Kamis, 13 November 2025

Chapter 001-025

 

1. Sebuah Cerita yang Sedikit Serius (1)

Pertempuran berakhir pada sore hari ketiga.

Hujan masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Tetesan hujan yang mencambuk kulit itu lebih mirip cambuk daripada air.

“Keuh… heuh…”

Ronan, yang akhirnya berhasil menenangkan napasnya, mengangkat kepala. Di medan perang yang kini sunyi, hanya suara hujan yang bergema.

Begitu pandangannya yang semula terpusat mulai melebar, pemandangan yang terbentang di depan matanya seolah merupakan potongan dari neraka yang dipindahkan ke bumi.

Padang tandus yang membentang hingga ke cakrawala berwarna merah gelap—warna lumpur yang telah bercampur dengan darah.

Di atas tanah becek itu, berserakan potongan-potongan yang dulu merupakan bagian dari manusia. Dalam genangan air di sana-sini, mayat-mayat yang membengkak terapung tanpa arah.

Selain dirinya, tak ada satu pun yang bergerak. Saat ia sedang menggosokkan bilah pedangnya pada kerah bajunya untuk membersihkannya, sebuah suara terdengar dari belakang.

【Kau kuat. Tidak kusangka manusia bisa sekuat ini.】

Meski diterpa badai deras, suara itu terdengar jelas. Suara itu dalam dan bergema seperti dari gua yang mengalirkan lava. Dengan wajah muak, Ronan memutar tubuhnya.

“Masih belum mampus, hah?”

【Itu memang kesalahan besar dari Ahayute.】

Beberapa langkah di depannya, seorang raksasa berukuran luar biasa tergeletak telentang. Dialah dalang yang menyebabkan seluruh kehancuran ini. Raksasa itu menyebut dirinya Ahayute.

Tinggi tubuhnya tidak kurang dari empat meter, dan di punggungnya tumbuh dua pasang sayap. Wujudnya menyerupai sosok malaikat yang sering muncul dalam lukisan keagamaan.

Kepalanya gundul dan mengilap seperti telur, wajahnya memiliki garis yang jelas dan tegas. Tubuh berotot berwarna pucat itu dipenuhi puluhan luka panjang dan dalam.

Darah biru yang mengucur dari luka-luka itu menggenang, membentuk kolam di sekitarnya.

【Benar. Belum sepenuhnya.】

Pegangan Ronan pada gagang pedangnya mengencang. Andai punya tenaga, ia sudah mencabik makhluk itu menjadi ribuan potongan. Tapi kini tubuhnya bahkan tak sanggup.

Makhluk itu sendirian telah melenyapkan sepuluh legiun Kekaisaran.

Setiap kali empat sayapnya mengepak, badai mengamuk. Setiap kali ia mengayunkan tombak cahaya, ratusan nyawa terenggut. Tak terhitung banyaknya jiwa tak berdosa yang musnah sebelum pertempuran terakhir ini dimulai.

【Namun, tak lama lagi. Ahayute telah kalah, dan akan segera kembali ke sisi-Nya.】

“Baguslah. Semoga kau menginjak kotoran anjing di jalan ke sana. Yang benar-benar licin dan menjijikkan.”

Ronan duduk di bahu raksasa itu dan kentut keras-keras. Meski begitu, makhluk itu tidak bergerak. Sepertinya memang sudah menerima luka fatal. Ronan merogoh saku dalamnya, lalu memaki.

“Sialan.”

Pipa rokok mahal yang dibelinya dengan susah payah hancur berkeping. Ia melemparkan batang pipa itu ke wajah raksasa dan bangkit berdiri.

“Ngomong-ngomong, kau tahu teman-temanmu sudah mati, kan?”

【Teman?】

“Iya. Makhluk-makhluk yang turun bersamamu itu.”

【Kau maksud Nirvana dan Duaru, ya.】

“Entahlah apa nama mereka, yang jelas—mereka sudah mampus.”

Dua puluh hari lalu, tiga raksasa turun ke dunia fana. Tak seorang pun tahu alasannya.

Mereka berkelana di seluruh benua, meninggalkan jejak kehancuran yang cukup untuk menggambar ulang peta dunia. Ahayute adalah yang terakhir yang tersisa.

“Yang satu dibakar habis oleh naga temperamental, dan satu lagi disegel selamanya oleh penyihir tua bernama Lorhon. Entah apa tujuan kalian datang ke sini, tapi—semuanya sudah berakhir.”

Ronan ingin sekali melihat wajah putus asa itu hancur dalam keputusasaan.

Karena itu, ia sengaja tak menyebutkan hal-hal kecil seperti fakta bahwa Red Dragon Nabar Doze dan seluruh kawanan naganya nyaris musnah bersama, atau bahwa Grand Mage Lorhon menggunakan jiwanya sendiri sebagai medium segel.

Namun jawaban yang datang tak memenuhi harapannya.

【Syukurlah.】

“Apa?”

【Syukurlah, karena tak ada lagi manusia sekuat kalian. Kini tak ada yang bisa menghentikan kami.】

Ronan mengangkat pedangnya perlahan. Ujung bilah yang berkilat diarahkan ke tenggorokan makhluk itu.

“...Jadi kau sudah tahu?”

【Anak-anak bintang saling berbagi kesadaran.】

“Sialan... sampai akhir pun tetap menyebalkan. Maksudmu apa, tak ada lagi manusia kuat? Aku masih di sini.”

Namun ia tak mengucapkan kalimat terakhir itu. Ia memang yakin, kalau harus bertarung lagi, sehari pun cukup untuk menebas makhluk itu hingga hancur. Tapi Ahayute sudah tahu segalanya.

【Aku tahu waktu yang tersisa bagimu tak banyak.】

“Hah.”

【Manusia kuat, jangan menipu dirimu dengan ilusi.】

Pedang Ronan bergetar sedikit, tapi ekspresinya tak berubah. Ia menekan ujung bilah itu ke leher raksasa.

Suara kulit tebal yang robek menggema, dan darah biru menyembur deras. Namun Ahayute tetap berbicara dengan tenang.

【Sungguh beruntung bagi kami. Kau membiarkan bakatmu membusuk di lumpur. Seandainya kau mengasahnya, kau akan menjadi penghalang terbesar bagi kami.】

“Cukup. Aku bosan mendengarmu.”

【Kau manusia hebat. Kau berhak berbangga. Kisah tentang pria yang menendang langit dan menebas bintang akan dikenang hingga melewati cakrawala esok hari. Namun...】

Suara raksasa itu berubah berat, menghunjam seperti paku terakhir.

【Dunia kalian… pada akhirnya akan terkubur di bawah cahaya bintang.】

Srak!

Pedang Ronan melintang, menebas kepala raksasa itu dalam satu ayunan.


“Kalau masih hidup, jawab! Ada siapa di sana?!”

Ronan mengepalkan tangan dan berteriak. Tak ada jawaban.

Ahayute mati tanpa sepatah erangan pun. Darah birunya mengalir deras di atas lumpur, tak meresap, seolah menjadi sungai. Ronan menumpahkan kencing di atas mayat itu, lalu pergi.

Ia mulai menyusuri medan perang, mencari siapa pun yang mungkin masih hidup. Namun ke mana pun matanya memandang, hanya ada kematian. Menghindari mayat yang hancur berantakan adalah pekerjaan yang menjijikkan.

Krek.

Ronan mengertakkan gigi saat memandangi wajah-wajah pucat di tanah. Kebanyakan adalah wajah yang dikenalnya. Rekan-rekannya dari Pasukan Hukuman. Ia bergumam lirih.

“Bodoh.”

Pasukan Hukuman adalah unit khusus yang terdiri dari para penjahat. Tentara tingkat terendah dalam hierarki militer, tanpa disiplin, tanpa kehormatan.

Biasanya mereka suka lari dari medan perang. Tapi kali ini mereka semua memilih bertarung sampai mati melawan makhluk itu. Ronan tahu alasannya.

“Cuma karena aku kuat, kalian pikir kalian juga jadi kuat, hah?”

Ahayute terlalu kuat. Hujan panah, serangan aura, bahkan teknik pamungkas milik Sword Saint Shulipen—tak ada yang mampu melukainya.

Hanya pedang Ronan yang bisa menembus kulit raksasa itu dan menumpahkan darahnya. Tak seorang pun, bahkan Ronan sendiri, tahu mengapa. Ia tak bisa menggunakan mana atau aura sedikit pun.

Namun di pertempuran yang menentukan nasib Kekaisaran, status sosial tak berarti. Panglima Besar membatalkan semua strategi lama dan menyusun ulang rencana berpusat pada Ronan.

Dalam sekejap, Pasukan Hukuman menjadi kekuatan utama, dijaga oleh sepuluh legiun penuh. Para bandit setengah gila itu berjuang mati-matian untuk membuka jalan bagi Ronan.

Dan pada akhirnya, keputusan sang Panglima terbukti benar.

“Dasar idiot…”

Dengan mata merah, Ronan menutup satu per satu mata rekan-rekannya yang membeku. Kelopak mata yang keras dan kering itu terasa seperti kulit kayu. Ia mengulanginya entah berapa kali—

“Hm?”

Tiba-tiba, rasa pusing yang aneh merayap di pelipisnya.

Bruk.

Tanah yang tiba-tiba naik seolah menampar wajahnya. Pandangannya berputar seperti orang mabuk. Ronan mengumpat dari posisi tengkurap.

“Sial.”

Tubuhnya tak mau bergerak. Meski hujan mencambuk wajahnya, separuh tubuhnya mati rasa.

Kata-kata Ahayute tadi kembali terngiang—tentang waktu yang tersisa. Ia tahu tubuhnya sudah melewati batas sejak lama.

Ini hanyalah cara tubuhnya menyatakan: tak akan menuruti kehendak si keras kepala ini lagi.

“Keuh!”

Batuk keras menyembur, bersama gumpalan darah gelap. Sensasi tubuhnya perlahan kembali, dimulai dari rasa sakit.

“Sialan…”

Jika harus mati, ia ingin mati sambil menatap langit. Dengan sisa tenaga, Ronan memutar tubuhnya.

Langit kelabu seperti popok kotor terbentang di atasnya. Tak ada matahari, bulan, atau bintang—hanya kilatan petir biru yang menembus awan gelap.

“Bahkan di akhir pun… begini juga.”

Ronan menutup mata, kesal. Ia ingin mati cepat saja. Begitu berpikir tentang kematian, kenangan hidupnya muncul samar dalam kegelapan.

【Sungguh beruntung bagi kami. Kau membiarkan bakatmu membusuk di lumpur.】

Kata-kata si botak itu kembali terngiang. Menyakitkan—tapi benar.

Kilas balik hidupnya seperti film: sebagian besar hanyalah kebodohan, hari-hari sia-sia. Ia sendiri yang membiarkan bakatnya membusuk.

“Mungkin… seharusnya aku masuk akademi.”

Ia tahu sejak awal bahwa dirinya berbakat. Keistimewaan tak bisa disembunyikan, seperti batuk atau kemiskinan.

Satu-satunya keluarganya, sang kakak perempuan, selalu memaksanya menempuh pendidikan yang layak. Ia selalu berkata bahwa Ronan akan menjadi seseorang yang hebat, merawatnya dengan cinta dan harapan.

Tapi Ronan membencinya. Terlalu merepotkan, terlalu menekan.

Akhirnya, ia kabur dari rumah. Tiga tahun hidup seperti anjing liar, berkelana di seluruh benua. Seperti kebanyakan kejahatan, semua berawal dari amarah sesaat. Ia akhirnya menyerahkan diri dan masuk Pasukan Hukuman.

Dan ternyata, kehidupan di militer tidak seburuk itu. Di unit di mana siapa pun yang bertahan tiga tahun akan dibebaskan, Ronan bertahan tujuh tahun.

Selama ia bisa menebas musuh, ia bisa makan dan tidur—tak ada alasan untuk keluar. Banyak pihak mencoba merekrutnya, tapi ia menolak semuanya.

Dan hasilnya adalah ini.

Serangan para raksasa menghapus segalanya. Teman-teman idiotnya, kakak yang hangat, bahkan negeri-negeri yang dulu menolongnya—semuanya terbakar menjadi abu.

Andai saja ia benar-benar berlatih dengan sungguh-sungguh, apakah hasilnya akan berbeda? Apakah ia bisa melindungi mereka?

Ia tak tahu.

Pertanyaan itu tak lagi penting.

Dengan mata terpejam, Ronan mengendurkan seluruh tubuhnya. Ia bisa merasakan jiwanya perlahan meninggalkan tubuh. Siapa yang bilang kematian hanyalah tidur yang panjang, ya…?

Kesadarannya…

Mulai memudar…

Menjadi dingin…

【Tak ada… siapa pun…?】

Suara manusia terdengar.

“Aku di sini!”

Ronan seketika melonjak bangun. Lumpur dan tanah jatuh dari punggung dan rambutnya. Ia menajamkan pendengarannya.

【…Aku terluka, tak bisa bergerak. Tak ada siapa pun…?】

“Sialan! Aku di sini! Aku masih hidup!!”

Suara perempuan. Karena suara itu langsung bergema di kepalanya, bukan lewat telinga, berarti ia menggunakan sihir transmisi suara.

“Terus bicara! Aku akan datang!”

Ronan berlari, menembus hujan. Beberapa kali ia tersandung dan mencium tanah, tapi tak peduli. Yang penting—masih ada seseorang yang hidup.

【…Di sini…】

Suara itu makin lemah. Apa pun alasannya, perempuan itu jelas sekarat. Ronan mempercepat langkahnya. Semua penyesalan tadi hilang lenyap.

Tak lama kemudian, ia sampai di depan batu besar. Dua batu miring bersandar satu sama lain, membentuk celah seperti atap kecil yang bisa melindungi dari hujan.

“Haa… haa…!”

Setiap hembusan napas memuntahkan darah segar. Ronan mengusap mulut dengan lengan bajunya dan masuk ke celah batu itu. Di sana, seorang perempuan terbaring.

“Kau…”

Dan begitu melihat wajahnya, Ronan menahan napas, menelan rasa getir yang naik ke tenggorokan.

“Jenderal.”

Ia mengenal wajah itu.

“...Prajurit.”

Perempuan itu membuka mata dengan susah payah. Suaranya kering dan retak, tapi kewibawaannya tak hilang sedikit pun.

Tinggi badannya melampaui kebanyakan pria, rambut hitam pekatnya lengket oleh darah dan lumpur. Kulitnya begitu pucat, nyaris seputih abu.

Ronan mengucapkan nama itu seolah tersihir.

“Panglima Besar Adeshan-nim.”

Meski berhadapan langsung dengan sosok yang menjadi legenda seluruh pasukan Kekaisaran, Ronan tak memberi hormat. Karena Adeshan tak lagi memiliki kedua tangan untuk membalasnya.

2. Sebuah Cerita yang Sedikit Serius (2)

Adeshan de Akalusia.

Panglima Besar Kekaisaran yang memimpin di atas satu juta pasukan, sekaligus Duke Akalusia.

Seorang pahlawan yang menyelamatkan tak terhitung banyaknya nyawa berkat respons cepatnya saat para raksasa turun ke dunia.

Dan kini, di depan mata Ronan, ia sekarat seperti mainan rusak yang dikoyak-koyak anjing.


“Panglima Besar Adeshan-nim.”

Ronan mengerutkan kening. Kondisi Adeshan terlalu parah, sulit untuk menatapnya tanpa merasa ngilu.

Seragamnya yang merah pekat telah robek dan terkoyak, kehilangan sepenuhnya fungsi untuk menutupi tubuh. Dari lengan yang tercabik kasar itu, darah masih menetes deras.

“Ronan… sangbyeong, ya.”

Dengan susah payah, Adeshan mengangkat tubuh bagian atas dan bersandar pada dinding batu. Mata abu-abu kelamnya—mirip abu dingin—menatap Ronan.

“Apa yang terjadi—”

“Tunggu, biar aku bertanya dulu.”

Adeshan menarik napas panjang beberapa kali sebelum bicara.

“Bagaimana dengan Ahayute?”

“Sudah saya bunuh.”

“Pasti?”

“Mayatnya ada tidak jauh dari sini.”

“...Begitu.”

Bibir Adeshan bergetar. Setetes air mata meluncur di pipinya yang kotor. Ia menatap langit-langit batu, berkedip beberapa kali, lalu berbisik dengan suara kosong.

“Jadi dia mati.”

Ia berusaha berdiri, tapi kedua kakinya gemetar hebat. Ronan segera menahan tubuhnya.

“Terima kasih.”

“Itu memang tugas saya.”

“Sekarang… aku tidak punya penyesalan lagi. Kau adalah pahlawan. Pahlawan yang menyelamatkan dunia.”

“Omong kosong itu nanti saja. Kita hentikan pendarahannya dulu. Lukanya parah.”

Ronan melirik lengan yang hancur itu dan mengumpat rendah. Ujung tulang putih terlihat mencolok dari daging yang terkoyak. Ia dengan hati-hati menuntun Adeshan kembali duduk, bersandar ke batu.

“Tak perlu. Sudah tak ada harapan.”

“Apa? Padahal tadi pakai transmisi suara untuk memanggil saya. Minta bantuan.”

“Aku hanya ingin tahu apakah makhluk itu sudah mati. Seperti yang kubilang, aku tak punya penyesalan.”

“Yang penting tetap dicoba dulu.”

Ronan melepas atasan seragamnya. Tubuh yang terlatih seperti binatang buas itu penuh bekas luka. Ia mulai merobek bajunya memanjang, bermaksud menjadikannya perban.

“Kau keras kepala juga rupanya.”

“Kalau begitu, saya kasih tahu dulu. Ini bakal sangat sakit. Bisa buang air tanpa sadar atau pingsan.”

“Tak apa. Kalau mau melakukannya, lakukan cepat.”

“Baik.”

Ronan mulai mengikat bagian yang harus ditekan. Setiap kali kain terikat, darah yang tergenang memercik dari celah luka.


“Memang… lumayan. Lebih baik daripada tadi. Pusingnya juga berkurang.”

“Syukurlah.”

Keduanya duduk bersandar pada batu. Dengan tubuh terbungkus kain, wajah Adeshan tampak jauh lebih baik dibanding beberapa menit lalu.

“Saya tidak sangka Anda tidak menjerit sedikit pun.”

“Kau pikir aku jadi Panglima Besar hanya karena wajahku?”

“…Ternyata humor Anda lumayan juga.”

Ronan menggeleng pelan. Mungkin karena tubuh pemilik aura memang pulih lebih cepat dari manusia biasa.

“Ngomong-ngomong… seharusnya yang dirawat itu kau, bukan aku.”

Ronan hanya memakai celana, tubuh bagian atas telanjang. Tak seperti Adeshan, wajahnya semakin pucat dari waktu ke waktu. Adeshan mengklik lidahnya saat melihat Ronan memuntahkan darah seperti meludah.

“Tsk. Kalau begitu kita hanya menambah satu teman perjalanan ke alam baka.”

“Anda mungkin bisa selamat. Asal regu penyelamat tiba tepat waktu.”

“Itu juga berlaku untukmu, bukan?”

“Tidak. Saya tidak bisa.”

“Kenapa buru-buru memutuskan begitu?”

“Entahlah… waktu saya bangun setelah mendengar transmisi suara Anda, saya langsung tahu. Saya pasti mati.”

Meski begitu, Ronan tersenyum. Adeshan menatapnya heran.

“Kalau begitu, kenapa tersenyum? Katanya sebentar lagi mati.”

“Entahlah… tadinya saya akan mati sangat… sia-sia.”

Ronan menunduk, menatap pinggangnya.

Pedangnya tidak ada. Sejak meninggalkan kampung, ia tak pernah melepaskannya. Saat ia berlari tadi, rupanya sarung dan pedang itu terjatuh. Rasanya ada yang hilang—tapi anehnya, ia tidak merasa sedih.

“Tapi setidaknya sekarang… saya bisa mati dengan arti. Bahkan kehilangan pedang pun tak terlalu saya sesali.”

“Kau memang aneh.”

Mereka terus mengobrol. Adeshan ternyata jauh lebih fleksibel daripada yang Ronan bayangkan. Ronan juga terkejut saat tahu bahwa dirinya dan Adeshan sama-sama berasal dari rakyat biasa.

“Kalau kau bisa pulang hidup-hidup, ada sesuatu yang ingin kau lakukan?”

“Kan saya bilang, saya mati.”

“Maksudku kalau. Kalau saja.”

“Saya ingin pergi ke pantai bersama White Rose Knights. Semuanya telanjang.”

“Mimpi yang lumayan bagus. Lalu?”

“Hmm… saya ingin masuk akademi.”

“Maksudmu akademi ksatria?”

“Apa saja. Saya ingin belajar aura, juga sihir kalau bisa…”

“Jadi rumor bahwa kau tidak pernah membangkitkan aura itu benar. Lalu bagaimana kau membunuh Ahayute?”

“Menempel seperti kutu. Setelah kupotong sayapnya, sisanya gampang. Serangannya saya tangkis atau hindari, lalu begitu ada celah—saya tebas.”

“Kalau Sword Saint mendengarnya, dia akan pingsan sambil berbusa. Kau harus minta maaf pada semua orang yang bekerja keras berlatih.”

“Oh ya, Jenderal.”

Ronan mengangkat wajah, menatap Adeshan.

“Hmm?”

“Anak buah saya itu… meski kasar, mereka anak-anak baik.”

“Apa maksudmu tiba-tiba?”

“Tolong kumpulkan mayat mereka. Saya tahu aturan Pasukan Hukuman adalah membiarkan atau membakar mayat di tempat. Tapi kalau bukan karena mereka, kita tak akan menang.”

“Sangbyeong.”

“Tolong. Kalau bisa, bangun juga tugu peringatan.”

Mata Ronan berwarna merah jingga—seperti senja. Adeshan memandangnya lama, lalu mengangguk perlahan.

“Terima kasih, Panglima Besar.”

“Hm. Kalau aku sudah janji begitu… sepertinya aku harus hidup bagaimanapun caranya.”

“Tentu. Hidup saja… demi mereka yang mati… kuh!”

Tiba-tiba Ronan memuntahkan darah dalam jumlah mengerikan. Untuk pertama kalinya, wajah Adeshan diliputi kepanikan.

“Bangun! Hei!”

“Regu… penyelamat… mungkin besok pagi datang… sampai saat itu saja…”

“Sangbyeong, bangun!”

Ia menendang-nendang kaki Ronan, tapi tidak ada respons.

“Kau harus kembali ke ibu kota. Harus mengikuti upacara kemenangan.”

Ia menatap wajah Ronan. Dari bibir yang setengah terbuka terdengar suara gigi gemeratak. Bulu matanya bergetar seperti api kecil tertiup angin.

“…Sial.”

Adeshan membuang muka. Bibirnya yang tergigit berdarah. Ia tidak sanggup menyaksikan Ronan mati. Ia mengira emosinya sudah tumpul setelah tiga kali kehidupan, namun rupanya ia masih manusia.

“Jenderal…”

Ronan bergumam lirih. Adeshan menoleh cepat.

“Sangbyeong, kau masih hidup?”

“Suara hujannya… berhenti.”

“Hm?”

Adeshan menutup mulut dan mendengarkan.

Benar. Tidak ada lagi suara hujan yang mengetuk batu.

Cahaya jingga dari sela batu menerobos masuk.

“Sepertinya hujan berhenti.”

“Ada yang… aneh.”

“Aneh bagaimana—”

Kwaaang!

Suara ledakan yang mengguncang bumi menggema. Cahaya tajam membanjiri langit-langit batu di atas mereka.

“Apa?”

Adeshan menatap ke atas.

Atap batu telah lenyap. Yang terlihat hanyalah langit senja yang terbakar merah.

Wajah Adeshan langsung berubah pucat. Pemandangan yang tak mungkin dipercaya tersaji di hadapannya.

“Sial…”

Tak terhitung banyaknya raksasa turun dari langit yang menggelora.

Sayap mereka mengusir awan dan menghentikan hujan. Angin badai dari kepakan sayap membalikkan tanah di sekitar mereka.

“Jadi… bukan hanya tiga…”

Di antara mereka ada yang memiliki enam sayap, ada pula yang delapan. Dengan sekali lihat saja jelas bahwa mereka jauh lebih kuat dari Ahayute.

“Aku… gagal lagi?”

Salah satu raksasa yang turun tepat di atas mereka mengayunkan lengannya. Sebuah tombak cahaya terbentuk dan meluncur ke arah Adeshan.

Ia menutup mata. Tidak bisa menghindar, dan tidak berniat menghindar.

Namun sebuah bayangan melintas di depan wajahnya.

Srak!

Suara udara terbelah. Tombak cahaya terpotong menjadi dua.

Adeshan membuka mata.

Ronan berdiri di depannya.

Dengan tangan yang bergetar keras, ia mencengkeram pedang Adeshan.

“Sangbyeong.”

“Sihir telekinesis… atau angin… bisa pakai? Pokoknya… yang bisa… mengangkat saya…”

“Telekinesis?”

“Sial! Dari sini saya nggak bisa nebas!”

Saat Ronan menggeram, aroma darah memenuhi udara. Ia sudah jauh melewati batas, tapi tetap ingin menyerang raksasa-raksasa itu.

“Dari sini saya nggak bisa nebas.”
Kalimat itu membuat pikiran Adeshan kembali jernih.

Ia melompat, menubruk Ronan ke belakang. Di belakang mereka adalah lereng curam.

“Ugh!”

Keduanya berguling-guling turun.

Begitu mencapai tanah datar, Adeshan berada di atas tubuh Ronan. Ronan terkejut.

“A-apa yang Anda—mpf!”

Mata Ronan membelalak.

Bibir Adeshan menempel pada bibirnya.

Rambut panjangnya menggelitik wajah Ronan saat ia merasakan benda bulat dingin—seperti manik—meluncur masuk bersama air liurnya.

Rasa darah yang asing menyengat.

Adeshan mendorong manik itu dengan lidah, lalu menjauh.

“Telan.”

Ronan melakukannya secara refleks.

Ia merasakan manik itu turun melalui tenggorokan.

Di langit, puluhan raksasa membentuk formasi lingkaran, mengarah dengan tombak-tombak cahaya.

Adeshan menyentuhkan dahinya ke dahi Ronan dan berbisik.

“Itu adalah manik pengulang waktu. Rahasia yang membuat anak seorang penjahit bisa menjadi Panglima Besar. Aku sudah menjalani tiga kehidupan dengan benda itu.”

“Apa yang Anda omongkan?!”

“Aku tahu itu terdengar gila. Aku juga begitu dulu. Manik ini bisa mengulang waktu total empat kali… dan aku sudah memakai tiga di antaranya. Kau pasti tahu kenapa.”

Adeshan menatap langit.

Cahaya terkumpul di tangan raksasa, membentuk ribuan tombak.

“Aku memutuskan untuk mempertaruhkan semuanya padamu. Bakat anehmu—bahkan aku yang hidup tiga kali tak bisa memahaminya. Kupikir itu adalah kunci untuk menghentikan akhir.”

“Jenderal! Minggir!”

“Kalau kau ingin belajar, pergilah ke Phileon. Tempat di mana para jenius berkumpul.”

Hujan tombak cahaya mulai turun.

Tidak ada ruang untuk menghindar.

“Dan… kalau kau kembali dan bertemu diriku di masa itu, bilang padanya untuk berhenti melakukan hal bodoh dan tetap menjadi penjahit.”

“Adeshan!”

Dunia memutih.

Mata mereka bertemu—yang terakhir kali.

Ekspresi Adeshan bukan senyum, bukan tangis—melainkan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

“Kurasa… dari semua pekerjaan, itu yang paling cocok.”

Tombak cahaya menembus tubuh keduanya.


“Hah!”

Ronan bangkit seolah ditarik oleh kekuatan tak terlihat. Ia buru-buru menatap dadanya.

Tidak ada luka.

“Ini… di mana…?”

Ia mengatur napas, menoleh ke sekitar.

Tidak ada lagi medan perang. Tidak ada darah, tidak ada mayat.

Hanya bukit hijau penuh aroma rumput.

Di sampingnya tergeletak tongkat panjang, seperti tongkat penggembala.

Di kaki bukit ada desa kecil. Sungai di samping desa berkelok lembut, dan anak-anak bermain di atas rakit.

Tak butuh waktu lama bagi kenangan untuk kembali.

Ronan berbisik, seolah memanggil seseorang yang sudah mati.

“Nimberton.”

Seperti bangun dari mimpi panjang.

Ia menyentuh bibirnya. Sentuhan ciuman mendadak itu masih terasa hidup.

Ia mengingat kata-kata Adeshan…

“Benarkah… aku kembali…?”

Ia meraba tubuhnya. Tubuh remaja yang belum berkembang penuh. Paling banter lima belas tahun.

Ia menjewer pahanya, salto ke belakang, lalu berhenti.

Semua terasa nyata.

“Serius… aku benar-benar kembali.”

Kenangan menghantam seperti banjir.

Makanan yang dimakan, lagu yang disukai, langit berbintang di atas jalan perantauan, dan semua orang yang telah ia kehilangan.

Dan kemudian—

“Noona.”

Wajah seseorang muncul jelas.

Jika ia kembali ke masa lalu, berarti ia masih hidup—

Kakak satu-satunya.

Kakak yang tidak pernah bertemu kembali dengannya setelah ia kabur dari rumah, dan akhirnya tewas di tangan para raksasa.

“Iril noona.”

Ronan mengambil tongkat itu. Langkahnya makin cepat—hingga berubah menjadi lari penuh tenaga.

Rumah masa kecilnya muncul di kejauhan.

Namun tepat saat ia menuruni bukit, suara gaduh menghentikan langkahnya.

“Kau! Harus! Bawa uang! Tepat waktu!”

“Salah! Saya salah! Tolong!”

Di bawah pohon ek besar, anak-anak yang seusia Ronan mengeroyok seorang bocah yang belum berusia sepuluh tahun.

Beberapa wajah yang dikenalnya ada di antara mereka.

“Hm? Bocah itu…”

Salah satunya sangat familiar.

Seorang anak berambut merah terang, tubuhnya paling pendek di antara mereka—tampak mencolok.

Namanya Aselle… kalau Ronan tak lupa.

“...Bukannya dia penyihir?”

Setelah merenung sesaat, Ronan mengubah arah langkah.

Bukan hanya karena Aselle—ia tak tahan melihat anak-anak mengeroyok anak lain.

Ia mengayunkan tongkat kayu itu sekali.

Bunyi yang dihasilkan cukup menyenangkan.

3. Si Penakut Aselle (1)

Aselle kembali menjalani hari yang seperti neraka. Ia sangat menyesal karena tidak bisa menolak ajakan teman-temannya. Seharusnya ia beralasan sakit. Tapi seperti biasa—ia tidak pernah mampu.

“Makanya! Kalau! Bawa uang! Nggak! Bakal! Dipukulin!”

“S-saya benar-benar nggak punya uang!”

Sebagai akibatnya, Aselle harus berdiri di tengah kerumunan dan menyaksikan seorang gembala kecil dihajar habis-habisan. Anak yang bertubuh kurus itu meringkuk, benar-benar seperti bola yang ditendang ke sana kemari.

“Terus bayar obat buat emak lo yang sakit itu pakai apa, hah?!”

“Itu… itu…!”

Alasan pemukulan itu juga sungguh keji. Belakangan ini, kondisi ibu si gembala semakin parah, sehingga semua uang mereka habis untuk membeli obat. Namun sebagian besar dari kelompok berandalan itu adalah anak-anak yatim—tak ada satu pun yang mau mempertimbangkan bakti anak itu pada ibunya.

“Hey, hidup tanpa emak yang ngerawat kalian tuh bisa-bisa aja. Lihat gue. Ngapain lo ribut sama perempuan yang bentar lagi mampus juga?”

“Anggap aja ini uang muka buat beli peti mati, gimana?”

Meskipun mendengarkan hinaan yang tak bisa dimaafkan, anak itu hanya menangis tanpa membalas. Aselle mengepalkan tangan, berbisik pada dirinya sendiri.

“Bodoh.”

Kata-kata itu bukan untuk si gembala, melainkan untuk dirinya sendiri.

Tubuhnya yang kurus dan kecil hampir sama dengan si gembala. Namun tidak ada yang berani menjadikan Aselle sebagai target. Alasannya hanya satu: bakatnya.

Ia tidak punya keberanian untuk menghadapi kekerasan atau dibully.

Aselle hanya bisa berdoa. Ia tidak mampu menghentikan apa pun—jadi setidaknya semoga kekerasan itu cepat berakhir. Semoga namanya tidak dipanggil hari ini.

Tentu saja—hidup tak pernah berjalan sesuai harapan.

“Hey, Aselle! Kayaknya bocah ini pengin ngerasain sihir lo!”

Hans, yang berperan sebagai ketua kelompok, memanggilnya dengan terengah-engah. Seketika semua berandalan menghentikan perbuatan mereka dan menoleh ke arah Aselle.

Aselle merasa seolah sebuah beban berat jatuh menimpa dadanya. Ia tetap menjaga wajah tanpa ekspresi dan mengangguk.

“Hiiik! M-magic?! Jangan! Tolong! Jangan pakai itu!”

“Ya, Aselle! Bikin dia berharap mati aja lebih baik!”

“Maafkan aku, Tuan Penyihir! Jangan! Ampuni saya!”

Si gembala merangkak ke arahnya, memegangi ujung celana Aselle sambil mimisan. Aselle memejamkan mata dan melafalkan mantra.

“Invisible Hand.”

Tubuh si gembala perlahan terangkat ke udara.

“Aaaaah! Jangan!!”

Tangan tak terlihat mencengkeram tubuhnya dan mengangkatnya tinggi. Sorakan pecah dari segala arah.

Tubuh anak itu terus naik. Jika ia jatuh dari titik itu, ia bisa cedera parah. Tetapi para berandalan hanya semakin mengompori Aselle.

“Khh, meski udah sering lihat, tetap menarik! Gantung dia di puncak pohon!”

“Turunin aku! Tolong! Turunin!!”

Aselle menggigit bibir. Ia membenci bakat kecilnya itu. Andai ia tahu ini akan terjadi, ia tak akan membeli buku sihir yang dijual pedagang keliling itu, bahkan hanya sebagai main-main. Jika ia lahir di tempat lain, mungkin bakatnya akan berguna.

Tangannya gemetar. Jika konsentrasinya terputus, anak itu mungkin akan dijatuhkan. Sihirnya masih lemah dan tidak stabil. Aselle berteriak dalam hati.

Tolong… seseorang hentikan mereka!

“Ya, turunkan.”

Suara asing terdengar dari belakang.

“Siapa itu?!”

“K-kau…!”

Kerumunan mendadak hening, seperti disiram air dingin. Bahkan Hans—yang tidak terkejut walau dilempari batu di jalan—terdiam seperti patung.

Apa yang terjadi?
Aselle memutar sedikit kepalanya.

Sang "penjahat tak tersentuh" dari Nimberton berdiri di sana.

Ronan berkata sekali lagi.

“Turunkan.”

Bulu kuduk Aselle meremang. Meski suaranya datar, ada tekanan yang membuat orang gemetar.

Tanpa sadar, Aselle mulai menurunkan si gembala. Hans melihat itu dan mencengkeram bahu Aselle keras-keras.

“Hey, lo ngapain?!”

“E-eh?”

“Hanya karena dia bilang turunin, lo turunin? Lo kira gue ini siapa?!”

“B-bukan itu…”

“Naikin lagi.”

Aselle menelan ludah. Si gembala kembali terangkat perlahan. Ronan tertawa pendek.

Hans melangkah maju, berdiri tepat di depan Ronan.

“Ronan, lama nggak ketemu ya?”

“Benar, Hans. Sudah lama.”

“Ngapain sok-sokan, hah? Harusnya lo tetap sembunyi seperti kemarin.”

“Wajah lo masih kayak ubi busuk kena penyakit kelamin. Selalu kayak gitu ya?”

“...Brengsek. Lo nggak tahu diri?”

Hans—yang jauh lebih tinggi dan tiga tahun lebih tua—menunduk menatap Ronan.

Anak-anak lain menahan napas.

Di Nimberton, Ronan terkenal mirip bencana alam:
Ia tidak mencari masalah, namun siapa pun yang mengusiknya akan dipukuli sampai tak bisa berjalan.

“Jangan bangga hanya karena dulu lo pernah jago berantem. Kalau sekarang kita gelut, lo pikir lo menang?”

Sebaliknya, Hans seperti banteng liar yang menyeruduk siapa pun tanpa alasan. Ia menyerang siapapun yang mengganggu mood-nya—asal orang itu lebih lemah dari dirinya.

Kadang ia salah mengira lawan, dan itu menimbulkan musibah… seperti hidung bengkok jeleknya sekarang—hasil dari perkelahiannya melawan Ronan tiga tahun lalu.

Tapi sekarang situasinya berbeda. Di pinggang Hans tergantung sebuah longsword yang lumayan bagus—hadiah dari bekerja sebagai pembantu di sebuah kelompok mercenary selama musim dingin.

Srek!

Hans mencabut pedangnya. Ronan membulatkan mulut, kagum.

“Oh. Pedang.”

“Kenapa lo semua bengong? Kepung!”

Dengan suara tebal penuh tekanan, para berandalan segera mengepung Ronan. Aselle tetap tidak bisa bergerak karena harus mempertahankan sihir.

“Sekarang masih sempat berlutut dan minta ampun. Kalau enggak—”

“Lo tahu cara makai itu? Pegang pedang bukan kayak ngibasin tongkat, tahu—”

Sraakk!

Hans menebas ke bawah dengan pedang. Ronan miring sedikit dan menghindarinya.

Hm. Tidak separah dulu.
Dia pikir itu akan berantakan, tapi gerakan Hans ternyata lumayan.

“...Harusnya gue potong tangan lo. Tapi lo beruntung.”

“Benar.”

Ronan benar-benar berterima kasih.
Walau kekuatan dan stamina tubuh remajanya menurun drastis, kecepatan reaksi dan penglihatannya tetap tajam seperti dulu.

“Tapi kalau lo mau pergi hidup-hidup, lo tinggalin satu telinga atau hidung.”

Ronan tetap diam. Pandangannya kini tertuju pada Aselle, yang berjuang keras mempertahankan sihir agar si gembala tidak jatuh.

Benar… ingatan lamaku tidak salah. Anak ini penyihir.

Para berandalan mengira Ronan ketakutan.

“Ah, ternyata cuma sok gaya doang tadi.”

“Nah, cepat minta ampun, dasar tolol.”

Menghadapi pedang dengan tongkat ringan memang tidak masuk akal—bahkan untuk Ronan. Apalagi Hans memang rajin berlatih pedang setiap hari (meski untuk alasan yang salah).

Hans merasa sudah menang.

“Kalau lo mati nanti, biar gue yang hibur noona lo, ya? Banyak yang bisa gue lakukan sama—”

Swiik!

Sebuah suara halus, seperti cambuk udara, terdengar.

Duk.

Sesuatu jatuh di antara mereka.

“Hah?”

Semua terbelalak.

Ronan tidak memegang tongkat lagi.

Hans menunduk perlahan.

Di atas sepatunya tergeletak… potongan telinganya sendiri.

“H-hah? Eh… eehh?”

Beberapa detik kemudian, rasa sakit membakar menyergap.

“AAAAARGH! SIAL! TELINGA GUE!”

“Hey.”

Bugh!

Ronan menendang perut Hans sekuat tenaga. Hans terjungkal, kehabisan napas, pedangnya jatuh.

“Huh…!”

“Dasar bajingan kecil pembangkang.”

Ronan mencengkeram rambut Hans dan mengangkat kepalanya kasar.

Dengan suara rendah yang membuat bulu kuduk berdiri, ia berkata—

“Apa tadi lo bilang soal pantat noona gue?”

“B-bunuh dia! Bunuh diaaa!!”

Para berandalan menjerit dan mencoba menyerang. Ronan membenturkan wajah Hans ke tanah dan bergumam:

“Anak-anak yang nggak punya orang tua memang selalu kelihatan. Aku juga sih… tapi tetap saja.”


“Hm? Kau sudah nurunin dia?”

“U-uh. Iya.”

Setelah menghabisi para berandalan, Ronan kembali. Aselle sudah menurunkan si gembala. Ronan mengelap tangannya pada celananya.

“Tsk. Memang jadi jauh lebih lemah. Cuma segini aja sudah capek.”

Aselle membelalakkan mata. Lemah?

Pertarungan lima menit itu terlalu sepihak bahkan untuk disebut pertarungan. Itu benar-benar seperti elang masuk kandang ayam.

Di bawah pohon, topi roti milik si gembala tergeletak. Ronan memungutnya, menepuk debunya, dan memakaikannya ke kepala anak itu.

“Pulang.”

“T-terima kasih… tapi…”

“Jangan takut soal mereka. Bahkan adikmu pun bisa menang lawan mereka sekarang.”

Ia menunjuk ke para berandalan yang tergeletak. Semua anggota tubuh mereka patah.

“Oh ya, ini ambil.”

Ronan mengambil topi itu lagi, memasukkan segenggam koin hasil merampok kantong para berandalan.

“Ini… terlalu banyak…”

“Nggak apa. Bagian gue sudah gue ambil.”

“T-tapi…”

“Lo mau gue gebukin sampai lo ngompol?”

“Terima kasihh!!”

Si gembala berlari turun bukit. Aselle tetap berdiri kaku, menggigit kukunya. Ronan akhirnya bicara.

“Hey, pendek.”

“A-aku? I-iyah?”

“Selain kamu, siapa lagi. Namamu Michel ya?”

“A-Aselle…”

“Sama aja. Tapi kau ini cowok, kan?”

“Eh? I-iya…”

“Wajahmu kayak cewek. Lebih daripada yang kuingat.”

Ia benar-benar tampak seperti itu—rambut merah panjang sampai tengkuk, mata dengan lipatan ganda, tubuh kecil; sekilas bahkan wanita dewasa bisa saja memeluk kepalanya ke dada.

“A-ah… itu… maaf…”

“Udah. Sekarang coba pakai itu padaku.”

“Hah? Apa?”

“Sihir telekinesis. Yang kau pakai buat ngangkat bocah itu.”

“Tak—tak bisa!”

Aselle mengibaskan kedua tangan panik. Ronan mengangkat kepalan yang masih berlumur darah kering.

“Kalau kau jatuhkan aku, aku nggak akan marah. Coba aja.”

“Itu bukan masalah jatuhin! Aku… mungkin… bahkan nggak bisa ngangkat…”

“Coba.”

Aselle mengembuskan napas berat. Ia sudah tahu perdebatan tak berguna. Ia menghadap Ronan dan melafalkan mantra.

Tangan tak terlihat muncul dan mencengkeram tubuh Ronan.

“Ohh.”

Tubuh Ronan perlahan terangkat. Karena lebih berat dari si gembala, Aselle harus mengeluarkan tenaga lebih besar.

“B-bisa aku turunkan sekarang?”

“Terus.”

Sensasinya mirip ketika seorang telekinesis profesional mengangkatnya dalam pertempuran melawan Ahayute di kehidupan sebelumnya.

Penyihir saja sudah jarang… telekinesis apalagi.

Sebagian besar penyihir hanya bisa menguasai satu jenis atribut. Telekinesis adalah bakat yang sangat langka.

Melihat Aselle, Ronan merasa bangga pada dirinya sendiri—karena mengingat anak ini dari kehidupan sebelumnya, ketika ia hanya melihatnya mencuri barang dagangan dengan telekinesis.

Si pemalas tidak berguna ini ternyata adalah batu permata tersembunyi.

Ia tidak akan melewatkan kesempatan ini.

Tubuh Ronan sudah terangkat setinggi kepalanya sendiri. Aselle berkeringat deras.

Benar juga… harus kucoba itu.

Srek.

Tiba-tiba Ronan mencabut pedang Hans. Aselle tersentak dan hampir melepaskan sihirnya, tapi Ronan menyuruhnya bertahan.

“Enggak. Terus.”

Ronan mengiris tipis bagian udara tempat telekinesis bekerja. Rasanya seperti membelah air.

Dan pada saat yang sama—

Sihir itu padam.

“Eh?!”

Bruk. Aselle jatuh terduduk. Ronan mendarat dengan ringan dan menghela napas lega.

4. Si Penakut Aselle (2)

“A-apa barusan… apa itu?”

Aselle tidak bisa memahami apa yang baru saja terjadi. Dalam sekejap, aliran mana terputus dan sihirnya hancur. Rasanya seperti tali tegang yang tiba-tiba putus.

“Hah? Barusan jelas-jelas sihirnya…”

“Aku juga nggak tahu.”

Ronan mengangkat bahu. Ia tidak berpura-pura—dia benar-benar tidak tahu.

Ia bisa menebas mana. Ia menyadari kemampuannya itu ketika masih bertugas sebagai prajurit Pasukan Hukuman. Saat itu, ia merasa kemampuan ini hanya akan merepotkan jika diketahui orang lain, jadi ia tidak pernah memberitahukannya.

Ronan menduga bahwa alasan ia satu-satunya yang bisa melukai Ahayute dengan serius mungkin juga karena kemampuan ini. Atau mungkin ada kemampuan lain yang bekerja tanpa ia sadari.

Menemukan rahasia kemampuan ini juga pasti salah satu tugas yang diberikan padaku.

Ronan menepuk bahu Aselle dua kali.

“Tiga hari lagi, malam-malam, datang ke sini. Waktu bulan mulai naik.”

“Hah?”

“Kalau nggak datang… ya, kau tahulah.”

Tanpa menunggu jawaban, Ronan melangkah pergi. Aselle berteriak memanggilnya dari belakang, tapi Ronan mengabaikannya. Kalau dia masih waras, dia pasti datang.

“Sial, aku buang waktu terlalu banyak.”

Ronan pergi ke sungai dulu untuk mencuci darah dari wajah dan tangan. Lalu ia membeli pakaian baru di pasar dan berganti baju. Setelah itu, ia memetik beberapa bunga daffodil yang tumbuh di pinggir jalan.

Tak lama kemudian, ia tiba di sebuah rumah kecil di pinggiran desa. Tembok luarnya dipenuhi tanaman ivy yang tumbuh subur.

Ronan tanpa sadar menarik napas panjang. Ada rasa gugup yang bahkan tidak pernah ia rasakan di medan perang maupun di hadapan monster.

Di balik pintu itu—ada Iril.
Kakak perempuan yang belum pernah ia temui lagi sejak ia kabur dari rumah di usia tujuh belas. Kakak yang kemudian tewas dalam serangan para raksasa.

“Haah… tenang dulu…”

Ronan mengulurkan tangan untuk meraih gagang pintu. Yang perlu ia lakukan hanyalah menariknya, tapi entah kenapa itu sangat sulit.

Saat itu, rangkaian daffodil di tangannya tertangkap oleh matanya. Sepuluh bunga kuning dan putih tersusun indah. Bunga favorit Iril.

Mendadak ia merasa konyol.
Sialan, aku bukan pemuda baru jatuh cinta yang mau mengungkapkan perasaan.

Ia berbalik hendak membuang bunga…

“Eh? Ronan!”

Pintu terbuka lebar, dan seorang gadis muncul. Seorang gadis cantik yang baru saja melewati masa remaja dan menuju dewasa.

“Hari ini pulang cepat? Udah makan?”

“Ah? Eh… iya… belum.”

Melihat senyum cerah itu, Ronan membeku. Rambut yang bergelombang hingga bahu berkilau seperti perak kebiruan di bawah cahaya. Kulitnya begitu bersih dan cerah, seperti salju yang belum terinjak.

“Pas banget! Aku baru selesai masak stew.”

Memang benar—ia memakai celemek yang penuh noda. Saat melihat daffodil di tangan Ronan, ia menjerit kecil.

“Eh?! Bunga itu?!”

“Eh? U-uh…”

“Kau bawakan untukku? Cantiknya!”

“Bukan… maksudku bukan begitu… tapi ya… kalau kau suka… syukurlah.”

Ronan menyerahkan bunga itu sambil menatap wajah kakaknya. Mata besar yang jernih itu memiliki warna merah jingga yang sama dengannya.

Iril menenggelamkan wajahnya ke bunga dan tersenyum seolah menjadi anak kecil. Lalu tiba-tiba ia memeluk Ronan erat-erat.

“Aduh, adik kita yang galak ini tiba-tiba kenapa? Terima kasih!”

Suatu perasaan tak terlukiskan menghantam dada Ronan.
Kakaknya… masih sama seperti yang ia ingat. Orang yang memberi kekuatan hanya dengan berada di sisinya. Matahari yang menerangi semua orang.

Tiba-tiba pandangannya kabur. Ia mengusap matanya dengan lengan baju.

“Sial…”

“Eh? Ada debu masuk mata? Sini, noona lihat—”

“Bukan itu.”

“Jangan begitu, sini sebentar—”

Karena perbedaan tinggi satu kepala, Iril harus berjinjit untuk melihat matanya. Ronan menepis tangannya—beralasan bahwa ia lapar—dan masuk ke rumah.


“Terima kasih. Enak.”

“Wah! Hari ini benar-benar ada apa? Sampai kamu bilang makananku enak!”

Ronan meletakkan sendok dengan rapi. Mangkuk kayu itu sudah benar-benar kosong. Stew kentang sederhana buatan Iril rasanya lebih nikmat daripada makanan apa pun yang ia makan sebelum kembali ke masa lalu.

“Noona. Usia aku berapa sekarang?”

“Eh? Hmm… aku tahun ini sembilan belas, jadi kamu empat belas. Kenapa?”

Lebih muda setahun dari dugaan Ronan. Jika ia meninggalkan desa pada usia tujuh belas, berarti masih ada sekitar sepuluh tahun sebelum para raksasa turun.

“Ah, cuma… tiba-tiba nggak ingat.”

“Ya ampun! Masa lupa hal begitu?! Kamu sakit? Atau makan jamur aneh di hutan?”

“Nggak kok.”

Iril meraba-raba dahi Ronan dan dahinya sendiri, khawatir. Hari ini adiknya terlalu aneh. Bahkan membawa bunga yang ia sukai… biasanya ia adalah bocah pemarah yang malas melakukan apa pun.

“Oh iya, noona.”

“Hm?”

Ronan sedang mengambil sendok ketiga stew ketika ia bicara—ini sudah mangkuk ketiganya.

“Aku mau masuk akademi.”

“Hah?”

Iril memandangnya kosong. Saking terkejutnya, otaknya seolah berhenti bekerja sesaat.

Tadi dia bilang apa? Kehilangan domba? Bukan… akademi? Akademi?!

Lalu ia melompat dari tempat duduk.

“Apa aaaa? Masuk akademi?!”

“Kaget banget…”

“Ayo ulangi, Ronan! Kamu bilang mau masuk akademi? Benaran? Benar? Benar?!”

“Iya.”

“Kyaaaaa!!”

Iril memeluk Ronan sambil menjerit bahagia. Itu adalah mimpi seumur hidupnya. Dalam satu detik, pipi Ronan dipenuhi ciuman.

“Aku tahu hari ini akan datang! Aku selalu percaya! Kamu pasti hebat! Kamu punya bakat!”

“Terima kasih.”

“Kamu mau masuk akademi apa? Akademi ksatria? Wah, Ksatria Ronan! Ganteng banget! Atau akademi negeri? Jadi ilmuwan juga keren! Noona dukung apa pun! Aah, aku harus tenang!”

Barulah setelah Ronan menghabiskan mangkuk keempat, Iril berhasil meredakan kegembiraannya. Lalu ia tiba-tiba menuju kendi di dekat perapian dan mengobrak-abrik isinya.

Ia keluar sambil menenteng sebuah kantung besar yang berat.

“Nah! Ambil ini! Semua ini milikmu!”

Terdengar bunyi logam bertabrakan di dalamnya. Ronan tahu bahwa kantung ini berisi hampir semua uang yang dikumpulkan kakaknya selama ini.

Iril mengangkat kantung itu ke atas meja dengan susah payah dan menatapnya penuh harap. Seolah berkata: Cepat buka!

Namun Ronan menggeleng.

“Nggak, noona pakai aja.”

“Apa? Tapi ini buat—”

“Buat biaya pendaftaran, kan? Terima kasih, tapi aku nggak bisa pakai ini. Tempat yang mau kutuju… uang ini nggak cukup.”

“Memangnya kamu mau ke mana? Ini lumayan banyak, tau?”

Pipi pucatnya mengembung marah. Ronan memasukkan kantung itu kembali ke kendi dan berkata—

“Hwangrip Phileon Academy.”

Mata Iril—yang sudah besar—membesar dua kali lipat.


[Kalau ingin belajar, pergilah ke Phileon.]

Pesan terakhir Adeshan.

Hwangrip Phileon Academy. Biasa disebut Phileon.

Terletak di pusat ibu kota, lembaga pendidikan ternama itu memiliki prestise tertinggi setelah istana kekaisaran. Dengan para profesor terbaik dari seluruh benua dan dukungan dana besar dari keluarga kekaisaran, Phileon bukan hanya akademi bergengsi—melainkan pabrik pencetak tokoh besar.

Bahkan Ronan, yang tidak punya hubungan baik dengan akademi, tahu betul nilai ijazah Phileon.

“Benar… kebanyakan orang hebat yang kukenal lulusan Phileon.”

Ronan bergumam sambil mengingat-ingat. Panglima Besar Adeshan, Sword Saint Shulipen, bahkan “Penyihir Musim Dingin”, kriminal terburuk Kekaisaran—semuanya lulusan Phileon.

Ia punya waktu sepuluh tahun.

Tidak banyak, mengingat beban misi yang ia tanggung. Itu bukan tugas yang ia pilih, tapi ia tidak berniat lari darinya.

Ia mengingat akhir hidupnya.
Ribuan raksasa yang turun dan merobek langit.
Untuk melawan mereka, seberapa kuat ia harus menjadi?

Karena itu, ia memutuskan masuk Phileon—seperti kata Adeshan.
Ia tidak tahu seberapa kuat yang ia butuhkan, tapi ia tahu bagaimana cara menjadi kuat: belajar.

Dan kebetulan—pergi ke akademi memang salah satu impiannya.

“Anehnya, noona kaget banget waktu itu.”

Ekspresi kaget Iril masih terbayang jelas. Kalau ia bilang mau jadi Kaisar pun mungkin reaksinya tidak akan lebih besar dari itu. Meskipun ia bahagia untuk Ronan, jelas bahwa ia tidak percaya Ronan bisa masuk Phileon.

Ronan ingin membuat kakaknya bangga.

Jadi di hari ketiga setelah kembali ke masa lalu, ia bangun pagi-pagi sekali dan mendaki bukit. Di punggungnya ada dua ransel kecil—ukuran untuk anak-anak.

“Oh.”

Tak jauh dari puncak bukit, seorang bocah ber-robe tipis sedang tertidur sambil bersandar pada pohon ek. Ronan bertepuk tangan tiga kali. Aselle terperanjat bangun.

“Kau tepat waktu, Marcel. Aku kaget juga.”

“으아! U-umm… nama aku Aselle…”

“Manja banget sih cowok satu ini. Nah, kenapa menurutmu aku suruh kau datang?”

“Uh… mungkin karena… tertarik dengan kemampuanku?”

“Betul. Penyihir memang kepalanya cepat. Nih, ambil.”

“Eh? Eh?!”

Ronan melemparkan salah satu ransel. Besarnya bikin takut, tapi ternyata isi dalamnya sangat ringan.

“I-ini apa?”

“Kantong untuk menampung mimpi dan harapan.”

Aselle membukanya. Di dalamnya ada lebih dari selusin kantung kecil—tebal dan tipis bercampur. Ia tak bisa menebak kegunaan benda itu.

“Ini… ada hubungannya dengan kemampuan sihirku?”

“Yuk ikut. Perahunya sudah siap.”

“P-perahu?”

Aselle memanggul ranselnya dan mengikuti Ronan. Di tepi sungai, benar-benar ada sebuah rakit kecil yang tidak pernah ia lihat sebelumnya, terikat dengan tali.

Bentuknya sangat mencurigakan. Lebih cocok tenggelam daripada berlayar. Aselle menajamkan matanya—tidak ada rakit lain.

“Naik.”

Ketika Ronan menunjuk rakit itu dengan ibu jari, Aselle hanya bisa berpikir satu hal:

Aku mau menangis.


Rakit meluncur mengikuti arus. Cahaya purnama memantul di permukaan sungai, menyinari dua anak lelaki itu. Aselle meringkuk di samping ransel, menatap permukaan air.

“Sayang kita nggak bawa pancing. Ikan grey mullet panggang dari sini rasanya luar biasa.”

Uap putih keluar dari mulut Ronan. Di jarinya terselip pipa rokok tipis.

“Y-ya. Mungkin.”

“Jangan gagap. Apa kau takut kubelah dua lalu buang ke sungai?”

“Ah—iya. Iya, aku nggak gagap.”

“Barusan gagap lagi. Mau mati?”

Di pinggang Ronan tergantung pedang Hans. Aselle menelan ludah. Ia tahu Ronan memotong telinga Hans hanya dengan tongkat gembala.

“M-maaf. T-tidak akan gagap.”

“Bagus. Buka bahumu sedikit. Kau pendek karena hidup selalu meringkuk begitu.”

“Um… kita ke mana ini tepatnya?”

“Tempat bagus. Kau bisa latihan bertarung sungguhan… dan juga dapat uang.”

Aselle mengernyit. Ia makin tak mengerti.

“Uang? Uang apa?”

“Biaya pendaftaran. Ah, aku belum bilang? Kau harus masuk akademi.”

“Akademi?”

“Iya. Bareng aku. Kalau ingatanku benar, dari satu malam ini saja kita bisa dapat cukup untuk bayar biaya semester pertama.”

5. Si Penakut Aselle (3)

Akademi? Apa sih omong kosong itu?

Aselle hampir saja melontarkan jawaban seperti itu.

“Um… Ronan, aku benar-benar bingung jadi mau tanya… sebenarnya apa yang sedang terjadi sekarang?”

“Sedang menulis kalimat pertama dari edisi revisi Kisah Ronan.”

“Apa maksud…?”

“Awal bulan depan, tanggal 1, kita akan pergi ke Vallon.”

“Vallon? Maksudmu Vallon di ibu kota?”

“Ya. Hwangrip Phileon Academy ada di sana. Memang sedikit lebih awal mengingat ujian masuk dimulai tanggal 3, tapi kalau memikirkan waktu adaptasi, berangkat saat itu paling pas.”

Nada suara Ronan sangat serius. Aselle pun sadar bahwa ini bukan lelucon, sehingga tubuhnya membeku di tempat. Meski ia hanyalah anak desa, ia tahu betul reputasi Phileon Academy.

Phileon? Phileon Academy itu?!

Kota kecil seratus menara, tempat berkumpulnya para genius terbaik dari seluruh benua. Bagaimana mungkin tempat seperti itu bisa dimasuki rakyat jelata seperti mereka?

Namun Ronan sudah merencanakan semuanya diam-diam, lebih jauh dari yang bisa Aselle bayangkan.

“Aku sudah bicara dengan orang tuamu, jadi tenang saja soal itu.”

“E-eh? Kau… bertemu orang tuaku? Kapan?!”

Aselle melonjak berdiri. Ronan, yang berbaring, mengibaskan tangan menyuruhnya duduk.

“Duduk. Kita bakal tenggelam.”

“Haa… sebentar… haa…”

Aselle menarik napas panjang, lalu duduk kembali. Ronan melanjutkan.

“Dua hari lalu, siang hari. Mereka senang sekali. Katanya, tidak ada kebanggaan yang lebih besar daripada satu-satunya anak mereka masuk Phileon Academy.”

“Sebentar, sebentar! Oke, Ronan. Anggap semua yang kau bilang itu benar dan kau serius!”

“Aku memang serius.”

“Baik! Mungkin kau bisa masuk! Kau memang punya bakat luar biasa dalam bela diri. Tapi aku kenapa?! Kemampuanku itu tidak ada apa-apanya. Kau juga tahu itu!!”

“Aselle. Kau puas dengan hidupmu sekarang?”

Ronan tiba-tiba bangkit duduk, menghadap langsung ke Aselle. Tatapan mata yang tajam itu seperti milik burung pemangsa.

Aselle menunduk dalam. Bahkan dengan kebohongan pun ia tak bisa menjawab “iya”. Hari-hari yang ia habiskan berpura-pura menjadi preman kecil agar tidak diintimidasi kembali melintas dalam pikirannya.

“...tidak.”

“Kau tidak ingin mengubah hidupmu? Bakat seorang penyihir bukan sesuatu yang dimiliki sembarang orang.”

“Tapi aku… aku tidak kuat seperti kau. Aku pengecut… dan penakut…”

“Benar, kau memang tolol. Pengecut kelas kakap yang menindas anak kecil hanya karena takut dibully. Kenapa menurutmu waktu itu cuma kau yang tidak dipukuli? Karena kau terlihat menyedihkan. Saking tidak berharganya, mereka tidak merasa kau layak dipukul.”

“Itu… itu terlalu…”

“Tapi hal begitu cuma bagian kecil. Semua itu bisa diperbaiki.”

Tiba-tiba Ronan menyalakan pipa rokoknya. Asap tipis mengepul.

Anak laki-laki di hadapannya mengingatkan Ronan pada dirinya sendiri. Dulu, ia menyia-nyiakan bakatnya karena kemalasan dan kebodohan. Aselle juga sama—hanya saja penyebabnya bukan kemalasan, melainkan kelemahan.

“Kalau kau buang bakatmu dengan berbagai alasan konyol, suatu hari kau pasti sangat menyesal. Aku jamin itu.”

Ronan tidak membawa Aselle semata-mata karena membutuhkan seorang penyihir telekinesis. Ia ingin Aselle tidak mengalami penyesalan yang sama seperti dirinya. Asap rokok bercampur dengan angin sungai dan lenyap.

“Kalau kau benar-benar tidak mau, bilang saja. Aku akan menurunkanmu di tempat aman.”

“...Tidak.”

Aselle mendongak. Mata coklat muda itu memantulkan cahaya bulan. Ronan menyeringai kecil.

“Aku juga ingin pergi. Ke Phileon.”

“Bagus. Keputusan tepat.”

“Jadi… apa yang harus kulakukan?”

“Yang harus kau lakukan, ya… hmm…”

Aselle menatapnya dengan wajah siap menerima perintah apa pun. Ronan mengusap dagu, mengingat rencana yang sudah ia siapkan.

Lalu ia berkata datar—

“Pencurian?”


Rakit mereka baru tiba di tujuan saat fajar menyingsing. Daerah itu penuh batu-batu besar, cocok untuk bersembunyi. Mereka mengikat rakit di belakang batu besar, lalu turun.

“Mulai sekarang kecilkan suara. Ikuti aku.”

“Baik.”

Keduanya masuk ke hutan. Angin di antara pepohonan terasa suram dan dingin. Tak lama kemudian, cahaya merah berdenyut-denyut tampak dari kejauhan.

“Itu… yang kau bilang…?”

“Ya. Bawa ranselnya?”

Aselle mengangguk. Mereka mendekati cahaya itu dengan hati-hati. Dan tak lama kemudian, mereka menyadari itu adalah api unggun raksasa.

Lalu pemandangan di hadapan mereka—begitu absurd hingga membuat Aselle hampir menjerit.

–Keoook! Pugagagak!

–Piyuuuu…!

Puluhan makhluk kerdil berkuping dan berhidung runcing tergeletak mengelilingi api unggun. Namun mereka tidak mati—mereka tertidur lelap. Ronan mengernyit jijik.

“Sial, tai pagiku lebih enak dilihat.”

“A-apa itu…?”

Sekilas tampak seperti monster goblin. Tapi jelas bukan goblin biasa.

Tubuh mereka jauh lebih besar, wajah lebih menjijikkan, dan mereka mengenakan armor yang cukup layak. Hal paling mencolok adalah warna kulit mereka—bukan hijau, melainkan kuning keemasan.

“Luna Goblin. Monster bajingan yang suka menabung.”

Ronan menjelaskan. Luna Goblin adalah spesies goblin langka yang ia ketahui selama pengembaraan. Mereka suka mengumpulkan benda berkilau seperti gagak, dan setiap malam bulan purnama mereka berpesta.

“Katamu… bagaimana kau menemukan tempat ini?”

“Semua ada caranya.”

Ronan mengingat percakapannya tiga hari lalu dengan seorang pedagang keliling.

‘Sialan! Karavan kami diserang lagi! Apa kerjaan para prajurit itu?!’

‘Lagi? Ini bukan pertama kali terjadi?’

‘Sudah tiga kali!’

‘Kerjaan bandit?’

‘Bocah ingusan sepertimu tahu apa?!’

‘Kakek. Jawab saja apa yang kutanya. Kalau bukan karena aku buru-buru, barang daganganmu sudah kubakar. Rokok macam apa ini dijual sepuluh nibe?!’

‘Kehm! Kehmm! Anak sialan mulutnya…’

Pedagang itu akhirnya menyerah dan bercerita. Serangan selalu terjadi di malam hari, tidak ada korban selamat. Mereka hanya mengambil perhiasan dan senjata—tidak menyentuh barang lain, bahkan rempah mahal.

‘Dan yang paling penting… jejak kaki di sekitar lokasi bukan jejak manusia!’

Dengan mengumpulkan informasi, Ronan menyimpulkan bahwa pelakunya adalah Luna Goblin. Makhluk yang terlalu cepat dan licik untuk diikuti tanpa pengetahuan khusus. Bahkan setelah sembilan orang tewas, pelakunya tidak tertangkap.

Tapi Ronan punya pengetahuan itu.

“Kalau kita salah langkah, kita mati, Aselle. Lihat itu.”

Ronan menunjuk ke arah api unggun. Di sekitar api, tulang belulang hewan berserakan. Termasuk tulang manusia.

Tak jauh dari situ ada sebuah altar besar dari kayu dan tulang. Di atasnya, harta yang dikumpulkan goblin menumpuk: senjata, ornamen emas, perhiasan, semuanya bercampur.

Rencananya sederhana: saat para goblin mabuk tidur, Aselle akan mencuri harta mereka menggunakan telekinesis.

Aselle bergidik.

“R-Ronan… apa kita harus melakukan ini? Tidak ada cara lain untuk mendapatkan uang…?”

“Ada beberapa.”

“T-t-then kenapa tidak memilih itu saja? Ini benar-benar gila.”

“Baik. Pilih satu. Pertama: kita berubah jadi Luna Goblin. Serang pedagang di malam hari, rampas harta mereka, dan kalau melawan—sobek perutnya. Bagaimana?”

“...Opsi kedua?”

“Kau akan kujual ke rumah hiburan. Ada banyak bangsawan mesum yang suka anak laki-laki cantik. Malam pendek: 10 silver. Malam panjang: 30. Layanan pakai mulut: 7. Registrasi? Ah, bayar kuliah sampai lulus juga bisa dalam sebulan.”

Aselle membatu. Ronan merangkulnya dan berjongkok.

“Makanya dengar baik-baik. Kita lakukan ini bukan tanpa alasan. Phileon itu seperti apa?”

“M-maksudmu… akademi?”

“Benar. Akademi. Tempat berkumpulnya putra-putri bangsawan terhebat. Menurutmu mereka akan berteman dengan kita, rakyat jelata yang bau kandang sapi?”

“...Tidak.”

“Satu-satunya cara untuk diakui adalah dengan kemampuan. Dan sayangnya, bahkan di antara bangsawan, yang bisa masuk Phileon itu para jenius. Mereka pasti sudah mengasah bakat sejak kecil. Cara mengalahkan mereka cuma satu: pengalaman tempur.”

“P-pengalaman tempur…”

Ronan mengangkat kepala, melihat altar. Antara mereka dan altar, lebih dari dua puluh Luna Goblin sedang tidur.

“Benar. Pengalaman tempur. Kalau bocah bangsawan jatuh, ada maid cantik yang lari menghampiri membawa perban. Kalau kita jatuh? Goblin jelek itu yang datang sambil bawa pentungan. Percaya padaku, satu pengalaman ini lebih berarti daripada sepuluh tahun pelatihan mereka—kalau kita tidak mati.”

Ronan berdiri dan menepuk punggung Aselle.

“Jadilah laki-laki, Aselle.”

“Uuugh…”

Aselle ingin memutar waktu. Ia seharusnya lompat dari rakit dan berenang pulang ke Nimburton. Tapi sudah terlambat.

Ia menarik napas dalam-dalam. Dengan tangan gemetar, ia mengarahkan sihir ke altar. Mantra pun terucap lirih.

“Invisible Hand.”

Sebuah belati yang ada di altar perlahan terangkat.


“Sial! Itu dia, Aselle! Kau bisa!”

Kalung yang melayang di udara bergerak dan masuk ke dalam salah satu kantung. Ronan mengepalkan tinju, bersorak dalam hati. Sebuah safir besar—pasti bernilai tiga puluh koin emas.

“Huuuh… huuuuh…”

“Kita isi kantung ini satu lagi lalu kabur. Kerja bagus.”

Sudah satu jam sejak mereka mulai mencuri. Fajar hampir tiba; langit berubah gelap kebiruan. Aselle sudah berhasil mengisi tujuh kantung penuh—plus setengah kantung.

“Invisible… Hand.”

Konsentrasinya naik ke tingkat yang selama ini belum pernah ia capai. Meski tidak ingin mengakui, apa yang Ronan katakan benar: tidak ada guru seperti situasi hidup-mati.

Aselle merasakan kekuatannya meningkat drastis. Ia bahkan berhasil mengangkat dua buah mace besar sekaligus—model mewah seperti yang digunakan para paladin.

“Oh, itu juga mahal kayaknya.”

Ronan merasakan sensasi menyenangkan yang belum pernah ia alami: melihat rekan yang ia latih berkembang pesat. Tidak seperti idiot-idiot di Pasukan Hukuman, Aselle punya kecerdasan dan potensi.

Semuanya berjalan mulus. Bahkan terlalu mulus. Ronan berniat melawan goblin kalau mereka bangun di tengah-tengah, tapi melihat pertumbuhan Aselle, ia merasa tidak perlu mengeluarkan pedang.

Membuang energi untuk goblin rendahan tidak ada gunanya. Kita punya perjuangan panjang di depan.

Mace itu bergerak stabil menuju mereka. Berayun sedikit karena beratnya, tapi tinggi mereka cukup aman.

Seharusnya begitu.

“Berhenti! Dasar kepala ayam!”

“Sial! Tangkap sebelum mereka masuk ke sungai!”

Teriakan lantang menggema dari dalam hutan. Beberapa suara, bukan hanya satu. Burung-burung beterbangan, dan Luna Goblin yang tertidur mendadak terbangun sambil menjerit.

–Kieeek!!

–Kyaooo! Kyao!!

“A-apa?! Aaaaaah!”

Aselle tersentak kaget dan kehilangan konsentrasi. Mantranya terputus.

KRAK!
Dua mace itu jatuh tepat ke kepala salah satu goblin yang baru bangun—menghancurkan tengkoraknya seketika. Darah dan otak memercik, membasahi goblin-goblin lain.

–Ki… kieeek?!

“Tidak!!”

Aselle memegangi kepalanya, panik. Ronan, menghela napas panjang, menggenggam gagang pedang.

“Yah. Kuduga ini terlalu lancar.”

6. Si Penakut Aselle (4)

Goblin yang melihat darah langsung menjadi histeris.

Wajah rekan mereka yang hancur dengan mace menancap dalam-dalam itu membuat bahkan sesama goblin merasa mual. Seolah sudah berjanji, mereka serempak meraih senjata masing-masing.

–Kyaaaak?!

Saat itu, salah satu goblin menunjuk ke altar dan menjerit. Hampir setengah dari persembahan yang mereka kumpulkan telah lenyap. Goblin-goblin itu benar-benar 미쳐 날뛰기 시작했다, berhamburan sambil berteriak histeris.

Tak lama kemudian, mereka melihatnya—manusia yang perlahan terangkat ke udara.

–Keeeaaak!!

“K-ketahuan!”

Aselle menggertakkan gigi dan memusatkan seluruh fokusnya. Ia belum pernah sekalipun mencoba mengangkat tubuhnya sendiri dengan telekinesis.

Puluhan goblin berlari ke arahnya, saling menginjak tubuh rekan mereka, melompat setinggi-tingginya.

“Gaaaah! J-jangan datang!”

Segala macam senjata nyaris menyambar ujung celananya. Dengan susah payah meronta, Aselle akhirnya terangkat cukup tinggi hingga goblin-goblin itu tak bisa lagi mencapainya.

Ia langsung berayun ke arah sebuah pohon besar, merentangkan seluruh sendi tubuhnya untuk meraih dahan yang menonjol—dan berhasil menggenggamnya di detik terakhir.

“Hhhf…! Hhhhff!”

Tiba-tiba pahanya terasa perih. Ia menunduk. Dari sobekan celananya mengalir darah tipis.

Menahan air mata yang hampir pecah, ia berteriak sekuat tenaga:

“Haa… Ronan…! A-aku sudah naik!!”

Saat itu, sebuah bayangan melompat keluar dari balik pohon tempat Aselle bergelantungan.

Bayangan itu langsung menerjang kerumunan goblin.

Semua goblin sedang menatap ke arah Aselle sehingga tak satu pun menyadari Ronan sudah masuk ke tengah mereka.

Srek!

Kilatan perak melesat. Tiga kepala goblin terpental ke udara.

Ronan mengayunkan pedang pertama malam itu, dan ia menyadari—indra bertarungnya tidak tumpul sedikit pun.

Craak!
Dua kepala lagi terbang bersama semburan darah.

–Kyek? Kyaaaak?!

Barulah para goblin sadar ada penyusup lain. Tentu saja Ronan tidak peduli. Ia tetap maju dan mengayunkan pedangnya tanpa ragu.

Tubuh salah satu goblin yang celingak-celinguk terbelah secara vertikal.

–Kyaagh…!

Darah yang muncrat seperti ledakan kecil membasahi tanah. Ronan menendang setengah tubuh goblin itu, dan usus-usus yang kusut terburai, jatuh ke kepala goblin-goblin lain.

Kini ia sudah berada tepat di tengah-tengah kawanan.

–Ke…kereuuk…!?

“Hm… satu… dua…”

Pertunjukan pembantaian itu berjalan mulus. Goblin yang ketakutan tak berani mendekati Ronan.

Ronan menggerakkan jemarinya, menghitung jumlah makhluk yang tersisa. Lengan kanannya mulai terasa pegal—ia benar-benar butuh latihan tubuh lagi.

Dihitung cepat, ada tiga puluh satu ekor.

“Lima belas tebasan.”

Setelah memperkirakan jumlah ayunan pedang yang ia perlukan, Ronan menerjang kembali.


Fajar menyingsing. Bayangan pepohonan memanjang oleh cahaya pagi. Burung-burung bernyanyi, hewan-hewan mulai bangun dari tidur mereka.

Waktu yang indah—kecuali untuk perkampungan goblin yang dimusnahkan dalam semalam, dan Ronan yang berdiri berlumuran darah dari kepala sampai kaki.

“Tidak apa-apa?”

“Uh-huh. Aku baik-baik saja.”

Aselle menjawab sambil menahan napas. Bau amis yang pekat hampir membuatnya pingsan. Sekitar api unggun, potongan tubuh Luna Goblin dan organ-organ mereka berserakan.

“Kerja bagus.”

Ronan menepuk pundaknya. Aselle mengangguk dengan tatapan kosong. Ia masih melihat ulang adegan pertarungan tadi di dalam kepalanya.

Apa yang barusan kulihat?

Itu benar-benar seperti mimpi buruk. Dengan tepat empat belas tebasan pedang, Ronan menghabisi semua itu. Pembantaian yang begitu bersih sampai terasa seperti karya seni.

Aselle tiba-tiba merasa dirinya sangat kecil.

Yang ia lakukan hanyalah naik ke pohon seperti anak kecil ketakutan, sesuai instruksi Ronan. Bahkan tanpa dirinya pun Ronan pasti akan menghasilkan hasil yang sama.

“Kalau begitu… aku sama sekali tidak dibutuhkan, ‘kan?”

“Oi, aku bilang pengalaman tempur itu penting.”

“Bukan itu… maksudku… aku kayaknya cuma menyusahkanmu…”

“Aku melakukan apa yang perlu kulakukan. Nanti akan ada banyak hal yang cuma bisa kau lakukan.”

Ucapannya begitu sederhana, seakan ia mengatakan bahwa es yang mencair akan menjadi air.

Aselle mengangguk pelan, berharap sungguh-sungguh bahwa kata-kata itu benar.

“Ngomong-ngomong, apa itu di kakimu?”

Ronan tiba-tiba berkata dengan wajah serius. Aselle menunduk. Ia baru menyadari ada luka panjang di pahanya.

“Huh? Ah, itu tadi…”

“Katanya tidak terluka?”

Aselle menggeleng, seolah itu bukan masalah besar. Itu luka kecil saat ia memanjat pohon.

Namun Ronan menatap luka itu seakan melihat sesuatu yang mengerikan.

“Kau tahu seberapa jorok tangan para goblin itu? Kalau penyakit aneh masuk tubuhmu, kau bisa mati.”

Ronan berjalan ke altar dan mengaduk-aduk tumpukan barang curian. Ia kembali dengan sebuah botol kecil yang berhias mewah.

“Sial, benda apa pun yang berkilau mereka bawa semua. Padahal nggak tahu cara pakainya. Tolol.”

“Itu apa?”

“Arahkan kakimu ke sini.”

Aselle menurut. Ronan langsung menyiramkan cairan dalam botol itu ke lukanya. Kulit yang terkena cairan itu terasa hangat—dan dalam hitungan detik luka itu menutup sempurna.

“P-Potion…?!”

Aselle terbelalak. Ia belum pernah melihat potion asli sebelumnya.

Ia tahu satu hal—potion penyembuh semacam ini harganya minimal setara beberapa koin emas.

“Cepet banget sembuhnya. Memang barang dari bengkel itu selalu bagus. Ingat nama ini—‘Keledai Suci’.”

“A-apa kau yakin boleh memakai barang semahal ini untukku? Aku tidak—”

“Hentikan omong kosong itu. Kalau bukan kau, mau kubiarkan aku yang pakai?”

“Bukannya begitu…”

“Kalau sudah sembuh, ayo kumpulkan barang. Masih banyak yang harus kita lakukan.”

Ronan membuka mulut kantung dan melempar sisa potion ke dalamnya. Aselle, ragu sejenak, akhirnya ikut membantu.


Mengisi dua puluh kantung memakan waktu, tetapi yang lebih berat adalah memindahkannya. Mereka harus bolak-balik dari hutan ke sungai berkali-kali sambil berkeringat deras.

Ronan menatap kantung yang melayang di udara berkat telekinesis Aselle.

“Oh, sekarang bisa dipakai sambil jalan ya.”

“Uh-huh… tapi… ini… berat…”

Aselle kini bisa menggunakan telekinesis sambil bergerak. Masih sangat tidak stabil, tapi itu sudah kemajuan besar.

“Penasaran siapa para brengsek itu. Mau lihat muka mereka.”

“Huh? Oh… iya…”

Ronan bergumam sinis. Ia memikirkan teriakan misterius tadi malam—teriakan yang membangunkan para goblin. Jika dipikir-pikir, semua kekacauan malam itu salah mereka.

Saat mereka mengobrol, waktu berlalu cepat. Mereka sedang membawa kantung terakhir ketika Aselle tiba-tiba berhenti.

“Huh?”

Bruk!
Kantung Aselle jatuh ke tanah.

“Ada apa?”

Aselle menyipitkan mata, menatap sesuatu di antara pepohonan—ke arah sungai.

“…Bukankah itu… rakit kita?”

“Apa?”

Ronan segera menoleh. Di tengah sungai, sesuatu mengapung mengikuti arus. Sebuah rakit reyot yang sangat familiar.

Ronan melempar kantung dan berlari.

“SIALAAAAN!!”

Aselle juga menyusulnya panik.

Ketika mereka tiba di tepi sungai, mereka melihat rakit itu—dan dua pria dewasa yang tertawa keras di atasnya.

“Puhehehe! Kita kaya! Kaya raya!”

“Hahaha! Hari keberuntungan kita! Pangkat kita pasti naik!”

Melihat pakaian mereka, jelas mereka petualang kecil-kecilan atau pemburu liar. Suara mereka begitu keras hingga terdengar jelas dari tepian sungai.

Aselle langsung sadar: ini suara yang membangunkan goblin tadi malam.

“S-suara itu! HEI! BERHENTI!”

“Kalian bocah-bocah goblok!”

Tanpa ragu, Ronan melompat ke sungai.

“BERHENTI! DASAR PENCURI!!”

“Eh? Ternyata ada pemiliknya?”

“Yah jelas lah. Hey, terima kasih ya! Kami pake semuanya~!”

“Akan kubunuh kalian!!”

Urat di dahi Ronan menonjol. Ia menggigit gagang pedang dan mulai berenang cepat. Setiap kali lengannya melesat, cipratan air memantulkan pelangi kecil.

“Whoa, bocah itu cepat. Tapi kita lebih cepat!”

“Bye-byeeee~!”

Namun aliran sungai membuat rakit melaju lebih cepat daripada renang Ronan. Kedua pria itu menggoyang-goyangkan pantat mereka mengejek.

Saat itu, Aselle yang berlari mengikuti tepi sungai terhenti. Medannya makin curam, ia tak bisa maju lebih jauh.

Dengan napas tersengal, ia mengangkat tangan.

“Haa… hhhh…! B-berhenti…!”

Rakit itu tepat berada dalam jangkauan pandangannya. Ia menggunakan satu-satunya mantra yang ia tahu.

“—Invisible Hand.”

Bersamaan dengan itu, tubuh Aselle tersentak ke arah sungai.


Orang pertama yang menyadari perubahan itu adalah pria yang mengayuh.

“Huh? Apa ini?”

“Ada apa?”

“Rakitnya nggak jalan.”

Mereka memeriksa sekeliling. Tidak ada masalah yang terlihat. Tapi meski mendayung sekuat tenaga, rakit tak bergerak. Seakan-akan… sesuatu menahan mereka.

“J-jangan bilang…”

Saat itu mereka melihatnya.

Ronan, dengan pedang di gigi, berenang cepat mendekat—matanya semerah neraka.

“H-hiik!”

Jarak yang tadinya terasa jauh kini menutup dengan cepat. Setiap kali Ronan mengayuh, air terbelah dengan suara tajam.

Para pria panik, lalu mencabut pedang.

“Dia masih bocah! Jangan takut!”

“Benar! Hei bocah! Kalau sayang nyawa, mundur sekarang!”

Namun tiba-tiba, Ronan menghilang ke bawah permukaan. Hening. Hanya suara angin dan air mengalir.

–Plop!

Seekor ikan melompat ke udara.

Lalu WUUUSH! Ronan melesat dari dalam air. Ia mendarat di atas rakit dengan percikan besar—pedangnya sudah berada di tangan.

“Kalian bajingan… akan kupotong tangan kalian dan kusumbat ke pantat kalian!!”

“M… MAA—–TIKAAAANN!!”

Dua pria itu menyerang. Aselle menatap rakit itu dari kejauhan.

Bunyi dentang logam segera berubah menjadi jeritan mengerikan.

“Gyaaaaaaa!!”

Tidak perlu diceritakan bagaimana akhir mereka. Esok pagi, mayat dua pria dengan “hiasan tambahan” di tempat yang tak seharusnya mungkin ditemukan di hilir.

Mengerikan… tapi entah kenapa, mulut Aselle menegang menahan tawa.

“H-ha… hahaha…”

Bagian bawah tubuhnya dingin. Ia baru menyadari dirinya terendam sampai pinggang. Untuk menghentikan rakit itu, ia menancapkan kakinya sampai menembus lumpur dasar sungai.

Plung!
Tubuh Aselle akhirnya tumbang ke belakang. Ia bahkan tidak bisa menggerakkan jarinya. Seorang penyihir yang belum berpengalaman tak akan tahu bahwa ini adalah gejala kehabisan mana.

Ia mengapung sambil menatap langit biru. Suara Ronan menggema samar.

Kau akan punya banyak hal yang cuma bisa kau lakukan.

Hanya saja… tidak kusangka secepat ini.

“Lumayan… pengalaman tempur…”

Angin sungai terasa sejuk. Matahari pagi membuat permukaan air berkilau keemasan.

Malam terpanjang dalam hidup Aselle akhirnya berakhir.


“Apa lagi ini bocah?”

“Uuuh… Ronan… aku nggak bisa gerak…”

Ronan kembali menggunakan rakit—sekarang seorang diri.

Ia menarik tubuh Aselle yang mengambang seperti ubur-ubur, lalu merebahkannya di atas rakit. Ia menggelitik pinggang bocah itu, tapi Aselle cuma tertawa lemah tanpa bisa bangun.

Di salah satu sudut rakit, darah mengental membentuk genangan—sisa pertarungan tadi. Aselle tidak bertanya apa yang terjadi pada dua pria itu.

Ronan turun tangan dan duduk di sebelah kepala Aselle.

“Kau yang menghentikan rakit itu?”

“Uh-huh…”

“Bagus, bocah.”

Ronan kembali menggelitik pinggangnya. Aselle hanya bisa tertawa kecil dengan tenaga yang nyaris habis.

Ia memuji Aselle—bukan hanya karena keberaniannya, tapi terutama karena perkembangan kemampuannya yang luar biasa cepat.

“H-h-entikan… hahaha… dan terima kasih.”

Aselle hampir tidak bisa bicara. Bahkan ia sendiri terkejut atas apa yang berhasil ia lakukan.

Beberapa hari lalu, mengangkat seorang anak saja sulit. Sekarang ia bisa menghentikan seluruh rakit dalam arus sungai. Semua yang terjadi semalam terasa seperti mimpi.

“Tadaaa.”

Ronan tiba-tiba mengacungkan sebuah kantung kulit ke depan wajah Aselle. Bocah itu mengernyit bingung.

“Eh? Ini… bukan punya kita.”

“Benar. Punya pencuri brengsek itu.”

Kantung itu jauh lebih tebal dan terbuat dari kulit jauh lebih bagus dibanding kantung milik mereka. Barang yang dua pria itu tinggalkan (atau lebih tepatnya, tak sempat bawa).

“Mereka melindungi ini mati-matian. Sepertinya sudah mencurinya sebelum sampai ke sini.”

“Mungkin ada hubungannya dengan teriakan di hutan?”

“Kita lihat saja.”

Ronan membuka simpul tali penutupnya. Tali itu diikat sangat kuat, seperti untuk memastikan tak seorang pun bisa membukanya dengan mudah.

Akhirnya simpul itu terbuka. Ronan membalik kantung itu.

Dan sesuatu berkilau kebiruan jatuh ke tanah.

7. Gadis yang Akan Menjadi Count (1)

Ronán membalikkan kantong itu. Sesuatu yang memancarkan cahaya kebiruan jatuh ke luar. Mata kedua anak lelaki itu membelalak.

–Piiit…?

“Tu-itu apa?”

“Burung?”

Itu memang seekor burung. Seekor burung yang seluruh tubuhnya, kecuali paruh, dipenuhi bulu-bulu biru. Ukurannya sedikit lebih besar dari merpati. Burung biru itu memiringkan kepala perlahan sambil mengamati sekeliling.

“Huh, burung apa yang warnanya biru begitu? Aneh juga.”

Ronán mengangkat burung itu dengan hati-hati. Selain bulunya yang biru, bentuk tubuhnya juga sangat unik.

Jika harus dibandingkan, ia paling mirip burung gagak—tapi dengan bulu luar biasa lebat.

–Piiii…?

“Tapi kenapa dia kelihatan bego gini? Kamu nggak bisa terbang?”

Burung itu meringkuk jinak di telapak tangan Ronán. Meski dicolek beberapa kali, ia hanya terkulai lemas tanpa reaksi berarti. Asehl yang masih terbaring membuka mulut.

“Ronán, di kakinya ada sesuatu.”

“Apa?”

Ronán membalikkan burung itu. Seperti yang Asehl katakan, ada sebuah gelang tipis berwarna perak melingkari kakinya. Jika dilihat lebih dekat, sebuah tulisan terpahat di permukaan gelang itu.

“Ka… ri… bo… lo?”

Ronán membacanya perlahan. Saat ia mencoba mengingat, keningnya mengernyit. Karivolo. Jebakan Karivolo.

Jika ingatannya benar, itu adalah nama sebuah organisasi pemburu liar yang masuk dalam lima besar paling berbahaya di seluruh benua.

‘Jadi dua orang itu pemburu liar Karivolo? Tapi… mereka kelihatan terlalu bodoh.’

Ronán cukup tahu reputasi busuk Karivolo—beberapa rekan di unit penghukuman dulu tertangkap karena perburuan liar.

Mereka sering membual sepanjang malam tentang binatang-binatang aneh yang pernah mereka tangkap.

“Kalau begitu, gelang ini…”

Ia pun mengingat fungsinya. Tamer Ring — semacam belenggu yang dibuat khusus untuk menekan makhluk-makhluk fantastis, yang biasa disebut fantastical beasts. Logam khusus itu mengacaukan aliran mana makhluk yang terpasang padanya.

“Tsk.”

Pedang di pinggang Ronán terhunus. Ia menempelkan mata pisau ke gelang itu lalu menariknya ke bawah. Tamer Ring itu terbelah dua.

“Benar-benar bajingan. Nggak ada kerjaan selain menyiksa hewan yang bahkan nggak bisa bicara.”

–Piiit?!

Berkat kontrol Ronán yang presisi, kaki burung itu tak terluka sedikit pun. Mata burung itu membesar. Seketika bulu-bulunya yang lembut mulai mengeras.

“Ke-kenapa dia begini tiba-tiba?”

–Piiii…

Bulu-bulu itu bukan sekadar mengeras—melainkan berubah licin seperti kulit. Burung itu menggulung tubuhnya, menyembunyikan kepala ke bawah dada.

Tak lama kemudian, ketika semua bulu mengeras, bentuknya berubah menjadi sebuah telur bulat.

“...Dia mati?”

Ronán mengetuk cangkangnya pelan. Hanya terdengar suara tumpul, seperti mengetuk logam padat. Tak ada respons apa pun.

Saat itulah suara lelaki berat bergema di telinganya.

[Ya—terhubung! Apakah Anda yang sedang melindungi Marpez?!]

“Wah, kaget. Apa ini?”

[Ma-maaf! Saya adalah pemilik asli Marpez—burung mimpi itu. Ia hilang sejak kemarin subuh, dan saya sedang mencarinya.]

Setelah didengar lebih seksama, suara itu bukan terdengar di telinga, melainkan di dalam kepala. Telepati—siaran suara melalui sihir.

Ronán baru menyadari bahwa di atas cangkang telur itu terukir sebuah lingkaran sihir kecil.

Sepertinya semacam sihir pelacak untuk mencegah kehilangan. Mungkin Tamer Ring tadi mengganggu aktivasi sihir tersebut. Ia mendekatkan bibir ke telur.

“Kalau yang dimaksud Marpez itu burung biru ini, ya kemungkinan iya.”

[Burung biru! Benar! Syukurlah…! Bisakah Anda memberitahu di mana menemukannya?]

“Dua orang tolol membawanya dalam karung sambil kabur.”

[…Apa?!!]

Pemilik suara itu tampaknya sangat terkejut, langsung menghujani Ronán dengan pertanyaan. Ronán menjelaskan singkat situasi mereka dan bagaimana ia mendapatkan makhluk itu.

[Astaga… Saya kira hanya jatuh di suatu tempat, ternyata dicuri…! Saya bahkan tak tahu bagaimana harus berterima kasih.]

“Tidak perlu. Ngomong-ngomong, burung ini tiba-tiba berubah jadi telur. Itu normal?”

[Ah, ya. Berubah menjadi telur adalah salah satu kemampuan Marpez kami. Biasanya ia akan berlari ke mana-mana, tapi jika lelah atau terluka, ia berubah menjadi telur untuk beristirahat.]

Nama burung biru itu adalah Marpez. Meski tak terlihat begitu, ia tergolong fantastical beast jenis burung mimpi—yang bisa mengubah bulu menjadi cangkang telur, dan memiliki berbagai kemampuan lain.

“Jadi, kenapa bisa hilang?”

[Begini… saya bekerja sebagai peneliti fantastical beasts di ibu kota…]

Ia bercerita bahwa saat menginap di desa untuk urusan penelitian, Marpez dicuri saat sedang tidur dalam bentuk telur.

[Saya hampir saja mengajukan laporan kehilangan ke kepolisian kekaisaran… ini benar-benar keajaiban.]

“Berarti bagus. Tapi bagaimana saya mengembalikannya? Saya belum punya rencana pergi ke ibu kota.”

[Tentu saya yang akan mendatangi Anda. Jika Anda menyebutkan lokasi, saya bisa tiba dalam dua hari.]

“Hmm… tapi dua hari terlalu lama. Kami masih harus terus bergerak. Kalau saya lepaskan, apa dia bisa pulang sendiri?”

[Eh? Ya, umumnya begitu…]

Syukurlah, Marpez memiliki insting kembali ke rumah yang sangat kuat—dilepas di mana pun, ia bisa menemukan jalan pulang.

Masalahnya, telur itu butuh 3–4 hari untuk menetas lagi.

Ronán menghela napas, lalu bertanya:

“Kalau saya tetesi potion, kira-kira dia bisa menetas lebih cepat?”

[Eh? Potion? Tidak perlu, sungguh—]

“Bisa atau tidak?”

[Me-memang bulu Marpez bisa menyerap nutrisi sihir dari potion… tapi sungguh Anda tidak perlu—]

Ronán sudah mengambil botol potion. Masih ada sisa dari potion yang ia gunakan pada Asehl dini hari tadi. Ia meneteskan beberapa tetes ke cangkang.

“Karena kecil, segini cukup. Barusan saya tetesi, jadi siapkan saja pintu kandangnya.”

[Tunggu, Tuan! Tidak perlu melakukan—!]

Cangkang itu langsung bergetar. Retakan muncul. Ujung paruh merah muncul di antara pecahan.

Ronán meletakkan telur itu di tanah. Hanya beberapa menit kemudian, bentuk telur lenyap dan seekor Marpez sehat muncul.

Bulu-bulunya kini mengilap, tampak beberapa kali lebih segar dari sebelumnya.

Ronán berkata singkat:

“Pulanglah.”

–Piii?

Burung itu hanya menatap Ronán sambil berkedip-kedip. Pada saat yang sama, telepati terdengar lagi, lebih tergesa-gesa dari sebelumnya.

[Sungguh! Apa pun yang saya katakan tak akan cukup! Tidak—sekarang cepat, cabut satu helai bulu! Dia tidak akan melawan. Ia pasti tahu Anda yang menyelamatkannya.]

“Bulu?”

Ronán ragu, tapi menurut saja. Benar saja, burung itu tidak melawan—bahkan sengaja memiringkan ekornya yang berbulu indah.

Bulu itu memancarkan biru yang memukau—warna yang rasanya mustahil dibuat oleh pelukis mana pun. Ronán mengangkat alis. Cantik, tapi apa fungsinya?

SRAK!

Tiba-tiba, bulu itu terlepas dari tangannya. Seperti anak panah, bulu itu melesat kembali ke tubuh burung dan menempel pada posisi semula. Ronán mengumpat kecil.

“…Ini apalagi?”

[Semua bulu burung mimpi akan kembali ke pemiliknya. Jika suatu hari Anda datang ke ibu kota, ikuti saja arahnya. Saya ingin membalas budi secara langsung.]

“Tidak perlu. Saya tidak berniat pamer hanya karena menyelamatkan seekor hewan.”

Ronán tulus. Uang memang bagus, tapi ia tak mau menadahkan tangan atau membuat keadaan jadi merepotkan.

[Jangan menolak! Kebaikan setulus itu pantas dibalas. Ah! Saya lupa memperkenalkan diri. Saya Profesor Baren Panasir, peneliti fantastical beasts. Baiklah… sampai jumpa… semo—…]

Telepati itu terputus. Cangkang telur yang memuat sihir itu lenyap karena bulu-bulu sudah kembali ke tubuh burung.

Burung itu menunggu Ronán mencabut satu bulu lagi. Begitu ia mencabutnya—

–PIIIIIIIII!!

“Hei?! Berhenti!!”

Burung itu menjerit keras lalu melompat ke sungai. Ronán hampir melompat mengejarnya, tapi berhenti begitu melihat apa yang terjadi.

“Ap—apa itu.”

Burung itu tidak terbang.
Ia berlari di atas air—begitu cepat hingga jejak air membentuk garis. Dalam sekejap, ia hilang dari pandangan.

Kedua anak itu ternganga.

“Gila… hidup lama memang bikin lihat hal aneh.”

“Iya…”

“Ngomong-ngomong, dia bilang profesor, kan?”

“Kalau aku sih nggak dengar apa-apa.”

“…Ya, terserah.”

Saat mereka hendak berbalik, Ronán melihat sesuatu bundar di tempat burung itu berdiri tadi. Sebuah bola kecil.

“Apa itu?”

Ia memungutnya. Sebesar biji pinus, bentuknya lonjong seperti kerikil.

“Telur? Dia sempat bertelur?”

Tidak ada penjelasan lain. Bola itu masih hangat.

Namun Ronán tak yakin itu layak disebut ‘telur’. Asehl menatapnya dan berkata:

“Bentuknya… agak aneh.”

Ronán mengangguk. Bahkan kata ‘aneh’ terlalu sopan. Kalau bentuknya tak sebulat itu, ia pasti sudah mengira itu—ya—kotoran.

Permukaannya kasar, seperti tanah liat ditempel sembarangan, warnanya cokelat kusam.

“Sial, jangan-jangan ini benar-benar kotoran? Asehl, coba jilat.”

“Ti-tidak mau.”

Untungnya, tidak ada baunya. Setelah ragu cukup lama, Ronán akhirnya memasukkan bola itu ke sakunya. Entah telur atau kotoran, siapa tahu ini adalah hasil sampingan makhluk fantastis yang mahal harganya.

‘Pedagang Marbas pasti tahu.’

Ia kembali mengayuh dayung. Bulu biru yang terus bergerak dimasukkannya dalam ransel. Bagaimanapun juga, mereka akan pergi ke ibu kota untuk ujian masuk akademi, dan bisa mampir menemui profesor Baren waktu itu.

8. Gadis yang Akan Menjadi Count (2)

“Ini agak aneh.”

“Ada apa?”

Duon mengusap kumisnya sambil mendengus kecil. Ia mengembalikan bola itu pada Ronán lalu berkata:

“Saya benar-benar tidak bisa memastikan terbuat dari apa ini. Dulu saya bahkan pernah menangani hewan peliharaan, jadi saya tidak begitu bodoh dalam hal ini… tapi benda seperti ini, saya melihatnya untuk pertama kalinya.”

“Sial… jangan-jangan memang bukan telur tapi kotoran?”

“Menurut saya itu bukan.”

Nada bicaranya yang tegas membuat Ronán mengangkat alis. Duon merogoh bawah meja dagangannya dan mengeluarkan palu kecil. Satu sisi kepala palu besi itu memantulkan cahaya kebiruan.

“Ini palu identifikasi berlapis mithril. Salah satu barang termahal di toko kami.”

Ia mengetuk bola itu pelan. Suara yang terdengar sama sekali tidak seperti suara hantaman biasa. Ronán membelalakkan mata.

“Suara ini…”

“Anda tahu karakteristik mithril?”

Ronán mengangguk. Mithril—dijuluki pangeran logam—akan mengeluarkan suara khas bila bersentuhan dengan sesuatu yang memiliki kekerasan sekelas atau lebih keras dari dirinya.

“Sini, saya coba.”

“Eh? Tuan?!”

Ronán meraih palu itu dan memukul bola tersebut lagi. CHAAANG! Suara logam keras bergema, membuat orang-orang di pasar menoleh.

“Ini apaan yang dikeluarkan sama burung itu.”

Ronán menggeleng tak habis pikir. Ia sudah memukul cukup kuat, tapi bola itu tak memiliki satu gores pun. Artinya, kekerasannya minimal setara atau bahkan lebih keras dari mithril. Duon pun tak dapat menyembunyikan rasa kagumnya.

“Yang jelas… apa pun ini, benda yang luar biasa.”

Telur atau kotoran, keduanya sama-sama menakutkan. Bila ini telur, maka sesuatu yang bisa menembus cangkang sekeras itu akan menetas keluar suatu hari nanti—itu malah lebih menakutkan.

“Apakah Anda berniat menjualnya? Saya… 구매 의사는… 있습니다만.”

“Eh? Tidak, saya simpan saja. Saya tidak akan menjual barang yang saya bahkan tidak tahu apa.”

“Keputusan yang bijak. Sebaiknya dibawa ke ahli untuk penilaian yang tepat.”

Ronán memasukkan bola itu lagi ke sakunya. Sekarang ia semakin penasaran, jadi keinginannya untuk menjual malah menghilang. Ia berencana bertanya pada orang yang lebih tahu, atau pada pria bernama Baren itu nanti.

Saat itulah Asehl menyentuh punggung Ronán dan menunjuk bibirnya, membentuk kata “Pilleon”. Ronán menepuk dahi, lalu menoleh kembali pada Duon.

“Oh iya, Anda seperti membeli dan menjual apa saja. Ada buku tentang Pilleon, mungkin?”

“Hm? Maksudnya Akademi Pilleon?”

“Ya.”

Ronán menjelaskan alasan ia mencari informasi—karena ia akan mengikuti ujian masuk bulan depan. Duon yang tadinya mendengarkan sambil mengangguk, mendadak berseri-seri.

“Ah, calon peserta ujian! Pas sekali.”

“Pas sekali?”

“Putriku juga mendaftar Akademi Pilleon tahun ini. Saya bisa memberikan sedikit bantuan. Hei, anak!”

Ia berteriak ke arah gerobak besar yang diparkir di belakang lapak. Gerobak itu telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi alat transportasi sekaligus toko dan gudang. Tidak ada jawaban. Duon lalu mengetuk-ngetuk gerobaknya.

“Anak! Marja!”

“Eh? Anak?”

Dari atap gerobak, sebuah kepala mungil muncul. Seorang gadis berambut pirang emas seperti surai singa—dan kepala terkecil yang pernah Ronán lihat pada manusia sejauh ini. Ia merengut sambil berkata:

“Halah… aku bilang jangan panggil aku begitu, kan, orang tua?”

“Oh.”

Ronán terkekeh kecil. Ucapan yang keluar sama sekali tidak cocok dengan wajah imut itu. Seketika ia merasakan rasa familiar yang menggelitik di kepala.

‘Hm? Tunggu. Bukankah ini…’

Kepala kecil, rambut pirang…
Wajah itu familiar. Tapi dari mana?

Marja. Marja? Aku pasti pernah melihatnya.

Duon bertolak pinggang dan memarahi:

“Marja! Itu bukan cara bicara!”

“Kalau nggak suka… huwaaam… biarkan aku hidup sendiri.”

“Njijik! 너 정말!”

Marja menguap tanpa menutup mulut. Wajah Asehl memucat. Setelah meregangkan tubuh seperti kucing, ia melompat turun dari gerobak. Gerakannya ringan dan elegan.

“Jadi, kalian siapa?”

Ia mengamati kedua bocah itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Mungkin ia sedang mencoba terlihat berwibawa, tapi karena tingginya hanya sedikit di atas Asehl, kesan itu tidak terlalu muncul. Duon pun mengetuk kepala putrinya.

“Auw! Kenapa mukul!”

“Sopanlah. Ayo, beri salam. Mereka ini pelanggan besar. Katanya bulan depan akan mengikuti ujian Pilleon.”

“P-pelanggan besar?”

Marja menggosok kepala, menatap Ronán dan Asehl dari atas ke bawah. Dengan pakaian kusut dan wajah masih muda, mereka memang tak terlihat seperti pelanggan berduit. Mata Marja menyipit curiga.

“Kalian jual apa sampai ayah bilang kalian pelanggan besar?”

“Marja. Sudah lupa aturan pedagang? Jangan pernah tanya dari mana barang atau uang pelanggan berasal.”

“…Ah, iya. Maafkan saya, semuanya.”

Marja membungkuk sopan. Ronán mengangguk, terkesan.

Tadi pun dia bukan fokus ke Pilleon, tapi ke kata “pelanggan”—etika pedagangnya bagus, hanya kelakuannya saja yang buruk. Duon pun ikut membungkuk.

“Maafkan ketidaksopanannya. Anak ini satu-satunya anakku. Tumbuh besar di antara para lelaki di karavan… semua salahku.”

“Tak masalah. Ngomong-ngomong, hei, coba angkat wajahmu.”

“Eh? Kenapa?”

Marja mengangkat wajah. Wajahnya simetris, proporsional, dengan mata biru-kehijauan seperti laut selatan.

Ia cantik.
Tentu saja dibanding Elder Iril, pamornya bahkan tidak sebanding dengan kencing anak ayam.

“Hm?”

Ronán menyipitkan mata sambil mengamatinya.

“Tuan, Anda bilang dia anak satu-satunya?”

“Eh? Ah, ya. Benar.”

“Aneh… apakah Anda tidak punya anak laki-laki yang disembunyikan entah di mana?”

“Eh…?”

“Coba ingat lagi. Kita para laki-laki kadang melakukan kebodohan. Kesalahan masa muda, begitu…”

Wajah Duon langsung memucat. Bahkan jika mabuk lima botol sekalipun, ini bukanlah hal yang pantas dikatakan di depan putri seseorang. Asehl mencubit lengan Ronán panik, tapi mulut Ronán justru semakin parah:

“Misalnya… malam ketika pantat pelayan cuci piring terlihat luar biasa menggoda—”

“Cukup!”

PLAAAK!
Tangan Marja menghantam pipi Ronán. Suaranya keras. Leher Ronán terpuntir. Sulit dipercaya kekuatan itu keluar dari tubuh sekecil itu.

“Kamu tadi bicara apa ke ayahku!”

“Ro-Ronán… kau tidak apa-apa?”

“Pukulan ini…”

Ronán menyentuh pipinya sambil menoleh perlahan. Emosinya mendidih, namun justru rasa yakin tumbuh di dalam dirinya.

Gadis di hadapannya… dia memang orang itu.

Ronán bertanya:

“Kamu… nama tengahmu ‘Sen’, bukan?”

Mata Marja membesar. Itu adalah nama tengah yang ia buat sendiri ketika ia berusia sekitar sepuluh tahun—dan hanya ia dan Duon yang tahu.

“Ba-bagaimana kamu…!”

Ronán tersenyum pahit. Benar, hidup memang tidak bisa ditebak. Ia tidak menyangka akan bertemu seseorang dari masa lalunya di sini.

‘Sial… Count Armalen. Ternyata kau… perempuan.’


Ronán bertemu dengannya (waktu itu ia mengira ‘dia’ adalah laki-laki) ketika hampir dua tahun menjadi prajurit hukuman.

Mereka sedang berperang melawan kawanan werewolf di dataran terpencil Tukhan Plateau. Suatu hari, seorang bangsawan tampan datang mengunjungi mereka sambil membawa tumpukan suplai.

“Aku adalah Count Sen, penguasa Armalen. Aku datang untuk memberi penghormatan pada pengabdian kalian.”

Count itu seorang lelaki tampan berambut pendek. Sekarang semuanya masuk akal—Marja mirip dengannya seperti kucing mirip induknya.

Ia menyumbangkan makanan yang cukup untuk satu tahun, dan membagikan senjata perak mahal kepada seluruh pasukan. Itu sesuai reputasinya sebagai orang terkaya kedua setelah Kaisar.

Tentu, tidak ada yang gratis.
Pedagang tidak pernah melakukan sesuatu tanpa untung.

Dengan memberi senjata perak—kelemahan werewolf—ia bermaksud agar para prajurit segera mengusir para werewolf dari wilayah bisnisnya.

Semua orang tahu itu.
Namun tetap saja, pemberian adalah pemberian, dan semua orang, termasuk Ronán, bersorak memuja Count Sen.

“Wow! Beginilah enaknya punya teman kaya! Lihat nih, Count Sen! Aku tepuk tangan pakai kaki!”

“Ambil bokongku, Count!”

Pada hari ia datang, Count mengadakan perjamuan besar. Para prajurit yang selama ini sengsara akhirnya bisa makan dan minum makanan yang belum pernah mereka lihat seumur hidup.

Ronán, sebagai prajurit paling berbakat, duduk di samping Count. Ia ternyata orang yang santai dan menyenangkan. Setelah minum sekitar tiga puluh gelas, Ronán mabuk dan bertanya:

“Hhic… penasaran nih Count… hhic… bagian bawahmu itu… emas juga nggak?”

“Ba-bagian bawah…?”

“Maksudku, ya itu~ rambut-rambut… di bawah sana, hhic! Di depan dan belakang… siapa tahu bangsawan beda, hehe.”

“…Dasar!”

Muka Count memerah dan ia menampar Ronán. Ronán menggelinding dua kali dan melempar botol ke kepala Count sebagai balas dendam. Perjamuan bubar seketika.

‘…Pantas saja dia marah.’

Terakhir kali Ronán melihatnya adalah saat perang melawan Ahayute. Pasukan pribadi Count sebesar satu legiun penuh ikut bertempur. Sang Count berdiri paling depan untuk mengangkat moral pasukan, lalu tewas tersambar ledakan pada hari pertama.

‘Padahal dia orang baik.’

Ronán menunduk. Melihat wajah Marja yang masih panas, lalu turun sedikit—ia melihat dada yang jelas akan semakin besar di masa depan.

Bagaimana dia menyembunyikan itu saat menjadi Count? Tidak terbayang.

“K-kamu gimana bisa tahu nama itu?! Nggak usah itu, cepat minta maaf ke ayahku!”

Marja berteriak. Asehl gelisah memandang mereka berdua. Ronán mengangkat tangan, menghentikan Duon yang hendak mengomeli putrinya.

Ronán menunduk.

“Maaf. Itu salahku.”

Asehl terperangah. Duon panik mencoba membuatnya berdiri, tapi Ronán seperti patung, tak bergerak.

Beberapa menit berlalu. Hanya ketika pelanggan lain datang dan Duon pergi melayani mereka, Ronán mengangkat wajah pelan.

Marja mendengus sambil menyilangkan tangan.

“Hmph. Setidaknya cepat minta maaf, baguslah.”

“Itu bukan untukmu, hei, dasar cewek tak tahu sopan.”

BRAAAK!
Ronán bangkit dan menjatuhkan punch ke ubun-ubun Marja. Ini bukan pukulan sayang—Marja hampir terbenam ke tanah.

“Uwaa… uwaaa…!”

“Kalau nggak mau mati, jangan pernah sentuh muka saya lagi. Jelas?”

Ronán mengancam. Ia tak tahu bagaimana dia akhirnya menjadi Count Armalen dan kenapa ia menyamar sebagai laki-laki, tapi orang yang ia kenal adalah pedagang paling berpengaruh di benua. Berteman dengannya pasti menguntungkan.

“Telingamu nggak budek kan.”

“R-ro… Ronán… cukup…”

Tapi Ronán tidak berniat tunduk. Ia memang harus meminta maaf pada Duon, tapi tidak pada Marja. Ia paham kemarahannya sebagai putri, tapi itu tidak berarti ia bisa menerima dipukul begitu saja.

“Hi… hiii… sa… sakit…”

Marja memegangi kepala dan mulai terisak. Asehl mencubit pinggang Ronán.

“Kau terlalu kuat!”

“Aku tadi cuma mukul pelan… sial.”

Bahu kecil gadis itu bergetar. Ia menangis keras. Ronán menghela napas lalu mendekat, meletakkan tangan di bahunya.

“Haah… makanya jangan macam-m—”

TUUUNG!

Marja menekuk lututnya dan melompat, mengayunkan uppercut. Rahang Ronán terpukul. Wajahnya oleng. Tidak ada air mata—bahkan kesedihan pun tidak.

“Kau brengsek! Rasanya kayak kepala mau pecah!”

Ia tanpa ragu meraih kursi dan menghantamkan ke kepala Ronán.

KWAJAAK!
Kursi itu pecah, dan kepala Ronán menembus papan bawahnya. Orang-orang pasar melongo.

“So-sungguh! Marja! Apa kau—!”

“Dasar bajingan!!”

Urat-urat di tangan Ronán menegang. Duon, yang sedang sibuk melayani pelanggan lain, melempar uang ke meja dan berlari menghampiri. Asehl berteriak:

“i—Invisible Hand!!!”

9. Gadis yang Akan Menjadi Count (3)

Kamar 201 di penginapan <Keledai Menari>.

Di atas lantai papan kayu, berbagai macam barang berserakan. Pedang, potion, cincin—beragam jenis, namun satu kesamaan: semuanya berkilauan.

Marja melihat deretan barang rampasan itu dan bertanya:

“Jadi, ini barang-barang yang kalian sengaja nggak jual? Yang kalian bilang mau dipakai sendiri?”

“Ya.”

“Lumayan barang kelas atas… kenapa pedang sampai tiga biji?”

“Cepat rusak.”

Pedang Hans yang geriginya sudah rontok di sana-sini adalah buktinya.

Dalam kehidupan sebelumnya pun, Ronan mengganti senjata hampir sebulan sekali. Kebanyakan senjata tidak mampu bertahan menghadapi kelincahan pedangnya.

“Yah, tetap aja… aish, rasanya masih berdenyut. Kau bisa sedikit lebih halus mukul orang, tahu.”

Marja mengusap benjolan di kepalanya sambil menggerutu. Ronan membuka mulut, memperlihatkan luka di lidah yang tergigit. Itu akibat kena uppercut.

“Kau pikir ini bekas dicubit burung pipit?”

“Tch. Kalau pukulanku sedikit lebih kuat, bisa kupotong itu.”

Walaupun Asehl sudah memakai sihir untuk melerai, keduanya tetap sempat bertukar satu pukulan lagi.

Marja menancapkan siku ke leher Ronan, sementara Ronan membalas dengan menjitak tempat yang sama seperti sebelumnya.

Marja memiliki kekuatan yang tidak masuk akal untuk tubuh sekecil itu, namun tetap saja ia bukan tandingan Ronan.

Setelah sempat pingsan sebentar, ia bangun dan mengakui kekalahan. Dengan itu, pertarungan selesai.

“Kau benar-benar memperlakukan pedangmu dengan kasar ya. Pedang harus diperlakukan dengan hormat kalau kamu seorang pedang user.”

“Pedang cuma alat. Yang penting siapa yang mengayunkannya.”

“Oooh~ pede sekali suaramu. Mau spar ringan nanti? FYI, aku paling kuat di karavan kami.”

“Terserah.”

Setelah keributan itu, Ronan dan Marja lumayan akrab. Mereka saling menghargai nyali satu sama lain. (Asehl tidak bisa memahami logika ini sedikit pun.)

Mereka bertiga makan pasta lobster—yang katanya makanan khas Marbas—lalu kembali ke penginapan.

Marja menjelaskan informasi tentang Pilleon dengan cukup ramah, dan sekarang mereka sedang memeriksa satu per satu barang rampasan yang sengaja disimpan.

“Pokoknya… semua barang yang tersisa di sini cukup berguna. Khususnya longsword ini, ini benar-benar dibuat dari besi hitam. Meski perawatannya agak kurang.”

“Yakin?”

“Kau meragukan mataku? Dalam hal logam, ayah pun kadang tanya padaku.”

Besi hitam adalah logam langka berwarna hitam pekat. Karena tingkat kekerasannya tinggi, ia sering digunakan untuk membuat senjata para ksatria dan bangsawan.

Ronan cukup menyukai pedang dari besi hitam—biasanya bisa bertahan sekitar enam bulan meski dipakai brutal.

“Baguslah.”

“Dan batu di ujung tongkat ini… itu benar-benar ma-seok*. Hei, si imut kecil.”

(*ma-seok = batu sihir)

Asehl yang sedang membereskan barang menoleh dengan wajah terkejut. Di tangan Marja ada tongkat logam sepanjang satu meter. Itu salah satu barang yang mereka simpan untuk dipakai.

“Eh? Aku…?”

“Masa aku bicara sama barbar itu? Tadi aku belum sempat tanya—kau penyihir kan?”

Asehl mengangguk. Tanpa peringatan, Marja melempar tongkat itu kepadanya. Asehl langsung menghentikannya dengan telekinesis.

“H-hampir kena!”

“Dan telekinesis juga… kalau beruntung, kau bisa dapat beasiswa masuk. Tongkat itu lumayan membantu.”

Asehl menatap tongkat yang melayang. Ia bisa merasakan mana berkumpul pada batu di ujung tongkat itu. Sedari awal ia merasa tongkat itu aneh dan memutuskan menyimpannya, tapi tak menyangka itu benar-benar tongkat sihir.

Tongkat sihir memang mahal, apalagi dengan batu sihir tertanam, harganya bisa selangit. Marja, sambil duduk di ranjang, menoleh ke Ronan.

“Masalahnya tinggal kita berdua. Kau mau nunjukkin teknik apa nanti?”

“Teknik?”

“Ya, Pilleon terkenal dengan ujian praktiknya, kan.”

Para peserta harus menampilkan teknik terbaik mereka di depan panel penguji—semua profesor akademi.

Ujian berlangsung total 8 hari. Tujuh hari ujian praktik, satu hari ujian tertulis.

Pilleon adalah akademi dengan tingkat persaingan astronomis. Selama usia antara 10–15, siapa pun boleh mendaftar, tanpa memandang status sosial.

Nilai praktik dan nilai teori sangat berbeda tingkat pengaruhnya. Teori penting, tapi yang menentukan lulus adalah nilai praktik.

“Banyak kacangan juga, tapi yang jenius juga banyak. Kau harus membuktikan nilai dirimu.”

“Sial, pedang user tinggal bunuh lawan dengan bagus, kan. Biasanya orang-orang nunjukkin apa?”

“Hmm… macam-macam. Para bangsawan biasanya nunjukkin teknik keluarga… pernah ada tren memotong batu besar juga. Tapi yang paling umum ya menampilkan metode pertarungan masing-masing yang memanfaatkan mana.”

“Tunggu.”

Ronan tiba-tiba mematung. Alisnya mengerucut penuh ketidakpercayaan. Marja mengernyit.

“Ada apa?”

“Usia 10–15 itu bocah ingusan yang bulunya belum tumbuh, kan? Mereka bukan penyihir juga. Mana mungkin mereka mengendalikan mana? Kau kira aku idiot?”

“Uh… maksudku bukan aura, tapi mana? Untuk dipakai bertarung, cukup bisa melakukan resonansi mana saja.”

“Aura dan mana itu beda?”

“…Apa?”

KU-GUUNG!
Seolah petir jatuh di atas kepala Marja. Rasanya seperti ada orang bertanya apa bedanya kutu beras dan naga.

Ia bertanya dengan suara nyaris gemetar:

“Ka-kau… tahu cara melakukan resonansi mana kan?”

“Itu apa lagi?”

“Ah.”

Petir kedua menghantam. Ronan bahkan tidak bilang “nggak bisa”—dia bilang “nggak tahu apa itu”.

Artinya, bukan karena kurang latihan atau bakat: dia bahkan tidak tahu konsep dasar mana.

Menurut pengetahuan Marja, hampir separuh murid yang diterima di Jurusan Seni Bela Diri Pilleon sudah berada di tahap “Sword User” — tahap awal pengguna mana.
Dan tidak satu pun dari mereka yang tidak bisa resonansi mana.

Ini terlalu parah. Mereka ini sama-sama calon peserta ujian, tapi…

“Kau bercanda? Kau beneran nggak tahu?”

“Kubilang nggak tahu. Jangan alihkan pembicaraan. Jadi aura dan mana itu apa bedanya?”

Marja hanya bisa menatap bocah tolol di depannya tanpa kata. Tatapannya bahkan makin penuh curiga.

Perasaan terkejutnya berubah menjadi—marah. Perlahan, sangat perlahan.

Begini ya. Jadi aku menjelaskan kurikulum akademi terbaik di benua… ke seseorang yang bahkan tidak tahu perbedaan mana dan aura?
Selama setengah hari?

Ia tertawa hampa. Lalu melonjak berdiri dari ranjang.

“Keluar.”

“Hah?”

“Spar sekarang. Akan kutunjukkan perbedaan aura dan mana. Dan akan kukenalkan kau pada resonansi mana, dasar idiot.”

Marja mengambil dua short sword dari lantai. Itu pedang yang Ronan tinggalkan untuk dipakai nanti.

Pedang itu memang tidak dibuat dari besi hitam, tapi kualitasnya sangat baik.

“Kau percaya diri sekali memungutnya. Itu punya kami, dasar.”

“Aku tidak bawa pedangku. Ini akan selesai cepat kok. Kupinjam sebentar saja.”

“Kalau rusak?”

“Haaah… kubayar dua kali lipat… tidak, tiga kali lipat. Puas?”

“Yah, kalau begitu…”

BRAAK!
Marja menendang pintu sebelum Ronan selesai bicara. Asehl terkejut sampai cegukan. Ronan menepuk pundaknya dan berkata perempuan memang kadang begitu, lalu keluar.


Mana adalah energi dasar dari semua eksistensi.

Aura, magic, core, circle—semua istilah itu hanyalah variasi “cara menggunakan mana”.

Resonansi mana adalah yang paling mendasar—kemampuan untuk merasakan mana.

“Waktu seseorang bisa merasakan mana itu berbeda-beda. Banyak yang tidak pernah merasakannya sampai mati. Tapi kalau punya minimal sedikit bakat, biasanya dalam setahun-dua tahun bisa terbuka. Meskipun yang penting itu baru setelahnya.”

Mereka bertiga tiba di lapangan kosong dekat penginapan. Di balik pagar, suara ramai jalan raya terdengar samar.

Marja berjalan sekitar lima langkah menjauh dari Ronan dan berbalik.

“Secara luas, aura itu juga salah satu jenis mana. Tapi tidak ada yang menyamakannya. Aura berarti mana yang kamu sendiri hasilkan. Bukan mana alami yang ada di mana-mana.”

“Jadi kayak… bukan tahi orang lain, tapi tahi yang kubuat sendiri?”

“Kenapa contohnya begitu… haah, terserah.”

Marja menggeleng. Ia tidak tahu harus seberapa rendah menurunkan ekspektasi terhadap Ronan. Ronan menggaruk kepala dan bertanya:

“Aku mau tanya. Apa sesulit itu mengembangkan aura?”

“Tentu. Mengembangkan aura berarti menciptakan mana unikmu sendiri. Bagi seseorang dengan bakat, dan dengan latihan terus-menerus—paling cepat sepuluh tahun.”

“Begitu ya…”

Ronan mengingat para lawan yang pernah ia tebas. Benar—para pengguna aura selalu banyak bicara sebelum bertarung. Seolah ingin ia minta ampun lebih dulu.

Sebagian punya kekuatan aneh atau teknik tidak lazim, yang pasti mereka banggakan.
Setelah tahu prosesnya begitu panjang dan menyiksa… rasanya Ronan sedikit kasihan.
Pada akhirnya kepala mereka tetap terbang juga.

“Kalau begitu… mulai?”

Marja memutar pedang di kedua tangan. Dua lingkaran yang digambar pedang itu begitu mulus hingga menunjukkan tingkatannya.

Kekuatan lengan dan fleksibilitas pergelangan yang luar biasa dibutuhkan untuk melakukan hal itu. Ronan mengangguk.

“Baik.”

Ronan menarik gagang pedang—bukan pedang hitam yang baru, tapi pedang Hans yang giginya rontok. Marja mengangkat alis.

“Serius pakai itu? Kalau patah atau pecah, kau bisa cedera.”

“Diam dan mulai.”

“…Kalau begitu.”

Short sword yang berputar itu berhenti. Kemampuan Marja sudah mencapai level Sword User.

Ia tak hanya bisa mengalirkan mana di tubuh, tapi juga pada pedang.

Di antara pengguna mana, ia tidak terlalu kuat, tapi dibandingkan orang biasa, ia seperti langit dan bumi.

‘Daripada mempermalukan diri di ujian, dia lebih baik sadar batasannya di sini.’

Sebenarnya, marahnya sudah sejak tadi reda—ia hanya tersadar bahwa kemarahannya bukan pada ketidaktahuan Ronan, tapi pada sikapnya yang tak ada rencana.

Ia cukup menyukai Ronan. Kasar, barbar, tapi bukan bajingan. Sepertinya seru kalau masuk akademi bersama.

Jadi sparring ini… semacam belas kasih.

Marja tersenyum miris dan bersiap.

“Kalau begitu… siapp—”

Asehl mengangkat tangan dan menghitung mundur. Tiga, dua, satu—jari terakhir tertekuk, dan Marja melesat seperti anak panah.

KAAANG!

Tiga jalur pedang beradu sekaligus. Suara logam melengking. Ronan menahan semuanya tanpa bergerak satu langkah pun. Pedang yang bersinggungan bergetar keras. Ronan bersiul.

“Lumayan.”

Marja terlalu terkejut untuk bicara. Sudah lama tidak ada yang menahan serangan pertamanya. Dan dua pedangnya keduanya berlapis mana.

“K-Kau… siapa sebenarnya?”

“Ronan. Dan aku akui, kau kuat.”

Ronan pun terkejut. Kekuatan Marja sekarang jauh lebih besar dari sebelumnya. Serangannya yang menggunakan dua pedang sungguh ganas—seperti rahang macan besar.

Lengan Ronan bergetar. Jika terlalu lama, ini akan merepotkan. Ia mendecak.

“Harus cepat.”

Pedang yang saling menekan itu terpisah. Ronan merunduk sekejap dan menebas seperti pegas yang ditembak.

Marja mundur tanpa menahan. Tebasan itu nyaris mengenai pedangnya.

Tidak mungkin percaya—ini kemampuan seseorang yang bahkan tidak tahu apa itu mana.
Jantungnya berdegup lebih cepat. Bibirnya terangkat.

“Hah. Harusnya tadi aku ambil pedangku.”

“Tidak perlu.”

Ronan tiba-tiba memasukkan kembali pedangnya ke sarungnya. Marja mengernyit.

“Apa-apaan…”

Ronan menatapnya tajam dan berkata:

“Tiga kali lipat.”

Tanpa menjelaskan apa pun, ia berbalik dan berjalan pergi. Marja menahan diri untuk tidak berteriak. Ini bukan sekadar ditinggal bertarung—ini seperti ditinggal di toilet tanpa tisu.

“Hey—apa maksudmu?!”

Ronan tak menjawab. Ia hanya mengangkat tangan dan berkata:

“Bakatmu bagus. Tapi berat badanmu agak condong ke kanan.”

Nada suaranya acuh, seperti tidak tertarik lagi.

Marja membuka mulut hendak memarahi, ketika—

CHENG—!

Sesuatu jatuh di kakinya.

Dua pedang yang ia pegang.

Atau lebih tepatnya…

dua bilah pedang yang telah terpotong bersih, kini berguling di tanah.

10. Menuju Ibu Kota

CHENGGRANG.
Sesuatu jatuh di dekat kaki Marja. Dua bilah pedang yang terpotong bersih berguling tepat di bawahnya.

“어…?”
“Uh…?”

Ronan sudah menghilang di balik tikungan. Marja hanya menatap kosong dua pedang yang kini tinggal setengah. Bagian yang terpotong begitu rapi tanpa satu retakan pun.

Kapan dia memotongnya?

Marja jelas melihat tebasan Ronan sebelumnya hanya membelah udara kosong. Dan bahkan jika pedangnya bersentuhan saat itu pun, tak mungkin pedangnya terpotong. Ronan tadi memakai pedang tua yang geriginya rontok, bukan pedang besi hitam.

Marja berdiri terpaku cukup lama. Asehl, yang terus menunggu momen aman, merayap mendekat dan mencoba tersenyum kaku.

“Uhm… kerja bagus.”

Asehl kemudian mengikuti Ronan yang sudah pergi. Tinggallah Marja sendirian di lapangan kosong itu. Tak lama kemudian, ia menjatuhkan pedang di tangannya dan tertawa kecil.

“…Benar-benar konyol, dia itu.”


“Ini, ambil.”

Marja menepati janji. Saat senja ia kembali, ia menyerahkan sebuah kantong berisi jumlah uang tiga kali lipat harga pedang, beserta beberapa buku.

“Apa semua ini?”

“Kalian lumayan kusukai. Dan aku harus berangkat ke Ibu Kota malam ini.”

Buku-buku itu berisi kumpulan soal ujian tertulis Pilleon dari berbagai tahun. Sampul kulitnya tebal dan mahal. Bahkan ada catatan pribadi Marja yang ia tulis sendiri untuk belajar.

“Pokoknya lulus. Kalau kalian berdua gagal, kubunuh.”

Marja menarik leher kedua anak laki-laki itu dengan kuat. Asehl terbatuk-batuk kehabisan napas, Ronan hanya cekikikan tak percaya.

“Jangan telat di hari ujian.”

Perpisahan mereka singkat dan tegas. Marja berdiri di atap gerobak, melambai tiga kali persis, lalu menjatuhkan diri ke atap dan berbaring.
Karavan Karabel berangkat meninggalkan Marbas, diiringi lambaian kedua bocah itu.

Mereka tetap berdiri di sana sampai rombongan menghilang dari pandangan.
Ronan mengepulkan asap rokok.

“Benar-benar seenaknya sendiri, tuh cewek. Katanya cewek berdada besar hatinya baik—nggak semua bener rupanya.”

“Uh? A-aku… sebenarnya dia baik kok…”

“Ya. Anak yang bagus.”

Ronan menatap malam Marbas, menghembuskan asap sekali lagi, lalu berbalik. Pedagang yang baru membuka lapak mulai berteriak menarik pelanggan.

“Ayo pulang.”

“Hmm.”

Mereka berdua langsung menuju Nimberton. Bawaan mereka sudah banyak, tapi karena punya keledai, perjalanan pulang terasa jauh lebih nyaman.

Mereka tiba di Nimberton keesokan paginya. Irel, yang sedang mencabut kentang, menjatuhkan cangkul dan berlari ke arah Ronan.

“Ronan!”

“Balik.”

“Kalian dari mana saja kali ini? Kamu nggak apa-apa? Terus… apa ini? Kuda?”

Kekhawatiran begitu jelas terdengar dari suaranya. Wajar—Ronan punya sejarah panjang berbuat ulah di luar desa.

“Itu bukan kuda, keledai. Dan ini, hadiah.”

“Hadiah?”

Ronan menarik tangan Irel dan membawanya masuk ke rumah. Ia meletakkan sebuah kotak kayu di atas meja—kotak dengan lambang Karabel.

“Buka.”

“Ah, kamu ini… nggak perlu repot-repot. Irel penasaran juga sih, adik Irel bawain apa ya~?”

Begitu kotak dibuka, Irel membeku.

Di dalam, koin emas dan perak berjajar seperti pasukan yang terlatih. Sekilas saja terlihat jumlah yang cukup untuk membeli rumah.

“Ro-ro-ro, Ronan…? I-ini… a-apa…?”

“Sisa dari biaya pendaftaran. Aku sama Asehl yang dapat.”

“A… Asehl? Bocah yang imut itu? Kau… kau jambret dia ya?”

“Bukan jambret. Dapet dari kerja. Dan akan dapet lebih banyak lagi.”

Nada Ronan terdengar muram. Baju Irel lusuh, kotor oleh tanah dan akar.
Seperti biasa.
Dia selalu menyimpan uang untuk adiknya yang brengsek—tapi enggan membeli baju bagus untuk dirinya sendiri.

Ronan mengusap kotoran di hidung kakaknya.

“Jadi, Noona. Jangan gali kentang lagi.”

Ia berkata begitu lalu kabur keluar rumah sebelum Irel sempat menghujani pertanyaan. Dan dia tahu—kalau ia jujur soal sumber uangnya, Irel takkan percaya.

Ronan menuju bukit tempat ia terbangun saat pertama kali kembali ke masa lalu. Di pinggangnya, tergantung pedang besi hitam baru.
Pemandangan—yang dulu gagal ia lindungi—terhampar di bawah sana.

“Teknik… sial. Aku gak punya teknik.”

Ia menarik pedang dan menatap bilahnya. Hitam seperti langit malam sebelum hujan.

Ia benar-benar tak paham konsep ujian praktik Pilleon.
Seorang swordsman hanya perlu membunuh musuhnya dengan bersih, bukan?
Apa maksud “tunjukkan teknik pribadimu”?

Meskipun… ada maknanya juga sih.

Tapi ia tidak menolaknya. Cara Marja menggunakan mana cukup mengejutkan. Kalau ia bisa mengendalikan mana seperti itu, ia bisa jadi jauh lebih kuat.

Dan Pilleon adalah akademi impiannya.

Ronan mengangkat pedang dan menebas lurus ke bawah.

Mungkin kalau dicoba, sesuatu akan muncul.

Ia mulai menebas. Tiga ribu kali tebasan vertikal, dilanjut tiga ribu tebasan horizontal, lalu tiga ribu tebasan diagonal.
Metode sederhana dan kuno khas pasukan hukuman—tapi efektif.

Saat memburu Luna Goblin, ia sadar betapa parah kondisi tubuhnya.
Hanya empat belas tebasan saja membuatnya nyaris lumpuh karena nyeri otot keesokan harinya.
Bodoh sekali.

Prioritas pertama: paksa tubuh bocah ini tumbuh.

Setelah latihan pedang, ia berencana berlari, push-up, dan latihan stamina dasar lainnya.

“Bagus. Besi hitam.”

Tanpa usaha khusus, garis ayunan muncul rapi di udara. Tidak ada goyangan sia-sia. Pedang itu benar-benar luar biasa.

Ia terus berlatih hingga matahari terbenam. Saat ia pulang, Irel yang sedang membuat sup berteriak kaget.

“Ro… Ronan! Selamat—s-sapi hutan?!”

Seekor rusa gemuk tergantung di bahu Ronan, seluruh tubuhnya basah oleh keringat.
Ronan memotong daging dan kulitnya dengan gerakan ahli, lalu membuat perapian darurat. Dalam waktu kurang dari satu jam, perapian itu berdiri kokoh.

“Kamu… kapan belajar semua ini?”

“Ya… sambil jalan? Ayo makan.”

Ia memasak daging dengan cekatan. Organ dan darah pun ia olah jadi hidangan.
Irel, yang baru pertama mencicipi masakan adiknya, terbelalak.

“Ini… enak sekali…!”

“Kan? Makan banyak.”

Ronan makan dengan brutal, hampir seperti menyuap daging ke mulutnya.
Ini juga bagian dari latihan.
Latihan keras + asupan nutrisi ⇒ bahkan skeleton pun bisa jadi ogre.
Itu prinsipnya.

Setelah makan, Ronan masuk kamar dan membuka buku.
Isinya tidak sulit… tapi cakupannya gila.

“Sialan. Kenapa aku harus tahu etika makan bangsawan Utara?”

Belajar membuatnya lamban dan mengantuk. Tapi ia terus membaca.
Buku lusuh dan noda darah kering mengingatkannya: seseorang pernah belajar mati-matian dengan buku itu.

Kalau dipikir-pikir…

Baru kali ini Ronan sadar: ia sedang berusaha—benar-benar berusaha—untuk sesuatu.

Rasanya… tidak buruk.

Malam itu, untuk pertama kali, ia mengganti lilin karena habis.
Dan ketika kepalanya menyentuh bantal, ia langsung pingsan.

Besoknya, ia kembali berlatih.
Begitu sebulan berlalu.


“Oh, Asehl.”

“Ronan, lama tidak bertemu.”

Angin musim semi membawa wangi akasia.
Dua bocah itu bertemu di pintu desa setelah sebulan.
Tanpa janjian, mereka mengeluarkan kalimat yang sama.

“Kau berubah, sialan?”

“Tubuhmu… banyak berubah.”

Asehl tampak jauh lebih sehat.
Saran Ronan untuk berolahraga sedikit tiap hari ternyata manjur.
Punggungnya sudah tidak membungkuk, lengan dan kakinya kini ada isi.

Dan wajahnya tak lagi selalu muram. Walaupun ia tetap terlihat seperti anak perempuan.

“Belajarmu gimana?”

“Yah… lumayan? Marja menyiapkannya dengan sangat baik.”

“Ck, menjengkelkan.”

“…Tapi Ronan. Kau itu… tidak sakit kan? Maksudku…”

Dibanding sebulan lalu, Ronan juga jauh lebih besar—terlalu besar.
Tubuh anak sekecil itu berubah menjadi hampir seukuran pria dewasa.

Bahunya melebar seperti papan. Tingginya bertambah satu jengkal penuh.

“Penyakit apanya, bodoh. Aku bahkan belum mulai tumbuh sepenuhnya. Dengan ini saja, aku masih kalah jauh dari Jenderal Agung kami.”

“A-apa? Jenderal Agung siapa…?”

“Ah, panjang ceritanya. Sudah siap?”

“Ya.”

Keduanya membawa ransel besar. Meski terlihat berat, isinya hanya kebutuhan penting untuk perjalanan ke ibu kota.

“Kalau begitu, Noona, aku pergi.”

“Hati-hati ya! Jangan terluka!”

Ronan menoleh. Irel tersenyum cerah sambil berdiri di bawah matahari musim semi.
Rambut peraknya memantulkan cahaya seperti permata.

“Ah! Tunggu, Ronan. Kerah bajumu bengkok.”

“Sudahlah, dipakai juga kusut lagi.”

“Tidak boleh! Kau sedang pergi ke ibu kota!”

Ia merapikan kerah Ronan sambil berjinjit.
Ronan menatapnya dan dalam hati bersumpah:
Cepat atau lambat, aku harus bawa Noona pergi dari desa ini.

Begitu cantiknya, bukan manusia biasa.
Ia pasti akan menarik masalah.

Siapa pun yang berani menyentuhnya, akan kulumat.

Ronan membuat daftar orang yang harus disingkirkan untuk melindungi kakaknya. Daftar itu berkurang cepat, terutama setelah memperlakukan geng Hans seperti tikus percobaan lagi, lalu menyerahkan mereka kepada kelompok tentara bayaran yang sedang butuh orang.

Hhh… sial. Tidak ada orang yang tersisa.

‘Ada apa? Mungkin aku bisa bantu?’

‘Hah? Kau siapa?’

Sang kapten tentara bayaran kekurangan tenaga. Mereka harus segera ke medan perang di selatan, tapi pekerja kasar yang direkrut semuanya kabur.

Ronan menawarkan “sekelompok anak laki-laki yang selalu haus darah”.
Ia menambahkan bahwa semuanya yatim piatu, jadi hilang pun tidak ada yang peduli.

‘Sa-salakan kami!’

‘L-lepasin ini! Ronan! Ronaaaaan!’

Kapten memberi Ronan banyak uang sebagai terima kasih.
Sementara gerobak berjeruji membawa para bocah itu sambil memaki dan menangis, Ronan hanya berpikir bahwa sup sarapan tadi sangat enak.

Irel selesai merapikan baju dan menoleh pada Asehl.

“Asehl, kamu juga—semangat ujian ya!”

“Y-ya! Saya akan berusaha sebaik mungkin!”

Suara Asehl seperti tentara baru.
Melihat wajah Irel dari dekat, ia paham kenapa Ronan selalu bersikap sopan padanya.
Marja pun tidak membuat Ronan bereaksi sebanyak ini.

Irel tersenyum:

“Santai saja! Gagal pun tidak apa-apa. Tinggal di sini selamanya juga bisa!”

“Itu tidak buruk juga. Aku pergi.”

Ronan mengecup pipi kakaknya, lalu meninggalkan Nimberton.
Irel melambaikan tangan sampai mereka jadi titik kecil di kejauhan.

“Ke Marbas. Dua orang.”

“Tujuh koin perak.”

“Mau kutonjok tujuh kali dulu sebelum kau kasih harga normal?”

“Maaf! Lima perak!”

Mereka naik kereta menuju Marbas.
Perjalanan terlalu jauh jika harus membawa keledai, dan setibanya pun tak ada tempat menitipkannya.

Kereta itu nyaman.
Ronan menengadahkan kepala ke luar jendela sambil merokok.
Sudah hampir sebulan ia tidak benar-benar beristirahat.
Angin musim semi menyentuh hidungnya.

“Haaah… enak.”

Aroma bunga yang manis membuat tubuhnya lemas.
Ia menoleh pada Asehl di seberangnya, yang tengah mengelap tongkat sihirnya.

“Hei. Bagaimana tongkat itu? Bagus kan?”

“Ya. Syukurlah tidak kujual. Kekuatannya meningkat, fokus juga lebih baik…”

“Beneran bagus ya… cuma jangan sampai kamu diam-diam masukin ke pantat, ngerti? Iih.”

“A-apa yang kamu omongkan?!”

“Oh? Sudah berani teriak sekarang?”

Ronan menyambar tongkat itu dan membuat gerakan cabul sambil berkata, “Misalnya begini.”
Asehl menjerit.

“Hentikan! Jangan masukin ke situ! Balikin!”

“Keheheheh! Teriak yang keras!”

Ronan tertawa puas.
Perjalanan mereka penuh tanggung jawab, tapi tetap saja—senang ya senang.

Kusir yang melihat lewat kaca kecil ikut tertawa, dan kereta nyaris oleng.

11. Singa dan Burung Mimpi (1)

Para bocah itu baru tiba di Marbas pada larut malam. Dari tanah yang gelap, bayangan raksasa menjulang dan menutupi setengah langit timur.

Itu adalah Pegunungan Romaira—tembok alam yang membelah benua menjadi kawasan tengah dan barat.
Gerbang yang harus dilalui siapa pun yang hendak menuju Ibu Kota Kekaisaran.

Keesokan paginya, saat fajar baru menyingsing, mereka memasuki jalan pegunungan Romaira. Karena mereka tidak membawa kuda ataupun kereta, nyaris tidak ada biaya masuk.

“Gila… indah banget.”

“Uh-huh.”

Setiap kali mereka membuka mulut, uap putih keluar bersama napas mereka. Tebing-tebing batu yang menjulang seperti dinding hidup membuat puncaknya tak terlihat.
Kedua bocah itu mendongak hingga leher terasa kaku, mengagumi pemandangan yang hanya bisa disebut megah.

“Asehl, lihat itu.”

Tidak jauh dari mereka, sekelompok kambing gunung sedang naik tebing curam. Asehl, yang belum pernah melihat kambing gunung sebelumnya, ternganga kagum. Ronan menunjuk kelompok itu dengan telunjuk.

“Dorong satu pakai telekinesis. Yang paling belakang.”

“H-hah? Nggak mau.”

“Ohh~ bagus Asehl. Sekarang kamu punya prinsip. Dorong yang belakang saja, bantu naik.”

“Ehm… baiklah.”

Asehl mengangkat tongkat dan mengarahkannya ke kambing paling belakang. Hewan itu perlahan terangkat ke udara, melayang, lalu mendarat mulus tepat di puncak.

Ronan tersenyum puas. Ia senang melihat kemampuan Asehl berkembang pesat, dan senang melihat kambing kecil itu langsung disambut oleh kawanannya.

“Marja pasti sudah sampai, ya?”

“Tentu saja. Kenapa? Kangen?”

“A-apa?! Bukan begitu! Aku cuma mau balikin bukunya!”

“Tidak apa-apa Asehl. Wajar kok. Dada kayak gitu langka soalnya. Aku aja kaget.”

“B-bukan itu!!”

Jalanan pegunungan jauh lebih baik daripada yang Ronan duga.
Batu-batu bulat besar disusun rapi, cukup lebar untuk empat kereta melintas berdampingan. Prajurit berjaga sepanjang hari, lengkap dengan pedang di pinggang.

“Selamat pagi, para pelancong.”

“Kalian juga, semangat ya. Kalau merasa pelatihan militer itu berat, ingat saja para idiot di pasukan hukuman. Mereka bahkan tidak dapat jatah lauk.”

“Ah… t-terima kasih.”

Di sepanjang jalan ada pos peristirahatan yang sangat membantu para pelintas Romaira. Itu semua karena pengelolaan bersama Kekaisaran dan Serikat Pedagang.

Uang memang hebat.

Namun, karena ini adalah jalur vital, jika satu atau dua titik penting diblokir, jalur perdagangan Kekaisaran bisa lumpuh total.

Dalam beberapa tahun, “Penyihir Musim Dingin” akan muncul dan membuat kekacauan di tempat ini. Ronan teringat orang-orang yang tewas demi memburunya—dan teringat akhir hidup penyihir itu yang begitu dramatis.

“Mungkin… aku bisa bertemu dua orang itu.”

Orang yang menaklukkan Penyihir Musim Dingin adalah Sword Saint Schlippen.
Dan… keduanya adalah alumni Pilleon.

Untuk sesaat, Ronan membayangkan bagaimana jadinya jika ia bisa bertemu mereka lebih awal.
Mungkin ia bisa mengubah masa depan?

Tidak mungkin…
Ia menggeleng.

Ia bahkan belum menyelesaikan urusannya sendiri.

Perjalanan melintasi Romaira memakan waktu empat hari.
Begitu keluar dari pegunungan, musim kembali berubah menjadi musim semi.

Tidak lama kemudian, cakrawala jauh menampakkan kota yang seolah tak memiliki ujung.

Ibu Kota Valon.

Jantung Kekaisaran yang telah berdiri selama seribu tahun.


Mereka melewati gerbang timur Valon sebelum tengah hari.
Karena sudah memiliki kartu identitas dari Marbas, pemeriksaan berlangsung singkat.

Mereka melewati para penjaga yang sedang “menyedot dingin pagi” sambil berdiri tegap.
Dan segera, pemandangan kota yang tersusun rapi seperti papan catur terbentang luas.

Kota agung ini adalah mahakarya Kaisar Pertama—jenius terbesar sejak awal sejarah.

“Woooooow….”

“Hah, tulis saja ‘orang kampung’ di dahimu.”

Asehl berputar-putar di tempat seperti anak kecil yang baru masuk kota besar.

Ronan menunjuk utara. Dari kejauhan, puluhan menara kecil dan besar menjulang.

“Itu Pilleon.”

“City of Towers… kita langsung ke sana?”

“Gila? Mau mati ketindih manusia? Tidak.”

Mereka menuju pasar terlebih dahulu.
Masih ada dua hari sebelum ujian praktik dimulai.

Pendaftaran sudah mereka kirim lewat pos, jadi tidak ada alasan berdesak-desakan di Pilleon.

“Oh iya, bulunya gimana?”

“Bulu…? Oh, burung aneh itu. Katanya tinggal di Ibu Kota ya.”

Ronan melepas ransel dan membuka kantong terdalam.
Bulu biru itu masih bersinar, bahkan lebih kuat dari sebelumnya. Seolah kalau tidak ditekan oleh barang-barang lain, ia akan melompat keluar sendiri.

Ronan mengambilnya.

“Kalau begitu, ayo kita temui dia sekarang. Masih banyak waktu.”

Ujung bulu panjang itu menunjuk ke arah utara.

Dengan perasaan setengah ragu, mereka mengikuti arahnya… sampai akhirnya tiba di Pilleon.

Lautan manusia memenuhi jalanan, tidak bisa bergerak maju atau mundur.

Ronan mendecak sambil memaksakan diri maju di antara kerumunan.

“Benar-benar bikin susah sampai akhir.”


—PIP! PIIIIP!!

“Hmmh… ada apa, Marpez?”

Suara burung yang nyaring membangunkan seseorang.
Dengan suara mengantuk, Baren Panasir bergumam.

Kelopak matanya berat, kepalanya pusing; rupanya ia tertidur tanpa sadar.

Di hadapannya, seekor burung biru berbulu tebal duduk di meja.
Burung fantasi yang ia pelihara—“Burung Mimpi” Marpez.

“Kau mimpi indah, ya…?”

Menganga lebar, Baren bangkit dari kursi. Tumpukan dokumen yang menggunung serta pemandangan luar jendela tertangkap oleh pandangannya.

Ia mengusap dahi sambil menghela napas dalam.

“Huuuh… tahun ini juga tidak akan mudah.”

Kantornya berada di puncak Tower 13 Pilleon.
Dari sana, halaman kampus dan seluruh distrik utara Valon terlihat.
Ribuan calon peserta ujian sibuk mengantri seperti kawanan semut.

—삣!

“Kerja sebagai profesor… tidak pernah terasa mudah. Harusnya aku kembali jadi petualang.”

Sudah tiga tahun sejak ia menerima undangan dari Kekaisaran untuk mengajar.
Namun bekerja bersama manusia masih membuatnya lelah.

Marpez naik ke pundaknya dan menggosokkan kepala ke surai cokelat gelapnya.
Hari ini ia tampak manja—mungkin karena mimpi indah.

“Baiklah. Semangat. Kita harus bertemu penyelamatmu.”

Baren teringat peristiwa sebulan lalu.
Marpez menghilang saat ia pikir burung itu hanya sedang jalan-jalan.
Ia hampir kehilangan hewan kesayangannya untuk selamanya.

Ia belum pernah bertemu sang penyelamat.
Tapi setiap kali mengingat kata-kata pria itu… hatinya terasa hangat.

“Aku tidak menolongmu untuk dapat ucapan terima kasih.”
Begitu katanya.
Hatinya seindah itu.

“Andai saja bulu itu tidak hilang…”

Baren menatap keluar jendela, tenggelam dalam pikirannya—

Tiba-tiba dua bayangan muncul dari bawah.

Salah satunya mengetuk kaca.

“Permisi.”

“KUEEEEK!”

Baren melonjak seperti ditabrak kereta. Ia terdorong ke belakang, terpental, dan kepalanya membentur dinding.

Dengan bulu-bulu berdiri, ia berteriak:

“A-a-anda siapa?!”

Seorang bocah berambut hitam dan seorang anak berambut merah melayang di udara.

Anak kecil itu menjerit begitu melihat Baren.

“GYAAA! S-SINGA!!”

Seekor singa yang berdandan rapi sedang duduk di pojok ruangan, mengaum gemetar.
Mana di sekitarnya buyar.
Dua anak itu langsung jatuh.

Bocah berambut hitam cepat-cepat meraih jendela dan kerah temannya.

“Kau idiot! GUNAKAN SIHIR!!”

“KEEEEK!!”

Anak kecil itu nyaris terdengar seperti dicekik.
Setelah sempat melihat ke bawah, ia menjerit lagi.

Orang-orang memenuhi tanah jauh di bawah sana, bagai lautan makhluk hidup.

Bocah hitam itu memanjat masuk dan menendang jendela hingga pecah. CRASH!

“Ini… ini apa yang…”

Baren tak sanggup berkata apa pun.
Anak kecil itu dilempar seperti karung beras ke sofa.
Ia terbatuk keras sambil memegangi tenggorokannya.

“KEK! KHEEEK!”

Bocah hitam itu menepuk kepalanya keras.

“Aduh!”

“Kau bisa mati goblok! Singa—YA AMPUN—belum pernah lihat beastman?!”

“S-sori…”

Ronan menyentuh pundak Baren.

“…Anda Profesor Baren?”

“Y-ya…”

“Lama tak lihat werelion. Dan soal jendela… maaf.”

Ia mengulurkan tangan.
Mata Baren membesar.
Dari saku Ronan, sehelai bulu biru yang amat ia kenal terlihat.


“Profesor, Anda sungguh tidak apa-apa?”

“Benar. Mereka berdua adalah tamu yang saya undang. Jangan khawatir.”

Keamanan Pilleon sangat ketat.
Bahkan belum tiga menit sejak mereka masuk dengan cara mengerikan, para penjaga sudah menyerbu ruangan.

Para penjaga berarmor penuh itu segera mengepung Ronan dan Asehl.
Baren harus menjelaskan panjang-lebar untuk menghentikan mereka.

“Kalau begitu… baiklah.”

“Ckck, maaf sudah bikin ribut. Dan terima kasih selalu bekerja keras.”

Baren membungkuk hampir 90 derajat, meminta maaf.
Bahkan ia memberikan pai buatan sendiri pada para penjaga.

“…Hah.”

Ronan tertawa kecut. Sikap Baren sangat bertolak belakang dengan tubuh raksasanya.

Sebagai seseorang yang pernah bertarung melawan ras werelion, Ronan makin terkejut.

“Menunggu lama maafkan saya. Anda berdua penyelamat Marpez, betul?”

“…Ya.”

“Merupakan kehormatan bertemu Anda. Saya Baren Panasir, pengajar ‘Interaksi dan Pemahaman Makhluk Fantasi’ di Pilleon.”

Tingginya hampir tiga meter, tubuh sebesar troll.
Di atasnya kepala singa jantan yang gagah, dengan surai cokelat gelap yang rapi dan berwibawa.

“Saya dengar Anda kesulitan menemukan pintu masuk hingga memilih cara itu. Harusnya saya beri tahu mantra pembuka pintu… maafkan saya.”

“Maaf-maaf-maaf… apa sih yang Anda sesali? Kita yang nendang jendela.”

Ronan menunduk.
Bersamaan dengan itu ia menekan kepala Asehl yang ada di sebelahnya.

“Kami minta maaf. Sudah cukup berisik.”

“S-saya juga minta maaf…”

“B-bukan begitu! Anda tidak perlu minta maaf!”

“Tenang. Sudah selesai.”

Ronan menyilangkan kaki. Ia menyelipkan pipa rokok di bibirnya, menunjukkan bahwa ia tidak berniat ribut lagi.

Marpez, yang sejak tadi bertengger di bahu Baren, melompat mendekat.

“Apa kabar?”

—삐잇!

Marpez menggosok kepalanya pada lutut Ronan.
Bulunya tampak jauh lebih sehat dan indah.

Ronan mengambil bulu itu dari sakunya dan mengembalikannya pada Marpez.

“Terima kasih banyak… sudah menyelamatkan dia.”

“Bukan apa-apa. Saya cuma bisa membantu. Ternyata Anda profesor di Pilleon. Hebat juga.”

“Saya beruntung. Yang Mulia Kaisar berbaik hati mengakui nilai kecil saya. Kalian mengikuti ujian Pilleon tahun ini?”

“Ya, begitu.”

“Semoga kalian lulus. Semua hal yang saya tahu akan saya ajarkan.”

Mereka berkenalan, lalu mengobrol panjang.
Baren menekankan bahwa keduanya harus mengambil kelasnya nanti.

Meski kelas itu termasuk kelas paling cepat penuh—bahkan secepat Kelas Dasar Spiritologi—Baren mengatakan ia akan “mengamankan tempat untuk mereka berdua.”

“Oh ya. Anda harus menjaga burung itu lebih baik. Yang menculiknya itu anggota Karibolo.”

“…Karibolo?”

“Ya. Anda tahu sendiri betapa brengseknya mereka.”

Nama itu membuat Baren bergemuruh.

Surainya terangkat, dan dari balik bulu tangan, kuku tajam muncul.

“Para pemburu busuk itu… berani-beraninya…”

Drama lama tampaknya cukup kelam.
Aura pembunuhan merembes keluar, membuat ruangan menegang.

Asehl memucat dan bersembunyi di sofa.
Ronan menghembuskan asap rokok dan menjentikkan jarinya.

“Tenang.”

“Eh…? Ah! Maaf!”

Aura itu menghilang seketika.
Baren buru-buru menyembunyikan cakarnya.

Ia berdiri dan membungkuk.

“Ma-maafkan saya. Menunjukkan cakar di depan tamu…”

“Tidak apa. Keren tadi.”

Ronan jujur.
Barusan itulah bentuk sejati seorang werelion—dan ia menyukainya.

Ia benar-benar terkesan:
seekor werelion yang mampu mengendalikan nalurinya sempurna, dan bahkan bekerja sebagai profesor.
Itu membuat Pilleon terasa semakin menarik.

Baren duduk kembali dan membuka mulut.

“Maaf, boleh saya bertanya satu hal? Sejak tadi saya penasaran.”

“Apa?”

“Di saku kanan Anda… itu apa?”

“Di sini? Oh, iya. Ini juga mau kutanya.”

Ronan merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah bola kecil.
Itu adalah benda misterius yang dikeluarkan Marpez sebulan lalu.

Bentuknya tidak berubah sejak saat itu.

“Ini yang dia keluarkan. Anda tahu ini apa?”

Ia menunjuk Marpez yang tertidur di pangkuannya.

Tak ada jawaban.
Baren terpaku menatap bola itu, seolah tersihir.

“Ada apa?”

“Ini… tidak mungkin…”

Sebagai pengguna aura tingkat tinggi, Baren langsung tahu bahwa itu adalah telur Marpez.
Mana khas burung mimpi mengalir dari permukaannya.

Namun… ada sesuatu yang lebih mengganggu.

Mana yang ia rasakan…

Bukan hanya milik Marpez.

12. Singa dan Burung Mimpi (2)

Sebuah mana yang begitu menekan, seolah menindih seluruh pancaindra, berdenyut dari dalam bola itu.
Selama hidupnya, Baren telah merasakan beragam jenis mana—namun tak pernah satu pun yang bahkan mendekati ini.

Dengan susah payah, ia akhirnya membuka mulut.

“Marpez… kau ini… 도대체….”

“Serius, sebenarnya ini apaan sih? Jangan bilang ini bakal meledak atau semacamnya?”

“Setidaknya yang bisa saya pastikan adalah… ini memang telur Marpez.
Tapi melihat mana yang mengalir… saya sungguh tidak dapat menebak apa yang akan menetas.”

“Tidak bisa ditebak?”

—피이이이… 피이이….

Marpez mengantuk, menggoyang-goyang kepalanya di pangkuan Ronan.
Ronan meremas bulu halus itu sambil mengerutkan dahi.

“Ini telur, kan? Ya mestinya yang keluar itu ya makhluk biru berbulu kayak dia. Nggak mungkin nanam kacang terus tumbuh semangka.”

“Itu justru masalahnya. Burung mimpi bisa melakukan hal seperti itu.”

“…Hah?”

“Tidak hanya semangka. Tapi sapi air, hutan, bahkan istana pun bisa tumbuh.”

Baren melanjutkan penjelasannya.

Burung mimpi, makhluk aneh ini, mengandung dan bertelur dengan cara menyerap mana dari objek tertentu atau lingkungan di sekitarnya.
Karena hanya bertelur sekali seumur hidup, populasinya sangat langka di antara makhluk fantasi.

“Karena itu juga, tidak ada satu pun burung mimpi yang berbentuk sama. Saya pernah melihat burung mimpi dengan paruh besi dan bulu api.”

“Gila… keren banget. Kalau aku jadi pemburu liar pun pasti aku incar.”

Baren menjelaskan bahwa ia menemukan Marpez ketika masih berupa telur, di sebuah danau keramat di Utara.

Kemungkinan besar bulu biru dan kemampuan berlari di atas air berasal dari mana danau tersebut.

“Tapi… ini pertama kalinya saya melihat kasus seperti ini. Biasanya, 70 persen mananya milik burung mimpi itu sendiri. Sisanya 30 persen bercampur dari lingkungan.

Namun ini… berbagai mana bercampur tak karuan. Seperti logam cair mendidih di tungku peleburan.”

“Berbagai… mana itu contohnya apa saja?”

“Ehm… begini….”

Baren menatap telur itu cukup lama, menggumam.
Seandainya ia diminta menjelaskan lukisan seorang gila, mungkin jauh lebih mudah daripada menggambarkan apa yang ia rasakan sekarang.

Bagaimana ia menyebut hal ini?

Api yang mengalir seperti sungai.
Bayangan yang menari, bergulung.
Semburan darah yang menjulang ke langit.
Cahaya bintang pucat.
Seekor burung mimpi terbang di sepanjang tepi dunia.

Akhirnya Baren menunduk, seolah malu.

“Maaf… saya sungguh tak bisa memberikan jawaban pasti.
Kemampuan saya tidak cukup untuk menjelaskannya.”

“Yam, kamu sebenarnya melahirkan apa, hah?”

Ronan mencolek-colek Marpez.
Marpez membuka satu mata dengan malas, memandang sekeliling… lalu menancapkan kepalanya lagi ke dada Ronan dan tidur.

Ronan tertawa tak percaya.

“Hah. Lihat nih, betapa gak malunya dia.”

“...Bisakah kalian… menitipkan telur itu pada saya?”

“Ehm?”

Ronan mengangkat wajah, tak mengira permintaan itu.
Baren menatapnya dengan keseriusan penuh, seolah meminta seorang ayah baru untuk menjaga putrinya.

Ia merapatkan tangan di atas lutut—bahkan posenya seperti seorang mertua yang menitipkan anak.

“Saya tahu ini tiba-tiba.
Tapi saya percaya Marpez meletakkan telur itu di depan kalian untuk suatu alasan.”

“Mungkin karena… ya, waktunya bertelur saja?”

“Tidak. Burung mimpi tidak bertelur sembarangan.”

Baren menggeleng tegas.
Surainya yang tersisir rapi bergoyang lembut.

Bicara dengan nada seperti menyampaikan nubuat kuno, ia berkata:

“Sebagian besar binatang melahirkan di tempat yang aman.
Sedangkan burung mimpi melahirkan di tempat ‘kemungkinan’ berkumpul.
Saya ingin menghormati keputusan teman saya selama lebih dari 40 tahun ini.”

“Hmm… jujur aku sih nggak keberatan. Tapi kamu yakin?”

“Dengan senang hati. Saya justru berterima kasih kalian mau menerimanya.”

“Kapan kira-kira menetas?”

“Itu saya tidak tahu… tapi saya tahu satu tempat yang mungkin membantu.”

Tiba-tiba Baren berdiri dan berjalan ke meja.
Saat ia kembali, ia membawa dua lembar kertas berkualitas tinggi dan sebuah lembar perkamen.

Ronan mengernyit.

“Sebetulnya saya sudah lama memikirkan apa yang harus saya berikan sebagai hadiah karena kalian menyelamatkan Marpez… dan kebetulan, ini waktunya.”

“Apa itu?”

“Pertama—ini adalah peta menuju Mata Air Penardo.”

Baren menyerahkan perkamen itu.
Di permukaannya yang kasar, terdapat peta yang tampak digambar manual olehnya.
Ia menunjuk tanda berbentuk bintang.

“Di antara semua titik leyline, ini yang paling dekat dengan Ibu Kota.
Tempat berkumpulnya mana bumi.
Makhluk fantasi sering datang ke sana.”

“Leyline? Yang benar?”

Baren menyarankan mereka membawa telur ke Mata Air Penardo.

Tempat itu dapat membantu mempercepat penetasan, atau meningkatkan kemampuan mana sensing pemiliknya.
Sebagai gantinya, ia meminta mereka menjaga rahasia lokasinya.

Ronan menaruh perkamen itu di kantong dan mengangguk.

“Tentu. Dikasih hal sepenting ini, masa aku nggak terima kasih.”

“Belum selesai. Ini juga untuk kalian.”

Baren meletakkan dua lembar kertas elegan di atas meja.
Tertulis banyak tulisan—but bukan bahasa Kekaisaran.

“Apa ini…?”

“Surat Rekomendasi Masuk Pilleon.
Saya kira seumur hidup saya tak akan pernah mengeluarkan ini… tapi akhirnya hari itu tiba.”

Mata kedua anak itu melebar.
Baren mengambil pena sebesar tongkat komando dan mulai mengisi nama Ronan dan Asehl, lalu menandatanganinya dengan gaya elegan.

“Setahu saya, penerima rekomendasi tidak perlu melewati ujian. Hanya wawancara.
Tentu saja dapat beasiswa. Dan fasilitas lain—”

“Tidak perlu.”

Baren terhenti, menatap Ronan.

“…Maaf?”

“Tidak perlu.
Tuliskan untuk dia saja.”

“A-aku juga tidak perlu!”

Asehl melambai panik, bahkan ketika Ronan menyikutnya ia tetap menggeleng kuat.

“Jangan sok. Kamu ambil aja.”

“A-aku ingin diterima dengan usahaku sendiri…!”

“Huh. Dasar.”

Ronan tertawa kecil, mengacak rambut Asehl seperti mengelus anak anjing.
Ia menaruh Marpez di atas meja.

“Begitu. Kami berdua sepakat.”

“T-tunggu! Kalian serius?!”

“Sudah cukup. Terima kasih tehnya.”

Ronan mengibaskan perkamen bergambar peta.
Ia berdiri, meraih mantelnya.
Baren ikut berdiri dengan panik.

“Saya tahu ini agak aneh, tapi… surat rekomendasi Pilleon tidak sembarangan!
Dalam tiga tahun, bisa jadi hanya satu orang yang menerimanya—!”

“Saya bilang… saya tidak menolong hewan supaya bisa sombong.
Dan jujur saja, sejak Anda cerita soal paruh baja, saya sudah kepengin telur ini.”

Ronan melangkah menuju pintu.

Baren, putus asa, melompat ke depan mereka.
Tubuhnya yang raksasa menutup seluruh pintu.

“G-gunggu! Tidak bisa membiarkan kalian pergi begitu saja!”

“Akhirnya menunjukkan taringmu.
Tenang, badan sekecil ini, cukup jadi camilan. Permisi.”

“Hiiik!”

“Bukan itu!
Kalian menyelamatkan Marpez—
menitip telur—
bagaimana saya bisa membiarkan kalian pergi tanpa memberi balasan?!”

Hembusan napas Baren seperti angin topan; rambut kedua bocah itu terangkat.

Ia memberi peta leyline besar saja sudah berlebihan—dan ia masih ingin memberi lebih.
Sepertinya rasa terima kasihnya sungguh besar.

“Silakan sebutkan apa pun! Apa pun yang bisa saya berikan—!”

“Karpet kulit werelion.”

Nada Ronan benar-benar datar.

Hening menyelimuti ruangan.

Melihat wajah pucat Asehl dan Baren, Ronan mendecak.

“Bercanda.”

“Huuuuuh… syukurlah… saya hampir mati berdiri…”

“Aku nggak butuh apa pun sebenarnya…
Tapi, kalau begitu, bisakah nanti kau menerima satu permintaan kecil?”

“P-permintaan…?”

Senyum Ronan melengkung licik.
Asehl langsung menggigit kukunya—masih trauma setelah candaan “karpet kulit singa”.

Saat Ronan menyampaikan permintaannya, Baren dan Asehl sama-sama mengernyit.

“Uh… benar cuma itu?”

“Iya. Tapi harus dipenuhi. Bisa?”

“Tentu saja tapi….”

“Kalau begitu selesai. Sampai jumpa di upacara masuk.”

Ronan melangkah keluar.
Pintu tertutup duk!
Dan Marpez bangun dengan bingung.

Baren berdiri kaku cukup lama sebelum kembali ke meja, sambil menggaruk surai.

“Benar-benar….”


Setelah keluar dari kantor Baren, dua anak itu langsung menuju pasar.
Selain membeli perbekalan, tujuan utama tentu saja: menemui Marja.

Saat mereka berjalan di antara bangunan-bangunan elegan, Asehl bertanya:

“Ronan.”

“Hm?”

“Tadi… kenapa kamu minta hal itu?”

“Oh, itu?”

Permintaan Ronan kepada Baren adalah… meminta Baren menjadi pembimbing atau penanggung jawab untuk klub yang akan Ronan bentuk di Pilleon.

Saat mempelajari struktur Pilleon, Ronan tahu bahwa “klub” sangat penting.
Sama seperti di militer—memiliki atasan pelindung adalah segalanya.
Dan Baren, yang jelas sangat dihormati, adalah pilihan terbaik.

Ronan menyelipkan tangan di belakang kepala sambil tersenyum.

“Ada sesuatu yang mau kubuat nanti.”

“Tapi kalau kamu tidak lolos…?”

“Lah, balik ke sana tinggal minta surat rekomendasiku dari dia.”

“…Menjijikkan.”

“Tenang, kamu mah cukup tunjukin telekinesismu. Pasti masuk.”

Asehl tidak bertanya “kalau kamu bagaimana?”.
Ia sebenarnya bertanya hanya untuk memastikan.
Ia tidak pernah membayangkan Ronan gagal.

Bahkan luna goblin pun jatuh seperti wortel di talenan di bawah pedangnya.

“Eh, lumayan juga sih ini. Sekarang sudah tahu ini bukan kotoran, rasanya enak digenggam.”

“H-hey! Hati-hati! Kalau jatuh…”

“Ini lebih keras dari mithril, jatuh ya… gak apa.”

Ronan dari tadi melempar-lempar telur itu ke udara dan menangkapnya santai.

Merasa benar-benar sudah menjadi pemiliknya, ia tak lagi ragu.

“Yuk, cepat cari cewek itu. Bahu gue pegal bawa buku-bukunya.”

Pasar besar Ibu Kota jauh lebih besar daripada pasar Marbas.

Setelah hampir setengah hari mencari, mereka akhirnya melihat Karabel Trade Group membuka lapak di tengah pasar.

Saat tatapannya bertemu Ronan, Marja melambaikan tangan kuat-kuat.

“Dasar bodoh! Kalian datang juga!”

Marja mengenakan rok pelayanan.
Rambutnya dikepang rapi sehingga terlihat lebih seperti seorang gadis sekarang.

Para bocah mengembalikan buku-buku yang mereka pinjam.

“Jujur aku khawatir kalian bakal nyasar. Kapan sampai Ibu Kota?”

“Pagi.”

“Terus ngapain aja?”

“Minum teh sama singa yang jadi profesor Pilleon.”

“…Kamu nggak mau ngomong sama aku ya?”

“Enggak.”

Marja melotot.
Tapi Ronan, yang hanya berkata jujur, hanya mengangkat bahu—sama sekali tidak merasa salah.

Ia melirik telur di tangan Ronan dan mengerutkan hidung.

“Itu apa? Jangan bilang itu… ya Tuhan, itu memang yang aku pikir?!”

“Sesuatu yang bahkan singa penjelajah dunia tidak bisa jelaskan.”

“Ya ampun kamu….”

“H-hi, Marja!”

Asehl cepat menyela, menyadari bahaya.
Marja langsung melunak, mendengus pada Ronan lalu beralih ke Asehl.

“Halo, si manis! Kamu tambah tinggi ya?”

“Yang bener. Anak kerdil ini seharian ngomongin kamu. Katanya kangen, katanya rindu—”

“E—EHH?! Tidak sampai begitu!”

“Kalau kangen kenapa nggak bilang? Sini!”

Marja mengangkat Asehl dan memutarnya seperti kakak yang menyayang adiknya.

Asehl memerah sampai telinganya.
Sementara itu, Ronan menyapa Duon.

“Lama tak jumpa, Pak.”

“Ahh, Tuan muda! Anda sehat?”

“Selalu. Maaf soal kejadian waktu itu.”

“Tidak apa-apa. Sebaliknya, terima kasih sudah berteman dengan anak saya.
Anak itu sebenarnya mudah kesepian.”

Duon merendahkan suara, takut putrinya mendengar.
Ronan terkekeh sambil mengangguk.

Ia membeli sebungkus tembakau selatan dari lapak mereka.

Ketika ia menoleh, Marja dan Asehl masih mengobrol ceria.

Ronan menyelipkan pipa rokoknya di bibir dan mendekat.

Marja memukul telapak tangan, seperti ingat sesuatu.

“Eh, kalian dengar berita itu?”

“Tidak.”

“Kabarnya, putra sulung Duke Grancia ikut ujian masuk Pilleon tahun ini.
Bareng kita.”

“Duke Grancia?”

Ronan mencoba mengingat.
Tapi karena ia tak tertarik dengan bangsawan, ia tidak tahu apa-apa.

Marja menghela napas.

“Kamu ini parah banget.
Namanya Schlippen Senivan de Grancia.
Seluruh Kekaisaran ribut karena dia jenius pertama dalam 200 tahun!”

Ronan diam saja.

Marja mengira dia memang tidak tahu apa-apa.

Padahal bukan itu—Ronan terdiam karena terlalu mengenal nama itu.

“Schlippen…? Kamu bilang Schlippen?”

“Iya. Kamu benar-benar tidak tahu?
Schlippen. Senivan. de. Grancia.”

Mana mungkin Ronan tidak tahu.

Ini nama yang tidak mungkin ia lupakan.

Pembunuh Penyihir Musim Dingin.
Sword Saint Kekaisaran.
Sang jenius yang mati tragis, tidak pernah berhasil menebas raksasa terakhir.

“Eh? Kenapa mukamu begitu? Sakit?”

“Tidak… aku tahu dia. Schlippen.”

“Kan?
Ini lebih parah daripada waktu kamu tidak tahu mana sensing.”

Ronan tersenyum tipis.

Waktu pertemuan mereka memang sebentar,
tapi pengaruhnya abadi.

Ia masih bisa merasakan aura Schlippen yang menutupi seluruh medan perang.

“Dia orang hebat.
Agak miring di kepala… tapi hebat.”

“Kenapa ngomong kayak pernah ketemu?”

“Memang pernah.
Tambahan info: orang itu nggak bisa pipis kalau ada orang lain di dekatnya.”

“...Iya iya.
Sudahlah, aku lapar. Ayo makan.”

Marja menarik tangan mereka berdua menuju distrik kuliner.

Mereka menyantap steak banteng—hidangan khas Ibu Kota—dengan jus beri hutan.

Siang hari, mereka bertamasya keliling kota.
Malam hari, latihan menghadapi ujian praktik.

Dua hari berlalu begitu cepat.

13. Ujian Praktik (1)

Kota kecil seratus menara.

Itulah sebutan paling terkenal untuk Pilleon Academy.

Seperti namanya, konon ada seratus menara besar dan kecil yang berdiri di dalam kompleksnya—meski kenyataannya jumlahnya mencapai 103 menara.

“Rumahku selama ini ternyata kandang anjing, ya.”

Ronan menggumam heran. Saat mereka datang ke Baren tempo hari, ia terlalu sibuk untuk memperhatikan benar-benar.
Kini ia melihat langsung: luasnya benar-benar tidak masuk akal.

Marja yang menjawab. Asehl tidak terlihat—karena ujian jurusan Bela Diri dan Magis diadakan di lokasi yang berbeda.

“Waktu pertama kali datang aku juga kaget. Gede banget, kan?”

“Gede? Ini mah bukan gede. Ini level muat tiga naga betina bunting.”

Fasilitas pendidikan yang bahkan lebih besar dari sebagian besar wilayah bangsawan ini memang layak disebut “kota di dalam kota”.
Dikelilingi tembok tersendiri, kompleks ini memiliki danau, sungai, hutan, bahkan gunung.
Semua fasilitas yang dibutuhkan siswa untuk hidup lima tahun tersedia di dalamnya.

Ronan cukup yakin di sudut-sudut tertentu pasti ada kawasan hiburan atau distraksi… meskipun tentu saja versi yang “sehat”, khusus untuk siswa.

Ia menunjuk istana raksasa di tengah kompleks.

“Kita ujian di situ, kan?”

“Iya. Gedung Utama Galerion.”

Gedung Galerion—bangunan terbesar di Pilleon dan berfungsi sebagai Main Hall.
Selain indah secara visual, struktur bangunannya juga kokoh secara militer.
Ujian praktik jurusan Bela Diri diadakan di dalamnya.

“By the way…”

“Hm?”

“Gayamu hari ini norak. Kenapa dandan habis-habisan?”

Ronan mengangkat alis.
Marja memakai pakaian yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya.

Seragam elegan, sangat rapi, bahkan terlihat aristokratik.

“Ujian setahun sekali, masa nggak usaha? Kenapa? Jelek? Si manis bilang aku cantik, tau.”

“Anak cupu itu kamu makan sup pakai tangan pun bakal bilang kamu anggun. Abaikan aja.”

“Terus menurut kamu?”

Pada kedua pinggangnya tergantung dua short sword—yang tampak lebih mewah dan formal daripada yang biasa ia pakai.

Ronan terdiam sebentar sebelum menjawab.

“…Yah. Nggak jelek.”

“Hehe, kan? Tahu!”

Marja tersenyum cerah sampai-sampai memukul-mukul lengan Ronan, yang suaranya terlalu keras sehingga banyak orang menoleh.

Beberapa detik kemudian, wajahnya memutih dan ia buru-buru menutup mulut.

“Ha—!”

“Ada serangga masuk?”

“Bego, hati-hati dong. Aku hampir lupa. Di sini banyak bangsawan, tau?!”

“Bangsawan?”

Marja menjelaskan bahwa di Pilleon saat ini berkumpul bangsawan dan keluarga kerajaan dari seluruh benua.

Wajah mereka masam—karena aturan Pilleon melarang siapa pun datang menggunakan kereta atau dikawal penjaga kecuali peserta ujian.

Marja cekikikan sambil menutupi mulut.

“Kocak banget sumpah. Mereka setiap kali bahu bersenggolan pengennya marah-marah, tapi nggak bisa—soalnya nggak tahu lawannya bangsawan dari negara mana.”

“Terus apa hubungan bangsawan sama ketawa-tawa? Nggak boleh senyum depan bangsawan?”

“Bukan gitu! Tapi orang-orang ini calon pelanggan utama Karabel nanti. Masa aku pamer sifat plebeian?”

“Emangnya salah jadi plebeian?”

Marja menatap Ronan tajam, tidak yakin apakah dia pura-pura bodoh atau benar-benar tidak paham.

Ia akhirnya menghela napas kecil.

“…Tentu ada bangsawan baik. Tapi banyak juga bangsawan yang melihat rakyat jelata seperti kecoak.
Makanya pedagang besar harus menjaga citra dan sopan santun.
Begitu dipandang rendah—transaksinya bubar.”

Sumber utama pendapatan Karabel adalah perdagangan dengan kaum bangsawan.
Mengelola wilayah luas dan aset besar, satu kontrak saja bisa bernilai besar.

Namun untuk melakukannya, pedagang sering harus merendah di hadapan bangsawan yang angkuh.

“Aku akan dapat gelar.
Lulus Pilleon, menumpuk prestasi, jadi bangsawan… biar Ayah tidak harus membungkuk lagi.”

Suara Marja sedikit gemetar.
Membayangkan apa yang pernah dilihatnya saat mengikuti Duon tidak sulit: penghinaan yang tidak terhitung jumlah.

Ronan menyilangkan tangan di belakang kepala.

“Ya, kupahami. Tapi aku gak bakal jaga imej.”

“Hei! Kamu dengar nggak tadi?! Tolong jaga sedikit hari ini!”

“Kalo ada yang tanya, bilang aja aku pelayanmu yang bodoh dan nggak sekolah.”

Ronan terkekeh kasar.
Untungnya tidak ada bangsawan yang tiba-tiba mulai ribut.

Mereka melewati jalan berlapis batu mewah dan masuk ke Galerion.
Setelah pengecekan identitas singkat, keduanya langsung diarahkan ke ruang ujian.


Ruang tunggu itu sempit dan memanjang—seperti lorong yang diberi kursi.

Sepuluh kursi berjajar di sepanjang dinding.
Di dinding seberang pintu masuk berdiri sebuah pintu besar dengan ukiran rumit—pintu menuju ruang ujian.

Selalu ada sepuluh peserta menunggu. Satu orang masuk, satu orang keluar.

Para peserta memejamkan mata, mengulang jurus atau teknik yang sudah mereka persiapkan.

Saat itu pintu terbuka, dan suara ceria menggema:

“Peserta berikutnya silakan masuk~”

“Ya! Bilkerian Odlanbi de Highern, putra kedua Count Highern! Saya akan melakukan yang terbaik!”

“Tidak perlu menyebut nama atau keluarga Anda~”

Ujian praktik berlangsung 3–5 menit.
Anak yang tadi antri paling depan berjalan masuk dengan langkah tegap sambil menyebut semacam nama lengkap upacara.

Bagian dalam ruangan tertutup oleh magic barrier.
Begitu ia masuk, pintu menutup otomatis.

Ronan menjilat gigi dan mendecak.

“Gila…itu nama apa mantra sih?”

“Diam…! Duduk sopan…!”

“Tempat ngebosenin gini harusnya boleh ngobrol lah. Iya kan?”

“Y-yaa?!”

Ronan menyikut anak laki-laki di sebelah kiri dan mengajak bicara.

Marja memijat pelipis.
Ia merasa bodoh karena sempat berharap Ronan akan bersikap formal di tempat seperti ini.

Ia akhirnya mengabaikan bocah itu dan fokus memikirkan teknik yang akan ia tunjukkan.

“Bisa…bisa…bisa…bisa….”

Saat itu, ia memperhatikan bocah di sebelah kanannya.
Usianya mirip dengannya, wajahnya manis, dan jelas terpancar aura bangsawan.

Marja menepuk bahu bocah itu pelan.

“Hey… jangan terlalu tegang.”

“히익! A-ah iya! Maaf, Lady! Saya ribut sekali ya?!”

Tegangnya bukan main—seperti balon yang siap meledak.
Sepertinya ini pertama kalinya ia mengikuti ujian Pilleon.

Marja tersenyum lembut, mungkin teringat dirinya tahun lalu.

“Terlalu tegang malah bikin semuanya gagal. Ini pertama kalinya?”

“Tidak, ini terakhir. Tahun depan saya sudah 16… jadi tidak bisa ikut lagi.”

Ternyata umurnya lebih tua.
Berarti ini tahun terakhir ia memenuhi syarat mengikuti ujian.

Marja tersenyum menenangkan.

“Hehe, pasti berhasil kali ini. Semangat.”

“T-terima kasih! Anda benar-benar ramah!
Saya Derian Marshol de Mirodin, putra ketiga Baron Mirodin!”

“Saya Sen.”

Ia tidak menyebut nama keluarga.
Derian buru-buru menggenggam kedua tangan Marja dan menguncangnya seperti anak kecil menyapa seorang princess.

Ronan hampir tersedak udara melihat adegan itu. “Uwek.”

“Senang bertemu Anda, Lady Sen! Anda akan menampilkan teknik keluarga?”

“Iya.”

“Keren! Pedang Anda juga indah. Dari bengkel Daruan, ya?”

“Oh! A-anda mengenali?! Hebat sekali…!”

Percakapan berlanjut dengan model:
Marja memuji sedikit → Derian terharu dan memuji kecantikan serta keagungannya balik.

‘Sialan… pedagang alami.’

Marja yang menghadapi bangsawan benar-benar seperti orang lain.
Sulit percaya bahwa itu gadis yang pertama kali ia temui dengan menjitak kepala orang pakai kursi.

Ronan pura-pura tidak peduli, tapi telinga tetap mengarah ke mereka.
Bau percakapannya menjijikkan tapi entah kenapa membuat ketagihan—seperti bau pusar, katanya dalam hati.

Sambil menahan mual, ia mendengarkan… sampai giliran Derian tiba.

Marja memberi senyum ramahnya.

“Sudah giliran Anda, Derian-nim. Semoga berhasil.”

“Lady Sen…”

Derian hampir terisak haru.
Ia masih tak melepaskan tangan Marja.

Seni bicara gadis itu sudah masuk tingkat sihir.

Ronan ingin sekali menepuk belakang kepalanya sambil berteriak “Stop! Dasar penyihir!”

Derian berkata:

“Merupakan kehormatan besar. Kalau tidak keberatan… boleh saya tahu nama lengkap Lady?
Jika suatu hari saya mendatangi wilayah Anda, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih atas hari ini.”

Marja membeku.

Derian mengira ia anak bangsawan.

Ronan mencondongkan tubuh, penasaran:
Apakah ia akan bohong dan menyebut nama bangsawan palsu?
Atau jujur?

Marja memilih jujur.

“Aku tidak punya marga. Panggil saja Sen.”

“…Eh?”

Derian tampak bingung.

“Ja-jadi… Anda… plebeian?”

Nada suaranya seperti bertanya apakah orangtuanya baru meninggal.

Genggamannya melemah.

Marja menggigit bibir bawahnya sebentar, lalu tersenyum seperti bangsawan wanita sejati.

“Iya.”

“…Ha.”

Pegangannya terlepas total.

Derian langsung PLAK! menampar pipi Marja.
Suaranya nyaring, membuat seluruh ruang tunggu membeku.

Ronan bangkit.

“Hey.”

“Diam.”

Bisikan Marja menghentikannya.
Ia menoleh sedikit dan menggerakkan bibirnya tanpa suara: gak apa-apa.

Setelah beberapa detik, Ronan duduk lagi.
Tatapannya tetap tertuju pada Derian—dingin tajam.

Derian berubah menjadi orang lain.
Wajahnya mengeras, kilau jijik dan penghinaan melintas di mata.

“Menjijikkan…”

Ia berdiri, mengeluarkan sapu tangan berstempel lambang keluarga.
Dengan teliti ia membersihkan tangannya, seolah menghapus kotoran.

“Plebeian sekarang berani sekali mencoba menyamar.”

“Kalau membuatmu tidak nyaman, maafkan aku, Derian-gong.”

Marja tetap duduk rapi, tangan di pangkuan, kepala menunduk.
Ia tidak membalas.

Ronan mengernyit.
Kurang satu jam lalu gadis ini berkata ia tidak mau lagi melihat ayahnya membungkuk pada bangsawan.

“Sen, ya? Ingat ini.
Penghinaan hari ini takkan kulupakan.”

Taruhan itu gagal total.
Derian termasuk kategori bangsawan yang membenci rakyat jelata.

Ronan baru sadar:
Itulah alasan Marja hanya memakai nama tengah—untuk mencegah bisnis keluarganya terkena dampak.

Derian melempar sapu tangan itu seolah membuang tisu bekas tinja.

Kain itu melayang dan jatuh tepat di atas kepala Marja.

Derian merapikan kerah lalu mendecak.

“Jangan pernah muncul lagi di depanku, plebeian kotor.
Bahkan kalau kau diterima di Pilleon, jalani hidup seolah sudah mati.”

“Akan kuingat.”

Marja tidak menyingkirkan sapu tangan itu.

Ia menatap Ronan—tersenyum… senyum buatan.

Saat itu, pintu ruang ujian terbuka.

“Peserta berikutnya silakan masuk~”

Derian mendengus.

“Hmph. Semoga aku bisa menghapus lidah kotor ini juga.”

Ia berbalik.
Saat itu Ronan menarik setengah bilah pedangnya keluar dari sarung.

14. Ujian Praktik (2)

Pemanggilan nama berakhir, dan ketika Dearyan menoleh, Ronan yang sejak tadi terus menatapnya tajam menarik gagang pedangnya. Beberapa garis perak berkedip di udara.

Garis-garis itu menyusuri sarung pedang dan celana Dearyan seolah hanya lewat saja. Tak satu pun selain Ronan yang melihat gerakan pedang itu. Itu terjadi tepat pada saat Dearyan melangk기 keluar.

Tuk…

“...Hm?”

Sarung pedang Dearyan terputus. Kehilangan penyangga, longsword-nya jatuh ke lantai. Begitu menyentuh lantai, bilahnya patah menjadi dua.

KLANG!

Suara itu lebih mirip keramik pecah ketimbang logam robek. Dentingan logam menggema keras. Dearyan menoleh terlambat, dan matanya terbelalak.

“Ini… Ini apa!!”

Karya Daruan Workshop kini hanya dua bongkah besi tergeletak di lantai. Namun nasib buruknya belum selesai. Saat ia berbalik, celananya meledak terbuka.

Dalam sekejap Dearyan berdiri hanya dengan pakaian dalam.

“HEUAAAKK!!”

“Wih, luar biasa. Kau mau mempertontonkan apa sebenarnya?”

Ronan bertepuk tangan dari kursinya. Potongan kain celana jatuh ke lantai seperti daun gugur. Suara petugas kembali terdengar.

“Dearyan Marchol de Mirodin-nim? Anda tidak di sini~?”

“Te–Ter… keparat!!”

Jika terlambat sedikit saja, ia benar-benar tak bisa ikut ujian. Dearyan meremas rambutnya, napas terengah, wajah memucat.

Apa yang terjadi?! Pedangku! Celanaku!!

Seperti orang gila, ia memandang sekeliling… lalu menunjuk pinggang Ronan.

“Ka–kau! Serahkan pedang itu! Cepat!!”

“Tidak mau.”

“Dasar bajingan! Jelas-jelas kau hanya rakyat jelata tapi berani macam-macam! Aku adalah putra ketiga Baron—!”

“Aku tidak peduli kau baron atau barongsai. Kenapa kau minta pedangku hanya karena kau tidak bisa menjaga barangmu sendiri? Apa ayahmu juga payah menjaga barangnya makanya lahir sampah seperti kau?”

“Ka–kauuu!!”

Ronan meludah ke lantai dan berdiri. Dearyan terkejut dan mundur beberapa langkah. Ronan meraih saputangan yang tadi jatuh di kepala Maraya.

“Mu–mundur! T–tidak tahu siapa aku?!”

“Tidak peduli. Ini tip untukmu.”

Dengan langkah besar Ronan mendekat dan menyumpalkan saputangan itu ke karet celana dalam Dearyan.

Maraya menutup mulut dengan kedua tangan. Selembar kain yang menjulur dari celana dalam Dearyan bergoyang seperti ekor.

“Bagus juga. Cocok sekali.”

“KAUUU!!!”

Biasanya trik seperti itu dipakai di distrik lampu merah—diselipkan ke pakaian seorang gadis cantik. Tapi apa bedanya.

Dearyan hendak menerkam Ronan, wajah memerah penuh amarah.

Namun suara petugas kembali terdengar.

“Saya akan menghitung sampai tiga. Jika belum masuk, Anda akan didiskualifikasi. Satu… Dua…”

“Sudah dipanggil. Cepat masuk.”

“Ke–keparat…!!”

Hampir menangis, Dearyan berlari masuk ke dalam ruangan ujian. Ronan kembali ke tempatnya dan mengambil sepotong bilah yang tergeletak.

“Anak itu mau apa sekarang ya. Menyanyi saja, mungkin.”

“Kau gila…?! Biarpun kau tidak takut apa-apa, mana boleh melakukan hal seperti itu…!”

“Situasinya begitu, kau bilang terima kasih saja.”

“Meski aku pakai nama samaran, tapi ini… Ini…!!”

Maraya memukul lengan Ronan berulang kali, wajah pucat. Ronan menyodorkan potongan bilah ke tangannya.

“Turunkan tanganmu dulu, susah lihat wajahmu.”

“...Kau lihat?”

Setelah ragu sebentar, Maraya menurunkan tangannya. Senyum yang sudah ia tahan muncul juga.

Tak lama kemudian, tawa kerasnya meledak.

Para peserta ujian lainnya menunduk, bahu bergerak-gerak menahan tawa.

“G–gila…! Saputangan… Hiks… kenapa kau masukkan ke SANA…”

“Hmm. Dasar wanita jelata, suaramu sungguh kasar. Kentutku lebih merdu.”

“Be… berhenti! Hentikan…!”

Ronan meniru gaya bicara Dearyan dengan sangat dramatis, membuat Maraya hampir terjatuh dari kursinya.

Tak lama suara petugas kembali terdengar.

“Selanjutnya, silakan masuk~”

Rasanya baru 30 detik sejak Dearyan masuk.

Maraya menghapus air mata dan berdiri tegap. Sakit pipi, malu, tegang—semuanya sudah hilang.

“Aku pergi dulu!”

Ia mengepalkan tinju dan melangkah mantap. Rambut pirangnya yang diikat tinggi berkibar gagah.

Ronan, yang pindah ke kursi depan, melambaikan tangan.

Kalau ingin tertawa, tertawalah.

Ronan tersenyum. Pintu baru terbuka tepat lima menit kemudian.


(Masuk ke ruang ujian — bagian ketua penguji)


Di meja panjang, tujuh penguji duduk berderet. Kepala sekolah Craba Cratyr mengelus janggut dan bertanya:

“Berapa orang tersisa?”

“Hari ini hanya tujuh puluh lima orang.”

“Ah. Syukurlah. Gajimu dipotong.”

Cratyr menghela napas. Ia bahkan tak ingat sudah berapa ratus siswa lewat.

Ia menyesal tak mendengarkan para profesor yang memintanya menjaga wibawa kepala sekolah.

“Semangat, Kepala Sekolah. Demi masa depan benua.”

“Ya, ya… Tapi setelah melihat anak itu—Schlippen—pagi ini, rasanya semua jadi hambar.”

“Saya setuju. Julukan ‘Bintang Baru Kekaisaran’ tidak berlebihan.”

“Dan yang sebelumnya masuk… aku masih tak tahu apa sebenarnya yang ingin dia perlihatkan. Pantas padahal.”

Cratyr mengingat peserta sebelumnya—

Anak laki-laki hanya memakai pakaian dalam, saputangan terselip di pinggang… memohon meminjam pedang… lalu ditertawakan, dan lari keluar.

“Tapi yang barusan keluar sungguh mengagumkan. Potensi besar.”

“Ya. Namanya Maraya Caravel? Pedangnya sangat kuat.”

Seluruh penguji mengangguk. Maraya ada di peringkat atas dari semua peserta hari ini.

Cratyr sedikit membaik suasana hatinya.

“Panggil peserta berikutnya.”

Para penguji memperbaiki posisi duduknya. Pintu terbuka.

Seorang pemuda bertubuh kekar masuk dengan langkah santai.


(Ronan memasuki arena)


“Silakan masuk~”

Pintu terbuka, dan Ronan melihat arena bulat seperti kolosseum mini.

Sekitar 10 meter di depan, sebuah meja panjang dengan tujuh penguji berada.

Lima manusia, satu elf, satu werewolf.

Ronan menundukkan kepala tipis.

“Saya Ronan.”

“Selamat datang, Ronan. Aku Craba Cratyr, kepala sekolah Fil Leon.”

Wajah Cratyr tampak ramah.

Tetapi Ronan, berkat nalurinya yang terasah dalam pertempuran hidup-mati, tahu dialah yang terkuat di ruangan ini.

Yang kedua… wanita itu.

Di sebelah kanan Cratyr, duduk seorang wanita kulit perunggu—instruktur Nabyroze, mantan Sword Saint.

Ia membawa great sword sepanjang dua meter bersandar di meja.

Orang-orang di sini… semua bukan orang biasa.

Even the elf woman had dozens of piercings on her long ears—gila.

Cratyr bertanya lembut:

“Bagaimana kau ingin membuktikan dirimu?”

“Yah… hmm…”

Ronan mengusap dagunya.

Selama sebulan ia gagal menyesuaikan diri dengan mana. Ia juga tidak menciptakan teknik baru. Malu, jadi ia tidak bilang pada Maraya dan Aselle.

Werewolf Instructor Kidokan tertawa keras.

“WAHAHA! Ada yang tegang sampai diam, tapi yang masuk dan mikir dulu baru kau yang pertama! Mau pulang dan coba lagi tahun depan?”

“Tenanglah. Sebentar.”

Para penguji menegang. Kidokan menyeringai.

“Ohh? Nyali besar.”

Akhirnya Ronan meraih pedangnya.

Apa pun yang terjadi… dia hanya punya satu hal untuk ditunjukkan.

Syukurlah inspirasi itu muncul ketika ia mempermalukan Dearyan tadi.

“Jadi sudah siap? Kau akan menunjukkan teknik pedang?”

“Ya.”

Elf berpiercing menirukan jentikan jari. Sebuah lingkaran sihir muncul, dan knight golem berzirah penuh muncul.

“Itu ‘Lord Madoros’,” kata Cratyr tertawa.

Ujian praktik: tunjukkan teknik pada Madoros, penguji memberikan nilai.

Armor itu sangat kuat, hampir tak mungkin rusak.

“Menarik… Hm?”

Ronan mendapati golem itu penuh bekas sayatan. Bentuknya sangat familiar. Ia angkat tangan.

“Apakah tadi Schlippen lewat sini?”

“Oh? Bagaimana kau tahu?”

“Nebak saja. Katanya armor ini nyaris tak bisa rusak, tapi itu jelas bekas tebasan.”

“Hahaha. Benar. Dia diuji pagi ini.”

Ronan mengangguk.

Jejak angin tipis—sayatan tajam dan elegan. Masih kasar, tapi itu pasti milik Schlippen.

Sekali lagi Ronan menyadari ia benar-benar kembali ke masa lalu.

Begitu tipis dan dangkal… Ya. Ini memang masa awal Schlippen.

Cratyr melanjutkan, hendak bercerita tentang siapa terakhir yang membuat bekas di armor itu—

“Tolong lanjut saja,” kata Nabyroze dingin.

Cratyr batuk kecil.

“Baiklah. Madoros?”

CLANK.
Golem mengangkat pedang dan bersiap. Dua mata merah menyala dari celah helmnya.

“Perlihatkan seluruh kemampuanmu.”

“Baik.”

Ronan menarik pedang.

Gerakannya hilang dari pandangan.

Kilatan pedang melewati leher golem. PAANG! Suara udara robek menyusul beberapa saat kemudian.

…Dan itu saja.

Seorang penguji mengerutkan kening.

“…Sudah?”

“Ya.”

Ronan menyarungkan pedangnya kembali.

Para penguji tampak kecewa atau bingung.

Kidokan tertawa besar.

“Wahaha! Kepercayaan diri saja yang besar rupanya! Sepertinya kau harus kembali tahun depan!”

“Kidokan, jaga sikap!”

“Haha! Tapi sungguh, itu terlalu biasa! Aku satu-satunya yang berharap sesuatu rupanya!”

Para penguji terdiam.

Teknik itu cepat, tapi… hanya itu.

Tak ada mana. Tak ada keunikan. Tak ada kekuatan luar biasa.

Cratyr hendak memulai komentar—

“—Ya ampun.”

Cratyr dan Nabyroze serempak berdiri.

Para penguji lain terperanjat.

“K–kepala sekolah?!”

“Nabyroze? Kenapa kau mencabut pedang?!”

Bahkan Nabyroze—yang nyaris tak punya ekspresi—menunjukkan keterkejutan ekstrem. Tangannya menggenggam gagang great sword.

Ia menatap Ronan seperti melihat musuh bebuyutan… atau harta karun yang hilang.

“Kau… siapa?”

“Maaf? Maksud Anda?”

Nabyroze mencondongkan tubuh, tatapan membunuh.

“Siapa gurumu? Di mana kau belajar pedang?”

Ronan hanya menggaruk kepala.

“Wah… jadi memang terlihat, ya?”

“Ha.”

Nabyroze mengeluarkan suara pendek—entah tawa atau ejekan. Tanpa peringatan ia melompat ke depan Ronan.

“Na–Nabyroze-sensei!!”

Great sword-nya teracung tepat di tenggorokan Ronan, setipis selembar kertas dari kulitnya.

“Whoa.”

Ronan mendongak sepanjang bilah, menatap mata hijau gelap yang menyala.

Nabyroze berkata pelan:

“Kau melihatnya, bukan?”

“Ya. Tebasan berputar tiga kali dari sisi kiri. Bagaimana kau melakukannya?”

Tatapan Nabyroze bergetar sedikit.

Ia tidak menurunkan pedang ketika menjawab:

“Benar. Tiga putaran. Sama seperti… trik kecilmu barusan.”

15. Ujian Praktik (3) 

Nabiroje tidak menurunkan pedangnya ketika ia membuka mulut.

“Ya, tiga kali. Sama seperti trik kecil yang kau tunjukkan.”

Mendengar kata tiga kali, Ronan menelan ludah. Ketepatan mata Nabiroje tidak meleset. Ia memang menggunakan metode yang sama seperti ketika ia mematahkan pedang Marya sebelumnya.

“Dua kali menebas dengan kecepatan yang mustahil diindra, lalu dengan sengaja memperlambat tebasan terakhir. Sombong sekali. Apa kau pikir tidak ada satu pun orang di sini yang dapat membaca jalur tebasanmu?”

Ronan menutup mulutnya. Alasan ia memperlambat ayunan terakhir hanyalah karena ia khawatir akan merusak mata pedang itu… tapi itu tidak penting. Degup jantungnya bergemuruh sampai terasa di kepala.

Dibaca? Pedangku?

Nabiroje menatapnya beberapa detik, kemudian perlahan memasukkan kembali pedangnya ke sarung.

“Akan kuingat kau, Ronan.”

Barulah setelah Nabiroje kembali ke tempat duduk, Kratir membuka suara. Ia juga tampaknya telah memahami rahasia Ronan, tetapi tidak berniat menambah pertanyaan.

Dengan senyum hangat sama seperti ketika mereka pertama kali bertemu, Kratir berkata,

“Kerja bagus, Ronan. Tetapi orang tua ini penasaran pada satu hal.”

“Ya?”

“Mengapa kau ingin masuk ke Phileon?”

Ronan mengedip dan memandang Kratir. Di balik kelopak mata yang membentuk lengkungan seperti bulan sabit, tampak cahaya aneh yang sulit digambarkan.

“Untuk belajar.”

“Belajar… apa yang ingin kau pelajari?”

“Mm…”

Apa? Ronan menahan akhir kalimatnya. Keheningan sejenak membuat para penguji saling berpandangan.

Ronan menatap Kratir, tetapi yang ia lihat bukanlah wajah sang kepala sekolah—melainkan sesuatu jauh di belakangnya. Kenangan yang menembus waktu.

Raksasa yang turun dari langit. Hujan badai yang mengguyur tumpukan mayat. Permintaan terakhir Jenderal Agung yang mempercayakan masa depan kepadanya.

Akhirnya, Ronan membuka mulut.

“...Cara untuk tidak menyesal.”

“Hm?”

Kratir menaikkan alis. Ronan tidak menjelaskan lebih jauh.

Setelah memikirkan sesuatu sejenak, Kratir tersenyum tipis.

“Begitu rupanya. Ya sudah, pulanglah dengan hati-hati.”

Ronan menunduk memberi hormat. Kuk. Begitu ia melangkah keluar, pintu tertutup.


“Cara untuk tidak menyesal, katanya.”

Kratir bersandar ke kursi seolah seluruh tubuhnya roboh. Ia bergumam. Semakin ia mencoba mencerna maksud kalimat itu, semakin ia tidak mengerti.

Juga tatapan Ronan yang terlalu dalam untuk seorang remaja.

“Benar-benar tak kumengerti.”

Seorang anak seusia itu… menyesali apa hingga harus berkata begitu?

Kratir akhirnya menyerah untuk mencari jawaban.

“Syukurlah tempat ini adalah Phileon.”

“Kenapa begitu?” tanya salah satu penguji.

“Kemana lagi anak itu bisa pergi? Tidak ada tempat yang lebih baik baginya selain sini.”

Tiga tahun sudah berlalu seakan dalam sekejap. Nabiroje mengangguk setuju.

Tidak tahan lagi, Gidokan bertanya,

“Ada apa sebenarnya? Baik Anda maupun Nabiroje-nim, reaksi kalian aneh. Apa anak itu menggunakan semacam trik?”

Seorang Swordmaster—mantan Divine Blade—baru saja mengacungkan senjata kepada peserta ujian. Dan kepala sekolah yang penyihir lingkaran ke-8 pun tidak menghentikannya.

Itu bukan hal yang dapat dijelaskan begitu saja. Sebagian besar penguji, termasuk Gidokan, masih belum paham apa yang terjadi.

“Trik… ya, bisa dibilang begitu.”

“A-apa maksudnya—”

Teng, greng! Kepala Sir Madoros jatuh berguling ke lantai.

Sinar merah yang berkedip di balik helmnya padam.

Para penguji hampir menjerit.

“H-heooook…!”

Tidak ada luka baru. Tetapi kepala dan tubuh itu terpisah—dan Sir Madoros, sang boneka magitek yang menguji peserta selama seratus tahun, kini mati untuk selamanya.

Kratir bergumam,

“Kalau bukan trik… kau mau menyebut apa lagi hal seperti itu?”


“Ugh, silau.”

Begitu keluar dari ruang ujian, cahaya musim semi yang menyilaukan menimpa Ronan. Ia mengangkat tangan untuk menutupi mata.

Gerbang keluar yang terpesona itu langsung terhubung ke alun-alun besar Akademi Phileon.

“Ronan! Sini!”

Sebuah suara familiar memanggilnya. Marya mudah ditemukan bahkan di tengah kerumunan.

Ia memegang dua gelas jus raspberry dingin. Ia berjalan kecil menghampiri Ronan dan menyerahkan satu gelas.

“Lama banget ya? Bukannya kau setelah aku?”

“Ada sedikit urusan.”

“Urusan? Kayak apa?”

Ronan mengangguk pelan. Ia memikirkan kembali apa yang terjadi tadi.

Wanita bernama Nabiroje itu jauh lebih kuat daripada dugaannya. Bahkan kalau ia berada di kondisi terbaik, Ronan tidak yakin bisa menerima tebasan itu.

Dan aku bahkan tak bisa menebas armornya.

Ia tiga kali mengayunkan pedangnya hanya untuk memastikan. Hanya karena sambungan leher dan tubuh Madoros terbuat dari mana, pedangnya bisa menembusnya.

Bahkan Shulifen berhasil meninggalkan bekas.

Ia hampir lupa… Jenderal Agung tidak memilihnya karena ia “kuat”.
Satu-satunya hal yang membuatnya layak adalah bakat absurd itu—kemampuan menebas raksasa sendirian.

Kini Ronan sadar betapa lemahnya ia.

Anehnya, ia tidak kesal.

Ia meneguk habis jus dalam sekali seruput.

“Hei, tersedak nanti. Pelan-pelan.”

“Puh… aku merasa…”

“Hm?”

Rasa dingin jus meredakan panas tubuhnya. Setelah mengunyah habis esnya, Ronan membuka mulut.

Dengan suara yang hampir bergetar karena bergairah—

“Aku bisa menjadi jauh lebih kuat.”

Ia melihat jalan ke atas. Ia melihat bintang untuk dijadikan kompas.

Itu membuatnya bahagia—sehingga Ronan tertawa.

“Ngomong apa sih tiba-tiba?”

“Ya begitu. Eh, sini lihat.”

“Tunggu, eh?”

Tiba-tiba Ronan menangkup lembut dagu Marya, mengangkatnya sedikit. Ia ingin memeriksa tempat Marya ditampar.

Wajah Marya mendadak memucat dan memanas sekaligus.

“H-hiik.”

“Hmm… syukurlah.”

Ronan memiringkan wajah Marya, memeriksa bekas pukulan. Pipi itu merah mengikuti bentuk jari, tetapi tak ada luka.

Sadar terlambat, Marya menepis wajahnya menjauh.

“A-apa yang kamu lakukan! Tiba-tiba!”

Ronan mengangkat bahu.

Bagi seorang pedagang yang berhadapan dengan banyak klien, penampilan itu penting. Ia hanya memeriksa apakah ada luka. Tidak lebih.

“Hanya memeriksa luka.”

“S-siapa suruh kamu!”

Marya mundur dua langkah. Sekarang bukan hanya pipi kiri—pipi kanan pun memerah.

“K-kurang kerjaan…!”

“Hei, mau kabur kemana?”

Setiap Ronan melangkah maju, Marya mundur. Perilaku aneh seperti adegan teater itu membuat orang-orang menatap.

Saat itu—

“Berhenti di situ, dasar perempuan rendahan!”

Suara yang cukup membuat Ronan merinding. Keduanya menoleh.

Tubuh kurus, pakaian rapi berlebihan—Dearian berdiri di sana.

“Sudah ganti pakaian rupanya? Hebat juga.”

Ronan bersiul. Dearian menelan ludah begitu mata mereka bertemu, lalu berpura-pura tak melihat Ronan dan berseru ke Marya.

Marya kembali memasang aura putri bangsawan dan memberi salam sopan.

“Ada urusan apakah, Tuan Dearian?”

“Urusan…?!”

Orang-orang berhenti berjalan, memperhatikan. Ronan melipat kedua tangan sambil mengamati.

Dearian, setidaknya masih sadar dirinya disorot banyak orang, belum berani menampar lagi.

“Bagaimana kau bisa tanya begitu?! Apa yang kau lakukan padaku! Belum pernah sepanjang hidupku aku dipermalukan begitu!”

“Sepertinya menampar seorang gadis tidak cukup memuaskan Anda.”

“J-jelas tidak! Kau pikir tamparan itu cukup—?!”

“Tetapi, apa sebenarnya kesalahan saya, Tuan Dearian?”

Dearian membeku. Marya meneruskan.

“W-apa?”

“Pedang Anda terbelah dua, celana Anda beterbangan seperti biji dandelion… itu semua bukan urusan saya. Mengapa Tuan, pewaris keluarga bergengsi yang berjasa kepada Kekaisaran, melampiaskan kemarahan pada rakyat jelata yang tidak bersalah?”

“K-Kau…!”

“Jika saya bersalah, mungkin saya hanya terlalu baik telah menenangkan Anda saat itu.”

Nada Marya sangat sopan, tetapi jelas berbeda dari sebelumnya.

Di ruang tunggu ia hanya menjaga etika. Sekarang ia mengatakan apa pun yang ingin ia katakan dengan lembut namun tajam. Ronan klik lidahnya.

Sekarang dia bebas, jadi semaunya. Dasar pedagang tulen.

Lagipula “Sen” adalah nama samaran. Dearian sudah pasti gagal dalam ujian, dan ia takkan punya kesempatan bertemu Marya lagi.

“Aku benar-benar kasihan, Tuan Dearian. Masuk ruang ujian hanya dengan pakaian dalam… Itu tindakan yang bahkan pemabuk kumal pun takkan lakukan…”

Penonton mulai tertawa cekikikan.

“Tapi jangan putus harapan. Mungkin tindakan berani Anda dianggap menarik oleh para penguji. Saya sungguh berharap bertemu Anda lagi di upacara penerimaan murid.”

“K… k… Kkeeeek!!”

“Oh benar. Kali ini, pakai celana ya.”

“WHAHAHAHA!”

Pukulan terakhir. Ronan tertawa sambil menyingkap poni.

Dearian, wajah merah menyala hampir seperti akan meledak, mengangkat tangan dan menunjuk Marya.

“Sial! Aku menantangmu ke duel suci! Aku, Dearian Marsol de Mirodin, memerintahkanmu menerima tantangan ini!”

Kerumunan gempar. Duel suci—bukan sekadar duel biasa—adalah tradisi kuno yang diakui hukum Kekaisaran.

Taruhannya adalah kehormatan keluarga. Yang kalah harus memenuhi satu permintaan dari pemenang tanpa penolakan.

Ronan mengangkat tangan.

“Tunggu, ada pertanyaan. Yang menaruh sapu tangan di celanamu itu aku. Kenapa tantangannya ke si cewek?”

“Ka-kau… nanti akan kubereskan terpisah!”

Ronan tertawa tidak percaya.

Inikah bangsawan? Bocah ingusan bisa se-cemari itu?

“Takut sama aku ya? Yang mudah kau tantang cuma perempuan?”

“Tidak! Yang dia lakukan padaku jauh lebih buruk!”

“Oh ya? Kalau begitu aku yang lawan. Duel sama aku.”

“H-heok! Jangan mendekat!”

Ronan meludah ke telapak tangan dan maju. Dearian ketakutan mundur.

Marya cepat-cepat berdiri di antara mereka.

“Berhentilah kalian berdua.”

Ronan melirik Marya agar minggir. Marya menggeleng keras, lalu berbalik menghadap Dearian.

Dengan sopan ia menunduk.

“Saya, Sen, menerima duel sucimu.”


Mereka bertiga pindah ke lapangan kosong di luar area Phileon. Seorang pria tua—sepertinya pelayan keluarga Mirodin—menjadi saksi.

“Tuan muda… apa-apaan ini? Berselisih dengan rakyat jelata saja sudah memalukan, apalagi sampai duel suci… Jika tuan besar tahu—”

“Diam, kakek! Kau tahu apa yang terjadi padaku?!”

“Melihat Anda pulang hanya memakai pakaian dalam… yah, saya kira saya bisa menebak.”

Dearian merampas long sword dari tangan pelayan itu. Pedang itu tampak mahal dan terawat.

Pelayan tua itu mendesah dan membaca aturan duel suci.

“—Dan kedua belah pihak harus mematuhi hasil apa pun tanpa syarat…”

Penjelasan panjang dan membosankan. Marya menutup mata, kedua tangan di pegangan pedangnya.

Dearian memandangi penonton yang mulai mengelilingi lapangan, menyeringai.

Bajingan perempuan itu. Akan kubuat agar dia tak bisa memegang pedang lagi.

Ia berniat melampiaskan frustrasi ujian praktik pada Marya. Dengan teknik pedang keluarga Mirodin yang terkenal, ia yakin bisa melumpuhkan Marya.

“—Demikian. Kedua pihak, apakah kalian bersumpah menghormati tradisi suci ini?”

“Aku bersumpah.”

“Aku bersumpah.”

Pelayan mengangkat sapu tangan tanda mulai. Bila jatuh ke tanah, duel dimulai.

Keduanya bersiap. Marya menarik dua pedang pendek dari sarung yang tergantung di pinggangnya. Dua kilatan baja keluar bersamaan.

Ia tersenyum manis.

“Tuan Dearian. Izinkan saya menyampaikan rasa terima kasih terlebih dahulu.”

“...Terima kasih?”

“Karena memberi saya hak untuk memukulmu secara sah.”

“—Apa?!”

Sapu tangan itu jatuh.

Sekejap. Marya melompat, memutar tubuh seperti angin puyuh, lalu—

Swaeeek!

Tebasan ganas yang berputar seperti badai mini.

Dearian berhasil meninggikan pedang dan bertahan, tapi itu tak berarti apa-apa.

Pak!

Bagian belakang pedang Marya jatuh seperti palu tepat di tulang selangka Dearian.

“Hueeek!”

“Hilangkan wajahmu dari hadapan kami.”

Marya berbisik. Mata Dearian melebar seperti hendak keluar.

Penonton meringis ketika terdengar suara krek dari tulang yang pecah.

“Itu permintaanku.”

Dearian jatuh terduduk, menjerit seperti bayi baru lahir.

“K-kkkyaaaaaaah!!!”

“T-Tuan muda!”

Teriakan itu hanya mungkin keluar dari orang yang tulang selangkanya hancur rapi. Celana Dearian basah di tengah. Sapu tangan yang tadi diselipkan Ronan jatuh ke tanah.

“Ah, dan maaf agak terlambat…”

“Hah?”

Marya memasukkan pedangnya, lalu menoleh.

Ronan yang bertepuk tangan dengan puas mengangkat alis.

Marya menggaruk pipinya dengan malu, lalu berkata lirih,

“Terima kasih.”

“Dengan senang hati, nona.”

Jeritan Dearian terus menggema lama sekali.
Marya dan Ronan berjalan menuju Menara Ke-4, tempat ujian praktik sihir berlangsung.

Marya tertawa tanpa lagi menutupi mulut ketika Ronan melontarkan candaan.

16. Pengumuman Hasil 

“Di situ dia. Si merah menyala itu.”

Ronan mengacungkan jarinya, menunjuk ke tengah kerumunan. Diseret oleh orang-orang dari segala arah, Aselle tampak seperti tulip merah yang muncul di tengah ladang ilalang.

Dengan berjinjit dan menoleh ke segala arah, Aselle akhirnya melihat Ronan dan Marya dan melambai.

“Ronan! Marya!”

“Bocah itu kayaknya ujian bagus banget.”

“Ya. Siapa pun bisa lihat.”

Wajah Aselle cerah seperti langit biru tanpa awan. Setelah ujian praktik selesai, ketiganya pergi ke restoran yang Marya rekomendasikan—tempat terkenal di ibu kota untuk hidangan ayam.

“Ehehehe…”

Sejak mulai makan, Aselle tidak berhenti tersenyum seperti orang mabuk. Mengunyah suap kecil lalu tertawa hehehe membuatnya tampak seperti anak kurang gizi. Ronan yang tak tahan akhirnya membuka mulut.

“Apa hebatnya sampai senyum-senyum begitu? Kau bersihkan bokong para penguji pakai telekinesis, hah?”

“Mau mati?”

Marya melemparkan sayap ayam yang dipegangnya. Aselle yang baru tersadar akhirnya menceritakan apa yang terjadi saat ujian.

“Sialan, kau ngangkat tiga puluh batang gelondongan sampai ke langit-langit? Lalu muter-muterinnya juga?”

“Uh-huh…”

Di antara semua peserta hari itu, hanya Aselle yang menguasai telekinesis. Mungkin karena itu, para penguji cukup ramah, dan Aselle berhasil menunjukkan tekniknya tanpa kesalahan.

“Kau saja yang lakukan semua itu, Aselle. Sekalian pindahkan rumahku ke sini.”

Anak ini benar-benar jenius atau apa?
Ronan tercengang sambil menggigiti paha ayam sebesar kepala manusia. Mengingat betapa ia dulu susah payah mengangkat seorang anak kecil, perkembangan ini luar biasa.

Setelah selesai makan, mereka kembali ke tempat tinggal masing-masing. Ujian tertulis tinggal hitungan hari; tidak ada waktu untuk bersantai. Saat sedang tengkurap di kasur mengulang pelajaran, Aselle bertanya,

“Ronan… kau yakin tidak mau latihan lagi?”

“Begini… atau sudutnya begini ya… hm? Apa?”

Ronan sedang meniru teknik pedang yang digunakan Nabiroje di ujian sebelumnya. Karena belum pernah melihat teknik seperti itu, ia sangat tertarik. Buku catatannya tergeletak di pojok kamar bersama cucian kotor.

“Kau memang belajar keras… tapi soal-soalnya nanti bisa saja sulit.”

Nilai ujian tertulis memang tidak sebesar ujian praktik, tapi tetap sangat penting. Ronan mendengus.

“Kau ini, cuma bikin cemas. Tanya apa saja. Kujawab semua.”

“Mm… kalau begitu… gaya arsitektur utama daerah barat Doranda?”

“Aresco.”

Mata Aselle membelalak. Ia membalik halaman-halaman bukunya dan memberikan beberapa pertanyaan lagi.

“L-lalu… tiga prestasi besar Archmage Lorhon?”

“Menara Spiral, sihir atribut cahaya, dan Api Mendidih.”

“Nama makhluk fantasi yang disebut Ibu Api?”

“Red Dragon Navardoje.”

Ronan menjawab sambil tetap mempraktekan gerak pedang. Dari sepuluh pertanyaan lanjutan, ia menjawab delapan dengan sempurna. Aselle tanpa sadar bertepuk tangan.

“H-hebatan, Ronan! Serius!”

“Gila, aku bahkan ngirit waktu buang air hanya buat menghafal semua ini. Kalau aku nggak tahu, itu baru aneh.”

Mengingat ia tidak punya dasar pengetahuan umum sama sekali, Ronan menghafal keseluruhan buku yang Marya pinjamkan. Dua soal yang tidak bisa dijawab adalah soal rumus mana yang membutuhkan perhitungan.

Ia menyerah pada matematika dan memilih menghafalkan segalanya.

Mengalihkan punggungnya, Ronan kembali memasang kuda-kuda. Jalur pedang misterius Nabiroje kembali ia ulang di ruangan kecil itu.

“Syukurlah…”

Aselle menarik napas lega dan menutup bukunya. Ia sebenarnya tidak percaya Ronan akan belajar serius untuk ujian tertulis. Tapi ini bahkan sangat baik.

Dengan bersenandung kecil, Aselle mengambil satu buku lagi dari tasnya—bagian dua dari buku Marya. Separuh informasi lain ada di situ.

Dia pasti sudah menghafal bagian dua juga… kan?

Aselle tak bertanya lebih jauh. Melihat Ronan hafal sempurna bagian pertama, ia menganggap mengingatkan soal bagian dua hanya akan tampak bodoh.

Tidak mungkin ia cuma mempelajari bagian pertama, kan…? Itu kayak lelucon murahan.

Tiga hari kemudian, mereka mengikuti ujian tertulis di Gedung Utama Galerion. Hasil kelulusan diumumkan pada hari yang sama.


“Menyebalkan sekali hidup ini.”

Malam itu begitu cerah. Di bawah sinar bulan penuh keperakan, lapangan utama dipenuhi peserta ujian yang datang untuk melihat hasil kelulusan.

Ronan berdiri di tengah keramaian sambil merokok. Sorot matanya kosong; setengah jiwanya seperti hilang. Aselle panik menarik ujung bajunya.

“R-Ronan, kita kembali ke Profesor Baren saja! Minta rekomendasi sekali lagi! Ya? Ya?”

“Aku lebih baik tancapkan pedang ke anusku dan potong semangka daripada melakukan itu.”

“K-katanya waktu itu kau akan memohon kalau perlu…”

“Tidak boleh bercanda, hah?”

“T-terus gimanaaa…”

Aselle hampir menangis. Rasa bersalah menjerat dadanya seperti ular besar. Ronan mengembuskan asap, santai.

“Kau kenapa yang khawatir? Kalau gagal ya aku yang gagal.”

“T-tapi itu salahku… kalau saja aku tanya waktu itu…”

“Sudahlah. Toh kalau aku tidak tahu saat itu, aku tetap gagal.”

Yang namanya “ah, paling tidak mungkin begitu”—memang selalu mematikan. Ronan bahkan tidak tahu buku bagian dua ada. Ia hanya mengandalkan ingatan dan pengetahuan seadanya. Setengah soal ujian hilang begitu saja.

“Ehh, jangan terlalu khawatir.”

Marya menepuk punggungnya. Tidak seperti Aselle yang gelisah, Marya sama sekali tidak tampak khawatir.

“Kalau gagal, masuk saja tahun depan sebagai junior-ku. Eh? Makanya nggak jelek kan?”

“Terima kasih ya, doanya.”

Marya terkekeh. Meskipun bercanda, ia tidak pernah menganggap Ronan bisa gagal.

Setelah bertarung dengannya, Marya sangat yakin. Kemampuan pedangnya membuat nilai tertinggi pun bukan hal aneh.

Saat itu—

Sebuah bola api biru ditembakkan ke langit.

Fwoooossh!

Sampai mencapai ketinggian tertentu, bola itu meledak dan berubah menjadi seekor elang raksasa. Marya menarik dua bocah itu seperti memeluk beruang.

“Mulai diumumkan!”

“K-keuk!”

Aselle tersedak karena lehernya tercekik. Elang itu membuka sayap. Di bentangan sayap yang mengitari langit lapangan, daftar kelulusan terpampang penuh.

Sihir khusus memperkuat penglihatan dan kemampuan membaca, sehingga para peserta dengan mudah menemukan nama mereka. Tak lama kemudian, sorak-sorai bercampur ratapan terdengar dari segala penjuru.

“Lulus! Aku luluuus!”

“A-aku juga!!!”

“AAAAA!! TIDAAAAK!”

Kebahagiaan dan keputusasaan bercampur. Ada gadis yang tiba-tiba menangis dan jatuh terduduk, ada pula idiot yang berguling-guling melakukan headspin.

Yang gagal jauh lebih banyak daripada yang lulus.

“M-Marya… itu!”

Aselle menunjuk bagian tengah sayap kanan. Marya menoleh—dan membeku seperti batu.

Nama yang sangat ia kenal terpampang jelas, bersama peringkatnya.

[Departemen Seni Bela Diri / Marya Carabel: Praktik peringkat 9, Tertulis peringkat 9(4)]

“Ah…”

Nilai yang cukup tinggi untuk beasiswa. Marya menatap kosong, dan seluruh usaha yang ia kerahkan selama ini menyapu lewat benaknya, membuat matanya berkaca-kaca.

“Ehh, brengsek.”

Ia cepat mengusap mata dengan lengan baju. Lalu menatap kembali daftar itu—dan mendadak berteriak.

“HEY! LIHAT PALING ATAS!”

Aselle masih mencoba menemukan namanya sendiri. Marya mengangkatnya seperti karung beras dan mengarahkannya ke sayap kiri.

“Lima belas dari kiri! Turun tiga baris!”

“Eh…?”

Clang. Tongkatnya terjatuh.

[Departemen Sihir / Aselle: Praktik peringkat 12, Tertulis peringkat 1(3)]

“A-aku… peringkat pertama… tertulis…?”

“Nak manis! Ini… apa yang terjadi hah?!”

Marya memeluk Aselle erat-erat. Sulit dipercaya bahwa ia hanya belajar sebulan. Praktik mungkin agak terbantu karena telekinesis, tapi untuk meraih peringkat pertama tertulis… beban soalnya pasti ia jawab nyaris sempurna.

“Tapi angka (3) itu apa?”

“Itu artinya tiga orang lainnya memiliki nilai sama. Salah satunya pasti Shulifen… yang satu lagi, yah, aku juga tahu orangnya.”

Ini tentang gadis yang baru diangkat sebagai anak keluarga Akalusia. Seorang jenius yang menguasai tiga atribut sihir sekaligus. Mungkin dialah kepala kelas Departemen Sihir.

“Sepertinya aku harus memanggil kalian sunbaenim.”

Terdengar tawa dari samping. Keduanya menoleh—dan wajah mereka menegang.

Ronan berdiri di sana, merokok sambil menatap daftar pengumuman.

“T-tunggu Ronan… namamu… tidak ada?”

“Hei, jangan bercanda.”

“Ya masuk tahun depan saja. Apa susahnya.”

Ronan hanya mengangkat bahu dan menunjuk ke udara. Cari sendiri, katanya.

Aselle mengangkat dirinya dengan telekinesis dan mulai memindai daftar itu lagi.

“Tidak… tidak ada… serius…”

Suaranya gemetar. Marya mencengkeram lengan Ronan erat-erat.

“T-tidak mungkin. Pasti ada. Pasti.”

“Tidak ada.”

“Jangan bilang begitu!”

Marya berusaha tenang, tapi napasnya mulai tercekat. Ronan hanya mengibaskan abu rokok. Mereka terus mencari dengan panik.

“I-ini… gila…”

Nama Ronan tidak ada. Tidak peduli berapa kali mereka periksa.

“Ini pasti kesalahan. Ya? Tidak mungkin begini.”

“Marya.”

“Nggak masuk akal! Mana mungkin begini?!”

Marya memegang kedua bahu Ronan dan berteriak. Air yang memenuhi matanya jelas terlihat. Ronan hanya tersenyum pahit.

Saat itu bola api lain ditembakkan ke langit.

PANG!

Warnanya merah—berlawanan dengan biru sebelumnya, dan jauh lebih terang.

“itu…?”

Di antara mereka bertiga, hanya Marya yang tahu apa itu.

Glory Phoenix.
Burung api pengumuman khusus untuk peringkat 1 dan 2 seluruh akademi.

Burung itu terbang naik, membentuk wujud phoenix raksasa dan menyelimuti langit.

FWOOOOOOSH!

Sayapnya terbentang, dan cahaya keemasan memenuhi langit seperti matahari terbit.

Kerumunan berteriak.

“WOOOOOAAAHHH!!”

Marya dan Aselle tetap mencari nama Ronan… sampai mereka tak tahan lagi dan mendongak.

Lalu membatu.

“Eh? Kenapa kalian begitu?”

“R-ro… Ronan… i-it… itu…”

“Ayo bicara yang jelas!”

Aselle membuka mulut, tapi hanya suara burung sekarat yang keluar. Marya sama buruknya.

Frustrasi, Ronan akhirnya menatap langit.

Empat nama terpampang jelas.

[Departemen Seni Bela Diri — Peringkat 1 / Shulifen Siniban de Grancia]

[Departemen Sihir — Peringkat 1 / Erzebeth de Akalusia]

Nama peringkat satu bercahaya emas, luar biasa besar, terlihat dari seluruh ibu kota.

Yah, peringkat satu Departemen Seni Bela Diri memang Shulifen. Tapi siapa Erzebeth?

Ronan melihat ke bawah.

Nama peringkat dua terpampang dalam cahaya perak.

[Departemen Seni Bela Diri — Peringkat 2 / Ronan]

[Departemen Sihir — Peringkat 2 / Pion Shalphine]

Ronan menjatuhkan rokok yang masih menyala dari mulutnya.

17. Bintang Utama Kekaisaran

[Peringkat 2 Jurusan Ilmu Bela Diri / Ronan]

Pipa rokok yang terselip di bibir Ronan jatuh. Dalam sekejap, waktu terasa memanjang seperti diregangkan.

Kebisingan alun-alun menjauh, dan yang tersisa hanyalah huruf perak yang membara terang, memenuhi sudut kecil dalam pandangannya yang menyempit.

Wakil juara.

Tulisan yang berkilau di depan namanya memang jelas menunjukkan hal itu.

Wakil juara? Apa artinya, ya…? Yang jelas bukan sesuatu yang buruk. Atau… nama buah?

Saat itu, suara Aselle terdengar dari entah mana.

“Ro-Ronan! Ka-ka-kau! Kau wakil juara!!”

“Hah?”

“Kedua dari atas! Kau berhasil!”

Ah, benar. Itulah artinya.

Waktu kembali mengalir normal. Ronan mengedipkan mata beberapa kali lalu menunduk.

Wajah Aselle yang hampir menangis masuk ke dalam penglihatannya. Marya berlari menghampiri lalu langsung melompat memeluk leher Ronan.

“Aku bilang kau pasti berhasil, kan? Ya?!”

Ia memeluk Ronan erat-erat, tidak berniat melepaskan. Ronan menepuk punggungnya, lalu pandangannya kembali ke tulisan kecil di samping namanya.

[Peringkat 2 Ilmu Bela Diri / Ronan: Praktik peringkat 1, Teori peringkat 5712]

“Hah.”

Tawa tidak percaya lolos dari bibirnya. Peringkat 5712. Angka itu bahkan terlalu menyedihkan untuk disebut peringkat.
Ia penasaran: berapa banyak nilai yang diberikan penguji pada hasil praktik sampai-sampai skor teori yang hancur seperti itu tetap membawa dirinya ke peringkat dua?

“Lumayan juga mereka bisa menilai orang.”

Ya, itu tidak penting. Yang penting hanyalah satu hal: dia berada tepat di bawah peringkat tertinggi.
Beasiswa dan berbagai fasilitas akan mengikutinya.

[Peringkat 1 Ilmu Bela Diri / Schlippen Siniban de Grancia: Praktik peringkat 2, Teori peringkat 1 (diikat 3 peserta)]

Hanya satu hal yang sedikit menggelitik pikirannya:
Ia mengalahkan Schlippen di ujian praktik.

Ronan mengklik lidah, mengingat masa lalunya.

Ini bisa bikin repot kalau bocah itu tersinggung.

Schlippen memang jenius, tapi masalahnya adalah sifat bawaan:
ia tidak tahan jika ada orang yang berada di atasnya, meski hanya setengah langkah.

“Yah… kalau begitu, aku pulang dulu.”

Saat Ronan hendak berbalik bersama dua temannya, tiba-tiba sebuah sensasi dingin mengalir naik di tulang punggungnya.

“Hngh…!”

Sensasinya seperti angin musim dingin yang merobek kulit—tidak nyaman, namun sangat familiar.
Seakan-akan angin itu sendiri berbisik di telinganya.

“Tidak mungkin. Jangan bilang…”

Ronan menelan ludah dan perlahan memutar kepala. Pandangannya berhenti pada satu titik.

Seorang anak laki-laki berseragam biru tua berjalan lurus ke arahnya.

Ronan memejamkan mata sesaat sambil memaki pelan.

“Sialan.”

Ia mengenali wajah itu. Bahkan dari jarak sepuluh meter lebih—mustahil untuk tidak mengenalinya.

Kerumunan secara alami membuka jalan.

“L-Lihat dia… itu wajah manusia?!”

“B-Bintang Utama Kekaisaran…”

“Merupakan kehormatan bertemu Anda!”

Akhirnya, anak itu berhenti tepat di depan Ronan.

Orang pertama yang bereaksi adalah Marya. Ia mendongak, melihat wajah anak itu—lalu matanya terbuka lebar seolah ingin melompat keluar.

“Sc-Schlippen?!”

Tinggi, rupawan, dan penuh martabat.
Rambut biru gelapnya sepekat lautan dalam.
Wajahnya masih terlihat muda, tapi dinginnya—sedingin bongkahan es yang dipahat—tetap sama.

Kelak, anak laki-laki ini akan menjadi pendekar terkuat di seluruh benua.

Schlippen membuka mulut dengan suara rendah.

“Kaulah yang bernama Ronan.”

“Hah? Bukan aku.”

Ronan bersiul sambil memalingkan wajah.
Aselle dan Marya menegang seketika.
Alis Schlippen berkerut tipis.

“Mengapa kau berbohong?”

“Berbohong apanya? Kau punya bukti aku Ronan? Dan sejak kapan kita sedekat itu sampai kau seenaknya bicara informal?”

“…Bukti, ya.”

Schlippen diam.
Sebenarnya ia punya dua bukti kuat.

Pertama, ia mendengar percakapan Ronan dan teman-temannya.
Kedua, ia melihat energi mereka.

Aselle — cincin aura melilit jantungnya.
Marya — gumpalan mana tumbuh di pusat tubuhnya.
Ronan — pulsasi mana yang aneh, tidak dapat dijelaskan.

Namun ia tidak mengucapkan satu pun dari itu.

“Sial!”

Ronan tiba-tiba mengumpat dan mencabut pedang.
Dalam sekejap, Schlippen juga bergerak—percikan api meletup di udara.

KLANG!

Suara benturan menyusul beberapa detik kemudian.

“Kyaaa!”

“Mereka-mereka berkelahi!!”

“Ronan!!”

Semuanya terjadi terlalu cepat.
Tidak satu pun dari kerumunan yang melihat prosesnya.

Pedang hitam Ronan dan pedang mithril Schlippen saling menekan, bergetar seperti dua binatang buas.

Schlippen bergumam pelan.

“Itulah buktinya.”

“Hah?!”

“Kalau bukan kau juara praktik, kau tidak akan bisa menangkis serangan itu. Aku ingin tahu teknik apa yang kau gunakan.”

“Kau gila, ya?!”

Ronan memaki keras.
Obsesi seperti ini sudah lewat batas waras.

Bahkan ketika bertemu dengan Schlippen di medan perang di kehidupan sebelumnya—ia tahu bocah ini tidak normal.
Tapi ternyata, sejak muda pun kelakuannya sama saja.

“Baik. Ini yang kau mau!”

Kalau sudah begini, diam berarti pengecut.
Ronan mencengkeram pedangnya dengan kedua tangan.

KILAT!

Tiga tebasan meluncur sekaligus.
Mata Schlippen membesar—untuk pertama kalinya, ekspresi kaget muncul.

“Kgh!”

KLANG! KLANG! KLANG!
Tiga bunga api mekar di udara tanpa jeda.

Ronan memutar pedang dan meludah.

“Sudah cukup?”

“Memang pantas jadi juara praktik.”

Kalau pedang itu bukan mithril, pasti sudah remuk.

Ronan mendengus.

“Dengar ya, bocah. Kalau seumur hidupmu selalu juara satu, sesekali belajarlah puas jadi nomor dua.”

Schlippen menatap potongan halus di ujung pakaiannya—lalu mengangguk kecil.

Serangan itu… benar-benar berbahaya.

Ronan hendak menyarungkan pedang saat—

“Aku tetap tidak bisa menerima bahwa kau berada di atasku.”

“Hah?”

“Tunjukkan sisanya. Apa pun yang kau sembunyikan.”

Dalam sedetik, ekspresi Schlippen berubah.
Ia menusuk maju.
Ronan menahan sambil berteriak.

“Kau gila?! Apa maumu?!”

Schlippen tidak menjawab.
Hanya serangkaian tebasan cepat—belasan serangan dalam hitungan detik.

Percikan api, udara yang teriris, tusukan yang nyaris menyayat pipi.

Ronan menyesali keputusannya tidak kabur lebih cepat.
Berurusan dengan maniak seperti ini adalah mimpi buruk.

Lalu pikiran buruk melintas.

Jangan bilang… dia mau pakai O—

Hatinya mencelos.

Kalau Schlippen mengaktifkan auranya—Pedang Badai—meskipun belum berkembang penuh, akibatnya akan fatal bagi seluruh kerumunan.

Ia harus mengakhiri ini segera.

Ronan memutar otak.
Lalu — sebuah ide menyambar.

Oh, benar. Aku punya ini.

Ia menatap bilah mithril Schlippen, lalu merogoh saku dalam.

Tangannya menggenggam sebuah benda bulat.

Dengan tangan kiri yang disembunyikan di belakangnya, ia membuat tanda V dengan dua jari.

Aselle, yang sejak tadi ketakutan di belakang, terbelalak keras.

Itu kode rahasia mereka — artinya:

[Kabur]

“M-Marya. Ayo.”

“H—Hah?! Ke mana?!”

Aselle menyeret Marya, menghilang ke dalam kerumunan.

Tebasan baru meluncur.

Ronan menurunkan pedang, lalu mengangkat tangan kanan setinggi wajah.

“Berhenti.”

“Apa…!”

Schlippen berusaha menghentikan ayunan, tapi terlambat.
Bilah mithril itu menghantam telapak tangan Ronan.

CHAAAAANG—!!!

Suara aneh dan memekakkan telinga meledak di seluruh alun-alun.

“Kh…?!”

Kerumunan menjerit, menutup telinga.
Itu adalah resonansi mithril — suara yang bahkan bisa mengguncang organ dalam.

Schlippen kehilangan pegangan dan melepaskan pedang.

Ronan menyambar kesempatan itu dan—

BUK!

Memberikan tandukan keras ke wajah Schlippen.

“Agh!”

Bocah itu terhuyung, memegangi hidung yang berdarah deras.

Ronan menatap telur Marpez di tangannya dan tersenyum puas.

“Memang luar biasa. Bahkan belum menetas sudah begini berguna.”

Ia menyelipkan telur itu kembali ke dalam saku.

Kemudian ia menunjuk Schlippen yang mencoba bangkit.

“Dingin dulu kepalamu sampai hari upacara masuk! Jadi laki-laki, tahu diri kalau kalah!”

“Ber… hentikan…!”

Ronan tak peduli. Ia berbelok dan menghilang ke tengah kerumunan.

Ronan sudah menghilang ke dalam kerumunan ketika para penjaga berbaju zirah berlari tergesa-gesa menuju lokasi bentrokan.

Mereka mengenali Schlippen dalam sekejap dan buru-buru menopangnya.

“Ya—Yang Mulia Schlippen! Apakah Anda baik-baik saja?! Suara barusan itu apa?!”

Schlippen bangkit sambil memegangi hidung yang meneteskan darah.
Ia mencoba memperluas mananya untuk melacak jejak mana Ronan dan teman-temannya—tetapi mereka sudah terlalu jauh. Tidak ada satu pun jejak yang tersisa dalam jarak deteksi.

“…Tidak apa-apa.”

“Siapa yang berani melakukan ini?! Tolong jelaskan ciri-cirinya, dan kami akan segera—!”

“Saat ini aku masih berstatus peserta ujian.”

Para penjaga mematung, tidak langsung memahami maksudnya.

Beberapa detik berlalu sebelum mereka sadar:
Schlippen sedang memperingatkan agar mereka tidak menggunakan bahasa hormat berlebihan kepadanya.
Ia hanya peserta ujian, bukan bangsawan yang sedang menjalankan tugas resmi.

“Ah—! M—maaf… m-maksud saya… baik. Baik.”

“Dan tidak terjadi apa-apa. Aku hanya meminta lawan untuk sparring ringan, dan dia menerima. Tidak ada alasan untuk mengkhawatirkan.”

“Tetapi tetap saja—”

“Sebagai pewaris keluarga Grancia, aku menjamin semuanya baik-baik saja.”

Begitu mendengar nama Grancia, para penjaga serempak terdiam.
Jika pewaris keluarga Grand Duke sendiri berkata demikian—mereka tak berhak membantah.

Dengan hormat, mereka menunduk dan mundur selangkah.

Schlippen menunduk, mengambil pedangnya yang tergeletak di tanah.

Saat ia menatap bilahnya, matanya membesar.

Retakan kecil.
Hampir tak terlihat—tetapi tetap saja retakan.

Pedang mithril, yang seharusnya mampu menahan ritual sihir skala kecil tanpa goresan.

“…Apa ini?”

Ada terlalu banyak hal yang tidak masuk akal.

Pertama, ledakan suara aneh itu.
Itu adalah resonansi mithril, sesuatu yang sangat sulit tercipta kecuali mitranya dipukul dengan objek tertentu yang memiliki sifat khusus.

Kedua—yang paling mengganggunya—

mana yang ia rasakan sejak awal tidak berasal dari Ronan.
Tapi dari benda bulat yang dipegang Ronan.

“Jadi… mana itu tidak keluar dari tubuhnya.”

Schlippen terdiam sejenak.

Ia mengingat pertempuran singkat mereka.
Ia tidak mengaktifkan aura, tapi tetap menggunakan mana dalam kadar cukup besar ke dalam bilah pedangnya.

Ia yakin Ronan juga melakukan hal yang sama… tapi kenyataannya tidak ada aliran mana yang muncul dari tubuh Ronan.

“…Mustahil.”

Ia mempertimbangkan satu kemungkinan:
bahwa Ronan sama sekali tidak memakai mana dalam pertempuran.

Tapi ia langsung menggeleng.

Itu tidak mungkin.
Benar-benar tidak mungkin.

Bahkan jenius mana pun, bahkan anak ajaib dari keluarga bangsawan sekalipun, tidak bisa menghasilkan tebasan seperti itu tanpa satu tetes mana.
Mustahil.

Jika harus memilih alternatif, hanya ada satu kemungkinan yang lebih masuk akal:

Ronan memiliki jenis mana yang nyaris tidak terdeteksi—
yang disebut sebagai “mana bayangan”.

Fenomena langka yang hanya muncul sekali dalam beberapa abad.
Mana yang tidak memancarkan cahaya, tidak meninggalkan gelombang, hampir tidak bisa dirasakan kecuali oleh mereka yang benar-benar berada di puncak.

Jika itu benar—

“…Persetan.”

Darah di hidungnya berhenti mengalir. Dengan pikiran jernih kembali, ia merasa udara malam lebih dingin.

Kata-kata Ronan kembali menggema di kepala:

“Jadi laki-laki, tahu diri kalau kalah!”

Schlippen mengembuskan napas panjang.
Ia harus mengakui satu hal:
Ia terlalu emosional.
Fakta bahwa ia kalah di ujian praktik—bahkan selisih kecil pun—telah membuatnya panas kepala.

Ia mendongak.

Nama-nama para peserta yang diterima masih terpampang jelas di langit, bercahaya bersama bintang-bintang.

Ia menatap satu nama.

Ronan.

Pegangannya pada pedang mengencang.

Filion Academy.
Ia selalu menganggap akademi itu sebagai sekadar batu loncatan menuju gelarnya kelak sebagai Sword Saint.

Tetapi malam ini, pandangannya berubah.

Ada sesuatu—atau lebih tepatnya, seseorang—yang membuat langkahnya berdebar sedikit lebih cepat.

Schlippen merasakan detak jantungnya berbeda dari biasanya.
Lebih cepat.
Lebih kuat.

Perasaan yang tidak ia pahami, tapi tidak sepenuhnya buruk.

Ia melangkah pergi menuju keramaian kota.
Bintang-bintang di atasnya menyala lebih terang dari biasanya.

Dan ia tidak menyadari bahwa nama perasaan itu adalah… antisipasi.

8. Darah dan Telur (1)

“Ini kira-kira di mana…”

Sudah sehari berlalu sejak pengumuman kelulusan.
Ronan dan Aselle berjalan di hutan sejak pagi buta.

Mereka berada di Hutan Shemo, hutan luas yang menempel di pinggiran ibu kota.
Aselle, yang sejak tadi mendesah gelisah, bertanya dengan suara cemas.

“Ro–Ronan… b-benaran nggak apa-apa?”

“Kamu masih mikirin itu? ‘Kan kubilang nggak apa-apa.”

Aselle tidak tidur sedetik pun semalam, dan lingkar matanya menjadi gelap.
Semua karena insiden Ronan dan Schlippen.

Begitu ia memejamkan mata, ia merasa pembunuh bayaran kiriman Schlippen akan datang menancapkan belati ke jantungnya kapan saja.

“Tapi dia bangsawan… kalau kamu sampai dibalas dendam sama dia…”

Aselle takut.
Bukan hanya karena cerita tentang bangsawan brengsek bernama Dearyan tempo hari.

Berkelahi dengan pewaris salah satu rumah bangsawan terbesar setelah keluarga kekaisaran, bahkan mematahkan hidungnya lalu kabur… siapa pun akan panik.

Namun Ronan menggeleng mantap.

“Schlippen itu orang baik. Dia cuma berubah kalau situasinya kena pemicunya.”

Nada suaranya yakin.
Kalau Ronan tidak benar-benar mengenal Schlippen, ia tidak akan mau terlibat dengannya.

Walau hanya sesaat mereka bertemu, Ronan tahu satu hal:
Jika bukan karena obsesi gila pada kekuatan, Schlippen adalah contoh bangsawan ideal.

Orang yang menjaga kehormatan, tidak sombong, dan tahu melindungi yang lemah.

“Jadi santai aja, bodoh. Dia pasti udah menganggap kejadian kemarin itu salah dia sendiri.”

“Ma—masa sampai sejauh itu…?”

“Kalau kamu pikir, kita kan nggak ditangkap pagi ini. Itu jawabannya, ‘kan?”

“Ke—kira-kira iya…”

Aselle akhirnya bernapas lega.
Sementara itu Ronan membuka gulungan perkamen dan memiringkannya.

Peta kasar itu menunjukkan lokasi sebuah gejolak mana bernama Mata Air Penardo.
Peta itu digambar langsung oleh Profesor Barren si Werelion, dengan tangannya yang besar dan berbulu tebal.

“Dia benar-benar payah menggambar. Atau harusnya aku kagum karena tangan sebesar itu masih bisa bikin peta begini?”

Upacara masuk akademi masih dua minggu lagi.
Sebelum pulang kampung, Ronan memutuskan mencari gejolak mana itu dulu.

Ia juga mengajak Marya ikut, tapi gadis itu harus menyelesaikan urusan kelompok dagangnya.

“Seharusnya di arah sini…”

Menurut peta, lokasi itu tinggal mengikuti aliran sungai yang membelah hutan.
Tapi jajaran pohon birch yang menjulang membuat sungai hampir mustahil terlihat.

Ronan meremas peta itu dan mengumpat.

“Sial, bikin repot aja. Ayo, terbangkan aku ke atas, Aselle. Sampai pucuk pohon.”

“O-oke! Invisible Hand!”

Aselle mengangkat tongkatnya.
Tubuh Ronan terangkat melayang. Ronan bisa merasakan kecepatannya jauh lebih cepat dari sebelumnya.

“Ooh, sekarang benar-benar cepet!”

Rasa ‘goyangannya’ pun jauh lebih halus.
Dulu terasa seperti anak kecil yang tidak bisa mengendalikan kekuatan,
sekarang seperti tangan lembut seorang kakak perempuan yang mengangkatnya perlahan.

Begitu mencapai pucuk pohon, Ronan menghunus pedang.

—Srak!

Kanopi hijau terbelah, dan panorama Hutan Shemo terbentang luas.
Di antara pepohonan, terlihat garis tipis berkelok—itu sungai yang mereka cari.


Ronan bersikeras tidak mau berjalan kaki mengikuti aliran sungai.
Ia mengusulkan: “Kenapa nggak naik rakit saja?”

“Ini kayak nostalgia. Waktu cepat sekali lewat.”

“Iya…”

Jadilah mereka berdua berbaring santai di rakit sederhana.
Di atasnya, awan-awan putih lembut bergerak perlahan melewati langit biru.

Ronan mencabut pipa rokok dari bibirnya dan menyodorkannya.

“Mau coba?”

“H-hah? Ah, ng–nggak… nggak apa-apa.”

“Ck, pengecut.”

Ia kembali mengisap dalam-dalam.
Aselle, sambil menjulurkan tangan ke sungai, bertanya:

“Kamu belajar bikin rakit di mana?”

“Di militer.”

“Mi—militer? Apa maksudmu…”

“Ada urusannya, bodoh.”

Walau ia lihat sendiri, Aselle tetap sulit percaya.
Ronan membuat rakit itu dalam waktu kurang dari satu jam.
Itu salah satu keterampilan bertahan hidup yang ia pelajari sebagai prajurit hukuman.

Rakit dari batang kayu dan sulur tanaman itu jauh lebih nyaman daripada berjalan.

“Heran juga, ya. Dia sampai rela ngasih tau lokasi gejolak mana yang dia simpan sendiri. Si singa itu dermawan amat.”

“Gejolak mana itu sesulit itu dicari?”

“Tentu saja. Menemukan satu saja bisa mengubah hidup.”

Ronan mengingat percakapannya dengan seorang tetua dahulu.
Orang tua itu menghabiskan seumur hidup mencari gejolak mana.

Ia menyebutnya “kolam tempat mana menggenang”—
tempat di mana mana yang berkeliaran di dunia terkumpul oleh sebab-sebab tertentu.

“Begitu lokasi gejolak mana ketahuan, itu otomatis jadi milik Kekaisaran.
Makanya keberadaannya selalu dirahasiakan.”

“Kenapa?”

“Karena bahkan sebongkah batu di tempat itu saja harganya kayak emas. Tergantung kasusnya, tapi biasanya begitu.”

Beberapa petualang memang menyebut gejolak mana sebagai “tambang emas di atas tanah”.

Mana yang menggenang itu meresap ke lingkungan, mengubah batu biasa menjadi batu mana, rerumputan liar jadi herbal berkhasiat, dan seterusnya.

Aselle akhirnya mengangguk.

“Makanya kamu bawa banyak kantong dan botol air di tas, ya?”

“Namanya juga ‘Mata Air Penardo’.”

Air pun berubah karena gejolak mana.
Air yang keluar dari sebuah mata air di pusat gejolak berubah menjadi sejenis eliksir alami.

Karena itu Ronan membawa banyak kantong dan botol kosong.

“Ngomong-ngomong, bisa jadi tempat ini belum ditemukan orang…”

Ronan teringat gejolak-gejolak mana yang ia temui di masa lalunya—
semuanya sudah dinasionalisasi, atau lebih parah, sudah kering kerontang sampai butiran mananya habis dipanen.

Ia tahu sekitar lima atau enam lokasi lain.
‘Nanti juga kusambangi satu per satu.’

“Oh iya, Ronan.”

“Hm?”

“Telurnya… aman nggak? Kemarin itu…”

“Oh, benar.”

Ronan merogoh kantongnya, mengeluarkan telur Marpez.

Masih jelek seperti biasanya, bulat kusut seperti gumpalan kotoran kering—
tapi entah kenapa, hari ini terlihat sedikit lebih cantik.

Ia penyelamat nyawanya dari Schlippen, bagaimanapun bentuknya.

Ronan mengangkat telur itu.

“Jangan bilang, kamu ngambek kayak cewek?”

Tentu saja telur itu tetap diam.

Ia melempar telur itu sedikit ke udara, menangkapnya kembali, lalu memejamkan mata.

Malam itu mereka tidur di atas rakit.
Cahaya bintang yang bertebaran seperti hujan seakan menjadi selimut mereka.

Dan Ronan bermimpi:
Marpez membakar ibu kota,
sementara Schlippen menari sambil memohon nyawa.


Keesokan harinya, tepat tengah hari, mereka tiba di Mata Air Penardo.

Daun-daun pohon berpendar lembut oleh efek gejolak mana.

“Ini dia. Udara di sini enak juga.”

Di tengah mata air kecil itu, air bening memancar perlahan.
Kecil, tapi terlihat sangat dalam.

Semak-semak dengan pendar kebiruan tumbuh di sekeliling.
Beberapa batu berubah warna menjadi biru kehijauan—tanda proses “batu mana”.

“Lebih biasa dari dugaanku.”

Ronan mendecak sinis.
Ada keindahannya, tapi dibanding pemandangan gila yang pernah ia lihat—tempat ini sederhana.

“Hm… rasanya ada yang aneh. Perasaanku saja?”

“Waahhhh…”

Tapi reaksi Aselle berbeda.
Ia terpukau, sama seperti saat pertama kali melihat ibu kota.

Menghirup dalam-dalam, ia berbisik:

“Belum pernah aku lihat tempat dengan mana sebanyak ini.”

“Sial, apa bedanya sih? Aku nggak lihat apa-apa.”

“Bukan ‘lihat’… tapi rasanya penuh. Sangat penuh. Kayak terlihat, saking banyaknya.”

Ia merasa bisa memakai sihir jauh lebih kuat dari biasanya.

Ronan mendecak.

“Setan, mana lagi mana lagi. Suatu hari aku juga harus bisa ngerasain itu, sumpah.”

Saat Ronan melihat sekeliling, Aselle tiba-tiba terperanjat.

“Huh?!”

“Apa lagi?”

“Ro—Ronan! Kantongmu!”

Aselle menunjuk dengan panik.

Ronan mengerutkan kening.
“Kantong? Kenapa?”

“Telurnya! Cepat keluarkan!”

Ia melihatnya.
Mana yang mengambang seperti buah-buah matang itu berubah arah—berputar-putar dan tersedot ke arah kantong Ronan.

Ronan cepat mengeluarkan telur Marpez.

Aselle mengangguk cepat.

Telur itu bukan hanya menyedot mana di udara—
tapi juga mana yang meresap di pohon dan tanah!

“Apa-apaan ini?”

“T-telurnya menyerap mana!”

Ronan bingung.
Ia tidak bisa melihat apa pun, jadi terdengar seperti omong kosong.

—Krek!

Saat itu, kulit telur yang dulu seperti gumpalan kotoran mulai meretak… tidak, bukan retak.

Ia mengelupas.

“Bu—buanget! Mau menetas?!”

Tidak.
Tidak ada retakan berbentuk pecahan telur.

Yang terjadi hanya satu: telurnya berubah bentuk.

Kulit yang kasar dan cokelat mengelupas, digantikan warna hitam mengilap.

“…Apa ini?”

Beberapa menit berlalu.
Begitu transformasi selesai—

—telur itu indah.
Sangat indah.
Hitam pekat seperti mutiara hitam yang dipoles.

Ronan mengetuknya.

“Astaga. Ini telur atau ulat? Kok bisa ganti kulit.”

“Asupan mananya belum berhenti.”

“Kalau gitu, nanti yang menetas harusnya luar biasa. Bukan cuma paruh baja atau bulu api.”

Tapi selama belum menetas, perubahan itu tak ada gunanya.

Ronan mengumpat sambil memasukkan telur ke kantong.

Ia mendekati mata air.

Wajahnya memantul di permukaan air—
dan rambutnya, yang terlalu panjang, menusuk-nusuk mata.

“Ah.”

Saat itu juga, Ronan sadar apa yang mengganggunya sejak tadi.

Ia membuka mulut perlahan.

“Aselle.”

“Hm?”

“Ini agak janggal nggak menurutmu?”

“Apanya?”

“Profesor itu bilang tempat ini kadang menarik makhluk-makhluk fantastik, ‘kan?”

Aselle mengangguk ragu.

“Ya… begitu.”

“Makhluk fantastik itu rewel. Mereka tinggal di tempat yang penuh kehidupan.
Harusnya kalau ada makhluk fantastik, hewan kecil juga banyak.”

“Y-ya?”

“Terus kenapa tidak ada seekor pun burung di sini?”

Aselle terdiam.

Benar.
Tidak ada suara burung.
Tidak ada tupai.
Tidak ada serangga.
Bahkan tidak ada nyamuk.

Hanya suara air dan daun.

Perlahan, bulu kuduk Aselle meremang.

“Siap-siap, Aselle.”

“U-untuk apa?”

“Bau darah.”

Ronan menoleh ke arah angin.
Ada aroma metalik samar.

Mata Ronan menyipit.

“S-sungguh…?!”

Saat Aselle mundur—

Ronan menebas udara.

—Srak!

Sebatang panah terbelah dua.

Aselle membeku.

“Hiiik!”

“Kita punya tamu duluan rupanya.”

Ronan menarik Aselle ke belakang batu besar.

—Tuk!
Panah kedua menancap di tempat Ronan berdiri tadi.

Aselle terengah-engah, memegangi dadanya.
Ronan sudah berlari menuju arah datangnya panah.

“A-aku juga…!”

Aselle tidak mau jadi beban lagi.

Menggenggam tongkat, ia menjulurkan kepala dari balik batu.

“Invisible… Hand!”

Kuuung!

Batu dan kayu kecil melayang, mengorbit tubuh Ronan.

Dua panah ditembakkan dari arah berbeda—
dan terpental.

Ronan menoleh sambil menyeringai.

“Lumayan.”

“Si—siapa dia?!”

Suara panik terdengar dari semak rimbun.

Ronan tancap gas ke arah itu.

19. Darah dan Telur (2)

Teriakan panik terdengar tidak jauh dari situ.
Di balik semak-semak setinggi dada orang dewasa, empat laki-laki muncul.

Ronan, yang sudah menentukan arah suara, menghentakkan kaki dan melesat maju.

—Swiieeek!

Saat itu, satu anak panah lagi terbang.
Berbeda dari sebelumnya — kecepatannya begitu cepat hingga terdengar seperti siulan tipis yang memotong udara.

Ronan tidak menangkisnya.
Ia hanya memiringkan kepala.

Anak panah itu melintas begitu dekat hingga hampir menggores matanya.

Dalam sekejap itu, Ronan melihat dengan jelas bentuk kepala panah yang aneh.

‘Ini…’

Kepala panah itu bukan segitiga atau bentuk wajik seperti biasanya.
Di ujung batangnya, tiga bilah tajam terpasang melingkar.

‘Aku ingat ini.’

Seorang rekan hukuman di militer — yang dipenjara karena perburuan ilegal — pernah memamerkan kepala panah seperti itu.

Ia mengatakan panah tersebut dirancang bukan untuk menembus manusia, tapi untuk mematahkan tulang binatang.

Dan jika ditembakkan dengan mana?
Bahkan monster kecil pun bisa mati seketika.

Kata-kata sombong yang pernah keluar dari mulut rekannya seolah bergema di telinga:

— Ini bukan panah untuk orang sembarangan. Bahkan di Caribolo, cuma para “anjing pemburu” yang boleh memakainya.

Caribolo.
Organisasi pemburu ilegal terbesar di benua — dan pihak yang mencoba menculik Marpez.

Wajah Ronan mengeras, dingin seperti baja.

“Caribolo.”

Ia mengucapkannya seperti menyebut nama penyakit.

‘Tidak ada alasan membiarkan mereka hidup.’

Ronan menepis panah berikutnya, lalu mengangkat tangan ke mulut.

Dan berteriak:

Hentikan tembakanmu, Caribolo! Aku ini sekutu!

“Ha?”

“Kalian bahkan tak bisa mengenali sesama anggota?
Aku Aha-yute, anjing pemburu dari cabang Damas!”

Tembakan panah langsung berhenti.

Ronan smirk.
Jarak kini sudah cukup dekat.

Ia menghunus pedang.

Saat itu, kendali telekinesis Aselle terputus — batu dan serpihan kayu yang melayang pun jatuh.

“Angkat tanganmu! Kami akan memeriksa!”

“Anjing pemburu dari cabang Damas…?”

Ronan menyarungkan pedang lalu mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.

Ia berjalan perlahan menuju semak tempat panah itu datang.

Tak lama kemudian, empat laki-laki keluar dari balik dedaunan.

“Aha-yute? Belum pernah dengar. Kalian ada yang pernah dengar?”

“Tidak. Sama sekali.”

“Apaan ini, bocah ingusan?”

Tiga membawa busur.
Satu memegang belati.

Ronan mengamati mereka — dari pakaian compang-camping sampai noda darah yang mengering di kain mereka.

Ada bekas seretan darah panjang di tanah, seperti mereka baru saja mengangkut bangkai besar.

Di jari mereka, Ronan melihat cincin perak tipis.
Tamer Ring.

Cincin yang sama seperti yang terpasang di kaki Marpez saat mereka menemukannya.

Pria berbelati itu mendesis.

“Jadi kamu anjing pemburu? Dari cabang Damas?”

“Benar. Kenapa aku harus mengulangi?”

“Omong kosong. Paling-paling penghubung atau kurir. Mana mungkin bocah remaja jadi anjing pemburu.”

“Kalau kau tidak bisa, bukan berarti orang lain juga tidak bisa, dasar anjing liar.
Cabangmu rekrut orang sembarangan, ya? Kelihatan dari mukanya.”

Ronan meludah tepat di kakinya.

Pria itu menyeringai marah dan mencekik kerah Ronan.
Ia menempelkan belati ke leher Ronan.

“Mau mati, hah, bocah?”

“Oh, maaf. Jadi kau anjing pemburu, bukan anjing liar?”

“Kami semua di sini anjing pemburu, tolol.”

Tujuh orang di total.
Empat di depan.
Tiga lainnya mengintai di sekitar.

Ronan cepat menghitung.

‘Ada tiga lagi bersembunyi… seperti dugaanku.’

Ia sengaja menyebut wolf, tingkatan di atas anjing pemburu.

“Kalau tidak percaya, tanyakan saja pada ‘wolf’-mu.
Wajar kalau anjing pemburu baru naik pangkat tidak tahu semua nama senior.”

Begitu kata wolf dilontarkan, empat orang itu saling menatap dengan gugup.

Ronan tak mungkin tahu hirarki Caribolo… kecuali memang dari dalam.

Belati dicabut dari leher Ronan.

“...Tetap waspadai dia.”

“Aku yang pergi.
Tapi ketua sedang sial hari ini, lebih aman kita habiskan bocah ini di sini.”

“Jangan bodoh. Kalau dia beneran anjing pemburu, cabang Damas bisa menganggap kita cari gara-gara.”

Pria berbelati menjauh ke dalam semak, hilang dari pandangan.

Tiga lainnya mulai mendekat.

Salah satu yang kurus seperti belalang mengacungkan pedangnya pada Ronan.

“Ngomong-ngomong… tadi itu kamu bagaimana melakukannya?”

“Yang mana?”

“Jangan pura-pura bego! Batu dan kayu melayang itu! Kamu penyihir?!”

Ia bicara soal telekinesis Aselle.

Ronan tertawa.

“Oh, itu? Nggak dirahasiakan juga.”

Ia merogoh dadanya, mengeluarkan telur Marpez yang kini hitam mengilap seperti mutiara.

Empat orang itu terbelalak.

“Itu semua karena benda ini.
Perut griffon yang kubelah kemarin menjatuhkannya. Sepertinya alat sihir.”

“Griffon? Kamu bunuh griffon?!
Bukan itu! Telur apa ini?!”

“Lihat sendiri, senior.”

Ronan melempar telur itu ke arah pria kurus.

Mereka langsung bergerombol, memegang, membolak-balik, memeriksa.

“G-gila…”

“Aku belum pernah lihat telur kayak gini!”

Telur itu memang sangat indah dan terasa menggugah naluri rakus mereka.

“Hey! Kalian semua, lihat ini cepat!”

Suara itu membuat tiga orang lain muncul:
satu laki-laki, dua perempuan — semuanya membawa busur besar.

Mereka pasti para penembak.

“Apa itu? Kenapa teriak?”

“Bocah ini bilang dia bunuh griffon dan dapat alat sihir ini. Gila, kan?”

Mereka ikut mengelilingi telur.

Saat itu, dari celah rerumputan panjang, dua orang lain keluar.
Yang pertama adalah pria berbelati tadi.
Yang kedua—

—seorang raksasa botak hampir dua meter, penuh aksesori logam.

Ronan langsung tahu: wolf.

Pemimpin cabang.

“Apakah dia yang mengaku begitu?”

“Ya, ketua.”

Pria botak itu menunduk sedikit, menatap Ronan.

“Aku Beum, wolf dari cabang Demire.
Katamu kau dari cabang Damas, Aha-yute?”

“Benar.”

“Tapi gejolak mana ini jelas-jelas jatah cabang kami.
Apa maksud kedatanganmu?”

Suara Beum rendah, mengancam.

Ronan tidak menjawab.
Ia menghitung.

Satu… dua… tujuh… tepat.
Tidak ada lagi yang bersembunyi.

Ronan tersenyum tipis.

‘Bagian paling menyebalkan sudah selesai: mengumpulkan semuanya di satu tempat.’

Untuk pertama kalinya, ia merasa bersyukur pernah berbincang dengan mantan narapidana Caribolo di masa lalu.

“Senang juga mendengarnya sekarang…
Ternyata ada gunanya juga mendengarkan ocehan orang menjijikkan itu.”

“Ha? Kau bicara apa?”

“Pertama-tama… aku bukan Aha-yute.”

—Srak.

Pedangnya bergerak seperti cahaya.

Garis merah muncul di leher Beum.

Beum meraba lehernya, tapi terlambat.
Kepalanya terpisah dari tubuh, jatuh ke tanah dengan bunyi tumpul.

“Ah…?”

“Nama paling menjijikkan yang bisa kusebut saja.
Bagian terburuk jadi pemburu ilegal adalah harus pura-pura jadi kalian.”

Dunia di mata Beum terbalik saat kepalanya menggelinding.

Pria berbelati di sampingnya membelalak.

Hanya dia yang sempat melihat semuanya jelas —
yang lain masih terpaku pada telur.

“Sem—”

—Srak.

Ronan menendang tubuh Beum ke arahnya, lalu menebas.

Perasaan daging terbelah dan tulang patah merambat ke jari-jari.

Lengan kiri dan empat jari tangan kanannya beterbangan di udara.

“Kamu sebentar saja kubiarkan hidup.”

“G–Gyaaaaaaaaahh!”

Jeritan yang menusuk telinga meledak.

Akhirnya para pemburu lain menyadari apa yang terjadi.

“M-Mati?! D-dimana ketua—?!”

“A… apa ini?!”

Salah satu yang bereaksi paling cepat menarik busur.

Terlambat.

Ronan sudah berada tepat di tengah-tengah mereka.

Kilatan hitam pedang menari.

—Srak.
—Srak.
—Srak.

Tidak ada teriakan panjang.
Hanya suara pendek, seperti orang tersentak hidungnya.

Ronan membidik hanya leher
supaya cepat, bersih, tanpa drama.

Tubuh-tubuh tumbang seperti boneka kehabisan tali.

“Ta–Tunggu! Aku—”

—Srak.

Leher terakhir terputus.

Pertempuran itu bahkan belum layak disebut pertarungan.

Dan itu semua hanya memakan waktu beberapa detik.

“Ueeeeeek! Ue—ek!”

“Kan sudah kubilang, siap-siap mental.”

Aselle kembali memuntahkan isi perutnya.
Ia baru tiba setelah Ronan memanggil, dan langsung disambut pemandangan neraka yang sulit dipercaya sebagai kenyataan.

Tubuh-tubuh tanpa kepala tergeletak di mana-mana.
Kepala-kepala mereka — mata terbelalak, mulut terbuka — bergelimpangan seperti buah kastanye musim gugur yang terjatuh dari pohon.

“As—orang-orang ini… mereka… uueek!”

“Caribolo. Para pemburu ilegal yang pernah kubilang sebelumnya.”

Ini bukan lagi kelas yang sama dengan insiden Luna Goblin.

Saat itu memang lebih berantakan, dengan usus dan anggota tubuh berserakan seperti pupuk.
Tapi goblin bukan manusia.

Kali ini—
semuanya manusia.
Dan Aselle tercekik oleh rasa ngeri itu.

“I-i-ini sudah pembunuhan, Ronan!”

“Mereka semua kriminal dengan hadiah buronan. Tenang saja. Kayaknya.”

Ronan menjawab dengan santai sambil mengisap rokok.
Faktanya, sebagian besar anggota Caribolo memang memiliki bounty di berbagai wilayah.

Bahkan level terendah mereka — para "anjing liar" — membawa hadiah buronan.
Apalagi para anjing pemburu; harganya jauh lebih tinggi.

“Sekarang bantu kumpulkan kepala.”

“H-head… kepala? Kita mau mengumpulkan… kepala… itu?”

“Kalau tidak mau menggendong pakai tangan atau telekinesis, ya pakai tas, bodoh.”

Ronan memang sengaja hanya memenggal bagian kepala.
Ia membuka ranselnya dan mulai memasukkan kepala-kepala itu.

Aselle menggigil sambil ikut membantu.
Ronan membawa lima kepala.
Aselle membawa tiga.

Dari tas mereka, terdengar suara basah cekrak cekrak, dan cairan hangat merembes keluar.

Aselle tampak hampir pingsan.

Melihatnya, Ronan menarik tudung jubah Aselle.

“Ayo. Ikut.”

“M-mau ke mana…?”

“Kita ikuti jejak darah itu.”

Ronan menuntun Aselle ke balik hamparan ilalang tinggi.
Jejak darah memanjang lurus—sudah ada bahkan sebelum Ronan membantai para pemburu itu.

Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, semak-semak terbelah, dan sebuah lapangan kecil muncul.

Dan bau itu—
bau hanyir, manis dan panas—
menampar wajah mereka seperti palu.

“Aselle. Sekarang rasa bersalahmu agak hilang?”

“Ini… i—ini semua…”

“Ya. Semua ini ulah mereka.”

Aselle membeku.

Ratusan bangkai hewan, dari berbagai jenis dan ukuran, berserakan tanpa pola.
Rusa, babi hutan, macan tutul, burung-burung kecil, tupai-tupai mungil—
semuanya disembelih.

Darah membuat sungai kecil yang mengalir menuruni lereng.

Di pojok lapangan, tumpukan daging dan kulit hewan tersusun rapi.
Sebagian sudah dipotong.
Sebagian masih segar.

Bagian-bagian yang tidak berguna — kepala, organ dalam — terlempar sembarangan seperti sampah.

Aselle akhirnya mengeluarkan suara serak:

“Mereka… terlalu kejam…”

“Barren pasti akan sedih kalau lihat ini.”

Ronan tersenyum pahit.

Beberapa bangkai tampak seperti bagian tubuh makhluk fantastik tingkat rendah.

Makhluk fantastik sering dijual sebagai hewan peliharaan.
Tapi jenis yang ada di sini jelas diburu bukan untuk dipelihara—
melainkan untuk diambil daging dan materialnya saja.

Ronan menghela napas dan membuka gulungan lain dari ranselnya.

“Setidaknya kita dapat ini.”

Itu bukan peta dari Profesor Barren.
Ini peta lain—gambar lokasi berbagai “cabang” Caribolo.

Ditulis dengan darah.

Ronan mengingat perintahnya kepada pria berbelati yang ia sisakan hidup sebentar tadi.

— Tuliskan semuanya.
Semua lokasi cabang yang kau tahu. Jangan sisakan apa pun.

Pria itu, dengan tangan kiri dan hampir semua jari kanan hilang,
menggunakan jari yang tersisa sebagai pena.

Tolong… sudah kubuat semuanya… ampuni aku… tolong…

—Tidak.

Ronan menebas lehernya tanpa ragu.

Ia tidak pernah menjanjikan akan membiarkannya hidup.

Kini, ia menggulung peta itu lagi.

“Mungkin Barren akan senang kalau kuberikan ini.”

Pemandangan bangkai-bangkai itu membuat pikiran Ronan teringat pada telur Marpez.

Ia merogoh kantong.

Namun—

“Hah? Sial… ke mana hilang?”

Ia hanya menemukan kantong tembakau.
Telur itu tidak ada.

“Ah. Benar. Terakhir ada di tangan para pemburu sialan itu.”

Karena semua pemburu sudah mati, Ronan kembali ke tempat pembantaian, meninggalkan Aselle yang masih gemetar.

Begitu Ronan tiba, ia mengerutkan alis.

“Hah?”

Semua darah—
yang sebelumnya membasahi tanah, rumput, dan batu—
lenyap.

Tidak hanya mengering.
Benar-benar hilang, menguap tanpa bekas.

Ronan berdiri di tengah lapangan, kebingungan.

Apa aku salah tempat? Tidak mungkin.

Sambil menggerakkan pandangan, sesuatu menarik perhatiannya.

“...Apa itu?”

Sisa-sisa darah yang belum mengering—
yang sebelumnya membentuk genangan—
mulai bergerak.

Bergetar.

Dan merayap.

Seperti makhluk hidup yang mengumpulkan dirinya dari segala arah.

20. Darah dan Telur (3)

Ronan terbelalak melihat fenomena aneh itu.

Sisa-sisa darah yang masih menempel di tanah bergetar—berkumpul—lalu mulai merayap menuju satu arah.

“Apa lagi ini?”

Tampak seperti pembuluh darah yang merayap keluar dari kulit.
Jika dilihat lebih dekat, ribuan urat darah kecil merayap, mencengkeram tanah, bergerak seperti makhluk hidup.

Aneh, menjijikkan—tapi sekaligus memancing rasa ingin tahu.

Ronan mengikuti aliran darah itu tanpa sadar.
Puluhan ribu helai urat darah merayap menuju satu tempat.

Tidak butuh waktu lama sampai ia melihat apa yang ada di ujungnya.

Ronan berhenti. Mengumpat.

“Gila benar ini.”

Semua darah—dari hewan-hewan mati, dari tanah yang berlumuran, dari serpihan daging—
mengalir masuk ke sebuah kolam kecil berwarna merah gelap.

Dan di tengah kolam itu—
mengapung ringan—
adalah telur Marpez.

Permukaan kolam terus menurun.
Telur itu sedang menyerap darah, meminum semuanya seperti spons.

Aselle yang baru tiba menjerit.

“T-tuh… itu apa?!”

“Aku juga nggak tahu, bodoh.”

Ronan melangkah cepat. Ia meraih telur itu.

Saat disentuh, darah dalam kolam bergolak, memancar naik seperti sedang marah karena direbut.

“Ini bukan ulahmu ‘kan?”

“Tentu saja bukan!”

Ronan menatap telur itu.
Baru kemarin ia melihatnya menenggak semua mana di udara.
Sekarang—darah?

Apa sebenarnya makhluk yang bertelur ini?

—Tok.

Telur itu bergerak sedikit.
Ronan hampir melompat.

“B-baru saja bergerak!”

“Benar?!”

“Ya! Sudah waktunya dia menetas!”

Aselle berlari menghampiri.
Telur itu kini bergetar, perlahan namun jelas.
Dua anak lelaki itu mengepalkan tangan, gugup sekaligus bersemangat.

—Tok. Tok tok.

“Dengar itu kan?”

“Ya… aku juga dengar!”

Ada suara ketukan dari dalam.
Ritmenya semakin cepat—jelas sesuatu sedang mencoba keluar.

Ronan mengetuk balik, seperti memberi jawaban.

“Ayo keluar. Lihat wajahmu, monster kecil.”

Tok! Tok tok!
Telur “menjawab”.

Namun beberapa menit berlalu tanpa ada retakan.

Aselle akhirnya berkata, ragu-ragu:

“Mungkin… kurang tenaga?”

“Hah?”

“Dia masih menyerap mana dalam jumlah besar. Mungkin untuk memecahkan kulitnya, dia butuh lebih banyak lagi. Seperti manusia butuh makan untuk punya tenaga.”

Ronan mengangguk.
Masuk akal.

Maka ia menurunkan telur itu kembali ke kolam.

Dalam sekejap—

Kolamnya kering.
Bersih, tanpa setetes pun tersisa.

“Wah, seperti yang diharapkan dari penyihir cilik, otaknya jalan. Kalau begitu, perlu kasih lagi darah.”

“Iya, kupikir dari—”

—Rrrrr…

Aselle terpotong.

Ada getaran halus di tanah.

Ronan merasakan pertama kali.
Aselle belum sadar.

Ronan menegakkan tubuh.

“Bentar.”

“Ada apa, Ronan?”

“Ada suara.”

“Aku nggak dengar apa pun… tapi tadi di lapangan ada banyak binatang mati. Mungkin kita bisa—”

“Tunggu sebentar, Aselle. Ini aneh.”

Ronan menutup mulut Aselle.
Getaran itu makin kuat.

Suara itu… bukan angin.
Bukan air.
Bukan langkah.

Seperti sesuatu yang licin dan berat sedang menggulung.

“Lihat itu.”

Ronan menunjuk ke arah lapangan sebelumnya.

Aselle melihat.

Matanya membesar.

“…Ronan.”

“Hm?”

“Kalau mandi pakai darah, rasanya gimana ya?”

“Asal saja pertanyaannya?!”

Tapi saat Aselle mengikuti arah jari Ronan—

Ia menjerit seperti anak kecil tersambar petir.

  • K W A A A A A A S H !

Gelombang darah—
sebesar sungai banjir—
menghancurkan semak-semak dan menerjang lurus ke arah mereka!

“Aaaahhhh!!”

Arus darah itu bukan sekadar mengalir—itu berputar, meliuk, seperti makhluk hidup raksasa.
Darah dari ratusan bangkai tadi berkumpul membentuk tsunami merah.

“Invisible Hand!!”

Aselle menghantam tanah dengan tongkat.
Tubuh mereka terangkat ke udara.

“Uuugh—!”

Tapi Aselle goyah.
Mana-nya terus tersedot oleh telur.

Arus darah itu datang…

…dan berputar menjadi spiral raksasa menuju telur.

—Tuk, tuk, tuk.

Ronan mendengkus.

“Makhluk kurang ajar.”

Telur itu mengguncang hebat, lebih keras dari sebelumnya.
Belum lahir saja sudah membuat keributan.

“Kalau begitu… minum sampai puas.”

Ronan melepaskan telur itu.

Plung!

Telur tenggelam dalam pusaran darah.
Arus spiral runtuh, lalu mulai terserap ke dalam telur.

“Kampret… dia beneran minum semuanya?”

Ronan dan Aselle melayang di udara, menyaksikan kejadian gila itu.

Dalam lima menit—

Tidak ada darah tersisa.
Tanah kembali bersih.

Mereka turun ke tanah.

“S-sudah… selesai?”

“Sepertinya begitu.”

Ronan mengambil telur itu—

Lalu membeku.

“…Apa ini?”

Telurnya kosong.

Kulitnya retak seperti kulit kacang pecah.
Ada lubang besar tempat sesuatu keluar.

“Sial. Mana isinya?!”

Ronan belum sempat berpaling—

—Tak!

Sesuatu menghantam belakang kepalanya.

“Sialan!!”

Ronan hampir jatuh berlutut.
Kepalanya berdengung.
Aselle panik dan berlari.

“Ronan!! Kau baik-baik…?”

“Tidak!!”

Dia tak sempat menyelesaikan kalimatnya.

—Tak!

Aselle juga kena.

“Aaakh!”

Ia pingsan seketika.
Ronan mencabut pedang, marah besar.

“Kurang ajar! Mana beran—”

Ia berhenti.

Sesuatu melesat, cepat seperti sinar.
Menyayat pipinya.

Setetes darah jatuh.

“Edan…”

Serangan itu terlalu cepat.

Bukan panah.
Bukan pisau lempar.

Makhluk hidup.

Ronan mengamankan posisi.
Ia mempersempit fokus, memaksa diri masuk ke mode pertempuran.

Waktu melambat.

Angin mengeras.

Dan—
sesuatu datang menerkam.

Ronan mencengkeramnya di udara.

“Aha! Kena!”

Ia membalik pedang, siap menusuk—

“Ppyat!”

“…Apa?”

Ronan membeku.

Di tangannya—
adalah makhluk mungil seukuran apel.
Bulu hitam lembut.
Empat sayap kecil seperti burung.
Mata besar berkilap seperti kaca permata.

Ia miringkan kepala, memandang Ronan.

“Pya?”

Ronan melihat telur retak.
Lalu melihat makhluk itu.

Dia langsung mengerti.

“…Jadi kau yang keluar dari sini?”

“Pya.”

Makhluk itu menatap penuh rasa ingin tahu.
Bentuk tubuhnya aneh—bukan burung, bukan reptil.

Aselle bangun sambil memegang kepala.

“Ugh… apa yang barusan… huh—?? D-dragon?!”

“Ppyat!”

“Dragon? Serius?”

Ronan baru ingat.
Bentuk tubuh itu… seperti hatchling dalam ensiklopedia.

Anak naga.

Tapi bulunya… bulu hitam, bukan sisik.

“Hm. Sekilas mirip sih. Tapi satu-satunya yang mirip induknya cuma bulu hitam ini.”

Makhluk itu berdiri tegak pada empat kaki kecil yang kuat.
Dua pasang sayapnya panjang dan lembut.

Satu-satunya bagian yang mirip Marpez adalah bulu hitam, selembut kabut malam.

“Yah… sebut saja ini ‘dreamchick’ dulu.”

Saat Ronan menggaruk lehernya, makhluk itu mendengkur kecil, seperti kucing.

Ronan terkekeh.

“Wajahmu lumayan imut juga.”

Makhluk itu melihatnya dengan mata bulat penuh kilau.
Ekor seperti sulur tanaman melambai lembut.

“Nak, kau hampir membunuhku barusan.”

“Pya?”

Ronan menunduk, menunjukkan luka di pipinya.

Makhluk itu tiba-tiba berontak panik.
Begitu Ronan melonggarkan genggaman, ia langsung memanjat ke bahunya.

“Apa lagi kamu mau?”

Makhluk itu menatap luka Ronan.

Mata kecilnya bersinar—

—Sret.

Sebuah lingkaran sihir kecil muncul di udara.
Dan luka Ronan menutup seketika.

“Ronan! Luka itu… hilang!”

“Hah?”

Ronan menyentuh pipinya.
Halus.
Seperti tak pernah terluka.

Makhluk itu menggosok-gosok wajahnya ke pipi Ronan, puas.

“Ini keren juga.”

“Dia… dia suka padamu, Ronan…”

Belum sempat mereka bernapas lega—

Sayap makhluk itu terbuka lebar.

Empat sayap hitam, seperti sayap gagak, terpampang sempurna.

Mana berputar.
Sisa-sisa darah di tanah naik seperti kabut dan terserap ke bulunya.
Noda di pakaian Ronan dan Aselle melayang dari kain seperti debu dan menggumpal menjadi tetes-tetes merah.

Ronan mengerutkan kening.

“Apa ini lagi, Aselle?”

“A-aku benar-benar nggak tahu…”

Makhluk ini memakai mana dan darah sebagai media sihir—
sesuatu yang tidak pernah terdengar di dunia sihir.

Aneh.
Misterius.
Sedikit menakutkan.

Tapi Ronan sudah suka padanya.

Ia mengulurkan tangan.

Makhluk itu melipat sayapnya dan melompat ke telapaknya.

Ronan tersenyum tipis.

“Mau ikut denganku?”

“Pyaa!”

Makhluk itu menjawab seolah mengerti.

Ronan mengayun-ayun tangan.
Makhluk itu mencengkeram jarinya kuat-kuat, tidak mau lepas.

“Bagus. Aku anggap itu setuju.”

Ronan mengangkat makhluk itu.

Lembut.
Hangat.
Dan setia.

“Sekarang… beri nama.”

Ia berpikir sejenak, mengingat seseorang dari masa lalunya.

Kemudian mengangguk.

“Baik. Namamu… Sita.”

“Pyaaat!”

Sita menggema seolah menyukai nama itu.

Saat Ronan hendak mengusap kepala Sita—

Makhluk itu tiba-tiba melompat tinggi.

“Aselle langsung menjerit:”

“Aaah! Jangan ke kepala lagi!!”

Tapi Sita tidak menyerang mereka.

—Swish!

Ia melesat seperti peluru ke dalam pepohonan.

Beberapa detik kemudian—

—BRUK!

Disusul jeritan melengking, seperti makhluk yang sekarat.

“Aaaaaargh!!”

Ronan dan Aselle saling memandang.

Lalu berlari menghampiri sumber suara.

21. Darah dan Telur (4)

“J-Jenjang! Apa sebenarnya itu…?!”

Seorang bocah lelaki mengenakan topi kulit terjatuh terduduk.
Kakinya lemas, tak mampu berdiri.

Di hadapannya, makhluk aneh yang belum pernah dilihat seumur hidup melayang sambil mengepakkan empat sayap hitamnya, menatap ke bawah.

“Ppaya?”

“Ma-makhluk… makhluk iblis…!”

Empat sayap panjang berwarna hitam itu mengepak tanpa suara.
Sepasang mata merah menyala seperti rubi basah darah.
Setiap kali ekornya yang panjang menyapu tanah, bahu si bocah bergetar.

Wujudnya mengingatkan pada iblis dalam dongeng. Atau seekor naga kecil.

Bocah itu mundur perlahan sambil terisak.

‘Ini hukuman…! Karena aku melakukan hal buruk… iblis datang mencariku…!’

Betapa pun miskin, ia tak seharusnya menerima pekerjaan ini.

Ia adalah anggota tingkat paling bawah dari cabang Drimere, organisasi pemburu ilegal Karibolo.
Tugas pertamanya: mengirimkan suplai bagi kelompok pemburu yang memburu hewan di jalur leyline dua hari lalu.

Namun yang menunggu dia—
adalah delapan mayat.
Tanpa kepala.

Tubuh yang telah kehilangan darah tampak kelabu seperti ladang kacang diselimuti embun beku.
Kepala yang hilang entah dibawa ke mana.

‘Bukan hanya para Hunter… bahkan Kepala Cabang juga mati…’

Wolf Beum, pemimpin cabang Drimere.
Seorang Sword Expert, pemburu veteran yang membunuh belasan makhluk fantasi.
Kini, ia pun tergeletak dingin.

Bocah itu hendak lari kembali ke cabang untuk melapor—

—KWAANG!

“Uwaaaah!”

Sesuatu menghantam pohon tempat ia bersembunyi.
Ranting berguguran.
Makhluk itu menoleh, menggelengkan kepala, lalu perlahan mendekatinya.

“Ppya.”

‘Harus… harus melakukan sesuatu!’

Bocah itu meraih belatinya.

Tapi begitu jarinya menyentuh gagang—

Makhluk itu memandangnya. Mata merahnya bersinar.

“Ppyaaaaa…!”

“Huh?”

Dunia bocah itu berubah menjadi merah.
Ia mengusap mata—

Dan menjerit.

“S–sa… saing…!”

Darah.
Darah mengalir dari kedua matanya.
Ia mengusap lagi—tangan dan lengan bajunya basah darah.

Tak lama, darah juga mengucur dari hidung, mulut, bahkan telinganya.

“S-selamatkan aku!!”

Tubuhnya menjadi dingin cepat sekali.
Kakinya masih lumpuh.

Ia berbalik, merangkak, berusaha menjauh.

“A-aku tak akan melakukan ini lagi! Tolong… tolong selamatkan aku!”

Tapi—
mimpi buruk kedua datang tanpa belas kasihan.

Tubuhnya tiba-tiba ditarik ke udara—
menuju makhluk itu.

Histeris, ia meraih rerumputan, tapi rumput tercabut begitu saja.

“A–Aaaah!! Tolong!!!”

Di antara telinga yang dipenuhi suara denging karena darah, ia mendengar suara kecil, seperti tawa.

Ppahahaha—

Saat itu, seorang pemuda berambut hitam menerobos semak.

“Hey! Hentikan!”

Ronan mengayunkan pedangnya ke udara—
tepat di antara bocah dan Sita.

Srak!

Arus mana terbelah.
Tarikan yang menggantung bocah itu terputus, tubuhnya jatuh ke tanah.

“Owkh!”

“Ppyaaa?!”

Sita terkejut.
Pupil hitamnya melebar dua kali lipat.

Bocah itu berguling, memuntahkan gumpalan darah.

“Uwaagh! Uueegh!”

“Gila… wajahmu kenapa jadi begini? Sita, ini ulahmu?”

Wajah bocah itu berlumur darah dari semua lubang di wajah.
Ronan menatap lekat—

“…Hah? Tunggu.”

Ada sesuatu yang familiar.

Ronan menyikut sayap Sita.

“Sita, bersihkan mukanya.”

“Ppaya?”

Ronan memberi isyarat seolah mencuci wajah.
Sita mengedip—lalu menggunakan sihir.

Dan darah mulai menyembur lagi dari mata bocah itu.

“Gyaaaah!!”

“HEY!!”

Ronan sekali lagi menebas udara, memutus mana.
Lalu menjitak hidung Sita dengan kuat.

“Bpok!”

“Kau paham maksudku, kan? Bersihkan wajahnya saja, bukan bikin makin berdarah!”

“Ppawuung…”

Sita, sedikit merosot semangatnya, menggunakan sihir lagi.

Darah yang menutupi wajah bocah itu berkumpul jadi satu dan jatuh dalam bentuk tetesan.
Ia menyentuh wajahnya—

“Ini…?!”

Ronan mengangguk.

“Ya benar. Nyaris nggak berubah. Wajahmu masih sama.”

“Y-yang tadi… Anda yang menolong saya…?”

Ronan tidak menjawab pertanyaan itu.
Ia sekadar menyalakan rokok.

Bocah itu membungkuk hampir menyentuh tanah.

“T-terima kasih! Terima kasih banyak! Benar-benar… terima kasih!”

“Ah, ini cuma hal kecil. Gimana kabarnya jadi pemburu ilegal, Balus?”

“….Huh?”

Balus membeku.

Ronan mengamatinya dengan minat.
Ia tak pernah membayangkan akan bertemu “dia” di usia semuda ini.

“Kerjaannya bagus, ’kan? Mengisi kantong dengan darah… bukan darah manusia, jadi nggak perlu merasa bersalah.”

“B-bagaimana Anda tahu nama saya…?”

Balus adalah rekan Ronan saat hukuman kerja paksa dulu.
Dialah yang dulu memamerkan panah penghancur tulang, dan tak henti-henti memuji organisasi Karibolo.

Ronan mengira ia memang brengsek sejak kecil.
Tapi bocah ini… berbeda.
Belum ada tato di tubuhnya.
Suaranya belum kasar.
Dan—matanya masih goyah, masih punya rasa bersalah.

Mungkin masih bisa diselamatkan.

Ronan menghembuskan asap.

“Ada hal yang harus kau pilih, anak kecil.”

“M-memilih…?”

“Ya. Jadi pengkhianat organisasi, atau jadi tengkorak kering. Dari wajahmu, sepertinya baru mulai kerja ’kan?”

“T-tengkorak?! T-tapi bagaimana Anda tahu—”

Sita melayang turun ke bahu Ronan.

Balus mundur ketakutan.

“A-apa kau… siapa sebenarnya…? Dan makhluk itu?! Jangan-jangan… orang-orang itu juga Anda—!”

“Benar, Balus. Kepalanya aku yang potong. Darahnya diambil sama si bulu hitam ini.”

Ronan mengarahkan jarinya ke Balus.
Sita menoleh menatapnya.

Setetes darah menetes dari hidung Balus.

“Kau paham ’kan bagaimana dia mengeluarkan darah?”

“Hiiik…!!”

“Bagus. Mari kita bicarakan.”

Ronan mengeluarkan gulungan kulit—
peta yang digambar dengan darah oleh anggota Karibolo tadi.


Mereka merapikan semuanya hingga malam, lalu meninggalkan Mata Air Penarddo.
Karena bawaan banyak, mereka membuat rakit baru yang lebih besar.

Di atasnya, bulan merah seperti darah menggantung di langit.

“Lebih untung dari perkiraan.”

Ronan tidak membunuh Balus.
Bukan hanya karena ia belum kotor oleh dosa—
tapi karena bocah itu akan menjadi aset berharga ketika saatnya menghancurkan Karibolo tiba.

Setelah mengorek seluruh informasi Karibolo, Ronan memaksanya mengucap Sumpah Darah.

—Huhuhu! Karena utusan iblis ini sudah meminum darahmu, kau tak bisa bersembunyi di mana pun di dunia!!

—H-Hahh!! Aku bersumpah! Apa pun yang terjadi, sumpah ini takkan kulanggar!!

Ia harus memberi laporan rutin tiap bulan, dan pantang membuka identitas Ronan pada organisasi sampai ia keluar dari Karibolo.

Sumpah Darah—
Jika dilanggar, jiwa pemiliknya dimakan iblis.

Tentunya ini bohong total.
Tapi dari ketakutan Balus tadi, Ronan tahu bocah itu tidak akan berani mengujinya.

Bagi Balus, Sita adalah utusan iblis.
Dan Ronan—penyihir hitam jahat.

“Kau lumayan berguna.”

Ronan menggaruk leher Sita.

Sita menendang-nendang udara seperti kucing manja.

“Lucunyaaa…”

Aselle menopang pipi, terpesona.
Ingin memeluk bulu itu, tapi masih trauma karena pernah dihajar.

Tiba-tiba ia bertanya:

“Tapi Ronan… kenapa namanya Sita?”

“Kenapa namamu Aselle?”

“B-bukan itu maksudku…”

“Ya suka-suka. Itu nama anjing brengsek yang pernah ikut denganku dulu.”

Ronan tak lanjut cerita.
Aselle pun tak bertanya lagi.

Ronan menatap Sita yang tertidur.

“Sejak dulu tak mau pelihara apa pun lagi…”

Dia pernah menghabiskan setahun menjelajah jalanan bersama seekor hewan, tapi hewan itu akhirnya dibunuh oleh pemburu ilegal.

“Itu dulu. Sekarang… sudahlah.”

Ia merebahkan tubuh.
Bulu Sita yang lembut menyapu pipinya.

Bulan merah dan kabut di atas air menutup tirai petualangan hari itu.


Dua hari kemudian, mereka tiba kembali di ibu kota.
Ronan segera mencari Profesor Barren untuk menunjukkan Sita—
tapi profesor sedang berada di hutan selatan.

“Butuh dua minggu katanya… sayang.”

Setelah menyelipkan sebuah pesan di bawah pintu kantornya, mereka pergi ke pasar.

Dan tentu saja—
mereka menukar kepala, perlengkapan, dan perhiasan milik para pemburu ilegal dengan uang tunai yang sangat banyak.

“Luar biasa! Air dengan kemurnian mana setinggi ini…! Dari mana Anda mendapatkannya?!”

“Rahasia. Bisa saja aku dapat lagi, jadi harganya bagus-bagus ya, Duon.”

Duon masih terkagum-kagum, bahkan saat menakar mana cairan itu.
Ronan menjual air dari mata air ajaib kepada Karabel Trading Company dan bengkel alkimia—mendapatkan uang jauh lebih besar daripada dugaan mereka.

“Putriku sampai menyanyikan nama kalian, tahu? Katanya mau ikut ke perburuan selanjutnya… haha.”

“Sekarang tidak kelihatan. Mana Marya?”

“Pulang kampung sebentar. Mau pamit sebelum masuk sekolah.”

Benar—setelah masuk Filadeon, murid jarang bisa pulang kecuali masa libur.

Ronan tiba-tiba teringat seseorang.

“…Begitu ya.”

Duon lalu memandang Sita dengan penasaran.

“Dan… makhluk itu… apa…?”

“Ah, ini. Yang menetas dari telur kemarin. Aku juga nggak tahu jenisnya.”

“Telur…? Maksudnya yang sekeras mithril itu?!”

Duon memandang takjub.

Sita mengedarkan pandangan, menikmati hiruk pikuk pasar.
Mata merahnya menarik perhatian semua orang.

“B-boleh aku menyentuhnya sebentar?”

“Terserah. Tapi dia nggak suka orang asing.”

“Haha, saya ahli hewan, ingat?”

Duon mengulurkan tangan—

“KYAAAT!”

“Uwah!”

Sita mengembang empat sayapnya, hampir membuat Duon jatuh tersungkur.

Ronan menggaruk leher Sita.

“Kubilang juga apa. Dia pemalu.”

“Ppya~!”

Sita langsung luluh lagi.
Ia hanya ramah pada Ronan dan Aselle.

“Ma-maaf… haha…”

“Sudah, aku pergi dulu.”

“Selamat jalan. Dan selamat atas peringkat kedua dan peringkat pertama tes tertulis. Luar biasa kalian berdua.”

Ronan hanya melambai.

Koin-koin berdenting di tasnya sepanjang perjalanan.

Mereka pergi ke restoran yang sudah lama mereka incar—
yang memanggang belut sepanjang dua meter, hanya bisa didapat dari Danau Raniel.

Aselle langsung membelalakkan mata.

“Enak…! Enak sekali…!!”

“Ppyaa!”

Daging elastis dengan rasa asin yang sempurna.
Restoran paling enak yang pernah mereka datangi di ibu kota.
Sita pun makan dengan lahap.

“Aselle, kau mau pakai uang ini buat apa?”

“Mm… mungkin beli buku sihir dan bahan eksperimen? Mahal sekali semuanya.”

“Bagus itu.”

“Kalau Ronan?”

Ronan terdiam.

Dia sudah mendapat beasiswa penuh karena menjadi peringkat dua.
Dia bahkan mendapat tunjangan bulanan.

Tak ada lagi keperluan uang.

Masalah yang enak, tapi tetap masalah.

“Belum tahu.”

Ia menggigit belut panggang.
Tiba-tiba ia memikirkan Iriel.

Saat ia menikmati makanan seperti ini…
kakaknya mungkin sedang makan sup kentang di rumah kecil itu.

Dia hidup di desa itu seumur hidup.

Ronan hidup dua kali, tapi baru sekarang merasakan hidup di kota besar.
Dunia di sini… sama sekali berbeda dari Nimbert.

Dan dia yang membesarkanku… mengganti popokku sendiri…
Aku belum pernah membalas apa pun.

Ronan menunduk.

“Aselle. Upacara masuk sekolah… orang tua boleh datang?”

“Huh? Umm… iya. Hanya wali atau keluarga yang boleh.”

“Begitu ya.”

Aselle berhenti makan.
Wajah Ronan tampak serius.

Dan saat itu—

Dari dapur terdengar teriakan.

“Besok, Kiriman akan dikirim ke Opera Ensemble Pensia!”

“Berapa orang?”

“Dua puluh dua! Ke Marbas! Juga minta disiapkan kereta untuk kembali dua hari setelahnya!”

“Baik! Besok, dua puluh dua orang, tujuan Marbas!”

Ronan menegakkan badan.

Jika orang tidak bisa datang—

…maka ia bisa men jemput mereka.

Ronan berdiri dan menepuk bahu salah satu staf.

“Permisi.”

“Ah, ya tuan? Ada yang bisa saya bantu?”

“Apakah kereta bisa dikirim sampai ke Nimbert?”

22. Untuk Sang Kakak (1)

“Ronan.”

“Hah?”

“Kamu… sisiran rambut ya?”

“Ada masalah?”

Ronan menggeram sambil menyilangkan tangan ke belakang.
Aselle buru-buru memalingkan wajah.

“Ah, n-nggak… mana berani.”

Pagi itu segar dan sejuk.
Mereka sedang menunggu Iriel di stasiun kereta kuda sisi barat ibu kota.

Aselle terus saja melirik rambut Ronan.

Kalau biasanya rambut Ronan seperti sarang gagak, hari ini setidaknya mirip gubuk kecil yang dirapikan.
Bajunya pun bersih dan rapi—sangat berbeda dari biasanya.

—Klak!

Sebuah kereta kuda mewah berhenti.
Model yang memungkinkan penumpang meluruskan kaki dan bersandar nyaman.

Pintu terbuka, dan seorang wanita berambut perak turun.
Iriel membuka lebar matanya, memandangi sekeliling tanpa henti.

“Waaa… ini ibu kota…!”

“…Itu apa lagi?”

Melihat Iriel, Ronan mengerutkan kening.
Saat mata Iriel akhirnya menemukan kedua remaja itu—

“Ah! Ronan! Aselle!”

Iriel menyapa ceria.
Alih-alih menjawab, Ronan mengarahkan jari ke tangan Iriel—yang membawa… tiga karung besar.

“…Kenapa bawa sebanyak itu?”

Lebih tepatnya: bukan satu, tapi tiga bungkusan besar.
Satu di tiap tangan, satu dipanggul di punggung.

“Hehe, buat kalian makan.”

Ia membuka salah satu karung: penuh dengan kentang berlumur tanah.
Karung lain berisi sayur-mayur, keju buatan sendiri, dan bahan makanan kampung lainnya.

Ronan mendesis.

“Astaga, kamu mengungsi apa?”

“Hehe, kali ini panennya bagus! Dan kejunya enak banget.”

Ronan merasa seperti pernah bilang berhenti memanen kentang.
Tapi memang sifat keras kepala itu bawaan keluarga.

Ia hendak mengambil karung itu—

“Invisible Hand.”

Dengan mantra yang familiar, ketiga karung itu melayang.
Ronan dan Iriel serempak menoleh.
Aselle merapatkan tangan dan tersenyum kikuk.

“S-saya taruh di penginapan dulu ya. Terima kasih banyak.”

“Eh? Aselle, kamu mau ke mana?”

“Ah—ada urusan. Sampai jumpa besok di upacara masuk!”

Tanpa menunggu jawaban, Aselle kabur seperti angin.
Ronan menatap punggungnya dan mendecih.

“Kurang ajar anak itu.”

“Hm… sayang sekali. Padahal sudah lama tidak ketemu.”

“Benar.”

“Tapi besok masih bisa lihat!”

Iriel tersenyum lagi.
Ronan memang mengundangnya untuk menghadiri upacara masuk Filadeon sebagai tamu keluarga.

“Ngomong-ngomong, Ronan…”

Tiba-tiba Iriel menggenggam tangan Ronan erat-erat.

“Kamu baik-baik saja? Makannya teratur? Kenapa terlihat kurusan? Kamu tahu nggak, kakakmu hampir pingsan waktu kereta semewah itu datang ke rumah? Dari mana dapat uang—”

“Aku baik-baik saja. Dan makan juga banyak. Kereta itu murah, jangan pikirkan.”

Ronan menjawab datar.
Biaya kereta itu memang remeh dibanding uang yang sudah ia kumpulkan.

“Eeh… susah dipercaya… Oh iya, aku baca suratmu! Kamu masuk sebagai peringkat kedua?!”

“Iya. Kelas bela diri.”

“Beneran?! Kamu tidak sedang membohongi kakakmu supaya senang?”

“Beneran.”

Iriel menatap matanya.

Ia masih secantik dulu.
Mata bernuansa senja—sama seperti Ronan—berkilau di bawah matahari.

“Kalau tidak percaya, lihat.”

Ronan menyodorkan sertifikat penerimaan.
Nama Ronan tertera jelas, dengan gelar peraih peringkat kedua.

Iriel membaca berkali-kali sebelum akhirnya mengembalikannya.

“Hehe… beneran.”

Kemudian ia menunduk.
Tak ada suara.

Dengan suara yang sedikit tercekat—

“Adikku sudah dewasa…”

Bahu kecilnya bergetar.

Ronan tampak tersipu, lalu perlahan meraih Iriel dan memeluknya.

“…Nuna, angkat wajah. Ada yang mau kukenalkan.”

“H-hiks… kenalkan…?”

Iriel mendongak.
Matanya memerah, pipinya basah.

Adik laki-lakinya, yang dulu bandel setengah mati, kini masuk akademi terbaik benua.
Itu pun sebagai peringkat kedua.

Ia wajar terharu.
Namun hari ini harusnya hari bahagia.

Ronan mengepalkan satu tangan, meletakkannya di mulut, lalu berseru ke langit:

“Sita!”

“Ppyaaaaa—!”

Dalam sekejap, makhluk bersayap empat itu mendarat di bahunya.
Iriel terbelalak.

“Waaah! Apa itu? Lucunyaaa!”

“Eh, jangan langsung—!”

Terlambat.
Iriel mengusap kepala Sita.

“Ppyaaang~”

“Hah?”

Bertentangan dengan dugaan Ronan—
Sita tidak menolak.
Ia justru mendengkur manja.

“Lunak sekali! Ini hewan apa? Namanya siapa?”

“Uhm… Sita. Untuk jenisnya… aku juga nggak tahu.”

Lebih mengejutkan lagi—
Sita meloncat ke bahu Iriel dan menggesekkan pipinya.

Ronan bengong.

“Ppyaa~ ppyaaa~”

“Ahaha! Geli!”

…Sedikit membuatnya kesal.
Tapi setidaknya mereka akur.

Ronan akhirnya berkata:

“Ayo makan.”

Besok adalah upacara masuk.
Hari ini mereka akan membeli perlengkapan dan…
membuat hari ini berharga untuk sang kakak.


Ronan membawa Iriel ke restoran steak yang pernah ia datangi bersama Maraya—restoran ternama yang menyajikan steak sapi raksasa.

“Seumur hidup belum pernah makan yang seperti ini…!”

“Enak?”

Setiap potongan daging memuntahkan jus yang harum dan lembut.
Iriel mengangguk cepat, mata berbinar.

Ronan tersenyum lebar.
Ia bahkan merasa kenyang hanya melihatnya makan.

“Makan banyak.”

“Uhum! Ronan juga makan!”

Iriel mengiris steaknya lalu memindahkannya ke piring Ronan.
Ronan berusaha menolak, tapi ia menempelkan daging itu ke bibir Ronan.

“Aa~”

“Aa apaan. Aku bukan anak kecil.”

“Aa~~”

Ronan menghela napas, memastikan pengunjung sekitar tidak melihat.
Lalu seperti buaya menyambar mangsa—hap!

Iriel memukul meja riang.

“Gimana?! Enak ’kan?!”

“…Lumayan.”

Mau tidak mau, Ronan mengangguk.

Sita pun ikut diberi sepotong, makan dengan riang.

Sampai mereka keluar restoran, Iriel tak berhenti tersenyum.

Ronan meninggalkan beberapa koin tip di bawah piring.


Setelah makan, mereka menuju butik besar bernama Nyanyian Sutra.

Mereka menjemput seragam Filadeon dan membeli beberapa baju bagus untuk Iriel—yang selama ini hanya memakai pakaian sederhana.

“R-Ronan! Nuna nggak cocok baju seperti ini…! Cari yang lain—!”

“Cocok.”

“Terlalu lembut… Mana bisa aku pergi ke ladang pakai ini…!”

“Itu bukan buat ladang. Dan jangan bilang kamu masih bekerja di ladang. Uang yang kuberikan?”

“Tentu kupakai! Sangat bermanfaat!”

Ternyata—
dari ratusan koin emas yang Ronan berikan…

Iriel hanya memakai tiga koin perak.

Untuk bibit, beberapa baju, dan empat ayam.

“Aku beli ayam! Jadi sekarang bisa makan telur segar tiap pagi!”

Ia berkata bangga sambil bertolak pinggang.

Ronan menutup wajah.

Aku beri dia sekitar 300 koin emas… dia pakai TIGA koin perak…

Ia memanggil pelayan butik.

“Semuanya. Yang dia pilih—ambil semua.”

“R-Ronan!!”

“Dengar baik-baik. Aku dapat beasiswa penuh. Banyak tunjangan. Uangku malah numpuk dan tidak terpakai. Jadi tolong… belanjakan untukku. Paham?”

Itu sepenuh hati.
Ronan memang tidak punya tempat untuk menghabiskan uangnya.

Aselle sempat menyarankan membeli armor atau senjata.
Tapi armor hanya mengganggu, dan pedang… pedang adalah pedang.

Iriel mengepalkan tinju, serius.

“Baik! Kalau begitu… saat pulang, aku akan beli angsa. Dan kelinci juga! Dan tong untuk membuat minuman!”

“……”

“A-atau… tanpa kelinci?”

Ronan tidak menjawab dan langsung membayar.

Saat mereka keluar, semua mata tertuju pada Iriel.
Gaun putih itu membuatnya tampak seperti malaikat turun dari langit.

Iriel mengaitkan lengan Ronan.

“Hehe, enak jalan berdua dengan adik. Sekarang kita ke mana?”

“Hmm… ke distrik bengkel senjata. Aku harus beli pedang baru.”

“Pedangmu rusak?”

“Ya. Ada orang idiot yang tiba-tiba ngajak ribut.”

Ronan mengeklik lidahnya.
Pedang hitam yang ia pakai selama ini benar-benar tak layak digunakan setelah duel dengan Shulifen.

Iriel dan Ronan berjalan melewati keramaian.

Siapa pun yang memandangi Iriel terlalu lama langsung mendapat tatapan mematikan dari Ronan—dan bulu mengembang dari Sita.

“Mau lihat apa lagi? Itu saudara aku, bukan tontonan.”

“Ppyaaaa—”

Orang-orang minggir ketakutan.

Saat itulah Ronan melihat sesuatu.

“Hmm?”

Rambut biru yang gelap bagai dasar laut.
Tinggi mencolok, bahkan di tengah kerumunan.

Naluri Ronan bereaksi lebih cepat dari mata.

Si—bangsat.

“Eh? Kenapa berhenti?”

Dan rambut biru itu juga berhenti.
Ia hendak menoleh—
Ronan langsung menarik lengan Iriel.

“Nuna, kita lewat sini. Jalan pintas.”

“Huh? Baik!”

Ronan memasuki gang kecil.
Gelap dan sempit, tapi tetap mengarah ke distrik bengkel.

Kenapa si gila itu ada di sini?

Deretan pipa berkarat dan poster koyak memanjang di dinding.
Meski suram, Iriel tampak menikmatinya.

Ketika mereka keluar dari ujung gang—

“Sudah lama, Ronan.”

“…Sial.”

Shulifen berdiri tepat di depan mereka.
Seolah sudah menunggu sejak tadi.

Ia menatap Ronan lurus-lurus.

“Kenapa kau bersembunyi? Kau tahu itu tidak berguna padaku.”

“Jangan bikin orang kesal sejak pagi. Pergi sana.”

“Ke bengkel senjata? Kita punya tujuan sama. Aku juga hendak mengambil pedang yang kupesan.”

“Pedang yang dipesan?”

Shulifen mengangguk, lalu menghunus pedang di pinggangnya.

Pedang yang pernah bentrok dengan pedang Ronan.
Bilahan mithril berwarna kebiruan itu memiliki goresan kecil—bekas duel mereka.

“Saat kita bertarung, bilahnya rusak. Pedang mithril, tapi bisa kau lukai…”

“Tuh kan. Itu baru namanya luka. Mau kutunjukkan apa itu luka sebenarnya?”

Ronan mengeluarkan pedang hitamnya.

Tajamnya hilang.
Bilahan penuh retak.
Ujungnya bahkan patah tumpul.

Wajar saja—
ia menghajar pedang mithril itu berkali-kali.

“Ini luka namanya. Jangan lebay, dasar brengsek—”

Ronan mengibas-ngibaskan pedangnya di depan Shulifen.

Iriel, yang sejak tadi menyimak, akhirnya menarik tangan Ronan.

“Ronan! Jangan bicara buruk seperti itu!”

“Apa? Tapi dia yang mu—”

“Ronan!”

Shulifen baru sadar akan kehadiran Iriel.

“…Hm?”

Ia memandang wanita kecil itu—
yang sedang menasihati Ronan seolah menasihati anak kecil.

“Baik, baik. Aku nggak maki lagi.”

Ronan menggaruk kepala, menyerah total.
Pemandangan langka—Shulifen terpaku melihatnya.

Iriel menunduk sopan.

“Maaf ya… aku selalu ajarkan Ronan kalau berkata buruk itu tidak baik…”

Waktu Shulifen berhenti.

Ia hanya mendengar sebagian kecil:

“Nuna.”

Nuna.

Shulifen menatap Ronan—
lalu Iriel.
Kembali ke Ronan.
Lalu ke Iriel lagi.

Beberapa detik ia membeku.

Akhirnya—ia berbicara:

“Bukan… bukan salahmu. Itu kekuranganku.”

“……?”

“Aku… akan bertanggung jawab.”

Ronan mengangkat alis.
Sikap Shulifen berubah total—
nada datarnya, wibawa ducal heir-nya… hilang.

Iriel tersenyum lebar dan menggenggam tangan Shulifen.

“Waaah! Benarkah? Terima kasih! Ternyata kau orang baik!”

Shulifen kembali membeku.
Daun telinganya merah.

Ronan mengumpat.

“Sial….”

23. Untuk Sang Kakak (2)

Shulifen terus berbicara dengan Iriel cukup lama—
atau lebih tepatnya, Iriel yang terus berbicara sementara Shulifen hanya memberikan reaksi seperti “Ahya.” “Ugh.” “Uwaat!” yang lebih mirip suara kaget daripada jawaban.

“Kalau boleh lihat, kamu sepertinya sebaya dengan Ronan, ya? Ah! Apa kamu juga masuk Filadeon tahun ini?”

“Ah. Uhm. Betul.”

“Waaah! Benar-benar kebetulan! Tolong berteman baik dengan adikku!”

“Uh. Uhm. Ya.”

Ronan menatap Shulifen dengan iba.
Sang “cahaya kekaisaran” kini seperti penderita pikun yang kehilangan fungsi bicara.

Cinta memang mengerikan…

Awalnya Ronan marah karena Shulifen berani menyimpan rasa pada kakaknya.
Namun melihat kondisinya sekarang… malah menyedihkan.

Saat itu, Iriel menunjuk pedang yang tergantung di pinggang Shulifen.

“Wow! Pedangnya keren sekali! Kamu paham soal pedang? Kalau begitu, bisakah kamu rekomendasikan toko pedang yang bagus? Adikku pas sekali sedang butuh.”

“Nuna… tolong…”

Ronan memijit pelipisnya.
Iriel menatap Shulifen sambil penuh ekspektasi.

Shulifen, setelah ditatap mata ke mata, akhirnya menggerakkan bibir.

“Pedang.”

Satu kata yang mengandung banyak makna.
Ia merogoh kantong seragamnya, mengeluarkan sesuatu—
sebuah token logam berkilau putih-platinum.

Shulifen menyerahkannya kepada Iriel.

“Ini를… 받으시오. Itu… sebagai kompensasi atas… kesalahanku.”

“Kesalahan은 나한테 했잖아? 왜 누나한테 보상을 줘?”

“Waaah! Terima kasih! Tapi ini apa?”

Iriel memeriksa token itu dengan mata berbinar.
Di permukaannya terukir citra seorang ksatria yang menginjak naga.

Lambang keluarga Grancia.

Mata Ronan langsung membesar.
Ia tahu persis apa itu.

Sebuah voucher kredit bangsawan
bukti tertulis bahwa pembeli telah dijamin oleh bangsawan tertentu, dan toko mana pun dapat mengklaim pembayaran langsung ke keluarga tersebut.

Untuk keluarga besar, nilainya luar biasa besar.

Token keluarga Grancia?
Itu sama saja dengan cek kosong berskala kekaisaran.

Itu terlalu berlebihan sebagai ganti pedang hitam Ronan yang rusak.

“Mampus kau… kau tahu apa yang baru saja kau berikan?!”

Tapi Shulifen mengabaikan Ronan sepenuhnya.

“Di ujung barat distrik bengkel… ada sebuah pandai besi yang telah membuat pedang keluarga Grancia selama 500 tahun. Biasanya tidak bisa dimasuki… tapi dengan itu, kau akan bisa masuk.”

“Benarkah?! Bolehkah memberitahuku tempat seperti itu?”

“Namun… para pandai besinya pergi berlibur. Kau harus menunggu beberapa hari.”

“Kau benar-benar gila, ya?”

“Pedang adikmu yang rusak… itu salahku sepenuhnya. Semoga… kau mendapat pedang yang hebat. Atau—membuatnya.”

Shulifen hendak berbalik ketika Iriel kembali memegang tangannya.

“Terima kasih banyak! Berkatmu, Ronan pasti bisa mendapatkan pedang bagus! Terima kasih!”

“……!”

Ekspresi wajah Shulifen—Ronan yakin ia takkan pernah lupa.
Ia berjalan terpincang-pincang seperti baru dihantam balok kayu.

Iriel tersenyum cerah.

“Awalnya aku takut karena mukanya galak, tapi ternyata dia baik banget! Syukurlah!”

Ronan tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.
Iriel kemudian memberikan token itu kepada Ronan.

“Nih. Nuna sih nggak ngerti artinya apa… tapi kamu bisa pakai kan?”

“…Kurasa iya.”

Ronan memasukkan token itu ke sakunya.

Senjata bukan hal yang ia pedulikan biasanya.
Tapi kalau gratis? Tidak mungkin ditolak.

Dan tempat rahasia pembuat pedang keluarga Grancia?
Itu level berbeda.

“Ya ampun… cinta benar-benar mengerikan.”

Karena mereka sedang libur, Ronan merencanakan untuk mengunjungi bengkel itu nanti setelah masuk sekolah.
Ia dan Iriel kembali menyusuri kota.


Kali ini, keduanya menuju salon rambut terbesar di ibu kota.
Ronan tidak tahu, tapi salon itu biasanya memerlukan reservasi tiga bulan—bahkan bangsawan mengantri di sini.

“Selamat siang. Atas nama siapa reservasinya—”

“Eh? Ada apa?”

“D-dokter kepala!!”

Begitu melihat wajah Iriel, staf salon panik dan lari memanggil seseorang.

Tak lama kemudian, seorang lelaki tua bersetelan rapi—gunting terselip di saku depan—datang dengan langkah cepat.

“Hooh… ini benar-benar…”

Ia berhenti seperti patung ketika melihat Iriel.
Wajah dan rambutnya membuat sang master hairstylist terpesona.

“Mohon maaf, nona. Bolehkah saya… diberi kehormatan untuk mengukir kecantikan Anda?”

“Ngukir… kecantikan?”

Iriel memiringkan kepala.
Ronan mendesis.

“Dia nanya boleh potong rambut nggak. Ngomong normal dikit, kakek.”

“Ma—maaf… saya terlalu bersemangat…”

“Oh! Boleh! Tolong buat yang cantik!”

Iriel duduk.
Master stylist menarik napas panjang dan memulai pekerjaannya.
Katanya sudah 40 tahun menangani rambut para wanita bangsawan—tapi baru kali ini tangannya gemetar seperti ini.

Iriel sendiri hanya bersemangat, karena ini pengalaman pertama ke salon.

Lalu—

“Ronan? Kamu nggak potong?”

“Udah.”

“…Masa mau datang ke upacara masuk dengan rambut itu?”

“Kenapa? Bagus kan?”

Ronan menyibakkan poni berantakan.
Iriel menegang.

“Tidak boleh! Halo! Tolong potong rambut adikku juga!!”

Ia menyeret Ronan ke kursi dan memaksanya duduk.

“Ya ya. Potonglah.”

“Bagaimana ingin dipotong, Tuan?”

Ronan mendesah.

“Terserah. Rapi saja.”

“Te… terserah…”

Penata rambut itu sedikit pucat.
Tapi ia segera tersenyum profesional, lalu mulai memotong.

Rasanya… aku belum pernah dipotong rambut oleh siapa pun selain nuna…

Klik, klik, srak.
Helai kasar itu jatuh seperti rumput ditebas.

Anehnya—
kelopak matanya mulai berat.

.

.

.

Ketika Ronan membuka mata, suara orang-orang bergema.

“Luar biasa…”

“Benar-benar transformasi dramatis.”

“Ah! Anda bangun, Tuan?”

Ronan mengedip, masih mengantuk.
Iriel menatapnya sambil menggenggam kedua tangannya.

“Waaah…”

“Sudah selesai?”

Rambut peraknya, yang biasanya berkumpul kusut, sekarang tertata rapi seperti gaya lelaki kota.
Volume berkurang setengah, tapi ketampanannya naik sepuluh kali lipat.

“…Lumayan. Tapi kenapa semua orang melihatku?”

Aneh.

Meski Iriel luar biasa cantik seperti dewi… justru orang-orang kini menatap Ronan.

Iriel berbisik, terpesona:

“Adikku… setampan ini rupanya…”

“Apa?”

Ronan menatap cermin.

Di sana, seorang brengsek tampan duduk menatap balik.

Ia menyentuh rambutnya—
yang kini berbentuk slicked-back rapi, berkilau, dan penuh wibawa.
Mata hitamnya tampak tajam dan penuh karakter.

“…Itu aku?”

Master stylist mendekat sambil tertawa puas.

“Hari ini adalah hari terbaik sepanjang karierku. Dua batu permata yang kuukir sekaligus. Dan dua-duanya adalah batu yang paling bercahaya.”

Ternyata ia sendiri yang memotong rambut Ronan.

“Yah… aneh rasanya. Berapa bayarannya?”

“Tidak perlu membayar. Saya justru berterima kasih kepada kalian.”

“Ha?”

“Tolong datang lagi lain kali. Semoga perjalanan kalian menyenangkan.”

Ronan dan Iriel keluar—dan ia langsung merasakan sesuatu aneh.

Biasanya semua pandangan tertuju pada Iriel.

Sekarang?

Pria menatap Iriel.
Wanita menatap Ronan.

“…Nuna, gimana kamu tahan dengan ini?”

“Hm? Tahan apa?”

“…Tidak apa-apa.”

Iriel memang sejak kecil sudah jadi pusat perhatian.
Bagi Ronan, ini sangat melelahkan.

Setelah itu, mereka menghabiskan hari dengan jalan-jalan, makan malam, dan akhirnya kembali ke penginapan ketika matahari tenggelam.

Penginapan hari itu adalah salah satu yang terbaik di ibu kota—Penjaga Senja—sebuah menara megah yang direnovasi menjadi hotel.

“Sekarang… bolanya ada di mana? Kanan? Kiri?”

“Ppyaaa!”

Sita sedang bermain dengan Aselle ketika Ronan masuk.
Begitu Ronan muncul dengan tampilan baru—

Aselle dan Sita menatapnya seolah melihat hantu.

“R-Ronan… beneran kamu?”

“Kenapa? Aneh?”

“Tidak! Sangat cocok! S-sangat!”

“Ppyaa!!”

Sita langsung menukik dan menggesek pipinya ke Ronan lebih agresif dari biasanya.
Sepertinya sangat menyukai tampilan baru Ronan.

Saat itu, Iriel perlahan berjalan ke jendela.

“Indah…”

Cahaya senja menyapu jalan-jalan kota.
Dari lantai tinggi ini, mereka melihat boulevard yang dilapisi batu putih berubah menjadi merah muda keemasan.

Bayangan orang-orang memanjang seperti riak ombak.

Iriel berkata lirih:

“Dunia ini… jauh lebih indah daripada yang kubayangkan.”

Ronan menatap diam-diam, tersenyum.
Ia merasa sedikit saja bisa membalas budi kakaknya hari ini.

Mereka berbincang hingga larut malam.
Ronan hanya tertidur setelah semuanya—termasuk Sita—terlelap.


Keesokan hari: hari upacara masuk.

Ronan dan Aselle mengenakan seragam.

Siswa jurusan sihir memakai jubah hitam dengan mantel.
Jurusan bela diri memakai kemeja putih, celana hitam, dan blazer biru gelap.

Warna dasi menunjukkan tingkat:
Ronan sebagai siswa tahun pertama memakai dasi merah.

Iriel bertepuk tangan bahagia.

“Kyaah! Kalian berdua tampan sekali!!”

“Sesak…”

Ronan membuka kancing paling atas.
Mereka segera berangkat ke Filadeon.

Keamanan akademi sangat ketat hari ini.
Penjaga berarmor memeriksa identitas satu per satu.

“Hm? Kau…”

“Ya?”

Penjaga mengenali Ronan.

“Kukira pernah lihat. Kau anak yang menangkis pedang Shulifen waktu itu. Masih baik-baik saja?”

“Ya, lumayan.”

“Kudengar kau jadi juara praktik? Bagaimana kau mengalahkan bintang kekaisaran itu… benar-benar ingin kulihat suatu hari.”

“‘Sapaan ringan’? Itu apa?”

Penjaga hanya terkekeh.
Ronan mengangkat bahu dan masuk.

Jalanan hari ini lebih sepi dibanding hari ujian.

“Selamat pagi, semua. Saya Kraba Kratir, Kepala Sekolah Filadeon.”

Upacara diadakan di alun-alun besar tempat pengumuman ujian dulu.
Para tamu, termasuk Iriel, duduk di tribun di sekeliling.

Di belakang kepala sekolah berdiri orang-orang yang Ronan kenal:

Navirosse sang mantan Sword Saint,
Elf bertelinga aneh dengan piercing,
Werewolf Gidokan,
dan para penguji lain dari ujian praktik.

“Kami percaya bahwa kalian adalah generasi yang akan memimpin benua. Meski manusia fana, prestasi kalian akan bertahan seratus, seribu—bahkan selamanya.”

Maaf, Pak Kepala Sekolah. Dunia ini tinggal kurang dari sepuluh tahun lagi…

Pidatonya panjang namun bermakna.

Saat selesai—
gemuruh tepuk tangan menghantam langit.

“Selamat bergabung, angkatan 787.”

“Uwaaaaa!!”

“Terima kasih. Sekarang… kita berlanjut ke tahap berikutnya. Para senior kalian sedang menunggu.”

“Senior?”

Kepala sekolah berbalik.

Lalu—menarik sesuatu dari udara kosong.

Ronan memekik.

“Apa-apaan ini…”

Pemandangan di sisi seberang alun-alun, yang semula kosong—
seolah robek seperti tirai kain.

Di baliknya, muncul lautan manusia.

“Selamat datang, adik-adik!”

“Kalau kalian jurusan bela diri, masuk klub Jousting! Wajib!”

“Hahaha! Mana Ronan!? Aku ingin lihat sapaan ringannya!!”

Ribuan siswa berseragam memenuhi area itu.

Mereka adalah angkatan 786—
para senior Filadeon yang telah masuk setahun lebih dulu.

24. Untuk Sang Kakak (3)

Kratir menarik sesuatu dari udara.
Latar belakang yang semula kosong terkelupas seperti tirai disobek.

Pemandangan yang tadinya lengang menghilang—
dan muncul alun-alun raksasa yang penuh sesak oleh orang-orang.
Begitu para senior terlihat, teriakan menggema sampai ke langit.

“Senang bertemu kalian, adik-adik!”

“Siapa yang tertarik dengan Alkimia Langit… 있어요…?”

“Kalau kalian masuk jurusan bela diri, TOLONG banget masuk klub Pertarungan Berkuda!!”

Mereka semua mengenakan seragam.
Angkatan 786—para senior tahun kedua Filadeon, satu tahun di atas Ronan.

Melihat begitu banyak siswa, Ronan mengernyit.

“Mereka semua senior kita?”

“B-banyak banget…”

Aselle ternganga.
Padahal itu hanya satu angkatan, tapi jumlahnya mencapai ratusan.
Karena penyihir memang jauh lebih sedikit, sebagian besar memakai seragam jurusan bela diri.

“Barangkali ada yang belum tahu, saya jelaskan. Upacara perkenalan ini adalah acara di mana kalian menyapa senior satu tingkat di atas kalian—orang-orang yang akan paling sering kalian temui di kehidupan kampus.”

Kratir mengelus janggut putihnya.

Katanya, setelah salam ringan, akan ada upacara penghargaan, lalu jamuan makan.

Tiba-tiba, dari barisan senior, suara yang mengguncang udara berteriak:

“UHAHAHA! Kudengar ada anak baru yang mengalahkan Bintang Kekaisaran, ya?! Mari duel sekarang juga!!”

Kerumunan senior terbelah.
Seorang anak laki-laki besar seperti beruang berjalan maju.

Peringkat 2 tahun lalu.
Juara praktik angkatan sebelumnya.

Braum Biodan.

“BRAUM! BRAUM! BRAUM! BRAUM!”

Para siswa jurusan bela diri menggemakan namanya.
Braum membengkokkan lengan—ototnya tampak seperti balok kayu yang hendak merobek seragamnya.

Kratir tertawa tipis.

“Haha, Braum tetap sama, ya. Bagaimana? Berat pedangnya sudah bertambah?”

“Ya!! Berkat semua orang!! Aku berhasil menaikkan ke 120 kilogram!!”

“Bagus. Kalau begitu… mari kita buat arena untuk ‘sapaan ringan’, ya?”

Kratir merentangkan tangan ke udara.
Gerakan kali ini seperti mencengkeram lalu menekan sesuatu.

—쿠구구구구!

Tiba-tiba tanah berguncang seperti gempa bumi.
Lantai di sekitar Kratir mulai tenggelam perlahan, memakan seluruh area.

Para profesor pun ikut turun bersama lantai yang merosot—
namun wajah mereka sama sekali tidak berubah.

Tak lama kemudian, arena bulat raksasa berdiameter 200 meter terbentuk.
Struktur seperti koliseum muncul dalam hitungan detik.

Para siswa baru terpana.

“I-ini apa…?”

“Gila…!”

Para senior, tentu saja, sama sekali tidak terkejut.
Mereka sudah melihatnya tahun lalu—
dan bahkan akan melihat hal yang jauh lebih gila selama berada di Filadeon.

“Ufufu. Tahun lalu kita juga begitu, ingat?”

“Tenang saja, adik-adik! Ini masih permulaan!”

Bagi mereka, wajah para siswa baru yang ternganga itulah hiburan.

Kratir mengangkat suaranya.

“Kalau begitu, kita mulai perkenalan jurusan bela diri. Saya akan memanggil sepuluh besar. Silakan turun ke arena.”

“Pertama, juara praktik jurusan bela diri! Shulifen Sinivan de Grancia!

Sorakan meletus.
Shulifen melangkah keluar.
Kelas mana pun—semua berteriak namanya.
Itulah popularitas Bintang Kekaisaran.

“Berikutnya! Juara praktik peringkat dua! Ronan!

“WOOOOOOAAA!!”

“Eh, sial… bikin jantungan.”

Sorakan hampir sama kerasnya dengan milik Shulifen.
Ronan mengklik lidah, setengah tersinggung, setengah bingung.

“…Ini ‘sapaan ringan’, katanya?”

Ia naik ke arena sambil mengomel.

Padahal ia tidak tahu—
cerita tentang dirinya mengalahkan Shulifen di ujian praktik sudah menyebar seperti api.
Terutama di antara senior.

“Hey, hey, lihat rahangnya. Kayak bisa dipakai buat motong apel.”

“Gila… cakep banget. Bahkan berdampingan dengan Shulifen-nim pun nggak kalah.”

“Dia rakyat biasa? Nama keluarganya nggak ada.”

Satu per satu siswa dipanggil.
Total 20 orang berdiri di arena.

Ronan menatap ke bangku penonton.
Ia segera menemukan Iriel yang sedang melambaikan tangan dengan penuh semangat.

Saat ia hendak melambai balik—
suara ceria terdengar di sampingnya.

“Hei! Lama nggak ketemu!”

“…Marya.”

“Kok kamu nggak bilang potong rambut? Aku nyaris nggak mengenali!”

Marya—peringkat 9—berjalan mendekat dengan rambut kuda poni energiknya.
Ia berputar sekali, pamer seragamnya.

“Bagaimana? Cocok?”

“Ya.”

Ronan mengangguk.
Marya pun tertawa keras dan memukul lengannya.

“Kamu juga bagus! Harusnya dari dulu potong begitu!”

“Tidak nyaman.”

“Lalu selama liburan kamu apa? Tiba-tiba rapi begini, ada apa?”

Marya menyipitkan mata.
Ronan mengingat kejadian dua minggu terakhir.

Ia menghancurkan markas pemburu liar.
Menetasnya Sita dari telur.
Shulifen jatuh cinta pada Iriel.
Token Grancia.
Bengkel rahasia keluarga Grancia.

Ronan berkata:

“Tidak ada apa-apa.”

“…Semakin mencurigakan.”

Marya mengerutkan kening.

“Lalu ini apa? Kenapa tiba-tiba disuruh duel begini?”

“’Sapaan ringan’ itu tradisi di perkenalan,” jawab Marya.

“Tidak ringan sama sekali.”

“Itu intinya. Hampir nggak pernah ada siswa baru yang menang.”

Duel ini adalah ajang pamer kemampuan antara siswa baru dan senior.
Ronan mengangguk.

“Lumayan. Memang harus mengadu pedang dulu untuk jadi dekat.”

“Aku setuju. Tapi serius… kamu yakin potong rambut cuma karena waktunya memang sudah panjang?”

“Ya.”

Marya masih curiga, tapi akhirnya kembali ke tempat.

Para siswa baru dan senior berdiri saling berhadapan.

Kratir berkata:

“Baik, sekarang siswa tahun pertama, silakan pilih lawan! Shulifen-kun, silakan.”

Shulifen menunjuk pemuda di depannya—
peraih peringkat 1 tahun kedua: Nasdo.

Nasdo mengangguk tenang.

Giliran Ronan.

Ia menatap depan, dan seekor “beruang” menyapa.

“UHAHAHA! Jadi kamu Ronan! Senang bertemu!!”

Braum Biodan.
Pedang besar di punggungnya berukuran hampir sebesar tubuh Ronan sendiri.

“Pedang yang bagus,” ujar Ronan.

“Ohh! Kamu punya selera bagus! Aku suka kamu!! Pilih aku! PILIH AKU!”

Ronan mengiyakan.
Braum mengangkat tangan dengan teriakan kemenangan.

‘Kasihan juga. Harusnya jangan berharap terlalu banyak.’

Ronan berbalik.

Saat itu—
dari depan arena, suara Iriel yang hampir menangis terdengar.

“U-um… Ronan? Apa itu aman? Dia besar sekali…”

Ronan memandang kakaknya.
Ia belum pernah mendemonstrasikan kemampuan pedangnya di depan Iriel.

‘Dia pulang hari ini. Pasti khawatir.’

Ia berpikir sebentar.
Lalu mengangkat tangan.

“Pak Kepala Sekolah. Saya punya permintaan.”

“Hm? Apa itu, Ronan-kun?”

“Bisakah saya menghadapi semua siswa tahun kedua sekaligus?”

Keheningan menelan seluruh akademi.


Kesimpulannya—permintaan Ronan diterima.

Kratir berdiskusi singkat dengan para profesor dan penguji.
Kesimpulan mereka sederhana:

“Yah… asal semua pihak setuju, tidak ada masalah. Kedengarannya menyenangkan.”

“Aku pribadi ingin melihat sejauh apa kemampuan Ronan-kun.”

Senior dan teman seangkatan tidak sulit diyakinkan.
Mereka semua tahu Ronan mengalahkan Shulifen.

“Kamu yakin mau melawan semuanya? Kalau keberatan, bilang.”

“Tidak, tidak! Ini kan tradisi! Kalau kamu menang… wah, kita bakal bangga banget!”

“Benar… tapi kamu yakin…?”

Teman-temannya penasaran teknik apa yang ia gunakan saat ujian.

“Suka-suka kalian. Tidak masalah.”

Bahkan Shulifen mengangguk.
Ia menganggap acara ini pemborosan waktu—jadi semakin cepat selesai, semakin baik.

Para senior, di sisi lain—

“Hey, anak baru. Apa kau gila?”

“HAHAHA! Kau benar-benar tidak waras!”

“Kau kira kami ini remah roti, hah? Remukkan dia, Braum!”

Harga diri senior terpijak habis.
Mereka ingin menghancurkan anak baru yang terlalu sombong.

Braum meraung:

“RONAN!! Kamu mempermainkan semangatku!! Aku tidak akan memaafkanmu!!”

Tapi Ronan tidak peduli.

Ia ingin menenangkan Iriel.
Tidak perlu kata-kata.
Cukup membuktikan.

“Baik! Kita mulai perkenalan! Semua, ke posisi!”

Kratir memberi aba-aba.

Ronan berdiri sendirian.
Di depannya, sepuluh siswa tahun kedua menatap dengan mata membunuh.

“R-Ronan! Kenapa kamu melakukan itu…?!”

Iriel pucat pasi.

—펑!

Kembang api sihir meledak, menandai dimulainya duel.

Sepuluh senior menyerbu.

Braum di depan, langkahnya menggetarkan tanah.
Nasdo tepat di belakang, matanya tajam.

‘Hm… ada teknik yang menarik kemarin.’

Dalam beberapa detik, jarak akan tertutup.
Tapi bagi Ronan, itu cukup untuk berpikir.

Ia teringat gerakan Navirosse di ujian praktik.
Sebuah seni pedang berputar—
memutar tubuh dan pedang menjadi satu garis mematikan.

“Ya. Itu bagus.”

“TERIMA INI!!!”

Braum sudah tiba.
Pedang raksasanya menyapu udara.

WUUUNG!

Angin saja sudah mampu merobek tanah.
Ronan memutar tubuh dua kali dan menahan tebasan itu.

DUAAR!

“Wha—?!”

Braum hampir menjatuhkan pedangnya.
Kekuatan Ronan jauh lebih besar dari yang ia duga.

Lalu ia menjerit melihat pola tebasan itu.

“Itu… itu teknik Navirosse seonsaengnim…?!”

“Oh, kau tahu?”

“Dari mana kau mempelajarinya?!”

Ronan tidak menjawab.
Ia menginjak bilah pedang Braum dan meloncat tinggi.

—Sruut!

Dalam putaran vertikal tiga kali—
Ronan mengayunkan pedang.

“Ugh!”

Braum mengangkat pedang horizontal sebagai perisai.
Pedang 120 kg itu, diperkuat mana, menjadi seperti dinding baja.

Tapi Ronan tidak membidik bagian itu.

Ia mengincar—

satu titik kecil.

—Srek.

Tongkat pegangan pedang raksasa itu terpotong sangat bersih.

—KUNG!

Bilah raksasa itu jatuh ke tanah.

“Hah…?!”

Braum menatap sisa gagang pedangnya yang terbelah halus.

Ronan berkata datar:

“Hanya menirunya sekali lihat.”

25. Masuk Akademi

Permukaan bekas potongannya bersih.
Braum menatap pedang besarnya yang “kakinya” terpenggal dengan tatapan kosong.
Ronan menjawab datar:

“Cuma lihat sekali, lalu kutiru.”

“Sekali… lihat… lalu kau tiru…?”

Ekspresi Braum mengeras.
Untungnya tak ada orang lain yang mendengar kalimat itu.

Sebagian besar siswa tahun kedua jurusan bela diri—terutama mereka yang mengambil kelas Navirosse—sudah saja terkejut berlebihan.

“B—baru saja…! Itu kan benar-benar Rotating Sword Navirosse-nim, ‘kan?”

“Dia murid rahasia atau apa?! Kok bisa sesempurna itu…!”

Navirosse-ryu, Jurus Ke-3 — Rotating Sword.

Salah satu teknik pamungkas yang diciptakan oleh Navirosse.
Teknik yang memaksimalkan kekuatan dengan memutar seluruh tubuh dan senjata, dirancang untuk mengatasi perbedaan fisik.

Sedikit saja keseimbangan goyah, kekuatan jurus itu merosot drastis—
bahkan lulusan terbaik pun jarang berhasil menirukannya dengan benar.

Namun Ronan menguasainya sempurna, hanya dengan melihat sekali.

Masih ada sembilan lawan tersisa.
Menjatuhkan Braum, Ronan langsung melesat ke siswa lainnya.

KLANG!

“I—I-ini apa?!”

Bilah pedang itu berputar, mengiris udara.
Ronan berputar horizontal, vertikal, diagonal—dan setiap putaran menghantam senjata para senior.

KRAAK!

“Sialan! Anak baru!”

BUK!

“A—ah! Tombak kesayanganku!!”

Bunyi logam pecah dan gagang senjata yang patah berhamburan ke udara setiap kali tubuh Ronan berputar.

Di antara jajaran profesor, tak satu kata pun keluar.
Navirosse yang menyaksikan dari tribun hanya tertawa kecil.

“Ah… jadi dia mencurinya waktu itu.”

Ia mengingat momen ketika ujung pedangnya pernah menempel di leher Ronan saat ujian praktik.
Waktu itu saja yang memungkinkan Ronan mencuri tekniknya.
Dan Ronan hanya menggunakan jurus ketiganya—menguatkan dugaan itu.

‘Harusnya tadi kutunjukkan beberapa jurus lain juga.’

Baru sebulan sejak ujian praktik.
Ada rasa bangga, tapi juga terasa sedikit kesal.

“Benar-benar… sikapnya tetap menyebalkan. Apa dia berniat jadi badut atau apa?”

Ronan jelas menahan diri.
Ia memperlambat tebasannya—jauh lebih pelan dibanding yang ia tunjukkan saat ujian praktik.
Pelan sampai bisa dilihat mata biasa.

“WAAA! GANTENG BANGET! Itu adikku!!”

Iriel sampai menangis sambil berteriak.
Baginya yang tak tahu apa pun soal pedang, pemandangan itu tetap terlihat luar biasa.

Ronan tersenyum tipis.

‘Cukup untuk menunjukkan kemampuanku.’

KACHANG!
Tubuh Ronan kembali berputar, dan pedang Nasdo hancur jadi serpihan.
Nasdo menatap rapiernya yang tinggal gagang.

“...Sial.”

Ia menjatuhkan gagang itu.
Kini tak seorang pun senior masih memegang senjata.

Dari kedua sisi arena, tak ada satu suara pun terdengar.
Kratir mengeluarkan jam saku.

Waktu yang Ronan butuhkan untuk mengalahkan 10 senior:
2 menit 28 detik tepat.

“……Huu.”

Kratir merinding dari ujung kaki sampai kepala.
Begitulah rasanya menemukan emas di dasar sungai.

Begitu hendak mengumumkan hasil pertandingan—

“Terima kasih atas kerja samanya, senior-senior.”

Ronan yang sudah menyarungkan pedangnya menunduk.
Suara itu cukup keras terdengar seluruh arena.

Orang pertama yang bereaksi adalah Marya.

“Eh, ada apa dengan dia?”

Ia berkerut seperti melihat seekor anjing mati terlindas kereta.
Sikap demikian tidak masuk dalam definisi ‘Ronan’.

Ronan menatap satu per satu senior tahun kedua.

“Pertandingan yang bagus. Aku ingin tahu sejauh mana pedangku bisa menjangkau. Awalnya bertindak gegabah, tapi kalian semua sangat hebat, aku sampai tegang.”

Senior yang tadinya ciut mulai mendongak.
Banyak mata terbelalak.

Nada bicara Ronan berubah total—
menghormati senior, merendahkan diri dengan tepat, sambil tetap menjaga martabat.

“Aku masih belum matang, mudah terbawa emosi. Terima kasih karena sudah mengabulkan permintaan nekatku.”

Kerumunan mulai gaduh.
Citra negatif Ronan memudar.

Ronan menunduk sekali lagi—tepat, tenang, tidak berlebihan.

“Saya Ronan, murid baru jurusan bela diri.”

Kesunyian kembali turun.

Ronan mengangkat kepala dan sekilas melihat Iriel.

“…Ronan.”

Ia mengusap air mata dengan sapu tangan, menatap bangga.
Ronan tersenyum kecil.

Rencana ini benar-benar sempurna.

Ia sungguh ingin menenangkan kakaknya.
Permintaan maaf barusan adalah bagian dari itu.

Sebagai kakak, kekhawatiran tentang pergaulan dan kestabilan anak jauh lebih besar daripada sekadar kemampuan bertarung.

Hanya kuat bertarung tidak cukup.
Ia harus menunjukkan bahwa ia bisa bergaul, bekerja sama, tidak menciptakan masalah.

Baru setelah itu, Iriel bisa kembali ke rumah tanpa gelisah.

Demi wajah kakaknya itu, menunduk sedikit bukanlah apa-apa.

Nih lihat, noona. Aku baik-baik saja.

“BETAPA MENGAGUMKAN ADIK KELAS INI!! Aku sampai salah sangka!!”

Keheningan pecah oleh Braum yang meraung.
Ia berlari dan mengangkat lengan Ronan tinggi-tinggi.

“Jangan bicara seperti itu Ronan! Kau menang dengan kemampuanmu sendiri! Aku, Braum, mengakuinya!!”

“Hanya sedang mujur.”

“HAHAHAHA! Jenius yang rendah hati! Sungguh menyebalkan dalam cara yang bagus!! Kepala sekolah! Umumkan pemenangnya!”

“Ah—iya, benar.”

Kratir memandang para senior.
Sosok-sosok yang tadinya gusar, kini tampak melunak.

“...Anak itu ternyata lumayan ya?”

“Betul. Kukira cuma pembuat ribut yang sok jago.”

“Bangga punya junior begini!”

Kratir mengingat kata-kata Ronan tadi.
Sungguh dewasa—bahkan dalam pandangan seorang pria tua.

Ia berhasil menyelesaikan situasi yang berpotensi menjadi permusuhan panjang antar angkatan.

“Kalau begitu, pemenang dari ‘sapaan ringan’ ini adalah…”

Kratir tersenyum.

“—Ronan, tahun pertama!”

“WAAAAAAAHHH!”

Sorakan mengguncang seluruh arena.

Kratir menggenggam udara dan menariknya ke atas.

—쿠구구구!

Tanah di bawah Ronan terangkat, membentuk panggung tinggi.
Ronan hampir memaki.

“Apa-apaan ini?!”

“Ronan! Ronan! Ronan!!”

Dari atas panggung, seluruh Filadeon terlihat jelas.
Tempat ia akan tinggal selama lima tahun ke depan.

Teriakan nama dirinya bergulung dari segala arah.
Ronan terkekeh.

“Berisiknya.”


Sisa upacara berjalan tanpa hambatan.

Giliran jurusan sihir.
Di sana, senior menang telak—
kecuali Erzebet, sang juara umum, yang menang seorang diri.

“Ma—maafkan kami, Erzebet-nim!”

Rekan setimnya menunduk dalam-dalam.
Erzebet, gadis berambut ungu gelap, hanya mengeklik lidah.

“Tsk.”

“Mohon maafkan kami!”

Seperti kucing mahal yang malas mengampuni.
Ia pun berpaling dan kembali duduk tanpa menerima permintaan maaf.

Aselle, yang melihat itu, ciut seperti siput tersiram garam.

“G-gila… dia temanku satu angkatan…”

“Yup. Mati kau, Aselle.”

Berbagai prosedur berlalu.
Akhirnya, Shulifen dan Erzebet membacakan ikrar siswa sebagai perwakilan.

Setelah ucapan selamat dari Kratir dan staf akademi, upacara pun berakhir.

“Sudah bekerja keras hari ini! Mari kita rayakan di aula utama Kastil Gallerion! Silakan menuju ke sana!”

Di sana akan ada jamuan siswa baru.
Tapi Iriel, sebagai penonton, tidak bisa masuk.

Ronan buru-buru keluar untuk mengantar kakaknya.

“Aselle. Kau, Marya, pergilah dulu. Aku menyusul.”

“O-oke!”

Di depan gerbang, kereta sudah menunggu.
Ronan memuat barang-barang yang ia beli untuk Iriel.

Ia sengaja memperlambat waktunya, tapi akhirnya saatnya tiba juga.

Iriel berkata:

“Aduh… aku benar-benar bahagia. Ini waktu paling bahagia dalam hidupku.”

“Lebay amat.”

“Tidak. Sekarang aku benar-benar tenang. Kapan kita bisa bertemu lagi?”

“Libur musim panas… kira-kira lima bulan lagi.”

“Hehe… lama ya. Tapi noona nggak khawatir lagi.”

Ronan mengangguk.
Sita yang bertengger di pundak Ronan menggesek pipinya ke Iriel.

“Pyaa~”

“Kau juga, Sita. Jaga diri.”

Iriel tersenyum seperti biasa, tetapi suaranya mengandung berat rindu.
Ia mengelus wajah Ronan.

“Kau harus makan baik-baik. Seminggu… tidak, sebulan sekali kirim surat. Jangan ikut orang asing. Jangan pukuli temanmu walau kau kuat. Soal pacar… kalau kau punya, harus bilang ke noona, oke?”

“Dua terakhir… kupikirkan dulu.”

Ronan menyeringai.
Iriel merapikan kerah bajunya.

“Kalau begitu… aku berangkat.”

Ia naik ke kereta.
Ronan melambaikan tangan sampai kereta menjadi titik kecil di horizon.

Sita menunduk lesu.

“Pyauuuu…”

Empat sayapnya terkulai.
Meski hanya dua hari, ia tampak sangat terikat.

Ronan menghela napas.

“Lima bulan, huh.”

Terlalu lama.

Sebenarnya mereka bisa bertemu setiap akhir pekan, karena siswa boleh keluar kompleks.
Tapi perjalanan ke Nimbertown terlalu jauh—
pergi-pulang saja memakan dua hari penuh.

Ia berpikir sejenak.

“Berapa harga rumah di ibu kota ya…”

Kalau Iriel tinggal di ibu kota, semua selesai.

Untuk pertama kalinya, Ronan merasakan keinginan mengumpulkan uang.

Tapi sekarang bukan itu prioritasnya.

Uang akan terkumpul seiring waktu.

Sekarang, yang terpenting…

—Jika kau ingin belajar, pergilah ke Filadeon.

‘Akhirnya.’

Ia tak pernah lupa kata-kata Adeshan.

Banyak hal terjadi, tapi target pertama sudah berhasil dicapai.

Ronan membalikkan badan menuju akademi.

“Sita. Ayo.”

“Pyaa!”

Ini baru permulaan.

 

Nunaaluuu Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review