817 Episode 41 Sophistry (1)
「 Sebuah kisah ada karena tidak semua hal bisa tercatat. 」
— Recorder of Fear
❄️
“Hyung.”
“Dokja-hyung!”
“Kim Dokja!”
Kenangan pun bermunculan.
「 Ia datang ke tempat ini untuk mencari Kim Dokja. 」
Mereka datang ke Pusat Daur Ulang.
“Dokja-hyung! Dokja-hyung!”
「 Bagi Lee Gilyoung, Kim Dokja adalah tokoh utama—dan dewa. 」
Kim Dokja seperti itulah baginya.
「 Itulah sebabnya ‘Putaran ke-41’ terlalu lemah untuk disebut Kim Dokja. 」
Semakin lama ia melihat, semakin jelas perbedaannya.
Itu bukan Dokja-hyung.
「 Apakah Dokja-hyung selalu sekuat itu sejak awal? 」
「 “Tunggu sebentar saja.” 」
「 “Aku akan menulis kalimat itu mulai sekarang.” 」
“Jangan pergi! Jangan lakukan itu!”
Orang itu adalah Kim Dokja.
“Kumohon! Jangan lakukan itu!”
[Story ‘Demon King of Salvation’ memulai narasinya kembali.]
Dan ketika ia berusaha meraih tangan itu sekali lagi—
「 “Kau sudah berjuang keras. Sekarang kau akan kembali.” 」
“Tidak.”
Namun kepala Recycling Center—si Mass Producer—menggeleng pelan.
「 “Kisah antara kau dan dia sudah berakhir.” 」
“Apa omong kosong itu.”
「 “Bukankah Han Sooyoung sudah menutup cerita di mana dia menjadi tokoh utama?” 」
Mendengar nama itu, wajah Han Sooyoung langsung terlintas di pikirannya.
Benar, Han Sooyoung.
Namun kali ini, Mass Producer kembali menggeleng.
「 “Cerita lain sudah dimulai.” 」
Lee Gilyoung ingin bertanya apa maksudnya.
Peran mereka seharusnya belum berakhir.
「 “Kau… belum tahu apa-apa, ya?” 」
「 “Tidak, mungkin akan lebih baik jika kau terus tidak tahu.” 」
🌨️
“Bodoh. Kau sudah sadar?”
“Kita gagal,” ucap Gilyoung lirih.
Kali ini, dua anak itu gagal menyelamatkan Kim Dokja.
<Kim Dokja Company> berkumpul untuk pertama kalinya.
“Gilyoung. Bukankah kau punya sesuatu untuk dikatakan pada semua orang?”
“B-Bisa nanti saja? Badanku masih kaku… leherku juga agak sakit…”
Namun kali ini, ia tidak bisa bersembunyi di balik alasan sakit.
“Kau bukan satu-satunya yang terluka.”
Apakah maksudnya…?
“Aduh, sudah, jangan dimarahi terus. Anak kecil ya wajar salah.”
“Unni! Kenapa keluar? Kau belum boleh—”
“Ah, kenapa sih? Aku baik-baik saja. Sudah sembuh kok.”
“Sembuh apanya! Seolhwa bilang kau masih harus istirahat—”
“U-Unni?”
“Kenapa?”
“Itu… kenapa seluruh tubuh dibalut perban?”
“Kenapa memangnya?”
Kalau begitu, mengapa Lee Jihye masih berbalut perban?
Karena tidak ada cara lain untuk menyembuhkan luka itu.
“Kenapa kalian semua menatapku begitu? Aku benar-benar baik-baik saja, kok.”
“Sudahlah, jangan terlalu keras pada anak itu. Wajar kalau anak kecil berbuat kesalahan. Dari situlah mereka belajar.”
“Noona…”
Lee Jihye hanya tersenyum kecil.
“Hei, sungguh, ini bukan apa-apa. Aku cuma agak kaku karena lama nggak bertarung.”
“…Siapa yang melakukannya?”
“Kenapa? Mau balas dendam?”
“Katakan.”
“Tombak yang Menarik Batas Laut.”
“Poseidon.”
Gilyoung mengepalkan tangan.
Lee Jihye tertawa kecil sambil batuk pelan.
“Hei, bukankah lumayan hebat aku bisa bertarung sejauh ini dengan Poseidon? Bagaimanapun, dia dewa ketiga di <Olympus>.”
“…”
“Aku bilang kan aku pakai [Ghost Fleet]? Aku tembak ratusan peluru per detik sambil ubah naskah cerita, dan ekspresi kakek tua itu langsung pucat—”
Namun Gilyoung hanya menunduk, bahunya bergetar.
“Gilyoung, aku tahu apa yang kau pikirkan.”
Dengan tangan penuh perban, Lee Jihye menepuk pundak anak lelaki itu.
“Aku dulu juga sepertimu.”
“Jadi… maafkan aku.”
“Aku salah. Aku minta maaf. Maaf sudah membuat kalian khawatir. Aku benar-benar minta maaf…”
Lee Seolhwa menenangkan keduanya, menyodorkan minuman hangat.
“Tenanglah, kalian berdua. Minumlah ini dulu.”
“Yang penting mereka masih hidup.”
Kata-kata itu keluar dari mulut Yoo Joonghyuk.
Yoo Joonghyuk mengernyit.
“Cukup. Jangan bahas hal yang tak perlu. Aku ingin tahu kenapa kita dipanggil ke sini.”
“Aku punya dua kabar.”
“Katakan.”
“Yang pertama, tentang Heewon dan Hyunsung.”
Akhirnya, kabar tentang mereka.
“Sepertinya keduanya sudah mengambil keputusan.”
Shin Yoosoung bertanya duluan.
“Hyunsung-oppa dan Heewon-unnie juga di sini?”
“Di mana mereka? Kenapa—”
“Ah…”
Yoo Sangah menunduk pelan dan berkata lembut.
“Keduanya pergi ke ending yang berbeda dari kita.”
818 Episode 41 Sophistry (2)
Lee Hyunsung dan Jung Heewon.
Menuju dunia tempat Kim Dokja berada.
Lee Jihye menjilat bibirnya pelan.
“Kalau begitu… kita tidak akan bisa bertemu lagi?”
Yoo Sangah ragu sejenak sebelum menjawab.
“Belum tentu. Ini mirip seperti dunia yang terbagi ke beberapa worldline.Mungkin saja, suatu saat nanti, kita akan bertemu kembali.”
“Tapi itu juga belum pasti, kan?”
Lee Jihye bergumam lirih, menerima keheningan itu sebagai pengakuan.
“Kalau saja waktu itu kita memilih jalan yang sama…”
“Maka kita tidak akan pernah bertemu dengan ahjussi dari Putaran ke-41.”
“Heewon-unnie dan Hyunsung-ahjussi sudah memilih yang terbaik untuk mereka.Dan kita juga memilih yang terbaik untuk kita sendiri.”
“Mungkin Dokja-ahjussi juga begitu.”
Kim Dokja ke-41, yang kini dikenal sebagai Demon King of Salvation.
Wajahnya yang samar, mata yang menyipit—seolah melihat sesuatu yang jauh di luar jangkauan pandangan manusia—terpampang di seluruh layar.
Lee Jihye bergumam lirih.
“Kalau itu memang pilihan ahjussi, dan dunia yang ingin dia lihat…”
“…Mungkin kita ini hanyalah karakter yang tak cocok untuk cerita ini.”
“Masih saja bicara hal bodoh seperti itu. Aku tidak tertarik dengan cerita macam apa yang ingin dia lihat.”
“Kalau begitu, kenapa master masih berusaha ikut campur dalam ceritanya?”
“Karena aku ingin menemukan bajingan yang membuat semuanya jadi serumit ini.”
Dengan dahi berkerut seolah tak puas pada dirinya sendiri, Yoo Joonghyuk berbalik menatap Yoo Sangah.
“Kau bilang punya dua berita. Apa yang satu lagi?”
Yoo Sangah tidak langsung menjawab. Ia memandangi wajah satu per satu rekannya, lalu berkata perlahan.
“Aku juga sependapat dengan Joonghyuk-ssi.Aku menghormati kehidupan Dokja-ssi… tapi kurasa terlalu dini bagi kita untuk menyerah.”
“Apa Unnie pikir kita masih punya peran untuk dimainkan?”
“Entahlah…”
“Kalau dunia ini memang mimpi yang sedang Dokja-ssi alami,kurasa pasti ada tempat untuk kita juga. Entah sebagai tokoh baik… atau penjahat.”
“Kalau itu Sooyoung, aku yakin dia akan menjadikan kita penjahat.”
Lee Seolhwa menimpali ringan, membuat semua orang tersenyum getir.
“Berita kedua ini tentang Han Sooyoung.”
“Sooyoung-unnie sudah bangun?”
Han Sooyoung belum sadar sejak pertarungan melawan Outer God demi menyelamatkan Kim Dokja di Putaran ke-41.
“Belum.”
“Benarkah? Lalu… di mana dia sekarang?”
“Aku tidak tahu pasti. Tapi… sepertinya sesuatu memang terjadi padanya.”
Notebook Han Sooyoung.
Buku tempat ia menulis kisah Kim Dokja dan <Kim Dokja Company>.
Namun sesuatu terasa aneh.
“Huh?”
Isi naskah itu berisik, bergetar, seperti rusak.
「 ■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■… 」
“K-Kenapa jadi begini? Komputernya rusak?”
“Ceritanya terkontaminasi.”
Tapi… kenapa bisa terjadi pada manuskrip ini?
“Sejak kapan seperti ini?”
“Sejak dimulainya Putaran ke-41.”
“Apa penyebabnya?”
Yoo Sangah menghela napas dan menjawab pelan.
“Ini hanya dugaanku, jadi jangan terlalu serius, ya.”
“Katakan saja.”
“Kalian semua tahu bagaimana dunia ini bekerja, kan?”
Lee Jihye menggaruk pipinya.
“Sooyoung-unnie pernah menjelaskannya dulu…”
Shin Yoosoung menimpali.
“Kalau nggak salah, Sooyoung-unnie menulis tentang Joonghyuk-ssi, lalu Dokja-hyung membacanya—dan dari sanalah dunia ini terbentuk, kan?”
“Jadi maksudmu Sooyoung menulis dulu baru dunia ini ada?”
“Bukan. Sooyoung kembali ke masa lalu dan menulis berdasarkan apa yang dialaminya dengan Dokja-hyung. Jadi, Dokja-hyung yang membacanya duluan.”
“Apa? Mana mungkin baca buku yang belum ditulis?”
“Karena dia seorang dewa.”
“Cukup,” sela Yoo Sangah lembut, menghentikan perdebatan kecil itu.“Tidak ada gunanya mempersoalkan mana yang duluan.Dunia ini memang diciptakan agar kita tak bisa membedakan mana awal dan akhir.”
Han Sooyoung pernah berkata hal serupa:
“Dunia ini adalah lingkaran persegi.”
“Lalu apa artinya itu?”
“Artinya, cerita yang dimulai belakangan bisa muncul lebih dulu di garis waktu.”
“Seperti Putaran ke-1.863 milik Joonghyuk.”
“Kisah Kim Dokja yang muncul setelah Ways of Survival,tapi justru mengubah putaran terakhir milik Yoo Joonghyuk.”
Lee Seolhwa mengangguk pelan.
“Jadi… hal yang sama terjadi di Putaran ke-41?”
“Benar. Tepatnya…”
Namun saat ia membuka halaman berikutnya—
“Huh?”
“Tunggu dulu… ini apa?”
Halaman kosong setelah ending itu kini terisi huruf-huruf baru.
Yoo Sangah menatapnya dalam diam.
“Kisah Putaran ke-41 sedang ditulis.”
“Jadi Sooyoung-unnie yang menulis kelanjutannya?”
Namun naskah itu terus berubah—tulisan muncul dan lenyap berulang.
“Beberapa bagian memang terlihat ditulis Sooyoung. Tapi tidak semuanya.”
“Maksudmu, ada penulis lain?”
“Gaya penulisannya tidak konsisten.Temanya pun sedikit berbeda.Seolah…”
Yoo Sangah berhenti sebentar, mencari kata yang tepat.
“Seolah… ada beberapa penulis yang saling berebut menulis naskah yang sama.”
Yoo Joonghyuk mengernyit.
“Siapa yang melakukannya? Dan untuk apa?”
“Aku tidak tahu pasti. Tapi aku punya firasat.”
“Ada pihak yang berusaha mencuri cerita yang sudah kita bangun.”
“Lebih tepatnya… aku bicara tentang 『Omniscient Reader’s Viewpoint』 karya Sooyoung.”
【Kau benar-benar yakin dia layak disebut ‘Recorder’?】
Aku pernah membaca 『Panduan Memahami Fear Spirits untuk Cumi dan Ikan Buntal』 karya Han Sooyoung bersama Kim Dokja.
Akses ke dokumen ini dilarang oleh SVRP.SVRP. PW 0.■■ ■■■ ■■■■■■■■■■■■■■■■■■■…
— Sepertinya ada pihak yang mengedit naskah Han Sooyoung.
Jawabannya tidak sulit ditebak.
— Mungkin mereka yang mencatat Fear.
「 Recorder of Fear. 」
“Baiklah. Mari kita mulai dari dasar.”
“Apa yang harus kita periksa dulu?”
— Kita harus tahu Fear mana yang lemah, dan mana yang kuat.
“Supaya kita tidak mati?”
‘Traffic Lights’ dan ‘Uniformity’ yang kutemui sebelumnya adalah Fear paling dasar—
「 Catastrophe-level Fear adalah ketakutan yang secara rutin menyebabkan 0–50 kematian. 」「 Penyebabnya biasanya berasal dari ‘Story’ tingkat Narrative yang bermutasi. 」
“Jadi semuanya tetap berasal dari cerita, ya.”
Akhirnya, gambaran besar tentang Fear Realm mulai terlihat.
「 Dunia ini tersusun dari tumpukan ‘cerita-cerita yang dibuang’. 」
「 Disaster-level Fear adalah Fear yang menyebabkan 50–10.000 kematian,dan biasanya berasal dari Legendary Story yang bermutasi. 」
Berarti ‘Tooth Fin’—Kepala Hiu itu—adalah Fear berbasis kisah legendaris.
Aku terus membaca.
「 Natural Disaster-level Fear adalah Fear yang dapat membuat seluruh dunia kehilangan kendali. 」「 Penyebabnya berasal dari Quasi-Mythical Story yang bermutasi. 」
“Kalau penghancuran Murim saja levelnya begitu,lalu seperti apa ‘End-level Fear’?”
「 End-level Fear adalah Fear yang setia pada ‘End Area’,dan apa pun yang terjadi, tidak akan pernah memasuki ‘Beginning Area’. 」
Aku mendengus.
“Kalau Sooyoung menulis ini, artinya dia melarang keras aku ke sana.”
— Itu berarti kau pasti akan ke sana.
“Benar juga. Memang gaya Ways of Survival banget.”
— Tapi sebelumnya, kau harus melewati Middle Area. Di sanalah kau bisa menemukan Second.
“Middle Area, huh…”
“Tidak bisa dipanggil lewat telepon saja?”
— Tidak bisa.
“Kenapa? Kalian bertengkar, ya?”
— Itu… agak rumit.
“Menurutku, Kim Dokja dan Kim Dokja harus bicara.”
— Pendapat yang bagus.
“Jadi ayo bicara.”
“Padahal tadi bisa?”
“Tempat lain?”
— Kau sudah tahu tempatnya.
Aku berpikir sejenak.
“Jangan bilang… celah waktu di dimensi gelap?”
— Benar.
“Jadi pintu masuk ke sana ada di Middle Area?”
— Tepat sekali.
Akhirnya, mau tak mau, aku harus ke sana juga.
[Sebuah ‘Unknown Fear’ menemukanmu!]
Sesosok benda panjang meluncur di kegelapan.
— Hmm. Itu dia.
Yang jadi masalah… adalah pengumuman yang menyertai kedatangannya.
【Kami akan berusaha menjadikan subway tempat yang nyaman dan aman bagi seluruh pelanggan.】
【Penumpang menuju… silakan naik kereta ini.】
“Sialan. Jangan bilang…”
— Benar.
819 Episode 41 Sophistry (3)
—Maknae.
“Aku tidak akan melakukannya.”
Aku berkata sambil menatap cahaya subway yang semakin mendekat.
“Sudah jelas apa yang akan terjadi di dalam sana, jadi kenapa aku harus melakukannya?”
—Mungkin itu hanya kereta biasa. Kalau naik itu, kau bisa sampai lebih cepat.
“Nomornya Bulkwang Stasiun 3434, kan? Kau sudah lupa nomor penting itu?”
—Siapa juga yang mengingat hal semacam itu? Lagi pula, kau tidak perlu setegang itu.
“Kau lupa di mana kita sekarang? Ini ‘Fear Realm’.Menurutmu, apa kereta itu cuma panggung Scenario Pertama?”
—Hmm, Maknae.
“Aku tidak akan naik.”
—Dengar dulu.
“Aku tidak akan naik.”
—Itu sebabnya aku bilang jangan bilang—
“Aku bilang aku tidak akan naik.”
—Jangan katakan itu! Itu pemicunya!
“Hah?”
[‘Unknown Fear’ telah terbuka.]
[Catastrophic Fear ‘Strong Negation is Strong Affirmation’ diaktifkan!]
“Apa?”
[Efek ‘Strong Negation is Strong Affirmation’ terealisasi!]
Begitu aku berkedip, aku sudah berada di dalam kereta.
【Siapa yang barusan bicara?】
Klak.
Aku menatap mereka sekilas lalu memalingkan pandanganku, memeriksa nomor gerbong.
3807.
Sial.
—Maknae.
Sambungan telepon yang sempat terputus tersambung lagi.
“Apa yang terjadi tadi? Kenapa aku tiba-tiba ada di kereta—”
「Ber-berdiri di sub-way」
Rasa mual naik dari perut.
「Bicara di te-le-pon」
Dunia benar-benar terasa miring.
「Itu tidak sopan.」
[Skill eksklusif ‘Fourth Wall’ aktif!]
“Kita bicara lewat pesan saja.”
Untungnya, balasan segera datang.
—Baik, lewat sini saja.
“Tolong jelaskan. Aku tidak mengerti apa yang terjadi.”
“Lalu subway ini Fear lain, kan?”
—Benar.
“Kenapa Fear itu muncul sekarang?”
—Kebetulan saja. Yah, mungkin ada alasan lain, tapi nanti saja aku jelaskan.
“Jangan nanti. Sekarang.”
—Maknae, karena sudah terlanjur begini, berpikirlah positif. Subway itu kan cuma alat transportasi.
“Dalam cerita ini, subway itu rute langsung menuju dunia bawah.”
—Jangan se-negatif itu. Siapa tahu, ini malah cara tercepat menuju tempat tujuanmu.
“Cari cepat informasi yang berkaitan dengan subway ini. Pasti ada di catatan Sooyoung.”
Untungnya, Kim Dokja sepertinya memahami kondisiku.
—Tunggu sebentar.
Dalam kegelapan itu, bayangan masa depan bermunculan di pikiranku.
「Scenario Pertama dimulai di dalam kereta ini.」
Pikiran itu sirna saat ponselku bergetar lagi.
—Maknae, duduklah dulu.
Ia pasti bermaksud agar aku tenang.
Aku menatapnya curiga.
“Tidak.”
—Kenapa?
“Jelas mencurigakan. Kenapa aku harus duduk di sana?”
Lebih aneh lagi, orang-orang yang berdiri di sekitarnya tidak tertarik sedikit pun untuk duduk di sana.
—Justru kalau kau duduk, cerita ini akan mulai.
“Aku tidak mau cerita ini mulai…”
“Ini pasti akan lebih menarik.”
Begitulah cara rasa ingin tahu membunuh manusia, bukan?
Begitu aku duduk, tubuhku terasa luar biasa ringan.
“Wow… ini…”
Sulit dijelaskan—rasanya seperti menemukan kursi kosong di subway setelah seharian bekerja.
—Aku menemukan berkasnya. Aku kirimkan sekarang. Baca baik-baik.
Aku segera membuka file yang dikirim Kim Dokja.
[Dokumen Rahasia — Fear Realm Data Log]
Disaster-level Fear — Subway dalam Perjalanan Pulang
Aku melanjutkan membaca.
Sebuah kereta misterius yang sering muncul di seluruh Fear Realm.Kereta ini membawa penumpangnya menuju “tempat yang diinginkan” di dalam Fear Realm.
Dari total 872 kali pengamatan, tingkat keberhasilan penumpang mencapai tujuan adalah 4,5%.Semua penumpang yang gagal tiba di tujuan — hilang tanpa jejak.
“Sialan.”
Aku cepat menggulir halaman berikutnya.
Dan benar saja—ada satu catatan.
Clear normal tercatat pada PW 0838.[Klik di sini!]
「Kalian semua idiot.」
Aku menatap teks berikutnya.
Jika satu penumpang terbunuh di gerbong mana pun, gerbong itu langsung dinyatakan sebagai “Crime Zone”.“Crime Zone” akan berlanjut hingga hanya tersisa satu orang hidup.Penumpang terakhir akan dipindahkan ke gerbong depan.Di sana, “Crime Zone” dimulai ulang hingga tersisa satu orang lagi.Penumpang terakhir dapat bernegosiasi dengan “Engineer” untuk turun di area yang diinginkan.
“Sudah kuduga.”
Aku menggulir lagi.
Keringat dingin mengalir di punggungku.
Dan aku tahu persis siapa dia.
“Goryeo Swordsman.”
—Sepertinya benar.
“Cheok Jungyeong ada di sini?”
—Dia selalu mencari cara untuk menjadi lebih kuat. Ini bukan pertama kalinya dia masuk Fear Realm.
Kupikir sejenak untuk memintanya membantu… tapi segera kubatalkan.
“Haruskah aku memulai Crime Zone-ku sendiri?”
—Kau yakin bisa menang melawan Goryeo Swordsman?
“Tidak.”
—Kalau begitu, diam saja.
“Kalau begitu aku tidak bisa keluar?”
—Lebih baik begitu daripada mati. Dan kau belum membaca semuanya. Lanjutkan.
Aku menarik napas dan menatap layar lagi.
“Ada juga yang lolos tanpa membunuh…”
Namun catatan berikutnya membuatku memaki pelan.
[Rekaman ini telah disensor demi mencegah spoiler.][Rekaman ini telah disensor demi mencegah spoiler.]
“Kau bercanda?”
—Tapi setidaknya kita tahu ini bisa diselesaikan tanpa Crime Zone. Itu sudah cukup, kan?
“Ada batas waktu?”
—Tidak disebutkan. Tapi rata-rata, kereta yang memasuki ‘Crime Zone’ diselesaikan dalam waktu 30 menit.
“Kau tak punya ide lain?”
—Hm… tapi aku penasaran satu hal.
“Apa lagi?”
—Kenapa kereta ini menganggap ‘Crime Zone’ sebagai interpretasi yang benar?
“Serius? Sekarang?”
“Kenapa Crime Zone dianggap interpretasi yang benar…”
Jadi kenapa?
Seseorang seperti Yoo Sangah.
Tunggu. Yoo Sangah?
Dan saat aku melihat wajahnya, napasku tertahan.
“Kau…?”
Itu adalah orang yang sangat kukenal.
820 Episode 41 Sophistry (4)
Mata perempuan itu membulat saat melihatku duduk di kursi.
“Kau.”
Rambut pirangnya bergoyang lembut diterpa angin. Matanya bergetar, seperti sedang menahan emosi.
Aku melambaikan tangan ringan dan tersenyum.
“Sudah lama tidak bertemu.”
Tak pernah terbayang kami akan bertemu di tempat seperti ini.
Ekspresinya mengeras mendengar sapaan itu. Ia sempat ragu sejenak sebelum akhirnya melangkah cepat ke arahku.
“Cheon Inho.”
Satu-satunya orang yang masih memanggilku dengan nama itu.
“Kenapa kau ada di sini?”
Sang Nabi — Anna Croft.
Dia berada dalam Fear yang sama denganku.
Hidup memang aneh. Aku tak menyangka akan ada hari di mana aku naik kereta bawah tanah yang sama dengan Anna Croft.
Aku teringat pertemuan terakhir kami — di Washington Dome.
Aku menunjuk kursi kosong di sebelahku.
“Silakan duduk.”
Anna Croft sempat ragu, seolah enggan duduk di sampingku, tapi akhirnya menuruti dengan wajah pasrah.
“Apa yang kau rencanakan di sini?”
“Tidak ada rencana khusus.”
“Apa yang kau—”
Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, sensasi aneh itu kembali.
「 Di da lam sub way 」
Ah, lagi.
「 Kau be ricara ter la lu ke ras 」
Perutku berputar, rasa pusing menyerang.
[Skill Eksklusif ‘Fourth Wall’ aktif.]
Untung aku sudah mengalaminya sekali sebelumnya, jadi kali ini aku bisa menahannya. Tapi Anna Croft tidak seberuntung itu.
“A-apa ini…?”
“Pelankan suaramu.”
Begitu aku berbisik, tatapan para penumpang di sekitar kami menghilang seketika, seolah tak pernah ada.
Anna Croft mengatur napas, menyeka keringat di dahinya.
“Barusan itu apa?”
“Kemungkinan efek dari Fear ini.”
Mungkin sesuatu seperti: Dilarang berbicara keras. Dilarang makan di tempat umum. Dilarang membuat keributan. Dilarang tidak sopan pada orang tua.
Anna tampaknya juga mulai menyadarinya.
“Ada aturan aneh yang berlaku di sini.”
“Aturan biasa, justru. Begitulah dunia sebelum skenario datang.”
‘Skenario’ yang dulu dibaca oleh Kim Dokja.
Begitu ia sadar aku menatap, wajahnya kembali dingin.
“Aku tahu kau masih hidup, tapi… sepertinya kau jauh lebih kuat dari yang kukira.”
“Kau senang aku masih baik-baik saja, kan?”
“Tidak ada orang waras yang bisa ‘baik-baik saja’ setelah melalui semua itu.”
“Kau sudah dengar gosipnya, ya?”
“Kau dikejar Nebula besar dan… dicabik-cabik.”
“Dicabik-cabik, ya? Tidak sepenuhnya salah.”
Memang bukan aku yang hancur waktu itu.
“Hampir saja begitu.”
“Kau memang keras kepala. Bertahan bahkan setelah kalah sehancur itu.”
“Aku punya kebiasaan buruk — sulit benar-benar mati. Tapi kau sendiri, kenapa ke sini?”
“Kau sungguh tidak tahu?”
Baru kali ini aku tersadar.
“Kau juga sedang ‘mekar’, ya.”
“Berkat siapa, coba? Aku bahkan ingin menemuimu di Recycling Center.”
“Aneh, aku tidak melihatmu di sana.”
“Tentu saja, aku tidak tahu ada orang gila yang bertekad menyelesaikan semuanya.”
“Jadi, kau datang ke Fear Realm untuk mengejarku?”
“Menurutmu aku punya waktu untuk itu?”
“Kalau begitu, kenapa kau di sini?”
“Aku bukan lagi inkarnasi <Asgard>. Apa lagi pilihan yang dimiliki seseorang yang dibuang oleh Nebulanya?”
“Ah, jadi kau ingin jadi Transcendent.”
“Kurasa itu pun gagal, melihat aku malah bertemu kau di sini.”
“Ayo lah, lupakan masa lalu. Kita kerja sama saja. Keluar dari sini, jadi Transcendent, lalu balas dendam pada para Konstelasi. Bagaimana?”
Anna menatapku seperti baru mendengar lelucon paling buruk di dunia.
“Kerja sama? Kau pikir itu mungkin antara kita berdua?”
“Aku bahkan bisa bekerja sama dengan Yoo Joonghyuk. Masa tidak bisa denganmu?”
“Kau bicara seolah—”
Ia menarik napas panjang, menunduk.
“Cheon Inho… kau tahu sesuatu tentang Fear ini?”
Aku mengangguk pelan, menjelaskan singkat apa yang sudah kutemukan.
Anna mendengarkan dengan serius.
“Kalau begitu, satu-satunya jalan keluar adalah menciptakan Crime Zone.”
“Aku menentangnya.”
“Menentang?”
“Kita harus mencari cara keluar tanpa memicu Crime Zone.”
“Tapi kau sendiri bilang tidak tahu caranya. Dengan kemampuanmu, bukankah lebih mudah jadi yang terakhir bertahan?”
“Sayangnya, kau ikut bersamaku.”
Anna tampak tertegun.
“Karena aku?”
“Cheon Inho di worldline ini cukup… berhati lembut.”
“Kau selalu bilang begitu sebelum menusuk punggungku.”
“Cheok Jungyeong ada di gerbong sebelah.”
“…Cheok Jungyeong?”
“Kau tahu Goryeo Swordsman, kan?”
“Tunggu, jangan bilang—”
Wajah Anna seketika memucat.
“Kita mati.”
“Itulah kenapa aku butuh kemampuanmu sekarang.”
“Bisa lihat sesuatu lewat [Future Sight]?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Kemampuan itu menghilang begitu aku masuk ke sini.”
Ia menatapku tajam, lalu menunduk.
“Seolah seluruh masa depan tertutup kabut.”
Kenapa kali ini?
Dan saat menyadari kesamaannya, sebuah hipotesis muncul di kepalaku.
Sebuah pengalaman umum ditemukan pada seluruh penumpang yang berhasil keluar tanpa memicu Crime Zone.Mereka semua melaporkan bahwa “lampu kereta berkedip tiga kali.”
Lampu kereta berkedip tiga kali.
“Cheon Inho.”
“Apa?”
“Kau serius memikirkan itu?”
Anna menatapku aneh. Aku buru-buru menyembunyikan ponsel.
“Aku cuma baca web novel.”
“Novel? Dalam situasi begini? Kau gila?”
Tatapannya seperti melihat serangga. Tapi kemudian ia mendesah pasrah.
“Aku juga dulu suka baca novel.”
“Apa barusan… mati lampu?”
“Power outage…?”
“Anna Croft, ulangi.”
“Apa?”
“Kau tadi bicara soal novel. Lanjutkan.”
“Serius? Sekarang?”
“Tolong.”
Ia mendengus tapi akhirnya mengangguk.
“Yah… apa lagi yang harus kukatakan…”
“Kau punya penulis favorit?”
“Hm?”
Ia sempat tertegun, lalu menjawab perlahan.
“Ada. Ted Chiang, Charles Yu, Liu Cixin… dan—”
Ia mengerutkan alis, salah paham pada senyumku.
“Kau menertawakan seleraku?”
“Tidak. Justru kupikir itu cocok denganmu.”
“Kalau begitu, siapa penulis favoritmu?”
Aku menatap layar ponselku, huruf-huruf biru di sistemnya bersinar redup.
“Namanya Han Sooyoung.”
“Han Sooyoung?” Anna mengulang, bingung.“Belum pernah dengar. Dia terkenal di Korea?”
“Di salah satu worldline, ya.”
Anna tampak berpikir sejenak, seolah mencoba membayangkan dunia di mana nama itu terkenal.
Harus kuperburuk sedikit.
“Anna Croft, mulai sekarang aku akan memberimu peran baru.”
“Apa?”
“Kau orang Korea sekarang. Namamu Kim Anna.”
“Apa?”
“Nona Kim Anna, apakah Anda bisa bahasa Spanyol?”
“Sedikit. Tapi kenapa—”
“Puede prestarme dinero.”
“Kenapa kau minta pinjaman uang sekarang?”
“Ada aplikasi yang bisa kau rekomendasikan untuk belajar Spanyol?”
“Cheon Inho! Kau sudah gila, ya?”
“Inho punya kehidupan Inho.Dan Anna punya kehidupan Anna.”
Lampu berkedip lagi. Kedua kalinya.
Anna menatapku curiga.
“Apa yang kau lakukan?”
“Diamlah.”
“Kita sedang diawasi.”
“Apa—”
“Kau ingat Scenario Pertama?”
Setiap inkarnasi harus membuktikan keberadaannya — kepada seseorang.
Anna menatap sekeliling dengan wajah tegang.
“Jangan bilang… para Konstelasi?”
“Bukan.”
“Lalu siapa?”
“Entahlah. Tapi kupikir kita harus membuat mereka puas agar bisa keluar.”
Dan di titik ini… skenario seharusnya dimulai.
Crime Zone.
“Jadi, Crime Zone itu…”
“Cara paling mudah untuk menghibur mereka.”
Aku sudah bisa menebak siapa “mereka”.
「 Setidaknya Fear ini berkaitan dengan Kim Dokja. 」
memulai sebuah cerita yang bahkan akan membuat Kim Dokja penasaran.
Aku menatap Anna Croft.
“Anna Croft.”
Beruntung aku bersama orang yang tahu kisah itu.
“Aku ingin tahu secara pasti apa yang terjadi di Putaran ke-40.”
Matanya menyipit curiga.
“Kau sedang mencoba menggali informasi dariku? Kenapa tidak kau yang cerita? Aku juga ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi waktu itu.”
“Aku tidak ingat. Apa yang kulakukan? Kenapa kau dan Yoo Joonghyuk begitu membenciku?”
Pertanyaan yang sudah lama seharusnya kutanyakan.
“Aku benar-benar tidak tahu apa pun. Karena itu aku ingin tahu.”
Aku harus tahu.
“Siapa sebenarnya Cheon Inho dari Putaran ke-40 itu?”
821 Episode 41 Sophistry (5)
Dalam beberapa hal, gagasan itu memang terdengar konyol.
「 Menarik perhatian Kim Dokja dengan sebuah ‘Cerita’ yang menarik. 」
Bukan seolah-olah aku ini Scheherazade, dan tidak mungkin Fear bisa diatasi hanya dengan menceritakan kisah yang bagus.
Scheherazade — pendongeng legendaris dari Arabian Nights yang menyelamatkan hidupnya dengan bercerita setiap malam.
Namun, entah kenapa, aku yakin ini mungkin berhasil.
Lebih dari apa pun, ada banyak metafora tersembunyi dalam subway ini.
「 Kedipan lampu subway. 」
Dalam panduan Han Sooyoung dijelaskan:
Hanya mereka yang melihat lampu kereta berkedip tiga kali yang bisa selamat.
「 Mata. 」
Bagaimana kalau “cahaya” itu sebenarnya adalah “mata” yang sedang mengawasi kita?
「 Telinga. 」
Mereka sedang mendengarkan cerita kami.
Kalau begitu, bukankah penjelasannya mulai masuk akal?
Tempat di mana kau tanpa sengaja mendengarkan kisah orang lain — itulah transportasi umum.
Dengan kata lain — subway inilah ruang di mana Kim Dokja paling tenggelam dalam cerita.
“Bukankah kau bilang ingin melupakan masa lalu?”
“Aku bisa. Aku akan melupakannya.”
“Kau benar-benar—”
Aku memutuskan untuk lebih dulu membuka permainan.
“Sebagai catatan, aku bukan Cheon Inho dari Putaran ke-40.”
Anna menatapku terkejut, kepala sedikit terangkat.
“Cheon Inho yang kau kenal dulu, bukan aku.”
“Itu—”
“Sama seperti Yoo Joonghyuk di Putaran Pertama berbeda dengan Yoo Joonghyuk di Putaran Kedua.”
“…”
“Dan sama seperti Anna Croft berbeda di Putaran Ketiga dan Keempat.”
“Esensi manusia tidak berubah semudah itu.”
“Menurutmu, apa yang disebut esensi manusia?”
Anna sempat terdiam.
“Esensi manusia…”
“Itu adalah total dari sejarah yang mereka pilih untuk dijalani.”
Tatapan Anna sedikit berubah — mungkin terkejut. Lalu perlahan, ia mengangguk.
“Benar. Segalanya di dunia ini tersusun dari ‘cerita’.”
“Aku sungguh tidak mengerti apa yang kau pikirkan. Tadi bicara soal novel, lalu memaksaku bermain peran aneh. Dan sekarang…”
Ia mengepalkan dan melepaskan tangannya berulang kali.
“Sekarang kau minta aku memberitahumu siapa dirimu.”
“Karena hanya kau yang bisa.”
Akhirnya, Anna mengepalkan tangannya erat.
“Kau…”
Darah menetes dari telapak tangannya sendiri.
“Kau adalah sampah manusia.”
“Aku sudah tahu itu.”
Tak ada pembaca yang tidak tahu bahwa Cheon Inho adalah bajingan.
Tapi Anna belum selesai.
“Kalau bukan karena kau, banyak orang bisa selamat. Las Vegas takkan hancur. Semenanjung Korea pun masih utuh.”
“Para great evils berkumpul di bawah panjimu, dan Perang Iblis pecah. Kau dan mereka menghancurkan seluruh skenario.”
“…”
“Kalau saja kau tidak menipu para Konstelasi, tidak membuat dalih-dalih konyol… mungkin Yoo Joonghyuk tak perlu regresi lagi.”
Aku tersenyum pahit.
Namun senyumku memudar ketika Anna melanjutkan:
“Karena kau dulu adalah salah satu rekan terdekat Yoo Joonghyuk.”
“…Rekan?”
Aku membeku.
“Kenapa dia tidak pernah menjadikanku rekan?”
“Dia seharusnya begitu. Tapi kehidupan ini… sudah terlalu terlambat.”
Mereka adalah musuh bebuyutan.
「 Jangan berpikir aku akan jadi rekanku. Di Putaran berikutnya, aku akan jadi musuhmu. Lagi dan lagi. 」
Mereka saling menebas, bukan berdiri berdampingan.
“Katakan dengan jelas. Aku dan Yoo Joonghyuk… rekan di Putaran ke-40?”
“Itu…”
Wajah Anna tiba-tiba berubah.
“Oh… oh… oh tidak…”
Dan —
Lampu-lampu kereta berkedip.
[Skill eksklusif ‘Fourth Wall’ aktif dalam mode perlindungan penuh!]
“Anna Croft! Sadarlah!”
Aku meraih bahunya, mengguncangnya, tapi ia sudah tak sadarkan diri.
Tiba-tiba layar ponselku menyala — data baru dalam panduan terbuka.
Seluruh penumpang yang berhasil keluar tanpa menggunakan Crime Zone dipindahkan ke ■■■■.■■■ adalah yang disebut penumpang sebagai ■■■.Sebagian dokumen ini telah disensor oleh SVRP.Seluruh subway menuju “Tujuan”.
Lalu — tubuh para penumpang jatuh satu per satu, seperti boneka tanpa tali.
Dari jendela gelap, aku melihat sebuah tubuh raksasa berbentuk streamline berlari sejajar dengan kereta.
【GIGIIGIGIIGIGIIGIGIIGIIGI!】
Sebuah sirip.
Tooth Fin.
Apakah dia… mengikutiku selama ini?
【GIGIGIGIGIGIGIIGIGIIGIGI!】
Matanya menatapku tajam — memperingatkan.
“Kabur.”
Tubuh raksasanya menabrak dinding subway berulang kali, taringnya beradu dengan logam, menimbulkan percikan api.
Kalau dia yang membantu… mungkin aku dan Anna bisa keluar!
【—!!!】
[Pemberitahuan kepada seluruh penumpang.]
Sekali. Dua kali.
【Anda akan segera tiba di tujuan.】
Tiga kali.
【‘Subway Homecoming’ mengucapkan selamat atas perjalanan pulang Anda.】
Gelap.
Cahaya kembali.
“Kejar dia!”
[Sinkronisasi informasi selesai.]
Sakit kepala tajam menyambar sesaat — lalu sesuatu mengalir dalam pikiranku.
「 Way of the Wind mengalir di ujung jari kakiku. 」
“Di sana! Itu dia!”
Sasaran yang kami kejar akhirnya terlihat.
Siluet dengan mantel hitam dan punggung lebar yang sangat familiar.
Sesaat aku terpaku — lalu Srak!
Salah satu kepala pria bertopeng terpenggal di udara.
“Kyaaaaak!!”
Apa-apaan ini.
Aku melompat ke samping, bersembunyi di balik hutan.
Yoo Joonghyuk.
Racun yang menembus penghalang spiritual, mungkin setara racun langit.
Entah karena jebakan, atau pilihan bunuh diri.
Berapa lama aku menyaksikannya?
“Yoo—”
Tatapan yang memandangku… bukan sebagai sekutu.
“Energi ini… aneh.”
「 Yoo Joonghyuk tidak mengenaliku. 」
Refleks, aku mengaktifkan [Character List].
[Skill eksklusif ‘Character List’ aktif.]
[Informasi terlalu banyak. Mengonversi ke ‘Summary List’.]
Yoo Joonghyuk menatapku tajam… lalu tumbang.
Dan dari balik pepohonan, suara-suara berteriak.
“Di sana dia!”
Aku menatap punggung Yoo Joonghyuk yang rebah di tanah.
「 Semua subway menuju ‘Tujuan’. 」
Kepalaku berdengung.
“Cepat! Bunuh dia!”
Sial. Tidak ada waktu berpikir.
Aku tidak berpikir lama.
“—Bunuh dia.”
822 Episode 41 Sophistry (6)
「 Sebenarnya, tak perlu kulakukan ini. 」
Namun imajinasi aneh terus menghantuiku.
「 Benarkah hanya rekaman belaka? 」
“Di sana dia! Bajingan itu!”
“Bangun! Hei!”
Setelah berlari entah berapa jam, aku merasakan kekuatan dan mana perlahan terkuras.
“Akhirnya kutemukan.”
Blood Demon.
Kenapa orang sebesar itu muncul di sini?
“Cheon Inho, kenapa tiba-tiba kau berkhianat pada kami?”
Jadi mereka saling kenal, ya.
Aku memaksa tersenyum, membuka mulut dengan nada ringan.
“Aku tidak berkhianat, sebenarnya.”
“Letakkan tiran itu.”
“Sulit. Aku masih membutuhkannya.”
“Kau berniat mengungkap Hukum Regresi, bukan?”
“Bukankah kita sepakat menelitinya bersama?”
Apa yang sebenarnya dilakukan Cheon Inho di Putaran ke-40 ini?
Baiklah. Kalau begitu, peranku sudah jelas.
“Aku akan menyingkap Hukum Regresi dan membagikannya padamu. Jadi, Blood Demon-nim, minggirlah sedikit.”
“Apa jaminannya aku bisa mempercayaimu?”
“Supreme King sudah gila. Kalau dibiarkan, dia akan regresi sebelum kita sempat mempelajari apapun.”
“…”
“Kau tahu aku punya [Incite]. Setelah Yoo Joonghyuk pulih sedikit, kalau kubangkitkan dengan mental barrier-nya yang lemah, kita bisa menggali rahasia regresi itu bersama—”
“Aku akan menghitung sampai tiga.”
Suara Blood Demon sedingin baja.
“Tinggalkan tiran itu, maka kubiarkan kau hidup.”
Tampaknya bujukan tak akan berhasil.
Satu-satunya jalan adalah membangunkan Yoo Joonghyuk — tapi itu mustahil setelah ia memakai [Knight Resurrection].
Sial, kenapa bocah ini malah datang ke sarang kultus darah dan membuat segalanya rumit—
「 Untuk apa Yoo Joonghyuk datang ke sini? 」
Huruf-huruf Tionghoa terukir di atasnya.
「 Blood Spirit Clan. 」
Aku mengangkat botol kecil itu, dan Blood Demon tersenyum dingin.
“Kau pikir situasinya akan berubah kalau memakannya?”
“Setidaknya aku bisa menelan air suci Blood Cult. Kalau kumakan ini, kau takkan bisa menyerap energi mereka.”
Blood Spirit adalah warisan pemimpin kultus dari generasi ke generasi — kekuatan jahat yang tercipta dari pengorbanan sepuluh ribu master agar manusia bisa menjangkau bintang.
Aku yakin Blood Demon yang dulu membunuh Breaking the Sky Sword Saint juga menelan ramuan ini.
Kalau begitu, setidaknya aku bisa mengancamnya.
“Silakan coba.”
Gelombang qi hitam bergetar di genggamannya.
Absorption Technique.
Teknik sihir jahat yang menyerap energi lawan secara langsung untuk memperkuat diri.
“Makan sekarang.”
Sial. Tapi tak ada pilihan lain. Aku akan mati juga kalau diam.
“Baiklah, selamat menikmati pertunjukan.”
Tanpa ragu, aku menuangkan seluruh ramuan itu ke mulutku.
Mata Blood Demon melebar.
“Bodoh! Kalau kau menelannya begitu saja—!”
[Skill eksklusif ‘Fourth Wall’ aktif.]
Aku sempat ragu — tapi tak ada jalan lain untuk hidup.
“Bagaimana bisa…”
“Blood Demon. Apa kau lupa siapa aku?”
“Kau—”
“Aku adalah Evil Sophist, Penipu Bintang.”
Entah Cheon Inho benar-benar dijuluki begitu atau tidak, tapi aku terus bicara, memancing kelengahan.
“Mati kau!”
Dia menyerang duluan — dan aku membalas.
Aku menarik napas, lalu berkata tenang.
“Kau gugup, bukan? Takut kalau aku lebih kuat darimu?”
“Tutup mulutmu!”
“Kau tahu apa bedanya kau dengan Supreme King? Meski kau dapatkan Hukum Regresi, kau takkan pernah sekuat dia.”
[‘Incite Lv.10’ aktif.]
“Apa yang kau tahu—!”
“Dari penjahat rendahan. Saat pertama kali memasuki dunia bela diri, kau memungut sisa-sisa Iblis Agung dan memperoleh ‘Blood Spirit Divine Skill’.”
Rahasia kelamnya — seperti yang pernah kutemukan di Ways of Survival.
“Kau tahu juga bahwa kau tak berbakat. Satu jurus saja tak bisa kau kuasai meski seratus tahun berlatih. Kau menyerah di Time Fault dan lari keluar.”
“Itu—”
“Dengan tekad selemah itu, kau ingin ‘regresi’?”
[‘Incite’ diperkuat.]
Blood Demon mulai gemetar.
“Aku bisa! Kalau aku bisa kembali, kalau aku bisa regresi seperti dia—”
“Tidak. Kau tidak bisa. Regresi tak berguna bagi sampah yang tak bisa menahan seratus tahun pun penderitaan.”
“Tidak! Aku juga—!”
[‘Incite’ diperkuat!]
“Kecoak yang hidup seratus tahun tetaplah kecoak. Tak peduli berapa lama kau bertahan, kau bukan naga. Kau hanya bajingan kelas tiga. Bahkan jika kau regresi, kau tetap sama. Itu takdirmu. Itulah dirimu.”
[‘Incite’ sukses!]
Blood Demon jatuh tersungkur, tubuhnya menggeliat seperti belut di lumpur.
Bahkan saat menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, aku nyaris tak percaya efek Incite sekuat itu.
Cheon Inho benar-benar iblis bertutur.
Aku menatapnya sebentar — lalu kembali berlari.
「 Efek Incite tak akan bertahan lama. Aku harus pergi sebelum dia sadar. 」
“Kejar mereka!”
Di bawah sana, sungai deras berputar, berkilau samar di bawah bulan.
Tak ada jalan lain.
“Pegang erat, Yoo Joonghyuk.”
Kupeluk tubuhnya dan meloncat ke jurang.
Itu — naluri seorang penulis.
Cheon Inho dan Yoo Joonghyuk tidak akan mati di sini.
Dan jika keduanya hidup—
Sebuah suara akrab berbisik di telingaku.
【Bagus. Inilah kisah yang kutunggu, Kim Dokja.】
⋯
「 Pegang erat, Yoo Joonghyuk. 」
“Muridku.”
Cahaya terang menyelimuti mereka.
“Putaran keberapa kali ini kau memberiku ingatan?”
“Putaran ke-32.”
“Kurasa ini Putaran ke-41.”
“Ada juga putaran yang tak kuberikan ingatan.”
Saint itu tidak bertanya alasannya. Ia hanya tersenyum lembut.
“Kalau kau memberiku ingatan, pasti karena alasan yang sangat mendesak.”
Namun tetap, ia menyeret Breaking the Sky Sword Saint kembali ke pusaran waktu.
“Aku harus menjadi lebih kuat.”
“Kau sudah cukup kuat. Lebih dari yang sebelumnya, dan sebelumnya lagi.”
“Aku harus lebih kuat dari itu.”
“Untuk apa?”
“Lucu, ya?”
“Aku juga tak paham.”
“Sepertinya muridku yang keras kepala ini akhirnya punya seorang teman.”
“Itu bukan alasannya.”
Saint itu tersenyum tipis, lalu rautnya berubah serius.
“Kau berencana masuk ke Time Fault?”
“Ya.”
“Kau tahu artinya bagi dirimu.”
“Kau akan kembali ke dunia yang gagal kau lindungi.”
Saint tahu persis kisah siapa yang menunggu di sana.
“Semakin sering kau masuk, semakin gila kau jadinya. Tak ada pikiran manusia yang bisa menahan itu.”
“Tetap saja, aku harus pergi.”
Ia menarik napas, lalu mengangguk pasrah.
“Baiklah. Kau pergi sekarang?”
“Ya.”
“Bersiaplah. Aku akan mengantarmu sampai pintu Fault.”
“Terima kasih, seonsaengnim.”
Saint itu bertanya lagi.
“Kau akan memakai Fault ke-32 lagi?”
“Tidak.”
“Kali ini… aku akan masuk ke Fault ke-40.”
823 Episode 41 Sophistry (7)
Apa itu kehidupan yang ditulis dalam teks?
Ketika aku memikirkan kehidupan para tokoh, kadang muncul rasa sedih yang sulit dijelaskan.
Lalu ke mana perginya sisa hidup mereka — bagian-bagian yang tidak menjadi “adegan utama”?
“Aku bosan.”
Mungkin saat ini juga adalah salah satu bagian yang hilang begitu saja dari cerita itu.
“Kau hanya bicara omong kosong.”
Tiga bulan setelah menyelamatkan Yoo Joonghyuk dari kelompok Blood Cult di Putaran ke-40.
Aku terhempas bersama Yoo Joonghyuk ke dalam Void.
Kalau dijelaskan singkat, Void adalah seperti ini:
[Hidden Scenario – Memasuki ‘Earth Void’!]
Common area adalah wilayah di mana monster level 5 ke atas — monster yang masing-masing bisa menjadi penguasa jenisnya sendiri — berkumpul.
“Tahan sebentar lagi. Hitung sampai sepuluh menit dalam hati.”
“Kalau terus bicara, dia akan menemukan kita.”
Kami menunggu dalam diam sampai monster level 2, Red Dragon, pergi.
Ironis sekali — tempat kami jatuh ternyata sarang naga merah. Tapi di sisi lain, mungkin itu keberuntungan.
Begitu naga itu pergi berburu, kami memeriksa sarangnya.
“Ketemu.”
Kolam lava naga merah.
Beberapa ikan aneh berenang di dalamnya.
Mannyeonhwari.
Yoo Joonghyuk, yang menatapku bekerja, berkata pendek:
“Salah.”
“Tidak, ini cara yang benar. Pemakaian mananya juga sudah pas.”
“Kalau disiapkan begitu, separuh energi dalamannya hilang.”
“Sebagai gantinya, lebih mudah dicerna. Pasien diam saja.”
Alasan aku repot-repot memasak — padahal jelas tak ahli — karena pria menyebalkan dari Putaran ke-40 itu.
Setelah jatuh dari tebing, dia hidup, tapi akibat racun tak berwujud, seluruh qi internal Yoo Joonghyuk lumpuh.
“Kalau saja kau tidak memakan Blood Spirit milikku, ini takkan terjadi.”
“Ya, salahku.”
“Sampah.”
“Apa? Kau bahkan belum mencicipi!”
“Aku tahu tanpa mencicipi.”
“Lalu kenapa tidak kau yang masak sendiri?”
“Untuk mengolah Mannyeonhwari butuh energi internal. Aku tak bisa memakai mana sekarang.”
Dia menelannya juga akhirnya, dengan ekspresi seolah disiksa.
Dan baru kali ini aku paham kenapa Yoo Joonghyuk dan Cheon Inho di Putaran ke-40 bisa sekuat itu.
Kalau setiap hari makan hal macam ini, ya wajar saja tubuh mereka jadi sekeras bintang.
Tapi memikirkannya membuatku resah.
Sulit dipercaya, tapi tidak mustahil.
Yoo Joonghyuk mengunyah perlahan, lalu bergumam:
“Energi internalku mulai kembali.”
Itulah momen di mana tiga bulan perjuanganku akhirnya berbuah.
「 Mungkin sekarang aku bisa keluar dari Fear ini. 」
Karena kalau aku terlalu gembira, Fear ini bisa saja mengurungku lagi.
Dan menurut intuisi penulis dalam diriku, akhir dari Fear ini adalah:
“Saat Yoo Joonghyuk memulihkan energi internalnya di Putaran ke-40.”
Itu akhir yang cocok untuk satu putaran.
“Bagus.”
Kalau begitu, keluar dari gua ini bukan masalah lagi.
“Aku berutang padamu.”
Aku nyaris tersedak mendengarnya.
Apa benar bocah ini baru saja berterima kasih?
“Kalau begitu, lunasi utangnya.”
“Baik.”
“…Apa?”
Yoo Joonghyuk mengernyit.
“Katakan apa yang kau mau.”
Utang Yoo Joonghyuk. Barang langka seperti ini tidak boleh disia-siakan.
Aku berpikir sebentar, lalu menjawab:
“Tidak sekarang. Bayar di Putaran ke-41.”
Dia menatapku tak percaya.
“Aku lupa, kau tahu soal regresi. Tapi aku tak bisa menepati janji itu.”
“Kenapa?”
“Karena yang akan datang nanti bukan lagi ‘kau’ yang ini.”
“Kau tahu itu?”
“Saat Putaran berganti, semua orang kecuali aku kembali ke masa lalu. Ingatan lenyap, sejarah dilupakan. Hanya beberapa baris anekdot yang tersisa.”
Beberapa baris anekdot.
“Kenapa kau bicara seolah itu hal tragis? Bukankah begitu cara hidup kita semua?”
“Apa maksudmu?”
“Sebagian hal dilupakan. Sebagian lain diingat. Yang tersisa jadi adegan, kalimat, kisah. Momen berharga, kesedihan, semuanya akhirnya tinggal beberapa baris cerita.”
Yoo Joonghyuk tampak berpikir sejenak, lalu menjawab pendek:
“Kenapa kau bicara begitu?”
“Maksudku, jangan remehkan beberapa baris itu.”
Karena terkadang, hanya beberapa kalimat bisa mengubah seluruh hidup seseorang.
“Lucu. Kudengar dari orang yang bahkan tak ingat siapa dirinya.”
“Ya. Maaf.”
“Katakan keinginanmu yang sebenarnya. Kalau terus mengoceh, aku takkan bayar utang.”
“Kau tidak bisa melunasi utang itu, bahkan nanti.”
“Apa lagi maksudmu?”
“Aku tidak bicara omong kosong. Pikirkan ini.Kau berutang padaku hari ini, lalu sebulan kemudian kau membayarnya. Apakah Cheon Inho hari ini dan Cheon Inho sebulan mendatang orang yang sama?”
“…”
“Orang akan bilang ‘ya’, karena dunia punya terlalu banyak kisah yang menyebut mereka orang yang sama.”
“…”
“Tapi kalau sebulan kemudian aku kehilangan semua cerita dan ingatanku — apakah aku masih orang yang sama?”
“…”
“Wajahnya sama, sifatnya mirip, masih suka bicara omong kosong, masih tertawa bodoh. Tapi apakah dia benar-benar aku?”
Aku menatapnya dan berkata pelan:
“Tapi kau bisa.”
“Apa maksudmu?”
“Anggap saja aku di Putaran berikutnya orang yang sama.Katakan pada dirimu sendiri: ‘Orang ini kehilangan ingatannya, tapi dia tetap Cheon Inho yang kukenal.’Perlakukan dia seperti kau memperlakukanku sekarang.”
“Kenapa aku harus begitu?”
“Agar kau tidak sendirian.”
“Berhentilah hidup seolah kau satu-satunya tokoh utama di dunia ini. Seolah kau sendirian menanggung kegelapan semesta.Kalau orang lain lupa, biarkan.Kau saja yang mengingat.Bilang dalam hati: ‘Dia orang dari Putaran sebelumnya. Dia lupa, tapi aku ingat. Maka aku akan membalas dendam untuknya.’Bukankah kau melakukan hal itu pada para villain? Aku pun villain.”
“Bahkan kalau aku menolongmu di Putaran ke-41, kau takkan mendapat apa-apa sekarang.”
“Siapa bilang? Aku akan mendapat bantuan di Putaran ke-41.”
“Apa?”
“Kehidupan selanjutnya, aku ingin naik bus Regressor dan hidup santai.”
“Kau gila.”
“Kau pikir cuma kau yang boleh begitu?”
Sudah waktunya pergi.
Namun sebelum itu, Yoo Joonghyuk berbicara.
“Cheon Inho.”
“Hm?”
“Masih lama sebelum Putaran ke-41 datang.”
Dia tidak menatapku, tapi entah kenapa rasanya tatapannya menembus langsung ke diriku.
“Lalu?”
“Aku tak berniat menyerah di Putaran ini.”
Saat itu, aku tahu maksudnya.
“Bantu aku di Putaran ini.”
Aku terpaku.
Namun ketika mata kami bertemu, aku sadar sesuatu.
「 Yang dia lihat bukan aku. 」
Orang yang ingin dijadikannya rekan… bukan aku.
Kesadaran itu menusuk dada.
“Yoo Joonghyuk.”
“Yoo Joonghyuk, nama asliku—”
Dan di dunia yang hanya tersisa beberapa baris kalimat, aku menjeritkan namaku padanya.
[Anda kini dapat membaca “Ending yang terlupakan” dari ■■-level Fear, Evil Sophist.]
824 Episode 41 Sophistry (8)
[Ending yang Terlupakan dapat dibuka di ‘Rak Buku Terakhir’.]
[Saat membuka ending, Anda dapat menggunakan ‘Time Fault’ eksklusif untuk Putaran tersebut.]
Pesan yang bergema di dalam kepalaku sulit untuk kupahami sepenuhnya.
Semuanya terasa tidak nyata.
「 Apa semuanya hanya ‘Fear’? 」
[■■ Efek sisa dari Fear yang tiba-tiba mulai merambat.]
—Hei.
Aku adalah—
—Maknae!
Aku tersentak sadar.
“Ah—”
—Ya. Kerja bagus.
Aku bergumam, masih setengah sadar.
“Yoo Joonghyuk. Apa yang terjadi dengan Yoo Joonghyuk?”
—Apa maksudmu? Di mana Yoo Joonghyuk?
“Yoo Joonghyuk dari Putaran ke-40. Dia ada di sana!”
—Aku tahu apa yang kau lihat, tapi sadarlah. Semuanya sudah selesai. Ceritanya sudah berakhir.
Kalimat itu menusuk hatiku.
“Tidak. Belum ada yang berakhir.”
—Putaran itu sudah berakhir.
—Yoo Joonghyuk itu datang ke Putaran ini bersamamu.
Aku ragu, lalu menatap layar ponsel.
“Tidak… aku—”
—Kau Maknae. Sadarlah cepat. Di depan—
[Inkarnasi Anda terbangun di ‘Subway dalam Perjalanan Pulang Kerja’.]
Fear itu jelas sudah berakhir.
Tapi kenapa aku masih berada di Subway Pulang Kerja ini?
Jawabannya segera muncul.
[Anda telah membuka Bab 1 dari ‘■■-level Fear: Evil Sophist’.]
Kereta ini… belum sampai di tujuan.
「 Caraku ‘melihat dunia’ melangkah setingkat lebih jauh. 」
“Hei.”
Anna Croft.
Ia juga tampak pingsan seperti aku barusan, kini perlahan membuka mata.
“Ah… ah… Cheon Inho. Tidak…”
“Tenang.”
Anna, yang masih terengah, akhirnya berbicara pelan.
“Ada pesan… bahwa interpretasi gagal.”
“Tapi katanya, karena orang yang naik bersamaku berhasil, kau akan diberi satu kesempatan lagi…”
Mata Anna membulat.
“Cheon Inho, kau—”
“Ya. Aku berhasil menginterpretasikan Fear itu.”
“Aku berutang padamu.”
Rasanya aneh mendengar kata-kata itu lagi — setelah Yoo Joonghyuk sebelumnya.
“Apa yang kau lihat di dalam Fear?”
Melihat Anna tidak muncul di kisah Putaran ke-40 yang kualami, pasti ceritanya berbeda.
“Aku tidak tahu. Aku tidak ingat.”
“Tidak ingat sama sekali?”
“Tidak. Aku hanya ingat… ada pesan bahwa aku tidak memenuhi syarat.”
Tidak memenuhi syarat?
“Dan setelah itu, muncul pesan: interpretasi rusak, gagal.”
Aku berpikir sejenak dan mengangguk.
“Masih ingat apa yang kau katakan sebelum kita masuk Fear?”
Aku mengingat kembali — tepat sebelum lampu subway berkedip tiga kali gila-gilaan.
“Saat aku bertanya siapa aku, kau bilang aku salah satu rekan terdekat Yoo Joonghyuk. Apa maksudnya?”
“Aku… mengatakan itu?”
Raut wajahnya menunjukkan kebingungan total.
“Memang benar dulu kau pernah jadi rekan Yoo Joonghyuk, tapi… rekan? Tidak mungkin… rekan…?”
Matanya berputar cepat, merahnya berkilat.
Mata Great Demon.
“Huh… apa ini?”
Aku tahu apa yang terjadi.
“Kenapa [Past Sight]… tidak berfungsi?”
Putaran ke-40 — dunia tempat Yoo Joonghyuk, Cheon Inho, dan Anna hidup — kini telah menjadi rekaman yang tak bisa lagi ia baca.
Mungkin ini akibat dari interpretasiku terhadap Fear itu.
Entah ini kabar baik, atau sebaliknya.
“Sudahlah, jangan paksa dirimu. Masih ada masalah yang lebih besar.”
Aku menatap sekitar dengan hati-hati.
Artinya, kabin ini sudah terserang Crime Zone — dan seseorang telah membantai semuanya.
“Ya Tuhan… kalau begini—”
“Tenang. Kita mendekati Fear dengan cara berbeda dari mereka.”
“Ah.”
「 Engine Room. 」
Aku bertukar pandang dengan Anna, lalu perlahan melangkah masuk.
Begitu melewati ambang pintu, ruang itu menelan kami.
Dialah Engineer.
Tanda tanya itu menatap langsung padaku.
【Masuklah.】
「 Manusia bodoh tak tahu bahwa singgasana Tuhan menjulang tinggi. 」
Tubuh Anna di sebelahku langsung kaku.
【Temanmu itu akan tetap begitu sebentar. Dia tidak layak mendengar suaraku.】
Tanda tanya itu memanjang di sisi-sisinya — seperti senyum miring yang hidup.
Di layar monitor tua, terputar potongan adegan tiga bulan yang kujalani bersama Yoo Joonghyuk.
“Apa yang kualami… benar-benar terjadi?”
【Sudah kubilang, kau berada dalam Seon.】
Seon — tidur yang tidak sepenuhnya dalam.
“Jadi aku bermimpi?”
【Siapa bilang? Apa bedanya mimpi dan kenyataan?】
“Tentu berbeda. Mimpi adalah mimpi, kenyataan adalah kenyataan.”
【Dan siapa yang menentukan itu?】
“Apa?”
Engineer menatapku sesaat, lalu menambahkan:
“Oldest Dream.”
Engineer tersentak.
Aku melanjutkan:
“Bagi seseorang yang bermimpi sepanjang hidupnya,mimpi itu sendiri adalah kenyataan.”
Engineer tertawa kecil — seolah jawaban itu menyenangkan.
【Aku pernah mendengar kata-kata serupa dari seorang pria, dulu sekali.】
“Chief. Jangan-jangan kau…”
Julukannya adalah—
【Sst. Sekarang aku adalah Fearsome Engine Manager.】
“Apakah kau baik-baik saja?”
Manager itu memahami maknaku, lalu diam sejenak sebelum mengangguk.
“Lalu… apa yang akan kau lakukan padaku sekarang?”
“Tujuan…”
Aku berpikir sebentar, lalu menjawab pelan.
“Tempat yang ingin kutuju…”
【Aku tahu.】
【Kau ingin pergi ke Rumah Besar.】
