Selasa, 11 November 2025

Chapter 181-190

 

181. Aku Adalah Penyihir Hitam – 1

Halaman depan Cheongwadae seketika berubah menjadi lautan kekacauan.

Para wartawan meninggikan suara, menumpahkan amarah dan kebingungan mereka.

Mereka sudah berebut tempat sejak pagi, menahan lapar dan haus demi posisi terbaik.

Dan jawaban yang mereka dapat hanyalah—

“Aku adalah Penyihir Hitam.”

Apa ini? Lelucon? Sebuah sandiwara?

Semuanya menatap Kim Minjun dengan tatapan campur aduk antara marah dan tidak percaya.


‘Kim Minjun-ssi! Katanya Anda baik-baik saja!’

Situasinya kini hampir seperti kerusuhan kecil.

Jumlah orang terlalu banyak untuk dikendalikan hanya dengan suara.

Saat Shin Sehyeong mulai tampak gelisah, Kim Minjun mengangkat tangannya tinggi-tinggi agar semua bisa melihat.


Ssshhh—!

Bayangan di belakangnya bergetar, dan dari sana muncul sosok raksasa berwarna hitam pekat.

Dark Sider.


“E-eeeh?!”
“Uwaaa! Monster!”

Tubuh kekar, mata merah membara, dan aura kematian yang memancar dari setiap inci kulitnya.

Jika di tangannya digenggam sabit, ia benar-benar akan tampak seperti Sang Penuai Jiwa.

Jeritan dan langkah mundur para wartawan bergema serempak.


“Tidak perlu takut. Ini adalah summon yang aku panggil sendiri.”

Ssshhh—

Bayangan di bawah kaki Minjun bergulung hidup seperti makhluk hidup yang bernapas.

“A… apa itu?!”
“Itu bergerak sendiri?!”

Wartawan yang tadi menyoraki kini hanya bisa menatap dengan mulut ternganga.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang menegangkan.

Lalu, seolah disihir, semua orang mulai mengangkat kamera mereka.

Klik! Klik! Klik!

Tak ada yang bicara. Hanya suara jepretan kamera memenuhi udara.

Mereka ingin bertanya banyak hal, tapi tak satu pun mampu membuka mulut.

Udara seakan menekan dada mereka.


‘Sial… kakiku gemetaran.’

Wajar saja.

Mereka sedang menyaksikan bayangan hidup yang menjalar seperti ular, dan monster mirip malaikat maut berdiri di tengah siang bolong.

Itu bukan efek visual. Bukan trik kamera.

Rasa takut yang menembus tulang membuktikan—semuanya nyata.


“Kalian tampak terlalu tegang, ya.”

Kim Minjun tersenyum santai ke arah kerumunan wartawan.

Reaksi mereka sudah ia perhitungkan sejak awal.

Bahkan, kenyataan bahwa tidak satu pun dari mereka kabur sudah cukup mengejutkannya.


“Masih banyak hal yang ingin aku tunjukkan. Siapa yang mau jadi relawan pertama?”

“Sa-saya! Kim Sangguk, reporter dari Korea Ilbo!

“Oke, Reporter Kim Sangguk. Yuk, kita siarkan langsung lewat YouTube streaming.”

“Ha! Serius, boleh begitu?!”


Semua wartawan sontak gempar.

Kim Minjun baru saja menawarkan kesempatan wawancara langsung—dan eksklusif!

Setelah memperlihatkan beberapa skill-nya, ia akan memberi satu media hak siar tunggal.

“Kim Minjun-ssi! Saya dari Goryeo Ilbo! Saya juga—”
“Saya dari Maeil Ilbo! 저도 부탁드립니다!”

Namun, kesempatan itu hanya datang sekali. Bus sudah berangkat.

“Reporter Kim, silakan ikut saya.”

“Te-terima kasih! Saya akan melakukan wawancara sebaik mungkin!”


Reporter itu pun naik ke kendaraan militer bersama Kim Minjun, menuju markas khusus.


**

“Shin Sehyeong-ssi! Apa yang baru saja saya lihat itu apa, tolong jelaskan!”

“Yang tadi diperlihatkan Kim Minjun daeryeong… itu apa sebenarnya!”

Tak lama setelah siaran langsung itu, Korea—tidak, seluruh dunia—bergejolak.

Video konferensi pers itu menyebar seperti badai.

Kini semua mata dunia tertuju pada Kim Minjun.


Namun bahkan sebelum kebingungan mereda, muncul kabar baru—

Hunter Headquarters akan mengadakan wawancara resmi bersama Kim Minjun daeryeong.

Para jenderal markas besar Hunter gempar.

“Ini gila! Tidak bisa seenaknya begitu!”

Namun Shin Sehyeong menekan mereka dengan tegas.

“Ini akan menjadi pengumuman besar. Informasi yang seluruh dunia harus tahu.”

Ia menatap mereka satu per satu dengan tatapan keras.

“Ini tentang hakikat kekuatan Kim Minjun daeryeong. Dan juga—ancaman yang akan datang.”

“Ha… hakikat kekuatan? Ancaman apa maksud Anda?”


Mereka adalah petinggi markas Hunter.

Bahkan permintaan dari Cheongwadae tidak bisa mereka terima begitu saja.

Satu kali pengecualian bisa jadi dua kali, lalu tiga kali.

Aturan adalah segalanya.

Namun—


Ssshhh—!

“Hiik!”

Begitu summon hitam yang mengikuti Kim Minjun muncul di balik pintu, semua jenderal sontak mundur setapak.

Tidak ada yang berani membantah lagi.


**

“Kim Minjun-ssi! Kamera sudah siap!”

Di dalam training ground khusus, suasana menegangkan.

Reporter menyiapkan peralatan, sementara Shin Sehyeong memeriksa naskah dan materi tayangan dengan cermat.

Siaran ini pasti akan disaksikan oleh jutaan orang di seluruh dunia.

Untuk membuat mereka percaya tanpa merasa ditipu, semuanya harus sempurna.


“Kalau saja kita punya waktu tiga hari lagi untuk penyempurnaan….”

Shin Sehyeong menghela napas panjang sambil memeriksa dokumen.

Mereka sempat menyiapkan data dengan tergesa-gesa, tapi tetap saja—ini terlalu cepat.

“Waktu terbaik adalah sekarang.”

Kim Minjun tersenyum tipis.

Bagi orang lain mungkin tampak nekat, tapi ia sudah memperhitungkannya.


‘Tentang kekuatan ini… aku sudah pikirkan sejak awal.’

Tak ada gunanya membuat Korea saja mengerti.

Seluruh dunia harus tahu, sekaligus diyakinkan.

Untuk apa? Untuk mempersiapkan diri dua tahun ke depan.


Insiden saat latihan gabungan Korea–AS menjadi alasan sempurna untuk membuka semuanya.

“Dan lihat ini.”

Ia menunjuk layar laptop.

Jumlah subscriber kanal resmi Hunter Army sedang melonjak dengan kecepatan gila.

“Belum siaran pun sudah begini.”

“…Jadi alasan Anda ingin streaming ini… untuk promosi?”

“Tepat sekali. Kalau kanal YouTube ini membesar, efek promosinya luar biasa. Saya dengar jumlah Hunter baru makin sedikit, kan?”

“Jadi alasan Anda memilih tempat di training ground juga bagian dari perhitungan?”

“Betul. Shin Sehyeong-ssi memang jeli sekali.”


Shin Sehyeong menghela napas.

Sekilas Kim Minjun tampak spontan, tapi di balik itu ada strategi matang yang menakutkan.


“Kim Minjun-ssi! Semua sudah siap!”

“Oke. Shin Sehyeong-ssi, Anda siap?”

“Haa…. Baik.”

Begitu Shin Sehyeong menarik napas panjang, siaran pun dimulai.


[Oh! Itu beneran Kim Minjun!]
[Yang tadi ditunjukkin apaan barusan?!]
[Itu skill?!]
[Wtf, bayangan di belakangnya masih nongkrong, loh!]
[Anjir… real time?!]
[Kenapa donasinya ditutup, bang buka dong!!!]

Komentar mengalir deras, dan jumlah penonton naik seperti roket.

Bukan cuma Korea—tapi juga Amerika, Rusia, Cina, Jepang… seluruh dunia menonton.


“Annyeonghaseyo! Saya Kim Sangguk, reporter dari kanal Hunter Army!”

“Saya Kim Minjun daeryeong, dari Divisi 104 Hunter Army, Unit Tak Terkalahkan. Senang bertemu.”

Awalnya, wawancara berlangsung ringan seperti skenario awal.


“Sekarang nama Kim Minjun daeryeong sudah dikenal seluruh Korea! Dan ternyata—beliau adalah seorang Heugmabeopsa (흑마법사 / Penyihir Hitam)!”

Alasan Kim Minjun menyiarkan sendiri, bukan lewat saluran militer resmi, cukup jelas.

Ia tidak percaya pada atasan-atasan di atas sana.

Mereka mungkin akan menutupi, atau bahkan memutarbalikkan isi pesannya.


Lagipula, di antara para perwira sendiri sudah ada yang “tidak normal.”

Bukankah baru-baru ini seorang perwira menembak tentaranya sendiri saat penyerbuan gate besar?

Jika perwira menengah saja begitu, bagaimana dengan para jenderal?

‘Sekalian kirim peringatan buat mereka.’

Ia akan segera keluar dari unitnya, dan tidak bisa lagi mengawasi dari dalam.

Jadi, ini adalah caranya untuk menyampaikan pesan ke publik—langsung dan transparan.

Bukan hanya soal dunia lain, tapi juga tentang kebobrokan di tubuh Hunter Army.


“Skill yang saya miliki ada dua puluh enam.”

“Dua puluh… enam?!”

“Itu jumlah yang mustahil bagi Hunter biasa.”

Reporter menelan ludah, lalu Kim Minjun bangkit berdiri.

Ia berjalan menuju arena latihan, dan mulai memperlihatkan satu per satu skill-nya.


Ssshhh—

Energi hitam mengalir di udara, membentuk kabut tebal.

Beberapa benda di sekitar mulai berubah bentuk, melayu, lalu membusuk seketika.

Benar-benar aura sihir hitam.


[…….]
[Wah… gila.]
[Itu nyata, kan? Itu beneran?]
[Meja itu… busuk?! Langsung hancur!]

Para penonton terpaku.

Bahkan reporter dan Shin Sehyeong yang sudah tahu sebelumnya pun masih terpana.

Itu bukan skill Hunter biasa.

Apakah manusia benar-benar bisa menguasai kekuatan sebesar itu?


“Sekarang, izinkan saya bercerita tentang masa lalu saya.”

Kim Minjun mematikan efek skill-nya dan duduk kembali.

Tanpa memberi jeda, ia mulai berbicara.


“Dua tahun lalu, ketika saya berusia sembilan belas tahun… saya dipanggil ke dunia lain bernama Isgard.

Isgard—
Sebuah dunia di dimensi lain.

Kim Minjun dipanggil oleh seorang saengnyeo (성녀 / saintess) dan diberikan kelas Heugmabeopsa (흑마법사 / Penyihir Hitam).

Sekilas terdengar seperti mimpi setiap orang—dunia fantasi, kekuatan besar, skill yang megah, gelar sebagai yongsa (용사 / pahlawan).

Namun—

Kisah setelahnya sama sekali bukan dongeng.


“Bagi Bumi, dua tahun berlalu. Tapi di sana… aku hidup selama dua puluh tahun. Setiap hari adalah medan perang. Neraka.”

Begitu dipanggil, ia dilempar ke barisan depan dengan senapan yang bahkan tidak berfungsi dengan benar.

Tidak ada pelatihan. Tidak ada bantuan.

Mati berarti benar-benar berakhir.


“Bahkan ada anak-anak yang lebih muda dariku. Lima belas, enam belas tahun… dipaksa ikut bertempur.”

Ia tidak dipanggil untuk tujuan besar atau suci.

Hanya untuk jadi pion, alat, bagi keuntungan Kekaisaran.


“Aku bertahan hidup karena tak ingin mati.”

Setiap hari di medan perang menumbuhkan naluri bertahan.

Ia menemukan rekan-rekan seperjuangan.

Dan bersama mereka, lahirlah kelompok kecil yang dikenal sebagai Heugmabeopsa-je (흑마법사제 / Klan Penyihir Hitam).


“Saengnyeo itu menipuku. Ia menjanjikan jalan pulang ke Bumi. Katanya, ‘Sekali lagi saja, lalu kamu bisa pulang.’ Tapi setiap kali, ia selalu berkata begitu.”


[……]
[……]

Obrolan di kolom komentar menjadi sunyi total.

Awalnya, banyak yang berniat menyerang Kim Minjun lewat komentar—

“Kenapa baru sekarang bicara?”
“Kalau sekuat itu, kenapa diam saja selama ini?”
“Kau sembunyikan dunia lain untuk apa?”

Namun setelah mendengar kisahnya, tidak ada satu pun yang sanggup menulis.

Apa yang ia alami… adalah neraka yang sebenarnya.


Kekuatan itu ia dapat setelah berkali-kali nyaris mati.

Ia diperlakukan sebagai alat, bukan manusia.

Bahkan gelar pahlawan tak memberinya kehormatan.

Wajar jika orang seperti itu menjadi dingin dan sinis.

Justru aneh jika masih bisa tersenyum.


[…Tapi… apakah Anda tidak ingin membalas dendam?]

Pertanyaan hati-hati muncul di kolom chat.

Kalau sudah disakiti sejauh itu, kenapa tidak membalas?


Jawaban Kim Minjun membuat jutaan penonton terdiam.

“Karena… di sana masih ada rekan-rekanku.”

Ia menahan diri agar mereka tidak dirugikan.

Ia menahan amarahnya agar mereka bisa terus hidup.


Dan setelah semua penderitaan itu, ia bahkan menjalankan wajib militernya begitu kembali ke Korea—

Bahkan keesokan harinya setelah ia pulang dari dunia lain.


[Anda luar biasa, Kim Minjun-nim.]
[Terima kasih telah melindungi kami.]

Komentar syukur mengalir tanpa henti.

Dalam waktu satu jam—
Satu jam saja—
Ia berhasil menyentuh hati seluruh dunia.


‘Kim Minjun-ssi… sungguh menakutkan orang ini.’

Shin Sehyeong merinding seluruh tubuhnya.

Kekuatan mengerikan yang ia miliki.

Sikap tenang dan rendah hati di baliknya.

Dan kini—semua itu dipadukan dengan kisah yang menggugah simpati.


‘Pendekatan emosional… keputusan yang sempurna.’

Kadang, emosi lebih kuat dari logika.

Dan sekarang, Kim Minjun memanfaatkan momen itu sebaik mungkin.

Dengan dukungan jutaan penonton, efeknya meluas ke seluruh dunia.


‘Citra yang ia bangun selama ini… kini berubah jadi kekuatan yang tak tertandingi.’

Saat Shin Sehyeong masih terkesima, Kim Minjun melirik dan memberi isyarat kecil.

“Sekarang waktunya, Shin Sehyeong-ssi.”

“Baik. Serahkan pada saya.”


Benar-benar pria yang tidak memberi waktu untuk bernapas.

Shin Sehyeong berdiri, membawa setumpuk dokumen, dan menatap kamera.

Kertas itu berisi sesuatu yang belum pernah dibuka kepada publik sebelumnya.

Sesuatu yang akan mengubah dunia.

182. Aku Adalah Penyihir Hitam – 2

“Ini adalah foto udara yang diambil di wilayah Jongno-gu, Seoul.”

Dengan tenang, Shin Sehyeong mulai memaparkan informasi satu per satu, seperti mengupas lapisan bawang.

Ia tidak langsung membuat kesimpulan. Sebaliknya, ia menyajikan bukti yang tidak bisa dibantah, langkah demi langkah.

Bukti bahwa dunia lain benar-benar ada.


[Apa itu? Itu… orang?]
[Dari dalam Gate ada manusia jatuh?]
[Ini editan, kan?]
[Tolong diperbesar, nggak kelihatan jelas!]

Sebuah foto menampilkan Gate terbuka di atas langit Seoul.

Ketika gambar diperbesar, tampak jelas—seorang wanita jatuh dari dalam Gate.


Gate itu muncul sekitar pukul tiga sore, dan menghilang tiga menit kemudian.”

Selama ini, pernahkah ada manusia keluar dari dalam Gate?

Tidak pernah.

Selama puluhan tahun, satu-satunya yang keluar dari Gate hanyalah monster.

Itu adalah fakta yang tidak pernah meleset sekalipun.


“Wanita tersebut berpindah dimensi dari dunia yang sama dengan Kim Minjun daeryeong.”

Shin Sehyeong dengan sengaja tidak menyebut bahwa wanita itu adalah saengnyeo (성녀 / saintess).

Itu sesuai dengan permintaan Kim Minjun.

‘Tidak perlu membuat kekacauan yang tidak perlu.’

Nama Kim Minjun sudah menjadi fenomena nasional.

Kalau identitas saengnyeo diumumkan, tidak bisa dibayangkan apa yang akan dilakukan oleh orang-orang fanatik di luar sana.


“Menurut pernyataan wanita itu, dunia mereka—Isgard—telah lama mempersiapkan invasi ke Bumi.”

Waktu yang tersisa hingga invasi dimulai: sekitar dua tahun.

Shin Sehyeong menegaskan bahwa mulai sekarang, persiapan nasional harus dilakukan secara menyeluruh.


“Berikut ini adalah gambar Hyeol-gwi, monster yang hanya eksis di Isgard. Ia merupakan makhluk hasil eksperimen buatan.”

Bersamaan dengan paparan logis dan data ilmiah, bukti visual yang kuat pun ditampilkan.

Monster tidak dikenal, berbeda dari semua makhluk yang pernah muncul dari Gate mana pun di dunia ini.


[Astaga… ini gila.]
[Monster dan dungeon saja sudah cukup bikin repot, sekarang invasi?!]
[Jadi dunia lain mau menyerang Bumi? Ini bakal jadi perang dunia ketiga!]

Sebagian masih meragukan, tapi sebagian besar mulai menerima.

Semuanya terasa terlalu masuk akal.

Dan terutama—setelah apa yang baru saja diperlihatkan oleh Kim Minjun, siapa yang berani tidak percaya?


“Untuk sekarang, siaran akan kami akhiri di sini. Kami serahkan kepada Anda semua untuk menilai.”

Dengan kalimat itu, Shin Sehyeong menutup siaran.

Ia juga menambahkan bahwa korea memerlukan pasukan khusus baru, untuk menghadapi ancaman dari luar dunia ini.


“Lebih lancar dari yang saya kira.”

Kim Minjun berdiri sambil tersenyum puas.

Mereka berhasil menyampaikan fakta apa adanya, tanpa menimbulkan kepanikan atau kebencian publik.

Lebih dari cukup untuk mencapai tujuan utama.


“Haa… hahaha. Ini pengalaman yang tidak akan saya lupakan seumur hidup.”

Reporter yang merekam siaran menghapus keringat dingin dari pelipisnya.

Ia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihat.

Skill yang tak terhitung banyaknya, monster pemanggilan, energi hitam yang menelan udara—

Bahkan jika tidak bermusuhan, tetap saja pemandangan itu menakutkan.


Klak!

“Kim Minjun daeryeong! Apa-apaan ini!”

“Berani-beraninya membuat keributan seperti ini tanpa izin markas!”

“Yang barusan itu apa?! Skill? Mana masuk akal hal seperti itu!”

“Dan Anda, Shin Sehyeong-ssi! Sekalipun Anda Kepala Keamanan Nasional, ini sudah keterlaluan!”


Beberapa saat kemudian, para jenderal dari markas besar Hunter berbondong-bondong masuk ke ruang latihan dengan wajah merah padam.

Informasi yang baru saja diungkap—tanpa izin resmi dari markas.

Kalau hanya itu, masih bisa dimaklumi.

Namun pembicaraan soal dunia lain dan invasi antar dimensi? Itu di luar batas toleransi.


Tapi karena semua itu diumumkan atas nama Cheongwadae, mereka tidak bisa secara terbuka menentang.

Namun yang benar-benar membuat mereka meledak adalah bagian ini—

“Penyakit internal dan kelalaian sistemik di tubuh Hunter Army.”


“Bagaimana bisa kau membuka aib Hunter Army seperti itu!”
“Sadarkah kau posisi dirimu? Kau seorang daeryeong!”
“Kau tahu? Dalam posisimu sekarang, bahkan jatuhnya daun pun harus kau waspadai!”

Kim Minjun tidak hanya mengungkap ancaman luar.
Ia juga membongkar masalah internal militer—korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan perlakuan tidak adil terhadap para byeong.

Isu yang sudah lama menumpuk di masyarakat.


“Saya juga tadinya ingin menyelesaikan semuanya dengan baik,” kata Kim Minjun tenang.
“Tapi kalau urusannya sampai pada menembak seorang byeong yang terluka… itu sudah keterlaluan.”

Ia mengulurkan tangan ke belakang.

Shin Sehyeong langsung mengeluarkan alat perekam suara dan menyerahkannya padanya.


—Saya adalah Byeong Heo Yunjae dari Divisi 110.

“Tu-tunggu, itu…”

Begitu suara terdengar dari alat perekam, wajah para jenderal langsung membeku.

Itu bukan laporan biasa. Itu adalah pengakuan dan bukti pelanggaran.


Ketika terjadi Gate berskala besar, saya ditugaskan dalam operasi tersebut. Di tengah pertempuran, saya terinfeksi. Saya langsung melapor. Namun satu jam kemudian, Daejangnim saya mencoba menembak saya di tempat. Jika Kim Minjun daeryeong tidak ada di dekat situ, saya sudah mati.

Semua sudah tahu sebagian kisah itu.
Namun kalimat selanjutnya membuat seluruh ruangan terdiam.

Setelah saya sembuh, saya justru dipindahkan ke unit lain. Mereka menugaskan saya ke garis depan paling berbahaya, seolah menyuruh saya mati di sana.


Wajah jenderal-jenderal itu memucat.

Mereka tahu artinya ini.
Seorang perwira tinggi menggunakan jabatannya untuk membalas dendam pada prajurit bawahannya.

Jika ini bocor ke publik, Hunter Army akan hancur total.

Dan isu tentang hak asasi tentara selalu menjadi amunisi politik yang paling sensitif.


“Ki… Kim daeryeong. Tenangkan diri dulu.”
“Kita bisa bicarakan ini baik-baik.”

Sekejap saja, posisi mereka berbalik.

Para jenderal yang sebelumnya berteriak kini tersenyum kaku dan mempersilakan Minjun duduk.

Mereka sudah cukup dibuat repot dengan kasus Daejang Divisi 110 tempo hari.

Siapa sangka, di balik itu masih ada skandal sebesar ini.


“Sebagai catatan awal—kami tidak terlibat dalam kasus itu.”
“Benar! Saya bersumpah atas seragam ini! Zaman sekarang, siapa berani main seperti itu lagi?”

Kim Minjun hanya menatap mereka tanpa ekspresi.

Tatapan datar, tapi tekanan di baliknya cukup untuk membuat udara menegang.


“Lakukan penyelidikan yang benar. Dan pastikan permintaan maaf disampaikan. Aku tahu Kim Yeongcheol daeryeong dari Divisi 110 belum dicopot, kan?”

“Baik, kami akan menanganinya!”

“Bagus. Karena kalau tidak, rekaman ini akan ‘tidak sengaja’ bocor.”


Ia meninggalkan mereka dengan beberapa tuntutan tambahan—

Namun bukan tuntutan pribadi.

Isinya:

  • Percepatan pembentukan unit khusus.

  • Penghapusan sistem korup dan hierarki abusif di tubuh Hunter Army.

  • Perbaikan logistik dan distribusi perlengkapan militer untuk para byeong.

Semua untuk kesejahteraan prajurit.


“Unit baruku tidak akan bisa kalian hentikan. Aku sudah menyiapkan semuanya.”

Setelah berkata begitu, Kim Minjun berbalik dan meninggalkan ruangan.

Shin Sehyeong menyusul di belakang, meninggalkan para jenderal yang masih terpaku.


“…….”

Mereka hanya bisa menatap kosong ke depan, seolah kehilangan seluruh kekuatan.


**

“Ini… harus segera ditangani oleh negara!”

Sementara itu, dampak dari pengungkapan Kim Minjun sudah merembet ke dunia politik.


“Ini bukan lagi urusan Hunter! Ini ancaman global! Kita harus mengatur dan mengendalikan mereka!”

“Saya setuju! Semua penggunaan kekuatan harus melalui izin pemerintah pusat!”

Puluhan politisi berteriak-teriak di ruang rapat parlemen.

Namun—


“Cukup sampai di situ.”

Presiden, yang duduk di ujung meja, membuka mulutnya untuk pertama kali.

Seketika ruangan menjadi hening.

“Pengaturan dan pengendalian, katamu? Jadi kalian mau memperlakukan Kim Minjun daeryeong bukan sebagai manusia?”

Beberapa jenderal yang hadir justru mendukung presiden.


Sikap tenang, dingin, dan penuh otoritas.

Dengan satu kalimat, semua penentang bungkam.

Presiden tidak hanya tidak memusuhi Kim Minjun—ia tampak seperti sudah tahu segalanya.


“Zaman sedang berubah. Ikuti arusnya.”

Shin Sehyeong, yang menyaksikan dari sisi ruangan, tersenyum tipis.

Inilah hasil dari semua persiapan yang mereka lakukan sejak jauh hari.


**

[Breaking News]

“Identitas kekuatan Kim Minjun daeryeong diungkap! Asalnya dari dimensi lain?!”
“Kejadian yang hanya ada di novel, kini jadi kenyataan—invasi dunia lain tinggal dua tahun lagi?!”
“Pembentukan pasukan khusus antar-dimensi, bukan lagi pilihan tapi keharusan.”
“Terlalu gila untuk dipercaya—tapi semua bukti mendukung!”
“Daejang Divisi 110, penyalahgunaan wewenang terbukti. Pemecatan tidak terhormat dijatuhkan.”

Keesokan harinya—

Media di seluruh dunia tak henti-hentinya menayangkan berita Kim Minjun.

Korea, Amerika, Rusia, Jepang, Eropa—semuanya heboh.


“Entah karena akhir-akhir ini terlalu banyak bencana besar, tapi orang-orang menerimanya lebih cepat dari dugaan.”

Kim Minjun mengerutkan kening, sedikit terheran.

Ia pikir publik akan memusuhinya—

Bagaimanapun, Heugmabeopsa (Penyihir Hitam) bukan profesi yang memberi kesan positif.

Namun ternyata…

Tidak ada satu pun gelombang kebencian.


“Kalau tahu bakal begini, harusnya aku sudah umumkan dari dulu.”

Shin Sehyeong memang bilang tak perlu khawatir soal citra publik, tapi…

Bahkan ia tak menyangka hasilnya semulus ini.


“Dua tahun lagi. Dunia akhirnya berdiri di garis start.”

Alasan ia membuka semuanya sederhana.

Ia tidak bisa membiarkan orang-orang mati tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Jika invasi Isgard benar-benar datang, maka akan pecah perang besar.


“Menang saja tidak cukup. Harus menang sempurna.

Atas dasar informasi yang ia ungkapkan, Rusia sudah mulai mengembangkan senjata baru.

Amerika memulai proyek rudal strategis berskala besar.

Negara lain masih menunggu dan mengamati, tapi cepat atau lambat mereka juga akan ikut.


“Hm… kira-kira mereka takut padaku nggak, ya?”

Kim Minjun berdiri di depan gerbang markas dan menarik napas dalam-dalam.

Jujur saja, sedikit khawatir.

Bagaimana jika rekan-rekannya—orang-orang yang bersamanya sejak ia masih byeong—kini takut padanya?


“Jungdaejaaaang-nim!”
“Ya! Jungdaejaang-nim datang!”
“Wah! Penyihir Hitam-nim!”

Tapi kekhawatirannya langsung sirna.

Pemandangan yang menyambutnya adalah sorakan penuh semangat.


“Jungdaejaang-nim! Bisa tolong tunjukin skill-nya sekali lagi? Kami mau lihat langsung!”
“Kalau mau dapat skill kayak gitu, harus ke dunia lain dulu, ya?”

Bukannya takut, para byeong justru berebut mendekat.


“Aduh… ini sih curang, curang total.”
“Kayak rekrutmen ‘pengalaman minimal 20 tahun’ buat fresh graduate!”

Kim Gwangsik sangbyeong dan Lee Seungho byeong bercanda dengan wajah setengah iri.


“Mau aku kirim kalian ke dunia lain juga?”

“Uhh, nggak usah, daeryeong-nim.”
“Cuma bercanda, sumpah!”

Mereka buru-buru mundur sambil tertawa gugup.


“Tahu kan, nanti siang kita ada misi dungeon? Kemungkinan ini jadi misi terakhir kita bareng.”

Sekarang, tidak ada alasan lagi untuk menahan diri.

Sebagai misi terakhir, ia ingin membuatnya spektakuler.


“Jadi, akhirnya Anda akan benar-benar pergi, daeryeong-nim.”
“Anda seharusnya sudah jadi daejangnim di markas ini.”

Banyak dari mereka menatapnya dengan sedih.

Mereka tahu, cepat atau lambat, orang sekuat Kim Minjun pasti akan dipromosikan ke posisi strategis.

Namun yang membuat mereka berat melepasnya adalah satu hal—

Tak ada perwira yang memperlakukan para byeong sebaik dia.


“Uh… Jungdaejaang-nim?”
“Kenapa.”
“Ini… daftar dungeon yang akan Anda serang hari ini… serius mau semuanya?”

Kim Gwangsik memandangnya tak percaya.

Dekat wilayah Cheorwon saja ada puluhan dungeon aktif.

Dan Minjun berencana menaklukkan semuanya dalam satu hari.


“Kalian ikut aku untuk dua dungeon pertama. Sisanya, tinggal kalian masuk dan bereskan tahap akhir saja.”

Hadiah terakhir untuk mereka.

Mendengar itu, para anggota kompi langsung bersorak kegirangan.


Akhir-akhir ini, akibat meningkatnya jumlah dungeon, mereka hampir tidak punya waktu tidur.

Dan kini, daeryeongnim sendiri yang akan membereskan sebagian besar beban itu.

Dua puluh dungeon.

Diselesaikan dalam sehari.

Kalau bukan Kim Minjun, tidak ada yang akan percaya itu mungkin.


“Yesss! Berarti nggak ada misi malam buat sementara waktu!”
“Terima kasih, Jungdaejaang-nim!”

“Bukan buat santai, tapi untuk latihan pribadi, jelas?”
“Siap, paham!”

“Huft, jawabnya doang bagus.”

Namun tak ada lagi yang meragukan kemampuannya.

Mereka sudah melihat sendiri kekuatan yang sebenarnya.


“Baik, bersiaplah dan kumpul lagi pukul 13.00.”
“Siap!”


**

“Jungdaejaang-nim?”
“Eh… Anda mau pakai itu untuk apa?”

Pukul 13.30, di depan dungeon.

Mata semua anggota membelalak lebar.

Kim Minjun datang mengendarai Hell Racer.


Menggunakan motor itu untuk menaklukkan dungeon?
Mereka bahkan tak bisa membayangkan.

Bagaimanapun, itu hanyalah alat transportasi—atau begitulah yang mereka pikir.


“Perhatikan baik-baik.”

Kim Minjun menekan tombol pada item itu.

Dan seketika—

Bentuk motor itu mulai berubah.

183. Harus Pasang Satu Bintang

Chiiiik—!

Hanya butuh dua puluh detik.

Dengan suara uap mendesis, Hell Racer berubah bentuk.

Efek dari item itu: aktivasi mode Battle Mode.


“Wah….”
“Hanya dengan tersenggol saja bisa luka parah kayaknya….”

Anggota kompi terpana menatap motor itu.

Tubuh Hell Racer kini lebih tajam, garang, dan berlapis logam hitam berkilau.

Motor yang berubah bentuk secara real time — ini benar-benar impian setiap pria jadi kenyataan.


“Bagus. Kalau begitu, ayo berangkat. Jaga formasi dan tetap menempel di belakangku.”

Kim Minjun naik ke atas Hell Racer, memutar gagang gas, dan melaju ke arah dungeon.


Beberapa menit kemudian—

Para anggota kompi membeku di tempat, menatap pemandangan di depan mata.

Dungeon kali ini adalah varian campuran antara orc dan goblin.

Jumlahnya dua kali lipat lebih banyak dari standar, yang berarti tingkat bahaya pun meningkat drastis.

Namun—


“Kkiieeeeeeek!”
“Kehk! Kek!”
“Kyaaaak!”

Entah orc atau goblin, semuanya mati bahkan sebelum sempat melawan.

Tubuh mereka robek, terhempas, dan meledak—

semuanya karena Hell Racer yang dikendarai Kim Minjun.


Hell Racer dalam mode pertempuran adalah senjata terbang yang sesungguhnya.

Tudududududung!

Laras senapan keluar dari setang motor, melontarkan tembakan bertubi-tubi.

Sementara bodi motor yang tajam menggores dinding dungeon sedalam beberapa meter setiap kali melintas.


“Bisa tolong matikan apinya? Aku nggak mau motor baruku lecet.”

“Chwiik! Cepat! Nyalakan panah api! Nyalakan apinya!!”
“Aku bilang, matikan, dasar bajingan!”
“Kkuoook!”

Suara Kim Minjun menggema bersamaan dengan suara ledakan dan jeritan.


Ini masih bisa disebut penaklukan dungeon?

Lebih mirip seperti melihat pemangsa menghancurkan mangsanya tanpa perlawanan.

Monster-monster itu bahkan mulai tampak… kasihan.


“…Item gila. Itu katanya cuma item peringkat A?”
“Ya, cuma karena peringkat tertinggi saat ini A. Kalau sistemnya diubah, itu pasti S.”
“Walau begitu… hampir dua ratus monster disapu bersih hanya dalam sepuluh menit….”

Biasanya semakin kuat sebuah item, semakin besar pula harga yang harus dibayar.

Hell Racer pun sama.

Motor itu menggunakan energi hidup penggunanya sebagai bahan bakar.


“Bukannya daeryeongnim itu Heugmabeopsa (흑마법사 / Penyihir Hitam), ya?”
“Emangnya Penyihir Hitam punya stamina sebanyak itu?”
“Hey, itu cuma di game. Ini dunia nyata.”

Semua orang di unit tahu kisah tentang satu jenderal penasaran yang nekat mencoba menaiki Hell Racer—
dan pingsan dalam sepuluh menit.

Begitu besar energi yang diserap item itu.

Dan Kim Minjun? Ia mengendarainya seolah tidak terjadi apa-apa.


“Entahlah, aku nggak ngerti lagi.”
“Sudah, ayo cari kalau ada loot yang jatuh.”

Dungeon yang biasanya butuh empat jam untuk ditaklukkan, kini beres dalam tiga puluh menit.


“Langsung lanjut ke dungeon berikutnya. Bersiap.”
“Siap!”
“Mulai dari dungeon berikut, kalian yang ambil finishing blow dan dapatkan EXP-nya.”
“Siap, daeryeongnim!”


Dungeon kedua hingga terakhir berubah menjadi pesta pengalaman.

Kim Minjun menghancurkan para monster hingga sekarat, lalu para byeong menyelesaikannya dengan serangan terakhir.

Dua puluh dungeon mereka tuntaskan seperti itu.


“Daeryeongnim! Terima kasih! Stat-ku naik tiga poin sekaligus!”
“Punyaku naik dua di Strength, dua di Agility, dua di Stamina!”
“Ugh, ini rasanya seperti naik bus ekspres! Sekali coba, nggak bisa berhenti.”

Dalam sehari, para prajurit mendapatkan hasil yang biasanya butuh berbulan-bulan pelatihan.


“Ini supaya kalian bisa menutup kekosongan setelah aku pergi nanti. Jadi gunakan baik-baik.”
“Dengan segala hormat, menggantikan posisi daeryeongnim butuh kekuatan satu batalion penuh.”
“Menurutku, batalion pun belum cukup.”
“Lihat nih, mulai manis-manisan lagi. Jangan harap aku kasih bonus.”

Kim Minjun tertawa kecil melihat mereka bercanda.

Perjalanan dungeon itu berat, tapi semua mengikuti dengan disiplin penuh.


“Bagus. Kalian sudah bekerja keras. Rapikan semua, terus jaga kebugaran.”
“Siap!”
“Terima kasih atas kerja keras Anda, daeryeongnim!”

Kim Minjun menaiki Hell Racer dan melaju keluar dungeon.

Katanya, ia mendapat panggilan mendadak dari markas besar.


“Haa….”
“Padahal kita cuma kasih serangan terakhir, tapi kenapa rasanya kayak lari maraton.”
“Aku hampir pingsan sejak dungeon ke-15, sumpah.”

Para byeong duduk di atas batu, menatap punggung daeryeongnim mereka yang menjauh.


“Tanpa daeryeongnim, apa unit ini bisa tetap berjalan?”
“Bahkan insiden-insiden besar selama ini pun dia yang bereskan sendiri….”

Mereka menghela napas panjang.

Baru sekarang mereka benar-benar sadar betapa banyak hal yang telah ditanggung Kim Minjun sendirian.


**

“Jadi, Rusia dan Amerika sudah menghubungi?”
“Ya, juga Tiongkok, Jepang, Prancis, India… lebih dari 30 negara meminta kerja sama.”

Sementara itu, di ruang rapat markas besar Hunter.

Para jenderal duduk dengan wajah lelah, dikelilingi tumpukan laporan dari seluruh dunia.

Laporan diplomatik, panggilan telepon tanpa henti, hingga kunjungan darurat diplomat asing.


“Hoho… Kim Minjun daeryeong. Benar-benar membuat kita kewalahan.”

Suara berat itu berasal dari Goo Hakcheol daejangnim, jenderal bintang empat.

Ia tertawa keras, tapi tak seorang pun berani ikut tertawa.

Karena ketika Goo daejangnim tertawa seperti itu, tandanya ia sedang marah.


“Awalnya kupikir kita memelihara anak kucing jinak. Tapi ternyata… yang kita besarkan adalah harimau. Tidak, seekor harimau yang sudah tumbuh penuh.”

Mereka dulu berpikir bisa memanfaatkan Kim Minjun untuk kepentingan militer.

Namun kini, ia telah menjadi kekuatan politik dan militer sendiri.

Naik dari byeong hingga daeryeong dalam waktu singkat, berhubungan langsung dengan Cheongwadae, dan sekarang punya pengaruh internasional.

Jika ia naik pangkat lagi—para jenderal lama akan kehilangan posisi.


“Dia tak akan berhenti di satu bintang saja.”
“Benar. Dengan prestasi itu, bisa dapat dua atau tiga bintang sekaligus.”

Karena satu hal yang membuat mereka tak bisa menjatuhkannya adalah—

Kim Minjun terlalu jujur, terlalu bersih.

Ia melindungi prajurit di bawahnya, menentang korupsi, dan melaporkan semua penyimpangan tanpa pandang bulu.


“Katanya, Heugmabeopsa itu punya 26 skill, ya?”
“Ya. Walaupun katanya tidak semuanya ia tunjukkan.”
“Khahaha! Mau tak percaya bagaimana? Orang yang membuat tornado raksasa saat latihan gabungan Korea–AS itu siapa kalau bukan dia!”

Goo Hakcheol daejangnim tertawa keras, tapi matanya sama sekali tidak tersenyum.

Ruangan terasa tegang.


“Timing-nya sempurna juga, ya. Aku sudah coba menghentikan pembentukan unit barunya, tapi ternyata malah dapat dukungan publik.”

Ia mengeluarkan setumpuk dokumen dari saku.

Semua berisi penyelidikan pribadi tentang Kim Minjun.

Namun tidak ada satu pun noda untuk dijadikan senjata.


“Kalau benar dia punya kekuatan segila itu… sekalipun aku punya sepuluh kepala, semua tetap terbang kalau menentangnya.”
“Be-benarkah demikian, daejangnim.”
“Ya, saya pun melihat sendiri, tidak bisa dijelaskan secara ilmiah….”

Semua jenderal lain buru-buru mengangguk.

Mereka tahu: Kim Minjun bukan sekadar tentara kuat.
Dia kekuatan destruktif berjalan.


“Yah, sebenarnya kalau disuntik obat penekan kekuatan beberapa kali mungkin dia akan lumpuh… Hahaha, bercanda saja, jangan tegang begitu.”

Beberapa orang—terutama Do Seokyong sojangnim—menegang spontan.

Goo daejangnim hanya menyeringai.

Mereka semua tahu, tidak ada yang bisa menahan Kim Minjun lagi.


“Sudah terlambat. Ia sudah tumbuh terlalu besar.”

Dan bukan hanya dia—ancaman dari dunia lain, Isgard, kini diakui oleh para ahli di seluruh dunia.

Bukti dan analisis terus bermunculan, menegaskan bahwa ancaman itu nyata.


Tengah perdebatan sengit itu—

Klek.

Pintu ruang rapat terbuka.

“Chungseong!”

Semua berdiri. Kim Minjun daeryeong memasuki ruangan.


“Lihat siapa yang datang! Kebanggaan Republik Korea, Heugmabeopsa Kim Minjun daeryeong!”

Goo daejangnim langsung berubah nada, tertawa lebar sambil menyambutnya.


“Gara-gara kau menyembunyikan kekuatanmu, sekarang kerjaanku jadi menumpuk seperti gunung, hahaha!”
“Mohon maaf, daejangnim. Tapi setelah Isegye-in menyeberang ke dunia ini, saya tak bisa tinggal diam.”
“Bukan menyalahkanmu, malah harusnya berterima kasih.”

Atas isyarat Goo daejangnim, seorang perwira menyerahkan berkas berstempel resmi.

Di atasnya tertulis:

Persetujuan Pembentukan Unit Khusus Dimensi.


“Butuh berapa waktu untuk merekrut anggota?”
“Tiga minggu cukup, daejangnim.”
“Bagus. Pemerintah dan dunia internasional sudah sepakat bahwa unit seperti ini mutlak dibutuhkan.”

Ia berhenti sebentar, lalu tersenyum tipis.


“Dan satu hal lagi.”
“Ya?”
“Dengan kemampuan dan prestasimu sekarang… rasanya sudah saatnya kau pasang satu bintang, bukan?”

Ruangan langsung hening.

Para jenderal saling pandang dengan mata membulat.


Beberapa jam lalu mereka berencana menjatuhkannya—
Kini, Goo Hakcheol sendiri mengusulkan kenaikan pangkat menjadi junjang (준장 / brigadir jenderal).

Semuanya bingung, tapi tak satu pun berani membantah.


“Kasusmu memang unik. Tapi pantas. Tentu saja, menjadi bintang berarti juga memikul tanggung jawab besar. Mampu menanggungnya?”
“Ya. Saya yakin bisa.”

Jawab Kim Minjun tanpa ragu.


‘Satu bintang, huh? Tentu saja aku siap.’

Hatinya bergetar ringan.

Lebih cepat dari yang ia bayangkan.

Tapi wajahnya tetap tenang.


“Kalau begitu, silakan lanjutkan tugasmu. Chungseong!”
“Terima kasih, daejangnim! Saya tidak akan mengecewakan!”

Setelah memberi hormat, Kim Minjun keluar dari ruangan.

Ruangan kembali senyap.


“Sekarang kalian tahu kenapa aku punya empat bintang?”

Goo Hakcheol menyeringai ke arah mereka semua.

Tak seorang pun berani menjawab.


**

“Ah… di hari sebaik ini harusnya aku ambil cuti panjang.”

Kim Minjun bersiul kecil sambil kembali ke baraknya.

Ia sempat mengira rencana unit barunya akan diblokir, tapi justru diberi kenaikan pangkat.

Bahkan Shin Sehyeong pun terkejut.


“Bintang, ya… Bintang! Tiga minggu lagi aku jadi junjang!”

Ia bergabung ke Hunter Army dengan tekad ‘aku akan punya bintang di pundakku’.

Dan kini, belum dua tahun pun berlalu—tujuan itu tercapai.


“Hm… kalau di Angkatan Darat biasa, butuh lebih dari dua puluh tahun, kan?”

Kebanyakan perwira berhenti di pangkat daeryeong.

Sementara dia—masih muda, dan sudah melampaui semua itu.


“Satu hari saja aku mau menikmati rasanya jadi calon junjang.”

Ia mengajukan cuti, melangkah keluar markas.

Ingin bermain selama sepuluh hari, tapi ia menahan diri karena memikirkan anak buahnya.


Kkatok!

Suara notifikasi menggema.

“Lama banget aku nggak dapat pesan.”

Pengirim: Son Eunseo.

Eunseo: Aku ada hal serius yang mau kubicarakan… besok kamu sempat?

Wajahnya sedikit berubah.

Nada pesannya kali ini… terasa benar-benar serius.

184. Pengakuan

“Ngomong serius, ya? Ini anak pernah bersikap begini sebelumnya?”

Apakah dia mau konsultasi tentang pembentukan unit khusus atau latihan pribadi?
Atau mungkin tentang dirinya yang baru saja mengungkap jati diri sebagai Heugmabeopsa (흑마법사 / Penyihir Hitam)?

Apa pun alasannya, sepertinya pertemuan ini memang perlu.

“Bukan orang lain, ini Son Eunseo. Kita cukup dekat juga.”


Keesokan harinya, sore.

Restoran kecil di gang sepi.

“Haa….”

Keluar cuti hari ini, Son Eunseo menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri.

‘Sekarang atau tidak sama sekali.’

Hari saat Kim Minjun mengungkap jati dirinya, dia benar-benar terkejut.
Tepatnya — bukan karena dia Heugmabeopsa, tapi karena asal kekuatannya.

Sejak masih jadi byeong, dia sudah menunjukkan kekuatan yang tak masuk akal.
Dia tahu pasti ada sesuatu di baliknya.

Namun siapa sangka — ternyata berasal dari Isegye (이세계 / dunia lain).

‘Lebih masuk akal kalau ternyata alien memang ada.’

Dia sempat berpikir begitu.


“Dua puluh tahun, ya… jadi kamu berperang di sana selama dua puluh tahun….”

Menurut waktu Bumi, hanya dua tahun berlalu,
tapi bagi Kim Minjun, di dunia itu sudah dua puluh tahun.

Saat mendengarnya, yang dia rasakan bukan pengkhianatan —
melainkan belas kasihan.

Dia tidak pernah menginginkan semua itu.
Dia diseret ke dunia lain, dijadikan alat, lalu dibuang begitu saja.

‘Dia memang dipanggil sebagai pahlawan, tapi kenyataannya… dia hanya bidak sekali pakai.’

Dan meski melalui semua itu,
dia kembali ke Korea tanpa menunjukkan sedikit pun penderitaannya —
malah memilih masuk wajib militer lima tahun penuh.


Semakin dia memikirkannya, semakin ia mengagumi Kim Minjun.
Dan jika terus menunda…
ia merasa akan kehilangan kesempatan selamanya.

Son Eunseo mengepalkan tangannya.

Alasan dia memanggil Kim Minjun keluar,
alasan dia berdandan dan memperhatikan setiap detail penampilannya hari ini —
semuanya demi menyampaikan perasaannya.

“Ya, mana mungkin orang yang pikirannya cuma game bisa peka. Mending aku yang mulai duluan.”

Dia bergumam pelan —


“Perasaanmu? Apa yang mau kamu mulai duluan?”

“Puuhhp!”

Kim Minjun sudah berdiri di depan meja, menatapnya dengan senyum geli.

“Kehek! Kehek!”

Eunseo tersedak hebat, berusaha menahan batuknya.


“B-bukan itu! Maksudku latihan pribadi!
Akhir-akhir ini intensitasnya makin gila!”

“Ah, itu. Kan kamu bilang sekarang latihan bareng Kim Seohyun jungsa?
Ya pantas aja. Anak itu stamina-nya luar biasa.”

Kim Minjun mengangguk sambil duduk di seberang, wajah santai penuh percaya diri.

“Ngapain tiba-tiba senyum kayak gitu.”
“Baru kemarin, aku akhirnya mencapai tujuan hidupku.”
“Tujuan hidup? Apa, lagi-lagi naik level di game?”
“Bukan. Tujuan hidup yang sebenarnya.”
“Bilang aja langsung, jangan muter-muter.”

Kim Minjun menunjuk tanda pangkat di pundaknya.

“Bintang.”

“…Bintang? Maksudmu, bintang itu?”

Son Eunseo langsung berdiri saking kagetnya —
lalu cepat-cepat duduk lagi saat para pegawai restoran menoleh.


“Ya ampun… jangan bercanda, ya. Aku masih bisa terima kamu naik sampai mugeunghwa (무궁화 / pangkat kehormatan),
tapi bintang? Itu nggak masuk akal.”
“Biasanya memang begitu.”


Bintang.
Simbol kekuasaan dan tanggung jawab tertinggi dalam militer.

Seorang junjang (준장 / brigadir jenderal) sudah memimpin satu brigade.
Kalau ada kabar “brigade commander datang ke pangkalan”,
seluruh pasukan akan bersiaga seolah dunia mau kiamat.

Naik satu tingkat lagi ke sojang (소장), maka ia akan menjadi komandan divisi,
dengan lebih dari 10.000 prajurit di bawah komandonya.

Bintang bukan cuma pangkat — itu simbol kekuasaan absolut.

Dan sekarang, Kim Minjun baru saja memulai kariernya sebagai jenderal bintang satu.


“Bintangku sedikit berbeda. Nanti juga kamu tahu.”

Katanya ringan, lalu ia memesan makanan dengan tenang.


“Ngomong-ngomong, kamu tadi bilang mau bicara serius. Apa itu?”
“…Boleh aku minum sedikit alkohol?”
“Kenapa? Kamu bikin masalah di unit?”
“Bukan begitu. Tapi ini nggak enak dibicarakan di sini. Ayo keluar.”
“Ya udah. Terserah kamu.”


Beberapa menit kemudian — di taman sepi dekat sungai kecil.

Son Eunseo memastikan tak ada siapa pun.
Ia menarik napas beberapa kali, menenangkan diri.


“Dari tadi kamu aneh banget. Ada apa sih?”
“Eiiish! Semua ini salah kamu! Aku jadi mikirin kamu terus akhir-akhir ini, tahu nggak!”
“Mikirin aku? Oh, pantes. Aku terlalu keren, ya? Hehe.”
“Bukan gitu!”

Dia menutup mata rapat-rapat, lalu berteriak.

“Kim Minjun! Aku suka kamu! Aku suka banget sama kamu!”


“…Apa?”

Tatapan Kim Minjun membesar.

Dia tidak pernah menduga kalimat itu.

Baru beberapa hari sejak dia mengungkap identitasnya sebagai manusia yang pernah berperang di dunia lain,
sebagai Heugmabeopsa yang aura-nya membuat orang lain ngeri.

Dan sekarang, seseorang menembaknya begitu saja?

‘Pertama kali aku lihat dia kapan, ya? Waktu ujian kenaikan pangkat, kalau nggak salah.’

Son Eunseo byeongjang (병장 / sersan kepala).
Waktu itu dia sempat menatapnya dengan tatapan tajam.

‘Kupikir dia bakal sombong karena ayahnya sa-danjang (사단장 / komandan divisi). Ternyata enggak.’

Dia tidak pernah menyalahgunakan pengaruh ayahnya.
Malah sering membantu rekan dan junior.

Melihat itu, Kim Minjun sempat berpikir, ‘Dia orang baik juga, ternyata.’

Dan dari sana mereka makin sering berinteraksi.
Makan bersama, latihan bareng, bahkan sempat terjebak berdua di dungeon.

Dia juga sempat datang diam-diam ke pelatihan jarak jauh hanya untuk melihat keadaannya.

‘Aku sibuk banget sampai nggak sadar.’

Son Eunseo — menyenangkan untuk diajak bicara, santai, dan entah kenapa terasa nyaman.

‘Jarang ada orang yang bisa tahan sama kepribadianku.’

Kim Minjun tersenyum kecil.


“Kamu tahu aku siapa, kan.”
“Tahu.”
“Kamu sadar, aku ini… mungkin bukan sepenuhnya manusia?”
“Omong kosong. Kamu manusia. Walau agak monster, sih.”

Dia menjawab tanpa ragu sedikit pun.

“Awalnya aku pikir kamu cuma pemburu menyebalkan,
tapi lama-lama… aku sadar aku jatuh cinta.”

“Ugh. Aduh, gila. Berhenti. Aku merinding.”

Kim Minjun menggosok lengannya pura-pura jijik.

Wajah Eunseo memerah sampai telinga, tapi ia tak mundur.


“Serius, dengar aku sebentar saja, ya….”

Lalu dia menceritakan semuanya.

Bagaimana dia selama ini memperhatikan, khawatir, dan kagum padanya.
Bagaimana ia takut terlambat, lalu menyesal seumur hidup.


“Yah, jangan nangis. Orang bakal kira aku jahat banget.”

Kim Minjun menatapnya lembut, lalu tersenyum tipis.

Dia sudah lama sadar soal perasaan itu.
Dia hanya tak sempat menanggapinya — karena tugasnya jauh lebih besar.


“Kamu tahu kan, kita cuma punya waktu dua tahun sebelum invasi dimulai.
Masih banyak yang harus aku lakukan.”

“…Iya.”

Nada suaranya pelan, matanya menunduk.

Ia mengira itu adalah penolakan.


“Tunggu dulu, jangan salah paham. Aku juga nggak benci kamu.”

“…Serius?”

“Begini. Setelah aku hancurkan semua pasukan dunia lain itu…”
“…Setelah itu?”

Tatapan Eunseo kembali penuh harap.

Kim Minjun tersenyum lebar.

“Naiklah pangkatmu sampai soowi (소위 / letnan dua), baru aku terima kamu. Bisa, kan?”


Wajahnya langsung cerah.

“Dua tahun, ya? Dalam dua tahun aku bakal naik sampai daewi (대위 / kapten)!”

Itu bukan hal mudah — tapi dia percaya bisa.

Dia punya skill baru ‘Geomgi (검기 / aura pedang)’,
punya pondasi kuat sebagai anggota unit khusus.

Kesempatan ini tak akan datang dua kali.


“Kim Minjun, mulai sekarang kamu aku tandai. Jangan macam-macam. Tunggu aku.”
“Wow, gila. Kalau aku cewek, aku udah kabur denger kalimat itu.”
“Diam! Dan jangan lupa kata-katamu. Kalau kabur, aku kejar.”
“Ha, sejak kapan aku pernah bohong?”

Senyumnya tetap santai.

Son Eunseo menatapnya dengan tekad bulat —
bukan hanya ingin jadi soowi, tapi ingin melampauinya.


“Masih ada waktu, mau aku antar pulang? Naik Hell Racer?”
“Naik Hell Racer? Maksudmu motor terbang itu?”
“Ya. Semua jenderal dan perwira yang pernah naik bilang luar biasa.”

Matanya berbinar melihat motor hitam itu muncul dari inventory.

Berdua naik Hell Racer, berarti aku bisa melingkarkan tangan di pinggangnya, kan…?

Dia naik dengan wajah sedikit merah —


Buaaaaaang!

“Pegangan yang kuat! Kita mulai dari 160 km/jam!”
“AAAH! YA! KURANGIN! KURANGIN!”
“Hah? Naikin katanya? Oke, 180!”
“AAAAAAAH! AKU JATUH! AKU JATUH!!”

Dan begitu, kencan pertama mereka berubah jadi ekstrem ride tak terlupakan.


**

Keesokan harinya. Ruang kerja komandan kompi.

Kim Minjun menatap layar komputer dengan semangat membara.


“Sebelum berangkat, harus kupercepat kerjaanku biar anak-anak nggak repot.”

Tumpukan berkas biasa saja, tapi dia melakukannya sambil bersenandung.

“Twinkle, twinkle, little star~ bersinar indah di pundakku~
Eh, salah klik di Excel dan kerja dua jam hilang? Nggak apa-apa, tetap bahagia!”

Dia bahkan mengambil alih tugas administratif yang biasanya dikerjakan Kim Seohyun jungsa.

Karena, hari ini — resminya sudah keluar.

Kim Minjun diangkat sebagai Junjang (준장 / Brigadir Jenderal).


“Magi stat sudah pulih cukup banyak… skill juga perlahan kembali….”
Ia bergumam sambil memeriksa status window yang melayang.

Dengan semua skill dan itemnya sekarang,
dia sudah hampir setara dengan puncak kekuatannya dulu di Isegye.

“Kalau hitung semua item juga… ya, ini udah mirip masa jayaku.”


“Chungseong! Kim Minjun daeryeongnim, boleh ganggu sebentar?”

Pintu diketuk, Kim Seohyun jungsa masuk.

“Oh, sebelum itu — selamat atas promosi Anda, daeryeongnim!”
“Terima kasih. Tapi kenapa wajahmu tegang begitu?”

Dia tampak gugup.


“Haah… sebenarnya aku nggak mau bilang ini, tapi….”
“Sudah, katakan.”

Jungsa itu menggigit bibir, lalu menyerahkan satu lembar kertas.


“Masalahnya… I Bonggu.”

Nama itu membuat Kim Minjun mengerutkan dahi.


“Daeryeongnim… si bajingan itu bikin masalah besar lagi.”

Di tangannya — selembar selebaran.


[Heukcheon-gyo (흑천교)]

“Mereka yang percaya pada kegelapan akan menemukan ketenangan di surga….”

Sebuah brosur hitam dengan simbol asap dan jubah gelap.

Kim Minjun menatapnya lama.

“Sekilas aja udah jelas — ini kultus.”


Tapi kemudian Seohyun berkata pelan,

“Jumlah pengikutnya… sekitar tiga ratus ribu orang, daeryeongnim.”
“…Apa?”
“Dan pendirinya… I Bonggu.
“...Tiga ratus ribu?”
“Ya.”


“Untuk ukuran sekte sesat, itu angka gila.”
“Lebih gila lagi, sekte itu belum genap setahun berdiri.”

Kim Seohyun menggeleng tak percaya.

Apa yang dilakukan orang itu selama ini?


“Tidak heran akhir-akhir ini susah dihubungi… tapi jangan bilang dia menipu orang?”
“Justru sebaliknya, daeryeongnim.”
“Sebaliknya?”


Sekte sesat biasanya mencuci otak,
memeras uang, memperbudak pengikut.

Tapi dari laporan yang ia baca—

I Bonggu justru menolong orang.

Kim Minjun terdiam.


“…Kau bilang apa tadi?”

Seohyun menelan ludah.

Dan Kim Minjun hanya bisa menghela napas…
dengan ekspresi tak percaya antara kesal dan bingung.

185. Suriah – 1

“Diculik? Sialan, apa lagi yang dilakukan bajingan itu kali ini?”

Berita mengejutkan datang:
I Bonggu dan banyak pengikut sektenya, Heukcheon-gyo (흑천교), dilaporkan disandera di Suriah.

Awalnya Kim Minjun hanya mengernyit —
tapi begitu tahu alasannya, dia tak tahu harus tertawa atau marah.

Ternyata orang itu berangkat ke luar negeri untuk menyebarkan agamanya.
Dan hasilnya?
Diculik.
Sebulan yang lalu.


“Pantas saja dia bisa merekrut pengikut secepat itu.
Ternyata dia keluyuran ke seluruh dunia.”

Amerika, Tiongkok, Rusia, Jepang, India…

Jika berita di televisi saja sudah tahu, berarti aktivitasnya benar-benar besar-besaran.


“Dalam satu sisi, hebat juga dia.
Dengan nama sekonyol itu, bisa mengumpulkan tiga ratus ribu pengikut….”

Jumlah orang yang disandera di Suriah sekitar seratus orang.

Jumlah yang besar, tapi anehnya tidak terlalu disorot media.


“Katanya mereka diancam akan dibunuh kalau pemerintah ikut campur.”

Sepertinya kelompok bersenjata di sana memberi tekanan keras.
Itu sebabnya pemerintah tidak bisa bergerak sembarangan.


“Sudah ada rencana untuk mengirim unit khusus, tapi ditolak.
Alasannya, terlalu berisiko.”

Kelompok bersenjata di Suriah terkenal ekstrem dan brutal.
Tidak heran negara itu ditetapkan sebagai wilayah larangan perjalanan.

Namun, kalau begitu —
bagaimana caranya I Bonggu bisa sampai ke sana?

Hanya ada satu jawaban:
ada kesepakatan rahasia dengan pihak atas.


“Eh? Kelompok yang menculik mereka itu… Hunter?”
“Benar.”

Yang menyandera mereka ternyata adalah kelompok Hunter bersenjata.


“Pantas para Hunter tidak bisa bergerak sembarangan.”
Kalau sesama Hunter terlibat, maka ini bukan sekadar urusan penyelamatan biasa.


“Aku bisa saja terbang ke sana dan menumpas semuanya.
Tapi itu tidak akan sesederhana itu.”
“Ya. Masalahnya bukan cuma di lapangan, tapi juga di diplomasi.”

Kini kekuatan Kim Minjun sudah dikenal seluruh dunia.

Namun meski begitu, tidak ada negara yang berani secara terbuka meminta bantuannya.
Tanda jelas bahwa ada politik di balik semuanya.


“Ya wajar. Belum lama ini aku baru membeberkan soal invasi Isegye.”

Kalau dia turun tangan di Suriah dan menghancurkan kelompok bersenjata itu,
negara lain pasti akan mengaitkannya dengan para Isegye-in.

“Mereka sama saja, ‘kan? Manusia dari dunia lain.”

Kalimat seperti itu pasti muncul.

Dan jika itu terjadi,
jumlah negara yang mau bekerja sama melawan invasi akan berkurang.


“Solusinya gampang.”
Ia tersenyum kecil.

“Bukan membunuh — tapi menaklukkan.”

Dia hanya perlu melumpuhkan, bukan memusnahkan.
Tentu saja sambil menyelamatkan para sandera.


“Dasar merepotkan.
Padahal sudah kubilang jangan keluyuran sembarangan.”

Namun di balik keluhannya, wajah Kim Minjun justru cerah.

Ini kesempatan bagus —
kesempatan menunjukkan sisi “manusia”-nya pada dunia.

“Anggap saja sekalian liburan luar negeri.”


**

Keesokan harinya.

Di depan jet pribadi yang biasa digunakan presiden dan para chaebol (konglomerat besar).

Kim Minjun berbicara dengan Shin Sehyeong.


“Kim Minjun-ssi, tolong kendalikan diri, ya?
Pelan-pelan saja, pelan-pelan.”
“Saya ini ahli dalam hal kontrol kekuatan, kok. Tidak perlu khawatir.”

Shin Sehyeong memijat pelipisnya.

Kekhawatirannya kini berbeda —
bukan soal keselamatan Kim Minjun, tapi keselamatan Suriah.

Bayangkan saja, kalau dia tersinggung sedikit…
bisa-bisa satu negara rata dengan tanah.


“Setidaknya sekarang kita lega.
Karena Anda sudah mengungkap kekuatan Anda secara resmi.”

Operasi kali ini unik.
Hunter yang dikirim menyelamatkan sandera hanya satu orang.

Kim Minjun.


Di masa lalu, takkan mungkin izin seperti ini keluar.
Kelompok bersenjata di Suriah itu biadab bahkan bagi Hunter berpengalaman.
Mereka menembak tanpa ampun, bahkan di tengah konflik internal.

Terlalu berbahaya.

Dan sekarang mereka bahkan mengendarai tank.


“Presiden bilang, beliau sepenuhnya percaya pada Kim Minjun-ssi.”

Pemerintah sudah lama tersiksa karena tidak bisa menyelamatkan warganya.
Jadi saat Kim Minjun menyatakan kesediaannya turun tangan —
semua pihak setuju tanpa pikir panjang.


“Akan saya pastikan semua seratus orang kembali dengan selamat.”

Ia melambaikan tangan dan menaiki tangga jet.

Misi satu orang —
di wilayah perang —
di Suriah.

Untuk sejarah dunia, ini pertama kalinya ada Hunter tunggal yang dikirim ke zona konflik aktif.


**

“Guru kami! Apa yang harus kami lakukan?”
“Tolong bimbing kami!”
“Tolong selamatkan kami, Guru!”

Sementara itu —

di suatu fasilitas bawah tanah di Suriah.

Para pengikut Heukcheon-gyo berdesakan di ruang gelap dan lembap.

Tangan dan kaki mereka terikat.
Mata mereka ditutup kain kotor.

Sudah sebulan lebih mereka hidup begini,
hingga ketakutan dan kelaparan nyaris mengikis kewarasan mereka.

Namun di antara mereka —
ada satu orang yang tetap tenang.


“Rasa cemas para pengikut semakin berat.
Semua ini salahku.”

Dialah sang guru besar, I Bonggu.


‘Kim Minjun-nim! Tolong jawab panggilanku! Kumohon!’

Meski tampak tenang, dalam hati dia panik setengah mati.
Sejak hari pertama ditangkap, dia terus berusaha menghubungi Kim Minjun.

Tapi jarak terlalu jauh — suaranya tak bisa menembus benua.

‘Kalau begini aku mati kelaparan duluan!’


Ia mengingat saat dirinya “memasuki dunia agama.”

Saat itu, dia hanya sedang makan es krim di pinggir jalan.
Seorang ajumma mendekatinya dengan sorot mata tajam.

“Aigoo, nak! Auramu begitu cerah!
Aku bahkan nggak bisa mendekat karena terlalu suci!
Ayo ikut aku ke tempat tenang, kita bicara sedikit.”

Metode klasik para perekrut sekte.

Dan karena I Bonggu tidak punya kekebalan terhadap tipu daya seperti itu —
ia mengikuti si ajumma tanpa curiga.


“Aduh, untung aku menemukanmu!
Kau ditakdirkan berjalan di jalan cahaya!
Aku ini ahli membaca aura, tahu!”

Obrolan demi obrolan,
sampai tahu-tahu dia sudah dianggap anggota sekte.


Tapi I Bonggu bukan manusia biasa.
Dia memanfaatkan salah satu skill-nya: Transformasi.

Kadang dia berubah jadi manusia lain.
Kadang jadi hewan bercahaya yang tampak ilahi.

Dengan itu, ia dengan mudah membuat para pengikut terkesima.


“T-tolong tuntun kami, guru!”

Dan saat menyadarinya,
dia sudah menjadi pemimpin Heukcheon-gyo.


‘Agh! Aku terlalu terbawa suasana!
Terlalu banyak orang yang memujaku….’

Dia mulai menikmati peran itu.
Makin banyak pengikut, makin besar rasa bangga yang ia rasakan.

Lalu ia berpikir, “Korea terlalu kecil untukku.”

Ia memperluas wilayah kegiatan ke luar negeri —
dan langsung tertangkap oleh kelompok bersenjata Suriah.

Para politisi sudah memperingatkannya untuk tidak pergi.
Tapi terlambat menyesal sekarang.


‘Kim Minjun-nim! Tolong dengar aku kali iniii!’

Ia hampir menyerah.
Namun meninggalkan para pengikutnya?
Itu tidak mungkin.

Mereka mempercayainya sepenuhnya.
Bagaimana dia bisa kabur sendiri?

Dan kalau Kim Minjun tahu bahwa dia meninggalkan orang-orangnya

‘Aku pasti mati beneran.’


“Sedikit lagi bersabarlah.
Tangan penyelamat akan datang.
Kita hanya perlu percaya dan menunggu.”

“Guru…!”
“Guru, kami percaya pada Anda!”

Dia tersenyum lembut, berpura-pura tegar.
Namun dalam hati, ia menjerit.

‘Kim Minjun-niiiiim!!’
‘Hah?! Astaga!’
‘Eh?’


Akhirnya, doa itu tersampaikan.
Sambungan spiritual yang ia tunggu-tunggu —
terhubung.


**

Begitu mendarat di Suriah,
Kim Minjun langsung memanggil Night Walker untuk memindai wilayah.

Sebelumnya, dia sudah menerima data lengkap dari Shin Sehyeong:
lokasi-lokasi kelompok bersenjata, rute pasokan, dan peta bawah tanah.

Perkiraannya, waktu pencarian maksimal hanya tiga jam.


‘Tunggu di situ. Aku akan hancurkan markas mereka satu-satu dan menjemputmu.’

Dia tidak menyangka,
baru satu jam berlalu, I Bonggu sendiri menghubunginya.


‘Kalau kau bicara dari awal, aku sudah datang lebih cepat, tahu!’
‘Maaf, Kim Minjun-nim!
Tempat kami ini sangat dalam di bawah tanah, suara saya tidak sampai… saya malu….’
‘Bawah tanah? Jadi mereka pakai bunker?’
‘Benar. Katanya memang untuk itu dibangun.’
‘Baik. Tunggu di sana dan jangan macam-macam.’
‘Ya! Siap, Kim Minjun-nim!’


Posisi Kim Minjun sekarang: Damaskus.
Perkiraan lokasi sandera: Al-Hasakah.

Hampir di ujung berlawanan.
Bahkan dengan mobil, butuh lebih dari sepuluh jam.


“Kenapa juga kamu harus diculik di ujung dunia begitu, hah.”

Dia tahu kemampuan bertarung I Bonggu tidak seberapa,
tapi kemampuan kaburnya luar biasa.

Kalau dia masih di sana, berarti…
dia menahan diri demi melindungi pengikutnya.


“Kalau terbang nanti ketahuan, jadi sekalian saja jalan santai.”

Dia mengeluarkan Hell Racer dan menaikinya.


Begitu motor muncul, seorang pedagang lokal berlari mendekat.

“Hey, anak muda! Kau orang luar, ya?
Jangan keluyuran sendirian di sini, berbahaya!”

“Terima kasih, tapi tidak apa-apa. Aku ini Hunter.”

Pedagang itu menghela napas panjang.

“Satu bulan lalu juga ada seratus orang Korea datang.
Mereka diculik semua oleh kelompok bersenjata! Hati-hati, ya!”

“Begitu ya. Om juga susah hidup karena mereka?”
“Haah… para gila itu makin parah.
Sekarang kami rakyat biasa pun harus bayar upeti setiap minggu.”


“Kalau begitu, mau saya bantu hentikan mereka?”

Pedagang itu hanya tertawa getir,
lalu memberikan buah dan air pada Kim Minjun.

“Uangmu simpan saja. Yang penting, jaga dirimu.”


“Pembayaran diterima.”

Kim Minjun tersenyum kecil.

Dia jarang tersentuh, tapi kali ini —
perbuatan kecil itu membuatnya sedikit hangat di dada.


“Hmm? Apa katanya tadi?”

Pedagang menatap bingung,
sementara Kim Minjun menaiki motornya dan berkata dengan senyum lebar:

“Nama saya Kim Minjun, Hunter dari Korea.
Kalau nanti kelompok bersenjata di sini tiba-tiba hilang,
anggap saja itu kerjaanku.”


Dan dengan itu,
ia memutuskan untuk membasmi semua kelompok bersenjata yang ditemuinya.

Baik itu seratus orang…
atau sepuluh ribu.

Sama saja baginya.


Tududududung!

“Berhenti! Berhenti, brengsek!”

Baru dua puluh menit berkendara,
ia sudah berhadapan dengan kelompok bersenjata pertama.

Suara tembakan menggema di udara.


“Serahkan semua barangmu!
Kau kelihatannya orang Asia, dari mana kau?”
“Hey! Ini pasti tentara! Kita bisa dapat tebusan besar!”

“...Kalian nggak tahu aku siapa, ya?”
“Yang jelas, kau tentara gila yang nggak tahu tempat.”

“Ya, wajar. Tidak semua negara tahu namaku.”


“Cepat turun dari motor, angkat tanganmu ke kepala, cepat!”

Laras senjata diarahkan ke dadanya.

Kim Minjun hanya mendecak.


“Zaman sekarang masih pakai AK-47?
Kalian miskin, ya?”

Dia mengangkat tangan — tapi bukan untuk menyerah.
Hanya menggerakkan satu jari.


Ssssss—

Dari belakang punggungnya,
muncul tangan raksasa berwarna hitam.

Skill khas Heugmabeopsa: Magi-ui Song-agwi (마기의 손아귀 / Cengkeraman Iblis).


“Wha—apa itu!”
“Monster! Dia monster! Apa yang kita lakukan?!”
“Tembak! Tembak semuanya!”

Mereka menjerit dan menarik pelatuk.


Tudududududung!

Peluru berhamburan ke arah Kim Minjun.

Namun dia hanya berdiri di sana, wajah datar.


“Baiklah, sebagai hukuman…”
“…kalian masing-masing kena sepuluh kali tampar.”

186. Suriah – 2

Waktu yang dibutuhkan Kim Minjun untuk menaklukkan mereka hanya beberapa menit.

Begitu tangan raksasa hitam menangkis peluru,
sisanya hanya soal mendekat dan menampar.

Tidak perlu skill apa pun, sebenarnya.
Menghindari hujan peluru seperti itu?
Baginya, semudah bernapas.

Dia hanya memanggil Magi-ui Son-agwi (마기의 손아귀 / Cengkeraman Iblis) agar para bandit itu tak langsung kabur karena takut.

Walau, jelas saja, efek psikologis semacam itu tak banyak berguna untuk otak-otak kosong seperti mereka.


Craaack!

“Keuhk!”

Satu tamparan.
Hanya satu gerakan ringan di pipi —
dan tubuh pria bertopeng itu terbang ke udara sebelum jatuh tak sadarkan diri.

Padahal mereka orang-orang yang katanya sudah melalui pelatihan ekstrem.
Tapi satu tamparan saja sudah cukup untuk menidurkan semuanya.


“A-apa… apa-apaan itu…”
“Orang ini siapa, sih?! Serang serentak!”

Craaack! Craack! Craack!

Tiga orang yang berani maju juga mendapat giliran.
Tiga tamparan, tiga tubuh melayang, tiga pingsan.


“Hunter! Dia Hunter!”
“Hubungi unit Hunter bersenjata! Cepat!”

Kim Minjun mendengus.
“Masih juga belum paham situasinya, ya?”

Dia menggerakkan jari.

Sssssk!

Dari udara, tangan hitam raksasa muncul dan mencengkeram satu orang.


“Kau sepertinya pemimpinnya, kan?”

Pria itu langsung ditarik mendekat hingga nyaris menempel di wajahnya.

“Kau kelihatan cukup kuat.
Baiklah, tanggung sendiri semua tamparan untuk anak buahmu.”

“Ta… tunggu sebentar—”

Craaack! Craaack! Craaack!

Suara seperti kembang api pecah berulang-ulang.
Pipi pria itu membengkak sampai nyaris tak berbentuk.


“Ada dua pilihan,” kata Kim Minjun tenang.
“Satu, kasih tahu lokasi markas kelompok lain dan berhenti kena tampar.
Dua, tetap diam, dan aku lanjut tampar sampai kau baru bisa minum lewat sedotan. Pilih mana?”

“Saya… saya kasih tahu! Tolong, cukup sudah!”

“Bagus. Satu menit.
Tunjuk lokasinya di peta.
Kalau salah, aku balik lagi dan lanjut babak dua.”


Pria itu langsung menandai delapan titik di peta dengan tangan gemetar.
Delapan markas, dua di antaranya kelompok yang seluruhnya terdiri dari Hunter bersenjata.


“Baik. Sekarang boleh pergi?”

“Pergi? Kau salah dengar. Maksudku ikat.

“Apa?! Tapi aku sudah kasih tahu semua! Kalau mereka tahu aku bocorkan rahasia, aku mati!”

“Kalau begitu, berdoalah polisi datang duluan.”

Kim Minjun dengan santai mengikat mereka semua dengan tali energi hitam, memastikan tak ada yang kabur.
Sisanya? Urusan polisi khusus internasional.


“Setelah kusapu bersih semua markas dan selamatkan Bonggu serta para pengikutnya…”
Ia tersenyum tipis.
“Manisnya udah kebayang.”

Dia mengeluarkan ponselnya, membuka stopwatch.

“Mulai sekarang: Speedrun mode.


**

– Markas 3! Markas 3! Balas! Kami diserang oleh Hunter tak dikenal!
– Dia kena RPG di jarak dekat dan tetap berdiri! Itu bukan manusia! Dimana markas cadangan?!
– Dari tangannya keluar cambuk hitam! Aaaargh—!

Gelombang komunikasi darurat menggema panik.

Di ruang bawah tanah markas pusat,
komandan kelompok bersenjata yang juga seorang Hunter lepas,
Zaid, menghantam meja keras-keras.


“Satu orang?! Satu orang saja, dan setengah markas kita hancur?!
Kau yakin masih mau menyebut ini ‘manusia’?!”

Dia menatap layar pemantauan yang menampilkan kehancuran empat markas sekaligus.

Waktu yang dibutuhkan?
Dua jam.

Dua jam saja —
empat markas hilang dari peta.

Padahal jarak antar markas lebih dari 70 kilometer.
Hampir mustahil dilakukan manusia.


‘Aku dapat posisi ini setelah bertaruh nyawa bertahun-tahun…
dan semua akan lenyap dalam sehari?’

Dalam kelompok kriminal pun ada hierarki.
Dan posisi “komandan” yang ia perjuangkan,
sekarang tergantung pada satu Hunter gila dari Korea.


“Zaid-nim! Dari intelijen, laporan baru masuk!”
“Cepat katakan!”

Dia merampas berkas dari tangan bawahannya.

“…Sialan.”

Bukan monster, bukan kelompok lain —
yang menghancurkan markas mereka adalah seorang Hunter tunggal.

Dari Korea.


“Kim Minjun daeryeong (대령)?”
“Ya. Seorang perwira. Bergerak sendirian.”
“Informasi tambahan?”
“Maaf! Level keamanannya terlalu tinggi, kami belum tembus datanya!”

“Kalau begitu kerjamu buat apa, hah?!
Kalau lain kali datang tangan kosong lagi, aku tembak sendiri!”

“Y-ya, mengerti!”

“Sekarang keluar!”


Zaid mengumpat dan membanting berkas itu ke lantai.
Ia baru hendak menghubungi markas lain ketika—

–Hey. Dengar nggak?

Suara laki-laki, rendah tapi tenang, muncul di radio.

Aku Kim Minjun, Hunter dari Korea.
Menyerahlah sekarang.
Sayang sekali kalau semua senjata bagus itu harus aku hancurkan.
Lebih baik disumbangkan untuk umat manusia, kan?


Pesannya singkat, padat, dan… menyebalkan.

“Bajingan sombong…”

Dia bahkan memberikan posisinya sendiri secara terbuka.

Zaid langsung menyalakan sambungan ke semua komandan cabang.

“Bunuh semua seratus sandera Korea itu. Sekarang juga.”

Biarpun lawannya kuat, dia tetap orang Korea.
Kalau 100 warga Korea mati, dampaknya akan lebih besar daripada kehilangan markas.

Tapi belum sempat dia tersenyum puas—

–Membunuh siapa? Aku sudah di sini, tahu.

Suara itu masuk lagi,
diiringi suara ledakan jauh di latar.


“Bermain-main, ya?
Omong kosong itu tidak akan menolong mereka.
Markas tempat para sandera itu bahkan di ujung berlawanan!”

Bahkan naik kendaraan pun perlu tiga jam.
Mana mungkin dia di sana?


Tepat saat dia mengumpat,
suara dari radio lain masuk.

–Markas 6! Dia datang! Kami butuh bantuan— Aaargh!

Sambungan langsung terputus.

Zaid menatap radio itu kosong.

“…Gila. Gila benar.”


“Bagaimanapun, dia tetap manusia.”

Zaid berdiri, memutuskan:
ia sendiri akan maju menghadapi Kim Minjun.


**

“Baik, hati-hati kepala kalian saat keluar.
Sudah aman sekarang.”

Di sisi lain —

Kim Minjun sedang mengevakuasi para sandera Korea.

Menghancurkan markas bukan hal sulit baginya.


“Kita selamat! Kita benar-benar selamat!”
“Seperti kata guru kami!”
“Ini semua berkat guru!”

Tapi ucapan syukur itu bukan untuknya.
Melainkan untuk… I Bonggu.


“Hmm, hmm! Sudah kubilang kan?
Selama kalian tidak goyah dan tetap beriman,
akhirnya hasil manis akan— keuh!”

I Bonggu yang sedang sok bijak tiba-tiba tersedak ketika melihat tatapan Kim Minjun.
Seolah baru melihat hantu.


“Seru, ya? Main jadi ‘guru’ begini?”

“Ini— ini semua berkat Kim Minjun daeryeong-nim!
Kita harus berterima kasih padanya!”

Dia cepat mengganti ekspresi,
mendekat dan berbisik pelan.

‘Kim Minjun-nim! Terima kasih!
Mustahil aku bisa kabur dengan 100 orang ini tanpa bantuan Anda!’

‘Kau juga hebat. Bisa bikin sekte sesat sebesar ini dalam waktu sesingkat itu.’

‘Bukan sekte sesat! Heukcheon-gyo didirikan untuk Anda, Kim Minjun-nim!’


Ia melanjutkan dengan suara bersemangat,
menjelaskan betapa pengaruh massal itu luar biasa.

‘Para politisi bahkan menunduk di depan saya!
Mereka mencoba menyuap saya dengan uang agar saya berpihak.
Tapi tentu saja, saya tolak!’

Ternyata Heukcheon-gyo punya struktur yang cukup rumit.

Mereka:
– menyebarkan berita baik tentang Kim Minjun,
– menekan LSM yang menyebarkan fitnah,
– dan mengintimidasi politisi yang mencoba merusak citranya.

Semua diam-diam.


‘Begitu, ya. Wajar kalau para pejabat takut pada kekuatan suara rakyat.’

Dia awalnya mau menyuruh Bonggu berhenti bermain “guru”,
tapi mendengar fungsinya…
itu justru bermanfaat.


‘I Bonggu.’
‘Ya, ya! Heukcheon-gyo akan segera dibubarkan, saya janji—’
‘Kau bilang ada 300 ribu pengikut, kan? Tambah lagi.’

‘…Eh?’

Ekspresinya langsung berbinar.

‘Serahkan pada saya, Kim Minjun-nim!
Nanti logo sekte kami akan—’
‘Kalau mukaku muncul di logo, aku pecahkan kepalamu.’


Saat mereka berbicara,
konvoi bantuan dari pemerintah Suriah sudah tiba.

Tugasnya tinggal satu:
antar para sandera ke bandara,
lalu bereskan sisa markas yang tersisa.


Namun—

“Di sana!”
“Itu dia yang menghancurkan markas kami! Tembak!”

Dari bukit di kejauhan,
sekelompok bandit muncul membawa RPG.

Dan mereka menembakkannya bukan ke arah Kim Minjun,
tapi ke arah truk evakuasi.


“Idi—ot. Dasar gila.”

Mereka benar-benar berniat melenyapkan sandera.

Kim Minjun mengangkat tangan,
dan memanggil kegelapan pekat dari udara.


Ssssss…

Bayangan hitam membentuk cambuk dan melilit peluru RPG di udara.
Sekejap kemudian—

Kwaaaaang!

Peluru itu meluncur kembali ke langit, meledak tanpa menyentuh siapa pun.


Melihat itu, para bandit berteriak histeris.

“Monster! Itu monster! Jahad mengutuk kitaaa!”
“Buang senjata! Lari! Jangan menoleh ke belakang!”

Tak butuh lama — kelompok itu bubar.


Krrreek!

Empat tank yang disembunyikan di belakang bukit juga ikut lumpuh total.
Larasan meriamnya terpelintir seperti logam lunak.


“Empat orang yang barusan nembak RPG ke mobil itu…
ke sini sebentar.”

“T-tunggu! Kami cuma ikut perintah—!”
“Kalau begitu seharusnya kau tidak taat.”

Praaak!

Jeritan pun menggema di udara.


Saat dia masih “mendidik” empat orang itu,
kelompok Hunter bersenjata pimpinan Zaid akhirnya tiba.


‘Kita habisi dalam satu serangan. Jangan beri waktu kedua.’
‘Ya!’

Sepuluh orang, termasuk Zaid sendiri.
Semua Hunter kelas tinggi.

Mereka sudah tahu senjata biasa tak akan berguna.

Tiga membawa pedang sihir buatan Tiongkok,
tiga lainnya mengangkat senapan mesin berdaya sihir.

Sisanya siap menyerbu dengan tubuh mereka sendiri.


‘Dia tidak membunuh. Itu kelemahannya.’

Itu sudah menjadi aturan tak tertulis di antara mereka:
Hunter Korea itu tidak pernah membunuh manusia.

Jadi mereka yakin bisa memanfaatkannya.


‘Sekarang!’

Begitu Kim Minjun menoleh sedikit,
Zaid memberi tanda tangan.

Sepuluh Hunter melesat bersamaan.
Gerakan mereka cepat, terlatih, tak seperti bandit-barbar biasa.


Kim Minjun mendengus.

“Oh? Gaya kalian agak mirip militer, ya.
Lagi main perang-perangan?”

Dia memutar pergelangan tangan, wajahnya santai.

“Untuk kalian, satu alat ini saja cukup.”

Dia mengangkat sesuatu dari tanah.


Sebuah sandal jepit usang.

Sandal yang tadi dia pakai untuk menampar para bandit.

Kim Minjun menepuknya pelan, tersenyum lebar.

“Mari kita mulai — operasi Sandal Suci.” 

187. Suriah – 3

“Dasar orang gila…!”

Zaid menggeram, wajahnya merah padam karena marah.
Provokasi terang-terangan itu membuat darahnya mendidih.

Ia meraih senapan sihir (마력 기관총) dari tangan bawahannya dan menodongkannya ke arah Kim Minjun.

Sandal jepit.
Orang itu hanya memegang sandal jepit lusuh.

Begitu rendahkah ia menilai kekuatan bersenjata mereka, sampai-sampai berani menantang mereka dengan benda seperti itu?

“Jangan kasih ampun! Bunuh dia!”

Di matanya, Kim Minjun memang terlihat seperti seorang prajurit —
tapi senjata yang ia bawa di pinggang: pedang sihir, mana-gun, cambuk hitam — semuanya kualitas tinggi.

Dan orang itu justru membiarkan semua senjata itu tergantung begitu saja,
memilih sepasang sandal murahan untuk melawan.

‘Entah siapa pun dia… dia akan tahu rasanya menantang kelompok Hunter bersenjata.’

Ia mengangkat senjatanya, membidik lurus ke arah lawan—


Craaack!

“Huhk!”

Dalam sekejap, tubuh para Hunter yang menerjang Kim Minjun terhempas puluhan meter.

“Hm. Kalian Hunter, kan?
Kalau begitu boleh pakai full swing.”

Satu tamparan, tapi kekuatannya seperti ledakan.
Para Hunter tak sempat mengaktifkan aura pertahanan pun — langsung tumbang di tempat.


“Ini… apa-apaan. Pedang sihir? Kau bilang itu pedang sihir?”
Kim Minjun menatap senjata mereka, mengangkat alis.

“Dari mana kalian dapat barang semacam itu?”

Beberapa Hunter lain yang memegang pedang sihir buatan Tiongkok berusaha menyerang,
namun bahkan sebelum pedang mereka sempat menyala,

Craaack!

Teriakan kesakitan menggema.

“Berani-beraninya mengacungkan pedang sihir padaku?
Dan itu pun buatan Cina lagi? Karena kesal, aku sengaja cuma memukul bagian yang paling sakit.”

Hunter yang tersisa hampir setengahnya sudah tumbang.
Sisanya ketakutan.


“Tembak dia!”

“T-tapi, di sekitar sini masih ada anggota kita—!”

“Tak usah pedulikan mereka! Tembak semua!”

Zaid menarik pelatuk senapan sihir.

Tududududung! Tududududung!

Peluru sihir menembak deras, berkilat biru — kekuatannya cukup untuk menghancurkan tank baja dalam hitungan detik.

Tak peduli sekuat apa Hunter itu, dia tetap manusia.
Tak mungkin tubuh manusia mampu bertahan dari hujan peluru sihir.

Atau begitulah ia pikir.


“Ya, itu baru kelompok bersenjata Suriah yang kukenal.”
Kim Minjun tersenyum tipis.

Tiga senapan sihir menembak bersamaan —
ratusan peluru menghujani ruang di sekitarnya.

Namun, tak satu pun menyentuhnya.


“Bu-pae (부패).”

Ssssss…

Peluru sihir yang terbang di udara berubah warna —
lapuk, berkarat, dan dalam hitungan detik hancur menjadi debu.


“Ti… tidak mungkin. Itu tidak masuk akal…”

Zaid jatuh terduduk, wajahnya pucat pasi.

Peluru sihir, senjata yang bahkan pasukan Hunter elite dunia pun tak mudah mendapatkannya —
lenyap begitu saja di hadapannya.

Ia menelan ludah, gemetar hebat.


– Ini Kompi Tank Kedua! T-tank kami terbalik! Mohon bantuan!
– Keluarkan kami! Keluarkan kami dari sini!

Bahkan unit tank cadangan yang mereka kirim juga tak berdaya.

Kim Minjun hanya mengayunkan cambuk hitamnya —
dan tank baja seberat belasan ton terbalik seperti mainan.

Larasan meriam mereka pun bengkok seperti lilin yang meleleh.


“Bukan… bukan manusia… Itu monster…”

Zaid memegangi kepala, putus asa.

Selama ini, alasan pemerintah Suriah tak pernah berani menyerang kelompok bersenjata macam mereka —
karena kekuatan senjata berat mereka terlalu berbahaya.

Perang sipil bisa menelan puluhan ribu korban.

Tapi sekarang, satu orang, satu Hunter,
menumbangkan seluruh kekuatan bersenjata mereka tanpa membunuh satu pun.


“Hey.”

Suara dingin itu menggema tepat di depan wajahnya.

Kim Minjun berdiri di sana, menatapnya dari atas.

“Kau yang memimpin mereka, kan?”

Wajah Zaid membeku.

Kim Minjun mengeluarkan ponsel, melapor cepat ke pemerintah Suriah.
Pasukan khusus dan polisi internasional akan segera datang mengamankan lokasi.

Sisa tugasnya tinggal satu — menangkap Zaid hidup-hidup.


“Sudah kukatakan,
orang sepertimu memang perlu pelajaran.”

Ia mengangkat cambuk.

“Tahu apa kelebihan cambuk?”

Craaack!

[Efek dari Whip of Agony telah diterapkan!]

“—Rasanya. Sangat. Sakit.”

“Gyaaaahh!!”

Jeritan Zaid memecah udara.
Kim Minjun memukulinya berulang kali sampai pria itu pingsan… lalu sadar… lalu pingsan lagi.

Dan begitu seterusnya,
hingga pasukan pemerintah tiba.


**

“Kim Minjun daeryeong.
Atas nama Presiden, saya mengucapkan terima kasih.”

Begitu ia tiba di bandara, Presiden Bashar al-Assad sudah menunggunya sendiri.

Presiden menundukkan kepala dalam-dalam.
Ia bahkan tak peduli pada pandangan wartawan dan pengawal di sekitarnya.


“Pasukan utama kelompok bersenjata telah dilumpuhkan,
dan tidak ada satu pun korban jiwa.”

Hanya satu orang yang bisa melakukan itu.
Bahkan operasi penyelamatan paling sukses di dunia pun tak mungkin tanpa korban.

Namun Hunter ini melakukannya. Sendirian.


“Saya hanya melakukan kewajiban sebagai Hunter Korea.”

“Namun Anda menyelesaikannya hanya dalam enam jam.
Enam jam untuk membebaskan seratus sandera dan menghancurkan musuh utama negara kami.”

Al-Assad memandangnya kagum.

Kenyataannya, butuh kekuatan militer setingkat Amerika Serikat untuk mencapai hasil seperti itu.
Dan pun begitu, mustahil tanpa korban.


“Kim Minjun daeryeong,
kami tidak berpangku tangan selama insiden ini.
Namun kelompok bersenjata itu terlalu gila dalam negosiasi.
Saya harap Anda memakluminya.”

Ia berbicara hati-hati, seperti seorang bawahannya.
Karena walaupun ia Presiden,
di depan makhluk ini, gelarnya tidak berarti apa-apa.


“Tidak apa-apa. Saya mengerti.”

“Terima kasih.
Sebagai tanda terima kasih kami—”

Presiden memberi isyarat,
dan pengawal di sampingnya menyerahkan sebuah koper logam hitam.


“Saya tahu uang tidak berarti bagi Anda,
jadi kami menyiapkannya dalam bentuk item.”

Biasanya, hal seperti ini tidak pernah terjadi.
Korea hanya meminta satu hal pada pemerintah Suriah:

“Abaikan semua operasi sampai misi selesai.”

Namun setelah melihat hasilnya secara langsung,
Presiden Suriah merasa hanya ucapan terima kasih tidak cukup.


“Nama Anda, Kim Minjun daeryeong, akan saya ingat selamanya.
Jika suatu saat Anda butuh bantuan,
Suriah akan berada di pihak Anda.”

“Terima kasih.
Saya harus pergi, masih ada jadwal lain.”

Kim Minjun menunduk singkat, lalu berjalan menuju pesawat.
Presiden menatap punggungnya lama —
dan di saat itu juga, ia membuat keputusan besar.

Tak peduli apa pun yang terjadi,
Suriah tidak akan pernah menjadi musuh Korea.


**

“Ini… apa lagi, nih?”

Dalam pesawat menuju Seoul,
Kim Minjun membuka koper dan melongo.


[Essence of the Immortal Mutant]
Meningkatkan satu status tertentu secara permanen sebanyak 20 poin.
Tidak dapat digunakan pada status dasar.
Menyebabkan beban besar pada tubuh pengguna. Gunakan dengan hati-hati.


“…Gila juga.”

Item itu terlalu bagus.
Bahkan di dunia lain, ia jarang melihat yang setara.

“Jadi, Suriah punya barang begini, huh.”

‘Essence of Mutant.’
Item yang secara resmi bahkan tidak terdaftar dalam sistem mana pun.


Sebenarnya, ia sudah memerintahkan Night Walker untuk mencari item menarik di markas musuh.
Tapi tak menyangka pemerintah sendiri yang akan menyerahkannya.

“Berarti, setiap negara pasti punya hidden stash-nya masing-masing.”

Seperti Rusia yang memberinya relic level nasional,
Suriah ternyata juga punya barang berharga begini.


“Setelah aku beri tahu soal invasi dunia luar,
semua negara pasti makin giat menimbun barang langka.”

Ia menatap botol kaca itu — cairan merah di dalamnya berputar pelan.

Tak disangka, hasil misinya kali ini benar-benar luar biasa.


“Sekarang, semuanya! Mari bersama-sama berseru:
Hidup Kim Minjun-nim!”

“Hidup Kim Minjun-nim!”
“Hidup Heukcheon-gyo!”
“Hidup Heukcheon-gyo!”

Suara I Bonggu dan para pengikutnya menggema di dalam pesawat.

Kim Minjun hanya bisa tertawa kecil.

Awalnya ia pikir sekte itu akan merepotkan,
tapi ternyata berkat mereka ia malah dapat item langka gratis.


“I Bonggu.
Diam sedikit, pusing dengar suaramu.”

“Y-ya! Semua orang, mari berdiam diri dan bermeditasi!”

Sekejap, suasana di pesawat menjadi tenang.

Kim Minjun menatap cairan merah itu sekali lagi.


Dua status yang bisa di-upgrade dengan item ini:
Magi (마기) dan Yeonggu Gigwan (영구 기관 / Core Abadi).

Keduanya sama-sama penting.

“Hmm… yang mana ya.”

Status Magi-nya saat ini 78.
Kalau Essence ini dipakai, jadi 98.
Hampir menyamai masa kejayaannya di dunia lain.

Tapi—


“Masalahnya, Yeonggu Gigwan stagnan belakangan ini.”

Meski sudah berkali-kali mencoba melatihnya,
tidak ada perubahan sedikit pun.

Seolah ada dinding besar yang tak bisa ditembus.


“Kalau begitu… sudah jelas.”

Ia memutuskan.
Status yang akan ditingkatkan bukan Magi,
melainkan Yeonggu Gigwan.

Magi bisa ia naikkan kapan saja.
Tapi mekanisme Core Abadi — bahkan ia sendiri tak sepenuhnya memahaminya.


“Baiklah. Sekalian saja kupecahkan batasnya.”

Dalam novel-novel, protagonis biasanya menembus dinding semacam ini lewat pelatihan keras atau pencerahan.

Kim Minjun tersenyum.

“Tapi aku bukan tokoh novel.
Aku punya jalan pintas.”

Ia memegang botol itu erat-erat.

“Dan kebetulan,
aku masih punya Peti Harta Kolombia untuk memperkuat efeknya.”


Senyumnya makin lebar.
Rasa ingin tahu bercampur antusiasme berdenyut di dadanya.

“Cooldown juga hampir selesai.
Tunggu saja sedikit lagi,
mari lihat sejauh apa tubuhku bisa berubah.”


**

“Chungseong! (Hormat!)
Kim Minjun daeryeong-nim! Apakah tubuh Anda baik-baik saja?!”

Begitu turun di Bandara Incheon,
Kim Seohyun jungsa berlari ke arahnya.

Ia memeriksa tubuh atasannya dengan panik,
baru bisa bernapas lega setelah memastikan tak ada luka sedikit pun.


“Kim Seohyun! Lama tak—”

“Lama apanya! Kau gila, ya?!
Bikin sekte dan main jadi guru besar itu menyenangkan, hah?!”

“Aaagh! Rambut pirangku! Rambut pirangku copot!”

“Tenang saja, aku copot sampai kupingmu juga!”

“Bagaimana bisa kau ucapkan hal sekejam itu!”

“Diam dan ikut aku!”

“Kim Minjun-nim! Tolooong!”

I Bonggu diseret pergi sambil menjerit,
dalam genggaman besi Kim Seohyun.

Katanya, mereka perlu bicara serius berdua.


Kim Minjun hanya menghela napas.

“Cocok juga mereka berdua, ya.
Tapi… kenapa wartawan segini banyak?”

Baru saja tiba,
kerumunan reporter sudah mengerumuninya seperti gelombang.


“Di sana! Itu dia!”
“Kim Minjun-ssi! Benarkah Anda menyelamatkan para sandera di Suriah?”
“Tolong satu wawancara singkat saja!”

Sorotan kamera menembak dari segala arah.

Ia tahu, menghindar percuma.
Dan citra publik juga hal penting.


“Baik, semuanya dengar.”
“Saya hanya akan bicara satu kali, langsung ke intinya.”

Ia berdiri tegak, menatap lurus ke arah lensa kamera.

Nada suaranya tenang — tapi yang keluar setelah itu membuat semua reporter terdiam. 

188. 마인화 (Manifestasi Iblis)

Dalam waktu enam jam saja, delapan markas besar kelompok bersenjata ekstremis di Suriah dihancurkan total.

Sejujurnya, Kim Minjun ingin melenyapkan para biadab itu dari muka bumi.
Namun karena menyangkut hubungan diplomatik, ia menahan diri —
cukup dengan “pengepungan dan penindakan.”

Seratus warga Korea yang disandera oleh kelompok bersenjata itu,
semuanya berhasil diselamatkan tanpa satu luka pun.

Begitulah yang ia katakan di depan para reporter.


“…Apa itu benar-benar mungkin?”

“Bagaimanapun juga, enam jam itu terlalu singkat, kan?”

Nama Kim Minjun daeryeong.
Semua orang sudah tahu — dia adalah heukmabeopsa (흑마법사 / penyihir hitam) yang pernah kembali dari dunia lain.

Setidaknya, semua warga Korea tahu.

Namun bahkan dengan reputasi itu, para jurnalis menganggap pernyataannya terlalu berlebihan.

Dan memang wajar.

Ia tidak pernah memamerkan banyak skill di depan publik.
Dan jika benar-benar memiliki kekuatan sekuat itu…
kenapa tak seorang pun tewas selama operasinya?

Itu berarti ia tidak menggunakan kekuatan penuhnya.


“Semua akan terungkap nanti.
Yang lebih cepat bertindak, yang menang.
Saya sibuk, sampai jumpa.”

Kim Minjun menyeringai sebentar —
dan lenyap di tempat.

“…….”

Keheningan menyelimuti ruang kedatangan bandara.

Para reporter saling pandang,
lalu seolah mendapat sinyal serentak —
berlari ke luar dengan kamera mereka.


**

[Berita Kilat!]
100 warga Korea yang disandera di Suriah berhasil diselamatkan tanpa luka!

[Kim Minjun Daeryeong — operasi solo pertama Hunter-gun! Hasil: sukses total!]

[Kelompok bersenjata Suriah hancur lebur. Presiden Suriah memuji: “Semua berkat Kim Minjun Daeryeong.”]

[Enam jam untuk menghancurkan delapan markas? Bagaimana caranya? Kekuatan Kim Minjun masih menjadi misteri.]


Seminggu kemudian.

Segala sesuatu yang terjadi di Suriah telah dikonfirmasi.
Dan setiap kata yang diucapkan Kim Minjun terbukti bukan bualan.

Reputasi Hunter-gun (Pasukan Hunter Korea) melambung tinggi,
dan masyarakat mulai bersuara:

“Daeryeong? Tidak cukup. Ia pantas duduk di kursi bintang!”

Faktanya, ia memang sudah dalam proses kenaikan pangkat menjadi junjang (준장 / brigadir jenderal).

Kementerian Pertahanan bahkan kewalahan menerima permohonan publik
yang mendesak “pemberian promosi khusus bagi Kim Minjun Daeryeong!”


“Bagus. Akhirnya hari ini tiba juga.”

Sementara itu—

Kim Minjun berdiri di dalam ruang pelatihan perwira tingkat tinggi.

Di tangannya, sebotol cairan merah berkilau.
Item: [Maruji Anneun Doryeonbyeoni-ui Jeongsu (마르지 않는 돌연변이의 정수)]
Essence of the Undying Mutant.

Ia datang untuk menggunakannya.

Karena efek peningkatannya luar biasa besar,
ia memilih ruang latihan khusus perwira — ruangan paling kuat dan tahan ledakan di markas.

“Siap-siap. Aku menunggu cukup lama untuk ini.”

Alasannya hanya satu:
Cooltime dari Kolombia-ui Boemul Sangja (콜롬비아의 보물 상자)Treasure Chest of Colombia
item yang bisa memperkuat item lain.


[Perhatian! Item ini memiliki performa tinggi!]
[Waktu tunggu meningkat menjadi 1 tahun!]
[Apakah Anda tetap ingin menggunakan item ini?]


“Ha… ya, pantas saja.
Barang bagus memang butuh waktu.”

Satu tahun bukan waktu lama bagi Hunter sepertinya.
Apalagi untuk item langka seperti ini — yang bahkan di dunia lain pun nyaris tak mungkin ditemukan.

“Baik. Mari kita mulai.”

Ia tidak terlalu berharap mendapatkan efek penguatan besar.
Lagi pula, efek peningkatan besar sudah pernah terjadi sekali sebelumnya.

“Mana mungkin keberuntungan datang dua kali.”

Namun—

Wuuuung…!

Ruangan bergetar, dan sederet notifikasi sistem muncul di hadapannya.


[Efek peningkatan besar telah terjadi!]
[‘Essence of the Undying Mutant’ telah diperkuat menjadi
‘Overflowing Essence of the Mutant’!]


“…Serius nih?”

Ia melongo.

Peluang sekecil itu, terjadi lagi.


“Jadi beginilah rasanya keberuntungan yang berlebihan?
Aku… akhir-akhir ini terlalu hoki, ya?”

Kalau orang lain melihatnya sekarang, pasti sudah teriak,

“Ini keterlaluan, dasar orang sialan!”

Tapi mau bagaimana.
Yang bisa ia lakukan hanya tersenyum sombong.


“Ah… bahkan aku sendiri ngeri melihat keberuntunganku.”

Efek peningkatan besar.
Berarti… seberapa tinggi stat yang akan naik?

Ia menatap jendela sistem — dan terpaku.


“…Gila.”

Stat bonusnya +30.

“Dengan begini, cooldown setahun pun tak rugi.”

Dalam standar Hunter normal,
menaikkan satu atribut dasar sebesar 30 poin
bisa butuh lebih dari sepuluh tahun.

Karena semakin tinggi nilainya,
semakin lambat laju pertumbuhannya.

Dan sekarang, satu botol kecil cairan merah itu menghapus seluruh logika dunia.


“Benar-benar tak adil.”

Ia menatap botol di tangannya.
Setetes pun tidak boleh tersisa.

Kim Minjun meneguknya sekaligus.


Dugun!

Tubuhnya seketika panas membara.

[Yeonggu Gigwan (영구 기관) +1]
[Yeonggu Gigwan +1]
[Yeonggu Gigwan +1…]

Pesan notifikasi beruntun muncul tanpa henti.

Seolah ratusan pisau menari di dalam tubuhnya,
menusuk, menekan, memutar urat nadi dari dalam.


“Urgh… sampai kapan ini…”

Rasa sakitnya melonjak seiring waktu.
Dari dada, menjalar ke seluruh tubuh,
seperti jarum membara yang disuntikkan ke tiap pembuluh darah.


[Yeonggu Gigwan telah mencapai nilai tertentu!]
[Proses implantasi sirkuit dimulai!]


“Implantasi… sirkuit?
Jadi ini penyebabnya… urgh—!”

Entah apa maksudnya,
tapi jelas ini hal besar.

Ia menggigit bibir, menahan semua rasa sakit sampai akhir.


[Implantasi Sirkuit Selesai.]
[Skill ‘Amplification Circuit (증폭 회로)’ diperoleh.]
[Skill ‘Conversion (변환)’ diperoleh.]
[Skill Conversion dipengaruhi oleh stat Magi.]
[Skill Conversion berubah menjadi ‘Mainhwa (마인화)’.]


“Berhenti… sebentar saja, tolong…”

Begitu deretan pesan berhenti muncul,
Kim Minjun ambruk di lantai.

Tubuhnya basah kuyup seolah baru keluar dari hujan badai.
Stat +30 bukan peningkatan — itu revolusi.

Hunter biasa pasti sudah mati karena kejut saraf.


Stat Saat Ini:

Kekuatan: 92
Kelincahan: 92
Stamina: 97
Magi: 78
Yeonggu Gigwan: 71

“Bagus. Semua naik sempurna.”

Ia tersenyum puas.
Stat yang stagnan selama ini melonjak seperti gila hanya karena satu item.

“Ini… sudah di level yang lain.”

Dengan peningkatan besar itu,
kecepatan regenerasi Magi-nya dua kali lipat lebih cepat.
Bahkan jika Magi-nya habis total,
cukup satu hari untuk pulih sepenuhnya.

Yeonggu Gigwan benar-benar menutup semua kelemahannya.

Dan bonusnya — dua skill baru.


[Skill Information]

Amplification Circuit (증폭 회로)

Memperkuat output skill melalui sirkuit internal.
Semakin kuat skill, semakin besar beban fisik.
Dapat diaktifkan / dinonaktifkan.

Mainhwa (마인화)

Skill hasil perubahan oleh Magi.
Mengubah pengguna menjadi Main (魔人) untuk waktu terbatas.
Selama bentuk Mainhwa aktif, skill khusus Black Sun (검은 태양) dapat digunakan satu kali.
Cooldown: 3 hari.


“…Apa-apaan ini. Serem amat skill-nya.”

Skill yang terkait dengan Yeonggu Gigwan tidak pernah jelek.
Dua skill baru ini pasti luar biasa.

Rasa ingin tahunya menggelora.


“Kim Seohyun. Bisa datang ke ruang latihan perwira sekarang?”


Beberapa menit kemudian.

“Kim Minjun-nim!”
Kim Seohyun berlari tergesa-gesa.

Ia hampir tidak pernah dipanggil mendadak seperti ini,
dan terakhir kali mereka bicara pun hanya soal kerjaan.
Ia masih sedikit kesal karena tidak diajak ke Suriah.

Tapi begitu melihat wajahnya—

“Kim Minjun-nim! Anda… Anda baik-baik saja?”

Ia terkejut.
Untuk pertama kalinya, Kim Minjun terlihat benar-benar lelah.

“Segera ke ruang medis! Walau malam, petugas medis pasti masih siaga—”

“Tidak. Tenang saja. Ini bukan apa-apa.
Aku cuma butuh saksi kalau terjadi kecelakaan.”

“…Hah?”

Ia menarik napas panjang, lalu tersenyum.

“Aku baru dapat skill baru.
Kelihatannya kuat banget, jadi aku butuh seseorang buat mengawasi kalau-kalau ada efek aneh.”

“Skill baru? Jadi Anda dapat sesuatu waktu di Suriah?”

“Yup. Kau cepat paham juga.
Kukira minumannya bagus… dan ternyata benar-benar luar biasa.”

Seohyun menatapnya curiga.
Apa dia baru saja menenggak racun?

Ia mengikutinya ke ruang latihan utama.


“Baik. Ini tempatnya. Dinding di sini katanya paling tebal.”

Kim Minjun berdiri di tengah ruangan dan mengaktifkan skill.

“Dari luar, kau akan aman.”

Ia menyalakan Amplification Circuit,
lalu menembakkan Amheuk Hwasal (암흑 화살 / Panah Kegelapan) dan Magi Chaechik (마기 채찍 / Cambuk Magi).

Ssssss…

Energi Magi mengalir melalui sirkuit tubuhnya.

“Ya… ini memang beda.”

Skill yang keluar kali ini jauh lebih kuat.
Panah kegelapan menjadi lebih besar dan banyak,
cambuk Magi pun semakin tebal dan berdenyut gelap.

“Tidak bisa dipakai sembarangan, ini.”

Amplification Circuit memang hebat,
tapi beban tubuhnya terasa berat bahkan hanya dengan skill dasar.


“Baik, ini baru latihan awal.
Sekarang, bagian utama.”

Ia memejamkan mata.

Mainhwa (마인화).

Seketika, asap hitam membubung dari tubuhnya,
melilit seluruh badan.


“…Jadi ini, Mainhwa?”

Ketika asap menghilang,
Kim Minjun melihat pantulan dirinya di dinding logam.

Tubuhnya hitam pekat,
jubah panjang berayun di bahu,
dan sepasang mata merah menyala bagai bara neraka.

“…Seram juga.”

Ia mendesah kecil.

“Kalau anak kecil lihat, pasti nangis.”

Namun ia bersyukur —
setidaknya ia masih dalam bentuk manusia, bukan monster.


Swiik! Swiik!

Ia menggerakkan tubuhnya.

“Whoa…”

Gerakannya luar biasa cepat — terlalu cepat sampai kehilangan keseimbangan sejenak.

“Minimal satu setengah kali lebih cepat.”

Kwaaang!

Pukulan ringan di udara,
dan dinding baja ruang latihan retak!

“Kalau kutonjok serius, pasti jebol semua.”

Ia mengepalkan tangan.


“Hmm… apa skill bisa dipakai dalam bentuk ini?”

Sayangnya, tidak.

Skill lain terkunci selama Mainhwa aktif.

“Yah, dengan kekuatan segini saja sudah cukup.”

Ia bisa merasakan —
stat di tubuhnya saat ini melebihi 100.

Tenaganya seperti meluap-luap,
dan kaki gatal ingin berlari.


“‘Geomeun Taeyang (검은 태양 / Black Sun)’…”

Skill spesial yang bisa digunakan sekali selama Mainhwa.
Tapi namanya saja sudah menakutkan.

Ia menatap langit-langit ruang latihan.

“…Kalau kubuka sembarangan dan seluruh markas meledak, siapa yang tanggung jawab?”

Nama seburuk itu jarang berakhir baik.


“Aish… tak bisa ditahan.
Satu pukulan saja. Hanya satu.”

Ia menatap dinding depan,
mengambil posisi tempur,
dan menarik napas panjang.

“Bangunan ini tahan serangan misil, kan?
Satu pukulan tak masalah.”

Ia merendahkan tubuh,
menguatkan kaki belakang,
dan menyalurkan seluruh tenaga ke lengan kanannya.


Heukma… Jinshim Punch! (흑마… 진심 펀치!)

Ia memutar pinggang,
dan melepaskan pukulan penuh tenaga.

Swae-eeek!

Udara terbelah.
Suara ledakan nyaris seperti guruh.

Kuaaaang!

“Uh… mungkin… harusnya kupelankan sedikit.”

189. 별 (Bintang)

Duar—!!

Dinding ruang latihan hancur total.

Sebelumnya, bahkan dengan serangan penuh tenaga, ia hanya mampu membuat retakan kecil.
Begitu keras dan kokohnya ruangan itu — tempat yang dikatakan mampu menahan misil sihir.

“…Satu skill saja, hasilnya begini?”

Namun pukulan tunggal dalam wujud Mainhwa (마인화)
satu jurus yang dilontarkan setelah transformasi —
telah menghancurkan seluruh dinding baja berlapis itu menjadi serpihan.

Ia sendiri tidak pernah memperkirakan daya rusak sebesar ini.


Ssssss…

Waktu aktif Mainhwa: kira-kira 10 menit.

Begitu transformasi berakhir, napasnya naik turun cepat.
Tubuh terasa berat, seperti kehabisan oksigen.

“Wajar saja… dengan kekuatan segila itu, pasti ada pantulan efeknya.”

Tapi bahkan dengan waktu sesingkat itu,
hasilnya lebih dari cukup.

Ia tersenyum.
“Pilihan meningkatkan Yeonggu Gigwan (영구 기관) memang benar.”

Dua skill barunya — Amplification Circuit dan Mainhwa
keduanya sangat ideal untuk melengkapi gaya bertarungnya.


“Skill penghancur dan pembasmi, aku sudah punya banyak.”

Sekarang tinggal menambah kendali dan daya.

Gunakan Amplification Circuit bila butuh kekuatan tambahan.
Dan Mainhwa — sebagai kartu truf terakhir.

“Bagus. Benar-benar memuaskan.”

Ia bahkan sempat merasa sedikit bersalah,
karena hasilnya terlalu menguntungkan.


“Wa… Waaah….”

Di luar, Kim Seohyun berdiri terpaku, matanya berbinar.

‘Keren banget… Otot-otot besar yang bersinar di bawah aura hitam itu….’

Bagi orang lain, pemandangan tadi mungkin tampak menakutkan —
mata merah menyala, tubuh diliputi kabut hitam.
Namun bagi Kim Seohyun, itu bukan menakutkan… melainkan menawan.

‘Aku tidak tahu bagaimana beliau mendapatkan skill seperti itu,
tapi satu hal pasti….’

Di dunia lain, banyak yang meremehkan Kim Minjun.
Mereka menganggap Hunter dari Bumi lemah,
karena planet ini tidak memiliki Magi yang melimpah.

Lagi pula, sebagian besar kekuatannya memang hilang saat kembali dari dunia lain.

‘Kalau ada yang masih menyepelekannya sekarang, habislah mereka.’

Kini—

Ia bukan hanya menutup semua kelemahan seorang heukmabeopsa (흑마법사),
tetapi justru melampauinya.

‘Ya… aku juga harus berlatih lebih keras.
Agar tidak menjadi beban beliau.’

Saat tekad mulai membara di hatinya—


WEEEOOOO!!

Tiba-tiba sirene darurat melolong keras.

Tampaknya benturan dari ruang latihan terdeteksi sebagai ledakan tingkat tinggi.

“…Yah. Ini bakal sulit dijelaskan.”

Kim Minjun menggaruk kepala sambil menatap reruntuhan dinding logam.


**

Keesokan harinya.

Di ruang komandan kompi.

Shin Seyoung, perwira dari Markas Besar Hunter-gun, datang dengan wajah separuh heran, separuh kagum.


“Heh. Ruang latihan yang bahkan tahan misil sihir, bisa hancur begini.
Anda benar-benar luar biasa, Kim Minjun-ssi.”

Ia datang awalnya untuk membahas pembentukan pasukan khusus baru.
Namun, tak disangka malah menyaksikan reruntuhan seperti ini.


“Katanya, dinding yang Anda pukul itu nilainya setara satu blok apartemen?”

Kim Minjun mengangguk dengan ekspresi canggung.
“Yah… itu tidak sengaja.
Saya sedang menguji skill baru. Ternyata lebih kuat dari perkiraan.”

“…Skill baru, lagi?”

“Ya.”

Shin Seyoung menatap kosong.


Ia sudah tahu Kim Minjun memiliki 28 skill aktif dan pasif.
Jumlah itu saja sudah setara dengan gabungan tiga Hunter S-Class.

Dan kini, bertambah lagi.

“Jadi sekarang… 29?”

“Ah. Salah. 30.”

“…….”

Shin Seyoung tertawa lemas.
“Kalau begini terus, nanti bisa-bisa tembus empat puluh.”

Ia menggeleng, berusaha menghapus keterkejutannya.
Lagi pula, dengan Kim Minjun, hal semacam ini sudah seharusnya tak mengejutkan lagi.


“Tapi baiklah, mari kembali ke urusan utama.”

Ia mengeluarkan beberapa berkas.

“Untuk pembentukan pasukan khusus —
Anda hanya perlu menentukan nama unit dan lambang resminya.
Sisanya sudah kami siapkan.”

Ia meletakkan beberapa lembar formulir dan berkas biodata kandidat di meja.


“Kalau bisa, tolong bentuk minimal satu peleton terlebih dulu.”

Karena Kim Minjun sendiri sudah menetapkan standar tinggi —
ia hanya mau menerima Hunter yang ia sendiri anggap layak.

Tentu, keputusan akhir tetap akan menghormati kriterianya,
tapi kalau jumlah terlalu sedikit, pasukan itu takkan bisa disebut “unit.”


“…Banyak juga yang melamar?”

Ia menatap tumpukan formulir setinggi lutut.

Jumlah pelamar ribuan.

Padahal ia sudah menyebutkan bahwa pasukan ini akan menjadi unit garis depan
dalam menghadapi ancaman invasi luar dua tahun mendatang.

Namun tetap saja, ribuan Hunter mendaftar.


“Saya juga terkejut,” ujar Shin Seyoung.
“Pikir saya, paling banyak seratus orang yang mau.
Tapi rupanya pengaruh Anda luar biasa besar.”

Kim Minjun tersenyum kecil.
“Untung mereka menilai dengan baik.
Kalau begitu, kita mulai dengan seleksi fisik dulu. Potong separuh langsung.”

“Baik. Seberapa berat tingkatannya?”

“Dua kali lipat ujian kenaikan pangkat perwira.”

“Dua kali lipat…?”

Bahkan ujian biasa saja sudah terkenal brutal.

Shin Seyoung tidak bisa membayangkan bagaimana para peserta akan bertahan.
Tapi ia tak menentang.


Yang paling penting: nama dan lambang unit.

Itu harus ditetapkan hari ini agar jadwal pengesahan tidak tertunda.


“Nama unit, ya… hal begini justru paling sulit.”

“Memang.
Apalagi, unit Anda pasti akan jadi sorotan publik.”

Namun Kim Minjun tidak tampak kesulitan.
Ia segera mulai menggambar di kertas.

Lambang berbentuk perisai, dengan dua pedang bersilang di atasnya,
dan cambuk hitam menjuntai di tengah.

Garis-garisnya tajam, kuat, dan sederhana.


‘Dia sudah memikirkan ini dari awal rupanya.’

Shin Seyoung hampir melontarkan candaan,
tapi menahan diri — suasananya terlalu serius.


“Bagus.
Lambang ini pasti lolos tanpa revisi.
Lalu, untuk nama unit?”

Black Swan.

“Black Swan… tidak buruk.
Apa artinya?”

Kim Minjun tersenyum pelan.

“Dua tahun lagi, saat pasukan luar menyerang,
aku ingin kita menjadi kejutan besar bagi mereka.
Kejutkan, hancurkan, dan buat mereka kacau.
Itu arti dari Black Swan.”

“…Black Swan — kejutan dan kekacauan.
Bagus. Sangat bagus.”

Shin Seyoung berdiri, tampak puas.
Namun sebelum pergi, ia menoleh lagi.


“Ngomong-ngomong, Kim Minjun-ssi.
Anda kenal seseorang bernama I Bonggu?”

“I Bonggu?”

“Ya. Dia… hmm, sulit disebut ‘organisasi agama’,
tapi aktivitasnya mirip seperti itu.”

Nama itu membuat Kim Minjun menghela napas dalam.
‘Apa lagi yang dia perbuat sekarang?’


“Baru-baru ini, kelompok bernama Heukcheon-gyo (흑천교) menghubungi pemerintah.
Katanya, mereka dan lebih dari tiga ratus ribu pengikutnya
mendukung Kim Minjun Hunter sepenuh hati.”

“…Kami tidak dekat.
Saya cuma pernah menyelamatkan mereka waktu di Suriah.”

Ia buru-buru menegaskan jarak.

Walau niatnya mungkin baik,
I Bonggu terkenal suka… kebablasan.


“Hahaha. Berkat itu, para politisi sekarang tak berani buka mulut tentang Anda.”
“Kenapa?”
“Karena yang mereka paling takutkan adalah suara pemilih.”

Shin Seyoung tertawa kecil dan kemudian berpamitan.
“Kalau begitu, saya serahkan urusan unit pada Anda.”


Begitu ia pergi, Kim Minjun langsung mengeluarkan ponsel.

“Ya, I Bonggu. Dengar baik-baik.
Kalau kau berani sok akrab denganku di depan umum…
aku pecahkan kepalamu.”


**

Tiga hari kemudian, pagi hari.

Barisan panjang kendaraan militer memasuki markas.
Para jenderal, pejabat tinggi, bahkan Presiden sendiri datang.

Hari ini —
hari kenaikan pangkat Kim Minjun menjadi junjang (준장 / brigadir jenderal).


“Kenapa yang datang banyak sekali?”

Dalam waktu satu jam,
markas penuh sesak oleh tamu dan wartawan.

Biasanya, upacara pangkat jenderal diadakan di Cheongwadae (Kantor Kepresidenan).
Tapi ia menolak upacara besar.

Hasilnya —
Presiden justru datang langsung ke markasnya.


“Jadi Presiden sendiri yang akan menyematkan tanda bintang, huh.”

Ia merasa bangga, tentu saja.
Tujuan hidupnya selama ini tercapai.

Tapi melihat anak buahnya bekerja lembur membersihkan barak selama tiga hari,
ia merasa sedikit bersalah juga.


“Mulai besok beri mereka waktu istirahat tambahan.
Mereka kerja terlalu keras.”

“Siap!”

Setelah memberi instruksi singkat,
ia melangkah ke lapangan upacara.


“Pasukan, siaga—!”

“Salam hormat kepada Yang Mulia Presiden!”

“Chung! Seong!”

Teriakan serempak menggema.

Presiden naik ke podium,
dan upacara dimulai.


Pidato demi pidato selesai —
hingga tiba gilirannya melangkah maju.

Tatapan seluruh pasukan tertuju padanya.

Seorang Hunter yang berangkat dari byeong (병) — prajurit biasa —
dan kini mencapai posisi bintang.

Seorang perwira yang selalu menempatkan anak buah di depan dirinya,
yang menolak kenyamanan demi bertarung di garis terdepan.

Ribuan nyawa, baik Hunter maupun warga sipil,
pernah ia selamatkan.


“Teruslah melindungi negeri ini.”

Presiden tersenyum, lalu mengulurkan sebilah Samjeong-geom (삼정검).

Pedang tradisional simbol kehormatan bagi junjang.
Namun berbeda dari militer biasa —
pedang versi Hunter-gun ini tajam dan fungsional untuk pertempuran nyata.


“Demi Republik Korea, dan rakyatnya,
saya akan terus berjuang!
Chung! Seong! (Hormat!)

Presiden sendiri menyematkan lencana bintang di bahunya.


“Waaaaah!!”

“Selamat, Kim Minjun Junjang-nim!”

“Terima kasih atas semua pengorbanan Anda!”

Begitu ia turun dari podium,
para prajurit segera mengerumuninya.

Para jenderal tampak panik,
tapi Kim Minjun menenangkan mereka.


“Hari ini biarkan saja.
Mereka berhak menikmati ini.”

Karena bagi mereka — ini bukan sekadar upacara.
Ini hari kebanggaan seluruh unit.


“Kim Minjun Junjang-nim, manse!”
“Manse!”
“Ya ampun, hati-hati! Aku bawa pedang dari Presiden, tahu!”
“Manseeee!!”

Prajurit Hunter… tentu saja kuat.
Henggarai-nya terasa seperti dilempar ke udara oleh badai.


“Wah, cukup-cukup! Kepala pusing!”

Begitu selesai, ia menatap tiga wajah familiar di barisan depan.

Lee Yuna so-wi, tepuk tangan keras sambil tersenyum.
Kim Seohyun jung-sa dan Son Eunseo byeong-jang,
menatap dengan mata berkaca —
antara bangga dan terharu.

Namun itu tak berlangsung lama.


“J-junjang-nim! Tak bisa tinggal sedikit lebih lama?”

“Kalau mau ikut pasukan khusus, jangan manja. Ayo, latihan.”

Kim Seohyun langsung menangkap Son Eunseo dari tengkuk
dan menyeretnya menuju ruang latihan.


“Semua, jaga kesehatan.
Keselamatan adalah prioritas utama.
Mengerti?”

“Kim Minjun Junjang-nim!
Selama ini Anda selalu di garis depan!
Apa masih bisa bicara soal keselamatan begitu?”

“Haha. Itu karena aku tahu aku bisa menanganinya.”

Ia tersenyum kecil, memandang seluruh pasukan.


Tatapannya berhenti pada wajah para prajurit yang dulu seruang dengannya.

“Lee Seungho.
Pastikan lulus ujian promosi sersan berikutnya.”

“Saya yakin bisa, Junjang-nim!
Berkat pelatihan Anda, saya sudah kebal rasa sakit!”

“I Dongjin, katanya kamu mau lanjut dinas jangka panjang?
Lakukan yang terbaik.”

“Siap! Terima kasih, Junjang-nim.”

“Kim Gwangsik. Kau mau keluar dinas, kan?
Kalau ada kesulitan nanti, hubungi aku kapan pun.”

“Siap! Akan saya ingat.”


Setelah menyalami satu per satu,
Kim Minjun naik ke kendaraan dinas.

Tujuan berikutnya — seleksi awal pasukan khusus Black Swan.


‘Kim Seohyun. Son Eunseo.
Kalian berdua… pastikan lolos.’

190. 선발 (Seleksi)

Perbedaan antara daeryeong (대령 / kolonel) dan junjang (준장 / brigadir jenderal) benar-benar amat besar.

Hanya satu tingkat di atas di struktur pangkat,
tapi perbedaan perlakuan… seperti langit dan bumi.

Seorang janggun (장군 / jenderal) menerima perlakuan sama seperti militer umum —
ada kendaraan dinas pribadi,
nomor pelat dengan simbol bintang,
dan tentu saja, sopir pribadi.

Jika dibutuhkan, ia pun bisa langsung naik helikopter.
Jika dijabarkan satu per satu, fasilitasnya ada lebih dari sepuluh.


“Mulai besok, kau kembali ke unit lamamu.
Aku sudah bicara dengan atasanmu.”

“Ilbyeong Kim Geon! Ye! Saya mengerti!”

Namun Kim Minjun tak butuh semua itu.

Mobil dinas? Helikopter?
Ia punya Hell Racer.

Asisten pribadi? Ajudan khusus?
Tak perlu juga.

Ia hanya perlu bergerak sendiri sedikit lebih banyak —
pekerjaan selesai.

‘Penggunaan personel yang tidak perlu harus diminimalkan.’


Bintang di bahu Kim Minjun
memang sama seperti janggun lainnya,
tapi unit yang ia pimpin —
hanya sebesar satu so-dae (소대 / peleton).

Jika kandidat gagal memenuhi standarnya,
unit itu bahkan akan diperkecil menjadi sekadar bun-dae (분대 / regu).

Namun, itu tidak berarti kekuasaannya lemah.

Ia menerima otoritas khusus yang tidak dimiliki janggun lain mana pun:

Jika tanda-tanda invasi luar muncul atau dipastikan terjadi,
ia memiliki wewenang untuk mengomando satu divisi penuh.

Melihat masa dinasnya yang relatif singkat,
dan posisinya di Hunter-gun,
kewenangan semacam ini adalah hal yang luar biasa.

Namun prestasi luar biasa dan dukungan penuh dari Shin Seyoung
membuat itu semua mungkin.


“Gangwon-do, Goseong, huh.”

Kim Minjun memandangi markas unit barunya.

Seperti Cheorwon, tempat ini juga terpencil.
Gate dan dungeon jarang muncul —
tapi kalau muncul, selalu berbahaya.

“Tempat seperti ini cocok jadi basis Black Swan.”


Black Swan harus berbeda.

Menangani monster dan gate?
Itu bagian dari pekerjaan reguler.

Namun misi utama mereka adalah
menghadapi kekuatan dari luar dunia ini —
“invasi eksternal.”

Karena itu, proses seleksi akan ia tangani secara langsung.


“Berapa banyak yang sanggup sampai ke sini, ya.
Semoga yang datang benar-benar top class.”


**

Tujuh hari kemudian.

Seleksi resmi untuk Hunter-gun Special Unit – Black Swan dimulai.

Jumlah pelamar — ribuan.
Mulai dari prajurit, perwira muda, hingga perwira tinggi.

Padahal sudah dijelaskan bahwa unit ini akan menangani misi paling berisiko.
Namun banyak Hunter tetap datang —
karena unit ini dipimpin oleh Kim Minjun Junjang-nim,
legenda hidup Hunter-gun.


“Gila, kenapa seleksinya segila ini?”

“Serius… aku ini percaya diri soal stamina, tapi baru tahap satu, setengahnya udah gugur.”

“Setengah? Hah….”

Para Hunter ternganga.

Ujian pertama sudah membuat mereka kehabisan napas dan akal.

Padahal peserta yang datang bukan sembarangan —
ada mantan anggota unit spesial lain juga.

Dan bahkan mereka, satu per satu, terjatuh di tahap fisik.


“Katanya… tahap tiga nanti Kim Minjun Junjang sendiri yang turun tangan.”

“Serius?”

“Katanya begitu. Jadi siap-siap aja mati setengah beneran.”


Setelah tiga hari penuh menjalani 1st test,
para peserta diberi waktu istirahat.

“Tes kedua dimulai sore ini.
Kalian punya waktu tiga jam untuk beristirahat.”

“…Langsung dilanjut?”

“Ya. Tiga jam lagi.”

Tiga hari tanpa tidur,
lari, push-up, panjat, renang — nonstop.
Ujian tahap pertama sudah seperti penyiksaan militer tingkat tinggi.

Dan sekarang… hanya diberi tiga jam istirahat.


“Gue tidur dulu, ya. Sedetik aja gapapa.”

“Kalau mati, jangan 내 옆에서 (di sampingku), ya.”

Canda kecil terdengar, tapi hanya sebentar.
Dalam hitungan menit, seluruh aula tidur serentak.

Tidak ada waktu bahkan untuk mengeluh.


‘Haaa….’

Sementara itu, Son Eunseo byeongjang meneguk air sambil menenangkan napas.

Dari ribuan peserta, yang berpangkat byeong (병 / prajurit) tinggal sekitar 10%.
Dan di antara yang tersisa, hanya ia yang bertahan.

‘Kalau bukan karena Kim Seohyun jungsa-nim, aku pasti gugur di tahap pertama.’

Ia menoleh —
di seberang sana, Kim Seohyun jungsa sedang duduk santai sambil… menguap.

‘Aku tahu dari awal dia luar biasa,
tapi perbedaannya segini… benar-benar tidak manusiawi.’


Namun ia menggenggam botol lebih erat.

‘Aku harus lolos.
Kalau gagal… aku tak punya muka untuk bertemu Minjun lagi.’


Ia sadar — dirinya diuntungkan.
Karena Kim Minjun menugaskan Kim Seohyun jungsa
sebagai pelatih pribadinya untuk persiapan ujian.

Selama berbulan-bulan, ia dilatih habis-habisan.

Berhasil menguasai skill baru — geomgi (검기 / aura pedang).

Kalau bukan karena pelatihan brutal Seohyun,
ia mungkin sudah tersingkir duluan.


‘Berbulan-bulan latihan satu lawan satu.
Aku gak boleh takut sekarang.
Saatnya tunjukkan hasilnya.’

Bakatnya dalam pedang memang diakui.
Itu sebabnya, baik Kim Minjun maupun Seohyun sendiri
menyarankannya fokus di sana.


‘Benar.
Pangkat itu nggak penting.
Yang penting… kemampuan.


**

Seleksi tahap 1 dan 2 memakan waktu lima hari.
Materinya nyaris sama seperti ujian promosi perwira,
hanya saja dua kali lebih berat.

Ujian fisik, perburuan monster,
penaklukan dungeon, dan prosedur evakuasi gate.
Semuanya untuk mengukur kemampuan tempur individu.


Akhirnya, 100 orang tersisa.

“Seratus orang, ya. Lumayan.
Kalian sudah kerja keras.
Cukup dengarkan saja. Tidak perlu beri hormat.”

Hari ke-6. Tahap 3.

Kim Minjun naik ke podium,
menatap seluruh peserta.

Tatapannya berhenti sejenak
pada dua Hunter wanita di barisan tengah.

‘Kim Seohyun, Son Eunseo.
Kalian berdua bertahan sejauh ini. Bagus.’

Namun tentu saja, ia takkan memberi perlakuan khusus.
Kriteria kelulusan — murni kemampuan.


‘Yang kita hadapi bukan monster.
Tapi orang-orang dari Isgard.
Dalam situasi seperti itu, hanya mereka yang bisa berpikir cepat yang bisa bertahan.’

Itulah alasan ia sendiri yang turun tangan menguji tahap 3.


“Setiap peserta akan bertarung satu lawan satu denganku.
Jika kemampuanmu mencapai standarku — lulus.
Kalau tidak, gugur.”


Ujian dilakukan di arena tertutup —
booth khusus yang diselimuti kain hitam tebal.

Begitu satu peserta masuk,
pemandangan di dalam tertutup total.

Tidak seorang pun tahu apa yang terjadi di sana.


‘Kenapa ditutup?’

‘Apa yang sebenarnya terjadi di dalam?’

Suara bisik-bisik terdengar,
namun segera padam setelah teriakan pengawas.


“Nomor 1101, tidak lulus! Berikutnya!”

Hunter pertama keluar, wajah kosong.
Lima menit saja sudah selesai.

“Nomor 1204, tidak lulus!”

“Nomor 2202, tidak lulus!”

“Nomor 1333, tidak lulus!”

Satu demi satu,
semua gagal.

Ekspresi mereka campuran antara marah dan hampa.


‘Apa sih yang diuji di sana?’

Tak seorang pun tahu.


Akhirnya,
giliran Son Eunseo byeongjang.

Sampai saat ini — belum satu pun yang lulus.


“Chung! Seong!
Byeongjang Son Eunseo, nomor 222!”

“Baik.
Kenakan pelindung itu dan bersiap.
Kau akan benar-benar butuh nyali untuk ini.”


Di dalam ruangan, hanya ada satu protective suit.
Dan di sampingnya — empat armor rusak berat.


‘Jangan bilang… ini sisa peserta sebelumnya?’

Ia menatap pelindung yang penyok, robek, dan hangus.

Perlengkapan mahal seperti itu,
rusak hanya dalam beberapa menit.


‘A-apa dia… pakai skill?’


Ssssss…

Dugaannya tepat.
Dari belakang Kim Minjun,
puluhan panah hitam mulai muncul.

Skill khasnya — Amheuk Hwasal (암흑 화살).


Swiik! Swiik!

Panah sihir melesat cepat tanpa aba-aba.

Son Eunseo langsung berguling,
menghindari hujan panah itu.


‘Gila…!’

Belum sempat berpikir,
puluhan lagi muncul dari segala arah.

‘Kalau aku punya pedang…!’

Ia memindai ruangan cepat.

Menghindar sepenuhnya mustahil.


‘Itu dia!’

Di pojok — sebuah pedang militer tertancap di dinding.

Ia meluncur ke sana.
Beberapa panah mengenai bahu dan kaki,
tapi tidak mengenai titik vital.


“Hmm.
Kau bertahan cukup baik.
Dan satu-satunya yang menemukan senjata sejauh ini.”

Kim Minjun tersenyum tipis.


Dalam tahap ketiga ini, yang ia nilai bukan sekadar refleks.
Tapi ketenangan dan kemampuan beradaptasi.

Hujan panah tanpa peringatan,
kekuatan destruktif tanpa kompromi —
itu semua dirancang untuk melihat siapa yang bisa tetap berpikir.


‘Kalau ini saja tidak bisa diatasi,
bagaimana menghadapi makhluk Isgard?’

Mereka bisa terbang, teleportasi,
atau menghujani sihir dari langit.

Skill dan taktik mereka bukan dari dunia ini.

Bahkan dirinya sendiri butuh bertahun-tahun untuk beradaptasi melawannya.


Karena itu,
yang ia cari bukan sekadar kuat,
tapi siap menghadapi yang tak masuk akal.


Swiik!

Ia mundur sejenak, mengukur jarak.
Kemudian — bayangannya memanjang.

Geurimja Doyak (그림자 도약 / Shadow Step).


“Kh—!”

Pukulan datang dari belakang.

Son Eunseo sempat memutar tubuh,
menangkis dengan pedangnya.

Benturan keras membuat seluruh tubuhnya terdorong mundur.


‘Tanganku… hampir copot.’

Padahal itu pukulan biasa,
tanpa sihir.
Tapi kekuatannya sudah setara hantaman palu raksasa.

Armor tebal pun tak banyak membantu.


‘Mungkin aku bisa menahan satu, dua serangan lagi….’

Ia menggertakkan gigi.

Tangannya gemetar, tapi ia tetap menggenggam pedang.

Ia sudah terlalu jauh untuk menyerah.

‘Aku nggak akan jatuh di sini.’


Baginya, lulus seleksi Black Swan
berarti masa depan.

Itu langkah pertama menuju so-wi (소위 / letnan muda),
dan kelak daewi (대위 / kapten).


‘Apa berikutnya dia pakai cambuk?’

Ia mengingat duel-duel sebelumnya —
kemungkinan serangan, arah, timing, jarak.

Ia menyiapkan setiap kemungkinan dalam benaknya.

Satu kesalahan… tamat.


Swiik!

Bayangan di sekelilingnya bergerak.

Ia memutar tubuh,
mendengarkan setiap desiran udara.


Tapi suara yang datang justru dari belakang.


“Byeongjang Son Eunseo — lulus.”


Suara itu… suara Kim Minjun.

Ia berbalik.
Siluet hitam itu berdiri beberapa langkah di belakang,
dengan senyum kecil yang nyaris tak terlihat.

 

Nunaaluuu Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review