Jumat, 07 November 2025

Chapter 001-010

1. Kepulangan

“Untuk terakhir kalinya, aku akan bertanya sekali lagi.
Apakah kau benar-benar ingin kembali ke dunia asalmu?”

“Ya.”

Di hadapan altar tempat dewa dipuja.

Dalam ruang yang luas itu, seorang pria dan seorang wanita berdiri saling berhadapan.

“Sudahlah, kembalikan aku.
Kau sudah cukup memperalatku sejauh ini, bukan?”

Pria yang sedang berlutut dengan satu lutut tiba-tiba berdiri.

Dia adalah orang yang disebut Minold di dunia ini — seorang Korea bernama Kim Minjun.

“Haa…”

Wanita yang disebut seongnyeo (성녀, sang wanita suci) menghela napas.
Raut wajahnya menunjukkan kalau adegan semacam ini sudah bukan hal baru baginya.

“Sudah kukatakan berkali-kali. Aku tidak memberimu profesi black magician karena aku membencimu.”

“Kalau aku boleh jujur, aku justru benci mati sama kau, seongnyeo-nim.”

“Memang lidahmu tajam, tapi aku benar-benar berterima kasih.
Meski di balik layar, kau telah banyak membantu kekaisaran kami.”

Sang seongnyeo mencoba menenangkan Kim Minjun dengan nada lembut — seperti membujuk anak kecil yang sedang ngambek.

“Di dunia ini, black magician memang dipandang buruk.
Namun berkatmu, pandangan itu mulai berubah.
Prestasi yang sudah kau capai bahkan tak terhitung jumlahnya.”

“Percuma saja. Orang-orang di sini tetap menatapku seperti aku monster.”

“Itu… aku minta maaf soal itu.”

Kim Minjun menepis segala bentuk bujukan itu tanpa ragu sedikit pun.

Dia — yang pernah ditindas dan diremehkan di dunia asing ini — akhirnya berhasil naik ke puncak kekuatan sebagai black magician.

Kekuatan.
Ketenaran.
Kekayaan.

Jika dia mau, bahkan para wanita pun bisa dengan mudah ia dapatkan.

‘Kenapa mereka tak mengerti…’

Namun, Kim Minjun sama sekali tidak tampak punya rasa sayang terhadap semua itu.

“Dengan semua yang kau miliki — kekuatan, kehormatan, dan harta melimpah — kau bisa memiliki apa pun.
Kenapa kau tetap ingin meninggalkan semuanya?”

“Sudahlah. Berhentilah berpura-pura peduli.”

“…Apa?”

“Serius, aku muak mendengar omong kosongmu.”

Tatapan Kim Minjun menajam, menusuk seperti pisau.

Sekilas, seolah dia siap membunuh kapan saja.

Seongnyeo refleks mundur selangkah.
Sebuah rasa takut yang sangat manusiawi melintas di wajahnya.

“Kau menyeretku ke dunia ini, memaksaku bertarung sampai gila…
Dan sekarang, apa? Kau ingin aku tetap di sini dan jadi anjing penjaga kalian?”

Dia mengangkat lengan kanannya.

“Lihat ini.
Kalau saja aku bisa menghapus simbol sialan ini, kau sudah mati di tanganku sejak lama.”

Di punggung tangan Kim Minjun, terukir sebuah tanda bercahaya — yang disebut Gaho (가호, berkah suci).

Namun bagi Minjun, itu bukanlah berkah.
Itu adalah rantai, tanda kepemilikan. Simbol perbudakan.

“Aku tahu perlakuan yang kau terima selama ini tidak pantas.
Maafkan kami, sungguh.
Kalau kau mau tetap di sini, aku akan melakukan apa pun yang kau minta.
Minold! Tanpamu, kekaisaran kami akan—”

“Bawa ayam goreng.”

“…Apa?”

“Dan juga jokbal.”

Mendengar istilah asing itu, mata seongnyeo melebar bingung.

“Kau tahu nggak? Makanan di sini rasanya parah banget.
Kalian cuma punya camilan penuh kalori yang rasanya kayak kertas.
Gimana orang bisa hidup tanpa nikmat makan?”

“A-akan kuperbaiki itu! Aku janji!”

“Bagus. Lalu setelah itu, bawakan aku internet super cepat dan komputer dengan spesifikasi monster.”

“……”

Sang seongnyeo hanya bisa terdiam.

Tentu saja, hal itu mustahil.

Dan itulah alasan sebenarnya kenapa Kim Minjun ingin kembali.

Selain karena profesi black magician yang dicap jahat dan tidak berguna, dunia ini sudah terlalu menyebalkan untuknya.

“…Jika itu benar-benar keinginan Minold-nim, baiklah.
Aku akan memulai ritual kepulangan.”

Akhirnya, seongnyeo menunduk dengan ekspresi pasrah dan berjalan menuju magic circle di sisi kanan altar.

“Cepat saja. Di sana, Dungeon Fighter Online sudah menunggu untuk 4th Awakening-ku.
Atau jangan-jangan sudah keluar 5th Awakening?”

Deonpa…? Apa itu?”

“Itu God Game. Begitu aku pulang, aku bakal absen harian dulu, terus klaim hadiah user lama.”

“…Haa. Baiklah.”

Seongnyeo tak lagi mencoba memahami ucapan aneh pria itu — ayam goreng, komputer, deonpa, semua asing baginya.
Dia hanya ingin upacara ini segera berakhir.

Sesaat kemudian.

Ritual kepulangan dimulai di atas magic circle.

“Tak perlu memanggil para ksatria? Kalau aku hapus tanda itu, aku bisa membunuhmu dalam sekejap.”

“Aku sudah siap menanggungnya.
Semua ini salahku.”

“Bosannya.”

Kim Minjun menunggu dalam diam sampai cahaya Gaho di punggung tangannya menghilang.

“Sekarang, tahap berikutnya.”

“Apa maksudmu— kyaa!”

Begitu tanda itu benar-benar lenyap, Kim Minjun tanpa ragu menendang sang seongnyeo jauh ke belakang.

Setidaknya, dia masih cukup “sopan” untuk melemparkannya ke arah tumpukan kain empuk — supaya tidak mati.

“Kau pikir aku akan meninggalkan kekuatan yang kubangun dengan darah dan waktu?
Yang benar saja. Mana ada orang segoblok itu.”

Sssshhh—

Kegelapan bergolak di kedua telapak tangannya.
Energi hitam (magi) berputar liar, lalu menembus udara dan membentuk sebuah portal besar.

“Senang ‘bekerja’ denganmu. Tapi kalau kita ketemu lagi, siap-siap kubuka tengkorakmu.”

“Minold-nim! Jangan asal membuka dimensional gate! Itu sangat—”

“Aku tahu.”

Karena aku sudah latihan lebih dari seribu kali.

Aku, yang berdiri di puncak black magic.

Kim Minjun mengacungkan jari tengah ke arah seongnyeo, lalu melangkah masuk ke dalam portal.

“Salam buat orang tuamu. Hidup panjang umur, dasar bajingan!”

Gggggkkk!!

Portal hitam menutup dengan suara logam berat yang meringkuk.

“Ah…”

Sang seongnyeo menutup matanya dengan wajah letih.

“Siapa juga yang mau begini? Dasar orang gila.”


Bzzzzzt!

Sebuah portal terbuka di dalam kamar sempit berukuran dua pyeong (sekitar 6,6 meter persegi).

“Keugh!”

Dari sana, tubuh seorang pria terlempar keluar, lalu portal itu menghilang dalam percikan cahaya kecil.

“Uff… Hampir saja mati terhimpit ruang dimensi.”

Kim Minjun perlahan bangkit dan menatap sekeliling.

Meskipun selama ini ia telah berlatih untuk menghadapi kepulangan, ini adalah pertama kalinya ia benar-benar melewatinya.

“Tolong, meskipun bukan Korea, asal masih di Bumi… aku mohon.”

Kalau ternyata dia malah tersesat ke dimensi lain, itu akan jadi bencana.

Ia segera meraih ponsel yang tergeletak di meja.

“Ahh… rasa ini. Sudah lama banget.”

Jari-jarinya agak kaku, tapi ia berhasil menyalakan layar.

Tampilannya menunjukkan waktu lokal Korea dan latar belakang yang sangat familiar.

[25 Januari 2020]
[Pukul 05:01]

“Ya, ini jelas ponselku.”

Ia menatap wallpaper-nya — ilustrasi Dungeon Fighter Online hasil komisi dari seorang calon webtoonist — dan tersenyum puas.

“Dan ini… kamarku.”

Dinding lembap berjamur,
plafon yang retak,
dan di atas meja, satu laptop gaming yang dulu jadi kesayangannya.

“Aku pulang… aku benar-benar pulang!”

Sorak kegembiraannya memenuhi ruangan.

“Ah! Gawat, stamina di Deonpa reset 50 menit lagi!”

Ia buru-buru menyalakan laptop, mengetik cepat dengan refleks yang seolah belum hilang meski dua dekade terlewati di dunia lain.

“Seperti dugaanku, sudah sampai 4th Awakening.
Semoga masih bisa klaim bonus returning user.”


Kim Minjun.

Tahun 2020, usianya dua puluh satu.

Dua tahun sebelumnya — saat masih duduk di kelas tiga SMA, sibuk belajar untuk suneung — dia diseret ke dunia lain oleh sang seongnyeo.

Dunia itu bernama Isgard.

Sebuah tempat yang dipenuhi monster layaknya game RPG.

Kalau saja dia dipanggil dengan kekuatan luar biasa seperti tipikal protagonis klise, mungkin semua akan lebih mudah.
Tapi kenyataannya tidak demikian.

Profesi yang diberikan kepadanya adalah black magician — pekerjaan yang dipandang hina dan dikucilkan.

Karena itu, Kim Minjun memilih untuk bergerak di balik bayangan, tanpa mengungkap identitasnya.

“Dasar dunia sialan. Awalnya aku bahkan nggak niat bantu mereka.”

Dia bertarung, bukan demi mereka.

Tapi demi dirinya sendiri — untuk menemukan jalan pulang.

Dia melawan monster, bahkan prajurit dari negara musuh, hanya agar menjadi cukup kuat untuk membuka jalan antar dimensi.

Kalau cukup kuat, mungkin satu hari dia bisa menciptakan dimensional gate sendiri.
Itu harapan satu-satunya.

Dan tanpa sadar, perjuangan gila itu membuat kekaisaran tempatnya tinggal makmur luar biasa.

“Dan setelah semua kekuatan yang kupupuk… aku harus menyerah begitu saja?
Yang benar saja.”

Meski kini tubuhnya lemah dan magi-nya hampir habis, itu tak penting.

Dia tidak lagi membutuhkan kekuatan itu.

Sekarang, yang ia butuhkan hanyalah PC, internet cepat, dan ayam goreng.

“Kalau pun aku hidup seratus tahun lagi…
Atau sampai Deonpa bangkrut, aku bakal beli perusahaannya biar game-nya nggak mati.”

Ia bersenandung kecil, menunggu loading screen laptop.

“Eh, kenapa internetnya lemot gini? Serius ini cuma 200 KB per detik?”

Kreaaak!

Tiba-tiba, raungan menggema dari luar jendela.

Diikuti suara tembakan.

Taaang! Tang!

“Berisik amat sih. Ada Hound yang kabur, ya?”

Ia mengabaikannya, fokus membaca patch note dengan seksama.

Kalau ingat, fenomena Dungeon pertama kali muncul saat ia berusia tujuh tahun.
Saat itu juga, monster mulai muncul di dunia nyata, dan tentara Korea mulai menanganinya.

Krrrng!

“Gila! Berisik banget! Hei, kalian mau aku panggil polisi, hah?!”

Namun suara itu tak berhenti.

Dengan kesal, Kim Minjun membuka jendela — dan terdiam.

“…Tunggu sebentar.”

Ia segera keluar kamar.

Pemandangan di luar benar-benar aneh.

Ini bukan Korea yang ia kenal.

“Kenapa… begini?”

Di jarak seratus meter, seekor Hound menerjang sekelompok tentara berpakaian tempur lengkap — pasukan Hunter-gun.

Pertempuran sengit sedang berlangsung.

Itu mungkin masih bisa dimaklumi — kadang, monster dari Dungeon memang kabur ke dunia luar.

“Mungkin ada Dungeon Break di sini.”

Namun semakin ia melihat sekitar, semakin tak masuk akal.

Tubuh monster berserakan.
Udara penuh bau busuk darah dan daging yang membusuk.
Bangunan-bangunan runtuh dan hancur.

Bukan sekadar pertempuran.
Ini tampak seperti kiamat.

“Ugh! Ini Dungeon Break skala besar, bukan?! Kenapa Hound bisa sebanyak ini?!”

“Mana aku tahu, aku cuma sangbyeong (상병) sialan! Satu lagi datang dari kanan!”

Sekitar sepuluh prajurit berkoordinasi rapi, menembak dan menebas Hound dengan gerakan terlatih.

“Sepertinya aku harus nanya ke mereka.
Tempat ini… benar-benar bukan Korea yang kukenal.”

Kim Minjun melipat tangannya santai, menunggu mereka menyelesaikan pertarungan.

“Eh, itu… sangbyeong Choi Inho!”

“Kenapa lagi?! Aku mau mati capek nih!”

“Lihat sana! Ada satu orang sipil!”

“Apa?!”

Choi Inho — prajurit yang sedang menebas Hound terakhir — spontan menoleh.
Seperti yang dikatakan rekannya, memang ada satu anak muda berdiri di tengah jalan, menatap mereka dengan ekspresi penasaran.

“Sialan! Ini area terlarang untuk warga sipil!
Kelihatannya masih anak SMA juga!
Penjaga barisan depan lagi ngapain aja, hah?!”

Choi Inho segera meninggalkan formasi dan berlari menuju arah Minjun.

Sesuai protokol Hunter-gun, penyelamatan warga sipil selalu prioritas pertama.

“Eh? Kenapa dia ke arahku?”

Kim Minjun mengangkat alis, melihat tentara itu melambaikan tangan dan berteriak.

Bahkan wajahnya tampak panik.

Apa… perutnya sakit?

“Anak muda! Cepat ke sini!”

“Sangbyeong Choi Inho! Dari kanan! Ada satu Hound lagi! Bahaya!”

Ssi-bal!

Choi Inho mengeluarkan mana gun-nya secepat kilat, menembak ke arah Hound yang sedang menerjang dari sisi kanan.

Bang! Bang!

Namun monster itu sama sekali tak melambat.

Empat kaki menghantam tanah, dan tubuh raksasanya meluncur lurus ke arah Kim Minjun.

“Anak muda!”

Choi Inho refleks menutup mata.
Dia sudah tahu apa yang akan terjadi.

Dalam sekejap lagi, rahang Hound itu akan mencengkeram leher si anak muda.
Dan dia harus menyaksikan tragedi itu di depan matanya.

“…Hah?”

Tapi sesuatu yang tak terduga terjadi.

2. Wajib Militer

Dengan tangan kosong, pria yang mereka kira hanya seorang warga sipil itu menangkap seekor Hound sepanjang hampir tiga meter — lalu melipatnya menjadi dua seperti selembar kertas.

Tuduk! Tududuk!

Kreeeghk! Krrk…!

Monster itu mengeluarkan busa bercampur darah dari mulutnya sebelum tubuhnya terkulai, mati di tempat.

“Dasar anjing sialan. Begitu magi-ku habis, kau pikir aku cuma makanan, hah?
Memang kekuatanku menurun, tapi bukan berarti aku sampai bisa dipermainkan mob rendahan sepertimu.”

Kim Minjun melempar tubuh Hound yang sudah terlipat dua itu ke tanah tanpa rasa kasihan.

Dia memang tak bisa menggunakan sihir black magic karena kehabisan magi,
tapi sisa kekuatan fisiknya yang ditempa di Isgard masih jauh melampaui manusia biasa.

“Uh… u-uh?”

Sangbyeong (상병) Choi Inho hanya bisa menatap bergantian antara tubuh Hound yang terlipat dan pria muda di depannya.

Wajahnya pucat, tangannya gemetar.
Akhirnya, mana gun yang dipegangnya terlepas dan jatuh ke tanah.

“Ajusshi tentara, aku mau tanya sesuatu….”

“U-uh! J-jangan mendekat! Jangan datang ke sini!”

Begitu Minjun melangkah lebih dekat, sangbyeong itu malah mundur beberapa langkah.

Wajahnya tegas tapi jelas terlihat panik.
Pria ini, tampaknya berani hanya saat memegang senjata.

‘Lawan satu ekor anjing aja udah setengah mati… padahal cuma kelas bawah.’

Monster seperti Hound memang ada di Isgard juga,
tapi versi sana jauh lebih buas dan kuat.

“Choi Inho sangbyeong-nim! Tadi… Anda yang melipat Hound itu jadi dua, benar!?”

Beberapa prajurit lain berlari mendekat setelah menyelesaikan pertempuran mereka.
Di belakang mereka, belasan bangkai Hound berserakan.

“Gila… aku kira bohong waktu sangbyeong bilang bisa melipat Hound!
Maaf ya, hyung-nim! Aku sempat nggak percaya!”

“Aku juga! Serius, hyung, itu kerjaanmu? Kau manusia beneran?”

Pujian dan kekaguman segera mengalir deras.
Beberapa bahkan mengeluarkan ponsel dan mulai memotret.

“A-aku bukan yang melakukannya….”

Choi Inho buru-buru menunjuk Minjun.

Tak peduli seaneh apa pun kedengarannya, dia tak mungkin bisa mengklaim perbuatan itu.
Matanya sendiri melihat anak muda itu melakukannya.

“Aku yang melakukannya, kok.”

“…Apa?”

Semua kepala berbalik serentak, menatap Minjun.

“Ya, tinggal ditangkap lalu diremas aja.
Kenapa? Susah?”

“Anak muda… ini bukan waktunya bercanda.
Kami dalam situasi serius, tahu!”

“Tapi aku lihat sendiri, lho.”
Choi Inho menyela cepat.
“Dia yang melipatnya pakai tangan kosong—”

“Cukup, Inho-ya. Kita nggak punya waktu. Harus segera kembali dan lapor.”
Atasan Choi Inho memotong tajam.

“Algesseumnida!”
(“Dimengerti!”)

Pasukan Hunter-gun segera meninggalkan lokasi, menyisakan satu orang untuk mengantar Kim Minjun ke tempat aman.

“Anak muda. Aku nggak tahu kenapa kau bisa masuk ke area terlarang,
tapi tahu nggak, itu seharusnya masuk penjara.
Kau beruntung. Daejangnim bilang jangan perpanjang masalah, jadi kuanggap tidak terjadi.”

“Ah, iya. Maafkan saya.”

Minjun mengangguk sopan — tapi di kepalanya, banjir pertanyaan.
Ia memanfaatkan kesempatan itu untuk menggali informasi.

“…Kau beneran nggak tahu apa-apa?
Zaman sekarang, bahkan di sekolah menengah aja sudah diajarkan dasar Monsterology.”

“Saya… baru kembali dari luar negeri.”
(lebih tepatnya dari dunia lain, tapi itu rahasia kecilnya).

“Oh begitu.
Kalau begitu, biar kujelaskan.
Aku dulu dapat nilai A+ di Monsterology dan Dungeon Studies, tahu?”

“Universitas zaman sekarang… ajarin hal begitu juga?”

“Heh. Sekarang yang nggak ngajarin malah aneh.”

Minjun mendengarkan serius.
Pikiran terlintas: “Kebijakan pendidikan sudah sejauh ini berubah, ya…”

“Hal-hal dasar bisa kau cari di internet.
Tapi ngomong-ngomong, umurmu berapa?”

“Dua puluh satu.”

Mendengar itu, ekspresi sang tentara berubah jadi simpati.

“Wah, kasihan juga. Berarti waktu wajib militermu sudah dekat.
Setengah masa muda akan habis di sana.”

“Wajib militer, ya…”

Setahunya dulu,
pelayanan militer di Korea dibagi dua:
3 tahun untuk tentara biasa, 5 tahun untuk Hunter-gun.

Yang satu wajib, satunya sukarela.

Tapi sekarang, tampaknya semuanya sudah berubah.

“Dunia sudah jauh berbeda.
Bukan cuma Korea — seluruh dunia kacau.
Dungeon bisa muncul kapan saja, di mana saja, dan tenaga yang tersedia makin terbatas.”

Prajurit itu mengangkat lima jarinya.

“Makanya, sekarang masa dinas diseragamkan: lima tahun, baik untuk tentara biasa maupun Hunter-gun.
Setengah masa muda terbang begitu saja.”

“…Lima tahun?”

“Ya. Kau dua puluh satu, kan?
Berarti surat panggilan sudah keluar.
Tapi tenang aja, gaji tentara sekarang tinggi.
Setelah selesai, hidupmu nggak akan terlalu susah.”

Ia menepuk bahu Minjun dengan nada bersimpati.

‘Ini serius banget, ya?’

Baru saja pulang dari dunia lain, dan sekarang… wajib militer?

‘Tunggu. Lima tahun?! Sejauh itu?’

Bagi manusia biasa, lima tahun memang waktu panjang.
Meski bagi Minjun — yang pernah hidup puluhan tahun di dunia lain — tak seberapa.

“Katanya di Utara, mereka wajib militer mulai umur lima belas sampai empat puluh.
Gajinya cuma tiga ribu won per bulan.”

“...Wah, itu sih pantes orang pada pengin kabur.”

-Ping!

Suara notifikasi ponselnya memotong percakapan.

‘Efek suaranya aneh juga.’

[Pemberitahuan Jadwal Wajib Militer]

“…Apa-apaan nih.”

Sekilas, Minjun pikir itu cuma spam aneh.
Ia hampir saja menghapus pesan itu, sampai prajurit di sebelahnya menatap lebar.

“Hah?
Kau… besok masuk wajib militer?”

“Ha?”

“Dengar tuh, itu bunyi notifikasi draft order!
Unit mana yang kau dapat?”

‘Serius? Aku baru balik dari Isgard, terus besok langsung wajib militer?’
Otak Minjun menolak percaya.

Ia hanya melambaikan tangan,
“Ah, abaikan saja. Spam, pasti.”

Tapi prajurit itu malah berteriak dari jauh.
“Namamu terdaftar di Gangwon-do! Itu bukan spam! Coba cek di PC bang!”

Beberapa kali ia memperingatkan, tapi Minjun sudah melangkah pergi.

“Baru pulang ke Korea, dan langsung begini…”

Ia menghela napas panjang, lalu masuk ke PC bang terdekat.

Kalau ingin bertahan, dia butuh informasi sebanyak mungkin.

“2018 aku dipanggil ke Isgard, jadi mulai dari tahun itu aja kucek semua.”

Dia menelusuri seluruh arsip berita di internet.


[Fenomena Tak Biasa Terjadi di Dungeon]
[Frekuensi Kemunculan Monster Terus Meningkat]


Kesimpulannya sederhana.

Dalam dua tahun terakhir, Dungeon dan Monster tumbuh pesat — dalam jumlah dan ukuran.
Serangan makin sering.
Pemerintah kekurangan tenaga tempur untuk menanganinya.
Solusinya?
Memperpanjang masa wajib militer,
dan memperbanyak perekrutan ke Hunter-gun.

“Situasi lebih gawat dari yang kukira.”

Dan bukan cuma Korea.
Seluruh dunia tengah berperang melawan makhluk dari Dungeon.

‘Kalau saja kekuatanku di Isgard masih utuh, aku bisa bersih-bersih sendirian.’

Ia mendesah.

“Rencananya pulang buat healing, malah disambut apokalips begini.”

Bukankah seharusnya ada tes kesehatan dulu sebelum wajib militer?

Dulu, peringkat 1–3 masuk dinas aktif,
4 untuk dinas sipil,
5 jadi cadangan nasional.

Tapi sekarang, semua langsung dikirim ke kamp pelatihan tanpa kecuali.

“Berarti situasinya memang parah banget.”

Ia masuk ke situs byeongmucheong (병무청, Administrasi Militer) untuk memverifikasi.

Benar — tanggal wajib militernya besok.

“Biasanya sih tinggal kabur aja, tapi…”

Dia menopang dagu dengan satu tangan.

Meskipun sebagian besar magi-nya hilang, tenaga fisiknya masih cukup untuk menghancurkan tank kalau mau.

‘Tapi… tidak. Itu malah bikin ribut.’

Dia belum tahu seberapa kuat para Hunter di dunia ini.

“Waduh, penolak wajib militer bisa dipenjara seumur hidup, ya? Gila.”

Ia sempat berpikir menemui Menteri Pertahanan langsung dan meminta pembatalan wajib militernya,
tapi akhirnya membatalkan niat itu.

“Bukan karena aku mau bikin onar di Korea.”

Dan ternyata, status Hunter-gun cukup menarik perhatiannya.

“Ternyata anggota Hunter-gun dapat prioritas pertama untuk masuk Dungeon.”

Gaji dasar tinggi, sistem meritokrasi, dan peluang naik pangkat terbuka.

Kalau kuat — kau naik.

“Pesanan ramen, samgyeopsal set, kimbap, dan udon, datang!”

Pikiran Minjun terputus oleh suara pekerja PC bang yang datang membawa nampan penuh makanan.

“Baiklah.
Pikir sambil makan.”


“INI DIA! Aku tahu caranya!”

“…Eh?”

Pegawai PC bang yang sedang mengangkut piring kotor menoleh.
Pria di depan layar berteriak penuh semangat, senyum lebar di wajahnya.

‘Gila, ini orang aneh banget.’

Melihat orang yang baru saja dapat jadwal wajib militer malah tertawa gembira —
ia buru-buru menjauh.

“Kalau begitu, gampang.
Dalam lima tahun aku tinggal jadi bintang.
Hancurkan semua Dungeon yang ada, selesai urusan.”

Minjun menepuk meja, senyum licik muncul di wajahnya.

Di layar, iklan event Dungeon Fighter Online sedang berkedip:


[10th Anniversary Event – Dukungan untuk Prajurit!]
Untuk para tentara, tetap semangat!
Hadiah: 12 강화 종결 무기 (Senjata +12 untuk Tentara),
13 강화 종결 무기 (Senjata +13 untuk Hunter-gun)!


“Bukan karena event ini, tapi lumayan sih.”

Ia terkekeh kecil.

Jika dia bisa membasmi Dungeon, dia akan menemukan kembali monster yang membawa magi.
Menyerapnya, mengembalikan kekuatan lamanya, dan pada akhirnya…
menghapus Dungeon dari muka bumi.

“Lalu perusahaan Deonpa bisa kembali fokus bikin konten baru tanpa gangguan.
Sempurna.”

Menatap laman pengumuman delay update karena serangan monster,
Kim Minjun mengambil keputusan.

Ia akan ikut wajib militer.
Besok.


Hari Wajib Militer

Kim Minjun menghabiskan seluruh 2 juta won dana bantuan darurat yang ia terima.

Kemungkinan uang itu berasal dari kompensasi karena rumah lamanya berada di zona merah, tapi ia tak terlalu peduli.

“Pizza, jokbal, ayam goreng… semua sudah check.”

Ia memeriksa daftarnya satu per satu dengan wajah puas.

Awalnya, ia hanya berencana hidup santai sambil sesekali berburu monster.
Namun sekarang, tujuannya lebih besar.

“Kalau hidupku masih ribuan tahun lagi, paling tidak aku harus punya satu pekerjaan yang bisa kuceritakan pada cucuku nanti.”

‘Kakek dulu kerja apa?’
‘Oh, kakek dulu tentara. Bintang lima.’
Jauh lebih keren daripada,
‘Kakek dulu main Deonpa sampai level cap.’


[Tanah Air Memanggilmu!]


Semakin dekat ke pos perekrutan, semakin banyak pria berambut cepak terlihat.
Sebagian digandeng kekasih atau keluarga, sebagian lagi berlinang air mata.

Kim Minjun, tentu saja, datang sendirian.

Orang tuanya hilang kontak sejak ia masuk SMA.

“Begitu keluar nanti, langsung klaim senjata +13.”

Tanpa beban, ia melangkah dengan senyum lebar menuju lapangan upacara.
Wajah cerahnya kontras dengan pria lain yang dipenuhi muram dan keputusasaan.

‘Paling-paling… nggak sekeras Isgard, kan?’

Setelah semua penderitaan di sana,
tempat ini bahkan mungkin terasa seperti surga.

Upacara pembukaan dimulai dengan marching band militer.

“Bersiap memberi hormat kepada orang tua!”

Chungseong! (Setia!)”

Suara serentak menggema, meski sebagian masih canggung.

‘Hampir aja…’

Refleks, Minjun nyaris mengangkat tangan dengan gaya salam militer Isgard.
Untung cepat sadar.

Kebiasaan memang menakutkan.

Para orang tua menahan tangis.
Beberapa ibu bahkan memohon kepada para jo-gyo (조교, pelatih) agar anak mereka tidak terluka.

‘Militer sekarang bukan militer dulu lagi.’

Karena unit-unit ditempatkan di sekitar area Dungeon Break,
serangan monster bisa datang kapan saja.

Upacara usai.

Barisan pria muda dengan rambut cepak itu berjalan menuju asrama pelatihan.

Begitu pintu aula tertutup,
teriakan kasar langsung memecah udara.

3. Kamp Pelatihan Hunter-gun – Bagian 1

“Hey, dasar bajingan sialan! Kalian mau bergerak kayak keong, hah?!”

“Angkat kepala! Tegak! Gerak cepat dan rapi!”

Suara para jo-gyo (조교, pelatih militer) menggema di aula besar.

Para pria muda yang kini resmi menjadi hullyeonbyeong (훈련병, prajurit pelatihan) tampak bingung, berdiri kaku dan saling melirik.

‘Huh… lumayan lembut juga. Setidaknya mereka nggak niat mukul.’

Kim Minjun menatap jo-gyo yang berteriak sampai urat lehernya keluar, tapi tetap merasa mereka “baik”.
Meski kata-katanya kasar, mereka masih memberi instruksi dengan jelas.

“Dekatkan barisan ke depan! Dorong orang di depanmu seolah mau membunuhnya!”

“Kenapa nggak jawab! Bukannya aku ngomong sendiri, kan?!”

“A—! Dekatkan ke depan!”

Barisan segera bergerak, mempersempit jarak di antara mereka di bawah tekanan teriakan.

Beberapa menit mereka dibiarkan berdiri tanpa kursi, hingga seorang pria berpakaian militer naik ke podium.

Dialah daedaejang (대대장, komandan batalion).

“Baik. Sebelum kita mulai jadwal pelatihan, aku akan bertanya satu hal.”
Dia menatap seisi ruangan.
“Siapa di sini yang punya bakat sebagai Hunter tapi belum sempat mendaftar ke Hunter-gun? Angkat tangan!”

Riuh kecil terdengar.
Daedaejang melanjutkan dengan suara berat namun meyakinkan:

“Seperti kalian tahu, Hunter dan tentara biasa memiliki perbedaan besar — terutama dalam perlakuan dan fasilitas.”

Ia mulai menjelaskan secara rinci keunggulan menjadi anggota Hunter-gun.

“Kalau kalian bertahan di tentara biasa sampai pangkat byeongjang (병장, sersan), kalian cuma dapat 700 ribu won.
Tapi di Hunter-gun, gaji dasar prajurit termuda — ibyeong (이병) — mulai dari 3 juta won.”

Namun, tak satu pun dari para pelatihan itu bergerak.

Tidak semua orang punya Hunter aptitude, dan kalaupun punya, mereka pasti sudah direkrut sejak awal.

“Hmm. Tidak ada rupanya.”

Pertanyaan formal yang sudah jadi rutinitas setiap angkatan baru.
Ia bersiap meninggalkan podium — hingga seorang jo-gyo berbisik.

“Daedaejangnim, ada satu orang yang angkat tangan.”

“Hmm?”

Seketika seluruh aula terdiam.

“Yang barusan angkat tangan, maju ke depan! Cepat!”

Semua kepala serentak menoleh.

Dan orang yang dimaksud, tentu saja — Kim Minjun.

“Ye!”
Jawabnya lantang.

Lalu tanpa pikir panjang, ia menjejak tanah dan melompat langsung ke atas podium.

Wuuush!

Kraaak!

Papan lantai kayu terbelah dengan suara keras.

Seluruh prajurit di aula menatap terpana — mulut terbuka lebar.

“….”

Termasuk para jo-gyo dan daedaejang.

Komandan yang berada di depan hanya sempat terbatuk kecil untuk menutupi keterkejutannya.
Ia memang bilang “cepat ke depan”, tapi tak menyangka anak ini benar-benar melompat ke depan.

“Kalau begitu… kenapa kau, yang punya bakat sebagai Hunter, tidak langsung mendaftar ke Hunter-gun?”

Nada suaranya sedikit melunak.
Menemukan prajurit dengan kemampuan Hunter di unit biasa bisa menjadi prestasi tersendiri.

“Saya… terlambat saat pendaftaran, Daedaejangnim.”

“Baiklah. Ikut aku.”

“Ye.”

Minjun mengikuti sang komandan keluar dari aula, sementara ratusan mata memandang dengan rasa iri.

“Jangan melirik ke sana!”

“Tatap ke depan!”

“Dekatkan barisan lagi!”

Para jo-gyo segera menertibkan suasana dengan teriakan tajam.


Mereka tiba di ruang kerja daedaejang.

“Tunggu di sini sebentar. Akan ada prajurit dari Hunter-gun yang datang menjemputmu.”

“Ye, mengerti.”

Komandan itu tersenyum ramah, menyeduh dua gelas kopi instan.

“Coba baca pengumuman dengan baik, Nak. Di Hunter-gun mereka jauh lebih keras dari sini.”

Ia menyerahkan satu cangkir kepada Minjun.

“Terima kasih.”

Minjun menerima dengan hormat. Siapa sangka di hari pertamanya sebagai wajib militer, ia akan minum kopi buatan tangan komandan sendiri?

Sepuluh menit berlalu.

Chungseong! (Setia!)
Prajurit dengan potensi Hunter ada di sini, benar?”

Pintu terbuka keras, dan seorang pria bertubuh besar hampir dua meter masuk.

Lencana pangkat di dadanya menunjukkan — byeongjang (병장) Lee Seungho.

“Ah, datang juga. Ini prajurit yang kulaporkan.”

Minjun sempat heran — komandan berpangkat daedaejang berbicara sopan kepada seorang byeongjang?
Baru kali ini dia melihat hierarki dibalik di depan mata.

“Katanya kau punya bakat Hunter.
Buka status window-mu dan sebutkan semua stat satu per satu.”

Setiap Hunter sejati bisa memanggil status window pribadi — menampilkan nilai dasar seperti strength, agility, stamina, tapi tanpa sistem level atau job seperti game.

Bisa dibilang, mereka adalah manusia yang ditingkatkan — seperti pahlawan super dunia nyata.

“Baik.”
Minjun memanggil sistemnya.

Sekejap, jendela transparan muncul di hadapannya.

Namun—

[ERROR]

“…Tertulis ‘Error’, Seungho byeongjang-nim.”

Tak satu pun data terbaca — kekuatan, kelincahan, stamina, semuanya gagal dimuat.

Mungkin karena dia kembali ke Bumi menggunakan magi miliknya sendiri, bukan melalui kekuatan suci sang seongnyeo.

Sistem bumi tidak mengenal energi seperti miliknya.

“Berani-beraninya kau main-main dengan aku?”

Tatapan Lee Seungho berubah tajam.

Dalam tiga tahun masa dinasnya, belum pernah ada satu pun kasus status window error.

“Kadang memang ada prajurit yang pura-pura punya bakat Hunter, demi masuk ke Hunter-gun.
Kau bukan salah satu dari mereka, kan?”

Nada suaranya dingin, mencurigai.

Namun sebelum ketegangan makin parah, daedaejang segera menengahi.

“잠깐만요 (sebentar). Saya lihat sendiri anak ini melompat lebih dari lima meter ke atas panggung.”

“…Anda melihatnya langsung?”

“Ya. Dengan mata kepala saya.”

Lee Seungho terdiam sejenak, lalu mengangguk.

“Baik. Aku akan melapor ke atas terlebih dahulu.”

Saat Seungho sibuk menghubungi markas melalui comm line,
daedaejang menatap Minjun penuh rasa heran — dan sedikit khawatir.

‘Benar-benar beda kelas dari tentara biasa….’

Namun bagi Minjun sendiri, itu cuma pemanasan.

“Laporan selesai.
Dari markas Hunter-gun sudah turun keputusan.
Karena kau termasuk case khusus, aku sendiri yang akan menguji apakah kau benar punya bakat Hunter.”

Nada ancamannya jelas — kalau gagal, konsekuensinya berat.

“Dimengerti.”

Minjun menahan diri agar tidak menampar wajah songong itu.
Sabar. Begitu dia resmi masuk Hunter-gun, membalas dendam kecil akan mudah dilakukan.

“Baik, ikut aku. Chungseong!

Chungseong!

Keduanya memberi hormat, lalu meninggalkan ruangan.

Daedaejang menatap dari jendela, melihat mereka berjalan menjauh sambil tersenyum puas.

“Anak itu… luar biasa. Naluruku nggak salah.”


Satu jam kemudian.

Kendaraan militer menembus jalan gunung berliku.
Mereka tiba di fasilitas besar bertuliskan: Hunter-gun Specialized Training Center.

‘Wow…’

Bangunan itu tidak bisa dibandingkan dengan kamp pelatihan biasa.

Fasilitas serba canggih, peralatan mutakhir, dan atmosfer seperti markas elit.

“Lihat batu merah itu?” tanya Lee Seungho begitu turun dari kendaraan.

“Ya.”

“Kalau bisa menggerakkannya sedikit saja, kau lulus.”

“Hanya itu?”

“Yah… kita lihat saja seberapa percaya diri kau nanti.
Kau punya waktu sepuluh menit.”

Batu itu tampak seberat 100 kilogram — tapi itu bukan batu biasa.
Itu Red Stone, mineral hasil samping dari Dungeon.

‘Dengan ukuran segitu… beratnya minimal 500 kilogram.’

Bahkan Hunter pemula harus memaksakan diri hingga hampir pingsan hanya untuk membuatnya bergeser sedikit.

Sebagian besar calon Hunter gagal di tes ini.

‘Status error? Omong kosong. Lihat saja nanti.’

Lee Seungho berencana langsung menyerahkan Minjun ke Heonbyeong (헌병, polisi militer) kalau gagal.

Namun Minjun hanya menghela napas kecil.

‘Hmm, satu tangan agak goyah. Ya sudah, dua tangan saja.’

Dia hampir menahan diri agar tidak terlalu mencolok,
tapi kemudian berpikir, ‘Kapan lagi naik pangkat kalau terus menahan diri?’

Lalu — dengan gerakan santai,
ia mengangkat Red Stone itu tinggi-tinggi di atas kepala.

Kraaak!

“...Hah!?”

Lee Seungho terpental ke belakang saking terkejutnya.

Tak pernah, seumur kariernya, ada trainee yang bisa mengangkat Red Stone dengan dua tangan.
Tidak, bahkan menggeser pun biasanya sudah mustahil.

“B-berhenti! Turunkan itu sekarang! Bahaya, turunkan!”

“Eh? Baik, byeongjang-nim.”

Minjun menurunkan batu itu perlahan, tanpa setetes keringat.

“Jadi, status error itu benar?”

Tatapan Seungho masih seperti melihat monster.

“Ya. Saya tidak berbohong.”

“...Baik. Mulai hari ini, kau resmi bergabung sebagai trainee Hunter-gun.”

Minjun tersenyum kecil.

Sementara Lee Seungho menatap batu itu lagi — mendorongnya pelan.
Batu itu nyaris tak bergeser.

“Hah. Bahkan aku, yang punya strength stat tertinggi di unit ini, cuma bisa membuatnya retak sedikit.”

Dia mendengus.

“Jadi begitu ya. Kita benar-benar kedatangan monster baru.”


Satu jam kemudian.

Para trainee yang sudah selesai pelatihan dasar mulai berkumpul kembali di lapangan.

Tubuh mereka basah oleh keringat, napas tersengal.

“Semua, duduk dengan nyaman!”

Lee Seungho naik ke podium, mengenakan topi merah khas instruktur Hunter-gun.

“Ada anggota baru yang bergabung hari ini — Kim Minjun.”

Minjun maju, memberi hormat ringan.

“Baik. Sekarang kita lanjut latihan berikutnya.
Yang baru datang, kalian bantu dia beradaptasi.”

“Ye!”

“Dimengerti!”

Tak sampai lima menit, mereka sudah digiring menuju area pelatihan lanjutan.

“Empat minggu ke depan akan jadi neraka. Tapi kalau kalian bertahan, dunia luar takkan lagi menakutkan.”

“Siap, byeongjang-nim!”

Seorang trainee menepuk bahu Minjun sambil tersenyum.

“Kita teman seangkatan sekarang. Mari saling bantu.
Oh ya, di sini pelatihannya brutal banget.
Kita literally dilatih sampai nyaris mati.”

“Tapi kabarnya akhir pekan bebas, kan?” tanya Minjun.

“Ya, benar. Setidaknya kita punya sajibang (사지방, ruang PC militer).
Bisa main game juga.”

Mendengar itu, Minjun nyaris tertawa.

Kebetulan banget. Event Deonpa Burn dimulai akhir pekan ini.


“Semua, perhatikan!”

Setelah mendaki jalan berbatu sekitar tiga puluh menit,
mereka berhenti di depan tangga panjang yang menjulang ke atas.

“Mulai sekarang, kalian akan naik tangga ini —
dengan kantong pasir 80 kilo di punggung kalian.”

Jumlah anak tangga: 6.000.

Latihan ini dirancang untuk membunuh stamina bahkan Hunter berpengalaman sekalipun.

“Dimengerti!”

“Suaramu kecil banget! Ulangi!”

“DIMENGERTI!”

Langit mendidih oleh teriakan serempak para trainee.

Beberapa mulai pucat, memandang tangga yang seolah tak berujung itu.

“Dengar, latihan gila ini cuma akan menaikkan stat sedikit.”
Salah satu trainee berbisik ke Minjun, wajahnya lesu.
“Hunter-gun itu nggak seperti yang kukira… aku nyaris menyesal.”

Minjun hanya tersenyum.

Baginya, ini bukan neraka — ini cuma pemanasan.

Di Isgard, dia sudah bertahan dari latihan yang bisa membunuh dewa.

4. Kamp Pelatihan Hunter-gun – Bagian 2

“Kalau begitu, menurutmu Hunter itu seperti apa?”

“Hmm… yang bisa pakai skill keren, lalu tiap kali bunuh monster langsung naik level, begitu.”

Ah, kalau begitu…
Kau pasti cocok hidup di Isgard.

Kim Minjun terkekeh pelan dan menepuk bahu rekannya.

“Untuk siapa pun yang bisa menyelesaikan pendakian dalam 30 menit—aku kasih izin keluar!”

Sebelum mereka berangkat, Lee Seungho byeongjang mengeluarkan secarik kertas dari sakunya dan mengibaskannya ke udara.

“Ini tiket keluar. Siapa yang bisa sampai puncak dalam waktu 30 menit, dapat izin keluar!”

Senyum licik terlukis di wajahnya.
Itu bukan motivasi… itu jebakan.

Karena izin itu milik pribadinya sendiri — dan syarat yang dia ajukan?
Nyaris mustahil.

“Haa… mulai lagi, tuh.”

“Sekalipun Captain Africa sendiri yang datang, nggak bakal bisa.”

Para trainee yang sudah kenyang pengalaman hanya menggeleng.
Mereka sudah pernah kena umpan janji palsu semacam itu.

Tapi di antara mereka semua — hanya Kim Minjun yang matanya berkilat.

‘Itu punyaku.’

Baru berapa hari di pelatihan, tapi rasa ingin makan ayam goreng sudah tak tertahankan.

Begitu peluit start berbunyi—

Wuus!

Minjun langsung melesat ke depan, memimpin barisan.
Langkahnya ringan, ritmenya stabil, dan wajahnya sama sekali tak menunjukkan beban.

“Hey! Jangan terburu-buru! Nanti kehabisan tenaga!”
“Bagi stamina dulu, nanti nyesel!”

Tapi Minjun tidak mendengarkan.

‘Capek? Ini yang kalian sebut capek?’

‘Ayam goreng dan Deonpa sudah menungguku!’

“Tu-tunggu! Itu orang siapa, sih!?”
Lee Seungho melongo — baru sepuluh menit berlalu, dan Minjun sudah hampir mencapai puncak.

Red Stone waktu itu sudah mencurigakan, tapi yang ini… luar biasa.

“Gila… dia masih naik, padahal kemiringannya makin curam.”

“Ng… ngga mungkin…”

Tangga yang biasa ditempuh trainee lain dalam lebih dari satu jam,
ia taklukkan dalam dua puluh menit.

Dan itu pun masih dengan gaya santai.

Begitu sampai di atas, Minjun menoleh ke bawah.

“Byeongjang-nim, katanya dapat izin keluar?”

Lee Seungho hanya bisa terdiam beberapa detik sebelum menyerah kalah.

“Oh… ya, ya. Nih, ambil.”

Ia menyerahkan tiket itu tanpa ragu, sambil dalam hati mengutuk.

‘Bajingan sial. Tapi ya sudahlah, tenaga bukan segalanya dalam Hunter-gun.’
Yang penting bukan hanya otot, tapi juga respons terhadap monster.

Tetap saja — anak ini harus diawasinya lebih dekat.


Pelatihan fisik baru selesai lewat jam enam sore.
Semua trainee nyaris ambruk, kaki gemetar, wajah pucat pasi.

“Naik… naik 1 poin! Stamina-ku naik 1!”
“Wah, serius!? Awalnya berapa?”

Salah satu trainee berteriak gembira, wajahnya berseri seperti baru dapat jackpot.

Melihat mereka kagum hanya karena peningkatan 1 poin,
Minjun tak tahu harus tertawa atau prihatin.

‘Di Isgard, satu hari bunuh monster aja bisa naik 10 stat.
Mereka ini… terlalu lambat.’

Tapi ya sudahlah.
Baru hari pertama, tak baik menilai terlalu cepat.


Mereka menuju ruang makan.

“Setelah makan malam, kalian bebas beristirahat.”

“Ye!”

Dan begitu melihat isi kantin,
Kim Minjun langsung terpaku.

“...Gila.”

Hidangan yang tersaji di depannya bukan seperti di militer.
Ini level hotel bintang lima.

Ada bibimbap, bulgogi, pasta, bahkan steak dan kue dessert.
Bahkan beberapa chef profesional tampak di dapur.

“Boleh ambil semua ini?”

“Ya. Ini sistem buffet.”

‘Gila… buffet!’

Minjun merasa hidupnya baru saja berubah.

“Um, di tentara biasa juga gini ya sekarang?”
“Ha! Mana mungkin. Mereka makan kodari jorim sama saus seafood basi hari ini.”

“Ouw, syet.”

Dia tak tahu seperti apa kodari jorim itu,
tapi dari namanya saja sudah membuat selera makan turun.

Satu hal pasti — dia tidak salah masuk Hunter-gun.


‘Tadinya kupikir kalau pelatihan berat, aku bakal kabur pakai magi sisa. Tapi… ini lumayan.’

Di Isgard, dia tidur di tanah dan makan sisa monster.
Di sini? Dapat tempat tidur empuk, makanan enak, dan gaji besar.

Plus bonus: senjata +13 dari event Deonpa.

Surga.

“Hyung, kau pakai izin keluar itu kapan?”
“Pertama kalinya aku lihat orang beneran dapat izin dari Lee byeongjang.”

Rekan-rekan di meja makan menatapnya seperti melihat legenda hidup.
Minjun hanya tersenyum santai.

‘Di Isgard aku dijauhi karena pakai black magic.
Tapi di sini? Mereka malah ngajak duduk bareng.’

Hidup di Bumi ternyata lebih hangat dari yang dia ingat.


Malam itu, ia langsung pergi ke sajibang — ruang game militer.

Hunter-gun memang berbeda.
Tidak ada jam malam, tidak ada pengawasan berlebihan.
Potongan rambut pun cukup model sport cut.

Minjun membuka komputer, masuk ke Deonpa, dan mulai bermain seolah waktu berhenti.

Trainee lain sempat duduk di sebelahnya, melirik layar.

“Eh… itu Deonpa?”
“Iya, kenapa?”

“Ah, n-nggak apa-apa. Aku… duluan, ya.”

Dia kabur.

Bagi mereka, melihat seseorang main game dengan fokus seolah di medan perang sungguhan… agak menakutkan.

‘Tidur satu jam juga cukup. Nanti lanjut farming lagi.’

Dan begitu, malam itu ia habiskan seluruh fatigue point karakternya hingga nol.


Minggu Terakhir Pelatihan

Fase akhir dimulai —
Mereka menyebutnya: “Inferno Week.”

Tubuh para trainee berubah keras seperti batu, kulit menggelap karena matahari dan latihan berat.

Pagi itu, bukan suara peluit yang membangunkan mereka.

Melainkan…
suara lembut idol dari pengeras suara.

“Ne ireumeun mwoyeyo~” 🎵

“Ugh…”
“Punggungku… mau patah…”

Suara keluhan menggema dari berbagai ranjang.

Bukan ranjang keras biasa — tapi kasur empuk layaknya hotel.

“Setiap kali bangun, aku cuma bisa bilang satu hal: kasur ini luar biasa.”

Minjun bangun perlahan, merenggangkan badan.
Ia baru tidur dua jam, tapi tubuhnya terasa segar.

Di Isgard, satu jam tidur sudah mewah.
Di bumi… ya, tubuhnya otomatis santai.

“Kau memang gila, Kim Minjun.”
“Sedikit pun nggak kelihatan capek.”

Mereka sudah akrab sekarang.
Dan melihat Minjun tetap santai bahkan setelah latihan brutal,
mereka malah termotivasi.

“Dengar, aku kemarin mencapai 10 karakter max level di Deonpa.”

“APA!?”
“Dia gila, sumpah.”

“Jadi… kau habis latihan, langsung main game lagi?”
“Yap.”

Mereka kehabisan kata.


“Cepat siap-siap. Ada gubo pagi ini.”

Pukul enam lewat sepuluh, mereka mengenakan seragam lengkap.

Waktu pelatihan pagi: dua jam.
Target: 40 kilometer.

“Empat puluh kilometer!? Dua jam!? Ini penyiksaan, bukan latihan!”

“Matilah aku…”

Namun tak peduli seberapa mereka mengeluh,
semua tetap berbaris di lapangan.

Dalam lima menit, lapangan penuh.

“Semua siap! Pemanasan satu menit, mulai!”

“Mulai!”

Seorang perwira naik ke podium —
kemungkinan junggwan (중관, perwira menengah) atau soryeong (소령).

Suaranya menggelegar.

“Sambil pemanasan, dengar baik-baik.
Tujuan Hunter-gun bukan sekadar latihan fisik.
Kalian dilatih untuk menghadapi dan membasmi monster sebanyak mungkin!
Tapi ingat!
Kalian tetap TENTARA!
Disiplin adalah dasar segalanya! Barisan, rapatkan!”

“Ye!”

“Algesseumnida!”

“Di unit nanti, kalau masih seenaknya begini, kalian semua mati dimakan monster sebelum aku sempat marah!”

“An-deyo!”

“Bagus.
Sekarang dengar baik-baik—
Siapa pun yang gagal menyelesaikan 40 kilometer dalam dua jam,
tidak dapat sarapan!”

“Eehhh!?”

Teriakan protes terdengar dari segala penjuru.

“Kalau nggak bisa, pakai tekad! Kalau nggak kuat, pakai amarah!
Mulai!”

Peluit panjang terdengar.
Ratusan kaki serentak menghentak tanah.

Ttak! Ttak! Ttak!


‘Hmm. Angkatan kali ini… agak lemah.’
Sang perwira menatap daftar evaluasi di tangannya sambil berjalan di sisi lapangan.

Kekuatan fisik memang bukan segalanya,
tapi stamina menentukan kelangsungan hidup di Dungeon.

‘Lihat saja ini… Kim Minjun?’

Namanya menonjol di daftar.
Komentar di bawahnya ditulis langsung oleh Lee Seungho byeongjang.

“Potensi luar biasa. Bakat alami untuk Hunter.
Perlu perhatian khusus.”

‘Bocah ini… peringkat teratas di semua latihan.’
‘Sayang kalau dikirim ke belakang. Dia harusnya di garis depan.’

Ia tersenyum tipis.
‘Baiklah, kita lihat seberapa jauh dia bisa naik.’


Dua jam kemudian.

“Waktu! Stop!”

“Air! Air! Tolong air!”

“Haah… haahh…”

Sebagian besar trainee tumbang di tanah, tubuh mereka berlumuran debu.

“1 jam 58 menit! Pas waktu batas!”

Sementara itu,
Kim Minjun sudah duduk santai sejak satu jam lalu,
membagikan air dari kantong minumnya kepada yang lain.

“Buka mulut, cepat. Air masuk.”

“Terima kasih… ugh…”

“Bayangkan, dia nggak keringetan sama sekali.”

“Dia lari 40 km dalam satu jam, bro.
Satu jam!”

“Monster manusia, sumpah.”

“Eh? Kau nggak mau minum airku?”

“B-bukan, maksudku… saya kagum, hyung-nim! Itu saja!”

Minjun tertawa ringan, melemparkan kantong airnya ke mereka.

Sementara itu, yang terlambat mencapai garis finis menatap dengan wajah kesal.

“Argh, telat dua menit!”

“Sial… nggak dapat sarapan.”

“Eh, katanya hari ini menu sarapan Hunterria!

“Hunterria? Apaan itu, kayak Lotte—”

“Diam! Jangan samakan!
Itu burger spesial buatan chef!
Pattinya dari daging sapi premium, dobel, dan saus rahasia!”

Lapangan yang tadinya penuh keluhan mendadak riuh lagi.
Mereka yang masih bisa berdiri langsung bangkit —
semangat hidup mereka kembali,
semata demi burger mewah bernama Hunterria.

5. Kamp Pelatihan Hunter-gun – Bagian 3

Oh. Jadi begitu, ya.

Kim Minjun melirik rekan-rekan yang gagal menyelesaikan target dan tersenyum santai.

“Tenang aja. Aku bakal makan jatah kalian juga~.”

“Anak sialan.”

“Serius, bisa nggak sih dia sekalian pingsan aja.”

Tawa datar bercampur dengusan iri terdengar di barisan belakang.
Trainee yang gagal hanya bisa menelan ludah, menatap burger Hunterria yang sebentar lagi disajikan — dengan tatapan penuh duka.


“Semua, perhatikan!”

Suara keras sodae-jang menggema di seluruh lapangan pelatihan.
Tatapan semua trainee serentak mengarah ke atas podium.

“Kita sudah masuk minggu terakhir pelatihan, tapi cuma setengah dari kalian yang memenuhi standar minimal.
Angkatan kali ini… jauh lebih lemah dibanding angkatan sebelumnya!”

Itu bohong, tentu saja.
Perbedaan mereka tak sejauh itu — tapi sodae-jang sengaja membesar-besarkan agar menyalakan semangat mereka.

“Kalau kalian dikirim ke unit aktif dalam kondisi ini, separuh dari kalian bakal mati dalam sebulan! Aku bohong, hah?!”

Suara teriakan keras menembus udara siang.
Dan meski para trainee tahu dia melebih-lebihkan, dada mereka tetap terasa sesak.

Setelah cambuk… saatnya umpan.

“Tapi.”
Nada suaranya berubah, membuat semua kepala otomatis tegak.
“Sebagai sodae-jang, aku kasih satu hadiah.”

Tiba-tiba suasana lapangan menjadi tegang dan hening.

“Sampai kelulusan tinggal tujuh hari.
Latihan terakhir, Latihan Adaptasi Dungeon, punya bobot nilai tertinggi.
Siapa pun yang meraih hasil terbaik di sana… akan mendapatkan izin libur istimewa dua malam tiga hari.”

Bisik-bisik kagum menyebar di antara para trainee.
Izin seperti itu—lebih langka dari gaji pertama.

Dan bukan cuma berlaku di pelatihan, tapi bisa digunakan bahkan setelah penempatan unit!

Namun…
wajah para trainee justru terlihat datar.

‘Hah? Kok ekspresinya gitu?’
So-daejang mengerutkan kening. Mereka terlihat… pasrah.

Satu-satunya yang tersenyum lebar, seperti biasa, adalah Kim Minjun.

‘Yah, makasih sebelumnya, kawan-kawan.’

Dia mengangkat jempol ke arah rekan-rekannya.
Yang dibalas dengan pandangan penuh keputusasaan.

“Hidup militer ini… ternyata cukup menyenangkan, ya.”


“Wah. Gila. Ini yang namanya Hunterria?”

“Patty-nya… dua, tiga… empat lapis?!”

Sorakan memecah suasana makan siang.
Di hadapan mereka berdiri burger raksasa — tumpukan daging sapi premium, keju tebal, dan saus rahasia yang menetes di sisi.

Ini adalah “hidangan terakhir” sebelum mereka menjalani latihan terberat di pelatihan.

“Kalau pun mati nanti, setidaknya mati kenyang.”

“Jangan ngomong kayak orang yang bakal gugur, bego.”

Minjun menatap rekan-rekannya yang melahap burger sampai sausnya belepotan di pipi, lalu tertawa kecil.

“Wah. Ini gila. Kalau aku tahu rasanya kayak gini, dari awal udah kupaksain diri latihan mati-matian.”

Dia sendiri menggigit burgernya.

Srek.

Juicy-nya daging langsung menyembur keluar — meleleh di lidah, menetes ke dagu.

“Wah… gila, enak banget!”

Dagingnya empuk, bumbunya meresap, roti lembutnya sempurna.
Burger militer ini bahkan mengalahkan burger restoran mahal di luar sana.

“Dengar-dengar, di pelatihan biasa hari ini makan Gundaeria.

“Gundaeria? Itu… enak?”

“Mereka bilang makan itu bikin sembelit instan.”

“Kalau gitu mending makan plastik aja.”

Tawa pecah di meja makan.
Tak ada yang berani menegur — bahkan para pengawas pun membiarkan mereka bersantai.

Mereka tahu, setelah makan ini… neraka sesungguhnya menunggu.


Sesi Teori – Latihan Adaptasi Dungeon

“Di dalam dungeon, semua kemungkinan bisa terjadi.
Pertama, pahami kategori bahaya berdasarkan jenis makhluk…”

Suara monoton so-daejang menggema di aula.
Kepala para trainee mulai terangguk pelan satu per satu.

Bukan karena malas — tapi kelelahan.
Beberapa sudah hampir tiga minggu tak tidur lebih dari tiga jam sehari.

Bahkan Kim Minjun, yang fisiknya hampir tak pernah kelelahan, merasa matanya berat.

‘Apa ini semacam skill? Suara Penidur Level Maksimum?’

Ia menahan tawa sendiri.

Dan benar saja — beberapa menit kemudian, setengah aula sudah mendengkur.

Namun so-daejang tak berniat membangunkan.
Sebaliknya, ia justru tersenyum tipis.

‘Bagus. Tidurlah sekarang. Nanti kalian bakal terjaga semalaman di neraka yang sebenarnya.’


Pukul 14.00 – Depan Dungeon Pelatihan

Seluruh barisan berdiri kaku di depan gua raksasa berwarna kelabu.
Udara di sekitarnya dingin, berdesir, dan mengeluarkan aroma logam yang samar.

“Di depan kalian adalah dungeon pelatihan yang dijelaskan pagi tadi.”

So-daejang mengangkat tongkat komando, menunjuk ke arah mulut gua.

“Kalian akan masuk berkelompok enam orang.
Ini adalah dungeon tipe variabel — struktur dalamnya berubah secara acak.”

Dungeon seperti ini biasanya hilang setelah semua monster di dalamnya dimusnahkan,
tapi beberapa tetap aktif, dan digunakan militer sebagai lokasi latihan Hunter.

“Target kalian: bertahan dan menaklukkan Hound selama satu jam.
Gunakan metode apa pun.
Yang kami nilai: kemampuan bertahan dan penanganan situasi darurat.”

Begitu penjelasan selesai, deru mesin terdengar.
Beberapa truk militer berhenti di belakang barisan.

Dan dari dalamnya—

“크르륵!”

Grrrhhhk!!

Monster berbulu hitam dengan mata merah menyala dan gigi tajam muncul dari sangkar besi.

“…Kita bakal lawan itu?”

“Serius, ini bukan simulasi?”

Keringat dingin mengalir di pelipis para trainee.
Monster itu menggertak, air liur menetes dari taringnya.

Di sebelah, deretan protective suit tebal siap dipakai — armor pelat baja setebal 3 sentimeter.

“Kalau kalian gentar menghadapi seekor Hound, apa pantas menyebut diri kalian Hunter-gun?!”

Suara so-daejang menggelegar.
Memalukan kalau seorang Hunter lari hanya karena seekor anjing raksasa.

“Segera pakai pelindung kalian!”

“Ye!”

Barisan segera bergerak.
Suara logam beradu terdengar saat mereka mengenakan suit pelat baja yang beratnya lebih dari 50 kilogram.

‘Sial, ini kayak pakai lemari besi.’

Minjun ikut mengenakan suit.
Tebal, panas, dan berat — tapi katanya harga satuannya mencapai 50 juta won.

‘Latihan terakhir, huh.’
Dia menatap ke arah kandang para Hound.

Beberapa melotot ganas, sementara yang lain justru menunduk, gemetar.

‘Setelah ini, baru dimulai kehidupan Hunter-gun yang sebenarnya.’

Ia teringat ucapan Lee byeongjang: pelatihan hanyalah tutorial.
Yang sesungguhnya baru dimulai di unit lapangan.

“128 nomor! Hunter-gun trainee Kim Minjun, izin bertanya!”

“Lanjut.”

“Kalau kami berhasil mengalahkan semua Hound, latihan berakhir, betul?”

“Benar. Selesaikan dalam waktu satu jam, kalian lulus.”

Biasanya so-daejang akan menegur trainee yang terkesan sombong.
Tapi karena ini Kim Minjun — ranking 1 dari seluruh pelatihan — ia menjawab tanpa nada sinis sedikit pun.

“Eii, meski dia top trainee, lawan monster beda urusan.”

“Ya, dia juga bisa cedera, lho. Ini semi-realistis.”

Namun Minjun sendiri hanya bergumam pelan.

‘Yang penting, cepat selesai biar bisa buka armor ini.’


“Mulai! Kelompok 1, masuk!”

“Siap!”

Beberapa menit kemudian, para pelatih dan pengawas masuk bersama kelompok pertama.

Tiga ekor Hound dilepaskan ke dalam dungeon.

“Grahhhh!”

Suara geraman menggema hingga ke luar.

“Heran, kenapa mereka nggak langsung nyerang kita ya?”

“Mungkin instingnya bilang di dalam ada ‘kandang’ baru buat dijelajahi.”

Minjun dan rekannya hanya mengobrol ringan menunggu giliran.
Ia sudah memutuskan untuk menahan diri kali ini.


Satu jam kemudian, kelompok pertama keluar.
Armor mereka penuh bekas cakaran dan gigitan.

“1 tim, bagus kerja kerasnya. Kembali ke barisan.”

Pengawas mencatat hasil mereka dengan detail.

“Kelompok 2, masuk!
Dan dengar baik-baik: siapa pun yang membocorkan isi latihan, langsung dikeluarkan paksa!”

Suara dingin so-daejang membuat semua diam.
Tak ada yang berani bertanya lagi.


Waktu berjalan.
Giliran demi giliran berganti.

Hingga akhirnya—

“Kelompok 30, masuk!”

Itu giliran terakhir.
Kelompoknya Kim Minjun.

‘Serius, kenapa kita disuruh pakai suit berat ini dari tadi. Panas setengah mati.’

Dengan langkah malas, ia mengikuti kelompoknya masuk ke dalam dungeon.


Di Dalam Dungeon

Setengah jam berlalu.

Udara lembap dan berdebu.
Trainee menatap sekeliling dengan gugup, senjata latihan di tangan.

“Kayaknya mereka bakal muncul sebentar lagi.”

“Formasi bertahan. Siap hadapi empat ekor.”

Mereka mengambil posisi di area terbuka dengan jarak pandang cukup baik.

Kim Minjun berdiri di tengah — siap menutupi celah apa pun.

“Datang!”

Grahhh!

Tiga Hound muncul dari balik kabut.
Mata merah mereka bersinar liar, rahang terbuka, liur menetes ke tanah.

“Jangan panik! Armor kalian kuat!”

Kim Minjun berseru memberi semangat.
Dan begitu Hound pertama menerjang—

Bwoosh!

Ia memukul udara.

Namun monster itu melesat ke samping, menghindar dengan lincah, lalu melompat tinggi ke udara.

“Mi… minjun-ah! Di atas!”

“Uh-oh.”

Hound menukik seperti tombak.
Rekan-rekan Minjun terpaku — refleks mereka tak secepat itu.

“Ke mana kau mau kabur, dasar anjing.”

Wuus!

Minjun melompat, menahan kaki belakang Hound di udara —
dan dengan gerakan memutar, membantingnya ke tanah.

Kwa-dub!

“Kyahh!”

“Kyahhh—apanya! Mati aja, kau!”

Bwoom!

Tinju berat menghantam tubuh monster itu.

[Skill: Heukma Basic Punch]

Bugh!

Hanya satu pukulan.
Kepala Hound hancur lebur, darahnya memercik ke lantai batu.

Hening.

Seluruh dungeon tiba-tiba sunyi.

Para trainee terpaku.
Para pelatih yang memantau dari jauh menatap monitor dengan mata membelalak.

‘Gila… jadi benar dia yang ngangkat Red Stone waktu itu…’

‘Satu pukulan. Satu.’

6. Kamp Pelatihan Hunter-gun – Bagian 4

Meskipun mereka mengenakan protective suit, latihan ini tetaplah pertempuran melawan monster sungguhan.

Dalam sepuluh orang trainee, sembilan hanya bisa menahan diri dalam posisi defensif — armor mereka digerogoti, terseret ke belakang, atau nyaris tumbang di tempat.

Namun di tengah kekacauan itu, Kim Minjun berdiri tegak.

Tatapannya tenang.
Suaranya keras.
Dan auranya—cukup untuk membuat Hound lain merunduk, ekor di antara kaki mereka.

“Jangan melamun! Jaga posisi masing-masing dengan benar!”

“Y-ya! Siap!”

Satu Hound sudah ia kalahkan.
Dan sementara napasnya masih stabil, ia sempat menoleh pada rekan-rekannya.

“Jangan terus mundur! Lawan maju, kalian juga maju!
Kalau kalian terus undur, mereka bakal menganggap kalian mangsa!”

Kalimatnya menggema keras di dinding dungeon.
Ia tahu — satu langkah mundur saja bisa membuat formasi hancur total.
Begitu garis depan jebol, semuanya tamat.

“Kalau ini medan sebenarnya, dua orang di sini udah mati.
Barisan depan itu tugas kalian buat menekan monster biar nggak berani maju!”

“D-algesseumnida!”

“Kenapa ngomongnya kayak anak baru, hah! Kita seangkatan!”

“M-mian!”

Walau ucapannya keras, di setiap tegurannya ada arahan yang jelas.
Dia menegur bukan untuk merendahkan, tapi untuk memperbaiki.


“Hey… itu anak beneran trainee?”

“Kim Minjun yang dimaksud, kan? Iya, trainee.”

“Jangan bercanda. Kalau bukan, mungkin Hunter-gun byeongjang yang tiba-tiba reinkarnasi ke masa pelatihannya.”

“...Itu cuma ada di novel, hoobae.”

Para jogyo (조교, pelatih) yang mengawasi dari jauh saling pandang, nyaris tak percaya.

Satu trainee mengubah seluruh dinamika pertempuran.
Yang seharusnya berakhir dengan kekacauan, justru menjadi latihan paling sukses dari semua batch.

“Catat nilainya ‘A+’. Yang lain… beri ‘B’ saja. Tapi Minjun, beri ‘S’.”

“Setuju.”


Selesai.
Hound terakhir ambruk, dan dungeon kembali tenang.

Para jogyo menurunkan penjagaan dan berjalan mendekat.

“Mulai besok 4 malam 5 hari libur. Hunter-gun juga manusia, kan.”

“Kim hojun sangbyeong-nim ada rencana, ya?”

“Rencana? Hah. Cuma mau minum sedikit.”

Tawa kecil terdengar di antara mereka.

Namun saat langkah kaki mereka bergema di lorong—
Drururururuk—!

Tanah bergetar.

Duuumm!
Getaran hebat mengguncang seluruh dungeon, seolah bumi di bawahnya berdenyut hidup.

“Ha… Sial. Segera kirim laporan darurat sebelum tertutup total! Cepat!”

“Ye, ye!”

Mereka meraih radio communicator dan menyalakannya.

Tapi… hanya suara statis.

Zzzzt… krrt…


“Hyung-nim! Ini apa lagi!? Bukannya latihan udah selesai!?”

“Bukannya tadi aman-aman aja?”

Trainee lain menatap Minjun, panik.

“Ini dungeon tipe variabel. Biasanya buka-tutup otomatis.
Paling pintunya lagi bergeser, tenang aja.”

Jawaban Minjun terdengar… nyantai.

Namun begitu melihat pintu masuk benar-benar tertutup rapat, mereka kehilangan kata.

“Ini gila. Ini… beneran tertutup?!”

“Latihan baru kelar, terus langsung jadi dungeon tertutup?”

Tempat ini sudah dipakai puluhan batch pelatihan tanpa insiden.
Bahkan jogyo biasa keluar-masuk setiap hari seperti ke gym.

Skenario ini… tidak mungkin terjadi.


“Kim hojun sangbyeong-nim! Ini aneh! Dindingnya bergerak terlalu cepat!”

“Radio?”

“Tidak berfungsi!”

“Semua, kumpul! Cepat!”

Para jogyo segera memanggil trainee yang tersisa.

“Seperti yang kalian lihat, dungeon-nya berubah.”
Nada Kim hojun tetap tenang, tapi matanya tajam.

“Kita bertahan di sini satu jam sesuai protokol.
Kalau masih tertutup setelah itu—kita maju ke dalam.”

Dalam dungeon tertutup, ada satu aturan mutlak:
keluar hanya dengan melenyapkan semua monster di dalam.

Namun ini kasus khusus — dungeon terbuka yang mendadak tertutup.

Dalam kasus begini, terkadang cukup menunggu — sistem akan kembali membuka diri secara alami.

‘Masalahnya… di sini cuma ada dua jogyo dan enam trainee.’

Dan para jogyo itu…
tidak memakai perlengkapan tempur penuh.

Kalau monster menengah muncul — tamat.


Satu jam berlalu.
Pintu tetap terkunci.

“Bergerak ke depan. Barisan, bentuk formasi.”

“Ye!”

Wajah para trainee pucat.
Keringat bercampur debu di pelipis mereka.

“Gawat. Ini hari terakhir, kenapa malah begini…”

“Kalau muncul Goblin aja, kita selesai.”

Kim hojun dan rekan jogyo-nya memimpin di depan.

‘Bau ini… kenapa familiar?’

Kim Minjun berhenti sejenak, mengendus udara.
Ada aroma logam bercampur busuk — tapi di dalamnya, samar,
ada sesuatu yang ia kenali.

‘Ma…gi?’


“Radio masih mati?”

“Ye. Sinyal nol.”

“Dengan tangan kosong, bisa lawan Goblin?”

“…Sulit tanpa senjata, sangbyeong-nim.”

“Haah. Sialan.”

Nada kasar keluar dari mulut jogyo.
Wajah mereka menegang — mereka tahu bahaya sebenarnya baru dimulai.

‘Kalau tanpa weapon, bakal repot. Apalagi kalau monster-nya punya aura.’

Bahkan bagi Kim hojun sendiri, mengalahkan satu Goblin tanpa senjata bisa makan waktu sepuluh menit.

‘Yang di belakang cuma trainee dengan suit berat. Mereka lambat, stamina cepat habis.’

Suit itu dibuat untuk bertahan, bukan menyerang.
Dan beratnya… membuat napas siapa pun cepat habis.

‘Nggak bisa jadikan mereka perisai. Mereka masih baru.’

Dia menggertakkan gigi.
Biarpun memimpin di depan jauh lebih berbahaya,
hatinya menolak untuk menjadikan para trainee sebagai umpan.


Namun tiba-tiba—

“Keugh…”

“Uhk!”

Kedua jogyo di depan tiba-tiba terhuyung.
Mata mereka terbelalak, mulut berbusa, lalu ambruk.

“Jogyo-nim!”

“Jogyo-nim, Anda baik-baik saja!?”

Trainee berhamburan maju, panik.

“Jangan maju! Semua, mundur sekarang!”

Suara Minjun memotong udara.

Ia menarik bahu mereka ke belakang satu per satu — hingga mereka mundur sejauh tiga puluh meter.

Lalu tanpa ragu—
ia berlari ke depan.

‘Benar. Aku salah ingat. Bau ini… bukan darah. Tapi ma-gi.’

‘Sial, jadi ini sumbernya.’


“Maaf, tapi ini urusanku.”

Ia menoleh sebentar, menatap rekannya.

“Bawa dua jogyo itu ke tempat aman. Tunggu di sini.”

“Ya, tapi—”

“Cepat!”

Wuus!

Dalam sekejap, sosoknya lenyap ke dalam kegelapan dungeon.

“Gila, dia masuk sendiri!?”

“Dia udah mati itu!”

“Minjun-ah! Kembali! Itu perintah!”

Namun suaranya sudah jauh.
Yang tertinggal hanya gema langkah kaki dan suara napas berat mereka sendiri.


Sementara itu.

Semakin jauh Minjun melangkah, semakin pekat udara di sekitarnya.

‘Magi-nya kental banget… ini bukan monster biasa.’

Jika sampai dua jogyo pingsan dari jarak sejauh itu,
maka levelnya minimal monster menengah ke atas.

Di Isgard, hampir semua monster punya magi alami.
Namun di Bumi… tidak.
Hanya makhluk langka dari dungeon high-tier yang memilikinya.

‘Berarti yang ini—spesial.’

Minjun tersenyum tipis.

‘Dan buatku… itu emas murni.’


Bagi manusia biasa, paparan magi menyebabkan kejang dan kehilangan kesadaran.
Bahkan orang Isgard pun butuh perlindungan suci agar bisa bertahan.

Namun Kim Minjun—
adalah pengecualian.

Ia berjalan santai, menembus kabut hitam pekat yang merambat di tanah.
Setiap langkahnya menghapus bekas magi di udara,
seolah tubuhnya sendiri menyerapnya.

“...Kau.”

Ia berhenti.

Di hadapannya—bayangan hitam bergerak.

“Grrrrr….”

Seekor monster berbulu gelap, tubuh besar, dan mata merah menyala.
Gigi panjang menusuk keluar dari rahang bawahnya.

“...Kau? Di sini?”

Minjun berkedip tak percaya.

Seekor Dark Hound berdiri di hadapannya.


Hound dan Dark Hound.
Nama serupa, tapi kelas kekuatan—langit dan bumi.

Yang pertama bisa ditangani trainee biasa.
Yang kedua? Butuh tim Hunter penuh bersenjata lengkap.

“Sudah lama, dasar anjing hitam.
Tapi kali ini… aku yang lapar.”

Ia melangkah ke depan.

Bayangan bergerak.
Dark Hound mengangkat kepala, mengeluarkan suara berat dari tenggorokannya.

KRRREEEEEH!

Suara rendah itu bergema di seluruh dungeon.

“Masih sama aja. Gerakan lambat, pola usang.”

Wuus!

Minjun menendang tanah.
Dalam sekejap, ia melesat ke depan.

Dark Hound menerkam —
tapi sebelum taringnya mencapai sasaran, tangan Minjun sudah menembus udara,
menangkap leher makhluk itu.

Pak!

Satu putaran tubuh.

BUAM!

Tubuh monster itu dibanting ke batu, keras.

“Kyahh!”

“Apa? Nangis?”

Ia mengangkat tinjunya.

[Skill: Heukma Basic Punch]

BOOM!

Sekali pukulan.
Kepala monster itu hancur seperti tembikar, darah hitam muncrat ke segala arah.


Gelombang magi langsung meledak dari tubuh yang roboh.

“Masih sama kotor kayak dulu.”

Minjun menarik napas, membuka telapak tangannya.

Aliran kabut hitam yang hendak menyebar keluar berbalik arah,
berputar seperti pusaran air, lalu mengalir ke dalam tubuhnya.

Swoosh—

Udara di sekitar dungeon bergetar.

‘Magi-nya… kental banget. Ini kualitas tinggi.’

Ia menutup mata, membiarkan aliran itu menyerap ke tubuhnya.

Tingkat energinya naik.
Kalau diibaratkan baterai ponsel, dari 0% ke 5%.

“Sudah lama tak terasa begini.”

Ia menatap sisa darah hitam di tangannya, lalu terkekeh.

“Masalahnya, kenapa makhluk Isgard muncul di sini?”

Bumi seharusnya tak memungkinkan Dark Hound muncul.
Catatan manapun tak pernah menyebut keberadaan mereka di planet ini.

“Dimensi silang? Tidak mungkin.”
Ia menggeleng.

Hanya entitas di level Saint atau Black Archmage—seperti dirinya dulu—yang mampu menembus batas dunia.

Ia menghela napas.

“Yasudah. Kalau begitu, sekalian kubawa.”

Ia mengangkat tubuh monster itu dengan satu tangan.

“Untuk laporan, ini bakal jadi bukti yang bagus.”

Dengan magi yang telah habis diserap, tubuh Dark Hound kini terlihat seperti Hound biasa.
Tak akan ada yang curiga… kecuali dirinya.


Sementara itu

Dekat pintu dungeon.

Para jogyo yang pingsan mulai siuman.

“Ugh… kepala sialan…”

“Semua… baik-baik saja?”

Kim hojun sangbyeong memaksakan diri duduk, memegangi pelipisnya.
Kepalanya masih berdengung, tapi matanya segera menatap sekeliling.

Semua trainee selamat.
Syukurlah.

“Lapor, sangbyeong-nim…”

“Apa?”

“Kim Minjun… masuk ke dalam.”

“...Apa?”

Wajah Kim hojun membeku.

7. 수료 — Kelulusan

Kim Hojun sempat merasa lega… hanya sebentar.
Trainee-train­ee mulai menjelaskan apa yang terjadi setelah dirinya pingsan.

“Jadi maksudmu, dia melakukan itu begitu saja?”

“Ya, benar begitu, jogyo-nim.”

“……”

Dalam situasi normal, tindakan semacam itu cukup untuk langsung dikeluarkan dari pelatihan.
Bergerak sendirian di dalam dungeon sama saja dengan bunuh diri.

Tapi kali ini, tidak ada yang bisa disalahkan.
Yang seharusnya melindungi para trainee—justru para jogyo yang lebih dulu kehilangan kesadaran.

“Semua, bangun! Kita cari Kim Minjun sekarang juga.”

“Jo, jogyo-nim! Itu…!”

“Apa lagi?”

Salah satu trainee berseru. Semua kepala spontan menoleh ke belakang.

“Apaan itu….”

“Itu… Hound?”

“Benar. Tapi ukurannya… jauh lebih besar.”

Dan di sana, dengan wajah tenang, Kim Minjun berjalan keluar dari kegelapan dungeon—
menenteng makhluk seukuran sapi di pundaknya.

Para jogyo hanya bisa melongo.

“Gila… dia nangkep monster segede itu sendirian?”

“Kalau yang tadi Hound biasa bobotnya 70 kilo, ini… minimal dua ratus!”

“Aku… nggak ngerti lagi dunia ini.”

Bahkan para trainee yang lain pun terpana.
Selama ini mereka tahu Minjun hebat, tapi mengira batasnya tetap “manusia”.

Mereka salah besar.


“Pintu sudah terbuka kembali. Kita sebaiknya segera keluar.”

“Hey, Hound itu… kamu tangkap sendiri?”

“Ya. Sendiri.”

Sangbyeong Kim Hojun hanya mengangguk pelan.
Lalu memberi perintah tenang, “Semua trainee keluar dulu.”

“Kim Minjun. Kau laporkan semua yang terjadi pada soedaejang-nim secara detail.”

“Siap, sangbyeong-nim.”

“Jangan ada yang kau sembunyikan. Hari ini… meskipun aku yang kena hukum, aku tidak akan membela diri.
Kami pingsan di depan trainee—itu sendiri sudah aib.”

Kadang-kadang, ada trainee yang berhasil mengalahkan Hound sendirian.
Tapi itu hanya satu dari tiga puluh angkatan.

Dan tidak ada satu pun yang berhasil mengalahkan Hound sebesar itu.

‘Kalau bukan karena dia, kami semua pasti mati di dalam.’

Ia menatap lagi tubuh raksasa tanpa kepala di tanah.
Hound itu—tidak mungkin membuat manusia pingsan hanya karena aura-nya.
Berarti ada sesuatu yang lebih besar di dalam dungeon tadi.

‘Sial. Ini bakal panjang kalau dilaporkan.’


Ketika para jogyo keluar lebih dulu, Minjun menyusul dari belakang.
Dan tepat di saat itu—

Tii-ring!

“...Huh?”

Sebuah jendela sistem muncul di depan matanya.

[Error telah diperbaiki.]

“Error? Error apa?”

Alis Minjun berkerut.
Pesan itu tanpa penjelasan, tanpa konteks.

“Dasar sistem sialan. Di Isgard aja error, di Bumi juga sama.”

Tii-ring!

Suara notifikasi lagi.
Dan kali ini—sebuah status window muncul.


[Status Window]

Nama: Kim Minjun
Gelar: Pendirian “Sekte Pengabdi Noona Seria”
Kekuatan: 60
Kelincahan: 60
Daya Tahan: 60
Magi: 10
Skill yang dimiliki: Corruption (E)


“...Hah? Ada yang nggak beres.”

Tak ada Level, hanya daftar stat dan satu skill.

Minjun menatap bagian “Pendirian Sekte Pengabdi Noona Seria”, lalu menepuk dahinya.

“Serius nih? Itu juga dimasukin ke status?”

Dulu di Isgard, ia membuat kelompok palsu bernama itu—
tujuannya agar para pengikut fanatik yang terus membuntutinya bisa ditipu dan dikendalikan.
Ia beri nama dari karakter game favoritnya cuma buat lelucon.
Ironisnya, para pengikut itu malah menyembahnya sungguhan.

“Sekarang malah kebawa ke Bumi. Sial.”

Ia menghela napas.

“Stat-nya juga anjlok parah.”

Saat kembali dari Isgard, hampir semua magi dalam tubuhnya terkuras habis.
Ia sudah memprediksi penurunan stat akibat penalti dimensional shift,
tapi tidak menyangka akan separah ini.

“Dengan stat segini… hmm, masih cukup buat ngalahin byeong biasa sih.”

Namun begitu ia membuka daftar skill, yang tersisa hanya satu.

“Cuma Corruption doang? Serius?”

Magi-nya 10.
Grade-nya E.

Dengan level segitu, bahkan kalau skill Corruption dipakai ke seorang Hunter, efek maksimalnya cuma… sakit perut ringan.

“Kalau ini novel, judulnya pasti ‘Kehidupan Baru Seorang Black Mage Level 1’.”

Meski begitu, dibanding trainee biasa, dia tetap monster.
Stat mereka rata-rata masih di kisaran belasan—
sementara dia, enam puluh di semua bidang.

Tapi untuk mencapai tujuannya… masih sangat jauh.

“Di Isgard aku pernah capai max level.
Di sini? Aku bakal ulangi dari nol.”

Ia tersenyum samar.
“Neoplay… tunggu saja. Aku bakal bantu kalian beresin monster itu, biar kalian bisa fokus kembangin Dungeon & Fighter.”


Hari itu, Kamp Pelatihan Hunter-gun geger.

Dungeon yang tertutup sendiri,
Jogyo yang pingsan massal,
dan satu trainee yang menaklukkan monster yang bahkan pelatih pun tak mampu hadapi.

Biasanya, setelah pelatihan terakhir, para trainee langsung naik pangkat menjadi ibeong (이병)
—setara dengan prajurit baru aktif—
dan bersiap menjalani passing-out ceremony singkat sebelum ditempatkan ke unit masing-masing.

Namun angkatan kali ini… pengecualian.

“Ah, kita angkatan sial.”

“Kenapa hal kayak gini harus terjadi pas giliran kita?”

Para ibeong mengeluh di asrama, masih berpakaian lengkap dalam seragam latihan.


“Eh, kalian lihat Kim Minjun belum?
Katanya dia bawa pulang monster sendirian.”

“Yang dia panggul di pundak itu? Iya, yang segede beruang.”

“Dan dua jogyo sampai pingsan sambil mulut berbusa. Gila gak tuh.”

Tanpa akses TV atau ponsel, gosip semacam itu jadi hiburan satu-satunya.

“Aku taruhan, Minjun bakal naik ke sangbyeong cuma dalam dua tahun.”

“Dua tahun? Nggak mungkin. Ujian kenaikan pangkat aja brutal.
Kebanyakan Hunter butuh lima tahun buat naik dari ibeong ke sangbyeong.”

“Ada yang malah pensiun masih jadi ilbyeong.
Gak semua orang punya bakat kayak dia.”

Sementara mereka berdebat,
suara langkah sepatu militer terdengar di luar.


“Chungseong! Ibeong Kim Minjun, melapor!”

Minjun berdiri tegap di hadapan daedaejang (대대장)—komandan batalion.

‘...Apa-apaan ini.’

Di samping daedaejang, seorang perwira sedang menjalani hukuman push-up posisi.
Dan wajahnya… adalah soedaejang-nim mereka sendiri.

“Keluar dulu.”

“Ye! Chungseong!”

Soedaejang langsung berdiri dan keluar ruangan.

Ia tak bersalah, tapi wajahnya tetap tegang.
Di militer, yang salah bukan logika—tapi hasil.


“Dungeon gagal diperiksa dengan benar, itu kesalahan soedaejang.
Menurutmu begitu juga, kan?”

“Ibeong Kim Minjun! Ye! Saya setuju!”

Minjun menjawab cepat dan mantap.
Ia tidak punya niat membantah superior, apalagi seorang daedaejang.

‘Hah… jadi beginilah rasanya militer Korea.’

Ia sempat merasa kasihan pada soedaejang-nim,
tapi belas kasihan itu segera menguap ketika daedaejang membuka mulut lagi.


“Mau kopi?”

“Ye! Terima kasih!”

Daedaejang membuka kulkas kecil, mengeluarkan dua kaleng kopi dingin,
dan meletakkannya di depan Minjun.

“Duduklah, santai saja.
Aku benar-benar berterima kasih padamu.”

Meski disuruh santai, Minjun tetap duduk tegap, tangan di atas lutut, pandangan lurus ke depan.
Ibeong melonggarkan postur di depan jungryeong-nim?
Tidak mungkin.

“Kalau bukan karena kamu, beberapa trainee mungkin sudah mati.
Kudengar dua jogyo bahkan tak sanggup menahan diri?”

“Jogyo tiba-tiba mengalami kejang, jadi saya bertindak sendiri. Mohon maaf!”

“Maaf apanya.
Aku malah bingung mau kasih penghargaan apa buatmu.”

Daedaejang-nim tersenyum lebar, menampakkan gigi putih rapi.

Dalam hati, ia tahu: kalau ada satu saja trainee yang mati,
itu bukan sekadar berita—itu akhir kariernya.

‘Tidak bisa kubiarkan anak ini dikirim ke unit biasa.’

Waktu ia melihat mayat monster itu dengan mata kepala sendiri,
ia langsung yakin.

‘Anak ini harus ke garis depan.’

Mengirim bakat seperti Minjun ke unit belakang? Itu bukan kebodohan. Itu pengkhianatan terhadap negara.


‘Kalau tidak salah, unit di Gangwon-do masih butuh personel tambahan.’

Ia membuka peta digital di mejanya, menandai area dengan aktivitas dungeon tinggi.
Wilayah perbatasan, tempat rift muncul hampir setiap minggu.

‘Tepat. Di sana.’

Ia menatap Minjun lagi.

“Minjun-ssi, aku punya tawaran. Mau dengar?”

“Ye!”

“Soedaejang bilang, nilai pelatihanmu luar biasa.”

Daedaejang menjelaskan dengan nada santai tapi tegas.

“Kalau kau mau ditempatkan di unit Hunter-gun Gangwon-do, Cheorwon,
aku akan memberimu izin khusus untuk langsung ikut ujian kenaikan pangkat.
Tanpa harus menunggu satu tahun masa ibeong.”

Mata Minjun membulat.

Sebuah tawaran yang, bagi prajurit lain, setara dengan hukuman mati.

Bagi Minjun? Jackpot.

‘Cheorwon, garis depan paling keras, tapi… aku bisa lompat waktu kenaikan!’

Ia menahan tawa.
Sementara kebanyakan Hunter menganggapnya kutukan,
ia melihatnya sebagai pintu emas.


“Baik. Saya terima tawaran itu.”

“Bagus!” Daedaejang menepuk meja, puas.
“Begitu semangat inilah yang kusebut prajurit sejati.
Aku akan urus penempatanmu sendiri, jadi bersiaplah.”

Begitulah.
Tak sampai satu minggu setelah lulus,
Kim Minjun resmi ditugaskan ke Cheorwon,
wilayah terdepan Hunter-gun yang bahkan Hunter veteran enggan tempati.


Beberapa hari kemudian.
Hari keberangkatan.

Para ibeong sibuk membereskan ransel, menunggu kendaraan militer yang akan menjemput mereka.

“Bro, kau itu orang paling gila yang pernah kukenal.”

“Gue udah curiga dari pas lihat dia main Dungeon & Fighter.
Nggak ada pemain normal di game itu.”

“Hei! Jangan hina Dunpa! Itu game legenda!”

Tawa riuh memenuhi ruangan.

Tapi ketika mereka mendengar kabar tujuan Minjun…

“Cheorwon? Lu milih Cheorwon secara sukarela!?”

Unit paling berat, paling dingin, paling dekat dengan Rift aktif.

Yang lain bahkan rela muter tiga tahun buat menghindarinya.

Tapi Minjun—
malah memilihnya sendiri.


“Kalian nggak paham. Aku punya misi hidup yang keren banget.”

Ia tersenyum lebar sambil melambaikan tangan.

“Jangan bilang targetmu bikin 100 karakter max level di Dunpa?”

“Udah 30. Masih banyak waktu.”

“...Kau gila.”

Tawa dan umpatan ringan mengiringi perpisahan mereka.
Satu demi satu, teman-temannya meninggalkan kamp,
hingga tinggal dia seorang di asrama.


“Heran. Kok lama banget sih? Mereka jalan kaki dari Cheorwon, apa?”

Ia duduk di tepi ranjang, mengetuk-ngetuk lututnya.

Satu jam berlalu.

Akhirnya, terdengar suara mesin dari luar.

Ibeong Kim Minjun.

Seorang perwira turun dari kendaraan lapis baja, berdiri tegap.

“Siap untuk keberangkatan.”

Minjun tersenyum.
“Waktunya petualangan baru dimulai.”

8. 자대-1 — Unit Penugasan: Cheorwon

‘Hah? Itu… salju?’

Begitu Kim Minjun menatap keluar jendela kendaraan militer, matanya membelalak kecil.
Ban kendaraan dilapisi rantai baja — snow chain.

‘Bulan berapa sekarang? Kok udah turun salju?’

Pintu kabin terbuka, seorang perwira keluar sambil menepuk debu putih dari bahunya.

“Lama nunggu, ya? Jalannya licin karena salju. Maaf agak telat. Naik ke belakang.”

“Ibeong Kim Minjun! Siap!”

Tak peduli seberapa berat medan di perbatasan, tak akan sebanding dengan medan perang Isgard.
Dengan pikiran tenang, ia naik ke kursi belakang truk.


Beberapa hari lalu, sebelum para trainee berangkat ke unit masing-masing,
teman-teman seangkatannya sempat menasihatinya dengan wajah serius.

“Di Gangwon-do, terutama Cheorwon, isinya orang-orang gila kayak kamu.”
“Disiplin keras, seniornya brutal, dan latihan di sana katanya neraka.”
“Bahkan korupsi kecil pun dianggap tradisi, jadi siap-siap aja.”

Minjun hanya menanggapinya dengan tawa.

‘Siapa juga yang nyangka, aku balik ke Bumi cuma buat ngulang wajib militer dari awal?’

Kekuatan boleh hilang, tapi wataknya… masih sama.
Ia tidak pandai menahan diri, apalagi terhadap ketidakadilan.

‘Katanya, kalau sampai mukul senior, langsung dikirim ke penjara militer.’
‘Dan kalau dipindah ke unit biasa… libur enam bulan sekali, makanannya pun kayak pakan ternak.’

Bagi seseorang yang terbiasa dengan standar keras Hunter-gun,
unit biasa ibarat penjara tanpa dinding.

‘Ya sudahlah. Tahan dulu. Bukan pertama kalinya aku hidup di neraka.’

Ia sudah melewati siksaan lebih buruk di dunia lain.
Sedikit frustrasi duniawi tidak akan membunuhnya—mudah-mudahan.


“Shinbyeong baru datang. Kasih makan, terus didik baik-baik.”

“Ye.”

“Siap.”

Perwira itu mendorong Minjun masuk ke ruang asrama dan langsung pergi.
Begitu pintu menutup, puluhan pasang mata langsung menatapnya.

Semua seragam lapangan, dari ilbyeong sampai byeongjang.

“Chungseong! Ibeong Kim Minjun, melapor!”

Seorang sangbyeong mendekat dan menepuk bahunya.
“Kamu yang baru datang hari ini, ya? Selamat datang.”

“Ye! Terima kasih!”

“Kim Minjun… ini yang katanya jebolan terbaik pelatihan itu?”

“Oh, anak yang ngebunuh Hound raksasa sendirian itu?”

“Ya. Dengar-dengar bakal dikirim ke kita, tapi kukira gosip.”

Mata para senior berkilat, separuh kagum, separuh ingin menguji.

“Kalau kamu punya nilai sebagus itu, bisa pilih unit belakang.
Kenapa malah datang ke garis depan?”

“Dengar, di garis depan pencapaian naik paling cepat!”

“Serius? Kamu sengaja ke sini cuma biar cepat naik pangkat?”

“Benar, sangbyeong-nim!”

Para senior berpandangan. Tatapan mereka jelas: Anak ini aneh.


Klak!
Pintu terbuka dengan kasar.

“Yo! Katanya ada shinbyeong?”

Suara berat penuh tenaga menggema di asrama.

Tiga byeongjang masuk berbaris, wajah mereka sudah menyeringai.

‘Yaelah. Ini dia yang dibilang anak-anak waktu itu.’

“Begitu sampai di unit, para byeongjang bakal langsung datang dan nanya—
‘Siapa yang paling ganteng di sini?’
Hati-hati, jawabannya harus tepat.”

Dan seperti ramalan, salah satu dari mereka langsung bertanya:

“Hey, dari pandanganmu, siapa yang paling ganteng di sini?”

‘Sial. Tepat sekali, bahkan urutannya sama.’

Ia menghela napas dalam hati.

Tidak ada jawaban yang aman.
Tapi dalam dunia militer, kadang keselamatan bergantung pada nunchi.

Ia melirik sekilas.
Tiga orang byeongjang berdiri berjajar — satu di kiri mirip ikan lele yang marah, satu di tengah kelihatan sombong, satu di kanan biasa saja.

‘Oke, jelas bukan yang kiri. Kalau kukasih tahu itu ganteng, pasti dianggap sarkas.’

Akhirnya Minjun menunduk hormat.

“Menurut saya, byeongjang di tengah paling tampan, bang.”

“Ha! Dengar tuh!
Tiga shinbyeong terakhir juga pilih aku! Memang matanya bagus semua!”

Yang ditunjuk menepuk dada dengan bangga.
Lainnya mendengus pelan.

“Baik, sekarang pilih.
Siapa yang paling jelek di antara kami.”

“...Siap.”

Minjun kembali menilai cepat.
‘Kalau pilih yang kiri, dia bisa tersinggung parah. Oke, ambil yang aman—yang kanan.’

Ia menunjuk dengan wajah tegas.

“Byeongjang di sebelah kanan, bang.”

“Ha! Sudah kuduga!” teriak byeongjang lele sambil tertawa keras.
‘Untung,’ pikir Minjun, ‘selamat satu putaran.’


Setelah itu, pertanyaan standar pun dimulai.

“Punya adik perempuan?”

“Tidak ada!”

“Punya noona?”

“Tidak ada juga!”

“Teman perempuan? Kamu pasti kuliah sebelum masuk, kan?”

“Tidak, bang. Lulusan SMA!”

“Oh, sial. Nggak seru.”

Derai tawa dan umpatan kecewa terdengar.

Dalam dunia tertutup laki-laki selama lima tahun,
setiap rumor tentang perempuan adalah hiburan langka.

“Ya sudah. Kalau begitu, kasih kami hiburan lain. Tunjukkan janggi jarang satu!”

Janggi jarang, maksudnya pertunjukan bakat, bang?”

“Ya. Tapi hati-hati. Kalau jelek, kami kasih bonus tambahan push-up seratus kali.”

Minjun tersenyum kecil.
‘Sudah kuduga, bakal minta beginian.’

“Baik, izin menunjukkan satu jari push-up.”

Para byeongjang mengangkat alis.

“Satu jari? Itu trik klasik.
Ya sudah, tunjukkan dulu.”

Minjun menunduk sedikit, menempelkan satu jari telunjuk ke lantai.
Kemudian — bruk! — tubuhnya terangkat perlahan, posisi terbalik sempurna.

Dan dari sana, ia mulai push-up hanya dengan satu jari.

“...”

“Ha?”

Para byeongjang membeku.
Suara napas tertahan memenuhi ruangan.

“Dia beneran ngelakuin itu pake satu jari?”

“Stat kekuatannya berapa, sih?”

“Anjir, kalau aku coba gitu, jariku patah sebelum turun.”

Minjun menyelesaikan sepuluh repetisi sempurna lalu berdiri tegak.

Semua terdiam.

Sampai sebuah suara malas memecah hening.

“Cukup. Bubarlah, kalian ribut banget. Aku mau tidur.”

Seorang byeongjang lain berjalan keluar dari bilik pojok,
dengan wajah yang… Minjun kenal betul.

‘Itu…!’

Sosok itu adalah Lee Seungho byeongjang — salah satu jogyo dari pelatihan.

‘Kukira dia cuma pelatih tetap di pusat pelatihan, ternyata dia ditempatkan di sini?’

Byeongjang lain menatapnya dengan sinis.

“Wah, lihat siapa yang datang. Si tukang tidur.”

“Berisik. Aku baru balik dari tugas, kasih aku waktu istirahat.”

“Tugas? Tugas apa? Jadi jogyo dan dapat cuti empat hari?”

“Cuma empat hari, sialan. Sekarang pergilah sebelum aku marah.”

“Empat hari katanya sedikit? Nih hadiah.”

Tsk!
Salah satu dari mereka menunjukkan jari tengah lalu keluar sambil tertawa.

Suasana ruangan mendadak dingin.


Beberapa menit berlalu.

Semua yang tersisa duduk diam, tegak di ujung ranjang.

Minjun memperhatikan.
Setiap ilbyeong duduk lurus, pandangan ke depan, seperti di inspeksi upacara.

‘Ini… gaya militer tahun 1980-an, bukan?’

Zaman sudah modern, tapi di sini seolah waktu berhenti.
Bahkan Hunter-gun pun ternyata punya sisi manusiawi — atau mungkin biadab — seperti ini.

‘Oke. Target awal: cepat naik ke ilbyeong, lalu sangbyeong, dan jadi byeongjang secepatnya.’

Ia mengintip ke arah beberapa sangbyeong yang duduk santai main ponsel.
‘Kalau udah pangkat segitu, kelihatannya bisa bebas ngapa-ngapain.’


“Dongjin-ah!”

“Ilbyeong Lee Dongjin!”

Satu sangbyeong berteriak dari ujung ruangan.

“Mulai sekarang, Kim Minjun adalah bawahanmu. Urus dan ajari dia.”

“Ye!”

Lee Dongjin segera berdiri, memberi hormat, lalu membawa Minjun keluar.

“Yuk, makan sambil ngobrol. Aku udah minta izin ke byeongjang-nim buat ke PX.”

“Ibeong Kim Minjun, siap!”


‘PX aja perlu izin? Gila.’

Kalau PX saja diawasi,
berarti PC room militer juga hampir pasti dilarang untuk rank rendah.

‘Aduh, timing-nya jelek. Event Dungeon & Fighter minggu depan….’

Ia menghela napas.

‘Yasudahlah. Gunakan cuti khusus nanti saja.’


“Biasanya ilbyeong cuma boleh ke PX pas akhir minggu.
Tapi karena hari ini ada shinbyeong baru, kita dapat izin hari ini juga.”

“Begitu, bang.”

“Selain itu, PC room cuma boleh dipakai sangbyeong ke atas.
Gym juga hanya dibuka Sabtu dan Minggu untuk ilbyeong.”

Minjun mematung.

‘Gila… latihan fisik dibatasi weekend doang?’

Kalau tidak bisa latihan rutin, mana bisa naik pangkat cepat?

‘Hunter-gun yang katanya disiplin, ternyata masih banyak absurd-nya.’

Dongjin tersenyum pahit, seperti bisa menebak isi pikirannya.

“Yah, di sini memang banyak kebijakan aneh. Aku nggak bisa ubah.”

“Kalau aku sudah jadi byeongjang, aku bisa ubah semua itu?”

Dongjin menatapnya serius.

“Kalau sudah jadi byeongjang? Ya, mungkin bisa.
Tapi butuh waktu dan kekuatan yang nyata.”

“...Dimengerti.”

Minjun mengangguk pelan.

‘Baiklah. Tunggu saja.
Begitu aku naik pangkat, sistem busuk ini aku bersihkan.’


Setibanya di PX, Dongjin mengeluarkan dompet.

“Hari ini aku traktir. Ambil apa pun yang mau kamu makan.”

“Benar, bang?”

“Ya. Santai aja.”

“Terima kasih!”

Tanpa ragu, Minjun meraih keranjang besar dan langsung menyapu rak camilan.

Srak! Srak! Srak!
Snack, ramen instan, minuman energi, roti—semuanya masuk keranjang.

Dongjin memandang, mulutnya terbuka.

“…Aku suruh ambil, bukan pindahin toko ke ranjangmu.”

Begitu sampai di kasir, struk menunjukkan total: ₩300,000.

“...Hah.”

Dongjin hanya tertawa tak percaya.

Tapi melihat wajah Minjun yang begitu bahagia mengunyah,
ia malah merasa hangat.


“Makan banyak, ya?”

“Lee Dongjin ilbyeong-nim juga ambil, ini masih banyak.”

“Cukup kopi aja buatku.”

Dongjin menyeruput kalengnya, lalu mulai menjelaskan rutinitas dan latihan minggu depan.

Minjun mendengarkan serius.
‘Orangnya baik.’

Pertanyaan apa pun yang Minjun lontarkan,
Dongjin menjawab dengan sabar dan lengkap.


“Ilbyeong-nim, sudah berapa lama di militer?”

“Ini tahun keempatku.”

“Tahun keempat… masih ilbyeong?”

Dongjin tertawa getir.
“Kedengarannya menyedihkan, ya?”

“Tidak, bang. Menurut saya, Anda orang yang tulus dan bertanggung jawab.”

“...Haha. Terima kasih, meski cuma kata-kata.”

Ia menenggak sisa kopinya.
Banyak Hunter-gun yang gagal naik pangkat bahkan setelah lima tahun.
Ujian mereka memang brutal.

Dan bagi yang stat dasarnya rendah,
perbedaan bakat terasa seperti dinding beton.

‘Kerja keras nggak selalu cukup.’

Terutama di dunia Hunter, di mana kekuatan ditentukan sistem itu sendiri.


“Yuk, balik. Besok latihan menembak.”

“Siap.”

Minjun berjalan di belakang Dongjin,
menatap langit malam Cheorwon yang mulai menebal oleh salju.

‘Kenapa rank ibeong penuh aturan begini?’
Keluar ruangan saja harus izin,
ke PX pun perlu pendamping.

‘Tapi ujian kenaikan minggu depan. Tinggal seminggu lagi.’

Ia mengepalkan tangan.
‘Bertahan seminggu lagi.’


Pukul 22.00 tepat.
Waktu istirahat.

Setelah menyapu dan merapikan asrama, lampu mulai dipadamkan.

“Tidur cepat. Besok latihan menembak. Jangan macem-macem.”

“Ye. Selamat malam.”

Sistem militer Hunter-gun mungkin longgar di siang hari,
tapi malam tetap disiplin seperti besi.

Bangun pukul 5, patroli pagi,
latihan tiap tiga hari,
dan dungeon sweep tiap pekan.

Tanpa rutinitas itu, tak mungkin bertahan di garis depan.


‘Ah, kapan ini berakhir.’

Minjun berbaring, menatap langit-langit.

Baru saja matanya mulai terpejam—

Srek.

“Kim Minjun.”

Suara pelan tapi tegas terdengar dari arah pintu.

Seorang sangbyeong berdiri di sana, menatapnya dalam gelap.

“Keluar sebentar.”

Udara di sekitar tiba-tiba berat.

9. 자대-2 — Unit Penugasan: Pagi Pertama di Neraka

Para ilbyeong lainnya sama sekali tidak terlihat terkejut.
Seolah panggilan mendadak dari sangbyeong di tengah malam itu sudah jadi hal biasa.

‘Apa lagi sekarang…?’

Tidur satu jam pun sudah cukup untuknya. Jadi, kehilangan waktu tidur sedikit bukan masalah besar.
Minjun diam mengikuti sangbyeong itu keluar dari asrama.


“Karena kamu baru ditempatkan hari ini, aku akan kasih tahu beberapa hal penting yang harus kamu tahu.”

Mereka berhenti di dalam sebuah gudang tua yang dipenuhi barang-barang rusak.
Begitu masuk, sangbyeong langsung bicara dengan suara serius.

‘Ngapain harus di gudang segala? Nggak bisa ngomong gini di dalam asrama?’

Tidak ada alasan logis untuk memanggilnya ke tempat begini, kecuali… alasan mencurigakan.


“Pertama-tama, selama masih ibeong dan ilbyeong, kamu cukup duduk tegak seperti di asrama tadi.
Kalau mau ke fasilitas hiburan, boleh aja—asal yakin gak bakal ketahuan sama senior. Dan satu hal lagi…”

Ternyata, ini bukan pengarahan resmi.
Tapi daftar “aturan tak tertulis” alias bujori — penyimpangan yang sudah mendarah daging di unit itu.

‘Sial, ada lagi model beginian.’

Sangbyeong itu lanjut menjelaskan berbagai “tradisi” konyol yang harus diikuti agar bisa “selamat” di unit.
Ia menyebutnya sebagai bentuk perhatian terhadap shinbyeong baru.

‘Perhatian apanya. Ini cuma cara lembut buat ngancam.’

Minjun menatapnya datar.
Namun menahan diri. Sekarang bukan waktunya.

“Dimengerti.”

“Bagus. Kalau kamu patuhi yang kujelaskan tadi, kemungkinan besar gak bakal kena masalah.”

Minjun mengangguk sopan.

Ia memang masih ibeong — dan untuk sekarang, harus menahan diri.
‘Oke. Tahan dulu. Nanti, waktu aku udah byeongjang, baru kita lihat siapa yang ketawa.’

Satu-satunya alasan ia masih bisa menahan diri, adalah karena ia kembali ke Bumi setelah kehilangan sebagian besar kekuatannya.
Kalau tidak, gudang ini—dan orang di depannya—mungkin sudah menguap jadi abu.

‘Tapi ya, sekarang aku jauh lebih sabar. Ini kemajuan besar, kan?’

Kalau bukan karena Neo Play—perusahaan pengembang Dungeon & Fighter—mungkin Republik Korea sudah tak ada di peta.

‘Tapi, sangbyeong-nim… aku cuma bilang aku bakal sabar. Aku gak pernah janji bakal diem aja.’

Ia memutar kepala sedikit, menatap punggung sangbyeong yang hendak keluar.

‘Lumayan. Ada kelinci percobaan gratis di depan mata.’

Hitam pekat, magi mulai berkumpul di telapak tangannya.


Sssst—

Aura hitam itu menjalar halus, menelusup ke udara seperti asap.

Minjun menurunkan tangan, dan dengan tenang mengaktifkan satu-satunya skill yang tersisa.

[Skill: 부패 (Corruption)]


Sssst—

Energi gelap menyusup ke tubuh sangbyeong itu, langsung ke bagian perut.

‘Hah, ini aja udah nyaris gak kelihatan.
Kayaknya karena nilai Magi-ku masih rendah.’

Untungnya, itu malah bagus. Lebih bersih, tanpa efek visual mencolok.

‘Oke, sekarang tunggu reaksinya.’

Tiga… dua… satu—

“Urgh…!”

Sangbyeong itu menggeliat, wajahnya meringis.

“Ugh, sial… tiba-tiba perutku sakit banget. Kamu—masuk dulu ke asrama. Kalau ada yang nanya aku, bilang aja ke toilet.”

“Siap.”

Ia berjalan pincang keluar gudang, memegangi perut dengan dua tangan.

“Selamat malam, sangbyeong-nim.”

Dan selamat menikmati penderitaanmu malam ini.

Tentu, ia sudah menahan kekuatannya agar efeknya ringan—sekadar sakit perut tingkat sedang.

‘Tapi tetap aja, parah banget aku sekarang. Skill-ku cuma segini?’

Ia sudah tahu kekuatannya melemah drastis,
tapi melihat hasilnya langsung begini membuatnya agak… murung.

Dulu, saat masih di puncak kejayaan, 부패 (Corruption) bisa membuat makhluk hidup membusuk hanya dengan sentuhan.

Sekarang?
“Hasilnya cuma bikin orang mencret.”

Ia menghela napas dan menyimpan kembali magi-nya.

‘Baiklah. Awal yang bagus untuk eksperimen. Besok giliran upgrade performa.’


Pagi hari berikutnya.

Begitu kembali ke asrama, Lee Seungho byeongjang tampak baru bangun, menatap ke arah ranjang kosong.

“Eh? Itu sangbyeong kemana?”

“Katanya, perutnya sakit banget jadi ke toilet, bang.”

Minjun langsung menjawab cepat.

‘Yah, jelas aja sakit perut. Efek Corruption versi ringan.’

“Begitu? Oke, gak usah dipikirin. Tidur lagi.”

“Siap!”

Dari rumor yang didengarnya, Seungho byeongjang termasuk tipe yang tidak banyak ikut campur.
Tepatnya, dia acuh tak acuh.

‘Katanya, kalau ada yang lamban atau bikin masalah, dia bisa ngamuk luar biasa. Tapi selain itu, cuek total.’

Itu bagus. Selama ia tidak cari masalah, hidup akan damai.

Minjun sempat memikirkan Lee Dongjin ilbyeong — senior yang semalam menraktirnya di PX.
Anak itu baik, bahkan terlalu baik untuk lingkungan busuk seperti ini.

‘Kayaknya aku harus pelajari dulu ritme di unit ini sebelum mulai bergerak.’


Pukul 05.40.

Jam bangun resmi untuk Hunter adalah pukul 06.00,
tapi ibeong wajib bangun dua puluh menit lebih awal.
Sedangkan ilbyeong — sepuluh menit sebelum waktu utama.

‘Astaga, bangun beda 10-20 menit aja diseriusin begini.’

Minjun sudah membuka mata bahkan sebelum alarm berbunyi.
Ia merapikan tempat tidur dengan presisi militer dan mengganti seragamnya.

Krek!
Speaker di dinding menyala, suara keras terdengar.

“Kepada seluruh Hunter Kompi 2, bersiap untuk latihan.
Mulai hari ini, seluruh personel akan berangkat dengan peralatan tempur individu penuh.”

“Apaan?! Dan-dok gunjang (peralatan tempur penuh individu)?!”

“Gila! Ini lagi-lagi ide siapa!”

“Demi Tuhan, sumpah, kalau ini berlanjut gue gak bakal lanjut dinas!”

Keluhan terdengar di seluruh ruangan.
Semua byeongjang langsung mengenakan rompi tempur sambil menggerutu.

Unit tempat Minjun ditempatkan—
Divisi 104, Unit Hunter Tak Terkalahkan.

Nama yang gagah, tapi reputasinya? Neraka di dunia nyata.


Unit ini adalah tempat yang para trainee selalu peringatkan:
“Kalau bisa, jangan pernah sampai di sana.”

Garis depan Gangwon-do, daerah dengan aktivitas dungeon tertinggi di seluruh Korea.
Monster bisa muncul bahkan saat makan siang.

Latihan tiga kali lipat lebih berat dari unit lain.
Dan bujori—lebih parah dari kisah legenda.

‘Tapi justru di sini aku bisa kumpulkan prestasi tercepat.’

Lebih banyak misi, lebih banyak monster, lebih banyak kesempatan.

Tambahan gaji pun jauh lebih besar.

Minjun menatap sangbyeong yang kemarin ia beri “hadiah”,
dan nyaris tertawa saat melihat wajahnya yang masih pucat pasi.

‘Kurang magi, tapi efeknya masih terasa ya.’


Sepuluh menit kemudian, semua personel berkumpul di lapangan.

Wajah-wajah penuh kelelahan.
Biasanya mereka berlatih ringan dengan seragam biasa,
tapi hari ini, mereka harus membawa seluruh perlengkapan.

Seorang tanggungjawab harian (perwira jaga) berdiri di depan dengan megafon merah menyala.

“Mulai sekarang, latihan pagi akan dilaksanakan! Setelah absensi, langsung berangkat!”

Suara itu menggema ke seluruh lapangan.
Padahal mereka punya sistem komunikasi otomatis, tapi tetap saja pakai megafon.
‘Simbol kekuasaan, kali.’


“Kita akan melakukan lari tempur melalui tiga dungeon kosong secara berurutan!
Mulai hari ini, untuk antisipasi keadaan darurat, kalian wajib membawa peralatan tempur penuh individu! Paham?!”

Seorang byeongjang mengangkat tangan.

“Sampai kapan kami harus pakai peralatan lengkap, bang?”

“Mulai hari ini, sampai kalian keluar wamil.”

“Ha….”

Keluhan kolektif terdengar serempak.

“Perintah dari atasan! Katanya karena insiden di Hunter-gun Training Camp!”

‘Ah, jelas. Gara-gara aku waktu itu.’

Insiden Hound raksasa di pelatihan rupanya mengguncang seluruh sistem militer Hunter.

“Cukup bicara! Mulai lari!”


Duar!

Komando keras menggema.

Hunter-gun berlari melintasi medan bersalju, memasuki dungeon pertama.

[Anda telah memasuki Dungeon.]

Latihan mereka melibatkan dungeon kosong — dungeon yang sudah bersih dari monster,
tapi tetap memiliki tekanan aura yang meniru medan tempur nyata.

“Anjir, berat banget!”

“Punggungku mau patah!”

“Siapa sih yang usul latihan gila kayak gini pagi-pagi begini!”

Keluhan bersahutan di udara beku.
Tapi bagi Minjun?

‘Santai banget. Aku bisa lari sambil tidur gini.’

Dengan langkah mantap, ia tetap di barisan belakang,
menyelesaikan tiga dungeon penuh tanpa setetes keringat pun.


Begitu kembali ke markas,
para senior melemparkan ransel mereka dan menjatuhkan diri di tanah.

“Ah, sarapan bakal enak banget abis ini.”

“Gue malah udah mual duluan.”

“Eh, lo pucat banget, gak apa-apa?”

“Ah? Iya… kemarin perutku agak sakit.”

“Makanya jangan kebanyakan makan, tolol.”

Sangbyeong yang kemarin terkena Corruption hanya mengangguk lemah.

“…Kayaknya bukan gara-gara makan.”

Minjun tersenyum tipis sambil mengambil nampan di kantin.


Klinng!

“Nah, ini baru sarapan.”

Kantin Hunter-gun bergaya prasmanan, penuh daging dan sup kaldu.
Beda jauh dari makanan training camp.

Lee Dongjin ilbyeong duduk di sebelahnya dengan senyum kecil.

“Gimana? Bener kata aku kan, makanannya lebih bagus?”

“Benar, ilbyeong-nim. Jauh lebih enak.”

“Itulah satu-satunya hal bagus di sini. Dan untungnya, gak ada senior yang berani ngatur soal makan.”

‘Ya, memang seharusnya begitu.
Kalau sampai ngatur makan juga, ini bukan unit, tapi penjara.’

“Ngomong-ngomong, habis sarapan kita latihan menembak. Pagi – standar, sore – spesial.”

Dongjin menjelaskan dengan nada santai, seperti kakak yang mengajari adik barunya.

‘Dia satu-satunya orang normal di tempat ini.’

“Unit lain juga kayak gini gak, bang?”

“Nggak. Cuma sini aja. Lainnya masih manusiawi.”

‘Figures.’

Minjun menghela napas.
‘Tempat ini beneran sarang iblis. Tapi bagus… lebih cepat aku naik, lebih cepat aku bersihin semua ini.’


“Ah, iya. Ikut aku sebentar.”

“Siap.”

Selesai makan, Dongjin mengajaknya ke sebuah gudang kosong lain.
Bukan yang tadi malam—ini lebih luas, bersih, dan kosong.

“Lihat di sana. Itu senjata latihan. Buat besok, kamu bisa pakai buat adaptasi.”

Ternyata, Dongjin membawanya untuk latihan pribadi—
supaya tidak memalukan saat latihan tembak nanti.

Ia menempelkan kertas target di dinding dan menjelaskan satu per satu teknik dasar.

“Di pelatihan, kalian sempat kalibrasi senjata, kan?
Nah, di sini gak ada. Jadi tanpa latihan, pelurunya pasti nyasar semua.
Kalau hasilmu parah, senior bakal ngamuk.”

“Begitu, ya.”

“Timing-mu jelek, sih. Biasanya latihan tembak gak langsung di hari kedua.”

“Tempat ini boleh dipakai?”

“Boleh. Gak ada yang peduli. Ini kan buat latihan.”


Minjun mengangguk. Ia tahu menembak bukan masalah baginya.
Tapi ia tetap mengikuti instruksi.

‘Orang ini tulus bantu aku. Gak ada alasan buat sombong.’

Ia mengambil posisi menembak tiarap dan menarik pelatuk.

Ting! Ting! Ting!

Peluru BB menghantam pusat target dengan kecepatan sempurna.

Dongjin tertegun.

“Lihat tuh. Pas tengah semua.”

‘Anak ini… emang bukan level shinbyeong biasa.’

10. 사격-1 — Latihan Menembak: “Satu Peluru, Satu Kepala”

“Gila juga. Gimana bisa segitu akurat? Nggak meleset satu pun. Nilai tembakanmu waktu di pelatihan berapa?”

“Dua puluh peluru, semuanya tepat sasaran.”

“Termasuk di latihan kedua?”

“Mungkin juga begitu.”

“Wah, luar biasa. Pasti dapat hadiah telpon waktu itu, ya?”

Telpon, huh.
Ya, benar. Ia sempat melakukannya.

Padahal ia sudah bilang tidak perlu, tapi sojaejang-nim bersikeras agar setiap trainee menelpon seseorang.

‘Jadi aku telepon ke Neo Play Customer Center.’

Kebanyakan trainee menelepon orang tua mereka.
Tapi bagi Kim Minjun, orang tuanya sudah seperti tak ada.
Menentukan siapa yang harus dihubungi saja sudah jadi beban pikiran.

‘Begitu tahu aku trainee Hunter-gun, staf itu malah nyemangatin aku dengan ramah.’
‘Luar biasa, memang perusahaan yang punya fondasi kuat.’


“Sudah, kamu cukup latihan segini. Kayaknya kamu lebih jago dariku.”

“Tidak, ilbyeong-nim. Terima kasih banyak.”

Dua puluh menit kemudian, Lee Dongjin ilbyeong menepuk bahunya, mengakhiri sesi latihan.

Bagi kebanyakan Hunter, latihan menembak butuh penyesuaian dan ritme.
Tapi bagi Kim Minjun, latihan itu sama sekali tidak memberi manfaat.

‘Setidaknya lumayan buat bunuh waktu.’

Ia tahu Dongjin tulus membantu, jadi tidak ada alasan untuk merasa terganggu.


“Kalau nanti hasil tembakanmu jelek dan senior marah, anggap aja nasib.
Dulu katanya beberapa orang sampai kena pukul. Sekarang sih, kekerasan hampir gak ada, tapi tetap hati-hati.”

“Kalau saya kena marah, apa ilbyeong-nim juga ikut disalahkan?”

“Ya, aku yang tanggung. Tapi gak masalah, aku udah kebal. Lagian aku ilbyeong, tapi masa dinasku udah panjang. Jadi kamu gak usah khawatir.”

Dongjin tersenyum ringan lalu berjalan lebih dulu keluar.

Minjun menatap punggung senior itu dan tersenyum samar.
‘Tenang aja, ilbyeong-nim. Kamu gak akan kena marah gara-gara aku.’

Karena sebentar lagi, semua orang di unit ini akan tahu: apa itu tembakan yang sebenarnya.


Pukul 10.00.

Semua Hunter berkumpul di depan lapangan tembak.

“Haah, habis lari pakai dan-dok gunjang langsung latihan tembak. Sadis bener.”

“Jadwal latihan kita emang kerja rodi.”

Keluhan bergema dari mana-mana.
Mereka mengambil senjata masing-masing — model MX16, versi modifikasi dari M16 dengan sistem magi internal.

Latihan pagi adalah tembakan umum,
sementara sore nanti ada tembakan khusus, latihan simulasi pertempuran situasional.


“Disuruh bawa mana-gun juga? Pasti yang sore nanti simulasi penyanderaan, ya?”

“Ya, kalau udah keluar mana-gun, pasti itu.”

Para sangbyeong dan byeongjang yang berpengalaman mendengus malas sambil menyiapkan pistol magi mereka.


“Setiap byeongjang, laporkan jumlah personel!”

“Tim 1, total tiga belas orang! Semua hadir, tidak ada yang absen!”

“Tim 2, total sebelas orang! Saat ini—”

Setelah absen selesai, seluruh pasukan bergerak menuju fasilitas tembak.
Bangunan itu tampak tua dari luar, tapi temboknya diperkokoh dengan sihir pertahanan.

Katanya, bisa menahan serangan segerombolan monster kelas rendah selama sepuluh menit.
Tapi kalau yang datang monster kelas menengah—lima menit pun takkan cukup.

‘Ya, segitu pun sudah bagus untuk militer yang hidup di anggaran serba minimal.’


“Minjun-ah.”

“Ibeong Kim Minjun!”

“Waktu menembak gak dibatasi. Jangan panik walau di belakang ada yang nunggu.
Yang penting, jumlah peluru yang kena, bukan kecepatannya.”

“Dimengerti.”

Sambil mendengarkan instruksi, ia menoleh ke arah Dongjin yang mendekat pelan.


“Anggap aja kalau kamu kena marah, gak apa-apa.
Fokus aja, santai.”

“Baik, terima kasih.”


Berbeda dari tentara biasa, senjata Hunter-gun memerlukan magitan — peluru dengan inti magi.
Peluru biasa tidak cukup untuk menembus kulit monster.

Kalibrasi senjata pun cuma memberi bantuan kecil.
Intinya, harus membiasakan diri dengan insting dan perasaan.


“1 sa-ro, siap!”

“2 sa-ro, siap!”

“3 sa-ro, siap!”

Minjun mendapat tempat di 2 sa-ro.


“Lihat deh, kita dapat shinbyeong hari ini. Katanya dia top trainee di pelatihan.”

Seorang byeongjang berdiri di belakangnya, senyum sinis.

“Dengar, itu cuma karena di pelatihan ada kalibrasi. Di sini, gak ada. Ini latihan sungguhan.”

“Dimengerti.”

“Unit kita gak kenal kata ‘maaf karena baru’. Kalau hasilmu jelek, siap-siap kena omel.”

“Dimengerti.”

‘Ya ampun. Emang semua byeongjang di sini terlahir buat ngomel?’


“Jangan terlalu cepat. Aku sabar nunggu. Lakukan dengan tenang.”

“Siap.”

Byeongjang itu menguap, sementara pelatih utama bersuara lewat speaker.


“Seluruh posisi, siap menembak!”

“Siap menembak!”

“Masukkan magitan!”

“Masukkan magitan!”


Beberapa detik kemudian.

“Mulai dari barisan yang sudah siap, tembak!”

Kuwaaang!!

Suara ledakan magi mengguncang seluruh arena.
Peluru magi melesat, meninggalkan jejak cahaya biru di udara.

Para Hunter menyipitkan mata menahan kilatan itu.


‘Negara ini harusnya bisa alokasikan anggaran lebih buat senjata Hunter.
Suara ledakannya kayak meriam, bukan senapan.’

MX16 memang senjata hasil modifikasi hemat biaya — hasil kompromi pemerintah dengan departemen magi industri.
Murah, tapi berisik.

Bahkan dulu, warga Seoul pernah melapor ke militer karena suara latihan terlalu keras.
Beberapa mengklaim mengalami gangguan pendengaran dan menuntut kompensasi.

Sekarang, Hunter memang sudah dianggap pahlawan nasional,
tapi senjata mereka tetap... murahan.


Latihan tembak umum ini sederhana:
Target sejauh 30 meter, 20 peluru magi, dan lihat berapa yang tepat sasaran.

Kuwaaang! Kuwaaang!

Ledakan demi ledakan terus mengisi udara.


Minjun tiarap, menurunkan napasnya, mengunci posisi.

‘Oke, mekaniknya beda dari pelatihan, tapi masih bisa dikontrol.’

Dulu di Isgard, ia sudah berlatih menembak menggunakan senapan K98-like yang sangat primitif.
Satu tembakan, isi ulang manual.
Arah peluru? 50% kemungkinan terbang ke mana saja.

‘Dibanding senjata sampah itu, ini mainan anak-anak.’


Ia menekan pelatuk tanpa ragu.
Kuwaang! Kuwaang! Kuwaang!

Dalam dua menit, dua puluh peluru magi habis.


“...Apa barusan itu?”

Di antara semua Hunter, hanya satu orang menyelesaikan tembakannya secepat itu.
Mereka menatap ke arah 2 sa-ro.

Byeongjang di belakangnya mendekat, menatap target dengan mata membulat.

Dua puluh peluru.
Sembilan belas di kepala, satu meleset ke bahu.


“Ini… beneran hasilmu?”

“Ya, byeongjang-nim.”

Hunter lain menatapnya dengan tak percaya.
Rata-rata hasil mereka hanya sepuluh peluru tepat sasaran.
Tapi shinbyeong satu ini? Hampir sempurna.

Minjun sendiri hanya menghela napas.

‘Ah, sial. Satu peluru meleset. Kukira semuanya pas tengah.’

Byeongjang di belakangnya menatap target seolah sedang melihat keajaiban.


“Satu… dua… sembilan belas? Ini nyata?”

“Cukup bagus, byeongjang-nim?”

“...Ya. Sangat.”

Byeongjang itu hanya mengangguk kaku.

MX16 bukan senjata yang bisa dikendalikan dengan keberuntungan.
Butuh kontrol, refleks, dan koordinasi sempurna.


“Woi, lihat itu! Shinbyeong baru, tapi kena sembilan belas!”

“Dia serius?!”

“Nama siapa, kau?”

“Ibeong Kim Minjun!”

Suara pelatih dan Hunter lain mulai ramai.

“Lihat tuh. Separuh tembakannya nempel di kepala target.”

“Katanya top trainee, ternyata beneran top.”


Tepat saat perhatian makin besar, suara keras terdengar dari speaker.

“Hei! Jangan ribut! Fokus ke giliran berikutnya!”

Kerumunan bubar sejenak.
Byeongjang di belakangnya mendecak kagum.

“Hebat juga, ya. Aku aja cuma 14. Kamu... memang beda.”

“Ibeong Kim Minjun, terima kasih.”

Byeongjang itu menepuk bahunya dengan tawa getir lalu mengambil posisinya.


“Semua posisi, siap menembak!”

“Siap menembak!”

Setelah giliran byeongjang selesai, hasilnya 14 tembakan tepat.
Rata-rata tinggi, tapi tetap jauh di bawah Minjun.

“Tch. Padahal kupaksa fokus penuh.”

Pelatih mengumumkan akhir sesi.

“Kumpulkan target dan tunggu di tempat.”


Begitu waktu istirahat dimulai, Hunter berhamburan mengelilingi Minjun.

“Hey, kamu beneran Kim Minjun?”

“Ibeong Kim Minjun! Ya!”

“Kasih liat targetnya!”

“Siap!”

Ia menyerahkan kertas target penuh lubang di area kepala.
Semua bersiul.

“Gila. 19 peluru.”

“Lihat nih. Sembilan belas semuanya di kepala?”

“Ini manusia, kan, bukan mesin?”

“Gimana kau ngelakuinnya, hah?”

“Cuma pakai teknik yang kupelajari di pelatihan.”

“Berapa peluru yang kena waktu itu?”

“Dua puluh semua.”

Tepuk tangan spontan terdengar.


“Selama aku di sini, belum pernah ada yang dapat 19.”

“Bahkan byeongjang terbaik kita aja cuma 17, kan?”

“Benar. Anak ini gila.”

Minjun hanya tersenyum canggung.
‘Coba kalian latihan di dunia lain. Gagal satu peluru aja bisa mati.’

Tapi jelas ia tak bisa bilang itu.


“Hebat. Tapi jangan puas dulu. Sore nanti special shooting, ya?
Kalau tadi aja kayak gini, nanti pasti luar biasa.”

“Ibeong Kim Minjun! Siap!”

“Bagus. Beneran bukan cuma gelar Top Trainee doang.”

Para senior menepuk bahunya satu per satu.


“Baik. Latihan menembak umum selesai!
Semua kerja bagus, terutama Kim Minjun!”

“Ibeong Kim Minjun!”

“Bagus! Pertahankan performamu di latihan berikutnya!”

“Dimengerti!”


‘Astaga, pelatihnya sampai puji? Gak pernah liat kejadian kayak gini.’

“Gila, biasanya dia gak pernah muji siapa pun.”

“Kayak ngeliat mitos hidup, sumpah.”

Tepuk! Tepuk! Tepuk!
Tepuk tangan menyebar di seluruh barisan.

Minjun menggaruk hidung, canggung tapi senang.


“Bersihkan senjata masing-masing, lalu kumpul di lapangan jam 1 siang!”

“Siap!”


Dalam perjalanan kembali, para sangbyeong dan byeongjang yang biasanya cuek mulai mengelilinginya dengan penuh rasa ingin tahu.

“Kalau tembakanmu full mark, dapat libur 6 hari 7 malam lho! Sayang banget cuma meleset satu!”

“Kalau aku pelatihnya, pasti kasih hadiah tambahan!”

“Gila, satu peluru lagi aja…”

“Hey, bagi tips dong! Aku traktir PX nanti!”

“Kalau kebanyakan mikir, malah gak kena, byeongjang-nim. Rasa dan insting lebih penting.”

“Anjir, jawabanmu kayak orang jenius. Sialan, bakat murni nih.”

“Eh, itu jawaban apa, dasar bocah. Sama aja kayak gamer yang bilang ‘last hit-nya feeling’.”

“Maaf, byeongjang-nim.”

“Hahaha! Bercanda, woy. Pokoknya kita senang ada elite kayak kamu di unit.”


Minjun hanya membalas senyum.

Tadi pagi, tak ada yang peduli padanya.
Sekarang, semua orang bicara padanya.


“Latihan umum beres. Nanti di latihan khusus juga tunjukin hasil serupa.”

Suara dingin terdengar di belakang.
Lee Seungho byeongjang.

Ia berjalan melewati Minjun tanpa menoleh.


“Oh, itu tadi Seungho byeongjang-nim, ya?
Biasanya dia super ketat soal latihan.
Kayaknya dia juga terkesan.”

“Dia dapet berapa peluru tadi?”

“Enam belas, katanya.”

“Wah, berarti kamu lebih tinggi dari dia.”

“...Diam. Suaramu kedengeran.”

“Siap, byeongjang-nim…”


Beberapa tawa kecil terdengar di antara mereka.

Begitu tiba di asrama, semua Hunter segera duduk,
membersihkan senjata untuk latihan siang hari.

 

Nunaaluuu Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review