2-26. Pembunuhan Raja
Tak pernah terbayang kami akan bertemu lagi seperti ini.
Sudah hampir empat tahun sejak terakhir kali kulihat wajah itu.
Dan rupanya, berbeda dari dugaanku, penampilannya tidak jauh berbeda dari saat kami bertemu di dunia asal.
“Benar-benar besar sialan ini.”
Yang terpikir hanyalah: besar sekali.
Meski kudongakkan kepala sekuat mungkin, seluruh tubuhnya tak bisa kulihat dalam satu pandangan.
Raksasa lainnya bahkan tidak sebanding dengan jari telunjuknya.
Bahkan altar tempat Asal berada—tanah tempatku berdiri saat ini—terlihat seperti bisa dihancurkan dengan satu pukulan tangannya.
Delapan lembar sayapnya mengibarkan badai dahsyat, merobek-robek awan di sekitarnya.
“Jangan menciut. Kita sudah pernah menjatuhkannya sekali.”
Aku mengetuk gagang pedang, bergumam.
Pedangku bergetar halus—tanda bahwa Lin sedang tegang.
Sejak ia merasakan tatapan asing dari Tanduk Musim Dingin, ini pertama kalinya ia bereaksi seperti ini.
“Ya. Aku juga merasakannya.”
Jawaban Lin terdengar genting.
Dia bukan lawan sepele.
Jauh berbeda kelas dari para botak yang kami hadapi sejauh ini.
Jika seluruh ras raksasa bertarung melawan satu dirinya, aku akan mempertaruhkan semua yang kupunya untuk kemenangan Raja.
Raksasa yang hampir punah beberapa waktu lalu itu kini mulai ribut panik.
『Wahai Raja.』
『Anda benar-benar turun sendiri…!』
Dari jarak ini saja, pedangnya menunjukkan kelas yang berbeda.
Pedang raksasa yang bagai dinding—bahkan setelah menahan tebasanku—hanya meninggalkan goresan tipis.
Meski menebas langsung dan membelah udara adalah dua hal berbeda, tetap saja ini pertama kalinya senjata raksasa tidak hancur.
“Ngomong-ngomong, waktu itu aku bahkan tidak sempat dengar namamu. Apa nama lengkapmu, hah?”
Aku bertanya seenaknya, tapi ia tidak menjawab.
Sebaliknya, Raja mengangkat lengan.
KWAAAAAAA!!
Dari tengah telapak tangan sebesar rumah itu, cahaya putih menyembur seperti meriam.
“Sopan santun minimal pun tidak ada, dasar bangsat.”
Skalanya menutupi seluruh pandanganku.
Aku tidak menghindar—pedangku kutegakkan secara vertikal.
Cahaya itu terbelah.
Langit seakan teriris menjadi tiga bagian.
Meski terbelah, tiap berkas cahaya—dengan diameter lebih dari sepuluh meter—melenyapkan apa pun yang tersentuhnya.
『……!』
『A…!』
Setidaknya seratus raksasa tewas dalam satu serangan.
Tidak ada sisa apa pun di tempat yang dilalui cahaya itu.
Ia benar-benar tidak peduli pada nyawa bawahannya—jelas bukan tipe raja baik-baik.
Begitu cahaya berhenti, pedang raksasa itu menyapu ke arahku.
“Tsk.”
Tebasan horizontal, selebar gunung.
Aku tetap berpijak di tempat, memiringkan tubuh ke belakang.
Tepi pedang itu menyusuri ujung hidungku.
Sejenak kemudian, angin tebasan menyapu seluruh area.
KWAAAAAA!!
Bulan sabit raksasa muncul di langit, membelah awan.
Dan sekali lagi—puluhan raksasa tewas.
Tubuh pecah, darah biru dan daging menciprati udara sebelum jatuh ke kehampaan.
Bulan sabit itu menyeret ekor cahaya biru hingga ke cakrawala.
“Cukup, dasar sinting!”
Aku menekuk tubuh seperti pegas, lalu melompat ke arah Raja.
Tebasan menusuk menghujani—beruntun, cepat, keras.
Aku menghindari semuanya dengan selisih selembar kertas—dan saat posisi Raja terbuka sedikit, jarak kami menutup.
Raja berusaha mundur, sadar akan bahaya.
SRAK!
Tebasanku menghajar matanya dari arah kanan.
“Ya!”
『Ghh…』
Akhirnya Raja mengeluarkan suara—luka pertamanya.
Dari bola matanya yang terbelah, darah biru memancar deras.
Pedangku—yang telah meminum darah para botak—menyala seperti sedang terbakar.
“Bagaimana rasanya jadi bermata satu? Sudah siap serius sekarang?”
『Sekedar serangga pun berani…』
Raja menggenggam pedangnya dengan kedua tangan.
Dan seluruh raksasa di sekitarnya mulai bergerak mengitariku.
Pertempuran besar pun dimulai.
“Haa… haa… m-mereka pergi!”
“Sial… kkh! Apa kita masih hidup…?”
Rhetansie mengatur napasnya yang tersengal sampai ke tenggorokan.
Abel jatuh berlutut, bertumpu pada pedangnya yang retak.
Tubuhnya memerah, seperti siap meledak kapan saja setelah menahan bombardir terakhir para raksasa.
Uap putih mengepul dari tengkuknya.
“…Sepertinya begitu.”
Phantasion mengangguk.
Dialah yang paling hancur.
Tanduk anggun yang biasanya menegakkan wibawanya kini hancur, hingga terlihat seperti tanduk rusa jantan biasa.
Kapak ganda Gran Cappadocia yang ia bawa sejak dulu pun hancur, menyisakan gagangnya saja.
“Mereka tidak peduli pada kita lagi.”
Seluruh raksasa terbang menuju tempat Ronan menghilang.
Mereka menyerbu Asal, begitu banyak hingga tampak seperti satu gumpalan bola cahaya putih raksasa.
Orshe—yang memperpanjang lehernya seperti bangau—mengkerutkan dahi.
【…Sepertinya Ronan brengsek itu setengah berhasil. Raja sudah turun.】
“B-betul Raja…?! Haruskah kita membantu?”
【Membantu?】
Orshe mendengus.
Rhetansie hanya berkata begitu karena ia tak melihat apa yang dilihat Orshe.
Gumpalan raksasa itu,
Suara Orshe dipenuhi rasa takut, hormat, dan keyakinan.
【Tugas kita sudah selesai. Percayakan sisanya padanya.】
『Sampai kapan kau pikir bisa bersikap seenaknya?』
Raja itu cepat, jauh lebih cepat daripada tubuh raksasanya.
Dengan tubuhnya menutupi Asal, ia melancarkan serangan demi serangan.
Setiap ayunan menciptakan badai.
Para raksasa yang mencoba mendekat malah terhempas oleh angin dari serangannya sendiri.
“Tolong jangan hancurkan lantai, brengsek.”
Masalahnya bukan badai atau serangannya.
Masalahnya: aku hampir tak punya tempat berpijak.
Aku bertempur di atas reruntuhan yang tersisa dari kuil Asal.
Di sisi lain, Raja dan pasukannya menjaga ketat sisi kuil yang masih utuh.
Aku melompat lagi, tubuh mengalir seperti per.
“MATI SAJALAH!”
Pedang kami beradu.
Setiap benturan memercikkan kilat.
SRRAAK!
Tekanan pedang Raja merobek udara.
Sebuah garis putih melengkung membelah langit.
Garis itu tetap melayang sesaat, berpendar seperti cahaya hidup.
“Hm?”
Sebelum sempat kuperhatikan—
KWAAAAANG!!
Garis itu meledak.
Raksasa-raksasa yang berada di jalurnya seketika tercabik.
Belum pernah kulihat teknik seperti ini—pasti kemampuan baru yang ia dapat setelah menyerap lebih banyak jiwa dibanding raksasa dari dunia asal.
Aku lolos dari ledakan dengan mengerahkan seluruh tubuh.
Tapi—
Dari arah kanan atas—serangan datang terlalu cepat.
Ah… ini tak bisa dihindari.
Aku memaksakan tubuh berputar besar, menangkis tebasan itu.
“GHH!”
Tubuhku terhempas seperti ditembak ballista.
Tentu saja. Badannya terlalu besar—serangan penuh tenaganya tak mungkin bisa kutahan sempurna.
Seorang raksasa yang kebetulan berada di belakangku mencoba menahan tubuhku.
『Kau…!』
“Terima kasih.”
Aku menapak dadanya dan melompat lagi.
Dada raksasa itu amblas, ia memuntahkan darah, lalu jatuh.
Jarak antara kami menipis lagi.
Tebasanku menggores pinggang Raja.
SRAAK!
Darah biru dan kental muncrat seperti air mancur.
『Ghh, kau…』
Raja mengkerut.
Sayangnya tidak cukup dalam.
Kami kembali bertukar serangan.
Guntur bergemuruh. Darah berserakan.
Setiap serangan yang mengenai, meninggalkan luka pada tubuh masing-masing.
‘Memang jauh lebih kuat daripada versi dunia asal… bajingan.’
Darah dari hidungku mengalir sampai ke bibir—kuusap dengan lengan.
Aku memang terbang bebas di sini, tapi Raja raksasa ini telah tumbuh tanpa hambatan sejak awal. Jelas ia jauh lebih kuat daripada yang pernah kubunuh.
Bawahannya tidak berani lagi ikut campur—mereka hanya membentuk barisan jauh di belakang.
KAAAANG!!
Tebasan kami bertabrakan dan kami terpental.
Aku hendak menyerbu lagi—namun Raja berhenti bergerak.
Raja berdiri diam seperti patung.
“…Huh? Apa yang kau lakukan?”
『…Apa yang kau ketahui tentang Raja Sebelumnya.』
“Hah? Dalam situasi begini… kau tanya itu?”
『Bicaralah.』
Aku benar-benar tidak mengerti cara pikir ras ini.
Apa dia merasa sudah pasti menang?
Aku menggaruk dagu, lalu mengangkat jari tengah.
“Tidak. Bajingan.”
『Apa…?』
“Aku malas. Dan aku sudah menjelaskan itu di dunia asal. Ngapain aku ulang dua kali?”
Toh aku hanya menggunakannya untuk menarik perhatian para botak waktu itu.
Tidak ada alasan bagiku menjelaskan tentang Raja Sebelumnya atau Seniel yang dibekukan.
Wajah Raja mengeras.
『Beraninya… kau akan menanggungnya.』
“Silakan.”
Aku meludah ke arahnya.
Delapan sayap raksasa terbentang.
Angin badai menghantam seluruh area.
Aku menancapkan pedang ke lantai untuk bertahan.
Semuanya tersapu—bangunan, batu, tanah—semua hilang dalam radius beberapa kilometer, kecuali kuil tempat Asal berada.
“Ghh…!”
Mantelku yang berlumuran darah berkibar liar.
Di atas kepala Raja, partikel putih berkumpul.
Dalam sekejap, ratusan senjata cahaya terbentuk.
Masing-masing sebesar pedang raksasa, sebagian sedikit lebih kecil.
Ketika Raja menudingkan telunjuk—
Semua senjata itu jatuh seperti hujan.
“Oh… sial betul.”
Ini agak menyebalkan.
Pandanganku memutih.
Energi itu siap melenyapkan seluruh kuil.
Aku butuh langkah terakhir—trik pamungkas.
Aku menggenggam pedang.
“Ya. Aku juga tidak punya tempat pulang.”
Sudah waktunya membuat keputusan.
Lin bergetar hebat—merasakan bahaya yang sama denganku.
Bagaimanapun, semua tempat pijak akan hancur dalam serangan ini.
Aku menarik napas panjang.
Untuk pertama kalinya hari ini… aku merasa tegang.
“Huuuuup…”
Senjata-senjata itu sudah berada tepat di atas kepala.
Rencana telah selesai tersusun.
Aku menjejak puing dan melompat.
Cahaya mendekat.
Hujan tombak dan pedang cahaya menghancurkan setengah kuil seperti pasir yang tertiup angin.
Tidak ada pijakan tersisa, tapi aku tidak peduli.
Aku memang sudah tidak bisa kembali.
“Botak.”
Aku terus melesat—seperti komet.
Pedangku menari.
Setiap senjata cahaya, setiap raksasa di jalur terpotong menjadi ratusan bagian.
Sementara itu—di depan sana—jalur terbuka.
Raja tampak sepenuhnya.
Ini dia.
Aku mengayunkan pedang ke arah bawah.
BOOM!!!
Tebasan itu meledak di bawah kakiku, mendorong tubuhku sekali lagi ke depan.
Seperti teleportasi instan—ruang seakan terlipat.
Wajah Raja yang jauh tiba-tiba berada tepat di depan mataku.
PEEENG!!!
Ledakan sonik meledak di belakangku.
『A…』
“Drama kerajaanmu selesai di sini, bajingan!”
Gemuruh bergema di telingaku.
Dan saat itulah… ada sesuatu di dalam diriku yang pecah.
Waktu melambat.
Gerakan Raja—yang terburu-buru mengangkat pedang—tampak seperti siput yang menguap.
Segala partikel cahaya di sekelilingku tampak jelas—jutaan, miliaran butiran.
Sensasi yang dulu kadang muncul… kini menjadi sempurna.
Raja berniat membunuhku dengan hujan serangan tadi.
Menjengkelkan, tapi sudah terlambat.
Karena sekarang… semuanya sudah terjadi.
Pedangku—satu-satunya yang masih bergerak pada kecepatan normal—melukis lengkungan cahaya.
Garis biru membelah leher tebal Raja.
Dan tepat ketika aku melewatinya—
Langit terbuka di hadapanku.
SRAAAK—
Garis itu memisah.
Dan kepala Raja raksasa terpental ke udara.
2-27. Desperasi
Kepala Raja terbang membelah langit.
Arus waktu kembali mengalir normal.
Delapan sayapnya berhenti bergerak—kaku, membatu.
Tubuh raksasa tanpa kepala itu jatuh menembus awan.
『Tidak···!』
『Yang Mulia!!』
Para raksasa menjerit.
Gerakan pasukan yang tadinya seragam kini berubah kacau.
Mereka saling bertabrakan; beberapa bahkan kehilangan keseimbangan dan jatuh sendirian.
Seperti kawanan lebah yang terserang beruang.
“Pantas. Bagus begitu.”
Pasti karena mereka telah menyadari datangnya kepunahan.
Untuk kedua kalinya, aku menyadari betapa berat bobot kematian itu.
Ketakutan atas akhir hidup—tak peduli seberapa angkuh atau luhur suatu ras—tak ada yang mampu menolaknya.
Kini hanya satu tugas yang tersisa: menghancurkan Asal.
Sumber kekuatan dan jiwa itu masih berpendar di setengah bagian kuil yang dijaga Raja.
‘Benar-benar rumah kosong.’
Aku bersiul ringan sambil berjalan menuju Asal.
Para botak yang terperosok dalam kepanikan menjadi pijakan bagiku.
Kira-kira dua puluh kepala licin sudah kupakai sebagai batu loncat.
Akhirnya, aku tiba di hadapan Asal yang berdenyut di atas reruntuhan.
“...Ini akhir.”
Abel hingga akhir menentang penghancuran Asal.
Katanya, Asal akan sangat berguna untuk memulihkan dunia.
Secara teori, itu benar.
Esensi ras raksasa itu pasti bisa dimanfaatkan bila jatuh ke tangan kami.
Bahkan mungkin, dengan metode tepat, kami pun bisa menjadi pemangsa kosmos seperti mereka.
Tapi aku tidak menginginkan itu.
‘Barang curian harus dikembalikan.’
Pada akhirnya, Asal adalah kumpulan jiwa-jiwa yang mereka rampas dari planet-planet lain.
Pencuri roti saja merasa bersalah. Apalagi mencuri jiwa makhluk hidup untuk dijadikan bahan bakar.
Tidak ada nilai yang perlu dipikirkan.
Begitu aku mengangkat pedang untuk menjatuhkan hukuman—
KWAANG!!
Tiba-tiba, sebuah tangan raksasa muncul dari bawah kuil dan menggenggam Asal.
“Sialan, apa lagi itu?!”
『Itu···uh···kaaaa···!』
Semua terjadi dalam sekejap.
Tubuh tanpa kepala itu meloncat dari bawah reruntuhan.
Itu jelas Raja yang sudah kubunuh tadi.
Menyadari itu, aku tak bisa menahan makian.
“Dasar bangsat keras kepala!”
Berbeda dari pertarungan di dunia asal.
Meski kepalanya terpenggal, Raja ini masih hidup.
Kepalanya—yang semula terlepas—kini tergenggam di tangan kirinya.
Memang tinggal sedikit lagi sebelum mati, tapi dasar menjijikkan—benar-benar keras untuk mati.
“Bahkan ini pun terjadi.”
Tetap saja bukan masalah.
Kalau perlu, tinggal kupotong lagi.
Tepat saat aku hendak melancarkan tebasan—
PAAAAAAH!
Cahaya menyembur dari sela-sela jarinya yang menggenggam Asal.
“Ugh.”
Langit memutih.
Refleks, tubuhku meringkuk.
Saat kubuka mata lagi, cahaya itu merambat naik mengikuti pembuluh darah seperti akar pohon di lengan Raja.
Kepala yang dipegang tangan kirinya ditempelkan kembali ke lehernya, mengerang seperti makhluk yang disembelih.
『Itu... keaaaak···!』
“Apa yang kau lakukan sekarang…?”
Perasaan buruk merayap.
Luka-luka di tubuh Raja mulai sembuh dengan kecepatan abnormal.
Bagian yang terbelah menyatu, pendarahan berhenti.
Bahkan sambungan leher—yang seharusnya mustahil—menggelembung, berbuih, dan mulai beregenerasi.
『Kwak!』
Raja meraung dan mengayunkan tinju.
Serangannya jauh lebih cepat dari sebelumnya.
Aku menghindar—hanya setipis selembar daun.
Tapi seluruh jalur tinjunya lenyap.
Dinding luar kuil, awan pucat, ratusan raksasa yang beterbangan—semua disapu bersih.
PEOOOOH!!
Suara terbelakang menyusul.
“…Heh.”
Aku tertawa kering—absurd.
Serangan kedua datang tanpa jeda.
Aku memutar tubuh, menghindar sempit.
Tinju itu kembali menembus langit, membentuk terowongan transparan yang menjulur sampai jauh.
Kekuatan ini jauh lebih besar daripada saat sebelum ia dipenggal.
『Kwaaak! Grrruk, kwaak!』
“...Lihat kau. Jijik sampai akhir.”
Namun ini bukan pemulihan tanpa harga.
Setiap kali Raja meraung, langit bergetar.
Dari kulit tebalnya, asap biru mengepul.
Pembuluh darah seluruh tubuhnya membengkak seperti akan meledak, bersinar putih seperti Asal sendiri.
Delapan sayapnya pun bergerak aneh, seperti boneka rusak.
Seketika aku memastikan.
Ini bukan kebangkitan sejati.
Cuma desperasi terakhir—membakar Asal untuk memaksa tubuhnya hidup kembali.
Genggaman tanganku pada pedang mengeras.
“Baik. Kubunuh lagi, dan lagi.”
Aku menjejak reruntuhan yang tersisa—meski hampir tidak ada pijakan.
Lalu melompat.
Tinju Raja menghancurkan kuil.
Ia mencoba meraihku, namun sia-sia.
SRAK!
Tebasan pedangku menggambar bulan sabit besar.
Empat sayap kanan Raja terbang tercabut.
Dengan memicu ledakan pedang di bawah kakiku, aku mempercepat gerakan dan menghunjamkan pedang ke dada Raja.
『Haaah!』
“Ayo jatuh bersama.”
Kami jatuh.
Di balik deru angin, terdengar jeritan para raksasa.
Dalam sekejap, kami menembus awan.
Lapisan tebal awan pecah, memperlihatkan hamparan luas di bawah.
Celah peradaban raksasa—samudra awan yang memisahkan kota mereka.
“MATI SAJA, BAJINGAN!”
『Aduh! Aduh!』
Raja meronta, namun tidak bisa melepaskan diri.
Aku harus menghancurkannya benar-benar, sampai tak tersisa satu pun ancaman.
Setiap tusukan dan tebasan membuat darah bercahaya terpercik.
Darah itu tampak seperti raksa—mengikis, berubah menjadi uap, lalu lenyap.
Menjadi jiwa.
‘Tidak bisa dibiarkan. Ini berbahaya.’
Tubuh Raja dan Asal mulai menyatu.
Satu tetes darah Raja mengandung puluhan ribu jiwa.
Aku menebas secepat mungkin untuk mengeluarkan sebanyak mungkin darah.
Darahnya mengalir mudah, tapi luka-lukanya sembuh sama cepatnya.
“Sial, berhenti menyatu!”
Kalau tidak terpotong bersih, percuma.
Kami terus jatuh, sampai akhirnya menembus dasar awan, turun ke bawah.
WHUUOOSH!
Tanah putih steril tersingkap.
Di kejauhan, gunung-gunung bergerigi menjulang seperti tulang belakang.
Karena planet ini raksasa, pegunungan pun absurd tingginya—puncaknya setidaknya sepuluh ribu meter.
Dalam kekacauan tebasan, Raja tiba-tiba fokus.
Matanya kembali punya cahaya.
『Krrrr... kamu, beraninya kamu!』
“Apa?”
Aku terlambat.
Saat kudongakkan kepala—tinju Raja sudah tepat di depan wajahku.
Tidak mungkin menghindar.
Aku memiringkan pedang untuk menangkis.
KRAAK!!
Kilatan putih memenuhi pandangan—tubuhku terpental.
“Keugh!”
『Berani-beraninya menyentuh Asal…! Atas nama Raja Sebelumnya dan kehormatan klan, kau pasti kuhancurkan!』
Suara menggelegar menghantam udara.
Kesadaranku berputar sebelum kembali fokus.
Saat kupaksa membuka mata, kulihat Raja melipat empat sayapnya, menjunam lurus seperti meteorit.
Kecepatan itu mengerikan—akan segera mencapai diriku.
“Tch… sial.”
Rasa darah memenuhi mulut.
Sepertinya satu atau dua gigi patah.
Tidak kusangka ia bisa menyerap itu semua dan memulihkan kesadaran.
Tentu—ia Raja. Ketahanan hidupnya pun Raja.
Tinju yang terjulur lurus, dilingkupi cahaya putih seperti badai.
“Jadi kau mau menunjukkan kekuatanmu sungguhan?”
Kalau kena itu, tubuhku akan menghilang tanpa sisa.
Dan makin lama, kekuatan Raja bertambah cepat—Asal memperkuatnya terus.
Tubuhnya yang nyaris runtuh kini menstabil.
Kebocoran jiwa dari kulitnya berkurang drastis.
Aku teringat akan sesuatu.
Sesuatu yang pernah melihat di dunia asal.
Abel, saat ia menyerap kekuatan Asal.
Musuh terburukku—yang bahkan lebih ingin kubunuh daripada siapa pun.
“Kuh… hidup tidak pernah mudah.”
Di tengah krisis mendekatnya kematian, aku malah tertawa.
Sensasi ini… sudah lama tidak kurasakan.
“Baik. Mari kita akhiri.”
Aku menggenggam pedang dengan dua tangan.
Tetap dalam posisi terjatuh, aku mengarahkannya lurus ke Raja.
Tidak ada metode lain.
Meski kupikir lama, jawabannya tetap ini.
PAAAAAH…
Cahaya merah jingga naik mengikuti bilah pedang.
Aura itu—auraku—menarik musuh mendekat.
Jubahku berkibar di tepi pandangan, seperti nyala api hitam.
Di langit planet para botak itu—
Pegunungan raksasa semakin jelas di bawah.
“Hnngh…!”
Aku mencengkeram gagang pedang sekuat tenaga.
Aura yang berkumpul pada pedang meledak maju sekaligus.
Raja terseret masuk ke dalam cahaya merah.
Karena beda ukuran begitu besar, auraku memengaruhi kami berdua.
Raja terseret ke arahku.
Dan aku—yang tadinya jatuh—meluncur ke arahnya.
“Kh…!”
Aku mengatup rahang.
Kecepatan ini jauh melampaui ledakan aura biasa.
Dalam sekejap, kami menjadi hampir secepat cahaya—menerjang satu sama lain.
Ia belum menyadari keberadaanku.
Tapi aku melihatnya jelas—penuh amarah, meninju ke depan.
Sangat dekat.
Cukup dekat untuk pedangku memotongnya.
Saat itulah mata Raja melebar, seakan hendak meloncat keluar.
『Apa···!』
Sensasi merinding menjalar di tengkukku.
Kemampuan pengindraanku—baik sebelum maupun sesudah menyerap Asal—tidak bisa dibandingkan.
Pantas saja aku ingin memijat kulit kepalaku sendiri.
Tapi tentu, aku tidak menjawab.
Tidak ada alasan. Tidak ada waktu.
“……”
Aku menurunkan pedang—tebasan vertikal.
Bilah pedang bersinar merah pekat, menghantam wajah Raja.
Karena kami sama-sama melaju, aku tidak perlu menambah tenaga—tebasan itu sudah cukup.
Dari leher, menuruni dada, mengiris tulang belakang—sampai pinggul.
Begitu tubuh kami berpapasan—
Cahaya merah membuncah.
Tubuh Raja terbelah tegak lurus, jatuh ke dua sisi tubuhku.
『……!』
Tak ada suara daging robek.
Tak ada kata terakhir.
Hanya dua belahan bersih yang memuntahkan cairan bercahaya.
KWAAAAAA!!
Tak terhitung banyaknya aliran cahaya melesat ke langit.
Itu semua—jiwa-jiwa yang terbelenggu.
Sepertinya Asal ikut hancur ketika jantung Raja terbelah.
『Kuaaaak!』
『Itu, Itu menghilang···!』
Jeritan penuh keputusasaan menggema di atas kepalaku.
Saat menoleh—ratusan ribu, jutaan raksasa tengah turun dari awan.
Mereka datang membantu Raja—
dan tubuh mereka terurai menjadi partikel putih sebelum sempat mendekat.
Benar-benar pemandangan menyenangkan.
Aku tertawa kecil dan mengacungkan jempol.
“Selamat tinggal, tolol.”
Dan kuturunkan jempol itu.
Beberapa melempar tombak cahaya—namun jarak yang terlalu jauh membuatnya menghilang sebelum menyentuhku.
Ketika kupejamkan mata sebentar dan membukanya lagi, langit sudah kosong.
Itu berarti satu hal:
Kekalahan total ras raksasa.
Dan keberhasilan sempurna dari rencana kami.
Hanya ada satu masalah:
Tubuhku sekarang sedang jatuh.
“Sial.”
Pikiranku kosong.
Aku melirik ke bawah.
Meski semakin dekat, permukaan tanah masih ribuan meter jauhnya.
Bayangan buruk terlintas.
Dagingku akan tercerai-berai dan mewarnai lereng gunung.
Sementara itu bumi semakin mendekat.
Lin menggigil keras, memberi peringatan panik.
PAF!
Sesuatu yang tak terlihat menangkap tubuhku.
“D-dapat! Orshe-nim! Aku yang dapat, lihat!”
【Berisik. Aku juga melihatnya!】
Dua suara keras terdengar bersamaan.
Begitu familiar.
Dalam posisi terlentang di udara, aku menengadah.
Seekor naga hitam terbang mendekat—membawa wajah-wajah yang kukenal.
Kaku yang menegang di tubuhku akhirnya mencair.
Sisi bibirku terangkat naik.
“Kalian cepat juga datang.”
2-28. Bencana yang Datang dari Masa Depan (1)
Dunia berada dalam keheningan.
Angin tanpa aroma berhembus sejuk.
Dari puncak gunung yang tak kuketahui namanya, seluruh pemandangan sekitar terlihat jelas.
Deretan pegunungan menjulang seperti ombak—tinggi hingga membuat seluruh gunung di planet kami terlihat seperti bukit Nimbertun.
Padahal tempat ini hampir menjadi makamku, namun berkat kerja keras para anggota rombongan yang menyebalkan tapi dapat diandalkan, aku bisa tetap hidup.
Aku melemparkan kantung air kepada Phantasion, yang sedang duduk di depan api unggun.
“Kerja bagus. Rusa berotot.”
“Kau juga.”
Phantasion menerima kantung air dan tersenyum.
Penampilannya jauh lebih kusut dibanding saat kami memulai perjalanan.
Aku mengetuk kepalaku sendiri dengan jari.
“Tandukmu nggak apa-apa? Aku bukan rusa, jadi kurang paham, tapi itu penting, kan?”
“Penting. Lambang kekuatan dan otoritas.”
“Aku sudah menduga. Nanti kita pulang dan coba pasang lagi. Noona Navardoge pasti bisa memperbaikinya.”
“Hanya kata-katamu saja aku sudah berterima kasih. Tapi aku tidak apa-apa.”
Phantasion menggeleng.
Jujur, aku tidak tahu bagian mana yang “tidak apa-apa”.
Luka-luka di seluruh tubuhnya terlalu dalam, kebanyakan akan meninggalkan bekas permanen.
Tanduk megahnya hampir hancur total, membuatnya tampak seperti rusa jantan biasa.
Pertempuran ketika kami terkepung oleh pasukan botak telah mengikis terlalu banyak dari dirinya.
Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan.
“Berkatmu… aku bisa membalas dendam.”
Meski begitu, Phantasion terlihat bahagia.
Ia menghabiskan kantung air itu dalam sekali minum, lalu langsung mengantuk dan mulai mengangguk-angguk.
Masih banyak yang ingin kubicarakan dengannya, tapi aku tidak membangunkannya. Padahal aku ingin mendengar cerita masa lalunya kali ini. Sayang sekali.
“Ya sudah. Tidurlah.”
Aku memalingkan pandangan ke samping.
Rhetansie dan Orshe sudah tumbang sejak tadi, terbaring di tanah.
“Kooo… kooo…”
“Navardoge… uugh… hentikan itu…!”
“Ini bocah mimpi apa lagi?”
Semua kelelahan yang menumpuk selama ini akhirnya meledak sekaligus.
Bahkan setelah menyelamatkanku, mereka langsung berlari ke sini tanpa istirahat.
Aku sungguh bersyukur mereka semua ikut bersamaku.
Aku yakin setelah aku pergi nanti, ketiganya akan membantu Navardoge memulihkan dunia dengan baik.
‘Syukurlah. Sepertinya Noona tidak akan merasa kesepian.’
Sekarang hanya ada satu orang yang belum tidur: Abel.
Sejak mendarat, dia terus bermuram durja—dan aku sungguh malas mengajaknya bicara.
Ya sudah, lebih baik makan dulu.
Aku merogoh saku mantel dan mengambil sepotong daging kering.
Dari belakang, terdengar suara seseorang menghela napas seolah ingin menenggelamkan bumi.
“Haaah… dasar… bodoh… sebodoh-bodohnya makhluk…”
“Serius? Masih begitu?”
Ada batas kesabaran.
Aku melempar daging kering tepat ke kepalanya.
Tak!
Daging itu memantul dari kepalanya lalu jatuh ke tanah.
Tapi Abel tidak bergerak.
“Sudahlah. Sampai kapan mau meratap di situ?”
“Tutup mulutmu. Kau lebih bodoh daripada Hyung-nim. Jika kau menyisakan… bahkan sepotong kecil saja… kami bisa menjadi penguasa dunia.”
“Ngaco. Sini makan. Kalau tidak, aku makan punya milikmu sekalian.”
“Kau saja yang makan… Kau baru saja merampas kesempatan semua makhluk di planet kita… Kau menebas kemungkinan satu-satunya bagi tikus got untuk berevolusi menjadi singa… dengan pedangmu yang rendah itu…”
Abel menatap langit kosong.
Jutaan jiwa yang terbebas dari Asal melayang seperti lentera di bawah awan.
Indah—sampai tak ada kata yang pantas menggambarkannya.
Melihat pemandangan seperti itu sambil mengeluh… itu sendiri adalah bakat luar biasa.
Aku mengeklik lidah dan membuka bungkus daging kering lain.
“Itu bukan kesempatan kita. Itu kesempatan mu sendiri.”
“Apa katamu?”
“Jangan sembarang menetapkan batas pada orang lain. Asumsimu saja sudah salah—menyebut orang lain tikus got? Tapi meski pun… bukan berarti mereka tak punya kesempatan menjadi singa. Bicaramu tentang kesempatan tunggal dan penguasa dunia itu… kedengarannya bodoh dan egois.”
“Hah! Kau pikir aku tidak mengenal para mortal? Kau tahu apa yang kulihat saat berjalan dengan Hyung-nim?!”
Abel akhirnya menatapku.
Refleks aku tersentak.
Wajah yang mirip denganku itu dibasahi air mata.
Tidak seperti darahnya yang ungu—air matanya jernih dan bening.
Agak aneh melihatnya begitu.
Aku menggaruk pipiku.
“…Kalau begitu pun, itu bukan alasan untuk menangis kan?”
“Tutup mulut. Aku sudah kehilangan segalanya. Bahkan tujuanku—yang selama ini memberiku alasan untuk hidup—pun musnah. Keluhanku sangatlah beralasan.”
“Itu tujuan yang memang sampah dari awal… Hah, dagingnya habis.”
Perutku seolah diisi lima pengemis yang berkelahi.
Mungkin karena habis bertarung, makan apa pun terasa kurang.
Aku berdiri dan menghampiri Abel.
“Kalau begitu, cari tujuan baru. Yang lebih waras. Ayahku juga pasti menginginkan itu.”
“…Sialan.”
“Aku mengantuk dan lapar, jadi ayo pulang. Terima kasih hari ini, serius.”
Aku menepuk pundaknya.
Sejijiknya dia sebagai manusia, kenyataannya dialah yang paling berjasa memastikan semua orang hidup kembali.
Bahkan jika aku mendoping kekuatan mereka dengan darahku, tidak semua orang bisa bertahan dari serangan penuh para botak.
“Oh ya, kau tahu cara kembali ke dunia asal? Aku agak khawatir.”
“…Kau pikir aku apa? Itu jauh lebih mudah daripada datang kemari.”
“Bagus.”
Aku menguap sambil mengaitkan tangan di belakang kepala.
Ras raksasa telah punah.
Jiwa-jiwa tak berdosa kembali ke surga mereka masing-masing; planet kami pun akhirnya akan kembali pulih.
Hanya satu hal yang mengganggu: keberadaan Akasha.
Aneh sekali, dia tidak muncul sampai aku membelah Raja menjadi dua.
Apa dia sedang bertarung melawan diriku dari masa depan?
Atau mengacau di dunia paralel lain?
Untuk saat ini, tidak ada yang tahu.
Aku memandang jiwa-jiwa yang naik ke langit sambil berucap,
“Yang sudah terjadi tak bisa diubah. Jadi tinggalkan saja tanpa penyesalan.”
“Untuk para pahlawan yang menyelamatkan dunia! Bersulang!”
“Bersulang!!”
Sorakan menggema saat gelas-gelas saling beradu.
Alkohol tumpah membasahi lantai.
Sudah tiga hari sejak kami kembali dari Dunia Botak.
Dan seperti biasa, malam ini pun pesta kembali diadakan.
“Kapten Orshe, ceritakan lagi waktu itu! Bagaimana Anda menyelamatkan Ronan-nim?”
“Kuahahah! Waktu itu? Baik, akan kuceritakan lagi. Si brengsek kecil itu sudah kehabisan tenaga dan jatuh dari langit…”
Orshe tertawa besar sambil memulai cerita kepahlawanannya.
Anak buahnya yang mabuk bersorak terpukau.
Sepertinya itu kenangan yang sangat membahagiakan—puluhan kali ia bercerita, tak sekali pun dia terlihat terganggu.
“Hey, Rhetansie! Tunjukkan lagi tadi itu!”
“Ehehe~ Baik kalau begitu~ Uchaa!”
“Oooh! Penyihir agung minuman keras!”
Dua Uskup Agung pun menikmati suasana.
Dengan telekinesisnya, Rhetansie membuat minuman melayang dan bercampur di udara.
Gumpalan alkohol meledak indah, mengisi gelas semua orang dengan presisi sempurna.
“Hah, tandukmu jadi menggemaskan ya, Phantasion… hik… Mau ke kamarku sebentar?”
“Aku sudah punya istri yang wafat.”
“Aduh, aku juga. Suamiku yang ketiga itu terakhir.”
Phantasion sudah didekati lima kali malam ini.
Dan bukan oleh sesama beastman—kali ini bahkan elf mencoba mendekatinya.
Kupikir tanduknya yang rusak akan menurunkan pesonanya, tetapi malah membuatnya lebih menggemaskan, katanya.
“Hidangan berikutnya datang!”
“Ini malam terakhir! Besok kita bekerja mati-matian lagi, jadi nikmati habis-habisan!”
Aula tempat Seniel disimpan telah berubah menjadi ruang pesta raksasa.
Dekorasi Navardoge yang cantik membuatnya tampak seperti garden party kaum bangsawan.
Kami berempat—pahlawan yang kembali—(Abel tidak hadir) menerima penghormatan yang pantas.
“Ayo Nak, bagaimana tubuhmu?”
“Sudah jauh lebih baik, Noona. Noona sendiri?”
“Aku juga. Semua berkatmu, Nak.”
Navardoge menempel padaku seperti permen lengket.
Kalau Adeshan melihatnya, dia pasti pingsan.
Bahkan napas pun sulit karena dadanya menekan rusukku, namun dia sama sekali tidak melepas lengannya.
“Oh—ini akhirnya datang!”
Setiap kali hidangan baru keluar, dia menyuapiku bagian paling enak.
Aku tidak mengerti mengapa ia memakai tangan, padahal peralatan makan tersedia.
Apakah tangan panas bisa membuat makanan lebih enak?
“Cepat makan. Ini babi pertama yang berhasil kami ternakkan.”
“C-cukup… Jika makan terus, aku harus buang air sambil makan. Lambungku bukan karet, Noona!”
Perutku benar-benar mau meledak.
Sebanyak apa pun aku makan, ini sudah kelewatan.
Navardoge tampak bingung.
“Tapi kau bilang lapar, bukan? Aku yang memasaknya juga…”
“Itu tiga hari lalu! Kita pesta tanpa henti! Kalau aku masih lapar sekarang… Oh baiklah! Aku makan! Jadi berhenti memandangku begitu! Haaaap!”
Tatapan itu tidak adil.
Aku menarik napas dan menggigit hidangan itu.
Jari-jarinya hangat karena saus.
Dia mengusap kepalaku sambil mengambil hidangan berikutnya.
“Huhu, senang melihatmu makan banyak. Ini juga aku yang—”
“Tu-tunggu dulu!”
Aku benar-benar akan muntah kalau ini berlanjut.
Aku menyelinap keluar dari pelukannya dan melambaikan tangan.
“Haaah… akan kuambil udara sebentar. Tidak apa-apa, bukan?”
“Uuuhm… kalau begitu… baiklah. Jangan pergi lama-lama.”
Navardoge mendesah khawatir.
Dia menggigit kukunya saat aku berjalan keluar dari aula.
Dadaku terasa sesak.
Sejak aku kembali dari Dunia Botak, dia benar-benar memperlakukanku seperti putra bungsunya.
‘Putra, kan?’
Kadang suasana terasa agak… aneh… tapi mungkin memang begitu cara naga menunjukkan kasih sayang.
Ya, pasti begitu.
Kalau tidak, aku akan merasa sangat bersalah pada Adeshan, yang seharusnya sedang hamil besar di dunia asal.
“Astaga, ini berubah total.”
Aku berhenti di depan Seniel.
Batu raksasa itu melayang di tengah aula, memancarkan energi kehidupan.
Keadaannya jauh lebih baik dibanding pertama kali kulihat.
Permukaan putih keabuannya tampak berkilau, seolah penuh vitalitas.
Berdiri di dekatnya saja membuat tubuh terasa segar—benar-benar pantas disebut jantung planet.
Seiring waktu, ia pasti akan pulih sepenuhnya.
Aku baru hendak pergi ketika—
“…Huh?”
Ada sesuatu yang menarik perhatian.
Cahaya biru bocor dari celah tipis—sekecil helai rambut.
Sebelumnya, benda itu tidak pernah menampakkan hal seperti ini.
“Apa ini… Uuup.”
Aku ingin memeriksanya lebih dekat, tapi perutku kembali bergolak.
Aku menutupi mulut dan keluar dari bangunan utama.
Pintu keluar terdekat berada di tepi laut.
Saat aku melewati pintu besi—
WHOOOSH!
Angin dingin utara menerpa rambutku.
Mentari senja tenggelam di laut ungu kemerahan.
“Hah… baru bisa bernapas.”
Udara dingin membuatku lebih baik.
Aku mengambil pipa tembakau dan menyalakannya.
Matahari merah seperti jeruk bali lenyap di cakrawala, mewarnai langit ungu.
“Indah nian.”
Pemandangan itu, walaupun hanya sekejap, melupakan mualku.
Memang—dunia butuh warna.
Sekarang para raksasa lenyap, separuh dunia yang tadinya kelam pasti akan kembali cerah perlahan.
“Ya… hari ini saja aku istirahat.”
Sisa rasa lelah di tubuhku meleleh seperti lilin.
Ini hari terakhirku bersantai.
Belum kuberi tahu siapa pun, tapi mulai besok aku akan mencari cara untuk pergi ke dunia berikutnya.
‘Tak mungkin aku tinggal di sini selamanya.’
Ada urusan yang belum selesai.
Petunjuknya minim—mulai besok pasti kepalaku pecah lagi.
Aku mengembuskan asap putih.
Aku menambahkan daun tembakau ke dalam pipa saat—
“Waaah… indah sekali…!”
“Glider?”
Suara kekaguman tiba-tiba terdengar dari belakang.
Aku menoleh.
Rhetansie berdiri sambil mabuk, tersenyum lebar.
“Kenapa kau ke sini?”
“Ihihi, cuma mau kena angin~ Ronan-nim sendiri ngapain di sini? Navardoge-nim nyari Anda… hik.”
“Aku segera kembali. Biar kubereskan dulu yang ini.”
Aku mengisap rokok dengan dalam.
Rhetansie menyandarkan tubuh pada pintu besi sambil bergumam.
“Mulai hari ini, aku hidup dengan hati baru… hick… seperti yang aku bilang waktu itu… Itu benar-benar perbuatan bodoh… Aku tidak akan pernah melakukan hal jahat lagi….”
“Itu bagus. Memang begitu harusnya.”
“Semua ini berkat Ronan-nim… Hari itu… saat aku bertemu Ronan-nim di akar itu… hik… itu keberuntungan terbesar dalam hidupku… hehehe… sungguh… sungguh begitu…”
Suaranya bergetar manja.
Bisa dirasakan betul betapa bahagianya dia.
Dia benar-benar berubah menjadi orang lain dibanding pertama kali kami bertemu.
“Sudahlah, memuji begitu… Lalu kalau dunia sudah pulih, kau mau hidup bagaimana?”
“Ehehe~ umm… jadi, aku…”
Kata-katanya berhenti.
Sepertinya ia punya banyak impian.
“Astaga. Dasar mantan penjahat.”
Aku tertawa kecil dan menghisap rokokku.
Silau cahaya di permukaan laut amat indah.
Aku menghabiskan seluruh daun tembakau, menepuk pipa, dan menyimpannya.
Namun Rhetansie masih belum menjawab.
“Glider?”
Itu terlalu lama untuk sebuah renungan.
Mungkin dia tertidur?
Aku menoleh sambil tersenyum, dan—
Tubuhku membeku.
“Ah.”
Rhetansie hilang—yang tersisa hanyalah kedua kakinya.
Tulang putih terlihat jelas dari permukaan potongan yang mulus.
Darah segar memancar dari aorta yang terputus.
Pintu besi yang ia sandari sebelumnya tercabut bersama sepotong ruang—hilang begitu saja.
Thud.
Sisa kakinya ambruk ke tanah.
“……!!!”
Suaraku tak keluar.
Seluruh sel tubuhku berubah menjadi batu.
Ini… kenyataan?
Kalau ini mimpi, tidakkah seharusnya aku terbangun sekarang?
Dengan sekuat tenaga menahan syok, aku menggenggam gagang pedang.
Saat itu—
Ada kehadiran di dekat sana.
“……Kau.”
Refleks aku menoleh.
Seorang asing berjubah hitam berdiri membelakangi matahari yang tenggelam.
Wajahnya tersembunyi oleh topeng aneh sehingga tak bisa kulihat.
Namun begitu pandangan kami bertemu—
Rasa dingin yang dulu kurasakan di Tanduk Musim Dingin menjalar kembali ke seluruh tubuh.
Aku belum pernah melihatnya sebelumnya.
Tapi aku tahu persis siapa dia.
Bibirku perlahan terpisah, seolah direkatkan lem.
“…Akasha.”
2-29. Bencana yang Datang dari Masa Depan (2)
Secara naluriah aku langsung menyadarinya.
Bahwa sosok yang sedang kulihat itu adalah Akasha.
Bayangan tubuhnya, berdiri membelakangi matahari terbenam, memanjang jauh di atas pasir pantai.
“Huu… huu…”
Nafasku mulai memburu.
Keringat dingin merembes dari telapak tangan dan menyerap ke gagang pedang.
Rasa tekanan yang belum pernah kualami seumur hidup menekan kedua bahuku.
‘Sial… apa-apaan ini?’
Bahkan Abel, setelah menyerap Asal, atau Raja Botak sekalipun tidak memberi tekanan seperti ini.
Akasha hanya berdiri tak bergerak, menatap ke arahku.
Meskipun wajahnya tertutup topeng, aku bisa merasakan dengan jelas—dia sedang mengamati diriku.
Tanpa sadar, aku memeriksa penampilannya.
Hal pertama yang mencolok adalah tinggi badannya.
Aku cukup tinggi, tapi dia lebih tinggi setengah kepala dariku.
Bukan tubuh lebar; lebih seperti batang pohon yang tinggi dan kurus menjulang.
‘Apa-apaan yang menempel di wajah itu?’
Topengnya dibuat dari potongan kain yang tercabik, ditempel sembarangan satu sama lain.
Tak mungkin menebak bentuk aslinya.
Setiap potongan kain ukuran telapak tangan itu memiliki gambar berbeda-beda.
Tak ada keselarasan atau pola. Justru ketidakteraturan itu membuatnya semakin mengerikan.
‘Aku… pernah lihat itu.’
Rasa dingin merayap di tengkuk.
Beberapa gambar itu tampak familiar.
Terutama yang ditempel di bagian tengah wajah.
Dua lingkaran dengan warna berbeda—bertumpuk membentuk simbol waktu antara siang dan malam.
Saat aku menyadari arti simbol itu, seluruh bulu tubuhku berdiri.
“Lhorhon…!”
Aku pernah melihatnya sekali.
Itu adalah lambang Menara Sihir Twilight.
Menara yang dikuasai oleh Archmage Lhorhon.
Tapi yang membuatku merinding bukan hanya kesamaan gambar.
Bahan kain itu… sama persis dengan jubah Archmage Lhorhon.
Yang berarti…
‘Dia benar-benar merobeknya dari pakaian asli Lhorhon.’
‘Kalau begitu potongan lain itu juga…’
Tidak hanya Menara Twilight.
Di kain-kain lainnya, terukir simbol berbagai organisasi besar:
Menara Fajar, Menara Purnama, sampai Lambang Knight Order Kekaisaran.
Aku mengepalkan tangan.
“……Kau membunuh mereka semua dan merampasnya?”
Akasha tidak menjawab.
Ia tetap berdiri diam, menghadapku, bagai batu nisan yang ditinggalkan surya.
Cahaya matahari yang tenggelam menumpahkan warna merah pucat di punggungnya.
Lalu—bau darah menyengat tiba-tiba menusuk hidungku.
“Rhetansie…”
Aku menggeser pandangan.
Kedua kakinya tetap tergeletak di tanah.
Seakan sedang beristirahat.
Semburan darah yang memancar memberitahukan dengan jelas bahwa semua ini bukan mimpi.
Ya, dia memang berdosa.
Tapi ini… terlalu tiba-tiba. Terlalu kejam.
Baru saja kami kembali hidup-hidup dari neraka.
‘Gerak.’
Aku harus sadar.
Aku menggigit bagian dalam mulutku.
Rasa logam darah membuat pikiranku kembali jernih.
Aku mulai menggerakkan tangan ke gagang pedang—
“Eh? Ronan-nim? Anda di sini?”
“Apa… hiks, kenapa pintunya kebuka…?”
Suara sempoyongan terdengar dari belakang.
Aku menoleh cepat.
Dua prajurit mabuk dengan tangan saling terlingkar naik melalui tangga.
“Kalian…”
“Rhetansie-nim ada lihat? Katanya cuma mau kena angin bentar…”
“Ayo masuk, hik… Navardoge-nim nyariin. Katanya anaknya ilang… Uweh! Ronan-nim juga naga?!”
Dua orang ini tadi memaksa Orshe buat cerita ulang kisah heroik itu.
Saat itulah Akasha bergerak.
Jubahnya terangkat sedikit.
Lengan panjangnya muncul—tipis seperti ranting pohon, kulitnya hitam legam seperti jubahnya.
Suasana mematikan menyambar tengkorakku.
“Cih, AWAS!”
“Uugh!”
Refleks, aku menendang kedua pemabuk itu.
Mereka terjungkal menuruni tangga.
KRAAAK!
Di saat bersamaan, ruang tempat mereka berdiri terbelah membentuk celah putih.
“H-hiiiik?!”
“A-apa itu anjing!!”
Jika mereka naik satu langkah lagi, tubuh mereka pasti terbelah dua.
Tidak ada lagi waktu untuk ragu.
Aku menarik pedang dan berteriak.
“Cepat panggil Navardoge-nim! Itu bukan lawan yang bisa kalian hadapi!”
“R-Ronan-nim bagaimana dengan Anda?!”
“Aku tidak apa-apa! KERJA KAKI KALIAN!”
“Ba-baik! Kami pergi!”
Mereka berlari tanpa menoleh.
Aku berhasil menyelamatkan dua nyawa, tetapi tidak sempat lega.
Karena dari tubuh Akasha—kekuatan magis mengalir seperti gelombang raksasa.
Tekanan kuat kembali menghimpit dadaku.
Ruang di sekitar tubuhnya bergetar, melengkung, retak halus seperti kaca dipukul.
“Brengsek… berani-beraninya bunuh Glider-ku!”
Aku tidak mundur.
Aku menginjak tanah dan melompat ke arah Akasha.
Aura menyelimuti pedangku, menyala merah.
Akasha mengangkat telunjuk, mengarahkannya padaku.
KWOOM—!!
Sebuah kekuatan tak berbentuk melesat ke arahku.
Arus telekinesis Rhetansie… tapi jauh lebih padat, lebih murni, lebih mematikan.
‘Pada akhirnya, tetap saja itu sihir.’
Menakutkan? Iya.
Tapi aku sudah terbiasa menebas semua bentuk sihir.
Aku mengayunkan pedang untuk membelah energi itu—
KRA-KRA-KRAK!!
Sebuah sensasi berat menghentikan bilah pedangku.
“Apa…?!”
Ini pertama kali terjadi.
Rasanya… keras.
Mana, yang seharusnya lembut seperti tahu, kini terasa padat seperti baja.
Aku bisa menebasnya, tapi tidak sepenuhnya. Itu berarti sama saja seperti tidak menebas apa pun.
Gelombang kekuatan yang tak terbelah itu menghantamku tepat di dada.
“Ghuaah!”
Dunia berputar.
Tubuhku terpelanting, seperti ada tangan raksasa menarikku ke belakang.
KWAANG!!
Punggungku menghantam sesuatu keras sebelum suara ledakan menyusul.
“Sial… apa itu tadi?”
Dalam sekejap, pandanganku menghitam kemudian kembali terang.
Seharusnya tulang tengkorakku pecah, tapi entah bagaimana aku masih hidup.
Saat fokusku kembali, aku menyadari aku berada—di tempat lain.
“…Ini…”
Tangan dan kakiku terbenam dalam tebing batu.
Darah menetes dari bibirku.
Aku melihat sekeliling—dan aku mengenali tempat ini.
Itu pemandangan yang sangat familiar.
Di kejauhan, pantai tempat aku berdiri tadi terlihat jelas.
Tubuhku tertancap di sisi tebing Winter’s Horn.
“…Aku terbang sejauh itu?”
Tidak masuk akal.
Dia melemparkanku ribuan meter hanya dengan satu serangan.
Aku menyipitkan mata dan melihat Akasha.
Ia masih melayang di atas laut, menghadap ke tempatku tadi berada.
Kenapa?
Kupikir targetnya aku.
Sambil membenahi tubuhku, mencoba keluar dari batu itu—
KRRRRRRRRRRUMMMMM—!!!
Suara bagaikan gunung meletus mengguncang udara.
“Ugh!”
Gendang telingaku hampir pecah.
Asalnya—dari arah Akasha.
Aku mendongak.
Dia mengulurkan satu tangan.
Dan sesuatu yang luar biasa sedang terjadi.
Di bawahnya—tanah bergetar liar, seolah seluruh dunia retak.
Garis-garis bercahaya putih muncul di permukaan bumi.
Lautan terbelah dan mengamuk seperti binatang liar.
“Apa-apaan yang dia… hrrk!”
Ini buruk.
Sangat buruk.
Aku menghancurkan batu yang mengurungku dan melompat keluar.
Baru saja aku hendak melesat—
Akasha mengepal.
KWAGAGAGAGANG—!!!
Tanah yang retak—meledak.
Sesuatu raksasa robek keluar dari perut bumi.
“…Anjing.”
Kepalaku kosong sesaat.
Yang menyembul dari bawah tanah—adalah markas pemberontakan.
Batu dan tanah menetes seperti air dari struktur raksasa itu.
Kabel penerangan terputus satu per satu, memercikkan bunga api.
“Kyaaaaaa!!”
“A-apa yang—?!”
Teriakan bergema dari dalam markas.
Sebagian besar pasukan pemberontak sedang berpesta di dalam sana.
Orshe dan Phantasion belum terlihat.
Ini… sangat buruk.
Tubuhku menegang.
Menghancurkan tebing, aku bersiap melompat—
Lalu terdengar suara auman membelah langit.
【KRRRAAAAAAAAAH!!】
Aku mengenali suara itu.
Aku menoleh secepat kilat.
KWAANG!!
Dinding markas yang terangkat mulai runtuh, dan di antara reruntuhan itu—sesosok raksasa muncul.
Rambut merah menyala berkibar seperti api.
【Berani sekali… siapa yang berani melakukan ini—!】
“Navardoge!”
Tanpa sadar aku berteriak.
Dia berubah sebagian menjadi naga.
Bentuk manusia, tetapi dengan tanduk merah menyala dan sepasang sayap mengembang.
Tanduknya bergetar, menyala merah darah.
【Anakku!!】
Navardoge menoleh padaku.
Begitu mata kami bertemu—matanya membesar seolah ingin meloncat keluar.
【Ya Tuhan… kau tidak apa-apa?! Siapa yang berani—】
“Hati-hati!!”
【Hati-hati apa maksudmu—ugh!】
Untung dia cepat sadar.
Navardoge memutar tubuhnya.
Di tempat dadanya berada—sebuah celah putih menggores udara.
【Ini…!】
Sedikit saja terlambat, jantungnya pasti sudah tercabik.
Dengan rahang mengeras, tatapannya mengarah ke Akasha.
【Jadi kau penyebabnya.】
“………”
Akasha tidak menjawab.
Telunjuknya kini diarahkan kepada Navardoge.
Sayap raksasa itu mengepak—membentang dengan suara ledakan.
【Tahukah kau apa yang telah kau lakukan!】
Satu sayap saja panjangnya puluhan meter.
Pupilnya menyempit, mata naga penuh amarah.
Dengan raungan yang mengguncang, ia menerjang Akasha.
Akasha mengibaskan jarinya begitu ringan—
SHRRK!
Tujuh celah ruang mengiris udara di sekeliling Navardoge.
Sihir ruang yang memotong apa pun jika bersentuhan.
【Selevel ini…!】
Tentu saja dia tidak terkena.
Navardoge jauh lebih hebat dalam terbang daripada Orshe.
Jarak mereka menyempit cepat.
Akasha lalu mengulurkan jari tengah, menambahkan satu titik.
KUUUUUUUM—!!!
Di atas kepala Navardoge, massa kekuatan besar jatuh seperti meteor.
“Nunim!!”
Serangan yang sama yang menembakku tadi—tapi jauh lebih besar.
Namun Navardoge tidak melambat.
Tubuhnya menghilang sekejap.
“……!”
Bahkan Akasha tampak terkejut.
Pertama kalinya dia menunjukkan respons seperti itu.
Aku pun mencari-cari keberadaannya—
FWOOSH!!
Api merah meledak di atas kepala Akasha.
Aku mendongak—dan terbelalak.
Navardoge muncul, jatuh dari langit seperti kilatan merah.
【Berani-beraninya menyentuh anakku dan berharap hidup?!】
Kakinya terbungkus api.
Akasha melihatnya terlambat.
Saat ia mendongak—
BRAAAAM—!!
Navardoge memutar tubuh sekali—dan menghantam wajah Akasha dengan tumitnya.
Air laut melonjak hingga menutupi langit saat tubuh Akasha terbenam ke dasar laut.
2-30. Bencana yang Datang dari Masa Depan (3)
Akasha terhempas ke dalam laut.
Semburan air yang terangkat menutupi langit.
Meski kelihatannya pertempuran sudah berakhir, Navardoge tidak menurunkan amarahnya.
【Huuuuup…!】
Udara sekitar tersedot masuk ke mulutnya dengan kecepatan buas.
Dada yang sudah besar itu mengembang sampai tampak siap meledak.
Dari balik kain gaunnya, cahaya merah berdenyut-denyut.
【Berani-beraninya pada anakku!】
Navardoge membuka mulut.
Api—seolah logam cair—menerjang lautan.
CHIIIIII—!!
Suara penguapan cairan memekakkan telinga.
Uap panas yang pecah bagaikan ledakan menelan seluruh teluk.
“Ugh!”
Beberapa detik, dunia berubah menjadi siang hari.
Aku menusukkan pedang ke tebing untuk menahan diri sambil menutup wajah.
Jika aku menatapnya langsung, sepertinya korneaku akan meleleh.
Tak lama kemudian, cahaya mereda.
Ketika pemandangan kembali terlihat, aku seketika tergelak kosong.
“Heh.”
Aku hampir tidak percaya apa yang kulihat.
Lautan di depan markas berubah menjadi kawah raksasa.
Seluruh air menguap habis, menyisakan dasar teluk yang kecokelatan.
Sisa-sisa api menjilat di antara batu-batu yang memutih.
Tidak ada tanda-tanda Akasha.
Hanya satu celah putih, menandai tempat ia jatuh.
SUAAAAA—…
Loncatan air laut yang melayang di udara mulai jatuh kembali.
Jutaan tetesan memantulkan cahaya senja seperti permata.
“……Indah sekali.”
Tanpa sadar aku berbisik.
Sampai lupa tujuan awalku turun ke bawah.
Pertempuran Navardoge… adalah karya seni.
Dari kemunculannya, serangan salto memutar yang menghantam wajah Akasha, hingga serangan pamungkasnya—tak ada gerakan yang terbuang.
Belum lagi memastikan kematian lawan dengan cara sebrutal itu.
Benar-benar berbeda dari sosoknya yang menempel padaku sambil tertawa-tawa manja.
‘Kalau Orshe melihat ini, dia bakal insomnia sebulan.’
Bahkan kemampuan terbangnya—yang menjadi kebanggaan Orshe—terpaut sangat jauh.
Ternyata pujian Navardoge pada Orshe hanyalah bentuk kebaikan hati.
Dia tidak ingin si burung hitam itu patah semangat mentah-mentah.
KUUUUUUNG…!
Markas yang tadi terangkat ke udara perlahan kembali ke tempatnya.
Air laut yang selamat dari kobaran api menggulung masuk dari kejauhan.
Aku tidak melihat Akasha.
Tidak ada satu pun tanda kehidupan darinya.
Baguslah.
Kalau masih hidup setelah itu, aku harus mempertanyakan apakah dia benar-benar makhluk hidup.
Ketika aku masih mengamati sekitar, Navardoge akhirnya melihatku.
【Ya Tuhan, Ronan!】
“Nunim.”
Dengan ekor merah berkibar, ia terbang dan mendarat di sampingku.
Dalam wujud Quarter-Dragon, tubuhnya jauh lebih besar.
Ia memelukku dari tebing seperti memeluk seorang putri.
Canggung rasanya.
Biasanya aku yang menggendong orang lain, bukan sebaliknya.
【Ka… kau tidak apa-apa? Aku mendengar keributan dari luar dan keluar sebentar… tidak kusangka begini yang terjadi…!】
Dia menunduk, dan bulu mata merah menyala yang tebal itu basah oleh air mata.
Baru saat itu aku mengecek kondisiku.
Punggungku agak sakit, tapi tak ada luka serius.
“Saya benar-benar tidak apa-apa.”
【Syukurlah… Ya Tuhan, syukurlah…】
Ia memelukku erat.
Seperti biasa, aku hampir mati kehabisan napas.
Pelukannya panas seperti tungku api, dan aromanya… bau api dan bara.
“Ugh.”
Sesak, tapi hangat.
Jujur saja, ini tempat paling nyaman untuk mati dengan bahagia.
Aku berhasil menyelinap keluar dari pelukannya sesaat sebelum sesak napas.
“Hah…! Benar-benar tak apa-apa, sungguh. Bagaimana dengan yang lain?”
【Mereka semua selamat. Bangunannya cukup kokoh, jadi bagian dalam hampir tidak rusak. Phantasion dan Orshe sedang menenangkan orang-orang.】
“Syukurlah.”
Rasanya aku kehilangan usia sepuluh tahun dari rasa takut.
Saat Akasha mencabut markas dari akar-akarnya tadi, aku sempat yakin ini akhir segalanya.
Syukurlah Navardoge ada di sini.
Tiba-tiba, ingatan pertarunganku melawan Akasha menembus pikiranku.
‘Apa tadi itu?’
Rasa tak mengenakkan di pedangku masih jelas.
Sihirnya tidak bisa tertebas.
Jika Navardoge tidak menghabisinya dengan kekuatan mentah, mungkin aku yang sudah kalah.
Entah kenapa aku merasa pernah merasakan kekuatan seperti itu sebelumnya.
‘Sial. Aku lupa.’
Kepalaku masih tidak bekerja dengan baik.
Sihir itu… terasa berbeda dari mana biasa.
Mungkin karena itu aku merasa tidak puas, meski tujuan utamaku—membunuh Akasha—tercapai.
Aku mengusap rambutku sambil berkata,
“Nunim. Rhetansie… sudah mati.”
【……Anak itu?】
“Ya. Aku ingin setidaknya membuat kuburannya, tapi tidak ada jenazah. Kalau kalian menemukannya, tolong kuburkan di tempat yang cerah. Meski dia penjahat, pada akhirnya dia bertarung demi semua orang.”
Rasanya pahit.
Aku teringat percakapan terakhirku dengan Rhetansie.
Butuh ratusan tahun baginya untuk berubah, tapi ia bahkan tidak diberi kesempatan untuk menjalani hidup baru.
Sisa dua potong kakinya pun hilang tertelan reruntuhan ketika markas tercabut dari tanah.
“Nunim, turunlah. Aku harus melihat kondisi semua orang.”
【Benar… tapi cara bicaramu seperti orang yang akan pergi jauh.】
“Memang sudah waktunya kembali.”
Aku mengangguk.
Wajah Navardoge mengeras.
Akasha sudah mati; misiku di dunia ini pada dasarnya selesai.
Tidak akan ada celah baru, dan versi diriku di masa depan juga pasti berhasil menutup celah-celah lainnya.
Dunia akan aman.
Dan aku tidak punya peran lagi di sini.
‘…Seandainya aku bisa menolong dua dunia lainnya juga.’
Jika bisa, aku ingin menyelamatkan semua dunia paralel.
Tidak ingin menyesal di hadapan diriku sendiri, atau Grand Marshal di surga.
Tapi Akasha musnah tanpa jejak, dan aku tidak punya sarana menuju dunia lain.
Satu-satunya yang tersisa hanya sebotol darah Akasha yang bisa membawaku pulang.
“Ada Adeshan menunggu. Dan Dwarf telekinetik itu. Mereka semua tidak bisa tanpa aku.”
【Itu… berlaku juga untukku.】
“Eh? Apa tadi?”
Suara terlalu lirih.
Aku belum sempat bertanya lagi ketika Navardoge mendadak terbang ke puncak tebing.
“Whoa!”
Semuanya terjadi dalam sekejap.
Begitu kami tiba di puncak Winter’s Horn, dia kembali ke ukuran normal.
Dan ketika aku melihat wajahnya—
Air mata memenuhi kedua matanya.
“Nunim?”
“Ini… tidak bisa diterima.”
Suara seraknya pecah.
Ia menyentuh pipiku dengan tangan gemetar.
Lalu menunduk.
Air matanya jatuh, mengenai sepatu botku.
“Anakku. Tidak bisakah kau… tinggal di sini saja?”
“Eh?”
“Aku tahu. Aku tahu kau harus kembali. Aku tahu. Tapi… tak sanggup membiarkanmu pergi.”
Aku membeku.
Ingin bicara, tapi lidahku tak bergerak.
Navardoge memelukku erat dan berkata,
“Kau sudah menjadi bagian dari hidupku. Saat aku berkebun… saat aku memberi perintah… aku selalu takut sesuatu terjadi padamu. Ketika kau pergi ke dunia para penyerbu… aku tidak tidur barang satu malam pun.”
Kening panasnya menekan dadaku.
Ia mengepalkan tangan seolah sedang menahan rasa sakit.
“Sakit sekali. Setelah semua anakku menjadi bintang… aku tidak pernah merasakan ini lagi. Tidak tahu harus menyebutnya apa…”
“Navardoge…”
“Jangan pergi. Apa pun yang kau inginkan akan kuberikan. Hanya memikirkan dunia tanpa dirimu… membuatku ingin gila. Bukankah tidak adil? Versi diriku di duniamu sudah memiliki segalanya…!”
Suaranya meninggi.
Ia menatapku.
Wajah merahnya hancur oleh air mata.
Dalam pupil merah itu—terpantul wajahku yang kebingungan.
Seakan ada paku ditancapkan ke dadaku.
Makhluk terkuat di dunia ini—
Yang kehilangan semuanya karena ketidakadilan.
Mungkin memang aku terlalu terikat dengan dunia ini.
“Nunim. Aku…”
Aku tidak sanggup menatap mata itu.
Aku baru membuka mulut—
Ketika aura sihir dingin menyentak dari kejauhan.
“Hah?”
Aku menoleh refleks.
Wajah Navardoge memucat.
【Apa…!】
Kami memandang arah yang sama.
Dan di sana—
Di atas markas yang runtuh—
Sebuah bayangan panjang terbang.
“Akasha!”
Aku muntah sumpah serapah.
Dia masih hidup.
Namun wujudnya berubah drastis.
Lengan dan kakinya patah dan menekuk ke arah yang mustahil.
Jubahnya hangus, tersisa kain lusuh yang nyaris jadi abu.
“…Bagaimana…?”
Tapi dia hidup.
Tak mungkin.
Bagaimana dia bisa bertahan?
Bagaimana dia bisa lolos dari pengamatan kami?
Belum cukup sampai di situ.
Yang membuat kami ngeri—
Sesuatu sedang terangkat bersamanya.
Sebuah bongkahan batu berwarna pucat.
Dari sela-sela retaknya, cahaya putih kebiruan merembes keluar.
Navardoge menjerit.
“Se… Seniel?!”
Bulu kudukku meremang.
Yang terangkat ke udara—adalah Seniel.
Batu yang memuat kehidupan, yang memuat masa depan dunia.
Batu itu bersinar pelan di bawah langit yang menggelap.
Aku langsung menjejak tebing dan melompat.
“Nunim!”
Ia sudah tahu.
Tanpa perlu perintah, ia mengepakkan sayap dan menangkapku.
Jika bukan karena Seniel mengganggu sihir ruang, aku sudah melompat sendiri.
KWAARAAANG!!
Kami menjadi dua meteor yang melesat ke markas.
Navardoge meledakkan api dari sayapnya, mempercepat gerakan setiap kali ia berkedip keluar-masuk udara.
“Lepaskan itu!!”
Suara Navardoge bergema.
Kami tidak tahu apa yang akan dilakukan Akasha.
Tapi firasat buruk menyelimuti dada—kami harus menghentikannya.
Tiba-tiba, atap markas jebol dan dua sosok melesat keluar.
“Mwiiiiik!!”
【Apa-apaan kau, sampah!!】
Phantasion—dan Orshe dalam wujud Quarter-Dragon.
Karena jarak mereka lebih dekat, mereka mencapai Akasha lebih dulu.
Dalam sekejap, mereka sudah di depan wajahnya.
Orshe menusukkan tombaknya.
Phantasion mengayunkan kapak barunya, menciptakan sabit yang melengkung.
“……”
Tapi lawan mereka bukan manusia.
Dengan malas, Akasha mengangkat telunjuk.
PUK—!
Sebuah celah putih memotong udara.
Lengan kiri Phantasion terbang.
【Kijang!!】
“Ugh.”
Mata Orshe membesar.
Darah merah menyebar di langit.
Namun Phantasion, meski kehilangan satu lengan, tidak berhenti.
Ia mencengkeram kapaknya dengan tangan satu-satunya dan kembali menebas.
Akasha mengangkat jari tengah.
KUAANG!!
Massa kekuatan tak terlihat menghantam mereka dari atas.
“Mwirik!!”
【Kugh!!】
Berbeda dengan Navardoge, mereka tidak bisa menghindar.
Keduanya terhempas ke markas—disusul ledakan besar.
Tapi kami tak bisa menatap ke arah itu.
Karena…
Di permukaan Seniel—retakan mulai tumbuh.
Setiap kali Akasha mengangkat jari lain, retakan semakin gelap, semakin dalam.
“Tidak!”
Kami semakin dekat.
Kurang dari lima detik lagi.
Hanya ada satu cara.
Cukup dekat.
PAAAH!!
Aku menggenggam pedang.
Cahaya senja menjalar di bilahnya.
“Turun, dasar bajingan!”
Aku mengayunkan pedang.
Cahaya aura meluncur dalam garis lurus dan membelit tubuh Akasha.
Namun ia tidak bergerak.
Dia hanya… menikmati cahaya itu, seolah sedang berjemur.
“Apa.”
Pikiranku kosong seketika.
Akasha mengabaikanku total dan menyelesaikan gerakannya.
Ketika kelima jarinya terangkat sepenuhnya—
KWAARRRRR—!!!
Seniel—yang diliputi retakan—meledak.
Dan energi kehidupan memuntahkan ledakan yang mengguncang dunia.
2-31. Bencana yang Datang dari Masa Depan (4)
Ledakan itu sunyi.
Keheningan turun begitu saja.
Saat Seniel hancur, ledakan kehidupan yang menyembur keluar berwarna seindah pelangi.
Gelombang kekuatan yang kehilangan wadahnya beriak sambil menyebar ke seluruh penjuru.
“Seniel…!”
Kibasan sayap Navardoge berhenti.
Bayangan keputusasaan melintas di wajahnya.
Batu yang membentuk tubuh Seniel hancur total—bahkan tanpa meninggalkan debu.
Aku menunduk, menatap pedangku.
“Ora….”
Bilah pedang itu masih diselimuti cahaya senja.
Indah seperti selalu.
Aku kembali mengarahkannya pada Akasha, tapi hasilnya sama.
Tubuhnya dimandikan cahaya itu, namun tidak diwarnainya.
Ia tidak tertarik oleh Oura-ku.
Ini pertama kalinya.
Suara Rin terdengar lirih di telingaku, tegang.
“…Ronan. Ada yang aneh.”
“Aku juga berpikir begitu.”
Telapak tanganku membasah oleh keringat dingin.
Saat aku menarik kembali Oura, cahaya senja meredup.
Aku memaksa diriku fokus, menenangkan napas.
Dan ketika itu terjadi—untuk pertama kalinya sejak tadi, Akasha menoleh padaku.
“……!”
Kain-kain kumal yang menempel pada topengnya hilang—terbakar habis oleh api Navardoge.
Topeng tanpa ornamen itu berwarna putih murni.
Namun bukan putih biasa.
Permukaannya licin bagaikan cermin, memantulkan segala sesuatu yang dilihat oleh Akasha.
Tiba-tiba, sebuah garis tipis dan panjang terbuka di topeng itu.
‘Mulut?’
Ujung-ujungnya melengkung ke samping seperti bulan sabit.
Aku menegang. Belum pernah melihat ini sebelumnya.
『■ ■ ■ ■ ■ ■ ■ ■ !』
Suara itu—memang tidak layak disebut suara—mengguncang ruang.
“Ah, sial, ini…”
Kutukan spontan lolos dari bibirku.
Itu bukan suara makhluk hidup.
Itu suara mesin neraka yang patah dan berputar kembali.
Orang-orang yang baru keluar dari markas menjerit sambil menutup telinga.
“Uaaaaah!”
“Apa, apa itu?! Uueeek…!”
Sebagian jatuh berlutut. Ada yang muntah.
Bahkan para pejuang yang telah bertarung melawan para botak bertahun-tahun… tak berdaya.
Suara itu bukan hanya menimbulkan rasa tidak nyaman—tetapi mengguncang kewarasan.
“Dia… sedang menertawakan kita.”
Cengkeramanku pada pedang mengeras.
Aku tahu itu adalah tawa Akasha.
Aku bisa membayangkan wajah brengseknya di balik topeng itu, terbahak-bahak.
Dan begitu aku menyadarinya—
Aku tak bisa menahan diri lagi.
Urat menonjol di leher dan dahiku.
Tawa itu, yang terasa seperti mencabut jiwaku, justru membuat pikiranku kembali jernih.
“Bangsat! Apa yang lucu, hah!”
“R-Ronan!”
Navardoge memanggil, cemas.
Tapi tubuhku sudah melesat.
Angin meraung di telingaku.
Kehidupan Seniel masih melayang di udara.
Kalau Oura tidak bekerja, berarti tinggal kupenggal langsung saja.
Aku menutup jarak dalam sekejap dan mengayunkan pedang.
“MATI KAU!”
Akasha hanya menatapku.
Garis seperti mulut itu menutup, lenyap.
Ia perlahan mengangkat lengan.
Pedangku pasti lebih cepat. Tapi…
KA-GA-GA-GAK!
Tebasan yang membelah udara tiba-tiba melambat.
“Ghhhhh…!”
Otot lenganku membengkak.
Detak jantung menggedor dada seperti hendak meledak.
Sensasi itu—aku pernah merasakannya sebelumnya.
Kekuatan tak kasatmata mencengkeram pedangku.
Sekeras apa pun aku mendorong, bilahnya tak bergerak.
Pedangku berhenti di udara, tak sampai menyentuh Akasha.
“Sial.”
Garis di topeng itu kembali muncul.
Akasha mengangkat dua jarinya—telunjuk dan tengah.
Serangan yang pernah membuat diriku terlempar ratusan meter.
“Lagi, dasar bajingan…!”
Mengetahui serangannya tak berarti—lebih menyakitkan dari rasa sakit itu sendiri.
Aku menarik pedang dan mengangkat lengan, bersiap menahan.
KWA-A-A-A-A-NG!!
Gelombang kejut menimpa tubuhku seperti meteor.
“Guah!”
Dunia berputar.
Otot punggungku menegang otomatis.
Terkadang, memiliki refleks terbaik di dunia adalah kutukan.
Dalam sepersekian detik jatuh itu, otakku memprediksi rasa sakit yang akan datang.
Tapi—itu tidak terjadi.
PUFF—!
Benturan yang kurasakan… seperti mendarat di puding.
Tidak ada suara ledakan besar.
Aku menoleh dengan cepat.
Dan melihat Phantasion—si rusa berotot—berlutut sambil memeluk tubuhku.
“Ya Tuhan, Phantasion!”
“Ghhh… kau baik-baik saja?”
Sejujurnya tidak.
Tapi dibanding dia? Aku baik-baik saja.
Lengan kirinya hilang dari bahu.
Potongan yang bersih seperti kaki Rhetansie.
Tubuhnya—yang sebelumnya dihajar Akasha—sudah seperti gerobak yang terperosok ke jurang.
Tidak mungkin aku membiarkannya mati begitu saja.
Aku bangkit dan menawarinya tangan.
“Terima kasih. Ayo bangun.”
“Tidak… tak perlu… aku sampai di sini saja… ini hukuman atas dosaku di masa lalu… seperti Rhetansie… kuh… Pergilah selamatkan naga kecil itu…”
“Jangan bicara sial, bangun! Kalau tak bisa bertarung, setidaknya—”
Aku belum selesai bicara.
Karena ledakan besar mengguncang udara.
Aku dan Phantasion menengadah.
Dan membeku.
“Apa lagi itu, sialan.”
“Energi kehidupan….”
Akasha sedang melakukan sesuatu.
Ia menengadah, lengan panjangnya terulur ke langit, melafalkan mantra yang tak kumengerti.
『■■■■…■■…■■■■.』
Kehidupan Seniel yang tersebar di udara… berputar.
Bukan sekadar berkumpul—namun membentuk spiral kolosal.
Debu bercahaya itu berputar cepat seperti sedang melahirkan badai.
Tak hanya itu—anggota tubuh Akasha yang rusak akibat serangan Navardoge… sudah pulih sempurna.
Dan saat spiral itu memusat—
KWA-A-A-A-!!
Seluruh cahaya kehidupan itu berubah hitam.
Malam menggulung dunia yang tadinya diselimuti senja.
Spiral itu menggumpal dan berubah bentuk—
Menjadi bola raksasa, hitam pekat, tanpa satu titik cahaya pun.
Melayang di atas Akasha.
“….”
Phantasion mengembuskan napas seperti orang kehilangan jiwa.
Mata yang tadi menyala oleh tekad… padam seketika.
Keramaian yang tadi kacau juga mendadak hening.
Semua mata terpaku pada bola hitam itu.
Kami tidak tahu apa itu.
Tapi kami tahu satu hal—
Itu adalah bencana.
Kegelapan yang berasal dari kekuatan Seniel berputar liar, memancarkan energi destruktif yang mengancam segalanya.
Melihat arah tatapan Akasha… jelas ia berniat menjatuhkannya ke tanah.
Salah satu sudut bibirku terangkat.
“Sial memang hidupku.”
Sudah tidak mengejutkan lagi.
Pasti bola itu juga tidak bisa ditebas.
Pasti akan menempel seperti aspal panas dan mencoba melahapku hidup-hidup.
Tetap saja, itu tidak mengubah apa pun.
“Ayo, Rin.”
“Ya.”
Aku menggenggam pedang.
Menang atau tidak bukan masalah.
Aku harus membelahnya.
Selama ini, pedang ini selalu memotong apa pun yang tidak seharusnya dipotong.
Di belakangku, Phantasion berkata sesuatu.
Tapi aku tidak mendengarnya.
Paha menegang, siap melompat—
Dan saat aku hendak menjejak tanah—
【Akashaaaa-!!】
Suara Navardoge mengguncang dunia.
Aku belum sempat menoleh.
Seluruh dunia yang menghitam berubah merah.
Di langit—sesuatu sebesar gunung melesat menembus awan.
“Nunim!”
【Aku tidak akan mengampuni kejahatanmu lagi!】
Itu wujud asli Navardoge.
Sudah sangat lama aku tidak melihat bentuk itu.
Sayapnya—hanya melihat ujungnya saja sudah sulit.
Mulutnya terbuka, api berwarna darah membara di sela taringnya.
『……!』
Akasha akhirnya panik.
Ia mengangkat tangan.
Lima jarinya terbuka serentak.
PEOOOONG—!!
Kekuatan sama yang menghancurkan Seniel menghantam Navardoge.
Darah merah muncrat keluar dari mulutnya.
【KRAAAAAAGH!!】
Tapi Navardoge tidak berhenti.
Ia memaksa menerjang, menggunakan keunggulan mutlak dari tubuhnya.
Dan—ia berhasil menggigit Akasha.
Ia terbang, membawa Akasha bersamanya—
Dan menabrakkan diri ke bola kegelapan.
HWAARRRK!!
Bola gelap itu pecah di beberapa tempat, memuntahkan api merah darah.
“Nunim!”
Aku berteriak.
Jantungku merosot.
Kaki yang sempat hendak melompat kehilangan tenaga.
“Sial… kenapa dia melakukan itu…!”
Kepalaku yang panas mendadak dingin.
Itu tindakan bunuh diri.
Bagian dalam bola itu—dengan kekuatan Akasha dan Seniel berpadu—pasti bukan tempat hidup.
‘Pasti ada cara.’
Jika hanya aku yang masuk, tidak masalah.
Tapi dengan Nunim di dalam… itu lain cerita.
Hanya sekarang aku menyadari—betapa nekatnya diriku tadi.
‘Kalau aku gagal, semuanya berakhir.’
Aku harus tenang.
Masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan tekad.
Akasha adalah musuh terburuk yang pernah kutemui.
Aku harus menemukan cara.
Tapi bagaimana?
Kepalaku terasa terbakar.
Seluruh memori hidupku berkelebat seperti kilat.
Dan saat aku menggali ingatan sejak aku balita—
Kilatan ingatan dari suatu tempat di utara… menyambar kepalaku.
“Ah!”
“Ronan…?”
Aku berseru tanpa sadar.
Phantasion yang hampir putus asa menatapku bingung.
Aku tidak menjawab.
Aku langsung berlari.
Ke arah yang ditunjuk Phantasion sebelumnya.
Tak lama kemudian—aku melihatnya.
Seseorang tertimbun reruntuhan.
Pingsan, mata terbalik, darah mengalir.
“Orshe! Orshe!”
“Ghk… keuk, urgh…”
“Brengsek, bangun dasar burung hitam!”
Tidak ada waktu.
Aku menarik pedang dan mengayunkan serangan.
KWA-A-A-A-NG—!!
Reruntuhan yang menindihnya pecah menjadi puluhan bagian.
Aku menepuk wajahnya berkali-kali.
Matanya akhirnya kembali fokus.
“Guuhh… Sial… apa yang terjadi padaku…”
“Apa lagi? Kau digebukin habis-habisan dan ditanam di sini. Kalau belum mati, aku butuh bantuanmu.”
“Keuh! Keuh! Bantuan…?”
“Ya. Aku butuh kau. Terbangkan aku ke tempat yang kusebut.”
Aku menyeretnya bangkit.
Setiap batuk mengeluarkan darah segar—luka dalamnya parah.
Tapi tidak ada pilihan.
Setiap detik berharga.
Di dalam bola itu, entah apa yang sedang dilakukan Navardoge melawan Akasha.
Aku menunjuk ke arah kawah tempat markas dicabut tadi.
“Ke sana. Kita akan pergi… ke raja para raksasa.”
2-32. Bencana yang Datang dari Masa Depan (5)
“…Raja para raksasa, kau bilang?”
Orshe mengernyit, wajahnya kusam dan linglung, masih bersandar pada tumpukan reruntuhan. Aku menggenggam bahunya erat-erat.
“Ya. Kita harus turun jauh ke bawah markas. Kalau dugaanku benar, dia masih ada.”
“Kau… sedang bicara omong kosong apa… hik, itu? Mereka semua sudah lenyap.”
“Sial, berhenti ngoceh. Berdiri. Aku jelasin sambil jalan!”
“Brengsek…! Kau pikir aku tidak mau berdiri?! Tubuhku yang tidak—krhagh!”
Orshe kembali memuntahkan darah.
Lebih parah dari dugaanku. Dia bukan tipe yang mengeluh, apalagi pura-pura lemah. Jadi kondisinya pasti benar-benar buruk.
Tapi waktu tidak menunggu siapa pun.
Aku memikirkan bagaimana memaksanya bangkit ketika—
Orshe tiba-tiba terhuyung berdiri.
“Navardoge…?!”
“Astaga, bikin kaget.”
Kakinya gemetar parah.
Padahal barusan bilang tidak bisa berdiri—lihat dia sekarang.
Tatapan Orshe terpaku pada pusat bola kegelapan raksasa yang dibuat Akasha.
Setiap kali api meledak keluar, bayangan naga raksasa terlihat sekilas.
Itu Navardoge, masih bertarung mati-matian melawan Akasha.
Tiba-tiba—empat sayap mekar dari punggung Orshe seperti ledakan.
“GHH—!!”
“Oh?”
Sayapnya robek-robek; selaputnya koyak, darah menetes deras membentuk genangan.
Aku tidak punya sayap, tapi kalau benda itu punya saraf, pasti sakitnya bukan main.
“GRAAAH, KRAAAAH!”
Namun Orshe mengabaikan semuanya.
Dengan kegilaan murni, dia mengepakkan sayap—bahkan sambil memuntahkan darah, seperti hendak terbang ke sana detik itu juga.
Aku langsung melompat dan mencekal pinggangnya.
“Hei, kau mau ke mana?!”
“Lepaskan! Navardoge harus mati di tanganku!”
“Apa?!”
Urat di pelipisku menonjol.
Dungu pun ada batasnya—dan ini lewat jauh dari batas itu.
KRAK!
Aku mengangkatnya dan membantingnya ke tanah.
“Ugh, berani-beraninya kau—!”
“Sekarang kau bisa mikir?! Kau tahu siapa yang sedang dia lawan?!”
“Aku tidak peduli! Menyingkir!”
“Dasar—!”
Aku mencengkeram kerahnya dan hampir saja menonjoknya.
Aku benar-benar tidak mengerti.
Kupikir dia brengsek tapi tidak bebal. Rupanya aku salah besar.
Tiba-tiba Orshe meraung sambil memperlihatkan taring.
“Navardoge tidak boleh mati sekarang! Aku bahkan belum membayar balik apa yang aku dapat darinya!”
“Apa?”
Pupilnya menyempit, garis vertikal penuh amarah dan ketakutan.
Cahaya kebengisan menyembur dari matanya—lebih kuat daripada sebelumnya, meski salah satu tanduknya patah.
Saat aku hendak menanyainya lebih jauh—
Permukaan bola kegelapan di langit pecah, memuntahkan pecahan.
Hanya sepotong kecil—setetes dibanding besarnya bola—tetapi tetap mengerikan.
“…Itu.”
Kami menoleh serempak.
Pecahan itu melesat ke arah barat.
Ke wilayah tak berpenghuni.
Di permukaan laut penuh bongkahan es, akar raksasa para “botak” menjulang seperti monumen.
Dan saat gumpalan hitam itu menghilang melewati cakrawala—
Sebuah dinding hitam membumbung dari garis horizon.
“Apa.”
“SIAL, REBAHKAN DIRI!”
Aku menekan kepala Orshe ke tanah.
Orang-orang di sekitar kami buru-buru merunduk.
KWA—AAAAANG!!
Gelombang kejut tiba terlambat, menyapu segalanya.
“Kyaaaah!”
“T-Tolong!”
Debu yang mengepul di atas markas tersapu bersih dalam sekejap.
Pohon tercabut, batu beterbangan.
Orshe meronta keluar dari peganganku, tubuhnya menggelembung lagi.
Badai campuran api dan kegelapan menusuk langit sebelum akhirnya menghilang.
“Sial— kh cough, kh—!”
Aku bangkit sambil terhuyung.
Pemandangan di sekeliling membuatku terdiam.
Akar-akar raksasa itu hilang total—bahkan tak meninggalkan serbuk pun.
Hanya ombak liar yang mengamuk di lokasi “tangan putih” dulu berdiri.
Aku menggigit bibir bawah.
“Nunim…”
Seumur hidupku, belum pernah melihat kehancuran sebesar ini.
Bahkan bombardir Raja Raksasa pun kalah jauh.
Dari berbagai arah terdengar erangan manusia.
Ajaibnya—tak ada yang mati atau terluka fatal.
Orshe, yang kini kembali ke bentuk aslinya, telah melindungi semua orang dengan sayapnya yang robek.
“Kau…”
【Ghhhhh…】
Lukanya bertambah, tapi dia tidak peduli.
Dia tidak bisa peduli.
Tatapannya hanya tertuju pada bola kegelapan yang telah menelan Navardoge.
【…Makhluk itu… terlalu banyak berkorban.】
“Hah?”
【Dia mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan para pemula yang tak berharga ini. Ha… lucu sekali. Kau pikir aku tidak tahu dia pergi mencari batu itu setiap hari?】
Dia tertawa hambar.
Aku segera mengerti maksudnya.
Itu cerita sebelum markas dipindahkan.
Navardoge, meski tubuhnya nyaris mati, memberikan sebagian hidupnya kepada Seniel setiap hari.
Dia bilang tak ada seorang pun yang tahu.
Tapi rupanya tidak sepenuhnya benar.
“…Begitu rupanya.”
【Aku tak bisa menerima ini. Aku membencinya, tapi mati konyol seperti ini tidak pantas baginya. Setidaknya—dia harus hidup cukup lama hingga aku sendiri yang membunuhnya.】
“Tidak akan ada yang mati, bodoh. Berhenti ngomong sial.”
Aku mendecakkan lidah.
Aku melompat ke atas kepala Orshe dan menunjuk lubang besar bekas markas.
“Kita pergi. Sekarang.”
【Pastikan dia tidak mati.】
“Kau meragukanku?”
【Hmph.】
Tidak perlu penjelasan lagi.
Aku sudah membuktikan diriku.
FWOOOSH!
Sayap Orshe mekar, lalu tubuh raksasanya melesat.
“Itu dia!”
Kami turun ke dalam kawah besar itu.
Butuh waktu sebentar untuk menemukan pintu masuk—celah kecil di dinding yang curam.
【Bagaimana seharusnya aku masuk?! Aku tak muat!】
“Di dalam luas. Teleport sebelum menabrak.”
【Kalau salah, kau mampus.】
Dia menggeram, mengatur sudut, lalu—
PRAAK—!
Tubuh kami berubah menjadi partikel.
Gelap sekejap—lalu terang kembali.
Sebuah gua es raksasa terbentang di depan kami.
Cukup luas untuk menampung siapa pun—kecuali Navardoge dalam bentuk naga penuh.
【Ini…!】
“Lama sekali tidak ke sini.”
Terakhir kali aku datang bersama Ayah.
Ingatannya sejelas kemarin.
Es di dinding, langit-langit, lantai—semuanya tampak setua planet ini sendiri.
KRRRRRRNG!
Tiba-tiba seluruh gua bergetar.
Atap runtuh, bongkahan es sebesar rumah berjatuhan.
【Tch!】
“Terus maju!”
Itu pasti getaran dari pecahan bola yang jatuh di permukaan.
Aku mengayunkan pedang.
KRAAASH!
Es hancur berkeping-keping.
Orshe mempercepat langkah.
Kami tidak boleh berhenti.
Lorong berkelok itu sangat dalam—lebih dalam dari yang diingat.
Getaran terus mengguncang, es dan batu pecah dari dinding.
“Sial! Bisa lebih pelan tidak!”
Aku terus menebas apa pun yang jatuh, sementara Orshe sesekali teleport demi menghindari runtuhan.
Rasanya seperti naik wahana paling berbahaya di dunia.
Setelah waktu yang terasa panjang—
Kami tiba di depan sebuah pintu batu raksasa.
【Apa ini…?】
“Kembalilah ke wujud manusia. Kau tidak bisa teleport menembus ini.”
Orshe menuruti.
Aku menatap pintu itu—campuran nostalgia dan ketegangan.
Dan sekarang—mana para botak masih berkelip samar dari baliknya.
‘Harusnya masih ada.’
Aku menggores telapak tangan pada bilah pedang.
Darah menetes.
Aku mengayunkannya.
Semburan darah seperti kipas menempel pada pintu.
GUGUGUGUGUNG…!
Perlahan pintu terbelah.
“Masih sama. Sialan.”
Bau busuk yang tak bisa dilukiskan menerjang.
Sudah kedua kalinya, tetapi aku tetap tidak terbiasa.
Sejak “Sumber” hancur, cahaya mana berkurang banyak.
Kami berjalan sekitar sepuluh menit.
Lalu—ruang besar terbuka.
Di tengahnya, bongkahan es raksasa menjulang.
Seolah es dari “Lautan Roh” dipindah utuh ke sini.
Orshe menatapnya terpana.
“Bagaimana… ini…!”
“Hah… syukurlah masih ada.”
Aku mengembuskan napas lega.
Di dalam es—sebuah kepala raksasa terkubur separuhnya.
Putih, halus, tak bercela.
Tidak ada tubuh, tangan, kaki, atau sayap.
Hanya kepala—semuanya yang tersisa dari sang Raja Raksasa.
“Di sini semuanya dimulai.”
Kenangan jelas sekali—ketika aku menggendong Ayah, datang untuk meminta pertolongan.
Aku melompat ke atas es, mendekati kepala itu.
Dari dekat, aku melihatnya.
Bahkan kepala itu pun mulai menghilang.
Bagian leher di bawahnya berubah menjadi partikel cahaya.
Orshe akhirnya bersuara.
“Jelaskan.”
“Ini Raja dari bangsa Raksasa. Dia bertarung melawan Seniel ribuan tahun lalu, mati, lalu jatuh ke sini. Karena lingkungan dingin, dia tidak langsung hilang seperti para botak lain.”
“Omong kosong macam apa itu. Seniel itu batu kecil itu kan?”
“Ya.”
SWIK.
Aku menusukkan pedang ke bola matanya yang tak bernyawa.
Setetes darah biru pekat mengalir.
Darah terpekat di seluruh dunia—darah yang mengubah Ayahku dari manusia biasa menjadi makhluk abadi.
‘Pasti tidak stabil.’
Aku menarik napas panjang dan berlutut.
Aku mengingat betul saat dulu meminumnya.
Kekuatan itu, kedua terkuat setelah bola di langit saat ini, membakar habis seluruh kutukan dalam tubuhku.
Ayah pernah bilang:
Jangan pernah meminumnya lagi, bahkan bercanda pun jangan.
Kau hanya selamat karena kutukan dalam tubuhmu menahan ledakannya.
“Siapa sangka aku harus melakukannya lagi.”
Aku mengulurkan tangan.
Menadah darah itu.
Anehnya—masih hangat.
Orshe mengumpat.
“Tunggu! Apa yang kau lakukan?! Kenapa—!”
“Tak ada cara lain.”
“BERHENTI—!”
Aku mengabaikannya.
Darah itu mengalir ke tenggorokanku.
Lidahku hampir melepuh.
Rasanya seperti menelan baja panas dan pasir tajam sekaligus.
Saat tetesan terakhir meluncur—
“Ah.”
Dunia berputar.
Lututku tak kuat lagi.
Aku jatuh ke tanah.
Nama ku dipanggil Orshe dari jauh, suaranya teredam.
“Haa… haa…!”
Sekarang aku mengerti kenapa Ayah memperingatkan.
Lebih buruk daripada mabuk pertamaku.
Aku ingin berdiri—tapi tubuhku menolak.
Ada sesuatu berdenyut dalam tubuhku.
Tapi aku tidak bisa memahaminya.
“Sial… benar-benar busuk rasanya…”
Tapi aku harus berdiri.
Aku menancapkan pedang dan memakainya untuk menopang tubuh.
“Kita… kembali ke atas.”
【BAJINGAN GILA!】
Tiba-tiba Orshe sudah menopangku.
Tubuhnya membesar gelap.
Tanduk, ekor, dan sayap tumbuh.
Dia kembali ke bentuk Quarter-Dragon.
Dia mengangkatku ke punggungnya, hendak terbang menuju pintu batu.
“Ke situ… bukan…”
【Apa?】
“Kita tidak punya waktu… mereka semua sudah menderita… orang mati tidak kembali…”
Kepalaku berputar.
Aku bahkan tidak yakin apa yang kuucapkan.
Rasa mual berubah menjadi panas membakar seluruh pembuluh darah.
Tidak pernah terbiasa.
Tapi tetap harus kulakukan.
Karena ini tugasku.
Karena hanya aku yang bisa.
“Hh—haaah!”
Dengan tubuh goyah, aku mengayunkan pedang ke atas.
Garis lurus membelah langit-langit es.
Hening.
Lalu—
KRAA—AAAAANG!!
Cahaya merah membelah dunia.
Kegelapan yang menutupi gua terbelah menjadi dua.
【Apa—?!】
Mata Orshe terbelalak.
Di balik belahan itu—meluas pemandangan penampang bumi.
Jauh di atas—langit malam.
Dan bola raksasa yang terakhir kulihat… kini berubah bentuk total.
Hijau, biru, dan emas berputar dalam pusaran.
Seperti planet dari luar angkasa.
Aku tidak tahu apa yang terjadi di dalam itu.
Aku akan segera mengetahuinya.
Aku menelan darah yang naik ke tenggorokan dan menggeram.
“Ayo naik. Sialan.”
2-33. Harapan (소망)
—
— Kemampuan yang bisa mewujudkan harapan, begitu?
— Benar. Bahkan Abel pun pada akhirnya tidak bisa memilikinya.
Setiap kali berbicara atau menghela napas, uap putih keluar dari mulutku.
Ayah—baru saja keluar dari alat pemulihan—bertumpu di punggungku.
— Kalau begitu kenapa tidak pakai itu saja buat menghabisi para botak? Kenapa harus repot begini?
— Ayah juga ingin begitu. Tapi kekuatan itu tidak bisa ikut campur dengan kehidupan. Ayah memang berhasil menghentikan letusan supervolcano yang bisa memusnahkan dunia… namun bahkan tak bisa menyelamatkan penduduk kampung kecil sebesar Nimbutton.
Ayah memaksakan senyuman.
Kakek-nenekku—para orang tua Ayah—dan seluruh penduduk desa akhirnya tidak bisa diselamatkan.
Dalam usia Ayah yang telah hidup selama tak terhitung waktu, satu-satunya pengecualian hanyalah Abel.
— Selain itu, sekalipun kekuatan itu bisa mengatur hidup dan mati… Ayah tetap tidak bisa berbuat banyak. Kekuatan untuk mewujudkan harapan itu kini tidak lagi ada pada Ayah.
— Hah? Lalu siapa yang punya?
— Ilil. Putri Ayah. Karena itu Ayah terpaksa menanamkan kutukan yang jauh lebih kejam padanya… demi menipu mata Abel.
Yang mewarisi kekuatan untuk mewujudkan harapan… ternyata adalah Noona.
Saat itu sebuah pertanyaan yang kupendam sejak kecil akhirnya terjawab.
Sejujurnya tidak masuk akal.
Seorang perempuan secantik itu, tapi sebutir pun lelaki brengsek tidak pernah mendekatinya.
Aku tanpa sadar terkekeh, membayangkan wajah Noona.
— Syukurlah.
— Hm?
— Untung kekuatan itu jatuh ke tangan Noona. Kalau datang ke aku, pasti sudah kupakai buat hal-hal tolol atau kubuang percuma. Sungai yang melintasi Nimbutton itu, pasti sudah jadi bir sekarang.
Tidak perlu dibayangkan.
Apa pun akan kujadikan permainan bodoh tak berujung.
Akhirnya bosan, lalu hidup menggelandang entah ke mana.
Ayah tersenyum tipis mendengar nada putus asa itu.
— Huhu, Ayah tidak begitu berpikir.
— Hah?
— Walaupun kau yang mewarisi kekuatan itu, takkan banyak berubah. Kau anak yang baik. Kau tidak tahu betapa Kasha menyayangimu.
— …Ayah makan apa sih salah-salah begitu?
Ayah tidak menjawab. Ia hanya tertawa.
Aku yang tiba-tiba merasa canggung mempercepat langkah.
Terowongan es itu terasa tidak ada ujungnya.
Sungguh… harapan, ya. Harapan…
【Ronan!】
.
.
.
“…Yah, kedengarannya memang praktis.”
【Ronan! Sadarlah, Ronan!!】
“Ha?”
【Sial, kau melamun apa lagi sekarang!】
Suara geram mengguncang telingaku.
Saat membuka mata, wajah Orshe yang marah besar memenuhi pandangan.
Pupil vertikalnya menyempit tajam, seakan hendak memancarkan laser.
【Bersiap! Kita hampir sampai di permukaan!】
“Ah… benar.”
Orshe sedang terbang sambil mengapit tubuhku di bawah ketiaknya.
Potongan-potongan bumi di kedua sisi kami terhampar seperti belahan tebing raksasa.
‘Benar. Ini aku yang membelahnya.’
Penglihatan yang sempat berputar perlahan fokus kembali.
Efek samping dari “obat ilegal” tadi membuat kesadaranku buyar sesaat.
Aku memang sedang terbang menuju Akasha setelah meminum darah sang Raja Raksasa.
“Maaf. Kepala agak muter.”
【Bajingan, orang yang membelah bumi bisa goyah begini?! Tidak boleh ada kesalahan!】
“Udah kubilang maaf. Tapi… itu, apa yang terjadi sama bentuknya?”
Saat menengadah, terlihat jelas.
Dari retakan bola kegelapan itu, cahaya warna-warni tembus keluar.
Bola yang tercipta dari runtuhnya Seniel itu kini tampak berbeda dari bentuk awalnya yang penuh api dan kegelapan.
“Noona berhasil melakukan sesuatu?”
Entahlah.
Yang jelas, situasinya masih sangat genting.
Meski warnanya tampak sedikit kurang mengancam, kekuatan yang terpancar tidak berkurang sedikit pun.
Aku menggenggam pedang dengan mantap.
“Yah. Nanti kita lihat sendiri.”
【Aku terobos!!】
Pintu keluar dari celah tebing itu hampir di depan mata.
Tiba-tiba—sebuah ledakan membuat dinding terowongan runtuh.
Sepertinya ada pecahan bola yang kembali jatuh ke tanah.
Es dan batu berguguran seperti longsor.
Cukup untuk mengubur orang hidup-hidup—tapi Orshe tidak melambat.
Aku pun tak panik dan mengayunkan pedang.
Puluhan tebasan menutup pandanganku.
KWA-A-A-AANG!!
Semua yang menghalangi hancur seperti bubuk.
Orshe menerobos keluar dari kepulan ledakan dan meraung.
【KRAAAAAH!!】
“Luar biasa.”
Pandangan yang terbuka membuatku mendecak.
Pemandangan permukaan… kacau luar biasa.
Banyak lubang raksasa sebesar markas yang terbentuk di berbagai titik.
Jejak jatuhnya pecahan bola.
Setidaknya lokasi para pemberontak tidak terkena—itu sudah cukup melegakan.
Seseorang melihat kami dan berteriak sambil menunjuk.
“L-Lihat! Itu Ronan-nim dan Kapten Orshe!”
“APA? Jangan bilang… retakan tanah barusan itu…!”
Orang-orang yang sempat panik mulai gaduh.
Aku ingin berteriak agar mereka menyingkir, tapi itu tidak ada artinya.
Kalau aku gagal, semua mati juga.
Di langit malam, bola raksasa itu mengambang penuh, berputar dan bergejolak.
Api, bayangan, dan warna-warna aneh saling bertabrakan di dalamnya.
Jujur saja, aku tidak yakin bisa bertahan hidup di dalam itu.
Entah apa yang menunggu.
Tapi bukan berarti aku bisa mundur.
Aku dan Orshe berubah menjadi meteor hitam, menembus langit menuju bola itu.
Tepat saat kami akan masuk—
KWA-A-A-A…!!
Langit terbelah tak jauh dari situ.
Seekor naga raksasa muncul dari celah itu.
“Noona…”
Jantungku merosot.
Navardoge muncul lebih dulu dari dalam bola.
Namun bukan sebagai pemenang.
Ia jatuh dari langit, tak bergerak, mata tertutup.
【Navardoge…!!】
Wajah Orshe memucat.
Tidak terlihat luka mematikan, tapi ia tak sadarkan diri.
“Akasha, bajingan itu akhirnya…!”
Orshe memperlambat laju.
Ia menatap Noona dan menatap bola itu, tak tahu harus memilih apa.
Aku mengepal.
Sialan. Apa yang kau pikirkan sekarang?!
Aku menyibak rambut ke belakang dan berteriak.
“Orshe! Aku tidak apa-apa, jadi pergi selamatkan Noona! Lakukan itu dulu, lalu kembali ke sini!”
【Tapi kau tidak punya sayap…!】
“Tutup mulut dan pergi! Kau mau menyesal seumur hidup seperti aku?!”
Aku tak tahan lagi.
Aku menonjok wajah Orshe dengan sekuat tenaga.
BUK!!
Kepalanya tersentak, lalu kembali mengarah padaku.
Ia menarik napas kasar, lalu menggeram.
【…Kalau kau mati duluan, aku tidak akan membiarkanmu.】
“Jangan ngelantur. Lempar aku!”
Orshe memejamkan mata.
Ia meraih lenganku—dan melemparku ke langit.
Kemudian menendangku keras, memantulkan tubuhku ke arah bola sementara ia meloncat ke arah Navardoge.
PAAANG!!
Tubuh kami terlempar berlawanan arah.
Orshe berubah, tubuhnya membesar menjadi bentuk naga penuhnya.
Saat ia menangkap Noona—
Bola itu menelan tubuhku sepenuhnya.
“Hhup.”
Aku mengerutkan kening.
Bagian dalam bola itu tidak jauh berbeda dari yang terlihat di luar.
Cahaya dan warna berputar tanpa aturan.
Kehidupan milik Seniel sudah tak berbekas.
Seperti melihat bentuk fisik dari konsep kekacauan itu sendiri.
‘Hebat juga bisa bertarung di sini.’
Aku merasa Noona makin luar biasa.
Kekuatan magis begitu pekat hingga sulit bernapas.
Percikan api merah darah berceceran di mana-mana—jejak pertarungan sengit Navardoge sebelumnya.
Walaupun kalah, kekuatannya masih melawan dan merintih.
“Bangsat, di mana kau?!”
Amarahku mendidih.
Aku harus menemukan Akasha secepatnya.
Beruntung, ia tidak jauh.
KWA-A-A-AANG!!
Sebuah arus kekuatan menerobos warna-warni itu dan menghantamku.
“Ghk!”
Nyaris tak sempat menahan.
Tubuhku terlempar—aku memutar tubuh dan menebas.
PEOONG!!
Tebasan itu meledak, menahan lajuku.
Saat aku menoleh, sosok di pusat badai tampak.
Akasha—babak belur—menatapku dari atas.
“Akasha!!”
Aku meraung.
Ia tidak menjawab.
Ia hanya berdiri menunggu, memandangku jatuh tanpa bergerak.
“Sialan kau…!”
Aku sangat membencinya.
Dia tahu aku tidak bisa memberikan ancaman apa pun.
Kalau begitu, aku juga tidak peduli.
Aura meledak dari pedang saat kugenggam.
Cahaya senja kembali membungkus Akasha.
Namun—
“……Sial.”
Tetap tidak berubah.
Sekalipun aku membelah bumi, Oura-ku tidak sampai padanya.
Jerami terakhir yang kupaksa genggam pun hancur.
Topengnya retak.
Dari celah seperti mulut itu, terdengar suara mendesis.
『■.』
Suara mengejek.
Ia mengangkat jarinya lagi.
Gelombang tak kasatmata menerjang.
Aku merespons dengan tebasan.
Tebasanku memang lebih tajam setelah minum darah itu—tapi tetap tidak cukup.
KRAK!!
Gelombang itu mendorongku mundur jauh.
“Bajingan… kau ini apa…?”
Gelap merayap di pinggir pandanganku.
Apa kau sebenarnya?!
Kenapa pedangku tidak bisa menyentuhmu?!
Namun bahkan saat despair menyusup, tanganku tetap bergerak.
Aku bersiap melompat—
Tiba-tiba sesuatu melesat dari bawah, mencengkeram kerahku, menyeretku ke atas.
“Hah?”
Bukan Orshe.
Tapi seseorang yang sangat kukenal.
Rambut putih berkibar di angin chaos.
Aku tersengal.
“Abel.”
“Dasar bocah menyedihkan. Tidak sanggup melihatnya lagi.”
Abel menggeram.
Aku kehilangan kata-kata.
Ini pertama kalinya melihatnya sejak kembali dari “Dunia Botak”.
“Dari tadi kau mengawasi?”
Abel tidak menjawab.
Ia hanya mengangkatku lebih tinggi, memisahkan cahaya dan bayangan untuk membuka jalan menuju Akasha.
Ia mencabut pedangnya.
“…Buktikan bahwa kau memang putra Hyungnim.”
“Apa?”
“Sialan! Kau sudah menghancurkan rencanaku, tapi setidaknya jangan kalah dari sampah seperti itu!”
Ia berteriak.
Aku belum sempat membalas.
Ia langsung melemparku dan menukik menuju Akasha.
Cepat.
Tebasannya membelah langit—
Tapi Akasha mengangkat jari.
KWA-A-A-AANG!!
Seperti ditabrak pendobrak batu, Abel terpental keluar bola.
“KRHAAAGH!”
“Abel!”
Aku sempat berharap. Tapi jelas tak cukup.
Namun tindakannya tidak sia-sia.
Semua perhatian Akasha tertuju pada Abel.
Sementara itu—aku sudah di depan wajahnya.
Satu langkah lagi—hanya satu ayunan—dan aku bisa menjangkaunya.
Akasha menoleh padaku.
“Aku tidak peduli kau apa…!”
Ini kesempatan terakhir.
Ia mengangkat jari.
Gelombang tak terlihat menerjang lurus.
Aku tidak bisa menghindar.
Aku memutar tubuh dan menebas.
KA-GA-GA-GA-K!
Pedang dan sihir bentrok, menjerit bersama.
“Gh—!”
Seperti kuduga, terasa berat.
Sihirnya memiliki sesuatu—sesuatu yang mustahil.
Tapi aku tidak berhenti.
Aku menggenggam pedang lebih kuat.
WUSS!
Tiba-tiba api berkobar di belakang pedang.
Percikan api yang tersisa dari Navardoge—merayap naik dan menempel pada bilah.
“Itu…!”
Mataku membelalak.
Noona sedang membantuku.
Semakin api membesar, semakin cepat tebasanku.
Tetap saja, kurang.
Benar-benar monster.
Saat itu, suara Ayah melintas dalam ingatan.
— Walaupun kau yang mewarisi kekuatan itu, kau takkan berubah.
Kenapa sekarang?
Apakah aku berharap setetes kekuatan harapan masih tertinggal dalam darah itu?
Mungkin.
Situasinya memang benar-benar tidak ada jalan keluar.
Aku berpikir.
Jika… kalau saja… aku bisa memohon satu harapan.
Hanya satu.
“…Biarkan aku mendaratkan satu pukulan saja pada bajingan ini.”
Aku berbisik.
Sebuah kekuatan kecil, nyaris tak terlihat, mengalir ke tangan.
Kecil—tapi cukup untuk meruntuhkan keseimbangan.
Tebasanku maju.
Sihirnya terbelah.
Retakan di topeng Akasha menghilang.
『■?』
Ia panik—mengangkat lima jari sekaligus.
Tekanan menghancurkan tubuhku.
“Ghh!”
Dunia memerah.
Darah muncrat dari gigi.
“GGHHH…!”
Tapi aku bertahan.
Tidak mungkin aku kalah dalam adu keteguhan melawan penyihir sialan ini.
Pedangku menggores jubahnya.
Api melahap bilah pedang.
FWOOOSH!!
Api itu meledak sekali lagi.
Tebasan menembus jubah.
Dan—membelah tubuh Akasha.
『………!!!』
Tanpa suara.
Tubuh bagian atas Akasha terlempar.
Saat api di bilah memudar—
PAAOOOOOONG—!!
Bola chaos itu pun meledak dan buyar, menyibak langit malam yang luas.
2-34. Tidak Bisa Dipahami
『···■.』
Suara mengerikan meledak—seperti mesin neraka yang kehilangan kendali.
『■■■■ ■■■!!』
Itu pasti sebuah jeritan.
Meski suaranya bagai mesin setan yang meraung, di telingaku… itu terdengar lebih manis daripada kapan pun sebelumnya.
“Belum… selesai.”
Keajaiban yang mewujudkan harapan itu sudah lama meninggalkan tubuhku.
PENG!
Tubuhku, yang sebelumnya terus melesat naik, kini jatuh menukik ke arah Akasha.
“MATI DI SINI!”
Rambut depanku tersibak ke belakang oleh angin.
Aku menggenggam pedang dengan kedua tangan, bersiap memberi pukulan terakhir.
Namun Akasha tiba-tiba mengangkat tangan kanannya.
『■■!』
“Kuh?!”
Jari telunjuk dan tengahnya bersilangan.
Gerakan tangan itu… belum pernah kulihat.
Saat itu juga, darah Akasha yang berjatuhan seperti hujan… membeku di udara.
‘Dia menghentikan darah itu?’
Terlihat persis seperti kemampuan Sita.
Tetesan darah yang membeku itu berkumpul sekaligus, membentuk garis merah panjang di bawah punggung Akasha yang jatuh.
Dan saat dia merenggangkan jari-jarinya—
CHWAAAAAK!
Garis itu terbelah seperti mulut raksasa, membentuk retakan menganga.
“Apa…!”
Di ujung jalan itu… ada retakan lain yang identik.
‘Dunia paralel.’
Tak sulit menebaknya.
Retakan itu… adalah gerbang menuju dunia paralel berikutnya.
Akasha hendak kabur.
“Jangan mimpi.”
Tak mungkin aku membiarkannya.
Kami semakin dekat—jarak tinggal sekitar dua puluh langkah.
Pedangku memerah, panas merembes ke telapak tangan.
KWAANG!
Aku memaksa tubuh menambah kecepatan dengan satu ledakan lagi lalu mengayun—
“BERHENTI DI SANA, BRENGSEK!”
Pedang berjejak cahaya merah itu hampir saja mengoyak leher Akasha ketika—
『■■■■!!』
“Apa.”
Ia merentangkan kedua lengannya seperti binatang yang terpojok.
Empat retakan baru muncul di topengnya, melingkar seperti pupil mata yang mengelilingi titik pusat.
Retakan yang sebelumnya tampak seperti mulut juga berputar, berubah menjadi mata.
Putih dan hitamnya terbalik—menjadikannya semakin mengerikan.
“Ugh…!”
Lima mata menatapku serempak.
Wajahku memantul di kelima retina itu—bergetar, terdistorsi.
Kesadaranku goyah sejenak.
KWAOOOONG—!!!
Lalu gelombang tolak raksasa meledak dari tubuh Akasha.
“GAAAH!”
Pedang yang hampir menembus lehernya terpental keras.
Tubuhku terbang ke belakang seperti dihantam palu raksasa.
Dan retakan itu… menelan Akasha seutuhnya.
“SIALLLL!!”
Hanya selisih sedetik.
Tubuhku melengkung dalam lengkungan parabola dan mulai jatuh.
“KELUAR, DASAR PENAKUT! KAU MENYEBUT DIRIMU ‘BENJANA’?!”
Teriakanku menggema di udara, tapi tak ada jawaban.
Dia benar-benar lolos.
Tepat saat tubuhku menembus lapisan energi yang tersisa, aku keluar dari dalam bola itu.
Api, bayangan, dan warna-warni yang keluar dari pecahnya Seniel berputar membentuk badai kosmik.
‘Itu… aman nggak sih?’
Telapak tanganku berkeringat.
Pemandangan itu terlalu besar untuk dipahami.
Kupikir aku harus melakukan sesuatu—tapi apa?
Saat aku hampir terbiasa dengan rasa jatuh itu—
“MWEEEIIIIIK!”
Aku menoleh.
Sebuah tubuh raksasa muncul, mencengkeram tengkukku.
“Kugh!”
Tak ada waktu untuk komplain.
Ia merenggutku, menyelipkanku di sisi tubuhnya, lalu menukik tajam.
KUWAAAANG!
Kami menghantam tanah—dan tubuh besar itu terlempar berguling.
Tanduk rusa yang kini lebih ramping menonjol dari kepala sosok itu.
Lengan kirinya, yang hilang, dibalut ketat oleh perban.
Itu adalah Fantasion.
Aku terhuyung bangun dan berlari padanya.
“Sialan… kau masih hidup?”
“Masih… keuk… sedikit.”
Fantasion terengah.
Dia tersenyum—meski darah membasahi bibirnya.
“Terima kasih dulu deh. Tapi kenapa kau yang datang? Orshe ke mana?”
“Sang naga itu… huhh… sedang sibuk.”
“Sibuk?”
“Ya… lihat sana…”
Ia menunjuk ke belakangku.
“…Apa.”
Tubuhnya…
Seperti gunung merah.
Para pemberontak melingkari kepalanya sambil menangis.
“H-hik! Nabardoge-nim…!”
“Tidak… tidak seperti ini…! Tolong bangunlah!”
Seperti keluarga yang membujuk pasien sekarat agar tetap sadar.
Rasanya buruk—sangat buruk.
Orshe, dalam wujud naga aslinya, meniupkan api ke tubuhnya.
【Haaagh… sial, BANGUN!!】
Api merah gelap membungkus tubuh Nabardoge.
【Apakah kau berniat pergi begitu saja? Anak itu sudah berhasil! Jadi BANGUN!】
Orshe mengaum.
Nyala api semakin ganas menyelimuti tubuhnya.
“Noona…”
Aku tertatih mendekatinya.
Fantasion mencoba bicara, tapi rubuh tak sadarkan diri.
Orang-orang berteriak begitu melihatku.
“Dewa… Ronan-nim!”
“Syukurlah Anda selamat! Tapi tubuh Anda…!”
Aku hanya menggeleng, menatap Nabardoge.
“Aku tidak apa-apa. Nabardoge-nim… apa yang terjadi?”
“S-sesudah bertarung melawan penyihir itu, ia tidak pernah bangun kembali. Meski tubuhnya tidak terluka… Orshe-nim menahan jatuhnya dengan kekuatan terakhirnya…”
Mata yang selalu lembut menatap dunia kini tersembunyi di balik kelopak yang berat.
Penyebabnya—hampir pasti ulah Akasha.
Semenjak jatuh dari bola itu, dia tak membuka mata.
Aku mencengkeram kepala—rasa frustrasi memuncak.
“…Ini tidak boleh terjadi.”
Seniel hancur, dan kalau Nabardoge mati… semuanya tamat.
Aku menghunus pedang dan menggores lengan.
Darah merah menyembur.
“Ro–Ronan-nim?!”
“Kyaaa!”
Orang-orang panik.
Darahku bukan obat mujarab, tapi aku harus mencoba semuanya.
GUGUGUGUGU…!
Ledakan dari langit bergema.
“Kyaaa!”
“M-Maaf! Apa itu?!”
Semua orang serempak menengadah.
Energi yang melayang-layang di udara berkumpul ke satu titik.
“Apa lagi itu…”
Pusaran yang menutupi langit tampak berbeda.
Energi itu saling melilit dan memadat—membentuk bola lain.
Lebih kecil dari milik Akasha, tetapi jauh, jauh lebih padat.
Partikel hitam, merah, hijau, biru, dan emas berkilauan.
Apa ini lagi?!
Aku meraih pedang, bersiap menghadapi apa pun.
Langit terbuka—bintang-bintang muncul kembali.
Dan—
FWOOOOOOOOM—!!!
Bola itu meledak, menyebarkan gelombang warna-warni ke seluruh dunia.
“GAAAH!”
【Huh.】
Dunia menjadi terang.
Gelombang itu menyentuh tanah—dan segalanya berubah.
Hanya butuh satu menit untuk seluruh dunia kembali bernapas.
Seseorang menjerit dan menunjuk laut.
“L-Lihat! Orca!”
“Apa…? Mustahil… huh?”
Tiga ekor paus orca melompat dari permukaan laut.
Orang-orang terpana.
Pagi ini bahkan tidak ada seekor ikan pun.
“Gerombolan ikan…!”
Namun kini kembali.
Dan dari pegunungan di daratan, ratusan burung camar putih terbang ke langit.
“Hidup… kembali…”
Orang-orang tak mampu menahan keheranan.
Belum sempat kami benar-benar memahami—
Nabardoge yang selama ini diam… tersentak.
【…Ah.】
【N-Nabardoge?!】
Orshe terhentak.
Dia membuka mata.
Mata rubinnya bersih, tanpa sedikit pun tanda rasa sakit.
Tatapannya mengitari lingkungan… lalu mengarah padaku.
【Ronan.】
Aku kehilangan kata-kata.
FWAAA…
“Ugh…”
“Noona!”
Aku menahan tubuhnya yang hampir tumbang.
Masih tanpa luka sama sekali.
Ia bersandar padaku dan tersenyum.
“Ya, terima kasih.”
“Benar-benar baik-baik saja?”
“Ya… seperti yang kau lihat.”
“Haaah… syukurlah. Kau membuatku kaget.”
Aku memegangi dada yang masih berdebar.
Aku menunjuk laut yang penuh kehidupan.
“Ini… kau yang melakukannya? Gila. Bagaimana caranya?”
“…Aku tidak melakukan apa pun.”
“Eh?”
“Aku tidak mengerti… penyihir itu sebenarnya…”
“Ronan.”
“Saya dengar.”
Tiba-tiba ia menggenggam tanganku erat-erat.
“Kejar Akasha. Sekarang juga.”
2-35. Setiap Kali Melihat Matahari Terbit
“Ada apa dengan mataku?”
“Bola mata yang hancur itu… sudah pulih! Coba hapus sedikit darahnya. Astaga, ini memang sebuah keajaiban!”
Sekeliling menjadi riuh.
Partikel-partikel kehidupan yang tersebar ke segala arah mulai menyembuhkan luka-luka parah.
Orang-orang hanya bisa menatap keajaiban itu dengan kekaguman, bahkan sampai lupa—meski hanya sekejap—bahwa Nabarodeze sudah terbangun.
Aku memandangnya dan memiringkan kepala.
“Memang aku akan pergi, tapi… kenapa mendadak begitu?”
“Ya. Sesuatu terasa sangat tidak beres.”
Tatapan Nabarodeze tampak gelisah.
Di wajahnya yang tegang, hanya ada kebingungan.
Sambil bergumam untuk dirinya sendiri, ia mulai menjelaskan apa yang terjadi.
“Aku sama sekali tidak mengerti. Dia hanya menyerangku di detik-detik awal pertarungan.”
“Eh?”
“Begitu masuk ke dalam inti, dia hanya memelintir ruang dan… melarikan diri. Akasha… sepertinya sejak awal tidak berniat bertarung.”
Keningku berkerut.
Itu benar-benar omong kosong.
Mereka berdua sudah membuat kehebohan seperti itu, tapi ternyata… tidak benar-benar bertarung?
“Lalu apa semua kilatan di dalam inti itu? Dan kenapa Noona tiba-tiba jatuh?”
“Hampir semuanya seranganku. Aku berniat membunuhnya meski harus mempertaruhkan hidup. Tapi Akasha… setelah beberapa kali awal itu, bahkan tidak mencoba membalas. Alasanku kehilangan kesadaran hanyalah… karena efek balik dari pemulihan.”
“Pemulihan?”
“Ya. Semuanya terjadi seketika. Gelombang yang meledak dari pusat inti menyembuhkan seluruh luka yang menumpuk di tubuhku. Bahkan luka-luka lama, yang kupikir akan kubawa selamanya…”
Nabarodeze mel sweeping sekelilingnya.
Para prajurit yang sembuh bersorak-sorai.
Sementara Orse, yang telah menguras seluruh tenaganya, terkapar pingsan di samping.
Ia hendak melanjutkan penjelasannya ketika—
Pazijik!
Suara ledakan seperti petir pecah di langit tinggi.
“Apa itu?”
“…Sepertinya kita tidak punya banyak waktu.”
Kami hampir bersamaan mendongak.
Dahi Nabarodeze berkerut dalam.
Berbeda dengan celah lain yang masih tersisa sebelum aku menebasnya, rekahan itu kini cepat menutup dan lenyap.
“Apa-apaan itu, kenapa menutup?”
“…Kurasa ini kesempatan terakhir. Ayo!”
“Eh—”
Tiba-tiba Nabarodeze melingkari pinggangku dan mengangkat tubuhku.
Sayap merah membentang di punggungnya.
Sambil melesat naik, tanah cepat menjauh dari pandangan.
“Ro-Ronaan-nim?!”
“Nabarodeze-nim! Ke—kenapa pergi mendadak?!”
Orang-orang di bawah berseru panik.
Aku ingin menjawab, tapi tidak ada waktu.
Kami tiba di depan rekahan dalam sekejap.
Mulut merah itu mengecil bahkan saat ini juga.
Nabarodeze menjentikkan jemari.
Kugugugugu…!
Balok karang raksasa mencuat dari laut, menjadi pijakan menuju celah itu.
Kami mendarat bersamaan, dan ia menggenggam kedua bahuku.
“Hati-hati, Ronan. Kekuatan penyihir itu… melampaui pemahaman. Terus terang, aku pun tidak tahu apakah seranganku benar-benar melukainya.”
“Tenang saja. Masa aku tidak bisa dipercaya?”
“Tentu aku mempercayaimu lebih dari siapa pun… tapi ini masalah lain. Dan… pheuut!”
“Uwah, apa itu?!”
Nabarodeze tiba-tiba memuntahkan sesuatu.
Aku menyipitkan mata.
Sepotong pecahan mineral yang berkilau berada di atas telapak tangannya.
“Huu… ambillah.”
“Ini…?”
Pecahan itu penuh liur lengket.
Namun aku secara refleks mengambilnya.
Fragmen itu—yang tampaknya dulunya bagian dari permata besar—memancarkan warna yang sangat familiar.
Benar. Itu pecahan yang kulihat di tengah Seniel, sebelum bertemu Akasha.
Nabarodeze melanjutkan.
“Aku menelannya saat bertarung. Itu fragmen penyusun Seniel. Kupikir… akan lebih berguna bagimu daripada untukku.”
“Ini?”
“Ya. Kau harus terus mengejar Akasha. Jika dunia paralel berikutnya juga hancur seperti dunia kita… itu mungkin akan sangat berguna. Meski… aku tak bisa menjamin.”
Ia menjilat bibir, tampak tak terlalu yakin.
Partikel kehidupan yang menyebar tidak terasa dari pecahan itu—sepertinya hanya sisa-sisa kekuatan setelah habis diperah.
“Terima kasih. Aku pakai nanti.”
Meski lemah, aku bisa merasakan sedikit energi kehidupan di dalamnya.
Di dunia paralel tanpa Sita, benda seperti ini akan sangat berharga.
“Maaf harus mengirimmu begitu mendadak. Kita seharusnya bisa mengucapkan salam perpisahan dengan layak.”
“Tak apa. Pada akhirnya, ini tetap harus terjadi.”
“…Sulit melepasmu, walau aku tahu ini tak terhindarkan.”
Langit sunyi hanya diisi suara angin.
Di atas cakrawala yang gelap, puncak matahari mulai terbit.
Tiba-tiba Nabarodeze berbicara.
“Nak. Kemarilah sebentar.”
“Hah? Ada apa?”
Tanpa curiga, aku mendekat.
Cium.
Nabarodeze berjinjit dan mengecup pipiku.
“Ah.”
Aku bahkan tak sempat bereaksi.
Ia menurunkan tumitnya dan tersenyum tipis.
“Fufu… terima kasih sudah menyelamatkan dunia kami. Selamat jalan.”
“…Nabarodeze.”
“Adechan pasti iri. Kau pasti akan menjadi pasangan yang baik.”
Ia mengusap kepalaku.
Pipiku—tempat bibirnya menyentuh—terasa panas.
Itu cara pamitnya, rupanya.
Dan… aku juga sudah menyiapkan kata untuk momen ini.
Sambil mengusap pipi, aku membungkuk pelan.
“N-ngh… kenapa kau tiba-tiba begitu…?”
“Bukan apa-apa. Aku hanya ingin mengatakannya sebelum pergi.”
Nabarodeze menegang.
Dari dekat, mata merah rubinnya sudah basah.
Aku tidak suka membuat wanita menangis, tapi kali ini… tidak ada pilihan.
Karena kata-kata ini… harus kukatakan.
Aku memeluknya perlahan dan berbisik ke telinganya.
“Jaga kesehatan, Ibu.”
“…!”
“Itu hanya badai yang lewat. Selama bara kehidupan tidak padam, dunia akan kembali seperti semula. Sama seperti musim semi yang selalu tiba setelah musim dingin.”
Aku melepas pelukan.
Nabarodeze terpaku tak bisa berkata-kata.
Cahaya fajar memenuhi cakrawala.
Mirip senja, tapi tak sama—lebih bersih, lebih hangat.
Cahaya itu memantul di ombak seperti serpihan perak yang menari.
“Terima kasih sudah mempercayai aku sampai akhir. Tidak akan lupa bagaimana kau memperlakukanku… benar-benar seperti seorang anak.”
“A-aku…”
“Dan… waktu kau marah karena seseorang menyentuh ‘anakku’… aku suka itu. Jujur waktu kecil, aku iri pada anak-anak yang punya ibu.”
Ia menggigit bibir.
Air mata akhirnya mengalir turun.
Setelah lama menunduk, ia menatapku lagi.
Lewat bibir yang hampir berdarah karena digigit terlalu keras, suara kecil keluar.
“…Setiap kali melihat matahari terbit… aku akan mengingatmu.”
Aku tidak menjawab; hanya tersenyum miring.
Cahaya pagi terlalu terang—mataku berair.
Aku menoleh.
Rekahan yang mengecil kini hanya cukup untuk satu orang lewat.
Aku melambaikan tangan sekali lalu melangkah masuk.
Pagi telah menjelang.
Langit tempat rekahan itu menghilang kini bersih tanpa noda.
Burung-burung laut meluncur anggun di udara yang segar.
Saat seorang anggota pasukan perlawanan sedang merapikan reruntuhan, suara aneh menyeruak masuk ke telinganya.
“Uweeeng… ueeeee…!”
“Huh?”
Tangisan anak kecil?
Ia menoleh, tapi tak melihat apa pun.
Ia hendak melanjutkan pekerjaan ketika—
“Hik… tidak ada siapa-siapa? Kakiku… kakiku…!”
“M-manusia suci!”
Sekarang ia yakin.
Ia berbalik dan terbelalak.
Di tengah pantai yang porak-poranda, seorang wanita tergeletak.
Ia terisak seperti anak kecil—kedua kakinya hilang dari bawah lutut.
Pemuda itu buru-buru memanggil bantuan.
Tak lama kemudian belasan orang berlari mendekat.
Begitu mengenali wajahnya, orang-orang menjerit.
“Ya Tuhan… Mage Letansie!”
“Kukira dia sudah mati?! Kenapa dia ada di sini…?!”
“S-saya… hiks… saya tidak tahu… pemandangan tiba-tiba berubah lalu kaki saya…”
Letansie menjelaskan bahwa ia pingsan saat berbicara dengan Ronan.
Saat sadar, pertarungan sudah berakhir.
Dan ia baru menyadari kakinya terputus beberapa saat lalu.
“A-apa aku tak bisa berjalan lagi? Hiks… hiks…”
“Jangan menangis. Mari kulihat dulu.”
Seorang petugas medis kebetulan berada di dekat lokasi.
Ia memeriksa luka itu dengan teliti, lalu menepuk dahinya.
“Ini… luar biasa rapi! Dengan kondisi begini… kita bisa menyambungkannya tanpa masalah.”
“Be-benarkah?”
“Tentu. Ini benar-benar ajaib.”
Berkat partikel kehidupan yang meresap, sel-sel masih hidup sepenuhnya.
Tangan petugas medis gemetar karena semangat.
“A-aakh! Sakit! Kyaaah!”
“O-ops, ayo cepat ke ruang perawatan. Tahan sedikit ya.”
“Aku tidak akan berbuat jahat lagi! Huaaang! Tolong selamatkan akuu!”
Letansie meronta sambil berteriak.
Orang-orang membantunya berdiri dan membawanya ke ruang medis.
“Hmm.”
Pantasyeon tersenyum samar sambil menonton adegan itu.
Dialah yang menemukan dan membawa kembali kaki Letansie dari reruntuhan.
Kemudian suara yang sangat ia kenal terdengar dari belakang.
“Lenganmu juga dipasang kembali, Pantasyeon.”
“…Tidak perlu.”
Pantasyeon melirik ke belakang sambil menggeleng.
Avel—yang tampak seperti gelandangan—duduk di atas batu.
Mungkin karena sudah sama-sama menderita, Pantasyeon tak terlalu marah lagi.
Ia baru muncul setelah jatuh dihantam Akasha.
“Anggap saja aku sudah membayar harga dari dosa-dosaku. Letansie pun mungkin begitu… Aku kira Akasha datang untuk memungut dosa kita.”
“Heh. Menarik juga teorimu.”
“Lalu kenapa kau membantu Ronan mati-matian? Padahal selalu menunggu kesempatan membunuhnya.”
“Aku hanya jengkel. Aku ingin mengabaikannya, tapi… kenangan lama muncul terus.”
“Kenangan lama?”
“Ya… waktu bulu-bulumu saja belum tumbuh.”
Avel tersenyum pahit.
Walau hidup selama entah berapa lama, ada hal yang tak pernah pudar.
Kadang ia masih bermimpi menggenggam tangan Kain sambil berjalan di padang salju.
Sentuhan tangan Ronan saat upacara abu—rasanya sangat mirip saudaranya itu.
“Kurasa saatnya aku menghilang. Tak ada tempat bagi penjahat seperti kita di zaman baru… mau ikut?”
“Pergilah ke neraka.”
“Kurasa begitu. Kalau begitu, sebagai mantan atasan, kuberikan satu saran. Kalau mau benar-benar menebus dosa… jangan banyak teori. Gunakan dua tanganmu, dan bekerja seperti sapi.”
Nada mengejek.
Pembuluh darah di pelipis Pantasyeon menonjol.
“Kau…”
Kata pendek itu menggetarkan tengkuk.
Ia benci mengakui… tapi Avel benar.
Saat ia menoleh, Avel sudah menghilang.
Yang tertinggal hanyalah lengan kirinya—yang terpotong—dengan jari tengah tegak menghadap ke langit.
“…Bangsat.”
Pantasyeon menggeram.
Ia menatap ke segala arah, tapi Avel lenyap.
Setelah beberapa saat, ia mengambil lengannya dan berjalan mengikuti tirai jeritan Letansie.
Nabarodeze mengalihkan pandangan ke laut.
“Huhu. Keputusan bagus.”
Ia puas dengan pilihan Pantasyeon.
Ia berjalan di sepanjang pantai.
Ombak berulang kali membasahi punggung kakinya.
【Ke luar, Ronan! Dasar brengsek, pergi tanpa salam?!】
“Anak itu…”
Suara dari laut membuatnya menoleh.
Orse—yang tak sempat mengucapkan salam perpisahan pada Ronan—berputar-putar di sekitar lokasi rekahan sambil menyemburkan api.
Sulit mengekspresikan diri, tapi hatinya sangat hangat.
“Ronan.”
Nabarodeze berbisik.
Ia memandang bergantian antara daratan dan laut.
Matahari terbit mencapai puncak.
Cahaya pagi memenuhi dunia.
Pemandangan itu mirip sekali dengan putra bungsu yang baru ia lepaskan.
Matanya berkabut lagi.
“…Ronan.”
Beberapa bulan bersama anak itu melintas di benaknya.
Singkat, namun sangat indah—seperti cahaya fajar.
Ia mengalihkan pandangan dari matahari.
Dunia yang penuh kehidupan terbentang di hadapannya.
Di atas tanah yang hancur, orang-orang bergerak sibuk memperbaiki segalanya.
Kenyataan.
Dunia tempat mereka harus terus hidup—di luar momen indah matahari terbit.
“Hujan yang lewat…”
Kata-kata Ronan menggaung di telinganya.
Badai sekeras apa pun… akhirnya berhenti.
Musim dingin selalu berakhir menjadi musim semi.
Dan segala yang tampak di matanya sekarang adalah buktinya.
Ia menyeka sudut mata.
Lalu tersenyum lembut.
“Baiklah. Mari kita mulai lagi dari awal.”
2-36. Garis Paralel Kedua
Hal pertama yang masuk ke dalam penglihatanku adalah dinding bata yang kotor.
“Ugh, sialan…”
Kepalaku berputar.
Rasanya seperti terombang-ambing dalam tong minuman keras lalu terseret badai.
Bahkan saat menyeberangi lautan fajar dengan rakit, aku tidak pernah mabuk sampai sejauh ini.
“Di mana aku…?”
Tempat yang asing.
Namun satu hal pasti—ini adalah dunia paralel berikutnya.
Dan jelas belum berada di masa ketika para botak itu telah sepenuhnya menguasai segala sesuatu.
Alasannya sederhana.
Karena bangunan-bangunan ini… masih utuh.
Aku sedang duduk menyandar pada dinding yang sama seperti yang ada di depanku.
Kesejukannya yang khas dari batu bata terasa tidak menyenangkan.
‘Gang belakang?’
Saat kuangkat kepala, terlihat secuil langit yang terjepit di antara dua bangunan tinggi yang berdiri saling berhadapan.
Udara terasa lembap.
Awan gelap menggumpal seperti akan menumpahkan hujan deras kapan saja.
Angin hangat membawa bau air.
‘Untungnya aku mendarat dengan benar.’
Setidaknya bukan pendaratan darurat.
Menghela napas lega, hal pertama yang kulakukan adalah memeriksa pinggangku.
Pedangku tergantung dengan selamat.
Begitu mataku beralih ke lengan dan kaki―suara Lin menggema.
“Barang yang pertama kau periksa ternyata aku… sedikit terharu, tahu?”
“Berisik.”
“Huhu, malu-malu begitu. Noona mengerti, kok.”
Andai saja aku tidak sedang mabuk, sudah kuasah dia dengan batu kasar.
Prajurit pedang harus memastikan pedangnya dulu—itu jelas.
Untungnya tubuhku tidak menunjukkan masalah.
Jari tangan dan kaki lengkap sepuluh.
Dua barang penting—botol berisi darah Akasha dan pecahan Seniel—juga aman.
Aku memegangi kepala, menata ingatan.
“Ya… aku ingat sekarang.”
Potongan memorinya mulai kembali.
Aku memasuki rekahan setelah perpisahan penuh air mata dengan Noona Nabarodeze.
Bagian dalam rekahan yang hampir lenyap itu benar-benar kacau.
Jalan lurus yang seharusnya menghubungkan dimensi sudah hancur total, dan pintu menuju dunia paralel yang lain terasa seperti berada ribuan meter jauhnya.
Belum lagi… keamanan sihir yang entah kapan dipasang membuatku berjuang setengah mati untuk keluar.
“Akasha.”
Aku mengepalkan tinju.
Bayangan lima mata yang menatapku masih jelas di kepala.
Di dunia sebelumnya ia sempat memperlihatkan perilaku yang tak bisa dipahami, tapi untuk masa depan yang damai, aku harus menangkap dan menghajarnya.
Termasuk karena—berdasarkan rasa bersalah pribadi—dia membunuh seekor tupai terbangku.
Yang paling mengganggu… aku tidak tahu apa tujuannya.
‘Apa sebenarnya si bangsat itu inginkan?’
Jelas ia punya dendam sosial.
Tidak puas dengan masa depan, maka ia menyeret para botak dunia lain dan membuat kekacauan.
Tapi kenapa harus menghancurkan Seniel?
Untuk apa?
Bagaimana dia tahu itu?
Lagi pula menurut Noona Nabarodeze, dia bahkan tidak benar-benar menyerangnya.
“Ah sial, ketiban apes kena psycho begitu.”
Masih memegangi pelipis yang berdenyut, aku menggigit pipa rokokku.
Biasanya tidak dianjurkan berusaha memahami logika seorang gila… tapi ini urusan berbeda.
“Huuuh… hidup rasanya kembali.”
Tarikan asap membuat rasa mabuk mereda.
Mungkin karena sebelumnya aku berada di ruang yang penuh energi kehidupan, rasa tembakau jadi sangat nikmat.
‘Sepertinya aku tidak akan pernah berhenti merokok. Tidak mungkin.’
Asap putih menyebar di udara.
Teman hidup yang menemaniku selama perjalanan berliku.
Jujur saja, bahkan setelah menikah nanti, aku tetap akan merokok.
Banyak orang berhenti setelah punya anak, tapi mereka semua hanyalah pengecut.
Cih.
Cinta itu urusan lain.
“Baik.”
Setelah mengisap rokok beberapa kali, kondisiku membaik.
Aku berdiri sambil tetap menggigit pipa rokok.
Terlalu lama duduk membuat pantatku dingin.
Begitu keluar dari gang sempit itu—hamparan perumahan kumuh terpampang.
“Apa-apaan ini…”
Dan aku langsung membeku di tempat seperti patung.
Bentuk jalanan ini… sangat familiar.
Meski suasananya berbeda total dan bangunannya lebih rusak, tetap saja…
“Tidak mungkin ini…”
Sebuah kehadiran terasa dari arah lain.
Aku menoleh.
Tak jauh dari sana, di lantai dua salah satu rumah, seorang kakek tua menyembul dari balik jendela yang terbuka setengah—menatapku dengan sorot mata kelam.
Orang pertama yang kutemui di dunia ini.
“Oh, ada orang ternyata. Kakek. Apa ini kebetulan—”
Bang!
Jendela ditutup begitu keras seolah ingin menghancurkannya.
“Apa sih, makan apa sampai begitu?”
Aku spontan mundur selangkah.
Suara keras itu memantul di udara.
Hampir bersamaan, tirai tebal ditutup dari dalam.
Seperti pagar besi yang memutus rumah dari dunia luar.
“Ngomong-ngomong…”
Bahkan binatang buas yang kabur dari kebun binatang pun tidak akan diperlakukan seperti itu.
Aku mulai sadar—sebagian besar rumah juga tertutup rapat tirai hitam serupa.
Apa yang terjadi di kota ini?
Wabah? Karantina?
“Ayo lihat.”
Tuk!
Aku melompat ke atas atap.
Rumah tempat kakek tadi berada.
“Hwook!”
Suara kaget tipis terdengar dari bawahku.
Sepertinya kakek itu terjatuh karena kaget—tapi ya sudahlah, salah sendiri.
Dari atas bangunan, seluruh wilayah tampak jelas.
“Eh, benar ini Ibu Kota?”
Aku tertawa pendek.
Dugaanku—yang sempat kupikir terlalu konyol—ternyata benar.
Ini adalah distrik timur dari ibu kota Valon.
Kota raksasa yang tersusun seperti papan catur membentang hingga ke cakrawala.
“Sangat merindukan tempat ini.”
Aku menghembuskan asap, mengusap batang hidung.
Pemandangan yang membangkitkan nostalgia.
Valon sebelum dihancurkan para raksasa jauh lebih utuh dibanding dunia yang kutinggalkan.
Susunan jalan, bangunan, bahkan siluetnya masih sama seperti ingatanku.
‘Tapi kenapa segini sepi?’
Hanya saja… suasananya berbeda.
Seluruh kota terasa muram.
Istana kekaisaran masih berdiri megah, tapi entah kenapa tampak… mati.
Pasar yang biasanya ramai oleh pedagang dari seluruh benua kini hanya dihuni beberapa gerobak.
‘Apa Kaisar mati?’
Keadaan ini lebih buruk dari kampung tambang terpencil.
Ditambah cuaca mendung… membuatku ingin menghela napas panjang.
Aku naik ke atas cerobong rumah yang lebih tinggi dan mengamati kota lebih detail.
“Hmm?”
Saat mataku bergerak ke kanan-kiri, ia berhenti pada satu titik.
Di balik istana kekaisaran, jauh di barat…
Tampak serangkaian menara lancip yang menjulang di udara.
Aku terbelalak, lalu menyebut nama yang sangat kunantikan.
“…Phileon.”
Tidak salah lagi.
Kota kecil tempat berdirinya Seratus Menara.
Akademi kuno yang berdiri selama ribuan tahun bersama Valon ini tetap bertahan bahkan di dunia yang hampir tersapu.
Siluet para teman sekelas dan para instruktur melintas di pikiranku.
‘Mungkin kepala sekolah atau instruktur Navirose juga ada.’
Tidak ada alasan untuk tidak pergi ke sana.
Jika ada seseorang yang tersisa, itu akan sangat membantu.
Tanpa sadar aku bergerak ke arah Phileon.
Setiap kali aku melompat dari satu atap ke atap lain—suara jeritan terdengar.
“Hiiik! Pencuri?!”
“Rumah kami tidak menyembunyikan siapa pun! Hidup Wali Penguasa!”
“Ya ya, maaf. Cuma lewat.”
Aku mengabaikan suara-suara aneh yang… entah kenapa terdengar semakin tidak wajar.
Ukurannya Valon yang besar membuat perjalanan cukup lama meski aku melaju cepat.
Tap!
Setelah melintasi ratusan atap, akhirnya aku mendarat di tanah.
“Wah. Sudah lama sekali…”
Gerbang utama Phileon berdiri menjulang.
Pintu megah yang dulu sering kulewati saat membolos, latihan klub, atau kencan dengan Adechan—masih utuh di dunia ini.
Jika aku menembus lurus, di dalamnya ada Aula Galerion.
Belok kanan sedikit, ada asrama Nabarodeze Pavilion, tempat aku tinggal.
Di balik hutan sebelahnya, ada tempat kencan rahasia dengan Adechan.
‘Masa-masa yang indah. Benar-benar indah.’
Bertahun sudah berlalu tapi rasanya seperti kemarin.
Aku tersenyum kecil, lalu mendekat ke gerbang.
Namun—
“Eh? Apa ini?”
Baru sekarang aku melihatnya.
Sebuah penghalang sihir transparan menutupi seluruh gerbang.
Penghalang kokoh yang tampak seperti tidak akan membiarkan bahkan seekor tikus lewat.
Di atasnya tertulis:
[Berdasarkan dekrit Yang Mulia Wali Penguasa, sekolah ini ditutup tanpa batas waktu sampai pemberitahuan lebih lanjut.]
“Wali Penguasa…?”
Keningku berkerut.
Kata yang sangat tidak kusukai.
Jika bukan Kaisar yang berkuasa, berarti ada yang sangat tidak beres pada dinasti Valon yang sudah berjalan 44 generasi.
“Siapa pun itu… kerjaannya menyebalkan.”
Aku tidak tahu apa yang menyebabkan penutupan, tapi pasti alasannya bodoh.
Phileon hanya pernah ditutup sekali—saat perang besar dengan Nebula Clazier pecah.
Bahkan ketika Penyihir Musim Dingin turun dan binatang es menyerbu para siswa, sekolah tetap buka.
Tentu saja aku tidak berniat menaatinya.
Aku menarik pedangku.
‘Tak ada orang, kan?’
Aku melirik sekitar.
Benar-benar sunyi.
Aneh.
Biasanya area sekitar Phileon terasa seperti pantai musim panas—ramai, riuh, penuh anak-anak.
Tapi semua ini justru menguntungkanku.
Aku mengayun pedang.
Tidak perlu banyak tenaga.
Srak!
Seperti memotong tahu, penghalang itu terbelah.
“Begitu dong.”
Tanpa sadar aku menyeringai.
Berarti kekuatanku baik-baik saja.
Yang aneh… cuma sihir Akasha.
Bangsat itu.
Aku bersiul kecil dan melangkah masuk.
Namun tepat saat kakiku melewati ambang—
Swoosh!
Secarik kertas kusut terbang dan melilit betisku.
‘Sampah pun tidak dibersihkan? Bagaimana sekolah ini dikelola?’
Di masaku—tidak mungkin terjadi.
Kertas itu terasa sudah lama terombang-ambing di jalanan.
Aku menunduk dan mengambilnya.
Ada tulisan.
Aku membacanya perlahan.
“…Apa?”
Rasanya seperti sebuah beban besar jatuh ke dadaku.
Butuh beberapa detik sampai otakku memahami apa yang kulihat.
Yosef Siniban de Grancia—itu ayah Schlippen.
Kepala keluarga Grancia—keluarga bangsawan besar yang membelah kekaisaran menjadi dua pilar utama.
Dan dia… dieksekusi sebagai pengkhianat?
“Sialan… apa yang terjadi di sini—”
“Hei, kau! Berhenti di situ!”
Aku masih kebingungan ketika sebuah teriakan keras terdengar dari belakang.
Aku merasakan niat membunuh—langsung memutar bahu.
Swish!
Sebuah anak panah melesat melewati dadaku.
Ujung tajamnya dilumuri cairan—racun paralitik.
“K-dia menghindar?!”
Suara panik datang dari arah anak panah ditembakkan.
Aku menoleh perlahan.
Sekelompok enam atau tujuh tentara berdiri dengan tombak, panah, dan armor lengkap.
Mereka pasti mendekat saat aku terpaku pada kertas itu.
Prajurit berpangkat paling tinggi melangkah ke depan dan berbicara tegas.
“Akhirnya kau menampakkan diri, mata-mata Grancia. Apa kau datang untuk menemui tuanmu, Schlippen?”
“…Apa omong kosong ini.”
2-37. Buronan (1)
Aku begitu tercengang sampai-sampai kata-kata tak keluar dengan benar.
Bahwa aku ini bawahan si bangsat Schlippen—rasanya tak percaya ada hari di mana aku harus mendengar omong kosong macam itu.
Orang yang tampaknya paling tinggi pangkatnya… sialan, kumisnya begitu tebal. Baiklah, aku akan menyebutnya saja: “Si Kumis.”
Si Kumis itu mengerutkan alis ketika mendengar ucapanku.
“Ap—apa? Omong kosong?!”
“Lalu harus kuanggap itu sebagai ucapan waras? Ada batas untuk kurang ajar, tahu.”
Aku mengeluarkan pipa rokok dan menggigit ujungnya.
Tanpa satu hembusan pun untuk menenangkan diri, rasanya kepalaku takkan dingin.
Wajah Si Kumis dan para prajurit di belakangnya seketika memucat.
“Aku tidak tahu apa yang kau salah pahami, tapi aku bukan bawahan si brengsek itu, bahkan aku tidak tahu dia masih hidup atau tidak. Justru aku ingin bertanya—apa sebenarnya yang terjadi pada Keluarga Grancia dan Schlippen?”
Aku hanya mengatakan kenyataan.
Dalam beberapa hal, ini bahkan lebih membingungkan daripada dunia sebelumnya yang sudah dikuasai para botak itu.
Angin yang berhembus kebetulan membawa asap rokok yang kuembus ke arah para prajurit.
“Kohf! Kohf!”
“Bahkan dalam situasi begini masih pura-pura tidak tahu… seorang penghisap darah dari keluarga pengkhianat, ternyata bahkan tidak punya sedikit pun kesetiaan pada tuannya?”
“Bilang saja kau bodoh. Serius deh, pasti dari kecil semua orang bilang kau lambat otak, ya?”
“Berhenti berpura-pura bodoh! Kau pikir masuk akal kalau kau mengaku tidak tahu sesuatu yang diketahui seluruh rakyat Kekaisaran? Tentang insiden di mana pendekar yang dijunjung sebagai Bintang Kekaisaran mencoba membunuh Yang Mulia Kaisar!”
“……Apa?”
Aku hampir menjatuhkan pipa rokokku.
Seakan batu raksasa meluncur dan menghantam pelipisku.
Schlippen yang kukenal—mencoba membunuh Kaisar?
Itu sebabnya sekarang ada seorang Pemangku Takhta?
Aku tak bisa menangkap bagaimana sejarah dunia ini berubah.
Si Kumis melanjutkan dengan suara marah:
“Dan bukti bahwa kau mata-mata Grancia juga cukup. Kau berkeliaran di fasilitas terlarang—tepatnya Akademi Phileon, tempat yang dicurigai sebagai lokasi pertemuan rahasia para sampah Grancia—bahkan kau merusak penghalangnya… untung kami langsung bergerak setelah menerima laporan.”
“Tidak. Jelaskan dulu. Apa yang sebenarnya terjadi? Sedetail mungkin.”
“Kau memang tidak berniat menyerahkan diri rupanya. Prajurit! Tangkap dia!”
Si Kumis mengacungkan tombaknya sambil berteriak.
Padahal aku masih ingin berbicara, tapi jelas dia bukan tipe orang yang mau diajak dialog.
Prajurit yang sudah bersiap menembakkan busur silang sekaligus.
Syurik!
Enam anak panah meluncur menembus udara.
Ujungnya diolesi racun pelumpuh—mereka menargetkan lengan dan kaki, bukan titik vital.
Aku tak perlu mencabut pedang pun.
Hanya dengan sedikit memutar tubuh, anak panah itu meleset dan jatuh ke dalam kompleks akademi.
“D—dia menghindar lagi!”
“Bajingan itu…!”
Para prajurit terkejut.
Bahkan di wajah Si Kumis tampak keterkejutan.
Aku mengetuk gagang pedangku pelan sambil menghela napas panjang.
“Aduh… ribut amat sih.”
Seharusnya tadi aku langsung mencari Akasha saja.
Rencanaku cuma jalan-jalan sebentar di sekolah, tapi hasilnya seperti ini.
Memang bisa saja kuabaikan mereka dan lanjut urusanku, tapi sayangnya aku tidak bisa.
Salah satu dari sedikit teman yang kumiliki di dunia asliku—dan yang jelas bukan tipe kriminal—di dunia ini malah jadi buronan.
Aku tidak bisa tidak menyelidikinya.
Si Kumis menaikkan satu alisnya.
“Hebat juga. Anjing penjaga tetaplah anjing penjaga dari Grancia, ya?”
“Tuan kumis, bagaimana kalau berhenti mengoceh dan mundur saja? Mundur sekarang, aku tidak akan mengusikmu. Aku tinggal tanya ke orang lain.”
“Omong kosongmu sampai di sini saja. Baiklah, aku sendiri yang akan menangani—Hiyo—ugh!”
Si Kumis mengeluarkan suara bodoh.
Aura keruh merayap naik di sepanjang tombaknya lalu berkumpul di ujungnya.
Melihat pola mananya yang unik, itu adalah aura—Aura Swordsmanship.
Kupikir dia cuma prajurit sok jagoan, ternyata lumayan punya skill.
“Hm?”
Tapi ada yang aneh.
Aura keabu-abuan itu… entah kenapa terasa familiar.
Padahal ini pertama kalinya aku bertemu orang ini.
‘Aku pernah lihat aura ini… di mana?’
Aku memaksa otakku bekerja walaupun rasa mual dari perpindahan dunia masih tersisa.
Saat itu Si Kumis melompat dan menusuk dengan cepat.
Ketika aku sedikit memiringkan tubuh, sebuah garis abu-abu terukir di udara.
“Oh.”
“Tajam juga matamu, bisa menghindari itu.”
Ketika kuturunkan pandangan, ujung tombak itu berhenti tepat di depan dadaku.
Serangannya cukup bagus.
Si Kumis menyeringai.
“Tapi sampai di sini saja. Kau akan memuntahkan semua yang kau tahu. Para Inkuisitor di Benteng Jeritan akan menguliti daging dan tulangmu satu per satu.”
“Apa? Jadi Rodollan masih beroperasi ya?”
Itu kabar yang cukup menggembirakan.
Di tengah kekacauan Kekaisaran, mereka tetap buka? Memang, pekerjaan spesialis biasanya begitu.
Mengingatnya membuatku teringat pada Karraka, si kakek tua itu—entah bagaimana kabarnya.
Aku tersenyum kecil karena nostalgia itu.
“Haap!”
Tombak melesat lagi.
Kali ini jauh lebih brutal.
Ujung tombak yang diselimuti aura abu-abu berputar dan mengejarku laksana makhluk hidup.
Aku semakin yakin pernah melihat mana ini.
Para prajurit hanya menonton, tak berani ikut campur dalam duel kapten mereka.
“Memang hebat, ya.”
‘Wajar, tidak sembarang orang bisa jadi Royal Guard.’
“Ha-ha-ha! Aku akan memotong semua lengan dan kakimu sebelum menyeretmu!”
Si Kumis tertawa puas.
Syurik!
Aku menunduk rendah; tombak itu melintas tipis di atas kepalaku.
Di matanya, aku tampak seperti seseorang yang ketakutan dan menghindar dengan susah payah.
Melihat tampang senangnya, aku merasa sudah waktunya memanen sedikit harapan yang dia punya.
“Lengan dan kaki, ya… kedengarannya bagus.”
Lagipula seorang prajurit Kekaisaran pasti banyak tahu.
Aku melepaskan pipa rokok dari bibir.
Lalu kuhembuskan asap tepat ke wajah Si Kumis yang cekikikan di depanku.
“Puh.”
“Kuhf! Khahk! Berani sekali kau…!”
Dia batuk keras.
Wajar saja.
Tembakau Selatan ini bukan untuk lidah lemah.
Sejak pertama bertemu prajurit ini, baru sekarang aku menyentuh gagang pedang.
Begitu pedang putihku keluar dari sarungnya—garis merah melintang di keempat anggota tubuh Si Kumis.
Begitu pedang itu kembali ke posisinya—
Craaaak!
Empat pancuran darah meledak bersamaan.
“Eh?”
Mata Si Kumis melebar.
Dia bahkan tidak menyadari apa yang terjadi.
Tubuhnya, kini tanpa lengan dan kaki, jatuh tergeletak.
Darah memancar dan menggenang membentuk kolam kecil.
Para prajurit terpaku, napas tercekat.
Dari mulut Si Kumis yang telungkup, terdengar teriakan memilukan.
“Ke—kyaaaaaaagh!!”
“Sekarang… bagaimana dengan kalian?”
Aku memutar pedang di tangan, menatap para prajurit.
Mereka membeku dari ujung kaki sampai kepala.
“A—ah…”
“Mo… monster…”
Kaki mereka gemetaran menyedihkan.
Aku sempat mempertimbangkan.
Menyayat mereka seperti memotong wortel dalam stew bukan hal sulit.
Beberapa jam lalu aku bahkan bertarung melawan penyihir yang merobek ruang.
‘Beginilah nasib kaum bawahan…’
Namun tatapan mereka yang ketakutan menghentikanku menjadi koki pembantai.
Sebisa mungkin aku ingin menghindari pembunuhan. Dunia ini masih bertahan, dan tidak hancur total seperti dunia sebelumnya.
Aku menghela napas dan melambaikan tangan seperti mengusir lalat.
“Sana. Enyah.”
“H-heok! B-baik!”
“L-lari!”
Para prajurit kabur seperti anak ayam dikejar anjing.
Senjata mereka berjatuhan dengan dentingan logam.
Ya, begitu jauh lebih baik.
Lagi pula, ini daerah pemukiman—pasti ada orang yang menyaksikan.
Selama mereka tidak menyerangku atau melakukan kejahatan berat, aku enggan jadi algojo.
Aku kembali menoleh pada Si Kumis, lalu menarik rambutnya.
“Sekarang. Kau ikut aku.”
“Keuaaaagh! L-lepaskan…!”
Dia meronta sambil meneteskan darah, tapi percuma. Anggota tubuh yang hilang tidak akan tumbuh kembali.
Mataku mencari tempat yang lebih cocok untuk menginterogasi.
Phileon sepertinya jauh lebih ideal daripada sini.
“Huuup…”
Aku menghirup napas, otot pahaku menegang.
Satu tangan memegang Si Kumis, aku melompat melewati gerbang.
Duuuaang!
Batu lantai retak saat tubuhku melesat.
Pemandangan kampus yang kurindukan terbentang di bawahku.
Deretan ratusan menara.
Alun-alun besar tempat upacara masuk, sungai yang melingkari lahan luas…
Hampir semuanya persis seperti yang kuingat.
“Sudah lama…”
“T-tolong… jangan bunuh aku…”
Keadaannya jauh lebih baik dibanding dunia asliku yang sudah dihancurkan Abel.
Namun tanaman liar dan lumut tebal di dinding bangunan menunjukkan bahwa tempat ini lama ditinggalkan.
Padahal dulu tidak pernah ada noda sekalipun.
Saat kami melayang turun membentuk lengkungan—
Balkon besar Gedung Gallerion terlihat.
“Pas.”
Tempat yang cocok untuk bercakap-cakap.
Dulu aku sering keluar-masuk ruangan itu untuk mengikuti kelas Noona Naviroze.
Bagaimana kabarnya sekarang?
Semoga dia masih hidup.
‘Kalau tidak, ya tinggal kucari.’
Lama-lama pasti ketemu kalau aku mengejar Akasha.
Aku butuh sedikit dorongan untuk mencapai balkon.
Maka kutebas lantai di bawahku.
Duar!
Dengan ledakan kecil, tubuhku terdorong ke depan.
“Keugh!”
Si Kumis memuntahkan darah, tapi itu bukan urusanku.
Kami mendarat menghentak balkon.
Karena posisinya tinggi, pemandangannya sangat bagus.
Aku bersandar ke dinding dan merangkul Si Kumis.
“Bagus ya pemandangannya? Setuju?”
“Hhh… hhah… t-tolong… ampun…”
Melihat dia cepat menyerah, jelas metodeku berhasil.
Daripada langsung memukuli lawan, berpura-pura terdesak lalu membalik keadaan jauh lebih efektif mengikis harapan seseorang.
Aku menggigit pipa rokok lagi.
“Tergantung jawabanmu. Siap menjawab pertanyaanku?”
“A—apa saja… akan kukatakan… apa saja…”
“Bagus. Pertama—apa yang terjadi pada Kekaisaran? Kenapa Schlippen sampai dituduh mencoba membunuh Kaisar? Dan siapa yang jadi Pemangku Takhta?”
“Kuhuk… semuanya… dimulai pada hari Yang Mulia Kaisar memanggil Schlippen… untuk menghargai keberhasilannya dalam sebuah misi… mereka memasuki ruang audiensi… dan tiba-tiba terdengar jeritan… ketika Kepala Garda Emas berlari masuk… Yang Mulia sudah terjatuh…”
“Pasti Schlippen yang melakukannya? Ada saksi?”
“Tidak ada saksi… tapi semua bukti mengarah padanya… pedang yang berlumur darah Yang Mulia ada di tangan Schlippen… kuhuk… dia langsung melarikan diri… Yang Mulia selamat… tapi tidak pernah sadar sejak itu…”
Ah, jadi itu alasan adanya Pemangku Takhta.
Setelah menerima tusukan pedang Schlippen, Kaisar lumpuh seperti tanaman hidup.
Si Kumis kembali berucap lirih:
“Karena itu… hhh… Baruka-nim, penasihat yang paling dipercaya… naik menjadi Pemangku Takhta…”
Tiba-tiba nama yang tak masuk akal muncul.
Jika pikiranku benar—aku sungguh mengenalnya.
Baruka.
Baruka dari Utara.
Baruka Tergeng—adik Jaipa.
Aku merapikan poniku dan bertanya:
“Tunggu. Baruka itu… Baruka Tergeng yang kukenal?”
“Benar… beliau adalah otak di balik kebijakan integrasi wilayah Utara… dan memimpin Kekaisaran dengan sangat bijak…”
“Eh, kau kenapa?”
Si Kumis mendadak kejang.
Urat-urat di lehernya menegang brutal.
Pewarna hitam menyebar di bawah kulitnya—sangat menjijikkan.
Aku spontan menjauh.
Mata Si Kumis terbalik, suaranya serak memuakkan:
“Demi… gkhrk… nama Yang Mulia… B-Baruka…!”
Dia memandangku.
Dan di balik tenggorokannya—
—muncul sebuah bola mata raksasa.
“Apa lagi ini, sialan.”
Bola mata itu menatapku.
Pupil vertikalnya lebih mirip binatang daripada manusia.
Baru saja aku akan mencabut pedang—
Swak!
Sebuah tebasan jarak jauh datang entah dari mana dan menembus dada Si Kumis.
“Heh?”
Tubuhnya terbelah.
Aku langsung bangkit karena ancaman yang kurasakan.
Krkrkrkrang!
Sebuah pusaran raksasa muncul, mencabik tubuh Si Kumis sampai tak tersisa sehelai pun rambut kumisnya.
“Apa…!”
Sedikit terlambat saja aku sudah ikut terseret.
Tapi itu bukan yang membuatku terkejut.
Dari arah datangnya aura pedang itu—
—muncul suara sangat familier.
“Ceroboh sekali. Kau tidak tahu apa yang terjadi ketika kau membunuh seorang Garda Emas?”
Suara itu lirih, tetapi pendengaranku jelas menangkapnya.
Aku berbalik.
Di kejauhan, seorang pria berjubah berdiri.
Dari balik bayangan, mata biru gelapnya menyala tajam.
Walau jaraknya lumayan—
aku langsung tahu.
Aku menatapnya, dan seakan menyebut nama orang mati, aku berbisik:
“Schlippen.”
2-38. Buronan (2)
Langit mulai menggelap.
Pria berjas panjang itu masih menatapku.
“...Schlippen.”
Aku hampir saja melambaikan tangan dengan penuh sukacita.
Namun Schlippen, yang sedari tadi hanya menatapku tanpa sepatah kata pun, membalikkan badan.
“Hah?”
Putaran angin yang menggiling si Kumis juga tercerai-berai, menyisakan bekas darah memanjang di tanah.
“Ehy, ke mana pergi!?”
Sekalipun aku berteriak, tak ada jawaban kembali.
Aku melesat seperti anjing galak yang direbut tulangnya.
Melompati pagar.
“Berhenti!”
Pertarungan kejar-kejaran pun dimulai.
Aku harus menangkapnya sebelum ia benar-benar berniat bersembunyi.
Jarak ratusan meter tertutup hanya empat detik.
Begitu aku membelok pada sudut tempat Schlippen menghilang, langkahku berhenti.
“Abuset, sialan.”
Bangunan-bangunan kayu yang tak terurus itu berubah begitu menyeramkan, seakan cocok dijadikan sarang hantu.
Puluhan gubuk memberi terlalu banyak jalan pelarian.
“Inilah sebabnya kenapa orang tanpa kemampuan itu… ah, tidak. Adeshan juga tinggal di sini.”
Untung aku bisa membatalkan ucapanku sebelum selesai.
Schlippen memang tak terlihat, tetapi aku tetap tenang memeriksa sekitar.
Jejak langkah yang samar tertinggal di tanah.
“Kira aku nggak bisa menemukanmu?”
Meskipun ini bukan bidang keahlianku, tetapi tingkat ini masih bisa kulakukan.
Begitu kusatukan fokus, kelima indraku meningkat pesat.
Suara-suara yang tadinya tak terdengar mulai merayap masuk.
Aroma kayu lembap, jamur, dan bau sungai yang terbawa angin terasa semakin jelas.
Kulitku menangkap setiap aliran udara yang bergerak.
Tak lama kemudian, bibirku terangkat.
“Ketemu.”
Mungkin beginilah rasanya pemburu yang menemukan jejak rusa.
Baru saja aku akan melanjutkan pengejaran—
“Jangan bergerak.”
“Hah?”
“Siapa sebenarnya kau. Mengapa mengikuti aku?”
Suara itu datang dari tepat belakangku.
Aura membunuh yang sebelumnya tak terasa, kini menusuk tengkukku bagai jarum es.
Pedang keluarga Grancia, Pale Lord, ditempa dari badai salju yang membatu.
“...Heh, memang beda ya, buronan dengan pengalaman.”
Aku tak bisa menahan kekagumanku.
Melacak dan menutupi kehadiran adalah keahlian Schlippen sejak dulu, tetapi kali ini bahkan lebih sempurna.
Mengabaikan peringatannya, aku menoleh sedikit.
Yang pertama memasuki pandangan adalah mata biru gelap yang berpendar suram.
“Hah? Schlippen.”
“......”
Kening Schlippen mengernyit.
Sepertinya ia sangat tak senang karena aku mengabaikan peringatannya.
“Apa.”
Bukan karena sifatnya yang mulia aku terkejut.
Tetapi rambut wajahnya.
Janggutnya.
Janggut biru gelap seperti warna rambutnya, menutupi seluruh rahang bawah.
Butuh beberapa detik untuk otakku memprosesnya.
“Anjrit… apa itu bulu-bulu di mukamu?”
“Jangan alihkan pembicaraan.”
“Tidak, tapi ini nggak bisa dibiarkan, sumpah. Kaya bandit kampung….”
Bilah Pale Lord makin dekat ke tenggorokanku.
“Aku takkan ulangi lagi. Sebutkan identitasmu.”
“Baik, baik. Namaku Ronan. Aku bukan musuhmu. Malah, kita ini di sisi yang sama. Kepala batu memang belum hilang, ya.”
“Ronan… aku belum pernah mendengar nama itu. Dengan kemampuanmu, seharusnya kau terkenal.”
“Wajar kalau tidak. Versi diriku di dunia ini ya… kurang lebih setara monyet.”
“Dunia ini…?”
“Ada hal semacam itu. Aduh, kalau harus jelasin dari awal lagi, kepala gue bisa pecah.”
Hanya memikirkan menjelaskan latar belakangnya saja sudah membuatku pusing.
Aku menarik napas pelan agar tidak memprovokasinya.
“Dengar baik-baik, Schlippen. Aku datang dari dunia lain. Persis seperti dunia ini, tapi sejarahnya berbeda. Di sana, kau adalah pahlawan yang menyelamatkan dunia… dan dengan nyali sebesar itu, kau nekat melamar noonaku. Ah, baru ngomong saja sudah bikin panas kuping.”
“...Kau sedang mengoceh apa.”
“Tahu banget bakal nggak percaya. Tapi kau jawab punyaku, jadi aku juga nanya balik. Sang Regent, Barcka… dia Barcka Tergeng? Adik dari Sword Saint generasi terdahulu, Jaipa?”
“Kenapa bertanya hal yang sudah jelas.”
“Ah.”
Schlippen tampak bingung.
Dan di saat itulah aku menutup mata rapat-rapat.
Sayangnya, dugaanku tepat.
Barcka Tergeng.
‘Kalau ada lomba bajingan, dia dapat juara dua.’
Ingatan itu masih jelas.
Sekarang aku paham mengapa aura tadi terasa familiar, dan kenapa ada bola mata keluar dari mulut si Kumis.
“Gila… jadi bangsat itu akhirnya berhasil.”
Dadaku terasa panas.
Aku butuh obat penenang.
Saat aku merogoh saku untuk mengambil pipa rokok, Schlippen kembali mengernyit tajam.
“Kukatakan… jangan bergerak.”
“Ayolah, sekali ini saja. Kalau nggak ngerokok, kayaknya ada pembuluh darah yang bakal pecah.”
“Kau…”
Suara Schlippen merendah.
Sabarannya tampaknya sudah mencapai batas.
Ia membalik pegangan pedangnya dan mengayunkannya.
“Oh.”
Seperti biasa, tekniknya bersih.
Hanya dari gerakan kecil itu saja, aku bisa mengukur tingkatannya.
Masih di bawah Schlippen dari dunia asliku, tetapi setara dengan Schlippen dari hidupku yang pertama.
Aku merunduk, bergerak ke sampingnya.
Lalu menangkap pergelangan tangan yang memegang Pale Lord.
“Dengan ini kau mau bunuh siapa?”
“Apa—!”
Ia membeku.
Schlippen menatap tanganku seolah itu tentakel monster.
Dengan tangan satunya, aku menarik napas lewat pipa rokok, lalu mengembuskan asap.
Bersamaan dengan itu, mataku turun ke punggung tumpul bilah pedangnya—bilah yang jelas tidak dipakai untuk membunuh.
“Seperti yang kuduga… kau tidak berubah, Schlippen. Syukurlah.”
“Lepaskan!”
Schlippen mengayun sikunya.
Aku mundur santai selangkah.
Mendapatkan jarak, ia kembali bersiap, memegang gagang pedangnya dengan dua tangan.
“Keluarkan pedangmu!”
“Tenanglah. Aku tidak berniat bertarung denganmu.”
“Siapa kau sebenarnya. Mengapa menyusup ke Pil Leon Academy, dan kenapa melawan prajurit Kekaisaran?!”
“Aku masuk karena mengira ada sesuatu di dalam. Dan aku tidak tahu kalau orang tadi prajurit Kekaisaran. Kita memang punya banyak yang harus dibicarakan, tapi satu hal setidaknya sudah jelas sekarang.”
“Sudah… jelas?”
“Ya. Bukan kau yang menyerang Yang Mulia Kaisar.”
“……!”
Mata Schlippen membelalak.
Tekanan pembunuhan yang sempat memenuhi udara mereda.
Kini, ketika kami saling berhadapan, aku bisa melihat betapa menyedihkan keadaannya sekarang.
Bukan hanya janggut.
‘Tidak enak dilihat, jujur saja.’
Sraaah… hujan rintik mulai turun.
Kabut naik dan mempersempit jarak pandang.
Segala sesuatu ditelan warna kelabu.
Di atas halaman akademi yang muram, suara hujan menyebar.
Kami saling menatap lama, tak bergerak barang sedikit pun.
Ketegangan itu berlangsung hingga—
“...Hah?”
“……!!!”
Aura dingin menyapu kami seperti badai.
Arah datangnya: deretan menara kelas.
Aku dan Schlippen sama-sama melompat mundur pada waktu yang nyaris bersamaan.
Kwaang!
Dum!
Sesuatu menerobos kabut dan menghantam titik di mana kami berdiri sebelumnya.
“Apa lagi ini.”
Aku menyipitkan mata.
Dua tombak ramping menancap dalam ke tanah.
Aura Barcka yang pernah kulihat sebelumnya mengalir di sepanjang batang tombak, bergulung seperti api biru kehitaman.
Schlippen mengklik lidah.
“Tch. Ini yang terjadi kalau buang waktu.”
“Siapa yang berani nyelak orang tua lagi ngomong, hah?”
Kami berdua menoleh.
Di atas ujung tujuh menara yang menjulang keluar dari kabut, berdiri tujuh sosok berbalut seragam Kekaisaran.
“…Prajurit Kekaisaran?”
Mereka hanya berdiri, menatap ke arah kami tanpa suara.
Schlippen menggenggam pedangnya lebih erat.
“Larilah. Aku akan menahan mereka.”
“Kenapa jadi drama begini?”
“Mereka pasukan pribadi Barcka. Menyusahkan kalau mulai bergerak.”
Cahaya dingin berkedip di mata birunya.
Dari bilah Pale Lord, hawa beku merembes.
Dari jarak energi saja sudah jelas—mereka semua petarung kuat.
‘Kenapa bajingan-bajingan itu nginjak bangunan sekolah orang?’
Aku baru hendak membuka mulut ketika Schlippen berteriak:
“Mereka datang!”
Ketujuh sosok itu melompat serempak.
Tanpa suara, mereka meluncur seperti bayangan.
Schlippen mengibaskan tebasan lebar.
Bilah aura raksasa berbentuk bulan sabit menghantam tanah dua puluh langkah di depan kami.
KWAaaaaaaANG!!
Dinding badai yang terbentuk dari angin berputar menghancurkan batu-batu pijakan, meledak ke atas.
“……!”
Dua orang di barisan depan terseret masuk ke pusaran itu.
Dengan suara mengerikan seperti daging disobek, bagian dalam badai mulai memerah.
2-39. Buronan (3)
“Kyah.”
Pemandangan itu terasa begitu ringan.
Dalam sekejap, dua orang berhasil ia singkirkan.
Schlippen tidak berhenti dan terus mengayunkan pedangnya.
Sebagian besar menghantam tanah atau pepohonan, tetapi tiga di antaranya mengenai para lawan.
“……!!”
“…”
Hingga saat aura Schlippen meledak pun, para anggota pasukan pengawal itu tidak mengeluarkan suara.
Badai yang tersimpan dalam tebasan pedang itu meledak serempak.
Angin tajam menelan tubuh mereka.
Kwa-kwakwaaang!!
Sembilan pusaran angin melonjak ke langit di atas halaman akademi.
“Huu…”
Schlippen menarik napas berat.
Kelihatannya ia kelelahan setelah menghabiskan banyak Mana sekaligus.
Lalu, rasa tidak enak merayap di dadaku.
Pusaran angin itu memang teknik yang bagus—tetapi dalam situasi seperti ini, bilah angin yang merupakan esensi Storm Sword jelas jauh lebih efektif.
Lebih sedikit tenaga, lebih cepat membunuh.
‘Jangan bilang… dia belum mengalami Awakening?’
Keraguan yang cukup masuk akal melintas di kepalaku.
Di dunia asal, Schlippen membangkitkan Storm Sword saat kami melakukan perjalanan ke Dainhar bersama-sama.
Jika melihat umur saat itu, ia sudah mencapainya jauh lebih awal dari batas normal.
‘Tidak… sekalipun begitu, ini terlalu lambat.
Di masa ini seharusnya Witch of Winter sudah ditangkap.’
Tetap saja tidak masuk akal.
Jika Schlippen belum membangkitkan auranya, Ibukota pasti sudah terkubur dalam salju dan es.
Sementara pikiranku berputar, pertempuran masih berlangsung.
Sraaah…!
Potongan daging dan organ yang hancur tercampur hujan rintik yang turun.
Dua orang pengawal masih tersisa.
Mereka tidak menerjang secara membabi buta; hanya berputar-putar, mencari celah.
Pusaran angin di sekitar membuat mereka kesulitan masuk.
Melihat pergerakan mereka yang sangat hati-hati, aku tak menahan tawa kecil.
“Itu monster, atau orang?”
Sejak tadi memang ada sesuatu yang aneh.
Bukan cuma karena topeng menyeramkan dan gerakan tanpa suara.
Schlippen bergumam lirih.
“Pasukan pengawal sudah muncul secepat ini…”
Sikapnya pun semakin mempertebal kejanggalan.
Di balik dinding angin, wajah Schlippen tampak sangat tegang.
Tidak meremehkan lawan memang penting, tapi ini jelas berlebihan.
Aku yang sejak tadi menonton diam-diam akhirnya memanggilnya.
“Heh. Masa takut sama para cupu?”
“Kau…!”
Schlippen menoleh, matanya melebar.
Sepertinya ia terlalu fokus bertarung sampai lupa aku ada di sini.
Ia memandang bergantian antara dinding angin dan diriku, lalu berteriak.
“Sial, kenapa kau belum mengungsi!?”
“Kaget. Memangnya perlu lari? Kau sudah menghabisi lima orang.”
“Kau tidak mengerti apa-apa! Mereka bukan lawan yang mudah! Pasukan pengawal Barcka itu tidak bisa—”
Schlippen belum sempat menyelesaikan kalimatnya.
Empat bayangan menerobos celah di antara sembilan pusaran angin.
Pasukan pengawal Barcka.
Mereka menerjang dari empat arah berbeda, semuanya mengenakan seragam resmi Kekaisaran.
“Tunggu sebentar. Itu…”
Alisku mengernyit.
Meski seragam dan topeng mereka berlumuran darah, sulit untuk tidak mengenali mereka.
Dua di antaranya jelas-jelas adalah orang yang tercabik oleh pusaran angin di awal pertempuran.
“Mereka sudah kembali…!”
Sudah terlambat untuk menebarkan tebasan aura.
Dua orang menyerbu lurus ke depan, dua lainnya menyebar.
Schlippen segera mengambil posisi bertahan.
Dua tebasan pedang para pengawal menghantam Pale Lord.
KAAAANG!
Suara logam beradu memekakkan telinga.
Saat tiga bilah pedang saling menekan—
Sret!
Jari-jari salah satu pengawal terbang, terputus.
Potongan itu membeku sebelum menyentuh tanah.
Aku mengeluarkan suara kagum.
“Oh, itu kan salah satu hax kamu.”
Berkat hawa beku yang keluar dari Pale Lord.
Es merangkak naik dari jari menuju lengan dan badan.
“….”
Namun pengawal itu tidak peduli.
Justru, ia terus menekan lebih agresif.
Setiap kali bilah pedang beradu, percikan api dan pecahan es melonjak bersamaan.
Kradak!
Akhirnya, kedua lengan pengawal itu—yang membeku total—pecah sambil masih memegang gagang pedang.
Di saat bersamaan, dua pengawal lain menyerbu dari sisi kiri dan kanan.
“Kh!”
Ia perlu menghadapi mereka, tetapi gerakan Schlippen terkunci oleh serangan membabi buta para pengawal.
Ia menggenggam pedangnya erat.
PAAAAH…!
Bilah biru Pale Lord berubah menjadi angin dan menghilang.
“Itu…”
Itu Storm Sword yang kukenal.
Schlippen mengayunkan gagangnya dengan lebar.
Angin berputar melengkung.
SRAK!
Tubuh keempat pengawal terbelah vertikal.
“Heh. Ternyata kau bisa melakukannya.”
Tebasan itu bersih tak tercela.
Meski lebih kasar dibanding versi yang kuingat, itu tetap tebasan yang indah.
Organ-organ jatuh berloncatan seperti panci sup yang ditumpahkan.
Delapan potong daging tersebar di tanah.
Akhir yang begitu antiklimaks sampai membuat lemas.
“Harusnya dari tadi begini. Ngapain ribet-r—hah?”
Saat aku hendak mengejek Schlippen atas gaya bertarungnya yang terlalu defensif—
CHAAAK!
Tubuh para pengawal yang terpotong-potong itu saling menempel seperti ditarik magnet.
Bahkan seragam dan topeng yang rusak pun menyambung sendiri, kembali sempurna.
Dalam sekejap, para pengawal itu selesai beregenerasi dan menatap ke arah kami.
“…Mereka sudah pulih.”
Schlippen mengerutkan bibir.
Bilah angin yang membentuk pedangnya menghilang, kembali menjadi bentuk asli.
Di balik pusaran angin yang perlahan mereda, tiga pengawal muncul.
“Itu mereka…”
Aku mengenal wajah-wajah itu.
Jumlah mereka kembali tujuh, dan perlahan mempersempit kepungan.
Schlippen berkata tanpa melepaskan pandangan.
“Itulah alasan pasukan pengawal Barcka menyebalkan. Mereka tidak bisa mati.”
“Aha. Pantas saja kau terus pakai pusaran angin. Kau coba menunda regenerasi mereka ya.”
Aku menjentikkan jari.
Itulah alasan ia menggunakan teknik yang lebih boros tenaga.
Yah.
Aku mengangkat alis.
“Ini termasuk jenis black magic? Biasanya kalau begitu, tinggal hancurkan bagian yang jadi inti atau jantungnya.”
“Di tubuh mereka ada objek yang berfungsi sebagai inti. Tapi bagaimanapun juga, aku tidak berhasil menghancurkannya.”
“Bagaimanapun?”
“Andai bisa dihancurkan, aku sudah lama melakukannya. Korban Barcka pasti berkurang banyak… tapi aku gagal, sampai akhir.”
Tatapan biru Schlippen membara penuh kebencian.
Aku bisa menebak sedikit banyak apa yang sudah ia alami.
Musuh yang tidak bisa mati pasti menggerogoti banyak hal darinya.
Mendadak ia melirik ke arahku dan bergumam marah.
“Jadi kapan kau akan melarikan diri?”
“Oh.”
Saat itu aku baru tersadar.
Bahkan jika mengabaikan pusaran angin—cara ia bertarung sejak tadi memang aneh.
Anak ini bertarung sambil melindungiku.
Padahal ia bisa saja kabur kapan pun ia mau.
“Kau… masih sama saja ya.”
Tanpa sadar, aku tersenyum kecil.
Di dunia ini pun Schlippen tetaplah Schlippen.
Tetap saja, prinsip seorang bangsawan agung tidak berubah sedikit pun.
Aku mengusap wajah, lalu berkata:
“Baik. Kebetulan suasana hati bagus. Akan kupertemukan kau juga dengan dia.”
“Apa?”
“Ada seorang wanita yang akan membuatmu pikun nanti.
Di masa ini, dia seharusnya masih berada di Nimbert.”
Ucapanku santai, tapi kekhawatiran menusuk dadaku.
Aku benar-benar harus merampungkan semua ini dengan cepat dan menemuinya.
Aku menarik pedangku.
“Agak silau nanti, jadi balik badan dulu.”
“Kau ini bicara apa si—”
Schlippen belum sempat protes.
Aku mengangkat pedang dan menggenggam gagangnya erat.
PAAAAAA—!
Warna senja melonjak naik menyelimuti bilah pedang.
“Kh!”
Segalanya memerah, seperti tenggelam dalam cahaya arunika.
Schlippen menyipitkan mata.
Cahaya yang menyerupai mataku sendiri meluas, menyapu seluruh pengawal, Schlippen, dan halaman akademi yang diguyur hujan.
Ketika cahaya itu mereda—
Para pengawal sudah berkerumun rapi di depanku.
“Yo. Babi-babi sialan.”
“…?!”
“Kenapa injak-injak menara akademi orang, hah?”
Mereka tersentak ketika akhirnya menyadari apa yang terjadi.
Mereka mencoba bereaksi, tetapi aku sudah selesai bergerak.
Pengawal yang paling cepat bereaksi melompat ke belakang.
Saat itu—
Semua garis itu terbuka sekaligus.
PEEERAAAK!!
Seluruh tubuh para pengawal meledak seperti bola daging.
“Apa…”
Schlippen menahan napas.
Orang sepertinya pasti melihat gerakanku.
Kalau ia masih tercengang, berarti ia masih jauh.
Aku mengusap darah di wajah dan mengklik lidah.
“Errh, jorok.”
Jumlahnya tujuh, jadi darahnya memang banyak.
Potongan daging, tulang, dan organ bergerak-gerak, seperti sedang mencoba merangkak kembali.
Jika dibiarkan, mereka akan beregenerasi.
Untungnya, intinya mudah ditemukan.
Tujuh bongkahan logam hitam memantul-mantul dalam genangan darah.
“Lihat sini…”
Aku mengambil salah satunya.
Aku penasaran bagaimana benda ini bisa bertahan dari Schlippen.
Strukturnya mudah dimengerti.
“Ohh. Jadi dilapisi.”
Di permukaannya, Mana berkilau tipis.
Berkat Berkat Bintang—keahlian para botak terkutuk itu.
Pantas saja mereka terus beregenerasi.
Mana-nya kecil, tetapi untuk menghancurkan inti semacam ini, kekuatan sebesar Navarrozé-nim atau salah satu anggota keluarganya pasti dibutuhkan.
“Cepat juga berkembang. Otak-otak kalian memang jalan terus, ya.”
Teknik yang belum pernah kulihat di dunia asliku.
Meski sekarang itu bukan urusanku lagi.
“Hup.”
Aku mengayunkan pedang ringan.
Ketujuh potongan logam itu terbelah bersamaan.
SRAK!
Jejak black magic yang terukir di dalamnya memancarkan cahaya hitam lalu padam.
Potongan daging dan darah yang hendak berkumpul kembali berhenti bergerak.
“…”
Itu akhir dari semuanya.
Para pengawal tidak bangkit lagi.
“…Kau…”
Schlippen tak bisa bicara.
Wajahnya terpaku, benar-benar kehilangan kata-kata.
‘Wah, ini wajah patut difoto.’
Aku menyarungkan pedang dan tersenyum tipis.
“Sebelum berangkat, petik dulu bunga daffodil. Itu bunga favorit noona.”
2-40. Buronan (4)
Drizzle sudah berhenti sejak lama.
Setiap kali aku menghela napas, uap putih keluar dari mulutku.
Pegunungan batu yang menjulang tinggi berdiri rapat di kedua sisi jalan.
Aku menatap tebing yang terjal itu dan bergumam:
“Pemandangan yang bikin kangen… si kurcaci itu masih hidup nggak ya.”
Rasanya seperti kenangan yang jauh.
Jalan pegunungan Romaeira—jalur yang menghubungkan wilayah barat benua dan Kekaisaran.
Dulu aku melewati jalan ini bersama Asel dalam perjalanan menuju Phileon.
Di sampingku, Schlippen mengangkat alis.
“Kurcaci?”
“Ada. Teman gue. Nama Asel, pernah dengar belum?”
“Nama yang baru kudengar. Tidak terdengar seperti seorang penyihir terkemuka.”
“Hah… sudah kuduga. Kerugian dunia, tuh.”
Aku menggigit batang pipa tembakau.
Seperti dugaanku, bakat Asel di dunia ini tidak pernah mekar.
Kalau dia masih hidup, aku penasaran apa yang sedang dia lakukan sekarang.
Dugaku, dia entah diseret gerombolan bajingan untuk disalahgunakan kekuatannya, atau sedang mengangkat kotoran sapi di desa ujung dunia.
“Asal jangan ketemu para maniak aneh itu… duh. Lembek juga harus ada batasnya.”
“Seorang lady, kah?”
“Bukan. Cowok. Begitu lihat wajahnya, lo bakal ngerti kenapa gue khawatir.”
Wajah yang seleranya sangat… spesifik. Makanya justru rawan.
Aku kembali menatap ke depan.
Jalan berliku itu memanjang hingga ke batas pandang.
Sepertinya kami sudah melewati setengah perjalanan.
Setelah menyingkirkan para anggota pengawal pribadi Baruka, kami kini bergerak menuju Nimbertown—tempat Noona berada.
“Kita sambil istirahat jalan, yuk. Kaki lo masih bisa dipakai, kan?”
“Pertanyaan yang aneh.”
“Syukurlah. Gue kira lo kena radang sendi, soalnya tadi kayaknya susah banget ngalahin para tongkol kecil itu.”
“Ghh…”
Schlippen menggertakkan gigi.
Dia malu karena tidak bisa menghabisi para pengawal itu sendiri.
Padahal sama sekali bukan sesuatu yang memalukan.
“Gue bercanda, woy. Lagi pula lo gagal ngabisin mereka karena cuma soal kontra elemen. Makanya tenang aja. Murni soal kemampuan, jempol kaki lo aja lebih kuat dari mereka.”
“Kontra elemen, katanya… kau sebenarnya apa? Dan apa tujuanmu?”
“Entahlah. Lupa. Kayaknya bakal keinget kalau udah sampai Nimbertown.”
“Grrr…”
Schlippen gemetar.
Hah, godain dia memang nagih.
Dia memang belum sepenuhnya percaya padaku, tapi tetap saja mengikutiku tanpa banyak protes.
Mirip Oruce di kehidupan sebelumnya—musuh besar yang disikat satu tebasan, mana mungkin nggak bikin penasaran?
Whoooosh!
Angin tiba-tiba bertiup dan menghamburkan asap rokokku.
“Ugh, dingin.”
Begitu masuk ke pegunungan, cuaca sejuk langsung berubah jadi musim dingin.
Musim dingin, huh.
Sosok seseorang melintas di benakku.
“Oh iya. Penyihir Musim Dingin lo bunuh kapan?”
“Sekitar empat tahun lalu. Sebelum Baruka menjadi bupati-regent.”
“Dan waktu itu lo menguasai Storm Sword?”
“Benar. Kalau tidak naik satu tahap lagi, aku takkan bisa menang.”
Schlippen menjawab datar.
Di bagian bawah tengkuknya tampak jejak frostbite—bekas pertempuran waktu itu.
Di sepanjang jalan pegunungan, sebagian bongkahan es yang tak mencair masih tampak berkilau seperti luka.
Penyihir Musim Dingin juga turun ke dunia ini.
Jalan pegunungan Romaeira bahkan sempat membeku total, sampai akhirnya bisa dicairkan berkat bantuan klan Fire Dragon.
Aku menghitung dengan jari.
Berdasarkan kasus Penyihir Musim Dingin, naiknya Baruka, dan berbagai cerita Schlippen, aku mulai memahami kira-kira ini periode kapan.
‘Berarti sekitar tiga tahun lagi sampai para Botak turun.’
Jika tidak ada variabel besar, garis waktu harusnya mirip.
Saat ini adalah sekitar tujuh tahun setelah titik aku kembali di kehidupan sebelumnya.
Pantas Schlippen terlihat agak lebih tua—dalam realitas ini, dia memang lebih tua dariku.
‘Atau mungkin lebih cepat. Karena Adeshan nggak ada.’
Mulutku menegang dalam tawa pahit.
Di dunia ini pun aku tidak akan bertemu calon istriku.
Wajar saja.
Dunia paralel seperti ini tercipta dari retakan yang ditinggalkan setelah Adeshan mati dan aku kembali ke masa lalu.
Setelah beberapa saat, aku membuka mulut:
“Kalau begitu, nama Adeshan pernah lo dengar?”
“Maksudmu mantan panglima agung? Yang dari Acalucia.”
“Yup. Berarti dia memang sudah ke Acalucia waktu ini.”
“Tentu aku tahu. Dia adalah prajurit paling luar biasa yang pernah kulihat. Sekarang kupikir, kehancuran Kekaisaran juga dimulai sejak beliau meninggal.”
Schlippen menjelaskan Adeshan mati secara misterius dalam ekspedisi militer.
Mayatnya bahkan tidak ditemukan.
“Dia selalu memberi kesan aneh. Setiap kali mencapai prestasi besar, dia tetap tidak puas. Seolah selalu melihat tempat yang lebih jauh… Andai panglima agung masih hidup, Baruka si idiot itu tidak mungkin jadi regent.”
“…Begitu, ya.”
Hidungku terasa panas, seperti ditusuk wasabi.
Dia mungkin tidak melihat para Botak turun, tapi perjuangannya tetap berarti.
Suara yang seperti dipaksa keluar dari tenggorokanku hampir tidak seperti milikku sendiri:
“Kamu… berjuang keras juga di sini, ya.”
Aku menyeka wajah dan menarik napas panjang.
Mendengar berita kematian kekasih memang selalu menyebalkan.
Langit perlahan cerah.
“Oke. Yuk kita berangkat.”
Kutegakkan tubuh dan menatap Schlippen.
Untuk tiba tepat saat jam makan, kami harus menambah kecepatan.
Tanpa petunjuk keberadaan Akasha, fokusku hanya pada Noona.
“Siap.”
Schlippen mengangguk.
Di pahanya, cahaya biru mana mulai berkumpul.
“Baik. Ayo.”
Kami saling menatap—dan itu sudah cukup sebagai aba-aba.
BOOOM!
Kami berdua mengayun kaki dan tubuh melesat bak badai melintasi jalan pegunungan lama yang penuh kenangan.
“...Sudah sampai.”
Kami berhenti.
Tak disangka, perjalanan ternyata tidak memakan waktu lama.
Di bawah langit yang cerah, aroma sisa-hujan masih tipis melayang.
“Nimbertown.”
Di bawah bukit, tampak desa kecil.
Deretan pohon cemara tumbuh indah mengikuti jalan setapak.
Meski Kekaisaran separuh hancur, sungai yang mengalir membelah desa itu tetap memantulkan cahaya.
“Tempat ini… nggak berubah sama sekali.”
Sungguh berbeda dengan ibu kota yang suram.
Orang-orang desa berjalan santai menikmati desa setelah hujan.
Pemandangan kampung halaman yang tetap utuh—bahkan lebih damai dari dunia sebelumnya—membuat dadaku longgar.
Saat aku sedang larut mengamati desa, Schlippen berhenti di sebelahku.
“Haa… huff… haah!”
Begitu berhenti, dia langsung terengah-engah parah.
Dia membungkuk dan menopang lutut, napasnya memburu seperti akan mati.
Aku mendecak.
“Cengeng banget. Buronan pemberontakan kok napasnya segitu doang?”
“Hhh… urgh… tutup… mulutmu…”
Wajahnya yang biasanya putih seperti marmer kini merah gelap.
Ya wajar sih.
Jarak yang butuh tiga hari kami tempuh dalam tiga jam.
“Nanti kita langsung ke rumah Noona, jadi pergi cuci muka di sungai sana. Sekalian cukur tuh jenggot kampret.”
“Ini… huff… adalah lambang hari-hari perjuanganku… tidak akan kucukur dalam waktu dekat…”
“Hadeh. Enggak mikir muka lo sayang apa? Beneran kayak bandit tinggal di gua.”
Butiran keringat di jenggotnya bikin aku mau muntah.
Aku menepuk dadanya karena gemas, tapi Schlippen tetap keras kepala.
Dulu dia perfeksionis yang bakal menyetrika rumput sebelum diinjak… kok sekarang jadi begini.
“Oh iya. Bunga daffodilnya gimana?”
“Haa… aku tidak membawanya.”
“Lo gila? Udah gue bilang dari Phileon!”
“Tidak ada alasan bagiku membawa bunga favorit kakakmu. Kalau sudah lama tak bertemu, justru kau yang membawanya, bukan aku.”
Nada Schlippen dingin.
Dia sudah bernapas normal sekarang.
“Ih, bego. Ini kesempatan emas lo buat nyari poin… ya udah, nyesel sendiri nanti.”
“Nobles dari Grancia tidak menyesal hanya karena hal seperti itu. Aku pergi ke sungai.”
“Oke. Ketemu lagi nanti.”
Mau bagaimana, kalau orangnya keras kepala.
Kami berpisah, dan aku langsung menuju rumah lama yang dulu kutinggali bersama Noona.
Beberapa warga mengenal wajahku dan berbisik-bisik, tapi untungnya tidak ada yang berani menyapa.
‘Eh… tunggu. Di dunia ini, aku versi sini gimana ya? Masih hidup?’
Pertanyaan itu terlintas.
Rasanya seperti menemukan petunjuk besar… tapi sekarang bukan waktunya.
Yang penting:
Aku akan bertemu Noona.
Tepat tujuh tahun setelah dia kehilangan adiknya.
Tak lama kemudian, aku tiba di rumah kecil itu.
Asap tipis mengepul dari cerobong—tanda orangnya di rumah.
Aku berhenti di depan pintu dan menarik napas pelan.
“Huuuu… ini lebih bikin grogi dari waktu Raja Botak bangkit…”
Aku tidak tahu harus mulai bicara dari mana.
Secara teknis, aku bukan adiknya.
Tapi karena ini bukan pertama kalinya… keberanian muncul sedikit.
“Oke. Gas.”
Aku menampar pipi perlahan, lalu membuka pintu.
Creak—
Aroma yang sangat familiar menerpa hidungku.
Aku menyapu ruangan dengan pandangan dan mengernyit.
“Hah?”
Di dalam rumah yang remang, tidak ada siapa pun.
Hanya kayu bakar yang hampir habis di perapian memberi cahaya samar.
Jantungku terjun ke perut.
Ingatan dari dunia semula muncul:
Noona waktu itu diculik Abel untuk dijadikan Saintess Nebula Klazier.
“Tidak boleh.”
Darahku seperti mendidih.
Tanpa pikir panjang aku hendak masuk—
Saat itu, suara jernih terdengar dari belakang.
“Si—siapa Anda?!”
“……!!”
“Itu… itu rumahku dan adikku! Anda bukan orang desa ini… perlu ketemu kami ada apa…?”
Suara penuh ketakutan. Rapuh.
Aku mengepal kuat, menenangkan diri, lalu berbalik.
“...Ini aku, Noona.”
“…Hah?”
Yang berdiri di sana adalah wanita tercantik di dunia.
Rambut peraknya memantulkan sinar matahari.
Meski memakai celemek lusuh dan membawa dua tangan penuh kentang, kecantikannya tidak bisa ditutupi.
Mata sunset yang sama denganku membelalak lebar.
“…Ronan?”
“Iya.”
“Jangan bercanda… kamu beneran Ronan?”
Plop—
Satu kentang jatuh ke tanah.
Tapi Noona bahkan tidak sadar.
Dengan napas tercekat, ia perlahan mendekat.
“Kalau ini mimpi… jangan bangunkan aku… tolong…”
Di matanya berkaca-kaca.
Penglihatanku ikut buram.
Yah… sial.
Padahal aku nggak mau nangis.
Tapi setetes jatuh juga. Aku tersenyum tipis.
“Aku beneran. Noona.”
“…Huk.”
Akhirnya air mata mengalir dari kedua belah matanya.
Ia menjatuhkan kentang lain dan berlari memelukku.
“Uuuuk… h-haaah… Ronan!!!”
“Aku pulang. Lama banget nunggu ya.”
Aku menahan agar tidak menangis lebih banyak, tapi percuma.
Aku memeluk tubuhnya yang gemetar dengan perlahan.
Di tengah tangisannya yang pecah, Noona mencoba berbicara.
“Ke… kemana aja kamu selama ini… Noona… hiks… Noona pikir Ronan… sesuatu terjadi sama kamu…!”
“Maaf.”
“Tidak… kamu nggak perlu minta maaf… ayo kita… huuk… eh?”
Ia berhenti tiba-tiba.
Sorot matanya terpaku pada sesuatu.
Aku masih memeluknya saat menoleh ke belakang.
Schlippen berdiri beku—dengan setangkai bunga daffodil di tangan.
“Ehm. Ini…”
“Sniff… huh? Tidak kelihatan… siapa ya? Mataku buram…”
Dia mengusap-usap mata.
Saat itu, Schlippen menegang… lalu perlahan menyarungkan pedangnya.
Swiip—
Angin setajam pisau menyambar wajahnya.
PLOP!
Jenggot penuh yang menutupi rahangnya meledak—hilang bersih.
Bego banget sumpah.
Lambang perjuangan apaan.
Setelah menghapus air mata, Noona mendongak.
“Hm… sepertinya aku memang belum pernah melihatmu. Padahal tadi seperti ada jenggot…”
“Itu hanya… ilusi, Lady.”
Nada bicara formalnya terdengar kaku dan kocak.
Setelah terdiam lama, akhirnya dia membuka mulut:
“Saya… tidak pernah memelihara hal seperti itu.”
2-41. Buronan (5)
“Nu, Noona… sudah cukup. Aku sudah makan banyak.”
“Tidak! Mukamu tinggal separuh begitu, mana cukup makan segitu. Nih, masih banyak, jadi makan pelan-pelan!”
Bersamaan dengan kata itu, Noona menyendokkan lagi semangkuk stew ke mangkukku.
Stew berbahan dasar kentang itu dipenuhi daging dan sayuran—jelas semua bahan makanan di rumah dipakai.
Benar-benar menggiurkan, kalau saja bukan karena satu masalah besar:
Ini adalah mangkuk kelima yang baru saja kuhabiskan.
“Hah… ha ha… terima kasih.”
“Ehehe, seperti mimpi rasanya. Ronan pulang…”
Noona tersenyum cerah.
Ia memandang wajahku seakan-akan itu adalah permata paling indah di dunia.
Sesekali ia mencubit hidung atau pipiku, seolah masih khawatir ini hanya ilusi.
Dalam kondisi seperti ini, mana mungkin aku bilang tidak bisa makan lagi?
Entah kenapa, wanita-wanita cantik yang lebih tua—baik Navaar Doje noona maupun Noona sendiri—selalu begitu berlebihan soal memberi makan.
Schlippen, yang baru saja mengosongkan mangkuknya, berbicara:
“Saya berterima kasih atas jamuan ini. Dalam hidup saya… belum pernah makan sesuatu yang begitu lezat.”
“Eh, cocok di selera Anda?”
Noona kembali menambah stew ke mangkuk Schlippen.
Aku memutar kepala, muak melihatnya.
Brengsek itu sudah mangkuk ketujuh.
Meski rasanya enak, menyebutnya lezat sepanjang hidup itu keterlaluan.
“Menu sesederhana ini lebih baik daripada roti pembuka di Grancia?”
Schlippen tidak menjawab sepatah kata pun, hanya terus makan stew yang baru disajikan.
Bahkan saat rakus begitu, etika makan anak bangsawan itu tetap sempurna.
Rahangnya mulus tanpa sehelai pun bulu—putih bersih.
“Syukurlah cocok di selera. Aku sama sekali tak menyangka Ronan bakal membawa temannya. Tapi ya aneh… wajahmu terasa familiar, kita pernah bertemu?”
“Ah… itu, begini.”
Suasana mendadak mendingin.
Aku sendiri hampir lupa.
Saat ini, Schlippen adalah buronan Kekaisaran—penjahat besar yang dimasukkan ke daftar tangkap.
Noona menyipitkan mata, menatap wajahnya lekat-lekat.
Namun akhirnya ia menggeleng.
“Hm… mungkin tidak ya. Sepertinya aku salah ingat.”
“…Be… begitu?”
“Iya, pasti. Orang yang kulihat di selebaran buronan Marbas itu jenggotnya lebat sekali! Kelihatannya seperti penjahat berat… tapi orang baik seperti Anda jelas bukan tipe begitu.”
“Huk.”
“Ehehe, maaf mengganggu waktu makan. Silakan lanjutkan!”
Noona tersenyum.
Senyum selembut buah musim panas itu membuat napas Schlippen terhenti.
Meski tujuh tahun berlalu, wajah Noona tetap jernih tanpa kerut.
Schlippen terpaku seperti itu sampai Noona kembali ke dapur.
“Woy. Napas.”
“…Aku baru saja melihat malaikat.”
“Ya Tuhan. Tapi ya, itu memang kamu banget.”
Aku cekikikan sambil menghabiskan stewku.
Sekedar aroma saja sudah membuat perutku ingin meledak, tapi sulit meninggalkan makanan yang Noona siapkan sepenuh hati.
Di dapur, Noona bersenandung sambil merapikan piring.
‘Syukurlah. Syukurlah benar.’
Entah sudah berapa kali aku menghela napas lega hari ini.
Untuk saat ini, Akasha maupun Para Botak tidak penting.
Hanya melihat Noona hidup—itu saja sudah membuatku tenang.
Namun hanya satu masalah yang membayangi.
‘Ronan brengsek ini… sekarang lagi di mana.’
Karena sebenarnya aku bukan adiknya di dunia ini.
Aku ingin mengaku sejak pertama bertemu, tapi lidahku kelu.
Bayangkan memberi tahu: “Setelah tujuh tahun menunggu, aku sebenarnya bukan Ronan, Noona. Yang asli mungkin lagi ngocok di desa antah-berantah.”
Tidak mungkin bisa kuucapkan.
Melihat pola dunia sebelumnya, Ronan asli seharusnya sekarang berada di Utara.
Mungkin sedang mengikuti operasi pembasmian werewolf.
Marya.
Tidak—Count Armalen.
Saat itu aku bertemu dengannya untuk pertama kali.
Di masa itu pula aku pernah menanyakan apakah rambut bawahnya juga pirang… lalu dipukuli habis-habisan.
Banyak sekali yang harus kupikirkan.
Dan yang paling ingin kutemui tentu saja Akasha.
Saat aku termenung menatap punggung Noona—
“...Jarum Pelacak Darah.”
Sebuah kilatan ide jenius meledak di kepalaku.
Jika ingatanku benar, ada cara mengejar Akasha segera.
Aku buru-buru memeriksa coat-ku.
Noda darah masih menempel.
Beberapa jelas milik Akasha.
Aku meletakkan sendok dan langsung berdiri.
“Noona!”
“Hyaaak! A-apa?!”
Noona tersentak kaget.
Cangkir di tangannya terlepas.
Aku melompat dan menendang kaki ke atas.
Cangkir mendarat tepat di atas kakiku tanpa pecah.
Aku memegang kedua bahu Noona.
“Maaf mengejutkan Noona. Tapi aku perlu satu hal. Jarum Pelacak Darah yang Ayah siapkan untuk upacara kedewasaanku—Noona masih menyimpannya, kan?”
“Hah?!”
Mata Noona membelalak.
Ia terpaku beberapa saat sebelum gagap menjawab:
“Ja-jarum itu… Ronan, bagaimana kamu tahu… Ayah bilang itu rahasia…”
“Maaf. Tapi aku nggak punya waktu jelasin. Aku benar-benar butuh itu. Bisa kasih sekarang?”
“Y-ya… sebenarnya kamu sudah dewasa, jadi itu memang milik Ronan… tunggu sebentar.”
Noona mengangguk lalu bergegas masuk ke kamar.
Terdengar suara benda jatuh dan gesekan seperti Noona sedang membongkar barang.
Tak lama kemudian, ia kembali dalam keadaan berdebu, membawa kotak kayu kecil.
“Ronan! Ketemu!”
“Bagus, sini.”
“U-um… tunggu. Huu…”
Noona memeluk kotak itu erat-erat, wajahnya kembali muram.
Seolah berat memberikannya.
Aku mengernyit.
“Kenapa, Noona?”
“...Ronan. Kamu tahu fungsi jarum itu, kan?”
“Ya. Artefak yang menunjukkan arah pemilik darah.”
“Benar. Kalau begitu… kamu tahu darah siapa yang ada di sini?”
“Itu jelas darah Ayah… jangan bilang…”
Firasa buruk menyentakku.
Noona menunduk.
Aku langsung membuka kotaknya.
Jarum di dalamnya—membeku, sepenuhnya tidak bergerak.
“Huh… sial.”
Jarum yang seharusnya bergerak mengikuti arah pemilik darah kini beku.
Noona berbisik lirih:
“Ronan… Ayah sudah…”
“Tidak apa. Tidak perlu jelasin.”
Ini masih dalam kisaran prediksiku.
Aku menutup kotak itu dan memeluk Noona.
Bahunya gemetar.
“Noona yang… Noona yang minta maaf…”
“Tidak apa. Noona tidak salah.”
“Ka-karena rindu… Noona pernah buka kotaknya… padahal itu hadiah dewasa buat Ronan… tap-tapi waktu buka… jarumnya sudah begitu…”
Air mata jatuh satu per satu di lantai.
Aku tersenyum getir.
“…Jadi kita memang tidak bisa bertemu lagi, ya.”
Tujuh tahun terlalu lama untuk Kain yang terluka parah.
Ayahku di dunia ini juga pergi—tanpa sempat bertemu keluarganya lagi.
Aku memang bajingan.
Entah apa saja beban yang Noona tanggung sendirian selama tujuh tahun itu.
“Aku yang salah. Aku harusnya lebih cepat pulang.”
Aku menggertakkan gigi.
Aku teringat pemandangan tadi di rumah—dua set peralatan makan yang sudah disiapkan.
Awalnya kupikir untuk tamu.
Ternyata bukan.
Piring dan sendok itu—adalah set ku dari dahulu.
Dirawat tanpa setitik debu pun.
Noona mengelapnya setiap hari… sambil menunggu.
Menunggu adiknya pulang.
Menunggu hari saat mereka makan bersama lagi.
“…Ilril yang…”
Suara Schlippen pecah.
Ia menatap Noona seolah dunia runtuh.
Sepertinya saat rumahnya hancur pun ia tidak begitu putus asa.
Aku menarik napas panjang dan meletakkan dahiku pada dahi Noona.
“Semuanya akan baik-baik saja. Aku janji.”
“Uuuh… uheee…”
Aku harus memperbaiki semuanya.
Seperti dunia paralel sebelumnya, dunia ini juga sedang dihantam badai.
Dan tugasku adalah menyingkirkan badai itu.
Aku perlahan melepaskan pelukan dan melepas coat.
Mataku mengarah ke noda darah di bagian kiri.
“Rin. Di antara darah ini ada yang milik Akasha?”
“Iya. Aku lihat dulu.”
Pedang putih itu bersinar lembut.
Sesuai permintaan Rin, aku mengibaskan pedang di atas coat—beberapa kali.
Seandainya Shita ada, pekerjaan ini jauh lebih mudah, tapi Rin cukup untuk urusan sederhana ini.
Tak lama kemudian jawaban datang.
“Ya. Semua noda di kerah kiri itu darah penyihir itu.”
“Bagus.”
Aku mengepalkan tangan.
Berarti aku tidak perlu membuka cadangan darah untuk ritual pulang.
Aku mengambil segelas air dari meja dan menuangkannya ke kerah.
Menggosok dengan kuat, sampai darahnya larut.
Aku segera membuka Jarum Pelacak Darah—meneteskan darah itu ke jarum.
Bzzzzt…
Jarum yang pucat berubah merah menyala.
Jarum berputar—membelah udara—lalu berhenti, dengan ujungnya menunjuk ke arah timur.
“Ketemu.”
Aku bergumam tanpa sadar.
Seperti melihat cahaya mercusuar menembus kabut tebal.
Jarum itu—menunjuk ke lokasi Akasha.
Tidak peduli sejauh apa—mengikuti ini pasti akan membawaku ke dia.
“R-Ronan, apa itu barusan? Kamu… meneteskan darah siapa…?”
“Sebentar, Noona. Sebentar.”
“Tapi kamu! Baru saja me—mengusap kepala Noona!”
Aku menepuk kepala Noona, mencoba menenangkan.
Kepalaku panas oleh begitu banyak hal yang kupikirkan.
Aku ingin sekali langsung lari mengikuti jarum.
Namun ada yang lebih penting:
‘Aku tidak boleh kehilangan siapa pun lagi.’
Di dunia ini masih ada banyak orang yang harus kulindungi.
Jika aku pergi sekarang dan Nebula Klazier bergerak… tragedi bisa terjadi.
Aku harus pilih jalur yang paling aman—dan paling efisien.
Saat aku bergantian menatap Schlippen dan Noona—
Duk duk!
Suara ketukan keras menggema dari pintu depan.
“Hah? Siapa ya?”
“……!”
Noona menegakkan telinganya.
Schlippen spontan memegang gagang pedang.
Aku menatap pintu dengan wajah mengernyit.
“Kenapa tiba-tiba… Noona, ada yang janji mau datang?”
“Hmmm… rasanya tidak. Belum. Paling-paling si Ringel dari rumah depan mau ngasih ubi lagi?”
“Tunggu di sini.
Aku yang buka.”
Tidak ada aura membunuh.
Tetap saja, untuk berjaga-jaga aku menggenggam pedang.
Aku berjalan ke pintu—dan menarik pegangan.
Saat itulah dinding hitam muncul di depan mata.
“Hah?”
Dinding itu adalah logam hitam.
Wajahku tercermin di pelat baja yang menonjol itu.
Dan aku langsung sadar itu bukan dinding—tapi seseorang yang memakai armor raksasa.
Lengan kanan sosok itu memegang senjata besar—seperti guillotine raksasa.
“……”
Aku mendongak.
Wajah harimau.
Seorang Were-Tiger dengan bulu hitam legam, mata merah membara seperti bintang raksasa.
Alisku menyempit.
“Jaifa?”
“Benar.”
Jawabannya singkat.
Dan Jaifa—mengayunkan guillotine itu ke arahku.
2-42. Pelarian (6)
“Nu, Nu—noona… cukup sudah. Aku sudah makan banyak.”
“Tidak boleh! Wajahmu sampai tinggal separuh begitu, mana bisa hanya makan segini. Ayo, masih banyak, makan pelan-pelan!”
Dengan itu, noona kembali menyendokkan stew ke mangkukku.
“Haha… terima kasih.”
“Ehehe, rasanya masih mimpi. Ronan pulang….”
Noona tersenyum cerah.
Dengan kondisi seperti itu… bagaimana mungkin aku bilang ‘tidak sanggup makan lagi’?
Entah kenapa wanita dewasa cantik seperti noona atau Nabar Doje-noona selalu terobsesi memberi makan orang.
Di sisi lain, Schlippen baru saja menghabiskan mangkuknya yang ketujuh dan angkat bicara.
“Terima kasih atas jamuannya. Seumur hidup… aku belum pernah makan hidangan selezat ini.”
“Ah, apakah cocok di lidah Anda?”
Noona kembali menuang stew ke mangkuk Schlippen.
Aku hanya mengusap wajahku putus asa.
“Bukankah ini makanan jauh lebih sederhana daripada roti pembuka Grancia?”
“Senang kalau cocok di lidah. Jujur aku tak menduga Ronan membawa teman. Tapi… entah kenapa aku merasa pernah melihat Anda. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Uh… itu….”
Seketika suasana mengeras.
Benar—kami sempat lupa.
Schlippen saat ini adalah buronan Kekaisaran, seorang pengkhianat yang dicari di seluruh wilayah.
Mata noona menyipit. Ia menatap wajah Schlippen lama… kemudian menggeleng.
“Hmm… sepertinya tidak. Mungkin aku salah lihat. Orang yang kulihat di selebaran buronan Marbas itu berjenggot sangat lebat! Tampak seperti orang yang melakukan kejahatan besar. Tidak mungkin orang sebaik Anda itu pelaku kejahatan besar.”
“Huk.”
“Ehehe, maaf mengganggu makan. Silakan lanjut!”
Noona tersenyum cerah.
Dan Schlippen… berhenti bernapas.
Walau sudah tujuh tahun berlalu, wajah noona tetap seputih susu tanpa satu pun garis usia.
Schlippen menatapnya sampai noona pergi ke dapur.
Aku mendesah.
“Hey, napas. Napas.”
“…Aku baru saja melihat malaikat.”
“Hah… ya, ini memang gaya kamu.”
Noona bersenandung kecil sambil merapikan meja.
‘Syukurlah. Syukurlah benar…’
Berapa kali aku menghela napas lega, aku tak tahu.
Setidaknya, saat ini… Akasha atau para botak itu tidak penting.
Selama noona hidup—itu saja sudah cukup membuatku tenang.
Tapi ada satu masalah serius.
‘Ronan bajingan itu sekarang sedang apa.’
Aku bukan adik kandung noona di dunia ini.
Tidak. Mustahil.
Aku masih ingat kejadian ketika aku bertanya apakah bulu bagian bawahnya juga berwarna emas… dan hampir dipenjara karenanya.
Tentu yang paling ingin kutemui tetap Akasha.
Saat aku sedang memandangi punggung noona—
“…Teknik Darah.”
Sebuah kilatan ide menembus otak.
Jika benar ingatanku, ada cara untuk langsung melacak Akasha.
Sebagian besar pasti berasal dari pertarungan melawan Akasha.
Aku meletakkan sendok, bangkit, dan berteriak:
“Noona!”
“Hyaaak! A-ada apa?!”
Lalu aku memegang kedua bahu noona.
“Maaf mengejutkanmu. Tapi aku butuh bantuan sekarang. Masih ingat jarum darah yang ayah siapkan untuk upacara kedewasaanku?”
“Ha…? J-jarum darah? Bagaimana kau bisa… Ayah bilang jangan beri tahu siapa pun…!”
“Maaf. Tidak ada waktu menjelaskan. Bisa ambilkan sekarang?”
“Y-ya. Bagaimanapun, itu memang milik Ronan… tunggu sebentar.”
Noona berlari ke kamarnya.
Terdengar suara ribut-ribut, seperti lemari dibongkar habis.
Tak lama kemudian ia kembali, seluruh tubuh penuh debu, membawa sebuah kotak kayu.
“Ronan! Ketemu!”
“Bagus. Berikan.”
“Tapi… tunggu.”
“Kenapa?” tanyaku.
“Ronan. Kau tahu apa itu jarum darah, kan?”
“Ya. Artefak sihir yang menunjuk pemilik darahnya.”
“Betul. Kalau begitu… kau tahu darah siapa yang menempel di sini?”
“Tentu saja darah Ayah—… jangan bilang…”
Firasa buruk menyambar tengkuk.
Noona menunduk.
Aku membuka kotaknya.
“…Sial.”
Jarum hanya berhenti ketika pemilik darah telah meninggal.
Noona berseru lirih:
“Ronan. Ayah….”
“Tidak apa. Tidak perlu jelaskan.”
Aku menarik noona ke dalam pelukan.
Tubuhnya gemetar.
“Noona yang harusnya minta maaf…”
“Bukan begitu. Kau tidak salah.”
“Noona hanya… terlalu rindu… walau tahu ini milikmu, aku tetap membuka kotaknya… lalu melihat jarumnya sudah begini….”
Air mata jatuh ke lantai kayu.
Aku menghela napas getir.
“...Ayah. Bahkan di sini aku tak bisa bertemu denganmu, ya.”
Tujuh tahun adalah waktu yang terlalu panjang untuk luka Ayah.
Aku mengepalkan gigi.
Noona pasti melewati tujuh tahun kesepian yang tak terbayangkan.
“Maafkan aku… aku datang terlambat.”
Awalnya kupikir untuk tamu.
Tapi tidak.
“...Iril-yang.”
Schlippen menatap noona dengan wajah paling tragis yang pernah kulihat pada pria itu.
Seakan kehancuran keluarganya sendiri tidak sebanding dengan ini.
Aku menempelkan dahi pada dahi noona.
“Sekarang semuanya akan baik-baik saja. Aku janji.”
“Uuuw… hiks….”
Aku akan lakukan segalanya untuk itu.
Semua.
Aku melepas noona, melepas mantelku, dan menatap noda darahnya.
“Rin. Di antara darah ini, ada darah Akasha?”
“Ya. Di kerah kiri semuanya darah penyihir itu.”
“Bagus.”
Aku mencelupkan jarum darah ke dalamnya.
Bzzzt…!
Jarum yang semula abu-abu menyala merah menyala.
Ia berputar… lalu berhenti, mengarah ke timur.
“Ketemu….”
Aku bergumam.
Seperti menemukan cahaya mercusuar dalam kabut pekat.
Dimanapun dia berada, jika kuikuti jarum ini… aku bisa menemukannya.
“Ronan, barusan itu apa? Darah siapa—?”
“Sebentar ya, Noona. Sebentar.”
“Kenapa sambil mengelus kepala Noona seperti itu—!”
Aku mengusap kepala noona sambil berpikir keras.
Ingin sekali aku langsung berlari mengikuti jarum itu.
Tak boleh ada lagi yang hilang.
Aku butuh rencana paling aman dan efisien.
Saat aku berpikir, menatap bergantian noona dan Schlippen—
Duk duk!
Seseorang mengetuk pintu.
“Huh? Siapa ya?”
“……!”
Telinga noona naik.
Schlippen memegang gagang pedangnya.
Aku menatap pintu.
“Aneh. Noona, ada yang janji mau datang?”
“Hmm… tidak? Kecuali Pak Ringel yang suka memberi ubi…”
“Tunggu sini. Biar aku.”
Tidak ada niat membunuh terasa.
Tapi aku tetap membawa pedang.
Aku membuka pintu—
Dan melihat tembok hitam.
“Hah?”
Pelindung dada logam hitam yang mengilap—dan refleksi wajahku memantul di sana.
Aku mendongak.
“…!”
Kepala harimau.
Mata merah seperti bara.
Aku mengerutkan kening.
“Zai…pa?”
“Benar.”
Jawabannya singkat.
Dan guandao itu langsung turun.
