Rabu, 19 November 2025

Part 2 001-025

 

2-1. Di Sini, Cerita Dimulai

Namaku Ronan.

Lebih tepatnya, Ronan de Valtare.

Gelar bangsawan yang diberikan sebagai penghargaan karena aku menyelamatkan dunia membuat nama belakang aneh itu menempel padaku.

Kaisar merasa senang, tapi jujur saja, aku sendiri tidak begitu suka.

Ini bukan terapi rehabilitasi lidah—apa-apaan itu.

Aku tidak tahu ide idiot mana yang memutuskan meletakkan sesuatu yang seharusnya tertulis di sertifikat kepemilikan tanah di depan nama seseorang.

Bagaimanapun, begitulah jadinya, jadi cukup panggil aku Ronan.

“······Rasanya seperti memasukkan otak ke dalam mesin pengering.”

Gerakan tanganku berhenti.

Aku memutar balik pena dan menggaruk kepala dengan ujungnya.

Saat hanya membaca buku, aku tidak menyadarinya, tapi ternyata menulis itu jauh lebih melelahkan dari yang kuduga.

Dari balik pintu, terdengar suara nyaring dan jernih.

“Kalau terlalu sulit, bagaimana kalau kita mencari ghostwriter saja?”

“Tidak usah. Ini harus kutulis sendiri, baru ada artinya. Aku ingin tetap menjadi orang dewasa yang hebat.”

“Memang itu yang paling bagus. Calon cucu Anda pasti senang.”

Itu suara Erzevette de Acalucia—
editor… atau lebih tepatnya, wanita yang mengaku menjadi editorku.

Nada suaranya berbicara soal cucu dengan gembira luar biasa.

Aku juga senang, tapi aku tidak tahu kenapa anak ini begitu bersemangat.

Mungkin karena ada darah Adeshan di dalamnya.

“Jadi kau berniat berdiri di sana sampai kapan?”

“Tentu sampai saya menerima naskah hari ini. Waktu saya banyak, jadi jangan khawatir.”

“Itu ucapan yang pantas keluar dari mulut Tower Master of Dawn? Aku akan menulis, jadi jangan ganggu kakek renta yang malang ini.”

“Tidak ada satu pun keriput di wajah Anda, bagaimana Anda bisa disebut tua. Dan sampai cucu Anda lahir, saya sedang cuti kok~”

Nada manjanya benar-benar menjengkelkan.

Waktu memang mengubah segalanya.

Si gadis yang dulu sepeka kucing mandinya itu kini punya muka sekeras baja.

Pena yang berputar di antara jemariku berhenti.

Cucu…

Kata itu membuat pikiranku rumit.

Cahaya bulan yang masuk dari jendela separuh terbuka menambah ketidaktenanganku.

Tidak lama lagi aku akan menjadi seorang kakek.

Aku masih terlalu muda untuk masuk kategori “orang tua”,
tapi puteraku memutuskan untuk tancap gas tanpa rem.

“Kalau dipikir, Ronan-nim dan Adeshan eonni juga ngebut kan. Apa ini turun-temurun? Aneh juga~”

“Diam kau.”

Dia tidak salah.

Bahkan sebagai orang tua, aku tidak bisa memarahinya.

Saat ini, puteraku dan istrinya sedang menunggu saat kelahiran di Rumah Sakit Pusat Ibu Kota.

Karena mereka masuk lebih awal, masih ada waktu sebelum menantuku mulai menjerit “SEMUA INI SALAHMU!” sambil menarik rambut anakku.

‘Pasti sakit seperti neraka. Dasar bocah, pasti tersiksa.’

Pendahuluannya panjang.

Bagaimanapun, inilah alasan aku menulis buku yang bahkan tidak ada dalam garis takdirku.

Aku ingin memberikan sebuah buku yang kutulis sendiri untuk cucuku.

Ada satu cerita bagus yang layak dibaca berulang kali.

“Baik, mari mulai menulis…”

Aku mengangkat pena lagi.

Alat yang jauh lebih ringan dari pedang, tapi terasa sama beratnya.

Mungkin itulah alasan muncul pepatah “pena lebih tajam dari pedang”.

Begitu ujung pena yang berbentuk pentagon menyentuh kertas—

“Ronan-nim.”

“Apa lagi?”

“Semangat. Anda pasti bisa.”

“Hmph, tentu saja.”

Sudut bibirku terangkat.

Dukungan seorang wanita cantik selalu membuat orang kuat.

Pena mulai menari di atas kertas.

Cerita ini mencatat kejadian pada malam sebelum aku melamar istriku tercinta.

Kau pasti bertanya-tanya.

Durasinya tidak sampai 24 jam, jadi apa mungkin terjadi sesuatu yang sangat besar sampai aku ingin menuliskannya?

Aku jamin.
Apa yang kualami waktu itu adalah petualangan yang nyata.

Petualangan besar, bahkan.

Aku pernah berperang melawan para botak bersayap dan melayang sampai ke bintang lain—
dan aku bilang ini petualangan besar, jadi percayalah.

“Bahkan aku bisa mempertaruhkan partner abadiku, Sacred Sword Lynn… oke oke, jangan menangis, aku tidak jadi mempertaruhkanmu.”

Baiklah, bagian perkenalan tokoh yang konyol akan kuhilangkan.

Kau tahu siapa saja mereka.

Kalau mau lebih detail, silakan baca biografi Ronan yang bertebaran di toko buku.

Sebagian besar adalah sampah yang dipotong-potong penulis murahan, tapi versi yang ditulis Elsia dan diperiksa Allybriche setidaknya lumayan.

Sekarang benar-benar masuk ke cerita.

Senja yang berangin lembut.

Pinggiran ibu kota, saat pekerjaan rekonstruksi pascaperang masih berlangsung.

Di sinilah cerita dimulai.


“Asel. Aku mau menikah.”

“A–a–apa?! KUEEK!”

Asel yang sedang menyesap bir di sampingku hampir tersedak.

Teriakan centilnya selalu memuaskan di telinga.

Kami sedang beristirahat setelah membersihkan reruntuhan lima desa penuh.

Di lapangan kosong yang telah dibersihkan, hanya ada tenda kecil dan api unggun.

Cess!

Bir yang muncrat dari mulut dan hidung Asel menyiram api unggun.

“Tiba-tiba bilang menikah… de–dengan Adeshan sunbaenim?”

“Terus siapa lagi? Itu pertanyaan paling bodoh yang kudengar minggu ini.”

“Aueeek! S–sakit!”

Aku menarik pipi Asel sepanjang mungkin.

Syukurlah Adeshan tidak ada di sekitar.

Kalau tidak, kami berdua pasti sedang diinterogasi.

Selain aku, menurutmu perempuan mana lagi yang masuk daftar calon istri?
Adeshan memang jarang marah, tapi dalam hal itu, ia berubah jadi hakim agung.

“Haa… umurku rasanya terpotong sepuluh tahun. Pokoknya aku akan melamarnya besok. Pernikahannya setelah wisuda. Masalah tempat, belum kupikirkan.”

“Bukankah itu sedikit… cepat? Kita bahkan belum lulus…”

“Yah, kurasa begitu.”

“Te–tapi kenapa? Ada alasan khusus sampai kau memutuskan menikah?”

Asel bertanya hati-hati.

Aku kembali memeriksa sekitar.

Tak ada siapa pun.
Reruntuhan yang sunyi.
Hutan yang diam.
Suara burung hantu dari jauh.

Api unggun berderak, memercik.

Bagus, tidak ada telinga yang mendengar.

“Hei, ini rahasia besar. Hanya kau, aku, dan Adeshan yang tahu.”

“A–apa?”

Aku menarik Asel hingga jarak napas.

“Dia hamil.”

“HUH.”

Mata Asel membelalak.

Ia membeku seperti orang yang disambar petir.

Apa pun yang ia bayangkan, wajahnya memerah sampai batas terakhir.

“Ha–hamil berarti… maksudnya…”

“Aku akan jadi ayah. Sial.”

Aku menghisap pipa rokok.

Asap putih keluar dari bibirku.

Aku masih ingat jelas momen aku menjadi seorang ayah.

Pagi seperti biasa.

Setelah mandi bersama, aku sedang mengeringkan rambut Adeshan dengan handuk.

Tiba-tiba ia menutup mulut, muntah kering.

Merinding langsung merayap dari belakang.

Kami langsung pergi ke rumah sakit.

Saat menunggu sambil berpegangan tangan, dokter yang wajahnya mirip cumi-cumi memberi tahu bahwa ia hamil.

‘Itu pertama kalinya sejak perang dia terlihat sebahagia itu.’

Adeshan melompat seperti anak kecil.

Ia menangis tersedu karena terlalu bahagia.

Mungkin aku salah dengar, tapi ia seperti berkata Akhirnya.

Aku juga tentu senang.

Sungguh.

Kami tinggal bersama dan sudah lama membicarakan masa depan.

Pada akhirnya kami akan menikah dan punya anak.
Itu sudah pasti.

Hanya saja… lebih cepat dari rencana.

“Aku… mengerti. Selamat, Ronan. Sungguh.”

“Terima kasih. Jujur saja aku takut, tapi pasti baik-baik saja. Kau sendiri, bagaimana dengan Marua? Tidak ada pembicaraan soal pernikahan?”

“Belum… aku tidak tahu. Marua… apa dia mau menikah dengan orang seperti aku?”

“Pikiran apa itu? Kalau kau mencoba kabur, barulah masalah muncul. Gadis itu sangat menyukaimu.”

Aku terkekeh.

Pernah, tanpa sengaja aku mendengar percakapan Adeshan dan Marua di rumah.

Percakapan yang sangat jorok sehingga tertanam di otak selamanya.

Wanita ternyata tidak keberatan menjadikan urusan ranjang sebagai topik gosip.

‘Aku tahu hal yang tidak ingin kuketahui. Sial.’

Marua bahkan membahas bagaimana ia berhasil memakan tulip itu
(tulip adalah julukan Asel, contoh informasi yang tidak ingin kau miliki seumur hidup.)

Sebagian ceritanya lebih vulgar dari obrolan tentara yang hidup di medan perang selama tiga tahun.

Akhirnya, ia minta saran bagaimana caranya bisa cepat punya anak.

'Kasihan bocah itu.'

Aku sungguh iba.

Asel pasti menjalani masa depan yang kejam.

Terjepit setiap malam oleh dada yang lebih besar dari kepalanya sendiri…
mungkin mereka akan punya lima anak.

Tidak tahu apa-apa, Asel menatapku penuh harapan.

“Be–benarkah?”

“Tentu. Percaya diri, Nak. Kau akan jadi Archmage. Tanpamu, kita semua sudah mati waktu perang.”

“Tidak sampai begitu… hehe. Terima kasih.”

“Sama-sama.”

Kami menyeruput bir bersama.

Angin musim semi menyentuh dahi.

Tidak lama lagi bunga akan bermekaran.

Langit di atas berubah merah jingga seperti warna mataku.

‘Sunset, ya.’

Melihat langit senja membawaku ke pemikiran lain.

Kecemasan yang berbeda dari menjadi ayah.

Aku memainkan bibirku, lalu memanggil Asel.

“…Hei, Asel.”

“Hm?”

“Ada seseorang. Seorang yang terlahir dengan nasib aneh… setiap kali mati, ia kembali ke masa kecilnya dengan semua ingatan utuh. Kalau orang itu mati… menurutmu apa yang terjadi dengan dunia yang ia tinggalkan?”

“Hah? Tiba-tiba kenapa tanya itu…”

Asel bingung.

Pertanyaan itu terlalu berat untuk percakapan santai.

Jenderal Agung mengulang tiga kali sebelum akhirnya tiba di akhir di dunia ini.

Kalau begitu, dunia yang ditinggalkannya… bagaimana jadinya?

Apakah ikut ter-reset?
Atau tetap berlanjut?

Pertanyaan bodoh, tapi aku tidak bisa berhenti memikirkannya.

Aku hendak berkata lupakan saja, ketika—

“Itu topik yang menarik… hmm, menurutku dunia itu tetap ada.”

“Tidak lenyap karena waktu mundur?”

“Ya. Karena kembali ke masa lalu itu mustahil—itu kesimpulan umum dunia akademik. Kemungkinan besar dia bukan kembali ke masa lalu, tapi pindah ke dunia paralel. Memang tidak masuk akal juga, tapi begitu.”

“…Dunia paralel? Pertama kali kudengar.”

“Di kalangan peneliti cukup terkenal. Teorinya mengatakan dunia mirip dunia kita mungkin ada berjajar sejajar. Semua orang pernah membayangkan kembali ke masa kecil dengan ingatan penuh, kan? Teori ini muncul saat mencoba menjelaskan fenomena itu secara logis.”

Asel bicara tanpa gagap kali ini.

Karena topiknya menarik baginya.

Aku mendadak menyesal bertanya.

Kalau teori itu benar…
dunia di mana Adeshan mati mungkin berakhir dalam keputusasaan.

Meski, itu tidak pasti, jadi tidak penting.

“Begitu ya. Terima kasih.”

“Hehe, tidak sangka Ronan tertarik hal seperti ini. Mau kuberitahu lebih banyak soal teori dunia paralel?”

“Tidak. Habiskan birmu dan tidur. Besok pekerjaan numpuk.”

“Ah… iya juga.”

Kami mengangkat gelas dan menghabiskan sisa bir.

Masih banyak yang harus dibereskan.

Aku mengusap bibir dengan lengan lalu masuk ke dalam sleeping bag.

Lebih dini dari biasanya, tapi besok aku harus melamar, jadi harus bangun pagi dan menyelesaikan jatah kerja lebih awal.

“Aduh… capek sekali.”

Wajah-wajah rekan kerja melintas di benakku.

Adeshan mengangkut barang dan mengurus dokumen dengan bantuan manusia atau hewan.

Marua tertidur di atas gerobak sambil mengurus kelompok pedagangnya.

Schlieffen dan Erzevette memimpin keluarga masing-masing.

Braum hanya menggunakan otot.

Vampir di bawah Ophilia dan Duke of Shadows bersiap bangun—
karena mereka bekerja di malam hari saat kami tidur.

“Avel, bajingan itu…”

Amarah naik tiba-tiba.

Semua ini ulah bajingan itu.

Kalau mau bertobat sebelum mati, dia harusnya membantu rekonstruksi, bukan kabur setelah meninggalkan kekacauan.

Tanganku menyentuh orb peninggalan Avel di saku.

Entah kenapa, menyentuhnya membuatku tenang.

Dengan suara mengantuk, aku bergumam:

“Jenderal Agung…”

Kelopak mataku berat.


“Hm.”

Aku membuka mata.

Langit malam penuh bintang terhampar.

Masih belum ada tanda-tanda matahari terbit.

Asel tertidur pulas.

Aku bangun jauh lebih awal dari biasanya.

Api unggun hampir padam.

“Sial.”

Aku mendecak.

Sepertinya aku akan begadang.

Belakangan, setelah sekali terbangun, aku susah tidur lagi.

Mungkin terlalu banyak kekhawatiran.

Mendadak menjadi ayah sudah cukup mengguncang, teori dunia paralel itu membuatnya lebih buruk.

‘Itu cuma khayalan.’

Serius mempertimbangkan pergi ke psikiater.

Hanya orang tua pikun yang stres memikirkan hal yang tidak ada artinya.

Aku harus berjalan-jalan sebentar untuk menenangkan diri.

Baru saja aku melangkah—

Ada sesuatu.

“Apa…?”

Seperti ada hantu yang menjilat tengkukku.

Bulu kudukku berdiri.

Aku berdiri dan berlari ke arah itu.

Asel tidak terbangun.

Api unggun menyusut menjadi titik merah.

‘Itu’ semakin dekat.

“Nebula Chlazie.”

Aku bergumam seperti orang kesurupan.

Mana berkilau seperti pasir bintang bertebaran di hutan gelap.

Tidak salah lagi—jejak kelompok bajingan itu.

Kupikir mereka sudah dimusnahkan… bagaimana mungkin?

Tidak lama kemudian aku sudah berada jauh di tengah hutan.

Pohon-pohon patah.
Tanah terbelah.
Jelas tanda pertarungan.

‘Baru saja terjadi. Mereka masih di sini.’

Tanganku menyentuh gagang pedang.

Musuh ada di dekat.

Aku bersiap mengejar—

KWAAJIK!

Sebuah sosok menerjang pohon di depanku, mematahkannya.

“Kugh!”

Sosok itu mendarat dengan teknik jatuh yang rapi.

Cahaya bulan menerangi wajahnya.

Aku sempat lupa bagaimana bernapas.

“…!”

Itu seorang Elf wanita berwajah garang.

Mana berpendar bocor dari pundaknya.

Tubuh rampingnya diselimuti bayangan, bahkan di bawah cahaya bulan.

‘Tidak mungkin.’

Entah dengan siapa ia bertarung, tubuhnya hancur-luluh.

Dan di tangan kirinya—
pedang dari bayangan.

Sudah pasti.

Aku pernah melihat teknik itu.

Di pegunungan Baidian, malam ketika Saranthe berubah menjadi batu.

Bibirkuku bergetar.

“…Brigia?”

“Mmh? Kau siapa?!”

Akhirnya Brigia melihatku.

Ketua cabang Nebula Chlazie pertama yang kubunuh.

Dia mati oleh tanganku sendiri—
tapi dia jelas tidak mengenaliku.

Ujung jarinya bergetar seperti lendir.

“Cih, minggir!”

Tentu ia tidak berniat memperkenalkan diri.

Duri-duri bayangan menembak ke arah tenggorokanku.

Sama seperti di Baidian dulu—
dan sama lambatnya.

“Huh. Jadi begitu, ya.”

Aku bahkan tidak perlu menggunakan mana.

Aku hanya memiringkan kepala.

SRRAK.

Pedangku menebas setengah lingkaran.

Dua lengan Brigia terbang ke udara.

“A—?”

Ia menatap dengan wajah bego, baru sadar kedua lengannya hilang.

Darah muncrat dari potongan rapi itu.

“Kakinya juga kupotong untuk aman.”

“KyaaAAH! T–tunggu!!”

Teriakannya menyayat, tapi aku tidak peduli.

Entah apa ceritanya, dia jelas tetap bajingan.

Tepat ketika aku mengayunkan pedang ke kakinya—

[Ronan-nim. Mohon tunggu.]

“Apa?”

Suara muncul di kepalaku.

Suara berat yang sangat kukenal.

Pedang berhenti satu lembar kertas dari paha Brigia.

Pada saat yang sama, sebuah sinar biru menembak dari arah ia datang.

Sinar itu menembus dada Brigia.

“Keugh…”

KWARRUUNG!

Seperti suara guntur.

Sihir petir.

Tubuh Brigia yang hangus jatuh terjerembap.

Aku memandang ke arah asal cahaya.

“Lagi-lagi apa ini.”

Aku masih memegang pedang.

Seseorang berdiri membelakangi cahaya bulan.

Telinganya panjang—lebih panjang dari Brigia.

Dengan suara yang sama seperti yang terdengar di kepalaku, ia berbicara:

“Sungguh lama tidak bertemu. Saya tidak tahu harus mulai dari mana.”

“Ka—!”

Aku membeku.

Jika Brigia mengejutkanku tiga puluh persen—
orang ini sembilan puluh.

Dia benar-benar seseorang yang kukenal.

Pria yang mengubah dirinya menjadi batu,
Rasul Seniel.

High Elf Saranthe Remation.

Berdiri di sana, mengenakan setelan hitam rapi.

“…Saranthe.”

“Senang bertemu Anda, Ronan-nim.”

2-2. Aku Akan Pergi dan Kembali

Ada ungkapan bahwa seseorang akan membeku jika terlalu terkejut.

Dari pengalaman, ada benarnya juga.

Adeshan pernah begitu—ketika aku mencium dia secara tiba-tiba di bawah aurora.
Baren pun sama waktu dulu menerima proposal kegiatan klub.

Sampai sekarang pun si dungu Asel masih lumpuh seperti disambar petir setiap kali aku tiba-tiba memanggil namanya.

Tapi aku sendiri tidak pernah benar-benar merasakan hal itu.

Bahkan jika aku menerima kejutan yang membuat rambutku berdiri, tanganku selalu bergerak lebih cepat daripada pikiranku.

“Saranthe.”

Begitu juga kali ini.

Alih-alih membeku atau memeluk Saranthe yang tiba-tiba muncul, aku langsung mengayunkan pedang.

Tebasan itu berhenti hanya selembar daun dari tenggorokannya.

“……”

Percikan darah Brigia masih menempel di pedangku.

Tetesannya terpental ke leher Saranthe.

Harusnya itu cukup mengerikan, tapi mata sang Elf tua tak bergetar sedikit pun.

Aku menatapnya sejenak sebelum perlahan menurunkan pedang.

“Ternyata benar. Kupikir ini hanya ilusi seperti waktu itu.”

“Waktu itu?”

“Panjang ceritanya. Senang bertemu Anda lagi, Saranthe.”

“Bagi saya juga kebahagiaan. Melihat reaksi Anda, 역시 Anda memang Ronan-nim yang saya kenal.”

Saranthe tersenyum.

Senyum hangat itu membuat nostalgia menyengat dada.

Selain pakaian aneh yang ia kenakan, semuanya persis seperti yang kuingat.

Orang yang duduk di kuil Baidian, menjerang teh untukku dengan tangannya sendiri—
itulah Saranthe yang kulihat sekarang.

“Aku… punya pertanyaan bejibun sebenarnya.”

Tapi pikiranku berantakan.

Saranthe yang kukenal seharusnya masih menjadi batu.

Setelah perang melawan Nebula Chlazie berakhir, memang ada sekali ia muncul di hadapanku—
tapi itu bukan Saranthe.
Itu Seniel yang menyamar.

Brigia juga sama.
Wanita itu sudah kupenggal sendiri.

Tak mungkin ia masih hidup.

Aku masih sangat ingat tanah pegunungan Baidian yang basah oleh gerimis waktu menguburnya.

Saranthe mengangguk pelan.

“Memahami kebingungan Anda. Kalau diperkenankan, bolehkah saya menjelaskannya secara ringkas? Waktu saya tidak banyak.”

“Waktu… tidak banyak?”

“Ya. Beberapa menit lagi saya akan ditarik kembali ke waktu asal saya. Karena Brigia terseret juga, jatah saya di sini makin berkurang. Saya pun sebenarnya ingin berbicara lebih panjang dengan Ronan-nim di masa ini… tapi sangat disayangkan.”

“Ini omong kosong apa lagi.”

Aku benar-benar tidak menangkap maksudnya.

Saranthe dengan tenang mengelap darah di lehernya.

Aku menimbang kata-katanya, lalu mengerutkan dahi.

“Jadi… jangan bilang Anda datang dari masa depan?”

“Tepat sekali. Pemahaman Anda cepat.”

“Gila benar. Bisa buktikan?”

“Dengan senang hati. Saya datang ke sini untuk memohon sesuatu pada Ronan-nim, jadi saya harus bisa meyakinkan Anda. Tolong lihat ini.”

Ia mengeluarkan sebuah bola kecil.

Seukuran kepalan tangan, penuh ukiran tulisan kecil.

Paaat!

Tulisan itu menyala putih.
Lalu, sebuah hologram tiga dimensi muncul di udara.

“Ini…!”

“Produk terbaru dari Didican Industries. Untung ada ini, jadi saya bisa memperlihatkan apa yang terjadi di masa depan.”

Nama yang familiar, tapi aku tak sempat menanggapi.

Karena apa yang kulihat berikutnya membuatku terdiam.

Mustahil dianggap nyata.

“A-apa… jadi ini masa depan?”

“Betul, Ronan-nim.”

“Kalau ini bercanda, berhenti sekarang. Masih ada kesempatan untuk tidak kupukul sampai tulang hidungmu patah.”

“Sayangnya saya tidak cukup iseng untuk menjadikan ini humor.”

Saranthe tersenyum pahit.

Aku tahu ia tidak bohong.
Tidak mungkin ada yang bisa menertawakan pemandangan itu.

Sepanjang pembicaraan, mataku terpaku pada hologram.

— Kyaaak! Lari!

— Mulai tembakan! Tahan posisi sampai brigade Dainhar datang!

Sebuah kota sedang diserang.

Gedung-gedung pencakar langit dan lampu neon menunjukkan zaman yang jauh melampaui masa kami.

Orang-orang menjerit dan berlarian.

Di atas kepala mereka, para raksasa bersayap terbang rendah.

— Elkines menjatuhkan hukuman.

— Semua sesuai kehendak-Nya.

Tombak cahaya menukik dari langit.

Setiap kali menghantam, ledakan besar mengoyak kota.

Dome pertahanan bergetar hebat dan tampak hampir runtuh.

Pasukan bersenjata maju mencoba menahan, tapi jelas tidak seimbang.

Di daratan, para fanatik berjubah putih mengepung kota.

“Tidak mungkin…”

Tanganku hampir menarik pedang lagi.

Para botak pucat seperti gurita itu—
aku mengenali mereka.

Para penyusup dari bintang lain.
Ras yang kutumpas sampai akar-akarnya.

Mustahil mereka kembali.

Aku menghancurkan inti ras itu.
Aku membebaskan jiwa-jiwa yang terperangkap.

Mereka tidak mungkin berada di masa depan.

Aku menatap hologram itu tanpa berkedip.

Di masa depan—aku di mana?

Penglihatan berakhir.

Cahaya bola itu memudar.

Hutan kembali gelap.

Aku berbicara tanpa memandang Saranthe.

“Saranthe.”

“Ya, Ronan-nim.”

“Di masa depan… aku di mana? Kenapa aku tidak muncul? Bagaimana dengan Adeshan? Asel? Schlieffen?”

“Itu…….”

Saranthe tidak menjawab.

Ia menatapku lama… kemudian menunduk seperti seorang mata-mata yang menolak mengkhianati rahasia.

Sebuah palu raksasa jatuh di dadaku.

“Jangan bilang.”

“…Semua orang masih aman. Yang mengirim saya ke masa lalu pun Asel-nim dan Erzevette-nim. Tapi… kalau begini terus, saya tidak tahu bisa bertahan sampai kapan.”

“Masih…?”

“Ya. Situasi kami sangat buruk. Jumlah mereka jauh lebih banyak dari sebelumnya. Dan kali ini… tidak ada Penyelamat.”

Saranthe menunduk.

Aku tidak bertanya lebih jauh.

Kalau mendengar detailnya, aku mungkin kehilangan kendali.

“Persetan…”

Pusing.
Mual.

Ingatan hari-hari bahagia berkelebatan tanpa izin.

Yang paling jelas—beberapa hari lalu.

Aku berbaring di pangkuan Adeshan di lantai rumah.

Telinga kananku menempel pada perutnya.

Ia membelai rambutku sambil bertanya apakah aku merasakan tendangan.

Padahal belum waktunya untuk itu.

— Dibilang tidak ada, kan.

— Coba dengarkan baik-baik. Siapa tahu.

— Kalau sekarang dia menendang, itu bukan bayi. Itu monster.

Kami bicara soal nama anak, siapa yang ingin kami harap lebih mirip siapa.

Sekali-sekali aku mencium pusarnya.

Adeshan tertawa geli.

“Fu… haa…”

Sulit bernapas.

Suara tawanya masih mengiang.

Tak ada satu pun dari kami yang membayangkan masa depan penuh horor seperti itu.

“Tidak ada cara mencegahnya?”

“Ada. Itulah sebabnya saya datang.”

“Bagus. Katakan.”

Penglihatanku menyempit.

Jantung berdebar terlalu keras.

Aku mengusap wajah dan berbisik lirih:

“Rasanya tubuhku mau meledak.”

“……!”

Saranthe tersentak.

Hutan bergemuruh.
Burung-burung terbang serempak.

Sunyi kembali turun.

Keringat dingin mengalir di pelipisnya.

“M-Mohon… tenang sedikit saja, Ronan-nim.”

“Hah? Ah… iya.”

Aku baru menyadari aku hampir kehilangan kendali.

Setelah beberapa tarikan napas, auraku tenang.

Aku menggaruk kepala, malu.

“Maaf. Aku seperti bocah tadi.”

“Tidak apa-apa. Sekarang saya mengerti kenapa saya dikirim menemui Ronan-nim di waktu ini.”

Saranthe tersenyum tipis.

Wajahnya banjir keringat—
tanda ia berusaha keras tidak pingsan karena tekananku.

Ia melanjutkan.

“Ronan-nim. Anda tahu konsep dunia paralel?”

Begitu kata itu muncul, mataku membelalak.

Itu topik pembicaraanku dengan Asel beberapa jam lalu.

“…Aku dengar sedikit.”

“Kalau begitu cepat menjelaskannya. Para raksasa itu—semuanya berasal dari dunia paralel.”

“Hah?”

“Total ada tiga dunia paralel yang sangat mirip dengan dunia kita. Ketiganya telah atau akan dimusnahkan Nebula Chlazie. Dan portal yang menghubungkan dunia-dunia itu telah terbuka.”

Aku mengedip.

Ingin bertanya panjang, tapi itu hanya memperlambat keadaan.

Jadi aku fokus pada inti:

“…Oke. Dunia paralel. Tapi kenapa tiga?”

“Sederhana. Karena istri Anda—Adeshan-nim—telah kembali ke masa lalu tiga kali.”

“APA KATAMU?!”

Refleks aku memaki.

Siapa yang tidak?

Seolah kepalaku dipukul batu bata.

“Wajar Anda terkejut. Tidak banyak yang tahu. Adeshan-nim baru mengaku sebagai regressor setelah invasi Nebula Chlazie dimulai, demi membantu penyelidikan. Para ilmuwan akhirnya menyimpulkan hubungan itu.”

“Jadi yang Asel bilang benar? Bahwa dunia tidak ter-reset waktu ia kembali, tapi ia pindah ke dunia lain?”

“Setengah benar. Lebih tepatnya, setiap kali Adeshan-nim mati, sebuah dunia paralel baru tercipta. Ia meninggal, dunia baru terbentuk, ia hidup lagi—dan kembali berjuang melawan Nebula Chlazie.”

“…Sialan. Jadi itu kenyataan?”

Kekecewaan dan ngeri mengalir bersamaan.

Dunia tempat Adeshan mati—
pasti sudah hancur.

Sudah mati, atau menunggu untuk mati.

Saranthe berkata:

“Karena itu, di dunia paralel tidak ada Adeshan-nim. Karena itu dunia yang ia tinggalkan setelah mati. Tugas Ronan-nim simpel: pergi ke tiga dunia paralel itu, hancurkan portal yang terhubung dengan masa depan, dan bunuh Akasha.”

“Akasha?”

“Benar. Saya lupa menjelaskan. Dialah biang segala bencana ini.”

Senanthe mengerutkan alis—untuk pertama kalinya rautnya dipenuhi kebencian.

“Penguasa masa depan. Satu-satunya penyihir dalam sejarah yang bisa memanipulasi dunia paralel. Dan ia ahli dalam semua sihir lainnya.”

“Hanya dengar namanya saja sudah terlihat gila. Bahkan Asel pun tidak bisa melakukan itu.”

“Sama sekali tidak. Asel-nim dan Erzevette-nim menghabiskan hampir semua mana mereka untuk mengirim saya ke masa ini. Mengusik dunia paralel? Tidak mungkin. Kecuali Anda Akasha.”

Saranthe mengepalkan rahang.

Amarah dan frustrasi bersatu dalam tatapannya.

“Akasha sekarang sedang mondar-mandir antar dunia membuka portal sesukanya. Seperti bencana hidup. Dan di masa depan, tidak ada lagi cukup orang kuat untuk melawannya.”

“Kalau kau bisa dikirim ke masa lalu, kenapa tidak kirim saja seseorang untuk membunuh Akasha sebelum ia tumbuh besar?”

“Kalau kami tahu identitasnya, kami sudah melakukannya. Tapi tidak ada yang tahu. Tidak ada yang tahu kapan ia lahir, di mana ia tumbuh. Ia selalu bermasker dan berjubah. Tidak ada wajahnya, tidak ada suaranya.”

“Tapi waktu tidak cocok. Dia ada di masa depan. Bagaimana aku ketemu dia?”

“Karena dunia paralel berjalan di garis waktu berbeda. Di mana pun Anda masuk, timeline di sana sama.”

Saranthe menjelaskan panjang lebar.

Tapi bagiku, hanya satu hal penting:

Bisakah aku memenggal kepala bajingan itu atau tidak.

“Di masa depan, kami akan memojokkan Akasha ke dunia paralel. Ronan-nim tinggal menangkapnya di dalam perangkap.”

“Perangkapnya gede amat.

Dan alasan kau datang ke sini adalah karena portal adalah jenis sihir, dan hanya aku yang bisa menghancurkan sihir itu, benar?”

“Benar. Hanya Ronan-nim. Di masa depan, Anda menghancurkan portal di sana. Di masa kini, Anda menghancurkan portal dunia paralel.”

“Baik. Kalau begitu, cepat—hm?”

Aku menyipitkan mata.

Tubuh Saranthe semakin transparan.

Brigia juga memudar seperti asap.

“Kenapa tubuhmu begitu?”

“Waktu saya habis. Kita harus cepat.”

Saranthe mengeluarkan botol kecil.

Di dalamnya cairan merah berkilat.

“Ini darah Akasha.”

“Apa, serius itu darah?!”

“Ya. Akasha membuka portal memakai darahnya sebagai katalis. Begitu darah itu menyentuh permukaan dunia mana pun, portal terbuka.”

Darah itu, jika terkena udara, berubah menjadi celah dimensi.

Para penyihir, dibantu Sita dan para vampir, berhasil mencuri sedikit.

Hanya cukup untuk satu portal.

“Sangat sulit mendapatkannya. Sita-ssi benar-benar hebat. Ini hanya cukup untuk satu celah.”

“Boleh tidak kau—eh?!”

Aku belum selesai bicara ketika Saranthe sudah membuka tutupnya.

Cairan itu menguap seketika.

Bau aneh menyebar.

Retakan putih terbentuk di udara.

Retakan itu membesar, merambat, lalu—

KWAAJANG!

Seperti kaca pecah, sebuah portal terbuka.

Cahaya putih berdenyut dari dalamnya.

Saranthe berkata:

“Ronan-nim. Saya tahu ini membingungkan. Mendadak begini pasti berat.”

Ia hampir tembus pandang seluruhnya.

Pemandangan hutan terlihat melalui tubuhnya.

“Kuh, kau benar.”

“Maafkan kami. Masa depan percaya Ronan-nim satu-satunya harapan. Saya benar-benar minta maaf membebani Anda sebelum kita sempat merayakan pertemuan ini.”

“Memang hidupku begini nasibnya. Eh, sebelum waktu habis, boleh tanya satu hal?”

“Tentu. Apa itu?”

“Bisakah masa depan diubah?”

Pertanyaan serius.

Saranthe terdiam.

Saat ia hendak menjawab—

Aku mengibaskan tangan.

“Tidak. Jangan jawab. Lebih baik aku tidak tahu.”

“Tetapi—”

“Tidak penting. Yang penting adalah kau memintaku melakukan ini.”

Itu prinsipku selama dua kehidupan.

Kalau harus dilakukan, lakukan.
Jangan bertanya yang tidak perlu.

Jika aku satu-satunya yang bisa menyelamatkan dunia, maka itu jawabannya.

Saranthe tersenyum tipis—sedih.

Ia melepas coat dan menyerahkannya padaku.

“Tolong pakai ini. Sudah diperlakukan khusus, tidak akan lenyap seperti saya.”

“Hadiah perpisahan, ya?”

Begitu kusentuh, coat itu kembali padat dan tidak lagi transparan.

Aku menarik napas dalam.

“Baik. Jadi tugasnya: hancurkan portal dan bunuh Akasha.”

“Betul.”

“Bagaimana caranya pulang?”

“Di kantong dalam coat itu ada satu botol lagi berisi darah Akasha. Simpan baik-baik. Setelah misi selesai, buka tutupnya, dan portal pulang akan terbuka.”

Aku memeriksa—memang ada.

Botol kecil yang menentukan apakah aku bisa kembali atau mati di dunia asing.

“Kalau versi paralelku masih hidup, temui dia. Mungkin membantu.”

“Akan kuingat.”

Aku menoleh ke hutan gelap.

Asel masih tidur.

Mungkin ini terakhir kalinya aku melihat dunia ini.

Hati terasa berat.

Aneh sekali—
mengubah masa depan berarti mungkin kehilangan masa kini yang bahagia.

“Dasar dunia sial…”

Meski begitu, keputusanku tidak berubah.

Aku percaya pada teman-temanku.

Dan aku percaya pada diriku yang mereka percayai.

Aku memakai coat itu.

Ujungnya berkibar seperti sayap Sita.

Nyaman.
Ringan.
Hangat.

“Lumayan. Bagus juga.”

“Teknologi masa depan.”

“Pantas. Bebanku berat, jadi bajunya harus ringan. Terima kasih.”

Saranthe hampir hilang sepenuhnya.

Suara terakhirnya menggema:

“Saya menunggu Anda di masa depan.”

Aku berbalik, menghadapi portal.

Cahaya putih berkedip semakin cepat.

Sudah waktunya.

“Haa…”

Sebelum melangkah, aku melihat ke arah Phileon—
arah di mana Adeshan berada.

Dan kepada wanita yang akan menjadi istriku, serta kehidupan kecil yang tertidur dalam dirinya—

aku berbisik:

“Pergi dulu.”

Lalu aku melangkah.

Sembari berharap dunia di balik celah putih itu…
tidak sepenuh sial seperti yang kubayangkan.

Celah putih itu menelan tubuhku.

2-3. Dunia Merah & Putih (1)

Saat aku menembus celah itu, sensasi menjijikkan yang tujuh kali lebih buruk daripada teleportasi biasa menghantam seluruh tubuhku.

Pusing… persis seperti ada hantu yang menjilat labirin telingaku dari dalam.
Mual pun menghantam.

“Uuek.”

Aku memaksa kepala terangkat.

Di kejauhan—sekitar 500 meter—kulihat celah yang bentuknya persis sama dengan celah tempat aku masuk barusan.

Selain itu, seluruh ruang dipenuhi hanya satu warna: putih.

Tidak jauh jaraknya.
Namun begitu aku melangkah selangkah—

baru saat itu aku mengerti kenapa Saranthe bilang tak seorang pun selain aku bisa memasuki celah itu.

“Apa-apaan ini, sialan?”

Seperti tubuhku dilempar ke dasar laut tanpa pelindung.

Tekanan pada tubuh melonjak gila-gilaan.

Ketika aku mempersempit pandangan, terlihat partikel-partikel kecil—bahkan lebih kecil dari debu—mengambang dan mengitari udara.

Darah segar mengalir dari hidungku.

“Lumayan.”

Sensasinya mirip diserang Telekinesis tingkat tinggi.

Sepertinya partikel-partikel itu berfungsi sebagai katalis sihir.

Tulang dan persendianku berderak.

Kalau aku manusia biasa, aku pasti sudah gepeng seperti ubur-ubur saat melangkah masuk.

Hebat juga si bajingan Akasha ini. Dia bahkan tidak berada di sini, tapi sihirnya sanggup menekan tubuhku sampai begini.

“Tapi pada akhirnya, ini cuma sihir.”

Aku menarik pedang.

Ketika bilahnya terayun dalam sebuah busur, kekiatan pedang mengalir seperti cairan dan meledak ke depan.

Partikel-partikel itu hancur.
Dan sebuah jalur bersih—seperti terowongan darah—mengarah lurus ke celah.

“Huuup!”

Tak ingin membuat segalanya lebih repot, aku menarik napas dan mengumpulkan tenaga pada paha.

Tumitku menghantam tanah.

Tubuhku melesat seperti peluru, langsung menuju celah.

Kulirik ke belakang.

Celah yang kutembus tadi terlihat samar, hutan malam bergoyang di balik ruang pecah itu.

“……”

Meski hanya sepersekian detik, pikiranku berputar.

Aku masih sulit percaya sepenuhnya.

Bagaimana kalau semua ini cuma mimpi?

Bagaimana kalau Saranthe yang menemuiku tadi sebenarnya cuma hantu iseng yang menyamar?

Mana masuk akal?
Muncul tiba-tiba, bicara tentang masa depan, dunia paralel, invasi…

‘Padahal aku sendiri hidup dua kali—itu saja sudah tidak masuk akal.’

Tapi tekadku tidak butuh waktu lama untuk bulat kembali.

Akhir-akhir ini aku sering lupa.

Sering lupa bahwa ini adalah hidup keduaku.

Lupa suara napas Daejanggun saat ia menempelkan bibirnya padaku.
Lupa rasa kering darahnya,
aroma besi menusuk hidung ketika kami jatuh bersama melewati celah dunia,
lupa pemandangan Nimbertun yang membentang ketika aku membuka mata sebagai Ronan.

Aku sudah pernah memanggul nasib dunia sebelumnya.

Aku memutuskan mempertaruhkan semuanya pada dirimu.

Aku memilih berpikir positif.

Selama ini aku dihantui delusi.

Tentang dunia-dunia yang ditinggalkan.

Tentang dunia yang kehilangan Adeshan.

Tentang dunia yang mungkin masih bertahan, atau mungkin sudah lenyap.

Ternyata semua itu bukan ilusi.
Dan kini aku diberi hak untuk terlibat.

Bisa dibilang aku beruntung.

Biasanya orang dengan delusi seperti ini akan dipasangi jaket pengekang, dipenjara, atau dianggap gila sampai mati.

“Benar juga.

Hanya yang pernah makan daging yang tahu rasanya.”

Pikiranku beres.

Aku tidak mengerem dengan memasukkan pedang ke tanah.
Aku hanya memejamkan mata.

Kilatan cahaya meledak ketika aku menembus celah.


Cahaya mereda dengan cepat.

Aku membuka mata perlahan.

Butiran pasir putih meluncur di bawah tubuhku.

“Apa ini.”

Anehnya, aku masih melayang.

Kecepatan ini tidak main-main—sepertinya aku menendang tanah terlalu kuat.

Aku ingin mendarat dengan baik, tapi jarakku ke tanah sudah terlalu dekat.

Seperti glider yang gagal menghitung panjang landasan.

Hm.

Sial.

Saat aku bisa melihat bentuk tiap butir pasir dengan detail—

“KHAAAK!”

Mukaku terbenam langsung ke pasir.

Tubuhku memantul dan berguling keras.

Setelah menggelinding dua puluh tiga kali, akhirnya tubuhku berhenti.

“Ptui! Ptui! Sial betul!”

Aku bangkit seperti pegas.

Setiap kali aku meludah atau membuang ingus, pasir keluar bersama cairan.

Putih mengilap, cantik seperti permata—
tapi sumpah, aku ingin melelehkan semuanya jadi kaca saja.

“Tunggu. Ini…”

Saat aku mengibas kantong coat, sebuah sensasi deja vu menghantam.

Aku pernah melihat pasir seperti ini.

Putih pucat, seperti sisa tubuh yang dihisap vampir sampai kering.

Dan di sampingku…

suara ombak.

Aku menoleh—

dan tubuhku membeku.

“Hah. Sialan.”

Lautan merah seperti darah terbentang sejauh mata memandang.

Langit yang bersentuhan dengan garis laut berwarna putih—sehampa pasir ini.

Lautan merah itu begitu jernih hingga aku bisa melihat jauh ke dalam.

Kenapa… tidak ada apa pun?

Dan itu yang paling menyeramkan.

Tidak ada ikan.
Tidak ada karang.
Tidak ada kerang.
Tidak ada kehidupan.

Hanya beberapa karang pucat yang tersisa, seperti mayat yang tak mau tenggelam.

Tanganku masih mengibas coat tanpa henti, tapi pikiranku membeku.

Deja vu berubah menjadi kepastian.

“A… jadi memang sudah berakhir.”

Krek.

Suara sesuatu retak dalam mulutku.

Aku melihat pemandangan ini ketika melawan Abell.

Saat kami jatuh dari celah dimensi itu, kami mendarat di sebuah planet yang—

lautnya merah, tanahnya putih.

Abell menyebutnya:

“Akhir dari planet yang dilahap para raksasa.”

Dan sekarang aku berdiri di sana.

Saranthe bilang dunia paralel adalah dunia setelah Daejanggun mati.
Ia tidak pernah bilang berapa lama setelahnya.

Melihat kondisi ini…

sepertinya dunia ini sudah lama mati.

Rencana Nebula Chlazie—
berhasil sepenuhnya.

“Tamat yang menyedihkan.”

Sekuat-kuatnya menarik napas, akhirnya dadaku sedikit lega.

Aku harus mulai bergerak.

Tugasku:
hancurkan semua celah di dunia ini
dan bunuh Akasha.

Celah pertama yang harus dihancurkan sudah jelas.

Aku menoleh ke belakang.

Jejak mendaratku… luar biasa memalukan.

“Leherku tidak patah itu sudah keajaiban.”

Parit besar membelah pasir dari tempat tubuhku menggelinding.

Di ujungnya, celah putih berdenyut pelan.

Aku menggenggam pedang dan menghampirinya.

Kesempatan terakhir untuk menganggap semua ini mimpi.

Namun aku tidak ragu.

Pedangku membelah udara.

Partikel sihir ambruk, celah mulai menutup.

“Tidak sulit.”

Tidak sampai beberapa detik.

Bekas luka ruang itu lenyap tanpa jejak.

Aku mengibaskan tangan ke udara—
tidak ada apa pun.

Mulai sekarang, tidak ada jalan kembali.

Ketika aku hendak memulai misi, muncul satu masalah besar.

Bagaimana cara menemukan celah lainnya?

Ini masalah serius.

Bahkan kalau luas dunia ini tidak sebesar dunia asli, aku tidak punya metode pelacakan.

Kalau ada teman-temanku, mungkin gampang.

Tapi aku di sini sendirian.

“Kalau saja Sita atau Asel ada…”

Aku menghela napas panjang.

Akhirnya, aku memilih cara paling primitif:

Jalan sampai ketemu celah.

Untungnya tidak sepenuhnya tanpa petunjuk.

Akasha membuka celah untuk memanggil para raksasa dan Nebula Chlazie.
Maka kemungkinan besar celah-celah itu berada dekat tempat yang dipenuhi aura para bajingan itu.

Kalau aku bisa menemukan satu saja, aku bisa menelusuri pola sisanya.

“Baik. Mulai.”

Plak!

Aku menepuk kedua tangan.

Sunyi—tak ada siapa pun yang membalas.

Yah, memang jalan pahlawan itu sunyi.

Aku baru mengangkat kaki menyusuri garis pantai ketika—

“Ke barat. Ada sesuatu di barat.”

“WOI GILA KAU NGAGETIN!!”

Suara gadis tiba-tiba menggema.

Aku memekik seperti anak perempuan spontan.

Aku langsung mencabut pedang.

Tapi yang kulihat hanya pasir dan laut merah.

Saat napasku mulai stabil—

“Apa sih? Kita kan sudah bersama-sama dari tadi.”

Suara yang sama.

Sangat dekat.

Aku menunduk—
dan mataku membelalak.

Pedangku bergetar sendiri di tanganku.

“Lin…!”

“Akhirnya kau memperlihatkan nafsu terpendammu. Tempat sepi begini, hanya berdua. Kau memang suka yang lebih tua, ya?”

Aku lupa sepenuhnya—

yang bicara barusan adalah pedangku sendiri.

Lebih tepatnya, penghuni pedangnya.

Spirit pedang suci, Lin.

“Hey, kau baik-baik saja?”

“Lapar. Cepat potong sesuatu.”

“Bukan itu! Maksudku tubuhmu tidak mau hancur? Kesadaranmu tidak kabur?”

“Tidak. Aku baik-baik saja.”

Suara Lin tenang seperti biasa.

Dadaku hangat.

Aku tidak sendirian.

“Hah… syukurlah. Senang sekali mendengarmu, benar.”

“Anu… sikapmu hari ini bagus ya. Pertahankan begitu selamanya.”

Aku tertawa kecil.

Aku mengusap gagang pedang, dan Lin bergemuruh seperti kucing senang.

Lalu aku teringat.

“Tadi kau bilang di barat ada sesuatu?”

“Ya. Tidak tahu apa. Tapi sangat menjijikkan. Ingin kubelah sekarang juga.”

“Para botak sialan itu? Bagus. Ayo.”

Lin jarang bersikap agresif.
Kalau dia gelisah, itu berarti ada sesuatu.

Aku menyesuaikan arah dan berlari.

“Ini sebenarnya bagian mana dari dunia asli? Tidak terasa familiar.”

“Tidak tahu. Aku tidak suka tempat ini. Kenapa kita ada di sini?”

“Ceritanya panjang. Tapi ya… kita tidak ada kerjaan lain sekarang, jadi akan kuceritakan.”

Aku menceritakan semuanya pada Lin.

Dan ia hanya menjawab:

“Mm.”
“Mm.”
“Mm.”

Sambil berlari, pasir putih terbang seperti salju.

Sesekali aku menoleh; jejak kaki merahku tetap membekas.

Setelah puluhan “Mm”—

“Aku menemukannya.”

“Hm?”

Untuk pertama kalinya ia menjawab berbeda.

Dan pada saat yang sama—

rasa yang sangat akrab dan sangat menyebalkan menusuk kulitku.

Aku menatap lautan.

“Apaan lagi itu.”

Mataku mengernyit.

Lin menggeram seperti binatang lapar.

Di ujung garis merah, kabut putih naik turun.

Seperti awan jatuh ke permukaan laut.

Dan di dalam kabut itu—
berkilauan seperti pasir bintang—

mana Nebula Chlazie.

“Tangan?”

Yang menarik bukan mana itu.

Tapi benda besar di dalam kabut.

Aku baru sadar setelah beberapa detik:

Itu sebuah tangan raksasa
yang menjulur dari bawah laut.

“Masih hidup?”

Lin terdengar bingung.

Tangan itu tidak bergerak.

Terlalu jauh untuk memastikan bentuk lengkapnya.

“Kita lihat langsung.”

Tidak ada yang lebih baik daripada memeriksa dari dekat.

Lumayan jauh, tapi bukan masalah.

KWAANG!

Aku mengumpulkan tenaga pada kaki dan melompat mengarah ke laut.

“Tenagamu makin bagus.”

“Memang dari dulu.”

Lin mendengus puas.

Pantai menjauh dengan cepat.

Setelah semua kutukan terangkat, aku bisa melompat setara Jaifa.

Belakangan, aku jarang menggunakan kekuatan penuh.

Dunia sudah damai saat itu.

‘Ngeri sekali.’

Di bawahku, laut darah bergulung.

Bagian dalamnya gelap pekat, hampir tidak dihuni.

Seolah kapan saja tentakel raksasa bisa muncul.

Tak lama kemudian—
kabut menelanku.

“Tak kusangka harus melihat ini lagi.”

Aku meringis.

Bagian dalam kabut itu seperti planetarium gelap.

Mana Nebula Chlazie bersinar di mana-mana.

Aku menggenggam pedang lebih kuat.

“Mau menebasnya?”

Aku menjawab Lin dengan menggenggam pedang lebih erat.

Bukan karena bau busuk atau racun…
aku hanya benci melihat pemandangan ini.

“Bagus. Ayo.”

Lin terkekeh.

Pedang berputar membentuk lingkaran besar.

Dan ketika kembali ke posisinya—

CHWAAAAAK—!

Kabut tebal terbelah.

Angin tepat pada waktunya bertiup.

Kabut selebar 1 km terbagi dua dan tersingkir.

Dan—

“…”

Tangan itu akhirnya tampak jelas.

Lebih dekat dari dugaanku.

Aku menyipitkan mata.

“…Sebuah altar?”

Tangan itu—

bukan milik makhluk hidup.

2-4. Dunia Merah & Putih (2)

Ternyata sosok “tangan” itu adalah sebuah struktur raksasa.

Dari jauh, aku benar-benar mengira itu bagian tubuh makhluk hidup.
Namun begitu mendekat, kesannya berubah total.

Apa harus kusebut apa?

Bangunan yang sangat aneh bentuknya.

Dibuat para raksasa botak itu, kah?

Rasanya seperti patung tangan raksasa yang kemudian dipasangi bangunan ilegal di atasnya.

Kelima jari itu menjulang setinggi menara puncak di Phileon.

Telapak tangan yang lebar dan datar menghadap langit secara sejajar.

Melihat permukaannya yang pucat dan berlendir seperti ingus, jelas mereka menirukan tangan para botak terkutuk itu.

“Baiklah, mendarat dulu.”

Sepertinya layak diperiksa lebih dekat.

Dan bagaimanapun juga, kalau tidak mendarat di situ, aku pasti akan tercebur ke laut.

Aku mengayunkan pedang ke arah permukaan laut yang semakin mendekat.

PUOOONG!

Kekiatan pedang yang memancar seperti api menghantam air laut.

“Ugh…!”

Ledakannya jauh lebih besar daripada perkiraan.

Seperti ranjau laut meledak.

Tubuhku terlempar keras oleh gelombang kejutnya.

Aku yang awalnya meluncur lurus, baru berhenti setelah punggungku menabrak jari tengah raksasa itu.

“Argh! Sialan!”

Lumayan sakit.

Getarannya merambat ke seluruh struktur tangan.

Sambil melompat gaya burung walet dan mendarat, aku mengusap punggungku.

Lin mendesah.

“Tidak pernah belajar. Seperti biasa.”

“Yang penting mendarat, kan?”

“Itu benar. Siapa pun selain kamu sudah mati tadi.”

Nada lin memastikan itu.

Dan aku setuju.

Setiap kali kejadian seperti ini, aku diingatkan lagi bahwa aku bukan manusia biasa.

Tapi mau bagaimana lagi?

Memang aku lahir dengan tubuh yang bisa bertahan dari kegilaan seperti ini.

“Buktinya aku tidak mati.”

Telapak tangan itu sangat luas—cukup untuk dijadikan taman bermain.

Meski tidak ada celah yang terlihat, banyak hal menarik mencolok di sana.

“Tadi kau bilang altar?”

“Oh iya. Lihat ujung jarinya. Kayak ada sesuatu terus keluar dari sana.”

Aku menunjuk puncak jari.

Terlalu tinggi—aku harus mendongak habis-habisan.

Di ujung lima jari itu, ada struktur meruncing seperti kuku raksasa.

“Benar juga.”

“Dan aku yakin pernah melihat itu… di mana ya…”

Dari lima kuku itu memancar lima berkas cahaya, menembus langit dan laut.

Cahaya itu dipenuhi mana berkilau khas Nebula Chlazie.

Ketika rasa deja vu itu akhirnya membentuk jawaban—

“Adrén.”

Plak!

Jariku menjentik sendiri.

Momen ketika sebuah ingatan muncul selalu sejelas menahan bersin yang hampir keluar.

Aku pernah melihat yang mirip.

Saat pergi ke kota para naga, Adrén, bersama Aselle dan Schlippen di masa lalu.

Di puncak Sky Tower tempat Dragon King Azidahaka tinggal.

“Dalam ritual si kepala-dua itu, ada sinar seperti itu. Ingat?”

“Kalau dipikir, iya juga.”

Sudah bertahun-tahun berlalu sejak kejadian itu.

Karena cemburu buta, Dragon King itu memanggil Nebula Chlazie untuk memperoleh kekuatan yang melampaui Navardojé.

Para pemuja sesat itu menipu sang raja, memaksanya melakukan ritual.

Ritual untuk menurunkan raksasa botak, sambil berpura-pura memberinya kekuatan.

“Pasti. Itu sinyal mereka memanggil ‘Dunia Si Botak’.”

“Tujuannya apa? Kalau dunia ini sudah ditaklukkan raksasa, kenapa mereka masih perlu datang?”

“Itu yang harus kita cari tahu.”

Aku mengarahkan pedang ke jari telunjuk.

Tebasan ringan melesat.

Pedangku menembus permukaan, tapi terhenti di tengah.

“Oh?”

Lumayan keras.

Tapi pedang di tanganku adalah bilah paling tajam yang ada.

Dengan sedikit tenaga, bilah itu meluncur mulus di dalam dinding struktur.

Garis diagonal terbentuk di tengah jari telunjuk.

Setengah bagian atasnya meluncur jatuh ke arah laut.

PUOOOONG!!

Semburan air merah menjulang tinggi.

Berkas cahaya berkurang menjadi empat.

Karena air lautnya jernih, aku bisa melihat dengan jelas jari itu tenggelam.

“Tidak ada apa-apa.”

Agak mengecewakan.

Kupikir sesuatu pasti akan terjadi.

Aku hendak memotong jari lainnya saat—

KWAAAAAAAANG!!!

Sebuah ledakan seperti bendungan jebol bergemuruh dari belakang.

“Sial, apa lagi?!”

Ini bukan suara biasa.

Aku menoleh cepat.

Di tengah telapak tangan raksasa, air laut hitam-merah menyembur ke langit.

Seperti paus mengepulkan air.

“Kita harus menghindar.”

Lin menimpali.

Aku sangat setuju.

Semburannya jauh lebih besar dari yang sebelumnya.

Aku berlari dan bersembunyi di belakang pangkal jari telunjuk yang terpotong.

Air yang sebelumnya menjulang ke langit kini jatuh seperti hujan badai, menggulung seluruh telapak tangan.

“Gila….”

Aku bertahan seperti cicak, merapat pada dinding jari agar tidak terseret.

Air yang menyapu terasa cukup kuat untuk menghancurkan tulang.

Semburan itu membuat lautan yang sudah menakutkan ini lebih merah lagi.

Apa ini bercampur sesuatu? Tidak berbau darah… tapi…

Tekstur yang menetes di wajahku terasa sangat tidak nyaman.

Lebih pekat dari air laut merah yang sebelumnya.

Seperti darah murni, tapi tanpa bau atau rasa.

Semburan itu berlangsung selama sekitar sepuluh menit.

Setelah mereda dan aku turun dari jari, aku menghampiri pusat telapak tangan.

“Sebuah… lubang.”

Di tengah telapak, menganga lubang raksasa.

Dari sinilah air menyembur.

Diameternya begitu besar hingga raksasa botak pun bisa lewat.

Dalam sekali—tak terlihat dasarnya.

Saat aku menatap ke dalam lubang itu—

“Ronan.”

“Ya. Aku merasakannya.”

Lin bergetar.

Aku mengangguk.

Dari dasar lubang itu—
ada aktivitas hidup. Jelas.

“Kali ini benar. Ini makhluk hidup.”

“Salah satu raksasa?”

“Hanya ada satu cara untuk tahu. Aku turun.”

“Turun? Tung—”

Sebelum Lin sempat menyelesaikan kalimatnya—

Aku sudah berlari dan melompat ke dalam lubang.

Hanya beberapa detik kemudian, kegelapan melahapku.

“Sial, dalam amat!”

Aku mendongak—lubang itu sudah sekecil bulan.

Bahkan kalau ini terhubung ke dasar laut pun masih masuk akal.

Harusnya kecepatanku stabil setelah jatuh sejauh ini, tapi justru bertambah cepat.

Tidak—tekanan semakin kuat semakin ke bawah.

“Aku bilang kan kau itu ceroboh.”

“Tenang. Ini belum cukup buat membunuhku.”

Meski bisa saja membuatku patah tulang atau setengah mati.

Angin menghantam telinga seperti badai.

Aku menancapkan pedang ke dinding sebelum terlambat.

KAGAGA-GAGAK!!

Percikan api berhamburan.

Kecepatanku menurun.

Lin bergetar marah.

“Sakit! Sakit, bodoh!”

“Tahan sebentar. Nanti tinggal minum darah, selesai.”

“Kau jahat. Tadi manis sekali padaku, sekarang begini. Dasar pria muda… awalnya tampak mau mengambil bintang-bintang untukku, lalu bosan sedikit langsung dibuang seperti permen karet bekas.”

“Sial, dari mana kau belajar omong begitu? Kau masih suka keluyuran dalam wujud manusia dan baca-baca novel cabul itu?”

“Ugh.”

Getarannya berhenti.

Kena tepat sasaran.

Sudah lama aku tahu:
Hobi rahasia pedang suci yang anggun ini adalah membaca novel roman erotis.

“…Bukan novel cabul. Itu roman, mengerti?”

“Itu sama saja. Dan tidak ada roman yang isinya begitu dari bab dua sampai akhir. Hei, pedang mesum—”

“Hentikan. Aku mengerti. Diam.”

“Sudah mau sampai. Tahan sedikit. Nanti kuberi banyak kesempatan menebas musuh.”

Lin merengut, tapi diam.

Kelemahan ini jelas bisa kupakai lagi nanti.

Semakin turun, semakin terasa makhluk itu mendekat.

Sepertinya terowongan makin sempit juga.

Sekitar satu menit kemudian—

“Baik, sampai.”

Akhirnya dasar terlihat.

Dari jauh, cahaya samar merembes keluar.

Namun bentuk lantainya aneh.

Di permukaan datar itu, ada satu garis panjang sempit.

Dan aku segera sadar:

Lantai keseluruhan itu adalah sebuah gerbang raksasa.

“Sialan. Apa lagi ini.”

Yang berarti ada sesuatu di baliknya.

Aku hendak mengayunkan pedang—

Ketika ratusan lubang muncul di dinding sekitar.

“Hah?”

Luas satu lubang setara dengan pantat kuda.

Karena gelap, aku tidak tahu lubang-lubang itu ada sebelumnya.

Sebelum aku sempat memahami situasinya—

KWAAAAAAAANG!!

Air menghambur dari semua lubang sekaligus.

“Ini…!”

Dalam sekejap, ruangan terisi air.

Yang masuk adalah air laut asli—asin dan segar.

Apa semua kehidupan laut tidak punah?

Ini air laut yang kukenal.

Puluhan pertanyaan melintas, tapi tidak ada waktu.

Dalam sekejap, air menenggelamkanku.

“Kh—!”

Kata “tenggelam” berkelebat di pikiranku.

Lalu—

Sreeeek—

Gerbang di bawah kakiku mulai terbuka.

KURRRRRR…!

Dan dari baliknya—

Sebuah cairan merah kental menerobos air laut, naik ke atas.

“……!”

Jauh lebih pekat dari yang di telapak tangan tadi.

Air laut berubah warna dengan cepat.

Tekanan kuat mendorong tubuhku ke atas.

Kalau aku mengikuti arus, aku akan terpental keluar melalui semburan tadi.

Tidak. Aku sudah sampai sejauh ini.

Pinjam tenagamu, Baren.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama—
aku mengganti inti aura.

Cahaya emas menyelimuti lenganku.

Aura Baren. Aura yang memberiku kekuatan raksasa.

“Grrrk.”

Aku mulai berenang turun.

Arusnya kuat sekali—seperti melawan air terjun.

Tapi kekuatan sang guru membuatku seperti salmon yang melawan arus.

Begitu aku berhasil melewati gerbang—

BAM!!

Gerbang menutup, dan cairan itu langsung turun.

“GAAAAH!”

Aku terjun hampir seperti batu.

Dalam hitungan detik, aku mencium lantai keras.

Setelah memuntahkan air dan bangkit, cairan merah itu sudah lenyap.

“Sial… apa yang mereka rencanakan di sini?!”

Pembuangan airnya sangat bagus.

Sampai ke kaus kakiku basah oleh cairan merah itu, sementara coat pemberian Saranthe tetap kering dan bersih.

Sekarang… di mana aku?

Tempat ini gelap, lembap—seperti penjara bawah tanah.

Gerbang tadi kini berada di langit-langit.

Saat aku hendak memeriksa sekitar—

“A-ada… ada orang di sana?”

“Hm?”

Sebuah suara bergetar tak jauh dari tempatku.

Aku menoleh otomatis.

Di tengah ruangan—tepat di bawah posisi gerbang tadi—
seorang wanita cantik terduduk, tubuhnya terikat rantai dan borgol.

Ia sama basah kuyupnya denganku.

“Ka—kau…”

Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku.

Wajah itu aku kenal.

Wanita yang bertahan sampai perang terakhir dan menghancurkan barisan aliansi.

Archbishop yang hidup lebih dari seribu tahun.

Praktis tangan kanan Abell.

Namanya…

“Letansier?”

“A-anda… Anda tahu nama saya…?! Anda—anda Pantasion?! Atau… pemberontak?!”

Letansier meronta ketakutan.

Matanya tertutup kain tebal, jadi ia tidak bisa melihatku.

Tidak diragukan lagi—

Itu Letansier, Archbishop Nebula Chlazie.

Yang kepalanya dipenggal Schlippen.

“Siapa pun Anda… tolong keluarkan saya dari sini… aku tidak tahan lagi… hiks… bahkan bernapas saja menyakitkan…”

Letansier menggeliat.

Tak ada jejak wibawa yang dulu ia miliki.

Tentu saja aku senang.

Karena wanita ini mungkin tahu banyak.

Tentang Pantasion.
Tentang pemberontak.
Tentang dunia ini.

“Baiklah. Mari kita dengarkan.”

Pedangku bergerak.

Kain penutup matanya terbelah dua dan jatuh.

Wajah pucat namun cantik itu muncul.

Letansier menatapku—

dan membeku sepenuhnya.

“A… anda… siapa…?”

2-5. Dunia Merah & Putih (3)

Letansier jelas tidak mengenaliku.

Wajar saja.

Dalam dunia ini, “aku” bahkan tidak tahu apa itu Nebula Chlazie—hanya prajurit rendahan bodoh yang mungkin mati bahkan tanpa sempat melihat raksasa.

Aku berjongkok di depan Letansier yang masih tak mampu bergerak.

“Sedih juga. Aku kenal kamu, padahal.”

“A—Anda mengenal saya?”

“Ya. Kau itu Archbishop Nebula Chlazie, bukan? Melihatmu seperti tikus basah begini, sepertinya rencana Abell gagal, ya?”

“……!”

Mata Letansier hampir meloncat keluar.

Aku mengerti reaksinya.

Siapa pun akan terkejut kalau orang asing tiba-tiba menyebut masa lalunya, jabatannya, bahkan tujuan akhir organisasinya.

“Anda… siapa sebenarnya…?”

“Namaku Ronan. Dan itu saja informasi yang kau dapat. Sekarang hanya jawab pertanyaan. Kau sedang melakukan apa di sini?”

“M—mendadak begitu… u-um, bisa lepaskan dulu ini…?”

Letansier mengangkat borgolnya.

Rantai yang tersambung ke lantai memancarkan mana redup.

“Perangkat ini menyedot kekuatan saya… tolong, saya akan menjawab dengan jujur… mohon…”

Letansier menunduk, hampir menyeret dahinya ke tanah.

Sekilas saja, dia akan menjilat kakiku kalau kuminta.

Padahal dulu wanita ini sebegitu angkuhnya. Apa yang telah terjadi di dunia ini?

“Baik. Tapi ingat janjimu.”

“Ya! Tentu! Apa pun yang ingin Anda ketahui!”

Aku mengayunkan pedang ringan.

Borgol yang mengikat tangan dan kakinya patah sekaligus.

Bekas jeratan merah tampak jelas di pergelangan yang pucat.

“T-ter… benar-benar dilepas…!”

Letansier tampak terpaku.

Seperti tidak percaya bahwa dirinya bebas.

Dan kemudian air mata besar jatuh dari matanya.

“Well, kini kau bebas.”

“Benar… saya pikir semuanya sudah berakhir… tak sangka saya akan diselamatkan begini…”

Ia terisak, lalu tiba-tiba mengarahkan telunjuk padaku sambil berbisik sesuatu.

KWAAANG!

Gelombang kejut menghantam perutku.

“Yah… sialan.”

Seperti kena palu godam.

Tubuhku terlempar lurus dan menghantam dinding seberang.

Letansier berkata pelan dari kejauhan.

“Siapa pun Anda… saya tidak akan pernah melupakan Anda. Tuan Rohan… Anda sungguh penyelamat saya.”

Ia bangkit dan membungkuk dengan hormat.

Sopan sekali—mirip orang gila.

Ini serius gaya “ucapan terima kasih” ala Nebula Chlazie?

“Mandi dulu harusnya. Ganti pakaian juga… ah, tidak, untuk menarik simpati para pemberontak, tampilan mengenaskan ini lebih baik…”

“Namaku Ronan.”

“Eh?”

Aku menepuk debu dari pakaianku dan berdiri.

Lumayan sakit—meski tidak mematikan.

Kalau tadi aku tidak menahan sebagian serangan dengan sarung pedang, mungkin benar-benar marah aku.

“Ronan. Bukan Rohan. Putar badan dan dengarkan baik-baik, dasar tawon sialan.”

“Apa? Bagaimana Anda… masih hidup… kyaa!”

Sebelum Letansier menyelesaikan kalimatnya—

Telinga kanannya jatuh ke lantai.

“…Eh?”

Aku menunduk.
Telinga itu tergeletak di sana, sangat familiar.

Letansier menyentuh sisi wajahnya.
Dan terdiam.

Di mana telinga harusnya berada, kini kosong.

FWUSH!

Darah memancar di sela-jari.

“T-telinga saya!”

Letansier berteriak, jatuh terduduk.

Dia bahkan tidak menyadari kapan itu terpotong.

Ketika dia menjerit dan hendak menggunakan sihir lagi—

UP!

Telunjuknya terputus.

“HIEEEK?!”

“Potongnya bareng dengan telingamu tadi. Kau tidak sadar rupanya.”

Ia memekik lagi.

Potongan jarinya jatuh berputar di dekat kakinya.

Sepertinya aku sedikit terlambat menunjukkan padanya.

“A—aaaah…”

Letansier menangis tersedu-sedu, kebingungan antara telinga atau jarinya.

Aku memasukkan tangan ke dalam saku coat dan berjalan mendekat.

“Nona. Aku cukup ahli untuk memotong dan menghancurkan. Tapi memperbaiki? Tidak ada bakat sama sekali.”

“J-jangan datang!”

“Aku membebaskanmu bukan karena kamu cantik. Aku hanya ingin tahu apakah kalian para bajingan tetap bajingan di dunia ini. Dan ternyata benar.”

Letansier membatu seperti patung.

Sebagai Archbishop, mestinya dia paham posisi dirinya sekarang.

Aku mengarahkan pedang ke lehernya.

“Kalian benar-benar kacau.”

“Hiiiiik…!”

Bau anyir menyengat.

Dia terlalu takut—sepertinya ia mengompol.

Aku menarik pedang pelan.

SWIP.

Rambut panjangnya terpotong dari pinggang, jatuh dengan suara berat.

“Berikutnya kepala.”

Letansier bahkan tidak menyadari tebasannya.

Aku tidak tahu apakah aku semakin kuat, atau dia jauh lebih lemah.
Mungkin dua-duanya.

Aku mendekat dan menatap langsung wajahnya.

“Jadi berhenti berpikir bodoh dan jawab. Kau sedang apa di sini?”

“A-akan saya jawab! Saya… saya mengurus akar!”

Letansier memekik.

Mata ketakutannya gelisah tanpa henti.

Setidaknya kini tidak ada niat berbohong.

Dia terengah-engah dan melanjutkan.

“Benar… meskipun lebih tepat disebut… pengorbanan.”

“Akar? Apa itu?”

“Eh? Struktur tempat kita berada ini… Anda tidak tahu? Anda dari planet lain atau—hiiik! Maaf! Anda bilang jangan tanya balik… tolong ampuni!”

Ia membenturkan kepalanya ke tanah.

Aku belum mengatakan apa pun, tapi rupanya sudah sangat takut.

“Hentikan. Jelaskan saja. Pelan-pelan, seperti mengajari anak kecil.”

“Y-ya! Baik! Jadi… akar itu… semacam mesin pengebor raksasa.”

“Seperti yang dipakai di tambang?”

“Betul. Para Yang Mulia—ah, tidak. Para penginvasi menjijikkan itu menancapkan akar di seluruh planet yang mereka kuasai. Untuk menyerap kekuatan hidup secara efisien. Energi kehidupan yang diserap dipisahkan menjadi energi murni dan limbah.”

Penginvasi menjijikkan itu jelas berarti raksasa botak.

Dia sempat ingin menyebut mereka “Yang Mulia”.

Kalau dari awal begini, telinga dan jarinya tidak perlu terbang.

“Cairan merah itu limbah?”

“Ya. Tempat ini adalah area penyerapan dan pemisahan. Setiap siklus, mereka menyerap kekuatan dan memuntahkannya bersama air laut. Tugas saya… membantu pemisahan itu berlangsung cepat.”

“Tidak kelihatan seperti pekerjaan yang butuh ketelitian.”

Aku memandang borgolnya.

Bahkan terlihat seperti tawanan.

Atau seseorang dengan fetish penyiksaan.

Letansier menunduk.

“Memang begitu. Hanya nama kerjanya saja. Sebenarnya saya hanya duduk diam sampai proses selesai. Mana dalam tubuh saya katanya mempercepat pemisahan.”

Dia menggigit bibir.

Dia mengatakan bahwa tiga kali sehari dia mengalami “nyaris tenggelam”.

Balas jasa untuk kesetiaan seumur hidup terhadap kultus itu bukan kejayaan atau keabadian, tapi siksaan.

“Para pejabat lain mengalami hal yang sama. Karena Abell membagikan kekuatan para penginvasi. Kalau saja aku tahu ini akhirnya…”

“Pertama kalinya aku setuju perkataanmu.”

Aku terkekeh.

Kekuatan raksasa menjadi belenggu para pemujanya.

Dari nada Letansier saja, jelas dia sangat membenci Abell.

“Ngomong-ngomong, bagaimana rencana Abell? Kalau semuanya berjalan seperti inginnya, tidak mungkin kau berakhir seperti ini.”

“Rencana…?”

“Ya. Dia bilang akan menyerap sumber kekuatan para botak dan menjadi Raja. Ada banyak lagi.”

“Saya… tidak mengerti maksud Anda. Dari awal, janji Abell adalah membuat kami menjadi makhluk transenden. Dengan mengorbankan jiwa para yang tidak terpilih.”

Letansier menggeleng.

Aneh.

Di dunia asal, Abell menyerap “sumber kekuatan raksasa” untuk melampaui keberadaannya.

Itu inti rencananya.

Kenapa berubah?

Kesimpulannya jelas.

“Ah. Dia gagal.”

Tidak perlu ribet.

Tanpa aku, operasi rahasianya memang hampir pasti gagal.

Dia mencuri sumber kekuatan itu ketika aku bertarung mati-matian dengan Raja Raksasa.

“Bodoh. Lalu sekarang Abell bagaimana?”

“Mati, mungkin. Semua pengikut yang tidak menyerah dibantai. Para raksasa mengingkari janji dan berusaha membunuh kami semua. Abell melawan mereka dengan keras… dan sejak hari itu, tidak ada yang melihatnya lagi.”

“Tertawaan yang menyedihkan.”

Aku mendengus.

Akhir yang mengenaskan untuk pria yang mengkhianati segalanya.

Cukup soal Abell.

“Kembali ke akar. Limbah sudah jelas. Energi murninya dikirim ke mana? Ke altar di ujung jari itu?”

“Benar. Tepat sekali.”

“Seperti yang kuduga. Harusnya kupotong semua jari itu.”

“……E—Eh?”

Tiba-tiba Letansier menjadi pucat.

Ia menelan ludah keras.

“Tunggu… j-jangan bilang… Anda menghancurkannya? Menghancurkan menara transmisi?”

“Disebut menara transmisi rupanya. Yah, kupotong jarinya sekalian.”

“B—bagaimana… tidak, kenapa Anda melakukan itu! Mereka pasti sudah merasakannya…!”

Ia memegangi kepalanya.

Reaksinya hampir sama dengan saat telinganya terpotong.

“Semua… semua hancur. Tidak ada harapan kalau kita tetap di sini…”

Ia bicara sendiri sangat cepat.

Wajahnya tampak benar-benar panik.

Tiba-tiba tubuhnya terangkat ke udara.

“Hey. Mau ke mana?”

“K-kita harus pergi! Saya akan bantu Anda juga, ayo cepat!”

Letansier mengangkat telunjuk kirinya—yang masih utuh.

Kekuatan tak kasatmata mendorong tubuhku naik.

Lumayan. Minimal dia tahu tidak bisa kabur dariku.

Tapi alasannya terlalu singkat.

“Setidaknya jelaskan. Kenapa?”

“Mereka akan datang! Apa pun boleh rusak, tapi aliran energi tidak boleh terganggu! Ini pernah terjadi dulu… t-tidak ada waktu!”

Tiba-tiba Letansier menjerit dan mengangkat kedua lengannya.

Tubuh kami meluncur ke atas seperti petasan.

Tak lama, langit-langit berbentuk gerbang raksasa muncul di atas.

“Tidak! Dengan kekuatan saya sekarang…!”

Letansier tampak putus asa.

Dia melafal mantra dengan panik.

BANG!

BANG!

BANG!

Lima—enam ledakan besar menghantam gerbang.

Begitu asap tersibak, gerbang itu masih utuh tanpa goresan.

Letansier siap menjerit lagi.

“Geser.”

Aku menyarungkan pedang, lalu mencabutnya lagi dalam sekejap.

Dua garis putih melintas di permukaan gerbang.

Retakan terbentuk.

Dan gerbang raksasa itu runtuh menjadi empat bagian.

KWARURURUNG!

Letansier hampir terkena puing.

Aku menebas lagi beberapa kali.

Puing yang jatuh hancur menjadi empat bagian lagi.

Saat aku memandang ke bawah, potongan besi raksasa itu jatuh ke dalam kegelapan.

Letansier menatapku.

“M-m-m-m… m-monster?!”

“Kalau mau keluar, cepat keluar.”

Benar-benar tidak mungkin bicara di tempat ini.

Letansier mengangguk dan mengangkat kami secepat yang ia bisa.

“Hampir sampai!”

Lubang yang tadinya sekecil biji pasir kini terbuka besar.

Cahaya dingin menyentuh wajah kami.

Ketika jarak tinggal sekitar sepuluh meter—

『Siapa yang berani melakukan ini?』

Sangat familiar.

Dalam-dalam, berat, dan bergemuruh seperti dasar lautan.

Suara yang membuat darahku mendidih.

Suara khas ras botak raksasa.

Dan suara itu datang dari atas.

2-6. Dunia Merah & Putih (4)

Refleks.

Itu kata paling tepat untuk menggambarkan kondisi diriku sekarang.

Bukan “pantulan cahaya dari permukaan mengkilap seperti cermin atau kepala botak.”
Meski itu juga cukup terkenal—tapi bukan itu maksudku.

Yang kumaksud adalah reaksi tak sadar yang terjadi tanpa terkontrol.

Suara yang menggelegar dari atas.

Suara rendah khas para raksasa selalu membuat tubuhku bereaksi secara otomatis.

“Haah…”

Aku menarik napas dalam.

Meski aku sudah memperhitungkan kemungkinan ini sejak mendengar penjelasan tentang dunia paralel, tetap saja sulit menenangkan diri.

Jantungku berpacu gila-gilaan, pupilku mengecil.

Seluruh tubuhku tegang—bahkan rasanya aku bisa mendengar suara rambut halus tumbuh dari kulitku.

“Kau baik-baik saja?”

“Mungkin.”

Bahkan Lin sampai bertanya duluan.

Wajar saja.

Satu-satunya yang pernah membuatku bereaksi setengah gila seperti ini hanyalah Adeshan, saat dia melepas tali negligee-nya.

Sial.

Jadi kepikiran terus.

“H-hiik!”

Letansier menjerit kecil.

Tampaknya ia juga sadar apa yang menunggu di atas sana.

Kekuatan telekinesis yang semula mengangkat tubuh kami tiba-tiba berhenti.

Reaksi refleks, sama sepertiku.

Tentu saja aku tidak akan membiarkan kebodohan itu berlanjut.

Aku menendang dinding dan melompat, menyambar tubuhnya dari belakang.

Dengan ujung pedang menempel di lehernya, aku berbisik.

“Naik.”

“K-kita mati! Tadi… tadi suara itu dengar sendiri, kan?! Mereka sudah datang!”

“Kalau begitu mati saja di sini.”

Aku sedikit menggerakkan pedang.

Kulitnya langsung sobek.
Sedikit saja aku menarik, lehernya akan terputus seperti puding lembek.

“A-aku… tidak…!”

Ia segera menutup mata rapat-rapat.

Telunjuk kiri—satu-satunya jari yang tersisa di tangan itu—bergetar, dan tubuh kami kembali melayang ke atas.

Saat keluar dari lubang, cahaya terang menusuk mata.

Pemandangan sekitar masih sama—
Kecuali satu hal.

Di udara, sekitar tiga puluh meter di depan, seorang raksasa bersayap empat melayang sambil menatap tanah.

“A… aaaaah!”

Letansier panik.

Telekinesisnya buyar.

Aku mendarat mulus, sedangkan dia terhempas seperti ember kosong.

Raksasa itu memandang ke arah akar yang dihancurkan tadi.

Lalu matanya bergerak menuju kami.

『BasaGia bertanya. Apakah itu perbuatanmu?』

“Nama itu… familiar juga.”

Sudut bibirku naik.

Jika ingatanku tepat, makhluk ini sudah dibunuh pihak aliansi sebelum perang besar benar-benar dimulai.

Dibunuh oleh Zaifa, kalau tidak salah.

Melihat kacang terbang sebesar itu bertingkah angkuh… rasanya memuakkan.

“M-maafkan kami!”

Tiba-tiba Letansier bersujud.

Suaranya bergetar sampai sini terdengar.

Ia mengatur napas, lalu bicara cepat seperti mesin.

“Saya dipaksa keluar! Orang ini memutus borgol… maksud saya, alat kerja saya! Dia… dia yang melakukan semuanya!”

“Hey. Kau sendiri yang minta dilepaskan.”

Aku mendecak.

Belum kering darah dari telinga dan jarinya, tapi sudah bisa menusuk dari belakang.

Raksasa itu pasti sangat menakutkan baginya.

“Dengan keberanian sepicik apa kalian dulu mencoba menghancurkan dunia…
Raksasa itu bahkan paling rendah dari rasnya, bukan?
Kalau yang datang pemimpin mereka, si delapan sayap, mungkin aku bisa mengerti.”

“Ta… tolong…”

Letansier tak berani menatap.

Aku hanya mendesah melihat pantatnya yang gemetar.

Para fanatik ini benar-benar menjijikkan.

Tidak pernah mau bertanggung jawab.

Suara BasaGia kembali menggema di langit.

『Barusan… apa yang kau ucapkan?』

“Hah?”

『Kau berani menyebut Delapan Sayap yang agung. Kau mengatakannya karena mengetahui sesuatu?』

“Oh begitu.”

Biarpun menggelikan, reaksinya bisa dimengerti.

Makhluk rendahan (di matanya) menyebut nama pemimpin mereka—tentu ia tersinggung.

BasaGia kembali bertanya.

『Jawab. BasaGia memerintahkan.』

“Sangat memaksa ya. Kenapa aku harus patuh?”

Aku memasukkan kedua tangan ke saku dan mendongak.

Sebenarnya aku hampir hendak memberi tahu, tapi sikapnya membuatku malas.

Ditambah tatapan merendahkannya itu…

Setiap detiknya membuatku ingin membelah tengkoraknya.

『Bodoh. Kelancanganmu akan dihukum dengan penderitaan abadi.』

BasaGia mengangkat tangannya.

Cahaya mulai berkumpul di telapaknya.

Lebih besar daripada yang pernah kulihat sebelumnya.

Apa dia tumbuh dengan memakan energi dunia ini?

Menarik.

“Bagus. Lempar.”

“K-kau gila?!”

Letansier menjerit sambil mengangkat wajahnya.

Keningnya merah karena terbentur tanah saat jatuh.

Cahaya memancar.

BasaGia melepaskan tombak cahaya.

『BasaGia menjalankan hukuman.』

Benda itu meluncur seperti kilat.

Cahaya putih menelan pandanganku.

Letansier bahkan tidak sempat mencoba menghindar.

“Lumayan.”

Dugaanku tepat.

Raksasa ini memang lebih kuat dari dulu.

Tapi itu tidak ada artinya.

Aku mengangkat pedang.

Satu garis lurus turun dari atas ke bawah.

Cahaya putih terbelah rapi.

Langit kembali terlihat.

Dua pecahan tombak cahaya menghantam laut.

KUUWAAAAANG—!!

Dua pilar air menjulang tinggi.

Air merah yang memerciki perisai BasaGia jatuh seperti hujan darah ke tubuhku.

『Apa…』

Ekspresi hampa muncul di wajahnya.

Wajar.

Pertama kali memang selalu sulit dilupakan.

Bagaimanapun, aku juga sudah dewasa, jadi deklarasi perang harus dilakukan dengan benar.

“Pertama, mari samakan ketinggian.”

Aku menggenggam pedang.

Cahaya merah jingga naik dari bilahnya.

Warna yang selalu membuatku nostalgia.

Senja.

Keluargaku.

Bukit empat musim tempat aku duduk bersama Adeshan.

Aura-ku yang menyerupai matahari terbenam.

“Turun. Kacang terbang.”

Auraku menyebar seperti kilatan petir.

Tubuh BasaGia tenggelam dalam cahaya jingga.

Seperti serbuk besi tertarik magnet, tubuh raksasa itu terseret ke arahku.

『……!』

“Kyaaaa!”

Letansier menjerit.

Ia jatuh terduduk, wajahnya memucat.

Namun pemandangan paling lucu adalah raksasa botak bersimpuh dengan satu lutut di depanku.

『Makhluk nista… apa yang kau—』

“Diam sebentar.”

Pedangku menghilang lalu kembali muncul.

Garis biru menggores lehernya.

FWUSH!

Darah biru cerah memancar ke wajahku.

Raksasa itu tak mampu melanjutkan kata-katanya, lalu tersungkur.

“Hey. Kelihatan, kan?”

Aku melambaikan tangan di depan wajah BasaGia.

Berkat indera bersama, semua raksasa pasti sedang menyaksikan ini.

Sambil menggaruk kepala, aku berkata,

“Mulai dari mana ya… Hmm. Namaku Ronan. Orang yang baru saja menancapkan kacang raksasa ini ke tanah. Seperti yang lihat, aku bisa merobek pertahanan kalian seperti tisu toilet.”

『Tidak… mungkin…』

BasaGia merintih.

Ia menatap langit dengan mata kabur, tubuhnya kehilangan bentuk dan kekuatan.

Ia tak akan bisa berdiri lagi.

Saat memotong lehernya, aku sudah memutus seluruh tendon di tangan dan kakinya.

Aku mundur beberapa langkah dan menebas udara.

KUANG!
KUANG!
KUANG!

Empat jari akar raksasa runtuh—hanya jari tengah yang tersisa.

“Ya Tuhan…”

Letansier menghirup napas tajam.

Sekarang baru ia percaya bahwa akarlah yang kuputus sebelumnya.

Lima berkas cahaya kini tinggal satu, berpendar dari jari tengah saja.

Pemandangan yang vulgar dan suci sekaligus.

“Aku benar-benar benci kalian. Mungkin kalian makhluk yang paling kubenci di seluruh dunia. Tapi aku malas mengejar satu-satu, jadi kalian saja yang datang padaku. Jangan lakukan hal bodoh. Kalau berhasil menangkapku…”

Inilah bagian pentingnya.

Aku merendahkan suara dan berkata,

“Aku akan memberitahu kalian di mana raja kalian yang hilang berada.”

『Apa?!』

Untuk pertama kalinya, wajah BasaGia berubah total.

Ototnya menegang, luka di tubuhnya robek lebih lebar.

Darah biru tumpah—namun ia tetap tak bisa bangkit.

Berusaha percuma.

Siapa yang memotong tendonmu? Aku.

“Selesai. Itu saja.”

Aku mengayunkan pedang.

Suara daging terbelah terdengar lembut.

Kepala BasaGia meluncur mengikuti garis potongan.

『K—』

Mata raksasa itu padam.

Tubuh tanpakepala itu ambruk seperti pasir.

Di dalam celah potongannya, tulang putih tampak jelas.

Darah biru mencampur laut merah.

“Seorang… penyerbu… semudah itu…”

Letansier berbisik.

Ia menatapku dengan campuran ketakutan dan kekaguman.

Aku mengeluarkan pipa rokok dari saku dada dan menggigitnya.

Semoga berjalan lancar.

Ini pertama kalinya aku merokok sejak masuk dunia paralel.

Kini semua perhatian raksasa pasti tertuju padaku.

Hampir pasti.

Sampai detik terakhir, mereka terus mencari keberadaan raja mereka—

Si botak kuno yang mati jatuh bersama Seniel.

Pedang di pinggangku bergetar, seolah khawatir.

“Sudah direncanakan. Jangan cemas. Seribu raksasa pun bisa kuhadapi.”

“Aku bilang lapar…”

“Ya ampun.”

Dia benar-benar.

Aku mencelupkan ujung pedang ke genangan darah biru.

Bayanganku memantul di permukaannya.

“Makan yang banyak. Darah itu mahal.”

“Benar. Yang ini istimewa.”

Darah itu cepat sekali habis terserap.

Bagi Lin, darah raksasa adalah hidangan mewah.

Aku menghembuskan asap.

Asap putih melayang dan menghilang.

“J-jadi… soal tadi itu…”

Letansier gemetar saat bicara.

Pantas saja—perbuatannya barusan cukup mengesalkan.

Aku menepuk pipa rokok dan berkata,

“Hey.”

“Y-ya?!”

“Tadi kau bilang ada penyintas?”

“Itu… itu…”

Ia gagap.

Aku mengayunkan pedang.

Tebasan itu lewat tepat di atas kepalanya, menghantam jari tengah akar.

KUUUUNG!!

Ledakan besar.

Jari tengah pun runtuh.

Letansier melompat seperti ketampar.

“A-ada! Ada! Setidaknya dulu masih ada! T-tiga tahun lalu masih terdengar kabar tentang mereka!!”

“Benar. Pernah dengar. Apa itu kelompok perlawanan?”

“Mereka yang melawan para penyerbu sampai akhir! Kebanyakan mati, tapi sedikit di antaranya bertahan dan melarikan diri! Dipimpin oleh… siapa namanya… ah!! Navardojé!”

“Apa.”

Aku hampir menjatuhkan pipaku.

Nama yang sangat familiar.

Red Dragon Navardojé.

Dikenal sebagai Ibu Api, makhluk terkuat di planet ini.

Tidak aneh kalau dia masih hidup.

Setitik harapan melintas di pikiranku.

“Tunjukkan jalan.”

“E-eeh?”

“Tunjukkan. Ke mana para pemberontak itu.”

“S-saya juga tidak tahu pasti… hiks! Baik! Baik! Saya akan tunjukkan!”

Hanya dengan menggerakkan satu jari, Letansier langsung tersentak.

Ketakutannya padaku sudah tertanam di tulang.

Untunglah, dia masih cukup pintar.

Dengan mantra pelan, tubuh kami kembali terangkat.

“Kalau bukan karena satu alasan, kepalamu sudah melayang. Ingat itu. Mulai sekarang, kau adalah sugar glider pribadiku.”

“Hh—hik… ya…”

“Apa?”

“Su… sugar glider…”

Air mata menetes di pipinya.

Archbishop besar Nebula Chlazie kini hanya tunggangan udara.

Dibanding pekerjaannya sebelumnya pun tidak jauh berbeda, tapi dia menurut.

Ya wajar. Dia ingin tetap hidup.

Kami terbang menuju daratan, meninggalkan mayat raksasa.

Saat menoleh, aku melihat akar raksasa memuntahkan air.

“Oh.”

Kali ini bukan cairan merah.

Air laut yang jernih menyembur dari lubang.

Sepertinya menara transmisi runtuh, sehingga fungsinya berhenti.

Mungkin butuh waktu lama—tapi kalau begini terus, laut di daerah ini akan kembali ke warna asalnya.

“Bagus.”

Rasanya… memuaskan.

Aneh.

Padahal aku belum menghancurkan semua celah pun.

Belum menyingkirkan Akasha.

Tak lama setelah kami terbang, jauh di depan, daratan putih mulai terlihat.

Tanah yang mungkin masih menyimpan kehidupan tersisa.

2-7. Dunia Merah & Putih (5)

“Akhirnya ketemu. Sialan.”

Sungguh momen yang mengharukan.

Selain celah yang kupakai untuk masuk, ini adalah celah pertama yang kutemukan di dunia ini.

Sebuah celah besar, cukup besar untuk dilalui raksasa, menganga lebar tepat di depanku.

Ada sedikit kejadian kecil dalam perjalanan ke sini, tapi kalau hasilnya baik, itu saja yang penting.

“Hop.”

Pedangku menggambar setengah lingkaran dan kembali ke sarungnya.

Ruang di sekitar celah itu bergetar, lalu celah itu tertutup seperti ditempelkan.

Aku mengibaskan tangan untuk memastikan—tidak terasa apa pun.

“Sial. Berapa lama aku harus mencari semuanya satu per satu begini.”

Memang pekerjaan yang berarti, tapi tidak ada waktu untuk puas.

Baru satu yang kuhancurkan.

Bahkan dengan bantuan sugar glider baruku, dunia ini masih terlalu luas.

Mata tertuju pada aliran kecil di antara pepohonan.

Airnya merah, sama seperti laut.

Karena berada di antara batang pohon yang putih seperti kapur, warnanya tampak lebih mencolok.

“Tidak boleh mengeluh sekarang.”

Mau tidak mau, aku memang harus melanjutkan.

Aku jongkok di depan sungai kecil itu dan membasuh wajah.

Warnanya membuatnya tidak terasa segar sama sekali.

Bahkan minum pun rasanya bikin jijik.

“Ronan-nim… sebenarnya Anda itu siapa?”

“Hm? Apa?”

Tiba-tiba Letansier memanggilku.

Aku mengelap wajah dengan lengan baju dan menoleh.

Ia berdiri tidak jauh dariku seperti boneka rusak.

“I-ini tidak masuk akal…”

Dia tidak menatapku.

Tatapannya terpaku pada tiga mayat raksasa yang berserakan di dekat kami.

Ketiganya tergeletak menindih pohon-pohon patah.

Tidak satu pun yang memiliki kepala.

Dari permukaan potongan yang halus, darah biru menggumpal dan mengalir.

Ah, hanya itu rupanya.

“Apa yang tidak masuk akal? Cuma tiga ekor.”

“T-tiga itu tidak bisa ditaklukkan… makanya dunia ini hancur!”

Letansier menjerit pucat pasi.

Setiap kali aku membunuh raksasa, reaksinya selalu begitu.

Sangat cocok untuk penonton pertunjukan sulap, tapi jujur saja mulai membosankan.

“Jangan teriak. Mau mati?”

“Hyaa! M-maaf!”

“Dan lagi, siapa yang memanggil para botak itu? Kalian, kan. Bukan aku.”

Aku hanya mengangkat tangan sedikit, dan Letansier langsung meringkuk ketakutan.

Padahal aku belum pernah memukulnya sekalipun sejak pertama bertemu—itulah lucunya.

“Mulai sekarang akan jauh lebih banyak yang datang. Yang bersayap enam mulai bikin repot, jadi urus dirimu sendiri. Atau buat saja sihir supaya bisa pindah ke dunia para botak.”

“T-tidak mungkin… kalau begitu, bagaimana kalau kita menambah anggota? Lebih mudah menghadapi mereka kalau kita ramai-ramai.”

“Malah jadi beban. Dan harus ada yang berguna dulu baru bisa ditambah.”

Aku menggeleng tanpa ragu.

Sudah tiga hari aku bersama Letansier.

Provokasiku tentang raja raksasa hilang bekerja dengan sangat baik.

Buktinya, rata-rata lima raksasa muncul setiap hari hanya untuk memeriksa kebenaran klaimku.

Sepertinya mereka masih sekadar mengirim regu pengintai.

Sampah-sampah pengecut.

“Meski begitu… dua dari mereka cukup kuat, lho.”

“Standarmu saja yang rendah.”

Sementara itu aku sudah menghancurkan sepuluh akar dan satu celah.

Jika celah perlu dicari seperti kutu, akar jauh lebih mudah ditemukan.

Mereka besar, dan cahaya dari menara transmisi terlihat dari jauh.

Enam dari sepuluh akar itu berisi para penganut Nebula Chlazie.

“Dasar sampah. Berani-beraninya memohon belas kasihan.”

Mereka sama seperti Letansier—dijadikan komponen alat.

Semua memohon agar kuselamatkan. Tidak satu pun kutinggalkan hidup.

Tidak ada alasan untuk itu.

Bahkan kalau darahku bisa membuat mereka mampu menyerang raksasa, aku tidak akan memberi setetes pun pada para pengkhianat yang menjual dunia.

Letansier menunduk dalam-dalam, tidak membantah.

“Kalau levelmu setara archbishop, mungkin aku pertimbangkan. Ngomong-ngomong, kau bisa bikin makanan pakai sihir? Makan hal yang sama terus bikin bosan.”

“M-maaf… saya tidak bisa sihir semacam itu…”

“Ya ampun, tidak berguna amat. Archbishop ternyata juga receh.”

“Uuuh…”

Ia mengepalkan tangan gemetar.

Wajahnya benar-benar ingin menangis.

Angin yang bertiup di sela pohon putih mengibaskan rambut depannya.

Langit tampak menggelap—sebentar lagi malam.

“Kita jalan sebelum berkemah. Berapa lama lagi sampai manamu pulih?”

“…Sedikit lagi.”

“Bagus. Kita jalan dulu.”

Kami berjalan.

Sebenarnya aku ingin tetap melakukan pencarian dari udara, tapi Letansier butuh waktu mengisi ulang mana-nya.

Perutku mulai lapar setelah menebas beberapa kali.

Aku mengambil sepotong dendeng yang kubungkus dengan daun dari saku mantel.

Bentuknya biasa, tapi warnanya kebiruan—bukan warna daging normal.

Letansier menegang dan menutup hidung.

“Uuuh.”

“Lapar, kan? Mau?”

“S-saya tidak mau!”

Ia menolak dengan wajah sepucat kapur.

Seolah aku menawarkan kecoak untuk dimakan.

Jujur saja, menjijikkan atau tidaknya memang mirip.

Dalam kategori luas, ini juga disebut makan daging makhluk hidup.

Bahan dendeng itu adalah daging raksasa.

“Wajar kalau trauma. Setelah apa yang terjadi kemarin.”

“S-saya benar-benar hampir mati… uuegh…”

Ia meremukkan perut sendiri dan muntah kering.

Traumanya sangat dalam.

Aku bilang itu makanan darurat dan memberinya sepotong—dan dia hampir mati.

Begitu daging raksasa menyentuh tenggorokan, tubuhnya kolaps.

Untung dia memuntahkannya sebelum tertelan habis, kalau tidak dia sudah jadi mayat.

“Baiklah. Kita cari makanan lain.”

“M-maaf…”

“Kenapa minta maaf. Ini semua demi kenyamanku sendiri. Dan kau belum boleh mati.”

Kemampuannya menggunakan telekinesis saja sudah cukup untuk membenarkan kenapa ia masih hidup.

Aku menggigit dendeng itu.

Masih ada sedikit jus dagingnya tersisa.

Rasanya… bukan yang terenak, tapi tidak ada pengganti, jadi ya dimakan saja.

Dalam tiga hari ini aku makan sekitar satu babi penuh kalau dihitung total—dan tetap sehat.

Aku memang monster.

“Mudah-mudahan kita menemukan tanah yang masih hidup. Pasti banyak makanan di sana. Seperti laut dalam yang masih biru.”

“Mudah-mudahan ada pemberontak juga. Susah sekali mencarinya.”

“Benar. Gosip terakhir pun sudah tiga tahun lalu…”

Letansier mengembuskan napas.

Ia benar-benar tidak yakin.

Tidak heran.

Tiga tahun di bawah penjajahan raksasa adalah waktu yang panjang.

Aku menatap langit pucat seperti kertas kosong.

“Bagaimanapun aku akan menemukannya. Ngomong-ngomong, kenapa langit tidak berubah warna? Dari tadi terus pucat.”

“Itu juga karena akar. Mereka menyebarkan sesuatu ke atmosfer supaya dunia ini menyerupai lingkungan asal mereka. Kabut yang kadang muncul itu kumpulan zat tersebut.”

“Padahal setelah semua nyawa disedot, dunia ini mau dibuang juga. Sok penting amat mereka.”

Jadi itu alasan kenapa langit dan laut tidak biru.

Kami terus berjalan sambil ngobrol.

Berkemah lebih baik dilakukan di tempat tinggi dan terbuka.

Mudah melihat sesuatu—dan mudah terlihat.

Di hutan tanpa kehidupan, tidak ada suara apa pun.

Tidak ada serangga.

Tidak ada burung.

Hanya suara langkah kaki kami yang menyebar pelan.

Tek.

Aku baru ingat percakapan semalam dan menjentikkan jari.

“Ah iya. Lanjutkan cerita tentang orang-orang yang kutanya. Sampai siapa ya?”

“Anda tanya tentang werewolf bernama Didikan. Saya bilang tidak pernah dengar.”

“Oh iya. Sayang sekali.”

Aku tertawa kecut.

Sejak kemarin aku terus menanyakan nasib orang-orang yang kukenal.

Hampir semua berakhir tragis.

Didikan, yang seharusnya menjadi penemu hebat, mati tanpa sempat bersinar.

Mungkin dia mati waktu Giant of the Cave mengamuk.

Bersama gurunya, Doron.

“Sayang sekali.”

Aku masih ingat jelas dia mengetuk-ngetuk armor tembus pandangnya.

Meski sudah tahu ini dunia Adeshan gagal, tetap pahit rasanya.

Banyak sekali nyawa yang hilang dengan cara yang seharusnya tidak perlu.

“Jadi Didikan mati. Lalu siapa lagi ya…”

“Tanya saja. Kalau pengaruhnya besar, saya tahu. Melihat Anda tahu nama-nama besar… Anda pasti memang dari dunia lain.”

“Cerewet. Hm… baik, sudah kupilih.”

Aku mengambil napas.

Sebenarnya ingin kutanya paling akhir, tapi lebih baik cepat selesai.

Cepat atau lambat memang harus kuterima.

Aku mengehela napas panjang dan menyebutkan namanya.

“Adeshan.”

“Ah, tentu saja saya tahu.”

Letansier langsung menjawab.

Aku sudah bersiap.

Aku menggigit pipa rokok di bibir.

“Jenderal Agung Kekaisaran adalah yang paling menyusahkan. Seolah dia tahu masa depan, dia memprediksi semua gerakan kami. Kalau bukan karena wanita itu, kedatangan Bintang akan jauh lebih cepat.”

“Ya. Dia memang berbakat.”

“Benar. Kami hampir tertangkap berkali-kali. Semua upaya pembunuhan gagal total. Kalau bukan karena sumpah mati bagi pengikut yang membocorkan informasi tentang Kedatangan Bintang, rencana kami sudah ketahuan dari awal. Dasar wanita sialan. Mati juga ujungnya, kenapa harus menyulitkan kami begitu…”

Letansier menggigit bibir.

Jelas Adeshan adalah musuh yang paling menyulitkan mereka.

Pak!

Aku menepuk kepalanya tanpa ekspresi.

“Aaakh! K-kenapa dipukul?!”

“Jangan hina dia.”

“B-baik… maaf…”

Ia memegangi kepalanya sambil hampir menangis.

Sebenarnya akulah yang ingin menangis.

Meski Adeshan versi dunia ini berbeda dari istriku… tetap saja ia adalah komandan yang kuhormati.

…jujur saja, mungkin aku sedikit menyukainya juga.

Asap rokokku berterbangan.

“Bagaimana Jenderal Agung mati?”

“Kematian yang terhormat. Wan… tidak, beliau bertahan hidup sampai Kedatangan Bintang dan terus melawan. Bersama pasukan Kekaisaran dan para tokoh besar yang tidak sempat kami habisi.”

Letansier menggambarkan pertempuran itu dengan gestur.

Pertempuran terakhir berlangsung di tempat berbeda dengan masa laluku.

Musuhnya juga berbeda—bukan Ahahyute tapi Nirvana.

Yang sama hanya satu hal.

Kekalahan.

“Seperti dugaanku.”

“A-anda tidak apa-apa?”

Letansier menatapku khawatir.

Wajar, wajahku pasti menunjukkan ekspresi yang jarang terlihat.

Sudah tahu jawabannya… tetap saja menyakitkan.

Adeshan mati bertarung dengan raksasa.

Ketika aku berkedip cepat, Letansier tiba-tiba menunjuk.

“Huh? Ronan-nim.”

“Apa.”

“Saya… saya lihat cahaya. Sepertinya itu akar.”

Ia menunjuk arah tertentu.

Aku, dengan mata merah karena emosi, menatap tepi hutan.

Di kejauhan, lima cahaya berkedip bersama.

Saat aku memicingkan mata, bentuk lima jari raksasa yang menjulang ke langit terlihat samar.

“Benar.”

“Bagus! Kita hancurkan yang itu juga sebelum berkemah. Bagaimana?”

Ia terdengar bersemangat.

Sebagai mantan penganut yang disiksa oleh raksasa, menghancurkan akar adalah semacam pelampiasan baginya.

Tidak terlalu kusukai, tapi setidaknya tujuannya sejalan denganku.

“Baik. Langit juga sudah gelap.”

“Ya! Mana-ku juga sudah penuh, jadi langsung—”

Tepat saat Letansier hendak mengucap mantra telekinesis—

Rambut kudukku berdiri.

Ini ancaman… tapi berbeda dari raksasa.

Saat aku sedang melihat sekitar—

KUUUAAANG!!

Akar itu meledak.

Api merah-ungu menelan bentuk tangan itu sepenuhnya.

Cahaya yang sebelumnya ditembakkan ke langit memudar.

Gelombang kejut menyentak kami.

“Kyaa! A-apa…?!”

Letansier limbung.

Pohon-pohon yang sempat rebah bangkit karena pantulan tekanan.

Bahkan sebelum api padam—

Merinding merayap naik di lenganku lagi.

“…!!!”

Tidak salah.

Aku tahu aura ini.

Aku menahan napas dan memanggil Letansier.

“Hey. Sugar glider.”

“Hh… hh… kenapa?”

“Bisa sumpah tidak akan berkhianat lagi?”

“Mendadak begitu? T-tentuuuu!”

“Bagus.”

Selanjutnya aku mendorongnya.

Ia jatuh terduduk.

BERSRAK!!

Sesuatu meluncur dari langit diagonal dan menancap di tanah antara aku dan dia.

“Uaaah!!”

Letansier mendelik.

Sebuah tombak hitam pekat terbenam dalam-dalam.

Tepat di titik dia berdiri tiga detik lalu.

Tombak spiral berulir dua, setajam malam itu sendiri.

“A-apa ini…!”

“Membuat ini dari tulang rusuk… benar-benar gila.”

Aku bergumam sambil tersenyum lebar.

Terlalu senang sampai ingin tertawa keras.

Aku menyapu wajahku, lalu menoleh ke arah pepohonan.

Di atas dahan tidak jauh dari kami, seorang pria berambut hitam duduk dengan santai.

“…Bagaimana kau tahu aku ada di sini?”

Desisnya terdengar malas.

Banyak hal mencolok darinya.

Mata merah.

Rambut panjang sampai pinggang.

Dan dua tanduk di kepalanya—

Salah satunya patah.

“Tidak terlihat sehat begitu.”

Tentu saja, ada beberapa perbedaan dibanding versi yang kukenal.

Pria itu menatapku dengan mata dingin.

Aku memandangi tanduknya yang patah dan berkata pelan:

“Orse.”

2-8. Dunia Merah & Putih (6)

“Apa sebenarnya yang terjadi padamu, hah?”

Keadaan Orse sama sekali tidak terlihat baik.

Bahkan jika mengabaikan salah satu tanduknya yang patah, kondisinya tetap buruk.

Bekas luka yang melintang dari rahang ke mata kirinya adalah jejak tulang wajah yang pernah terbelah dan kembali menyatu.

Sepertinya dia telah melalui penderitaan panjang sejak dunia ini hancur.

“Sudah benar-benar jadi binatang.”

Yang paling mencolok adalah aura mematikan yang merembes dari kedua bahunya.

Bulu kudukku meremang.

Dari cahaya merah di matanya, yang terasa hanya kebencian tak berujung.

Dia bukan lagi idiot kuat yang kukenal.

Letansier, yang baru mengenalinya terlambat, menjerit seperti burung beo.

“M–Ma—Mawarong!”

“Memang kau, Letansier.”

“Ronan-nim! Dia itu kepala pasukan tempur kaum pemberontak! Cepat—kyaaa!”

Sekonyong-konyong, tombak yang tertancap di tanah tercabut kasar.

Letansier tersentak dan jatuh terduduk.

Tombak hitam itu kembali ke tangan Orse, menelusuri lintasan yang sama seperti saat ia datang.

“Hrrr…”

Kupikir dia akan melemparnya lagi—tapi tidak.

Tiba-tiba dada Orse menggembung.

Udara di sekitarnya tersedot masuk ke mulutnya.

Suara halus seperti percikan batu api terdengar samar.

“Matilah, penyihir.”

Sudut bibir Orse terbelah sampai mendekati telinga.

Di balik gigi bergerigi yang muncul, bola api menggulung di tenggorokan.

Sulit untuk tidak menebak apa yang akan terjadi.

KUUAAAAH!

Api yang pernah membakar Kekaisaran meledak keluar dari mulutnya.

“Wataknya memang begitu.”

Penglihatanku dipenuhi cahaya merah.

Api berputar, menerjang seperti longsor.

Di sampingku, Letansier sedang melafalkan mantra dengan ketenangan yang mengejutkan.

Beberapa hari terakhir, melawan para raksasa tampaknya mengasah kembali naluri bertarungnya.

Lima proyektil telekinesis terbentuk mengelilinginya.

Kenapa justru serius di saat seperti ini…

Timing-nya selalu buruk.

Orse memang tidak akan mati dengan itu saja—tapi tetap saja, ini menyebalkan.

Dengan tangan pisau, kupukul tengkuknya.

“Ugek!”

“Tidur saja.”

Letansier terkapar, mata terbalik.

Mana yang ia tumpuk bubar menyebar di udara.

Api naga itu hampir mencapai kami.

Aku menarik pedang.

Dua garis serong menebas api.

Srak!

Nafas api itu terpotong menjadi empat bagian dan menghilang.

Tidak berhenti sampai situ.

Aku menurunkan bilah pedang dan bersiap bertahan.

KAAANG!

Tombak yang meluncur dari balik api terpental oleh sisi pedangku.

Orse yang memegang tombak itu mengerutkan alis.

“Itu juga kau…!”

“Beringas sekali. Memang kuat, tapi kurang halus.”

“Siapa kau?”

“Heh, akhirnya mau bicara?”

Aku menghentakkan pedang, memaksa tombaknya memantul.

Orse berputar di udara dan mendarat seperti burung walet.

Aura pembunuhnya sedikit mereda.

Aku menurunkan pedang dan menatap matanya.

“Namaku Ronan. Aku sedang mencari kaum pemberontak yang melawan para botak sialan itu. Senang bertemu.”

“Aku bukan pember보ntak.”

“Apa?”

Sungguh omong kosong.

Letansier jelas bilang Orse adalah kepala pasukan tempur kaum pemberontak.

Dia bahkan baru saja menghancurkan akar dengan cara spektakuler, tapi bilang bukan pemberontak?

Teka-teki itu segera terjawab.

“Aku hanya melakukan apa yang kuinginkan. Jangan samakan aku dengan para serangga yang menunduk pada Navarodeje. Gelar kepala pasukan atau apa pun itu, orang-orang yang menempelkannya sendiri.”

“...Begitu rupanya.”

Tanpa sadar, aku terkekeh.

Harga dirinya yang menjulang tetap tak berubah meski dunia runtuh.

Menyebalkan, tapi… juga membuatku lega.

Setidaknya sebagian dari Orse yang kukenal masih ada.

Ia mengacungkan tombaknya ke Letansier.

“Kau satu kelompok dengan penyihir itu?”

“Sama sekali tidak.”

“Lalu kenapa kau biarkan hidup? Jangan bilang kau bahkan tidak tahu siapa dia.”

“Oh, itu? Soalnya aku butuh tunggangan. Aku tidak punya sayap seperti kalian. Bisa dibilang sugar glider besar yang bisa diajak ngobrol.”

“…Kau menjadikan seorang archbishop dari Sekte Nebula sebagai tunggangan?”

Ekspresi Orse terdistorsi.

Baik naga maupun manusia sama saja—akan terkejut ketika melihat sesuatu yang melampaui nalar.

Aku mengangguk ringan.

“Kurang lebih begitu. Aku akan menjaganya agar tidak bikin masalah, jadi tolong maklum. Kalau perlu kuberi dia tali anjing juga—”

“Biarpun aku membunuh wanita itu, aku tidak akan pergi bersamamu. Kalau bukan anggota Sekte, enyahlah.”

“Hah… apa masalahnya?”

“Itu membahayakan. Tidak ada jaminan seseorang yang bisa bertarung denganku tidak akan mencelakakan sekitarnya.”

“Lucu juga. Bilang bukan pemberontak, tapi mikirin keselamatan orang lain? Kau yakin bukan pemberontak?”

Aku tertawa begitu keras sampai Orse terpaku.

Sekitar sepuluh detik kemudian, wajahnya memerah.

“…Mau mati?”

“Serius lucu. Taruhan, kau tidur di markas pemberontak, makan di sana, dan buang air besar di jamban pemberontak juga, kan? Pemberontak pasti punya markas. Sok tidak kenal padahal—”

“GRRRRAAAH!”

Orse akhirnya meledak.

Tubuhnya kabur, melesat seperti badai.

Aku menahan tawa dan pasang kuda-kuda.

Memang, pembicaraan antar jantan kuat selalu diselesaikan dengan tubuh, bukan kata-kata.

“Ayo kita bangun persahabatan lagi. Dan bersama-sama kita temui oppa berdada besar itu. Semoga beliau masih sehat.”

“Kau pikir orang sepertimu bisa bertemu Navarodeje?!”

Orse melompat.

Kulit punggungnya robek, empat sayap hitam keluar.

Di langit pucat, tampak seperti lukisan tinta hitam.

Tombak spiral yang dibalut api dilempar secepat kilat—

KUUUAAANG!

Ledakan besar terdengar dari arah akar.

“Sial, apa itu?”

“…”

Api di tombaknya padam.

Kami serentak menoleh.

Di atas akar, lingkaran sihir raksasa muncul.

Dari bawah pola yang berdenyut seperti makhluk hidup itu, tiga raksasa turun.

『Duaru menyatakan. Siapa pelaku penghinaan ini.』

Suara bergema di udara.

Amarah refleksif membanjiriku.

Otot menegang, indra menajam.

Sepertinya mereka bukan datang mencari aku, tapi untuk melihat kerusakan akar.

WUSHH!

Sayap mereka mengepak kuat, menyapu api dan asap.

Akar kembali terlihat.

“Ah.”

Orse menghela napas.

Akar itu masih utuh.

Hanya hangus di sana-sini, tapi fungsinya tidak rusak.

Hanya menara pemancar di jari kelingking yang berkedip lemah.

PWAAAAH!

Lubang besar di telapak tangan akar menyemburkan kabut putih.

Kabut itu menyebar luas.

Berbeda dengan yang ada di laut, akar di daratan memuntahkan bubuk—zat menjijikkan yang memutihkan tanah.

Orse menggertakkan gigi.

“Gagal… rupanya.”

Suara giginya bergesek terdengar tajam.

Dia bahkan tidak menoleh padaku lagi.

Wajah angkuh itu tertutup bayangan putus asa.

Raksasa-raksasa itu menoleh, mencari pelaku yang merusak akar.

Orse menatapku.

“Pertarungan ini… nanti saja.”

“Apa?”

“Aku akan mencarimu. Bertahanlah hidup.”

Suaranya lemah.

Aku tidak percaya apa yang kudengar.

Orse… mundur?

Hal yang tak pernah kubayangkan.

Meski aku mengerti alasannya.

Dia tidak bisa melawan para raksasa.

Daripada mati konyol, dia memilih mundur.

Tinju Orse mengepal—amarah dan ketidakberdayaan bercampur.

Tanpa sadar aku bergumam pelan:

“Bangsat.”

Aku tidak bisa menerima ini.

Aku tidak menghancurkan keadaan slump Navarodeje noona demi melihat temanku meringkuk seperti ini.

Kebanggaan seorang kuat harus dijaga.

Satu-satunya yang boleh membuatnya putus asa adalah Ibu Api sendiri, bukan gerombolan botak yang jatuh dari langit.

“Hey. Tunggu.”

“Hm?”

Orse berhenti di udara.

Keempat sayapnya menegang.

Aku menatap para raksasa.

“Aku yang bereskan. Kalau kau mau pergi, kita pergi bareng.”

“Apa?”

“Aku bunuh para botak itu. Jadi antarkan aku ke rumah kalian.”

“Kau bicara apa, bajingan.”

Orse menggeram.

Aura pembunuhnya naik lagi.

Wajar.

Baginya, itu kedengarannya seperti omong kosong.

Bukannya sekadar akar—aku bilang akan membunuh raksasa.

Tapi ini bukan kesombongan.

Aku tidak menjawab.

Aku hanya menjejak tanah dan melompat.

Langit terbalik.

Orse terbelalak.

“Apa—!”

“Pinjam bahumu.”

Tanpa penjelasan.

Aku menginjak bahunya dan melompat lagi.

Tubuh Orse hampir jatuh oleh tekanan itu.

“Kuh…!”

Begitu besar tenaga yang kupakai.

Aku terbang mendekati raksasa seperti peluru.

Jarak menutup dalam sekejap.

Dua tidak kukenal, satu kukenal.

Dari sayapnya, ratusan bulu jatuh dan berubah menjadi raksasa cahaya.

Bangsat yang hampir memusnahkan Kota Naga Adrén.

Aku memanggil namanya.

“Hey. Duaru.”

『Hm?』

Duaru menoleh.

Tubuhku melewatinya.

Srak!

Sebuah garis biru melintang di lehernya.

Kepala itu meluncur sambil berputar, melesat ke langit.

Aku ingat: di dunia asal, aku membunuhnya juga bersama Orse.

Kenangan yang manis.

『Duaru?』

『Jangan bilang—』

Barulah dua raksasa lain menyadari keberadaanku.

Tidak perlu merespons.

Aku hanya mengibaskan pedang, menumpahkan darah biru.

Belasan garis biru muncul di tubuh mereka.

Aku menjejak siku salah satu raksasa dan membelokkan arah.

Saat kaki mendarat di atas telapak akar—

PRAAANG!

Semua garis biru terbuka bersamaan.

Di langit pucat, warna biru terciprat.

Dunia merah-putih menjadi sedikit lebih indah.

Lin berbisik nakal:

“Kasar juga, ya.”

Aku tidak menjawab.

Belum selesai.

Aku mengubah pegangan dan menebas luas.

Sabit merah raksasa meluncur.

Aura pedang paling tajam di dunia melampaui ruang dan memotong empat jari tersisa.

KUUAAAANG!

Jari-jari raksasa runtuh seperti bukit daging.

Potongan daging hujan turun seperti batu es.

Suara basah yang menghantam tanah menggantikan rintik hujan.

Kira-kira sepuluh detik berlalu.

“Sejak kapan kau datang?”

Aku merasakan kehadiran di atas.

Menengadah, kulihat Orse, ternganga.

Sepertinya dia langsung mengikuti begitu aku melompat.

Dasar baik hati.

Dia terus mematung beberapa lama, lalu bergumam lirih:

“Kau… sebenarnya…”

“Pelan-pelan saja kenalannya. Kita pasti bisa akrab.”

Darah biru pekat menetes dari wajahku, membasahi Orse.

Panas, amis—tapi terlalu malas untuk mengusapnya.

Aku menyibak rambut basah dan berkata:

“Antarkan aku. Ke tempatmu.”

2-9. Hak untuk Memandang Bintang (1)

Angin bertiup kasar.

Lautan awan putih berada begitu dekat, seakan bisa kusentuh hanya dengan meraih sedikit.

Ketika kutundukkan kepala, dunia di bawahku perlahan tertinggal.

Hamparan tanah merah-putih yang monoton terlihat jauh lebih layak dilihat dari atas langit.

Aku berbaring sambil menghembuskan asap rokok.

“Beginilah rasanya punya kendaraan pribadi.”

Kenyamanannya berbeda jauh dari telekinesis Letansier.

Aku juga sudah beberapa kali menungganginya di masa lalu—setidaknya, versi dari dunia lamaku.

Satu-satunya masalah adalah, sudah cukup lama sejak lepas landas, tapi tak ada tanda-tanda kami akan tiba.

Aku menggerakkan tumit dan bertanya:

“Kapan kita sampai? Kalau begini terus, aku bisa kena luka baring.”

【Jangan mengeluh.】

Suara rendah dan berat bergema dari bawah kakiku.

Pilot Orse—yang sedang terbang sambil membopongku di punggungnya—menjawab dengan nada kasar yang mulai terasa akrab.

Sikapnya memang lebih lembut dibanding tadi.

Wajar saja. Dia baru saja melihatku memotong tiga raksasa seperti memotong buah.

Tujuan kami adalah markas pemberontak.

‘Dasar bocah. Pantas saja jadi lebih kalem. Hidup susah memang bisa bikin cepat dewasa.’

Kesan liar seperti binatang di pertemuan pertama perlahan memudar.

Bahkan ia terlihat lebih dewasa dan tenang dibanding Orse dari dunia asalku.

Rasanya aku tahu kenapa.

Seperti bunga dandelion yang tumbuh menembus celah batu, dia pasti telah hidup melawan segalanya.

Tubuh Orse dalam wujud aslinya dipenuhi bekas luka.

Aku menahan senyum getir lalu berkata:

“Pelit amat. Tapi kau terbang rendah sekali ya? Kau dulu bahkan naik ke atas awan cuma buat jalan-jalan.”

【Bicaramu seperti pernah menunggangiku.】

“Ah, itu cuma omong kosong. Jadi kenapa terbang rendah begini?”

【Berisik sekali... Kalau naik ke atas awan, mereka akan mendeteksi kita. Aku tidak mau membuat segala sesuatunya jadi menyusahkan.】

“Eh? Raksasa botak itu?”

Orse mengayunkan ekornya, jelas menunjukkan persetujuan.

Jadi itu alasannya dia bersikeras terbang rendah.

Raksasa-raksasa itu bahkan telah merampas hak orang-orang untuk sekadar memandang bintang.

“Mereka lebih menyebalkan dari yang kubayangkan…”

Aku menggerutu.

Lapisan awan tebal yang menutupi seluruh planet bukan sekadar dekorasi.

Orse menjelaskan bahwa selain sebagai jaringan deteksi, awan itu berfungsi sebagai kanvas yang ideal bagi para raksasa untuk membentuk lingkaran sihir turun ke dunia.

“Kalau begitu mau bagaimana lagi. Kuhubungi bintangnya nanti saja.”

【Hebat juga. Tiga saja bisa kau hadapi, apa lebih banyak pun bisa?】

“Jelas lah. Tiga apa, dua puluh juga sangg— sial, kok kedengarannya aneh.”

Aku hampir meminta Orse naik sebentar ke atas awan.

Tapi kupikir lebih baik aku istirahat sebanyak mungkin.

Aku tidak berencana membiarkan satu pun dari para botak itu hidup di dunia ini.

Saat aku mengubah posisi duduk, mataku tertumbuk pada Letansier—yang masih terikat di duri punggung Orse.

Dia sudah pingsan cukup lama, tapi tetap belum sadar.

Kelihatannya hidup sih… tapi apakah setengah lumpuh?

Aku baru saja hendak mendekat untuk memastikan apakah dia bernapas, ketika—

“…Uugh… ke—kepalaku…”

“Lama sekali kau tidur. Sudah sadar?”

Akhirnya.

Letansier membuka mata dengan sayup.

Begitu kesadarannya kembali, dia memandang sekitar dengan linglung… lalu langsung kejang-kejang dan menjerit.

“Kyaaaak! D–Di mana ini?!”

Seperti ikan belanak baru diangkat dari laut.

Rambut cokelat mudanya berkibar tak karuan.

“Sudah kuduga. Untung kuikat.”

“D–dimana kita?! Kita tadi di hutan, kan?! Benar! Bagaimana dengan Orse?!”

“Kita sedang berada di punggung Orse. Dan sebaiknya diam. Butuh upaya keras untuk membujuknya agar tidak mencincangmu untuk makan malam.”

“T–tidak mungkin… hhh!”

Wajah Letansier langsung putih pasi.

Wajar.

Bahkan sekarang pun Orse masih memancarkan niat membunuh terhadapnya.

Entah apa yang pernah dia perbuat, tapi sebagai tangan kanan sekte, dosanya pasti sangat berat.

Dia menggeliat gelisah, lalu berkata pelan:

“Haa… baiklah. Aku akan diam. Tapi bisakah tali ini dilonggarkan sedikit saja? Susah bernapas.”

“Maaf, tapi itu tidak bisa.”

“M–mengapa?”

“Coba pikir. Kau kira para pemberontak akan senang melihatmu? Mengikatmu seperti ini saja rasanya belum cukup. Kalau kau mau, bisa kulepaskan sekarang juga.”

Wajah Letansier langsung kaku.

Dia mengerti.

Pemberontak adalah mereka yang bertahan sampai akhir melawan para raksasa. Mereka tentu membenci orang-orang yang telah memanggil para raksasa ke dunia, apalagi seorang archbishop.

Dia menelan ludah yang terdengar keras.

“…Biarkan saja seperti ini.”

“Pilihan bagus.”

“A–atau mungkin harusnya Anda mengencangkannya sedikit lagi? Dan nanti aku harus merangkak pakai empat kaki, kan? Atau… mungkin Anda harus membuatkan aku tali leher agar bisa ditarik? Itu mungkin yang paling aman…”

“Sekarang kau terdengar seperti yang benar-benar ingin diperlakukan seperti anjing.”

“B–bukan begitu! Aku cuma mau tetap hidup! Jangan bilang yang aneh— kyaaa!!”

Letansier tersentak.

Orse tiba-tiba mengubah jalur terbang.

Punggungnya menukik ke depan, memperlihatkan pemandangan tanah luas di bawah.

Di permukaan, kawah-kawah besar menganga di mana-mana.

Mataku terbelalak.

“Ini…”

【Oh? Kau mengenalinya.】

Orse menyeringai tipis.

Seolah menertawakan dirinya sendiri.

Aku masih terpaku pada pemandangan bawah.

Hancur lebur… tapi bentuknya masih bisa dikenali.

Ini adalah tempat aku pernah tinggal.

“Balen.”

【Benar. Tanah yang dulu menjadi ibu kota.】

Orse mengiyakan.

Kota besar yang makmur selama lebih dari seribu tahun kini tinggal reruntuhan yang bahkan sulit dikenali sebagai pemukiman.

Istana megah itu sudah hilang.

Akademi Phileon tempat aku tertawa bersama teman-teman… lenyap tanpa meninggalkan bayangan.

Tak ada tanda-tanda kehidupan.

Hanya pepohonan putih yang tumbuh menembus reruntuhan, bergoyang diterpa angin malam.

“…Sialan.”

Aku tak punya kata selain itu.

Letansier menunduk dalam diam.

Wajah Adeshan muncul dalam benakku, seperti bulan yang jauh.

Memikirkan bahwa ini adalah masa depan yang seharusnya kuterima… membuatku muak.

Orse melirikku dan berkata:

【Aneh sekali. Kau seperti seseorang yang baru pertama kali melihat tempat ini.】

“Diam.”

【Hmph. Berpeganganlah. Kalau jatuh, tubuhmu tinggal noda saja.】

“T–tunggu, maksudnya apa—”

Letansier menyadari firasat buruk.

Aku tidak menjawab.

Aku meraih duri punggung Orse dengan kuat.

Sudut terbang Orse berubah—benar-benar vertikal.

“Hyaaaaaaah! TIDAAAK!”

Teriakan melengking memecah udara.

Perutku serasa terangkat.

SYUUUAAAK!

Empat sayap Orse terlipat rapat.

Dia mulai menukik tajam.

“K–kita menabrak! Ronan-nim!!”

Tanah tampak jatuh dari langit.

Saatnya memperlambat—tapi Orse tidak melakukan apa pun.

Tidak ada air di bawah.

Tidak ada marshmallow raksasa.

Ini lebih dekat dengan bunuh diri daripada terbang.

Tapi aku tetap tenang.

Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Ma… mati… nggkk!”

“Ck. Lemah betul.”

Letansier pingsan.

Jarak ke tanah tinggal sepuluh meter.

Bahkan aku mulai merasa mungkin harus melompat—

Saat itu sisik-sisik Orse memancarkan cahaya hitam.

“Nah. Itu dia.”

Aku mengembuskan napas.

FWOOM—!

Cahaya mengembang, lalu dunia menggelap sejenak.

Tidak ada tumbukan.

Dalam satu detik, cahaya kembali.

Reruntuhan menghilang.

Yang muncul adalah terowongan vertikal raksasa yang cukup besar untuk dilewati tiga Orse sekaligus.

Dindingnya ditutupi lumut yang berpendar.

Aku mengenalinya.

Aku hendak memperhatikan lebih dalam ketika lantai muncul.

Tubuh kami kembali diselimuti cahaya hitam.

FWOM—!

Lantai menghilang.

Satu terowongan lagi.

Kemampuan khas Orse: teleportasi jarak pendek.

“Hebat juga, bocah ini.”

Aku kagum.

Di tanah, teleportasi seharusnya sangat sulit dikendalikan—tapi dia tidak meleset sedetik pun.

FWOM!

FWOM!

FWOOP!

Teleportasi beruntun seperti kilatan lampu kamera.

Hingga pemandangan berhenti berubah.

FAAAAH—!

Cahaya hangat mengalir ke wajahku.

Orse membuka sayapnya.

【Kita sudah sampai.】

“…Hah.”

Aku kehilangan kata-kata.

Sulit dipercaya ini masih dunia yang sama.

Kawasan raksasa terbentang di bawah tanah.

Sebesar kampus Akademi Phileon—bahkan mungkin lebih luas.

“Hijau…”

Tanah dipenuhi tumbuhan.

Pohon dan rerumputan memiliki warna hijau murni—tidak ada warna pucat seperti permukaan.

Ada juga warna lain.

Merah. Kuning. Hijau pekat. Bahkan ungu.

Hidungku terasa panas.

Ini bukan pertama kalinya aku di sini.

Aku pernah datang bersama Didykan.

Bersama Asel dan Marja.

Aku menelusuri wajahku dan berbisik:

“Gran Cappadocia.”

【Begitu namanya dulu, sepertinya.】

Seharusnya aku menyadari sejak melihat ibu kota.

Ini adalah tempat lahirnya La Mancha.

Juga tempat aku memotong lengan dan kaki Cirilla dan Eduon.

Dari bawah sana, tiba-tiba terdengar sorakan keras.

“Lihat! Kapten sudah kembali!”

“Kapten Orse!”

Suara yang ceria, tidak cocok dengan keadaan dunia.

Aku mengintip dari sisi tubuh Orse.

Banyak orang berlalu-lalang.

Mayoritas adalah makhluk berusia panjang: elf, dwarf, atau naga yang berubah bentuk.

Orse mendengus kesal.

【Diamlah, bodoh-bodoh.】

“Bagaimana hari ini? Kau berhasil membalas dendam pada mereka?!”

Mereka menyambutnya seperti jenderal yang pulang membawa kemenangan.

Untuk seseorang yang bilang dia bukan bagian dari pemberontak, mereka dekat sekali.

Aku menyenggol punggung Orse dengan ujung kaki.

“Hei, kapten. Katakan sesuatu dong.”

【…Diam.】

Orse membentak pendek.

Benar-benar makhluk yang tidak jujur.

Angin hangat menyibakkan rambutku.

Orse mendarat perlahan membentuk lingkaran besar.

Kami berada di sudut terpencil, dikelilingi bunga liar berwarna-warni.

Aku heran kenapa dia memilih tempat ini.

Beberapa saat kemudian—

“Selamat datang, anakku.”

“…!”

Suara lembut seorang wanita terdengar dari dekat.

Aku menoleh secara refleks.

Seorang wanita berambut merah sedang menyiram bunga.

Air jernih mengalir bukan dari watering can, tapi dari ujung jarinya.

“Jarang sekali Orse membawa seseorang. Aku meminta kalian datang karena ingin berbicara denganmu.”

【Aku tidak mengikutimu karena perintahmu.】

“Ya, ya. Tentu saja tidak.”

Wanita itu terkekeh lembut.

Cara dia memperlakukan marayon legendaris itu seperti menenangkan anak kecil.

Setelah menyelesaikan penyiraman, ia berbalik perlahan.

Dada besarnya bergerak satu ketukan lebih lambat dari tubuhnya.

“Oh.”

Aku segera berlutut satu kaki.

Tidak perlu melihat wajahnya untuk tahu siapa dia.

Gerakan yang tak masuk akal itu sudah cukup menjadi bukti.

Tak kusangka akan bertemu secepat ini.

Aku menarik napas panjang.

Lalu berkata:

“Hormatku kepada Ibu Api.”

“…Astaga.”

Jawabannya aneh.

Bukan bahagia. Bukan waspada.

Tapi… keterkejutan.

Ia membeku cukup lama sebelum berjalan mendekat.

Jari-jarinya yang anggun mengangkat daguku.

Wajah cantiknya memantul di mataku.

Lalu bibir merah darah itu bergerak pelan:

“Kau… putra Kain.”

2-10. Hak untuk Memandang Bintang (2)

“Apa… apa tadi?”

Rasanya seperti ada batu besar menghantam kepalaku.

Nama yang baru saja keluar dari mulutnya… jelas adalah nama ayahku.

Tatapan merah-pucat itu meneliti wajahku dengan saksama.

“Kau bilang aku akan mengenalinya dalam sekali lihat—sekarang aku mengerti maksudnya. Namamu… Ronan, benar?”

“…Ya.”

“Datanglah lebih dekat. Biar kulihat dengan jelas.”

Aku perlahan bangkit berdiri.

Dia memintaku mendekat, tapi demi bisa berbicara tanpa tubuh bersentuhan, aku justru harus mundur setengah langkah.

Dia mengusap pipiku.

“Benar. Kau benar-benar anak itu. Terutama matanya… sangat mirip. Kupikir dia sudah lama meninggal.”

Sentuhannya lembut—seperti seseorang yang sedang membersihkan permata langka.

Aku memaksa jantungku yang memukul-mukul untuk tenang.

Wajar jika Navarodje mengetahui aku anak siapa, mengingat hubungan lamanya dengan ayah.

Aku menarik napas dalam-dalam dan bertanya:

“Jangan-jangan… Ayah masih hidup?”

“Itu… kau benar-benar tidak tahu? Berat bagiku mengatakannya, tapi Kain sudah…”

“Tidak. Tidak apa. Memang seharusnya begitu. Saya sudah menduganya.”

Aku menggeleng.

Itu bukan kabar mengejutkan.

Dari semua petunjuk yang ada, mustahil ayah masih hidup sampai sekarang.

Navarodje melanjutkan:

“Kain adalah anak yang amat baik. Bahkan ketika tubuhnya membusuk oleh luka, dia tidak pernah berhenti mencintai sesamanya. Belum pernah kulihat manusia sebaik itu.”

“Dia memang seperti itu. Bagaimana dengan Elsia?”

“Kau bagaimana bisa mengenal Elsia?”

“Yah… begitulah.”

“Ufufu, mungkin saja. Itu juga nama yang kurindukan… Elsia menyusul Kain lima tahun lalu. Setelah membantu menyelesaikan tempat ini, tak lama kemudian ia meninggal.”

“Sial.”

Kukencangkan tangan yang terkepal.

Dengan ini, jelaslah: semua pendiri Nebula Clazier telah tiada.

Navarodje menjelaskan bahwa kekuatan spirit art Elsia berperan besar membangun markas pemberontak ini.

Sejak hari Kain meninggal, Elsia jatuh sakit tanpa pernah benar-benar pulih. Setelah mendirikan tugu peringatan menandai selesainya tempat ini, ia roboh—dan tak bangun lagi.

“Namanya terukir di paling atas. Bersama para pahlawan yang melawan para penjajah sampai akhir.”

“Pantas. Lalu… apakah Anda pernah mendengar nama Iril?”

“Iril… ah, maksudmu kakak perempuanmu yang pernah disebut Kain?”

Aku menarik napas sekali lagi.

Seperti halnya nasib Adeshan, ini adalah sesuatu yang menyakitkan namun harus kutahu.

Setelah hening sejenak, Navarodje menggelengkan kepala.

“Sayang sekali, aku tak pernah menerima kabar tentangnya.”

“Begitu ya.”

“Maaf tidak bisa membantu. Abu Elsia dan Kain disemayamkan di sini. Mau kau lihat?”

“…Nanti saja.”

Itu juga sudah kuduga.

Tapi sial tetap sial. Aku memalingkan wajah.

Penglihatan yang sempat kabur kembali fokus.

“Ufufu, baiklah. Tapi sungguh… kalian begitu mirip. Bagaimana mungkin sedemikian mirip…”

“Hmm?”

Dia masih mengusap pipiku.

Tiba-tiba, sebuah ketidakharmonisan terasa.

Telapak tangannya… sedingin keramik.

“Kau selama ini di mana? Jika kau hidup, aku pasti sudah—uuhf.”

“Hah? Anda tidak apa-apa?!”

Aku segera memegang tubuhnya saat dia terhuyung.

Saat lenganku melingkari pundaknya, ketidakharmonisan itu kembali muncul.

Dia dingin… sangat dingin.

“Tubuhmu…!”

“Hahaha, kau menyadarinya ya?”

Navarodje tertawa kecil.

Di telapak tangannya, yang baru saja menutup mulutnya, menetes darah segar.

Dadaku terasa terjun bebas.

Jika dibandingkan suhu tubuh Red Dragon pada umumnya… ini sangat tidak normal.

Biasanya, berdiri di dekatnya saja harusnya sudah seperti berada di samping tungku raksasa.

Dia mengangkat satu jari dan menaruhnya di bibirku.

“Diam dulu… jangan bilang siapa-siapa. Anak-anak lain akan khawatir.”

Ada nada memohon dalam suaranya.

Dia mengusap udara, dan bekas darah di tangannya menghilang begitu saja.

Aku perlahan mengangguk.

Dia menurunkan jarinya.

“Terima kasih.”

“…Sebenarnya apa yang terjadi pada Anda?”

“Seperti yang kau rasakan. Usia hidupku tinggal sedikit. Sisa hidupku hanyalah bara yang hampir padam pada perapian yang dingin.”

Navarodje tersenyum dengan mata melengkung.

Itu akibat bertarung melawan para raksasa.

Dialah satu-satunya yang bisa bertarung setara dengan mereka, tapi para botak itu tidak pernah bermain adil.

“Mereka datang bertiga-tiga. Melampaui apa pun yang bisa kutangani. Akhirnya aku hanya bisa melarikan anak-anak yang tersisa…”

Berkah bintang adalah ironi kejam.

Luka yang dia derita sejak kedatangan raksasa ketiga terlalu berat. Dia memilih mundur sebelum semuanya binasa.

Berkat keputusannya, sebagian kecil orang berhasil diselamatkan.

Mereka membangun tempat bersembunyi, bertahan hidup, dan melanjutkan perlawanan… namun itu juga sudah mencapai batas.

“Kalau Anda fokus pada penyembuhan mulai sekarang—masih ada harapan, kan?”

“Jika beruntung, aku bisa bertahan beberapa tahun. Tapi bagaimana mungkin kusia-siakan waktuku? Ada begitu banyak anak yang bergantung padaku. Lebih baik kuhabiskan sisa hidupku mengajari mereka di bawah sinar ini.”

“…Ah.”

Aku akhirnya memahami.

Sejak awal, ada kejanggalan.

Matahari buatan yang melayang di atas langit bawah tanah… dipenuhi kekuatan sihir Navarodje sendiri.

“Itu… sihir luar biasa.”

“Fufu, karya terbaikku. Meski palsu… ini sama saja seperti jantungku.”

Inilah alasan dia disebut makhluk terkuat di planet ini.

Palsu atau bukan, itu tidak penting.

Anak-anak di sini hidup dari cahaya dan panas tubuhnya.

Dalam artian itu, dia sudah seperti dewa bagi mereka.

“Indah sekali, bukan? Kehidupan. Rasa takut dan dingin juga lenyap saat kudengar tawa mereka…”

Tatapannya beralih melihat para pemberontak.

Rasa sayang dan belas kasih mengalir dari matanya.

Wibawa sang naga yang pernah membakar dunia… tak terlihat sama sekali.

‘Sial.’

Aku menggigit bibir.

Situasinya jauh lebih buruk dari perkiraanku.

Kupikir Navarodje masih cukup sehat. Ternyata lebih mirip pasien yang dirawat di hospice.

Seharusnya kutangani ini sesegera mungkin.

Aku diam-diam mencabut pedang.

Dengan tangan kiri, kuusap telunjuk pada sisi pedang, membuat luka kecil.

Rin bergetar panik.

“...Apa yang kau lakukan?”

Navarodje juga terkejut.

Dia menatap tetes darah di ujung jariku.

Aku hanya tersenyum tipis.

“Navarodje. Coba buka mulut sebentar.”

“Mulutku…?”

“Tidak banyak waktu untuk menjelaskan. Maaf atas kelancangannya.”

“Uu—!?”

Sekejap.

Aku melingkari pinggangnya dengan lengan kanan dan menariknya kuat.

Dia menegang karena terkejut.

Dalam celah bibirnya yang sedikit terbuka, kutekan telunjuk berlumur darah masuk ke dalam.

Mulutnya hangat—berbeda dari kulitnya yang dingin seperti batu.

Lidahnya menyentuh jariku—lembut dan panas.

“Uuugh!”

“Minum. Jangan panik. Percayalah padaku.”

Aku bisa saja membujuk atau mencampur darah dalam makanan—tapi itu merepotkan.

Lebih cepat begini.

Telunjukku menyentuh bagian belakang tenggorokannya.

Setelah memastikan seluruh darah masuk, aku menarik jariku.

【K–kuhak! Kugh! Apa yang kau lakukan?!】

“Hah… berhasil.”

Dia mendorongku menjauh, tersengal dan batuk.

Akhirnya dia bisa menarik napas dengan benar.

Aku menjilati sisa darah dan tersenyum.

“Akan membaik. Semua orang begitu.”

【Apa katanya? Kau memberinya darahmu… untuk apa—】

Kalimatnya terhenti.

Dia merasakan sesuatu berubah dalam tubuhnya.

Rambut merah menyala yang sebelumnya berkibar seperti api… perlahan mereda.

FAAAAH—!

Cahaya matahari buatan tiba-tiba menguat.

“Ap—apa?! Mataharinya…!”

“N–Navarodje-nim!”

Teriakan terdengar dari berbagai penjuru.

Sinar yang sebelumnya seperti matahari sore tampak berubah menjadi terik gurun.

Navarodje tersadar dan mengangkat tangannya cepat.

“Ini…!”

Cahaya itu mereda. Teriakan meredup.

Dia menahan dada, terengah.

Panas dari jantungnya mengalir kuat, mencairkan dingin yang membeku.

“Syukurlah. Berarti berhasil.”

Aku menghela napas lega.

Keringat mengalir di pipinya—itu tanda baik.

Luka yang dibuat para raksasa tak bisa disembuhkan dengan sihir biasa.

Sudah lama aku tak memakai darahku sebagai obat—sempat khawatir, tapi tampaknya sejak kuterlepas dari kutukan lama, efeknya justru jauh lebih kuat.

“Tapi jangan memaksakan diri. Untuk sembuh total, Anda harus istirahat. Sampai saat itu, Anda harus minum darahku tiga hari sekali.”

“Kau ini… sebenarnya… apa…”

Dia menyibak rambut yang menempel pada pipinya.

Tatapannya berbeda dari sebelumnya—lebih dalam, lebih serius.

Yang paling mendesak sudah kutangani.

Sekarang waktunya bicara jujur.

Salah bicara justru bisa merusak segalanya.

Kupikir sebentar.

Dan memutuskan.

“Navarodje. Sebenarnya… aku datang dari dunia lain.”

“Dunia lain?”

“Ya. Tempat yang mirip—tapi berbeda. Apakah Anda pernah dengar istilah dunia paralel?”

Tidak ada alasan untuk menyembunyikan.

Inilah salah satu keuntungan dari dunia yang sudah hancur berantakan: tak ada siapa pun yang masih pantas kuwaspadai.

Aku menjelaskan konsep dunia paralel yang kudengar dari Saranthe dan Aselle.

Dunia dengan panggung yang sama, tapi sejarah yang berbeda.

Setelah lama terdiam, Navarodje berkata:

“…Aku ingin mendengarnya lebih rinci.”

Suaranya serius.

Syukurlah. Tidak ada serangan api besar tiba-tiba atau penjaga yang memborgolku.

Benar kan—lebih mudah dijelaskan setelah kuobati.

“Baik. Tapi ini cerita panjang. Anda siap?”

“Justru itu lebih baik. Sambil kau bercerita, akan kutunjukkan tempat ini.”

TAP TAP!

Dia menepuk tangan.

Tak lama kemudian, suara berat menggema.

Dari balik gua di belakang taman bunga, keluar sesosok raksasa yang seluruh tubuhnya dilapisi kristal emas.

Bentuknya mirip Cave Giant, tapi ukurannya jauh lebih besar.

“Itu…!”

“Penguasa asli dunia bawah tanah ini. Elsia menanamkan spirit ke tubuhnya yang kosong.”

Mataku membelalak.

Aku tak pernah menyangka benda itu masih ada.

Raja para Cave Giant—yang dahulu dikendalikan oleh Eduon dan Cirilla.

Dalam dunia ini, bukan senjata perang Nebula Clazier, tapi mesin konstruksi raksasa yang luar biasa.

“Grrruuuh.”

Raksasa itu menurunkan telapak tangan, mengajak kami naik.

Navarodje—masih lemah—kupapah naik.

Raksasa itu menempatkan kami di pundaknya dan mulai berjalan.

“Woah.”

Seketika, pandangan melebar.

Seluruh markas tampak jelas.

Detail yang tidak terlihat dari punggung Orse kini tampak.

Ladang yang dikelola para peri.

Bangunan batu buatan dwarf.

Orse yang hampir ketiduran berdiri.

Letansier yang pura-pura mati di sudut ruangan.

Warna-warna kehidupan yang keras tapi gigih.

Namun… sulit berkonsentrasi.

Sosok di sebelahku terlalu mempesona.

Navarodje meregangkan kedua tangan, menstretch tubuhnya.

Ibu Api—sosok yang bisa membakar dunia—mengalahkan semua yang ada di sekitar hanya dengan berdiri.

“Aaah… sudah berapa lama aku tak merasa segar begini.”

“…Hhh.”

Mataku bergerak tanpa kendali seperti ditarik magnet.

Dan setiap kali kebahagiaanku naik… sepertinya IQ-ku turun.

Jika terus begini, aku bisa lupa tujuan utamaku.

Begitu dia selesai meregang, aku buru-buru bicara:

“Baik. Kalau begitu, saya mulai. Dari mana ya… Hmm.”

Aku berpikir sebentar.

Lalu memulai dari awal saja.

“Kehidupan ini sebenarnya adalah yang kedua bagiku.”

Yakni, sejak momen aku kembali ke masa lalu.

2-11. Hak untuk Memandang Bintang (3)

Markas yang dibuat dengan memodifikasi Gran Cappadocia jauh lebih luas dan rumit dari dugaan.

Lorong-lorong pelarian dan tempat perlindungan dipasang di berbagai titik, untuk berjaga-jaga jika terjadi serangan mendadak.

Di wilayah yang tidak terjangkau cahaya matahari, cahaya berasal dari lumut bercahaya dan lentera yang dibuat dari batu sihir.

“Begitu ya… jadi Adeshan sudah menjalani tiga kehidupan berbeda… Pantas saja anak itu terlalu cerdas. Ternyata dia menyimpan rahasia seperti itu.”

“Ya. Kami berencana menikah setelah saya kembali.”

“Fufu, pasangan yang benar-benar cocok. Rambut hitamnya anak itu… sangat cantik.”

Navarodje tersenyum lembut.

Kami duduk berdampingan di atas bahu raksasa gua dan terus berbicara.

Aku menceritakan semuanya.

Kembalinya waktu melalui ciuman, perang darah melawan Nebula Clazier.

Dan akhirnya, permintaan Sarante yang datang dari masa depan.

Kisah-kisah yang bahkan jika ditulis dalam novel pun pasti dianggap omong kosong.
Namun Navarodje tidak terkejut atau kebingungan sama sekali.

“Kau percaya ini terlalu mudah. Tidak mengira saya gila?”

“Dalam situasi seperti ini… apa yang tidak bisa dipercaya?

Justru jika kuanggap kau datang dari dunia lain, semua yang terjadi menjadi masuk akal.

Tubuhku—kau tidak tahu betapa ringannya rasanya sekarang.”

“Menarik. Ringan ya…”

Dari luar, aku tidak melihat perbedaan apa pun.

Tapi kalau dia sendiri yang bilang begitu, berarti benar.

Meski… ada sesuatu yang sangat berat menempel di dadanya.

Memang begitulah makhluk terkuat di bintang ini.
Sangat berbeda dari makhluk lain…

Sial, bukan waktunya memikirkan itu.

Bagus aku menemukannya sebelum terlambat.

Ya. Aku menyukai naga ini.

Dan bukan hanya karena bentuk tubuhnya saja.

Kebaikannya yang memberi maaf meski aku memasukkan jari ke mulutnya tanpa izin, juga cara berpikirnya yang terbuka meski dia kuat—semuanya membuatku nyaman.

Jika itu naga lain, mungkin aku sudah menjadi tumpukan abu.

“Ronan. Dunia tempatmu berasal… katanya damai sekarang, bukan? Mereka yang seharusnya mati pun telah diselamatkan.”

“Ya. Meski tentu tidak tanpa korban.”

Aku menatap ke bawah sambil mengangguk.

Banyak yang mati, tapi dibanding dunia ini, itu sama sekali bukan apa-apa.

Setelah berpikir, Navarodje membuka mulut.

“Kalau begitu… apakah kau pernah bertemu anak-anakku?”

“Tentu saja.”

“······!”

“Ir sedang bersekolah di akademi kami. Punya banyak teman juga. Anak itu… makin lama makin besar kepala.”

Putra bungsu Navarodje—Itargand—masih menjadi murid di Philion Academy.

Kudengar dia sangat pandai beradaptasi, sampai mempertimbangkan mencalonkan diri sebagai ketua OSIS tahun ini.

“······Kau sungguh berasal dari dunia paralel… hanya aku dan anak itu yang tahu nama panggilannya. Dan Ir bersahabat dengan manusia…?”

Navarodje menggigit bibir bawah.

Mata merahnya berkaca-kaca, seperti menahan sesuatu yang hendak meluap.

Baru saat itu aku sadar… mungkin aku terlalu blak-blakan.

Sial. Harusnya kutahan sedikit.

“Maaf…”

“Tidak. Tidak apa. Ceritakan terus. Anak-anakku yang lain? Kau bertemu mereka juga?”

“Hmm… tidak semuanya sih. Tapi… oh ya, Brakios? Aku lumayan dekat dengannya. Kami bertemu di Dreamoor.”

“Kau maksud Bnihard. Anak itu sangat keras kepala. Suka berpura-pura tidak bekerja keras, padahal justru paling rajin. Rasanya baru kemarin aku menjilati kulitnya saat ia keluar dari telur… ahaha, aku merindukannya.”

Navarodje tertawa kecil.

Air mata yang sempat ditahan akhirnya menetes.

Kutawarkan ujung mantelku. Dia langsung menggunakan itu untuk menghapus wajahnya.

“Anak-anakku semuanya mati. Mereka maju untuk membantu ibunya yang bodoh ini… dan gugur dengan gagah. Hanya aku yang bertahan… dan bersembunyi di bawah tanah, di tempat bahkan cahaya tidak dapat masuk.”

“Jangan bilang itu melarikan diri.”

“Tidak ada satu hari pun… satu malam pun aku bisa tidur dengan damai. Luka yang ditinggalkan tombak mereka? Itu tidak seberapa. Yang benar-benar menyiksaku adalah… kenyataan kejam bahwa anak-anakku telah menjadi bintang, dan aku bahkan tidak bisa melihat mereka.”

Aku mengumpat melalui gigi yang terkatup.

Di dunia yang telah hancur, orang bahkan kehilangan hak untuk menatap bintang.

Bahkan jika mereka nekat naik ke permukaan, yang terlihat hanya tanah pucat tanpa satu warna pun, langit putih kusam, dan air merah yang tampak seperti darah.

“Dan dunia satunya… kau bilang anak-anakku semua hidup…?”

“Ya. Tidak ada satu pun yang mati—kekh!”

Begitu aku mengangguk mantap, tiba-tiba Navarodje merengkuhku.

Tulang dadaku serasa remuk.

“Syukurlah… terima kasih para bintang… benar-benar syukurlah…”

“N—Navarodje…! Hhhk! Aku… mati… nanti aku mati beneran!”

“Air mataku tidak berhenti… aku terlalu bahagia.”

Dia menenggelamkan wajah ke dadaku.

Bajuku basah seketika.

Dia menangis sungguhan. Dari hati.

Padahal dia bahkan tidak bisa melihat anak-anak itu.
Bahkan menggapainya tidak mungkin.

Hidungku ikut terasa panas.

“Ya ampun…”

Mungkin karena sebentar lagi aku sendiri akan jadi ayah… entah kenapa kata-katanya menusuk sangat dalam.

Tekanan dadaku terasa mau mematikan, tapi aku tetap mengusap punggungnya perlahan.

Tak tahu berapa lama waktu berlalu.

Navarodje akhirnya mendongak, tersedak kecil.

“Kehm…”

“Sudah selesai nangis?”

“Untuk sementara… ah, astaga. Bajumu… apa yang harus kulakukan.”

Dia menutupi mulutnya.

Bajuku basah kuyup seperti habis tercebur sungai.

Jika aku manusia biasa, aku mungkin sudah mati karena dehidrasi.

Gugup, dia menjentikkan jarinya.

TAK!

Keheningan berubah jadi hangat menyelimuti tubuhku.

“Wah.”

“M—maaf. Emosi membuatku lupa diri… anggap saja kau tidak melihat apa pun, boleh?”

Pipi Navarodje merah terang—bahkan sampai mengeluarkan uap.

Benar-benar… mengeluarkan uap.
Persis seperti adegan dari komik—tapi ini nyata.

“Tidak apa. Kalau sedih, ya wajar menangis.”

“Tetapi… aku tidak boleh begini. Jika pemimpin menunjukkan wajah seperti itu… bagaimana anak-anak bisa mempercayaiku?”

“Justru mereka suka. Apalagi Orse.”

“Ngh… kau ini 정말…!”

Aku menyilangkan tangan di belakang kepala dan tertawa.

Uap di wajahnya makin tebal.

Dia menggigil, tidak tahu harus bicara apa, lalu berdeham keras.

“Ehem. Bagaimanapun, aku paham kondisimu sekarang. Jadi para penjajah dunia ini akan pergi ke masa depan duniamu dan membuat kekacauan, dan harus dicegah, benar?”

“Tepat.”

“Dan untuk itu, semua retakan yang menghubungkan dua dunia harus dihancurkan… baik. Aku akan membantumu.”

Navarodje mengangguk.

Wajahnya jauh lebih cerah setelah menumpahkan semua air mata.

Dia menggulung lengan bajunya dan berkata dengan penuh tekad:

“Aku akan membantumu sekuat tenaga. Dunia yang baru saja mendapatkan kedamaian tidak boleh dinodai lagi. Apalagi… anak-anakku hidup bahagia di sana.”

“Terima kasih.”

“Namun… penyihir bernama Akasha yang kau sebut itu… membuatku khawatir. Kami belum pernah melihatnya. Jika saja pernah bertemu, mungkin aku bisa membantumu lebih banyak.”

Itu tak terduga.

Ternyata Navarodje maupun seluruh pasukan perlawanan—tidak pernah bertemu Akasha sekalipun.

Aku harus sangat berhati-hati.

Fakta bahwa orang-orang dari masa depan sampai nekat memintaku turun tangan… berarti musuh ini bukan main-main.

Suasana sepi sejenak.

Hanya langkah raksasa gua yang bergema.

Aku celingukan dan bertanya:

“Tapi… kita ini mau ke mana?”

Raksasa itu berjalan menuruni lorong panjang.

Landai, tapi berkelok seperti labirin.

Semakin dalam, lumut bercahaya makin sedikit, sehingga pandangan semakin gelap.

“Tempat terpenting di markas ini. Tunggu sebentar, kita akan sampai.”

“Lebih penting dari tempat matahari itu?”

“Jika harus dibandingkan… iya. Sebenarnya… ada satu rahasia yang belum kukatakan padamu.”

Nada Navarodje berubah serius.

Pandangan matanya tertuju pada kegelapan di depan, bukan padaku.

“Rahasia?”

“Hanya sedikit orang di pasukan perlawanan yang tahu. Alasan kehidupan bisa bertahan di dunia bawah ini bukan hanya karena kekuatanku. Di bawah sana… ada batu yang telah membantuku sampai hari ini.”

Dia mengangkat telunjuk.

Kata-katanya membuatku mengerutkan kening.

Batu? Tiba-tiba begitu?

Sambil terus menatap ke depan, dia berkata:

“…Namun terlalu lambat kalau kita menunggu. Mengingat betapa mendesaknya keadaan… bagaimana kalau kita menggunakan sihir untuk langsung pergi?”

“Hmm, itu memang lebih cepat.”

“Bagus. Pegang aku erat. Batu ini memiliki kekuatan yang sangat besar… sampai medan sihir di area ini terdistorsi. Kalau kita salah sedikit saja… tubuhmu bisa berpindah dalam keadaan terpotong-potong ke tempat berbeda.”

“…Apa?”

Aku belum sempat mempertanyakannya.

Navarodje sudah menggenggam pergelangan tanganku dan mulai melantunkan kata-kata yang terdengar seperti mantra.

Orang yang biasanya cukup menjentikkan jari untuk menggunakan sihir tingkat tinggi… kini menggunakan ritual yang panjang?

Pertanda buruk.

“Bentar dulu, ini bahaya. Kita bisa jalan kaki saja—”

“Kalau begitu, mari kita pergi.”

Mantra terhubung.

Perutku seperti digulung di dalam tong dan dilempar ke lereng gunung.

Aku tidak punya waktu untuk mengatakan bahwa ada yang salah.

Dunia memutih.

Kesadaranku terputus.


Cahaya memenuhi pandangan.

“GYAAAAAH!”

Aku bangkit sambil berteriak seperti gagak dicekik.

Hal pertama yang kulakukan adalah memastikan apakah tangan—kaki—semuanya masih menempel.

Untungnya empat-empatnya lengkap.

“Sialan! Kau tadi melakukan apa?!”

Aku berteriak tanpa peduli siapa yang kusasar.

Bahkan kalau orang tuaku hidup kembali pun, aku akan memarahi mereka saat ini.

Semoga tidak rusak permanen ya…?

Aku sudah sering mengalami teleportasi, tapi sensasi barusan… pertama kali dalam hidup.

“Uugh.”

Suara pelan terdengar dari sudut ruangan.

Navarodje bersandar pada dinding batu, tubuhnya tersentak karena mual.

Kelihatannya dia sudah muntah sedikit.

“Eh. Kau tidak apa?”

“Huu… ya. Hari ini aku benar-benar hanya menunjukkan sisi burukku. Maafkan aku.”

“Kalau sampai segini bahayanya, kita tadi bisa naik raksasa itu pelan-pelan.”

“Itu memang benar… tapi aku entah kenapa merasa tidak bisa menunggu. Sulit dijelaskan. Rasanya aku harus segera menunjukkan batu itu padamu.”

Navarodje berdiri sambil memegang tanganku.

Wajahnya benar-benar pucat—dia juga tidak jauh lebih baik dariku.

Barulah aku menyadari tempat ini.

“Di sini…”

“Indah, bukan? Ini tempat terdalam dari seluruh gua.”

Benar. Tempat ini sama sekali tidak seperti markas pemberontak.

Sebuah ruang raksasa, penuh dengan mineral yang belum pernah kulihat.

Merah muda. Ungu. Hijau kebiruan.

Formasi batuan aneh dengan warna-warna lembut menyinari seluruh ruangan, menciptakan atmosfer yang hampir tak nyata.

Di tengahnya… berdiri sebuah batu kelabu.

“Yang itu?”

“Ya. Kau langsung tahu rupanya.”

Dia mengangguk saat aku menunjuknya.

Memang tidak biasa.

Kepadatan mana di area itu begitu pekat, sampai ruang tampak bergelombang.

Seolah ditarik oleh sesuatu, aku melangkah mendekat.

Batu itu tidak tumbuh dari tanah seperti stalagmit—melainkan melayang sedikit di udara.

Di mana aku pernah melihatnya?

Rasa tidak enak menghantamku.

Batu itu… sangat familiar.

Saat aku menyentuh permukaannya—

ZRRRT!

Sensasi seperti sambaran listrik mengalir melalui tulang.

Kakiku melemas.

“..!!”

“Ada apa?”

Navarodje meraihku sebelum aku jatuh.

Bulu kudukku berdiri.

Aku pernah bertemu benda ini.

Di kuil yang dijaga Sarante.
Di dunia batinku ketika menyelamatkan Haeju.
Di ruang putih itu… setelah pertarunganku dengan Abel.

Sangat lemah… tapi bentuknya sama.

Ini tidak mungkin salah.

Aku menarik napas gemetar dan menyebut namanya.

“…Séniel.”

2-12. Hak untuk Memandang Bintang (4)

Rasanya seperti arus listrik mengalir melalui pembuluh darahku.

Batu ini… tidak salah lagi, memang Séniël.

Lebih tepatnya, keberadaan itu sedang bersemayam di dalamnya.

“Kenapa ada di tempat seperti ini…?”

Bahkan setelah melemah sampai sejauh ini, kekuatan dahsyat masih terasa.

Entitas tak terjelaskan yang memberikan Adeshan bola reinkarnasi, menyelamatkanku dari nasib mati bersama Abel, dan hingga kini pun aku belum memahaminya sepenuhnya.

Berbeda dari waktu itu, sosok tersebut tidak mencoba berbicara denganku.

Navarodje mengangkat alisnya.

“Séniël?”

“Ya. Kau tidak pernah mendengarnya sama sekali?”

“Hm… kalau kupikir-pikir, benar juga. Sepertinya ada anak-anak yang memujanya. Kukira itu hanya kepercayaan lokal. Apa hubungannya dengan batu ini?”

Dia benar-benar tampak tidak tahu apa-apa.

Ya… aku sendiri baru mengetahuinya setelah mengalahkan Abel. Pantas saja dia tidak tahu.

Aku menjelaskan secara singkat apa yang kutahu.

Bahwa Séniël adalah dunia yang kami pijak.
Atau jiwa dari bintang ini sendiri.
Sosok yang membunuh Raja Agung para raksasa pada masa lampau.

Mata Navarodje membelalak.

“...Jiwa dunia?”

“Itu cara dia memperkenalkan dirinya. Kami sebenarnya tidak banyak berbicara waktu itu, jadi… tidak pernah terpikir kalau dia ada di sini.”

Naluri langsung memberitahuku hal ini.

Berbeda jauh dengan tiruan yang disembah Sarante.

Yang ada di hadapanku sekarang… adalah tubuh asli Séniël.

“Navarodje. Kau bilang batu ini penting. Tepatnya apa fungsinya?”

“Hmm, bagaimana harus kujelaskan… kalau diibaratkan, itu seperti sebuah jantung.”

“Jantung?”

“Ya. Jantung yang berisi kekuatan hidup yang sangat besar. Yang kulakukan hanyalah menuangkan kekuatanku ke dalamnya agar energi kehidupan itu tersebar lebih luas. Mau melihatnya?”

Navarodje meletakkan telapak tangan di atas permukaan batu.

Mana-nya meresap masuk perlahan.

Sekitar satu menit kemudian—

Batu itu bergetar halus, lalu gelombang transparan menyebar ke sekeliling.

“Ini…!”

Perubahan terjadi seketika.

Semua mineral yang tersentuh gelombang mulai bercahaya.

Yang merah memerah lebih terang, yang biru membiru semakin dalam.

Rahasia mengapa tempat ini begitu penuh warna akhirnya terungkap.

“Kebetulan sekali. Lihat kantong bajumu.”

“Hah?”

Navarodje menunjuk ke saku mantelku.

Aku merogoh ke dalam, dan secuil tanah putih terambil.

Pasti masuk saat aku dan Letansie masih hidup ala berkemah.

“Apa-apaan ini.”

Aku belum sempat bertanya lebih jauh ketika gelombang kedua meledak.

Tanah putih itu berubah warna.
Dalam waktu kurang dari sepuluh detik, warnanya berganti menjadi coklat pekat, subur, mengilap seperti siap ditanami.

Navarodje menarik tangannya dari batu itu.

“Sekarang kau mengerti. Inilah alasan ekosistem di dunia bawah ini masih bisa bertahan.”

“Keren sekali.”

“Hanya dugaan, tapi kupikir alasan laut dan tanah yang dalam belum sepenuhnya dirusak oleh mereka, juga berkat batu ini. Energi kehidupan yang dilepaskannya—meski tidak teratur—memperpanjang umur bintang ini…”

Ekspresi Navarodje tidak cerah.

Padahal dengan tubuh pulih, dia bisa dengan mudah mengalirkan lebih banyak kekuatan ke batu itu.

Aku bisa menebak alasannya.

“Tidak lama lagi, ya?”

“Benar. Batu ini sedang sekarat. Dan semakin hari semakin cepat.”

“Karena akar-akar itu, ya? Mereka menyedot habis kekuatannya.”

Tidak perlu dijelaskan lagi.

Jika Séniël, jiwa dunia, melemah… penyebabnya hanya satu.

Para botak bersayap itu sedang mencuri nyawa bintang ini.

“Aku juga begitu mengira. Karena itu tujuan utama kami adalah menghancurkan akar-akar itu. Walaupun… hanya beberapa kali kami benar-benar berhasil.”

“Ya wajar. Mereka hidup mengandalkan perisai itu.”

Merusaknya sangat sulit.

Permukaan semua akar dilapisi lapisan tipis Berkat Bintang.

Jika bukan kekuatan setingkat ‘Ibu Api’, nyaris mustahil memberikan kerusakan berarti.

Navarodje tersenyum.

“Karena itu aku semakin senang kau datang. Kudengar dari Orse, kau memotong akar itu hanya dengan satu tebasan? Dunia ini sangat luas, mungkin akan makan waktu bertahun-tahun… tapi denganmu, sepertinya kita bisa merebut kembali bintang ini.”

“Mm. Tapi kurasa tidak akan selama itu.”

“Hmm? Apa maksudmu?”

“Tadi aku lupa menjelaskan. Intinya, kalau mereka meminum darah saya, atau bila darah saya dioleskan pada—”

Tidak ada alasan membuang waktu bertahun-tahun.

Di dunia asliku pun, aku satu-satunya yang bisa melawan para botak itu. Tanpa darahku, kemenangan tidak mungkin.

Saat aku hendak melanjutkan—

Navarodje tiba-tiba mengangkat tangannya.

“Tunggu.”

Pembicaraan terputus.

Dia menatap ke langit-langit dengan wajah tegang.

“Ada apa? Kenapa tiba-tiba begitu?”

“Sepertinya ada sesuatu terjadi di atas.”

Dua tanduk tumbuh dari sisi kepalanya.

Tanduk melengkung indah, lebih tebal dan megah dari tanduk naga mana pun.

“Cahaya itu…”

Tanduk-tanduknya berkedip perlahan.

Warna merah tak menyenangkan.
Sama persis dengan yang kulihat pada hari masuknya Itargand ke akademi.

Jika ingatanku benar… itu berarti musuh telah masuk.

“Situasinya tidak bagus. Ayo pergi.”

“Sial. Bentar—kita jangan pakai teleportasi lagi, kan?”

“Tidak. Kita terbang saja. Mantra satu kali tadi saja sudah membuatku sangat letih.”

PAAAH—!

Tubuh Navarodje diselimuti cahaya.

Punggung gaunnya robek, dan sepasang sayap raksasa tumbuh keluar.

Sayap itu merah—seperti membran darah—dan penuh bekas luka lama.

Kepalanya naik sampai di atas ujung daguku.

“Wow.”

Aku tidak bisa menahan kekaguman.

Dada yang sebelumnya berada jauh di bawah… kini sejajar mataku.

Jika dibandingkan Adeshan—dalam wujud ini, Navarodje jauh lebih besar. Untuk menatap wajahnya, aku harus mendongak.

Dia bergumam pelan.

“Hm… wujud ini masih tidak terbiasa. Tidak bermaksud menjadi sebesar ini.”

“Tidak, bagus kok.”

Pandanganku penuh… dalam arti harfiah.

Kalau saja aku memotretnya sekarang dan memberinya judul ‘Dimensi’… aku yakin menang penghargaan.

Belum pernah aku melihat Navarodje dalam bentuk ini.

Mirip wujud beastkin—setengah manusia setengah naga.

Memesona dengan cara yang berbeda dari bentuk manusianya atau bentuk naga penuhnya.

Saat aku terpana—

“Mari. Tidak bisa menunggu.”

“Uh—!”

Navarodje tiba-tiba mengangkat tubuhku dan memelukku.

Karena tubuhnya membesar, aku masuk pas di dalam lengannya.

Suhu tubuhnya yang kembali pulih terasa seperti pemandian air panas.

Tanpa memberiku waktu protes, dia mengepakkan sayap.

KWAOOOOH—!!

Angin mengaum di telingaku.

Aku tidak bisa melihat apa pun, tapi kecepatannya gila-gilaan.

Berkali-kali aku mencoba bergerak, tapi pelukannya sangat erat.

“Uup! Uuurgh!”

“Maafkan aku. Tahan sedikit.”

Dia bicara dengan nada sungkan.

Akhirnya aku pasrah dan melepas tegangan pada tubuhku.

Aroma tubuhnya manis dan sedikit memabukkan.

Di tengah situasi genting ini, maaf… tapi aku sangat bahagia.

Petualangan dunia paralel?
Break even point-nya ada di sini dan sekarang.

“Na—Navarodje-nim!”

Tapi momen itu cepat berakhir.

Seseorang berteriak panik tidak jauh dari kami.

Begitu dia menurunkanku, cahaya menyilaukan memenuhi penglihatan.

Kami sampai di pusat markas—di bawah matahari buatan—di mana ratusan anggota pemberontak berkumpul.

“Benarkah?! Sebanyak itu datang?!”

“Ya. Sial. Sepertinya mereka menemukan tempat ini.”

“K—kita semua akan mati… kita akan mati…”

Wajah mereka semua tegang.

Jauh lebih serius daripada saat kami tertawa santai sebelumnya.

Orse, yang kembali ke wujud manusianya, tampak siap menyemburkan api kapan saja.

Navarodje berbicara pada seorang elf yang tampak seperti salah satu pemimpin.

“Ada apa.”

“M—mereka datang dalam jumlah besar. Ini bukan seperti biasanya. Seolah-olah mereka tahu tepat lokasi ini…”

“Cukup. Aku sendiri akan memastikan.”

TAK!

Dengan satu jentikan jarinya, langit-langit batu berubah bening seperti kaca.

Semua menajamkan mata—lalu membelalak ketakutan.

“Dewa-dan…”

Puluhan raksasa melayang-layang di langit.

Semua memegang tombak cahaya.

Di atas awan, lingkaran sihir raksasa berputar—lebih besar dari apa pun yang pernah kuliat.

Simbol-simbol menjijikkan berdenyut, membuka dan menutup seperti mulut, memuntahkan raksasa bersayap.

“Kenapa sebanyak itu…!”

“A—apa yang terjadi? Bagaimana mereka bisa menemukan kita?”

Kepanikan menyebar.

Belum pernah hal seperti ini terjadi sebelumnya.

Aku dan Orse secara refleks menoleh ke arah Letansie.

【Empat tahun.】

“B—bukan saya! Demi hidup saya sendiri, kenapa saya harus melakukan itu!?”

Letansie meronta dalam keadaan masih terikat di lantai.

Di tengah semua orang sibuk mendiskusikan apa yang harus dilakukan—

Salah satu raksasa melempar tombaknya.

GUUUUUNG—!!

Cahaya menyilaukan memenuhi pandangan, diikuti getaran besar.

“Hhhk!”

“Ini sudah pasti. Mereka menemukan kita.”

Tombak itu menancap tepat di titik vertikal markas.

Ketika debu mereda, lebih banyak raksasa terbang mendekat—lalu mulai melempar tombak secara beruntun.

Langit-langit yang tadinya transparan kembali menjadi batu.

“...Waktunya tiba rupanya.”

Navarodje mengepalkan tinju.

Mereka tahu bahwa ini akan berubah menjadi seperti ini suatu hari, tapi tidak secepat ini.

Ketegangan menyelimuti seluruh ruangan.

Setiap kali tombak menghantam, seluruh gua berguncang.

KWAARUNG!

DUAAR!!

Retakan merayap di dinding dan lantai.

“Untuk sekarang, mundur—”

Jelas tidak ada peluang menang dengan jumlah sebesar itu.

Navarodje akan memberi perintah evakuasi ketika—

“Pas banget.”

“Hah?”

“Kebetulan bagus. Mumpung panas—seperti kata pepatah, pukul besi saat masih panas. Ini kesempatan buat mereka lihat.”

Aku bertepuk tangan.

Memang berniat menunjukkan ini sedari tadi—dan timing-nya sempurna.

Semua tatapan pemberontak beralih padaku.

“Hey, apa maksudmu ‘pas banget’?!”

“Aku artinya memang begitu. Perhatikan baik-baik.”

Aku mencabut pedang.

Kemudian menggores lengan kiriku dan mengangkatnya.

Ada cara yang lebih efisien mengeluarkan darah, tapi untuk efek dramatis… cara ini cocok.

SRAAAK!

Darah mengalir deras.

“Sial, perih banget.”

“G—gila?! Kenapa kau—?!”

Keributan langsung pecah.

Tujuan tercapai. Semua fokus padaku.

Mata Navarodje membesar.

“Anak kecil… rahasia yang kau sebut itu, jangan bilang—!”

“Kemungkinan tepat seperti yang kau pikirkan. Hey, Orse! Pinjam tombakmu sebentar!”

Aku mengacungkan tangan pada Orse.

Dia baru saja mengeluarkan tanduk dan sayapnya, kembali ke wujud aslinya.

【Apa?】

“Tombak yang kau buat dari tulang rusukmu. Akan kubuat itu bisa membunuh para botak dalam sekali lempar. Serius, cepat berikan sini.”

【Mulut···!】

“Orse. Berikan padanya.”

Suara Navarodje langsung membekukan Orse.

Dengan gigi terkatup, dia mengeluarkan tombak itu dari mulutnya.

SHWIIK—!

【…Aku bukan melakukan ini karena patuh padamu.】

“Terima kasih. Anak manis.”

Navarodje tersenyum.

Aku mengambil tombak itu dan mencabutnya dari lantai.

Benar-benar senjata keji.

Bilanya meliuk spiral, seolah siap menembus apa pun yang ada di dunia.

Aku menempelkan ujungnya pada luka lengan.

“Bagus.”

【Hey! kamu lagi ngapain?-!】

Darahku menetes di sepanjang tombak.

Karena ini darah murni, tanpa pengenceran, efeknya akan maksimal.

Aku mengangkat tombak itu tinggi-tinggi.

“SEMUA, TERIMA KASIH ATAS KERJA KERAS KALIAN!!”

“Dia gila?”

“Apa dia mabuk?!”

“Aku tau betapa kalian berjuang selama ini! Para telur rebus itu tidak punya hati nurani dan memakai perisai ke mana-mana! Dunia menjadi seperti ini karena kita hanya bisa dipukul terus! Tapi itu semua SELESAI SEKARANG!!”

“Dia benar-benar gila.”

Reaksi datar. Tidak heran—aku memang buruk dalam berpidato.

Sebelum ada yang melempar batu atau tomat busuk, lebih baik kutunjukkan langsung.

“Aha. Ini saja.”

Kebetulan ember karatan tergeletak di dekat kakiku.

Aku memasukkan lengan yang masih berdarah ke dalamnya.

Lalu berseru:

“DENGARKAN! SENJATA YANG KENA DARAHKU BISA MEMBUNUH BOTAK-BOTAK ITU! Bahkan kalau darahnya dicampur air pun masih bekerja!”

“Apa kau ngomong apa sih?! Minggir!”

“Cih, bawel amat. Ya sudah, lihat saja. ORSE! AMBIL!”

Aku melempar tombak itu.

Orse menangkapnya dengan satu tangan, meski cemberut.

Aku mengarahkan dagu ke arah langit.

“Lemparkan. Ke yang paling jelek.”

【······진심인가?】

“Kenapa aku harus bohong?”

Orse memandang ke atas—dan pada saat itu—

KWAANG—!!

Ledakan besar menghantam langit-langit.

“Ini tidak bagus!”

Ukuran ledakannya tidak wajar.

Navarodje segera mengangkat tangan.

Sebuah medan pelindung berbentuk kubah menyebar dan menutupi seluruh gua.

Batu-batu besar mental sebelum menyentuh kami.

“Hah….”

Tapi tidak ada waktu bernapas lega.

Begitu debu terangkat, langit tampak—

Raksasa-raksasa terbang.
Awan putih terbelah angin yang deras.

『Bodoh. Kalian kira trik murahan dapat menipu Sang Dia.』

『Derakys menjatuhkan hukuman.』

Suara berat dan dalam bergema.

Raksasa-raksasa pemegang tombak cahaya turun perlahan.

Formasi turun mereka merenggut seluruh harapan pemberontak.

Aku masih menaruh lengan di ember dan berteriak:

“ORSE! LEMPAR!!”

【······!】

“LEMPAR, DASAR TOLOL! APA TANDUKMU SAJA YANG TERBANG, ATAU OTAKMU JUGA IKUT?! LEMPAR, SEKARANG!!”

Suara menggema di seluruh ruangan.

Orse, terengah-engah karena marah, menggenggam tombak itu.

Dia hendak membalas makian ketika—

Lengannya hilang dari pandangan.

SRAAAAK—!!

Tombak itu terbang.

Garis hitam sempurna, menusuk tiga raksasa sekaligus.

『…Apa?』

Mata raksasa-raksasa itu membesar.

Perisai cahaya mereka retak—pecah seperti kaca.

Tombak itu terus melaju, menembus dua raksasa lagi, lalu menghantam pusat lingkaran sihir.

KWAARRRRRRR—!!!

Suara seperti sepuluh ribu petir meledak sekaligus.

Awan tersingkap.
Langit terbelah.

Dan semua orang… terdiam.

Untuk pertama kalinya dalam lebih dari sepuluh tahun—langit malam tersingkap.

Bukan putih, bukan merah—
melainkan hitam pekat.

“…”

Air mata jatuh sepanjang pipi Navarodje.

Bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya menghiasi kegelapan kosmik.

Cahaya mereka terlalu indah.
Begitu nyata.

Dari tempatku berdiri, bintang-bintang itu tampak seperti anak-anak yang menjadi bintang… sedang melambaikan tangan kepada ibu mereka.

“Benar, manusia harus hidup sambil melihat langit.”

Aku mendongak dan tersenyum.

Raksasa-raksasa yang tubuhnya tertembus mulai jatuh.

Aku mengangkat pedang ke arah langit.

“Ayo. Saatnya merebut kembali.”

Setiap orang berhak memandang bintang.

Setidaknya, itu yang kupikirkan.

2-13. Hak untuk Memandang Bintang (5)

Dengan jatuhnya para raksasa, pertempuran sesungguhnya pun dimulai.

Pasukan pemberontak mencampur darahku dalam ember dengan air, lalu mengoleskannya ke senjata masing-masing, atau meminumnya langsung.

Membiarkan orang lain meminum darahku bukan pengalaman yang menyenangkan, tetapi untuk membuat sihir mengenai mereka, aku tidak punya pilihan lain.

Proyektil dengan ujung memerah melesat ke arah langit malam.

“Serbu! Jangan biarkan satu pun lolos hidup-hidup!”

“Rebut kembali tanah dan laut kita!”

Pemandangannya seperti hujan meteor yang turun ke atas.

Akibat gelombang tambahan dari para raksasa, langit-langit markas runtuh sepenuhnya.
Namun tak satu pun pemberontak mundur.

Para pejuang yang bertahan sampai dunia ini hancur tahu bahwa saat inilah mereka harus mengeluarkan segalanya.

【Sudah berapa lama sejak terakhir kali kita melihat langit hitam ini!】

【Ikuti Orse-daejang!】

Yang paling bersemangat adalah para naga yang bisa terbang.

Dalam wujud beastkin, Orse memimpin pasukannya menerobos langit malam.

Sebagian besar serangan raksasa meleset.

Setiap kali pasukan naga membuat pola manuver melengkung yang tidak wajar, para botak itu pun jatuh satu per satu.

『Apa, gerakan itu…』

Meski dilarang terbang menembus awan, mereka tidak berhenti mengepakkan sayap.

Teknik terbang yang mengandalkan serangan cepat–mundur cepat kini bersinar dengan kekuatan penuh.

【Matilah!】

Orse mengayunkan tombak dengan kecepatan badai.

Garis hitam lurus menembus tenggorokan seorang raksasa.

Darah biru muncrat ke segala arah.

Para naga yang mengikutinya segera menyemburkan breath mereka ke arah tubuh yang terhuyung.

Kwaaaaah!

Api, petir, dan badai es menerjang tubuh tanpa perisai itu.

Raksasa yang hangus kehitaman pun jatuh ke tanah.

【Kuhahaha! Rasain itu!】

Orse meledak dalam tawa riang.

Saat itu—kilatan putih terang meledak di atas kepalanya.

Ketika ia mendongak, tampak para raksasa mengarahkannya dengan tombak cahaya.

『Terlalu ceroboh.』

【Cih…!】

Tombak dilontarkan.

Sudah terlambat untuk menghindar.

Para bawahannya memanggil namanya dengan panik—

Namun tepat di antara Orse dan raksasa, sebuah ledakan tak terlihat menggulung udara.

Lintasan tombak berubah dan meleset darinya.

Di saat bersamaan, proyektil dari tanah menghantam para raksasa.

【Kau…】

Mata Orse menyipit saat menatap ke bawah.

Letansie—Uskup Agung Nebula Clazier—mengangkat kedua tangan, dan pecahan besar telekinesis berkumpul di sekelilingnya.

Saat ia melihat bahwa tembakan barusan berhasil, Letansie melompat-lompat kegirangan.

“M—mengena! Aku kena! Aku melakukannya!”

“Bagus. Terus begitu.”

Aku menepuk bahunya.

Dipujinya Letansie membuatnya senang seperti anak kecil dan segera bersiap melakukan serangan berikutnya.

“Dasar sampah pengecut, berani-beraninya menipu kami?!”

Padahal dia yang paling tidak pantas mengatakan itu.

Puluhan proyektil telekinesis yang telah disiapkan menembak ke langit.

Sasaran: para raksasa.

Dalam kondisi normal, itu hanya akan menimbulkan sensasi digelitik pada kulit mereka, tetapi hari ini berbeda.

Ledakan!

Kwakwakwang!

Rangkaian ledakan menghantam Berkat Bintang mereka.

Minimal menyebabkan retakan, dan pada raksasa yang perisainya sudah lemah, pertahanannya hancur berkeping-keping.

Darah tumpah dari mulut para raksasa.

“Yahuuu!”

Letansie mengepalkan tinju.

Melihatnya begitu aktif menyerang membuat suasana jadi lebih baik.

Tatapan para pemberontak yang sebelumnya hendak membunuhnya pun sedikit melunak.

“Jadi benar dia Uskup Agung… cukup hebat juga.”

“Hmph. Aku masih belum percaya.”

Tetap saja, itu perkembangan yang bagus.

Meski waktu masih diperlukan.

Aku kembali menampung darahku di ember sambil memandangi pertempuran di langit.

Seorang vampir dari pasukan pemberombak bertugas membagikan darahku ke mana-mana.

“Bagus. Lihat? Kalau kalian serius, kalian bisa melakukannya.”

Para botak itu berjatuhan seperti lalat.

Dengan hancurnya Berkat Bintang—sumber kekuatan terbesar mereka—mereka hanyalah meriam kaca dengan output besar.

Mereka tetap tidak bisa diremehkan, tapi sayangnya bagi mereka… lawan mereka adalah pasukan pemberontak yang sudah lebih dari sepuluh tahun hidup hanya untuk satu tujuan: membantai para botak.

Mereka pasti lega bukan main.

Sejujurnya, aku bisa saja menghabisi jumlah raksasa sebanyak itu sendirian.

Itu jelas lebih mudah dan cepat, dan mengurangi korban.

Tapi aku sengaja tidak turun tangan.

Yang direbut dengan paksa… harus direbut kembali dengan tangan sendiri.

Yang dibutuhkan orang-orang yang bintangnya dirampas bukanlah pahlawan tunggal, melainkan keyakinan: “Kami juga bisa melakukannya.”

“Huuuuup…”

Dekat sana, terdengar suara udara tersedot keras.

Aku menoleh dan melihat Navarodje berdiri sambil memejamkan mata.

“Bagaimana? Sudah terkumpul?”

“Hmm…!”

Dia tidak menjawab.

Terus menarik napas… terus mengumpulkan kekuatan.

Dalam dadanya—yang sudah besar dari semula—cahaya merah berkumpul seperti akan memecah kulit.

Saat dia menghembuskan napas nanti… pertempuran akan berakhir.

Aku kembali mengarahkan pandangan ke langit.

‘Ada yang aneh.’

Rasa ganjil merayap.

Jumlah raksasa… tidak berkurang.

Meski lingkaran sihir di atas awan tampaknya sudah hancur oleh badai, awan tetap terus mengeluarkan mereka.

Aku mempersempit pandangan.

“...Benar. Mereka terus bertambah.”

Tandanya jelas.

Jumlah raksasa tetap sama seperti awal pertempuran.

Setiap kali satu jatuh—yang lain turun perlahan dari bawah awan.

Pasukan pemberontak, sibuk bertarung, tidak menyadarinya.

“Haa… haa… kenapa tidak habis-habis?!”

“Itu cuma pikiranmu! Terus tembak!”

Sesuatu sedang terjadi di balik awan itu.

Apa pun itu, sepertinya aku sendiri yang harus membereskannya.

Kalau para botak ini datang dalam jumlah berlebihan, situasinya bisa berbalik berbahaya.

Aku hendak melompat ke langit—

[Anak… kau mau ke mana?]

“Kyaaak! Astaga…”

Suara Navarodje tiba-tiba bergema di kepalaku.

Dia sudah membuka mata dan menatapku penuh perhatian.

“Hanya sebentar. Ada yang aneh di atas.”

[‘Aneh’? Kamu sudah banyak kehilangan darah, jika terjadi apa-apa… apa kau benar-benar harus pergi?]

Aku sempat lengah karena fokus pada pertempuran.

Padahal jelas—dia sedang mengkhawatirkanku.

“Umm… yah…”

Rasanya aneh.

Mungkin karena aku tidak punya kenangan tentang ibu… ini berbeda dari cara Nuna mengkhawatirkanku.

Aku menggaruk belakang kepala.

“Jangan terlalu khawatir. Aku kembali cepat kok.”

[Kalau begitu… terpaksa. Cepat kembali. Aku tidak bisa menghentikan napasku lagi. Setelah mengumpulkan sampai sejauh ini… tidak mungkin bisa berhenti di tengah.]

Navarodje berkedip cepat—wajahnya tampak sedikit malu.

Tubuhnya belum pulih sempurna, membuatnya sulit mengatur napas.

Tidak apa.

Apa pun yang ada di atas… tidak akan lama.

Aku mengacungkan jempol padanya.

“Aku pergi.”

Aku menurunkan pusat gravitasi dan menegangkan badan.

Letansie sibuk memberi tembakan dukungan—jadi aku harus naik sendiri.

Mana memenuhi otot kakiku.

“Sajian spesial, datang.”

Aku menepuk gagang pedang.

Lalu melompat ke arah langit yang penuh raksasa.

Tanah terbelah di bawah kaki.

Tubuhku diterjang tekanan udara seperti dunia mencoba menekan balik.

Kwaaang!

Ledakan udara menyusul setengah detik kemudian.

“Aduh…!”

Daya dorongnya luar biasa.

Sejak menyentuh Séniël tadi, tubuhku terasa penuh tenaga.

Dalam sekejap, aku mencapai arena pertempuran di langit.

Orse dan tujuh raksasa bertarung sengit.

Aku mencengkeram pedang—mata pisau memerah.

Seogeog.

Dengan satu tebasan, garis merah melintas di leher ketujuh raksasa.

『Apa.』

Mereka bahkan tidak sempat berteriak.

Garis itu terbelah, dan semburan darah biru melukis udara.

Tujuh kepala terbang.

Orse, baru saja menyadarinya, meraung:

【Ha! Jangan curi bagianku!】

“Harusnya kau gerak lebih cepat.”

Aku menyarungkan pedang sambil tertawa kecil.

Orse sudah menghilang di bawah sana.

Awan putih melahap tubuhku sebentar lalu memuntahkanku kembali.

Saat warna putih tersingkir, pemandangan di atas awan terbentang.

“Woah.”

Aku terpesona.

Sejauh aku menjelajahi dunia ini… ini yang terindah.

Hamparan awan putih seperti daratan bersalju, dan di atasnya—langit malam yang jernih.

“Kalau sampai mati sebelum lihat ini, nyesel aku.”

Sayang aku tidak punya waktu untuk menikmati bintang.

Aku harus mencari sumber munculnya para raksasa.

Saat sedang menyapu pandangan—

“...Itu apa?”

Tak jauh dari sana.

Di tengah langit, segumpal cahaya berwarna-warni berputar seperti mendidih.

Di pusatnya: sebuah bola mana berputar.

Dan di sekitarnya—tiga celah dimensi terbuka lebar.

‘Ukuran itu… gila.’

Aku mengerutkan kening.

Celahnya memang besar, tapi bola itu… jauh lebih mencurigakan.

Kekuatan yang dipancarkan benda itu sebanding dengan matahari buatan Navarodje.

Aku menembakkan aura untuk melesat ke arahnya.

Mana yang begitu pekat membuat kulitku terasa tersengat.

Siapa yang melakukan ini?
Jawabannya mudah ditebak.

“...Akasha.”

Namanya lolos dari bibirku.

Tiga celah besar terbuka di sekitar bola itu—cukup besar untuk dilewati para raksasa.

Dan bola itu… pasti pemicunya.

Para raksasa yang tiba-tiba turun ke sini pasti merespons cahaya dari benda itu.

Saat itu—dari celah terbesar, tubuh pucat seorang raksasa muncul.

『Di mana ini.』

“Anj*, lengkap sudah.”

Melihat kulit kepalanya yang mulus membuatku langsung ingin memaki.

Rahasia ‘isi ulang tanpa batas’ akhirnya terungkap.

Brengsek bernama Akasha ini bukan hanya memanggil raksasa di sekitar, tetapi menyeret raksasa dari tempat lain di bintang ini.

Apa sebenarnya yang dia mau?

Apa tujuannya?

Aku ingin memikirkannya lagi, tapi raksasa itu menatapku.

『Kau adalah…?』

“Pengurus pemakamanmu.”

Kumau berpikir panjang—tapi ini prioritas utama.

Aku meledak maju dan menghayunkan sabetan luas.

Jejak pedang membentuk sabit raksasa.

Tiga celah, bola pemicu, dan raksasa itu—semuanya terbelah dua dalam satu tebasan.

콰아아아아!!!

Bola itu meledak, melontarkan gelombang kejut.

Awan tersibak.

Langit terbuka.

Tapi tidak ada sorakan dari bawah.

“…Huh?”

Aku menurunkan pandangan.

Markas pemberontak… hanya dikelilingi raksasa.

Tidak ada tembakan dukungan.

Tidak ada pasukan naga.

Apa-apaan.

Jangan bilang para botak membalikkan keadaan?

Saat aku kebingungan—

Fiuh!

Ruang di depanku retak seperti kaca, lalu terlipat kembali.

Orse muncul sambil mencengkeram kerahku.

【Apa kau mau mati? Cepat turun!】

“Oh.”

Baru saat itu aku sadar—waktu sudah tiba.

Orse mencengkeramku dan mengulang teleportasi beruntun menuju markas.

Saat aku sadar, kami sudah tiba.

Semua orang, termasuk Navarodje, telah berkumpul.

[Syukurlah… kau kembali tepat waktu.]

“Jadi kau menahannya hanya karena aku? Astaga…”

Bahkan melalui telepati, aku bisa mendengar betapa berat napasnya.

Dia telah menarik napas sampai batasnya—seperti sebuah supernova yang hendak meledak.

Aku tahu apa yang akan terjadi berikutnya.

Meski para raksasa menyadari bahaya dan mulai mundur… sudah terlambat.

“Selamat tinggal, bodoh-bodoh.”

Pikiranku berkecamuk, tapi hari ini… ini sudah cukup.

Aku melambaikan tangan ke arah punggung raksasa yang lari terbirit-birit.

Seluruh pandangan memerah.

Navarodje membuka mulutnya—

dan api terpanas di seluruh bintang ini keluar menyembur.

Dan sejak hari itu—sebulan kemudian.

Kami telah merebut kembali setengah dunia.

2-14. Serangan Balik Besar (1)

Aroma tanah begitu pekat.

Ruang gelap yang tertutup itu dipenuhi kilau mana.

Fasilitas penyaring yang hanya bisa dimasuki lewat lubang telapak pada akar itu, seperti biasa, punya lingkungan yang tidak menyenangkan.

“Pekerjaan ini membosankan juga. Memang benar, wilayah utara bukan tempat manusia hidup.”

“Saya juga… uuuh, dingin banget.”

Letansie menggigil.

Bawah tanah wilayah utara sama dinginnya dengan permukaan.

Setelah menghancurkan semua menara transmisi, kami sedang melakukan tahap terakhir penghancuran akar: pengecekan penyintas.

Atau lebih tepatnya, pemeriksaan filter biologis.

“Haaam… semoga kali ini yang kita temukan orang yang masih waras…”

Aku menguap sambil merentangkan tubuh.

Ini memang pekerjaan paling menjengkelkan.

Di bawah akar, ada sekitar 30% kemungkinan menemukan penyembah Nebula Clazier yang masih hidup.

Tapi kemungkinan menemukan seseorang yang berguna hanya 1–2%.

Mayoritas dari mereka akan dipenggal setelah wawancara singkat—entah karena tidak memiliki kemampuan untuk menebus dosa mereka, atau sama sekali tidak menunjukkan penyesalan.

Saat aku berjalan menuju arah yang terasa ada tanda kehidupan—

“Ya ampun, Fantasion!”

“Astag—kaget!”

Letansie melompat.

Tanpa memedulikan reaksiku, ia langsung berlari kecil ke depan.

Di tengah ruangan, seorang were-deer bertubuh besar sedang terbelenggu.

“Fantasion! Ahh, kau hidup!”

“Letansie…? Kenapa kau di sini…”

Suara retak keluar dari mulut si were-deer.

Tanduk di kepalanya menyerupai akar pohon raksasa.

Letansie menutup mulutnya.

“A-apa kau sadar? Aku tak menyangka kau disekap di tempat seperti ini…!”

Belenggu yang dipakaikan pada tubuhnya berbeda level dari apa pun yang pernah kulihat.

Penutup mata itu bukan kain, tapi lempengan baja tebal.

Rantai yang mengikat tangan dan kakinya bahkan lebih tebal daripada pinggang Letansie.

“Ronan-nim. Fantasion termasuk tiga pejuang terbaik yang pernah saya lihat. Boleh kita bawa dia?”

“Memang kelihatannya cukup berbakat.”

Sulit untuk tidak mengakuinya.

Otot yang membengkak hampir secara brutal itu terlihat seperti bentuk fisik dari kekuatan itu sendiri.

Lebih mirip alat berat daripada makhluk hidup.

Kalau dia adu panco dengan Jaifa atau bahkan Baren, mungkin bisa setara.

“Baiklah. Mari kita lihat hasil wawancaranya.”

Aku pernah mendengar kabarnya di dunia asal.

Kalau tidak salah, Jaifa dan Schlippen bekerja sama untuk menangkapnya.

Aku mengibaskan pedang ringan—penutup mata itu pecah.

Fantasion berkedip, menatapku, lalu menyipit.

“Apa… kau pemimpin sekte?”

“Sayang sekali, bukan. Walau ya, kami sedikit mirip.”

“...Begitu. Jadi aku salah.”

Dia mengira aku Abel.

Kejadian semacam ini sudah terjadi enam dari sepuluh kali, jadi aku sudah terbiasa.

Kami memang paman-keponakan, apa boleh buat.

Untung warna rambutku berbeda.

Aku mengetuk gagang pedang sambil bertanya.

“Hei, rusa. Hal pertama yang ingin kau lakukan setelah keluar dari sini?”

“Balas dendam.”

“Kepada siapa?”

“Kepada pemimpin sekte yang mengkhianatiku dan para penjajah itu. Aku tak punya yang perlu dijaga lagi.”

Ia menjawab dengan suara datar.

Meski hampir sepuluh tahun disekap, sikapnya tidak goyah.

Bagus. Akhirnya ada seseorang yang pantas disebut mantan uskup agung.

Aku mengarahkan ujung pedang ke lehernya.

“Kau mengakui dirimu pengkhianat yang menjual dunia ini?”

“Aku mengakui.”

“Bagus. Lulus.”

Jawabannya cepat dan tegas.

Pedangku kembali ke sarungnya.

Belenggu yang melilit tubuhnya hancur berantakan.

Fantasion bangkit tanpa sedikit pun tanda kelelahan.

Sungguh kontras dengan Letansie yang dulu gemetar seperti anak rusa baru lahir.

“Tidak menyerang, ya. Kukira kau akan ngamuk melihat mukaku yang menyebalkan.”

“Aku tidak sebodoh itu untuk menyerang seseorang yang membebaskanku.”

“Ugh…”

Letansie meringkuk.

Memang wajar, mengingat dia pernah langsung berkhianat setelah dilepaskan.

Aku menyerahkan pedang cadangan yang kupasang di pinggangku kepada Fantasion.

Karena terkena darahku, mata pedang itu memerah.

Fantasion menerima senjata itu dan bertanya:

“Harus kulakukan apa?”

“Tunjukkan kemampuanmu. Kebetulan ada botak satu di luar sana…”

Belum selesai kalimatku—

Fantasion melompat.

Dengan memijak dinding lubang vertikal secara zigzag, dia sudah keluar hanya dalam beberapa detik.

Letansie membeku.

“Hah?”

Semuanya begitu cepat sampai ia kehilangan realita.

Aku menepuk bahunya.

“Kalau dia kabur? Kau tanggung jawab bareng.”

“HIIK! F-Fantasion!!”

Baru sadar, Letansie segera merapal.

Kami melesat ke atas dengan kecepatan maksimal.

Beberapa detik kemudian, angin dingin menggigit wajah kami.

Hamparan salju yang diterjang badai muncul di depan mata.

Tampak Fantasion bertarung melawan seorang raksasa.

『Berhentilah melawan. Bodoh.』

Raksasa itu terbang seperti kupu-kupu mabuk, mengepakkan sayap dan menghempaskan badai.

Fantasion menempel ke kakinya seperti cicada.

Angin es mengoyak kulitnya, tapi ia tak bergerak sedikit pun—terus menusukkan pedangnya.

“MATI—LAH!!”

『Kugh…!』

Setiap tusukan di pahanya membuat darah biru memercik.

Pedang yang seharusnya diayunkan dua tangan terlihat seperti pisau kecil di tangannya.

Dalam waktu singkat, raksasa itu jatuh tak tahan rasa sakit.

Fantasion tidak menyia-nyiakan kesempatan.

Menghindari tombak cahaya, ia meluncur dan menusuk leher raksasa itu.

“Wow.”

Penyelesaian yang bersih.

Pedangnya memang dilumuri darahku, tetapi kemampuan menumbangkan raksasa sendirian tetap luar biasa.

Wajar Letansie begitu percaya diri tadi.

“Muiiiik—!!!”

Fantasion mengaum kemenangan.

Suaranya bergema bahkan dalam badai salju.

Letansie berdiri dengan kedua tangan di pinggang, cekikikan.

“Ehehe, saya bilang kan? Dia memang hebat. Pasti akan sangat membantu nanti.”

“Berisik. Baru sedikit berguna sudah besar kepala begitu.”

“Kyaa!”

Letansie meringis setelah kutonjok sedikit.

Aku harus memukulnya berkala agar insting villain lamanya tidak kambuh.

“Selama adaptasi, kau yang urus dia. Kalian rekan sesama mantan penjahat, kan.”

“Auuh… i-iya, baik…”

Letansie mengangguk cepat.

Aku tersenyum puas dan berbalik.

Bagaimanapun, Fantasion memang akan jadi kekuatan besar untuk pemberontak.

Tidak ada akar atau celah ruang yang tersisa di area ini.

Daerah ini akan kembali ke warna aslinya dalam waktu dekat.

Saat aku hendak melangkah pergi—bayangan besar melintas di atas.

【Kau di sini rupanya.】

“Hah? Jarang kau datang sejauh ini.”

Aku mendongak.

Orse menatapku dari atas.

Empat sayap hitamnya mengepak perlahan.

【Navarodje mencarimu. Dan ini bukan perintah. Aku sendiri yang memutuskan datang.】

“Eh? Tiba-tiba?”

【Ya. Katanya… sesuatu yang aneh.】

Aku mengerutkan kening.

Apa terjadi sesuatu?

Daerah ini seharusnya paling aman.

Orse mendarat perlahan dan berkata:

【‘Ia sudah membuka mata.’ Katanya begitu.】

“……!!!”


Tak lama kemudian, aku tiba di markas utama.

Markas baru terletak di dekat Laut Roh—tempat terdingin di planet ini.

Urusan Letansie dan Fantasion kuberikan pada Orse.

Badai salju yang tadinya menggila kini mereda, menampakkan langit biru jernih.

“Ronan-nim. Anda kembali.”

“Masalah tidak ada? Eh, Letansie kok belum sampai.”

Para penjaga menyambutku.

Dulu mereka hanya memakai kain seadanya, sekarang mereka sudah mengenakan mantel kulit yang layak.

Berkat persediaan yang tersisa di fasilitas ini.

Kenyamanan materi meningkatkan moral pemberontak seperti halnya kembalinya warna langit dan laut.

“Saya yakin mereka segera datang, Ronan-nim. Dia bersama prajurit berwujud rusa besar… jadi jangan terkejut nanti.”

“Rusa…?”

“Ya. Mantan uskup agung. Lumayan kuat. Lalu, di mana Lady Navarodje?”

“Ah, beliau ada di aula. Baru selesai ritual.”

Aku berterima kasih dan melangkah masuk.

Tak lama, sebuah bangunan segitiga besar tampak—pintu menuju markas bawah tanah.

Pintu geser raksasa itu terbuat dari logam campuran khusus.

“Luar biasa teknologi kuno.”

Dulu tempat ini dikelola langsung oleh Elcia.

Bangunan yang pernah menghubungkan manusia dengan bintang tetap bertahan bahkan di bawah dominasi raksasa.

Aku memasukkan kode. Pintu terbuka.

Menuruni tangga panjang, pemandangan lain tersingkap.

Pemberontak sibuk lalu-lalang.

Lampu LED menyinari lorong futuristik.

‘Siapa yang menyangka tempat ini akan dipakai sesuai tujuannya aslinya…’

Markas baru ini berkontribusi besar pada pemulihan planet.

Selain lebih aman daripada Grán Cappadocia, tempat ini awalnya dibuat untuk menyimpan bibit tanaman.

Benih-benih yang tertidur ribuan tahun kini tumbuh kembali di planet yang hampir mati ini.

“Navarodje. Aku datang.”

“Ah, kau sudah kembali.”

Akhirnya aku tiba di tempat yang disebut “aula”.

Ruangan luas dengan sebuah batu melayang di tengah.

Navarodje ada di sana.

Dia berjalan kecil ke arahku dan memelukku.

“Selamat datang. Dinginnya luar biasa, kan?”

“Tidak apa. Mantelnya hangat.”

“Kemarilah.”

Tubuhku yang membeku langsung mencair.

Suhu tubuhnya telah kembali ke rata-rata Red Dragon yang sehat.

Aku memejamkan mata sejenak, menyerah pada kehangatannya.

Hangat…

Entah sejak kapan Navarodje mulai memperlakukanku seperti putra bungsunya.

Alasannya aku tidak tahu.

Mungkin naluri keibuannya terpaut padaku setelah kehilangan semua anaknya.

Awalnya aku merasa canggung bahkan kabur darinya, tapi sekarang sudah terbiasa.

Kalau itu bisa membuatnya tenang, biarlah.

“Sudah cukup hangat. Ritualnya baru selesai?”

“Ya. Aku penuh dengan vitalitas sekarang.”

Navarodje mengangguk sambil tetap memelukku.

Satu tangannya mengusap rambutku, benar-benar membuatku merasa seperti anak sungguhan.

Aku menatap batu di belakangnya.

Batu itu melayang sedikit, memancarkan energi kehidupan yang begitu pekat hingga membuat tubuh bergetar.

Aslinya, Séniël tertidur di bawah ibu kota kekaisaran.

“Keputusan untuk memindahkannya ke sini benar. Bagaimana bisa kau tahu tempat ini?”

“Itu warisan yang Elcia tinggalkan.”

“Anak itu memang luar biasa… sampai akhir pun masih membantu kita.”

Séniël kini disimpan di sini.

Sebagai aset terpenting bersama Navarodje, ia harus dijaga ketat.

Pemberontak mengadakan ritual dua kali sehari untuk menyalurkan mana ke Séniël.

Setelah menyerap mana semua orang, Séniël memancarkan energi kehidupan jauh lebih besar daripada saat hanya ditopang Navarodje seorang diri.

Semakin menyusut wilayah para botak, semakin cepat pemulihan Séniël.

Dan semakin pulih Séniël, semakin cepat planet ini memperbaiki diri.

Sebuah siklus yang menyenangkan.

“Tak lama lagi. Mengambil kembali separuh sisanya tinggal soal waktu. Semua berkat dirimu, Ronan.”

“Ah, tidak juga. Tapi… Anda bilang mencari saya?”

“Ah, benar. Hampir saja lupa hal terpenting.”

Baru kini Navarodje melepaskanku.

Uap hangat mengepul darinya seperti baru keluar dari sauna.

Ekspresinya kembali serius.

“ikutlah. Dia sudah membuka mata saat kau pergi.”

“Hah. Akhirnya.”

Sudah lama aku menunggu momen itu.

Aku mengikuti langkahnya keluar dari aula.

Kami menuju bagian terdalam fasilitas.

Setelah belasan tikungan dan berbagai lapisan keamanan, kami tiba.

Hanya sedikit orang yang mengetahui tempat ini.

Pintu besar bercorak hitam-kuning memiliki tulisan bahasa kuno Dainhar.

“Saya buka.”

Aku memasukkan kode.

Pintu menyembur udara, lalu bergeser.

Di tengah ruangan penuh mesin… sebuah kapsul kaca raksasa berdiri.

“……!”

Di dalam cairan biru itu, seorang pria berperawakan tegap terbaring.

Rambut putih.

Mata berwarna amber bersinar samar di balik kelopaknya yang setengah terbuka.

Aku menyibakkan rambutku dan melambaikan tangan.

“Sudah lama. Apa kabar, Abel.”

2-15. Serangan Balik Besar (2)

Membawa Abel ke sini adalah hal yang baru terjadi dua minggu lalu.

Hari ketika aku menyadari keberadaan tempat penyimpanan benih dan datang terlebih dahulu melakukan survei ke Laut Roh.

Saat melihat kilau mana tak jauh dari situ, aku masuk untuk memastikan—dan menemukan brengsek ini membeku di dalam pilar es sebesar rumah.

Benar-benar menyedihkan.

Wujudnya lebih mirip tulang anjing daripada manusia, tapi anehnya ia masih bernapas.

Letansie sebelumnya berkata ia mati dalam pertarungan melawan raksasa. Rupanya ia berhasil melarikan diri entah bagaimana.

Setelah berpikir panjang, aku memutuskan menyelamatkannya.

Memotong es itu dengan pedang terasa terlalu berisiko—seperti tak sengaja membunuhnya dalam proses—jadi aku meminta Navarodje untuk mencairkannya.

Andai saja Elcia masih hidup.

Aku tiba-tiba merindukannya.

Fakta bahwa pasukan pemberontak dapat memiliki markas yang layak pun, atau bahwa Abel yang sekarat masih bisa disambung nyawanya, semua itu berkat manual yang ia tinggalkan.

Meskipun kehilangan Kain—satu-satunya alasan hidupnya sekaligus penolong seumur hidup—ia tetap berusaha sampai akhir demi mereka yang masih hidup.

Tak seperti anjing sial di depan mata ini.

Abel masih tak mengucapkan sepatah kata pun.

“…….”

Iris ambernya bergerak perlahan, mengamati sekeliling.

Wajahnya yang relatif utuh benar-benar identik dengan ayah.

Situasinya terasa ironis.

Kapsul kaca di depanku adalah tempat yang sama—yang ayah masuki di dunia asalku.

Yang seperti ini tidak perlu ia tiru.

Namun kondisi Abel jauh lebih buruk dibanding ayah saat aku pertama kali bertemu dengannya.

Leher ke bawah penuh dengan bekas luka mengerikan.

Lengan kirinya dan kaki kanannya yang tersobek-sobek meninggalkan jaringan mati yang menggantung.

Berbagai jenis tabung—untuk mempertahankan hidupnya—menempel di seluruh tubuhnya.

“Jadi ini… pemimpin sekte Nebula Clazier.”

Navarodje bergumam.

Rambut merahnya bergetar seperti bara api.

Aku bisa merasakan betapa keras ia menahan amarahnya.

Bahkan saat pertama kali kujatuhkan permintaan agar ia mencairkan es itu, aku diliputi rasa bersalah.

Bagaimanapun, Abel adalah penyebab utama ia kehilangan semua anaknya.

Objek kebencian yang ingin ia cabik-cabik sampai mati.

Aku mendekat dan menggenggam tangannya.

“……Terima kasih.”

Navarodje menggenggam balas.

Hangat—tidak, panas—dan lembut sekaligus.

Napasnya yang sempat kasar perlahan mereda.

Pandangan Abel yang berkeliling akhirnya berhenti padaku.

“Kau sama persis dengan si bodoh itu. Kau… anak Kain, bukan?”

“Yup. Benar.”

“Jadi itu memang benar… Aku sudah menduga ia menyembunyikan seorang anak, tapi tak kusangka ia benar-benar hidup sampai sekarang.”

Abel terkekeh, seperti tak percaya.

Kelihatannya, di dunia ini, identitasku dan noona memang tak pernah terungkap—seperti yang ayah inginkan.

Wajar saja, kalau sampai menanam sepuluh kutukan sekaligus di tubuh kami—wajar tak ada yang tahu.

Abel kembali berbicara.

“Kenapa tidak membunuhku. Kau tahu siapa aku. Apa rencanamu?”

“Cepat tanggap. Ada satu hal yang harus kau lakukan sebelum mati.”

“Apa?”

“Kami akan membunuh Raja Raksasa. Sekalian menghancurkan sumber kekuatan mereka. Jadi bekerja samalah.”

Aku mengatakannya tanpa basa-basi.

Abel membatu seperti patung lilin.

Beberapa detik berlalu—

“…Fuuh.”

“Kau ketawa?”

“Heh-heh… membunuh raja, katamu?”

Tiba-tiba Abel tertawa kecil.

Tak mengejutkan—aku sudah memperkirakan reaksinya.

Suara rendah dan gelap itu lalu berubah menjadi tawa terbahak-bahak.

“Kuhahahaha! Hahaha! Kau yang akan membunuh raja?!”

Gelak tawanya khas penjahat sejati.

Setiap kali tubuhnya terguncang, darah muncrat dari luka-lukanya.

Aku menunggu sampai tawanya selesai.

“…Ah. Terlalu lucu. Tapi satu hal kuakui—informasi kalian sangat baik. Bagaimana kalian mengetahuinya?”

“Aku datang dari dunia paralel. Dan di sana, kebetulan versi dirimu cukup berhasil. Tidak sempurna, tapi yah… lumayan.”

“Ngomong kosong macam apa itu… Sungguh menyedihkan. Jika aku saja gagal, bagaimana mungkin kalian bisa melakukannya?”

“Mungkin.”

“Kh… Hah! Kau membangunkanku hanya untuk membuatku tertawa sebelum mati rupanya. Kau mempertahankan hidup menyedihkan ini karena masih punya harapan konyol semacam itu. Sungguh komedi buruk.”

Ia tertawa lagi.

Sulit dipahami bagaimana makhluk yang nyaris jadi sampel laboratorium masih bisa bersenang-senang.

Aku akan membuatnya sadar posisi sebentar lagi—

“Navarodje. Bagaimana anak-anakmu?”

“…Apa?”

“Suku kalian cukup tangguh. Tak kusangka kalian bisa menghabisi mereka. Anak-anakku gagal, tapi kau… paling tidak menunjukkan nilai hidup sesuai umurmu.”

Abel menoleh pada Navarodje saat berbicara.

Tawa liciknya membuat rambutku berdiri.

Sebelum aku sempat mencegahnya—

【Beraninya kau!!!】

Navarodje meraung.

Rambutnya yang sempat tenang kembali menyala seperti kobaran api.

Tangannya terangkat, langsung mengarah ke Abel.

Aku reflek bergerak, memeluknya erat.

【Ronan…!】

“Maaf.”

【Lepas. Aku harus membunuhnya. Dia… dia berani menghina anak-anakku…!】

“Aku tahu. Aku juga ingin mencincangnya. Tapi tahan dulu.”

Aku berbisik tanpa melepaskan pelukan.

Tangan Navarodje sudah diselimuti api.

Sedikit saja terlambat, Abel pasti sudah meleleh bersama kapsulnya.

【Anak-anak…】

Aku sulit bernapas.

Bukan hanya karena dadanya menekan paru-paruku.

Tubuhnya yang dipenuhi kemarahan panas seperti logam merah membara.

Ini salahku. Kenapa kubawa dia ke sini.

Aku sakit, tapi tak berarti dibanding dirinya.

Navarodje perlahan menurunkan lengan.

“Maaf…”

“A-aku…”

Air mata mengalir di pipinya.

Melihat itu, dadaku mencelos.

Ia menenggelamkan wajah ke dadaku dan bergumam lirih:

“Maaf… maaf. Seharusnya tidak begini…”

“Tidak apa. Jangan minta maaf.”

“Aku tak bisa mempertahankan akal sehat. Entah kenapa… air mataku tak berhenti.”

“Itu wajar. Lepaskan saja. Dipendam justru jadi penyakit. Biarkan keluar.”

Aku mengusap punggungnya dengan lembut.

Tak ada kata yang bisa menggambarkan rasa ngerinya.

Ia kehilangan seluruh anaknya, dan kini harus menyelamatkan pembunuh mereka yang kemudian menghina mereka.

Aku sendiri sudah lama merasa ingin muntah.

Abel menyahut.

“Sudah selesai dramanya?”

Suara penuh ejekan.

Aku melepas Navarodje dan berbalik menghadap kapsul.

Di depannya terdapat panel penuh tombol dan alat kontrol.

Tanpa ragu, aku menekan tombol hitam.

Beberapa tabung yang terhubung ke Abel bersinar.

Tubuhnya tersentak.

“Kkgh!”

“Hei. Abel.”

“Hrk—aaa…!”

Ia tak menjawab.

Atau lebih tepatnya—tak mampu.

Wajahnya memerah seperti hendak meledak.

Jari-jari kakinya yang mencengkram menunjukkan betapa besar rasa sakitnya.

“Apa yang kau—!”

“Sedang mengingatkanmu posisi siapa di sini, dasar bangsat.”

“Gaaaahhh!”

Aku terus menekan tombol berulang kali.

Setiap klik membuat seluruh tubuh Abel tersentak seperti udang dilempar ke bara.

Sekali lagi, aku berterima kasih pada Elcia.

Siapa sangka dia bahkan menerjemahkan fitur seperti ini.

Menurut manual, ini adalah [metode interogasi untuk target bernilai tinggi].

Benar-benar fitur yang pas untuk situasi sekarang.

Rasa sakit yang membuat seluruh sel tubuh terbakar—tanpa membunuh target. Hebat juga teknologi masa depan.

“Aku orang pertama yang ingin merobek tubuhmu sekarang. Kau diperkosa pasukan botak lalu kabur, takut mati jadi menjadikan dirimu es krim… siapa kau berani bicara bercanda tadi?”

“Krrrh—aaagh…!!”

“Lihat fakta. Kau tidak mencapai apa-apa. Mengkhianati bawahan yang tulus mempercayaimu, lalu gagal juga.”

“Kau… apa yang kau—!”

“Tutup mulut. Jangan mencoba beralasan bahwa semua berjalan sesuai rencana, atau bahwa ini ‘akhir yang pantas bagi ras rendah’. Aku tahu tujuan aslimu. Kau ingin mencuri sumber raksasa dan memaksa semua orang berubah menjadi seperti mereka.”

“Bagaimana kau…! GAAAAH!”

Abel mendongak—lalu kembali menekuk tubuh, tak sanggup menahan rasa sakit.

Navarodje menatapku dengan mata membelalak.

Air matanya sudah berhenti.

Semoga sedikit melepaskan stresnya.

Masih sambil menekan tombol, aku melanjutkan:

“Cara yang kau pilih sudah rusak, Abel. Manusia memang menghancurkan diri sendiri, tapi mereka juga selalu bangkit lagi. Kau dan Ayah seharusnya cukup menjadi saksi.”

“Kau… apa yang bocah sepertimu tahu…!!”

“Aku tahu semuanya. Jadi kita akhiri omong kosong ini dan kembali ke pokok.”

Waktu sangat berharga.

Andai Adeshan ada, satu kontrol pikiran saja sudah cukup. Sayang sekali dunia ini tidak memilikinya.

Aku melepas tombol.

Abel megap-megap, bebas dari rasa sakit.

“Haa… haak…!”

“Aku ulangi. Kami akan membunuh Raja Botak dan menghancurkan akar kekuatan mereka. Untuk itu, kau harus membuka jalur menuju tempat mereka.”

“Konyol…”

“Kalau kau menolak, tak masalah. Aku tinggal menekan tombol ini sampai kau mati. Atau kutumpuk batu di atasnya dan pergi selamanya.”

Aku mengetuk tombol dengan jemari.

Wajah Abel berkerut.

Sepertinya rasa sakitnya memang luar biasa.

“Dan kau toh tidak punya banyak waktu. Untuk penyembuhan total, butuh darah keluarga. Tapi ayah sudah meninggal. Kalau kau mau mati, setidaknya lakukan satu hal baik agar masuk neraka yang sedikit lebih sejuk.”

Melihat rekam jejaknya, surga jelas bukan pilihan.

Kurasa waktu untuk puncaknya sudah tiba.

Aku memberi isyarat pada Navarodje.

Dia menjentikkan jari.

Tak!

Sebuah portal hitam terbuka di langit-langit.

Sesuatu yang besar dan bundar berjatuhan.

Masing-masing sebesar tubuh manusia… dan semuanya punya wajah.

Cukup banyak juga kami kumpulkan.

“Itu…”

“Koleksi pribadiku.”

Mata Abel membelalak.

Gunungan itu berisi kepala para raksasa.

Selama menghancurkan akar dan celah ruang, kami menumpuk trofi itu satu per satu.

“Oh ya, ini bukan tiruan. Kami sudah bisa bertarung setara dengan mereka sekarang.”

“Bagaimana… mungkin…”

Abel tergagap.

Ia tampak tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Padahal ini baru sebagian kecil. Kalau kutumpahkan semuanya, mungkin dia langsung mati syok.

“Kau cuma saudara yang tersingkir. Akui kekalahanmu. Dan…”

Kapsul itu kini dikelilingi kepala raksasa.

Kulit licin dan pucat mereka memantulkan wajah kaget Abel.

Seperti biasa, aku mengucapkan kebenaran yang ia perlu dengar.

“Ayah menganggapmu sebagai adik sampai akhir.”

“……!”

Setelah itu, aku berbalik.

Pintu besar tertutup dengan suara berat.

Aku menggenggam tangan Navarodje dan berjalan kembali.

Sesampainya dekat permukaan, barulah dia bicara.

“...Kerja bagus, anakku.”

“Nona juga.”

“Maafkan aku. Kau panas, kan?”

Navarodje menyentuh dadaku—pakaian yang ia bakar tanpa sengaja.

Baru sekarang ia menyadarinya.

Aku menggeleng.

“Hangat.”

“Fufu… pantes saja Adeshan memilihmu.”

“Kau sendiri bagaimana? Sudah lebih baik?”

“Sudah tak apa-apa. Tapi… apakah penjahat itu benar-benar akan membantu kita? Aku tidak yakin.”

“Kita hanya bisa berharap. Tanpa mencabut akarnya, sejarah akan terulang.”

Semua yang bisa kulakukan sudah kulakukan.

Abel bukan tipe yang tunduk pada siksaan, jadi satu-satunya kemungkinan adalah menggoyahkan hatinya.

Jika ia mau bekerja sama, semuanya akan jauh lebih mudah.

Entah berhasil atau tidak—

“Kau mau istirahat sebentar? Mari tidur siang bersama.”

“Terdengar menggoda… tapi tidak bisa. Ada hal yang harus kulakukan hari ini.”

Sayang sekali, tapi tak bisa ditunda.

Hari cerah seperti ini sangat langka di Laut Roh.

Navarodje memiringkan kepala.

“Hal yang harus kau lakukan?”

“Ya.”

Aku menarik napas, lalu berkata:

“Aku akan keluar sebentar. Bersama Ayah.”

2-16. Serangan Balik Besar (3)

Sekitar dua jam setelah aku berpisah dengan Navarodje.

Aku sedang menyusuri lereng curam sebuah tebing yang tingginya lebih besar dari kebanyakan gunung.

Jurang menganga di kiri dan kanan membuat kepala terasa berputar.

Suara gelombang menghantam dari kejauhan menyadarkanku betapa tinggi tempat ini berada.

Benar-benar puncak tertinggi di seluruh Heyran dan Laut Roh.

Setelah berjalan cukup jauh, dan melompati sebuah batu besar—

“Wah, sudah sampai.”

Pandangan tiba-tiba terbuka lebar, memperlihatkan cakrawala.

Laut biru gelap berkilauan di bawah sinar matahari sore.

Berbeda dari langit yang tanpa awan, di atas permukaan air mengapung ribuan bongkah es besar dan kecil.

Seperti serpihan magnolia yang dicabik dan disebar di atas permukaan.

Gelombang mengayuninya mengikuti irama laut.

“Laut itu memang harus biru.”

Tak ada lagi warna merah menjijikkan itu.

Langit pucat yang dulu seperti bubur encer pun telah kembali biru.

Hasil dari proses pemurnian yang berjalan dengan baik.

Setiap wilayah yang akar di sekitarnya dihancurkan dan menyerap energi kehidupan Seniel, perlahan memulihkan warna aslinya—seperti pemandangan ini.

“Huuuu…”

Aku menutup mata dan menarik napas.

Udara dingin memenuhi paru-paru.

Angin asin yang berat mengacak rambutku.

Menahan napas sejenak—lalu menghembuskannya—membuatku tersenyum tanpa sadar.

Ini benar-benar laut yang kukenal.

“Baiklah.”

Aku berjalan perlahan ke tepi tebing.

Kalau Adeshan melihatku sekarang, dia pasti pingsan ketakutan—tapi untuk menikmati pemandangan ini, tidak ada cara lain.

Setelah memastikan tidak ada lagi tempat untuk berpijak, aku duduk.

Tebing ini mencuat langsung ke arah laut, sehingga saat menunduk tidak terlihat tanah sama sekali.

“Bagaimana? Tempat ini lumayan, kan?”

Aku bertanya, meski tak ada jawaban.

Tetap saja aku melanjutkan bicara.

“Penduduk asli menyebut tempat ini Tanduk Musim Dingin. Kalau melihat tonjolan batu yang mengarah ke laut itu—ya, nama itu memang pas. Beberapa rekan satu angkatanku di pasukan disiplin bahkan menyebutnya ‘kontol musim dingin’… jujur saja, kalau soal bentuk, yah… mungkin sedikit lebih mirip itu.”

Terutama bagian ujungnya yang melengkung ke atas.

Aku terkekeh sambil menggigit pipa rokok.

Memang, minum dan merokok itu paling nikmat dilakukan di tempat dengan pemandangan begini.

Aku meletakkan kendi yang kupeluk di sisiku, di antara kedua lutut.

“Diam saja. Atau apa, terlalu terpukau sampai kehilangan kata-kata?”

Tidak ada jawaban, tentu saja.

Wajar—karena yang ada di dalam kendi hanyalah abu tulang.

Kendi berwarna putih itu memiliki dua huruf terukir di permukaannya: ‘Kain’.

“Aku tadinya mau pergi ke Nimbert, tapi tempat itu hancur total. Mau bagaimana lagi—salahkan saja para botak itu. Di sini juga lumayan bagus, jadi maafkan aku.”

Aku mengetuk kendi itu pelan.

Suara bening bergema.

Alasan aku datang kemari—adalah untuk pemakaman yang terus kutunda-tunda.

Lebih tepatnya, untuk menabur abu.

Sebenarnya kalau mau, aku bisa mencapai puncak ini kurang dari lima menit—tapi aku memilih sengaja naik perlahan.

“Selain itu, ukirannya bagus juga. Noona pasti sangat menyukai Ayah.”

Nama Kain terukir seperti api menyala.

Gaya tulisan itu jelas milik Navarodje.

Baru saat kuperhatikan lebih dekat, aku melihat tulisan kecil lain di bawah nama itu.

“Apa ini?”

Aku baru menyadarinya sekarang.

Halus dan rapi—jelas bukan tulisan Navarodje.

Aku menyipitkan mata dan membaca perlahan.

“‘Terima kasih untuk segalanya’… sial.”

Itu tulisan Elcia.

Tak heran terasa familiar—persis seperti tulisan di manual penyimpanan benih.

Aku mengusap rambut ke belakang dengan kasar.

“Setidaknya satu orang tetap hidup, harusnya.”

Waktu memang kejam.

Ketika akhirnya ada waktu untuk bernapas—yang hilang mulai terasa lagi.

Aku membuka tutup kendi.

Abu putih lembut tampak.

“Rasanya aneh… menaburkan abu orang yang kubaringkan sendiri.”

Aku bergumam sambil mengembuskan asap.

Secara teknis, Kain di dunia ini bukan ayahku.

Dia mati tanpa pernah bertemu atau melihatku.

Jadi kalau ada yang bertanya kenapa repot-repot melakukan ini—aku hanya bisa menjawab, karena aku ingin.

Begitu saja.

“Nanti semuanya akan kembali seperti semula.”

Aku mengambil segenggam abu.

“Selama Mother of Flames dan Seniel masih ada—itu memang cara dunia ini dibuat.”

Aku mengulurkan lengan, membuka telapak.

“Awalnya aku benar-benar merasa tempat ini menyebalkan…”

Abu itu tertiup angin dan terbang.

Angin laut membawa kepergian ayah.

Saat serpihan abu mulai hilang dari pandangan, aku berbisik sendiri:

“Aku rasa… ini juga tidak buruk. Dalam caranya sendiri.”

Itu tulus.

Belakangan aku semakin sering merasa bahwa datang ke dunia ini tidak sepenuhnya buruk.

Langit dan laut yang kembali berwarna.

Orang-orang yang kini bisa menangis dan tertawa—karena mereka tidak lagi hanya bertahan hidup.

Dunia yang sekarat perlahan bangkit kembali—dan melihatnya membangkitkan perasaan yang sulit dijelaskan.

“Ah, tapi bukan berarti aku akan tinggal di sini selamanya. Aku juga punya hidupku sendiri. Kalau saja sempat melihat cucu… sayang sekali.”

Aku merindukan duniaku.

Aku merindukan Adeshan—sudah lebih sebulan sejak aku melihat wajahnya.

Apa yang sedang dilakukan orang-orang di sana?

Apakah mereka sedang mencariku?

Atau mereka hanya meneruskan hidup, mengira aku pergi begitu saja jalan-jalan?

Tidak salah juga.

Aku memang selalu hidup sesuka hati.

“Tapi jangan khawatir. Aku akan pergi setelah melakukan semua yang harus kulakukan.”

Sekali terseret, aku tidak berniat lari.

Aku menggenggam abu lagi.

Mungkin apa yang kulakukan di sini juga berdampak pada masa depan dunia asal.

Aku sudah menghancurkan begitu banyak hal di sini—para botak itu pasti kehilangan kemampuan untuk muncul di dunia sana.

Tepat ketika angin kembali bertiup dan aku hendak melepaskan genggaman—

“……!!!”

Bulu kudukku berdiri.

Abu yang kugenggam terlepas.

Aku melonjak berdiri dan mencabut pedang.

“Apa itu?”

Kendi hampir terjatuh, tapi berhasil kutangkap tepat waktu.

Dengan jantung berdentum keras, aku memindai sekitar.

Hanya sedetik—tapi aku jelas merasakannya.

Seseorang sedang memandang aku.

“Hah… hah…”

Sensasi yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Berbeda total dari Raja Botak ataupun Abel yang menghisap kekuatan sumber itu.

Pedang yang terasa lebih berat, dan bilah yang terasa seolah akan melukai hanya dengan menatapnya—itu tanda bahwa Rin benar-benar tegang.

Aku menunggu dengan pedang mengarah ke cakrawala.

Namun, sensasi itu lenyap tanpa jejak.

Sial. Apa itu?

Rasanya seperti mimpi buruk sekejap.

Punggungku basah oleh keringat dingin.

Kakiku seolah menancap ke tanah.

“Rin. Kau baik-baik saja?”

“...Merinding. Apa barusan?”

“Tidak tahu.”

Aku menarik napas panjang.

Aku harus menilai situasi dengan benar.

Untungnya, beberapa saat kemudian tubuhku mulai rileks lagi.

Aku ingin cepat menyelesaikan apa yang tersisa dan kembali, ketika—

“Kau cukup peka. Bagaimana kau menyadarinya?”

“Hah?”

Sebuah suara familiar datang dari belakang.

Tidak mengejutkan atau membuatku tegang—malah membuat dadaku terasa lebih tenang.

Aku perlahan menoleh.

Sekitar dua puluh langkah dariku, seorang pria berambut putih berdiri sambil menatapku.

“Abel?”

“Tempat yang cocok untuk kuburan. Sekarang berdoa pun tak ada gunanya. Apa kau benar-benar mengira bisa mempermalukanku seperti itu dan tetap hidup?”

Abel tersenyum dingin.

Ia hanya memakai celana, dan di tangan kanannya ada pedang entah dari mana ia dapatkan.

Karena tak ada darah di bilahnya, sepertinya ia tidak membunuh siapa pun untuk mendapatkannya—syukurlah.

Tapi bagaimana makhluk sialan ini…?

Lengannya sudah tumbuh kembali.

“Kau licik sekali. Bagaimana kau keluar?”

“Aku adalah pemimpin Cult of Nebula. Kalau kalian pikir tumpukan sampah itu bisa menahan aku, kalian keliru.”

“Mulutmu besar sekali.”

Ia jelas tak berniat menjelaskan.

Tapi aku bisa menebak.

Di sudut bibir Abel, lengket dan menetes—tersisa cairan biru.

“Ohh.”

Dari warna dan tekstur, itu jelas darah raksasa.

Mana yang memancar dari bahunya jauh lebih kuat dibanding beberapa jam sebelumnya.

Semua kepingan langsung tersambung.

Memang, kalau itu—tidak aneh kalau anggota tubuhnya tumbuh kembali.

“Kau menyembunyikan darah itu, ya. Tidak heran kau bisa menelan sedikit meskipun tubuhmu tak bisa bergerak. Kau sembunyikan di dalam mulut atau tenggorokan?”

“...Cukup pintar juga. Tadinya ingin menggunakannya setelah tubuhku sedikit lebih pulih, tapi kalian bodoh sekali—kalian malah memulihkanku dengan sempurna.”

Abel tertawa terbahak kecil.

Strategi yang tidak pernah ia tunjukkan di dunia asal.

Kelihatannya hasil dari penelitian yang tak pernah terganggu gangguan sepertiku.

“Kalau dipikir-pikir, kau memang bukan saudara kandung Ayah. Aku kira kau pasti mati karena lukamu terlalu parah, tapi ternyata kau mungkin sudah punya resistensi terhadap serangan raksasa.”

“Informasimu memang mengesankan. Sayang sekali harus hilang.”

“Aku akui. Ini kelalaianku. Tidak menyangka cara itu bisa berhasil.”

Aku benar-benar kagum.

Ini jauh lebih cepat dari perkiraan.

Seperti hiu yang tetap hiu meski siripnya dipotong.

Aku hendak memberi ‘hadiah’ atas prestasinya—

“Maka, matilah.”

Tiba-tiba sosok Abel menghilang.

Kecepatan yang mustahil dimiliki orang yang baru bangun dari ranjang sakit.

Sebuah tusukan tajam menerjang dahiku.

“Aduh.”

Abel tersenyum—penuh keyakinan.

Melihat wajahnya, ia pasti mengira kepala raksasa yang kulihatkan sebelumnya palsu.

Atau ia yakin bukan aku yang membunuh mereka.

Kalau tiba-tiba muncul anak bau kencur dan bilang sudah membantai raksasa—aku juga tidak akan percaya.

Yah, kalau begitu…

Saat ujung pedang hampir menyentuh kulitku—

Aku memutar pergelangan dan menangkap pergelangan tangannya, memelintirnya ke belakang.

Krek!

Suara remukan terdengar.

Pedang yang ia jatuhkan jatuh bergemerincing.

“Ka—!”

“Padahal ini kemampuan yang bagus.”

Aku mengklik lidah.

Teknik pedang Abel memang luar biasa.

Bahkan dalam kondisi abnormal, ia termasuk lima besar dari semua pendekar yang pernah kuhadapi.

Kalau aku benar-benar lengah, mungkin dia bisa menusuk punggungku sekali.

Lalu… apa barusan itu?

Namun aku tetap tidak merasakan rasa bahaya.

Alasan itu sudah jelas.

Tatapan yang menyentuhku sesaat tadi—masih membekas sampai ke sumsum tulang.

Abel berontak.

“Lepaskan, brengsek!”

“Ya?”

Aku melepasnya.

Abel terpental seperti ditabrak sesuatu.

Sisa efek darah raksasa membuat pergelangan tangannya sembuh seketika.

【Aku akan membunuhmu. Pasti.】

Abel menggeram.

Di atas pedangnya muncul lingkaran cahaya putih naik ke atas bilah.

Jurusteknik yang pernah kulihat di perang terakhir.

Aku menghela napas tanpa sadar.

“Tidak sangka aku akan meninju pamanku di depan Ayah.”

Sebenarnya, bahkan memukulnya pun tidak cukup untuk membuatnya sadar.

Tortur teknologi masa depan jelas tidak mempan.

Kadang metode klasik memang lebih efektif.

Aku memutar pedang di tangan, lalu mengarahkannya pada Abel.

“Itu pun, dua kali.”

2-17. Serangan Balik Besar (4)

Membujuk seseorang adalah hal yang sangat sulit.

Kalau dipikir-pikir, itu memang wajar.

Membalikkan hati seseorang—yang latar belakang, lingkungan, dan hidupnya berbeda total denganku—mustahil menjadi sesuatu yang mudah.

Karena itu, orang yang pandai meyakinkan pihak lain biasanya menduduki posisi tinggi dalam masyarakat.

Adeshan dan Marja adalah contoh terbaik.

Terutama Adeshan—tanpa menggunakan mental domination sekalipun, ia bisa memperlakukan lawannya seolah sudah berada dalam genggaman.

Berbeda denganku.

Kalau kupikir lagi, mungkin alasan aku menjadi ayah dulunya… juga karena aku terbawa bujukannya.

“Memang begitu ya. Harusnya aku sadar sejak dia menekankan betapa ‘aman’ hari itu…”

【크윽!】

Sambil memikirkan itu, aku mengayunkan pedang.

Saat punya waktu senggang, manusia memang mudah larut ke dalam pikiran yang tidak perlu.

Klang!
Suara logam berpadu ketika pedang kami bertemu.

Hanya satu sabetan sederhana—namun cukup untuk mengacaukan keseimbangan Abel.

Ia hampir kehilangan kepalanya, lalu terhuyung mundur.

【J—Jinak apa itu kecepatannya…!】

Abel menggeram.

Raut wajahnya terdistorsi hebat oleh keterkejutan.

Pertarungan sudah memasuki menit ke lima.

Tubuhnya penuh luka besar dan kecil.

“Gimana? Mau menyerah? Masih nggak percaya kalau aku benar-benar membantai para botak itu?”

【Tutup mulutmu…! Haaahk… Kau memakai trik apa?!】

Napasnya kacau dan berat.

Dengan luka sebanyak itu, aku juga akan begitu, mungkin.

Tanah di sekitar kami sudah dipenuhi darah dan daging yang tercabik.

Tak satu tetes pun di antaranya berasal dariku.

Menarik. Sampai sejauh mana tubuhnya bisa beregenerasi, ya?

Setiap anggota tubuh manusia normal pasti sudah mati karena pendarahan berlebih.

Tapi pamanku, baik di dunia ini maupun dunia asalku, memang makhluk menjijikkan yang sulit mati.

Ada dua potongan lengan kiri dan satu potong lengan kanan tergeletak di genangan darah.

Kaki kanannya—terpotong dari atas lutut—juga terguling tak jauh.

Dan semua itu… sudah tumbuh kembali.

Butuh waktu tak sampai 30 detik untuk regenerasi total.

Entah 10 atau 5 detik—bagiku tidak ada bedanya.

“Tidak ada trik apa pun. Kau cuma terlalu sampah untuk menerima kenyataan.”

【Kurang ajar… lidahmu akan kurobek!】

Abel menggenggam pedang dua tangan.

Aura cahaya putih di sekeliling bilah semakin tebal.

Mana berkilau menyelimuti seluruh tubuhnya, seperti lapisan armor.

Luka-luka yang tadi kutimbulkan kembali menutup.

【Pasti.】

“Benar-benar serius mau memotong lidah keponakanmu sendiri ya? Hebat.”

Keseriusan itu membuatku tertawa kecil.

Kalau ada yang melihat tanpa tahu apa pun, pasti mengira aku penjahatnya dan dia pahlawan yang menyelamatkan dunia.

Meski, ya… dalam beberapa hal aku memang mengerti.

Di dunia asalku pun, dia hanya benar-benar menyesal di detik-detik terakhir hidupnya.

Kenapa ya… aku tidak pernah bisa menyelesaikan masalah dengan kata-kata.

Benar. Aku memang tidak berbakat merayu orang.

Padahal aku sudah menunjukkan semuanya lewat tindakan—tapi dia tetap tidak mau menerima.

“Bener-bener keras kepala. Dengan perbedaan kekuatan begini pun masih nggak nyerah.”

Sepertinya aku memang ditakdirkan jadi keponakan durhaka.

Rin, pedangku, memancarkan hawa panas seperti fatamorgana.

Abel mengeluarkan teriakan perang dan menerjang.

【하압!】

“Ya ampun. Keren juga.”

Aku tulus memuji.

Gerakannya kasar dan liar—namun kekuatan itu mengingatkanku pada pedang Ayah.

Cahaya putih kini menyelimuti bukan hanya bilah, tapi sampai ke gagang pedang.

Pedang cahaya sepanjang tiga meter itu tampak seperti mampu membelah apa pun di dunia ini.

Kekuatan yang bahkan tidak pernah kutemui di dunia asalku.

Pasti inilah puncak kekuatan Abel—sebelum ia menyerap kekuatan sumber.

“Kalau begitu… aku pasti akan membujukmu.”

Aku menghapus semua pikiran mengganggu.

Menggenggam pedang, mendorong tanah—

—dan dunia melambat.

Awan membeku.

Ombak yang hendak menelan batu karang berhenti dengan mulut menganga.

Semua kabur—kecuali wajah Abel yang mendekat, penuh tekad membunuh.

【Ah ah ah ah ah ah···】

Dalam dunia yang melambat, bahkan suaranya pun terdengar lamban.

Ia belum menyadari aku sudah di sebelahnya.

Dengan ringan, aku bergeser keluar dari jangkauan tebasannya.

Lalu mengayunkan pedang dari bawah ke atas.

Ujung pedang melukis dua setengah lingkaran perak.

Dua garis merah muncul di kedua bahunya.

【······!!】

Matanya membelalak.

Dia menyadarinya sangat cepat—seperti yang diharapkan dari seorang pemimpin Nebula Clazier.

Saat pedangku berhenti, dunia kembali mengalir.

Awan bergerak lagi.

Ombak jatuh menghantam karang.

Dan garis merah di bahunya… terbelah.

Saat kami bersilang—aku mendarat.

Sraaak!!

Kedua lengannya terbang.

【Kraaaagh!】

Pedangnya jatuh.

Darah memancar ke udara seperti dua air mancur, satu dari tiap bahu.

Darah Abel—akibat eksperimen yang tak terhitung jumlahnya—berwarna ungu gelap, menyerupai mawar hitam.

【Berani-beraninya kau···!】

Ia memelototiku.

Killing intent yang terpancar darinya tajam seperti jarum menusuk kulit.

Ia meraung—dan daging serta tulang di pangkal lengannya mulai tumbuh.

Lebih cepat dari regenerasi sebelumnya. Mungkin 20 detik sudah cukup.

“Mari kita uji batasmu.”

Tentu saja aku tidak berniat membiarkan itu.

Dunia kembali melambat.

Satu lingkaran perak.
Tubuh kami bersilang.

Srek!

Kedua kakinya terbelah, dan bagian atas tubuhnya terpisah dari pinggul.

Tubuh yang kehilangan semua anggota jatuh ke tanah.

【Ghk!】

Regenerasi lengannya terhenti.

Sepertinya ini cukup berdampak.

Meskipun ia tidak lagi bisa melawan, negosiasiku belum selesai.

Aku menginjak dadanya.

Abel memuntahkan darah.

Dengan pedang mengarah ke tenggorokannya, aku berbicara tenang:

“Kalau mau bekerja sama, bilang.”

【Ka… kau berani… kugh!】

Ia tidak sempat menyelesaikan kata-kata.

Karena pedangku memotong lidah dan uvulanya sekaligus.

Lalu aku mulai menusuk tubuhnya—asal-asalan.

Dari kepala hingga paha.

Termasuk wajah dan bagian bawah.

【Ber… hent… guhrk!】

“Lumayan juga. Kayak memangkas ranting.”

Sudah lama aku tidak merasa seproduktif ini.

Setiap kali lidahnya tumbuh kembali, ia berteriak sesuatu—tapi aku tidak peduli.

Waktunya masih jauh dari cukup untuk menyerah.

“Oh ya. Apa tadi yang kau bilang ke noona?”

【Kk—! Kekh!】

“‘Bagaimana keadaan anak-anakmu?’ Ya? Brengsek. Itu omongan apa?!”

Sambil menasihati sekaligus membalas dendam untuk Navarodje.

Hanya mengingatnya saja sudah membuatku kesal.

Kalau bukan karena dia dibutuhkan untuk mengalahkan para botak, aku sudah tebas kepalanya sejak awal.

“Bagus. Kita punya banyak waktu. Mari lihat ini sampai selesai.”

【T—tunggu… ghak!】

“Aku benar-benar sudah jauh lebih sabar sekarang. Kalau tidak, sudah dari tadi kubunuh kau.”

【Kraaaaaagh!!】

Salah satu bola matanya pecah dan meluncur keluar.

Di bawah pemandangan laut biru, proses persuasi berlanjut.

Memang ya… teknologi masa depan tetap tidak mengalahkan metode klasik.

Kata-kata Flan, penyiksa Rodolan, terlintas sebentar.

Ia pernah bilang aku berbakat sebagai penyiksa—dan kini aku mengerti maksudnya.

“Eh?”

Sekitar sepuluh menit berlalu.

Abel yang sebelumnya menggelepar tiba-tiba terdiam.

“Wah. Mati?”

【……】

Aku menyentuh tubuhnya dengan kaki.

Tidak ada reaksi.

Luka-luka di seluruh tubuhnya juga tidak beregenerasi.

Hanya napas tipis, nyaris hilang.

Ternyata bahkan obat mujarab dari darah raksasa pun punya batas.

“Ahh, lelah ya paman.”

Aku tidak kaget. Sudah kuduga.

Asal tidak mati, kita bisa lanjut bersenang-senang.

Aku menggores sedikit lenganku.

Darah menetes ke mulut Abel.

Beberapa detik kemudian, luka-lukanya kembali menutup.

【H—haa… d-di mana…?】

Tak lama kemudian, Abel sadar kembali.

Wajahnya jauh lebih pucat dibanding sebelum terapi intensif barusan.

Aku yang duduk santai di dadanya sambil merokok melambaikan tangan.

“Halo.”

【HUUUAAAGH!!】

Ia menatapku seperti melihat mimpi buruk paling mengerikan.

Ia mencoba menepis tubuhku, tapi anggota tubuhnya belum tumbuh kembali.

“Yosh. Lanjutkan.”

Aku menepuk abu rokok dan berdiri.

Setelah istirahat sebentar, rasanya aku bisa melanjutkan sesi persuasi dengan lebih riang.

Tanah di sekitar kami sudah seperti karpet ungu.

Saat aku kembali mengangkat pedang—

【B—berhenti! Cukup! Aku percaya!!】

Abel berteriak histeris.

Itu pertama kalinya ia memberi reaksi seperti ini.

“Percaya apa?”

【Haa… haa… Aku percaya kau benar-benar membantai para penyerbu itu… Memang pantas kau membual…】

Ia mengangguk berkali-kali.

Tatapannya terpaku pada pedangku.

Tubuhnya berkedut setiap kali aku menggerakkan bilah sedikit saja.

“Bagus. Jadi akan bekerja sama?”

【Tapi… rencana gilamu itu tak bisa kuterima.

Menghadapi para penyerbu yang datang ke sini dan menerobos markas asal mereka adalah hal yang berbeda.

Bukan hanya kau akan mati—semua yang sudah kembali ini akan lenyap lagi.】

“Itu urusanku.”

【Bodoh! Kalau begitu dengar ini. Kau bilang orang-orangmu cukup kuat untuk melawan para penyerbu, bukan?

Lebih baik kita memanfaatkan sisa-sisa mereka untuk mengalihkan perhatian, lalu kau dan aku mencuri sumber kekuatan spesies itu.

Hahaha… Kekuatan itu saja cukup mengguncang semesta, apalagi bila dibagi berdua.】

Abel tertawa.

Melihat dari suaranya, ia yakin dirinya baru saja mengusulkan ide jenius.

Harus kuakui, memang masuk akal.

“Haaaa…”

Aku mengusap rambut ke belakang.

Apa yang harus kulakukan dengan paman ini?

“Ck. Masih nggak sadar rupanya.”

【…Apa?】

“Makanya dibilang aku gak berbakat membujuk orang.”

【T—tunggu! Jangan mendekat!】

Abel mengibaskan sisa bahunya panik.

Di bahunya mulai tumbuh tunas daging—cikal bakal lengan baru.

Berbeda dari regenerasi sebelumnya, tapi tetap saja tumbuh. Berarti darahku lumayan efektif.

Bagus. Artinya kita bisa berkomunikasi lebih intens.

“Tutup mata sebentar ya.”

Aku melepas mantelku dan menutupi kendi berisi abu Kain.

Tetap saja dia ayahku—rasanya tidak sopan memperlihatkan hal seperti ini.

“Sekarang, ayo kita lanjutkan. Kalau ditumpahkan cukup banyak darah, pasti kau akan sadar pada waktunya.”

【KRAAAAGH!! HENTIKAN!!】

Aku mengangkat pedang tinggi.

Dan di atas puncak Tanduk Musim Dingin… jeritan kembali menggema.

Meski harus melakukan ini juga di dunia paralel, mau bagaimana lagi.

Untuk membetulkan pamanku yang bebal—tidak ada pilihan lain.

2-18. Serangan Balik Besar (5)

“······Platinum yang meminum cahaya bulan dan Adelite.”

“Ha?”

“Itu bahan-bahan yang dibutuhkan untuk menggambar magic circle. Ada beberapa lagi selain itu.”

Abel bergumam.

Suaranya lemah, tak lagi bergema seperti sebelumnya.

Ketika aku menoleh, Abel tampak terbaring dengan pedang terhunus menancap di dadanya.

Keempat anggota tubuhnya sudah sepenuhnya beregenerasi.

“Apa, menyerah?”

Aku duduk di tepi tebing, beristirahat.

Karena proses pembujukannya terlalu lama, matahari sudah memerah seperti jeruk matang dan perlahan tenggelam ke horizon.

“Maksudku… ayo hentikan kebodohan ini.”

Tatapan yang tadinya membara kebencian kini padam seperti tungku dingin.

Aku bangkit dan berjalan mendekatinya.

Reaksi yang tidak muncul sebelumnya—membuatku sedikit berharap.

Craak!

Aku mencabut pedang, dan darah ungu memercik.

“Urk.”

Abel hanya mengerutkan alis sedikit, tanpa perlawanan.

Aku menahan lanjutan “proses persuasi” dan menunggu jawabannya.

Dia menatap langit seperti seorang penganggur yang sedang menganggur di sore hari, lalu membuka mulut.

“Kau bilang namamu Ronan.”

“Benar.”

“Kau… memang kuat.”

Abel bangkit tersendat-sendat.

Pedangnya tergeletak tak jauh darinya, namun ia tak berusaha mengambil atau bahkan menoleh ke arahnya.

Sepertinya sesuatu akhirnya menyentuh hatinya.

Manusia memang makhluk yang bisa berkembang, rupanya.

Aku sempat merasa bangga juga—ternyata bakat negosiasiku meningkat.

“Cain itu bodoh.”

“······Apa?”

“Cara si lembek itu salah.

Aku masih membenci para fana dari planet ini.

Cacing-cacing yang ditakdirkan mati suatu hari… pada akhirnya akan menghancurkan diri mereka sendiri.”

“Haaa… sial. Jadi persuasi gue belum sempurna.”

Urat di pelipisku menonjol.

Panas naik dari belakang leherku.

Jancuk. Kalau begini, kenapa tadi pakai gaya-gayaan seolah sudah bertobat?

Aku hampir menghunus pedang lagi untuk memulai “sesi selanjutnya”—ketika ia kembali membuka mulut.

“Tapi aku mengakui… metodenku juga salah.”

“Hah?”

“Kita berdua bukanlah jawaban.

Mengandalkan kekuatan kekuatan dari luar planet walau hanya sesaat… adalah keputusan gegabah.

Mungkin butuh waktu lebih lama, tapi metode yang benar adalah membangun kekuatan sendiri.”

“···lanjutkan.”

Tanganku lepas dari gagang pedang.

Memang ada perubahan.

Abel menatap guci abu milik Cain dan melanjutkan.

“Aku akan bekerja sama denganmu. Untuk menebus pilihan-pilihan keliru itu, itu yang terbaik. Setelah semuanya kembali seperti semula… aku akan memulai ulang.”

“Edan. Bisa-bisanya ngomong mau balik jadi villain sesantai itu. Emang kau pikir bisa hidup sampai saat itu?”

“Sudah pasti.”

Abel menjawab sambil menatap jauh.

Aku hendak menanggapi sesuatu, tetapi memilih berhenti.

Tidak ada gunanya melanjutkan pembicaraan.

Dia memang orang yang—bahkan di dunia asalku—baru menyesal di detik terakhir hidupnya.

“Haa… baiklah. Tapi coba berulah sekali saja, kau mati tanpa bentuk. Dan aku pastikan apa yang terjadi hari ini terasa seperti mainan anak kecil dibanding apa yang menunggumu.”

“Kata-kata telah kuucapkan—tentu akan kutepati.”

“Harusnya begitu.”

Aku hanya menggeleng, jengah.

Ini titik kompromi yang mungkin.

Kalau Abel mengkhianati kami? Ya sudah. Tinggal kubelah-belah.

Kalau setelah menang dia mau kembali jadi bajingan? Pun sama. Mati.

“Baik. Tunggu sebentar. Tinggal menebarkan ini saja, lalu kita turun.”

Aku mengambil guci abu Cain.

Jauh lebih ringan dibanding pertama kubawa ke sini.

Karena beberapa kali kusebar saat beristirahat, isinya kini hampir habis.

“Nyebarinnya dicicil gini kayak ngasih makan ikan. Maaf ya, Ayah.”

Aku tertawa pahit.

Dengan ini, aku resmi mengucapkan selamat tinggal pada ayah dari dunia paralel.

Saat hendak menaburkan sisa terakhir, aku merasa ada tatapan.

Ketika menoleh—Abel menatapku lekat-lekat.

“Apa? Kau mau menaburkan sendiri?”

Tak ada jawab.

Tapi bukan juga penolakan.

Benar-benar merepotkan orang.

Aku berjalan dan menaruh sedikit abu di telapak tangannya.

“Pelan-pelan ya. Kayak menaburkan garam ke masakan mahal.”

Separuh matahari tenggelam ke laut.

Abel menggenggam abu itu tanpa berkata-kata.

Ia berjalan ke tepi tebing, berdiri di hadapan cahaya senja.

Rambut putihnya tersapu angin—seolah memanggil nostalgia.

Ayah dan noona dari dunia paralel.

Orang-orang yang takkan pernah kulihat lagi.

Akhirnya, Abel mengangkat tangan dan membuka telapak.

“Ah…”

Abu itu terbang.

Suara samar—entah desahan entah helaan napas—keluar di antara bibirnya.

Wuuung…

Angin laut menerbangkan rambut dan abu itu sekaligus.

Serbuk putih menari dalam cahaya senja, seakan Ayah sedang naik ke langit.

Aku berdiri di samping Abel, memandangnya bersama.

Dan aku bergumam:

“Selamat jalan.”

“······Manusia tolol.”

Abel tiba-tiba mengertakkan gigi.

Ketika aku menoleh, matanya berkaca-kaca.

Setetes air—melewati pipi keringnya—berkilau seperti warna senja.

“······.”

Aku pura-pura tak melihatnya dan kembali menatap ke depan.

Yang berdiri di sampingku bukan lagi pemimpin jahat Nebula Clazier, melainkan adik yang merindukan kakaknya.

Setidaknya untuk momen ini.

Setetes air jatuh dari dagunya, merosot ke tebing.

Lalu Abel berbisik pelan—sangat pelan hingga hanya aku yang bisa mendengarnya.

“Aku akan menebusnya. Hyung-nim.”


Keesokan pagi.

Di dalam markas Resistance—dulunya ruang penyimpanan seed repository.

Aku berjalan di koridor dengan dua Archbishop di kiri-kanan.

“Ronan-nim, ayolah. Bilang dulu siapa orang yang katanya sangat perlu kami temui?”

Rettansie merengek.

Kelakuannya belakangan makin hidup—sudah waktunya kutonjok rasanya.

Aku mengibaskan tangan seperti mengusir lalat.

“Ada orangnya. Diam dan ikut.”

“Cih, setidaknya kasih hint dong.”

Pipi Rettansie menggembung.

Warnanya cerah—jelas belakangan hidupnya lumayan.

Tak heran para Resistance tidak lagi membully-nya.

Begitu label Nebula Clazier dicabut, Rettansie hanyalah seorang mage kelas atas yang sangat berguna.

Bahkan terlalu aktif.

Dan karena prioritas Resistance adalah mengusir para raksasa—mereka tak bisa membencinya walaupun mau.

Aku mengabaikannya dan menoleh ke sisi kiri—ke raksasa berbadan besar.

“Akhir-akhir ini kau naik daun ya, Fantasion.”

“Aku hanya menunaikan balas dendam.”

Jawaban berat meluncur.

Fantasion berjalan sambil menundukkan kepala agar tanduknya tidak menyangkut langit-langit.

Tubuhnya—yang dulu besar—kini bertambah besar lagi.

Bulu-bulu yang dulu kusam kini berkilau.

Bagus. Benar-benar bagus.

Sama seperti Rettansie, kondisinya makin meningkat akhir-akhir ini.

Melihat otot lengannya saja sulit membedakan mana makhluk hidup mana alat berat.

Rettansie terkekeh.

“Hehe~ benar kan? Bagus aku bilang disuruh hidup! Lihat betapa hebat dia bertarung! Sebentar lagi bisa ngalahin rekor Komandan Orse!”

“Wah. Mau mati? Kamu mau puasa seminggu apa gimana?”

“Eek!”

Plak!
Kuketik kepalanya, dan dia memekik.

Dia benar-benar kayak menikmati dipukul.

Tapi ya, omongannya bukan salah.

Archbishop Fantasion, begitu bergabung dengan Resistance, langsung naik sebagai kekuatan besar yang menyaingi Orse.

Were-deer yang menghancurkan para botak dengan kekuatan luar biasa mengingatkan pada Zaifa di masa jayanya.

Tiba-tiba Fantasion menoleh dan menatapku dari atas.

“Terima kasih.”

“Hah? Kenapa tiba-tiba?”

“Senjata yang kau berikan. Sangat berguna.”

“Oh, itu ya? Ya jelas bagus.”

Di punggungnya tergantung kapak raksasa bermata dua.

Baja selebar dua meter itu berlumuran noda darah biru para raksasa.

Sudah menebas belasan makhluk—tapi bilahnya masih tanpa cela.

Aku menatap ukiran di gagang kapaknya.

“Itu aku dapat dari Gran Cappadocia. Ada beberapa barang bagus yang terkubur di sana.”

“Gran Cappadocia… tempat yang kami hancurkan itu.”

“Lho, kau ingat?”

“Tentu… Eduon dan Cyrilla yang memimpin operasi. Mereka datang langsung meminta izinku.”

Ternyata si rusa masih ingat tragedi mengerikan di bawah ibukota.

Melihat Gran Cappadocia hancur seperti itu… pasti dia sendiri yang memberi lampu hijau.

Keheningan menyelimuti.

Suara langkah kaki bergaung.

Fantasion bergumam.

“······Aku menyesal.”

“Harusnya begitu.”

“Aku akan menebusnya dengan darah para penyerbu. Entah bisa menebus semuanya atau tidak…”

Dia menunduk berat.

Sikap tulus seperti itu membuatku tersenyum puas.

Aku tadinya masih ragu-ragu ingin merekrutnya, tapi ternyata dia jauh lebih bisa dipercaya daripada Rettansie.

Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, kami tiba di depan pintu baja raksasa.

Ruang rapat ini adalah tempat terahasia di seluruh markas—harus melewati dua belas sistem keamanan.

Aku mengetik keypad.

Beep-beep.

Tinggal satu sandi tersisa.

Aku menoleh ke mereka.

“Dengar baik-baik.”

“Eh? Apa?”

“Jangan terlalu kaget nanti. Marah boleh—tapi jangan bunuh.”

“Ha? Apa maksudnya? Yah, saya kan bukan tipe yang gampang marah…”

Rettansie melambaikan tangan.

Fantasion hanya diam.

Aku menekan nomor terakhir.

Bip—

Beruntun suara mesin berbunyi, dan pintu terbuka.

“Hmm, dalemnya biasa aja… eh?”

“교주.”

Keduanya membeku.

Di seberang meja rapat—bersandar dengan tangan terlipat—berdiri sosok yang terlalu familiar.

Abel tersenyum kecil.

“Sudah lama ya. Kudengar kabar kalian… kalian tampak baik-baik saja.”

“······Masih hidup rupanya.”

Fantasion mengepal.

Urat-urat menonjol di lengannya.

Abel hendak mengatakan sesuatu—

—saat Rettansie meledak.

“Abel! Dasar pengkhianat menjijikkan!!”

Tak ada waktu untuk menghentikannya.

Ia melompat ke atas meja, jari mengarah pada Abel.

KWAANG!!

Gumpalan telekinetik ditembakkan seperti peluru meriam dan menghantam Abel.

Tubuh Abel terpental ke dinding.

“Kau…!”

Rettansie terpaku.

Karena Abel… tidak menahan, tidak menghindar.

Dia hanya bangkit dari dinding, memutar tulang hidungnya kembali.

“Khukhuk… masih tempramental ya, kau. Sedikit lega?”

“Apa—apa?! Kalau kau kira satu pukulan itu bisa membuatku memaafkan—!”

Krek.

Sesuatu retak di dalam mulut Rettansie—mungkin giginya—karena ia menggertakkannya terlalu keras.

Ia bersiap melontarkan sihir kedua—

Fantasion menahan pergelangannya.

“Tunggu, Rettansie.”

“Fantasion! Lepasin!”

“Ayo kita dengar dulu. Membunuhnya nanti pun tidak terlambat. Sesuatu terasa berbeda darinya.”

“···Berbeda?”

Rettansie mengernyit.

Kalau dipikir-pikir, memang begitu.

Hawa membunuhnya lebih lembut.

Tidak ada lagi aura mengerikan yang dulu membuat para pengikutnya tunduk.

Abel memandang keduanya, lalu akhirnya bicara.

“Lumayan. Jadi cuma empat orang?”

“Mungkin. Orse bisa saja ikut.”

“Orse… si dragon itu. Hmm, kalau ada yang bersayap, lebih ideal.”

Abel mengangguk.

Aku pun setuju.

Kalau dragon yang bisa teleport masuk tim, mobilitas akan meningkat drastis.

Meskipun itu berarti harus mengatur ulang pembagian personel Resistance.

Saat aku dan Abel membicarakan strategi—

“Tu-tunggu dulu. Ronan-nim… ini semua apa maksudnya?”

“Oh iya. Lupa kusebut.”

Lupa tujuan awal kami datang ke sini—kesalahan fatal.

Aku menoleh pada dua Archbishop dan tersenyum.

“Kalian berdua. Harus ikut kami ke dunia para botak.”

“······Hah?”

“Markas besar para raksasa. Eksekusinya sekitar tiga hari lagi. Jadi makanlah apa pun yang kalian mau sampai kekenyangan, supaya kalau terjadi apa-apa… nggak ada penyesalan.”

“D—ha…”

Rettansie membeku total.

Sama sekali tidak berkedip—seperti patung es.

Fantasion mendengarkan dengan tenang.

“Tidak mungkin kita terus begini selamanya. Kali ini… kita akhiri semuanya.”

2-19. Serangan Balik Besar (6)

“Hiya… dalam waktu sesingkat ini kau mendekorasinya sangat bagus. Hampir tidak bisa dikenali.”

“Ha ha. Aku hanya ingin membuat ritual harian jadi sedikit lebih menyenangkan. Kini sudah cukup indah, bukan?”

Nabardojé tersenyum dengan matanya.

Ia berada dalam wujud manusia, hanya menampakkan tanduknya di atas kepala.

Aku mengangguk sambil memandang ke arah taman kecil itu.

“Luar biasa, noona. Benar-benar luar biasa.”

Bunga-bunga liar berwarna-warni menutupi seluruh ruang.

Cahaya hangat matahari, tanah yang empuk setiap kali kutapaki—membuat ruangan ini tak lagi terasa seperti ruang dalam tanah.

Di tengah hamparan rumput hijau, sebongkah batu besar mengambang perlahan.

“Aku tidak melakukan banyak hal. Ini semua berkat dirimu dan jantung dunia… 아니, Seniel.”

“Aduh, saya apa sih. Batu itu kalau bukan karena noona, cuma bakal jadi batu beneran.”

Jejak kehancuran masa lalu tak terlihat lagi.

Kuil untuk memuja Seniel—yang terletak jauh di dalam markas Resistance—telah berubah menjadi taman yang tak kalah cantik dari kebun istana.

Kekuatan hidup yang terus dipancarkan Seniel, dipadukan dengan magic matahari milik Nabardojé, membuat bahkan struktur buatan pun menyatu dengan alam.

Ia meraih tanganku dan memperkenalkan satu per satu tanaman yang ia rawat dengan bangga.

Sekarang, memegang tangan ketika berdua sudah menjadi hal yang wajar di antara kami.

Ketika kami sedang berjalan perlahan—

“Jadi… kau benar-benar akan pergi ke dunia para penyerbu itu?”

Nabardojé bertanya dengan wajah sungguh-sungguh.

Hari pelaksanaan sudah sangat dekat.

Aku melihat ke arahnya dan mengangguk kecil.

“Ya. Sudah waktunya mengakhirinya. Kita memang unggul sekarang, tapi kalau tidak memutus akar mereka, mereka akan terus datang.”

“Mm… aku juga tahu itu yang benar. Tapi tetap saja… jujur saja, hatiku sangat gelisah.”

Ia menghela napas.

Genggamannya di tanganku menguat.

Kekhawatirannya begitu jelas, membuat dadaku terasa berat.

Kalau seorang ibu merasa begini kepada anaknya… mungkin rasanya seperti ini.

“Aduh, noona. Tenang saja, ya?”

“Meskipun demikian…”

“Kita sudah pernah melawan mereka semua. King Botak memang sedikit merepotkan, tapi bukan tipe yang tidak bisa dibunuh. Noona tidak percaya pada saya, nih?”

Aku menepuk dadaku beberapa kali, berlebihan agar ia merasa lebih tenang.

Nabardojé tersenyum tipis melihat tingkahku.

“Aku percaya. Lebih dari siapa pun di dunia ini.”

“Hehe, itu baru benar. Lagipula aku tidak pergi sendirian, jadi jangan khawatir.”

“Itu juga benar. Tidak pernah terpikir aku akan berdiri di pihak yang sama dengan Nebula Clazier… kalau bukan karena kamu, aku tidak akan pernah membayangkannya.”

Ia benar-benar kagum.

Aku juga merasa aneh.

Di dunia asliku, para bajingan itu kubunuh sampai tak tersisa satu pun—dan kini kami akan menyerang markas musuh bersama.

Tiba-tiba, tanduk Nabardojé berpendar singkat.

“Mm. Sepertinya semuanya sudah siap. Si Abel itu… benar-benar akan menepati janji.”

“Ya namanya juga saya—ahlinya persuasi. Ayo berangkat.”

“Sudah dipersiapkan dengan benar? Kondisimu? Menurutku kita masih bisa menunda sedikit. Takutnya kau terlalu terburu-buru lalu membuat kesalahan…”

“Tidak apa-apa. Semua sudah kukontrol.”

Sebenarnya tidak banyak yang perlu dipersiapkan.

Sedikit bekal, air minum, dan satu pedang. Itu saja.

“Ya… aku mengerti.”

Senyum Nabardojé tampak rumit.

Entah kenapa, hari ini ia terlihat sedikit murung.

Tepat saat teleportasi hendak dimulai—

“Ronan.”

“Ya?”

“Kalau para penyerbu itu musnah sepenuhnya… kau akan pergi dari dunia ini, bukan?”

Suaranya sedikit bergetar.

Pertanyaan yang sulit ditebak maksudnya.

Aku menggaruk belakang kepala.

“Uh… tidak tahu juga. Benar-benar belum yakin.”

“Tidak tahu? Maksudmu?”

“Soalnya setelah menghabisi King Botak, aku harus menangkap si Akasha itu. Ingat? Penyihir edan itu. Retakan ruang memang berhenti, tapi selama dia hidup, masalah belum selesai. Dan aku belum menemukan cara untuk berpindah dunia.”

“······Jadi sebelum kau menangkap Akasha… kau akan tetap tinggal di dunia ini?”

“Yah, begitu.”

Ia tampak lega.

Lalu bergumam pelan—cukup jelas untuk masuk telingaku tanpa sengaja.

“Ya... penyihir itu masih ada di sana.…!”

Nada suaranya meninggi.

Sepertinya ia benar-benar lupa akan hal itu.

Kalau dipikir-pikir, ya wajar. Keberadaan monster seperti Akasha memang cukup untuk membuat siapa pun cemas.

Setelah batuk kecil beberapa kali, ia melanjutkan:

"Ehem. Oke. Nggak ada yang istimewa, aku cuma penasaran. Ya."

“Bagi saya sih tidak terdengar aneh sama sekali.”

"Oh, ya? Baguslah. Apa yang kukatakan... Baiklah, ayo kita pergi sekarang."

“Tidak apa? Wajah noona sedikit merah, loh.”

Nabardojé tidak menjawab.

Ia hanya menjentikkan jarinya—gerakan sensual seperti biasanya.

Rasa mual ringan khas teleportasi mencengkeram perutku.

Tak!

Dalam sekejap dunia berubah total.

“Cuacanya bagus.”

Hembusan angin dingin menghantam wajahku.

Di bawah langit cerah, salju butiran halus turun perlahan.

Lebih dari seratus anggota Resistance berkumpul di hamparan tanah putih.

Semua yang tidak bertugas hari ini hadir.

Rettansie menjerit ketika melihatku.

“Hihyeeeek! B-beneran datang!!”

“Kamu terlambat. Nabardojé.”

Di sampingnya berdiri Orse—dalam wujud manusia—dan Fantasion.

Mereka inti pasukan kali ini.

Orse mengerlingkan mata seolah mengejek, tampaknya mood-nya hari ini biasa saja.

Fantasion memberi anggukan berat.

Tanduk besar yang mengilap membuatnya terlihat seperti pohon besar yang tumbuh di tengah padang.

“Semua tampak baik. Abel di mana?”

“Di sana.”

Orse menunjuk dagunya ke depan.

Memang benar—di pusat kerumunan Resistance, Abel berdiri tegak, bersedekap, dagu sedikit terangkat dengan gaya angkuh yang memancing amarah.

Para pasukan melemparkan makian padanya.

“Kau sampah!”

“Kalau bukan perintah, sudah kami koyak tadi!”

“Kenapa mukamu begitu sombong!?”

Sedikit lagi, pasti ada yang melempar batu.

Popularitasnya memang… luar biasa. Melebihi Rettansie dan Fantasion, tentu saja dalam konteks negatif.

Di tengah badai makian itu, Abel tetap tenang.

Benar-benar bajingan.

Bahkan di kamarnya sendiri pun ia tidak akan memasang wajah sok seperti itu.

"Kamu di sini. Mau langsung pergi?"

Mata kami bertemu.

Kerumunan serentak menoleh.

Pasukan berbondong mendekat.

“Ronan-nim!”

“Tolong kendalikan bajingan itu! Itu bukan sikap orang yang menyesal!”

“Masih bisa batalin rencana ini! Dia pasti akan berkhianat!”

Kekhawatiran mereka seluruhnya ditujukan padaku.

Ketidakpercayaan terhadap Abel sudah mencapai puncaknya.

Tak heran. Berbeda dengan Rettansie dan Fantasion, dia langsung bertanggung jawab atas memanggil pasukan botak ke dunia ini.

Aku menenangkan mereka sambil tersenyum.

“Tidak apa-apa.”

“T-tapi…!”

“Begini saja. Kalau dia berulah sedikit saja… akan kubongkar tubuhnya dan kubagikan dagingnya satu potong untuk masing-masing dari kalian. Puas?”

“……!”

Keheningan menyapu seluruh area.

Agak kasar, tapi perlu untuk menenangkan massa.

Di bawah kaki Abel terlukis magic circle paling menjijikkan yang pernah kulihat.

Berdenyut seperti makhluk hidup.

Semua bahan aneh yang selama ini ia minta—ternyata untuk membuat ini.

Tak ada waktu untuk buang-buang lagi.

Ketika aku memberi isyarat, Orse dan Fantasion mendekat.

Rettansie terseret di ketiak Fantasion, berjuang melepaskan diri.

“Hiiieek! Lepasin! Kenapa aku yang digendong?!”

“Kita berdosa. Dosa darah… harus dihapus dengan darah.”

“Uuu… uuugh. Baiklah! Aku jalan sendiri!”

Ia akhirnya menyerah, melangkah gontai.

Dengan itu, lima orang anggota ekspedisi berkumpul di atas magic circle.

Orang-orang terkuat Resistance.

Nabardojé tidak ikut—dia harus melindungi Seniel dan markas.

Persiapan sudah cukup.

Ia berdiri di kejauhan, menatap kami.

Sorot matanya penuh kekhawatiran.

Aku harus tetap berangkat.

Aku menatapnya dan berlutut satu kaki.

“Kalau begitu… wahai Ibu Api. Mohon berikan berkahmu.”

"…..Oke."

Ia tersenyum.

Ini sudah kami rencanakan sebelumnya.

Bukan sekadar pamer formalitas.

Aku tahu—berkat dua kehidupan di sisi Adeshan—betapa pentingnya upacara penghormatan dalam mendongkrak moral pasukan.

Fantasionlah yang paling cepat paham.

Ia berlutut mengikutiku, lalu menyikut Rettansie dengan tanduknya.

“Auw! I-iya, aku tahu!”

Rettansie buru-buru berlutut.

Tinggal Orse dan Abel.

Orse jelas membencinya, tetapi para bawahannya di belakangnya memberi isyarat dengan mouthing:

Komandan… harus menerima berkah…!

“Hmph. Kalau kalian gagal, kalian semua mati.”

“Tenang saja. Semua yang kau sayangi… akan kulindungi.”

Nabardojé tersenyum lembut.

Orse ingin mengomel lagi, tapi akhirnya menundukkan kepala dengan kasar.

Itu batas maksimalnya.

Komandan Orse berlutut.
Hidup memang panjang, banyak hal aneh terjadi.

“야.”

Hanya Abel yang tidak bergerak sedikit pun.

Bahkan ketika kupanggil.

Dasar sialan…

“얌마.”

“Memalukan. Aku tidak menundukkan kepala pada siapa pun.”

Abel mencibir.

Kerumunan bergejolak lagi.

Beberapa hampir menarik busur.

Sebelum ada yang keburu menembakkan panah, aku menghela napas dan hendak menarik pedang—

"Aduh!"

Abel tiba-tiba tersungkur.

Karena bersedekap, wajahnya jatuh tepat ke tanah.

Benar-benar keras.

Kerumunan membeku.

Abel mengangkat wajahnya, marah luar biasa.

“LeTansi… berani sekali kau…!”

“Malu, tolong sedikit. Serius.”

Rettansie bahkan tidak menoleh padanya.

Wajahnya merah setengah karena saking malunya memiliki bos seperti itu dulu.

"Fiuh."

Nabardojé tertawa kecil.

Aku hampir ikut meledak—harus menahan mati-matian.

Wajahnya tercetak sempurna di tanah. Mana mungkin tidak lucu.

Ketegangan di udara menghilang seketika.

Nabardojé berkata pelan—

“Kau harus kembali. Mengerti?”

“Sudah pasti.”

Aku menunduk.

Telapak tangannya yang hangat menyentuh kepalaku.

Suara yang lembut sekaligus penuh wibawa menggema.

“Aku memberkati kalian. Hancurkan para penyerbu yang sesat itu… dan kembalikan kedamaian pada dunia.”

Berkahnya menyebar.

Keheningan suci merayap.

Abel memulai chanting-nya.

Magic circle di bawah kaki kami mulai menyala.

Dalam sekejap, cahaya putih menelan kami berlima.

Dan ketika kembali membuka mata—

Kami sudah berada di dunia lain.

2-20. Serangan Balik Besar (7)

Cahaya melilit tubuh kami bersamaan dengan mantra Abel.

Perjalanan itu tidak memakan waktu selama yang kukira.

Dunia yang sempat gelap kembali terang dalam sekejap.

“...Gua?”

Yang pertama kulihat adalah dinding dan langit-langit dari batu putih.

Udara terasa kering.

Dari kejauhan, cahaya samar masuk melalui celah.

Aku segera menyadari bahwa ini adalah sebuah gua besar di bawah bongkahan batu—mirip sarang makhluk raksasa.

Saat aku tengah mengamati sekitar—

“Huff… sungguh keberuntungan. Kita jatuh di tempat… huff… yang tidak terjangkau pandangan mereka…”

“Abel.”

Abel menahan tubuhnya pada dinding, terengah-engah.

Wajahnya pucat, napasnya tersengal seperti baru menyelesaikan latihan berat sambil membawa beban penuh.

“Kenapa kau begitu?”

“Begitu rupanya… jadi kau benar-benar baik-baik saja… hah. Seperti yang kuduga. Kau memang monster. Tidak diragukan lagi, kau anak Kain.”

Ia tertawa kecil, setengah tidak percaya.

Baru saat itu aku menyadari—teleportasi jarak sejauh ini tidak membuatku pusing sama sekali.

“Bukannya memang begini? Lebih enak daripada teleportasi biasa malah.”

“Ngomong kosong. Lihat ke sana.”

Abel menunjuk ke bagian dalam gua.

Ke arah di mana aku merasakan tanda-tanda kehidupan.

Tiga orang lainnya tampak porak-poranda di kegelapan.

DUK!

DUK!

Fantasion sedang menubrukkan kepalanya ke dinding.

Setiap kali tanduk raksasanya menghantam batu putih itu, seluruh goa bergetar seperti akan runtuh.

“Uwek—! Eeeekk!!”

Rettansie sudah kehilangan segalanya dan muntah habis-habisan, seperti petani yang pertama kali naik kapal.

Sepertinya dia benar-benar mempraktikkan saranku untuk makan banyak sebelum berangkat.

“Ghh… grrrh…!”

Orse menggertakkan gigi, tampak mati-matian menahan muntahan.

Ia masih menjaga wibawa, tapi sebagai gantinya dari mata dan hidungnya keluar percikan api berwarna ungu.

Agak menakutkan. Sejujurnya, sebaiknya ia muntah saja.

“Anjir apa ini.”

Hanya aku yang baik-baik saja.

Anehnya, tubuhku bahkan terasa lebih segar dari biasanya.

“Kenapa mereka begitu? Ini sudah kayak mau mati.”

“Wajar. Kita menempuh jarak miliaran kilometer jauhnya. Bersyukurlah efek sampingnya hanya sebesar itu.”

“Miliaran kilo—apa?”

“Jarak yang ditempuh cahaya dalam setahun. Betapa pun terbelakangnya dunia kalian, masa konsep dasar itu saja tidak umum? Memang benar—kaum kera yang primitif—”

BUK!

Abel terkapar setelah kulempar satu pukulan ke ulu hatinya.

Dasar bajingan. Sekalinya buka mulut pasti ada yang ingin kutonjok.

Sepertinya dia memang harus diperlakukan seperti Rettansie—dipukul berkala agar berperilaku.

Namun informasi yang ia berikan cukup menarik.

“Jadi para Botak itu datang dari sejauh itu? Hidup macam apa itu, gabut banget.”

“Ke… keukh! Kau berani—!”

“Kalau mau dihormati, perbaiki sikap dulu. Jadi, ini di mana?”

“Sial… aku tidak tahu.”

“Hah?”

Apa-apaan itu.

Saat tanganku menyentuh gagang pedang, Abel langsung tersentak.

Tubuhnya seolah mengingat masa-masa traumatisnya bersamaku.

Ia buru-buru menambahkan,

“Aku hanya mengatakan apa adanya! Bahkan dewa pun tidak bisa menentukan koordinat sempurna ketika memindahkan lima orang sekaligus! Kau seharusnya bersyukur kita tidak terpencar!”

“Kenapa malah teriak? Santai lah.”

“Bagaimanapun… kita sudah tidak bisa kembali. Dengarkan baik-baik! Sadarlah!”

Ia berteriak lebih keras dari sebelumnya.

Rettansie menghapus air mata dan muntah sisa-sisa di bibirnya.

“Hiks… ini di mana? Gua?”

“Kalian berada di tempat paling berbahaya di seluruh semesta. Satu-satunya cara hidup adalah menyelesaikan tujuan dan melarikan diri. Kau—rusa bodoh! Dan kau juga, kadal busuk! Kalau tidak ingin jiwamu direnggut, BANGUN!”

“Berani kau… memanggilku… kadal…!”

Orse mendongak, mata membara.

Fantasion pun berhenti menubruk dinding dan menatap Abel dengan tajam.

Karisma jahat ini… sungguh tidak normal.

“Ada dua tujuan kita.

Pertama, membunuh raja mereka.

Kedua, menghancurkan ‘Sumber’.”

“Sumber?”

“Sebuah inti kekuatan tempat seluruh jiwa dan energi hidup yang telah mereka kumpulkan berkumpul. Jika Sumber hancur, semua raksasa botak lenyap. Termasuk rajanya.”

“Kalau begitu langsung saja hancurkan Sumber. Abaikan rajanya.”

Fantasion berbicara.

Tatapannya sudah kembali tenang.

Abel mengangguk.

“Itu memang yang terbaik secara teori. Tapi menurutmu, apa si raja akan duduk santai ketika Sumbernya nyaris hancur?”

“…”

“Jelas tidak. Dia pasti turun tangan.”

“Kalau begitu apa rencananya?”

“Kita tetap harus melawan raja. Namun untuk meningkatkan peluang berhasil, kita harus meminimalkan pertempuran tidak perlu. Tidak ada gunanya membunuh mereka satu per satu—mereka akan terus bermunculan. Jadi kita perlu menyusup.”

Tanpa sadar, kami semua mendengarkan penjelasannya.

Cara bicaranya rapi, seperti profesor di akademi.

Ia bahkan menggambar diagram di tanah dengan ujung pedang.

“Tidak boleh ketahuan satu pun. Untungnya, di wilayah mereka sendiri, para Botak cenderung lengah. Selama tidak menimbulkan keributan besar, peluang ketahuan kecil. Kita gunakan penerbangan Rettansie dan Orse untuk bergerak seperti mayat sampai ke Sumber.”

“Kalau jumlah mereka sedikit, kita bunuh saja.”

“Betapa bodoh. Indera mereka terhubung. Begitu satu tahu posisi kita, seluruh spesies tahu.”

Ini pun aku sudah tahu.

Makanya dulu, deklarasi perang satu raja bisa memancing seluruh spesies itu.

Sulit, tapi bukan mustahil.

Setidaknya Abel tahu di mana Sumber berada.

Aku menatap mulut gua.

“Baik. Kalau begitu kita berangkat sekarang. Tidak ada waktu untuk buang-buang.”

“Y-ya… aku… aku siap.”

Rettansie memaksakan diri.

Meski gemetaran, dia tetap bangkit.

Orse dan Fantasion sudah memancarkan energi pembunuh yang membuat udara berat.

Kecemasanku soal mereka tampaknya berlebihan.

Abel berkata,

“Untuk memastikan posisi Sumber, kita perlu memetakan area dulu. Begitu keluar—lari secepat mungkin. Bersembunyilah di balik apa pun yang bisa dipakai untuk menutup tubuh.”

“Baik. Hitungan tiga. Satu…”

Dadaku berdebar.

Ketegangan merayap.

Rettansie memberi mantra yang membuat tubuh kami ringan seperti bulu.

Angin dari luar gua bertiup, mengangkat poni.

“Tiga!”

Kami melesat ke luar seperti angin badai.

Gurun terbentang luas.

Langit pucat, tanpa warna.

Bukit pasir putih abu-abu memenuhi horizon.

Seolah dunia hanya terdiri dari dua warna—putih dan abu-abu.

“Ck.”

Abel mendecak.

Tidak ada tempat bersembunyi.

Butuh waktu untuk memetakan area.

Saat kami terus berlari—

Tiba-tiba, sebuah firasat tajam menusuk punggungku.

“Apa itu…?”

Yang lain tidak bereaksi.

Aku menatap langit.

Awan berdenyut seperti makhluk hidup, menyala sesekali.

Saat aku menatapnya sambil berlari—

Bagian awan terbuka melingkar.

Sebuah sinar menembak turun ke arah kami.

“Sial! Menghindar!”

“Eh?”

Rettansie bingung.

Tidak ada waktu.

Aku memijak tanduk Fantasion untuk melompat.

Bersamaan, sinar itu terbelah menjadi dua.

Dua garis cahaya menghantam tanah di sisi kami.

KWAANG!

Pasir meledak seperti ombak.

Dua kawah raksasa terbentuk.

Saat aku berputar dan mendarat—

“Saat ini, eksekusi terhadap para penyusup barbar dimulai.”

Suara berat menggetarkan udara.

“A-apa?!”

Yang lain akhirnya melihat ke atas.

Saat itu—

FWAASH!

Lapisan awan meledak, tersibak.

Kami semua membeku.

“…Ah.”

“Kalian telah menyatakan dosa kalian.”

Yang berbicara adalah raksasa botak bersayap enam.

Tubuhnya jauh lebih besar dari yang bersayap empat.

Di keempat lengannya, pedang cahaya bersinar.

Namun bukan itu yang membuat kami kaku.

Di atas kami—

Ratusan raksasa botak mengambang membentuk lingkaran.

“…Hah.”

Aku tanpa sadar tertawa pendek.

Bukan panik, lebih seperti putus asa yang terlalu absurd sampai jadi lucu.

Mereka tahu kami akan datang?

Tumpukan formasi mereka seperti kue pernikahan.

“K-kita mati…”

Rettansie menangis.

Tulang rahangnya bergetar keras.

Ia menatap Abel dengan marah.

“Ini pasti ulahmu!”

“Aku pun bertarung melawan mereka! Jangan asal tuduh!”

“Lalu bagaimana mereka bisa tahu kita datang?!”

“Mana kutahu? Mungkin kita sial.”

Abel tampak benar-benar tidak tahu.

Satu hal pasti:

Rencana benar-benar berantakan.

Raksasa bersayap enam itu menunjuk kami dengan pedangnya.

“Orang bodoh. Menyesalilah karena menodai tanah para Anak Bintang—dan lenyaplah.”

“Lenyaplah.”

Ratusan suara menggemuruh.

Mereka mengangkat tangan.

Partikel cahaya berkumpul seperti lautan kunang-kunang.

“...Indah.”

“LARI!”

Abel berseru kagum, Rettansie berteriak panik.

Tombak cahaya terbentuk di tangan masing-masing raksasa—lebih besar dan berbahaya dari apa pun yang pernah kulihat.

Para Botak memang jauh lebih kuat di rumah mereka.

Ini gawat.

Tidak ada tempat untuk lari.

Hanya tersisa satu cara.

Merepotkan, tapi pasti berhasil.

“Lin.”

Harus minta persetujuan dulu.

“Ya. Aku akan membantu.”

Pedangku bergetar sebagai jawaban.

Aku menggenggamnya.

Cahaya merah senja naik menyelubungi bilah.

Aku mengangkatnya, mengarahkannya ke raksasa bersayap enam.

“Hey, si bola licin yang disetrika.”

“……?”

Tatapannya menusuk.

“Turun.”

Aku menggenggam pedang dengan dua tangan.

Sudah lama tidak memakai kekuatan sebesar ini.

Saat si botak hendak bicara—

Cahaya senja meledak.

FWOOOOOOSH!

Langit dipenuhi warna merah.

Para raksasa mengepakkan sayap panik.

Jumlah mereka membuat tekanan luar biasa.

Uratku menegang, lenganku seolah mau meledak.

“Haaaahhhh—!!!”

Aku mengayunkan pedang ke tanah.

Saat bilahnya menyentuh pasir—

KWAGAGAGANG!!

Ratusan raksasa jatuh seperti buah yang dipukul badai.

Pasir mengebul ke langit.

Sayap-sayap patah terdengar di mana-mana.

Aku berteriak pada pasukan:

“SADAR, DASAR IDIOT!! RENCANA BERUBAH!!”

“HIYAAAK?!”

“KITA SIAL! PARAH PULA!”

Rettansie terduduk, panik.

Fantasion, Orse, dan Abel terpaku—lalu mulai bernapas cepat.

“Kita…”

Aku menarik napas panjang.

Tidak ada pilihan lain.

Aku menunjuk ke cakrawala dan berteriak:

“TEROBOSI MEREKA DARI DEPAN!!”

2-22. Serangan Balik Besar (9)

“Sudah kau temukan? Secepat ini?”

“Ya… meski belum sepenuhnya sempurna.”

Abel mengangguk.

Terlalu fokus, sepertinya—hidungnya masih meneteskan darah.

Ia mengusap wajahnya dengan punggung tangan lalu melanjutkan,

“Dulu, saat aku membuat peta, aku pernah menggambar wilayah gurun ini. Tempat ini… gurunnya sepuluh kali lebih besar dari gurun di Kekaisaran.”

“Sepuluh kali?! Sialan.”

“Tidak mengejutkan. Planet ini sendiri ratusan kali lebih besar dari dunia kita. Cocok sebagai kampung halaman para penakluk yang berkeliaran di seluruh jagat raya.”

Abel terkekeh.

Wajahku dan yang lain menegang.

Bukan benua, bukan negara—planet ini ratusan kali lebih besar. Sesuatu yang bahkan sulit kubayangkan.

Ia menunjuk ke arah cakrawala.

“Untuk mencapai Sumber, kita harus terus bergerak ke arah itu. Tapi ada satu masalah kecil.”

“Masalah kecil? Kayaknya tidak kecil deh. Apa?”

Rasa tak enak menjalar.

Tidak mungkin benar-benar kecil.

“Jika kita terus terbang dengan kecepatan sekarang… butuh sekitar lima tahun untuk sampai. Itu pun kalau tidak ada gangguan.”

“Sial benar.”

Tepat seperti firasatku.

Oh ya, tidur dan makan pun harus dilakukan di punggung Orse.

Astaga. Sejak dia bilang planet ini ratusan kali lebih besar, aku sudah merasa curiga.

Aku mengepalkan tangan.

“Lima tahun tuh tidak mungkin. Apa tidak ada cara lebih cepat?”

“Ada.”

“Hah, untunglah. Kalau tidak, aku sudah menendangmu keluar dari sini. Cepat katakan.”

Lima tahun berarti… anakku sudah umur lima ketika aku pulang.

Tidak mungkin. Sama sekali tidak.

Aku tidak mau pulang dari perjalanan dunia paralel, lalu disambut bocah kecil yang berkata, “Ibu, ini siapa?”

Belum lagi aku sudah gila menahan rindu pada Adeshan.

Abel berpikir sejenak, lalu berkata,

“Kita lewat kota mereka. Itu satu-satunya cara. Meskipun sangat jauh dari kata mudah.”

“Kota? Para botak itu punya kota?”

“Ada. Wujudnya tidak seperti kota pada umumnya, tapi mereka punya struktur komunitas dengan fasilitas utama. Aku sendiri belum pernah masuk, tapi aku tahu satu hal—ada gerbang dimensi yang menghubungkan berbagai area di planet ini.”

Ia menjelaskan bagaimana para botak bisa bergerak lintas wilayah menggunakan gerbang dimensi itu.

Rahasianya terpecahkan.

Aku memang sempat bertanya-tanya—planet sebesar ini tidak mungkin ditempuh hanya dengan mengepakkan sayap.

“Bagus. Ayo langsung ke sana. Ke mana kita harus pergi?”

“Ke atas.”

Abel menunjuk langit.

Aku dan yang lain mendongak.

Awan pucat yang menjijikkan itu bergulung-gulung seperti organisme hidup.

Jauh lebih padat daripada awan yang dulu menutupi planet kita saat dijajah.

Sesekali kilatan cahaya muncul, memantulkan bayangan siluet para raksasa botak.

“Kalau terus naik, kalian akan menemukan suatu ruang terbuka. Garis horizon yang terbuat dari awan. Begitu sampai di sana, kota para botak bisa terlihat dengan mata telanjang.”

“Dan peluang kita diserang gerombolan botak dalam perjalanan?”

“Kau berharap bisa berenang di samudra darah tanpa satu pun hiu mendekat?”

“…Oke, iya juga. Hidupku sungguh malang.”

Aku menghela napas.

Ini ironis. Setelah sendiri meneriakkan “kita terobos saja!”, sekarang aku berharap perjalanan cepat dan aman.

Ya, hidup memang penuh kontradiksi.

Aku mengetuk sisik Orse dengan ujung sepatu.

“Orse. Kau siap?”

【Apa maksudmu itu?】

“Kau tahu… ini pertama kalinya kita terjun langsung ke sarang musuh. Kau mungkin takut. Aku cuma memastikan.”

【Hah! Omong kosong! Kau berani merendahkanku seperti itu?!】

Orse terkekeh—nyaris bangga.

Api merah gelap merembes di sela giginya.

Dengan suara menggelegar yang mengguncang gurun, ia berteriak,

【Sebelum kau sempat menguap, kita sudah sampai! Buka matamu lebar-lebar dan saksikan!】

Empat sayapnya terbuka mekar secara eksplosif.

Ia benar-benar seperti lupa bahwa ini sarang musuh.

Sampai sini, terserah dia saja.

Aku menggenggam duri punggung Orse, satu tangan lagi mencengkram tengkuk Rettansie.

SHWAAA!!

Orse menembus langit seperti meteor hitam.

“Kyaaaaakk!!”

“Lihat? Sederhana banget. Ini menyenangkan.”

Rettansie menjerit.

Kalau tadi aku tidak memegangnya, dia pasti sudah menjadi tupai terbang.

Fantasion dan Abel masih bertahan—meski hanya dengan memegang duri yang nyaris terpeleset.

Dalam kurang dari semenit, kami masuk ke lapisan awan.

“Ini gila…”

Aku bersiul, terpana.

Awan mana yang memantulkan cahaya mana seperti ini? Seolah-olah seluruh langit terbuat dari manik-manik mana putih berkilau.

Di belakang Orse, jalur awan yang terbelah terbentuk sepanjang ekornya.

“Kyaaaa!! Hyaaaa!!”

“Luar biasa, Marong.”

Abel mendecak kagum.

Kecepatan ini… setara dengan Naranthonia, naga tercepat.

Mungkin ini batas maksimum Orse.

Angin merobek wajahku.

Rambutku sudah bukan rambutku lagi—semuanya beterbangan.

Mantel pemberian Saranthe berkibar seperti bendera diterjang badai.

『Sebentar. Penyusup…』

『Berhenti…』

Suara para botak terdengar di udara lalu menghilang.

Mereka merasakan keberadaan kami, tapi kecepatan Orse terlalu tinggi untuk mereka kejar.

‘Lumayan juga.’

Tidak kusangka ini akan semudah ini.

Perjalanan menuju kota botak pastilah akan kacau, tapi setidaknya jalannya terasa nyaman.

Setelah drama yang kami alami, kami pantas dapat sedikit waktu bernapas.

Aku memejamkan mata, menikmati angin.

Kemudian—

『Epsilon menjatuhkan hukuman pada kalian.』

“Hah?”

Sebuah suara berat dan rendah bergema tepat di atas kepalaku.

Saat kubuka mata, semuanya sudah terjadi.

Raksasa botak bersayap enam sedang menyelam turun ke arah kami.

“Sialan itu…”

Aku bahkan mengenali mukanya.

Tubuh jauh lebih besar dari botak bersayap empat.

Tattoo aneh di sekujur badan.

Enam sayap yang membentang, empat lengan yang memegang pedang listrik mematikan.

Ini dia.

Pemimpin pasukan yang menyergap kami di gurun.

“Ha… sial…”

Tidak ada hari damai.

Aku hampir menarik pedang ketika Fantasion melesat.

Ia memukul duri punggung Orse dan menendang dirinya sendiri ke udara.

“Rusa itu.”

Gerakan selevel sihir anti-sergap.

Tubuh raksasanya menggembung dua kali lipat oleh aura.

Dengan kedua tangan, ia mengayunkan kapak raksasanya.

“MUUUIIIIIK!!”

Seolah membelah gelombang cahaya dengan satu tebasan.

Kapak yang sudah tercelup darahku langsung merobek perisai si botak.

Sampai sini bagus.

KRAAAANG!!

Benturan senjata membuat suara ledakan yang memekakkan telinga.

Kilatan petir bergulung.

Fantasion terpental seperti dihantam kawanan badak.

“Kgh!”

Botak bersayap enam—Epsilon—tidak terluka sedikit pun.

Ia mengepakkan sayap, kembali siap menebas.

Fantasion nyaris jatuh ke jurang awan.

“Fa—Fantasion!”

Rettansie menjerit.

Ia merentangkan tangan.

Tubuh Fantasion berhenti jatuh, melayang seperti ikan tuna besar yang ditarik jaring.

“Ya Tuhan…!”

“Khh…”

Hanya selangkah lagi ia akan jatuh ke gurun.

Fantasion mengangkat tubuhnya—dadanya hangus terbakar.

Wajah Rettansie berubah kelam.

“Berani kau!”

Ia memusatkan energi, dua tangannya terulur.

Putaran telekinetik spiral terbentuk.

Energinya memuntir udara seperti badai ganda.

“Wow. Mengagumkan.”

Abel berkomentar.

Memang pantas dikagumi.

Teknik itu sudah cukup untuk menjatuhkan raksasa botak normal.

Masalahnya, lawannya bukan yang normal.

Gelombang telekinesis itu menghantam.

Epsilon menyilangkan dua pedang dan menahannya.

『Kecil yang pongah.』

Ledakan gema mengguncang langit.

Rettansie terus menekan.

Tapi ia menguras energinya terlalu cepat.

Sementara itu Epsilon nyaris tidak bergerak.

Sayap-sayapnya mengendalikan seluruh momentum.

“Ghh!!”

『Berhentilah melawan. Musnahkan diri kalian.』

Saat keduanya terkunci—

Epsilon mengayunkan dua pedang lainnya.

Empat bilah cahaya berbentuk salib menembus badai telekinesis.

“…Ah.”

Dunia menjadi terang.

Spiral telekinesis terbelah.

Pedang-pedang cahaya sebesar gedung utama Akademi Fileon meluncur ke arah kami.

Orse hendak melakukan manuver menghindar—

“Baik. Segini cukup.”

“Lo—Ronaan-nim…?!”

Aku melesat melewati Rettansie.

Tubuhku ringan berkat mantranya.

Dalam sekejap aku berada di depan serangan.

‘Enam sayap… masih cukup merepotkan. Tapi bagus juga melihat kemampuan kedua orang itu.’

Mereka tampil jauh lebih baik daripada dugaanku.

Bahkan tidak ciut di hadapan raksasa bersayap enam.

Epsilon memicingkan mata.

『Bodoh. Kenapa memilih mati lebih cepat?』

“Yang mati itu kau, tolol.”

Bagaimana ia bisa salah menilai begini parahnya?

Ia pasti melihat pertempuran kami sebelumnya melalui mata anak buahnya.

“Kau pikir punya enam sayap membuatmu punya enam nyawa?”

Tidak ada waktu untuk bercakap panjang.

Aku meraih gagang pedang.

Ratusan tebasan melintasi udara.

Pedang-pedang cahaya itu pecah seperti kaca.

KRASHHH!!

Pecahan energinya berhamburan seperti bunga sakura tersapu angin.

『Apa…?!』

Epsilon terbelalak.

Namun giliranku belum selesai.

Cahaya senja berkumpul di pedang—hingga memancar.

Epsilon—yang jauh berada di depan—ditarik mendekat.

Hanya tinggal tiga langkah.

Dalam jarak seranganku.

『Kau tidak akan—!』

Epsilon mencoba mundur.

Tapi tusukanku sudah meluncur lebih cepat.

Pedangnya—keempat-empatnya—mencair seperti lilin.

Pedangku menembus tepat ke tengah tenggorokannya.

『Ghk.』

Begitulah kalimat terakhirnya.

Aku mengangkat pedang—membelah kepalanya vertikal.

FWAAASH!

Pancuran darah membasahi wajahku.

“Begitu… mudah…”

Fantasion bergumam.

Mata besarnya bersinar mengagumi kekuatan.

Hanya orang yang benar-benar menghormati kekuatan akan punya tatapan seperti itu.

Aku menatapnya dan membentuk tanda V dengan dua jari.

Siapa tahu dia dapat pencerahan.

“Ya Tuhan…”

Rettansie menutup mulutnya.

Abel menatapku seperti sedang melihat makhluk yang tidak semestinya ada.

Sayap-sayap Epsilon mengeras.

Tubuhnya terbelah, jatuh ke awan di bawah.

Saat aku kembali mendarat di punggung Orse—

“Huh?”

Lapisan awan yang seakan tidak berujung perlahan pecah, memamerkan cahaya terang dari dunia di atasnya.

2-23. Serangan Balik Besar (10)

Cahaya membanjiri pandangan.

Ekor Orse menembus keluar dari lapisan awan.

Dan sebuah dunia yang belum pernah kami lihat terbentang lebar.

“Woah…”

Selain Orse, semua dari kami terdiam membatu.

Kata “sureal” pun terasa tidak cukup.

Dengan semua hal gila yang pernah kulihat dalam hidup, pemandangan ini tetap masuk dalam tiga teratas.

Di hadapan kami—

Dua lautan awan.

Satu berada di atas, satu di bawah, saling berhadapan, membingkai ruang kosong raksasa di tengahnya.

“Se-se… saya sedang bermimpi…?”

“Luar biasa.”

【Ha ha ha ha! Lihatlah… huff… dasar bocah! Huff… inilah kekuatanku!】

Orse tertawa membahana, meski nafasnya megap-megap.

Tidak heran—terbang sejauh itu dengan kecepatan gila jelas membebani tubuhnya.

Tetap saja, prestasinya luar biasa.

Aku otomatis memuji seperti robot, “Benar-benar Naga Terhebat Orse-nim…” sambil menatap sekeliling.

“Ya… kalau ingin disebut ras tinggi, setidaknya harus punya selera estetika begini.”

Dan aku bersumpah:

Dari dunia tanpa warna seperti ini, ini mungkin pemandangan paling indah yang bisa tercipta.

Tidak ada langit biru.

Namun jarak antara dua lapisan awan itu teramat jauh sehingga awan atas terlihat seperti langit itu sendiri.

Dua samudra awan itu memanjang tanpa ujung, sejajar menuju batas pandangan.

“…………”

Untuk sesaat, kami bahkan lupa berada di tengah wilayah musuh.

Angin yang lebih dingin melintas, menusuk dada.

Orse yang pertama memutus keheningan.

【Jadi, ke mana kita sekarang? Ke tempat yang bersinar itu?】

“…Ya. Di sana.”

Abel mengangguk.

Sekalipun dia pernah mengabur ke luar angkasa, langit asing ini tetap mempesonanya.

Ia menunjuk ke arah cahaya yang dilihat Orse.

Di kejauhan, di tengah samudra awan, sebuah kabut cahaya berdenyut halus.

“Itu kota mereka. Aku belum pernah masuk, tapi… perlu kehati-hatian. Ronan, kau pasti bisa merasakannya.”

“Ya. Mereka bejibun sekali.”

Aku mengklik lidah.

Bahkan dari jarak yang gila jauhnya, aku bisa merasakan jumlah raksasa botak yang menunggu di sekitar cahaya itu.

Ternyata maksud ‘begitu naik kalian akan ketahuan’ memang literal.

“Tapi… selain menerobos, ada ide lain?”

Aku menatap ketiga orang lain.

Jujur, melihat sebanyak itu, aku sendiri malas menerobos.

Berapa ratus—atau ribuan—yang harus kutebas sebelum tiba di gerbang dimensi?

Membayangkan darah biru mereka membasahi pakaian dalamku saja sudah menyebalkan.

Tidak ada jawaban.

“Tahu. Sudah kuduga begini.”

Ini takdirku: susah payah.

Aku bersiap memerintahkan serangan frontal ketika—

“Ka… kalau kita bisa menemukan jalur cepat… mungkin bisa dilakukan…”

“…Apa maksudmu?”

“Saya… saya bisa menurunkan persepsi mereka. Membuat mereka tidak mengenali kita. Itu… itu sihir yang saya kembangkan sejak masuk perlawanan. Sangat sulit, bisa saja hilang tiba-tiba, dan durasinya juga—uhuk.”

“Persepsi… terdistorsi?”

Rettansie tersenyum kaku.

Kami semua menatapnya dengan wajah “kenapa baru bilang sekarang?”.

Kami benar-benar lupa satu hal:

Jenius tidak hanya satu di dunia ini.
Si tikus terbang ini adalah penyihir terkenal bahkan sebelum jadi Uskup Besar Nebula Clazier.

Fantasion bertanya, “Kau yakin?”

“Ya. Tapi… Orse-nim harus berubah ke bentuk manusia dulu. Tubuhnya terlalu besar, tidak bisa disembunyikan.”

【Menarik, penyihir.】

Orse justru terlihat sangat tertarik.

Aku pun langsung condong ke arahnya—ini solusi terbaik.

Meski menembus langsung pun mungkin sukses, tapi kesempatan memasuki “kota” makhluk raksasa ini cukup membuatku penasaran.

Setelah menimbang, aku berkata:

“Baik. Lakukan.”


•••

『Ada penyusup. Kirim pasukan pembasmi.』
『Rendam jiwa para bodoh itu ke dalam tungku bintang.』

Suara raksasa bergema di udara.

Dulu, suara mereka membuat darahku mendidih.

Sekarang… aku hampir bosan mendengarnya.

Rettansie pucat pasi.

“A-aah… ini ide buruk… sangat-sangat buruk…”

Kami melayang di udara, jarak hanya sekitar dua puluh langkah dari dua raksasa botak yang baru saja lewat.

Puluhan lainnya terbang di sekitar kami.

“Sudah tamat… kita mati… kita semua—mff!”

“Diam, pengecut.”

Aku menutup mulutnya.

Ia menendang-nendang udara.

Baru setelah berjanji untuk diam, aku melepaskannya.

“Pahaah…!”

“Sudah berhasil, jangan rusak. Kau mantan uskup besar, masa segini saja takut?”

“T-ta… tapi saya belum pernah begini! Semua nyawa ada di tangan saya… rasanya mual… uueekh—!”

Rettansie memegangi mulutnya.

Menyebalkan, tapi tidak bisa disalahkan—dia sedang memakai sihir telekinesis dan sihir persepsi tingkat tinggi secara bersamaan.

“Terus begini saja. Kau bagus.”

“…Iyaaa…”

Kami berlima sepenuhnya bergantung pada Rettansie.

Sihir persepsi itu… berhasil.

Para raksasa tidak melihat kami meski kami terbang tepat di samping mereka.

“Haa… haa…”

Tentu saja, sedikit suara atau benda pecah bisa langsung membatalkan sihir.

Mengganggu, tapi adil.

Telekinesis Rettansie membawa kami perlahan ke pusat kota—tempat gerbang dimensi berada.

Tapi… tidak ada bangunan.

Tidak ada apa pun.

Cuma awan.

Abel mendecak.

“Jumlah mereka lebih banyak dari perkiraanku. Kalau sihir ini putus… kita mati.”

“Shut up. Jangan bikin dia muntah!”

“Fakta tetap fakta.”

“Ngomong-ngomong… ini kota? Mana rumah-rumahnya?”

Sungguh mengecewakan.

Aku penasaran rumah para botak seperti apa.

Yang tampak hanya awan… dan cahaya di kejauhan.

“Kubilang, kota mereka tidak sama dengan kita. Kau tidak paham apa arti ‘planet ratusan kali lebih besar’?”

“Setidaknya kasih papan petunjuk kek. Bahkan tempat latihan klubku tidak sesepi—eh?”

Aku terdiam.

Di kejauhan ada sesuatu.

Sebuah objek hitam.

“Bola?”

Sebuah bola raksasa melayang di udara.

Ukuran seperti tiga bangunan Akademi Fileon disatukan.

Aneh: warnanya hitam, bukan putih seperti awan sekelilingnya.

Abel mengangkat alis.

“Ah. Gudang.”

“Gudang? Itu?”

“Ya. Tempat paling umum. Satu-satunya bangunan yang pernah kulihat.”

“Menarik. Rettansie, bawa kita ke sana.”

“H-heh?! Ke situ?!”

Ia hampir menangis.

Tapi aku mengangkat tinju, dan dia diam saja.

Kami mendekat.

Semakin dekat… semakin terasa ukurannya yang absurd.

“Brengsek… ini gudang apaan?”

Mereka tidak makan. Tidak minum. Tidak tidur.

Lalu apa yang kusimpan di gudang ini?

Aku menyentuh permukaannya.

Bola itu terbuat dari ratusan ribu—atau jutaan—panel heksagonal kecil yang rapat, membentuk bola sempurna.

Seperti sarang lebah.

Dan saat aku memikirkan itu—

—Tolong… selamatkan…

“Uwah—!”

Aku tersentak.

Suara manusia.

Rettansie menelan ludah.

“Ka-kau juga dengar?!”

“…Ya.”

【Terkutuk… ada kutu hidup di dalam?】

Bukan hanya kami—bahkan Orse mendengarnya.

Abel terkikik pelan.

Aku menempelkan telinga.

Dan suara itu datang lagi, jelas.

—Keluarkan aku…

—Sakit…!

—Biarkan aku mati… kumohon…!

Perutku terjun ke dasar.

Bukan imajinasi.

Suara-suara itu berasal dari dalam panel-panel bola ini.

Dan tiba-tiba ingatan tentang “makanan” para botak muncul kembali.

Makhluk itu memang makan sesuatu.

Lalu gudang ini…

“Roh?”

“Benar.”

Abel mendengus.

Perlahan aku melepaskan tanganku dari bola itu.

Suara jeritan terus bergema.

“Itu… jadi semua ini…?!”

【Menjijikkan.】

Rettansie menutup mulutnya.

Wajah Orse mengeras.

Dan ya—perhitunganku benar.

Panel-panel itu—

Seluruhnya—

Dibuat dari jiwa-jiwa makhluk hidup.

“Brengsek…”

Tidak ada kata lain.

Kami membeku.

Dan aku…

Aku tahu terlalu banyak orang yang bernasib seperti panel-panel itu.

Nuna.
Aselle.
Marya.
Schlippen.
Elzebet.

Suara-suara itu mencabut kembali ingatan yang kubenamkan jauh-jauh.

‘Tidak baik.’

Aku kembali ke kehidupan pertamaku.

20 Hari Kiamat.

Ketika tiga raksasa datang, dan semuanya berakhir.

Tidak peduli berapa banyak yang diselamatkan oleh Jenderal.

Mereka semua mati.

Keluarga.
Teman.
Tanah kelahiran.

Dan aku masih ingat.

Hari ketika pembawa pesan datang, bernapas tersengal-sengal, dan memberitahuku bahwa kampungku… hilang.

“H… Nuna.”

Ahyute-lah pelakunya.

Pegunungan Romaira hilang bersama desa Nimberton.

Hari itu, wajah Nuna muncul.

Selalu mengomel… tapi selalu mengusap kepalaku sambil berkata:

Kau adalah hartaku.

  • Omong kosong! Gunung menghilang itu tidak masuk akal!!

  • S-sungguh, Senior! Mana mungkin saya bohong?!

  • Diam, bajingan! Aku tidak percaya.

Aku langsung desersi.

Menghindar dari Polisi Militer? Sepele.

Aku berlari seperti kesetanan.

Jarak tiga hari kutempuh dalam satu hari.

Dan yang kutemukan…

Hanya lubang.

Kampungku lenyap.

Rumah hancur.
Jalan kecil hilang.
Hanya lubang menganga menelan air hujan.

  • Nuna.

  • Iril?

  • Nuna…

Tidak ada jawaban.

Aku menggali tanah basah dengan tangan kosong sampai kuku sobek.

Berharap menemukan… apa pun.

Tidak ada.

“…Tugas bodoh dari masa lalu.”

Aku menggertakkan gigi.

Setiap panel ini—

Adalah seseorang.

Seseorang yang hidup, punya keluarga, mimpi, cerita.

Tapi kini… disebut “sumber daya”.

Tanganku bergerak ke gagang pedang.

Namun tiba-tiba—

“Berhenti!!”

Abel berteriak.

Dan—

KWAANG!!

Ledakan.

Aku menoleh.

Fantasion—nafas tersengal, mata memerah—memegang kapaknya yang kini menancap di bola raksasa itu.

Rettansie menjerit.

“Pa—Fantasion!! Apa yang kau—!!”

“…Maaf.”

Matanya merah.

Tangannya bergetar kuat sekali.

“I… tidak bisa menahan diri.”

“Bodoh! Sumber akan menyelesaikan semuanya! Kenapa kau melakukan—!!”

Abel mencengkram rambutnya.

Wajahnya putih.

Para raksasa sudah memusatkan perhatian pada kami.

Ia menendang tulang kering Fantasion.

“Kau lihat itu?! Seluruh botak di radius ini melihat kita! Rettansie mati-matian mempertahankan sihirnya, dan kau—!!”

“Tidak. Dia benar.”

Aku memotong kata-kata Abel.

Menepuk punggung Fantasion.

Wajahnya… adalah wajah seseorang yang kehilangan segalanya.

Aku tahu perasaan itu.

“Aku mengerti. Ini… memang menjijikkan.”

Sorot mata Fantasion naik.

Panel-panel itu pecah sedikit.

Dan cahaya putih mengalir seperti cairan, melonjak ke udara.

Aku ingat fenomena itu.

Ini… jiwa-jiwa yang terbebas.

『Penyusup. Bagaimana mereka masuk?』
『Ada pendekar yang membunuh Epsilon. Kirim bala bantuan.』
『Beberapa panel tempat inkubasi rusak. Amankan sumber daya.』

Raksasa-raksasa mulai bergerak.

Sihir persepsi runtuh total.

Dalam hitungan menit, mereka akan mengerumuni kami.

Aku mencabut pedang.

“Benar. Aku yang sempat lupa diri.”

“Apa lagi? Lupa diri apanya?!”

“Ada deh.”

Pedangku keluar, memancarkan cahaya senja.

Pedang itu bergetar—bereaksi pada emosiku.

Ya.

Untuk situasi begini, siapa pun akan marah.

Mereka menyebut jiwa orang lain sebagai “sumber daya”?

Kurang ajar.

“Hah…”

Aku menggenggam pedang dengan dua tangan.

Satu tebasan kecil, halus seperti air mengalir.

Tidak terasa hambatan.

Sebuah garis horizontal muncul di permukaan bola.

Lalu—

KWOAAAAAANG!

Bola raksasa itu terbelah menjadi dua.

“AP—?!!”

Abel terbelalak.

Isi bola itu—jutaaan panel jiwa—meluncur jatuh.

Dan dari bidang pemotongan, jiwa-jiwa itu memancar seperti geyser cahaya.

“Lihat.”

Fantasion membelalak.

Seperti jeruk segar dipotong, airnya memancar.

Para raksasa berteriak tiga kali lebih keras.

Aku menoleh pada mereka.

Menggenggam pedang.

Tersenyum tipis.

“Benar… akhir-akhir ini aku memang malas.”

Aku memutar pedang.

Menunjuk para raksasa.

“Padahal seorang pendekar… tidak boleh malas menebas. Betul?”

2-24. Serangan Balik Besar (11)

『Apa pun yang terjadi, kita harus menghentikan mereka di sini. Beliau sedang mengawasi.』

『Waspadai para fana yang mengetahui keberadaan Raja Sebelum-Nya.』

『Fana busuk berani menginjak dunia kita—kugh!』

Raksasa itu jatuh tersungkur sebelum sempat menyelesaikan ucapannya.

Kapak bermata dua Fantasion menancap dalam-dalam di dadanya.

Begitu Fantasion mengulurkan tangan, kapaknya kembali ke genggamannya.

“Dengan ini… kita hampir sampai.”

“Sepertinya begitu! Hyaaah!”

Rettansie berteriak sambil membelakangi kami.

Kami berdiri di atas mayat raksasa yang ia kendalikan menggunakan telekinesis, bergerak maju menembus formasi musuh.

Setiap kali Rettansie melantunkan mantra, gelombang kekuatan tak terlihat mengguncang barisan raksasa, membuat mereka kehilangan keseimbangan.

Fantasion, Orse, dan Abel bertugas menghabisi sisa-sisa musuh yang terhuyung.

“Dasar para pengkhianat kotor.”

Abel mendengus.

Padahal kalau dipikir, dialah orang yang paling tidak berhak berkata begitu.

Sejak pertempuran dimulai sungguh-sungguh, dia menunjukkan dengan sangat jelas mengapa dirinya pernah naik ke posisi Pemimpin Nebula Clazier.

Setiap kali pedang putihnya menyala, sabit cahaya raksasa selebar dua puluh meter meluncur di udara.

Yang cukup cepat untuk menghindar selamat.

Yang mencoba menahan? Tubuh mereka terbelah berkeping-keping dan jatuh seperti hujan kotoran.

Abel menebas lima raksasa sekaligus, lalu tertawa kecil sambil menoleh padaku.

“Ini sangat memuaskan, keponakan. Bagaimana kalau kau buatkan aku beberapa botol lagi?”

“Siapa juga yang izinkan kau memanggilku begitu?”

“Peka sekali… yah. Sekarang aku mengerti kenapa kau sekuat ini.”

Ia memandangku dengan kekaguman yang tidak disembunyikan.

Dulu dia dipermalukan habis-habisan oleh para raksasa.
Kini, setelah menelan sebagian darahku… dia bangkit sebagai pembantai elit.

Kupikir-pikir, mungkin memberinya darahku memang tidak sepenuhnya keputusan buruk.

Abel menunjuk ke depan.

“Itu dia—gerbang dimensi. Tidak kusangka kita mencapainya secepat ini.”

Aku menoleh.

Sebuah pilar cahaya raksasa muncul dari kejauhan, menghubungkan dua lautan awan.

Dari dalam cahaya itu, raksasa-raksasa botak yang marah melompat keluar tanpa henti.

Jarak tersisa: hanya beberapa kilometer.

Aku mengusap darah yang menutupi wajahku.

“Seharusnya dari awal begini saja. Kenapa tadi aku membiarkan mereka hidup?”

Jiwa-jiwa yang terpenjara tadi sudah membangunkanku.

Seorang pendekar tidak boleh malas mandi darah.

Dan bajingan yang pantas mati harus menerima kematian yang paling menyakitkan.

Kami terus bergerak menuju pusat kota.

Tujuannya sama.
Perbedaannya: kami tak lagi bersembunyi.

Setiap raksasa yang terlihat—mati.
Setiap bangunan seperti gudang—dihancurkan.

Bahkan selain gudang, ada struktur lain:

Kristal penerima energi akar.
Kawah yang sepertinya tempat ‘mengisi ulang’ jiwa.

Semuanya menjijikkan.

Namun yang terburuk—

Adalah tempat kelahiran raksasa: Yolam.

Dan tepat saat itu, sebuah menara heksagonal terlihat.

“Ronan-nim! Itu yolamn—tempat mereka lahir!”

“Lihat. Yang ini aku yang urus.”

Bangunan itu sendiri membuat darahku mendidih.

Raksasa-raksasa ini tidak berkembang biak.
Mereka diproduksi.

Tidak ada cinta.
Tidak ada keterikatan.
Hanya proses industrial, dingin dan kotor.

Aku bersiap menebas bangunan itu ketika—

“Sebentar! Di atas!”

Fantasion berteriak.

Kami semua mendongak serempak.

Dari langit yang jauh di atas, puluhan sambaran petir turun seperti naga mengamuk.

Serangan itu jauh lebih kuat dari tombak cahaya biasa yang sering mereka gunakan.

“Ah, sialan. Merepotkan.”

Aku memutar tubuh.

Waktu melambat.

Cahaya yang tadi tampak seperti massa putih kini terlihat jelas bentuknya—jutaan kabel listrik bercabang bagai akar terbalik, memenuhi langit.

Aku menebas.

Ratusan tebasan bersilangan membentuk kubah rapat, menahan panas dan cahaya yang turun.

“Sisanya, aku urus.”

Abel menyusul, menangkis kilat yang lolos dari kubah tebasanku.

Hanya dia yang bisa mengikuti kecepatanku.

GRAAAAKK!

Guntur menggema belakangan.

Begitu cahaya mereda, tubuh raksasa-raksasa yang terlalu dekat muncul… hangus hitam.

“Oh, bagus. Mereka bahkan menewaskan rekan mereka sendiri sekarang.”

Angin berhembus, dan tubuh-tubuh hitam itu hancur menjadi debu, tertiup pergi.

Rettansie dan Fantasion baru sadar apa yang terjadi.

“Hiyaa! A-apa itu barusan?!”

“Kita… kita selamat?”

“크으으! Aku lagi-lagi tidak melihat apa pun!”

Orse menggertakkan gigi.

Hal seperti ini sudah beberapa kali terjadi.

Mereka bertiga—meski kuat—belum bisa melihat apa yang kulihat.

Aku mengaktifkan aura lagi, menatap langit.

“Mulai pakai otak rupanya.”

Raksasa yang menembakkan kilat itu tidak lagi terlihat.

Sebaliknya—

Ratusan makhluk cahaya berbentuk binatang beterbangan, seperti kunang-kunang raksasa.

"Crrr! Kkiyaak!"

"Gurreuk!"

Semacam benteng bergerak.

Aku mempersempit pandangan.

Di atas makhluk-makhluk itu, tampak puluhan raksasa berformasi.

Mayoritas memiliki enam sayap, dan dari pakaiannya mereka terlihat seperti unit khusus.

Salah satu dari mereka berkata:

『Penyusup masih hidup. Siapkan serangan berikutnya.』

“Badan segede itu tapi cuma bisa nembak dari jauh? Sekali saja turun dan hadapi aku, dasar pengecut!”

Aku menggeram ke arah langit.

Tidak ada jawaban.

Setelah kehilangan ratusan pasukan, para raksasa itu akhirnya mulai mengambil jarak aman dariku.

Dan benar, dari jarak itu—tebasanku sulit dijangkau.

Ditambah kawanan binatang cahaya itu, yang jelas dibuat untuk menghalangi jalur seranganku.

Unit di ketinggian mulai memanggil petir lagi.

Arus listrik berkumpul di tangan mereka.

Orse, yang dari tadi ikut mengawasi, tiba-tiba memanggilku.

“Ronan!”

Nadanya panas. Marah.

Dia benci hanya jadi tameng.

Tidak perlu penjelasan.

Aku menangkap tangannya.

Sayap-sayapnya meledak terbuka—empat helai sekaligus—dan ia menembak naik.

KWOAAAAA!!

Angin menghantam kulit wajahku seperti cambuk besi.

Makhluk-makhluk cahaya beterbangan panik, tapi tidak bisa menghentikan kami.

Serangan petir para raksasa meluncur—nyaris mengenai kami—namun Orse memaksa menerobos.

Begitu menembus ‘dinding’, ia memutar tubuh dan melemparku sekuat tenaga.

“Kuaaaah!!”

“Bagus!”

Kecepatan pun meningkat dua kali lipat.

Cahaya senja membungkus pedangku.

Kini, tidak ada apa pun yang menghalangi jalur antara aku dan pasukan raksasa khusus itu.

Mereka gelisah.

『Berbahaya. Naikkan ketinggian.』
『Gagal mencegat. Panggil bala bantuan—』

Tidak akan kubiarkan.

Aura meledak di tangan.

Cahaya oranye berputar seperti badai… lalu merenggut mereka.

Raksasa-raksasa itu ditarik—seperti ikan asin yang terjebak jaring—ke jalur tebasanku.

Aku tidak mengurangi kecepatan.

Pedang menebas.

Dan terasa seperti melewati kabut yang dipenuhi tubuh raksasa putih.

Begitu keluar dari formasi—

PUEEEARGH!!

Puluhan tubuh meledak.

Darah biru membentuk hujan, menodai lautan awan.

Salah satu raksasa tersisa berbisik ngeri:

『B-bahkan pasukan Hukuman suci… gughh—!』

Tepat sebelum ia jatuh, tombak Orse menembus dahinya.

DUAAANG!!

Aku mendarat di posisi awal, tubuh bersimbah darah biru.

Ratusan raksasa mengelilingi kelompok kami dalam sekejap.

『Musnahkan.』

“Ah… sudah lama tidak merasakan ini.”

Tapi bukan rasa takut.

Justru sebaliknya—

Tubuhku lebih hidup dari sebelumnya.

Sejak menginjak dunia botak ini, kondisiku membaik tanpa henti.

Dan bukan hanya aku—

“Hik… kkuu… hihihi…”

Terdengar cegukan manja.

Pedang suci—yang kini menjadi perwujudan Rin—bergetar di tanganku.

Aura panas membentuk fatamorgana, melengkungkan udara.

Semakin banyak darah minumannya, semakin tajam bilahnya—

Dan sekarang ia seperti bisa mengiris ruang itu sendiri.

“Rin. Kau baik-baik saja?”

“K—kuuhk… Hihihi… tentu sajaaa…”

Suaranya… manja.
Berbeda jauh dari biasanya.

Sepertinya dia mabuk darah.

Parah sekali.

Kemudian ia berkedip—dan bicara lagi.

“Ronan…”

“Hm?”

“Kamu itu… hik… jangan ge-er, ya? Jangan sok lucu… kalau Nuna mau, Nuna bisa menggoda anak kayak kamu kapan aja. Huu… kenapa aku jadi kesal tiba-tiba?”

Aku kosong.

Sungguh tidak tahu bagaimana harus merespons.

Kami sedang di tengah perang dan dia malah—

“Kyaah… kenapa tubuhku nggak balik seperti dulu? Huu… sampai kapan harus begini…”

“Kau sepertinya tidak baik-baik saja.”

“Ronan… Nuna dulu… hff… gila cantiknya… tinggi… montok… tanya saja ke Valon… tahu kan Valon? Si kakek di singgasana itu… dulu masih bocah… selalu nempel sama aku…”

Astaga.

Pedangku bau alkohol padahal tidak ada alkohol satu tetes pun.

Dan Valon—tentu saja Valon yang dimaksud adalah Kaisar pertama dalam sejarah.

Ternyata aku membawa sejarah hidup dalam bentuk pedang.

Ini tidak bisa dibiarkan lebih jauh.

“Ehem. Nenek. Anda mabuk.”

“A-apa?! Nenek? Kau bilang apa barusan?!”

“Ah, sial!”

Pedang itu bergetar—seperti disambar listrik.

Tubuhku bergerak sendiri.

Serangan lebar membelah udara.

“Berani-beraninya kauuu!!”

Pedang berdesis seperti logam cair.

Lingkaran tebasan raksasa muncul.

Ribuan bilah aura menyembur ke segala arah.

Mayat raksasa berlubang-lubang berjatuhan.

Aku sendiri hampir bersiul.

Sekali tebas:

Sebagian besar pasukan musuh lenyap.

Tubuh raksasa yang bolong seperti keju jatuh ke laut awan, tidak pernah muncul lagi.

Yang lain menatap dengan mulut menganga, tapi aku tidak sempat menikmati itu.

Suara menggeram terdengar di kepalaku.

“Ulangi. Apa yang kau bilang barusan?!”

“Sial… Kukatakan, Nuna itu sangat cantik!”

“……Nuna?”

“Ya! Kalau kita satu akademi, aku pasti tanya Nuna ikut kelas apa! Sekarang tenanglah, tol—tolong!”

“Fufu… iya ya…
Kau… memanggilku Nuna…”

Getaran mereda.

Cahaya pedang kembali normal.

“Huhum… bagus begitu… sangat enak didengar…”

“Aku… akan balas ini suatu hari.
Sekarang bisakah kita bertarung normal?!”

“Hihihi~ tentu saja. Lakukan sesukamu, Ronan~”

Rin akhirnya diam.

Aku menghela napas panjang.

Ternyata pedang suci punya sifat mabuk dan bacot.

Sungguh pengetahuan yang tidak ingin kuketahui.

Rettansie melihatku bingung.

“Ro-Ronan-nim? Kenapa Anda bicara sendiri…?”

“Tidak penting.”

Aku tidak berniat menjelaskan.

Aku kembali menatap yolam.

Di dasar menara, sebuah raksasa baru saja selesai ‘diproduksi’.

“Busuk.”

Tetap menjijikkan meski kulihat berkali-kali.

Bola cahaya berbentuk rahim itu perlahan membentuk lengan, kaki, sayap.

Dan tentu saja—bahan bakunya masih jiwa-jiwa hasil rampokan.

Lebih mirip pabrik daripada tempat kelahiran.

DUUAAANG!

Aku menerjang.

Saat aku tiba, bayi raksasa itu membuka mata.

Bibir tebalnya bergerak perlahan.

『…Siapakah kau?』

“Selamat ulang tahun.”

Pedang turun.

Tebasan vertikal membelah bayi raksasa dan bangunan yolamnya.

GRUUAAAK!!

Dua massa raksasa itu runtuh ke laut awan.

Para raksasa terdekat berseru panik.

『Yolam…!』

『Manusia biadab, tidakkah kau takut pada Penghakiman?』

“Penghakiman?”

『Dosa-dosamu takkan diampuni. Siksaan neraka menunggumu, selama-lamanya—』

Aku tertawa pendek.

Bahkan di dunia botak, membunuh makhluk yang baru lahir dianggap dosa berat.

Terserah.

Aku menarik aura.

Dan raksasa yang barusan bicara—melayang ke depanku, terseret paksa.

Srek!

Kepalanya melayang.

『B—』

“Apa penghakiman…
Yang tidak pulang di sini—
kalian.

Darah biru menodai wajahku lagi.

Sebelum kepala itu jatuh, aku tusukkan pedang menembus tengkoraknya.

Matanya membelalak, masih hidup.

Aku mendekat dan menyemburinya.

“Kalau bicara soal neraka—
AKU nerakamu.

Sisanya cepat selesai.

Kami memotong habis yang tersisa.

Dan akhirnya—

Cahaya gerbang dimensi menelan kami.

2-25. Serangan Balik Besar (12)

“Baik. Tarik napas dulu. Kalian semua sudah bekerja keras.”

“Huahhh… aku hidup…”

Rhetansie terjatuh duduk.

Angin yang bertiup dari balik awan menyapu keringat di tubuh kami.

Kami sedang duduk di atas yalam yang hancur.

Dari pilar heksagonal tempat semua jiwa telah tersedot keluar itu, tak ada lagi raksasa yang akan lahir.

Gerbang dimensi menuju titik berikutnya berpendar terang tepat di depan kami.

“Masih berapa kali lagi? Dua kali?”

“Entahlah… apa pun situasinya, yang jelas kita sudah sangat dekat dengan Asal.”

Abel bergumam.

Penampilannya kini seperti orang yang disiram cat biru dari kepala sampai kaki.

Begitu pula dengan kami semuanya.

Selama menghancurkan tujuh belas kota, kami telah membantai jumlah raksasa yang bahkan sukar dihitung.

‘Aku penasaran bagaimana keadaan di permukaan.’

Mungkin seperti kanvas yang disiram cat—cukup indah dilihat.

Raja belum juga muncul.

Melihat dia diam saja sementara bawahannya mati berguguran, pantatnya pasti sangat berat untuk bergerak.

Setiap kali kami membunuh raksasa, menghancurkan kota, dan melewati sebuah gerbang dimensi, kami makin mendekat ke Asal.

“Mirip dengan dulu. Sensasinya sama seperti saat mendekati tempat itu.”

“Ya, aku juga tahu maksudmu.”

Aku setuju.

Kepadatan udara di sini benar-benar berbeda.

Mana yang berkilau di dunia asal kami rasanya nyaris tak ada artinya dibandingkan di sini.

Setiap kali menghirup napas, terasa partikel—inti kekuatan para raksasa—meresap ke tubuh.

Rhetansie berkata:

“Sepertinya jumlah raksasa makin sedikit. Apa mungkin mereka menyerah? Atau jangan-jangan memang tidak ada pasukan tersisa…?”

“Mana mungkin. Kalau berkurang drastis begini, berarti mereka cuma mengubah strategi. Pasti mereka sedang menunggu kita di satu titik, semua pasukan berkumpul. Kita sudah mempersiapkan rencana untuk skenario itu, jadi kenapa kamu masih berharap hal yang tidak masuk akal?”

“Uuuh… iya juga sih…”

Rhetansie menunduk.

Ia lalu menciptakan api unggun kecil dengan sihir di tengah kelompok.

Hangatnya meresap, mengusir dingin yang mulai menggigit tubuh.

Aku menoleh pada dua makhluk besar di sampingku.

“Kalian bagaimana? Baik-baik saja?”

“Ya. Bahkan keadaan semakin bagus.”

“Sialan… apa sebenarnya yang tercampur di darahmu?”

Phantasion mengangguk.

Orshe, yang tetap cerewet seperti biasa, juga tampak dalam kondisi baik.

Baguslah.

Aku sudah donorkan darah begitu banyak untuk mereka.

“Syukurlah efeknya bekerja. Dan tidak ada efek samping—buktinya rambut kalian belum rontok.”

“Tapi sudah cukup. Kekuatan yang tidak kau peroleh sendiri suatu hari akan membawa bencana. Kau pun harus berhenti mengorbankan darahmu untuk kami.”

Tatapan Phantasion jatuh pada lenganku.

Di sana, bekas suntikan darah ditutup perban kumal.

Pertempuran melawan para botak berlangsung jauh lebih lama dan keras dari perkiraan, jadi aku membuat minuman dari darahku yang diencerkan (ya, cuma campuran air), lalu kubagikan satu botol untuk masing-masing.

Lihat efeknya yang luar biasa pada Abel, aku coba berikan pada yang lain—dan entah mengapa kemampuan mereka semua meningkat drastis.

Termasuk Rhetansie, yang terbiasa minum sedikit sebelumnya.

Apa karena konsentrasinya makin pekat?

“Aku memang tidak berniat menambah lagi. Kau kira darahku vitamin?”

“Bagiku tidak masalah. Semakin banyak semakin baik. Kalau kau mau memberiku satu botol versi murni— urk!

Sebelum Abel selesai bicara omong kosong, tinjuku mendarat tepat di ulu hatinya.

Ia menggumamkan kata-kata terkutuk lalu jatuh tersungkur.

Sebenarnya bukan ide buruk… tapi aku tak bisa menebak apa yang bakal dilakukan ‘paman paralel’ itu setelah kembali ke puncak kekuatannya.

“…….”

Keheningan pun turun.

Kami memejamkan mata sebentar atau menatap kosong ke angkasa, menikmati jeda singkat itu seperti hujan pertama setelah kemarau panjang.

Entah ini bagian dari strategi busuk mereka untuk membuat kami lengah atau bukan, tapi bila musuh memberi waktu istirahat, kami tentu akan memanfaatkannya.

Tiba-tiba, Rhetansie yang menatap api bergumam:

“...Kalau kita membunuh Raja Raksasa dan menghancurkan Asal, apakah kedamaian akan datang?”

“Mungkin. Kita juga harus membantai si bajingan bernama Akasha atau siapa pun itu.”

“Maaf.”

“Mendadak?”

“Hanya saja… aku sangat menyesal.”

Suaranya lembap.

Ia menoleh padaku.

“Ronán-nim. Sejujurnya… aku agak bahagia sekarang.”

“Pantas dari tadi aura bahagiamu kelihatan. Kamu juga suka dipukul kan?”

“A-aku tahu itu terdengar aneh. Tapi… rasanya hanya fakta bahwa aku masih hidup dan bisa bernapas pun sudah membuatku bahagia. Manusia bisa bersyukur untuk hal yang begitu sederhana… jadi mengapa dulu aku melakukan semua itu demi kekuasaan? Abadi pun apa hebatnya…”

Ia tampak menyesali dosa masa lalu sebagai Nebula Clazié.

Di sampingnya, Phantasion mengigiti bibir dengan ekspresi getir.

Diam-diam menatapnya, aku lalu mengulurkan tangan.

“Rhetansie.”

“Ronán-nim…”

Ia tersenyum canggung.

Sepertinya ia mengira aku hendak mengusap kepalanya.

Yah… hampir benar.

Tangan yang hampir menyentuh kepalanya berubah menjadi tinju.

BOG!!

Aku melayangkan pukulan tepat ke ubun-ubunnya.

Rhetansie yang memejamkan mata menjerit sambil jatuh terguling.

“Aaaakh!”

“Baru sekarang sadar? Tidak heran kamu jadi bajingan dulu. Kesadaran moral secepat siput.”

“K-kepalaku! Pecah! Pecahhh!”

“Stop berakting sedih. Kalian sudah terlalu jauh untuk menyesali masa lalu. Jangan buang energi pada penyesalan tak berguna—fokus saja pada apa yang harus dilakukan sekarang.”

Penyesalan tidak memberi satu pun keuntungan di situasi ini.

Aku berdiri sambil merapikan kerah.

Rhetansie menggelimpang sambil menatapku seolah ingin menggigit.

Bagus. Justru racun semacam itu yang dibutuhkan sekarang.

“Lagipula, kecuali Orshe, kalian semua memang bajingan. Dan manusia yang sudah jadi anjing hanya bisa mengubur kotoran yang sudah dia sebarkan sendiri. Bicara tentang kebahagiaan nanti saja setelah kalian selesai bersih-bersih.”

“Benar sekali.”

Phantasion tersenyum tipis.

Yang lain pun berdiri satu per satu.

Sesaat istirahat membuat kondisi kami jauh lebih baik.

Aku membasuh wajah, lalu melangkah menuju pilar cahaya.

“Ayo. Mari kita akhiri semuanya.”


Setelah melewati lima gerbang dimensi lagi, akhirnya kami tiba di tujuan.

Melewati gerbang raksasa berbeda dengan teleportasi sihir.

Awalnya sama—cahaya putih memenuhi pandangan.

Namun ketika langkah memasuki pilar cahaya, sensasinya tak bisa dijelaskan.

Seperti jatuh ke dasar jurang tak berujung—atau melesat ke langit tertinggi.

Bisikan asing menggema di telinga tanpa henti.

Anehnya, tidak membuat mual.

Lalu tiba-tiba pandangan terbuka luas.

Aku bersiul pelan.

“…Akhirnya sampai.”

Setiap elemen di hadapan kami adalah bukti bahwa ini adalah titik akhir perjalanan.

Di kejauhan, sekumpulan cahaya putih mendidih—itulah yang diduga sebagai Asal.

Massa cahaya berdenyut seperti jantung hidup, memuntahkan mana berkilau.

“Itu Asal, kan?”

“Ya. Pasti.”

Abel mengangguk.

Menghancurkan itu adalah misi final kami.

Tidak mudah, baik dari segi jarak maupun pertahanan.

Petunjuk kedua: langit yang berputar di atas kami.

Berbeda dari sebelumnya, awan membentuk pusaran seperti badai yang mengintip dari langit.

Sesekali kilat menyambar, memperlihatkan bayangan raksasa yang muncul lalu menghilang.

Benar-benar menyeramkan, seperti sesuatu siap menerkam kapan saja.

Rhetansie—baru keluar dari pilar portal—mengeluarkan desahan kecil.

“…Ah.”

“Kau bahkan tidak menjerit? Kupikir kau langsung pingsan.”

“Kalau kepalaku tidak terlalu sakit, mungkin sudah.”

Ia menggigit bibir bawah.

Mata besarnya berair.

Petunjuk ketiga juga berada di langit.

Saat seluruh anggota berkumpul—

『Kalian… pikir bisa kembali hidup setelah melakukan semua itu?』

Suara yang menembus dunia bergema.

Sulit mengidentifikasi siapa yang berbicara.

Aku menyibakkan rambut depan dan tertawa kecil.

“Banyak juga yang berkumpul.”

『Manusia fana yang congkak.』

Cahaya mereka begitu menyilaukan hingga mataku perih.

Kepakan sayap mereka memekakkan telinga.

Aku perlahan memandang sekitar.

Kiri, kanan, atas, bawah—semuanya.

Di mana pun mata memandang, raksasa bersayap memenuhi ruang.

Kulit kepala mengilap mereka memantulkan cahaya ke wajah kami.

Seolah seluruh raksasa di bintang ini berkumpul di sini.

Kecuali satu.

Aku menatap sembarang raksasa dan bertanya:

“Rajamu ke mana?”

『Sombong. Beliau tidak akan menodai diri berhadapan dengan makhluk remeh.』

“Makhluk remeh, ya… sampai begini pun kalian masih ngomong begitu.”

Aku tertawa kecil.

Rhetansie memandangku seolah aku sinting.

Abel, Phantasion, dan Orshe juga tampak tegang.

Aku kembali bicara.

“Eh, lucu kan?”

『Lucu?』

“Ya. Kalian selalu jadi pihak yang menginjak. Saat bosan, kalian hancurkan planet lain, jebak jiwa orang mati lalu hisap seperti permen… kalian berkembang dengan menjagal semuanya. Kuat sejak lahir, tak pernah merasa terancam. Bahkan kupikir aku mulai mengerti kenapa Abel kehilangan akal dulu.”

『Apa maksudmu?』

“Situasi ini lucu. Posisi berbalik. Rasanya bagaimana? Diobrak-abrik makhluk yang kalian anggap lebih rendah dari serangga?”

Inginku terlihat serius, tapi aku sulit menahan tawa.

Jawaban datang cepat.

『Ini hanya anomali sesaat. Kalian tidak akan pernah menjadi ancaman.』

“Oh, begitu.”

『Kasihan sekali mulutmu masih mencoba mempertahankan hidup… sekarang pasrahlah menerima akhir kalian.』

Nada mereka seperti mengasihani.

Saat raksasa itu selesai bicara—

Semua raksasa di sekeliling kami mengangkat tangan.

Partikel putih berkumpul membentuk senjata.

Ada yang membentuk tombak, ada yang membentuk petir.

Semuanya ditujukan untuk membubarkan kami—secara harfiah.

Abel berbisik:

“Hey. Jadi kita benar-benar pakai rencana itu?”

“Tentu saja. Ada opsi lain? Lagipula prediksiku tepat, kan.”

“Gila. Kau benar-benar gila.”

Abel menggeleng lelah.

Dia masih tidak suka rencana yang kususun.

Tapi pada titik ini, ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Raksasa mulai melantunkan mantra.

『Terimalah akhir kalian.』

『Terimalah akhir kalian.』

『Terimalah akhir kalian.』

Begitu banyak suara hingga rasanya seluruh dunia berbicara.

Saatnya mulai.

Orshe di sisi kiriku menggeram seperti binatang.

Aku mengangkat jari tengah ke arah raksasa.

“Mampuslah kalian. Kuperingatkan: kalau kalian gagal menghentikan kami, kalian yang punah.”

『Kasihan. Bahkan sekarang masih percaya pada keajaiban…』

Belum selesai ia bicara.

Aku melompat.

Bersamaan itu, tubuh Orshe membengkak seperti ledakan.

KWAAAAA!!

Dalam sekejap ia berubah menjadi naga hitam raksasa, menyemburkan api ke langit.

【Hilanglah! Sampah menjijikkan!】

“A-aku juga menyerah sajaaa!!”

Langit memerah.

Raksasa yang tersambar api menggelepar.

Kelompok kami ikut bergerak.

Sihir telekinesis Rhetansie meledak ke segala arah, mengguncang medan perang.

“MYIIIIG!”

Phantasion melempar kapaknya.

Bersama tubuh yang kini ikut membesar, kapak bermata ganda itu menciptakan lengkungan besar yang memotong para raksasa.

Serangan yang diperkuat darahku memotong raksasa bersayap empat hanya dengan sekali tebas.

Puluhan raksasa roboh atau lumpuh dalam hitungan detik.

『Percuma saja.』

Namun jumlah mereka terlalu besar.

Balasan datang cepat.

『Biarlah cahaya bintang menelan kalian.』

“Terus serang!”

Tombak dan petir hujan dari segala arah.

Perisai Rhetansie menahan sebagian, tapi tidak semuanya.

Sebuah tombak lolos dan hampir menusuknya—

SRAK!

Tombak itu terbelah dua sebelum menyentuh tubuhnya.

Serangan berikutnya juga terpotong sebelum mendekat.

Abel muncul dengan napas terengah.

“Hff… bajingan kalian… kalau kita gagal, takkan kuampuni!”

Tugasnya: menghancurkan semua proyektil.

Ia bergerak melampaui persepsi, menangkis dua puluh satu serangan dalam satu detik.

“Keparat, masih jauh?!”

Aku tidak menjawab.

Ya, sedikit jauh.

Tapi hampir.

“Sabar… sebentar lagi.”

『Tunggu. Kau—』

Raksasa yang kupijak tersentak.

Aku menjawab dengan tebasan.

Tubuh tanpa kepala jatuh ke bawah.

Sementara kelompok menyita perhatian mereka, aku menembus formasi menuju Asal.

Salah satu raksasa bersayap enam akhirnya sadar.

『Satu lagi…?!』

“Cepat sadar juga, tolol.”

Aku tak peduli, terus maju.

Setiap lompatan memperpendek jarak dengan Asal.

“Tambah kecepatan.”

『Keugh!』

Otot pahaku menegang.

KUWAANG!!

Bahu raksasa yang kupakai berpijak amblas.

Aku melesat.

Raksasa menoleh panik, tapi aku sudah menghilang.

Itu intinya.

Aku bergerak terlalu cepat untuk dilacak.

Raksasa yang menghalangi langsung kutebas.

Darah biru muncrat.

Hingga akhirnya—Asal hanya berjarak ratusan langkah.

Massa cahaya yang berdenyut itu makin jelas.

Hampir mustahil menghentikanku sekarang.

『Itu tipu muslihat! Hentikaaaan!!』

Semua perhatian raksasa kini tertuju padaku.

Serangan yang tadinya diarahkan ke kelompok kini ditujukan sepenuhnya padaku.

Tapi menyerangku tidak semudah itu.

Dengan raksasa-raksasa besar ini sebagai penutup, aku terus melaju.

Ledakan terjadi.

Raksasa yang terkena serangan sesama raksasa pun berjatuhan.

Hingga akhirnya—

SRAK.

Aku menebas satu raksasa terakhir.

Di belakangnya, Asal tampak jelas.

“Sudah sampai.”

『Tidak!!』

Teriakan bergema.

Aku mengayunkan pedang.

Cahaya berbentuk bulan sabit meluncur, hendak membelah Asal—

Lalu bulu kudukku berdiri.

Aku menengadah.

KWAAAAAAA!!

Sebuah pedang raksasa—lebih besar daripada bangunan—jatuh dari langit, membelah awan.

Hampir saja menimpaku.

Seranganku terpental dan meledak.

“Akhirnya muncul.”

Aku tak kecewa.

Sudah kuperhitungkan.

Dengan kondisi situasi seperti ini, mana mungkin ia menahan diri?

Satu-satunya raksasa yang bisa mengangkat pedang seabsurd itu hanya satu.

Aku mengangkat kepala dan menyeringai.

“Tak mau mati rupanya. Dasar raja pengecut.” 

 

 

Nunaaluuu Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review