Rabu, 05 November 2025

Episode 42 Destination

825 Episode 42 Destination (1)

‘Kalau semua skenario berakhir, kita semua bisa tinggal bersama di rumah besar, kan?’
Shin Yoosoung, <Kim Dokja Company>

Apa yang terlintas di benakmu saat mendengar kata rumah besar?

Aku memikirkan sebuah ruang tamu.

Di ruang tamu itu, ada perapian besar (meski bukan perapian sungguhan), lampu gantung yang bergoyang lembut di langit-langit, serta beberapa meja panjang dan sofa empuk.

Orang-orang duduk di sana—
ada yang membaca buku di meja, ada yang bercakap santai di sofa.

Dan di tengah-tengah mereka duduk Kim Dokja, memegang smartphone-nya.

Dia memang memegang ponsel, tapi sulit menebak apakah dia sedang membaca novel atau tidak.

Wajahnya tak sepenuhnya terlihat.
Mungkin ia sedang tersenyum, atau mungkin sedang tenggelam dalam sesuatu.

Tapi satu hal pasti—
ia tampak tenang.
Lebih tenang dari siapa pun di dunia ini.

Mengingat ketenangan itu, aku memberanikan diri untuk membuka mulut.

“Ya. Aku ingin pergi ke Rumah Besar.”

‘Rumah besar’ yang kumaksud dan ‘rumah besar’ yang ada di benak Kim Dokja pasti berbeda.
Yang kubayangkan adalah ruang tamu modern ala <Kim Dokja Company>—hangat tapi buatan.

“Apakah aku bisa pergi ke sana?”

Aku tidak tahu seperti apa tempat itu sebenarnya.
Namun aku harus pergi ke Rumah Besar.

Karena aku mendengar… bahwa Kim Dokja Kedua ada di sana.

Sang Fearsome Engineer menatap hampa ke dalam gelapnya ruang angkasa.

【Seperti yang kau tahu, kereta ini bukan sarana transportasi yang langsung menuju ‘rumah’.】

“Kalau begitu…”

【Tapi aku bisa mengantarmu ke stasiun terdekat.】

Kata stasiun diucapkannya dengan penekanan khusus.

【Kau tahu, bukan? Ada tujuan yang tak bisa dicapai sekaligus.】

Aku mengangguk pelan. Aku mengerti.

Itulah hukum <Star Stream>.
Alasan kenapa Prisoner of the Golden Headband, meski bisa menunggangi awan Somersault untuk mencapai Cheonchuk dalam sekali jalan, tetap harus melalui berbagai ujian bersama rekan-rekannya.

Alasan kenapa Kim Dokja, yang bisa saja debut di <Star Stream> dengan sponsor kuat, justru memilih menjadi Konstelasi sendiri.

“Sampai ke stasiun saja sudah cukup.”

Karena dunia ini… membutuhkan cerita.

“Asalkan stasiun itu dekat dengan tujuan.”

【Hanya kau yang bisa menentukan seberapa jauh jarak ke tujuanmu.】

Engineer mengetuk panel kendali dengan jarinya.

【Apakah kau ingin berjalan perlahan bersama banyak Konstelasi—atau melaju cepat dengan sedikit Konstelasi yang hanya menyukaimu?】

Aku memikirkan siapa yang ia maksud dengan “Konstelasi” itu.
Engineer tersenyum tipis.

【Aku akan mengantarmu secepat mungkin. Tarifnya sudah cukup layak.】

“Apa aku sudah membayar tarifnya?”

【Kau memberiku mimpi yang menarik.】

Ah.
Benar. Ia juga pernah menjadi Konstelasi.

【Sudah lama sekali sejak aku tenggelam begitu dalam dalam sebuah cerita.】

Nada suaranya membawa rindu—dan gairah yang lama tertidur.
Sekilas, ia bukan lagi “Chief Engineer of Fear”, melainkan Chief Engineer terakhirSurya, yang pernah menyaksikan nasibnya sendiri.

Aku berdiri di sisinya, menatap luasnya semesta Fear.

Ke mana sebenarnya tujuannya?

Apakah ia kembali menantang [Last Wall] bersama <Kim Dokja Company>?
Atau terus memutar ulang akhir yang sudah terjadi?

Atau mungkin… perjalanan abadi di dalam Fear ini sendiri adalah tujuannya?

Sebuah kehidupan di mana cerita itu sendiri adalah tujuan.

Kalau dipikir-pikir, Kim Dokja pun sama.

Apa yang dicapai oleh 51% Kim Dokja adalah ‘Keabadian’.
Akhir yang ia pilih—orang yang paling penasaran terhadap akhir dunia—
adalah sebuah cerita yang tak pernah berakhir.

Ia menyerahkan kata “Akhir” itu pada Kim Dokja lain.
Dan dengan begitu, akhir dari dirinya belum sepenuhnya terwujud.

Apakah jika “Akhir” itu tertulis sempurna, Kim Dokja akan bahagia?

Aku tidak tahu.
Inti jiwaku hanyalah sepotong kecil dari Kim Dokja, bahkan tak sampai 0,1% dari keseluruhannya.

Aku yang sekecil itu tidak pantas menentukan kebahagiaan Kim Dokja.

Namun mungkin, justru aku—yang sekecil ini—bisa membantu Kim Dokja memilih kebahagiaan.

Saat itulah senyum di wajah kondektur itu menghilang.

【Sepertinya ada yang mengejarmu.】

Kereta berguncang keras.
Sesuatu menggigit dan mengguncang gerbong paling belakang.
Awalnya kukira itu ‘Tooth Fin’. Tapi bukan.

Bagian belakang kereta sedang dimakan oleh sesuatu.
Kabut asing menyelimuti bagian ekor.

Aku tahu apa yang mengejar kami.

【Itu… potongan dari Indescribable Distance?】

Pembersih <Star Stream>
makhluk yang melahap segala hal yang melawan probabilitas.

Benar.
Itu adalah serbuk dari Nameless Mist yang pernah ditusuk Jaehwan-nim hingga hancur, tapi kini… kekuatannya pulih, dan ia menyeberang ke dunia Fear ini.

Bibir Engineer melengkung menjadi tanda tanya tajam.

【Sudah lama sekali ada kereta yang hancur seperti ini.】

Kupikir memang begitu.
Kereta milik Surya juga dulu dimakan oleh Outer Gods dalam cerita utama.

Kali ini, ia tak berniat membiarkannya begitu saja.
Kecepatan kereta meningkat tajam.

【Pegangan yang kuat. Aku akan menurunkanmu di pemberhentian berikutnya.
Oh, dan bawa juga temanmu itu.】

Tubuhku bergetar. Pemandangan di sekeliling mulai berlari cepat seperti sungai cahaya.

Mungkin ini terakhir kalinya aku melihatnya.

Aku ingin bertanya sesuatu pada sosok besar yang berdiri di depan kemudi itu.
Namun tak satu pun kata yang terasa tepat.

【Perjalanan pulang kerja memang berat sekali.】

Entah kenapa air mataku menetes.
Apakah aku pantas menangis mendengar kata-kata itu?

【Dibutuhkan lebih banyak cerita daripada yang kau kira untuk tiba dengan selamat di Rumah Besar.】

“Kau harus ikut bersamaku.”

Begitu aku mengucapkannya, baru kusadari—
itulah yang sebenarnya ingin kukatakan sejak awal.

Engineer terdiam sejenak.
Lalu, tanpa menoleh, ia menjawab.

【Kau ini aneh sekali. Masih bisa mengatakan hal seperti itu.】

“Aku bukan siapa-siapa.
Aku bukan apa-apa dibandingkan Kim Dokja yang kau kenal.”

Aku tak berniat mengatakannya seperti itu.
Namun setelah mendengarnya, suaraku melemah.

Mungkin ini efek Fear.

Setelah melalui Fear dari Putaran ke-40—「The Evil Sophist」—
ada sesuatu dalam diriku yang patah.

Aku cemas.
Bahwa aku takkan pernah bisa melakukan hal-hal seperti Kim Dokja… atau Cheon Inho.
Mungkin karena hati yang lemah itulah aku meminta Surya ikut bersamaku.

【Sayangnya, kisahku tak bisa mencapai ending-mu.】

Aku tahu.
Dia bukan lagi karakter di garis dunia ini.
Akhirnya sudah berakhir.

“Apakah aku bisa sampai sepenuhnya?”

Aku tak ingin menanyakan itu.
Yang ingin kutanyakan adalah: bagaimana caranya sampai ke Rumah Besar.

Dan Fearsome Engineer itu menjawab dengan teka-teki khasnya—
memberitahu penumpang yang salah menyebut tujuan, arah sebenarnya dari perjalanannya.

【Sebuah pohon tumbang di hutan yang sepi.】

“Apa?”

【Tak ada yang melihat pohon itu tumbang, maka kejatuhannya belum tercatat di alam semesta ini.】

Aku tertegun.
Aku tahu apa yang ia maksud.

Alam semesta ini berasal dari teks.
Apa yang tidak tercatat… belum ada.

Dan yang belum ada—tidak bisa mengubah dunia.

【Seperti yang kau lakukan padaku, temukan lagi pohon-pohon yang tumbang itu dan bacalah. Catat mereka. Lalu…】

Kereta berguncang semakin hebat.

Aku secara refleks meraih lengan Anna Croft—dan mengulurkan tangan ke arah Engineer.

【‘Rumah Besar’ itu… pasti akan menemukanmu terlebih dahulu.】

Pemandangan menghilang.


[Disaster-level Fear ‘Subway Pulang Kerja’ berhasil diinterpretasikan.]

[Saran interpretasi: Selama bintang-bintang tak melupakan kisahnya, kisah itu tak akan kehilangan cahaya.]

[Anda memperoleh ‘Story Fragment Selection Ticket’ sebagai hadiah interpretasi!]

[Eksplorasi Wilayah Fear meningkat!]
[Tingkat eksplorasi saat ini: 57%]

Ketika aku membuka mata lagi, aku dan Anna sudah berada di luar kereta.
Udara dingin menampar wajahku.

Di kejauhan, kereta milik Surya bersinar seperti bintang, melesat menembus galaksi—
meninggalkan jejak cahaya dari Indescribable Distance.

“Apakah… kita akan bertemu lagi?”

Aku memanggul Anna yang tak sadarkan diri di punggungku, menatap ekor kereta yang memudar.

Maknae.

Sambungan telepon tersambung lagi.
Itu Kim Dokja.

—Tidak ada waktu untuk bengong begitu. Cepat buka panduannya.
Sepertinya guide tambahan dari Han Sooyoung terbuka bersamaan dengan interpretasi Subway Pulang Kerja.

Aku buru-buru membuka smartphone dan memeriksanya.
Ada keterangan baru yang aneh.

“Fear ini… hanya muncul setelah Middle Area?”

Satu demi satu keterangan tambahan muncul:

  • Fear tingkat Disaster “Tooth Fin”.

  • Fear “Alien Traffic Lights”.

  • Dan “Subway Pulang Kerja”.

Ketiganya sama-sama bertuliskan:

Fear yang muncul setelah Middle Area.

Artinya, tingkat kesulitannya luar biasa tinggi.

Aku membeku.
Lalu suara Kim Dokja terdengar di ponsel, berat dan dingin.

—Ingat waktu pertama kau membaca peraturannya?

Aku membuka lagi dokumen [Fear Exploration Guidelines].
Dan kalimat sial itu muncul kembali dengan jelas.

“Peringatan. Salah satu dari ‘Guidelines’ di atas adalah palsu.”

—Benar.

Aku menggertakkan gigi.
Sekarang aku tahu mana yang bohong.

“Kau saat ini berada di Area Awal Fear.”

“Ini… adalah kebohongan.”

Kalau itu palsu, semuanya masuk akal sekarang.
Termasuk kenapa tak ada yang selamat dari “Ekspedisi Fear” tiga putaran terakhir.

Mereka semua… memulai eksplorasi langsung dari Middle Area,
dan musnah karena Fear yang tak mereka duga.

[Fear baru telah terbuka.]
[Unlocked: ‘Modifiable Manual’, Fear tingkat Catastrophe.]
[Tingkat Eksplorasi Fear meningkat!]
[Tingkat eksplorasi saat ini: 63%]

Bahkan guideline-nya saja terasa menakutkan.
Dan ya, aku sudah memperkirakannya.

Masalahnya—
mengetahui bahaya bukan berarti bisa menghindarinya.

Goooooo…

Tempat aku jatuh sekarang adalah reruntuhan kota.

Bagian dari diriku ingin tahu di mana ini.
Bagian lain… takut tahu jawabannya.

Kabut putih tebal menutupi tanah.
Potongan tubuh inkarnasi—tangan, kaki, tubuh—berserakan di mana-mana.

Ada yang berpakaian seperti seniman bela diri,
ada pula yang jelas-jelas Konstelasi yang jatuh.

Di balik kabut, sesuatu dengan delapan kaki panjang berjalan perlahan.
Makhluk itu menggerakkan kepalanya, mencari mangsa.

“Apa… itu?”

Ternyata bukan satu.

Ada yang berkepala duri panjang, melenggut.
Ada yang berbentuk babi raksasa dengan dua belas tanduk membawa mayat di punggungnya.
Ada bayi raksasa yang mendorong apa pun di depannya seperti buldoser.

Makhluk Ilahi dari Dunia Lain.

Benar.
Itu memang makhluk-makhluk ilahi dari dunia lain.

“Tapi… kenapa mereka di sini?”

—Bukankah itu terdengar familiar?

“Andai saja kau tidak mengatakannya.”

—Tapi ini, Maknae… rasanya seperti kedua kalinya bagiku.

“Sial.”

Aku mengenali pemandangan ini.
Reporter asing dan entitas tak bernama berkeliaran.
Papan nama berbahasa Korea berguling di tanah.
Patung Yi Sunsin terbelah dua. Takhta hancur.

Sebuah potongan Seoul yang terambil dari Putaran ke-1.864.

Dan di kejauhan, di balik kabut—
terlihat samar bayangan Kompleks Industri tempat <Kim Dokja Company> pernah tinggal.

[Anda kini berada di ‘End Zone’ dari Wilayah Fear.]

Mungkin saja…
‘Rumah Besar’ milik Kim Dokja Kedua tidak persis seperti yang kubayangkan.

826 Episode 42 Destination (2)

Aku sempat berpikir sejenak tentang selera Kim Dokja Kedua.

Di lantai, potongan gurita dan kaki cumi bergelepar liar.
Ke arah barat, sekumpulan bayi raksasa melintas, menghancurkan bangunan.
Ke timur, seekor babi gila dengan air yang menyembur dari tubuhnya sedang mengamuk.
Dan di selatan—
sebuah Outer God berayun seperti tirai hidup.

Aku bahkan tidak mau membicarakan apa yang ada di utara.

Kalau ini yang disebut “Rumah Besar”,
maka aku lebih memilih tinggal di rumah kecil.

Utara adalah yang terburuk.

Kim Dokja Pertama juga menghela napas pelan.

Benar.
Dari segala penjuru—timur, barat, selatan—dipenuhi Outer Gods terburuk.
Tapi yang paling mengerikan di antara semuanya… adalah utara.

“Itu… itu kan yang kumaksud?”

Benar.

Namun sayangnya, kompleks industri milik Kim Dokja berada di utara.
Dan untuk mencapainya, kami harus melewati makhluk itu.

Kalau kau memang ingin pergi, silakan.

“Kau harus menyemangatiku.”

Akan lebih baik kalau kau menunggu Kim Dokja Kedua keluar sendiri dari rumah.

“Bagaimana kalau kita panggil dia dengan suara keras?”

Kau pikir hikikomori akan keluar hanya karena dipanggil begitu?

Hikikomori.
Orang yang menutup diri dari dunia luar—yang tidak keluar rumah.

Kami terdiam sejenak, menatap kosong ke arah utara yang dipenuhi Outer Gods raksasa.

Dalam kisah utama, keberadaan mereka—Divine Beings of the Other World—sering disebut.
Salah satu yang paling terkenal di antara mereka adalah pustakawan dari [The Fourth Wall] pada Putaran ke-1.864.

‘Dream Eater’.

Kenapa dia yang muncul di sini, bukan yang lain?

Untungnya, panduan Han Sooyoung memuat keterangan tentangnya.


Beberapa bagian dokumen ini telah dimodifikasi oleh SVRP.
SVRP. PW 01864.

[Natural Disaster-Level Fear – Dream Eater]

Salah satu Dewa Kuno yang tergolong Old Beings.
Memiliki sifat menjelajahi mimpi manusia fana.
Dikenal sering menukar mimpi langka atau pengetahuan dengan pemimpi dari dimensi lain.

Menurut pernyataan para Transenden,
‘Dream Eater’ yang muncul di End Zone hanyalah cangkang—tanpa jiwa aslinya.
Ia berkeliaran di wilayah utara End Zone, digerakkan oleh naluri untuk mencari mimpi.

Mutasi terkait ‘Final Wall’ pernah dilaporkan di satu Putaran,
dan dikonfirmasi bahwa insiden itu memengaruhi seluruh garis dunia.

Tidak ada laporan tambahan setelahnya.

Dinyatakan tetap mempertahankan level Natural Disaster,
meski kehilangan jiwa aslinya.

Faktanya, hilangnya esensi berarti seluruh jiwanya telah terserap ke dalam [Fourth Wall].


Aku menatap tubuhnya yang menjulang vertikal hingga menembus awan.
Mungkin sedikit lebih kecil dibandingkan deskripsi di kisah utama—karena sebagian kekuatannya telah hilang.
Namun bahkan dalam keadaan itu, ia masih monster setingkat Bencana Alam, cukup untuk menghancurkan satu dunia.

Menariknya, ada beberapa yang berani melawan makhluk sebesar itu.

[Maju! Serang dari kakinya!]

Yang lebih menarik lagi, semua Konstelasi yang menggerakkan inkarnasi di medan itu adalah nama-nama yang kukenal.

[Konstelasi ‘Spear Master’ murka!]
[Konstelasi ‘Kwon-gak Taoist’ menebar bubuk roh!]
[Konstelasi ‘Filth Addict’ memuntahkan najis!]

‘Kwon-gak Taoist’, yang tubuhnya hancur terkena kaki Dream Eater, menjerit kesakitan.

Spear Master.
Kwon-gak Taoist.
Filth Addict.

Semua Konstelasi yang pernah kuhadapi di Recycling Center.

Mereka yang dulu menempati tubuh iblis tingkat tinggi, menghalangi jalanku.
Beberapa mati di tangan Yoo Joonghyuk, beberapa lagi kubunuh sendiri.

Namun bagaimanapun, aku harus mengakui—
keteguhan Konstelasi memang luar biasa.

[Sial! Aku tak bisa mati di tempat seperti ini!]
[Spear Master! Ini beda dengan laporan! Lebih parah dari End Zone yang kita tahu!]
[Cari Time Fault! Cepat! Kalau kita bisa masuk ke sana—!]
[Ke mana perginya aliansi Transcendent? Kenapa cuma kita di sini?!]
[Filth! Oooooooo!]

Di tengah kekacauan, mantera-mantera beterbangan.
Dari potongan percakapan itu, sepertinya mereka datang untuk mencari Time Fault.

Tidak aneh.
Spear Master pernah berlatih dengan Time Fault di masa lalu.

Mereka mungkin datang untuk menebus kekalahan di Recycling Center,
dan membuka ranah kekuatan baru lewat pelatihan.

[Serangan gabungan! Buka jalan! Kalau kita bisa mencapai kompleks itu—]

Sayangnya, keberuntungan mereka berakhir di sana.

Ooooooooooooooo—

Sebuah teriakan mengguncang bumi, seperti dunia menjerit bersamaan.

Kaki Dream Eater terangkat tinggi, lalu menghantam tanah seperti rudal.
Kekuatan yang terkandung di dalamnya bukan sekadar fisik—
tapi kekuatan yang merobek realitas.

Duuuuuuuuuar!

Tanah runtuh. Ledakan besar mengguncang langit.
Teriakan Konstelasi, debu hitam menutup pandangan.

Aku memeluk Anna Croft dan menunduk di tanah.
Butuh beberapa menit sampai debu reda.

Tak ada makhluk hidup tersisa.
Hanya tanah gosong dan puing-puing terbakar.

Tubuhku gemetar.
Itulah wujud dari Outer God tingkat “Old Being”.
Bahkan jika hanya cangkang, status alaminya tak tertandingi.

[Ini… bagaimana bisa…]

Suara lemah terdengar.
Inkarnasi Spear Master tertancap di reruntuhan gedung, tubuhnya remuk.
Dua lainnya telah lenyap tanpa jejak.

Aku memaksa kakiku bergerak sambil memanggul Anna.
Aku harus pergi—sekarang juga.
Tapi ke mana?
Di dunia yang telah kiamat seperti ini… ke mana aku bisa lari?

Oooooooooo—

Dream Eater mengeluarkan raungan rendah, tubuhnya bergetar.
Aku merasa kakinya mulai bergerak ke arahku.

Apakah dia menemukanku?

Atau mungkin…

“Cheon Inho. Apa yang—”

“Sst.”

Aku meletakkan jariku di bibir Anna Croft yang baru sadar.

Menahan napas tentu tak akan cukup untuk menyembunyikan kami.
Tapi aku bisa merasakannya—
makhluk itu pasti akan menemukanku.

Kisah menjijikkan yang menguar dari tubuhnya menyebar seperti asap.
Aku berpikir sejenak, lalu berbisik pada Kim Dokja.

“Hyung, tolong pinjamkan ceritamu.”

Ambil saja.

[Story ‘Heir of the Eternal Name’ merespons dingin.]

Itulah kisah Kim Dokja yang diwariskan kepadaku.

Anna menatapku penuh kebingungan.

“Cheon Inho, kau bicara dengan siapa?”

“Seorang hyung yang kukenal.”

“Hyung yang kau kenal?”

Lucu.
Kim Dokja juga pernah memakai cerita itu di sebelah Anna dalam kisah utama.

[Story ‘Pebble and I’ memulai penceritaan!]

‘Pebble and I’.
Cerita yang diperoleh Kim Dokja di Pulau Reinkarnasi.

Fungsinya sederhana.

[Efek cerita membuat keberadaanmu menyerupai ‘kerikil’.]
[Story ‘Pebble and I’ mencurigai keberadaan Anna Croft.]

“Tolong lindungi juga orang ini.”

[Story ‘Pebble and I’ menatapmu kesal, berkata: ‘Orang ini lagi?’]
[Story ‘Pebble and I’ membagi efeknya dengan ‘Anna Croft’.]

Selesai.

Sekarang, bagi dunia ini, kami tak lebih dari batu kecil di pinggir jalan.

Ooooo—?

Untunglah, efek cerita bekerja.
‘Dream Eater’ melewati kami begitu saja.

Aku menarik tangan Anna dan berjalan cepat menembus reruntuhan.

“Tunggu! Kalau kita ke arah itu—”

“Kita harus pergi.”

Alih-alih lari menjauh, kami justru mendekati tubuh utama Dream Eater.
Peluang ini hanya ada saat kesadarannya mulai kabur.

“Selama cerita masih aktif, kita bisa melewatinya dan mencapai kompleks itu.”

Strategi sederhana, tapi efektif.

Saat kami melintasi area di bawah tubuh raksasanya,
aku merasa seolah matanya menatap dari langit luas.

Maknae, aku rasa kau ketahuan.

“Lari!”

Dengan sinyal itu, kami berlari sekencang mungkin.
Rasanya [Way of the Wind] melilit ujung kakiku.

“Hyung! Kenapa kita ketahuan?! Ceritanya gagal?!”

Aku lupa… cerita itu hanya berlaku untuk makhluk dengan sistem simbol ‘batu’.

Benar.
Makhluk dari dunia lain punya sistem simbol yang berbeda.
Cara mereka memahami semesta ini juga berbeda.

“Berarti…”

Ya. Dia tidak tertipu sejak awal.

Tentakel raksasa mulai mengejar.

Dudududududu!

Bayangan hitam menelan sekeliling.
Jika begini terus, kami akan digilas sebelum mencapai kompleks itu.

“Hyung!”

Cuma kali ini kau panggil aku Hyung, ya?

“Bolehkah aku pakai [Fourth Wall]?”

Sekarang tinggal satu cara tersisa.

Metode gila yang pernah digunakan Kim Dokja di kisah utama:
menjebak pikirannya di dalam [Fourth Wall] dengan membiarkan dirinya ditelan makhluk itu.

Kau tidak baca panduannya? Jiwanya sudah hilang. Itu hanya cangkang. Tidak akan berhasil.

“Tapi kita takkan tahu sebelum mencobanya. Kalau dia memakanku, mungkin ada cara.”

Kalimat itu pasti terdengar seperti omong kosong bagi siapa pun.
Anna menatapku seolah aku benar-benar gila.

Kalau pun berhasil, tidak pasti [Fourth Wall]-mu sanggup menampungnya.

“Kau cuma tidak mau hidup bersamanya, kan?”

Kau tahu kan perpustakaan yang kau buat jauh lebih rapuh daripada [Fourth Wall] aslinya?

“…Begitu ya?”

Aku menggertak pelan.
Memang, [Fourth Wall] milikku masih lemah.
Belum cukup fragmen Kim Dokja yang kukumpulkan.

Kau tahu apa yang terjadi kalau gagal menjebaknya? Bukan cuma aku, tapi yang lain di dalam perpustakaanmu juga lenyap.

Sial.
Aku belum memikirkannya sejauh itu.

“Anna! Lebih cepat!”

Anna tersadar, lalu berlari lebih cepat di sebelahku.
Tentakel kini hanya beberapa meter di belakang, sedangkan kompleks masih jauh.

Untungnya, ada beberapa Fear yang bisa kupakai di sepanjang jalan.
Misalnya—

[Catastrophic Fear ‘Alien Traffic Light’ aktif.]
[Menggunakan Story Fragment ‘Remote Signal Controller’.]

Aku memasuki zebra cross dan mengubah sinyal jadi hijau.
Saat Dream Eater mengikutiku melewati lintasan, sinyal langsung berubah merah.

Braaak!

Sesuatu menabrak tentakelnya keras sekali—
suara benturan yang bahkan menorehkan bekas di tanah.

Ooooooooooo!

Bagaimana? Rasakan cita rasa peradaban, dasar makhluk purba!

[Natural Disaster-level Fear ‘Dream Eater’ mengaum!]

Mungkin hukum dunia hanya bisa bekerja karena peradaban ada.
Itulah sebabnya lampu lalu lintas tidak punya makna di hadapan bencana yang bisa menghancurkan konsep itu sendiri.

“Ikuti lampu, dasar bodoh!”

“Cheon Inho, kau bicara dengan monster itu?”

“Jangan ganggu, cepat baca masa depan!”

“Aku belum punya [Future Sight]…”

“Kenapa kau tidak berguna sekali?!”

Anna tertegun mendengarnya—seolah tak pernah dikatai seperti itu seumur hidupnya.

“Kemampuanmu tidak hanya [Future Sight], kan?”

“Ya… tentu saja.”

Entah tersulut oleh ucapanku,
Anna tiba-tiba memusatkan pandangan dan mengaktifkan ‘Eye of the Great Demon’ lagi.

Bzzzt! Zzztt!

Percikan listrik menyala dari matanya.
Darah mengalir, tapi ia tak mematikan skill itu.

Aku menatap darah yang menguap di udara panas,
dan berkata lirih:

“Tragic Fear, Anna Croft.”

Ia menatapku garang, seolah aku bercanda di tengah kiamat.

Aku hendak menyuruhnya berhenti—
tapi Anna menghapus darahnya dan berkata pelan:

“Aku melihatnya.”

“…Apa?”

“Aku melihat masa depan. Sedikit saja.”

Aku terdiam, lalu bertanya.

“Apakah aku mati?”

“Kau ingin melihat masa depan seperti itu?”

“Jadi aku tidak mati, kan?”

“Ya.”

Aku tersenyum.

“Cukup. Kerja bagus, Anna.”

Karena cara yang akan kupakai selanjutnya—
adalah cara yang setidaknya tak akan membuatku mati.

827 Episode 42 Destination (3)

Aku menarik tangan Anna Croft ke belakang.

“Mulai dari sini, biar aku yang urus.”

“Aku juga bisa bertarung.”

Aku menatap Anna sekilas. Wajahnya tampak diliputi rasa malu. Mungkin harga dirinya terluka.

“Aku tahu. Kau kuat, tapi… bukan sekarang.”

Anna Croft memang seseorang dengan potensi pertumbuhan luar biasa.
Sedikit lagi waktu, dan dia akan menjadi eksistensi yang bahkan Konstelasi tingkat Historis—atau bahkan Naratif—akan kesulitan hadapi.

Tapi itu semua terjadi di paruh akhir Ways of Survival.

Musuh di depan kami sekarang…
adalah monster yang bisa melenyapkan tiga Konstelasi tingkat Historis hanya dengan satu serangan.
Jelas bukan lawan yang bisa dihadapi Anna sekarang.

“Kau sudah lihat masa depan, kan? Sekarang giliranku.”

Seolah sudah tahu apa yang akan kulakukan, Anna berhenti membantah.
Sebaliknya, ia merogoh dada bajunya dan menyerahkan sebuah botol kulit kecil padaku.

“Minum.”

“Apa ini?”

“Darahku.”

Aku terbelalak.
Ciri khas Anna Croft—Elixir Maker.
Darahnya sendiri sebanding dengan eliksir berkualitas tinggi.

“Memberikannya padaku juga bagian dari masa depan yang kau lihat?”

Anna mengangkat bahunya ringan.

“Kau mau minum atau tidak?”

Aku tersenyum tipis dan membuka tutup botol itu.

“Entah kenapa, setiap kali bertemu denganmu aku selalu berakhir meminum darahmu.”

“Baru dua kali.”

Mungkin karena sinkronisasiku dengan Demon King of Salvation sudah semakin dalam,
begitu darah Anna menyentuh lidahku, kisah-kisah Kim Dokja menyala terang dalam tubuhku—
menghangatkan setiap otot dan sendi.

Aku bisa merasakan tatapan ‘Dream Eater’ dari langit jauh di atas.

Aku mendongak, menatap balik.
Dan berpikir.

Berapa banyak lagi monster seperti itu yang berdiam di dalam Fear Realm ini?

Dia datang.

Aku mengangguk dan mengaktifkan [Way of the Wind].
Tubuhku melesat ke langit, menghindari tentakel-tentakel yang menghantam dari segala arah.

Kau tahu, tidak ada orang waras yang akan mencoba ini, kan?

“Kapan kita pernah waras, Hyung?”

Tawa Kim Dokja terdengar di ujung sambungan.
Dengan tawa itu sebagai latar, aku terus terbang menembus langit.
Seluruh ototku bergetar, kisah-kisah dalam diriku ikut beresonansi.

Sudah waktunya bertarung sungguh-sungguh.

Penaltiku telah sepenuhnya dipulihkan sejak mendapatkan skenario utama.

Artinya, inilah waktunya mengeluarkan 100% kekuatanku.
Bagaimanapun, aku adalah pewaris nama Demon King of Salvation.
Meskipun tak bisa memakai seluruh kekuatannya, aku bukan lagi sosok lemah.

Geeeeeeeeing!

‘Blade of Faith’ menyala dari pedang Unbreakable Faith.
Aku mengayunkannya vertikal—dan kisah hitam pekat memancar dari permukaan tentakel raksasa.

Luka kecil.
Tapi aku tidak peduli. Ini baru permulaan.

[Exclusive skill ‘Way of the Wind Lv. 10’ diaktifkan hingga batas maksimal!]

Simpul-simpul angin yang dulu dijelaskan Lycaon mulai terikat di pedangku—
dan angin itu segera menjadi kehendakku.

[Baekcheong-ganggi mulai mengalir di sepanjang simpul angin.]

Aku berlari di sepanjang tentakel, menancapkan pedangku di permukaan luka.

Way of the Wind menggali luka dan bertemu Baekcheong-ganggi, menciptakan ledakan kecil dan besar secara beruntun.

Duuuuuar!

Kali ini aku bisa merasakannya—Dream Eater tersentak.

Kau menerapkan apa yang Lycaon ajarkan?

“Ya.”

Beberapa detik kemudian, kaki Dream Eater menegang dan menukik ke udara—
serangan yang sama yang sebelumnya memusnahkan tiga Konstelasi Historis.

Jangan menahan diri lagi.

Benar.
Kalau aku tidak mengeluarkan semua kemampuanku, aku akan mati di sini.

Angin badai menyapu dari langit jauh.
Tentakel-tentakel itu jatuh dari atas dengan kecepatan menakutkan.

Kalau ini gagal, kau benar-benar mati. Kau tahu, kan?

“Anna bilang aku tidak mati.”

Kau percaya itu?

“Aku harus percaya.”

Kalau begitu… mari kita mulai.

[Exclusive skill ‘Incite Lv. 11 (+1)’ diaktifkan!]

Biasanya, bahkan dengan [Incite] atau [Bookmark], tak mungkin melawan Dream Eater.
Tapi sekarang, meski hanya sebentar… mungkin bisa.

Setelah keluar dari Fear Putaran ke-40, kekuatan [Incite] telah berubah.

“Aku—”

Target [Incite] sudah pasti.

“Aku adalah Pedang Pertama Goryeo, Cheok Jungyeong!”

Bukan hanya [Incite].
[Sentence Reinforcement] ikut aktif, dan pengalaman Cheon Inho dari Putaran ke-40 meresap ke dalamnya.

Ia lahir sebagai prajurit. Ia lahir membawa darah naga.

‘Heart of a Low-level Dragon’ di dalam dadaku berdetak keras.

Dia terlalu kuat. Usir dia dari skenario. Dengan cara apa pun, kirim dia ke dunia lain.

Pengasingan karena darah naga.
Atribut yang cocok membuat tingkat asimilasi [Incite] melonjak drastis.

Saat ini, tak ada yang bisa menirunya lebih baik dariku.

[Item ‘Blood of the Elixir Maker’ bereaksi terhadap napasmu.]

Darah Anna mengalir deras di pembuluhku.
Kemungkinan yang dibutuhkan oleh [Incite] diwujudkan dengan membakar darah itu.

Yang kuinginkan.

Aku adalah pendekar terbaik Goryeo.
Prajurit yang menebas segalanya hanya dengan satu tebasan.

Hanya menebas kekosongan di hadapan mataku.

Kata-kata yang pernah ia ucapkan, dan yang akan ia ucapkan—
semua sejarah yang ia jalani terikat di lenganku.

Saat kekuatan sihir mengembang hingga nyaris meledak,
tentakel raksasa sudah tepat di depanku.

Maknae.

“Aku adalah Cheok Jungyeong.”

[Story ‘Heir of the Eternal Name’ memulai penceritaan.]
[Story ‘One Who Killed an Outer God’ memulai penceritaan dengan efek ‘Heir of the Eternal Name’.]

Kisah Kim Dokja aktif tepat waktu—kisah yang diperolehnya saat memburu Dream Eater di Dark Castle.

Dengan jantung berdetak kencang, aku mengayunkan pedangku.

“Tolong… berhasil.”

Tsk! Tsk! Tsk!

Pemandangan di depan mataku beriak—pertanda bahwa panggung sedang berubah.

Staging.
Incite berhasil menipu panggung.

Inilah pedang yang dapat menebas seribu jiwa dengan satu ayunan.

First Form – One Sword That Cuts Thousands.

Lintasan di udara bertemu dengan tentakel yang jatuh—
dan ledakan kekuatan magis pun terjadi.

Duuuuuuuar!

Tapi seperti yang kuduga—
Outer God tetaplah Outer God.

Gelombang kejut itu bahkan menekan pedang Cheok Jungyeong.

Sekali lagi!

Aku segera melancarkan serangan kedua.

Second Form – Two Swords That Cut a Mountain.

Pedang kedua Cheok Jungyeong yang memotong gunung.
Ketika tebasan itu menyusul, gelombang kejut dari tentakel langsung terpecah.

Sensasi ekstasi menyusup di ujung jariku yang menggenggam pedang.

Inilah kekuatan Transenden.

Sebuah ranah tertinggi,
hanya bisa dicapai mereka yang menanggalkan kulit fana.

Sesaat, aku berpikir—
jika aku bisa kembali ke Putaran ke-40,
mengulang pelatihan itu seperti Yoo Joonghyuk di Time Fault,
seberapa kuat aku bisa jadi?

Krkk!

Rasa sakit mengiris pundakku.
Tulang di bawahnya berderak.

Sial, patah.

Tubuh inkarnasi yang rapuh tak mampu menahan dua tebasan.

[Efek exclusive skill ‘Incite’ dipaksa berhenti!]
[Exclusive skill ‘Fourth Wall’ aktif, menetralkan penalti Incite!]

Hebat. Sekarang bahkan [Incite] pun berhenti.
Aku tersenyum pahit melihat tentakel lain jatuh dari langit.

Belum selesai.

Aku bisa saja mencoba Three Swords,
tapi bahkan dengan panggung ini, aku tidak bisa membunuh Dream Eater.

Lagi pula, makhluk itu tidak mati oleh pedang Cheok Jungyeong.

“Tapi… cukup sampai di sini.”

Aku menutup mata, membiarkan bayangan pedang terakhir terlukis di pikiranku.

Third Form – Three Swords That Cut the Sea.

Saat kubuka mata,
angin sejuk menyapu wajahku—
dan tentakel raksasa itu terbelah dua di depan mataku.

Ooooooooooh!

Dream Eater meraung, mantra mengerikan menggema.

Dan di depan mataku berdiri seseorang—
orang yang tak takut pada Outer God.

Penumpang terakhir di Subway Pulang Kerja,
dan bencana besar yang memusnahkan semua inkarnasi di Crime Zone.

“Pedang Goryeo… suatu kehormatan bisa bertemu denganmu.”

Cheok Jungyeong menoleh.

[Kau… bagaimana bisa tahu ilmu pedangku?]

Tiga pedang itu bukan teknik dasar—
melainkan hasil pencerahan sejati.

Tapi manusia fana sepertiku,
menggunakannya dengan sempurna di hadapannya.

[Tunggu… jangan-jangan kau…]

Oh, jadi dia sudah mengenaliku?

[Aku pernah melihatmu bertarung dengan Cheongae.]

Ah. Benar juga.
Pertarunganku dulu sempat disiarkan di Star Stream.

[Menarik. Tak kusangka bocah itu akan muncul di sini.]

“Suatu kehormatan bisa bertarung bersamamu, Guru.”

Cheok Jungyeong tiba-tiba tertawa lepas.

[Ini pertama kalinya seseorang mempelajari ilmu pedangku.]

Kalau ini pendekar biasa, ia pasti sudah menuduhku mencuri ilmunya.

Tapi suaranya lembut, nyaris hangat.

[Pedang tunggalmu belum cukup untuk memotong seribu, dan pedang gandamu terlalu pendek untuk membelah ombak.]

Analisisnya tajam dan filosofis.

[Namun arah tebasanmu benar. Kau pasti telah mempelajari ‘Three Swords Style’.]

Untunglah, dia tidak tersinggung.
Tidak—lebih tepatnya, dia malah tampak senang.

Sang pendekar terbesar di Semenanjung Korea menepuk dadanya ringan dan berkata:

[Mulai sekarang, aku akan menjadikanmu muridku.]

“…Hah?”

Oooooooh!
Teriakan Dream Eater memotong pikiranku.

Sebelum sempat menjawab, sang guru langsung menebas.
Satu tebasan memotong seribu jiwa—
satu lagi membelah gunung.

Dan kini,
pedang yang membelah lautan mengarah pada Outer God itu.

Ooooooooooh!

Pedang yang menakjubkan.
Cheok Jungyeong menghujani serangan tanpa henti,
dan Dream Eater menangkis semuanya dengan kekuatan luar biasa.

Kim Dokja, yang sejak tadi diam, akhirnya bicara.

Aku tak menyangka ini akan terjadi.

“Aku juga tidak.”

Sungguh, aku tidak ingin hasilnya seperti ini.

“Kenapa, Hyung, kau bilang begitu?”

Biasanya, pendekar sepertinya akan memeriksa terlebih dahulu—
tapi tidak, dia langsung menerima murid.

Cheok Jungyeong tak pernah punya murid. Ilmunya tak bisa diwariskan dengan cara biasa.

“Ah.”

Ilmu pedang yang tak bisa diajarkan—
tapi seseorang berhasil memahaminya sendiri.

Yah, paling tidak ada untungnya. Kalau dia menganggapmu murid, dia takkan biarkan kau mati sia-sia di Fear Realm.

Benarkah ini saat yang tepat untuk merasa lega?

Ada yang mengganggumu?

Sebelum aku menjawab,
tangan dingin menggenggam pergelanganku—Anna Croft.

“Cheon Inho.”

“Ya? Mau lari?”

“Apa kau berniat mati di sini?”

“Kau bilang aku tidak mati.”

“Aku tidak melihat apa yang terjadi setelahnya.”

Dia benar.
Sekarang saatnya mundur.
Selagi sang guru bertarung, kami bisa lari ke kompleks industri.

Murid yang bagus, ya.

“Tentu saja. Lihat siapa gurunya.”

Kau tahu, bahkan pendekar Goryeo terbaik pun tak bisa mengalahkan Dream Eater, kan?

“Kalau begitu, ini pertemuan terakhir kami.”

Aku membungkuk singkat ke arah guruku yang bertarung demi muridnya,
lalu menarik Anna untuk mundur.

Namun—

Ya. Ini pasti pertemuan terakhir kalian.

Aku menoleh.
Entah sejak kapan, Outer God lain muncul, menghalangi jalan kami ke utara.

Yeongasi.
Penjaga gerbang utara.

Rasanya dia sudah mengamati pertarungan kami dan menunggu kesempatan.

Wajah Anna memucat. Ia bersembunyi di belakangku.

“Aku benci Yeongasi.”

‘Yeongasi’—dalam bahasa Korea berarti cacing parasit atau roh pengendali.

Aku kehabisan mana.

“Guru! Muridmu dalam bahaya!”

[Kalau benar muridku, dia bisa mengatasinya sendiri.]

…Sepertinya guruku tipe yang melempar murid ke sarang harimau.

Aku mundur perlahan bersama Anna.

“Ada rencana lain?”

“Tidak.”

Anna menatapku dengan bingung.

“Aneh.”

“Apa yang aneh?”

“Yang kulihat di masa depan… bukan Pedang Goryeo.”

“Apa maksudmu?”

Saat aku hendak bertanya lebih jauh,
suara-suara terdengar dari atap gedung di dekat kami.

“Heh, Kapten Divisi Ketiga itu selalu berkelahi dengan Dream Eater tiap kali datang ke sini.”
“Kasihan sekali orang itu.”
“Kita lumpuhkan dia dulu. Setelah itu, kita serang Dream Eater bersama. Siapa yang lawan Yeongasi?”
“Aku.”

Saat Yeongasi menerjang dengan teriakan Kwaeaeaeak!,
sebuah tebasan biru melintas di depan mataku.

Aku tahu betul tebasan itu.
Baekcheong-ganggi.
Tapi bukan punyaku—
pedang biru yang lebih murni, lebih indah.

“Itu dia.”

Anna menunjuk sosok itu.

Rambut birunya bersinar seindah langit,
setiap gerakannya memancarkan aura agung.

Saat kulihat Yeongasi melarikan diri sambil menjerit,
aku teringat deskripsi dari kisah utama:

Dalam Ways of Survival, bila mendeskripsikan pria tampan, sering digunakan ungkapan ‘menampar wajah Yoo Joonghyuk’. Dan orang ini pantas mendapatkannya.

Jika harus menggambarkan perasaanku sekarang—
wajah Yoo Joonghyuk mungkin sudah remuk.

Aku berlari ke arah sosok itu.
‘Guru yang sesungguhnya’ telah muncul.

Namun ketika ia menoleh,
ada sesuatu yang ganjil di wajahnya.

Tunggu.

Kenapa… sosoknya sebesar itu?

Apakah Kyrgios memang… sebesar itu sebelumnya?

828 Episode 42 Destination (4)

Kalimat yang paling berkesan dari seluruh deskripsi tentang Kyrgios Rodgraim, White Blue of Paradox, adalah ini:

Permulaan adalah satu titik, maka yang paling kecil adalah yang paling besar.

Ada juga yang ini:

Orang kecil terkuat di dunia.

Kau lihat pengulangannya?

Benar.

Kecil.

Itulah alpha dan omega bagi Kyrgios—inti dari keberadaannya.

Makhluk Transenden dari Peace Land, negeri tempat hanya orang-orang mungil yang hidup berdampingan.
Ia bahkan menaklukkan kompleks inferioritasnya terhadap ‘kekecilan’ dan mencapai pencerahan yang luar biasa.

Itulah Kyrgios yang kukenal.

Jadi, bagaimana aku harus menjelaskan sosok pria yang kini berdiri di hadapanku ini?

“Fear tingkat Bencana... White Blue of Paradox?”

“Cheon Inho, kau benar-benar sudah gila?”

Apa pun yang dikatakan Anna Croft, aku tak bermaksud menarik kembali ucapanku.

Karena tak ada cara lain untuk menjelaskannya selain satu kata itu: Fear.
Jika yang paling kecil adalah yang paling besar, bagaimana kita menafsirkan Kyrgios yang kini… tumbuh sedikit—tidak, terlalu banyak?

Apakah artinya dia menjadi sedikit kurang hebat?

Tentu saja, guru kami yang satu ini—bahkan meski tubuhnya membesar—masih berjalan ringan ke arahku dengan langkah tenang yang penuh wibawa.

—“Aku sudah melihat banyak hal aneh dalam hidupku yang panjang ini.”

Di belakangku, Kim Dokja terus mengoceh dengan gaya khasnya.
Aku mengabaikannya dan memusatkan seluruh perhatianku pada Kyrgios yang kini berdiri di depanku.

Sungguh menegangkan.

Aku punya riwayat buruk dengannya—
pernah berpura-pura jadi murid Baekcheong-mun dan menggunakan nama itu ketika menghadapi Dragon Head Arc dari Beggar Sect di Stasiun Seoul.

Mungkin saja, seperti Cheok Jungyeong, Kyrgios juga mengenaliku.
Salah bicara sedikit saja, bisa tamat aku.

Tapi satu-satunya senjata yang kumiliki sekarang… hanyalah lidah sialanku ini.

“White Blue of Paradox, Kyrgios Rodgraim. Benar begitu?”

“Siapa kau?”

“Ya. Aku…”

Apa yang seharusnya kukatakan?
Kim Dokja?

Saat aku masih ragu, Kyrgios bertanya lagi.

“Bagaimana kau bisa tahu ilmu pedang itu?”

Ah.
Aku baru sadar kalau [Baekcheong-ganggi] masih aktif.

Terlambat untuk menonaktifkannya sekarang.
Kalau begitu, tidak ada pilihan lain—aku akan pakai Strategi Kim Dokja.

“Maaf baru menyapa. Seorang murid luar dari aliran Baekcheong-mun memberi salam kepada sesepuhnya.”

Kyrgios menatapku kosong sejenak, lalu berkata datar:

“Baekcheong-mun sudah lama hancur.”

“Aku tahu. Aku belajar dari penyintas terakhir Baekcheong-mun.”

Itu tidak sepenuhnya bohong.
Memang benar aku mempelajari [Baekcheong-ganggi] dari seseorang yang pernah menguasainya secara diam-diam.

“Aku sudah banyak mendengar tentang guru. Aku selalu ingin menyampaikan salam suatu hari nanti… sebuah kehormatan bisa bertemu langsung.”

Kupikir aku terdengar cukup sopan, tapi ekspresi Kyrgios malah aneh.
Aku melirik ke sekeliling—dan melihat beberapa orang yang datang bersamanya berbisik-bisik.

“Kapten Divisi Pertama memang selalu populer.”
“Kyrgios lagi, ya?”
“Kataku juga begitu. Banyak yang ingin jadi muridnya.”

Banyak yang ingin jadi muridnya?

Oh tidak…

Begitu mendengar suara Kim Dokja di kepalaku, bulu kudukku berdiri.

Bodoh. Kenapa aku tidak memikirkan ini sebelumnya?

Sepertinya ada ‘Kim Dokja’ lain di sini juga.

Para pembaca dunia ini merasuki banyak orang di banyak tempat.
Kalau begitu, bukankah mungkin ada juga pembaca yang ‘masuk’ ke tubuh seseorang di sekitar Kyrgios?

“Namamu juga ‘Kim Dokja’?”

Aku tersenyum kecut.
Untungnya, aku punya cara untuk membuktikan diriku berbeda dari yang lain.

“Aku orang pertama yang mempelajari [Baekcheong-ganggi].”

Dan itu benar.
Di dunia ini, hanya aku dan Cha Yerin (Literary Girl 64) yang pernah mempelajarinya.

Kau selamat berkat Yerin.

Begitu mendengar nama itu muncul di pikiranku, ada rasa rindu yang aneh.
Bagaimana kabarnya sekarang?
Bagaimana nasib Killer King, Ji Eunyu, Dansu ahjussi, dan Kyung Sein…

Pikiranku terhenti oleh suara yang datang dari belakang.

“Kyrgios. Itu dia.”

Seorang pria berjalan mendekat tanpa mengenakan atasan—
pedang tergenggam di tangan, ototnya tegang seolah tiap langkahnya bisa membelah bumi.

Cheok Jungyeong, pendekar terkuat dari Goryeo.

“Bocah pucat itu muridku. Jangan menatapnya sembarangan.”

“Muridmu?”

Cheok Jungyeong menepuk dadanya dengan bangga.

“Ya. Dia muridku. Dari reaksimu, sepertinya kau juga menyadari bakat luar biasa bocah ini.”

“…”

“Tapi sudah terlambat. Dia milikku.”

Tatapan dua orang itu saling beradu di udara, tegang tapi berwibawa.
Sebelum ketegangan itu pecah, suara gemuruh terdengar dari kejauhan.

Kukukukukukuk!

Sepuluh Transenden mengepung Dream Eater dan menyerangnya bersama-sama.

Setidaknya setingkat kekuatan Spear Master.
Dengan teknik gabungan mereka, bahkan makhluk itu sempat terhuyung.

Sungguh pemandangan yang luar biasa.
Bagaimana pun, kekuatan mereka belum cukup untuk menumbangkan makhluk seperti itu.

“Tsk, bukan begitu caranya menebas.”

“…”

“Hei! Pemula Divisi Kedua! Tusuk lebih cepat! Mau terjebak di Time Fault seratus tahun lagi?!”

“…”

“Bukan begitu juga caranya!”

Entah sejak kapan, seorang kakek tua berdiri di sampingku, mengomentari pertarungan para Transenden seolah sedang menonton latihan anak-anak.

Bagi orang lain, itu seni bela diri tingkat tinggi.
Tapi di mata kakek itu, hanya permainan biasa.

Ia berdeham, lalu menatapku.

“Huh? Siapa kau?”

“Ah, saya…”

“Pendatang baru, ya?”

Nada suaranya ringan, tapi auranya begitu dalam hingga aku refleks menahan napas.
Orang ini jelas sudah melampaui seluruh ‘skenario’ dunia ini.

Tatapan matanya tajam namun hangat.

“Tak banyak pendatang baru yang bisa naik sampai sini. Kau cukup hebat.”

“Namaku Kim Dokja.”

Kakek itu tersenyum samar.

“Nama yang aneh. Tapi aku suka orang dengan nama aneh.”

Senyum itu… entah kenapa terasa akrab.
Sementara itu, Dream Eater di kejauhan mengerang pelan, tubuhnya mulai surut.

Di tengah para Transenden itu berdiri dua sosok agung: Kyrgios dan Cheok Jungyeong.
Melihat mereka berdampingan membuat dadaku bergetar.

Mungkin memang masih banyak kisah di dunia ini yang belum kutahu.
Manusia yang mampu melakukan hal-hal di luar jangkauan Konstelasi.

Kakek itu menatap ke arah mereka dan berkata,

“Kim Dokja. Selamat datang di Transcendent Alliance.”

Transcendent Alliance.

“Tunggu, apa?”

Terlambat.
Aku sudah ditangkap dan diseret oleh para Transenden itu menuju kompleks industri.

Bangunan yang kukira ‘Big House’ milik Kim Dokja ternyata adalah markas besar mereka.

[Fear tingkat Bencana, diterima di ‘Fear Ward’.]

Aku bahkan dipaksa masuk ke ruang perawatan dan mendapat transfusi kisah.

Menoleh, kulihat Anna Croft berbaring di ranjang sebelah.

“Kau baik-baik saja?”

“Aku baik-baik saja. Kau?”

“Menurutmu ini terlihat baik-baik saja?”

“Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi.”

Sepertinya situasi ini pun tak bisa dilihat oleh [Future Sight]-nya.
Dia mencoba beberapa kali, tapi gagal.

Wajar.
Karena kami mungkin sudah terlalu dekat… dengan Second Kim Dokja.

Ya, ini pasti ‘Big House’-mu, Kim Dokja.

“Menurutmu kenapa mereka menangkap kita?”

“Entahlah. Asal bukan karena mengira kita ini ‘Fear’…”

Ponselku bergetar.
Aku mengecek, dan Guide telah diperbarui.


🌀 Beberapa bagian dokumen ini telah dimodifikasi oleh SVRP.
SVRP. PW ???

Fear tingkat Bencana – Transcendent Alliance

Aliansi para Transenden yang tinggal di wilayah apokaliptik.
Organisasi yang terdiri dari individu-individu super kuat, masing-masing sebanding dengan satu Konstelasi.

Beberapa di antara mereka disebut ‘Captain’, masing-masing memiliki tingkat bahaya setara Genius Payout.

  • Total Captain: ■■■■ ■■

  • Zero Brigade Captain: ■■■■ ■■

  • First Brigade Captain: Paradoxical White Blue, Kyrgios Rodgraim

  • Second Brigade Captain: Breaking the Sky, Namgung Minyoung

  • Third Brigade Captain: Goryeo Swordsman, Cheok Jungyeong

Dalam seluruh Round tempat kelompok ini muncul, mereka selalu tercatat bertempur melawan Great Old Being — dan berakhir musnah.


Aku benar-benar terkejut membaca deskripsi itu.
Ada dua alasan.

Pertama, karena orang-orang yang kukenal ternyata masih hidup di wilayah ‘End Zone’ yang mengerikan ini.

Dan kedua—karena akhirnya mereka semua musnah melawan Great Old Being.

Great Old Being.
Beberapa nama Outer God langsung terlintas di kepalaku, tapi aku tak tahu siapa tepatnya musuh mereka kali ini.

[Fear tingkat Bencana, efek ‘Fear Ward’ aktif.]

Mataku terasa berat.

[Semua lukamu akan disembuhkan.]

Itu efek ruangan ini.
Sebelum kehilangan kesadaran, aku sempat mendengar suara jeritan samar—mungkin suaraku sendiri, mungkin Anna, mungkin orang lain.

Saat kubuka mata lagi, pagi sudah tiba.

Seorang pria besar menyambutku dengan tawa lebar.

“Kau sudah bangun, muridku?”

Cheok Jungyeong.

Ia tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putih.
Kemudian, ia mengajakku berkeliling markas Transcendent Alliance.

Ternyata mereka hanya menempati lantai dasar kompleks industri ini.
Cheok Jungyeong menjelaskan dengan sabar ruang tidur, ruang mandi, dan ruang latihan.

“Dan mulai hari ini, kau anggota termuda Divisi Ketiga.”

“Guru…”

“Ada apa?”

“Aku tidak pernah bilang ingin bergabung dengan Transcendent Alliance.”

Aku benar-benar tak mengerti.
Baru kemarin aku dipaksa dirawat, dan sekarang… langsung direkrut?

Cheok Jungyeong hanya menyeringai.

“Murid. Bukankah kau datang ke sini untuk menjadi Transenden?”

“Memang, tapi—”

Menjadi Transenden memang satu-satunya cara untuk jadi lebih kuat sekarang.
Namun bukan berarti aku ingin mati bersama mereka saat Great Old Being menyerang.

“Kalau kau berlatih keras di sini, kau bisa jadi Transenden. Seperti aku.”

“Bukankah Guru itu Konstelasi?”

“Bagi orang sekuat aku, perbedaan itu tidak penting.”

…Aku memutuskan untuk berpikir positif.
Bagaimanapun, aku harus menemukan Second Kim Dokja di sini,
dan sejauh ini—ini tempat paling aman di End Zone.

Kalau Great Old Being datang menyerang, aku bisa kabur duluan.

Dan yang paling penting—

“Baiklah, cukup omong-omongnya.”

Di tempat ini…
aku bisa menggunakan sesuatu yang selama ini hanya kudengar dalam legenda.

“Ini dia, Time Fault yang terkenal itu.”

Ruang sebesar lapangan luas penuh dengan pintu-pintu kecil di setiap dinding.
Di depan masing-masing pintu, terdapat monitor kecil yang menampilkan rekaman waktu yang terus berputar cepat—
seolah memperlihatkan dunia-dunia yang terperangkap di dalamnya.

Ada yang memperlihatkan inkarnasi menjelajahi tepi kegelapan.
Ada yang jatuh dari jembatan tanpa akhir.
Ada juga Konstelasi yang terjebak di Tartarus, penjara dunia bawah.

Setiap monitor memiliki angka.

2–3 Round. 4–11 Round. 5–33 Round. 6–77 Round…

“Apa arti angka-angka ini?”

“Ah, itu.”

Cheok Jungyeong menggaruk pipinya.

“Sepertinya urutan terciptanya Time Fault, tapi aku tidak tahu pasti.”

Aku menatap monitor-monitor itu, terdiam.

Dalam satu sisi, ia benar.
Tapi di sisi lain—aku satu-satunya yang tahu arti sesungguhnya.

Ya. Semua Time Fault ini—

Adalah Putaran-ulang Yoo Joonghyuk.

829 Episode 42 Destination (5)

‘Pintu-pintu’ Time Fault itu menutupi seluruh ruang, membentang hingga menembus langit—barisan tak berujung yang seperti labirin waktu.

Aku melangkah mendekati salah satu pintu terdekat.

“Hei, murid. Jangan masuk ke sana. Ada penumpang di dalam.”

Aku menatap pintu bertuliskan [2-1 Round].
Angka ‘2’ di depannya mungkin menandakan Round dunia Yoo Joonghyuk.
Dan angka ‘1’ di belakangnya…

[Saat ini, skenario ‘Proof of Value’ sedang berlangsung.]

Nomor skenario?

Monitor kecil di samping pintu menampilkan adegan di dalam kereta bawah tanah.
Adegan yang sangat kukenal.

Kwaaaaah!
Tolong aku! Tolong!

Seorang wanita bermata dingin duduk di tengah kekacauan itu.
Aku tahu tanpa perlu dijelaskan siapa dia.
Dia adalah “Penumpang” dunia itu—
makhluk yang hidup di dalam skenario pertama yang terus berulang tanpa akhir.

“Dia bilang, tempat itu yang paling cocok untuknya.”

“…”

“Tingkat kesulitannya rendah, tapi tingkat kelelahan tinggi. Makanya Fault itu punya karakteristik unik.”

Menurut Cheok Jungyeong, semua Transenden memilih salah satu Time Fault, lalu masuk ke dalamnya untuk berlatih dan mencapai pencerahan.

Beberapa mengulang aksi atau skenario yang sama ratusan kali.
Yang lain menanggung waktu yang nyaris abadi demi menaikkan level mereka.

“Menurutku, orang itu setengah gila. Mungkin dia sudah lupa kalau harus keluar lagi.”

Faktanya, beberapa sosok di sana memang terlihat seperti telah lupa akan dirinya sendiri.
Misalnya Transenden di [6-21].
Sekilas tampak serius, tapi matanya kosong dan air liur menetes dari mulutnya—
pandangan orang yang terjebak dalam kegilaan.

“Kalau kau kehilangan kesadaran, jadinya begitu. Pada dasarnya, Time Fault itu juga ‘Story’.”

“Kalau aku tidak menjalani cerita, maka ceritalah yang akan menjalani diriku.”

Mata Cheok Jungyeong membulat.

“Wah, murid. Kata-katamu keren juga. Persis seperti yang selalu dikatakan si Ular Tak Terkalahkan.”

“Haruskah kita menolong mereka?”

“Mereka mungkin tidak mau ditolong.”

“Kenapa?”

“Meski tampak gila, bisa jadi mereka sedang mencapai pencerahan.”

Pencerahan? Itu?
Bagaimana pun kulihat, mereka jelas sudah kehilangan akal.

“Kau tidak akan pernah tahu apa yang ada di kepala mereka, kan?”

Mungkin benar.
Bisa saja mereka tengah menembus batas pemahaman manusia,
meski tubuhnya tampak hancur dari luar.

Dan kalau aku mencoba ‘menyelamatkan’ mereka sekarang,
mungkin justru aku yang akan dikutuk nanti.

“Selain itu, banyak Fault yang hanya bisa dimasuki satu orang. Yang tadi juga begitu.”

Kulihat lagi label di monitor: [6-21] — Limit: 1 Person.
Artinya, bahkan jika orang di dalamnya gila sekalipun, tak ada yang bisa masuk menyelamatkan.

“Jadi, masuk ke Time Fault itu sepenuhnya pilihan mereka. Tidak perlu merasa kasihan. Justru itu bisa dianggap penghinaan.”

Aku menatap Transenden yang duduk di kegelapan, air liur menetes dari bibirnya.
Ada kesepian yang aneh di mataku.

Mereka, yang membuang seluruh hidupnya hanya untuk menjadi lebih kuat.
Yang membuat hatiku bergetar bukan kegilaan mereka—
melainkan kenyataan bahwa tempat mereka mempertaruhkan hidupnya adalah Time Fault.

Mungkin, semua Transenden pada akhirnya hanyalah versi lain dari Yoo Joonghyuk.
Atau… semua orang ingin menjadi Yoo Joonghyuk.

“Kalau begitu, bolehkah aku masuk juga?”

“Heh, akhirnya tertarik juga.”

Cheok Jungyeong terkekeh kecil.

“Tapi belum sekarang. Kau belum menjalani ‘Fear Suitability Test’.”

“Fear Suitability?”

“Seperti yang kau lihat, kebanyakan yang masuk ke Time Fault tak bisa mempertahankan tubuh inkarnasi mereka.
Ada pengecualian, tentu—misalnya kalau ‘inkarnasi yang sama’ sudah ada di dalam sana. Lihat, seperti kakek itu.”

Ia menunjuk [Round 16-59].
Dalam layar, tampak seorang anak laki-laki duduk bersila di tengah api neraka.
Aku langsung mengenalinya.

Yoo Hoseong.
Guru dari Breaking the Sky Sword Saint.

Dalam kisah utama, ia tinggal di Pulau Reinkarnasi.
Tapi di dunia ini, ia memilih menetap di Fear Realm.

“Intinya, seberapa tinggi Fear Suitability-mu menentukan jenis Time Fault yang bisa kau masuki.
Itu bakat di sini. Tak peduli sekuat apa, kalau tingkat kecocokanmu rendah, kau tak bisa masuk.”

“Mengerti.”

“Tesnya besok. Untuk sekarang, istirahat dulu.”

Aku mengangguk, tapi tak langsung pergi.
Aku menatap barisan pintu Time Fault yang membentang jauh ke atas.

Aku tak tahu bagaimana semua ini terbentuk,
tapi aku punya dugaan.

“Dasar Kim Dokja sialan… sampai sejauh mana kau membaca?”

Dunia ini hidup dari perilaku “membaca” milik Kim Dokja.
Jadi mungkin, Time Fault ini adalah hasil dari bacaan yang diulang-ulang olehnya.

Seperti membuka halaman lama buku yang ingin dibaca ulang—
Kim Dokja mungkin terus membaca, membaca, dan membaca kembali dunia ini.

Aku menatap ke langit yang dipenuhi pintu waktu.

“Second Kim Dokja… apa sebenarnya yang kau cari di masa lalu Yoo Joonghyuk?”


Keesokan harinya, aku menjalani Fear Suitability Test.
Entah kenapa, semua kapten datang menonton—termasuk guruku.

“Kita akan tahu apakah kau layak disebut murid Baekcheong-mun.”

“Itu tidak penting. Muridku! Abaikan saja kata-kata kakak parasit itu!”

Kyrgios dan Cheok Jungyeong masih saja bertengkar seperti biasa.

“Cheon Inho, kau datang.”

Anna Croft sudah menungguku di tempat tes.

“Kau juga ikut tes aneh ini?”

“Ya. Kenapa?”

“Ini tes mun?”

Aku menatapnya tanpa ekspresi.
Dalam bahasa Korea, “mun” bisa berarti “tulisan” atau “jiwa”.

“…”

“Kalau hasilnya jelek, jangan-jangan kita diusir dari sini…”

Anna kini seorang pengkhianat nebula, tak punya tempat lain.
Kalau dia diusir, itu akhir baginya.

Aku menatapnya, lalu tersenyum kecil.

“Tenang saja.”

“Kenapa kau begitu yakin?”

“Kau sendiri yang bilang, kemampuanmu bukan cuma [Future Sight].”

Anna Croft menatapku lama, lalu berpaling dengan mata sedikit memerah.

“…Aku tidak menyangka kau akan bilang begitu.”

Aku tersenyum.
Terkadang, bahkan penjahat pun bisa memberi semangat pada orang lain.


Tak lama, sosok tua itu mendekat.
Dialah Komandan Tertinggi Transcendent Alliance.

“Namaku Nobu, dijuluki God of Despair.

Ah, jadi “Nobu” itu memang julukan.
Dan nama itu—aku pernah mendengarnya di Ways of Survival.

“Tesnya sederhana. Bacalah kalimat yang muncul di kertas kosong ini.”

Anna Croft mendapat giliran pertama.
Kertasnya masih putih, tapi perlahan muncul huruf-huruf samar di permukaannya.

“Jiji, jangan tegang, Mira! Bisa baca satu kata saja sudah hebat!”
“Hei, pendatang baru! Minimal baca satu baris!”
“Kalau murid Baekcheong-mun, dua baris minimal!”
“Diam kau, Gisaeng hyung!”

Di tengah ejekan itu, Anna mulai membaca.

“Ah…”

Alisnya berkerut.
Udara bergetar halus, hawa muram menyelimuti ruangan.

“Bisa dibaca?”

Anna mengangguk pelan, menarik napas dalam, lalu bersuara.

“Kalimat pertama yang ditulis di alam semesta.”

Pelafalannya kaku, seperti membaca bahasa asing yang asing di lidah.

“Kalimat pertamanya adalah… Ini.”

Kertas bergetar, cincin cahaya muncul di atas kepalanya.
Suasana hening sejenak, lalu God of Despair bertanya,

“Bisa membaca berikutnya?”

Anna menatap kertas itu lama.
Satu menit. Dua menit.

“…Tidak. Aku tidak tahu.”

“Baik. Kau lulus.”

Suara kagum bergema.

“Luar biasa, anak muda!”
“Sudah lama tak ada yang bisa membaca kalimat pertama.”
“Bahkan Pedang Goryeo hanya sanggup satu kalimat.”
“Hei! Aku juga baca satu, dasar brengsek!”

Ternyata membaca satu kalimat saja sudah dianggap prestasi besar.

“Tak mudah membaca kalimat pertama. Kalau sejauh itu, kau layak ditempatkan di Fear tingkat Bencana.”

Sorak-sorai meledak. Tapi God of Despair menenangkannya.

“Sekarang giliranmu, Kim Dokja.”

Aku menerima selembar kertas kosong.
Bukannya gugup, aku justru merasa bersemangat.

Kalimat apa yang tersembunyi di sini?
Mungkin ini petunjuk tentang Second Kim Dokja.

Tinta tak terlihat mulai muncul.

Aku membaca perlahan.

“Kalimat pertama yang tertulis di alam semesta… bukanlah kalimat pertama.”

Cahaya muncul di atas kepalaku.
Orang-orang bersorak lagi.

“Dia membaca juga!”
“Seperti yang kuduga, muridku!”

Aku menatap kertas itu.
Berbeda dengan Anna—aku bisa membaca lanjutannya.

“Semua kalimat hanyalah mimpi yang singkat,
dan urutan mimpi ditentukan hanya oleh pemimpi.”

Cahaya di atas kepalaku makin besar.

“Beberapa mimpi singkat, beberapa panjang.
Ada yang dalam, ada yang dangkal.
Ada yang menyedihkan, agung, atau suci.”

Keheningan menyelimuti ruangan.

“Semua mimpi itu tak bisa menjadi satu mimpi tua,
jadi harus ada tempat di mana mimpi-mimpi yang ditinggalkan berkumpul.”

Aku tersadar.
Ini—
cerita tentang Fear Realm.

“Harus ada sebuah rumah besar di luar ruang dan waktu,
yang tak terikat hukum para dokkaebi.
Di sana, semua mimpi bebas sebagai Fear.
Di padang salju mimpi tak terjelaskan itu,
Raja Fear akan tersenyum—bukan cahaya, bukan kegelapan.”

Suara napasku bergetar.
Kisah itu menembus benakku seperti bisikan dari batas realitas.

“Tapi setiap cerita punya akhir.
Maka suatu hari, mereka yang ingin mencatat akhir Fear akan datang.”

Kisah tentang mereka yang ingin mencatat ketakutan itu sendiri.

“Fear yang mulai dicatat akan kembali menjadi dongeng.
Ia akan menjadi kisah yang ditetapkan.
Ia akan dicatat lagi dalam sejarah.”

“Tunggu! Jangan lanjutkan!”

“Murid! Berhenti! Kalau kau baca sampai akhir—”

Terlambat.
Mataku tak bisa lepas dari kertas itu.

“Ketika hari itu tiba, batas tidur akan terbuka,
dan Raja Fear akan turun.
Dan hanya dia yang mampu mengalahkan Raja Fear—”

Aku menarik napas,
dan menyelesaikan kalimat terakhir.

“—yang akan menjadi pencerita terakhir
yang menolak seluruh catatan di perbatasan mimpi dan kenyataan.”

Saat kuangkat kepala, tiga cincin cahaya bersinar di atas kepalaku.

Para Transenden menatapku dengan wajah pucat.

“Astaga… dia membaca semuanya?”
“Tingkat Fear Suitability-nya…”
“Chunghuh, hentikan dia! Kalau dibiarkan—”

Tapi sudah terlambat.

Suara dingin menggema di kepalaku.

[Kau telah membuka ‘Unknown Fear’.]

Kertas itu—ternyata juga sejenis Fear.
Dan pesan berikutnya membuat dadaku bergetar.

[Kau telah menginterpretasikan ‘End-level Fear’, ‘End-level Tow Truck’.]

End-level…?

[Interpretasi tambahan: Fear Realm, turunlah. Second Kim Dokja, bukalah pintu.]

[Hitung mundur menuju ‘End-level Area’ dimulai sekarang.]

830 Episode 42 Destination (6)

Sejak hari itu, julukanku berubah menjadi ‘End’.
Ya, masuk akal. Karena keesokan harinya, sesuatu muncul di atas kepalaku.

[Waktu tersisa: 28 hari 3 jam]

Tidak peduli dari sudut mana pun kau melihatnya—
setelah 28 hari 3 jam, akhir dari Fear Realm ini akan hancur.

“Hei, kudengar bocah itu yang menekan tombol kehancuran End of Fear?”

Dan aku—adalah orang gila yang menekan tombol itu.

“Benarkah kau yang membuka End-level Fear?”
“Astaga, aku hidup cukup lama untuk melihat seseorang membaca habis kertas itu?”

Tapi jujur saja, aku juga merasa tidak adil.
Apa yang aku tahu? Aku hanya… suka membaca.

Aku membacanya karena aku seorang pembaca.

“Jadi, kertas itu tidak bisa digunakan lagi?”
“Lalu apa yang kau dapatkan? Kalau kau benar-benar menafsirkannya, pasti ada hadiahnya.”

Hadiah.
Tentu saja aku mendapatkannya.

[Mendapatkan Fragmen Cerita ‘Resep Dumpling Murim’.]

Sungguh, aku sempat berpikir—
ini hadiah untuk menafsirkan Kisah Terakhir?

Tapi di sisi lain, mungkin fragmen itu berharga.
Sejauh yang aku tahu, resep itu sudah punah.

Nanti kalau bertemu Yoo Joonghyuk, akan kuberikan padanya.

“Kim End-nim.”

Saat aku menoleh, Anna Croft berdiri di sana membawa dua cangkir kopi.
Pemandangan yang entah kenapa terasa menyegarkan.

“Ya, Kim Anna-nim.”

“Kau terlihat santai sekali.”

Nada suaranya menggoda, tapi matanya serius.
Anna menyerahkan segelas kopi padaku.

Kopi yang diminum di ruang Fear terasa jauh lebih pahit daripada kopi dunia nyata.
Tentu saja.
Ini Fear coffee—air hitam dengan efek aneh yang sementara waktu meningkatkan ketahanan terhadap Fear.

“Ya, aku santai sekali sampai kepalaku hampir meledak. Bagaimana denganmu? Pekerjaan menyenangkan?”

Sudah tiga hari sejak aku masuk ke Fear Realm.
Dan dalam tiga hari itu, Kim Anna—yang ditempatkan di Divisi Pertama—
sudah dikirim ke lima Time Fault.

“Ya. Lebih baik dari dugaanku.”

Meski belum pernah turun sendirian ke Time Fault,
aktivitasnya belakangan menjadi bahan pembicaraan di seluruh End Zone.

Terutama karena [Future Sight]-nya terbukti akurat di beberapa Fault,
gelarnya sebagai Prophet mulai kembali bersinar di antara para Transenden.

“Kau kelihatan bahagia. Seperti orang yang baru diterima di perusahaan impian.”

“Kau salah.”

Nada suaranya menegang.
Anna buru-buru meneguk kopinya, lalu berkata pelan:

“Tapi, Cheon Inho. Kau belum ditugaskan ke mana pun, kan?”

“Yah, aku terlalu hebat.”

Belum juga dikirim ke Time Fault, aku malah membuka satu End-level Fear.
Tak heran para Transenden panik.
Kalau aku diberi misi lagi dan membuka End-level Fear lainnya, bisa kiamat lebih cepat.

Jadi, kenyataannya, aku sekarang sedang dihukum diam di kantin.
Seperti pegawai baru yang bikin masalah di minggu pertama kerja.

Sekali lagi, aku tidak bersalah.
Siapa suruh tulisan itu menarik?

Dan lagipula, perusahaan yang kuinginkan bukan <Transcendent Alliance>—
tapi <Kim Dokja Company>.

“Kapten kami sering menanyakanmu.”

Kalau Kapten Divisi Pertama, berarti Kyrgios Rodgraim.

“Kau bilang padanya kalau aku penjahat terburuk yang pernah kau kenal?”

Aku bercanda. Tapi jawaban Anna justru serius.

“Kau orang yang terus menghancurkan logika ‘masa depan’ yang kupikir pasti. Itu yang kukatakan padanya.”

Aku hanya mengaduk kopi tanpa berkata apa-apa.
Entah kenapa, rasanya dia benar-benar peduli padaku.

“Jadi sadarlah. Kau tidak berencana membiarkan End Zone ini hancur begitu saja, kan?”

“Tentu tidak.”

Masalahnya, aku tak tahu bagaimana cara mencegahnya.

Sejak bergabung dengan Transcendent Alliance, aku kehilangan kontak dengan Kim Dokja pertama.
Tak ada lagi panggilan telepon.

Tapi bukan berarti tak ada petunjuk sama sekali.

Ketika hari itu tiba, batas tidur akan terbuka, dan Raja Fear akan turun.

Kalau dugaanku benar, Raja Fear yang disebut dalam nubuatan itu adalah Second Kim Dokja.

Bagaimana aku tahu?

Di padang salju mimpi tak terjelaskan, Raja Fear akan tersenyum—bukan cahaya, bukan kegelapan.

Senyum yang “bukan cahaya, bukan kegelapan.”
Itu jelas menggambarkan Watcher of Light and Darkness
julukan dari Second Kim Dokja.

Pertanyaanku sekarang:
Kenapa ‘Second Kim Dokja’ muncul dalam nubuatan sebagai Raja Fear?
Dan kenapa kemunculannya disebut sebagai Nubuatan Akhir?

Apakah dunia benar-benar akan runtuh hanya karena ia muncul?

“Kau tidak merasa itu aneh?”

“Apa yang aneh?”

“Kalau nubuatan itu benar, End Zone akan hancur tepat 28 hari lagi.”

“Benar.”

“Nah, itu yang aneh.”

Aku menunjuk ke sekeliling.

Transenden-transenden ceria sedang mengantre di kantin, menumpuk pangsit di piring mereka.
Pemandangan itu... jujur saja, cukup absurd.
Pahlawan-pahlawan yang gagal menantang para Dewa kini rebutan makanan seperti anak asrama.

Bahkan Cheok Jungyeong berteriak:

“Hei, Master! Kenapa satu pangsitku lebih kecil dari yang lain?!”

“Pangsitnya kelihatan enak, ya.”

Anna menatap mereka, lalu menoleh padaku.

“Cheon Inho. Apakah mereka terlihat seperti orang-orang yang akan mati dalam 28 hari?”

“Mereka itu Transenden.”

“Bahkan untuk Transenden, ini End-level Fear. Kapten bilang, tak ada satu pun End-level Fear yang pernah diselesaikan.”

“Belum pernah… diselesaikan?”

“Katanya, End-level Fear hanya bisa diterima.
Karena itulah namanya ‘End’. Fear yang tak bisa dihindari oleh siapa pun.”

Kalimat itu membuatku diam sejenak.
Kalau Kyrgios yang mengatakan begitu—Kyrgios yang bahkan melampaui ukuran manusia—berarti itu benar.

“Lalu kenapa mereka masih tertawa seperti itu?”

Anna menatapku seperti melihat orang bodoh.

“Kupikir, itu yang seharusnya kau cari tahu.”

“Kenapa? Bantu aku.”

“Itu sesuatu yang tak bisa kulihat dengan [Future Sight]. Tapi…”

Nada suaranya menurun.
Dia menatap uap panas yang naik dari dapur, lalu berkata pelan:

“Entah kenapa, saat melihat mereka… aku merasa mereka semua sudah pernah mengalami ‘kehancuran’ sekali.”

Aku terdiam mendengar itu.
Lalu perlahan menatap punggung para Transenden itu satu per satu.

Cheok Jungyeong yang tampak lebih buas.
Kyrgios yang kini lebih besar dari bayangan ingatanku.
Dan jauh di belakang, Commander Chunghuh—God of Despair—mengawasi mereka diam-diam.

“Kau benar, Anna.”

“Huh?”

“Mereka sudah pernah mengalami kehancuran.”

Aku tersenyum—
senyum yang sangat mirip dengan Kim Dokja.

“Aku rasa, aku baru menemukan petunjuknya.”


Di lantai bawah kompleks industri tempat Transcendent Alliance bermarkas,
terdapat sebuah ruangan khusus—Time Fault Room.

Tempat yang pertama kali kutunjukkan oleh Cheok Jungyeong.

Seorang wakil kapten berjaga di depan pintu.

“Rekrutan baru? Datang lagi?”
“Ya.”
“Belum ada ‘misi’ untukmu hari ini juga.”
“Tidak apa. Aku hanya ingin melihat-lihat.”

Setiap minggu, Transcendent Alliance menerima misi seperti ini:

「 Hancurkan Fear tingkat Bencana ‘Backstepper’ yang muncul di [2-16 Round]. (Belum selesai) 」
「 Hancurkan Fear tingkat Bencana ‘Dragon Eater’ yang muncul di [22-14 Round]. (Sedang berlangsung) 」
「 Hancurkan Fear tingkat Alamiah ‘Founder of the Absolute Throne’ yang muncul di [124-24 Round]. (Ditangguhkan) 」

Menurut para Transenden, itu semua adalah gempa cerita—gangguan dalam struktur Time Fault.
Makhluk seperti Outer God, Dewa Asing, atau Fear yang tersesat di Star Stream akan mencari tempat berlindung,
lalu menjadi parasit di Fault.

Tugas para Transenden: membersihkan anomali itu dan menjaga kestabilan Fault.

Kuaaaaaah!

Di layar, kulihat Cheok Jungyeong menebas kepala Dragon Eater.
Sebuah tebasan sempurna, khas Pedang Goryeo.

“Hahaha! Darah naga lagi! Siapkan arak, kita bikin anggur Yonghwa hari ini!”

Sebagai anggota Divisi Ketiga, seharusnya aku ikut perburuan itu.
Tapi sejak insiden End-level Fear, aku dilarang masuk ke Time Fault.
Jadi yang bisa kulakukan hanyalah menonton dari sini.

“Kau mau nonton lagi?”
“Ya.”
“Tapi menonton tidak akan membuatmu lebih kuat.”
“Aku hanya penasaran.”

Di ruangan ini, bukan hanya Fault aktif yang bisa kulihat—
tapi juga kasus lama yang sudah diselesaikan.

Contohnya, yang kupilih kali ini:

「 [42-16 Round] — Fear tingkat Bencana ‘Darkness That Descends’ (Selesai) 」

Aku tak tahu siapa Outer God itu,
tapi aku tahu siapa yang mengalahkannya.

Pedang Baekcheong berkilau di layar—
indah dan mematikan hingga membuat bulu kuduk berdiri.

“Eh, pemula! Kau menonton video Kapten kami?”

Aku menoleh.
Beberapa orang masuk ke ruangan:

Ryunard, pemimpin peleton muda, dan Chunghuh, sang God of Despair.

“Ya. Ada di daftar tontonan.”

“Hebat, kan? Kapten kami luar biasa!”
“Sangat luar biasa.”

“Dia sering membicarakanmu belakangan.
Gimana caranya kau bisa ‘menguasai’ Kapten kami begitu?”

Anak muda itu tertawa riang—meski jelas bukan anak muda biasa.
Namanya Ryunard, The Naked Saint.

“Jangan ganggu pemula, Ryunard.”

Yang bicara kali ini: Karlton Xavier, Silver Binding, komandan muda dengan aura perak yang menyala setiap bertarung.

Chunghuh hanya tersenyum.
Auranya begitu padat sampai dadaku terasa sesak.

“Kyrgios memang Kapten yang hebat.
Belajar dari videonya bisa banyak manfaat.”

“Tapi… aneh. Kyrgios yang kukenal dulu tidak sebesar itu.”

“Ah. Ada kisah di baliknya.”

“Kisah?”

Chunghuh menatapku lama, matanya seolah membaca pikiranku.

“Kau ingin tahu kisahnya, atau kau datang ke sini untuk hal lain?”

…Memang bukan orang biasa.

Aku menghela napas dan mengangguk.

“Aku datang ingin bertanya sesuatu pada Panglima.”

“Begitu, ya.”

Kami sama-sama terdiam sebentar, lalu mengikuti arah pandangnya—ke deretan Time Fault yang berkelap di langit-langit.

“Apakah dunia di dalam Fault itu… garis dunia lain?”

“Dulu mungkin iya. Tapi sekarang tidak.
Sekarang itu benar-benar Fault—potongan peristiwa yang sudah berlalu.”

“Berarti kalau kita mengubah sesuatu di dalamnya…”

“Sejarah takkan berubah.
Kecuali Fault-nya jenis khusus.”

“Seperti novel yang sudah tamat.”

“Benar sekali.”

Novel yang sudah selesai.
Tapi seseorang masih menolak menutup halamannya.

Apa yang dicari Second Kim Dokja di antara semua akhir yang sudah ditulis?
Ataukah dia hanya tidak bisa menerima bahwa cerita ini telah selesai?

“Aku juga tahu satu novel yang sudah tamat.”

Aku mulai bercerita pelan.

“Novel itu dimulai ketika sebuah menara raksasa muncul di langit.
Manusia memanjatnya untuk bertahan hidup, tanpa sadar mereka hanya sedang dijual ulang sebagai barang dagangan.”

Ruangan mendadak hening.

“Tokoh utamanya seorang pria yang telah menusuk begitu lama hingga menjadi ‘menusuk’ itu sendiri.”

Apakah keheningan memiliki warna?
Karena saat kata menusuk keluar dari bibirku, aku merasakan ketiganya menatapku dengan aura yang sama.

Ryunard akhirnya bicara dengan nada pelan:

“Pemula. Kau tahu siapa kami, bukan?”

Aku mengangguk perlahan.

Ya, aku tahu sekarang.
Aku tahu siapa Ryunard.
Aku tahu siapa Karlton.
Dan aku tahu siapa Chunghuh.

Alasan aku tak mengenali mereka sejak awal mungkin karena… aku takut.
Tapi sekarang, aku harus menerimanya.

“Kalian adalah…”

Karakter-karakter dari novel yang kutulis bersama Kiyeon.

“…orang-orang dari dunia yang telah hancur.”

Mereka adalah rekan seperjuangan Jaehwan-nim
sebelum datang ke sini.

831 Episode 42 Destination (7)

Orang-orang dari dunia yang telah hancur.

Begitu aku mengucapkannya, Karlton menghela napas ringan dan menyandarkan tubuh di dinding batu, sementara Ryunard duduk di kursi, menatapku dengan ekspresi campuran antara heran dan geli.

Mereka tidak membantah—sebaliknya, ada semacam kesedihan samar di wajah mereka.
Kesedihan… dan sesuatu yang melampauinya.

Mungkin itulah yang disebut Transenden.

<Star Stream> memberi mereka gelar itu—karena mereka telah melampaui batas manusia biasa, termasuk emosi.

Namun, dalam dunia asal mereka, 《Tree of Imaginary》, mereka dikenal dengan nama lain.

Yang Terbangun.

Mereka yang memecahkan batas kemanusiaan, menembus sistem, dan hidup dalam waktu yang mereka ciptakan sendiri.
Mereka memahami dunia dengan pandangan dunia milik mereka sendiri—
sejenis dewa.

“Sudah lama sekali aku tak bertemu seseorang yang masih mengingat 《Tree of Imaginary》.”

Apakah para dewa yang melampaui emosi masih bisa merasakan kerinduan?
Sekilas, aku melihat kilatan emosi samar di mata Chunghuh—God of Despair.

“Bagaimana kau tahu tentang dunia itu?”

“Sulit dijelaskan. Ada... beberapa keadaan khusus.”

“Begitu, ya. Kalau kau tahu siapa kami sebenarnya, tak perlu lagi kami memperkenalkan diri.”

Mereka bertiga saling bertukar pandang. Untuk pertama kalinya, wajah mereka terlihat rileks.

“Heh, suasananya bagus! Tanyakan saja apa pun, aku akan jawab!” seru Ryunard riang.

“Baik. Siapa yang memanggil kalian ke sini?”

“Hmm… aku juga tidak tahu.”

“Katanya mau menjawab apa saja.”

“Bagaimana kau menjawab sesuatu yang bahkan tidak kau tahu?”

Chunghuh tersenyum tipis dan mengambil alih penjelasan dari Ryunard yang manyun.

“Saat kami bertiga terbangun, kami sudah berada di sini. Seolah-olah seseorang memang memanggil kami—seperti yang kau katakan.”

Nada suaranya ringan, tapi terdengar samar… seperti sesuatu yang belum sepenuhnya nyata.

“Kau yang membentuk Transcendent Alliance?”

“Benar.”

“Berarti kalian… memproduksi Transenden secara massal?”

“Heh, apa lagi yang bisa kami lakukan di tempat ini? Kami terikat oleh pembatasan khusus, tak bisa keluar dari End Zone.”

“Sudah berapa lama kalian di sini?”

Tak ada yang menjawab.
Keheningan itu saja sudah cukup menjelaskan betapa lamanya waktu berlalu bagi mereka.

“Awalnya sangat membosankan,” Ryunard terkekeh.
“Aku, Karlton-ajusshi, dan Chunghuh-nim bergantian jaga malam, melawan dewa-dewa aneh itu, lalu jadi teman…”

“Lalu suatu hari, orang-orang mulai muncul,” lanjut Karlton datar.
“Yang pertama datang adalah Yoo Hosung. Lalu Kyrgios, setelah itu Minyoung dan Jungyeong.”

Mereka mengucapkan nama-nama besar itu dengan ringan—
Invincible One, Paradoxical Baekcheong, Pedang Pertama Goryeo, dan Breaking the Sky Sword Saint.

Chunghuh terkekeh pelan, seolah mengenang sesuatu.

“Tak kusangka aku akan mengajar ‘menusuk’ di sini juga.”

Mendengar kata itu, sesuatu berdesing di kepalaku.
Ya—Kyrgios juga pernah mengajari Kim Dokja tentang menusuk.

“Jadi waktu itu, kalian tak terlalu bosan, ya?”

“Tidak juga. Ada kesenangan tersendiri melihat orang-orang berbakat tumbuh.”

“Para Kapten itu memang luar biasa. Bahkan Kyrgios sekarang jauh lebih kuat dariku, kan? Kau, pemula, mungkin belum tahu betapa hebatnya itu—”

Chunghuh menunduk sedikit, berbicara pelan agar hanya aku yang mendengar.

“Ryunard jarang bersemangat seperti ini.”

“...”

“Dia senang kau datang.”

“Senang… aku datang?”

“Kau sudah istimewa hanya dengan hadir di sini.
Kau naik sendiri ke End of the Fear Realm, membaca seluruh nubuatan sejak hari pertama, dan mengetahui siapa kami.
Itu saja sudah menjadi peristiwa besar di tempat ini.”

Peristiwa, katanya.

“Kenapa? Apakah kalian bosan dan butuh drama seperti para Constellation?”

“Bukan begitu.”

“Kami hanya… harus hidup di masa kini.
Kami butuh peristiwa—entah itu yang terjadi di Time Fault, atau di sini.
Tanpa itu, kami akan kehilangan akal.”

Chunghuh menatap jauh ke arah Fault yang berkelap-kelip.

“Pertanyaan itu selalu muncul di sela-sela keheningan.
Mungkin karena keinginan kami belum benar-benar padam.
‘Mengapa aku… kami… masih ada di sini?’”

Aku mengangguk pelan.
Mungkin memang wajar kalau akhirnya mereka menjadi penjaga Time Fault.

“Lalu, apakah kalian sudah menemukan jawabannya?”

“Mungkin. Tapi aku takut untuk mengatakannya sekarang.”

Aku bisa menebak arah pikirannya, tapi tak menanyakan lebih lanjut.
Sebaliknya, aku berkata:

“Aku juga punya pertanyaan yang sama.”

“Oh?”

Aku hanya menulis cerita.
Tiba-tiba terseret masuk, hidup sebagai penjahat, dan berakhir di dunia ini.

Kadang aku masih bertanya—
kenapa aku?
Karena aku reinkarnasi Kim Dokja?
Lalu kenapa harus di tubuh Cheon Inho?

Aku ingin tahu akhir dunia ini lebih dari siapa pun… tapi mungkin aku takut mengetahui rahasianya.

Mungkin aku dan Chunghuh sedikit mirip.

Ia tampak paham dan menatapku lembut.

“Kau tipe yang tetap bertanya… meski tahu jawabannya akan menyakitkan.”

“Kalau harus dibilang, ya. Itu memang aku.”

“Rasanya, bukan kebetulan kau bisa membaca ‘Nubuatan Akhir’ sampai tuntas.”

“Oh, soal itu… maaf.”

“Tidak perlu minta maaf.
Semua yang hidup tahu—setiap awal pasti punya akhir.
Para Transenden di sini sudah memahaminya lewat garis-garis waktu Time Fault.
Kalau End Zone berakhir, itu juga bagian dari kisah kami.
Justru, kami semua menantikannya.”

Mendengarnya, aku mulai paham kenapa para Transenden begitu tenang menghadapi akhir.
Mereka sudah berkali-kali menyaksikan kehancuran dunia,
melalui Time Fault.

Mereka sudah mati ribuan kali—
dan akhirnya, berhenti merasa takut.

“Tak ada cara untuk menghindari End?”

“Tidak. End-level Fear tidak bisa dihindari.
Waktu terakhir ia muncul…”

Karlton membuka buku catatan tebal dari dadanya, membalik beberapa halaman, lalu berkata:

“Setengah dari seluruh Transenden terkoyak. Aliansi hampir runtuh.”

“Sebelumnya, ketika End-level Fear terbuka, sepertiga dari semua Time Fault kacau.”

“Aku ingat,” tambah Ryunard. “Panglima sendiri yang turun tangan waktu itu.”

“Dan alasannya, karena waktu itu ada sebuah kesepakatan...”

“Kesepakatan?”

Chunghuh tersenyum tipis, tapi matanya berkilat.

“Tak ada cara untuk menghindari akhir, tapi… ada cara untuk menanganinya.
Cara untuk meminimalkan kerusakan.”

“Bagaimana caranya?”

“Berurusan dengan Recorders.”

“...Recorders?”

“Kau tahu? Recorders of Fear.

Aku menahan napas.
Akhirnya, topik itu muncul juga.

“Di antara garis waktu Time Fault, ada tempat di mana para Recorder tinggal.
Tapi tak semua bisa menemui mereka.
Hanya yang memiliki ‘interpretasi Fear’ khusus atau telah diakui yang bisa berbicara langsung.”

“Mereka bisa menghentikan End?”

“Tidak sepenuhnya. Tapi…”

Chunghuh berhenti sejenak sebelum melanjutkan, pelan namun jelas:

“Mereka bisa menulis ulang dunia ini.”

Aku langsung merinding.

“Apa aku bisa bertemu mereka?”

“Sayangnya, tidak.
Kalau kau datang beberapa bulan lebih awal, mungkin.”

“Tunggu, Panglima.”

Ryunard yang sejak tadi diam tiba-tiba menyela.

“Ada satu cara.”

“Ryunard…” Karlton menatapnya tajam.

“Pemula. Kalau kau bisa menaklukkan satu Fear tingkat Natural Disaster atau lebih di Time Fault, kau akan diberi kesempatan sekali seumur hidup untuk bertemu mereka.”

“Natural Disaster?!”

Karlton mendesah.

“Itu bukan level yang bisa dihadapi pemula.
Bahkan kami nyaris mati menghadapi yang terakhir.”

Natural Disaster.
Level itu sama dengan Dream Eater yang kulawan di awal masuk ke sini.

“Anak ini butuh seratus tahun latihan di sini dulu,” gumam Karlton.

Dia mungkin benar.
Dengan kekuatanku sekarang, mustahil aku menang melawan Fear di level itu.

Aku sedang berpikir keras untuk mencari jalan pintas—
sampai seseorang berlari dari ujung ruangan.

“Panglima Besar! Ada yang tidak beres dengan Time Fault!”

Chunghuh segera menoleh.

Fault yang dimasuki Kapten Divisi Ketiga mengalami anomali!”

Sebuah hologram besar terbentuk di udara.
Gambar yang muncul—aku langsung mengenalinya.

Itu Time Fault tempat Cheok Jungyeong dan Divisi Letih masuk sebelumnya.
Mereka dikirim untuk memburu Dragon Eater.

Tapi di layar… bukan monster itu yang kulihat.

Kuaaaaaaaah!!

Angin berdarah menerpa, dua kepala Transenden beterbangan.
Dan di tengahnya—pedang-pedang suci berputar di udara, memenggal siapa pun yang mendekat.

Aku mengenal pedang itu.

“Excalibur…?”

Namun tangan yang memegangnya bukan milik Raja Arthur.

Sosok itu muncul—bertubuh seperti kerangka, sayap putih menjulang, dan mahkota bercahaya di kepala.

“Pendiri Takhta Mutlak.”

Sorak panik terdengar di seluruh ruangan.

“Outer God tingkat Natural Disaster!”
“Yang terkuat di antara level itu—!”

Di layar, Cheok Jungyeong menebas membabi buta sambil tertawa.

Kuhahahaha! Menyenangkan! Menyenangkan!

Suara tawanya membuat jantungku bergetar.
Pedang Pertama Goryeo menari di tengah badai ilahi, tapi luka di tubuhnya terus bertambah.

“Kapten Divisi Ketiga tidak bisa menahannya sendirian!”

Namun Outer God tetaplah Outer God.
Bahkan Cheok Jungyeong perlahan terdesak.

“Siapa Kapten yang bisa turun tangan?” tanyaku cepat.

“Kapten Divisi Nol masih di Fault lain. Divisi Pertama baru berangkat. Tidak ada yang bisa turun sekarang.”

Wajah semua orang menegang.
Karlton akhirnya berkata:

“Aku dan Ryunard akan masuk.”

“Tidak. Kalian harus berjaga di sini.”

“Tapi kalau dibiarkan, Kapten Ketiga akan—”

“Kalian bahkan tidak punya baju yang sesuai dengan dunia itu.”

Aku tertegun.
‘Baju yang sesuai’?

Cheok Jungyeong pernah bilang—
di Time Fault, tubuhmu akan “dihuni” oleh inkarnasi yang cocok dengan dunia itu.

“Kalau kalian masuk sekarang, kalian akan hancur sebelum bisa bergerak.”

Chunghuh akhirnya mengambil keputusan.

“Kita tak boleh kehilangan Kapten Ketiga.
Kali ini, aku sendiri yang akan turun—”

“Aku saja.”

Seketika, semua kepala menoleh padaku.

“Aku punya inkarnasi yang cocok untuk Time Fault itu.”

[Ada ‘inkarnasi’ yang cocok denganmu di Time Fault ini.]

Mungkin Cheon Inho dari dunia itu masih hidup.

Ryunard menatapku lekat.

“Pemula, tidak mungkin kami membiarkanmu.
Sekalipun ada inkarnasi yang cocok, level Fear di sana—”

“Aku bisa menahannya.”

Aku memejamkan mata sejenak.
Adegan itu kembali—hari ketika aku menembus batas dan membunuhnya.
Darah, cahaya, dan teriakan terakhirnya masih menempel di kulitku.

Aku membuka mata dan berkata tegas:

“Aku pernah membunuhnya sekali.”

 

Nunaaluuu Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review