Chapter 111
Lilica menatap koin emas yang kini menghitam legam, lalu memandang Jazz. Pemuda itu hanya memiringkan kepalanya sedikit.
Nada suaranya berubah—tenang, jelas, dengan logat standar yang bersih.
Ingatan lama menelusup di kepalanya—tentang dirinya yang masih kecil, berlari di jalan kumuh dengan koin perak berharga yang ia genggam erat-erat di kedua tangan.
Ia tersandung dan terjatuh. Koin itu lepas, bergulir di antara batu-batu jalan.
“Hati-hati. Kalau jatuh lagi, bisa repot.”
Kalimat yang sama. Nada yang sama.
Dulu ia terlalu sibuk menyembunyikan koinnya agar tidak dirampas, sampai lupa wajah anak yang menolongnya.
Kegembiraannya waktu itu terlalu besar—begitu besar hingga ia tak ingat bagaimana ia terjatuh.
“Aku memang bilang waktu itu.” Jazz tersenyum lebar.
Atil yang sedari tadi memperhatikan mereka menyela, “Apa sih yang kalian bicarakan?”
“Lalu kenapa?” Atil memicingkan mata.
“Tidak ada apa-apa. Aku cuma… kaget ternyata dia orang yang pernah aku kenal.”
Atil menatap Jazz sejenak. Pemuda itu hanya mengangkat bahu santai.
“Hah? T—tunggu, kenapa—”
Terlambat. Atil mendorong Lilica keluar ruangan dan bam! menutup pintu tepat di depan hidungnya.
“Tidak masuk akal!”
Lilica mengerutkan kening, lalu memutar koin hitam itu di antara jarinya.
Ia mencoba menggosok bagian yang menghitam, tapi tak berhasil. Lapisan hitam itu menempel seperti lapisan logam baru yang keras.
⋆ ⋆ ⋆
Keesokan harinya, halaman depan surat kabar besar menampilkan ilustrasi penuh warna.
“Benar. Tongkatmu jauh lebih pendek,” sahut Brynn sambil menggunting gambar itu dari koran, menggeleng pelan. “Seniman istana memang suka melebih-lebihkan.”
Dalam ilustrasi itu, Lilica digambarkan mengenakan kerudung panjang yang berkibar indah, mengangkat tongkat panjang seperti seorang pendeta suci.
Di ujung tongkat itu tergambar liontin berkilau—simbol khas Gadis Penyihir.
Huruf besar di bawahnya menuliskan:
[Gadis Penyihir Memadamkan Api di Kawasan Kumuh!]
Begitu Atil melihat berita itu, ia tertawa sampai terbatuk-batuk. Lilica hanya bisa memelototinya, lalu menerima panggilan dari orang tuanya.
Ia harus menjelaskan semuanya—dari awal sampai akhir—kepada Kaisar dan Permaisuri.
“Mm.”
Atil hanya tersenyum miring.
Lilica meremas koran itu menjadi bola dan melemparkannya ke wajahnya. Atil menahannya dengan tangan dan tertawa lagi.
“Aku tahu.”
“Paman dan Bibi akan tetap di ibu kota, tapi kita tidak. Dan kita akan bepergian terpisah. Jadi, hati-hati.”
“Ya.”
Lagi pula, parade itu dikawal langsung oleh Pasukan Pengawal Kekaisaran. Apa yang bisa salah?
“Kalau saja aku bisa minta Tan mengawalmu…” gumam Atil.
Lilica tertawa kecil melihat wajah masam Atil.
Keberadaan Tan, pengawal pribadi Kaisar, di sisi Atil—putra mahkota—adalah simbol penting. Tapi bagi Atil, jelas itu lebih terasa seperti hukuman.
“Mereka baik. Hari ini mereka mulai tampil di jalanan.”
“Hebat! Aku pengen lihat.”
Atil tersenyum. “Aku juga.”
“Tapi aku sudah tak bisa lari lagi,” tambahnya sambil berdiri. “Aku bahkan belum sempat ukur pakaian untuk parade Festival.”
“Aduh, kasihan penjahitnya. Mereka pasti kerja semalaman.”
“Itu sebabnya aku tak kabur lagi.”
Ia tersenyum dan melangkah keluar.
Lilica bangkit, mengantarnya dengan tatapan hangat, lalu kembali duduk.
“Aku cuma merasa… Atil pasti berat menjalani semua ini.”
Ketika saatnya tiba, ia akan naik takhta—menjadi Kaisar.
Lilica tahu, meski samar, betapa berat beban itu di pundak kakaknya.
“Benarkah?”
“Ya. Parade ini bukan sekadar perayaan. Dia akan mengunjungi berbagai wilayah, mempererat hubungan dengan para bangsawan, mempersatukan faksi istana dan aristokrat. Semuanya bagian dari menjadi penguasa sejati.”
“Aku mengerti. Jadi tugasku hanya menemani dan memberi dukungan, ya?”
“Benar. Bahkan tanpa kau mengatakan apa pun, sikapmu saja sudah cukup.”
Lilica mengangguk pelan.
“Bagaimana penentuan rutenya?”
“Secara tradisional, ada tujuh rute. Mereka menyebutnya Jalur Sang Kaisar. Kalian akan mengambil undian untuk menentukan mana yang ditempuh.”
“Ah, iya, aku ingat pelajaranku tentang itu.”
Bagi Lauv, yang berdiri di belakang mereka, topik itu jelas membuat rahangnya mengeras. Sebagai kesatria pengawal, membuka semua rute berarti kerja berat.
Lilica mengangguk. Ia sudah menyiapkan mental untuk itu. Tapi di balik semua itu, ada rasa bersemangat—perjalanan panjang melintasi sebagian kekaisaran terdengar seperti petualangan yang menanti.
⋆ ⋆ ⋆
Hari Festival Pendirian pun tiba.
Lilica menghela napas kecil melihat ibunya berdiri anggun di hadapan cermin.
Permaisuri Ludia tampak menakjubkan. Tiara kecil berkilau di atas rambut pirangnya yang disanggul tinggi, gaun panjang menjuntai dengan detail bordir perak, sarung tangan kulit domba bertombol berlian, dan pinggang ramping yang sempurna.
Lilica hanya bisa berdecak kagum.
“Bu, Ibu cantik sekali. Benar-benar cantik.”
Wajah Lilica memanas mendengarnya.
Ia sendiri memang tampak menawan hari itu—rambut diikat pita sutra, gaun berlapis kain lembut, dan sepatu berhiaskan zamrud dengan hak tinggi yang membuatnya tampak lebih dewasa.
Pagi itu, ia sempat menonton drama Festival yang dimainkan anak-anak dari kawasan kumuh—tanpa kehadiran Atil yang khawatir akan dikenali (meski Lilica yakin, siapa yang bisa mengenalinya dari jauh?).
Setelah upacara pembukaan yang meriah, tiba giliran parade.
Mereka berganti ke busana paling megah, lalu bersiap untuk prosesi keliling ibu kota.
Lilica dan Atil akan memasukkan tangan mereka ke dalam kotak undian, tapi sesuai tradisi, mereka tidak boleh membuka gulungan rute sebelum meninggalkan ibu kota.
Tiba-tiba, suara terompet menggema.
Pintu ruang tunggu terbuka—Kaisar Altheos masuk.
Lilica menahan napas.
Saat pernikahan ibunya dulu, ia terlalu sibuk sebagai pembawa bunga untuk memperhatikan wajah sang Kaisar dengan saksama.
Tapi hari ini, dengan seragam putih berhias batu permata dan jubah panjang, ayah tirinya itu tampak luar biasa.
Bahkan permata di jepitan jubahnya tampak kehilangan kilaunya di samping ketampanannya.
Mata birunya dalam, kontras dengan garis wajah tegas nan agung.
Lilica terpaku—mereka berdua, Kaisar dan Permaisuri, terlihat seperti pasangan dari lukisan surgawi.
Altheos mengulurkan tangan berbalut sarung putih, dan Ludia meletakkan tangannya di sana dengan anggun.
Lilica menatap mereka terpukau… sampai Atil menjentik jarinya di depan wajahnya.
“Lilica. Hei, Biji Ek. Sadar.”
“Oh—oh iya. Atil, kau juga tampan sekali.”
Atil terkekeh, membungkuk berlebihan, lalu mengulurkan tangannya.
Lilica pura-pura cemberut, tapi tetap meletakkan tangannya di sana.
Berhubung ia memakai hak tinggi, tingginya kini hampir sejajar dengan Atil—dan itu membuatnya senang.
Begitu mereka keluar dari Istana Langit, sorak-sorai para bangsawan menggema keras.
Orang tuanya sudah duduk di kereta pertama, ditarik enam kuda putih dan berhias bulu-bulu indah.
Di belakangnya, kereta terbuka lain menunggu mereka—tanpa atap, agar rakyat bisa melihat dengan jelas.
Tan mengangkat tangannya, memberi aba-aba. Kereta pun bergerak.
Begitu melewati gerbang istana, suara teriakan rakyat membahana.
Teriakan yang begitu keras sampai membuat Lilica refleks menegang.
Ia tersenyum lembut, mencontohkannya, dan Lilica pun mengikuti—melambaikan tangan anggun, seperti yang diajarkan Brynn.
Bunga kertas dan bunga segar beterbangan di udara, jatuh di sepanjang jalan.
Lilica membeku sejenak, lalu tertawa kecil.
Dari kerumunan, ia yakin sempat melihat sosok John—dan melambaikan tangan dengan semangat.
Sorak rakyat, warna bunga, sinar matahari—semuanya memenuhi dadanya dengan rasa haru yang manis.
Ia ingin menoleh pada Atil, tapi tak berani—takut melewatkan tatapan rakyat yang berharap balasan lambaian darinya.
Parade yang panjang namun terasa singkat itu pun berakhir.
Atil memberitahu bahwa malam nanti akan ada pesta kembang api besar, tapi itu untuk mereka yang tetap tinggal di ibu kota.
Lilica dan Atil harus segera berangkat.
Mereka keluar dari halaman upacara, di mana para bangsawan berkumpul untuk menyaksikan undian rute.
Kotak undian diguncang, diperiksa agar tak ada kecurangan, lalu keduanya diminta mengambil satu gulungan kertas masing-masing.
Saat itu, Atil menatap Lilica serius dan menaruh tangannya di bahunya.
“Kalau terjadi apa-apa, lari. Paham?”
“Kalau memang itu pilihan terbaik, aku akan lari.”
Atil menghela napas, jelas tidak puas, tapi akhirnya mengangguk.
“…Kalau memang itu pilihan terbaik.”
“Baik.”
Atil menepuk pipinya lembut—tatapan protektifnya tak bisa disembunyikan.
Ia ingin menugaskan salah satu pengikutnya untuk menjaga Lilica, tapi tahu itu mustahil. Tak satu pun dari mereka mau meninggalkan sisi Putra Mahkota.
‘Kenapa juga dia harus genap berusia tiga belas tahun tahun ini…’ pikir Atil getir, lalu menghela napas panjang.
“Yang Mulia, waktunya berangkat,” suara Pi terdengar dari belakang.
“Sampai jumpa.”
“Mm.”
Ia mengangguk dan mengikuti Brynn serta Brann.
Mereka mengganti pakaian megah mereka dengan busana perjalanan yang lebih praktis—sarung tangan panjang diganti sarung tangan pendek, sepatu hak tinggi diganti sepatu bot kokoh.
Barang-barang sudah dimuat terlebih dahulu.
Di depan kereta perjalanan yang kuat, Diare sudah menunggu.
“Tentu saja! Aku takkan melewatkan perjalanan ini.”
Gadis itu menyeringai lebar.
Begitu mereka naik ke dalam dan kereta mulai meluncur keluar dari istana, sorak-sorai rakyat terdengar lagi—mengguncang kaca jendela.
Lilica melambaikan tangan sekali lagi, kali ini dengan perasaan hangat di dada.
Begitu melewati alun-alun dan meninggalkan ibu kota, suasana mendadak sunyi.
Mungkin karena rakyat masih menunggu pembagian roti perayaan.
“Sekarang kita buka kotaknya, yuk?”
Brynn, yang duduk di seberang, tampak penasaran.
Diare mencondongkan tubuh ke arah Lilica saat ia membuka kotak itu dan mengeluarkan selembar kertas.
[Jalur Bunga dan Ular]
“Wow…” ujar Diare datar—meski matanya berbinar.
Lilica memperlihatkan gulungan itu pada Brynn.
Rute itu dimulai dari wilayah Barat, lalu berakhir di tanah Sandar.
Chapter 112
Brynn mengernyit lalu membuka jendela kereta.
Memimpin para ksatria yang ditugaskan mengawal Putri Lilica adalah seorang pria paruh baya bernama Kaon Bargali.
Lilica belum pernah bertemu dengannya sebelumnya, tapi ia pernah mendengar bahwa Kaon bukan berasal dari pasukan Wolfe Knights, melainkan dari Rangers.
Rambutnya berwarna abu-abu keperakan bercampur hitam, bergelombang, dan tampak dipotong seadanya. Wajahnya tegas, dengan ekspresi keras dan dingin.
Namun, yang paling mencolok darinya adalah busur besar dan tabung anak panah yang tergantung di punggungnya.
Kaon mendekat dengan langkah tenang.
Ia berbalik dan suara perintahnya menggema ke arah para pengawal lain.
“Benar. Mungkin kita akan tiba di Kastil Barat dalam waktu seminggu.”
Brynn mengangguk pelan.
Dari sana, perjalanan akan melintasi tujuh wilayah, dan berakhir di wilayah Sandar di ujung rute.
“Itu sangat mungkin. Begitu mendengar kabar bahwa seorang anggota keluarga kekaisaran akan melewati wilayahnya, beliau pasti segera pulang dengan kecepatan penuh.”
Saat itu, Lauv muncul dan mengetuk jendela kereta.
“Kita bisa ke wilayah Wolfe lain kali.”
“Itu beda cerita! Ah, sayang sekali.”
Brynn menjelaskan, “Ya, karena dia jarang meninggalkan daerah sekitar Pegunungan Snowrock. Kami hanya sesekali bertemu Ranger yang turun ke kota untuk pergantian tugas atau membeli perbekalan.”
“Batas yang dekat Sea of Trees itu?”
“Benar. Sebagian dari Hutan Hitam di wilayah kami berbatasan langsung dengan Sea of Trees. Dalam hal menghadapi makhluk sihir, kami bekerja sama.”
⋆ ⋆ ⋆
Perjalanan dari ibu kota ke wilayah Barat tidak memakan waktu lama.
Jalan yang mereka lalui luar biasa mulus—tanpa lubang besar atau batu-batu kasar—membuat perjalanan terasa ringan dan nyaman.
Kediaman keluarga Barat benar-benar megah.
Jika taman di istana Takar menonjolkan keindahan alami yang terkesan bebas, maka taman keluarga Barat sebaliknya—segala sesuatu di sana terlihat hasil tangan para tukang kebun yang teliti.
Setiap daun tampak dipangkas sempurna, tak ada yang tumbuh sembarangan.
Gerbang besar terbuka, dan ketika kereta melintas di taman luas itu, Lilica menatap kagum pada bangunan megah di ujung jalan.
Dari cerita, kediaman itu dulunya adalah sebuah kastil, lalu diubah menjadi mansion. Karena itu, menara kastil masih terlihat menjulang di sisi bangunan.
Marmer berwarna dengan pola indah menghiasi dindingnya—mewah tapi elegan.
Begitu Lilica turun dari kereta, para ksatria dan pelayan keluarga Barat berdiri berbaris menyambut.
Di barisan terdepan berdiri Duke Barat, dan di belakangnya Fjord serta Lisett.
‘Semua lengkap,’ pikir Lilica.
Dengan bantuan Lauv, ia turun dengan anggun. Sang Duke menekuk lutut sedikit, lalu berdiri tegak.
“Selamat datang, merupakan kehormatan bagi kami menerima Yang Mulia di Mansion keluarga Barat.”
“Aku juga senang akhirnya bisa berkunjung ke wilayah Barat. Aku menantikan dua hari yang menyenangkan di sini.”
“Aku sudah menyiapkan jamuan malam dan pesta dansa malam ini. Fjord.”
“Baik, Your Grace. Silakan ke sini, Yang Mulia.”
Diare tampak tidak puas karena sang Duke tidak mengantar langsung, tapi ia menahannya dan mengikuti Lilica dengan tenang. Lauv berjalan di belakang mereka.
Kamar yang disediakan untuk mereka sangat mewah.
Jendela besar berbingkai emas menghadap taman. Tirai beludru merah anggur menjuntai berat dan megah.
Setelah meninjau ruang kerja dan kamar tidur, mereka tiba di ruang penerimaan tempat para pelayan menunggu.
Enam orang wanita memberi salam dengan sopan.
Seragam mereka jauh lebih kaku dibandingkan seragam pelayan istana Takar—tertutup rapat sampai ke leher meski udara terasa panas.
‘Pasti gerah sekali,’ pikir Lilica.
Ia memberi isyarat agar mereka mengangkat kepala, lalu membuka sarung tangannya sambil berjalan ke ruang kerja.
Brynn tetap di ruang penerimaan, mengawasi proses pembongkaran barang.
Diare, Fjord, dan Lilica memasuki ruang kerja. Pintu lengkung dibiarkan terbuka, dan Lauv berjaga di ambang.
Melihat Lilica berdiri di rumahnya sendiri terasa aneh bagi Fjord.
Dipanggil dengan gelar resminya pun terasa janggal.
Ia tak pernah membayangkan akan melihat Lilica berdiri di ruang tamu keluarga Barat seperti ini.
Saat mendengar bahwa Putri Lilica akan menempuh Jalur Bunga dan Ular, ia terdiam lama, menatap surat pengumuman itu dengan campuran keterkejutan dan ketegangan.
Bahkan di tengah kesibukan Festival Pendirian, Duke Barat segera bersiap untuk turun ke wilayahnya sendiri.
Dan berangkat tanpa ragu.
Lisett tampak tegang sejak itu. Fjord hanya bisa memikirkan, seberapa banyak yang sebaiknya ia katakan padanya?
Mereka seperti orang yang menunggu giliran di rumah potong—bedanya, Fjord tahu bahwa ini rumah potong, sementara Lisett tidak.
Pun andai ia memberi tahu, apa itu akan mengubah sikap Lisett?
‘Aku bukan seperti sang Putri,’ pikirnya getir.
Kalau Lilica mungkin akan menolong Lisett, ia sendiri tak bisa.
Ia menghela napas. Lilica tampak bersinar bahkan dalam busana perjalanan.
“Jadi kalian menyiapkan jamuan?” tanya Lilica.
“Ya. Akan ada jamuan makan dan pesta dansa malam ini. Jika berkenan, mohon kesediaan Yang Mulia untuk hadir.”
“Akan tidak sopan jika aku menolak sambutan sebaik ini.”
Senyum Fjord hampir retak.
Baru kali ini ia benar-benar sadar betapa rapuh hubungan mereka.
Jika suatu hari Lilica memutuskan menutup pintu dengan memanggilnya “Young Duke Barat”, maka segalanya akan berakhir di sana.
Tak peduli seberapa lama ia menunggu di kabin atau taman, Lilica takkan datang.
Mungkin bahkan pengikutnya akan mengusirnya pergi.
Dalam sekejap, ia akan terpisah oleh dinding istana yang tak bisa ia tembus lagi.
Hubungan ini hanya bertahan karena Lilica—dengan caranya—masih menjulurkan tangan melalui celah itu.
Pikiran itu membuatnya limbung.
Namun tangan yang dijulurkan Lilica terasa hangat, seolah berjanji tak akan dilepaskan.
Walau begitu, pikirannya tetap dipenuhi bayangan buruk.
Lilica mengerutkan alis, tampak menyadari perubahan halus pada dirinya.
“Oh, begitu… Aku mengerti.”
“Terima kasih sudah menjemputku.”
Fjord membungkuk lagi lalu pergi.
Lilica memandangi punggungnya yang menjauh dan menghela napas panjang.
Diare bersuara, “Kau sudah bertindak tepat.”
“Tapi rasanya canggung sekali.”
“Memang. Tapi kenapa bicaramu harus seformal itu?”
“Supaya terasa lebih… jauh?”
“Benar juga.”
Diare membayangkan jika Putri memperlakukannya seperti itu—formal, sopan, tapi dingin.
“……”
Hanya bayangannya saja sudah membuat bulu kuduknya meremang.
“Ya, tapi kita tak bisa berbuat apa-apa.”
Keluarga Barat bisa saja menolak keberadaan ksatria pengawal dari luar. Karena itu, Lilica harus memastikan Lauv mendapat izin resmi untuk masuk ruang pesta.
Kalau bukan di wilayah Barat, ia takkan sekaku ini. Tapi di sini, tak ada ruang untuk lengah.
“Ya! Aku juga tidak suka terlihat takut.”
“Saya akan dengan senang hati membantu, Yang Mulia.”
“Putri, biar aku—”
“Tidak, Brynn. Teruskan pengawasanmu. Pilihkan saja pakaian yang nyaman.”
Brynn sempat ragu, tapi akhirnya menyerahkan gaun bergaya pedesaan yang ringan.
Pelayan itu mengikutinya masuk dengan diam-diam.
Diare berkata, “Kalau begitu aku juga ke kamar untuk ganti.”
“Mm.”
Lauv tetap berdiri di sudut ruangan, tampak canggung tapi waspada—ia tak akan meninggalkan Putri sendirian bersama pelayan yang baru dikenal.
Terdengar suara gemerisik kain dan petticoat.
Beberapa saat kemudian, Lilica keluar dari balik sekat dan berdiri di depan cermin.
“Putri,” kata Lauv pelan, “pita di belakang bajumu agak miring.”
Lilica meraba tengkuknya. “Hah? Serius?”
Raut tidak senang melintas di wajah Lilica. Lauv mendekat, waspada.
Brynn, yang sedari tadi mendengarkan dari luar, segera masuk.
“Ada apa?”
“Katanya pita di belakangku miring. Bagaimana menurutmu?”
Lilica berbalik. Brynn menatap dan berkata lembut, “Oh, ya ampun.”
“Aku akan mengikatnya ulang. Bagaimana dengan pelayan ini?”
Lilica menatap gadis itu yang masih berlutut ketakutan, lalu menoleh ke arah barisan pelayan lain di luar.
Lauv menatap Lilica kaget, sementara Brynn pergi mengambil cambuk pendek itu tanpa ekspresi.
Pelayan itu gemetar dan mengulurkan punggung tangannya dengan mata terpejam.
Lilica menepuk ringan punggung tangannya—cukup untuk membuatnya terkejut, tapi tak sampai melukai.
Pelayan itu menatap Lilica dengan mata membulat.
“Y—ya, Yang Mulia.”
Dengan tangan gemetar, pelayan itu memperbaiki pita Lilica dengan hati-hati.
“Mm.”
Lilica mengangguk dan memberi isyarat agar yang lain keluar.
Lauv menutup salah satu pintu ruang penerimaan, menyisakan celah.
Lilica mengernyit. “Ya, tapi kenapa begitu yakin?”
Lauv juga tampak bingung.
“Oh…” Lauv mengangguk perlahan.
“Itu bukan begitu maksudku…”
“Tamu?”
“Ya. Ducal Princess Lisett telah tiba.”
“Sama-sama, Ducal Princess Lisett.”
Lisett kini tampak jauh lebih anggun daripada terakhir kali mereka bertemu—gerak-geriknya halus, senyumannya terlatih.
Chapter 113
Lilica dengan antusias mengikuti Lisett keluar ruangan.
“Kalau ada kesempatan untuk melihat-lihat Mansion keluarga Barat secara resmi, tentu harus dimanfaatkan,” pikirnya bersemangat.
Taman milik keluarga Barat memang memukau.
Dengan sebuah payung kecil di tangan, Lilica menikmati setiap sudut taman dengan mata berbinar.
Lisett ternyata pandai menjelaskan, dan melihat kelinci-kelinci buatan yang berlarian di antara bunga sungguh menakjubkan dalam banyak hal.
Percakapan di antara mereka pun mudah—Lilica hanya perlu mengangguk dan tersenyum pada tiap penjelasan Lisett.
Bisa dibilang, ini jenis percakapan sosial yang hanya membahas hal-hal faktual tanpa emosi.
Lilica melirik profil wajah Lisett di sampingnya.
Ia teringat saat dulu sempat “meminjam” wujud Fjord.
“Ducal Princess Lisett.”
“Kau masih menyukai boneka?”
Sambil bicara, ia mengeluarkan boneka mungil dari sakunya.
“Begitu, ya. Boneka yang sangat kecil. Kau mendapatkannya dari mana?”
Jahitan boneka itu begitu rapi hingga ia tidak menyangka itu buatan tangan.
“Kenapa kau begitu menyukai boneka?”
Pertanyaan Lilica membuat Lisett berpikir lama. Angin lembut bertiup di antara mereka, membuat suasana terasa damai namun sendu.
“…Karena aku bisa melakukan apa pun yang kuinginkan pada mereka.”
“Kalau kau menyukai boneka, maukah kau melihat koleksiku? Aku punya cukup banyak di kamarku.”
“Boleh.”
Karena lelah setelah berjalan cukup lama, Lilica menerima undangan itu.
Kamar Lisett menghadap ke utara. Cahaya matahari nyaris tidak masuk, tapi udara di dalamnya terasa sejuk.
Dan di sana—boneka. Boneka di mana-mana.
Lilica sempat tertegun melihat jumlahnya yang luar biasa.
Sebagian besar adalah boneka kain, tapi ada juga boneka dari bahan lain, berbagai ukuran, dari yang kecil hingga sebesar manusia.
“Kau benar-benar mencintai boneka.”
“Cantik, bukan?”
“Mhm.” Lilica mengangguk, pandangannya terpaku pada boneka beruang besar yang hampir seukuran dirinya.
Lisett memeluk salah satu boneka kain itu dengan lembut, lalu menunjuk ke barisan boneka porselen di rak kaca.
Lilica menahan napas kagum. Boneka-boneka itu tampak mahal luar biasa—tingginya sekitar anak kecil berumur tiga tahun, dengan rambut halus seperti terbuat dari rambut manusia sungguhan.
Keindahan mereka begitu memukau, tapi jumlahnya yang banyak justru menimbulkan kesan menyeramkan.
“Boneka-boneka ini luar biasa.”
“Kenapa?”
“Karena mereka terlalu rapuh.”
Lilica sempat mengira maksudnya karena bahan porselen mudah pecah, tapi Lisett melanjutkan dengan nada lembut yang membuat suasana kamar semakin sunyi.
“Aku ingin memberimu satu boneka.”
Lisett menyerahkan boneka kecil ke tangan Lilica.
Boneka itu sebesar telapak tangan—terbuat dari kain, dengan rambut dari benang wol dan mata dari kancing mengilap. Pakaiannya tampak dibuat dengan kain mahal.
Brynn membuka saputangannya dengan hati-hati, entah untuk menerima benda berharga atau sesuatu yang berpotensi kotor.
Brynn membungkus boneka itu hati-hati dan menyerahkannya kepada salah satu pelayan di sisi ruangan.
“Tidak, aku juga senang. Lagipula, kami hanya di sini dua hari saja. Tapi sebaiknya aku beristirahat sebelum jamuan makan malam.”
“Ya, Yang Mulia.”
Lisett menunduk sopan, dan Lilica kembali ke kamarnya.
Begitu berganti pakaian ke busana santai, ia menjatuhkan diri ke sofa dengan napas panjang.
Tak lama kemudian, Diare masuk. Lilica memberi isyarat agar para pelayan meninggalkan ruangan.
“Boneka? Seharusnya yang dikasih itu makanan, bukan boneka.”
Seolah menanggapi ucapannya, Brynn datang membawa scone dan teh.
Diare bersorak kecil, dan Lilica yang juga lapar langsung mengambil satu.
“Enak sekali.”
“Benar, ini luar biasa…”
Kelezatan dan rasa manisnya seakan mencair di lidah mereka, menenangkan tubuh yang lelah setelah perjalanan panjang.
“Rasanya aku lelah sekali. Bukan cuma badan, tapi juga pikiran.”
“Wajar saja. Kau baru saja menempuh perjalanan panjang naik kereta, lalu langsung diajak jalan kaki keliling taman,” kata Brynn dengan nada sebal.
Namun ia tetap mengambil boneka yang dibungkus saputangan dan menyerahkannya.
Lauv ikut mendekat, meneliti boneka itu. Lilica memeriksa jahitannya.
“Tidak ada yang aneh,” katanya. “Lauv, menurutmu?”
Lauv mengambil boneka itu, memutarnya, lalu mengendus perlahan.
Keningnya berkerut.
“Ada apa? Racun?”
“Tidak. Tapi wanginya sangat kuat.”
“Benarkah? Aku tidak mencium apa-apa.”
Lilica mengambil kembali boneka itu, tapi ia hanya mencium aroma kain dan sedikit debu.
Brynn juga tidak merasakan apa pun. Namun Diare memandang boneka itu curiga.
“Lebih baik jangan cium. Kalau aromanya sekuat itu, seharusnya aku juga bisa mencium dari jauh…”
Nada suaranya serius, tapi Lilica malah menahan tawa.
Nada suaranya entah pujian atau sindiran.
“Untuk apa mereka menggunakan aroma seperti itu?” tanya Lilica.
Ia menatap boneka kecil itu—meskipun sederhana, jelas dibuat dengan teliti.
Jahitannya padat dan rapi, rambut dari benang wol tersusun seperti sutra. Pipi boneka itu tampak merona, seolah diwarnai dengan hati-hati.
Meskipun tanpa mulut, boneka itu tampak manis. Indah, bahkan.
“Apakah Lauv akan pulih sebelum jamuan nanti malam?”
“Sepertinya iya,” jawab Lauv.
“Aku juga akan hadir,” tambah Diare.
“Tapi kita belum tahu bagaimana posisi duduknya nanti…” Brynn menghela napas. “Untungnya, Sir Lauv pasti duduk di dekat Putri. Setidaknya itu sedikit menenangkan.”
“Jamuan makan dilanjutkan dengan pesta dansa,” gumamnya. “Keluarga Barat ini… benar-benar tidak setengah-setengah.”
Apakah itu bentuk keramahan atau ujian terselubung, sulit ditebak.
“Yang penting, tetap waspada,” kata Brynn akhirnya.
Mereka semua mengangguk setuju.
⋆ ⋆ ⋆
Dengan jantung berdebar, Lilica menatap pantulan dirinya di cermin.
“Ini jamuan pertamaku.”
“Ya, karena kau belum dewasa,” kata Brynn sambil tersenyum kecil.
Biasanya, anak seusia Lilica tak diundang ke jamuan malam, tapi kali ini keadaan khusus.
Lilica tersenyum puas melihat gaunnya yang panjangnya tepat di bawah lutut.
Rambutnya dikeriting dan disanggul tinggi menyerupai gaya ibunya, dengan hiasan permata berkilau. Sarung tangan pendek di pergelangan tangan membuatnya tampak dewasa.
“Lauv juga tampan malam ini.”
Lauv, yang malam itu tidak mengenakan seragam ksatria melainkan setelan formal, memang tampak luar biasa gagah.
Sebagai ksatria, ia tak boleh memakai perhiasan mencolok, tapi jas yang dikenakannya terbuat dari bahan terbaik dan dijahit khusus sesuai ukurannya.
“Sebentar lagi pelayan penjemput akan datang,” kata Brynn sambil melirik jam.
Lauv menunduk sopan, mengulurkan lengan. Lilica tersenyum dan menyambutnya.
“Itu tidak mungkin,” jawab Lilica lembut.
“Ya, aku tahu,” balas Diare sambil menghela napas panjang.
Tak lama, pelayan datang memberi tahu bahwa jamuan telah dimulai.
Mereka bertiga berjalan di belakang Brynn, menuju aula besar.
Aula jamuan itu begitu mewah hingga Lilica hampir kehilangan kata-kata.
Begitu ia masuk, semua orang berdiri dan menundukkan kepala.
“Mereka bilang posisi duduk mencerminkan status seseorang,” Lilica mengingat dalam hati.
Sebagai ksatria, Diare duduk di bagian ujung meja—tidak di posisi paling akhir, mungkin karena statusnya sebagai orang kepercayaan Putri.
Lauv, sebagai pendamping resmi, duduk di samping Lilica.
Kursi kehormatan berada di tengah, dengan Duke Barat di sisi kanannya.
Setelah Lilica duduk, semua tamu lain ikut duduk.
Di sisi kirinya duduk Fjord dan Lisett.
Cahaya lampu kristal berkilauan di atas mereka. Lilica menatap sekeliling dengan kagum.
‘Ruang jamuan Ibu pasti lebih indah… tapi aku belum pernah melihatnya.’
“Silakan duduk,” kata Lilica dengan sopan.
Duke Barat mengangguk dan duduk, diikuti yang lain.
Hidangan pertama disajikan, dan suasana langsung terasa… aneh.
“Aku akan sakit perut kalau begini terus,” pikirnya.
Seharusnya jamuan adalah tempat berbincang santai, tapi di sini… semua orang nyaris tidak bicara.
Bisikan kecil terdengar di sana-sini, tapi tak ada yang mengajak Putri berbicara. Sikap mereka begitu halus—tidak kasar, tapi jelas menjauh.
Namun melihat Diare di ujung meja menikmati makanannya tanpa takut racun, bahkan berani minta tambah saat ditawari, membuat Lilica sedikit tenang.
Setiap kali Lilica mencoba membuka percakapan, respon mereka singkat—terlambat satu detik dari sopan santun, tapi cukup membuat suasana beku.
“Ibu pasti menghadapi hal-hal seperti ini dengan anggun. Hebat sekali beliau…”
Lilica sadar betapa terlindunginya ia selama ini.
Di tengah suasana kaku itu, Lauv tetap tenang luar biasa.
“Lauv benar-benar hebat.”
Saat Lilica meliriknya, pemuda itu menatap balik dan tersenyum tipis.
Ia pun akhirnya bisa tersenyum.
“Diare, bagaimana makanannya?” tanya Lilica dengan nada ringan.
Suara riangnya bergema sampai ke tengah meja.
“Yang ini juga enak, rasanya mirip kentang kukus. Coba deh,” tambahnya tanpa malu.
Lilica menahan tawa, hatinya hangat. Di tengah ruangan penuh tatapan dingin, dua sahabatnya ini terasa seperti pelindung.
“Baiklah. Aku juga akan menikmati jamuan ini.”
Ia mulai makan dengan tenang, mencoba menikmati tiap hidangan.
“Mereka tak mungkin meracuniku, kan? Hmm… enak sekali.”
Fjord memperhatikan perubahan ekspresinya dan tersenyum samar.
Ia sudah memperkirakan suasana dingin ini, tapi tetap tidak suka melihat Lilica diperlakukan seperti itu.
“Makanannya lezat sekali, Duke Barat,” ucap Lilica akhirnya.
Namun begitu kalimat itu diucapkan, seluruh ruangan mendadak hening. Semua mata tertuju pada Lilica.
“Aku benar-benar benci situasi seperti ini,” pikirnya. Tapi ia tetap tersenyum.
Ini juga pertempuran—bukan dengan pedang atau tombak, tapi dengan sikap dan tatapan.
Dan pertempuran seperti ini sering kali paling melelahkan.
Namun saat matanya bertemu dengan Lauv dan Diare yang sama-sama tersenyum mendukung, keberanian Lilica kembali.
Ia menegakkan punggung.
Ia adalah seorang Putri. Dan malam ini, ia akan berdiri di antara para bangsawan—dengan martabat seorang anggota keluarga kekaisaran.
Lilica menahan napas panjang dan mempertahankan senyum anggunnya sampai akhir jamuan.
Biasanya, acara akan berlanjut dengan minum anggur di ruang tamu, tapi malam ini, pesta dansa telah menanti.
Saat semua orang berdiri dan berpindah ke ruang masing-masing, Lilica menghela napas lega.
“Dingin sekali suasananya, tapi makanannya enak. Syukurlah ada Lauv dan Diare.”
“Kau hebat,” puji Brynn.
“Masih ada pesta dansa setelah ini. Aku akan berusaha lagi.”
Chapter 114
Begitu mereka memasuki ballroom, semua orang menunduk dan menyingkir memberi jalan. Lilica tersenyum.
Karena bila Putri Lilica tidak menari, maka tak seorang pun di ruangan itu berani menari lebih dulu.
Ia sempat berpikir untuk bersikap manja dan menolak menari, tapi kemudian merasa itu hanya akan membuang waktu.
“Toh tak akan ada yang mengajakku menari. Lebih baik aku duduk di sofa dan mengobrol santai saja.”
“Milady…”
“Mm?”
“Sebenarnya, ini… pesta dansa pertamaku.”
“Apa?”
Lilica benar-benar terkejut.
Lauv buru-buru menambahkan, “Bukan, maksudku—aku bisa menari. Itu pelajaran dasar. Tapi aku… belum pernah benar-benar menari di pesta sebelumnya.”
Suara pemuda itu makin lama makin pelan, seolah malu mengakuinya.
Astaga…
Tentu saja, itu hal yang wajar bagi seseorang seperti Lauv—seorang Ineligible, bukan bangsawan berdarah murni. Ia mungkin jarang diundang ke pesta, dan kalau pun hadir, tidak ada yang akan mengajaknya menari.
Ucapan Brynn tadi terngiang di kepalanya, terasa seperti pertanda.
Hatinya mendadak terasa hangat sekaligus perih.
Lauv menatapnya serius dan menjawab, “Itu kehormatan besar, Milady.”
“Kalau begitu, ayo.”
Begitu mereka melangkah ke lantai dansa, orkestra segera memainkan nada pembuka—sebuah waltz.
Tubuh mereka mulai bergerak, mengikuti irama. Begitu mereka berdua menari, pasangan lain pun ikut memenuhi lantai dansa.
Namun Lauv semakin gugup, matanya melirik ke sekitar—takut menabrak seseorang.
Dan, tentu saja, dalam sekejap panik, langkahnya tersandung—dan ia menginjak kaki sang Putri.
“Y—Yang Mulia…”
“Yang Mulia, saya—”
“Lauv, jangan lihat kakimu. Lihat aku. Ayo.”
Ketika Lauv mengangkat pandangannya, Lilica tiba-tiba membuat wajah lucu.
“Pfft—!”
Lauv nyaris tertawa, bahunya bergetar menahan.
Lauv akhirnya tersenyum samar—sebuah senyum yang membuat mata Lilica berkedip terkejut.
Ah, dia tersenyum.
Tapi segera saja ekspresi tegasnya kembali, meski ujung bibirnya masih sedikit terangkat.
“Terima kasih, Milady. Saya sudah tenang.”
“Oh, tapi katanya esensi dansa justru ketika kau kehilangan kendali dan membiarkan diri terbawa musik.”
Lauv tertawa kecil kali ini.
Langkahnya menjadi semakin mulus. Gerakan yang sebelumnya kaku kini berubah lembut dan alami—hasil latihan bertahun-tahun yang terpatri dalam tubuhnya.
Rasanya sayang ketika musik waltz berakhir.
Mereka saling menunduk sopan, lalu tersenyum pada satu sama lain.
Bahwa mereka menari di wilayah Barat, di tengah tatapan banyak orang yang berbisik, tak berarti apa pun lagi.
Dengan langkah ringan, mereka meninggalkan lantai dansa.
Begitu Lilica duduk di sofa, orang-orang di sekitarnya otomatis menjauh.
“Wah,” ujar Diare sambil tertawa kecil, “kalau duduk di samping Putri, kau tak perlu khawatir kehabisan tempat.”
“Benar, kan?”
Lilica berkelakar sambil mengedipkan mata.
Ia menyilangkan kaki dan bersandar santai di sofa, jauh dari kesopanan bangsawan.
Lauv kembali membawa lemonade.
Minuman itu disajikan dalam gelas kristal ramping, dingin, manis, dan menyegarkan—proporsinya sempurna.
“Enak sekali,” ujar Lilica.
Ucapannya membuat Lilica tertawa. Mereka duduk berdampingan di sofa, sementara Lauv dan Brynn berdiri di belakang, mengawasi pesta.
Tak ada yang berani menyapa Putri kecuali ia yang memulai.
Akhirnya, Lilica dan Diare hanya bersandar santai sambil mengomentari para tamu.
Mata Lilica segera menemukan Fjord.
Tak sulit—tingginya membuatnya menonjol di antara pria lain.
“Pantas saja gosip cinta Fjord selalu memenuhi koran.”
Fjord dikerumuni wanita-wanita bergaun mewah, semua dengan mata berbinar dan pipi memerah. Ia tersenyum sopan, berbicara dengan lembut, lalu menari satu per satu dengan mereka.
Lilica menatap pemandangan itu dengan perasaan aneh.
Ia tahu Fjord populer, tapi melihatnya secara langsung terasa berbeda.
“Bertarung?”
“Ya, ini lebih seperti kompetisi.”
Lilica tertawa kecil. Ya, masuk akal juga.
Dalam dunia bangsawan, mencari pasangan sama pentingnya dengan persekutuan politik. Dan dengan Fjord di sini, wajar kalau semua ingin menonjol.
Kalau Ibu yang datang, semua pria pasti saling berebut.
Tidak, mungkin semua akan langsung tumbang hanya dengan tatapan Ayah.
Ia tidak bisa membayangkan ada pria yang bisa menandingi sang Raja. Bahkan Tan pun mungkin mati di tempat.
Yah, paling tidak sampai masa kontraknya berakhir, pikirnya sambil menutup kipasnya pelan.
Diare mencondongkan tubuh dan berbisik, “Tapi lihat pria di sana. Bukankah dia mirip lebah gendut?”
“Hm?”
Lilica menoleh dan melihat seorang pria gemuk mengenakan rompi kuning menyala—pilihan busana yang… mencolok, setidaknya.
“Lebih cocok dipanggil Sir Bumblebee,” celetuk Diare.
Lilica langsung terbahak. Gelaknya membuat kepala-kepala menoleh ke arah mereka, tapi tak satu pun peduli.
Singkatnya, sebagian besar dari mereka adalah anggota faksi aristokratik.
Dan memang, setiap kali mata para bangsawan itu bertemu dengan Putri Lilica, ekspresi mereka berubah—antara ingin mendekat dan takut.
Meski mereka menyebutnya anak angkat, Lilica tetap Putri Takar—nama yang disegani di seluruh Kekaisaran.
Dan pemilik artefak Magical Girl yang terkenal itu.
Tapi melihatnya di sini, di antara mereka, dan tak bisa berbuat apa-apa selain menatap—itu pasti terasa menyakitkan bagi mereka.
Terlebih lagi, rencana mereka untuk “mengisolasi Putri” tampak berbalik arah.
Bukankah lebih bodoh daripada mencoba mengasingkan seorang anggota kekaisaran?
Karena kenyataannya, tidak ada yang bisa membuka percakapan kecuali Putri sendiri yang memulainya.
Mereka justru tampak seperti yang diasingkan.
Apalagi saat tawa tulus terdengar dari sudut tempat Lilica dan para pengikutnya duduk.
Tawa ringan yang terdengar bahagia—dan membuat para tamu lain gelisah.
Apalagi Diare Wolfe, sosok terkenal yang dijuluki Pemilik Taring, duduk di sisi sang Putri.
Beberapa tamu melirik Duke Barat, mencoba membaca reaksinya.
Sang Duke sudah menyelesaikan tarian pertamanya, kini duduk santai di sofa sambil bercakap-cakap dan menikmati dirinya sendiri—sama seperti Putri Lilica.
Kalimat itu malah membuat mereka semakin ragu.
Apakah itu izin untuk mendekat… atau peringatan halus agar menjauh?
Namun rasa ingin tahu dan keberanian anak muda akhirnya menang.
Seorang pria melangkah maju.
Tatapan mereka bertemu, tapi Lilica hanya tersenyum—tidak bicara.
Diare menatap pria itu, lalu melirik ke arah Lilica.
“Baik, mari kita menari,” kata Diare dengan nada seperti sedang menerima tantangan duel.
Kebetulan, musik quadrille—tarian berganti pasangan—mulai dimainkan.
Dan saat itu, semua mata kembali tertuju pada Putri Lilica.
Mereka ingin berbicara dengannya.
Mereka penasaran.
Tapi juga takut.
Apa kau gila? Mendekati Putri tanpa izin? Mau dihukum Duke nanti?
“Apa sebaiknya aku juga menari?” tanya Lilica sambil menyeringai.
Lilica tersenyum dan menatap sekeliling. Ia teringat perkataan ibunya:
‘Pria? Kau hanya perlu menatap mereka sedikit, dan mereka akan datang dengan sendirinya.’
Dan benar saja—ketika ia menatap seseorang cukup lama, pria itu tampak terpesona, lalu mendekat seperti tertarik oleh sihir.
“Sir Pierre,” sapa Lilica dengan senyum memikat.
“Tentu.”
Lilica menyambut ulurannya, dan semua mata kembali menatap mereka.
Pierre mengangkat dagu bangga, menuntunnya ke lantai dansa.
⋆ ⋆ ⋆
Fjord mendidih di dalam hati.
Ia tersenyum—senyum sopan yang menyembunyikan rasa kesal yang mendidih di baliknya.
Setiap kali ia berputar di lantai dansa, bayangan Lilica yang berputar anggun di bawah lampu kristal menghantui pandangannya.
Ia tahu banyak pria menatap Putri itu dengan kagum… karena dirinya pun tak bisa berhenti menatap.
Lilica sering bilang ia biasa saja dibanding ibunya. Tapi kenyataannya—ia sama sekali tidak biasa.
Di bawah cahaya lampu, mata toskanya berkilau seperti danau tenang; kulitnya seputih porselen dengan semburat merah di pipi; rambut cokelat halusnya berayun lembut setiap kali ia berputar.
Dan senyum itu—bukan senyum sopan khas bangsawan, tapi senyum cerah yang mampu mencuri napas siapa pun.
Senyum yang membuat siapa pun ingin berbicara dengannya, agar bisa ikut tertawa bersamanya.
Fjord tahu persis rasa itu—dan benci melihat orang lain merasakannya juga.
“Apakah itu mengganggumu?” tanya seorang wanita di sebelahnya, melihat arah tatapannya.
“Jangan dipikirkan. Dalam dua hari kita juga akan melupakannya. Gadis itu… dari latar belakang seperti itu, baru kali ini melihat pesta semewah ini. Lihat saja tawa bodohnya.”
Wanita itu menutup wajah dengan kipas, terkikik mengejek.
Fjord menahan diri untuk tidak merespons dan mengajaknya menari—lebih baik diam daripada mendengar komentar seperti itu lagi.
Namun setelah beberapa lagu, ia tidak tahan.
Cukup sudah hanya menonton.
Ia menyeberangi aula menuju tempat Lilica duduk.
Lilica baru saja selesai menari ketika melihatnya datang—terkejut sejenak, lalu tersenyum anggun.
“Young Duke Barat, pestanya luar biasa.”
“Terima kasih, Yang Mulia. Kalau diperkenankan… bolehkah saya meminta satu tarian?”
Suasana di sekitar mereka berguncang halus.
“Aku juga berharap begitu.”
“Izinkan aku mengantarmu ke pintu.”
“Tak perlu. Kalau kau ikut keluar, pesta ini akan kehilangan tuan rumahnya.”
Dengan senyum tenang, Lilica melangkah pergi dari ballroom—anggun, berwibawa, dan sepenuhnya menang dalam permainan yang tak pernah ia katakan dengan kata-kata.
Chapter 115
Lilica benar-benar kelelahan, dan begitu tubuhnya menyentuh kasur di kamar tidurnya, ia langsung jatuh ke dalam tidur yang dalam.
Seluruh lampu telah dipadamkan. Mansion Barat tenggelam dalam keheningan.
Di luar kamar, Lauv yang berjaga mendadak merasakan sepasang mata menatapnya.
“?”
Ia menoleh, bingung—dan pandangannya bertemu dengan sosok anak kecil yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Tapi segera ia menyadari sesuatu: di balik kaki sofa, tampak separuh tubuh boneka porselen berdiri diam.
Boneka?
Alisnya berkerut. Ia tetap di tempat, menahan diri agar tidak terjebak jika itu hanya umpan untuk membuatnya berpindah posisi.
Ada ksatria lain yang berjaga di pintu, jadi satu-satunya orang yang mungkin menaruh boneka itu hanyalah salah satu pelayan wanita.
Namun ia pasti akan menyadarinya bila memang ada yang lewat.
Lauv menatap pintu sebentar, lalu kembali pada boneka itu.
Dan… boneka itu lebih dekat.
Boneka porselen yang tadi berada di balik sofa kini sudah berdiri di depan meja kopi.
Mata kaca kecilnya berkilat redup, menatap lurus ke arahnya.
Setelah tatapan mereka bertemu, Lauv cepat-cepat mengalihkan pandangan—tapi saat menatap kembali,
“!!”
Boneka itu sudah berpindah tempat lagi, kali ini hanya berjarak lima langkah darinya.
Ia perlahan menekan pelindung pedang dengan ibu jarinya.
Shiing—
Suara halus terdengar ketika bilah pedang sedikit terangkat dari sarungnya, siap untuk ditarik.
Mereka berdiri saling berhadapan. Mulut boneka itu perlahan melengkung… menjadi senyum… lalu melebar menjadi grin yang menyeramkan.
Dan tiba-tiba—
Clang.
Boneka itu pecah seketika, hancur berkeping-keping.
Dalam detik yang sama, Lauv mencabut pedangnya secepat kilat dan menodongkannya ke arah seseorang di belakangnya.
“……”
“……”
Keheningan menegangkan menggantung di udara antara Lauv dan Fjord.
“……”
Lauv tak menjawab. Pedangnya masih teracung sebelum akhirnya perlahan ia turunkan.
“Kalau bukan karena perintah Milady, kau sudah kuhabisi sekarang juga.”
“Beliau bilang, bangunkan dia kalau kau datang.”
Fjord menahan diri agar wajahnya tak menampakkan senyum bodoh. Ia hanya menggigit bibir dan mengangguk.
“Terima kasih, Sir Lauv.”
Fjord tampak begitu lega, seolah ingin berterima kasih pada siapa pun yang ia temui malam itu.
Begitu masuk, ia menemukan Lilica berdiri di dekat jendela.
Lampu tidak menyala, hanya tirai yang tersibak sedikit. Cahaya bulan menerangi ruangan.
Untuk sesaat, Fjord Barat berharap waktu berhenti.
Momen di mana Putri itu berdiri di jendela rumahnya, tersenyum dan menyapanya seperti itu—seolah itu hal paling alami di dunia.
Kalau bisa seperti ini selamanya…
Ia tersenyum getir. Tapi aku hanya bisa menginginkannya.
Ia tahu betul—ia takkan pernah bisa lebih dari itu.
Ia hanya bisa menatapnya, seperti manusia yang menatap bulan; begitu dekat, tapi tak terjangkau.
“Fiyo?”
Suara lembut Lilica memanggilnya. Ia menghampirinya perlahan, gaun tidurnya yang tipis bergoyang lembut di bahunya.
Tangan mungilnya terulur, menyentuh pipi Fjord dengan lembut.
Seperti seseorang yang haus kehangatan, mencari sedikit saja cahaya di dinginnya malam.
Fjord menundukkan kepala, merasakan hangat di kulitnya—dan sebelum bisa menahan diri, ia menggenggam tangan itu dan menempelkan bibirnya di telapak tangannya.
Ketika ia mendongak, mata Lilica membulat.
Astaga.
Fjord buru-buru berusaha terlihat tenang, tersenyum seolah itu dilakukan santai.
“Aku selalu tulus.”
“Itu justru masalahnya.”
Lilica menutup pipinya yang memerah dengan kedua tangan dan melotot kecil. Tapi saat melihat senyum lembut Fjord, amarahnya buyar.
“Aku sempat khawatir, tapi ternyata tidak.”
“Khawatir?”
“Ya. Saat pesta tadi, wajahmu tampak aneh. Aku pikir kau cemas padaku. Aku juga menolak ajakan dansamu di akhir—meski kau tahu itu pura-pura, pasti tetap terasa menyakitkan. Aku sempat mengira kau akan datang malam ini.”
“Siapa tahu,” jawab Fjord ringan, mencondongkan kepala.
Ditangkap? Ia bahkan berharap itu terjadi—tapi tentu tak akan ia akui.
“Duke Barat pasti akan murka.”
Fjord menggeleng. “Sulit ditebak apa yang dipikirkan beliau.”
“Aku khawatir kau terluka hari ini.”
Mendengar itu, Lilica tersenyum lembut. Mereka rupanya memikirkan hal yang sama.
“Aku baik-baik saja. Aku hanya berpikir, ‘Oh, jadi seperti ini wilayah Barat itu. Tak heran Fiyo bangga.’”
Ucapan itu membuat Fjord ikut tersenyum.
“Ya, Lily?”
“Bisakah kau ceritakan apa yang sebenarnya membuatmu begitu gelisah?”
Mereka berpura-pura menjadi orang asing di hadapan semua orang, tapi Lilica tahu—Fjord pasti sedang menahan sesuatu.
“Aku tahu.”
Fjord menunduk, lalu menggenggam tangan Lilica.
Kepalanya perlahan bersandar di bahunya. Lilica tersenyum dan melingkarkan tangan di punggungnya.
“Aku tak memaksa kau bercerita sekarang. Tapi kalau suatu saat ingin bicara, aku akan mendengarkan.”
“Kenapa Yang Mulia…”
“Selalu mengatakan hal-hal yang membuatku bahagia?”
Lilica tersenyum kecil, sementara Fjord mengembuskan napas pasrah.
Ah, sial.
Kata kasar itu melintas di kepalanya tanpa bisa dicegah.
Pelukannya, hangatnya tangan kecil itu di punggungnya—terasa begitu berharga hingga wajahnya memanas.
Kebahagiaan membuncah dari dadanya.
Dari kata-kata sederhana itu.
Dari detik kecil ini.
Sekecil apa pun—ini segalanya.
Ia bersandar lama, menikmati tepukan lembut di punggungnya, sampai akhirnya tenang.
“Apa?”
“Ya, tapi…”
“Mereka para pelamar, kan?”
“A—apa maksudmu?”
“Calon suamimu, tentu saja.”
“Eeh!?”
Lilica mengeluarkan suara aneh dan menatap Fjord yang tersenyum terang.
“Tidak mungkin.”
Ia menggeleng kuat, tapi kemudian teringat sesuatu—tentang Ayah yang memanggil beberapa pemuda usai pesta.
Wajahnya langsung pucat.
Jangan-jangan benar kata Diare? Ayah sungguh menginterogasi mereka? Tidak mungkin… kan?
“Lily, jangan terlalu dipikirkan. Mungkin Permaisuri hanya ingin menguji.”
“Mm…”
Lilica menatap kosong, pikirannya berputar.
Aku kan hanya Putri kontrak. Begitu masa itu berakhir, statusku pun ikut lenyap. Jadi pernikahan tidak akan ada dalam rencana.
Namun, wajar kalau Fjord salah paham. Bahkan orang lain pun pasti berpikir demikian.
Selain Brynn dan Lauv. Mereka memang tahu dan tak pernah menyinggungnya.
“Tapi aku memang lega,” jawab Fjord dengan senyum lembut.
Pipi Lilica kembali memerah. Bersama Fjord, entah bagaimana ia selalu merasa seperti sedang dipermainkan—dan anehnya, ia tak keberatan.
“Ya, tapi sebelum itu… ada seseorang yang harus kutemui.”
“…Lisett?”
“Benar.”
Fjord mengangguk. Ini bukan urusannya seorang diri; Lisett terlibat.
Lilica mengangguk paham.
Fjord sempat bertanya-tanya apakah Lilica benar-benar memahami maksudnya, tapi ia tetap menunduk dan mengecup pipinya lembut.
“Selamat malam.”
“Selamat malam, Fiyo.”
Ia menatap pipinya yang merona, lalu pergi dengan senyum samar.
Ia menarik napas panjang, menoleh ke jendela, dan tersenyum kecil.
Cahaya bulan malam ini indah sekali. Biar tirainya terbuka sedikit.
Ia lalu menuju tempat tidur dan menyelipkan diri di bawah selimut lembut.
Sebelum terlelap, pikirannya melayang ke kata yang disebut Fjord tadi.
“Suami…”
⋆ ⋆ ⋆
Fjord berhenti sejenak di depan kamar Lisett.
Ia tahu adiknya belum tidur.
Baru saja aku melihat bonekanya bergerak, bukan?
Ketika ia masuk ke ruang tamu, Lisett sedang duduk di sofa, menatapnya dengan senyum lembut.
“Halo, Kak Fiyo.”
“Tidak apa. Aku memang belum tidur. Ada apa?”
Fjord merasa tatapan tajam dari berbagai arah—puluhan boneka di ruangan itu menatapnya.
“Ada hal penting. Sesuatu yang harus kau tahu. Karena kau juga seorang Barat.”
Lisett sempat berkedip, tampak terkejut, tapi kemudian tersenyum dan mempersilakannya duduk.
Ia duduk di sampingnya, di meja terdapat kotak jahit terbuka—tampaknya Lisett baru saja selesai menjahit boneka.
“Baik, dengarkan dulu semuanya sebelum bertanya.”
“Baik.”
Fjord menarik napas dalam, lalu mulai dari kesimpulan.
“Duke Barat tidak berniat membiarkan kita hidup.”
“Tidak. Maksudku, beliau tak berniat menyisakan siapa pun di antara kita. Beliau akan ‘mengonsumsi’ kita berdua.”
Lisett memiringkan kepala, bingung. Fjord mulai menjelaskan.
Selama berbulan-bulan ia menelusuri dokumen dan catatan percobaan keluarga Barat. Sudah diketahui bahwa keluarga mereka pernah melakukan eksperimen manusia demi mencapai kesempurnaan.
Yang terpenting: mereka ingin memiliki kekuatan seperti keluarga Takar—sesuatu yang selalu mereka iri.
Percobaan kejam dilakukan untuk menyalurkan kekuatan monster, tapi hasilnya selalu gagal.
“Sampai mereka menemukan Queen of Hearts.”
Lisett menyela pelan, “Itu sudah kuhancurkan.”
“Yang kau hancurkan hanya replikanya. Benda aslinya masih ada.”
Tatapan Lisett menajam, tapi Fjord melanjutkan.
“Dari serangkaian percobaan dengan Queen of Hearts, mereka menemukan satu hal. Menyuntikkan kekuatan monster langsung ke manusia hanya berakhir dengan kematian. Tapi jika kekuatan itu melewati tubuh manusia lain terlebih dahulu, hasilnya berbeda.”
Orang-orang yang selamat—mereka yang dicangkokkan darah dan daging monster, atau disuntik cairan yang telah dimurnikan melalui manusia—lebih mudah mentransfer kekuatannya.
Kecantikan abadi sang ibu sering membuat mereka lupa akan usia sebenarnya.
Namun bila dihitung perlahan, jelas bahwa beliau sudah melampaui usia manusia biasa.
“Dan konon, lebih mudah mengekstrak dan menanamkan kekuatan di antara kerabat darah.”
Ia merasa bodoh karena sempat berharap ada sedikit kasih sayang tersisa.
Betapa naifnya dirinya yang masih menyisakan tempat untuk seorang ibu seperti itu di hatinya.
Chapter 116
Menanggapi pertanyaan Lisett, Fjord menjawab tenang,
“Jadi, semua yang dia lakukan… hanyalah permainan.”
Ia tak bisa membayangkan seberapa banyak kekuatan yang telah ibunya kumpulkan selama bertahun-tahun.
Ada seorang wanita—Duke Barat—yang telah memakan segalanya: seluruh upaya keluarga Barat selama generasi demi generasi untuk melampaui Takar.
Fjord tahu bahwa dirinya adalah karya agung keluarga itu.
Namun ia tak pernah menyangka bahwa karya agung itu diciptakan untuk tujuan seperti ini.
Ia merasa seperti seekor babi yang dipajang di arena ternak—dikagumi karena bentuknya, hanya untuk disembelih di akhir.
Apakah benar semua percobaan itu gagal?
Jika ada yang berhasil, ke mana perginya subjek uji coba yang selamat—selain dirinya dan Lisett?
Bayangan Duke Barat yang makan dengan anggun—memotong daging segar dengan pisau dan garpu—terlintas di benaknya, membuat perutnya bergejolak.
Pasti sang Duke sedang menonton semua gerak-geriknya sekarang dengan tatapan geli.
Pikiran itu membuatnya muak sekaligus putus asa.
Hari ketika ia menyadari kebenaran itu—ia tak tahan dan mencari Lilica.
Bahkan sekarang, jika ia memejamkan mata, ia masih bisa melihat pulau karang yang indah dan laut berkilau tempat mereka pernah berbicara.
Jika ia mati, Duke akan kehilangan mangsa berharga. Ia adalah hasil terbaik dari percobaan itu—daging unggulan.
Tapi ia sudah berjanji untuk tidak menyerah. Maka ia hanya bisa bertahan—berjuang di arena yang penuh ketidakpastian, antara memakan atau dimakan.
“Fufu.”
Tawa lembut Lisett terdengar. Lalu, secepat kilat, tangannya terulur ke arah meja di depan mereka.
Ia meraih gunting besar penjahit yang biasa digunakan memotong kain—dan menusukkannya ke arah Fjord.
Refleks, Fjord menangkap pergelangan tangannya dan memutar—besi tajam itu menancap dalam ke sandaran sofa.
Lisett menyeringai lebar.
“Jadi bagaimana? Jadi apa? Jadi?”
Sebelum ia sempat meraih alat jahit lain dengan tangan satunya, Fjord menendang meja di antara mereka.
Brak!
Meja terbalik dengan suara keras, jarum dan benang berhamburan.
“Itu kasar sekali…”
Lisett terisak tipis, berusaha menarik gunting yang masih menancap di sofa.
Riiip
Kain sofa robek perlahan saat logam itu bergeser.
Fjord menahan pergelangannya kuat-kuat. Lisett menatapnya dengan mata membara.
“Jadi kau mau kabur, ya?”
Mata itu—mata yang sama dengannya—memercik amarah.
“Kau mau kabur? Keluar dari arena ini sendirian? Konyol. Mustahil. Berapa banyak kematian yang sudah kita telan untuk sampai di sini? Kau bicara seolah hanya Ibu yang memakan orang lain, tapi kenyataannya—kau dan aku juga sudah memakan!”
“—!!”
Cengkeraman Fjord melemah sesaat karena terkejut.
Lisett berhasil menarik gunting itu, tapi Fjord langsung menarik tangannya dengan keras.
Lisett terhuyung dan menjerit kecil ketika tubuhnya tertarik ke depan.
Dalam sekejap, Fjord menekan kepalanya ke sofa dan menindih punggungnya dengan lutut.
Lisett menggertakkan gigi.
“Aku tidak akan kabur! Dan kau juga tidak akan bisa! Aku akan membunuhmu! Aku akan membunuhmu dan jadi anak baik Ibu!”
Suara Lisett berubah—dari teriakan histeris menjadi bisikan pelan, getir, dan dingin. Membuat bulu kuduk Fjord berdiri.
Tak ada lagi gunanya bicara.
Lisett mengamuk, berusaha melepaskan diri.
“Lalu kalau kau kabur, apa gunanya? Kau pikir ada dunia lain menunggu kita? Tidak ada! Ini satu-satunya yang kita tahu! Kau pikir kita bisa hidup normal?”
Setiap katanya menembus Fjord seperti pisau.
Karena jauh di lubuk hatinya, ia tahu—ia berpikir hal yang sama.
“Pugo! Sada!”
Dengan teriakan itu, dua boneka beruang besar di sudut ruangan mendadak bergerak.
Namun Fjord hanya menatap sekilas—dan kedua boneka itu langsung robek seketika, isinya beterbangan ke udara seperti hujan kapas.
“Kyaaaa!!”
Thud!
Suara tongkat menghantam lantai menggema keras.
Keduanya membeku.
Duke Barat berdiri di ambang pintu tanpa suara, tegak dengan tongkat di tangan.
“Bising sekali,” katanya dingin. “Kita punya tamu di rumah ini, tapi kalian berdua berkelakuan seperti binatang.”
“Aku yang memancingnya,” kata Fjord cepat, melepaskan cengkeramannya. “Aku mohon maaf.”
Duke Barat menatapnya datar, matanya kosong seperti tak menilai siapa pun di hadapannya.
Mereka berdua berdiri, merapikan pakaian.
“Fjord,” kata Duke perlahan, “kau salah paham tentang sesuatu.”
“...?”
Seketika, Fjord tahu—ia mendengar semuanya.
Semua yang ia dan Lisett katakan.
“Apa yang salah, Ibu?”
Lisett menelan ludah. Fjord sempat melirik gunting yang tergeletak di sofa.
Duke tertawa kecil. “Oh, sayang,” ucapnya manis, “kau barusan berpikir untuk membunuhku, ya?”
Fjord tidak tahu apakah ia sedang bercanda atau tidak.
Ia ingin membalas dengan sinis, tapi menahan diri. Ini bukan waktu yang tepat untuk memancing marahnya sang Duke.
Tatapannya beralih ke dua anaknya.
“Maka mari kita saling bunuh saja, hm?”
⋆ ⋆ ⋆
Keesokan paginya, Lilica bangun dengan lesu.
Tadi malam, Brynn sempat berkata, “Kau pasti lelah. Aku batalkan semua jadwal pagimu,” sambil menyelimutinya.
Akibatnya, matahari sudah tinggi ketika ia bangun.
Setelah mencuci muka dan berganti pakaian, ia duduk tenang. Meski tidur lama, ia tak merasa lapar.
Ia menyeduh teh hitam lebih kuat dari biasanya dan memakan sepotong roti mentega perlahan.
Tak lama kemudian, Diare keluar dari kamar sambil menguap lebar.
“Diare, kau sudah bangun?”
“Ya, ugh. Tempat ini gila. Siapa yang bertarung tengah malam begitu?”
“Bertarung?”
“Iya, berisik sekali—teriakan dan suara benturan. Sir Lauv baik-baik saja?”
Lilica menatap Lauv. Pemuda itu juga tampak lelah.
“Lauv juga mendengar?”
“Iya. Sepertinya Young Lord dan Young Lady Barat yang bertengkar.”
“Oh…”
Lilica mengingat pembicaraan semalam.
Fjord bilang ia akan berbicara dengan Lisett. Jadi itu penyebabnya?
“Parah sekali kah?”
“Aku tidak yakin, tapi sepertinya banyak boneka yang sobek.”
Ia membayangkan Fjord mencabik boneka—bayangan yang terasa tidak pas sama sekali.
“…Boneka-boneka itu bisa bergerak sendiri.”
“Iya. Kalau kau mengalihkan pandangan, dia mendekat.”
“Seperti cerita hantu saja,” gumam Diare.
“Hah?”
“Boneka yang diberikan kemarin. Kotaknya kosong.”
“……”
Lilica membayangkan boneka mungil itu bergerak sendiri.
Hmm, sepertinya tidak berbahaya, pikirnya.
Namun tetap saja, ia tahu harus berhati-hati.
“Nanti dia akan muncul lagi kalau waktunya tiba. Sampai saat itu, kalian awasi baik-baik.”
Kedua “serigala”-nya mengangguk patuh.
“Aku juga akan kabari Sir Kaon,” kata Lauv.
Lilica mengangguk. “Bagus.”
“Tapi aneh juga, aku tak merasakan apa pun,” katanya, sedikit tersinggung. Sebagai penyihir, itu memukul egonya.
Lilica menghela napas dan mengangguk.
Setelah sarapan terlambat dan berganti pakaian, datanglah seorang utusan dari Duke Barat.
“Yang Mulia disarankan beristirahat hari ini karena acara tadi malam terlalu melelahkan. Anda dipersilakan menikmati fasilitas mansion, berjalan-jalan, atau berkuda. Bila membutuhkan sesuatu, silakan sampaikan.”
“Baik. Aku akan memanggilnya kalau perlu,” jawab Lilica tenang.
“Baik, Yang Mulia.”
Tak lama kemudian, sosok yang datang bukan pelayan—melainkan Fjord sendiri.
“Young Duke Barat.”
Lilica berdiri, menatapnya. Samar-samar ia melihat perban di bawah pakaiannya.
“Mm.”
“Apakah Anda berkenan berkuda bersama?”
“Tentu.”
“Kalau begitu, aku akan memanggil pelayan untuk menyiapkan kuda.”
Lilica hanya mengangguk, meski hatinya bertanya-tanya kenapa ia datang sendiri.
Setelah berganti ke pakaian menunggang, ia turun ke halaman depan.
Fjord sudah menunggu dengan pakaian berkuda hitam elegan.
Lilica menaiki Saebyeol, kudanya yang dibawa dari istana agar tak bosan di perjalanan panjang.
Diare, Lauv, dan beberapa ksatria ikut menyertai di belakang.
Mereka berkuda berdampingan, diapit penjaga di depan dan belakang dari kejauhan.
Tidak ada percakapan; hanya suara langkah kuda yang berirama di jalan setapak yang indah.
Pemandangan pedesaan yang mereka lewati seperti lukisan hidup—rumah-rumah batu, ladang hijau, udara segar.
Perjalanan menanjak ke bukit kecil dipenuhi bunga liar di kedua sisi.
Sesekali, kambing atau domba lewat dengan santai.
Untung kami memilih menunggang kuda, pikir Lilica sambil tersenyum kecil.
Di puncak bukit, pemandangan terbentang luar biasa indah.
“Wow…”
Lilica terpesona. Dari sana, Mansion Barat tampak mungil, seperti rumah boneka dengan taman simetris yang rapi.
Fjord turun lebih dulu dan membantu Lilica turun dari kudanya.
Berdiri berdampingan, mereka menatap lanskap itu.
“Indah sekali,” ucap Lilica. “Dari sini Mansion Barat terlihat seperti rumah mainan.”
Fjord menatapnya sekilas, lalu melihat Lilica melepas cincin kecil dari jari kelingkingnya dan menggenggamnya di telapak tangan.
Sekeliling mereka menjadi sunyi.
“Entah kenapa, aku merasa ini akan jadi pembicaraan penting,” ujar Lilica pelan.
Fjord tersenyum tipis, kemudian mulai menceritakan semuanya—tentang Lisett, tentang Duke, tentang percakapan semalam.
Lilica mendengarkan tanpa menyela.
Sampai akhirnya, ia terbelalak.
“Dan setelah semua itu… dia berkata, ‘Kalau begitu, mari saling bunuh saja.’”
Fjord tersenyum getir. “Yang lucu, saat dia bilang itu, bukan cuma Lisett yang bereaksi—aku juga. Aku ingin percaya aku hanya bertahan, tapi bukan itu kenyataannya. Kami berdua… seperti anjing liar di ring pertarungan. Sampai Duke berkata, ‘Aku hanya bercanda.’”
Kisah itu begitu menyedihkan hingga Lilica merasa dadanya sesak.
“Fiyo…”
Dan ia tidak tahan lagi. Lilica melangkah maju dan memeluknya erat.
“Aku baik-baik saja. Lukanya dangkal.”
Tatapannya melembut. Dari sudut mata, ia bisa melihat para ksatria menatap mereka dengan mata membelalak—pemandangan ini sungguh di luar dugaan.
Menanggapi tatapan itu, Fjord perlahan melingkarkan lengannya di pinggang Putri dan menariknya mendekat.
Fjord memandangnya lama. “Benarkah?”
“…Ya.”
Ia mungkin benar—Fjord mungkin sudah menyerang Duke saat itu juga.
“Tapi, Fiyo,” katanya tiba-tiba, menatap lurus ke arahnya, “ini pendapatku.”
Ia menatapnya tegas, matanya berkilat.
“Kabur bersamaku.”
Chapter 117
Fjord berkedip. Ia ingin memastikan kalau ia tidak salah dengar.
“Bisa kau ulangi?”
“Kaburlah.” Lilica menatapnya mantap. “Tidak, sebenarnya ‘kabur’ terdengar agak aneh, ya? Untuk saat ini… kau harus menjauh dulu dari Duke.”
Lilica perlahan melepaskan pelukannya, meski Fjord terlihat enggan dan menahan satu detik lebih lama sebelum melepaskannya.
‘Aku ingin mendengar kau mengatakan “kabur bersamaku” sekali lagi…’
Sejujurnya, bahkan kisah roman murahan pun akan terasa berharga bila disampaikan olehnya.
Apa yang lebih menakjubkan dari harapan akan akhir bahagia di tengah penderitaan dan luka?
Mereka yang bisa menertawakan kisah cinta seperti itu… mungkin tak pernah benar-benar terluka dalam hidupnya.
Lilica bersandar ke batang pohon di belakangnya, menyilangkan tangan.
“Tidak mungkin kau bisa hidup berdampingan dengan orang seperti itu tanpa terluka. Kalau kau tetap di sana, kau akan terus tersakiti. Jadi menurutku, lebih baik menjauh dulu dan menenangkan dirimu. Karena bahkan kalau seseorang sudah tidak penting sekalipun, mendengar kata-kata yang menyakitkan terus-menerus itu tetap menyakitkan.”
Nada suaranya lembut, tapi ada keteguhan di dalamnya.
Lilica teringat masa kecilnya.
Ia tahu betul ibunya menyayanginya. Pelukan ibunya selalu hangat, kata-katanya selalu lembut dan manis.
Namun tetap saja…
“Kalau terus mendengar hal seperti itu, siapa pun bisa kehilangan kemampuan untuk berpikir jernih,” batinnya.
Lilica menatap Fjord dan melanjutkan,
“Dan ketika pikiranmu sudah tenang, kau mungkin bisa melihat arah lain, bukan? Fiyo, aku tahu kau mungkin tak suka ide ‘kabur’. Tapi kadang, itu satu-satunya cara yang benar.”
“…Tidak cukup?” Fjord mengulang dengan suara rendah.
“Ya.” Lilica mengangguk pelan. “Kau butuh sesuatu yang lebih. Sesuatu yang melampaui itu. Hmm… aku ingin tujuanmu nanti bukan sekadar membalas dendam, tapi mendapatkan kebahagiaanmu sendiri.”
“Kebahagiaan…” Fjord mengulang pelan, seperti baru mendengar kata itu untuk pertama kalinya dalam hidup.
“Aku akan memikirkannya.”
Ucapan sederhana itu membuat Lilica tersenyum cerah, matanya bersinar.
“Itu saja sudah cukup. Sudah lebih dari cukup.” Ia tertawa pelan. “Sekarang, kemana kau mau membawaku? Hari ini aku ingin bersenang-senang bersama Fiyo.”
Ia mengenakan kembali cincin kecil di jari kelingkingnya dan tersenyum lebar.
⋆ ⋆ ⋆
Ia tak menyangka akan ditugaskan untuk hal ini, tapi menganggapnya sebagai latihan berharga.
Hmm…
Terutama karena Yang Mulia Permaisuri berpesan agar ia menulis dengan detail tentang siapa pun yang mendekati sang putri.
Hmm…
Ia mendesah lagi, mengingat adegan yang takkan mudah ia lupakan hari itu.
[Suara percakapan mereka tiba-tiba menghilang setelah Yang Mulia Putri mengeluarkan artefak. Tak lama kemudian, ia memeluk Young Duke Barat.]
Kaon berhenti menulis, membaca ulang kalimat itu.
Fakta tetaplah fakta, pikirnya.
[Young Duke Barat juga membalas pelukan Yang Mulia.]
Putri itu mungkin tidak sadar, tapi Kaon memperhatikan bagaimana Fjord menatap para ksatria di sekitarnya setelahnya.
Ekspresinya itu…
Ia tak tampak terkejut atau canggung—hanya tersenyum samar, seolah menyembunyikan sesuatu.
Hmm…
Tapi pria itu… hanya wajahnya saja yang menarik, gumamnya dalam hati sambil mengerutkan kening.
Mungkin hanya persahabatan di sisi Putri, tapi tatapan Young Duke Barat itu…
[Mereka menghabiskan sepanjang hari berkuda dan makan bersama dari keranjang piknik yang dibawa.]
[Keduanya tampak sangat menikmati hari itu.]
Ya, detail seperti ini sudah cukup.
Setelah menulis bagian kepulangan, Kaon melipat laporan dan menyegelnya dengan lilin.
Karena wilayah Barat cukup dekat dengan ibu kota, pesan itu akan sampai dengan cepat melalui kurir resmi.
⋆ ⋆ ⋆
Perjalanan keluar dari wilayah Barat berlangsung lancar.
Semakin jauh ke selatan, udara menjadi lebih hangat dari hari ke hari.
Pakaian Lilica pun semakin ringan, terbuat dari kain tipis yang lembut.
Di hari-hari berat, ia menunggang Saebyeol, menikmati angin sejuk yang menerpa wajahnya.
Hari ini pun sama.
Tatapan para bangsawan muda bersinar, seolah berkata “Aku tak percaya bisa melihat sang putri langsung.”
Lilica berusaha tersenyum dan menyapa semua orang dengan ramah, tanpa membeda-bedakan.
Tapi setelah pesta panjang seperti itu, ia selalu lelah.
“Tidak capek? Kukira kau langsung tidur,” tanya Brynn.
“Ya, harusnya aku tidur,” jawab Lilica sambil melepaskan sepatu dan menenggelamkan diri di sofa.
Belakangan ini, ia sering bermimpi aneh—selalu tentang gurun.
Tak ada naga, tak ada manusia—hanya hamparan pasir putih di bawah langit malam yang dipenuhi bintang.
Apa mungkin seseorang bermimpi tempat yang sama terus-menerus?
Andai saja mimpinya berkembang seperti cerita, mungkin ia bisa tahu artinya. Tapi itu hanya… gurun.
Sudahlah, aku tidur saja.
Ia bangkit dan berbaring di tempat tidur.
“Akankah aku memimpikannya lagi malam ini?” gumamnya sambil memejamkan mata.
⋆ ⋆ ⋆
Ah, benar saja.
Ia tersenyum kecil—ia kembali ke gurun itu.
Menyadari bahwa ini mimpi saja sudah cukup aneh, tapi sensasi nyatanya masih menakjubkan.
Masih seindah biasanya…
Ia menatap bintang di langit malam—bintang-bintang yang berkelap di bawah bulan sabit besar.
Tiba-tiba, sebuah suara terdengar di belakangnya.
“Indah, bukan?”
Lilica terlonjak dan berbalik.
Di sana berdiri seorang pria tinggi berjubah, tudung menutupi wajahnya.
Ia kaget, tapi tidak takut—anehnya, justru merasa seperti bertemu seseorang yang sudah lama dinanti.
“Siapa kau?”
Ia menurunkan tudungnya—rambut panjang berwarna biru tua terurai, wajahnya tampan dan rapi.
“Aku senang akhirnya bisa bertemu seperti ini, Penyihir Terakhir. Penutup dari semua pintu.”
Ia meletakkan tangan di dada.
“Aku adalah Penyihir Pertama, pembuka pintu pertama.”
“Sekali lagi, senang bertemu denganmu.”
⋆ ⋆ ⋆
“!!”
Mimpi… tapi terasa terlalu nyata.
Ia memutar ingatan—ia pernah bermimpi seperti ini sebelumnya.
Saat itu ada dua orang, dan salah satunya memanggilnya “Penyihir Terakhir.”
Mereka waktu itu sedang mengajar sesuatu… sihir, ya?
Mungkin pria ini salah satu dari mereka.
Tapi bagaimana bisa dia muncul di mimpiku? Kalau dia Penyihir Pertama, bukankah seharusnya dia sudah mati? Dan apa maksudnya aku Penyihir Terakhir? Tidak akan ada penyihir lagi setelah aku…?
Ia mengerutkan kening.
Mungkin karena aku jauh dari Ibu Kota… jauh dari Ayah. Mungkinkah dia tak muncul karena takut pada Ayah? Tapi kalau begitu, dia kelihatan lemah sekali. Hmm… Ayah pernah bilang aku sebaiknya tidak bermimpi. Apa ini sebabnya?
Tapi rasa ingin tahunya menggelora.
Apa artinya menjadi Penyihir Terakhir? Apa sebenarnya mimpi ini? Mengapa pria itu bisa muncul di dalamnya?
Ini mimpiku, kan? Harusnya aku yang mengendalikan segalanya. Lagi pula, aku sudah tumbuh besar sekarang.
Ia menutup mata lagi, tapi malam itu tak ada gurun yang datang.
⋆ ⋆ ⋆
“Sudah beberapa malam aku tidak memimpikannya lagi…”
Lilica mendesah panjang.
Lilica tersenyum. “Iya, ayo.”
Kereta berhenti. Lilica, Diare, dan Brynn turun, berjalan perlahan di sampingnya.
“Aku mulai bosan naik kereta terus,” keluh Lilica.
“Wajar saja. Duduk terlalu lama bikin punggung pegal,” jawab Diare.
“Diare bisa saja naik kuda, loh. Aku malah merasa bersalah karena kau terus duduk di sini menemaniku.”
“Tidak apa. Naik kuda seharian juga bikin pantat sakit.”
“Mm… soal mimpi, sih.”
“Mimpi?”
“Iya. Mimpinya terputus.”
“Hah?”
Diare memiringkan kepala. Lilica baru sadar ia belum menjelaskan dari awal, jadi ia mulai bercerita—
Namun sebelum ia sempat melanjutkan,
“Yang Mulia!”
Diare tiba-tiba menariknya dengan keras.
Creeaak!
Thud!
Roda belakang kereta copot bersamaan, membuat kereta miring tajam ke satu sisi.
Roda besar itu terguling dan jatuh.
Para ksatria segera membentuk barisan, melindungi Lilica.
“Yang Mulia baik-baik saja?” tanya Diare panik.
“Aku… aku tidak apa-apa.”
Namun bumi tiba-tiba bergetar.
Tanah berdesir seperti hendak pecah.
Kaon menegakkan tubuh, matanya menyapu sekeliling tajam. Para ksatria mengangkat perisai, pedang-pedang ditarik serentak.
Batu-batu kecil mulai melompat dari tanah.
Keheningan aneh menyelimuti.
Lilica menatap tanah, ngeri.
Kaon berteriak—
“Di bawah!”
Craaaash!!
Sesuatu raksasa menerobos tanah!
Tanah memercik tinggi, tubuh mereka sempat terangkat sebelum terhempas kembali ke tanah.
“?!”
Dunia berputar. Ketika Lilica sadar, ia sudah berada di dalam pelukan Lauv.
Apa itu…?
Dari lubang besar itu, muncul makhluk mengerikan—gabungan antara tikus tanah dan trenggiling, tubuhnya sebesar kereta.
Tubuhnya dilapisi sisik keras berkilau logam.
“Kau terluka?” tanya Lauv cepat.
“Tidak.”
Ia menurunkannya perlahan ke tanah, tahu bahwa membawa Putri sambil bertarung akan lebih berbahaya.
Kwiieeek!
Makhluk itu menggulung diri seperti bola, dan ribuan sisiknya menegang—lalu melesat seperti hujan duri!
Diare berhasil menangkis, Lauv juga menahan sebagian serangan.
“Siaga! Serangan kedua datang!” teriak Kaon.
Durinya yang tadi terpental tiba-tiba melayang lagi—berkumpul dan melesat balik seperti bola tajam.
Tidak kelihatan…
Kecepatannya mustahil diikuti mata.
Sihir tak bisa diarahkan kalau target tak terlihat.
“Kentana! (Perisai Baja!)”
Lilica segera memanggil perisai sihir besar di sekeliling mereka. Para ksatria langsung mendapat ruang gerak lebih aman.
“Brynn di mana?” teriak Lilica—dan wajahnya pucat.
“Brynn!!”
Ia melihat Brynn tergeletak di tanah. Tanpa berpikir, ia berlari.
Clang! Clang!
Duri-duri menghantam perisai sihir, menimbulkan suara keras dan getaran yang mengguncang udara.
Lilica menelan ludah.
Jika ia terus mendekat, Brynn bisa ikut terluka.
Lauv sudah mendahuluinya, berjongkok di samping Brynn.
Darah mengalir dari sisi tubuhnya—terluka parah oleh duri.
“Apa yang kau lakukan di sini? Kau seharusnya di sisi Putri,” desis Brynn, suaranya lemah.
Namun sebelum ia bisa berkata lebih, Lauv menghantamkan kepalan ke arah makhluk itu—
Thud!
Dengan suara seperti kulit keras yang robek, tubuh monster itu meledak, terburai kosong.
Yang tersisa hanya kulitnya, kempis seperti balon pecah.
“Aku… baik-baik saja. Hanya terlihat parah.”
Lauv menyentuh sisi lukanya ringan.
“!!”
“Lauv!”
“Kau bilang tidak parah,” jawabnya datar.
Brynn menatapnya dengan mata nyalang, siap membunuh kalau mampu.
Namun teriakan Diare memecah udara—
“Dasar brengsekkkk!!”
Ia sedang memegangi ekor monster yang berusaha masuk kembali ke tanah.
Tubuh mungilnya terseret, kakinya berusaha mencengkeram tanah, tapi kekuatannya tak cukup.
“Lauv, bantu Diare!” perintah Lilica.
“Tapi—”
“Aku punya perisai, kan? Aku aman. Cepat! Semakin cepat kau selesaikan makhluk itu, semakin cepat kau bisa melindungiku!”
Lauv menatapnya sesaat, lalu berlari.
Sementara itu, panah Kaon menancap tepat di mata monster itu, membuatnya menjerit.
Ia mengamuk, menggali tanah dengan kaki depannya yang besar dan berat.
Thud! Thud! Thud!
Saat tubuhnya setengah masuk tanah, makhluk itu kembali menjerit—
Kweeeek!!
Dan seketika, ratusan duri tajam menyembur ke atas dari bawah tanah.
Brynn mengulurkan tangan—terlambat setengah detik.
Salah satu duri menembus tubuh Lilica.
Chapter 118
Bahunya—bahu kanannya—tertusuk menembus.
Saat duri tajam itu menembus dari bawah dalam keadaan tanpa perlindungan, Lilica hanya bisa—ditusuk.
“Yang Mulia!”
Seseorang berteriak.
Konsentrasinya buyar, sihir yang tadi bertahan kuat kini menghilang perlahan, mencair seperti salju di bawah matahari.
Monster itu menarik kembali duri panjang yang muncul dari tanah.
Duri itu tercabut dari luka Lilica, meninggalkan lubang menganga di tanah—lalu menghilang begitu saja.
“Ugh…”
Lilica menahan diri agar tidak jatuh.
Tetes, tetes.
“Yang Mulia.”
Wajahnya begitu pucat, hampir seperti mayat.
“Maaf… aku terlambat.”
Seluruh tubuhnya terasa panas, perih, geli, dan pandangannya mulai buram.
Ia melihat Fjord menggenggam pergelangan tangan Brynn.
Brynn sedang memegang belati.
“Menjauh dari Yang Mulia!”
Brynn berteriak keras.
“Yang Mulia, bangun! Yang Mulia!”
Suara Brynn mulai menjauh, berganti dengan dengungan samar di telinganya.
Itulah suara terakhir yang ia dengar sebelum semuanya gelap.
⋆ ⋆ ⋆
‘Gurun itu lagi!’
Lilica tertegun. Ia menyentuh dahinya, lalu memegang bahunya dengan kaget.
‘Aneh… di sini aku tidak terluka sama sekali.’
Padahal bahu kanannya tadi tertusuk, tapi kini utuh—tak ada luka, tak ada rasa sakit.
Sebuah suara memecah keheningan.
Kali ini Lilica menoleh tanpa rasa terkejut.
Di sana berdiri sosok yang sama seperti sebelumnya—Penyihir Pertama, yang sempat menyapanya sebelum menghilang di mimpi lalu.
Kemudian ia menunjuk pria itu.
“Benarkah?”
“Ya. Nama yang agung, bukan?”
Lilica mengangguk dengan sungguh-sungguh, membuat Erhi tersenyum lebar.
Rambut biru tuanya terurai panjang, beberapa helainya yang lepas dari tudung sudah mencapai pinggang.
Sekarang ia sudah terbiasa berbicara tanpa gelar kehormatan.
“Jadi, kau ini apa sebenarnya?”
“Sihirmu.”
Lilica terdiam. Alisnya berkerut pelan, tak langsung mengerti.
“Bagaimana kalau kita jalan-jalan sambil bicara?”
Lilica mengangguk setuju.
“Wow…”
Pasir putih keperakan yang biasanya menutupi gurun itu kini berkilau emas.
Alih-alih kuning kecokelatan, warna pasir itu berpendar seperti logam mulia di bawah cahaya bulan.
“Indah sekali.”
“Itu karena hati Sang Putri juga indah,” kata Erhi ringan.
Lilica menatapnya aneh. “Kenapa begitu?”
Erhi terkekeh. “Kenapa apa?”
“Entah kenapa… rasanya seperti aku sedang bicara dengan seseorang yang kukenal.”
Ia tak menyebut nama, tapi dalam hatinya, wajah Fjord terlintas.
Erhi tertawa lembut. “Aku merasa terhormat.”
Ia menautkan ujung jarinya, lalu melepaskannya seperti membentuk percikan udara.
“Karena ada seseorang yang… menyemburkan api.”
Lilica menatapnya. “Yang kau maksud… Yang Mulia Raja?”
“Ya.”
“Kalau begitu, jangan buang waktu. Langsung saja ke intinya.”
Lilica membelalakkan mata. “Kutukan naga? Ah! Itu… cerita yang Inro sebut waktu itu!”
Erhi mengangguk.
“Tapi aku tidak tahu di mana naga itu. Dan bagaimana cara menghapus kutukannya?”
“Negeri ini juga dikutuk?”
“Bukankah kalian semua terkurung di dalam sini? Terhalang oleh Lautan Pohon, kabut laut, dan gurun yang tak berujung?”
“Jadi kalau kutukan itu terangkat, kita bisa keluar?”
Erhi tersenyum. “Benar. Tapi… tak seorang pun tahu apa yang menanti di luar sana.”
Lilica ternganga. Skala pembicaraan ini tiba-tiba terasa… luar biasa besar.
“Lalu bagaimana cara memutus kutukan itu?”
“Dengan membebaskan naga dari kutukannya. Kalau naga bebas, seluruh belenggu negeri ini juga akan hancur.”
“Kalau begitu, di mana naganya?”
Erhi tertegun. “Huh?”
Lilica menatapnya tak sabar. “Bukankah Altheos itu naganya?”
“!!”
⋆ ⋆ ⋆
Lilica membuka mata mendadak. Jantungnya berdebar keras.
‘Ini… tenda?’
“Yang Mulia, sudah bangun?”
Suara lembut Brynn terdengar di sebelahnya. Lilica menoleh, melihat Brynn duduk di sisi tempat tidurnya.
Beberapa detik ia hanya menatap kosong.
Altheos… naga? Yang Mulia Raja—ayahku—naga? Serius?
Apa Ibu tahu? Naga?
Kata itu berputar-putar di kepalanya.
Naga.
Brynn mencondongkan tubuh. “Yang Mulia? Apakah Anda mendengar saya?”
“Mm… aku sadar. Sudah lama aku pingsan? Kita di mana?”
Ia mencoba duduk, dan Brynn segera membantunya.
Bahunya dibalut perban rapi. Tak terasa sakit, hanya sedikit tegang. Luka itu tampaknya sudah tertutup berkat ramuan penyembuh yang sangat kuat.
“Yang Mulia tak sadarkan diri, jadi kami memutuskan berkemah di sini agar bisa beristirahat. Bagaimana lukanya?”
“Tidak sakit. Hanya terasa tertarik sedikit.”
“Syukurlah.”
“Bagaimana denganmu, Brynn? Lukamu?”
“Sudah membaik.”
“Jangan sampai aku perlu menekan lukamu lagi seperti yang dilakukan Lauv, ya.”
Wajah Brynn langsung kaku. Lilica menghela napas panjang.
“Berikan aku liontin.”
“Yang Mulia baru saja sadar.”
“Itulah alasannya. Aku akan sembuhkan diri dulu, lalu kamu.”
Brynn akhirnya mengalah dan menyerahkan liontin itu.
Lilica menyalurkan sihir penyembuh. Tubuhnya terasa ringan. Ia juga menyalurkan energi ke Brynn, hingga warna kulit temannya kembali cerah.
“Bagaimana keadaan para ksatria? Panggil Kaon ke sini.”
“Baik, tapi sebaiknya Yang Mulia berganti pakaian dulu.”
Lilica mengangguk, menatap jubah tipis yang menutupi perbannya. Setelah berganti pakaian yang lebih nyaman, ia duduk dan mendengarkan laporan Kaon.
“Dengan bantuan Young Duke Barat, kami berhasil menangkap monster itu.”
“Itu bukan mimpi?”
Kaon menggeleng. “Tidak, Yang Mulia. Tapi… beliau sedang dalam penahanan sementara. Dari ceritanya…”
Kaon berdeham, tampak sedikit canggung. “Beliau… kabur dari rumah.”
“Hah?”
“Ya. Kabur dari rumah.”
Lilica menatap kosong beberapa detik.
“Dia bilang begitu.”
Kaon menunduk hormat. “Kami tidak menahan beliau. Jika Yang Mulia ingin menemuinya, izinkan Sir Lauv mendampingi.”
“Ah… baiklah.”
Masih setengah bingung, Lilica mengangguk. Tak lama, Lauv dan Diare masuk.
Lengan Diare dipenuhi perban, dan kedua kakinya disangga papan kayu. Lilica terkejut melihatnya masih bisa berjalan tanpa tongkat.
“Diare!”
“Yang Mulia, syukurlah Anda sadar. Apa Anda baik-baik saja?”
“Seharusnya aku yang bertanya itu padamu!”
Diare tersenyum malu. “Sudah begini pun aku masih bisa dibilang beruntung. Sepertinya aku perlu latihan lebih keras.”
Pertarungan melawan monster jelas berbeda dengan melawan manusia. Luka di lengannya akibat menahan ekor monster bersisik masih terasa.
“Harusnya aku menyiapkan pelindung yang lebih baik untuk menghadapi makhluk seperti itu.”
Lilica buru-buru mengambil liontinnya dan menyembuhkan Diare, lalu Lauv.
Mereka semua menahan rasa sakit tanpa banyak bicara, jadi Lilica tahu ia harus cepat.
Lauv bertanya lirih, “Yang Mulia benar-benar tidak apa-apa?”
“Tidak apa-apa. Maaf sudah membuat kalian khawatir.”
“Tidak, ini salahku karena meninggalkan sisi Yang Mulia.”
Lilica menggeleng. “Tidak, aku yang menyuruhmu pergi, kan? Aku kira cukup menjaga sekeliling saja. Tak terpikir serangan bisa datang dari bawah.”
Ia menggigit bibir. Sebuah kesalahan pemula.
“Kalau aku tidak pergi…” gumam Lauv.
“Aku juga bersalah,” tambah Brynn pelan.
Lilica menghela napas panjang. “Baiklah. Kalian berdua potong gaji bulan depan.”
“Baik, Yang Mulia,” jawab keduanya serempak, menunduk.
“Sekarang ayo kita lihat keadaan yang lain.”
Udara sore bercampur bau kayu terbakar dan masakan dari perkemahan. Para ksatria tetap berjaga ketat, patroli terus dilakukan.
Untungnya satu kuda lain yang patah kaki berhasil ia sembuhkan dengan sihir. Ksatria pemiliknya menunduk berulang kali, matanya berkaca-kaca.
Sebagian kuda yang melarikan diri belum kembali, tapi Saebyeol sudah. Lilica membelai lehernya dengan lembut.
Setelah memastikan semuanya aman, ia menuju tenda tempat Fjord berada.
Dua ksatria berjaga di depan. Begitu masuk, Fjord langsung berdiri, nyaris berlari ke arahnya sebelum Lauv menghentikannya dengan tangan di dada.
“Yang Mulia, luka Anda…?”
Lilica tersenyum. “Aku punya sihir, kan?”
Ia melambaikan tangan seolah untuk menenangkan.
“Yang lebih penting, bagaimana denganmu? Kudengar… kau kabur dari rumah?”
Fjord menunduk sedikit. “Aku sadar… Yang Mulia benar.”
“Hah?”
Fjord menatapnya dengan mata tenang.
“Anda bilang… ‘kaburlah bersamaku.’”
“Eh? Oh, itu… iya, aku memang bilang begitu.”
Lilica menggaruk pipinya, agak bingung.
‘…Jadi dia benar-benar melakukannya?’ pikirnya panik. Apa sekarang aku harus bertanggung jawab?
Sementara ia termenung, Fjord menepuk tangannya sendiri pelan.
“Yang Mulia.”
“Hmm?”
Lilica mendongak. Fjord tersenyum hangat.
“Aku tidak meminta Anda bertanggung jawab. Kata-kata itu memang keluar dari mulut Anda, tapi keputusan ini sepenuhnya milikku. Aku akan menanggung akibatnya. Jadi, jangan khawatir.”
“Tetap saja…”
“Benar-benar tidak apa. Anehnya, rasanya beban yang selama ini menindihku justru lepas.”
“Oh?”
“Menawarkan kesetiaan kepada Takar adalah hal yang tak pernah ingin kulakukan. Tapi jika yang kusebut ‘Takar’ adalah Anda, maka memberikan seluruh kasihku—tidak terasa sulit.”
“Huh? Fiyo, itu—”
Kalimat “Aku akan segera meninggalkan Takar,” hampir lolos dari mulutnya, tapi ia buru-buru menahannya.
Fjord, seolah tak peduli, menatapnya dengan lembut dan menaruh tangan di dadanya.
“Itu bukan salahmu.”
“Tapi bagaimana kalau kukatakan… semua ini terjadi karena Lisett?”
Lilica membeku. “Apa?”
Fjord mengangkat kedua tangannya perlahan, memperhatikan Lauv yang mulai waspada.
“Aku hanya ingin menunjukkan sesuatu yang kutemukan.”
Ia merogoh saku belakang, mengeluarkan potongan boneka rusak.
Begitu Lilica melihatnya, napasnya tercekat.
Namun kini… berada di tangan Fjord, dengan retakan di tubuh porselennya—dan senyum yang terukir seakan masih hidup.
Chapter 119
Fjord menjelaskan tenang, seolah membicarakan sesuatu yang sepele—padahal Lilica hampir kehilangan nyawanya.
“Sepertinya boneka itu ikut terbawa, terselip di antara barang bawaan. Saat menemukan waktu yang tepat, ia mungkin menempel di roda kereta dan mematahkan asnya. Ketika aku memeriksa reruntuhan, boneka itu meloncat keluar—jadi aku tak punya pilihan selain merobeknya.”
Ia menarik sedikit kapas dari dalam boneka yang hancur, memperlihatkannya pada Lilica.
“Isi di dalamnya punya aroma khusus.”
“Ah!”
“Tak apa kalau serangan itu ditujukan padaku.”
“Tidak. Itu tidak boleh.”
Kedua pria itu menjawab bersamaan, dengan nada yang sama tegasnya, hingga Lilica hampir tersentak.
“Uh, maksudku… aku hanya tidak ingin orang lain terluka karena aku.”
“Maaf… aku salah bicara.”
Ia tanpa sadar menggunakan bahasa kehormatan, membuat nada suaranya terdengar lebih kecil.
Lilica mengepalkan tangan kecilnya.
Benar juga.
Kepada para ksatria yang menaruh harga diri mereka pada tugas melindungi dirinya, kalimat seperti “lebih baik aku yang diserang” terdengar seperti penghinaan.
“Baiklah,” katanya pelan, mencoba tersenyum lagi.
Lilica menatapnya tajam.
Entah kenapa, ia merasa kalau pun ia berkata “penggal dia sekarang”, Fjord akan menjawab dengan senyum ringan dan, “Seperti yang Anda perintahkan.”
‘Kenapa dia kelihatan begitu ceria, ya?’ pikirnya bingung.
Ada semangat yang aneh pada Fjord hari itu—bukan kebahagiaan, tapi semacam… kelegaan yang membara.
Apakah dia benar-benar senang karena kabur dari rumah? Sekarang bukan waktunya untuk bersemangat begitu, kan…
Fjord berlutut spontan, gerakannya penuh hormat, membuat semua orang di tenda menahan napas.
“Sudah jelas bahwa keluarga Barat berniat mencelakaiku,” kata Lilica perlahan, suaranya tenang tapi tegas. “Namun karena Young Duke sendiri yang mengungkapkan rencana itu, sekaligus membantu para ksatriaku, maka jasa-jasamu menebus kesalahan keluargamu.”
“Terima kasih, Yang Mulia,” ucap Fjord dengan kepala tertunduk.
Ia berkata demikian dengan harapan agar Fjord… mulai hidup untuk dirinya sendiri.
“Kalau begitu, berdirilah. Uhm, mau ikut bersama kami? Setelah ini kami akan menuju wilayah Sandar, lalu kembali ke ibu kota. Akan lebih aman kalau kita bepergian bersama.”
“Ya, tentu. Oh, dan Yang Mulia—”
“Hm?”
“Seseorang harus berada cukup dekat untuk bisa mengendalikan boneka itu.”
Sekonyong-konyong, hawa di dalam tenda menegang.
Energi mengancam langsung memancar dari Lauv dan Diare.
“Maaf, aku refleks tadi. Tapi kalau begitu, bukankah sebaiknya kita bicara langsung dengan orang itu? Kau tahu bagaimana dia mungkin muncul?”
“Aku sudah melapor pada Sir Kaon,” jawab Fjord, “tapi beliau memutuskan lebih bijak untuk fokus memperkuat penjagaan daripada menyebar pasukan mencari.”
Diare manyun, dan Lauv menunduk pelan.
“Tapi tetap saja menjengkelkan,” gumam Diare sambil menyilangkan tangan.
“Itulah tujuannya,” timpal Fjord dengan nada tenang.
Lilica mengangguk. Mungkin dia benar.
Setelah berpikir sejenak, Diare bersuara lagi, “Kalau begitu, boleh aku mencari sendiri?”
“Tidak,” jawab Lilica tegas.
“Aku yakin bisa kabur dengan cepat. Kalau ketahuan, aku tinggal menyalakan suar sinyal dan lari.”
“Tidak,” ulang Lilica lebih keras.
Diare membuka mulut lagi tapi memilih diam.
“Aku akan berperilaku sebaik mungkin,” jawab Fjord dengan senyum menggoda.
Lilica hanya mengangguk, lalu keluar tenda.
“Kaon,” panggilnya.
Pria beruban itu segera menghampiri.
“Fjord bilang ada kemungkinan pengendali boneka berada di sekitar kita.”
Kaon menunduk hormat. “Benar, Yang Mulia. Tapi karena aku ragu pada keakuratan informasinya, aku tidak memerintahkan pencarian.”
“Mm. Aku percaya pada ucapan Fjord, tapi keputusanmu tetap tepat. Kalau kita berpencar, kita bisa diserang satu per satu.”
“Setuju,” kata Kaon.
“Tapi beri tahu para penjaga untuk waspada terhadap boneka-boneka kecil yang mungkin menyusup.”
“Baik, Yang Mulia.”
Kaon menunduk lagi, lalu bertanya pelan, “Dan bagaimana perlakuan terhadap Young Duke Barat?”
“Dia tamuku.”
“Baik.”
Kaon pergi tanpa banyak komentar.
Begitu keheningan kembali, Lilica baru sadar betapa laparnya ia.
Ketika kembali ke tenda, aroma sup daging langsung menyambutnya.
“Oh, ini harum sekali. Brynn, kau memang terbaik.”
“Kukira kalau bepergian kita hanya makan daging kering dan roti keras,” katanya sambil duduk.
“Kalau perjalanan jauh, mungkin. Tapi kita berpindah dari desa ke desa, jadi masih bisa membeli bahan segar,” jawab Brynn, tertawa kecil.
Lilica mengambil mangkuk kayu, Brynn menuangkan sup penuh ke dalamnya.
“Oh iya, Brynn,” katanya sambil meniup sendoknya, “aku memutuskan untuk menerima Fjord sebagai tamu.”
Brynn mengangguk paham. “Baik, aku akan mengantar makanan untuk Young Duke Barat juga.”
“Terima kasih.”
“Sudah sepantasnya,” kata Brynn lembut.
Ia keluar sebentar, lalu kembali dengan ekspresi heran.
“Kenapa belum makan?” tanyanya.
Diare, yang duduk di seberang, mengusap perutnya malu. “Aku… menunggu izin.”
“Oh, astaga.” Brynn tertawa, lalu menyendokkan dua mangkuk tambahan untuk Diare dan Lauv.
“Terima kasih, Yang Mulia.”
“Baik!”
Begitu mangkuk mereka terisi, kedua serigala itu langsung makan dengan semangat.
Lilica menyantap supnya perlahan. Rasa asam tomat dan gurih daging berpadu sempurna.
“Ini sungguh lezat. Brynn, kau jenius.”
“Yang Mulia terlalu memuji.” Brynn tersenyum, memakan bagiannya sendiri.
Mereka berempat duduk di kursi rendah, dikelilingi nyala api unggun kecil, menikmati makan malam sederhana yang entah kenapa terasa hangat dan damai.
⋆ ⋆ ⋆
Keesokan paginya, Diare menghampiri Lilica dengan wajah bertekad.
“Yang Mulia, aku memikirkan ini semalaman.”
“Hm?”
“Menjengkelkan sekali punya musuh yang bersembunyi di sekitar kita.”
“Itu benar. Tapi—”
“Tidakkah kita bisa melakukan sesuatu dengan sihir?”
“Sihir?”
“Ya. Yang Mulia Raja dulu pernah menggunakannya untuk melacak musuh. Mungkin artefak Magical Girl bisa melakukan hal serupa?”
Ia mendesah. “Jujur saja, aku nyaris menahan diri semalaman untuk tidak keluar dan memburu orang itu. Ada cara apa pun?”
Lilica berpikir sejenak. “Hmm… mungkin ada. Aku coba pikirkan.”
Wajah Diare langsung berbinar. “Ya!”
Karena Fjord kini dianggap tamu, ia ikut naik ke kereta bersama Lilica.
“Diare, kira-kira jarak pencarian yang ideal?”
“Semakin luas semakin baik.”
“Tapi kalau terlalu jauh, kita tak akan bisa mengejar mereka. Jadi… lima kilometer dulu saja?”
“Setuju. Lima kilometer cukup untuk menyerang cepat.”
“Mm, dengan artefak Magical Girl…” jawab Lilica, mencoba terdengar yakin.
‘Aku harus berterima kasih pada Ayah… tanpa artefak ini aku takkan bisa apa-apa.’
Lilica tersenyum. “Ya, luar biasa sekali.”
Tiba-tiba teringat mimpinya—tentang Ayah yang mungkin sebenarnya naga—ia terpaku sesaat.
Kalau Ayah memang naga, berarti dia dikutuk jadi manusia, kan? Kalau kutukannya terangkat… apa dia akan berubah dan terbang pergi?
Dadanya terasa sesak. Aku tidak mau dia pergi.
Ia menggeleng cepat, mengusir pikiran itu. Fokus.
Diare mengintip dari samping, gelisah menunggu.
Akhirnya, Lilica menegakkan kepala. “Selesai. Mari kita uji.”
“Yang Mulia,” kata Diare dengan mata bersinar-sinar. “Kalau kutemukan orangnya… boleh kubunuh?”
“Hah? Tentu saja tidak.”
Baru ia berkata begitu, Lilica langsung tersadar—ia belum memikirkan apa yang akan dilakukan kalau Lisett tertangkap.
Brynn menambahkan pelan, “Mengembalikannya ke Duchy Barat mungkin pilihan terbaik.”
Lilica mengangguk. “Ya, itu paling aman.”
Karena mereka belum punya bukti konkret.
Sihir yang hendak ia gunakan adalah hasil ciptaannya sendiri—sihir yang bahkan membuat ayahnya berkata, “Itu sihir berbahaya yang sebaiknya dilarang.”
“Baiklah,” katanya. “Untuk percobaan, aku tetapkan kau sebagai pelacak.”
“Siap!”
Cahaya keemasan menyebar seperti kabut yang menari di udara.
“Puru (Target): Lisett Barat. Ilo (Pelacak): Diare Wolfe.”
“Ah!”
Diare memekik kecil.
Dalam pandangannya, muncul seekor anak anjing emas mungil—berbulu lembut, cukup kecil untuk muat di telapak tangan.
Anak anjing itu mengendus-endus udara, menoleh ke berbagai arah—
[Guk!]
Ia menyalak, lalu berputar mengejar ekornya sebelum menoleh pada Diare lagi dan menyalak lebih keras.
“Dia menemukannya!”
Diare langsung menendang pintu kereta yang masih berjalan.
Teriakan panik terdengar di dalam dan luar kereta.
Para ksatria berlari, tapi Diare sudah melesat di antara mereka—berlari cepat bagai kilat ke arah yang ditunjukkan si anjing emas.
Chapter 120
“Diare!”
Lilica panik. Ia melompat turun dari kereta dan menangkupkan tangan di sekitar mulutnya untuk berteriak, tapi bayangan Diare sudah lenyap di antara debu dalam hitungan detik.
“Yang Mulia, ada apa?”
Kaon mendekat dengan ekspresi waspada. Lilica mengusap keningnya dengan canggung.
“Maaf… tidak, maksudku—kita tidak bisa membiarkan Diare pergi sendirian begitu.”
Begitu Lauv mendekat, Lilica menoleh padanya dan berkata cepat,
“Lauv, tolong kejar Diare. Aku baru saja memakai sihir pelacak untuk menemukan Lisett, tapi Diare langsung berlari begitu mendapat petunjuk.”
Lauv tampak ragu. Ia menatap Lilica, seolah enggan meninggalkan sang putri tanpa pengawasan. Menyadari keraguannya, Lilica menatap lembut dan berkata pelan,
“Tolong, hanya kau yang bisa menyusul Diare sekarang.”
Hanya sesama Wolfe sekuat Lauv yang mampu menandingi kecepatan Diare—pemilik Fangs yang legendaris.
Bagaimana jika Diare gegabah dan masuk ke situasi yang tak bisa ia kendalikan?
Sudah menjadi aturan dasar: para ksatria harus selalu bergerak berpasangan.
Lauv menghela napas panjang, dan sebelum ia bisa menjawab, Kaon menepuk punggungnya dengan tegas.
“Sir Lauv, biar aku yang menjaga Yang Mulia.”
Mendengar itu, Lauv menunduk singkat, lalu menaiki kudanya dan berlari mengejar Diare tanpa menoleh lagi.
Lilica merasakan gelombang rasa bersalah. Seluruh rombongan terpaksa berhenti karena ulah satu orang.
“Maaf, Kaon.”
Kaon tersenyum tenang. “Tidak sama sekali, Yang Mulia. Justru lebih mengkhawatirkan kalau kita terus berjalan sementara ancaman masih membayangi. Tapi… sihir pelacak itu, sungguh luar biasa.”
Ia menatap Lilica penuh kekaguman, lalu nada suaranya berubah sedikit lebih keras.
“Yang Mulia, izinkan saya mengingatkan satu hal—jangan terlalu mudah meminta maaf. Setiap permintaan maaf dari keluarga kekaisaran… bisa dianggap sebagai janji untuk mengganti rugi.”
Lilica terdiam. Benar juga.
“Kalau begitu… aku tidak menyesal,” katanya cepat, lalu tersenyum kecil. “Tapi karena ini sudah terjadi, mari kita istirahat sebentar.”
Kaon mengangguk puas. “Baiklah. Aku akan atur penjagaan. Semua orang boleh turun untuk meluruskan kaki.”
Begitu perintah istirahat diumumkan, beberapa ksatria menunggang keluar sedikit lebih jauh untuk mengawasi sekitar, sementara sisanya menuntun kuda ke pinggir jalan dan meregangkan otot.
Lilica, Brynn, dan Fjord turun dari kereta. Lilica berjalan di sisi Fjord dan menatapnya ragu.
“Fiyo, kau baik-baik saja?”
Fjord menoleh dengan senyum samar. “Soal apa?”
“Soal Lisett.”
Ia berbicara hati-hati. Bagaimanapun, Lisett adalah saudara perempuannya—bukankah menyakitkan melihatnya dikejar dan mungkin terluka?
“Aku baik-baik saja,” jawab Fjord ringan. “Sekarang bukan waktuku untuk mengkhawatirkan kakakku. Lagi pula, dia pun takkan mau menerima bantuanku. Aku harus cukup kuat dulu untuk bisa bicara dengannya setara.”
“Fiyo…”
“Hm?”
“Kau kelihatan… bahagia sekali.”
Fjord terkejut kecil, lalu menatap balik pada Lilica. Mata birunya—yang biasanya redup oleh kesedihan—kini berkilau hidup, bahkan hangat.
“Karena aku memang bahagia,” katanya jujur.
“Dulu aku pikir kabur berarti kalah. Tapi kau, Putri Robin-ku, memberiku jawaban. Hanya setelah melarikan diri… aku bisa melihat masa depan.”
Lilica tersenyum kecil. “Padahal aku cuma bilang supaya kau kabur.”
“Ya, tapi kau bilang, kaburlah bersamaku. Dari kata-kata itu, aku melihat secercah harapan.”
“Kalau begitu,” katanya pelan, “apa rencanamu saat sampai di ibu kota?”
Fjord tersenyum misterius. “Aku akan menerbitkan banyak surat janji utang.”
“Hah?”
“Promissory notes. Janji pembayaran dalam jumlah tertentu di waktu tertentu.”
“Fiyo, kau… tidak punya uang? Tapi, kau kan Young Duke Barat—”
Fjord terkekeh. “Fufu, aku tidak bawa uang. Aku pergi dengan bawaan ringan.”
“Lalu… kau tetap bisa mengeluarkan surat utang?”
“Tentu. Kalau aku menulis bahwa keluarga Barat akan membayar, semua orang akan percaya. Dengan nama itu, aku bisa mengeluarkan surat utang sebesar apa pun, bukan?”
“Eh… kurasa begitu?”
Lilica mengangguk pelan, meski pikirannya berteriak itu ide buruk.
“Tentu saja, aku akan gunakan semuanya untuk merekrut tim pionir di Sea of Trees.”
“Mengembangkan Sea of Trees?”
“Ya. Selama ini orang-orang takut memasukinya karena tersesat. Tapi aku tidak akan masuk—aku akan membangun di sekitarnya.”
Lilica menatapnya kosong. “Jadi… kau tidak masuk, tapi mengembangkannya?”
“Benar.”
Fjord berbicara dengan keyakinan aneh yang membuat Lilica tak tega membantah.
“Itu akan butuh waktu dan uang banyak,” lanjutnya. “Tapi setelah selesai, aku akan mempersembahkan wilayah itu kepada Yang Mulia Kaisar.”
“A-apa?” Lilica nyaris tersedak udara. “Tapi… kau baru saja bilang semua itu dari surat utang! Bagaimana cara membayarnya?”
Fjord hanya tertawa ringan.
Lilica sempat menatap kesal—tapi ketika mendengar tawanya, hatinya justru terasa hangat.
Ah… dia jauh lebih hidup sekarang.
“Lihat saja nanti, Lily,” katanya lembut sambil menggenggam tangannya. “Semuanya akan baik-baik saja.”
Tatapan yakin itu membuat Lilica tanpa sadar mengangguk.
Tentu, banyak hal yang tak masuk akal—membiayai proyek dengan utang, menyerahkannya gratis pada Kaisar—tapi…
Kalau dia butuh bantuan nanti, aku bisa menolong. Aku punya tabungan, kan?
Ia menggenggam tangan Fjord lebih erat. “Baiklah. Lakukan sesukamu, Fiyo.”
Senyum Fjord mengembang, tulus dan ringan.
Namun ketenangan itu pecah seketika saat terdengar kegaduhan dari depan barisan.
Asap merah menembus langit—suar sinyal.
Kaon berlari menghampiri. “Yang Mulia, mohon masuk ke dalam kereta dan aktifkan penghalang!”
“Baik.”
Lilica, Brynn, dan Fjord segera masuk, menutup pintu rapat.
Pendulum di tangan Lilica berayun, memancarkan cahaya biru.
“Kentana (Perisai Baja)!”
Sebuah penghalang berbentuk lingkaran sempurna menyelimuti kereta.
Lilica menempelkan wajah ke jendela besar. “Menurutmu, apakah Diare dan Lauv berhasil menangkapnya?”
“Mereka mungkin justru yang sedang dikejar,” jawab Brynn santai dari kursi seberang.
“Oh—! Brynn, lihat!”
Asap debu tampak di kejauhan.
“Uh… oh tidak…?”
Entah itu kadal raksasa atau kawanan lebah logam—makhluk itu melesat di tanah seperti badai.
Kaon mengintai lewat teropong, wajahnya mengeras.
Brynn menyerahkan opera glasses pada Lilica, yang segera mengintip.
“Itu… boneka?”
Seekor boneka kadal raksasa, sebesar kereta, bergerak mengejar mereka. Tak jelas terbuat dari apa—kulitnya berkilat seperti besi basah.
“Bagaimana mereka bisa membuat boneka sebesar itu?!” seru Lilica.
Dan bukan hanya itu—sekawanan boneka lebah juga berterbangan di sekitarnya.
“Siapkan panah api!” teriak Kaon.
Para pemanah bersiap. Dua barisan ksatria membentuk formasi setengah lingkaran, melindungi kereta.
Lilica mencoba mengintip di sela-sela kuda.
“Tim Satu, bantu Sir Lauv dan Dame Diare! Tim Dua, bertahan di sini. Sir Onda, pimpin Tim Satu!”
“Baik!”
Onda memacu kudanya, diikuti pasukan.
Fjord membuka jendela kecil di sisi kereta. “Sir Kaon, boleh aku bicara?”
Kaon mendekat sambil menunggang terbalik dengan keahlian luar biasa. “Apa itu?”
“Api dan pedang tidak akan mempan pada boneka itu.”
“!!”
Lilica tersentak.
“Cara terbaik adalah menangkap pengendalinya dan membuatnya tak bisa bertarung.”
Beberapa detik kemudian, salah satu ksatria datang tergesa. “Sir Kaon!”
“Ada apa?”
Ia berbisik cepat, “Menurut Dame Diare, Nona Lisett ada di dalam boneka kadal itu.”
“Apa? Kau maksudnya… dimakan?”
“Tidak. Tampaknya dia sengaja masuk.”
Kaon mengerutkan mata. Lilica bersuara, pelan tapi tegas,
“Jadi… cukup lumpuhkan Lisett tanpa melukainya, kan? Aku bisa melakukannya.”
Ia menggigit bibir.
“Ayah memang melarangku memakai sihir ini, tapi tidak ada cara lain.”
Semua menatapnya serius.
“Yang Mulia yakin?” tanya Kaon.
“Ya. Tapi dia harus dibawa ke dalam lingkaran sihirku dulu. Bisa?”
“Bisa. Tapi apakah Anda tidak memaksakan diri?”
Lilica menggeleng. “Tidak. Dia menyerang kita dulu. Aku tak bisa membiarkannya lolos. Lagipula, dia mungkin akan kabur sebelum identitasnya terungkap.”
Kaon mengangguk. “Masuk akal.”
“Berapa orang yang tahu soal Lisett?”
“Hanya aku, pengantar pesan, dan Yang Mulia.”
“Bagus. Pastikan tetap begitu.”
“Bagaimana caranya menjaga rahasia sebesar ini?”
Lilica menatapnya. “Itulah fungsi sihir ini.”
Kaon terdiam, lalu menunduk. “Baik. Kami akan menyiapkan pengalih perhatian.”
⋆ ⋆ ⋆
Di sisi lain, Lisett menggigit bibir.
Tidak kusangka mereka bisa menemukan aku!
Ia memaki dalam hati. Ia hanya bermaksud membuat sedikit kekacauan sesuai perintah ibunya, bukan menghadapi seluruh pasukan kekaisaran.
Begitu melihat Diare berlari ke arahnya, ia panik dan bersembunyi di dalam boneka kadal raksasa.
Identitasku tak boleh ketahuan.
Selama ia tak tertangkap, tak akan ada bukti konkret. Tapi hanya dua orang yang datang mengejarnya—
Kalau begitu, kubunuh saja keduanya.
Lisett tersenyum tipis dan menggerakkan boneka itu maju.
Namun, si pria yang muncul justru menarik gadis itu dan kabur!
Darahnya mendidih. Amarah dan kesenangan berbaur—seperti permainan berburu. Ia mengerahkan semua boneka lain mengejar, tapi keduanya terus lolos di detik terakhir.
Brengsek… mereka memancingku.
Baru setelah beberapa saat, ia sadar—energinya menurun. Ia hendak berbalik mundur ketika suara nyaring memecah udara.
“Viare Viara Luciar!”
Cahaya keemasan meledak di sekeliling.
Dunia berputar. Tubuhnya berat, napasnya sesak.
Ia jatuh, lalu—gelap.
Sebelum sempat menjerit, kekuatannya lenyap. Hanya kesadaran samar yang tersisa—
Sampai terdengar suara kain disobek, dan wajah seseorang muncul di atasnya.
⋆ ⋆ ⋆
“Meow, meow, meooow!”
Lauv menatap tak percaya pada makhluk mungil yang baru saja ia keluarkan dari perut boneka kadal itu. Seekor anak kucing Siam mungil, matanya membulat besar karena terkejut oleh suaranya sendiri.
Tubuhnya kaku seperti patung.
Lilica menatapnya dengan ekspresi muram. “Pada akhirnya, aku benar-benar memakai sihir itu…”
Brynn mengernyit. “Jadi itu… Lisett Barat?”
“Ya. Siapa pun yang mengendalikan boneka itu—sekarang, dia seekor kucing.”
“Apakah dia benar-benar jadi kucing, atau hanya tubuhnya?”
“Tubuhnya kucing, kesadarannya manusia,” jawab Lilica pelan. “Tidak bisa bicara, tidak bisa memakai sihir, tak punya kekuatan apa pun.”
Sebuah penghinaan sempurna terhadap kehormatan manusia.
Lauv mengangkat anak kucing itu dari tengkuknya—makhluk mungil itu tak lebih besar dari telapak tangannya.
“Setidaknya sekarang mudah dibawa.”
Kaon menatap sekilas dan mengangguk pelan. “Aku paham kenapa Yang Mulia ingin merahasiakan ini.”
“Apakah kita bilang saja pada ksatria lain kalau ini memang kucing sejak awal?” tanya Kaon.
Lilica mengangguk. “Ya. Itu versi resminya.”
Menjadikan manusia seekor kucing terdengar konyol… tapi justru itulah yang membuatnya berbahaya. Sihir yang bisa menonaktifkan musuh sepenuhnya tanpa darah—sangat efisien, sekaligus mengerikan.
Brynn berkata sambil mengulurkan tangan, “Aku akan mengurungnya. Kita beri tali dulu, supaya tidak kabur.”
“Baik. Sekarang dia tidak berdaya,” ujar Lilica.
Brynn mengangguk puas, mengambil kucing itu dengan hati-hati. “Aku akan taruh di keranjang.”
Kucing kecil itu—Lisett—menatap sekeliling dengan mata biru lebar, gemetar ketakutan, terlihat sangat menggemaskan hingga hampir membuat semua lupa siapa dia sebenarnya.
Kaon menggeleng pelan. “Sekarang aku mengerti kenapa Yang Mulia Raja melarang sihir ini. Ini benar-benar mengerikan.”
Lilica tersenyum hambar. “Benar, bukan?”
“Bisakah dia dikembalikan ke wujud aslinya?”
“Bisa. Nanti.”
“Syukurlah.”
Brynn kembali, melapor dengan tenang. “Sudah aman. Dan lebih baik kita merahasiakan kemampuan Yang Mulia.”
Kaon mengangguk. “Aku akan keluarkan perintah tutup mulut untuk para ksatria yang tahu. Kepada lainnya, kita katakan kucing itu adalah pengorbanan artefak.”
Lilica tersenyum lelah. “Kuserahkan padamu.”
Kaon menunduk dalam-dalam, lalu keluar dari tenda.
Dengan rahasia rapat terjaga, rombongan kembali bersiap melanjutkan perjalanan—meninggalkan reruntuhan boneka raksasa dan satu keranjang berisi kucing mungil yang diam menatap mereka dengan mata manusia.
