Rabu, 05 November 2025

Episode 41 Sophistry

817 Episode 41 Sophistry (1)

Sebuah kisah ada karena tidak semua hal bisa tercatat.

Hal-hal yang tak dapat dikisahkan akan lenyap di luar skenario,
dan kadang-kadang mereka muncul kembali di semesta dalam bentuk yang asing.

Mereka biasa disebut sebagai Dewa Luar Dunia,
atau Outer Gods.

Namun tak ada nama yang mampu menampung kesedihan mereka,
sehingga para Recorder hanya menyebut mereka dengan satu kata—Fear.

Recorder of Fear

❄️

Butiran salju jatuh ke wajahnya dan meleleh hangat.
Gilyoung membuka mata pada sensasi lembut itu.

“Hyung.”

Begitu ia membuka mata, hamparan salju putih membentang sejauh mata memandang.
Dan di ujung padang salju itu—
seseorang yang sangat ia rindukan berdiri.

Sosok yang melambaikan tangan kurusnya dengan ringan,
seseorang dengan senyum kesepian yang begitu indah.

Ia tersenyum seperti biasa—
dan menghilang di balik salju putih yang sama pucatnya dengan wajahnya.

“Dokja-hyung!”

Nama yang tak pernah ia pikir bisa ia panggil lagi.
Gilyoung berteriak sekeras yang ia bisa.

“Kim Dokja!”

Kenangan pun bermunculan.

Ia datang ke tempat ini untuk mencari Kim Dokja.

Untuk bisa bertemu lagi,
untuk bersatu dalam wujud yang utuh,
mereka semua memilih satu ending.

Mereka mengumpulkan pecahan-pecahan dirinya dari reruntuhan kelabu tanpa kehidupan.
Mereka menerima tragedi untuk sekali lagi menjadi bagian dari scenario.

Mereka datang ke Pusat Daur Ulang.

“Dokja-hyung! Dokja-hyung!”

Saat pertama kali melihatnya,
Lee Gilyoung menolak mempercayai bahwa itu adalah Kim Dokja.
Ia tak sanggup memanggilnya “Kim Dokja” hanya karena sosok itu memiliki sebagian dari kenangannya.

Bagi Lee Gilyoung, Kim Dokja adalah tokoh utama—dan dewa.

Kim Dokja dalam ingatannya adalah sosok yang maha tahu.
Seorang pria yang tahu segalanya dan selalu membuat pilihan di luar dugaan siapa pun.

Pria yang bisa memberikan seekor belalang kecil
kepada anak lelaki sepertinya di tengah tragedi kereta bawah tanah
yang dipenuhi manusia saling membunuh.

Kim Dokja seperti itulah baginya.

Itulah sebabnya ‘Putaran ke-41’ terlalu lemah untuk disebut Kim Dokja.

Ia mirip wajahnya, cara bicaranya pun serupa,
tapi bagaimanapun, ia tetap lemah—
seseorang yang bahkan tak bisa melindungi bulan seorang diri.

Lee Gilyoung terus memperhatikannya dari balik bayangan skenario,
takut jika orang itu mati sewaktu-waktu.

Semakin lama ia melihat, semakin jelas perbedaannya.

Ia menolong orang-orang tanpa sadar bahwa dirinya akan mati,
berjuang demi orang-orang yang bahkan tak layak diselamatkan,
dan bahkan tak bisa mengubah skenario yang ada di depan matanya—
hanya menatap masa depan yang jauh dengan mata kosong.

Itu bukan Dokja-hyung.

Begitulah yang selalu ia pikirkan,
sambil terus menonton kisahnya.

Ia melihat orang itu berjalan perlahan menapaki skenario,
dan satu per satu orang mulai mengikutinya.
Jalan yang ditempuhnya berbeda dari jalan yang pernah dilalui <Kim Dokja Company>.
Dan entah kenapa, Gilyoung sering berpikir—

Apakah Dokja-hyung selalu sekuat itu sejak awal?

Kim Dokja dalam ingatannya adalah sosok yang sempurna sejak awal.
Orang yang memegang seluruh catatan dunia di tangannya.
Tapi benarkah Kim Dokja memang seperti itu?
Atau semua itu hanyalah ilusi yang mereka ciptakan?

Mungkin, Dokja-hyung juga ingin melarikan diri setiap saat.
Mungkin ia tidak ingin berjuang.
Mungkin ia takut mati.

Mungkin justru ia yang paling menderita karena harus membuka jalan baru
yang tak pernah dilalui siapa pun sebelumnya.

“Tunggu sebentar saja.”

Meski begitu, Kim Dokja tetap berjuang,
dengan beban ilusi harapan para rekannya di pundak.

Ia adalah Kim Dokja yang mahatahu.
Kim Dokja yang harus selalu berkorban sendirian.

Lee Gilyoung membenci Kim Dokja yang seperti itu—
yang memikul segalanya sendiri,
yang selalu tersisa sendirian di akhir.

Ia berharap hyung-nya berhenti berkorban.
Ia berharap hyung-nya tidak ditinggalkan lagi.
Namun pada akhirnya—atau mungkin justru karena itu—

“Aku akan menulis kalimat itu mulai sekarang.”

Ketika pria itu mengambil keputusan yang sama seperti “Kim Dokja” yang asli,
Lee Gilyoung tak punya pilihan selain mengakuinya.

“Jangan pergi! Jangan lakukan itu!”

Orang itu adalah Kim Dokja.

“Kumohon! Jangan lakukan itu!”

Kim Dokja yang ia cari selalu adalah Kim Dokja yang meninggalkannya.
Dalam ironi itu, Gilyoung terus berteriak
pada punggung yang perlahan menghilang di balik salju.

[Story ‘Demon King of Salvation’ memulai narasinya kembali.]

Tidak boleh.
Ia tidak boleh membiarkan kisah itu tercatat lagi.
Tidak boleh membiarkan Kim Dokja mati lagi.

Dan ketika ia berusaha meraih tangan itu sekali lagi—

“Kau sudah berjuang keras. Sekarang kau akan kembali.”

Suara yang menjawab bukanlah milik Kim Dokja.
Melainkan milik pengawas
lelaki tua yang membawanya ke Recycling Center.

“Tidak.”

Gilyoung menggeram.
Ia belum menyelesaikan tugasnya.
Ia belum menyelamatkan hyung-nya dari dunia lain.

Namun kepala Recycling Center—si Mass Producer—menggeleng pelan.

“Kisah antara kau dan dia sudah berakhir.”

“Apa omong kosong itu.”

Kisah mereka belum berakhir.
Baginya, Kim Dokja masih adalah tokoh utama.
Masih tuhan dunia ini.

“Bukankah Han Sooyoung sudah menutup cerita di mana dia menjadi tokoh utama?”

Mendengar nama itu, wajah Han Sooyoung langsung terlintas di pikirannya.

Benar, Han Sooyoung.

Mungkin dia bisa.
Dia pasti bisa mengubah catatan ini.

Namun kali ini, Mass Producer kembali menggeleng.

“Cerita lain sudah dimulai.”

Lee Gilyoung ingin bertanya apa maksudnya.

Kim Dokja masih ada.
<Kim Dokja Company> masih mencarinya.
Jadi bagaimana bisa cerita ini dikatakan selesai?

Peran mereka seharusnya belum berakhir.

“Kau… belum tahu apa-apa, ya?”

Mass Producer menatapnya iba.
Tangannya yang keriput terulur, menyentuh lembut pipi anak itu.

“Tidak, mungkin akan lebih baik jika kau terus tidak tahu.”

🌨️

Saat membuka mata, ia kembali melihat padang putih.
Namun kini, langit-langit rumah sakitlah yang tampak di atas kepalanya.

Cairan hangat mengalir di sudut matanya.
Sebuah tangan dingin menghapus air mata itu dengan lembut.

“Bodoh. Kau sudah sadar?”

Lee Gilyoung menoleh.
Shin Yoosoung menatapnya di sisi ranjang.
Keduanya saling menatap lama dalam diam.

“Kita gagal,” ucap Gilyoung lirih.

Kali ini, dua anak itu gagal menyelamatkan Kim Dokja.


<Kim Dokja Company> berkumpul untuk pertama kalinya.

“Gilyoung. Bukankah kau punya sesuatu untuk dikatakan pada semua orang?”

Yoo Sangah menatapnya lembut.
Anak laki-laki itu menarik napas panjang sambil menahan tatapan seluruh anggota kelompok.

“B-Bisa nanti saja? Badanku masih kaku… leherku juga agak sakit…”

Ia tak berbohong.
Tubuhnya rusak di beberapa bagian akibat efek balik probabilitas.
Untungnya, sang Constellation pelindungnya—Abaddon—menyerap sebagian dampaknya.
Luka itu tidak mematikan.

Namun kali ini, ia tidak bisa bersembunyi di balik alasan sakit.

“Kau bukan satu-satunya yang terluka.”

Suara Yoo Sangah terdengar dingin—langka sekali.
Gilyoung menunduk dan menatap sekeliling.

Yoo Sangah, Lee Seolhwa, Shin Yoosoung, dan bahkan pria gelap itu—
tidak satu pun tampak benar-benar terluka.

Apakah maksudnya…?

“Aduh, sudah, jangan dimarahi terus. Anak kecil ya wajar salah.”

Suara nyaring datang dari pintu yang berderit terbuka.
Shin Yoosoung segera berdiri, membantu seseorang yang berjalan tertatih masuk.

“Unni! Kenapa keluar? Kau belum boleh—”

“Ah, kenapa sih? Aku baik-baik saja. Sudah sembuh kok.”

“Sembuh apanya! Seolhwa bilang kau masih harus istirahat—”

Gilyoung menatap dengan mata membulat.
Lee Jihye masuk sambil melambaikan tangan kanan—
seluruh tubuhnya terbungkus perban.

“U-Unni?”

“Kenapa?”

“Itu… kenapa seluruh tubuh dibalut perban?”

“Kenapa memangnya?”

Ya, orang bisa membalut luka.
Tapi di dunia ini, ada banyak cara untuk sembuh cepat:
obat yang menyembuhkan luka semalaman,
salep yang bisa menumbuhkan kulit baru dalam hitungan menit.

Kalau begitu, mengapa Lee Jihye masih berbalut perban?

Karena tidak ada cara lain untuk menyembuhkan luka itu.

“Kenapa kalian semua menatapku begitu? Aku benar-benar baik-baik saja, kok.”

Namun bahkan saat berkata begitu, ia nyaris tak mampu mengangkat tangannya.
Akhirnya, setelah diserang omelan Shin Yoosoung, Lee Jihye duduk di kursi dan terkekeh.

“Sudahlah, jangan terlalu keras pada anak itu. Wajar kalau anak kecil berbuat kesalahan. Dari situlah mereka belajar.”

Hanya saat itulah Gilyoung mengerti kenapa Lee Jihye terluka begitu parah.
Tangannya dingin, tubuhnya gemetar.

Biasanya ia akan marah, membentak,
“Siapa suruh datang menyelamatkan lama-lama!”
Tapi kali ini, ia tak bisa mengucapkannya.

“Noona…”

Lee Jihye hanya tersenyum kecil.

“Hei, sungguh, ini bukan apa-apa. Aku cuma agak kaku karena lama nggak bertarung.”

“…Siapa yang melakukannya?”

“Kenapa? Mau balas dendam?”

“Katakan.”

“Tombak yang Menarik Batas Laut.”

“Poseidon.”

Gilyoung mengepalkan tangan.

Lee Jihye tertawa kecil sambil batuk pelan.

“Hei, bukankah lumayan hebat aku bisa bertarung sejauh ini dengan Poseidon? Bagaimanapun, dia dewa ketiga di <Olympus>.”

“…”

“Aku bilang kan aku pakai [Ghost Fleet]? Aku tembak ratusan peluru per detik sambil ubah naskah cerita, dan ekspresi kakek tua itu langsung pucat—”

Namun Gilyoung hanya menunduk, bahunya bergetar.

Ia ingin bertanya—
kenapa Noona datang sejauh itu hanya demi menyelamatkannya?

Ia ingin mengatakan—
seandainya Noona tidak datang pun tak apa.
Ia pasti bisa selamat…
tanpa membuatnya terluka begitu parah.

“Gilyoung, aku tahu apa yang kau pikirkan.”

Dengan tangan penuh perban, Lee Jihye menepuk pundak anak lelaki itu.

“Aku dulu juga sepertimu.”

Ia menatap kelompok mereka dengan mata sendu.
Dan sambil menunduk, ia berkata pelan—

“Jadi… maafkan aku.”

Dan seketika itu juga, sesuatu di dalam Gilyoung pecah.
Ia berdiri mendadak, lalu jatuh berlutut di lantai.

“Aku salah. Aku minta maaf. Maaf sudah membuat kalian khawatir. Aku benar-benar minta maaf…”

Lee Seolhwa menenangkan keduanya, menyodorkan minuman hangat.

“Tenanglah, kalian berdua. Minumlah ini dulu.”

Tidak ada yang menyalahkan anak-anak itu.
Tidak Yoo Sangah, tidak Lee Seolhwa, tidak bahkan Yoo Joonghyuk.

Semua tahu—
mereka akan melakukan hal yang sama seandainya berada di posisi anak-anak itu.

“Yang penting mereka masih hidup.”

Kata-kata itu keluar dari mulut Yoo Joonghyuk.

Kata-kata sederhana itu saja
sudah cukup untuk membuat semua orang memandangnya kaget.

Yoo Joonghyuk mengernyit.

“Cukup. Jangan bahas hal yang tak perlu. Aku ingin tahu kenapa kita dipanggil ke sini.”

Yoo Sangah mengangguk.
Benar—mereka tidak berkumpul hanya untuk menegur dua anak itu.
Ada hal yang lebih penting.

“Aku punya dua kabar.”

“Katakan.”

“Yang pertama, tentang Heewon dan Hyunsung.”

Dua nama itu membuat semua yang hadir menelan napas.
Jung Heewon. Lee Hyunsung.

Akhirnya, kabar tentang mereka.

“Sepertinya keduanya sudah mengambil keputusan.”

“Keputusan?”
Ekspresi semua orang menegang sekaligus bersinar harap.

Shin Yoosoung bertanya duluan.

“Hyunsung-oppa dan Heewon-unnie juga di sini?”

“Di mana mereka? Kenapa—”

Namun meski mereka mencari ke segala arah,
tak ada tanda-tanda keberadaan dua orang itu.
Tak ada aura. Tak ada bayangan.

“Ah…”

Dengan desahan kecil dari Shin Yoosoung,
semua orang akhirnya mengerti.

Sama seperti mereka memilih ending mereka sendiri—
dua orang itu pun telah memilih ending mereka sendiri.

Yoo Sangah menunduk pelan dan berkata lembut.

“Keduanya pergi ke ending yang berbeda dari kita.”

818 Episode 41 Sophistry (2)

Lee Hyunsung dan Jung Heewon.

Keduanya memilih ending yang berbeda dari yang lain.
Sudah jelas ke mana mereka akan pergi—

Menuju dunia tempat Kim Dokja berada.

Lee Jihye menjilat bibirnya pelan.

“Kalau begitu… kita tidak akan bisa bertemu lagi?”

Yoo Sangah ragu sejenak sebelum menjawab.

“Belum tentu. Ini mirip seperti dunia yang terbagi ke beberapa worldline.
Mungkin saja, suatu saat nanti, kita akan bertemu kembali.”

“Tapi itu juga belum pasti, kan?”

Yoo Sangah terdiam.
Keheningan itu sendiri sudah cukup menjadi jawaban.

Lee Jihye bergumam lirih, menerima keheningan itu sebagai pengakuan.

“Kalau saja waktu itu kita memilih jalan yang sama…”

“Maka kita tidak akan pernah bertemu dengan ahjussi dari Putaran ke-41.”

Suara Shin Yoosoung memotong tajam kata-kata Jihye.
Nada suaranya tegas, tanpa ragu.

“Heewon-unnie dan Hyunsung-ahjussi sudah memilih yang terbaik untuk mereka.
Dan kita juga memilih yang terbaik untuk kita sendiri.”

Tidak ada satu pun di antara mereka yang menyalahkan keputusan Jung Heewon dan Lee Hyunsung.
Sebaliknya—mereka hanya bisa berharap agar keduanya berbahagia dengan pilihan yang telah diambil.

Faktanya, setiap orang di kelompok itu memilih ending yang berbeda hanyalah cerminan dari bagaimana mereka memahami Kim Dokja.
“Kim Dokja” yang mereka cari mungkin berbeda,
tapi cinta dan penghargaan mereka terhadap orang itu tetap sama.

“Mungkin Dokja-ahjussi juga begitu.”

Ucap Shin Yoosoung pelan.
Seluruh anggota menatap layar di dinding.
Rekaman dari Recycling Center mengalir di sana—

Kim Dokja ke-41, yang kini dikenal sebagai Demon King of Salvation.

Wajahnya yang samar, mata yang menyipit—seolah melihat sesuatu yang jauh di luar jangkauan pandangan manusia—terpampang di seluruh layar.

Lee Jihye bergumam lirih.

“Kalau itu memang pilihan ahjussi, dan dunia yang ingin dia lihat…”

Ia tidak melanjutkan.
Tak perlu. Semua sudah mengerti kelanjutan kalimat itu.

“…Mungkin kita ini hanyalah karakter yang tak cocok untuk cerita ini.”

Keheningan singkat yang berat menyelimuti ruangan.
Dan sosok yang pertama kali memecahnya adalah Yoo Joonghyuk.

“Masih saja bicara hal bodoh seperti itu. Aku tidak tertarik dengan cerita macam apa yang ingin dia lihat.”

“Kalau begitu, kenapa master masih berusaha ikut campur dalam ceritanya?”

“Karena aku ingin menemukan bajingan yang membuat semuanya jadi serumit ini.”

Yoo Joonghyuk berhenti sejenak.
Mungkin karena ia sudah berubah sedikit…
Kali ini, ia tidak menambahkan kalimat yang biasanya keluar dari mulutnya—“lalu kubunuh dia.”

Dengan dahi berkerut seolah tak puas pada dirinya sendiri, Yoo Joonghyuk berbalik menatap Yoo Sangah.

“Kau bilang punya dua berita. Apa yang satu lagi?”

Berita pertama sudah jelas: kabar tentang Jung Heewon dan Lee Hyunsung.
Namun satu lagi masih tersisa.

Yoo Sangah tidak langsung menjawab. Ia memandangi wajah satu per satu rekannya, lalu berkata perlahan.

“Aku juga sependapat dengan Joonghyuk-ssi.
Aku menghormati kehidupan Dokja-ssi… tapi kurasa terlalu dini bagi kita untuk menyerah.”

“Apa Unnie pikir kita masih punya peran untuk dimainkan?”

“Entahlah…”

Tatapan Yoo Sangah jatuh pada layar,
pada mata Kim Dokja yang perlahan membesar di skena Putaran ke-41.

“Kalau dunia ini memang mimpi yang sedang Dokja-ssi alami,
kurasa pasti ada tempat untuk kita juga. Entah sebagai tokoh baik… atau penjahat.”

“Kalau itu Sooyoung, aku yakin dia akan menjadikan kita penjahat.”

Lee Seolhwa menimpali ringan, membuat semua orang tersenyum getir.

Yoo Sangah mengangguk dan melanjutkan,
suara lembutnya bergema tenang di ruangan yang diselimuti nostalgia.

“Berita kedua ini tentang Han Sooyoung.”

“Sooyoung-unnie sudah bangun?”

Han Sooyoung belum sadar sejak pertarungan melawan Outer God demi menyelamatkan Kim Dokja di Putaran ke-41.

“Belum.”

“Benarkah? Lalu… di mana dia sekarang?”

“Aku tidak tahu pasti. Tapi… sepertinya sesuatu memang terjadi padanya.”

Yoo Sangah merogoh saku dadanya dan mengeluarkan sebuah buku catatan lusuh.
Semua yang hadir mengenali benda itu seketika.

Notebook Han Sooyoung.

Buku tempat ia menulis kisah Kim Dokja dan <Kim Dokja Company>.

Tatapan semua orang dipenuhi kerinduan saat Yoo Sangah membuka buku itu perlahan.
Tulisan yang telah lama tak mereka lihat kembali muncul di depan mata—

Namun sesuatu terasa aneh.

“Huh?”

Isi naskah itu berisik, bergetar, seperti rusak.

「 ■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■… 」

“K-Kenapa jadi begini? Komputernya rusak?”

Bukan hanya rusak.
Yoo Joonghyuk menatap halaman yang berkelip samar dan bergumam.

“Ceritanya terkontaminasi.”

Story contamination.
Gejala yang muncul di naskah tua—alur yang kusut, bagian yang lenyap.

Tapi… kenapa bisa terjadi pada manuskrip ini?

“Sejak kapan seperti ini?”

“Sejak dimulainya Putaran ke-41.”

“Apa penyebabnya?”

Yoo Sangah menghela napas dan menjawab pelan.

“Ini hanya dugaanku, jadi jangan terlalu serius, ya.”

“Katakan saja.”

“Kalian semua tahu bagaimana dunia ini bekerja, kan?”

Lee Jihye menggaruk pipinya.

“Sooyoung-unnie pernah menjelaskannya dulu…”

Shin Yoosoung menimpali.

“Kalau nggak salah, Sooyoung-unnie menulis tentang Joonghyuk-ssi, lalu Dokja-hyung membacanya—dan dari sanalah dunia ini terbentuk, kan?”

“Jadi maksudmu Sooyoung menulis dulu baru dunia ini ada?”

“Bukan. Sooyoung kembali ke masa lalu dan menulis berdasarkan apa yang dialaminya dengan Dokja-hyung. Jadi, Dokja-hyung yang membacanya duluan.”

“Apa? Mana mungkin baca buku yang belum ditulis?”

“Karena dia seorang dewa.”

“Cukup,” sela Yoo Sangah lembut, menghentikan perdebatan kecil itu.
“Tidak ada gunanya mempersoalkan mana yang duluan.
Dunia ini memang diciptakan agar kita tak bisa membedakan mana awal dan akhir.”

Han Sooyoung pernah berkata hal serupa:

“Dunia ini adalah lingkaran persegi.”

Sebuah dunia yang hanya bisa eksis sebagai teks,
dengan kesinambungan yang melampaui logika ruang dan waktu.

“Lalu apa artinya itu?”

“Artinya, cerita yang dimulai belakangan bisa muncul lebih dulu di garis waktu.”

Sebuah cerita yang lahir kemudian bisa berjalan lebih cepat.
Semua orang langsung teringat pada contohnya.

“Seperti Putaran ke-1.863 milik Joonghyuk.”

“Kisah Kim Dokja yang muncul setelah Ways of Survival,
tapi justru mengubah putaran terakhir milik Yoo Joonghyuk.”

Lee Seolhwa mengangguk pelan.

“Jadi… hal yang sama terjadi di Putaran ke-41?”

“Benar. Tepatnya…”

Yoo Sangah mulai menggulir halaman demi halaman.
Bab 1, Bab 2, Bab 3, Bab 4…
Hingga akhirnya berhenti di satu titik.

Bab 551.
Bab terakhir kisah Kim Dokja dan <Kim Dokja Company> yang ditulis Han Sooyoung.
Akhir dari dunia itu.

Namun saat ia membuka halaman berikutnya—

“Huh?”

Sebuah halaman baru muncul.
Halaman yang tak pernah ada sebelumnya.

“Tunggu dulu… ini apa?”

Halaman kosong setelah ending itu kini terisi huruf-huruf baru.

Yoo Sangah menatapnya dalam diam.

“Kisah Putaran ke-41 sedang ditulis.”

“Jadi Sooyoung-unnie yang menulis kelanjutannya?”

Namun naskah itu terus berubah—tulisan muncul dan lenyap berulang.

Jika benar Han Sooyoung adalah penulis untuk satu pembaca,
maka besar kemungkinan ia sedang menulisnya di suatu tempat sekarang.

“Beberapa bagian memang terlihat ditulis Sooyoung. Tapi tidak semuanya.”

“Maksudmu, ada penulis lain?”

“Gaya penulisannya tidak konsisten.
Temanya pun sedikit berbeda.
Seolah…”

Yoo Sangah berhenti sebentar, mencari kata yang tepat.

“Seolah… ada beberapa penulis yang saling berebut menulis naskah yang sama.”

Yoo Joonghyuk mengernyit.

“Siapa yang melakukannya? Dan untuk apa?”

“Aku tidak tahu pasti. Tapi aku punya firasat.”

Yoo Sangah menatap huruf-huruf yang sedang muncul di layar,
seolah tulisan itu menulis dirinya sendiri.

Apakah ia mengatakan ini karena menulisnya?
Ataukah tulisan itu muncul karena ia mengatakannya?

“Ada pihak yang berusaha mencuri cerita yang sudah kita bangun.”

Tak peduli mana yang benar.
Yang pasti—
pernyataan itu memberi mereka tujuan baru.

“Lebih tepatnya… aku bicara tentang 『Omniscient Reader’s Viewpoint』 karya Sooyoung.”

【Kau benar-benar yakin dia layak disebut ‘Recorder’?】

Aku pernah membaca 『Panduan Memahami Fear Spirits untuk Cumi dan Ikan Buntal』 karya Han Sooyoung bersama Kim Dokja.

Sesuai judulnya, buku itu adalah setting book yang ditulis dengan gaya sederhana.
Namun ada satu hal ganjil.

Akses ke dokumen ini dilarang oleh SVRP.
SVRP. PW 0.
■■ ■■■ ■
■■■■■■■■■■■■■■■■■■…

Jejak penyensoran seperti itu tersebar di seluruh halaman.
Seolah banyak editor yang memodifikasi naskah Han Sooyoung tanpa seizinnya.

Sepertinya ada pihak yang mengedit naskah Han Sooyoung.

Kim Dokja juga berpikir hal yang sama.
Namun pertanyaannya—siapa?

Jawabannya tidak sulit ditebak.

Mungkin mereka yang mencatat Fear.

「 Recorder of Fear. 」

Tapi mengapa mereka menyentuh naskah Han Sooyoung?
Dan kenapa naskah itu ada di dalam [Fourth Wall]?

Tak ada petunjuk pasti.
Satu-satunya hal yang bisa dilakukan hanyalah terus membaca.

“Baiklah. Mari kita mulai dari dasar.”

Jika Kim Dokja ada di sini,
aku tahu ia akan menatapku dengan senyum khasnya dan berkata:
“Seperti biasa, kita terobsesi dengan sistem.”

“Apa yang harus kita periksa dulu?”

Kita harus tahu Fear mana yang lemah, dan mana yang kuat.

“Supaya kita tidak mati?”

Aku tersenyum miring.
Padahal alasanku sebenarnya sederhana—
karena kami adalah pecandu diagram kekuatan sejati di alam semesta ini.

Menurut 『Panduan Memahami Fear Spirits untuk Cumi dan Ikan Buntal』,
Fear diklasifikasikan menjadi empat tingkatan besar:

1️⃣ Catastrophe-level Fear
2️⃣ Disaster-level Fear
3️⃣ Natural Disaster-level Fear
4️⃣ End-level Fear

‘Traffic Lights’ dan ‘Uniformity’ yang kutemui sebelumnya adalah Fear paling dasar

「 Catastrophe-level Fear adalah ketakutan yang secara rutin menyebabkan 0–50 kematian. 」
「 Penyebabnya biasanya berasal dari ‘Story’ tingkat Narrative yang bermutasi. 」

“Jadi semuanya tetap berasal dari cerita, ya.”

Akhirnya, gambaran besar tentang Fear Realm mulai terlihat.

「 Dunia ini tersusun dari tumpukan ‘cerita-cerita yang dibuang’. 」

Cerita yang tak pernah sempat diceritakan di kisah utama berkumpul,
membentuk satu dunia besar—itulah Public Forum ini.

「 Disaster-level Fear adalah Fear yang menyebabkan 50–10.000 kematian,
dan biasanya berasal dari Legendary Story yang bermutasi. 」

Berarti ‘Tooth Fin’—Kepala Hiu itu—adalah Fear berbasis kisah legendaris.

Seekor Tooth Fin berhenti di kejauhan, menatapku sambil menggerakkan ekornya perlahan.
Entah kenapa, setelah memakan fragmen ceritaku, ia selalu mengikuti dari jauh—tanpa niat jahat.

Aku terus membaca.

「 Natural Disaster-level Fear adalah Fear yang dapat membuat seluruh dunia kehilangan kendali. 」
「 Penyebabnya berasal dari Quasi-Mythical Story yang bermutasi. 」

Menurut catatan, Tooth Fin yang pernah menghancurkan Murim
pernah tercatat sementara sebagai Natural Disaster-level.

“Kalau penghancuran Murim saja levelnya begitu,
lalu seperti apa ‘End-level Fear’?”

Sayangnya, sebagian besar deskripsi tentang End-level Fear disensor oleh ■.
Namun satu catatan masih tersisa:

「 End-level Fear adalah Fear yang setia pada ‘End Area’,
dan apa pun yang terjadi, tidak akan pernah memasuki ‘Beginning Area’. 」

Aku mendengus.

“Kalau Sooyoung menulis ini, artinya dia melarang keras aku ke sana.”

Itu berarti kau pasti akan ke sana.

“Benar juga. Memang gaya Ways of Survival banget.”

Tapi sebelumnya, kau harus melewati Middle Area. Di sanalah kau bisa menemukan Second.

“Middle Area, huh…”

Kalau makhluk sekelas Tooth Fin saja ada di awal,
entah apa yang menungguku di sana nanti.

“Tidak bisa dipanggil lewat telepon saja?”

Tidak bisa.

“Kenapa? Kalian bertengkar, ya?”

Itu… agak rumit.

Aku paham maksudnya.
Kim Dokja pertama pernah berkata—para Kim Dokja lain tidak sepakat dengan niatnya.
Berarti ada konflik di antara mereka.
Dan itu harus diselesaikan.

“Menurutku, Kim Dokja dan Kim Dokja harus bicara.”

Pendapat yang bagus.

“Jadi ayo bicara.”

Dia harus mengangkat telepon dulu.
Aku sudah bilang, kau tak bisa menelepon dari sini.

“Padahal tadi bisa?”

Itu karena dia yang menelepon.
Kalau kita yang ingin menelepon, kita harus pergi ke tempat lain.

“Tempat lain?”

Kau sudah tahu tempatnya.

Aku berpikir sejenak.

“Jangan bilang… celah waktu di dimensi gelap?”

Benar.

Tempat itu.
Di sanalah Supreme King Yoo Joonghyuk,
Namgung Minyoung,
dan Paradoxical Baek Cheong Kyrios dilahirkan kembali sebagai Transcendent.

“Jadi pintu masuk ke sana ada di Middle Area?”

Tepat sekali.

Akhirnya, mau tak mau, aku harus ke sana juga.

Aku menatap kegelapan di depan, menghela napas.
Sudah melewati begitu banyak Fear.
Nyaris mati berkali-kali.
Berapa kali lagi aku harus mengulangnya?

[Sebuah ‘Unknown Fear’ menemukanmu!]

Cahaya terang muncul di kejauhan.
Bersamaan dengan suara berat dan getaran logam.

Sesosok benda panjang meluncur di kegelapan.

Hmm. Itu dia.

Sebuah kereta bawah tanah.
Melaju tanpa rel, di tengah ruang hampa.

Kalau ada dunia dengan Fear “Traffic Lights”,
tentu tidak aneh kalau ada Fear bertema “Subway”.

Yang jadi masalah… adalah pengumuman yang menyertai kedatangannya.

【Kami akan berusaha menjadikan subway tempat yang nyaman dan aman bagi seluruh pelanggan.】

Begitu mendengarnya, jantungku berdebar hebat.
Darahku bergolak, perutku mual.

【Penumpang menuju… silakan naik kereta ini.】

Kereta itu tampak familiar.
Dan ketika kami melihat nama rutenya yang menyala di depan,
aku dan Kim Dokja berkata bersamaan—

“Sialan. Jangan bilang…”

Benar.

Kereta itu adalah kereta yang sama
yang pernah dinaiki Kim Dokja dan Yoo Joonghyuk
dalam Scenario Pertama.

819 Episode 41 Sophistry (3)

Maknae.

“Aku tidak akan melakukannya.”

Aku berkata sambil menatap cahaya subway yang semakin mendekat.

“Sudah jelas apa yang akan terjadi di dalam sana, jadi kenapa aku harus melakukannya?”

Kereta bawah tanah itu—aku yakin sekali. Itu kereta dari ‘Scenario Pertama’.
Kereta di mana semua penumpangnya tewas.
Kereta tempat dimulainya 「Proof of Value Scenario」.

Mungkin itu hanya kereta biasa. Kalau naik itu, kau bisa sampai lebih cepat.

“Nomornya Bulkwang Stasiun 3434, kan? Kau sudah lupa nomor penting itu?”

Siapa juga yang mengingat hal semacam itu? Lagi pula, kau tidak perlu setegang itu.

Dia benar.
Apa yang terjadi di sana hanyalah Scenario Pertama.

Ya, benar.
Itu hanyalah Scenario Pertama.
Saat itu, rata-rata status tubuhku masih 1.
Tapi sekarang, kemampuan totalku sudah jauh melewati angka 100—
bahkan cukup kuat untuk menghadapi konstelasi besar sekalipun.

“Kau lupa di mana kita sekarang? Ini ‘Fear Realm’.
Menurutmu, apa kereta itu cuma panggung Scenario Pertama?”

Aku belum memeriksa level Fear-nya, tapi sebagian besar Fear di dunia ini cukup kuat untuk menaklukkan konstelasi.
‘Traffic Lights’ yang hanya berlevel Disaster saja sudah begitu mengerikan—
lalu bagaimana kalau subway ini lebih tinggi darinya?

Bagaimana kalau Scenario Pertama kembali aktif di dalam kereta itu,
dan kekuatannya cukup untuk menghancurkan diriku bahkan sekarang?

Hmm, Maknae.

“Aku tidak akan naik.”

Dengar dulu.

“Aku tidak akan naik.”

Itu sebabnya aku bilang jangan bilang—

“Aku bilang aku tidak akan naik.”

Jangan katakan itu! Itu pemicunya!

“Hah?”

[‘Unknown Fear’ telah terbuka.]

[Catastrophic Fear ‘Strong Negation is Strong Affirmation’ diaktifkan!]

“Apa?”

[Efek ‘Strong Negation is Strong Affirmation’ terealisasi!]

Begitu aku berkedip, aku sudah berada di dalam kereta.

rlaehrwk41: Apakah Yoo Joonghyuk juga naik?
rlaehrwk37: Diam.

【Siapa yang barusan bicara?】

Kalau kupikir-pikir, 「Omniscient Reader’s Viewpoint」 memang memiliki hubungan mendalam dengan subway.
Scenario Pertama dimulai di subway.
Dan Scenario Terakhir juga berakhir di subway.

Sekarang setelah aku berada di dalamnya, latar ini terasa… seperti metafora yang kejam.
Mungkin semua Kim Dokja ditakdirkan untuk tak pernah lepas dari jalur kereta sialan ini.

Klak.

Aku berpegangan pada gantungan tangan dan menatap sekeliling.
Pemandangan yang sangat biasa—kereta sore penuh orang pulang kerja.
Orang duduk berjajar, beberapa berdiri.
Semua menunduk menatap ponsel mereka, seolah sudah berjanji untuk tidak saling bicara.

Apakah mereka orang sungguhan? Atau sekadar ilusi?
Aku tidak tahu.
Begitu masuk ke dalam ‘Fear’, batas antara realitas dan mimpi menjadi kabur.

Aku menatap mereka sekilas lalu memalingkan pandanganku, memeriksa nomor gerbong.

3807.

Tentu saja—‘gerbong itu’.
Gerbong yang ditumpangi Kim Dokja dulu.

Sial.

Maknae.

Sambungan telepon yang sempat terputus tersambung lagi.

“Apa yang terjadi tadi? Kenapa aku tiba-tiba ada di kereta—”

Begitu aku berbicara, semua penumpang menoleh serempak menatapku.
Bulu kudukku berdiri. Suara denging memenuhi telingaku.
Dunia berputar.

「Ber-berdiri di sub-way」

Rasa mual naik dari perut.

「Bicara di te-le-pon」

Dunia benar-benar terasa miring.

「Itu tidak sopan.」

[Skill eksklusif ‘Fourth Wall’ aktif!]

Aku buru-buru memutus panggilan.
Tatapan-tatapan itu serentak berpaling kembali.
Pusingnya hilang.
Pandangan pun normal kembali.

Aku mengatur napas beberapa kali untuk menenangkan jantungku yang berdebar,
lalu mengetik pesan cepat ke kontak ponselku sendiri:

“Kita bicara lewat pesan saja.”

Untungnya, balasan segera datang.

Baik, lewat sini saja.

“Tolong jelaskan. Aku tidak mengerti apa yang terjadi.”

Cerita yang membawamu ke subway ini adalah Disaster-level Fear yang berkeliaran di Fear Realm.
Namanya ‘Strong Negation is Strong Affirmation’.

“Lalu subway ini Fear lain, kan?”

Benar.

“Kenapa Fear itu muncul sekarang?”

Kebetulan saja. Yah, mungkin ada alasan lain, tapi nanti saja aku jelaskan.

“Jangan nanti. Sekarang.”

Maknae, karena sudah terlanjur begini, berpikirlah positif. Subway itu kan cuma alat transportasi.

“Dalam cerita ini, subway itu rute langsung menuju dunia bawah.”

Jangan se-negatif itu. Siapa tahu, ini malah cara tercepat menuju tempat tujuanmu.

“Cari cepat informasi yang berkaitan dengan subway ini. Pasti ada di catatan Sooyoung.”

Sebenarnya aku bisa mencari sendiri.
Tapi setelah efek tatapan para penumpang tadi, tubuhku masih gemetar dan mual.

Untungnya, Kim Dokja sepertinya memahami kondisiku.

Tunggu sebentar.

Sementara itu, aku menatap ke luar jendela.
Yang kulihat hanya kegelapan mutlak.

Dalam kegelapan itu, bayangan masa depan bermunculan di pikiranku.

Scenario Pertama dimulai di dalam kereta ini.

Tiba-tiba muncul pertanyaan:
Kalau semua Fear berasal dari “cerita yang dibuang”, kenapa kereta ini ada di Fear Realm?

Apakah karena kisahnya sudah tidak terpakai?
Atau sebaliknya—karena kereta ini sudah ada bahkan sebelum Scenario Pertama dimulai?

Pikiran itu sirna saat ponselku bergetar lagi.

Maknae, duduklah dulu.

Ia pasti bermaksud agar aku tenang.

Aku masih berdiri, berpegangan pada gantungan.
Di depanku, dua kursi kosong.

Aku menatapnya curiga.

“Tidak.”

Kenapa?

“Jelas mencurigakan. Kenapa aku harus duduk di sana?”

Ini kereta jam pulang kerja.
Mana mungkin ada dua kursi kosong sekaligus?

Lebih aneh lagi, orang-orang yang berdiri di sekitarnya tidak tertarik sedikit pun untuk duduk di sana.

Justru kalau kau duduk, cerita ini akan mulai.

“Aku tidak mau cerita ini mulai…”

Namun sebelum aku sempat menyelesaikan pikiranku, tubuhku bergerak sendiri.
Sial.

Meski aku menolak, entah kenapa aku tahu duduk di sana adalah langkah yang benar.
Atau lebih tepatnya—

“Ini pasti akan lebih menarik.”

Begitulah cara rasa ingin tahu membunuh manusia, bukan?

Begitu aku duduk, tubuhku terasa luar biasa ringan.

“Wow… ini…”

Sulit dijelaskan—rasanya seperti menemukan kursi kosong di subway setelah seharian bekerja.

Aku menemukan berkasnya. Aku kirimkan sekarang. Baca baik-baik.

Aku segera membuka file yang dikirim Kim Dokja.


[Dokumen Rahasia — Fear Realm Data Log]

Sebagian dokumen ini telah dimodifikasi oleh SVRP.
SVRP. PW ?

Disaster-level Fear — Subway dalam Perjalanan Pulang


‘Traffic Lights’ dan ‘Tooth Fin’ sebelumnya juga memiliki kode PW.
Kupikir itu singkatan dari Parallel World—garis dunia paralel Ways of Survival.

Kalau begitu, PW 041 berarti Putaran ke-41.
PW 0 berarti Putaran ke-0.
Tapi kali ini ditulis “?”, artinya Fear ini tidak memiliki putaran yang pasti.

Aku melanjutkan membaca.

Sebuah kereta misterius yang sering muncul di seluruh Fear Realm.
Kereta ini membawa penumpangnya menuju “tempat yang diinginkan” di dalam Fear Realm.

Kim Dokja benar.
Ini memang alat transportasi sungguhan.

Tapi… deskripsinya belum selesai.
Dan itu bukan pertanda baik.

Dari total 872 kali pengamatan, tingkat keberhasilan penumpang mencapai tujuan adalah 4,5%.
Semua penumpang yang gagal tiba di tujuan — hilang tanpa jejak.

“Sialan.”

Aku cepat menggulir halaman berikutnya.

Baiklah.
Walau hanya 4,5%, setidaknya ada yang berhasil.

Dan benar saja—ada satu catatan.

Clear normal tercatat pada PW 0838.
[Klik di sini!]

Aku menekan tautan.
Layar LCD langsung menampilkan pemandangan nyata di depan mataku—

Subway yang terbakar.
Teriakan bergema.
Darah mengotori seluruh dinding.

Persis seperti Scenario Pertama.
Lalu terdengar suara seseorang di antara jeritan itu.

「Kalian semua idiot.」

Aku tidak melihat wajahnya, tapi aku tahu siapa pemilik suara itu.
Sayangnya, video berhenti di sana.

Aku menatap teks berikutnya.

Jika satu penumpang terbunuh di gerbong mana pun, gerbong itu langsung dinyatakan sebagai “Crime Zone”.
“Crime Zone” akan berlanjut hingga hanya tersisa satu orang hidup.
Penumpang terakhir akan dipindahkan ke gerbong depan.
Di sana, “Crime Zone” dimulai ulang hingga tersisa satu orang lagi.
Penumpang terakhir dapat bernegosiasi dengan “Engineer” untuk turun di area yang diinginkan.

PW 0838 — Penumpang terakhir:
King Yoo Joonghyuk.

“Sudah kuduga.”

Tentu saja dia yang berhasil.
Kalau dia yang naik, ia pasti bisa menaklukkan Fear semacam ini.

Aku menggulir lagi.

PW 0912 — Semua 48 penumpang tewas, termasuk Payhu dan Nirobana.
PW 0912 Penumpang terakhir: Breaking the Sky Sword Saint Namgung Minyoung.

PW 01042 Penumpang terakhir: God of Wine and Ecstasy.
PW 01284 Penumpang terakhir: Abyssal Black Flame Dragon.

Keringat dingin mengalir di punggungku.

Dari kejauhan terdengar ledakan.
Aku menoleh dan melihat pertempuran di gerbong depan.

Seorang pria membantai semua penumpang.
Kepala-kepala berguling di lantai seperti mainan.

Punggungnya lebar, rambutnya acak-acakan, dan pedangnya… aku mengenali semuanya.
Itu bukan sembarang manusia.
Itu Konstelasi.

Dan aku tahu persis siapa dia.

“Goryeo Swordsman.”

Sepertinya benar.

“Cheok Jungyeong ada di sini?”

Dia selalu mencari cara untuk menjadi lebih kuat. Ini bukan pertama kalinya dia masuk Fear Realm.

Kupikir sejenak untuk memintanya membantu… tapi segera kubatalkan.

Begitu “Crime Zone” dimulai, hanya satu yang bisa selamat.
Tak peduli sebaik apa pun Cheok Jungyeong,
di akhir, dia pasti akan menebas leherku.

Dari gerbong lain terdengar lagi kekacauan.
Tampaknya sebagian besar gerbong sudah berubah menjadi Crime Zone.

Namun gerbong 3807 tetap sunyi.
Penumpang di sekitarku tetap menunduk menatap ponsel masing-masing,
seolah tak mendengar jeritan di luar.

“Haruskah aku memulai Crime Zone-ku sendiri?”

Kau yakin bisa menang melawan Goryeo Swordsman?

“Tidak.”

Kalau begitu, diam saja.

“Kalau begitu aku tidak bisa keluar?”

Lebih baik begitu daripada mati. Dan kau belum membaca semuanya. Lanjutkan.

Aku menarik napas dan menatap layar lagi.

PW ■■ dan PW ■■■ tercatat sebagai tambahan clear record.
Tercatat bahwa para penyintas tidak menggunakan sistem “Crime Zone”.

“Ada juga yang lolos tanpa membunuh…”

Namun catatan berikutnya membuatku memaki pelan.

[Rekaman ini telah disensor demi mencegah spoiler.]
[Rekaman ini telah disensor demi mencegah spoiler.]

“Kau bercanda?”

Tapi setidaknya kita tahu ini bisa diselesaikan tanpa Crime Zone. Itu sudah cukup, kan?

Benar juga.
Setidaknya ada harapan untuk keluar hidup-hidup.

“Ada batas waktu?”

Tidak disebutkan. Tapi rata-rata, kereta yang memasuki ‘Crime Zone’ diselesaikan dalam waktu 30 menit.

30 menit.
Aku berpikir cepat.

“Kau tak punya ide lain?”

Hm… tapi aku penasaran satu hal.

“Apa lagi?”

Kenapa kereta ini menganggap ‘Crime Zone’ sebagai interpretasi yang benar?

Aku belum sempat menjawab ketika ikon sinyal di layar tiba-tiba padam.
Sambungan terputus.

“Serius? Sekarang?”

Aku menggigit bibir. Tapi aku sudah terbiasa.
Tidak mungkin terus bergantung pada Kim Dokja.

Fears di dunia ini asing baginya—dan padaku juga.
Jadi satu-satunya cara adalah berpikir sendiri.

“Kenapa Crime Zone dianggap interpretasi yang benar…”

Semua Fear memiliki ‘interpretasi’ yang berkaitan dengan asal ceritanya.
Seperti Traffic Lights dan Tooth Fin.

Kalau begitu, kenapa kereta ini memilih ‘Crime Zone’?
Apa karena ada hubungan antara kereta dan kekerasan?

Aku memutar otak.
Apa pun alasannya, subway seharusnya tidak identik dengan pembunuhan.

Jadi kenapa?

Kepalaku mulai berdenyut.
Seandainya ada seseorang yang bisa membantuku berpikir seperti dulu—

Seseorang seperti Yoo Sangah.

Tunggu. Yoo Sangah?

Begitu aku berpikir begitu, salah satu pintu kereta terbuka dan tertutup kembali.
Semuanya terjadi begitu cepat hingga aku tak sempat bereaksi.

Seseorang masuk.
Sosok baru berdiri di depan pintu, menatap sekeliling dengan cemas.

Dan saat aku melihat wajahnya, napasku tertahan.

“Kau…?”

Itu adalah orang yang sangat kukenal.

820 Episode 41 Sophistry (4)

Mata perempuan itu membulat saat melihatku duduk di kursi.

“Kau.”

Rambut pirangnya bergoyang lembut diterpa angin. Matanya bergetar, seperti sedang menahan emosi.

Aku melambaikan tangan ringan dan tersenyum.

“Sudah lama tidak bertemu.”

Tak pernah terbayang kami akan bertemu di tempat seperti ini.

Ekspresinya mengeras mendengar sapaan itu. Ia sempat ragu sejenak sebelum akhirnya melangkah cepat ke arahku.

“Cheon Inho.”

Satu-satunya orang yang masih memanggilku dengan nama itu.

“Kenapa kau ada di sini?”

Sang Nabi — Anna Croft.

Dia berada dalam Fear yang sama denganku.

Hidup memang aneh. Aku tak menyangka akan ada hari di mana aku naik kereta bawah tanah yang sama dengan Anna Croft.

Aku teringat pertemuan terakhir kami — di Washington Dome.

Saat itu aku jatuh ke dalam Gingagap, jebakan yang dibuat oleh <Asgard>. Di sanalah aku meminjam kekuatan Demon King of Salvation dan menumbangkan para Konstelasi Agung.
Kalau dipikir-pikir, waktu itu aku berutang padanya.
Jika bukan karena kemampuan Anna Croft yang mengolah Lesser Dragon’s Heart dengan trait-nya sendiri, aku dan Demon King of Salvation takkan pernah bisa memanggil kekuatan Cheok Jungyeong sebagai [Bookmark].

Sekarang Cheok Jungyeong juga ada di sini.
Entah kebetulan atau bukan, situasinya mulai terasa… tidak wajar.

Aku menunjuk kursi kosong di sebelahku.

“Silakan duduk.”

Anna Croft sempat ragu, seolah enggan duduk di sampingku, tapi akhirnya menuruti dengan wajah pasrah.

“Apa yang kau rencanakan di sini?”

“Tidak ada rencana khusus.”

“Apa yang kau—”

Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, sensasi aneh itu kembali.

「 Di da lam sub way 」

Ah, lagi.

「 Kau be ricara ter la lu ke ras 」

Perutku berputar, rasa pusing menyerang.

[Skill Eksklusif ‘Fourth Wall’ aktif.]

Untung aku sudah mengalaminya sekali sebelumnya, jadi kali ini aku bisa menahannya. Tapi Anna Croft tidak seberuntung itu.

“A-apa ini…?”

Wajahnya pucat pasi, keringat dingin membasahi pelipisnya.
Bahkan seorang peramal sepertinya, dengan penghalang mental yang tinggi, tampak kewalahan.

“Pelankan suaramu.”

Begitu aku berbisik, tatapan para penumpang di sekitar kami menghilang seketika, seolah tak pernah ada.

Anna Croft mengatur napas, menyeka keringat di dahinya.

“Barusan itu apa?”

“Kemungkinan efek dari Fear ini.”

Kereta bawah tanah ini belum memasuki tahap Crime Zone.
Tapi berdasarkan pengalaman, fenomena ini mirip dengan ‘Spirit-Bound Combat Technique’ — semacam aturan tak tertulis yang mengikat semua orang di tempat umum.

Mungkin sesuatu seperti: Dilarang berbicara keras. Dilarang makan di tempat umum. Dilarang membuat keributan. Dilarang tidak sopan pada orang tua.

Anna tampaknya juga mulai menyadarinya.

“Ada aturan aneh yang berlaku di sini.”

“Aturan biasa, justru. Begitulah dunia sebelum skenario datang.”

Kami duduk berdampingan, memandangi pemandangan yang entah kenapa terasa… menenangkan.
Suara napas orang-orang.
Tatapan yang terpaku pada layar ponsel kecil.

Semuanya terasa nyata.
Seolah dunia biasa yang dulu kami kenal hidup kembali untuk sesaat.

Manusia-manusia di masa itu… mungkin memang sudah lama terjebak di dunia kecil mereka sendiri.
Dan mungkin, skenario lah yang memaksa mereka keluar dari sana.

‘Skenario’ yang dulu dibaca oleh Kim Dokja.

Aku melirik ke samping.
Anna Croft juga tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Begitu ia sadar aku menatap, wajahnya kembali dingin.

“Aku tahu kau masih hidup, tapi… sepertinya kau jauh lebih kuat dari yang kukira.”

“Kau senang aku masih baik-baik saja, kan?”

“Tidak ada orang waras yang bisa ‘baik-baik saja’ setelah melalui semua itu.”

“Kau sudah dengar gosipnya, ya?”

“Kau dikejar Nebula besar dan… dicabik-cabik.”

“Dicabik-cabik, ya? Tidak sepenuhnya salah.”

Memang bukan aku yang hancur waktu itu.

“Hampir saja begitu.”

“Kau memang keras kepala. Bertahan bahkan setelah kalah sehancur itu.”

“Aku punya kebiasaan buruk — sulit benar-benar mati. Tapi kau sendiri, kenapa ke sini?”

“Kau sungguh tidak tahu?”

Baru kali ini aku tersadar.

Terakhir kali kami bertemu, Anna Croft melawan Nebula-nya sendiri, <Asgard>, demi menolongku.
Dan aku tahu apa yang akan dikatakan oleh seorang inkarnasi yang menentang langitnya sendiri.

“Kau juga sedang ‘mekar’, ya.”

“Berkat siapa, coba? Aku bahkan ingin menemuimu di Recycling Center.”

“Aneh, aku tidak melihatmu di sana.”

“Tentu saja, aku tidak tahu ada orang gila yang bertekad menyelesaikan semuanya.”

“Jadi, kau datang ke Fear Realm untuk mengejarku?”

“Menurutmu aku punya waktu untuk itu?”

“Kalau begitu, kenapa kau di sini?”

“Aku bukan lagi inkarnasi <Asgard>. Apa lagi pilihan yang dimiliki seseorang yang dibuang oleh Nebulanya?”

“Ah, jadi kau ingin jadi Transcendent.”

Satu-satunya jalan tersisa bagi manusia yang ditinggalkan para Konstelasi.
Tangga terakhir yang bisa didaki untuk lepas dari batas mortal.

“Kurasa itu pun gagal, melihat aku malah bertemu kau di sini.”

“Ayo lah, lupakan masa lalu. Kita kerja sama saja. Keluar dari sini, jadi Transcendent, lalu balas dendam pada para Konstelasi. Bagaimana?”

Anna menatapku seperti baru mendengar lelucon paling buruk di dunia.

“Kerja sama? Kau pikir itu mungkin antara kita berdua?”

“Aku bahkan bisa bekerja sama dengan Yoo Joonghyuk. Masa tidak bisa denganmu?”

“Kau bicara seolah—”

Anna berhenti.
Tatapan para penumpang kembali mengarah padanya.

Ia menarik napas panjang, menunduk.

“Cheon Inho… kau tahu sesuatu tentang Fear ini?”

Aku mengangguk pelan, menjelaskan singkat apa yang sudah kutemukan.

Anna mendengarkan dengan serius.

“Kalau begitu, satu-satunya jalan keluar adalah menciptakan Crime Zone.”

“Aku menentangnya.”

“Menentang?”

“Kita harus mencari cara keluar tanpa memicu Crime Zone.”

“Tapi kau sendiri bilang tidak tahu caranya. Dengan kemampuanmu, bukankah lebih mudah jadi yang terakhir bertahan?”

“Sayangnya, kau ikut bersamaku.”

Anna tampak tertegun.

“Karena aku?”

“Cheon Inho di worldline ini cukup… berhati lembut.”

“Kau selalu bilang begitu sebelum menusuk punggungku.”

“Cheok Jungyeong ada di gerbong sebelah.”

“…Cheok Jungyeong?”

“Kau tahu Goryeo Swordsman, kan?”

“Tunggu, jangan bilang—”

Wajah Anna seketika memucat.

“Kita mati.”

“Itulah kenapa aku butuh kemampuanmu sekarang.”

Kalau kupikir-pikir, ini keberuntungan.
Anna Croft memiliki kekuatan yang sangat berguna di Fear Realm.

“Bisa lihat sesuatu lewat [Future Sight]?”

Skill yang memungkinkan Anna membaca masa depan.
Tapi kali ini, ia menggeleng.

“Tidak.”

“Kenapa?”

“Kemampuan itu menghilang begitu aku masuk ke sini.”

Ia menatapku tajam, lalu menunduk.

“Seolah seluruh masa depan tertutup kabut.”

Aku membeku.
Tak bisa melihat masa depan—itu tidak pernah terjadi sebelumnya.

Kenapa kali ini?

Lalu aku teringat sesuatu.
Beberapa kali di kisah utama, kemampuan ramalan Anna juga terblokir.

Dan saat menyadari kesamaannya, sebuah hipotesis muncul di kepalaku.

Aku membuka kembali panduan Han Sooyoung yang kubaca sebelumnya.
Dan kali ini—beberapa kalimat yang sebelumnya disensor muncul dengan jelas.

Sebuah pengalaman umum ditemukan pada seluruh penumpang yang berhasil keluar tanpa memicu Crime Zone.
Mereka semua melaporkan bahwa “lampu kereta berkedip tiga kali.”

Lampu kereta berkedip tiga kali.

Petunjuk penting.
Artinya, aku hanya perlu membuat lampu kereta berkedip tiga kali.

“Cheon Inho.”

“Apa?”

“Kau serius memikirkan itu?”

Anna menatapku aneh. Aku buru-buru menyembunyikan ponsel.

“Aku cuma baca web novel.”

“Novel? Dalam situasi begini? Kau gila?”

Tatapannya seperti melihat serangga. Tapi kemudian ia mendesah pasrah.

“Aku juga dulu suka baca novel.”

Tiba-tiba, semuanya gelap.
Sekejap.
Lalu terang kembali.

“Apa barusan… mati lampu?”

“Power outage…?”

“Anna Croft, ulangi.”

“Apa?”

“Kau tadi bicara soal novel. Lanjutkan.”

“Serius? Sekarang?”

“Tolong.”

Ia mendengus tapi akhirnya mengangguk.

“Yah… apa lagi yang harus kukatakan…”

Ia tampak kikuk. Tentu saja — seorang peramal tidak terbiasa mengobrol.
Dia selalu tahu masa depan orang lain, tapi tidak pernah tahu bagaimana berinteraksi di masa kini.

“Kau punya penulis favorit?”

“Hm?”

Ia sempat tertegun, lalu menjawab perlahan.

“Ada. Ted Chiang, Charles Yu, Liu Cixin… dan—”

Aku tersenyum.
Tentu. Itu gaya Anna. Rasional, berat, penuh filsafat.

Ia mengerutkan alis, salah paham pada senyumku.

“Kau menertawakan seleraku?”

“Tidak. Justru kupikir itu cocok denganmu.”

“Kalau begitu, siapa penulis favoritmu?”

Aku menatap layar ponselku, huruf-huruf biru di sistemnya bersinar redup.

“Namanya Han Sooyoung.”

“Han Sooyoung?” Anna mengulang, bingung.
“Belum pernah dengar. Dia terkenal di Korea?”

“Di salah satu worldline, ya.”

Anna tampak berpikir sejenak, seolah mencoba membayangkan dunia di mana nama itu terkenal.

Sementara itu, aku menatap lampu di langit-langit yang mulai berkelip pelan.
Hampir… tapi belum cukup.

Harus kuperburuk sedikit.

“Anna Croft, mulai sekarang aku akan memberimu peran baru.”

“Apa?”

“Kau orang Korea sekarang. Namamu Kim Anna.”

“Apa?”

“Nona Kim Anna, apakah Anda bisa bahasa Spanyol?”

“Sedikit. Tapi kenapa—”

Puede prestarme dinero.

“Kenapa kau minta pinjaman uang sekarang?”

“Ada aplikasi yang bisa kau rekomendasikan untuk belajar Spanyol?”

“Cheon Inho! Kau sudah gila, ya?”

“Inho punya kehidupan Inho.
Dan Anna punya kehidupan Anna.”

Lampu berkedip lagi. Kedua kalinya.

Senyumku merekah.
Benar dugaanku.

Anna menatapku curiga.

“Apa yang kau lakukan?”

“Diamlah.”

Aku memandangi para penumpang.
Entah salah satu dari mereka… atau sesuatu di luar ruang ini.

“Kita sedang diawasi.”

“Apa—”

“Kau ingat Scenario Pertama?”

Scenario yang memaksa setiap manusia untuk membunuh satu makhluk hidup demi membuktikan “nilai”.
Proof of Worth.

Setiap inkarnasi harus membuktikan keberadaannya — kepada seseorang.

Anna menatap sekeliling dengan wajah tegang.

“Jangan bilang… para Konstelasi?”

“Bukan.”

“Lalu siapa?”

“Entahlah. Tapi kupikir kita harus membuat mereka puas agar bisa keluar.”

Lampu sudah berkedip dua kali.
Dan setiap kali itu terjadi — adalah saat aku meniru cerita utama Ways of Survival.

Masalahnya, aku sudah kehabisan bahan parodi.
Bahkan “Kehidupan Pembaca” pun sudah kugunakan.

Dan di titik ini… skenario seharusnya dimulai.

Crime Zone.

“Jadi, Crime Zone itu…”

“Cara paling mudah untuk menghibur mereka.”

Aku sudah bisa menebak siapa “mereka”.

Setidaknya Fear ini berkaitan dengan Kim Dokja.

Karena hanya seseorang seperti dia—
yang akan menikmati melihat parodi dari kisah aslinya.

Dan kalau aku ingin membuat lampu kereta berkedip terakhir kali,
aku hanya perlu melakukan satu hal:

memulai sebuah cerita yang bahkan akan membuat Kim Dokja penasaran.

Aku menatap Anna Croft.

“Anna Croft.”

Beruntung aku bersama orang yang tahu kisah itu.

“Aku ingin tahu secara pasti apa yang terjadi di Putaran ke-40.”

Matanya menyipit curiga.

“Kau sedang mencoba menggali informasi dariku? Kenapa tidak kau yang cerita? Aku juga ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi waktu itu.”

“Aku tidak ingat. Apa yang kulakukan? Kenapa kau dan Yoo Joonghyuk begitu membenciku?”

Pertanyaan yang sudah lama seharusnya kutanyakan.

“Aku benar-benar tidak tahu apa pun. Karena itu aku ingin tahu.”

Sebuah kilasan muncul di benakku—
mantel merah darah. Sayap iblis dari Demon King.
Dua pedang yang beradu untuk saling membunuh.

Pertanyaan ini bukan lagi bisa ditunda.
Untuk menemui Second Kim Dokja.
Untuk menjadi rekan sejati Yoo Joonghyuk.
Untuk menaklukkan Fear ini.

Aku harus tahu.

“Siapa sebenarnya Cheon Inho dari Putaran ke-40 itu?”

Karena sebelum semua itu—
aku harus tahu dulu siapa diriku sendiri.

821 Episode 41 Sophistry (5)

Dalam beberapa hal, gagasan itu memang terdengar konyol.

「 Menarik perhatian Kim Dokja dengan sebuah ‘Cerita’ yang menarik. 」

Bukan seolah-olah aku ini Scheherazade, dan tidak mungkin Fear bisa diatasi hanya dengan menceritakan kisah yang bagus.

Scheherazade — pendongeng legendaris dari Arabian Nights yang menyelamatkan hidupnya dengan bercerita setiap malam.

Namun, entah kenapa, aku yakin ini mungkin berhasil.

Lebih dari apa pun, ada banyak metafora tersembunyi dalam subway ini.

「 Kedipan lampu subway. 」

Dalam panduan Han Sooyoung dijelaskan:

Hanya mereka yang melihat lampu kereta berkedip tiga kali yang bisa selamat.

Kalau begitu, bagaimana kalau begini?
Kata “berkedip” itu bukan hanya berarti lampu.

「 Mata. 」

Bagaimana kalau “cahaya” itu sebenarnya adalah “mata” yang sedang mengawasi kita?

Dan bukan hanya itu.
Aku melihat para penumpang yang duduk berderet di sana-sini. Anehnya, tak satu pun dari mereka memakai earphone.

「 Telinga. 」

Mereka sedang mendengarkan cerita kami.

Kalau begitu, bukankah penjelasannya mulai masuk akal?

Tempat di mana kau tanpa sengaja mendengarkan kisah orang lain — itulah transportasi umum.

Kim Dokja juga pernah menggunakan transportasi umum.
Dia pasti sudah membaca dan mengulang Ways of Survival ratusan kali saat naik subway pulang dari kerja.

Dengan kata lain — subway inilah ruang di mana Kim Dokja paling tenggelam dalam cerita.

Premisnya lengkap.
Sekarang tinggal satu hal: apakah penjudi dari Las Vegas itu bersedia membantuku kali ini?

“Bukankah kau bilang ingin melupakan masa lalu?”

“Aku bisa. Aku akan melupakannya.”

“Kau benar-benar—”

Anna Croft menatapku tajam, lalu tiba-tiba menggenggam tanganku.
Dalam gerakan sesingkat itu, aku bisa merasakan pergulatan batin yang berat.

Dia sedang menimbang.
Apakah ia harus memberitahuku tentang apa yang terjadi waktu itu.

Aku memutuskan untuk lebih dulu membuka permainan.

“Sebagai catatan, aku bukan Cheon Inho dari Putaran ke-40.”

Anna menatapku terkejut, kepala sedikit terangkat.

“Cheon Inho yang kau kenal dulu, bukan aku.”

“Itu—”

“Sama seperti Yoo Joonghyuk di Putaran Pertama berbeda dengan Yoo Joonghyuk di Putaran Kedua.”

“…”

“Dan sama seperti Anna Croft berbeda di Putaran Ketiga dan Keempat.”

“Esensi manusia tidak berubah semudah itu.”

“Menurutmu, apa yang disebut esensi manusia?”

Anna sempat terdiam.

“Esensi manusia…”

“Itu adalah total dari sejarah yang mereka pilih untuk dijalani.”

Tatapan Anna sedikit berubah — mungkin terkejut. Lalu perlahan, ia mengangguk.

“Benar. Segalanya di dunia ini tersusun dari ‘cerita’.”

Ia menatapku. Tapi dengan [Fourth Wall], aku tahu ia tidak bisa membaca pikiranku.
Yang ia lihat bukan aku — melainkan kisah dunia ini yang kami bagi bersama.
Yang terjadi di Washington.
Desas-desus di Recycling Center.

“Aku sungguh tidak mengerti apa yang kau pikirkan. Tadi bicara soal novel, lalu memaksaku bermain peran aneh. Dan sekarang…”

Ia mengepalkan dan melepaskan tangannya berulang kali.

“Sekarang kau minta aku memberitahumu siapa dirimu.”

“Karena hanya kau yang bisa.”

Nyaris tak ada lagi yang mengingat Putaran ke-40.
Bahkan Yoo Joonghyuk pun kehilangan sebagian besar ingatannya setelah menukar ‘Story Imprint’.
Satu-satunya orang yang masih benar-benar mengingat kejadian di sana hanyalah Anna Croft — Nabi yang memiliki [Past Sight].

Akhirnya, Anna mengepalkan tangannya erat.

“Kau…”

Darah menetes dari telapak tangannya sendiri.

“Kau adalah sampah manusia.”

“Aku sudah tahu itu.”

Tak ada pembaca yang tidak tahu bahwa Cheon Inho adalah bajingan.

Tapi Anna belum selesai.

“Kalau bukan karena kau, banyak orang bisa selamat. Las Vegas takkan hancur. Semenanjung Korea pun masih utuh.”

Aku mengerutkan kening.
Kupikir kesalahanku tidak sebesar itu — tapi ternyata, skala bencana jauh lebih besar dari yang kubayangkan.

“Para great evils berkumpul di bawah panjimu, dan Perang Iblis pecah. Kau dan mereka menghancurkan seluruh skenario.”

“…”

“Kalau saja kau tidak menipu para Konstelasi, tidak membuat dalih-dalih konyol… mungkin Yoo Joonghyuk tak perlu regresi lagi.”

Aku tersenyum pahit.

Tidak mungkin.
Putaran ke-40 terlalu awal bagi Yoo Joonghyuk untuk mencapai “Akhir.”

Namun senyumku memudar ketika Anna melanjutkan:

“Karena kau dulu adalah salah satu rekan terdekat Yoo Joonghyuk.”

“…Rekan?”

Aku membeku.

Rekan?
Tapi…

“Kenapa dia tidak pernah menjadikanku rekan?”

“Dia seharusnya begitu. Tapi kehidupan ini… sudah terlalu terlambat.”

Aku terdiam.
Dalam kenangan yang kulihat — Cheon Inho dan Yoo Joonghyuk bukan rekan.

Mereka adalah musuh bebuyutan.

Jangan berpikir aku akan jadi rekanku. Di Putaran berikutnya, aku akan jadi musuhmu. Lagi dan lagi.

Mereka saling menebas, bukan berdiri berdampingan.

Kepalaku terasa berdenyut.
Apa maksud semua ini?
Apakah mereka pernah menjadi rekan sebelum saling membunuh?

“Katakan dengan jelas. Aku dan Yoo Joonghyuk… rekan di Putaran ke-40?”

“Itu…”

Wajah Anna tiba-tiba berubah.

“Oh… oh… oh tidak…”

Aku merasakan firasat buruk.
Tubuhnya bergetar hebat.
Mata merahnya memutih.
Listrik meloncat dari kulitnya yang pucat.

Dan —

Lampu-lampu kereta berkedip.

Satu kali.
Dua kali.
Tiga kali.
Empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh…
Terus — tak terhitung.

[Skill eksklusif ‘Fourth Wall’ aktif dalam mode perlindungan penuh!]

“Anna Croft! Sadarlah!”

Aku meraih bahunya, mengguncangnya, tapi ia sudah tak sadarkan diri.

Tiba-tiba layar ponselku menyala — data baru dalam panduan terbuka.

Seluruh penumpang yang berhasil keluar tanpa menggunakan Crime Zone dipindahkan ke ■■■■.
■■■ adalah yang disebut penumpang sebagai ■■■.
Sebagian dokumen ini telah disensor oleh SVRP.
Seluruh subway menuju “Tujuan”.

Tujuan.
Ke mana itu?
Apakah itu berarti keselamatan?
Entahlah. Tapi setidaknya sekarang, aku tahu subway ini bergerak menuju sesuatu.

Lalu — tubuh para penumpang jatuh satu per satu, seperti boneka tanpa tali.

Dari jendela gelap, aku melihat sebuah tubuh raksasa berbentuk streamline berlari sejajar dengan kereta.

【GIGIIGIGIIGIGIIGIGIIGIIGI!】

Sebuah sirip.

Tooth Fin.

Apakah dia… mengikutiku selama ini?

【GIGIGIGIGIGIGIIGIGIIGIGI!】

Matanya menatapku tajam — memperingatkan.

“Kabur.”

Tubuh raksasanya menabrak dinding subway berulang kali, taringnya beradu dengan logam, menimbulkan percikan api.

Sesaat, aku punya harapan.
Tooth Fin adalah Fear berlevel Disaster, bahkan kadang Natural Disaster.

Kalau dia yang membantu… mungkin aku dan Anna bisa keluar!

【—!!!】

Ledakan suara memekakkan telinga, cahaya listrik menyambar seluruh tubuh Tooth Fin.
Monster itu terpental jauh — tidak berdaya.

…Tidak.
Bahkan makhluk sekuat itu tak bisa menembus Fear ini.

[Pemberitahuan kepada seluruh penumpang.]

Seketika tubuhku terasa ringan — atau mungkin hampa.
Aku berusaha menggenggam tangan Anna, tapi tak merasakan apa pun.
Perasaanku mati satu per satu, waktu dan ruang mulai melengkung.

Pandangan mataku… berkedip.
Pelan.

Sekali. Dua kali.

【Anda akan segera tiba di tujuan.】

Tiga kali.

【‘Subway Homecoming’ mengucapkan selamat atas perjalanan pulang Anda.】

Gelap.

【Hmm, benar juga.】
【Dia menarik perhatian Master of Fear terlalu banyak.】
【Yah, perjalanan pulang kerja memang selalu berat.】

Cahaya kembali.

Aku menahan napas.
Kaki-kakiku sedang berlari — di padang rumput.

Aku hampir tersandung, tapi tubuhku bergerak ringan, seperti ditiup angin.
Gerakannya halus — hampir seperti Way of the Wind.

“Kejar dia!”

Suara berteriak dari belakang.
Aku menoleh — puluhan pria bertopeng berlari bersamaku.

Sekilas pantulan wajahku muncul di belati mereka.
Topeng hitam.

Aku juga mengenakannya.
Berarti aku bukan yang dikejar — aku bagian dari yang mengejar.

Aku segera memeriksa tubuhku.
Tidak ada luka, tidak ada perubahan besar.
Namun… sesuatu hilang.

Aku merogoh dada, mencari ponselku.
Kosong.

Aku mencoba lagi — saku, pinggang, belakang celana.
Tidak ada.

Smartphone-ku hilang.
Dan bukan hanya itu.
Unbreakable Faith, Thoughts, bahkan mantelku — semuanya lenyap.

[Sinkronisasi informasi selesai.]

Sakit kepala tajam menyambar sesaat — lalu sesuatu mengalir dalam pikiranku.

Way of the Wind mengalir di ujung jari kakiku.

Syukurlah.
Skill masih bersamaku.

Tak apa.
Tanpa ponsel pun, aku bisa memahami situasi ini sendiri.

“Di sana! Itu dia!”

Sasaran yang kami kejar akhirnya terlihat.

Siluet dengan mantel hitam dan punggung lebar yang sangat familiar.

Sesaat aku terpaku — lalu Srak!

Salah satu kepala pria bertopeng terpenggal di udara.

“Kyaaaaak!!”

Apa-apaan ini.

Aku melompat ke samping, bersembunyi di balik hutan.

Mereka melawan seseorang.
Dan aku tahu siapa dia bahkan sebelum melihat wajahnya.

Yoo Joonghyuk.

Pria itu menebas tanpa ampun, [Breaking the Sky Sword] di tangannya menari seperti badai.
Darah menodai tanah.
Satu. Dua puluh. Tiga puluh orang.
Dalam sekejap, semuanya tewas.

Namun aku tahu dari sekilas pandang — kondisinya tidak baik.
Kulitnya pucat, bibirnya membiru.
Dia… beracun.

Racun yang menembus penghalang spiritual, mungkin setara racun langit.

Entah karena jebakan, atau pilihan bunuh diri.

Satu per satu, tubuh-tubuh terjatuh.
Dan Yoo Joonghyuk yang tersisa, berlari. Menebas. Terjatuh. Lagi.

Berapa lama aku menyaksikannya?

Akhirnya, Yoo Joonghyuk berlutut.
Dan aku — satu-satunya yang tersisa dari para bertopeng.

Aku keluar dari semak, mendekat pelan.
Dia sudah kehabisan mana.
[Knight Resurrection] tampaknya sudah terpakai.

“Yoo—”

Aku hendak memanggilnya, tapi berhenti.
Karena tatapannya.

Tatapan yang memandangku… bukan sebagai sekutu.

“Energi ini… aneh.”

Jika dia mengenaliku, Yoo Joonghyuk pasti akan memintaku menolong.
Tapi tidak.

「 Yoo Joonghyuk tidak mengenaliku. 」

Refleks, aku mengaktifkan [Character List].

[Skill eksklusif ‘Character List’ aktif.]

[Informasi terlalu banyak. Mengonversi ke ‘Summary List’.]


<Character Summary>
Nama: Yoo Joonghyuk
Trait Eksklusif: Regressor 40 kali (Myth), Pro-gamer (Legendary)
Skill Eksklusif: [Sage’s Eye Lv.10], [Hand-to-Hand Combat Lv.10], [Weapon Training Lv.10], [Mental Barrier Lv.10] …


Yoo Joonghyuk menatapku tajam… lalu tumbang.

Dan dari balik pepohonan, suara-suara berteriak.

“Di sana dia!”

Aku menatap punggung Yoo Joonghyuk yang rebah di tanah.

…Tidak mungkin.
Tapi kenyataan di depan mataku tak bisa disangkal.

Aku menceritakan kisah Putaran ke-40 di subway.
Dan kini, di hadapanku, terbaring Yoo Joonghyuk dari Putaran ke-40.

「 Semua subway menuju ‘Tujuan’. 」

Kepalaku berdengung.

“Cepat! Bunuh dia!”

Sial. Tidak ada waktu berpikir.

Hanya ada dua pilihan.
Menyelamatkan Yoo Joonghyuk… atau membiarkannya mati.

Aku tidak berpikir lama.

“—Bunuh dia.”

822 Episode 41 Sophistry (6)

Aku berlari seperti orang gila sambil menggendong Yoo Joonghyuk.
Napas tersengal mencapai dagu, tumitku menghantam tanah keras, menimbulkan suara duk-duk-duk! di antara dengusan napas beratku.

「 Sebenarnya, tak perlu kulakukan ini. 」

Aku tahu.
Apa yang kulakukan sekarang benar-benar sia-sia.

Adegan ini hanyalah “Putaran ke-40” buatan — panggung tipuan yang dipentaskan oleh Fear.
Entah aku menyelamatkan Yoo Joonghyuk di sini atau tidak, kisah ini sudah ditulis.
Akan tetap tercatat seperti apa adanya.

Namun imajinasi aneh terus menghantuiku.

「 Benarkah hanya rekaman belaka? 」

Bagaimana kalau Fear ini nyata?
Bagaimana kalau Yoo Joonghyuk benar-benar mati kalau aku tak menolongnya sekarang?
Bagaimana kalau sejarah berubah, seperti yang terjadi di Putaran ke-1.863 yang dikunjungi Kim Dokja?

“Di sana dia! Bajingan itu!”

Pengejar sudah semakin dekat.
Yoo Joonghyuk dari Putaran ke-40 — setidaknya bukan ditakdirkan mati di sini.
Dan kini, akulah satu-satunya yang bisa menyelamatkannya.

“Bangun! Hei!”

Aku berteriak berkali-kali, tapi tak ada jawaban.
Tubuh di pelukanku lemas, panas, nyaris tak bernapas.

Setelah berlari entah berapa jam, aku merasakan kekuatan dan mana perlahan terkuras.

Sialan.
Cheon Inho macam apa ini? Apa dia bahkan tak melatih kemampuan dasarnya dengan benar?
Bagaimana bisa seseorang seperti ini mendapat julukan Evil Sophist dan Star-Deceiver?

“Akhirnya kutemukan.”

Suara berat penuh kekuatan terdengar di depan.
Bersamaan dengan badai mana yang menggelegar, sosok yang sangat kukenal muncul.

Blood Demon.

Legenda dunia bela diri — sosok yang dulu pernah bersekutu dengan Heavenly Demon dan menantang Breaking the Sky Sword Saint.
Sebuah kekuatan Transenden.
Inkarnasi dengan kekuatan setara Konstelasi tingkat tertinggi.

Kenapa orang sebesar itu muncul di sini?

“Cheon Inho, kenapa tiba-tiba kau berkhianat pada kami?”

Jadi mereka saling kenal, ya.

Aku memaksa tersenyum, membuka mulut dengan nada ringan.

“Aku tidak berkhianat, sebenarnya.”

“Letakkan tiran itu.”

“Sulit. Aku masih membutuhkannya.”

“Kau berniat mengungkap Hukum Regresi, bukan?”

Hukum Regresi.
Jadi Blood Demon tahu bahwa Yoo Joonghyuk adalah seorang Regressor.

“Bukankah kita sepakat menelitinya bersama?”

Apa yang sebenarnya dilakukan Cheon Inho di Putaran ke-40 ini?

Aku bisa menebak arahnya.
Blood Demon yang tamak pasti penasaran kenapa Yoo Joonghyuk begitu kuat.
Setelah menyelidiki, ia menemukan rahasia regresi — lalu membuat jebakan bersama Cheon Inho untuk mencuri kekuatannya.

Baiklah. Kalau begitu, peranku sudah jelas.

“Aku akan menyingkap Hukum Regresi dan membagikannya padamu. Jadi, Blood Demon-nim, minggirlah sedikit.”

“Apa jaminannya aku bisa mempercayaimu?”

“Supreme King sudah gila. Kalau dibiarkan, dia akan regresi sebelum kita sempat mempelajari apapun.”

“…”

“Kau tahu aku punya [Incite]. Setelah Yoo Joonghyuk pulih sedikit, kalau kubangkitkan dengan mental barrier-nya yang lemah, kita bisa menggali rahasia regresi itu bersama—”

“Aku akan menghitung sampai tiga.”

Suara Blood Demon sedingin baja.

“Tinggalkan tiran itu, maka kubiarkan kau hidup.”

Tampaknya bujukan tak akan berhasil.

Kekuatan yang kurasakan darinya jelas tak sebanding dengan tubuhku sekarang.
Tak mungkin aku melawannya dalam kondisi ini.

Satu-satunya jalan adalah membangunkan Yoo Joonghyuk — tapi itu mustahil setelah ia memakai [Knight Resurrection].

Sial, kenapa bocah ini malah datang ke sarang kultus darah dan membuat segalanya rumit—

「 Untuk apa Yoo Joonghyuk datang ke sini? 」

Petir menyambar di kepalaku.
Aku merogoh sesuatu di balik pelukannya — sebuah wadah kayu kecil.

Huruf-huruf Tionghoa terukir di atasnya.

「 Blood Spirit Clan. 」

Aku mengerjap.
Ramuan legendaris — sejenis Gongcheongseokyu atau Doll Theory dari <The 0th Murim>.
Sekali telan, setara seratus tahun kekuatan mana.
Air suci legenda.

Jadi ini alasan Yoo Joonghyuk datang.
Untuk mendapatkan benda ini.
Untuk siapa? Aku tak tahu.
Mungkin untuk dirinya sendiri. Atau untuk seseorang.

Aku mengangkat botol kecil itu, dan Blood Demon tersenyum dingin.

“Kau pikir situasinya akan berubah kalau memakannya?”

“Setidaknya aku bisa menelan air suci Blood Cult. Kalau kumakan ini, kau takkan bisa menyerap energi mereka.”

Blood Spirit adalah warisan pemimpin kultus dari generasi ke generasi — kekuatan jahat yang tercipta dari pengorbanan sepuluh ribu master agar manusia bisa menjangkau bintang.

Aku yakin Blood Demon yang dulu membunuh Breaking the Sky Sword Saint juga menelan ramuan ini.

Kalau begitu, setidaknya aku bisa mengancamnya.

“Silakan coba.”

Gelombang qi hitam bergetar di genggamannya.

Absorption Technique.

Teknik sihir jahat yang menyerap energi lawan secara langsung untuk memperkuat diri.

Baru sekarang aku paham rencananya.
Begitu aku mengamankan kekuatan Blood Spirit, dia akan mengisapnya dariku dengan [Absorption Technique].

“Makan sekarang.”

Sial. Tapi tak ada pilihan lain. Aku akan mati juga kalau diam.

“Baiklah, selamat menikmati pertunjukan.”

Tanpa ragu, aku menuangkan seluruh ramuan itu ke mulutku.

Mata Blood Demon melebar.

“Bodoh! Kalau kau menelannya begitu saja—!”

Aku tahu.
Blood Spirit Clan memiliki efek samping mengerikan.
Begitu diminum, sepuluh ribu roh dendam akan menyerang pikiran penggunanya sekaligus.

—Hahahahahahaha!
—Akhirnya kau meminumnya!
—Bunuh dia! Bunuh dia!
—Pemimpin! Balaskan seratus tahun dendamku!
—Huh…?

[Skill eksklusif ‘Fourth Wall’ aktif.]

Suara-suara itu lenyap seketika.
Blood Demon menatapku ngeri, sementara energi luar biasa mulai menggelegak dalam tubuhku.

[Item ‘Blood Spirit Clan’ cocok dengan karaktermu.]
[Kau adalah ‘Villain’ yang dapat sepenuhnya menguasai fungsi Blood Spirit Clan.]

Aku sempat ragu — tapi tak ada jalan lain untuk hidup.

“Bagaimana bisa…”

“Blood Demon. Apa kau lupa siapa aku?”

“Kau—”

“Aku adalah Evil Sophist, Penipu Bintang.”

Entah Cheon Inho benar-benar dijuluki begitu atau tidak, tapi aku terus bicara, memancing kelengahan.

“Mati kau!”

Dia menyerang duluan — dan aku membalas.

[Skill eksklusif ‘Incite Lv.10’ aktif.]
[Efek item ‘Blood Spirit Clan’ memperkuat daya penghasutan!]

Sensasinya berbeda.
Ini bukan [Incite] yang biasa kulakukan.

Seolah tubuh Cheon Inho sendiri mengajarkanku caranya.
Instruksi muncul di pikiranku.

「 Perintah ‘mati’ tidak mungkin berhasil. 」
「 Gunakan kata-kata yang setara dengan kekuatan lawan. 」
「 Tumpuk lapisan penghasutan. 」
「 Mulai dari tahap pertama, tingkatkan secara bertahap. 」

Aku menarik napas, lalu berkata tenang.

“Kau gugup, bukan? Takut kalau aku lebih kuat darimu?”

“Tutup mulutmu!”

“Kau tahu apa bedanya kau dengan Supreme King? Meski kau dapatkan Hukum Regresi, kau takkan pernah sekuat dia.”

[‘Incite Lv.10’ aktif.]

“Apa yang kau tahu—!”

“Dari penjahat rendahan. Saat pertama kali memasuki dunia bela diri, kau memungut sisa-sisa Iblis Agung dan memperoleh ‘Blood Spirit Divine Skill’.”

Rahasia kelamnya — seperti yang pernah kutemukan di Ways of Survival.

“Kau tahu juga bahwa kau tak berbakat. Satu jurus saja tak bisa kau kuasai meski seratus tahun berlatih. Kau menyerah di Time Fault dan lari keluar.”

“Itu—”

“Dengan tekad selemah itu, kau ingin ‘regresi’?”

[‘Incite’ diperkuat.]

Blood Demon mulai gemetar.

“Aku bisa! Kalau aku bisa kembali, kalau aku bisa regresi seperti dia—”

“Tidak. Kau tidak bisa. Regresi tak berguna bagi sampah yang tak bisa menahan seratus tahun pun penderitaan.”

“Tidak! Aku juga—!”

Matanya mengeruh.
Keraguannya, penyesalannya, semua menggerogoti pikirannya.

[‘Incite’ diperkuat!]

“Kecoak yang hidup seratus tahun tetaplah kecoak. Tak peduli berapa lama kau bertahan, kau bukan naga. Kau hanya bajingan kelas tiga. Bahkan jika kau regresi, kau tetap sama. Itu takdirmu. Itulah dirimu.”

[‘Incite’ sukses!]

Blood Demon jatuh tersungkur, tubuhnya menggeliat seperti belut di lumpur.

Bahkan saat menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, aku nyaris tak percaya efek Incite sekuat itu.

Cheon Inho benar-benar iblis bertutur.

Aku menatapnya sebentar — lalu kembali berlari.

「 Efek Incite tak akan bertahan lama. Aku harus pergi sebelum dia sadar. 」

“Kejar mereka!”

Pengejar dari Blood Cult sudah mendekat.
Aku terus berlari — tapi di depan, jalan berakhir di tepi tebing.

Di bawah sana, sungai deras berputar, berkilau samar di bawah bulan.

Tak ada jalan lain.

“Pegang erat, Yoo Joonghyuk.”

Kupeluk tubuhnya dan meloncat ke jurang.

Ini bukan Jembatan Dongho, dan tak ada ichthyosaurus untuk menyelamatkan kami.
Namun…
Entah kenapa, aku tahu kami tidak akan mati.

Itu — naluri seorang penulis.

Cheon Inho dan Yoo Joonghyuk tidak akan mati di sini.

Dan jika keduanya hidup—

[Anda telah mengintervensi ‘SVRP’.]
[Beberapa dokumen SVRP 040 akan dimodifikasi.]
[Master of Fear menyetujui catatan Anda.]
[…]
[‘Recorder of Fear’ sebelumnya menyetujui revisi Anda.]
[Fear Anda direkam pada ruang kosong di dinding.]

Sebuah suara akrab berbisik di telingaku.

【Bagus. Inilah kisah yang kutunggu, Kim Dokja.】

Yoo Joonghyuk menatap langit malam Murim.
Langit yang dipenuhi Konstelasi — bintang-bintang yang selalu ia benci.

Berapa lama ia menatap begitu?
Tanpa sadar, ia mulai menghitung bintang.
Aneh. Ia tak punya kebiasaan seperti itu.

「 Pegang erat, Yoo Joonghyuk. 」

Kenangan samar berkilat.
Kehangatan aneh yang tak semestinya ia miliki.
Sebuah ikatan singkat yang tak seharusnya ada.

“Muridku.”

Suara lembut memanggilnya.
Breaking the Sky Sword Saint berdiri di belakangnya, menatap dengan wajah khawatir.

Cahaya terang menyelimuti mereka.

“Putaran keberapa kali ini kau memberiku ingatan?”

“Putaran ke-32.”

“Kurasa ini Putaran ke-41.”

“Ada juga putaran yang tak kuberikan ingatan.”

Saint itu tidak bertanya alasannya. Ia hanya tersenyum lembut.

“Kalau kau memberiku ingatan, pasti karena alasan yang sangat mendesak.”

Regresi Yoo Joonghyuk menyeret semua orang di sekitarnya.
Menghancurkan mereka. Menelanjangi eksistensi.

Namun tetap, ia menyeret Breaking the Sky Sword Saint kembali ke pusaran waktu.

“Aku harus menjadi lebih kuat.”

“Kau sudah cukup kuat. Lebih dari yang sebelumnya, dan sebelumnya lagi.”

“Aku harus lebih kuat dari itu.”

“Untuk apa?”

Ia tidak menjawab, tapi gurunya tahu.
Aneh, tapi di detik itu wajah keduanya terlihat sama.

“Lucu, ya?”

“Aku juga tak paham.”

“Sepertinya muridku yang keras kepala ini akhirnya punya seorang teman.”

“Itu bukan alasannya.”

Saint itu tersenyum tipis, lalu rautnya berubah serius.

“Kau berencana masuk ke Time Fault?”

“Ya.”

“Kau tahu artinya bagi dirimu.”

Bagi kebanyakan manusia fana, Time Fault hanyalah kekosongan tak berharga —
ruang di mana waktu menumpuk, kegelapan pekat tempat mereka menguji batas.

Namun sebagian Fault berbeda.
Ada cerita di dalamnya.
Lebih berbahaya, tapi juga lebih berharga.

“Kau akan kembali ke dunia yang gagal kau lindungi.”

Saint tahu persis kisah siapa yang menunggu di sana.

“Semakin sering kau masuk, semakin gila kau jadinya. Tak ada pikiran manusia yang bisa menahan itu.”

“Tetap saja, aku harus pergi.”

Ia menarik napas, lalu mengangguk pasrah.

“Baiklah. Kau pergi sekarang?”

“Ya.”

“Bersiaplah. Aku akan mengantarmu sampai pintu Fault.”

“Terima kasih, seonsaengnim.”

Saint itu bertanya lagi.

“Kau akan memakai Fault ke-32 lagi?”

Fault ke-32 — yang terburuk di Putaran ke-40.
Tempat Yoo Joonghyuk pernah mendapatkan kekuatan untuk menjatuhkan bintang.

Namun kali ini, ia menggeleng.
Memandang langit, di mana waktu purba tertidur di kedalaman.

“Tidak.”

“Kali ini… aku akan masuk ke Fault ke-40.”

823 Episode 41 Sophistry (7)

Apa itu kehidupan yang ditulis dalam teks?

Setahun kehidupan seseorang bisa berlalu dalam satu kalimat.
Dan seluruh hidup seseorang bisa diringkas dalam satu paragraf.

Ketika aku memikirkan kehidupan para tokoh, kadang muncul rasa sedih yang sulit dijelaskan.

Apakah aku sudah benar-benar menggambarkan hidup mereka sepenuhnya?
Mungkin sebenarnya aku masih bisa menceritakan lebih banyak kisah?
Apakah adegan ini sungguh puncak dari hidup mereka?

Lalu ke mana perginya sisa hidup mereka — bagian-bagian yang tidak menjadi “adegan utama”?

“Aku bosan.”

Mungkin saat ini juga adalah salah satu bagian yang hilang begitu saja dari cerita itu.

“Kau hanya bicara omong kosong.”

Tiga bulan setelah menyelamatkan Yoo Joonghyuk dari kelompok Blood Cult di Putaran ke-40.

Aku terhempas bersama Yoo Joonghyuk ke dalam Void.

Kalau dijelaskan singkat, Void adalah seperti ini:

[Hidden Scenario – Memasuki ‘Earth Void’!]

Ada dunia lain di bawah lapisan mantel bumi tempat kita hidup.
Tebing tempat kami terjatuh tadi ternyata salah satu gerbang menuju common area.

Common area adalah wilayah di mana monster level 5 ke atas — monster yang masing-masing bisa menjadi penguasa jenisnya sendiri — berkumpul.

“Tahan sebentar lagi. Hitung sampai sepuluh menit dalam hati.”

“Kalau terus bicara, dia akan menemukan kita.”

Kami menunggu dalam diam sampai monster level 2, Red Dragon, pergi.

Ironis sekali — tempat kami jatuh ternyata sarang naga merah. Tapi di sisi lain, mungkin itu keberuntungan.

Begitu naga itu pergi berburu, kami memeriksa sarangnya.

“Ketemu.”

Kolam lava naga merah.

Beberapa ikan aneh berenang di dalamnya.

Mannyeonhwari.

Salah satu roh paling langka di <0th Murim>.
Roh yang kekuatannya bahkan diinginkan para Konstelasi Transendental dan Nebula Raksasa.

Aku langsung menangkap seekor, lalu dengan hati-hati membelah perutnya.
Resep Mannyeonhwari tertulis lengkap dalam Ways of Survival Putaran ke-81.

Yoo Joonghyuk, yang menatapku bekerja, berkata pendek:

“Salah.”

“Tidak, ini cara yang benar. Pemakaian mananya juga sudah pas.”

“Kalau disiapkan begitu, separuh energi dalamannya hilang.”

“Sebagai gantinya, lebih mudah dicerna. Pasien diam saja.”

Alasan aku repot-repot memasak — padahal jelas tak ahli — karena pria menyebalkan dari Putaran ke-40 itu.

Setelah jatuh dari tebing, dia hidup, tapi akibat racun tak berwujud, seluruh qi internal Yoo Joonghyuk lumpuh.

“Kalau saja kau tidak memakan Blood Spirit milikku, ini takkan terjadi.”

“Ya, salahku.”

Beberapa saat kemudian, masakan Mannyeonhwari yang setengah matang selesai.
Yoo Joonghyuk membaliknya dengan jari, seperti sedang mengais tumpukan sampah.

“Sampah.”

“Apa? Kau bahkan belum mencicipi!”

“Aku tahu tanpa mencicipi.”

“Lalu kenapa tidak kau yang masak sendiri?”

“Untuk mengolah Mannyeonhwari butuh energi internal. Aku tak bisa memakai mana sekarang.”

Dia menelannya juga akhirnya, dengan ekspresi seolah disiksa.

Tetap saja… rasanya menyentuh.
Untuk pertama kalinya, Yoo Joonghyuk melanggar mitos pribadinya — bahwa ia tidak bisa memakan masakan orang lain.

Dan baru kali ini aku paham kenapa Yoo Joonghyuk dan Cheon Inho di Putaran ke-40 bisa sekuat itu.

Kalau setiap hari makan hal macam ini, ya wajar saja tubuh mereka jadi sekeras bintang.

Tapi memikirkannya membuatku resah.

Bagaimana kalau kekuatan mereka di Putaran ke-40… berasal dari aku?
Bagaimana kalau karena aku mengintervensi Fear ini, aku benar-benar mengubah sejarah?

Sulit dipercaya, tapi tidak mustahil.

Yoo Joonghyuk mengunyah perlahan, lalu bergumam:

“Energi internalku mulai kembali.”

Itulah momen di mana tiga bulan perjuanganku akhirnya berbuah.

Puluhan roh sudah kukalahkan demi memulihkan tenaga pria itu.
Aku ingin bersorak, tapi kutahan.

「 Mungkin sekarang aku bisa keluar dari Fear ini. 」

Karena kalau aku terlalu gembira, Fear ini bisa saja mengurungku lagi.

Tak ada awal maupun akhir yang jelas dalam Fear ini.
Namun, kalau Fear juga sebuah kisah, pasti ada permulaan dan penutup.

Dan menurut intuisi penulis dalam diriku, akhir dari Fear ini adalah:

“Saat Yoo Joonghyuk memulihkan energi internalnya di Putaran ke-40.”

Itu akhir yang cocok untuk satu putaran.

“Bagus.”

Aku menatapnya dengan perasaan campur aduk.
Sedikit saja energinya kembali, dia bisa memakai [Recovery] dan menyerap semua eliksir yang pernah ditelannya.
Tubuh inkarnasinya akan menjadi jauh lebih kuat.

Kalau begitu, keluar dari gua ini bukan masalah lagi.

“Aku berutang padamu.”

Aku nyaris tersedak mendengarnya.

Apa benar bocah ini baru saja berterima kasih?

“Kalau begitu, lunasi utangnya.”

“Baik.”

“…Apa?”

Yoo Joonghyuk mengernyit.

“Katakan apa yang kau mau.”

Utang Yoo Joonghyuk. Barang langka seperti ini tidak boleh disia-siakan.

Aku berpikir sebentar, lalu menjawab:

“Tidak sekarang. Bayar di Putaran ke-41.”

Dia menatapku tak percaya.

“Aku lupa, kau tahu soal regresi. Tapi aku tak bisa menepati janji itu.”

“Kenapa?”

“Karena yang akan datang nanti bukan lagi ‘kau’ yang ini.”

“Kau tahu itu?”

“Saat Putaran berganti, semua orang kecuali aku kembali ke masa lalu. Ingatan lenyap, sejarah dilupakan. Hanya beberapa baris anekdot yang tersisa.”

Beberapa baris anekdot.

“Kenapa kau bicara seolah itu hal tragis? Bukankah begitu cara hidup kita semua?”

“Apa maksudmu?”

“Sebagian hal dilupakan. Sebagian lain diingat. Yang tersisa jadi adegan, kalimat, kisah. Momen berharga, kesedihan, semuanya akhirnya tinggal beberapa baris cerita.”

Yoo Joonghyuk tampak berpikir sejenak, lalu menjawab pendek:

“Kenapa kau bicara begitu?”

“Maksudku, jangan remehkan beberapa baris itu.”

Karena terkadang, hanya beberapa kalimat bisa mengubah seluruh hidup seseorang.

Satu baris.
Lalu satu lagi.
Ditulis dengan susah payah — dan hidup seseorang berubah karenanya.

“Lucu. Kudengar dari orang yang bahkan tak ingat siapa dirinya.”

“Ya. Maaf.”

“Katakan keinginanmu yang sebenarnya. Kalau terus mengoceh, aku takkan bayar utang.”

“Kau tidak bisa melunasi utang itu, bahkan nanti.”

“Apa lagi maksudmu?”

“Aku tidak bicara omong kosong. Pikirkan ini.
Kau berutang padaku hari ini, lalu sebulan kemudian kau membayarnya. Apakah Cheon Inho hari ini dan Cheon Inho sebulan mendatang orang yang sama?”

“…”

“Orang akan bilang ‘ya’, karena dunia punya terlalu banyak kisah yang menyebut mereka orang yang sama.”

“…”

“Tapi kalau sebulan kemudian aku kehilangan semua cerita dan ingatanku — apakah aku masih orang yang sama?”

“…”

“Wajahnya sama, sifatnya mirip, masih suka bicara omong kosong, masih tertawa bodoh. Tapi apakah dia benar-benar aku?”

Yoo Joonghyuk terdiam.
Dia tahu kontradiksi itu lebih baik daripada siapa pun.

Dia tidak bisa membayar utang yang terjadi di Putaran ini — di Putaran berikutnya.
Rekan-rekan yang berkorban takkan pernah kembali.
Dan ia akan terus menanggung beban utang dari masa lalu.

Aku menatapnya dan berkata pelan:

“Tapi kau bisa.”

“Apa maksudmu?”

“Anggap saja aku di Putaran berikutnya orang yang sama.
Katakan pada dirimu sendiri: ‘Orang ini kehilangan ingatannya, tapi dia tetap Cheon Inho yang kukenal.’
Perlakukan dia seperti kau memperlakukanku sekarang.”

“Kenapa aku harus begitu?”

“Agar kau tidak sendirian.”

Tatapan Yoo Joonghyuk bergetar.
Aku melanjutkan.

“Berhentilah hidup seolah kau satu-satunya tokoh utama di dunia ini. Seolah kau sendirian menanggung kegelapan semesta.
Kalau orang lain lupa, biarkan.
Kau saja yang mengingat.
Bilang dalam hati: ‘Dia orang dari Putaran sebelumnya. Dia lupa, tapi aku ingat. Maka aku akan membalas dendam untuknya.’
Bukankah kau melakukan hal itu pada para villain? Aku pun villain.”

Hening.
Air di kolam naga mulai mendidih.
Beberapa Mannyeonhwari meloncat dan lenyap.

Aku sempat berpikir aneh — apakah mereka tahu bahwa mereka hidup di lava?
Mungkin tidak. Karena sejak lahir, itulah dunia mereka.

“Bahkan kalau aku menolongmu di Putaran ke-41, kau takkan mendapat apa-apa sekarang.”

“Siapa bilang? Aku akan mendapat bantuan di Putaran ke-41.”

“Apa?”

“Kehidupan selanjutnya, aku ingin naik bus Regressor dan hidup santai.”

Yoo Joonghyuk mendengus geli.
Walau sinis, itu tawa pertamanya setelah sekian lama.

“Kau gila.”

“Kau pikir cuma kau yang boleh begitu?”

Getaran berat mengguncang sarang naga.
Naga merah akan segera kembali.

Sudah waktunya pergi.

Namun sebelum itu, Yoo Joonghyuk berbicara.

“Cheon Inho.”

“Hm?”

“Masih lama sebelum Putaran ke-41 datang.”

Dia tidak menatapku, tapi entah kenapa rasanya tatapannya menembus langsung ke diriku.

“Lalu?”

“Aku tak berniat menyerah di Putaran ini.”

Saat itu, aku tahu maksudnya.

“Bantu aku di Putaran ini.”

Permintaan langsung dari Yoo Joonghyuk —
Untuk menjadi rekannya di Putaran ke-40.

Aku terpaku.

Namun ketika mata kami bertemu, aku sadar sesuatu.

「 Yang dia lihat bukan aku. 」

Aku hanyalah bayangan dari Fear ini.
Yang dia lihat bukan Kim Dokja, bukan Lee Hakhyun — melainkan cangkang Cheon Inho.

Orang yang ingin dijadikannya rekan… bukan aku.

Kesadaran itu menusuk dada.

“Yoo Joonghyuk.”

Kalau begitu… kenapa tidak sekalian kukatakan semuanya?
Kuberitahu dia tentang masa depan — tentang semua yang kutahu.
Mungkin dengan begitu, sejarah bisa berubah di Putaran ke-41.

“Yoo Joonghyuk, nama asliku—”

Sebelum kalimatku selesai, dunia dipenuhi cahaya putih.
Naga merah lenyap.
Sarangnya, lava, langit—semuanya hilang.

Yoo Joonghyuk menghilang.
Aku menghilang.

Dan di dunia yang hanya tersisa beberapa baris kalimat, aku menjeritkan namaku padanya.

[■■-level Fear, Bab 1 dari Evil Sophist telah berakhir.]
[Kau telah memberikan kontribusi menentukan pada penyelesaian Fear tersebut.]

Entah Yoo Joonghyuk mendengarnya atau tidak,
akhir dari Putaran ke-40 pun tercatat hanya dalam beberapa baris kalimat.

[Anda kini dapat membaca “Ending yang terlupakan” dari ■■-level Fear, Evil Sophist.]

824 Episode 41 Sophistry (8)

[Ending yang Terlupakan dapat dibuka di ‘Rak Buku Terakhir’.]

[Saat membuka ending, Anda dapat menggunakan ‘Time Fault’ eksklusif untuk Putaran tersebut.]

Pesan yang bergema di dalam kepalaku sulit untuk kupahami sepenuhnya.

Peristiwa yang baru saja terjadi berputar dalam pikiranku, kacau tanpa urutan.
Nama-nama, ingatan, kilasan:

Yoo Joonghyuk.
Naga Merah.
Mannyeonhwari.
Earth Void.
Tiga bulan waktu.

Pemandangan berputar dan tercerai-berai.
Kalimat-kalimat hancur, terpecah seperti kebohongan.

Semuanya terasa tidak nyata.

「 Apa semuanya hanya ‘Fear’? 」

Apa aku benar-benar mengubah masa lalu?
Atau hanya melihat ilusi?

Kalau memang aku mengubah masa lalu—
apakah tindakanku memengaruhi ending?

[■■ Efek sisa dari Fear yang tiba-tiba mulai merambat.]

Butuh waktu lama sampai aku sadar ponselku berdering.
Pengirimnya: aku sendiri.

—Hei.

Siapa yang telah kuperankan selama ini?
Apakah semua dialog yang kuucapkan benar-benar milikku?

Apakah aku Kim Dokja?
Atau Lee Hakhyun?
Atau bukan keduanya?

Aku adalah—

Sang Penipu Bintang. Evil Sophist. Villain dari Geumho Subway. Pemimpin Iron Guard. Rival Sang Raja.
Orang yang melihat akhir dari Garis Dunia. Yang tiba di Dinding Terakhir.
Recorder of Fear—

Maknae!

Aku tersentak sadar.

“Ah—”

Kabut di pikiranku menghilang, pandanganku bening kembali.
Saat napas tertahan itu terlepas, aku nyaris terisak.

—Ya. Kerja bagus.

Aku bergumam, masih setengah sadar.

“Yoo Joonghyuk. Apa yang terjadi dengan Yoo Joonghyuk?”

—Apa maksudmu? Di mana Yoo Joonghyuk?

“Yoo Joonghyuk dari Putaran ke-40. Dia ada di sana!”

—Aku tahu apa yang kau lihat, tapi sadarlah. Semuanya sudah selesai. Ceritanya sudah berakhir.

Kalimat itu menusuk hatiku.

“Tidak. Belum ada yang berakhir.”

Aku dan Yoo Joonghyuk ada di sana.
Kami bertahan tiga bulan di tempat terkutuk itu.
Aku menyelamatkannya.
Aku ada di sana.

—Putaran itu sudah berakhir.

Aku menolak mempercayainya.
Kalau saja aku meraih sesuatu sekarang, aku merasa semua momen itu akan kembali—
bau lava, rasa panas, dan sentuhan tubuh Mannyeonhwari di jariku masih jelas.

—Yoo Joonghyuk itu datang ke Putaran ini bersamamu.

Aku ragu, lalu menatap layar ponsel.

Bolehkah aku memikirkannya begitu?
Seperti yang kukatakan padanya waktu itu—
Apakah aku juga berhak mendengar kisah yang sama?
Apakah aku pantas?

“Tidak… aku—”

—Kau Maknae. Sadarlah cepat. Di depan—

Sambungan terputus lagi.
Sepertinya aku telah memasuki zona tanpa sinyal.

Aku menatap sekeliling.
Lampu-lampu subway berkelip samar.
Rasa mual menyerang lagi. Aku berpegangan pada rel di atas kepala.

[Inkarnasi Anda terbangun di ‘Subway dalam Perjalanan Pulang Kerja’.]

Fear itu jelas sudah berakhir.

Tapi kenapa aku masih berada di Subway Pulang Kerja ini?

Jawabannya segera muncul.

[Anda telah membuka Bab 1 dari ‘■■-level Fear: Evil Sophist’.]

Kereta ini… belum sampai di tujuan.

[Anda telah menafsirkan ‘Fear yang Tak Terinterpretasi’.]
[Saran interpretasi: Seorang rekan yang terpisah oleh hidup dan mati.]
[Anda diberkahi oleh Fear.]

Semua Fear memengaruhi sang penafsir begitu berhasil diinterpretasikan.
Satu kisah akan menyatu alami dengan kisah lainnya.

Apakah ini berakibat baik atau buruk, belum kutahu.
Namun untuk saat ini, tubuhku terasa ringan.
Pandangan pun terasa lebih luas.

「 Caraku ‘melihat dunia’ melangkah setingkat lebih jauh. 」

Aku menikmati sensasi itu sejenak, lalu menoleh.
Seseorang tergeletak di kursi seberang.

“Hei.”

Anna Croft.

Ia juga tampak pingsan seperti aku barusan, kini perlahan membuka mata.

“Ah… ah… Cheon Inho. Tidak…”

“Tenang.”

Mata Anna membesar.
Aku menyentuh bahunya ringan, menenangkannya.
Kalau dugaanku benar, ia pasti juga mengalami hal yang sama denganku.

Ingatan seperti apa yang ia lihat di dalam Fear itu?
Apakah ia juga terseret ke Putaran ke-40?

Anna, yang masih terengah, akhirnya berbicara pelan.

“Ada pesan… bahwa interpretasi gagal.”

Interpretasinya gagal.
Pesan yang berbeda dari punyaku.

“Tapi katanya, karena orang yang naik bersamaku berhasil, kau akan diberi satu kesempatan lagi…”

Mata Anna membulat.

“Cheon Inho, kau—”

“Ya. Aku berhasil menginterpretasikan Fear itu.”

“Aku berutang padamu.”

Rasanya aneh mendengar kata-kata itu lagi — setelah Yoo Joonghyuk sebelumnya.

Aku tidak bermaksud mencari utang, tapi kalau dia berpikir begitu, tidak masalah.
Namun ada hal yang ingin kutahu.

“Apa yang kau lihat di dalam Fear?”

Melihat Anna tidak muncul di kisah Putaran ke-40 yang kualami, pasti ceritanya berbeda.

“Aku tidak tahu. Aku tidak ingat.”

“Tidak ingat sama sekali?”

“Tidak. Aku hanya ingat… ada pesan bahwa aku tidak memenuhi syarat.”

Tidak memenuhi syarat?

“Dan setelah itu, muncul pesan: interpretasi rusak, gagal.

Aku berpikir sejenak dan mengangguk.

Mungkin memang begitu bedanya:
yang berhasil menafsirkan Fear dan yang gagal.
Mereka yang gagal tidak memiliki kenangan tentang apa yang mereka alami di dalamnya.

“Masih ingat apa yang kau katakan sebelum kita masuk Fear?”

Aku mengingat kembali — tepat sebelum lampu subway berkedip tiga kali gila-gilaan.

“Saat aku bertanya siapa aku, kau bilang aku salah satu rekan terdekat Yoo Joonghyuk. Apa maksudnya?”

“Aku… mengatakan itu?”

Raut wajahnya menunjukkan kebingungan total.

“Memang benar dulu kau pernah jadi rekan Yoo Joonghyuk, tapi… rekan? Tidak mungkin… rekan…?”

Matanya berputar cepat, merahnya berkilat.

Mata Great Demon.

Dia mengaktifkan [Past Sight].
Namun berikutnya, pupilnya mendadak kabur, percikan cahaya memancar keluar.

“Huh… apa ini?”

Aku tahu apa yang terjadi.

“Kenapa [Past Sight]… tidak berfungsi?”

Putaran ke-40 — dunia tempat Yoo Joonghyuk, Cheon Inho, dan Anna hidup — kini telah menjadi rekaman yang tak bisa lagi ia baca.

Mungkin ini akibat dari interpretasiku terhadap Fear itu.

Entah ini kabar baik, atau sebaliknya.

“Sudahlah, jangan paksa dirimu. Masih ada masalah yang lebih besar.”

Aku menatap sekitar dengan hati-hati.

Ini bukan lagi kabin 3807 tempat kami naik sebelumnya.
Darah dan mayat berserakan di lantai.

Artinya, kabin ini sudah terserang Crime Zone — dan seseorang telah membantai semuanya.

Mungkin Final Passenger sudah dipilih.
Kalau benar, satu-satunya yang tersisa kemungkinan besar adalah Cheok Jungyeong.

“Ya Tuhan… kalau begini—”

“Tenang. Kita mendekati Fear dengan cara berbeda dari mereka.”

Kami tidak memakai Crime Zone, jadi hukumannya juga berbeda.
Itu aturan dari Fear ini.

Tepat saat aku berpikir begitu, pintu depan kabin perlahan terbuka.
Bagian depan bukan lagi gerbong penumpang.

“Ah.”

Rekaman Han Sooyoung berkilat di benakku.
Kalau dugaanku benar, ruangan di depan adalah—

Engine Room.

Aku bertukar pandang dengan Anna, lalu perlahan melangkah masuk.

Begitu melewati ambang pintu, ruang itu menelan kami.

Sebuah ruangan hitam legam.
Namun dindingnya ternyata bukan tembok — melainkan jendela.
Di baliknya, terbentang alam semesta yang gelap dan menakutkan.

Beberapa monitor tua berdiri di ruangan.
Di depan monitor yang memancarkan cahaya redup, berdiri sosok tinggi besar.

Dialah Engineer.

Mataku bertemu dengannya — atau setidaknya, aku merasa begitu.
Wajah tanpa mata, hidung, atau mulut.
Di tempat itu hanya ada satu tanda tanya besar.

Tanda tanya itu menatap langsung padaku.

【Masuklah.】

Begitu kudengar suaranya, firasat buruk menyambar.
Sebuah potongan kisah menikam kepalaku.

「 Manusia bodoh tak tahu bahwa singgasana Tuhan menjulang tinggi. 」

Tubuh Anna di sebelahku langsung kaku.

【Temanmu itu akan tetap begitu sebentar. Dia tidak layak mendengar suaraku.】

Tanda tanya itu memanjang di sisi-sisinya — seperti senyum miring yang hidup.

【Ngomong-ngomong, sudah lama sekali sejak terakhir kali aku berada dalam seon selama tiga bulan.
Terima kasih, berkatmu aku cukup terhibur.】

Di layar monitor tua, terputar potongan adegan tiga bulan yang kujalani bersama Yoo Joonghyuk.

Aku menatap layar itu bersama Engineer.
Lalu bertanya:

“Apa yang kualami… benar-benar terjadi?”

【Sudah kubilang, kau berada dalam Seon.】

Seon — tidur yang tidak sepenuhnya dalam.

“Jadi aku bermimpi?”

【Siapa bilang? Apa bedanya mimpi dan kenyataan?】

“Tentu berbeda. Mimpi adalah mimpi, kenyataan adalah kenyataan.”

【Dan siapa yang menentukan itu?】

“Apa?”

【Jika seluruh alam semesta ini hanyalah mimpi seseorang,
dan semua yang hidup di dalamnya tak menyadarinya,
apakah itu mimpi, atau kenyataan?】

Aku terdiam.
Aku tahu arah pembicaraannya.

Engineer menatapku sesaat, lalu menambahkan:

【Sebagian besar alam semesta ini tersusun dari hal seperti itu.
Bukan kita yang menentukan apakah itu mimpi atau kenyataan.】

“Oldest Dream.”

Engineer tersentak.

Aku melanjutkan:

“Bagi seseorang yang bermimpi sepanjang hidupnya,
mimpi itu sendiri adalah kenyataan.”

Engineer tertawa kecil — seolah jawaban itu menyenangkan.

【Aku pernah mendengar kata-kata serupa dari seorang pria, dulu sekali.】

Aku tahu siapa yang ia maksud.
Aku menarik napas panjang.

“Chief. Jangan-jangan kau…”

Pikiranku berputar.
Sama seperti <Kim Dokja Company>, Asmodeus, Mass Producer, dan bahkan Uriel…
ada banyak yang telah mencapai akhir mereka — namun belum puas dengan ending-nya.

Aku menatap sekeliling ruang mesin itu.
Dan kesimpulan pun muncul.

Hanya satu bintang yang bisa muncul di “kereta” ini.
Bintang yang dulu menjadi musuh bebuyutan Kim Dokja.
Dan yang pada akhirnya—mengemudikan kereta terakhir <Kim Dokja Company>.

Julukannya adalah—

【Sst. Sekarang aku adalah Fearsome Engine Manager.】

Ia meletakkan jari di “bibir” tanda tanya itu.
Aku menatapnya lama, lalu bertanya lirih:

“Apakah kau baik-baik saja?”

Manager itu memahami maknaku, lalu diam sejenak sebelum mengangguk.

【Aku puas dengan peranku.
Mengemudikan kereta adalah keahlianku.】

Mungkin memang begitu adanya.
Konstelasi yang jatuh cinta pada sebuah kisah… tidak pernah benar-benar bisa meninggalkannya,
bahkan setelah cerita itu usai.

Aku memandangi sosok besar Lokapala dari <Veda> — bintang agung yang dulu bersinar paling terang —
dan bertanya:

“Lalu… apa yang akan kau lakukan padaku sekarang?”

【Ini ‘Subway Pulang Kerja’.
Jika kau terbangun di kursi masinis, berarti sebentar lagi kau akan tiba di tujuan.】

“Tujuan…”

【Tugasku hanya satu: membawamu ke tujuanmu.
Jadi, ke mana kau ingin pergi?】

Ah, jadi begitu.
‘Subway Pulang Kerja’ adalah semacam alat transportasi di dalam Fear ini.

Aku berpikir sebentar, lalu menjawab pelan.

“Tempat yang ingin kutuju…”

Tempat itu tak bisa dijangkau dengan transportasi umum.
Bukan pula tempat yang bisa dicapai hanya dengan berlari cepat.

Untuk sampai ke sana, dibutuhkan waktu.
Dibutuhkan cerita.
Harus melalui penderitaan, dan melewati beberapa kematian.

Tempat yang bahkan Kim Dokja sendiri —
yang telah melewati begitu banyak waktu — tak pernah sampai.

Engineer menatapku.
Lalu mengangguk seolah mengerti.

【Aku tahu.】

【Kau ingin pergi ke Rumah Besar.】

 

 

Nunaaluuu Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review