Kamis, 06 November 2025

Episode 47 King of Fear

857 Episode 47 King of Fear (1)

Aku tak bisa segera sadar karena terlalu banyak kenangan mengguncang pikiranku sekaligus.
Apa sebenarnya yang baru saja kulihat?


[Trait, ‘Record Repairer’, aktif.]
[Exclusive Skill, ‘Fourth Wall’, aktif.]


Satu-satunya hal yang membuatku tetap sadar hanyalah trait dan skill itu.


Cheon Inho mencapai ‘ujung dunia’.


Perjalanan yang kulihat di Round ke-40 mulai tersusun menjadi kalimat.


Di sana ia bertemu Raja Dokkaebi dan menembus ‘Final Wall’.


Bahkan hanya sampai di titik itu saja sudah merupakan pencapaian yang tak masuk akal.
Menyelesaikan Final Scenario hanya dalam satu kali putaran—tanpa bantuan Yoo Joonghyuk atau siapa pun dari para protagonis.
Bahkan dengan kekuatan New Intelligence, itu seharusnya mustahil.

Namun Cheon Inho berhasil.
Bukan sebagai tokoh utama, bukan pula sebagai pemeran pendukung—tapi sebagai figuran.

Apa sebenarnya yang ingin ia buktikan?

Apakah ia ingin menunjukkan bahwa bahkan tanpa ideologi mulia, tanpa keyakinan luhur—
asal punya tekad untuk melihat akhir skenario—seseorang tetap bisa mencapainya, meski bukan tokoh utama?

Apa yang ia dapat di akhir kehidupan yang begitu keras itu?


Apa yang Cheon Inho temui di ujung dunia adalah padang salju yang luas.


Aku tahu di mana tempat itu.
Di antara barisan kalimat—tanah dingin tempat tak ada cerita ditulis,
di mana hanya satu pasang mata yang menatap.

Cheon Inho adalah yang pertama menapaki tempat itu,
dan di ujung padang salju itu… ia menemukan sesuatu.


Kim Dokja.


Bulu kudukku meremang.
Tidak mungkin—apa Cheon Inho yang membesarkan ‘Kim Dokja dari Padang Salju’?

Kenangan yang mengalir di kepalaku belum berhenti.


‘Begitu ya. Kau ditinggalkan di sini karena terlalu mencintai cerita itu.’
‘Jangan khawatir. Aku tidak akan meninggalkanmu.’


Bayangan samar melintas.
Dalam bayangan itu, Cheon Inho memeluk seorang anak kecil, berjalan bersama, menggandeng tangannya.
Keduanya menatap langit malam yang putih, melihat bintang jatuh, lalu berjalan sambil bersenandung.
Kadang tertawa dengan ekspresi yang sama.

Kalau aku tidak tahu apa pun, pemandangan itu mungkin terlihat indah.


‘Mari berjalan bersama.’


Lalu terdengar suara letupan listrik.
Kenangan saling bertautan—dan kalimat terakhir yang kudengar adalah ini:


‘Sampai hari dunia ini hancur.’


[■■ Unexpected Fear, bab terakhir dari ‘Evil Sophist’, telah selesai.]
[Kau telah mencapai prestasi yang tidak pernah ada sebelumnya!]
[Kau telah memperoleh sebuah kisah baru!]
[<Star Stream> tidak mampu menentukan peringkat kisah yang kau dapatkan!]
[Para dokkaebi dari Biro Manajemen terkejut oleh pencapaianmu!]

.
.
.

[Keseimbangan world line terguncang!]


Saat sadar kembali, aku sudah duduk di atas padang salju di layar.
Aku tidak tahu kenapa aku di sana—
tapi aku melihat sepasang sepatu yang sangat kukenal.

Aku memanggil nama pria tanpa jejak langkah itu.

“Cheon Inho.”

Perlahan aku mendongak, dan di hadapanku berdiri pria dengan wajah yang terlalu akrab.

“Kau yang membesarkan ‘Kim Dokja’?”

“Kau dan dia… anak-anak yang luar biasa.”

Wajah yang paling sering kulihat di dunia ini—
mata yang selalu menatapku dari balik layar, dari pantulan cermin—
kini menatapku secara nyata.

Aku berdiri.
Kini tinggi kami sejajar.

Cheon Inho tersenyum tipis, seolah senang dengan kenyataan itu.

“Akhirnya wajahmu terlihat seperti seseorang yang penasaran dengan kisah seorang penjahat.”

Aku mengangguk.

“Aku memang penasaran.”

“Mau jalan sedikit?”

Kami berjalan berdampingan menembus salju putih.
Namun karena Cheon Inho tak meninggalkan jejak, ketika kulihat ke belakang, hanya ada satu barisan langkah—milikku.

“Kim Dokja yang kau besarkan… apakah dia Kim Dokja yang kukenal?”

“Ada banyak Kim Dokja di world line ini. Raja Iblis Keselamatan, Pengamat Cahaya dan Kegelapan, dan…”

“Kau tahu siapa yang kumaksud.”

Cheon Inho hanya tertawa.
Aku menggodanya lagi.

“Kim Dokja yang kau besarkan itu ‘Kim Dokja dari Padang Salju’, kan?”

“Kim Dokja dari Padang Salju…”

Ia mengulang julukan itu dengan nada geli.

“Maksudmu Kim Dokja yang mencabik saudaranya sendiri dan bermimpi menciptakan alam semesta baru? Ada yang menyebutnya ‘Kim Dokja 49%’, Kim Dokja itu?”

Aku menelan ludah.
Itu bukan cerita yang ingin kudengar sejelas itu.

“Oh, benar. Sekarang aku ingat,” ujarnya pelan, menatapku.
“Kau juga salah satu dari 49% Kim Dokja.”

“Aku—”

“Tapi Kim Dokja yang kubesarkan berbeda.”

Aku terdiam.

“Dia tidak ingin menjadi Kim Dokja, jadi ia lahir dengan nama lain. Ia punya orang tua yang mencintainya.”

Benar. Aku punya orang tua.
Mereka mencintaiku. Hidupku tak selalu mudah, tapi aku tidak pernah sesengsara para ‘Kim Dokja’ dalam kisah itu.

“Tapi Kim Dokja yang kubesarkan berbeda. Ia tidak punya orang tua. Tidak ada apa pun untuk dimakan di padang salju luas itu.”

Aku menoleh.

“Dia tumbuh dengan memakan ceritaku.”


Kim Dokja yang tumbuh dari kisah Cheon Inho.


“Dia lebih dulu memahami kebenaran dunia ini, lebih cepat dari Kim Dokja mana pun.”

“Kenapa…?”

“Kenapa, ya…”

Cheon Inho menatap langit yang sama seperti dalam kenangannya.

“Karena hanya itu cerita yang bisa kuberikan padanya.”

Suaranya tenang, seolah pasrah.

“Alam semesta ini membuatku seperti itu. Aku hanya membesarkan anak itu sebagaimana dunia membuatku.”

Aku menahan napas sepuluh kali sebelum bicara lagi.

“Tujuanmu… menggunakan anak itu untuk menyerang Star Stream?”

Alih-alih menjawab, Cheon Inho berjalan menjauh sambil bersenandung pelan—nada yang sama dari ingatannya.

“Pernah ada masa di mana aku membenci segalanya di alam semesta ini.”

“Berarti sekarang tidak?”

“Entahlah. Mungkin pikiranku sudah berubah.”

Ia tampak lelah.

“Aku sering bertanya-tanya, seperti apa anak itu sekarang, yang tumbuh dengan memakan ceritaku.”

“…”

“Bagi makhluk malang yang ditinggalkan dan tak pernah dibaca… anak itu bisa saja menghancurkan seluruh alam semesta ini.”

Dadaku berdegup keras.
Omniscient Reader’s Viewpoint
<Kim Dokja’s Company>
Segala sesuatu tiba-tiba terasa saling terhubung.

Bagaimana jika Kim Dokja yang dibesarkan Cheon Inho menanggung kebencian itu?

“Aku tidak akan membiarkannya.”

“…”

“Aku tidak akan membiarkan kisah ini berakhir dengan tragedi siapa pun.”

Cheon Inho menatapku—seolah memang menunggu kalimat itu.

“Tentu saja. Dengan begitu, akan tercipta lagi catatan yang menarik.”

“Bantu aku.”

Langkahnya berhenti.

“Kau minta bantuan dariku?”

“Ya.”

Tawanya meledak keras—berlebihan, nyaris seperti tawa orang gila.

“Kau lupa siapa aku? Aku orang yang mencoba menghancurkan dunia. Aku yang paling membenci Kim Dokja.”

“Tapi tujuanmu bukan menghancurkan dunia, kan?”

“…”

“Kau hanya ingin diakui, bukan?”

“…”

“Kau satu-satunya yang hidup sebagai The One Who Deceived the Stars, Evil Sophist, Penguasa Ten Evils, Rival Sang Tirani—
satu-satunya Cheon Inho.

Mulutnya sedikit terbuka.
Aku lanjut bicara, menancapkan kata-kata itu seperti belati.

“Kau hanya ingin ditulis dalam kisah yang sama dengan sang protagonis.
Kau ingin seseorang mengingat bahwa kau pernah ada.”

Aku mengerti kesedihannya.
Aku merasakannya selama menjelajahi Time Fault miliknya.

Ada kisah bahkan di tempat yang tak tercatat.
Ada kehidupan bahkan di tempat yang tak pernah dilihat siapa pun.

Dan aku telah lupa pada kebenaran sederhana itu.

“Aku adalah Kim Dokja yang bisa menulis.”

Maka aku tak bisa menahan diri untuk mengucapkan kata-kata itu—
meski aku tahu, jika salah sedikit saja, tanganku bisa ditebasnya.

“Aku bisa menulis kisahmu.”

Itu tawaran yang layak diberikan.
Jika aku bisa mendapatkan kekuatannya, aku takkan takut pada siapa pun.

Cheon Inho menatapku lama, lalu tersenyum tipis.

“Tawaran yang manis. Tapi aku tidak bisa menerimanya. Sudah terlambat.”

Nada suaranya begitu berat—
dan aku tahu ia sudah menanggung waktu yang membuatnya hanya bisa berkata begitu.

Ia membuka tangan lebar-lebar, menatap langit sambil tersenyum.

“Dan kisah yang kuinginkan, sudah kau tulis.
Kisah yang luar biasa.”

“…”

“Aku tidak tahu kau akan menggunakan Ten Evils seperti itu.
Apalagi membangkitkan Supreme King dan Prophet, lalu menguasai para Transcendent lain.”

“Kisah itu—”

“Aku sangat menyukai akhir yang kau tulis.
Karena itu, sekarang aku akan membuat akhir itu jadi kenyataan.”

“Apa maksudmu—”

“Kau lupa? Aku juga seorang Recorder of Fear.”

Pertanyaan terlambat muncul di benakku.
Kenapa Cheon Inho ada di sini?
Kenapa tidak bersama ‘Kim Dokja Padang Salju’, tapi malah menjadi Recorder of Fear di dunia ini?

Time Fault yang dikelola oleh Recorder of Fear akan menjadi kisah saat terselesaikan,
dan diserahkan pada pemilik wilayah Fear.
Dan pemilik wilayah itu adalah…”

Cheon Inho mendongak ke langit.
Aku merinding.

“Aku berjanji memberikan kekuatan untuk mengubah catatan di Final Wall
kepada Recorder of Fear yang mencatat Great Fear.

Cahaya membelah langit.
Cheon Inho menatapnya.

“Raja Ketakutan (King of Fear).”

Tubuhku bergetar hebat.
Sesuatu yang tak terbayangkan sedang bangkit di balik langit itu.

“Kau sudah membawa kisah yang kuinginkan ke sini.
Sekarang giliranku memenuhi keinginanmu.”

Sebelum sempat menahannya, cahaya menelan tubuh Cheon Inho.


[‘King of Fear’ menjawab panggilan ‘Evil Sophist’.]
[‘King of Fear’ memberikan probabilitas kepada ‘Evil Sophist’.]


Probabilitas besar—
kekuatan yang bisa mengubah satu dunia.

“Benar.”

Cheon Inho, yang kini diselimuti cahaya, mengulurkan tangannya padaku.

“Ayo… kita ‘tulis ulang’ dunia ini.”

858 Episode 47 King of Fear (2)

Aku akan menulis ulang dunia ini.

Begitu tatapanku bertemu dengan mata Cheon Inho yang mengucapkan kata-kata itu, aku langsung tahu—secara naluriah—aku harus pergi dari sini. Tapi aku tidak bisa.

Sama seperti Cheon Inho yang, setelah memperoleh 『Omniscient Reader’s Viewpoint』, tidak bisa berhenti membaca meski tahu tragedi menunggunya di akhir kisah, mungkin aku juga tak punya pilihan selain melangkah ke depan.


[Sinkronisasi dengan Recorder of Fear ‘Evil Sophist’ sangat tinggi.]


Mungkin karena aku juga telah melihat sejarah Round ke-40.
Mungkin karena aku juga ingin tahu—sebagai pembaca sebelum menjadi penulis—apa sebenarnya yang ingin ekstra bernama Cheon Inho tulis ulang?

“Kim Dokja.”

Sosok yang telah mencapai ujung dunia itu memanggilku, dan aku menegakkan kepala.
Suara itu—suara yang dipenuhi kekuatan Incite yang kejam—bergema di seluruh ruang.

“Mulai sekarang, kau adalah aku.”

Hal terakhir yang kulihat adalah sepasang jejak langkah yang telah kami lalui bersama.

“Aku adalah kau.”

Dan dunia pun lenyap.


Lampu berkelip di langit-langit saat Anna Croft membuka mata.
Udara dingin menyentuh paru-parunya, mengingatkan tubuhnya bahwa ia masih hidup.

Ruangan Time Fault.

Begitu ia bangkit, kenangan tentang Round ke-40—semua pertempuran, penderitaan, dan akhir perang—membanjiri pikirannya.
Di sana, ia telah berjuang bersama Cheon Inho dan Supreme King hingga Final Scenario.

Aku benar-benar mencapai akhir dari skenario.

Kata-kata orang yang bersemayam di tubuh Cheon Inho… ternyata benar.
Meski dunia itu hanya world line buatan, pengalaman yang ia alami sungguh nyata.

Mereka telah melihat akhir dari semua skenario.


[Kau telah memperoleh kisah baru!]
[Kau telah memperoleh bagian dari Giant Tale baru!]


Kisah baru itu luar biasa besar—bahkan sistem <Star Stream> belum sempat memberinya nama.
Namun Anna tahu: kisah sebesar itu hanya bisa diperoleh setelah seseorang menyaksikan akhir dari ‘Last Scenario’.

Dengan kisah ini, mungkin, hanya mungkin—mereka bisa mencapai akhir sekali lagi di Round ke-41.

Perjalananku ke Fear Realm tidak sia-sia.

Yang terpenting, ia kini memiliki ikatan—sekecil apa pun—untuk melawan para Constellation bersama-sama.
Jika ia bisa memulai skenario berikutnya bersama Yoo Joonghyuk dan Cheon Inho...

Tunggu.

Di mana Cheon Inho?

Ia menoleh ke sekeliling—kosong.
Yang terakhir ia ingat hanyalah punggung Cheon Inho yang berlari menuju ruang tenaga di kapal ark.

“Cheon Inho?”

Tidak ada jawaban.

Jika Cheon Inho gagal, ia seharusnya tidak bisa kembali ke Time Fault Room dengan selamat, bukan?

Namun tiba-tiba—

Puluhan pilar cahaya muncul bersamaan di sekitarnya.

“Ah.”

Para Transcendent yang ikut serta di Round ke-40 kembali satu per satu.
Anna menghela napas lega.
Berarti, Evil Sophist itu berhasil menyelesaikan ceritanya.

“Sial, kali ini aku nyaris tamat!”
“Luar biasa… pengalaman yang takkan terlupakan.”
“Ada yang mencapai pencerahan?”
“Akhirnya, si brengsek itu benar-benar berhasil.”

Anna meninggalkan mereka yang sedang ribut dan bergegas mencari Cheon Inho.

“Cheon Inho!”

Namun tak ada.
Ia mencoba mengaktifkan [Future Sight], tapi skill-nya gagal berfungsi.

Itu sering terjadi—terutama bila Cheon Inho terlibat.
Entah kenapa, masa depan selalu kabur ketika berkaitan dengannya.

Setelah berkeliling lama, sebuah siluet yang dikenalnya muncul di ujung pilar cahaya.

“Kau selamat, Cheon Inho!”

Mantelnya—lebih merah dari sebelumnya.
Sang penjahat yang ia cari berdiri di sana.
Namun saat Anna menyentuh bahunya, dunia tiba-tiba terasa miring.

Rasa dingin menyebar dari ujung jari ke seluruh tubuh.
Suatu peringatan keras dari instingnya sendiri.

“Ini… perasaan apa ini?”

“Ah, udara ini. Sudah lama sekali.”

Nada suaranya… membuat seluruh tubuh Anna merinding.

Ia refleks mencoba menarik tangannya, tapi Cheon Inho lebih cepat menggenggam pergelangan tangannya.

“Nabi. Apa yang kau lihat dalam [Future Sight]?”

“…”

“Tidak bisa melihat apa pun, bukan?”

“Kau—”

“Tentu saja. Tidak ada Revelation yang bisa menembus tubuh ini lagi.”

Anna meronta, menatapnya dengan mata gemetar.

“Kau… siapa?”

“Apa kau tidak tahu? Bukankah selama ini kau terus memanggil namaku?”

Langkah Anna mundur satu, dua kali.
Ia tahu… ia tahu siapa yang berdiri di depannya.
Namun bibirnya menolak mengucapkannya.

“Ke… ke mana dia pergi?”

“Dia? Siapa?”

“Roh yang ada di tubuhmu!”

Anna tidak pernah tahu nama aslinya.
Ia hanya tahu satu nama yang pernah dipanggil semua orang padanya.

“Apa yang terjadi pada Kim Dokja?”

“Kim Dokja.”

Cheon Inho tertawa besar, tawa yang membuat bulu kuduknya berdiri.

“Akhirnya kau menyebut nama itu.”
“Sekarang aku adalah Kim Dokja.

“Apa katamu?”

“Lihat baik-baik, Anna Croft. Tidak ada yang berubah.”

Dan dari suatu tempat, terdengar suara kalimat—seperti narasi dari kisah yang sedang ditulis.


Anna Croft merasa hatinya perlahan menjadi tenang.


Dari mana suara itu?
Anna tidak tahu.


Tidak ada yang berubah. Segalanya hanya kembali ke tempat semula.


Pria di depannya memang Cheon Inho.
Jiwa Cheon Inho hanya kembali pada tubuhnya sendiri.

“Kau ingat? Kita sepakat untuk hidup bersama di Round ke-41. Aku datang menepati janji itu. Aku akan membantumu.”

Benar—hanya itu yang perlu ia lakukan.
Menjalani skenario.
Melawan para Constellation.
Namun kenapa dadanya terasa sesak?

“Aku…”

Pandangan Anna mulai kabur.
Cheon Inho menatapnya dengan ekspresi ambigu.
Namun sebelum ia bisa bicara lagi—


[Siapa kau?]


Suara bergema, penuh wibawa.
Cheok Jungyeong berdiri di sana.

[Ke mana perginya muridku?]

Wajah Anna berseri mendengarnya.

“Kau bahkan tak mengenali wajah muridmu sendiri?”

Cheon Inho tersenyum miring.
Cheok Jungyeong mendekat, langkahnya berat.

[Kau…]

Tangan raksasanya mencengkeram bahu Cheon Inho hingga tulangnya berderak.

[Kau bukan muridku.]

Tekanan luar biasa mengguncang ruangan.
Seorang Constellation tingkat tertinggi—Komandan Divisi Ketiga Transcendent Alliance.

Namun Cheon Inho tidak bergeming sedikit pun.


[Story, ‘Heir of the Eternal Name’, mulai mengisahkan dirinya.]


Kisah yang mengalir dari tubuhnya melindunginya dari tekanan itu.

“Sulit sekali, Seonsaengnim.”

Cheok Jungyeong menggertakkan gigi, menaikkan statusnya.
Namun kekuatan cerita yang keluar dari Cheon Inho justru semakin kuat—hingga tanah bergetar hebat.

Debu menutupi pandangan, lalu…

Ketika semuanya mereda, pemandangan tak masuk akal terpampang di depan mereka.

Cheok Jungyeong berlutut.

Bahunya hangus terbakar hitam, ditekan oleh tangan Cheon Inho.

“Semua diamlah.”

Satu kalimat saja.
Dan semua Transcendent di sekitar mereka membeku.

Anna Croft tersentak.
Ia tahu kekuatan apa itu.


Incite.

Incite yang telah mencapai puncaknya membelenggu para Transcendent.


Cheon Inho telah mendapatkan kembali kekuatannya dari putaran sebelumnya.
Evil Sophist. The One Who Deceived the Stars.
Manusia terakhir yang mencapai akhir dunia kini muncul kembali di Round ke-41.

Namun bahkan tubuhnya tak cukup kuat untuk menahan semua makhluk di tempat itu.

“Evil Sophist, kau sudah kembali pada tubuhmu?”

“God of Despair.”

Chunghuh, Komandan Transcendent Alliance, muncul bersama para pengawalnya—Ryunard dan Karlton.

“Aku tidak berniat melawanmu.”

“Tapi kau yang memulai semua ini, bukan?”

“Heh. Tak sengaja saja.”

Chunghuh mengangkat tangan, mengamati pergelangannya.

“Kalau kau sudah mengambil alih tubuh itu, berarti tujuanmu sudah tercapai.
Sebaiknya pergi.”

“Terlalu cepat menilai, Komandan.
Tujuanku belum tercapai.
Dan sekarang—bukan waktumu menghalangiku.”


Duar!

Pintu di tingkat atas Time Fault hancur.
Beberapa Transcendent panik berlari.

“Pintunya pecah!”
“Cepat blokir! Kalau sekarang, masih bisa dibalik!”

Para Outer God di dunia atas sedang mencoba menembus batas Fault.

Cheon Inho mendongak, menatap mereka.

“Akhir belum berakhir.”

Ya—The End, yang sempat tertahan selama kisah Round ke-40 berlangsung, kini berlanjut dengan kekuatan lebih dahsyat.

“Raja Ketakutan sedang bersedih. Mungkin karena ia membaca kisahku.”

“Aku akan menanganinya.”

“Kau tak bisa masuk ke Big House, bukan?”

“…”

“Untuk menghentikan End, seseorang harus menenangkannya.
Dan sepertinya hanya satu orang di sini yang memenuhi syarat.”

Chunghuh menghela napas panjang, lalu memberi isyarat.
Para prajurit membuka jalan.

Cheon Inho menunduk sopan, lalu menaiki tangga menuju puncak Fault.

Sebelum pergi, Chunghuh menatapnya dan berkata,

“Pemuda yang memakai tubuhmu itu… dia teman yang baik.”

“…”

“Teman yang sangat baik.”

“Begitukah?”

Cheon Inho berbalik menatap Anna.

“Nabi. Kau tidak ingin tahu bagaimana akhir Fear Realm?”

Senyum samar menghiasi wajahnya.
Tangannya terulur.

“Ayo, kita temui Raja Ketakutan bersama.”


Buku-buku di perpustakaan bergetar.
Huruf-huruf terlepas dari halaman, kalimat-kalimat tercerai berai,
dan kisah-kisah tumpah keluar dari antara lembaran.

[Fourth Wall] bergetar hebat.

“(Dasar sial… Adik bungsu! Jawab aku! Adik bungsu!)”

Kim Dokja PertamaRaja Iblis Keselamatan—berteriak, mengguncang meja.
Namun tidak ada jawaban.
Nama sang Youngest menghilang dari semua halaman, digantikan oleh tulisan baru yang berusaha menempati tempat itu.

Cheon ■ho
■ Inho
Cheon In■

Ia tahu apa yang sedang terjadi.
Harus menemukan si Youngest, sekarang juga.

Namun suaranya hanyalah kalimat terperangkap di dalam [Fourth Wall].
Tak pernah sampai padanya.

Para Kkoma Kim Dokja menangis, menjerit panik.
Yang lebih dewasa seperti Gu Seonah berusaha menenangkan mereka,
tapi jika ini dibiarkan, bahkan Fourth Wall pun bisa hancur.

Mereka semua menatapnya—meminta keputusan.

Kim Dokja menghela napas pelan.


(Anak-anak.)


Hanya ada satu orang yang bisa menolong Youngest sekarang.

Maka, Raja Iblis Keselamatan pun mengambil keputusan.


(Mari keluar sebentar… dan cari dia.)

859 Episode 47 King of Fear (3)

Cheon Inho melangkah cepat menaiki tangga.

“Tunggu sebentar, aku ikut!”

Anna Croft, yang akhirnya tersadar dari keterpakuannya, segera mengejar.

Tidak ada satu pun yang bisa menghentikan Cheon Inho sekarang.
Bahkan Cheok Jungyeong dan komandan Transcendent Alliance hanya bisa membiarkan.
Yang terbaik yang bisa dilakukan sekarang hanyalah melihat—apa yang akan ia lakukan.

“Apa sebenarnya… tujuanmu?”

Anna tak bisa menahan diri untuk bertanya, meski tahu Cheon Inho mungkin tak akan menjawab.
Namun kali ini, pria itu tersenyum tipis sambil menoleh di tengah langkahnya.

“Tujuanku jelas, bukan?”

Tujuan Cheon Inho.
Anna berpikir sejenak, lalu menatapnya penuh kehati-hatian.

“Kau membenci <Star Stream>, bukan?”

Seorang pria yang membenci dunia para Constellation, namun dengan cara yang berbeda dari Yoo Joonghyuk.
Jika ia punya tujuan, hanya ada satu kemungkinan.

“Kau berniat menghancurkan dunia ini?”

“Kurang lebih begitu.”

“Kenapa harus begitu? Kau sudah melihat akhir dari skenario! Kenapa masih ingin menjerumuskan world line ini ke kehancuran?”

“Karena aku pernah melihat akhir skenario itulah, aku memutuskan ini.”

“Apa maksudmu?”

“Katakan saja begini—ada hal-hal yang hanya bisa diselamatkan jika dunia dihancurkan.”

Hal-hal yang hanya bisa diselamatkan… dengan menghancurkan dunia?

Anna mengernyit, bergegas naik.
Akhirnya, mereka sampai di puncak tangga.
Sebuah pintu kecil berdiri di hadapan mereka.

Ia menelan ludah.
Tak ada papan nama, tak ada tanda.
Namun bahkan tanpa petunjuk, Anna tahu pasti ke mana pintu itu mengarah.

“Di balik pintu ini… tempat itu, ‘Big House’, kan?”

Ia teringat penjelasan yang pernah didengar dari senior-senior di Transcendent Alliance.

Big House.’ Tempat tinggal penguasa wilayah ketakutan—King of Fear.

“Benar.”

“Kau pernah bertemu dengannya sebelumnya?”

“Secara teknis… ini pertama kalinya.”

Cheon Inho membuka pintu.
Anna ikut mendorongnya.


[Memasuki ‘Big House’.]


Yang terbentang di depan mereka bukanlah istana raksasa atau ranah dewa—melainkan lapangan luas di antara pegunungan, seperti lokasi perkemahan sekolah.
Angin lembut berhembus, membawa aroma rumput basah dan abu.

Jika ini disebut rumah besar, maka kata “rumah” perlu diberi makna baru.

“Hmm. Jadi ini ‘Big House’-nya.”

“Kau tahu tempat ini?”

“Aku sudah pernah membacanya.”

Cheon Inho mengerutkan kening, lalu tersenyum seperti seseorang yang menertawakan kenangan lama.

“Untuk menjadikan tempat seperti ini sebagai ‘rumah’… berarti kenangan piknik itu benar-benar berharga baginya.”

“Piknik?”

Anna belum sempat bertanya lebih jauh ketika suara mengerikan mengguncang langit.


【Goooooooooo……】


Ketika ia menengadah, seekor naga raksasa tanpa kepala melintas di udara.
Bukan hanya itu—seekor ular berekor tiga, dan bayi-bayi raksasa dari wilayah End Zone Fear Realm juga muncul di langit.

“T-Tuhan…”

Makhluk-makhluk sekelas bencana alam itu berkeliaran tanpa kendali.
Namun anehnya, mereka tidak menyerang.
Seolah tahu bahwa dua tamu ini adalah tamu yang diundang.

Cheon Inho memandangi mereka tenang, lalu melangkah maju.
Setelah berjalan beberapa belas langkah, tampak sebuah kursi di kejauhan.
Kursi itu menghadap ke arah tebing—membelakangi mereka.

“Kenapa di sini ada ‘Absolute Throne’?!”

“Absolute Throne?”

“Itu… takhta mutlak yang pernah muncul di Korea.
Lucunya, ‘dia’ sendiri tak pernah duduk di kursi itu.”

Saat ia berkata begitu, angin kencang berhembus—dan sesosok bayangan hitam muncul di depan mereka.
Pakaiannya seperti zirah, wajahnya tersembunyi di balik helm.

“Seorang prajurit tua yang menjaga Raja Ketakutan. Persis seperti yang kudengar.”

Bayangan itu mengangguk.

[Pergilah. Kau tak bisa bertemu dengan ‘King of Fear’.]

“Itu keputusan Kim Dokja sendiri?”

[Entah siapa pun yang memutuskan, intinya—hari ini kami tak akan biarkan bajingan sepertimu masuk ke rumah kami.]

Kedua tinjunya beradu, menggetarkan udara.
Namun Cheon Inho hanya mengangkat tangan dengan senyum tipis.

“Tapi dia pasti sedang sedih.”

[Itu karena kau.]

“Kalau aku yang membuatnya sedih, maka aku juga yang harus menenangkannya.”

[Tak akan bisa. Pergilah.]

Ketika tinju sang prajurit hendak melayang, Cheon Inho berkata cepat:

“Aku datang membawa kelanjutan cerita untuknya.”

[Aku tahu lidahmu panjang. Tapi percuma. Itu takkan berhasil pada—]

Tiba-tiba, ruang itu bergetar hebat.


[‘King of Fear’ mengizinkan inkarnasi yang menyelesaikan Fear level ■■ ‘Evil Sophist’ untuk menemuinya.]


Bayangan prajurit itu mendongak.

[Tapi…]

Ia menggertakkan gigi, menatap ke arah kursi di kejauhan.
Lalu menurunkan tinjunya, berbalik, dan bergumam lirih:

[Pergilah, dasar brengsek.]

Anna menatap kepergiannya, lalu bertanya pelan.

“Siapa dia?”

“Dia berasal dari world line lain.”

“World line lain…?”

“World line tempat skenario-skenario itu berakhir.
Dia melihat akhir dunia dan melampaui Constellation—seperti diriku.”

Di belakang mereka, prajurit itu menulis sesuatu di udara—seolah mencatat di dinding tak kasat mata.

“Dia juga Recorder of Fear?”

“Tidak. Tak semua yang menyelesaikan skenario menjadi Recorder.”

“Lalu dia menulis apa?”

“Cerita yang dia inginkan… sudah ada di sini.”


Keduanya melangkah melewati penjaga itu menuju kursi.
Dari posisi mereka, tebing terbentang luas di bawah.
Puluhan layar Time Fault bergantung di udara, berkilau seperti kaca retak.

Pemandangan itu—indah sekaligus menakutkan.

Salah satu layar menampilkan adegan yang sangat dikenali Anna.


[Menggunakan kehidupan nyata untuk menciptakan kepalsuan rumit. Bagaimana bisa kau… Ah, ternyata begitu. Kau.]


Itu adalah layar Round ke-40—dunia tempat ia baru saja hidup.

Cheon Inho menatap layar itu lama, lalu berkata pelan:

“Kau menyukai cerita itu, bukan, King of Fear?”

Anna memandang sekeliling.
Tak ada siapa pun.
Namun tiba-tiba seluruh ruang seperti dipadamkan dan dinyalakan kembali secara bersamaan.

Saat pandangannya pulih—

“A… apa ini…”

Tanah berubah menjadi lautan tentakel, layar di tebing berubah menjadi bola mata raksasa.
Dan di kursi itu… sesuatu duduk di sana.

Bukan manusia.
Bukan dewa.

Melainkan seekor kepompong kecil yang berdenyut seperti jantung.

Ketika Anna menatap kepompong itu, makhluk itu juga menatapnya.


Aku mencintai hal-hal yang dibuang.


Cheon Inho tersenyum.

“Aku tahu.”


Aku mencintai cerita.

“Aku tahu itu juga. Semua Kim Dokja seperti itu.”


Aku benci kesedihan.

“Itu bohong. Tak ada Kim Dokja di alam semesta ini yang lebih mencintai kesedihan darimu.”


Aku benci kesedihan.

“Kalau bahkan kau membencinya, maka tak akan ada lagi Kim Dokja di dunia ini yang mencintainya.”


Aku benci kesedihan.

“Kadang-kadang, kau juga ingin mendengar cerita bahagia, kan?
Kau ingin tahu kisah-kisah dari Round ke-40?
Masih ada beberapa cerita bahagia tersisa. Aku bisa menceritakannya padamu.”

Kepompong itu diam.
Namun keheningan itu terasa… setuju.

Cheon Inho menatapnya lembut.

“Tapi ada satu syarat.”


Aku benci kesedihan.

“Makhluk yang lebih akrab dengan kesedihan daripada siapa pun di alam semesta ini…”


Aku benci kesedihan.

“Aku tahu apa kesedihan terbesarmu.
Kau mengurung dirimu di sini karena membenci pertikaian antar saudara, bukan?”


Aku…


Sebuah layar baru muncul di tebing.
Di sana dua pria berjas putih berdiri saling berhadapan.

Anna mengenali wajah itu seketika.

“Kim Dokja?”


[Kau belum lupa, kan? Kau bukan lagi 51%.]
[Dan kau bukan 49% yang kukenal.]


Kedua Kim Dokja itu beradu pedang.
Cahaya menelan layar.


Hari itu, ‘King of Fear’ lahir.


Anna tak sepenuhnya mengerti, tapi hatinya tahu—
ia sedang menyaksikan kebenaran dunia ini.

Di layar berikutnya, sosok lain muncul—seorang pria berjas putih lain, wajahnya terhalang filtering.


‘Kedua, kumohon. Bantu aku. Bantu aku mengakhiri pertarungan ini.’


Kemudian, layar berganti.
Salju putih terhampar.
Pria itu berkata pelan—


‘Kalau kau benar-benar saudaraku… kau tahu mana yang benar.’


Tiiinnggggg!

Telinga Anna berdengung keras.
Ia terjatuh, menutupi telinganya.

Dunia menangis.
Fear Realm menjerit.

Namun Cheon Inho berdiri tegak di tengah raungan itu, darah mengalir dari telinganya—dan ia tersenyum.

“Aku bisa menyelesaikan kesedihan itu.
Sekarang aku juga punya kualifikasi untuk menjadi ‘Kim Dokja’.”


Kesedihan.


“Kau tak perlu memilih apa pun.”


Kesedihan.


“Aku akan memimpikan dunia yang seharusnya kau miliki.”


Cheon Inho melangkah ke depan, mendekati kursi.

“Kalau kau meminjamkan kekuatanmu, pertempuran panjang ini akan berakhir.
Dalam alam semesta yang kuimpikan, tidak ada lagi istilah Pertama, Kedua, Ketiga, atau angka 49% dan 51%.”


Energi [Incite] meluap dari seluruh tubuhnya.

“Segala sesuatu di alam semesta ini akan diwarnai ‘Ketakutan’ yang sama.
Kita akan membangun ‘Big House’ penuh hal-hal yang kau cintai.”


Kepompong itu berdenyut semakin cepat.
Anna ingin berteriak—menyuruhnya berhenti—tapi mulutnya tak bisa terbuka.

“Aku akan menjadikan seluruh alam semesta ini sebagai ‘Fear Realm’!”


Pada saat [Incite] mencapai puncaknya, tangan Cheon Inho menyentuh permukaan kepompong.
Namun seketika, percikan menyala dan tangannya terpental.


Tidak.


“Kenapa?”


Ceritanya belum berakhir.


Begitu Cheon Inho menoleh, angin menyambar keras.
Rambut pirangnya berhamburan di udara.

Dan di kejauhan, seseorang berdiri—
seseorang yang sangat ia kenal.

“Cheon Inho.”

Suara berat yang khas.
Begitu mendengar suara itu, Cheon Inho tertawa.

“Ternyata, epilog yang paling penting memang belum selesai.”

Sosok itu menatapnya tajam—
Yoo Joonghyuk, sang pria yang telah menuntaskan Main Quest di Round ke-40.

Ia berdiri tegap, menodongkan tombaknya yang berkilau.

“Kau memilih tombak itu sebagai hadiah, ya?”

Tombak itu—Hwangcheon-wolguk—berkilau keemasan di tangannya.

“Tapi kau tahu sendiri, bukan?
Sekarang… kau tak akan bisa menang melawanku.”

Kekuatan cerita memancar dari tubuh Cheon Inho, begitu kuat hingga udara bergetar.
Kekuatan yang telah menundukkan Cheok Jungyeong dan membuat para pemimpin Transcendent gentar.

“Karena hasil dari panggung kita… sudah ditulis.”


[Story ‘King Slayer’ mulai mengisahkan dirinya.]


Cheon Inho telah mengalahkan Yoo Joonghyuk di Round ke-40.
Dan dalam duel antar makhluk Transcendent, kekuatan “panggung” adalah segalanya.

Namun Yoo Joonghyuk tak gentar.
Justru sebaliknya—semakin aura Cheon Inho membubung, semakin terang cerita-cerita yang bersinar dari tubuhnya.

“Kalau aku sendirian, mungkin memang begitu.”

Cheon Inho memicingkan mata.
Lalu Yoo Joonghyuk mengeluarkan sesuatu dari sakunya—setengah potongan dumpling.

Ia menggigitnya tanpa ragu.

“Untung aku menyisakan setengah.”

Dan pada saat itu—sayap putih bersinar mekar dari punggungnya.


[Story ‘Demon King of Salvation’ mulai mengisahkan dirinya.]

860 Episode 47 King of Fear (4)

Yoo Joonghyuk mengerutkan kening sambil menekan kepalanya yang berdenyut keras.


[Kau telah memakan ‘Ultimate Murim Dumplings’.]


Begitu potongan dumpling itu melewati tenggorokannya, ledakan kenangan menyerbu pikirannya.


‘Aku adalah Yoo Joonghyuk.’


Namun itu bukan kenangannya sendiri.
Suara itu jelas suaranya—tapi bukan kata-katanya.


‘Bentuk pertama Myeolhon Shinchang mirip dengan tebasan Breaking the Sky, atau tusukan Baekcheong. Pada akhirnya, semua teknik hanyalah soal menghubungkan satu titik dengan titik lain. Dalam proses itu, kau menebas, menusuk, menghancurkan sesuatu… dan membentuk sebuah hubungan. Membangun cerita.’


Yoo Joonghyuk menyadarinya—itulah pencerahan yang pernah ia capai di Round lain.


‘Jika kau menggunakan tombak ini untuk menghancurkan jiwa seseorang, ingatlah baik-baik. Menghancurkan jiwa berarti menghancurkan kisah keberadaannya. Artinya, mengembalikannya pada kehampaan.’


Hanya dengan mendengar kata-kata itu, perubahan mulai terjadi di kepalanya.
Pencerahan yang pernah ia peroleh di Round ke-40 bangkit lagi, menjadi bahan bakar bagi transendensinya.

Tubuhnya sendiri merespons—energi mulai meluap dari seluruh nadinya.


[Tingkat transendensimu meningkat!]


Namun tak semua kenangan yang muncul berkaitan dengan kekuatan.
Ada juga potongan lain—misalnya kenangan tentang pria yang membuat dumpling itu.


‘Author-nim, tapi siapa yang memberimu nama?’


Kepalanya berdenyut lagi, lebih tajam dari sebelumnya.
Di saat bersamaan, kisah yang terkandung dalam dumpling itu mulai menyelimuti seluruh tubuhnya.


[Story ‘Demon King of Salvation’ melanjutkan kisahnya.]


Demon King of Salvation.

Nama itu bukan hal asing bagi Yoo Joonghyuk.
Raja Iblis yang muncul dalam pertempuran terakhir di Recycling Center juga membawa gelar itu.
Bahkan pria yang muncul di Washington Dome pun disebut dengan nama yang sama.

Apa sebenarnya arti Demon King of Salvation?


[Story ‘Demon King of Salvation’ meraung!]


Kisah itu bergetar dan menempel di bahunya, berubah menjadi sepasang sayap.
Meski berasal dari kisah Raja Iblis, sayap itu berwarna putih bersih—seperti sayap malaikat agung.

“Kau berubah jadi malaikat, Supreme King?”

Nada mengejek terdengar dari Cheon Inho.
Ia mencabut pedang dari pinggangnya, mengarahkannya pada Yoo Joonghyuk, lalu berkata ringan.

“Bam.”

Refleks, Yoo Joonghyuk menunduk.
Semburan sihir mengiris udara, hampir menyambar telinganya.
Itu—teknik khas Myung Ilsang, yang memadatkan energi magis di ujung pedang dan menembakkannya secepat kilat.

“Kemampuanmu meningkat, Cheon Inho.”

Cahaya dari tebasan itu membelah tebing Big House—memunculkan kembali bayangan dari pertarungan terakhir mereka.

Siluet dua sosok muncul di dinding tebing itu:
Jubah merah dan jubah hitam.

Pada malam di mana bintang-bintang runtuh, Supreme King dan Evil Sophist pernah saling mengarahkan pedang mereka demi takdir dunia.

“Aku sudah merindukannya. Pertarungan waktu itu luar biasa.”

Yoo Joonghyuk tidak menjawab.

“Sekarang, tunjukkan. Apa yang sudah kau alami. Kisah apa yang telah kau ceritakan padaku. Kalau kau ingin benar-benar membongkar kenanganmu—”

“Di mana dia?”

“Dia? Siapa yang kau maksud?”

“Kau pasti tahu. Cheon Inho yang asli.

Wajah Cheon Inho menegang—retakan halus melintas di balik senyum tenangnya.

“Aku tak tahu apa yang kau bicarakan. Aku Cheon Inho.”

“Kau bukan orang yang menjalani skenario bersamaku.”


Way of the Wind!


Dengan sekejap, Cheon Inho memendekkan jarak sepuluh meter dan menebas dengan pedang Unbreakable Faith.
Tebasan yang mengandung rahasia Way of the Wind.

Yoo Joonghyuk menangkis tebasan itu dengan tombaknya dan berkata datar:

“Teknik itu bukan milikmu.”

“Aku tahu. Itu milik Immutar Wolf.”

“Bukan. Itu teknik yang digunakan oleh dia.”

Sebagai balasan, Cheon Inho menebas lagi, menurunkan pedangnya dari atas.
‘Blade of Faith’ berkilau, memancarkan energi biru menyilaukan.

“Pedang itu juga bukan milikmu.”

Tombak Hwangcheon-wolguk menahan Unbreakable Faith.
Energi emas dan biru saling bertubrukan, menimbulkan badai yang meledak seperti guruh.

Keduanya terpental.

Namun Cheon Inho tersenyum.

“Ini milikku. Pedang ini, teknik ini, dan kisah-kisah yang telah aku bangun bersama tubuh ini dan dirimu.”

Kisah mereka berdua bergetar.
Kisah besar yang belum dinamai itu bangkit menggema.


[Giant Tale tanpa nama sedang bergejolak.]


“Kisah yang luar biasa, bukan?”

“…”

“Bagaimana rasanya melihat akhir skenario bersamaku? Bagaimana rasanya menjadi tokoh di dalam cerita yang kutulis?”

“…”

“Apa kau bahagia? Atau justru kecewa karena gelar ‘tokoh utama’mu direbut?”


Gerakan pedang Cheon Inho makin cepat.
Yoo Joonghyuk membalas, mempercepat gerakan tombaknya hingga keduanya hampir tak terlihat.

“Aku tak tahu apa yang kau bicarakan.”

Puncak [Self-defense] membuat bilah pedang lawan terpental.

“Kau makin gila dibanding terakhir.”

Transendensinya juga naik—
Tahap 1.
Tahap 2.
Tahap 3.

Energi naratif yang cukup untuk mengguncang Constellation memenuhi tubuhnya.

Kwaaaang!

Mysterious Soul Spear menembus udara.

Cheon Inho menghindar nyaris terlambat.

“Aku penasaran. Kenapa memilih tombak? Senjatamu selalu pedang. Heaven Breaking Sword lebih cocok untukmu.”

“Karena aku ingin mengakhiri ronde ini dengan tombak.”

Cheon Inho mendecak tak suka.


[Exclusive Skill, ‘Incite Lv.???’ aktif!]


“Bangun. Senjatamu adalah ‘pedang’.”

Suara yang mengandung kekuatan Incite yang mampu menundukkan Constellation tingkat naratif.
Perintah absolut—yang seharusnya tak bisa ditolak siapa pun.


[Story ‘Demon King of Salvation’ menolak efek ‘Incite’!]


Yoo Joonghyuk menggertakkan gigi, menahan dengan seluruh tenaga.
Kisah dari dumpling yang ia makan—itulah yang memberinya daya tahan.


[Exclusive Skill, ‘Fourth Wall’, aktif sementara.]


Mata Cheon Inho membulat kaget.

“Skill itu—”

“Kembalikan dia.”

Yoo Joonghyuk mengaktifkan [False Flames] dan mendekat.
Tombaknya menekan pedang Blade of Faith dengan kekuatan jiwa.

Cheon Inho menahan serangan itu dengan kedua tangan.

“Lupakan dia. Dia sudah menjadi bagian dari diriku. Dia sendiri yang memilih melihat akhir dunia ini bersamaku—dengan menghapus nama dan keberadaannya.”

“Itu tidak mungkin. Bagaimana kau tahu?”

“Karena dia berjanji.”

“Janji?”

“Dia yang mengatakan—”


Suatu suara muncul di kepala Yoo Joonghyuk.
Sebuah kenangan.


‘Selama kau tak menyerah pada hidup, aku akan terus menulis tentangmu.’


Ia menggumamkan kata-kata itu perlahan.

“Dia bilang, dia akan menulis kisahku.”

Ekspresi Cheon Inho goyah.
Sekilas—dan itu cukup.

Tombak menembus bahunya dengan suara pushuuk!

“Dia tak bisa menulis lagi. Ceritanya sudah berakhir.”


[Story ‘Heir of the Eternal Name’ mulai mengisahkan dirinya.]


“Aku lebih tahu kisah seperti apa yang disukai para Constellation.”


[Story ‘Heir of the Eternal Name’ melanjutkan kisahnya.]


“Aku lebih kuat dari dia. Lebih pintar. Lebih sempurna. Semakin pandai kau menipu Constellation, semakin besar keuntunganmu. Aku—”


Tubuhnya bergetar hebat—
percikan keluar dari seluruh pori.

“Aku, Kim Dokja—”


Kisah keluar dari mulutnya, menolak keberadaannya sendiri.
Cheon Inho menjerit, darah menetes dari bibirnya.


[Story ‘Heir of the Eternal Name’ tertawa keras.]
[Story ‘Heir of the Eternal Name’ tertawa lagi.]


Kisah itu berputar liar di dalam tubuhnya.

Yoo Joonghyuk berkata pelan:

“Dia bisa menahannya.
Dia tidak pernah mencari jalan mudah.”

Tragedi dan kekuatan bercampur dalam kisah itu—kisah yang memberinya kekuatan terbesar, namun juga penderitaan terdalam.

“Kau tak bisa melakukannya seperti dia.”

“Aku juga bisa!”

Cheon Inho menjerit, menebas dengan amarah.


[Story ‘Heir of the Eternal Name’ terus berlanjut.]


Cahaya merah menyala di matanya.

“Akhirnya, satu-satunya Kim Dokja—adalah aku!”

Sayap merah darah tumbuh dari punggungnya.
Sosok Raja Iblis sejati.

Naluri regresor Yoo Joonghyuk berteriak—
Jika tidak dibunuh sekarang, kesempatan akan hilang selamanya.

Ia berlari, mengaktifkan [Jujak Shinbo].

Bentuk pertama Mysterious Soul Spear

Namun sebelum tombaknya mencapai sasaran, kekuatan magis meledak dari tubuh Cheon Inho.
Ledakan besar menghantamnya dan ia terlempar jauh.

“Aku sudah bilang.”

Raja Iblis bersayap merah itu menatap dari atas.


[Story ‘King Slayer’ mulai mengisahkan dirinya.]
[「Staging」 dimulai.]


“Kau tak bisa mengalahkanku.”

Efek Staging aktif sepenuhnya.


Yoo Joonghyuk terseret mundur, napasnya berat.
Yang menahan tubuhnya agar tidak jatuh adalah Anna Croft, yang menatap khawatir.

“Supreme King, hentikan! Kau tahu sendiri, makhluk macam apa Cheon Inho sekarang.”

Yoo Joonghyuk melepaskan tangannya kasar.

“Itu hasil [Future Sight]-mu?”

“[Future Sight] tak bekerja padanya.”

“Kalau begitu… masih ada kemungkinan.”

Ia tahu kemungkinan itu hampir nol.
Begitu Staging dimulai, hasilnya hampir mustahil diubah.
Namun harapan kecil masih tersisa—entah karena efek dumpling itu.

Dan tiba-tiba, potongan kenangan lain muncul.


‘Kalau suatu saat kau berkelahi dan tak tahu harus bagaimana—’

Suara yang akrab, sedikit bercanda.

‘Anggap saja aku Kim Dokja.’


Biasanya, Yoo Joonghyuk akan mengabaikan lelucon itu.
Tapi hari ini berbeda.

Ia menggumam pelan dalam hati.

“Kim Dokja.”


Tiba-tiba, sesuatu terhubung di dalam dirinya.
Suara terdengar.


Dumpling-nya sudah dicerna, kan?


Suara asing, tapi terasa begitu akrab.

‘Siapa kau?’

Hyung dari temanmu.

‘Aku tak punya teman.’

Ah, dasar, si Bungsu ini selalu suka bikin suasana sedih.

Yoo Joonghyuk berpikir sejenak.

‘Bungsu? Maksudmu yang merasuki tubuh Cheon Inho?’

Lalu apa ada Bungsu lain?

Ia terdiam.
Nama itu saja cukup memanggil sesuatu dari dalam dirinya.

Mungkin seperti dulu—saat di Time Fault ke-40,
jiwa pria itu menempati tubuhnya melalui cara khusus.

Namun kali ini, ada yang berbeda.

‘Kenapa… yang datang justru kau?’

Tenang, serahkan saja pada Hyung! Biar aku yang kendalikan!

‘Aku bisa bertarung sendiri.’

Hei, Round ke-41 atau tidak, kau tetap Yoo Joonghyuk.

Suara itu ringan, nyaris riang.

Tapi kalau terus begitu, kau akan mati.


[Efek ‘curse’ melemahkan kemampuan fisikmu!]


Memang begitu.
‘Staging’ ini mengambil kondisi tubuhnya di saat pertarungan terakhir melawan Cheon Inho—ketika ia sedang dalam keadaan terlemah.

‘Bantu aku agar tidak mati.’

Dasar tak tahu malu.

‘Dia pasti akan melakukannya juga.’

Cheon Inho di kejauhan membuka sayapnya, menatap langit.
Yoo Joonghyuk tahu—ia akan meluncurkan kisah pamungkasnya.


Ketika semua bintang menutup mata mereka.


Jika kisah itu dimulai, dunia akan tenggelam dalam kegelapan.
Dan tak akan ada cara untuk menang.


Tidak. Ada caranya.


Sebuah pesan muncul di kepala Yoo Joonghyuk.


[‘Ultimate Murim Dumpling’ telah sepenuhnya dicerna.]


Kalau dia benar-benar menyebut dirinya Kim Dokja—

‘Kekuatan panggung absolut. Tak peduli seberapa kuat aku sekarang—’

Aku bilang, kau bisa menang. Kau pernah melakukannya. Kau sudah membunuh ‘Kim Dokja’ sebelumnya, bukan?

Yoo Joonghyuk terdiam.

‘Aku tak pernah membunuhnya.’

Mungkin belum kali ini.


[Efek eksklusif ‘Ultimate Murim Dumpling’ — ‘Prime’ aktif!]


‘Kau’ di masa ‘Prime’ berbeda.

“Prime?”


[Story ‘Omniscient Reader’s Viewpoint’ mulai mengisahkan dirinya.]


Halaman-halaman terbuka di benaknya.


Inkarnasi Kim Dokja akan dibunuh oleh orang yang paling ia cintai.
Dalam tatapan jutaan bintang yang menatap dari langit, kisah yang akan membunuhku ditulis satu kalimat demi satu.
Dan akhirnya, sebilah pedang menembus jantungku.


Dalam pesta kisah yang berputar di kepalanya,
Yoo Joonghyuk merasakan kekuatan cerita-cerita lama menyatu dengan tubuhnya.


‘Itu kisah yang luar biasa, bukan?’

Suara Demon King of Salvation terdengar lembut, nyaris geli.


Sekarang… mari kita buru Raja Iblis itu sekali lagi.


[「Staging」 dimulai!]

861 Episode 47 King of Fear (5)

Stage vs. Stage.

Yoo Joonghyuk tertegun—ia bahkan tak tahu bahwa taktik seperti ini mungkin dilakukan.


[Story ‘King Slayer’ kebingungan!]


Apakah benar-benar mungkin menimpa satu stage yang sudah terjadi… dengan stage lain?


[Story ‘Demon King of Salvation’ melanjutkan kisahnya!]


Lalu, suara itu kembali bergema di kepalanya—
suara Demon King of Salvation yang terkekeh pelan.


Sebenarnya ini juga pertama kalinya aku mencoba. Aku bahkan tak yakin akan berhasil atau tidak.


Namun ternyata… berhasil.

Yoo Joonghyuk bisa merasakan sendiri kekuatan Staging yang kini mengalir dari seluruh tubuhnya—menggelegak, menyatu dengan nadinya.


Dalam tatapan tak terhitung jumlahnya bintang yang berjatuhan dari langit, kisah yang akan membunuhku mendekat… satu kalimat demi satu.


Itu adalah kisah dari worldline yang tidak ia kenal.
Dalam kisah itu, Yoo Joonghyuk-lah yang membunuh Kim Dokja.
Tepatnya, ia dan para rekannya bersama-sama membunuhnya.

“Kenapa hal ini terjadi?”


Kau penasaran?


Yoo Joonghyuk mengerutkan alis, tak menyukai nada suara itu.
Namun yang lebih ia benci—adalah efek dari Ultimate Murim Dumpling.

Efeknya sendiri tidak bermasalah:
Meningkatkan inkarnasi pemakannya menjadi versi terbaik dari puncak masa jayanya.

Masalahnya ada pada definisi “puncak masa jaya” itu.

“Kenapa masa jayaku… justru dari worldline lain?”


Yoo Joonghyuk di dalam kisah itu jauh lebih lemah dari dirinya saat ini.
Ia belum bisa menandingi Constellation, dan teknik Breaking the Sky Swordsmanship-nya pun masih belum sempurna.

Namun tetap saja, Ultimate Murim Dumpling memilih versi itu—
versi Yoo Joonghyuk dari kisah tersebut—sebagai “masa jaya”nya.


Kim Dokja terkekeh, seolah bisa membaca pikirannya.


Yah, karena itu kisah yang paling populer, kan?


Tak perlu bertanya siapa yang menentukannya.
Tentu saja para Constellation.
Dan juga <Star Stream>.

Untuk alasan tertentu, Constellation dari worldline itu menyukai kisah tersebut—
dan dengan demikian, mereka memberi “probabilitas”.


[Probabilitas dari worldline lain memperkuat tubuhmu.]


Tubuh Yoo Joonghyuk melesat seperti ditembak dari meriam.
Ia memutar tubuh, melontarkan tombaknya dengan kekuatan brutal.

Cheon Inho, yang tak menduga serangan secepat itu, mundur terburu-buru.
Suara krak! menggema saat bilah Unbreakable Faith bergetar hebat.

Bahkan dengan wujud Demon King-nya aktif, Cheon Inho tetap terdesak.

Bulu merah dan putih beterbangan di udara, berputar dalam tarian mematikan.


[Story ‘King Slayer’ melanjutkan kisahnya!]
[Story ‘Demon King of Salvation’ melanjutkan kisahnya!]


Seperti serigala dan macan yang saling menggigit,
dua kisah itu bertabrakan tanpa ampun.

Cahaya tombak dan bilah pedang saling menelan,
menggeram seperti binatang buas.


“Kau membawa stage dari worldline lain.”
“Kau benar-benar memanfaatkan fakta bahwa aku menjadi ‘Kim Dokja’, ya?”


Cheon Inho berkata dengan nada kagum sekaligus getir.

“Jadi, ini kebijaksanaan dari Demon King of Salvation yang merasukimu?”

Seperti yang diduga, ia sudah merasakan keberadaan Kim Dokja di dalam Yoo Joonghyuk.

Lalu, dengan nada memperingatkan, ia menambahkan:

Demon King of Salvation, dunia ini adalah Round ke-41.
Ini bukan worldline tempatmu hidup.”


Wah, dia mulai ngoceh. Tandanya dia mulai terdesak.


“Kau pikir bisa terus ikut campur dalam worldline ini? Kesempatanmu hampir habis.”


Abaikan saja. Terus tekan dia.


“Berapa lama menurutmu <Star Stream> akan membiarkan kekacauan ini?
Apa kau mau lenyap begitu saja?”


Diamkan saja. Kita tekan dia sampai batasnya.


Tsutsutsutsu!
Cahaya listrik berdesis dari tubuh Yoo Joonghyuk.


[Koneksi ke skill eksklusif ‘Omniscient Reader’s Viewpoint’ tidak stabil.]


Cheon Inho tidak sepenuhnya salah.
[Omniscient Reader’s Viewpoint] milik Kim Dokja pertama memang jauh lebih rapuh dibanding milik si Bungsu.

Wajar saja—ia hanyalah keberadaan di dalam [Fourth Wall].
Adalah hal mustahil bagi seseorang dari balik tembok itu untuk memengaruhi skenario seperti ini.

Namun yang mustahil itu kini menjadi mungkin karena—


[Probabilitas dari ‘Fourth Wall’ mulai bergerak.]


Keinginan para Kkoma Kim Dokja di dalam [Fourth Wall] masih ada.
Mereka adalah pecahan dari Oldest Dream.
Dan mimpi mereka yang terjalin bersama… menjadi kekuatan probabilitas yang amat besar.

Meski entah berapa lama mereka bisa mempertahankan fokus itu—


Tak apa. Bertarunglah tanpa khawatir.


Suara Kim Dokja Pertama terdengar tajam.


Selama dia belum berhenti menjadi ‘Kim Dokja’, maka stage ini tetap valid.


Cheon Inho adalah extra yang seumur hidupnya bermimpi menjadi pemeran utama.
Ia tak akan melewatkan kesempatan untuk merebut nama itu.


[Story ‘Demon King of Salvation’ meraung!]


Dari sudut pandang Yoo Joonghyuk, inilah saatnya—
kesempatan emas untuk membunuh tokoh utama.


[Story ‘King Slayer’ bergolak liar!]


Kisah melawan kisah.
Dua panggung bertabrakan dalam perang naratif yang mengguncang ruang.

Setiap benturan menghasilkan luka baru di tubuh keduanya.
Udara bergetar oleh dentuman kisah yang saling menghancurkan.

Lalu mata Cheon Inho menyipit.


[Story ‘When All the Stars Close Their Eyes’ mulai mengisahkan dirinya.]


Akhirnya, Cheon Inho mengeluarkan kisah pamungkasnya—
karya utama dari Round ke-40: 「When All the Stars Close Their Eyes」.

Langit perlahan diselimuti kegelapan.
Seperti salju hitam, kegelapan turun, menelan cahaya dan merobek pemandangan.

Sesuai julukannya—The One Who Deceived the Stars
Cheon Inho kini benar-benar menyatu dengan kegelapan itu.

Tebasannya melintas; bilahnya menggores paha dan pinggang Yoo Joonghyuk.
Ia mengerang pelan, lalu memperbaiki posisi tombaknya.


Dulu, ia juga kalah telak karena kisah itu.
Tapi sekarang berbeda—ia tahu cara menghancurkannya.

“Bukalah matamu… dasar Constellation bodoh.”


Cheon Inho mengangkat alis pura-pura terkejut.

“Oh? Jadi kau memulihkan kisah itu melalui Time Fault, ya?”


Selama berada di Time Fault Round ke-40, Yoo Joonghyuk tak sekadar berdiam diri.
Sejak kebangkitannya lewat [Deceased Summoning],
ia terus memikirkan satu hal:
‘Kisah apa yang harus kubawa saat kembali ke Round ke-41?’

Dan kini, kisah itu mulai terukir dalam dirinya—


[Story ‘King Who Leads the Stars’ mulai mengisahkan dirinya.]


Kisah Raja yang Memimpin Bintang
cerita yang membakar probabilitas dari Constellation pengikutnya dan menerangi dunia yang gelap.

Namun Cheon Inho hanya tersenyum masam.

“Sayangnya, kisah itu hanya bermakna kalau ada Constellation yang mengikutimu.”

“…”

“Kau lupa, ini bukan Round ke-40. Tak ada Constellation yang mengikuti dirimu.”

Di wilayah Fear Realm, pandangan Constellation terblokir.
Bahkan jika ada yang berpihak padanya, mereka tak bisa menyaksikan adegan ini.

Namun Yoo Joonghyuk menjawab datar:

“Ada satu.”

Dan cahaya pun mengalir dari suatu tempat—
dari tubuh Cheon Inho sendiri.

Cheon Inho menatap ke bawah, wajahnya terguncang.

“B-bagaimana mungkin…”

“Karena dia juga seorang Constellation.”

Hanya satu cahaya sudah cukup.
Yoo Joonghyuk menatap tajam dan mengangkat tombaknya.

“Sekarang aku bisa melihatnya dengan jelas.”

Tombak itu menembus pahanya dengan suara pushuuuk!

Cheon Inho meraung dan menahan lukanya.

“Tak ada gunanya! Kau tak akan bisa membunuhku dengan ‘stage’ cacat seperti itu!”

Percikan api menyala di udara.
Khususnya di sekitar tombak Yoo Joonghyuk—
karena alasan yang jelas.


Dan akhirnya, sebilah pedang menembus jantungku.


Dalam kisah 「Demon King of Salvation」, Kim Dokja dibunuh oleh pedang, bukan tombak.
Cheon Inho tertawa sinis.

“Kalau saja kau mengikuti saranku dan memakai pedang, ini tak akan terjadi.”

“Kalau kau ingin membahas cacat panggung—kau juga sama.”


[Story ‘King Slayer’ tersendat dalam penceritaannya.]


Cheon Inho memakai tubuh Cheon Inho,
tapi mengeklaim diri sebagai Kim Dokja.

Akibatnya, kisahnya sendiri pun kehilangan kemurniannya.

“Cheon Inho, kau ingin mengalahkanku?”

“Tentu saja.”

“Ada satu cara untuk menang.”

“Oh? Aku ingin mendengar jebakanmu.”

“Lepaskan nama itu. Berhentilah menjadi Kim Dokja.”

Cheon Inho terdiam.

“Kenapa tak menjawab? Bukankah kau ingin menang?”


Yoo Joonghyuk menatapnya lekat.
Jika Cheon Inho menyerap jiwa pria itu untuk menjadi ‘Kim Dokja’,
maka… mungkin ia bisa memaksanya memuntahkan jiwa itu kembali.

“Kau bilang ingin jadi pemeran utama?
Itu saja persiapanmu?”

“…”

“Cheon Inho yang kukenal tak selemah itu.
Ia kejam, licik, tapi bukan pengecut yang bersembunyi di balik nama orang lain.”

Ia menegakkan tombaknya.

“Sekarang kau bukan ‘Cheon Inho’.”

“Apa yang kau tahu?!”

Suara Cheon Inho bergetar marah.

“Kau, yang dilahirkan sebagai tokoh utama sejak awal!
Kau, yang hidup dengan tujuan mulia dan indah!
Apa yang kau tahu tentang kami—tentang mereka yang tak pernah dipilih?!

“Aku tak tahu. Dan aku tak mau tahu.”

Cahaya meledak di antara kegelapan.
Kisah-kisah mereka bertabrakan tanpa henti.

Mereka menebas, menusuk, dan menghantam—
bukan untuk memahami,
tapi untuk membunuh.

Cheon Inho tertawa di tengah hiruk-pikuk itu.

“Pada akhirnya, aku yang akan menang.”

Itu bukan tawa kemenangan—melainkan tawa seseorang yang sudah mencapai tujuannya hanya dengan terus bertarung.

“Berapa lama lagi Demon King of Salvation bisa menolongmu?”

Kekuatan Staging di tubuh Yoo Joonghyuk perlahan memudar.

“Tokoh utama worldline ini sudah berubah.
Kisah yang diinginkan Constellation pun ikut berubah.
Kisah itu tak bisa melindungimu selamanya.”

“…”

“Yoo Joonghyuk, jadilah sekutuku.
Maka aku akan menunjukkan akhir dari dunia ini.”


Dan saat itulah—
‘King of Fear’ bereaksi.


Getaran besar mengguncang Big House.
Langit pecah, Outer Gods meraung.


[‘King of Fear’ bereaksi kuat terhadap kisah di hadapannya!]


Petir menyambar.
Retakan raksasa terbuka di langit.
Dan dari celah itu, seseorang muncul—


“[Wow, apa-apaan ini—]”


Seekor dokkaebi dengan wajah akrab: Bihyung.

Ia menatap sekitar dengan panik, lalu menyadari situasinya.


[Constellation, membuka kanal darurat sementara!]


Begitu kanal dibuka, cahaya bintang berhamburan dari celah langit.


[Banyak Constellation mengonfirmasi keberadaan ‘Fear Realm’!]
[Nebula <Eden> menembus pandangan ke dalam ‘Fear Realm’!]
[Nebula <Asgard> menembus pandangan ke dalam ‘Fear Realm’!]
[Nebula <Olympus> menembus pandangan ke dalam ‘Fear Realm’!]


Seluruh Big House kini dipenuhi cahaya bintang yang berkilau.


[Constellation dari Nebula Raksasa terkejut!]
[‘King of Fear’ memanifestasikan kekuatannya.]
[Tidak ada Constellation yang dapat mengirim ‘pesan tidak langsung’ di area ini.]


Langit sunyi.
Semesta menahan napas.

Di bawah cahaya bintang yang membeku,
Yoo Joonghyuk dan Cheon Inho saling menodongkan tombak dan pedang.

Tsutsutsutsu!

Kisah yang melindungi Yoo Joonghyuk akhirnya padam.


[Story ‘Demon King of Salvation’ mengakhiri kisahnya.]


Cheon Inho tersenyum puas.

“Sudah berakhir, Yoo Joonghyuk.”

Namun sesaat kemudian—
sebuah bintang berkelip di langit.

Dari <Eden>.


[Story ‘Demon King of Salvation’ tersendat dalam penceritaannya.]


Lalu bintang lain menyala—
dari <Emperor>.


[Story ‘Demon King of Salvation’ menarik napasnya kembali.]


Dan bintang berikutnya—
dari Nebula kecil, keturunan Absolute Evil.


[Story ‘Demon King of Salvation’ melanjutkan kisahnya.]


Cahaya kisah itu kini bersinar lebih terang dari sebelumnya.
Cheon Inho menatap langit, wajahnya penuh ketidakpercayaan.

“T-tidak mungkin…”

Kisah yang dimiliki Yoo Joonghyuk bukan berasal dari worldline ini.
Bukan kisah yang dinikmati para Constellation dunia ini.

Namun—kisah itu tetap berlanjut.

Karena masih ada mereka.
Masih ada Constellation yang menginginkan kisah itu.
Yang rela terbakar, asalkan kisah itu bisa diceritakan lagi.


[Story ‘Demon King of Salvation’ menatap langit yang jauh.]


Dan dengan demikian, kisah itu berlanjut sekali lagi—

Untuk membuktikan bahwa masih ada Constellation di alam semesta ini
yang mencintai kisah ini.

862 Episode 47 King of Fear (6)

[Story ‘Demon King of Salvation’ melanjutkan kisahnya.]

Kisah yang mekar dari seluruh tubuh Yoo Joonghyuk kini melilit tombaknya bagai hidup.


Itulah esensi dari Mysterious Soul Spear.

Kekuatan dahsyat yang melampaui batas manusia berkumpul di ujung tombak itu—


The King Who Leads the Stars.

Kisah yang diselimuti oleh probabilitas bintang-bintang yang mencintainya menyebarkan cahaya menyilaukan, membelah udara seperti hujan meteor.


“Ayo, Supreme King.”


Cheon Inho tidak mundur. Tubuhnya menyala dalam aura [Incite].
Cahaya biru [Baekcheong-ganggi] menjalar di seluruh tubuhnya, membuatnya tampak seperti dewa baja yang hidup.

Langit pun bersinar.
Para Constellation di atas sana menatap, cahayanya berkilau seolah menahan napas untuk menyaksikan akhir.

Cheon Inho mendongak, menatap bintang-bintang itu dengan senyum getir.

Ekspresi di wajahnya seolah berkata—


Itu pilihanmu sendiri.


Soul Killing Spear.
Bentuk pertama — Annihilation Spear.

Teknik tombak yang mengenali musuhnya sebagai sebuah Kisah, lalu menyerang ke inti dari kisah itu.
Annihilation Spear menghancurkan kulit kisah yang membungkusnya.

Gerakannya tidak cepat, tidak pula lambat—
tepat seperti menulis kalimat demi kalimat yang hati-hati dan indah.

Tombak itu menembus [Baekcheong-ganggi] milik Cheon Inho.
Kisah kokoh yang ia bangun dengan [Incite] mulai terpecah sedikit demi sedikit,
seperti kaca yang retak oleh suara yang nyaris tak terdengar.


Soul Killing Spear.
Bentuk kedua — Extermination Spear.

Yoo Joonghyuk tidak berhenti.

Jika bentuk pertama menghancurkan kulit, maka bentuk kedua menghancurkan rangka kisah itu.

Bilah Unbreakable Faith bergetar hebat, lalu dari tubuh Cheon Inho bermunculan semburan cahaya—
potongan kisahnya, pecah dan berhamburan.

Namun bahkan saat kisahnya runtuh, Cheon Inho tetap bertahan.
Ia mengayunkan pedangnya dengan putus asa, menebas ke arah tombak yang datang tanpa henti.


Soul Killing Spear.
Bentuk ketiga — Extinction Spear.

Jika Annihilation menghancurkan kerangka, maka Extinction menembus jiwa kisah itu.

Otot Yoo Joonghyuk menegang.
Dari setiap seratnya, percikan listrik meloncat bagai bintang-bintang yang terbakar.

Cheon Inho berteriak, mengumpulkan seluruh energi magisnya ke dalam satu ayunan.
Dari ujung Unbreakable Blade, kekuatan hati naga meledak, menciptakan badai sihir yang menggetarkan dunia.

Sebelum tombaknya siap sepenuhnya, Yoo Joonghyuk terpental sepuluh langkah ke belakang.
Tubuhnya hampir terlempar,
namun seseorang menahannya dari belakang—

Anna Croft.

“Kita harus mengakhirinya sekarang, Yoo Joonghyuk.”

Yoo Joonghyuk mengangguk pelan.
Kekuatan sihir Anna Croft berpindah ke tubuhnya,
memperkuat tusukan terakhir dari Extinction Spear.


[Story ‘Demon King of Salvation’ meraung!]
[Story ‘King Slayer’ meraung!]


Dua kisah itu saling menabrak—
bertarung demi satu panggung, satu kemenangan.

Dan Extinction Spear akhirnya dilepaskan.


Seluruh Big House berguncang hebat.
Gelombang sihir yang meledak menjalar ke setiap penjuru,
menghancurkan ruang dan waktu di sekitarnya.

Anna Croft, yang berdiri paling dekat dengan kepompong, berjongkok menahan badai sihir.

Tsk.

Seseorang melangkah ke depan, menahan seluruh ledakan itu.

Sang petarung penjaga King of Fear.


[Itulah alasannya kau tak bisa membiarkan sembarang orang masuk ke rumah ini.]


Anna Croft menatap dengan kaget.


[‘King of Fear’ bergetar.]


Kepompong itu bergetar, entah karena bahagia… atau kesakitan.
Seolah sedang menahan tangis yang ingin pecah.

Apapun itu, pertempuran ini memengaruhi pertumbuhannya.


[Sudah berakhir.]


Ledakan berhenti bersamaan dengan suara sang petarung.
Debu menyebar, dan sosok pertama yang terlihat keluar dari kabut adalah—

Yoo Joonghyuk.

Tubuhnya hangus seperti meteor yang baru saja menembus atmosfer.
Namun genggaman pada tombaknya tetap kokoh, ujungnya masih menatap ke depan tanpa goyah.


[Story ‘Demon King of Salvation’ mengakhiri kisahnya.]


Cheon Inho berlutut.
Lubang besar menganga di perutnya.

Unbreakable Faith tergeletak di tanah—
keyakinannya belum patah,
tapi kisahnya telah runtuh.

“Aku mengerti sekarang.”

Cheon Inho tersenyum lemah.

“Seperti dugaanku, kisahku tak cukup kuat.”


Kepompong itu kembali bergetar.
Big House berguncang.

Yoo Joonghyuk menatap dan berkata,

“Kembalikan orang itu.”

“Mustahil.”

Cheon Inho tertawa terbahak, tawa yang nyaris robek karena luka.

“Ke mana kau akan membawa seseorang yang bahkan namanya sudah menghilang?”

“Aku masih ingat namanya.”

Yoo Joonghyuk perlahan memejamkan mata.
Ia tak yakin apakah itu benar-benar nama orang itu.
Namun nama itu masih tersisa—
tersimpan dalam dumpling yang orang itu berikan padanya.

Sebuah nama putih, rapuh,
seperti serpihan salju yang bisa meleleh kapan saja.

“■■■. Itulah nama aslinya.”


Saat nama itu diucapkan—
retakan muncul di cangkang King of Fear.

Cheon Inho menatap kosong, lalu berkedip pelan.

“Kau pikir dia bisa menunjukkan akhir yang kau inginkan?”

“Itu bukan urusanmu.”

“Akhir yang kau cari tidak ada.
Dunia ini sudah ditakdirkan menuju kehancuran.”

“Kita tidak akan tahu sampai kita melawannya sampai akhir.”

“Kita tahu bahkan tanpa melawan.”

Kegilaan lama kembali berkilat di mata Cheon Inho.

“Satu-satunya yang bisa kita pilih adalah bagaimana kehancuran itu terjadi.”


Sebuah rasa nyeri menusuk pelipis Yoo Joonghyuk.
Ia tahu ada yang salah.
Cheon Inho tumbang terlalu cepat. Terlalu mudah.

Tak mungkin akhir dari seorang penjahat secerdas itu sesederhana ini.

Dan saat itu—
suara Kim Dokja menggema di benaknya, pelan tapi tegas.


Yoo Joonghyuk. Tujuan sebenarnya dari orang itu…


Bagaimana jika tujuan Cheon Inho sejak awal…
bukan untuk menang?


“Raja Ketakutan yang mencintai kesedihan lebih dari siapapun…”


Cheon Inho memandang kepompong itu,
senyumnya merekah bagai doa terakhir.

“Apakah kau puas sekarang?”


Suara probabilitas bergetar.
[Omniscient Reader’s Viewpoint] terputus.

Dan ia mengerti.


Yoo Joonghyuk! Keluar dari rumah itu, sekarang juga!


Tanpa berpikir, Yoo Joonghyuk menggenggam tombak Hwangcheon-wolguk
dan menarik tangan Anna Croft.

Namun ke mana mereka harus pergi?
Bagaimana caranya keluar dari sini?

Saat ia hendak menghancurkan ruang dengan [Annihilation Spear],
pesan baru muncul.


[‘King of Fear’ memulai dongengnya.]


Cheon Inho membuka tangan, tersenyum lebar.

“Raja, mari kita saksikan akhirnya bersama-sama.”


Cahaya putih meledak dari kepompong.
Sesuatu akan lahir.


[‘The End’ dimulai.]


Dunia dilahap hitam.
Aku tenggelam ke dasar laut.

Gravitasi menyeretku ke bawah.

Aku pernah merasakan hal ini sebelumnya—
di National Palace Museum,
saat mengumpulkan batu bintang untuk Death Sword.
Saat itu aku [menghasut] diriku sendiri sebagai ‘Kim Dokja’,
dan sensasinya sama seperti sekarang.


Jika kau turun ke sini, ada jurang di bawah sana.


Bagaimana bisa sampai begini?

Mungkin karena aku telah [terhasut] oleh Cheon Inho.
Seandainya aku mengaktifkan [Fourth Wall] lebih awal,
mungkin aku bisa menghindarinya.

Tapi… aku ingin tahu.

Bahkan jika harus mematikan tembok pikiranku,
aku ingin memahami pria itu—Cheon Inho.
Aku ingin tahu apa yang menggerakkannya,
apa “catatan terakhir” yang ingin ia tinggalkan.

Dan kini, mungkin aku sedikit mengerti.


Cheon Inho hanya ingin dicatat.


Mungkin pemahamanku tak sempurna,
tapi itulah yang kurasakan.
Ia hanya ingin namanya terukir di sebelah sang tokoh utama.
Hanya itu.

Alasan yang mungkin akan ditertawakan orang lain—
tapi baginya, itu segalanya.

Beberapa orang dilahirkan dengan nama mereka sudah terukir,
sementara yang lain menghabiskan hidup mereka hanya untuk diingat.

Dan aku… mungkin mengerti perasaan itu.
Karena ‘King of Fear’—Kim Dokja kedua—pasti juga memahaminya.


[‘The End’ dimulai.]


Suara pesan itu membuatku sadar.
Aku harus keluar dari sini.

Aku memfokuskan pikiran, mencoba mengaktifkan [Fourth Wall].
Namun tak ada reaksi.

Apa yang salah?

Saat napasku mulai terputus,
sesuatu menarikku dari kegelapan—

Tangan kecil.

Aku menggenggam tangan itu,
dan bersama kami muncul ke permukaan.

Ketika aku menarik napas, aku sudah berada di padang salju.
Padang salju tempat aku dulu berbicara dengan Cheon Inho.

Dan yang menarikku keluar adalah—


“Ah.”


Seorang Kim Dokja kecil.

“Giyeon hyung.”


Giyeon—hyung yang dulu lenyap bersama Cheon Inho—
kini kembali, seperti yang dijanjikan.

“Ah.”

Hyung kecil itu memeluk kakiku, wajahnya riang seperti anak kecil.
Mengingat jati dirinya yang sebenarnya adalah lelaki berjanggut,
aku perlahan melepaskannya.

“Syukurlah kau selamat.”
“Ah.”
“Aku bilang jangan menangis seperti Biyoo.”
“Ah.”
“Terima kasih sudah menyelamatkanku.”

Giyeon mengangguk bersemangat dan menatap langit.
Aku ikut menatap bersamanya.

Salju turun—
atau lebih tepatnya, serpihan kisah jatuh dari langit seperti salju.


The Fear Realm telah terbuka.


Kalimat demi kalimat jatuh dari langit.


Blokir! Blokir dari sisi ini!
Gerbang Fear Realm terbuka!


Suara para Transenden bergema.
Mereka—anggota Transcendental Alliance—bertempur melawan Akhir.

God of Despair Chunghuh, Ryunard, Karlton, Yoo Hosung, Cheok Jungyeong, Kyrgios,
dan Breaking the Sky Sword Siant.

Semua berkumpul, menghadapi gelombang Outer God yang menerobos ke skenario.


Kuaaaaah!
Sial! Outer God menembus area skenario!


Setiap kalimat yang jatuh ke salju terasa menawan—
begitu menawan hingga aku ingin terus membacanya tanpa henti.

Namun di antara kalimat-kalimat itu,
ada kematian para inkarnasi yang kini terasa jauh dan kabur.

Saat semua kalimat menumpuk,
dunia akan menjadi putih sepenuhnya—
dan bersama itu, datanglah kehancuran yang murni.

Kami akan berbaring di antara kalimat-kalimat itu,
menyaksikan akhir.

Namun Giyeon menatapku.

“Hyung, kita tidak bisa hanya menonton.”

“Ini dunia yang kita ciptakan.”

Dalam Fear Realm ini,
dunia yang hyung tulis dan dunia yang kutulis saling berdampingan.

“Ah.”

“Kita menulis karakter-karakter ini dengan tangan kita sendiri.”

Aku tidak datang untuk menyaksikan kehancuran yang tenang.
Masih ada kalimat yang ingin kutulis.
Masih ada baris yang ingin kuubah.

“Ah.”

Giyeon mengangguk.
Aku menggenggam tangannya erat-erat.

“Tolong bantu aku.”

Aku tak bisa melakukannya sendiri.
Tapi jika kau menolongku,
mungkin kita bisa mengubah akhirnya.

“Ah.”

“Mari kita akhiri bersama.”

Aku mulai berjalan sambil menggendong Giyeon.

Aku tak tahu kenapa aku terjebak di padang salju ini.
Aku tak tahu kenapa [Fourth Wall] menolak panggilanku.

Namun jika seseorang memikirkanku—
jika aku bisa menggunakan [Omniscient Reader’s Viewpoint] sekali saja—
aku bisa keluar dari sini.


Apa yang akan kau lakukan kalau kau berhasil keluar?

“Aku akan menghentikan Apocalypse.”


Bagaimana caranya?

“Aku harus meyakinkan Kim Dokja kedua.”
“Aku harus memintanya menghentikan Apocalypse.”


Namun bulu kudukku meremang.
[Fourth Wall] kini telah hancur.

Jadi… siapa yang sedang berbicara denganku sekarang?


Aku menoleh perlahan—
dan melihat seorang anak laki-laki.

Dari sayapnya, debu kisah berjatuhan seperti salju.
Aromanya membuat pikiranku kabur,
seolah aku akan mabuk hanya dengan menatapnya.

Anak itu mendarat dengan lembut,
sayapnya berkilau bening seperti kaca bercahaya.


Bagaimana caranya?


Kim Dokja Kedua.
Raja Ketakutan.

863 Episode 47 King of Fear (7)

Mengapa Kim Dokja Kedua ada di sini?
Aku tak sempat berpikir lama.

‘Snowfield’ ini adalah batin Yoo Joonghyuk.
Mungkin bukan hanya Kim Dokja Snowfield, tapi semua Kim Dokja memiliki cara mereka sendiri untuk keluar-masuk ruang ini.


“Halo.”

Aku menyapanya lebih dulu.
Tentu saja aku harus menyapanya.
Dengan suara yang lembut, sopan, dan penuh kehangatan.
Karena aku tahu — “Kim Dokja Kedua” adalah sosok yang penuh kesedihan.

Tapi mengapa aku malah memikirkan hal-hal tak penting seperti ini?

Jika tidak, aku mungkin sudah gila sekarang.
Setiap pori-pori kulitku meremang, hawa dingin merayap dari tulang belakang.
Kakiku gemetar, hampir kehilangan kekuatan untuk berdiri.


Makhluk di hadapanku adalah Penguasa tertinggi dari 'Fear Realm'.


Dorongan untuk berlutut menyelubungi pikiranku.
Aku bisa merasakan ribuan makhluk kecil menggeliat di dalam lobus otakku —
keinginan untuk tunduk, bersumpah setia.

Aku akan bersumpah setia.
Kepada Raja Ketakutan yang mendefinisikan “takut”.
Yang lahir di antara celah “mengerti” dan “tak terjangkau”.
Kekasih dari keberadaan dan ketiadaan.
Kekasih dari cahaya dan kegelapan.
Dan—


Tak.

Sebuah tangan kecil menggenggam tanganku.
Aku menunduk — Giyeon menggenggam tanganku erat.

Aku menatapnya kosong, lalu membalas genggamannya.
Tubuh kecilnya bergetar, dan getaran itu berpindah padaku.
Rasa takutku… ditekan oleh ketakutannya.

“Terima kasih, Giyeon.”

Aku berbisik pelan, mengatur napas.
Lalu membuka mulut dengan hati-hati.


“Aku yakin kau sudah tahu siapa aku.”


Menatap Kim Dokja Kedua tanpa pelindung [Fourth Wall] membuatku benar-benar sadar—
betapa mustahilnya berdiri di depan seorang Transenden dengan tubuh fana.


[Exclusive Skill: Incite Lv.??? diaktifkan!]


“Aku adalah Kim Dokja termuda.”

Tubuhku perlahan berhenti bergetar.

Aku adalah Kim Dokja.
Aku adalah Kim Dokja dengan [Fourth Wall].
Tidak ada yang bisa menyakitiku di hadapanku.

Aku mengulanginya berkali-kali dalam kepala.
Dan akhirnya, pikiranku menjadi tenang.


“Oh, tentu saja kau juga Kim Dokja.
Bolehkah aku memanggilmu Hyung Kedua?”


Kim Dokja Kedua tidak menjawab.
Dan aku menyesalinya kemudian.

Sial. Seharusnya aku bertanya pada Kim Dokja Pertama dulu tentang selera Hyung Kedua ini.

Lalu — matanya berkilau, berlapis seperti mata serangga.


Bagaimana?


Bulu kudukku berdiri, tapi aku tersenyum menahan takut.

“Yang kau maksud ‘bagaimana’, apakah maksudmu ‘bagaimana aku akan meyakinkanmu untuk tidak memulai Apocalypse?’”

Kim Dokja Kedua mengangguk perlahan.
Syukurlah — komunikasi masih mungkin.
Berarti, masih ada harapan.

Aku sempat berpikir menggunakan [Incite],
tapi jika gagal dan membuatnya marah, semuanya akan berakhir.

Jadi aku memilih cara yang paling manusiawi.


“Aku akan… berbicara dengan simpati.”


Ia memiringkan kepala, tidak paham.

“Kau bilang, kau tidak suka bersedih, bukan?”


Saat aku menjadi satu dengan jiwa Cheon Inho, aku melihat segalanya.
Aku mendengar sendiri ucapan Kim Dokja Kedua:
“Aku tidak suka merasa sedih.”

Aku mengulurkan tangan, menangkap serpihan salju yang jatuh dari langit.

“Kalau kau memulai Apocalypse, kesedihan di alam semesta ini akan bertambah.”


Butiran cerita menempel di ujung jariku —
dan dari sana, terdengar suara-suara.

Suara-suara yang menjerit agar tidak dilupakan.


Kau pikir kau akan mati di sini?
Kau pikir kau akan mati di tempat seperti ini?!

Tolong… selamatkan aku!


Sebagian besar suara asing.
Tapi tidak semuanya.


Kim Dokja, di mana kau?


Suara rendah itu membuat napasku tercekat.
Pemandangan-pemandangan bermunculan di mataku tanpa aku panggil.

Cha Seongwoo.
Para Pembaca.
Kyung Sein.
Dansu ahjussi.
Ji Eunyu dan Yerin.
Gong Pildu, Ye Hyunwoo, Bang Cheolsoo.

Mereka semua berjuang di luar sana, menahan kehancuran.

Gerbang Fear Realm telah terbuka.
Mungkin Outer Gods sebesar bencana alam sudah menembus ke wilayah skenario.
Biro Manajemen mungkin bisa menunda sedikit dengan dalih “probabilitas”,
tapi itu hanya soal waktu.

Jika aku tidak bisa meyakinkan Kim Dokja Kedua sekarang —
Round ke-41 akan berakhir di sini.


“Kau sudah mengalami cukup banyak kesedihan.”
“Kau tahu juga, bukan? Kau melihat semuanya dari sini.”


Kim Dokja Kedua tetap diam.
Tapi aku bisa merasakan — ia mengerti.

“Mereka bukan <Kim Dokja’s Company> yang kau cintai. Tapi—”

Aku melihat reaksi kecil di wajahnya ketika nama itu disebut.

“Kau mencintai lebih dari sekadar <Kim Dokja’s Company>, kan?
Itu sebabnya kau menciptakan Fear Realm, bukan?”

Ia mendengarkan tanpa mengganggu.

“Kau ingin menyelamatkan semua yang terlupakan di Time Fault, bukan?”


Fear Realm adalah kesedihan besar yang dikumpulkan oleh Kim Dokja Kedua.
Dan alasan kenapa semua itu menjadi “ketakutan” jelas:

Dalam <Star Stream>, Fear adalah bahan cerita paling kuat.
Perang, kelaparan, kematian, pembunuhan —
semua adalah kisah yang abadi karena ditakuti.

Ia menjadikan kenangan yang akan hilang sebagai Fear,
agar tetap hidup dalam formalin waktu.


Segalanya layak untuk diingat.


Sayapnya bergetar pelan — tapi kalimat itu menggema kuat.


Di luar sana, para Outer God mengamuk,
melampiaskan dendam pada dunia yang telah melupakan mereka.
Mereka menjerit bahagia, bahkan jika itu berarti menjadi bagian dari Akhir.


“Tidak harus seperti ini.”
“Tidak harus diakhiri dengan kehancuran.”


Kim Dokja Kedua menggeleng pelan.
Sayapnya terbuka lebar, tubuhnya naik perlahan ke udara.

Debu bercahaya jatuh dari sayapnya,
menempel di tubuhku, menyampaikan satu kalimat.


Harus berakhir.


Mungkin itu adalah kesimpulan yang ia capai setelah melihat <Star Stream> terlalu lama.
Wajahnya dipenuhi duka.


Jika kita tidak mengakhirinya sekarang, alam semesta ini akan mengalami kesedihan yang lebih besar.


Aku tidak tahu apa yang ia maksud dengan “kesedihan yang lebih besar”.
Tapi aku ingat kata-kata Cheon Inho:

Ada hal-hal yang hanya bisa diselamatkan lewat kehancuran.

Han Sooyoung juga pernah berkata hal serupa.
Jika worldline ini tidak hancur, maka semesta lainlah yang akan binasa.

Aku mengerti alasannya — tapi tetap…


“Raja Ketakutan.
Tidak, Watcher of Light and Darkness.
Bukankah kau adalah Kim Dokja yang paling mencintai akhir yang bahagia?”


Aku menatapnya dengan tegas.

“Benarkah satu-satunya akhir dunia ini hanyalah kehancuran?”


[Story ‘Between the Lines of Truth and Lies’ bersinar terang.]


“Aku akan menghentikannya.
Dunia ini tak perlu musnah untuk menghindari kesedihan yang lebih besar.”

Kim Dokja Kedua menatapku hening.

“Seperti yang dulu kau lakukan.”


Ia — Watcher of Light and Darkness
yang pernah memilih jalan ketiga di antara kebaikan dan kejahatan mutlak.
Sosok yang menolak pilihan mana pun yang sudah ada.


“Hyung Kedua, hentikan End ini.”


Namun tak ada jawaban.
Mata majemuknya kembali bersinar,
sayapnya bergetar, debu berhamburan.

Aku tahu aku tak boleh menyentuhnya — tapi tak ada ruang untuk menghindar.

Debu itu menyelimuti pandanganku.
Dunia berputar.

Dan di hadapanku — Kim Dokja putih, berjas putih, tersenyum seperti yang kuingat.

Dikelilingi oleh orang-orang yang ia cintai.
<Kim Dokja’s Company>.


Itulah pemandangan yang ■■■ rindukan selama ini.


Benar.
Itu pemandangan yang aku inginkan.
Yang ingin kutulis dalam akhir dunia ini.
Semuanya bahagia. Semua tersenyum.


[Exclusive Skill ‘Fourth Wall’ dipulihkan!]


Aku terbatuk keras, tubuhku seperti terbakar dari dalam.
Debu keluar dari tubuhku, dan ilusi itu lenyap.


[‘Butterfly Dream’ dibatalkan!]


Sekujur tubuhku bergetar.
Kekuatan Kim Dokja Kedua terpecah,
sementara aku mendongak ke arahnya —
ia melayang tinggi, menebar debu ke langit Snowfield.

Debu itu naik ke angkasa,
seperti salju yang terbang mundur.

Dan aku sadar —

Ini adalah dunia batin Yoo Joonghyuk.
Yang kulihat di depanku hanyalah jiwa Kim Dokja Kedua.
Berarti… tubuh aslinya sedang melakukan sesuatu di luar sana.


Apa-apaan itu?


Jawabannya datang bersama badai salju.
Kegembiraan, gairah, ekstasi, semuanya bercampur.

Skenario berubah di depan mataku —
King of Fear telah melarikan diri dari Fear Realm.

Ia memperlihatkan wujudnya kepada para inkarnasi.

Mereka mendekat, tersihir.
Menghirup debu bercahaya yang ia sebarkan.

Dan—


【Ooooooooooo!】


Manusia berubah.
Menjadi makhluk ketakutan.


Jangan kena debunya! Kau akan berubah jadi monster!
Semua orang, mundur! Cepat!


Fear Realm mengembang.
Dan aku tahu — itu adalah jawabannya.


Hanya ‘Akhir’ yang bisa menyeimbangkan alam semesta ini.


Aku menarik napas dalam-dalam.
Harapanku tentang kasih sayang antar saudara…
berakhir di sini.


“Aku tahu kenapa jiwamu bersembunyi di Snowfield ini.”


Tempat ini bebas dari batas probabilitas.
Selama ia bersembunyi di sini, jiwanya aman dari guncangan luar.

“Tapi bukan hanya kau yang bisa melampaui probabilitas.”


Tentu saja, aku tak cukup kuat untuk mengalahkannya.
Tapi—aku adalah Kim Dokja.

Dan seperti semua Kim Dokja…
aku tak pernah bertarung sendirian.


[Exclusive Skill ‘Bookmark’ diaktifkan!]


Aku tak ragu.
Aku memanggil karakter yang sudah kusiapkan.
Satu-satunya yang bisa menandingi Kim Dokja… hanyalah dia.


[Waktu aktivasi: 3 menit.]
[Karakter ini tidak dapat sepenuhnya dikendalikan olehmu!]


Dia terlalu kuat bahkan untuk Snowfield ini.
Namun sedikit pemahaman yang kudapat saat di Recycling Center sudah cukup.


[Tingkat pemahaman rendah — hanya sebagian skill yang diaktifkan.]
[Level karakter terlalu tinggi untuk direplikasi sempurna.]


Aku merasakan pandangan Kim Dokja Kedua menajam.
Ia tahu siapa yang kupanggil.


Anak yang paling menghormati Kim Dokja di seluruh alam semesta ini.


Namun sudah terlambat.

Selama lawanku adalah makhluk yang disebut “serangga”—
aku takkan kalah dari Kim Dokja mana pun.


[Bookmark 3 — ‘Insect King Lee Gilyeong’ diaktifkan!]


Aku mengulurkan tangan pada Kim Dokja Kedua tanpa ragu.


[Exclusive Skill ‘Taming Lv.???’ diaktifkan!]

864 Episode 47 King of Fear (8)

Begitu aku mengaktifkan skill itu, telapak tanganku memantul keras seolah menabrak dinding listrik.


[Tidak dapat menjinakkan target!]
[Komunikasi dengan target tidak mencukupi!]
[Tingkat pemahaman terhadap target tidak mencukupi!]


Meskipun aku adalah Lee Gilyeong, yang berhasil menaklukkan Last Scenario, targetku saat ini adalah King of Fear — makhluk transenden yang kedudukannya tak dapat diukur hanya dengan pandangan sekilas.

Namun aku punya cara lain.


[Exclusive Skill, ‘Incite Lv.???’ diaktifkan!]


Incite yang telah diasah hingga batasnya selama 40 ‘Time Fault’.

Aku menambahkan kekuatan dari [Strengthening Sentences].


Aku adalah Lee Gilyeong.


Suara yang semula bergetar samar di kepalaku kini menjadi jelas, bergetar seperti sayap serangga di udara.


Aku akan menyelamatkanmu, Dokja-hyung!
Aku tidak akan menyerah kepada siapa pun. Tidak pada bajingan hitam itu, tidak pada Shin Yoosoung.
Aku akan menjadi kuat — sampai tak ada satu pun serangga di dunia ini yang tak bisa kutaklukkan.
Aku akan menjinakkannya… dan menjinakkannya lagi.


Setiap kalimat itu memunculkan potongan-potongan kenangan di benakku:

Bayangan Gilyeong kecil yang berkali-kali mengaktifkan [Tame] tanpa peduli pada level lawan,
saat ia bertarung melawan Raja Serangga yang cakar dan taringnya menembus tubuhnya,
namun tetap menggenggam tanah — tak menyerah.

Menjinakkan sesuatu berarti begitu.
Mengulurkan tangan meski tahu kau akan terluka.
Menerima kalimat orang lain dan menuliskannya di antara baris hidupmu sendiri.

Lee Gilyeong telah menjalani hidup seperti itu —
semata-mata untuk merebut kembali satu orang.


[Efek dari Exclusive Skill ‘Incite’ memengaruhi Exclusive Skill ‘Bookmark’.]
[Skill tambahan diaktifkan!]

[Exclusive Skill, ‘Advanced Multi-species Interaction Lv.???’ diaktifkan!]


Advanced Multi-species Interaction. Teknik penjinakan yang meningkatkan peluang keberhasilan dengan berinteraksi langsung pada tingkat emosi target. 」


Begitu benang emas mengalir dari ujung jariku dan menyentuh Kim Dokja Kedua, seluruh Fear Realm meraung bagai makhluk hidup.


Alam semesta… terhubung.


Ada seorang anak laki-laki.
Anak yang menyukai membaca.

Ia terutama menyukai novel — dan dari semua yang ia baca,
yang paling ia sayangi adalah kisah seorang Regressor.


Aku adalah Yoo Joonghyuk.


Anak itu menyukai kalimat itu.
Sebuah kalimat sederhana, namun penuh kebanggaan.
Seseorang yang dapat menyebut namanya kapan pun, di mana pun,
tanpa rasa malu.

Anak itu mengagumi tokoh utama yang hidup dengan bangga seperti itu.


“Bukankah itu cuma bohong belaka?”

Itulah komentar temannya ketika melihat buku yang sedang dibacanya.

“Itu cuma fiksi. Tak benar-benar ada.”

Anak itu diam-diam menyetujui.

“Ya… mungkin begitu.”

Semua orang tahu novel hanyalah fiksi.
Namun pembaca yang membacanya —
adalah manusia sungguhan.


Ia masih ingat dengan jelas.
Jendela rumah sakit yang terbuka lebar.
Sensasi gravitasi menghilang di bawah kakinya.
Saat pertama kali ia mengetik “Ways of Survival” di komputer tua.
Dan membaca kalimat pertama tanpa sadar.


“Tapi ini menyenangkan.”


Satu-satunya alasan ia bisa mengucapkannya —
karena cerita itu menyelamatkan hidupnya yang membosankan.


“Aku bahkan tak perlu lihat untuk tahu,” kata temannya, mendorong kacamatanya naik.
“Ini pasti cerita tentang tokoh utama terpilih yang terus untung dan makin hebat.”

Anak itu ingin membantah —
ingin berkata bahwa Yoo Joonghyuk bukan pahlawan beruntung.
Tapi ia tak bisa. Karena… ia bukan Yoo Joonghyuk.


“Apa serunya cerita tentang pahlawan yang selalu berhasil?”

Ia ingin berkata — pahlawan ini tidak selalu berhasil.
Tapi sekali lagi, ia hanya bisa menjawab pelan:

“Aku menikmatinya.”
“Kenapa?”
“Karena aku bukan tokoh utama.”


Saat membaca, ia menemukan banyak karakter seperti dirinya.


Kapten, aku juga ingin jadi sepertimu.
Tapi aku tidak bisa. Meski sudah berusaha mati-matian, aku tetap bukan dirimu.
Kalau kau kembali di Round berikutnya… cobalah lagi, mungkin suatu hari kau bisa.


Mereka bukan protagonis.
Namun mereka hidup dengan sepenuh hati.
Dari karakter penting hingga figuran tanpa nama.


Aku ingin membantumu, setidaknya sekali.


Banyak karakter yang berkata begitu… lalu mati.


Akan kubunuh kau.


Ia menyukai mereka semua seperti ia menyukai tokoh utama.
Dan karena itu, Ways of Survival — yang panjang dan berliku —
adalah anugerah baginya.


Lalu ia mulai membaca novel lain.
Salah satunya tentang seorang pria yang membenci regresi hingga mati karenanya.
Tapi cerita itu… sangat singkat.


Semua cerita pada akhirnya akan berakhir.


Kesadaran itu membuatnya takut.
Novel yang ia cintai suatu hari akan selesai.
Ia tahu, tapi menolak menerimanya.

Bayangan tokoh-tokoh yang ia cintai mati satu per satu menghantuinya.


Bagaimana kalau Ways of Survival juga berakhir seperti itu?


Ia membayangkan:
Apakah penjahat akan menerima hukumannya?
Apakah pendukung akan menemukan tempat mereka?
Apakah Yoo Joonghyuk akan tahu siapa dirinya?

Akankah mereka semua bahagia?
Dan… akankah aku bahagia setelah melihatnya?


Lalu ia sadar —
mungkin tidak ada yang disebut akhir bahagia.

Bahagia adalah ilusi.
Pada akhirnya, semua cerita berakhir dalam tragedi.


Andai saja cerita ini tidak berakhir.


Tak apa kalau hari ini menyedihkan.
Tak apa kalau besok pun menyedihkan.
Asalkan kesedihan itu bisa menunda “akhir.”

Jika ia bisa hidup selamanya…
bermimpi tentang akhir bahagia yang takkan datang.


[‘King of Fear’ mulai bermimpi.]


Dari sanalah Time Fault pertama lahir.
Kemampuan untuk mengikat koordinat kisah dan menjadikannya kekal.
Menumpuk cerita yang terlupakan —
membangun gudang bagi kisah yang seharusnya hilang.


Fear Realm berasal dari mimpi Kim Dokja itu.


Kim Dokja Kedua mengumpulkan kisah demi kisah,
mengabaikan peperangan para “saudaranya”,
bersembunyi di Time Fault
untuk menyimpan kesedihan dunia.

Dan di sisinya… berdirilah seorang petarung.


[“Jadi kau di sini, Kim Dokja.”]


Petarung itu mengenalinya seketika.
Dan Kim Dokja Kedua pun tahu siapa dia.


“Bisakah kau melindungiku?”
[Sampai kapan?]
“Sampai aku bisa memikirkan akhir bahagia.”
[Baik. Kalau kau menemukannya, beri tahu aku. Aku juga ingin menulisnya di ‘dinding’.]


Hari demi hari, Kim Dokja Kedua menatap kisah-kisah yang lenyap.
Ia ingin menulis akhir bahagia bagi semuanya.
Namun semakin banyak cerita dikumpulkan…
akhir bahagia itu tak pernah datang.


Suatu hari, seseorang datang menemuinya.
Pria bermata sipit dengan senyum menyeringai.


Tentu saja tak mungkin semua orang bahagia.
‘Kenapa?’
Karena selama ada ‘tokoh utama’.


“Tokoh utama?”

Ya. Semua ini dimulai karena ada tokoh utama. Karena dia, seseorang harus mati. Karena dia, seseorang menjadi figuran. Karena dia… bahkan saudara-saudaramu saling bertarung.


Kesedihan mengalir dari matanya.
Mengapa harus ada tokoh utama?
Mengapa dunia perlu dibagi antara yang utama dan yang bukan?
Namun mengapa ia masih menyukai cerita ini?


Ada cara agar kau tak sedih lagi.
‘Bagaimana?’
Tutup bukunya.


Menutup buku.
Membekukan seluruh <Star Stream> menjadi Fear.
Mengabadikan alam semesta dalam mimpi.


Dengan begitu, dunia ini akan berhenti. Selamanya.


Kim Dokja Kedua berpikir sejenak, lalu tersenyum.

“Kalau ceritanya berhenti, tak akan ada tokoh utama lagi.”
Benar.
“Maka saudara-saudaraku pun tak akan bertarung.”
Benar.
“Baiklah. Aku akan melakukannya.”


Petarung itu menatapnya lama.

[Kim Dokja. Benarkah itu yang kau inginkan?]

Saat Kim Dokja Kedua mengangguk, petarung itu menjawab lembut:

[Baik. Aku mengerti.]


Lalu terdengar suara —
suara buku ditutup.


Aku tersentak. Tubuhku terlempar ke udara.
Semuanya terjadi cepat,
namun rasanya aku baru saja menyaksikan seluruh kehidupannya.

Darah mengalir dari bibirku.
Pesan baru muncul.


[Exclusive Skill ‘Taming Lv.???’ gagal.]


Menjinakkan seseorang berarti berbagi emosinya.
Berbagi kesedihan, kebahagiaan, keputusasaan, dan ketakutannya.

Tapi makhluk yang ingin kujangkau adalah Raja Ketakutan itu sendiri.
Makhluk yang menimbun emosi selama ribuan tahun.


[Exclusive Skill ‘Multi-Cultural Communication Lv.???’ diaktifkan!]


Sakitnya seperti otakku diremas oleh dua tangan besar.
Hanya terhubung saja sudah cukup untuk membuatku gila.
Kesadaranku perlahan hancur.


[Exclusive Skill ‘Fourth Wall’ aktif dengan kekuatan penuh!]


Sadarlah!

Suara Kim Dokja Pertama — Demon King of Salvation.


Jika kau jatuh di sini, semuanya berakhir, Youngest!


Aku tahu. Tapi aku tak punya pilihan.
Bahkan kartu trufku — Insect King Lee Gilyeong — tak bisa menahan ini.

Jika terus begini, seluruh worldline akan menjadi Fear.


“Aku mengerti perasaanmu.”


Sekarang aku tahu kenapa Kim Dokja Kedua menciptakan Fear Realm.
Tapi… ini bukan jalan yang benar.

Ia ingin menjadikan seluruh <Star Stream> sebagai Fear Realm.
Jika itu terjadi, tidak akan ada lagi tokoh utama.
Aku, Yoo Joonghyuk, semua orang — akan menjadi bagian dari Fear,
dikurung selamanya sebagai legenda beku di dalam Time Fault.

Pertarungan akan berhenti.
Tapi cerita juga akan berhenti.


“Kau menyukai cerita ini, bukan?”


Kim Dokja Kedua terdiam.

“Kau hidup karena cerita ini.
Kau tahu juga — ini bukan kisah sang tokoh utama saja.
Cerita ini…”


Cerita ini untuk seorang pembaca.


“Kita menulisnya bersama.”


Tokoh utama tidak lahir sebagai tokoh utama.
Hanya ketika ada pembaca yang menatapnya,
yang ingin menjadi sepertinya —
barulah ia menjadi tokoh utama.


Mungkin karena efek [Advanced Multi-species Communication],
aku merasa tatapan Kim Dokja Kedua mulai melembut.

Lalu suaranya bergema di kepalaku.


Jika cerita ini berlanjut, salah satu dari kita harus menjadi ‘Tokoh Utama’.


Aku tak bisa menyangkal.
Karena aku tahu itu benar.
Jika dunia ini terus berjalan,
Kim Dokja harus membunuh Kim Dokja.


[Story ‘Heir of the Eternal Name’ bergetar.]


“Aku mencoba menghentikan cerita itu,” kata Kim Dokja Kedua.


Dan sejenak… aku hampir mempercayainya.
Mungkin benar.
Mungkin lebih baik semuanya berubah menjadi Fear.
Apa gunanya melanjutkan cerita yang penuh penderitaan ini?


Namun kemudian —


Kau pikir cerita akan berhenti hanya karena bukunya ditutup?


Suaranya datang dari belakangku.
Dingin. Tajam.

Udara bergetar oleh energi Baekcheong yang mengiris ruang.


Segalanya sudah tertulis… dan masih terus ditulis pada saat yang sama.


Jubah putih berayun di udara.
Pedang itu menggambar lintasan indah,
dan dalam sekejap, lengan King of Fear terbang di udara.


‘Blade of Faith’ bersinar putih menyilaukan.

Menyusuri salju hitam yang kini tertimpa cahaya,
Snowfield Kim Dokja menatapku dan tersenyum ringan.


Ceritanya belum berakhir.

865 Episode 47 King of Fear (9)

Selama ini, sudah ada tiga Kim Dokja yang kutemui.


Pertama, Demon King of Salvation.
Sponsor yang membuat kontrak denganku — dan sekarang, Hyung Pertamaku, yang membantuku dari dalam [Fourth Wall].

Kedua, King of Fear.
Penguasa Fear Realm, pencipta Time Fault, dan Hyung Kedua-ku yang berusaha mengubah seluruh <Star Stream> menjadi dunia ketakutan.

Ketiga, Kim Dokja dari Snowfield.
Kim Dokja pertama yang kutemui.
Yang menemaniku minum teh di padang salju putih itu.
Satu-satunya yang tidak memiliki “modifier.”
Dia bukan yang Pertama, bukan yang Kedua, dan bukan “yang Ketiga” — yang belum muncul saat itu.

Aku tahu siapa dia.

Kim Dokja 49%.’

Kim Dokja yang terpecah bersama saat Oldest Dream hancur menjadi serpihan—sama sepertiku.
Bedanya, dia jatuh ke Snowfield, bukan ke Bumi, dan dibesarkan oleh Cheon Inho di sana.

Lewat Cheon Inho, ia mungkin menambah jumlah total “serpihan Kim Dokja,” hingga akhirnya memperoleh kekuatan yang cukup untuk mengancam tubuh utamanya.

Benar—Kim Dokja di depanku sekarang adalah—


「 Sudah lama sekali. 」


Dialah yang telah mengoyak tubuh utama Kim Dokja dan menciptakan “saudara-saudara Kim Dokja” yang ada sekarang.


“Kau—”


Suara yang keluar dari mulutku bergetar. Entah kenapa, suasananya berbeda dari saat terakhir aku bertemu dengannya.
Senyumnya—yang dulu tampak redup dan sendu—kini terasa lebih gelap.


「 Akhirnya kau sampai sejauh ini, ■■. 」


Dari pedang Unbreakable Faith di tangannya, jatuh kisah-kisah hitam legam — kisah milik King of Fear.

Mengabaikan jeritan kisah-kisah itu, ia membuka mulutnya lagi.


「 Kau kehilangan namamu. 」


Snowfield Kim Dokja tersenyum pahit, seolah sudah tahu semuanya.


「 Sudah kubilang, bukan? Ceritakan kisah yang ingin kau ceritakan. 」


“…”


「 Kalau saja kau melakukannya, kau tidak akan kehilangan namamu. 」


Kisah yang ingin kuceritakan…

Kata-kata itu menimbulkan rasa mual di dadaku.
Apa sebenarnya kisah yang kuinginkan?
Kisah seperti apa yang seharusnya kuceritakan agar tidak kehilangan namaku?


「 Yah, tidak penting. Kau juga ingin menjadi ‘Kim Dokja’, bukan? 」


Snowfield Kim Dokja membalikkan badan.
Dari jauh, King of Fear menatap kami.
Entah sejak kapan, lengannya yang sempat terputus kini telah tumbuh kembali.

Aku menggertakkan gigi dan berdiri.

Aku tak tahu kenapa Snowfield Kim Dokja muncul di sini—
tapi naluriku menolak keras kehadirannya.
Aku tidak boleh membiarkannya begitu saja.


“Untuk apa kau datang ke sini?”


Aura berbeda mulai mengalir dari tubuh King of Fear.
Ketakutan menelan udara, menutupi seluruh Snowfield.

Dan Snowfield Kim Dokja pun menanggapi dengan kekuatan setara—
kisah agung yang belum pernah kulihat sebelumnya.


「 ■■-ah. 」


Namaku… terdistorsi. Tak bisa kudengar.
Namun aku tahu—ia sedang memanggilku.


「 Aku datang untuk menyelamatkanmu. 」


Dilihat dari keadaannya, kata-katanya benar.
Tapi senyum di wajahnya membuatku merinding.


[Exclusive Skill, ‘Fourth Wall’, bergetar.]


Fourth Wall berguncang keras, seolah memperingatkanku.
Kemarahan Kim Dokja Pertama terasa membara di balik dinding itu.


Snowfield Kim Dokja bertanya lagi dengan nada tenang, seolah tak peduli pada kekacauan dalam diriku.


「 Kalau kita tidak menghentikan orang itu, worldline ini akan hancur. Kau mau itu terjadi? 」


Aku menggeleng. Tentu saja tidak.
Aku juga ingin melindungi dunia ini.


「 Kalau begitu, mundurlah. Aku akan menanganinya. 」


Aku tak mundur.
Entah kenapa, aku tahu — aku tidak boleh membiarkannya sendirian.


“Kau ingin menyerap ‘King of Fear’, kan?”


Snowfield Kim Dokja menatapku datar, lalu balik bertanya tanpa ekspresi.


「 Memangnya salah? 」


Melihat wajahnya—yang begitu mirip denganku—hatiku mencelos.


「 Kau juga sudah menyerap ‘Demon King of Salvation’, bukan? 」


“Aku tidak menyerapnya.”


「 Oh? Jadi dia tinggal di dalam [Fourth Wall] atas kemauannya sendiri? 」


Snowfield Kim Dokja tersenyum samar, lalu mengulurkan tangan ke arahku.
Begitu ujung jarinya menyentuh pipiku—


Zzzzt!


Cahaya menyambar di antara kami.


[Exclusive Skill ‘Fourth Wall’ aktif dengan kekuatan penuh!]


Snowfield Kim Dokja menatapku dengan senyum tipis khasnya.


「 Sampai kapan kau bisa bertahan dengan trik itu? 」


“…”


「 Cepat atau lambat, Kim Dokja akan bersatu kembali. Karena <Star Stream> menginginkannya. 」


Suaranya terasa asing.
Apakah dia memang selalu seperti ini?
Atau sesuatu telah mengubahnya?
Ataukah aku yang selama ini salah melihatnya?


“Kalau akhirnya akan seperti ini, kenapa dulu kau menyuruhku menceritakan ‘kisahku sendiri’?”


Dulu aku percaya padanya.
Kupikir dia akan selalu berada di pihakku.
Dia orang pertama yang menyuruhku menulis kisahku sendiri.


「 Tapi pada akhirnya, kau tidak melakukannya. 」


Saat mendengar itu, aku tahu—
itulah yang mengubahnya.


「 Kau gagal menulis kisahmu dengan benar. Kau gagal jadi apa pun. Dan akhirnya, kau menjadi ‘Kim Dokja biasa’. 」


Kim Dokja biasa.


「 Karena itu, aku yang akan melakukannya. 」


Mungkin akulah yang mengubahnya.
Mungkin dia hasil dari kisah yang kubentuk.


「 Aku adalah dirimu. 」


Untuk pertama kalinya, senyumnya tidak terasa indah.


「 Kau hanya berdiri di sana, menonton. Seperti selalu. Hingga Round ini berakhir. 」


Aku menatap punggungnya yang menjauh—
jubah putih berkibar di angin dingin,
punggung yang seolah memang diciptakan untuk mengenakan jas itu.


Akhirnya, ini memang kisah tentang tokoh utama.
Dan mungkin, dalam perang antar Kim Dokja ini…
aku bukan tokoh utamanya.


Snowfield Kim Dokja menoleh pada King of Fear.


「 Tak perlu bicara panjang. 」


[The Story, ‘Wanderer of the Snowfield’, begins its storytelling.]


Wanderer of the Snowfield.
Sebuah kisah yang tak pernah muncul di naskah utama.


[The Story, ‘Master of Fear’, howls!]


Kedua kisah itu bertubrukan.
Raungan mereka menggema menembus salju,
dan seketika—jejak kaki Snowfield Kim Dokja menghilang.

Ledakan besar mengguncang seluruh padang salju.

Snowfield Kim Dokja, diliputi Baekcheong-ganggi, menyerbu King of Fear.
Pedang putihnya menebas cepat—jernih, nyaris secepat [Instant Kill] milik Lee Jihye.
Full Electrification menyala tanpa henti, menyulut dentuman api di udara.


Namun King of Fear membalas.
Sayap hitamnya terbentang,
dan dari setiap helai debu yang jatuh lahir pusaran kegelapan—
membentuk portal raksasa.


【Ooooooooooo!】


Dari balik portal, tentakel raksasa merobek langit.
Aku tahu siapa yang datang.


「 Menarik. 」


Outer Gods of Natural Disasters — termasuk Dream Eater
menyeberang portal untuk menolong King of Fear.


「 Kekuatan ini… benar-benar tak seperti Kim Dokja. 」


Snowfield Kim Dokja mengaktifkan [Baekcheong-ganggi] sekali lagi.
Kali ini, kekuatannya tak bisa dibandingkan dengan milikku.

Blade of Faith yang berkilauan—puluhan kali lebih panjang—
menebas kaki Dream Eater hingga menciprati darah hitam.


【Ooooooooooo!】


Saat Dream Eater meraung,
para Outer Gods lain—dari tingkat Disaster hingga Catastrophe
menyusul keluar.

Mereka adalah Dewa-dewa Dunia Lain,
yang hidup dari ketakutan di bawah King of Fear.

Namun Snowfield Kim Dokja tidak ragu.
Ia menebas semuanya.
Tubuh para Outer Gods terbelah, menumpuk di atas salju seperti gunung.


Mereka berbisik dengan suara yang mengerikan.


「 Aku tidak suka. 」
「 Aku tidak suka aku tidak suka aku tidak suka aku tidak suka aku tidak suka aku tidak suka aku tidak suka—! 」


Kematian menyebar.

Aku menerobos di antara jasad para Outer Gods,
namun kisah-kisah hitam yang tumpah dari udara menutup pandangan.
Mereka sudah berada di alam lain —
terlalu jauh untuk kusentuh.

Satu ingin menghancurkan worldline.
Yang lain berusaha menyelamatkannya.

Lalu, di sisi mana aku berdiri?


[The Story, ‘Heir of the Eternal Name’, growls.]


Kalau bukan keduanya—
maka di manakah tempatku berada?


「 Ceritakan kisahmu. 」


Kata-kata yang dulu diucapkannya bergema lagi.
Dan aku tahu—
inilah saatnya aku menulis kisahku sendiri.

Seseorang menggenggam tanganku erat.
Giyeon-hyung.
Tubuh kecilnya berkilau terang.

Dari [Fourth Wall], kenangan Giyeon mengalir padaku.


Menulis cerita yang menarik berarti melindungi kedamaian dunia.


Ya.


Kalau semua orang sibuk membaca ceritaku, mereka takkan sempat bertarung.


Aku mengangguk tanpa sadar.
Satu langkah.
Lalu langkah berikutnya.

Langkahku mungkin tak sehebat Dokja lainnya.
Tapi aku tetap berjalan.


“Kalau punya mulut, maka bicaralah.
Kalau punya telinga, maka dengarkan.”


Masih ada kisah menarik di kepalaku.
Kisah itu belum berakhir.


“Jadi dengarkan aku.”


Masih ada akhir yang harus kutulis.
Masih ada hutang yang harus kubayar.
Masih ada kalimat yang harus kutemukan.

Untuk menulisnya—aku berteriak:


“Jangan bertarung, dasar bajingan!”


Ruang di antara baris-baris itu masih kosong.


[The Story, ‘Way of the Wind’, begins its storytelling!]


Mereka bukan satu-satunya yang bebas dari batas probabilitas di sini.
Aku juga sama.

Mungkin aku tak sekuat mereka.
Tapi aku juga Kim Dokja.
Dan aku bisa bertarung dengan caraku sendiri.


“Kuh bilang berhenti!”


[Exclusive Skill, ‘Incite Lv.???’, diaktifkan!]


Bahkan dengan level tertinggi, Incite tidak bisa menghentikan mereka.
Aku berpikir keras.
Kalimat seperti apa yang bisa menghentikan dua monster itu walau sesaat?

Lalu aku tahu.
Kata yang paling tajam bagi kami semua.


[Exclusive Skill, ‘Incite Lv.???’, aktif dengan kekuatan penuh!]


Aku melompat melewati bangkai Outer Gods,
terbang di udara, lalu berteriak:


“Kalian—”


Kalimatku mungkin bukan kebenaran.
Tapi kalau bisa membuat mereka berhenti sejenak—


“Kalian itu… bukan Kim Dokja!”


Tsutsutsutsu!

Cahaya meloncat di udara.
Kedua Kim Dokja yang tak pernah menoleh sejak tadi
mendadak berhenti—menatapku bersamaan.

Hening menyelimuti medan perang.
Mereka tak bicara, tapi tatapan mereka berkata:


「 Apa yang baru saja kau katakan? 」


Aku tertawa kaku, menyembunyikan rasa takutku.


“Kalian penasaran, kan?”
“Sialan, kalian ini benar-benar saudara yang menyebalkan.”


Kenapa kata-kataku—yang bahkan bukan kebenaran—
bisa menghentikan kalian sesaat?

Mungkin karena aku iri.

Iri pada kalian, yang tak pernah meragukan bahwa kalian adalah Kim Dokja.
Sementara aku… selalu berlari mengejar bayangan itu.

Namun justru karena aku bukan mereka—
ada hal yang bisa kulakukan.


Aku berdiri di antara keduanya, mengulurkan tangan.


“Kalian juga tahu, kan?
Kalau itu benar-benar Kim Dokja,
dia tidak akan bertindak seperti ini.”


Begitu kalimat itu keluar, badai kisah menyapu tubuh keduanya.
Mereka tak peduli aku ada di tengah.
Apakah aku hancur atau tidak.

Aku mendengus.
“Tentu saja kalian bereaksi begitu.”


Tapi ada hal yang tidak mereka tahu.


“Kalian yang mencari Ketakutan Lama itu…”


Aku menatap mereka berdua.


“Mulai sekarang, bukan aku yang akan berdiri di antara kalian.”


Tanganku mengepal.


“Aku akan menunaikan catatan janji kita — di sini dan sekarang.”


Kartu truf terakhirku.
Yang seharusnya tidak kugunakan kecuali terpaksa.

Tapi sekarang—tidak ada pilihan lain.
Di satu sisi, [Baekcheong-ganggi] sebesar rumah mendekat,
dan di sisi lain, gelombang sihir para Outer Gods mengamuk.


Cahaya menjulang dari tengah Snowfield.


【Ahahahaha! Akhirnya kau menepati janjimu padaku!】


Asmodeus muncul —
mengenakan gaun gotik hitam, diselimuti cahaya biru yang memesona.


[Recorder of Fear ‘Demon King of the Cinema’ setuju dengan kontrakmu.]


Sesaat kemudian, ia menatap medan perang dan berteriak—


【Sialan, Kim Dokja!!】


Dan ledakan besar mengguncang seluruh dunia.

866 Episode 47 King of Fear (10)

【Kuaaaaat—!】

Bersamaan dengan jeritan Asmodeus, suara ledakan memekakkan telinga mengguncang udara.

Aku menunduk, menahan hembusan angin ledakan, lalu menangkap pergelangan tangan makhluk sialan yang mencoba kabur.


【Lepaskan! Sialan kau!】


Asmodeus berusaha melepaskan diri, tapi ia tahu sudah terlambat. Tubuhnya mulai bergetar, lalu cahaya biru pekat meledak dari seluruh tubuhnya.

Sebuah kisah mulai mengalir.


[The Story, ‘False Demon’s Banquet’, begins its storytelling.]


Itu adalah cerita yang pernah kubaca di Ways of Survival.


False Demon’s Banquet.


Kisah ini memiliki karakteristik yang unik — efeknya akan di-reset setiap kali bulan purnama terbit.
Isi efeknya sederhana namun menakjubkan.


Ubah semua serangan yang mengarah padamu selama satu menit menjadi kembang api perjamuan.


Awalnya ini adalah teknik milik Raja Iblis berpangkat tertinggi, Ruler of Eastern Hell, Agares. Tapi entah bagaimana, Asmodeus kini yang mewarisinya.

Cahaya biru yang meledak di udara berubah menjadi kembang api yang berkilau indah, menari di langit putih Snowfield.
Badai api dan salju berpadu, mewarnai malam beku itu dengan merah dan biru.


【Kim Dokja.】


Dari tengah hujan kembang api itu, Asmodeus menatapku tajam.


【Kenapa kau memanggilku dalam situasi seperti ini?】


Aku terkekeh, masih menggenggam pergelangan tangannya erat.


“Bukankah kau sendiri yang memintaku memanggilmu kalau aku bertemu dengan King of Fear?”


Beberapa waktu lalu, di Recorder’s Room, aku dan Asmodeus sempat membuat perjanjian.
Sebagai ganti bantuannya untuk mengembalikan saudaraku, aku berjanji satu hal sederhana:

Jika aku bertemu King of Fear, aku akan memanggilnya.

Aku hanya menepati janji itu.


【Tapi bukan cuma King of Fear yang ada di sini!】


Asmodeus melirik ke sekeliling dengan mata merah menyala.
Di satu sisi, berdiri Kim Dokja dari Snowfield dengan hawa dingin membeku.
Di sisi lain, King of Fear memancarkan aura gelap yang tak terbaca.


[The Story, ‘False Demon’s Banquet’, stammers its storytelling.]


Percikan api beterbangan, cahaya dari kisah itu mulai melemah.
Wajar saja.
Kedua Kim Dokja itu adalah makhluk transenden di level tertinggi.
Bahkan Constellation kelas Myth pun tidak akan mampu menahan mereka di tempat seperti ini.

Berapa banyak probabilitas yang dibutuhkan untuk mengubah serangan dua monster itu menjadi kembang api? Aku tak bisa membayangkannya.


“Tolong hentikan mereka. Kau bisa, bukan?”


【Untuk apa aku harus melakukannya?】


“Kalau kau tidak hentikan, rencanamu sendiri akan hancur.”


Aku tidak tahu apa rencana pastinya, tapi Asmodeus pasti berniat menantang King of Fear secara langsung dan merebut kekuatannya.
Namun menghadapi dua Kim Dokja sekaligus? Itu bunuh diri, bahkan untuk iblis sepertinya.

Ia mendesah pelan dan tersenyum miring.


【Kau benar-benar penjudi sejati, Kim Dokja.】


Tatapannya beralih dari King of Fear ke Snowfield Kim Dokja.


【Memang benar, kalau dua “fragmen besar” itu bersatu, posisiku akan jadi… agak rumit.】


“Jadi, kau akan menghentikan mereka?”


【Aku tak bisa menahan mereka lama. Bahkan di ruang ini.】


Kembang api mulai padam satu per satu, warnanya redup.
Bahkan Asmodeus pun tampak tertekan oleh kekuatan yang mengamuk di sekeliling kami.


“Bagaimana kalau kau meminjam kekuatan para kkoma Kim Dokja di teater?”


【Hah! Kau pikir mudah membuat semua kkoma Kim Dokja membayangkan hal yang sama?】


Aku bisa merasakan aliran probabilitas menggila di tubuhnya — artinya kekuatan anak-anak Kim Dokja kecil itu sudah ia gunakan sejak tadi.


【Kalau saja kau menyerahkan [Fourth Wall] padaku, mungkin lain cerita.】


Kami saling menatap — lalu sama-sama tertawa getir.
Keduanya tahu, kesepakatan itu mustahil.

Akhirnya, Asmodeuslah yang melangkah mundur lebih dulu.


【Aku hanya bisa menahan mereka sebentar.】


“Sebentar itu… berapa lama?”


【Lima menit. Lebih dari itu, mustahil. Jadi—】


Suara probabilitas meledak di udara.
Kembang api menghilang, dan dua badai kisah dari arah berlawanan menghantam kami sekaligus.

Asmodeus menendang dadaku dan berteriak.


【Gunakan otakmu itu sebaik mungkin!】


Tubuhku terhempas, tertimbun di salju.
Saat aku berusaha bangkit, bayangan hitam muncul di langit.


【Baiklah semua, waktunya intermission.】


Langit mendadak berubah pekat seperti layar bioskop saat lampu dimatikan.
Sebuah benda hitam berbentuk heksagonal raksasa muncul, menelan segala cahaya.


[The Story, ‘Silver Screen Seal’, begins its storytelling.]


Asmodeus, Snowfield Kim Dokja, dan King of Fear lenyap dari pandangan — tertelan ke dalam segel hitam itu.
Bentuknya mengingatkanku pada Seal of the Apocalypse.

Apakah ini teknik putus asa Asmodeus untuk membeli waktu lima menit?

Sementara para Outer Gods meraung seperti kucing kehilangan tuannya, aku berusaha berpikir keras.
Bagaimana caranya memanfaatkan waktu ini sebaik mungkin?

Ini adalah Snowfield.
Semua sumber dayaku bisa kugunakan di sini.

Tapi tanpa efek [Incite], apa yang bisa kulakukan?
Aku sempat berpikir meminjam kekuatan Kim Dokja Pertama, Demon King of Salvation — tapi tak ada respons.
Mungkin komunikasi lewat [Fourth Wall] terganggu.

Berarti sudah waktunya membuka kartu terakhirku.

Aku menarik napas dalam dan membuka jendela sistem.


[Apakah Anda ingin menggunakan item ‘Story Fragment Selection Ticket’?]


“Gunakan.”


Tiket Pemilihan Fragmen Cerita.
Hadiah yang kudapat ketika berhasil menafsirkan Fear of Subway Home di Transcendent Alliance.

Memang, hanya “Fragmen Cerita,” bukan “Cerita” utuh — tapi dalam situasi ini, aku tidak bisa terlalu memilih.


[Mencetak daftar Fragmen Cerita yang tersedia.]

  1. Hubungan Antara Tangan dan Kaki

  2. Teman dari Batu Kecil

  3. Tulang yang Dibuang Raja Iblis Setelah Makan

  4. Sepotong Cahaya Bintang di Dalam Air

  5. Pangsit yang Ditinggalkan Seseorang


Aku terus menggulir daftar, tapi tak ada satu pun yang terlihat berguna.
Semua hanya fragmen-fragmen kecil, tak lebih dari sisa cerita tak penting.

Namun aku tak menyerah.

Berapa halaman yang kulalui—
akhirnya, satu judul membuatku berhenti.


“Aku pilih nomor 214.”


[Diperoleh Fragmen Cerita ‘Graffiti on the Wall’.]


Graffiti on the Wall.
Sekilas, kedengarannya tidak berarti apa-apa. Tapi… aku tahu cerita ini.

Cerita ini berhubungan dengan dia.


[Story Fragment ‘Graffiti on the Wall’ begins its storytelling.]


Bagaikan korek api menyala di tengah salju, cerita itu dimulai lembut.


Akan sangat menyedihkan kalau aku sudah bercerita, tapi tak ada yang mengerti. Semua orang punya dindingnya sendiri… komunikasi itu mustahil, kan?

Tapi tetap saja, kita harus bicara. Karena pasti ada seseorang di balik dinding itu.


Para Outer Gods di sekitar mulai mendekat perlahan, terpikat oleh cahaya kisah itu.


Kalau ada dinding, apa yang bisa dibicarakan?
Tulislah di dinding itu.


Aku ikut menatap kisah itu di antara mereka.
Bukan kisah yang pernah kujalani, tapi entah kenapa terasa hangat dan familiar.
Mungkin karena aku juga… menulis sebagian hidupku di atas “dinding.”

Akhirnya, seperti percakapan hari itu, kisah itu berhenti,
menjadi cerita abadi yang kini sedang dibaca oleh seseorang.


“Aku tahu kau di sana.”


Begitu aku berucap, ruang di belakangku bergelombang—
dan dari kegelapan, seseorang muncul.

Bayangan tinggi dengan mata berkilau sedih.

Sang penjaga King of Fear.


King of Transcendents.


Itu julukannya.
Inkarna paling sempurna di dunia ini.
Seseorang yang lahir dari komentar Kim Dokja.


“Jang Hayoung.”


Bayangan itu berubah.
Rambutnya berkilau emas, melambai bagai tirai cahaya.

Namun tak ada waktu untuk kagum.
Suaranya terdengar tajam.


[Bagaimana kau bisa punya cerita itu?]


“Karena aku juga Kim Dokja.”


Aku yakin ini bukan kebetulan.
Seperti yang dikatakan Snowfield Kim Dokja — semua fragmen Kim Dokja saling menarik satu sama lain.
Jadi, fragmen ini pun pasti tertarik padaku.


“Mau kulihatkan lebih jauh?”


[…Ya.]


Kami mendengarkan cerita itu bersama.
Fragmen itu hanya berisi percakapan singkat—


Orang di balik dinding itu tidak akan tahu apa yang terjadi di sisimu, kan?

Setidaknya dinding itu sudah berubah. Mungkin, suatu hari nanti, seseorang akan membacanya.


Gambaran restoran, udara hari itu—
semuanya samar seperti musik kotak yang hampir rusak.
Kisah itu padam perlahan, meninggalkan aroma nostalgia.


[Sekali lagi.]


Aku mengaktifkan fragmen itu kembali.
Cerita itu berbicara, kami mendengarkan.
Setelah beberapa saat—padam lagi.


[Sekali lagi.]


“Tidak.”


[Kenapa?]


“Kita tidak punya waktu.
Tapi kalau kau mau menuruti satu permintaanku, aku akan memutarnya sebanyak yang kau mau.”


Jang Hayoung menatapku, matanya penuh keraguan.


[Apa permintaanmu?]


“Kau sudah tahu, bukan?”


[Tidak.]


Aku tersenyum kecil.
Tentu saja, kau akan menjawab begitu.


“Kita harus menghentikan pertarungan itu.
Bukankah tugasmu melindungi King of Fear?”


Jang Hayoung — King of Transcendents.
Jika ia benar-benar pernah menyelesaikan scenario bersama <Kim Dokja’s Company> di Round ke-1.864,
maka dialah satu-satunya yang bisa memediasi dua Kim Dokja itu.

Namun—


[Meski itu tugasku, aku tak bisa menuruti permintaanmu.]


“Kenapa?”


[Aku tidak boleh mencampuri urusan para Kim Dokja.]


Jadi begitu… rupanya ia memang menaruh batasan pada dirinya.
Berbeda dengan anggota <Kim Dokja’s Company> lainnya,
hanya karena pembatas itulah ia bisa turun langsung ke Fear Realm.


“Kalau begitu, pertarungan itu bisa membunuh King of Fear.


[Aku tahu. Tapi itu bukan ‘kematian sejati’.]


Ia memahami situasinya lebih dalam daripada yang kukira.
Ini bukan sekadar pertempuran — tapi perang antar fragmen,
untuk memilih satu Kim Dokja sejati.

Jika dua Kim Dokja bertarung, yang kalah akan diserap oleh yang menang.
Sampai akhirnya, hanya satu yang tersisa.


Aku menghela napas pelan.


“Kalau begitu, boleh aku meminta hal lain?”


[Apa itu?]


“[Unidentified Wall] milikmu. Masih bisa kau gunakan?”


Jang Hayoung menatapku, berpikir sejenak.


[Beberapa fungsinya masih bisa… kenapa?]


Kalau aku ingat benar, Unidentified Wall memiliki berbagai fungsi.


“Kalau begitu, artinya kau masih bisa menghubungi para Constellation, bukan?”


Melalui Unidentified Wall, Jang Hayoung bisa berkomunikasi satu per satu dengan hampir semua makhluk di <Star Stream>.
Dalam kisah utama, ia bahkan pernah berdagang dengan para Constellation besar.


“Bisakah kau menghubungi seseorang dari worldline lain melalui dinding itu?”


[Tidak mungkin.]


Ya, sudah kuduga.
Bahkan Unidentified Wall tak bisa menembus batas worldline.

Seandainya aku bisa menghubungi <Kim Dokja’s Company>... atau Secretive Plotter...
itu akan jauh lebih mudah.


“Berarti hanya bisa dalam worldline ini.”


Aku mulai berpikir cepat.
Siapa yang cukup kuat untuk menghentikan dua monster itu?

Zeus? Odin? Tidak.
Jika aku memanggil mereka, aku pasti kehilangan semua story dan menjadi budak nebula besar selama ratusan tahun.

Uriel? Breaking the Sky Sword Saint? Black Flame Dragon?
Mereka semua kuat—tapi entah kenapa, aku ragu bisa menghentikan dua Kim Dokja.

Saat menelusuri nama-nama itu di pikiranku, satu nama tiba-tiba muncul.


“…Tunggu.”


Nama itu membuat dadaku bergetar.


“Mungkinkah… orang itu bisa?”

867 Episode 47 King of Fear (11)

Demon King of Salvation—Kim Dokja Pertama—berteriak sambil tergesa-gesa memperbaiki perpustakaan yang hancur.


「 (Anak-anak! Cepat hentikan! Sekarang juga!) 」


Atas perintah Demon King of Salvation, para kkoma Kim Dokja berlarian panik ke segala arah.
Beberapa dari mereka menempelkan koran pada bingkai perpustakaan yang retak, dan perlahan—kisah-kisah yang bergetar itu mulai tenang.

Setelah semua peristiwa yang dialami Si Bungsu di dalam Fear Realm, [Fourth Wall] menjadi sangat tidak stabil.

Kemungkinan besar, karena [Fourth Wall] itu sendiri memang belum sempurna.

Kim Dokja Pertama mengernyit, membalik lembaran koran di meja.


「 (Sial… keadaannya seperti ini, huh?) 」


Sebenarnya, kekacauan di dalam perpustakaan ini bukan apa-apa dibandingkan dengan apa yang sedang dialami Si Bungsu.

Fourth Wall kembali bergetar keras, dan di atas koran, barisan kalimat baru mulai terbentuk.


「 Kugugugugugugu! 」


Pertarungan antara Kim Dokja dan Kim Dokja terus berlanjut di atas lembar putih tanpa akhir itu.

Kim Dokja Kedua—King of Fear—menghadapi seseorang yang tak disangka-sangka.
Kim Dokja Pertama menggigit bibirnya begitu menyadari siapa yang tengah berdiri di hadapan sang Raja Ketakutan.

Ia tak pernah menyangka pria itu akan muncul!

Ia tahu, orang itu kadang menampakkan diri pada Si Bungsu lewat mimpi,
tapi tidak pernah… seblakangan ini… seberani itu.

Hanya karena tempat itu adalah Snowfield, hal ini bisa terjadi.

Snowfield adalah ruang yang paling sedikit terpengaruh oleh probabilitas <Star Stream>.

Namun bahkan di sana, percikan cerita dari dua Kim Dokja membuat seluruh dunia bersalju itu meledak dalam kilatan cahaya.


Kemudian, pikiran Si Bungsu mengambang di atas koran.


「 Tunggu, apa orang itu bisa juga? 」


Seperti yang diduga, Si Bungsu sedang mencari cara untuk menghentikan pertarungan itu.
Melihat ketenangan khasnya dalam membuat keputusan, Kim Dokja Pertama mengangguk tipis.

‘Kalau aku jadi dia… siapa yang akan kupanggil?’

[Unidentified Wall] punya batasan: tidak bisa mengirim pesan ke worldline lain.
Pilihan yang tersisa sangat sedikit.

‘Breaking the Sky Sword Saint… atau Uriel.’

Masalahnya: apakah mereka bisa dipanggil ke Snowfield?
Tak peduli sekuat apa Constellation-nya, hanya sedikit makhluk yang bisa menembus batas ruang itu.

Kim Dokja Tertua langsung mengeluarkan ponsel dan mencoba menelepon.


「 (Sial. Anak ketiga pakai mode pesawat lagi, ya?) 」


Seperti yang diduga, Kim Dokja Ketiga tidak menjawab.

Ia mengerutkan dahi.
Ia tak bisa meminta bantuan Yoo Joonghyuk,
atau <Kim Dokja’s Company> dari worldline lain—
tidak ada jalan bagi mereka untuk masuk ke Snowfield.


“Tidak mungkin…”


Apakah benar hanya makhluk yang bisa mencapai Snowfield saja yang bisa menghentikan ini?

Perasaan tak enak menjalari pikirannya.


「 (Tunggu… jangan bilang—) 」


Tidak.
Bahkan kalau Si Bungsu sudah gila, ia takkan sampai mengambil risiko sebesar itu.
Kalau salah langkah, seluruh Fear Realm bisa hancur—


「 (Tidak mungkin… HEY! DASAR BAJINGAN!) 」


Lembaran putih tempat kisah Si Bungsu ditulis mulai robek perlahan.


Aku menatap Jang Hayoung dan mengucapkan nama yang terpikirkan di benakku.

“Bisa kau kirimi pesan pada orang ini?”


[Uhm… orang itu tidak terdaftar secara resmi di <Star Stream>?”]


“Jadi tidak bisa?”


[Pesan bisa dikirim. Ini pertama kalinya hal seperti ini terjadi. Menarik juga.]


Ada harapan.
Sekarang masalahnya: apakah aku bisa meyakinkan makhluk itu.


[Kalimat apa yang harus kukirim? Tapi aku hanya bisa kirim satu kata.]


“Bisa kirim item juga?”


[Item? Bisa, kalau bukan terlalu besar.]


Aku menyerahkan benda di tanganku padanya.


“Gunakan ini.”


Jang Hayoung memandang item itu, lalu mengangguk pelan.


[Oke. Pesanmu?]


Aku menarik napas panjang, mengetik, lalu berkata,


“Sudah kukirim.”


Jang Hayoung menatapku bingung.


[Kau yakin? Pesannya sesingkat itu?]


“Ya.”


[Pesan paling aneh yang pernah kukirim setelah ‘Tumbuhlah, Kepala Berbulu’… Baiklah, sudah terkirim.]


Pesan itu menembus dinding, melintasi Snowfield, dan terbang menuju ruang hampa.
Menuju sosok pria yang melayang di antara bintang-bintang.

Aku tidak terlalu berharap ia akan menjawab.
Pria itu tidak pernah bisa ditebak.


10 detik. 20 detik. 30 detik.
1 menit.

Tidak ada respons.


[Apa kau cemas?]


“Cemas.”


[Kim Dokja selalu begitu.]


“Begitukah? Beda dengan Kim Dokja yang kukenal.”


Aku mengingat Kim Dokja dari kisah utama.
Sosok tenang yang selalu tampak tahu segalanya.

Jang Hayoung tersenyum tipis.


[Orang yang berusaha keras menyembunyikan rasa takut, justru paling mudah terlihat.]


Kim Dokja yang tak pernah tertulis dalam naskah utama.
Mungkin Jang Hayoung pernah membaca dinding milik Kim Dokja itu sendiri.


[Kalau melihatmu, aku jadi ingat masa itu.]


“Aku juga Kim Dokja.”


[Kau mencoba meyakinkan dirimu seperti itu, ya?]


“Apakah [Unidentified Wall] juga bisa membaca pikiran orang?”


[Heh. Itu ucapan khas Kim Dokja.]


“Aku berusaha.”


[Kau memang aneh. Sudah jadi Kim Dokja, tapi masih berusaha menjadi Kim Dokja.]


Aku tertawa lemah. Sebuah pertanyaan muncul di kepalaku.


“Seperti apa Kim Dokja yang menjadi King of Fear itu?”


[Pria yang memahami kesedihan.]


Tatapan Jang Hayoung menatap ke langit, ke arah segel Asmodeus yang melayang.


[Tanpa banyak bicara pun, aku merasa dimengerti saat di sisinya. Karena itu aku bertahan di sana cukup lama.]


“Dan kau tidak menyesal?”


[Aku menyesal. Tapi tak bisa kulakukan apa pun. Dia sudah bilang, kalau hal seperti ini terjadi—aku tak boleh ikut campur.]


Jadi begitu.
Itulah janji di antara King of Fear dan Sang Petarung.

Aku menatap tanah bersalju dan menyadari—
pertarungan ini bukan lagi sekadar benturan ego.
Ini perang yang benar-benar serius.

Siapa pun yang menang…
mereka hanya berusaha mengisi “kekosongan” kisah Kim Dokja.


Sedangkan aku?


“…Aku pengecut.”


[Kenapa?]


“Karena aku mencoba meminjam kekuatan orang lain untuk menyelesaikan pertarungan Kim Dokja.”


Aku memikirkan dua makhluk yang sedang bertarung di dalam segel itu.
Kedua Kim Dokja yang jauh lebih lengkap dariku.
Melihat mereka… membuatku sadar betapa jauhnya aku tertinggal.

Level penyatuan mereka—
perbedaan kelas yang hanya bisa dimiliki oleh seseorang yang benar-benar memahami kisahnya sendiri.


[Apakah itu salah?]


Pertanyaan Jang Hayoung membuatku mengangkat kepala.


[Meminta bantuan selalu menjadi keahlian Kim Dokja.]


Aku tersenyum kecut.

“Terima kasih atas penghiburannya.”


[Ini bukan hiburan. Menjadi pengecut juga butuh keberanian.]


Tatapannya tak berubah.


[Hanya orang yang tahu apa yang penting baginya yang bisa menjadi pengecut sejati. Kim Dokja tahu itu. Ia bisa menipu seluruh <Star Stream> demi menyelamatkan teman-temannya.]


Aku terdiam.


[Sama seperti yang kau lakukan sekarang.]


Aku tersenyum kecil.

“Semoga tipuanku berhasil.”


Masih belum ada balasan dari Unidentified Wall.
Dari kejauhan, terdengar retakan—
Silver Screen Seal milik Asmodeus mulai pecah.


【Kugh…】


Namun aku masih punya satu kartu terakhir.


[Anda telah menafsirkan Fear tingkat ■■, ‘Evil Sophist’.]
[Apakah Anda ingin menerima hadiah yang tertunda?]


Aku belum pernah mengambil hadiah dari Time Fault Evil Sophist.
Mungkin itu cukup untuk mengubah keadaan.

Aku menggenggam erat Unbreakable Faith.
Bahkan kalau aku mati di sini—aku akan tetap mencoba.


[—Tunggu.]


Jang Hayoung tiba-tiba menghentikanku.


[Ada sesuatu… datang ke sini.]


Aku merasakannya juga.
Kekuatan besar mendekat, menembus ruang, mengguncang seluruh dunia.

Sekaligus, ketiga makhluk—Snowfield Kim Dokja, King of Fear, dan Asmodeus
menatap langit dengan ekspresi yang sama.

Asmodeus mendadak menatapku dengan wajah pucat.


【APA YANG KAU PANGGIL KE SINI—!?】


Aku menatapnya, mengingat nama yang kusebut.
Dan melihat pancaran cahaya di langit, aku tahu—
pesanku sampai.

Isi pesanku sederhana:


—Aku akan membawamu kembali ke masa lalu yang kau rindukan.


Ketika Jaehwan menerima pesan itu, hal pertama yang ia pikirkan hanyalah:

“Gila. Ada orang gila di alam semesta ini.”

Dan dia tahu pasti siapa orang gilanya.


“Dari cara bicaranya… itu pasti dia.”


Tentu saja.
Heo Yeo-geon—pria yang dulu memanggilnya Jaehwan-nim
dan kini, rupanya, berniat mengundangnya ke neraka.


“Dasar tolol. Dia ingin mati rupanya.”


Monarch Slayer Jaehwan.

Setiap orang yang mengenalnya tahu satu hal pasti—
kata yang paling ia benci di dunia ini adalah ‘regression.’

Karena kata itulah, ia kehilangan segalanya—
rekan, sahabat, dan seluruh harapannya di puncak Tower of Nightmare.

Dan kini, ada seseorang yang berani menawarkannya kembali ke masa lalu?

Jaehwan mencabut pedangnya perlahan, aura hitamnya menggema.


“Sepertinya dia bersembunyi di tempat yang aneh.”


Kekuatan kebangkitannya bangkit.


Suspicion and Understanding.


Lintasan pesan itu langsung terpampang jelas di retina-nya.


“Pikir kau bisa bersembunyi dariku?”


Energi penghancur mulai terkondensasi di ujung pedangnya.
Bunga api memercik dari seluruh tubuhnya.


[Biro Manajemen telah mendeteksi tindakan berbahaya Anda!]


Seketika, jaring cahaya putih menyebar di sekelilingnya,
membatasi gerakannya dengan probability field.

Lalu, dari langit turun pilar-pilar cahaya.


[Great Dokkaebi ‘Halong’ turun ke area!]
[Great Dokkaebi ‘Holong’ turun ke area!]
[Great Dokkaebi ‘Noksoo’ turun ke area!]
[Great Dokkaebi ‘Onsae’ turun ke area!]
[Great Dokkaebi ‘Haesol’ turun ke area!]


Lima Great Dokkaebi.

Kecuali Dokkaebi King, merekalah penguasa tertinggi di Biro Manajemen.
Kemunculan lima sekaligus—peristiwa yang belum pernah terjadi selama sejarah panjang <Star Stream>.

Jaehwan menatap mereka dingin.


“Kalian… ‘Cultivator’ worldline ini, huh?”


['Monarch Slayer', kau tidak boleh ikut campur dalam urusan <Star Stream>.]


Dokkaebi Oksu berbicara, Onsae di sampingnya mengangguk.


[Tidak ada yang bisa melawan hukum probabilitas.]


Yang terakhir bicara adalah Haesol.


[Ini bukan dunia tempatmu hidup. Tak ada spiritual power, tak ada world authority. Ini bukan 《Tree of Imaginary》 yang dipenuhi sistem dan komponenmu.]


“…”


[Apakah kau tak tahu akibatnya bila menyentuh dimensi lain?]


“Aku tidak tahu… dan tidak peduli.”


Jaehwan menatap mereka tajam.
Kekuatan kesadarannya bangkit lagi.


Suspicion and Understanding.


Dengan kekuatan itu, ia membaca kisah di balik Biro Manajemen,
menyentuh keberadaan Dokkaebi King yang mengatur segalanya.
Dan di balik itu—ia melihat ujung dari <Star Stream> ini.

Namun—

Tsutsutsu!

Cahaya di matanya redup.
Sesuatu di ujung semesta itu tidak bisa ia baca.


“Menarik.”


Ia tertawa pelan.
Lalu berpikir: bagaimana Heo Yeo-geon—manusia licik itu—akan bertahan di dunia seperti ini?

Rasa ingin tahunya tumbuh.

Jaehwan menggenggam pedangnya lebih erat.


[Berhenti! Jika kau teruskan—!]


“Diam.”


Mungkin ini memang jebakan.
Tapi kali ini, ia akan menuruti permainan itu.

Karena benda kecil yang datang bersama pesan itu—
sebuah pangsit hangat.

Jaehwan menatap pangsit di tangan kirinya, lalu menggigitnya pelan.

Rasa rindu tiba-tiba membuncah di dada.
Nama-nama pun muncul dalam pikirannya.

Chunghuh. Karlton. Ryunard.

Orang-orang yang dulu bersamanya… tapi kini sudah tiada.

Ia menggeleng pelan.


“…Tidak mungkin.”


Dan di saat itu—ia mengayunkan pedang.


Gelombang kehancuran menyapu langit.
Membelah ruang.
Dan dunia bergetar.

868 Episode 47 King of Fear (12)

Langit terbelah seperti kanvas yang disayat. Di balik pecahan langit Snowfield, tampak sesuatu berwarna hitam pekat terbang menembus udara.
Bukan—aku bahkan tak tahu apakah itu masih bisa disebut “energi”.
Yang pasti, benda itu sedang merobek langit dunia ini.


[Wow.]

Itu adalah tebasan Jaehwan.

Jang Hayoung bergumam kagum.

[Seumur hidupku, aku belum pernah melihat hal seperti ini.]

Ini adalah Snowfield.
Bahkan bagi Jaehwan—pembantai para raja—untuk masuk langsung ke tempat ini dan menghadapi Kim Dokja tidaklah mudah.

Tapi bagaimana jika ia bisa menyerang Snowfield itu sendiri dari luar dimensi?


Tearing the Constellations.


Jika teknik rahasia Jaehwan benar-benar mampu menembus ruang dan waktu, maka ia juga mungkin bisa menghancurkan batas dimensi Snowfield—setidaknya untuk sementara waktu.

Dan sepertinya… pertaruhan itu berhasil.


【Bagaimana bisa—】


Asmodeus yang terkejut menoleh, dan pada saat itu, kedua Kim Dokja yang melayang di udara lenyap begitu saja.
Mereka juga merasakan bahaya yang sama.

Masalahnya adalah ini.


KWAKWAKWAKWA!


Sesuatu sedang meluncur dari udara, dan aku tidak tahu bagaimana cara keluar dari sini.
Skill [□□] yang mengatur akses masuk ke Snowfield tidak merespons, dan kontak dengan Kim Dokja Pertama lewat [Fourth Wall] juga terputus.

Satu-satunya orang yang bisa kuandalkan sekarang hanyalah—


“Tolong… selamatkan aku.”


Mata Jang Hayoung membulat mendengar permintaanku.

[Kim Dokja yang kukenal… tidak sekurang ajar ini.]


Ia tersenyum tipis, lalu memelukku erat.
Dalam sekejap, pandanganku menjadi putih… dan tubuhku terlempar keluar dari Snowfield.


Begitu kupikirkan lagi, aku bahkan tak yakin bisa kembali ke tubuhku dengan cara ini.

Tubuhku sekarang secara ilegal ditempati oleh Cheon Inho.
Atau, tunggu—karena tubuh itu aslinya miliknya… berarti akulah yang selama ini menjadi penyusup, bukan?


“Hmph.”


Aku membuka mata lebar-lebar, menyeka air liur yang menetes dari sudut bibirku.

Apa ini? Bagaimana aku bisa kembali?

Belum sempat berpikir panjang, rasa sakit yang luar biasa menghantam perutku dan menjalar ke seluruh tubuh.

Aku menahan teriakan, lalu memaksa menatap sekitar.

Ini—Big House.

Jika benar begitu, maka luka-luka di sekujur tubuhku adalah sisa dari pertarungan melawan Yoo Joonghyuk.

Aku menekan perutku yang berdarah deras dan mengerutkan dahi.


[Exclusive skill, ‘Fourth Wall’, aktif.]


Setidaknya, Fourth Wall sudah berfungsi kembali. Rasa sakitnya pun sedikit mereda.

“Yoo Joonghyuk… seberapa parah kau menghajarnya, hah?”

Aku berlutut, bertumpu di lantai, napasku terengah. Kaki-kakiku gemetar; tubuh ini nyaris tak mau bangun.
Bagaimana caranya Cheon Inho bertarung menggunakan tubuh seperti ini?


“Cheon Inho?”


Saat aku menoleh, Anna Croft berdiri di sana—penuh debu, tapi masih tegak.

Aku tersenyum dan melambaikan tangan.

“Kim Anna-ssi.”


Anna Croft terkejut; matanya melebar curiga.
Aku bisa melihat jelas dari sorotnya bahwa ia tidak yakin apakah aku benar-benar aku.

Aku menyipitkan mata, tersenyum menenangkan.


“Sudah lupa nama sendiri?”


“…Kau sudah kembali?”


“Ya.”


[Karakter ‘Anna Croft’ mengaktifkan ‘Lie Detection Lv.10’.]
[‘Lie Detection’ memastikan bahwa pernyataan Anda adalah benar.]


Bahkan di tengah kekacauan seperti ini, ia masih bisa memanfaatkan skill dengan tenang.
Prophet sejati, memang cepat berpikir.

Begitu yakin bahwa aku bukan “Cheon Inho asli”, Anna Croft segera berlari ke arahku, menopang tubuhku.
Namun, begitu menyentuhku, ia tampak kikuk—tidak tahu harus berkata apa.

Aku justru tertawa kecil, menunduk karena geli.


“Kau khawatir, ya?”


Kupikir dia akan menyangkal seperti biasa. Tapi tidak.
Jawaban yang keluar dari bibirnya sangat lembut, nyaris lirih.


“Iya.”


Nada suaranya penuh ketulusan.

Kupikir kembali—kami sudah melewati banyak hal bersama: Fear Realm, Transcendent Alliance, dan semua ketakutan yang kami hadapi.


[Your giant tale is stirring.]


Membangun ikatan seperti ini dengan Prophet yang dulu menjadi musuh… siapa sangka?
Kalau Yoo Joonghyuk mendengarnya, dia pasti syok setengah mati.

Aku melepaskan tangannya pelan dan menatap sekitar.


“Di mana Yoo Joonghyuk?”


“Tiran itu…”


Aku mengikuti arah pandangannya—dan menemukan Yoo Joonghyuk tergeletak di lantai.
Aku segera menghampiri, memeriksa denyut nadinya.


“Hey.”


Tak ada respon.
Aku mengguncang bahunya—tetap diam.

Anna berkata,


“Dia sudah begitu sejak tadi. Aku sudah mencoba segalanya, tapi dia tidak bangun juga.”


Aku langsung paham situasinya.

Snowfield tempat kedua Kim Dokja bertarung adalah dunia batin Yoo Joonghyuk.
Serangan Jaehwan yang menembus dimensi pasti mengguncang dunia batin itu, dan sekarang guncangan itu memengaruhi tubuh aslinya.


“Dia akan baik-baik saja. Mungkin hanya pingsan sebentar.”


Kalau dia benar-benar dalam bahaya, tubuhnya pasti sudah dikelilingi oleh badai kisah.
Namun tubuhnya tampak tenang, bahkan terlalu tenang.


“Lalu… apa yang terjadi dengan Cheon Inho?”


Anna mengerutkan dahi.

“Kau bertanya itu… selagi kau di tubuhnya?”


“Ya.”


Ia menghela napas panjang.


“Aku tidak tahu pasti. Aku melihat Raja itu mengalahkannya, tapi…”


“Apa yang terjadi dengan jiwanya? Ke mana perginya?”


[‘Eyes of the Great Demon’ tidak dapat mendeteksi entitas tersebut.]


Bahkan Yoo Joonghyuk pun tidak akan bisa menghancurkan jiwa Cheon Inho begitu saja.
Artinya, Cheon Inho menyerahkan tubuhnya padaku secara sukarela.

Tapi… kenapa?

Pria yang paling mencintai sekaligus membenci sang protagonis—
Evil Sophist yang berjuang agar kisahnya tercatat di Last Wall.

Kenapa dia rela menyerah sekarang?

Aku tak punya jawabannya.


“Kim Dokja.”


Anna menepuk lenganku dan menunjuk ke arah tebing.
Dari sana, layar Fault memantulkan area skenario luar.


—Kuaaaaah!
—Lari! Cepat!


Para Outer Gods masih mengamuk di bawah pengaruh Fear Realm.
Namun kali ini, suasananya berbeda.


[Constellation ‘God of Wine and Ecstasy’ muncul di area skenario!]
[Constellation ‘Maritime War God’ muncul di area skenario!]
[Constellation ‘King of Gold’ muncul di area skenario!]


Memanfaatkan ketidakseimbangan probabilitas akibat Fear Realm, para Constellation turun langsung ke medan perang, melawan Outer Gods.


[Constellation ‘Master of the Guillotine’ turun ke area skenario!]
[Constellation ‘Snake Slicer’ turun ke area skenario!]
[Constellation ‘Soundless Sword’ turun ke area skenario!]


Di bawah komando mereka, para makhluk Outer Gods mulai terdorong mundur ke arah portal.


—Lihat! Constellation-nya muncul!
—Kita bisa menang!
—Dorong terus!


Sorak-sorai para inkarnasi menggema di udara.
Tak heran—bagi mereka, ini pertama kalinya para dewa turun langsung membantu manusia.


[Fame para Constellation di Semenanjung Korea meningkat pesat!]


Namun di balik semua itu, aku hanya bisa merasakan kejanggalan.

Para dewa besar itu tidak mungkin turun tanpa alasan.
Pasti ada kesepakatan—entah dengan Giant Nebulae, atau dengan Administrasi.

Tapi setidaknya untuk kali ini, mereka semua bertindak seirama.


【AaaaaaaAAaAh!】


‘Nameless Things’ menjerit dan kembali berlarian ke portal.

Aku menatap ke atas dan berteriak sekeras mungkin.


“Kakak Kedua! Cukup sampai di sini!”


Tak peduli seberapa kuat pun Outer Gods di Fear Realm milik Kim Dokja Kedua, ia tidak akan bisa melawan seluruh <Star Stream>.
Cepat atau lambat, ia akan kalah dan Fear Realm-nya akan disegel.


“Kalau terus seperti ini, kita semua mati!
Kau tidak jadi King of Fear hanya untuk melihat dunia hancur seperti ini!”


Entah mendengar suaraku atau tidak, kabut hitam pekat muncul di tengah Big House, dan sosok King of Fear perlahan menampakkan diri.
Wajahnya lelah, terbakar sisa-sisa pertempuran di Snowfield.


“O Watcher of Light and Darkness!”


Aku memanggil modifikatornya.
Namun ia tidak menatapku. Ia menatap ke langit.

Dan baru saat itu aku sadar—

Langit mulai retak.


Tsutsutsu…


Langit-langit Big House runtuh.


“Oh, Tuhan…”


Anna Croft mundur, ketakutan.
Aku cepat mencari Jang Hayoung.

“Jang Hayoung!”


Ia muncul dari celah udara yang bergetar, wajahnya terkejut.

[Itu… apakah yang tadi terbang kembali?]


“Bukan.”


Awalnya kupikir Jaehwan marah dan menyerang lagi.
Tapi aura ini berbeda—tebasannya bukan kering dan tajam seperti milik Jaehwan.
Kisah yang menembus langit kali ini penuh… kebencian.


Kilatan cahaya menghujam dari retakan langit.
Lantai Big House terbakar, panas menyengat membuat napas tersendat.

Asap tebal menyelimuti ruangan.
Aku mendongak.

Kisah yang terkondensasi dalam cahaya itu… terasa familiar.


“Tidak mungkin…”


Ratusan kilatan cahaya menghujani Big House.

Jang Hayoung melangkah maju.


[Sial, Kim Dokja! Mundur!]


Kekuatan besar meledak dari tubuhnya.
Inilah wujud sejati King of the Transcendents.

Pedang tak terlihat miliknya membentuk jejak transparan yang menembus langit.


Breaking the Sky Sword – Seasonal Technique.
Pacheonseonggyeol.


Pedangnya memotong cahaya seperti meteor menembus langit malam.
Namun kekuatan itu segera memudar, teredam oleh ledakan dari kisah yang turun.

Jang Hayoung tidak menyerah.


Jeon Inhwa.


Teknik rahasia Baek Cheongmun mengalir dari tinjunya, auranya membungkus tubuhnya seperti badai putih.
Benturan berikutnya membuat tanah bergetar.

Lalu ia bergerak lagi.


Tiga Pedang Cheok Jungyeong.


Tiga tebasan memotong langit dan laut seolah menolak seluruh kehancuran.
Gabungan dari [Breaking the Sky Swordsmanship], [Jeon Inhwa], dan [Three Sword Style] menciptakan lanskap perang yang megah.

Jang Hayoung—seorang diri—menyaingi kekuatan tiga kapten Transcendent Alliance.

Itulah kekuatan sejati Raja Para Transenden.

Pedang ketiganya menghantam langit, dan sesuatu di balik awan hitam itu meledak.
Gelombang kisah yang mengguncang dunia perlahan memudar.


[Damn… kalau saja tak ada batas probabilitas ini—]


Bahkan dengan kekuatan teredam, Jang Hayoung berdiri tegak.
Seluruh tubuhnya hangus, tapi ia berhasil mempertahankan Big House.

Namun raut wajahnya berubah muram.


[Kau…]


Tatapannya tajam, penuh amarah.


[Berani-beraninya kau datang ke sini. Tahu di mana ini?!]


Dan saat itu—
bunyi tembakan terdengar lagi dari balik langit retak.


[Kim Dokja! LARI—]


Kilatan putih menyambar.
Tubuh Jang Hayoung terpental menghantam lantai Big House.

Aku terpaku.
Tidak mungkin.

Ada makhluk di luar sana yang bisa menjatuhkan Raja Para Transenden?

Langit kembali bergetar.
Sesuatu merobek jalan masuk.


Kkuddeuk.


Puluhan kapal muncul di balik langit yang hancur.

Aku mengenali mereka—
senjata-senjata cerita milik Giant Nebulae, yang pernah kulihat di skenario terakhir Round ke-40.


[Probabilitas <Star Stream> bergerak!]
[Para Constellation dari Nebula kecil dan menengah gemetar menyaksikan kemunculan makhluk agung!]
[Sisa probabilitas mengguncang alam semesta!]


Kapal milik <Olympus>, Argo, memimpin armada.
Dan sosok yang berdiri di haluannya membuat darahku berhenti mengalir.

Aku tahu dewa itu.
Dan aku tahu… betapa gilanya situasi ini.


[Constellation ‘Seat of Lightning’ menampakkan wujud aslinya!]


Zeus.
Salah satu dari Tiga Dewa <Olympus>.

Ia mengangkat relik sucinya, Astraphe, dan mengarahkannya ke Big House.


[Ambil kembali fragmen itu.]


Mantra itu jatuh—
dan langit pun hancur.

869 Episode 47 King of Fear (13)

Semua skenario di <Star Stream> memiliki 'nomor skenario'.

Dari 1 sampai 99. Nomor skenario itu merepresentasikan tingkat kesulitan skenario dan dirancang untuk menetapkan probabilitas yang sesuai dengan tingkat kesulitan.

Ini semacam jaring pengaman supaya makhluk Transenden di skenario atas tidak mengacak-acak skenario bawah.

「 Tidak ada nomor skenario di Fear Realm. 」

Meskipun tak bernomor, karena asalnya dari ‘Murim’ — wilayah skenario level ke-20 — aku mengira tingkat kesulitan Fear Realm kira-kira setara dengan itu.

「 Tapi apakah kesulitan 'Fear Realm' benar-benar setingkat skenario ke-20? 」

Pikiranku terasa ganjil.

Sebab Fear Realm punya ruang spesial bernama ‘Time Fault’. Setiap Fault memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda, bahkan sangat jauh jaraknya.

Bahkan Time Fault yang ku-bersihkan dulu didasarkan pada Last Scenario dari Round ke-40.

Skenario terakhir.

Tak peduli seberapa berpengalaman, mustahil skenario setingkat ‘20’ mempunyai tingkat kesulitan sehebat itu.

Kwakwakwakwakwa!

Saat kapal <Olympus> milik Zeus dan armada lain menerjang lewat Big House yang pecah, aku makin sadar ada yang sangat salah dengan skenario 'Fear' ini.

Tsutsutsutsu.

Badai probabilitas mengamuk di langit.

Seharusnya, Constellation di langit bakal tercerai-berai seperti kertas robek ketika badai itu menerjang.

Namun yang terkoyak bukan Constellation—melainkan Outer Gods.

[The probability of the <Star Stream> is moving!]

Probabilitas <Star Stream> sedang bergeser!

【Aaaaaaa!】

Outer Gods yang berkeliaran di dekat tebing Fault diinjak-injak oleh telapak boot para Constellation. Meriam kilat dari kapal perang menghantam dan merobohkan tebing Big House.

Aku tak pernah menyaksikan pemandangan semacam ini, bahkan waktu Round ke-40. Kala itu Cheon Inho dan Yoo Joonghyuk sudah memporak-porandakan pasukan Nebula.

“Ah, ah…”

Anna Croft merintih dan terhuyung. Aku berdiri di sampingnya, menatap langit dengan panik.

Itulah kekuatan sesungguhnya Giant Nebula.

【Oh oh oh oh oh oh】

Lantai Big House terangkat dan dewa-dewa lain muncul.

Naga tanpa kepala mengaum di langit, bayi-bayi raksasa berjaga di pekarangan Big House.

‘Dream Eater’ meraung dan mengulurkan tentakelnya.

【Mak ah ah ah ah ah ah】

Dan itu belum semuanya. Ada pula ketakutan yang dulu sudah dilumpuhkan oleh para Kapten — misalnya 'Dragon Eater', 'Darkness That Descends', dan—

【Kaka kaka kaka kaka】

—kemunculan kembali 'Founder of the Absolute Throne' yang pernah kualahkan.

Seperti Jang Hayoung yang pertama muncul sebagai Fighter, Outer Gods berbalut bayangan pekat itu berjajar melindungi King of Fear.

Outer Gods yang menghunus senjata demi melindungi Kim Dokja.

【Protect the King of Fear】

Jika satu saja Outer God ini terlempar ke area skenario, kawasan itu akan hancur lebur. Harapan menghangat dalam dadaku.

Mungkin.

Dengan kekuatan King of Fear dan ketakutan yang ia kendalikan, mungkin mereka bisa menjatuhkan Giant Nebula yang benar-benar all-out itu.

【Ah ah ah ah ah ah】

Dan.

【Oh oh oh oh oh oh】

Perang itu pun dimulai.

“Ayo bergabung! Cepat!”

Aku menggendong Yoo Joonghyuk, menggenggam tangan Anna Croft, dan berlindung di balik hujan tembakan.

[The story, 'Pebble and I', begins its storytelling.]

[The story, 'Pebble and I']

Cerita itu mulai bercerita.

Bergantung pada fragmen cerita lemah, kami menyaksikan bagaimana Big House berantakan.

Sampai sekarang, kupikir Constellation takut pada Outer Gods. Makanya kupikir tiap kali Outer Gods muncul, Constellation kabur atau diam.

Namun tak semua Constellation demikian.

[The great story of <Olympus> begins its storytelling!]

Kisah agung <Olympus> mulai bercerita!

Anak panah Apollo yang maha kuat menumbangkan naga tanpa kepala di udara, dan Achilles, Jason, serta Constellation besar lain menjatuhkan bayi-bayi raksasa penjaga.

[Hahahahahaha! How fun!]

Ares, dewa perang garang yang menunggang Gigantes, tertawa sembari memotong kaki Dream Eater.

[Fire!]

Gwagwagwagwagwagwa!

【Oh oh oh oh oh oh】

Dream Eater yang terkena tembakan kilat dari kapal perang meliuk kesakitan.

Kemudian, unit Gigantes pimpinan Ares mulai merobek tubuh Dream Eater.

【Woo woo woo woo woo woo】

Untuk pertama kalinya kulihat beberapa Outer Gods begitu tak berdaya.

Tentu, tidak semua Outer Gods lemah. Ada yang menerobos tengah medan dan membantai Constellation dengan kejam.

【Ka kaka kaka kaka kaka】

Itulah 'Founder of the Absolute Throne'.

Setiap kali pedang-pedang terkenalnya melintas, Constellation besar <Olympus> tersobek seperti mainan.

Namun ada satu Constellation yang menghalangi jalannya. Dengan retak kasar, Constellation yang menghembuskan napas seperti lahar berkata,

[I wanted this guy's weapons.]

Itu Hephaestus, pandai besi vulkanik, yang mengayunkan palu raksasa.

[Kuaaaaap!]

Ketika Hephaestus menancapkan kakinya ke tanah, gelombang kisah meledak, menimbulkan luka di tubuh 'Founder of the Absolute Throne'.

Tetapi 'Founder of the Absolute Throne' tak tinggal diam.

[Death.]

Hanya dua suku kata itu. Constellation besar berdiameter puluhan meter roboh ditembus raungan singa yang tersimpan dalam kata itu. Inkarnasi mereka berdarah dari telinga.

Hephaestus yang menerima raungan itu menggertakkan giginya.

[Athena! Artemis! Gabung!]

Meminta bantuan—ia memang tak sanggup sendiri. Dua dari Dewa Dua Belas pun turun.

Perisai Athena melindungi Hephaestus dari 'Founder of the Absolute Throne', dan panah Artemis menyerang paha serta lengan lawan.

【Ka Ka Ka Ka Ka Ka】

Sang Founder bertarung gagah melawan tiga Dewa Dua Belas itu. Meski lengan dan kakinya hancur, ia mempertahankan wibawa rajanya sampai akhir.

[Kwaaak! That damned Outer God—!]

Di tengah kekacauan, si Founder tertawa sambil tengkoraknya bergemuruh.

Mungkin itu wajar.

Sementara Outer Gods mempertaruhkan nyawa menyerang, Constellation mengambil langkah hati-hati agar tak berdarah sedikit pun.

Melihat perlawanan Outer Gods, aku tak kehilangan harap. Tahan sedikit lagi. Meski ini Giant Gate dan meski Fear Realm tanpa nomor skenario, gelombang probabilitas pasti akan membalik keadaan.

Namun sepertinya aku bukan satu-satunya yang berpikir begitu.

[Get out of the way.]

Suara yang membuat dadaku mencelos.

Saat Hephaestus mundur, tombak tritip raksasa mengarah ke depan.

「 His play created the boundary of the sea. 」

Ketika kisah yang menimbulkan merinding itu mengalir, gelombang besar menyapu area.

Aku memeluk Anna Croft dan Yoo Joonghyuk, bersembunyi di balik kaki terputus Dream Eater.

Kwaaaaaaaah!

Ketakutan yang dikumpulkan King of Fear perlahan lenyap dari dunia satu per satu — naga tanpa kepala, Dream Eater, Founder of the Absolute Throne. Di bawah cahaya bintang yang menerpa, ketakutan itu tak lagi terasa seperti Ketakutan. Mereka hanya jadi pengembara yang tersingkir dari skenario.

Poseidon, si 'Spear that Draws the Boundary of the Sea' yang mengambil alih Traiana, berseru:

[Take care of it.]

Para Constellation yang membawa legenda Giant Nebula membantai Outer Gods yang melarikan diri.

Aku berdiri gemetar, tak sanggup memandang pemandangan yang melebihi khayalku.

Siapa lagi yang mampu menghentikan kebiadaban mereka?

Seseorang berdiri di hadapan Outer Gods menggantikan posisiku.

Sayap kupu-kupu putih berkilauan memantulkan cahaya para Constellation.

[Stop it.]

Zeus, yang menemukan ‘King of Fear’, mengangkat Astraphe lagi. Kapal perang menyalakan serangan.

Kukuaquaquaquaqua!

Itu bom yang mengerikan. Serangan mematikan ke Giant Gate yang tak ada yang bisa selamat. Bahkan Kim Dokja atau King of Fear pun tak mampu menahan.

“Tersiksa juga, pelan-pelan dong.”

Namun ada yang menahan serangan itu untuk mereka.

Di antara sinar-sinar berhamburan, seorang pria tua melambaikan tangan yang menghitam sambil mencicitkan lidahnya.

“Hehe, Dream Eater yang kubesarkan malah berakhir seperti ini.”

Dream Eater yang terjatuh menangis pilu. Pria tua itu menepuk kepala makhluk itu, lalu tersenyum getir. Seorang pemuda di dekatnya berkata,

“Kau bisa membesarkannya lagi, kakek.”

“Katakan itu karena butuh ratusan tahun, bocah.”

Mereka yang menahan cahaya bintang di tengah neraka itu tampak tenang, seakan pernah menghadapi malapetaka berkali-kali.

[Transcendent Alliance.]

Dengan kata Poseidon, para pemimpin Transcendent Alliance berjajar mengawal King of Fear.

[Constellations, mulai sekarang, aku takkan membiarkan ini.]

Paradox Baekcheong Kyrgios.

[I wonder how many stars it takes to gather to form a 'Constellation'.]

Breaking the Sky Sword Master Namgung Minyoung.

[Hahahahaha! Finally the day has come when I can fight you guys!]

Si pendekar Goryeo, Cheok Jungyeong.

Namun ekspresi Zeus—pemimpin rombongan—tak gentar meski Transcendents muncul. Malah ada senyum tipis di bibirnya, seakan ia senang.

[There are more sacrifices to place on the scale of probability.]

Dewa-Dua Belas di bawah Zeus menghujam ke Transcendents.

Athena bertabrakan dengan Breaking the Sky Sword Master; Kyrgios mengadu senjata dengan Hephaestus; Cheok Jungyeong beradu kekuatan dengan Ares. Raungan singa menyala di udara.

Saat Zeus mengangkat Astrape, kapal-kapal mulai menembak lagi.

Kali ini yang menahan tembakan adalah Chunghuh, Panglima Transcendent Alliance dan God of Despair.

Zeus kesal pada Chunghuh.

[Get out of the way. Mortals from another dimension, it’s not your place to get involved.]

“Hehe, maaf, tapi kami tak punya pilihan selain terlibat.”

Chunghuh tetap berdiri, memblokir jalan menuju King of Fear.

“Jika kau menghancurkan Fear Realm ini, eksistensi kami akan sulit dipertahankan.”

Chunghuh berkata itu, lalu menoleh. Matanya menatap ke arahku yang baru saja memakai «Pebble and I».

Chunghuh mengangguk pelan padaku.

“Setidaknya aku tak bisa mati sekarang. Aku baru saja mendapati orang yang benar-benar ingin kutemui masih hidup.”

Zeus tak lagi banyak bicara; ia melompat turun dan mengayunkan tombaknya sendiri.

Chunghuh, Tuhan Keputusasaan, berani menahan aksi Constellation mitis itu. Langit Fear Realm berkedip seperti bola lampu raksasa, petir tak henti mematuk bumi.

Badan Chunghuh pun menghitam; namun ia tetap menggenggam narasi yang membawa Zeus.

Sebuah pertarungan mengerikan. Aku tak berani ikut terlibat. Namun di lain sisi, aku merasa wajib berbuat sesuatu.

Karena aku membawa kisah besar dari Time Fault Round ke-40.

「 Aku pernah menghadapi 'Zeus' sebelumnya. 」

Kutahu situasinya kini berbeda. Kukira jarak kelasnya gila sekali.

Namun jika aku dapat mengulang panggung itu sekali lagi—

—Jangan bermimpi.

Yang menghentikanku adalah Cheok Jungyeong. Saat beradu dengan Dewa Perang, ia berbisik lewat [Earth].

—Bukan waktunya memakai itu. Kau tak sanggup menghadapi pertarungan ini.

Aku menggeleng. Kuharap aku bukan beban. Tapi…

—Discipel.

Sahutan Cheok Jungyeong terus mengalun; kudengar ia sangat lelah.

Bukan hanya dia. Kyrgios, Breaking the Sky Sword Saint, dan para Transcendent lain juga tampak kelelahan.

Wajar. Mereka baru kembali dari Time Fault Round ke-40 bersama aku.

Kekhawatiranku meningkat.

Apa yang harus kulakukan? Bagaimana aku membantu mereka?

—Ada sesuatu yang harus kau lakukan.

Seolah membaca pikiranku, Choi Jungyeong melanjutkan.

—Pergi dan tekan 'tombol' itu.

Tombol?

Sebuah memori melintas.

Saat pertama kali masuk End Zone dan melihat Time Fault Room, aku melihat sebuah 'tombol' di sana.

Tombol di puncak Time Fault.

0th Squad Captain Ryunard pernah berkata tentang tombol itu:

「 Tekan saja itu. Itu tombol 'reset' dari End Zone ini. 」

Tombol reset End Zone.

—Jika kau menekan tombol itu…

Kuceritakan kembali perkataan Cheok Jungyeong saat pedangnya pecah di bawah tombak Dewa Perang.

Cheok Jungyeong, dengan perut tertusuk, tersenyum padaku dan berkata—

—Segala sesuatu yang terjadi di 'Fear Realm' akan menjadi 'seakan tak pernah terjadi'.

870 Episode 47 King of Fear (14)

[The story, 'Pebble and I', stops talking.]
[Cerita ‘Aku dan Batu Kecil’ berhenti bercerita.]

Aku tak bisa lagi bersembunyi.

Kutitipkan Yoo Joonghyuk pada Anna dan berlari menuju Cheok Jungyeong.

Mata Cheok Jungyeong membulat ketika melihatku, lalu bibirnya membentuk senyum getir. Ia mencabut tombak yang menembus perutnya seolah luka sebesar itu bukan apa-apa, lalu mengulurkan tangan ke arahku.

[Menjauh!]

Hembusan angin dari tangannya menghantamku keras hingga tubuhku terlempar jauh.

“Kim Dokja!”

Teriakan Anna Croft menggema di tengah kobaran pertempuran.

Pada saat yang sama, Constellation besar dari <Olympus> yang melihatku maju dengan panji berkibar.

[Itu fragmen Kim Dokja!]
[Tangkap juga orang itu!]

Tujuan <Olympus> bukan hanya ‘King of Fear’. Karena mereka sudah mengamankan banyak “fragmen Kim Dokja”, aku pun menjadi target berikutnya.

Aku segera mengaktifkan [Way of the Wind] dan meluncur menjauh, sambil menjelaskan situasi pada Anna Croft.

Anna mendengarku dengan ekspresi serius, lalu mengangguk mantap.

“Kalau kau menekan ‘tombol’ itu, perang ini bisa berhenti, kan?”

“Secara teori, iya.”

‘Tombol reset’ di Fear Realm secara harfiah adalah tombol yang akan membalikkan segala hal yang terjadi di sini.
Jika aku bisa menekannya, semua peristiwa akan kembali ke titik sebelum ‘Akhir’.

Masalahnya, aku tak tahu persis kapan waktu ‘sebelum Akhir’ itu.

“Aku akan membantumu.”

Serangan meriam Constellation lewat tepat di depan hidungku.

Aku bertanya di sela asap dan bau mesiu.

“Bisa pakai [Future Sight]?”

“Kalau jarak dekat, bisa. Aku tak bisa lihat jauh ke depan.”

“Itu sudah cukup.”

Bahkan di Round ke-40 yang paling gila sekalipun, kami selalu menemukan jalan keluar.
Tak peduli sekuat apa Constellation <Olympus>, jika kami bekerja sama, kami pasti bisa menerobos mereka.

“Ke arah sana!”

Sebenarnya akan lebih cepat kalau aku terbang penuh tenaga dengan [Way of the Wind], tapi itu terlalu mencolok di situasi seperti ini.

“Belok kanan!”

Aku mengikuti arahan Anna dengan tenang. Constellation yang menyerbu kutepis dengan [Way of the Wind] dan [Baekcheong-ganggi].
Saat rentetan peluru cahaya datang, aku berjongkok di antara mayat Constellation yang sudah tewas.

KWAKWAKWAKWAKWA!

Kami berlari menembus asap pekat. Harus lebih cepat.
Harus memanfaatkan waktu yang diberikan King of Fear dan para Transcendent Captain dengan sebaik-baiknya.

DUAR!

Tapi bahkan dengan [Future Sight], tidak semua tembakan bisa terbaca. Sebuah proyektil buta meluncur ke arah kami—aku dan Anna refleks melompat ke arah berlawanan.

Saat aku berdiri lagi, tubuh berdebu, batuk tersengal, aku memanggilnya.

“Anna!”

Dari kakinya yang berdarah, cerita mengalir seperti kabut merah muda.

Anna menjawab tenang.

—Kim Dokja, dengarkan baik-baik. Target para Constellation bukan aku… juga bukan sang tiran.

“Tapi—”

—Aku akan terus mengirimkan arah melalui transmisi. Cepat pergi.

Anna bersembunyi di balik jasad Outer Gods yang meledak, sambil menggendong Yoo Joonghyuk.

Aku menatapnya sejenak, menggigit bibir, lalu berlari.

Suara Anna memenuhi telingaku di antara deru tembakan.

—Awas di belakang!
—Dari kiri, cepat menunduk!
—Di depan ada perangkap, jangan teruskan!
—Tunggu lima detik, lalu belok kiri dan lari!

Aku hanya berlari.
Tanpa berpikir, tanpa ragu—hanya berlari mengikuti suara itu.

Entah berapa lama waktu berlalu, akhirnya pintu keluar Big House mulai terlihat di kejauhan.

—Mulai dari sini, lurus saja.

Lurus?

—Ya. Terobos langsung ke depan.

Ratusan Constellation berdiri menghadang di jalanku. Pasukan yang <Olympus> tempatkan, sudah menebak bahwa aku akan menuju ke sini.

“Bagaimana caranya aku menerobos ini?”

Namun suara Anna tak terdengar lagi.
Apa yang terjadi? Aku menoleh—dan tidak melihatnya di mana pun.

Sebaliknya, yang kulihat adalah Constellation mitis <Olympus>, sang 'Spear that Draws the Boundary of the Seas'.

Kukukukukuku.

Poseidon menghantam tanah dengan Tryana.
Setiap kali ujung tombaknya menyentuh bumi, udara di sekitar bergolak, memutar, menghancurkan Outer Gods yang tersisa.

「Transmisi adalah teknik yang mengirimkan suara melalui udara bertekanan. Jika Poseidon menguasai udara di area ini, wajar saja gema Anna tak bisa sampai padaku.」

[Kejar dia.]

Atas perintah Poseidon, Jason, Achilles, dan Constellation besar lainnya menyerbu.

Anna bilang: terobos.
Artinya ada cara untuk menerobos. Dan aku tahu caranya.
Kisah yang kukumpulkan di Fear Realm berbisik menunjukkan jalannya.

[The story, 'Friend of Fear', begins its storytelling.]
[Cerita ‘Sahabat dari Ketakutan’ mulai bercerita.]

Begitu kisah itu mulai, kepercayaan diriku melonjak.

[Di sana! Tangkap dia!]

Tombak-tombak Constellation terbang bersamaan, mengejar jeda pergerakanku.

Aku menarik napas dalam.

Ini Big House milik Fear Realm.
Semua ‘Fear’ yang pernah kukalahkan, terkumpul di tempat ini.

[Use story fragment, 'Remote Signal Controller'.]
[Gunakan fragmen cerita, ‘Remote Signal Controller’.]

[Catastrophic Fear, 'Alien Signal Light' is activated!]
[Ketakutan Kelas-Katastrofik, ‘Alien Signal Light’, diaktifkan!]

Lampu sinyal di kejauhan berpendar gila, meledak, membuat Constellation yang mengejarku berteriak histeris.

[Kwaaaaah! Apa itu—!]

Aku berlari tanpa menoleh ke belakang, meninggalkan dentuman yang membuat tanah bergetar.

[The Constellation, 'Spear that Draws the Boundary of the Sea', expresses anger at you!]
[Constellation ‘Spear that Draws the Boundary of the Sea’ mengekspresikan amarah padamu!]

Tatapan dingin menusuk punggungku—tombak Tryana melintas tepat di samping wajahku, memotong udara.
Satu hembasan itu menciptakan badai, menghancurkan seluruh ‘Alien Signal Light’ di area sekitar.

Sial.

[Cukup! Kejar dia!]

Masih jauh ke pintu keluar.
Kupikir, tak ada pilihan lain selain terbang.
Walau menarik perhatian, dengan [Way of the Wind], aku bisa mencapai ujung dalam waktu singkat—

KRAAAAK!

[APA ITU—!]

Suara tubuh robek terdengar di depan. Constellation yang menghalangi hancur berkeping seperti udang diremuk di antara paus.

Aku menatap—dan benar, seekor paus muncul.

【OOOOOOOOO!】

Jeritannya menggetarkan dada.

Aku mengenalnya.

[Natural Disaster-level Fear, 'Tooth Fin', roars!]
[Ketakutan Kelas-Bencana Alam, ‘Tooth Fin’, mengaum!]

“Tooth Fin…!”

‘Shark Head’ yang pernah kutemui di gerbang masuk Fear Realm.
Setiap kali ia mengibaskan ekornya, lima—enam Constellation kelas besar terlempar bagai boneka.

“Kau… naik ke tingkat Bencana Alam!”

Aku tertawa lega. Tooth Fin mengibas siripnya pelan, seolah berkata: Naiklah.

Tanpa ragu, aku melompat ke punggungnya.
Tubuh raksasanya melesat, air di sekitarnya bergulung deras.

[Don’t miss it.]

Poseidon menggurat tanah dengan Tryana sekali lagi. Garis laut terbuka, menciptakan gelombang raksasa yang mengejar kami seperti tsunami.

Tapi itu kesalahan besar.

Yang ia hadapi adalah Tooth Fin—penguasa Lautan Ketakutan.

Tooth Fin mempercepat gerakan, menembus gelombang, dan dalam sekejap kami tiba di pintu keluar Big House.

Ia memblokir jalan, menghalau Constellation yang mengejar.

“Terima kasih.”

【Teeth Teeth Teeth Teeth Teeth】

Setelah kuucapkan salam pada makhluk bergigi tajam itu, aku meluncur turun dan membuka pintu keluar.

Begitu aku melangkah keluar, pemandangan Time Fault Room yang hancur total menyambutku.
Aku menatap ke atas.

Di puncak ruangan, terdapat tulisan:

[1863–99th Round.]

Dan di sampingnya—sebuah tombol kecil.
‘Tombol reset’ yang kucari.

Krekk…

Suara retakan terdengar dari balik pintu Big House.
Petir bergemuruh mengiringinya.

Tak ada waktu.

Aku segera mengaktifkan [Way of the Wind] dan melesat ke langit.
Beruntung, tak ada Constellation yang sempat menghadang.

Begitu sampai di puncak, tombol itu tepat di hadapanku.
Jika kutekan, semuanya bisa berakhir.

Namun tiba-tiba—

—Apa kau benar-benar ingin membuat semua ini seolah ‘tidak pernah terjadi’?

Sebuah suara bergema di kepalaku. Suara yang kukenal baik.

“Cheon Inho.”

—Kalau kau menekan tombol itu, King of Fear akan selamat. Tapi semua kisah yang kau bangun akan lenyap.

Aku terdiam.

“Bagaimana kau tahu itu?”

—Kalau kau tak mau percaya, anggap saja ocehan seorang ‘Evil Sophist’.

Tiba-tiba aku teringat.
Cheon Inho—Evil Sophist. Salah satu dari sedikit Recorder of Fear di dunia ini.
Tentu wajar kalau dia tahu rahasia Fear Realm.

—Sebagai Recorder, aku beri saran. Jika kau menekan tombol itu, segalanya akan kembali ke saat Transcendent Alliance pertama kali terbentuk. Semua cerita yang kau bangun sejak memasuki Fear Realm akan hilang, dan alasan kau ke sini akan kehilangan makna.
Dan yang paling penting...

Nada suaranya berubah getir.

—Jika kau menekan tombol itu, keberlangsungan hidupmu tidak bisa dijamin.

Petir Zeus mengguncang langit.

—Begitu kau menekan tombol itu, semua ‘ketidakmurnian’ yang tidak dibutuhkan dalam komponen awal Fear Realm akan dihapus.

“Aku tak bisa begitu saja percaya padamu.”

Benar atau tidaknya, jika aku tidak menekan tombol ini—semua orang di Big House akan mati.
Kyrgios, Breaking the Sky Sword Saint, Cheok Jungyeong—semuanya.

Aku menarik napas panjang, mengangkat tangan, dan—

Seseorang menggenggam pergelangan tanganku.

Sayap kupu-kupu berkilau.

King of Fear.

Sayapnya yang dulu bercahaya kini compang-camping.
Tubuhnya penuh luka.
Kulitnya melepuh, bekas luka petir Zeus membakar dari bahu hingga pinggang, dan bekas gelombang Poseidon membekas di kakinya.
Setetes demi setetes salju turun dari ujung jemarinya, seperti air mata.

Dalam keadaan seperti itu, King of Fear memanggilku.

【■■-ah.】

Ia memanggil namaku—untuk pertama kalinya.

【Jangan lakukan itu.】

“Kenapa?”

Suaranya terdengar… begitu manusiawi.
Untuk pertama kalinya, [Multispecies Communication] tetap aktif.

[Exclusive skill, 'Omniscient Reader’s Viewpoint', is activated.]
[Skill eksklusif ‘Omniscient Reader’s Viewpoint’ aktif.]

Mungkin berkat itu, aku bisa memahami isi pikirannya yang dulu tak terjamah.
Mungkin karena dunia ini sudah mencapai akhirnya, batas antara kami memudar.

Mungkin ini bukti bahwa dia tak lagi menjadi ‘King of Fear’.

【Jangan tekan tombol itu.】

Aku menggeleng keras.

Kalau aku tak menekannya—kau akan mati.
Transcendent Alliance, Outer Gods—semuanya akan lenyap.
Segala yang kau cintai akan hancur.

Kau akan dicabik-cabik oleh Constellation brengsek yang menginginkan fragmen Kim Dokja.

Hanya ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan dunia ini.
Kembalilah, ke masa sebelum semua ini terjadi.

Namun King of Fear tersenyum.

【Tidak.】

Kim Dokja—satu-satunya yang mencintai kisah dunia ini lebih dari siapa pun—menatapku dengan lembut dan berkata:

【Aku juga menyukai kisahmu.】

871 Episode 47 King of Fear (15)

“Aku menyukai kisahmu.”

Kata-kata Kim Dokja itu menimbulkan riak yang dalam di hatiku.

Ada kalimat yang baru kusadari ternyata selalu ingin kudengar—setelah akhirnya diucapkan.

Aku menatap wajahnya.

Namanya Kim Dokja.
Sosok yang kutulis dalam 551 bab.

[Skill eksklusif, 'Omniscient Reader’s Viewpoint', aktif dengan kekuatan yang lebih besar.]

Hanya dengan melihat ekspresinya, aku tahu apa yang ia pikirkan.

【Fear Realm akan hancur. Aku akan memanggil kereta—keluarlah dari sini.】

“Tidak bisa.”

King of Fear menoleh perlahan.
Cahaya aneh terus memancar dari balik gerbang Big House—kisah milik Zeus.

Dari sana, terdengar jeritan para Transcendent yang tercerai-berai.
Juga raungan kesakitan Tooth Fin di kejauhan.

“Ayo pergi bersama.”

Aku kira tahu kenapa ia menyukai kisahku.

Kim Dokja Kedua—yang bersembunyi di Fear Realm sejak lahirnya dunia ini.
Dalam satu sisi, Fear Realm baginya adalah Snowfield yang lain.

Ia pasti bersembunyi di antara baris-baris cerita, mengumpulkan Fear, membaca dan membaca ulang kisah yang sama—berulang kali.

Kim Dokja Kedua menatapku dengan mata yang tenang.

【Kau tahu apa yang akan terjadi kalau aku pergi dari sini.】

Ia menggerakkan tangannya, dan layar kecil muncul di udara.

—Sudah hancur!
—Bencana sudah jatuh!

Fragmen dirinya yang menyebar di berbagai skenario sedang mati, dibunuh para inkarnasi.
Sayap kupu-kupunya robek, dan ‘Nameless Things’ yang melindunginya runtuh.

【Bukan hanya aku. ‘Gods of the Other World’ juga akan mengalami hal yang sama setiap kali.
Selama <Star Stream> ini masih ada.】

“Jadi kau mencoba menjadikan <Star Stream> itu sendiri sebagai Fear Realm?”

King of Fear tersenyum tipis.

【Gagal, tapi ya.】

Kegagalan yang sudah pasti.
Di dunia di mana kesedihan seseorang hanyalah cerita hiburan bagi orang lain, siapapun yang masuk ke dalam skenario hanya akan menjadi bencana.
Semua bintang dan inkarnasi akan bersatu menentangnya—lalu menancapkan bendera kemenangan di atas reruntuhan duka itu.

【Meski begitu, hal itu tetap harus dilakukan.】

“Kenapa harus sekarang? Karena aku membaca Prophecy of the End?”

Aku teringat nubuat yang kubaca saat memasuki Transcendent Alliance.

Ketakutan yang mulai tercatat akan kembali menjadi kisah. Mereka akan menjadi legenda yang diakui. Tertulis kembali dalam sejarah.
Saat hari itu tiba, batas antara tidur akan terbuka, dan King of Fear akan turun.
Dan hanya mereka yang mengalahkan King of Fear yang akan menjadi pencerita terakhir—
yang menolak seluruh catatan di perbatasan antara mimpi dan kenyataan.

Nubuat yang menandai kelahiran dan kematian King of Fear.
Ia menatapku lama, lalu menggeleng perlahan.

【Semuanya sudah tertulis… dan sedang ditulis pada saat yang sama.】

King of Fear bergumam pelan, lalu menambahkan dengan nada sendu.

【‘Fear Realm’ saat ini tak mampu menampung seluruh Outer Gods.
Cepat atau lambat, ini pasti akan terjadi.
Nubuat itu hanya menjadi pemicunya.】

“Tapi—”

【Pergilah. Bersama rekan-rekanmu.】

Begitu ia mengulurkan tangan, tubuh Anna Croft dan Yoo Joonghyuk yang tak sadarkan diri terangkat dari dalam gerbang Big House.

Aku segera menahan mereka berdua dan berucap, “Aku tidak akan pergi. Tidak bisa.”

King of Fear menatapku sejenak—rasa frustrasi tampak jelas di matanya.
Kilatan petir terdengar lagi dari belakang.

【Tidak ada waktu. Jika kau terus menolak… aku akan menyerapmu.】

Tatapan majemuknya bertemu dengan mataku—jantungku berdegup keras.
Aura menekan tubuhku, mengalir dari langkah-langkah beratnya yang makin mendekat.

【Aku akan menyerapmu, dan mengambil seluruh kisahmu.
Kukumpulkan semua fragmen itu, dan kuwarnai <Star Stream> dengan Ketakutan.
Aku akan menciptakan dunia di mana semua saling takut—dan karena itu, tak ada yang bisa saling melukai.】

Pada saat yang sama, sesuatu bergolak di dalam diriku.

[Cerita, ‘Heir of the Eternal Name’, bergemuruh.]

Aku menyipitkan mata.

“Kalau bisa, cobalah. Tapi aku tidak akan meninggalkanmu sendirian.”

【Tak ada lagi yang bisa kulakukan.】

Berikutnya, King of Fear membuka mulutnya lebar-lebar.
Kegelapan pekat mengalir deras keluar darinya.

【Kau sendiri yang memilih jalan ini.】

Kegelapan itu menelanku bulat-bulat.


rlaehrwk37: Apa? Apa yang barusan terjadi?


King of Fear membuka matanya.

Kekuatan kisah mengalir deras dari dalam dirinya. Ia menarik napas berulang-ulang, berusaha menenangkan kekuatan itu.

Entah berapa lama.
Seluruh Time Fault Room mulai bergetar hebat.

[Constellation, ‘Lightning Seat’, menampakkan kekuatannya sendiri!]

Akhirnya, inkarnasi Zeus mencapai gerbang Big House.
Dan tentu saja, bukan hanya Zeus yang datang.

【OOOOOOOOOH!】

This is the Time Fault Room!

Para Divine Beings of the Other World mulai bermunculan dari pintu-pintu Time Fault yang tak terhitung.

Catastrophe. Disaster. Natural Disaster.
Pasukan Fear yang benar-benar bisa menghancurkan dunia.

Tombak petir Astraphe di tangan Zeus muncul di balik gerbang, meledak dengan cahaya putih murni yang menghapus segalanya.
Fragmen kisah Outer Gods beterbangan seperti abu.

King of Fear menatapnya, dan berbisik:

【Ah… jadi begini, mengubah sejarah dunia ini.】

[Kau tahu sendiri, tak ada pilihan lain sekarang.]

Bahkan Jang Hayoung, yang pernah menaklukkan Round 1864, tak bisa menghentikan armada mereka.

Di depan kekuatan mutlak armada <Olympus> yang dipimpin Zeus, hanya dua pilihan tersisa:

Tunduk pada <Olympus>—atau lenyap bersama Fear Realm.

King of Fear berkata tenang:

【Kalian sepertinya lupa, di mana kalian berdiri.】

[Meski ini mimpimu, kau takkan bisa menghentikan kami.]

Poseidon tertawa sinis.

[Aku tahu. Yang bisa kau lakukan hanyalah ‘bermimpi’ untuk mempertahankan tempat ini.]

Dewa paling tak berdaya di dunia ini.
Ia menguasai segalanya di Fear Realm—namun tak bisa menyentuh dunia luar.

King of Fear tertawa lirih.

【Benar. Kisah yang menyedihkan.】

Namun tawa itu berubah menjadi senyum tipis—campuran ejekan dan keputusasaan.

Lalu ia memanggilku.

【Maknae.】

Suara lembut itu menusuk dadaku.

【Ingat baik-baik akhir kisah ini.】

Aku sadar—aku tidak diserap olehnya.

[Skill eksklusif, 'Omniscient Reader’s Viewpoint', aktif.]
[‘Omniscient Reader’s Viewpoint’ diaktifkan pada momen dramatis.]
[Stage 0 dari ‘Omniscient Reader’s Viewpoint’ aktif.]

Melalui Stage 0, aku melihat dunia ini lewat mata King of Fear—tanpa kehilangan diriku.

[Kau hanya menggertak.]

Saat Poseidon mengangkat Tryana dan mengarahkannya, seluruh Outer Gods di dalam Time Fault meraung bersama ke langit.

Raungan itu menyelimuti seluruh Fear Realm.

Dan kisah pun lahir.

「Giant Tale.」

Giant Tale yang menjadikan King of Fear sebagai Kim Dokja.

[Giant Tale, 'Season of Light and Darkness', mulai bercerita.]

Tsutsutsutsu—

Pemandangan di medan perang berubah.

「Staging.」

Tak bisa dipercaya.
Untuk menciptakan Stage, syarat kisah harus terpenuhi—dan 「Season of Light and Darkness」 hanya bisa terjadi di Pulau Reinkarnasi.

Tapi ini bukan Pulau itu.
Tak ada Archangel.
Tak ada Demon King.

Hanya ada Kim Dokja.

Lalu bagaimana?

[Omong kosong apa itu—]

Poseidon dan Zeus tampak sama bingungnya denganku.

「Reruntuhan Perang Suci setan dan malaikat terbentang di sana.」

Bagaimana perang itu bisa muncul di sini?

[Di sini tak ada Archangel atau Demon King! Tapi kenapa—!]

Jawabannya sederhana.

【Siapa bilang mereka tidak ada?】

[Apa?]

【Kalian hanya tidak bisa melihatnya.】

Para Constellation <Olympus> menatap dengan wajah bingung.
Hanya aku yang mengerti maksudnya.

Dengan pandangan Stage 0, aku melihat mereka.

「Para Archangel dan Demon King yang terlupakan berdiri di sisi kami.」

Tak ada yang memanggil mereka seperti itu lagi—nama mereka sudah lenyap.

【Goodandevilgoodandevilgoodandevil】
【Lightanddarknesslightanddarkness】

Tapi dulu… mereka pernah ada di skenario ini.
Mereka punya panggung sendiri, punya perang mereka sendiri.

Dan kisah lama yang membusuk di antara lipatan waktu kini terungkap kembali sebagai panggung baru.

【Ohohohohohohoh!】

Di atas panggung itu, terbentang dunia yang selama ini dijaga King of Fear sendirian.

Barulah aku mengerti kenapa Time Fault ada—
dan kenapa Outer Gods bersembunyi di dalamnya.

Mereka semua hanya ingin menemukan kisah yang hilang—dan pulang ke rumah yang telah lama musnah.

Poseidon meraung.

[Stage saja tidak cukup! Dengan ‘Giant Tale’ itu—]

[Sepertinya kau tidak tahu, perang macam apa yang baru saja kau bangkitkan.]

King of Fear menatap mereka—dan untuk sesaat, ia benar-benar tampak seperti Kim Dokja.

[Heh. Bagaimanapun, ini bukan sejarah kalian.]

Kim Dokja—yang dulu memimpin Perang Suci itu.
Yang melindungi <Kim Dokja Company> dengan pengorbanannya sendiri.

Kugugugugugu!

Suara gemuruh terdengar dari atas—dari gerbang Time Fault bertanda 「1863–99th Round」.

Di balik portal itu, sesuatu menggeliat dengan kekuatan menakutkan.

[Spear that Draws the Boundary of the Sea, apa yang terjadi?!]

Para Dewa Dua Belas <Olympus> berdiri di depan Constellation tingkat mitos, melindungi mereka—tapi Zeus dan Poseidon hanya menatap portal itu, terpana.

Hephaestus, si Pandai Besi Gunung Berapi, yang pertama sadar.

[Astaga… makhluk gila itu…]

Barulah mereka menyadari sosok asli yang tersembunyi di balik portal itu.

Bayangan ekor raksasa melintas di dalam celah Time Fault.

「Di sanalah ‘Calamity of the Stars’.」

Aku sadar lagi—ini memang Fear Realm.

Tingkatan Fear dibagi menjadi:
Catastrophe.
Disaster.
Natural Disaster.

Namun di atas semua itu—ada satu lagi.

Akhir dari Kisah.

Fear yang cukup kuat untuk menghancurkan seluruh <Star Stream>.

[Kau gila! Kalau kau panggil itu, semua akan musnah—!]

Teriakan para Constellation tak berarti.
King of Fear mengangkat tangannya perlahan.

【Datanglah.】

Chunghuh pernah berkata:
Fear of the End bukanlah ketakutan yang bisa dihindari.”
“Itu ketakutan yang hanya bisa diterima.”

Dan kini, Fear itu bangkit di bawah perlindungan Giant Tale.

Aku tahu nama Fear itu.
Dalam panduan Han Sooyoung yang terkenal:
“Guide to Fear Realm That Even a Squid and Sunfish Can Understand”,
makhluk ini disebut—

「Type 1 End-of-the-Story Fear.」

Prototipenya adalah—

「The Last Dragon of the Apocalypse.」

Bayangan ekor raksasa mengguncang udara.

Semua orang di sini tahu.
Satu kibasan saja akan menghapus seluruh Fear Realm.

Tsutsutsutsut!

Badai probabilitas mengamuk.
Kemunculan naga terakhir menghancurkan keseimbangan sepenuhnya.

Di tengah dunia yang dilanda kilau putih,
sang dewa yang paling maha tahu dan paling tak berdaya berbisik:

【Seperti katamu, aku hanya bisa bermimpi. Tapi…】

Jarinya menunjuk armada <Olympus>.

【Kalian juga bagian dari mimpiku.】

Dan akhirnya—
ekor naga terakhir itu bergerak.

【Aku selalu bermimpi buruk.】

872 Episode 47 King of Fear (16)

Berapa lama King of Fear harus bertahan demi momen ini?

Mimpi yang mengerikan, indah, alami, sekaligus misterius.
Sebuah mimpi buruk yang akhirnya menandai akhir dari sebuah dunia.
Kegelapan abadi yang tak satu pun cahaya bintang berani menyingkap asalnya.

Di dalam kegelapan itu—ekor terakhir bergerak.

[Kim Dokja!]

Jang Hayoung, yang terlambat muncul dari balik gerbang, menjerit.
Namun suaranya tenggelam ke dalam kisah Giant Tale dan lenyap tanpa jejak.

Jari King of Fear menurun perlahan.
Ekor naga terakhir menanggapi gerakan itu dan melesak turun.

[Giant Tale, ‘Season of Light and Darkness’, terulang kembali!]

Ekor terakhir mengibas, menimbulkan dentuman menggelegar.
Gelombang kejut pertama melintas melalui pintu Time Fault.

Aku menyaksikan semuanya lewat [Omniscient Reader’s Viewpoint] Stage 0.
Waktu panjang yang dihabiskan King of Fear untuk bermimpi—menembus ke dalam jiwaku.

[Cerita, ‘King of Fear’, mulai bercerita.]

Saat itu, aku adalah King of Fear—dan King of Fear adalah aku.

Kim Dokja yang telah bermimpi begitu lama di dalam Big House—tempat kecil yang bahkan tak sebanding dengan dunia yang ia dambakan.

Hayoung-ah.

Dan di sisinya, selalu ada seorang petarung yang menemaninya.

Kau pikir, aku bisa punya mimpi yang bahagia suatu hari nanti?

Bahkan dirinya—yang lebih mencintai kesedihan daripada siapa pun—
ternyata hanya ingin bermimpi bahagia.

Namun ia tak tahu seperti apa mimpi bahagia itu.
Ia telah lupa—mungkin juga tak pernah benar-benar tahu.

Jang Hayoung berkata lembut padanya.

Bermimpi bahagia itu tidak penting.

Sambil mengusap kepala anak laki-laki yang sudah lupa rasanya kebahagiaan,
Jang Hayoung menceritakan kisah lama padanya.

Yang penting, kau masih hidup sekarang.

Jang Hayoung pun tidak tahu apa itu kebahagiaan.

Namun di dinding yang dikenal sebagai 「Wall of Impossible Communication」,
ia telah menulis kalimat-kalimat kecil sejak lama.
Kalimat yang ia tulis satu per satu, berharap seseorang membacanya suatu hari nanti.

Kini, ia membaca ulang tulisan-tulisan itu.
Tulisan yang dulu ingin ia tujukan pada seseorang—pada siapa pun yang mau mendengarkan.

Membantu Aileen di toko jam Etica.
("Sebenarnya, aku bahkan tidak paham cara kerja jam.")

Rasa ‘Devil’s Stir-Fried Tripe’ buatan Chef Marc di Ruined Lodge.
("Kau akan menyesal kalau hanya melihat penampilannya.")

Hari pertama ia bertemu Kim Dokja di dunia skenario yang mengerikan itu.
("Bajingan itu menyenggol bahuku duluan…")

Momen saat waktu kembali mengalir di Demon World yang sebelumnya terhenti.
("Rasanya seperti napas yang akhirnya bisa keluar lagi.")

Kenangan seorang gadis yang seumur hidup meragukan kemampuannya,
namun untuk pertama kalinya mekar—dan menjadi ‘fighter’-nya Kim Dokja.
("Saat itu… aku benar-benar tak bisa berhenti menangis.")

Saat orang-orang yang tak diberi peran dalam skenario akhirnya berdiri bersama,
menjadi ‘Kim Dokja’ mereka sendiri, dan berteriak revolusi.
("Aku… tak akan pernah melupakannya.")

Jang Hayoung mengisahkan semua itu—seolah bercerita tentang sesuatu yang menyedihkan, menyusahkan, namun juga indah.

Kim Dokja mendengarkan dalam diam, mengangguk, lalu bertanya:

Itukah kebahagiaan?

Jang Hayoung terdiam sesaat, lalu tersenyum samar.

Aku tidak tahu.

Lalu kenapa kau menceritakannya padaku?

Karena aku ingin kau hidup.

Saat kisah itu menarik napas terakhirnya—ia menghilang.

[Cerita, ‘King of Fear’, mengakhiri penceritaannya.]

King of Fear menatap ke arah Jang Hayoung yang berteriak dari kejauhan.

【Maaf… Aku tidak bisa menepati janjiku sampai akhir.】

Gelombang kejut dari kibasan ekor menghantam, menghancurkan seluruh bagian atas Time Fault Room.
Menurut kisah utama, ‘kibasan pertama’ dari Final Dragon mampu menghancurkan seperempat <Star Stream>.

Ada tiga gelombang kejut dalam setiap ‘tail strike’—
dan yang datang saat ini adalah gelombang pertama.

Saat itu, Astraphe milik Zeus menembak ke langit.
Armada <Olympus> telah menata formasi, menunggu perintah.

[Tembak.]

Puluhan kapal menyalakan meriam cahaya bersamaan.
Satu tembakan mengandung legenda besar <Olympus>.

Kekuatan luar biasa dari setiap ledakan menyapu Outer Gods di sekitarnya,
dan menabrak gelombang kejut naga terakhir itu.

Kukukukukukuku!

Namun meski terus menerus dihantam, gelombang itu tak bergeming sedikit pun.

Akhir semakin dekat—perlahan namun pasti.

Wajah Dewa-Dewa Dua Belas menggelap.

[Bagaimana mungkin…!]

Itulah kekuatan Final Dragon—bencana yang mengakhiri Perang Suci antara Cahaya dan Kegelapan.

Meski begitu, ada satu cara untuk menghentikan serangan itu.
Di kisah utama, Kim Dokja sendiri yang menghentikan gelombang pertama itu.

「 Gelombang pertama dari kibasan ekor terdiri dari ‘petir’. 」

Jika mengingat jajaran Constellation yang menahan gelombang itu dalam cerita asli,
Zeus—Constellation kelas mitos yang menguasai petir—seharusnya bisa menahannya.

Namun keputusan Zeus adalah—

[Mundur.]

Sebuah portal terbuka, dan armada mulai mundur cepat.

Dalam sekejap, Zeus mengambil keputusan.
Meski ia bisa menetralkan gelombang pertama, kekuatan naga terakhir terlalu besar.
Jika ia menahannya di sini, kehancuran justru akan lebih besar.

Pilihan pengecut—tapi bijak.

Karena…

Tsutsutsutsutsut!

Segera setelah kibasan ekor dimulai, seluruh Fear Realm tersapu oleh badai probabilitas.

【Ahahahahahaha!】

Ruang itu nyaris hancur—setiap detik bisa menghapus keberadaannya.
Siapa pun yang waras pasti sudah melarikan diri.

[‘Fragments of the Oldest Dream’ mulai terdorong keluar.]

Zeus, dari balik portal, menatapku sekali terakhir.

[<Olympus> akan merebut kembali milik kami, ■■.]

Lalu kehadiran mereka lenyap sepenuhnya.

[Giant Nebula, <Olympus>, mengalami pukulan besar dan meninggalkan ‘Fear Realm’.]

Aku tersenyum getir.

Setelah membuat kekacauan seperti ini—mereka lari.

Namun setidaknya, kisah <Olympus> kini mengalami keretakan besar.
Meski neraca probabilitas kacau, kekuatan yang mereka gunakan di Fear Realm
adalah kekuatan untuk bab terakhir skenario.
Mungkin, setelah ini mereka harus turun dari takhta Tiga Nebula Besar.

Tapi… bagaimana dengan kami?

<Olympus> lenyap, tapi gelombang kejut naga masih menghantam.

【Ooooooooooo!】

Outer Gods yang ketakutan melarikan diri ke berbagai Time Fault.

Aku sempat berpikir memanggil Jaehwan, tapi seperti kata Jang Hayoung—itu sudah mustahil sekarang.

Artinya mulai sekarang, kami harus menahan gelombang itu sendiri.

Dalam kisah utama, ada empat Constellation yang menahan tail strike itu:
Thor, Dionysus, Kim Dokja dengan [Electrification], dan Kyrgios.
Bersama, mereka menahan gelombang pertama.

Namun di sini—tidak ada Thor. Tidak ada Dionysus.

Yang ada hanyalah…

[Sepertinya muridku gagal, tapi setidaknya dia masih hidup.]

Saat menoleh, kulihat Cheok Jungyeong berdiri dengan mata membelalak.
Syukurlah, para pemimpin Transcendent Alliance masih hidup.

[Tapi terlalu dini untuk menyerah.]

Kyrgios melesat ke langit, aura Transcendental-nya memancar tajam.

[Ada satu ‘Paradox’ di sini.]

Petir putih kebiruan meledak dari tubuhnya, menahan sebagian gelombang.

Kugugugugu.

Namun terlalu besar bebannya untuk satu orang.
Bahkan bagi pemimpin Transcendent Alliance, sendirian ia tak akan sanggup menahan naga terakhir.

Untungnya, ia tak sendirian.

【Eeeeeeeeeeeeeee!】

Raja para Transcendent, Jang Hayoung, mengaktifkan [Electrification] dan menerjang ke arah Kyrgios.

Bersamaan, beberapa Outer Gods ikut bertarung di sisi mereka.

【Oooooooooo!】

Ilusi atau kenyataan—
punggung mereka, dalam sekejap, terlihat seperti Thor dan Dionysus.

Tubuh Jang Hayoung mulai terbakar hitam,
ia berbalik dan berteriak padaku:

[Kim Dokja! Tutup pintunya! Cepat!]

Dan seketika aku menyadarinya.

Alasan mengapa ekor Apocalypse Dragon bisa mencapai Fear Realm adalah karena King of Fear membuka pintu Time Fault.
Jadi kalau pintu itu bisa ditutup kembali—

King of Fear tidak bisa menutup ‘pintu’ itu.

[‘Omniscient Reader’s Viewpoint’ Stage 0 dilepaskan.]

Aku tersedak—
keluar dari mulut King of Fear bersama lendir hangat yang lengket.

【Maknae.】

Aku membuka mata dalam tubuh inkarnasiku, sedikit pusing.
King of Fear berdiri di hadapanku, terbakar menyilaukan.

Aku tahu kenapa ia memanggilku.

Kim Dokja yang hanya pernah bermimpi buruk—
untuk memanggil Apocalypse Dragon, ia telah menghabiskan seluruh probabilitas yang dimilikinya.

【Aku tidak bisa menutup ‘pintu’ itu.】

Ia tak bisa menghentikan mimpinya sendiri.

【Kereta akan datang sebentar lagi. Aku akan menaikkanmu dan anak-anak ke sana—agar kalian bisa pergi jauh dari Fear Realm.】

Bahkan di saat terakhir, ia tetap memikirkan orang lain, bukan dirinya.

“Jadi kau menyerah begitu saja? Kita sudah sejauh ini!
Kau yang memanggil bencana itu—kau juga bisa menghancurkannya! Jadi—”

King of Fear menggeleng pelan.

【Aku sudah bermimpi terlalu lama… tapi mimpi yang bisa kumiliki hanyalah mimpi buruk.】

“Tapi—”

【Mungkin ada satu pengecualian.】

Ia menatap seluruh Fear Realm sekali lagi, lalu memalingkan wajah padaku.
Tatapan itu begitu berat, hingga aku hampir kehilangan keseimbangan.

【Mungkin… momen ini.】

Saat pertama kali bertemu King of Fear, aku menganggapnya menakutkan.
Tapi sekarang—
Ia terlihat menakjubkan.

Sosoknya yang rela mempertaruhkan segalanya demi menyelamatkan yang lain…
terlihat lebih seperti Kim Dokja daripada Kim Dokja mana pun yang kukenal.

【Mungkin inilah alasan aku bermimpi selama ini.】

Suara klakson terdengar dari kejauhan.
Kereta itu datang—kereta bawah tanah yang dulu membawaku ke dunia skenario ini.

Subway on the Way Home from Work.

【Terima kasih, Maknae, sudah memberiku mimpi yang indah.】

Ironisnya, kereta yang dulu menyeret kami ke neraka—
kini menjadi satu-satunya jalan menuju keselamatan.

“Ayo pergi bersama.”

Aku menggenggam tangannya erat-erat.

Namun King of Fear menggeleng.

【Itu tidak mungkin. Aku adalah Fear Realm itu sendiri.】

“Kalau kau mati di sini, semua mimpi yang telah kau kumpulkan akan lenyap, bukan?”

【…】

“Ada satu cara.”

Aku menatap antara gelombang kejut yang hampir menyentuh dan kereta yang mendekat dari kejauhan.

“Ada satu cara untuk menghindari ‘Akhir’—tanpa membuat Fear Realm ini lenyap.”

873 Episode 47 King of Fear (17)

【Sebuah cara untuk menghindari ‘Akhir’ tanpa membuat satu pun Fear lenyap.】

King of Fear tersenyum getir, seolah menertawakan betapa mustahilnya kata-kataku.

【Kau juga ternyata Kim Dokja yang tak berdaya.】

Kupikir, siapa pun Kim Dokja di dunia mana pun pasti akan bertindak sama sepertiku jika tahu apa yang ia pikirkan.

Percikan probabilitas kembali beterbangan di udara.
Kereta yang melaju dari kejauhan tersangkut dalam jaring probabilitas—terhalang untuk melintas.

Mungkin <Star Stream> sedang mencegah kereta itu lewat.
Menahan jalannya agar King of Fear tak bisa naik, agar ia tak bisa melarikan diri dari dunia ini.

Satu hal yang melegakan: kekangan itu hanya berlaku padanya.
Karena guncangan besar dari benturan probabilitas, laju ekor Final Dragon pun melambat.

Sekarang—adalah waktu yang sempurna untuk kabur dari Fear Realm.

[Semua orang! Cepat naik ke kereta!]

Teriakan Jang Hayoung menggema dari garis depan, tubuhnya menahan gelombang kejut naga terakhir.
Outer Gods dan para Transcendent yang tak sempat menembus Time Fault mulai naik satu per satu.

Melihat penduduk Fear Realm berlarian menuju keselamatan, King of Fear membuka mulutnya perlahan.

【Aku tidak bisa naik itu. Tapi kau dan teman-temanmu masih bisa. Pergilah.】

“Aku tidak akan naik.”

King of Fear menatapku kosong sejenak, lalu bertanya.

【Kau tahu apa artinya itu?】

“Aku tahu.”

Hanya ada satu cara untuk mengakhiri kiamat ini tanpa menghapus apa pun dari dunia ini.

“Kita akan menjadi satu Kim Dokja.”

Aku akan mengambil alih ceritanya, menutup pintu Time Fault yang sedang dicoba dilewati oleh Apocalypse Dragon.

【Kau mungkin gagal. Kau mungkin mati seperti anjing di pinggir jalan.】

“Tidak. Aku bisa melakukannya.”

Mungkin aku takkan mampu sendiri—
tapi kami bisa melakukannya berdua.
Jika kami menggabungkan kekuatan dari dua fragmen Kim Dokja,
jika kami menyatukan imajinasi yang bahkan diinginkan oleh <Olympus>—
maka itu pasti bisa.

Dan yang paling penting—

“Aku juga pandai bermimpi.”

Aku tak yakin apakah mimpi yang kami ciptakan nanti adalah mimpi yang diinginkan oleh King of Fear.
Namun satu hal pasti: mimpi itu akan menjadi mimpi yang menyenangkan.

[Constellation, ‘Goryeo’s First Sword’, mengamati pilihanmu.]
[Constellation, ‘Maritime War God’, mengamati pilihanmu.]
[Constellation, ‘Abyssal Black Flame Dragon’, mengamati pilihanmu.]
[Constellation, ‘Father of the Rich Night’, mengamati pilihanmu.]

Bahkan Dewa Dunia Bawah yang belum muncul hingga kini ikut menatap ke Fear Realm.
Mungkin ia mendengar berita tentang kehancuran <Olympus> dan datang untuk menyaksikan.

Entah bagaimana, aku merasa tak keberatan mereka melihat ini.
Semakin banyak bintang menyaksikan panggung ini, semakin besar pula skala Giant Tale yang akan kami dapatkan bila berhasil menuntaskannya.

King of Fear menatap langit bersamaku, memandangi bintang-bintang yang menyaksikan.

【Kupikir mimpi selalu harus dijalani sendirian.】

Tangan yang ia ulurkan sudah hampir hancur.
Kim Dokja Kedua—menggenggam tanganku dengan sisa kekuatan terakhirnya.

Aku merasakan kisahnya mengalir melalui genggaman itu.
Kisah yang merangkum seluruh Fear Realm.

【Apa pun mimpi itu… ini adalah perpisahan kita, Maknae.】

Melihat ekspresi lelahnya, sesuatu yang haus dan panas mendidih di dadaku.
Karena jika dua Kim Dokja menjadi satu, maka salah satunya akan lenyap—diserap oleh yang lain.

[Cerita, ‘Heir of the Eternal Name’, menertawakan tekadmu.]
[Cerita, ‘Heir of the Eternal Name’, membuka mulutnya, seolah telah menunggu saat ini!]

Kutahan desakan kisah itu dengan seluruh kesadaranku dan berkata pelan,

“Apa maksudmu?”

Benar, dalam aturan dunia ini, dua fragmen memang seharusnya melebur menjadi satu.

Namun ada satu hal yang belum ia ketahui.

“Kau masih belum tahu seperti apa mimpi yang bahagia itu.”

[Skill eksklusif, ‘Fourth Wall’, aktif!]

Alih-alih menyerap kisah King of Fear,
aku membiarkan kisahnya mengalir ke dalam [Fourth Wall].

[Skill eksklusif, ‘Fourth Wall’, sedang merekam kisah.]
[Trait, ‘Record Repairer’, aktif!]
[Rekaman yang hilang mulai diperbaiki.]

King of Fear menatapku terkejut—matanya membulat tak percaya.

Aku tersenyum dan menambahkan pelan,

“Setidaknya sampai kau tahu artinya—”

Kisah itu mengalir di nadiku seperti arus listrik yang menyala panas.
Kesadaranku bergetar, memudar, lalu kembali lagi.

“Kau harus tetap bersamaku… sampai kita menemukan apa itu ‘kebahagiaan’ kita.”

Situasi kali ini berbeda dari Kim Dokja Pertama.
Kisah yang kutransfer ke [Fourth Wall] bukan sekadar fragmen—
melainkan keseluruhan Fear Realm.

[Guncangan probabilitas mendekat!]

Jang Hayoung, yang melihat perubahan kami dari jauh, menjerit.

Namun tak ada satu pun yang bisa mendekat.
Jaring probabilitas yang membungkus kami menolak segalanya.

Seolah-olah arus makin cepat, kisah Fear Realm mengalir semakin deras ke tubuhku.

Awal dan akhir dari sebuah dunia ada di sana.

Suara para Outer Gods, kenangan para Transcendent,
dan cemooh para Constellation—semuanya menembus pikiranku.

Dan di dalamnya, ada suara satu makhluk agung.

「 【Apakah kau ‘King of Fear’?】 」

Nada suara itu begitu berat—setara dengan “akhir dari kata”.

「 【Jika kau pikir bisa mengurung kami di ‘rumah’ selemah ini, kau keliru.】 」

Aku berjuang keras untuk tetap sadar, mencatat tiap kalimat kisah itu.

「 【Usahamu patut dipuji. Maka, aku akan menunggu sedikit lebih lama.】 」
「 【Ingatlah, anak kecil.】 」
「 【Kau tidak bisa menghentikan kiamat hanya dengan menghalangi kami.】 」

Aku tak tahu Outer God mana yang bicara—
mungkin ada sesuatu yang belum dikatakan oleh King of Fear.

「 【Ingatlah. Kalianlah yang pertama kali mencuri kisah kami.】 」

Sesak.
Aku merasakan sesuatu dalam diriku mengembang, seperti bendungan yang hampir jebol.

[Skill eksklusif, ‘Fourth Wall’, memperingatkanmu!]

Batas itu akhirnya tercapai.
Dindingku tak sekuat milik Kim Dokja yang pertama.

【Maknae.】

Perpustakaanku terlalu kecil untuk menampung kisah King of Fear tanpa rusak.

【Lepaskan.】

Aku tak melepaskannya.

Jika aku bertahan sedikit lagi, aku bisa tahu kebenaranmu.
Aku bisa tahu apa yang kau sembunyikan—
dan mungkin, aku bisa mengerti dirimu.

Dan dengan begitu,

「 Aku bisa menyelamatkanmu. 」

Namun kesadaranku terputus tiba-tiba.
Seolah sebagian kepalaku dicabut dari kenyataan.

【Maknae!】

Dalam sisa kesadaranku, kudengar suara panik King of Fear memanggilku.
Suara yang terdengar jauh… seperti berasal dari mimpi.

【…!】

Di tengah percikan cahaya, tubuh inkarnasi kami perlahan menghilang.

Kemudian—sebuah portal kecil terbuka di belakang King of Fear.

Dari portal itu muncul sebuah tangan putih murni.

Aku tahu tangan itu.
Aku berusaha berteriak memperingatkannya—

Jangan biarkan dirimu disentuh oleh tangan itu!
Kalau tidak, kau juga akan lenyap seperti kkoma Kim Dokja yang lain—

Namun tangan itu bergerak lebih cepat.
Mencengkeram tengkuk King of Fear.

King of Fear menoleh.
Kapan ia menyadarinya?
Sebelum aku sempat berkata apa pun,
ia menahan tangan putih itu dengan tangan yang masih menggenggam tanganku.

【Maaf… tapi aku tak bisa memberikannya padamu.】

Seolah ia sudah tahu siapa pemilik tangan itu.

Mimpi seharusnya dijalani sendirian. Maka pergilah bersamaku, ke tempat di mana kau bisa bermimpi sendiri.

【Tidak.】

Kenapa baru sekarang kau berubah pikiran?

【Aku tidak tahu.】

Ia menatapku dalam diam, lalu berkata dengan nada yang sangat pelan—

【Kalau kau tidak tahu itu, kau tak akan pernah bisa mengumpulkan semua ‘fragmen Kim Dokja’.】

Tangan putih itu berhenti, lalu tertawa kecil.

Itulah kenapa aku benci Kim Dokja.

Cahaya putih menyilaukan meledak.
Teriakan King of Fear terdengar—penuh rasa sakit.
Percikan di sekeliling kami perlahan memudar.

Kesadaranku kembali.

“King of Fear!”

Tak ada jawaban.

“Kim Dokja!!”

Tangan yang menggenggamku… telah lenyap.

[Skill eksklusif, ‘Fourth Wall’, berhenti merekam.]
[Cerita, ‘Heir of the Eternal Name’, menjilat bibirnya.]

Aku tak bisa memahami apa yang baru saja terjadi.

Kesadaranku sempat hilang,
tangan putih itu muncul, berbicara dengannya—
dan saat aku sadar kembali, King of Fear sudah tiada.

[Kau telah mencapai prestasi yang mustahil!]
[Great Dokkaebi dari Biro Manajemen memperhatikan kehadiranmu!]
[Myth Tale-mu berevolusi sekali lagi!]
[Tale-mu kini mengandung kemungkinan menjadi ‘Giant Tale’!]
[Probabilitas <Star Stream> mulai bergerak!]

Namun aku tak merasa senang sedikit pun.

Dari kejauhan, suara klakson kereta menggema.
Kereta yang membawa Outer Gods dan para Transcendent siap berangkat.

[Kim Dokja! Cepat pergi! Aku tak bisa menahannya lebih lama lagi—!]

Jang Hayoung masih berdiri di garis depan, menahan kibasan terakhir naga itu.

Tapi aku tak bergerak.

Jika Great King of Fear benar-benar lenyap—
atau dibawa oleh White Hand,
yang berarti oleh Asmodeus…

Wuuuung.

Getaran terasa di lenganku.
Ponselku bergetar di saku. Aku segera mengangkatnya.

Bajingan gila!

Itu suara Kim Dokja Pertama—Demon King of Salvation.

“Apa yang terjadi?”

Apa yang terjadi?! Kau tahu apa yang baru saja kau lakukan?!

“Kau semua melihatnya. Apa yang terjadi pada King of Fear?”

Suara di seberang terdiam.
Lalu terdengar helaan napas berat.

Yang Kedua sudah masuk dengan selamat.

Aku menghela napas lega.

Tapi… sepertinya ada kerusakan pada kisahnya di perjalanan. Ia belum sadar.

“Kerusakan kisah?”

Yang penting, dia selamat. Tapi kau sadar apa yang baru saja kau perbuat? Sekarang—

“Tolong bantu aku.”

Hah?

Yang terjadi di dalam [Fourth Wall] memang penting—
tapi yang lebih penting sekarang adalah hal yang ada di depan mataku.
Gelombang naga terakhir sedang menuju ke arah kami.

Kau tak bisa kabur saja naik kereta?

“Kalau aku kabur, bagaimana dengan dia?”

Aku menatap sosok di depan—
yang masih menahan gelombang kejut seorang diri.

Fighter-nya Kim Dokja.
Orang yang bersumpah akan melindungi sisi Kim Dokja, apa pun yang terjadi.

“Jang Hayoung akan mati.”

Ia tak naik ke kereta.
Mungkin, ia sudah memutuskan bahwa tempat ini adalah ■■ miliknya.

Meski berhasil menahan gelombang pertama,
Apocalypse Dragon masih punya dua lagi.

“Kita harus menutup pintunya. Tidak ada cara lain?”

Awalnya, aku berniat menutup Time Fault dengan kekuatan King of Fear.
Namun karena aku tak benar-benar menyerapnya—
dan kini ia tak sadarkan diri di dalam [Fourth Wall]—
aku tak bisa mengendalikan apa pun di Fear Realm.

Jika dibiarkan, aku akan tersapu oleh ekor naga dan jatuh ke dunia bawah.

Kalau begitu, kau memang keras kepala… tapi bisa saja.

“Bagaimana caranya?”

Kau bicara sangat yakin pada Yang Kedua tadi. Tapi bukankah kau punya rencana lain?

“Rencanaku adalah kau.”

Kuraih napas dan tersenyum miring.

“Cepat beri tahu. Kalau tidak, mungkin aku akan terbunuh karena menunggumu.”

Demon King of Salvation mendengus kecil di seberang sana.

Seperti itu rupanya.

“Apa maksudmu?”

Langsung saja maju. Tutup pintunya begitu kau mendekat.

“Itu gila. Aku akan mati.”

Bahkan Constellation tingkat tertinggi pun lenyap terkena gelombang itu—
bagaimana mungkin aku bisa mendekat?

Namun jawabannya datang ringan.

Sekarang kau akan baik-baik saja. Ah… sudah selesai.

Seketika, jendela biru muncul.

[Efek trait, ‘Record Repairer’, aktif!]
[Perbaikan catatan selesai!]
[Skill eksklusif, ‘□□’, pemulihan selesai.]
[Kau kini menjadi ‘Recorder of Fear’ yang baru.]

874 Episode 47 King of Fear (18)

Recorder of Fear.

Aku tak sepenuhnya mengerti mengapa peran itu diberikan padaku sekarang.

[Sejumlah besar ‘Kehilangan’ telah terkumpul.]
[‘Kehilangan’ yang telah kau kumpulkan akan direkam pada Dinding Terakhir.]

Setahuku, aku belum memenuhi prasyarat untuk menjadi seorang Recorder of Fear.

Menurut informasi dari Bicheonhori, ada dua syarat utama untuk menjadi Recorder of Fear.

Pertama — kau harus telah mencapai ‘akhir’ dari dunia, namun tidak puas dengan akhirnya.
Kedua — kau harus memiliki ‘kemungkinan untuk merekam’ yang bisa diharapkan oleh Oldest Dream.

Yang kedua sulit didefinisikan. Tapi yang pertama sangat jelas.

Baik Asmodeus maupun Bicheonhori berhasil bertahan hingga akhir garis waktu masing-masing, namun tidak puas dengan akhir dunia mereka. Maka mereka menjadi Recorder of Fear.

Sedangkan aku… bahkan belum menyaksikan ‘akhir dunia’ dengan mataku sendiri.
Ya, aku memang sempat melihat sekilas akhir dari Round ke-40 melalui Time Fault, tapi itu hanya sekadar bayangan.

“Bagaimana aku bisa menjadi Recorder of Fear?”

Demon King of Salvation menjawab santai, seolah pertanyaanku aneh.

Kau sudah melihat akhir dunia.

“Akhir dunia? Maksudmu yang kulihat di Time Fault?”

Apa yang kau bicarakan? Hei, hati-hati. Itu datang.

Aku mendongak cepat, menghindari massa gelombang kejut yang melesat ke arahku.

Gelombang itu melintas di pipiku seperti bilah tajam, menghantam dinding Time Fault Room dan menghancurkan segalanya menjadi debu.

Kau Kim Dokja.

Kepalaku berdenyut. Tapi anehnya, aku tidak merasa gugup sama sekali.
Seolah aku sudah pernah mengalami ini sebelumnya—
Ketenangan luar biasa meresap dalam hatiku.

Kita sudah pernah melihat ‘Akhir Dunia’ sekali, di Round ke-1.864.

Begitu mendengar kata-kata itu, aku segera teringat sesuatu.
Kubuka kembali log pesan sistem.

[Efek dari Trait, ‘Record Repairer’, aktif!]
[Perbaikan catatan selesai!]

Efek Record Repairer adalah memulihkan ‘cerita’ yang hilang melalui Fragmen Kim Dokja yang telah kudapatkan.
Dan kali ini, karena perbaikan itu, aku mendapatkan kembali skill [□□] dan menjadi Recorder of Fear.

“Jadi kita memang sudah punya kualifikasi itu sejak awal.”

Benar.

“Apakah Kim Dokja punya cerita yang ingin ia ubah?”

Mungkin saja.

Meskipun Kim Dokja telah melihat akhir dunia, ia masih memiliki satu kisah yang ingin ia ubah.
Baik aku, maupun Demon King of Salvation, bahkan mungkin King of Fear, tak tahu apa itu.

Hanya “Kim Dokja yang satu-satunya” yang tahu.

Apa yang ingin ia ubah mungkin Round ke-999,
atau Round ke-1.864.
Atau mungkin—

Bisa jadi... sekarang.

Gelombang kejut berikutnya datang, kali ini jauh lebih besar.
Aku tak mungkin menghindar tepat waktu.

Jadi aku tak menghindar.
Sebaliknya, aku membuka [Bookmark], menyalakan karakter yang sudah kupahami sepenuhnya—Kyrgios Rodgraim.

[Exclusive Skill, Electrification Lv.??? aktif!]

Teknik pamungkas Kyrgios—humanisasi sempurna yang menembus batas manusia—mewarnai tubuhku dengan aura Baekcheong.

Kuraih Unbreakable Faith dan menebaskannya ke arah gelombang petir yang datang.

Tsutsutsutsut!

Ujung jariku menyala, terbakar oleh sengatan listrik.
Rasa sakit menembus seluruh tubuhku seperti petir yang menari di pembuluh darah.

Harga untuk kekuatan yang belum bisa kutanggung.

Ada keuntungan jadi Recorder of Fear. Salah satunya: toleransimu terhadap probabilitas meningkat.

Memang benar.
Asmodeus, Recorder of Fear yang pertama, pernah mengacau di skenario awal dan tetap selamat meski melawan arus probabilitas.

Dalam kasusmu, toleransi itu akan meningkat lebih jauh.

[Cerita, ‘One Who Rewrites Fate’, memulai penuturan.]

Efek Recorder of Fear bertumpuk dengan efek kisah One Who Rewrites Fate.
Keduanya beresonansi, dan tekanan dari probabilitas Star Stream perlahan menurun.

Meski tubuhku diselimuti petir, kesadaranku masih utuh.
Tapi—

“Masih belum cukup.”

Kekuatan ini belum cukup untuk menutup pintu Time Fault.

Namun Demon King of Salvation terdengar tetap tenang.

Tak apa. Kita sudah menghadapi Kiamat sebelumnya.

“Kita memang sudah melakukannya.”

Begitu juga dengan yang Kedua.

Saat aku berkedip pelan, kisah Kim Dokja Kedua mengalir dari [Fourth Wall].

Dialah Watcher of Light and Darkness.

Pengalaman Great Battle of the Holy Demons yang ia simpan kini mengalir melalui tubuhku.
Pertarungan para Archangel dan Demon King.
<Kim Dokja’s Company> yang kembali beraksi.

[Giant Tale, ‘Season of Light and Darkness’, sedang bercerita.]

Tubuhku diselimuti aura cerita besar itu.
Aku berlari menembus gelombang petir, seperti mesin yang diberi sayap.

Tsutsutsutsut!

Aku bisa melakukannya.
Dengan kekuatan ini, aku bisa menutup ‘pintu’ itu.

Maknae! Kiri!

Aku menepis gelombang, menangkis kilatan listrik, memotong jalan menuju pintu tempat ekor terakhir menggeliat.

[Tidak!]

Jang Hayoung berteriak, menyadari apa yang hendak kulakukan.

Fase pertama akan segera berakhir! Fase kedua akan dimulai!

Gelombang kejut Final Dragon terdiri dari tiga fase.
Jika fase pertama adalah ‘Petir’—
maka fase kedua adalah ‘Api’.

Dan sayangnya, aku tak punya Bookmark karakter yang bisa mengendalikan api.

Artinya, waktu yang kumiliki hanyalah… sampai fase pertama berakhir.

Tidak ada waktu tersisa.

Namun tak apa.

[Kau ingin melakukan sesuatu yang tak terduga.]
[Deskripsikan tindakanmu sendiri.]
[Gunakan 5 poin probabilitas.]

Jika tak ada cara—maka aku akan menulisnya sendiri.

[Exclusive Skill, ‘□□’, aktif.]

Segalanya di sekelilingku berubah tanpa warna.

[‘□□’ — skill yang aktif ketika seseorang hendak melakukan sesuatu yang tak terduga.]

Skill yang telah menyelamatkanku berkali-kali di awal skenario.

[Peringatan! Aktivitas ‘□□’ tidak stabil di area ini!]
[Kau telah memasuki ‘Snowfield’.]
[Waktu untuk berada di ‘Snowfield’ berkurang.]
[Deskripsikan tindakan berikutmu.]

Paragraf Naga Kiamat

<&>「 Pada saat itu, ■■■ adalah □□□□□□□□□□□□□□□□□□…

Berdasarkan tingkat penguasaan saat ini, total ??? deskripsi tambahan mungkin dilakukan.

Mungkin karena sudah lama tak kugunakan, banyak hal yang terasa berbeda.
Namaku hilang, dan jumlah deskripsi tambahan tak tercatat.
Dan waktu—lebih singkat dari sebelumnya.

[Kau hanya bisa berada di Snowfield selama 20 detik.]

Hanya 20 detik.
Terlalu kuat, bahkan untuk sekadar menariknya masuk lebih lama.

Tapi aku tidak panik.
Karena aku tahu, aku bisa menulis sesuatu dalam 20 detik itu.

Aku menulis.
Tanganku bergerak tanpa ragu.
Kata-kata yang tidak perlu terhapus.
Kalimat yang penting muncul sendiri.

[Kau kekurangan probabilitas yang diizinkan.]

Aku ingin menambahkan detail, tapi tak ada lagi probabilitas tersisa.

[Kau kekurangan probabilitas yang diizinkan.]

Aku meninjau ulang semua sumber daya, kondisi, dan alat yang kupunya.
Semua karakter, semua cerita, semua hubungan—

[Kau kekurangan probabilitas yang diizinkan.]

Dan inilah hasilnya.

[Kau menulis sesuatu yang aneh dan menakjubkan.]
[Tingkat keberhasilan reproduksi: 50%.]
[Ingin memeriksa tanggapan pembaca?]

Aku mengangguk.
Aku ingin tahu pendapat mereka—para kkoma Kim Dokja.

Tapi yang kudengar bukanlah penilaian.

rlaehrwk37 sedih membaca kisahmu.
rlaehrwk61 sedih membaca kisahmu.
rlaehrwk99 sedih membaca kisahmu.

Aku membayangkan mereka—para pembaca kecil yang menonton dari bioskop, dari perpustakaan, dari dunia yang bahkan tak kukenal.

[Ingin mencoba mereproduksi adegan ini?]
[Jika gagal, kau akan mati.]

Hanya ada satu hal yang kuinginkan.

[Kau berhasil mereproduksi adegan itu.]
[Kau meninggalkan ‘Snowfield’.]

Agar kisah yang kutulis ini—dan yang kalian baca—tidak menjadi sia-sia.

Saat itu, Kim Dokja berlari.

Aku berlari sekuat tenaga.
Kekuatan besar cerita mengalir seperti api liar dalam darahku.

Dia bukan Kim Dokja yang sempurna.

Kukaji ulang kisah Kim Dokja di kepalaku—lagi dan lagi.

Tapi kini, ia telah bertemu ‘Demon King of Salvation’ dan ‘Watcher of Light and Darkness’.

Untuk memahami diriku, kalian, dan dunia ini lebih dalam.
Untuk menanggung tragedi ini tanpa kebencian.
Aku membaca kisah-kisah itu.

[Tale, ‘Demon King of Salvation’, melanjutkan penuturan.]
[Giant Tale, ‘Season of Light and Darkness’, melanjutkan penuturan.]

Namun kisah mereka terlalu besar, terlalu megah, terlalu jauh untuk benar-benar kupahami.

Namun justru jarak itu—mendekatkanku pada Kim Dokja.

Bahkan jika pemahaman hanyalah cahaya bintang di kejauhan...

“AAAAAAAAHHH!”

Aku menerobos gelombang kejut melalui [Way of the Wind].

Selama manusia tak menyerah untuk memahami, mereka bisa menjadi apa pun.

Aku menembus badai melalui [Jeon Inhwa].

Yoo Joonghyuk telah membuktikannya.

Dengan kekuatan kisah raksasa, aku membelah lautan petir padat di depanku.

Dan Kim Dokja juga telah membuktikannya.

Aku berlari, berlari, dan berlari.
Paha robek, bahu terbakar—aku tak peduli.

Sampai akhirnya, dia mencapai Gerbang Time Fault.

Di sana—sebuah pintu.
Dari dalamnya, kilatan petir keluar tanpa henti.
Aku hanya perlu menutup pintu itu.

KWA-KWA-KWA-KWA!

Kutembus gelombang petir, meraih gagang pintu yang membara.

Dan saat itu—

Kim Dokja berpikir: ‘Terlambat.’

Fase kedua dimulai.

Fase kedua dari Kiamat: Gelombang Api.

Dari balik bayangan ekor naga, gelombang api kedua datang, menyapu segalanya.
Panasnya begitu menyengat hingga gagang pintu pun meleleh.

Tak peduli seberapa cepat dia berlari, ia tak bisa mengalahkan Gelombang Api yang baru dimulai.

Tanganku menggantung di depan pintu merah membara.
Begitu kusentuh, tanganku akan meleleh.

Aku tersenyum getir.
Aku tak bisa menutup pintu itu sendirian.

Berbeda dengan Kim Dokja dari Great Battle of Good and Evil, aku tak punya <Kim Dokja’s Company.>

Benarkah tak ada orang lain?

Bagian belakang kepalaku terasa panas.
Gelombang api datang dari depan—tapi kenapa panas terasa juga dari belakang?

Aku membuka mulut perlahan, merasakan hawa hangat itu.

“Kau berhasil… tidak naik ke kereta.”

Aku tahu.
Karena aku menulisnya begitu.

Kau pasti akan datang.

“Dasar bajingan keras kepala.”

Aku menatap Yoo Joonghyuk dan tersenyum tipis.

“Aku tahu. Tolong bantu aku.”

“Kenapa aku harus melakukannya?”

Aku tahu dia akan menolong.
Karena aku menulisnya begitu.

“Kalau begitu, <Star Stream> takkan hancur.”

“Aku selalu berharap tempat ini hancur.”

Aku tahu dia akan mengatakan itu juga.
Karena aku menulisnya begitu.

“Tapi tetap saja… tolong bantu aku.”

Gelombang api hampir menelan kami.
Di hadapan akhir dunia, aku tersenyum padanya.

Dan Yoo Joonghyuk berkata pelan—

“Aku tahu nama aslimu.”

…Itu bukan sesuatu yang kutulis.

875 Episode 47 King of Fear (19)

Namaku yang sebenarnya.

Begitu mendengar kata-kata itu, berbagai emosi menyerbu sekaligus.

Apakah otakku sudah sedikit terbiasa dengan gelombang kiamat ini?
Atau mungkin aku hanya berpikir... kali ini aku benar-benar akan mati.

Aku tersenyum pada Yoo Joonghyuk yang menatapku kosong.

“Namaku Kim Dokja.”

Namun Yoo Joonghyuk mengabaikanku. Ia mengepalkan tangan, dan seberkas cahaya cerita bersinar di genggamannya.

“Kau satu-satunya idiot yang menaruh namanya sendiri di dalam pangsit.”

“...”

“Aku akan mengembalikannya.”

“Terima kasih atas niatmu.”

Aku terdiam sejenak, lalu berkata pelan.

“Tapi... kurasa aku belum boleh mengambil nama itu kembali sekarang.”

Entah kenapa, aku merasa tekadku akan goyah kalau aku mengambilnya lagi.
Kalau aku sendiri yang memilih menaruh namaku di sana dulu, pasti ada alasannya.

Tanpa sadar, gelombang api sudah naik hingga ke hidungku.

Yoo Joonghyuk mencabut Hwangcheon-wolgeuk miliknya.
Dalam cerita utama, Yoo Joonghyuk menggunakan [Yeolhwasingeom] untuk menetralkan fase kedua ‘Flame Wave’.
Kalau dugaanku benar, Yoo Joonghyuk di Round ke-41 pasti punya skill yang sama.

[Yeolhwasingeom] adalah teknik pedang. Tak cocok digunakan dengan tombak.”

[Yeolhwasingeom] tidak digunakan.”

Bersamaan dengan kata-kata itu, nyala api putih megah menyelimuti tombak Yoo Joonghyuk.

Aku terbelalak.
Bagaimana Yoo Joonghyuk bisa menggunakan Stigma itu?

Lalu cahaya stigma yang menyilaukan menjalar ke tanganku juga.

Kupandangi ujung jariku yang bergetar diterpa nyala api suci.

Tidak semua kalimat yang kutulis dengan [□□] harus terwujud seperti yang kubayangkan.
Misalnya, kalimat yang kutulis kali ini—

Dan seorang Constellation tak terduga melindungi mereka.

Saat menulis itu, mungkinkah aku benar-benar tidak tahu siapa yang akan datang?

[Stigma, ‘Hellfire Lv.???’, aktif!]
[Constellation, ‘Demon-like Judge of Fire’, mendeklarasikan ‘Deus Ex Machina’!]

Deus Ex Machina — peristiwa ketika Constellation turun langsung ke skenario dengan harga probabilitas yang luar biasa besar.

[Constellation, ‘Demon-like Judge of Fire’, tidak menginginkan kematianmu.]

Aku mendongak ke langit.

“Uriel.”

Aku berbicara, bukan hanya untuk diriku—tapi juga untuk Demon King of Salvation, untuk Watcher of Light and Darkness, dan untuk Kim Dokja.

“Aku tidak akan mati.”

Kata-kataku bukan kebohongan.
Karena akhir dari Fear Realm ini sudah ditulis.

Yoo Joonghyuk yang sudah siap berkata,
“30 detik. Hanya itu waktu yang bisa kutahan.”

“Itu cukup.”

“Cari cara dari dalam.”

Begitu Yoo Joonghyuk menubruk gelombang api di depan kami, aku mulai mendorong pintu besar di belakangnya sekuat tenaga.

Kkiiyi—

Berkat perlindungan Uriel, pintu itu tidak meleleh.
Namun ada masalah lain.

Pintu itu... tidak mau menutup.

Engselnya meleleh, rangkanya retak karena panas yang tak tertahankan.
Jika terlambat sedikit saja, pintu itu akan mustahil tertutup.

Tak ada waktu untuk berpikir.

“Heir-ah.”

[Cerita, ‘Heir of the Eternal Name’, menggerutu agar kau berhenti memanggilnya begitu.]

“Tolong bantu.”

Ia menggerutu, tapi mengeluarkan skill yang kubutuhkan.

[Skill eksklusif, ‘Bookmark’, diaktifkan!]

Aku segera menempatkan satu karakter ke dalam bookmark kosong itu.

[Skill eksklusif, ‘Incite Lv.???’, diaktifkan!]

“Aku adalah Lee Hyunsung.”

[Skill eksklusif ‘Incite’ beresonansi dengan ‘Bookmark’!]
[Kau bisa menggunakan satu ‘Stigma’ milik karakter terkait untuk sementara waktu!]

Kedua tanganku memerah, penuh tenaga kasar.

Aku kembali menekan pintu itu dengan sekuat mungkin.

[Atribut eksklusif ‘Mountain Push Lv.10’ aktif!]

Aku membayangkan adegan ketika Lee Hyunsung membuka pintu kereta bawah tanah itu.

“Hwaaaap!” Bicep Lee Hyunsung membengkak, seolah akan meledak saat ia menarik pintu dengan seluruh tenaganya.

Dulu, ia membuka pintu itu untuk hidup.
Sekarang, aku harus menutupnya... untuk bertahan hidup.

Skkkrrrkk—

Pintu mulai bergerak, sedikit demi sedikit.
Tapi terlalu lambat.
Dengan kecepatan ini, tak mungkin selesai dalam tiga puluh detik yang diberikan Yoo Joonghyuk.

Yoo Joonghyuk berteriak, tubuhnya terbakar seperti ngengat di tengah api.

“Cepat!”

“Aku sudah berusaha!”

Dan pada saat itu—

[Panas banget, sumpah.]

Bantuan yang kutunggu akhirnya datang.

Fighter Kim Dokja sudah di sana.

Jang Hayoung menembus gelombang petir, berdiri di sisiku, lalu ikut mendorong pintu itu.

[Aduh! Tanganku! Tanganku kebakar!]

Jang Hayoung tak punya kemampuan untuk mengendalikan api.
Namun kedua tangannya kini berselimut energi merah menyala.

Flame Yang Shingong.

Sepertinya dia menukar skill itu melalui Wall of Impossible Communication di sela waktu yang sempit tadi.

Jang Hayoung memang inkarnasi yang tumbuh paling cepat di seluruh <Star Stream>.
Dengan tingkat penguasaan itu, ia tak bisa melawan Flame Wave sendirian,
tapi cukup untuk membantuku mendorong pintu ini bersama.

[Bangun! Lebih kuat lagi!]

Ia tersenyum di tengah gelombang petir dan kobaran api, seolah menikmati penderitaan ini.

[Maaf, baru kali ini rasanya aku bisa berguna.]

Itu bukan kalimat yang kutulis.
Tapi kalimat yang muncul di ruang kosong—
di tempat di mana seseorang menemukan perannya sendiri.

[Han Sooyoung bilang, dia akan menulis banyak kisahku di side story.]

“...”

[Bagaimana? Aku rasa aku bisa bikin cerita yang keren kayak gini, kan?]

Aku menatapnya sejenak, lalu mengangguk kuat.

“Keren.”

[‘Kan?’]

“Tapi... side story itu mungkin bukan Han Sooyoung yang menulis.”

[Apa? Lalu siapa?]

“Itu—”

Kududukudukuduk!

Gelombang panas meledak lagi.
Kami berhenti bicara dan mendorong pintu itu lebih keras.

[Sedikit lagi! Ayo!]

Begitu pintu sudah lebih dari setengah tertutup, aku berteriak ke Yoo Joonghyuk.
Ia mengaktifkan [Jujak Shinbo] dan melompat mundur dengan cepat setelah menetralkan sebagian gelombang api.

“Sekarang! Tutup!”

Gelombang api perlahan berhenti mengalir.
Dan akhirnya, pintu tertutup rapat.

Namun—

Kukukukuku—

Meski pintu sudah tertutup, api dari sisi lain belum padam.
Lorong di balik portal masih terbuka sedikit.

Jang Hayoung menggertakkan gigi.

[Sial… mekanisme penguncinya rusak.]

Pintu berguncang hebat di bawah tekanan api.
Kami mendorong sekuat tenaga, tapi tetap tak cukup.

“Tidak bisa diperbaiki?”

[Bisa, tapi—]

Ia berhenti bicara. Tapi aku tahu jawabannya.

“Kunci itu… ada di sisi dalam pintu ini, kan?”

Wajahnya menegang.
Ia menatapku seolah ingin bertanya, Bagaimana kau tahu?

Tentu saja aku tahu.
Setiap kali Time Fault Door digunakan, kuncinya selalu di sisi berlawanan dari tempat masuk.

Kim Dokja berpikir.
“Jadi, begini akhirnya.”

Lawan kami adalah Final Dragon of the Apocalypse.
Bahkan Yoo Joonghyuk dan Jang Hayoung tak akan mampu menghentikan bencana seperti itu.

Untuk menutup pintu ini saja dibutuhkan probabilitas yang luar biasa besar.
Dan aku tak bisa menginvestasikan probabilitas tambahan.
Artinya—aku harus menutup pintu ini dari dalam.

[Tidak!]

Jang Hayoung mencengkeram lenganku erat sekali, seolah menolak nasib itu.

[Kau tidak boleh!]

“…”

[Ini bukan sekadar Time Fault! Tahu kenapa yang lain tak bisa melihat pintu ini? Karena ini di luar kendali King of Fear! Ini dunia lain sepenuhnya!]

“Hayoung-ah.”

Cengkeramannya melemah seketika.

[Jangan panggil namaku! Aku tidak akan mengizinkan—]

“Jang Hayoung.”

Bukan aku yang berbicara.
Itu suara King of Fear yang masih hidup di dalam diriku.

Pintu itu berderit lagi, membuka sedikit. Gelombang panas menerobos masuk.

“Ini satu-satunya cara untuk menutupnya.”

[Biar aku saja—]

Heat Yang Shingong-mu tak akan tahan di dalam sana. Dan kalau kau pergi, tak ada yang akan menjaga Fear Realm.

[Kirim Yoo Joonghyuk! Dia bisa—]

Aku menggeleng.

“Tidak. Di dunia lain seperti ini, hanya aku yang mungkin bisa kembali hidup-hidup.”

Jang Hayoung menunduk, bibirnya bergetar.
Aku memegang pergelangannya lembut. Ia tak melawan.

“Tenang saja. Kembali dari kematian itu spesialisasiku.”

Kekuatan terakhir di tangannya hilang.
Tubuhnya ambruk.
Yoo Joonghyuk datang mengambil tempatnya di sisiku.

“Kau tak bisa melakukannya sendirian.”

“Mungkin. Tapi kali ini, kau tak bisa membantuku.”

Ia diam. Aku tahu alasannya.

Ryunard pernah bilang, bukan? Bahwa Fault ini tak bisa dilihat siapa pun.

Pintu ini hanya terlihat oleh makhluk tertentu.

Fault ini hanya dapat dilihat oleh mereka yang berasal dari luar dunia ini, atau oleh para Recorder yang mengamati garis waktu.

Yoo Joonghyuk mungkin bahkan tak bisa melihat apa pun sekarang—
baginya, mungkin terlihat seolah aku menahan badai api dari udara kosong.

“Bertahanlah hidup, Yoo Joonghyuk.”

Ia mengangguk, menyingkir sambil menuntun Jang Hayoung yang pingsan.

Saat mereka menjauh, suaranya terdengar lagi.

Kau harus kembali dan mengambil namamu lagi. Itu tak berguna bagiku.

Itulah perpisahan terakhir kami.

Menutup pintu Time Fault, satu-satunya cara untuk bertahan.

Aku melompat ke celah pintu.
Panas meledak, melumerkan tubuhku seketika.
Aku terus berlari menembus api.

[Skill eksklusif, ‘Fourth Wall’, diaktifkan hingga batas maksimum!]

Untungnya, perlindungan Uriel dan fungsi Fourth Wall menahan sebagian besar panas.

Aku mendorong pintu itu dari dalam, lalu mengunci kaitnya.

Time Fault Door terkunci.

Pintu itu berputar, lalu lenyap di udara kosong.

Tapi—

[Peringatan! Kau berada di luar Garis Dunia!]

Ekor naga terakhir masih bergerak.
Saat perlindungan Uriel menghilang, tubuhku yang direndam panas mulai menghilang juga.

[<Star Stream> mengamati tindakan anehmu!]
[Banyak Constellation terkejut oleh pilihanmu!]

Tsutsutsutsu—

Kanal-kanal yang terhubung padaku terputus satu per satu.
Aku jatuh ke bawah.

Angka di papan identitasku terlintas di benak.

1863-99th Round.

Jika angka itu benar, berarti aku masih berada di dunia Ways of Survival.

Garis dunia Round ke-1.863.

Aku tak tahu seperti apa dunia ini sekarang.
Mungkin dunia tempat manusia sudah punah.
Atau dunia di mana Yoo Joonghyuk telah melihat akhir dan pergi.

Sebuah ruang kosong—tempat di mana aku tak pernah menulis apa pun.

Semua kisah mengalir menuju kehampaan.

Tubuh inkarnasiku menghantam tanah.
Rasa sakit luar biasa menembus tulang. Nafasku terengah di kegelapan pekat.

[Perpindahan garis dunia berhasil.]

Aku masih hidup.

Namun tubuhku tak bisa digerakkan sedikit pun.
Tak ada tanda kehidupan di sekitarku.
Hanya dingin yang menusuk jantung.

Apakah ini dunia tempat semua skenario berakhir?
Tempat saluran dan para Constellation telah lenyap?

Kalau begitu—tidak akan ada jalan untuk kembali.

Kuk.

…Hah?

Kuk. Kuk.

Seseorang menyentuh kepalaku.
Rasanya seperti… sepatu.

“Ini apa lagi?”

Suara manusia terdengar dari atas.

“Aku heran kenapa Apocalypse Dragon bertingkah aneh lagi… tapi kau ini apa?”

Kubuka mata perlahan.
Cahaya samar menembus pandangan.
Dan di sana—terlihat mantel putih berkibar di balik cahaya.

Mantel yang tampak sama persis seperti milik Kim Dokja.

「 Tapi yang mengenakannya… bukan Kim Dokja. 」

Rokok di bibirnya jatuh ke lantai.

Bukan permen lemon—tapi rokok sungguhan.

Begitu aku melihat rokok itu, aku tahu di mana aku berada.

“Round ke…”

Kutelan ludah dengan susah payah.

“…1.863.”

Hanya ada satu orang yang menunggu di akhir Round itu.

Dia, satu-satunya yang menyaksikan akhir dunia yang telah ditinggalkan Kim Dokja.

Ia menginjak rokok yang jatuh itu, memadamkannya.
Kemudian menatapku dengan tenang dan bertanya.

“Kau… mirip sekali dengan seseorang yang kukenal.”

Itulah pertemuan pertamaku dengan Han Sooyoung di Round ke-1.863.

876 Episode 47 King of Fear (20)

Kim Dokja Pertama — Demon King of Salvation menatap surat kabar di atas meja dengan ekspresi tak puas.

Para kkoma Kim Dokja yang menempel di sekujur tubuhnya bersuara pelan.

「 (Aku nggak bisa lihat.) 」
「 (Hyung.) 」
「 (Tunjukkan. Tunjukkan.) 」

Demon King of Salvation mengerutkan kening dan mencabut satu per satu para kkoma yang menempel di tubuhnya. Saat ia mencabut Kim Dokja kecil yang menempel di wajahnya, kalimat terakhir dari surat kabar yang setengah robek itu terlihat.

Transfer garis dunia berhasil.

Itu adalah catatan terakhir dari Si Bungsu.

「 (Apa-apaan ini? Kenapa tiba-tiba terputus? Dia ke mana?) 」

Demon King of Salvation menyembunyikan kegelisahannya di balik wajah datar.
Ia bisa menebak apa yang terjadi.

Si Bungsu melompat ke garis dunia tempat Apocalypse Dragon berada untuk menyelamatkan penghuni Fear Realm, lalu menutup ‘pintu’.
Singkatnya—ia kembali melakukan kebiasaan buruknya.

Tindakan Dokja.

「 (Sial, kenapa semua Kim Dokja seperti ini?) 」

Mungkin beginilah perasaan <Kim Dokja’s Company> saat dulu harus menghadapinya.

Ia mengusap halaman terakhir surat kabar yang terpotong itu perlahan.

[‘Fourth Wall’ sedang dipulihkan.]

Ia tahu mengapa tulisan itu terhenti.

[Komposisi skill eksklusif ‘Fourth Wall’ sangat tidak stabil.]

Seluruh perpustakaan bergetar seperti hendak runtuh.

Beberapa kkoma Kim Dokja menempel di kakinya karena ketakutan.
Demon King of Salvation menatap sekeliling, menenangkan mereka seperti seorang ayah menenangkan anak-anak kecilnya.

Dalam beberapa hari terakhir, isi [Fourth Wall] telah berubah drastis.
Dulu tempat ini sudah gelap dan suram, tapi kini atmosfernya benar-benar seperti rumah hantu.
Dan bukan hanya perumpamaan—ada sesuatu yang bergerak di dalam bayangan, jauh di pojok ruang yang tak dijangkau cahaya.

Demon King of Salvation tahu persis apa ‘sesuatu’ itu.

「 (Hei.) 」

Ia menendang makhluk yang menggeliat seperti larva di sudut kegelapan itu. Tapi pria itu tak juga bangun.

Ketika ia mendekatkan lampu, sosoknya terlihat jelas.

Kim Dokja Kedua — Watcher of Light and Darkness.

「 (Berapa lama kau mau tidur? Kenapa belum bangun?) 」

Tentu saja, ia tahu pria itu bukan sekadar tidur.
Bukan tertidur, tapi kehilangan kesadaran akibat kerusakan parah pada cerita miliknya.

Demon King of Salvation menatapnya sejenak, lalu meletakkan tangan di dahi Kim Dokja Kedua.

Apa yang harus kulakukan sekarang?

Mungkinkah ia akan membaik kalau kuberi ‘cerita sedih’ kesukaannya?

Setelah berpikir sebentar, ia mengeluarkan satu cerita sedih dari memorinya.

Namun sebelum ia sempat membacakan cerita itu, sesuatu jatuh dari langit-langit [Fourth Wall].
Lantai perpustakaan pun retak.

Demon King of Salvation menghela napas, berdiri, dan menatap arah suara itu berasal.

「 (Apa yang kalian lakukan?) 」

Dari kegelapan, beberapa monster menampakkan diri.

Demon King of Salvation mendecakkan lidahnya.

「 (Bukankah aku bilang untuk merapikan buku yang jatuh, bukan menghancurkan seluruh perpustakaan?) 」

Para monster itu hanya tertawa pelan.
Wajah mereka terlihat samar di bawah cahaya lampu yang berkelap-kelip.

Mereka semua adalah para Outer God yang sebelumnya berada dalam kondisi Fear.

Mulai dari cangkang Dream Eater, naga tanpa kepala, hingga…

「 (Kau. Bukankah kau seharusnya berguna dengan banyaknya tanganmu?) 」

Empat tangan tengkorak itu bergemerincing—‘Founder of the Absolute Throne’.

「 (Mau kuhajar kalian satu-satu?) 」

Tengkorak itu menggeleng, rahangnya bergetar seolah malu.

Demon King of Salvation sudah akan menegur lagi ketika sebuah suara lembut terdengar.

「 (Hehe, mereka bahkan tidak bisa bicara dengan benar. Jangan terlalu keras padanya.) 」

Tiga sosok muncul bersama suara itu.

Chunghuh. Ryunard. Karlton.

Semua adalah tokoh kunci dari Transcendent Alliance.

Demon King of Salvation menatap tajam ke arah mereka.

「 (Kalau begitu, kalian saja yang bicara. Kalian masih bisa.) 」

「 (Hmm.) 」

「 (Lagi pula, kenapa kalian ada di sini? Bukankah kalian bisa naik kereta dan kabur?) 」

「 (Sayangnya, kami adalah bagian dari ‘Fear Realm’ itu sendiri.) 」

Tidak seperti Transcendent lainnya, ketiganya berasal dari dunia lain dan tertransfer ke Fear Realm melalui ‘King of Fear’.

Itu berarti, saat King of Fear menjadi bagian dari [Fourth Wall], mereka juga ikut terikat di dalamnya.

「 (Berapa banyak lagi yang akan menyesaki perpustakaan sempit ini?) 」

「 (…) 」

「 (Kalau sudah di sini, setidaknya bantu aku. Tahu tidak, seperti apa kondisi Si Bungsu sekarang?) 」

「 (Kurasa aku bisa menebak.) 」

「 (Tidak ada kemampuan berguna, hah? Kalian pasti hebat di dunia asal kalian.) 」

「 (Menurut peraturan Aliansi, kami tidak bisa menggunakan kekuatan di luar Fear Realm.) 」

「 (Jadi kalian takkan bantu sama sekali?) 」

Ketiganya mengangkat bahu bersamaan.
Chunghuh bahkan pura-pura batuk.

「 (Zeus di dunia ini kuat sekali. Apa semua Constellation grade-Mitos sekuat itu di sini?) 」

Pertanyaan samar itu membuat Demon King of Salvation teringat sesuatu.
Sebenarnya, ketiganya sudah banyak membantu.

Alasan Si Bungsu bisa bergerak bebas di Fear Realm adalah karena mereka menahan para Constellation Myth-grade dari Giant Nebula.
Dengan kata lain, mereka telah menggunakan hampir semua probabilitas yang diizinkan dunia ini.

「 (Sudahlah, aku juga tidak berharap banyak dari kalian.) 」

Ia kembali ke meja dan melanjutkan membaca surat kabar dari awal.

Begitu banyak hal terjadi sejak ia masuk ke Fear Realm.

Kim Dokja Kedua, King of Fear… dan yang paling mencolok: munculnya Cheon Inho, Recorder of Fear, serta satu lagi—Kim Dokja lainnya.

Pria itu diam.
Terlalu diam hingga membuatnya gelisah.

Namun yang paling mengejutkan adalah kemunculan Kim Dokja yang dinamai Si Bungsu sebagai Snowfield Kim Dokja.

Ia masih ingat jelas sosok itu—yang muncul di salju, memporak-porandakan dunia, dan menyerang King of Fear secara langsung.

Ia yang telah mengumpulkan lebih dari separuh Fragmen Kim Dokja,
sosok yang paling mendekati “Kim Dokja sejati.”

Jika bahkan eksistensi seperti itu bisa bergerak bebas, berarti probabilitas dunia ini mulai mengizinkannya.

Untungnya, tak ada lagi Fragmen Kim Dokja yang mengalir padanya.
Dan berkat Si Bungsu, Kim Dokja Pertama dan Kedua kini telah bersatu kembali.

Jika dua dari mereka sudah satu—maka hanya satu langkah lagi yang tersisa.

「 (Baiklah… ayo kita mulai.) 」

Demon King of Salvation menekan tombol di ponselnya.

Third Kim Dokja.

Pria yang selalu menyalakan airplane mode.
Meski ia tahu nomornya, ia belum pernah mendengar suaranya sekali pun.

Pernah ia menelepon sekali—tapi yang menjawab justru suara pria asing yang berkata,
“Jangan hubungi nomor ini lagi.”

Awalnya ia kira salah sambung, tapi itu mustahil.
Nomor itu ia dapat melalui transaksi langsung dengan dewa dunia lain—Bowang.

[Pihak lain sedang dalam mode pesawat.]

“Tidak bisa juga, ya.”

Ia menghela napas, memasukkan ponsel ke saku dadanya.

Seperti halnya dirinya dan Kim Dokja Kedua, Kim Dokja Ketiga pasti juga terjebak dalam legendanya sendiri.
Dan di dalam legenda itu—mungkin ia sudah mengambil keputusan.

Demon King of Salvation menatap surat kabar yang robek dan bergumam pelan.

「 (Sepertinya kita harus mencari jalan sendiri, Bungsu.) 」

Namun tepat saat itu—ponsel di dadanya bergetar.

Third Kim Dokja.

Demon King of Salvation menjatuhkan surat kabarnya dan segera mengangkat telepon.

Apakah benar-benar tak ada orang di sini?

Jaehwan menghela napas pelan dan memandang sekeliling.
Ruang kubik sepuluh meter di sekitarnya tertutup oleh lapisan tembus cahaya seperti penjara kaca.

Para dokkaebi dari Biro Manajemen rupanya jauh lebih tangguh dari yang ia kira.

Tak peduli sekuat apa pun kekuatannya, ia tetap disegel di dalam dimensi gelap ini.

Big Brother di sini sepertinya cukup hebat.”

Jaehwan mengetuk permukaan penghalang itu.
Bahan ini mirip dengan Void Curtain.

‘Mungkin aku bisa menghancurkannya kalau kupaksa… tapi sebagian dimensi ini akan meledak.’

Dan kalau itu terjadi—‘orang itu’ pasti akan marah besar.

Jadi satu-satunya cara keluar hanyalah… dibuka dari luar.

“Heh. Lucu juga. Katanya kalau kau menyebut harimau, dia akan datang.”

Jaehwan terkekeh kecil, menatap sosok yang mendekat dari sisi lain penghalang.

Pria berjas hitam itu melayang mendekat.
Yoo Joonghyuk.

“Kalau begitu, ini orang dari garis dunia ini.”

Meskipun suara mereka tak bisa menembus penghalang, keduanya tetap bisa saling memahami.

Yang pertama bicara adalah Yoo Joonghyuk dari Round ke-41.

“Aku butuh bantuanmu.”

Jaehwan menatap tubuhnya yang rusak parah.
Jas hitamnya robek, satu jari kirinya hilang, luka dalam menganga di paha dan bahu hingga tulang terlihat.

“Kau kelihatan seperti orang yang justru butuh pertolongan.”

“Akan kau bantu?”

“Manusia di dimensi ini tak bisa melakukan apa pun tanpa bantuan?”

Yoo Joonghyuk tidak terpancing.

Jaehwan mendengus, lalu berkata,

“Aku tak bisa membantumu. Aku disegel di sini gara-gara ‘Kim Dokja’ brengsek itu.”

“Aku bisa melepaskanmu.”

“Segel ini tidak bisa dibuka hanya dengan kekuatanmu.”

Yoo Joonghyuk mengatupkan rahang, harga dirinya jelas terusik.
Jaehwan menyeringai.

“Kalau kau ingin menolongku, kau harus mundur seribu kali lagi. Atau bawa seseorang yang sudah melakukannya.”

“Aku tak bisa mundur sebanyak itu. Aku tak mau mundur lagi.”

“Jadi Regressor yang menyerah pada regresi… lebih tidak berguna lagi rupanya.”

Namun di balik ejekan itu, mata Jaehwan bersinar aneh.
Ia justru menyukai jawabannya.

“Aku bisa menyelamatkanmu.”

“Dengan kemampuanmu sekarang? Mustahil.”

“Ajar aku bagaimana caranya menghancurkan tirai ini.”

“…Apa?”

Alis Jaehwan bergetar.
Tatapan Yoo Joonghyuk begitu serius—menyala dengan keyakinan yang tidak bisa digoyahkan.

Jaehwan tertawa kecil.

“Kau… sudah melihat sesuatu.”

Ia tahu sedikit tentang sejarah Yoo Joonghyuk.
Berbeda darinya yang membenci regresi, Regressor ini hidup dengan mengulanginya ribuan kali.

Ia benci mengakuinya, tapi pria ini memang mirip dengannya.
Jika Jaehwan mengasah dirinya lewat “menusuk,” maka pria ini menajamkan dirinya lewat “menghidupkan kembali.”

Namun itu hanya setelah ribuan kali pengulangan.
Yoo Joonghyuk yang berdiri di depannya sekarang baru beberapa lusin kali regresi—seorang pemula.

“Levelmu sekarang sudah di puncak yang bisa dicapai manusia biasa. Tidak ada yang bisa kuajarkan untuk melampauinya.”

“Tapi aku tahu kau punya cara untuk ‘melampaui.’”

Jaehwan terdiam sesaat.
Lalu perlahan mengangguk, menerima ketulusan itu.

“Kalau kau menggunakan cara itu… kau takkan menjadi dirimu lagi.”

“Itu tidak masalah.”

Ekspresi penuh keteguhan.
Jaehwan menatapnya lama, lalu bicara pelan.

“Kalau begitu… bersiaplah. Karena nanti kau akan berharap lebih baik mati.”

Itu peringatan—tapi Yoo Joonghyuk justru tersenyum tipis.

“Lautan yang selalu kuimpikan…”

Ia berkata pelan, lalu menatap ke belakang.

Tak ada siapa pun di sana—namun bukan berarti kosong.

Galaksi <Star Stream> terbentang jauh.
Para Constellation yang menyemangatinya, orang-orang yang ia cintai,
cerita-cerita yang telah dan akan ia jalani… semuanya ada di sana.

Sejarah yang terlalu panjang untuk satu manusia.
Namun bagi Yoo Joonghyuk—belum cukup panjang.

Karena hanya itu satu-satunya harapan yang selalu ia genggam sepanjang hidupnya.

877 Episode 47 King of Fear (21)

Angin kesepian berhembus di atas Snowfield.
Di antara garis-garis tempat peristiwa telah menghilang.
Di atas garis-garis itu, serpihan cerita yang tak sempat tercatat berhamburan seperti salju.

「 “Kim Dokja, di mana dia?” 」
「 “Ajari aku agar bisa menghancurkan tirai ini.” 」
「 “Katakan padaku. Ke mana Inho-ssi pergi?” 」

Suara-suara mereka yang gagal menyelamatkan orang berharga.
Kata-kata yang menguap tanpa arah, menghilang di udara.

Seseorang mendengarkan suara-suara itu di tengah Snowfield yang sunyi.
Ia melepas mantel putihnya yang berkibar diterpa angin, menggantungkannya di kursi, lalu duduk di meja sambil menyesap secangkir teh hangat.

「 Ruang yang diberikan padamu sangat kecil… tapi kau meninggalkan begitu banyak cerita. 」

Pria itu membaca dan membaca ulang serpihan kisah yang terus berjatuhan dari langit putih.

「 “Kim Dokja.” 」

Nama yang dulu miliknya, kini menjadi sebutan untuk orang lain.
Ia sering bingung dengan fakta itu—tak tahu harus merasa apa.

Apakah ia seharusnya sedih?
Atau justru merasa bebas?
Atau mungkin… marah?

Dengan satu gerakan ringan, kursi lain muncul di seberang meja.
Pria itu meletakkan cangkir tehnya, lalu bertanya datar:

「 Masih ada yang tersisa untuk ditulis? 」

Seorang pria berdiri di belakangnya.
Rambutnya terang, matanya menyipit, mantel merah gelap seperti darah kering.

「 Begitulah. Setelah menulis, kau selalu menyesal. 」

「 Catatan Round ke-40 sudah berubah sesuai keinginanmu. 」

「 Ya, cukup sampai di situ. 」

「 Kalau begitu, tak masalah kalau kau pergi. 」

Cheon Inho tersenyum tipis dan duduk di kursi yang disediakan. Matanya menyipit lebih dalam.

「 Bukankah terlalu kasar memperlakukan ayahmu seperti ini, setelah sekian lama tak bertemu? 」

「 Ayah? 」

Pria di Snowfield itu menatapnya dengan kesal.

「 Kau yang membesarkanku, bukan? Di tempat ini. 」

「 … 」

「 Kadang aku berpikir… mungkin fakta bahwa aku dibesarkan oleh manusia sepertimu justru bukti kalau akulah Kim Dokja yang sebenarnya. 」

Cheon Inho mengangguk pelan.

「 Masih juga memikirkan siapa dirimu? Berapa banyak lagi Fragmen Kim Dokja yang harus kau kumpulkan sebelum berhenti memikirkannya? 」

「 Aku akan tahu jawabannya kalau semuanya sudah kukumpulkan. 」

「 Lalu, sampai saat itu, apa aku harus memanggilmu apa? 」

「 … 」

「 Teman yang meminjam tubuh inkarnasiku, mungkin. 」

Cheon Inho mengangkat cangkir teh milik pria itu, menyesapnya perlahan.

「 Dia memanggilmu ‘Snowfield Kim Dokja’. 」

Pria itu tersenyum tipis.

「 Dia memang begitu. Dari awal, dia memanggilku Kim Dokja. 」

「 Semua orang tahu, kau memang Kim Dokja. 」

「 Tidak ada yang memanggilku begitu, selain dia. 」

「 Aku juga memanggilmu begitu. 」

「 … 」

「 Sudah lupa? Aku yang memberimu nama itu. 」

Keduanya terdiam, menatap salju yang terus turun tanpa henti.
Langkah mereka tak meninggalkan jejak di tanah putih itu—namun keduanya tahu, mereka telah berjalan di sana bersama.

「 Aku masih ingat hari saat menemukanku. 」

Cheon Inho mengeluarkan sebuah buku dari dadanya.

Omniscient Reader’s Viewpoint』.

「 Mungkin kau lahir di sekitar bagian ini. 」

Ia membuka halaman dan menunjuk satu kalimat.
Snowfield Kim Dokja membacanya diam-diam.
Tulisan yang mulai retak dan miring terbaca di sana.

Kim Dokja yang kau kenal telah tersebar di seluruh semesta ini.

Cheon Inho berbicara dengan nada aneh, seolah momen itu masih segar di ingatannya.

「 Kau dulu anak yang cantik. Sulit dipercaya anak seperti itu jatuh dari langit. 」

「 Jangan dipoles. Kau hanya ingin memanfaatkanku. 」

「 Benar. 」

Cheon Inho mengangguk.

「 Tujuanku memberimu makan Fragmen Kim Dokja agar kau membangkitkan Oldest Dream.

Oldest Dream.
Pengamat tertinggi alam semesta—satu-satunya posisi yang bisa dicapai oleh “Kim Dokja Sejati.”

「 Kalau itu tujuanmu, kenapa kau mengkhianatiku? 」

「 … 」

「 Kau membesarkanku agar aku bermimpi tentang ceritamu. Lalu kenapa berhenti di tengah jalan? 」

「 Karena aku menemukan jalan yang lebih mudah mencapai tujuanku. 」

「 Kau puas dengan catatan yang dia ubah? 」

Nada tajam menyelip di suara Snowfield Kim Dokja.

「 Kalau aku menjadi Oldest Dream, aku bisa menghapus catatan itu. Atau menulis ulang. 」

「 Tentu saja. 」

Ia menarik napas dalam-dalam, menahan amarah.
Cheon Inho menatapnya sambil bertanya tenang:

「 Kau sebenarnya menyukai orang itu, bukan? 」

「 … 」

「 Marah karena dia menyatakan diri sebagai ‘Kim Dokja’? 」

「 … 」

「 Atau karena dia bersahabat dengan Demon King of Salvation yang kau benci? 」

「 Tugasmu adalah mencegahnya hidup sebagai Kim Dokja. 」

「 Haha. Aku memang berjanji begitu. 」

「 Lalu kenapa kau ingkar? Kau senang melihatnya hidup sebagai tokoh utama di tubuh inkarnasimu, bukan? Senang melihat catatan baru ditulis di sana? 」

Cheon Inho mengangguk.

「 Itu luar biasa. 」

「 Aku juga bisa menjadikanmu tokoh utama. 」

「 Kalau kau adalah Oldest Dream-ku, mungkin bisa. Tapi kau tahu, kan? Keinginan yang sudah terpenuhi… tak lagi menarik. 」

「 Tidak menarik? 」

Butiran salju jatuh ke dalam teh. Cheon Inho mengaduknya dengan sendok kecil.

「 Jecheon Daeseong bisa saja menunggang neunda langsung ke India. Tapi dia memilih berjalan bersama Samjang. Begitulah Journey to the West tercipta. 」

「 Maksudmu apa? 」

「 Menjalani perjalanan dengan kaki sendiri… itu yang membuatnya indah. 」

Snowfield Kim Dokja menatap tajam.

「 Itu bukan ceritamu. Kau cuma penonton. 」

「 Tapi tetap menyenangkan. Bisa menceritakan kisah itu lewat tubuh inkarnasiku. Hidup bukan sebagai salah satu dari Ten Evils.

「 Kau terhasut. 」

「 Mungkin. Tapi dunia ini sendiri sudah penuh hasutan sejak awal. 」

Keduanya kembali menatap Snowfield.
Langkah mereka masih tak tampak, tapi kini mereka tak lagi peduli.

「 Jadi, apa rencanamu sekarang? Dia sudah memutuskan untuk menjadi ‘Kim Dokja’. Tanpa izinmu. 」

「 … 」

「 Dia bukan avatarmu. Dia takkan mendengarkanmu, dan takkan berjalan sesuai mimpi yang kau inginkan. 」

Tatapan Cheon Inho turun ke tangan kiri Snowfield Kim Dokja yang perlahan menjadi transparan—akibat benturan probabilitas Fear Realm.

「 Dia akan mencari jawaban yang tak menghancurkan dunia ini. Dia sudah lebih dekat menjadi ‘tokoh utama’ daripada siapa pun— 」

Cheon Inho menatap salju yang menembus tangan transparannya dan berbisik:

「 Snowfield Kim Dokja, bagaimana kau akan menghentikannya? 」

Snowfield Kim Dokja menatap langit putih dan menjawab pelan.

「 Hari saat aku berhasil mengumpulkan lebih dari separuh Fragmen Kim Dokja berkat bantuanmu… aku merobek tubuh kakakku yang turun dari langit. 」

Ia melanjutkan:

「 Saat itu aku pikir aku benar-benar telah menjadi Kim Dokja. Aku percaya, jika kukumpulkan sisanya, aku akan menjadi utuh. 」

「 Sekarang kau tidak yakin lagi? 」

Snowfield Kim Dokja menulis sebuah nama di atas salju di meja.

■■■

Nama itu tidak terbaca.

Cheon Inho menatapnya.

「 Sepertinya bukan cuma aku yang terhasut oleh ceritanya. 」

「 … 」

「 Dia bahkan membuang namanya sendiri demi menjadi Kim Dokja. Lalu apa yang bisa kau buang? 」

「 Aku sudah lama berpikir… apa sebenarnya yang kuinginkan? 」

Ia menghapus nama itu dari atas meja.

「 Apa yang benar-benar ingin kucapai? Apakah aku puas hanya menjadi Oldest Dream? 」

「 … 」

「 Apakah cukup hanya dengan mengumpulkan semua Fragmen Kim Dokja untuk benar-benar menjadi Kim Dokja yang kuinginkan? 」

Cheon Inho menatapnya lama.
Cahaya putih mulai merembes dari celah di tubuh Snowfield Kim Dokja.

「 Kau benar. Yang penting bukan hasilnya… tapi prosesnya. 」

Retakan semakin besar. Cahaya putih menyala terang, menelan bayangan.

「 Apa yang bisa kubuang? 」

「 Kau… jangan bilang— 」

Cheon Inho menunduk menatap buku di meja. Halamannya bergetar hebat, seolah ia pernah membaca adegan ini sebelumnya.

「 Hentikan! Kalau kau lakukan itu sekarang— 」

「 Tidak. Ini keputusan yang benar. 」

Tubuh Snowfield Kim Dokja mulai pecah perlahan.

「 Mulai sekarang… mari kita buka skenario yang sesungguhnya. 」


Killer King — Cha Sungwoo duduk di pagar atap Gwanghwamun, menatap langit pucat.

Saat itu, pintu atap terbuka.

Seseorang masuk.

Cha Sungwoo tidak berbalik, hanya bertanya datar:

“Tidak ada kabar hari ini, kan?”

“Tidak.”

Ye Hyunwoo menjawab, lalu duduk di sampingnya.

“Mungkin sekarang waktunya kita mengakui kenyataan.”

Sudah setengah tahun berlalu sejak Kim Dokja menghilang dari skenario.
Banyak hal berubah sejak saat itu.

Bumi kini berada di tengah Skenario ke-32.
Tanpa sosok pusat itu, kelompok mereka tercerai berai.
Sebagian menyerah, sebagian mati, sebagian menjadi korban dari dunia yang tak kenal belas kasihan.

Namun ada juga yang bertahan—seperti Cha Sungwoo dan Ye Hyunwoo.
Dan mereka berdua kini tak punya pilihan selain menerima kenyataan.

「 Tidak ada lagi ‘Kim Dokja’ di dunia ini. 」

Setengah tahun penuh perjuangan, hampir mati berkali-kali.
Wajahnya perlahan memudar dari ingatan mereka.
Nama itu menjadi ruang kosong di dalam hati.

Dan ruang kosong itu menuntut untuk diisi.

Tapi siapa yang bisa menggantikannya?

“Kita semua akan mati di sini.”

“Apostle Kedua, Yoo Joonghyuk tidak akan mengatakan hal seperti itu.”

“Aku bukan Yoo Joonghyuk.”

“Kau tahu kan, itu bukan alasan?”

Mereka tertawa kecil.
Tawa lemah yang tersisa sebagai satu-satunya bukti sejarah hidup mereka.

“Yoo Joonghyuk itu juga sudah hilang.”

Kini mereka adalah sisa-sisa yang tertinggal di dunia tanpa Kim Dokja dan tanpa Yoo Joonghyuk.
Yang bisa mereka lakukan hanyalah meniru kisah yang dulu mereka baca.

Namun bahkan itu pun kini sulit—karena alur skenario telah menyimpang jauh dari novel yang mereka kenal.

“Kali ini Yerin hampir mati.”

“…”

“Lain kali… mungkin benar-benar mati.”

Luka Cha Yerin terlalu parah, bahkan Spirit of Elaine Forest tak mampu memulihkannya.
Menurut Lee Seolhwa, untuk menyembuhkan luka itu dibutuhkan item sekelas Sung-yu-gwa.

“Mungkin kita harus berurusan dengan Giant Nebulae.

Pilihan terakhir untuk bertahan hidup.

“Tapi…” Ye Hyunwoo menarik napas berat.
“Kalau Kim Dokja ada di sini… apa yang akan dia lakukan?”

Saat itulah meteor jatuh dari langit jauh.

“Huh?”

Skenario Kelima tentang meteor sudah lama berakhir.
Lalu… meteor apa itu?

“Apostle Kedua, itu—”

Sebelum Ye Hyunwoo selesai bicara, Cha Sungwoo melompat dari atap dan berlari ke arah cahaya jatuhnya meteor.

Ledakannya tak jauh dari sana. Ia mendekati kawah besar itu dengan napas tersengal.

Di dalamnya, seorang pria terbaring.

Setiap sel tubuh Cha Sungwoo bergetar.
Ia tahu betul siapa yang sedang ia lihat.
Sosok dari ratusan kisah yang telah ia baca, kini ada di depannya.

Pria itu membuka mata perlahan, menatap Cha Sungwoo.
Cha Sungwoo juga menatap balik—tak percaya.

Ia tahu. Tapi tetap bertanya:

“Siapa kau?”

Pria itu balik bertanya:

“Siapa yang kau harapkan?”

Bibir Cha Sungwoo bergetar.
Ia tahu bahwa mengucapkan nama itu bisa mengubah sesuatu.
Tapi tetap saja, ia mengucapkannya—karena itu adalah…

“Kim Dokja.”

Keinginan seluruh pembaca di dunia ini.

Pria itu memandangi Cha Sungwoo dengan wajah kosong, lalu membuka mulutnya.

“Aku Kim Dokja.”

Hari itu—499 hari setelah skenario dimulai di Bumi.

「 Mulai sekarang, aku yang akan memimpin skenario ini. 」

‘Kim Dokja’ telah kembali.

Author's Note

Hello, this is Singsong.

Today, the 4th part of the Omniscient Reader's Viewpoint side story has ended.

Thanks to the readers who joined us, we were able to safely complete the journey of the 4th part of the side story.

We will take some time to prepare for the next season.

The hiatus will be about 2 weeks, from April 3rd to April 17th.

We will come back with a new season on April 18th.

Thank you so much for reading today.


 

Nunaaluuu Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review