak ada perubahan.

Duduk di kursi marmer dingin juga tidak banyak membantu.

Desis.

Dia mengangkat kepala saat mendengar langkah kaki. Tanpa perlu menengadah, dia sudah tahu siapa, tapi tetap saja mengangkat kepala.

Dengan lampu di tangan, seekor gagak berdiri di tengah malam.

Lampu dengan api ungu berkelap-kelip itu pasti artefak warisan keluarga Sol.

Saat pikiran itu muncul, Lauv menatap Brynn.

Brynn datang tanpa ragu dan mendorong lampu itu di hadapannya.

Alih-alih panas, api itu dingin.

“Kau seorang Ineligible, kan?”

Kata-kata Brynn sedingin apinya.

Lauv tak mampu menjawab.

Kesunyian itu adalah pengakuannya, tapi gagak itu ingin jawaban.

Sang serigala mengalihkan pandangan dari api dan mengangguk perlahan.

“Tan Wolfe, bajingan!”

Brynn berbicara tajam dengan gigi terkatup.

Ratu pasti tahu juga.

Dan tetap saja, dia memberi izin!

“Kenapa kau tetap di sini tanpa malu?”

“Putri—”

“Jangan pernah bermimpi memanfaatkan ketidaktahuan putri.”

Lauv menoleh ke Brynn.

Ekspresi kosong khas binatang liar muncul di wajahnya.

Brynn mendengus.

“Kalau maksudmu membunuhku dan menguburku, lupakan saja.”

“……Pikiran seperti itu—”

“Kau pasti sudah memikirkannya lama.”

“…….”

Ya, dia sempat terpikir sesaat.

Namun dia tidak bisa menyakitinya, karena dia adalah orang dekat yang diperhatikan putri.

“Itulah sebabnya seorang Ineligible…”

Mata Brynn menyipit.

Lauv menatap gagak yang berdiri di sana tanpa ragu dan terus bicara.

Apa yang dia tahu?

Dia, yang lahir sebagai manusia biasa.

Kata-kata itu menumpuk di tenggorokannya.

Dia berusaha sekuat tenaga menahan barbarisme yang mengalir dalam darahnya, raungan binatang, dan dorongan kekejaman, tapi sulit.

Tahu perasaan tak berdaya itu?

Apa pun yang dia lakukan, dia tetap seorang Ineligible.

Label itu menempel padanya.

Tak ada yang bisa dia lakukan.

Dia tahu itu.

Tapi sakit rasanya mendengar kata-kata, “Kau tidak seharusnya di sini,” meski dia sudah berusaha keras.

Sehingga, saat putri muda itu memberinya tempat, rasanya seperti tangan itu diulur dari tepi tebing, dan dia tak punya pilihan selain menggenggamnya.

“Aku sudah bilang tidak akan membahayakan putri.”

Dia tahu kata-katanya seperti alasan terlalu dangkal, tapi dia juga merasa lucu.

Brynn pun berpikir sama,

“Jangan bilang seperti, ‘Anakku tidak menggigit.’ Itu benar-benar konyol.”

Dengan satu gerakan, Brynn mengeluarkan pistol sihir dan menodongkannya ke dahi Lauv.

Lauv menatap pistol itu, lalu menatap Brynn.

Pistol sihir.

Artefak yang bisa dikatakan umum, tapi juga bisa dianggap langka.

Kelemahannya adalah jumlah tembakan terbatas.

Artinya, setelah tembakan habis, baru bisa digunakan lagi setelah satu hari.

Dengan kata lain, ini artefak bertipe pertahanan yang memblok serangan sihir.

Karena itulah, senjata ini jarang dipakai di militer.

Kadang dipakai untuk pertahanan diri.

Lauv bertanya.

“Akan kau tembak?”

“Bukankah lebih baik menguburmu daripada membiarkan orang yang tak layak berada dekat putri?”

Lauv tertawa.

“Aku bertanya-tanya, antara aku melucuti senjatamu dan mematahkan lehermu atau kau menarik pelatuk, mana yang lebih cepat?”

“……”

“Kau tahu seberapa kuat kepala keluarga—Tan—kan? Dia bahkan bisa melenturkan batang baja. Kalau begitu, bagaimana dengan aku, yang berada di luar standar?”

Dia selalu menahan segalanya.

Monster dalam darahnya tertawa puas.

Mau dicoba?

Dia mencatat jari yang menekan pelatuk itu mengerut.

Saat seakan semua suara dan warna tersedot ke atmosfer tegang itu, terdengar suara.

“Kalian berdua ngapain di luar sana?”

Terkejut, gagak dan serigala sama-sama menoleh.

Dengan bandul di tangan, Lilica berdiri di sana.

Cahaya lembut memancar dari bandul itu.

Cahaya itu memantul ke mata mereka.

Keduanya tidak bisa berkata apa-apa karena Lilica muncul begitu tiba-tiba, dan Lilica menghela napas setelah menatap mereka.

Melihat majikannya bersuara seperti itu, keduanya bingung dan menundukkan pandangan satu per satu.

“Putri, apa yang membuatmu datang sendiri ke tempat seperti ini malam-malam?”

Brynn berkata sambil diam-diam mengembalikan pistolnya.

Pipi Lilica mengembung saat dia mengerutkan dahi.

“His Majesty.”

Dia berhenti sejenak.

— Amati Lauv hari ini dengan cermat, karena bulan purnama lebih besar dari biasanya.

Kalau His Majesty tidak memberitahunya di kelas, dia tidak akan tahu mereka seperti ini.

Lilica bertanya.

“Kalian berdua pasti punya sesuatu untuk diceritakan padaku, kan?”

Dia menatap Brynn dan Lauv silih berganti, lalu berkata.

“Aku ingin mendengar cerita dari sisi Brynn dulu. Setelah itu baru dari sisi Lauv.”

Brynn menatap Lauv.

Melihat wajah pucatnya, dia melangkah lebih dekat ke Lilica dengan “Hmph.”

Dengan sedikit mengerutkan dahi, Lilica berbicara pada Brynn.

“Ayo bicara di sana.”

“Ya, Putriku.”

Lilica duduk di meja batu yang tersembunyi di balik pohon.

Lilica melepas cincin yang dipakai di jari kelingkingnya dan meletakkannya di meja, lalu suasana langsung menjadi hening.

Brynn menatap cincin itu dengan terkejut.

Lilica berkata.

“Ini hadiah dari His Majesty hari ini. Ini mencegah suara keluar.”

Sebenarnya, dia yang membuatnya.

Apakah His Majesty menyuruhnya membuatnya karena tahu ini akan terjadi?

Setelah menatap cincin itu, Lilica menatap ke atas.

“Jadi bagaimana?”

“Pertama, maafkan aku karena meninggalkan posisinya seenaknya.”

“Ya, lalu?”

Mendengar pertanyaan Lilica, Brynn menghela napas pelan dan meletakkan lampu di meja.

Cahaya ungu sudah padam.

“Sebelumnya, aku pernah menyebutkan asal-usul setiap keluarga, kan?”

“Ya, kau bilang mereka bercampur dengan monster?”

“Benar, dan seolah bukti fakta itu, muncul orang-orang ganas. Kami menyebut mereka Ineligible.”

“Ineligible?”

“Ya, artinya mereka tidak layak bergaul dengan manusia.”

Lilica menyilangkan tangan.

Penampilan putri kecil yang menyilangkan tangan itu sangat lucu, tapi Brynn menundukkan pandangan sedikit.

Bagaimanapun, dia adalah majikannya.

Brynn menjelaskan seolah tidak tahu bahwa Lauv sedang tidak senang.

“Mustahil orang seperti itu menjadi pengawal putri. Aku bahkan tidak tahu apa yang dipikirkan Sir Tan waktu itu.”

“Hm.”

Saat Lilica menatap Brynn, dia teringat intuisi yang pernah muncul saat itu.

Dia berbicara pada Brynn.

“Jadi apa niatmu, Brynn? Apa yang kau tujukan ke kepala Sir Lauv tadi?”

“Itu artefak bernama pistol sihir. Tentu saja, aku tidak berniat menarik pelatuk. Aku hanya ingin membuatnya memberitahu putri tentang kebenaran besok.”

“Benarkah?”

“Tentu. Pada akhirnya, dia pengawal yang dipilih langsung olehmu, jadi apa lagi yang bisa kulakukan?”

Setelah mendengar kata-kata Brynn, Lilica mengangguk dan bertanya.

“Apakah fakta bahwa dia Ineligible begitu buruk?”

“Mereka seperti artefak liar yang bisa meledak kapan saja. Seberapa pun jinaknya, itu tetap binatang. Kadang bisa lepas kendali, dan aku berharap ‘momen’ itu tidak datang saat Putri ada di dekatnya.”

Kata-kata itu begitu menusuk hingga Lilica menelan ludah.

“Aku mengerti.”

Lilica mengangguk dan berkata.

“Bisakah kau memanggilnya ke sini?”

“Di saat seperti ini, sebaiknya kau tidak sendiri dengannya……”

Lilica mengetuk bandulnya saat berbicara.

“Tidak apa-apa.”

“Dimengerti.”

Brynn melangkah mundur dan memanggil Lauv.

Lauv mendekati meja batu dengan langkah lambat.

Lilica memintanya duduk.

Dia tidak berani, dan akhirnya berlutut di tanah di depan Lilica.

Dia tidak bisa menatapnya langsung.

Dia tahu apa yang pasti dikatakan Brynn padanya.

“Lauv, aku sudah mendengar inti ceritanya dari Brynn. Dia bilang kau seorang Ineligible?”

Suaranya lembut, tapi rahangnya menegang mendengar jawabannya.

“Ya, aku.”

Jawaban itu keluar seperti sebuah hembusan napas.

Lilica tersenyum getir.

“Pasti sulit, ya.”

Kepala Lauv mendongak.

 

Nunaaluuu Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review