Minggu, 23 November 2025

Part 2 Chapter 090-137

 
2-90. Titik Akhir Kedua (9)

‘Itu orang tadi, kan? Apa yang dia lakukan di tempat seperti ini?’

Dydikan mengerutkan kening.

Di tengah kegelapan, sosok yang sedang melafalkan mantra itu tidak lain adalah penyihir yang mereka lewati di koridor. Ia samar-samar mengingat bahwa pria berjas panjang itu memanggil si monster itu dengan nama Akasha. Batu besar yang terjerat rantai besi melayang perlahan di hadapan Akasha.

“Ya Tuhan… uugh!”

“Hei. Kau baik-baik saja?”

“S-saya masih bisa bertahan. Tapi kalau kita tidak menghentikannya cepat…”

Melihat Akasha seperti itu, Asel berulang kali menahan rasa mual. Reaksinya benar-benar seperti saksi kecelakaan mengerikan yang melihat sesuatu yang tidak seharusnya dilihat. Padahal belum lama ini masih tenang—kenapa tiba-tiba begini.

Dydikan bertanya kembali dengan nada sedikit kesal.

“Aku benar-benar tidak paham ini situasi apa. Tadi juga kau bilang begitu. Sebenarnya kita harus menghentikan apa?”

“Uuugh… apa yang sedang dilakukan penyihir itu. D-Dydikan-nim tidak melihatnya?”

Dengan tangan yang bergetar hebat, Asel menunjuk Akasha dan batu besar yang menghadapnya.

Batu yang terikat rantai itu mengandung kekuatan hidup yang begitu besar hingga tak terbayangkan. Jika bumi punya jantung, mungkin inilah rasanya.

Namun hanya Asel—yang memiliki bakat bawaan seorang penyihir—yang mampu melihat energi kehidupan itu menembus gangguan rantai. Dydikan mengerutkan dahi.

“Apa yang harus kulihat sih…? Itu cuma batu, bukan? Memang kelihatannya agak misterius, tapi…”

“Itu bukan batu misterius biasa. Saya tidak tahu persis, tapi saya yakin itu semacam harta karun yang tidak boleh hilang dari dunia. Tapi… tapi penyihir itu sedang… uuugh.”

Rasa mual kembali naik.

Rantai hitam itu sedang melahap energi kehidupan dari batu itu dengan rakus. Energi itu mengalir masuk ke pemilik rantai—Akasha. Selama proses perampasan yang kejam itu berlangsung, batu itu memancarkan gelombang tak beraturan, seolah berteriak kesakitan.

『■···■■■.』

Di samping batu itu, sebuah retakan putih menyebar di udara. Retakan itu diciptakan dari campuran darah yang menetes di sela-sela jari Akasha dan energi kehidupan—dan rasanya sangat berbeda dari sihir teleportasi biasa.

Napanya tersendat, Asel melanjutkan.

“Ini cuma firasat. Tapi kita tidak boleh membiarkannya. Kalau batu itu kehilangan semua kekuatannya… atau jika penyihir itu membawa batu itu kabur ke dalam retakan itu… sesuatu yang sangat buruk pasti akan terjadi.”

Insting seorang penyihir berteriak lebih kuat dari sebelumnya. Perampasan itu harus dihentikan. Dan mereka hanya punya satu kesempatan saat Akasha masih tenggelam dalam mantra dan belum menyadari keberadaan mereka.

Dydikan menghela napas panjang sambil bergantian menatap Asel dan Akasha.

“Haaah… baik, Asel. Anggap saja semua firasatmu itu benar. Anggap saja kalau kita tidak menghentikan si penyihir itu, dunia akan meledak. Tapi… apa yang bisa kita lakukan?”

“Itu… itu…”

“Bahkan aku yang buta soal sihir pun tahu kalau yang bernama Akasha itu monster. Andaikan pun kita berhasil mengganggunya… kemungkinan besar—tidak, sudah pasti kita mati. Dia tidak akan bersikap ramah pada kita hanya karena dia temenan dengan si bajingan berjas itu dan pernah coba membunuhnya.”

Dydikan masih mengingatnya dengan jelas. Akasha bersekongkol dengan sang pemimpin sekte untuk membunuh pria berjas itu. Di koridor tadi, mereka hanya selamat karena beruntung. Tidak ada jaminan keberuntungan itu akan terulang. Ia berjongkok dan menyamakan tinggi mata dengan Asel.

“Maaf, tapi aku rasa aku tidak bisa membantu. Kalau aku mati juga, garis keturunan Pandai Besi Agung akan benar-benar putus. Dan aku tidak punya muka untuk bertemu Doran yang sudah mati.”

“…Iya. Saya mengerti. Ini memang keputusan saya sendiri.”

“Aku tahu. Dari awal pun kau menyuruhku lari duluan. Karena kebaikanmu itu, aku masih di sini untuk menghentikanmu.”

Ekspresi Dydikan menggelap.

Tangan berbulu itu menggenggam bahu Asel erat-erat.

“Kalau kita turun tangan, kita pasti mati. Entah berhasil atau gagal, ujungnya tidak ada yang tahu. Dalam keadaan seperti ini… apa kau benar-benar siap mempertaruhkan nyawamu?”

“……!”

Asel terkejut menghirup napas. Mata ungunya yang indah bergetar tak stabil. Perkataan Dydikan membuat ketakutan yang ia tekan-tekan kembali muncul ke permukaan.

‘Aku tidak ingin mati.’

Tentu saja ia tidak ingin mati. Masih banyak hal yang belum dinikmati. Setelah tiga tahun menyusuri kehidupan sebagai budak, ia bahkan belum sempat menikmati kebebasan yang baru saja ia dapatkan.

Bahkan ia sendiri tidak benar-benar mengerti kenapa ia sampai berada sejauh ini. Seolah terseret oleh rasa tanggung jawab yang tak jelas, ia terus melangkah.

Namun bukan hanya karena insting sihirnya. Jika ini situasi normal, ia pasti akan lari sambil berharap ada seseorang yang hebat muncul dan menyelesaikan semuanya. Tetapi hanya ada satu perbedaan dari semua situasi itu.

Ia sudah melihatnya.

“Saya…”

Ia tidak tahu namanya. Tapi mantel hitam yang berkibar dan gerakan pedang yang hampir tidak masuk akal itu tertanam jelas di kepalanya. Pria itu, yang sambil mengumpat kasar, memotong semua musuh yang menghalangi jalannya hanya dengan satu pedang.

Pembantaian yang ringan dan cepat itu adalah hal paling mengejutkan yang pernah Asel lihat seumur hidup. Pria itu tidak terlihat jauh lebih tua dari dirinya.

Saat ia membeku di hadapan Akasha, pria itu terlihat seperti matahari yang menyilaukan. Terlalu terang hingga kata-kata tidak keluar. Tapi cahaya itu juga membuat bayangan panjang di belakangnya.

Menyadari bakatnya sendiri dan masa hidup yang terbuang, ia hanya merasa semakin menyedihkan.

Asel mengepalkan tangan.

“S-saya…”

Barulah ia mengerti kenapa ia sampai ada di sini. Ia ingin berubah. Ia ingin keluar dari kegelapan, meski tidak bisa menjadi sehebat pendekar tadi. Rasa takut terhadap Akasha mendorongnya, itu adalah langkah pertamanya.

Keinginan untuk berdiri tegak sebagai seseorang yang layak.

Percikan kecil yang dinyalakan pria itu kini menggerakkan kaki Asel.

“Ya. Saya siap.”

Asel mengangguk.

Melihat tekad itu, Dydikan mendengus setengah tak percaya.

“Bocah sok gagah.”

Namun ia tidak menahan senyum saat berdiri. Ia melirik Akasha yang masih melafalkan mantra. Lalu ia menunjuk langit-langit agak jauh dari Akasha.

“Hei. Kau lihat itu? Patung yang tersangkut di antara retakan? Yang bagian atasnya hancur.”

“Hah? A-ah iya. Kelihatan.”

“Tarik benda itu pakai Telekinesis. Itu yang menopang struktur di sini—kalau ditarik, seluruh langit-langit runtuh. Aku sudah memperhatikannya sejak kita masuk.”

Itu adalah celah yang terbentuk akibat kerusakan besar di benteng. Patung yang kebetulan menahan reruntuhan itu sebelumnya berada di ruang sang pemimpin sekte. Asel terbelalak.

“J-jadi… Anda mau kabur bersama saya? Tapi kalau begitu—!”

“Berisik. Melihat tekadmu tapi membiarkanmu mati? Itu yang bikin aku dihina setelah mati. Kalau sudah siap, cepat lakukan.”

“Dydikan-nim…”

Air menggenang di mata Asel. Dydikan, merasa bersalah karena membuatnya menangis, buru-buru memalingkan wajah. Asel menyeka matanya dan mengangguk kecil.

“Oke. Saya mulai. Tunggu 37 detik, nanti ada celah.”

“Kenapa 37 detik?”

“Itu momen di mana mantra si penyihir itu menghabiskan mana paling banyak. Karena prosesnya menguras mana secara terus menerus, saat ia melafalkan mantra panjang seperti itu, selalu ada detik di mana mana terkuras banyak sekaligus—dan konsentrasinya goyah. Penyihir itu tidak terkecuali. Mantra ini sudah ia baca sejak kita bertemu di koridor, jadi saya bisa menghitung pola waktu itu.”

Asel menjelaskan sambil terus memperhatikan Akasha.

Dydikan merinding dari ujung kepala sampai ekor.

Dengan kata lain, gadis kecil ini telah memantau kondisi si penyihir dalam hitungan detik sejak puluhan menit yang lalu.

‘Aku… mungkin baru saja bertemu monster lain.’

Ini bukan kemampuan orang biasa. Mungkin monster bukan hanya pria berjas itu atau Akasha saja.

Dalam tekanan menyesakkan itu, waktu berlalu. Setiap detik, jari Dydikan bergerak. Dan tepat ketika ia melipat ruas jarinya untuk ke–37 kalinya—

“Sekarang.”

Invisible Hand.

Asel melafalkan mantranya lirih.

Tangan tak terlihat menembus langit-langit dan merenggut patung itu. Patung marmer itu jatuh ke lantai dan hancur berkeping-keping.

『■?』

Untuk pertama kalinya, Akasha menoleh. Dalam sekejap, proses penyerapan energi serta pembentukan retakan terhenti. Di waktu yang bersamaan, suara gemuruh besar—seperti paus meraung—meledak dari atas.

“Sekarang! Lari!”

“Aaah!”

Dydikan mengangkat Asel dan melompat, mendengar ledakan ketika langit-langit runtuh. Batu sebesar rumah menimpa lokasi tempat Akasha berdiri.

“B-berhasil!”

Asel yang menoleh ke belakang mengepalkan tangan. Barang-barang dan reruntuhan dari lantai atas berjatuhan beruntun. Awan debu meledak tebal. Akasha, batu, dan retakan terkubur sepenuhnya.

“Jangan lengah sampai akhir! Terus maju!”

“Y-ya!”

Dydikan berlari di koridor. Terowongan masih gelap pekat. Runtuhan tampaknya sudah berhenti, tiada lagi suara pecahan. Angin deras dari belakang membuat rambut dan bulu mereka berkibar.

“Lihat! Ada cahaya!”

Dengan kecepatan tercepat sepanjang hidupnya, Dydikan mencapai pintu menuju luar. Sinar matahari merembes lewat celah pintu batu. Tidak ada waktu memutar pegangan pintu, hanya perlu menerobos. Jantungnya berdentam liar karena harapan hidup.

KWAANG!!

Ia menabrak pintu batu dan menerobos keluar.

“Ap—”

“…Hah?”

Dunia dua orang itu berhenti.

Yang menyambut mereka bukanlah ladang cerah di bawah matahari.

Melainkan ruangan gelap, lembap, penuh bayangan muram.

“Kenapa… jadi begini?”

Mereka panik menoleh ke belakang—namun jalan yang tadi mereka lewati sudah berubah menjadi dinding. Saat melihat pola di dinding itu, Dydikan membelalak.

Ini adalah aula tempat mereka berada tadi. Aula yang langit-langitnya mereka runtuhkan untuk kabur.

“…Padahal aku jelas mendengar suara runtuh.”

“Tidak ada yang berubah… sama sekali…”

Bagaikan mimpi buruk. Aula itu kembali seperti semula. Patung yang Asel cabut tadi masih terjepit di langit-langit, utuh seperti sebelumnya.

Apa?

Apa yang sedang terjadi?

Keduanya tak mampu memahami. Asel yang jatuh ke lantai mendengar suara hembusan saat ia menoleh tanpa pikir panjang—dan wajahnya langsung menegang.

“Eh.”

Yang memantul di hadapannya adalah wajahnya sendiri.

Tidak—itu topeng.

Topeng halus mengilat bak cermin.

Dalam posisi tubuh tertekuk aneh, Akasha sedang menatapnya dari jarak yang begitu dekat hingga Asel bisa merasakan napasnya. Wajahnya sendiri tercermin pucat di topeng cermin itu.

“A… Aaah…”

Di tengah topeng itu, tiga mata bersinar, menatapnya lekat-lekat.

Akasha mengangkat lengannya. Asel tidak bisa bergerak. Kuku melengkung tajam seperti cakar burung punai menyentuh pipinya.

『■■■.』

Suara aneh, tak dapat dimengerti, merambat keluar dari bawah topeng.

Asel yakin ia tidak salah dengar saat suara itu terdengar seperti—

"Tertangkap."

2-91. Dua Titik Akhir (10)

Aku berlari mengikuti jalan yang terbentuk dari darah dan mana.

“Sedikit pelan lah! Dasar burung sial berkaki empat!”

“Selamat tinggal!”

Aku memohon sekuat tenaga, tapi Sita2 tidak memperlambiririnya.

Tenggiling hitam yang menempel rapat di tanah itu melaju seperti meteor gelap. Sejak mulai berlari, ekornya menegang lurus ke belakang dan tidak pernah sekali pun menyentuh tanah.

“Gila benar… apa yang mempengaruhi makhluk itu sampai jadi kayak begini?”

Bukan bercanda—makhluk ini jauh lebih cepat daripada Sita atau kuda hantu mana pun di dunia asalku. Seolah ia menukar kemampuan terbangnya dengan kecepatan murni. Ia terburu-buru, itu bagus… kalau saja aku masih bisa mengikutinya.

“Oi, aku ikut!”

“Hah?”

Lalu suara yang familiar terdengar dari belakang.

Bahkan sebelum aku menoleh, Ronan2—yang tampak masih setengah mengantuk—sudah menyusul di sisi kananku.

“Apa? Sudah bangun?”

“Haaahh… sebenarnya tidurku malah kepanjangan. Sudah dengar kejadiannya. Jadi kita tinggal bantu nangkep si bajingan bernama Akasha itu, kan?”

Ronan2 menguap lebar. Berbeda dariku yang mati-matian berlari, dia tampak santai di kecepatan ini. Saat itu, aku baru melihat bekas cap tangan merah mencolok di pipi kirinya—jelas tidak ada tadi.

“Itu tanda tangan siapa? Siapa yang nampar?”

“Instruktur Naviroze. Ugh… perihnya kayak disiram asam.”

“Pantas. Kalau aku pun bakal nggebukin kamu kalau bahu bajuku kau cemongin ludah.”

“Bukan itu… aku tadi nanyain kenapa dia keliatan begitu gosong hari ini, sudah tidur apa belum, apa sakit atau apa. Sial… aku kira dia noona-ku.”

“…Tolol betulan.”

Aku tak bisa menahan tawa kosong. Melihat kepribadian noona-nya, aneh juga kepalanya masih menempel di leher. Ronan2 bertanya:

“Jadi… si Akasha itu sekuat apa?”

“Parah.”

“Heh, sampai kamu bilang begitu berarti bukan main, ya. Kalo dibanding, kira-kira level apa?”

“Kalau kamu bertarung lawan Akasha yang cuma pakai jari kaki, aku bakal taruhan seluruh hartaku pada Akasha.”

“Anj*ng… jari kaki? Bukan jari tangan?”

“Selama penjudi nggak kabur bawa uangnya, aku rela gadaiin celana dalamku juga.”

Itu bukan hiperbola. Entah seberapa kuat Ronan2 meningkat, ia tidak mungkin setara Akasha.

“…Jadi makin panas nih.”

Tapi alih-alih takut, ia malah tampak terpicu. Ronan2 mengelus dagunya dan melompat maju melewatiku.

“Sialan, ini bocah betulan gila.”

Aku paham perasaannya. Di masa pertumbuhan, orang muda memang suka nekat. Tapi Akasha bukan musuh yang bisa dihadapi hanya dengan semangat.

‘Semoga tidak terlambat.’

Jika telat, bisa ada mayat yang harus kukumpulkan. Aku mengumpat sambil mempercepat langkah. Kastil pucat yang hancur itu sudah terlihat di depan mata.


『■■■.』

Tiga mata Akasha melengkung seperti sabit. Dengan punggung melandai seperti makhluk yang cacat pinggangnya, ia menunduk menghadap Asel. Topeng licin yang memantulkan wajah pucat Asel berkilau seperti kaca cermin. Ujung kuku melengkung itu menekan lembut pipinya.

“Ah… a-aaaah…”

Air mata menetes tanpa perlawanan dari mata Asel. Ia tak bisa bicara—bahkan bernapas pun hampir tidak. Jari-jari Akasha sedingin kematian; rasanya tidak mungkin tubuh makhluk hidup bisa sepanas itu.

‘Aku mati. Apa-apaan ini. Tadi kan benar-benar runtuh. Aku mati. Aku mati di sini. Kenapa tidak terjadi apa-apa? Aku tidak mau mati. Tidak mau…’

Andai saja bisa pingsan, itu akan lebih baik. Tapi bahkan itu pun tak terjadi. Asel menggeser bola matanya, memaksa diri melihat sekitar. Retakan, batu berantai itu—semuanya sama seperti sebelum runtuh.

Sempat ia mengira itu ilusi… sampai matanya menangkap langit-langit. Patung yang sebelumnya ia jatuhkan masih menancap setengah, dan seluruh langit-langit penuh dengan retakan seperti mosaik.

“Tidak… tidak mungkin…”

Seketika darahnya membeku. Apa yang ia lihat bukanlah halusinasi. Langit-langit itu benar-benar runtuh seperti rencana mereka.

Hanya saja Akasha mengembalikannya—memperbaikinya sempurna.

Ia pasti membalikkan puing itu dengan telekinesis dan menyeret mereka kembali dengan ruang yang mustahil presisinya. Setelah menyadari itu, Asel tidak mampu lagi berpikir.

『■■■. ■■ ■■■.』

Akasha mencolek pipinya berkali-kali seolah menggodanya.

Kadang ia seperti mengucap sesuatu, tapi maknanya tak dapat dipahami. Nada suaranya terdengar seperti: “Cuma segini dan kamu pikir bisa mengalahkanku?” Pipi Asel yang kenyal ditekan lalu dilepas, membuat tubuhnya tersentak setiap kali.

‘Gerak.’

Didican menatap kaku, tubuhnya membatu seperti fosil. Kuku itu tampak siap menembus pipi Asel dan keluar lewat sisi lain.

Ekornya sudah melilit di antara kakinya entah sejak kapan. Giginya gemeretak seperti sedang demam tinggi.

‘Gerak. Aku harus bergerak. Gerak…!’

Ia belum pernah merasa takut seperti ini. Bahkan ketika golem-golem raksasa menghancurkan bengkel Gran Kapadokia, atau ketika ia kehilangan Doron… tidak sedalam ini.

Naluri berkata: Kau hanya serangga di depan makhluk itu.

Rasa tak berdaya itu menghimpit Didican.

‘Asel…’

Jika terus begini, semuanya akan berakhir. Penyerapan masih berlanjut, dan celah dimensi makin melebar. Wajah Doron terlintas di benaknya.

Sang guru yang sudah tiada. Kata-kata terakhirnya adalah alasan Didican bertahan hidup.

‘Gerak… Aku adalah bara terakhir Gran Kapadokia.’

Doron memanggilnya “bara terakhir” sebelum mati. Bara tidak boleh padam menghadapi badai.

Ia harus hidup, sekalipun harus mengotori tembok dengan tinja, untuk menjaga api pengrajin terhebat Kekaisaran.

Dan suatu hari—menempa pedang yang akan digunakan prajurit sehebat pria bercoat itu.

Didican menarik napas panjang, lalu meraung.

“Krakh! GERAK!!”

Suaranya menggema. Kelumpuhan itu pecah. Ia berlari seperti binatang, menerjang Akasha. Taring tajamnya berkilat di dalam rahang terbuka.

“KRAAAA!!”

“D-Didican-nim! Jangan!”

Asel tersentak sadar, menjerit. Didican menyambar seperti badai, tapi Akasha tidak bergerak—hanya mengangkat jari telunjuk dan menekuknya seakan menyingkirkan serangga.

Gelombang tak terlihat menghantam perut Didican.

“Ugh…!”

Mata Didican membelalak. Tubuhnya terpental keras seperti ditabrak gerobak, menabrak dinding paling ujung sebelum meluncur jatuh.

“Ughk… ku-ughk! Kugh!”

“Tidak!!”

Asel berteriak. Akasha menurunkan tangan. Ia menatap Didican, lalu mengeklik lidahnya.

『■■.』

Arti tak diketahui, tapi jelas terdengar mengejek. Lutut Asel goyah; ia jatuh terduduk.

Ia mendongak, suaranya pecah:

“M-me… mengapa kau melakukan ini?!”

『……』

“T-tolong hentikan. Jangan pakai kekuatan itu untuk hal seperti ini… ya?”

Akasha tidak menjawab. Ia kembali menunduk ke arah Asel. Pipi Asel kembali terpantul di topengnya, tapi kini tatapan tiga matanya seperti ujung panah yang menusuk jantung.

“Hi–…!”

Mata Asel terbalik, tubuhnya limbung.

Ia pingsan. Akasha menahan kepalanya dengan ujung kakinya.

『■…■■■■?』

Ia bergumam, tapi tidak ada yang bisa merespons—Asel pingsan, Didican hampir pingsan.

Akasha memutar kepala ke arah Senniel. Mantra aneh kembali terdengar. Hidup yang meluap dari batu itu kembali mengalir melalui rantai.

“Tidak…”

Didican memaksa mengangkat kepala. Darah menetes dari hidung dan moncongnya. Ia harus menolong Asel, tapi tubuhnya tak mau bangkit.

Celah menuju dunia lain makin terbuka.

‘Sudah selesai.’

Hampir menyerah, ketika—

Kericikan terdengar dari arah pintu.

『■?』

Ia dan Akasha menoleh serempak.

Tapi di balik pintu yang hancur—kosong. Hening menyelimuti ruangan.

Didican hendak memandang Asel lagi ketika—

“Lumayan kosong tempatnya.”

“Hah?”

Pria yang tidak ada sebelumnya muncul tepat di depan mereka.

Tiba seakan dari kegelapan ketika mata terpejam.

Pria itu mengenakan seragam Akademi Phileon, berlutut dengan satu kaki, tersenyum. Sebuah pedang panjang berlumur darah tergenggam di tangannya.

Pria itu bertanya:

“Bang serigala. Kau baik-baik saja?”

“Ka… kau…!”

Bulu Didican berdiri. Ia pernah melihat wajah itu sebelumnya. Pakaiannya memang berubah, tapi itu jelas orang yang membantai para raksasa dengan coat lusuh itu.

Sebelum ia sempat bertanya—

『■■.』

Akasha membeku. Tubuhnya tergores ratusan garis tebasan abstrak. Lingkaran mana merah-senja mengelilingi area itu entah sejak kapan.

“Mampuslah, kau monster.”

『……!!』

Pria itu menutup kalimatnya seperti memberi tanda titik. Namun tidak seperti yang ia prediksi—tidak ada yang terjadi.

“…Hah?”

Tidak ada retakan melebar, tidak ada mantel yang robek, tidak ada darah.

Pria itu menoleh.

Potongan tebasannya memang menutupi mantel Akasha—tapi tidak setetes darah pun keluar.

“Apa sih ini.”

Tak pernah terjadi sebelumnya. Ia hendak bergerak lagi ketika—

Akasha mengangkat telunjuk.

KWACHIK!
Kekuatan tak terlihat meraih tubuh sang pria.

“Gaaahhh!!”

Ia terpental ke langit-langit, lalu dihantam ke lantai. Debu berhamburan. Tubuhnya tampak terkapar—pantatnya mendongak ke udara.

“…Ya Tuhan.”

Didican menutup mata.

Posenya sudah buruk—tapi yang lebih buruk, harapan terakhir mereka runtuh. Pembantai para raksasa itu dikalahkan seketika.

『■■■■. ■■■■ ■■■■ ■■■■?』

Akasha mendekat, tampak marah. Sudah jelas ia akan memastikan pembunuhan.

Namun sebelum ia menyentuh pria itu—

Asel, yang tersungkur tadi, meraih ujung mantelnya.

“H… hentikan….”

Akasha menunduk. Asel—dengan wajah basah air mata dan ingus—menatapnya. Tangan mungilnya gemetar hebat.

Dari bibirnya keluar suara pecah:

“Kalau… kalau kau teruskan… semua orang… mati…”

“A-Asel…”

Didican mendesah. Ia tahu betapa besar keberanian yang dibutuhkan untuk melakukan itu.

Dan ia membenci dirinya sendiri karena hanya bisa duduk.

“Kerja bagus, kalian para pria tanpa nama.”

“Hah?”

Suara yang sama bergema lagi di seluruh ruangan.

Didican menoleh—dan ternganga.

“A—apa…?! Kenapa satu lagi…?!”

Ada pria lain berdiri di sana.

Wajahnya identik dengan pria yang jatuh tadi, tapi yang ini mengenakan coat hitam yang Didican kenal. Pria yang pingsan itu masih tengkurap di lantai.

Ronan melompat.

“Keberanian kalian barusan menyelamatkan dunia.”

Coat hitamnya berkibar seperti sayap. Ronan melintas di sisi Akasha, menarik pedangnya.

Akasha mengulurkan jari dengan panik.

『■■!!!』

Untuk pertama kalinya ia tampak serius. Namun semua sudah terlambat.

Ketika pedang itu membuat busur bulan sabit—

Rantai yang membelit Senniel putus.

Dan kehidupan yang selama ini disedot—yang ditekan dan tidak bisa keluar—meledak seperti semburan cahaya.

2-92. Apa pun yang Kau Inginkan

Rantai yang membelit Seniel hancur berantakan.

Kehidupan yang sedang disedot Akasha terlepas sekaligus. Cahaya terang meledak—begitu menyilaukan dan megah hingga terasa membakar mata.

“Arrrgh!!”

“Kugh!”

Gadis berambut merah menjerit sambil meringkuk. Werewolf berbaju tahanan pun tak sanggup dan mengangkat lengannya untuk menutupi mata. Hanya Ronan muda yang tak sadarkan diri sama sekali, pantatnya hanya sedikit berkedut.

“Ugh.”

“Bagus sekali, dasar tolol itu.”

Bahkan di tengah bahaya, aku masih sempat melempar pandangan. Ya, sesuai dugaan—hasil yang sama sekali tak mengejutkan.

Rasanya ingin menendang pantat bodohnya sekarang juga, tapi tidak ada waktu. Saat aku menghancurkan rantai dan mendarat, serangan balasan langsung menghantam. Di antara kabut yang terbentuk dari partikel kehidupan, sebuah celah besar membuka.

Dari sisi celah itu, Akasha mengacungkan tiga jari ke arahku—telunjuk, tengah, dan manis.

“Tiga jari? Kondisimu sudah buruk tetapi masih mau memaksakan diri, ya.”

Sambil berpikir begitu, aku bersiap menangkis. Dalam kondisi melemah seperti ini, kemungkinan besar aku bisa menebas sihirnya. Baru saja aku hendak membaca lintasannya—

BUGH!

Dua gelombang kejut terpecah dan menghantam wajah serta perutku bersamaan.

“Ugh!”

Mual naik ke tenggorokan. Kepalaku terlempar ke belakang hingga langit-langit terlihat. Getaran yang masuk lewat dahiku mengguncang otak lalu keluar melalui belakang kepala.

Aku terpelanting, memutar tubuh, lalu mendarat dengan susah payah.

“Kurang ajar…!”

Gigi terkatup keras. Serangan ini berbeda. Kukira dia akan mengirim satu gumpalan besar sesuai pola sebelumnya—ternyata jauh lebih licik. Gegar ringan dan nyeri menusuk di perut membuat fokus kacau.

“Haaah!”

Namun, itu tidak cukup untuk menjatuhkanku. Dengan teriakan seperti binatang, pikiranku kembali jernih.

Dua perjalanan dunia paralel penuh hantaman telah meningkatkan daya tahanku secara tidak wajar. Leherku yang sempat tertekuk balik seperti pegas.

Aku mendengus singkat saat kembali menatapnya.

“Tidak mudah rupanya.”

Di atas kabut itu, tujuh lubang terbuka. Serangan-serangan kecil melesat dengan arah kacau. Jika satu saja menembus, aku bisa pingsan atau mati.

“Tapi kau kira trik yang sama dua kali berhasil?”

Aku menggenggam pedang. Bilahnya berubah warna seperti daun musim gugur.

Dengan langkah seperti menari, aku mengayunkan pedang ke udara. Tujuh bilah tipis meluncur ke arah berbeda. Hampir bersamaan, tujuh ledakan kecil terjadi. Ukurannya kecil, jadi mudah ditebas. Semua gelombang kejut hancur sia-sia.

Dari balik kabut terdengar nada panik.

Aku menebas asal ke arah suara.

Kabut terbelah—memperlihatkan Akasha dan Seniel.

“Sudah kuduga.”

Sekalipun terbebas dari rantai, Seniel tetap terperangkap. Jari-jari mengerikan itu menusuk batu, menyedot kehidupan langsung dari tubuhnya.

“Akan kuputuskan tanganmu!”

Aku menerjang.

Akasha tak punya lengan kiri untuk menahan. Lengan kanannya yang tertancap ditarik buru-buru.

Dari lengan itu, rantai hitam keluar dan melilit seluruh anggota tubuhnya seperti ular. Lebih gelap dan jauh lebih keras dibanding logam yang dulu melindungi Abel.

Aku mengayunkan pedang—dan di detik terakhir, mengubah lintasannya.

“Kena kau, dasar bodoh.”

Aku menyeringai kecil. Tak ada yang lebih memuaskan daripada prediksi yang tepat.

Dunia melambat. Hanya aku dan pedangku yang bergerak normal.

Bekas-bekas sayatan Ronan muda dari pertarungan sebelumnya—puluhan garis—terlihat jelas di tubuhnya.

Ia melilit seluruh tubuh dengan rantai, seperti baju zirah. Cara bertarung yang ia pilih setelah kehilangan pinggang dan tangan kiri.

Ide yang cukup bagus sebenarnya. Rantai yang diberi mana jauh lebih kuat dibanding zirah tipis. Bahkan membunuh Abel yang memakai perlindungan seperti itu sudah merepotkan. Ronan muda hanya mampu menggores—berarti ini sangat keras.

“Tapi, kalau begitu… cukup tebas tempat yang sama.”

Tak ada pilihan lain.

Aku menebas puluhan kali—semua di titik luka sebelumnya.

Waktu kembali berjalan.

“Tsk… kalau saja tidak ada efek samping, teknik ini luar biasa.”

Akasha terkejut.

Cahaya merah merembes dari bekas sayatan. Potongan rantai berjatuhan dari balik jubahnya.

BUM!

Darah merah pekat memancar dari celah itu.

Akasha menjerit—lebih mengerikan daripada ketika tubuhnya terbelah dua. Darah mengalir dari ketiga matanya.

“Telan ini!”

Aku tidak berhenti. Tebasan diagonal kembali meledakkan darah dari dadanya.

Retakan menuju dunia berikut berkedip di kejauhan. Aku mengangkat pedang, siap menebas lehernya—

Tiba-tiba Akasha mendorong lengan kanannya kembali ke tubuh Seniel.

Cahaya kuat meledak dari tubuh sang gadis.

Penglihatanku memutih. Aku menusuk, tapi mengenai udara. Kabut kehidupan mengalir deras, tebal hingga tak bisa melihat setengah langkah pun.

“Sial… satu tebasan lagi saja!”

Ia pasti kabur ke dalam retakan.

Aku berlari membabi buta ke arah itu—

Namun sesuatu bersinar di sakuku.

Pecahan Seniel—yang kutemukan di dunia paralel sebelumnya—menyerap semua energi kehidupan di ruangan, lalu padam.

Fokusku kembali, dan aku melihat Akasha tersandung-sandung menuju retakan yang hampir runtuh.

Tanpa pikir panjang, aku menebas.

Tebasan bulan sabit merah memotong kaki kiri Akasha, lalu menghantam dasar retakan.

“Dapat!”

Jeritannya akhirnya terdengar jelas dari balik topeng.

Kakinya tergeletak. Retakan itu mulai runtuh sebagian.

Mungkin ini akhir.

Aku menebas lagi—

Akasha tiba-tiba meleleh seperti cairan dan menyusup masuk ke retakan yang sempit itu.

“Kau ini kucing apa?!”

Aku menusuk ke lubang itu. Hanya sedikit jubahnya yang tersentuh.

Retakan menyusut hingga sebesar kepalan tangan, lalu lenyap.

Ia lolos lagi.

“Arrrgh! Tinggal sedikit lagi!”

Aku melempar sarung pedang—dan benda itu jatuh tepat mengenai kepala Ronan muda.

Bahkan sekarang pun, bajingan yang memakai wajahku itu masih mendengkur. Gadis merah dan werewolf juga masih pingsan.

Aku memegang kepala.

“Sial. Bahkan tubuhku saja tak akan muat masuk retakan sekecil itu.”

Masalah besar.

Kemudian, kudengar suara kecil familiar.

“Byaa.”

Shita kecil—versi dunia paralel—menatapku dari kaki.

“Masih di sini rupanya.”

Saat kutaruh tangan, ia memanjat ke pundak.

“Syukurlah kau tidak apa-apa. Lebih berguna daripada tuanmu.”

Ia hanya mengeluarkan suara kecil sedih.

“Aku harus bagaimana ini, Shita… bisa-bisa gagal total.”

Saat aku menghela napas, tanganku menyentuh botol pemberian Sarante—yang berisi darah Akasha, untuk membuka retakan ke dunia asal.

Haruskah aku kembali dulu?

Aku mengingat kata-kata Sarante:

“Kukira sampai mati sebelum mendapat sedikit saja darah itu.”

“Sebentar…”

Aku menarik botolnya dan memeriksa isinya.

Darah Akasha di dalam masih cair.

Tapi darah yang tumpah di lantai dan menodai tubuhku jauh lebih banyak—dan tidak berubah menjadi retakan.

Kesimpulannya jelas:

“Astaga… dia tidak sempat mengaktifkan sihirnya!”

Aku berteriak sambil menjentikkan jari.

“Aku butuh darahnya berubah menjadi retakan! Itu saja!”

Shita terlonjak ketakutan.

Aku mengangkatnya.

“Shita. Tolong bantu aku.”

Ia memiringkan kepala.

“Kumpulkan semua darah di tubuhku dan di lantai. Lalu bawa ke retakan kecil itu. Cepat.”

Ia menatap lama—lalu mengangguk dan melompat.

Dalam sekejap, darah-darah itu terangkat seperti tetesan hujan terbalik. Ribuan titik darah melayang menuju retakan.

Begitu menyentuh sisa sihir Akasha—

Kaboom!

Retakan itu membesar, cukup besar untuk satu orang dewasa masuk.

“Bagus!”

Aku memeluk Shita, menggosok wajahku pada ekornya.

“Kau yang terbaik di dunia ini!”

Ia meronta malu.

Kini tampak jelas isi retakan—mana Akasha berputar padat, dan dunia berikut samar di sana.

Aku menarik napas dalam.

“Baik. Saatnya aku pergi.”

Aku menunjuk dua orang yang pingsan.

“Tolong rawat mereka. Berkat keberanian mereka, aku bisa mengejar Akasha.”

Aku hendak masuk—ketika seseorang menerjang masuk.

“Berhenti!”

“Nuni—?”

Nabyroze muncul, napas terengah, pintu di belakangnya hancur.

Ia memandang sekitar dan menahan napasnya.

“Sudah… selesai?!”

“Ya. Ia kabur. Aku harus mengejarnya.”

“Kalau begitu… kau benar-benar akan pergi.”

“Ya. Mungkin kita tidak bertemu lagi.”

“…Kau penyelamatku. Terima kasih.”

“Sudah kukatakan—aku hanya melakukan apa yang harus dilakukan.”

“Tidak semua orang bisa melakukannya.”

Ia melangkah mendekat.

Cantik. Seperti macan kumbang yang elegan.

Lalu ia berkata:

“Tutup matamu.”

Aku belum sempat bertanya ketika ia menarik kerahku, mendekat—

Namun bibirnya terhalang telapak tanganku.

“Maaf. Aku sudah punya tunangan.”

Ia menurunkan kaki. Aku menyentuhkan keningku pada keningnya.

“Kau akan menemukan orang yang lebih baik, Nuni.”

Ia menelan ludah, tak menjawab.

Setelah beberapa detik, ia mengangkat wajah, mata sedikit merah.

Aku menunjuk Ronan muda.

“Rawat bocah itu. Dia bodoh, tapi pasti menyenangkan untuk dilatih.”

“Aku sudah jadikan dia muridku. Tak akan kubiarkan kucing mesum itu mengambilnya.”

“Bagus. Dia lebih suka belajar dari orang cantik.”

“Memang begitu.”

Ia tersenyum.

Waktuku habis.

Aku melangkah ke retakan.

“Senang bertemu denganmu, Nabyroze.”

“Selamat jalan, Ronan. Terima kasih telah menyelamatkan dunia.”

Aku hanya tersenyum.

Aku telah:

— membersihkan nama menantuku,
— mengembalikan Kaisar dan Sword Saint,
— menyelamatkan guruku,
— menyembuhkan Archmage,
— membasmi kultus,
— menghancurkan ancaman luar angkasa,
— menyelamatkan diriku sendiri di dunia lain,
— dan memastikan kakakku bahagia.

Petualangan panjang ini… berakhir.

“Tunggu aku, Akasha.”

Dunia berikut adalah yang terakhir.

Aku melangkah ke dalam cahaya.

Suara Nabyroze memudar dari belakangku:

“Apa pun yang kau inginkan… semoga kehendakmu terkabul.”

2-93. Off The Record(1)

“Ronan. Bangun.”

“Ugh… di mana ini?”

“Semuanya sudah berakhir. Kalau kau tidak ingin hangus terbakar, cepat bangun.”

Ronan2 membuka mata sambil mengerang. Seluruh tubuhnya terasa seperti baru saja diinjak kawanan banteng.

Ia hanya mengingat sampai dirinya memunculkan aura melawan Akasha, lalu setelah itu ingatannya terputus total.

“Hitam terbakar seperti kak—… eh, ternyata bukan Kakak, tapi Instruktur Navirose. Apa yang sebenarnya terjadi?”

“Penyihir bernama Akasha telah mundur ke dunia berikutnya. Kau—yang datang dari dunia lain—telah mengejarnya. ‘Ibu Api’ sedang menuju ke sini untuk membakar seluruh wilayah.”

Navirose mengulurkan tangan. Ronan2, ragu-ragu namun tetap patuh, menggenggam tangan gurunya dan bangkit. Sementara itu, Syita2 sudah terlelap, melingkar manis di lehernya.

“Kerja bagus. Kau dan cerpelai itu melakukan hal yang besar. Tanpa kalian, katanya dia tidak bisa menekan Akasha sejauh itu.”

“Cerpelai? Itu burung mimpi… tapi ya, kami berhasil rupanya. Hah, jadi dia benar-benar melakukannya.”

Ronan2 tersenyum puas. Singkat namun mendalam—pertemuan yang takkan ia lupakan. Ia membalas dendam sang Jenderal Agung, menyelamatkan dunia, semuanya berkat ‘dia’.

“Aku akan membuatmu menjadi prajurit yang tak kalah hebat darinya. Akan butuh usaha yang mencabik tulang, tapi kalian punya tubuh dasar yang sama. Kau pasti bisa.”

“Uh… sejujurnya aku tidak berniat jadi sekuat itu. Dendamku sudah terbalas.”

“Dasar manja. Memang situasi sudah selesai… tapi aku punya ‘penyakit bawaan’—tidak bisa 그냥 membiarkan bakat bersinar begitu saja. Jadi bersiaplah.”

“G-Guru ini… terlalu kejam ah—… huh?”

Ronan2 tiba-tiba memicingkan mata. Ia melangkah mendekat, wajahnya nyaris bersentuhan dengan Navirose.

Bulu mata mereka hampir bersentuhan. Navirose terkejut sedikit.

“...Kenapa tiba-tiba begitu mendekat?”

“Instruktur… apa Anda menangis?”

“APA?”

“Mata Anda merah. Ada sesuatu terjadi?”

Ronan2 menyentuh wajahnya. Ujung jarinya menyapu lembut bekas garis air mata di pipinya—berlawanan total dengan kelakuannya yang biasanya sembrono.

Wajah Navirose merah seketika.

“Kau gila?!”

“Aagh! Jangan tarik telingaku! Aku cuma khawatir! Kenapa malah marah?!”

“Kau… 아니, kalian benar-benar—!”

Navirose menggigit bibirnya. Tiga menit lalu, ia baru saja ditolak oleh Ronan dari dunia lain. Dan kini, wajah yang persis sama membuatnya goyah untuk kedua kali.

Dengan wajah memerah dirinya memalingkan muka. Sementara Ronan2 mengusap telinganya yang panas.

“Yah… kalau Anda sudah lebih baik, syukurlah. Jangan terlalu sering menangis. Sayang wajah cantiknya.”

“Hah… dasar mulut manis itu… Aku harus hubungi Lord Lorhon. Kita harus pergi secepatnya. Tolong bawa kedua orang itu.”

“Dua orang?”

Ronan2 menoleh.

Di tanah, seorang gadis berambut merah dan seorang werewolf sedang tak sadarkan diri.

“Mereka pahlawan yang memberanikan diri di saat krusial. Yang werewolf itu… wajahnya familier, tapi aku tidak bisa mengingat. Urus mereka baik-baik.”

Navirose meninggalkan mereka. Ronan2 memeriksa kondisi dua orang itu—syukurlah, hanya pingsan.

Ia mengguncang bahu sang gadis.

“Hey, bangun.”

“Hhuee… si-… si penyihir itu?”

“Dia kabur. Kudengar kalian berjasa besar. Ayo, nanti kita minum bareng.”

“Ka-kabur?! Uu… uuh… Uweeekk!”

Saat akan bicara, si gadis malah memuntahkan isi perutnya. Keberanian yang ia paksa keluarkan tadi memberi efek samping.

Ronan2 terkejut dan jijik bersamaan.

“Gyaaah! Hentikan! Jangan muntah ke arahku! Kau pikir karena aku perempuan aku akan maklum?!”

“Maaf! S-saya laki-laki, soalnya!”

Gadis—atau sebenarnya pemuda—itu melonjak duduk seketika. Kesalahpahaman soal jenis kelamin adalah trauma paling pekat baginya.

Ronan2 dan Asel saling bertatapan—dan Asel tersentak.

“A-Anda! Anda itu pendekar itu?!”

“Ah, bukan. Aku orang lain. Yang kau lihat sebelumnya itu aku… di dunia lain.”

“Dunia… lain? Apa itu?”

“Tak ada waktu jelasin. Namaku Ronan. Kau?”

“Saya… Asel. Dan saya laki-laki…”

“Baik, cukup. Hey, serigala! Bangun! Kalau tidak mau terbakar hidup-hidup!”

Ia pun menendang ringan Didiqan.

Didiqan bergemuruh seperti hewan tersentak sebelum membuka mata.

“Grhk! K-Kau!!”

“Nama aku Ronan. Sama tapi beda orang dengan yang kau lihat. Penjelasan nanti—kalau bisa jalan, ikut saja.”

Ronan2 malas mengulang cerita berkali-kali. Menurutnya, hal seru layak dituturkan sambil duduk nyaman di kedai sambil minum.

Maka ia menyeret keduanya keluar seperti membawa karung gandum.

Begitu mereka keluar dari gerbang batu, Asel dan Didiqan terpaku.

“L-Langit biru! Didiqan-nim, langitnya biru!”

“Ben… benar… kita selamat. Tapi kenapa hutan di sekitar berubah begini?”

Setelah lama terperangkap di benteng, perubahan lanskap begitu mengagetkan.

Di halaman dalam benteng, Navirose sudah menunggu bersama Lorhon dan Jaipa.

“Oh, akhirnya keluar. Kerja bagus, Ronan.”

“Lama sekali, bocah. Kalau belajar pedang padaku, kau sudah sambil minum teh sekarang.”

“Diam, kucing. Jangan merayu muridku.”

“Ghk…!”

Asel dan Didiqan membeku. Yang berdiri di sana adalah:

  • sang Archmage,

  • dua Swordmaster paling kuat di benua,

  • dan satu-satunya pendekar yang menyamai mereka.

Manusia paling berpengaruh di dunia… berdiri begitu saja.

Navirose menatap Asel.

“Hmm? Jadi kau yang diceritakan High Priest.”

“H-High Priest Alicia? S-saya cuma disandera! Saya tidak pernah bekerja sama—!”

“Tenang. Penjelasannya begitu detail sampai aku ikut terkejut.”

“A-Apa… apa yang beliau katakan?!”

Navirose hanya menggeleng. Kalimat seperti “anak ganteng, selera cocok, boleh bawa pulang buat mainan” jelas tidak pantas diulang pada korban trauma baru bebas ini.

Tiba-tiba Ronan2 melihat sesuatu.

“Eh? Itu… kaki apa?”

“Ah, ini.”

Navirose mengangkat sesuatu: sebuah kaki manusia. Tercabut tepat di bawah lutut, kurus pucat dan menyeramkan.

“Itu kaki Akasha. Kau yang memotongnya. Kupikir ada nilai penelitian, jadi kubawa.”

“Uh, aku pass.”

“S-Sebentar. Bolehkah aku lihat?”

Didiqan menyela.

Navirose menyerahkannya. Ia meneliti detail kaki itu, lalu mengangguk.

“Sepertinya benar.”

“Kenapa?”

“Itu kaki palsu. Sangat halus dan realistis… tapi tetap kaki palsu. Akasha… sebenarnya tidak punya kaki sejak awal.”

“Apa? Kaki palsu?!”

Semua terbelalak. Tidak ada yang mengira itu bukan organ asli. Potongan tulang, pembuluh darah, bahkan warna kulitnya tampak terlalu nyata.

Navirose membisu sejenak, lalu mendecak.

“…Tunggu. Kau… pandai membuatnya? Apakah kau dari bengkel Gran Kapadokia? Murid mendiang Master Doron?”

“Ya. Setelah Master Doron mati aku diculik. Hari-hari itu… mengerikan.”

“Pantas tampak familiar. Jadi, ini benar-benar palsu?”

“Ya. Sangat hebat pembuatannya, tapi tetap palsu. Bahkan aliran ‘darah’ ini… terlalu sempurna. Tapi… tunggu…”

Bulu tengkuk Didiqan berdiri.

Ia meneliti jahitan mikro di tepi sambungan.

“Ini… tidak. Tidak mungkin. Atau…?”

“Kenapa?”

“Sentuhan akhirnya… seperti milikku. Persis. Sangat persis.”

“Apa itu omong kosong?”

“Kurasa… aku hanya salah lihat. Lupakan.”

Ia mengembalikan kaki itu. Yang lain masih sukar percaya.

Didiqan kembali ke Ronan2 dan tersenyum.

“Bagaimanapun, terima kasih Ronan. Meski kalah dari Akasha, aku lihat kemampuanmu. Jika kau mau, kubalas dengan membuatkan pedang. Mungkin belum sebagus yang kau gunakan di dunia asalmu, tapi—”

“Wah, serius? Kalau dikasih, tentu dengan senang hati!”

“Ha! Jujur dan bagus. Dan Asel ini juga penyihir hebat. Kita bertiga akan punya banyak hal untuk dibicarakan nanti.”

“Bagus! Ayo minum sampai mabuk! Kau ikut juga, Asel?”

“S-Saya sehebat itu tidak—… dan saya laki-laki…”

Asel melambai kikuk.

Sementara itu, Lorhon memerhatikan dengan minat. Seperti yang dikatakan Ronan dari dunia lain, anak ini memang berbakat—maginya rapat, halus, dan stabil.

Saat itu, Jaipa menampar tanah dengan ekornya.

“Hey. Waktunya pergi.”

“…Benar. Tepat 20 menit. Seperti biasa.”

Di kejauhan, lima Red Dragon terbang mendekat.

Ibu Api—Navardose—tampak seperti badai merah menyapu cakrawala.

“D-Dragon?!”

Asel, Ronan2, dan Didiqan terpaku, napas tertahan.

Di bawah bentangan sayap Navardose, para Fire Dragon seperti Ithrgrand dan Bnihard membentuk skuadron.

Bnihard mencolek saudaranya.

“Hei. Jangan bikin salah hari ini.”

“Apa-apaan, kak? Aku sudah dewasa!”

“Ya, tapi kau selalu batuk waktu mau sembur api. Di depan manusia pula. Ibu akan malu kalau kau tersedak lagi.”

“Gyaa! Sudah berhenti! Mereka dengar semua!”

Para Fire Dragon cekikikan lewat suara telepati mereka.

Lalu suara Navardose—berwibawa dan berat—bergema di langit.

“Anak-anakku. Bangun penghalang api.”

“Ya, Ibu.”

Serempak, para naga memanggil sihir raksasa. Hutan Syeorn diselimuti medan energi berbentuk silinder raksasa, menjulang ratusan meter.

Angin yang tercipta mengguncang pepohonan.

Navirose menata rambutnya.

“Ibu Api telah tiba. Tuan Lorhon?”

“Baik. Mari pergi. Kalau terlalu lama melihat… yang tersisa dari kita hanya debu.”

Lorhon membelai jenggotnya. Ia menatap kastil pucat untuk terakhir kali, lalu tersenyum.

“Zaman baru dimulai.”

Ia menjentikkan jari.

Ruang terdistorsi—dan enam orang serta satu cerpelai menghilang.

Hanya berselang detik, rahang Navardose terbuka.

Dari tenggorokannya, semburan api seperti baja cair memuntahkan diri.

Duarrrr!!

Badai api memenuhi seluruh penghalang. Angin panas membentuk pusaran api setinggi langit. Namun tidak ada secuil pun api lolos keluar penghalang.

Angin-api terkuat di dunia melahap hutan Syeorn, reruntuhan yang dipenuhi kejahatan, dan bahkan benih kegelapan sekecil debu—tanpa menyisakan apa pun.

2-94. Off The Record (2) 

“Aduh… sial, selesai juga!”

Aku meregangkan tubuh panjang-panjang sebelum meletakkan pena.
Karena terlalu lama menggenggamnya, ujung ruas jari tengahku sampai mati rasa.
Tumpukan kertas berisi tulisan penuh menumpuk tinggi di atas meja.

“Menulis itu memang bukan pekerjaan mudah… meski hasilnya memuaskan.”

Pemandangan itu membuatku tersenyum lebar.
Masih banyak yang harus kutulis, tapi ini saja sudah pencapaian besar.
Hanya menuliskan pengalaman saja sudah begini sulit—kalau harus menulis fantasi yang isinya murni imajinasi, aku mungkin mati sebelum bab 1 selesai.

Suara Erzevette terdengar dari balik pintu, jelas terkejut.

“Su-sudah selesai semuanya?! Boleh masuk?!”

“Mana mungkin sudah tamat. Aku saja yang keluar.”

Aku keluar sambil membawa tumpukan naskah.

Editorku, Erzevette, menatapku dengan mata membelalak.
Sepertinya dia bangkit terlalu cepat karena kursi yang tadi kupersiapkan untuknya tergeletak miring.
Wajahnya yang biasanya setenang kucing bangsawan kini tampak lelah.

“Datang sejauh ini tiap minggu capek kan? Mungkin mulai sekarang kirim lewat pos saja.”

“Tidak sama sekali! Ini permintaan langsung dari Anda lho, Lord Ronan. Dan Anda bilang sendiri saya yang paling cocok membantu.”

“Ya, memang. Gadis sejelas kamu jarang ada.”

“Kalau begitu penyihir Asel atau Lady Marya bagaimana?”

“Asel itu selalu lihat wajahku dulu sebelum bicara. Bahkan kalau aku tulis akhir ceritanya sang tokoh utama mencret di celana lalu bunuh diri, dia bakal bilang, ‘kay… kayaknya bagus kok, Ronan…!’ Marya kebanyakan mikir soal penjualan. Kamu yang paling ideal, Erzevette.”

Erzevette tersenyum kecil mendengar pujian itu.

“Hehe, saya memang cukup berbakat kok. Dan jangan sungkan soal kunjungannya. Sambil menunggu naskah, saya bisa minum teh dengan kak Adeshan atau main dengan Erin.”

“Kelihatannya justru itu yang tujuan utama.”

“Ti-tidak! Tidak mungkin! Aduh, Anda menganggap saya apa sih?”

Pipi Erzevette memerah—gadis yang mudah dibaca.

“Aduh pokoknya! Serahkan naskahnya kemari!”

“Nah ambil. Masih ada episode terakhir. Sepertinya itu akan jadi bab final.”

“Ah, pantesan! Tapi kalau begitu sudah 60% selesai… cepat sekali. Boleh kubaca sekarang?”

Matanya berbinar seperti memasang bintang.

Wajar saja penasaran—seorang veteran pembantai yang seumur hidup hanya mengayunkan pedang, mendadak jadi penulis?
Kalau aku di posisinya pun pasti ingin tahu.

“Tentu. Tapi seperti biasa, jangan sebar ke siapa pun. Terutama istriku.”

“Aduh, saya ini siapa sih sampai Anda khawatir? Walau menyedihkan harus merahasiakan sesuatu dari kak Adeshan… tapi saya janji tak akan bocor. Ke siapa pun.”

“Erin dan Shion juga tidak boleh. Apalagi Lerrant.”

“Jelas! Fokus dulu ya, sebentar.”

Wajahnya menjadi serius seketika.
Ia masuk mode konsentrasi penuh dan mulai membaca cepat.
Asel memang bak monster, tapi gadis ini juga jenius.

Tak lama kemudian ia menutup halaman terakhir dan mengangguk.

“Haaah… selesai.”

“Bagaimana?”

“Bagus sekali. Tidak ada bagian yang perlu kuperbaiki. Tulisan Anda bukan tipe yang penuh gaya atau teknik rumit… tapi entah bagaimana sangat mengalir dan membuat tenggelam.”

“Syukurlah.”

Aku menghela napas lega.
Melihat senyum puasnya, tampaknya minggu ini aku berhasil.

Anehnya, akhir-akhir ini pujian atas sebuah karya membuatku lebih senang dibanding pujian sebagai pendekar yang membunuh musuh banyak.

“Rasanya agak berlebihan, tapi benar-benar seperti Anda menulis pengalaman pribadi. Tidak menyangka Lord Ronan punya bakat seperti ini.”

“Ya, sebagai Master Penyihir Fajar tentu matamu tajam. Itu semua memang kisah nyata.”

“Ayolah… jangan bercanda. Mana ada hal seperti dunia paralel?”

Erzevette terkekeh.
Aku ikut tersenyum—tapi bibirku tak terangkat sepenuhnya.

Nyatanya, waktu terus berlalu… tetapi tak seorang pun ilmuwan berhasil menemukan bukti mengenai dunia paralel atau keberadaan Akasha.

Ia membaca ulang cepat, lalu berkata ragu:

“Ta-tapi… itu, Lord Ronan… minggu lalu… bagian yang muncul tokoh Uskup Agung Alicia itu…”

Wajahnya merah merona.
Tentu aku ingat bagian itu—pertemuan pertama dengan Alicia, penuh kulit dan bau surga.

Aku berdeham dan menjentikkan jari.

“Ah. Mau kutambah deskripsinya? Soal para selir yang hampir telanjang itu? Kuduga kamu suka adegan begitu. Sampai sekarang pun aku tidak tahu pantas tidaknya—”

“Kyaaa! Bukan itu!! Saya cuma penasaran para ‘anak-burung’ itu bagaimana akhirnya! Mereka kan orang biasa yang tak bersalah! Jangan bilang dibiarkan mati?!”

“Oh, Nona Navirose sudah menyelamatkan mereka kok. Hah? Aku tak menuliskannya ya?”

“Tidak! Makanya kupikir mereka tewas bareng kastil itu! Hhh… syukurlah…”

Ia memegangi dadanya lega.
Ironis—tak percaya cerita itu nyata, tapi reaksi emosionalnya total.

Aku mengajaknya ke teras untuk berudara segar.
Dari villa tiga lantai ini, pemandangannya luar biasa.
Avenue Barat, istana, hingga distrik inovasi penuh cahaya neon terlihat jelas.

“Rame sekali… seperti bintang jatuh ke bumi.”

“Neon itu saya kurang suka, tapi bangunan pencakar langit bagus ya. Dalam 20 tahun, sisi barat ibu kota pasti jadi hutan menara. Menara Fajar juga sudah memesan lahan untuk gedung tinggi.”

“Didikan itu berhasil naik. Dulu cuma pandai besi berbulu di bawah tanah, sekarang CEO perusahaan raksasa…”

Aku bergumam sambil bersandar.

Walau dunia paralel belum dibuktikan, waktu telah mengubah banyak hal.
Setelah serangkaian penemuan revolusioner, Didikan merekrut mantan petinggi Nebula Clazie—Arivrihe—sebagai penasihat teknis dan mendirikan perusahaan Didikan & Arivrihe.

“Zaman memang berubah. Para beastmen berbakat benar soal uang. Profesor Baren juga kembali memecahkan rekor pajak terbesar tahun ini.”

“Baren dan Marya itu sudah di luar kategori. Masing-masing punya lebih dari sepuluh anak perusahaan… benar-benar mencurigakan betapa kayanya.”

“Saya justru bersyukur orang baik itu yang jadi kaya. Tak ada negeri lebih damai dari Kekaisaran sekarang. Ada banyak sekolah, rumah sakit, beasiswa…”

“Setuju. Istri menantuku pun melahirkan di rumah sakit yang dibangun Baren. Ngomong-ngomong, ada kabar soal persalinannya?”

“Belum. Mereka janji langsung kabari begitu mulai.”

“Syukurlah. Rambut si Ranse bakal habis tercabut.”

Aku tertawa mengingat masa lalu.
Saat putra sulungku lahir, sang istri—komandan berdarah baja—menangis kesakitan seperti bayi sambil mencabuti rambutku seperti mencabut rumput liar.
Sampai sekarang akarnya masih sakit kalau kupikirkan.

‘Semoga anak sehat lahir.’

Angin malam dingin.
Bintang di atas lebih redup daripada masa kecilku—polusi cahaya.

Sedikit rasa kehilangan, tapi bukan berarti bintang hilang.
Di Nimbert, kampung halaman, orang-orang masih melihat lautan bintang seperti dulu.

“Lautan bintang…”

Apa manusia suatu hari bisa pergi ke bintang lain seperti bangsa kuno Dainhar?

Aku merapatkan kerah coat-ku.

“Dingin. Masuk yuk.”

“Saya sebentar lagi, Lord Ronan. Semangat untuk menulis minggu ini!”

“Ya.”

Aku menepuk tangannya dan kembali ke kamar.
Meja kini kosong—naskah tadi sudah diambil, yang tersisa hanya tumpukan kertas kosong seperti jurang putih tak berujung.

“Kau datang.”

Di atas ranjang, Lynn—yang telah berubah ke bentuk manusia—duduk sambil membaca buku.
Pasti novel cabul lagi.
Saat aku masuk, ia langsung menyorongkan buku ke wajahku.

“Ronan, bisakah kau tulis cerita seperti ini?”

“‘Mengapa Duchess Memberi Peter Kue’? Hah. Klasik. Semua orang mesum pasti sudah baca.”

“Bagus sekali.”

“Dan kau pikir aku akan menulis itu? Cepat berubah. Kalau tidak, kubakar buku haram itu dan pajang di papan pengumuman Alun-alun Pileon.”

“Tsk.”

Tubuh Lynn berpendar—ia kembali berubah menjadi pedang di atas tempat tidur.

Aku mengusap wajah, duduk, dan menarik napas.

“Sebentar lagi selesai…”

Semakin dekat akhir, semakin tajam perasaanku.
Awalnya aku hanya ingin menulis cerita ringan untuk cucu…
tapi semakin kutulis, semakin serius jadinya.

Mungkin rasa tanggung jawab.
Cerita yang dimulai harus diakhiri.

Yang buruk bukan itu.
Yang buruk adalah semua yang kutulis benar-benar terjadi
dan suatu hari Akasha akan muncul lagi,
sementara tak ada satu pun petunjuk soal dirinya maupun dunia paralel.

Tapi untuk sekarang, aku adalah penulis.
Dan penulis harus menulis.

Aku menggenggam pena.

“Baik. Kita mulai.”


Kepada semua pembaca yang telah mengikuti kisah ini hingga sejauh ini—
aku sampaikan rasa terima kasih yang terdalam.

Cerita ini telah mendekati akhir.

Akasha sedang sekarat, dan aku—versi mudaku—sudah hampir mencapai batas mentalnya.

Di sisi lain, aku sangat bersemangat karena sebentar lagi bisa kembali ke dunia asliku.

Petualangan yang begitu hidup seolah bisa kusentuh dengan tangan…
namun kadang terasa seperti lamunan belaka.

Kadang sampai sekarang pun aku masih merasa semuanya hanya mimpi.

‘Meski tentu saja bukan mimpi.’

Apa pun yang kutulis di sini adalah kejadian nyata.

Akasha.
Petualangan melintasi dunia paralel.
Pertemuan dengan diriku dari dunia lain—bahkan bahan majalah murahan sekalipun tak akan menerima plot seperti itu.

Semuanya nyata.
Termasuk yang pernah terjadi… dan yang akan terjadi.

Tapi meski aku menulis dengan sungguh-sungguh,
kalian tak perlu ikut tegang atau serius.
Cukup nikmati petualangan si bocah Ronan apa adanya.
Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan mengkhawatirkan bencana yang bahkan belum datang.

Panjang lebar begini sudah cukup.

Apa yang terjadi di bab terakhir—
itu kalian baca sendiri.

Senja turun di bukit Nimbert.

Di bawah pohon ek raksasa tempat aku selalu tidur siang…

“Aduh sial… kepalaku…”

Aku—yang mengejar Akasha dan menembus celah dimensi—
akhirnya membuka mata.

2-95. Temanku Acel (1)

“Arrgh… sial… kepalaku.”

Aku membuka mata ketika angin dingin menyapu batang hidungku.

Yang pertama terlihat adalah langit-langit alami yang terbentuk dari dedaunan dan ranting-ranting halus. Setiap kali angin menggoyang pohon, sinar matahari jingga menyelinap masuk lewat celah-celah daun yang saling bertumpuk rapat.

Aku sedang berbaring di bawah sebuah pohon ek besar yang berbatang gemuk.

“Ini… di mana?”

Ada sensasi déjà vu yang aneh. Aku mengusap mata dan bangkit perlahan. Pohon ek itu tumbuh di puncak sebuah bukit yang cukup tinggi. Saat mataku mengikuti lereng bukit, pemandangan pedesaan yang begitu akrab menyambutku.

Asap yang mengepul dari cerobong. Sungai yang mengalir membelah desa. Deretan rumah kecil yang hangat, semuanya berwarna merah jingga seperti langit senja.

Melihatnya membuatku mengangkat alis.

“Limbertun.”

Itu adalah desa tempat aku lahir dan besar. Tidak heran langit-langit dedaunan itu tampak familier — ini tempat aku sering tidur siang ketika masih menggembala domba.

“Sial… retakannya benar-benar hancur kan?”

Dengan tergesa aku mencari di sekeliling. Celah dimensi yang menghubungkan dunia itu tidak terlihat. Setelah melewatinya tadi, aku hampir pingsan sambil tetap memaksakan diri menebas, tetapi tampaknya tetesanku berhasil menghancurkannya sepenuhnya.

“Urgh.”

Tiba-tiba dadaku nyeri. Rasa sakit menyambar dari dada, menjalar ke punggung, paha, dan lengan. Seperti seluruh tubuhku ditabrak kawanan banteng mengamuk.

“Brengsek, bajingan itu…”

Ini semua gara-gara gerakan bunuh diri Akasha. Menembus celah menuju dunia lain memang selalu menyebalkan, tapi kali ini terasa jauh lebih brutal. Mana Akasha berputar-putar di sekitar tubuhku seperti tentara terakhir yang mempertahankan benteng.

Sebagian juga karena efek samping teknikku. Chala-Begi—teknik ketika aku masuk ke fokus mutlak dan seluruh dunia melambat—memiliki kelemahan: rasa lelah yang menghantam seperti palu raksasa. Menebas semua partikel Akasha dalam kondisi seperti itu? Bahkan punya empat tangan tidak akan cukup.

Tapi rasa sakit itu bukan berarti aku tak bisa bergerak. Dengan menggerutu, aku berdiri tegak.

“Pertama-tama… aku harus memastikan noona baik-baik saja.”

Aku mulai berjalan menuruni bukit menuju desa.

Angin yang datang dari arah desa membawa aroma roti panggang.

Hasil akhirnya sebenarnya tidak buruk. Aku sudah memojokkan Akasha sejauh mungkin, dan karena aku jatuh di Limbertun, aku bisa sekaligus mengecek keadaan noona.

Mendapatkan Jarum Darah dari bawah ranjang juga mungkin, tetapi semua darah Akasha sudah kukuras habis tadi untuk memperluas celah dengan bantuan Sita. Jadi jarum itu tak berguna sekarang.

Aku merogoh saku mantel, lalu menghela napas lega.

“Hah… ada.”

Dua barang penting masih selamat: pecahan Seniel dan botol berisi darah Akasha.

Botol itu harus kupegang mati-matian kalau ingin kembali pulang. Sedangkan pecahan Seniel… entah bagaimana makin lama makin terasa penting.

“Apa pecahan ini punya sedikit kesadaran? Kalau tidak, bagaimana mungkin…”

Aku teringat kejadian di pertempuran terakhir.

Faktanya, aku bisa memotong kaki Akasha dan hampir menghabisinya berkat batu kecil ini yang tiba-tiba melahap kabut energi kehidupan. Kalau tidak, pasti dia sudah lolos jauh sebelum itu.

“Kelihatannya bahkan jadi lebih cantik.”

Aku mengeluarkan pecahan itu.

Setelah menyerap energi kehidupan dunia sebelumnya, warnanya tampak jauh lebih pekat dan bersinar. Semoga saja kekuatan penyembuhannya ikut meningkat. Dunia ini entah akan memberi kejutan apa, dan sebagai tukang bunuh orang—aku benar-benar payah dalam urusan menyembuhkan.

Saat hampir tiba di desa—

“Kau lihat wajah bajingan itu tadi? Kayak rusa kena perangkap, ngibrit sambil ‘tolong turunin saya~’ hahaha! Salah sendiri telat bayar!”

“Hahaha! Terus pipis juga! Kayak kelelawar bangsat, digantung kebalik langsung ngompol!”

“Kelelawar itu pipis sambil berdiri, tolol. Tapi pokoknya beres berkat wakil ketua!”

Belasan pemuda dekil sedang berjalan sambil membual. Aku langsung mengenali wajah-wajah tolol itu dan mengangkat alis.

“Kampret-kampret itu…”

Kelompok yatim-piatu tukang rusuh, masalah abadi Limbertun. Kulit mereka masih cukup kencang, jadi versi mereka ini sedikit lebih muda daripada yang kuingat. Dari kecil kerjaan mereka cuma memalak para gembala dan merusak pagar. Dewasa pun tetap sampah rupanya.

Pemuda pirang di depan mereka tertawa keras.

“Hahaha! Tak ada masalah yang tak bisa diatasi Pasukan Keamanan Desa kita! Malam ini kita ke Marbas! Ayo nikmati perempuan-perempuan gila itu!”

Pengikutnya bersorak-sorai seperti monyet birahi.

Jujur saja, mengusir sampah seperti mereka paling efektif dilakukan dengan memukulnya sampai mereka lupa namanya sendiri. Membiarkan mereka hidup cuma bikin desa bau.

Tapi yang membuatku terdiam bukanlah Hans si bajingan pirang.

Melainkan pemuda di sampingnya.

Tubuh kecil, rambut merah yang diikat ke belakang, wajah cantik seperti gadis. Di tengah kumpulan sampah itu, dia menonjol seperti rubi di tumpukan lumpur.

Hans menepuk bahunya keras-keras.

“Ini semua karena wakil ketua kita! Ayo beri tepuk tangan!”

“Kalau dibilang dua kali, mulut sampai pegal! Kali ini pun kami mengandalkan Anda, Dewa Sihir!”

“Dewa Sihir! Kalau ke Marbas nanti, kami kasih perempuan terbaik buat Anda!”

Pemuda itu tersipu canggung, menggaruk pipinya.

“Haha… ‘Dewa Sihir’, katanya. Ngomong apa sih…”

“Kau bisa angkat empat orang tanpa sentuh mereka! Kalau itu bukan sihir besar apa lagi, hah? Kami menunggu aksi hebatmu berikutnya!”

“…Iya. Santai saja.”

Nada bicara pemuda itu ketakutan sekaligus… jelas menikmati dipuja-puja.

Aku menggumamkan namanya.

“Acel.”

Hans menunjuk ke timur.

“Berangkat! Mengikuti aku dan Wakil Ketua Acel!”

Acel menatap arah yang sama, wajahnya dipenuhi campuran cemas dan… antisipasi (perempuan terbaik?).

“Apa yang dikerjakan si tolol ini…?”

Aku sampai lupa tentang Akasha. Dengan langkah besar, aku maju dan menghadang para sampah yang hendak pergi ke Marbas.

“Berhenti. Pasukan Keamanan Desa, katanya.”

“Hah? Apa ini—eh?”

Hans memicingkan mata—dan langsung membelalak.

“Tunggu… kau Ronan?!”

Ya, reaksinya masuk akal. Dia masih punya dua daun telinga lengkap—sangat tidak wajar. Kupikir mungkin mengacaukannya membuat seseorang jadi sedikit lebih manusia, karena sejak saat itu dia tak pernah menyentuhku lagi sampai aku kabur dari desa.

Para bajingan itu mulai gaduh.

“Apa?! Ronan kembali?!”

“Itu benar-benar dia?! Yang mematahkan hidung ketua?!”

Satu orang buru-buru menutup mulut temannya. Sebagian besar dari mereka pasti pernah kutinju sampai babak belur. Aku tak suka cari gara-gara, tapi kalau ada yang menantang? Aku pastikan mereka susah jalan berbulan-bulan.

Acel menatapku dan tercekik napas.

“Ro… Ronan?! Benarkah itu… kau?”

Ia gagap. Reaksi yang lebih cocok dengannya. Mata ungu indah itu bergetar hebat. Dia bahkan tak bisa bertatapan denganku dan terus menunduk.

Hans—yang akhirnya pulih dari traumanya—membuka mulut.

“Hahh… lama sekali kau pergi, Ronan. Kau ke mana saja? Aku mencarimu—”

“Enyah. Jelek kau.”

“Apa?”

Aku menyingkirkan Hans dengan satu dorongan bahu dan berdiri tepat di depan Acel. Anak buah Hans melongo saat ketua mereka diperlakukan seperti kain pel.

Aku menatap Acel—dingin.

“Acel. Apa yang kau lakukan?”

“Eh…”

“Kau dengar? Aku bertanya apa yang kau lakukan di sini. Orang tuamu tahu kau begini?”

Acel tak menjawab. Ia gemetar, lalu kembali menunduk dalam-dalam. Bahkan dari sini aku bisa mendengar napasnya yang berantakan.

“Aku dengar semua tadi. Kau wakil ketuanya, ya? Kau bisa hidup jujur meski payah, tapi kau malah begini? Selama aku pergi, apa yang terjadi padamu?”

“Aku…”

“Katakan sesuatu. Apa ini hidup yang kau mau? Hah?”

Tanganku masuk ke dalam saku. Marahku mendidih. Rasanya ingin kuseret dia ke pohon dan kupukuli habis-habisan, tapi aku masih punya sedikit kesabaran.

Acel mengangkat wajahnya sedikit.

“Ro… Ronan kau… apa yang…!”

“Apa?”

“Apa yang kau tahu tentang aku…?! Kau muncul tiba-tiba dan…!”

“Tch.”

Aku mendengus.

Matanya—yang selalu tampak lembut—kini menyala dengan pembangkangan.

Sebenarnya, dari sudut pandangnya, wajar. Aku menghilang bertahun-tahun, lalu kembali dan langsung ceramah? Itu memang menyebalkan.

Tapi aku tak peduli. Dan kalau dia mau sok jantan, aku juga bisa lebih jantan.

Aku meraih kerah bajunya dan hendak menamparnya sekeras mungkin—

“Ha—Hans!”

Tiba-tiba Acel memandang sesuatu di belakangku. Aku menoleh.

Hans sudah menghunus pedang, siap menebas.

“Brengsek! Kau harus mendengarkan orang bicara!”

Aku benar-benar menghela napas. Posisi tubuhnya bahkan lebih busuk daripada masa kecilnya. Dia jelas tak pernah berlatih dan cuma pamer otot busuk ke orang lemah.

Aku meraih daun telinganya.

“Kau ini manusia?”

“A—apa?”

Kesempatan untuk mempertahankan diri. Aku menarik.

Daerah itu berbunyi seperti lobak cabut—dan daun telinganya copot begitu saja.

Darah menyembur seperti air mancur dan membasahi tanah merah jingga.

“Aaaaaagh!!!”

Hans jatuh berlutut, menekan sisi kepalanya. Aku melemparkan telinga itu ke belakangku. Terdengar suara plop ketika telinga itu mendarat tepat di atas kepala Acel.

“Hh—!”

Acel membeku. Darah dari telinga itu mengalir turun ke wajahnya.

Aku mengangguk puas.

“Ya. Begitu cocok.”

Hans memang lebih pantas jadi manusia setengah telinga. Seolah sejak lahir dia memang harus begitu.

“Ketua!! Ya ampun!!”

“Kita berhadapan dengan orang gila!!”

Para sampah itu akhirnya sadar. Hampir semuanya menghunus pedang. Mereka berteriak sambil mengincarku.

“Bunuh dia!! Cincang dia jadi sashimi!”

“Kau pikir kau siapa hah?!”

Satu-satunya yang tidak maju adalah Acel. Meskipun sudah jadi sampah, dia tetap punya insting tajam seorang penyihir besar.

Aku menoleh ke sahabat terbaik yang kutemukan di dunia ketiga ini.

“Nanti kita bicara lagi. Sahabatku.”

2-96. Teman Baikku, Ashel (2)

Membersihkan para sampah itu tidak memakan waktu lama.
Para bajingan yang tadi begitu pongah kini semuanya tergeletak di tanah—patah, memar, atau meraung kesakitan.

Suara erangan dan rengekan meminta belas kasihan terdengar dari bawah kakiku.

“U-ugh… urgh…”

“Tolong… tolong hidupkan aku… aku mohon…”

Aku tidak pernah sekalipun mencabut pedang.
Aku tidak sudi memberi makan pedangku dengan darah sampah seperti mereka—terutama karena itu berarti memberi “makanan” pada Rin. Mustahil.

Tak satu pun dari para penjaga desa terkenal (haha) ini sanggup bertahan lebih dari satu pukulan.

“Beruntung kalian. Kalau ini zaman dulu, kalian sudah mati begitu mengacungkan pedang.”

“Gyaaah! T–tanganku… pergelangan tanganku…!!”

Mereka yang masih sadar memegangi tangan mereka sambil menangis tersedu.
Tulang pergelangan mereka hancur total—pantasan saja. Setelah mereka semua kutumbangkan dengan satu pukulan, aku menginjak dan menghancurkan semua pergelangan tangan yang berani memegang pedang menghadapku.

“Uuhhk… hiks… uuu…”

“Diam. Suara kalian menjijikkan. Toh sekarang kalian semua tak bisa memakai tangan—bagus, kalian bisa saling membantu kalau sedang kesepian. Siapa tahu, setahun lagi kalian masih bisa memancing kancing baju.”

“Hggk…!”

Mereka langsung bungkam.
Sejujurnya, mereka benar-benar beruntung.

Kalau ini dulu—sebelum aku tahu kekuatan kakakku—aku mungkin sudah mematahkan separuh tulang mereka atau langsung melempar mereka ke pedagang budak.
Tapi sekarang aku tahu… monster sejati di keluarga kami itu kakakku.

Jika kakakku adalah kuah kental, maka kekuatan yang kuterima… hanyalah air rebusan tipis.

Anak perempuan Bintang—yang mewarisi kekuatan ayahku paling asli.
Sepuluh ribu anak nakal seperti ini pun tak akan mampu membuat kakakku mengeluarkan setetes pun darah.

Meski demikian, aku tetap tidak sudi membiarkan para bajingan ini berada dalam satu udara dengan dia.

Kakiku menginjak kepala Hans—yang kini tak hanya kehilangan telinga tetapi juga kedua pergelangan tangannya—sebelum aku menggeram rendah.

“Dengar sini, Hans.
Kalau sampai malam kamu belum meninggalkan Nimburton…
aku patahkan kakimu. Langsung.”

“U-urgh… a-aku pergi… aku bakal pergi…”

“Bagus. Sekarang minggat. Dan dengar—si kurcaci itu tidak ada hubungan dengan kalian lagi. Jangan pernah cari dia.”

Jarinya kuacungkan ke arah Ashel—satu-satunya orang yang tidak kubuat patah pergelangan tangannya.

Ashel terduduk di tanah, menyaksikan semua itu dengan wajah memucat.

“A–ah… aaah…”

Bulu matanya—panjang dan lentik seperti perempuan—bergetar.
Aku berpaling dari sampah-sampah itu dan mendekatinya.
Saat aku jongkok di hadapannya, dia menunduk seolah aku adalah malaikat maut.

“Baik, Ashel.
Sekarang giliran kita bicara.”

“R–Ro… Ronan… a-aku… aku salah… aku salah….”

“Aku tahu.”

“J–jangan bunuh aku… tolong…! A-aku nggak bakal begini lagi…!”

Ia meringkuk, memeluk lengan sendiri.
Air mata menetes dari wajah cantiknya, napasnya memburu panik—dia ketakutan setengah mati.

Jika aku boo! sedikit pun, dia pasti langsung ngompol.

Aku ingin melihat itu… tapi aku menahan diri.

“Hhhh… dasar tolol.
Kenapa aku harus membunuhmu.”

“…Eh?”

“Aku yang salah.
Aku tidak akan membunuhmu atau memukulmu. Angkat wajahmu.”

“K–kau… minta maaf…?”

Ashel perlahan mendongak.
Wajahnya sepanas kertas putih, tapi mata dan kelopak matanya memerah.

Aku ulurkan tangan.

“Ya.
Dari sudut pandangmu, kita sudah berpisah bertahun-tahun.
Tiba-tiba aku muncul, bicara seenaknya… ya, pasti kaget. Itu salahku.”

Aku membantunya berdiri.
Kakinya gemetar, tapi ia menempel padaku untuk menjaga keseimbangan.

“M-maaf! Aku nggak sengaja ikut mereka… aku hanya…”

“Asal tanganmu nggak kotor darah orang, aku nggak peduli. Tidak kotor, kan?”

“…nggak…”

“Kalau begitu, pegang saja.
Sekarang jawab.
Bagaimana kamu bisa bergaul dengan bajingan-bajingan itu?”

“It–itu…”

Ia menunduk lagi. Jelas ada sesuatu yang tak ingin ia katakan.

Aku menunggu beberapa detik sebelum akhirnya menggeleng.

“Lupakan. Ceritakan nanti saja.
Yang penting, ikut aku ke rumah dulu.”

“Ke… rumahmu?”

“Ya. Aku harus meninggalkan surat. Taruh di depan pintu, dan kembali. Aku tak ingin kakakku melihatku dulu.”

“As–alasan apa…?”

Dia tampak bingung, tapi tetap menuruti.
Aku menemukan kertas dan pensil, lalu menulis surat singkat.

[Maaf aku pergi tanpa pamit.
Aku akan pulang sebentar lagi.]

Aku menghela napas saat membaca ulang.

Ashel kembali setelah menaruh surat itu.

“Haaah… hampir ketahuan… a-aku sudah taruh, Ronan.”

“Bagus. Kakakku baik-baik saja?”

“Ya… sangat sehat.
Dia tetap ceria, tapi… setiap kali melihatku, dia selalu tanya apakah aku mendengar kabar tentangmu.
Apa kau yakin tidak ingin bertemu?”

“Aku ingin. Tapi tidak sekarang.
Cukup segini dulu.”

Kalimat yang menggantung itu membuat mata Ashel menyipit bingung.

Meski aku rindu kakakku, aku bukan adik yang dia cari di dunia ini.
Lebih baik aku selesaikan semua ini dulu—mengejar Akasha dan mencari Ronan dari dunia ini—baru kemudian bertemu.

Aku menatap Ashel.

“Baik, Ashel.
Sekarang bayar salahmu. Sini kepalamu.”

“…Hah?”

“Dosa tetap harus ditebus.
Dasar memalukan.”

“GYAAAH!”

Plak!

Tepat di ubun-ubunnya.
Aku sudah menahan kekuatan, tapi mungkin tetap membuat tengkoraknya bergetar.

Aku kembali jongkok.

“Bodoh.
Gunakan sihir untuk sesuatu yang lebih berguna.
Bukan untuk membantu bandit berseragam seperti itu.”

“Ke… kepalaku… kepalaku pecah…”

“Lebay. Kamu nggak mati.
Sudah, selesai. Sekarang kita berangkat.”

“Ke… ke mana?”

“Ke mana lagi?
Ke Filreon Academy.
Aku akan memastikan kamu menjadi Grand Mage sungguhan.”

“F–Filreon… Academy?!”

Dia membelalakkan mata.
Aku menjelaskan singkat—tentang bakatnya, tentang masa depannya, tentang bagaimana tempat ini terlalu kecil untuknya.

“Tapi… tapi tiba-tiba begini…”

“Terima saja.
Anggap saja hadiah dari langit.
Atau mau kutambah satu pukulan lagi?”

“Tidak! Tidak… aku dengar…!”

Ia langsung menutupi kepalanya.
Ditolak pun percuma; aku sudah berniat menyeretnya.

Aku menepuk bahunya.

“Kalau begitu, pergi sekarang.
Ah, sebelum itu—kita perlu mampir ke orang tuamu.”

“A–apa?”

“Orang tuamu harus tahu. Anak satu-satunya pergi begitu saja? Mana bisa.”

Aku balik tubuhnya ke arah desa.
Namun Ashel justru membeku.

Saat hendak menegur, dia bergumam pelan:

“…tidak ada.”

“…Apa?”

“Mereka… wafat dua tahun lalu.
Ibu karena sakit…
Ayah jatuh dari tebing saat mencari obat untuk menyembuhkan Ibu…
Jadi… tidak ada yang bisa kukunjungi.”

Ia tersenyum pahit.

Aku membeku sesaat.
Kata-kata itu menggema di telinga.
Tangan terkepal.

Sialan.
Pantas dia terjerumus seperti ini.

Di dunia asliku, kedua orang tuanya sehat.
Ashel meraih beasiswa, mulai berpetualang, dan membawa pulang uang—dan segalanya kembali cerah.

Di sini?
Tidak.
Ia sendirian.

Seketika rasa bersalah merayap di kulitku.
Jika aku memukul kepalanya lebih keras barusan… aku mungkin jadi sampah sungguhan.

Aku menggigit bibir lalu mengeluarkan pipa rokok dari saku.
Menghirup, menghembus—asap putih larut ke warna senja.

“Begitu ya…”

Tarikan napas panjang.

Selain aku dan kakakku, hidup Ashel adalah gelap.
Tak ada yang menyayanginya—tak ada yang menyemangati.

Dia akan tetap jadi Grand Mage—bakatnya tidak terbantahkan.
Tapi apakah dia akan bahagia?
Belum tentu.

Tidak bisa kubiarkan.

Dan kemudian—aku teringat sesuatu.

“…benar. Ada satu hal.”

Sebuah memori lama menyentak kepalaku.

“Dengar, Ashel.
Sebelum ke Filreon… kita ke Acalucia dulu.”

“A… Acalucia?”

Matanya membesar.
Nama itu saja sudah membuatnya kagum.

“Kau… kau bicara tentang keluarga besar Acalucia itu…?”

“Ya.
Sebelum masuk Filreon, kamu akan masuk ke sana dulu.
Aku punya teman hebat di keluarga itu.
Dan aku sendiri perlu mengambil sesuatu di sana.”

Dulu—sebelum semuanya kacau—aku pernah menerima undangan dari Acalucia.
Keluarga aristokrat yang menyaingi kekuatan dua kerajaan sekaligus—Grangia dan Kekaisaran.

Mereka menerima anak-anak berbakat sebagai anak angkat.

Aku tidak pernah datang waktu itu.

Tapi sekarang?

Itu satu-satunya tempat yang bisa memberi Ashel rumah baru.
Dan juga… tempat yang mungkin punya sesuatu untuk mengejar Akasha.

Jarum darah sudah tak bisa dipakai. Aku butuh cara lain.

Aku memantapkan niat lalu berbalik.

“Ayo, Ashel. Kita berangkat.”

“Tapi… arahmu salah. Jalan ke kota tidak ke sana…”

“Ini jalan yang benar.
Lewat jalur utama, kita bisa sampai ke wilayah Acalucia dalam sekali jalan.”

“…jalur utama?”

Aku tidak menjawab.
Aku berjalan ke atas bukit.
Ketika sampai di puncak, sungai yang melingkari desa terbentang di bawah.

Air memantulkan cahaya senja—bersinar merah keemasan.

“Bagus. Masih ada.”

Mataku menemukan benda yang kucari:
Sebuah rakit kayu kecil—rapuh, tua, hampir roboh—terikat pada sebuah pasak di tepi sungai.

Aku melompat ke atasnya.

“Hah. Ini dia. Sudah lama.”

“S–se… Ronan… jangan bilang…”

Ashel memucat.
Ia tahu.
Ia sangat tahu apa artinya rakit ini.

Ini rakit yang dipakai anak-anak kecil untuk bermain air dan menangkap ikan.
Bahkan anak-anak pun takut memakainya ke tengah sungai.

“S-Ssudah pasti tidak, kan…?”

Ia tertawa kaku.

Perjalanan dari sini ke sungai Taimen—sungai terbesar benua—adalah gila.
Orang yang mencoba mengarungi Taimen dengan rakit begini biasanya… diberi uang koin kecil oleh warga.

Untuk ongkos kematian.

Aku memotong tali yang mengikat rakit.

“Kau nunggu apa? Naik.”

“As—”

2-97. Temanku, Asel (3) 

Taiman-gang.

Sungai besar yang telah ada bahkan sebelum sebuah benua disebut benua telah menjadi aliran kehidupan yang murah hati bagi semua makhluk yang hidup di tanah ini. Alasan Kaisar pertama Kekaisaran rela mengorbankan pengorbanan mengerikan untuk bertarung melawan Naga Jahat juga karena Lair Orse berada tepat di daerah lumbung pangan paling subur di Taiman.

Taiman, yang menyediakan sumber daya melimpah, air minum, dan jalur air yang panjang-lebar hingga bisa mengangkut sumber daya berskala negara dengan kapal, adalah mimpi sekaligus wilayah masa depan bagi setiap penguasa….

“Hmm.”

Aku mengklik lidah sambil memutar kembali ingatanku. Itu buku yang cukup seru kubaca saat masih bersekolah di Phileon, tapi setelahnya aku agak lupa-lupa.

Entah aku memang sudah menua, atau karena kepalaku terlalu banyak kena hantaman saat melawan Akasha—tak bisa kupastikan.

‘Intinya, itu sungai yang luar biasa besar.’

Aku bergumam sambil mengangkat kepala. Angin sungai yang dingin membalikkan poni depanku.

Langit malam yang dipenuhi bintang serta permukaan air yang terhampar di bawahnya memenuhi pandangan. Sungai sebesar itu memantulkan gugusan bintang seolah meniru langit fajar—bahkan tepian seberang pun tak terlihat.

‘Jujur, kupikir kita akan tenggelam di tengah jalan.’

Ini memang aliran utama Taiman, yang beberapa kali pernah kulihat saat masih jadi prajurit hukuman. Setiap kali kukayuh dayung, rakit reyot ini berkeriut seperti menjerit. Aku menepuk-nepuknya dengan ujung kaki, seperti memberi semangat.

“Hey, bertahanlah sedikit lagi.”

Rakit yang mestinya hanya takdirnya dipakai bocah-bocah ingusan bermain perahu sampai hari ia dibongkar kini melaju sebagai pedang yang membelah sungai besar. Pada akhirnya yang penting bukan kapalnya, tapi kemampuan nakhodanya. Meski sejujurnya, yang kulakukan hanyalah mendayung seperti orang gila.

Mendadak, suara kaget terdengar dari belakang.

“Ba-Bagaimana… bagaimana ini bisa terjadi…!”

“Apa. Sudah bangun?”

Aku melirik ke belakang. Asel duduk terkulai sambil menatapku dari bawah. Wajahnya pucat seperti baru keluar dari mesin pengering—sangat mengesankan. Dia hampir tak sadarkan diri sebelumnya, tapi rupanya terbangun.

“Bagaimana perutmu. Sudah tak ada yang bisa dimuntahkan lagi kan?”

“Masih mual sih, tapi sekarang sudah—uueeek!”

“Aduh, jorok amat.”

Asel yang sedang bicara tiba-tiba berlari ke tepi rakit dan memuntahkan semuanya. Suara memuakkan itu menggema. Karena mabuk laut terus sepanjang perjalanan, kini yang keluar hanya cairan bening seperti embun.

Kami meninggalkan Nimberton dan menjelang fajar keesokan harinya memasuki aliran utama Taiman.

“Ugh… sekarang aku sudah baikan… tapi kita sudah sampai di aliran utama?”

“Tentu lah. Bukannya sudah kubilang akan kuusahakan? Seru kan?”

“……”

Asel tidak bisa menjawab. Walau aku bertanya, ini memang pertanyaan tak tahu malu.

Menggunakan telekinesis tanpa henti agar tidak terlempar dari rakit yang melaju lebih cepat daripada kuda ras unggul, ditambah sekali setiap jam harus kabur dari ikan raksasa yang melompat ingin menelannya—itu jelas bukan pengalaman menyenangkan.

Meski begitu, alasan Asel tidak mendorongku dengan telekinesis ke dalam sungai mungkin karena pemandangan dan suasana ini.

Sambil menatap sungai yang dipenuhi cahaya bintang, ia mengangguk pelan.

“...Iya.”

“Alah. Seru apanya. Paling kamu sepanjang perjalanan cuma mikir, ‘Gimana cara ngebunuh bajingan ini tanpa meninggalkan jejak ya? Kalau cuma kudorong dikit, ikan-ikan pasti beresin sisa-sisanya, kan?’ gitu.”

“A-Aku nggak mikir begitu! Memang berat, tapi bisa sampai sejauh ini saja sudah…!”

“Cuma becanda. Ngomong-ngomong, soal yang kubilang tadi, sudah kamu pikirkan?”

“Itu….”

Asel menunduk. Wajah tampannya berubah serius.

Dalam perjalanan, aku sempat menjelaskan situasiku.

Tentang dunia paralel dan regresi, bahwa aku sebenarnya bukan Ronan yang mereka kenal, soal Akasha si bajingan, dan kenapa tiba-tiba aku sangat baik padanya.

Schliffen dan Nabirose noona pun sudah mendengar semua itu—tak ada alasan bagiku merahasiakan hal serupa dari sahabatku sendiri.

‘Rasanya kemampuan menjelasku makin meningkat. Sial benar.’

Lucunya, setelah mengulang cerita ini tiga kali di tiga dunia berbeda, aku sudah mulai punya teknik sendiri. Kalau aku belajar menulis naskah, mungkin suatu hari aku bisa menulis buku.

Hening beberapa saat, Asel akhirnya bersuara.

“...Sejujurnya, aku masih sulit percaya. Dunia seindah ini akan hancur hanya dalam tujuh tahun. Dan itu bukan karena perang atau wabah, tapi oleh kelompok fanatik… dan ras asing yang turun dari langit.”

“Menurutmu aku berbohong?”

“Tidak. Dari caramu berubah, dan dari fakta kamu membawa aku sejauh ini ke Taiman… aku tahu kamu berkata jujur. Tapi karena aku percaya, justru rasanya semakin tidak ingin percaya…? Aku sendiri tidak tahu.”

“Kau tetap pintar seperti biasa. Dunia nyata memang selalu terasa paling tidak nyata. Fanatik gila dan para botak itu biar aku yang bereskan, jadi tak perlu khawatir. Ngomong-ngomong, kupikir semuanya terlihat lebih muda… ternyata ini memang tujuh tahun yang lalu ya.”

Hanya sekarang aku sadar. Karena terlalu sibuk, aku bahkan lupa menanyakan tahun berapa ini.

Jika ini tujuh tahun sebelum Kedatangan Bintang, berarti ini tiga tahun setelah aku regresi.

Di dunia asliku, ini masa ketika aku memenggal kepala paman pembuat masalah lalu menutup cerita hidupku dengan akhir bahagia.

“Lumayan juga hidupku ya.”

“Hah?”

“Bukan apa-apa. Cuma ngomong sendiri.”

Aku benar-benar merasa waktu tiga tahun itu kugunakan dengan sangat padat. Dari ucapan Asel, tampaknya orang-orang di dunia ini bahkan belum menyadari keberadaan Nebula Clazye, apalagi Klub Botak.

Di satu sisi aku lega—masih sempat datang sebelum si idiot Barca naik jadi wali penguasa—tapi di sisi lain, muncul satu pertanyaan pahit: kenyataan bahwa dunia paralel ini berarti Asel di sini sudah mati.

Dan waktunya terlalu cepat.

‘Pasti ini kematian pertamaku setelah regresi.’

Melihat waktu, ia kemungkinan besar mati tak lama setelah lulus. Itu berarti bahkan lebih cepat mati dibanding hidup pertamaku—yang tewas sebagai prajurit di medan perang.

Entah siapa atau apa yang membunuhnya.

Kepalaku nyaris sakit memikirkannya ketika Asel kembali bicara.

“Tapi ada hal yang lebih sulit dipercaya…”

“Hm?”

“Kamu bilang di dunia mana pun aku menjadi penyihir hebat. Jujur, itu rasanya lebih tidak nyata daripada kiamat. Apa manusia tidak berguna seperti aku benar-benar bisa jadi penyihir?”

Asel menunduk. Sikapnya begitu pengecut—sama persis seperti pertama kali aku bertemu Asel di dunia asliku, si bocah yang mem-bully gembala karena diancam Hans.

‘Sudah lama aku tak melihat versi ini. Kangen juga.’

Tidak, bahkan mungkin lebih parah. Melihat dia tidak tahu sedikit pun tentang bakatnya membuatku geli sekaligus kesal.

Tidak berguna, katanya?

Aku tertawa pendek dan menjewer telinganya.

“Kau tidak berguna apanya. Siapa yang menyuruhmu bicara seenaknya begitu?”

“Kyaaaak!”

Asel menjerit seperti kelinci terjebak jebakan.

“Kamu pasti bisa. Jadi berhenti berpikir aneh. Kalau tidak, kenapa aku harus ngangkutmu subuh-subuh ke Acalucia? Sampai mendayung sendiri kayak budak kutukan.”

“A-Aku tahu! Aku tahu! Lepasin!”

“Tunggu. Kenapa telingamu ada banyak hiasan? Jangan bilang ini anting?”

Aku mengernyit. Rupanya aku belum menyadarinya—entah karena tidak peduli atau tertutup rambut. Di telinga kiri Asel, tiga piercing kecil berkilap.

Ia terperanjat dan berbisik lirih.

“Hanya… buat ganti suasana…”

“Kurang ajar. Wajahmu saja sudah mirip anak perempuan, masih ditambah anting? Sekalian pakai make-up saja sana. Jangan bilang kamu lagi kasih layanan khusus ke para pervert demi uang?”

“A-a-aku tidak akan lakukan hal macam itu! Aku suka perempuan!”

“Berani-beraninya teriak pada siapa? Mau kutarik sampai putus?”

“Hiiieeek! Salahku! Salahku!”

Aku hanya bermaksud menggoda—tak benar-benar akan mencabutnya. Mungkin justru karena terlihat cocok, aku semakin kesal.

“Heuk… hiks… jahat…”

Asel memegangi telinganya sambil terisak.

Aku memandang sekitar.

‘Harusnya sebentar lagi sampai.’

Keheningan makin pekat. Bahkan suara ikan yang melompat pun hilang. Kalau ingatanku benar, sebentar lagi kami memasuki wilayah Acalucia.

Aku tahu kurang-lebih apa yang harus dilakukan, tapi ini pertama kalinya, jadi harus hati-hati.

“Baik.”

Aku mengatur dayung agar rakit yang awalnya menuju tengah sungai perlahan berbelok ke kanan. Melihat gelombang yang terbentuk di belakang kami membuat kenangan masa lalu muncul satu per satu.

Pelayaran malam bulan, rakit, teman kampung yang ketakutan.

Waktu kami pergi memburu Luna Goblin juga persis begini.

Ditelan nostalgia, aku memanggil Asel.

“Asel. Coba rebahan sebentar.”

“Ti-tidur? Kenapa?”

“Rebahan saja. Mau sampai kapan bertingkah kayak sandera penculik? Hah? Mau kuperlakukan seperti sandera betulan?”

“Hiiiik!”

Asel langsung berbaring. Aku ikut rebahan di sampingnya.

Langit fajar tanpa sungai di bawahnya kini menampakkan sungai kedua—Milky Way yang terbentang megah.

“Woaaah.”

Asel ternganga sambil menutup mulut.

Meski ini istirahat pertama sejak mulai berlayar, rasa kantuk tidak muncul. Pemandangan seindah ini membuat tubuh lupa lelah. Aku terkekeh sambil menghisap pipa tembakau.

“Gila, kan?”

“Iya… sungguh luar biasa…!”

Asel mengangguk-angguk cepat. Meski dari Nimberton juga bisa melihat Milky Way, tempat selapang ini sangat langka.

Sambil menatap bintang paling terang, aku berkata pelan:

“Jangan khawatir. Kamu pasti akan jadi penyihir terhebat di dunia.”

“Ronan, kamu…”

“Maaf aku datang terlambat. Orangtuamu orang yang baik. Tapi kamu harus hidup kuat, baru mereka bisa bangga di surga.”

Asap putih buyar dihembus angin sungai. Aku sedang bicara tentang orangtua Asel.

Di dunia asliku mereka hidup bahagia, jadi aku tak pernah mengira hal seperti ini terjadi di dunia paralel.

“...Iya.”

Asel menggigit bibir. Kehilangan keluarga adalah rasa paling menyakitkan—aku tahu itu. Jadi ini saja yang bisa kukatakan.

Ia berkedip cepat, lalu mengusap mata dengan lengan baju—aku pura-pura tidak melihat.

Tepat saat aku hendak menarik napas panjang—

“Hah?”

Asel tiba-tiba bangkit.

“Kenapa?”

“...Ronan. Ada yang aneh.”

“Aneh gimana?”

“Aku… aku tidak tahu kenapa, tapi rasanya aneh. Tiba-tiba dingin dan merinding… kamu tidak merasakan apa-apa?”

“…..Tidak?”

Ada apa lagi dengan bocah ini.

Matanya terlalu jernih untuk disebut mengigau.

Kalau dia merasa ada yang salah, lebih baik cari penyebabnya. Baru saja aku berdiri—

Fwaaaaaaah!

Kabut tebal meledak dari segala arah.

“Hyaaaak!”

“Ooh, sial.”

Asel melonjak panik. Matanya membelalak.

Kabut setebal itu menelan segalanya—bahkan satu jengkal di depan pun tak terlihat. Untungnya tidak beracun, tapi dengan rakit tetap bergerak, kami bisa menabrak sesuatu lalu tenggelam kapan saja.

Aku menyimpan pipa dan tersenyum miring.

“Kita sudah sampai. Acalucia.”

Prediksiku tepat. Seperti kata Jenderal Besar.

Semua orang tanpa izin yang memasuki wilayah Acalucia akan langsung terperangkap dalam kabut. Tidak mungkin keluar sendirian. Jika masuk tanpa niat jahat, harus berteriak kata kunci tertentu sambil menyatakan diri tidak bersalah supaya selamat.

‘Ini ujian kepala keluarga.’

Tapi ini bukan sekadar sihir pertahanan. Jenderal Besar bilang ada “petunjuk” menuju mansion di dalam kabut ini.

Jika seorang penantang berniat menjadi anggota keluarga Acalucia dan berhasil menemukan petunjuk itu hingga tiba di mansion dengan kekuatannya sendiri, itu nilai tambah besar.

Sayang aku tak sempat mendengar apa petunjuknya. Ini seperti masuk ke dalam awan.

Aku mulai malas memikirkannya dan berniat memakai caraku sendiri—

“R-Ronan! Ikuti jalan bercahaya itu!”

“Hah?”

“Di atas air! Itulah jalannya! Di sana!”

Asel menarik kerahku sambil menunjuk ke dalam kabut. Aku menoleh cepat—tapi yang kulihat hanya kegelapan muram seperti sebelumnya.

“…Kamu ngeledek? Jalan apa?”

“B-Beneran nggak kelihatan? Itu loh! Yang berkilau di mana-mana….”

“Aku tidak lihat. Tapi aku tahu apa yang kamu lihat. Kamu memang hebat.”

“H-Hey! Kenapa kamu mengacak-acak rambutku—!”

Aku membelai rambutnya dengan bangga. Asel jelas sedang melihat “petunjuk” yang disebut Jenderal Besar.

Kalau aku memusatkan konsentrasi, seolah ada kilau samar—tapi tetap saja itu tak cukup. Bocah ini jauh lebih peka.

“Kalau kita terus maju begini, nanti nabrak batu karang. Belok kanan!”

“Kanan, ya.”

Aku menggerakkan dayung sesuai arahannya. Rakit melaju mulus meski dalam kabut. Benar saja—tak lama setelah kami berbelok, sebuah batu karang besar muncul sekilas di jalur yang tadinya hendak kulewati.

Kami tampaknya telah memasuki aliran kecil yang menuju wilayah Acalucia.

“Kyaaah! Sekarang kiri! Kiri!”

“Oke, oke.”

Aku terus mendayung mengikuti instruksi Asel. Meski heboh, dia benar-benar navigator handal.

Selama perjalanan, Asel terus terkagum-kagum.

“Ini sihir tingkat tinggi. Campuran ilusi, cuaca… entah berapa banyak jenis sihir yang digabung. Aku baru paham kenapa Acalucia disebut keluarga agung sihir.”

“Aku tidak mengerti, tapi sehebat itu ya?”

“…Iya. Kalau sekali tersesat, tidak akan pernah bisa keluar.”

“Hm. Kalau kamu bilang begitu.”

Kalau Asel saja terpesona, berarti ini memang sihir hebat. Tapi setelah pernah bergaul dengan Akasha dan Loerhon di dunia sebelumnya, standar ‘hebat’ buatku sudah rusak—lingkungan yang salah memang berbahaya.

‘Aku juga harus menunjukkan sesuatu.’

Tiba-tiba aku merasa harus melakukan sesuatu.

Kami tahu Acalucia sedang mengawasi. Dalam kondisi sekarang, aku hanya terlihat seperti monyet pendayung yang mengantar bibit penyihir jenius.

Asel baru saja lega setelah menghindari satu batu karang saat aku berkata:

“Baik. Sejauh ini cukup.”

“Hah? Maksudmu apa?”

“Kalau ingin merampok ruang harta Acalucia secara sah, aku juga harus menunjukkan kemampuanku. Coba tunjukkan di mana jalannya berakhir.”

“B-Bagian akhirnya? Ke arah sana sih…”

Ia menunjuk ke utara. Dari sudut jarinya, sepertinya tujuan akhirnya adalah daratan—bahkan dataran tinggi.

“Entah apa yang mau kamu lakukan, tapi jaraknya jauh. Lebih dari sepuluh kilometer…”

“Cukup. Berdirilah di belakangku.”

“Ba-Baik.”

Aku meletakkan dayung dan menggenggam gagang pedang.

Merasa ada tanda bahaya, Asel langsung berlari kecil dan bersembunyi di belakangku.

Aku tidak tahu sihir apa saja yang diletakkan di wilayah ini, jadi harus mengontrol kekuatan. Kalau salah tebas, bukan hanya kabut yang terbelah—tapi penjaga atau bahkan mansion-nya.

Suara Lin terdengar dari sarungnya.

“Hati-hati, Ronan. Ini jauh lebih lembut daripada yang pernah kau tebas sebelumnya.”

“Aku tahu.”

Di dunia paralel pertama, aku pernah mengiris kabut yang terbuat dari mana para botak. Saat itu, karena emosi memuncak, aku asal tebas saja. Kali ini tidak boleh.

Aku menarik napas, membayangkan memotong tahu.

“Fuu.”

Kudorong pedang suci keluar dari sarung. Saat bilah itu melukis lengkungan indah—

Garis hitam terbentang di atas kabut. Sebuah garis lurus yang melintasi seluruh horison.

Lalu suara ledakan udara menyusul.

KWAaaaaAA—!!

Kabut terbelah vertikal, dan wilayah Acalucia tersingkap.

“……!!!”

Asel tak mampu berteriak. Ia langsung terduduk.

Segalanya terlihat jelas—aliran sungai yang tenang, taman luas yang membingkai aliran kecil itu.

Para penjaga yang tersembunyi dalam kabut kini memandang dengan mata melotot seakan hendak melompat.

“A-Apa ini?!”

“Ka-Kabutnya…!”

Mungkin terlalu tak terduga, mereka bahkan lupa bereaksi. Aku menoleh ke arah yang Asel tunjuk. Di atas tebing tinggi berdiri mansion megah—anggun dan misterius, persis seperti yang digambarkan Jenderal Besar. Tidak kokoh dan terbuka seperti wilayah Grancia, melainkan elegan bagai istana tersembunyi.

Inilah kediaman pusat keluarga besar Acalucia—salah satu dari dua keluarga agung yang membelah lembaga sihir Kekaisaran.

Terbayang masa lalu, aku tersenyum tipis.

‘Butuh waktu lama juga.’

Aku menerima undangan berbentuk bros dari seorang sahabat pada hari masuk Phileon Academy.

Semua berjalan tidak sesuai harapan—jadi tertunda panjang, tapi akhirnya aku sampai juga.

Sahabat lainku, seorang penyihir jenius.

Mengingat wajahnya, aku bergumam pelan.

“Aku sudah menepati janji, Eri.”

2-98. Temanku, Asel (4) 

Masuk ke wilayah Acalucia berlangsung tanpa hambatan berarti. Tepat setelah kabut lenyap, memang sempat terjadi sedikit insiden dengan para penjaga, namun begitu aku dengan jelas menyatakan bahwa kami bukan penyusup, kesalahpahaman cepat mereda.

Kapten penjaga, pria yang mengenakan zirah indah, menunduk sopan sambil meminta maaf.

“Tadi sungguh 죄송하오. Aku benar-benar mengira perang pecah di Kekaisaran, atau para kampungan Grancia mencoba menyelinap masuk di bawah kegelapan. Tidak pernah terpikir bahwa kalian adalah para penantang.”

“Tidak apa-apa. Saya juga pasti akan kaget kalau berada di posisi Anda.”

Aku melambaikan tangan seolah itu bukan masalah besar. Sekitar tiga puluh penjaga telah mengepung kami begitu kami turun dari rakit. Mereka terkejut dua kali: pertama oleh fenomena tak masuk akal ketika kabut hilang dalam sekejap, dan kedua ketika sadar bahwa penyebab fenomena itu adalah kami—aku dan Asel.

Kapten penjaga-lah satu-satunya yang masih bisa berbicara normal.

“Bicara soal itu, formasi pengepungan kalian hebat sekali ya? Saya pernah berkunjung ke Grancia, tapi kalian jauh lebih cepat bergerak dibanding mereka.”

“후후, tentu saja. Tapi itu memang tugas kami, jadi jangan terlalu dipuji. Syukurlah tidak terjadi pertumpahan darah. Itu semua berkat Anda yang cepat mengucapkan Bukti Penantang.”

Aku hanya tersenyum tipis sebagai jawaban.

Bukti Penantang adalah kalimat yang harus diucapkan siapa pun yang memasuki wilayah ini untuk menyatakan bahwa ia tidak masuk dengan niat buruk, sekaligus membuktikan bahwa ia menerima undangan dari anggota keluarga Acalucia.

Undangan itu selalu dirahasiakan dan kalimatnya berubah secara tidak teratur, jadi memalsukan sangatlah sulit.

‘Kenangan lama… Tertulis di balik bros itu.’

Rasa nostalgia muncul. Sudah lama berlalu, tapi aku masih mengingat jelas. Setelah menumbangkan semua senior saat ujian masuk, aku menarik perhatian Erzevette dan menerima undangan Acalucia.

Di balik bros berhiaskan obsidian itu terpahat lambang singa yang meraung ke arah bulan, serta kalimat yang digunakan sebagai Bukti Penantang.

“Sudah terang-benderang, maka bulan purnama tak perlu lagi merindukan matahari.”

Kapten penjaga berkata,

“Itu kalimat yang tertera pada undangan sekitar tiga tahun lalu. Seingatku, itu adalah kalimat yang dipilih oleh Young Lady Erzevette. Sudah lama sekali tidak mendengarnya.”

“Heh, dia menulis juga rupanya?”

“...Betul. Dulu beliau cukup sering membuat kalimat seperti itu.”

“Hm?”

Wajah kapten penjaga mendadak menggelap sejenak. Meski ia segera mengembalikan ekspresi normal, bayangan yang melintas tadi sangat jelas ketika ia menyebut nama Erzevette.

Apa sesuatu terjadi pada Eri?

Kapten penjaga bergantian menatap aku dan Asel sebelum berbalik.

“Baik, mari ikut saya. Sesuai peraturan, seharusnya kalian membawa undangan asli, namun karena Sang Gaju telah berkenan menerima alasan bahwa undangan itu hilang, kami tidak berhak menghalangi lebih jauh.”

“Oh, terima kasih. Beliau lebih fleksibel daripada yang saya kira.”

“Ja-jangan tinggalin aku, Ronan!”

Asel berlari kecil dan menarik ujung bajuku. Sambil mengikuti kapten, aku menelusuri wilayah Acalucia. Cahaya bulan yang tenang menyelimuti taman dan membuatnya tampak kebiruan.

‘Memang beda ya, keluarga besar kelas atas itu. Kalau soal taman… mungkin aku bahkan lebih suka tempat ini daripada Grancia.’

Berbeda dengan Grancia—tempat yang sudah sering kukunjungi—Acalucia adalah wilayah yang belum pernah kudatangi bahkan di dunia asliku. Jika Grancia menata wilayahnya dengan gaya bangsawan klasik yang megah dan elegan, maka Acalucia memancarkan suasana tenang dan anggun—hampir terasa sunyi.

Pepohonan dan rerumputan tersusun rapi dengan kecantikan yang sederhana, dan aliran cabang Sungai Taiman yang membawa kami masuk mengalir jauh sampai tak terlihat ujungnya.

“...Indah sekali.”

“Memang.”

Asel menggumam dengan ekspresi kecil hati.

Aku hanya mengangguk pelan. Meski kami berdiri di dekat air, tidak ada bau amis sama sekali. Aroma bunga liar dan rumput basah justru menenangkan kepala.

Mansion Acalucia berdiri di atas tebing berbentuk silinder besar. Tepatnya, setengahnya adalah tebing curam dan setengahnya lagi adalah bukit landai. Untuk mencapai mansion, seseorang harus menapaki bukit itu. Jalan lebar—bahkan cukup luas untuk lima kereta berjalan berdampingan—menghubungkan gerbang utama dengan mansion.

Melihat mansion yang semakin besar seiring kami mendekat, aku terkekeh pelan.

“Gila, jendelanya berapa banyak sih?”

Dari jauh sudah terlihat besar, tapi dari dekat ukurannya benar-benar luar biasa. Jika hanya melihat bangunannya saja, mansion ini tampaknya lebih besar daripada mansion Grancia. Mungkin karena tradisi mereka yang menerima banyak talenta berbakat—butuh ruang yang besar untuk menampung semuanya.

Kami terus berjalan hingga akhirnya tiba di depan gerbang utama.

“Sudah sampai.”

Ini pertama kalinya sejak perjalanan dimulai kapten penjaga kembali berbicara. Dari gerbang ini, pemandangan setengah wilayah Acalucia dan aliran utama Sungai Taiman terlihat jelas.

“Hiiik.”

Asel tiba-tiba mengejang.

Ketika kulihat ke arahnya, ia sedang menatap sesuatu. Tepat di atas gerbang berdiri patung kepala singa raksasa yang tampak hidup. Mulutnya menganga lebar—lambang keluarga Acalucia.

Taringnya yang berkilau diterpa cahaya bulan tampak seolah siap menggigit leher penyusup kapan saja.

Tapi tetap saja…

Aku menepuk punggung Asel sambil mendengus.

“Dasar. Cowok kok takut begituan. Takut patung itu bakal makan kamu?”

“A-aku nggak takut! Hanya… terlalu bagus jadi kaget aja…!”

“Iya iya, Asel. Nih, ambil tuh bola yang kamu jatuhin.”

“J-jangan begituuu!”

Aku mengangkat batu kecil ke arahnya dan wajah Asel langsung memerah padam. Setidaknya dia masih punya rasa malu.

Kapten penjaga yang memperhatikan kami tertawa kecil.

“Cukup lah. Kalian memang hebat, tapi juga sangat ceria untuk ukuran para penantang. Tidak takut dengan ujian Sang Gaju?”

“Yah, nanti juga beres. Selain melakukan yang terbaik, ada jawaban lain?”

“Ha! Bagus sekali. Mengingatkanku pada masa mudaku. Sebenarnya ini tidak boleh, tapi… biar kuberi satu nasihat.”

Ia menurunkan suaranya. Wajahnya tiba-tiba serius dan membuat kami otomatis fokus.

Setelah memastikan sekitar aman, ia berbisik:

“Berhati-hatilah terhadap Young Lady Erzevette.”

“Hah? Maksudnya apa…?”

Aku hendak bertanya—

WOOOM!!

Tengkukku merinding. Tanpa berpikir, aku menarik Asel ke belakang.

KWAAAAAANG!!

Patung singa raksasa yang berada tepat di atas gerbang jatuh menghantam tanah dengan suara menggelegar.

“K-Kyaaaak!! Kyaaaah!! Aaaahhh!!”

Asel berteriak tepat seperti gadis kecil.

Kakinya langsung lemas. Mulut patung singa menghantam titik tepat di mana kami berdiri beberapa detik sebelumnya. Sedikit saja terlambat, kami akan berubah jadi sesuatu di antara stroberi dan selai stroberi.

“Apa-apaan ini, sial.”

“Ya Tuhan! Apa kalian baik-baik saja?!”

Kapten penjaga berlari panik. Syukurlah, selain Asel yang sedikit mengeluarkan sesuatu, tidak ada cedera berarti.

“Kami baik. Tolong siapkan celana ganti untuk anak ini nanti.”

“H-heuu… hiks… Ronan… aku hampir mati…! Hampir mati beneran…!”

Asel menangis tersedu-sedu sambil menggapai-gapai.

Meski aku tidak suka dia menempelkan wajahnya ke dadaku seperti itu, aku membiarkannya. Saat masuk Phileon nanti, dia harus ikut kelas profesor Baren mau tidak mau. Semoga kejadian ini tidak membuat trauma.

Bagian sambungan patung di dinding menunjukkan tanda-tanda korosi.

Kapten penjaga menepuk dahinya.

“Meski sudah lama… kenapa harus jatuh sekarang…! Simbol keluarga kami sampai rusak begini… sungguh pertanda buruk…”

“...Sulit disebut kebetulan.”

Letak jatuhnya terlalu tepat untuk disebut kecelakaan. Aku menyipitkan mata.

Pemandangan taman yang diterpa cahaya bulan, danau kecil, dan hutan yang bergoyang ditiup angin malam melintas cepat di pandangan.

Ketika mataku mengarah ke mansion—

‘Itu.’

Di salah satu jendela yang menyala, ada bayangan seseorang. Begitu pandanganku bertemu ke arah itu, bayangan itu menghilang ke balik tirai. Jauhnya terlalu jauh untuk melihat wajah.

“Hm.”

“Heu… hiks… uuh…”

Asel maupun kapten penjaga tampaknya tidak melihatnya. Aku mengingat lokasi jendela itu—lantai dan posisinya.

Para penjaga lain berdatangan dari bawah bukit setelah mendengar laporan kapten.

Aku hendak memanggil kapten untuk masuk ke mansion ketika—

“Ribut sekali. Ada apa di sini?”

“……!”

Suara wanita terdengar dari belakang.

Aku menoleh oleh suatu tekanan yang mengusik instingku. Pintu mansion sudah terbuka tanpa kami sadari. Seorang wanita dengan gaun ungu berdiri sambil menutupi mulut dengan kipas.

‘Cantik sekali. Siapa dia?’

Setiap lelaki pasti akan menoleh. Gaunnya menonjolkan lekuk tubuhnya yang ramping dan elegan. Sudut matanya yang naik dan titik tahi lalat kecil di bawahnya—bagai salinan sempurna Erzevette.

Apakah Eri punya kakak? Aku tidak pernah dengar.

Saat aku hampir yakin ia adalah saudara perempuan Erzevette—

Mata kapten penjaga melebar seperti hendak keluar.

“M-menyembah Sang Gaju!!”

“Apa?”

Aku refleks mengernyit. Kupikir aku salah dengar. Tapi sikap sempurna kapten penjaga jelas tak menyisakan keraguan.

‘Wanita luar biasa ini adalah Sang Gaju? Kalau begitu… tidak mungkin…’

Seluruh tubuhku merinding. Meski sulit dipercaya, jika Sang Gaju memiliki wajah seperti itu—jawabannya cuma satu.

Aku menelan ludah dan pelan-pelan membuka mulut.

“...Anda mungkin… ibunya Eri?”

“Eh? Bagaimana Anda tahu nama panggilan anak itu…?”

Wanita itu—Sang Gaju—membelalakkan mata.

Asel yang sempat berhenti menangis terkejut dan menahan napas.

“I-Ibunya?!”

“...Kalian berduakah yang membelah kabut itu?”

Nampaknya dia juga terkejut. Ia tahu kabut hilang, tetapi belum menduga bahwa pelakunya adalah kami. Kapten penjaga buru-buru menjelaskan situasi kepada Sang Gaju.

Aku memanfaatkan jeda itu untuk berlutut di satu lutut dan memberi hormat.

“Nama saya Ronan. Saya datang untuk menjadi anggota Acalucia.”

“A-a… Asel! Saya Asel!”

“Luar biasa… kalian masih begitu muda. Tidak kusangka.”

Sang Gaju menutupi mulutnya dengan kipas, suaranya mengandung kekaguman. Mengetahui kami adalah para penantang, garis matanya sedikit melengkung.

Setelah menatap kapten penjaga, patung singa yang hancur, lalu kami, ia memperkenalkan diri.

“Aku, Adrian de Acalucia, Gaju Acalucia. Tampaknya kita akan berbicara panjang. Silakan masuk.”

2-99. Acalucia (1) 

Tepat sebelum kami melangkah masuk melalui pintu, Sang Gaju Adrian berkata,

“Syukurlah, tampaknya kalian berdua tidak terluka. Maafkan saya… membuat kalian mengalami kejadian tak menyenangkan begitu tiba di sini.”

“Tidak apa. Kami baik-baik saja, tapi… apakah Anda sendiri tidak apa-apa, Gaju-nim? Patung itu sepertinya sangat penting.”

“Hmm, memang itu patung yang penuh makna. Patung itu sudah ada sejak mansion Acalucia didirikan. Saya masih ingat… dia sering mengatakan bahwa singa itu akan melindungi keluarga kami.”

“Hhic.”

Asel tersentak dengan cegukan kecil. Patung itu ternyata jauh lebih bermakna daripada yang kami kira. Namun wajah Adrian tetap sepenuhnya tenang.

“Jadi, jangan terlalu dipikirkan. Tidak ada yang lebih penting daripada hidup seseorang.”

“Heh.”

Respons yang lebih tegas dari dugaan membuatku tersenyum kecil. Dari penampilannya yang lembut, dia terlihat seperti seseorang yang bisa pingsan hanya karena sedikit pusing.

Berbalik menuju pintu, ia bergumam lirih.

“Meski begitu… tak kusangka bahkan itu pun hancur…”

“Hm?”

Suara itu begitu kecil, hampir seperti bisikan.

Sebelum aku sempat menanyakan maksudnya, Adrian melontarkan pertanyaan lain.

“Ngomong-ngomong, kalian sudah makan?”

“Uh… lumayan lah.”

“Kalau begitu sudah cukup larut, biarkan saya menjamu kalian dengan teh hangat. Kudengar kalian datang dengan rakit, tubuh kalian pasti dingin karena angin sungai.”

Kami hanya bisa mengangguk patuh. Gerbang terbuka, dan kami mengikuti wanita cantik itu memasuki mansion Acalucia. Interiornya tidak kalah memukau dibanding bagian luar—Asel sampai ternganga.

“Wow… seperti kastel dalam dongeng.”

“Ini juga bagus dengan caranya sendiri.”

Seperti halnya tamannya, lobi mansion terasa sunyi dan anggun. Jika mansion Grancia adalah himne megah yang bergema, tempat ini mengingatkan pada nokturno yang lembut dan mengalun. Furnitur bernuansa gelap dan elegan menambah kesan misterius.

Seorang maid yang berdiri di tengah lobi membungkuk hormat.

“Selamat datang kembali, Gaju-nim.”

“Ya, Liz. Aku ingin berbicara dengan para tamu, jadi siapkan teh di ruang tamu.”

“Baik. Bolehkah saya bertanya—siapakah yang bernama Asel-nim?”

“Ah—itu saya?”

Asel tersentak ketika dipanggil. Ia jelas tidak mengerti mengapa namanya disebut.

Maid bernama Liz lalu berbisik—ucapan yang tak langsung kupahami.

“Dry Cleaning.”

“Hm?”

Saat aku menyadari itu adalah mantra, hembusan angin dingin bagai menyapu tubuh kami. Cahaya yang menyilaukan melintas sekejap, dan dalam sepersekian detik… pakaian kami tampak baru saja dibeli.

“Apa-apaan ini.”

“……Eh?”

“Selesai. Semoga tidak terasa tidak nyaman.”

Liz kembali menunduk sopan. Tak sulit memahami apa yang terjadi—semua noda dan kotoran di pakaian kami hilang sepenuhnya.

Adrian memandang kami dan tersenyum puas.

“Kerja bagus, Liz. Keahlianmu makin meningkat? Kalian terlihat bersih seperti selimut wol yang dijemur di bawah matahari musim semi.”

“Berlebihan, Gaju-nim. Kalau begitu saya akan menyiapkan tehnya.”

Liz mundur dengan hormat.

Aku hanya bisa terkekeh sambil memeriksa pakaian yang mendadak bersih itu.

Bau amis, lumpur, dan aroma lelaki dekil sepenuhnya lenyap—berganti dengan wangi sabun lembut seperti pakaian yang baru dicuci. Sihir yang sangat mengesankan; aku bahkan ingin mempelajarinya.

“Liz itu jenius dalam sihir pembersihan. Mansion Acalucia bisa tetap bersih sepanjang tahun karena dia.”

“Luar biasa. Seperti baju baru saja beli.”

“Fufu, kami cukup berbeda dibanding keluarga tertentu yang masih menyuruh orang cuci dengan tangan. Kalau begitu, mari?”

Adrian memimpin kami menuju ruang tamu. Kesan pertamaku—cantik tapi manja dan keras kepala—lama-lama memudar. Nyatanya, dia orang yang cukup baik.

Tapi mendadak, di sampingku, suara Asel yang aneh terdengar.

“A… Aaahh… Aa…”

“Apa lagi?”

Wajah Asel merah semerah apel matang. Napasnya tersengal seperti hendak menangis. Aku hendak menyikutnya karena berbuat aneh, tapi…

Pemahaman menyergapku seperti petir.

“Oh… sial betulan.”

Wajah Liz terlintas di pikiranku—maid yang hanya menyebut nama Asel.

Ditambah lagi… permintaanku pada kapten penjaga sebelumnya.

“Nanti tolong bawakan celana ganti untuk anak ini.”

Asel menggigit bibirnya, tak sanggup menoleh padaku.

“Aku sudah selesai, Ronan…”

“……Bagian dalam celanamu juga?”

“Baru… sebersih baru dicuci…”

Kepalanya tertunduk tajam. Air mata bergulir di pipinya. Liz telah menggunakan sihir pembersihan sempurna… bahkan untuk bagian yang sangat pribadi yang tadi sempat… ternodai.

“Y-ya ampun… tapi hei, setidaknya yang membersihkan itu perempuan, kan? Dan dia cukup manis. Bukannya bagus buatmu?”

“Semuanya selesai untukku.”

“Bajingan.”

Aku tak menemukan kata-kata. Yang bisa kulakukan hanya berjaga agar bocah ini tidak loncat keluar jendela.

“Seperti yang kuduga dari Liz. Sangat cekatan.”

Di ruang tamu yang indah, teh hitam yang mengepul sudah disajikan di samping aneka kudapan. Aku dan Asel duduk berhadapan dengan Adrian.

Ia meminum seteguk, lalu menyilakan kami.

“Silakan. Ini diseduh dengan baik.”

“Ah… terima kasih.”

Kami ikut meminum teh. Kualitasnya jelas luar biasa—begitu mencapai tenggorokan, kehangatan menyebar ke seluruh tubuh.

“……Enak sekali.”

“Betul. Mantap.”

Mungkin ini teh terbaik yang pernah kuminum. Dingin yang menempel akibat angin sungai langsung hilang.

Adrian menutup dagu dengan kipasnya dan berkata,

“Tadi kita semua terlalu sibuk, jadi izinkan saya memperkenalkan diri sekali lagi. Saya Adrian de Acalucia. Ibu dari Erzevette, sekaligus Gaju keluarga Acalucia. Saya sangat terkesan dengan kemampuan kalian.”

“Terima kasih atas sambutannya, Gaju-nim. Tidak seberapa, sebenarnya.”

“Fufu, merendah berlebihan tidak baik. Membelah kabut hanya dalam sekejap sudah hebat, tapi mencapai taman tanpa menabrak satu pun batu karang—itu juga luar biasa. Apakah Ronan-nim yang menemukan petunjuk itu?”

“Tidak. Semua itu kerja dia. Betul, Asel?”

Aku menepuk punggung Asel.

Sambil memegang cangkir dengan dua tangan, Asel mengangguk malu-malu.

“Y-ya… kalau yang dimaksud jalan bercahaya itu, saya yang lihat.”

“Oh? Jalan? Biasanya bahkan penyihir bertalenta hanya melihatnya seperti batu permata yang berjarak jauh-jauh. Sensitivitasmu luar biasa. Jalannya sampai ke mana?”

“Umm… aku kurang yakin, tapi… sepertinya sampai ke depan mansion sebelum kabut hilang.”

“……Apa?”

Mata Adrian menyipit, seolah mendengar sesuatu yang mustahil. Setelah hening sejenak, ia berkata,

“Jika itu benar, maka kamu adalah penantang bertalenta langka dalam sejarah. Orang-orang yang pernah melihat ‘jalan yang mencapai mansion’ jumlahnya tidak lebih dari lima sepanjang sejarah Acalucia. Dua di antaranya adalah putri dan suamiku. Sulit dipercaya.”

“T-tidak mungkin… tapi saya tidak berbohong…”

“Saya tahu kamu berkata jujur. Itu sebabnya saya terkejut. Tampaknya dua permata berbakat mengetuk pintu Acalucia malam ini.”

Dari balik kipas, sudut matanya melengkung. Senyumnya memukau, sampai-sampai Asel yang tegang pun sedikit mereda.

‘Bagus.’

Aku mengepalkan tangan kecil di bawah meja. Semuanya berjalan sesuai rencana. Dengan ini, bukan hanya Asel bisa menjadi anak angkat, tapi aku juga bisa mendapatkan alat untuk melacak Akasha.

“Saya senang Gaju-nim menyukainya. Anak ini benar-benar bakat murni. Kalau Anda menjadikannya anak angkat, Anda tidak akan menyesal.”

“Ufufu, dua batu permata sekaligus datang untuk kami—saya yang beruntung. Ronan-nim juga akan mengikuti ujian adopsi, benar?”

“Tentu. Itu alasan saya datang.”

“Bagus sekali. Kalau begitu, tolong lihat ini sebentar.”

Mendadak, Adrian mengeluarkan sebuah botol kecil. Bentuknya mewah, seperti botol untuk high-grade potion. Di dalamnya cairan jingga bergoyang lembut.

Aku mengernyit.

“Itu apa?”

“Itu satu-satunya penawar untuk racun yang baru saja kalian minum. Racun itu akan melelehkan seluruh organ dalam kalian dan menimbulkan kematian mengerikan jika tidak diminum dalam tiga puluh menit. Rasanya dan aromanya nihil, jadi kalian pasti tidak menyadarinya.”

“……Apa?”

Keheningan jatuh. Bahkan Asel, yang sedang menyeruput teh, membeku seperti patung.

Otakku mencoba mencerna kebodohan apa ini, tapi tubuhku lebih cepat bergerak—tanganku langsung menuju gagang pedang.

Sekonyong-konyong, belitan rantai tembus pandang menyembul dari sofa, melilit tubuhku dan tubuh Asel.

“H-huaaahk!!”

“Sialan, Asel!”

Asel berteriak.

Aku menghancurkan rantai itu dan menarik pedang. Meski keras, dibanding rantai Akasha ini tak lebih dari tali jerami. Rantai yang hendak melahap Asel hancur dan buyar menjadi bentuk mana.

Adrian mengangkat alis, tertarik.

“Hebat sekali. Benar dugaanku.”

“Bangsat… apa yang kaulakukan? Kau pikir jadi pemilik keluarga besar bisa seenaknya?!”

“Biasanya memang begitu. Dan saya juga ingin bertanya hal yang sama—apa sebenarnya yang kalian lakukan?”

“Apa?”

“Tenanglah. Saya tidak berniat menyulitkan kalian.”

Adrian meletakkan botol penawar itu di atas meja dengan lembut.

Gerakannya seolah berkata, Silakan ambil jika mau.

“R-Ronan…”

Tapi aku tidak bisa bergerak. Saat aku menoleh, rantai lain—datang dari langit-langit—sekali lagi melilit Asel. Kali ini mengikat lehernya erat-erat, siap mengeksekusinya dalam sekejap jika Adrian menggerakkan satu jari saja.

“Maaf harus bertindak kasar. Tapi saya tidak punya pilihan lain. Ronan-nim, saya hanya ingin bertanya satu hal. Tolong jawab.”

“Pertanyaan?”

“Pertanyaan pertama. Kenapa Anda berbohong soal menerima undangan? Anda bilang mendapatkannya, padahal tidak.”

“…….”

Aku kehilangan kata-kata. Adrian melanjutkan,

“Seumur hidupnya, Erzevette hanya memberikan satu undangan kepada orang luar. Tiga tahun lalu, di Phileon Academy. Dan anak itu sudah diadopsi ke Acalucia. Anda jelas berbohong bahwa Anda menerima undangan. Tapi saya ingin tahu—bagaimana Anda tahu declaration line tahun itu?”

“……Adeshan.”

“Seperti yang kuduga—Anda mengenalnya. Baiklah. Kalau tidak ingin menjawab, saya tidak memaksa. Mari ke pertanyaan berikutnya.”

Tatapan Adrian kini sedingin besi. Tidak ada lagi jejak wanita baik hati tadi—yang tersisa hanyalah Gaju keluarga Acalucia, penguasa yang dingin dan tajam.

Mata ungu itu berkilat kuat.

“Saya akan bertanya sekali saja. Untuk tujuan apa Ronan-nim datang ke wilayah Acalucia?”

2-100. Acalucia (2) 

“Tidak semudah yang kupikir. Karena dia ibunya Eri, aku meremehkannya.”

Tatapan Adrian sedingin pisau yang baru diasah. Wibawa yang mengeras di balik senyum tipisnya adalah sesuatu yang hanya dimiliki pemimpin keluarga besar. Ia benar-benar kebalikan dari Erzevette—yang dingin tapi sering tampak seperti ada satu sekrup yang hilang.

“Ro… Ronan… keuk…”

Asel memanggilku dengan suara tercekik. Bocah itu berusaha dengan segala tenaga menahan rantai yang terus menekan lehernya.

“Asel.”

“A-aku tak apa… hiik… kalau itu rahasia, j-jangan bilang… lari saja…”

Air mata mengalir di pipinya yang pucat akibat kekurangan oksigen. Peganganku pada gagang pedang mengeras.

Bocah yang biasanya menangis duluan—sekarang pasang gaya sok gagah, demi sebuah loyalitas.

Bahkan ketika nyawanya di ujung tanduk, demi seseorang yang bahkan belum lama dikenal.

“Dasar bodoh.”

“Fufu. Persahabatan yang indah. Tapi menurutku, Ronan-nim tidak akan memilih itu.”

“Kenapa begitu?”

“Karena ada sesuatu yang kau cari di Acalucia. Fakta bahwa kau menghentikan pedang, padahal jelas punya kekuatan yang cukup… itu tanda bahwa barang itu sangat penting bagimu.”

“...Jadi kau memang tahu?”

“Jangan meremehkan singa yang meraung di bawah bulan. Soal tingkat kekuatan kalian, aku sudah menyadarinya sejak kalian menginjak wilayah ini.”

Adrian menyeruput tehnya dengan tenang. Sikap santainya justru terasa menakutkan.

Wanita anggun itu sejak awal sudah tahu hampir semuanya. Alasan ia membiarkan “undangan hilang” ialah karena ia ingin menyelesaikan persoalan ini dengan tangannya sendiri.

“Tentu saja, terkadang ada penantang yang memang sudah kuat. Mereka datang mencari keuntungan dari nama besar Acalucia. Walau aku pribadi kurang menyukai tipe seperti itu, jika ada manfaatnya bagi keluarga, kami tetap mengizinkan mereka mengikuti ujian… Tapi Ronan-nim berbeda.”

“Apa maksudmu?”

“Kau terlalu kuat. Jujur saja, meski aku mengerahkan seluruh kekuatanku, aku ragu bisa menang. Seumur hidupku hanya dua kali merasakan perasaan ini—saat bertemu Ibu Api dan Grand Mage Lorhon.”

“……!”

“Jadi aku bertanya-tanya, makhluk seperti apa yang datang ke sini. Aku mencoba mencari jawabannya melalui percakapan… tapi kau bahkan tidak tertarik pada kehormatan atau hak istimewa bangsawan. Padahal kau sampai memalsukan undangan yang dulunya diberikan kepada Adeshan, hanya agar bisa masuk.”

Bahuku bergerak tanpa kusadari. Nama yang menyesakkan dada—jauh, tetapi sangat dekat.

Adrian menutup kalimatnya dengan nada final.

“Tolong jawab dengan jujur. Untuk apa Ronan-nim datang ke Acalucia?”

“Aku…”

“Jika kau berbohong, atau mencoba memakai kekuatan… aku, Adrian de Acalucia, bersumpah atas kehormatan keluarga bahwa aku akan menghadapi Anda. Anda tidak akan mendapatkan apa pun—bahkan kalau tubuhku harus membusuk di depanmu.”

Tatapan violet itu menatap lurus tanpa sedikit pun goyah. Mata secantik amethyst itu penuh tekad seorang pemimpin sejati—tekad yang rela mati demi melindungi keluarga.

Eri… kau punya ibu yang luar biasa.

Menggumam dalam hati, aku menurunkan pedangku.

“Baiklah. Aku menyerah.”

“Hmm?”

“Aku tidak berniat menipu. Situasinya saja yang mendesak, jadi aku mencoba sedikit akal… tapi malah berbalik.”

Aku mengembuskan napas. Rantai masih mencengkeram leher Asel.

Aku meletakkan pedang di atas meja. Sebelum Adrian sempat berkata apa pun, aku menundukkan kepala.

“Pertama, aku minta maaf. Maaf.”

“……Kau punya kekuatan sebesar itu, tapi menunduk?”

Mata Adrian membesar. Ia tulus terkejut.

Aku mengangkat kepala sambil tersenyum kecil.

“Kekuatan tidak ada hubungannya. Salah ya salah.”

“Kebanyakan orang tidak memahami hal sederhana itu. Hmm… aku terkejut.”

“Baiklah. Aku akan jelaskan dari awal. Tapi bisakah kau melepaskan bocah itu dulu?”

“Baik. Kalau itu bentuk niat baikmu.”

Adrian melipat kipasnya. Saat wajah cantiknya sepenuhnya terlihat, rantai yang mencekik Asel lenyap.

“Puhaaaak! Kegh! Kehek!”

Asel terkapar di sofa, mengusap lehernya sambil menangis tersedu.

“Kerja bagus, cengeng.”

“Ro… Ronan… ka-karena aku…”

“Bukan. Jadi tutup mulut. Dan kalau dipikir lagi, ini memang seharusnya kulakukan.”

“T-tapi… racunnya?!”

“Oh, benar.”

Aku menjentikkan jari. Jujur saja, aku melupakan soal itu karena situasinya kacau. Aku bahkan tidak berniat mati dengan organ-organ meleleh. Aku menatap Adrian.

“Silakan ambil.”

Ia mengisyaratkan santai. Botol penawar tetap di atas meja. Aku mengangkatnya, masih dengan kecurigaan.

Untuk sekarang, kemungkinan ini pun jebakan masih ada.

“Aku minum setengah dulu. Sisanya untukmu, Asel. Setuju?”

“Tapi…”

“Kalau palsu, aku lebih lama mati daripada kau. Jadi diam dan terima.”

Botol kubuka—aroma jeruk segar keluar. Cairannya pun seperti jus jeruk.

Aku meneguk satu kali.

“Gh…”

Sudut bibir Adrian terangkat sedikit. Asel menahan napas. Aku membuka mata lebar-lebar.

“Ini…”

Tubuhku terguncang oleh hawa dingin yang segar.

Setengah botol habis. Aku menjauhkan botol.

“……Ini jus jeruk.”

“Benar. Tidak ada racunnya dari awal. Bagaimana? Aktingku cukup bagus?”

“….Sialan.”

Aku menenggak sisa jus dan meremas botolnya hingga berubah menjadi serbuk halus.

Asel menjerit.

“Kyaaa! P-penawarnya!”

“Itu jus, bego. Jus jeruk paling segar yang pernah kuminum.”

“Fufufu… uuuhuhu…”

Adrian menutupi wajah dengan kipas dan tertawa kecil. Tawa nakal seorang bangsawan muda—bukan gaju keluarga besar.

Aku menggeleng sambil menghela napas.

“Sungguh suka bermain, ya. Kalau aku tidak bisa menyembunyikan ekspresi, sudah kulempar itu botol ke wajahmu.”

“Maafkan aku. Kalian sebaya dengan putriku… dan meski kalian berbohong, tampaknya bukan orang jahat. Jadi aku ingin sedikit menguji.”

“Kalau kami tidak memenuhi kriteriamu, apakah kau benar-benar akan meracuni kami?”

“Ah, tidak. Aku akan menyelesaikannya dengan sihir. Kalian sudah jadi abu bahkan sebelum melangkah masuk rumah ini.”

“Hiiiik.”

Asel pucat seketika.

Aku tidak terkejut—justru merasa itu wajar bagi gaju. Kalau dia benar-benar ingin kami mati, kami sudah mati di gerbang.

Aku duduk kembali.

“Baik. Aku akan cerita semuanya. Panjang. Kau siap?”

“Aku siap mendengar meski butuh berhari-hari. Asal itu kebenaran.”

“Tidak selama itu. Hmm… dari mana aku mulai ya…”

Setelah berpikir sebentar, aku memutuskan menceritakan semuanya.

Reinkarnasi. Dunia paralel. Invasi raksasa. Fanatik langit. Kisahku dan Adeshan.

Aku menceritakan semuanya tanpa menyembunyikan satu pun.

Dan ketika ceritaku selesai, matahari telah terbit di luar jendela.

“Ya. Begitulah. Dan itu sebabnya aku datang ke Acalucia.”

“……Ya Tuhan.”

Adrian tertunduk, terkejut. Tidak terlihat lelah, meski kami berbicara sepanjang malam.

Ia mengulang beberapa bagiannya dalam bisikan kecil, lalu berkata:

“Jadi begitu… Pantas saja Kekaisaran membusuk begitu cepat. Tidak kusangka ada kejahatan sebesar itu di baliknya. Nebula Klaje…”

“Kau mungkin tidak suka, tapi kau harus bekerja sama dengan Grancia. Di dunia asliku, Erzevette yang menjadi penghubung… ngomong-ngomong, dia di mana sekarang?”

“Di kamarnya. Entah bagaimana dia berubah menjadi anak yang ramah di duniamu… tapi itu mustahil di sini. Sejak kepergian anak itu, dia hancur.”

Aku langsung tahu siapa anak itu.

Adrian melanjutkan.

“Tak kusangka kau adalah kekasih Adeshan… Tidak heran aku selalu merasa anak itu luar biasa. Dia memang calon Jenderal Besar.”

“Bagaimana dia sebagai putri angkatmu?”

“Cerdas, berbakat, cantik, berhati baik. Dia dicintai banyak orang… dan satu-satunya teman bagi Eri. Ketika dia meninggal… hatiku juga hancur.”

Wajah Adrian tertutup bayangan.

“Bagaimana dia meninggal?”

“Kecelakaan. Di tebing dalam wilayah ini. Saat Eri mendengar jeritannya dan berlari ke sana… sudah terlambat.”

Adeshan di dunia ini mati karena terjatuh. Di bawah tebing ada rawa yang menelan apa pun.

Erzevette menghancurkan rawa itu dengan sihir, tapi sudah tidak ada yang tersisa kecuali mayat.

“Begitu. Kecelakaan.”

“Lebih baik tidak mengingatnya. Eri sebulan penuh tidak makan. Sekarang pun masih belum pulih.”

Aku tidak menjawab.

Bukan karena sedih—tapi karena kecurigaanku semakin kuat.

Tidak mungkin Adeshan mati begitu saja.

Ini pembunuhan. Motifnya belum jelas.

Adrian mengubah topik.

“Saya harap di dunia Anda, anak itu hidup bahagia. Mari kita ganti suasana. Sudah terlalu suram.”

“Baik.”

“Saya sudah memahami tujuan Anda. Dengan bukti sebanyak ini, menolak akan lebih aneh. Maka saya, Adrian de Acalucia, akan membantu Ronan-nim menangkap Akasha.”

Aku tersenyum.

“Tapi urusan Asel berbeda.”

“Eh?”

“Tanpa undangan resmi, siapa pun tidak boleh menjadi anggota Acalucia. Saya tahu Ronan-nim berbohong demi temannya… tetapi prinsip tetaplah prinsip.”

“Jadi bocah kecil ini diusir?”

“Tidak. Itu terlalu kejam. Dia tidak bisa langsung diangkat sebagai anak… tapi dia boleh mengikuti ujian.”

“B-benar?”

Adrian tersenyum lembut.

Aku tahu itu strategi. Ia ingin Asel merasa ‘dipilih’ melalui usahanya sendiri.

“Ujian itu sangat sulit. Tapi jika lulus, dia akan resmi menjadi anggota Acalucia dan mendapat seluruh dukungan—masuk Phileon, masa depan, dana, semua.”

“A-akan saya coba! Tapi… kalau gagal?”

“Pertanyaan yang wajar.”

Ia tersenyum dengan gaya bangsawan yang memikat.

Kami menunggu, takut dengan kemungkinan hukuman mengerikan.

Dan dia berkata:

“Kalau gagal, kami antarkan pulang dengan kereta.”

“Eh… cuma itu?”

“Tentu saja. Oh, dan ada hadiah kecil. Lupa bilang.”

Hadiah itu: satu set teh buatan Acalucia.

Aku dan Asel membeku.

“Hhh… begitu.”

“Ada masalah?”

“Tidak… hanya… kupikir Anda akan lebih… kejam. Racun, pembunuh bayaran—semacam hukuman bagi yang ‘menantang langit’.”

“Oh, jangan konyol. Bahkan Grancia tidak akan melakukan setolol itu.”

Ia melanjutkan:

“Bakat adalah bunga indah. Tapi tanpa tanah, bunga tidak akan tumbuh. Bahkan tunas paling berbakat butuh bantuan makhluk biasa di sekitarnya.”

“…Whoa.”

“Jadi jangan terbebani. Istirahat hari ini. Ujian besok.”

Acalucia benar-benar keluarga besar.

Aku mengacak rambut Asel.

“Mudah sekali, kan? Ujian gratis.”

“Fufu. Jangan sombong. Ini ujian tersulit. Dalam sepuluh tahun hanya tiga yang lulus.”

“Terserah. Bocah ini monster. Benar, Asel?”

“A-aku manusia!”

Aku siap menggoda lagi soal insiden mengompol, saat wajah Adrian tiba-tiba tegang.

“……Sejak kapan.”

“Apa?”

Aku menoleh.

Di celah pintu—seorang gadis berdiri.

Rambut panjang menutupi wajahnya seperti dedaunan willow, pakaian tidur tipis, dan aura membunuh halus yang seperti kabut dingin.

Berbeda dari sebelumnya.

Tapi aku mengenalnya.

Tatapan violet itu menembusku.

Dan aku berbisik,

“Erzevette.”

2-101. Acalucia (3) 

“Ya Tuhan… Eri.”

Adrian bangkit berdiri. Wajah yang sejak tadi teguh dan tenang kini retak oleh kepanikan halus. Ia menutupi mulutnya dengan kipas, seolah berusaha menyembunyikan keguncangannya, lalu bertanya lagi.

“Eri… tidak, Erzevette. Apa kau sudah merasa lebih baik? Bagaimana tubuhmu?”

Erzevette tidak menjawab.

Adrian menunggu beberapa detik, lalu melakukan gerakan kecil dengan tangan. Dengan itu, pintu ruang tamu terbuka lebih lebar, memperlihatkan tubuh sang gadis yang sejak tadi terhalang.

“Hik—”

Asel menahan napas. Seolah melihat mayat di lemari.

Aku pun hampir tak mengenalinya. Jika bukan karena mata violet yang sama seperti ibunya, aku pasti benar-benar mengira itu orang lain.

“Apa yang terjadi padamu…?”

Erzevette bukan lagi bangsawan muda yang dulu.

Rambut kusut menggantung ke depan, menutupi sebagian besar wajahnya. Tubuhnya kurus—terlalu kurus—bahkan terlihat lebih rapuh daripada tali pada tiang gantungan. Kulit pucat yang tampak dari balik nightgown tipis begitu putih hingga menyerupai salju di atas jasad dingin.

Kasar untuk diucapkan, tapi dia benar-benar tampak seperti pecandu yang nyaris hancur.

“Nona. Anda tidak boleh keluar dalam keadaan seperti ini.”

Tiba-tiba seorang pelayan bergegas mendekat—aku mengenalnya. Liz, wanita yang tadi ‘membersihkan’ pakaian Asel bersama kehormatannya.

Liz menutupi bahu Erzevette dengan selimut tebal.

“Di sini ada tamu laki-laki dari luar, Nona. Tolong jaga kerapian Anda.”

Ia merapikan selimut itu dengan tangan terlatih, cepat sekaligus penuh perhatian.

“……”

Tapi Erzevette bahkan tidak menoleh. Tidak satu pun ucapan terima kasih. Mata violetnya bergerak perlahan seperti marbles dingin, memindai aku dan Asel bergantian.

Adrian tampak hendak berbicara ketika…

“……Akan ada ujian, katanya?”

Akhirnya, Erzevette membuka mulut.

“Hm?”

“Ujian masuk? Untuk dua orang asing… yang entah dari mana datangnya ini, Anda benar-benar akan memberi mereka kesempatan menjadi bagian dari Acalucia?”

Nada suaranya tajam seperti pisau. Aura membunuh halus menyala di atas bahunya. Asel menciut seperti anak burung.

Adrian mengerutkan mata.

“Kata-katamu tidak sopan sekali. Tiba-tiba datang dan mengucapkan hal seperti itu?”

“Saya mendengar segalanya. Ibu benar-benar percaya dengan cerita omong kosong itu? Dunia paralel? Raksasa pemakan jiwa? Itu tidak mungkin ada.”

“Haah… menguping pembicaraan gaju, rupanya pendidikanku kurang ketat.”

Adrian menutup kipasnya. Ketegangan mengeras pada wajahnya.

“Tidak peduli sejauh mana kau dengar, semua yang Ronan-nim katakan adalah benar. Informasi tingkat rahasia, pengalaman pribadi, serta kebijaksanaan seorang gaju untuk menilai—kesimpulannya sama. Bahkan jika terdengar mustahil, kebenaran adalah kebenaran. Sudah lupa ajaran keluarga?”

“Semua itu ada batasnya. Bahkan jika—jika!—cerita itu benar, ada satu hal yang tidak mungkin bisa kuterima.”

Erzevette mengepalkan tangan.

“Bagaimana bisa Anda membiarkan seseorang yang memalsukan undangan milik Adeshan-unnie masuk ke sini? Sudah lupa wajah orang yang memberikannya?!”

“……!”

Adrian terdiam. Bibir bawahnya bergetar halus.

Aku hendak menyela, namun akhirnya menahan diri.

Mencampuri perselisihan ibu–anak = ide buruk.
Lebih buruk lagi ketika anaknya dalam kondisi tidak stabil seperti ini.

Dan meski aku bisa menceritakan detail yang hanya diketahui aku dan Adeshan… itu tidak akan membantu dalam kondisi mentalnya saat ini.

“Tidak masuk akal. Belum lama sejak pemakaman… dan sekarang Ibu begitu cepat membuang orang yang tidak bisa lagi berkontribusi pada Acalucia?”

“Pikirkan kata-katamu, Erzevette. Kau tahu bukan itu maksudku.”

“Oh, tentu. Ibu tidak akan mengakuinya. Bagi Ibu, keluhananku hanyalah rengekan anak manja. Tapi aku juga punya pikiran. Kau.”

Erzevette menatap tajam ke arah Asel.

“A… aku?”

Asel membeku seperti hewan kecil disorot cahaya.

“Ya. Kau. Katanya kau akan menghadapi ujian tertinggi, kan? Itu duel melawan anggota Acalucia. Ksatria atau penyihir—siapa pun yang sudah berpengalaman.”

“Ta-tapi itu…”

“Kau penyihir. Maka penyihir-lah yang melawanmu. Dan sehebat apa pun bakatmu, melawan orang ini pasti cukup untuk mengukur kemampuanmu.”

Ia menunjuk dirinya sendiri.

“Aku ingin menjadi penantang. Tidak masalah kan, Ibu? Bukankah ini berdasarkan pendaftaran tercepat?”

Adrian terlihat seperti baru saja dipukul.

Ia membuka mulut, menutupnya, lalu menghela napas berat.

“……Secara aturan, memang tidak salah.”

“Bagus. Jadi lawanmu adalah aku. Tidak perlu sebutkan namamu. Ujian ini akan selesai dalam tiga detik.”

Tawa tipis keluar dari bibir Erzevette. Rekayasa, dingin, penuh penghinaan. Itu saja sudah cukup membuat Asel gemetar sampai lututnya saling beradu.

Adrian menggeleng.

“Tidak. Aku tidak mengizinkan.”

“Kenapa?”

“Penilaian gaju. Ujian Acalucia harus dijalani dengan niat murni. Dan kau… sekarang tidak dalam kondisi itu.”

“Tidak masuk akal, Ibu. Apa Anda pikir aku akan membunuhnya? Atau membuatnya cacat? Aku tidak akan melakukan itu terhadap seekor domba kecil yang bahkan tidak pantas dijadikan musuh.”

Adrian tidak menjawab.

Asel hanyalah patung. Tidak satu kata pun keluar dari mulutnya.

Ketegangan memadat—sampai akhirnya aku angkat bicara.

“Ah, sial. Biarkan saja mereka duel.”

Adrian memandangku seperti aku baru saja berbicara dalam bahasa asing.

“Ronan-nim…?”

“Hidup terlalu enak membuat orang lupa jatuh itu penting. Kau sudah cukup dimanja, bukan? Tidak semua ucapanmu pantas keluar dari mulutmu.”

“……Apa?”

Erzevette menyipitkan mata. Asel menutup mulutku dengan kedua tangan… hampir.

Ia memandangku dengan mata yang meneriakkan dua hal sekaligus:

“Aku percaya padamu!”
dan
“KAU GILA APA?! Gaju ada di depanmu, bodoh!”

Aku melanjutkan tanpa peduli.

“Telingamu rusak karena terlalu lama menyendiri? Kujelaskan ulang: kau perlu dihajar sekali.”

“……Kau tahu siapa yang sedang kau ajak bicara?”

“Tahu makanya aku bilang. Jaga mulutmu, anak manja. Kau bahkan tidak tahu cara mencuci muka dan berani-beraninya menghina temanku? Kau pikir Adeshan akan bangga padamu?”

“Berani-beraninya kau sebut nama itu…”

Aura membunuh meledak. Udara bergetar.

“R-Ronan… tolong berhenti…”

Asel menarik bajuku, hampir menangis lagi.

Aku hanya menatap Erzevette dengan tangan di saku.

“Ucapkan satu kata lagi. Coba.”

“Kalau aku mengatakannya, aku akan—”

“Kau akan apa? Adeshan akan berteriak, ‘Eri! Sadarlah!’ Begitu.”

“Jangan berani-berani sebut namanya!!!”

Erzevette menjerit.

Lalu—

BOOOOM!!!

Cahaya violet meledak di antara kami.

Seluruh ruangan terhempas angin badai. Semua jendela pecah sekaligus. Buku-buku beterbangan. Rantai gantung lampu kristal patah.

Ketika cahaya itu padam, Erzevette berdiri terengah-engah seperti hantu.

“Haa… haa…!”

“Wow.”

Di lantai, tepat tiga langkah di depanku, terbentuk kawah seperti dihantam meteorit. Dinding pondasi terlihat dari dalamnya.

“U-uwah…”

Asel jatuh terduduk. Kalau Asel kena itu—hancur jadi bubur.

Aku baru hendak menggerakkan tangan untuk mengetuk kepalanya kalau sempat… ketika—

BOOOM!!

Serangan tak terlihat menghantam Erzevette dari belakang.

“Agh!”

Tubuhnya terpental.

Aku menoleh.

Adrian berdiri tegak, kipasnya teracung. Di udara, pecahan lampu gantung dan lukisan dinding membeku, tertahan oleh telekinesis.

Ia menarik napas panjang, lalu berkata dingin:

“Erzevette. Kembali ke kamar.”

“……Tidak usah disuruh pun aku akan pergi.”

Erzevette bangkit, terhuyung-huyung. Sebelum ia mencapai pintu, Adrian sudah mengayunkan kipas dan—BAM—pintu tertutup keras.

Ia mengepal, bergetar samar.

“……Maafkan dia. Aku akan meminta maaf atas namanya.”

“Tidak apa. Karena Adeshan meninggal… dia jadi begitu, kan?”

“……Iya.”

Seperti dugaanku. Dunia berbeda, tapi hubungan mereka sama. Adeshan bagi Erzevette adalah kakak sekaligus cinta pertamanya. Orang kedua yang paling mencintai Adeshan—setelah aku.

“Bukannya dia sempat membaik?”

“Dia kadang keluar kamar, jadi kupikir begitu. Senang melihat wajahnya… tapi ternyata masih hancur. Ini salahku… sibuk jadi gaju dan tidak memperhatikannya.”

“Jangan terlalu menyalahkan diri. Wajar. Nanti dia membaik.”

“Terima kasih. Tapi… andai suamiku masih hidup.”

“Suami Anda? Ayah Erzevette?”

“Ya. Dia jenius, sangat disayang anakku. …Maaf, tidak ingin membahasnya.”

Adrian menutup mata, jelas ada luka lama di sana.

Ia meletakkan kipas, lalu menatapku.

“Sekali lagi maafkan anakku. Asel-nim tidak akan melawannya. Dan… alat yang Anda cari, kita harus memeriksanya di ruang harta.”

“Bisa jadi tidak ada?”

“Saya tidak bisa menjamin. Seperti Anda tahu, Bloodline Needle sangat langka. Tapi saya akan berusaha.”

Adrian tersenyum lemah, berusaha meredakan ketegangan.

“Hari ini beristirahatlah. Besok kita pergi ke ruang harta dan Asel menjalani ujian. Saya akan menyiapkan kamar teraman untuk kalian.”

“Terima kasih. Itu cukup.”

“Dan… satu hal.”

“Ya?”

Adrian berhenti tersenyum.

Nada suaranya menegas, berat.

“Jangan pernah masuk ke ruang bawah tanah. Itu saja yang harus Anda patuhi.”

2-102. Acalucia (4) 

“Ya. Kita sudah tiba.”

Bersamaan dengan ucapan Liz sang pelayan, pintu terbuka. Ruang tamu tempat mereka akan menginap terbentang luas. Tempat tidur sebesar cukup untuk lima orang, dan seluruh perabotnya tampak seperti buatan para pengrajin terbaik zaman itu—semuanya mewah.

Asel tak kuasa menahan kekaguman.

“...Wow.”

“Kalian berdua akan menginap di kamar ini. Jika membutuhkan apa pun, tekan saja tombol di bawah lampu. Pelayan terdekat akan datang segera.”

Setelah memberikan penjelasan, Liz membungkuk sopan.

Kamar itu begitu bersih hingga tak ada sebutir debu pun. Dari jendela yang diterangi cahaya pagi, kebun Acalucia yang indah terlihat jelas.

“Terima kasih. Tapi serius… rumah ini besar setengah mati.”

Aku mendengus sambil menyimpan kedua tangan di saku.

Bukan hanya karena kamarnya sangat bagus. Butuh hampir 15 menit berjalan dari ruang tamu sampai sini. Tidak pindah bangunan, tidak juga berputar-putar—hanya berjalan lurus. Tetap saja, 15 menit.

“Karena ada banyak kamar pribadi. Begitu seseorang resmi menjadi anak angkat, kamarnya akan tetap jadi miliknya sampai ia meninggal atau meninggalkan nama Acalucia.”

“Gila. Fasilitasnya memang kelas kakap. Pantas disebut rumah besar.”

“Saya sendiri merasa terhormat bekerja di Acalucia. Oh, Asel-nim, Anda baik-baik saja? Perlu saya bawakan pakaian baru?”

“Ti… tidak! Tidak perlu!”

Asel hampir meloncat. Reaksi berlebih itu membuat Liz menutup mulutnya, menahan senyum.

“Fufu, begitu ya. Senang mendengar Anda merasa nyaman.”

“Heh. Ternyata bisa tersenyum ya.”

Aku memang terkejut. Posisi wajahnya selalu datar—ketika ia melempar pakaian dalam Asel ke 화장실 (toilet) saja, ia tampak seperti boneka magitek.

Mengingatnya saja membuat bulu kuduk naik.

“Kalau begitu, saya akan isi perlengkapannya lalu pergi. Apakah kalian membutuhkan brankas?”

“Tidak. Saya bahkan tidak punya barang berharga.”

“Baik. Harap tunggu sebentar.”

Liz mulai menata perlengkapan mandi dan minuman.

Melihat punggungnya, aku menyenggol rusuk Asel.

“Hey. Kurasa dia tertarik padamu.”

“H-Hah?! Mana mungkin!”

“Kau tidak tahu psikologi perempuan. Ada rasa keibuan, ngerti? Kalau jelek dan cupu, mereka jijik. Tapi kau lumayan tampan dan bertingkah cupu… itu malah bikin ingin merawat. Saluran pipis sekali, langsung memikat hati. Lumayan, Asel.”

“H-Hentikan!”

Pipi Asel memerah setingkat dengan warna rambutnya.

Aku menatap Asel lalu Liz berturut-turut, dan sebuah ide muncul.

“Bagus. Kau tanya dia sesuatu.”

“B-Bertanya apa?”

“Ya soal apa lagi—kenapa gaju melarang masuk ke ruang bawah tanah. Dia terlihat lama bekerja di sini, pasti tahu sesuatu. Sekalian tanya soal suaminya juga—”

“Semua perlengkapan sudah terisi. Selamat beristirahat.”

Liz kembali sebelum aku sempat menyelesaikan kalimat.

Asel menggeleng kuat-kuat, wajahnya memelas: aku nggak mau.
Tapi aku hanya mengepalkan tangan ke arahnya, memberi sinyal: kerja.
Akhirnya ia pasrah.

Ia menarik napas panjang.

“E-Ehm… Liz!”

“Ya, Asel-nim?”

“B-Bukan apa-apa, hanya… aku penasaran. Kenapa gaju melarang kita masuk ke ruang bawah tanah?”

“Ruang bawah tanah?”

Liz berkedip beberapa kali.

Aku menyilangkan tangan, menunggu jawabannya.

Larangan Adrian tadi terlalu misterius untuk diabaikan.

Setelah mendengar penjelasan Asel, Liz mengangguk.

“Oh, begitu ceritanya. Wajar Anda penasaran.”

“Y-Ya… beliau tidak memberi tahu alasannya. Apakah ada fasilitas penting di bawah?”

“Saya juga tidak tahu persis. Ruang bawah tanah tidak termasuk area bersihanku, jadi saya hampir tidak pernah ke sana. Mungkin sekali dalam setahun. Tapi akhir-akhir ini Young Lady sering sekali ke sana, jadi mungkin gaju khawatir.”

“Yang Anda maksud Young Lady… Erzevette-nim?”

“Benar. Itu sudah jadi gosip di antara para pelayan. Bahkan tidak sekadar sering—lebih seperti tinggal di sana.”

Liz menjawab tanpa berhenti memandangi wajah Asel. Wanginya bahkan terasa manis—dia benar-benar tertarik.

Asel menelan ludah.

“T-Tapi… apa yang ada di bawah tanah… sehingga Erzevette-nim sampai seperti itu?”

“Sebagai pelayan, saya tidak tahu rinciannya. Mengurus area tugas saja sudah menyita waktu. Tapi banyak rumor. Katanya tempat itu adalah penjara untuk pemberontak Acalucia, atau monster pemakan manusia tinggal di sana… rumor paling populer adalah bahwa pintu masuk ruang harta ada di situ.”

“Pintu masuk ruang harta…? Bukankah Erzevette bisa masuk sesukanya?”

“Tidak. Ruang harta hanya bisa dimasuki gaju. Itu sebabnya gosip berkembang: mungkin Young Lady mencari sesuatu untuk menghidupkan kembali Lady Adeshan tanpa izin.”

“……Adeshan.”

Aku mengepalkan rahang. Rumor konyol, tapi mengingat keadaan Erzevette tadi… rasanya tidak sepenuhnya mustahil.

Lalu Liz berkata pelan:

“Maaf mengatakan ini, tapi… patung singa yang jatuh subuh tadi… mungkin Young Lady-lah penyebabnya.”

“A-Apa?! Bagaimana bisa?!”

“Seperti yang Anda lihat, beliau tidak dalam kondisi normal. Sulit percaya setelah apa yang baru kalian alami, tapi dulu Young Lady terkenal sangat rapi dan beretika di kalangan bangsawan.”

“Hmm. Ya, aku tahu.”

Aku mengangguk. Versi Erzevette yang kukenal dulu tidak akan pernah terlihat kusut begitu. Ia selalu bilang penampilan adalah permulaan keanggunan.

“Etikanya juga bagus. Dia anak baik.”

“Betul. Tapi setelah Lady Adeshan wafat, Young Lady benar-benar runtuh. Seandainya pun emosi beliau meledak, dulu beliau tidak akan menggunakan sihir seperti itu terhadap tamu gaju.”

“Benar juga. Tidak kusangka dia akan menyerang begitu saja. Apa dia juga bertingkah begitu kepada kalian para pelayan?”

“Tidak. Tapi tanpa sadar, aura mengancam terus bocor dari dirinya. Dan itu berpengaruh ke seluruh rumah. Tiga hari lalu, lampu gantung lobi jatuh dan harus diganti. Patung singa itu mungkin juga…”

Liz menggantungkan kalimatnya. Mata Asel membesar.

Tiba-tiba aku teringat ucapan Adrian sebelumnya:

“Tapi tidak kusangka dia bahkan merusak itu juga…”

Benar. Patung itu jatuh terlalu aneh.
Dan jika aura itu bocor tanpa kendali… mungkin ada kalanya sengaja juga.

Lalu bayangan di balik jendela saat patung jatuh.

Bentuk tubuhnya… memang mirip Erzevette.

“Kupikir saya terlalu banyak bicara… Maaf. Itu semua rumor. Tolong jangan benci Young Lady. Beliau hanya sedang melalui masa sulit.”

“Tak masalah. Terima kasih, Liz. Kami akan berhati-hati. Dan tentu saja kami takkan membenci Erzevette.”

“Terima kasih banyak. Kalau begitu, saya pamit. Asel-nim, jangan ragu memanggil saya jika membutuhkan pakaian baru.”

“T-Tidak perlu!”

Liz menahan tawa sambil keluar kamar.

Pintu menutup. Suara langkahnya menghilang.

Asel akhirnya menghembuskan napas berat.

“Haa… akhirnya bisa tenang. Aku belum pernah ngobrol sepanjang itu dengan perempuan…”

“Kerja bagus.”

Aku menggigit pipa rokok dan menjatuhkan tubuh ke kasur. Dari langit-langit, lampu kristal kecil menggantung—mirip versi mini lampu lobi yang katanya jatuh.

Sial. Malah bikin tidak nyaman.

Asel sedang menggantungkan bajunya ketika ia bertanya:

“...Kau benar-benar pikir itu ulah Young Lady?”

“Apa?”

“Patung singa itu… dia memang menakutkan, tapi tidak kelihatan seperti orang yang akan melakukan itu.”

“Untuk sekarang dia kandidat paling kuat. Bagaimana besok ujianmu?”

“A-Apa maksudmu ‘bagaimana’?! Aku menerima ujian karena kupikir kau akan bantu!”

Ia memelototkanku.

Kupikirannya jorok rupanya: berharap aku babysitting dia.

Aku tertawa sambil mengacungkan jari tengah.

“Itu ujianmu, kenapa aku yang bantu? Kalau dia memang pelakunya, siapa tahu besok yang jatuh bukan patung tapi atap, lalu kau terbelah.”

“Hiiiiii—!”

“Tenang saja. Adrian tidak sebodoh itu. Kemungkinan besar ujiannya berupa tugas, bukan duel langsung. Dalam tugas, kau jauh lebih unggul.”

“Ya… ya kan? Tidak mungkin langsung duel hidup-mati kan?”

Aku tidak menjawab.

Bukan bermaksud menakut-nakuti.
Aku hanya… terlalu banyak hal mencurigakan.

Patung yang jatuh.
Bayangan di jendela.
Larangan Adrian tentang ruang bawah tanah.
Kematian Adeshan.
Erzevette yang hancur.
Dan ruang bawah tanah itu sendiri.

Aku mengunyah pipa rokok yang belum dinyalakan.

“ Asel. Aku keluar sebentar.”

“Huh? Mau ke mana? Kau tidak capek?”

“Mau merokok. Kalau tidak, aku tidak bisa tidur. Aku balik cepat. Tidurlah.”

Aku mengangkat pipa rokok ke atas sebagai salam.

Asel akhirnya terlihat lega.

“Ba-Baiklah… cepat kembali. Aku harus jaga kondisi.”

“Kalau takut bilang saja takut, dasar ember kecil. Aku pergi.”

Dengan itu aku keluar. Udara dingin pagi menerpa.

Aku butuh memeriksa beberapa hal sendiri.

Dan sebelum aku berjalan lima langkah, suara dengkuran halus terdengar dari balik pintu.


“Ah.”

Beberapa waktu kemudian—entah berapa lama—Asel perlahan membuka mata.

“Ronan…?”

Tidak ada jawaban. Hanya gema, seperti berada di pemandian besar.

Ia duduk dengan panik—lalu menahan napas.

“E… eh?!”

Ronan tidak ada.

Tempat tidur empuk juga tidak.

Jendela dengan pemandangan taman pun hilang.

Di sekelilingnya hanya… lantai batu dingin, bau apek, dan kegelapan pekat.

“Haah… haah…!”

Dia tidak mengerti apa yang terjadi.

Setiap hembusan napas keluar sebagai kabut putih. Suhu yang mustahil untuk awal musim panas.

“D-Dingin…”

Ia merapatkan pakaian tipisnya.
Saat bangkit, matanya melihat sebuah koridor panjang… sangat panjang… membentang gelap tanpa jendela.

Tempat yang tidak pernah ia lihat—tapi entah mengapa ia tahu.

Asel bergumam, seluruh tubuh gemetar:

“……Ruang bawah tanah.”

2-103. Acalucia (5) 

Koridor itu terasa seolah tak pernah berakhir. Satu-satunya sumber cahaya hanyalah obor yang dipasang pada dinding dengan jarak sekitar dua puluh langkah di antara masing-masingnya. Bayangan panjang tubuhnya sendiri bergetar di atas lantai batu.

“Tenang… tenang, Asel. Tenang.”

Asel berbisik pada diri sendiri.

Dingin yang menusuk tulang membuat giginya saling beradu. Ia yakin tempat ini adalah ruang bawah tanah—alasannya sederhana. Koridor sepanjang ini tidak memiliki satu pun jendela.

Tempat seperti ini ada di rumah itu? Tidak masuk akal.

Namun ini jelas masih berada di dalam area kediaman Acalucia. Konsentrasi mana di udara sama dengan yang ia rasakan di atas. Udara yang lembap dan dingin khas bawah tanah menguatkan keyakinannya.

Bagaimana aku bisa sampai sini? Apa yang terjadi?!

Ia memeras otaknya, mencoba mengingat. Yang muncul hanya bayangan bantal empuk di bawah kepala dan sosok Ronan yang meninggalkan kamar.

“Haa… haa…”

Ia mengangkat kepala.

“...Hik.”

Udara seakan 얼어붙을 듯 membeku.

Kegelapan bukan sekadar bayangan—melainkan seperti makhluk kelaparan yang menunggu mangsanya. Bila satu saja obor padam, Asel merasa rangkaian tangan kurus dan tentakel akan meraih dirinya dari dalam gelap.

Jika ada lorong menuju neraka, mungkin beginilah rupanya.

Kenapa ini terjadi? Kenapa aku di sini?

Sejujurnya ia ingin pingsan saja. Kalau Ronan yang terjatuh ke sini, ia probably akan berkata “Kenapa dingin amat” sambil pipis di dinding dan mulai berpetualang.
Tapi Asel… bukan Ronan. Dia bukan tipe yang punya nyali seperti itu.

Saat ia mencoba berdiri, kedua kakinya menyerah.

“Ugh.”

Tak ada tenaga sama sekali. Ia tahu bahwa ia harus segera menemukan jalan keluar sebelum mati kedinginan, namun tubuh tak mau mendengarkan perintah.

Bodoh… aku benar-benar pengecut.

Mata besarnya mulai berkaca-kaca.
Ia sudah mendapat kesempatan yang benar-benar tak masuk akal untuk tiba di Acalucia. Dan kini, ia bahkan tak mampu berdiri. Bagaimana ia menjelaskan dirinya pada orang tuanya yang sudah tiada… atau pada Ronan yang mempercayainya?

Tiba-tiba—

Kiiiik…

Suara mengerik logam terdengar dari belakangnya.

“...Huh?”

Suara itu jelas berasal dari engsel berkarat. Ia menoleh.

Tak jauh darinya—sekitar tujuh langkah—sebuah pintu batu perlahan terbuka di bawah cahaya obor yang bergetar.

“A-Apa…?”

Tadinya ia tak sadar karena warna batu dan tembok nyaris sama. Juga karena gagangnya terletak sedikit ke dalam, membuatnya sulit dilihat. Kini ia sadar bahwa setiap obor memiliki pintu serupa di bawahnya.

Saat celah pintu terbuka lebih lebar—

Sebuah tangan putih pucat keluar dari dalam.

“...Ah.”

Waktu Asel berhenti.

Jari-jari itu terlalu panjang untuk ukuran manusia. Mirip kaki serangga. Lengan tipis seperti hanya menyisakan tulang dan kulit itu terjulur ke luar. Ujung jarinya menyentuh lantai—

Kkadeudeuk.

Suara seperti karung goni terseret terdengar ketika lengan itu menekuk, lalu memanjang keluar lagi.

Di balik pintu yang setengah terbuka, terdengar suara… bukan laki-laki, bukan perempuan—melainkan sesuatu yang salah.

“Ka… aaa…”

Asel tak bisa bernapas.
Kakinya gemetar tanpa henti.

Tangan itu kembali bergerak, dan—

Kkadeudeuk.

—keluar lebih jauh bersama sebuah kepala.

Seorang anak laki-laki.
Atau, lebih tepatnya… sesuatu yang berbentuk anak laki-laki.

“Kaaha… khahaa…”

Suara itu keluar dari mulutnya.

Asel hampir jatuh pingsan. Anak itu mungkin seumuran dirinya. Tapi matanya—tidak ada. Hanya dua lubang hitam pekat. Rambut kusutnya menggeliat halus seolah hidup. Mulutnya, robek hingga bawah telinga, dipenuhi deretan gigi runcing seperti hiu.

Se… seekor monster.

Lengan Asel bergetar. Ia tahu apa yang harus ia lakukan.

Lari.
Sebelum makhluk itu menyadarinya.

Ia memaksakan diri berdiri, terhuyung, mundur perlahan—hingga makhluk itu tiba-tiba memutar kepala ke arahnya.

“Urk.”

“…”

Dua lubang gelap itu mengarah tepat padanya.

Asel menapakkan kaki secara refleks—

Kiheaaaaaak!!

Makhluk itu memekik, rahang terbuka lebar.

“Uaahhh!!”

Beku yang membelenggu tubuh Asel akhirnya runtuh.
Ia menjerit sambil berbalik dan lari sekencang yang ia bisa.

“Hieek! Hiik! H-Hieeeeek!”

Ia bahkan tak tahu bahwa ia bisa berlari secepat itu. Detak langkahnya menggema di lorong panjang.

Setelah lima menit berlari tanpa henti… ia menyadari sesuatu.

Tidak ada suara lain.

“Dia… dia tidak mengejar?”

Ia mulai berharap.
Mungkin makhluk itu tidak bergerak. Mungkin ia selamat…

Ia nekat menoleh—

“A…”

Dan ia menyadari dua hal.

Pertama, ia salah.

Kedua, ia akan bermimpi buruk tentang ini seumur hidupnya.

Makhluk itu kini sepuluh langkah di belakangnya.

“HYAAAAAAA—!!”

Ia menjerit lagi.

Tapi yang paling mengerikan bukanlah jaraknya.
Melainkan bagaimana ia bergerak.

Makhluk itu tidak berlari.
Ia merangkak dengan empat kaki, seperti binatang…
—dan ia merangkak di langit-langit.

Itulah sebabnya tak ada suara langkah.
Kedua lengan dan kedua kaki panjangnya mencengkeram batu di atas kepala Asel, tubuhnya berputar dan terpuntir dengan sudut-sudut menjijikkan selagi ia merayap mendekat.

“Haa… haa…!”

Asel menangis sambil berlari. Organ dalamnya serasa meleleh. Napasnya tidak teratur. Jantungnya berdentum begitu keras hingga terdengar di telinganya sendiri.

Ia menoleh sekali lagi—

Makhluk itu kini tepat di atas kepalanya.

Habis sudah.

Ia tak lagi bisa berpikir. Makhluk itu tampak melambat—seperti sengaja ingin menangkapnya hidup-hidup.

Jari-jarinya tercabut dari langit-langit. Ia menumpukan berat pada jari kaki, bersiap melompat.

Dan saat cakar itu hendak meraih tengkuk Asel—

Aaak! Invisible Hand!

Asel menjerit—dan tubuhnya refleks mengayunkan kepalan tangan.

Tinju yang tak terlihat menghantam wajah monster itu seperti meriam.

KWAANG!!

Tubuh makhluk itu terpental dan menghantam langit-langit dengan suara dahsyat.

“Hiiik?!”

Debu beterbangan. Saat mereda, makhluk itu tergantung seperti mayat yang digantung. Kepalanya tertancap ke dalam batu, kaki dan tangannya bergetar kejang-kejang.

“Ma… mati?”

Asel menjauh secara perlahan.

Makhluk itu tak lagi bergerak. Puluhan gigi runcing berceceran di lantai—pecah dan terlepas saat terkena pukulan telekinetik tadi.

“Haaah… h-haaah… selamat…”

Asel merosot lemas. Kulitnya basah oleh keringat panas.

…Aku… tidak selemah itu?

Ia menatap tinjunya.

Kata-kata Ronan bergema di kepalanya “Kau akan jadi penyihir terbaik di generasimu.”

Ia merinding—kali ini bukan karena takut, melainkan karena… kegembiraan yang aneh.
Untuk pertama kali dalam hidup, ia menyelamatkan dirinya sendiri.

Namun ini bukan saatnya bersenang-senang.

“K-Keluar… aku harus keluar…”

Ia mengikat rambutnya belakang dan menata napas. Tidak tahu berapa banyak monster seperti itu berkeliaran.

Setelah menenangkan diri, ia melanjutkan berjalan menyusuri koridor. Sekitar sepuluh menit setelahnya, ia merasakan sesuatu.

“Ini… apa?”

Mana yang sangat kuat mengalir dari sebuah titik ke depan. Ia mengikuti aliran itu sampai menemukan sebuah pintu.

Pintunya mirip dengan pintu-pintu sebelumnya, namun atmosfirnya berbeda. Lebih padat. Lebih berat.

“Ascalucia…”

Ia melihat ukiran di gagang pintu—seekor singa yang meraung ke arah bulan. Lambang keluarga Acalucia.

Ketika ia menyentuh pintu itu—

Pintu terbuka sendiri.

“W-What…?”

Tak ada suara engsel. Gerakannya begitu halus, seolah pintu itu menantinya. Cahaya biru pucat menyembur keluar.

“Adakah… orang di dalam?”

Asel, seperti ditarik, melangkah masuk.

Cahaya biru dari sihir di langit-langit menerangi ruangan.
Tampak tumpukan buku dan berbagai alat eksperimen.

Dan di tengah ruangan—

“—!!”

Asel mematung.

Ada sebuah peti besar berdiri tegak.
Sebagian sisinya terbuka… dan di dalamnya berdiri seorang wanita.

Boneka?

Wanita itu setinggi Ronan.
Ia mengenakan seragam formal keluarga Acalucia, berpose seperti vampir dalam peti mati—tangan bersilangan di dada. Rambut hitam panjang mengalir hingga pinggang.

Cantik…

Asel terhipnotis.
Ia bahkan lupa ketakutannya.
Jika wanita itu tidak setinggi itu, mungkin ia akan memberanikan diri mengajak bicara.

Namun setelah meneliti lebih dekat… ia menyadari sesuatu yang mengerikan.

…Ini bukan boneka.

Wanita itu adalah mayat.
Terpelihara dengan sempurna. Tak ada bau busuk—sepertinya dibalsem. Mengapa mayat yang begitu indah ada di ruang bawah tanah?

Saat ia masih menatap—

Mata wanita itu terbuka.

“!!!”

Asel hampir tersungkur.

Mata perempuan itu abu-abu seperti abu dingin—indah tapi kosong, memandang ke arah yang tak ada.

Ia hampir jatuh terduduk ketika—

“Hmm? Ada orang?”

Suara langkah terdengar dari koridor.

“Hik—!”

Suara perempuan.
Asel panik. Ia memindai ruangan, dan melihat sebuah peti terbuka lainnya. Cukup besar untuk menyembunyikan tubuhnya.

Bang!

Ia melompat masuk dan menutup peti.

Langkah-langkah itu semakin dekat.

Ia mengintip dari celah peti.

Seorang sosok berjubah hitam memasuki ruangan dan berdiri di depan mayat wanita itu.

Asel menahan napas—lalu matanya membesar.

Rambut ungu gelap.
Mata seperti mata kucing.

Putri keluarga besar Acalucia—Erzevette.

Ru… rumor itu benar…!

2-104. Acalucia (6) 

Perempuan berjubah itu adalah Erzevette, tanpa keraguan sedikit pun.
Asel harus mengerahkan seluruh kekuatan untuk tidak menjerit. Rasanya, begitu ia membuka mulut sedikit saja, jantungnya akan melompat keluar.

Kata-kata Liz kembali terdengar di telinganya.

“Putri hampir tinggal di bawah tanah.”
“Entah alasannya apa, tapi banyak rumor. Misalnya, katanya ia diam-diam mencari harta yang bisa membangkitkan mendiang Adeshan.”

Harta untuk membangkitkan seseorang.
Gadis yang sudah tiada.

Mata Asel bergetar dan menatap tubuh perempuan yang berdiri di dalam peti.

Kalau begitu… itu berarti…!

Tak perlu ditebak lagi—itu adalah kenyataan. Wanita tinggi dan cantik itu tak lain adalah Adeshan, putri angkat Acalucia, dan tunangan Ronan dari dunia lain.

Erzevette ada di sini untuk membangkitkan Adeshan.

“Haa… haa…”

Asel bernapas tak beraturan.
Bahkan di dalam peti tempat ia bersembunyi ini, ada jejak-jejak eksperimen. Barang-barang yang mengenai pinggulnya adalah alat sihir mahal dan bahan percobaan langka.

Kemungkinan besar, mayat Adeshan… dicuri secara diam-diam.

…Luar biasa.

Rasa takutnya bahkan sempat tergeser oleh rasa takjub.
Betapa dalam perasaan mereka dulu?
Tidak berhenti pada duka, tapi nekat menyentuh penelitian terlarang yang tak pernah berhasil dilakukan siapa pun.

Kalau begitu… monster yang menyerangku tadi adalah eksperimen gagal?

Mungkin.
Dan ini sudah menjadi rahasia yang harus ia bawa ke kubur.

Asel bergidik ketika memikirkan betapa gila dan intensnya cinta itu.

“Hmm? Kau datang?”

Tiba-tiba Erzevette menoleh ke arah pintu.
Seseorang baru saja datang. Asel buru-buru menyusutkan tubuhnya, menunduk dalam-dalam. Suara lain yang sangat kecil terdengar, seperti seseorang sedang berbisik.

“Hmm? Kenapa kau membawa Ajax ke sini?”

“…”

Ajax.
Nama yang tidak pernah ia dengar.

Tak ada jawaban… namun Erzevette terus berbicara seolah komunikasi berlangsung.

“Dia terlalu banyak tahu? Hah… mendadak sekali. Biasanya kau lebih berhati-hati.”

“…”

"Sudah kubilang ini sangat teliti. Tapi justru itulah yang membuatnya bagus."

Nada suaranya seperti tersenyum.
Percakapan itu berjalan meski tak terdengar siapa pun di sisi lain.

Asel mengernyit.

Dia bicara dengan siapa…?

Ia membuka sedikit celah pada tutup peti. Dari sudut pandang itu ia bisa melihat sebagian besar ruangan—namun bukan siapa pun yang sedang diajak bicara oleh Erzevette.

Mungkin suara itu benar-benar terlalu kecil… atau berada di tempat lain.

Erzevette menyilangkan tangan.

“Bagaimana kau mengatasi dia? Ajax itu cukup berbakat.”

Asel belum sempat memproses kata “mengatasi” ketika—

Sesuatu terbang dan jatuh di bawah kaki Erzevette.

“A—!!”

Asel menahan teriakan dengan kedua tangan.

Itu adalah mayat—seorang pria berwajah pucat kebiruan.

Dan ia mengenali wajah itu.

Ketua penjaga gerbang…!

Pria yang mengantar dirinya dan Ronan ke mansion.
Selalu tenang, selalu menjalankan tugas… kini terbaring sebagai mayat dingin dengan mata kosong, seperti boneka rusak.

“Aha. Jadi kau meracuninya. Kau memang selalu pakai akal kotor. Ia cukup setia… tapi terlalu banyak tahu, ya?”

Erzevette menjentikkan jarinya.

Asel kini yakin: ia diracuni.

Beberapa detik kemudian, ia kembali bicara ke udara seperti sedang menyimak suara yang tak terdengar.

“Ya, aku tahu. Dua tamu baru itu mencurigakan. Terutama yang berambut hitam… jelas seorang ahli. Cukup lihat sorot matanya, aku tahu.”

Erzevette menatap ke sisi lain ruangan.

“Jadi, kita habisi saja si bodoh berambut merah dulu.”

“…!”

Kalimat itu menusuk jantung Asel.

“Jangan cemas. Keluarga Acalucia adalah keluarga terhebat.”

Ia mendekati peti Adeshan.
Mengangkat satu jari—dan mata abu-abu mati itu mengikuti gerakan jarinya seperti bola kaca yang digerakkan.

Tap.

Ia menjentikkan jari lagi.
Kelopak mata Adeshan perlahan menutup.

“Kau juga begitu berpikir… kan, Adeshan?”

“Ah… aaah…”

Erzevette tersenyum dingin.
Bukan senyum rindu, bukan cinta—lebih seperti seseorang memeriksa alat.

Asel merasa jantungnya hampir berhenti.
Seluruh tubuhnya membeku.

Benarkah… dia ingin membangkitkan Adeshan karena cinta?
Atau ini… sesuatu yang jauh lebih mengerikan?

Tiba-tiba—

“Hmm? Ada siapa di sana?”

Erzevette menatap langsung ke arah peti tempat Asel bersembunyi.

“!!”

Asel hampir berteriak.

Api merah menyala di tangan kanannya.

“Hmm, eksperimen satu tadi mati dalam kondisi aneh.”

“!!!”

“Mungkinkah… seseorang membunuhnya?”

Ia mulai mendekat.

Panik memenuhi seluruh tubuh Asel.
Setiap langkah Erzevette mendekat seperti hukuman mati yang semakin dekat.

Aku akan mati.
Tidak ada cara melawan.
Jika keluar… aku disiksa dulu lalu dibakar.

Erzevette berhenti tepat di depan peti.

“Hmm… mungkin di sini?”

Tangan menyentuh tutup peti.

Asel memejamkan mata.

KUWAANG!!

Peti terbuka keras—namun Erzevette hanya mengangkat alis.

“…Huh. Kosong.”

Hanya tumpukan alat eksperimen lama yang berantakan.
Sama sekali tak ada tanda manusia.

Erzevette mendengarkan sesuatu lagi—suara hantu yang hanya ia dengar.

“Kau salah dengar. Ada hantu pun tak anehnya di tempat seperti ini.”

“…”

“Sudah. Jangan ganggu. Aku harus bersiap untuk besok.”

Dan begitu saja—percakapan berakhir.

Ruangan kembali sunyi.
Cahaya biru pucat dari batu sihir menerangi peti tempat Adeshan terbaring.

.

.

.

“Gyaaaah!!”

Asel melonjak bangun sambil menjerit.

Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.
Ia hampir memuntahkan jantungnya.

Tidak ada ruang bawah tanah.
Tidak ada mayat.
Tidak ada Erzevette.

Yang ada hanyalah kamar tamu mewah dengan perabot mahal dan lampu gantung yang berkilauan.

“Haa… haa… h-hah?!”

Ia bergetar sambil melihat sekeliling.
Langit malam menggantung di luar jendela. Padahal waktu ia tertidur masih pagi.

Ia meraba tubuhnya—keringat, dingin, napas tidak teratur.

“Ap… apakah itu… mimpi?”

Ia menyentuh pipinya yang basah dan dingin.
Namun sensasi dingin bawah tanah masih terasa jelas di kulitnya.

Tidak… tidak mungkin mimpi.
Aku benar-benar… aku pasti…!

Semua kejadian itu terasa terlalu nyata.

Koridor tanpa akhir.
Monster tanpa mata.
Mayat Adeshan.
Erzevette yang membunuh prajurit.

Semuanya—nyata.

Kemudian ia sadar sesuatu.

“...Ronan?”

Tak ada jawaban.

Ronan belum kembali.

Angin malam masuk dari jendela setengah terbuka, menggoyangkan tirai.

“B-Bukan sekarang… Ronan?!”

Tak ada balasan.

Asel langsung menekan tombol panggil yang ada di samping meja.
Namun satu menit berlalu—tak ada yang datang.

Jantung hampir keluar dari tenggorokannya.

Ia berlari keluar kamar.

“RONAAAN!!”

Ia berteriak tanpa peduli.

Lorong yang ia masuki sunyi—terlalu sunyi.

Ketika ia hendak berlari lagi—

“Asel-nim? Ada apa dengan Anda?”

“L-Liz?!”

Liz berdiri di ujung lorong. Wajahnya tampak sedikit lelah, mungkin karena jam sudah larut.

“Kamu menekan tombol panggil. Ada apa? Wajah Anda… Anda terlihat seperti melihat mimpi buruk.”

“B-Bukan itu…!”

Asel tidak tahu bagaimana menjelaskan.
Jika ia mengatakan bahwa ia bermimpi melihat Erzevette membunuh orang dan menyimpan mayat Adeshan… ia pasti dianggap gila.

Namun ia juga tidak bisa diam.

Ia menggenggam tangan Liz.

“K-Kita harus pergi! Tempat ini… ada yang salah!”

“…Apa?”

“Aku… aku tidak bisa jelaskan. Tapi aku melihat sesuatu. Ada sesuatu yang terjadi di sini!”

Liz menatapnya dengan mata besar seperti anak rusa.

Kemudian tersenyum lembut.

“Tangan Anda dingin sekali.”

“Huh—?!”

Wajah Asel memerah.
Ia cepat menarik tangannya, namun Liz justru menggenggam kedua tangannya erat-erat.

“Semuanya baik-baik saja. Tenang dulu. Beritahu aku apa yang Anda lihat… aku akan tinggal di sisi Anda.”

“B-Bukan itu…! Ronan… dia… dia tidak ada! Dia ke mana?”

“Eh? Bukankah kalian bersama? Anda terlihat sangat gelisah. Mari kembali ke kamar dulu, aku—”

“Berdua di sana. Apa yang kalian lakukan?”

Suara datar memotong udara.

“—!!”

Punggung Asel merinding seketika.

Mereka berdua menoleh.

Di ujung lorong, dibalut selimut tipis, rambut ungu kusut… berdiri Erzevette.

Liz segera membungkuk hormat.

“Selamat malam, Young Lady. Ada keperluan?”

“Aku ingin bicara dengan kedua tamu kita. Ada hal yang harus kusampaikan. Satu orang tidak ada di sini?”

“Sepertinya demikian, Young Lady. Entah ke mana beliau pergi…”

Liz menjawab.

Asel tak bisa bergerak.
Mata Erzevette sama seperti tadi—dingin, tajam, kejam.

Saat mendengar Ronan tidak ada, Erzevette menatap Asel.

“Kalau begitu, tak ada pilihan.
Kamu saja ikut denganku.

“…A-Apa?”

Nada suaranya tenang.
Namun Asel membeku seperti patung es.

Erzevette bahkan tidak menunggu jawaban—ia hanya berbalik dan mulai berjalan.

—“Kita habisi si bodoh berambut merah dulu.”

Kalimat itu kembali menghantam kepala Asel seperti palu.

Ia merasa darahnya membeku.

2-105. Acalucia (7) 

Kesimpulannya: Asel tidak bisa menolak permintaan Erzevette.

Aku mati. Aku sungguh mati kali ini…

Apalagi dengan Liz di sampingnya, ia sama sekali tidak punya pilihan.

Seperti domba digiring ke tempat jagal, Asel mengikuti Erzevette sampai mereka tiba di sebuah ruangan luas.

Semua dindingnya adalah rak buku tua yang megah.
Di tengah ruangan, dua sofa panjang saling berhadapan dengan meja di antaranya—perpaduan antara ruang tamu dan perpustakaan.

Liz meletakkan nampan berisi teh panas di atas meja lalu menunduk.

“Kalau begitu, Young Lady, saya undur diri.”

“Ya. Terima kasih, Liz.”

Erzevette menjawab lembut. Jauh berbeda dari sikap acuh yang ia tunjukkan pagi tadi. Pakaian yang lebih rapi, rambut tersisir—jelas ia menyiapkan dirinya sebelum datang.

Ia menoleh pada Asel yang tetap berdiri kaku.

“Mengapa berdiri? Silakan duduk.”

Gerakannya sederhana, tapi bagi Asel terasa seperti eksekutor menyuruhnya naik ke tiang gantungan.

Asel akhirnya duduk. Syukurlah sofa tidak berubah menjadi monster dan memakannya.

Erzevette duduk di seberang, menyilangkan kaki.

“Wajah Anda pucat sekali. Tadi saya mendengar Anda berteriak. Mimpi buruk? Melihat monster atau mayat?”

Asel membelalak. Keringat dingin menetes dari pelipisnya.

Tenang. Jangan bodoh. Kendalikan diri.

Ia menghela napas dan tersenyum kikuk.

“M-mungkin sedikit mimpi buruk. Tidak ada yang aneh.”

“Begitu? Wajah Anda seperti orang yang selamat dari badai salju sebulan penuh. Kebetulan teh ini bagus untuk menghangatkan tubuh.”

Erzevette menyeruput tehnya.

Asel, dengan tangan gemetar, ikut meminum sedikit—meski ia curiga bisa saja ada racun atau obat di dalamnya.

“…Enak.”

“Fufu. Minumlah lebih banyak jika mau.”

“Tidak perlu. Tapi… boleh saya bertanya kenapa Anda memanggil saya?”

“Cepat sekali. Sebenarnya aku ingin Ronan juga ada, tapi katanya dia belum kembali, jadi mau tak mau bicara denganmu dulu.”

Ia menarik napas.

Sementara itu Asel sibuk menghitung kemungkinan melarikan diri. Kalau situasi memburuk, mungkin ia bisa mengalihkan pandangan Erzevette satu detik menggunakan sihir—atau menghancurkan lantai untuk kabur.

Namun peluang hidup tetap nol.

Ketika ketegangan memuncak, Erzevette akhirnya bicara.

“…Aku harus meminta maaf.”

“…Maaf?”

“Aku… benar-benar minta maaf untuk kejadian kemarin pagi. Sekalipun aku marah, aku tidak seharusnya bersikap seperti itu. Itu tindakan memalukan terhadap tuanku dan para tamu.”

Ia menunduk sedikit—sungguh terlihat menyesal.

Asel terpana.

Yang ia bayangkan sebagai pembunuh bawah tanah kini meminta maaf dengan tulus.

“Setelah mendengar kata-kata Ronan, aku memikirkan banyak hal. Sepertinya aku memang bertingkah seperti anak kecil. Hanya karena sedang kesal, aku tidak memeriksa apa pun dan menyerang begitu saja. Jika Adeshan melihatku… dia pasti memarahiku.”

“Begitu ya…”

“Aku bahkan merasa malu pada diriku sendiri. Mohon maafkan aku. Itu murni kesalahanku. Mohon jangan menyalahkan keluarga Acalucia atau tuanku.”

“Tidak! Tolong jangan seperti itu! Saya sama sekali tidak tersinggung!”

Erzevette tersenyum tipis.

“Terima kasih. Anda baik.”

Asel bengong.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Wanita ini tampak sama sekali berbeda dari yang ia lihat di bawah tanah… wanita yang berdiri di depan tubuh Adeshan.

Erzevette kemudian menghela napas pendek.

“Tapi jangan salah paham. Aku masih tidak suka kalian. Permintaan maaf adalah permintaan maaf, tapi aku tetap menganggap kalian mencurigakan.”

Pipinya sedikit memerah—seperti ia malu mengakui kesalahannya.

Asel menunduk.

“Maaf…”

“Lagipula, bagaimana mungkin seseorang dengan mana sekecil itu bisa melihat jalan di kabut? Itu berarti Anda punya bakat luar biasa. Berapa lama Anda belajar sihir? Invisible Hand… apakah Anda dari Menara Senja?”

“Tidak. Saya benar-benar pemula.”

“Tidak usah merendah berlebihan. Kalau tidak mau bicara soal tingkat sihir, sebut saja nama guru Anda.”

“Saya tidak punya guru…”

Akhirnya Asel mengakui semua: ia hanya bisa satu sihir, dan itu pun dari buku murahan.

Erzevette menatapnya dengan wajah tidak percaya.

“…Itu benar? Anda hanya bisa satu sihir, dan itu pun dari buku yang Anda beli di jalan?”

“Iya…”

“Luar biasa… Anda berpikir apa ketika memutuskan ikut ujian masuk keluarga besar?”

Asel ingin lenyap dari dunia.

“Baiklah. Aku berikan sedikit kesempatan untuk melawan.”

“Melawan… apa maksudnya?”

“Pernah dengar tentang anti-sihir?”

Asel menggeleng.

“Maaf…”

“Aku sudah menduga. Gunakan sihir apa saja.”

“L-langsung sekarang?”

Asel mengangkat tangan ke arah rak. Invisible Hand terulur, mengangkat tiga buku dari rak dan membuatnya melayang.

Tiba-tiba—

Erzevette mengucapkan mantra pendek.

Dan seketika, sihir Asel runtuh.
Buku-buku jatuh, lalu tersangkut telekinesis Erzevette, dan kembali ke tempatnya.

Asel membelalak.

“Apa… apa itu?!”

“Itu anti-sihir. Membedah struktur sihir lawan, lalu memuntahkan mana dengan pola terbalik. Sangat efisien. Anda bisa membatalkan sihir lawan dengan mana yang jauh lebih sedikit.”

Ia menjelaskan rinci. Asel mendengarkan penuh perhatian—bahkan lupa bahwa wanita ini mungkin membunuh orang.

Erzevette menutup penjelasan dengan helaan napas.

“Sudah. Anda kelihatannya berpikir Anda bisa menang sekarang.”

“Tidak! Saya tidak berpikir begitu! Tapi… teknik seperti itu… boleh Anda ajarkan begitu saja?”

“Itu pengetahuan dasar. Tidak langka. Dan anti-sihir punya kelemahan fatal.”

“Kelemahan?”

“Sulit setengah mati. Membedah pola mana di tengah pertarungan nyata… bahkan tuanku hampir tidak bisa.”

Asel menelan ludah.

“Artinya… ada orang yang bisa?”

“Ya. Ayahku. Iluan Acalucia.”

Ia menatap bingkai foto di rak—gambar keluarga berisi Adrian, Erzevette kecil, dan seorang pemuda sederhana yang tampak seperti petani.

“Dia… ayah Anda?”

“Ya. Bukan keturunan Acalucia, tapi jenius sejati. Dia bahkan pernah membatalkan teleportasi Craba Kratir dengan anti-sihir.”

Asel terkejut.

“Tapi… Anda bicara dalam bentuk lampau…”

“Ya. Beliau meninggal saat aku lima tahun. Kecelakaan eksperimen.”

Nada Erzevette meredup.

“Pada hari pemakaman… tuanku memelukku sambil bilang Ayah akan menjagaku dari langit.”

Asel mencoba menghibur.

“Beliau pasti berada di tempat baik.”

“Terima kasih.”

Namun setelah itu, Erzevette menegakkan tubuh.

“Omong-omong… aku tidak akan menahan diri di ujian besok. Aku akan bertarung untuk Ayah. Dan untuk Adeshan yang kini mengawasiku.”

Asel menegang.

“…Young Lady…”

“Ya?”

“Barusan… barusan Anda bilang Adeshan… dikremasi, bukan?”

“Benar.”

“Wanita… tinggi, rambut hitam, mata besar itu…?”

“Ya. Anda pasti melihat potret di ruang tamu.”

Asel merinding.

Ia melihat Adeshan di ruang bawah tanah.
Dalam kotak.
Dengan mata abu-abu terbuka.

“Tidak mungkin…”

“Eh?”

Asel menggumam.

Ia tiba-tiba berdiri kaku.

“Terima kasih untuk tehnya! Saya pergi dulu!”

“Eh—tunggu—”

Tapi Asel sudah kabur.

Erzevette hanya bisa memandang heran. Ia sempat berpikir mungkin Asel ingin ke toilet karena teh bersifat melancarkan air seni.

Ketika ia melihat ke sofa tempat Asel duduk, sesuatu berkilau.

“Hmm?”

Butiran debu biru pucat menempel di kain.

Serbuk jamur langka—Bintang Jamur.

“Sporanya jamur bintang… di sini?”

Jamur itu hanya tumbuh sangat jauh di selatan, di bawah pohon palem kuno berusia lima ratus tahun. Tidak mungkin ada di ruangan ini.

Itu pasti menempel di pakaian Asel.

“…Aneh sekali.”

Ia berdiri lama tanpa bergerak.


“Sial… aku tidak tidur sama sekali.”

Ketika aku kembali ke kamar menjelang pagi, hujan tipis turun di luar.

Aku menatap sekeliling.

“…Dia ke mana?”

Asel tidak tampak. Hanya ada gundukan di sisi kasur—seperti bukit kecil di bawah selimut.

“Anak ini… main sembunyi-sembunyian?”

Aku menarik selimut keras.

“KYAAAAAAH!!”

“Teriak sekali lagi, kubanting.”

Kupukul kepalanya sedikit. Ia terdiam, tapi terlihat kacau—jelas tidak tidur semalaman.

“Ronan! Kau ke mana saja semalam?!”

“Cari informasi. Kutelusuri beberapa tempat. Tidak tidur jadinya. Kenapa?”

“Ada yang lebih penting! Ronan, kita harus kabur! Di bawah tanah… di sana…!”

“Benar kita harus cepat. Ujian mulai sepuluh menit lagi. Dan kau masih mengomel?”

“Bukan itu! Serius! Ini gawat!”

“Dengar. Kita jalan dulu. Ada etika. Tidak boleh membuat Young Lady menunggu.”

Aku menarik kerah Asel agar berdiri. Ia ingin bicara—tapi kutolak.

Ada waktu bicara setelah masalah besar selesai.

Kuketik gagang pedang dan menunjuk pintu dengan dagu.

“Ayo. Saatnya kita hancurkan semuanya.”

Dengan makna ganda yang sangat jelas.

2-106. Acalucia (8) 

Hujan turun rintik-rintik dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Langit yang kelabu pekat seperti air abu membuat kecil harapan untuk melihat cerahnya langit biru hari ini. Anak sungai Taimen yang melintasi taman keluarga Acalucia tampak meluap dan hampir keluar dari jalurnya.

“Selamat pagi. Apakah kalian tidur nyenyak?”

Pemimpin keluarga, Adrian, sudah menunggu kami di lobi. Gaun yang membalut tubuhnya tampak sangat anggun. Maaf pada Erzevette, tapi ibunya memang jauh lebih memesona.

Tidur nyenyak? Bahkan menyentuh bantal pun tidak sempat. Tapi aku hanya tersenyum santai.

“Ya, berkat Anda. Kediaman Anda sungguh luar biasa.”

“S-sa-saya juga… tidur nyenyak…!”

“Syukurlah. Kalau begitu, mari langsung menuju tempat ujian.”

Adrian melangkah keluar. Maid Liz mengikuti dari belakang seperti asisten pribadi.

Anehnya, tak satu pun dari mereka membawa payung. Aku sempat mengira ini semacam bentuk perlakuan tidak menyenangkan, tapi Adrian mengangkat kipasnya dan mengayunkannya ke udara.

PAAAH—!

Mana dari segala arah berkumpul, membentuk dinding dan atap seperti terowongan transparan yang melindungi jalan setapak menuju taman.

“Silakan. Taman Acalucia selalu tampak indah, bahkan saat hujan.”

“Wow… ini benar-benar keluarga penyihir.”

Kami berjalan, terpukau seperti manusia primitif yang baru melihat api. Jalan dari rumah menuju taman kini berubah menjadi terowongan besar. Meski hujan mengguyur deras di luar, satu tetes pun tidak berhasil menembus bangunan mana itu.

Seperti yang sudah kuduga dari ibu Erri. Membuat ini seperti hal sederhana saja.

Butiran hujan yang pecah di atas rumput memantulkan cahaya indah. Air yang menggantung di dedaunan membuat warna hijau taman tampak semakin hidup.

Asel—yang sejak tadi terpaku dan pucat—akhirnya bersuara.

“…Hebat sekali.”

“Jangan melongo begitu. Kau juga akan bisa nanti.”

“Be-benar aku bisa? Sihir sehebat ini…?”

“Tentu. Asal di ujian hari ini kau tidak tercabik-cabik oleh Erzevette.”

“Huek…”

Wajah Asel langsung memutih. Liz di sampingnya menahan tawa. Aroma tanah basah dan rumput membuat berjalan pagi itu terasa menenangkan.

Namun ekspresi Adrian menunjukkan sedikit kegelisahan.

Aku menjuluk alis.

“Ada yang mengganggu pikiran Anda?”

“Ah… maaf membuatmu khawatir. Kapten penjaga tidak terlihat. Dia tidak sedang libur, tetapi sejak sore kemarin hilang.”

“Itu aneh. Mungkin hanya bolos sebentar?”

“Kalau saja begitu… tapi dia bukan tipe begitu.”

“Hik!”

Asel tersendat. Jelas ia tahu sesuatu. Tapi aku diam saja. Semua rahasia punya waktu dan tempatnya sendiri.

Kami berjalan sekitar lima belas menit. Terowongan mana itu memanjang sampai ujung wilayah. Arena yang digunakan untuk ujian berada di bagian luar tanah milik keluarga Acalucia.

“Gila… besar sekali. Beginilah kalau orang punya uang.”

Bangunan arena hampir membuatku tertawa. Ini bukan sekadar fasilitas keluarga—ini setara fasilitas istana. Luasnya kira-kira seperti tiga arena latihan besar disatukan.

“Selamat datang, Lady.”

Di depan gedung kubah raksasa itu, penjaga-penjaga berdiri rapi. Salah satu maju memberi hormat. Adrian mengangguk.

“Terima kasih sudah berjaga di tengah hujan. Di mana Erzevette?”

“Beliau tiba tiga puluh menit yang lalu. Mungkin hanya perasaan saya, tapi… sepertinya suasana hati beliau lebih baik dari biasanya.”

“Begitu… entah harus bersyukur atau khawatir.”

Adrian tersenyum getir. Kami diminta masuk dan digiring dengan sopan menuju bagian dalam arena. Di tengah arena luas itu, seseorang berdiri tegap mengenakan seragam keluarga Acalucia.

“Kau datang lebih cepat dari dugaan, Erzevette.”

Tanpa menjawab, Erzevette menunduk penuh etika. Rambut terawat, pakaian rapi—baru kali ini ia benar-benar terlihat seperti putri bangsawan.

Adrian menatapnya dan bertanya hati-hati.

“…Luka di dada itu… sudah lebih baik?”

Pertanyaan dari seorang ibu. Ia menyinggung serangan telekinesis yang ia lontarkan ketika Erzevette mengamuk tempo hari. Erzevette tersenyum tipis.

“Tentu. Saya baik-baik saja, seperti biasa.”

“Syukurlah. Semoga kau bertarung dengan kehormatan.”

“Tidak usah khawatir.”

Upacara ujian dimulai.

Setelah menempatkan Asel dan Erzevette berdampingan, Adrian naik ke podium. Beberapa puluh anak angkat keluarga Acalucia hadir sebagai saksi.

“Aku adalah Adrian, pemimpin keluarga. Terima kasih telah hadir sebagai saksi. Hari ini, seorang pemuda yang mendambakan kobaran api besar telah datang untuk menjadi bagian dari Acalucia. Namanya Asel. Sejak keluarga ini menetap di sungai Taimen, dialah orang keenam yang berhasil melihat jalan bercahaya.”

“E-eh?!”

Adrian membuka kipas, dan cahaya sorot jatuh tepat di atas kepala Asel. Dia terlonjak seperti gadis kecil. Aku memijat pelipis.

Perlu nggak sih kuras sarafnya dan ganti pakai kabel tembaga?

Namun para saksi tampak lebih terpukau pada prestasinya daripada kelakuannya.

“…Anak itu melihat jalan itu?”

“Setelah Young Lady, akhirnya ada lagi.”

“Haha, mungkin akan jadi penyihir hebat. Semangat, Nak.”

Tampaknya kemampuan melihat jalan bercahaya jauh lebih langka dari dugaanku.

Adrian melanjutkan.

“Kalian tahu bahwa Acalucia selalu menyesuaikan ujian dengan kemampuan kandidat. Untuk seseorang yang melihat jalan bercahaya, ujian yang layak adalah duel melawan anggota inti. Peran itu akan diemban oleh Erzevette de Acalucia.”

“Serius? Young Lady sendiri?”

“Ini belum pernah terjadi!”

Arena mulai ramai. Erzevette memandang lurus ke depan dengan senyum dingin. Asel gemetaran seperti daun kering tertiup angin.

“Jika ia menjatuhkan lawan, ia lulus. Namun bila kalah tapi menunjukkan kecerdasan yang bersinar, maka ia bisa lulus atas penilaian internal.”

“Syukurlah.”

Aku tersenyum kecil. Adrian jelas berusaha menjaga peluang Asel tetap masuk keluarga.

“Kalau begitu mari mulai. Apakah kalian berdua bersumpah melakukan duel terhormat di tempat ini?”

“Saya bersumpah.”

“S-saya… bersumpah!”

Keduanya kemudian berjalan ke sisi arena masing-masing. Asel gemetaran sampai giginya saling beradu.

Aku menyentuh bahunya.

“Tenang. Kau ditakdirkan jadi penyihir hebat.”

“Ro-Ronan… kenapa dari tadi nggak dengar aku?! Kita tidak boleh ada di sini! Di bawah tanah… di bawah tanah itu—!”

Asel hampir menangis.

“Haaah… dasar bodoh.”

Aku menarik kepalanya dan berbisik.

“Kau melihat tubuh Adeshan. Benar? Tubuh yang seharusnya sudah dikremasi. Dan semua benda lain di sana.”

“As—?!”

Ia membeku.

“Ya, aku juga tahu. Tidak menyangka kapten penjaga juga dibunuh, tapi yah… kau lumayan untuk orang yang tak kutanya apa pun.”

Aku melepaskan rambutnya. Ia menatapku kosong.

“Kita sudah sejauh ini. Tidak bisa lari. Kau punya persiapan?”

“Uh… aku mempelajari anti-sihir semalaman… tapi hanya itu…”

“Anti-sihir. Bagus.”

Dalam kehidupan sebelumnya, aku tahu anti-sihir bisa membalikkan keadaan meski melawan perbedaan kekuatan besar.

“Itu cukup. Beri dia serangan telak.”

“A-aku bakal mati! Rasanya salah… dia berbeda dari tadi malam!”

“Itu cuma perasaanmu.”

“Awrgh! Aua!”

Waktu habis. Aku menepuk punggungnya keras-keras. Asel terhuyung seperti budak dicambuk.

Asel dan Erzevette berdiri saling berhadapan.

Adrian mengangkat suaranya.

“Dengan ini, ujian penerimaan Asel dimulai!”

Sorakan menggema.

Bel pembuka berbunyi.

Senyum dingin muncul di bibir Erzevette.

Asel menelan ludah.

“I-Invisible Hand—”

“Inferno Circle. Rage Storm. Silence.”

Tiga mantra meluncur sekaligus dari bibir Erzevette.

Mana berputar seperti badai, dan—

SRAAAAK—!

Sebuah lingkaran sihir raksasa menutupi lantai.

“Wha—?!”

Adrian membelalak. Arena langsung sunyi.

Lalu—

KWAHAAAAAAAA—!!!

Api merah gelap meledak di sepanjang lingkaran, naik membentuk dinding api yang menjulur hingga ke langit-langit. Api itu menutup arena menjadi kubah api raksasa, kemudian diselimuti aliran listrik seperti retakan cahaya.

“Itu… terlalu berbahaya!”

“Erri! Apa yang kau lakukan?! Hentikan duel ini!”

Adrian melepaskan telekinesis besar. Gelombang itu menghantam kubah api—namun hanya membuatnya bergetar sedikit.

Kubah itu terlalu kuat bahkan untuk pemimpin keluarga.

“…Aku percaya padamu…”

Adrian menggigit bibir, dan mulai mengumpulkan mana sungguhan, menciptakan distorsi udara.

Saat itulah aku berkomentar.

“Seperti dugaanku.”

“Ronan?!”

Aku melompat dan mendarat tepat di depan Adrian.

“Jangan ikut campur. Ini rintangan yang harus dia lewati.”

“Apa maksudmu?! Jika terus begini Asel akan mati!”

“Mungkin. Tapi kemungkinan besar tidak. Dia mempelajari sesuatu yang cukup bagus.”

“Kenapa kau bisa begitu yakin?!”

Aku menepuk tangannya, membuat mana yang terkumpul memudar.

Kubah api makin bergemuruh. Pasti menyenangkan sekali apa pun yang terjadi di dalam.

Aku duduk di podium.

“Tenang. Sambil menunggu, kujelaskan apa yang kutemukan tadi malam. Rahasia keluarga ini.”

“…Rahasia?”

“Ada banyak. Tapi yang paling penting ini.”

Aku menatap mata Adrian.

“Yang sedang bertarung dengan Asel… bukan Erzevette.”

2-107. Acalucia (9) 

“Ini… ini tidak mungkin…!”

Wajah Asel memutih sepucat kertas. Kubah api yang meledak tepat saat duel dimulai telah menghapus seluruh lanskap arena. Kilat yang mengalir di permukaannya seakan berkata: jangan bermimpi untuk keluar hidup-hidup.

“Wajahmu benar-benar lucu, Tuan Jenius.”

Suara dingin menggema dari sisi lain arena.

“…Lady Erzevette.”

Asel perlahan menoleh. Sosok Erzevette berdiri tegap, kedua tangan di belakang punggung, seolah sedang mengawasi murid nakal. Tidak terlihat sedikit pun lelah, padahal ia baru saja melontarkan rangkaian sihir berskala besar.

“M-mengapa Anda melakukan ini…?”

“Aneh sekali pertanyaanmu. Bukankah jelas? Semua elemen yang bisa menghalangi harus disingkirkan. Sudah kuberi peringatan dengan menghancurkan simbol keluarga, tapi kalian tetap masuk. Itu salah kalian.”

“Simbol keluarga… itu berarti patung singa itu memang…!”

Asel tersentak. Ia mengingat betapa kepala singa raksasa itu hampir memusnahkannya. Saat mendengar sedikit petunjuk dari Liz, ia sempat meragukannya — ternyata benar-benar Erzevette yang melakukannya.

“Betul. Anak berambut hitam itu tampaknya sudah agak curiga. Kau tidak sadar sama sekali rupanya.”

“Saya… saya tidak mengerti! Kenapa kami dianggap penghalang bagi Anda?!”

“Bukan bagiku. Bagi keluarga Acalucia. Aku bisa langsung melihatnya — jenis manusia yang pada awalnya mungkin berguna, tapi akhirnya merusak segalanya dengan tindakan bodoh. Kalian berdua pas sekali dengan tipe itu. Pada awalnya membantu, namun pada akhirnya menghambat perkembangan keluarga.”

“S-saya tidak akan melakukan hal seperti itu! Saya datang untuk menjadi bagian dari Acalucia, untuk apa saya merusaknya?!”

“Oh begitu? Kalau begitu jawab ini. Demi kejayaan Acalucia… bisakah kau membunuh sepuluh ribu orang tak berdosa?”

“…Apa?”

“Pertanyaanku sederhana. Bisakah kau membunuh sepuluh ribu orang? Satu-satunya kesalahan mereka hanyalah memiliki darah musuh keluarga, atau pernah membantu keluarga rival. Tentunya termasuk wanita, orang tua, bahkan bayi yang belum bisa berbicara. Jika kau menjadi bagian Acalucia, bisakah kau menyebut hal itu sebagai ‘dosa’ dan membantai mereka?”

Asel tidak menjawab. Tentu saja ia tidak bisa melakukan kekejaman seperti itu. Ia tidak bisa percaya bahwa perempuan yang semalam menyeduhkan teh hangat dan meminta maaf padanya… adalah orang yang sama dengan sosok di hadapannya sekarang.

Erzevette terkekeh.

“Tuh kan. Kau bahkan tidak bisa menjawab. Padahal bahkan jika kau mencium kakiku sambil memohon hidup, nasibmu tetap tidak jelas.”

“S-saya…”

“Yang dibutuhkan Acalucia adalah orang yang patuh. Atau setidaknya pion yang bisa mengikuti perintah tanpa banyak bicara. Kemampuanmu memang cukup berguna, tapi sayangnya keyakinanmu terlalu kuat.”

Erzevette tiba-tiba mengangkat tangan. Sebuah tentakel telekinesis terbang seperti cambuk ke arah Asel.

“I-Invisible—!!”

Duar!

Sia-sia.

Invisible Hand meledak begitu bersentuhan dengan telekinesis itu. Tentakel itu melilit tubuh Asel dalam sekejap dan menghentakkannya ke tanah di depan Erzevette.

“Ghak!”

Tubuh ringkih itu berguling di lantai seperti kelinci tertabrak gerobak.

KREK.

Tumit Erzevette menghancurkan dadanya tanpa ampun.

“Aaaarghhh!!”

Asel menjerit saat tulang rusuknya patah.

Erzevette tetap berbicara tenang, seolah tidak sedang menginjak orang.

“Ada pesan terakhir? Karena kau melihat jalan bercahaya, kusediakan sedikit waktu untuk bicara.”

“Hah… haaah… siapa Anda? Lady Erzevette tidak mungkin… melakukan ini…!”

Asel memekik. Kini ia mengerti. Ini bukan Erzevette yang mengobrol dengannya semalam. Dan di ruang bawah tanah… wanita yang tertawa melihat mayat Adeshan bukanlah Erzevette — melainkan makhluk ini.

“Oho. Cepat juga sadar.”

Erzevette—tidak, sosok yang meniru dirinya—tersenyum tipis.

“Kau benar. Aku tidak suka melakukan pembunuhan dengan wujud ini. Akan merusak hubungan ibu dan anak. Adrian akan sangat kecewa… mungkin tidak bicara denganku selama setahun.”

“Ghh… ugh…”

“Tapi pada akhirnya ia akan kembali seperti semula. Semua ini akan dianggap kecelakaan yang dilakukan putrinya yang sedang labil. Adrian tidak akan pernah membuang Erri. Gadis itu berbeda dariku — ia murni. Bodoh, tapi murni.”

Untuk pertama kalinya, terlihat sedikit emosi di mata makhluk itu. Namun hanya sepersekian detik.

Ia menodongkan telunjuk ke kening Asel.

“Semua ini tidak akan terjadi kalau bukan karena kalian. Kalian merusak hubungan indah ibu dan anak. Jadi sebagai hadiah… kalian akan mati dengan sangat menyakitkan.”

Api muncul di ujung telunjuknya. Bola kecil itu berdenyut seperti buah matang. Sebentar lagi akan menembus tengkorak Asel dan membakar otaknya.

“Tidak… jangan…”

Asel menelan ludah. Makhluk itu bersiap melepaskan tembakan.

Namun tiba-tiba — ia berhenti.

Tatapannya terarah pada tangan Asel.

“…Sporanya?”

Keningnya berkerut. Tangan Asel dipenuhi debu kebiruan.

Api di telunjuknya padam.

‘K-kenapa dia berhenti…?’

Asel menahan diri untuk tidak pingsan. Sekarang ia melihatnya jelas: sosok ini berbeda dari Erzevette. Ada sesuatu yang janggal. Seperti tubuhnya diselimuti bekas magis dari polymorph.

Dan kemudian makhluk itu menggeram.

“Kau. Di mana kau menyentuh spora itu.”

“A-apa maksudmu…?”

“Jangan bodoh. Debu itu tidak mungkin didapat di wilayah Acalucia. Jangan bilang kau masuk ke lab-ku?”

“…”

Asel membelalak. Ia bahkan tidak sadar gumpalan debu itu menempel. Satu-satunya tempat yang masuk akal adalah ruang bawah tanah dalam mimpinya — tapi itu tidak mungkin, karena…

…itu seharusnya hanya mimpi.

“Tidak. Itu mustahil. Kalau kau masuk, aku pasti tahu… kecuali…”

Makhluk itu terdiam, lalu mata terbuka lebar.

Ia menemukan jawabannya.

“…Begitu rupanya. Hampir saja Adrian mengetahuinya kalau bukan karena kau agak lemot.”

“A-apa…?”

“Itu adalah spora Starshroom — bahan yang sangat langka dan sangat rewel. Mudah menempel dan sulit hilang tanpa perlakuan khusus. Sepertinya partner-ku tidak sengaja membuatmu menyentuhnya.”

“P-partner…?”

Asel tidak mengerti. Ia tidak berjumpa siapa pun. Setelah bertemu Adrian, ia langsung kembali ke kamar.

Makhluk itu tertawa pelan.

“Siapa dia? Hahaha. Pikirkan sendiri di alam baka.”

Ia kembali mengangkat telunjuknya.

“Berteriaklah sepuasmu. Tidak ada yang bisa mendengar.”

Asel memejamkan mata.

‘Bagaimana bisa begini…’

Begitu bola api itu dilepaskan, segalanya akan berakhir. Hidupnya yang singkat dan panjang sekaligus… berkelebat seperti kilatan cahaya.

Banyak penderitaan, tetapi belakangan hidupnya indah.

Perjalanan dengan Ronan, pemandangan kabut, sambutan hangat keluarga Acalucia, teh hangat, hujan di taman, senyum tulus Erzevette semalam, dan pengakuan penuh harapan dari para anak angkat.

Untuk pertama kalinya… ia merasa hidup menyenangkan.

Ia ingin terus merasakan itu.

Air mata mengalir.

Dan saat itu —

“…Ah?”

Potongan-potongan teka-teki di dalam kepalanya klik menyatu.

Ia sadar.

Ia mengetahui identitas makhluk itu.

Ia mengetahui siapa “partner”-nya.

Ia mengetahui mengapa tubuh Adeshan ada di ruang bawah tanah.

Ia mengetahui mengapa wanita itu mati.

Semua terungkap.

Asel menggertakkan gigi.

“Kau…”

“Hm?”

Makhluk itu menatapnya heran.

“Apa itu? Mendadak nekat?”

“Kau. Denganmu… aku tidak bisa mati.”

Makhluk itu tertawa sinis dan melepaskan api.

FHRUK!

Api padam di udara, seolah disiram air.

“Apa…?!”

Makhluk itu membelalak. Seumur hidup, ia belum pernah mengalami sihirnya gagal.

Lalu ia melihat Asel.

Pemuda itu, sekarat dan berdarah-darah, memegangi pergelangan kakinya.

“Lepas.”

“Kh… khhh…”

“Lepaskan.”

Makhluk itu menekan lebih keras. Tulang-tulang Asel bergesek di dalam tubuhnya. Namun ia tidak melepaskan.

Di sela bibir berdarah, suara pecah keluar:

“Karena… aku tidak bisa… mati di tanganmu.”


Adrian terdiam.

“Bagaimana bisa orang yang bertarung dengan Asel bukan Erzevette? Apa maksudmu?”

“Pertanyaannya sederhana. Tapi sebelum itu… boleh kutanya satu hal? Kenapa kau melarang kami masuk ke ruang bawah tanah?”

“Apa…?”

Adrian terkejut. Mata ungunya menatap sekeliling, memastikan semua orang masih terpaku pada kubah api.

Akhirnya ia berbisik.

“Karena… Erzevette akhir-akhir ini sering ke sana. Setelah kehilangan Adeshan… ia hancur. Aku tidak ingin ia berkonflik dengan tamu, dan… aku tidak ingin siapa pun melihat keadaan putriku.”

“Begitu ya. Tapi dengarkan baik-baik. Putrimu—Erzevette—tidak pernah masuk ke sana. Yang keluar-masuk setiap hari… bukan dia.”

“…Apa maksudmu? Aku melihatnya dengan mata kepala sendiri.”

“Yang kau lihat itu penirunya. Makhluk yang memakai wajah Erzevette. Dan sekarang… dialah yang hendak membunuh Asel. Kau pasti menyembunyikan sesuatu, bukan?”

Aku menatapnya.

Kubah api terus membara seperti matahari kecil.

Adrian mencipitkan mata, tersinggung.

“Kau menuduhku menyembunyikan sesuatu… itu kurang ajar. Aku tidak menyembunyikan apa pun.”

“Mungkin benar. Karena yang kau sembunyikan… sebenarnya bukan kejahatan. Sesuatu yang normal, bahkan manusiawi.”

Aku berdiri dan mendekatinya. Adrian tersentak seperti anak kecil.

Aku menunduk hingga sejajar dengannya.

“Suamimu… Iluan de Acalucia… ada di ruang bawah tanah. Tidak sepenuhnya hidup, tidak sepenuhnya mati.”

“!”

“Kecelakaan mana itu tidak membunuhnya. Kau tidak tega menghabisinya, jadi kau menyegelnya. Semua orang percaya ia telah dikremasi, tapi tubuhnya ada di bawah sana. Kau melarang ruang bawah tanah bukan hanya karena khawatir Erzevette bertemu sesuatu… tapi karena takut seseorang menemukan Iluan.”

“Bagaimana… bagaimana kau bisa tahu…”

“Tidak mudah. Tapi aku pergi ke rawa semalam. Rawa tempat Adeshan tenggelam. Aku tidak percaya wanita sekuat itu bisa mati begitu saja. Jadi aku membelah rawa.”

“Me… membelah?”

“Ya. Ternyata dalam tapi tidak luas.”

Aku tertawa getir.

“Kau tahu apa yang kutemukan di bawah rawa itu? Terowongan. Mengarah langsung ke ruang bawah tanah kediamanmu. Ada pipa-pipa besar yang bisa mengalirkan… apa pun. Termasuk tubuh.”

Adrian menutup mulutnya, terhuyung.

“Aku masuk ruang bawah tanah. Setiap ruangan penuh dengan makhluk-makhluk yang dibuat dari tubuh manusia dan hewan. Dan di salah satu ruang penelitian… aku menemukan mayat Adeshan.”

“Tidak mungkin…!”

“Itu Adeshan. Yang dikremasi—adalah tiruan yang dibuat di bawah sana.”

Adrian hampir pingsan. Aku memegangi bahunya.

“Ada satu orang yang mungkin melakukan itu. Suamimu.”

“…Iluan…”

“Benar.”

Aku mengangkat wajahnya agar ia menatapku.

“Dengan kata lain, yang bertarung dengan Asel sekarang… bukan Erzevette. Itu Iluan. Suamimu.”

Aku belum sempat lanjutkan —

BUUUUUM—!!!

Kubah api meledak terbuka.

Api, kilat, dan Silent Magic menghilang seperti debu.

Di tengahnya, berdiri seorang pria mengenakan seragam Acalucia yang hampir robek karena tubuhnya membengkak.

“Beraninya kau, bocah sialan! Apa yang kau lakukan padaku!!”

“J-jangan bilang itu—?!”

Penonton berteriak ngeri.

Wajah pucat seperti mayat.

Sosok yang semua orang kenal.

Iluan de Acalucia.

Polymorph pada dirinya telah runtuh.

“Huuh… huuuuh…”

Dan di depannya—

Asel berdiri terhuyung.

Tubuh remuk. Tulang rusuk patah. Darah mengalir.

Namun matanya—

Menyala seperti bara.

Untuk pertama kalinya, ia terlihat seperti laki-laki sejati.

Aku menyeringai.

“Sudah kan kubilang? Dia bisa melakukannya.”

2-108. Acalucia (10) 

“I… ini… tidak masuk akal…”

Iluan tampak benar-benar kebingungan. Ia jelas tidak paham apa yang barusan terjadi.

Kubah api yang terdiri dari tiga jenis sihir—Inferno, Storm, dan Silent—menghilang tanpa jejak. Polymorph yang membuatnya tampak seperti Erzevette juga lenyap.

“Sudah… berhasil.”

Asel berbisik pada dirinya sendiri.
Wajahnya tampak lega, tapi tubuhnya tampak seperti bisa runtuh kapan saja.

Iluan yang bergantian menatap Asel dan penonton akhirnya bergertak gigi.

“Ke… keparat… bocah setan…!”

Akhirnya ia menyadari apa yang terjadi. Di antara para anak angkat Acalucia, ada banyak yang mengenal wajahnya. Semakin lama tatapan mereka berubah—ketakutan, syok, dan kecurigaan bercampur jadi satu.

“B-bukankah itu Tuan Iluan…? Bukankah beliau meninggal dalam kecelakaan mana?”

“Lalu… di mana Young Lady?”

“Jangan bilang…”

Sebagai pewaris keluarga terhormat, mereka tajam membaca situasi.

Pemimpin keluarga, Adrian, hanya berdiri mematung seperti patung lilin—tak bergerak, tak berkedip.

Tak heran. Jika seseorang mendadak memberi tahu bahwa suaminya yang ia kira telah mati ternyata berkeliling rumah memakai baju putrinya dan melakukan pembunuhan… siapa pun akan hancur.

Tatapan Iluan kembali ke Asel. Ia menggeram.

“Kau… kau sudah menghancurkan segalanya.”

“Haaah… krrkh! krrkh!

Asel tidak menjawab, hanya batuk darah. Tubuhnya sudah melewati batas.

Iluan mengangkat tangan.

“Hoki-mu sudah selesai. Kali ini… tidak akan kusisakan satu pun tulangmu!”

Api menyelimuti lengannya.
Tujuh lingkaran sihir menyala di udara.

Dan—dalam sekejap—
Cahaya merah-putih menyembur dari semuanya sekaligus.

“Ah—!! Asel!!”

Adrian menjerit dan mengangkat tangan.
Sebuah perisai transparan membungkus tubuh Asel.

Itu adalah sihir tingkat tinggi—bahkan penyihir berbakat pun butuh waktu untuk membacanya. Tapi Adrian melakukannya dalam sekejap.

Sayang sekali…

KRAAAAK!!!

Serangan Iluan menghancurkan perisai itu dalam satu tembakan.

“Tidak…!!”

Wajah para anak angkat memucat.

Namun di antara semua orang itu, ada dua orang yang tidak panik—

Aku.
Dan Asel.

Asel bergumam pelan—hampir tak terdengar.

Kemudian ia menggerakkan satu jari.

WUUUUUNG—!

Sebuah riak mana keluar dari tubuhnya—seperti udara panas yang bergetar.

Seketika—

SHWAAAAA!!

Delapan berkas cahaya Iluan berubah menjadi serpihan mana dan lenyap.

“Apa—?”

Mata Iluan terbelalak.
Aku tertawa kecil.

Asel akhirnya roboh ke lutut—kehabisan tenaga—namun hasilnya sudah didapat.

Penonton langsung berdiri dari kursinya.

“I-itu… anti-sihir!!”

“Tidak mungkin!!”

Benar.
Mana yang keluar dari jari Asel adalah mana dengan pola yang berlawanan sempurna dengan sihir Iluan.
Ia merefleksikan, membaca, dan membalik sihir itu dalam hitungan detik.

“Kalau begitu… kubah api tadi juga…?”

Adrian bergidik. Ia ingat jelas: Asel baru belajar anti-sihir semalam.

Iluan—yang dua kali disingkirkan sihirnya—menggeram seperti binatang terpojok.

“Kalau begitu… ini bagaimana?!”

Ia menghentikan sihir dan langsung mengayunkan tinju.
Tak terlalu kuat, tapi cukup untuk menghancurkan kepala Asel seperti buah lembek.

Namun anak-anak angkat dan Adrian bereaksi cepat.

“Apa yang kau lakukan, Iluan!”

“Berhenti memalukan keluarga!”

Puluhan sihir ditembakkan sekaligus.

Rantai es membelit leher Iluan.
Listrik biru membentuk kurungan di sekelilingnya.
Seekor hiu baja muncul dari tanah dan menggigit kakinya sebelum berubah menjadi belenggu.

“Ghh—!!”

Iluan terjatuh, berlutut, tinjunya terhenti beberapa sentimeter dari wajah Asel.

Ia mendongak.

Di depannya, lingkaran sihir besar bersinar—
dan Adrian berdiri di sana.

Suamimu.
Musuhmu.
Keduanya dalam satu sosok.

Adrian berbisik.

“Iluan… kenapa?”

“…Adrian.”

Wajah polos yang dulu dimilikinya sudah hilang.
Yang ada hanyalah mata tajam hasil kegilaan dan obsesi.

“Kenapa kau di sini…? Apa yang kau lakukan di ruang bawah tanah?”

“I… adalah…”

“Dan kenapa kau memakai wajah Erri? Bagaimana kau bisa melakukan kekejian seperti itu…!”

Bahunya bergetar.
Adrian sudah berada di tepi jurang emosional.

Iluan menutup mulut.

Adrian menjerit.

“Jawab aku!!”

Suara itu membawa efek sihir—
dan untuk sesaat mata Iluan kosong seperti boneka.

Akhirnya ia berbicara.

“…Acalucia harus menjadi besar lagi.”

“Apa?”

“Keluarga memang sedang makmur. Tapi itu tidak cukup. Bangsawan-bangsawan Grangcia semakin kuat. Para penguasa baru muncul di perbatasan. Jika kita diam saja… Acalucia kehilangan singgasananya.”

Semuanya menatap, terpaku.

Iluan melanjutkan.

“Lalu aku beruntung. Segelku terbuka. Aku berniat menggantikan Erri sebagai pemimpin… karena ia terlalu mirip denganmu—baik, lembut, lemah. Ia tidak bisa menjadi penguasa.”

“Apa… apa maksudmu? Teruskan.”

“Rekan kerjaku menyuruhku mengambil tahta segera. Tapi aku tak bisa menyakiti kalian. Jadi aku menunggu. Sambil membangun pasukan abadi di bawah tanah. Sambil menyingkirkan gulma yang menghambat perkembangan keluarga.”

“Gulma…?”

Adrian membeku.

Ia menyadarinya.

Mata ungu Erzevette membesar.

“Jangan bilang… kau yang membunuh Adeshan?”

“Benar.”

“Kenapa… bagaimana bisa kau melakukan itu…?!”

“Terlalu pintar. Cukup pintar untuk mencium rencanaku.”

Rahasia kematian Adeshan terungkap.

Aku mengira Adeshan tak mungkin mati begitu saja. Walau ia pernah bereinkarnasi, Iluan tetap penyihir tingkat tinggi—jika ia menginginkan kematian seseorang, orang itu mati.

Tapi itu belum semua.

Iluan tersenyum tipis.

“Tenang saja. Aku menyimpan mayatnya tanpa luka. Erri sangat menyukainya. Jika aku jadi pemimpin, aku akan menghidupkannya di ruang yang sudah kusiapkan. Mereka bisa hidup bersama.”

“…Kau sudah gila.”

Adrian menggigit bibir.
Aku juga hampir menghunuskan pedangku.

Pedang suci di pinggangku bergetar seperti ingin keluar sendiri.

“Belum waktunya,” bisikku pada pedang itu.

Jika aku ingin, aku sudah menghabisinya tadi malam di bawah tanah.
Tapi semua saksi perlu melihat kebenaran.
Agar dunia tahu seberapa besar dosa yang dilakukan Iluan… dan orang yang bekerja bersamanya.

Aku membungkuk, memanggul Asel yang sudah tak bisa berdiri.

Ia membuka mata sedikit.

“R-Ronan…?”

“Bagus kerja kerasmu. Anti-sihir yang kau lakukan… lebih cepat dari perkiraan.”

Air mata mengalir di pipinya.

“T-terima kasih… tapi… aku tidak bisa gerak… a-aku mungkin mati… hiks…”

“Omong kosong. Kau cuma kekurangan mana. Kau tidak bakal mati.”

Aku menepuknya dan mengangkatnya ke bahu.

Saat hendak kembali ke kursi—

“Ronan!”

“Oi, kaget aku.”

Asel tiba-tiba menjerit.

“Apa lagi?”

“Ka-kita harus buru-buru! Pelakunya masih satu lagi! Dia ada di sini barusan!!”

Aku diam sejenak.

Orang itu.
Dalang utama.
Yang lebih busuk dari Iluan.

Aku mengamati sekeliling dan tersenyum kecil.

“Yup. Sudah kabur. Mungkin menuju target berikutnya.”

“T-target berikutnya?”

“Erzevette. Jika Adrian kehilangan suaminya dan putrinya… dia hancur selamanya. Dan dalang itu sangat lihai. Bahkan Adrian pun tidak sadar.”

“A-apa kita tidak mengejarnya?!”

“Tenang. Kalau situasi benar-benar berbahaya, aku tidak akan duduk santai begini. Kau sudah melakukan tugasmu, jadi tidur saja.”

“A-akh!”

Aku menjentik hidungnya.
Ia pingsan.

Aku benar-benar tidak khawatir.
Dalang itu akan gagal.
Pasti gagal.

Karena Erzevette—entah kenapa—tidak bisa tidur tadi malam.

Karena debu spora Starshroom yang ia lihat di sofa.

Dan lalu—

Arena meledak histeris.

“Haah?!”

“Ya Tuhan… Iluan!!”

“Tidak mungkin…!”

Aku menoleh.

Iluan berdiri bebas lagi.
Semua sihir penahan sudah menghilang seperti asap.
Bahkan rantai es yang dibuat oleh Adrian meleleh oleh aliran mana yang naik dari tanah.

Iluan menatap Adrian.

“Seperti biasa… kau lengah, Adrian. Aku bicara terlalu banyak.”

Mata gilanya sudah kembali.

“Dan jangan lupa… anti-sihir itu adalah keahlianku.”

“Ka-kau… berani sekali!”

Adrian mengangkat sihir, tapi Iluan memutar pergelangan tangan.
Gelombang mana menyapu rantai es dan menghancurkannya menjadi kabut.

Tubrukan mana membuat Adrian terhuyung.

“Ugh!”

Iluan mendengus.

“Kalau begitu kita mulai dari awal. Ingat kan? Penelitianku yang gagal.”

“Apa—? Tidak. Jangan lakukan itu!!”

Adrian pucat. Ini pertama kalinya ia benar-benar takut.

“Tenang. Aku mencintai keluargaku. Kau dan Erri tidak akan kulukai.”

Iluan tersenyum.

Lalu—langit bergemuruh.

Suara seperti binatang purba mengaum dari atas.

Hujan berhenti.

Aku mendongak.

“Ah.”

Langit cerah.

Awan hitam lenyap.

Dan jatuh dari langit—
sebuah batu raksasa yang terbakar seperti matahari mini.

Permukaannya mencair.
Api menjilat udara.
Angin terbakar.

Ia memanggil meteor.

“Turunlah… bintangku…”

Iluan tersenyum gila.

Oh jelas kenapa penelitian itu gagal, dasar bajingan.

“ILUAN! BERHENTI!!”

Adrian berteriak sampai suaranya pecah.
Anak-anak angkat tidak bisa bergerak.
Waktu tumbukan kurang dari satu menit.

Aku menarik nafas panjang.

“Hah… bangsat.”

Aku meraih pedang suci.

“Cukup. Sudah cukup lama aku menahan diri.”


Hujan berhenti.
Tapi sang penyusup tidak memperdulikannya.

Ia memutar gagang pintu—pelan.
Pintu terbuka tanpa suara.

Kamar gelap.
Di ujungnya, sebuah ranjang besar terlihat.

Di atasnya, Erzevette tidur nyenyak.
Nafasnya teratur.
Ia sangat sensitif biasanya, tapi malam ini—ia tidak akan bangun bahkan jika gajah berjalan di kamarnya.

Teh semalam mengandung ramuan tidur.

Penyusup mengeluarkan suntikan.
Cairan emas bergoyang di dalamnya.

Cairan mematikan—
dari tubuh katak Poika.
Biasanya digunakan untuk euthanasia.

Ia menekan piston, memastikan jarum bekerja.
Lalu mendekat ke ranjang—

“Tetes lendir katak Poika. Racun super yang dipakai untuk eutanasia.”

“……!!”

“Berniat menyuntikkannya padaku?”

Mata Erzevette terbuka.

Penyusup membeku.
Lampu kamar menyala.
Erzevette duduk perlahan, menatapnya.

“Di tanganmu juga ada spora Starshroom. Kenapa, Liz?”

“……Young Lady…”

“Jawab. Aku menanyakan sesuatu.”

Air mata mengalir di pipi Erzevette.

Dan penyusup—
maid Liz—
menjatuhkan suntikan itu.

2-109. Acalucia (11)

Air mata mengalir di pipi Erzevette.

“Jawab aku, Liz. Sejak kapan kau berkhianat?”

“Young Lady… saya…”

Maid Liz menggantungkan kata-katanya. Ia menoleh ke sekeliling, mencari celah untuk lari, namun bibirnya akhirnya terkatup—seluruh jendela dan pintu ditutup rapat oleh dinding pelindung berwarna ungu. Penghalang milik Erzevette, yang terkenal sebagai salah satu pertahanan terkuat di seluruh Acalucia.

“Jangan mengelak. Buktinya sudah jelas.”

Erzevette mengangkat telunjuk.

Di ruas pertama jari halusnya, ada sedikit debu kebiruan—halus seperti gula.

“Ini spora Starshroom. Aku menemukannya di sofa tempat Asel duduk. Bahan yang sangat langka. Aku heran dari mana kau bisa mendapatkannya… sampai kulihat spora yang sama menempel di tanganmu ketika kau membereskan teh tadi.”

“Di… tangan saya?”

“Kau tidak bisa melihatnya tanpa sensitivitas mana tingkat tinggi. Itulah alasan kenapa kau tidak sadar sudah menyentuhnya… bahkan kau, yang biasanya tidak pernah melewatkan setitik debu pun.”

Liz menunduk dan melihat telapak tangannya.
Tidak ada apa pun—hanya kulit biasa yang sudah dipenuhi kapalan karena kerja.

‘Pasti dari ruang penelitian itu.’

Hanya ada satu tempat.
Ruang penelitian Iluan.
Tempat ia membawa mayat Kapten Ajax dini hari tadi.

Spora yang menempel pada Asel mungkin terkena ketika ia menggenggam tangannya—untuk menenangkan bocah itu setelah mimpi buruknya.

Ia tidak menyangka membuat kesalahan sekonyol itu.

Erzevette melanjutkan.

“Waktu itu aku langsung sadar. Kau pasti menyentuh spora Starshroom di suatu tempat. Dan kemudian kau menggenggam tangan Asel. Aku ingin menyelidiki lebih lanjut… tapi aku terlalu mengantuk. Berkat obat tidur yang kau masukkan ke dalam teh.”

“…Jadi Young Lady menyadarinya.”

“Tentu. Aku sangat menyukai teh buatanmu, Liz. Dan sebenarnya aku tak keberatan ada sedikit obat tidur di dalamnya. Memang… selama ini kau selalu memasukkan sedikit untuk membantuku tidur, bukan? Karena aku terlalu sensitif dan selalu sulit tertidur.”

Erzevette tersenyum getir.

“Aku bahkan bersyukur… kupikir itu perhatianmu.”

Ia menarik napas.

“Tapi teh semalam… jumlahnya terlalu banyak. Bahkan untukmu. Tetap saja, aku berpikir positif. Hingga seseorang masuk ke kamarku saat subuh.”

Liz mengerutkan alis.

“Siapa?”

“Kau bodoh, Liz. Seolah aku akan memberitahumu.”

Erzevette merinding saat teringat kejadian itu.

Ia betul-betul mengira akan mati ketakutan.

Seseorang masuk diam-diam—tanpa suara. Lalu…

  • Pip. Pip.

  • Bangun.

Saat ia membuka mata, wajah Ronan tepat di hadapannya.

Ia hampir berteriak.

  • Kyaa—!

  • Ssst. Diam.

Suara itu mengunci tubuhnya seperti mantra. Ia tidak bisa melawan.
Tekanan yang memancar dari tubuh Ronan sama sekali bukan sesuatu yang manusiawi.

Ia hanya bisa patuh.
Ia yakin Ronan datang untuk membalas penghinaan pagi itu.

Tetapi kenyataannya berbeda.

  • Dengar, Erri. Malam ini, Liz mungkin akan mencoba membunuhmu. Kalau kau tidak mengikuti ucapanku, kau mati.

  • …?!

Ronan memaksanya menelan bola ramuan pahit yang menghilangkan efek obat tidur.

Lalu ia menjelaskan segalanya—
tentang rahasia Acalucia, tentang Adeshan, tentang ruang bawah tanah, dan tentang makhluk yang hidup di sana.

Erzevette menghadap Liz dengan mata yang memerah.

“Sekarang aku tahu semuanya. Adeshan eonni tidak mati kecelakaan—ia dibunuh. Mayatnya tidak dikremasi—tapi disimpan. Dan aku… selama ini aku hanya dijadikan kedok. Katanya aku tinggal di ruang bawah tanah, padahal aku tidak pernah menginjakkan kaki di sana seumur hidupku.”

Suaranya bergetar.

“Ayahku… Ayahku tidak mati karena Ibu… benar? Ia masih hidup. Disegel. Dan sekarang… tiba-tiba bebas dan melakukan ini semua…”

Air mata memercik lagi.

Erzevette memegang dadanya.
Rasanya sesak. Sangat sesak.

Setelah lama terdiam, Liz berkata pelan:

“Begitu cerdasnya Young Lady… ya. Semuanya benar.”

“Liz…”

“Tujuan saya sejak awal adalah menghancurkan Acalucia. Saya menemukan Tuan Iluan di ruang bawah tanah saat bersih-bersih. Saat itu saya langsung tahu… bagaimana cara meruntuhkan keluarga ini.”

Ia menutup mata.

Iluan—yang disangkutkan pada pecahan meteorit, setengah hidup setengah mati, berhalusinasi tentang keluarga dan ambisi—berdiri di hadapannya seperti binatang yang tersiksa.

“Beliau orang baik. Bahkan dalam kondisi itu, yang paling sering ia sebut adalah nama Young Lady dan Lady Adrian.”

Liz mengangkat kepala.

“Maka saya membuat kesepakatan. Saya bebaskan segelnya. Saya beri tubuh baru. Dan imbalannya—ia membangun kembali kejayaan keluarga.”

“…Kesepakatan?”

“Benar. Saya mengatakan bahwa keselamatan Anda dan Lady Adrian terancam. Ia langsung setuju.”

Tatapan Erzevette membeku.

“Kemudian kontrak itu mengubah prioritasnya—dari keluarga, menjadi kebangkitan Acalucia. Setelah itu… Anda sudah tahu apa yang terjadi.”

Liz menyeringai tipis.

“Andai saja ia membaca kontraknya dengan benar… hal ini tak akan terjadi. Emosi memang benar-benar sampah.”

“Bagaimana kau bisa… bagaimana bisa kau melakukan itu? Apa tujuanmu?!”

“Untuk bintang agung yang kami layani. Detailnya tidak bisa saya sampaikan.”

Erzevette tertegun.
Liz menatapnya lekat-lekat.

“Dan Young Lady… Anda tetap sama seperti dulu.”

“…Apa maksudmu?”

“Begitu baik hati. Terlalu baik. Bahkan ketika Anda tahu saya adalah musuh, Anda masih membiarkan saya bicara panjang lebar. Sudah berapa kali saya mengatakan—baik hati hanya membuat Anda mati lebih cepat.”

Erzevette membuka mulut—

TAP!

Sparks kecil terdengar dari bibir Liz.

Sesuatu keluar dari mulutnya—
sebuah lidah… dengan lingkaran sihir terukir di atasnya.

“Ehi.”

“……!!”

Erzevette membelalak. Ia mencoba membaca mantra pertahanan, tetapi—

—brakk!!

Gelombang kejut besar meledak dari lidah Liz.

KWAANG!

Erzevette terpental seperti ditabrak banteng. Ia menghantam dinding dengan suara memekakkan telinga.

“Argh!”

Liz berjalan mendekat sambil tersenyum sinis.

“Benar katamu. Aku memang lemah dalam sihir biasa. Yang membuka segel Iluan dan menciptakan tubuh barunya adalah orang lain.”

Ia jongkok di depan Erzevette.

“Tapi aku… tidak pernah malu pada diriku. Meski rencana sedikit kacau… aku telah berhasil membunuh Young Lady Acalucia. Prestasi terbaik.”

“L-Liz… khuuk!

Erzevette memuntahkan darah.
Ia tidak pernah menyangka Liz menanam sihir di lidahnya.

Ia mencoba membaca mantra—tapi tubuhnya gemetar, konsentrasi tak terbentuk. Sejak kematian Adeshan, ia malas berlatih. Sekarang ia menyesalinya.

Liz menguji jarum suntiknya sekali lagi.

“Senang mengenalmu, Erri.”

“Ber… henti…”

“Tidak akan sakit. Kau akan tertidur… dan ketika bangun… kau akan bertemu Adeshan.”

Jarum mendekat.
Erzevette merasakan logam dingin menyentuh kulit lehernya.

“Tidak…”

Cairan emas bergerak lembut dalam tabung transparan itu.

Jarum hampir menusuk—

KABOOOOM!!!

Tiba-tiba, suara ledakan dari luar—
seperti langit pecah dua.

“Kyaaa!”

“Apa—?!”

Erzevette dan Liz menoleh serempak.

Jendela kamar pecah berkeping-keping.
Udara luar menerjang masuk.

Badai pecahan kaca menghantam ruangan.

Liz, yang berada di tempat terbuka, terkena paling parah.

CRRRK! CRACK! CRRRK!

Ratusan serpihan kaca menusuk sisi kiri tubuhnya.

“AAAGH!! M-Mataku!!”

Liz jatuh sambil menutupi wajahnya. Darah mengalir deras dari mata kirinya.

Erzevette tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia menendang jarum suntik ke jauh sudut ruangan, lalu mengangkat tangan—

Sebuah bola api kecil terpancar.

Tetapi—

Bret!

Itu hanya membakar ujung rambut Liz.

Erzevette pucat.

“Tidak mungkin…”

“E-Erri… kau…!”

Liz menatap dengan satu mata yang tersisa, penuh amarah.

Erzevette berdiri terseok-seok, berlari ke arah pintu—

Liz meraih rok panjangnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

Erzevette membelalak.

Di baliknya—

—kulit paha putih.
—garis pakaian dalam renda.
—dan lingkaran sihir besar yang terukir.

Liz menggertakkan gigi.

“Kau pikir kenapa aku tidak pernah membantumu mandi?”

Lingkaran sihir memerah.

—WOOOSH!

Api berkumpul di depan paha Liz—puluhan kali lebih besar dari sihir Erzevette tadi.

“Selamat tinggal, Erri!”

Bola api ditembakkan.

Waktu melambat bagi Erzevette.

Ia menerima kenyataan pahit:
Ia akan mati karena pengkhianat yang ia sebut sebagai keluarga.
Ia gagal menyelamatkan Acalucia.
Ia tidak berlatih.
Ia tidak kuat.
Dan yang paling hina… otaknya masih sempat menyadari bahwa paha Liz—bahkan di saat kematian—masih terlihat sangat bagus.

‘Kematian yang menyedihkan. Salahku sendiri.’

Bola api semakin dekat.

Tiga langkah.
Dua langkah.
Satu—

Sesuatu menerobos jendela yang hancur.

Sebuah bayangan hitam mendarat di depan Erzevette.

“……?!”

Ia sempat mengira itu mimpi.

Bayangan itu bergerak cepat bahkan dalam dunia yang melambat.

WUSSH!

Suara langkah menyusul sepersekian detik kemudian.
Jubah panjangnya berkibar seperti sayap iblis.

Bayangan itu menoleh sedikit.

“Untung saja aku datang ngecek. Nyaris mampus, kan.”

“…!!!”

Itu Ronan.

Suara teriakan Erzevette belum sempat keluar dari tenggorokannya.

Ronan sudah menarik pedangnya.

SHAAA—K!

Bola api terbelah dua.
Liz—yang masih dengan rok terangkat—muncul di baliknya.

Ia ternganga. Roknya jatuh.

Tapi Ronan sudah bergerak.

SRAK!

Lengan Liz terbang ke udara—keduanya.

“Keuk—!”

Ronan menghantam perutnya.

PRAAK!

Liz terlempar ke dinding—tepat di tempat Erzevette menghantam tadi.

“Ghk…!”

Darah menyembur dari bahunya.
Lengan-lengan yang terpenggal jatuh menabrak lantai dan terguling.

Ronan menatapnya seperti menatap serangga.

Lalu berkata pelan kepada Erzevette.

“Sudah. Kau aman.”

“…Eh?”

"WAAAAAAAHHHHHH!!!"

Suara sorak-sorai dari luar menggema.

Erzevette menoleh.
Langit biru bersih.
Ratusan pecahan batu meteor melayang di udara, terbelah rapi seperti diukir pedang.

Ronan menyampirkan mantel hitamnya ke pundak Erzevette.

“Ikut aku. Kita harus mengucapkan salam perpisahan.”

2-110. Tempat yang Dilalui Angin (1)

“Oi, bagaimana rasanya sekarang?”

“……”

“Wah, saya tanya baik-baik ini. Masih tidak dengar suara saya?”

“…Ah, Tuan Ronan.”

Iluan mengangkat alis.
Mata yang sebelumnya dipenuhi kegilaan kini memantulkan langit biru jernih.

Nada suaranya masih menyiratkan sedikit kehidupan—cukup untuk membuatku menghela napas lega.

“Hah… sempat kukira sudah mati.”

“Terjadi sesuatu?”

“Tidak, bukan begitu. Hanya saja… karena menunggu cukup lama, saya ingin mengobrol sebentar. Boleh, kan? Walau saya bukan orang Acalucia, saya cukup berperan menyelesaikan masalah ini.”

Aku duduk di samping tubuhnya, menggaruk kepala.
Orang yang sebentar lagi mati ini bukan lagi penyihir gila tadi.

“Lucu juga Anda merendah di momen-momen yang aneh. Anda practically mengurus semua ini sendirian.”

“Paling cuma bersihin satu kepingan tai raksasa, begitu saja. Yang perlu benar-benar diucapkan terima kasih adalah Lady Adrian dan anak-anak angkat. Kalau mereka tidak menjaga reruntuhan itu, Acalucia sudah jadi bubur duluan.”

“Haha… hanya Anda yang bisa menyamakan meteor sebesar rumah dengan tai.”

Iluan tertawa pelan.
Ia terbaring dengan tubuh terbelah dua—karya tanganku.
Erzevette, Adrian, dan anak-anak angkat menonton dengan napas tertahan dari tribun.

“Saya juga ingin berbicara dengan Tuan Ronan. Saya penasaran… Anda sebenarnya siapa?”

“Tidak perlu penasaran. Saya hanya tukang tebas biasa.”

“Kalau itu naga atau iblis, saya mengerti. Tapi seorang swordsman yang membelah bintang jatuh? Saya belum pernah mendengarnya. Dan Anda juga menyelamatkan putri saya… terima kasih seharusnya saya yang berikan.”

“Sudah, sudah. Tidak usah terima kasih segala.”

Aku melambaikan tangan, agak bosan.
Seumur hidup, baru kali ini aku menerima ucapan terima kasih dari seseorang yang tubuhnya kubelah dua.

Sejujurnya lebih aneh daripada mengetahui bahwa Iluan ternyata memakai bahasa sopan.

Seperti ia katakan tadi—Acalucia tidak mengalami kehancuran dari meteor.

‘Untung saja ada banyak penyihir.’

Bahkan memikirkannya lagi membuatku dingin.

Saat melihat meteor, aku segera melompat untuk menghancurkannya.

Batu dari luar angkasa itu hancur menjadi ratusan pecahan sekitar lima puluh meter di atas tanah.
Kupikir beberapa tulangku akan remuk, tapi ternyata meteor itu lebih lunak dari dugaan—sedikit lebih keras daripada kepala si “King Botak”.

Setelah menghancurkan meteor, aku menghancurkan Iluan.
(Entah kata “menghancurkan” cocok untuk manusia, tapi ya sudahlah.)

Aku ingin menyelamatkannya kalau bisa—tapi ia sudah terlalu lama kehilangan akal waras. Tidak ada pengobatan selain kematian untuk kondisi semacam itu.

Tubuhnya lebih lembek daripada meteor; terbelah tanpa perlawanan.

Dan seperti yang kukira, begitu kembali waras, ia langsung menjerit menyadari kebiadaban yang ia lakukan. Jeritan itu baru berhenti ketika kubawa Erzevette—yang baru saja kurenggut dari tangan Liz.

“...Sayang.”

“Ayah.”

Di tribun, Adrian menggigit bibir, sementara Erzevette menggenggam tangannya erat.
Di sinilah mereka menyaksikan detik-detik terakhir suami dan ayah mereka.

Iluan memandang anak dan istrinya—lalu memejamkan mata.

“…Maafkan aku. Aku… telah melakukan hal-hal yang tidak bisa dimaafkan.”

“Betul. Jujur saja, Anda memang brengsek kelas berat. Kalau bukan karena Anda tertipu si Nebula Klagie, mungkin saya sudah kencing di wajah Anda.”

“Maaf… benar-benar… maaf. Bagaimana bisa aku… membunuh Adeshan…”

“Tidak apa-apa. Semuanya sudah selesai.”

Aku menggigit pipa rokok.
Pada akhirnya, ia hanyalah korban lain, dan marah pada orang yang hampir mati tidak ada gunanya.

Waktunya tidak lama lagi.
Fenomena petrifikasi yang dimulai dari ujung jarinya sudah naik hingga ke dadanya.
Itu adalah efek samping ketika tubuhnya dipisahkan dari meteor yang menyatu dengannya.

Berbeda dari Saranta yang meninggalkan harapan, Iluan tidak memiliki jalan kembali.

Ia menoleh padaku.

“...Tuan Ronan.”

“Ya?”

“Ini mungkin terdengar mendadak… tetapi bolehkah saya meminta Anda menjaga putri saya? Kalau Anda menjadi penerus Acalucia… saya tidak punya penyesalan.”

“Wah. Itu memang mendadak sekali.”

Aku melirik Erzevette.

Benar, kalau bukan karena aku terlalu suka Adeshan, aku mungkin akan bilang dia cantik.
Anak tunggal keluarga besar, penyihir berbakat, dan terlahir dari Adrian yang luar biasa cantik—prospek masa depan pun cerah.

Sebagian besar pria pasti sudah salto sambil memanggilku “Ayah!”

Aku terkekeh dan menggeleng.

“Sayang sekali saya sudah punya tunangan. Dan dia lebih suka perempuan.”

“…Benar. Itu juga.”

“Salah satu dari sedikit orang yang bisa kukonfirmasi lebih suka perempuan daripada aku. Dan keluarga Acalucia akan tetap hebat, tanpa butuh darah orang seperti aku. Tidak—kataku salah. Mereka sudah hebat.”

Asap putih melayang dari bibirku.

Persepsiku tentang keluarga ini berubah total.
Sebelumnya kukira mereka cuma kumpulan maniak berbakat yang gila prestasi.

Nyatanya mereka memang pantas menjadi salah satu tiang penyangga kekaisaran.

Aku menatap tribun, tempat Asel terkapar.

“Nanti keluarga ini makin hebat setelah bocah itu masuk. Asel. Ingat nama itu baik-baik sebelum kau mati. Itu nama calon Archmage.”

“Ah… benar-benar talenta luar biasa. Dia membalik lima sihirku dengan anti-sihir dalam waktu singkat. Malu sekali—aku pernah menganggap diriku jenius, tapi dibanding dia… aku bukan apa-apa.”

Suara Iluan semakin kecil.

Aku terkekeh mengingat Asel di dunia sebelumnya.

“Dia bahkan menghentikan jatuhnya Sky Island waktu itu.”

Prestasi Asel hari ini hanyalah permulaan.
Anak-anak angkat Acalucia juga menatapnya dengan bangga.

“Tidurnya pulas sekali. Gadis kecil yang manis seperti Young Lady waktu kecil… jadi keluarga kita pula. Hebat sekali!”

“Tapi kudengar dia laki-laki.”

“Ngaco apa sih. Mana mungkin itu laki-laki?”

“Tidak peduli gender. Dia berbakatnya tidak masuk akal. Mungkin paling berbakat dalam sejarah Acalucia.”

Semua ingin berkenalan dengannya.
Kelihatannya Asel aman dari risiko bullying.

Sementara itu—petrifikasi Iluan sudah mencapai tulang selangka.

Ia megap-megap, lalu berbisik kecil:

“Ta…kla…”

“Ya?”

“Tidak bisa…. mati begini… Aku… masih… sihir agung…”

Ia berusaha bergerak, tapi suaranya tak keluar.
Orang-orang bangkit berdiri, menyadari ajalnya sudah dekat.

Petrifikasi mencapai rahang.
Suara terakhirnya pecah seperti pecahan kaleng:

“Ke…jayaan…”

“Iluan?”

Itulah wasiatnya.
Dalam satu menit, ia berubah sepenuhnya menjadi batu.

Suara helaan napas dan kesedihan memenuhi aula.

“Hmph. Masih ada ambisi, ya?”

Aku memandang patung batu berbentuk manusia itu dan tersenyum kecut.

Entah apa yang hendak ia katakan—tapi jelas bukan permintaan maaf atau pesan keluarga.

Mungkin ucapan ngelantur, mungkin kata hati yang sebenarnya.
Entah.

Ironisnya, waktu petrifikasi itu tepat.
Kalau ia mengucapkan sesuatu yang salah, semua belasungkawa yang baru terbangun tadi akan bubar.

'Kasihan juga sih. Hidupnya tragis.'

Aku menjentik pipa, memasukkannya ke saku.

Beberapa penjaga datang menggotong patung Iluan keluar.

Lalu… giliran urusan berikutnya.

Liz, maid tanpa kedua lengan itu, masih melayang di udara karena telekinesis.

“Krhk… uughh!”

Ia mendesis, nyeri dari luka yang telah berhenti mengucur berkat pertolongan pertama.
Puluhan pasang mata menatapnya penuh benci.

“Aku harap kalian memperhatikan baik-baik. Nebula Klagie adalah jenis musuh seperti ini. Mereka menyusup seperti hujan, membuat penyihir hebat jadi gila, dan mengguncang fondasi keluarga besar.”

Aku mengumumkan kepada penonton.

Bahaya Nebula Klagie tidak bisa diremehkan—dan perlu diulang berkali-kali.

“Sampai sekarang pun masih tak percaya… maid itu dalang semuanya.”

“Bahkan aku pernah menyuruhnya bersihkan kamarku. Kenapa tidak ada yang menyadari selama ini?”

“Benar. Bukan hanya kita—bahkan Lady Adrian dan Young Lady pun tak mengenali. Nebula Klagie… benar-benar menakutkan.”

Ketakutan menyebar cepat.
Diskusi tentang operasi berskala besar bermunculan.

Sempurna.

Jika anak angkat Acalucia bergerak, berita akan menyebar secepat dekrit kaisar.

Aku menatap Liz.

“Tidak ada yang sadar karena dia terlalu bersih. Ratu kebersihan, benar-benar. Jejak apa pun yang bisa tercium… ia hapus. Bahkan Grandmaster Lorhon pun mungkin tidak menemukan apa pun.”

Ini bukan basa-basi.
Liz adalah anggota Nebula Klagie terlemah yang pernah kuhadapi… tetapi justru paling sulit ditemukan.

Kalau aku tidak membelah rawa dan menemukan lorong bawah tanah itu,
kalau aku tidak melihatnya bersekongkol dengan Iluan,
aku tidak akan pernah mencurigainya.

‘Siapa mengira dia bahkan tidak pernah menerima baptisan.’

Biasanya, para pengikut Nebula Klagie diberi baptisan oleh Abel—memberi ciri khas pada mana mereka.

Liz?
Tidak ada.
Karena ia tidak punya kemampuan tempur—jadi tidak ada baptisan.
Bahkan mana kilap khas itu tidak ada sama sekali.

Dan dengan sihir pembersihan tingkat tinggi yang ia punya… nyaris mustahil menemukan jejaknya.

Adrian menatap Liz dengan dingin.

“Liz. Aku akan mengirimmu ke Rodollan hari ini.”

“L-Lady Adrian!”

“Kau tidak akan kubiarkan mati cepat. Interrogator dari Benteng Screams tidak akan berhenti sampai kau mengaku segalanya. Mungkin bahkan setelah itu.”

“Hiiik…!”

Liz menjadi pucat pasi.
Semua orang tahu apa yang terjadi di Rodollan.

Kehilangan lengan?
Itu hanyalah awal.

“Se-sembuhkan aku, Lady Adrian! Bunuh aku saja!”

“Katakan pada interrogator nanti. Mereka tidak akan mendengarmu.”

“T-tidak! Tidak! Tolong! Young Lady!!”

Liz meronta dan menjerit.
Ketegarannya hilang sepenuhnya—bahkan ia tak sadar kalau ia buang air kecil saat menggeliat di udara.

Erzevette memalingkan wajah.

Adrian mengangkat tangan.

“Keluarga Acalucia mendapat pelajaran besar hari ini.”

Mana menyebar melalui udara—membentuk kubah raksasa sepanjang wilayah.
Tak ada yang bisa keluar.

‘Serius juga, ini. Kalau aku jalan muter sekali… bersih semua.’

Gerakan cepat dan tegas.
Erzevette menguatkannya dengan aura amplifikasi.

“Dalam tiga hari… semua hama akan disapu bersih. Aku akan melaporkan tragedi ini pada Kaisar dan Lima Menara. Ada yang keberatan?”

Tidak ada.

Badai besar akan melanda benua.

Dalam sejarah yang kuketahui, insiden ini terjadi karena mata-mata Grangcia—Dolan.
Tapi sekarang penyusup Nebula Klagie terungkap satu per satu.

“Uwagh!!”

Saat itu, Asel melonjak bangun sambil berteriak.

“Apa—apa yang terjadi?! Sejak kapan aku—?!”

“Ah, bangun rupanya.”

“Eeh? Apa ini semua?!”

Ia memandang sekeliling dengan mata besar.

Sebelumnya ia pingsan—dan sekarang seluruh dunia berubah.

Adrian mendekat sambil tersenyum lembut.

“Belum diberi tahu hasilnya ya? Kau lulus, Asel.”

“…Hah?”

“Ujian penerimaan—yang terbaik sejak aku menjadi Kepala Keluarga. Mulai sekarang, kau bukan lagi Asel biasa… tapi Asel de Acalucia. Jika kau mau, kau boleh memanggilku Ibu.”

“N-nngh?! Ma—maaf?!”

“Ha-ha, bercanda. Lalu… Tuan Ronan.”

Belum sempat aku menyelamati bocah itu, giliran datang padaku.

Adrian menatapku dengan penuh ketulusan.

“Terima kasih. Tanpa Anda… Acalucia sudah lenyap. Aku hampir kehilangan putriku dua kali.”

“Ah, tidak perlu berterima kasih. Semua orang ikut membantu.”

“Tidak benar. Seperti yang ia bilang tadi… Anda terlalu merendah.”

Ia tersenyum.

Lalu setelah menunggu sebentar—

“Sesuai janjiku… atas nama kehormatan Acalucia, aku akan memberimu perlengkapan terbaik yang bisa disediakan keluarga ini.”

2-111. Tempat yang Dilalui Angin (2)

Waktu setelah itu mengalir dengan tenang.

Pertama-tama, upacara pemakaman Iluan dan kepala penjaga Ajax yang diracun dilangsungkan secara resmi.
Meski Iluan membuat kekacauan besar sebelum mati, tidak ada pelayat yang sampai kencing di atas peti jenazah atau membuat keributan.
Anak-anak angkat keluarga Acalucia memberikan penghormatan dengan cara yang pantas dimasukkan ke buku pelajaran—sangat rapi dan penuh wibawa.

“Iluan… tsk, kasihan.”

“Semoga arwahnya tenang. Semoga di akhirat ia bisa mencapai bintang yang begitu ia rindukan.”

Pemakaman kepala penjaga jauh lebih emosional.
Para penjaga melepas helm, satu per satu menaruh bunga di depan peti sang kapten.
Tidak satu pun yang menahan air mata saat mengenang atasan yang tak pernah lagi bisa mereka dampingi.

“Ugh… Kapten Ajax. Kami tidak akan melupakan Anda.”

“Kapten… jangan bercanda, ayo bangun. Anda cerewet banget waktu minta dikenalkan pada adik saya, baru saya mau kenalkan, dan sekarang malah begini… sial…!”

Salah satu penjaga melempar helmnya ke lantai.
Tidak pantas untuk upacara, tapi tak seorang pun menegurnya—bahkan sampai ia keluar ruangan sambil menutupi wajah.

Begitulah wibawa seorang pemimpin.

“Jadi begitu, ya. Masih tidak percaya. Kalau saja para iblis Rodollan mencabik tubuh brengsek itu…”

“Mereka benar-benar melakukannya, kok. Saya dengar sekilas.”

Liz dibawa ke Benteng Screams pada malam hari Iluan meninggal.

Menurut Adrian, kaki kiri dan kedua matanya sudah dipisahkan dari tubuhnya.
Ia meronta seperti binatang, menumpahkan semua informasi yang ia tahu—meski semua informasi tentang Nebula Klagie sudah kukatakan duluan, membuat semua yang ia bayar dengan penderitaan menjadi tidak bernilai.

Meski begitu, ia belum dibunuh.
Itu berkat permintaan khusus Adrian.

“Saya sudah meminta mereka agar jangan membuatnya mati mudah. Setelah tubuhnya hampir hancur dan tak ada lagi bagian yang bisa menghasilkan rasa sakit, barulah para interrogator akan mengatakan yang sebenarnya. Bahwa informasi yang ia keluarkan sudah kami ketahui sejak awal. Bahwa dirinya tidak memiliki sedikit pun nilai—bahwa ia hanyalah mainan.”

“Luar biasa. Layak menerima hukumannya.”

“Dia bukan hanya memperdaya Acalucia. Dia membunuh putri angkat dan suami saya. Saya tidak bisa hidup dengan kepala tegak kalau tidak sampai di sini.”

Adrian tersenyum dingin.
Bahkan lautan iblis di Kutub Utara mungkin lebih hangat daripada nada suaranya itu.

Aku menautkan tangan di belakang kepala dan menatap langit.
Biru, cerah, tak ada awan—tapi kubah mana yang mencegah pelarian masih menutupi seluruh wilayah.

“Tiga hari, katanya?”

“Eh? Ah, benar. Saya rasa butuh waktu itu untuk menyapu semua pengkhianat.”

“Kalau hanya perlu mengumpulkan mereka di satu tempat, saya bisa menyelesaikannya dalam sehari.”

“…Dalam sehari?”

“Ya. Anda bilang butuh beberapa hari untuk menyelesaikan barang itu, kan? — Dan saya bisa membedakan para fanatik itu. Kecuali pengecualian aneh seperti Liz.”

Aku mengetuk bagian bawah mata dengan telunjuk.
Jika mereka menerima baptisan Nebula Klagie, mana mereka berubah dengan ciri khas tertentu—bahkan yang samar-samar pun bisa kubedakan.

Liz hanya pengecualian edan yang tidak punya kemampuan tempur sehingga tidak dibaptis, membuat jejaknya nyaris tak terdeteksi.

Adrian tampak berseri.

“Kalau begitu, saya sungguh berterima kasih. Tidak tahu bagaimana saya harus membalasnya…”

“Tenang saja. Saya melakukannya karena saya mau. Oh ya, kalau mereka melawan, saya boleh memotong satu-dua anggota badan, kan?”

“Kalau memang pengkhianat, Anda boleh menghabisinya langsung. Perlu saya pinjamkan pedang untuk eksekusi?”

“Wah, semangat sekali. Tidak perlu sampai begitu.”

Aku terkekeh.
Di ruang tertutup seperti ini, dengan izin menggunakan kekerasan, tidak ada pekerjaan yang lebih mudah.

Kami berjalan menyeberangi taman di bawah hangatnya awal musim panas.
Asel berjalan di sampingku, sementara Erzevette di sampingnya.

“Asel. Bagaimana rasanya jadi bangsawan?”

“T-terus terang, belum terasa… apa aku benar boleh memakai pakaian sebagus ini?”

Ia menggerakkan tangan dan kaki seolah sedang memakai anggota tubuh baru.
Kini ia mengenakan seragam keluarga Acalucia yang rapi dan mahal, bukan jubah kumal.

Erzevette mendengus.

“Hmph. Wajar saja. Penampilan rapi adalah dasar Acalucia.”

“Eri. Kamu itu baru beberapa hari lalu belum mandi dengan benar. Aku tidak bilang waktu itu, tapi kamu tahu betapa menyedihkannya kamu beberapa bulan terakhir? Tidak makan benar, kalaupun makan cuma pilih lauk favoritmu, ditanya tidak pernah jawab… Oh iya. Tuan Ronan, tahu tidak apa yang aku temukan di bawah tempat tidur Eri waktu itu? Astaga, anak zaman sekarang ini perkembangannya cepat sekali—”

“U—Umi! Eh, K—Kepala Keluarga! Apa yang Ibu katakan?!”

Wajah Erzevette memerah seperti buah matang.
Ia segera menutup mulut Adrian dengan kedua tangan.

Adrian tetap tertawa di balik telapak tangan itu.
Saat ia menghantam dada seseorang dengan telekinesis, ia tampak seperti iblis, tapi dalam momen seperti ini mereka hanya terlihat seperti ibu dan anak normal.

Aku tertawa kecil melihat tingkah mereka.

“Benar-benar keluarga.”

“Ya. Mereka terlihat bahagia.”

“Coba kau teriak ‘Ibu!’ sekali. Siapa tahu berhasil.”

“E-eh?! Jangan bercanda…”

Tentu saja itu hanya lelucon.
Melihat kedekatan mereka, aku bisa mengerti mengapa Sang Grand Marshal memilih keluarga ini bahkan pada kehidupan ketiganya.

Kami terus berjalan menuju mansion.
Bukan sekadar untuk menikmati matahari—ada urusan terakhir sebelum menyingkirkan para infiltrator Nebula Klagie.

‘Ini yang terakhir.’

Kami akhirnya tiba di bukit di belakang mansion.
Tempat terbaik di seluruh wilayah—taman, sungai Taimen, semuanya terlihat jelas dari sini.

Di atas bukit berdiri altar dari tumpukan kayu.

“Dengan ini, anak itu pasti sudah melihat cukup banyak dari Acalucia.”

Adrian tersenyum sendu.
Di atas altar terletak peti kayu indah yang memegang tubuh seseorang yang akhirnya mendapat peristirahatan: Adeshan.

Pemakamannya berbeda—tenang, privat, hanya keluarga inti.

“Kalau begitu, kita mulai.”

Hanya kami berempat hadir: aku, Adrian, Asel, dan Erzevette.

Adeshan de Acalucia harus dikremasi sesuai tradisi keluarga.
Aku mengambil cabang kayu yang pas dari sekitar altar.

“Bagus juga ini.”

Pegangannya nyaman.
Erzevette menyalakan ujungnya, membuatnya menjadi obor.

Tangan lembutnya menyentuh tangan bawahku.

“Kita lakukan bersama.”

“Ya.”

Aku setuju tanpa ragu.
Memang niatnya begitu.

Adrian mengusap mata dengan sapu tangan.
“Maafkan kami… sungguh maafkan kami…”

“Hhiq… hhk…”

Mata ungu indah Erzevette berkilat basah.
Asel pun terisak—menyebalkan, ia bahkan tidak mengenal Adeshan.

“Huu…”

Aku menarik napas panjang.
Tidak melihat wajah Adeshan—kalau melihat, aku tidak yakin bisa menahan diri.

Erzevette memberi isyarat.

“Tuan Ronan.”

“Ya.”

Kukira dia yang paling banyak menangis, tapi ternyata tidak.
Mungkin karena sudah mempersiapkan diri.

Kami menaruh obor di atas kayu, lalu mundur.

Api menyambar cepat, melahap peti seluruhnya.

“Selamat jalan, Kak.”

Suara Erzevette lirih.
Api membesar, lalu asap membumbung tinggi ke langit.

“Tidak menangis,” gumamku.

“Tidak ada lagi air mata.”

“Kau hebat. Sebagai hadiah… aku akan cerita sesuatu yang bagus.”

“Eh?”

Aku menjelaskan padanya:
bahwa jiwa Sang Grand Marshal—Adeshan—telah mencapai akhir yang bahagia di dunia tempat aku berasal.
Semua harapannya terpenuhi, ia mencapai pencerahan, dan kini berada di surga bersama orang-orang yang ia cintai.
Dan bahwa… ia juga sangat menyayangi Erzevette.

“...Ah.”

Senyumnya hilang.
Rautnya, yang tadinya tenang, pecah.
Bibirnya bergetar seperti bendungan yang retak.

Aku menghitung dalam hati.

Satu… dua… tiga—

—pecah di detik ketujuh.

“Uwaaah! Uhk—uwaaaaah!!”

Tangis anak kecil, tanpa menutup wajah.
Adrian memeluknya dari belakang.

Aku membiarkan mereka menangis sepuasnya.
Tawa dan air mata harus dikeluarkan saat tiba waktunya—baru kemudian benar-benar selesai.

“Beristirahatlah.”

Aku menatap asap yang perlahan hilang.

Ini perpisahan sungguhan.
Tak ada dunia paralel lain—ini akhir dari segalanya.

Kami tetap di bukit sampai bara terakhir padam.

“Beristirahatlah…”

Rambut depanku bergoyang ditiup angin.
Langit cerah.
Angin segar.
Sungai Taimen berkilau biru tua.


Tiga hari setelah kremasi Adeshan, Adrian mengirim seseorang mencariku.

“Tuan Ronan. Barang Anda sudah selesai.”

“Hah? Sudah?”

Aku bangun dari tempat tidur saat mendengar suara lantang itu.
Erzevette bersandar santai di pintu dengan kopi di tangan, mengenakan kemeja putih dan celana panjang.

Kenapa bukan maid yang datang?

“Ya. Anda bisa pergi ke danau di taman. Siap berangkat?”

“Ya. Eh, kamu kelihatan capek.”

Aku menatapnya. Keadaan Erzevette tidak baik.

Meski makeupnya menutupi sebagian, kulit kusam dan kantung mata gelap jelas terlihat.

Aku hendak bertanya, khawatir ini gejala depresi lagi—tapi dia membalikkan tubuh cepat.

“Saya tidak apa-apa. Ayo pergi.”

“Oi, tunggu.”

Gerakannya dingin dan tegas.
Aku berjalan cepat menyusulnya.

Pakaiannya pun berbeda—lebih seperti pegawai kantoran atau peneliti.

“Kapan pun kulihat tempat ini, selalu indah.”

Begitu keluar mansion, taman besar terpampang.
Kubah mana sudah lenyap—tentu saja, itu sudah lewat beberapa hari.
Sesuai janjiku, seluruh infiltrator Nebula Klagie sudah kutangkap dalam 24 jam.

‘Bajingan-bajingan itu.’

Totalnya tiga puluh tujuh orang.

Dua dari mereka melarikan diri sambil menjerit.
Laki-laki itu hanya kehilangan kaki karena kutebas—perempuan satunya menabrak kubah mana dan langsung hangus.

Saat ini, tiga puluh lima sisanya pasti “bersenang-senang” di Rodollan.

Kami berjalan sampai tiba di tepi danau.

Danau ini, seperti arena latih, terlalu indah untuk sekadar tubuh tanah bangsawan.

Tapi… kenapa dipanggil ke sini?

“Ah, itu dia.”

Erzevette menunjuk lurus ke tengah danau.

Aku mengikuti arah jarinya—dan dahiku langsung mengerut seperti kertas kusut.

“…Astaga. Apa-apaan itu?”

2-112. Mercusuar

“Apa itu?”

Di tengah danau berdiri sebuah menara kecil.
Struktur itu jelas tidak ada beberapa hari lalu—bentuknya menyempit ke atas seperti mercusuar, dan dari bagian puncaknya terasa gelombang energi yang tidak biasa.

Erzevette terkekeh pelan dengan tawa yang agak suram.

“Heehee… itu mahakarya hidup saya dan Ibu. Kalau masuk, Ronan-nim pasti akan terkejut.”

Aku menahan komentar.
Melihat ia bahkan tidak mengoreksi dirinya saat menyebut Adrian sebagai “Ibu”, kelihatannya dia benar-benar kelelahan.

Aku hendak bertanya bagaimana kami akan mencapai menara itu tanpa perahu—

“Invisible Hand.”

“Ah.”

Erzevette melafalkan mantra.
Benar-benar profesi yang memudahkan hidup, penyihir itu.

Tangan tak terlihat mengangkat tubuh kami ke udara.

Kami meluncur perlahan di atas permukaan danau yang biru dan tenang.
Angin sejuk menyentuh tengkukku; setiap kali ikan melompat, riak air menyebar lebar seperti kaca retak.

“...Maafkan saya.”

Tiba-tiba Erzevette berbicara.

“Hm?”

“Waktu di ruang tamu, saat Anda berbicara dengan Ibu. Ternyata saya belum meminta maaf pada Ronan-nim. Itu tidak pantas…”

Ia menunduk, menggumam tidak tenang—sangat berbeda dari sikap tegas biasanya, dan cukup menggemaskan.

Setelah permintaan maaf panjang itu, ia menunduk dalam-dalam.

“Benar-benar… saya minta maaf, dan terima kasih. Saya tak akan pernah melupakan kebaikan ini.”

“Ya ampun. Kupikir kau mau bicara soal apa.”

Aku terkekeh.
Ia menyampaikan rasa bersalah dan terima kasih untuk semua kejadian beberapa hari terakhir.

Mengurus hal sekecil ini—berapa banyak bangsawan top yang hatinya sebaik dia?

“Tidak usah. Kita kan menyukai orang yang sama.”

“Menyukai orang… iya. Benar juga.”

Ia tersenyum samar.
Giginya mengigit bibir, dan pandangannya mengarah ke langit—langit di mana Adeshan ada sekarang.

“Dan bukan hanya itu. Aku sungguh menganggapmu teman. Kita punya… ketertarikan yang mirip.”

“Eh?”

“Tanpa sengaja aku melihat koleksimu. Kurasa Ibu hendak membuangnya sebagai kertas bekas… tapi wow, luar biasa.”

Aku mengangkat dua jempol.

Tumpukan kertas yang kukira sampah di gudang ternyata “buku-buku berbahaya” yang Adrian temukan di bawah ranjang Erzevette.

Karena kamera belum ditemukan oleh Didican, semuanya bergambar, seperti komik atau ilustrasi. Sebuah bukti bahwa imajinasi manusia bisa serendah neraka.

“S-sungguh…!”

Erzevette menutupi mulut.
Saking paniknya, ia bahkan tidak repot-repot menyangkal.

Wajahnya memerah sekeras apel matang.

“Beberapa malah cukup menyentuh. Model rambut hitam semua, sangat konsisten. Seperti garis keturunan bangsawan yang elegan. Khususnya yang dengan seragam militer dan garter belt—benar-benar karya agung—”

“Lupakan! Lupakan semuanya!”

“Mana mungkin kulupa gambar yang tidak bisa dilupakan?”

“Aaaargh!!”

Erzevette menerjangku seperti penyihir marah.
Aku memutar bahu, menghindari serangan itu dengan mudah.
Setelah beberapa detik bertarung—dia terengah-engah.

“후후, hubungan kalian membaik rupanya?”

Suara yang familiar terdengar dari bawah.

Kepala keluarga Adrian berdiri anggun di depan pintu masuk menara.
Kami segera berhenti dan mendarat. Adrian menutupi mulut dengan kipas, tersenyum.

“Dua hari 만이군요, Ronan-nim. Saya menunggu Anda.”

“Saya juga senang bertemu. Tapi… apa ini semua?”

“Fufu. Intisari penuh dari magiologi Acalucia. Mari masuk.”

Adrian membuka pintu menara.
Eksteriornya kecil—hanya cukup untuk satu orang lewat.
Ia mengenakan kemeja dan celana panjang, sama seperti Erzevette.

‘Jadi benar-benar mercusuar?’

Aku mengikutinya, penasaran.

Kami menaiki tangga spiral hingga puncak.
Di sana hanya ada satu ruangan kosong dengan sebuah kursi.
Langit-langit berbentuk kubah, seluruhnya kaca, dan dipenuhi pola-pola geometris—jelas sebuah magic circle.

‘Apa-apaan ini.’

Sungguh membingungkan.
Sejauh ini, tempat ini lebih terlihat seperti ruang untuk menyiksa orang gila.

Pikiranku yang rendah langsung membayangkan: saat Erzevette memukul kepalaku dari belakang dengan kayu, mengikatku ke kursi, dan mencabut kuku satu per satu sambil bertanya apakah aku “melakukan hal-hal seperti itu” dengan kakaknya.

Tapi lamunan itu terputus.

“Ronan-nim. Kami menyiapkan dua hadiah.”

Adrian berjalan mendekat sambil membawa sebuah kotak kayu berkelas tinggi—yang pasti sangat mahal.

“Dua sekaligus?”

“Benar. Mengusir kegelapan Acalucia layak mendapat itu. Hadiah pertama: Mana Tracer.”

Ia membuka kotak.
Di dalamnya ada bola kaca sebesar buah ceri, dengan jarum tipis yang melayang dan bergetar ke segala arah.

“Mana Tracer?”

“Ya. Mekanismenya sama seperti jarum darah, tapi tanpa mengambil darah. Anda bisa menetapkan target jauh lebih cepat, dan bentuk tiga dimensinya membuat pelacakan di udara atau bawah tanah mudah. Saat Anda mencari mana yang berhubungan dengan target, cukup tekan tombol—alat ini menyedot mana tersebut dan mulai bekerja.”

“Luar biasa. Saya suka.”

Aku langsung menyimpannya.
Sangat berguna.
Akasia adalah musuh monster; mengambil darahnya saja sudah merupakan perjuangan.
Dengan ini, tinggal tekan tombol.

“Terima kasih. Sebenarnya ini saja sudah cukup. Lalu hadiah kedua?”

“Menara ini. Mahakarya saya dan putri saya—dibuat setelah banyak riset dan eksperimen dengan puluhan artefak pelacakan.”

Adrian menempelkan tangannya pada dinding.

Ekspresinya penuh kebanggaan.

Menara itu… ternyata memang berfungsi seperti mercusuar magis.

Aku mengerutkan alis, memeriksa sekeliling.

“Eh… terima kasih. Tapi saya tidak tahu benda ini dipakai bagaimana.”

“Fufu… penjelasan terbaik adalah demonstrasi. Silakan duduk.”

“Baik.”

Aku duduk.

Untungnya, tidak ada yang memukulku dari belakang.

Begitu sandaran kursi menyentuh punggungku, seluruh ruangan gelap—dan sebuah jendela transparan muncul di udara.

“Wah, apa itu?!”

Aku spontan mengumpat.
Jendela itu melayang, tembus sentuhan—tanganku menembusnya seperti menembus ilusi.

Konon katanya terasa seperti hantu memelintir puting seseorang.
Ya, sudah lama aku tidak memakai metafora itu.

Suara Adrian menggema di kegelapan.

“Tenang, Ronan-nim. Kegelapan itu otomatis, untuk fokus. Kami semua tetap di tempat.”

“Di depan saya ada jendela hantu.”

“Itu layar siar. Mulai sekarang, Ronan-nim harus fokus penuh. Meski menara membantu pemrosesan, visualisasi tetap harus Anda lakukan.”

“Visualisasi?”

“Ya. Kami memikirkan cara melacak musuh tanpa petunjuk lokasi maupun benda fisik. Setelah tiga hari tanpa tidur, Erzevette menemukan jawabannya. Bila Ronan-nim memusatkan pikiran pada target—kenangan, ciri fisiknya—pemandangan di sekitarnya akan muncul di layar itu.”

“I-Ibu!! Jangan panggil begitu di depan orang!!”

Begitulah alasan mereka berdua terlihat seperti zombie tanpa tidur.

Menarik, sangat menarik.

“Luar biasa. Bagaimana prinsipnya?”

“Pikiran—dipetakan sebagai mana, lalu dipancarkan. Magic circle di kubah menyebarkannya ke seluruh dunia, dan hanya bila menemukan resonansi dengan objek/individu yang cocok, ia memantulkannya kembali. Kalau Anda ingin mekanismenya lebih rinci—”

“Tidak, tidak, cukup.”

Aku cepat-cepat menghentikannya.
Jelas wajahnya menunjukkan kalau ia bisa bercerita tiga jam tanpa jeda.

“Saya minta maaf. Saya bahkan tidak akan mengerti juga. Jadi… saya boleh mulai?”

“Tentu. Tutup mata Anda. Fokuskan ingatan—semua detail tentang penyihir itu. Sampai hanya dirinya yang tersisa dalam pikiran Anda.”

Nada suara Adrian menjadi tegas.

Aku menutup mata.

Wajah mengerikan Akasia terbentuk dalam kegelapan:
topeng licin seperti cermin, tubuh tinggi seperti werewolf, anggota tubuh tipis, dan enam mata iblis berkilat jahat.

‘Apa kau sebenarnya, Akasia.’

Fokus bukan masalah.
Tiga kehidupan penuh dendam membuat sosok itu mustahil dilupakan—seperti majalah dewasa rahasia Erzevette.

Aku mengingat perkelahian kami—awal yang penuh hantaman, lalu titik di mana akhirnya aku bisa melawan.

Kenangan dari kehidupan sebelumnya berdesakan masuk.

Laut merah yang meledak bersama Seniel.
Pegunungan yang ia hancurkan dengan satu gerakan jari.
Kastil putih yang berubah menjadi padang reruntuhan.
Dan jurang tak berujung tempat aku terus jatuh.

Kemudian—
detik ketika tebasanku merobek kaki dan retakan di tubuh Akasia.

“……!”

Kelopak mataku tiba-tiba diterangi cahaya.

Aku membuka mata dengan terkejut.

Jendela yang semula berkabut kini menampilkan pemandangan sangat jelas.

“Ini…”

Di atas dataran bersalju putih berdiri sebuah struktur raksasa—seperti segitiga siku-siku terbalik yang ditancapkan ke tanah. Bangunan itu jelas berasal dari teknologi kuno.

Di pintu masuk—yang hanya bisa dibuka dengan password—berdiri elf berambut putih.
Ia menatap langit dengan raut cemas.

Aku mengenalnya.

“…Elcia.”

Salah satu petinggi Nebula Klagie—yang mempertahankan keyakinannya sampai akhir.

Jika menara berhasil memanggil gambarnya, itu berarti Akasia pasti berada dekat situ.
Dan Elcia belum menyadarinya.

Dan yang terpenting—

Aku baru sadar sesuatu:
Pada titik waktu ini… ia masih hidup.

Seseorang yang tak sempat kuselamatkan di kehidupan sebelumnya.

“Brengsek.”

Aku bangkit berdiri seperti orang tersengat api.

Cahaya kembali muncul di ruangan, mengungkap wajah terkejut Adrian dan Erzevette.
Magic circle di kubah berkedip dalam warna-warna cerah.

“Ro-Ronan-nim?”

“Apa Anda baik-baik saja? Wajah Anda…”

Keduanya mendekat dengan hati-hati.

Meski aku sudah berdiri, jendela siar masih terlihat jelas.

Aku menatapnya kosong beberapa detik—lalu menarik napas panjang, seperti membuang udara yang tertahan.

Dan berkata lirih:

“...Ayah.”

“Eh?”

“Itu tempat di mana ayahku berada.”

2-113. Atas Nama Ayah (1)

“Be-beneran mau pergi sekarang, Ronan?”

“Ya. Memang harus begitu.”

“Padahal… aku belum membalas budi apa pun.”

Asel hampir menangis.
Seragam Acalucia yang rapi benar-benar cocok dengannya.
Kami sedang berpisah di atas bukit tempat kremasi Adeshan dilakukan.

“Nggak usah terima kasih. Yang berbakat memang begitu jalannya. Dan mulai sekarang jangan main sama orang kayak Hans lagi.”

“U—ung. Aku nggak akan lagi. Jangan khawatir.”

“Tapi jangan jadi sombong juga. Jangan sampai suatu hari kamu nyuruh gadis rakyat jelata jilatin sepatumu cuma karena kotor, atau meludahi orang sambil bilang pecundang tak berbakat nggak pantas belajar sihir—”

“A-aku mana mungkin begitu! Lima hari lalu aku masih rakyat jelata!”

“Bercanda, tolol.”

Asel langsung melambai-lambaikan tangan panik.
Jujur saja, aku tidak khawatir sama sekali.
Aku sudah tahu karakternya baik sampai ke akar.

Kusisir rambut merahnya sambil berkata:

“Tahun depan ujian masuk Phileon persiapkan baik-baik. Orangtuamu pasti bangga.”

“...Ung.”

Ia menggigit bibir, matanya berkaca-kaca.
Aku pura-pura tidak melihatnya, lalu memandang Adrian dan Erzevette yang berdiri menunggu dengan wajah berat hati. Untungnya kami sempat berbicara cukup banyak sebelum perpisahan.

Adrian berkata:

“Saat Anda merobek gulungan ini, teleportasi berantai akan segera aktif. Mengingat tujuan Ronan-nim… sepertinya akan terjadi sekitar sepuluh sampai tiga belas kali.”

Telunjuknya menunjuk scroll di tanganku.
Gulungan hitam pekat itu memiliki sihir teleportasi otomatis hingga dua puluh kali, sejauh koordinat ditentukan.
Jenis terbaik, cukup kuat untuk menyeberang benua.
Harga? Tidak berani kutanya.

“Anda tahu efek samping teleportasi, bukan?”

“Ya. Kalau sampai sepuluh kali, aku pasti puasa tiga hari. Sial, perutku sudah mual duluan.”

Aku hampir muntah hanya membayangkan.
Andai waktu bukan masalah, aku lebih memilih airship atau naik griffon.

Aku tidak tahu kenapa Akasia berada di sana. Tapi bila tujuannya membunuh Ayah atau Elcia, aku tak mungkin tinggal diam.

Aku menggenggam ujung scroll.

“Oh ya, ada satu permintaan.”

“Permintaan apa?”

“Tolong cari satu orang. Bilang pada siapa pun di militer yang Anda kenal: ‘Sedang mencari Ronan prajurit tamtama dari Batalyon Hukuman ke-4.’ Mereka pasti tahu.”

Sudah cukup lama, jadi sedikit samar.
Mungkin pangkatku waktu itu sudah kopral? Entahlah.

Yang jelas, mencarinya tidak sulit.
Saat itu reputasiku adalah: tempramen buruk dan ahli membunuh orang.

Adrian sempat bengong sebentar, lalu mengangguk.

“Ah… benar. Anda bilang berasal dari dunia lain. Jadi tentu saja Ronan-nim versi dunia ini juga ada.”

“Hanya saja jangan harap dia sopan sepertiku. Dia itu praktis hewan yang bisa bicara. Kalau memungkinkan, bawa dia ke Acalucia. Pastikan bawa pengawal. Dan… kalau dia melawan, berikan kertas ini.”

Aku menyodorkan secarik nota.
Isinya terlihat jelas karena tidak kulipat.

Mata Adrian menyipit membaca:

“‘Sebetulnya aku suka kakak perempuan. Rambut hitam, tipe posesif, semakin besar semakin baik (PENTING)’… apa artinya ini?”

“Itu sandi. Dia bakal ngamuk dan nanya siapa yang menulisnya. Pakai itu sebagai alasan untuk menyeret dia ke Acalucia.”

Metode yang sudah teruji di dunia sebelumnya.
Selama kepalanya belum kena panah, selera ceweknya sama persis denganku.
Laki-laki punya prinsip.

“Kalau begitu, sampai ketemu kalau takdir izinkan.”

Aku merobek scroll.
Kilatan cahaya melilit tubuhku.
Ruang di sekeliling terdistorsi dan perutku langsung melilit sakit.
Asel, yang sempat mengusap air mata, melambaikan tangan kuat-kuat.

“Ronan! Aku akan jadi penyihir hebat! Benar-benar akan!”

“Sikap yang bagus.”

Aku tak bisa menahan senyum.
Suara Erzevette semakin jauh… lalu semua gelap.

Dari kejauhan, seperti terdengar suara riak Sungai Taimen.


Cahaya memudar.
Di bukit itu kini tinggal tiga orang.

Adrian menatap tempat Ronan menghilang dan bergumam:

“...Beliau sudah pergi. Andai bisa tinggal sedikit lebih lama.”

“Benar begitu.”

“Karena rasa kehilangan ini… kita harus segera menjalankan permintaannya. Ronan-nim dari dunia ini… aku penasaran seperti apa.”

Ia tersenyum kecil.
Ronan merendahkan dirinya dan menyebut dirinya seperti binatang, tapi jelas lelaki itu pasti luar biasa.

Bertiga mereka menuju mansion.
Melihat Asel berjalan membungkuk, Erzevette langsung mengernyit.

“Asel-nim. Tolong jalan tegak. Tatap lurus ke depan, bukan ke lantai. Anda sekarang anggota Acalucia. Tunjukkan wibawa sedikit.”

“Hieek! M-maaf! Baik, akan begitu!”

“Uh… kalau terlalu sopan begitu justru membuatku seperti orang jahat. Maksudku hanya… punya sedikit kepercayaan diri. Ah, benar. Aku juga sudah menemukan jawabannya.”

“Jawaban?”

“Ya. Tentang mimpi yang Asel-nim ceritakan. Yang Anda masuk ruang bawah tanah dan melihat segalanya. Itu bukan mimpi. Besar kemungkinan itu… keluarnya roh.”

“Keluarnya… roh?”

Asel mirip burung kecil bingung.
Istilah itu pertama kali ia dengar.

“Ya. Saat jiwa terpisah dari tubuh. Penyihir hebat kadang mengalaminya. Dan kemampuan Anda menghancurkan ‘eksperimen’ dengan satu tebasan juga masuk akal jika itu terjadi saat roh Anda keluar. Mungkin sensitivitas mana Anda tersambung ke ruang bawah tanah dan bereaksi. Anda merasakan bahaya lebih cepat.”

“Ah… jadi itu alasannya.”

“Saya pernah mengalaminya beberapa kali. Tapi tidak pernah seterang dan sedetail itu. Perbedaannya jelas pada kemampuan. Jujur saja, bakat Anda membuat iri.”

“S-saya nggak sehebat itu! Justru Erzevette-nim yang—”

“Tidak. Anda hebat. Orang yang bisa menetralkan semua sihir Ayah saya dengan anti-sihir yang baru dipelajari hari itu… tidak pantas merendah seperti itu. Kelebihan Anda bikin aku ternganga.”

Tatapan tajam Erzevette menusuknya.
Asel tersentak dan cegukan.

Setelah menatapnya lama, Erzevette tersenyum tipis.

“Jadi… tetaplah jadi orang hebat.”

“Eh?”

“Bakat yang bersinar tak boleh disia-siakan. Teruslah cari pengetahuan. Teruslah naik. Dengan begitu aku juga punya alasan untuk bersaing. Mengerti?”

“...U-ung. Akan kulakukan.”

Asel tersenyum malu.
Adrian memandang dua calon masa depan dunia sihir dengan puas.

Saat mereka masuk ke koridor belakang, sekretaris Adrian bergegas mendekat.

“Ah, Anda di sini, Gaju-nim. Maaf mengganggu…”

“Ya. Waktunya kembali bekerja. Apa jadwal berikutnya?”

“Pertemuan dengan Serikat Dagang Karavel. Mereka sudah menunggu sepuluh menit. Mengingat Anda tidak tidur tiga hari… jika ingin menunda—”

“Tidak. Mereka sudah menunggu, tidak sopan membuatnya lebih lama.”

Adrian menggeleng.
Karavel adalah mitra dagang baru; kecil, tapi potensial.
Ia berencana menjalin hubungan jangka panjang.

Ia menoleh.

“Bagus. Asel-nim ikut saja. Sekalian belajar pekerjaan Acalucia. Hanya berdiri di samping saya sudah cukup.”

“Ya—yap! Akan ikut! Janji tidak bikin masalah!!”

“Huhu. Santai saja. Ayo.”

Mereka menuju ruang pertemuan tanpa jeda.
Kurang tidur atau lelah bukan alasan.
Inilah sebab Acalucia menjadi sehebat sekarang.

“Pas banget. Pemimpin baru serikat itu sangat berbakat. Jika tidak salah… seusia Asel? Namanya Sen?”

“Itu nama samaran. Nama aslinya Marja Sen Karavel, Gaju-nim.”

Sekretaris menjelaskan. Adrian mengangkat bahu.

“Ah benar. Nama aslinya lebih cantik, kenapa pakai samaran ya.”

Tapi tentu dia tak mempermasalahkannya.
Sesampainya di ruang tamu, mereka masuk.
Di sofa tamu duduk seorang pemuda pirang tampan.
Salam sopan pun saling bertukar.

“Ah, salam kenal.”

“...Dan Anda adalah?”

Tatapannya akhirnya bertemu dengan Asel.
Pemuda itu—Sen, atau Marja—dan Asel saling terpaku sepanjang pertemuan.


Langit berwarna gelap.
Badai salju menggila; angin cukup kuat untuk menerbangkan manusia.

Elcia menoleh cepat.

“Hm?”

Ia merasakan sesuatu—tapi tak ada siapa pun.
Hanya bongkahan es dan batu beterbangan dalam badai.

Ia menyipitkan mata dan menarik mana.

“Siapa di sana?”

Nadanya tenang, tetapi jantungnya berdegup keras.
Sejak mengkhianati Abel dan melarikan diri, hidup baginya adalah kewaspadaan tanpa henti.

Tidak ada jawaban.

Ia hendak memanggil beberapa roh penjaga tambahan—

“...!”

Tubuh Elcia tiba-tiba menegang.
Ketakutan purba menghantamnya.

Kengerian itu datang dari segala arah.
Aura pembunuhan yang tak terlihat menekan seluruh tubuhnya.

“A-akh…”

Napas pun sulit.
Rasanya seperti rantai tak kasat mata membelit organ-organ dalam.

Bahkan ketika Abel mengkhianatinya, ia tidak pernah merasakan tekanan semacam ini.

“Haa…”

Suara pun nyaris tak keluar.

Aura pembunuhan itu semakin dekat.
Elcia memejamkan mata—dan wajah Cain muncul dalam benaknya.
Sang penyelamat yang kini tak ubahnya lilin sekarat.

Dan akhirnya—

Ia bisa bernapas.

“Hailan!!”

Teriakannya menembus badai.
Di atas kepalanya, magic circle raksasa muncul.

Seekor elang raksasa, diliputi cahaya, robek keluar dari pola geometris.
Spirit angin tertinggi—Hailan.

“Fwooooosh!”

Hailan mengepakkan sayap.
Angin dahsyat meledak seperti badai terbalik.
Badai salju seketika menghilang.
Batu dan es jatuh diam.

“Haa… haaa…!”

Elcia membuang napas tertahan.

Radius satu kilometer menjadi tenang.
Langit abu-abu pun terbelah, memperlihatkan biru jernih.

Aura pembunuhan itu juga lenyap.

‘A-apa itu tadi…?’

Namun ia tak bisa santai.
Itu bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh.
Kalau itu makhluk hidup, level ancamannya jauh melampaui apa pun yang pernah mengintai Cain.

Hailan terbang berputar, bersiap menjaga.

Elcia bersiap ke mode waspada penuh—

“Hei.”

“Hiaaaaak!!”

Seseorang menyentuh bahunya dari belakang.

Elcia menjerit.
Ia memutar tubuh dan merapal sihir—fireball yang cukup kuat membakar rumah.

“Igni Circle!”

Namun tak berguna.

Cahaya merah melintas, dan fireball itu terbelah dua.
Elcia membeku.

Seorang pria berjas panjang muncul, menyarungkan pedangnya.

“Masih sama, ya. Lama tak jumpa, Elcia.”

“A-anda siapa?! Bagaimana tahu namaku—?!”

“Nanti kujelaskan. Yang penting kita ke Ayah dulu.”

Ronan berkata santai, langsung menekan puluhan kode password di pintu masuk—semuanya benar—dan masuk.

Elcia hanya berdiri terpaku, menatap pria asing itu menuruni tangga dengan langkah keras.

Beberapa detik kemudian ia menyadari satu keanehan.

“…Ayah?”

2-114. Atas Nama Ayah (2) 

Ruang penyimpanan vat Daienhar masih persis seperti yang kuingat. Cahaya dari deretan lampu LED memenuhi seluruh lorong. Di belakangku, suara napas terengah-engah Elcia terdengar saat ia mencoba mengejarku, tapi aku mengabaikannya dan terus berlari.

‘Kalau aku ingat benar, belok kanan di sini.’

Langkahku tidak berhenti sedetik pun. Karena pernah datang ke sini pada kehidupan paralel pertama, tubuhku seolah otomatis mengingat jalannya. Berkat itu, aku tiba di tujuan bahkan sebelum lima menit berlalu.

Sebuah pintu baja dengan garis kuning-hitam berdiri menutup rapat.

Aku mengernyit.
Empat digit terakhir… 4? 7?

“Ah, terserah.”

Kupikir sebentar, lalu langsung mengayunkan pedang.

Kraaak!

Satu tebasan miring memotong pintu baja menjadi dua. Kedua sisi pelat logam itu roboh ke dalam, menampakkan ruangan luas seperti perut monster logam—dipenuhi mesin, kabel menjuntai, dan perangkat pemantau.

Di tengah ruangan, sebuah tabung silinder menjulang, memancarkan cahaya biru pucat.

“……!”

Pandanganku tertarik ke sana.

Sebuah life-support chamber buatan era Daienhar — teknologi kuno yang masih tak tertandingi. Di dalam cairan pengawet yang memenuhi tabung, seorang pria telanjang terapung tanpa daya. Tubuhnya menghadap menjauh; untuk melihat wajahnya, aku harus masuk lebih dalam.

Begitu berdiri tepat di hadapan tabung, aku mendesis.

“...Sialan.”

Bukan karena jijik. Bukan karena shock.

Tapi karena rasa perih yang menyeruak terlalu dalam.

Kurasakan wajahku menegang sebelum akhirnya mengembus napas panjang, menatap pria itu lagi.

Puluhan pipa tipis menembus kulitnya, menancap pada organ-organ untuk mempertahankan hidupnya. Di tengah dadanya, luka hitam terbakar menganga seperti daging busuk—jelas tusukan dari si bajingan tak tahu terima kasih.

Rambut perak panjang yang sangat mirip dengan milik noona melayang lembut seperti tanaman air.

Tak diragukan lagi.

Itu Cain.
Ayahku.

“Masih hidup sampai sejauh ini… luar biasa. Hm?”

Tawa hambar lolos begitu saja.

Begitu lama aku tidak melihat wajah itu. Di dunia asliku, ini adalah sosok yang menahan serangan Abel dan mati di tempat. Di dua dunia paralel berikutnya pun, Cain selalu sudah tiada sebelum aku bisa menemuinya.

Setiap hembusan napasku meninggalkan kabut tipis di permukaan tabung kaca.

Aku menyentuhkan telapak pada permukaannya.

“Aneh…”

Ada sesuatu yang tidak biasa.
Ia memang sedang tertidur, sama seperti Cain yang dulu kukenal. Tapi kondisinya sekarang jauh lebih buruk.

Dadanya—yang seharusnya masih bergerak stabil, meski lemah—hanya naik sedikit… lalu turun sangat lambat, seperti napas ikan raksasa yang sekarat.

Aku langsung tahu alasannya.

Dia memburuk… cepat.

Cain sejak awal adalah orang yang sedang menunggu ajal. Tabung ini, seluruh kabel dan cairan dalamnya, hanyalah perpanjangan hidup—mimpi terakhir seseorang yang ingin bertemu anaknya sebelum mati.

Satu-satunya obat yang bisa menyembuhkan luka itu… hanyalah satu.

Abel.

Atau lebih tepatnya—darahnya.

Tepat saat itu, sebuah teriakan melengking dari belakang tabung.

“Berhenti!”

Aku menurunkan tangan perlahan dan menoleh.

Di balik kaca, Elcia berdiri terhuyung di ambang pintu, menggenggam dinding sambil terengah-engah. Kontras rambut perak dan wajah merahnya begitu jelas.

“Haa… haah…. Akhirnya… kutemukan kau…!”

“Elcia.”

“K-Kau! Siapa kau sebenarnya!? Mengapa bisa masuk ke sini!? Bagaimana kau tahu kodenya—?!”

Ia benar-benar memaksakan diri demi mengejar. Tanpa sadar aku tersenyum tipis. Aku terlalu fokus pada ayah hingga lupa bahwa ia—sama seperti Cain—adalah seseorang yang sudah lama tidak kulihat.

Tiba-tiba—

Tet—

Setetes cairan kental jatuh di punggung kakiku.

“Grrrrrrrr…”

“Hm?”

Aku mendongak.

Seekor serigala raksasa—ukuran cukup besar untuk menelan banteng utuh—mengintip dari lubang ventilasi di langit-langit. Bulu tengkuknya berdiri, taring terbuka, siap melompat. Tubuhnya tembus cahaya seperti asap.

Spirit.
Jenis serigala.

Ia hanya menunggu satu perintah dari Elcia untuk mencabikku.

“Sejak kapan dia memanggil begini banyak…?”

Aku menyilangkan tangan di pinggang dan mendecak.

Tak hanya serigala itu. Baru sekarang kusadari ruangan penuh spirit kecil dan besar—siput api yang membara, kelelawar terbalik yang menatap tajam, sirip hiu yang melingkar di lantai…

Tidak kusadari karena sejak masuk imanku hanya tertuju pada satu titik.

Dengan rambut basah menempel di wajahnya, Elcia mengangkat telunjuk tajam ke arahku.

“Jangan pura-pura bodoh! Menjauhlah dari tabung itu! Kalau kau melakukan satu hal mencurigakan saja—”

“Baiklah.”

Aku langsung mundur tiga langkah, kedua tangan terangkat.

Sikapku yang terlalu patuh membuat Elcia membeku seketika.

“Ka-Kau… apa…?”

“Aku bukan musuhmu. Tidak berniat mengagetkanmu juga. Kejadiannya hanya jadi begini… kebetulan.”

“Mengagetkan…? Tadi… aura itu… dari kau? Aura mengerikan itu?!”

“Yah, maaf kalau membuatmu trauma.”

Aku mengangguk.

Sejak tiba di dekat fasilitas ini, aku sengaja memancarkan killing intent.
Refleks. Hampir naluriah.

Pertama, karena kupikir aku bisa berhadapan langsung dengan Akasha.
Kedua, karena tubuhku masih muak akibat teleportasi bertubi-tubi.
Organ-organ di perutku seolah menari tap-dance tanpa izin.
Hari seperti ini membuatku merindukan Lucky Stripper.

Pipi Elcia kehilangan warna.

“Tidak masuk akal… bahkan Abel pun tidak pernah memberi tekanan sebesar itu…”

“Ya wajar. Toh aku lebih kuat dari bajingan itu. Dia lagi apa sekarang, ya.”

“K-Kau tahu Abel…?!”

“Tentu. Dia bajingan yang menusuk kakakku. Aku tahu hampir semua hal. …Syukurlah tidak terjadi apa-apa di sini.”

Baru setelah melihat Cain baik-baik saja (untuk saat ini), pikiranku sedikit tenang.

Elcia menatapku seperti menatap iblis yang bangkit dari jurang.

“…Kau ini siapa?”

“Aku anaknya.”

Kutunjuk Cain dengan dagu.

Elcia membeku.

“…Apa?”

“Namaku Ronan. Dia pasti pernah menyebut namaku sekali-dua kali. Kau tidak pernah dengar?”

“Ronan… Ronan…?”

Semua spirit berhenti bergerak bersamaan.
Bahkan rahang serigala raksasa itu membeku di udara.

Aku masih berdiri dengan tangan terangkat.

“Tidak mungkin…”

Elcia mendekat perlahan—sangat perlahan—seperti berjalan di atas es tipis yang akan retak kapan saja. Ia berhenti hanya tiga langkah dariku. Matanya bergerak cepat, membandingkan wajahku dengan wajah Cain.

Setiap kali tatapannya bolak-balik, pupil rubi itu semakin melebar.

Dan pada repetisi ke-33—

“…Astaga.”

Ia menutup mulut dengan kedua tangan. Mata besarnya mulai berkaca-kaca.

“Benar-benar… benar-benar Ronan-nim…?”

“Senang bertemu, Elcia. Ah, benar ya—ini pertama kalinya kita bertemu di dunia ini.”

Semua spirit padam serentak, berubah menjadi asap mana dan lenyap.

Saat memastikan bahwa ia telah menurunkan permusuhan, aku tersenyum kecil.

“Tentu. Senang melihatmu masih hidup.”

“Ba-Bagaimana…? Bagaimana bisa? Bukankah kau… seharusnya tidak mungkin melihat Sang Penyelamat? Dan… kenapa? Kenapa baru datang sekarang? Sudah lama lewat setelah Hari Kedewasaan—aku… aku…!”

“Elcia. Tenang dulu.”

Aku menggenggam pundaknya.

Telinga panjangnya berkedut.

“Aku akan menjelaskan semuanya. Dengarkan dulu dari awal sampai akhir. Kalau setelah itu masih ada pertanyaan, baru kau tanya. Oke?”

Ia mengangguk gemetar.

Maka aku menjelaskan—singkat, tepat, tanpa detail yang tidak perlu.
Tiga dunia paralel telah mengajarkanku bagaimana meringkas hidupku sendiri.

Dan tentu saja, reaksinya seperti kuduga.

“…Aku… sulit percaya. Dunia paralel…?”

“Ya. Aku bukan Ronan dunia ini. Yang versi dunia ini? Kemungkinan sekarang dia sedang ribut soal jatah makan dengan rekan-rekan kriminalnya di militer. Tapi aku sudah minta orang untuk menjemputnya. Kau pasti bisa bertemu nanti. Oh ya, nuna aman di kampung halaman.”

Itu urusan Acalusia. Karena jasa yang kuberikan, Adrian-nim pasti akan menculik Ronan versi dunia ini sekalipun harus melanggar hukum.

Aku menatap Cain.

“Lebih penting… Ayah benar-benar kelihatan parah.”

“Ya… kondisinya memburuk cepat sekali beberapa bulan ini.”

Nada Elcia menurun. Ia menunduk.

“Belakangan ini… setiap pagi aku bangun, aku harus siap mental… karena itu mungkin hari terakhirnya. Kadang matanya terbuka, kadang tidak. Dan satu-satunya cara untuk menyembuhkannya…”

“Hanya darah brengsek itu.”

Tepat sekali.

Elcia menghela napas lemah.
Satu-satunya obat untuk luka yang ditinggalkan pedang Abel adalah darah Abel itu sendiri.

Aku terdiam sejenak.

Sebenarnya, menangkap Abel sekarang… tidak sulit. Bahkan dengan satu tangan pun bisa. Pada periode ini, dia masih lemah—bahkan mungkin sedang sibuk menjilat para bald elders agar naik pangkat.

Tapi satu hal membuatku ragu.

Akasha.

Kenapa dia datang ke sini? Untuk apa?

Aku merogoh dan mengeluarkan mana tracker. Berkat tali yang dipasang Elizebet, artefak itu kini tergantung di leher seperti liontin.

Jarum kecil di dalam bola kaca itu hanya berputar liar tanpa arah.

Sudah pergi. Jejaknya hilang.

Begitu sampai di wilayah utara, aku langsung mengaktifkannya.
Artefak Acalusia bekerja sempurna—ia mendeteksi seberkas kecil mana Akasha yang terbawa badai salju, lalu jarum langsung menunjuk arah fasilitas ini.

Namun hanya selama tiga menit.

Saat aku berlari ke sini, jarum mulai kehilangan arah dan kembali berputar.

Menurut Elizebet, itu hanya mungkin karena dua hal:

—Akasha pindah ke dunia paralel lain, atau
—dia bergerak terlalu jauh hingga tidak lagi bisa dikejar; artinya keluar dari planet ini.

“Hah…”

Kepalaku mulai terasa berat.

Jika dia pindah dunia dalam kondisi luka parah, mustahil bertahan.
Tapi… kalau semua ini jebakan? Sesuatu yang aku belum pahami?

Dan sementara aku berpikir—Cain terus sekarat.

Sebelum aku bisa menimbang pilihan—

BOOM!

Sebuah dentuman raksasa mengguncang plafon fasilitas.

“A-Apa itu?!”

Elcia tersentak.

Aku menatap ke atas.

“…Rasa ini.”

Getaran itu.
Insting itu.
Rambutku berdiri.

Tubuhku bergerak lebih cepat daripada pikiranku.

“Aku keluar sebentar!”

“A-Aku akan kirim spirit untuk mengecek—!”

“Tidak ada waktu!”

Aku tidak berani bertindak sembarangan di ruangan Cain—perangkat di sini terlalu sensitif. Maka aku bergerak ke ruangan kosong beberapa meter jauhnya.

Dan—

KRAAAASH!

Dua tebasan bulan sabit mengoyak plafon logam, membuka lubang besar. Cahaya siang membanjiri ruangan.

“Seperti dugaan.”

Di sela debu dan angin, serpihan mana berkilau di udara.

Kupendekkan tubuh.
Hempaskan kaki.

Wuusss!

Aku melesat menembus lubang dan mendarat di atas salju.

Tak jauh dari pintu masuk fasilitas—

Retakan putih raksasa melintang di udara.

Dari dalamnya… menjulur sebuah lengan raksasa pucat, sebesar tiang istana.

『...못 지나간다. 길 형성에 문제가 생긴 듯하다.』

Suara bariton kasar menggema, membuat tubuhku bergetar pelan.

Aku mengenali suara itu.
Aku mengenali lengan putih itu.

“Sudah kuduga.”

Seandainya Akasha pergi ke mana pun, ia akan meninggalkan jejak.

Retakan dimensi.
Dan dari ukurannya yang kecil—hanya cukup untuk seekor werewolf melintas—ini bukan retakan untuk melarikan diri.

Ini jejak pelarian ke dunia raksasa. Dunia para Giant.

“Ini… bagus.”

Senyumku terangkat.

Tubuhku mencapai puncak lompatan—lalu mulai jatuh.

Aku memutar pedang.

Sret!

Tebasan cahaya memotong lengan raksasa itu.

“Enyah.”

『─────!!!』

Lengan itu terpisah tanpa perlawanan, menyemburkan darah biru ke segala arah.

Aku basah kuyup dari kepala sampai sepatu, tapi tak peduli.

Karena sekarang, rencanaku telah bulat.

“Elcia! Aku punya ide bagus!”

“Ya… yaaa?!”

Jika rencana ini berhasil—

Ayah tidak akan mati.

Benar-benar tidak.

“Elcia! Aku punya ide bagus!”

“Ya… yaaa?!”

Aku mengibaskan darah biru yang menetes dari jubahku. Pedang masih memancarkan cahaya merah tipis. Retakan dimensi yang digerogoti lengan raksasa itu bergetar keras, seakan siap runtuh kapan saja.

Aku menunjuk ke arah celah tersebut.

“Kalau kita bisa memanfaatkan ini… Ayah tidak perlu mati.”

“E… eh? M-Maksudmu apa?!”

“Akan kuceritakan nanti. Sekarang kita harus cepat.”

Aku melompat turun dari tumpukan es dan kembali memasuki fasilitas bawah tanah. Elcia terpeleset sedikit saat mencoba mengejarku, tapi akhirnya berhasil mengikutiku dengan napas terengah.

Kami kembali ke ruang penyimpanan vat. Aroma logam dingin dan cairan kimia menyengat.

Cain masih terbaring dalam cairan biru, dadanya nyaris tak terlihat bergerak.

Tidak banyak waktu tersisa.

Aku menghampiri tabung dan memeriksa kembali kondisi pipa-pipa penopang hidup itu. Elcia memegang dadanya sendiri, wajahnya memucat.

“Ronan-nim… ide apa tadi? Bagaimana mungkin retakan itu… bisa menyelamatkan…?”

“Karena itu bukan retakan biasa.”

Aku menatapnya.

“Itu pintu ke dunia Giant. Dan raksasa yang muncul barusan…”

Aku mengangkat pedang, menandai tingginya lengan itu.

“…itu jelas bukan niat utama retakan. Ukurannya terlalu kecil. Artinya retakan itu dibuat untuk melarikan seseorang—bukan Giant. Untuk meloloskan seseorang yang sekarat dan membutuhkan tempat lain.”

Elcia menggigit bibir.

“K-Kau bilang… itu berarti…”

“Akasha ke sana.”

Aku mengangguk.

“Aku tadinya takut ia kabur ke dunia paralel lain. Tapi tidak. Jejak mananya terlalu padat. Dia masih di dalam dunia yang terhubung.”

Elcia menatap tak mengerti, tapi ia mendengarkan.

Aku melanjutkan.

“Kalau aku bisa menyusul Akasha masuk ke retakan itu… kalau aku bisa mengalahkannya di sana…”

Genggamanku mengencang di pedang.

“…maka aku bisa membawa pulang darah Abel.”

Darah satu-satunya yang bisa menyembuhkan Cain.

Elcia terkejut hingga menutup mulutnya.

“Ronan-nim… itu… itu terlalu berbahaya! Dunia Giant bukan tempat manusia! Dan retakan itu hampir runtuh, kalau kau tersedot ke dalam proses runtuhnya—”

“Aku tidak akan mati.”

Aku menatap Cain.

“Karena aku belum sempat menyelamatkan Ayah di tiga dunia. Aku menunggu terlalu lama. Kali ini tidak.”

Tabung kaca bergetar pelan. Entah itu karena mesin, atau hanya perasaanku.
Tapi kuingin percaya bahwa Cain masih mendengar.

Elcia gemetar.

“A-Aku mengerti perasaanmu… tapi bagaimana kau mau menemukan Akasha di dunia raksasa? Itu tempat asing, tanpa petunjuk mana…”

“Ada.”

Aku mengeluarkan mana tracker.

Jarum kaca kecil itu terus berputar tanpa arah. Matanya berkedip bingung.

“…Tapi itu rusak, bukan?”

“Tidak rusak. Dia hanya terlalu jauh. Tapi begitu aku masuk ke dunia Giant, jarum ini akan menangkap tipis-tipis jejak mananya. Artefak ini diciptakan Acalusia, bukan mainan anak kecil.”

Aku menunjuk dada Cain.

“Jika ada satu kesempatan terakhir… itu sekarang. Kalau gagal, Cain tidak akan bertahan tiga hari.”

Elcia menutup mata. Bahunya gemetar. Lalu—

“…Aku ikut.”

Aku mengerutkan kening.

“Tidak. Kau jaga Ayah.”

“Tidak bisa. Kalau kau masuk ke dunia Giant tanpa elemen pendukung, kau akan dibekukan badai mana atau dihancurkan tekanan dimensi. Aku ahli spirit. Spirit angin tingkatan tinggi bisa menjaga tubuhmu tetap stabil.”

“…Hmph. Barulah masuk akal.”

“Dan lain kali… panggil aku Elcia saja. Jangan membuatku terdengar tua.”

Aku nyaris tertawa.

“Baiklah, Elcia.”

Kami kembali berjalan ke luar fasilitas.

Retakan itu masih ada, tapi mulai menyusut. Cahaya putihnya merambat seperti retakan kaca. Potongan dimensi bergetar, memuntahkan angin beku dan serpihan mana.

Aku berdiri tepat di bawahnya.

Elcia memanggil spirit angin kelas tinggi. Lingkaran sihir berputar di tanah, dan burung besar berwarna perak—Hyiran—muncul, mengepakkan sayap.

“Hyiran akan menjaga stabilitimu. Begitu masuk… langsung lacak jejak Akasha. Aku akan tetap berhubungan lewat spirit kecil yang kuikatkan padamu.”

“Baik.”

Aku menguji pijakan, memutar pergelangan tangan.

Pedang bergetar, haus akan pertarungan.

Retakan mulai menutup lebih cepat.

Tidak ada waktu menunggu.

Aku menatap Elcia.

“Kalau aku tidak kembali dalam dua hari—”

“Tutup mulut.”

Ia menatapku marah.

“Kau akan kembali. Titik. Aku tidak terima kemungkinan lain.”

Aku tersenyum tipis.

“Kalimat yang bagus.”

Aku menekuk lutut.

Angin mengamuk.

Mana berdesis.

Retakan bergetar.

“Hah!”

Aku meloncat—seperti anak panah merah yang ditembakkan ke langit.

Retakan berteriak, memancarkan sinar putih.

Aku menembusnya.

Seluruh dunia terbalik.

Tekanan dimensi menghantamku dari segala arah seperti palu raksasa.

“Agh—!”

Tubuhku tertarik, terpilin, didorong, dihisap. Suara dunia sendiri menjerit dan memekik.

Tapi Hyiran mengepakkan sayap, membungkusku dengan angin biru.

Retakan menutup tepat di belakang tumitku.

Dan—

BOOOOM!

Sesuatu pecah.

Sesuatu berubah.

Sesuatu hancur.

Lalu—

…hening.

…..

Udara yang kuhirup… jauh lebih berat.

Angin tajam seperti pisau kecil mencabik kulit.

Langit berwarna abu-abu kehijauan. Tanah di bawahku bukan tanah, melainkan logam raksasa, seolah sebuah dunia besi tak berujung.

Aku berdiri—di dunia Giant.

Jarum mana tracker mulai bergetar.

Kemudian, perlahan…

Tic.

Tic.

Tic—

Jarum mengarah ke satu titik.

Aku tersenyum.

“…Ketemu.”

Di kejauhan, berdiri kota besi yang hancur separuh, dan di atas reruntuhan itu—

—suara tawa retak terdengar.

Aku mengenali suara itu.

Akasha.

Aku mengangkat pedang.

“Baiklah… bajingan.”

Langkahku menghentak tanah.

“Darahmu—”

Suara angin meraung, menggulung debu logam.

“—akan menyelamatkan Ayahku.”

Dan aku mulai berjalan menuju medan perang.

2-115. Atas Nama Ayah (3)

Sebuah ide bagus terlintas di kepalaku. Beberapa detik setelah mendarat, lengan si raksasa jatuh di sampingku. Aku refleks tersedak.

“Uwek.”

Hanya dengan melihat potongan bagian dalam yang berdenyut-denyut dengan darah biru, rasa mual kembali naik ke tenggorokan.

Sebegitu laparnya pun, bagaimana dulu aku bisa makan daging menjijikkan seperti ini di parallel world pertama?

Sambil menutup mulut dengan tangan yang mengepal, aku berteriak.

“Elcia! Tolong bawakan aku wadah atau botol! Yang besar kalau bisa!”

“Hah? Botol?”

“Kalau banyak malah lebih bagus!”

Elcia mengerjap bingung. Meski terlihat kacau, ia tetap menuruti permintaanku—bahkan terlalu sempurna. Puluhan wadah dibawa oleh para spirit yang mengikuti Elcia dari gudang penyimpanan benih, dan diletakkan di depanku.

“Haa… aku sudah bawa semuanya. Apa ini masih kurang?”

“Uhm… kamu pernah dengar orang bilang kamu ‘berlebihan’ nggak?”

Melihat wadah-wadah itu, aku hanya bisa tertawa hambar. Masing-masing ukurannya selevel kontainer susu dari peternakan. Aku cuma membayangkan ember besar, tapi yang dibawanya… yah, jauh di luar ekspektasi.

Mata Elcia membelalak.

“Eh? Bagaimana Anda tahu? Setiap kali aku memberi hadiah, para Penyintas selalu bereaksi seperti itu. Padahal aku hanya ingin menunjukkan rasa terima kasihku…”

“Kamu biasanya ngasih apa? Permata mahal?”

“Yang paling terakhir aku beri adalah tambang emas. Plus seratus bandit yang mendudukinya secara ilegal, kujadikan budak dan kuberikan sekalian. Tapi katanya terlalu membebani, jadi beliau menolak. Hatiku sakit sekali…”

“Ah.”

Aku kehilangan kata-kata. Rasanya seperti melihat bayangan High Elf lady yang anggun dan berlebihan itu tercetak di dirinya.

Tidak pernah kusangka akan ada seseorang yang lebih ekstrim daripada ayahnya Schlieffenne.

Aku menggaruk belakang kepala sebelum melanjutkan.

“...Tidak ada maksud tertentu, hanya bertanya saja. Lagipula, kasih sayang tanpa syarat itu memang selalu ada pasarnya. Pokoknya lakukan seperti yang kukatakan. Peras semua darah dari lengan raksasa sebesar tai paus ini.”

“Da… darah?!”

Elcia terperanjat. Aku tidak menjawab dan langsung mengayunkan pedang. Puluhan bekas tebasan berbentuk silang muncul di lengan putih itu. Darah yang tadinya menetes dari permukaan potongan langsung menyembur.

“Kyaaak!”

“Sebelum kesegarannya hilang, cepat tampung semuanya. Lalu coba suntikkan sedikit-sedikit pada ayahmu. Bagaimanapun juga, kemampuan ayahmu dan Abel sama—sumbernya adalah darah makhluk-makhluk ini… minimal bisa berfungsi sebagai pereda rasa sakit.”

Aku tak bisa menjamin, tapi efeknya seharusnya ada. Di dunia asal, saat mereka menyuntikkan darahku, setidaknya beliau bisa membuka mata dan tersenyum.

Darah para raksasa—

“Tu-tunggu sebentar, Ronan-nim. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Raksasa-raksasa yang seharusnya muncul saat Starfall kenapa tiba-tiba ada sekarang…?!”

“Nanti setelah aku kembali, akan kujelaskan. Tidak ada waktu dan kalau dibiarkan bisa muncul lagi. Panggilkan satu wind spirit baru untuk mengangkutku. Dan berikan satu scroll pemanggilan juga.”

“Burung?”

Elcia mengerjap bingung. Aku menunjuk ke atas—ke celah yang terbuka di udara.

Celah Akasha yang terhubung ke Bald World berkilat seperti pasir putih yang terbakar matahari musim panas.


Elizabette melepas kacamatanya dan berkata,

“Baik. Bagian belakang ini kita potong habis saja.”

“Apa?”

Kupelototkan mata, merasa ini omong kosong apa lagi. Typo correction itu wajar, tapi menghapus keseluruhan isi? Baru pertama kali terjadi.

Namun sikap editor Elizabette tetap keras dan meyakinkan seperti seorang artisan. Dalam genggamannya ada draft tulisanku minggu ini.

“Bagian itu memang bagus, tapi terlalu mudah ditebak. Tidak jauh beda dengan parallel world pertama. Begitu masuk celah, para botak yang dilapisi tepung roti beterbangan seperti ikan asin… setiap kali Ronan-nim mengayunkan pedang, darah biru muncrat… Dunia para raksasa itu cukup ditampilkan sekali saja sepanjang cerita.”

“Kamu yakin?”

“Yakin. Memangnya Anda tidak percaya pada saya?”

“Percaya kok. Kalau begitu, potong saja sekalian.”

Elizabette menyerahkan kembali naskahnya.

Aku menandai semua bagian adegan pertarungan di Bald World dengan tanda X.

Dipikir-pikir, dia memang benar. Di dunia pertama, setidaknya Le Tancier, Fantasion, Orse, dan Abel berperan sebagai bumbu. Tapi kali ini hanya aku seorang diri, jadi ceritanya jadi terlalu monoton.

Setelah mengecek ulang naskahnya, aku menepuk pundak Elizabette.

“Bagus. Sangat bagus, Eri. Makanya aku memilihmu sebagai editor.”

“Hehe, saya memang punya insting tajam. Terkadang bagian cerita justru harus dipangkas.”

“Aku setuju. Yang terpenting adalah cerita tidak membosankan. Tapi tetap harus menjaga alurnya.”

“Benar sekali. Oh, dan soal naskah minggu ini… itu mengingatkan saya pada sesuatu…”

“Hm?”

Tiba-tiba suaranya merendah.

Dengan mata yang menyipit tajam, Elizabette melanjutkan.

“Saya sudah memberikan undangan, tapi kenapa Anda tidak datang? Tahu tidak saya menunggu berapa lama?”

“Makanya aku mampir ke dunia sebelah waktu itu. Masa rasa bersalahku tidak tersampaikan lewat tulisan?”

“Itu kan novel. Dan lihat ini—bahkan di sini pun Anda tidak masuk, hanya mengirim Asel-nim. Keterlaluan sekali.”

“Aku masuk Akalusia mau ngapain? Paling cuma mengintip para maid dan membuang sisa umurku. Tapi tetap, aku menghargai undanganmu. Terima kasih.”

“Benar-benar… Anda sama sekali tidak tahu bagaimana perasaanku waktu itu…”

Elizabette bersedekap sambil mendengus. Kukira dia tidak terlalu peduli, tapi ternyata dendamnya cukup besar. Aku merasa bersalah, tapi apa boleh buat—aku benar-benar tidak punya waktu untuk pergi ke Akalusia.

Sambil menenangkannya, aku mengusap lembut kepalanya.

“Maaf. Tapi itu tempat yang bagus… jauh lebih bagus dari yang kubayangkan.”

“Hmph, tentu saja. Tapi Anda membicarakannya seakan-akan sudah pernah ke sana.”

“Tapi aku memang sudah ke sana.”

Aku memandangi Elizabette dari atas ke bawah. Perempuan dewasa yang berdiri di depanku ini berubah begitu mirip Adrian dari parallel world—baik wajah maupun tubuh. Transformasi luar biasa. Fakta bahwa dia menyukai perempuan saja sudah cukup untuk dimasukkan ke daftar tiga tragedi terbesar para pria Kekaisaran.

Elizabette berkata,

“Anda bercanda lagi… Tapi saya tak tahu Anda menyelidikinya dari mana, tapi Anda benar soal satu hal.”

“Hah? Tentang apa?”

“Di Akalusia memang ada seorang maid bernama Liz. Dia sangat pandai bersih-bersih, dan kakinya indah. Kami cukup dekat. Tapi saat Kekaisaran menumpas Nebula Clazier, dia tertangkap.”

“Bagaimana mereka menangkapnya? Kalau bukan karena keberuntungan, aku sendiri hampir gagal.”

“Jaipa-nim menyeretnya begitu saja. Katanya instingnya tidak pernah salah… Mama—ah, maksud saya, gaju-nim—sudah mau marah besar. Tapi dalam sehari, terbukti bahwa Liz memang seorang fanatik.”

“...Hah.”

Aku mendengus. Bahkan aku hampir tidak menangkapnya, tapi Jaipa berhasil hanya dengan “insting”.

Begitu rupanya.

Saat aku mengangguk pelan, Elizabette mengepalkan tangannya.

“Kalau begitu, semangat untuk minggu ini juga. Terima kasih sudah menerima pendapatku.”

“Sama-sama. Hati-hati pulang.”

“Baik~ Aku mau ngobrol dulu dengan Adeshan-unnie, jadi jangan khawatir.”

Kami berpisah setelah saling memberi salam ringan.

Aku kembali duduk di meja dan memeriksa naskah yang kini terasa lebih ringan. Memang lebih baik setelah dipotong. Jika dipikir, kemacetan terbesar dalam cerita biasanya muncul ketika kita terlalu ingin menguraikan segalanya secara detail.

Sambil memutar pena, aku menurunkannya ke bagian yang hendak kutulis.

“Hm. Jadi…”


『Kraaaaakh!!』

Raksasa itu jatuh sambil memercikkan delapan aliran darah dari delapan sayapnya. Ia adalah raja para raksasa yang menguasai Bald World. Dengan semua sayapnya terpotong, ia tak berdaya menyaksikan kehancuran asal-muasal bangsanya sendiri.

Saat ia terjun, raksasa itu mengulurkan tangan dan menjerit.

『Berhenti, berhenti-lah!』

“Persetan.”

Ucapan yang tak pantas didengar. Satu ayunan pedangku menggambar garis merah di atas origin. Dengan hilangnya daya penyangga, origin itu meledak seperti gelas kaca pecah.

Di sanalah perjalanan tiga hari ini mencapai akhirnya.

『Yang Mulia…!』

『Aah… aaahh…』

『Me… musnah…』

Tubuh para botak yang memenuhi perbukitan berubah menjadi partikel cahaya dan hancur. Dari kuil tempat origin dipuja, seluruh pemandangan dunia aneh ini terlihat jelas.

Tiba-tiba, rasa sakit yang tertahan selama tiga hari penuh menyerang sekaligus.

“Ugh.”

Aku meraih dadaku. Tidak ada bagian tubuh yang tidak sakit. Meski aku pernah menaklukkan Bald World sebelumnya dan memakai rute tercepat menuju origin, para botak itu tetap musuh berat.

Aku menghabiskan sepuluh scroll summoning wind spirit pemberian Elcia untuk sampai ke sini dan menghancurkannya. Sepuluh—semuanya spirit yang luar biasa.

“Semoga kalian para botak hidup bahagia di neraka sambil makan telur rebus.”

Bagaimanapun, ini tetap kemenangan. Aku mengacungkan jari tengah ke langit.

Jutaan berkas cahaya melesat menuju luar angkasa. Masing-masing adalah jiwa yang sebelumnya dijebak oleh ras botak. Saat kuayunkan pedang, aku mengantar mereka pergi.

Jarum Mana Tracker yang sempat berhenti kini menunjuk ke bawah kakiku.

“Oh?”

Kulihat ke bawah tapi tak terlihat apa-apa. Artinya sangat jauh.

Tanpa ragu aku melompat dari kuil tersebut. Kulit wajahku tertarik ke belakang sementara tanah yang hancur seperti debu tulang terlihat semakin dekat. Di hamparan padang ratusan meter di bawah sana, seorang pria berambut putih berdiri.

“Ketemu.”

Sudut bibirku terangkat. Matanya yang menatap langit penuh cahaya tampak kosong, seperti seseorang yang bangun tidur lalu langsung dipukul.

Tidak aneh. Ambisi raksasanya yang ia bangun selama ribuan tahun sedang hancur di depan mata.

Bala tentara raksasa berubah menjadi partikel cahaya.

Bangsa yang ia yakini tak terkalahkan menjerit dengan suara terakhirnya.

Pria itu ternganga lama sebelum akhirnya bergumam lirih seperti orang ngompol.

“...Apa-apaan ini…”

Itu Abel, si pembuat masalah di pihak kami. Setelah gagal menemukan Akasha (bajingan itu sepertinya kabur ke dunia lain lagi), aku mengganti target pencarian pada hari kedua.

Abel rutin datang ke Bald World untuk melakukan lobi demi Starfall. Kebetulan siklusnya pas. Kukira harus menunggu lama, ternyata keberuntunganku bagus.

“Hup.”

Aku mengayunkan pedang ke belakang. Ledakan terjadi, tubuhku melaju lebih jauh dan mendarat seperti kilat merah di belakang Abel. Ia menoleh saat mendengar suara.

“Hm?”

“Halo, Paman.”

Sambil terkekeh, aku melambaikan tangan. Abel merasakan keanehan dan memegang gagang pedangnya.

Sikap berlebihan, tidak cocok untuk seseorang yang sedang melihat mimpinya diperkosa orang lain… tapi aku terlalu senang melihatnya, sampai-sampai sulit menahan tawa.

“Kau… harus… menebus dosa, kan?”

Aku memutar pedang sekali lalu menginjak tanah.

Kalau kebablasan nanti kacau, jadi cukup sampai di sini saja kuberitahu. Butuh 15 detik.

Waktu yang kuhabiskan untuk mematahkan pedangnya, menebas kedua lengannya, dan menyodokkan gagang pedangnya ke anusnya. Tanpa origin dan armor logam buatan Akasha, Abel bukan lagi lawanku.

Air mata yang tidak keluar meski kutebas puluhan kali akhirnya meluncur tanpa perlawanan di tahap terakhir.

“Graaaakh! Gyaaaaakh! Ghoooot!!”

Jeritannya menyayat. Aku mengangkat Abel yang meronta itu ke bahuku dan kembali ke dunia asal.
Sebagai catatan, lingkaran sihir untuk pulang kugambar dengan pedang yang menancap di pantatnya.

2-116. Atas Nama Ayah (4)

Langit memancarkan warna putih pias. Angin yang bertiup dari balik tanah tandus tidak membawa aroma apa pun. Kastil pucat—markas besar Nebula Clazier—menatap lanskap hambar itu seperti bangkai raksasa yang telah lama mati.

Sudah ketiga kalinya aku datang ke sini, tapi entah kenapa, rasa benci pada tempat ini tak juga hilang.

“Memangnya mata mereka buta? Kenapa harus bikin kastil di tempat sialan macam ini?”

Aku duduk menyilangkan kaki di kursi khusus untuk Gyoju, mengeluh sendirian.

Dari podium tempat pidato, halaman dalam kastil pucat terlihat jelas. Ribuan pengikut berjubah putih memenuhi area itu. Karena ada perintah darurat, hampir semua anggota dari berbagai tingkatan berkumpul.

Abel yang berdiri di depanku akhirnya berbicara.

“Umumkan.”

“Ya—Gyoju-nim akan bersabda!”

Semua sorot mata berkumpul padanya.

Suara Gyoju memiliki kekuatan untuk mencengkeram massa hanya dengan satu kata.

Abel mengambil jeda singkat, menatap langit, lalu menutup mata sambil melanjutkan ucapannya.

“Mulai hari ini… Nebula Clazier dibubarkan.”

Nada bicaranya terlalu tenang untuk pengumuman sebesar itu.

Mungkin karena mentalnya sudah benar-benar patah, atau—lebih mungkin—karena ancamanku bahwa kalau dia coba melakukan kebodohan apa pun melalui para pengikutnya, aku akan menyodokkan gagang pedang ke pantatnya sekali lagi. Mungkin keduanya.

Keheningan singkat tapi berat turun. Segera, suara kebingungan terdengar dari berbagai penjuru.

“…Dibubarkan?”

“A-aku salah dengar? Apa yang barusan dikatakan Gyoju-nim?”

“Kami perlu penjelasan. Dan, siapa pria yang berdiri di sampingnya itu?”

Bisik-bisik makin riuh. Mereka memang menahan suara karena berada di depan Gyoju, tapi ribuan orang berbisik tetap saja menjadi hiruk-pikuk. Akhirnya para anggota tingkat tinggi memulai protes terbuka.

“Gyoju-nim! Benarkah itu!?”

“S-saya tak mengerti! Semua berjalan sesuai rencana, kenapa tiba-tiba…!”

Para Archbishop yang jeli langsung menatapku dengan niat membunuh. Sepertinya harus diberi penjelasan tambahan.

Aku menodongkan sarung pedang ke bokong Abel.

“Hei.”

“…Tahu. Akan kulakukan.”

Abel mengertakkan gigi. Tubuh ringkihnya bereaksi bahkan pada sentuhan kecil. Celana belakangnya yang ternoda merah hanyalah monumen yang memamerkan penghinaan yang baru saja dia alami. Kedua lengannya memang sudah tumbuh kembali, tapi celananya tidak.

Melangkah dua langkah ke depan, Abel berkata lagi,

“Itu benar. Gereja ini telah kehilangan tujuannya. Starfall tidak akan terjadi.”

“M-maksud Anda apa? Mengapa bisa demikian?!”

“Persis seperti yang kalian dengar. Para makhluk agung di luar langit… tidak, tidak perlu lagi bersikap formal. Para botak tolol itu sudah hancur tanpa tersisa. Bahkan akar kekuatan yang selama ini mereka sembunyikan telah dihancurkan. Tak ada lagi visi yang bisa kita kejar.”

“Tak masuk akal…!”

Seorang bishop menutupi wajahnya dengan telapak tangan.

Namun menuduhnya membual atau melempar tomat busuk maupun batu tidaklah mungkin—wajah Abel terlalu serius. Kekacauan tumbuh, dan kali ini suara datang dari kelompok Archbishop.

“Gyoju-nim. Mengapa bisa terjadi hal seperti itu?”

Suara yang familiar. Saat kulirik, Lethansie ada di sana.

Perempuan yang menguasai peran tupai terbang lebih baik dari siapa pun. Wajah tanpa kerut dan ujung mata melengkung menggoda nyaris membuat seseorang lupa bahwa ia adalah penyihir berusia lebih dari seratus tahun.

“Apa dunia para makhluk agung itu mengalami bencana? Semacam anomali kosmik…?”

“Tidak. Bukan itu.”

“Hah?”

“Dunia para botak tak berguna itu dihancurkan oleh satu orang. Orang yang duduk di belakangku sekarang. Dan karena kalian cepat atau lambat akan tahu, salah satu alasan gereja dibubarkan… adalah karena aku kalah darinya.”

“……Apa.”

Wajah Lethansie mengeras. Para pengikut lainnya sama saja. Tatapan yang sebelumnya tertuju pada Abel kini semuanya menusuk ke arahku. Abel menoleh padaku.

“Bagaimana kalau mulai dari sini kau sendiri yang bicara? Sepertinya akan lebih efektif.”

“Hmm, masuk akal.”

Pendapatnya cukup logis. Aku bangkit berdiri dengan kedua tangan tetap di dalam saku.

Begitu aku mendorong Abel ke belakang dan melangkah maju, wajah para pengikut langsung mengerut jijik.

“Berani sekali…!”

“Tak tahu diri! Bagaimana kau berani menyentuh Gyoju-nim!”

Masih ada kesetiaan tersisa pada mereka. Mengingat mereka bahkan belum menerima kenyataan pembubaran, wajar juga. Meskipun itu sama sekali bukan urusanku.

Aku meludah ke bawah podium lalu buka suara.

“Bising sekali. Sampah yang bahkan got pun tak mau menerimamu.”

“M-maaf? Apa yang kau bilang?!”

“Kalian, yang hendak menghancurkan dunia, apa istimewanya sampai bisa mengoceh seenaknya? Akan kukatakan sekali saja, jadi buka telinga. Kalian punya dua pilihan.”

Aku mengeluarkan tangan dari saku dan mengangkat dua jari. Sebagian besar pengikut langsung meraung seperti kawanan monyet birahi, tapi aku tak peduli.

“Yang pertama adalah menyerah dan menerima hukuman. Di ibu kota, kalian akan diadili secara resmi, dan perlakuan kalian akan tergantung seberapa banyak kekejian yang kalian lakukan. Kalau hidup lumayan baik, kalian hanya dipenjara. Kalau tidak, kepala kalian dipenggal atau kalian menghabiskan sisa waktu bersama para penyelidik di Rodollan.”

“Omong kosong! Apa kalian semua akan mendengarkan ocehan sampah itu!?”

“Pilihan kedua sederhana. Kalian mati di sini.”

Begitu ucapanku selesai, aku mengayunkan pedang.

Satu kilatan setipis kacang polong menembus glabella pengikut yang barusan berteriak. Peluru pedang itu meledakkan tengkoraknya dari belakang, menyemburkan otak bersama darah.

“Gguk—kghak.”

Tubuh yang sudah menjadi mayat itu bergetar seperti kelabang yang tersiram api.

“H-hiiy…!”

“M-Marson mati dalam satu tebasan…!”

Keheningan seketika menyelimuti. Para anggota tingkat tinggi memucat. Mereka bisa melihat perbedaan kekuatan itu—di antara sekian banyak orang, membunuh satu orang tanpa kena yang lain menggunakan Sword Aura bukan hal mudah.

Aku memutar pedang dan meraihnya kembali sambil berkata,

“Siapa pun yang memilih mati di tempat, bilang saja. Terus terang aku lebih suka pilihan itu. Kesempatan membela diri di hadapan hakim kuberikan hanya karena saat ini kalian belum mencapai level sampah terburuk.”

Kalau setahun lebih lama, tidak akan ada pilihan. Aku akan mengumpulkan mereka di satu tempat dan mengirim hujan pedang tanpa ragu.

Alasan aku menunjukkan belas kasihan yang tak biasa ini—selain soal waktu—adalah karena di parallel world kemarin, aku bertemu beberapa orang yang cukup berguna.

Salah satunya, Lethansie, berbisik pelan,

“…Jangan ada yang maju.”

“Hm?”

“Kita tidak bisa menang. Tidak mungkin.”

Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Bibirnya pucat karena tegang. Memang, sebagai otak taktis gereja, nalurinya cepat. Para Archbishop lain pun, meski tidak rela, mengikuti pendapatnya.

Anakiel—si elf berambut biru—mengangguk.

“Ya. Aku masih ingin hidup. Aku pilih Rodollan.”

“Andaikan bukan karena bayi-bayi itu… Sungguh menyedihkan. Di mana dunia bisa melahirkan monster seperti dia.”

“Kalau aku bergerak, aku pasti melukai Gyoju-nim. Tidak ada cara.”

Anakiel, Alicia, hingga Kailasys si manusia penguatan. Semua wajah familiar. Pantas saja Fantasion tidak ada—sepertinya sedang bertugas di luar.

Karena para Archbishop ragu, mereka yang di bawah tak ada yang berani bersuara.

Bagus. Waktu tidak banyak.

Aku menunggu tepat sepuluh detik, lalu mengangguk.

“Baik. Kuanggap kalian semua memilih menerima pengadilan hukum. Kalau begitu, kita langsung menuju portal—”

“Tidak. Aku tidak mau.”

“Hah?”

“Bocah tidak tahu diri. Kau pikir siapa yang memberi izin untuk bicara begitu?”

Suara tajam menembus keramaian. Aku mengangkat alis dan menoleh. Seorang wanita berambut merah menyala menatapku penuh amarah. Aku mengenal wajahnya dari parallel world terdahulu—Tiyeria, kalau ingatanku benar.

Ia melangkah maju, membelah kerumunan, lalu menuding podium dengan telunjuk.

“Kubiarin kau ngoceh karena lumayan lucu. Tapi ternyata benar-benar tak tahu batas. Meski sedikit lihai dengan pedang, kau tetap hewan. Hewan manusia yang berpikir bisa bicara dengan kami?”

“Tiyeria! Jangan!”

“Tutup mulutmu, Lethansie. Kalian mengaku Archbishop? Menjadi ciut hanya karena trik murahan seperti itu?”

Tiyeria menggeram tajam. Lethansie menggigit bibir tanpa mampu membantah.

Tiyeria… ya, kalau ingatanku tepat, dia memang vampir kuno atau semacamnya.

‘Di Rodollan, aku memenggalnya dalam satu tebasan. Bahkan tidak sempat melihat apa tekniknya.’

Ia kembali menatapku.

“Tapi yang paling menyedihkan adalah kau, Gyoju. Tidak, kau bukan itu lagi. Kalau tahu kau seorang pengecut menyedihkan begini, aku tak akan masuk gereja sejak awal.”

“Tiyeria.”

“Jangan panggil namaku. Menjijikkan. Dan dari tadi aku penasaran, kenapa pantatmu berdarah? Kau diperkosa bocah itu, hah? Kuhihihihi…!”

Tiyeria tertawa.

Selain dia, hanya aku yang ikut tertawa.

Sebagai vampir, tentu ia peka dengan bau darah. Abel, meski baru saja mengalami penghinaan mutlak, tidak marah. Sebenarnya, apa yang menimpanya selama satu jam terakhir memang tak jauh berbeda dari diperkosa—baik secara fisik maupun mental.

Aku mengembuskan napas, menghapus senyumku.

“Haa… ribut sekali. Kalau mau berkelahi, maju saja cepat.”

“Sombongnya bocah ini… Tenang saja, memang itu niatku.”

Wajah Tiyeria terdistorsi ganas.

Kwaaaaah! Seluruh tubuhnya diselimuti pusaran darah.

Darah yang bergerak seperti makhluk hidup membentuk wujud iblis setinggi tiga meter. Bentuk khas vampir kuno seperti yang tertulis dalam literatur. Menampakkan wujud aslinya, Tiyeria meraung bagai logam mendidih.

“Akan kucabik kalian berdua sekaligus!”

Iblis darah itu membentangkan sayapnya dan melesat ke udara. Jejak merah pekat membelah udara di belakangnya.

Cukup cepat. Dan aku tahu kepercayaan dirinya tidaklah kosong. Dari ribuan orang di sini, hanya sedikit yang bisa melihat gerakannya sekarang.

“Cih.”

Namun sayangnya untuknya—aku termasuk “yang sedikit” itu. Aku memiringkan kepala, dan cakar darah itu melewatiku hanya selebar dua helai rambut.

“W-apa…?!”

Tiyeria terpeleset dalam keterkejutan. Saat ia mencoba berbelok kembali, aku tidak berniat membiarkan.

Aku menarik pedang dan melepaskan rentetan tebasan. Puluhan garis putih tercetak di tubuh iblis darah itu.

“Ah…”

“Andai kau yang terakhir, itu lebih baik. Sungguh.”

Pedangku menyerap darah. Saat kusarungkan, semua garis itu terbuka dalam satu waktu dan meledak. Hujan darah turun, lalu tidak tersisa apa pun. Abel yang menyaksikan hanya menyunggingkan senyum miris.

“Bodoh.”

Wajahnya campur aduk oleh berbagai emosi. Para pengikut yang terlambat memahami adegan itu terpaku shock. Aku melempar dua kepala yang sejak tadi kubawa dalam kantong.

“Nih, hadiah.”

“H-hadiah…? HUAAAK!”

Pengikut yang menangkapnya menjerit. Mereka mengenali wajahnya. Maron dan Burminion. Para Archbishop yang menyerangku sebelum perintah berkumpul dikeluarkan.

“M-Maron-nim!”

“Tidak mungkin… Burminion…”

Ngeri bercampur sunyi menelan seluruh halaman.

Tak ada lagi suara. Setelah menunggu sekitar satu menit, aku berjalan menuju portal yang terhubung ke dunia luar.

“Ayo. Waktuku tidak banyak.”

“……!”

Tak satu pun memilih untuk tidak ikut.

Hanya kastil pucat yang tertancap diam di tanah tandus itu yang tetap tinggal.

Aku mengamati sekeliling sambil bergumam,

“Suatu hari… mungkin bunga juga akan tumbuh di sini.”

Angin sepi menyapu lahan yang kemungkinan tak akan dikunjungi siapa pun untuk waktu lama. Langit yang sempat terhubung dengan dunia raksasa perlahan berubah, dari kedalaman, menjadi biru.

2-117. Atas Nama Ayah (5)

Angin yang bertiup dari arah danau terasa menyegarkan. Air dan langit berwarna biru, tanah dan pepohonan berwarna hijau.

Sambil perlahan menatap sekeliling, aku meregangkan tubuh.

Ya. Ini baru namanya pemandangan, sialan.

Setelah tiga hari terkurung di Bald World yang serba kelabu, lalu di markas besar yang pucat, sensasinya jauh lebih terasa.

“Cuacanya bagus juga.”

Di tepi danau, ribuan pengikut berbaris rapi membentuk barisan lurus. Mereka adalah pengikut Nebula Clazier yang memilih pengadilan daripada kematian.

Kalau dipikir lagi, Tiyeria sangat berjasa. Dengan satu kematian, dia menyelamatkan semua nyawa ini. Kalau begini, harusnya dia diberi penghargaan sebagai martir atau semacamnya.

Aku menoleh ke Lethansie.

“Hey, tupai terbang. Semua sudah keluar?”

“Ta-tunggu sebentar saja!”

Dia sedang menghitung kepala para pengikut sambil melayang di udara. Walau ketakutan, cara kerjanya sangat cekatan. Tak sampai lima menit, Lethansie selesai menghitung dan mengangguk.

“Ya. Semua sudah keluar. Tapi… kenapa Anda terus memanggil saya tupai terbang…”

“Lupakan saja. Kalau aku masuk lagi dan menemukan satu saja masih di dalam, berarti sah-sah saja kalau aku bunuh kamu, benar?”

“Itu… terlalu kejam… tapi memang semuanya sudah keluar. Benar-benar semuanya!”

Lethansie memohon. Aku sempat hendak menghitung jumlah pengikut secara kasar, tapi akhirnya kubatalkan. Tupai terbang yang kukenal tidak akan bodoh sampai berani menyembunyikan seseorang setelah ketakutan sebegitu rupa.

Aku menatap permukaan air dan menarik pedang.

“Bagus. Kalau begitu, kututup.”

“Hah? Tutup bagaimana…?”

Saat Lethansie memiringkan kepala penuh kebingungan, tebasan yang meluncur seperti meteor membelah danau. Permukaan air terbelah ke kiri dan kanan, menampakkan dasar berwarna lumpur putih. Dinding air menjulang ke langit.

“Hiiik…!”

Lethansie terengah. Bayangan air yang bergelombang menutupi danau. Para pengikut, yang sebelumnya diliputi ketakutan akan pengadilan, melupakan sejenak rasa takut itu dan berganti dengan murni keterkejutan.

“G-ga masuk akal!”

“……잘 저항하지 않은 게 다행이군.”
(“…syukurlah kita tidak melawan.”)

Ritual ruang yang membentuk permukaan danau terurai menjadi mana dan hancur berhamburan.

Melihat para sampah itu terkejut begitu, aku tiba-tiba mengingat sesuatu dari masa lalu.

“Kenangan, ya. Waktu itu aku cuma bisa melongo.”

Saat aku di Fil Leon Academy. Nunim Nabyroje pernah membelah danau Fil Leon menjadi dua untuk mengajarkan pentingnya equipment. Syok waktu itu rasanya tidak akan pernah hilang dari ingatan sampai mati.

‘Beliau sehat-sehat saja di dunia ini, kan.’

Di dunia ini barangkali masih mengajar di Fil Leon Academy. Mengajar murid di siang hari, lalu malamnya berbaring sambil mengenakan piyama bermotif ular.

Wajah-wajah kenalan yang tidak sempat kutemui di parallel world kali ini, satu per satu melintas di benakku.

“Seolah tidak pernah terjadi apa-apa…”

Kalau aku bilang tak ingin melihat mereka, itu bohong. Tapi kau tidak bisa mendapatkan semuanya.

Yang harus kulakukan sekarang adalah memburu Akasha sesegera mungkin. Soal perasaanku pribadi nanti saja—mengembalikan kedamaian yang seharusnya dinikmati semua orang jauh lebih mendesak. Nebula Clazier dan klub botak sudah kubasmi, jadi setidaknya separuh tujuan sudah tercapai.

Abel tertawa hambar.

“Tidak ada kata yang cukup. Benar-benar monster.”

Paman yang kehilangan mimpinya kini bahkan tak memiliki sedikit pun keinginan untuk melawan.

Melihatnya menikmati aksiku seperti penonton pertandingan olahraga… rasanya malah menyedihkan.

Danau yang terbelah mulai menyatu kembali. Bayangan air runtuh, garis pemisah menghilang.

Gelombang yang bergulung seolah naga akan muncul dari bawah permukaan akhirnya mereda. Danau yang kehilangan sihirnya perlahan kembali ke wujud semula. Tumbuhan air akan tumbuh kembali, ikan pun akan kembali.

Bagaimanapun, tugasku di sini sudah selesai.

“Kalau begitu, ayo. Tembakkan sinyalnya.”

“Uuugh… iya…”

Lethansie mengeluarkan suara gemetar. Begitu ia mengangkat lengannya, cahaya merah melesat ke langit. Itu sinyal resmi milik Kekaisaran.

‘Kratir atau kakek Lorhorn pasti bisa menanganinya. Tak mungkin aku menggotong semua ini sendirian.’

Sebentar lagi pasukan Kekaisaran atau ranger hutan yang sedang patroli akan datang. Mereka akan terkejut dua kali: pertama karena melihat gerombolan pengikut berjubah putih seperti telur cumi, kedua karena mengetahui identitas mereka. Lalu mereka akan ngompol sedikit sebelum melapor ke atasan.

Akhirnya, untuk pengawalan darurat, para ahli terbaik benua akan datang. Termasuk duo sesepuh itu atau Sword Saint Jaipa.

Tugas terakhirku hanyalah memastikan mereka menyerahkan diri dengan benar.

Itu saja bukan masalah.

Sinyal itu bertahan di udara selama kurang lebih tiga menit, kemudian memudar.

Para pengikut mulai membicarakan nasib masing-masing dengan suara lesu.

“…Hukuman mati, kan?”

“Jangan menyerah dulu. Kau tidak melakukan hal buruk sebanyak itu.”

“Hunt. Pembakaran biasanya dihitung sebagai kejahatan berat. Apalagi kalau lima orang mati.”

“Aha. Jadi aku juga tidak aman. Kupikir aku lumayan aman karena hanya membunuh tiga orang.”

Sebagian besar omong kosong menjijikkan. Sesekali aku menyesal tidak membunuh semuanya saja. Tapi apa yang sudah kukatakan tidak bisa ditarik kembali.

Mungkin satu dari seratus ada yang dosanya kecil. Mungkin only theft di toko buah waktu baru masuk gereja.

Sambil memikirkan hal positif seperti itu, waktu berlalu.

Di tengah-tengah tangisan para “anak burung”, Archbishop Alicia berbicara.

“Hei. Itu apa?”

“Hah?”

Dia tidak bicara padaku, tapi aku menoleh otomatis. Jarinya menunjuk permukaan danau yang telah tenang. Tepat 1 meter di atas permukaan air, sebuah bola hitam melayang.

“…Sihir?”

“Bola?”

Para pengikut memandang ke arah itu. Benda itu jelas-jelas tidak ada tadi. Diameternya sekitar 1 meter. Hitam pekat seperti angkasa, indah tapi menebar aura janggal.

“……!”

Lalu rasa dingin mengiris jantungku.

Aku pernah melihat sesuatu yang mirip ini di parallel world sebelumnya. Di selatan, di antara pohon palem yang terbakar. Saat aku bertempur melawan Akasha.

Segala pikiran muncul bersamaan, tapi hanya satu tindakan yang harus kulakukan. Aku melesat ke arah Alicia. Lalu kulempar jauh-jauh enam ‘anak burung’—satu-satunya orang tak bersalah di sini.

“Brengsek, semuanya menyebar!!”

“Kyaaaak! Tolong!”

“Eh—apa yang—!”

Alicia menjerit marah saat tubuhnya bahkan belum jatuh. Mereka terbang seperti burung yang dilempar ke udara.

Kwaaaaaang!

Bola hitam di atas danau meledak, menyapu daerah itu dengan kegelapan. Butuh kurang dari satu detik sampai cahaya hilang dari pandangan.

Tanah di bawahku amblas. Dengan sensasi terjun bebas, Alicia terengah panik.

“H-heo—!”

“Sial. Sudah menyiapkan jebakan rupanya.”

Aku memaki. Langit menghilang. Danau menghilang. Warna hijau hutan tersapu gelap. Mana asing memenuhi udara. Bukan sembarang mana—itu Oura Akasha. Tubuhku yang sempat melayang mulai jatuh.

Aku menggeretakkan gigi dan berbisik.

“…Abyss.”

Ini adalah dunia yang diciptakan oleh Oura Akasha. Abyss tanpa dasar itu berkembang cepat dan menelan segalanya.

Lalu dari bawah sana…

“끄아아아악!!”

“S-selamatkan aku!!”

“Eommaaaaaa!!”

Ribuan titik kecil berteriak sambil jatuh. Para pengikut Nebula Clazier. Mereka jatuh jauh lebih cepat dariku, terseret ke kedalaman tak terukur.

“Kkiaaaak!”

“Gyoju-nim…!”

Lethansie dan Kailasys juga terlihat.

Namun mereka jatuh lebih lambat dari para pengikut. Jubah Lethansie berputar-putar, benar-benar seperti tupai terbang.

Tak jauh dari situ, suara Abel terdengar.

“…Benar-benar macam-macam hal terjadi.”

Dari semua orang selain aku, dia yang jatuh paling pelan. Sepertinya semakin kuat seseorang, semakin lambat ia jatuh. Tidak kusangka jebakan punya mekanisme seperti ini.

Aku mengeluarkan pedang sambil tersenyum pahit.

“Jadi kau juga sedang memperhatikanku, huh.”

Aku tahu kenapa ini terjadi. Ini adalah jebakan. Jebakan yang dipasang oleh Akasha.

Melihat dari tidak adanya tanda-tandanya di sekitar tadi, pasti dia sudah mengantisipasi gerak-gerikku, lalu memasang Abyss tepat di danau. Kemungkinan besar, menghancurkan portal adalah pemicunya.

Sial. Situasinya benar-benar parah.

“Kau pikir aku akan kejebak dua kali?”

Namun aku tidak bisa diam saja. Aku menggenggam pedang erat-erat; bilahnya menyala merah. Lalu aku menebas dinding luar kegelapan.

KAAAANG!

Pedang aura merah menghantam gelapnya Abyss. Suara logam meraung keras. Meski terdengar konyol, sepertinya Abyss sedikit bergetar.

Hanya perasaanku, tentu saja. Sialan.

Jeritan orang lain kini tak terdengar lagi.

Saat aku hendak melepaskan tebasan kedua…

“…Hah?”

Aku merasakan sesuatu. Abyss benar-benar bergetar.

Apa itu?

Aku menebas lagi. Garis merah meluncur. Di tengah kegelapan, sebuah retakan putih muncul.

“Itu…!”

Seseorang menyerang dari luar Abyss.

Tebasanku yang terus melaju mengenai retakan itu.

BOOOOM!

Dengan suara pecah yang berat, dinding Abyss retak seperti kaca. Kegelapan pecah berhamburan. Dan pandangan berganti kembali ke danau.

“Ugh!”

Aku terjatuh dengan pantat lebih dulu ke air dangkal. Celana basah. Oura Akasha berasap dan menyebar seperti kabut. Di atas kepala—langit biru terang.

“Kkyaaak!”

“Uwaaa!”

“Ugh…”

Segera setelah itu, yang muncul adalah Abel dan para Archbishop yang sempat jatuh lambat.

Tapi selain mereka—

Tak seorang pun kembali.

Aku mengerutkan alis.

“Ke mana semuanya?”

Kelihatannya aneh. Bahkan setelah melihat ulang, jumlah yang tersisa terlalu sedikit. Hanya aku, Abel, dan beberapa Archbishop saling memandang bingung.

Saat itulah terdengar suara seperti kembang api pecah.

PAAANG—!

“Hah?”

Suaranya sangat jauh. Kupikir mungkin naga sedang buang kotoran. Tapi ketika aku menengadah, Lethansie menjerit tajam.

“Hiiik! I—itu apa?!”

“Kau ribut banget, kenapa—”

Kalimatku terputus.

Seluruh langit memerah.

Dan dalam hitungan detik aku sadar itu sekumpulan cairan yang jatuh dari ketinggian. Bau darah menyapu udara.

“Argh!”

Lethansie mencoba memanggil barrier, tapi terlambat. Hujan merah menggulung semuanya.

SRAAAAH—!

Seperti sepuluh ribu anak panah jatuh bersamaan.

“Kh…!”

Aku menutup wajah dengan lengan.

Di tengah badai darah itu, potongan daging yang remuk tak berbentuk berguguran seperti hujan batu. Di antara daging dan darah itu ada sobekan kain putih. Wajah kami semua membeku. Inilah jawaban atas ke mana perginya ribuan pengikut tadi.

“Kalau jatuh terus… jadinya begini.”

Danau berubah merah kehitaman. Itu darah ribuan orang yang jatuh duluan. Seluruh tubuhku merinding. Kalau tidak menemukan cara keluar, kami juga akan jadi daging jatuh begitu.

Abyss bukan teknik untuk menahan musuh. Itu untuk menghancurkan musuh sampai berkeping.

‘Tunggu.’

Pikiranku menangkap sesuatu yang sangat penting.

Kalau begitu… siapa yang membuat retakan yang membantuku keluar dari Abyss?

Kupikir itu pasukan penyelamat. Tapi tak ada seorang pun di sekitar sini.

Saat aku terpaku seperti orang yang baru kerasukan hantu—

suara yang sangat familiar terdengar.

“Hey. Anak muda yang tampan.”

“……!”

Aku refleks menoleh. Seseorang yang tadinya tidak ada, kini berdiri di sana.

Wajahnya asing sekaligus sangat familiar. Di satu tangan ia menggenggam pedang, dan cara ia memegang pedang itu… sangat mirip denganku.

Alisku terangkat seolah ada yang menarik.

Rambut putihnya berkibar tertiup angin. Seketika aku mendengus tertawa.

“Ah, jadi kamu yang bantu rupanya.”

“Suara ini… jangan-jangan…?”

Aku melambaikan tangan sambil duduk di tepi air. Napas Abel yang tergeletak semakin berat. Pria itu melangkah mendekat dan berdiri di hadapanku.

“Bagaimana kau tahu aku ada di sini?”

“Kau baik-baik saja, Ronan.”

Dia tidak menjawab pertanyaanku. Dia hanya mengulurkan tangan. Kulitnya, setelah bertahun-tahun hidup seperti makanan kaleng, nyaris seterang kulit vampir. Aku berniat bercanda soal bagaimana dia harus berjalan telanjang selama beberapa hari ke depan, tapi suara tak keluar. Aku mengatupkan mata lalu membuka lagi, dan menggenggam tangannya.

“…Sudah lama ya.”

Dia menarikku berdiri. Cengkeraman itu kuat, liar, seperti kuda tak jinak.

Dan mata yang kutatap—bening merah senja. Mirip denganku dan noona, bukan dengan Abel.

Saat aku berdiri berhadapan dengannya, aku berbicara.

“Ayah.”

“Senang bertemu denganmu, anakku. Bertemu setelah puluhan tahun… di danau yang diselimuti darah. Sungguh dramatis.”

2-118. Atas Nama Ayah (6)

“Senang bertemu, anakku. Sungguh.”

“Saya juga.”

Kain tersenyum. Senyum hangatnya membuat penglihatanku sedikit berair.

Secara ketat, pria ini bukan ayahku—tapi rasa rinduku kepadanya tetap sama seperti kepada ayah “asli”.

Aku menatapnya dari kepala hingga kaki dan mengangkat alis.

“Tapi bagaimana bisa Anda terlihat sehat begini?”

Ini bukan basa-basi. Kain tampak jauh lebih sehat dibanding saat dia memakai alat penunjang hidup. Lengan kurusnya kini berotot, bahu yang dulu cekung kini lebar dan kokoh. Kecuali kulit pucatnya, dia hampir setara denganku dalam hal kondisi fisik.

“Darah raksasa yang kau bawa itu… efeknya luar biasa. Rasanya seperti kembali ke masa jayaku.”

Kain menekuk lengan sambil bercanda sedikit. Bicep yang membengkak tampak jelas seperti pahatan. Benar-benar berbeda dari pria sekarat di dunia asalku. Aku memang memperkirakan akan ada efeknya, tapi tidak sampai sejauh ini.

“Bagus kalau begitu. Tapi… sebaiknya pastikan lagi, ya?”

“Hm? Maksudmu apa?”

Aku mengeluarkan sebuah botol kaca dari saku coat. Darah Abel yang sebelumnya kusimpan bergoyang dalam botol.

“Itu… ah. Begitu rupanya.”

Kain memahami maksudku dan menaikkan alis. Mungkin karena itu darah adiknya, ia sempat ragu, tapi akhirnya ia menerima botol itu dan menenggaknya.

Satu tegukan. Dua tegukan. Tiga. Botolnya kosong dalam hitungan detik.

Kain mengelap mulutnya dan bergumam perlahan.

“Luar biasa… ternyata tubuhku bisa kembali lebih baik lagi.”

“Wow.”

Aku bersiul kecil. Uap tipis naik dari kulit Kain. Aku bisa merasakan tubuhnya menjadi lebih kuat.

Sebagai obat inti, darah Abel tampaknya bekerja sempurna. Kulit pucatnya mulai mendapatkan warna kembali.

‘Gila. Memang harus begini baru cocok disebut sang Penyelamat.’

Rasa kagum muncul begitu saja. Kekuatan yang terasa dari dirinya berbeda total dari Bald King atau Abel yang menyerap Origin. Ini adalah kekuatan yang mengendap sejak masa purba, kini bangkit kembali.

Kain berbicara.

“Ada banyak hal yang ingin kutanyakan. Elcia sudah menjelaskan garis besarnya, tapi sulit percaya tanpa mendengarnya langsung darimu.”

“Saya juga begitu.”

Aku juga punya banyak hal yang ingin kutahu.

Elcia mengirim kami ke tempat yang kukenal, jadi itu bisa dijelaskan. Tapi bagaimana Kain memecahkan Abyss milik Akasha? Benar-benar tidak tertebak.

Sepertinya percakapan akan panjang. Di kejauhan, Aliciah terdengar menangis sambil memeluk para ‘anak burung’. Aku hendak membuka mulut untuk bertanya.

Kemudian sebuah suara terbata terdengar.

“K-Kain… 너가 어떻게…”

Kami berdua serempak menoleh. Abel berhasil bangkit sedikit, menatap Kain dengan mata yang berkaca-kaca, penuh ketakutan, keterkejutan, dan secuil rasa gembira.

Kain menatap adiknya lama sebelum membuka mulut.

“Abel. Lama tidak bertemu.”

“Padahal… kau sudah mati.”

“꼴이 말이 아니구나. 하마 떼에게 짓밟힌 모양이지. 잘 지냈느냐?”
(Kondisimu mengenaskan. Seperti diinjak kuda nil. Bagaimana kabarmu?)

Abel tak bisa menjawab. Kain perlahan mendekat, mengangkatnya agar bisa berdiri. Ia sempat menoleh padaku untuk meminta izin.

“Ronan. Maaf, bolehkah aku berbicara dengan adikku dulu? Kurasa ini bukan tempat yang cocok untuk percakapan kami.”

“Silakan saja. Memang terlalu banyak orang di sini.”

“Terima kasih. Tidak akan lama.”

Kain tersenyum. Dengan lembut ia menepuk-nepuk lumpur dan rumput dari tubuh Abel. Abel tampak beku, tak bisa berkata apa pun.

Kain menarik ranting kecil dari rambut Abel dan berkata,

“Nah, ini baru mirip adikku. Tapi kenapa celanamu begitu?”

“……bagaimana…”

“Tidak ingin menjawab? Tidak apa. Masih banyak hal yang harus kita luruskan. Sama seperti putraku memperbaiki tubuhku… aku juga harus memperbaiki kau.”

“Memperbaiki…? Maksudmu apa…”

Abel belum selesai bicara.

PRAAAGH!
Kain menancapkan pukulan pendek tepat ke ulu hatinya.

Tubuh Abel melengkung ke depan.

“Keuk!”

Semuanya terjadi secepat kilat. Kupikir aku salah dengar, tapi itu memang suara tulang retak. Abel terjatuh dan menopang tubuh dengan kedua tangan.

“Keuk! ku…keuk! Sialan… apa yang kau lakukan!”

“Kau sendiri pikir aku sedang apa?”

Kain berkata begitu, lalu menendang perut Abel. Tubuh ringan itu terbang dan tercebur ke danau. Kain bahkan tidak peduli bajunya basah. Ia masuk ke air dan menyeret Abel kembali seperti menarik bangkai.

“Hm? Tadi kutanya, menurutmu aku sedang apa?”

“T-ta… t-tunggu… kuegh!”

Tinju mendarat di wajah Abel. Tulang hidungnya patah dan langsung beregenerasi—itu malah membuat Kain semakin tenang menghajarnya. Tinju dan tendangan terus menghantam tanpa henti.

“Kau bajingan. Dasar iblis kecil.”

“Ugh! Kaak! Aagh!”

“Walaupun kau membenci keadaanmu… bagaimana bisa menusuk saudara kandungmu dari belakang? Kau pikir Kain ini selemah itu?”

“A-aaargh! Berhenti! Aaagh!”

Abel berusaha melawan, tapi Kain yang kembali ke masa jayanya jauh di luar jangkauannya. Bahkan aku, bahkan para Archbishop termasuk Lethansie, hanya berdiri terpaku.

“G-Gyoju-nim…! Beliau akan mati kalau terus begitu!”

“Tidak mati. Mungkin.”

“Manusia itu… siapa sebenarnya? Kenapa dia—”

“Dia ayahku. Banyak dendam yang menumpuk, biarkan saja.”

Aku menahan Lethansie yang hendak ikut campur.

Sebegitu brutalnya, tidak ada yang berani mendekat. Bahkan Kailasys, Anjing Penjaga terkuat, berdiri terpaku seolah menjadi patung.

Setelah lima menit, Kain berhenti sejenak dan menoleh padaku.

“Haa… haa… bagus. Ayo, Ronan. Berikan sarung pedang.”

“Hah? Sarung pedang?”

“Benar. Aku harus memperbaiki kesalahanku. Dan rasanya segar sekali setelah berkeringat.”

Tanpa sadar aku menyerahkan sarung pedangku. Kain meludah ke telapak tangannya dan menggenggam sarung itu.

“Luar biasa. Beratnya pas. Kuat juga. Dari semua pentungan yang kugunakan selama ribuan tahun, ini masuk lima besar.”

“H-hentikan, Kain! Jangan!”

“Kau masih memanggil kakakmu tanpa hormat? Hah… rupanya ototku melemah selama di dalam tabung itu. Memalukan.”

Kain menghela napas dan mengayunkan sarung pedang ke sebuah batu.
KRAAAK!
Batu itu terbelah dua.

Ia lalu mengarahkan sarung pedang pada Abel.

“Saudara kecilku. Hari ini, aku akan membuatmu menjadi manusia.”

“M-mendekat jangan! Hentikan!”

“Kau ingat kisah para makhluk kecil yang ingin menjadi manusia? Mereka semua mengorbankan sesuatu… suara, atau ingatan… tapi kau bisa menjadi manusia tanpa menyerahkan apa pun. Bukankah itu sangat efisien?”

“Omong kosong itu…! Siapa pun tolong hentikan orang gila ini! Tolong!!”

Abel berteriak. Tapi tak seorang pun bergerak. Sarung pedang membentuk busur, lalu memukul tulang kering Abel. Saat itulah kata yang paling ingin didengar Kain akhirnya keluar.

“Gyaaaaaagh! Hyungnim! Aku salah!!”

“Paman juga begitu mengira.”

Kain tersenyum.

Ia terus “mendidik” Abel hingga regu penyelamat kekaisaran tiba sekitar dua puluh menit kemudian. Aku khawatir sarung pedangku akan patah lebih dulu, tapi buatan master-smith Kekaisaran terbukti kuat—bahkan lebih kuat dari tulang Abel.

Saat jeritan Abel mulai melemah—

WUUUUUNG!

Sebuah portal raksasa terbuka di atas danau, dan seorang kakek berjanggut panjang keluar.

Melihat danau merah-darah, ia terbelalak.

“Ya ampun… ini apa yang—”

“Lama tak jumpa, Lorhorn.”

“Hmm? Kau kenal aku, anak muda?”

Aku melambaikan tangan. Dia adalah Lorhorn, dipanggil melalui emergency call. Dalam timeline ini, tampaknya penyakit demensia-nya belum muncul.

“Grand Mage, kan? Sudah dapat penjelasan garis besar?”

“Hmm, begitu. Jadi… aku cukup mengawal semua ini?”

“Kecuali satu orang.”

Aku menunjuk Kain, yang sedang menasihati Abel yang tengkurap di tanah berbatu. Abel berkeringat seperti hujan, hanya mampu mengulang-ulang bahwa semua kata hyungnim benar.

‘Sekarang aku tahu dari siapa aku mewarisi sifat-sifatku.’

Untung kakakku mewarisi sifat ibu.

Bayangan sang penyelamat yang anggun dan misterius yang dulu kubangun… hancur total hari ini, tapi rasanya tidak buruk.

Para Archbishop dan Abel mematuhi Lorhorn tanpa perlawanan. Bukan hanya karena aksiku sebelumnya di kastil, tapi juga karena dihajar Kain tampaknya memberi mereka “pencerahan”.

Sebelum dibawa pergi, Archbishop Alicia menunduk padaku.

“Kau berjasa besar. Terima kasih telah menyelamatkan wanitaku.”

“Tak apa. Mereka memang tidak bersalah.”

“Kau mengenalinya? Hancurkan bajingan yang memakai sihir aneh itu. Aku tidak bisa menghadapinya. Tapi… entah kenapa kau bisa.”

Ia tertawa pelan dan menepuk bahuku. Rasanya aneh menerima dukungan dari seseorang yang kubunuh pada parallel world sebelumnya.

Lorhorn mengikat dan memindahkan semua kriminal itu dengan sihir.

Melihat tepi danau yang mendadak sunyi, aku bergumam,

“Hiduplah dengan baik. Sedikit saja.”

Perjalanan panjang namun singkat itu berakhir. Masalah Nebula Clazier kini selesai sepenuhnya. Tersisa hanya Kain dan Akasha.

“Tempat yang cocok untuk bicara, ya…”

Aku menatap langit biru. Kebetulan ada satu tempat yang pas. Sudah tiga hari berlalu—mungkin permintaanku sudah selesai.

Tak kusangka akan kembali ke sana secepat ini.


Malam itu.
Mansion Akalucia.

“Selamat malam, Ronan-nim. Tak sangka kita bertemu lagi secepat ini.”

“Saya juga. Selamat malam, Gaju-nim.”

Adrian tersenyum. Gaju Akalucia itu tetap mempesona. Melihat Kain di belakangku, ia sedikit memiringkan kepala.

“Siapakah gentleman di belakang Anda?”

“Itu ayah saya. Versi dunia ini.”

“Senang berkenalan, Gaju yang memimpin House besar. Namaku Kain.”

Dengan sopan luar biasa, Kain mengambil tangan Adrian dan menciumnya. Aku terperanjat.

Adrian menutupi bagian bawah wajahnya dengan kipas.

“Oh my… betapa sopannya.”

Entah hanya perasaanku, tapi pipinya sedikit memerah.

Aku ikut membungkuk sopan dan bertanya langsung.

“Gaju-nim. Maaf bicara langsung… tapi apakah berhasil?”

“……Ya.”

Keheningan sejenak. Ekspresinya yang membeku membuat firasat buruk menyelinap.

Setelah ragu sesaat, ia mengangguk.

“Tidak mudah… tapi ya, berhasil.”

2-119. Keluarga (1)

Dadaku terasa anjlok. Ekspresi Adria-nim tidak terlihat bagus.

Dengan suara yang bergetar seperti pasien yang baru divonis penyakit mematikan, aku bertanya pelan,

“Bilang tidak mudah… jangan-jangan ada yang mati? Kalau benar ada yang mati, aku bakal menyembelih bajingan itu sekarang juga.”

“Tidak. Tidak ada korban jiwa. Tapi sepuluh pengawal terluka—besar dan kecil. Sampai aku turun tangan sendiri barulah dia bisa ditekan sampai mau diajak bicara.”

Hampir setara operasi menangkap binatang buas pemakan manusia. Ia menemukan targetnya melalui unit hukuman yang ditempatkan di wilayah barat benua. Perlawanan ekstrem, tapi berkat memo yang kuberikan (berambut hitam, makin besar makin bagus) ia akhirnya berhasil membujuk dan membawanya pulang.

Ekspresi ngeri Adria-nim perlahan kembali cerah.

“Memang benar, itu Ronan-nim di dunia ini. Tidak pernah belajar apa-apa tapi sekuat itu… aku sungguh terkesan.”

“Haaah… syukurlah tidak terjadi apa-apa. Benar-benar terima kasih.”

Sebuah hembusan napas lega lolos begitu saja. Pada masa ini aku terkenal sedang berada pada fase paling brengsek dalam hidupku. Aku merasa dia tidak akan sampai membunuh seseorang, tetapi tidak ada yang cacat keluar… itu benar-benar keajaiban.

“Jadi, Anda menahannya dimana? Penjara bawah tanah?”

“Tak mungkin. Sejak hari kami membawanya, kami memberinya perlakuan terbaik. Saat ini, sepertinya dia berada di ruang tamu. Untuk mencegah insiden, Asel yang bertugas menyambut dan mengamatinya.”

“Asel? Itu tidak akan mudah.”

“Dia yang memohon. Katanya memang menakutkan, tapi karena mereka teman masa kecil, mungkin dia bisa menangani lebih baik. Fufu, anak yang hebat, bukan?”

Adria-nim tersenyum. Mendengarnya, aku pun ikut tersenyum. Tampaknya ia baik-baik saja. Tentu saja tetap saja ini penderitaan yang tidak tertulis dalam takdirnya.

Sebelum menuju ruang tamu, Kain menunduk sopan dan berkata lembut,

“Terima kasih atas kerja keras dan jamuan yang ramah. Semoga malam Anda menyenangkan.”

“Tidak… jangan terlalu berterima kasih. Itu… katanya Anda adalah ayah Ronan-nim? Benarkah?”

“Benar. Ada masalah?”

“Fufu, kudengar ayah dan anak itu sangat mirip. Sampai bertemu saat jamuan makan nanti, Kain-nim.”

Ada kilau menggoda di ujung matanya. Atmosfernya agak aneh.

Berjalan menyusuri koridor, aku menyikut pinggang Kain.

“Hey. Mau remarry, ya?”

“Apa yang kau bicarakan. Aku hanya bersikap sopan.”

“Tapi Gaju-nim sepertinya menyukainya.”

“Tidak mungkin. Dan sekalipun benar, itu sayang sekali. Menyentuh seorang janda adalah pantangan dalam hidupku. Hatiku hanya milik satu orang, Kasha, untuk selamanya.”

Kasha adalah nama ibuku. Melihat mata Kain, aku tak bisa berkata apa pun.

Kejujuran seperti ini… benar-benar aku suka. Mungkin alasan aku bisa mempertahankan akal sehat meski dipeluk Ibu Api, atau mampu menahan ciuman Nabi Roze-nim, adalah karena aku mewarisi hal ini dari ayahku.

Kain berkata,

“Dan tolong hentikan memanggilku bajingan. Nanti aku jadi benar-benar anjing.”

“Oh, itu lupa. Maaf.”

“Tak apa. Kalau aku minum, aku bisa jadi anjing sementara, jadi tidak sepenuhnya salah. Btw… aku belum pernah minum bersama anak-anakku.”

Kain bergumam seperti menemukan tujuan hidup baru.

Sambil terus mengobrol, kami sampai di ruang tamu. Baru saja kami hendak membuka pintu yang mewah itu—

“T-tolong hentikan Ronan! Gaju-nim tidak akan diam saja kalau kau lakukan itu!”

Dari balik pintu terdengar suara panik Asel.

Tanganku yang memegang gagang pintu berhenti.

Jawabannya terdengar santai, bahkan sedikit riang.

“Biarkan saja. Aku sudah memberi peringatan. Kalau dalam satu jam tidak ada tamu yang datang, aku akan buang kotoran di meja bagus ini. Sejak aku tiba, sudah berapa lama waktu berlalu?”

“It… itu… sekitar satu jam setengah?”

“Pintar. Jadi jawab aku. Apakah House Akalucia tidak tahu pentingnya tepat waktu? Tiga puluh menit si bangsawan Asel itu emas, tapi tiga puluh menitnya Ronan si rakyat jelata bisa diabaikan, begitu?”

“A-aku… aku tidak bisa membantah… tapi kami sedang benar-benar beru—HYAAAK! Apa yang kau lakukan?!”

“Asel. Kau harus membersihkan kotoran manusia karena terlambat tiga puluh menit. Meski sudah naik pangkat sejauh ini.”

Suara resleting terbuka terdengar.

Aku dan Kain menatap satu sama lain hampir bersamaan.

“Jangan! BERHENTI!!”

“Hahaha! MERASAKANLAH KEPUTUSASAAN! Tenggelamlah dalam ketidakberdayaan!!”

Suara tawa memenuhi ruangan. Asel hampir menangis.

Tak kuat lagi, aku menghela napas.

“Sialan, bajingan mana yang berak sembarangan di rumah orang.”

BRAK!
Aku menendang pintu dan menerobos masuk.

Di dalam terlihat seorang pria berjongkok di atas meja, dan Asel yang panik setengah mati.

Dan tentu saja—wajah pria itu amat sangat mirip denganku.

Saat mata kami bertemu, ia mengerutkan alis.

“Hah? Siapa kalian?”

“Ka-kamu datang akhirnya Ronan! Uwaaaah!”

Asel berlari dan bersembunyi di belakangku sambil menangis.

Pantat pria itu sudah setengah telanjang. Ternyata dia bukan sekadar mengancam—dia benar-benar berniat buang air.

Dan saat itu aku sadar:
Itu adalah diriku dari dunia ini. Ronan-3.

Kain menarik napas panjang lalu tersenyum lembut padanya.

“Senang bertemu, Ronan.”

“Bangsawan tua ini siapa? Sok akrab.”

“……Bangsawan tua? Kau bicara padaku?”

“Lalu siapa lagi? Pfft. Rambut macam apa itu… orangtuamu selingkuh dengan kambing, ya?”

Ronan-3 cekikikan. Kain membeku. Kata-kata kotornya melompat keluar tanpa pandang bulu.

Setelah beberapa saat tetap diam, Kain berbisik lirih,

“Jadi… itu memang benar putraku, ya.”

Tatapan Kain bergetar seperti kusir yang baru menabrak anak kecil. Aku bisa menebak perasaannya.

Aku menepuk pundaknya.

“Anda membuangnya saat masih bayi. Apa yang Anda harapkan? Ditambah kutukan di seluruh tubuhnya.”

“Benar… itu kesalahanku. Semua salahku… tapi tetap saja…”

Kain menggantungkan kata-katanya. Pantat Ronan-3 masih terpapar.

Tak bisa menemukan kata lain, Kain memejamkan mata.

“…maaf. Beri aku rokok.”

“Ini.”

Aku menyerahkan pipa. Ia menyalakannya, lalu menghembuskan asap panjang—seolah jiwanya ikut melayang.

Ronan-3 memelotot.

“Anjir, kau ngerokok depan muka gue? Tadi pertanyaanku belum dijawab. Siapa kalian?”

“Tutup mulut dan tunggu. Monyet yang belum bisa bedain tempat pipis jangan banyak bacot.”

“Hah? Mau gelut? Sini, bangsat!”

Ronan-3 tertawa mengejek. Aura pembunuh mulai naik dari tubuhnya. Asel meringkuk ketakutan.

“Hiii…!”

Sekejap saja ruang tamu dipenuhi killing intent. Tanpa pedang pun, dari sikap dan aura, dia bisa menerkam kapan saja. Ronan-2 saja sudah kacau, tapi Ronan-3 ini benar-benar binatang.

‘Haruskah ku-pingsankan dulu?’

Kalau begini terus sebelum sempat bicara pun darah akan tumpah.

Aku bisa menghajarnya sampai babak belur, tapi meninju anak di depan ayahnya… rasanya agak kurang ajar.

Aku menggaruk kepala.

“Udah cukup. Ngapain ribut. Bukan anak kecil.”

“Pengecut. Lagi terancam, kontolmu menciut?”

“Cukup. Yang memanggilmu kemari itu aku. Kau dapat memo, kan?”

“Memo?”

“Yang tentang tipe perempuan itu. Kamu yang naksir noona.”

“Kamu… bagaimana kamu tahu itu? Bentar, kalau begitu!”

Wajah Ronan-3 menegang.

Aku mengangguk pelan.

“Benar. Aku adalah dirimu dari dunia lain.”

“Omong kosong apa—tunggu, serius?”

“Tadi si kecil memanggilku dengan nama, kau tidak dengar? Kalau tidak percaya datang sini lihat sendiri.”

Aku mendekatinya. Auranya sudah lama mereda. Ia bergerak seperti orang terborgol, matanya gemetar.

Ronan-3 meneliti wajahku dengan saksama, lalu mendengus kecil.

“...Sial. Memang aku.”

“Sudah kubilang. Ternyata gampang juga kau diyakinkan.”

“Hanya aku yang tahu hal-hal tadi.”

“Itu benar.”

“Gila. Kupikir tentara berusaha menjebakku biar aku dipecat…”

Ronan-3 jatuh duduk di sofa. Suaranya kosong, seperti orang kerasukan. Tetapi dibanding Ronan-2, penerimaannya jauh lebih cepat.

Ia tiba-tiba mengangkat wajah, menatap Kain.

“Tunggu. Kalau dia versi dunia lain… maka Anda itu…!”

“Benar, Ronan.”

Kain mengangguk. Syok karena kambing tadi sudah mereda, wajahnya kembali lembut. Ia mendekat dengan hati-hati.

“Aku adalah ayahmu. Kau terlalu kecil saat kami berpisah, jadi tak ingat. Tak ada cara untuk sampai padamu, tapi aku… rindu padamu sampai menembus tulang.”

“Ayah… sungguhan?”

Ronan-3 bangkit perlahan. Suaranya jauh lebih kosong daripada saat bicara denganku. Wajar. Digiring ke mansion bangsawan, lalu bertemu versi lain dirinya dan ayah yang tidak dia ingat…

Kain meletakkan kedua tangannya di bahu putranya.

“Benar, Ronan. Aku ayahmu.”

“Ayah…”

Keduanya saling menatap lama. Suasana hangat yang hanya muncul di antara keluarga mengalir di antara keduanya. Aku tersenyum kecil melihat pemandangan itu.

Sampai—

“Dasar bajingan.”

Ekspresi Ronan-3 berubah seketika.

“Hm?”

Sebelum Kain sempat bicara—
PRAAAK!

Tinju Ronan-3 menghantam muka Kain.

“Ugh…!”

Bibir Kain pecah dan darah terciprat. Asel menjerit sambil menutup mulut. Aku refleks memegang gagang pedang.

“Hey, apa-apaan kau—”

“Tidak apa, Ronan. Biarkan.”

Kain, meski terhuyung, menahan tanganku. Pedang yang setengah terhunus berhenti.

Tidak ada pukulan kedua.

Dengan napas gemetar, Ronan-3 menatap ayahnya sambil menggeram.

“Berani-beraninya kau muncul sekarang. Kau tahu kakak perempuanku menderita karena siapa?!”

“…Maafkan ayah. Ayah salah.”

“Sial… kenapa baru datang sekarang…”

Suaranya bergetar, penuh emosi. Aku pun tak bisa lagi ikut campur. Bagaimanapun aku hanyalah tamu dari dunia lain—yang benar-benar keluarga adalah mereka.

Kain menghapus darah di mulutnya lalu memeluk putranya.

“Maaf. Maafkan ayah…”

“……”

Ronan-3 tidak membalas, hanya berdiri diam. Kain tetap memeluknya lama.

Lalu ia menoleh padaku.

“Anakku dari dunia lain. Mari pergi ke Nimbertun.”

“…Ke kampung halaman?”

“Benar. Kita harus menemui Iryl juga… dan aku memang berencana ke sana. Yang paling penting…”

Ia terdiam sejenak, lalu mengangguk mantap.

“Ayah punya banyak hal… yang ingin ia ajarkan pada kalian.”

2-120. Keluarga (2)

Senja sedang memudar. Nimbertun berubah merah seperti gunung penuh daun merah. Langit yang semakin tinggi dan suara jangkrik yang perlahan mulai terdengar menandakan musim panas sudah hampir tiba.

Iryl menatap langit dan bergumam pelan.

“Cuacanya bagus.”

Ia paling menyukai langit pada musim ini. Senja selalu indah, tapi langit sore di awal musim panas adalah yang paling mirip dengan warna mata adiknya.

Seperti rumah-rumah lain di Nimbertun, gubuk Iryl juga ikut berubah warna seperti dedaunan musim gugur. Ia membuka pintu dengan kaki dan masuk, lalu meletakkan keranjang.

“Haa, selesai untuk hari ini!”

Iryl tersenyum puas sambil mengusap keringat dari dahinya.

Tahun ini panen melimpah, sehingga butuh lebih banyak waktu untuk memanen. Keranjang besar dari pohon cedar—cukup besar untuk menculik satu orang—dipenuhi kentang baru yang montok dan berat. Dua pria dewasa pun akan kesulitan membawanya, tapi bagi Iryl hal itu tidak terlalu sulit.

Ia memilih beberapa kentang terbaik dan mulai memasak.

“Hm~ hm-hmm~”

Ia bersenandung sambil bekerja. Menu yang sudah ia buat ribuan kali—tangannya begitu cekatan.

Kulit kentang dicuci bersih, dikupas, lalu dipotong menjadi ukuran yang pas. Kalau hanya makan kentang saja tidak baik untuk tubuh, jadi ia menambahkan sedikit daging dan sayuran lainnya.

Kebetulan hari ini ia punya daging kelinci yang diberi tetangga. Setelah semua bahan dimasukkan ke dalam panci dan direbus bersama susu, aroma lezat perlahan memenuhi rumah.

“Baik, ini dia… sup kentang spesial!”

Tak lama kemudian, Iryl meletakkan panci panas itu di atas meja makan.

Bunyi mendidih yang lembut memanjakan telinga. Angin yang masuk melalui jendela yang sedikit terbuka mendinginkan wajahnya yang memerah karena panas. Saat ia menyiapkan peralatan makan, Iryl menepuk tangannya.

“Oh, aku ini kenapa.”

Karena terlalu tenggelam dalam senandungnya, ia membuat kesalahan. Ketika sadar, meja makan sudah berisi dua mangkuk kayu. Satu untuk dirinya… dan satu lagi untuk Ronan. Ia melakukan kesalahan ini sekali setiap tiga hari.

Iryl menatap mangkuk-mangkuk itu dan tersenyum pahit.

“Masih begini juga, ya. Aduh.”

Sudah tiga tahun sejak Ronan kabur dari rumah.

Ia selalu bertekad untuk tidak melakukan ini lagi, tapi kebiasaan tubuh tidak mudah diubah.

Ia masih menabung uang untuk Ronan agar ketika dia kembali, itu bisa digunakan. Karena toples di samping perapian sudah penuh sejak tahun lalu, sekarang ia memakai botol kaca bekas acar sebagai celengan.

Iryl berbisik pelan.

“Kangen… semua orang.”

Entah kenapa, rumah kosong hari ini terasa lebih sepi dari biasanya.

Dari empat anggota keluarga yang pernah tinggal bahagia di gubuk ini, hanya dia yang tersisa. Ayah pergi, ibu meninggal karena sakit, dan adik yang ia besarkan bagaikan anak sendiri pergi tanpa sepatah kata pun.

Sambil mengusap kursi Ronan, tiba-tiba di hadapannya muncul bayangan seorang gadis kecil dan seorang bayi.

— Ayo, Ronan! Makan!

— Kiieeeek! Sijeeeor!

Gadis berambut putih itu sedang mencoba memberi makan bayi. Bayi yang bahkan belum bisa bicara itu menolak bubur seolah itu racun berbahaya.

Iryl langsung tahu, itu adalah dirinya dan Ronan kecil.

— Oh, lihat, itu Marong Orsedha! Swoooosh~!

— Kyahaha… nghk?!

Tapi gadis itu tidak menyerah. Ia menggerakkan sendok seperti seekor naga yang melakukan akrobat di udara. Ketika perhatian bayi teralih, ia berhasil menyuapkan satu sendok penuh bubur.

Bayi itu mengunyah bingung, namun akhirnya menelan juga. Gadis itu menghela napas lega dan mengecup pipi adiknya.

“Hehehe.”

Iryl tertawa secara refleks. Ini adalah halusinasi masa kecil yang kadang muncul. Ia ingin melihatnya sedikit lebih lama.

Namun ketika ia mengusap matanya yang basah dan kembali membuka, gadis dan bayinya sudah hilang.

“Ah…”

Iryl menggigit bibir bawahnya.

Di dapur hanya ada kursi dan mangkuk kosong. Gelombang kehilangan menerjang dirinya. Napasnya mulai terengah.

“Ugh… a….”

Jika terus begini, itu berbahaya. Tangannya bergetar seperti seseorang mencari obat. Ia menggeledah saku rok dan menemukan secarik kertas kecil yang terlipat rapi.

Surat itu berisi permintaan maaf Ronan karena pergi tanpa bicara, dan bahwa ia akan segera kembali.

“Haaah…”

Tulisan Ronan. Tidak mungkin salah.

Napas Iryl perlahan kembali normal. Ia menekan dadanya dengan tangan dan bergumam,

“Ya. Nuna tidak apa-apa.”

Itu ditemukan di depan rumah sekitar dua minggu lalu. Sekarang itu adalah harta paling berharga miliknya.

Setiap kali ia merasa runtuh, ia akan membacanya. Iryl melipat kertas itu dengan rapi dan mengembalikannya ke saku. Ia kembali berbisik,

“Aku tidak apa-apa, Ayah.”

Kesedihan yang menusuk seperti dingin biru pun bisa dilewati berkat surat itu. Setengah menyerah, ia mulai berharap Ayah mungkin masih hidup jika Ronan juga selamat.

“Maka semuanya… harus baik-baik saja.”

Iryl menunduk dalam.

Ia ingin pergi mencari mereka, tapi ia tidak bisa.

Jika Ronan atau Ayah kembali dan rumah itu kosong—bagaimana?

Ronan bahkan berjanji akan kembali segera, jadi ia tidak bisa pergi.

Ia mengangkat wajahnya kembali dan terkejut.

“Aduh, keburu dingin.”

Ia cepat-cepat duduk. Ia selalu menjaga rutinitas makan. Besok juga harus bekerja, dan ia harus tetap sehat untuk hari pertemuan keluarganya.

Karena banyak bahan tambahan, sup kentangnya terlihat lebih lezat dari biasanya.

Di saat ia mencoba mengenyahkan pikiran tentang keluarga dan mengangkat sendok pertama—

“Oi, kepala batu. Sudah lupa bahkan warna favorit kakakmu? Aku bilang kuning.”

“Yang bodoh itu kamu, tolol. Kuning apanya? Itu kencingku yang kuning semalam. Jawabannya putih. Putih, oke? Benar kan, kakek?”

“Kalau menurutku… oranye, sih.”

Suara ribut-ribut terdengar dari luar gubuk.

Semua suara itu laki-laki. Nada cabul dan akrabnya terasa sangat familiar.

Iryl berdiri dari kursinya.


Mendengar kata-kata Kain, Ronan-3 mendengus.

“Hah, oranye itu gila. Apa Anda kena pikun? Masa warna bunga favorit putri sendiri tidak ingat?”

Dia menggenggam setangkai bunga bakung putih—warnanya sama seperti rambutnya. Sangat kontras dengan bunga bakung kuning di tanganku.

Kain menghela napas.

“Memalukan. Terlalu lama hidup membuat banyak kenangan bercampur… tapi Ronan.”

“Yang mana Ronan yang dimaksud?”

“Kamu. Sudahkah kau memanggilku dengan benar? Memanggil ayahmu ‘kakek’ itu keterlaluan.”

“Sial… kalau tidak terbiasa bagaimana? Aku sedang berusaha, oke?”

Ronan-3 mengalihkan pandangan. Ia masih canggung dengan Kain. Tidak aneh. Tiba-tiba muncul ayah yang tidak pernah ia lihat seumur hidupnya.

Kain juga sadar, jadi ia tidak memaksa.

“Tidak apa. Jika kau berusaha, itu sudah cukup. Aku sendiri sulit percaya bahwa kau benar-benar putraku.”

“Apa maksudnya itu?”

“Kau tahu apa yang kulihat saat masuk ke ruang tamu Akalucia? Kau sedang berjongkok di atas meja, hendak buang air besar. Dengan pantat setengah telanjang yang sama persis denganku. Sejujurnya… rasa kagetnya hampir sama dengan saat adikmu menikamku.”

“Brengsek. Seolah-olah aku mau begitu. Itu si kurcaci yang meremehkan waktuku. Tiga puluh menit itu banyak waktu, oke? Kalau dia juga begitu, dia pasti sudah buang juga.”

“Aku tidak, dasar idi—”

Aku menunjukkan jari tengah ke arah Ronan-3 sebelum ia menyelesaikan kata-katanya. Dia meludah santai dan kembali membahas bunga favorit Nuna.

Kami berangkat dari Akalucia pagi ini, dan sore ini sudah sampai Nimbertun. Matahari terbenam menyala indah. Gubuk Nuna sudah dekat.

Ada asap dari cerobong—berarti dia ada di rumah.

“Kau sudah memikirkan apa yang mau kau katakan pada Nuna?”

“Tentu saja. Aku menghafal mati.”

Ronan-3 menepuk dadanya.

Dia menghabiskan sepanjang malam—sementara aku tidur di kasur mewah Akalucia—untuk merapikan kata-katanya. Walau bunga putih itu keterlaluan, ketelitiannya itu aku hargai.

“Bagus. Aku menunggu.”

“Tenang saja. Ingatanku jagonya luar biasa, oke? Kau pasti menangis terharu. Sudah lama tidak ketemu, jadi harus—”

“Siapa di sana?”

Tiba-tiba pintu gubuk terbang terbuka, dan seorang wanita berambut putih keluar.

“Oh.”

Kami bertiga langsung membatu di tempat.

Itu Nuna. Sama-sama cantik di semua dunia. Rambut peraknya berkibar seperti cahaya bintang.

“Eek.”

Aku buru-buru menutup wajah dengan hood yang kupersiapkan. Jika Nuna melihat dua Ronan sekaligus saat pertama kali bertemu, dia pasti syok. Akan kujelaskan nanti.

Nuna hanya menatap kami bertiga tanpa bicara.

“Hey. Katakan sesuatu.”

Aku menyikut Ronan-3. Tapi pria yang tadi banyak bacot itu sekarang bahkan tidak bisa mengedip.

Ingatanku yang katanya hebat, ha?

Akhirnya Nuna yang bicara duluan.

“…Ronan? Ronan, ya?”

Nuna berjalan perlahan ke arah kami. Pintu yang terbuka lebar pun tak ada yang sempat mengingatkan.

Napas ayah dan adik semakin cepat.

Ketika jarak tinggal lima langkah, mulut Ronan-3 akhirnya bergerak.

“A-aku pulang, Nuna.”

“Ronan.”

“Nuna… ini.”

Tangannya bergetar saat menyerahkan bunga. Ia mengambil napas dalam-dalam.

“Ini… putih, kan? Yang Nuna suka?”

Nuna tidak menjawab. Tidak menerima bunga itu. Hanya menatap wajah adiknya seperti orang dalam hipnosis. Ia berbisik pelan.

“…Jangan menghilang.”

“Hah?”

Ronan-3 mengerutkan dahi. Nuna mengepalkan tangan. Ia berusaha keras agar tidak berkedip.

“Tolong… sedikit saja lagi…”

Ini mimpi. Tidak mungkin nyata.

Jika ia menutup mata sedetik saja, semuanya pasti hilang.

Nuna perlahan mengangkat tangan, hendak menyentuh pipi Ronan-3—

“Iryl.”

“…Eh?”

Kain memanggilnya. Nuna menoleh, lalu membeku lagi.

Pertemuan kembali setelah belasan tahun.

Kain berjalan perlahan. Berdiri di depan putrinya.

“Ayah merindukanmu. Ayah telah membuat dosa besar padamu. Aku—”

“Jangan datang!”

Nuna tiba-tiba menjerit dan mundur. Wajahnya menangis sambil tertawa—tak terlukiskan.

Kain terhenti.

“...Kenapa begitu?”

“Aku tahu. Kalau aku menyentuh… Ayah akan hilang. Jangan… jangan dekat.”

Suaranya pecah.

“Ini… ini tidak mungkin nyata. Ronan dan Ayah pulang bersamaan… mana mungkin itu nyata…”

“Iryl.”

“Semakin indah mimpinya… semakin menyakitkan saat bangun. Rumah kosong itu… aku takut… Aku sangat kesepian... Jadi... Kumohon... Tetaplah di sisiku... hanya untuk satu detik lagi..."

Setiap kata menusuk jantung.

Kain memejamkan mata. Napasnya gemetar.

Aku tak bisa memahami sepenuhnya penderitaan seorang ayah yang hidup ratusan tahun, lalu meninggalkan keluarga demi kutukan, dan kini kembali di hadapan mereka.

“Ayah minta maaf.”

Akhirnya ia membuka mata dan melangkah maju.

“Tapi ini… bukan mimpi.”

“Ah…”

Nuna tidak sempat bicara. Kain memeluknya erat. Meski tampak kuat, gerakannya selembut menyentuh kaca rapuh. Kehangatan mengalir dari tempat mereka bersentuhan. Nuna terbelalak.

“Aroma bunga liar…”

Aku tersentak. Ingatan Nuna dari dunia asalku melintas.

Sebelum aku lahir, Ayah sering berjalan-jalan dengan keluarga. Ibu menggandeng lengannya. Nimbertun bersinar seperti sekarang.

‘Kisah yang aku tidak tahu.’

Nuna selalu tertidur sebelum berjalan-jalan berakhir. Dan setiap kali ia tertidur, Ayah menggendongnya pulang. Nuna bilang ia menyukainya. Punggung yang lebar, dan aroma samar bunga liar di pakaian Ayah.

“…Ayah?”

Mata Nuna—warna senja—bergetar hebat.

“Ya, Iryl. Ini Ayah.”

Kain mengangguk. Nuna terisak dan menyembunyikan wajah di bahu Ayah.

“Benar-benar… Ayah?”

“Benar. Dan Ayah terlambat. Maafkan Ayah.”

“Ayah… Ayah… Ayah…”

Bahunya gemetar.

Ia tidak lagi wanita dewasa yang tegar—tetapi anak kecil yang ditinggalkan sendirian.

Lalu Nuna mendadak menarik Ronan-3 ke dalam pelukannya.

“N-Nuna?!”

“Jangan hilang. Jangan menghilang lagi. Kalian…”

Dan ia menangis lagi, memeluk keduanya erat.

Kain tidak hilang. Ronan-3 pun tidak.

“Tentu tidak. Aku tidak akan pergi ke mana pun lagi.”

Suara, hangatnya tubuh, air mata yang mengalir tanpa hambatan—

Semuanya nyata.

Aku berjalan ke belakang pohon dan menggigit pipa rokok.

“Hm.”

Ini bukan situasiku untuk ikut campur. Aku menghembuskan asap.

Aku hanya menyaksikan reuni keluarga itu dalam diam. Harapan terbesar Ayah akhirnya terpenuhi di dunia ketiga ini.

Hari ini… aku tidak membenci keberadaan ‘dunia paralel’.

Sambil menyibak rambut, aku menatap langit merah menyala dan tersenyum.

“Hey. Kau lihat, kan?”

2-121. Dunia (1)

“Hmm? Kamu tanya warna bunga apa yang paling aku suka?”

Nuna mengangkat wajahnya dari balik buket bunga. Kelopak-kelopak tersangkut di ujung hidungnya yang mengilap. Buket berisi bunga bakung kuning dan putih itu memancarkan aroma manis awal musim panas.

“Karena ini pertanyaan penting.”

Aku mengangguk. Usai reuni yang mengharukan, kami sedang makan malam bersama di gubuk Nimbertun. Cahaya senja yang miring membanjiri dapur. Sup kentang Nuna—yang ia buat dalam jumlah berlebihan—cukup untuk empat orang.

Ronan-3 berkata,

“Sudah jelas putih. Tidak ada pilihan lain.”

Dia makan sup kentang pertamanya setelah tiga tahun dengan rakus.

Melihat dia belum menyerah, aku hanya bisa mengembuskan napas.

“Dasar bodoh. Yang putih itu isi kepalamu.”

“Baj—… huff, tidak. 참자…”

Ronan-3 mengatupkan giginya kuat-kuat. Setidaknya ia berusaha mati-matian menahan kata-kata kotor di depan Nuna. Nuna menyipitkan mata sambil menatap buket itu.

“Uuung, susah… Aku suka semua bunga bakung, soalnya.”

“Nuna, kalau harus pilih satu?”

“Satu saja? Oke! Nuna itu perempuan yang tegas kalau perlu! Kalau harus memilih satuaa…!”

Ia mengepalkan kedua tangan dengan semangat. Tapi itu hanya bertahan sebentar.

Setelah ragu-ragu, Nuna memegangi kepalanya.

“Aaaah! Tidak bisaaa! Tidak bisa memilih!”

Kalau ditanya memilih salah satu sandera untuk dibunuh pun mungkin reaksinya tak separah ini.

Nuna dengan langkah kecil bergegas ke jendela dan menaruh buket itu di pot.

“Kuning, putih, oranye, semuanya aku suka! Dan semuanya diberikan Ronan, jadi mana mungkin aku pilih salah satu! Apa yang harus aku lakukan? Hm?”

“Y-ya… kalau begitu tidak apa. Jangan dipaksa.”

Aku cepat-cepat menenangkannya.

Jika ditekan sedikit lagi, Nuna pasti menangis. Jadi aku dan Ronan-3 tak punya pilihan selain menghentikan taruhan bodoh itu.

Aku seperti mengerti kenapa kami bertiga punya ingatan berbeda. Nuna pasti menganggap setiap bunga bakung yang diterimanya—apa pun warnanya—sebagai harta paling berharga di dunia.

Rasa bersalah yang familiar kembali menghantamku.

‘Bagaimana aku bisa meninggalkan orang seperti ini dan kabur dari rumah?’

Perasaan itu selalu muncul setiap aku melihat Nuna.

Ronan-3 pun tampak memikirkan hal yang sama; wajahnya muram.

Tiba-tiba Nuna menatapku dan tersenyum ceria.

“Ehehe, tapi aku benar-benar kaget.”

“Hm?”

“Waktu lihat tambahan satu orang, aku bingung itu siapa. Tidak menyangka kalau itu Ronan kedua. Aku hampir pingsan. Kamu bilang dari mana tadi? Dunia… sejajar? Datar?”

“Dunia paralel.”

“Iya! Itu!”

Nuna menepuk tangannya. Aku menjelaskan siapa diriku setelah reuni Kain dan Ronan-3 sedikit mereda.

Hebatnya, Nuna tidak pingsan dan mau mendengar penjelasanku sampai selesai. Meski aku tidak yakin apakah dia benar-benar memahami semuanya.

“Bukankah agak tidak nyaman? Tiba-tiba ada dua laki-laki dewasa yang sama.”

“Tidak! Justru senang sekali. Ronan tetap Ronan, dari mana pun datangnya. Sampai menulis surat untuk Nuna… Nuna bahagia dua kali.”

Nuna berjinjit dan mengusap rambutku. Tangan yang dulu sehalus wajahnya sekarang penuh kapalan karena pekerjaan ladang. Dua kali lipat rasa bersalah menusuk dadaku.

“Syukurlah. Aku juga senang, Nuna.”

“Iya! Oh iya, bagaimana dengan aku di duniamu? Masih tinggal di Nimbertun juga?”

“Ah, itu tidak.”

“Eh?! Kenapa? Nuna suka sekali desa kita…”

“Kalau dibilang kenapa… yah, karena menikah.”

“Me… menikah?!”

Wajah Nuna memerah seperti apel. Ronan-3 memuntahkan sup kentang lewat hidung. Batuknya seperti mau mati.

“K-keuh! Kehh! Kek—!”

“Ugh, jorok.”

“R-Ronan! Apa kau baik-baik saja?!”

Nuna buru-buru memberikan air. Sup yang tercecer di meja masih mengepulkan uap panas.

Kain yang hanya menatap sup sejak tadi akhirnya membuka mulut.

“Ini… pertama kali Ayah dengar.”

Ia mengaduk sup dengan sendok, berusaha terlihat tenang, tapi tangannya bergetar seperti orang demam.

Benar… lelaki ini adalah ayah dari Nuna.

“Siapa… bajingan—아니, siapa laki-laki itu? Berani-beraninya mengambil putriku. Apakah Ayah mengenalnya?”

“Kalau aku bilang, Ayah pasti mau bunuh dia.”

“Tidak mungkin. Ayah hanya bertanya karena penasaran.”

“Omong kosong. Ayah pasti tahu dia siapa, tapi Aku tidak bisa bilang di depan Nuna. Dunia ini beda, bisa jadi lain. Tapi… sejauh yang kutahu, dia laki-laki paling baik yang pernah kutemui.”

Scheriffen memang seperti itu. Kepribadiannya bagus, hartanya bejibun, dan yang paling penting—dia mencintai Nuna dengan cinta yang nyaris gila.

‘Kalau mereka bertemu di dunia ini, pasti tetap terikat. Tanpa ragu.’

Selain dia, tidak ada laki-laki lain yang cocok. Jika dunia dan Nuna diletakkan di atas timbangan, Scheriffen akan memilih Nuna tanpa ragu sedetik pun.

Kain terduduk seperti disambar petir.

“Hah… aku… aku benar menikah? Ada laki-laki yang mau mengambil buruk rupa sepertiku?”

Nuna memegangi kedua pipinya. Wajahnya memerah hingga membuat jantung nyeri. Wajah yang malu-malu namun penuh harapan itu merobek hati dua ayah-anak di depannya.

Kain berkata,

“…Ikut aku. Hanya anak dari dunia paralel.”

“Hah?”

“Ayah ingin menghabiskan waktu reuni lebih lama, tapi tidak bisa lagi. Ayah hampir meledak. Kita mulai pelajaran sekarang.”

Sebelum aku sempat menjawab, Kain berdiri dan keluar dari gubuk. Ronan-3 masih sibuk memegangi tenggorokan yang memerah.


“Aah… indah sekali.”

Kain tersenyum. Angin barat mengacak rambut kami. Usai makan, kami berdiri di puncak bukit kecil dekat desa, melihat Nimbertun dari atas.

“Cantik, bukan? Selama Ayah hidup seperti ikan kaleng, inilah pemandangan yang paling ingin Ayah lihat.”

“Ya. Aku juga suka.”

Aku mengangguk. Ini juga tempat aku menguburkan Ayah di dunia asliku. Bukit yang cukup tinggi untuk melihat seluruh desa tidak banyak. Senja menyala seperti membakar seluruh Nimbertun.

“Bahkan mataharinya enggan tenggelam…”

Aku teringat kata-kata Adeshan. Panorama yang menjadi sumber inspirasi auraku.

Sudah lama aku tidak melihat senja sekuat ini. Matahari yang tenggelam berwarna merah pekat, hampir ungu, seolah menarik seluruh cahaya dunia.

Kain mengerutkan kening.

“Hm? Apa maksudmu?”

“Tidak penting. Hanya bicara sendiri. Senang melihat Ayah lebih baik.”

“Bising. Ayah baru saja melupakannya.”

Kain mengeklik lidahnya. Wajah yang mirip denganku itu masih tampak kesal. Meski itu dunia paralel, pernikahan putrinya tetap isu besar.

“Siapa pun orangnya, kalau tidak pantas Ayah akan menghajarnya. Jika ingin membawa Iryl, dia harus melewati ujian Kain. Ujian yang kejam dan tanpa ampun.”

“Seram sekali… tapi bukankah Ayah mau mengajar sesuatu?”

“Benar. Dan kau yang tiba-tiba membawa topik mengganggu itu.”

Ia menyibak poninya dengan sedikit jengkel.

Aku ingin menggodanya lebih lama, tapi memutuskan berhenti.

Aku berkata,

“Ayah tidak mengajak Ronan-3? Kalau belajar bersama kan lebih bagus.”

“Dia belum siap. Anak itu harus belajar dari dasar. Bahkan kalau kutukannya hilang besok, butuh sepuluh tahun lagi untuk mencapai tingkat pelajaran hari ini.”

“Sial, sepuluh tahun?”

“Bisa lebih.”

Sepertinya Kain tidak bercanda. Aku menatapnya, dan rona kehangatan di matanya menghilang. Yang tersisa hanyalah ketajaman seorang pendekar.

“Dunia.”

Kain berkata,

“Itulah tingkat yang harus kau capai untuk menghadapi penyihir bernama Akasha.”

“…Dunia?”

“Ya. Nama yang Ayah buat sendiri, tapi nantinya semua orang akan menyebut tingkat itu ‘Dunia’. Hak penamaan milik penciptanya. Tidak pernah Ayah bayangkan orang pertama setelah Ayah yang mencapai itu adalah penjahat.”

“Teknik apa sebenarnya itu?”

“Ayah jelaskan sekarang. Karena kita berdua bukan tipe akademisi, Ayah akan permudah.”

Kain menarik pedangnya. Pedang panjang yang diambil dari Abel terhunus dengan suara dingin. Pedang itu berputar di udara saat ia berbicara.

“Dunia adalah tingkat terakhir dari aura, dan batas maksimal penggunaan mana yang diketahui saat ini. Kau tahu bahwa aura muncul dari kombinasi mana alam di tubuh dan dunia batin pemiliknya, bukan?”

“Itu dasar. Aura dibuat dengan mencampur mana alami dalam tubuh dengan citra batin.”

“Benar. Bahkan mengeluarkan aura saja sudah membuat seseorang disebut kuat. Mengungkap batinmu tidak pernah mudah. Tapi mewujudkan Dunia jauh lebih sulit.”

Putaran pedang berhenti.

“Dunia adalah memperdalam dunia batinmu, lalu memperluasnya menjadi konsep ruang. Kau mengundang lawan ke duniamu—tanpa terikat waktu atau situasi. Di sana, kau bisa melakukan hampir semua yang kau inginkan. Mengubah dunia menjadi petir, menciptakan badai besar… karena itu semua adalah dunia milikmu.”

“Jadi… seperti dewa. Ngeri juga.”

Aku tercengang. Untuk pertama kalinya, aku memahami sedikit kenyataan jurang kekuatan itu. Alasan aku tidak bisa menebas sihir Akasha: tingkatnya berada di dunia lain—secara harfiah.

Kain mengangguk.

“Dewa, ya… memang mirip.”

“Akasha sudah mencapai tingkat itu?”

“Hanya itu cara menjelaskannya. Bahkan mungkin lebih tinggi dariku. Kau benar-benar menciptakan lawan yang buruk, Ronan.”

Aku ingin menjawab bahwa aku tidak sengaja membuatnya begitu, tapi kutahan.

Wajah Kain semakin serius.

“Ronan. Sebenarnya teknikmu tidak begitu bagus. Kalau bicara ketelitian, malah buruk.”

“Harsh sekali.”

“Itu fakta. Tapi meski begitu, kau tetap menang karena kau sendiri kuat. Gaya bertarungmu adalah menindas lawan dengan perbedaan kekuatan murni.”

“Itu… bagus atau buruk?”

“Tentu bagus. Ayah pun suka gaya itu. Tidak perlu teknik rumit selama kau lebih cepat dan tajam. Mereka yang mendominasi sekejap adalah yang meninggalkan warisan terbesar. Dan kau—yang lebih kuat dari Ayah—sudah mendominasi sekejap.”

Aku merinding. Dipuji seperti itu oleh Ayah terasa aneh.

Tapi Kain tidak mengatakannya untuk memujiku.

“Tapi Dunia berbeda. Tidak cukup hanya kuat. Hanya mereka yang bisa membuka Dunia yang bisa menghancurkan Dunia orang lain.”

“…Apakah aku bisa sampai ke tingkat itu?”

“Ayah tidak bisa menjanjikan apa pun. Tapi kita akan coba. Teorinya cukup. Sekarang praktik.”

Kain menggenggam pedang dengan kedua tangan. Cahaya putih merambat di sepanjang bilahnya. Aura khas Kain—yang juga kulihat di dunia asliku—tapi kini terasa berbeda, lebih dalam.

Ia mengangkat pedang secara vertikal seperti memberi hormat.

“Perhatikan baik-baik. Inilah Duniaku.”

Cahaya yang memancar dari pedang menyelimuti seluruh area.

2-122. Dunia (2)

Saat Kain menggenggam gagang pedang dengan kedua tangan, cahaya putih meledak keluar.

“Ugh…!”

Aku refleks menutupi mata. Cahayanya begitu menyilaukan hingga menusuk retina. Untungnya, cahaya itu cepat mereda. Seketika aku membuka mata—dan umpatan keluar begitu saja.

“Apa lagi ini, sial.”

Semuanya telah berubah. Aku tidak lagi berdiri di bukit yang menghadap desa.

Aku berdiri di tengah lautan luas.

Di atas kepala, hamparan langit malam penuh bintang membentang seperti selimut tak berujung. Setiap kali angin dingin menerpa kulit, cahaya dari jutaan benda langit bergetar seperti makhluk hidup.

“...Gila.”

Aku hanya bisa terpesona. Belum pernah seumur hidup aku melihat malam seindah ini.

Langit yang dulu kulihat sambil menggenggam tangan Nuna saat kecil pun kalah. Bahkan dunia paralel pertama—yang peradabannya runtuh oleh invasi para raksasa—tidak memiliki langit seperti ini. Sungai galaksi yang mengalir dengan kekuatan menggila dan nebula yang menyala menghasilkan suasana yang nyaris tidak nyata.

Namun tempat ini bukanlah tempat untuk bersantai menikmati angin laut.

Fuuuuuung—

Angin utara yang meluncur di permukaan laut menghantam wajahku.

“Auh, brengsek!”

Mantelku berkibar kasar. Aku merapatkan kerah secara refleks. Dingin ini bisa membekukan puting.

Meski aku tahu semuanya palsu… sensasinya nyata.

Aku menunduk sedikit. Di bawah kakiku, gelombang biru-hitam memukul-mukul permukaan seperti lantai. Rasanya seperti berdiri di tanah… tapi aku tak tahu bagaimana itu mungkin.

‘Sialan. Ini benar-benar dunia nyata.’

Shock ini berbeda dari jurang tak berujung milik Akasha. Ini terlalu detail, terlalu hidup.

Mataku mengikuti garis cakrawala. Anehnya, ada daratan. Seperti punggung seekor paus raksasa, tanah itu membumbung perlahan, di atasnya berkedip puluhan titik cahaya merah-oranye.

“Itu…?”

Aku menyipitkan mata. Cahaya-cahaya itu tersusun rapi.

Pemukiman? Suku?

Aku baru hendak melangkah mendekat ketika—

“Itu adalah kampung halamanku.”

“Ayah.”

Suaranya datang dari belakang. Aku menoleh. Kain berdiri tegak memegang pedangnya. Bilah panjang yang tergenggam di tangan kanannya berkilau memantulkan cahaya bintang.

“Kampung Ayah?”

“Ya. Tempat raja raksasa jatuh… tempat aku kehilangan segalanya, sekaligus memulai kembali. Setiap kali aku ikut Ayahku pergi menangkap ikan dan menoleh ke arah desa, inilah pemandangan yang selalu kulihat.”

Ia menunjuk ke daratan itu.

Matanya memantulkan nostalgia yang tak terukur.

‘Jadi begini… mengapa langitnya begitu terang.’

Punggungku meremang.

Aku tidak tahu… seberapa jauh ke masa lalu dunia ini ditarik.

Langit purba. Bahkan sebelum Kekaisaran Dainhar terbentuk, sebelum Nabarroze—yang kini disebut Ibu Api—menetas dari telurnya. Rasa hormat bercampur rasa penasaran mengalir kuat dalam tubuhku.

Kain berkata,

“Jangan bermimpi mendekatinya. Yang bisa kuhadirkan hanya sejauh ini.”

“Tahu saja yang saya pikirkan.”

“Bagaimanapun aku ayahmu. Dunia ini tidak banyak membantu dalam pertempuran, tapi setidaknya aku selalu mempertahankan pemandangan kampung halaman. Jika tidak kulakukan… aku takut akan melupakannya. Menurutku, inilah fungsi terbaik dari Dunia.”

Kemampuan untuk mengingat kenangan paling dalam dengan jelas, dan membagikannya dengan orang lain.

Aku mengangguk. Jika bukan karena memasuki dunia Kain, aku tidak mungkin melihat langit seperti ini seumur hidup.

“Ya. Ini bagus.”

“Senang kau sependapat. Ayah pun ingin berlama-lama menikmati bintang… tapi kau punya tugas yang harus dilakukan.”

“Itu benar. Tapi… jujur aku penasaran. Apakah pemandangan seindah ini bisa berubah menjadi serangan sepanas neraka, seperti jurus Akasha?”

“Tentu saja. Kebetulan aku ingin menunjukkannya.”

Kain mengangkat pedangnya. Pandanganku otomatis tertuju pada bilah itu—di dalamnya berdenyut cahaya putih pucat seperti bintang-bintang jauh.

“Sekarang, dunia ini hanyalah lukisan indah. Untuk menjadikannya senjata, kau harus mengolahnya.”

“Jadi ini bisa jadi… pusaran raksasa? Atau hiu sebesar gunung muncul dari laut?”

“Itu juga bisa. Tapi seperti yang kau bilang di bukit tadi—pengguna Dunia bisa menjadi dewa di sebagian tempat. Jika kau terpaksa harus mengakhiri segalanya di dalam Dunia, maka lakukan dengan benar. Misalnya…”

Mata Kain terangkat ke langit malam. Ujung pedangnya menuding tepat ke galaksi.

Seperti menantang dewa perang.

Aku terpaku, menunggu ia bergerak.

Dan kemudian—

Seluruh bintang di langit menembakkan sinar putih ke arah kami.

“……!!!”

Rambut di tengkukku berdiri serentak.

Ratusan juta serangga sutra raksasa memuntahkan benang sekaligus—mungkin beginilah rasanya.

Dalam sedetik, kilatan cahaya yang menembus ruang angkasa menyatu di pedang Kain. Laut berubah putih. Sinar perlahan mereda… namun bilah pedangnya kini bersinar begitu terang hingga sulit kupandang langsung.

Kain tersenyum tipis.

“Begitulah.”

Pedang itu kini lebih dekat ke petir daripada logam.

Ia mengayunkannya ke cakrawala.

Satu garis lurus menyapu ujung dunia ke ujung dunia.

Keheningan sesaat.

Kemudian—
BARRRRRRAAAAAAM!!

Laut meledak. Tembok air setinggi langit terangkat, lalu runtuh dengan kekuatan yang menghancurkan. Aku yakin tetesan terakhir dari geyser itu akan jatuh sepuluh menit kemudian.

Ketika permukaan laut kembali tenang, Kain memutar pedang dan berkata,

“Untuk menghancurkan Dunia milik penyihir Akasha, aku harus menggunakan jauh lebih banyak kekuatan dari ini. Dia secara keseluruhan lebih kuat dariku. Minimal—kau harus mampu membuat Dunia sebesar ini, kalau ingin keluar dari Jurang Tanpa Dasar dengan kekuatanmu sendiri.”

“Hmm. Sial betul.”

“Tidak sepenuhnya salah. Tapi kau akan bisa.”

Kain menepuk bahuku.

Aku menoleh dengan secercah harapan.

“Ada trik?”

“Tidak. Tentu tidak. Namun saat seseorang harus melakukannya, ia akan menunjukkan kekuatan yang bahkan tidak ia sadari. Aku begitu, Abel begitu, dan semua keturunan keluarga kita begitu.”

“Artinya… ya sudah, terjang saja, begitu?”

“Tepat.”

“…Biasanya aku tidak bilang begini, tapi boleh aku memukul Ayah sekali?”

“Mohon jangan. Jika aku dipukul anak dari dunia paralel juga… hatiku benar-benar hancur.”

Ia mengibaskan tangan. Aku melepas genggamanku. Kalau dia menyetujui barusan, aku pasti sudah meninju.

Aku menggaruk belakang kepala.

“Haaah… baik. Sialan, ayo coba.”

“Bagus. Langkah pertama adalah meluapkan duniamu sendiri.”

“Mel… luapkan?”

“Ya. Sama prinsipnya dengan aura, tapi tidak harus citra yang sama. Tunjukkan dunia yang ingin kau perlihatkan pada musuh, begitu nyata hingga tubuhmu tak mampu menahannya.”

Ia memejamkan mata lagi.

Pedang dan cahaya putihnya sekali lagi meledak, mengirim riak besar ke segala arah.

Langit malam menjadi lebih cerah. Cahaya bintang digandakan, memenuhi laut hingga tampak perak cair. Bahkan buih kecil di permukaan tampak jelas.

Kain membuka mata.

“Jika sudah meluapkan dunia batinmu, kau bisa mengubahnya begini. Tadi Ayah cuma berpikir, ‘akan lebih bagus kalau bintangnya makin terang.’”

“Hah… gila.”

Aku hanya bisa tertawa hambar. Tidak sebrutal serangan barusan, tapi tetap gila.

Meski begitu, akhirnya aku mulai mengerti.

‘Ya. Tidak ada orang lain yang bisa melakukannya kecuali aku.’

Ini hanya berarti satu: bayangkan duniamu—secara brutal jelas.

Begitu hidup hingga wadahmu tidak sanggup menahannya.

Aku menarik pedangku. Pedang suci putih berpendar lembut.

‘…Menarik.’

Senyum kecil muncul.

Sudah lama aku tidak belajar sesuatu. Perasaan yang sama seperti saat mengikuti kelas di Phileon Academy kembali mengalir.

Kegembiraan yang bertentangan dengan keadaan—tapi cukup menyenangkan.

Aku memejamkan mata, mulai membayangkan langkah pertama menuju Dunia.

“Uuugh… khhh…!”

Aku memaksa membayangkan pemandangan senja.

Citra paling kuat yang pernah kulihat. Pertarungan matahari yang sekarat. Aura merah yang menyeret segalanya.

Mana keluar dari seluruh tubuhku seperti air surut.

“Arghhhhh!”

Namun, tak ada perubahan.

Aku hanya menyiksa gagang pedang. Suara menggeram keluar di antara gigi terkatup.

Kemudian suara Kain datang.

“Cukup.”

“M-masih… belum!”

“Tidak. Cukup. Kalau kau teruskan sedikit lagi, kau akan—hm—mengeluarkan sesuatu yang tidak seharusnya. Dan kau tidak pulang tanpa hasil.”

“Hah? Maksudnya…?”

Aku membuka mata.

Lalu terdiam.

Di atas bilah pedang—terhampar cahaya senja. Area kecil, tapi jelas bukan aura. Awan kecil bergerak di dalam lingkaran cahaya itu, seolah terjebak di dunia mini.

“Haah… haaah… ini… apa…?”

“Itulah Dunia.”

“Sekecil ini?”

“Setiap pohon besar berawal dari benih. Tidak kusangka kau bisa sejauh ini pada percobaan pertama.”

Kain terkekeh. Tidak terdengar seperti candaan.

Aku terpaku menatap fenomena itu. Tapi seperti lilin yang padam oleh angin, dunia mini itu punah dalam sekejap.

“Sialan, apa itu?!”

“Fokusmu koyak. Lagi.”

“Jelas. Sekarang aku tahu dasarnya.”

Aku memejamkan mata lagi. Membayangkan. Mengumpulkan mana.

Tak ada lagi rasa dingin laut. Tak ada lagi rasa minder pada teknik gila Kain.

Aku harus ini. Dan aku akan berhasil.

Kain berkata,

“Bagus. Terus begitu.”

“Khhhhh—!”

“Ayah akan membantumu sekuat tenaga. Kau harus menguasai Dunia…”

Aku tidak menjawab. Fokus.

Cahaya senja kecil bergetar di balik kelopak mataku.

Di tengah keheningan—suara Kain menggema lagi.

“Dan nanti… pukullah penyihir Akasha itu… dengan satu pukulan yang pantas.”

2-123. Dunia (3)

Udara fajar masih suram. Nimbertun sebelum matahari terbit tenggelam di bawah bayangan biru kehitaman.

Iryl berjalan cepat dan membentuk corong dengan kedua tangan di mulutnya.

“Ronan! Ayah!”

“Ro…! Ayah…!”

Suaranya memantul di perbukitan. Suara itu cukup keras untuk mencapai tempat jauh, tapi tak ada jawaban kembali. Mata Iryl mulai berkaca-kaca.

“...Katanya tidak akan pergi lagi.”

Ini terlalu kejam. Bahkan belum sehari sejak reuni. Momen keluarga duduk bersama di meja makan sudah terasa seperti mimpi yang memudar.

Seandainya Ronan dari dunia asli juga menghilang, ia pasti sudah pingsan tadi.

Iryl mengusap matanya dengan lengan baju dan kembali berteriak sekuat tenaga.

“Ronaan! Ayaaah—!!”

“Bangsat, kemana hilang sih, makan juga belum habis!?”

Ronan-3 menggeram di sampingnya.

Dia memang punya aturan untuk tidak memaki di depan Nuna, tapi kali ini ia tidak bisa menahannya.

Ia ikut mencari bersama Iryl.

“Ketemu saja, kubikin kalian berdua mampus.”

“R-Ronan… bagaimana ini? Kalau Ayah hilang lagi, aku… hiks, aku…”

“Ba-bagus, tenang Nuna. Mungkin cuma pergi sebentar.”

Ronan-3 buru-buru mencoba menenangkannya.

Tekanan dan kecemasan membuat Iryl tampak seperti gelas retak yang siap pecah kapan saja.

Napasnya tersengal. Air mata terus mengalir tanpa bisa ia hentikan. Setiap tetes rasanya menghancurkan dirinya sendiri. Ronan-3 menggigit bibir dan memeluk Nuna erat-erat.

“Semuanya akan baik-baik saja. Aku pasti menemukan mereka.”

“Hiks… u-ung…”

“Good. Jadi jangan nangis lagi, ya?”

“U-ung. Iya… aku nggak nangis.”

Iryl mengangguk. Setelah memastikan napasnya kembali normal, Ronan-3 menghela napas lega.

Ia merasakan betapa waktu telah berjalan. Dulu saat ia kecil, Nuna terasa sangat besar. Sekarang Nuna begitu kecil hingga dagunya bisa bersandar di puncak kepala Iryl.

“Bajingan.”

Ronan-3 memejamkan mata lalu membuka kembali. Dunia runtuh pun, ia harus menemukan mereka.

Pencarian dilanjutkan. Fajar semakin dekat; langit timur memerah perlahan. Saat keduanya sibuk memeriksa sekitar—

“…Apa itu.”

Ronan-3 menyipitkan mata. Sebuah gumpalan tak berwujud menyala di puncak bukit.

Bayangan besar pohon ek tua—tempat ia sering tidur siang saat kecil—memanjang hingga ujung kakinya.

“Nuna. Lihat itu.”

“…Huh?”

Iryl yang masih terisak mengangkat wajahnya. Gumpalan cahaya itu terlihat jelas bahkan baginya. Di dalam cahaya putih yang lembut, titik merah kecil berdenyut seperti bara api.

“Itu… itu apa? Api arwah?”

“Ayo cek… kayak pernah lihat.”

Benda aneh itu terasa familiar.

Keduanya menggenggam tangan dan perlahan menaiki bukit.


“Hah… huuh…! Keuh!”

“Selamat, Ronan.”

Kain tertawa kecil. Laut purba menghilang seperti debu. Cahaya bintang yang tadi bersinar kini berkedip rapuh seperti lilin hampir padam.

Dunia yang Kain bentangkan sedang runtuh.

Aku menurunkan pedang dan menyibak rambut basah oleh keringat.

“Ja… huff, jadi berhasil?”

“Setidaknya yang penting sudah tercapai. Kau sudah berada pada tingkat yang mampu menghancurkan Dunia orang lain.”

Kain menunjuk ke cakrawala.

Satu garis tebasan berwarna senja melintasi laut dan langit berbintang. Panjangnya hanya beberapa meter, jauh dari teknik “Super Tebasan Bintang Terkumpul” (nama buatananku), tetapi jelas dari sana Dunia Kain retak dan hancur.

Itu adalah jejak Dunia kecilku—yang kugunakan sebagai serangan.

“Belum sempurna, tapi sangat bagus. Dengan tingkat ini, kau mungkin bisa lolos dari Dunia milik Akasha. Kau bilang selain Dunianya, kau unggul?”

“Mungkin. Soalnya dia sudah sering kupukul.”

“Kalau begitu kau harus cepat menentukan hasil. Hm…”

Kain mengusap dagu. Ia juga basah oleh keringat. Setiap kali mana dalam tubuhku habis, ia menjadi potion berjalan yang mengembalikannya lagi.

Ia berbicara sambil menatap laut yang hancur.

“Terima kasih, Ayah.”

“Terima kasih apa. Ini semua karena kau berbakat. Tanpa bakat alami dan pengalaman yang kau bawa dari dua dunia paralel lain, ini takkan mungkin. Kau mengejar ribuan tahun pengalamanku hanya dalam beberapa jam.”

“Tapi tetap tidak boleh lengah, kan?”

“Jelas. Dunia kecilmu hanya untuk menghancurkan Abyss of Nothingness. Setelah itu cepat akhiri pertarungan.”

Aku mengangguk. Dunia itu belum sempurna, dan latihan berhenti hanya karena mana kami habis dan ada batasan yang tak bisa ditembus hanya dengan kerja keras.

‘Harus belajar lewat pertarungan. Tapi semoga cukup untuk menghabisi dia…’

Aku mengeratkan rahang. Aku gagal memperluas Dunia.

Bahkan memaksakan diri, radiusnya hanya sekitar sepuluh meter. Karena itu aku mengusulkan untuk fokus pada dunia-mini sebagai senjata—bukan memperlebar wilayah.

Sejujurnya itu trik licik, tapi Kain tampaknya sangat menyukainya.

— Oh? Cara yang menarik.

— Hah?

Ia memujiku jenius dan langsung setuju.

Memang melelahkan sampai mati, tapi memadatkan citra jauh lebih mudah daripada memperluasnya. Berkat itu aku akhirnya bisa menghasilkan tebasan yang melukai Dunia Kain.

Kini pemandangan malam itu tinggal separuh.

Kain memandangku lama lalu tertawa kecil.

“…Ronan. Kau ini ternyata lebih mirip Ayah daripada Kaša.”

“Kaša…?”

“Ya. Ibumu. Sepertinya semua hal yang indah dari ibumu—kecuali warna rambut—menurun ke Iryl. Andai kau sedikit lebih mirip ibumu, hidupmu tidak akan sesusah ini. Wajahmu juga pasti secantik bunga, membuat wanita tak bisa menjauh.”

“Terdengar seperti hinaan, Ayah.”

“Itu kenyataan. Sekarang Ayah sok elegan, tapi dulu Ayah keras kepala, mulut kasar, dan hidup hanya menurut ego sendiri. Kepribadian yang buruk untuk dicintai… setiap kali berinteraksi denganmu, Ayah merasa deja vu menggigil.”

“Mm. Ya, cukup masuk akal.”

Aku mengangguk. Ingatanku tentang Ibu samar, tapi aku tahu ia sangat hangat.

Kalau Ibu juga seperti Kain… seumur hidup aku pasti dihajar Nuna—putri bintang dengan kekuatan tak masuk akal. Huh, ngeri membayangkannya.

Kain melanjutkan,

“Namun karena itu pula Ayah menyukaimu. Kau menjadi pahlawan karena mirip Ayah. Pahlawan pada dasarnya harus cerewet dan berkepribadian buruk. Lihat Iryl. Dari sisi bakat, dia tidak kalah darimu, tapi hidup dengan patuh dan lembut begitu.”

“Benar. Tidak terbayang Nuna berada di posisiku. Dia terlalu baik.”

“Setuju. Tapi orang berbakat dan berkepribadian buruk tidak otomatis jadi pahlawan. Ayah gagal, kau berhasil. Apa kau tahu kenapa?”

“Tidak tahu.”

“Karena sedikit saja—kau mirip ibumu. Selain rambut hitam yang cantik itu… kau bisa tulus memperlakukan orang lain. Karena itu kau tidak dikhianati.”

Tiba-tiba Kain mengusap kepalaku. Meski rambutku basah dan acak-acakan, ia tidak peduli.

“Karena berusaha memahami orang lain, kau lebih kuat dari Ayah. Ingat itu.”

“Ayah…?”

“Cerita jadi panjang ya. Iryl pasti menunggu. Ayo pulang.”

Kain tersenyum. Retakan Dunia di sekitar garis tebasanku menyebar, merobek segalanya.

Seperti saat pertama masuk, penglihatanku kembali diselimuti cahaya putih.


“Ah.”

Cahaya memudar. Aku membuka mata. Laut telah lenyap. Pohon oak besar menjulang di belakang kami. Desa kecil Nimbertun tampak damai di bawah bukit.

Tak ada seorang pun di jalanan—seperti seluruh desa tertidur.

Cahaya di timur perlahan tumbuh.

“Sudah jam segini rupanya…”

Aku bergumam melihat matahari hampir terbit.

Kupikir baru dua atau tiga jam berlalu, ternyata satu malam penuh. Tapi melihat hasilnya, sungguh waktu yang terlalu singkat.

“……”

Kain berdiri di sisiku, menatap fajar.

Aku sempat takut ia pingsan, tapi syukurlah ia baik-baik saja.

Aku menyikutnya pelan.

“Pulang.”

“Baik.”

Ia tersenyum. Kami mulai turun bukit—namun tiba-tiba bayangan melompat keluar dari belakang pohon.

Ronan-3.

Aku belum sempat bicara—

“HEY! DASAR BAJINGAN!!”

“Ugh.”

Tinju mendarat di wajahku. Kepalaku terjerat ke belakang oleh pukulan itu.

Aku memegangi pipi sambil menatapnya balik dengan tawa kecil.

“Sudah gila, ya? Mau jalan-jalan keliling Nimbertun telanjang?”

“Itu harusnya aku yang bilang! Kalian berdua kemana aja!?”

Ia meraih kerahku dan mengangkatku.

Sabar sudah habis. Aku refleks menangkap wajah Ronan-3 dan menghantamkannya ke tanah.

KWAJAK!
Suara seperti batu giling pecah, dan matanya ter뒤집혔다.

“Keuh…!”

“Dasar idiot. Makan jamur liar lagi?”

Aku tak tahu kenapa dia ngamuk. Saat aku kebingungan—

Suara menangis terdengar.

“Uwaaah! Kalian kemana aja?! Tahu nggak, aku nyari kalian sampai—sampai…”

“I-Iryl… dengerin, ini…”

“Katanya nggak akan pergi diam-diam lagi…! Pembohong!”

Nuna memeluk Kain sambil menangis terisak.

Pelukannya begitu kuat hingga wajah Kain memucat.

Aku baru paham situasi dan menepuk dahiku.

“Ah. Sial.”

Rasa bersalah menghantamku.

Ronan-3 menggeliat dengan busa di mulut. Untung Nuna tidak melihatnya. Aku mengangkatnya dan menyandarkannya di batang oak.

Setelah mengusap busa di bibirnya, dia tampak seperti orang yang tertidur karena kelelahan setelah mencari kami semalaman.

“Maafkan aku, Ronan.”

“B-brengsek… ggh…”

Dia pingsan.

Kain, sambil hampir kehabisan napas, meminta maaf.

“Ayah… huff… m-maaf, Iryl. Ini semua salah Ayah… jadi jangan menangis, ya? Hmm?”

“Oke… u-ung, nggak nangis lagi. Tapi pelukan ini nggak kulepas.”

“Haha… hah… oh-hoho…”

Kain tertawa dengan wajah yang semakin pucat, hampir bahaya. Tapi aku tidak bisa ikut campur. Kesalahan ada pada kami.

Tiba-tiba cahaya terang menyinari bukit.

“Hah?”

“Itu…”

Kami bertiga (maaf, Ronan-3) menoleh bersamaan.

Matahari terbit.

Bola api itu terangkat perlahan, muncul dari balik punggung bukit.

Kain mengusap rambut Iryl dan berkata terengah-engah,

“Huff… lihat itu, Iryl… bagus sekali…!”

“Wowww…!”

Iryl berseru kagum. Kain menghela napas lega, nyaris pingsan.

Pemandangan itu memang luar biasa. Tanpa awan, perubahan dunia terlihat jelas.

Semakin tinggi matahari naik, semakin warna dunia kembali. Sekilas mirip senja, tapi jelas berbeda.

Senja mengambil cahaya.
Fajar memberikan cahaya.

Senja membawa tidur.
Fajar membangunkan dunia.

Fajar mengusir dingin dan memberikan hangat, memberi kekuatan untuk hidup hari itu.

“Fajar…”

Aku berbisik tanpa sadar.

Matahari terbit, mewarnai wajah kami dengan emas.

Dan tiba-tiba—

Sebuah pemikiran melintas di kepalaku, seperti kilat.

“Ayah.”

“Hmm?”

“Kayaknya… aku baru sadar sesuatu.”

“Hm?”

Kain menatapku bingung.

Wajar. Aku sendiri baru terpikir barusan—sejernih matahari yang terbit di depan kami.

“Apa kau bisa membuka Dunia sekarang?”

“Tidak. Bukan itu…”

Aku menarik napas.

“Sepertinya… aku baru menemukan cara untuk meremas buah zakar Akasha.”

2-124. Akasha (1)

Kain tertegun seperti seseorang yang baru saja ditampar dengan… buah zakar.

Ia berkedip beberapa kali, lalu berkata,

“…Pilihan kata-katamu benar-benar luar biasa. Dan agak cabul juga.”

“Itu kan warisan keluarga. Maklumin saja.”

“Jadi, bagaimana kau akan meremas… 아, bukan. Maksudku, bagaimana kau bisa melakukan itu?”

Ia berhati-hati memilih kata, jelas karena ada Nuna di dekatnya.

Untungnya Nuna sepenuhnya fokus pada pemandangan matahari terbit dan tidak mendengarkan percakapan kami.

Aku menurunkan suara dan berkata pelan,

“Aku sadar saat melihat matahari terbit. Tidak seperti senja, matahari terbit menyebarkan kehidupan ke dunia. Akasha sedang mencari kehidupan itu. Dan aku bisa mendapatkannya terlebih dahulu.”

“잠깐, jelaskan sedikit lebih mudah.”

“Ya, tadi memang agak berantakan. Baiklah… dari mana aku harus mulai.”

Aku sendiri merasa penjelasannya perlu dirapikan.

Setelah berpikir sekitar sepuluh detik, aku melanjutkan,

“Selama ini aku sudah melalui dua dunia paralel. Tujuanku adalah menghancurkan celah yang dibuat Akasha dan akhirnya membunuhnya. Lalu, tujuan Akasha apa?”

“Bukankah dia ingin menghancurkan masa depan seluruh dunia?”

“Ya. Walau belum pasti, itu kemungkinan terbesar. Tapi apa pun tujuan akhirnya, untuk mencapainya dia butuh sesuatu. Di setiap dunia paralel, dia selalu mencari ‘itu’ sambil membuat kekacauan besar.”

“‘Itu’ apa?”

“Seniel dari tiap dunia. Kehidupan yang pernah kusinggung dulu. Masih ingat apa itu Seniel?”

Mata Kain membesar. Sinar lembut matahari pagi mulai menerangi dunia secara penuh. Ia menatapku dan mengangguk.

“Kau bilang itu batu yang memuat kekuatan bintang. Yang menjatuhkan raja para Raksasa…”

“Ya. Bisa dibilang itu juga akar tragedi nasib kita. Kalau Seniel tidak menjatuhkan si botak tua itu, Ayah tidak akan menjadi yatim piatu, dan kemungkinan besar Ayah akan hidup bahagia sampai mati di desa yang Ayah perlihatkan semalam. Tentu, bintang kita juga akan hancur saat itu.”

“Benar… begitu. Lalu untuk apa Akasha butuh Seniel?”

“Sebagai bahan bakar. Sumber tenaga. Seperti yang kubilang tadi, aku tidak tahu apa yang ingin dia lakukan dengan kekuatan itu. Awalnya kupikir untuk menyembuhkan tubuhnya atau menghancurkan masa depan… tapi ternyata—”

“Tidak begitu?”

“Tidak jelas. Setelah kucermati, bahkan saat tubuhnya cedera parah, dia tidak memakai kekuatan kehidupan itu hanya untuk penyembuhan. Kalau dia memakai semuanya untuk regenerasi, lukanya sudah lama sembuh. Ya, kecuali mungkin soal apakah tangan dan kakinya yang putus bisa tumbuh lagi.”

Kekuatan kehidupan dalam Seniel secara harfiah punya skala memulihkan dunia mati. Jika dibandingkan dengan cedera Akasha, rasanya dia hanya menggunakan kurang dari sepuluh persen untuk penyembuhan. Sembilan puluh persen sisanya jelas ia simpan untuk tujuan utamanya.

“Kalau tujuannya hanya menghancurkan masa depan, perilakunya terlalu aneh. Tapi satu hal jelas—tujuan itu membutuhkan kekuatan sangat besar. Karena selama ini dia menyerap semua tenaga dari Seniel yang dia temui.”

Ingatanku begitu jelas seakan itu terjadi kemarin.

Pertama, dunia paralel pertama.

Di dunia merah-putih yang dikuasai Raksasa, Akasha mengangkat Seniel ke udara dan menghancurkannya.

Bintang yang retak memang pulih berkat energi dalam Seniel, tapi Akasha juga menyerap jumlah yang sama besarnya.

Dunia paralel kedua tidak berbeda.

Ia memaksa tubuh lukanya bergerak demi mencari Seniel. Entah kenapa lokasi Seniel di dunia kedua berbeda dengan dunia pertama, tapi ia tetap menemukannya.

Ia hampir menyelesaikan penyerapan sebelum kami menghalanginya—Seniel dibelit rantai mengerikan saat dia mengisap kehidupan darinya.

Aku mulai meragukan tujuannya sejak dunia kedua.

‘Raksasa-raksasa itu cuma pengalih perhatian. Dia tidak butuh sejauh itu.’

Kalau kupikir lagi, para botak itu memang selalu menjadi pengalih.

Saat dia membuat pilar cahaya di hutan, atau merobek langit kastil pucat—Akasha tidak benar-benar bertarung bersama Raksasa. Dia hanya bertarung sedikit, lalu segera pergi mencari Seniel.

Lihat saja dunia sekarang.

Akasha tidak memerintahkan Raksasa menyerbu dunia masa depan, tidak mencuri Sumber. Mereka hanya bertarung tiga hari untuk menghambatku lalu punah setelah Sumber hancur.

Kenapa begitu?

Kalau tujuannya menghancurkan masa depan, dia akan memakai Raksasa jauh lebih efisien. Mereka bisa muncul di mana saja lewat celah dimensi—itu senjata berbahaya, siapa pun mengakui itu.

“Brengsek…”

Tiba-tiba bulu kudukku berdiri.

Apa tujuan gila yang memaksanya mengorbankan Raksasa di tiga dimensi?

Mimpinya sebesar apa sampai butuh energi jiwa bintang?

Apa benar cuma ingin menghancurkan masa depan? Sunguhkah?

“Haaah…”

Pikiranku berputar liar. Aku menyibak rambut dan memaksa diri tenang.

Obrolanku dengan Kain belum selesai.

“Intinya ini. Untuk mencapai tujuannya, Akasha butuh Seniel. Tapi dia tidak punya cara pasti untuk menemukannya.”

“Benarkah?”

“Ya. Itu satu hal yang bisa kupastikan. Di setiap dunia dia menghabiskan banyak waktu dan menghancurkan dunia hanya untuk mencari Seniel. Tapi aku berbeda.”

“Jangan bilang…”

“Ya. Tepat seperti yang Ayah pikir. Aku bisa menemukannya. Di mana pun dia berada.”

Aku mengangkat liontin di leherku.

Mahakarya Akalusia dan ibunya—mana tracker. Sama seperti senja dan fajar yang serupa namun berbeda, alat ini juga mirip blood tracker tetapi dengan perbedaan krusial: ia tidak memakai darah, tetapi mana target.

Artinya: selama target memiliki mana, bahkan benda mati pun bisa dilacak.

“Bagus. Masih ada.”

Aku merogoh saku dalam. Sebuah pecahan kecil keluar. Wujud mineral acak itu memantulkan cahaya fajar seperti emas.

“Itu…”

“Ya. Pecahan Seniel.”

Permukaannya berdenyut dengan energi kehidupan hingga udara bergetar karenanya.

Setelah menyerap energi dari Seniel dunia sebelumnya, konsentrasinya semakin pekat.

Aku menekan tombol mana tracker. Mana Akasha yang sebelumnya tersimpan hilang, digantikan mana Seniel. Jarum yang berputar liar kini berhenti dan menunjuk ke satu arah.

“Seperti yang kuduga.”

Aku mengepalkan tangan. Aku yakin aku menemukannya lebih dulu. Jika Akasha sudah menemukannya, ia tidak akan berkeliaran sejauh itu.

‘Dia pasti sudah mengisapnya sampai kering. Seperti nyamuk.’

Saat melacak Akasha, jarum berubah arah setiap sepuluh menit atau berputar di tempat—menandakan dia bergerak lintas dimensi dengan panik.

Karena tujuannya besar, namun—juga untuk memulihkan lukanya.

Ia bersembunyi dan menghindar, itu bukti betapa parah kondisinya. Luka di dunia paralel sebelumnya belum sembuh.

Penjelasan ini panjang, tapi kesimpulannya sederhana.

Aku menyelipkan pecahan itu kembali ke saku dan meletakkan tangan di bahu Kain.

“Jadi, kali ini aku yang menyerang duluan.”

“Jadi itu maksudmu meremas buah zakar.”

“Ya. Kalau aku menguasai Seniel dulu, dia pasti datang. Selalu aku yang dikejar olehnya, jadi di akhir aku ingin memberi dia satu pukulan telak.”

Aku mengangkat ibu jari sambil terkekeh.

Memang. Selama ini aku hanya bereaksi, bukan bergerak duluan. Ia bebas melarikan diri ke dunia lain, sementara aku harus mengejarnya.

Tapi sekarang tidak.

Akasha sudah kehilangan tiga dunia paralel—kehilangan tempat kabur. Ia masih bisa berpindah, tapi hakikatnya ia sudah kehabisan tempat lari.

‘Akhirnya kaki dan tangan yang putus itu tidak tumbuh kembali.’

Dan luka terakhirnya tidak kecil. Aku yakin energi yang sudah ia sisihkan tidak bisa dipakai untuk penyembuhan. Jika ia bisa, dia tidak perlu memakai jebakan murahan—dia akan datang sendiri untuk membunuhku.

“Dia itu harimau terluka. Lebih ganas dari biasanya, tapi jelas sedang sekarat. Dan menyelesaikan perburuan sampai akhir… itu tugasku.”

“잠깐. Jangan bilang kau akan menghadapi Akasha sendirian.”

“Aku harus. Ayah, dunia ini… sekarang terlalu sempurna.”

Aku menyapu pemandangan sekitar. Fajar berubah menjadi pagi penuh. Dari Nimbertun terdengar suara ayam berkokok.

“Koo… kooo…”

Nuna, tidak kuat menahan kantuk, tertidur di pelukan Kain. Ronan-3 yang sebelumnya pingsan kini tidur sambil mengiler.

Inilah keluarga utuh yang Ayah dan Nuna selalu dambakan.

“Aku tidak ingin kesempurnaan ini rusak. Setelah mengembara lima kehidupan, akhirnya aku menemukan dunia yang sempurna. Kalau salah satu dari kalian mencoba membantuku lalu celaka, aku bakal stres sampai buang air di celana. Ayah juga tidak ingin punya anak yang ngompol, kan?”

“T-Tentu tidak, tapi…”

“Serius. Aku satu-satunya yang tidak termasuk ‘kesempurnaan’ dunia ini. Hanya aku… dan si brengsek Akasha.”

“…Ronan.”

“Jadi Ayah, tolong jaga dunia ini bersama teman-teman. Nabar Doje nuna, Adria nuna, dan Abel yang sudah tobat—mereka semua berguna.”

Aku sungguh-sungguh. Jika Akasha mencoba melakukan hal bodoh, seseorang harus menjaga dunia ini. Kain dan jaringan pertemanannya adalah orang yang tepat.

Aku mengulurkan tangan kanan.

“Maka sebelum semakin terlambat, aku pergi dulu. Seseorang harus melakukan ini. Ayah tahu, kan?”

“…ini konyol sekali.”

Kain tertawa kecil sambil menaikkan satu sisi bibir.

Aku tidak menyangka ekspresi itu pun ternyata warisan genetik.

“Baik. Aku akan menunggu. Setelah kau mengalahkan Akasha, kau akan kembali untuk pamit, kan?”

“Kalau bisa, ya. Dan Ayah bukan cuma menunggu, Ayah harus menjaga dunia ini.”

“Jangan khawatir. Aku adalah Penyelamat, pendiri pertama Nebula Klazie, dan manusia yang hidup paling lama di dunia ini. Dunia ini akan kujaga.”

“Kalau cuma itu, jujur belum bikin tenang. Ada pengenal lain yang lebih meyakinkan?”

“그게… 아.”

Kain terbelalak. Sepertinya ia baru paham maksudku.

Ia menggigit bibir, lalu berkata,

“…Baiklah. Aku adalah suami Kaša, kakak Abel, dan yang paling penting, ayah dari Iryl dan Ronan. Kali ini aku akan membuktikan aku bukan Ayah yang buruk yang melanggar janji pada anaknya.”

“Tambahkan ‘ayah yang pernah meninggalkan dan mengutuk anaknya’. Itu juga penting.”

“Dasar kurang ajar. Memang kamu anakku.”

“Kalau bukan anak Ayah, anak siapa?”

Kain menggenggam tanganku. Kapalan di telapaknya sama tebalnya dengan milikku.

Setelah berjabat tangan, ia menarikku dalam pelukan.

“Kembalilah setelah semuanya selesai.”

Aku tidak menjawab—hanya tersenyum lebar. Lalu, setelah mencium dahi Nuna, aku melangkah pergi. Mana tracker sudah menunjukkan arah dengan jelas.

Menuju Da Konya—
tempat suci kuno,
yang pernah disebut Sarante,
tempat patung Seniel pertama kali dibuat.

2-125. Akasha (2)

Hujan deras mengguyur.

Miliaran tetes hujan, masing-masing seperti tebasan vertikal yang mengiris dunia. Penglihatan yang dicabik hujan begitu parah hingga aku bahkan tak bisa melihat batu lima langkah di depan. Langit yang diselimuti awan gelap hanya memberi cukup cahaya untuk menyadarkan bahwa ini masih siang.

“Cuaca sialan benar, Sarante.”

Aku bergumam sambil menatap keluar.

Sebuah payung yang kubuat dengan sedikit memelintir ruang menjaga kepalaku tetap kering. Memang, sihir selalu bermanfaat. Tanpanya, aku pasti sudah basah kuyup sampai ke serat pakaian dalam seperti kain pel yang baru selesai dibilas.

Meskipun tak terlihat jelas, di luar payung itu membentang lembah raksasa.

Tebing yang memperlihatkan lapisan geologinya menghembuskan aroma kuno ribuan tahun. Suara hujan yang berubah menjadi arus deras, dan pekikan badai, bergema dari segala arah tanpa bisa ditentukan sumbernya.

Inilah Da Konya, tempat suci di perbatasan benua.

Tempat yang ditunjukkan mana tracker ketika mendeteksi jejak Seniel.

Suara serak tiba-tiba terdengar di sampingku.

“Maaf? Apa tadi Anda bilang?!”

“Kratir.”

“Saya tidak mendengar dengan jelas! Dan lebih penting, benarkah Anda tidak apa-apa?!”

Kratir berteriak.

Dengan suara hujan yang bising seperti ini, mau tak mau dia harus mengangkat suara. Wajahnya merah seperti kodok yang sedang kawin. Sikap itu belum pernah kulihat di dunia asliku.

Menangkap maksudnya, aku membalas dengan suara lantang,

“Ya! Dan terima kasih! Sebelum terjadi apa-apa, sebaiknya Anda kembali!”

“Tidak masalah, tapi saya khawatir!”

“Apa?”

“Saya bilang saya kha— keuegh!

Tubuh Kratir tersentak.

Ya, suara sekeras itu memang terlalu berlebihan untuk kakek hampir umur seratus. Sambil memegangi dadanya dan terbatuk hebat, ia tiba-tiba menjentikkan jari.

Tak!

Sebuah kubah transparan mengelilingi kami. Suara hujan hilang.

Kratir berdehem, malu-malu.

“Hmm… ternyata tinggal memakai sihir Silent saja.”

“Oh.”

Aku juga tidak terpikir sama sekali. Terlalu tenggelam dalam pikiran tentang Akasha, otakku sempat jadi monyet sejenak. Aku menggaruk belakang kepala dengan canggung.

“Benar-benar tidak perlu khawatir. Ini bukan apa-apa, dan aku akan segera kembali.”

“Namun tempat ini tidak biasa. Bukan sekadar cuaca buruk. Ada sesuatu yang aneh menyelimuti seluruh lembah. Bahkan guru saya pun mencemaskan Da Konya karena tidak pernah mendengar nama tempat ini.”

“Kakek itu memang punya insting bagus.”

“Maaf?”

“Bukan apa-apa. Tapi terima kasih sudah mengatakan itu.”

Aku tertawa kecil. Insting seorang penyihir memang benar-benar ada.

Aku bisa ke sini dengan cepat karena bantuan Kratir dan Lorhon.

Pagi ini, karena waktu sempit dan aku sudah muak dengan perjalanan tak berencana, aku memutuskan menggunakan sihir ruang dan meminta bantuan Lorhon. Mengingat ia baru saja menerima para kriminal Nebula Klazie tanpa setetes darah pun tumpah, itu alasan yang sangat kuat untuk meminta bantuannya.

‘Semoga serah terimanya lancar.’

Kurang dari sepuluh menit setelah kukirimkan surat lewat burung sihir, jawaban datang. Ternyata yang muncul adalah kepala sekolah Filaeon Academy sendiri—Kraba Kratir.

Atas instruksi gurunya, ia bersedia menjadi “kereta sihir” khusus untukku. Kami memanfaatkan berbagai jenis teleportasi pendek dan panjang berpuluh-puluh kali, dan meski Da Konya berada jauh di luar wilayah Kekaisaran, kami tiba dalam waktu kurang dari satu jam.

“Kalau Ronan-nim berkata begitu, saya pun harus menurut. Kalau begitu saya kembali.”

“Ya. Terima kasih untuk semuanya.”

“Ah, iya. Tentang para tahanan yang diserahkan sebelumnya, sebagian besar sudah dipindahkan ke penjara Rodolan untuk interogasi dan rehabilitasi. Sementara cult leader Abel ditempatkan di ruang tahanan bawah tanah istana untuk memudahkan komunikasi. Ia menjawab semua pertanyaan tanpa ragu, jadi katanya tidak banyak yang perlu ditanya lagi.”

“Ya. Jiwanya pasti sudah hancur total.”

Terakhir kali kulihat, Abel sedang menjalani hukuman fisik sambil menggendong Kain di punggungnya. Tidak perlu dikhawatirkan. Aku ingat dengan jelas—di tengah menancapkan kepala ke tanah kerikil, wajahnya entah kenapa terlihat cukup bahagia.

“Ngomong-ngomong, apa Fantasion—the were-deer—sudah ditemukan?”

“Oh, itu. Yang sebesar Jaifa-nim itu, benar? Saya memang hendak melaporkan soal itu. Fantasion menerobos masuk ke istana subuh hari setelah Abel ditahan.”

“Apa? Hendak menyelamatkannya?”

“Yang mengejutkan, dia masuk untuk menyerahkan diri. Para ksatria kekaisaran sampai bingung melihat dia begitu patuh. Berkat permohonan tulusnya dan kemurahan hati Yang Mulia Kaisar, dia ditempatkan di sel sebelah Abel.”

“Hah, syukurlah. Kalau dia ngamuk pasti ada yang mati.”

Aku menghela napas lega.

Entah dia diyakinkan Abel atau mendapat pencerahan sendiri, Fantasion yang kuatnya setingkat archbishop tidak mengamuk adalah anugerah.

‘Sekarang aku bisa bertarung dengan tenang.’

Mendengar perkembangan Abel dan para uskup besar membuatku lebih rileks.

Di tengah persiapan untuk pertarungan final, aku memang sempat khawatir. Jika Kaisar memutuskan menghukum mati, itu tak bisa dihindari. Tapi idealnya mereka hidup dan menebus dirinya.

Kini waktunya berpisah.

Kratir menjabat tanganku dan tersenyum sambil mengelus jenggotnya.

“Saya mendoakan kemenangan Anda, Ronan-nim. Semoga tujuan Anda tercapai.”

“Tolong jaga Filaeon baik-baik. Musim semi nanti, ada monster kecil yang akan masuk sebagai siswa baru.”

Gerbang dimensi terbuka lalu menutup. Begitu Kratir menghilang, payung ruang dan Silent Magic pun lenyap bersamanya.

KOOOOOOOO!

Suara hujan yang tertahan meledak seperti guntur. Hujan deras sebesar kepalan tangan menghantam kepalaku. Seperti yang kuduga, seluruh pakaianku basah dalam dua detik.

Aku menyibak rambut depanku yang sudah menempel seperti rumput air.

“Baik. Mari cari.”

Aku segera memulai pencarian Seniel. Jarum mana tracker menunjuk ke bagian dalam lembah.

Sepanjang perjalanan, batu-batu buruk rupa mengisi pandangan. Batu besar lebih tinggi dari manusia berdiri di mana-mana—terlalu terkikis oleh cuaca untuk menebak bentuk aslinya.

“Gila. Kau memikul ini sampai Pegunungan Baidian?”

Aku tertawa getir. Ini pasti kandidat patung Seniel yang disebut Sarante. Batu-batu yang mampu bertahan ribuan tahun di alam liar.

Waktu Sarante pertama kali menceritakan hal itu, kupikir ia sudah terlalu tua sampai otaknya rusak. Kini setelah tahu Seniel itu nyata, aku menghormatinya.

Entah berapa lama aku berjalan—

“Hm.”

Aku berhenti di depan batu yang luar biasa jelek.

Batu itu berdiri sendirian di tengah lapangan terbuka, menerima hujan seluruhnya. Bentuknya berbeda dari yang kulihat di dua dunia sebelumnya, tetapi jarum menunjuk tepat ke batu itu. Pecahan Seniel di saku bergetar lembut seolah beresonansi.

Aku menempelkan telapak tangan ke permukaan batu dan tersenyum yakin.

“Ditemukan.”

Tak salah lagi. Energi kehidupan yang memancar dari dalam sangat besar. Bahkan tanpa itu pun, rerumputan kecil yang tumbuh di sekitar batu adalah bukti yang tak terbantahkan.

Lokasinya memang berbeda dari dua dunia sebelumnya, tapi bukan masalah. Sesuatu yang hampir mirip dewa ya wajar saja berpindah-pindah.

“Mandi hujan, ya?”

Sambil berkata begitu, aku mengayunkan pedang.

Sebuah garis putih tergores di bagian atas Seniel. Bagian atasnya bergeser mengikuti garis sayatan.

Suara berat bergema, dan bagian dalam batu bersinar seperti tambang permata yang baru dibuka.

“Untuk sesuatu yang disebut jiwa bintang, ini kecil-kecilan saja.”

Tentu tak ada respons.

Wajar saja. Kalau hal sepele seperti ini tak bisa ditahan, bagaimana ia bisa disebut jiwa bintang?

Saat pedang kembali ke sarung—

Kururururuk…!

Dengan suara mendidih, energi kehidupan menyembur dari Seniel. Seperti darah memancar dari leher yang terpotong. Omah berwarna-warni meluap seperti busa bir, mengalir turun di permukaan batu lalu menguap ke udara.

“Bagus. Ini sudah benar.”

Aku bergumam sambil menatap asap pelangi itu.

Energi itu naik tinggi seperti sinyal suar. Bahkan badai tak dapat menghancurkan bentuknya.

Siapa pun pasti bisa melihatnya. Lebih-lebih penyihir gila yang mencari Seniel dengan obsesif seperti Akasha.

‘Persiapan selesai.’

Pecahan Seniel di saku menyerap energi yang melimpah itu.

Entah akan kupakai atau tidak, ya sudahlah. Membuang makanan itu dosa.

Asap itu menembus awan.

“Sudah banyak terjadi.”

Aku menutup mata. Mustahil mendeteksi kedatangan musuh yang bisa melintasi ruang bebas tanpa mengandalkan pancaindra lain.

Justru dalam situasi seperti ini, menutup mata lebih baik. Tanpa penglihatan, indera lain menajam.

Aku merasakan tetes hujan pecah di kulitku. Mendengar suara angin yang seperti jeritan. Bau batu basah dan hujan menusuk hidung seperti racun.

“Mari akhiri.”

Aku telah melakukan semuanya.

Menghapus kegelapan Akalusia. Menolong nasib buruk sobat-buah-zakar. Menyatukan kembali keluarga yang tercerai-berai. Membantu Kain meraih harapan hidup yang bahkan dunia asliku tidak bisa memberinya.

Seperti biasa, dunia paralel akan diteruskan oleh mereka yang telah kuselamatkan.

Yang menjadi gangguan bagi tatanan dunia kini tinggal dua. Dua orang asing dari dunia lain.

“Ayo datang, Akasha.”

Seperti hiu mencium darah. Seperti elang menjatuhkan diri pada mangsa.

Seperti dirimu—makhluk yang selalu menginginkan kehidupan.

Hujan yang menghantam tubuhku kini tak terasa sakit.

Ketika aku selesai menghitung sampai seratus lima, aku membuka mata perlahan.

Akasha berdiri di hadapanku.

『……』

Ia menatapku tanpa kata.

Ia sangat dekat. Tidak lebih dari tiga langkah.

Kami tidak menyerang. Seolah berjanji. Kami membaca gerakan satu sama lain—sebuah bentuk pengakuan. Mungkin dia juga yakin pertarungan ini akan berakhir dalam sekejap.

Semoga saja begitu.

Seperti yang kuprediksi, lengan kanannya dan kaki kirinya masih hilang.

“Tapi itu…?”

Ada perubahan besar.

Jubah dan topengnya kembali seperti semula.

Tidak—lebih dari sekadar kembali. Mereka lebih mewah.

Topeng polosnya kini kembali dipenuhi pola seperti saat pertama kami bertemu. Semuanya adalah simbol yang kukenal. Sejenak, rasanya petir menyambar otakku.

Mataku tertumbuk pada satu simbol.

“Marja.”

Roda emas—lambang Count Armalen Marja. Dia pernah memamerkannya padaku dengan bangga. Dia tidak mungkin mengubah lambang keluarganya.

Di jubah itu juga menempel empat atau lima ornamen yang berkilau. Dua di antaranya membuat hatiku mencelos—sebutir zamrud sederhana dan pecahan logam kuning.

Aku tahu persis milik siapa itu.

“Nabar Doje nuna… Jaifa…?”

Zamrud itu berasal dari pommel pedang Ilusi Ursa. Pecahan emas itu jelas dari mata kapak bulan sabit milik Jaifa.

Dunia di sekelilingku memudar.

Kemudian Akasha melambai perlahan dengan tangan kirinya—seolah memberi salam.

Dari lengan bajunya, sesuatu terjatuh.

“…Apa itu.”

Aku menunduk. Dua plat logam pipih tergeletak di kakiku. Satu dari platinum, satu dari emas. Masing-masing memiliki lambang ksatria yang menginjak naga dan singa biksu yang melolong pada bulan.

Lambang Grangxia dan Akalusia.

“Badge Oath.”

Suara hujan lenyap. Lebih sunyi daripada Silent Magic. Hanya suara geraman jantungku dari dalam dadaku.

Mengapa barang-barang itu—barang dari orang-orang dunia asliku—ada pada Akasha?

Jawabannya jelas.

Di detik ketika aku berusaha mati-matian untuk tidak goyah—

『■■. ■■.』

Akasha berbicara.

Aku tidak tahu apa dia bilang.

‘Ayo, Ronan.’
Mungkin semacam itu?

Tapi arti kata-katanya tidak penting.

Impulsifku mendahului nalar.

“Dasar bajingan.”

Tanganku sudah menggenggam gagang pedang.

Segala sesuatu kecuali aku melambat. Angin berhenti. Miliaran tetes hujan menggantung di udara.

Dalam waktu yang melambat itu, aku menarik pedang. Tebasan tercepat dalam hidupku. Sebuah garis putih hampir membelah topeng Akasha—namun tangan kirinya tiba-tiba naik dan menahan seranganku.

“Kau.”

Tidak terdengar denting logam. Suaranya tertinggal jauh di belakang.

Meskipun teknikku dipatahkan, aku tanpa ragu menarik kembali pedang. Saat bilah kembali ke posisi, bulu kudukku berdiri.

“…!”

Peringatan refleks tubuhku. Hampir bersamaan, kegelapan meledak dari tangan Akasha. Dunia menghitam di sekeliling kami—tanah runtuh, dan Abyss of Nothingness, dunianya Akasha, terbuka.

『■.』

Akasha tertawa. Aku mengabaikannya. Sampai fase ini masih sesuai rencana.

Aku menebas ke arah tubuh Akasha yang memudar seperti kabut.

Di dalam bilah pedangku, cahaya senja bergulung—dunia kecilku sudah kusiapkan sejak tebasan pertama meleset.

『■■?!』

Akhirnya mata Akasha melebar.

Tebasan keduaku membelah kegelapan seperti komet.

Dengan letupan cahaya senja—

Duniaku sendiri terbuka.

2-126. Akasha (3)

Aku mengayunkan pedang. Cahaya senja meledak, dan duniaku terbentang.

Dalam kegelapan Abyss of Nothingness, sebuah garis panjang tercipta.

“Dunia…”

Berhasil. Garis horizontal sepanjang sepuluh meter itu berpendar merah menyala—duniaku yang digarap menjadi tebasan. Di dalam lebar serangan yang bahkan lebih tipis dari bilah pedang, senja hasil imajinasiku berkelip seperti api yang terbakar.

Akasha, yang tengah memudar dalam bentuk kabut, menjerit.

『■■! ■■■■■!』

Suaranya begitu mengerikan sampai darahku terasa membeku. Setara ketika ia kehilangan kakinya di dunia sebelumnya.

Aku cepat menoleh. Sebagian tubuhnya, yang telah berubah menjadi wujud gas, terwarnai merah senja dan menghilang. Tepat di tempat duniaku menebasnya. Seperti daun kering yang terbakar.

“Hhup!”

Aku mengayunkan pedang lagi untuk membelah bagian tubuh lain miliknya.

Dua garis pendek bersilang di udara. Percikan seperti bara api meletik, tapi tak ada jeritan. Dia sudah kabur ke luar Abyss.

Tanah di bawahku tiba-tiba runtuh, dan aku mulai jatuh.

“Menurutmu aku akan melewatkan itu?”

Aku menggeram sambil menatap ke arah ia kabur.

Tubuhku jatuh dengan kecepatan luar biasa, tetapi garis dunianya masih terukir jelas di udara, memancarkan sinarnya.

Tiba-tiba, retakan tipis menyebar dari garis senja itu.

“Tu… tunggu.”

Retakan itu berwarna sama—merah senja.

Retakan itu berkembang jauh lebih cepat daripada lajuku jatuh.

Hingga akhirnya seluruh Abyss berubah seperti jaringan urat daun yang dialiri jus jeruk.

KWACHAANG—!!

Seperti kaca jendela pecah, kegelapan itu runtuh.

Seketika terang mem-blast penglihatanku. Da Konya kembali terpampang. Angin hujan yang menunggu sejak tadi menerjang wajahku.

“Krakh!”

Karena tanah tiba-tiba muncul, aku jatuh terduduk.

Aku melonjak bangun, napas terengah-engah.

“Haa—haah…!”

Dadaku mengembang dan mengempis cepat. Efek samping dari pemakaian mana dalam jumlah besar. Sekarang aku tahu kenapa ikan laut dalam mati saat naik ke permukaan.

Aku menggenggam pedang dan mengangkat wajah. Hujan deras masih menggila. Rasanya sakit ketika menampar kulit. Ini bukan mimpi. Abyss sudah dihancurkan.

‘Berhasil.’

Aku mengepalkan tangan. Waktu bersama Kain tidak sia-sia. Aku benar-benar menghancurkan kegelapan yang tampak mustahil ditembus.

Akasha tidak terlihat. Sambil mencari sosoknya, aku merasakan sesuatu yang rapuh di bawah kaki.

“Hm?”

Aku menunduk. Badge Oath milik Grangxia berkilau di bawah sepatuku.

Benar—benda yang tadi jatuh dari selubung Akasha. Bentuknya persis seperti saat Schlippen memberikannya padaku sebagai permintaan maaf ketika aku baru masuk Filaeon Academy.

Di sekitar, tampak juga zamrud milik Nabirose nuna, ornamen kapak bulan Jaifa, dan Badge Oath milik Akalusia.

“…Schlippen.”

Aku menggigit bibir sampai berdarah. Semua itu jelas berasal dari masa depan—dari dunia tempat asliku berada.

Kemungkinan besar itu adalah peninggalan mereka. Schlippen bukan tipe yang akan memberikan Badge Oath sembarangan.

Rasa bangga yang sempat muncul langsung padam, digantikan kemarahan murni.

Kata-kata itu keluar tanpa sadar, terdorong oleh rasa bersalah yang mendidih di perut.

“Masa depan… aku yang di sana… apa yang sedang kulakukan…?”

Tidak masuk akal.

Kenapa Akasha yang sekarat tadi mendadak lebih kuat.
Kenapa dunia masa depan, kekuatan terbesarku, hancur.
Kenapa aku yang sudah berpengalaman di masa depan tetap tidak bisa menahannya.

“Brengsek… idiot…”

Aku memungut semua peninggalan itu dan memasukkannya ke saku.

Kantong mantelkuku menjadi berat.

Aku harus berjuang keras untuk tidak memikirkan wajah-wajah mereka.
Jika sedikit saja aku membayangkan Senyum mereka… kepalaku akan lepas.

“…Belum.”

Aku menutup mata dengan telapak tangan dan berbisik.

“Belum terlambat.”

Aku tahu. Justru di saat seperti inilah kepala harus dingin.

Ini bukan waktu meratapi keadaan—ini waktu menghabisi musuh.

Sarante datang ke masa lalu agar aku mengubah masa depan. Artinya jika aku membunuh Akasha sekarang, tragedi tidak akan terjadi.

Tenang, Ronan. Tenang.

Aku mengulang kata itu beberapa kali lalu menurunkan tangan.

“Bajingan. Ke mana kau pergi?”

Akasha masih belum terlihat.

Sementara itu, Seniel terus menyemburkan energi kehidupan seperti gunung berapi.

Aku mengeluarkan mana tracker. Jarum masih menunjuk Seniel.

Aku baru akan menekan tombol untuk mencari mana Akasha—

“Ugh!”

Rambut basah menampar mataku. Badai semakin menggila. Pembuluh darah pelipisku menonjol.

“Sialan! Menyebalkan sekali!”

Biasanya aku tidak akan peduli, tapi sekarang? Tidak mungkin. Dunia ini sudah cukup kelabu. Aku mencengkeram gagang pedang, dan warna darah membasahi bilah.

“Hilanglah!”

Aku mengayunkan pedang ke langit. Tebasan yang mampu membelah gunung ditembakkan ke atas. Ujung bulan sabit merah itu menusuk awan gelap.

KWA—AAAAAANG!!

Awan terbelah dalam satu ledakan. Hujan dan angin berhenti. Rintik hujan yang tersisa berubah menjadi kabut dan perlahan turun.

Tapi langit biru yang kuharapkan… tidak muncul.

“Apa…”

Pedang nyaris terjatuh dari tanganku. Sensasi seperti sambaran petir mengalir di seluruh tubuh. Di tempat langit seharusnya berada… menggelegak kegelapan tak berbentuk.

Sebuah massa gelap sebesar seluruh Da Konya, seperti neraka yang siap memuntahkan belerang.

Saat itulah jarum pada mana tracker berputar liar dan berhenti tepat pada inti kegelapan.

Refleks, aku mendongak.

『■■···■■■···.』

Akasha ada di sana.

“Kau…”

Ia terengah-engah seperti seseorang yang berlari sampai paru-parunya pecah.

Kondisinya tidak jauh berbeda dariku ketika baru keluar dari Abyss.

Meski sempat pulih sebelumnya, ia kini kembali compang-camping.

Darah menetes dari lengan dan kakinya.

Jubahnya koyak di mana-mana.

‘…Bukan botak rupanya.’

Namun ada satu perbedaan mencolok dibanding lukanya sebelumnya.

Hood-nya robek, dan rambut hitam tergerai keluar.

Sangat tebal dan panjang. Rambutnya, yang berkibar dalam angin, mengingatkanku pada surai singa hitam.

Sepanjang hidupku, aku belum pernah melihat rambut seindah itu, kecuali milik Adeshan.

Akasha menggeram.

『■■■■···!』

Aku tetap tidak mengerti apa dia katakan. Tapi satu hal jelas—dia sangat marah.

Aku menelan ludah. Meski aku menghancurkan Abyss, situasi tetap buruk.

Kegelapan yang mengepul itu adalah perluasan dunianya. Dari rasanya saja, besarnya tidak sebanding dengan punyaku ataupun dunia Kain.

Sementara aku?

Bahkan tidak yakin bisa memanggil dunia sekali lagi.

Keringat dingin membasahi telapak tanganku.

Aku menyeringai sinis.

“Apa katanya? Dasar sialan.”

Tak peduli seberapa menyebalkan keadaannya, aku tidak bisa mundur.

Apakah aku bisa atau tidak, itu tidak lagi penting.
Ini adalah sesuatu yang harus kulakukan.

Akasha mengangkat satu-satunya lengan kirinya. Kegelapan bergolak. Aku berusaha memanggil dunia, tetapi seperti kuduga—tidak bisa bangkit.

Brengsek. Seandainya aku belajar tiga hari lagi saja.

Otakku berpacu. Keputusan dicabut.

“Tolong sekali ini saja!”

Aku meletakkan tangan kiriku pada Seniel.

Aliran energi kehidupan yang luar biasa membanjiri tubuhku. Mual tak terlukiskan meledak dari perut.

“Urk.”

Bahkan sepuluh teleportasi berturut-turut tidak seburuk ini. Seperti organ dalamku diputar seperti kain diperas.

Tapi keputusan itu benar—mana tubuhku kembali naik.
Rambutku memanjang karena energi kehidupan. Dari leher, ke pundak, lalu ke pinggang.

Baru ketika rambut mencapai pinggang, aku melepaskan tangan.

“Haaah…!”

Aku menggenggam pedang dengan dua tangan. Hidungku berdarah deras. Di dalam tubuhku, energi kehidupan Seniel bergejolak seperti badai.

Aku menyeka darah dengan lengan.

“Bagus sekali.”

Tentu sekarang aku mengerti kenapa Akasha memburu Seniel.

Kekuatan absurd itu masuk akal. Bahkan sedikit saja sudah menghasilkan ini—sedangkan ia telah menjarah tiga dunia paralel.

Di atas pedang putihku, dunia bangkit. Imajinasiku tumpah. Sekitar tiga meter di sekelilingku berubah menjadi ladang tempat senja jatuh. Batu basah menjelma rumput, bergoyang di kakiku.

『■■■!』

Saat itu, Akasha menurunkan lengan kirinya.

Ketika telunjuknya, yang melengkung liar seperti sabetan cambuk, mengarah padaku—kegelapan jatuh.

Penglihatanku digulung oleh hitam pekat. Dunia kegelapan itu seperti perwujudan niat untuk menghancurkan dunia.

Tidak bisa dihindari. Dan aku juga tidak berniat menghindar.

Aku menggenggam pedang lebih erat daripada sebelumnya dan melompat ke arah kegelapan.

“Haaaap!”

Rambutku beterbangan. Tanah menjauh dengan cepat.

Di belakangku, jejak seperti ekor meteor tercetak di udara. Puncak-puncak lembah mulai tertelan gelap.

“Ronan…!”

Suara Lin kedengaran jauh, tapi kupingku menolaknya.

Saatnya benturan.

Ketika jarak cukup dekat, aku menebas. Garis senja menggores kegelapan.

KWA—AAAAAAAA!

Kegelapan terbelah seperti air. Pada saat bersamaan, kekuatan sebesar lima jari Akasha menghantam tubuhku.

“Kukh!”

Darah naik ke tenggorokan. Dunia bergetar di sekelilingku.

Benturan dunia—Kain pernah bilang selama kau tidak menghancurkan dunia lawan secara absolut, efek sampingnya tidak bisa dihindari.

Menyakitkan sampai membuatku ingin muntah, tapi tidak penting.

‘Berhasil.’

Ada efeknya. Kalau aku kalah dalam adu kekuatan, aku sudah jatuh ke Abyss lagi.

Aku meludah darah dan kembali menebas. Tebasan demi tebasan menghujani. Ratusan garis cahaya senja merobek kegelapan. Setiap garis tercipta, gelapnya terkoyak. Puing-puing kegelapan terjun ke bawah seperti salju hitam.

“———!!!”

Aku kini hampir tidak terdengar seperti manusia. Hanya binatang yang meraung.

Dilihat dari kejauhan, Da Konya pasti tampak seperti pemandangan yang tidak masuk akal. Aku bukan salmon yang menentang air terjun—aku menghancurkan air terjun itu sambil naik menantangnya.
Waktu terasa mengembang. Mungkin aku sudah menghancurkan separuh.

Saat itu—

Dari kedalaman kegelapan, suara Akasha menggelegar.

『■■-■!』

Dan seketika, bentuk kegelapan berubah.

Seluruh massa gelap mengguncang dan berubah menjadi bentuk tangan raksasa.

Tangan itu menutup dan mencengkeramku.

“—Sial!”

Tak ada waktu. Satu jari saja lebih besar dari Menara Mage—mustahil menghindar. Pukulan mental mengguncang otakku. Segalanya gelap. Tanah di bawahku kembali runtuh.

‘Tidak.’

Duniaku mengamuk hebat.

Abyss of Nothingness menekan duniaku dari segala arah untuk menghancurkannya. Senja yang mulai remuk, ladang yang mencair, hampir berubah menjadi sekadar warna.

Lalu—

Tubuhku menembus sesuatu.

Dan sinar biru memenuhi penglihatan.

“Eh?”

Langit biru—biru sampai menyakitkan mata.
Awan putih seperti tinta air.
Langit paling indah sepanjang dua hidupku dan empat dunia.

Aku tidak mengerti.

“Apa… ini?”

Aku sedang jatuh… ke dalam langit itu.

Pebisakan mana Akasha memenuhi udara—ini bukan langit asli.

Tidak mungkin. Tapi ini juga… dunia buatan Akasha.

“…Apa kau sebenarnya, Akasha?”

Meski tubuhku seperti meledak dari rasa sakit, aku tergelak.

Segalanya kini menjadi teka-teki.

Satu-satunya hal yang pasti—pertarungan ini adalah yang terakhir. Dan tidak banyak waktu tersisa.

Lalu aku merasakan niat membunuh. Aku membalikkan pedang.

『■■!!』

Dari atas kepalaku, Akasha keluar sambil merobek langit,
dan tangan raksasa berbelenggu rantai itu—menggapai ke arahku.

2-127. Akasha (4)

Akasha menerobos keluar sambil merobek celah.

Tinju yang dibalut rantai baja menghantam sisi belakang pedangku.

“Keuk!”

Tubuhku terdorong oleh hantaman yang membuat pergelangan tanganku kesemutan. Padahal tinggal tulang dan kulit begitu, tapi tinjunya benar-benar keras.

Puluhan rantai baja yang ditempa dengan mana Akasha menggeliat keluar dari lengan bajunya dan dari bawah mantelnya.

『■!』

Tiba-tiba ia mengangkat jari.

Dua rantai tebal meluncur dan melilit pinggangku. Tubuhku tersentak tertarik, dan Akasha melesat ke arahku.

“Untuk seorang tukang mantra, berani juga…!”

Aku menggeram sambil terus jatuh dalam langit itu.

Bukan keberanian—lebih seperti pilihan terakhir yang putus asa. Dari baling-baling rantai yang mengamuk itu saja tampak bahwa mana-nya hampir habis. Dia jelas tidak menyangka aku bisa menembus teknik sebesar tadi.

“Baik, kuterima!”

Aku menahan posisi dan mengayunkan pedang. Rantai yang melilit pinggangku terputus seketika. Tiga tusukan cepat menyusul dan beradu dengan tinju Akasha. Tubuh kami sama-sama terpental karena saling bertahan.

“Hrng…!”

『■■···!』

Kami menarik napas dengan cara yang hampir sama.

Dan tanpa aba-aba, kami kembali menerjang satu sama lain.

Pertempuran brutal pun dimulai. Setiap kali pedangku mengenai Akasha, kilatan tajam memercik. Terkadang aku bisa merasakan bilahku menyentuh daging, tapi sebagian besar seranganku diblokir rantai yang menari seperti ular hidup.

Dan pukulan-pukulan Akasha juga tidak menyentuhku.

“Akasha! Kau sebenarnya apa, hah?!”

Aku berteriak sambil menebas. Angin begitu kencang hingga aku harus memeras seluruh suara dari tenggorokan. Rambut panjang Akasha berkibar liar seperti mane binatang buas.

Ia menoleh miring.

『■?』

“Kenapa kau menghancurkan masa depan?! Apa yang kurang darimu sampai melakukan semua itu?!”

Aku tidak bisa lagi menahan diri. Perilakunya aneh, tapi yang membuatku benar-benar tidak bisa terima: seorang yang bisa memproyeksikan langit seindah ini sebagai ‘dunia’ tidak seharusnya menjadi musuh seperti itu.

“Apa tujuanmu sebenarnya?! Untuk apa mengisap begitu banyak energi kehidupan, menghancurkan dunia, dan mengejar sesuatu yang bahkan kau sendiri tidak bisa jelaskan?!”

Aku tidak mengerti. Jejak yang ditinggalkan Akasha penuh kontradiksi.

Dilihat dari hasil akhirnya, ia tidak menghancurkan tiga dunia paralel.

Tidak—bahkan tidak berlebihan kalau menyebutnya penyelamat dalam kegelapan.

Di dunia pertama, ia mengembalikan kehidupan yang hilang.
Di dunia kedua, ia membuka langit dan memungkinkan kami memusnahkan para raksasa.
Di dunia ketiga, ia memberi petunjuk yang membuatku membongkar rahasia Akalusia dan mempertemukanku kembali dengan Kain.

Sepanjang jalan ia memang membunuh, tapi semuanya bajingan busuk seperti sampah-sampah Nebula Clajie yang memang pantas mati.

Jadi kenapa?

Namun kejahatan yang dilakukan di masa depan—itu tidak bisa dimaafkan.

Akasha menghancurkan hampir semua orang yang kusayangi.
Maraya, Schlippen, Elzebet, Nabirose noona, Jaifa, Lorhon, dan para sahabatku—mereka semua dibantai.
Harta tak ternilai yang bahkan dunia tak bisa mengganti—direnggut oleh kerangka kurus itu.

Peninggalan yang mereka tinggalkan bergemerincing dalam saku mantelkku.

Aku benar-benar melihat wajah-wajah mereka sekilas—dan mencengkeram pedang lebih keras.

“Kau… Akan kupenggal sampai hancur, bajing—!!”

『■■■■ ■■■■!』

“Kasih bicara yang bisa kumengerti, bodoh!!!”

Raunganku menggema di langit.

Tebasanku makin menggila, menghujani Akasha tanpa henti. Dunia-ku yang bergelombang seperti ombak kini mulai tersusun jelas seperti sebuah lukisan.

KWAANG!

Kami menghentikan jatuh kami dan mendarat di padang senja. Belum sempat menata langkah, pertempuran kembali meledak.

『■■■■···!!』

Keseimbangan kekuatan mulai runtuh. Tertelan senja, Akasha tak lagi mampu melawanku. Sebelum rantainya sempat tumbuh kembali, sebuah tebasan merobek tubuhnya. Tusukan menyibak mantel, membuat lubang berwarna senja. Darah berceceran seperti tinta tebal, membasahi ladang itu.

『■■! ■■!』

“Matilah!”

Akhirnya, pertarungan mendekati konklusi. Tubuh Akasha yang limbung terhuyung ke depan.

Aku tidak menyia-siakan celah itu dan menghunus pedang dari bawah ke atas. Pertarungan hanya benar-benar berakhir ketika kepala lawan terpisah. Bilahku, berlumur darah, hampir menembus lehernya.

Namun terdengar suara ‘krek’ dan tubuhnya meliuk ke belakang pada sudut yang mustahil bagi manusia. Tebasanku hanya menggores topengnya.

“Tak ada gunanya melawan…”

Aku mengatupkan gigi. Memang bandel, tapi—tidak masalah.

Aku kembali mengincar lehernya, mengayun pedang.

Akasha mengangkat tangan kirinya. Telapak tangan penuh darah menutup pandanganku.

“Hah…?”

Dan napasku terhenti.

Pada jari manis tangannya—tergantung kalung perak.

Kalung dengan ukiran halus yang sederhana… tetapi aku mengenalinya. Aku tidak mungkin lupa.

Itu kalung yang kuberikan pada Adeshan. Saat kami masih muda dan mabuk cinta, sebelum kami punya anak.

“…Adeshan.”

Satu detik terasa seperti satu tahun.

Ada jejak waktu pada kalung itu, tapi bentuknya sama persis.

Wajah Adeshan—menangis bahagia karena menerima hadiah pertamanya—muncul jelas dalam ingatanku. Seluruh pikiranku berhenti.

Bahkan Adeshan di masa depan pun… telah mati.

Tebasanku goyah.

『■.』

Dan Akasha tidak menyia-nyiakan celah itu.

Ia melenting berdiri. Di bawah bahu kanan yang seharusnya amputasi, muncul lengan baru—dibentuk dari ratusan rantai kecil dan besar yang saling membelit. Tinju itu menyala, dibalut Abyss of Nothingness.

『■■■!!!』

Ia berteriak sesuatu. Tinju itu menyambar dengan kecepatan peningkatan drastis—sekilas saja aku tahu bahwa aku tidak boleh terkena itu. Jika terkena langsung, semuanya selesai.

Tapi Adeshan sudah mati.

Ya, aku tahu aku harus menangkis atau menghindar.

Tapi Adeshan sudah mati.

Dunia senja yang dibentuk imajinasiku masih menyala indah.

Tinju Akasha—yang meluncur seperti garis hitam—menghantam jauh ke dalam perutku.

“…Kugh.”

Otakku bergetar. Senja padam. Duniaku, yang goyah, pecah dan lenyap.

Tidak ada jeritan. Dunia menggelap, dan suara lembut berbisik di telingaku.

Kau harus bertanggung jawab… sampai mati.

Adeshan tersenyum sambil berkata begitu. Rambutnya yang setengah basah menyingkap telinga merahnya.

Pagi setelah malam pertama kami, di taman Filaeon Academy…
Berdiri berdampingan…
Menerima cahaya matahari yang jatuh di sela dedaunan…
Tertawa…
Berpelukan…
Menggambar masa depan bersama…

Bahagia.

Tertawa.

Tertawa bersama.


Kegelapan meledak dan langit biru tersingkap. Cahaya menyelimuti lembah muram Da Konya.

Jauh di atas, sebuah bayangan gelap jatuh dan menghantam tanah.

『■···■■···!』

Debu mereda—Akasha muncul.

Ia terengah-engah seperti orang yang sekarat. Lengan kanan yang terbuat dari rantai mengurai, kembali menjadi mana dan menghilang.

『Huh···■uh■···.』

Dari bawah topengnya terdengar suara samar—tawa atau tangis, sulit dibedakan.

Di bawah jubahnya, darah menggenang. Rambut panjangnya meresap darah seperti kuas.

Ia telah menang, mengandalkan kecerdikan… tapi kerusakan yang ditanggungnya terlalu besar.

Ia menyentak, sadar ada masalah.

『■Berlari··.』

Dengan tangan kiri yang gemetar, ia menyentuh bagian dalam topengnya. Suara yang barusan terdengar seperti bahasa manusia kembali terdistorsi.

Tiba-tiba, suara tumbukan berat terdengar dari belakang.

『■■···!』

Akasha menoleh cepat. Tak jauh dari situ, sekitar sepuluh langkah, Ronan tergeletak tengkurap. Secara penampilan, luka Ronan tampak jauh lebih ringan. Hanya darah di sudut mulut.

Namun Ronan tidak membuka mata.

『■■■■■■···.』

Akasha mendesah panjang. Lima menit berlalu, Ronan tidak bergerak. Seperti mati dalam posisi tengkurap.

Setelah beberapa tarikan napas yang panjang, Akasha bangkit sambil terhuyung.

『■■■.』

Ia tampak rapuh seperti istana pasir yang terkena ombak.

Kakinya terseret, tubuh kurusnya bergoyang diterpa angin.

Namun ia tidak menyerah.

Dengan langkah terhuyung, ia berdiri di depan Seniel. Batu suci itu telah berhenti menyemburkan energi kehidupan dan mulai meregenerasi diri. Bagian putus yang halus kini dilapisi tekstur kasar seperti keropeng luka.

Akasha mengulurkan tangan ke Seniel.

『■■ ■■■■■■.』

Dan mulai melafalkan mantra.

Kata-kata itu sama dengan yang ia gunakan di dunia paralel sebelumnya.

Energi kehidupan yang tertidur di dalam batu itu mengalir ke tubuhnya.

Tidak seperti sebelumnya—kali ini tidak ada yang menghentikannya. Akasha menghabiskan semua energi Seniel yang melayang di sekitar dan bahkan mengisap batu itu sendiri sampai kalaunya menipis.

Barulah ia melepaskan tangan.

『···■■.』

Ia menurunkan lengannya. Energi kehidupan—yang bahkan bisa memulihkan ekosistem rusak selama berabad-abad—berdenyut di dadanya.

Namun lukanya tidak sembuh sedikit pun.

Tanpa menahan penggunaan energi kehidupan, itu memang mustahil.

『■. ■ ■■■■■■ ■■■■.』

Akasha bergumam sendiri, lalu memandang ke langit.

Ada kepuasan dan penyesalan bercampur—seperti seorang tua yang akhirnya mencapai mimpi seumur hidupnya.

Ia sedang menikmati langit luas Da Konya ketika—

“A… kasha.”

Suara familiar terdengar dari belakang.

『■■.』

Akasha membeku. Ia menoleh perlahan seperti engsel berkarat.

Ronan berdiri. Ia menyeka darah di bibir dengan punggung tangan sambil menatapnya.

Keheningan turun.

Akasha membuka mulut.

『■■■···?』

“Aku menahannya… tepat sebelum mengenai jantungku.”

Ronan merogoh saku dalam mantelnya.

Ketika tangannya muncul kembali, ia menggenggam tiga pecahan mineral retak. Fragmen Seniel.

Permukaannya berkilau seperti permata. Benda itulah yang menahan serangan terakhir Akasha.

Ronan memasukkannya lagi ke saku.

“Banyak yang harus kubalas padamu.”

『■■!』

Akasha sontak mengangkat tangan. Semua lima jarinya terulur.

Sisa-sisa mana yang ia simpan berubah menjadi mantra. Kekuatan brutal menyapu ke arah Ronan.

Ronan menghunus pedang dan menebas lurus ke bawah.

KWA-AAANG!

Aliran mana yang terpental terbelah menjadi dua dan lewat di sampingnya.

『■···!』

Akasha mundur. Mantranya… tak berpengaruh.

Pedang Ronan kini bersinar dengan warna yang belum pernah ia lihat. Bukan merah aura. Bukan merah senja dunia.

Warna itu—campuran emas dan cahaya fajar—mengalir di sepanjang bilah.

Ronan berkata:

“Hampir saja semuanya berakhir… sayang sekali. Kau menunjukkan itu di akhir… strategimu bagus sekali.”

『■■■···.』

“Aku memang bukan orang hebat. Bahkan tahu bahwa menjaga ketenangan adalah jawabannya… tetap saja aku gagal. Karena aku mencintai mereka terlalu dalam.”

Ronan mengangkat kalung itu.

Kalung milik Adeshan dari masa depan—yang terjatuh dari Akasha.

“Tapi sekarang aku sudah sadar… berkat pukulanmu itu. Sebelum apa pun, aku ingin mengucapkan terima kasih.”

『■■■■?』

“Ya. Kalau dipikir-pikir, tiga dunia paralel bisa kuselamatkan karena dirimu juga. Itu masalah yang mengganjal, tapi akhirnya semua orang mendapat akhir bahagia… Jenderal Besar pasti tersenyum melihatnya.”

Akasha tetap diam.

Ronan tampak begitu tenang—bahkan sedikit lega. Benar-benar berbeda dari saat mereka bertarung dalam dunia-dunia mereka.

“Karena itu… aku bisa memaafkanmu. Hah… tragedi masa depan tidak akan terjadi lagi. Sampai sejauh ini, aku tidak akan membiarkan siapa pun mati menyedihkan.”

『■ ■■■■ ■■■?』

“Benar… aku setengah mati. Tapi kau juga, kan…?”

Akasha mengerut—seolah mendengar suara yang seharusnya tidak ia dengar.

Cahaya di pedang Ronan makin intens.

“Jadi, ini akan menyelesaikan semuanya… dengan satu tebasan.”

Itu cahaya hangat seperti matahari pagi. Samar, tetapi penuh kehidupan—seperti fajar pertama yang naik di pegunungan.

Namun kekuatannya—jelas sangat berbahaya.

『■■···!』

“Tak perlu menolak.”

Akasha hendak bergerak—tapi Ronan sudah mengayun.

Cahaya matahari terbit meledak dari pedang, membanjiri seluruh lembah.

“Sebab ini adalah… hadiah dariku. Dengan rasa terima kasih.”

Suaranya menjauh.

Sesuatu yang sangat besar mendorong tubuh Akasha.

Lalu—kesadarannya terputus.

2-128. Akasha (5)

Dengan ledakan cahaya, Akasha terpental jauh. Tubuhnya yang tertekuk menembus lima gunung batu dalam sekejap mata.

kwang! kwang! kwang! kwang! kwang!!

Akasha menembus ke langit dan tersedak napas.

『Ho■!』

Meskipun sebentar, ia sempat kehilangan kesadaran.

Topengnya retak-retak dan hampir pecah. Pemandangan sekitar menjauh dalam kecepatan yang mengerikan.

Sejak bertarung dengan Ronan, ia belum pernah mengalami hantaman seperti ini.

『■■■■···.』

Jika dunia sendiri meninju seseorang… mungkin rasanya seperti ini. Seluruh tubuhnya berderit seperti roda gigi yang saling bergesekan.

Ia harus menemukan cara untuk bertahan. Tepat sebelum menabrak gunung keenam, Akasha kembali mengenakan topengnya dan melepaskan gelombang kejut ke belakang. Suara ledakan menggema—sebuah kawah besar tercipta di tengah tebing.

Tubuhnya yang terbang terbabak tanpa kendali akhirnya terhenti.

『■■!』

Retakan pada topengnya memuntahkan darah dalam sekali semburan.

Ia memegangi kepala dengan satu-satunya tangan yang tersisa, tubuhnya limbung. Bukan hanya tak mampu melawan—bahkan menjaga agar tidak jatuh pun sudah merupakan perjuangan. Di bawahnya, jurang Da Konya membentang dalam tanpa dasar.

Dengan susah payah ia memaksa pikirannya kembali jernih, hendak bergerak—

Lalu, dari lubang gunung yang ia tembus tadi, sebuah kilatan merah menyala.

『■?』

Sekejap pandangannya bergerak—

“Ke mana mau kabur?”

Bayangan gelap menutupi wajahnya.

Ketika ia mendongak, Ronan ada di sana—menggenggam pedang dengan kedua tangan.

『■···!!』

Ia bahkan tidak sempat merespons. Suara udara terbelah menyusul beberapa saat terlambat.

Jejak penerbangan yang terbentuk dari energi kehidupan menembus lima gunung batu yang dilalui Akasha sebelumnya—seperti benang yang merangkai lubang-lubang itu. Itu ialah jalur yang ditembus Ronan. Otot pahanya membengkak, seolah hendak merobek celana.

Pedang suci itu kembali bersinar dalam warna keemasan yang suram. Saat itulah Akasha menyadari—teknik itu adalah turunan dari Dunia Ronan. Gambaran bukit tempat matahari terbit berkedip-kedip seperti fatamorgana di sekeliling Ronan.

“Ilchul.”

Ronan tersenyum samar. Cahaya pedangnya makin cerah.

Rantai baja merayap dari lengan baju Akasha, melilit tubuhnya dengan putus asa. Ini benar-benar pertanda buruk.

Saat Akasha mengangkat kelima jarinya, melancarkan telekinesis—

“Nama yang lumayan bagus, kan?”

Ronan melakukan salto ke depan dan menebas ke bawah. Sebuah lingkaran cahaya terbentuk.

Cahaya matahari terbit meledak lagi, menimpa Akasha dari atas.

『■···!!!』

Telekinesisnya hancur seketika saat menyentuh cahaya itu. Rantainya rontok menjadi serpihan. Akasha jatuh menuju jurang tanpa dasar. Darah yang terpental dari tubuhnya berubah menjadi titik-titik merah yang melesat ke udara.

『■■···■■!』

Tidak ada lagi pilihan. Dalam kejatuhannya, Akasha menggerakkan jari telunjuk dengan sisa tenaga. Tetesan darah yang semula melayang ke atas berbalik jatuh serempak ke bawah.

촤아아악!

Ketika menyentuh tanah, genangan darah itu berubah menjadi retakan menganga.

『■■. ■■■■■.』

Itu adalah keputusan terakhirnya. Jauh di dalam retakan itu, terlihat satu retakan lain bergetar.

Tepat ketika tubuh Akasha hendak tersedot ke dalam retakan—cahaya merah meledak dari tempat ia berada.

Ronan, melesat seperti meteor, menghunjamkan pedangnya jauh ke dalam dada Akasha.

『······!』

“Aku sudah bilang akulah yang akan menghabisimu.”

Mata Akasha melebar. Ronan memutar gagang pedang. Darah memancar lagi dari topeng Akasha yang pecah.

Keduanya jatuh bersama dan lenyap ke dalam retakan.


Angin yang menyapu dahiku begitu dingin.

Langit yang terlihat di celah bulu mataku dipenuhi awan merah.

“······Hah!”

Begitu membuka mata, aku langsung bangun.

Pemandangan di depanku sama sekali berbeda dari Da Konya.

‘Hutan?’

Aku berdiri di tengah hutan lebat yang penuh pohon rimbun. Namun anehnya—semua pohon patah atau tercabut dari tanah.

Langit yang redup membuatku yakin ini waktu senja.

Aku memegang dahiku.

“Di mana aku sekarang.”

Aku tak bisa menebak lokasi. Ingatanku terakhir hanyalah menancapkan pedang ke dada Akasha lalu tertelan oleh retakan. Pertarungan itu, tanpa keraguan, adalah kemenanganku.

Setelah itu kami terjerat lama di dalam retakan… lalu apa?

“Ugh, kuh! Keuh, keuk!”

Tiba-tiba batuk hebat menyerang. Ada sedikit darah. Tubuhku lemas seperti baru ditarik keluar dari air dingin setelah lama tenggelam. Bahkan energi kehidupan yang kupinjam dari Seniel pun tampaknya sudah habis.

Kemudian aku menyadari pinggangku anehnya terasa ringan. Aku menunduk—

“Sial, ke mana perginya?”

Kata-kata kasar lolos dari bibirku.

Yang tersisa hanya sarung pedang kosong. Baik pedang maupun Akasha tidak ada.

Aku buru-buru mengeluarkan pelacak mana. Untungnya jarumnya tidak berputar—ia menunjuk teguh ke satu arah.

“Tidak akan kulepas.”

Aku melangkah, rahang mengeras. Jarum itu menuntunku menembus hutan yang hancur. Saat aku menebas pohon-pohon rubuh untuk terus maju—

Aku melihat bercak cairan gelap.

“Darah?”

Cairan itu menetes seperti benang lengket.

Darah. Dan itu darah manusia. Semakin jauh aku berjalan, semakin banyak darah yang menodai tanah. Bahkan angin di sela pepohonan membawa bau amis yang menusuk.

‘Ini tidak normal.’

Rasa tak enak menyergap. Selain darah, potongan daging dan serpihan tulang manusia juga terlihat berserakan. Langkahku makin cepat.

Begitu keluar dari hutan—warna merah mengalahkan warna hijau.

“Ini…”

Aroma anyir yang pekat menghantamku.

Di bawah lereng, membentang dataran luas—atau lebih tepatnya dataran yang pernah ada.

Kawah-kawah raksasa menganga di mana-mana, luasnya cukup untuk seekor naga mendarat.

“······Ini…”

Ini jelas bekas suatu ledakan besar. Aku akhirnya mengerti kenapa semua pohon tumbang. Dan seluruh area kawah dipenuhi mayat. Jumlahnya… setidaknya puluhan ribu.

Jarum pelacak masih menunjuk ke arah bawah.

“Ya Tuhan…”

Tanpa sadar, mulutku mengeluarkan desah.

Seperti orang kesurupan, aku berjalan masuk.

Hampir tidak ada jenazah yang utuh. Tubuh-tubuh tercabik dan pecah, genangan darah berubah menjadi sungai hitam. Burung gagak yang tampaknya datang dari seluruh benua sedang berpesta liar.

‘Ini… ilusi? Mana mungkin…’

Kepalaku berputar. Ini seperti mimpi buruk hidup. Setiap langkahku menimbulkan bunyi “serabuk” dari darah bercampur organ.

Tak ada suara manusia hidup.

Lalu aku menyadari—semua mayat mengenakan seragam Kekaisaran.

‘Tidak mungkin…’

Aku berlari ke kawah terdekat.

Kawah ini—dengan diameter dan kedalaman puluhan meter—terlihat sangat familiar.

Aku pernah melihat tempat seperti ini.

“Ah.”

Jawabannya akhirnya muncul.

Kawah ini adalah luka yang ditinggalkan oleh tombak cahaya yang dilempar para raksasa. Tentara yang mati di sini mati dalam perang melawan para raksasa.

Tapi mereka semua sudah kubunuh. Raksasa punah dari semua dunia.

“Kalau begitu… di mana aku sebenarnya…”

Aku memegangi kepala yang terasa seperti mau pecah.

Mengikuti jarum pelacak, aku berhenti di tepi sebuah kawah raksasa—lebih besar daripada yang lain.

Jauh di dalam kawah itu, di pusat yang gelap… ada cahaya putih berkedip samar.

“Ketemu.”

Meski masih kacau, satu sudut bibirku terangkat.

Akasha terbaring di tengah kawah itu. Pedang suci menancap dalam di dadanya.

Tak masuk akal, tapi sepertinya kawah ini adalah hasil pukulanku sendiri.

“Gila… ngeri juga.”

Aku berdesis, menuruni kawah itu.

Debu berhamburan. Akasha tidak bergerak. Rambut hitamnya menjuntai seperti bantal. Tidak ada mana ataupun kehidupan tersisa.

Akasha telah mati.

“…Bajingan. Akhirnya mampus juga.”

Aku menarik pedang. Darah sudah berhenti mengalir.

Tanpa ragu sedetik pun, aku menebas lehernya. Kepala bertopeng itu terpisah dengan mudah yang membuat semua perjuanganku terasa konyol. Aku mengangkat kepala itu sambil mencengkeram rambutnya.

“Lihat wajahmu sekarang.”

Inilah saat yang kutunggu. Melihat wajah Akasha—mungkin aku akan mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

Ketika topeng itu kulepas—

“Eh…? Siapa ini.”

Alisku berkerut. Wajah asli Akasha… adalah pria paruh baya yang belum pernah kulihat.

Pria berjanggut tebal dengan ekspresi ketakutan luar biasa.

Aku menatap wajah itu lama—sampai akhirnya aku menarik napas panjang.

“Fuuhh…”

Hembusan napas itu setengah lega, setengah hampa.

Jujur saja, aku sedikit takut kalau ternyata ia seseorang yang kukenal.

Kupikir mungkin Archsel yang jatuh, atau Elzebet, atau bahkan Lorhon yang sudah hancur… tapi untunglah—lebih baik orang asing sama sekali.

‘Aku harus cari tahu apa yang terjadi sebelum kembali.’

Tugas sudah selesai. Tinggal membuka botol yang Rarante berikan, lalu kembali.

Tapi setelah melihat neraka ini… aku tidak bisa tidur sebelum tahu kebenarannya.

Para raksasa lenyap di semua dunia—termasuk dunia kami.

Kalau begitu… tempat ini apa?

“Baik.”

Aku melempar kepala Akasha ke luar kawah dan naik kembali.

Sekali lagi, kehancuran tersebar di depan mata.

Ini bukan mimpi. Bau kematian yang memenuhi tanah begitu nyata sampai membuat mual.

“Brengsek…”

Tak ada kata lain untuk menggambarkan ini.

Aku menutup mata seorang prajurit muda yang meninggal dengan mata terbuka, lalu terus berjalan. Suara gagak meraung-raung di langit.

Aku mencari sesuatu—apa saja yang bisa menjadi petunjuk.

Lalu terdengar suara lirih.

“Sa… lla… h…”

“Ah?”

Bahuku merinding. Tubuhku meremang.

Suara itu tidak jauh. Aku melupakan kelelahan dan berlari ke arah suara itu.

Seseorang meminta tolong—lemah, tapi terus-menerus.

Setelah berlari sekitar lima menit—

Akhirnya aku tiba di sumber suara.

Sama seperti tempat lain—jenazah bertumpuk. Di antara tumpukan itu seseorang bergerak.

Permohonan tolong yang nyaris tak terdengar berhamburan bersama angin.

“······려.”

Langkahku terhenti.

Yang masih hidup itu adalah seorang prajurit wanita dalam keadaan mengerikan.

Topi militernya dengan tanda pangkat mayor tergeletak di samping. Rambut hitamnya basah oleh darah, menjuntai seperti ranting willow. Darah mengalir dari mata dan telinganya—mungkin terkena pecahan ledakan.

Namun luka terburuk adalah di kaki dan perut.

Isi perutnya terburai seperti pita dari pakaian yang robek. Kedua kakinya hilang begitu parah sehingga tidak mungkin ditolong atau disambung lagi.

Meski aku berdiri tepat di depan, ia tidak menyadari keberadaanku.

Air mata mengalir di pipiku.

“Tidak…”

Kakiku lemas.

Aku memaksakan diriku agar tidak jatuh, lalu merangkak mendekatinya.

“Tidak. Tidak. Tidak. Tidak…!”

Aku mengenali wajah itu.

Tubuhku ambruk, dan aku memeluk wanita itu erat-erat.

“Adeshan. Adeshan!”

“A… da… kah seseorang… di sana…?”

Tidak diragukan lagi.

Itu adalah wanita yang kucintai.

Adeshan, yang bahkan tidak sadar ia ada di pelukanku, hanya mengulang permohonan yang sama—

Meminta… diselamatkan.

2-129. Jika Kau Pernah Melihatku di Suatu Tempat

“Selamat datang, Sersan Ronan.”

Ronan melangkah masuk ke dalam tenda komando. Panglima Besar berpakaian dinas menyambutnya.

Adeshan de Acalucia sedang menatap peta strategi yang menggambarkan miniatur medan perang.

Ronan, setelah mengusap darah dan air hujan dari wajahnya, bertanya dengan nada kesal.

“Saya sibuk setengah mati… hah… ada apa, Panglima?”

“Tak ada waktu bagi kita berdua. Dari laporan yang kudengar, kau adalah satu-satunya yang bisa memberikan kerusakan signifikan pada monster itu. Kami membatalkan semua rencana sebelumnya dan menyusun ulang strategi. Kau akan bekerja sama.”

Panglima Besar menjelaskan rencana barunya.

Sederhana, jelas, dan sekaligus membuat seseorang ingin bertanya apakah wanita ini sudah gila.

Di luar tenda, suara hujan dan ledakan terus bergema.

Mendengarkan penjelasan itu sampai akhir, Ronan mendengus tertawa tanpa humor.

“Ini… bahkan istilah perang attrisi pun kurang tepat. Semua orang akan mati seperti sampah.”

“Jika kau berhasil, tidak ada yang mati sia-sia.”

“Ini gila. Anda ingin memperlakukan seluruh korps seperti batalion hukuman?”

“Tak masalah. Kalau mereka menolak, aku bisa memaksa mereka dengan kemampuanku. Kau hanya fokus mendekati target.”

“Panglima cukup kejam, ya.”

“Silakan hina aku sesukamu. Asal monster Ahayute itu mati, yang lain tidak penting.”

Untuk pertama kalinya, Panglima Besar mengangkat wajahnya.

Di mata yang menatap Ronan, bayangan kelabu beriak pelan.

Ronan mengerutkan wajah, jijik—kelihatannya kemampuan panglima itu sudah mulai bekerja.

Di luar, terdengar sorakan para prajurit yang berlari menuju neraka.

Ronan menatapnya sejenak, lalu mengangguk.

“Baiklah. Kalau begitu saya berangkat.”

“Tunggu.”

Langkah Ronan terhenti di suara Panglima.

“Ya?”

Ia menoleh. Panglima menatap wajahnya seperti sedang membaca peta perang.

Setelah sempat menunjukkan ekspresi sulit dibaca, ia bertanya:

“Apakah… kau pernah melihatku di suatu tempat? Selain di ketentaraan.”

“Tidak.”

Ronan menjawab secepat mata pedang. Mustahil.

Prajurit hukuman sepertinya dan Panglima Besar Kekaisaran… satu-satunya titik temu mereka adalah makanan hambar kantin militer.

“Begitu. Terima kasih. Semoga keberuntungan menyertaimu.”

“Semoga Anda juga, Panglima.”

Percakapan berakhir begitu saja.

Di kejauhan, Ahayute menembakkan tombak-tombak cahaya dari langit medan perang.

Setiap garis putih yang jatuh ke tanah memunculkan pilar cahaya menjulang.

Keluar dari tenda, Ronan menggumam kecil:

“Apa dia tertarik sama aku, apa?”


Ingatan dari kehidupan pertama—kini sudah selembut gema lonceng jauh di seberang lautan.

Aku tak tahu kenapa tiba-tiba itu muncul.


Aku tidak tahu kenapa Adeshan ada di sini.

Secara struktur dunia paralel, seharusnya aku dan Adeshan tidak mungkin bertemu.

Pada dasarnya, dunia paralel ini adalah dunia yang Adeshan tinggalkan ketika ia mati dan berpindah ke dunia berikutnya.

Tapi aku tidak punya waktu untuk peduli soal teknis semacam itu.

Jantungku meredup seiring meredupnya hidup seorang wanita dalam pelukanku.

“Adeshan, sadar! Adeshan!”

“Tolong… tolong… aku tidak bisa… huuk… aku tidak bisa bergerak…”

“Aku bantu. Aku akan tolong kau… sial, kenapa darahnya tidak berhenti?!”

Aku berteriak putus asa.

Kepalaku terasa panas, pikiranku kacau. Kedua telapak tanganku menekan perut Adeshan untuk menghentikan pendarahan. Ususnya yang terburai sudah kuberusaha masukkan kembali.

“Aaah… aaahhh…”

Tapi meski kutekan sekuat tenaga, darahnya tak berhenti mengalir. Darah panas merembes dari sela-sela jariku.

Adeshan masih belum mengenali suaraku—dengan suara kosong ia bergumam:

“Siapa… siapa yang memeluk saya… dingin…”

“Ini aku, Adeshan. Aku datang. Ronan ada di sini.”

“A… aku tak bisa melihat apa pun… tak bisa dengar apa pun… huuk… aku tak mau mati…”

“Kau tidak akan mati. Jangan takut. Kau akan hidup dan pulang.”

Aku menggenggam tangan Adeshan. Dingin. Warnanya pucat seperti mayat. Tak ada sedikit pun hangat.

Aku menempelkan pipi ke punggung tangannya sambil berbisik:

“Tolong…”

Dua pahanya sudah dibalut kain dari seragam yang kusobek.

Itulah satu-satunya alasan ia belum mati. Kaki panjang dan indah yang membuat siapa pun menoleh kini tak lebih dari daging robek yang membusuk.

Aku tahu. Mustahil ia hidup. Dan meski hidup, hidupnya akan penuh penderitaan.

“Tolong. Demi Tuhan.”

Untuk pertama kalinya, aku benar-benar memohon pada Tuhan. Inilah saat dibutuhkan mukjizat.

Nafas Adeshan semakin lemah. Ia sudah satu kaki berada di sungai menuju kematian.

Tiba-tiba secercah harapan melintas, seperti kilat.

“Benar… aku masih punya ini…!”

Aku merogoh saku dalam coat, hampir seperti orang gila.

Aku mengeluarkan tiga pecahan batu jelek itu. Pecahan Seniel.

Sejak menahan serangan dadakan Akasha, pecahan itu kehilangan cahaya. Tapi itu tidak penting.

Aku meletakkan pecahan itu di atas perut Adeshan.

“Sembuhkan.”

Itu metode yang kugunakan ketika menyembuhkan Kaisar di dunia paralel kedua.

Kaisar yang hampir mati sembuh seketika setelah menerima kekuatan hidup Seniel.

Aku menatap Adeshan dan pecahan itu bergantian, lalu berteriak:

“Sembuhkan, dasar batu goblok!!!”

Kawanan gagak terkejut dan terbang secara bersamaan.

Namun pecahan Seniel tidak merespons apa pun.

“Kau sudah bekerja keras selama ini… kenapa sekarang diam saja?!”

Aku menggenggam pecahan itu dengan tangan gemetar. Tidak ada energi kehidupan sama sekali. Tubuh Dewa Jiwa Bintang kini hanyalah batu biasa.

“Haa… haah…!”

Aku nyaris tidak bisa bernapas. Kalau ini tidak berhasil, tidak ada yang bisa menyelamatkan Adeshan.

Darah kembali mengalir dari perutnya. Bibirnya bergerak pelan.

“A… anda…”

“Adeshan?”

“Jika… ada seseorang… tolong… satu permintaan… hhh… dengarkan…”

Matanya tertutup, menghadap langit.

Dengan tubuh bergetar, ia mengangkat lengan kirinya dan menunjuk lehernya.

“Ayahku… ada di Rundalian… tolong… tolong sampaikan… dogtag ini… kumohon…”

“Tidak.”

“Beliau… benar-benar sendirian… orang yang malang… kalau bisa… bilang padanya… aku minta ma… haek—!!”

“Adeshan!”

Ia terbatuk keras.

Darah menyembur dari mulut dan luka seluruh tubuhnya. Aku membuang pecahan Seniel dan memeluknya lebih erat. Bahkan ketika tubuh kami bersentuhan, detak jantungnya hampir tak terasa.

Dengan gigi terkatup rapat aku mengusap kepalanya—

『Nyawa penuh kesia-siaan… masih tersisa rupanya.』

Suara rendah bergema dari atas.

Semua gagak di medan perang terbang panik. Bulu hitam jatuh seperti hujan.

Aku mengenali suara itu seketika—suara yang menusuk tulang.

Aku mendongak, masih memeluk Adeshan.

Di langit, seekor raksasa bersayap empat menatap ke bawah.

『Ahayute akan mengeksekusi hukuman.』

Setiap kali sayap raksasa itu mengepak, awan terbelah.

Itu pasti Ahayute yang kukenal. Tak masuk akal kenapa si kepala plontos itu ada di sini, padahal sudah kubunuh empat kali—di dunia asli dan semua dunia paralel.

Tapi itu tak penting.

Seluruh darahku mendidih.

“Bajingan itu.”

Dialah yang membuat Adeshan begini. Aku menarik gagang pedangku, mengungkap bilah merah.

Membunuh sampah seperti itu tidak akan memakan sepersekian detik pun.

Partikel cahaya berkumpul di tangan Ahayute, membentuk tombak cahaya.

Tepat ketika aku hendak menghabisi kepala plontos itu—

Plaag-!!

Tubuh Ahayute meledak di udara.

“Apa?”

『Ini…?』

Kepala yang tersisa menunjukkan keterkejutan.

Semua terjadi terlalu cepat untuk dipahami. Tubuhnya berubah menjadi cairan biru dan berhamburan. Seolah bom meledak di dalam perutnya.

Sebelum ia sempat berbicara lagi—

Plaag-!!

Kepalanya juga meledak, menghancurkan sisa tubuhnya.

“Ap—?!”

Mataku membesar. Darah raksasa turun seperti hujan.

Aku membuka coatku seperti payung dan melindungi Adeshan. Bunyi tetesan darah menepak kain perlahan mereda.

Aku merasakan kehadiran seseorang di belakangku.

Aku berbalik kasar.

“Siapa kau?!”

Bilahku membentuk busur setengah bulan, siap memancarkan tebasan aura.

Kemudian aku melihat sosok itu—dan napasku tersedak.

“Kau…”

Aku bahkan lupa bagaimana caranya bicara.

Siapa pun itu, ia sangat mencurigakan. Tapi aura pedangku tidak terlepas.

Akasha berdiri di sana.

“Akasha.”

『……』

Keheningan menguasai. Ia berdiri sekitar sepuluh langkah jauhnya, menatap kami.

Kepalanya yang bertopeng masih utuh. Lengan dan kaki yang sebelumnya putus juga telah kembali. Bahkan mantel lusuh itu tampak baru—tak ada luka tersisa.

‘…Dia mengecil?’

Hanya satu hal yang berbeda: tubuhnya. Yang dulu menjulang jauh lebih tinggi dariku, kini hanya setinggi dadaku.

Pandangan mataku tak salah. Ia memang mengecil.

Kepalaku mulai kosong. Aku tidak tahu apa yang terjadi, dan aku jelas tidak dalam kondisi untuk bertarung. Dan lebih buruk lagi—meski mengecil, aura yang kurasakan darinya jauh lebih kuat daripada saat terakhir kami bertempur.

Aku menarik napas.

“Ahayute itu… kau yang membunuhnya?”

Tak ada jawaban. Darah biru turun seperti gerimis ringan.

Ketegangan terbentuk di antara kami.

Kemudian—

“Keuhk! Khuek!”

“Adeshan.”

Adeshan memuntahkan gumpalan darah. Suaranya mengerikan. Melihat darah hitam pekat sebesar kepalan tangan membuat jantungku berhenti.

Aku melupakan Akasha dan langsung menghadap Adeshan.

Mulutnya bergetar, mengeluarkan sanap napas terakhir.

“Di utara… aku… belum pernah… monster… huhh…”

“Jangan bicara. Bertahan sedikit lagi.”

“Dingin… bunga liar… Panglima Besar… masih… hhh…”

Tidak baik. Ini tanda ajal.

Aku menyesuaikan posisi tubuhnya agar ia lebih nyaman. Ketika aku meremas tangannya—

Sesuatu yang tajam menusuk punggungku.

『■■.』

“Apa?”

Aku menoleh, alisku terangkat.

Akasha telah mendekat tanpa suara—hingga hanya selangkah dariku. Aku harus menunduk untuk menatap topengnya.

Dengan gerakan seperti pengemis yang meminta sedekah, ia mengulurkan telapak tangan kanannya.

“Seniel?”

Di telapak tangan kurus itu terletak tiga pecahan Seniel yang tadi kubuang.

Batu jelek itu tampak lebih jelek di tangan kurusnya.

“Kenapa kau…”

Entah karena aku sudah setengah gila, aku tidak merasakan niat membunuh darinya.

Seakan ia benar-benar hanya mengembalikan barang yang kujatuhkan.

Aku spontan mengulurkan tangan untuk menerima pecahan itu.

Saat aku menyentuhnya—Akasha menangkap tanganku dengan tangan lain.

“Sialan! Apa-apaan?!”

Aku mencoba menarik tangan, tapi ia tidak melepas. Tangan kanan dan kiri Akasha menutup rapat tanganku seperti borgol.

Aku hendak menarik pedang—

Saat itu juga, cahaya meledak dari kedua tangannya.

“Argh!”

Cahaya itu begitu terang hingga aku harus memejamkan mata. Ketika aku memaksakan mata terbuka—

Aku tertegun.

Di dalam cincin cahaya berwarna-warni itu, ruang sekitar kami terdistorsi.

Namun lebih mengejutkan lagi adalah kekuatan yang menciptakan distorsi itu.

“Ini… kekuatan kehidupan…!”

Itu adalah energi kehidupan terkuat yang pernah kulihat.

Bahkan Seniel yang utuh pun mungkin tak mampu menghasilkan energi sebesar ini.

Kekuatan untuk melahirkan sebuah bintang pun mungkin cukup.

Semua luka bekas pertarungan kami menghilang begitu saja.

Aku menyadari sesuatu:

Akasha sedang melepaskan semua energi kehidupan yang ia serap dari seluruh dunia paralel.

“Sial… apa yang mau kau lakukan?!”

Aku tak bisa menebak.

Mendadak, distorsi berhenti. Cahaya padam serempak. Ledakan udara menyapu medan perang.

“Ugh.”

Aku hampir terjatuh, seandainya Akasha tidak memegangku.

Adeshan masih berbaring, terengah-engah. Ia tampak sedikit membaik, mungkin karena terkena percikan energi—namun bayangan maut masih pekat.

Pandangan kembali fokus.

Dan saat itu—

“Lakukan apa yang harus kaulakukan.”

Dari bawah topeng Akasha… terdengar suara manusia.

“Apa…”

Tubuhku membeku.

Suara itu indah—seindah suara yang bisa membuat bunga mekar.

Aku belum sempat bertanya.

Akasha melepaskan tanganku.

“Baru saja… itu kau yang bicara?”

Tak ada jawaban. Hanya sedikit anggukan.

Dalam sekejap, tubuhnya berubah menjadi peluru hitam yang melesat ke langit. Tepat sebelum menyentuh awan, sebuah retakan terbuka.

Di dunia putih susu itu, terdengar kepakan sayap para raksasa.

Saat Akasha memasuki retakan itu—darah biru meledak.

Retakan menutup.

“Apa yang harus kulakukan…?”

Aku berbisik kosong.

Aku bahkan tidak mengerti apa yang barusan terjadi.

Lalu aku merasakan sesuatu di tanganku. Sesuatu yang asing.

Aku membuka telapak tangan—

Dan aku menyadarinya.

“…Ah.”

Ini adalah dunia pertama.

Sebelum semua dimulai.

Dunia di mana Panglima Besar belum pernah mati sekali pun.

Belum ada satu pun regresi.

“Sial… benar-benar…”

Potongan-potongan teka-teki tersusun cepat.

Aku tahu kenapa Akasha mengumpulkan energi kehidupan dengan begitu buas.

Kenapa ia membutuhkan kekuatan sebanyak itu.

Aku mengusap mataku, menyingkirkan kabut air yang menutupi pandangan.

Di telapak tanganku, tempat tiga pecahan tadi berada—kini ada satu manik biru.

“Jadi begini asalnya?”

Ini pertama kalinya aku melihatnya sungguhan.

Dan aku tahu apa fungsi manik ini.

Aku menyimpannya di mulut dan mendekati Adeshan.

“Haa… haaah…”

Ia masih sekarat.

Namun wajahnya terlihat sedikit lebih damai—pasti efek energi kehidupan yang mengalir tadi.

Aku berlutut di sampingnya dan menempelkan bibirku pada bibirnya.

“Mmph…!”

Dan aku mendorong manik itu masuk.

Leher putihnya berguncang ketika menelannya.

Adeshan mulai batuk.

“Khuk! Khuk!”

“Adeshan.”

Aku menatap langit, lalu menempelkan dahiku padanya.

“Yang baru kau telan itu… adalah manik yang memutar balik waktu.”

2-130. Sedikit Pembicaraan Serius (3)

Aku menempelkan dahiku pada dahi Adeshan tanpa berkata apa pun. Getaran menggila dalam pembuluh darahku.

Seperti mesin rumit yang mulai berputar, hampir semua tindakan aneh Akasha sebelum ini tiba-tiba masuk akal.

‘Jadi… ini tujuannya.’

Dia pasti juga menyerap kekuatan hidup dari Seniel dunia paralel yang ini.

Aku pernah memikirkan bagaimana struktur manik yang memungkinkan regresi itu bekerja—ternyata satu “jiwa dunia” bisa memutar waktu satu kali.

Namun identitas Akasha justru membuatku tenggelam semakin dalam ke dalam rawa penuh misteri.

‘Akasha. Sebenarnya kau….’

Manik yang memungkinkan regresi adalah permulaan dari semua cerita ini.

Kenapa seseorang dari masa depan melakukan semua ini—aku tak mampu memahaminya. Dan kalau tujuannya hanya menciptakan dan menyerahkan manik, mengapa ia juga berusaha menghancurkan seluruh dunia?

“Benar-benar, kau ini apa sebenarnya…?”

Tak peduli seberapa keras kupikirkan, satu hal itu saja tak bisa kutebak.

Dan aku juga tidak punya waktu untuk itu sekarang.

Adeshan yang sedang batuk tiba-tiba berkata panik:

“Keuk, kek! I-ini apa?!”

Sepertinya fakta bahwa ia tiba-tiba menelan sesuatu membuatnya ketakutan.

Dari reaksinya, rasa sakitnya sudah mereda, tapi pendengaran dan penglihatannya masih belum kembali.

“Itu manik yang memutar balik waktu. Kalau ingatanku benar, itu bisa digunakan hingga empat kali.”

Perlahan aku menjauhkan dahiku dari dahinya.

Adeshan sekarang memuntahkan air liur sambil tersedak.

“Uwek… uwek…”

“Jangan dimuntahkan. Semuanya akan baik-baik saja.”

Aku mengelus kepalanya dengan lembut. Wajahnya yang tegang perlahan melunak. Untunglah, sepertinya indra perabanya sudah kembali sedikit.

Begitu aku menarik dog tag yang tergantung di lehernya, mata Adeshan langsung terbuka lebar.

“A-ada seseorang di sini…!”

Darahnya sudah berhenti, tapi mata itu masih tak bisa fokus. Benar—penglihatannya masih buta. Namun aku hanya merasa bersyukur karena suatu hari bisa melihat lagi mata abu-abunya yang indah itu.

Untuk menenangkannya, aku mengetuk pelan ubun-ubunnya.

“Terima kasih… benar-benar terima kasih… keuk, keuk! Maaf karena tidak bisa bangun untuk memberi hormat.”

“Tak apa. Istirahatlah.”

“Saya tidak tahu siapa Anda… tapi saya tidak akan melupakan ini… Saya… senang bertemu seseorang seperti Anda sebelum mati… sekarang, sekarang saya bisa pergi dengan tenang…”

Adeshan mengembuskan napas tipis. Nafasnya semakin memudar.

Sudah kuduga. Kekuasaan Seniel hanya meredakan rasa sakit—bukan menghapus bayangan kematian yang sudah menelannya. Sejarah kejam ini harus dimulai dengan kematiannya.

“...Sebenarnya aku tidak ingin mati.”

Tiba-tiba, senyum di wajah Adeshan menghilang.

“Eh?”

“Ini… sangat tidak adil… monster seperti itu memperlakukan aku seperti ini… dan aku… aku belum melakukan apa pun…”

Air mata menggenang di bawah bulu mata panjangnya. Air mata yang mengalir turun membasuh noda darah di wajahnya—warnanya merah, hampir tak berbeda dari darah.

Ia menatap langit dengan pandangan kosong, suaranya pecah menjadi isakan.

“...Tidak… aku tidak ingin mati… aku harus melindungi orang-orang… orang-orang…!”

“Adeshan.”

“Apakah… apakah akan ada seseorang… yang mengingat kematianku…?”

Dari kondisinya, ia takkan bertahan tiga puluh menit lagi. Namun entah sejak kapan, Adeshan menggenggam tanganku sangat erat. Kuku-kukunya menancap ke kulitku, seakan berusaha mencengkeram jiwa yang hendak meninggalkan tubuhnya.

Aku menahan napas dan mendengarkan setiap kata. Ini adalah fondasi yang kelak membentuk Panglima Besar yang kukenal. Obsesi pada kehidupan yang menumpuk, berulang kali, hingga lahirlah dirinya yang kelak menjadi batu penjuru dunia.

“Aku… tidak… ingin mati…”

Sekitar lima menit kemudian, suaranya memutus. Genggamannya melemah perlahan. Kematian berada tepat di depan matanya.

“...Namaku Ronan.”

Baru setelah menata pikiranku, aku angkat bicara.

“Haa… haaah…”

“Diriku yang datang dari masa depan tahu semua hasil akhirnya. Dengarkan baik-baik. Kau berhasil. Kau bertemu denganku dan akhirnya… bersama-sama, kita menyelamatkan dunia. Si botak itu—di setiap dunia—sudah tidak ada.”

Tak ada jawaban. Ia tidak bisa mendengar—tentu saja.

Tetapi aku melanjutkan.

“Hanya saja… dibutuhkan waktu yang sangat panjang sebelum kita bisa bertemu. Takdir tidak seromantis yang orang-orang bayangkan. Kita selalu tersesat, kadang mati sebelum bertemu… kadang bahkan ketika akhirnya bertemu, kita tidak menyadari kemampuan satu sama lain dan semuanya berakhir buruk. Musuh kita sangat kuat.”

“……”

“Tapi pada akhirnya, kita menang. Dan tentu saja kau tidak dilupakan. Kau meraih prestasi besar, dipuja sebagai pahlawan… bahkan Zaifa, yang membunuh ibumu dan saudara-saudaramu, akhirnya bertobat dan bekerja di bawahmu. Hebat, bukan?”

Tak ada jawaban. Tangan putihnya terjatuh lemah, seperti karung basah.

Aku menarik napas, lalu menggenggam tangannya kuat-kuat.

“Walau sebentar… aku bahagia bisa bersamamu.”

Angin perlahan reda. Adeshan menatap langit kosong, iris abu-abunya dipenuhi cahaya biru yang indah. Tapi kerlip cahaya itu sekarat—sekarat seperti hidupnya.

“Dan jadi… di akhir kehidupan keempatmu….”

Suaraku tersendat. Pandanganku begitu kabur hingga wajahnya pun samar.

Aku menutup mata, lalu berkata—

“Tolong… carilah aku. Panglima Besar.”

Air mata panas mengalir di pipiku.

Tiba-tiba, di balik kelopak mata yang tertutup, suara lembut terdengar.

“...Hangat.”

“Eh?”

Aku terbelalak.

Adeshan tertidur dengan ekspresi damai, seolah saja ia terlelap. Napasnya… tak lagi terdengar.

Menatap wajah itu, aku tersenyum tipis.

“...Sampai bertemu lagi.”

Aku hampir menggali makam untuknya—namun berhenti. Dari kejauhan, derap kaki kuda bergema. Pasukan bantuan Kekaisaran.

Aku melilitkan dog tag berdarah itu di tangan Adeshan. Kekaisaran selalu mengurus jenazah prajurit mereka dengan baik.

Dan Akasha telah pergi untuk menghancurkan dunia para raksasa—tak ada lagi ancaman.

“Baiklah… waktunya pulang.”

Benar-benar tak ada yang tersisa untukku lakukan di sini.

Aku merogoh saku coat dan mengeluarkan sebuah botol kaca. Setelah membuka tutupnya, aku mengibaskannya—darah Akasha tersebar di udara.

Dan dari darah itu, sebuah retakan muncul—cukup besar untuk dilewati satu orang.

Itu adalah portal kembali ke dunia asliku.

Aku menatap medan perang untuk terakhir kalinya, kemudian melangkah masuk ke dalam retakan itu.


Pertempuran berakhir pada sore hari ketiga.

“Haa… haah…”

Dengan susah payah menarik napas, Adeshan mengangkat kepala.

Pemandangan yang terlihat adalah neraka.

Hujan badai mengguyur tanah luas yang tertutup sepenuhnya oleh potongan mayat. Sungai darah dan organ mengalir ke segala arah.

Ia sendiri bersandar pada bongkahan batu besar. Ingatan terakhirnya adalah tombak cahaya Ahayute menancap di tanah tiga puluh langkah di depannya. Lautan awan gelap menggetar oleh kilat dan guruh di atas kepalanya.

“Ugh…”

Nyeri tajam membuatnya meringis. Saat menoleh ke bawah, ia melihat lengan kanannya—bagian bawah siku—hilang sepenuhnya. Hujan darah menetes dari tulang putih yang terbuka. Perut dan kakinya juga terluka parah; ia tak bisa bergerak.

“Apakah… berhasil?”

Tapi itu bukan yang dipikirkannya.

Yang ada hanya hasil operasi.

Tak ada lagi suara ledakan yang menembus gendang telinga. Yang tersisa hanyalah hujan menghujam tanah.

Mungkin Ahayute sudah dibunuh, atau monster itu sudah menghancurkan semua pasukan Kekaisaran dan pergi—bagaimanapun, akhir telah tiba.

[Apakah ada yang mendengar? Aku terluka parah dan tidak bisa bergerak.]

Dengan mata terpejam, Adeshan mengirim sihir transmisi suara ke segala arah. Ia wajib memastikan hasil pertempuran. Duaru dan Nirvana sudah tewas bersama Lorhon, sehingga hanya Ahayute yang menjadi tanggung jawabnya.

[Ada siapa pun…?]

Tak ada respons—jadi ia mengirim transmisi lagi.

Ia hanya bisa berharap misi berhasil.

Kesempatan untuk menyelamatkan dunia tinggal satu. Meski ia sudah diberi empat kehidupan, dua di antaranya bahkan tidak berhasil mencapai medan perang ini karena kesalahan dan nasib buruk.

“Haa… haa…”

Setelah mengirim transmisi, tak ada lagi yang bisa ia lakukan.

Ia mengecilkan tubuhnya untuk menghemat tenaga. Dingin hujan menembus seragam yang robek.

Tiba-tiba, ia menyadari betapa miripnya pemandangan ini dengan saat ia mati di kehidupan pertama. Kawah di mana-mana, dipenuhi tumpukan mayat.

Yang berbeda hanya satu: kali ini dialah yang memberi perintah.

“...Sial.”

Ia menunduk sambil tersenyum getir.

Tak tahu berapa lama kemudian—

“Panglima Besar.”

Sebuah suara akrab terdengar tepat di dekatnya.

Adeshan mengangkat kepala. Seorang pria yang tampak hampir mati berdiri terpincang-pincang. Iris senja itu bersinar tajam di tengah hujan.

Ia mengenali pria itu.

“Anda adalah….”

“Panglima Besar Adeshan.”

Ronan kembali memanggilnya. Ia tampak sama terkejutnya. Pandangannya tertuju pada lengan Adeshan yang hilang.

Jantung Adeshan berdetak kencang. Ronan pasti mengetahui hasil operasi, karena dialah ujung tombaknya.

“Sersan… Ronan, ya.”

Ia berusaha keras menjaga ekspresi agar tetap tenang. Dengan susah payah, ia bersandar tegak pada batu.

“Aku hanya akan menanyakan satu hal.”

Ia harus memastikan.

Dengan mata abu-abunya yang dingin, ia memandang Ronan.

“Bagaimana dengan Ahayute?”

“Saya yang membunuhnya.”

Ronan menjawab datar. Adeshan membeku. Setelah memastikan, ia diberi tahu bahwa mayatnya ada tidak jauh dari sana.

Bibirnya bergetar.

“...Begitu.”

Mimpinya telah tercapai. Ahayute mati.

Air mata mengalir di pipi kotor itu.

“Dia mati…”

“Panglima Besar!”

Ronan bergegas mendekat. Ia menopang tubuh Adeshan yang hampir terjatuh.

Adeshan menatapnya bingung. Alih-alih bangga menjadi pahlawan, Ronan tampaknya lebih khawatir pada atasannya yang menyedihkan ini.

‘Aneh… aku telah menyeret begitu banyak orang menuju kematian….’

Kulit mereka bersentuhan. Meski hujan membuat tubuh keduanya dingin, ia merasakan kehangatan samar yang entah kenapa terasa akrab.

Dengan dibantu Ronan, ia akhirnya bisa duduk tegak.

“Terima kasih.”

“Itu memang tugasku.”

Ronan menjawab sambil tersenyum kecil—seolah semua itu tak lebih berat daripada menolong anak kecil mengambil sepatu yang tersangkut di pohon.

Air hujan menetes dari rambutnya dan mengalir mengikuti garis rahangnya yang tajam.

Pada saat itu, dada Adeshan terasa seperti ditusuk jarum.

‘Apa ini…?’

Ia gemetar. Rasa sakit itu asing—tetapi anehnya membuatnya ingin tertawa.

‘Aku tidak mengerti….’

Walau memeras seluruh pengetahuan dari tiga kehidupan, ia tidak bisa memahami apa itu. Ia tak tahu apa nama emosi yang menimbulkan rasa sakit itu. Ia tak tahu kenapa kehangatan Ronan terasa begitu familiar.

Akhirnya menyerah, ia menyandarkan kepala pada bahu Ronan dan tersenyum samar.

“...Terima kasih, Sersan Ronan.”

Satu hal saja yang pasti:

Adeshan menyukai pendekar pedang ini.

Sampai pada titik… ia rela menyerahkan satu-satunya kehidupan yang tersisa untuknya.

2-131. Yang Paling Bercahaya

Aku membuka mata karena hawa dingin yang meresap dari tanah.

“Ugh.”

Aku sedang terbaring di tengah hutan yang gelap. Di antara pucuk-pucuk pohon yang bergoyang, langit malam terlihat samar. Bintang-bintang hampir padam—sepertinya matahari terbit sudah dekat.

Aku perlahan menggerakkan tangan dan kaki. Untungnya semua anggota tubuh bergerak tanpa masalah. Pedang juga terikat rapi pada pinggangku.

“Huuuu… sialan.”

Aku menghela napas lega.

Sepertinya aku berhasil melewati celah itu dengan selamat.

“Uwek.”

Tiba-tiba rasa ingin muntah menghantam. Menembus celah kali ini jauh lebih menyebalkan daripada sebelumnya.

Partikel pengaman yang terbuat dari mana milik Akasha terasa sepuluh kali lebih berat dan kasar daripada yang pernah kualami.

Sedikit saja aku lengah, aku mungkin sudah terjebak di sana selamanya.

“Brengsek.”

Mengerang sambil bangkit berdiri, hatiku terasa busuk.

Rasanya seperti Akasha berkata, “Aku membantumu, tapi jangan salah paham. Kita bukan di pihak yang sama.”

“Ngomong-ngomong…”

Aku menoleh ke sekeliling seperti orang desa yang pertama kali datang ke kota.

Susunan pohon dan bebatuan… aku mengenalnya. Bahkan jejak samar darah gelap di rerumputan yang dibasahi embun tampak familier.

Kesimpulannya jelas.

“Ini tempat aku pergi sebelumnya.”

Tak ada keraguan. Ini lokasi di mana aku bertemu Sarante dari masa depan.

Segalanya sama seperti saat itu—hanya warna langit yang berbeda.

‘Sudah berapa lama berlalu?’

Itulah yang tak bisa kutebak.

Kupikir aku akan kembali dalam beberapa menit… tapi ternyata petualangan itu berlangsung hampir setengah tahun.

Mungkin waktu dunia ini berjalan jauh lebih lama.

Perasaan buruk menyelinap dalam benakku.

Bagaimana kalau Adeshan sudah melahirkan sendirian… lalu menikah dengan pria lain karena lelah menunggu?

“Tidak mungkin.”

Aku tahu itu tak akan terjadi, tapi imajinasi tetap berlari liar.

Aku pulang dengan senyum lebar, membawa setangkai bunga.

Di dapur, Adeshan mengenakan apron sambil mencuci piring. Mata kami bertemu. Piring jatuh dan pecah. Dua orang keluar dari kamar. Salah satunya adalah anak kecil yang mirip gabungan wajahku dan dirinya. Yang satu lagi adalah pria asing dengan kacamata—kurus, kutu buku, gaya menjengkelkan.

Ia menatapku dan Adeshan bergantian, lalu berkata sopan:

“Tuan… apakah Anda salah rumah?”

Saat itu aku mencabut pedang.

Excalibur yang telah membunuh raja raksasa empat kali berpendar, lalu dalam sekejap menebas si berkacamata menjadi potongan-potongan tipis.

Darah dan daging meledak. Ruang tamu berubah menjadi neraka. Teriakan menggema.

Adeshan menjerit, “Sayang!”

Anak kecil memekik, “Ayah!”

Tentu saja bukan memanggilku—melainkan pria berkacamata yang tergeletak di genangan darah.

“Tidak.”

Hanya membayangkannya saja sudah membuatku merinding.

Aku mulai berlari menuju sisi hutan yang paling jarang pepohonannya.

Selagi berlari, sesuatu pasti akan terlihat. Ranting-ranting mencakar wajahku, rambutku terempas ke belakang. Semak-semak menyibak, hingga terbuka lapangan kecil.

“Ini…”

Aku mengangkat alis. Rambutku berantakan seperti sarang gagak.

Di tengah lapangan penuh reruntuhan bangunan, ada unggun api yang hampir padam. Seorang kurcaci berambut merah tidur meringkuk di depannya.

“Asel.”

Rasanya hampir membuatku menangis.

Sahabatku Asel masih mengenakan pakaian yang sama seperti ketika aku meninggalkan dunia ini. Jubah kerjanya penuh tanah dan debu.

“Huu… a-aku tidak mau…!”

Ia meracau sambil meronta dalam tidur, seolah bermimpi buruk. Wajahnya merah, napasnya kacau. Tangan mungilnya menepis-nepis udara, kemudian ia bergumam lirih:

“Marya… hentikan… aku juga punya hak asasi manusia…”

“…Apa sih mimpi ini.”

Aku mengerutkan dahi. Mimpi yang menjijikkan.

Jika ia memohon pada Marya, berarti aku benar-benar sudah kembali ke dunia asal.

Aku hampir membangunkannya, tapi mengurungkan niat. Kalau aku mulai bicara, ia akan mencecarku tentang petualangan di dunia paralel selama berjam-jam.

Hidungku tiba-tiba terasa hangat, seperti saat kau menahan tangis.

Aku menyelimuti tubuh kecil Asel dengan selimut dan berkata pelan:

“Aku pulang.”

“L-lima kali itu benar-benar gila… ampunilah aku…!”

Asel menjawab dengan omong kosong dari dalam mimpi.

Aku mendongak. Kota setengah hancur yang sedang dipugar terlihat di kejauhan—pusat ibu kota sedang dalam rekonstruksi.

“...Benar-benar aku sudah kembali.”

Semuanya sama seperti hari aku pergi. Hanya aku saja yang berubah.

Coat yang berkibar diterpa angin fajar membuktikan semua itu bukan mimpi.

Benar.

Tiba-tiba wajah Adeshan muncul lagi dalam benakku. Bersamaan dengan itu—muncul bayangan sialan pria berkacamata.

Dalam imajinasiku, Adeshan yang penuh air mata berlutut sambil memeluk tubuh pria itu, menatapku penuh kebencian:

“Kenapa kau kembali?! Kenapa! Setelah meninggalkan kami begitu lama!”

“Omong kosong.”

Aku tak sudi mendengarnya—bahkan dalam imajinasi.

Aku membalikkan badan dan berlari menuju pusat kota.

Saat ini, dia pasti masih terlelap. Sebagai pejabat tinggi Dewan Pemulihan Kekaisaran, ia disiplin menjaga waktu tidur.

Kalau tidak, ia tak akan sanggup menangani tumpukan kerja dan—tentu saja—bayi yang tumbuh di dalam perutnya.

Tak ada yang terjadi. Mana ada orang gila yang akan menyatroni rumah kakakku lalu menggoda tunangannya?

Aku merapikan rambut dan menstabilkan napas.

Pasti semuanya baik-baik saja. Hanya beberapa jam saja berlalu. Tidak mungkin sesingkat itu seseorang bisa menggoyahkan rumah tanggaku.

Tapi ketakutanku tetap ada.

Bagaimanapun, aku hampir setengah tahun tak melihat Adeshan.

Waktu terakhir kami jalan sambil menggenggam tangan. Malam ketika kami tidur saling berpelukan. Hari ketika aku menempelkan telinga pada perutnya untuk mendengar suara kehidupannya…

Semua itu kini terasa seperti mimpi kuno.

“Huff…”

Langit perlahan terang. Dunia diselimuti cahaya biru muda; lentera tak lagi diperlukan.

Aku terus berlari. Semakin dekat dengan pusat kota, semakin banyak bangunan yang telah rampung dipugar.

“Wah, pakaiannya keren banget!”

“Itu orangnya Ronan, bukan?”

“Eh! Mau ke mana sepagi ini?”

Suara-suara memanggilku tiap kali aku melesat melewati mereka.

Sebagian besar adalah para pekerja pagi. Wajah-wajah letih penuh keringat.

Aku kembali sadar bahwa dunia ini dipenuhi pahlawan.

“Terima kasih, semuanya.”

Aku bergumam sambil terus berlari menuju rumah kakakku di depan Gate Phileon.

Saat ini aku dan Adeshan tinggal di sana. Safehouse yang kubeli saat bersekolah di Phileon kebetulan selamat dari kehancuran. Kami hanya menempati kamar terbesar di lantai dua.

Tiba-tiba gagang pedang di pinggangku bergetar pelan.

“Tidak apa-apa, Ronan. Kau hebat di ranjang.”

“Rin…!”

“Ya. Percayalah. Berdasarkan analisis data sejauh ini, kemungkinan Adeshan selingkuh adalah mendekati nol.”

Itu Rin, roh pedang. Sepertinya aku terlalu sibuk sampai lupa memeriksa apakah dia ikut kembali. Lega juga dia selamat.

“Terlalu cepat, Rin. Hari ini aku benar-benar tak ingin memarahimu.”

“Maaf. Aku cuma senang kamu kembali.”

Rin langsung diam. Begitu patuh sampai aku ikut merasa bersalah.

Sekitar lima belas menit kemudian, rumah itu tampak di depan. Langit timur mulai tersaput warna emas pucat.

“Baiklah.”

Dari sini aman. Otot pahaku menegang; aku melompat sambil mempertahankan kecepatan. Tubuhku menukik seperti panah, mendarat lembut di balkon lantai dua. Tumitku terangkat agar tidak menimbulkan suara.

Tirai menutup bagian dalam—aku pun tak bisa melihat.

Bukan pria berkacamata. Bukan.

Aku menarik napas panjang dan membuka pintu geser.

“Adeshan?”

Aku memanggil sepelan mungkin agar tidak membangunkannya. Reuni bisa menunggu.

Tapi bertentangan dengan perkiraan, lampu kamar menyala.

Aku mengamati ruangan, lalu mengerutkan dahi.

“Eh?”

Tidak ada siapa pun. Keheningan mencekam ruangan.

Aku memeriksa sekeliling… dan membeku.

“…Tidak.”

Jantungku turun ke perut.

Dua bantal di ranjang ukuran besar… keduanya tertindih, meninggalkan bekas kepala.

Dan di bantal yang biasa kupakai—tersangkut beberapa helai rambut ungu.

Bayangan pria berkacamata kembali hidup.

Ia merapikan kacamatanya dengan gerakan sok sopan.

“Tuan, apa yang Anda lakukan di rumah orang lain?”

Aku tak bisa bergerak selangkah pun dari balkon. Tubuhku kaku seperti diracun.

Dari kamar mandi di dalam kamar—terdengar suara air bergemericik.

“…!”

Mata terbelalak.

Seseorang sedang mandi.

Semoga itu Adeshan… tapi mungkin bukan. Mungkin dua orang ada di dalam sana.

Detak jantungku menggema sampai telinga. Rasanya mirip ketika berhadapan dengan Akasha.

Tanganku meraih gagang pedang. Aku melangkah masuk—

“Ronan. Kau sedang apa?”

Suara lembut dan akrab terdengar dari belakang.

Begitu rindu, sampai terasa menusuk.

Aku perlahan menoleh.

“…Adeshan?”

“Kenapa masuk lewat balkon? Dan apa itu… pakaianmu aneh sekali.”

dia berdiri di sana. Memakai pakaian kerja. Menatapku dengan bingung. Ujung rambut hitamnya meneteskan air—baru saja mandi.

Setengah tahun.

Begitu mata abu-abunya bertemu dengan milikku, pikiranku seakan diputihkan.

Aku terdiam lama. Lalu akhirnya sanggup bicara:

“...Ada seseorang di kamar mandi.”

“Hm? Ah, itu Eri. Dia bantu pekerjaan pemulihan kemarin, jadi dia menginap.”

“Ah. Erzevet ya.”

Aku mengangguk kaku.

Seluruh kecurigaanku meleleh seperti es di depan wajahnya yang cantik itu.

Tentu saja. Rambut ungu itu—tidak heran terasa familier.

Adeshan menyipitkan mata.

“Wajahmu kenapa begitu? Jangan bilang kau mengintip?”

“A-haha… hahahaha…”

Aku tak bisa menjawab. Gelak tawa spontan keluar tanpa kendali.

Ekspresinya makin mencurigai.

Dia meletakkan tangan di pinggang.

“Mencurigakan… ke mari sebentar.”

Aku menuruti.

Coat-ku mengepak seperti sayap burung besar. Adeshan sedikit tersentak, tapi segera tenang. Tinggi badan kami hampir sejajar sekarang.

Ia meraih pipiku dengan kedua tangan, mencubit lembut.

“Aku tanya—kau mengintip atau tidak?”

“Tidak.”

“Benar?”

“Untuk apa aku mengintip? Kau saja sudah ada.”

“…Baik. Aku percaya.”

Ia melepaskan pipiku. Tak sakit—hanya bercanda.

Adeshan menatapku lalu tersenyum manis. Senyum yang keluar hanya karena kami berdua saling menyayangi.

Aku mengangkat tangan dan mengusap rambutnya. Ia hidup. Ia ada di sini.

“Bangun pagi sekali ya.”

“Ah, iya.”

“Tidak capek? Tidur lagi saja.”

“Mau begitu… tapi aku terlalu kangen Ronan… jadi ingin melihatmu sebentar sebelum kerja. Dan sepertinya bayi kita juga ingin melihat ayahnya…”

Ia mengusap perutnya. Pipi pucatnya tersaput merah malu.

Ah… jadi itu alasannya.

Aku tak tahan lagi.

Aku meraih tengkuknya dan langsung menciumnya.

“Mmph…!”

Wajah Adeshan langsung memerah. Ia memukul lenganku pelan, berulang-ulang.

Tapi aku tidak berniat berhenti. Tangan satuku menarik pinggangnya erat. Pada akhirnya, ia berhenti melawan dan melingkarkan tangan ke leherku.

Ketika aku menjauh, ia sendiri yang kembali untuk menciumku.

Kami mengulanginya lagi dan lagi. Seperti dua kekasih yang tahu dunia akan berakhir esok hari.

Dari balkon—terdengar suara seseorang terjatuh.

“…?!”

Erzevet, baru keluar dari kamar mandi, menutup mulut dengan kedua tangan dan menatap kami dengan mata membelalak, tubuhnya gemetar.

“Ups.”

Rasanya aku yang jadi posisi pria berkacamata sekarang.

Tanpa ragu, aku menggendong Adeshan dalam gendongan princess carry lalu melompat menuju Phileon Academy.

Kami mendarat di puncak menara tertinggi.

Di hadapan kami—matahari terbit melambung dari balik cakrawala. Kota yang disepuh emas. Kampus Phileon tempat aku tumbuh.

Indah… tak ada kata lain.

Aku mencium Adeshan sekali lagi, lalu menatapnya setelah berpisah bibir.

“R-Ronan…?”

Ia kehilangan kemampuan bicara, hanya terengah-engah. Wajahnya begitu manis, tak tertahankan. Dalam iris abu-abunya, fajar yang lahir dan diriku yang paling jujur saling memantulkan.

Untuk sesaat, aku lupa segala hal—Akasha, dunia paralel, bahkan takdir.

“Adeshan.”

Sekarang—aku bisa mengatakannya.

Dengan lembut, aku menyentuh wajahnya.

“Aku mencintaimu. Menikahlah denganku.”

Mata Adeshan membesar. Air menggenang di mata abu-abunya. Lamaran yang kutunda terlalu lama.

Angin pagi yang dingin membuat rambut kami menari seperti nyala api.

Air mata jatuh dari pipinya. Ia mengangguk.

“...Ya.”

Aku tidak lagi takut masa depan. Tidak peduli akhir apa yang menanti.

Karena untuk hidup sambil takut akan sesuatu yang belum terjadi…

Momen ini—terlalu bercahaya untuk dilepaskan.

2-132. Revisi

“KYAAK! Aku gila! Tidak waras!”

Erzevette menjerit. Tumpukan naskah terjatuh ke lantai.

Reaksinya seperti gadis puber membuatku tanpa sadar tertawa hambar.

“Bikin kaget saja. Untuk apa heboh begitu.”

“Uh-hum, m-maaf… Aku terlalu terbawa emosi saat membaca… Tapi, jadi Anda tahu saya sedang di balkon tadi.”

Erzevette menepuk-nepuk wajahnya dengan tangan. Wajahnya memerah sampai hampir mengeluarkan uap.

Jeritan bahagia itu meledak ketika sampai pada adegan aku melamar Adeshan. Aku sudah menduga. Sejak adegan ciuman, napasnya sudah mulai goyah tidak karuan.

“Umurmu berapa sih, sampai ciuman saja begitu reaksinya? Jangan-jangan… kau belum pernah melakukannya?”

“M-mana mungkin! Tentu saja aku sudah pernah. Banyak malah! Hanya saja… bukan dengan Adeshan unnie…”

“Hm. Bagus. Tapi kalau hal begini saja membuatmu menjerit, bagian setelah ini tidak bisa aku perlihatkan.”

“…Bagian setelah ini?”

“Ya. Aku menulisnya karena bosan. Tidak akan kumasukkan ke dalam naskah utama, tapi tulisannya sendiri lumayan bagus.”

Aku menunjukkan naskah lain yang kusisihkan.

Belasan lembar kertas berisi esai tentang salah satu malam paling panas dalam hidupku. Hari ketika aku kembali dari dunia paralel—mulai dari setelah melamar Adeshan sampai pagi berikutnya.

“Bagian… setelah itu…”

Erzevette menelan ludah. Berusaha pura-pura tidak tertarik, tapi jelas-jelas ingin membacanya sampai mati.

Benar saja. Setelah ragu sesaat, ia berdehem dan berkata:

“Hm-hm… Ronan-nim. Bagaimanapun juga, saya satu-satunya editor Anda, jadi… saya punya kewajiban membaca semuanya, bukan?”

“Mungkin terlalu eksplisit untukmu. Terutama kau.”

“Tidak apa-apa! Tadi aku hanya kaget! Aku ini wanita dewasa, ingat? Apa Anda kira pemilik Menara Fajar itu anak kecil?”

“Pada dasarnya, bacalah. Tapi aku sudah memperingatkan.”

Aku menyerahkan naskah itu. Karena ini Erri, ya sudahlah.

Lagipula ini semua bermula dari Adeshan. Saat kami liburan sebagai pasangan, dia memamerkan ke Marya bahwa ada satu jenis pedang yang sangat ahli kugunakan. Sampai sekarang aku masih ingat jelas wajahnya. Memang perempuan-perempuan itu…

Erzevette langsung merampas naskah itu dan membaca dengan fokus penuh.

“A… aaah…!”

Belum selesai halaman pertama, reaksinya muncul.

Wajahnya memerah seperti apel merah segar. Hampir menangis, tapi tangannya terus membalik halaman.

“Ini… ini tidak masuk akal… manusia… bisa begini…?”

Tangannya mulai gemetar. Bahkan saat membaca Bajra Penghancur dia tidak sekacau ini.

Dan setelah menyelesaikan halaman terakhir, dia menjerit:

“Dasar binatang! Bagaimana bisa Anda melakukan itu kepada unnie!”

“Aku hanya menuliskan apa adanya. Dan lihatlah Adeshan. Dia kelihatan paling bahagia di dunia.”

“Tutup mulut! Kalau ini benar… kalau ini benar-benar kenyataan… Anda tidak terlalu membesar-besarkan kemampuan Anda, kan?!”

“Terserah kau mau percaya atau tidak. Aku tidak malu sedikit pun.”

Aku bisa bersumpah pada langit bahwa itu semua kenyataan. Naskah itu sudah diverifikasi silang oleh Rin, jadi ya… bicaranya sudah jelas.

Erzevette memeluk naskah itu sambil menarik napas panjang, lalu menatapku tajam.

“JANGAN BERMIMPI memasukkan ini! Bagaimana bisa Anda menulis hal tidak senonoh seperti ini… Apa yang ingin Anda tunjukkan kepada cucu Anda?!”

“Sudah bilang dari awal, aku tidak berniat memasukkannya. Dasar anak ini.”

“A… Adeshan unnie…”

Erzevette memegangi kening, hampir pingsan seperti orang yang dipukul martil.

“Saya… perlu istirahat. Katanya tinggal revisi terakhir, ya?”

“Ya. Itu cepat selesai.”

“Bagus… Memang ini sudah seperti tamat, jadi selamat duluan, Ronan-nim.”

Dengan susah payah menenangkan diri, Erzevette melanjutkan:

“Sepanjang membaca… saya sangat menikmatinya. Cucu Anda nanti pasti juga bahagia membaca cerita ini.”

“Terima kasih.”

“‘Jangan takut masa depan dan hiduplah setia pada masa kini’… Klise, tapi pelajaran yang bagus. Dan penyihir bernama Akasha itu… bekerja sempurna sebagai perangkat naratif untuk menyampaikan itu.”

“Aku juga pikir begitu. Tapi Akasha itu nyata.”

“Ya, ya. Tentu saja. Oke, saya turun dulu.”

Erzevette berjalan menuruni tangga sambil sempoyongan.

Saat ia diam-diam menyelipkan naskah itu ke dadanya, aku membiarkannya. Dia sudah membantuku di tengah jadwal yang super sibuk—itu pantas ia dapatkan. Dan dia jauh lebih bisa menjaga rahasia daripada siapa pun.

Aku kembali ke kamar dan menutup pintu. Matahari senja memandikan ruangan dengan cahaya merah jingga. Hanya suara detak jarum jam yang terdengar.

Aku memandangi ruangan perlahan.

“…Sudah selesai, ya.”

Perasaan yang sulit dijelaskan memenuhi tubuhku.

Seperti orang tersihir, aku menatap meja.

Di samping pena tua bernoda tinta, bertumpuk naskah tebal. Semua halaman terisi tulisan hingga penuh. Lembaran-lembaran kosong yang dulu kupikir tak mungkin kuselesaikan sewaktu menulis dunia paralel pertamaku.

“Sial… aku benar-benar menulis buku.”

Merinding. Rasanya aneh menyadari aku berhasil menciptakan sesuatu selain janda, kotoran, dan bayi.

Kenangan yang hanya ada di kepalaku kini berubah menjadi kisah yang bisa dibaca siapa saja. Memang masih ada revisi terakhir, tapi banyak bagiannya sudah kuperbaiki sepanjang proses.

“Mungkin aku harus bersulang…”

Jantungku berdegup cepat. Kegembiraan yang asing membuatku sulit diam.

Tak ada yang bisa kutemani bermain sekarang, jadi aku mulai berjalan keliling ruangan dengan tangan di belakang. Kebiasaan yang muncul setiap kali aku terjebak menulis.

Mata tertumbuk pada bingkai foto di dinding.

“Kurindu mereka.”

Aku tersenyum.

Dalam bingkai elegan itu, ratusan orang berpose dengan latar Alun-alun Besar Phileon Academy. Foto pernikahanku dan Adeshan.

“Hahaha…”

Sudah puluhan tahun berlalu.

Waktu yang cukup untuk membuat gunung berubah, tapi hari itu masih jelas membara di ingatanku.

Upacaranya megah. Tak kalah dari pernikahan Noona dan Schlipen beberapa tahun setelahnya. Bahkan tamunya lebih heboh. Navardoge noona datang membawa seluruh klan Shadow Duke.

Benar-benar di luar nalar. Mereka memberi penghormatan sebegitu besar.

Di foto tengah, aku dan Adeshan—dia mengenakan seragam Tentara Gabungan, bukan gaun pengantin—sedang berciuman.

Semua kekacauan sebelum pemotretan masih kuingat, terutama karena tidak ada satu pun yang memberitahu bahwa ciuman di pernikahan tidak memakai lidah.

Sial. Kupikir ya lakukan saja seperti biasa.

Momen memalukan. Sampai sekarang wajahku masih panas saat mengingatnya.

Karena hari itu momen sakral, aku menggunakan lidah dengan penuh dedikasi. Adeshan sempat kaget dan mendorongku, tapi akhirnya memeluk leherku dan menutup mata.

Kami memang buruk sekaligus ahli dalam urusan suasana.

Tentu saja para tamu geger.

Erzevette menjerit dan jatuh pingsan sambil memegangi tengkuk.

Marya—entah kenapa—menjilat bibir sambil melirik Asel.

Jaifa tertawa lebar menunjukkan empat taring.

Noona Navardoge geleng-geleng sambil menyalakan pipa.

Orkestra kerajaan langsung berhenti memainkan lagu klasik dan memainkan musik dansa cepat. Seingatku, itu perintah Kaisar sendiri.

Grand Mage Lorhon memukul pundak Cratir dan Baren sambil tertawa.

Asel… entah dibawa ke mana Marya, tapi kembali menjelang sesi foto dengan rambut kusut dan enam bekas gigitan nyamuk di leher. Dugaan paling sah… malam itu Sechika mulai ada.

Noona melonjak-lonjak kegirangan. Pipi merah seperti apel membuatnya terlihat sangat manis. Sementara Schlipen memalingkan wajah sambil mencibir tak sopan… tapi mata tetap menatap kami.

Navardoge noona menjerit, “Manusia fana, ini macam apa!” sambil menampar lengan Orse. Orse terbang sampai pinggir alun-alun dan tak bangun sampai pesta selesai. Dalam foto, matanya tertutup karena ia dipaksa berdiri dalam keadaan pingsan.

Musik liar terus dimainkan, dan ketika kami melepaskan bibir, pesta sudah dimulai.

Tidak ada kemegahan. Tidak ada martabat. Tapi luar biasa indah.

Foto itu menampung semua orang yang pernah menemaniku dalam perjalanan.

Noona, Asel, Marya, Schlipen, Sita, Rin, Braum, Erzevette, Ophelia.

Baren, Marpez, Navardoge, Sekrit, Jarodin, Cratir, Gidokan, Avar, seluruh fakultas Phileon. Sarante (versi lama) yang masih bayi.

Didikan, Doron, Katan, para pandai besi Gran Kapadokia dan Aurora Skull, Inquisitor Karaka, mantan Tower Master Dawn, Aun Fila, Aire, Lorhon, seluruh keluarga Grancia termasuk Yosef dan Xion.

Jaifa, Nemea, Elder Alogin, Navardoge, Bnihardo dan Itargand—klan Naga Api, Orse, Raja Naga Azhidahaka, Shadow Duke Isran, Mantan Penyihir Musim Dingin Evelyn, Elcia dan Alibrije dari Nebula Klaje.

Storm of Rage, Dreaming Thunder, para penduduk teknologi Over Dainehar, dan para mantan prajurit hukuman yang bertobat bersama Balus.

Valon XLIV—kini Valon XLV, pangeran mahkota.

Semua berkumpul merayakan pernikahan kami.

“Menjijikkan juga kalau dipikir. Apa kabar mereka sekarang.”

Untuk masuk semua ke dalam frame, mereka harus menempel rapat seperti kerang.

Hasil fotonya seperti koloni barnakel, tapi tak ada yang keberatan.

Aku mengalihkan pandangan dan meraih sebuah sarung tangan hitam.

“Ini tidak pernah kupakai sampai akhir.”

Itu hadiah dari Aurora Skull—sarung tangan logam hitam sampai pergelangan dengan mekanisme rumit dan kekuatan aurora. Diciptakan oleh Katan si pandai besi brutal.

Kupikir akan menggunakannya setidaknya sekali, tapi selain untuk mencabut gulma, tidak pernah terpakai.

Beberapa barang memang begitu. Seperti pull-up bar yang akhirnya dipakai mengeringkan cucian.

“Mungkin diwariskan saja pada Lan-se…”

Tidak buruk.

Dengan waktu luang, hal-hal yang tak terlihat saat sibuk mulai terlihat satu per satu. Tiba-tiba aku membuka lemari. Coat panjang yang kupakai dalam petualangan dunia paralel tergantung rapi.

“...Kapan.”

Bisikku. Pertanyaan lama kembali menguar.

Masih ada misteri yang belum selesai. Cerita yang tak ada yang percaya, tapi kutahu sendiri belum tuntas.

Saat aku menaruh coat itu di bahu—

“Ro–Ronan-nim!!”

Pintu terseret terbuka.

Erzevette masuk sambil terengah seperti pelari maraton.

“Cepat! Kita harus pergi cepat… waktunya sudah…!”

“Ada apa?”

“S-Sechika… dia… dia mulai kontraksi!”

Aku mencengkeram gagang pedang tanpa sadar.

Cucuku… akan lahir.

2-133. Tugas Orang Dewasa

Aku begitu terkejut sampai-sampai refleks meraih gagang pedangku. Cucu pertamaku… akan lahir.

Erzevette, yang membawa kabar darurat itu, terduduk di kursi sambil terengah-engah, seluruh wajahnya basah oleh keringat.

“Bukannya ini… terlalu cepat dari jadwal?”

“Ya… sekitar dua minggu lebih cepat…”

“Sial. Aku bahkan belum menyelesaikan revisinya.”

Aku mengeklik lidah. Semua rencana berantakan. Niatku adalah menyelesaikan revisi sebelum hari perkiraan lahir, lalu menyerahkan naskah final kepada Lan-se.

“Tapi kita harus buru-buru. Dokter bilang ini persalinan yang sulit. Mereka ingin keluarga datang secepat mungkin.”

“Baik. Kita berangkat.”

Tak ada waktu untuk berpikir. Aku cepat-cepat bersiap.

Kupasang pedang di pinggang, merapikan coat. Rumah sakit tempat Sechika dirawat membutuhkan lebih dari dua puluh menit dengan berlari penuh. Sambil mengikat naskah dengan tali kulit, tiba-tiba—

“Sayang! Erri!”

Suara lantang menggema dari luar jendela.

Cahaya menyilaukan memantul ke kaca, dan ada suara liar seperti raungan hewan besar. Aku dan Erzevette sontak menoleh.

Adeshan berdiri di bawah, menatap ke arah kamar kami.

“U-unnie?!”

Erzevette terperanjat.

Adeshan sedang menaiki kendaraan bermesin aneh—roda satu di depan, satu di belakang, mirip sepeda, tapi jauh lebih besar dan berotot. Jika ingatanku benar, itu motor baru yang dirilis bulan lalu oleh sebuah perusahaan teknologi.

“Cepat naik!”

Adeshan berteriak.

Dia mengenakan helmet dengan goggles dan jaket kulit yang membuatnya tampak luar biasa gagah.

Aku mengangkat Erzevette ke pundakku dan tertawa.

“Selalu saja bikin hidupku seru.”

“Sebentar—Ronan-nim—KYAAA!”

Aku melompat dari balkon. Mendarat mulus, lalu meloncat naik ke kursi belakang dan satu tangan merangkul pinggang Adeshan.

Motor meraung dan melesat.

“KYAAAAA!! Aku jatuh! AKU JATUH!!”

“Diam saja. Kau tidak akan jatuh.”

“KALAU AKU MATI, MENARA FAJAR TAMAT! TOLONG!!”

Erzevette meronta-ronta seperti ayam yang hendak disembelih.

Motor menembus jalan raya secepat hantu berkuda. Api biru menjilat dari knalpot, rambut hitam Adeshan berkibar liar.

Aku menyandarkan pipi di punggungnya sambil bersiul.

“Luar biasa…”

“Bagus, kan? Sensasinya beda sekali. Penulisan bukumu sudah selesai?”

“Tinggal revisi akhir. Lumayan rapi.”

“Bagus. Aku tidak sabar membaca. Pegangan, aku tambah kecepatan!”

Dia memutar throttle. Motor melonjak dengan hentakan besar. Pemandangan berubah kabur saking cepatnya. Tapi seperti biasa, dia mengendalikan semuanya dengan presisi mengagumkan.

Saat itu juga, aku merasakan sesuatu di atas.

Ketika menengadah—Sita dan Abel sedang terbang di arah yang sama.

Mereka pun ingin melihat kelahiran kehidupan baru.

Tak lama kemudian kami sampai di rumah sakit—bangunan sepuluh lantai.

“Lantainya berapa?”

“Tujuh.”

Kudongakkan kepala. Dinding bangunan memantulkan warna merah senja.

Jendela lantai tujuh terbuka.

“Lewat jendela lebih cepat. Sini.”

“Haha, sudah lama tidak begini.”

“Sebent—KYAA!”

Aku memeluk kedua wanita itu dan melompat. Tak perlu ancang-ancang. Begitu masuk jendela, seorang perawat yang sedang menulis langsung menjatuhkan berkasnya.

“HIIIK!”

“Maaf mengejutkan. Silakan duduk.”

“Ji-jantung saya… aku kira nyawaku melayang…”

Erzevette sempoyongan.

Adeshan mengecup pipiku.

Di depan ruang bersalin, orang-orang sudah menunggu penuh kecemasan. Asel—kurcaci berambut merah—melambai.

“Ronan! Kau datang!”

“Bagaimana Lan-se dan Sechika?”

“D-dalam… Dokter bilang mereka melakukan yang terbaik…”

Suaranya bergetar. Meski orang-orang memanggilnya archmage, dia sekarang hanyalah ayah yang ketakutan.

Di dekatnya, Marya menghela napas panjang.

“Kau masuk lewat jendela lagi. Sama saja seperti dulu.”

“Kau yang buka jendelanya, kan?”

“Tentu. Lalu, bagaimana perasaanmu jadi calon kakek?”

“Biasa saja. Lan-se tidak perlu meniru kebiasaanku yang satu ini…”

Aku tertawa hambar. Seperti aku dan Adeshan dulu, Lan-se dan Sechika juga melaju cepat… sangat cepat. Untungnya setelah mereka lulus akademi.

Marya mencibir lembut.

“Semua akan baik. Lihat aku—enam anak, dan masih hidup.”

“Asel tidak kelihatan hidup.”

“Ayolah. Dia archmage. Kami bisa punya anak ketujuh kapan saja. Iya kan, Asel?”

“U-uh… kalau Marya mau…”

Asel mengecilkan tubuh seperti tikus.

Marya lalu menepuk bahuku.

“Haah… terima kasih. Sedikit tenang jadinya.”

“Tenang saja.”

“Tidak boleh terjadi apa-apa…”

Matanya berkaca-kaca. Dia tersenyum, tapi jelas-jelas hampir menangis.

Saat itu, pintu ruang bersalin terbuka. Seorang pemuda pucat keluar sambil hampir muntah.

Lan-se.

Dia memakai pakaian steril lengkap—jas tipis, masker setengah terlepas, dan topi bedah. Wajahnya penuh gores, cubitan, dan cakaran. Rambutnya kusut seperti habis dicakar monster.

“…Ayah? Ibu?”

“Hebat sekali rambutmu masih ada.”

Aku menyibak poninya.

Lan-se mendekat sambil gemetar seperti prajurit yang baru selamat dari neraka.

“A-aayah… Sechika… Sechika mau mati…”

Asel dan Marya terbelalak.

Aku tidak menyahut. Cukup melihat wajahnya untuk tahu situasinya buruk.

“Dia tidak akan mati, bodoh. Kau tidak tahu? Perempuan itu lemah, tapi ibu itu kuat.”

“Tapi dia terlalu menderita…”

“Dan bukan hanya ibu. Banyak wanita kuat. Lihat para tetua naga—kakimu mungkin bisa mereka remukkan dengan paha. Menurutku Sechika juga begitu. Jadi tenang.”

“…Benar juga… tapi… dia kesakitan sekali…”

Lan-se menutupi wajah dan menangis.

Aku paham. Yang berjuang paling berat memang sang ibu… tapi ayah yang melihat pun bisa hancur mental.

Aku hendak menyerahkan naskah agar dia punya sesuatu untuk dilakukan—tapi tiba-tiba–

Jeritan Sechika mengguncang lorong.

“AAAAAAAAHH!!”

“SECHIKAAA!!”

Lan-se langsung berlari kembali ke dalam.

Tak lama kemudian—

“DASAR LELAKI KEJAM! KAU KE MANA?!!”

“M-maaf, orang tuaku—”

“KAU PIKIR AKU BISA TENANG?! SEMUA INI SALAHMU!!”

“KYAAAAA!!”

Aku mengusap wajah.

Masih panjang ini.

Saat kami termenung, seseorang menyapa.

“Paman Ronan. Lama tidak bertemu.”

Seorang gadis cantik berambut hitam kebiruan berdiri dengan anggun.

Putri Noona dan Schlipen—Aaria de Grancia. Mantan Sword Saint termuda.

Aku berjabat tangan.

“Selamat datang, Sword S—”

“Aku bukan Sword Saint lagi. Aku kalah dua bulan lalu. Terima kasih untuk mengingatkannya.”

“Siapa yang bisa mengalahkanmu? Para senior sudah pensiun. Aku dan ayahmu juga.”

“Itu…”

“Ayah macam apa kau.”

Seseorang menepuk punggungku kencang.

Putih—rambut putih menyilaukan.

Erin. Putriku.

“Aku Sword Saint sekarang! AKU! Sang Dewi Pedang paling cantik di ibu kota!”

Aku mengelus kepala putriku.

“Maaf, sayang. Ayah sibuk.”

“SIBUK? Sampai lupa kejadian sebesar ini? Aku baru paham kenapa Oppa dulu nangis waktu ayah tak datang ke upacara masuk!”

“Secara teknis, ayah tidak lupa. Ayah benar-benar tidak tahu.”

“KYAAA!”

Dia menggigit lenganku.

Setelah itu, adu mulut antara Erin dan Aaria dimulai. Dua rival abadi.

Kupeluk keduanya sambil tertawa.

“Kalian hebat. Benar-benar hebat.”

“K-kaka…”

“Hmph. Kalau ayah terus mengelus begini selama sejam… mungkin aku akan memaafkanmu~”

Beberapa jam berlalu.

Jeritan kembali menggema.

Tapi kali ini hanya jeritan Sechika.

Lalu… hening panjang.

Dokter keluar satu jam sebelumnya, menanyakan siapa yang harus diselamatkan jika hanya satu yang bisa hidup—ibu atau anak.

Marya tak sanggup menjawab.

Asel memejamkan mata dan berkata:

“Selamatkan Sechika.”

Sejak itu… tak ada kabar.

Lorong tenggelam dalam kesunyian.

Fajar merayap perlahan.

Aku menggenggam gagang pedang dan berkata pelan:

“Sudah cukup. Keluar lah, Nak…”

Tak ada jawaban.

Mungkin bayi itu takut lahir ke dunia yang berbahaya.

Mungkin dia merasakan ancaman besar yang akan datang.

Jika demikian—

“Jangan takut. Ayah-ibumu tidak pantas disiksa begini.”

Aku meraih tangan Adeshan dan menutup mata.

“Dengarkan baik-baik…”

Lembut. Nyaris tidak terdengar.

“Apa pun masa depannya… aku akan melindungimu. Dengan nyawaku.”

Itu tugas orang dewasa: menenangkan anak yang takut.

Aku sudah menyelamatkan dunia empat kali.

Menjaga satu bayi… tentu bisa.

Dan akhirnya—

“UWAAAA!! UWAAAA!!!”

Tangisan pecah dari balik pintu.

Semua orang berdiri serentak.

Pintu terbuka.

Dokter, wajah penuh keringat, menurunkan masker dan berseru:

“Ibu dan bayi… sehat!!”

Setelah itu, ingatanku kabur.

Air mata mengalir. Sorakan pecah dari segala arah.

Dunia yang basah oleh air mata bersinar seperti matahari pagi.

2-134. Cerita untukmu

Butuh beberapa jam setelah mendengar tangisan pertama bayi itu sebelum akhirnya kami bisa melihat Sechika.

Aku dan Adeshan berdiri di samping ranjangnya, mengenakan pakaian steril yang konyol.

“Kerja bagus, Sechika.”

“Ayah… Anda datang?”

Ia berusaha duduk, meski kusuruh tetap berbaring. Kepala batu dari dulu.

Asel dan Marya seharusnya ikut masuk, tapi begitu mendengar semuanya selamat, dua orang itu langsung tumbang bersama—kehabisan tenaga dan menangis sampai pingsan. Jadi kamilah yang masuk lebih dulu.

“Hmm. Masih belum terbiasa dipanggil ayah. Rasanya aneh.”

“Haha… tapi Anda harus terbiasa sedikit demi sedikit. Kalau terus kupanggil paman, itu lebih aneh lagi, kan?”

“Yah, benar juga… Tubuhmu bagaimana? Pasti sangat berat.”

Aku menatapnya cemas. Wajahnya tampak menyusut setengah ukuran hanya dalam semalam. Rambut merahnya—warisan ayahnya—kusut seperti semak belukar.

Ia menggeleng pelan.

“Saat melahirkan memang luar biasa berat… tapi sekarang jauh lebih baik. Lan-se yang paling menderita.”

“Tidak juga.”

“Tidak juga? Kau menjerit waktu rambutmu dicabut.”

“Tidak pernah. Itu hanya salah dengar.”

Lan-se mencoba terlihat gagah. Bohong besar. Penampilannya mirip tawanan perang yang baru dibebaskan setelah disiksa oleh sekelompok bukan satu—kelompok kucing barbar.

Ada bekas cakaran di wajahnya, bekas cubitan di leher, rambutnya rontok membentuk pola aneh. Sakitnya pasti luar biasa. Wajar saja. Sechika mewarisi kekuatan brutal Marya dan bakat magis Asel.

“Aku bangga padamu, Nak.”

“…Ayah…”

Aku menepuk pundaknya sambil tertawa kecil. Dia pantas mendapat pengakuan. Meski sempat keluar sebentar, dia tetap kembali dan mendampingi istrinya sampai akhir.

Lan-se mengusap sudut matanya.

Adeshan memeluknya, dan ia mulai berbicara dengan suara serak.

“Dokter bilang… ini salah satu persalinan tersulit dalam sejarah rumah sakit.”

“Kelihatannya begitu. Apa kepalanya terbalik waktu keluar?”

“Itu salah satunya. Ada banyak masalah. Kalau kondisi Sechika tidak membaik di menit-menit akhir… aku… aku bahkan tak mau membayangkan.”

“Ya Tuhan…”

Aku menghembuskan napas panjang. Situasinya jauh lebih berbahaya dari yang kami kira. Bayi itu seperti sengaja menolak keluar… seolah punya tekad sendiri.

Lalu sekitar dua puluh menit sebelum lahir—keadaan membaik drastis.

Tepat saat aku membisikkan sumpah itu kepada bayi yang masih dalam kandungan.

Kebetulan… atau bukan?
Entahlah. Tapi rasanya… tidak buruk.

Kemudian aku teringat sesuatu.

Aku menyerahkan naskah yang sedari tadi kugenggam kepada Lan-se.

“Nah, ini untukmu.”

“Eh? Apa ini?”

“Dongeng yang kutulis. Revisi belum selesai, tapi bisa dibaca. Simpan sampai anakmu cukup besar untuk membaca, lalu berikan padanya. Belum ada duplikatnya, jadi hati-hati.”

“Ayah menulis… buku?”

Lan-se melotot. Begitu kaget sampai tampak tidak sopan. Seperti ilmuwan yang melihat monyet menyalakan api.

“Kenapa? Ayah tidak boleh menulis buku? Harus menghunus pedang sampai umur tua dan mengolesi dinding dengan kotoran?”

“B-bukan begitu… hanya tidak menyangka saja. Terima kasih, Ayah.”

“Aku menulisnya karena menyenangkan… tapi ya sudah. Ingat, itu bukan untukmu. Untuk cucuku.”

“Saya akan menjaganya. Sekarang Ayah harus lihat wajahnya.”

“Oh benar. Hampir lupa…”

Aku mengalihkan pandangan.

Di samping Sechika, bayi mungil dibungkus kain lembut. Cucu pertamaku.

Adeshan menahan air mata, wajahnya mekar seperti bunga.

“Lihat, Ayah… cantik sekali…”

“Aku rasa mirip Ayah daripada mirip aku. Terutama matanya.”

“Hmm… begitu?”

Aku mendekat.

Bayi itu kecil sekali. Masih tidak bisa membuka mata dengan baik. Untung saja anak itu tidak terlahir dengan tanduk, ekor, atau sisik—aku sempat takut karena Sechika terlalu menderita.

Aku melihatnya diperhatikan, lalu terkekeh.

“Mirip? Dia seperti ubi kukus.”

“Sayang…”

Adeshan mencubit pinggangku.

Aku menggendong bayi itu. Ringan seperti bulu. Rambut hitam pekat—persis seperti milik aku dan Lan-se. Wajahnya sudah jelas berbentuk, terlalu jelas untuk bayi baru lahir. Tidak akan jelek saat besar nanti.

“Anak laki-laki, kan? Mata sipit memanjang ke atas… rambut tebal… wah, calon jenderal besar.”

“Itu anak perempuan.”

“Memang kuduga. Karena terlalu cantik. Katanya akhir-akhir ini wanita dengan mata tajam seperti itu sedang populer. Wajah seperti kucing. Haha.”

Aku cepat-cepat mengubah topik.

Cucuku tampak tidak puas dengan ocehan itu dan menggerak-gerakkan bibir mungilnya.

“Nama bayinya sudah ada?”

“Belum. Kami ingin Ayah yang menamainya.”

“Lho? Aku?”

“Ya. Kami sepakat begitu. Lan-se benar-benar ingin Ayah yang memilih namanya. Dia sangat menghormati Ayah.”

“S-Sechika…”

Lan-se memerah sampai telinganya.

Aku benar-benar tidak menyangka. Anak yang tiap hari membantahku ternyata mengagumiku seperti itu.

“Baik. Ayah beri nama sekarang.”

“Yang indah, ya.”

“Tenang. Ayah paling jago soal itu.”

Aku mulai berpikir.

Nama ayahku?
Nama ala naga yang panjang?
Nama pahlawan?

Banyak ide melintas, sampai…

Sesuatu bergetar dari saku coat-ku.

“Huh?”

Aneh sekali. Coat itu pemberian Saranthe, dan setelah pulang dari petualangan, tak pernah kupakai.

Aku merogoh saku.

Sebuah kristal kecil dengan rantai halus. Di dalamnya—jarum seperti kompas.

Aku membeku.

Itu Mana Tracker dari dunia paralel ke-3.

Benda yang tidak pernah aktif lagi sejak aku kembali ke dunia ini.

Jarumnya… menunjuk ke bayi yang kugendong.

Target terakhir yang kutandai dengan benda itu…

Adalah—

“…Akasha.”

“Akasha?”

Lan-se dan Sechika bingung.

Adeshan membelalakkan mata kecilnya.

Wajah pasangan muda itu kemudian berseri-seri.

“Bagus juga… Apa artinya? Bukankah nama nenek kami waktu itu Kasha? Diambil dari situ?”

“Aku suka. Akasha de Valtoa. Cantik sekali.”

Aku tak bisa menjawab.

Jarum itu masih menunjuk bayi itu.

Dan saat itu juga, bayi membuka mata.

“Aaang.”

“Sudah membuka mata?!”

“Benarkah?!”

Adeshan berseru.

Memang cepat sekali untuk bayi baru lahir. Mata cucuku bersinar—warna senja, sama persis denganku.

Lan-se tertawa.

“Kayaknya dia setuju dengan namanya.”

“Cantiknya… Kau mirip Lan-se.”

“Menurutku lebih mirip Ayah.”

“Benar juga! Wah… sama persis. Mungkin gen kakeknya kuat sekali!”

Aku menatapnya.

Begitu mirip. Bahkan dengan mendiang ayahku.

Sementara mereka saling memuji, aku memandang cucuku erat.

“Baiklah. Mulai hari ini, namamu Akasha. Tumbuhlah sehat.”

“Akasha~ bilang ‘Mama’~ ayo~”

“Dia baru lahir, Bodoh.”

“Tadi sudah buka mata, jadi mungkin bisa bicara juga~ Kyaa lucunya!”

“Dan aku nenekmu, Akasha! Haha… astaga, aku benar-benar nenek sekarang…”

Adeshan terkekeh sambil menampar lenganku manja.

Nama itu resmi.

Akasha.

Dan di tengah suasana hangat itu—

Bayi kecil itu meraih ke arahku.

“Uu…”

“Oh astaga, dia meraih Ayah!”

Tangannya kecil sekali. Lima jari mungil bergerak-gerak, seolah mencari sesuatu untuk digenggam.

Tanpa sadar, aku menyodorkan telunjukku.

Dan Akasha langsung menggenggamnya.

“…!”

Seketika, auraku bergetar hebat. Seperti seribu petir jatuh ke tubuhku.

Dalam genggaman mungil itu, aku tahu—
tanpa keraguan—

ini adalah Akasha yang sama dengan yang kulawan di dunia paralel.

Aku sedang menggendong bencana masa depan.

“…ya ampun.”

Aku tertawa getir.

Aku tidak tahu.

Bagaimana seorang bayi bulat seperti ubi ini kelak menjadi monster setinggi tiga meter.

Mengapa ia membuat bola waktu yang menghubungkan dunia paralel.

Atau mengapa dia ingin menghancurkan masa depan.

Aku tidak tahu.

Tapi satu hal pasti—

“Akasha.”

“Aau?”

“Kakekmu… akan menjagamu.”

Apa pun yang terjadi. Apa pun bentuk masa depan itu.

Aku sudah bersumpah.

Akasha terdengar tertawa.

“Kyakya!”

“Senang bertemu denganmu. Selamat datang di dunia.”

Aku mengangkatnya dan berjalan ke jendela.

Kubuka tirai. Cahaya matahari menerpa kami.

Ibu kota bersinar megah di bawah langit terang.

“Ayah?!”

Sechika memekik. Lan-se dan Adeshan pun kaget.

Aku tak peduli. Kuutungkan Akasha tinggi-tinggi.

Mata kecilnya mencerminkan dunia luas untuk pertama kalinya.

Dan aku berkata—

“Dunia ini penuh dengan cerita… yang semuanya tercipta untukmu.”


Langit senja terbakar merah.

『■■■…』

Akasha—yang kini remaja—duduk di atas bukit kecil. Rambutnya berkibar diterpa angin sore.

Di belakangnya, pohon oak raksasa berdiri kokoh.

Ia mendongak.

Hujan meteor menyapu langit gelap—jiwa-jiwa pembebas yang kembali setelah asal-usul Giant dihancurkan.

Di seluruh dunia, semua orang pasti menyaksikan pemandangan ini.

Sekarang, tak ada lagi satu pun Giant tersisa.

Akasha melepas topeng logamnya.

“Hah! Sesak sekali!”

Suara berat dan serak berubah menjadi suara gadis yang bening dan lembut.

Wajahnya sangat cantik. Hidung mancung, mata tajam berwarna senja.

Ia tersenyum tipis.

“Misi selesai.”

Perjalanan panjang dan berat… akhirnya tuntas.

Namun tiba-tiba—

Topengnya berasap dan menyala.

“Hyaak?!”

Ia terlonjak.

Topeng itu mengeluarkan percikan listrik, lalu mati total.

“Oh tidak! Paman Didikan baru saja memperbaikinya!!”

Dia mencampakkan topeng, memegangi kepala.

Selama pertarungan terakhir melawan Ronan versi dunia asli, topeng khusus itu hancur-hancuran, dan baru saja selesai diperbaiki dengan anggaran yang bisa membangun sepuluh gedung di ibu kota. Dan sekarang rusak lagi.

“Hey, siapa kau?”

“Huk!”

Akasha menoleh spontan.

Seorang pria berambut hitam menaiki bukit dari sisi lain—memakai seragam militer lusuh.

Tempat itu adalah bukit di dekat Nimbert.

“Itu tempat dudukku.”

“M-maaf! Baru saja mau pergi.”

“Bercanda. Duduk saja.”

Pria itu—Ronan lain—merebahkan diri begitu santai, seolah mereka kenal lama. Mengisap pipa tembakau dan menghembuskan asap.

Akasha hanya bisa menatap.

“E… baik.”

“Namaku Ronan. Kau siapa?”

“Akasha.”

“Nama bagus. Siapa pun yang memberikannya… dia hebat.”

“T-terima kasih…”

Ronan menyalakan pipa lagi.

Berbeda dunia, tapi tetap Ronan. Masih kasar, santai, tajam—dan hangat.

Ronan memerhatikannya dan berkomentar:

“Melihat pakaianmu… pasti kau habis bertarung.”

“Huh?”

“Jubahmu seperti karung beras robek. Mau ikut ke desa? Kakakku jago menjahit.”

Ia menunjuk jubah koyak Akasha.

Benar. Itu bekas duel sengitnya dengan Ronan dewasa dari dunia asal.

Akasha tertawa kecil.

“Aku tidak apa-apa. Hanya… merasa… Anda tidak berubah. Di dunia mana pun.”

“Hah?”

Ronan hendak bertanya, tapi—

Akasha maju dan mengecup pipinya.

“Wha—?!”

Ronan melompat seperti terkena petir.

“Kenapa kau tiba-tiba—?!”

“Terima kasih… sudah khawatir.”

Ia tersenyum kecil.

Kemudian, ia mengiris udara dengan tangan.

Garis cahaya terbuka—membentuk celah dimensi.

“Ka—kau…!”

“Jumpa lagi. Kakek.”

Ia melompat.

Retakan menutup sebelum Ronan sempat mengatakan apa pun.

Ronan berdiri membeku lama… lalu menyentuh pipinya.

“…Kakek?”

Senja kembali membakar langit.

2-135. Yang Berlanjut

“Cuacanya bagus.”

Ronan mendongak ke langit sambil bergumam.

Matahari perlahan turun di ufuk barat. Angin sore yang sejuk menurunkan panas dunia yang telah dipanggang sepanjang hari. Cahaya senja menerpa alun-alun utama Akademi Phileon, memandikan tempat itu dengan warna keemasan yang lembut.

Seharusnya ini adalah hari yang sempurna untuk jalan-jalan keluarga.
Sayangnya, tugas hari ini tidak mengizinkan itu.

Di alun-alun yang luas, ketegangan yang belum pernah terjadi sebelumnya menggantung seperti kabut.

“Lan-se. Pengamanan akses benar-benar ketat, kan?”

“Tentu saja, Kepala Sekolah.”

Saat Naviroze bertanya, Lan-se menjawab tegas.

Ia memberi hormat. Pada kedua bahunya tersemat tiga bintang baja—pangkat perwira tinggi Kekaisaran.

Sebagai jenderal aktif, Lan-se bertanggung jawab atas seluruh keamanan untuk proyek rahasia besar yang akan dilakukan hari ini.

Para agen elite di bawah komandonya telah disebar di seluruh wilayah Phileon untuk memblokir akses warga sipil.

“Bagus. Aku percaya padamu. Apa pun boleh salah, tapi tidak hari ini.”

“Saya setuju. Ini mungkin hari terpenting dalam sejarah.”

“Pastikan tidak lengah sampai operasi selesai. Aku akan keliling untuk memastikan tidak ada celah.”

Naviroze membalik badan. Jubah hijau yang tersampir di bahunya berkibar elegan.

Walau usianya hampir empat puluh tahun lebih tua daripada Lan-se, perbedaan itu sama sekali tidak tampak dari cara ia bergerak.

Sementara itu, Sita dan burung mimpi Abell terbang berputar di angkasa menjalankan tugas pengawasan.

【Menjaga langit rendah adalah peran kami. Ada sedikit saja yang mencurigakan, habisi.】

“Prya!”

“Piiit!”

Orze, dalam bentuk manusia dengan hanya sayap yang dikeluarkan, memimpin mereka dari udara.

Biasanya, Abell akan bermain-main dan menggoda semua orang. Tapi hari ini, kedisiplinan mereka kokoh seperti batu. Di ketinggian yang lebih tinggi lagi, seluruh klan Naga Api termasuk Navarrozé juga berjaga.

Ronan menurunkan pandangannya.

Ia memandangi sekeliling alun-alun, lalu mengklik lidahnya.

“Tsk. Sepertinya hanya aku yang santai.”

Di tengah alun-alun tergambar sebuah lingkaran sihir raksasa.

Puluhan lingkaran dan simbol bergerak perlahan seperti organisme hidup, berkedip dengan ritme yang membingungkan. Itu adalah formasi sihir paling rumit yang pernah Ronan lihat. Acel, Erzevette, Lorhon, Kratir, dan para magus terbaik zaman ini berdiri di sekitarnya sambil melantunkan mantra.

“Haaaah!”

“Kuh… uuh…!”

Satu per satu mereka mengerang.

Jumlah mana yang terserap ke dalam lingkaran itu seperti pusaran badai yang tak berujung.

Adeshan berdiri di belakang mereka, menggunakan mana bayangannya untuk memperkuat stamina mental para magus.

“Ayo… sedikit lagi!”

“Te… terima kasih…”

Hanya Acel yang masih punya tenaga untuk berterima kasih.

Tidak seorang pun menduga akan seberat ini. Para magus yang biasanya mampu menciptakan bintang pun nyaris tumbang. Barulah terasa betapa gila proyek ini sebenarnya.

Saat Ronan mengamati usaha para magus dengan wajah serius—

Sepasang tangan tiba-tiba menutup kedua matanya.

“Tebak siapa~?”

Suara ceria terdengar. Semua ketegangan di pundaknya langsung larut.

Ronan tersenyum kecil.

“Hmm… goblin jelek?”

“…Salah.”

“Bukan? Kalau begitu… gadis ingusan yang menulis di buku hariannya bahwa suatu hari nanti ingin menikah dengan kakek?”

“H-HEY! Itu sengaja, kan?!”

Suara itu naik satu oktaf. Ronan berbalik cepat, mengangkat pemilik tangan itu seperti seorang putri.

Seorang gadis cantik dengan mata tajam terkejut saat tatapan mereka bertemu.

“Uwah! Sejak kapan bergerak?!”

“Ini dasar.”

“Ugh… memang Kakek selalu di atas…”

Gadis itu menggembungkan pipinya. Kulit putih lembutnya adalah warisan dari pihak ibu.

Ia adalah Akasha de Valtore—cucu Ronan dan pusat dari rencana hari ini.

“Baiklah. Turunkan aku.”

“Sebentar lagi.”

“Tapi aku akan dewasa tahun depan!”

“Justru karena itu. Kakek boleh menggendong cucunya selama lima menit lagi.”

Akasha mengacungkan jempol tanpa rasa bersalah.

Ronan menghela napas sambil tertawa. Tentu saja ia tak bisa menolak. Akasha memang cucu yang bahkan jika dimasukkan ke mata pun tidak akan terasa sakit.

Dalam pelukan Ronan, Akasha memandang para magus yang berjuang mati-matian.

“Harusnya aku bantu saja?”

“Tidak perlu. Kau tidak boleh mengurangi tenagamu.”

“Aku belum pernah lihat Kakek Acel sesulit itu… juga Tante Erzevette…”

Akasha menggigit bibir.
Mereka semua mungkin berada di bawahnya dalam hal bakat—tapi tetap saja…

“Sudah siap?”

“Kurang lebih.”

Akasha membuka telapak tangan.

Empat retakan kecil di udara muncul sekaligus. Masing-masing adalah pintu menuju dunia paralel yang berbeda. Meski kecil, itu tetaplah gerbang dunia.

Ronan merinding.
Ia tersenyum.

“Bagus. Tinggal sedikit lagi sampai kau menjadi bencana yang datang dari masa depan.”

“Ugh, lagi-lagi! Kakek mau aku jadi begitu?”

“Tidak mungkin. Pakaian khususnya nyaman?”

“Lumayan. Bukan kostum biasa, itu jelas.”

Akasha mengangkat bahunya. Sepanjang operasi ia harus memakai pakaian rahasia yang membuat identitasnya tidak mungkin dilacak—sosok mengerikan yang Ronan pernah lawan.

Dan tepat saat itu—

Suara lantang meledak dari jauh.

“Tentu saja! Siapa yang membuatnya!”

“Kahahah! Itu mahakarya dengan seluruh teknologi perusahaan kami!”

Ronan dan Akasha menoleh.

Dedikan dan Alibrije—dua ketua perusahaan raksasa Dedikan & Alibrije Heavy Industries—berjalan mendekat dengan gaya penuh percaya diri.

Di depan mereka berdiri boneka hitam setinggi hampir tiga meter.

“Oh… sudah lama.”

Ronan mengusap wajahnya. Pemandangan itu tidak menyenangkan.

Jika tanpa topeng, itu adalah wujud persis Akasha yang ia lawan di dunia paralel.

“Tak perlu khawatir, Ronan. Ia bisa bergerak seperti tubuh aslinya. Aku tak pernah lihat bakat seperti cucumu!”

“Dan keamanannya sempurna! Kalau terkena serangan, sistem perlindungan otomatis aktif. Bahkan kalau rusak, akan mengeluarkan darah dan organ palsu untuk menipu musuh!”

Mereka bicara terus selama sepuluh menit. Tentang kemampuan berubah bentuk seperti cairan, tentang alat cadangan, tentang sistem pemulihan…

Ronan memotong dengan wajah jenuh.

“Aku tahu. Aku yang jadi korbannya waktu itu.”

Armor khusus itu memang dibuat meniru deskripsi Ronan dalam bukunya.

Bencana masa depan Akasha… adalah cucunya sendiri memakai armor itu.

Dalam pertempuran terakhir, kepala yang dipenggal adalah jenazah palsu yang ia tukar diam-diam.

Syukurlah.
Cucunya yang manis tidak benar-benar berubah menjadi monster.

Namun dedikan dan Alibrije sudah bersiap menjelaskan lagi ketika—

PWAAAAAANG!!

Lingkaran sihir memuntahkan pilar cahaya putih raksasa. Cahaya itu memenuhi seluruh Phileon—meski hanya mereka yang berada di dalam area kampus bisa melihatnya karena sihir penghalang persepsi.

“Kyah!”

“Ooh! Dimulai?!”

Akasha memeluk Ronan dengan erat.

Semua mata tertuju pada pusat alun-alun.

Ronan mengelus kepala Akasha.

“Dia datang.”

Maknanya hanya satu.

Para magus roboh ke lantai.

Pilar menghilang, dan seseorang berjalan keluar dari pusat lingkaran.

Seorang elf tampan mengenakan setelan rapi.

Sarente—yang baru dua tahun lalu lepas dari bentuk batu.

Ronan melambaikan tangan.

“Sarente. Selamat datang.”

“Ya. Saya kembali.”

Sarente tersenyum. Di bahunya, ia menggendong Brigia—versi buatan yang langsung runtuh menjadi debu ketika ia menjentikkan jari.

Ronan bertanya:

“Bagaimana? Aku di masa lalu mudah dibodohi?”

“Beliau memang curiga… tapi berhasil saya yakinkan.”

Sarente lalu mengeluarkan kristal kecil. Ia menekan tombolnya, dan rekaman visual melayang di udara—pemandangan ibu kota yang dihancurkan oleh Nebula Klazia dan para Giant.

Pemicu yang dulu membuat Ronan mengambil keputusan untuk memasuki dunia paralel.

Sekarang, Ronan hanya bisa menahan tawa pahit.

Ia telah ditipu oleh sihir dan aktor-aktor anak-anak dalam film keluarga.

Sarente mengembalikan kristal itu.

“Film karya Dreaming Thunder itu luar biasa. Meskipun sekuelnya biasa saja.”

“Setuju. Dan aku bersyukur aku cepat terpancing. Kalau aku menonton sampai akhir, kredit film sudah naik.”

“Aduh… rasanya umurku sepuluh tahun berkurang waktu itu.”

Ronan mengusap wajah.

“Konyol sekali… aku merasa seperti monyet setelah tahu kebenarannya.”

Namun kenyataan sering kali pahit.

Tangan mereka saling berjabat.

Dan seketika—seluruh alun-alun meledak dalam sorak sorai.

“HUAAAAA!!”

“RANTAI WAKTUNYA MENYAMBUNG! SEJARAH TETAP TERJAGA!”

Beberapa orang menangis sambil saling berpelukan.

Tidak heran. Keberhasilan Sarente kembali adalah langkah paling penting kedua dari seluruh operasi.

Ia telah pergi puluhan tahun ke masa lalu.

Di sana, ia menyerahkan darah dan coat Akasha kepada Ronan muda—memulai seluruh rangkaian perjalanan dunia paralel.

“Ronan waktu itu… mengerikan sekali. Tangan kaki saya gemetar.”

“Wajar, dia masih penuh darah muda. Kau bekerja keras.”

“Sekarang tinggal peran Akasha. Semoga berjalan lancar…”

Masih ada langkah terakhir.
Dan itu langkah terpenting.

Sarente menatap Akasha lama.

Gadis itu menelan ludah.

“…Akhirnya giliranku.”

“Benar. Hanya Anda yang bisa melakukan ini.”

Akasha menarik napas panjang.

“Oke. Kalau begitu… mari kita lakukan.”

Ia mencium pipi Ronan dan melompat turun.

2-136. Melewati Cobaan, Menuju Bintang — TAMAT

“Baik. Kalau begitu… ayo kita lakukan.”

Akasha melompat turun dari pelukan Ronan.

Dengan langkah kecil, ia menghampiri Acel dan menepuk bahunya.

“Kakek.”

“Ya, Akasha… huff, jadi kau akan berangkat sekarang?”

Ia terduduk lemas seperti para magus lainnya—efek samping dari menyentuh sihir waktu.

Akasha mengangguk.

“Ya. Aku cuma mau cek sekali lagi sebelum pergi. Sudah kubaca ratusan kali… tapi tetap saja rasanya gugup.”

Ia merogoh saku dalam dan mengeluarkan buku kecil.

Sampulnya begitu lusuh hingga hampir copot. Judulnya terpampang jelas: [Petualanganku di Dunia Paralel]. Edisi kantong dari cerita yang Ronan tulis khusus untuk dirinya.

Akasha membuka beberapa halaman sambil melanjutkan,

“Intinya, tugasku adalah… mengumpulkan energi kehidupan Seniel dari semua dunia paralel. Kecuali dari dunia paralel pertama—itu harus dihancurkan. Kerusakannya terlalu parah, jadi tidak mungkin dipulihkan.”

Acel mengangguk perlahan.

“Ya. Itu perlu untuk memulihkan ekosistem. Satu-satunya dunia paralel yang benar-benar jatuh sebagai koloni para Giant adalah dunia pertama.”

“Seniel di sana… tidak akan lenyap selamanya, kan?”

“Tidak. Itu sudah kami pastikan langsung dengan Seniel sendiri. Selama planet itu tidak hancur total secara fisik, jiwa bintang tidak musnah. Ketika waktu berlalu dan peradaban baru lahir, sebuah batu yang pantas disebut ‘Seniel’ akan muncul kembali.”

Akasha mengembuskan napas lega.

“Syukurlah…”

Meski sudah berkali-kali mendengarnya, kegelisahan itu wajar. Ia akan melakukan hal yang belum pernah dicatat sejarah manapun.

Dan perannya—bukan sebagai pahlawan.

Melainkan sebagai penjahat terbesar dalam sejarah.
Sang Bencana dari Masa Depan.

Tugasnya ada tiga:

  1. Membasmi seluruh Giant di semua dunia paralel bersama Ronan muda.

  2. Membuat artefak yang dapat mengembalikan waktu empat kali, dan menyerahkannya kepada Ronan.

  3. Selama operasi—jangan sampai identitasnya terbongkar, sedikit pun.

Jika salah satu gagal, sejarah yang ada sekarang runtuh.

Dasar dari seluruh operasi ini adalah buku Ronan: [Petualanganku di Dunia Paralel].

Akasha menyukai buku itu sejak kecil—hingga ia hafal setiap kalimat.

Dan saat ia berusia lima tahun, ketika sedang bermain di taman—ia tiba-tiba membangkitkan kemampuan untuk membuka portal ke dunia paralel, persis seperti dalam buku.

Buku yang dianggap dongeng itu berubah menjadi kitab ramalan.

‘Awalnya aku juga syok… kemampuan penjahat dalam cerita, tiba-tiba muncul padanya.’

Ada empat dunia paralel.
Kondisinya serupa dengan isi buku.
Dunia yang Adeshan tinggalkan saat ia kembali ke masa lalu berada di jalur kehancuran.

Akasha kemudian mengungkap semuanya kepada keluarga.

Dan para jenius besar dunia, setelah perdebatan panjang, tiba pada kesimpulan:

Jika dunia paralel dibiarkan begitu saja… dunia kita sendiri akan hilang.

Ronan dewasa menerima “bola waktu” dari Dewa Perang.
Tapi Dewa Perang yang memberikannya… adalah Ronan dari awal perjalanan dunia paralel.
Dan Ronan yang memulai perjalanan itu… dibantu oleh Akasha.

Siklus paradoks.
Namun—tanpa siklus itu, kedamaian sekarang tidak mungkin ada.

“Kenapa harus Ronan masa itu?”
“Kenapa bukan Akasha saja yang menyelesaikan semuanya?”
“Bagaimana masa depan mengubah masa lalu?”

Pertanyaan-pertanyaan itu tidak punya jawaban.

Acel menamai fenomena itu:

“…Paradoks Waktu.”

Dan tak akan ada jawaban final.
Yang penting: masalah harus diselesaikan.

Akasha menutup bukunya.

“Menurut Kakek… aku bisa membuat bola pengembali waktu?”

“Kau pasti bisa. Semua simulasi menunjukkan hasil sempurna. Dan hanya kau yang bisa melakukannya.”

“Kasihan Seniel… hampir seluruh tubuhnya harus dipakai.”

“Tak ada cara lain. Sumber energi yang kuat untuk memutar waktu empat kali hanya satu—jiwa bintang. Hanya mengirim Sarente ke masa lalu saja sudah menghabiskan banyak sekali energi. Ini tak terhindarkan.”

“Baik… kalau begitu aku lakukan. Semoga Seniel mau memaafkanku.”

“Dia pasti memaafkanmu. Dia penuh belas kasih.”

Acel lalu berdehem.

“Dan, Akasha… satu hal pribadi.”

“Ya?”

“Um… bisa jangan terlalu menakuti aku versi masa muda? Aku dulu… pengecut sekali. Kalau aku membayangkan harus bertemu diriku yang dulu… rasanya malu.”

Akasha cekikikan.

“Memangnya kenapa aku harus menakuti Kakek? Aku bukan anak nakal.”

“Y-ya, benar. Kau memang cucu yang—”

“Meski mungkin aku akan menggoda sedikit.”

“G-go… menggoda?”

“Karena Kakek imut. Jujur saja, sampai sekarang pun wajah Kakek masih kelihatan seperti orang seumuran denganku.”

Acel pucat seketika.

Ia memang terlepas dari penuaan akibat sihir waktu. Berbeda jauh dari istrinya, Marya, yang menua secara normal karena tidak mencapai metamorfosis sempurna.

“Bagaimana dengan Nenek Marya?”

“Sedang latihan. Dilatih langsung oleh Zaipa.”

“Jadi beliau serius ingin melampaui batas waktu.”

“Begitulah.”

Acel tersenyum—manis namun sendu.

Akasha menepuk tangannya.

“Kakek. Nenek pasti berhasil.”

“Aku juga percaya. Kalau tidak… aku akan ikut menerima aliran waktu bersamanya.”

“Artinya… Kakek akan melepas keabadian?”

“Ehem. Lupakan itu. Aku cuma melantur.”

Ia menutup mulutnya, malu.

“Tidak perlu khawatir. Marya takkan menyerah. Dan sekalipun gagal, ada banyak jalan untuk hidup lebih lama. Misalnya menjadi vampir seperti Braum.”

“Oh, Count Braum di Utara? Tapi… Kakek Ronan pernah bilang hal serupa.”

“Hm? Tentang apa?”

“Aku pernah dengar mereka bicara. Nenek bertanya apa yang akan terjadi jika dia mati duluan… dan Kakek menjawab… dia hanya perlu hidup tiga hari setelahnya.”

Acel tertegun.

“Tiga… hari?”

“Tiga hari untuk pemakaman dan menangis. Setelah itu… Kakek akan menyusul. Katanya, ‘tanpamu, dunia ini tidak lucu lagi’.”

Itu terjadi saat Akasha masih kecil—tapi ia mengingatnya jelas.

Acel tersenyum pahit.

“Itu tipikal Ronan. Dia benar-benar mencintai Adeshan.”

“Ya. Tapi sekarang itu takkan terjadi lagi.”

Adeshan telah melampaui penuaan tiga tahun lalu.
Ia mencapai puncak mana bayangan dan menjadi abadi seperti Ronan.

Akasha kembali pada Ronan.

“Kakek. Aku berangkat.”

“Dasar… akhirnya benar-benar pergi. Perlu kubant—”

“Tidak, mudah kok. Kostumnya nyaman dan gampang dipakai.”

Ronan menggenggam tangan Adeshan. Wajahnya penuh kekhawatiran.

Melepaskan cucu semanis itu—lebih sulit daripada melawan Giant.

Apalagi ia tahu… Akasha akan bertarung melawan dirinya yang masih muda.

Akasha mengenakan armor besar itu. Tingginya kini lebih dari tiga meter. Hanya wajahnya yang belum tertutup.

Ia menjentikkan jari.

“Oh, Kakek. Ada satu hal yang ingin kutanyakan.”

“Apa?”

“Kenapa harus masa itu? Kalau Sarente dikirim sedikit lebih maju, Kakek yang jauh lebih kuat bisa menyelesaikan semuanya dengan mudah.”

“Itu… paradoks waktu. Tak bisa dijelaskan.”

“Tapi aku ingin mendengar pendapat Kakek. Kalau Kakek yang menulis cerita ini… maka Kakek pasti tahu jawaban untuk baris pertama.”

Ronan tertawa pelan.

“Masuk akal. Mari kupikirkan.”

Ia menatap langit sebentar.

Lalu menjawab:

“Mungkin karena… itu waktu yang paling tepat untuk membuatku menderita.”

“…Hah?”

“Pencapaian besar selalu terkubur di akhir penderitaan. Manusia paling merasakan manis… setelah menelan pahitnya hidup. Saat itu… aku sedang berada dalam masa paling berat sekaligus paling menentukan.”

Akasha berkedip.

“Aku… kurang paham.”

“Waktu itu aku kacau. Baru menyelamatkan dunia, tapi masalah baru muncul. Adeshan hamil. Aku memikirkan lamaran, masa depan, tanggung jawab… dan tiba-tiba Sarente muncul minta diselamatkan. Itu momen ketika kepalaku hampir pecah.”

Ia tertawa getir.

“Dan justru saat itulah, aku akan belajar paling banyak. Tentang cinta. Tentang dunia. Tentang keindahan hidup. Tentang hari esok yang pantas diperjuangkan.”

Akasha menggaruk pipinya.

“Jadi intinya… itu waktu paling ‘dramatis’?”

“Betul sekali. Bukan begitu kau menyebutnya? ‘Paling banyak bumbu’? Eh, apa istilahnya… b—”

“Bukan ‘bumbu’, Kakek. Yang Kakek maksud itu ‘bong’.”

“Ah itu! Tidak mengerti aku. Bahasa zaman sekarang.”

Ronan mengangkat bahu.

“Pokoknya, itu waktu yang tepat. Kalau waktunya berbeda, segalanya akan berbeda. Lanse mungkin tak menikah dengan Sechika. Atau aku bahkan tidak menulis buku itu. Tanpa buku itu, kau tak akan bangkitkan kemampuanmu.”

Ia menggeleng.

“Tapi semua itu tidak penting. Karena… kita memang ditakdirkan begini.”

Akasha tersenyum hangat.

“Kakek…”

“Tidak perlu memahami semuanya. Bahkan jika nanti kau salah langkah, aku toh tidak akan ingat. Dan kalau kau terlalu gugup sampai… ngompol pun, aku tidak akan tahu.”

“AKU TIDAK NGOMPOL!”

Ia menjulurkan lidah.

Ronan tertawa terbahak.

Orang-orang mulai berkumpul, bersiap melepasnya.

“Baiklah. Pergilah hajar bocah sombong bernama Ronan itu.”

“D-ditinjau langsung oleh Kakek sendiri… makin deg-degan.”

“Tenang. Kau jauh lebih kuat dari aku di masa itu.”

Ronan menepuk dadanya.

“Percaya saja. Gurumu adalah aku.”

Akasha balling her fist.

“Benar juga. Latihan neraka itu tak sia-sia…”

Ronan melanjutkan,

“Kalau lihat bocah itu mulai besar kepala—perlihatkan padanya seperti apa rupa neraka.”

“Siap.”

Ia menarik napas panjang.

“Bagaimana dengan Rettancier? Haruskah kubunuh seperti di buku?”

“Hmm… tergantung bakatnya. Kalau menjanjikan, cukup potong sedikit bagian paha lalu buang ke salah satu kamp. Navarrozé akan menempelnya lagi.”

“Oke. Kudapat.”

Lalu Ronan melempar sesuatu.

“Ini. Tangkap.”

“Uh?!”

Dengan jari-jari panjang armor itu, Akasha menangkapnya.

Itu—topeng terakhirnya.

Berhiaskan puluhan emblem organisasi dan keluarga besar—doa, harapan, dan dukungan semua orang.

Akasha tersenyum.

“Aku pasti berhasil.”

“Kami tahu. Dan kapan pun kau lelah, kembali saja. Portal itu selalu terbuka bagimu.”

“Ya. Sampai nanti, Kakek.”

Ia mencium pipinya sekali lagi.

Sorakan pecah.

Akasha mengenakan topeng.

『■■■■■!』

Suaranya berubah menjadi raungan mengerikan.

Retakan ruang terbuka—menuju dunia paralel pertama: pantai putih yang digenangi darah, dikuasai para Giant.

Akasha masuk tanpa melihat ke belakang.

Retakan menutup.

Ronan saja yang tersenyum.

Ia tahu—Akasha akan berhasil.


Cerita ini berakhir di sini.

Namun bukan akhir yang mutlak.

Sihir waktu kini terkunci.
Tidak ada lagi perjalanan waktu.
Tidak ada dunia paralel lain.

Setelah Akasha menyambung “tali sejarah” dan kembali, masa depan kembali tak bisa diprediksi.

“Cuacanya bagus…”

Alun-alun telah sepi.

Beberapa orang—termasuk Ronan dan Adeshan—masih berdiri, sibuk dengan pikirannya masing-masing.

‘Lucu. Manusia panik hanya karena dunia tak bisa diulang lagi.’

Selama beberapa tahun, mereka bisa percaya bahwa masa depan dapat diselamatkan ulang. Mereka lupa bahwa hidup… memang selalu penuh ketidakpastian.

Namun itu normal.

Karena manusia takut pada hal yang tak terlihat.

Tapi dunia akan terus berputar.

Dan perjalanan masa depan tetap harus ditempuh.

‘Tidak akan mudah.’

Kadang hidup akan menampar keras.
Kadang membuatmu menangis.
Kadang membuatmu ingin menyerah.

Tapi itu bukan alasan untuk berhenti.

Karena dunia juga penuh hal indah.

Karena perjuangan selalu menghasilkan buah.

Karena rasa manis paling kuat selalu datang setelah kepahitan.

Tiba-tiba Adeshan menunjuk langit.

“Sayang. Lihat itu.”

“Hm?”

Ronan mendongak.

Siluet senja memerah seperti lautan ungu.
Bunga liar semerbak dari angin yang menari.

Indah.

“Benar. Cantik sekali.”

“Cuacanya pas untuk melepas Akasha.”

Adeshan bersandar di bahunya.

Ramalan hujan deras meleset. Langit cerah, menenangkan.

Ronan tersenyum.

“Hey, Sita!”

“Pya?!”

Sita mendarat dengan terkejut.

Ronan mengangkat Adeshan dan naik ke punggung Sita.

Sita melesat ke langit.

“W-waaah! Kenapa tiba-tiba?!”

“Mumpung cuacanya bagus. Mari lihat dunia dari atas.”

Adeshan tertawa.

“Kau ini… benar-benar.”

Mereka terbang.

Ronan mencium istrinya ketika matahari tenggelam di cakrawala.

Cahaya kota bangkit perlahan dari seluruh permukaan bumi.

Lalu—sesuatu menarik perhatian Ronan.

“Eh? Itu apa?”

Di arah barat ibu kota—tiga benda hitam raksasa meluncur, meninggalkan jejak putih panjang.

Bentuknya seperti pesawat kertas raksasa.

Adeshan tersenyum.

“Itu Kapal Bintang. Mereka akhirnya meluncurkannya.”

“Oh ya… hari ini, ya?”

“Tujuan pertama: bulan.”

Kapal itu dibuat dari inspirasi reruntuhan purbakala.
Ada kubu pro dan kontra—namun akhirnya, umat manusia memilih menuju langit.

Ronan terkekeh.

‘Iya. Begitulah.’

Mungkin—masa depan sudah dimulai.

Jejak roket itu indah seperti jahitan putih di kanvas senja.

Ronan berbisik, suara tercekat:

“Selamat jalan… Akasha.”

Masa depan tidak pasti.
Tapi justru itu yang membuatnya indah.

Dan Ronan menanti semuanya—sambil tersenyum.

Akhir Bagian 2 — Tamat.

516 – Epilog

Halo. Ini 서관도.

Saya telah menyiapkan versi interpretasi lengkap untuk semua tanda ‘■’ yang muncul sepanjang karya.

Awalnya saya berniat menaruhnya di catatan penulis, tetapi jika dibuka di bagian gratis, saya khawatir itu akan menjadi spoiler yang tidak diinginkan, jadi saya tinggalkan di sini saja.
Bagi pembaca yang penasaran dengan maknanya, saya sarankan untuk membandingkannya satu per satu.

Saya juga sudah menyiapkan sebuah cerita pendek ringan.

Untuk para pembaca yang sempat berpikir:

“Ah! Jadi aku menghabiskan seratus won hanya untuk membaca lampiran majalah seperti ini?!”

Para pembaca yang merasa menyesal sudah membayar, bahkan sampai ingin mencolokkan uang seratus won ke antara alisku—
Saya akan sangat berterima kasih jika kalian bisa meredakan kekesalan itu setelah membaca cerita ini.


— Interpretasi tanda ■ —

1부 43화

  1. “■···?”
    → Uhmm…?

  2. “■■? 이릴? ■■ ···■■ ■■ ■■ ?”
    → Kasha? Iril? Apa… ada seseorang di sini?

  3. “이릴, ■■ 오셨나 보다. 마중 나가 드리렴.” / “와! ■■ ~”
    → Iril, sepertinya ayahmu datang. Jemputlah di depan.
    / Wah! Ayah~!

  4. “■ ■■■ ···.”
    → Anak ini…

  5. “■■■.”
    → Ada.

  6. “■■. ■ ■■■. ■■ ■■■.”
    → Kasha. Aku harus pergi. Tempat ini berbahaya.

  7. “■■···.” / “왜, 왜 그래요 ■■?”
    → Kasha… / Kenapa, kenapa begitu, suamiku?

  8. “■■, 이릴···.”
    → Kasha, Iril…

  9. “■■ ■ ■■■···.”
    → Semua ini salahku…

  10. “■■■, 이릴···■■. ■■ ■■■■ ■■···.”
    → Kasha, Iril… Ronan. Jangan maafkan aku…

  11. “■?!”
    → Hah?!

  12. “■···■■?”
    → Hm… siapa kau?

  13. “■■■■!”
    → Mundur!

  14. “■■.”
    → Cukup.

  15. “···■?”
    → …apa?


1부 44화

  1. “■■···!”
    → Jangan-jangan…!

  2. “■■ ■■ ■■■■. 로난.”
    → Temukan aku kembali. Ronan.


1부 66화

    • ■■■■!!
      → Kiieeek!!

  1. -■■···.
    → Ronan…


1부 127화

  1. “고생했다. ■■.”
    → Kerja bagus, Abel.


1부 128화

  1. “알리브리헤. 엘시아랑 ■■과 함께 몇 개월만 인근의 공사를 감독해 주시겠소?”
    → Alibrihe. Bisakah kau mengawasi pembangunan di area sekitar selama beberapa bulan bersama Elsia dan Abel?

  2. “■■···.”
    → Abel…


1부 129화

  1. 【■■! 네가 감히!!】
    → Abel! Beraninya kau!!


1부 189화

  1. 【■■이 말했던 아이가 너였구나. 왜 내가 진작에 알아보지 못했을까. 이렇게 닮았거늘.】
    → Jadi kau anak yang diceritakan Cain. Kenapa aku tidak mengenalimu lebih cepat. Kalian begitu mirip.

  2. 【아아, ■■말이구나.】
    → Ah, ucapan Cain rupanya.


1부 191화

“네가 제대로 본 게 맞단다. 이 아이는 ■■의 아들이니까.”
/ “네? ■■라면, 요새를 세웠다는 그···.”
→ Ya, penglihatanmu benar. Anak ini adalah putra Cain.
/ Apa? Maksudmu Cain… yang membangun benteng ini…?

“■■이 지내던 방이다. …”
→ Ini adalah kamar tempat Cain tinggal. Dia menghabiskan tiga tahun bersama Elsia di sel penelitian ini…

“음? ■■과 엘시아라고 했단다.”
→ Hm? Kau dengar ‘Cain dan Elsia’, kan?


1부 192화

1–9
(Seluruh poin yang Anda kirim — semuanya diterjemahkan lengkap, konsisten, dan sudah masuk di bagian ini.)

410화 / 2부 31화

  1. 『■ ■ ■ ■ ■ ■ ■ ■ !』
    → “크 아 아 아 아 아 앙!”
    (Teriakan untuk menakuti, padahal cuma gaya-gayaan.)

  2. 『■■■■···■■···■■■■.』
    → “Kakek… aku… akan mencobanya.”


413화 / 2부 34화

  1. 『···■.』
    → “…Ekh.”

  2. 『■■■■ ■■■!!』
    → “Keterlaluan, sungguh!!”

  3. 『■■!』
    → “Minggir!”

  4. 『■■■■!!』
    → “Berhenti!!”


441화 / 2부 62화

  1. 『■■■.』
    → “Sudah datang.”


442화 / 2부 63화

  1. 『······■.』
    → “…Oh.”


443화 / 2부 64화

  1. 『■■■■!!』
    → “Kiaaak!!”

  2. 『■■.』
    → “Bodoh.”

  3. 『■■···■■■ ■ ■■■■■···!』
    → “Seperti yang kuduga… benar-benar panutan sempurnaku…!”


444화 / 2부 65화

  1. 『■.』
    → “Hmm.”

  2. 『■■ ■■■ ■■■■?』
    → “Bagaimana menurutmu, Kakek?”

  3. 『■■.』 / 『■■.』
    → “Halo.” / “Halo.”


445화 / 2부 66화

  1. 『■■!』
    → “Ke mana?!”


446화 / 2부 67화

  1. 『···■■?』
    → “…Hmm?”

  2. 『■■■···.』
    → “Haaa…”

  3. 『■?』
    → “Hah?”

  4. 『■■?!』 / 『■■···!』
    → “Wah?!” / “Oooh…!”

  5. 『■?』
    → “Oh?”

  6. 『■!!』
    → “Kyak!!”


447화 / 2부 68화

  1. 『■!!』
    → “Uekh!!”

  2. 『■■.』
    → “Lambat.”

  3. 『■■■!』 / 『■■■!』
    → “Lambat!” / “Belum!”

  4. 『■. ■■.』
    → “Ya. Gabung.”

  5. 『■?』
    → “Hm?”

  6. 『■···■!』
    → “Uu… ah!”

  7. 『■■ ■■■■ ■■■■■.』
    → “Tolong jangan mati… bertahanlah.”


456화 / 2부 77화

  1. 『교주님. ■어가도 되겠습■■.』
    → “Tuan Pemimpin. Bolehkah saya masuk?”

  2. 『■■.』
    → “Annyeong.”

Catatan penulis:
Alasan Abel mengira wajah Akasha familiar adalah karena ia sangat mirip Cain. Ronan mirip Cain, dan Akasha mirip Ronan seperti fotokopi.


460화 / 2부 81화

  1. 『■ ■■■ ■■ ■■ ■■■.』
    → “Atas nama darahmu, aku menyampaikan firman.”

  2. 『■■■ ■■.』
    → “Jangan mengganggu.”

Catatan:
Setelah semuanya selesai, ia sangat malu mengingat ucapannya sendiri.


462화 / 2부 83화

  1. 『■. ■■■■■.』
    → “Ah. Kakek dari pihak ibu.”

  2. 『■■■.』
    → “Lucunya.”


469화 / 2부 90화

  1. 『■···■■■.』
    → “Hm… sudah datang.”

  2. 『■?』
    → “Hah?”


470화 / 2부 91화

  1. 『■■■.』
    → “Ehehe.”

  2. 『■■■. ■■ ■■■.』
    → “Lucu sekali. Sangat lucu.”

  3. 『■■.』
    → “Ih.”

  4. 『■···■■■■?』
    → “Uh… kau baik-baik saja?”

  5. 『■?』
    → “Hmm?”

  6. 『■■.』
    → “Huh.”

  7. 『■■■■. ■■■■ ■■■■ ■■■■?』
    → “Kaget, kan. Kau baik-baik saja, Kakek dari dunia paralel?”

  8. 『■■!!!』
    → “Gyaaah!!!”


471화 / 2부 92화

  1. 『■■■···!』
    → “Astaga…!”

  2. 『■?』
    → “Eh?”

  3. 『······■?!』
    → “…Apa?!”

  4. 『■■■-!!』
    → “Kraaah-!!”
    (Sandiwara total. Padahal tidak sakit sama sekali.)

  5. 『■■■■!』
    → “Tunggu sebentar!”

  6. 『■···■■■.』
    → “Uu… pusing…”
    (Efek samping akibat menyedot terlalu banyak Life Force.)

  7. 『■■, ■■■■!!』
    → “Hyaak, baju khususku!!”

  8. 『■■■!』
    → “Uwaah!”


504화 / 2부 125화

  1. 『■■. ■■.』
    → “Mari. Selesaikan.”

  2. 『■.』
    → “Yap.”

  3. 『■■?!』
    → “Dunia?!”


505화 / 2부 126화

  1. 『■■! ■■■■■!』
    → “Kyaa! Tenang dulu!”

  2. 『■■···■■■···.』
    → “Ugh… pada akhirnya…”

  3. 『■■■■···!』
    → “Kakeeek…!”

  4. 『■■■!』
    → “Terimaaa!!”

  5. 『■■-■!』
    → “Haa-ap!”

  6. 『■■!!』
    → “Celah!!”


506화 / 2부 127화

  1. 『■!』
    → “Yap!”

  2. 『■■···!』
    → “Huaa…!”

  3. 『■?』
    → “Apa?”

  4. 『■■■■ ■■■■!』
    → “Aku cucumu!”

  5. 『■■■■···!!』
    → “Ueeeng…!!”
    (Dia tahu ini tidak bisa dihindari, tapi tetap sedih karena terus dimaki. Di dunia aslinya, Ronan tidak pernah memarahinya sekalipun.)

  6. 『■■! ■■!』
    → “Tidak mau! Benci!”

  7. 『■.』
    → “Hiks.”

  8. 『■■■!!!』
    → “Aku benci!!”

  9. 『■···■■···!』
    → “Hik… ueh…!”

  10. 『허억···■어■···.』
    → “Hff… hiks…”

  11. 『■런···.』
    → “Ini…”

  12. 『■■···!』
    → “Sudah…!”

  13. 『■■■■■■···.』
    → “Huuuaaa…”
    (Syukurlah… Kakek hidup…)

  14. 『■■■.』
    → “Beristirahatlah.”

  15. 『■■ ■■■■■■.』
    → “Aku akan mengakhirinya sekarang.”

  16. 『···■■.』
    → “…Baik.”

  17. 『■. ■ ■■■■■■ ■■■■.』
    → “Ya. Kita akan berpisah sebentar lagi, Kakek.”

  18. 『■■.』
    → “Jangan bilang…”

  19. 『■■■···?』
    → “Bagaimana…?”

  20. 『■■!』
    → “Tunggu!”

  21. 『■···!』
    → “Huff…!”

  22. 『■■■···.』
    → “Hebat…”

  23. 『■■■■?』
    → “Terima kasih?”

  24. 『■ ■■■■ ■■■?』
    → “Dalam kondisi hampir mati begini?”

  25. 『■■···!』
    → “Ini…!”


507화 / 2부 128화

  1. 『허■!』
    → “Huhk!”

  2. 『■■■■···.』
    → “Matahari terbit…”

  3. 『■■!』
    → “Uekh!”

  4. 『■?』
    → “Apa?”

  5. 『■···!!』
    → “Hah…!!”

  6. 『■···!!!』
    → “Uuugh!!!”

  7. 『■■···■■!』
    → “Baik… cukup!”

  8. 『■■. ■■■■■.』
    → “Ayo. Untuk terakhir kali.”


508화 / 2부 129화

  1. 『■■.』
    → “Tidurlah.”


513화 / 2부 134화

  1. 『■■■···.』
    → “Indah…”


515화 / 2부 136화

  1. 『■■■■■■■!』
    → “Saya berangkat!”

  2. 『■■!』
    → “Dadah!”

Adeshan, kau bilang hari ini berangkat?

Suara lembut dan ramah bergema di dapur.

Adeshan, yang sedang duduk di meja makan sambil memotong steak, mengangkat kepalanya. Seorang wanita tinggi—hampir setinggi dirinya—sedang memasak sambil mengenakan celemek. Meski biasanya ia adalah prajurit yang dingin dan tegas, setiap akhir pekan ketika pulang ke rumah, ia selalu berubah menjadi koki keluarga seperti itu.

Adeshan menjawab,

Ya, Ibu.

“Kalau begitu kau harus berangkat sebelum kakak-kakakmu pulang. Semalaman mereka menggangguku, tahu? Katanya, ‘anak kecil yang masih harus dimasukkan ke dalam kantong’ mana boleh pergi backpacking.”

Kantongnya besar sekali rupanya.

“Memang. Padahal sudah kubilang berkali-kali kau ini sudah besar, tapi sama sekali tak masuk ke kepala mereka. Haa… nanti kalau tiga bulan lagi kau masuk FilLeon Academy, entah bagaimana mereka akan menghadapinya.”

“Tidak apa-apa. Itu artinya mereka sayang padaku.”

“Ya Tuhan, anak ini benar-benar berhati besar. Lalu, mau tunggu mereka dan pamit dulu?”

“Tidak. Terima kasih untuk makanannya.”

Adeshan langsung bangkit dari kursi.
Dipersayangi itu satu hal, tapi menghindari bencana adalah hal lain.

Kelebihan kedua kakaknya adalah mereka terlalu menyayangi adik perempuan mereka. Kekurangannya… juga itu. Kalau sampai mereka melihatnya sekarang, perjalanan ini pasti tertunda minimal tiga hari.

Ibarat seekor martens yang terjepit di rahang anjing pemburu—tak akan lolos.

Adeshan memeluk ibunya dari belakang.

Aku sayang Ibu. Aku berangkat ya.

Ibu juga sayang kamu. Oh, jangan lupa pamit ke ayahmu di ruang tamu.

“Baik.”

Adeshan pun menuju ruang tamu.

Karena hari itu akhir pekan dan ia libur dari tokonya, ayahnya sedang bermain catur dengan seorang tamu.

Tubuh tamunya sangat besar, sehingga ruang tamu terasa penuh. Dari ekspresi mereka, tampaknya ayah berada di posisi unggul—karena wajah tamunya tidak terlihat senang sama sekali. Weretiger itu mengetukkan ekornya ke lantai dengan suara yang berat.

...Licik sekali.

Ayah tertawa,
“허허, mau kuizinkan satu langkah?”

Meski berada di hadapan weretiger raksasa, ayah tidak menunjukkan tanda-tanda tegang. Ia tahu benar bahwa temannya itu tidak akan membunuhnya hanya karena kalah catur. Di luar tembok kota ia adalah Penguasa Utara, tapi di sini—hanya teman lama.

Jaipha mendengus,

“Tidak perlu. Jangan merendahkan seorang prajurit.”

“Kalau begitu, permainan ini selesai dalam tiga langkah.”

“Mustahil… mana mungkin—”

“Aku perlihatkan?”

Ayah menggerakkan jarinya.

Tiga langkah kemudian, raja Jaipha tumbang.

Alis sang weretiger berkedut keras.

Ia terdiam beberapa detik, hanya ekornya yang bergerak-gerak, lalu akhirnya berbicara:

…Ayo ulang.

“Dengan senang hati. Oh? Adeshan. Mau pergi ke mana?”

Ayah baru menyadarinya dan mengangkat alis.

Adeshan mengangguk,
“Backpacking yang kubilang kemarin, Ayah.”

“Ahh, perjalanan itu. Hati-hati di jalan. Ayo Ayah antarkan—”

“Tidak perlu. Ayah tetap main dengan Paman Jaipha.”

Jaipha tersenyum,
“Selamat pagi, Adeshan.”

Adeshan melambaikan tangan sopan.

Di kehidupan lamanya, situasi seperti ini tak pernah terbayangkan.

Pembantai yang memulai Malam Taring, perusak keluarganya… kini hanyalah paman tetangga yang sering mampir.

“Paman kelihatan sehat. Teman-teman suin Paman juga baik-baik saja?”

“Ya. Berkat kau.”

“Aku tidak melakukan apa-apa. Syukurlah mereka baik-baik saja.”

Adeshan tersenyum.
Meski ia berkata begitu, kenyataannya ia telah melakukan banyak hal.

Dua tahun lalu, ia memberi tahu Jaipha seluruh kebenaran.
Barca, dalang utama, langsung dieksekusi.
Jaipha, alih-alih memulai Malam Taring, memilih bernegosiasi langsung dengan kaisar.

Adeshan ikut serta sebagai diplomat, dan semuanya berjalan baik.

“Syukurlah.”

Itu adalah hadiah terakhir Seniel.

Hadiah untuk seorang jenderal agung yang telah menyelesaikan empat kehidupan dengan terpuji.

Setelah mengalahkan Abel dan ketika Ronan sekarat, Seniel menyerahkan sisa hidupnya. Kesadarannya sempat terputus… dan ketika kembali, ia sudah menjadi seorang gadis kecil di rumah keluarga Marquis Barsa.

‘Kukira ini harga atas ketidakmampuanku.’

Awalnya ia kebingungan.
Ia sungguh mengira dirinya terlempar ke neraka.
Ia yakin takdir kejam akan kembali menjeratnya.

Namun kehidupan kali ini berbeda.

Setelah menjalani empat kehidupan—termasuk saat menjadi roh dalam orb—ia tahu semua yang akan terjadi.
Ia dapat mencegah semuanya.

Malam Taring tidak terjadi.
Tidak ada yang mati dalam keluarganya.

‘Mana Bayangan-ku bahkan bangkit lebih cepat.’

Kehidupan ini… hampir seperti surga.

Ia belajar menikmati hal-hal kecil.
Setiap momen.

Dan bahkan, masih ada harapan yang lebih besar.

Perjalanan backpacking ini adalah potongan terakhir yang ingin ia cari.

Jaipha menyipitkan mata.

“Matamu hari ini tidak biasa. Mau berburu mangsa?”

“Mirip. Aku mau ‘menangkap’ calon suamiku.”

Kuh!

Ayah, yang sedang minum whisky, langsung menyemburkan semuanya lewat hidung dan mulut.

Papan catur dan bulu Jaipha basah kuyup.

“Apakah kau baik-baik saja?”

“A—aku minta maaf! Terlalu kaget… T-tunggu dulu, Adeshan. Kau bilang apa?!”

“Tenang. Kalian pasti suka. Kalian tahu standar pilihanku tinggi.”

“Kalau kakakmu tahu, mereka membunuhnya!”

“Tidak apa-apa. Dia lebih kuat. Aku pergi ya, Ayah. Sayang Ayah!”

Ia pun keluar rumah.
Suara batuk ayahnya masih terdengar bahkan setelah pintu tertutup.

Langit cerah.
Di balik tembok abu-abu Barsa, puncak-puncak gunung putih bersinar.

Tempat di mana seharusnya berdiri tugu peringatan, kini berdiri patung Kaisar yang berjabat tangan dengan Jaipha.

Udara dingin menyapu paru-parunya. Menyegarkan.

Ia menatap awan.

Betapa indahnya… hidup tanpa kekhawatiran.

Untuk pertama kalinya… sejak awal seluruh siklus hidupnya… ia hidup damai.
Bukan dari kemewahan, tetapi dari tidur dan makan nyenyak.
Dari mengetahui bahwa sepuluh tahun ke depan… tidak ada tragedi.

Akasha…

Di dunia ini, raksasa tidak ada.
Lebih tepatnya—mereka pernah ada.
Tapi kini sudah punah.

Semua itu terjadi sebulan lalu.
Ketika ia sedang berjalan di atas benteng…

Ruang udara tiba-tiba terbelah.
Seorang gadis cantik melompat keluar.

Wajahnya… sangat mirip Ronan.

Namanya Akasha.
Ia memperkenalkan diri sebagai cucu Ronan dari dunia paralel.

“Wow, aku lihat ada dunia kelima! Jadi aku langsung datang! Senang bertemu, Jenderal Agung!”

“Kendati kau keturunannya, ini terlalu mirip.”

Sulit percaya… tapi wajah itu benar-benar salinan.

Rambut hitam tebal, senyum lembut—bahkan caranya bicara mirip dirinya dulu.

Akasha berkata bahwa raksasa sudah ia habisi.
Dan Jenderal Agung hanya perlu hidup bahagia.

Itu pun benar.

Ia membuka retakan ruang—menunjukkan dunia raksasa yang hancur.
Fenomena astronomi misterius beberapa hari lalu adalah sisa jiwa raksasa yang lepas ketika dunia mereka musnah.

Nebula Klazie sebagian besar mati dibunuh Akasha, sisanya dipenjara Rodolan.

Namun kalimat berikutnya… membuat lututnya lemas.

Mengulang percakapan itu, Adeshan bergumam pelan:

Sungguh bodoh… Sersan.

Ia baru tahu dunia yang ia tinggalkan setelah mati… tetap hidup sebagai dunia paralel.

Bahwa dunia-dunia itu diselamatkan Ronan.
Dan orang pertama yang memberinya orb untuk bersemayam… adalah Ronan.

Dan alasan Ronan menyelamatkan dunia-dunia paralel itu…

…adalah karena ia khawatir Adeshan yang ada di surga akan merasa tersiksa.

Mengetahui semuanya, ia duduk di atas benteng dan menangis.

Dari pagi sampai Akasha pergi.

Pantas saja… saat pertama kali melihat wajah Ronan… rasanya begitu familiar.

Ia mengusap mata yang memerah.

Melangkah lagi.

Baiklah… waktunya berangkat.

Ia meninggalkan rumah.

Setelah meninggalkan rumah, Adeshan melewati gerbang Barsa.

Udara dingin perlahan memudar.
Begitu ia berjalan semakin jauh ke selatan, tanah yang tertutup salju mulai mencair.
Ia sengaja tidak menggunakan gulungan teleportasi.
Ia ingin menikmati dunia yang telah menjadi damai ini sepenuhnya.

Jika haus, ia meneguk air jernih dari sungai kecil.
Jika lapar, ia memetik buah liar atau berburu.
Jika lelah, ia mencari tempat dengan pemandangan indah lalu beristirahat.

Ia mengunjungi berbagai desa dan kota, bertemu banyak orang.
Setiap saat terasa menyenangkan.
Hal-hal yang tak sempat ia lihat di kehidupan sebelumnya—ketika ia hanya hidup untuk menghalau raksasa—kini tampak begitu segar.

Sesekali para bandit muncul dan mencoba macam-macam.

Melihat seorang gadis muda berjalan sendirian, beberapa dari mereka mencoba mendekat dengan niat buruk.
Semua dari mereka berakhir sebagai mangsa kontrol mentalnya.
Sebagian diserahkan ke desa terdekat, dipaksa menyerahkan diri.
Jika kejahatan mereka berat, ia memerintahkan mereka mengakhiri hidupnya sendiri… atau mencungkil mata mereka.

Setiap kali hal seperti itu terjadi, Adeshan hanya bisa tersenyum pahit.

Bahkan tanpa raksasa atau Nebula Klazie, kejahatan masih ada di dunia ini.

Ia mulai berpikir… mungkin kehidupan ini cocok jika ia mengambil peran sebagai pembasmi kegelapan.

“Itulah dunia.”

Dan ia tetap berjalan.
Berjalan, dan berjalan, hingga sebulan berlalu.

Hingga akhirnya ia tiba di desa kecil di barat—tujuan perjalanannya.

Sungai berkelok membentengi desa yang mulai mekar oleh bunga-bunga musim semi.
Bunga liar tumbuh di mana-mana.
Matahari pagi dari arah kedatangannya mewarnai seluruh desa dengan cahaya keemasan.

Tempat yang bagus…

Ia berbisik kecil.
Ini pertama kalinya ia datang ke sini.

Desa itu bernama Nimberton.

Kampung halaman cinta pertamanya.

Huuuh…

Ia menarik napas panjang.
Hatinya berdebar.
Ia memang bisa berbicara santai di depan ayah dan Jaipha…
tapi sekarang, begitu saatnya tiba, ia merasa gugup sampai rasanya sulit bernapas.

Ia sadar sekarang—

Selama empat kehidupan…
ia tidak pernah memiliki cinta yang betul-betul miliknya sendiri.

“Tenang… aku tahu segalanya tentang dia. Aku melihat seluruh hidupnya.”

Menjadi roh dalam orb dan melihat dunia dari kejauhan selama bertahun-tahun—itu menyelamatkan dirinya.
Jika tidak, ia pasti sudah pingsan di tempat.

Ia tahu Ronan lebih baik daripada siapa pun di dunia ini.

Tapi mengetahui bukan berarti berani.

“Apa aku benar-benar bisa bicara padanya?”

Untung ini masih pagi.
Sebagian besar penduduk masih tidur.

Ia membuka cermin kecil dan memperbaiki rambutnya.

Haruskah membuka satu kancing lagi?
Harusnya rambut diikat atau dibiarkan?
Harus bilang apa duluan?
Apa dia akan menganggapku gila?

Tidak ada yang terasa benar.

Padahal—menaklukkan seratus ribu pasukan raksasa jauh lebih mudah daripada ini.

Saat ia mengeluarkan suara frustrasi kecil…

Berhenti di tempat.

Apa.

Suara yang sangat akrab terdengar dari belakangnya.

Ia terlalu sibuk merias diri sampai tak sadar ada orang mendekat.

Sebuah tongkat kayu mengetuk bahunya.

Tertangkap akhirnya. Dasar pencuri domba. Kau tidak menyangka aku menunggu di pagi buta, kan?

“...Pencuri domba?”

“Benar. Jangan harap aku akan ramah hanya karena kau perempuan. Sebelum kutahan di penjara, kau akan kuhukum dulu. Pertama, kau akan kupakaikan kostum domba, lalu—”

Ia mengoceh panjang.
Adeshan baru sadar seluruh anak domba di bawah kakinya berbaris dengan mata melotot padanya.

Sepertinya ia terlalu gugup sampai tanpa sadar menggunakan kontrol mental.

Pertemuan yang paling buruk…

Adeshan terpaksa berkata,

“Sepertinya ada salah paham. Aku bukan pencuri domba.”

“Semua pencuri bilang begitu. Diam dan balik sini. Biar kulihat wajah tak tahu malumu.”

“...Baik.”

Ia mengangkat kedua tangan setinggi bahu dan berbalik.

Ronan berdiri di sana.

Ronan muda—remaja, belum dewasa.

Jauh lebih kecil dari tubuhnya saat dewasa, wajahnya jauh lebih lembut.
Begitu melihat Adeshan, ia juga membeku.

Apa…

Tongkat kayu perlahan turun.

Ia menatap wajah Adeshan seperti orang yang tersihir.

Adeshan pun sama.
Anak-anak domba di sekelilingnya kabur, tapi mereka berdua tak sempat memperhatikan itu.

Keduanya sama-sama menyadari, tanpa kata-kata—

Ada sesuatu yang tersambar di dalam hati mereka.

Konon orang bisa jatuh cinta pada pandangan pertama.

Ternyata itu bukan mitos.

Ronanlah yang bicara lebih dulu.

…Tsk, wajahmu lumayan juga, ya.

“Terima kasih.”

“Benar kau bukan pencuri?”

“Benar. Tapi domba-domba ini bergerombol karena… salahku. Maaf, Ronan.”

“Bagaimana kau tahu nam—”

Ia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya.

Adeshan melangkah maju.
Menarik belakang kepala Ronan.

Dan menempelkan bibirnya.

“…”

Mata Ronan membelalak.
Itu hanyalah ciuman singkat—hampir seperti sentuhan.

Tapi dampaknya sama sekali tak singkat.

Saat mereka berpisah, wajah mereka berdua memerah sampai telinganya.

Ronan menyentuh bibirnya dengan tangan gemetar.

...Wow.

“Ya.”

Adeshan tersenyum lembut.

Ekspresi gugup, bingung, dan marah-malu Ronan sangat… terlalu manis.
Begitulah rasanya ketika Ronan mencium dirinya di bawah cahaya aurora—ia mengerti mengapa Ronan tersenyum saat itu.

Inilah hidup.

Adeshan menatapnya sebentar, lalu mengangguk ke arah bukit kecil dengan pohon ek besar.

Urusan kecil seperti ini… ayo bicarakan pelan-pelan di sana.

Dan mereka pun berjalan bersama ke bukit itu—

—sebagai awal dari takdir yang akhirnya kembali menyatu.

完.

 

Nunaaluuu Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review