21. 바나나킥 — Banana Kick
“Sepak bola, maksudnya? Hmm… saya rasa kemampuan saya biasa saja.”
“Begitu? Kalau begitu, nanti ikut jeon-tu chukgu (sepak bola tempur) bareng, ya.”
“Oh, Minjun juga main? Bagus tuh. Setelah makan siang, kumpul di lapangan parade.”
“Ya! Siap!”
Untuk ikut jeon-tu chukgu, setidaknya harus berpangkat sangbyeong.
Karena sepak bola versi Hunter ini jauh dari kata biasa — lebih mirip rugby campuran pertempuran.
‘Dan sekarang aku sudah sangbyeong.’
Heh.
Sudah lama tidak main bola, kaki ini sampai gatal ingin menendang.
‘Kuharap kemampuan yang kulatih di dunia lain masih berlaku di sini.’
Setelah makan siang, pukul satu tepat.
Para Hunter sudah berganti pakaian olahraga dan sibuk dengan aktivitas masing-masing.
Ada yang menuju ruang latihan dalam ruangan, ada yang main basket atau sepak takraw.
Sementara itu, beberapa byeongjang yang malas,
mengendap pelan masuk ke barak, pura-pura tidak kelihatan.
“Minjun-ah, kau ambil posisi bek, ya.
Santai saja, nggak akan ada yang marah kalau salah.”
“Sangbyeong Kim Minjun! Akan saya lakukan sebaik mungkin!”
Minjun bergabung dengan regu gabungan dari dua kompi.
Permainan dimulai —
dan seperti yang diharapkan, tempo langsung brutal.
Hunter menendang, menyundul, menabrak, bahkan tackling pakai bahu tanpa ampun.
‘Rasanya nostalgia.
Kalau aku bawa Kim Heungmin dari tim lamaku di Isgard, dia pasti terbang sekalian.’
Hunter biasa saja pun memiliki kekuatan fisik luar biasa,
jadi orang normal tidak akan bertahan 10 menit di lapangan semacam ini.
“Ah! Ditembus!”
“Minjun-ah, jangan panik, tahan!”
“Siap!”
Lawannya melakukan umpan panjang ke arah depan —
bola menuju lurus ke arah Minjun.
Paaat!
“Huh?”
Dalam sekejap, bola sudah di kaki Minjun.
Ia mencuri bola dengan presisi sempurna.
Tiga bek lawan sempat menahan napas.
Bola yang tadi mereka kuasai,
hilang begitu saja,
dan kini Minjun menendangnya ke arah rekan satu tim.
Tung!
Satu gerakan sederhana, cepat, dan tepat.
“Bagus! Bersih banget, Minjun-ah!”
“Terus main kayak gitu!”
Berkat kemampuan bertahan yang nyaris sempurna,
tim Kompi 2 mulai mendominasi permainan.
“Ah, sial… apa-apaan hari ini.”
“Kenapa jadi gini, biasanya kita unggul.”
Regu lawan mengerutkan wajah.
Biasanya mereka selalu menang melawan Kompi 2,
tapi sekarang sudah kalah 2–0.
“Wah, kau hebat juga mainnya.
Padahal bilang cuma ‘biasa-biasa saja’.”
“Coba nanti ganti posisi, kau jadi penyerang, biar lihat sekalian.”
“Baik, Sunbae-nim!”
Penyerang, ya?
Bagus juga.
“Hey! Tandai Kim Minjun ketat!
Pasang tiga orang di sekelilingnya!”
“Lupakan pemain lain, fokus ke dia saja!”
“Ya ampun…”
Tak sampai 10 menit sejak pindah posisi,
skor berubah jadi 5–0.
Setiap kali bola menyentuh kaki Minjun,
lawan-lawan terpental, bola meluncur, dan gol tercipta.
“Gila… ini orang latihan bola tiap hari apa?”
“Kalau makan pun sambil juggling, baru bisa kayak gitu.”
Para bek sampai menyerah dan duduk di pinggir lapangan,
menonton pertunjukan sepihak bernama Kim Minjun Show.
‘Baiklah, timing-nya pas.
Sekarang saatnya sedikit pamer.’
Begitu bola datang, lima Hunter lawan langsung maju menutupnya.
‘Menepi, atau akan merasakan sakit yang nyata.’
Minjun tersenyum tipis dan menendang bola dari jarak tengah.
PAAANG!!
Suara ledakan kecil terdengar.
Bola meluncur deras dengan kecepatan nyaris tak terlihat.
“Wah, gila!”
“Eh?!”
Bola itu bukan terbang lurus — tapi melengkung tajam,
membuat para bek berteriak dan menunduk panik.
‘Heh. Sudah lama tak kupakai, tapi ternyata masih pas.’
Banana Kick — gaya Isgard.
Shuuuuuak!
Bola berbelok sempurna, menukik ke pojok kanan gawang,
masuk tanpa bisa dibendung.
‘Bagus. Gol yang indah.’
7–0.
“Gila… kalian lihat itu barusan?”
“Itu banana kick! Dari luar garis tengah!”
“Bagaimana mungkin bola bisa belok sejauh itu!?”
Lawan-lawan hanya bisa mematung,
mental mereka ambruk total.
‘Seharusnya tadi kutahan sedikit…
Sekarang mereka tak punya semangat lagi.’
Ia mendesah kecil.
Sudah lama tidak main, jadi lupa mengukur tenaga.
“Dia nendang dari luar tengah lapangan, kan?
Itu nggak masuk akal, sumpah.”
“Rekrut dia permanen di tim.
Kita bakal menang tiap minggu.”
Para senior yang menyaksikan di pinggir lapangan mengangguk setuju.
“Inilah bakat sejati.
Soalnya kita dari dulu lemah di sepak bola tempur.”
“Pokoknya tiap pertandingan, Minjun wajib masuk daftar.”
Bahkan dalam hal olahraga pun,
posisi Minjun di unit itu kembali naik daun.
“Ah~ selesai juga.
Terlalu cepat, harusnya main santai.”
Minjun bersandar di bangku pinggir lapangan,
memandang langit dengan wajah santai.
Masih dua jam tersisa sebelum waktu latihan tempur berakhir.
“Apa yang bisa kulakukan sekarang ya…”
Baru saja berpikir begitu,
Byeongjang Lee Seungho melambaikan tangan ke arahnya.
“Sangbyeong Kim Minjun!”
“Ya, Byeongjang-nim!”
“Tidak ada apa-apa, cuma mau tanya,
kau pakai ruang latihan akhir-akhir ini?”
“Kadang-kadang, di akhir pekan saya gunakan, Byeongjang-nim.”
(Tentu saja bohong. Bahkan lokasi ruangnya saja belum tahu.)
“Sekarang kau sangbyeong.
Gunakan sesukamu, tak perlu sungkan.”
Ah, benar juga.
Aku sudah sangbyeong sekarang.
“Dan satu lagi.
Pastikan kau lulus ujian promosi berikutnya juga.”
“Siap!”
(Lulus? Itu urusan sepele.
Mungkin di ujian berikutnya aku sudah jadi haseong.)
Minjun pun menuju ruang latihan.
Tapi bukan untuk angkat beban —
tujuannya adalah Ruang Simulasi Pertempuran ke-2.
‘Ohh… ini dia.’
Dari luar saja, ruangan itu tampak seperti fasilitas VR canggih.
“Baiklah, mari coba.”
Ia bersenandung kecil sambil menyalakan sistem.
[Pilih jenis monster.]
[Orc telah dipilih.]
[Anda telah melebihi batas maksimal. Jumlah maksimal: 30 ekor.]
“Serius?
Aku ingin lihat efek musou, tapi malah dibatasi.”
Ia sempat mencoba menulis 999 ekor,
namun sistem langsung mengeluarkan pesan error.
Akhirnya ia menyerah dan menekan tombol start.
[Pilih senjata.]
“Wah, bisa juga meniru senjata? Keren banget.”
Tak heran hanya sangbyeong ke atas yang boleh menggunakannya.
Dengan simulasi virtual seakurat ini, latihan jadi lebih nyata.
Wuuung—
[Pertempuran Dimulai.]
Suara mesin bergemuruh,
dan orc-orc muncul satu per satu di hadapannya.
“Wah, realistis banget.
Sensasi pukulannya hampir mirip dunia asli.”
Genggaman senjata terasa solid di tangan.
“Baiklah, ayo mulai!”
Minjun berlari ke tengah kerumunan orc.
Baaak! Paaak!
Tinju, lutut, dan tendangan beterbangan.
Orc satu per satu terhempas,
kepala mereka pecah seolah dari kaca rapuh.
‘Orc atau hound, sama saja.’
Mereka mengayunkan senjata, tapi Minjun seperti punya mata di belakang kepala.
Setiap serangan ditangkis, setiap celah dimanfaatkan.
“Inilah yang disebut perburuan monster sejati!”
Ia tertawa keras.
Masuk dungeon asli pun belum pernah,
jadi simulasi ini cukup menghibur.
“Serang aku semua!”
Puluhan orc menyerbu,
tapi Minjun menembus barisan mereka seperti badai tunggal.
[Peringatan. Anda meninggalkan zona yang ditentukan.]
[Peringatan. Aksi ini terlalu berbahaya melawan banyak monster.]
“Dasar, sistemnya terlalu manja.”
Ia mengabaikan semua peringatan dan menekan tombol lagi.
“Kalau begitu, tambah jenisnya saja.”
Tuk-tuk.
[Hound: 30 ekor]
[Tikus Mutan: 30 ekor]
[Goblin: 30 ekor]
[Orc: 30 ekor]
“Ooh, bisa!
Aku memang jenius.”
Batas jumlah per jenis memang 30,
tapi tidak ada larangan menambah jenis monster lain.
Siapa pula yang cukup gila menghadapi ratusan musuh sekaligus, kan?
Kecuali Kim Minjun.
“Lihatlah ini. Lautan monster… indah sekali.”
Ia memanggil semua monster ke medan latihan.
Ratusan makhluk buas memenuhi ruangan virtual.
“Baiklah, anak-anak manis.
Datanglah padaku!”
Kuaaaah!
Berbagai jenis monster berlari ke arahnya bersamaan,
gelombang demi gelombang menyerbu seperti tsunami daging.
Level itu setara latihan skala batalyon,
tapi Minjun justru tertawa.
Puk! Baaak! Duaaak!
Tubuhnya berputar, melayang, menendang, meninju,
menerbangkan orc dan goblin tanpa henti.
“Ha ha ha!
Ini gila… lebih seru dari Dungeon Fighter!”
Keringat tak menetes sedikit pun, tapi wajahnya berbinar.
Setelah semua monster tersungkur,
ia menekan tombol End Simulation.
“Kalau sedang ingin meninju sesuatu,
aku cukup datang ke sini saja.”
Ia hendak keluar dari ruangan—
tapi tepat di depan pintu,
ia berpapasan dengan Ilbyeong Lee Dongjin.
“…Sangbyeong Kim Minjun-nim?”
Dongjin menatap monitor besar di dinding,
dan wajahnya langsung membeku.
“Kenapa?”
Minjun menoleh, tak mengerti.
Di layar besar itu terpampang hasil simulasi.
[Hasil Simulasi Tempur Ruang 2]
-
Hound: 30 ekor
-
Tikus Mutan: 30 ekor
-
Goblin: 30 ekor
-
Orc: 30 ekor
“…Sangbyeong Kim Minjun-nim, maaf, tapi…
Semua data ini… Anda yang lakukan sendiri?”
22. 메시지 — Pesan
Kim Minjun menoleh ke arah yang sedang ditatap Lee Dongjin.
‘Ah, jadi ada tampilan kayak gitu, ya.’
Tapi baginya, itu bukan hal mustahil.
“Shh.”
Minjun tersenyum nakal sambil meletakkan telunjuk di bibir.
“…Baik, Sangbyeong-nim. Saya kebetulan ada urusan, jadi pamit dulu.”
“Pergilah.”
Dongjin melangkah pergi, wajahnya campur aduk antara kagum dan bingung.
Tii-ring—
[Skill Baru Telah Diciptakan]
“Eh? Apa ini?”
Ia menatap jendela itu dengan rasa heran bercampur antusias.
Namun ini berbeda.
“Baiklah, lihat dulu deskripsinya.”
“Not bad.”
Dengan senyum puas, Minjun keluar dari ruang latihan.
Keesokan harinya
“Hey! Sojang-nim bilang kasih ini ke kau!”
“Apa ini?”
“Usoo Hunter (Hunter Berprestasi) — sertifikat penghargaan.”
“Wah, serius? Tunjukin, tunjukin!”
Mendengar kata penghargaan, para sunbae langsung mengerumuninya.
[Sertifikat Penghargaan]
Diberikan kepada prajurit yang menjadi teladankarena menunjukkan kinerja luar biasa selama masa dinasnya.
Gwangsik mendecak kesal setelah membaca isi sertifikat.
“Sangbyeong Kim Minjun! Terima kasih!”
“Siap! Terima kasih atas informasinya, Sunbae-nim!”
Artinya semakin banyak dikumpulkan, semakin bagus.
Ia tertawa sendiri.
‘Kumpulkan seperti kupon potongan ayam saja.’
“Eh? Sudah waktunya wawancara?”
“Ya, sudah lewat empat bulan.”
“Ah, berarti pagi ini santai banget.”
“Benar, belum, Sunbae-nim.”
Karena hal kecil di militer bisa membesar jadi tragedi.
‘Wajar. Unit Hunter jauh lebih berisiko.’
Diam di barak saja terasa membuang waktu.
‘Benar. Ini enaknya punya pangkat.’
“Siap! Terima kasih, Byeongjang-nim! Saya akan segera kembali!”
Minjun pun berlari menuju ruang latihan.
“Hey, aku kepikiran ide bagus.”
Namun Gwangsik terus memprovokasi dengan nada menantang.
Tak lama, bahkan beberapa byeongjang ikut bergabung.
“Wah, Byeongjang Lee Seungho, Anda pemberani juga.”
Mereka menandatangani surat taruhan dengan cap jempol sungguhan.
“Tidak ada yang boleh kabur. Cap jempol harus jelas!”
Gwangsik tersenyum puas.
‘Rasanya enak sekali. Kali ini aku pasti menang.’
Tentu saja, ia tidak tahu siapa yang sedang ia pertaruhkan.
Ruang Latihan
Ia mengangkat dumbbell besar yang dibuat dari batu Red Stone.
Ia tertawa sendiri.
“Yah, Earth Hero kedengarannya konyol juga.”
Di situ tertulis stiker peringatan:
“Baik. Mulai dari seratus repetisi.”
Ia mengatur napas dan mulai latihan dengan serius.
Ada tiga cara umum meningkatkan Strength stat:
-
Melalui latihan intensif.
-
Melalui pengalaman tempur di dungeon.
-
Melalui peningkatan level secara alami.
“Hm?”
Sebuah jendela biru muncul di hadapannya.
23. Dungeon Pertama-1 (첫 던전-1)
[Strength Telah Diciptakan.]
“Eh? Aku memang agak serius latihan hari ini, tapi masa bisa langsung dapat skill?”
Padahal cuma latihan sekitar dua jam.
[Strength (E) : Meningkatkan Strength stat sebesar 5.]
Deskripsinya sederhana—masuk kategori basic skill, tapi efeknya nyata.
“Skill dasar pun tidak apa-apa. Yang penting ada.”
Lingkungan di sini membuat pengumpulan magi sulit, jadi skill seperti ini—kalau terus terkumpul—akan jadi senjata besar.
“Begitu ya? Baik, mengerti.”
Minjun yang baru hendak meninggalkan ruang latihan segera melangkah ke ruang Sojang-nim seperti yang diberitahukan.
“Chungseong! (Hormat!)”
Begitu masuk, Sojang Kim Cheolmin menyambutnya dengan senyum lebar.
“Terima kasih, Sojang-nim!”
Cheolmin mengambil sendiri minuman kaleng dari lemari kecil, bahkan memberinya gelas berisi es.
“Terima kasih, Sojang-nim.”
“Bukan kau yang harus berterima kasih. Aku yang berterima kasih padamu.”
“Terima kasih, Sojang-nim!”
“Tidak, akulah yang berterima kasih.”
Cheolmin menatap berkas data pribadi Minjun, lalu menghela napas.
“Orang tuamu… pergi meninggalkanmu sejak kecil, ya?”
“Benar, Sojang-nim.”
“Seharusnya aku lebih memperhatikanmu, tapi belakangan terlalu sibuk.”
“Tidak apa-apa, Sojang-nim.”
‘Alamat asalnya juga di zona terlarang… harus benar-benar kujaga dia.’
‘Yah… tapi jujur, aku tidak merasa apa-apa.’
“Alasanmu masuk Hunter Corps?”
“Saya ingin meraih bintang di pundak saya, Sojang-nim.”
“Siap! Terima kasih, Sojang-nim.”
“Kalau begitu, ada makanan atau hobi yang kau sukai?”
Cheolmin mencatat semua di buku wawancaranya tanpa menatap Minjun.
“Dungeon Fighter, Sojang-nim.”
“Dungeon Fighter? Ah, itu bukan… Dungeon Power Fighter ya?”
“Benar, Sojang-nim.”
“Hm, katanya itu game untuk orang yang no-life, begitu kan?”
“Tidak sama sekali, Sojang-nim.”
“Haha, melihatmu, memang tidak mungkin. Baiklah.”
Cheolmin menutup buku catatan, lalu menatap Minjun dengan serius.
“Tidak ada, Sojang-nim.”
“Siap, mengerti.”
“Di unit ini tidak ada penyimpangan, kan?”
“Tidak ada, Sojang-nim.”
“Siap!”
Tentu saja ada.
Hunter berpangkat rendah hidup penuh batasan.
“Kerja bagus. Kau boleh pergi.”
“Siap! Chungseong!”
Minjun keluar dari ruang Sojang setelah wawancara berakhir.
Siang hari — Lapangan parade
Begitu makan siang selesai, seluruh Hunter dikumpulkan untuk operasi dungeon.
Cheolmin mengenakan kacamata hitam, lalu berteriak lantang:
“Semua, perhatikan!”
“Perhatian!”
Suara bergema kuat.
“Laksanakan!”
Target hari ini: Dungeon tempat Monster Tikus Raksasa (Gwaemul-jwi) bersarang.
“Selama ikuti prosedur, tidak akan ada masalah! Paham!”
“Paham!”
“SUARANYA TERLALU KECIL! PAHAM!”
“PAHAM!”
“Baik! Barisan depan mulai bergerak!”
Kompi 2 melewati pos penjagaan menuju lokasi dungeon.
Sunyi. Hanya langkah sepatu tempur yang terdengar.
“Lee Dongjin!”
“Il-byeong Lee Dongjin!”
“Di mana titik lemah Monster Tikus?”
“Titik lemahnya ada di kepala, Sojang-nim!”
‘Ah… Sojang-nim mulai lagi.’
Tapi Cheolmin tetap lanjut—katanya demi mencegah kecelakaan sekecil apa pun.
“Selanjutnya! Byeongjang Lee Seungho!”
“Byeongjang Lee Seungho!”
“Kenapa kita wajib memakai baju pelindung dan membawa gas mask?”
“Mengerti!”
Energinya jelas berbeda—efek pangkat baru sebagai Jungwi.
Mereka berbisik sambil berjalan.
Minjun menajamkan indranya, mencoba mencari jejak magi di udara.
“Perhatian!”
“Perhatian!”
“Mengerti!”
Sedikit kebocoran saja, bau racun akan menembus kulit.
“Pastikan semua bawa filter cadangan!”
“Ya!”
“Bagus! Tim 1 masuk dulu!”
Cheolmin melapor via radio, lalu mengatur pembagian kelompok.
“Ya!”
Cheolmin sendiri ikut bersama tim Minjun.
[Anda Telah Memasuki Dungeon.]
“Pastikan filter berfungsi sempurna!”
“Siap!”
Para Hunter memeriksa lagi gas mask mereka.
“Tidak ada masalah!”
“Siap!”
“Siap!”
“Mengerti!”
Perintah disambut cepat, tanpa ragu.
“Berhenti di sini!”
Titik ini adalah area paling sering munculnya Monster Tikus.
‘Tepat. Dalam kondisi begini, pendekatan klasik paling aman.’
“Umpan siap, Sojang-nim!”
“Pasang cepat dan kembali ke formasi!”
“Ya!”
Hunter menaruh potongan pisang busuk—umpan favorit makhluk menjijikkan itu.
“Ki-iiik!!”
“Kontak depan! Ada juga dari belakang!”
“Pertahankan formasi! Siap tempur!”
“Siap!”
Bunyi senjata menghantam, teriakan, dan dengkuran monster bersahutan.
“Whiiik!”
“Ki-eek!”
Minjun menghela napas kecil, menahan diri sambil tetap ikut ritme pasukan.
“Argh!”
“Dongjin! Tenangkan tubuhmu, jangan kaku!”
“Il-byeong Lee Dongjin! Siap, Sojang-nim!”
“Siap!”
Minjun menyemangati bawahannya.
“Jangan takut! Kau sudah cukup berlatih!”
“Ya!”
“Siap, Sangbyeong-nim!”
Pertempuran berlanjut rapi sesuai instruksi Cheolmin.
“Total tiga puluh enam ekor! Semuanya sudah dilenyapkan!”
“Bagus! Tapi tetap waspada, bisa jadi masih ada yang bersembunyi!”
“Ya!”
Penilaian yang tepat.
‘Ada satu lagi di sana.’
‘Huh? Tunggu sebentar.’
Aura di tubuhnya berbeda—lebih pekat.
‘Magi.’
‘Bagus. Jackpot.’
Minjun menahan senyum.
‘Pasti itu sumber magi-nya.’
Ia menilai cepat.
Ssshhh—
“Ki-EEEEK!!”
“Wha- apa itu!?”
“So-sojang-nim! Monster itu terlalu besar!”
“Semua mundur!”
Cheolmin segera memerintahkan pasukan mundur.
Sialnya, sekarang muncul monster sebesar mobil.
‘Sial. Apa yang harus kulakukan…’
Taaat!
Tiba-tiba, suara langkah melompat maju.
“Saya yang akan menanganinya!”
‘Hah… aku kayak sutradara film aksi aja.’
24. Dungeon Pertama-2 (첫 던전-2)
“Uh, uh…?”
“Apa-apaan itu?! Dia lompat setinggi itu? Siapa orang itu!”
“Itu Sangbyeong Kim Minjun-nim!”
Tinggi lompatan itu—sekitar tujuh meter.
Sebuah gerakan yang mustahil bagi kebanyakan Hunter biasa.
“Kiieeek!!”
“Bagus tenaganya.”
Ya, itu semua karena di tubuhmu ada magi, kan?
Rasanya sekarang tenaga seperti harimau melonjak, bukan?
“Mulai sekarang, itu milikku.”
Minjun meraih perisai militer yang tadi dipegang oleh pasukan baris depan,
lalu menabrakkannya dengan seluruh kekuatan.
“Kruiiiik!”
KUUUUNG!
Tubuh besar Monster Tikus menghantam lantai dengan keras,
getarannya membuat seluruh dungeon berguncang hebat.
“Ugh!”
“Apa lagi ini tiba-tiba…!”
Para Hunter terhuyung karena getaran mendadak itu.
Minjun mencengkeram batang penindaknya di satu tangan,
sementara tangan lainnya menahan kepala Monster Tikus itu erat.
‘Oh. Magi di tubuhmu lumayan pekat, ya?’
Ssshhhhh—
Ia dengan cepat menyerap seluruh magi yang mengalir di tubuh makhluk itu.
Begitu selesai, Buk! Bak!
“Ki…i…!”
“Wah, dagingnya keras banget, sih!”
“Kiiek!!”
Tiga pukulan.
Hanya tiga kali pukulan penuh tenaga.
Dan Monster Tikus itu langsung rubuh,
darah pekat menyembur dari kepalanya.
Kalau Hunter lain yang menghadapinya,
pasti sudah menjadi pesta pembantaian di sekejap.
Begitu seluruh magi terserap habis,
mata hitam pekat monster itu perlahan memudar kembali ke warna aslinya.
[Anda Telah Menyerap Sejumlah Magi.]
[Stat Magi Naik 1 Poin.]
‘Heh. Jackpot.’
Inilah keuntungan berada di garis depan.
“Semua, bentuk perlindungan!
Amankan posisi di sekitar Sangbyeong Kim Minjun!”
“Siap!”
“Yah! Kim Minjun! Kau tidak apa-apa?!”
Hunter-hunter yang berada di belakang segera berlari ke arahnya.
“Sangbyeong Kim Minjun! Tidak ada masalah, Sojang-nim!”
“Gila… kalau dilihat lagi, monster itu memang luar biasa besar.”
“Kalau dia sempat menerjang kita…
kita semua pasti sudah mati.”
“Hey, serius deh, kau barusan ngapain?!”
Para Hunter hanya bisa menatap dengan mulut ternganga,
menatap bangkai Monster Tikus raksasa di lantai dungeon.
Monster seperti itu—yang disebut Irregular—kadang muncul saat raid dungeon,
tapi ukuran sebesar ini? Mustahil untuk kelas bawah.
“Kim Minjun!”
“Sangbyeong Kim Minjun!”
Cheolmin-jungwi berlari mendekat, wajahnya marah tapi cemas.
“Kau tidak apa-apa? Tanpa perintahku, kenapa langsung maju begitu?!”
“Maaf, Sojang-nim!”
Begitu memastikan area aman dari serangan lain,
Cheolmin langsung mendekat ke Minjun.
“Kau terluka?”
“Tidak, Sojang-nim! Baik-baik saja!”
“Fuh… baiklah. Kali ini memang situasi darurat,
jadi aku maklumi. Kau sudah melakukannya dengan baik.”
Nada suaranya awalnya keras,
tapi begitu melihat ukuran Monster Tikus itu,
ia langsung melunak.
“Jungwi Kim Cheolmin melapor!
Di dalam sarang Monster Tikus ditemukan Irregular!
Mohon dukungan segera dari Tim Penangkapan Monster!”
Ia melapor lewat radio ke markas,
lalu memerintahkan pasukan mundur sesuai protokol.
Tidak ada jaminan hanya satu Irregular di sana.
“Serius, kami hidup berkat kau, Minjun.
Aku tadi bahkan tidak sempat angkat perisai.”
“Benar-benar gila, garis depan ini.
Dari nyamuk sampai monster, tidak ada yang normal.”
Begitu keluar dari dungeon,
para Hunter senior langsung menepuk bahunya dengan tawa lega.
“Tidak, Sojang-nim! Saya bertindak tanpa izin. Mohon maaf!”
“Tidak perlu minta maaf. Itu jelas keadaan darurat.
Kalau kau tidak bergerak cepat, kita semua sudah celaka.”
“Wow… kau lihat itu?
Tubuhnya tidak lecet sedikit pun. Gila, ini masih manusia?”
Bahkan Cheolmin-jungwi pun
tak bisa menahan diri untuk memeriksa tubuhnya sendiri.
“Semua, perhatikan!”
“Perhatian!”
“Karena insiden mendadak, operasi dungeon dihentikan di sini!
Hitung jumlah personel dan bersiap untuk kembali ke markas!”
“Ya!”
Setelah pelaporan selesai, seluruh pasukan kembali ke unit.
“Semua perhatikan!”
Begitu tiba di markas, Cheolmin kembali memberi instruksi.
“Segera lepaskan baju pelindung dan gas mask.
Pastikan semuanya mandi dan membersihkan diri!”
“Ya!”
Tubuh para Hunter lengket oleh cairan hijau monster,
bau busuk menempel dari kepala sampai kaki.
Begitu gas mask dilepas—
“Huahhh…”
“Haaah…”
Mereka menghela napas panjang.
Wajah lega—akhirnya bisa bernapas udara segar.
“Sangbyeong Kim Minjun.
Setelah urusanmu selesai, datang ke ruang Sojang.”
“Sangbyeong Kim Minjun! Mengerti!”
Begitu nama Minjun disebut,
semua pandangan otomatis tertuju padanya.
Beberapa Saat Kemudian – Ruang Sojang
“Minjun, duduk.”
“Sangbyeong Kim Minjun! Siap.”
Minjun duduk di sofa kecil di ruang kerja Cheolmin.
“Ini obat antiseptik. Gunakan dulu.”
“Tidak perlu, Sojang-nim. Luka sekecil ini tidak apa-apa.”
“Sudah, tetap lakukan.”
“Baik.”
Minjun menepuk pipinya dengan cairan merah itu.
Sebenarnya tidak perlu—tubuhnya akan sembuh sendiri—
tapi ini sopan santun.
“Serius kau tidak mau ke klinik? Aku bisa kirimmu untuk pemeriksaan.”
“Benar-benar tidak perlu, Sojang-nim!”
“Dilihat dari kondisimu memang sehat…
tapi kalau nanti terasa aneh sedikit saja, langsung lapor.”
“Siap!”
Alasan utama Cheolmin memanggilnya sebenarnya—
laporan insiden dungeon.
Satu-satunya saksi utama atas kejadian itu hanyalah Minjun.
“Jujur, waktu Irregular itu muncul,
aku sendiri sempat bingung harus berbuat apa.
Tanpamu, sudah jadi bencana besar.”
“Agak berlebihan, Sojang-nim.”
“Tidak. Monster itu terlalu besar.
Bahkan kalau aku sendiri maju, mungkin sulit menang.”
“Terima kasih, Sojang-nim.”
Benar juga.
Monster itu memang besar,
dan di tempat sesempit dungeon seperti itu—lebih berbahaya lagi.
Pandangan terbatas,
gerak dibatasi oleh baju pelindung dan gas mask,
senjata api dilarang dipakai.
Dalam situasi seperti itu…
dia bisa membunuh Irregular hanya dengan batang penindak.
“Laporan selesai.”
Minjun menulis dengan cepat.
“Melompat, menabrak monster dengan perisai,
lalu memukulnya sampai mati.”Sudah cukup, bukan?
“…Minjun.”
“Sangbyeong Kim Minjun.”
Cheolmin yang membaca laporan itu tiba-tiba memandangnya dengan serius.
“Stat-mu… sebenarnya berapa?”
“Strength 65, Agility 60!”
“…Apa?”
Cheolmin-jungwi hampir terjatuh dari kursinya.
‘Aku saja rata-rata 40-an.
Tapi dia? 60 ke atas?’
Sebagai perwira muda dua tahun masa dinas,
stat-nya memang belum tinggi.
Tapi tetap saja—itu di atas rata-rata semua byeongjang senior sekalipun.
“Pantas saja kau naik pangkat secepat itu.
Kalau kau lulusan universitas Seoul,
kau sudah diterima di Akademi Perwira Hunter tanpa tes.”
Standar penerimaan akademi itu stat minimal 50.
Dengan 65 dan 60,
Minjun adalah prajurit yang sudah melewati batas manusia.
“Kalau nanti naik jadi perwira,
kau tidak ingin kuliah sekalian?
Mulai dari haseo (하사) kau sudah bisa sistem pulang-pergi, tahu?”
“Saya tidak tertarik belajar, Sojang-nim.
Selama bisa naik lewat hasil nyata, itu sudah cukup.”
Jawabannya tegas.
Empat tahun saja cukup untuk meraih bintang di pundak.
“Baiklah, itu pilihanmu sendiri.
Aku tidak akan memaksakan.”
Cheolmin tersenyum kecil, lalu menepuk bahunya.
“Bagus kerja hari ini.
Kau benar-benar menyelamatkan seluruh regu.”
“Tidak, Sojang-nim! Saya hanya melakukan tugas saya!”
“Baik. Sekarang boleh pergi.
Kalau tubuh terasa aneh, langsung lapor.”
“Siap! Chungseong!”
Hari ini, Minjun mendapat banyak hal.
Magi—dan juga poin prestasi.
Satu batu, dua burung.
Sore Hari — Lapangan
Walau operasi dungeon dihentikan,
tidak berarti Hunter bisa bersantai.
“Ah… kali ini disuruh ngapain lagi.”
“Mungkin nutup lubang bekas ledakan, siapa tahu.”
Hunter berbaris kembali di lapangan, wajah lelah.
Mereka baru selesai mandi,
dan sekarang sudah dipanggil lagi untuk tugas tambahan.
“Semua, aku tahu kalian lelah habis dari dungeon.
Sedikit lagi, ayo tahan.”
“Ya…”
Suara serempak tapi lemas.
“Setelah bahan khusus dari tim logistik datang,
kita tinggal membangun pos pertahanan kecil. Itu saja.”
“Ah, si Dolsoe datang lagi…”
“Pos pertahanan… si Dolsoe…”
Begitu kata itu terdengar,
seluruh bahu pasukan langsung merosot.
“Kayaknya pinggang bakal patah hari ini.”
Bahan yang mereka sebut Dolsoe—
terlihat seperti batu bata biasa,
tapi beratnya lebih dari 100 kilogram per buah.
Dan bukan cuma berat,
bau bahan kimianya luar biasa menyengat—
karena dicampur obat penolak monster.
‘Tidak ada hal besar lagi hari ini.
Kalau selesai cepat, mungkin bisa lanjut simulasi latihan.’
Pikir Minjun sambil mengangkat alat kerja.
Tiba-tiba—
Ssshhh—
‘Huh? Apa?’
Dari kejauhan, sebuah bisikan mental datang.
Itu adalah sinyal dari Night Walker—
makhluk bayangan yang diam-diam ia sebarkan di sekitar markas.
‘Jadi… kau menemukan sesuatu?’
Minjun menajamkan tatapannya.
Senyum tipis muncul di bibirnya.
25. Dolsoe (돌쇠)
‘Cepat kirimkan informasimu padaku. Sekarang.’
Ssshhhhh—
Dari bayangan gelap, Night Walker mengirimkan aliran pikiran yang berisi fragmen informasi.
Skill-nya memang masih berperingkat rendah,
jadi hanya potongan ingatan samar yang bisa dikirim,
tapi bagi Kim Minjun, itu sudah cukup.
‘Dungeon di sekitar Yanggu…
diperkirakan ada Irregular Monster di dalamnya.
Rencana penyerbuan: tujuh hari lagi.’
Kalimat itu cukup membuat sudut bibir Minjun terangkat.
Irregular berarti satu hal—
kemungkinan besar monster itu memiliki magi.
‘Penyerbuan dilakukan oleh kompi lain, ya? Hmm… cukup.’
Keputusan dibuat.
Begitu pekerjaan selesai, ia akan mengajukan cuti.
“Sudah bawa semua perlengkapan pelindung?”
“Ya!”
Di depan barak, para prajurit berdiri berjajar rapi.
Semua memakai peralatan keselamatan lengkap.
Hari ini jadwal mereka: konstruksi dan perbaikan pos pertahanan.
“Hati-hati dengan material khusus itu.
Kalau jatuh, rasanya… seperti dilindas mobil.”
“Mengerti!”
“Ya!”
Di bawah perintah Kim Cheolmin-jungwi,
para Hunter mulai menapaki jalur curam di belakang markas.
“Berapa banyak sih Dolsoe kali ini?
Kita bisa selesai hari ini nggak?”
“Tidak mungkin sehari. Minimal dua hari kalau kerja pakai tenaga penuh.”
“Kenapa sih semua monster selalu bikin kekacauan di garis depan aja.”
“Masih mending di sini. Katanya parit depan hancur total.”
Dolsoe—bahan bangunan khusus berbentuk batu bata—
menggunung di depan mereka seperti tembok.
Para senior hanya bisa mengeluh pelan.
Unit mereka, Hunter Corps Tak Terkalahkan,
memang sering dapat tugas rekonstruksi semacam ini.
Antara gate muncul mendadak, dungeon bocor,
atau monster melarikan diri ke permukaan.
“Chungseong! Ini Jungwi Kim Cheolmin! Ya, saya segera ke sana!
Kalian lanjut kerja! Jangan leha-leha!
Senior, awasi anak baru baik-baik, mengerti?!”
“Ya!”
“Mengerti!”
Cheolmin dipanggil untuk urusan mendadak.
Begitu perwira keluar dari pandangan,
para sangbyeong dan byeongjang mulai mengendorkan tubuh.
“Sudahlah, ini tidak bakal selesai hari ini.
Istirahat sebentar juga tidak dosa.”
“Benar. Kalau kita terlalu cepat, pasti dikirim ke sektor parit.”
Tentu saja, yang dimaksud “istirahat”
hanya berlaku untuk para senior.
Para ilbyeong dan ibyeong tetap memikul Dolsoe tanpa henti.
“Minjun-ah, kau kan juga sangbyeong sekarang.
Sedikit santai saja.”
“Tidak apa-apa, sunbae-nim.”
Sementara rekan lainnya mengangkat satu batu per orang,
Minjun menumpuk tiga, bahkan empat Dolsoe di bahunya.
Satu Dolsoe berbobot 100 kilogram.
Tubuhnya seperti mesin pengangkut hidup.
“Gila… lihat itu. Dia masih tampak tenang.”
“Dia bahkan lebih cepat daripada kita yang sudah tiga tahun dinas.
Benar-benar dilahirkan untuk ini.”
Senior-senior itu terkekeh kecil,
lalu tiba-tiba wajah mereka sedikit memucat.
“…Tapi, entah kenapa jadi merasa bersalah.”
“Ya. Aku juga.”
Mungkin karena rasa malu,
mereka akhirnya ikut bangkit dan mulai bekerja lagi.
Namun tak lama kemudian—
“Arghhh!!”
“Eh? Hey! Kau tidak apa-apa?!”
Sebuah jeritan menggema dari sisi lain lereng.
Semua kepala serentak menoleh.
Seorang ilbyeong jatuh terduduk sambil memegangi kakinya.
“Ah, dia kejatuhan Dolsoe!
Meski pakai pelindung, pasti sakitnya bukan main.”
“Kita harus bawa ke klinik.”
“Sudah kubilang hati-hati, kan?
Kami tidak menyuruhmu cepat-cepat!”
“Uuugh… maaf, sunbae-nim.”
“Aku akan mengantarnya ke klinik.”
“Minjun-ah, suruh saja anak lain!”
“Tidak, biar aku saja. Akan lebih cepat begitu.”
“Baik, kami akan beri tahu Sojang-nim kalau dia tuntas kerja.”
Minjun memapah sang prajurit muda,
perlahan menuruni bukit berbatu.
“Maaf, Sangbyeong-nim…”
“Untuk apa minta maaf?
Justru berkat kau aku bisa leha-leha sebentar.
Tapi… kita tidak akan sampai malam begini. Duduk diam dulu.”
Minjun membungkuk,
mengangkat tubuh ilbyeong itu ke punggungnya begitu saja.
“S-Sangbyeong Kim Minjun-nim! Saya bisa jalan sendiri!”
“Diam. Tidak berat kok. Atau mau kuterbangkan sekalian ke klinik?”
“…Mengerti, Sangbyeong-nim.”
“Setelah ini istirahat saja.
Tidak perlu merasa bersalah.”
“Ya… terima kasih, Sangbyeong-nim.”
Minjun mengantar sampai ke klinik medis markas,
lalu tanpa banyak istirahat kembali ke bukit.
‘Hm? Ada apa itu?’
Sesampainya di atas,
pemandangan yang terlihat:
Cheolmin-jungwi sudah kembali dan sedang menghukum para byeongjang.
“Sudah kubilang, awasi anak-anak bawahan kalian! Sudah atau belum?!”
“Sudah, Sojang-nim!”
“Kalau lengah sedikit, nyawa bisa melayang!
Kalian tahu betapa berbahayanya Dolsoe!”
“Maaf, Sojang-nim!”
Para ibyeong di belakang terdiam, tak berani menatap.
Mereka terus mengangkat Dolsoe dengan gerakan lambat tapi hati-hati.
‘Hm, aku sangbyeong sekarang.
Kalau begitu, aku juga harus ikut dihukum.’
Begitu ia hendak maju untuk baris hukuman—
“Kim Minjun.”
“Sangbyeong Kim Minjun.”
“Kau dikecualikan. Berdiri di sana saja.”
“Mengerti, Sojang-nim.”
Cheolmin melirik sekilas ke arah pohon di dekatnya,
memberi isyarat agar Minjun menunggu di situ.
“Sekarang! Kepalamu ke tanah!”
Ctak!
“Berdiri!”
Ctak!
“Kepalamu ke tanah lagi!”
Ctak!
Selama satu jam penuh,
Cheolmin menghajar mereka dengan latihan fisik nonstop.
“Huff… Huff…”
“Posisi tidur ke belakang!”
“Posisi tidur ke belakang!”
“Berguling ke kiri! Ayo cepat!”
“Maaf, Sojang-nim!”
Waktu terus berjalan, tapi hukuman belum juga selesai.
“Kalian kerja malas, jadinya anak baru harus kerja dua kali lipat!
Dan akibatnya, ada yang cedera!”
“Maaf!”
“Apakah aku salah bicara?!”
“Tidak, Sojang-nim!”
“Kalau begitu terus berguling!
Kalian beruntung korban tidak parah!”
“Ya!”
Memang, luka itu tergolong ringan—
tapi hanya karena keberuntungan.
Kalau Dolsoe seberat 100 kilo itu jatuh ke kepala atau dada,
pasti berujung luka berat, bahkan kematian.
‘Yah, salah mereka sendiri.
Aku tonton saja seperti nonton film.’
Minjun menegakkan tubuh,
melipat tangan dan menikmati pemandangan “latihan gratis” itu.
Tiga Hari Kemudian
Berkat Minjun, proyek konstruksi selesai hanya dalam tiga hari.
Biasanya butuh lima.
Tapi dengan tenaga monster seperti dia, semuanya ringan.
‘Heh, aku punya alasan kuat untuk kerja cepat begini.’
Alasannya:
informasi dungeon yang dikirim Night Walker dari tangan seorang perwira.
Hari cuti pun tiba.
“Chungseong!”
“Oh, Minjun-ah. Hari ini mulai cuti, ya?”
“Sangbyeong Kim Minjun! Ya, benar, Sojang-nim.”
“Cuti penghargaan dari pelatihan dulu, kan?
Kenapa tidak dipakai lebih awal?”
Di ruang petugas jaga, Cheolmin-jungwi menyapanya dengan senyum lebar.
“Saat kamu kerja di proyek kemarin,
aku perhatikan kamu benar-benar kerja keras.
Tidak berlebihan, kan?”
“Tidak, Sojang-nim. Saya baik-baik saja.”
“Bagus. Pertahankan. Nikmati masa cutimu.”
“Siap! Terima kasih, Sojang-nim! Chungseong!”
Baru saja Minjun hendak keluar dari ruangan,
Cheolmin memanggil lagi.
“Ah, tunggu sebentar, Minjun.”
“Sangbyeong Kim Minjun.”
“Alamatmu masih tercatat di zona terlarang, kan?
Kau akan langsung pulang ke rumah?”
“Tidak, Sojang-nim. Saya akan menghabiskan libur di luar markas.”
“Begitu ya…”
Cheolmin mengangguk pelan, wajahnya tampak sedikit bimbang.
‘Masalah keluarga… bukan urusanku,
tapi juga tidak bisa diam saja.’
Biasanya, ia tidak akan sepeduli ini pada prajurit lain.
Tapi Minjun berbeda.
“Tunggu… seingatku masih ada ini.”
Cheolmin membuka laci, mengobrak-abrik isinya.
“Ah, ketemu. Ini, ambil kunci ini.”
Ia meletakkan kunci logam kecil di meja.
“Itu apartemen tua yang dulu ditempati ayahku.
Sekarang kosong, tidak terjual karena sudah tua,
tapi aku tetap rawat. Dalamnya bersih.”
“Tidak apa-apa, Sojang-nim.”
“Tidak apa-apa apanya!
Kau mau tidur di PC bang? Atau di sauna?
Hotel di sekitar sini mahal semua!”
Sebenarnya, tidur sejam dua jam di kursi PC bang sudah cukup baginya.
Namun Cheolmin menatap tajam, seolah cutinya akan dibatalkan bila menolak.
“Kalau begitu, saya terima, Sojang-nim.”
“Bagus. Jangan berantakan saja.
Asal kau jaga kebersihan, aku tidak peduli.”
“Siap! Terima kasih, Sojang-nim! Chungseong!”
“Pergilah. Nikmati liburmu.”
Begitu keluar dari markas,
Minjun memanggil kembali Night Walker ke dalam bayangannya.
Ssshhhhh—
“Sekarang, tunjukkan lagi data yang kau kumpulkan.”
Ssssh—
“Apa? Tanya soal magi kapan kukasih?
Hei, sudah kukasih kemarin, bukan?”
Night Walker menggeliat protes, mengirim kesan ‘kurang cukup’.
“Berani-beraninya melawan tuannya?
Kau mau kuhajar dulu baru nurut?”
Ssssh….
Tak ada yang bisa melawan.
Bahkan di antara semua Heukmabeopsa (흑마법사 / Penyihir Hitam),
hanya Kim Minjun yang bisa “menindas” makhluk panggilannya sesuka hati.
Ia bukan sekadar penyihir—
ia adalah raja di dunia itu.
Dan semua makhluk bayangan tunduk kepadanya.
“Baik. Sekarang tampilkan lebih jelas.”
Ssshhh—
Bayangan bergetar, membentuk citra samar di udara.
“Ya, bagian itu. Hentikan di situ.”
Ia menatap lokasi yang ditunjukkan dengan cermat,
menyimpannya dalam ingatan.
Tanpa ragu, Minjun segera berangkat.
“Ah, kadang… aku rindu pakai portal.”
Beberapa kali naik bus, lalu ganti taksi.
Perjalanan panjang hanya untuk satu tujuan—
dungeon yang mengandung magi.
“Hey, kau ini kenapa lemah sekali sekarang?
Dulu aku cuma ayunkan tangan, semua beres.”
Ssshhh—
Night Walker menjawab pelan:
itu karena Magi stat tuannya sekarang terlalu rendah.
“Oh, jadi sekarang kau nyalahin aku, hah?
Kau merasa pinter banget?”
Sssshh…
Night Walker mengirim getaran protes penuh kepasrahan.
“Heh, baiklah. Kali ini kau kuampuni.
Kita sudah hampir sampai.”
Setelah mendaki jalur terjal beberapa menit,
Minjun akhirnya melihat pintu masuk dungeon di depan mata.
‘Huh? Jadi ini sumber maginya?’
Ia menyipitkan mata.
‘Cuma monster sekecil itu?
Tapi punya magi sebanyak itu?’
Senyum puas tersungging di wajahnya.
26. Magi Bocuhung (마기보충 / Pengisian Magi)
“Kobold, ya.
Hanya satu aura yang kurasakan dari dalam.”
Biasanya makhluk itu bergerak berkelompok.
Mungkin karena itu disebut Irregular.
“Bagus. Tidak ada orang lain di sekitar. Langsung saja.”
Penjaga luar ditempatkan di area lain.
Kim Minjun pun melangkah tanpa ragu ke dalam.
[Dungeon Dimasuki]
Drrrkk…
“Ah, model tertutup rupanya.”
Begitu ia menapakkan kaki di dalam,
pintu masuk segera menutup di belakangnya.
Namun, Minjun hanya mengangkat bahu.
Tak ada rasa gentar sedikit pun.
“Hey, aku tahu kau di dalam sana.
Keluar sebelum kubuat sendiri jalan ke luar.”
Ia menyalurkan magi dari ujung jari—
aliran gelap menjalar di udara seperti kabut hitam.
Kuuung! Kuung!
Dari ujung ruangan, terdengar hentakan berat.
Tanah bergetar setiap langkahnya.
“Woah… badannya mantap juga.”
“Kuaaaaargh!!”
Sosok itu muncul — seekor Kobold raksasa,
enam kali lebih besar dari jenis biasanya,
bahkan lebih tinggi dari orc.
Tubuhnya diselimuti aura ungu pekat,
menandakan ia telah menyerap magi dalam jumlah besar.
“Jadi ini monster yang hendak diserbu dua peleton itu, huh?
Kalau begitu setengah dari mereka pasti mati.”
Matanya menyipit, mengukur.
Dari semua monster yang ia hadapi sejak masuk militer,
ini yang terkuat.
“Wah… kau benar-benar kenyang magi, ya?
Bagus. Lebih banyak buatku.”
Tuuung! Ttuung!
Kobold itu saling menumbukkan kepalan tangan,
seolah memamerkan kekuatannya.
“Bisa pamer juga ternyata.
Baiklah, sudah lama tidak bermain—ayo, hibur aku sedikit.”
Jika monster biasa hanyalah serangga,
maka ini—hanya kumbang tanduk besar.
Masih serangga, ujung-ujungnya sama.
Buk! Bugh!
Dua pukulan keras menancap ke perut makhluk itu.
“Kuweeekkk!!”
“Baru dua kali, masa sudah ngos-ngosan?
Ayo, jangan bikin kecewa.”
Kobold itu terhuyung,
napasnya memburu, nyaris rubuh.
“Kuuhh…”
“Yah, membosankan. Serahkan saja magimu.”
Monster itu memang menyimpan energi besar,
tapi tetap saja — kobold hanyalah kobold.
Minjun mencengkeram kepala makhluk itu,
lalu menyerap seluruh magi di tubuhnya dalam sekejap.
“Haah, tangan pegal juga.
Berapa pukulan sih yang harus kuberikan?”
[Telah menyerap sejumlah Magi.]
[Magi Stat meningkat +1]
[Magi Stat meningkat +1]
[Magi Stat meningkat +1]
Rentetan jendela biru muncul di hadapannya.
Minjun memejamkan mata,
merasakan arus panas yang melonjak di tubuhnya.
[Sejumlah Magi terserap, Skill ‘Amheuk Hwasal (암흑 화살 / Dark Arrow)’ terbuka.]
[Night Walker diperkuat.]
“Bagus. Mari kita lihat hasilnya.”
[Status — Kim Minjun]
Pendiri ajaran: ‘Sae-ria noona adalah karakter terbaik’
Kekuatan: 65
Kelincahan: 60
Stamina: 60
Magi: 22
Skill Dimiliki:
Bupae (부패 / Corruption) — D
Night Walker — D
Amheuk Hwasal (암흑 화살 / Dark Arrow) — E
Dasar Penggunaan Tongkat (E)
Dasar Pedang (E)
Strength (E)
“Magi masih rendah, jadi cepat naik begini.
Lumayan juga dapat skill bonus.”
Ia menatap notifikasi baru itu dengan senyum kecil.
“Skill jarak jauh, huh. Pas sekali.”
Dark Arrow — skill yang menembakkan anak panah dari magi murni.
Berguna untuk tempur jarak menengah,
dan efisien untuk pertempuran di medan terbuka.
“Untung juga.
Selama ini cuma bisa pakai Bupae, agak nyebelin.”
Ia menatap tangannya —
jejak magi berputar seperti asap hitam tipis.
Mengembalikan kekuatan lama terasa aneh,
tapi menyenangkan.
‘Begini rasanya kalau veteran level max balik dari nol.’
Ssshhh—
Dari bawah, Night Walker muncul lagi,
mengibas bayangan dan merengek pelan.
“Ya, ya. Kau juga mau bagianmu?
Baiklah, sini. Ambil sedikit.”
Sssshhhh—
Tapi bayangan itu rakus.
Menyerap lebih cepat, lebih banyak dari yang diizinkan.
“Hey! Kau gila, ya?!
Kukata secukupnya!”
Bakh!
Minjun menendang bayangan itu.
Night Walker meringkuk ketakutan dan segera bersembunyi kembali ke dalam bayangan.
“Belajar hematlah.
Sedikit bahan bakar, tapi hasil maksimal, paham?!”
Nada suaranya benar-benar seperti
CEO pelit yang memarahi anak buahnya.
Ia menepuk debu di seragamnya.
“Baiklah. Sekarang tinggal nikmati sisa cuti,
lalu kembali ke markas.”
Beberapa Hari Kemudian
“Sangbyeong Kim Minjun! Telah kembali dari cuti!”
“Ah, Minjun-ah, kau sudah datang?”
“Ya, ini Sojang-nim, saya bawakan sedikit oleh-oleh. Tidak seberapa, tapi sempat kepikiran.”
“Oh, ini edisi terbaru ya?
Kebetulan sekali, baru kemarin ingin beli. Terima kasih.”
Namun suasana barak terasa aneh.
Para anggota peleton sedang berkemas, wajah muram.
Bahkan yang menerima majalah tadi pun tampak tanpa senyum.
“Kenapa ini?”
“Jadwal Hunter Gidong Hunryeon (헌터 기동 훈련 / Latihan Mobilitas Hunter)
dimajukan enam bulan.”
‘Latihan Mobilitas Hunter…’
Itu adalah latihan terbesar dalam unit.
Tujuannya: mengukur kemampuan tempur seluruh divisi.
Selama latihan itu, para Hunter akan menghadapi
monster di luar markas — tanpa henti.
Tidur empat jam, bertarung enam belas.
Makan, jalan, bahkan buang napas pun—masih di medan tempur.
“Gila, intensitasnya bakal bunuh orang.”
“Paham sih harus dilalui, tapi mendadak begini bikin stres.”
“Persetan, aku sudah byeongjang.
Masa mau ikut latihan lagi?! Aku keluar aja!”
“Argh! Pengen hancurin semuanya!”
Kemarahan terutama datang dari byeongjang.
Karena latihan ini biasanya 4 tahun sekali,
dan mereka akan keluar wamil sebelum giliran berikutnya.
Tapi kalau nasib buruk,
bisa ikut dua kali dalam satu masa dinas.
Itulah yang disebut angkatan terkutuk.
‘Heh, dua kali? Tiga kali pun boleh.
Semakin banyak latihan, semakin besar poin prestasi.’
Minjun tersenyum ringan, mulai mengemasi perlengkapan.
Tok tok.
“Sudah siap semua?”
“Chungseong! Ya, Sojang-nim!”
Kim Cheolmin-jungwi masuk, memeriksa barisan.
“Kalian sudah tahu jadwal dimajukan, kan?
Latihan besar ini bukan main-main.
Anggap sebagai pertempuran sungguhan.
Sedikit saja lalai, bisa cedera parah.”
“Mengerti!”
“Bagus. Kalian tampil baik,
kompi lain juga jadi lebih ringan bebannya.
Jadi, lakukan dengan maksimal.”
“Siap!”
Setelah memberi instruksi singkat, Cheolmin keluar ruangan.
Dari gerak tubuhnya, terlihat ia juga agak tegang.
‘Ah, benar. Kunci apartemen.’
Minjun menepuk saku, lalu berjalan menuju kantor Sojang-nim.
Tok tok.
“Sangbyeong Kim Minjun. Ada keperluan dengan Sojang-nim.”
“Masuk.”
“Chungseong!
Terima kasih atas tempatnya, Sojang-nim.
Saya bisa istirahat dengan nyaman.”
Ia menyerahkan kunci.
Cheolmin menatapnya tajam.
“Minjun-ah.”
“Sangbyeong Kim Minjun.”
“Kau… tidak tidur di apartemen itu, kan?”
Minjun terdiam sesaat.
‘Gawat. Gimana dia tahu?’
“Tempatnya agak jauh dari markas,
jadi saya putuskan tidak pergi ke sana.”
“Bukan karena merasa sungkan padaku?”
“Tidak, Sojang-nim. Sama sekali tidak.”
“Begitu, ya.”
Cheolmin menerima kunci itu,
menghela napas panjang.
“Fuuh… Minjun-ah. Ini latihan mobilitas pertamamu?”
“Ya, Sojang-nim.”
“그렇냐? Aku juga pertama kali.”
Nada lelah terdengar jelas di suaranya.
“Masih teringat waktu di sarang monster tikus itu.
Sedikit saja salah langkah, kita semua mati.”
“Waktu itu kondisi terlalu buruk, Sojang-nim.
Tidak mungkin diantisipasi.”
“Ya, mungkin. Tapi tetap saja—
tanpa dirimu, kami tidak akan selamat.”
Beberapa kejadian beruntun membuatnya tampak ragu,
seolah kehilangan percaya diri.
Jauh berbeda dari dirinya yang biasanya tenang di lapangan.
‘Padahal lebih tua dariku, tapi mentalnya seperti anak baru.’
Minjun tersenyum tipis.
“Waktu akan mengatasinya, Sojang-nim.
Nanti juga terbiasa.”
“Kalau orang lain dengar, kukira kau sudah dinas 20 tahun.”
Cheolmin tertawa kecil, mengibaskan tangan.
“Sudah, pergi sana. Pastikan perlengkapanmu lengkap.”
“Siap! Chungseong!”
Begitu Minjun keluar,
Cheolmin menatap pintu yang menutup perlahan.
‘Dia lebih muda dariku, baru beberapa bulan di unit ini…
tapi rasanya seperti menghadapi veteran perang.’
Benar.
Ia yang pertama menyerang monster tikus raksasa itu.
Bahkan Cheolmin sendiri sempat membeku ketakutan.
‘Fokus, Kim Cheolmin.
Kau sekarang jungwi. Bertanggung jawablah.’
Tangannya mengepal kuat.
Matanya menyalakan kembali semangat.
Hari Latihan Tiba
“Barisan! Luruskan! Yang di kanan, satu langkah!”
“Siap!”
“Periksa perlengkapan kalian sekali lagi!”
“Ya!”
Ribuan Hunter berdiri di lapangan parade,
berpakaian tempur penuh.
Setiap empat tahun, latihan besar ini digelar.
Bahkan para perwira pun tampak tegang.
“3 malam 4 hari gila-gilaan. Siap mati aja.”
“Kalau bisa tidur 4 jam sehari pun sudah berkah.”
“Yang penting, tolong… jangan ada nyamuk malam nanti.”
Sementara keluhan berbisik di udara,
Cheolmin melangkah mendekat.
“Sangbyeong Kim Minjun.”
“Ya, Sojang-nim!”
“Kau maju ke depan sebentar.”
“Siap!”
Ia menyerahkan selembar kertas.
“Dae-daejang ingin kau yang memimpin seonseo (선서 / Sumpah Latihan).
Biasanya dilakukan oleh byeongjang atau perwira,
tapi sepertinya beliau menaruh harapan besar padamu.
Bisa kau lakukan?”
“Ya! Bisa, Sojang-nim!”
Suara percakapan di barisan langsung merendah.
‘Sangbyeong yang memimpin sumpah? Serius?’
‘Latihan mobilitas ini, kan?
Terakhir kali yang melakukannya Daewi.’
‘Katanya dia yang mengalahkan Irregular sendirian pakai tongkat.
Mungkin karena itu.’
‘Astaga… dia benar-benar anak kesayangan atasan.’
“Semua perhatian!”
“Perhatian!”
“Setelah Sangbyeong Kim Minjun mengucapkan bagian pertama,
kalian ulangi bagian akhirnya dengan suara keras!
Mengerti?!”
“Ya!”
Latihan singkat dilakukan,
lalu Dae-daejang naik ke podium.
“Barisan, siap!”
“Kepada Dae-daejang! Hormat!”
“Chung! Seong!”
Pelaporan resmi dilakukan.
Setelahnya, Minjun maju.
“Seon! Seo!”
“Seon! Seo!”
“Aku bersumpah, akan taat kepada perintah dan kendali atasan!”
“Akan taat!”
“Jika aku melanggar hukum dan aturan selama latihan,
aku akan menerima hukuman apapun tanpa keluhan!”
“Tanpa keluhan!”
Setelah sumpah selesai,
Minjun naik ke podium,
menyerahkan dokumen ke Dae-daejang,
lalu mundur dengan hormat.
“Chung! Seong!”
Dae-daejang mengangguk tipis,
memberi izin untuk kembali ke barisan.
“Mulai hari ini, latihan mobilitas Hunter akan berlangsung 3 malam 4 hari.
Anggap ini pertempuran nyata. Mengerti?!”
“Ya!”
“Dan ingat, pada latihan terakhir,
tiga Hunter terluka parah.
Kali ini, jangan sampai ada korban!”
“Siap!”
Pidato usai.
Dae-daejang turun dari podium —
tapi tiba-tiba menatap ke arah barisan Minjun.
“Hey, kau!”
Jari telunjuknya menuding ke satu orang.
‘Gila, sialan. Ada yang ketahuan tidur?!’
Para byeongjang refleks—
PAAAK!
Menampar keras kepala si pelaku.
“Tidak, tidak, saya tidak tidur!”
“Hmm… jaga fokusmu. Mengerti?”
“Ya!”
Untung saja.
Dae-daejang hanya memberi peringatan.
“Hey.”
“...Ya?”
“Kau gila, hah?!”
Tatapan tajam para senior menembus pria malang itu.
27. Hunter Gidong Hunryeon - 1 (헌터 기동훈련 - 1)
“I, Ibyeong Jin Cheolho!”
Suara panik terdengar dari barisan paling belakang.
Hunter yang ketahuan tertidur itu adalah shinbyeong—rekrutan baru yang baru saja ditempatkan di unit.
Matanya merah dan berurat, wajahnya tampak pucat.
Bahkan dari jauh, kelelahan jelas terlihat.
“Hey, kau kehilangan akal ya? Ini bukan latihan biasa, tapi Hunter Gidong Hunryeon!
Kau berani tidur?!”
“Maaf, saya salah….”
“Harus kupanggil semua sunbae-mu di barak, hah?”
“Tidak, Sojang-nim! Maaf!”
Kim Cheolmin jungwi menatap tajam, tapi tak menegur lebih jauh.
Jadwal latihan sudah padat, tak ada waktu untuk disiplin individu sekarang.
(‘Melakukan latihan mobilitas tanpa tahu apa-apa… waktu penugasan yang buruk, sungguh.’)
Tapi tetap saja—tidur di tengah barisan sumpah adalah kesalahan fatal.
Latihan ini adalah latihan terbesar divisi.
Dan bagi Kim Cheolmin, sebagai perwira yang baru promosi,
hal seperti ini tidak bisa ia biarkan.
“Dengar semuanya!
Jika kali ini kalian tidak lulus standar latihan dengan benar,
seluruh anggota Peleton 2—dari Ibyeong sampai Sangbyeong—akan dikumpulkan ulang untuk disiplin!
Mengerti?!”
“Ya!”
“Siap, mengerti!”
Nada suara byeongjang Lee Seungho menggema keras.
Wajahnya kaku, matanya berkilat dingin.
Seungho memang terkenal perfeksionis dalam latihan.
Dan kali ini—Hunter Gidong Hunryeon empat tahun sekali.
Fakta bahwa seorang Ibyeong berani tidur di tengah briefing?
Bisa dibilang… bunuh diri sosial.
“Semua! Fokus!
Mulai sekarang, anggap 3 malam 4 hari ke depan adalah pertempuran sungguhan!
Mengerti?!”
“Ya!”
“Siap, mengerti!”
Dengan aba-aba keras itu, latihan pun resmi dimulai.
Dipimpin oleh Kim Cheolmin jungwi,
para Hunter bergerak menuju area operasi pertama.
Barisan setiap peleton diberangkatkan dengan jeda waktu tertentu.
Masing-masing membawa perlengkapan tempur penuh,
meninggalkan pos penjagaan dan menapaki gunung yang menjulang di depan mereka.
‘Dua punggung gunung… jarak sekitar seratus kilometer.’
Tidak ada kendaraan.
Tidak ada titik istirahat pasti.
Hanya jalan setapak, tebing, dan… kemungkinan kemunculan monster.
Satu langkah.
Dua langkah.
Jeobuk. Jeobuk.
Langkah-langkah sepatu berat menggema di tanah lembab.
Wajah semua anggota menegang,
mata menyapu kanan-kiri dengan siaga penuh.
Sewaktu-waktu, divisi pusat akan melepaskan monster secara acak untuk menguji mereka.
‘Mulai dari… Gnoll, mungkin.’
Kim Minjun mendongak sedikit.
Ia bisa merasakan aura samar bergerak dari lereng atas.
Gnoll — monster berwujud seperti hiena besar.
Biasanya termasuk kategori low-rank,
tapi di medan seperti gunung ini, mereka bisa jadi menyulitkan.
‘Sekitar dua puluh ekor.
Gerakannya cepat, menggunakan lereng sebagai keuntungan.’
Hunter dengan peralatan penuh?
Beratnya 25 kilogram lebih.
Di jalur terjal seperti ini, bahkan langkah sederhana terasa seperti naik gunung Everest.
“Gnoll terdeteksi di 150 meter depan!”
“Semua, siapkan senjata utama dan perkuat formasi!”
“Siap!”
Dududududu—!
Dari atas lereng, puluhan Gnoll meluncur ke bawah seperti longsoran daging berbulu.
Dengan aba-aba cepat,
Hunter menarik senjata, membentuk barisan berbentuk setengah lingkaran.
“Jangan menyerang dulu!
Biar mereka yang turun dulu ke posisi kita!”
“Ya!”
Dalam latihan, tujuan bukan hanya menang—
tapi bertahan hidup dalam skenario berulang.
Jika mereka menghabiskan stamina di awal,
sisa tiga hari latihan akan menjadi neraka.
“Krrrrrrrrk!”
Gnoll-g ngeram, menuruni lereng dengan kecepatan liar.
Tanah bergetar.
Beberapa Hunter mundur setengah langkah—
dan barisan nyaris goyah.
“Kuh!”
“Hey! Tahan kakimu! Tegakkan lututmu!”
Hunter di depan nyaris terjatuh,
tapi yang di belakang menahan tubuhnya dengan kedua tangan.
Satu barisan roboh, semuanya bisa berantakan.
“Biar saya tangani!”
Minjun melompat ke depan,
menarik pisau militer dari pinggangnya.
Srek!
Sekali tebas — darah hitam Gnoll menyembur dari lehernya.
“Samping! Ada tiga dari kanan!”
“Tahan dulu!”
Serangan dari berbagai sisi.
Namun dengan ransel berat di punggung, pergerakan mereka jadi lambat.
Minjun melihat dengan cepat—
barisan belakang sedang tertekan.
‘Buruk. Gnoll-nya pintar. Mereka mengepung bagian lemah.’
Mereka bukan hanya binatang.
Setiap kawanan punya pola kerja, dan saat jumlah mereka cukup,
efek sinergi bisa membuat kekuatan naik dua kali lipat.
“Izinkan saya bantu barisan belakang!”
Tanpa menunggu jawaban,
Minjun melesat. Gerakannya ringan meski membawa beban penuh.
Puhaak! Puk!
Ia menancapkan pisau ke tenggorokan Gnoll satu per satu,
lalu menarik salah satu sunbae yang jatuh ke tanah.
“Huuh… terima kasih, Minjun-ah.
Baru mulai udah mau pingsan tadi.”
“Sangbyeong Kim Minjun. Tidak apa, saya kembali ke posisi.”
“Bagus, timing-mu luar biasa.”
Seluruh Gnoll disapu bersih dalam waktu sepuluh menit.
Unit lain?
Rata-rata dua puluh menit lebih.
Bahkan petugas pemantau yang mencatat hasil latihan
menatap layar tablet dengan ekspresi kagum.
“Semua bangkai dikumpulkan!”
“Semprot bahan pengurai dan lanjutkan!”
“Ya!”
Hunter segera menarik jasad-jasad itu ke satu titik,
menyemprot cairan khusus anti-pheromone.
Ini untuk mencegah monster lain tertarik ke lokasi.
“Semua, perhatian!”
“Perhatian!”
Jam menunjukkan pukul enam sore.
Kim Cheolmin jungwi mengangkat tangan, memberi isyarat berhenti.
“Mulai sekarang, dirikan tenda dan siapkan kamp!”
“Siap!”
Desahan lega terdengar.
Hari pertama selesai.
Setidaknya sampai tengah malam nanti—
tidak akan ada monster dilepaskan.
Hanya byeongjang berpengalaman yang tahu rahasia kecil itu.
“Serius, siapa yang mendesain tenda ini?
Empat orang disuruh muat di ruang sekecil peti mati.”
“Uang, bro. Semua karena anggaran pertahanan.”
“Gue gak peduli lagi. Asal nyamuknya gak masuk, itu udah surga.”
Mereka mulai membangun tenda-tenda kecil berlapis logam anti-sihr.
Harga satu unit: lebih dari sepuluh juta won.
Tapi keamanannya sebanding dengan harganya.
Sayangnya… sempit.
“Minjun-ah, ini pertama kalinya kau pasang tenda Hunter, kan?
Cepat banget tangannya!”
“Gila, bantu kita juga dong.”
Para senior menatap heran.
Tempatnya sempit, tanahnya miring—
tapi gerakan Minjun seefisien robot.
“Sangbyeong Kim Minjun. Baik, saya bantu.”
Ia tersenyum kecil dan langsung memegang tali tenda berikutnya.
‘Heh. Ini sih gampang.’
Di dunia sebelumnya, ia bahkan membangun benteng dari kayu dan tulang monster.
Tenda ini? Permainan anak-anak.
Selesai menata peralatan,
para Hunter berkumpul untuk makan malam singkat.
“Kalau 1 hari aja udah gini,
gue gak mau mikirin besok.”
“Justru hari pertama tuh paling enteng, tahu.”
“Gue takut banget sama besok pagi. Pasti dilepas gelombang monster lagi.”
Minjun menggigit biskuit kering dari paket makan tempur,
dan wajahnya langsung menegang.
‘Ah… rasa nostalgia yang menjijikkan ini.’
Rasa logam, asin, dan tepung basi—
persis ransum yang ia makan di medan perang dunia lain.
“Minjun-ah, baru pertama makan ransum Hunter?”
“Sangbyeong Kim Minjun. Ya, betul.”
“Yah, siap-siap aja. Itu rasanya kayak penderitaan dibungkus plastik.”
“Gue lebih pilih makan 10 pound cake daripada satu biskuit ini.”
Tawa kecil menyebar di antara mereka.
Hanya 30 menit damai… tapi bagi para Hunter, itu emas.
“Semua, perhatian!”
“Perhatian!”
Kim Cheolmin jungwi kembali memanggil perhatian.
“Untuk berjaga-jaga, tidur kalian tetap dengan perlengkapan dasar lengkap!
Mengerti?!”
“Ya!”
“Dan sekarang, aku akan tentukan giliran penjaga malam (bulchimban).”
Semua wajah menegang.
Jam 3 dini hari adalah waktu terburuk.
Biasanya markas sengaja melepaskan monster pada waktu itu,
demi menguji daya tahan mental dan fisik.
‘Tolong… semoga dapat shift pertama atau terakhir.’
‘Apa pun asal bukan jam 3.’
‘Kumohon… jangan jam 3.’
“Yes! Aku dapat shift pertama!”
“Ah… sial, tengah-tengah banget.”
“Gue jam 2 pagi. Mau mati aja rasanya.”
Reaksi beragam.
Beberapa lega, beberapa putus asa.
“Baiklah.”
Kim Cheolmin mengangguk.
“Kali ini, bahkan aku juga ikut jaga.
Siapa yang mau berjaga bersamaku?”
Suasana langsung membeku.
‘Jam 3… bukan hanya jaga malam, tapi juga dengan Sojang-nim…’
‘Tolong, bukan aku.’
‘Jangan sampai aku.’
“Sangbyeong Kim Minjun! Saya bersedia!”
Suara itu memecah ketegangan.
‘Selamat… kami semua selamat.’
Sunbae dan hoobae menatapnya dengan ekspresi syukur campur haru.
“Bagus.
Kim Minjun, kau dan aku, jam 3 sampai 4:30.”
“Siap, mengerti.”
Bagi Minjun, tidur bukan masalah.
Ia bahkan bisa bertarung tanpa istirahat dua hari penuh.
Kalau bisa meringankan tugas rekan satu unitnya, itu cukup.
“Dan terakhir, peringatan penting.
Latihan kali ini akan jauh lebih keras dari sebelumnya.”
Semua kepala menoleh.
“Empat tahun lalu, kita hanya menghadapi monster.
Sekarang, akan ada berbagai situasi gabungan—
jebakan, pertempuran tim, dan serangan mendadak.”
“Seperti yang semua perwira tekankan,
yang paling penting adalah kemampuan beradaptasi!
Mengerti?!”
“Ya!”
Suara “Ya!” terdengar serempak,
tapi sebagian besar dengan wajah kaku.
Para byeongjang menelan ludah.
Empat tahun lalu saja hampir mati—
bagaimana dengan versi “diperbarui” ini?
“Jika tak ada masalah, langsung istirahat!”
“Siap!”
“Ya!”
Tenda-tenda kecil itu menelan cahaya malam satu demi satu.
Begitulah akhir hari pertama latihan mobilitas.
Pukul 03:00
Udara lembap menusuk kulit.
Minjun keluar dari tenda, mengenakan perlengkapan ringan.
“Chungseong.”
“Baik. Dari sekarang sampai 04:30.
Laporkan segera jika ada tanda-tanda abnormal.”
“Ya, Sojang-nim. Siap.”
Nada suara Cheolmin tajam—lebih dari biasanya.
Baginya, latihan ini bukan sekadar formalitas.
Ini uji mental, bagi dirinya juga.
‘Untuk para jungwi, latihan seperti ini menentukan reputasi.’
Tak heran ia begitu serius.
Berbeda dari perwira lain yang kadang mencari celah untuk istirahat,
Kim Cheolmin berdiri tegak sepanjang waktu.
Ia bahkan mengambil giliran jaga sendiri.
Bentuk kecil dari rasa tanggung jawabnya pada unit.
‘Masih setengah jam lagi.’
Jam menunjukkan pukul 04:00.
Langit mulai memucat sedikit.
Minjun melangkah perlahan di sekitar perimeter,
matanya memindai setiap arah.
Lalu —
ia merasakannya.
‘…Sesuatu datang.’
Dari atas.
Sebuah tekanan udara tajam menukik dari langit.
‘Bukan monster… tapi ini pasti bukan alami.’
Ia mendongak.
Bayangan besar melesat dari langit malam tanpa suara sedikit pun.
‘Sojang-nim belum menyadarinya.’
Tentu saja.
Siapa yang bisa mendengar sesuatu yang jatuh tanpa suara di tengah hening dini hari?
“Sojang-nim! Ada kemungkinan situasi akan terjadi!”
“Hmm? Jelaskan!”
Cheolmin menatapnya heran.
Tak ada tanda-tanda monster di radar sihir.
“Dari atas, Sojang-nim.”
Minjun menunjuk ke langit.
“...Itu—”
Siluet hitam semakin jelas.
Dan seketika, mata Cheolmin melebar.
Ia mengenali apa itu.
Tanpa pikir panjang, ia berteriak.
“Bangunkan semua orang! SEKARANG!”
28. Hunter Gidong Hunryeon - 2 (헌터 기동훈련 - 2)
“Semua bangun! Cepat bangun dan pakai masker gas dalam tiga menit!”
Suara Kim Cheolmin jungwi membelah udara dini hari.
Dari langit, sesuatu jatuh dengan kecepatan tinggi—
sebuah kotak kecil berwarna hijau militer, dengan simbol Huntergun dan gambar tengkorak di permukaannya.
Itu bukan serangan. Itu… latihan.
“Kim Minjun! Kau juga pakai masker gas dan bangunkan semua anggota!”
“Sangbyeong Kim Minjun! Siap!”
Zat beracun dari Dungeon tipe mutasi terkadang dimanfaatkan untuk latihan militer.
Kotak itu berisi gas khusus yang telah dimodifikasi agar tidak mematikan,
namun tetap beracun jika terhirup.
“Semua bangun dan segera kenakan masker gas!”
Plak! Plak!
“Uh, apa… apa ini!”
“Cepat pakai masker gas sekarang juga!”
“Gila! Ada apa ini?!”
“Situasi darurat! Gas khusus akan disebar sebentar lagi!”
“Gas khusus?! Baru hari pertama latihan sudah kayak begini?!”
Minjun menerobos ke dalam tenda,
dan tanpa ragu menampar pipi sunbae yang belum bangun.
Plaag! Plaag!
Agak brutal, tapi waktunya terlalu sempit untuk basa-basi.
Seperti perintah Kim jungwi —
seluruh peleton harus memakai masker dalam tiga menit.
“Nyalakan lampu! Cepat!”
“Berapa menit tersisa?!”
“Kurang dari dua menit!”
“Kalau hirup gas itu, kau tak akan bisa berdiri lagi! Fokus semua!”
“Ya! Siap!”
Pukul 04:00.
Di tengah gelap dan panik,
byeongjang dan sangbyeong sudah berhasil memakai masker,
tapi para ibyeong dan ilbyeong…
Belum.
Mencoba memakai masker gas tanpa cahaya,
dengan tangan gemetar dan tali kusut —
itu jauh lebih sulit daripada kedengarannya.
“Argh! Talinya nyangkut!”
“Tenang! Semakin panik, semakin kusut! Diam dulu!”
Minjun menenangkan mereka satu per satu,
membantu mengaitkan tali masker ke posisi benar.
Dan tepat saat orang terakhir berhasil mengenakan maskernya—
Pssshhhhhhh—!
Kotak di tanah terbuka,
dan gas kekuningan menyembur deras keluar.
Udara berubah pekat.
Bau tajam menusuk hidung.
Gas ini memiliki efek mirip CS gas yang digunakan oleh pasukan biasa.
Tidak mematikan—tapi menyiksa.
Menghirup sedikit saja bisa membuat seseorang batuk dan sesak napas berjam-jam.
—Dan gas ini 10 kali lebih kuat dari CS gas biasa.
Minjun menatap kabut kuning itu, tanpa rasa takut.
Tubuhnya, dipenuhi energi magi,
secara alami menetralisir racun.
(‘Aku tak apa-apa, tapi kalau yang lain kena… mereka tamat.’)
“Semua sudah mengenakan masker!”
“Bagus! Bongkar tenda sekarang juga dan keluar dari area ini!”
“Siap!”
Sesuai perintah Kim jungwi,
para Hunter langsung bergerak cepat membongkar tenda dan mundur dari area kontaminasi.
Baru setelah 30 menit berjalan kaki,
mereka menerima sinyal aman untuk melepas masker.
“Huuuh—!”
“Baru tidur sebentar, tiba-tiba begini…”
“Serius, aku pikir aku mati tadi.”
Hunter satu per satu melepas maskernya dengan napas berat,
menghirup udara segar dengan wajah pucat.
“Sangbyeong Kim Minjun! Terima kasih! Kalau bukan karena Anda, saya sudah hirup gas itu banyak banget. Tali maskernya sempat kusut!”
“Aku juga! Pipi masih panas, tapi serius—kalau kau nggak tampar aku, aku nggak bangun!”
Sunbae dan hoobae sama-sama menatapnya penuh rasa syukur.
“Sangbyeong Kim Minjun. Saya hanya beruntung bisa sadar lebih cepat.”
“Beruntung apanya.
Bangun dari tidur jam empat pagi, pasang masker dalam tiga menit? Itu mustahil bagi kebanyakan orang.”
“Bahkan tidak satu pun dari kita yang hirup gas itu. Hebat.”
“Terima kasih.”
Dalam latihan seperti ini,
biasanya 30% anggota peleton gagal memakai masker tepat waktu.
Dan kalau mereka menghirup gas itu…
Skor performa satuan akan langsung anjlok.
“Kim Minjun.”
“Sangbyeong Kim Minjun!”
“Kau mendeteksi gas sebelum aku sempat sadar. Kerja bagus.”
“Terima kasih, Jungwi-nim!”
Kim Cheolmin jungwi tidak menahan pujian.
Keputusan Minjun benar-benar sempurna.
“Baik! Kita lanjutkan perjalanan!
Tapi aku akan beri waktu istirahat di tengah jalan!”
“Siap!”
Hunter kembali bergerak melewati hutan gunung.
Di sepanjang jalur, suara batuk keras terdengar.
“Khekh! Khek!”
“Kuh, kueeek!”
Minjun menoleh.
Beberapa peleton lain tampak terseret di belakang,
para Hunter-nya menggigil dan batuk darah tipis.
Mereka jelas gagal bereaksi cepat terhadap gas.
“Peleton itu kacau. Pasti kena gas parah.”
“Yah, kita 2-peleton, jadi beda kelas.”
“Kalau kena, kita bakal batuk seharian.
Dengar suara batuk mereka aja udah bikin mual.”
“Siapa itu! Siapa yang berani batuk keras di sini!”
“Diam, gila! Nanti Jungwi-nim dengar!”
Hari kedua latihan,
dan mereka sudah dipaksa menghadapi latihan dengan gas beracun.
Seperti kata Kim jungwi —
tingkat kesulitan kali ini benar-benar melonjak.
“Kalau hari ini hari kedua… dulu waktu empat tahun lalu, apa yang terjadi di hari ini, ya?”
“Empat tahun lalu aku masih trainee, bajingan.”
Sementara para byeongjang mengeluh,
teriakan tiba-tiba terdengar dari depan barisan.
“Sojang-nim! Ada pasien di depan!”
Di jalur depan, seseorang tergeletak.
Di dada seragamnya tertulis besar: ‘BU SANG JA (부상자 / Korban Luka)’
“Ah, jadi ini maksudnya ‘beragam situasi’ yang dibilang Jungwi-nim tadi?”
“Ya Tuhan, baru juga hari kedua.”
Mulai hari kedua latihan,
beberapa perwira berpura-pura menjadi korban luka
untuk menguji kemampuan evakuasi Hunter.
Latihan sebelumnya tak pernah sekompleks ini.
“Siapkan tandu!”
“Siap!”
Atas perintah Kim jungwi,
dua Hunter segera menyiapkan tandu dan memindahkan “pasien”.
“Kami siap mengangkat!”
“Bagus. Kalian peleton kedua, ya? Sepertinya kalian menangani gas cukup baik.
Siapa yang memimpin peleton ini?”
Perwira itu — yang sekaligus bertugas sebagai pengawas latihan —
menatap mereka penuh minat.
“Jungwi Kim Cheolmin!”
“Hmm. Jadi ini peleton-mu? Hebat.
Kami sengaja melepaskan gas di jam 4 pagi untuk mengetes kesiapan.
Kau dan timmu melewati itu dengan sempurna, ya? Tak satu pun yang kena?”
“Benar, Jungwi-nim! Tidak ada yang terpapar!”
“Bagus. Pertahankan begitu.”
Pujian dari seorang Daewi langsung menaikkan semangat semua orang.
Bahkan Kim Cheolmin tak bisa menyembunyikan senyum kecilnya.
(‘Kerja bagus, Minjun-ah.’)
Ia melirik Minjun dan mengangkat jempol,
gerakan kecil tapi bermakna besar.
‘Heh. Ternyata beliau bisa senyum juga.’
“Kami lanjut bergerak!”
“Baik. Ini baru hari kedua. Jaga performa kalian.”
“Siap!”
Setelah memeriksa kondisi “pasien”,
dua Hunter mengangkat tandu dan melanjutkan perjalanan.
“Ubah formasi!”
“Siap!”
Dalam kondisi membawa tandu,
barisan depan dan belakang otomatis bergeser —
untuk bersiap jika ada serangan monster.
Dan tak lama kemudian…
“Sojang-nim! Sekitar 200 meter di belakang — monster terdeteksi!”
Benar saja.
Begitu medan mulai menanjak,
unit pusat kembali melepaskan monster.
Kali ini —
bola hitam besar seukuran bola sepak.
Darkball.
Monster yang menempel pada tubuh target dan mengisap darah seperti nyamuk rakus.
Begitu menempel, nyaris tak bisa dilepaskan.
“Pindahkan korban luka ke depan! Sisanya tetap dalam formasi, bersiap untuk tembakan jarak jauh!”
“Siap!”
“Persiapkan tembakan!”
“Siap!”
Kim jungwi menilai medan dengan cepat,
kemudian memberi aba-aba keras:
“Mulai tembakan!”
Kuwaaaang!
Ledakan magi menghantam udara.
Hunter menembakkan peluru magis ke arah lereng bawah,
di mana puluhan Darkball melesat ke arah mereka.
“Argh!”
“Jangan panik! Fokus bidik!”
Tapi posisi mereka miring, tanah licin—
tembakan meleset.
Satu peleton penuh menembak bertubi-tubi,
tapi hanya 15 ekor yang berhasil mereka hancurkan.
Sisanya, 8 ekor, melesat semakin dekat.
Tuuung! Thung!
“Gyaaah!”
“Kalau nempel, itu neraka! Tahan mereka!”
Darkball terakhir menempel pada senjata Hunter terdepan.
Suaranya mendesis, menyedot darah melalui logam.
“Sojang-nim! Kalau begini, kita akan punya korban! Izinkan saya maju membantu!”
Minjun, yang sedang memanggul tandu, menatap tajam.
Ia tidak bisa diam saja.
‘Tidak akan ada korban. Tidak di bawah pengawasanku.’
“Darkball itu sudah menempel pada senjata. Tak bisa dilepaskan tanpa kekuatan luar biasa.
Kalau kau gagal, senjatanya bisa rusak.”
Kim jungwi menatapnya sebentar.
Lalu mengangguk.
“Coba lakukan.”
“Siap!”
Minjun segera meloncat tinggi ke udara.
Mereka yang melihat refleksinya di udara terdiam.
“Wha—dia… melompat setinggi itu?! Dengan ransel penuh?!”
Perwira pengawas di tandu mengerutkan kening, terkejut.
‘Itu refleks dan kekuatan kaki luar biasa.
Tingkat reaksi seperti itu… bahkan di dunia nyata jarang kulihat.’
Minjun mendarat di belakang peleton.
“Diam di tempat! Aku yang urus!”
Hunter yang senjatanya digigit Darkball menatapnya cemas.
“Minjun-ah, jangan sentuh sembarangan!
Kalau salah gerak, senjatanya hancur!”
Tapi Minjun tak menjawab.
Ia menyusupkan tangan langsung ke dalam mulut Darkball.
Dan lalu—
Hwaak! Phwaaak!
Ia mencabut makhluk itu seperti mencabut buah dari ranting,
lalu melemparkannya jauh ke udara.
“W-wooow…”
“Haah?”
Satu, dua, tiga—
Darkball yang menempel semuanya dicabut paksa dan dilempar seperti bola tenis.
“Fokus! Monster yang lepas, segera habisi!”
“Siap!”
Kuwaaang!
Dua Hunter, Lee Seungho byeongjang dan Kim Gwangsik sangbyeong,
langsung menembakkan peluru magi ke arah Darkball yang jatuh.
Monster itu meledak jadi abu dalam sekejap.
“Semua Darkball telah ditangani!”
Hasil akhir —
tanpa luka, tanpa senjata rusak, tanpa korban.
“Periksa senjata! Kalau ada kerusakan, laporkan segera!”
“Tidak ada masalah!”
Minjun menurunkan masker, mengatur napas.
Tangannya sedikit bergetar karena sisa energi magi.
Tapi wajahnya tetap tenang.
Clap! Clap! Clap! Clap!
Pengawas — sang perwira berpura-pura luka — menepuk tangan.
“Luar biasa.
Sebagai pengawas, aku jarang memberi pujian langsung, tapi itu pantas.”
“Tapi ingat — ini baru hari kedua. Jangan pernah lengah.”
“Siap!”
“Ya! Mengerti!”
Setelah istirahat singkat, peleton kembali bergerak.
Saat Minjun berjalan ke depan barisan,
seseorang menepuk pundaknya.
Tap.
Lee Seungho byeongjang.
“Pertahankan seperti itu.
Kerja bagus.”
“Sangbyeong Kim Minjun. Terima kasih.”
Seungho hanya mengangguk singkat,
kemudian kembali memeriksa kondisi anggota lain.
Minjun menatap punggungnya,
senyum kecil muncul di wajahnya.
(‘Ya… memang seorang byeongjang sejati.’)
Hari berganti.
Latihan memasuki hari ketiga.
Kalau dua hari pertama masih bisa ditolerir—
hari ketiga adalah neraka.
Serangan datang tanpa henti.
Pagi, siang, malam—monster terus bermunculan.
Setiap bentrokan,
Hunter kehilangan sedikit demi sedikit stamina dan fokus.
“Argh… aku gak kuat lagi. Serius, mau pingsan.”
“Latihan kali ini, sialan… gila banget.”
Wajah para Hunter tampak lelah dan kusut.
Langkah kaki mulai goyah.
Dan tepat saat mereka berharap bisa istirahat—
“Semua berhenti!”
Suara Kim Cheolmin jungwi menggema keras.
Ia menatap sesuatu di depan mereka,
wajahnya menegang.
29. Hunter Gidong Hunryeon - 3 (헌터 기동훈련 - 3)
“Itu ranjau! Semua berhenti!”
“Berhenti!”
Rumput liar yang tumbuh lebat menutupi sesuatu di bawahnya —
jebakan ranjau tersembunyi yang dipasang oleh pihak latihan.
Trik licik dari markas pusat:
meletakkan jebakan di jalur yang terlihat aman,
tempat siapa pun bisa tanpa sadar melangkah.
(‘Penglihatan yang tajam juga. Aku baru mau buka suara, tapi dia lebih dulu menemukan.’)
Minjun menatap ke arah Kim Cheolmin jungwi.
Sang perwira sudah menyadari bahaya itu sebelum ia sempat memperingatkan.
‘Tipe jebakannya… setrum.’
Ranjau ini dibagi menjadi dua jenis:
tipe ledakan, untuk membunuh monster,
dan tipe setrum, untuk melumpuhkan target tanpa membunuh —
biasanya digunakan dalam misi penangkapan atau latihan.
“Tipe ranjau: setrum! Semua pasang pelindung karet di telapak sepatu!”
“Ya!”
“Siap!”
Atas komando itu, para Hunter segera mengeluarkan
piringan karet bulat dari ransel mereka
dan menempelkannya di bawah sol sepatu.
Untuk menonaktifkan jebakan seperti ini,
dibutuhkan peralatan khusus —
yang tentu tidak mereka bawa.
Dengan kata lain, mereka harus menyeberanginya langsung.
‘Kalau memutar jalan… jaraknya terlalu jauh.’
Mereka punya batas waktu:
Tengah malam hari keempat, seluruh peleton harus sudah tiba di markas.
Memutar jalan akan berarti keterlambatan fatal —
dan nilai anjlok.
(‘Poin penalti terbesar berasal dari keterlambatan.
Kalau begitu… kita terobos saja.’)
Setelah berpikir sejenak, Kim Cheolmin jungwi mengangkat tangannya.
“Kita akan menyeberang. Fokus penuh! Jangan ada yang ceroboh!”
“Ya!”
Namun menyeberang tak berarti aman.
Medannya curam,
tanah licin,
dan rumput menutupi setiap celah.
Satu langkah salah — dan tubuh akan tersengat listrik sekuat ratusan volt.
(‘Kena setrum latihan saja katanya bikin lumpuh dua menit.
Kalau yang ini, sepertinya lebih parah.’)
Minjun menarik napas pendek.
“Angkat tandu lebih tinggi!”
“Siap!”
“Pembawa tandu bergerak dulu! Jangan terburu-buru,
lebih baik lambat tapi aman!”
“Mengerti!”
“Sisanya, awasi sekitar! Kalau ada monster, jangan panik,
jaga posisi dan tunggu perintah!”
“Ya!”
Begitu perintah selesai,
dua Hunter yang membawa tandu mulai menapak perlahan,
mata mereka terpaku pada tanah.
Yang lain membentuk perimeter,
siap menembak bila ada serangan mendadak.
“Hei, kalian tahu kan?
Kalau aku sampai jatuh, nilai kalian juga jatuh!”
“Ya, Sojang-nim!”
Perwira pengawas—yang pura-pura menjadi pasien—
memasang pelindung karet tambahan di tangan dan kakinya.
Langkahnya tetap tenang,
tapi wajahnya waspada.
“Fuuuh…”
“Kami sudah sampai!”
Dua Hunter pertama berhasil tiba di sisi seberang tanpa insiden.
“Tim berikutnya, maju!”
“Ya!”
Giliran berikut:
Kim Minjun dan seorang ibyeong, memanggul tandu bersama.
Biasanya, posisi pembawa tandu diganti setiap beberapa menit
karena berat dan tekanan fisik.
Tapi Minjun tidak pernah berganti.
Ia tahu betapa lelahnya rekan-rekannya,
dan menanggung beban itu sendirian tanpa keluhan.
(‘Yang di belakang itu… kelihatannya tidak stabil.’)
Minjun menatap cepat ke arah belakang.
Ibyeong di belakangnya — Jin Cheolho —
wajahnya pucat, langkahnya gemetar.
“Tetap fokus. Sedikit lagi. Setelah ini, latihan berakhir.”
“Siap!”
Namun beberapa langkah kemudian…
“Ugh!”
Langkahnya meleset.
Tubuhnya kehilangan keseimbangan.
“Hei! Kau gila?!”
“Kau mau bunuh diri, hah?!”
Suara panik terdengar dari belakang.
(‘Kalau aku tidak di sini, tandu pasti jatuh.
Dan kalau tandu jatuh… pengawas ikut tersengat.’)
“Jangan panik! Aku jaga keseimbangan, kau fokus bertahan!”
“Maaf! Maaf, hyung-nim!”
Namun sebelum ia selesai bicara,
Cheolho benar-benar kehilangan keseimbangan.
Tubuhnya miring ke kiri —
dan tandu ikut terguling.
“Sial.”
Tanpa ragu, Minjun mengerahkan seluruh tenaga.
Ia menahan dua tubuh sekaligus:
si pasien dan si ibyeong.
Tap!
Kakinya menghentak tanah.
Tubuhnya memutar setengah lingkaran,
mengangkat mereka ke udara dengan satu gerakan mulus.
“Jangan bergerak!”
Dalam posisi menahan dua orang di pinggang,
ia menegakkan tubuh dan—
Bwooosh!
Melompat.
Sekali lompatan tinggi, melewati seluruh zona ranjau.
“…Hah?!”
“Apa barusan itu?!”
“Dia lompat… sambil gendong dua orang?!”
Hunter lain hanya bisa menatap dengan mulut terbuka.
Sekali gerakan.
Bersih.
Tanpa suara letupan, tanpa setrum.
“Itu kemampuan refleks di level perwira, bukan?”
“Perwira pun belum tentu bisa.”
“Diam. Fokus lagi! Masih banyak yang belum lewat!”
Beberapa menit kemudian,
semua anggota berhasil menyeberang.
“Jin Cheolho!”
“Ibyeong Jin Cheolho!”
“Kau gila, hah?! Aku bilang tak apa kalau lambat!
Kenapa terburu-buru?!”
“Maaf, Jungwi-nim!”
Suara Kim jungwi menggema keras.
Amarah bercampur ketakutan.
“Kalau bukan karena Kim Minjun, kau dan pengawas bisa tersengat!
Kau sadar nggak, itu bisa jadi insiden serius?!”
“Maaf! Tidak akan terjadi lagi!”
“Kalau bukan masa latihan, sudah kugulung kau seharian penuh. Mengerti?!”
“Ya! Mengerti!”
Tak ada yang dimaafkan hanya karena “masih baru”.
Di medan latihan, semua sama.
Tapi kali ini, karena situasi sedang dalam pelatihan,
ia hanya diberi teguran keras.
“Huh… Cheolho. Sekalipun kau masih ibyeong, ada batas kesalahan yang bisa ditoleransi.”
“Ibyeong Jin Cheolho! Maaf!”
“Lain kali jangan ulangi.”
“Ya! Siap!”
Segera setelah jungwi pergi,
byeongjang dan sangbyeong lain menghampirinya.
Dan seperti biasa—
makian dan teguran berhamburan.
Satu orang melakukan kesalahan,
seluruh unit ikut menanggung akibat.
Itulah sistem militer — tanggung jawab kolektif.
“Maaf!”
Cheolho menunduk dalam, suaranya bergetar.
Hampir menangis.
Minjun menepuk bahunya pelan.
“Sudah, lupakan. Fokus ke depan. Yang penting jangan jatuh lagi.”
“Ya, hyung-nim… terima kasih.”
Ia tahu.
Kalau anak itu hancur mentalnya sekarang,
maka bukan hanya satu orang yang ambruk —
tapi satu unit.
Beberapa jam kemudian.
Hari ketiga menjelang malam.
Hunter terlihat seperti zombie berjalan,
mata kosong, bahu merosot.
“Ini latihan paling gila yang pernah ada.”
“Masih ada satu hari lagi.”
“Sial betul…”
Dari gas beracun subuh,
monster di lereng malam,
sampai ranjau tersembunyi hari ini.
Tidak ada waktu benar-benar tenang.
“Semua, bertahan sedikit lagi!
Besok latihan berakhir!
Kita segera berhenti untuk berkemah!”
Suara Minjun lantang, memecah udara malam.
“Kita bisa! Bertahan sedikit lagi!”
“Ya!”
Mereka menggigit gigi dan melangkah lagi.
Tubuh nyaris roboh, tapi mental terus dipaksa tegak.
(‘Kita harus istirahat lebih cepat malam ini.’)
Kim jungwi menilai kondisi anak buahnya.
Terutama para ibyeong dan ilbyeong,
yang wajahnya sudah seputih kertas.
“Perhatian semua!”
“Perhatian!”
“Kita berhenti di sini malam ini!
Besok latihan berakhir!
Fokus sampai akhir, mengerti?!”
“Ya! Siap, mengerti!”
Setelah perintah,
Kim jungwi pergi sebentar untuk laporan situasi.
Minjun memperhatikannya diam-diam.
(‘Dia benar-benar tipe pemimpin sejati.’)
Walau pasti kelelahan,
Kim Cheolmin tetap menjaga wajah tenang.
Tidak sekalipun menunjukkan rasa lelah.
Karena dalam militer,
jika pemimpin goyah, pasukan ikut tumbang.
“Minjun-ah.”
“Sangbyeong Kim Minjun.”
“Serius, kalau bukan kau, kita udah tamat dari kemarin.”
Sunbae-sunbae yang sedang mendirikan tenda menghampirinya,
menepuk pundaknya dengan senyum tulus.
“Ini tugas saya juga, sunbae-nim. Lagi pula, dia masih ibyeong baru.”
“Yah, kami juga kasihan padanya. Tapi lihat itu.”
Ia menunjuk ke arah Lee Seungho byeongjang.
Pria itu sedang membentak Jin Cheolho,
wajahnya gelap, nada suaranya seperti guntur.
Begitu Kim jungwi pergi,
Seungho langsung turun tangan.
“Kalau bukan karena Minjun, kita semua pasti dihajar juga.”
“Serius, kau penyelamat kali ini.”
Mereka tertawa kecil, menepuk bahunya lagi.
Minjun hanya tersenyum tipis.
(‘Heh, akhirnya kelihatan seperti kehidupan militer sungguhan.’)
Relasi sunbae–hoobae, kerja sama, dan tekanan.
Semuanya berjalan seimbang.
(‘Kalau terus begini, mungkin pangkat byeongjang nggak akan lama lagi buatku.’)
Ia menatap langit malam, merasa sedikit puas.
Namun tak lama kemudian—
“Kim Minjun!”
“Sangbyeong Kim Minjun!”
“Bawa anak itu dan ikut aku.”
“Siap!”
Kim Cheolmin jungwi memanggilnya lagi.
Minjun mengangguk dan berjalan bersama Jin Cheolho.
Ternyata, jungwi ingin memastikan kondisi fisik mereka berdua.
“Kalian benar-benar tak apa?”
“Ya, saya baik-baik saja.”
“Aku juga baik-baik saja, Jungwi-nim!”
Setelah pemeriksaan singkat,
ekspresi Kim jungwi sedikit melunak.
“Huft. Kupikir kalian cedera.
Waktu itu aku benar-benar panik, tahu?
Dan kau—”
Ia menatap Cheolho.
“Jangan terlalu menyalahkan diri.
Ini latihan besar, bukan salahmu sepenuhnya.”
“Ya! Siap! Terima kasih, Jungwi-nim!”
Kim jungwi menghela napas panjang.
“Sebenarnya, kesalahannya juga padaku.
Aku seharusnya lebih memperhatikan kondisi setiap orang.
Kalau aku peka, itu tak akan terjadi.”
Minjun hanya tersenyum.
(‘Dia masih menyalahkan diri padahal jelas bukan salahnya.’)
“Tak usah dipikirkan, Jungwi-nim.
Saya akan terus awasi kondisi peleton dari belakang.
Masih ada satu hari lagi, kan?
Kita akhiri dengan sempurna.”
Kim jungwi menatapnya sejenak,
lalu mendengus pelan sambil tersenyum getir.
“Kau ini… ngomong seperti perwira saja.
Aku masih jungwi, tahu? Masih kuat.”
“Baik, Jungwi-nim.”
“Sekarang kembali ke tenda.”
“Ya! Chungseong!”
Minjun membungkuk hormat, lalu kembali bersama Cheolho.
Sebelum tidur, ia menepuk bahu anak itu sekali lagi.
“Tenang. Kau masih belajar. Besok tunjukkan yang terbaik.”
“Ya, hyung-nim! Akan kulakukan!”
Hari keempat — hari terakhir.
Udara pagi terasa berat,
tapi di wajah para Hunter, ada tekad tersisa.
“Bertahan satu hari lagi… hanya 12 jam tersisa…”
“Ayo, kita bisa.”
Beberapa Hunter bahkan berjalan sambil memejamkan mata,
seolah tubuhnya bergerak otomatis.
Namun tidak satu pun dari mereka menyerah.
“Kita satu-satunya peleton tanpa korban luka.
Kita harus pertahankan sampai akhir!”
“Ya!”
Dan di kejauhan—
seseorang terlihat terhuyung, berdiri di tengah jalan setapak.
“Eh? Itu… bukankah dia…?”
“Ya, benar! Tapi kenapa dia sendirian? Luka?”
Para Hunter langsung menegang,
pandangan mereka terpaku pada sosok itu.
Udara menjadi sunyi.
Ketegangan perlahan menyebar.
30. Hunter Gidong Hunryeon - 4 (헌터 기동훈련 - 4)
Hunter yang duduk bersandar di batang pohon itu tampak kesakitan.
Pergelangan kakinya bengkak parah.
Itu adalah Son Eunseo sangbyeong.
“Lihat, separuh dari peleton mereka tumbang.”
“Yah, latihan kali ini memang gila sih. Bukan level manusia biasa.”
“Ngomong-ngomong, kenapa tiap kali kita ngobrol aku malah ngantuk?”
“Makanya terus ngomong. Begitu kau diam, kau bakal langsung ketiduran.”
Di batalyon 4, kompi 4, peleton 4, hampir separuh personel sudah kelelahan berat.
“Maaf… sungguh maaf….”
Akhirnya, beberapa Hunter wanita memutuskan menyerah dari latihan.
Mereka sadar, dalam kondisi seperti ini, keberadaan mereka hanya akan membebani peleton.
Petugas medis yang berjaga di belakang segera datang,
membantu mereka keluar dari jalur latihan dengan langkah tertatih.
(‘Kalau bukan karena aku, peleton kami pun pasti sudah kehilangan lebih dari sepuluh orang.’)
Kim Minjun melirik sekilas ke sekelilingnya.
Sebagian besar rekan setimnya tampak seperti akan roboh kapan saja.
Ada yang bahkan berjalan sambil tidur — benar-benar menggunakan “skill tidur sambil jalan”.
Rasa lelah mereka sudah mencapai puncak.
(‘Tidak ada aturan yang melarang membantu peleton lain.’)
Kalau ia membantu, justru kemungkinan mendapat nilai tambah.
Saat ia tengah berpikir begitu, peletonnya akhirnya mencapai posisi kompi 4.
“Chungseong! Saya Jungwi Kim Cheolmin!
Apakah ada Hunter yang dalam kondisi kritis?”
“Ah, ya! Tidak ada yang kritis, Jungwi-nim. Anda tidak perlu khawatir.”
“Begitu ya. Kami hanya ingin memastikan….”
Saat kedua perwira berbincang dengan sopan,
tiba-tiba terdengar suara terisak di samping.
“Maaf! Maafkan saya, Son Eunseo sangbyeong-nim!”
Seorang Hunter wanita berlutut di depan Eunseo, menunduk dalam-dalam.
Rupanya, Eunseo terluka karena melindungi hoobae-nya.
(‘Patah tulang.’)
Sekilas saja, Minjun sudah tahu.
Luka di pergelangan kakinya — retak, atau mungkin fraktur ringan.
(‘Perban dan bidainya kurang pas. Kalau begitu dibiarkan, akan makin parah.’)
Ia menghela napas kecil.
(‘Ya sudah, bantu saja.’)
Tak peduli peleton mana pun — mereka semua Hunter, rekan seperjuangan.
“Jungwi-nim, izin sebentar. Ada hal yang perlu saya tangani.”
“Apa itu?”
“Son Eunseo sangbyeong-nim mengalami cedera pada pergelangan kaki.
Saya ingin periksa dan perbaiki penanganannya.”
Kim jungwi menatapnya dengan heran.
“Kau bisa hal seperti itu juga?”
“Ya, sedikit pengalaman.”
“Kalau salah urus, bisa fatal.”
“Saya yakin, Jungwi-nim.”
“Baik. Lakukan kalau yakin. Tapi kalau salah, tanggung jawabmu sendiri.”
“Siap!”
Begitu izin didapat, Minjun segera mendekati Eunseo.
“Permisi sebentar.”
“Eh? Ah… ya.”
Ia memeriksa kaki Eunseo dengan cepat dan tenang,
menyingkirkan beberapa Hunter yang berkerumun.
“Kim Minjun-ssi? Apa yang Anda…”
“Bidainya longgar. Saya rapikan sedikit. Jangan bergerak.”
Tangannya bergerak lincah,
memperbaiki posisi penyangga dan mengikat ulang dengan tekanan yang tepat.
Hunter lain menatap kagum —
gerakannya benar-benar seperti tenaga medis profesional.
“Sekarang sudah lebih stabil. Tapi ingat, jarak ke markas masih lebih dari 15 kilometer.
Dengan kondisi begini, Anda tidak akan bisa berjalan.”
Eunseo mengatupkan bibir erat.
Latihan ini sudah di penghujung hari terakhir.
Kalau menyerah sekarang, nilainya akan sama saja seperti menyerah di hari pertama.
Itu berarti — nol poin.
“Saya… saya bisa jalan. Hanya sedikit sakit, nanti membaik— 아악!”
“Kelihatannya tidak sedikit sakit, ya?”
“Ughh…”
Ia mencoba berdiri, namun langsung meringis kesakitan.
Tubuhnya kembali jatuh bersandar di pohon.
(‘Kalau aku sih masih bisa jalan dengan satu kaki, tapi orang normal?’)
Minjun menghela napas pelan.
Lalu, ide melintas di kepalanya.
(‘Kalau begitu, aku bawa saja dia. Kenapa tidak?’)
Staminanya masih penuh.
Selain itu, peleton Eunseo juga sedang tidak membawa pasien atau tandu.
Menanggung satu orang? Tidak masalah.
Dan yang lebih penting…
(‘Dia bukan Hunter biasa.’)
Putri dari daejang, komandan divisi.
Membantu dia? Itu investasi masa depan.
“Jungwi-nim! Saya akan menggendong Son Eunseo sangbyeong-nim dan lanjut bergerak.”
“Apa?”
Kim jungwi menatapnya dengan mata terbelalak.
Kalau yang bicara orang lain, pasti langsung ditolak.
Tapi ini Kim Minjun — prajurit paling andal di peleton.
“Kalau kau yakin bisa tanggung jawab, lakukan.”
“Siap! Terima kasih, Jungwi-nim!”
Minjun berbalik pada Eunseo.
“Mau menyerah di sini, atau mau saya gendong?”
“…Gendong saya, tolong.”
Ia tersenyum kecil dan jongkok di depannya.
Namun sebelum melepas ranselnya,
Lee Seungho byeongjang melangkah maju dan menariknya.
“Byeongjang-nim?”
“Aku bawa tasmu.”
“Saya bisa sendiri.”
“Tangani saja situasi darurat, itu tugasmu sekarang.”
“…Siap. Terima kasih.”
Beban 90 kilogram bukan masalah bagi Minjun,
tapi kalau byeongjang sudah bicara, perintah adalah perintah.
Ia mengangkat Eunseo ke punggungnya dengan gerakan kuat tapi lembut.
Dan mulai berjalan.
‘Gila, beneran digendong tuh.’
‘Aku aja kalau disuruh, punggungku langsung patah.’
‘Dia itu manusia atau golem sih?’
Biasanya mereka akan menggoda,
tapi kali ini semua terlalu lelah untuk peduli.
“Kita sudah hampir sampai! 10 kilometer lagi ke markas!
Ada yang mau menyerah?!”
“Tidak ada!”
“Aku tak dengar! Mau menyerah?!”
“Tidak, Jungwi-nim!”
Suara mereka menggema lemah tapi serempak.
Semangat di ambang keputusasaan.
Sementara itu, di punggung Minjun, Eunseo bicara lirih.
“Kalau kau capek, turunkan saja saya. Saya bisa…”
“Tidak apa-apa. Kau lebih ringan dari Dolsoe.”
“Dol… siapa?”
“Dolsoe. Batu bata super berat di proyek benteng waktu itu.
Kau mungkin setengah beratnya. Lima puluh-an? Enam puluh?”
“Kalau tidak mau saya tampar, tolong diam saja!”
Minjun tertawa kecil.
Ia hanya tidur satu jam semalam,
tapi tubuhnya tetap terasa ringan.
Bagi orang seperti dia, stamina hampir tak terbatas.
“Anggap saja ini investasi.”
“Investasi?”
“Ayahmu kan daejang-nim. Siapa tahu nanti aku butuh rekomendasi.”
“Kurasa tidak akan berdampak apa pun padamu.”
“Tak apa. Aku suka membantu orang penting.”
Eunseo hanya mendengus.
Tapi di wajahnya, rasa terima kasih samar terlihat.
Di sekitar mereka, Hunter lain berjalan dengan susah payah.
Napas tersengal, mata merah, tapi tak ada yang berhenti.
“Tolong, jangan sampai ada monster lagi…
Tolonglah…”
“Aku sumpah, kalau satu lagi muncul aku beneran pingsan.”
“Ini bukan latihan, ini neraka.”
Namun seperti menjawab doa mereka dengan kejam—
“Kkiiiiiik!”
Suara tajam melengking dari langit malam.
“Jungwi-nim! Kontak visual! Monster udara di arah atas!”
“Tch! Semua, bentuk formasi bertahan! Cepat!”
“Ya!”
Dari kegelapan, muncul kawanan Geurim Gealkwi (검은 갈퀴) —
monster udara kecil berwarna hitam legam,
bergerak secepat peluru dan menyerang secara berkelompok.
(‘Hebat juga. Bahkan di akhir latihan, mereka masih punya kejutan.’)
Minjun menatap ke langit,
menyipitkan mata terhadap bayangan hitam yang berputar cepat.
(‘Pasti mereka sengaja. Setelah monster darat dan ranjau,
sekarang giliran tipe udara.’)
Dan timing-nya… pas sekali.
Tepat dua kilometer sebelum garis akhir.
“Semua siap tempur!”
Kim jungwi berteriak, menghunus senjatanya.
Tapi Hunter-hunter lain menatap ke langit dengan wajah pucat.
Tubuh mereka sudah tidak punya tenaga tersisa untuk bertarung.
(‘Dalam kondisi normal saja monster itu menyulitkan,
apalagi sekarang?’)
Namun bagi Minjun, ini justru kesempatan emas.
(‘Bagus. Nilai tambahan datang sendiri.’)
“Semua, mundur sedikit dan—”
“Jungwi-nim! Izinkan saya menangani mereka!”
“Apa? Kau sendirian?!”
“Saya bisa!”
Kim jungwi menatapnya sejenak.
Lalu mengangguk berat.
“Coba. Tapi kalau gagal, langsung mundur!”
“Siap!”
Minjun menurunkan Eunseo perlahan,
lalu mencabut Mana Gun dari pinggangnya.
“Dia mau pakai itu? Mana Gun tunggal lawan kawanan udara?”
Pengawas latihan di tandu menegakkan tubuh, penasaran.
Biasanya, untuk menghadapi Geurim Gealkwi,
seluruh peleton perlu menembak bersama.
Tapi pria itu ingin melihat — apa yang akan dilakukan Kim Minjun.
(‘Delapan ekor. Jarak, lima puluh meter.
Waktu reaksi, dua detik.
Gunakan magi sedikit — yang penting tak terlihat.’)
Tangannya perlahan bersinar kehitaman.
“Amheuk Hwasal (암흑 화살).”
Bang! Bang!
Dua suara nyaring terdengar bersamaan dengan pusaran angin hitam.
“Kkiiiiik!!”
“Shuuk! Shuuk!”
Panah kegelapan yang ia lepaskan menembus udara,
bersamaan dengan peluru magi dari Mana Gun.
Satu tembakan — satu korban.
Tubuh kecil monster itu menembus tanah dengan suara lembut.
Duk. Dduk. Dduk.
Tujuh… delapan… semua jatuh.
Total waktu: satu menit.
“A-apa barusan itu?!”
Eunseo menatap ke punggungnya, tak percaya.
Ia bahkan masih digendong, tapi orang itu menembak dengan presisi absolut,
di tengah malam gulita!
Pengawas pun ternganga.
Ia bangkit dari tandu, menghitung jumlah bangkai.
“Delapan.
Dan aku hanya dengar delapan kali tembakan.”
Artinya, setiap tembakan tepat sasaran.
(‘Gila… di kegelapan total, kena delapan monster kecil sekaligus?
Dia bukan Hunter biasa.’)
“Jungwi-nim! Semua target sudah dieliminasi!”
“Dikonfirmasi! Semua, keluarkan tenaga terakhir dan lanjut jalan!”
“Ya!”
Suasana kembali hidup.
Rasa lelah seolah lenyap, digantikan dorongan adrenalin.
Hunter-hunter itu berjalan dengan langkah berat tapi tegas.
Dan akhirnya—
“Batalyon 2, Kompi 2, Peleton 2 — seluruh anggota, LULUS!”
Waktu menunjukkan 23:30.
Satu peleton utuh, tanpa satu pun menyerah.
Bahkan Son Eunseo dari batalyon lain berhasil mencapai garis akhir.
Di antara sorak dan napas berat,
Kim Minjun hanya berdiri diam,
menatap langit malam yang penuh bintang.
(‘Heh. Selesai juga.’)
Hunter Gidong Hunryeon — Selesai.
