Side Story 1. Orang Tua yang Baik
“Uhaaah··· sudah lama juga ya ke sini.”
Ronan, yang tiba di puncak bukit, meregangkan tubuh. Awan-awan putih mengembul seperti domba, mengapung santai di langit biru. Ketika ia menurunkan pandangan, pemandangan Nimbertun yang begitu familiar masuk ke matanya.
‘Tidak berubah sedikit pun. Ya bagus juga begitu.’
Sudah hampir setengah tahun ia tak pulang kampung. Aroma rumput yang terbawa angin terasa begitu akrab. Ronan menoleh, lalu meletakkan tangan di batang pohon ek besar yang tumbuh di puncak bukit.
“Sibuk banget sampai nggak sempat mampir. Gimana, baik-baik saja selama ini?”
Di bawah pohon tua yang ratusan tahun lamanya memandang Nimbertun, terletak sebuah batu nisan kecil. Nama yang terpahat rapi dengan aksara kekaisaran itu adalah tulisan tangan Ronan sendiri. Dengan gerakan hati-hati, ia menepuk-nepuk debu dan daun yang menempel.
“Hm? Ayah.”
Tak ada jawaban, tentu saja. Sang Penyelamat—tidak, Cain—telah meninggal dua tahun lalu. Ronan meletakkan ranselnya dan duduk di sebelah batu nisan.
“Gimana? Pemandangannya cocok? Suka?”
Ia bertanya. Setelah perang melawan Nebula Claje berakhir, Ronan membangun makam Cain di Nimbertun. Di tempat yang sama persis dengan pemandangan senja yang ia lihat dalam kilasan hidup—di mana Cain berdiri bersama keluarganya.
“Memang desa yang bagus. Meski gagal didik adik, setidaknya tempat tinggal keluarganya dipilih dengan benar. Aku akui itu.”
Ronan mengangguk sambil memandang ke bawah bukit. Kaisar ingin menguburkan jasad sang pahlawan di mausoleum agung bersama para kebesaran bangsa, tapi Ronan menolak.
Perbukitan hijau, sungai yang melingkar di desa—semuanya hampir tak berubah dari masa kecilnya. Ronan tiba-tiba merasa pantatnya dingin dan mengumpat.
“Sialan. Lupa masih pakai seragam.”
Rumput basah oleh embun pagi mulai meresap ke celana seragam yang disetrika Adeshan sampai kaku. Ia menghela napas pasrah.
“Ya sudahlah… toh habis ini juga nggak bakal kupakai tiap hari. Nggak dimarahin kan, ya.”
Ronan akhirnya tetap duduk. Seragam mungkin akan ia pakai lagi kalau sedang ingin “bersenang-senang” dengan Adeshan, tapi itu nanti saja. Ia menepuk batu nisan.
“Ah iya. Hari ini aku lulus, yah. Bersama Schullipen, bahkan jadi peringkat satu bersama.”
Ia mengeluarkan ijazah dari ranselnya. Pita emas di pinggirnya melambangkan lulusan terbaik jurusan ilmu bela diri.
“Brengsek itu makin kuat saja. Entah berkat cinta atau apa, hampir saja aku kalah.”
Ronan terkekeh mengingat duel kelulusan. Schullipen yang bertarung dengannya kini jauh lebih kuat—perbandingan dengan masa lalu rasanya bahkan tidak sopan.
‘Gila bener. Demi nunjukin diri ke kakakku, dia bikin seluruh Pheleon muter kayak tornado.’
Benar-benar duel gila. Untuk pertama kalinya sejak perang, Ronan memakai aura lagi.
Semua penyihir akademi harus dikerahkan membuat penghalang agar serangan mereka tak menghancurkan tribun penonton. Setelah keduanya saling mengerahkan semua tenaga, hasilnya imbang—pertandingan berakhir dengan batas waktu.
Ronan mendecak.
“Aku jamin, setahun lagi bocah itu bakal ngalahin Zaifa. Gelar ‘Pedang Terkuat Benua’ bukan cuma nama doang. Oke, itu tugas pertama. Lanjut…”
Ia mengaduk ranselnya lagi dan mengeluarkan satu botol arak. Sebuah benda sebesar telur ikut terjatuh, tapi Ronan tak memperhatikannya.
“Bener juga, kita nggak pernah minum bareng. Nih, ayo minum.”
Itu adalah arak bunga salju seribu tahun yang ia dapat dari Zaifa. Ia membuka tutupnya dan menuangkan setengahnya ke atas batu nisan.
Harganya bisa ditukar dengan empat ekor kuda bagus, tapi ia tak peduli. Ia menenggak satu teguk, lalu mengusap bibir dengan lengan.
“Ugh, mantap kan? Nggak ada yang ngalahin rasa ini.”
Rasa panas mengalir di kerongkongan, tapi itulah nikmatnya. Sambil minum, Ronan menatap Nimbertun.
Desanya masih sama, tapi jumlah orang yang berkeliaran jauh lebih banyak. Kalau didengar baik-baik, suara keramaian terdengar jelas.
“Gila, desa sekecil ini bisa melahirkan tiga pahlawan. Apa ada naga dikubur di bawah tanah?”
“Ini ladang kentang yang dulu diurus Lady Iril. Aduh, kapan aku bisa makan stew buatannya… nggak nerima pesanan lagi sih.”
“Eh, masih ada kentangnya nggak? Kalau ada, satu saja buat—”
“Jangan coba-coba. Katanya area ini dilindungi sihir Asel. Masuk aja, langsung beku.”
Sebagian besar adalah orang-orang yang datang untuk melihat kampung halaman Ronan, Iril, dan Asel. Tiga orang itu kini adalah para penyelamat dunia, selebritas seluruh benua. Ronan menyeringai.
“Ngapain sih jauh-jauh ke mari. Nggak ada apa-apa di sini.”
Rumah masa kecilnya kini jadi tempat wisata. Ronan menenggak araknya lagi lalu bersandar pada batu nisan.
Awan bergerak cepat tertiup angin. Ia merasa mabuk mulai naik. Mungkin ini waktu yang tepat untuk mengucapkan sesuatu yang sulit.
Setelah lama diam, ia berbisik.
“Jadi gini. Aku bakal jadi ayah.”
Desir angin lewat di antara daun. Ronan mengetahui Adeshan hamil sebulan lalu.
“Yah, belum benar-benar ‘keluar’, sih… tapi tetap saja.”
Ia sama sekali tak ingat berapa lama bayi berada di kandungan. Tapi ia masih bisa melihat wajah Adeshan ketika tahu kabar itu—melompat kegirangan, hampir menangis. Ronan menyalakan pipa rokoknya.
“Sial… aku memang ingin punya anak, tapi secepat ini tuh… Kita harus nikah sebelum perutnya kelihatan. Dia pasti nggak mau ada gosip jelek. Oh, jangan salah paham. Ini bukan karena terpaksa. Aku cinta mati sama dia.”
Ia menghembuskan asap putih. Hidup bersama Adeshan adalah masa paling bahagia sepanjang hidupnya.
“Dan sepertinya aku bakal menikah dulu sebelum kakak. Aneh ya. Lihat nih, dulunya aku cuma bajingan mabuk yang pipis sembarangan di barak. Sekarang calon suami dan calon ayah… Jadi, aku mau tanya.”
Ia menenggak habis arak, lalu berkata dengan suara serak:
“Menurutmu… aku bisa jadi ayah yang baik?”
Tentu tak ada jawaban. Cain sudah lama tiada. Walau Ronan bicara seolah ayahnya hidup, kenyataan tetaplah kenyataan.
Ia tersenyum masam dalam kesunyian. Pernah membenci Cain, tapi kini ia tahu bahwa sang Penyelamat sebenarnya ayah yang cukup baik. Dalam waktu singkat itu, Cain meninggalkan kenangan yang tak tergantikan.
“Dulu kalau waktunya lebih panjang… entah bagaimana jadinya.”
Pandangan Ronan mulai berkabut.
“Sialan…”
Ia memandang langit dan berkedip keras. Ia tidak mau terlihat menyedihkan di depan orang yang mati dengan cara paling mulia. Setelah lama duduk, ia berdiri perlahan.
“Oke… aku pergi dulu. Adeshan lagi nunggu.”
Ia memasukkan botol kosong ke ranselnya dan membersihkan rumput-rumput yang berserakan. Saat ia mulai turun bukit—
“Mungkin nanti aku datang lagi bareng cucu, ya.”
Ia melambaikan tangan tanpa menoleh. Ia bahkan tidak sadar benda sebesar telur yang tadi jatuh masih tergeletak di samping batu nisan.
Ketika ia berjalan menuruni bukit—
“Ah, Ronan!”
“Hm?”
Ia menoleh. Adeshan sedang mendaki bukit. Rambut hitamnya bergelombang sampai pinggang, melambai tertiup angin.
“Kan kubilang aku sebentar lagi turun. Kenapa naik? Badanmu berat gitu.”
Ronan mengerutkan alis. Ia sudah bilang untuk menunggu sambil minum cokelat panas di warung pinggir jalan.
Ia segera berjalan menghampiri dan menyelimuti bahu Adeshan dengan mantelnya. Ia merapatkan kerahnya, tersenyum kecil.
“Aih, aku masih kuat kok. Kamu itu protektif banget.”
“Harus hati-hati. Kalau sampai jatuh bagaimana.”
“Tapi aku ingin menunjukkan kampung halamanmu ke anak kita nanti. Iya kan? Kamu juga ingin lihat?”
Adeshan mengusap perutnya sambil tersenyum. Biasanya ia suka pakaian ketat, tapi sejak hamil ia selalu memakai pakaian longgar.
‘Ini… ibu, ya.’
Ronan terpana. Perutnya bahkan belum membesar, tapi perhatiannya sudah seperti seorang ibu sejati.
Ia memikirkan sesuatu, lalu mengeluarkan pipa rokok dari balik jas. Ia memegang kedua ujungnya—Krek!—dan mematahkannya. Adeshan terlonjak.
“K-kenapa tiba-tiba?”
“Buat kamu sama bayi nggak baik. Sudah waktunya berhenti.”
Ia berkata ringan. Adeshan terdiam sesaat lalu tersenyum bangga.
Mereka berjalan turun sambil berpegangan.
“Tidak nyangka kita yang nikah duluan. Kukira Irl dan Schullipen bakal duluan.”
“Bocah itu masih jauh. Rumah bareng pun belum.”
“Hehe, tapi sudah resmi tunangan. Hebat juga.”
Adeshan mengencangkan genggamannya. Hubungan Iril dan Schullipen memang jadi gosip terbesar di Kekaisaran. Ronan tertawa kecil mengingat semua temannya.
“Kalau ada yang paling mungkin nikah cepat, itu Asel. Marua itu perempuan luar biasa. Bayangin tiap hari dipeluk sama… itu.”
Ia tiba-tiba terdiam. Ada aura mencekam dari sebelahnya. Ia melirik—Adeshan menatapnya tajam sekali.
“···Maaf. ‘Dada’. Bukan ‘tetek’. Dada.”
“Hmm. Gitu harusnya.”
Senyuman lembut kembali ke wajahnya. Ronan baru sadar ia hampir melanggar janji untuk tidak bicara kasar di depan anak.
Adeshan lalu menatap ke bawah dadanya sendiri dan bergumam kecil.
“Yah… kalaupun punyaku nggak sebesar Navirose-seonsaengnim atau Marua… aku lumayan kan?”
“Astaga, tentu saja, Nyonya. Terlalu besar malah bikin bayi pusing nanti.”
“Hahaha. Jawaban bagus.”
Mereka sampai di tepi sungai. Di bawah bayangan air yang memantulkan warna langit, kawanan trout berenang. Ketika hendak naik rakit—
“Hey. Ronan.”
“Hm?”
“Menurutmu… aku bisa jadi ibu yang baik?”
Ia terdiam. Mata Adeshan yang menatap permukaan sungai tampak diliputi kekhawatiran.
Ia adalah wanita yang memimpin seratus ribu prajurit… tapi menjadi ibu adalah hal lain. Ronan merasa dejavu kuat.
‘Ah… jadi begini rasanya.’
Pertanyaan yang sama persis seperti yang baru saja ia lontarkan pada Cain.
Ia tersenyum kecil, menggenggam tangan Adeshan.
“Tentu. Sudah pasti.”
Kekhawatirannya melunak. Mereka menaiki rakit. Ronan melanjutkan—
“Percayalah. Kita akan jadi orang tua yang baik. Pasti.”
— Tamat Side Story 1 —
Side Story 2: Burung yang Memakan Mimpi (1)
“Brengsek... sebenarnya jatuh di mana sih benda itu?”
Ronan menggerutu. Ia sedang menapaki bukit Nimburton sejak fajar buta. Setelah pertarungannya dengan Abel berakhir, sebuah gugol yang tadinya berada di dalam sakunya hilang entah ke mana.
‘Benar-benar bikin ribut aja, padahal aku bahkan nggak tahu itu benda apa.’
Syukurlah ia sadar kehilangannya keesokan harinya. Meski tak tahu apa itu sebenarnya, melihat bagaimana ia mendapatkannya—itu jelas bukan sesuatu yang bisa ia buang sembarangan.
Ia sudah menggeledah semua tempat lain; tinggal lokasi ini satu-satunya yang belum. Dalam udara yang remang-remang di pagi hari, pohon oak bergoyang diterpa angin. Saat ia mendekati makam Cain, tiba-tiba—
“Piiiit!”
“Anjing!”
Sebuah suara hiruk-pikuk yang tak diketahui asalnya meledak entah dari mana. Ronan terlonjak lalu memaki.
“Apa lagi itu?!”
Ia hampir terjungkal dan menggelinding ke bawah bukit. Dengan refleks ia meletakkan tangan di gagang pedang. Teriakan yang tak dikenal itu jelas berasal dari arah batu nisan Cain. Begitu mendekat, ia melihat sebuah benda yang dikenalnya.
Permukaan kasar seperti sisik hiu. Tak salah lagi—itu benda yang ia cari. Ia memungutnya dan mengerutkan kening.
“...Ini kayaknya membesar?”
Ronan menemui Baren pada siang harinya. Menara ke-13 Phileon, tempat Baren tinggal, selamat dari perang melawan Nebula Clazier tanpa kerusakan berarti. Setelah mengetuk beberapa kali, Ronan membuka pintu.
“Halo. Baren.”
Begitu pintu kantor dibuka, aroma manis langsung menyergap. Were-lion setinggi tiga meter itu, seperti biasa, tengah memanggang kue—kegiatan yang sama sekali tak cocok dengan tubuh raksasanya. Baren tersenyum lebar saat melihat Ronan.
“Oho, sang pahlawan penyelamat dunia datang berkunjung.”
“Jangan panggil aku begitu. Dan—kau tambah gemuk kan?”
“Hahaha. Bukan gemuk—sebut saja ini kebahagiaan. Perutku juga baik-baik saja.”
Baren tertawa, bulu surainya yang lebat bergetar bersama pipinya yang montok. Sweater besar yang bahkan bisa dijadikan tenda bagi manusia berukuran kecil menggantung longgar di tubuhnya.
‘Sial. Orang bisa mengira dia lagi hamil.’
Ronan terkekeh kecil melihat pemandangan itu. Kini Baren hampir tak pernah memakai setelan rapi. Tubuh berotot yang dulu tajam dan terlatih kini membulat, sangat berbeda dibanding dua tahun lalu.
Proses berubahnya menjadi were-pig meningkat pesat sejak Ronan dan teman-temannya memasuki semester akhir. Baren mengaku itu karena pernikahannya bahagia, tapi Ronan yakin penyebab utamanya adalah: ia tak lagi stres menghadapi kekacauan klub petualangan khusus itu.
“Istrimu bagaimana? Masih dinas militer?”
“Oh, Nemea sudah pensiun tahun ini. Sekarang dia mengawasi budidaya tanaman di wilayah kami. Katanya pekerjaan administrasi itu cocok sekali dengannya.”
Dengan membawa nampan berisi kudapan, Baren duduk di sofa. Pukkiiiik!—bantalan kursi langsung mengerang seperti sedang meminta dibebaskan dari penderitaan.
Baren menikah setahun lalu dengan Mayor Nemea, wakil Jaifa. Kalau dipikir kembali, dulu Baren benar-benar gentleman paling trendi di seluruh Phileon—atau bahkan ibu kota. Surainya selalu berkilau, dan pakaian kasualnya sering menghiasi rubrik mode dari majalah kekaisaran.
Belum lagi, ia mendapat setengah dataran Brynhils sebagai hadiah atas jasanya di perang. Bisnis ramuan khususnya berkembang pesat; hanya butuh waktu singkat sampai ia menjadi salah satu orang terkaya di benua.
Seorang lelaki yang dulu begitu gagah berubah jadi paman bermata sayu dan berperut buncit seperti ini... dibandingkan Nemea yang tetap secantik sebelumnya, itu terlalu timpang. Ronan menatap perutnya dan bertanya:
“Istrimu nggak bilang kau menipunya dengan pernikahan ini?”
“Hahaha. Justru dia bilang aku kini terlihat lebih bisa diandalkan. Ronan—eh, bukan ‘murid’ lagi ya. Bagaimanapun, berkat kau aku bisa mendapat hubungan sebaik ini.”
Baren terkekeh. Ronan merasa itu menjengkelkan, tapi tiap orang punya selera. Ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya—sebuah gugol sebesar kepalan tangan.
“Baiklah, kalau kau bahagia. Ngomong-ngomong, bisa lihat ini? Kalau ada waktu.”
“Hm? Apa itu?”
“Saat selesai bertarung dengan Abel, benda ini ada di sakuku. Rasanya aneh, jadi aku sudah lama ingin membawanya ke Profesor. Tapi akhirnya lupa total…”
Ronan menyerahkan gugol itu. Sebenarnya ia harus menunjukkan ini dua tahun lalu. Baren menelitinya dengan serius.
“Hmmm... sungguh sulit ditebak. Tak merasakan aliran mana, tapi bukan mineral biasa juga. Material seaneh ini terakhir kali kulihat... ya, saat memeriksa cangkang telur Sita.”
“Kan? Makanya aku teringat itu. Bentuknya seperti telur.”
Ronan mengangguk. Gugol itu memang memberi kesan mirip telur Sita. Setelah menggigit kuenya, Baren bergumam:
“Bisa jadi... ini telur kkuṁsae (Burung Pemakan Mimpi)? Walaupun aku tak tahu kenapa itu ada di sakumu.”
“Hooh? Burung Pemakan Mimpi... teori yang menarik. Kalau tak keberatan, bolehkah aku menelitinya lebih jauh?”
Mata Baren berkilat-kilat seperti anak kecil. Dari meja kerjanya, Marfez—burung biru berbulu lembut—mengangkat kepala.
— Piii?
Bulu lembutnya masih sama. Burung yang bisa berlari di atas air itu sudah menemani Baren selama puluhan tahun. Saat ini ukurannya pun membengkak menjadi satu setengah kali lipat—sama seperti tuannya.
“Tentu saja. Kalau begitu aku keluar sebentar...”
Ronan berdiri. Baru satu hari berhenti merokok, tetapi tangannya bergetar karena sakau.
‘Aduh... harus kena angin dulu.’
Menjadi ayah yang baik ternyata tidak mudah. Tepat saat ia hendak keluar—kriiik—pintu terbuka. Seorang wanita yang dikenalnya masuk.
“Ronan. Kau di sini rupanya.”
“Instruktur Naviroze?”
“Sungguh menyenangkan melihatmu lagi. Bagaimana kabarmu?”
Ronan mengangkat alis. Tubuh Baren yang rusak parah mungkin membuatnya syok, karena pemandangan Naviroze tampak makin memesona dibanding sebelumnya. Lengkungan tubuhnya jelas terlihat bahkan di balik seragam.
‘Nah, ini baru benar. Orang bahagia bukan berarti harus rusak begitu.’
Ia mengangkat jempol dalam hati. Saat ia sedang bertekad tak akan menjadi seperti Baren—bayangan berbahaya melintas di wajah Naviroze.
“Tentu saja begitu.”
“Heh?”
Tak sempat bicara lebih jauh—Kwaajik! Naviroze menutup jarak dan menghantam ulu hati Ronan dengan tinju.
“Ugh!”
“Dasar anak kurang ajar. Ikut aku.”
Ia menjambak telinga Ronan. Cengkeraman ibu jari dan telunjuknya, yang katanya bisa menembus batok kelapa, membuat tubuh Ronan terangkat seperti ikan salmon yang disambar beruang. Ia diseret keluar kantor.
“Aaaakh! Baren, tolongin aku!”
Namun Baren yang asyik meneliti gugol tidak mendengar. Naviroze baru melepas Ronan ketika mereka mencapai atap menara. Di bawah, halaman kampus tampak ramai.
“Di sini cukup. Cuacanya bagus.”
“Gila! Kenapa tiba-tiba mukul?!”
Ronan mengamuk. Daun telinganya memerah dengan jelas. Naviroze menjawab datar:
“Semuanya sudah kudengar, dasar bajingan.”
“M—mendengar apa? Dari siapa?”
“Kudengar kabar tentang Adeshan. Tidak menikah secara resmi, tapi sudah membuatnya mengandung? Kalau kau punya mulut, ayo, beri pembelaan.”
Ronan membelalak. Angin musim semi bertiup lembut melewati pagar.
“Bagaimana bisa tahu? Aku belum bilang ke siapa pun.”
“Dia sendiri yang bilang. Dia menanyakan pendapatku soal nama bayi. Jadi kubilang akan kupikirkan dulu.”
Naviroze mengeluarkan pipa rokok. Ia tampaknya kembali merokok. Asap tipis terbang dibawa angin.
“...Tembakau Pegunungan Toruva Selatan, ya?”
“Benar. Daun dari tanah kelahiranku selalu paling enak. Mau coba?”
“Tidak. Aku sedang berhenti.”
Ronan mengepalkan tangan. Sebenarnya ia ingin merebut dan mengisapnya sekarang juga. Tapi membayangkan Adeshan yang sedang fokus menjaga kesehatan kandungannya... tidak mungkin ia melakukan itu.
“Kemauanmu lumayan. Jadi bukan kecelakaan, ya?”
Naviroze mematikan pipa itu. Sepertinya ia mengerti alasan Ronan berhenti merokok. Ia melanjutkan:
“Ronan. Adeshan adalah putriku.”
“...Maaf?”
“Dalam arti kiasan. Tapi kau tahu sendiri betapa berharganya dia bagiku.”
Ronan mengangguk. Siapa pun yang melihat keduanya pasti tahu hubungan mereka sedekat ibu–anak.
“Dan kau sama berharganya. Walaupun kau lelaki menyebalkan, aku ingin kalian berdua bahagia.”
“Eh... terima kasih. Jadi kenapa aku dipukul? Karena ‘kecelakaan’ itu?”
“Itu juga. Tapi terutama karena kau tidak memberitahuku kabar bahagia itu. Kalau orang lain tidak tahu, tidak apa. Tapi padaku? Minimal kau bisa mengatakannya. Aku mungkin bisa membantumu.”
“Hmm. Ya... seharusnya aku bilang. Tapi bukannya Instruktur masih lajang? Bukankah dulu itu pertama kalinya kau memperlihatkan tubuh—ugh!”
Tinju kedua Naviroze menghantam perut Ronan. Ia tidak menghindar—begitu kata-katanya keluar, ia sadar ia memang pantas dipukul.
‘Brengsek. Padahal dulu dia santai saja menunjukkannya.’
Tempat yang sama, dan sakitnya dua kali lipat. Naviroze yang wajahnya sedikit memerah mengusap pipinya.
“...Terlepas dari itu, ada hal-hal yang hanya bisa dibantu oleh sesama perempuan.”
“Hrrg... iya... itu salahku.”
“Baik. Yang penting, kau tak menganggap kehamilan itu sebagai kesalahan. Kalau iya, kau sudah kubunuh.”
Suara Naviroze turun tiba-tiba; kilatan membunuh sekilas melintas di mata hijau zamrudnya. Ronan yang masih terengah menegakkan badan.
“Tentu tidak. Dia wanitaku.”
“...Kau ini memang anak baik. Sudah cukup mengeluhnya, sekarang bangun. Aku punya hadiah untukmu.”
“Hadiah?”
Ronan berdiri dan memiringkan kepala. Naviroze menatap sekeliling, lalu melangkah ke tengah atap—seolah sengaja menjauh dari bangunan di bawah.
“Ya. Hanya kau yang bisa menerima hadiah ini. Aku harus masuk kelas setelah ini, jadi hanya akan kutunjukkan sekali.”
“Apa maksudnya...”
Ronan mengerutkan dahi. Hadiah yang tidak diberikan, tapi “ditunjukkan”? Ia tak paham. Saat itu Naviroze menghunus daetaedo (pedang besar).
“Intinya: buat lawan mengerti bahwa kau adalah pemangsa.”
“Apa—”
Fwoooosh!
Pandangan Ronan tertelan kegelapan. Tubuhnya tak bisa bergerak—seolah seluruh persendiannya berkarat.
Sensasi tak menyenangkan yang sangat dikenalnya.
Indra-indranya seolah layu. Ronan menarik napas, lalu membuka mata.
Naviroze lenyap. Di tempatnya, seekor ular raksasa melingkar.
“Kau sudah sangat kuat, tapi mungkin suatu hari ini akan berguna.”
Ular itu berbicara. Itu adalah Mansa, aura Naviroze yang membuatnya menjadi Sword Saint. Tubuh ular itu jauh lebih besar dari sebelumnya.
“Instruktur...”
Ini hadiah di luar dugaannya. Ronan hendak berbicara lagi ketika—
KWA-A-A-AANG!
Cahaya terang meledak di sekeliling mereka.
“Anjing! Apa itu?!”
“Hm...!”
Naviroze seketika mencabut pedangnya. Ketika cahaya memudar, mereka melihat penyebabnya—
“Sita?!”
“Bbyyyaaah... bbyai?”
Sita terkapar di lantai dengan perut terbuka ke atas. Tubuhnya yang terlalu besar membuat empat sayapnya menjulur melewati pagar. Ia tak sadarkan diri, tapi tampaknya tidak terluka. Naviroze menghela napas.
“Mungkin dia sedang mencari dirimu, lalu masuk ke radius Mansa. Maaf.”
“Dia kuat kok. Tapi, dasar kau...”
Ronan mendekat. Kedua pipi Sita menggembung seperti tupai yang menyimpan kacang. Ronan membuka mulutnya dan mengeluarkan benda yang terjebak di dalam.
Sebuah patung kecil yang dipenuhi kertas-kertas kuning berisi tulisan merah padat—namun tak dapat ia baca. Mata Naviroze menyipit.
“Ini... barang dari Benua Baru.”
Side Story 3: Burung yang Memakan Mimpi (2)
“Benua Baru?”
“Benar. Benua timur jauh di seberang lautan itu. Kertas-kertas yang menempel di sini jelas berasal dari salah satu negara di sana.”
Naviroze mengangguk. Ia menjelaskan bahwa kertas kusam yang tampak seperti direndam dalam air seni itu adalah sejenis bujok—scroll sihir khas wilayah itu. Bila diperhatikan lebih dekat, Ronan juga bisa merasakan aliran mana samar padanya.
“Aneh ya. Aku bahkan belum pernah lihat huruf macam ini. Instruktur bisa membacanya?”
“Aku juga tidak. Hubungan diplomatik dengan Benua Baru baru dimulai belum lama ini. Setelah perang berakhir barulah komunikasi resmi dibuka.”
“Ah begitu.”
Ronan mengangkat alis. Ia terlalu sibuk menghadapi masalah dari daratan sendiri, jadi wajar jika tak tahu apa pun. Sambil mengelus Sita, ia menjentikkan jarinya.
“Tapi tunggu dulu. Kalau begitu, bukankah berarti si bangsat ini terbang sampai ke Benua Baru?”
“Sepertinya begitu. Entah di mana ia mengambil benda ini, tapi di sana pasti terjadi sesuatu yang besar. Setahuku patung dan bujok seperti ini biasanya digunakan untuk menahan suatu bahaya.”
“Anjing. Jadi dia bikin masalah lintas benua sekarang.”
Ronan memijit pelipisnya. Ia tahu Sita makin besar dan jangkauannya makin luas... tapi tidak pernah membayangkan Sita akan menyeberangi lautan hingga sejauh itu. Ia menepuk tubuh Sita.
“Hey. Bangun. Ayo bangun.”
Harus mencari tahu apa yang terjadi. Tapi Sita yang terkena aura Mansa benar-benar limbung dan tak sadarkan diri. Meski Ronan mengguncang, mencubit, bahkan menarik pipinya, hasilnya tetap sama.
‘Ini benar-benar gila.’
Aura Mansa memang luar biasa. Terakhir kali Sita roboh seperti ini adalah setelah memakan semua darah di medan perang Selatan sampai mabuk. Ronan menghela napas, lalu menarik gagang pedangnya.
“Aduh... hidupku.”
Sepertinya ia harus menggunakan cara terakhir. Ronan menorehkan ujung jarinya, meneteskan setitik darah ke mulut Sita. Tak lama, Sita menggerakkan lidahnya dan membuka mata.
“Bbyaa... bbbyaa?”
“Sudah sadar? Dasar kau itu.”
Ronan menggeleng. Meski tubuh besar, kelakuannya tetap sama. Sita menggoyangkan kepala seperti anjing basah lalu berdiri tegak. Ronan mengangkat patung itu.
“Kau ambil ini dari mana? Hah?”
“Bbyawung?”
“Jangan pura-pura nggak ngerti. Kau benar-benar pergi ke Benua Baru?”
“BbyAAAA!”
Sita mengibaskan sayapnya dengan antusias. Itu jelas jawaban ya. Ptuak! Tiba-tiba mulut Sita terbuka dan memuntahkan enam patung lain yang bentuknya serupa.
“Bbya! Bbya!”
“Oh sialan.”
Ronan tanpa sadar mengumpat. Seluruh patung itu dipenuhi bujok kuning dengan tulisan merah yang tak bisa dibaca.
Jika kata Naviroze benar, benda-benda seperti ini dipakai untuk menyegel ancaman berbahaya. Sita, yang tentu saja tak tahu apa pun, berdiri dengan dada membusung—seakan ia baru memberikan hadiah terbaik.
Ronan mengusap wajahnya kasar. Lalu ia menoleh pada Naviroze.
“...Instruktur.”
“Katakan.”
“Kalau seekor anjing bikin masalah, tanggung jawabnya di pemiliknya, kan?”
“Benar.”
“Brengsek. Aku tidak menyangka perjalanan luar negeriku pertama kali bakal seperti ini.”
Dunia serasa gelap. Jika masalah internasional pecah gara-gara ini, mau tak mau Ronan harus turun tangan mengurusnya.
Bahkan sebelum ia membereskan urusan di daratan, kini ia mungkin harus berangkat ke Benua Baru. Ronan menghela napas panjang. Pada saat itu, suara familiar terdengar dari arah pintu.
“Ah, Anda di sini rupanya, Ronan-nim.”
“Hm?”
Ronan menoleh. Seorang pria berambut panjang yang dikepang rapi berdiri sopan. Kacamata beruntai dan buku tebal di ketiaknya langsung mencuri perhatian. Ronan mengangkat alis.
“Kau... Balus?”
“Lama tidak bertemu. Sudah lama tidak bersua, Ronan-nim.”
“Ya, tapi... anjing. Apa yang terjadi padamu?”
Ronan terkekeh tak percaya. Ternyata benar. Balus adalah rekan dinas paksa yang dulu Ronan selamatkan dari Karibolo—seorang pemburu liar yang hampir mati.
Ronan kemudian merekomendasikannya pada Baren dan menjadikannya asisten. Terakhir kali ia melihat Balus sebelum perang pecah, pria itu masih terlihat seperti bandit. Tapi sekarang—ia tampak seperti SCHOLAR sejati.
“Dengan bantuan Profesor Baren, saya belajar di berbagai tempat. Dunia ini ternyata sangat luas. Dan sekarang... saya baru saja mempresentasikan makalah saya di Akademi Kerajaan.”
“...Baguslah itu.”
“Semua berkat Ronan-nim. Saat dulu saya bertemu Anda dan Asel-nim dalam tugas pengintaian... itu keberuntungan terbesar hidup saya. Meski waktu itu saya hampir mati ketakutan.”
Balus tersenyum lembut. Tidak ada sisa pun dari dirinya yang dulu—pria kampungan dan vulgar yang berjejalan dengan para kriminal lainnya.
‘Kalau begitu... mungkinkah yang lain juga bisa berubah?’
Wajah rekan-rekan dinas paksa terlintas dalam ingatan Ronan. Sekarang ia sudah lulus, berarti waktunya menjalankan rencana.
Alasan ia menerima gelar bangsawan yang merepotkan itu juga karena hal ini—dengan menjadi bangsawan, ia mendapat wilayah dan dapat secara legal merekrut mereka untuk bekerja. Tujuan Ronan adalah merehabilitasi para rekan dinas paksa yang belum sepenuhnya rusak.
Beberapa dari mereka bahkan kini tinggal di wilayah Ronan, Valture—mereka bekerja mengolah tanah utara yang belum berkembang. Tentu saja Ronan membayar upah mereka secara adil.
‘Kalau sudah sedikit beradab, aku kirim mereka ke Phileon. Aku sendiri nggak bisa mendidik mereka.’
Saat Ronan sedang memikirkan rencana masa depan, tiba-tiba darah mengucur dari hidung dan mata Balus. Ia mengangkat bahu dengan panik.
“A-ah! D-darah?!”
“Bbyahahaha!”
Sita terkikik dan mengepakkan sayap dengan usil. Ronan langsung membentaknya.
“Hey! Berhenti sekarang juga!”
Itu adalah lelucon yang sama saat Sita pertama bertemu Balus. Dulu Ronan hampir kehilangan Balus karena perdarahan fatal. Sita mengecilkan tubuhnya, menunduk.
“Bbyawuuung...”
“Hahh... selamat...”
Darah yang keluar dari wajah Balus terserap kembali dengan sendirinya, hingga bajunya pun bersih seperti semula. Ia menghela napas lega. Ronan menepuk pundaknya.
“Maaf ya. Dia ini kadang terlalu usil.”
“N—nggak apa. Sudah lama tidak kena, jadi kaget saja.”
“Baguslah. Jadi, kau ke sini ada perlu apa?”
Karena terlalu asyik nostalgia, Ronan hampir lupa. Balus merapikan pakaiannya lalu menepukkan tangan.
“Ah, saya diutus menyampaikan pesan. Profesor Baren memanggil Anda. Katanya sudah menemukan identitas gugol itu.”
“Hah? Secepat itu?”
Ronan segera kembali ke ruang kerja Baren. Naviroze meninggalkan tempat sebelumnya sambil mengatakan mereka akan bertemu lagi. Begitu Ronan membuka pintu—
“Ohoh! Kau kembali!”
“Astaga, kaget!”
Baren duduk di belakang meja yang kini berantakan, jelas-jelas menunggu kepulangannya. Sementara Sita, tubuhnya yang terlalu besar berada di luar jendela, hanya kepala yang masuk dan berkedip-kedip.
Baren menggaruk dagu Sita dan berkata:
“Hasil analisis menunjukkan dugaanmu benar. Komposisi mana di dalam gugol itu lebih dari 90% identik dengan burung pemakan mimpi!”
“Anjing... serius?”
Ronan terbelalak. Awalnya ia hanya menebak, tapi tak menyangka tebakannya benar.
Baren menunjuk gugol itu.
“Benar. Kau tidak merasakan mana karena cangkangnya terlalu tebal. Dari semua makhluk yang pernah kuteliti, tak ada yang memiliki cangkang setebal ini.”
“Luar biasa. Tapi kenapa telur burung pemakan mimpi berada di sakuku?”
“Itu... saya tidak bisa menebaknya. Kau sama sekali tidak ingat bagaimana mendapatkannya?”
“Hmm... jadi begini...”
Ronan mengernyit dan menutup mata. Ia memutar kembali ingatannya.
Ia teringat—pemandangan terakhir sebelum ia hampir mati. Pantai di bintang yang sekarat. Gugusan cahaya bintang, laut merah, pasir putih—dan ia menebas leher Abel di sana.
‘Benar. Aku meraihnya waktu itu.’
Dalam kondisi sekarat, ia menjulurkan tangan. Ia meraba pasir putih dan menggenggam gugol yang ada di atasnya. Ia memasukkannya ke saku.
Begitulah. Ronan membuka mata.
“Aku ingat sekarang.”
“Syukurlah. Kalau begitu, apakah di sekitar sana ada burung pemakan mimpi atau makhluk mirip?”
“Nggak. Itu bintang yang dihancurkan para botak.”
“Pikirkan baik-baik. Pasti ada sesuatu di dekat situ.”
“Nggak ada. Satu-satunya makhluk hidup selain aku adalah Abel itu—eh?”
Mata Ronan membesar. Sebuah ide absurd melintas.
Tidak mungkin... kan?
Ia menatap gugol itu.
“Jadi maksudmu... Abel itu burung pemakan mimpi?”
“...Astaga.”
Baren kehilangan warna wajah. Matanya mengecil seperti titik. Reaksi serius itu membuat Ronan gelagapan.
“Hei, kenapa tidak menyangkal? Jangan bilang menurutmu itu mungkin!”
Ia ingin tertawa. Pemimpin Nebula Clazier—monster yang mengguncang dunia—ternyata adalah burung pemakan mimpi? Cerita cliché seperti itu pasti dihina pembaca.
Namun Baren tidak tertawa. Ia menenggak tehnya sambil berkata:
“Tidak... sepenuhnya mustahil.”
“Apa?”
“Kau ingat, bukan? Burung pemakan mimpi dapat berubah bentuk menjadi apa pun tergantung pengaruh eksternal. Kasus di mana mereka berubah menjadi hewan lain sudah sering terjadi, bahkan ada catatan yang menyebut mereka pernah berubah menjadi bangunan seperti istana atau menara. Belum ada contoh mereka berubah menjadi ras berintelegensi tinggi... tapi secara teori, itu tidak mustahil.”
“Apa—serius?”
Ronan tercengang. Jika ahli terkemuka berkata begitu, ia tidak bisa menolak mentah-mentah. Ia teringat cerita Cain.
‘Benar... dulu Cain bilang begitu.’
Cain meminum darah Raja Raksasa sebelumnya dan mendapatkan kemampuan mengabulkan keinginan. Ia memulihkan desa, menyelamatkan kerajaan, tapi tak bisa menghidupkan orang mati.
Abel berbeda. Ia hidup kembali sesuai permohonan Cain untuk “mengembalikan adiknya.” Meskipun sebenarnya, ia adalah adik yang bahkan belum sempat lahir.
Dan sejak awal—keberadaannya aneh.
Mungkin saja... telur ini memang ditinggalkan Abel.
Ronan menelan ludah.
“Kalau begitu... apa yang bakal menetas dari sini?”
“Saya juga... sungguh tidak bisa menebaknya. Bayi dari makhluk yang lahir dari pemimpin Nebula Clazier, raja dari segala mimpi... ah!”
“Anjir! Kenapa teriak?!”
Baren melonjak berdiri dan membongkar rak bukunya. Beberapa saat kemudian ia menemukan sebuah gulungan.
“Nyaris lupa pakai ini! Kita coba ini dulu!”
“Itu apa?”
“Mantra yang dibuat oleh Profesor Sekrit berdasarkan risetku dan Balus. Ini mungkin kunci untuk mengungkap rahasia burung pemakan mimpi.”
“Mantra... Sekrit...”
Nama itu saja membuat Ronan merinding. Ia menyipitkan mata.
“Sudah terasa mencurigakan. Mantra macam apa ini?”
Baren tersenyum bangga.
“Haha, kau pasti akan terkejut. Ini adalah…”
Ia sengaja menahan kalimatnya, membuat Ronan makin waspada. Lalu ia mengusap kepala Sita.
“Mantra untuk mengubah seekor hewan menjadi manusia.”
Side Story 4: Burung yang Memakan Mimpi (3)
“Ini adalah sihir yang mempolimorfkan hewan menjadi manusia.”
“Jangan bilang Anda berniat memakainya sekarang?”
Baren menjawab dengan suara penuh percaya diri. Di belakangnya, Balus mengeluarkan desahan bingung. Ronan yang berkedip-kedip seperti orang bego akhirnya membuka mulut.
“Hmm… tapi mempolimorfkan hewan menjadi manusia bukan penemuan hebat, kan?”
“B-bagaimana bisa berkata begitu! Ini adalah sihir yang menjadi impian seluruh ahli ekologi di dunia. Kami membuatnya setelah berkali-kali gagal dan hampir mati!”
“Bukan begitu maksudku. Penyihir brengsek mana pun bisa mengubah orang jadi katak. Bukankah ini cuma kebalikan dari itu?”
Ronan mendadak kehilangan antusiasme. Sihir yang mengubah objek menjadi hewan atau benda adalah materi dasar di kurikulum sihir Phileon.
Ternyata cuma itu? Ia kira sesuatu yang lebih besar. Baren langsung mengedip cepat membaca ekspresi Ronan.
“Tidak, tidak. Sama sekali berbeda. Ini lebih mirip Polymorph yang sering dipakai para Dragon. Bukan sekadar mengubah bentuk luar—tapi membangun ulang tubuh berdasarkan jati diri makhluk itu. Mereka bahkan bisa ‘berbicara’.”
“Oh.”
Ronan membulatkan bibirnya. Ini baru menarik. Kalau begitu… apakah Sita akan bisa mengeluarkan suara selain bya?
“Melihat langsung kurasa lebih mudah dipahami. Boleh kita coba sekarang?”
“Ya. Menurutku akan seru.”
Ronan mengangguk. Polymorph akan hilang sendiri nanti, jadi tidak ada ruginya. Ia menoleh pada Sita.
“Sita. Kau nggak apa-apa?”
“Bbya-it!”
Sita mengepakkan sayap penuh semangat. Sepertinya dia juga penasaran. Sambil tersenyum lebar, Baren membuka gulungan itu.
“Baik, sudah diputuskan. Sita, jangan bergerak dari situ.”
Semuanya terjadi dalam sekejap. Baren berdiri di hadapan Sita dan membacakan beberapa kalimat dalam bahasa yang tak dimengerti.
“Bbya?!”
Mata Sita membesar. Cahaya itu semakin terang hingga hampir menyilaukan.
“Ugh.”
Ronan dan Balus menutupi mata. Sihir itu jauh lebih heboh dari yang Ronan bayangkan. Tiupan angin dari pusaran mana membuat kertas-kertas beterbangan seperti badai murahan.
“Brengsek, ini aman kan? Jangan-jangan itu sihir serangan?”
“Sedikit lagi! Tahan sebentar!”
Ronan tak tahan dan menggerutu dengan gusar. Tepat ketika Baren hendak menyahut—
“Kugh!”
“Uwaa!”
Baren dan Balus jatuh menubruk pantat. Hanya Ronan yang berhasil tetap berdiri. Ketika cahaya mendadak meredup, Ronan mengerutkan kening.
“Hm?”
“Uwaa… uwaaahhh…”
Anak itu menatap telapak tangan dan kakinya sendiri sambil mengeluarkan seruan kagum. Jari-jarinya bergerak-gerak seperti baru lahir mengenal dunia.
Ronan spontan meledak:
“Anjing… Sita?!”
Tidak butuh penjelasan. Rasnya berubah, tetapi ciri khasnya masih jelas.
Ronan mendesis:
“…kalahin Asel.”
Wajahnya halus, matanya lebar, kulitnya putih—bahkan sulit menebak apakah ia laki-laki atau perempuan. Kalau laki-laki, Asel bakal dapat pesaing berat.
Baren bangkit dan bersorak seperti menemukan emas.
“Oohh! Berhasil! Aku tak percaya sihir ini bekerja bahkan pada burung pemakan mimpi!”
“Luar biasa… benar-benar berubah…”
“Uh… hai.”
Ronan salah tingkah, melambaikan tangan. Harus mulai bertanya, kan? Sambil menggaruk kepalanya, ia membuka mulut.
“Senang bertemu… eh, kau ingat bagaimana kau lahir? Bisa ceritakan sedikit saja?”
Tidak ada jawaban.
Sita hanya menatap Ronan—tanpa berkedip, tanpa suara. Tatapannya begitu intens sampai membuat Ronan agak risih.
“A-ada apa?! Ada ledakan?!”
“Eh? Nona Elzebet? Dan yang di samping itu…”
Baren mengangkat alis. Rambut ungu gelap yang jatuh berkilau langsung mengungkap identitasnya.
“S-sing… singa…”
Gadis itu bersembunyi di belakang Elzebet, wajahnya pucat. Ia adalah Sion Sinivan de Grancia—adik Shulifen.
Masih lengket seperti biasa, Sion menggenggam tangan Elzebet erat. Ronan sempat melihatnya duduk di pangkuan Elzebet saat wisuda Adeshan—sekarang ia sudah tumbuh tinggi.
“Ah, Profesor Baren! Aku sedang memperkenalkan Phileon pada Sion. Dia masuk tahun ini!”
“Aah, jadi itu maksudmu. Ya, Kepala Sekolah pernah menyebutnya. Pewaris keluarga Grancia yang terkenal.”
“Benar. Dia menyelesaikan masa magang Menara Fajar tiga tahun lebih cepat. Bahkan Archmage Aun Pilla mengakui talentanya. Hebat, kan?”
Elzebet mengusap kepala Sion seperti ibu bangga pada anaknya. Lalu ia menoleh, menyadari kekacauan ruangan.
“Tapi… suara apa tadi? Dan kenapa ruangan ini…”
“Ahaha, tidak apa-apa. Hanya percobaan kecil. Maaf menakut-nakuti.”
Elzebet memegang dadanya lega. Tapi kemudian Sion mengintip ke depan dan berbisik:
“Eh? Itu Ronan-nim.”
“Apa?”
Elzebet berkedip. Sudah lama ia tak mendengar nama itu. Ia berjalan ke samping, mengintip—dan matanya melebar.
“Benar…? Kenapa kau di sini…?”
Ronan berdiri di sana. Tertutup tubuh Baren tadi jadi ia tak terlihat. Elzebet tampak hendak menyapa senang—
Namun ia terpaku.
“Hm? Anak itu siapa?”
Elzebet menyipitkan mata. Ronan sedang menghadap seorang anak tak dikenal. Rambut hitam, mata tajam, wajah cantik—dan… entah kenapa mirip Ronan.
Sita tersenyum manis.
“Appa!”
“...Apa?”
Wajah Ronan terdistorsi.
Elzebet menutup mulut dengan kedua tangan. Sita berlari dan memeluk Ronan erat.
“Ehehe, Appa!”
“Hey—kenapa aku jadi ayahmu?!”
Ronan terpana. Ia memang akan segera punya anak, tapi yang ini jelas tidak masuk akal.
Lalu, dari belakangnya… suara yang paling ia takuti muncul.
“I… ini binatang jalang…”
“Hah? Elzebet?”
Ronan menoleh. Elzebet menatapnya dengan mata membunuh—benar-benar seperti hendak mengirisnya hidup-hidup.
“Aku percaya… aku percaya karena kau pria yang dipilih Adeshan-eonni… tapi ternyata—SELINGKUH? Punya ANAK?!”
“Bukan itu! Bukan sama sekali! Kau salah paham total!”
“Jangan bohong! Kalau bukan anakmu, kenapa mirip begitu?! Sion! Jangan pandangi bajingan macam itu!”
“Aaah! A-aku nggak lihat apa-apa!”
Elzebet menutupi mata Sion dan menyeretnya. Sion meronta karena tidak bisa melihat.
Sementara itu Ronan menatap Sita—dan harus mengakui:
‘…ya, memang mirip.’
Tatapan, garis mata, bentuk wajah—comel tapi jelas ada kemiripan.
“Mmm, Appa. Kepalaku dielus. Ya?”
Ronan menghela napas panjang dan mengusap kepala Sita.
“Hey… masuk akal nggak sih, aku punya anak sebesar ini? Tenang dulu…”
“Ukh… kasihan Adeshan-eonni…”
Elzebet sudah tak bisa dipulihkan. Ia menangis sambil melarikan diri dari ruangan.
“P-permisi!!”
Sion masih sempat memberi salam sambil diseret pergi.
Ronan memijit pelipis. Ia menepuk bahu Balus.
“…Balus. Tolong.”
“T-tolong apa?”
“Aku nggak percaya diri menghadapi dia dengan mulut doang. Kau masih tampak seperti gentleman, jadi tolong jelaskan dia salah paham.”
“T-tapi…”
“Dia bisa membakar gunung kalau marah, tapi hatinya lembut. Jangan takut terlalu banyak. Dan aku bayar.”
Balus menelan ludah keras-keras. Namun setelah mendengar langkah kaki Elzebet menjauh, ia akhirnya kabur mengejarnya.
“E-Elzebet-nim! Semua ini salah paham!”
“DIAM!”
Baren, pucat, berkata lirih:
“Ma-maaf… terlalu panik… aku harusnya bilang itu salah paham…”
“Tidak apa, Baren. Bisa saja terjadi.”
Ronan berusaha tenang napas. Tiba-tiba Sita mendongak.
“Appa. Main petak umpet sama aku.”
“Petak umpet?”
“Ya! Aku ingin mencobanya sebagai manusia! Waktu tubuhku besar aku nggak bisa sembunyi… boleh?”
Mata itu bersinar seperti permata. Menyenangkan dan manis sekaligus menghancurkan pertahanan mental Ronan.
Ia menahan diri untuk tidak tersenyum.
“Sita. Sekarang bukan waktunya—”
“Kalau Appa menang, aku akan jawab semua yang Appa dan Baren ingin tahu. Kalian ingin tahu bagaimana kami lahir, kan?”
“…Apa?”
Mata Ronan membesar. Ia tak menyangka Sita mengatakan itu.
“Benar-benar?”
“Ya. Aku ingat semuanya. Mau main?”
Atau… begitu mereka kira.
Ronan menahan senyum dan mengangguk.
“Baik. Aku main.”
“Benar?! Yey!”
“Itu berarti aku hitung sampai satu menit lalu mulai mengejar?”
“Ya!”
Sebelum ia sempat bicara lagi, Sita membalikkan tubuh dan melompat ke jendela.
“Hey, itu jend—!”
“H-hei! Sita!”
“Satu menit! Jangan curang!”
Empat sayap mengembang dari punggungnya—lebih ramping dan cepat daripada bentuk aslinya.
Ia tersenyum, berbalik—
Dalam hitungan detik, ia hanya titik kecil di langit biru.
Ronan yang baru menghitung lima belas detik, memijit wajah dan menggumam:
“Anjing.”
Side Story 5: Burung yang Memakan Mimpi (4) menampilkan Iril & Schlieffen
“Pesanan dua porsi stew kentang sudah keluar!”
Iril berseru riang. Rambut peraknya berkilau di bawah langit ibu kota. Dengan bersenandung, ia menghampiri meja luar dan meletakkan dua mangkuk stew kentang.
“Hehehe, selamat menikmati!”
Uap panas mengepul dari stew yang baru saja selesai dimasak. Setelah menunggu begitu lama, dua pria yang menjadi pelanggan tidak mampu mengangkat sendok—hanya melongo menatap Iril.
“...Syukurlah aku masih hidup.”
“S-saya… saya benar-benar boleh makan ini?”
Mata para pria itu berair. Demi makan di “Meja Nimbertun,” restoran yang dikelola Iril, mereka menunggu penuh selama dua bulan.
Saat menunggu hanya berdasarkan desas-desus, mereka meragukan apakah itu sepadan. Tetapi ketika melihat wajah Iril—keraguan itu lenyap seperti salju di musim semi. Iril tersenyum.
“Tentu saja. Aku membuatnya untuk kalian nikmati.”
“Ahh… betapa penuh berkah…!”
“Kami pasti akan da—”
Mereka hendak berkata sesuatu sambil terisak. Tetapi tiba-tiba, dari salah satu sudut restoran, hawa pembunuh dingin menyebar. Kedua pria itu membeku, merasakan dingin sampai tulang.
“I-iini…”
Secara bersamaan mereka menoleh menuju sumber hawa mengerikan itu. Di bagian dalam restoran, seorang pemuda yang tampak seperti pahatan sedang mengupas kentang sambil mengenakan celemek. Shulifen, tanpa mengangkat pandangan dari kentang, mengirimkan suara batin.
[Mulut itu ada untuk memasukkan makanan.]
Suaranya rendah, berat, menindih—penuh tekanan. Di tangannya ada pisau kecil. Di sampingnya menggunung kentang segar dari wilayah Grancia yang dikirim kemarin.
[Apalagi di dalam restoran.]
“Hh-guk!”
Pria-pria itu tersedak. Sendok mereka jatuh ke dalam stew. Setelah sadar, mereka langsung makan seperti orang kelaparan tiga hari.
“Te-terima kasih!”
“Wah, tampaknya kalian sangat lapar. Makan perlahan, ya.”
Baru setelah itu Shulifen menarik kembali hawa pembunuhnya. Iril menyelesaikan beberapa pesanan lagi lalu masuk ke dalam. Seorang pria paruh baya berambut biru tua baru saja selesai makan dan menyeka mulut dengan sapu tangan.
Sapu tangan sutra kualitas terbaik itu disulam dengan emas, menampilkan seorang ksatria yang menginjak naga—lambang keluarga Grancia. Melihat piring kosong, Iril menangkupkan kedua tangan.
“Waaah, bersih sekali! Cocok dengan selera Anda, Yang Mulia Duke?”
“Hohoho! Lebih enak daripada tenderloin rusa Lus’tang. Dan panggil aku Ayah.”
Pria paruh baya itu tertawa lebar—Ia adalah Josef Sinivan de Grancia, Kepala Keluarga Grancia sekaligus ayah Shulifen. Melihatnya, Shulifen merapatkan alis.
“Tuan Kepala Keluarga. Mohon jaga kewibawaan Anda.”
“Mendengarnya dari orang yang memakai aura hanya untuk mengupas kentang? Sepertinya aku menyerahkan gelar Pale Lord terlalu cepat.”
“Jika Anda terus duduk di sini, Iril yang kerepotan. Anda sudah makan mangkuk kelima, Anda tahu itu?”
“Aku tahu. Dan ini akan jadi mangkuk keenam. Gadis manis, boleh aku pesan satu mangkuk lagi? Akan kubayar sepuluh… tidak, seratus kali lipat harganya.”
Josef menampilkan tawa konyol. Aura singa jantan yang dulu menakutkan tenggelam sejak ia jatuh cinta pada stew kentang Iril. Sulit dipercaya bahwa ia dulu orang yang paling keras menentang hubungan Shulifen.
Ia benar-benar berubah sejak pertama kali Iril berkunjung ke rumah Grancia setahun lalu.
Setelah tiga hari tur properti dan wilayah keluarga Grancia—semua anggota keluarga, termasuk Josef, berubah menjadi penggemar Iril. Bahkan Ronan, yang datang untuk menegakkan disiplin, sampai terkejut.
Mendengar pesanan tambahan, Iril mengangguk ceria.
“Tentu! Akan segera kubuatkan!”
“...Iril.”
Shulifen, yang mengupas kentang, menekuk bibirnya. Ia sebenarnya tidak suka melihat Iril bekerja keras sampai berkeringat. Ia bersedia membantu kapan saja, asal Iril mengizinkan.
Setelah Iril masuk ke dapur, Josef menyeka hidungnya dan berseru:
“Dia benar-benar gadis hebat. Aku masih tidak mengerti bagaimana bocah dingin seperti kau bisa mendapatkan wanita seperti itu.”
“Benar.”
“Tidak menyangkal, ya? Sepertinya aku mendidikmu dengan cukup baik. Nah… sudah hampir dua tahun sejak kau melamarnya. Kapan kau menikah?”
“Setelah mengalahkan Jaipa-nim dan menjadi Pedang Terkuat Kekaisaran.”
Shulifen menjawab tanpa ragu. Josef menaikkan alis.
“Dan itu kapan tepatnya?”
“Musim panas tahun ini.”
“Ah, saat Kejuaraan Pemilihan Sword Saint. Tapi apa harus terburu-buru?”
“Ya. Jika aku bukan yang terkuat di dunia, aku tidak pantas melindungi Iril.”
Bahkan ketika menyebut “puncak dunia,” mata biru gelap Shulifen tidak goyah. Josef tersenyum kecil.
“Baiklah. Usahakan yang terbaik. Gadis itu cukup keras kepala—hingga ia tidak akan memanggilku Ayah sebelum resmi menikah denganmu.”
“Alasan konyol.”
“Aku tidak menyangkal. Tapi kau tidak berhak bicara—kalian sudah berpacaran dua tahun, namun kau masih takut sekadar berpegangan tangan di depan umum.”
“Ugh…”
Wajah Shulifen memerah. Ia meletakkan pisau dan bergumam:
“Itu… apa salah?”
“Anakku, kau memang jenius. Tapi hanya dalam hal pedang. Dalam hal hubungan cinta… aku khawatir kau menderita kelainan perkembangan. Kau mirip denganku dalam banyak hal, tapi dalam urusan ini—kita seperti langit dan bumi.”
Josef menggeleng-geleng. Bahkan baginya, hubungan Shulifen dan Iril terlalu polos.
Ia menghela napas panjang.
“Bukan berarti kau harus menyentuhnya sembarangan. Aku tahu kau bukan bajingan seperti itu. Tapi setidaknya… siapkan keberanian untuk menciumnya di depan tamu pada hari pernikahan. Malu besar kalau mempelai laki-laki tak mampu mencium mempelai perempuan.”
Ia tahu dari buku-buku yang ia baca—perempuan umumnya menyukai pria yang bisa mengambil inisiatif.
Tapi… melihat wajah Iril saja membuat otaknya mati.
Sialan Ronan. Betapa iri ia pada ketenangan psikopat itu.
Ia baru hendak mengambil pisau lagi ketika—
“Shulifen-nim! Bisa bantu sebentar?!”
“Saya datang.”
Suara Iril dari dapur. Shulifen segera berdiri dan masuk. Di balik sudut, ia melihat Iril berjinjit berusaha mencapai rak tinggi.
“Aku menaruhnya terlalu tinggi… aah, tidak sampai.”
“Biar aku.”
Shulifen memindahkan Iril ke samping dan mengambil piring yang ia butuhkan. Melihat betapa mudahnya Shulifen mengambilnya, Iril menggaruk pipi sambil tertawa.
“Ehhehe, terima kasih.”
“Tidak apa.”
“Shulifen-nim itu ramah sekali. Turunan Duke, ya?”
Iril tersenyum—seindah matahari sore. Jantung Shulifen seperti ditusuk.
Lalu sebuah kilatan melintas di benaknya.
‘Tunggu. Mungkin… ini saatnya.’
Situasinya sempurna: ia baru saja membantu, suasana tanpa saksi, jarak dekat.
Nasihat ayahnya, kutipan dari buku-buku hubungan, semua berputar di kepala.
Shulifen menatap Iril. Dalam mata kunangnya, pantulan wajah Shulifen terlihat jelas. Jarak di antara mereka begitu dekat hingga napas mereka bersinggungan.
Cium punggung tangan… itu cukup aman, bukan?
Ia menarik semua keberanian yang bisa ia gali dari sumsum tulang—
“Shulifen-nim.”
“Hm?”
Iril menatapnya dari bawah. Lalu tanpa peringatan, ia berjinjit.
“…Eh?”
Waktu berhenti bagi Shulifen. Ia mengangkat tangan gemetar ke pipinya. Iril tersenyum malu, kedua tangan di belakang.
“Aku tahu kok… kau selalu perhatian sama aku.”
“Uh—uh? Eh…?”
“Terima kasih, Shulifen-nim.”
Shulifen tidak mampu bicara. Yang ia bisa lakukan hanyalah bertahan agar tidak ambruk.
Pipi Iril memerah seperti apel matang. Ia berkata pelan:
“Hehe… ini agak malu ya. Selain adikku, belum pernah aku lakukan ini pada orang lain…”
Lalu ia sekali lagi berdiri jinjit—
Mwah.
Pipi yang lain.
“Ah.”
“Para pelanggan menunggu. Aku kembali duluan. Datanglah pelan-pelan.”
Iril pergi, menghilang di balik sudut. Dan—
“—Haaaaah!”
Setelah lama membeku, ia menghirup napas dalam-dalam seperti orang yang baru muncul dari air. Ternyata barusan ia tidak bernapas sama sekali.
Saat dunia akhirnya kembali terdengar—
“Iril-noona!”
“Kyah!?”
Teriakan ceria menyusul jeritan Iril. Kecerdasan Shulifen yang jatuh ke level kucing mendadak kembali. Ia melompat dan berlari keluar.
“Iril! Apa yang—”
“Hahaha—geli! Siapa ya, pelanggan kecil kita ini?”
“Tebak dulu!”
Lalu ia meraih pisau.
“Kau bajingan…!”
“Shu-Shulifen, tunggu—!”
“Jangan ikut campur!”
Shulifen hendak menghabisi si brengsek kecil itu ketika—
“Apa—?!”
“Ghk!”
Para pelanggan tersedak. Shulifen berhenti. Dari balik pintu, muncul seorang pemuda kekar, berkeringat dari ujung rambut sampai kaki.
“Sialan… hahh… akhirnya ketemu…”
Tatapan liar, napas terengah—seperti telah berlari mengelilingi ibu kota puluhan kali.
Shulifen mengenali orang itu.
“…Ronan?”
“Minggir.”
Aura angin di pisau menghilang. Ronan mendorong Shulifen dan masuk. Sita menoleh—mata merahnya membesar.
“Ah, ketahuan!”
Side Story 6: Burung yang Memakan Mimpi (5)
“A, ketahuan!”
“Dasar kau, Sita bajingan…!”
Ronan menggeram. Saking kerasnya berlari, ia hampir bisa merasakan taste darah di mulut. Iril, yang baru menyadari kehadirannya, menatapnya dengan kaget.
“Ro–Ronan?”
“Halo, noona… huuuh… restorannya ramai?”
“Ya, maksudku begitu, tapi apa yang terjadi padamu? Seluruh tubuhmu penuh keringat… dan kau bilang Sita?”
“Persis seperti yang kau lihat. Bocah yang sedang kau peluk itu Sita. Ia berubah jadi manusia.”
“M—m—apa?!”
Mata Iril membesar. Tidak heran ia merasa aura anak itu familiar. Ronan meraih gelas air dari tangan salah satu tamu dan menenggaknya tanpa izin.
“Hiiiik…!”
“Puaah… sial, baru sekarang bisa napas.”
Air dingin mengalir menuruni tenggorokannya yang panas. Rasanya ia belum berkeringat begini sejak perang melawan Nebula Clazie. Ronan menyeka mulut dengan lengan bajunya.
“Kenapa wajahmu merah begitu? Kau habis berciuman sama Shulifen, apa?”
“K-kau ngomong apa sih! Ini cuma panas!”
“Wah, kaget ya. Aku cuma bercanda.”
Ronan mengangkat alis. Iril menutupi wajah merahnya dengan kedua tangan sambil memalingkan kepala. Shulifen tampak seperti patung—membeku total, mulut ternganga tanpa suara. Lalu seseorang masuk melalui pintu depan.
“Akhirnya kutemukan.”
“Ya. Terima kasih, Ier.”
“Bukankah sudah kubilang, jangan panggil aku begitu.”
Itargand mengerutkan kening. Putra bungsu Navardoze itu masih menjadi siswa Akademi Phileon.
“Ah sudahlah, sebutan sepanjang ‘Itargand’ mau kupanggil tiap waktu?”
“Kau kurang ajar…”
Ronan bisa melakukan “main kejar-kejaran” dengan Sita—meski tanpa sayap—karena sekitar 70% adalah jasa Itargand. Ia melacak posisi Sita secara real-time dengan sihir, dan memperkuat fisik Ronan sehingga ia berlari tiga kali lebih cepat.
‘Untung aku ketemu dia waktu itu…’
Ronan menghela napas lega. Sementara itu Iril, yang akhirnya sedikit tenang, menatap Sita.
“Benar kau Sita?”
“Ya. Ketahuan deh.”
“Waah… lucunya! Kau secantik Ronan waktu kecil.”
Iril memeluk Sita erat. Perkataan itu absurd, tapi entah kenapa masuk akal. Sita memejamkan mata sambil mengeluarkan suara dengkur halus, lalu berkata:
“Terima kasih, noona. Untuk semuanya.”
“Ehhehe, apa sih. Tiba-tiba begitu?”
“Sungguh. Aku bahagia tinggal bersamamu. Aku sudah terlalu besar untuk tinggal di rumahmu lagi… tapi aku ingin bilang itu.”
Sita memeluk Iril lagi. Mata Iril memanas, kenangan hari-hari mereka bersama melintas jelas:
Sarapan tiap pagi, tidur siang bersama, sore-sore ketika Sita naik ke pangkuannya sementara ia mengantuk…
Iril mengusap mata dengan apron.
“Apa sih… justru kau yang selalu melindungiku.”
Benar—Sita menggunakan waktunya jauh lebih banyak dengan Iril dibanding Ronan, yang selalu sibuk. Menjaga Iril adalah tugasnya. Dan ia menjalankan tugas itu dengan sempurna.
Momen itu indah—tapi Ronan tidak bisa membuang waktu lagi. Durasi Polymorph tidak abadi. Ia menyilangkan tangan.
“Baik, sampai di sini saja petak umpetnya. Sini, ikut.”
“Hing… padahal aku masih mau main…”
Sita menunduk, lalu menjauh dari Iril dan menghadap Ronan. Untung bisa ditangkap cepat, pikir Ronan. Ia hampir meraih Sita ketika—
“Yuk kita main lagi! Sedikit saja!”
“Apa?”
Ronan membelalak. Ia menjulurkan tangan secepat mungkin, namun hanya ujung jarinya menyentuh udara kosong. Dalam sekejap Sita melewati Itargand dan melesat keluar restoran, berhenti di jalan besar.
“Hahaha! Kali ini kau tak bisa menangkapku!”
“Bang—sat! Berhenti sekarang juga!”
Ronan lengah—itulah kesalahannya. Ia berlari keluar restoran.
Sita menjulurkan lidah seperti mengejek, tepat sebelum ia hendak terbang.
Ronan menggertakkan gigi, memusatkan tenaga ke inti kekuatannya, dan berteriak:
“Kubilang berhenti!”
“Huh?”
“A…AA… A-ayah?”
“Uh…?”
Ia merasakan aura mematikan. Sita menoleh—dan membatu.
“Turun.”
“KYAAAH!”
Ular itu berbicara. Sita menjerit dan kehilangan kesadaran, tubuhnya terjun bebas.
Ronan melompat dan menangkapnya di udara.
“Sial… tak kusangka aku benar-benar memakai itu di sini.”
Sita menggigil dalam tidurnya, seakan bermimpi buruk. Butuh waktu lama sampai ia sadar.
‘Tapi yang penting tertangkap.’
Ia memutar badan untuk kembali—namun suara aneh terdengar di belakangnya.
“Kkghh—keuk—”
“…Ah.”
Ronan membatu.
Mereka yang berada DI DEPANNYA saat ia mengaktifkan Mansa—semua pingsan sambil kejang-kejang.
Termasuk—
“Oh… ibu…”
Ronan mengusap wajahnya.
“...Sial.”
Ronan meminta maaf kepada Iril dan para tamu, lalu pergi.
“Maaf. Kuhancurkan suasana restoranmu.”
“Tidak kok. Entah kenapa semuanya senang sekali? Mereka bilang mau datang lagi? Katanya mau antri kalau perlu?”
Semua tamu yang pingsan malah pulang sebagai fans berat Iril—karena mendapat “perawatan langsung” darinya.
Ronan ingin sekali berkomentar, tapi ia menahan diri.
“Sepertinya tak mudah ya… aku pergi dulu. Sampai jumpa, noona.”
“Halah. Kau ke sini dua hari sekali juga. Kalau Sita berubah jadi manusia lagi, bawa, ya!”
Saat ia tiba dekat gerbang, Sita mengerang pelan.
“Uuuung…”
“Bangun?”
“…Ayah?”
“Tertangkap ya. Padahal aku yakin bisa lolos.”
“Itu karena kau meremehkan ayah… eh tunggu, kenapa aku ayahmu? Mau berhenti memanggil begitu?”
“Boleh ya kalau kupanggil begitu?”
“Huh… terserah. Toh nanti kau kembali jadi burung dan tak bisa bicara.”
“Hihihi, ya.”
“Kalau aku ayahmu, ibumu siapa? Jangan bilang si burung biru berbulu tebal itu?”
Yang dimaksud tentu Marpez, dream-bird peliharaan Barren, yang “menetaskan” telur Sita.
Ronan benar-benar takut ada rumor soal ia berskandal dengan burung.
Sita menggeleng pelan.
“Tidak. Marpez itu… teman. Dan penerus.”
“Penerus?”
“Dalam bahasa manusia aku tidak tahu. Hm… orang yang menyediakan rumah untukku tumbuh?”
“Ribet amat… lalu ibumu siapa?”
“Tidak ada. Ronan adalah ayah dan ibu. Karena Ronan memberiku mimpi.”
Sita mengingat sesuatu, lalu menggesekkan wajahnya lagi ke punggung Ronan.
“Hehe… pokoknya hari ini menyenangkan. Kita kembali ke Barren?”
“Ya.”
“Uuung… Ayah, boleh mampir sebentar?”
“Kemana? Kalau tidak lama, boleh.”
“Kita tak bisa jalan. Tunggu sebentar!”
Ronan terangkat ke udara.
“Kau kuat sekali ya…”
“Hihihi, iya!”
Walau tubuhnya kecil dalam bentuk manusia, kekuatannya tidak hilang sepenuhnya.
Dengan gerakan halus, mereka melintasi langit dan mendarat di atap salah satu menara Phileon.
“Ini markas rahasiamu?”
“Ya! Tempat favoritku!”
“…Lumayan bagus.”
Ronan terhanyut menatap pemandangan itu—
“Ayah. Waktu aku masih telur… aku menerima ingatanmu.”
“Ha?”
“Semuanya. Tanpa terkecuali. Waktu itu, Ayah selalu tenggelam dalam kesedihan. Kau berkata begini pada dirimu sendiri… aku masih tidur, tapi aku bisa mendengarnya.”
“‘Aku ingin menyelamatkan mereka. Aku benci melihat rekanku mati di depan mataku. Andai aku bisa menghentikan darah itu. Andai aku tahu cara menyembuhkan luka itu. Maka tak seorang pun perlu mati.”’
“…Apa?”
“‘Aku ingin terbang. Di hadapan raksasa yang melayang di langit, aku tidak bisa apa-apa. Hanya aku yang bisa membunuh si kepala botak itu, tapi pedangku tidak sampai sejauh itu.”’
“‘Tidak masalah aku berlumuran darah. Asal bisa melindungi semuanya. Jadi tolong… jangan mati lagi di depanku.’”
Tapi Sita tetap melanjutkan.
“Itu sebabnya aku lahir. Untuk menyelamatkan. Untuk terbang. Untuk menjadi perisai semua orang. Aku meminum mimpi Ayah.”
Sekarang Ronan mengerti.
Semua kemampuan Sita—penyembuhan yang menyelamatkan nyawa, dan terbang untuk menghadapi musuh di langit—semuanya adalah wujud dari keinginan terdalam Ronan.
Sangat cocok untuk makhluk bernama dream-bird.
“Terima kasih sudah memberiku mimpi. Walau singkat… hari ini sangat menyenangkan. Aku tidak akan pernah melupakannya….”
Sita berhenti bicara.
Ronan menatap matahari jingga, lalu berkata perlahan:
“Aku juga lumayan bersenang-senang.”
“Ppaa-aaah.”
Sita sudah kembali ke bentuk aslinya—besar, bersayap empat, bulu hitam lembut.
Ia menggesekkan pipinya pada Ronan.
Ronan mengusap kepala Sita dan berbisik:
“Kau itu… diriku, ya. Sita.”
Side Story 7. Di Dunia Baru (1)
“···Begitu rupanya. Sebuah ‘keinginan’.”
“Ya. Sita lahir setelah meminum mimpi—atau keinginan—ku. Kurasa semua Dream-Eater lainnya juga begitu.”
Ronan mengangguk. Setelah pertemuan kembali dengan Sita, ia kembali ke ruang kerja Barren. Sita yang sudah kembali ke bentuk aslinya kini hanya menyelipkan kepalanya lewat jendela, mengantuk sambil menguap kecil.
“Ppyaauuuung··· ppyaau···.”
Barren tampak seperti seseorang yang akhirnya memecahkan misteri seumur hidup. Ia menutup buku catatannya—penuh dengan detail yang ia salin tanpa terlewat satu pun.
“Pertanyaan yang diselimuti tabir selama berabad-abad… akhirnya terjawab. Saya sungguh tidak tahu bagaimana harus mengucapkan terima kasih.”
“Untuk apa berterima kasih. Anda dan Sekrete yang melakukan semuanya.”
“Tidak, tidak. Tanpa Anda dan Sita, kami tidak akan pernah mendapat informasi ini. Jika Anda menginginkan apa pun, silakan katakan saja. Saya akan membalasnya dengan sepenuh hati.”
“Keinginan, huh… kalau begitu, bisakah Anda memberiku beberapa lembar lagi gulungan sihir itu?”
Ronan bertanya. Meski ia dibuat sengsara, waktu yang ia habiskan dengan Sita dalam bentuk manusia cukup menyenangkan. Entah bagaimana terasa seperti latihan menjadi ayah sebelum anaknya benar-benar lahir. Barren mengangguk dengan senang hati.
“Tentu saja bisa. Hanya saja… bisakah Anda memberi saya waktu? Sihir ini sangat sulit, jadi butuh waktu untuk membuatnya.”
“Tak masalah, selama akhirnya bisa dapat. Lagipula, kami sudah cukup bersenang-senang sekarang.”
Ronan menyeringai kecil. Tidak ada alasan untuk terburu-buru—itu adalah berkah terbesar dari masa damai. Barren menyeruput teh, lalu menunjuk pada telur di atas meja.
“Kalau begitu, bagaimana dengan ini?”
Itu adalah telur yang ditinggalkan Abel. Barren berbicara dengan nada berat.
“Jika Anda ingin saya melakukan penyegelan atau… penghancuran, saya bisa melakukannya.”
“Dihancurkan?”
“Ya. Ini jelas bukan telur Dream-Eater biasa. Jika keberadaannya tersebar, dunia akan kacau.”
Ekspresi Barren telah kehilangan semua senyum. Ronan bahkan tidak menyangka seorang ilmuwan akan mengajukan opsi ‘menghancurkan telur’.
Tentu saja, ia bisa memahaminya. Jejak Nebula Klaje sedang dilenyapkan dari sejarah. Telur ini adalah satu-satunya warisan Abel—dan bisa menjadi benih bencana lain. Ronan mengusap dagunya lalu menjawab:
“Tidak. Biarkan saja.”
“Artinya…?”
“Aku yang akan menyimpannya. Aku percaya Profesor akan merahasiakannya.”
“T-Tentu saja saya akan menjaga rahasianya… tapi apakah Anda benar-benar baik-baik saja?”
Ronan berdiri sambil mengangkat telur itu. Ia berbicara perlahan:
“Saya tahu apa yang Anda khawatirkan. Bahwa kalau Abel meninggalkan telur, maka sesuatu sejenis Abel akan lahir lagi. Tapi Sita tidak menyebut induk biologisnya sebagai ibunya.”
“Benar. Ia menyebutnya… ‘penerus’, atau apakah itu ‘penyedia rumah’?”
“Ya. Apa pun maksudnya, itu berarti Abel tidak mewariskan ‘dirinya’ pada yang akan lahir dari telur ini. Yang penting adalah… keinginan seperti apa yang diminum telur itu.”
Telur itu masih belum berubah. Tidak ada yang tahu apa yang berdenyut di balik cangkang kasar itu.
“Anak yang akan lahir tidak bersalah. Tentu saja, ‘penerus’-nya adalah bajingan tengik, jadi wajar kalau mulai merasa tidak tenang. Aku paham. Tapi alasan aku tidak menghancurkannya sekarang…”
Ronan teringat kata-kata terakhir Abel. Di pantai berpasir putih, di mana laut merah memukul ombak, ia mendengar permintaan maaf Abel yang terakhir. Ronan terkekeh kecil.
“Bahkan bajingan itu… pada akhirnya berkata maaf.”
“···Begitu rupanya. Kalau begitu, saya tak akan menghentikan Anda lagi.”
Barren tersenyum tipis. Pada akhirnya, penemunya adalah Ronan—jadi keputusan ada padanya.
Setelah mereka bercakap-cakap sejenak—krieeek. Pintu terbuka, dan dua sosok masuk: Balus dan Elzebet.
“···Kami sudah kembali.”
“Oh. Balus.”
Ronan menaikkan alis. Balus terlihat seperti seseorang yang tidak tidur tiga hari berturut-turut. Elzebet menyembunyikan wajahnya yang merah padam di belakangnya.
“U-umm… Ronan-nim. Soalnya… aku benar-benar pikir itu anak Anda…”
“Ya, nona. Sekarang sudah mengerti kan?”
“···Iya. Maaf.”
Elzebet merendahkan kepalanya. Rupanya Balus cukup berhasil menjelaskan.
Balus tiba-tiba terhuyung dan menopang diri pada dinding.
“Kau oke?”
“Saya… saya sungguh pikir saya akan mati. Dia berteriak apakah saya sekongkolan Anda, lalu mengangkat saya ke udara… huk, itu benar-benar menakutkan…”
Elzebet makin merah mendengarnya. Meski sudah dewasa dan lebih matang, sifat meledaknya tetap sama.
“Auuuh… aku sudah bilang maaf berkali-kali… kerugian apa pun akan kubayar pakai nama keluarga Acalusia…”
Tidak mungkin ia anak buruk. Cara ia menenangkan Balus yang ketakutan membuktikannya. Ronan tersenyum kecil—para bangsawan muda negara ini cukup waras untuk diandalkan.
Ia teringat satu nasihat Navirose: ‘Ada hal yang hanya bisa ditangani oleh perempuan.’ Ronan menggaruk kepalanya.
“Eh, Elzebet. Ikut sebentar.”
“Hah? I–iya.”
Ia tampak ketakutan, mungkin menyangka Ronan akan marah atas insiden sebelumnya.
Di sudut ruang kerja, Ronan berbicara:
“Elzebet. Kalau kau tinggal di Ibukota beberapa waktu… mampirlah menemui Adesha. Lebih cepat lebih baik.”
“E–eh? Kakakku? Kenapa tiba-tiba?”
“Dia… hamil. Kau pasti tahu betapa senangnya dia kalau kau datang.”
“······Apa?”
Wajah Elzebet membeku. Tampaknya ia memang belum diberitahu. Snap! Ia menjentikkan jari, dan sebuah penghalang transparan muncul.
Ronan tersenyum lebar.
“Sihir Silent, ya? Anak baik memang tahu ini rahasia.”
“Tu-tunggu… tolong ulangi. Aku pasti salah dengar…”
“Adesha hamil. Dan kali ini benar-benar anakku.”
“G-g-g-g—APA?!”
Elzebet membeku dengan tangan menutupi mulut. Setelah beberapa detik, ia menjerit nama Adesha dan berlari keluar. Tak lama kemudian, suara langkah menuruni tangga menghilang, disusul suara bisikan mentalnya di kepala Ronan:
[Selamat ya! Untuk sekarang!]
“Yap.”
Persis seperti dugaan Ronan. Barren, Sita, dan Balus menatap bingung pada dua orang itu.
Ia membayangkan pertengkaran nama anak nanti—antara Navirose dan Elzebet—dan itu membuatnya tertawa kecil. Ronan bersiap pergi.
“Kalau begitu, saya pergi dulu. Sampai jumpa.”
“Ah, sudah mau pulang?”
Hari yang sangat panjang. Barren menjabat tangan Ronan. Balus juga pamit. Ronan hampir keluar ketika—
“Ah shit. Aku lupa ini.”
Batuan-batuan segel yang dimuntahkan Sita masih berserakan di sudut. Jimat-jimat merah pada permukaannya memancarkan cahaya jahat. Barren terbelalak.
“Hik! Betul! Itu benda-benda yang Sita bawa dari Benua Baru, bukan?”
“Benar. Mereka sepertinya menyegel sesuatu yang sangat buruk—”
Ronan mengerutkan alis. Jika segel seperti ini dibawa ke Benua Baru, pasti terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan di sana.
‘Anjing yang buang kotoran, majikannya harus bersih-bersih.’
Ia menghela napas. Ia agak berat meninggalkan kekasihnya yang sedang hamil, tapi setidaknya ada Elzebet yang bisa menjaga.
Tepat sebelum pergi, ia melihat sesuatu di pipi Sita.
“Hm? Ini…”
“Ppya?”
Beberapa helai rambut panjang merah menyala menempel pada bulu hitam Sita. Ronan memutarnya di jarinya.
“Ini rambut Acel… ahh, pantesan.”
Baru jelas kenapa Sita pergi ke Benua Baru.
Hari kelulusannya, Marya dengan bangga mengumumkan bahwa Karabel Company akan menembus Benua Baru. Acel ikut sebagai pengawal utamanya.
“Jadi kau mampir ke Acel dan Marya ya?”
“Ppya-it!”
Sita mengangguk.
Ronan menghela napas lega.
“Oke. Berarti aku nggak usah pergi.”
“Hah? Tidak pergi?”
“Ya. Kalau Acel di sana, aku nggak perlu ikut campur. Dia bisa urus semuanya.”
Saat ini, Acel adalah salah satu penyihir terkuat di benua. Apa pun monster yang keluar dari segel itu, ia bisa menanganinya.
“Satu-satunya yang bisa menakut-nakuti Acel cuma Marya. Jadi Profesor, santai saja.”
“Mm… yah, kekuatan Acel memang tak perlu diragukan…”
Barren masih tampak ragu, tapi Ronan hanya terkekeh.
“Serius. Tidak akan jadi masalah.”
“M–mohon… berhenti…!”
Malam purnama. Acel berlari di antara tebing curam, mengepakkan tubuhnya naik turun dengan sihir terbang. Puluhan langkah kaki mengejarnya dari belakang.
Di bawahnya, jalan setapak sempit membentang. Tiba-tiba ia merasakan aura membunuh. Acel menoleh dan menjerit:
“Hiyaaah! J-jangan mendekat!!”
Ia mengulurkan tangan. Sebuah kekuatan tak terlihat mendorong batu besar di tepi tebing.
“M-mungkin mereka sudah berhenti…”
Tubuhnya basah oleh keringat. Ia tidak merasakan aura mengejar lagi. Ia baru hendak bernapas lega ketika—
“Hiiiieeeek!!”
Wajah Acel memucat. Siluet bertopeng mereka menghitam di bawah sinar bulan. Di tangan masing-masing ada pedang aneh—model yang belum pernah ia lihat.
Pemimpin mereka menunjuk Acel dan berteriak:
“Melihatmu memakai sihir mencurigakan seperti itu… jelas kau mata-mata mereka. Bunuh!”
Side Story 8. Di Dunia Baru (2)
Sosok yang tampaknya pemimpin meneriakkan itu. Seketika para pria bertopeng melemparkan sesuatu ke arah Acel. Kagagak! Puluhan shuriken melesat menghantam perisai sihir Acel.
“Uwaaaah!”
Acel menjerit. Tentu saja tidak satu pun dari shuriken itu dapat menembus perisainya. Kebingungan tersentak dari para penyerang.
“Jadi serangan jarak jauh juga tak masuk? Sial.”
“Dia jelas bukan orang biasa. Bahkan kalau itu sihir sesat, tetap harus punya celah…”
“Apakah mungkin dia bukan dari sekte musuh, tapi dikirim oleh Darah Iblis?”
Mereka melontarkan kata-kata asing yang tidak Acel kenal. ‘Sihir sesat’, ‘sekte’, ‘Darah Iblis’—tidak satu pun istilah itu ada di Kekaisaran. Acel—putus asa—mengumpulkan keberaniannya.
“A-aku bilang aku tidak ingin bertarung! Kenapa kalian mengejarku?! Ada apa sih?!”
Ia benar-benar tidak mengerti. Sudah hampir dua minggu sejak mereka tiba di Benua Baru, tapi belum pernah ada kejadian seperti ini. Acel diserang saat sedang berjalan-jalan sendirian malam-malam.
Untung kamp Karabel berada cukup jauh dari sini.
Pemimpinnya mendengkus.
“Ngaco! Kau bilang tak mau bertarung? Aku sendiri menyaksikan burung hitam peliharaanmu mencuri patung yang menyegel Rakshasa lalu melarikan diri!”
“B-burung hitam?”
“Ya! Monster bersayap empat itu! Jangan bilang kau tidak tahu!”
“Ah…”
Wajah Acel memutih. Semua ciri itu cocok dengan Sita. Ingatannya melintas cepat.
—Beberapa hari lalu, Sita muncul sambil memamerkan sebuah patung kecil penuh jimat merah, seperti hadiah. Ia memang sering mengambil benda sesuka hati di mana pun ia pergi.
‘Gawat besar.’
Acel menelan ludah tebal.
“Ehm… Rakshasa itu apa…?”
“Rakshasa adalah monster yang lahir dari kebencian para pendosa! Dasar makhluk sesat, jangan pura-pura tidak tahu!”
“Tidak, aku sungguh tidak…”
“Diam! Hanya utusan Darah Iblis yang mau mencuri patung segel seperti itu! Atas nama penjaga Hutan Bulan, kami akan menyingkirkanmu!”
Mereka marah besar. Acel hanya bisa putus asa. Seruan Acel jelas tak bisa menembus dinding kecurigaan. Para pria bertopeng kembali maju dan menghunus pedang.
“Ba-bahaya!”
“Penyergapan!”
“W-apa?!”
Beruntung tidak ada korban jiwa karena gerakan mereka cukup teratur. Mereka spontan melihat ke arah datangnya pohon. Salah satu dari mereka berteriak sambil menunjuk:
“L-lihat ke sana!”
“Tidak mungkin…”
Wajah mereka memucat. Dari kejauhan, di antara tebing, sesuatu bergerak cepat seperti bayangan gelap. KUNG. KUNG. Suara langkah makin dekat—diiringi raungan seperti binatang tersiksa.
“KIIIIEEEEEK!!”
Sosok itu muncul dari balik gelap malam.
“Rakshasa!”
Tubuhnya hitam seperti obsidian, dipenuhi huruf-huruf emas meleleh. Cakar panjangnya berkilatan diterpa cahaya bulan.
“T-tidak mungkin…”
Acel memucat. Selama bertahun-tahun bertualang dengan Ronan, ia melihat banyak monster mengerikan. Tapi ini… berbeda. Rasanya tidak seperti monster mana pun.
Para pria bertopeng panik, formasi berantakan.
“Semuanya… tamat sudah…”
“Kami akan menahan! Kalian kabur!”
“Bagaimana mungkin kami meninggalkanmu!”
Mereka tampak seperti ksatria siap mati. Jelas Rakshasa ini setara—kalau bukan lebih kuat—dengan naga.
“…Hm?”
Ia memberanikan diri.
“J-jika aku mengalahkan yang itu… kalian tidak akan mengejarku lagi, benar?”
Pria bertopeng mengernyit.
“Apa omong kosong itu? Kau pikir mungkin? Rakshasa yang tujuh tetua pun harus mengorbankan darah untuk menyegelnya, dan kau—gadis kecil—akan mengalahkannya?”
“ACEL! Apa yang kamu lakukan di sana?!”
“M-Marya?!”
Suara yang sangat familier.
Acel mengecilkan bahu dan perlahan menoleh.
Marya—membawa greatsword di bahu—berjalan santai ke arah mereka.
“Sudah kucari ke mana-mana. Ngapain kamu di sini?”
Rambut emasnya berkibar tertiup angin malam. Ia mengenakan pakaian sutra merah khas penduduk lokal—dibeli mahal untuk ‘menyelami budaya’.
“M-mereka terus mengikuti aku… takutnya mereka menemukan camp, jadi aku mencoba menjauh…”
“Kamu ini benar-benar. Dilihat dari mata saja sudah tahu mereka bandit. Tendang saja semuanya sampai terbang. Kamu selalu terlalu baik hati.”
“Bandit?! Siapa yang kau sebut bandit?!”
“Huh? Salah ya?”
“Jelas salah! Kami adalah penjaga agung Hutan Bulan! Kalian manusia liar dari luar berani—”
“Hutan Bulan?!”
“M-majuannya…”
Kecepatannya membuat mata pria itu mengikuti bayangan. Marya menggembungkan pipi dan menusuk-nusuk pinggangnya dengan jari.
“Kalian dari Hutan Bulan, ya?”
“M-memang begitu! Tapi kalian jelas se—”
“Wow! Aku tidak menyangka akan bertemu kalian di sini! Perkenalkan, aku Marya Karabel, wakil pemimpin Karabel Company. Kalau kalian punya waktu—”
“KIEEEEE!!”
Rakshasa kembali meraung dan mulai berlari, tubuhnya berputar aneh seperti boneka patah.
“Gyaaaah! J-jangan ngoceh! Minggir!!”
“Ugh, menyebalkan.”
Marya akhirnya menyadari monster itu. Raut wajahnya langsung berkerut.
“Baiklah, habisin dulu yang ini. Lanjut ngobrol nanti.”
“Kiririk?”
Rakshasa mengerjap. Dalam tiga lompatan saja Marya sudah mencapai kakinya. Monster itu mengangkat lengannya—
“HIAAP!”
“Ku-eeeh…”
“M-mustahil!”
Para pria bertopeng hampir menjatuhkan pedang mereka. Tubuh Rakshasa roboh dengan dentuman.
Marya tersenyum.
“Sudah.”
“Si-siapa sebenarnya nona ini…”
Mereka berdiri terpaku, tak berkedip.
Tiba-tiba—
“GRAAAAAAAAA!!”
“KELELELELEEK!!”
“Apa lagi ini?”
Banyak bayangan turun menutupi jalan. Para pria bertopeng menatap ke atas—dan membeku.
Puluhan Rakshasa berdiri di atas dua tebing, menatap ke bawah.
“Grrr…”
“Tak… tak mungkin!”
Monster raksasa bermata banyak itu mengerang bersama-sama.
“Kita… mati semua.”
“Jadi yang tadi bukan satu…”
Sekalipun Marya kuat, jumlah seperti ini mustahil.
Namun Marya hanya mendengus.
“Kalian sial sekali.”
“Grr?”
“Andai kalian datang saat aku sendirian, mungkin masih ada peluang. Tapi kalian datang justru saat dia ada.”
‘Dia’? Siapa?
“Gwek!”
Monster sebesar rumah batu terlempar seperti kerikil dan menancap pada dinding tebing. Dadanya meninggalkan kawah seperti dihantam meteor.
“In-in—”
“Acel. Tolong selesaikan.”
Lalu suara lembut terdengar di langit:
“Lock of Frost.”
Seolah mengobrol biasa.
“Hgh…!”
“Sudah.”
Marya tersenyum.
“Haaah…”
Acel menghela napas lega. Jauh lebih lemah dari perkiraannya—ia bahkan hampir tak mengeluarkan mana.
“Mo-gamo!! Bantulah kami!!”
“Gongja-nim! Tolong kami!”
Semua pria bertopeng langsung bersujud di depannya.
Acel berkedip.
“A-aku laki-laki…”
Side Story 9. Di Benua Baru (3)
“Sebentar, kamu mau melakukan apa?”
Ronan bangkit dari sofa tempat ia membaca buku. Karena rumah itu terlalu luas, suaranya sampai bergema. Setelah meninggalkan Ibu Kota, ia kini tinggal di sebuah mansion yang dibangunnya di wilayah kekuasaannya sendiri.
Cahaya matahari yang menembus jendela membelah ruang tamu. Aedeshan, yang hendak menuruni tangga menuju ruang bawah tanah, berhenti di tempat.
“Hmm? Sudah lama, jadi kupikir mau melihat-lihat gudang sebentar.”
“Kalau begitu, kenapa kamu membawa kemoceng dan lap itu?”
“Ya jelas untuk bersih-bersih sedikit. Memangnya kenapa?”
Ia mengangkat bahu. Tiga bulan telah berlalu sejak mereka kembali dari Nimberton, dan perut Aedeshan sudah membuncit cukup jelas. Ronan menggeleng.
“Jangan memaksakan diri. Kalau sampai cedera bagaimana?”
“Aduh, aku bahkan sudah jarang keluar rumah karena badanku berat begini. Setidaknya biarkan aku mengerjakan sedikit pekerjaan rumah.”
Aedeshan merengut manja. Ia mengerti Ronan mengkhawatirkannya, tapi proteksi Ronan akhir-akhir ini memang terlalu berlebihan. Pria yang dulu seperti serigala liar itu, sejak ia hamil, berubah menjadi pria cerewet setara Shuliffen. Dengan langkah panjang, Ronan mendekat dan mengangkat Aedeshan seperti seorang putri.
“Aku tahu perasaanmu, tapi sekarang tidak boleh. Heave-ho.”
“Kyaa!”
Aedeshan memekik kecil—bukan karena takut atau tidak suka, melainkan karena kebahagiaan yang begitu pekat hingga tumpah lewat suaranya.
Berbalik arah, Ronan membaringkannya ke sofa tempat ia duduk tadi. Aedeshan tertawa kecil sambil mengusap perutnya.
“Anak kita harus tahu betapa ayahnya mencintainya begini.”
“Aku itu mencintai kamu, Aedeshan.”
“Jangan bilang hal-hal seperti itu. Kita bahkan belum melahirkan yang pertama, tapi kamu sudah membuatku ingin bikin anak kedua.”
Aedeshan tersenyum dengan mata setengah bulan. Katanya, wanita biasanya menjadi gemukan dan rambutnya kusam saat hamil, tapi Aedeshan tetap cantik. Entah itu karena cinta, atau karena ia memang luar biasa sejak awal.
Suasana yang tercipta membuat Ronan hampir melakukan sesuatu di tempat itu juga. Ia mengecup kening Aedeshan pelan, lalu menunjuk keluar jendela.
“Kalau bosan, jalan-jalan saja. Toh kamu sudah merawat taman itu dengan baik.”
Di luar terbentang taman luas. Tanah kering dan tandus selama musim dingin di Valture kini telah berubah kehijauan di bawah matahari musim panas. Bunga liar yang bibitnya ditebar Aedeshan bermekaran di sana-sini.
“Baik. Terima kasih.”
“Aku menyusul sebentar lagi.”
Ronan memberikan payung kecil kepadanya. Setelah merasa cukup tenang, barulah ia turun ke ruang bawah tanah. Tempat itu berfungsi ganda sebagai gudang, dan seperti perkiraannya, debu menumpuk tebal.
“Untung aku melarang mereka membersihkan tempat ini.”
Karena banyak barang pribadi, Ronan memang melarang para pelayan menyentuh ruang ini. Ia menepuk-nepuk sarang laba-laba dan debu yang menggantung di udara sambil memeriksa rak-rak.
Saat menatap salah satu rak—
“Apa ini…”
Ia menyipitkan mata. Lima buah patung sebesar semangka tersusun rapi… atau lebih tepatnya, telah hancur berkeping-keping. Potongan kertas berwarna kuning dengan tulisan merah berserakan di lantai.
Itu adalah batu-batu segel dari Benua Baru yang dulu dibawa Shita. Kecuali satu, semuanya hancur berkeping. Penyebabnya tidak jelas.
Saat Ronan hendak menyentuh satu-satunya yang masih utuh—
Crack!
Tiba-tiba retakan besar muncul. Patung itu pun runtuh menjadi debu.
Seolah entitas yang disegel di dalamnya baru saja mati.
Ronan mengerutkan dahi dan memaki pelan.
“Apa-apaan ini, sialan.”
Bulan putih tampak indah. Di bawah langit senja yang masih kebiruan, terhampar danau besar dikelilingi hutan gugur yang rapat.
Ini adalah Danau Cheongya, salah satu wilayah terkutuk di Benua Baru. Seratus tahun lalu, tempat ini adalah lokasi wisata terkenal. Namun sejak Bokmajeon muncul dan menguasai wilayah itu, danau menjadi tempat terlarang.
“Kalau tidak keluar, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa, tahu…”
Acel melayang di udara, tepat di atas danau. Ia berbicara sendiri, menatap bayangan bulan di permukaan air, lalu mengarahkan tangannya seolah menarik sesuatu dari dalam.
“Kwaaaaargh!”
Teriakan menggetarkan tulang datang dari dalam danau. Ikan-ikan meloncat keluar dari air. Bersamaan dengan suara robekan—
Craaash!
Kepala seekor salamander raksasa menembus permukaan air.
“Berani-beraninya mengganggu Sang Empat Raja Bokmajeon, yaitu aku!”
Makhluk itu mengaum. Dari rahangnya yang lebar, asap beracun berwarna ungu menyembur. Manusia akan mati hanya dengan menghirup sedikit saja, namun satu partikel pun tak mampu menembus perisai Acel.
Tanpa menghiraukan itu, Acel terus menariknya. Dengan mantra singkat, tubuh salamander itu terangkat keluar dari air, tercabik dari dasar danau. Tubuhnya begitu besar hingga Acel terbelalak.
“Hiiiiiik… M-maaf!”
“Krrr! Wajahmu akan kuingat selamanya!”
Ekor makhluk itu sepanjang seekor paus. Kulit licinnya memantulkan cahaya bulan. Ia meronta keras, ingin kembali ke air, tapi kekuatan telekinesis Acel tak memberinya kesempatan.
Dari tepi danau, Marya membuka mulut.
“Tubuh aslinya pasti ada di dalam.”
“Hmm.”
Acel mengangguk. Ia menjentikkan jarinya, membuat tinju tak terlihat menghantam perut salamander itu.
Duar!
Salamander memuntahkan sesuatu—seorang kakek berusia hampir seratus tahun, memakai jubah hitam dengan lambang Bokmajeon.
Saat kakek itu keluar, kegelapan yang menutupi mata salamander langsung menghilang.
“Keeek!”
“Jangan tertangkap lagi.”
Acel melepaskan salamander, dan makhluk itu jatuh dengan cipratan air masif sebelum menghilang kembali ke danau. Kakek itu, tak bisa bergerak, menatap dengan ketakutan.
“H… bagaimana…”
“Sudah jelas. Kalian Bokmajeon selalu menyiksa yeongmul untuk membuat kekacauan.”
Marya terkikik. Setelah tiga bulan menghadapi Bokmajeon, mereka berdua sudah sangat memahami pola kelompok itu. Mereka mencuci otak hewan-hewan kuat—yang disebut ‘yeongmul’—dan memakainya sebagai senjata.
Sejak menerima tawaran Yeongwolrim—kelompok ternama di Benua Baru—Acel dan Marya menunda urusan dagang dan fokus membasmi Bokmajeon demi memperluas pengaruh Karavel.
Dan kini, pembersihan tinggal sedikit.
‘Kalau ini salah satu dari Empat Raja, berarti tinggal sedikit lagi.’
Jika semua berjalan lancar, Karavel bisa menjadi kekuatan besar di Benua Baru. Dan semua itu mungkin karena Acel. Marya menatapnya penuh kasih.
Tiba-tiba—
“Kalau kau pikir aku akan kalah begitu saja, kau salah besar!”
“Hah?”
Kakek itu menuding Marya. Segumpal energi qi melesat lurus.
“Akh…!”
Marya mencoba menghunus pedang, tapi ledakan itu lebih cepat.
Duar!
Semburan air raksasa menjulang ke langit. Acel terbelalak.
“Marya!”
“Kuhahaha! Lengah, ya? Kalian terlalu sibuk memperhatikan diri sendiri!”
Air jatuh seperti hujan hitam. Wajah Acel diliputi keputusasaan—
“Wah, kaget. Hampir mati tadi.”
—sampai suara Marya terdengar dari balik pohon besar. Ia berhasil menghindar tepat sebelum ledakan.
“M-marya…! Kau tidak apa-apa?!”
“Tentu saja. Aku baik-baik saja.”
Acel hampir menangis. Marya mengangkat dua jarinya membentuk tanda V, tertawa lebar. Hanya pakaian dan wajahnya yang kotor—tidak ada luka berarti.
Kakek itu membelalak.
“M-mustahil!”
Marya hendak menggoda Acel karena menangis seperti anak kecil. Namun sebelum sempat bicara—
Acel menatap si kakek dengan wajah dingin seperti salju.
“…Kau.”
“A-apa?”
Suasana berubah drastis. Kakek itu gemetar, mencoba mencari jalan kabur. Namun kekuatan yang menahan tubuhnya mengencang.
“Gggh!”
Darah muncrat dari mulutnya. Tulang-tulangnya patah satu per satu.
Tanah bergetar.
Marya menyadari anomali itu.
“Eh—apa ini?!”
Sebuah medan pelindung transparan menyelimuti tubuhnya. Acel selalu memasang itu setiap kali ia hendak menggunakan sihir skala besar.
Marya melirik kakek itu dan mendengus.
“Kau sudah tamat.”
“ГГAAAAAH! Lepas—lepaskan aku!”
Tubuh kakek itu terangkat semakin tinggi, sampai mendekati awan. Acel mengangkat kedua telapak tangan.
Cr-cr-crack!
Tanah dan pepohonan terangkat dari permukaan seperti dicabut paksa.
“A-apa…”
Kakek itu tak bisa percaya. Tanah tempat mereka berpijak berubah bentuk di depan matanya.
Acel menatapnya tanpa emosi.
Lalu ia mengatupkan kedua telapak tangan—seperti membentuk bola salju.
Pada saat yang sama—
Wuuuussshhh!
Potongan tanah dan pohon-pohon raksasa melesat ke arah kakek itu seperti meteor.
“Berhenti—berhenti!!”
Tak ada jawaban.
Duar! Duar! Duar!
Letusan demi letusan menghancurkan tubuh kakek itu. Jeritannya tenggelam dalam gemuruh besar. Awan debu membumbung seperti terciptanya bintang baru di langit malam.
Segera, sebuah bola raksasa terbentuk menggantung di bawah bulan.
“Eternal Floating.”
Acel merapal satu mantra lagi, memberinya sifat mengambang secara semi-permanen. Energi mana menyelimuti bola itu.
Kini, kecuali terjadi sesuatu yang ekstrem, bola itu akan menggantung selamanya—menjadi penjara abadi bagi si kakek.
Acel turun ke sisi Marya.
“Marya! Kau benar-benar tidak apa-apa? Kau tidak terluka?!”
“Kan sudah kubilang, aku baik-baik saja.”
Acel hampir menangis. Marya memeluknya tanpa berkata apa-apa. Bahunya bergetar—sangat berbeda dari sosok brutal yang menghajar kakek itu tadi.
Perbedaan sikapnya membuat siapa pun mabuk.
Air mata yang menggantung di bulu matanya tampak indah. Marya menatapnya dan tertawa kecil.
“Aduh. Kamu bikin aku horny.”
“Hah? …Mmph!”
Marya menarik kerah Acel dan mencium bibirnya dengan kasar. Lidah mereka bertaut lama sebelum akhirnya berpisah.
“Hff… t-tunggu… bukan di sini…!”
“Diam.”
Marya mendorong Acel hingga terbaring. Acel berusaha berkata sesuatu, namun tenggelam dalam suara riak air danau.
Malam di Benua Baru kian larut.
Side Story 10. Di Benua Baru (4)
“Ah… segar sekali.”
Marya bangkit dengan meregangkan tubuh. Cahaya fajar yang baru muncul membelai lembut kulit telanjangnya. Acel, yang tertidur dalam pelukan Marya, juga membuka mata.
“M-Marya… k-kamu sudah bangun?”
“Mm. Selamat pagi.”
Marya tersenyum. Di atas danau, bola besar—penjara tempat ia dan Acel mengurung salah satu dari Empat Raja Bokmajeon—masih mengambang pelan.
Di sekitar mereka, tanah berlubang di mana-mana. Jejak saat Acel mencabut tanah dan pepohonan untuk membentuk bola itu. Ia bahkan sempat tertawa kecil—bagaimana mereka bisa melakukan hal seperti itu di tempat seperti ini?
Marya menoleh pada Acel.
“Benar ‘kan? Orang itu harus olahraga sebelum tidur. Kamu juga setuju, kan?”
“Uuuh…”
Acel menunduk tanpa memberi jawaban jelas. Berbeda dengan Marya yang segar dan bersinar, tubuh Acel tampak jauh lebih kurus. Kulit putihnya dipenuhi tanda-tanda… seperti gigitan nyamuk, tapi jelas bukan.
“Hm~ Tapi lumayan. Semalam kamu nggak ‘berbekas’ terlalu banyak.”
Marya tersenyum geli. Suasana itu saja sudah menyalakan naluri mendominasinya. Acel menggeliat pelan, wajahnya memerah.
“Jawabanmu kok kurang semangat? Kamu… tidak suka?”
“B-Bukan begitu! Aku suka. Hanya saja… lain kali… mungkin… um…”
Ia menggigit bibir bawahnya. Ia ingin memohon agar Marya sedikit lebih… pelan, setidaknya sekali saja. Namun harga diri seorang pria menahannya. Acel melirik Marya sejenak dan akhirnya berkata:
“S-sebaiknya kamu pakai baju dulu. Nanti masuk angin.”
“Oh, benar juga.”
Marya berdiri dan mulai mengenakan pakaian dalam yang semalam ia lepaskan secara asal. Acel menoleh, wajahnya memanas. Rumput di sekitar tempat mereka tidur semalam tercabik dan tercampur kacau.
‘A-apa ini normal…?’
Ia bahagia—sangat bahagia—tapi frekuensinya makin tidak masuk akal. Jarak antar-… kejadian semakin singkat. Dan jika tidak sedang berdua di tempat terpencil, Marya tidak ragu melakukannya di mana saja.
‘Waktu kutanya apa tidak takut orang lain mendengar… dia bilang biarin saja. Katanya, kasih “pertunjukan” sedikit tidak apa-apa.’
Itu bukan manusia, itu harimau betina. Acel sebenarnya ingin berbicara serius tentang masa depan mereka. Ia menarik napas untuk mengumpulkan keberanian—
Chwaaaak!!
Air danau terbelah. Kepala salamander raksasa muncul dari dalam air.
“A-Apa?!”
“Bahaya!”
Itulah salamander yang semalam mereka bebaskan dari kendali anggota Bokmajeon. Marya tersentak. Refleks, Acel meloncat ke depan Marya dan membuka penghalang. Cahaya biru transparan menyelimuti mereka.
“Marya.”
Nada suara Acel sangat dingin—mungkin masih terbawa suasana semalam. Enam atau tujuh pilar es tajam muncul di belakangnya, siap ditembakkan kapan saja. Salamander itu menggeleng.
“Nuo?”
“…Tidak menyerang?”
Acel mempersempit mata. Berlawanan dengan perkiraannya, salamander itu hanya menatap mereka. Dua matanya yang kecil berkedip perlahan.
“L-lucu juga, sedikit…”
“Shh. Kita belum tahu maksudnya.”
Ketegangan menggantung di udara. Tak lama kemudian—
Bleergh!
Salamander memuntahkan sesuatu.
“...Itu…!”
Acel terkejut. Sebuah bola berkilauan terbang membentuk lengkungan. Acel mengulurkan tangannya. Telekinesisnya menangkap bola itu.
Seukuran dada manusia dewasa. Permukaannya buram seperti mutiara. Tapi di dalamnya, Acel merasakan pusaran mana luar biasa besar.
“Ini…!”
Marya menutup mulut dengan kedua tangannya, nyaris terisak kaget.
Jika ingatannya benar, ini adalah naedan—inti energi yang hanya dimiliki oleh yeongmul berusia ratusan bahkan ribuan tahun.
Salah satu benda yang paling ingin Marya dapatkan di Benua Baru.
“Benar. Ini naedan. Astaga, kita benar-benar beruntung…”
“Tapi… kenapa diberikan pada kita…”
Mungkin itu balas budi karena Acel membebaskannya dari Bokmajeon. Pilar es di belakang Acel menghilang. Marya melambai lebar.
“Terima kasih! Sehat-sehat ya!”
Salamander itu tersenyum—atau setidaknya mencoba—lalu menyelam kembali. Air memercik tinggi hingga membentuk hujan tipis. Saat sinar matahari menyentuhnya, sebuah pelangi terbentuk.
“Waaah…”
Pemandangan itu sangat indah. Burung-burung beterbangan di atas danau yang kini bebas dari pengaruh jahat. Angin pagi yang dingin membelai rambut mereka.
Bahkan setelah airnya tenang kembali, mereka masih memandanginya lama. Ketika pelangi mulai memudar, Marya melirik Acel dan berkata:
“Acel.”
“Mm?”
“Ayo kita menikah saja.”
“…Oke— h-ha?!”
Mata Acel membesar. Ia yakin telinganya salah menangkap.
“A-apa tadi?”
“Ayo menikah. Aku akan membuatmu bahagia.”
“N-nikah? Tiba-tiba begini…?”
“Iya.”
Marya mengangguk mantap. Acel membuka dan menutup mulut, tidak bisa bicara. Marya menyipitkan mata.
“Kenapa? Kamu tidak mau?”
“A—mau! Tentu mau! Tapi terlalu mendadak…”
“Kita sudah tidur bersama lebih dari setahun. Apa yang mendadak dari itu? Jangan bilang kamu mau bersenang-senang lalu pergi? Atau kamu punya perempuan lain…?”
Seketika aura pembunuhan muncul. Batu yang Marya sentuh mulai retak.
“Hmm? Kamu punya perempuan lain?”
“T-Tidak! Sama sekali tidak! Aku cuma cinta kamu!”
“Benar, kan.”
“Aku bisa sumpah! Atas nama langit! Atas kehormatan seorang penyihir juga!”
Aura dingin Marya menghilang. Ia tersenyum puas.
“Baiklah. Kalau begitu menikahlah denganku.”
“A-akhirnya ke situ juga! T-tapi… kenapa tiba-tiba terpikir begitu?”
“Saat aku melihat pelangi tadi… aku yakin. Kita akan bisa membuat satu sama lain bahagia. Instingku tidak pernah salah.”
Ia menyibakkan rambutnya. Emas basah itu bersinar di bawah matahari. Marya meremas dadanya sedikit sambil lanjut berbicara:
“Dan jujur saja… wajahku cantik, badanku bagus. Benda yang satu ini juga tidak bisa kamu temukan di mana pun, ‘kan?”
Acel mendadak memerah sampai ke telinga. Ia mengalihkan pandangan.
“Itu… benar sih…”
“Kalau begitu, sempurna. Apa lagi yang kamu pikirkan?”
“A-aku tidak menolak! Sebenarnya… cuma…”
Ia berbisik hampir tidak terdengar.
“A-aku ingin jadi orang yang melamarmu dulu…”
Kemudian ia menutup wajahnya sepenuhnya dengan tangan. Ujung telinganya merah menyala. Rencana lamaran romantis yang ia siapkan menguap begitu saja.
“…Ha.”
Marya tertawa putus asa. Ia pun memerah. Begini lucunya, ini sudah kriminal. Ia mencari-cari sesuatu di sekitar mereka—
“Lepas.”
“…Hah?”
“Lepas bajumu. Atau kamu mau aku yang melepasnya lagi?”
Acel menurunkan tangan dari wajah. Marya sudah mulai menanggalkan pakaiannya lagi.
“Ke…kenapa lagi?!”
“Ini salah kamu juga. Kamu bilang hal kayak begitu tapi berharap aku nggak melakukan apa-apa? Mustahil. Lagipula, kita perlu ‘meninggalkan cap’. Biar aku tenang.”
“C-cap…?”
Marya mengangguk. Tatapannya mengiris, tapi juga panas. Acel tersentak.
“M-Maksudmu… kamu mau punya anak? Sekarang?!”
“Iya. Kenapa kaget? Ibuku juga melahirkan aku saat seusia ini.”
“B-bukan itu masalahnya! K-kita bahkan belum menikah… dan kamu itu bangsawan…!”
Marya kini adalah seorang Count—pemimpin wilayah Armalen. Dan tidak akan lama sebelum ia jadi salah satu tokoh paling berpengaruh di benua. Pernikahan di kalangan bangsawan tak pernah sederhana.
Namun Marya tidak peduli sedikit pun.
“Lalu apa? Kamu juga akan jadi bangsawan. Dan Ronan sama Aedeshan unnie juga menikung aturan. Mereka ngebut.”
“D-di mereka itu kasus spesial…”
“Dan kamu, calon Archmage, jauh lebih berharga daripada aku. Jadi berhenti khawatir. Acel.”
Ia meraih kerah bajunya. Acel mundur selangkah—lalu langkah lagi. Tapi di belakangnya hanya air danau.
“Hidup kita sempurna nanti. Kita punya anak yang mirip aku dan kamu, lalu biar nggak sendirian, kita bikin tiga atau empat sekaligus. Rumah kita besar, bakal ramai.”
“J-jangan Marya! Kali ini benar-benar… tidak boleh…”
Acel mulai gemetar. Marya menggeleng.
“Tenang saja. Kamu cuma perlu rebahan dan lihat awan. Kamu biasanya begitu, kan?”
“Itu… tidak manusiawi… setelah itu aku bahkan sulit jalan…”
Marya menendang batu yang menghalangi jalannya.
Duar!
Batu itu pecah.
“Kalau begitu aku gendong kamu. Selesai.”
“Tidak mauuuu!!”
Acel jatuh terduduk. Marya langsung menaiki tubuhnya. Sambil membuka pakaian Acel, Marya mendadak menjentikkan jari.
“Oh iya. Hampir lupa. Setelah urusan Bokmajeon selesai, kita harus ke Ibu Kota sebentar.”
“A—apa? Kenapa?!”
“Beberapa hari lagi Shuliffen mau menantang Jaipa-nim. Kabarnya Naviroche seonsaengnim sudah menyingkirkan semua peserta babak awal. Mungkin kita akan melihat kelahiran Sword Saint baru.”
Sungguh berita besar—tapi Acel tak sempat terpana.
Ia membuka mulut untuk menunda waktu.
Namun Marya lebih cepat.
Bibirnya menutup bibir Acel.
Side Story 11. Sword Saint (1)
Angin musim panas terasa menyengat. Awan cumulonimbus besar dan berat seperti kapal perang melintasi langit biru cerah ibu kota. Jaipa menarik napas dalam-dalam sebelum membuka mulut.
“Sudah lama sekali. Seorang penantang lain yang bukan Naviroche.”
“Shuliffen Sinivan de Grancia, memberi hormat kepada Sword Saint.”
Shuliffen menunduk dalam salam pedang. Ia mengenakan seragam pertempuran resmi keluarganya. Rambut biru gelap berkilau di bawah terik matahari.
Keduanya berdiri berhadapan di tengah arena yang luas. Lantai berbentuk lingkaran, tersusun dari batu putih bersih, begitu besar hingga mampu menampung satu desa kecil. Ini adalah Grand Circle, arena terbesar di seluruh Kekaisaran.
“Laga pembuka pertama sejak perang berakhir.”
“Tidak pernah terpikir saya suatu hari akan melihat Shuliffen dan Jaipa-nim bertarung… saya sudah menggunakan seluruh keberuntungan hidup saya.”
Penonton yang datang untuk menyaksikan pertarungan tak tertandingi itu memenuhi arena hingga tak ada tempat tersisa. Meskipun panas semakin menjadi, Grand Circle sesak oleh orang-orang yang ingin melihat penobatan Sword Saint berikutnya.
“Kalau bukan kau, pastilah anak itu, Ronan. Jadi dia kalah darimu?”
“Tidak. Dia bahkan tidak ikut serta. Sepertinya memang tidak berminat pada posisi Sword Saint sejak awal.”
“Ke크크… bocah sombong itu.”
Jaipa terkekeh. Ia memang sudah menebak. Ronan tidak pernah tertarik pada kehormatan semacam jabatan Sword Saint. Saat itu, suara kesal menggema dari tribun tamu kehormatan.
“Hei, kakek. Banyak bacot. Harusnya bersyukur aku menyempatkan datang, padahal aku lagi sibuk menikmati masa bulan madu.”
“Omong-omong, kau memang ada di situ.”
Jaipa menoleh dan mendengus tertawa. Ronan duduk bersama Aedeshan, menempati bangku terbaik di seluruh gedung. Di sekeliling mereka duduk Acel, Marya, dan semua teman dekat Ronan.
“Jadi kau benar-benar sudah menikah. Masih masa-masa indah, ya?”
“Nah, itu dia. Lucu banget kamu bisa ngomong begitu setelah menghabiskan semua alkohol di pesta pernikahan.”
Ronan mendecak. Beberapa hari sebelumnya, ia dan Aedeshan resmi menikah. Sesuai permintaan Aedeshan, pernikahan diadakan di plaza utama Akademi Phileon. Semua orang yang pernah dekat dengan mereka datang merayakan.
Jaipa merupakan salah satu tamu yang datang paling awal. Setelah memberikan ucapan selamat yang sangat singkat, ia kemudian menghabiskan semua alkohol yang disiapkan untuk resepsi sebelum pergi. Meskipun benar, beberapa hari kemudian ia mengirim hadiah: satu botol besar Minuman Penyulingan Bunga Salju Abadi—yang nilainya cukup untuk membiayai seluruh pesta pernikahan berkali-kali.
“Tau nggak sih, gara-gara kamu aku hampir mati dikeroyok para naga? Tahu betapa sukanya mereka sama alkohol? Jujur saja, biasanya habis itu kamu bakal dicabik Naviroche-noona sama Orse!”
“Hmph. Harusnya kau biarkan saja. Aku memang ingin bertarung dengan Marong itu. Kalau bukan dengan Ibu Api.”
“Mulutmu tuh nggak pernah mau kalah. Shuliffen! Tendang keluar kucing sialan itu!”
Ronan berteriak sambil mengepalkan tangan. Naviroche yang duduk tepat di belakangnya mengangguk setuju.
Shuliffen hanya menoleh. Matanya langsung bertemu dengan Iriel, yang duduk di tribun penonton. Gadis itu menggenggam tangan, wajahnya dipenuhi kekhawatiran.
“Shuliffen-nim…”
Meski Iriel tahu kemampuan Shuliffen, lawannya hari ini adalah Jaipa—yang berbeda level.
Sword Saint terkuat sepanjang sejarah Kekaisaran.
Ia sudah mencoba mencegahnya, tapi Shuliffen memilih melangkah ke arena demi menepati sumpahnya sendiri. Shuliffen menoleh kembali pada Jaipa.
“Saya tidak berniat kalah.”
Kata-kata itu bukan hanya untuk Iriel. Melainkan untuk semua orang.
Saat itu, seorang pria setengah baya dengan jubah megah berjalan menuju panggung. Arena langsung senyap seperti ditutup air es. Ia adalah moderator pertandingan hari ini—sekaligus kaisar Kekaisaran, Valon ke-44.
“Ow, lihat itu rambut putihnya. Pasti stress ya, Pak Tua.”
“Ronan, diam…!”
Ronan satu-satunya yang masih berani bersiul. Aedeshan buru-buru menutup mulutnya. Rambut putih Kaisar yang dulu hitam pekat kini sepenuhnya memutih—tanda betapa beratnya beban yang ia tanggung sejak perang melawan Nebula Clazie.
Ia menyapu pandang ke arah arena sebelum berbicara.
“Untuk bisa menyaksikan pemandangan ini lagi… sungguh mengharukan.”
“Kami memberi penghormatan kepada Yang Mulia.”
Shuliffen dan Jaipa berlutut dengan satu lutut. Kaisar tersenyum lembut, lalu berkata:
“Tak perlu kata-kata panjang. Kalian berdua memiliki nama dan reputasi yang seluruh bangsa kenal. Ini adalah ajang menentukan pedang terkuat Kekaisaran. Lakukan yang terbaik.”
“Eh? Itu saja? Masa iya cuma segitu?”
“Aku menantikan pertandingan terbaik dari kalian.”
Tanpa penutup panjang, Kaisar berbalik dan kembali ke kursinya. Ronan mendengus tidak percaya. Di belakang Kaisar duduk para tetua penyelenggara Festival Pedang.
“Jadi, kapan mulai—”
Ronan belum menyelesaikan kalimatnya ketika sosok Jaipa menghilang, bergerak ke depan bagaikan kilat. Shuliffen refleks mengangkat pedang.
Kwaaaang!!
Guncangan seperti petir menggema. Menghadapi membelahnya moonblade dan bilah Pale Lord, Jaipa tertawa kecil.
“Sekarang kau tidak lagi terpental, rupanya.”
“Berkat Anda.”
Meski diserang tiba-tiba, Shuliffen tidak bergeser sedikit pun. Dibandingkan saat pertama mendapat “salam” Jaipa, ini kemajuan luar biasa.
Penonton baru menyadari apa yang terjadi setelah beberapa detik.
“A—apa yang barusan terjadi?!”
“Mustahil…”
Bagi mereka, Jaipa menghilang lalu muncul kembali dalam sekejap.
Pertarungan kembali dimulai.
KAAANG!!
Moonblade raksasa menghantam arah ubun-ubun Shuliffen.
“Hngh!”
Shuliffen memiringkan bahu dan menghindar dengan selisih selembar kertas. Kwaang! Bilah besar itu membelah lantai batu seperti tahu. Ia menggenggam pedang; bilah Pale Lord berubah menjadi angin dan lenyap.
Jaipa berusaha menarik moonblade yang tertancap, tapi Shuliffen lebih cepat. Ia mengayunkan gagang pedang dan—
Chajajak!!
Puluhan luka tipis seperti cakaran elang tercetak di tubuh Jaipa. Angin yang dikendalikan Shuliffen setajam pedang terbaik.
Darah memercik.
Jaipa menyipitkan mata.
“Anak sombong…”
Shuliffen langsung menekan serangan beruntun. Jaipa, meski terluka, mengekstraksi moonblade dan melakukan satu tebasan berat.
Kwaang!
Benturan itu memukul balik Pale Lord.
“Kh…!”
Shuliffen terpaksa menggeretakkan gigi. Pukulan pada pangkal pedangnya membuat rusuknya nyaris patah.
‘Lukanya pasti luar biasa sakit…’
Itulah daya tahan seorang Sword Saint yang tak terkalahkan. Tapi Shuliffen tidak berhenti. Ia kembali menembus jangkauan dan masuk ke ruang Jaipa. Pale Lord kembali memadat, kembali ke wujud aslinya.
“Hmm?”
Jaipa mengerutkan kening. Kecepatan Shuliffen jauh lebih cepat dari perkiraannya. Dengan jarak sedekat ini, bilah panjang moonblade tidak bisa dipakai efektif. Saat Shuliffen menusuk—
Paaang!!
Jaipa menendang. Tapi Shuliffen sudah membaca jebakan itu. Ia memijak lutut Jaipa sebagai pijakan dan meloncat.
“A?”
Jaipa terbelalak.
Shuliffen melambung hampir sepuluh meter ke udara.
“Gila!!”
“Luar biasa…”
Penonton menjerit. Jaipa merapatkan kuda-kuda. Shuliffen yang berada di udara jelas menjadi target ideal.
“Tunjukkan kemampuanmu.”
Hit posisi udara berarti satu hal: adu aura.
Jaipa terkekeh. Ia mencengkeram gagang moonblade; aura hitam kental mengalir keluar.
Shuliffen mencapai titik tertinggi—lalu mulai jatuh. Ia menghunus pedang sambil memotong udara.
“Haaap!”
Dua bilah aura berbentuk bulan sabit raksasa melintas, panjangnya hampir menembus ujung arena.
Naviroche menghela napas kecil.
“Sudah sejauh ini, ya.”
Tingkatnya hampir menyamai miliknya.
Namun Jaipa hanya menggerakkan lengan.
Srrrip—
Satu garis hitam digoreskan di udara.
“—Itu…!”
Ronan terbangun kaget. Ia pernah melihat itu saat berburu wyvern bersama Jaipa.
Retakan ruang.
Aura pedang Shuliffen teriris seperti kertas. Potongan aura jatuh menghantam lantai dan meledak.
Ronan berteriak:
“Bego! Menghindar!!!”
Semua penonton sependapat.
Shuliffen tidak bisa membelah mana. Ia bukan Ronan.
Tapi Shuliffen tidak menghindar.
Ia justru mempercepat turun.
Detik sebelum wajahnya tersentuh retakan ruang—
Srrriik!
Angin melesat. Hembusan tajam menggeser tubuh Shuliffen hanya beberapa sentimeter. Cukup untuk membuat retakan ruang menyisir rambutnya saja.
Jaipa tertawa, puas.
“Cukup mengesankan.”
Ia akan meng-counter. Namun—
Creak.
Bilah moonblade-nya berubah aneh. Puluhan garis potong muncul di batangnya.
“Apa—”
Bilah itu retak dan terbelah.
Itu adalah hasil dari kerusakan halus yang ditumpuk Shuliffen sejak serangan pertama. Jaipa mencoba membalas tangan kosong—terlambat.
Puuk!!
Pale Lord menembus ekor Jaipa dan menancap ke lantai.
“Kurang ajar…”
Es menggigit dari pedang membekukan ekor dan lantai sekitarnya. Jaipa hendak memutus ekornya sendiri untuk bergerak, tapi—
Shuliffen melepaskan pedang dan melangkah mundur.
“Wahai badai.”
Tak sempat memahami maksudnya—
Kwaaaaaahhhh!!
Angin badai meledak dari tanah. Putaran angin setajam silet menelan Jaipa, bahkan menembus awan cumulus di atas arena. Penonton meledak bersorak.
“WOOOOAAAAAA!!”
“Shuliffen, dasar bajingan bagus!!!”
Ronan berteriak kegirangan. Ilusi akhirnya berhasil. Tubuh Jaipa lenyap di dalam badai.
Semua orang menahan napas.
Namun—
Chwaaaak!!
Garis hitam kembali membelah badai. Putaran angin pecah kiri-kanan.
“—Apa?!”
Shuliffen memucat.
Jaipa meloncat keluar dari badai, secepat kilat.
Kwaaajik!!
Tinju hitamnya menghantam perut Shuliffen.
“Keuhk!!”
Meski pukulan itu menghantam perut, tulang punggungnya serasa retak. Shuliffen terpental lurus ke belakang dan menghantam dinding arena.
“Shuliffen-nim!!!”
Iriel berteriak.
Jaipa mendarat. Tampilannya hancur—setengah tubuhnya mengucur darah, bulu-bulunya tercabik, kulit hitamnya terlihat jelas.
Namun auranya justru semakin tebal.
Sepuluh cakar hitam keluar dari ujung jari-jarinya—pedang sejatinya.
Shuliffen bangkit terseok, namun masih berdiri.
Jaipa tertawa, wajahnya menegang ganas.
“Menarik. Benar-benar menarik, bukan begitu?”
Side Story 12. Sword Saint (2)
“Sudah berapa lama ya… sejak terakhir kali aku menikmati pertarungan seperti ini.”
Jaipa berbicara. Senyum dingin terbentang di wajahnya, pupil matanya menyempit panjang seperti celah tipis. Aura pembunuhan yang seakan meremas paru-paru menyebar ke seluruh arena.
“Bagaimana mungkin…”
Shuliffen memuntahkan darah sambil berdesah. Ia melihatnya langsung, namun tetap sulit percaya. Luka-luka Jaipa bukanlah sesuatu yang bisa diatasi hanya dengan kegigihan.
Dari seluruh tubuhnya yang tercabik seperti kain rombeng, darah merah kehitaman terus menetes. Ekor yang tertembus Pale Lord kini tergeletak terpisah di lantai. Jika melihat potongannya yang halus, tampaknya Jaipa sendiri yang memotongnya saat terseret oleh badai.
“Berbahaya.”
Naviroche menggigit bibirnya. Tanpa sadar, ia menyentuh luka lama di tulang selangka—bekas saat ia kalah pada pertarungan Sword Saint sebelumnya. Orang yang mengalahkannya adalah Jaipa dalam keadaan brutal seperti sekarang.
“Haa… huu…”
Shuliffen mengatur napas. Rasa sakit di tulang belakang mulai mereda sedikit demi sedikit.
Harus tenang. Aku sudah menorehkan serangan yang masuk. Asal tidak terburu-buru, peluang menang sangat besar.
Ketegangan menggantung.
“Kau masih bisa bersenang-senang lagi, bukan? Hmm?”
Jaipa menurunkan tubuh. Dua tangannya menyentuh lantai—postur yang sempurna menggambarkan predator sebelum menerkam mangsanya. Dalam momen itu, Shuliffen hendak mengubah pedangnya menjadi angin… lalu terhenti.
Berbahaya.
Insting yang membawanya sampai sejauh ini memberi peringatan keras. Jika ia memilih itu sekarang, ia mati. Shuliffen menarik kembali olernya dan mengangkat pedang secara naluriah.
KWAANG!
Suara seperti petir memekakkan telinga. Jaipa sudah muncul tepat di depannya.
“Hebat. Kau membaca itu.”
“Apa, kecepatannya…!”
Shuliffen mengeratkan gigi. Lima cakar melengkung mengait Pale Lord. Getaran pada pedang membuat tangannya nyaris remuk.
Jarak lebih dari lima puluh langkah hilang dalam sekejap. Lantai tempat Jaipa berdiri retak seperti jaring laba-laba—jejak tolakan kakinya yang luar biasa. Karena Jaipa memiliki dua tangan, serangan kedua langsung menyambar.
SWAK!
Cakar yang naik dari bawah kiri menggores dada Shuliffen.
“Kgh!”
Darah muncrat. Luka itu tidak dalam, namun cukup menyakitkan. Shuliffen membalas dengan mengayunkan pedang secara liar.
KAANG!
Jaipa menepisnya ringan lalu mengaum:
“Hentikan trik-trik kecil itu dan lawan aku dengan benar!”
DUAR!
Pedang dan cakar kembali beradu, setiap benturan seperti guntur jatuh. Serangan Jaipa layaknya monster buas—jauh lebih cepat dan lebih mematikan daripada saat ia masih memegang moonblade.
Shuliffen tidak punya kesempatan untuk mengubah pedang menjadi angin. Ia akhirnya menyerah pada ide itu dan fokus mengimbangi serangan.
Percikan api berhamburan setiap kali pedang dan cakar beradu. Serangan yang begitu cepat hingga penonton biasa tidak dapat mengikuti dengan mata telanjang.
PUHAK!
Darah memancar dari pundak Jaipa. Bibirnya melengkung ke atas dengan senyum menyeramkan.
“Kkhaha! Tidak buruk!”
“Kau…”
Shuliffen terkejut. Ia yakin serangannya tadi akan diblokir. Setelah beberapa kali bertukar serangan cepat, ia bersuara:
“…Sword Saint. Mohon menyerahlah.”
“Apa telingaku rusak? Apa yang barusan kau katakan, anak ingusan?”
“Aku menyarankan Anda mundur. Anda ingin mati?”
“Hmph. Kau memang peka secara berlebihan.”
Jaipa tertawa miring. Wajah Shuliffen menegang.
Benar—kondisi tubuh Jaipa sudah hampir melewati batas.
Wajar. Ia terkena badai pedang yang sanggup menggiling enam komandan Nebula Clazie sekaligus. Luka-luka itu terus memakan hidupnya setiap detik.
Melanjutkan duel seperti ini hanya akan membunuhnya. Pertarungan ini adalah penentuan pedang terkuat Kekaisaran, bukan arena gladiator ilegal yang memaksa kematian.
Namun, Jaipa punya pendapat lain.
“Itu bukan urusanmu.”
“Tapi—!”
“Tutup mulut! Kalau masih bicara begitu, aku pastikan kau tidak sempat memikirkan hal lain lagi!”
“Kh!”
Jaipa menendangnya. Shuliffen terpelanting, melakukan putaran di udara sebelum mendarat. Tepat saat itu—
KWAANG!!
Jaipa membungkuk dan melesat ke atas. Perbedaan kemampuan fisik manusia dan were-tiger seperti langit dan bumi. Penonton ternganga melihat betapa tinggi Jaipa melompat.
“S-segitu tingginya?!”
“Luar biasa…!”
“Sial… dia mau terbang ke mana?!”
Ronan mengerutkan dahi. Ketinggiannya hampir sama seperti saat mereka memburu wyvern dulu.
“Jangan-jangan…!”
Wajah Acel memucat. Ia bisa merasakan aliran mana yang abnormal. Aura hitam mulai berkumpul di sekitar Jaipa, yang kini hanya tampak seperti bintik.
Tidak sulit menebak apa yang akan terjadi.
Acel berteriak:
“P-perisai! Cepat aktifkan perisai!”
“A—Mage Acel?! Cepat, perisai sihir!”
Para penyihir penjaga panik. Mereka segera merapal mantra. Puluhan lapis penghalang transparan terwujud di antara arena dan tribune.
SKAAAK!
Lima garis hitam muncul membelah langit.
“Itu…!”
Retakan ruang—Oler khas Jaipa. Lima goresan setajam cakar macan raksasa membentang dari ujung hingga ujung arena.
Shuliffen nyaris menghindar ketika—
KWA-A-A-AANG!!
Retakan itu menghilang dan lantai arena meledak ke segala arah.
“KYAAA!!”
“Tolong! Tolooong!!”
Pecahan batu menghantam lapisan-lapisan perisai. Beberapa pecah, tapi masih ada puluhan lapisan lain yang menahan. Tetap saja, ketakutan menyapu seluruh tribune.
“Jaipa…”
Shuliffen tertegun. Kekuatan itu benar-benar gila.
Ia mengayunkan pedang, angin bertiup, dan debu menghilang. Pemandangan di bawah debu membuat Ronan bersumpah:
“Anjir…”
Arena kembali terlihat—hancur seperti ladang yang dibajak seratus kali. Baru saja selesai diperbaiki setelah perang melawan Nebula Clazie, sekarang malah lebih parah lagi.
Kaisar memegangi tengkuknya, pusing. Tapi hal itu tidak penting.
KWAANG!!
Jaipa turun seperti meteor hitam dan mendarat di belakang Shuliffen.
“Ini…”
“Terlambat!”
Shuliffen berbalik, tapi Jaipa lebih cepat. Cakar kanan menggores sisi tubuh Shuliffen.
PUHAK!
Lima luka robek terbuka, darah menyembur.
“Haa…”
Wajah Shuliffen yang selalu tenang akhirnya tertekuk oleh rasa sakit. Jaipa menyeringai, taringnya berkilau.
Namun Shuliffen tidak menyerah begitu saja. Meski hampir jatuh, ia memaksakan diri berdiri dan menebas ke atas.
CHWAAAK!
Angin pedang menyapu tubuh bagian atas Jaipa.
“Khgh!”
Kesakitan yang bisa membuat siapa pun pingsan menggulung Jaipa. Tepat di tempat yang dulu pernah dilukai Naviroche. Keduanya sama-sama terhuyung.
KAGAGAK!
Benturan kembali terjadi, pedang dan cakar beradu. Darah baru menodai kaki mereka setiap benturan.
“K-kita harus menghentikan ini…”
Iriel berdiri gemetar. Rasanya keduanya bisa mati kapan saja. Ia hendak mencari pejabat arena ketika Ronan menahan pundaknya.
“Noona. Jangan.”
“T-tapi kalau ini terus berlanjut, mereka akan—!”
“Aku tahu apa yang kau pikirkan. Tapi jangan. Duduk kembali.”
Iriel terisak, tapi Ronan tetap menahannya. Menyaksikan adiknya sedih memang berat, namun ia tidak bisa membiarkannya turun tangan.
Ronan memeluk pundaknya, lalu berkata:
“Kenapa mereka bertarung seperti itu? Apa mereka tidak takut mati?”
“Kalau takut mati, tidak bisa jadi pendekar. Noona mungkin sulit memahami, tapi… lihat saja dulu. Dan jangan terlalu khawatir.”
“…Hmm?”
“Shuliffen itu punya alasan yang harus ia menangkan.”
Ronan tersenyum tipis. Ia mengingat sumpah yang pernah Shuliffen ucapkan padanya—
“Jika aku tidak jadi pendekar terkuat, aku tidak punya hak untuk melindungi Iriel seumur hidupku.”
Bagi Shuliffen, pernikahan berarti komitmen untuk melindungi Iriel selamanya. Ronan menyilangkan tangan dan menatap arena.
“Menanglah, Shuliffen.”
Ia tak pernah menyangka akan mendukung pria yang ingin menikahi adiknya. Tapi apa boleh buat. Tidak akan ada pria yang lebih baik dari Shuliffen dalam seratus tahun ke depan.
Pertarungan berubah menjadi adu nyawa. Shuliffen dan Jaipa, keduanya compang-camping.
Lalu—
Pandangan Jaipa bergetar buram.
“Kh…”
Efek kehilangan darah terlalu berat. Sejenak—sangat sejenak—posturnya goyah. Waktu sedetik itu terlalu singkat untuk orang biasa, tapi cukup bagi Shuliffen.
Ia menggenggam pedang dengan dua tangan. Menggeram. Dan menerjang.
“HAAAAAP!!”
Tebasan tusuk menghujam lurus ke jantung Jaipa.
Jika ini tepat sasaran, Shuliffen menang.
Namun Jaipa tidak berhenti.
PUHAK!!
Pedang meleset sedikit dari jantung, tapi tinjunya pasti menghancurkan tengkorak Shuliffen.
Selesai.
Jaipa hendak menyeringai.
Lalu—
HWAASH…
Tubuh Shuliffen berubah seperti abu yang tersapu angin, lenyap.
“Apa…?!”
Jaipa tersentak. Pale Lord yang menusuk dadanya juga hilang.
Itu hanya ilusi angin.
Kalau begitu, di mana dia?
Bulu-bulu Jaipa berdiri. Ia merasakan kehadiran di belakangnya.
Ia berbalik—
SRAAK!!
Tebasan seperti komet menyayat sisi tubuhnya dan melintas.
“Ghh—!”
Darah menyembur. Itu serangan mematikan. Penonton sunyi total. Shuliffen mendarat dua puluh langkah jauhnya.
“Kh…”
Ia nyaris jatuh, menancapkan pedang ke tanah untuk tetap berdiri.
Jaipa tak bergerak, tubuhnya miring, darah menetes.
“Darah… adalah air mata yang ditumpahkan pedang.”
Ia berkata lirih, membelakangi Shuliffen. Darah menetes dari cakar tajamnya—mungkin darahnya sendiri, mungkin milik lawannya.
“Kau… apakah kau mampu menanggung air mata itu?”
Kalimat itu sarat makna.
Ia pernah menjadi ayah, pemburu, pemimpin suku beastkin Utara, dan kini pedang Kaisar. Orang yang telah ia tebas tak terhitung jumlahnya.
Air mata pedang berarti kematian.
Dan Sword Saint berarti pedang terkuat Kekaisaran—orang yang harus menanggung lebih banyak air mata daripada siapa pun.
Shuliffen menjawab singkat:
“Ya.”
Tanpa keraguan sedikit pun.
Ia memandang tribun. Tepat pada Iriel dan teman-temannya. Wajah-wajah yang dicintainya memberi keberanian dan kepastian. Ia kembali memandang Jaipa.
“Jika itu demi melindungi… berapa pun banyaknya, aku akan menanggungnya.”
“Hmph.”
Jaipa tertawa kecil.
Tubuhnya perlahan miring dan jatuh telentang ke lantai. Langit biru tak terhingga membentang di atasnya. Awan-awan cumulonimbus yang disobek oleh serangan mereka kini terurai menjadi awan putih lembut seperti kawanan domba.
Pemandangan yang biasanya tak ia pedulikan kini terasa anehnya menyegarkan. Awan-awan itu tampak sangat bebas.
Shuliffen, terhuyung, berdiri di hadapannya. Ia memberi salam pedang. Meski seharusnya Jaipa membalas, ia tidak punya tenaga.
Ia hanya mengangkat sedikit tangan, lalu menutup mata.
“Aku kalah. Sword Saint.”
Side Story 13 — Wedding March
“Katanya Sword Saint Kekaisaran sudah berganti?”
“Ya. Itu benar-benar hari yang luar biasa. Tidak menyangka sudah lewat lebih dari setengah tahun.”
Aderchan tersenyum saat mengenang masa lalu. Pertarungan penentuan Sword Saint yang berlangsung di Grand Circle hari itu adalah kenangan yang takkan pernah terlupakan.
Di hadapannya, seorang elf berambut putih tengah duduk rapi, kedua tangan diletakkan sopan di pangkuan sambil mendengarkan. Dia adalah Elcia, yang pernah menjadi pendamping sang Penyelamat.
Setelah hampir dua tahun, Elcia akhirnya menyelesaikan pemulihan di Adrenn dan kembali mengunjungi benua. Karena hidupnya begitu sibuk, ia bahkan tidak mengetahui kabar sebesar pergantian Sword Saint.
Elcia menatap dengan mata berbinar.
“Kalau begitu, bagaimana dengan Jaipah? Apa dia mati?”
“Tidak. Yang Mulia Kaisar memberi janjinya kembali dan membebaskannya. Aku sendiri baru tahu, tapi rupanya sejak dulu sudah ada perjanjian: ketika ia turun dari posisi Sword Saint, Blood Oath akan dibatalkan.”
“Hah? Kalau begitu kenapa tidak dari dulu saja dia pura-pura kalah dari siapa pun, lalu berhenti?”
“Aku juga berpikir begitu… tapi seperti yang suamiku bilang, sepertinya dunia para pendekar punya standar tersendiri yang orang biasa seperti kita tidak bisa pahami.”
Aderchan menggaruk pipinya. Ia pun pernah bertanya langsung pada Jaipah tentang itu. Jawaban yang kembali padanya hanyalah, “Lebih baik mati.”
“Begitu rupanya… Hahh, memang dunia para makhluk fana sulit dipahami. Terlalu banyak yang terjadi dalam waktu singkat.”
“Ehehe, maklumlah. Untuk Elf seperti Elcia, dan apalagi setelah hidup lama bersama para naga… dunia manusia pasti terasa cepat sekali berubah.”
“Tapi yang paling mengejutkan adalah bayi itu. Namanya siapa?”
Elcia menatap penuh rasa ingin tahu. Pandangannya tertuju pada bayi yang tertidur pulas dalam gendongan Aderchan.
Bayi mungil itu, dibalut selimut kecil, memiliki wajah yang mematikan kadar keimutan. Rambutnya hitam pekat seperti malam—sedikit lebih mirip Aderchan daripada Ronan.
“Ranse. Dalam bahasa suku asli Selatan, itu berarti ‘pedang’. Nama itu diberikan oleh instruktur Nabiloze. Bagus, kan?”
“Sangat indah. Dia perempuan?”
“Laki-laki. Memang bulu matanya panjang jadi sering disangka perempuan, tapi…”
“Awoong.”
“Ah, bangun.”
Ranse membuka mata. Elcia sedikit tersentak.
Di bawah bulu matanya yang panjang, bola mata Ranse bersinar merah-jingga seperti cahaya senja.
Warna purba yang telah diwariskan dari masa silam yang sangat jauh. Seketika hari-hari yang ia habiskan bersama Sang Penyelamat melintas di benaknya, membuat pandangannya sedikit berkabut.
Elcia menundukkan wajah mendekati Ranse sambil tersenyum lembut.
“Halo, Ranse. Kau sangat mirip dengan kakekmu.”
“Uung?”
Ranse memiringkan kepala mungilnya. Aderchan menatap keduanya dengan wajah bahagia. Saat itu—kreeek—pintu ruang tunggu terbuka dan pelayan keluarga Grancia masuk.
“Waktunya masuk telah tiba.”
“Ah, terima kasih.”
Pelayan itu memberi salam dan pergi. Aderchan mengamati ruangan: ini adalah ruang tunggu pengantin perempuan di mansion keluarga Grancia. Setelah memastikan pintu tertutup, ia memanggil ke arah dalam.
“Unnie, sudah siap?”
“T-tunggu! Sedikit lagi!”
Iril menjawab dengan gugup. Ia duduk di depan cermin besar, terus-menerus membenarkan pakaiannya. Gaun pengantin putih seperti warna rambutnya melekat sempurna pada tubuhnya.
Para pelayan sudah menyiapkan semuanya dengan sempurna, tetapi melihat betapa ia masih panik, jelas ia sangat tegang.
Aderchan mendekat dan tersenyum menenangkan.
“Jangan terlalu nervous, unnie. Sungguh, tidak ada apa-apa yang perlu ditakutkan.”
“B-benarkah? Semua akan baik-baik saja, kan?”
“Tentu saja. Pernikahan kami juga selesai dalam sekejap, ingat?”
“Waktu itu aku terlalu banyak menangis sampai tidak sadar apa pun sih… tapi iya, rasanya cepat… Aah, iri sekali… Aderchan terlihat sangat cantik waktu itu.”
Iril hampir menangis. Pada pernikahan Ronan, Aderchan tidak memakai gaun, melainkan seragam panglima pasukan gabungan. Penampilannya waktu itu begitu menakjubkan sampai menyebabkan keributan besar.
Dibanding itu, ia merasa dirinya tampak jauh lebih sederhana. Sambil menatap pantulan dirinya sekali lagi, Iril bertanya cemas:
“Menurutmu… aku cantik?”
“···Hah?”
Aderchan membeku. Ia mengedipkan mata tanpa kata. Elcia pun menatapnya. Keduanya seperti baru saja mendengar pertanyaan paling tidak masuk akal di dunia.
Langit musim gugur cerah tinggi. Pepohonan yang berbaris rapi seakan menyala dalam perlawanan terakhir menyambut musim dingin yang akan datang. Setiap hembus angin membuat daun merah-kuning beterbangan.
Pernikahan Shulipen dan Iril digelar di taman mansion Grancia. Tanah luas dan indah itu berubah menjadi venue pernikahan yang sempurna.
Taman yang penuh dekorasi mewah itu sesak oleh tamu dari seluruh benua. Mulai dari para bangsawan dan keluarga kerajaan berbagai negara, akademisi Pilheon yang dipimpin Kratir, hingga Archmage Lorhon dan Kaisar Vallon ke-44 sendiri hadir untuk memeriahkan.
Acell melihat sekeliling dan menahan napas.
“R-Raja Naga?!”
“Ah, kau penyihir yang menyelamatkan Kota Naga. Lama tidak jumpa. Apa kabar?”
Azdahaka, Raja Naga, melambaikan tangan. Rambut keemasan yang mengingatkan pada surai singa dan aura khasnya membuatnya mudah dikenali meski ia mem-polymorph menjadi manusia.
Di sampingnya berdiri pria berambut hitam pekat dengan koper besar.
“Lama tak bertemu, Mage Acell. Senang sekali bertemu manusia lagi.”
“A-Alivrihe-nim…!”
Acell terkejut. Itulah Black Dragon Alivrihe, yang pernah bersama mereka selama insiden Kota Naga. Sama seperti Elcia, hampir dua tahun sudah ia tidak datang ke dunia manusia.
Tiba-tiba, Alivrihe membuka koper.
“Di mana Ronan? Aku membawa hadiah tapi dia tidak terlihat.”
“HIEEEK!”
Acell nyaris pingsan. Di dalam koper, tersusun rapi sepasang tangan dan kaki prostetik. Bentuk dan panjangnya tampak khusus dibuat sesuai tubuh Ronan.
“Ke-kok membawa itu…?!”
“Dulu aku berhutang besar padanya. Dan cuma ini barang paling layak yang bisa kuberikan. Dan… yah, tak ada yang tahu masa depan manusia. Ah, aku juga buatkan satu set untukmu.”
Alivrihe tersenyum santai. Ia bahkan mengatakan itu akan menjadi hadiah pernikahan resmi bagi pengantin.
Acell menelan ludah.
“T-terima kasih… U-untuk sekarang, upacara akan dimulai sebentar lagi jadi setelah selesai… Ronan ada di depan sana karena dia jadi pembawa acara—”
Sebelum ia selesai bicara, suara familiar menggema dari panggung utama.
“Ladies and gentlemen! Mohon perhatian semuanya!”
“Hik…!”
“Minuman dan makanannya nanti saja, ya? Tidak bakal kabur kok. Ini acara penting, jadi fokuslah sedikit!”
Suara itu benar-benar tidak sesuai dengan suasana resmi. Acell dan kedua naga menoleh.
Di atas panggung emas, Ronan berdiri dengan setelan jas rapi, kedua tangan masuk ke kantong.
“Halo semuanya. Aku Ronan, pembawa acara hari ini. Jujur, aku rasa tidak perlu perkenalan panjang—kurasa semua orang di sini tahu siapa aku.”
“Dunia benar-benar sudah berakhir…”
Azdahaka menghela napas. Tapi dia tidak salah. Tidak ada satu pun di antara tamu yang tidak mengenali pendekar yang pernah menebas bintang.
Para tamu tertawa. Ketika suasana cukup tenang, Ronan mengangkat tangan ke arah mansion.
“Baiklah, tanpa basa-basi. Kita mulai upacara. Pengantin, silakan masuk.”
Semua mata serempak menoleh. Tak lama kemudian, pintu mansion terbuka, dan Iril serta Shulipen muncul.
Sebenarnya mereka seharusnya masuk secara terpisah, tetapi Ronan mengakalinya karena tidak ada ayah yang bisa menggandeng Iril. Begitu mereka melangkah ke Virgin Road—keheningan jatuh.
“···Wow.”
Semua orang sejenak berhenti bernapas. Shulipen dalam pakaian formal sudah tampan luar biasa, tapi sayangnya, di sisinya berdiri Iril dengan gaun pengantin putih bercahaya. Tak ada perbandingan.
Duke Grancia berbisik lirih.
“···Dasar pencuri.”
“Aku juga bingung bagaimana anak kikuk itu bisa mendapatkan gadis seperti Iril. Huh… dia memang beruntung.”
Istrinya mengomel di sampingnya. Meski anaknya sendiri, ia tidak bisa memihak Shulipen kali ini.
Ujung gaun panjang Iril, seanggun sirip ikan tropis, melayang-layang di atas jalan. Dua flower girl berjalan lima langkah di depan sambil menebar kelopak bunga biru.
Akhirnya mereka tiba di panggung. Ronan menatap keduanya yang tegang bukan main. Saat pandangannya bertemu dengan Iril, gadis itu berbisik kecil:
“Ro-Ronan… cepat…”
Wajahnya merah, dipenuhi rasa malu dan kebahagiaan pertama dalam hidupnya. Tapi dibanding itu, pria di sebelahnya lebih parah: Shulipen tampak siap pingsan.
‘Benar-benar lucu.’
Ronan terkekeh. Ia sendiri pernah merasakan itu, jadi ia paham—namun ini sudah keterlaluan.
Ia memutuskan membantu mencairkan suasana.
“Sebelum memulai, izinkan aku berbicara sebentar.”
“Hm?”
Duke Grancia mengangkat alis. Ini tidak ada dalam susunan acara.
Ronan maju selangkah.
“Sejujurnya, sampai pagi tadi aku ini dipenuhi amarah. Kupikir keras tentang bagaimana harus menyepak pantat anak ini. Soalnya dia maling yang mencuri noona-ku. Sampai sekarang pun rasanya perutku melilit.”
“Ro-Ronan…!”
“Harus kalian akui. Noona-ku, Iril, adalah perempuan paling sempurna di dunia ini. Cantik jelas, tapi juga pekerja keras. Kalau aku bisa hidup dan berdiri gagah di sini hari ini, itu karena dia yang membesarkanku, mengurusku sejak kecil. Jujur saja, bahkan sekarang aku kepikiran untuk menyelinap kabur bersamanya.”
Tawa pecah dari segala penjuru. Iril menutup wajahnya yang merah padam.
Ronan berjalan ke Shulipen sambil mencibir.
“Sedangkan kau? Oke, aku akui kau lumayan tampan. Tapi hanya itu. Disuruh pipis saja kalau ada yang melihatmu kau langsung gugup. Ya, itu satu-satunya kelebihanmu.”
Shulipen memerah sampai telinga. Ia membuka mulut hendak membalas—
“Ronan. Kau—”
“Tapi dia pria yang baik.”
Ronan memotong, lalu kembali menatap para tamu.
“Sebenarnya, dia pria yang sangat baik. Dari semua lelaki yang pernah kulihat, dialah yang terbaik. Tidak peduli ras apa. Kelebihan terbesarnya bukan kekuatan atau gelarnya, bukan pula fakta bahwa dia mengalahkan Jaipah Tergeng si Sword Saint terkuat sepanjang masa, atau bahwa dia bersama kita menyelamatkan dunia dari para fanatic kepala-botak. Itu semua tidak ada apa-apanya dibanding satu hal ini: dia memegang janji dengan setia.”
Keheningan menyelimuti para hadirin.
“Sekitar lima tahun lalu, aku pernah menghilang cukup lama. Dan waktu itu aku menitipkan satu janji padanya: lindungi noona-ku. Dan dia menepatinya. Di musim dingin terburuk, di tengah perang para botak, dia tidak pernah membiarkan janji itu goyah barang sekali.”
Iril tersentak.
“K-kau pernah berjanji begitu…?”
Ronan tersenyum kecil.
“Karena itu, di sini, di depan semua saksi agung ini, aku akan mengambil satu janji lagi darimu. Bagaimana?”
Shulipen menelan ludah, lalu mengangguk pelan.
“···Apa pun itu.”
Ronan menghela napas, lalu berkata:
“Buatlah kalian berdua bahagia. Sampai mati.”
Iril menutup mulutnya, bahunya bergetar. Sesaat sunyi—akhirnya Shulipen mengangguk.
“······Aku bersumpah.”
Side Story 14 — Ayah dan Anak
“Hmm… sepertinya segini sudah cukup.”
Aderchan melepas kacamatanya sambil bergumam. Dengan ini, masa kontrak bersama Karanbel Merchant Guild resmi diperpanjang lima tahun lagi. Sinar matahari yang masuk lewat jendela besar menghangatkan ruang kerjanya.
Di atas meja yang besar bak punggung dinosaurus itu, tumpukan agenda bulanan tersusun rapi. Ia memang menyukai pekerjaan seperti ini, dan pernah melakukan hal serupa selama menjadi ketua mahasiswa Phileon, jadi tidak begitu sulit baginya.
Tatapannya kemudian tertumbuk pada sebuah bingkai foto di sudut meja. Dalam kotak kecil itu, tertangkap momen Iriel dan Shulipen berciuman, sementara orang-orang di sekitar menebarkan bunga.
Itu adalah “foto”, teknologi yang dikembangkan oleh Didikan dan kini sudah dipakai masyarakat luas. Aderchan tersenyum kecil melihat dirinya dan Ronan yang juga terekam di sana, tertawa lepas.
“···Rasanya rindu.”
Sudah sepuluh tahun berlalu sejak hari itu. Waktu yang cukup panjang untuk mengubah gunung dan manusia. Gadis yang dahulu dianggap akan selamanya hidup sebagai nona bangsawan kini seorang istri dan ibu dari dua anak.
Aderchan memutar-mutar pena sambil membiarkan pikirannya terbang menuju masa lalu. Ketika itu—tok tok—suara ketukan pintu terdengar bersama suara akrab.
“Ibu.”
“Hm? Ranse?”
Aderchan mengangkat alis. Pintu terbuka perlahan, dan seorang anak laki-laki muncul dengan wajah cemberut. Dialah Ranse, putra pertama Ronan dan dirinya.
Di usia sebelas tahun, masa pubernya datang lebih cepat daripada orang lain. Rambut hitam dan bulu mata tebalnya benar-benar mirip Aderchan. Karena anak itu tak bicara, ia bertanya lagi.
“Ada apa, Nak?”
“···Kenapa Ibu menikah dengan orang yang tidak berguna seperti dia?”
“E-Eh? Kenapa tiba-tiba bicara begitu?”
“Ibu ikut aku sebentar.”
Ranse menarik tangannya. Aderchan, bingung namun penasaran, mengikuti langkahnya keluar menuju ruang keluarga yang luas—tempat seorang pria berambut kusut sedang tidur terkapar di sofa.
“Krrr··· phuuu···”
“Zzz···.”
Dari balik majalah yang menutupi wajahnya, terdengar suara dengkuran keras. Ronan baru pulang pagi ini. Di lengannya, Erin—putri mereka yang berusia sembilan tahun—tertidur nyenyak.
“Haaah… dia ini. Kenapa tidak tidur di kamar?”
Aderchan terkekeh. Berpacaran dulu maupun setelah menikah, Ronan tetap sama saja. Melihat tatapan ibunya yang penuh kasih, Ranse nyaris memegang dada.
“···Ibu. Ibu tidak sedang diancam, kan? Tidak ada seseorang yang memeras Ibu untuk menikah dengannya, ‘kan?”
“A–apa sih? Kenapa kamu bicara seperti itu? Mana mungkin!”
“Tapi secara logika tidak masuk akal. Ibu sibuk bekerja, sedangkan Ayah hanya tidur terus.”
Ranse mengerucutkan bibir. Ia tidak tahu kisah hidup Ronan secara rinci, sehingga tidak bisa memahami alasan kedua orang tuanya menikah.
Kalau dilihat objektif, Aderchan memang ibu yang sempurna. Meski sibuk mengurus wilayah dan berbagai tugas administratif, ia tak pernah mengabaikan rumah. Setidaknya satu kali sehari, ia memasak sendiri untuk keluarga.
Ia mencintai anak-anaknya, membesarkan mereka dengan penuh kasih sayang. Bahkan perawatannya terhadap tubuh sendiri begitu baik sampai tidak tampak seperti wanita yang sudah melahirkan dua anak. Satu-satunya orang yang sebanding dengannya dalam kecantikan mungkin hanya Iriel, bibi mereka yang menikah dengan Shulipen.
Sementara Ronan—di mata Ranse—hanyalah seorang pria dewasa berantakan yang malas bercukur. Orang-orang menyebutnya pahlawan yang menyelamatkan dunia, tapi Ranse tahu “kebenaran”-nya dan tidak selamanya mengaguminya. Ia bergumam lagi:
“Makin dilihat makin tidak masuk akal. Ibu bekerja keras, Ayah tidur terus.”
“Jangan begitu. Ayahmu juga bekerja keras untuk kita semua. Pulang larut itu karena dia sibuk bekerja, kamu tahu?”
Aderchan jongkok dan menyentuh hidung Ranse dengan jarinya. Benar juga—Ronan hampir selalu pulang setelah Ranse tidur. Ranse perlahan goyah.
“Dan Ayahmu itu orang yang sangat hebat, Nak. Kita bisa hidup damai dan tertawa seperti ini ya karena dia. Kamu percaya pada Ibu, ‘kan?”
“Hmph. Tapi Ayah jelas tidak suka padaku.”
“Jangan bicara begitu.”
“···Benar kok. Buktinya dia tidak datang ke upacara masuk sekolahku. Padahal aku masuk dengan peringkat tertinggi di kelas bela diri.”
Ranse menggigit bibir. Memang benar, Ronan tidak datang ke upacara masuknya. Menemani anak di hari itu adalah tradisi umum—ketidakhadirannya sangat terasa.
“T-tentang itu…”
Bahkan kepala sekolah Nabiloze sempat bertanya, “Ronan tidak datang?” dan itu membuat Ranse semakin terpukul.
Saat Aderchan bingung mencari jawaban—whoosh!—angin dari balkon menyingkap majalah yang menutupi wajah Ronan.
“Ugh… urgh. Sialan…”
“Oh? Dia bangun.”
Ronan menggeliat lalu membuka mata. Masih mengantuk, ia mendongak—dan melihat putrinya tidur di perutnya, lalu melihat putranya menatapnya tajam dari kejauhan.
Ia menguap panjang, kemudian melambaikan tangan dengan santai.
“Haaaam… selamat pagi, Nak.”
“Pagi apanya. Matahari sudah tinggi!”
“Aih, kenapa marah? Apa kamu ngompol dalam tidur?”
“A–apa?! Itu sudah lama sekali! Kenapa Ayah ungkit itu lagi?!”
Ranse berteriak dengan pipi merah padam. Ia semakin membenci ayahnya. Ronan meletakkan Erin di sofa kecil lalu terkekeh.
“Kalau begitu bagus. Jangan teriak-teriak, nanti adikmu bangun.”
“Ayah ngomong macam-macam! Aku bukan anak kecil lagi!”
“Tapi memang kamu masih kecil. Dan kalau mau pipis atau pup, kadang bisa kejadian kok, itu—HAA?! T–tidak mungkin!”
“W-apa lagi?!”
Ranse mundur kaget. Mata Ronan—yang biasanya setengah terpejam—terbuka lebar. Apakah muncul musuh? Ronan menoleh cepat mencari senjata—lalu tiba-tiba maju berguling dan mengambil tangan Aderchan.
“Barusan aku kira malaikat turun. Ternyata istriku sendiri. Aduh, maafkan aku.”
“Aduh… kamu ini…”
Pipi Aderchan memerah. Ronan mencium punggung tangannya lalu mengangkatnya seperti seorang putri. Ia menatap wajah Aderchan dalam-dalam, lalu mengklik lidahnya.
“Rambutmu rusak sedikit. Wajahmu juga terlihat lelah… semua gara-gara makhluk kecil itu, ya?”
“Itu maksudnya siapa! Turunkan Ibu!”
Ronan menyodok pinggul Ranse dengan kaki. Ranse meronta, tapi tak bisa mendekat. Aderchan menggeleng.
“Tidak apa-apa. Ibu hanya sedikit capek. Dan tidak ada yang salah—aku melakukannya karena aku ingin.”
“Benar-benar mulia, istriku… Kau tahu? Dua kejadian terbaik dalam hidupku: pertama, ketika aku melamarmu.”
“Yang satu lagi apa?”
“Ketika kau menerimanya. Nah, ayo pergi!”
“Hyaa! Tidak sekarang!”
Ronan pura-pura hendak masuk kamar tidur sambil menggendong Aderchan. Wanita itu berteriak malu sementara memukul bahunya. Melihat itu, Ranse merasa muaknya mencapai batas.
“Uwegh.”
“Aduh, Nak. Bisakah kau bawa Erin main sebentar? Satu jam… tidak, dua jam.”
Ronan merogoh sakunya dan mengeluarkan sekeping perak. Ini sering terjadi ketika hubungan mereka sedang “terlalu baik”.
Ranse memandang koin itu seolah melihat bangkai tikus. Ia menghela napas dan menggendong Erin.
“Uung… Onii-chan…?”
“Ayo, Erin. Rumah ini memang sudah rusak.”
“Uuung…?”
Erin dipanggul tanpa mengerti apa-apa. Rambut putihnya menyapu tengkuk Ranse. Saat hendak keluar, Ranse melirik Ronan dan mendesis:
“Ayah itu menjengkelkan.”
“Begitu ya. Tapi Ayah suka kamu, Nak.”
“Arrgghh!”
Muka Ranse memerah lagi. Ia ingin membalas, tapi akhirnya membanting pintu.
Bang! Suara langkah kesal bergema menjauh. Ronan tersenyum kecil.
“Wah, lihat itu. Temperamen siapa yang menurun, ya?”
“Hehe, persis kamu waktu kecil. Tapi wajahnya lebih mirip aku.”
“Untunglah. Kalau mirip wajahku, pasti semua orang akan ngajak ribut.”
“Tapi aku menyukai wajah ini, kamu tahu. Sekarang tidurlah lagi, ya?”
Aderchan mengusap pipinya. Rambut kusut dan bayangan lelah di wajah Ronan menunjukkan betapa ia bekerja keras. Ronan mengecupnya lalu menurunkannya ke lantai.
“Terima kasih. Aku tidur satu jam lagi.”
“Jangan cuma satu jam. Tidurlah benar-benar. Kamu sudah bekerja berlebihan belakangan ini.”
“Tidak apa. Ini pekerjaan. Dan… soal Ranse… dia sangat kesal ya?”
Ronan menatapnya hati-hati. Meskipun tak menunjukkan rasa bersalah, ia jelas memikirkannya. Aderchan menghela napas.
“Ya. Terutama karena kamu tidak datang ke upacara masuknya. Kayaknya itu benar-benar melukai hatinya. Kalau begini terus, dia akan membencimu… kamu yakin tidak mau menjelaskan yang sebenarnya?”
“Tidak. Jangan sampai dia tahu. Seumuran itu lebih suka petualangan daripada kehati-hatian.”
Ronan berkata tegas. Lebih baik dirinya dimusuhi sementara daripada membuat anak itu gegabah.
Aderchan mengangguk.
“Benar juga. Kau sudah tangkap pelakunya?”
“Belum. Jejaknya makin sempit, tapi belum ada petunjuk pasti. Acell juga pusing, jadi ini bukan musuh biasa.”
Ronan mengeklik lidahnya. Ia sedang menyelidiki kasus hilangnya warga secara berantai di ibu kota. Hampir seratus orang hilang dalam sebulan, tanpa meninggalkan satu pun jejak.
Ronan ikut dalam penyelidikan tanpa diminta. Alasannya sederhana: hampir setengah dari korban adalah anak-anak.
Ia menyibak rambutnya ke belakang.
“Sudah mengalami banyak hal buruk, tapi yang seperti ini baru pertama. Tidak ada jejak, tidak ada mayat. Siapa bajingan yang melakukannya?”
“Bahkan Mana Bayanganmu tidak bisa menemukan mereka…”
“Tidak apa. Jangan khawatir.”
Aderchan tampak murung. Mungkin sepuluh tahun kedamaian membuat indranya tumpul. Ronan memeluknya untuk menenangkan.
Dengan suara rendah ia bersumpah:
“Aku akan melindungi anak-anak kita. Dengan cara apa pun.”
Side Story 15 — Anak Laki-Laki dan Anak Perempuan
“Uuung… Onii-chan. Kita mau ke mana?”
Erin, yang baru terbangun dari tidur, bertanya dengan suara setengah sadar. Pemandangan sekitar telah berubah menjadi jalan pasar ibu kota. Sinar matahari musim semi yang hangat membuat rambut putihnya tampak semakin terang.
Rambut putih itu tidak diwarisi dari ayah ataupun ibu—melainkan diwarisi jauh dari Sang Penyelamat.
Ranse, yang sedang menggendongnya di punggung, menjawab ketus:
“Ke mana saja. Pokoknya tempat yang jauh dari orang itu.”
“Kakak benci Ayah?”
“···Benci.”
Ranse mengerutkan kening, teringat wajah Ronan. Sikap yang selalu seenaknya, dan betapa ia tak paham bagaimana ibunya bisa menikahi pria seperti itu. Erin berkata:
“Itu bohong. Padahal Kakak suka sama Ayah.”
“A–apa? Kenapa aku harus suka?”
“Soalnya Kakak cuma ngambek karena Ayah nggak datang waktu upacara masuk sekolah. Padahal Kakak masuk peringkat satu kelas seni bela diri, kan? Kakak ingin Ayah lihat itu. Wajar juga sih… tapi sekarang maafin aja dan kembali akur kayak dulu, ya?”
“Ugh…!”
Ranse kaku. Kata-kata itu menusuk seperti jarum. Benar—hubungannya dengan Ronan tidak selalu seperti sekarang.
Dulu ia mengagumi punggung ayahnya yang lebar. Menjadi putra seorang pahlawan yang menyelamatkan dunia adalah kebanggaan besar. Ronan pun dulu cukup perhatian, sering mengajarinya teknik pedang sendiri.
Namun seiring waktu, Ronan semakin jarang pulang. Setiap Ranse bertanya apa yang sedang dikerjakan ayahnya, jawabannya selalu kabur, tanpa detail sedikit pun.
Karena itu Ranse berlatih pedang dengan keras—ingin mendapat perhatian ayahnya lagi. Kalau ia bisa meraih prestasi yang diakui semua orang, mungkin Ayah akan melihatnya seperti dulu.
Hingga tahun ini, ia akhirnya menjadi siswa peringkat satu seni bela diri di Phileon. Namun Ronan tidak datang ke upacara.
Sambil menggigit bibir, ia berkata pelan:
“···Kamu tidak mengerti apa artinya semua itu. Turun sekarang.”
“Hing… Kakak gendong aku sebentar lagi?”
“Nggak.”
“Kalau aku minta baik-baik?”
Erin menatapnya dengan mata bulat berkilau. Rambut putih dan mata merah senjanya membuatnya benar-benar mirip Bibi Iriel. Ranse menghela napas panjang.
“···Sebentar saja.”
“Hehe, Kakak terbaik!”
Erin memeluk lehernya erat-erat. Ranse mulai melangkah menuju pasar. Mungkin bisa menghabiskan waktu dengan membeli makan di sana sambil menunggu keadaan di rumah mereda.
“Kakak kalau sudah besar nanti tingginya harus kayak Ibu, ya. Terus nanti masih mau gendong aku?”
“Itu tergantung kelakuanmu.”
Cuaca bagus, jadi berjalan-jalan terasa menyenangkan. Saat keduanya melewati alun-alun sambil mengobrol, terdengar suara lantang seorang gadis.
“Hey! Ranse! Erin!”
“Ugh. Ketemu yang nyebelin lagi.”
Ranse mengerutkan alis. Ketika ia menoleh, tiga anak seumurannya berjalan mendekat. Dua anak berambut pirang kecil-kecil menyapa lebih dulu.
“H-hi, Kak Ranse…”
“Eh? Kak Ranse, hari ini nggak ke akademi?”
Mereka adalah Camilla dan Jin, anak ketiga dan keempat dari keluarga Karavel. Cahaya pirang mereka jelas diwarisi dari bibi Mariah. Kepribadian lembut mereka lebih mirip paman Acell.
Dari punggung kakaknya, Erin mengejek:
“Sekarang hari libur, Jin yang bodoh.”
“E-Erin…!”
Wajah Jin memerah padam. Ia jelas punya perasaan pada Erin.
Saat itu, gadis terakhir melangkah maju.
“Kalian berdua lagi jalan-jalan, ya? Gendong aku juga dong.”
“Kamu berat.”
“Gimana sih! Sedikit ganteng belum tentu segalanya, tahu!”
Gadis itu menjulurkan lidah. Tubuhnya tegap, dan rambut merah menyala seperti api membuatnya mencolok. Ia adalah Setchika Karavel—putri sulung keluarga Karavel.
Berbeda dari Ranse yang berbakat dalam bela diri, Setchika mewarisi bakat magis ayahnya dan menjadi peringkat satu kelas sihir tahun ini.
“Mariah Ibu di mana?”
“Di rumah sama Ayah. Katanya ada yang harus dibicarakan berdua. Ugh, orang tua juga kalau terlalu mesra itu repot.”
Setchika terkikik. Kantong uang yang digantungkan di pergelangannya bergemerincing.
Ranse memegangi pelipisnya.
“Keluargamu sama persis dengan keluargaku… kenapa harus sampai mirip dalam hal begitu…”
“Bagus lah. Keluargamu masih mending. Adik tambah satu jadi cuma tiga. Di keluargaku bisa jadi enam.”
“Enam? Maksudnya apa, Setchika unnie? Aku bakalan punya sepupu bayi?”
Erin memiringkan kepala. Masih terlalu muda untuk memahami masalah orang dewasa. Setchika terkikik licik sambil mencubit pipi Erin.
“Hehe. Memang begitu, Nak. Gampangnya begini—”
“Jangan ngomong aneh-aneh di depan adikku.”
Ranse buru-buru memotong pembicaraan. Setchika mengangkat bahu tanpa rasa bersalah.
“Ya sudah. Tapi kalian dengar gosip itu belum?”
“Gosip?”
“Pedagang-pedagang sekarang heboh. Tentang kasus penculikan berantai di ibu kota. Belum dengar?”
“···Belum.”
Ranse mengerutkan alis. Ia memang belum dengar. Setchika melanjutkan dengan suara rendah:
“Wajar juga kalau kamu nggak dengar. Orang dewasa sengaja nutupin. Katanya, itu masih terjadi di daerah pinggiran kota.”
“Pinggiran kota yang mana?”
“Katanya dekat perbatasan timur, tapi nggak ada yang yakin. Tapi menurut informasi yang aku dapat, kasusnya serius. Korban sudah hampir seratus.”
“···Seratus?”
Ranse terbelalak. Ia tidak percaya apa yang ia dengarkan. Ia menoleh ke Erin di punggungnya.
“Erin. Turun sebentar.”
“Hm? Kenapa?”
“Aku mau bicara sebentar sama Setchika. Nih, bawa ini. Pergi makan sama teman-teman dulu.”
Ranse mengeluarkan koin perak yang diberikan Ronan. Mata Erin bersinar seketika.
“Wow! Serius? Hari ini aku boleh belanja sesuka hati?!”
“Ya. Hati-hati.”
Erin melompat turun dan menarik Camilla dan Jin menuju pasar. Setelah mereka benar-benar pergi, Ranse menoleh ke Setchika.
“Jadi. Apa yang kamu mau?”
“Pintar. Begini, Ranse—kamu ingin jadi pahlawan?”
“Apa?”
“Menurutku, kalau bukan sekarang, takkan ada lagi kesempatan. Dunia terlalu damai gara-gara orang tua kita. Menyelesaikan kasus yang bahkan Paman Ronan dan Ayahku belum bisa selesaikan… bukankah itu luar biasa?”
Setchika menuding satu titik di alun-alun. Saat Ranse mengikuti arah jarinya, ia melihat sebuah patung dari batu pualam: seorang pria menginjak kepala raksasa sambil mengangkat pedang.
Pria itu—wajahnya persis pria yang tadi tidur di sofa dengan majalah menutupi mukanya.
Ranse memandangi patung itu lama, lalu menggeleng.
“Tidak. Ibu bisa pingsan kalau tahu.”
“Kamu pikir Paman Ronan diam-diam minta izin dulu waktu masih muda? Atau kedua orang tuaku?”
“Itu beda. Kita tidak perlu ambil risiko konyol untuk jadi orang baik.”
Ranse membalikkan badan hendak pergi.
“Ranse! Tunggu!”
Ia mengabaikannya. Ia benar-benar menganggap gagasan itu tolol. Ia bergumam kesal sambil berjalan menjauh.
Setchika, yang mirip Mariah dalam hal volume suara, berteriak:
“Kamu nggak dengar!? Kesempatan itu cuma sekarang!”
“Dasar bodoh.”
Ranse mengerutkan alis. Namun suara Setchika semakin keras.
“Apa kamu mau hidup terkurung dalam bayang-bayang orang tuamu sampai mati!?”
“···Apa?”
Langkah Ranse terhenti. Setchika terlihat terkejut karena kata-katanya ternyata berhasil menghentikannya.
Ranse berdiri seperti seseorang yang baru dipukul palu. Kata-kata itu bergema di kepalanya.
Bayang-bayang orang tua.
Itu—tidak sepenuhnya salah.
Kalau begini terus, dunia pasti akan kembali damai. Dan ketika ayahnya menyelesaikan kasus penculikan ini, ia kembali tak punya arti apa-apa.
Mungkin ayahnya tidak datang ke upacara masuk bukan karena sibuk… tapi karena menganggap prestasi itu tidak berarti.
Ranse menatap patung Ronan.
Wajah ayahnya seolah mengejeknya:
—Wajahmu lucu sekali, pengecut. Celana kamu basah lagi?
“···Sial.”
Ranse mengepal. Setchika melayang mendekat, menggunakan telekinesis. Ia tentu sadar kedatangannya, tapi Ranse tetap diam sampai gadis itu bicara.
Malam tiba, bulan tertutup awan. Cahaya bintang pun tak tampak; hanya lampu-lampu jalan yang menyinari kota.
Pertemuan antara keduanya terjadi di gang belakang, jauh dari cahaya itu.
Ranse berbelok ke tikungan sempit ketika suara gadis itu bergema:
“Fufu. Jadi kamu bukan pengecut. Tidak ada yang menguntit, ‘kan?”
Dari kegelapan, muncul seorang gadis berjubah biru gelap. Dua preman lusuh tergeletak pingsan di kakinya.
Ranse melihat sekeliling lalu mengangguk.
“Bersih.”
“Bagus. Padahal sulit sekali.”
“Tidak juga. Ayah sedang pergi. Ibu tidur sama Erin.”
“Bagaimana dengan Sita?”
“Dia sudah pergi bermain bersama Kak Ophelia sejak tiga hari lalu.”
“Sempurna.”
Setchika membuka tudung, memperlihatkan rambut merah menyala yang terlalu mencolok untuk malam gelap. Senyumnya lebar.
“Apa itu?” tanya Ranse, menunjuk dua preman yang tergeletak.
“Preman biasa. Tidak kasar kok.”
“Tapi mereka keluar busa, lho…”
Tangannya dan kaki mereka jelas tertekuk ke arah yang salah. Ranse hanya menggeleng lirih.
Setchika berdecak kecil dan berkata:
“Bagus. Ranse, ayo kita ciptakan legenda.”
“Ya. Kita coba dulu. Apa rencanamu?”
“Aku sudah susun semuanya. Di gerbang barat kota, aku sudah sewa dua Ghost Horse. Kita akan naik itu dulu, lalu ke—hm?”
Setchika tiba-tiba memicingkan mata.
“Tunggu. Kamu bawa sesuatu di kantong?”
“Hm?”
Tatapannya tertuju pada saku Ranse. Ranse mengeluarkan benda bulat dari sana—sebuah bola kusam dengan permukaan kasar seperti kulit hiu.
Setchika menyipitkan mata.
“Ada mana di dalamnya.”
“Aneh. Dulu nggak sepenting ini.”
“Dulu? Itu apa sebenarnya?”
“Aku juga nggak tahu. Ayah memberi ini waktu aku masih kecil. Katanya… aku harus selalu membawanya.”
Ranse menatap bola itu. Ia baru sadar warnanya agak berubah.
“Aneh… rasanya warnanya beda.”
“Kalau bukan apa-apa, ya sudahlah. Lanjut rencananya—”
Ia melanjutkan penjelasan dengan antusias. Ranse mengangguk-angguk.
Saat itulah sesuatu menangkap pandangannya.
“Hm?”
“Ada apa?”
Ranse tidak menjawab. Ada sesuatu yang berkilau, mengalir seperti kabut bercahaya di antara bayang-bayang—mirip galaksi yang larut dalam kegelapan.
Ranse mendekat perlahan.
“Apa ini…?”
“Hah? Kamu lihat apa?”
Bagi Setchika, tidak ada apa-apa. Hanya kegelapan dan dua preman yang pingsan.
“Kamu benar-benar tidak lihat?”
“Tentu tidak! Kamu nunjuk ap—”
Tiba-tiba.
Tap. Tap.
Suara langkah.
Ranse seketika berbalik.
Setchika… sudah tidak ada.
“Hah? Setchika?”
Tidak ada jawaban. Tidak ada tanda keberadaan gadis itu.
Hanya keheningan.
Dan kilauan aneh itu terus mengalir, mengundang.
Saat Ranse meraih gagang pedangnya—
【Nak. Mari kita pergi.】
“—!!”
Bisikan dingin terdengar di telinganya.
Ranse menghunus pedang dan menerjang refleks.
Srak!
Suara angin terbelah.
Saat kilauan itu menghilang…
Tidak ada lagi siapa pun di gang itu.
Dua anak itu—hilang tanpa jejak.
Side Story 16. Ayah dan Masa Lalu
“Ka–, kami benar-benar tidak tahu apa-apa! Mohon selamatkan kami!”
Seorang pria paruh baya berwajah garang menundukkan kepala sedalam-dalamnya. Hanya satu jam lalu, ia adalah kepala dari kelompok bandit Kalajengking Hitam. Sekarang, ia hanyalah gelandangan yang kehilangan segalanya. Di belakangnya, ratusan anggota kelompok yang telah babak belur gemetar dengan posisi yang sama.
“K–, kita semua akan mati... kenapa dia ada di sini...”
“Du–, dua…monimik! Khk!”
Langit tertutup awan gelap tebal. Di sebuah pos terpencil di pinggiran Ibu Kota, sinar bulan yang sesekali lolos dari celah awan menyorot reruntuhan benteng yang telah hancur.
Kengerian yang tampak seolah akibat gempa dahsyat itu adalah hasil karya satu orang. Ronan memutar genggaman pada pedangnya dan bertanya dengan nada kesal.
“Kalian tidak mau bicara? Katanya kalian kelompok bandit terbesar di wilayah ini. Masa tidak ada satu pun yang bisa kalian keluarkan?”
“It–, itu memang benar...! Tapi kami juga punya aturan, Tuan! Kami hanya memungut uang di wilayah yang sudah ditetapkan! Kami tidak pernah mendekat ke Ibu Kota! Tolong percaya kami!”
“Memungut uang, katanya. Hebat benar, dasar bajingan.”
Tak! Ronan memukul kepala si kepala bandit dengan bagian belakang pedang. Karena kepalanya botak mengilap, suara yang terdengar begitu nyaring, seperti memukul kayu perkusi.
“Khk...!”
Kepala bandit itu menggertakkan gigi. Rasa malu yang tak terlukiskan menggerogoti dirinya, tetapi ia tak bisa berbuat apa pun kecuali menahan air mata dan bergetar.
Ia kembali teringat kejadian beberapa menit sebelumnya, dan tubuhnya merinding.
‘Apa aku sedang bermimpi? Dia benar-benar membelah seluruh benteng ini...’
Kelompok bandit Kalajengking Hitam yang berdiri selama empat tahun hancur hanya dalam waktu kurang dari satu jam. Ronan datang seorang diri, menanyakan apakah mereka tahu sesuatu tentang kasus hilangnya orang, lalu tanpa basa-basi membantai orang-orang dan merobohkan benteng itu.
Duk! Kepala bandit kembali menghantam tanah.
“Sumpah demi langit, kami tidak tahu apa pun! Tolong selamatkan kami!”
“Tolong selamatkan kami!”
Para anggota lainnya mengikuti dengan suara gemetar penuh ketakutan. Mereka sudah di ambang batas. Penjara atau apa pun tidak masalah, asal bisa menjauh dari monster di hadapan mereka.
“Sial... kalau kalian tidak tahu, siapa yang melakukan semua ini?”
Ronan menggeram sembari memandang mereka. Dari ekspresi dan nada suara, tampaknya mereka tidak berbohong. Dan itu berarti kasus orang hilang kembali terjadi entah di mana.
‘Sialan, sudah hampir sebulan tapi tidak ada perkembangan.’
Seperti biasa, ia mengejar semua kemungkinan tersangka yang mungkin terlibat. Karena berkeliling siang dan malam, ia mulai kewalahan menjalankan peran sebagai suami dan ayah.
Kelompok ini cukup besar, jadi ia berharap mereka tahu sesuatu, tapi tampaknya sia-sia. Saat ia sedang memikirkan target berikutnya—
“Ro–, Ronan! Ada masalah besar!”
“Hm?”
Ronan mendongak. Ia terlalu tenggelam dalam pikiran untuk menyadari kehadiran seseorang. Acel, dalam pakaian tidur, melayang di udara malam.
Wajah mudanya tampak lebih tirus daripada sepuluh tahun lalu, tetapi sisanya hampir tidak berubah. Rambut merah menyala tetap berkilau bahkan di tengah gelapnya malam. Para bandit memicingkan mata seolah tidak percaya.
“Ar–, Archmage...!”
Meski tampilannya aneh, semua orang bisa mengenalnya. Acel, Archmage yang mewarisi posisi setelah Lorhon. Penyembelih Bintang dan Archmage—gabungan dua monster. Para bandit jatuh dalam keputusasaan.
Ronan bertanya cepat,
“Ada apa? Kenapa wajahmu pucat begitu?”
“A–, anak kita hilang! Lanser dan Setschika...!”
“...Apa?”
Wajah Ronan mengeras. Acel terisak dan menjelaskan semuanya—hilangnya dua anak itu, kesesuaian kejadian dengan pola kasus orang hilang sebelumnya, dan bercak darah yang ditemukan di lokasi. Setelah mendengar semuanya, Ronan bertanya dengan suara rendah.
“Itu darah Lanser atau Setschika?”
“A–, aku... aku belum tahu. Baru ditemukan barusan... Sita sedang terbang dari Utara sekarang.”
“Begitu... jadi akhirnya sampai ke sini juga.”
Ronan bergumam. Para bandit yang memperhatikan ekspresi keduanya menelan ludah. Tubuh mereka seperti lumpuh. Dari bahu Ronan, aura pembunuhan mengalir keluar—sesuatu yang tidak pernah mereka lihat seumur hidup.
“Su–, susah... napas...!”
“Tolong... tolong... mohon...”
Aura itu begitu tebal hingga membuat mereka sulit bernapas. Beberapa mulai menangis, beberapa lainnya mengompol.
Saat para bandit memohon penuh putus asa—
Lengan Ronan menghilang sekejap dan kembali muncul.
Paaang! Suara perpecahan udara menyusul sesaat kemudian.
Lalu—
Chwaaaak—!
Langit tertutup awan terbelah dari ujung ke ujung, dan miliaran bintang seolah tumpah di atas mereka.
“Heok—!”
Para bandit ternganga. Bagian dalam awan yang terbelah terlihat begitu mulus, seperti dipotong dengan pisau tukang cukur yang sempurna.
Entah sejak kapan, pedang Lamantia sudah berada di tangan Ronan.
Pedang yang pernah menebas raksasa bersayap. Ia memutarnya sekali dan menatap kepala bandit.
“Hey.”
“Y–, ya?!”
“Aku takkan mengulang. Serahkan diri.”
Ronan menggeram seperti binatang buas. Bahkan bertemu harimau lebih baik daripada menghadapi ini.
Tanpa ragu, kepala bandit kembali menancapkan kepalanya ke tanah.
“T–, tentu! Kami akan menyerahkan diri sekarang juga!”
“Pergi.”
Dengan kata dingin itu, Ronan pergi bersama Acel. Para bandit, yang benar-benar tertekan mentalnya, bahkan setelah dua sosok itu lenyap dari pandangan, tidak berani mengangkat kepala. Setelah waktu lama, barulah mereka berdiri—dan tanpa ada penjaga sekalipun, mereka berjalan lurus menuju pos penjagaan terdekat untuk menyerahkan diri.
“Ugh... uh...”
Lanser memejam dan membuka mata. Kepalanya terasa berat dan pusing seolah tertidur setelah mabuk. Ia bangkit sambil memegangi kepala dan menatap sekeliling.
“Ini... di mana?”
Segalanya tenggelam dalam kegelapan. Tidak ada suara angin, membuatnya yakin tempat ini adalah sebuah ruangan tertutup. Apa yang sebenarnya terjadi? Ia memijat pelipisnya.
“Apa yang... terjadi?”
Kenangan semalam terpotong-potong. Ia ingat seperti mendengar suara seseorang tepat sebelum pingsan, tetapi tidak jelas.
‘Aku keluar rumah... masuk ke gang... lalu...’
Dan—
“Aah.”
Wajah Lanser memucat. Seseorang yang seharusnya ada di sisinya, hilang.
Ia panik memutar kepala.
“Setschika!”
Suara itu bergema dalam gelap, tetapi tidak ada jawaban.
Ia kembali berteriak.
“Kalau kau masih hidup, jawab! Setschika!!!”
Tetap tidak ada jawaban. Napasnya mulai memburu saat ketakutan terburuknya muncul.
Saat itu—
Syuuaaaak!
Tubuh Lanser terangkat seolah ditarik angin dari bawah.
“Hah?!”
Sesuatu yang tak terlihat mencengkeram dirinya. Tekanan itu terasa anehnya familiar.
Ia berhenti, digantung di udara. Dan dari belakangnya—
“Jangan teriak-teriak. Bodoh. Kalau ketahuan bagaimana?”
“Ka—!”
Lanser menoleh.
Di sana, Setschika menyilangkan tangan sambil menatapnya. Sama seperti dirinya, dia juga melayang di udara.
“Setschika!”
Ia tampak kotor, tapi tidak terluka. Rasa lega langsung menyapu seluruh tubuh Lanser. Tanpa berpikir, ia memeluknya kuat.
“L–, Lanser?!”
“Kau hidup. Syukurlah...”
“T–, tentu saja! Siapa menurutmu aku... u–um, tapi bisa dilepas dulu?”
Pipi Setschika memerah. Menyadari apa yang ia lakukan, Lanser buru-buru melepasnya dan keduanya batuk kecil sambil memalingkan wajah.
“Uhuk... maaf.”
“T–, tidak apa. Kalau kaget dan senang wajar saja...”
“Terima kasih. Jadi... ini sebenarnya di mana?”
“Aku tidak tahu. Aku juga baru bangun. Tapi yang jelas... bukan ruang normal.”
Setschika mengerutkan kening. Dengan kepekaan mananya yang tinggi, ia langsung menyadari keganjilan tempat ini sejak membuka mata.
Lanser bertanya,
“Apa maksudmu bukan ruang normal?”
“Semuanya terdistorsi. Aku pernah baca hal seperti ini di buku Ayah... ini ruang terpisah, subspace buatan, diciptakan oleh entitas dengan kekuatan sihir yang amat kuat.”
“Subspace...?”
“Ya. Dimensi yang seharusnya tidak ada. Tapi... siapa yang bisa membuat ini?”
Keduanya memandang sekeliling.
Seperti gua raksasa yang tidak berujung. Suara apa pun bergema. Dinding dan langit-langit tak terlihat. Bayangan yang lebih gelap daripada kegelapan itu sendiri berdenyut seperti kabut hitam.
Lanser menarik napas dan memejamkan mata. Seperti ibunya, ia memiliki indra yang tajam—pancaindra yang dapat menangkap hal-hal yang tak terlihat.
Sesaat kemudian, ia membuka mata.
“Di sana... aku dengar sesuatu.”
“Benar? Aku tak dengar apa pun.”
“Tidak, ini jelas. Seperti suara air... atau langkah kaki?”
“Mungkin lebih baik kita dekati. Kau sudah tidak mabuk gerakan lagi kan?”
Lanser mengacungkan jempol. Setschika tersenyum dan melafalkan mantra.
Swaaah—
Angin lembut melilit kaki dan tubuh mereka—siap melesat.
“Skill-mu makin bagus.”
“Itu standar, tahu. Kau yang dengar suara, jadi kau yang memimpin.”
Mereka meluncur melewati kegelapan, seolah melayang tanpa bobot. Sekitar sepuluh menit berlalu.
Tiba-tiba Lanser memberi sinyal mental.
[Berhenti!]
“Hh...!”
Setschika terhenti mendadak. Lanser mengarahkan telunjuknya ke bawah.
[Lihat itu.]
“.....!!”
Setschika menutup mulutnya.
Puluhan... tidak, ratusan orang terbaring dalam barisan panjang. Semua umur, tapi anak-anak mendominasi. Mata mereka terbalik, putih semua.
Dengan suara gemetar ia berkata,
“Itu... mereka... orang-orang yang hilang...”
“Mereka... mati?”
“Sepertinya tidak. Tapi... mana mereka sedang ditarik keluar...”
Dia bisa melihatnya—aliran mana dari tubuh para korban, terkumpul menuju satu titik.
Mereka mengalihkan pandangan perlahan.
“KYAAAAA!!!”
“Apa—... Hek!”
Lanser hampir menjerit.
Di kejauhan, setengah tubuhnya tertutup luka beku, seekor ular putih raksasa, lebih besar dari naga mana pun yang pernah mereka lihat, melingkar dan tertidur.
“A–... apa itu...”
Masih shock, Lanser hendak berbicara lagi—
Ketika suara seseorang menggema tepat di belakang mereka.
【Kalau kalian tidak mau dimakan sekarang juga, jangan bangunkan dia.】
“...Apa?!”
【Walaupun begitu, dia tetap mantan pemimpin Hall of Demons.】
Lanser spontan berbalik.
Seorang pemuda berdiri di sana, tangan di belakang punggung, menatap mereka.
Ia tampan, tapi tubuh dan wajahnya penuh bekas jahitan—seperti boneka yang dijahit ulang.
“S–, Setschika...”
Lanser menahan napas.
“Siapa kau?”
Ia berdiri di depan Setschika dan menggenggam gagang pedang. Di sekitar pemuda itu, aliran cahaya berputar—aliran yang ia lihat di gang semalam.
Pemuda itu membuka mulut perlahan.
【Namaku... Dalman. Abu yang tersisa dari Nebula Klaje. Seseorang yang pernah mati sekali... di tangan ayahmu.】
Side Story 17. Ronan -Tamat-
“...Kau bilang kau pernah mati di tangan ayahku?”
【Benar. Bekas luka mengerikan ini adalah buktinya. Tubuhku dicincang dengan pedang lalu dijatuhkan dari tebing.】
Menanggapi pertanyaan Lanse, Daruman menggulung lengan bajunya. Daging di balik kulitnya jauh lebih mengerikan daripada yang tampak dari luar. Sechika menutupi mulutnya, hampir muntah.
“Ugh.”
【Seluruh tubuhku seperti ini. Tidak peduli bagaimana aku mencoba memperbaikinya, bekas sambungan ini tidak pernah hilang.】
Daruman tertawa kecil. Lanse menajamkan fokusnya, menunggu munculnya celah sekecil apa pun. Setelah beberapa saat, Daruman kembali membuka mulut.
【Tapi dari ekspresimu... tampaknya kau sama sekali tidak mengenal aku. Ayahmu tidak pernah bercerita? Tentang pertumpahan darah yang terjadi dalam Festival Pedang.】
“Aku tidak kenal. Orang seperti kau.”
【Hah, mengecewakan. Padahal aku pikir itu duel yang cukup megah.】
“Mungkin cuma kau yang merasa begitu. Ayahku cerita banyak tentang masa mudanya, tapi tak ada namamu.”
Lanse menyeringai. Itu memang provokasi sengaja. Tapi memang benar—dari semua cerita kepahlawanan Ronan, nama Daruman tidak pernah sekalipun disebut.
【Begitu ya... begitu rupanya.】
Wajah Daruman menegang. Sepertinya itu mengenai titik sensitif. Pada saat itulah Lanse menarik pedangnya.
‘Sekarang!’
Teknik Battōjutsu—yang membuatnya diterima sebagai siswa terbaik di Fileon—meledak keluar.
Ia masih terkejut dengan apa yang terjadi, tapi ia tahu dua hal dengan sangat jelas:
-
Pria di depannya adalah pelaku penculikan.
-
Dan dia sangat-sangat berbahaya.
“Apa—?!”
【Apa ini yang terbaik darimu?】
Daruman menatap tanpa ekspresi. Ujung pedang Lanse terjepit di antara dua jari. Lanse mengerahkan seluruh tenaga, tapi pedangnya seolah tertanam di batu.
【Sungguh lambat. Bahkan mempertimbangkan usiamu, kau jauh di bawah ayahmu. Tebasan yang kau lepaskan di gang itu saja masih bisa membuat goresan kecil.】
“Guh... lepaskan!”
【Baiklah.】
Dan begitu saja, ia melepaskan jari-jarinya. Lanse kehilangan keseimbangan. Tepat pada saat itu, Daruman masuk dan—
KRUAK! Tendangan lutut menghantam perut Lanse, disertai suara tulang patah.
“GAAH!”
【Diamlah. Sebentar lagi semua akan berakhir.】
“Lan, Lanse!”
Lanse jatuh tersungkur. Sechika, hampir refleks, melantunkan mantra. Sepuluh tombak angin terbentuk dan ditembakkan menuju Daruman—
—tetapi secepat bayangan, sosok Daruman menghilang dan muncul di belakangnya.
【Jangan ikut campur. Dasar penyihir payah.】
“Aaagh!”
Ia mencengkeram rambut Sechika, membuatnya menjerit. Lanse bangkit dengan menahan sakit, menggenggam pedangnya.
“Ugh... Sechika...”
【Tidak seberapa, ternyata. Kudengar ayahmu bahkan pernah menghentikan pulau yang jatuh dari langit. Darah memang akan makin encer tiap generasi, rupanya.】
“Ja... jangan sakiti dia. Tujuanmu aku, kan?!”
【Tidak hanya itu. Ada seseorang yang membutuhkan gadis ini. Putri tertua dari Meiji Asel.】
Daruman kemudian mendongak. Mata merah menyala seperti Ronan memandang ke atas—ke arah ular raksasa yang melingkar di sana.
BOOOOM...! Tanah bergetar ketika ular itu bangkit. Kepalanya terangkat seperti gunung yang tumbuh dari kegelapan. Ketika akhirnya memandang mereka, ular itu membuka mulut.
【A... sel?】
【Benar adanya. Tuan Penguasa Paviliun Iblis. Kami membawa putri musuh Anda.】
【Hah... memang mirip. Terutama warna rambut itu... rambut milik orang yang merenggut segalanya dariku.】
Mata satu-satunya bersinar buas. Suaranya membuat bulu kuduk Lanse dan Sechika berdiri.
Dengan itu, mereka akhirnya tahu siapa yang memberi ular itu luka-luka mengerikan.
“A–ayahku bilang... ular di benua baru yang ia kalahkan itu...”
Sechika membelalak. Marya pernah bilang: saat ia tengah hamil, Asel pernah mengalahkan seekor ular raksasa di benua baru—membekukannya dengan es dan melemparkannya ke dasar laut.
Dari segala hal, ular itu ternyata masih hidup.
Jelas bahwa Daruman lah yang membuka segelnya. Segel yang bahkan seekor naga pun tak akan mampu patahkan.
Dan kemudian, ular itu melesat dengan kecepatan kilat, membuka rahang untuk menelan Sechika.
【Kumakan kau sekaligus! GRAAAH!】
“H-heugh!”
【Daruman... apa artinya ini?!】
【Bersabarlah sedikit lagi, Tuan. Tujuan kita adalah kebangkitan penuh. Bukan sekadar balas dendam kecil.】
【Hmph... cepatlah. Kalau tidak, kau pun akan kumakan.】
【Dengan senang hati. Mari kita segera angkat piala kemenangan kita dari darah dua bocah ini.】
Daruman membungkuk kecil. Ular itu mendengus dan memalingkan kepala.
Sechika mengatur napas dengan susah payah.
“...Kalian ingin bangkit kembali. Dengan menyedot mana orang-orang ini. Lalu membalas dendam pada orang tua kami.”
【Benar sekali.】
“Kenapa harus menculik orang dari pinggiran Ibu Kota? Kalau melakukannya di tempat lain, kalian mungkin tak akan ketahuan.”
Sebagai seseorang yang berpikir rasional, ia tak mengerti alasan itu. Tidak perlu mengambil risiko, bukan?
Daruman menaikkan alis, terkesan.
【Kau cukup cerdas. Baiklah, karena kau akan mati, kuberitahu. Korban-korban kami bukan dari ‘pinggiran Ibu Kota’. Mereka tinggal di bekas medan perang.】
“Medan perang...?”
【Ya. Perang antara aliansi menjijikkan itu dan Gereja. Desa telah dibangun kembali, tapi sisa mana perang masih tertinggal dalam tubuh para penduduknya. Kau paham?】
“Jadi kalian banyak menculik anak-anak karena...!”
Sechika menahan napas, ngeri oleh maknanya.
【Kualitas lebih penting dari kuantitas.】
“Kalian... monster! Bagaimana bisa melakukan sesuatu sekejam itu?!”
【Kami akan bangkit, dan semuanya akan berakhir. Oh, dan anak muda—harusnya kau pura-pura lebih pintar sedikit.】
Daruman berbalik. Lanse sedang mendekat dalam diam, menutup aura untuk menusuk dari belakang.
“K–ketahuan!”
Sechika terkejut. Lanse segera menghilang dari pandangan—
【Apa—?!】
Kali ini jauh lebih cepat. Daruman mencoba bertahan, namun pedang Lanse sudah menyayat dadanya.
CEKRAAAK!
“...Sial.”
Terpercik darah, Lanse menggigit bibir. Tebasannya terlalu dangkal.
Daruman mencabut pedangnya, marah.
【Berani sekali, anak tengik!】
“A—”
Serangan balasan Daruman begitu cepat dan bengkok hingga hampir mustahil terlihat. Lanse merasakan waktu melambat. Tebasan itu... yang dahulu bahkan mampu mengalahkan Jaipazo.
‘Ini akhir.’
Ia melihat jalur pedang, tapi tubuhnya tak bisa merespons.
Teriakan Sechika mengema. Dalam sekejap, wajah-wajah yang ia sayangi melintas dalam pikirannya.
Ibunya yang lembut. Adik perempuannya yang manis. Teman-teman yang selalu menemaninya. Dan ayahnya—orang yang ia hormati lebih dari siapa pun.
‘Kenapa aku... tak pernah jujur?’
Ia harusnya lebih jujur. Lebih menunjukkan kasih sayang.
Jika ia tahu ia akan mati seperti ini... pasti ia tidak menyia-nyiakan waktu.
Ia menutup mata.
【Ghh?!】
“Kyaa!”
Cahaya itu begitu kuat hingga menerangi seluruh ruang. Daruman terhenti. Pedang yang hendak membelah kepala Lanse pun—
KRA-KLANG! Terpental hancur.
【A-apa?!】
Ketika Daruman membuka matanya kembali, seekor burung putih—besar, menyerupai burung pemangsa—melayang di antara mereka, mengepakkan sayapnya.
“Fwiriiit!”
【Burung? Tidak... ini...】
Muka Daruman terdistorsi ngeri. Cahaya aneh memancar dan menciptakan penghalang berbentuk kubah, melindungi Lanse dan Sechika.
Ia tahu betul apa itu.
【Pe... Perlindungan Bintang?!】
Daruman terpekik. Tanpa ragu, itu adalah kekuatan Star’s Blessing—kekuatan yang seharusnya hilang setelah raksasa dan pemimpin Gereja mati.
Lanse ternganga.
“Kau...!”
Sakunya kosong. Jelas benda itu berasal dari bola pemberian Ronan—yang kini pecah dan melahirkan burung ini.
“Ka-kau keluar dari sini?”
“Fwit!”
Burung putih itu berseru lembut.
Saat Daruman hendak bergerak lagi—
KRRRAAAKK—!!!
Suara seperti seratus ribu kertas disobek terdengar dari langit-langit. Cahaya masuk, mengusir kegelapan.
【A-apa lagi ini?!】
Dengan ngeri, Daruman mendongak.
Langit penuh bintang terbuka di atas mereka—seolah langit disobek.
“Terbuka! Ronan!”
Di pusat cahaya itu, dua pria melayang—yang satu berambut merah, yang satu berambut biru pucat.
Asel menangis.
Ronan menemukan kedua anak itu dan berkata datar:
“Akhirnya ketemu.”
“A—Ayah?!”
Lanse melotot. Ia bahkan lupa menyebutnya “Ayah”.
DUAARR. Ronan turun tepat di depan mereka.
“Kalian tidak apa-apa? Ada yang terluka?”
“Ro-Ronan samchon... bagaimana kau masuk...”
“Setetes darah jatuh di tempat kau menghilang. Aku mengikuti jejaknya.”
Ronan mengangguk ke atas. Di sana, Sita mengepakkan empat sayapnya, meraung.
“Bwaaaa!”
“Kau hebat, Lanse. Kerja bagus.”
Ronan mengacak-acak rambut putranya. Ia tahu: tanpa darah Daruman, mereka tak mungkin bisa mengejar.
Saat Ronan memeriksa kondisi mereka—
“Tunggu. Kau...”
“Ke-kenapa?”
“Kau terluka? Sini lihat.”
Mata Ronan menyipit melihat darah di sudut bibir Lanse. Setelah memeriksa, ia melihat dua tulang rusuk retak.
Ronan menoleh ke Daruman.
“...Hei. Kain perca.”
【Akhirnya kau melihat ke sini. Tapi ‘kain perca’, kau terlalu—】
Daruman membeku.
Mata Ronan—merah seperti cahaya senja—menatapnya.
【...!!】
Tidak bisa bergerak. Hanya kontak mata saja membuat tubuhnya lumpuh.
Ronan berbicara rendah:
“Kau yang melakukan ini?”
【Heh... siapa lagi? Dan aku harus akui, kau terlihat sangat berbeda sekarang, Ronan. Hampir tak kukenal.】
Ia menggigil. Ronan sama sekali berbeda dari waktu mereka bertarung di Farzan.
【Tapi aku juga sudah jauh lebih kuat. Aku menyerap semua peninggalan terbuang milik Gereja, aku—】
Namun sebelum ia selesai—
DUUUM.
Sesuatu jatuh di sampingnya.
Kepala ular putih raksasa itu.
【Heuk—?!】
Daruman terbelalak. Tubuh ular itu ambruk, memuntahkan darah.
Lanse dan Sechika menatap, terkejut hingga tak bisa bicara.
Ronan telah memenggalnya segera setelah memasuki ruang itu—begitu cepat hingga tak seorang pun menyadarinya.
Daruman lemas.
【Tidak mungkin... ini mustahil!】
Ia mencoba kabur—tapi terlambat.
FAAAASH—!!
“Hm.”
Bahkan sebelum Daruman bisa berteriak, ratusan garis merah melintas di tubuhnya.
Ronan memutar sekali pedangnya.
“Dari tadi kau terus ngoceh... siapa kau sebenarnya?”
【Ta... tidak...】
Tubuh Daruman pecah menjadi serpihan dalam sekejap.
“...Ayah.”
Lanse berbisik, terpesona. Ia tahu ayahnya kuat, tapi tidak pernah membayangkan sekuat ini.
Ronan meludah ke arah darah.
“Nyebelin banget. Hei, Tuan Pedang Suci, tolong bereskan sisanya.”
“Baik.”
Seseorang turun di depan Lanse—pria tampan berambut biru gelap.
Paman iparnya, Shuliffen.
“P—Paman...?!”
“Lama tidak bertemu, Lanse.”
Shuliffen tersenyum kecil. Ia melihat Lanse dan Sechika bergantian.
“Kau sudah lebih berani. Bahkan terluka sambil melindungi gadismu.”
“A-apa?! Bu-bukan begitu! Sechika itu cuma teman!”
“Siapa juga mau pacaran sama orang seperti dia?! A—maksudku, benar begitu!”
Keduanya reflek berteriak. Lalu sama-sama memerah sambil memalingkan wajah.
Shuliffen mengangkat pedang.
“Bagaimanapun, kerja bagus.”
Saat mereka tertegun, suara lain menggema.
“Sechika! Anakku!”
“M—Mama?!”
Marya datang berlari seperti singa betina. Dalam sekejap ia memeluk Sechika dan Lanse sekaligus.
“Kalian anak-anak nakal! Sechika, kau tidak boleh keluar rumah selama sebulan!”
“Keugh—! Ma... mati... mau mati!”
“Saya kenapa ikut dipeluk...!”
Marya menangis tanpa henti. Lanse dan Sechika tersedak karena dada Marya menghimpit wajah mereka.
Ronan terkekeh.
“Lumayan, kan? Seru juga pengalaman begitu, Nak.”
“Di-diam, Ayah...!”
Setelah lama berlalu, mereka akhirnya dilepaskan. Saat itu, burung putih dari bola Ronan hinggap di bahu Lanse.
Ronan mengangkat alis.
“Huh? Apa itu?”
“A... itu keluar dari bola yang Ayah berikan padaku. Sebenarnya... apa yang Ayah kasih waktu itu?”
“Apa? Menetas akhirnya?”
Ronan terbelalak. Kalau ingatannya benar, itu adalah telur milik Abel. Ia sudah mengira telur itu mandul.
Burung putih itu menatap Lanse dengan mata merah yang sama dengannya.
Ronan mengangguk kecil.
“Hidup baik-baiklah. Bocah.”
“Fwiik!”
Burung itu bersuara seolah mengerti. Lalu terbang dan bermain bersama Sita.
Kegelapan menghilang perlahan. Di balik ruang yang runtuh, tampak langit dengan bulan—dan prajurit yang dipanggil Shuliffen.
“Ini... apa...!”
“K—Kaisar melindungi kami...”
Tubuh-tubuh yang berjajar dan pusaran besar yang menjulang membuat mereka melongo.
Ronan menghela napas. Pelaku sudah dibersihkan; sisanya tugas orang lain.
Ia menepuk bahu Lanse.
“Ayo pulang.”
—
Ruang itu ternyata berada di pedesaan pinggiran Ibu Kota. Ketika kereta tiba di depan rumah, fajar sedang menyingsing.
Sinar pagi menyinari wajah ayah dan anak. Dengan canggung, Lanse bertanya:
“Ibu... menangis banyak ya?”
Ia baru mulai menyadari betapa besar kekacauan yang dibuatnya. Ia menyeret semua kekuatan terbesar Kekaisaran hanya karena satu emosi sesaat.
Ronan menjawab tanpa ragu:
“Jelaslah. Dia sampai meraung minta ikut. Aku menahannya setengah mati. Kau tahu ‘kan, ibumu itu kelihatannya lembut, tapi kalau marah... ngeri.”
“Iya... aku tahu...”
“Kau harus berterima kasih pada adikmu. Kalau Erin tidak ada di rumah, dia pasti ikut. Dan pantatmu sudah hancur sekarang. Di depan Sechika pula.”
“...Maaf. Aku sungguh menyesal...”
Lanse menunduk. Saat ia berjalan dengan langkah berat menuju rumah—
Ronan menggaruk kepala.
“Maaf juga.”
“...Hah?”
“Tentang upacara penerimaan siswa. Aku ingin sekali datang, tapi benar-benar tak sempat. Itu tepat saat kasus penculikan mulai.”
Nada Ronan merendah. Lanse terpaku.
“Tapi... aku benar-benar tidak apa-apa. Sungguh.”
“Tidak apa-apa apanya. Pasti kau kesal. Dalam hati kau pasti berpikir: ‘Kalau sudah besar, akan kubalas ayahku si brengsek ini.’ Kau menusuk bantal dengan namaku tiap malam, ya?”
Ronan melakukan gerakan menusuk cepat ke udara.
“Tidak! Tidak pernah! Demi apa pun!”
“Wkwk, bercanda.”
“Ugh!”
Setiap tepukan Ronan ke punggungnya membuat Lanse hampir terjungkal.
Melihat tubuh anak itu, Ronan bergumam:
“Sepuluh tahun lagi, kau pasti lebih besar dariku.”
Dan kemudian, ia berkata:
“Kau membuatku bangga. Nak.”
“...Hah? Ayah baru saja bilang apa?”
“Kau membanggakan. Di situasi yang bisa bikin nyalimu ciut, kau tetap bergerak. Kau akan jadi orang luar biasa.”
Ronan berjalan duluan. Lanse menatap punggung ayahnya, bingung.
Apa telingaku rusak? Ayah... bicara seperti itu?
“...Ayah.”
Terlepas dari kebingungan, dadanya terasa hangat. Perasaan masa kecil yang pernah hilang itu kembali.
Lanse merasa ingin menangis sedikit.
Tepat sebelum masuk rumah, Ronan menambahkan:
“Tapi jelas masih kalah jauh dari ayah.”
“...Ayah! Kenapa harus merusak momen begitu?!”
“Kalau kau tak terima, selamatkan dunia dulu. Ayah masuk duluan.”
“Serius deh!! Ayah!!”
Lanse mendengus sambil menyusul—tapi tidak bisa menyembunyikan senyum kecil di wajahnya.
Side Story 17. Ronan —TAMAT—
Side Story 18. Pagi Hari di Grangcia
“...Hmm.”
Shuliffen terbangun dan bangkit dari tidurnya.
Kamar tidur yang luas dan mewah langsung memenuhi pandangannya.
Ia mengedarkan mata, lalu alisnya bergetar tipis.
Secercah cahaya samar menyelinap masuk melalui celah tirai.
‘Mengganggu.’
Ia menutup tirai rapat-rapat dan memastikan ruangan berubah gelap total barulah ia melepas topi tidurnya.
‘Sekarang lebih baik.’
Jam di dinding menunjukkan pukul 5.30 pagi.
Seperti biasa, tanpa selisih satu menit pun dari waktu bangunnya setiap hari.
Tiba-tiba ia merasakan nyeri ringan di bahu dan lutut.
“Ugh.”
Kemungkinan besar ototnya pegal setelah kejadian kemarin.
Namun rasa sakit itu tidak cukup mengganggu, jadi ia segera memulai rutinitas paginya.
Yang pertama dalam daftar itu selalu: memeriksa keadaan keluarganya.
Shuliffen merapikan rambutnya yang kusut sepanjang malam, lalu menoleh ke tempat tidur.
“Ehehe... Aria, mau ke mana...”
Iril sedang tertidur pulas.
Rambutnya yang perak-putih terhampar cantik di atas bantal.
Ia tersenyum senang dalam tidurnya, memanggil nama putri mereka seolah sedang memimpikan sesuatu yang menyenangkan.
‘Indah.’
Shuliffen tersenyum kecil.
Adik Ronan, putri bintang.
Wanita tercantik di dunia itu, meski telah menjadi ibu, kecantikannya tak jauh berbeda dari saat Shuliffen pertama kali bertemu dengannya.
Karena kebiasaan tidurnya yang aktif, selimut hanya menutupi setengah tubuhnya.
“Selimut harus dipakai benar... supaya tidak masuk angin.”
Shuliffen menata selimutnya dengan hati-hati.
Ketika ia membelai lembut rambut Iril, wanita itu terkikik kecil lalu memeluk putri mereka yang seharusnya ada di dalam selimut.
Namun Aria jarang sekali tidur di satu posisi—jadi biasanya ia tidak terbangun.
‘Hari ini... apa aku harus membiarkannya tidur?’
Shuliffen mengusap dagunya.
Baginya, permulaan hari berarti melihat wajah istri dan putrinya saat tidur.
Meski sedikit berbahaya, putrinya—sekali tidur—tidak akan bangun bahkan jika diangkat sekalipun.
Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Shuliffen mengangkat sedikit selimut itu.
Sangat perlahan. Sangat hati-hati. Seolah menyentuh perhiasan paling berharga.
Butuh hampir satu menit untuk menggeser selimut tersebut, dan tepat saat ia selesai—
“...Ini.”
Wajah Shuliffen menegang.
Di tempat Aria seharusnya tidur, hanya ada sebuah bantal besar.
Bantal yang ukurannya hampir sama dengan tubuh putrinya, dan di atasnya tertempel memo bertuliskan:
[Main Petak Umpet!]
Shuliffen menekan pangkal hidung dengan telunjuk dan menghela napas.
“Kena juga.”
Karena kelelahan kemarin, ia sama sekali tak sadar.
Putrinya yang berusia lima tahun itu sedang dalam masa paling penuh energi.
Shuliffen menaruh tangannya di atas tempat tidur—masih terasa hangat. Artinya, Aria belum pergi lama.
Ia menyerahkan bantal itu pada Iril, lalu keluar kamar.
Begitu pintu terbuka, udara segar pagi menerpa wajahnya.
Masih terlalu dini bagi para pelayan bekerja, sehingga mansion sepenuhnya sunyi.
‘Kalau dia masuk angin... repot.’
Ia menghela napas kecil.
Tentu saja ia harus bertindak.
Ia menuju tengah mansion dan bersuara tegas:
“Aria. Ini masih waktu tidur. Kembalilah.”
Seperti yang sudah ia duga, tidak ada jawaban.
Permainan petak umpet memang sudah dimulai.
Mau tidak mau, ia harus bermain bersama.
Shuliffen menghela napas lembut dan mulai melangkah.
‘Perpustakaan atau ruang tamu.’
Tujuannya sudah jelas.
Ini bukan kejadian pertama kalinya.
Ia naik ke lantai dua dan membuka pintu perpustakaan.
Dan tentu saja—di ujung ruangan, tirai menggembung mencurigakan.
“Hm. Tidak ada di sini rupanya.”
Ucapannya terdengar datar, seperti membaca buku.
Ia sengaja berpura-pura, sebagai bentuk ‘pelayanan’ untuk anaknya.
Aktingnya buruk, tapi selalu berhasil.
Terdengar cekikikan kecil di balik tirai.
“Ihihihi.”
Aria memang ada di sana.
Shuliffen kemudian menapakkan kakinya sedikit di atas lantai—memakai sihir angin untuk menghilangkan suara langkahnya.
Ia ingin bermain sedikit lebih lama, namun jadwal tidur anak tidak boleh kacau.
Ia meluncur mendekat tanpa suara dan mengangkat tirai.
“Ketangkap—... hm?”
Wajahnya menegang lagi.
Di balik tirai hanya ada satu pasang sepatu mungil.
Tirai menggembung karena dua lingkaran sihir kecil di alas sepatu yang meniupkan angin.
‘Lingkaran sihir?’
Menggunakan bakat seperti ini hanya untuk keisengan kecil...
Shuliffen bergumam lirih, setengah kagum.
“Dia mempelajari ini dari putri keluarga Karabel, rupanya. Aneh tapi menarik.”
“Terima ini!!”
Tiba-tiba terdengar teriakan lantang dari belakang.
Shuliffen sedikit memiringkan bahu.
Tak!
Seorang gadis melompat dari atas rak buku dan menghunjamkan pedang kayu ke tempat Shuliffen berdiri.
“Kau makin jago menyembunyikan aura.”
“Bah! Kenapa bisa menghindar! Dasar penjahat!”
Aria mengibaskan pedang kayunya dengan kesal.
Rambut biru gelapnya berkibar seperti nyala api.
Wajah kecilnya memiliki ketegasan yang mirip ibunya.
Aria Shinyvan de Grangcia—putri tunggal Shuliffen dan Iril, serta pewaris salah satu keluarga terbesar di Kekaisaran.
Ia segera mengambil kuda-kuda dan menyerang lagi.
“Tapi serangan ini pasti kena! Poppunggeom!”
“Itu namanya Pogpunggeom, Nak. Dan kapan lagi kau mengambil mantelku?”
Shuliffen menghela napas.
Tampaknya permainan mereka sudah berubah dari petak umpet menjadi duel.
Aria memakai coat seragam Shuliffen sebagai jubah—yang panjangnya menyeret lantai seperti sapu.
Barang mewah yang dibuat oleh pandai terbaik Kekaisaran kini dipakai sebagai alat bermain.
Tentu saja itu tidak masalah.
Yang ia khawatirkan adalah Aria bisa menginjaknya dan jatuh.
Tok.
Shuliffen menghentikan pedang kayu itu hanya dengan telunjuk dan jari tengahnya.
Aria menggertakkan gigi.
“Ikh! Lepasin!”
“Sekarang waktu tidur. Jangan membuat ibumu khawatir dengan tertidur sambil duduk lagi.”
“Uuuuuuh...!”
Aria mengerahkan segenap tenaga, namun pedang itu tidak bergerak sama sekali.
Seperti tersangkut di celah batu besar.
Shuliffen hendak menangkapnya ketika—
“Hmph! Mana mungkin aku begitu gampang tertangkap!”
Aria melepas pedang dan lari keluar ruangan.
Sihir angin membuat langkahnya semakin cepat.
Awalnya Shuliffen sengaja membiarkan, tapi ia segera menyesal.
Karena sepatu Aria tertinggal.
‘Bagaimana kalau ia menginjak sesuatu?’
Ia mengernyit.
Meski mansion Grangcia dijaga begitu bersih hingga tak ada setitik debu, risiko tetap ada.
Dari koridor terdengar suara heboh para pelayan.
“A—Aria-nim?!”
“Jangan lari tanpa sepatu! Aaa, jangan angkat rok, Aria-nim!”
“Pagi-pagi begini... nanti Lady Iril marah... AARGH!”
Terdengar suara terjatuh, jeritan, dan tawa Aria.
Itu tidak mengejutkan.
Shuliffen keluar.
“Semua kembali ke tugas masing-masing. Biar aku yang menangkapnya.”
“Tu-Tuan!”
Para pelayan pucat pasi.
Aria sudah jadi masalah yang berada di luar kapasitas mereka.
Shuliffen menenangkan mereka dan kembali fokus.
Iril sebentar lagi bangun—ia harus cepat.
Sambil menelusuri mansion, ia melihat sesuatu di langit-langit.
“Cukup cepat juga.
Kapan dia naik ke sana?”
“Hehehe, pasti Ayah tak akan menemukan tempat ini.”
Aria cekikikan.
Ia duduk di atap mansion Grangcia sambil menggoyang-goyangkan kakinya.
Matahari mulai naik ke ufuk timur, memancarkan cahaya keemasan.
Di sampingnya tergeletak pedang kayu cadangan.
Ia selalu membawa dua untuk kondisi seperti ini.
Sensasi kemenangan mengalir dalam tubuhnya seperti listrik.
“Aku mengalahkan si penjahat jahat!”
Ia mengangkat pedang kayu, merayakan kemenangannya.
Ini pertama kalinya ia berhasil mencapai atap.
Sebelumnya, selalu ketahuan sebelum sampai.
Wajar—karena atap mansion sangat berbahaya.
Saat itu matahari muncul sepenuhnya dari balik hutan.
Bayangannya membentuk garis panjang.
Aria menatapnya, terpukau.
“Cantiknyaaa...”
Dengan hanya perubahan sudut pandang sedikit, dunia terlihat seperti tempat baru.
Angin pagi yang menyegarkan mengacak rambutnya, pohon-pohon tinggi yang memenuhi taman, bunga musim panas yang mekar rapi.
Bahkan suara pelayan yang panik mencarinya pun—
“Sempurna.”
Aria tersenyum lebar.
Ia merasa bisa sembunyi di sini sampai lapar.
Nanti ia akan mengajak ibu dan Sechika-eonni ke sini juga.
Ia meregangkan tubuh seperti kucing baru bangun ketika—
“Aku setuju. Tempat ini memang bagus.”
“H-HIEEEEK!!!”
Aria terlonjak.
Suara berat dan rendah itu seperti sesuatu yang keluar dari neraka.
Ia menoleh—
Dan melompat tegak lurus.
Seekor harimau besar berwarna gelap... dengan tubuh manusia... sedang berbaring di atap.
Harimau itu mengangkat kepalanya sedikit.
“Melihat warna rambutmu, kau pasti putri Pedang Suci. Senang bertemu denganmu.”
“Si... siapa kau?!”
Aria mengangkat pedang kayu.
Tubuh kecilnya merespons insting bahaya dan membangkitkan potensi dalam sekejap.
Swoooosh—
Aura kebiruan mengalir di sepanjang pedang kayu itu.
Jaipa menaikkan alis.
“Hooh. Sudah bangkit?”
“Aku tanya siapa kau!”
“Jaipa Tergeng. Hanya seorang pendekar tua. Namamu siapa?”
“Ja... Jaipa? Kalau begitu kau... h-hiiik!”
Nama Pedang Suci generasi sebelumnya.
Aria melangkah mundur—dan kakinya terpeleset dari pinggir atap.
Ia memandang ke bawah—dan wajahnya pucat pasi.
“A—ah tidak!”
Tinggi mansion itu membuat tanah terlihat sangat jauh.
Dalam sekejap, pikiran buruk melintas.
‘Ayah suruh aku jangan ke sini!’
Ia mengayuh tangan, tapi keseimbangannya tidak kembali.
Kedua kakinya sudah melayang keluar atap ketika—
FWOOOSH!
Semburan angin dari bawah mendorong punggungnya.
“Aaaaagh!”
Aria terdorong ke depan, lalu tubuhnya terbungkus sesuatu yang empuk.
Seekor ekor harimau.
“K-Kok ada ekor...”
“Mengamati tanah adalah dasar dari seorang pendekar. Ayahmu belum mengajarkannya rupanya.”
Jaipa terkekeh.
Ekor yang tebal dan lembut itu mencegah Aria jatuh dan menghantam hidungnya.
Saat itu, suara yang sangat dikenalnya terdengar tidak jauh dari sana.
“Anak itu memang belum saatnya belajar pedang.”
Shuliffen sudah berdiri di samping Jaipa.
Aria menatap dengan shock.
“A-Ayah?!”
“Aria. Bukankah Ayah sudah bilang atap itu berbahaya?”
Shuliffen melangkah mendekat.
Ia berlutut agar matanya sejajar dengan Aria.
Ia tidak bicara apa pun—hanya menatap, seolah memintanya melihat kesalahannya sendiri.
Aria menggigit bibir, lalu menunduk.
“...Aku salah.”
“Ibumu akan khawatir. Ayo pulang sebelum makin terlambat.”
Permainan sudah berakhir.
Shuliffen mengangkat Aria ke dalam pelukannya.
Melihat putrinya mengerucut sedih, ia berkata lembut:
“Nanti kita datang lagi bersama-sama. Dengan Ibu.”
“...Iya. Maaf.”
Aria mengangguk.
Kini rasa takut barulah menyusul—ia benar-benar bisa mati tadi.
Ia menyeka hidung dan memeluk Shuliffen erat-erat.
Shuliffen menatap Jaipa.
“Ini pertama kalinya kita bertemu lagi sejak pernikahan. Ada keperluan apa sampai datang sepagi ini?”
“Hanya ingin menghirup udara pagi. Dan sekalian melihat wajah muridku.”
“Urusan di Utara sudah selesai?”
“Kurang lebih. Si brengsek Varka meninggalkan masalah yang luar biasa.”
Keduanya berbagi kabar singkat.
Tentang keluarga, teman, dan kondisi dunia.
Jaipa telah menenangkan kekacauan di Utara dan menjadi pemimpin baru di sana.
Karena terlalu sibuk, ia jarang mengunjungi Kekaisaran—Shuliffen tidak bertemu dengannya hampir sepuluh tahun.
Saat matahari naik sepenuhnya—
“Sepertinya akan panjang kalau diteruskan. Silakan masuk bersama kami.”
“Tidak perlu. Aku tidak sebegitu tak tahu malunya. Lain kali saja.”
Jaipa berdiri.
Entah karena usia atau banyaknya kesulitan yang ia hadapi, bulu tubuhnya tampak lebih memutih dari sebelumnya.
“Kalau begitu.”
“Masih sama seperti dulu. Singkat dan padat.”
Jaipa terkekeh.
“Kau sadar anakmu sudah membuka Oura? (Aura)”
“Akhirnya berhasil rupanya. Aku sudah menduga gejalanya.”
Shuliffen menepuk lembut punggung Aria.
Ia sudah lama tahu putrinya berbakat besar—setara atau bahkan melebihi dirinya.
Ada rasa kesal menggelitik.
Sebagai ayah, ia tidak sempat menyaksikan momen penting itu.
Ia menggigit bibir, lalu bertanya:
“...Anda tidak merekamnya, bukan?”
“Omong kosong apa itu.
Tentu saja tidak.”
“Sangat disayangkan... itu. Apa ia tampak seperti aliran apa?”
“Sekilas, tampak mirip punyamu. Tapi perlu diasah dulu untuk memastikan.”
Alis Shuliffen terangkat.
Mirip dirinya berarti kemungkinan besar Aria mewarisi Pogpunggeom—salah satu bentuk Oura paling kuat sejajar dengan Navi Rose.
Aria sudah tertidur pulas dalam gendongannya.
Jaipa bertanya dengan nada penasaran:
“Tidak tertarik menyerahkannya padaku? Kalau mulai sekarang, anak ini... mungkin bisa melampaui kau dan bahkan Ronan.”
“Nanti, kalau dia menginginkannya sendiri. Untuk sekarang, tidak boleh.”
“Seperti dugaan. Kudengar Ronan juga sudah punya anak—mungkin dia yang akan kubujuk dulu.”
Apa boleh buat, muridnya memang tidak pernah manis.
Setelah cukup lama duduk, Jaipa bersiap pergi.
Tubuh besarnya yang mencapai empat meter itu mengecoh angin—
Ketika—
“Hey, Pedang Suci.”
“Hm?”
“Kau terlihat bahagia.”
Jaipa terkekeh.
Ekspresi yang tidak pernah muncul pada dirinya yang dulu.
Mata merah sang Weretiger tidak melihat Pedang Suci Shuliffen dan pewarisnya—melainkan hanya seorang ayah dan anak.
Begitulah.
Sama seperti dirinya di masa lalu.
“Jaga keluargamu. Itu harta yang tak bisa dibandingkan dengan Kekaisaran, keluarga bangsawan, atau Pedang Badai.”
“Itu...”
Sebelum Shuliffen bisa menjawab—
DUAAAAANG—!!
Jaipa melesat menuju langit.
Shuliffen menyaksikan siluet itu menjauh, lalu tersenyum tipis.
“Akan kulakukan.”
“Haaam... selamat pagi...”
Iril bangun sambil menguap dan meregangkan tubuh.
Jam menunjukkan pukul 7 seperti biasa.
Baru bangkit, ia menoleh—
“Hm?”
Shuliffen dan Aria masih tertidur pulas.
Biasanya keduanya sudah bangun di jam seperti ini—sungguh pemandangan langka.
Shuliffen tanpa topi tidur, dan Aria yang tenggelam sepenuhnya di pelukan ayahnya, tampak begitu menggemaskan.
“Huhu, pasti mereka sangat lelah.”
Iril tersenyum.
Ia membelai rambut Shuliffen—dan suaminya tidak bergerak sama sekali.
Ternyata ia benar-benar kelelahan setelah bermain hebat dengan Aria kemarin.
Iril bangun pelan-pelan agar tidak mengganggu mereka.
Waktunya menyiapkan sarapan.
Ia memakai shawl di atas piyama, lalu berbisik lembut:
“Semoga mimpi indah. Kalian berdua.”
Ia mencium suami dan putrinya, kemudian meninggalkan kamar.
Cahaya pagi yang mengalir masuk ke lobi mansion terasa hangat.
Hari ini... pasti akan menjadi hari yang baik.
Side Story 19. Kepada Dirimu, Musim Semi yang Biru (1)
“A.”
Nabi Rose membuka mata.
Cahaya matahari pagi merembes masuk lewat jendela tanpa tirai.
Di atas kepalanya tampak langit-langit tinggi—tak seperti rumah orang yang hidup sendirian.
‘Tubuh terasa ringan hari ini.’
Ada hari-hari tertentu tubuh terasa sangat segar seperti ini.
Meski berlatih keras hingga larut malam kemarin, anehnya rasa lelah tidak terasa sama sekali.
Sambil meregangkan tubuh panjang, Nabi Rose keluar dari kamar.
Karena hanya tidur beralas kasur tipis di lantai, tidak ada ranjang di sana.
Begitu ia melipat kasurnya dan melangkah keluar, ruang tamu yang penuh barang-barang aneh menyambutnya.
‘Suatu hari harus kubereskan juga semua ini.’
Ia menggeretakkan bibir.
Pemandangan itu sangat kontras dengan kamar tidurnya yang rapi.
Album kelulusan, buket bunga dengan sihir pengawet yang membuatnya tidak layu, gaun berenda yang bahkan tidak cocok dengan selera penerimanya, perhiasan mengkilap—tiruan hadiah dari para murid.
Semuanya mudah saja dibuang… tapi tidak mungkin.
Setiap tahun barang-barang ini bertambah, dan semuanya adalah pemberian murid-muridnya.
Saat tengah memandangi kekacauan itu sambil menggaruk perut, pandangan Nabi Rose berhenti pada satu objek.
Di atas kursi, tersampir sebuah pakaian dalam yang besar dan berwarna mencolok—mirip buah tropis.
‘Harusnya kupukul saja waktu itu.’
Ia mendecih kecil.
Itu adalah hadiah kelulusan dari Adeshan.
Dalam kotak yang ia sodorkan sambil berkata “Guru juga sebaiknya segera mencari pasangan sebelum terlambat!” terdapat pakaian dalam itu—atasan dan bawahan satu set. Sangat mencolok, terlalu menggoda, jelas-jelas “untuk momen penentu”.
Ia masih ingat percakapan pada hari itu.
Tentu saja ia tidak pernah memakainya.
Ia tidak berniat mencari pasangan, dan ukuran barang itu pun salah.
Masalahnya, bukan kekecilan—melainkan terlalu besar.
Sebagai orang yang seumur hidup tak pernah mengalami hal seperti itu, ia cukup terkejut.
Dan kini, sudah lebih dari sepuluh tahun sejak kejadian itu.
Pandangan Nabi Rose kembali menyapu ruangan.
‘Sekarang dipikir-pikir, aku menerima banyak sekali…’
Perabot asli seperti sofa dan meja bahkan tersembunyi oleh tumpukan hadiah.
Akunya hanya memajang satu hal: foto Ronan dan gengnya, tergantung di dinding.
Foto itu diambil sebelum mengikuti Festival Pedang, masa paling indah dalam hidupnya.
‘Benar-benar sudah lama sekali.’
Nabi Rose tersenyum.
Sebuah foto yang seperti memotong sepotong masa muda dan membekukannya.
Lokasinya adalah Aula Galerion, tepatnya Arena Latihan Pertama Akademi Phileon.
Di foto itu, Ronan dan Schlippen—yang masih terlihat muda—saling merangkul. Setelah duel latihan, tubuh mereka kotor oleh debu dan tanah.
Di belakang mereka, Adeshan sedang berdiri sambil memegang dua kantong air, dan dirinya berdiri menyilangkan tangan, menatap dua muridnya dari kejauhan.
Tatapan itu—hangat seperti memandangi harta paling berharga di dunia.
‘Iri sekali waktu itu.’
Bukan hanya karena dua murid itu adalah jenius yang belum pernah muncul dalam sejarah kekaisaran.
Nabi Rose menyukai siswa-siswa yang menjalani masa muda mereka secara “indah”.
Belajar sepenuh hati, jatuh cinta, berkelahi, berjuang—menghabiskan masa paling gemilang dalam hidup untuk sesuatu yang mereka pilih sendiri.
Dalam hal itu, Ronan dan Schlippen adalah contoh terbaik dari masa muda yang cemerlang.
Bisa dibilang itu semacam pelipur lara baginya.
Karena Nabi Rose menghabiskan seluruh masa mudanya di medan perang.
Darah, kematian, kekuatan yang menindas yang lemah, dan filsafat kejam bahwa “nyawa adalah komoditas”.
Ia tidak punya kenangan bercanda dengan teman, belajar bersama, atau pergi berlibur.
Itulah salah satu alasan ia menjadi pendidik.
Walau tidak pernah menunjukkan secara langsung, ia sangat puas dengan pekerjaannya.
Sambil memandangi wajah dirinya di foto, Nabi Rose tersenyum miris.
‘Muda sekali…’
Ia kembali menyadari—dirinya sudah menua.
Bukan dari segi kemampuan, tapi dari sisi penampilan.
Kulit seperti buah musim panas, rambut berkilau, energi khas dirinya yang berusia tiga puluhan—semuanya berbeda dari sekarang.
Orang-orang mungkin mengira ia masih berusia dua puluh akhir, namun apa yang dirasakan seseorang tentang dirinya sendiri berbeda.
“Hmph.”
Dan ia sadar—semuanya akan terus berubah.
Dalam derasnya waktu, ia pasti akan terus menua.
Akan datang hari ketika keriput muncul, rambut memutih, dan ia tak lagi mampu mengangkat pedang—yang baginya seperti bagian tubuhnya sendiri.
Tapi ia tidak takut.
Karena hidup itu paling indah saat bergerak maju.
Mengusir lamunan panjang yang entah kenapa begitu kuat pagi itu, Nabi Rose mulai melangkah.
‘Saatnya berangkat.’
Jika ia tidak bersiap sekarang, ia bisa terlambat.
Sebagai wakil kepala sekolah, kelakuan seperti itu memalukan.
Namun sesaat setelah ia memasuki kamar mandi—
“…Hah?”
Ia merasakan ketidakselarasan yang aneh.
Seolah wastafel menjadi lebih tinggi.
Biasanya setinggi pinggang, tetapi sekarang sejajar dada.
Sandal kamar mandi juga terasa lebih longgar dari biasanya.
‘Perasaanku saja?’
Ia tak terlalu memikirkan hal itu.
Ia bukan tipe yang memperhatikan ukuran wastafel atau sandal tiap hari.
Dengan santai berdiri di depan wastafel, ia melepaskan piyama bermotif ular yang tipis seperti kulit.
Dan tepat ketika hendak mencuci muka—
“—Apa.”
Nabi Rose membeku.
Dalam cermin berdiri seorang gadis kecil.
Tidak—seorang gadis belasan tahun awal, tampak seperti sedang siap berangkat sekolah dan bertanya menu makan siang hari ini.
Ia baru menyadari bahwa piyama itu melorot sampai ke bawah tulang selangka.
Pantas saja bahunya terasa ringan.
Setelah sekian lama terdiam…
Ia menekan, meraba—bahkan mencubit dada yang menyusut menjadi setengah apa yang ia ingat.
Lalu ia mendesis, seolah tak percaya.
“…Ini—terlalu muda.”
Banyak gelar bisa menggambarkan pria bernama Zarodine, namun yang paling terkenal adalah:
“Penyihir yang Menghidupkan Kembali Istrinya.”
Dengan bantuan Ronan, ia menghidupkan kembali Suna—cinta sekaligus seluruh hidupnya.
Kini, Zarodine masih bekerja sebagai profesor jurusan sihir di Akademi Phileon.
Kembalinya Suna mengubah hidupnya secara drastis.
Ia bertambah gemuk secara sehat, wajahnya—yang dulunya selalu tampak ingin mati kapan saja—berubah menjadi jauh lebih cerah.
Bahkan ruang kerjanya pun berubah total.
Dengan musik ceria dari gramofon, rasanya sulit percaya ini ruang kerja, bukan klub budaya suku selatan.
Tentu saja, Zarodine yang tinggal di tempat seperti itu berubah pula.
Sisi sinisnya menghilang, dan ia tak lagi mengganggu murid dengan humor gelapnya.
Sebaliknya, ia menjadi orang yang paling dikenal pandai memberi konseling—berkat masa lalunya yang kelam dan pengalaman hidup yang berat.
Namun hidup selalu penuh kejutan.
Kadang bahkan seorang Zarodine yang telah mencapai puncak ketenangan pun tak mampu menahan diri.
Ia kini menutup wajah dengan telapak tangan.
“Pu… kukuh… kuhk…”
“Jangan tertawa.”
“Aku tahu… aku tahu. Tapi melihatmu seperti ini—”
Dia berusaha keras menahan tawa sampai air mata keluar.
Di hadapannya, seorang tamu kecil duduk di sofa—kaki mengayun tanpa bisa menjejak lantai.
Itu adalah Nabi Rose.
Namun kini dalam wujud anak kecil.
Ia duduk dengan kaki disilangkan—seperti biasanya—dan menatap Zarodine dengan dagu terangkat tinggi.
Namun pesona dewasa, aura intimidasi, dan karisma yang biasa—tak tersisa sama sekali.
Dan piyama yang kebesaran… membuat semuanya semakin tak masuk akal.
Zarodine menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan.
“Pertama-tama, ambil ini.”
“Apa itu? Kelereng?”
“Apa lagi? Permen Baren—yang anak-anak zaman sekarang sangat…”
KHAK!!
Zarodine terjungkal tanpa sempat menyelesaikan kalimatnya.
Tiga pukulan jitu ke ulu hati—terlalu cepat untuk dilihat mata.
Rasa nyeri yang membuatnya hampir mengompol memastikan bahwa ini memang Nabi Rose asli.
“Jika ingin dipukul lagi, silakan bicara. Setiap omong kosong keluar, jumlah tulang yang kupatahkan bertambah.”
“Urgh… kau… gadis barbar…”
“Apa sebenarnya yang terjadi padaku? Tidur semalam, bangun-bangun jadi anak kecil.”
Nabi Rose menghela napas.
Ia bahkan tak mengganti pakaian—langsung berlari ke ruang kerja Zarodine.
Agar tak terlihat murid, ia menutupi tubuh dengan selimut tebal sepanjang jalan.
Zarodine bangkit sambil menekan perutnya.
“Ku… kupikir organku pecah… tapi dengarkan. Selamat. Kau sekarang tidak akan mati karena usia.”
“…Apa maksudmu? Apakah ini kutukan?”
“Lebih seperti berkah. Mirip dengan kasus Archmage Lorhun. Kau tahu, kan? Pada tingkat tertentu, seorang penyihir bisa mengendalikan aliran waktu dalam tubuhnya. Beliau bisa menjadi anak kecil atau orang dewasa sesuka hati.”
Nabi Rose mengangguk.
Ia tidak tertarik pada sihir, tapi tahu Archmage Lorhun bisa mengubah usia seenaknya.
Dan juga tahu bahwa Kratir sangat berjuang untuk mencapai tingkat itu sebelum usia alamiahnya habis.
“Hal yang sama terjadi padamu. Kualitas mana dalam tubuhmu akhirnya melampaui tubuhmu—yang disebut wadah. Jadi tubuhmu kembali ke ‘masa puncak’. Di benua barat disebut Hwan-gol-tal-tae—Transformasi Rekonstruksi.”
“Ini bukan puncakku. Ini masa SMP.”
Nabi Rose melirik sebelahnya.
Pedang besar, Ursa, bersandar di sofa.
Zarodine menggaruk kepala.
“Itu… ya… kasus spesial, mungkin.”
Ia pun tidak bisa menjelaskan.
Karena ini kasus yang bahkan Jaipa belum pernah alami—tingkat pencapaian yang mungkin hanya muncul dua-tiga kali dalam sejarah.
Nabi Rose mengunyah keras permen dan menelannya.
“Kalau begitu, tidak ada cara untuk kembali ke tubuh semula? Seperti Archmage Lorhun?”
“Sayangnya tidak. Kau bukan penyihir. Paling-paling tubuhmu akan tumbuh lagi seiring waktu sampai kembali ke usia dua puluhan. Berapa usia saat kau menghajarku di hutan dulu? Dua puluh, kan?”
“Dua puluh… Itu masih sangat lama.”
Ia mengerutkan kening.
Zarodine menghela panjang.
“Memang sulit. Archmage Lorhun tidak bisa membantu—karena beliau tidak bisa mengubah waktu orang lain.”
“Jadi tak ada seorang pun yang bisa menolong?”
“Ada. Tapi bukan manusia.”
“…Apa?”
Nabi Rose menatapnya, ekspresi penuh kecurigaan.
“Siapa?”
“Aku bisa bilang… tapi kau yakin siap menemui orang itu? Ia… sedikit sulit dihadapi.”
“Tidak masalah. Katakan.”
“Nabar Doje.”
Wajah Nabi Rose menegang.
Zarodine mendesah panjang.
“Beliau satu-satunya penyihir di dunia yang melampaui Archmage Lorhun. Sang Ibu Api. Kalau ada yang bisa membantumu, hanya beliau.”
“…Benarkah.”
“Kenapa aku harus berbohong? Dan kebetulan, kau tak perlu repot mencarinya.”
“Apa maksudmu?”
“Kau tahu kan? Study tour tahun ini untuk kelas dua… ke Adren. Kau bisa ikut.”
Adren.
Kota yang melayang di langit—di mana hanya naga dan pengikutnya yang tinggal.
Dulu hanya pemimpin negara yang boleh masuk setelah melewati izin ketat, tapi sejak perang Nebula Clazier berakhir, peraturan itu agak longgar.
Berkat Ronan dan Aselle, serta karena putra Nabar Doje, Itargand, pernah bersekolah di Phileon.
Zarodine melanjutkan.
“Kebetulan keberangkatannya tiga hari lagi. Sangat pas.”
Phileon kini adalah institusi manusia yang paling akrab dengan Adren.
Namun itu bukan masalah utama sekarang.
“…Kau bercanda? Suruh aku memimpin murid… dalam keadaan begini? Lebih baik aku pergi sendiri.”
“Tidak mungkin. Jalur keluar-masuk Adren diatur ketat. Bahkan kau, sebagai wakil kepala sekolah, tak bisa masuk seenaknya.”
“Urgh…”
Zarodine benar.
Masuk tanpa izin berarti bisa dianggap ancaman negara.
“Jadi, aku punya ide bagus. Mau dengar?”
“Ide bagus?”
Zarodine tersenyum—wajah yang membuat hati siapa pun penuh kecurigaan.
Ia membuka lemari dan mengeluarkan sesuatu.
Setelan: kemeja, blazer, rok sederhana.
Nabi Rose menyipitkan mata.
“Kau… jangan bilang…”
“Ya. Seperti yang kau pikirkan. Lagipula, kau selalu iri pada murid-muridmu, bukan?”
Ia memang benar—tapi Nabi Rose sedang tidak punya energi untuk menyangkal.
Yang membuatnya terkejut adalah pakaian yang ia lihat:
Seragam siswi Akademi Phileon.
Zarodine mengulurkannya sambil tersenyum licik.
“Kalau kau malu sebagai guru… bagaimana kalau pergi sebagai murid?”
Side Story 20. Kepada Dirimu, Musim Semi yang Biru (2)
Tiga hari berlalu begitu cepat.
Beberapa airship yang menuju Adren sudah berlabuh di alun-alun besar Akademi Phileon, menunggu para siswa naik satu per satu.
Siswa kelas dua yang memenuhi alun-alun tampak serempak bersemangat dan antusias.
Pak!
Profesor Baren Panasir, guru yang memimpin perjalanan studi ini, menepuk tangan.
“Baik, baik! Jangan terlalu heboh. Kita naik airship sesuai urutan kelas!”
“Professor! Perjalanan ke sana butuh berapa lama?”
“Ini airship tipe cepat, jadi kira-kira dua belas jam. Begitu masuk wilayah Adren, kalian mungkin melihat summon penjaga atau hatchling. Tolong jangan membuat mereka terprovokasi.”
Setiap kali Baren berbicara, surai dan lemak perutnya ikut bergetar.
Bentuk tubuhnya benar-benar berlawanan dengan Jaipa yang tetap hidup sebagai warrior.
Were-lion yang telah gagal diet ke-tujuh-puluh-lima kalinya ini adalah salah satu orang terkaya di Phileon.
Meski kekayaannya cukup untuk membuat seluruh keluarganya hidup bermalas-malasan seumur hidup, ia memilih tetap mengajar — murni karena ia menyukai pekerjaannya.
Benar-benar pekerjaan yang membahagiakan.
Namun saat ia memandang para siswa dengan puas, pandangannya berhenti pada satu titik.
‘Itu satu-satunya yang mengkhawatirkan… semoga tidak terjadi apa-apa.’
Sorotannya tertuju pada seorang gadis di tengah kerumunan.
Gadis berkulit kecokelatan yang tampak siap menerkam siapa pun dengan wajah menggeram.
Nabi Rose — yang secara tidak sengaja mengalami “rejuvenasi”.
‘Hwan-gol-tal-tae, huh… dengan tubuh ini mungkin dia benar-benar lebih kuat dari Jaipa-nim.’
Nabi Rose yang menjadi remaja benar-benar tampak seperti gadis belasan tahun.
Tentu otaknya tidak ikut kembali muda, jadi ia terlihat jelas sedang disedot energinya oleh atmosfir kekanak-kanakan para siswa di sekitarnya.
Baren ingin membantu, tapi tidak bisa.
Ia sudah memperingatkan: jika identitasnya terbongkar, tak ada yang bisa menjamin ia tidak akan membantai siswa-siswanya.
“Gila… aku memang gila. Bagaimana bisa aku termakan bujukannya…”
Nabi Rose memijit dahi.
Setelah memukuli Zarodine selama lima menit, ia akhirnya mengakui bahwa tidak ada solusi lain.
Tubuh remaja itu kini mengenakan seragam jurusan bela diri Phileon.
‘Sial… bagian bawahnya terlalu kosong.’
Untuk pertama kalinya dalam hidup, Nabi Rose merasakan malu.
‘Kenapa Suna ingin memakai baju seperti ini, sungguh…’
Beberapa siswa yang melirik-lirik padanya menjadi bukti nyata.
“Siapa dia? Baru lihat.”
“Katanya sepupu jauh dari Instructor Nabi Rose. Mirip banget, kupikir itu anaknya! Terus… ya ampun.”
“Memang aura orang selatan beda ya… cantik juga. Harus coba deh ajak kenalan, kata hyung, cewek dari kampung gampang ditaklukkan.”
Nabi Rose menghela napas panjang.
Walau bersekolah di akademi ternama, laki-laki tetaplah laki-laki.
‘Beruntung kalian… kalau aku sedang jadi guru, sudah kucabut kalian dari sekolah.’
Baru ketika mereka sedang menentukan siapa yang akan maju menggunakan gunting-batu-kertas—
Nabi Rose menoleh sedikit.
Ia melepas secuil killing intent.
“히이이익!! A-Apa itu?!”
“Tubuhku… tidak bisa bergerak…! Eh?! Kau ngompol!!”
“Apa yang—?!”
Itu hanya killing intent sangat lemah, tapi efeknya luar biasa.
Ketiga anak lelaki itu seketika lumpuh.
Otot-otot mereka melemas begitu saja, tak mampu menahan apa pun.
“Kyaaaaaa!! Pergi sana dasar tukang ngompol!”
“Tunggu, Fenny! Itu bukan aku—!”
“Kau masih ngompol sekarang juga!! Mana mungkin bukan kamu! Menjauh sana!!”
Para siswa di sekitar berteriak dan kabur.
Tiga anak yang panik mencoba membela diri, tapi airnya justru makin deras.
Merasa tatapan mengarah padanya, Nabi Rose berbalik.
Baren, yang menyaksikan semua proses itu, memandangnya dengan wajah pucat.
“K–k–Instructor…?”
“Shh.”
Nabi Rose meletakkan jari telunjuk ke bibirnya.
Isyarat: anggap saja tidak terjadi apa-apa.
Melihat itu, Nabi Rose tak bisa menahan tawa kecil.
“…Apa yang kulakukan dengan bocah-bocah ini.”
Apa karena tubuhnya muda, pikirannya ikut berubah?
Ini tindakan kekanak-kanakan yang tak akan ia lakukan biasanya.
Tidak lama kemudian, airship dengan seluruh siswa menatap sayap anginnya dan lepas landas.
Perjalanan studi pertamanya—dan terakhir dalam hidupnya—pun dimulai.
“Sudah lama sekali… Kota Para Naga.”
Nabi Rose berbisik.
Ini pertama kalinya ia mengunjungi kota itu sejak perang berakhir.
Ia berdiri di dek airship, memandangi Adren yang semakin dekat.
Seperti pulau raksasa melayang di atas lautan awan bergelombang.
‘Indah juga.’
Bahkan bagi Nabi Rose yang telah berkelana ke seluruh penjuru dunia, pemandangan ini layak disebut istimewa.
Sinar bulan purnama memandikan awan, memantulkan cahaya ke tubuh airship.
Angin bertiup dengan pas—cukup kencang untuk menyegarkan. Aroma laut samar-samar ikut terbawa.
Ia menyandar ke pagar dek.
Jika sendirian, mungkin sudah membuka atasan dan menyalakan pipa tembakau.
Dalam perasaan tak puas itu, ia meraba-raba pipa di saku—namun—
“Hey, kamu. Tidak ada teman makan?”
“Hm?”
Ia menoleh—dan matanya langsung melebar.
Seorang anak lelaki berdiri di belakangnya.
Suara tenang, tubuh kecil tapi kuat. Di tangannya, sebuah kotak makan.
Nabi Rose mengerutkan dahi.
“Lanse.”
“Hah? Kamu kenal aku?”
Lanse memiringkan kepala.
Ia hanya dengar ada murid pindahan, jadi tidak mengerti kenapa gadis ini tahu namanya.
Tentu saja Nabi Rose tahu.
Ia adalah anak Ronan. Dan juga muridnya sendiri.
Tapi ia tidak boleh ketahuan, maka Nabi Rose menjawab pendek.
“Kurang lebih. Dengar dari… tanteku.”
“Ahh, jadi rumor itu benar? Kamu sepupu Instructor Nabi Rose. Mirip banget, kupikir anaknya. Pantesan… aura kamu beda.”
“Ada urusan apa.”
“Suaramu juga mirip… ehm, bukan apa-apa. Mau makan bareng? Dari tadi kamu sendirian.”
Benar juga. Sudah hampir waktu makan malam.
Lanse menunjuk ke belakangnya.
Di bawah tiang utama, seorang gadis berambut merah sedang duduk dengan pose malas.
Putri dari Aselle dan Marja.
Melihat Nabi Rose, Sechika mengerutkan alis.
“Siapa lagi itu?”
Fisiknya… luar biasa. Dari wajah sampai postur tidak biasa.
Ia menggeram penuh kecurigaan.
Lanse mendekat sambil menenangkan.
“Sechika, kamu sakit? Tadi di toilet belum selesai ya?”
“Diam, bodoh! Jangan bilang yang begituan di depan orang!”
“Hei! Kenapa teriak… kalau sakit perut bilang, aku punya obat—”
“KYAAAAA!”
Sechika melempar sendok menggunakan telekinesis.
Sendok itu nyaris mengenai telinga Lanse.
Melihat itu, Nabi Rose terkekeh kecil.
Ia tahu persis hubungan dua bocah ini.
Lanse menggaruk kepala.
“Maaf ya. Dia biasanya nggak begini.”
“Tidak apa. Lucu kok.”
“Terima kasih sudah memaklumi. Kamu sudah dengar nama Sechika kan? Kalau mau aku—”
“Hey! Lanse!”
Suara dari buritan.
Dua anak lelaki memanggil Lanse.
Wajah mereka tampak tegang.
Lanse menatap mereka, lalu menatap Nabi Rose dan Sechika bergantian.
“Ehm… maaf. Aku harus pergi sebentar. Kalian makan duluan? Aku cepat balik.”
“Tidak apa.”
“Baik. Ngomong-ngomong, kamu belum bilang namamu.”
“Panggil saja aku… Naro.”
“Baik. Sampai nanti, Naro!”
Lanse pun pergi.
Nabi Rose menggumam.
Nama spontan itu… lumayan juga.
“E–eh? Tiba-tiba….”
Keheningan awkward menyelimuti.
Dengan canggung, Sechika akhirnya membuka mulut.
“Haah… ya sudah. Hei, jangan cuma berdiri. Sini.”
Nabi Rose duduk.
Melihat ia tak membawa makanan, Sechika membuka bekalnya.
Isinya cukup untuk dua orang.
“Nggak bawa bekal? Makan bareng. Aku Sechika. Sechika Caravel.”
Kebanyakan isinya daging—jelas buatan Marja.
Melihat bekal itu, Nabi Rose mendecak kecil… lalu tersenyum tipis.
Anak ini, meski garang, hatinya lembut seperti ibunya.
Mungkin… sedikit menyenangkan juga menggodanya.
Ia mengambil sepotong gorengan daging dan berkata pelan:
“Tenang. Aku tidak tertarik pada pacarmu.”
“—AAPA?!”
Sechika menyemburkan teh barley.
Ia batuk keras sampai wajah memerah.
Setelah menenangkan diri, ia berteriak:
“Kamu ngomong apa sih! Kami nggak… begituan!”
“Aku lebih suka lelaki yang tampangnya jauh lebih bandel. Tapi si Lanse itu benar-benar sama dengan ayahnya. Kupikir, bahkan kalau bola matanya tumbuh di bokong pun akan lebih peka dari dia.”
Nabi Rose mendengus.
Siapa pun bisa lihat Sechika menyukai Lanse.
Tapi bocah itu… persis Ronan—tak tahu apa-apa soal hati perempuan.
Lalu Nabi Rose menyentil pinggang Sechika.
“Hei. Sini. Aku kasih tahu hal bagus.”
“Ah—ngh?!”
Tubuh Sechika menegang.
Seperti aliran listrik lembut, sensasi hangat menjalar ke seluruh tubuh.
Ia memegang mulutnya, takut suara aneh keluar lagi.
“N–ngapain kamu?! Orang-orang lihat sekarang!”
“Itu namanya titik mana—mana-hyeol. Tubuhmu pasti lebih enteng sekarang.”
Sechika membelalakkan mata.
Benar… ketegangan yang ia rasakan hilang.
Nabi Rose tersenyum kecil.
“Nanti kuberi tahu tempatnya. Sesekali pijatkan ke Lanse. Bagus buat tubuhnya. Dan… bisa buat pegang-pegang dia tanpa mencurigakan. Kesempatan bagus, kan?”
“Kamu… kamu ini…!!”
Sechika hanya bisa ternganga.
Belum pernah dalam hidupnya bertemu seseorang seperti ini.
Muncul tiba-tiba, memberi saran soal cinta, bahkan mengajarkan teknik skinship.
Setelah hening sejenak—
Sechika menggenggam tangan Nabi Rose.
“Kamu baik! Ayo berteman!”
“Berteman?”
“Iya! Aku butuh teman seperti kamu! Yang blak-blakan dan tahu cara menghadapi masalah nyata!”
Nabi Rose hanya bisa menatapnya.
Begitu… murni dan polos.
Dan sedikit menyebalkan.
Ia tertawa kecil.
Jika kau tahu siapa aku sebenarnya, kau pingsan, Nak.
Sechika bingung karena jawaban belum keluar.
“Tidak mau?”
“…Bukan. Baik. Berteman.”
“Yay! Kalau kamu punya gebetan dari kelas sihir, bilang ya! Memang mereka kurus-kurus, tapi sesekali ada yang manis!”
“Akan kuingat.”
Nabi Rose mengangguk dan berdiri.
Telinganya—lebih tepatnya insting pembunuhnya—menangkap sesuatu.
Pembicaraan yang tidak boleh ia abaikan.
Dan salah satu suara itu milik Lanse.
Nabi Rose menyipit.
“…Apa lagi yang sedang direncanakan bocah-bocah ini.”
Side Story 21. Musim Semi Biru Untukmu (3)
Saat Lanse tiba di bagian buritan airship, para anggota kelompok itu sudah berkumpul.
Lanse melongok ke sekeliling, lalu bertanya hati-hati.
“Jadi… kita benar-benar tidak bisa bertemu Nabarudoje-nim?”
“Ya. Pasti.”
Mendengar pertanyaannya, dua anak lelaki itu mengangguk bersamaan.
Wajah mereka tegang seperti orang yang hendak berangkat perang.
Sambil mengawasi sekitar seperti meerkat, Willump berbisik:
“Aku menguping para profesor di koridor. Mereka bilang karena suatu alasan, audiensi dibatalkan. Sialan!”
“Haa… kupikir informasinya salah.”
Lanse menghela napas dalam-dalam.
Sensen, yang melihat keraguan itu, mendesaknya.
“Lanse. Kenapa masih ragu? Kesempatan seperti ini tidak akan datang dua kali.”
“Benar! Kau pikir kita bakal bisa datang ke Adren lagi? Kamu mungkin bisa, tapi kami? Ini pertama dan terakhir!”
Itu bukan paksaan—melainkan permohonan putus asa.
Hanya Lanse—darah daging Ronan—yang punya peluang datang lagi ke kota naga ini.
“Lanse… tidak, Lanse-hyung. Kumohon!”
Akhirnya Willump memegangi ujung celana Lanse, sementara Sensen berlutut dan membungkuk berulang kali.
Bahkan orang yang tersesat di gurun dan menemukan air tak akan terlihat lebih putus asa dari mereka.
Melihat teman-temannya seperti itu, Lanse akhirnya memejam kuat-kuat.
“...Baiklah, baik. Tapi lepaskan dulu.”
“Seperti yang diharapkan! Memang Lanse-lah yang terbaik!”
“Putra sang pahlawan!”
Dengan serta-merta wajah kedua bocah itu cerah seperti matahari terbit.
Mereka terlalu terharu sampai membuat Lanse sendiri bingung.
Meski sebenarnya, dialah satu-satunya yang paling bersemangat dengan misi ini.
“Jadi, kalian sudah bawa semua perlengkapannya, kan?”
“Tentu saja. Lihat ini.”
Willump menyeringai dan mengeluarkan sebuah alat kecil dari saku dalam jaketnya.
Sebuah kotak logam mungil seukuran telapak tangan, dengan lensa kristal bulat di depan.
“Kamera ultra-ringan pesanan khusus dari bengkel Didikan. Super ringan, tak bersuara, jadi tidak mungkin ketahuan. Keren, kan?”
“Hanya memastikan… kau tidak memakainya untuk hal-hal mencurigakan seperti mengintip, kan?”
“Ya ampun! Kau pikir aku siapa? Ini dibuat khusus untuk hari ini! Satu-satunya subjek foto yang layak ada di dalamnya hanya ‘Ibu Api’!”
Dia menggeram sambil merapikan kacamatanya—tanda ia sedang sangat serius.
Lanse buru-buru menenangkan.
“Maaf. Aku menarik kata-kataku.”
“Betul. Jangan meremehkanku. Aku masih ingat foto di rumahmu waktu aku main. Nabarudoje berdiri di samping Ronan—itu… sungguh… luar biasa.”
Sensen ikut mengangguk dengan mata berbinar.
Kalau orang lain melihat ini, mungkin akan menyuruh mereka “hidup saja tidak usah susah-susah”—tapi Lanse tak bisa berkata begitu.
Ia sendiri memimpikan hal yang sama.
Lanse mengatur nafas.
“Baik. Rencananya begini: Pertama, kita akan menyelinap masuk ke Istana Api di pusat kota. Kita akan gunakan lorong rahasia, jadi tinggal bagaimana kita menipu profesor dan teman-teman lain.”
“Informasinya pasti, kan? Bukannya aku meragukan Ronan-nim, tapi…”
“Ayahku bilang itu sambil mabuk, jadi pasti benar. Setelah masuk, kita langsung minum potion tembus pandang. Sensen, kau bawa Scroll Penghalang Persepsi, kan?”
“Jelas.”
Sensen mengeluarkan tiga gulungan tebal berlapis sigil.
Scroll keluaran rumah Akalucia—setara enam bulan uang saku—dan mampu membuat bahkan naga mengabaikan keberadaan target.
“Bagus. Efeknya sebentar, jadi jangan pakai sampai aku beri aba-aba. Idealnya, kita aktifkan pas mau foto, lalu bertahan sampai kita keluar dari istana. Dan… kalian ingat detail pentingnya, kan?”
“Ya. Kalau ketahuan, langsung menyerahkan diri di hadapan Nabarudoje-nim.”
“Betul. Kemungkinan besar beliau akan memaafkan. Kalau gagal memotret, itu jadi kesempatan kedua. Angkat kamera dan bilang ingin sekali foto bersama beliau, dengan penuh hormat… beliau tidak akan menolak.”
“Luar biasa… benar-benar keturunan pahlawan!”
Willump dan Sensen terpukau.
Wajah imut Lanse sama sekali tidak mencerminkan otak kriminal berbakat yang sedang menyusun operasi tingkat tinggi itu.
Tapi kemudian Lanse mengingat sebuah ancaman nyata.
‘Selama Sechica tidak tahu….’
Tubuhnya bergetar hanya membayangkannya.
Kalau rencana ini bocor pada Sechica, dia pasti akan:
-
Menghajar mereka bertiga sampai setengah mati, lalu
-
Memandang Lanse seperti melihat serangga.
Lanse masih menahan nafas saat—
“Menarik. Kudengar nama Nabarudoje, jadi kubilang… apa lagi rencana konyol kalian?”
“Si… siapa?!”
Sebuah suara familiar menggema dari atas kepala mereka.
Anak laki-laki itu mendongak—dan membeku.
Di atas atap kabin, duduk seorang gadis berkulit keemasan.
“N-Naro? Bagaimana kau sampai sini…?!”
“Aku dengar semuanya, dasar monyet.”
Naro—yaitu Nabiloje yang sudah menjadi remaja—turun dengan ringan ke balkon sempit itu.
Mendarat tanpa suara, setenang kucing.
Menatap bocah-bocah itu, ia menghela panjang.
“Susah betul paham isi kepala pejantan. Jauh-jauh ke Adren, dan yang kalian pikirkan cuma mengintip dada seseorang… Untuk pertama kalinya aku menyesal jadi pendidik.”
“Itu bukan dada! Itu… kantong api!”
Tiba-tiba Willump maju maju sambil menunjuk dada Naro—dengan wajah layaknya martir yang menentang tirani.
Naro mendengus.
“Apa katamu?”
“Kami tidak mengintip! Kami ingin mengabadikan kecantikan tanpa banding dari Ibu Api dalam sejarah! Dasar gurun tandus! Kau tidak mengerti apa-apa!”
Jarimu menuding ke siapa tadi? Ke payudaraku?
Alis Naro berkedut keras.
“...Gurun tandus?”
“Ya! Meski kau percaya diri, kau bukan tandingan Ibu Api! Tiba-tiba muncul dari mana pun, tapi perempuan sepertimu jangan menghalangi impian lelaki!”
“Kalau umurmu panjang, kau akan tahu itu baru saja menodongkan lehermu ke harimau…”
Naro memutar lehernya.
“Baiklah. Kau berani, jadi kukasih kesempatan. Bubarkan rencana ini.”
“Tidak! Kau mengancam kami? Demi kehormatan laki-laki, kau harus bersumpah bungkam dulu! Jangan kira aku takut! Aku tidak peduli kau keponakan Nabiloje-gyogwan-nim atau apa!”
Naro tertawa pendek.
“Belajar juga seserius itu, Willump.”
“Eh? Kau tahu nama—”
“Tidak ada sumpah. Dan anggap ini hukuman pengganti.”
Willump belum sempat protes—
SRAK!
Naro menghilang, lalu muncul di belakangnya.
Suara pukulan bersih terdengar, dan mata Willump berputar sebelum ia tumbang.
“Ke…Keurgh!”
Namun sebelum tubuhnya menghantam lantai, Naro sudah menangkapnya.
Sensen memekik.
“Willump! A-apa yang kau—”
Dia bahkan tidak sempat selesai berteriak ketika melihat Naro “menyatu” lalu menendang belakang kakinya.
“Ng—?!”
BRAK!
Sensen terjerembap lurus ke depan.
“Benar-benar…”
Naro mengecilkan mata.
‘Apa yang sedang kulakukan dengan hidupku.’
Naro tinggal menyeret tulang rusuk Lanse saja untuk melengkapinya, tapi ia menahan diri.
Selain karena urusan Nabarudoje yang mendesak, ia juga sedang memikirkan cara masuk ke istana.
Naro meletakkan Sensen di lantai dan memeriksa dua bocah itu.
Lalu menatap Lanse.
“Lanse.”
“A…apa?”
“Hanya ada satu cara untuk menjaga ini tetap rahasia.”
“Ca…cara apa?”
“Kau bawa aku.”
“...Apa?”
Lanse bahkan lupa bernapas.
Naro sudah mengumpulkan barang-barang milik Willump dan Sensen.
Naro merobek sebuah scroll.
Syaaa…
Kabut halus muncul dan meresap ke hidung kedua bocah yang pingsan itu.
Ia bergumam:
“Untung mereka beli yang mahal. Memory wipe dan tidur dalam satu paket. Bagus.”
Ia berdiri dan memandang Lanse.
“Jadi? Kenapa kau belum menjawab? Apa kau tak mau?”
“Aku… tidak mengerti. Kenapa kau mau pergi? Itu berbahaya sekali…”
“Mendengar itu dari orang yang berniat melakukan photoshoot ilegal di Istana Api sungguh menjijikkan.”
“T-tidak, itu…”
Wajah Lanse merah padam.
Sekurang-kurangnya ia tahu malu.
Naro menatap wajah Lanse—yang lebih mirip Ronan muda daripada cerminan Ronan sendiri sekarang.
“Benar. Kau memang mirip Ronan. Mengejutkan.”
“K-kau kenal ayahku?”
“Tentu saja. Dan aku juga paham preferensi yang menurun secara genetis. Hah… pada akhirnya, kalian memang hanya suka yang besar.”
“Ha…?”
Naro tidak menjelaskan.
“AAAGH! Sakit! Kenapa?!!”
“Diam. Airship sebentar lagi mendarat. Ikuti aku.”
“LEPASKAN! TELINGAKU!”
“Enak juga. Bakatnya turun rupanya.”
Ia terus menyeret Lanse yang menjerit-jerit, kembali menuju geladak utama.
Di bawah cahaya bulan penuh, kota naga yang melayang di langit itu sudah berada tepat di depan mata mereka.
Adren—mereka akhirnya tiba.
Side Story 22. Musim Semi Biru Untukmu (4)
Bulan purnama bersinar terang.
Karena berada di ketinggian, bintang-bintang tampak jauh lebih jelas.
Airship yang berlabuh di dermaga Adren menutup sayap-layarnya dan beristirahat sunyi di malam pekat.
“Fiuh, akhirnya selesai. Kalian semua sudah bekerja keras.”
Baren mengusap keringat di dahinya.
Ia baru saja menyelesaikan pemeriksaan jumlah murid setelah proses imigrasi.
Proses masuk ke Adren memakan waktu lebih dari satu jam.
Jumlah orang yang banyak adalah satu hal, tapi masalah utamanya adalah — petugasnya sangat teliti.
Petugas yang tampak seperti kakek berambut putih membuka mulut.
“Tidak ada masalah. Jangan menimbulkan keributan besar, hanya itu.”
Itu adalah White Dragon Banartie.
Masih hidup setelah perang terakhir, dan tetap menjaga gerbang Adren seperti dulu.
Baren menepuk dadanya dua kali.
“Jangan khawatir. Jika terjadi sesuatu, saya bertanggung jawab penuh.”
“Hmm. Murid dari tiga orang itu tidak mungkin menimbulkan masalah. Aku percaya padamu.”
Yang dia maksud dengan tiga orang adalah Ronan, Aselle, dan Schlippen.
Ia masih mengingat dengan jelas hari ketika Adren hampir hancur.
Mendengar nama ketiga murid kesayangannya, Baren tersenyum bangga.
“Betul, saya juga begitu—”
“K-KYAAAAAAH!!! T-Tolong!!!”
Bulu surainya berdiri tegak.
Suara ketakutan itu tidak terdengar seperti lelucon.
Dalam sekejap, kilatan aura emas membungkus pahanya.
“자, 자네…!”
Banartie belum sempat bicara lagi.
Hampir 500 meter yang memisahkan mereka langsung terpangkas.
BOOM!!!
Ia mendarat di depan para murid dan menggeram.
“Semua! Apa yang terjadi?!”
“P-Profesor… d-di belakang!”
Para murid, ketakutan, menunjuk ke belakangnya.
Baren menoleh — dan matanya hampir keluar.
“Kau adalah…”
Ada sesuatu yang familiar pada sosok itu.
Menyadarinya, Baren menghela napas panjang.
“Haah… Naran Sonia-nim. Hampir saja saya mati jantungan.”
【Kau juga datang tahun ini ya, Baren. Aku hanya ingin menyapa, kenapa reaksimu berlebihan begitu?】
“Tidak apa-apa untuk saya, tapi para murid jelas bisa kaget. Orang biasa tidak setiap hari melihat naga. Paling tidak, jika Anda mendarat sedikit lebih jauh…”
Aura yang membungkus pahanya memudar.
Dari cahaya itu muncul sosok seorang wanita berseragam.
Rambutnya yang berwarna abu menyerupai sisik berkilau ditiup angin malam.
“Kalau dipikir-pikir… benar juga. Maaf.”
“Tidak, itu salah saya karena tidak memberi pemberitahuan pada murid-murid.”
“Biasanya aku datang dalam wujud manusia, tapi sekarang tidak bisa. Aku sedang berjaga karena Istana Api. Saat ini… waktunya cukup penting.”
“Waktu penting… maksud Anda?”
Baren mengernyit, tapi Naran Sonia menggeleng.
Ia tak bisa menjelaskan lebih jauh.
Baren, yang peka terhadap situasi seperti ini, tidak memaksa.
“Saya mengerti. Urusan dalam Istana Api memang selalu bersifat rahasia.”
“Terima kasih. Sebagai gantinya… bukan tebusan, tapi aku yang akan menjadi pemandu kota hari ini.”
“Eh? T-Tidak perlu sampai begitu—!”
Tawaran yang terlalu berat untuk ditolak.
Tapi Naran Sonia tidak menunggu ia menyelesaikan kalimatnya.
【Selamat datang, para fana sekalian.】
“Hi… hiik?!”
【Aku Naran Sonia, pelayan Ibu Api dan Raja Naga. Selama kalian berada di Adren, akulah yang akan memandu kalian. Tolong jaga kerja samanya.】
Dan ia berbicara dengan suara naga, bukan suara manusia.
Para murid langsung membeku di tempat.
“Na-Naran Sonia… bukankah dia naga yang ikut dalam perang terakhir?”
“Kenapa tokoh sebesar itu yang memandu kita…?”
Bahkan Baren pun terdiam.
Ini sama saja seperti seorang menteri negara menjadi tour guide murid-murid SMP.
Melihat mereka kebingungan, Naran Sonia tersenyum tipis.
【Tak perlu canggung. Ini hanya rasa terima kasih. Selama ini aku terlalu sibuk untuk memandu, tapi aku menyukai para pelajar Filreon.】
Senyum yang jarang ia perlihatkan.
Dan alasannya memang logis.
Semuanya berasal dari akademi yang sama.
Naran Sonia melanjutkan.
【Aku sudah meninjau jadwal kalian. Kalian pasti lapar, jadi pertama kita menuju restoran Alibrehe. Tempat di mana Ronan dan Marong Orse bertemu. Dulu hanya kedai kecil, tapi setelah hancur dalam pertempuran, bangunannya direnovasi menjadi restoran.
Lalu, setelah makan, kita menuju Alun-alun Aselle…】
Ia menjelaskan seluruh rute wisata.
Ia bahkan menjelaskan seperti pemandu profesional.
Sikapnya yang lembut secara perlahan meluruhkan ketegangan murid-murid.
Pada akhir penjelasan, seorang murid mengangkat tangan.
“Um… Naran Sonia-nim, boleh tanya sesuatu?”
【Tentu.】
“Terima kasih. Kapan kami bisa menghadap Nabarudoje-nim? Kami sangat ingin bertemu…”
Sejenak wajah Naran Sonia mengeras.
Ia menatap gadis itu lama sebelum menjawab.
【Kau… putri Archmage Aselle, ya?】
“Ah—ketahuan. Hehe, benar.”
【Waktu berjalan begitu cepat… sayangnya, audiensi tidak memungkinkan.】
“Eh?”
Mata Sechica membelalak.
Dan tiba-tiba—dibatalkan?
Lapangan murid langsung gempar.
Baren buru-buru maju.
“A-Ah, maaf. Saya harus menjelaskannya lebih dulu… Ibu Api tidak bisa menerima tamu karena urusan pribadi.”
“Jadi… selama satu minggu penuh… tidak bisa bertemu sama sekali?”
“...Ya. Sayangnya begitu.”
“Tidak mungkin…”
Sechica merosot kecewa.
Tiba-tiba—
【Maafkan aku. Ayahmu menyelamatkan Adren. Kami berutang besar pada keluarga kalian.】
“N-Naran Sonia-nim?! Kapan Anda—”
Sechica terperanjat.
Naran Sonia, yang sebelumnya jauh, kini berdiri tepat di sampingnya.
【Benar-benar mirip. Garis darah memang menakutkan.】
“Umm… Anda sangat mengenal Ayah?”
【Tentu. Aku bersama Archmage ketika ia menghentikan jatuhnya Adren. Dan anak itu… sekarang sudah punya putri. Waktu fana memang cepat berlalu.】
Ia masih bisa mengingat hari itu.
Kalau bukan karena Aselle, Adren sudah tenggelam di dasar lautan.
Naran Sonia mengelus kepala Sechica lembut.
【Untuk permintaan maaf… jika kau mau, aku akan mencoba meminta waktu audiensi pada Raja Naga. Tidak tahu apakah beliau senggang, tapi…】
“A-Ah! Tidak perlu! Benar-benar tidak perlu! Saya baik-baik saja!”
“Ah, Lanse? Tunggu sebentar, saya panggil—”
Wajah Sechica langsung cerah.
Ia sebenarnya sudah ingin mencari alasan menghabiskan waktu berdua dengan Lanse.
Mungkin… mengajak melihat Raja Naga…?
Namun saat matanya menyapu kerumunan—
“…Hah? Di mana dia?”
【Ada masalah?】
“Tidak, cuma… barusan dia masih di sini…”
Sechica memejam mata.
Ia jelas ikut turun dari airship dan melewati imigrasi.
Dan sekarang—
Lenyap.
Sekaligus… si teman baru bernama Naro pun tidak terlihat.
“…Jangan bilang—”
Ada dua orang yang hilang.
Sebuah skenario buruk menyelinap di kepalanya.
Ucapan Naro berbisik di telinganya:
— Tenang saja. Aku tidak tertarik dengan pacarmu.
Sechica menggigit bibir bawahnya.
“…Tidak. Tidak mungkin.”
“Ini benar tempatnya?”
“Ya. Kalau bukan tempat ini, Ayah bilang itu mustahil.”
Lanse mengangguk.
Nabiloje—dalam tubuh remajanya—mengikutinya dengan wajah tidak puas, tapi tetap berjalan.
Jika Ronan mabuk dan berkata demikian, itu pasti benar.
Lanse menatap sekeliling dengan kagum.
“Ini gila. Tempat sebesar ini… cuma saluran pembuangan? Ras naga benar-benar berbeda sejak lahir.”
Mereka kini menyusuri selokan bawah Adren.
Bau logam dan air busuk menusuk hidung.
Sebaris aliran air sebesar kanal membelah tengah lorong.
Sedikit suara keras saja bergema jauh, jadi mereka bicara nyaris berbisik.
Ini adalah jalur yang dulu digunakan Ronan, kawan-kawannya, dan Orse untuk menyelinap ke menara langit.
“Untuk jaga-jaga, minum potion tembus pandang dulu. Mungkin saja ada penjaga atau gelandangan.”
“Baik.”
Mereka menenggak potion itu.
Tubuh mereka menghilang perlahan sampai tak terlihat sepenuhnya.
Namun keduanya tetap dapat saling merasakan keberadaan.
Lanse punya insting tajam, meski jauh di bawah Nabiloje.
Nabiloje mendecak.
“Kalian benar-benar mempersiapkan ini. Sayang sekali tidak belajar seantusias ini.”
“Ahaha… iya, maaf.”
“Aku bicara tentang dua bocah itu. Kau cukup rajin.”
“Heh? Kok kau tahu—”
Nabiloje menutup mulut.
Ia lupa dirinya sedang berpura-pura menjadi orang asing.
Sial. Harus diperbaiki.
“…Bibimu sering membicarakanmu. Katanya kau salah satu murid yang paling bisa diandalkan.”
“Apa?! Benar?!”
“Suaramu.”
“Mi-mian. Aku terlalu senang… Jadi benar, Nabiloje gyogwan-nim benar-benar memujiku?”
Lanse berbinar seperti anak anjing.
Nabiloje akhirnya menjawab lirih.
“Ya. Dia memujimu.”
“Wooaah… luar biasa. Aku pikir sampai lulus pun aku tidak akan dengar itu. Kupikir beliau tidak suka padaku…”
“…Tidak suka? Omong kosong apa itu.”
“Karena aku anak Ronan dan Adeshan… dan beliau adalah guru mereka berdua. Kupikir tak peduli seberapa keras aku berusaha, aku tidak akan mencapai standar beliau.”
Nabiloje terdiam sebentar.
Lalu tertawa pendek.
“Hah. Aneh betul.”
“Hm?”
“Dengar baik-baik, Lanse. Alasan dia jarang memuji adalah agar kau tidak besar kepala. Jujur saja, dia menilaimu cukup tinggi.”
“Ak—aku?”
“Slip. Yang kukatakan, Beliau.”
“Kau, apa adanya, sudah hebat. Ronan dan Adeshan memang luar biasa, tapi kau tak perlu merasa minder. Jika terus seperti ini… kau bisa mencapai tingkat mereka. Mungkin lebih tinggi.”
“G… gyogwan-nim bilang begitu?”
“Ya. Jangan ragu lagi. Terus maju. Nabiloje gyogwan-nim… percaya padamu.”
“…Terima kasih, Naro.”
Lanse mengendus kecil.
“Aku harus lebih keras berlatih. Kalau gyogwan-nim percaya padaku… mana boleh aku mengecewakan.”
“Hmph. Jelas. Kalau kau lengah karena ini, aku bilang ke beliau.”
Nabiloje tersenyum kecil.
“Ngomong-ngomong… kenapa laki-laki begitu suka dada besar? Hanya gumpalan lemak yang mengganggu.”
“Itu… rumit. Haruskah kita bahas sekarang?”
“Lupakan. Pasti ada yang tidak kupahami. Andai ukuranku tetap seperti sebelumnya, pasti tidak merepotkan…”
Mereka terus berjalan sambil berbicara macam-macam.
Semakin dekat ke Istana Api, semakin pekat mananya.
Dan—
“Berhenti.”
Nabiloje menarik tengkuk Lanse.
Lanse hampir menjerit.
“K-Kenapa?!”
“Ada orang di depan. Banyak.”
“Apa?”
Ia memusatkan pendengaran.
Benar. Ada suara-suara.
Nabiloje menatap sudut lorong dengan wajah gelap.
“…Sial sekali.”
Suara yang terdengar bukan sekadar percakapan biasa.
Nama yang mereka percakapkan adalah—
Nabarudoje.
Side Story 23. Musim Semi Biru Untukmu (5)
“Pe–peledak?”
“Diam. Rendahkan suara.”
Nabiloje menegurnya.
Lanse buru-buru menutup mulutnya.
Untung besar mereka belum ketahuan.
Keberadaan para penyusup masih terasa di balik tikungan.
“Haa… maaf. Terlalu tiba-tiba.”
“Kita benar-benar terseret masalah menyebalkan.”
Nabiloje mengklik lidahnya.
Pendengarannya yang setajam binatang memisahkan sempurna suara air dan percakapan orang-orang itu.
Perkiraan jumlah: lima orang.
Tujuannya: menyamar sebagai utusan Kekaisaran dan memasang bom di dalam Istana Api.
Pantas saja ada yang janggal. Jadi beliau sedang berganti kulit.
Ia akhirnya mengetahui alasan Nabarudoje membatalkan audiensi.
Naga, seperti reptil, harus melalui proses pergantian kulit secara berkala, dan kebetulan waktunya jatuh pada hari ini.
Tidak ada kesempatan yang lebih sempurna bagi para penyusup.
Selama satu hari sampai dua minggu, naga yang sedang berganti kulit berada dalam kondisi hampir seperti tidur—hampir sepenuhnya tanpa pertahanan.
Namun, rencana itu tetap bodoh.
Naga bukan idiot; mereka punya protokol keamanan untuk masa pergantian kulit.
Belum lagi ini adalah Adren—rumah para naga.
Dan target mereka?
Ibu Api Nabarudoje.
Terlalu konyol.
Terlalu nekat.
Jadi… kenapa tetap memaksakannya?
Lanse menggertakkan gigi.
“Bajingan… Mereka tega setelah ras naga membuka hati pada manusia.”
“Oh? Kau sudah sadar?”
Nabiloje tersenyum tipis.
Sepertinya murid cerdas ini sudah memahami maksud para penyusup.
“Kekuatan bomnya bukan masalah. Yang penting adalah… tercatat bahwa seseorang dari Kekaisaran—tidak, manusia—melakukan teror di Istana Api. Sekalipun tidak ada korban, hubungan diplomatik pasti hancur.”
“Tepat sekali.”
Nabiloje mengangguk.
Wawasannya memang tidak sesuai usianya.
Bagian itu jelas diturunkan dari ibunya, Adeshan.
“Aku mempelajarinya di pelajaran sejarah. Istana Api itu dibangun di atas reruntuhan Menara Langit. Itu jadi simbol perdamaian, bukti bahwa dunia pulih setelah perang melawan Nebula Clazier. Kalau ada ledakan di tempat seperti itu…”
“Ya. Hubungan tidak langsung runtuh, tapi suasana akan membeku.”
“Aku… tidak akan pernah memaafkan mereka.”
Lanse benar-benar marah.
Ia memang lahir setelah perang berakhir, tapi ia sangat tahu bagaimana dunia sampai bisa damai hari ini.
Sejak masih merangkak, ia dibesarkan dengan kisah Ronan dan Adeshan sebagai pengantar tidur.
Lanse mengeluarkan scroll penghalang-persepsi.
“Naro. Gunakan ini dan kembali lewat jalur tadi.”
“Hmm?”
“Karena sudah tembus pandang, tidak akan ada yang melihatmu. Segera pergi dan laporkan ini. Aku akan menahan mereka sebisanya.”
Suaranya getir. Penuh tekad.
Wajahnya—meski tak terlihat—pasti sama seriusnya.
Apa barusan anak ini membalikkan perintah padaku?
Nabiloje memandangnya, bengong sejenak.
Lalu mendengus.
“Tidak masuk akal. Tapi baiklah, terima niat baikmu.”
“Apa?”
Saat Lanse menoleh—
KWAAJIK!!
Sebuah pukulan tak terlihat menghantam perutnya.
Rasanya seperti seluruh isi perutnya dihantam ke lantai dari dalam.
Tubuhnya tumbang ke depan.
“Ugh…!”
“Belum pingsan? Memang hebat.”
Nabiloje menggumam kagum.
Sebagai juara angkatan, daya tahannya memang di atas rata-rata.
Lanse memuntahkan sedikit cairan lambung dan bergetar.
“N… Naro… kenapa…”
“Aku mengembalikan ucapannya. Gunakan jalan tadi, dan laporkan ini.”
Scroll menggelinding di depannya.
Langkah kaki Naro terdengar menjauh.
Lanse ingin bangkit, tapi tubuhnya tak patuh.
“N… Naro…!”
“Tenang saja. Hal yang kau bayangkan tidak akan terjadi. Dan…”
Ia berhenti sejenak.
Hati baik anak ini bagus… tapi terlalu dini.
Anak punya peran anak.
Dewasa punya peran dewasa.
Hari ini, ia bersyukur tubuhnya kembali muda.
Jika ia dewasa, ia tak akan berada di sini, dan takkan menemukan rencana pengkhianatan ini.
Para penyusup masih di tempat mereka, membahas detail serangan.
“Menahan bahaya adalah hak orang dewasa.”
Dengan itu, Nabiloje melesat ke depan.
“Hmm?”
“Ada apa?”
“Tidak… seperti ada suara barusan. Atau aku salah dengar?”
Pria berjanggut mengernyit.
Ia merasa seperti mendengar langkah kecil, tapi tidak ada siapapun di arah itu.
Seorang wanita yang memakai pakaian utusan Kekaisaran mengangkat bahunya.
“Mungkin tikus lewat. Siapa yang mau berkeluyuran di tempat kayak gini.”
“Benar juga. Sepertinya aku terlalu tegang.”
“Apa yang ditakutkan? Kalau gugup, ingat saja hari ini. Kita berlatih bertahun-tahun untuk kesempatan ini.”
Wanita itu tertawa kecil.
Percaya diri secara berlebihan, tapi tak seorang pun memprotesnya.
Ia adalah petualang kelas tertinggi yang mendedikasikan sepuluh tahun hidupnya demi hari ini.
Teman-teman yang bersamanya juga petualang kelas atas.
“Ya. Kau benar. Tapi… bagaimana kau menemukan jalur ini?”
“Kerja keras dan keberuntungan. Aku baru tahu setelah tercebur ke danau di sekitar Istana Api. Aku tak menyangka ada lorong langsung menuju lantai pertama.”
“Sempurna. Tempat ideal untuk kabur setelah ledakan.”
“Benar. Dan kita sudah setengah berhasil. Saat Nabarudoje berganti kulit, seluruh penjaga dipindah ke luar.”
Istana Api benar-benar kosong.
Tidak ada penjaga. Tidak ada pejabat. Bahkan Naran Sonia pun berada di luar.
“Dan kita punya senjata rahasia. Kau sudah mempersiapkannya?”
“Tentu saja. Sial… kalau ingat berapa mahal benda ini…”
Pria berjanggut menepuk saku dalam.
Harganya setara rumah bangsawan.
Namun mereka tidak punya pilihan.
Benda itu tak tergantikan.
Wanita itu memeriksa jam dan berbicara serius.
“Mulai sekarang, kita harus fokus. Meski harus mati, kalau misi berhasil, era kita akan kembali.”
“Era pahlawan dan petualang.”
“Ya. Perdamaian hanya membuat dunia membosankan. Jika hubungan manusia dan naga hancur… itu peluru pertama untuk menghancurkan stagnasi. Orang akan kembali membutuhkan kita.”
“Kehehe… bagus begitu.”
Lelaki bermata satu terkekeh.
Semua mengangguk.
Pemberi misi mereka menjanjikan imbalan yang “tak terbayangkan” nilainya.
Dan ia mampu membayar.
Mereka saling menatap.
Wanita pemimpin mengulurkan tangan.
“Baik, mari kita— kuek.”
“Hah?”
Mata wanita itu melotot.
Ujung pedang dingin menembus dadanya.
Melewati jantung, meneteskan darah gelap ke lantai.
“A…pa…?”
Tubuhnya mendingin dengan cepat.
Di bawah pedang itu berpendar aura hijau gelap.
Sebelum ia sempat memuntahkan darah dari tenggorokannya—
SRAAK!
Pedang itu menarik garis serong, merobek tulang dada dan memenggal leher kakek bermata satu.
“Huwaaa—!”
“S-siapa!? Apa yang—!”
Pedang itu melayang… tanpa pemegang.
Kepala lelaki tua itu jatuh ke selokan.
Pedang itu kembali melesat, mengoyak tengkuk orang ketiga.
“….!”
Tak ada waktu untuk menjerit.
Kepalanya terlempar, tubuhnya tumbang tanpa suara.
Akhirnya para penyusup melihat pemilik pedang.
“K-Kau?!”
“Ah. Kelihatan juga.”
Nabiloje mengangkat alis.
Tubuhnya sempat tembus pandang—tapi darah yang berceceran membuatnya terlihat.
Tidak masalah.
Ia membalik pedangnya dan menerjang.
“Dari mana munculnya bocah sialan ini!”
Tinggal dua orang.
Begitu sadar pembantaian itu dilakukan gadis sekecil itu, mereka berteriak dan menyerbu.
“MATI!!!”
Pria botak memegang dua belati dan mengayunkannya ke punggung Nabiloje.
Namun sambil dalam posisi iaido, Nabiloje sedikit memutar bahu dan menebas.
SRRAK!
Cahaya hijau setengah lingkaran.
Tubuh pria itu terbelah dari pinggul ke bahu.
Matanya melotot, lalu—
BEDEBAK!!
Darah dan isi perut meledak keluar seperti petasan.
“H-Hiiiik…!”
Belum semenit pun sejak pembantaian dimulai.
Satu orang tersisa.
Lelaki berjanggut terengah.
Ia mencoba melawan, tapi sudah terlambat.
Saat Nabiloje keluar dari semburan darah dan menebas lagi—
Empat garis hijau melintas.
“H…ah.”
Perasaan di tangan dan kaki menghilang serentak.
Keempat anggota tubuhnya jatuh ke lantai—teriris bersih.
Ia ambruk ke lantai seperti larva serangga.
Rasa sakit datang terlambat—
“AAAAAAAAAAAAAAAHHH!!!”
Jeritan yang membuat bulu kuduk berdiri bergema di terowongan.
Ia menggeliat, menyeret tubuh tanpa lengan dan kaki.
Nabiloje menepuk pedang untuk membuang darahnya, lalu menginjak leher pria itu.
“Tutup mulut.”
“Gyaa—gghh!!”
Tubuhnya membeku.
Ketakutan mengalahkan rasa sakit kehilangan anggota tubuh.
Tatapan Nabiloje seperti seorang koki melihat daging menggelegak di panci.
“Mo… monster…”
“Siapa kalian? Siapa yang menyuruh kalian?”
Ujung pedangnya menyentuh mata kanan pria itu.
Suara Nabiloje tenang. Terlalu tenang.
Pria berjanggut itu gemetar.
“J-jadi… itu…”
“Belum sadar rupanya.”
“GYAAAAA—!!!”
Ia menusuk langsung ke bola mata.
Suara pria itu koyak seperti suara hewan disembelih.
“M-mataku!! Mataku—!!”
“Aku beri tiga detik. Sebutkan nama dalang kalian.”
Pedang itu ditarik keluar, cairan lengket tertinggal di ujungnya.
Ia lalu mengarah ke mata kiri.
Pria itu tak tahan lagi.
“Baik!! Akan kukatakan!! Kami… menerima permintaan dari Kematian Merah!!”
“Kematian Merah?”
Nabiloje mengerutkan kening.
Ia merasa pernah mendengar julukan itu.
Sepertinya dari mulut Ronan… tapi ia tidak ingat detailnya.
Saat hendak menanyai lagi—
“…Suh… hae.”
“Hm?”
Suara lemah berasal dari belakang.
Nabiloje menoleh.
Itu wanita pertama—yang sudah ia potong dada dan lehernya—berusaha bicara sambil mengucapkan kata asing.
Barangkali ia menelan obat penunda kematian.
Di tangannya ada scroll.
“L-laksanakan… misi…”
Nabiloje langsung menebas.
Lima tebasan aura meluncur dalam pola silang.
KWAANG!!
Tubuh wanita itu hancur berkeping-keping bersama satu lagi mayat di belakangnya.
Saat ia kembali menoleh—
“…Sial.”
Pria berjanggut itu menghilang.
Yang tersisa hanya riak aneh—jejak ruang terputus.
Ia dipindahkan dengan scroll ruang.
Keberadaannya terasa samar… di arah atas.
Arah Istana Api.
“Kenapa mereka membuat semuanya repot seperti ini.”
Satu helaan napas panjang.
Ia seharusnya membunuhnya tadi juga.
Meninggalkan saksi hanya menyulitkan pekerjaan.
Nabiloje mulai berlari menuju Istana Api.
Jika seseorang menimbulkan masalah, dialah yang harus menuntaskannya.
Nama yang melayang—Kematian Merah—berputar samar di kepalanya.
Siapa itu…? Kenapa aku sama sekali tidak ingat…
Side Story 24. Musim Semi Biru Untukmu (6)
“Kematian Merah… Kematian Merah, huh.”
Nabiloje bergumam.
Pria berjanggut itu menyebut dalang mereka sebagai Kematian Merah.
Ia jelas pernah mendengar istilah itu dari mulut Ronan suatu ketika… namun ingatannya seperti tersangkut di tenggorokan.
Hampir keluar, tapi tidak.
Sangat menjengkelkan.
‘Sialan. Kalau tahu begini, seharusnya langsung kuhabisi saja.’
Sambil memaksa ingatan muncul, ia berlari membelah saluran air bawah tanah.
Dinding-dinding batu berjamur melesat mundur di sisi-sisinya.
Langkahnya yang ringan seperti burung layang-layang menari di permukaan air.
‘Tubuh ini memang lebih ringan. Jadi Change of Bone, atau apalah itu, benar-benar bekerja.’
Ia jelas merasakan perubahan tubuhnya.
Walau sedang berlari dengan kecepatan penuh, napasnya tetap teratur.
Seolah bobot tubuhnya berkurang setengah.
Hanya kekuatan fisik yang sedikit menurun—konsekuensi tubuhnya yang kembali muda—tapi tidak terlalu buruk.
Kalau tubuhnya lima tahun lebih tua, pasti akan jauh lebih ideal.
Memikirkan itu, ia berhenti.
‘Di sini.’
Ujung lorong buntu.
Di tengahnya terdapat ruang luas sebesar lapangan sepak bola, dikelilingi aliran air.
Dan—
Udara di sini mengandung kepadatan mana yang jauh berbeda dari seluruh jalur sebelumnya.
Ia mendongak.
Lubang selebar lima meter menganga di langit-langit.
Di balik kegelapan jauh di atas—berkelip samar sinar merah.
Cahaya dari Istana Api, jantung Adren.
Nabiloje tersenyum kecil.
‘Huh. Mereka benar-benar membuat keributan waktu itu.’
Ia tak tahu detail cerita Ronan dan Orse menembus Menara Langit.
Tapi bekas luka yang tersisa sudah cukup berbicara.
Tempat ini jelas sekali jalur keluarnya Ronan dan Orse setelah menghancurkan Menara Langit—kini Istana Api.
Siapa sangka ia akan melihat jejak murid-muridnya dengan cara begini.
“Kalau begitu… ayo.”
Nabiloje mengambil ancang-ancang dan menghela napas panjang.
Ia harus melompati jarak yang sangat jauh dalam satu luncuran.
Mana di dalam tubuhnya bergerak dari jantung, merembesi seluruh otot.
Paha yang terlihat di bawah rok bergembang, penuh tenaga.
‘Hah. Rok ini ternyata ada manfaatnya juga.’
Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia mengakui keunggulan rok.
Tidak seperti celana, rok memberi ruang gerak tanpa hambatan.
Ketika hawa panas mengalir seperti mirage di kulitnya—
BRUAAAK—!!
Ia menghilang dari tempatnya, meninggalkan dentuman yang mengguncang seluruh saluran air.
“Kh… kuh… sial…! Sial!”
Pria berjanggut mengerang.
Sedikit saja ia kendur, ia akan langsung pingsan.
Soket mata kanannya terasa seperti bara menyala tertanam di dalamnya.
Dari permukaan daging tempat lengannya dulu berada, darah terus menetes.
Aku mati. Kali ini benar-benar mati.
Jika ia terlambat sedikit saja menempelkan sihir penghenti darah, ia sudah tewas.
Ia menahan kesadarannya dan mengucapkan mantra lagi.
Sinar lembut membungkus tubuhnya; rasa sakit sedikit mereda.
Ia ingin kabur, tapi tidak bisa.
Ia tidak berhak mati sebelum menyelesaikan tugas.
Ia tersengal, menangis di antara napasnya.
“Ter… terkutuk… Risa…”
Wanita pertama yang mati—yang tubuhnya dibelah—adalah tunangannya.
Bahkan ketika jantungnya ditembus dan tubuhnya terbelah, ia tetap mengaktifkan scroll ruang untuk menyelamatkannya.
Sambil memaksanya menyelesaikan misi.
‘Makhluk apa dia sebenarnya?’
Bagaikan mimpi buruk.
Lima petualang terbaik dunia—semuanya pemakai aura—dibantai tanpa sempat merasakan kehadirannya.
Kurang dari satu menit.
Hanya pedang tingkat Sword Saint yang mampu melakukan itu.
Pasang bom. Itu saja yang tersisa.
Ia tak mengerti kenapa misi yang seharusnya sempurna berubah seperti ini.
Tapi bila gadis itu menemukan jejaknya, semuanya berakhir.
Ia menggulingkan tubuhnya, mencari lokasi target.
“Tapi tempat ini…”
Ini memang Istana Api.
Tapi bukan seperti yang dibayangkan.
Tidak ada dekorasi.
Tidak ada pilar megah.
Interior istana raksasa itu—adalah lautan api.
Suara kobaran menyayat telinga.
Seperti melihat neraka.
Ia menelan ludah.
Pusat ruangan dipenuhi pusaran api kolosal.
Dan di tengah pusaran itu…
sebuah matahari kecil.
Bola api raksasa memeluk tubuh seekor naga.
Tubuh sebesar bukit, bersisik merah membara, dua tanduk yang menjulang ke atas.
Ibu Api, Nabarudoje—salah satu makhluk terkuat dunia.
“…Itu pergantian kulit?”
Pemandangan itu hampir memutus kewarasannya.
Badai api memutar, mengelupas sisik-sisik mati dari tubuh naga—kemudian membakarnya, menambah intensitas api.
【……】
Nabarudoje menunduk, mata tertutup.
Benar-benar tidak bergerak.
Jadi memang benar naga tak mampu beraktivitas saat berganti kulit.
Ia menggulingkan tubuhnya mendekat.
Setiap putaran membuat udara semakin panas.
Andai tidak ada penghalang sihir setebal gunung ini, ia pasti terbakar sampai tinggal abu.
Jadi ini alasan wisata sekolah diizinkan. Kekuatan penghalang ini… gila.
Akhirnya ia mencapai tepi penghalang.
Pusing, tapi harus dilakukan.
Ia menekan tenggorokan, memaksa cairan dari dalam tubuh keluar.
“Uuegh.”
Sebuah permata kecil jatuh dari mulutnya.
Bom yang akan menghancurkan Istana Api.
Bentuknya oktahedron sempurna. Api merah berkedip di dalamnya.
Nyaris padam, namun dikatakan sebagai satu-satunya cara menembus penghalang.
“Lalu… berikutnya…”
Ia meraih kantong kecil di sakunya.
Pekat berwarna merah gelap.
Seluruh dana regu petualang mereka selama setahun habis untuk ini.
Ia menggigit kantong itu dan menuangkannya ke bom.
Permukaan kristal langsung ternodai merah.
Ayolah…
Ujung lidahnya merasakan rasa besi.
Itu—adalah darah Ronan.
Zat yang menghancurkan mana tanpa syarat—salah satu materi paling berbahaya di dunia.
Mereka mendapatkannya dari pasar gelap; sisa-sisa yang dicuri pada masa perang melawan Nebula Clazier.
Bom yang dilumuri darah Ronan akan menyobek penghalang Naga Api dalam sekejap.
“Hanya tinggal… langkah terakhir.”
Ia siap.
Tunangannya mati. Tangan dan kakinya hilang.
Satu mata dicongkel.
Ia sudah tidak peduli soal hadiah.
Ia hanya ingin misi ini sempurna.
Ia menarik napas terakhir—siap melafal mantra pemicu—
“…Hah?”
Dunia menghilang.
Api padam.
Nabarudoje lenyap.
Suara kobaran lenyap.
Mantra pemicu hilang dari bibirnya.
Dalam ruang hampa tanpa indra, hanya pikirannya yang tersisa.
Apa…? Apa yang terjadi?
Saat ia panik—
“Untuk seseorang yang kehilangan empat anggota tubuh, kau bergerak cukup jauh.”
“……!!!”
Suara itu.
Suara gadis berpedang itu.
Ia ada tepat di sampingnya.
“Sungguh konyol. Kalian benar-benar menggunakan darah Ronan seperti ini.”
Ia hampir tidak bisa menemukan pria disabled itu di Istana Api yang begitu luas.
Tapi ia berhasil.
Tatapan Nabiloje menancap pada kristal—atau tepatnya, pada darah itu.
Mengingat kata-kata “senjata rahasia”… ia langsung mengerti.
Wajahnya berubah dingin.
“Berani-beraninya memakai darah muridku.”
“……!!”
Suhu suara itu hampir beku.
Pria itu menahan isak. Celananya basah oleh urin, tak tertahan oleh rasa takut.
Ia tidak perlu melihat untuk tahu—
seekor ular raksasa sebesar bangunan sedang melingkar di belakangnya.
Aura Massacre.
Aura khas Nabiloje, dalam bentuk seekor viper raksasa.
“Sa… tolong…”
Ia ingin bertanya kenapa monster seperti dia ada di sini.
Namun tak sempat.
SRAAK.
Pedang melintas.
“Kau tahu apa yang ia rasakan saat memeras darah itu keluar dari tubuhnya?”
Ia bertanya.
Tapi pria itu tak bisa menjawab.
Karena kepalanya jatuh ke lantai, terpisah dari tubuh.
Lima orang—habis.
“Sampah.”
Nabiloje menggeram.
Ia lebih marah karena darah Ronan disalahgunakan daripada ancaman teror.
Butir demi butir darah itu diperas Ronan selama berbulan-bulan—
untuk menyelamatkan dunia dari invasi asing.
Harus meminta Kaisar memperketat pengawasan. Sisa-sisa darah itu tidak seharusnya masih ada…
Ia menghela napas.
Ia berhasil mencegah bencana besar.
Tapi—
‘Dengan kondisi itu… aku tidak bisa bicara pada beliau.’
Ibu Api tertidur, sedang berganti kulit.
Tak mungkin mengajukan permintaan audiensi dalam keadaan begini.
Ia memutuskan kembali dan menunggu waktu lain.
Baru saja ia hendak mengambil kristal—
【Akhirnya.】
Suara menyeramkan menggema.
Kristal melayang ke udara, menyala menyilaukan.
“Apa—”
Alarm instingnya meledak.
Ia mencoba meraih kristal itu—
tapi terlambat.
Kristal itu menembus penghalang, masuk ke dalam badai api.
Lalu—
SKRRAAAAK!!
Api di Istana Api tersedot masuk ke dalam kristal bagaikan angin tertarik ke pusaran hitam.
Setengah dari kobaran api menghilang dalam hitungan detik.
Kemudian—
【Sudah lama, Ibu.】
Suara itu kembali.
Kristal retak.
Dan dari dalamnya—sesuatu muncul.
Naga raksasa.
Bersisik merah.
Dua pasang tanduk melengkung.
Separuh tubuhnya adalah api.
Sosok yang sangat mirip Nabarudoje.
Nabiloje menggenggam pedang.
“Kau…”
Ia mengenali sosok itu dari sebuah lukisan di ruang kerja Baren.
Tujuh puluh meter panjang tubuhnya.
Empat tanduk bengkok seperti mata pisau.
Seorang yang harusnya telah mati oleh Orse.
Naga Merah—
Gargarenus.
“Kematian Merah…!”
Akhirnya potongan ingatan terkunci terbuka.
Itulah julukan naga ini.
Ronan pernah mengatakan, dalam dunia batin terkutuk, ia melihat penyelamat memotong tanduk naga merah itu.
Tapi—bagaimana ia masih hidup?
Pertanyaan membanjir, tapi waktu tak mengizinkan.
Gargarenus menatap Nabarudoje, tersenyum mengerikan.
【Kalau begitu, aku akan mengambil apa yang menjadi hakku.】
Sayap apinya mengembang. Angin badai menerjang.
Api yang menyelimuti Nabarudoje tersedot lagi ke dalam tubuh Gargarenus.
“…Harusnya aku membawa pedangku.”
Nabiloje menghela napas.
Ia panik—iya.
Tapi ia tahu persis apa yang harus dilakukan.
Ia melumuri pedangnya dengan darah Ronan, lalu mencabik penghalang itu seketika.
Side Story 25. Musim Semi Biru Untukmu (7)
Segala sesuatu tampak merah.
Badai api yang semakin buas mengamuk dari segala arah.
Api yang tercipta dari kulit Nabarudoje yang luruh—mengalir ke tubuh Gargarenus, memulihkan wujudnya yang dahulu.
Tubuhnya yang sebelumnya amorf perlahan kembali ke bentuk asli.
【Benar-benar… waktu yang amat panjang.】
Gargarenus memejamkan mata.
Hari-hari panjang yang ia jalani demi tiba sampai titik ini melintas cepat bagaikan kilatan.
Awal dari semua tragedi itu—
adalah ketika tanduknya dipotong oleh sang Penyelamat, ayah Ronan.
Tanduk—
organ penampung kekuatan, simbol harga diri.
Kehilangannya adalah bencana tak tertahankan bagi Gargarenus.
Ia mengamuk, benar-benar kehilangan akal, dan akhirnya—
Nabarudoje, yang muak melihat ulahnya, menyegel sebagian besar kekuatannya dan mengusirnya.
‘Ibu juga kejam sekali. Membakar lima-enam kota manusia saja dianggap keterlaluan.’
Padahal hidupnya masih cukup makmur setelah itu.
Kendati kekuatannya terkuras, ia tetaplah Red Dragon besar.
Mendirikan sarang dan menjadi penguasa wilayah seperti naga lain bukanlah masalah.
Hingga—
seekor naga hitam datang mencarinya.
【Orse… keluar dari sini saja, hal pertama yang kulakukan adalah mencabikmu sampai 죽을 때까지.】
Gargarenus menggeram.
Mengingatnya saja membuat sisiknya meremang.
Orse mendadak menerjang masuk dan mencabik tubuhnya yang sedang tahap pemulihan.
Seandainya ia tidak sempat mengubah tubuh menjadi bentuk elemental, ia pasti mati.
‘Sial… kalau saja tubuhku normal saat itu…!’
Lanjutannya sungguh memilukan.
Ia nyaris mati, kehilangan hampir semua fungsi tubuh, dan akhirnya—
tersegel dalam kristal selama lebih dari sepuluh tahun.
Hanya kehendak untuk hidup dan membalas dendam yang membuatnya bertahan.
Dan kini, setelah ia cukup memulihkan diri, ia akhirnya memulai rencana kebangkitannya.
【Tapi… Ibu tetap luar biasa. Mustahil bisa menyerap semuanya.】
Ia terkekeh.
Kendati telah memulihkan hampir separuh kekuatan puncaknya, api yang memancar dari kulit Nabarudoje tak menunjukkan tanda-tanda mereda.
Sulit percaya itu hanya “kulit” yang mengelupas.
Ini ibunya—
monster di luar nalar.
Gargarenus membuka mulut.
【Ibu. Tahu apa yang akan kulakukan sekarang?】
Tidak ada jawaban.
Nabarudoje, yang tengah berganti kulit, masih terbenam dalam keadaan tidur, perlahan melepas sisik-sisik lama.
Sudut bibir Gargarenus terangkat.
【Pertama, aku akan keluar… dan membakar hidup-hidup semua yang kulihat. Aku tidak suka ulat-ulat manusia berkeliaran di tempat yang pernah menjadi rumahku. Ibu sedang begini, saudara-saudaraku terpencar di berbagai negeri… jadi tidak ada yang bisa menghentikanku.】
Ia benar-benar yakin.
Ia akan mengubah Adren menjadi laut api.
Ia pernah dipanggil “Red Death”—
salah satu bencana terhebat di semua zaman.
Bila ia memulihkan kekuatan penuh, siapa pun yang mencoba menghalangi akan terbakar tanpa jejak.
【Lalu setelah itu—dunia para mortals. Banyak saudara kita pasti mendukungku. Mereka hanya dibuat gila oleh perdamaian membosankan ini. Naga tidak bisa hidup berdampingan dengan makhluk rendahan. Penghancuran adalah esensi kita.】
【……】
【Tentu, aku tidak bisa mengalahkan Ibu. Aku mungkin harus bersembunyi seumur hidup… tapi tidak masalah. Yang penting adalah mengakhiri kedamaian busuk ini!】
Suaranya meninggi.
Tubuh Gargarenus terus diregenerasi, kini hampir sempurna—
hanya tanduk dan ujung ekor yang belum pulih.
Hanya sedikit lagi, dan kekuatan legendarisnya akan lengkap.
【Tak seorang pun dapat menghentikanku! Nagalah yang berkuasa! Semua makhluk hina akan merangkak di bawah bayangan sayap kita!】
Era kesunyian akan berakhir.
Makhluk lemah akan kembali bergetar ketakutan di bawah bencana naga.
Ia tertawa, terbungkus kobaran api—
“Cita-citamu besar juga.”
【…Apa?】
Sebuah suara asing terdengar.
Gargarenus terperanjat, memutar kepala.
Tidak ada siapa pun—selain Nabarudoje yang sedang tertidur.
Siapa?
Suaranya terdengar dekat. Sangat dekat.
【Si tikus mana…】
Ia tidak salah dengar.
Mata Gargarenus berkedut.
Sayap raksasanya mengembang keras.
【Muncul! Wahai makhluk busuk!】
KWAAAH!!
Pusaran api menyapu seluruh istana.
Puluhan pusaran kecil dan besar tercipta, diseret angin panas.
Penyelamat dan Orse.
Sejak disakiti oleh makhluk-makhluk kecil itu, Gargarenus menjadi tak toleran menghadapi “gangguan kecil”.
Beberapa saat kemudian, badai reda.
【…흥.】
Tak ada tanda kehidupan.
Apa pun makhluk tadi, pasti sudah terbakar habis.
Ia menyesal membuang waktu sedikit—
namun itu tak penting.
Ia siap melesat melalui celah menuju langit ketika—
SRAAK.
Garis hijau menyayat kedua tanduknya.
【Apa…!】
Ia menengadah cepat.
Seorang gadis manusia berdiri di atas kepalanya.
Dengan tubuh mungil namun kokoh.
Menggenggam longsword yang bergetar dengan mana hijau.
Nabiloje.
“Kalau kau punya nyali begini, wajar para Fire Dragon itu besar kepala.”
Ilusi penyamaran di sekeliling tubuhnya berkilat—ia menyelinap tanpa diketahui.
Gargarenus hendak mengaum—
Tetapi garis hijau itu membelah.
Tanduk yang belum terbentuk sempurna meledak menjadi serpihan api.
Dan mana yang terkumpul—
meluap dan meledak ke luar.
KWAANG!!
Tubuh besar itu terhuyung.
Nabiloje tak lewatkan celah itu.
Ia membalik cengkeramannya—
Lalu menusuk mata kiri Gargarenus.
Darah Ronan di ujung pedang menembus bola mata—
menembus, tanpa sedikit pun resistensi.
PUWAAH!!
Api gelap memancar seperti darah naga.
【Kau!!】
Gargarenus meraung, mengibaskan kaki depannya.
Cakar raksasa turun seperti meteor—
namun Nabiloje menghindari di detik terakhir.
Ia mendarat dan segera mengayun—
SWAAAK!
Gelombang pedang menyapu api yang menerjangnya.
Api padam seketika.
【Api…?!】
Ia terbelalak.
Untuk pertama kalinya setelah menetas, ada manusia memadamkan api naga.
Meski itu hanya sisa api dari kulit Nabarudoje—tetap saja tak masuk akal.
‘Begitu ya. Harus cepat.’
Nabiloje menggigit bibir.
Darah Ronan yang melapisi pedang mulai mengering.
Ia harus menyelesaikan semuanya sebelum efeknya hilang.
Hanya karena itu ia masih bisa bergerak dalam badai api ini—
Ia bisa membelah api itu sendiri.
Naga punya tiga titik lemah: tanduk, jantung, dan reverse scale—sisik terbalik.
Tanduk sudah dipotong.
Jika ia memotong salah satu dari dua sisanya—Gargarenus akan lenyap.
Ia mencondongkan tubuh untuk menyerbu jantung—
【Beraninya, kau tikus busuk!!】
Mulut Gargarenus terbuka.
Udara di paru-parunya membara.
Nabiloje mundur seketika.
“Kh—!”
Ia memanggil Mansa, tapi ukurannya kalah jauh—tak bisa membendung.
Dan kemudian—
dari mulut naga itu, api meletus.
Tidak berupa gelombang—
melainkan garis lurus, bagaikan sinar pemusnah.
Api itu menghantam langsung ke posisi Nabiloje.
KWAOOOONNNGG!!
Gelombang api dan ledakan mengguncang istana.
【Makhluk hina tak berguna macam kau!!】
Ia tak berhenti.
Ia mengibaskan kepala, menyapu ruangan, menembakkan api ke mana-mana.
Setiap jalur api melahirkan ledakan besar.
Akhirnya, setelah paru-parunya kosong, ia bercokol dan mengaum.
【KROAAAHHH!!!】
Istana Api bergetar.
Saat asap tersibak—
hanya kehancuran yang tersisa.
Kaca pecah.
Pilar meleleh.
Chandelier runtuh.
Bahkan penghalang Nabarudoje retak dan terbakar.
Tak mungkin ada yang hidup.
Ia menghembus napas panjang.
【…Berlebihan, tapi sudah cukup.】
Ia menggunakan tenaga terlalu banyak.
Ujung tubuh yang berupa api tampak bergetar karena konsumsi mana besar.
Tapi bukan masalah besar—
masih banyak api Nabarudoje yang tersisa untuk diserap.
Meski… waktunya jadi sedikit lebih mepet.
【Benar-benar…】
Ia mendengus.
Manusia barusan sangat mengganggu.
Ia berhasil melukai naga—
dan bahkan memadamkan api naga.
Tak terduga sama sekali.
【Sudah bosan. Akan kuhanguskan seluruh Adren.】
Hanya itu yang bisa memuaskan amarahnya.
Dan akhirnya—
proses regenerasi usai.
Gargarenus membuka mulut.
KWAHH!!
Sinar api ditembakkan ke dinding—
lubang besar tercipta, memperlihatkan langit malam.
Bulan purnama bersinar indah.
Di luar, suara siswa-siswa akademi terdengar—mereka belum tahu apa pun.
【Akan kuingatkan kalian… apa itu ketakutan.】
Ia tertawa.
Ia mengepakkan sayap, siap terbang—
Ketika suara itu—
“Jangan gerak… hueeuh… dasar kadal bau.”
【…Bagaimana—?!】
Gargarenus menoleh cepat.
Tak mungkin. Tak mungkin.
Gadis itu—harusnya musnah.
Namun ia berdiri di tengah Istana Api.
Nabiloje, terengah, rambut terpangkas menjadi pendek, pakaian terbakar, kulitnya hangus—
Namun mata itu masih bersinar bagaikan bintang.
“Di luar sana… murid-muridku… sedang menikmati saat-saat terbaik dalam hidup mereka…”
【Mengagumkan. Bagaimana kau masih hidup?】
Gargarenus benar-benar terpana.
Pedang yang ia bawa patah separuh.
Tubuhnya hampir rusak total.
Namun ia masih berdiri.
“Jangan berani-berani… menghembuskan bau busukmu… pada mereka.”
Ia mengangkat setengah pedang yang tersisa—
menusukkannya ke arah naga.
【Hah. Menarik. Tak kusangka akan melihat tontonan seberharga ini begitu aku bangkit.】
Gargarenus tertawa rendah.
Ia—untuk kedua kalinya—mengakui rasa kagum pada seorang mortal.
Dengan tanduk barunya yang tumbuh sempurna, ia berbicara dengan nada geli.
【Bosanku hilang. Karena keberanianmu, kuberi hadiah: hidup.】
“……”
【Sebagai gantinya—utang akan kutagih dari murid-muridmu. Akan kuhembuskan api sambil mengatakan: kalian mati karena guru kalian. Akan luar biasa sekali melihat ekspresi mereka.】
“…Di sini. Lawan aku.”
Nabiloje menegaskan itu.
Gargarenus mengabaikan.
Ia mengembangkan sayap.
Cahaya bulan menyinari tubuhnya—
dan pada saat itu—
【…?】
Ia membeku.
Bulan purnama… menghilang.
Celah di dinding… menghilang.
Nabarudoje… menghilang.
Tidak—bukan menghilang.
Tidak terlihat.
Segalanya—
tenggelam dalam kegelapan.
‘Apa…?’
Ia tak melihat apa pun.
Hening mutlak.
Tidak ada cahaya. Tidak ada suara.
Dan—
Ia tidak bisa bergerak.
Bahkan satu sisik pun.
Dalam kekosongan hening itu—
suara halus mengalun seperti gesekan kulit reptil.
Shaaaaaa…
Tepat di belakangnya.
Seluruh sisiknya merinding.
Seekor ular raksasa—tidak, monster—membelit tubuhnya.
Tebal bagaikan leher naga.
Tubuhnya juga hangus terbakar api.
Dan ular itu—
menatapnya.
Lalu membuka mulut.
“Sudah kubilang… berhenti, dasar kadal.”
【……!】
Suara Nabiloje.
Bersamaan dengan itu—
TIGA tebasan melintas.
Menyilang tanduk.
Menyilang sayap.
Menembus sisik dada—ke arah jantung.
Saat dunia kembali terang—
Sudah selesai.
CRAAAAAAASH!!
Semua titik vital hancur serempak.
Gargarenus—Red Death—
jatuh dari udara bagaikan meteor raksasa.
