Senin, 03 November 2025

Episode 2. Rewrite

556 Episode 2. Rewrite (1)

"Author-nim tahu apa itu makhluk hidup?"

ㅡKomentar dari chapter 6 Omniscient Reader's Viewpoint.

Pernah suatu kali aku bercanda begitu pada Ji Eunyu. Aku bertanya padanya, apakah kami akan selamat kalau jatuh ke skenario pertama Omniscient Reader.

Ji Eunyu menjawab seperti ini.

ㅡJujur, aku nggak yakin… tapi author-nim bagaimana?

Apa jawabanku? Aku tidak ingat.

Yang kutahu hanyalah—candaan itu kini jadi kenyataan.

「 Astaga. 」

Situasi ini begitu absurd sampai-sampai aku harus memakai tanda baca begitu.

Aku menyentuh wajahku yang terlihat di pantulan pintu kaca peron berkali-kali. Bukan karena aku tampan. Bukan karena ada yang salah dengan kacanya.

Wajahku benar-benar berubah.

"Apa-apaan ini…"

Mata menyipit dengan senyum bengkok, bibir tipis yang terlihat sedikit licik.

Aku sadar di mana aku pernah melihat wajah ini.

Benar saja—ada figure life-size berdiri di pintu masuk teater tadi dengan wajah yang sama persis.

Tapi aku tidak bisa ingat siapa dia.

Ekstra yang tak pernah dijelaskan?

[Free service sistem planet 8612 telah berakhir.]

[Skenario utama telah dimulai.]

Seluruh stasiun subway dipenuhi kepanikan warga.

"Apa ini?"

"Aku nggak halu kan?"

"Ada sesuatu di sini. Hey, kalian ngerasain nggak? Kayak ada dinding nggak keliatan."

Radius tertentu dari stasiun kini tertutup dinding transparan. Dinding yang sangat kukenal.

Perangkat skenario—yang mengurung sampai syarat terpenuhi.

"Petugas subway mana?! Kenapa nggak ada pengumuman?!"

"Tenang, pasti ada yang datang. Kita tunggu."

Kini tak ada keraguan lagi.

「 Aku mengalami possessed ke dalam dunia ‘Omniscient Reader’. 」

Sebuah getaran dingin merayap naik dari tulang ekorku.

「 Dan aku masuk ke tubuh karakter ekstra yang bahkan tak kukenal. 」

Khas trop webnovel memang… tapi tidak ada satu pun alasan kenapa aku harus jadi yang ini.

Kenapa aku? Apa aku dikutuk seseorang? Karakter mana yang memasukkanku ke sini?

Han Sooyoung di acara tadi benar-benar nyata?

Kalau begitu, apa dia pelakunya?

Bisa jadi. Han Sooyoung yang tak mau aku pura-pura jadi penulis ORV mungkin menyeretku ke sini.

Bisa juga Yoo Joonghyuk. Cara aku menggambarkan penderitaannya pasti bikin dia dendam.

Atau Kim Dokja, yang ingin balas dendam karena kutelanjangi selera anehnya di depan seluruh alam semesta. Atau mungkin… dia cuma iseng. Kepribadiannya kan emang gitu.

Sial… entahlah. Percuma dipikir sekarang.

Aku menyingkirkan semua dugaan itu dari kepalaku, menyisakan fakta.

Satu, aku ada di dalam Omniscient Reader.
Dua, aku masuk tubuh orang lain.
Tiga, skenario akan dimulai.

Aku cepat memindai sekitar. Kalau skenario pertama mau mulai, aku harus tahu apa yang bisa kupakai.

Pertama, ini stasiun subway.

Garis oranye berarti line 3, nama stasiunnya…

「 Geumho. 」

Alisku terangkat perlahan.

Dalam kepalaku, ingatan tentang Geumho Station muncul. Basis pertama protagonis, Kim Dokja. Tempat pembantaian.

Itu terjadi di paruh akhir volume pertama, dan untungnya aku belum sampai ke titik itu… tapi justru sekarang mungkin lebih berbahaya.

[Ah, aah. ^&@@#%.]

Rasanya seolah pergelangan kakiku ditarik ke jurang dingin.

Hari di mana aku benar-benar melihat Dokkaebi dengan mata kepala sendiri… tidak kusangka datang.

Sepasang tanduk kecil. Bulu halus. Tikar jerami mini di punggungnya.

Aku ingat. Perannya memang begini awalnya.

[Bisa dengar aku?]

Partner streaming Kim Dokja—Dokkaebi Bihyung.

[Hah~ setidaknya di sini lebih tenang daripada lokasi lain ya….]

Bihyung menoleh, dan mata kami bertemu. Aku buru-buru menunduk. Di awal cerita, Bihyung itu psikopat—senang memecahkan kepala inkarnasi.

Untungnya, belum ada yang mati konyol di depannya… belum.

Terutama pria besar di sana.

[Baik, akan kujelaskan situasinya. Dengarkan baik-baik.]

Aku sangat hafal apa yang akan dia katakan. Aku menulis lusinan draft adegan ini.

Dia kemungkinan memainkan skrip serupa di tiap zona skenario.

[Kalian hidup terlalu lama secara gratis. Hidup terlalu murah untuk kalian! Kalian lahir, bernapas, makan, berak, beranak, tanpa membayar apa pun! Hah! Dunia macam apa itu?!]

Mendengarnya langsung… rasanya seperti menonton film ORV.

Masalahnya—aku cuma figuran.

[Bintang-bintang mengasihi planet kalian, tapi sampai hari ini saja. Sekarang waktunya bayar. Daripada banyak bicara, lebih baik kalian lihat sendiri, kan?]

Bihyung menjentikkan jarinya malas.

[#BI-7623 channel dibuka.]

[Konstelasi telah masuk.]

Jendela kecil muncul di atas kepala orang-orang yang mendongak bingung.

[Skenario utama telah tiba!]

<Main Scenario #1 – Bukti Nilai Diri>

Kategori: Utama
Kesulitan: F
Ketentuan Clear: Bunuh setidaknya satu makhluk hidup
Batas Waktu: 30 menit
Hadiah: 300 coin
Kegagalan: Kematian

Tubuh transparan Dokkaebi menghilang, meninggalkan senyum samar.

[Baiklah. Tunjukkan cerita yang menarik.]

Saat jendela skenario muncul, barulah semuanya terasa nyata.

Hitungan mundur waktu.

Kelihatannya 30 menit, tapi kalau terlambat, penalti mulai.

"Apa maksudnya ini…?"

Orang-orang mulai berteriak, sibuk menelepon, menubruk dinding tak terlihat.

Aku menarik napas pelan.

‘Jendela Atribut.’

[Error sistem: Jendela Atribut tidak dapat diakses.]

Aku mengerjap.

Tidak muncul?

‘Fourth Wall.’

Kumanggil hanya untuk memastikan.

Kim Dokja punya [Fourth Wall] sejak awal. Dan karena itu, dia tidak bisa membuka Jendela Atribut.

Jadi kalau aku juga punya [Fourth Wall]…

‘Fourth Wall.’

……

Tidak ada.

Lalu kenapa tidak bisa dibuka?

Entahlah.

Padahal aku penulisnya, brengsek.

Harusnya sebagai penulis aku punya skill [Writer]… atau [Avatar]?

Aku fokus mencoba mengaktifkannya. Tidak ada apa-apa. Kecuali otot anusku menegang tidak jelas.

[Waktu tersisa berkurang.]

[Tersisa 28 menit.]

Sementara aku gagal total, massa di stasiun terbagi dua.

Kelompok pertama: orang-orang dengan hoodie lambang yang sama.

“Jangan panik! Berkumpul sini!”

“Ayo ke sisi diaken!”

Mereka memegang tisu bertuliskan nama gereja. Jemaat gereja.

Kelompok kedua: pria besar bertato.

“Hei semuanya! Bantu dorong sini!”

Pria besar itu menekan dinding tak terlihat, teriak-teriak.

“Dorong bareng! Kita bisa keluar!”

Bagi sebagian orang, dorong dinding lebih aman daripada menantang Dokkaebi.

Tapi beberapa orang takut.

"Gimana kalau monster itu marah?!"

“Kalau nggak mau bantu, minggir! Dorong! Kuat lagi!”

Akhirnya jemaat gereja pun ikut mendorong setelah ragu. Pemandangan seperti puluhan orang cosplay pantomim.

Sementara mereka sibuk, aku bergerak ke pinggir platform. Menatap pantulan diriku lagi.

Pertama, aku sepertinya berada di tubuh karakter buruk.

Stat rata-rata kayaknya bahkan tidak sampai 1.

Dengan tubuh ini… melawan Kim Dokja topless pun aku kalah.

Kim Dokja.

Aku harus bertemu dia bagaimanapun caranya.

Aku tidak tahu bagaimana aku terlempar ke tubuh ini, tapi logika webnovel: untuk kembali, selesaikan skenario.

Jadi aku harus menemukan protagonis yang mati dan bangkit demi rekan-rekannya—dan mendapatkan belas kasihan dia.

Tapi sebelum itu—aku harus bertahan dulu.

「 Skenario pertama: bunuh satu makhluk hidup. 」

Kim Dokja clear dengan menghancurkan belalang dan telur belalang yang dikumpulkan Lee Gilyoung.

Tapi itu karena dia protagonist. Beruntung.

Aku? Figuran.

Tidak seberuntung itu.

「 Jadi aku harus pakai akalku. 」

Aku menatap mesin minuman dingin.

Kalau tidak satu gerbong dengan Kim Dokja, ini masih lumayan—setidaknya ada mesin ini.

"Ayo dorong! Lagi! Lagi!"

"Haaah!"

Aku mengguncang mesin itu pelan, seirama teriakan mereka.

「 Banyak serangga tinggal di mesin minuman subway yang punya pendingin. 」

Aku baca artikel itu saat menulis ORV chapter 200-an.

Entah sudah berapa kali kuguncang.

Tuk!

Seekor serangga tak bernama merayap keluar dari bawah mesin.

Aku cepat-cepat menangkupkannya.

Beruntung. Aku bisa clear skenario ini.

Kucoba memencet makhluk itu.

「Mungkin dia mengandung telur.」

Bukan karena aku iba. Aku hanya mengingat satu kalimat:

「 Telur juga makhluk hidup. 」

Dalam skenario, telur serangga dihitung makhluk hidup. Kim Dokja memecahkan ratusan telur untuk keunggulan.

Jika dia bagikan telur ke seluruh penumpang?

Aku melihat ke arah kerumunan yang memukul dinding demi hidup.

Orang-orang yang kelak tega membunuh sesamanya untuk bertahan.

Sejenak… aku merasa seperti Kim Dokja.

「 Kalau Kim Dokja kembali ke skenario pertama, apa yang akan dia lakukan? 」

Tsuchu chu chu—

Aku hampir menjatuhkan serangganya.

Bukan percikan probabilitas.

Ponselku bergetar.

Aku menaruh serangga itu di saku mantel dan menguncinya rapat.

Kulihat ponsel.

[1 pesan baru.]

Pesan?

ㅡPengirim: RepresentativeKimDokja

ㅡAuthor-nim. Selamat untuk side story barunya.

Mataku menyipit.

ㅡSebagai hadiah kecil penyambutan serial barunya, kami kirimkan ini.

Author's Note

Sing: I am not Lee Hakhyun. ^^;;

Shong: I'm not Lee Hakhyun either. ^^;

557 Episode 2. Rewrite (2)

Dalam Omniscient Reader, ada adegan saat Kim Dokja terjebak di subway dan tls123 mengirimkan file teks Ways of Survival kepadanya.

Sepertinya, sekarang “RepresentativeKimDokja” sedang memparodikan adegan itu.

Biasanya, aku akan tertawa keras melihat hal ini. Tapi tidak kali ini.

Karena aku berada dalam situasi di mana aku benar-benar bisa mati.

Apakah dia yang menyeretku ke dalam Omniscient Reader?

Aku tidak tahu. Tapi situasinya sangat mencurigakan.

Aku harus membalas lebih dulu.

[Anda tidak dapat membalas pesan ini.]

Seperti yang kuduga. Omniscient Reader memang selalu begitu.

Aku memutuskan memeriksa “hadiah” dari Kim Dokja.

Kalau mengikuti paralelnya, Kim Dokja menerima file Ways of Survival, berarti aku juga menerima sesuatu yang serupa.

Namun sebanyak apa pun aku scroll, tidak ada lampiran.

—Kami mengirimkan sedikit hadiah sebagai antisipasi untuk serial barunya.

Hanya itu. Tidak ada lampiran. Dan aku tidak merasakan skill baru muncul.

Lalu apa ini sebenarnya?

Aku baru sadar—pesan itu dikirim lewat platform webnovel.

Kebetulan, itu aplikasi yang dulu sering kupakai.

Jadi platform itu ada juga di worldline ini?

Sebagian besar menu tidak berfungsi karena aplikasi itu berasal dari worldline lain.

Namun, bagian novelku masih bisa dibuka.

Omniscient Reader's Viewpoint – 551 chapter

—Author Lee Hakhyun—

Daftar episode ORV muncul, antarmukanya begitu familiar.

......

Episode 1. Dimulainya Layanan Berbayar (4) +[117]

Episode 1. Dimulainya Layanan Berbayar (3) +[164]

Episode 1. Dimulainya Layanan Berbayar (2) +[158]

Episode 1. Dimulainya Layanan Berbayar (1) +[332]

Prolog. Tiga Cara untuk Bertahan di Dunia yang Hancur +[681]

......

Ternyata ini “hadiah” dari RepresentativeKimDokja.

Sama seperti Kim Dokja mendapat Ways of Survival, aku mendapat Omniscient Reader.

Sedikit mengecewakan, tapi lumayan. Meski penulisnya, tiga tahun berlalu, ingatan pasti memudar.

Tiba-tiba aku penasaran—apa yang sedang dilakukan Kim Dokja di skenario pertama?

Seharusnya ini sekitar chapter 4 atau 5.

Aku segera membuka chapter 5.

ㅡBagaimana mungkin protagonis bisa setenang itu? Bukannya dia itu pecundang?

Tapi yang muncul bukan teks novel—melainkan komentar.

Aku klik lagi.

ㅡSkenario ini terlalu susah…

Komentar lagi.

Awalnya kupikir bug.

Tapi setelah beberapa kali klik dan hanya komentar yang muncul, aku sadar apa “hadiah”-ku sebenarnya.

Tidak… jangan bilang…

Beberapa komentar samar kuingat. Beberapa lagi tidak sama sekali.

Wajar. Itu tiga tahun lalu.

Wow… aku mau mati di skenario pertama, dan malah harus membaca ini…

Tangan yang tadi menggulir santai kini terasa berat.

Aku menahan napas, lalu scroll ke atas.

ㅡHmm… aku rasa aku takkan sanggup melakukan itu.

ㅡDia hanya bisa begitu karena dia pemeran utama. Kalau orang biasa sudah mati dari awal.

Udara dingin dan beku menusuk hidungku.

Seolah aku kembali ke teater Chungmuro.

Aku membaca komentar para pembaca yang memenuhi layar itu.

Ada yang masih SD saat itu, SMP, SMA, kuliah, baru kerja…… ada yang sedang bersiap wamil, ada yang cari kerja.

Waktu mereka… jejak mereka… masih di sana.

ㅡAku tidak bisa membunuh orang… mungkin aku akan pasrah menunggu akhir.

Aku teringat “Judge Heewon” yang menjawab kuis dengan mata berbinar, dan gadis kecil yang bertanya apakah Kim Dokja hidup.

Pembaca yang menjelaskan rahasia angka 1.863, pembaca yang mengingat jumlah ■…… wajah-wajah asing itu.

Di sini pun mereka sekarang?

"Itu tidak bergerak sama sekali! Apa yang harus kita lakukan?!"

"Tutup mulut dan dorong lagi!"

Pembaca di teater itu… semuanya pergi satu per satu lewat tirai cahaya.

"Tolong! Seseorang lakukan sesuatu!"

Kalau…

"Aku harus keluar! Tolong biarkan aku keluar!"

Kalau bukan cuma aku yang masuk ke sini…

"Tolong! Tolong aku!"

[Waktu tersisa: 27 menit.]

Aku tahu ini bukan waktu untuk memikirkan hal semacam itu. Hidungku bahkan hampir mati rasa. Aku harus bertahan hidup. Aku harus menemukan Kim Dokja.

Kim Dokja.

"Heh."

Bagaimanapun…

"Mungkin…"

Aku harus bertemu―

"Serangga…"

Aku menoleh, terkejut.

Seorang ahjussi berusia empat puluhan berdiri di sana. Mata cokelat dalam, alis tegas.

Aku benar-benar tidak mengenalnya.

Apa barusan dia bilang apa?

Aku mencoba menahan degup jantung, lalu berkata dengan nada arogan dibuat-buat,

"Maaf? Maksudmu apa?"

Dia menatapku sejenak, lalu bertanya,

"Aku ingin tanya… kau bisa ajarkan cara menangkap serangga itu juga?"

Aku menatapnya sejenak.

Raut wajahnya sulit dibaca.

Dari jauh, beberapa orang mengawasi kami.

Kalau aku menarik perhatian yang salah, skenario bisa kacau.

Setelah berpikir, aku mengedip pelan, lalu menunjuk bawah vending machine dengan dagu.

"Ah."

Dia mengangguk pelan.

Aku memperingatkan,

"Jangan terlalu menarik perhatian. Aku nggak tahu berapa banyak sisanya."

Dia mengangguk, lalu berjongkok dan mulai menyapu bawah mesin minuman.

Aku pura-pura tidak peduli, bergeser sedikit untuk menutupi gerakannya.

Aku sempat bertanya di hati—benarkah aku harus menolongnya?

Ini bisa membentuk cabang cerita yang jauh dari garis utama.

Tapi…

"Aku menemukannya, terima kasih."

Tidak lama kemudian, dia juga menemukan serangga.

Serangga kecil sekali, bahkan tidak jelas apakah hamil atau tidak.

"Bunuh cepat."

Dia mengangguk… dan menghancurkannya.

"Ah."

Cahaya tipis muncul sesaat di tangannya.

Matanya sedikit kosong—sepertinya notifikasi clear muncul.

Untung “membunuh serangga” masih bekerja.

"Ya Tuhan… jadi ini…"

Aku menatapnya, lalu spontan bertanya,

"1.863."

"Hah?"

"1.863."

Aku ingin memastikan.

Kalau dia benar-benar pembaca ORV, dia pasti tahu.

Ahjussi itu berhenti sejenak. Matanya seolah kebingungan—aku sedikit kecewa.

Kupikir aku salah orang.

Tapi dia melanjutkan,

"1.863… maksudmu… dari ‘novel itu’…"

Mataku terbelalak. Dia juga menatapku.

Di matanya, terpancar campuran lega dan putus asa.

"Benar?"

Seperti dugaanku—dia pembaca ORV. Entah apa dia termasuk penonton di teater tadi, tapi dia juga terseret ke sini.

Bibirnya gemetar,

"Bagaimana hal seperti ini bisa terjadi…"

"Bukan saatnya bicara panjang. Pelankan suara."

"Ah, iya. Apa ada orang lain juga?"

"Kalau ada, mereka akan melakukan sesuatu untuk menonjol."

Dia bukan tipe yang terlalu tajam.

Tapi dalam situasi ini, dia paham kalau ini skenario pertama ORV. Dan dia memperhatikan saat aku menangkap serangga.

Pembaca lain—pasti juga sadar.

Kalau mereka ada, mereka sedang mengamati kami… atau sedang mencari serangga sendiri.

[Waktu tersisa: 25 menit.]

Kami mengamati kerumunan.

Tak ada yang mencurigakan.

Ahjussi bertanya,

"Jadi… bagaimana dengan yang lain?"

"Yang lain?"

"Orang-orang itu."

Aku tahu siapa yang dia maksud.

Yang ketakutan memegang ponsel, dan yang terus menerjang dinding transparan.

"Ini… nyata, kan?"

"……"

"Kalau terus begini, mereka semua akan mati."

Aku paham. Sebagai pembaca ORV, itu wajar.

Tapi aku bukan pembaca.

"Kita tidak bisa menyelamatkan semuanya."

Aku berkata pelan, agar tidak terdengar konstelasi dan orang lain.

"Untuk clear skenario dengan aman, kita tidak bisa mengubah alur terlalu banyak. Kau juga tahu."

"Serangga yang kau tangkap tadi…"

Dia menatapku.

"Kenapa belum kau bunuh?"

Orang ini… betapa tidak sensitifnya.

Aku menjawab dingin,

"Bahkan Kim Dokja pun tidak akan menyelamatkan mereka, dan kau tahu jenis orang seperti apa mereka."

"Kim Dokja…"

Ahjussi itu tersenyum getir, seperti mengingat seseorang.

"Putriku sangat menyukai karakter itu."

Kenapa orang ini bisa sampai di sini?

Pertanyaan lama muncul lagi:

「Jika Kim Dokja kembali ke skenario pertama, apa yang akan dia lakukan?」

"Hei! Kalian berdua!"

Seseorang berlari menghajar udara seperti babi liar.

Pria besar yang sebelumnya mendorong dinding.

"Apa kalian nggak lihat semua orang lagi berusaha?!"

Sebelum aku bicara, dia mendorong pundakku keras-keras. Kekuatan gila—stat-nya pasti 7 ke atas.

Aku terangkat seketika.

Jantungku melonjak. Ahjussi berusaha menarik lengan si besar.

"Tunggu, jangan lakukan itu."

Pria besar menoleh, menatapnya seperti menatap sampah.

Lalu—PLAK!

Tamparan keras membanting ahjussi ke lantai, darah muncrat.

"Kalian pikir bisa sembunyi seenaknya sementara yang lain berusaha?!"

Aku goyah, lalu berdiri.

Realitas kekerasan pertama kalinya kulihat begitu dekat. Darah nyata. Ahjussi meraihku, lemah.

Pastinya… seseorang akan menghentikannya.

Bukankah begitu?

Tidak mungkin dunia membiarkan ini.

"Kalian harusnya bantu dari tadi. Cih."

"Mereka enak-enakan sendiri?"

"Pantas."

Saat kutoleh, mereka memalingkan muka.

「 Tolol sekali. Aku lupa dunia ini fiksi. 」

Aku menggenggam serangga di sakuku erat-erat.

Apakah membunuh serangga ini bisa menyelamatkannya?

Tidak mungkin. Tubuh si besar ini jelas lebih kuat dari kami.

Saat itu aku ingat.

[Anda dapat memakai atribut eksklusif tubuh yang Anda masuki.]

[Anda dapat memakai skill eksklusif tubuh yang Anda masuki.]

Aku berada di tubuh seseorang.

Dan karakter ini… sosok yang bahkan aku tidak kenal.

'Aku pakai saja.'

Tidak tahu skill apa dia punya.

Yang jelas, apa pun lebih baik daripada Lee Hakhyun biasa.

[★ Atribut eksklusif tubuh yang Anda masuki aktif.]

[★ Skill eksklusif tubuh yang Anda masuki aktif.]

Seketika pikiranku jernih. Kata-kata dan aksi mengalir teratur.

「 Jangan takut. Ini malah menyenangkan. 」

Aku menarik napas… dan menghantam mesin minuman sekuat mungkin.

BANG!

Orang-orang terkejut, mundur beberapa langkah.

BANG. BANG. BANG.

Tak tumben, serangga baru muncul. Kecil. Tak dikenal.

Aku menatapnya sebentar.

"Apa, mau mati?"

Pria besar itu mendekat, menatapku seperti binatang buas.

Orang-orang mulai fokus padaku.

Aku berkata pelan,

"Semua orang."

[Efek atribut eksklusif aktif.]

Skenario ini bisa jadi mudah.

Tapi para konstelasi tahu. Para pembaca tahu. Aku tahu.

Cerita tanpa konflik itu membosankan.

"Aku punya sesuatu untuk dikatakan."

Aku bisa menarik bahaya, menghancurkan semuanya.

Tapi aku harus lakukan ini.

Bukan karena ingin jadi pahlawan.

Ini… sisa harga diri terakhirku.

「 "Author-nim." 」

Suara Ji Eunyu terngiang.

Ahjussi memandangku, berdarah.

Aku membantunya berdiri.

Mungkin dia pembaca dari teater. Atau mungkin pembaca lain—anaknya?

Aku membayangkan wajah para penonton. Tapi gelapnya teater terlalu pekat… tak terlihat.

「 “Apa kau sudah menulis sesuatu?” 」

Jadi aku membayangkan Kim Dokja yang kukenal.

Wajah tirus, senyum licik.

Teman yang mencintai cerita lebih dari siapa pun. Yang mau menjadi protagonis kisahku, dan akhirnya—dia sungguh menjadi cerita itu sendiri.

Aku menjual kisahnya, hidup darinya.

Aku bertahan hidup.

"Jika kalian percaya padaku dan mengikuti perkataanku―"

Aku harus mengembalikan segalanya padanya.

"Dengan cerita yang bahkan Kim Dokja belum tahu…"

"Aku akan menyelamatkan kalian semua."

.

.

.

[◆ Sebuah konstelasi yang belum mengungkapkan gelarnya tertarik pada kisah Anda.]

Author's note

Don't tell me it's Kim Dokja?!


558 Episode 2. Rewrite (3)

"Apa-apaan yang kau omongin?"

Orang pertama yang bereaksi atas deklarasiku adalah pria besar itu.

Sepanjang karier menulisku, aku sudah menulis banyak karakter seperti dia. Jadi aku tahu apa yang harus dilakukan saat menghadapi tipe ini.

Aku mencoba meminjam gaya bicara Kim Dokja.

"Kau sudah membentur dinding tak tertembus, dan sekarang kau kehabisan cara. Seperti yang sudah kau sadari, itu… tidak akan membawa kalian keluar dari sini."

"Apa? Dari mana kau tahu?"

"Jangan memalingkan mata dari kenyataan."

Tatapanku bertemu dengannya, dan tubuh besar itu tersentak halus.

"Kecuali kau benar-benar ingin mati."

Seolah-olah disiram air es, hawa dingin mendadak memenuhi stasiun.

[Inkarnasi di stasiun terkejut oleh kata-katamu.]

[Efek atribut eksklusifmu aktif dengan kuat.]

[Pengaruhmu dalam area skenario meningkat sedikit.]

Jadi ini atribut karakter yang kutunggangi.

Mengejutkan—ternyata dia bukan tipe sampah.

"Kupikir kita harus dengar dia. Sepertinya dia tahu situasinya."

Tepat saat ahjussi itu menambahkan komentarnya, orang-orang menoleh padaku dengan gugup.

Aku tak melewatkan momentum perubahan suasana itu.

"Seperti yang kalian semua tahu, ini nyata. Ini bukan syuting film, bukan mimpi. Tidak akan ada polisi atau tentara yang berlari menyelamatkan kalian, dan kalau kalian salah langkah, kalian sungguh bisa mati. Tapi kalau kalian mendengarkanku, kalian semua bisa selamat."

Akhirnya beberapa orang, ragu-ragu, berkumpul.

Sekitar sepuluh orang.

Tidak buruk untuk awal.

Seorang pemuda di depan bertanya.

"Kau ini siapa, ahjussi? Tentara atau polisi?"

"Dulu aku begitu."

Perkataan itu langsung memantik gumaman.

Memang tidak bohong—aku dulu pensiun sebagai sersan.

Saat itu, diaken yang sedari tadi mengamati dari kejauhan maju mendekat.

"Benarkah kau tahu sesuatu tentang situasi ini?"

"Ya."

"Bagaimana?"

"Tidak ada gunanya masuk detail sekarang, karena sejujurnya, bahkan kalau kujelaskan dari awal, kalian tidak akan mudah percaya. Kalau tiba-tiba kuceritakan bahwa Tuhan murka atas dosa kalian dan mengirimkan ujian—apa kalian akan percaya?"

Aku memberi contoh ringan, tapi mata sang diaken menyipit, gumamnya lirih.

"Dosa… ujian…?"

Sial. Kurasa aku menekan saklar yang salah.

Pria besar di samping mengertakkan gigi.

"Kau bercanda, ya?"

Biasanya, sikapnya itu akan membuatku ciut.

Tapi Lee Hakhyun hari ini berbeda.

"Kalau mau dengar, dengar. Kalau tidak, kembali saja mendorong dinding itu. Jujur saja, aku tidak peduli kalau cuma aku dan ahjussi ini yang selamat."

Keberanian macam ini… bahkan Kim Dokja akan bangga.

Mungkin karena persuasi itu bekerja, beberapa orang saling melirik dan berbisik.

Sang diaken paling bersemangat.

"Saudara-saudara, mari dengarkan dia dulu."

"Betul. Kita semua ingin hidup, kan?"

Suasana mulai condong padaku, dan pria besar itu mengepal bibir, melirikku kesal.

Tadi sewaktu kami dihajar dia bilang kami pantas… sekarang katanya hidup bersama?

Aku menarik napas, lalu berbicara.

"Ada sesuatu yang terjadi di luar nalar. Kita tiba-tiba terperangkap dinding tak terlihat, dan diberi sesuatu bernama 'skenario'. Pertama, kita harus mengakui fakta ini. Setuju?"

Orang-orang mengangguk ragu.

Aku melanjutkan.

"Kalau kita tidak menyelesaikan skenario ini, kita mati."

"Haruskah benar-benar… membunuh? Tidak bisakah—"

"Saat ini, percayalah dulu. Ini lebih baik daripada salah langkah dan mati. Sudah cek kondisi clear skenario?"

"Membunuh satu atau lebih makhluk hidup…"

Saat mereka mendekatiku sedikit, aku maju selangkah, menyerang ketakutan mereka dengan konfrontasi langsung.

"Mengumpulkan manusia dan menyuruh mereka ‘membunuh makhluk hidup’ tentu terdengar seperti membunuh manusia. Tapi ada jebakan di dalam kalimat itu."

"Apa jebakannya?"

Aku tersenyum miring, melirik si pria besar yang berkali-kali bicara tanpa pikir.

"Kau bisa saja disuruh membunuh manusia secara eksplisit."

Mata mereka membelalak.

"Jadi solusinya adalah…"

"Sederhana. Kita tinggal mencari makhluk lain untuk dibunuh."

Aku menghantam vending machine dengan sekuat tenaga. Seekor kecoak berlari keluar dari sela bawah.

"Ah!"

Seruan kaget bergema.

Aku mengangguk.

"Kalau kita bekerja sama, kita bisa mengumpulkan serangga dengan cepat."

"Ayo lakukan sekarang!"

"Ayo semua dorong mesin minuman!"

Kini orang-orang menempel pada vending machine, bukan dinding transparan.

Raut wajah mereka lebih hidup—mungkin karena kali ini ada harapan nyata.

"Dorong!"

Begitu vending machine berguncang, sebuah kaleng minuman jatuh berdebuk.

Tak ada yang memungutnya.

"Sekali lagi!"

Mesin itu miring, terdengar suara retak.

Dan kemudian—berjatuhanlah serangga dari belakang mesin.

"Mereka keluar! Tangkap!"

Aku berseru,

"Kalau kau dapat serangga, jangan bunuh! Tunjukkan padaku dulu!"

"Apa? Kenapa?"

"Tadi kubilang—aku harus cek apakah dia membawa telur."

"Telur?"

"Telur juga dihitung makhluk hidup. Kalau kita temukan satu saja, kita semua selamat."

"Ah…!"

"Ingat. Hidup orang lain ada di tanganmu. Kita hanya bisa menyelamatkan satu sama lain."

Orang saling pandang, lalu mulai membuka sepatu, kaus kaki, memukul lantai, meraih pemadam api untuk menghantam mesin.

Bahkan pria besar itu ikut menendang vending machine.

Ahjussi pembaca—ayah gadis pecinta Kim Dokja—mendekat.

"Kau baik-baik saja?"

"Kau sendiri?"

"Aku baik."

Kami mengamati keributan itu.

Sambil mengusap darah di bibirnya, ahjussi berkata,

"Kau memutuskan menyelamatkan semuanya."

Orang-orang sibuk berburu serangga.

Garis cerita Geumho Station berubah total.

Mereka yang semestinya saling membantai kini saling menolong.

Bahkan pria besar yang tak pernah muncul di cerita asliku.

"Apakah ini karena aku?"

Ahjussi itu tampak bersalah.

Langkah ini akan mengubah alur novel total, menuntun pada masa depan tak dikenal.

Aku menepuk pundaknya pelan.

"Jangan pikirkan. Dari awal memang niatku begitu."

Jumlah orang yang memegang serangga bertambah satu per satu.

Diaken datang, membawa beberapa.

"Ini semua berkat saudara. Terima kasih."

"Bukan begitu."

Mungkin diaken ini seharusnya mati.

Ada rasa bersalah aneh menyelinap.

Berapa banyak seperti dia yang mati dalam ceritaku?

[Karakter 'Kim Cheolyang' mulai mempercayaimu.]

Aku mendengar suara pikirannya.

Jantungku mencelos.

Akhirnya—skill khususku muncul.

[Skill eksklusif ‘Character List’ aktif.]

[Character List.]

Skill untuk melihat informasi karakter di Omniscient Reader.

Skill yang dimiliki Kim Dokja.

Aku arahkan pada diaken.

[Skill eksklusif ‘Character List’ diaktifkan.]

< Ringkasan Karakter >

Nama: Kim Cheolyang
Usia: 27 tahun
Sponsor: Tidak ada (tidak ada konstelasi yang tertarik untuk saat ini)

Atribut Eksklusif: Crouching Figure (General), Attention Seeker (General)
Skill Eksklusif: [Irrational Blind Faith Lv.2], [Cognitive Dissonance Lv.3]

Stat:

  • [Fisik Lv.1]

  • [Kekuatan Lv.2]

  • [Kelincahan Lv.2]

  • [Magic Power Lv.3]

Evaluasi: Kim Cheolyang merasa imannya sedang diuji; ia ingin menjadi pemimpin yang diakui, tapi tak bisa mengatasi sifat dasarnya sehingga ia merunduk.

Kim Cheolyang.

Nama yang samar kukenal—sebuah karakter dari catatan yang akhirnya kutinggalkan di antara puluhan ribu ide.

Dan atributnya menarik.

Crouching Figure.

Atribut yang dalam versi asli hanya dimiliki Jung Heewon.

Atribut yang bisa menjadikannya 100 terkuat… tergantung kondisi.

Jadi… karakter tersembunyi?

Cheolyang, tak menyadari pikiranku, berkata,

"Syukurlah ini terjadi saat kami evangelisasi luar ruangan… dan aku bersyukur bertemu saudara."

"Oh, ya."

"Mungkin akhir zaman telah tiba, dan seperti saudara bilang, Tuhan mengawasi kita."

Oh, dia pasti sedang menonton. Sambil makan popcorn setiap kali kepala meledak.

"Tapi kita baik-baik saja sejauh ini."

"Shh."

"Hah?"

Aku seketika ingat kenapa karakter ini kubuang.

Bagaimana bisa dia bilang ‘baik-baik saja’?

Kalimat pemicu itu… di Omniscient Reader.

—Hoh.

Sial.

—Ada satu lagi yang sok pamer.

Pesan itu tidak lewat kanal resmi.

Dokkaebi bicara langsung.

Pertanda buruk.

Tidak ada subplot seperti ini dalam cerita asli.

—Jangan kelihatan, cukup dengar. Aku bilang karena ini lucu.

Aku menunduk seolah tak terjadi apa-apa.

—Kupikirkan apa yang kau lakukan. Konstelasi tidak suka inkarnasi yang terlalu pintar.

Ternyata Bihyung bicara demi keuntungannya sendiri.

Mungkin konstelasi tidak suka metodeku.

Aku menatap udara, getir.

Apa yang kau tahu, dokkaebi kecil? Aku lebih tahu daripada kau selera konstelasi.

—Kadang, lebih bijak tidak berpikir terlalu jauh.

Itu kata terakhirnya.

"Aku menemukan satu lagi!"

"Kita belum cukup, masih banyak yang belum—!"

"Cari di tempat sampah juga!"

Jumlah orang tepat 22.

Kami butuh 22 serangga.

"Ketemu!"

"Ini, simpan satu lagi!"

Ada yang membantu menangkap untuk yang lain.

Menyentuh hati. Tak kusangka ini kumpulan orang yang semestinya saling membunuh.

Pria besar melambai, menenteng kecoak besar.

"Hei, yang ini oke kan? Ini makhluk hidup juga!"

Aku mengangguk.

[Waktu tersisa: 21 menit.]

Keramaian mulai mereda.

Aku bertanya,

"Ada yang belum dapat serangga?"

Tak ada tangan terangkat.

Dua puluh dua serangga untuk dua puluh dua orang.

Bersih.

"Tapi… sekarang kita bunuh ya?"

"Kalau kita bunuh, kita keluar?"

Wajah lega memenuhi ruang.

Setelah memeriksa setiap tangan, aku mengangguk.

"Saudara-saudara, mari berterima kasih pada saudara serangga atas pengorbanannya!"

Dengan deklarasi diaken, orang-orang menepuk tangan, lalu menghantam serangga.

"Jadi bisa diinjak?"

"Enggak harus pakai tangan kan?"

"Kau bisa bunuh bagaimana saja."

Gyaak! Crunch!

Bunyi menjijikkan menggema.

Si pria besar menginjak kecoa dengan gila.

"MATI! MATI!"

Aku membuka saku. Serangga yang tadi kugenggam mati, tubuhnya remuk penuh cairan.

Orang-orang bersorak.

"Selesai, ya?"

Aku sempat khawatir perubahan plot. Tapi melihat senyum kecil di bibir ahjussi, aku sadar—ini benar.

Mungkin mereka akan hidup berbeda dari versi yang kutulis.

"Kenapa… belum terjadi apa-apa?"

"Sudah beres kan?"

"Kenapa belum berubah?!"

Pria besar bingung menatap lantai. Serangganya hilang—lapisan sepatu meleburkannya.

Aku memikirkan skenario pertama ORV—

Lalu kenyataan menyerbu.

Aku menoleh cepat pada ahjussi.

"Ahjussi."

"Apa?"

"Tadi waktu kau bunuh seranggamu… kau dapat pesan sistem, kan?"

"Iya. Skenario clear…"

Aku mengeluarkan serangga mati dari sakuku.

Sudah mati entah kapan.

Punggungku meremang.

「 Aku… tidak menerima pesan apa pun. 」

Author's Note

Turn it off and on again.

559 Episode 2. Rewrite (4)

Aku menatap bangkai serangga itu lama sekali.

Ini tidak masuk akal. Pasti ada yang salah dengan sistem <Star Stream> jika ia masih menganggap serangga ini “hidup”.

“Sekarang kita tinggal menunggu, ’kan? Aku sudah melakukan apa yang diminta.”

“Hey, kami sudah menyelesaikan tugasnya, keluarkan kami!”

Kenapa tidak ada pesan kelulusan skenario. Seharusnya notifikasi muncul sesaat setelah serangga dibunuh.

[Telah terjadi masalah pada sistem skenario utama.]

Dengan suara tsuchuchut, Bihyung muncul entah dari mana. Ia menatapku dan yang lain dengan raut bingung.

[Hey...... semuanya.]

Saat melihat wajahnya, aku sadar apa yang kulewatkan.

Aku bodoh. Kenapa baru sadar sekarang?

—Ada lagi satu yang mencoba akal-akalan.

Beberapa waktu lalu, Bihyung mengatakan itu melalui komunikasi dokkaebi.

Itu berarti aku bukan satu-satunya yang memainkan skenario dengan cara menyimpang.

Awalnya aku mengira ia bicara tentang Kim Dokja.

Namun ada satu hal yang tidak kupikirkan.

Yang ada di skenario ini… bukan hanya satu “pembaca”.

Bihyung, bibirnya berkedut, berbicara dengan nada kesal.

[Kalian semua sepertinya mengira ini permainan membunuh serangga. Skenario kali ini memang aneh. Bisa-bisanya hal yang sama terjadi di tempat yang berbeda pada waktu yang sama?]

Aku menoleh pada ahjussi. Ia tampak memikirkan hal yang sama.

“Jangan bilang…….”

Di suatu tempat di dunia ini, ada pembaca lain yang juga pernah membaca Omniscient Reader.

Mereka juga tahu solusi skenario pertama, seperti kami. Jadi mereka menangkap serangga dan menamatkannya.

Yang tidak kami sadari— terlalu banyak orang memakai solusi itu.

[Biro telah mendeteksi aliran tidak wajar dalam skenario.]

[Probabilitas skenario mulai miring.]

[Kehendak <Star Stream> sedang bergerak.]

Sebuah trope yang terlalu sering kupakai hingga kehilangan kejutan.

[Kalian manusia memang mengagumkan. Demi hidup kalian, rela membantai serangga tak bersalah……]

Aku melirik bangkai serangga yang berserakan. Tubuh-tubuh kecil remuk tanpa ampun.

Jika serangga diakui sebagai “makhluk hidup”, berarti mereka juga “peserta skenario”.

Lalu… menurut mereka, seperti apa kami?

Bihyung menggelengkan kepala menatap bangkai serangga itu, lalu berbalik.

“A-apa maksudnya itu?”

“Kukira membunuh serangga caranya!”

“Tenang saja, pasti dia cuma menakut-nakuti.”

“Benar, benar, kita mengikuti aturan!”

Di dunia ini, aturan “skenario” absolut.

Terutama “Main Scenario” —bahkan dokkaebi tidak bisa melanggarnya.

Mau tidak suka, Bihyung tidak bisa mengubahnya kecuali seluruh Biro turun tangan.

Tsuchuchuchut—

Tapi...

“U-uaaah! Apa yang terjadi?!”

Ini hal yang tidak pernah terjadi di Omniscient Reader.

Bahkan ketika <Kim Dokja Company> mencapai regressi ke-1.865.

Naluri membuatku menatap langit yang tertutup atap stasiun.

Tidak ada bintang terlihat. Namun di balik langit tak terlihat itu… konstelasi sedang menonton perjuangan kami di bawah sana.

[Probabilitas <Star Stream> bergerak.]

Aku teringat prinsip besar <Star Stream> yang kulupakan selama tiga tahun.

Probabilitas <Star Stream> bergerak ke arah yang diinginkan bintang.

[Isi skenario utama telah berubah.]

Seolah langit semesta dimiringkan.

Pada kemiringan itu, aku mendengar hukum dunia berubah.

[Untuk skenario ini saja, 'serangga' dikecualikan dari kategori 'makhluk hidup'.]

[Untuk tujuan skenario ini, membunuh serangga tidak lagi diakui sebagai 'membunuh makhluk hidup'.]

Jeritan terdengar di seluruh stasiun.

Di tengah kekacauan, aku melihat bayanganku di kaca pintu.

Di balik pintu, seorang pria asing sedang tersenyum padaku.

「 Nah, beginilah seharusnya Omniscient Reader. 」

Aku pernah menulis bahwa sebuah cerita berubah ketika dibaca ulang.

Aku masih percaya itu benar.

Namun bukan… seperti ini.

<Main Scenario #1 – Bukti Nilai>

Syarat Clear: Bunuh satu atau lebih makhluk hidup.
Waktu: 30 menit
Hadiah: 300 coin
Kegagalan: Kematian

  • Untuk skenario ini, 'serangga' bukan makhluk hidup.

  • Syarat clear skenario tidak akan berubah lagi.

Saat kubaca ulang… skenario benar-benar ikut berubah.

Solusi “membunuh serangga” yang dipakai Kim Dokja—kini tidak berlaku.

“B-bagaimana bisa berubah begini?!”

“Ada yang dapat pesan beda?!”

Melihat wajah-wajah itu, tak satu pun yang berhasil menyelesaikan skenario.

Aku melirik ahjussi pembaca, ia berbisik lirih.

“Tulisan sistemnya bilang aku sudah clear.”

Untungnya, ia membunuh lebih dulu. Sistem mengenalinya.

“Jangan ribut. Anggap saja kau juga belum.”

“Tapi kau…—”

Aku menggeleng. Wajahnya memucat.

Ia menyalahkan dirinya atas kematianku.

“Oh, ya. Kalau begitu―”

“Jangan khawatir soal aku. Yang lebih pantas kau khawatirkan… bukan aku.”

“Apa?”

“Setelah aturan berubah, orang yang seharusnya hidup… bisa saja mati.”

Orang yang seharusnya hidup.

Yakni mereka yang selamat dengan cara “membunuh serangga” dalam Omniscient Reader.

“Tidak mungkin.”

Ahjussi juga menyadarinya.

「 Kim Dokja bisa mati. 」

Belum jelas perubahan ini berlaku lokal atau global.

Tapi kami harus asumsikan skenario terburuk: jika Kim Dokja mati… maka—

「 Seseorang harus menggantikan Kim Dokja. 」

Ahjussi berbisik, gemetar.

“Sekarang… apa yang kita lakukan?”

“Kita harus pikirkan. Aku belum tahu.”

Orang-orang mulai berteriak ke udara.

“Kami sudah membunuh makhluk hidup, apa-apaan ini?!”

[Beberapa konstelasi terkekeh.]

Untuk pertama kalinya, suara konstelasi terdengar.

Orang-orang membelalak ketakutan.

Kim Cheolyang berlari, menggenggam bahuku kuat.

“Saudara, apa yang harus kita lakukan?! Tidak ada cara lain selain serangga?!”

Semua yang mencari serangga kini merubungiku.

“Kau yang bikin ini terjadi! Sekarang apa?!”

“Tanggung jawab!”

Seolah semua salahku.

Aku menjawab tenang.

“Karena aku?”

“Y-ya! Pokoknya ini salahmu! Kita semua bisa mati!”

“Tenang. Tidak ada yang akan mati. Hanya karena serangga gagal, bukan berarti tak ada jalan lain.”

“Aku bisa bunuh kau kalau perlu.”

Pria besar itu berjalan mendekat, menyeret kaki.

Aku menatapnya.

“Tentu. Itu salah satu pilihan. Jika kau siap menerima akibatnya.”

“Hah?”

“Setelah selesai nanti, semua orang akan ingat siapa pembunuhnya.”

Jika dia tipe Kim Namwoon, ini takkan berhasil.

Tapi dia bukan.

Dan ia berhenti.

Di dunia ini, hanya pembunuh yang akan bertahan. Tapi orang waras tak mudah menyimpulkan itu.

Kurangnya imajinasi—itulah yang kugunakan.

“Kalau begitu? Kita tetap harus membunuh makhluk hidup.”

“Kita akan bunuh sesuatu. Bukan serangga atau manusia.”

“Apa tidak akan berubah lagi? Kita baru saja gagal.”

“Kali ini tidak.”

“Bagaimana kau tahu?”

“Kau sudah baca skenarionya belum?”

Orang-orang panik membuka jendela skenario.

“Benar, tidak akan berubah lagi!”

“Kita percaya ini?”

Aku awalnya tidak berniat sejauh ini, tapi keadaan sudah berubah.

“Akan ada siaran darurat dari perdana menteri. Negara akan umumkan bencana tingkat satu.”

“Apa?”

“Begini bunyinya.”

Aku meniru suara pembaca berita.

“Untuk seluruh warga negara, saat ini teroris tak dikenal aktif di beberapa wilayah termasuk Seoul.”

Orang-orang buru-buru membuka ponsel mencari berita.

Aku cepat bicara sebelum mereka menemukan videonya.

“FYI, presidennya sudah mati. Perdana menteri juga akan mati saat siaran.”

Kurang dari 10 detik—jeritan terdengar.

“Perdana menterinya benar-benar muncul!”

Suara perdana menteri menggema dari ponsel.

—Untuk seluruh warga negara, teroris tak dikenal aktif di beberapa wilayah, termasuk Seoul.

Kalimatnya persis.

Kemudian—

“U-UAAAA!”

Perdana menteri mati.

Kepalanya meledak live.

“A—apa ini…..!”

Seluruh stasiun membeku.

“Kau pasti sudah lihat berita sebelumnya!”

“T-tidak! Itu tayang hidup-hidup!”

“Bagaimana kau tahu?!”

Aku tak menjawab.

Tembakan terdengar. Wajah Bihyung muncul di layar menggantikan PM.

[Sudah kubilang. Ini bukan permainan “terorisme”.]

Pembaca lain pasti melihat hal ini juga.

Namun setelah ini—mereka akan melihat sesuatu berbeda.

Biasanya, di sini waktu tersisa dipotong 10 menit dan jika tak ada kill dalam 5 menit, penalty wipe-out aktif.

Namun kali ini, tidak.

「 Karena syarat clear skenario sudah tidak bisa diubah lagi. 」

Setelah Biro turun tangan menghapus serangga, kondisi dikunci.

Jadi tidak ada penalty waktu.

[Waktu tersisa: 20 menit.]

Timer muncul. Bihyung tertawa.

[Kalian punya dua puluh menit. Kalau tak mau mati, siapkan dirimu. Jangan sampai seperti pemimpin kalian.]

Layar menampilkan anggota Majelis Nasional berkepala meledak.

Histeria menyapu stasiun.

“Apa ini—”

“Uwaaaaa!”

Namun anehnya… di tengah kengerian itu, ada api menyala di dadaku.

Keinginan menulis.

「 Kita dapat tambahan 10 menit. Jadi bunuh serangga tidak sia-sia. 」

Jika aku bertahan… mungkin aku akan menulis side story.

[Skill eksklusifmu semakin aktif.]

Author's Note

There's 3 consecutive chapters today.

560 Episode 2. Rewrite (5)

Orang-orang yang menyaksikan perdana menteri mati secara langsung kehilangan akal, lalu berlari menuju dinding transparan yang tadi mereka dorong.

“Kita harus keluar sekarang! Hancurkan tembok ini!”

“Dorong lagi! Siapa tahu kali ini bisa!”

[Hingga skenario di area ini selesai, segala bentuk masuk dan keluar dilarang.]

Orang-orang yang panik menempel pada dinding transparan. Pemandangan mereka seperti sekumpulan serangga terperangkap di kelambu.

Aku menarik napas pendek dan dalam, lalu berteriak lantang.

“Semuanya, sadar. Kita masih punya banyak waktu.”

[Konstelasi ‘Penguasa Kerikil Kecil’ menatapmu dengan pandangan aneh.]

[Beberapa konstelasi terkejut oleh ketenanganmu.]

“Yang mati itu para anggota parlemen, bukan kita.”

Orang-orang menoleh padaku dengan wajah linglung.

[Beberapa inkarnasi mulai bergantung padamu.]

[Pengaruhmu dalam area skenario melewati ambang batas.]

Ketika akal sehat mereka mati karena panik, kesempatan terbuka bagiku.

“Kita masih bisa memilih bagaimana cara bertahan.”

Cara untuk bertahan.

Satu per satu, orang-orang yang meringkuk di dekatku berdiri, memandang ke arahku.

“T-tapi… presiden, perdana menteri— mereka semuanya mati!”

“Mereka hanya manusia biasa, kebetulan saja memakai jabatan itu.”

Seseorang terdengar tersedak menahan tangis.

“Tetap waras. Kalau kalian kehilangan akal di sini, hanya ada satu jalan tersisa.”

“………”

“Dan jalan itu akan membunuh sebagian besar dari kita. Hanya sedikit yang bertahan.”

Aku melirik ke arah pria besar itu saat mengatakan kalimat itu, dan dia mendengus, menatapku garang.

Tapi justru itu kesalahan dia. Satu per satu, orang-orang mulai berkumpul di belakangku, menjauhi pria itu.

“Apa-apaan kalian.”

Mereka sadar. Begitulah cara orang lemah bertahan di ekosistem predator ketika hukum dan aturan lenyap.

Aku melanjutkan.

“Tidak ada yang perlu mati. Yang kuat, yang lemah, semuanya bisa hidup. Jangan kecewa karena serangga gagal. Itu hanya ‘jalan pertama’.”

Raut wajah orang-orang mulai berubah. Yang paling mencolok— wajah Deacon Kim Cheolyang, yang tadi mengucap “pretty well”.

[Karakter ‘Kim Cheolyang’ diyakinkan oleh ucapanmu.]

[Karakter ‘Kim Cheolyang’ merasakan kepercayaan yang kuat padamu.]

“Ada cara lain? Selain serangga atau manusia… apa lagi yang bisa dibunuh……?”

Sementara semua kebingungan, aku berpikir… berpikir… dan terus berpikir.

Jika ‘serangga’ tak bisa dipakai, aku harus mencari jawaban lain.

Langkah pertama, aku membuka ponsel dan melihat komentar pada ‘episode pertama’ Omniscient Reader.

—Kalau serangga bisa, berarti bakteri juga dong? Bakteri itu makhluk hidup.

Komentar yang tidak kutulis.

—Asam lambung juga bunuh bakteri meski kita diam. Berarti bisa survive tanpa ngapa-ngapain?

—Ah, ini konyol.

Sebuah garis waktu yang hanya ada sebagai kemungkinan, lahir dari intelijensi kolektif para pembaca.

—Apa prinsip hand sanitizer? Bunuh kuman kan?

—Berarti tinggal pakai hand sanitizer di tangan, selamat dong?

—Kuman itu ada di mana-mana.

……

—Kalau bunuh diri gimana?

“Aku akan memberi tahu kalian ‘jalan kedua’.”

rlaehrwk37: Tapi itu benar-benar berhasil?

[Masih tersisa 16 menit.]

“Bawa korek.”

“Baju terbuat dari kain, jadi cepat terbakar, kan?”

“Tidak penting apanya, mereka kuman. Mereka akan menempel.”

Untuk menjalankan ‘jalan kedua’, orang-orang cepat mengumpulkan barang-barang yang kuminta.

“Kau yakin ini berhasil?”

Aku mengangguk, mulai menumpuk pakaian bekas yang dikumpulkan orang-orang ke tengah stasiun.

Rencananya sederhana. Jika serangga gagal, bunuh hal lain. Sesuatu yang terlalu kecil untuk dilihat, namun ada di mana-mana.

Deacon Kim Cheolyang bertanya cemas.

“Tapi benarkah kuman dihitung? Kuman kan tak terlihat?”

“Tuhan juga tidak terlihat, bukan?”

Wajah Kim Cheolyang terlihat kesal.

Apakah candaan tadi kebablasan? Aku buru-buru menambahkan,

“Dalam pelajaran biologi, kita belajar bahwa bakteri juga makhluk hidup. Meski tak terlihat, mereka hidup.”

Dia tampak belum yakin. Jadi aku jelaskan lagi.

“Anggap saja seperti alien. Kehidupan pasti ada di planet jauh yang tidak bisa kita lihat.”

“Saudara, tidak ada alien. Itu cuma ajaran sesat.”

“…itu hanya contoh.”

“Oh… maksudmu walaupun tak terlihat, tetap makhluk hidup.”

Aku mengangguk—meski aku sendiri tak seratus persen yakin strategi ini berhasil.

Apakah membunuh makhluk tak terlihat bisa meng-clear skenario?

Bahkan setelah menulis seluruh novel pun, jawabannya tidak pasti.

[Konstelasi ‘Penguasa Kerikil Kecil’ tertarik pada strategimu.]

[Beberapa konstelasi bertanya-tanya apa yang kau rencanakan.]

Namun ada jawaban universal dalam semua skenario:

「 Yang menarik dan meyakinkan para konstelasi. 」

Aku bergumam, menatap langit-langit.

“Mungkin bukan soal apa yang kita bunuh, tapi bagaimana para pengamat merasakannya.”

“Apa?”

“Mungkin yang kita bunuh adalah salah satu dari kuman ini.”

Aku membuka ponsel, memperlihatkan gambar bentuk-bentuk bakteri yang mungkin kita bunuh.

Kuman yang selalu ada di stasiun subway—tidak pernah terlihat, tidak pernah dipedulikan.

Namun sekarang, harus dibunuh demi hidup.

“Aku cek, mereka benar-benar makhluk hidup.”

“Kali ini pasti berhasil, kan…?”

Raut wajah orang-orang sedikit cerah.

Tidak semuanya tentu.

“Kalian sudah gila.”

Pria besar itu mendengus, memandang kami sinis.

Namun diam-diam ia membuka ponsel dan mulai mencari.

Aku melongok melihat apa yang ia ketik.

—bakteri makhluk hidup

—serangga makhluk hidup

—makhluk hidup

—kutu air

—efek samping propecia

Sementara ia sibuk mencari dengan frustasi, reader ahjussi berbisik.

“Apa ini pasti berhasil? Kita tak bisa lihat kuman apa yang mati.”

“Kita lakukan yang bisa. Kita bunuh pakai niat. Tentara yang bom musuh pun tak lihat mayatnya.”

Jika saja kita punya mikroskop elektron. Tapi kita tidak.

Jadi setidaknya—buat konstelasi mengerti apa niat kita.

“Apakah membakar mereka cukup? Bagaimana kalau mereka tidak mati?”

“Mereka mati. Kenapa air direbus? Untuk sterilisasi.”

“Oh begitu?”

“Saudara, bukankah kalian baru saja mencari tadi? Harusnya tahu cara membunuh.”

“Oh deacon, kami sudah tua. Tidak paham.”

Kim Cheolyang menjelaskan,

“Ah, kuman mati karena protein mereka terdenaturasi oleh panas.”

Aku meliriknya—ia mengangguk yakin.

Beberapa menit kemudian, api unggun kecil menyala di tengah Stasiun Geumho.

—rlaehrwk99: Kalau begitu, bukankah bakteri di perut mati juga meski kita diam?

—rlaehrwk24: Otot perut itu involunter. Sulit dianggap niat membunuh.

—rlaehrwk99: Bisa dikontrol kalau dilatih?

—rlaehrwk24: Otot involunter itu……

—rlaehrwk37: Yoo Joonghyuk pasti bisa kontrol lambungnya.

Orang-orang melempar bangkai serangga dan barang acak ke api.

Kim Cheolyang melempar case ponselnya. Reader ahjussi merobek struk dari dompetnya.

Yang lain melempar sepatu, menarik rambut, bahkan membakar kaus kaki.

Pria besar itu pun, malu-malu, melepas kaus kaki dan melemparkannya.

“Kaus kakiku…….”

Tak ada yang menanggapi ratapannya.

10, 20……

Mereka berdiri mengelilingi api.

Dengan wajah khusyuk seolah menghadiri retret rohani.

Mereka berdoa kepada Tuhan tak terlihat, membakar kuman tak terlihat.

Aku pun demikian.

Bakteri tak terlihat itu terbakar dalam api suci.

Membara.

Aku percaya mereka terbakar.

Namun membayangkan kematian kuman tak bernama itu hampir sesulit membayangkan wajah para pembaca anonim.

Apa jadinya mereka?

Reader ahjussi merapatkan tangan, berdoa pelan. Mungkin pembaca-pembaca lain juga masih hidup di dunia ini.

Judge Heewon yang duduk di sampingku di teater, gadis yang bertanya apakah Kim Dokja hidup atau mati, pembaca yang tahu rahasia angka 1.863, dan pembaca yang hafal jumlah ■…….

Aku menutup mata, membayangkan mereka lolos skenario pertama.

“Ada yang dapat pesan?”

Mereka saling pandang. Mata tegang, seperti penganut menunggu wahyu.

“Oh, ada sesuatu di depanku…….”

Saat itu, pesan Tuhan turun.

[Karena modifikasi berlebihan pada skenario saat ini, terjadi error pada tampilan sistem dan distribusi reward.]

[Pesan clear skenario akan dikirim otomatis setelah waktu habis.]

Seseorang bergumam ngeri.

“Apa-apaan ini……”

Tak perlu bertanya—pesan itu jelas.

Apa pun yang kita lakukan—kita tidak akan tahu hasilnya sampai akhir waktu.

Aku terdiam kaget.

Tak kusangka administrasi melakukan ini.

Saat itu tsuchuchut terdengar di kepalaku.

[Apa yang kalian pikirkan sebenarnya?]

Dengan wajah letih, Bihyung muncul.

[Musim kali ini benar-benar aneh. Kalian ini kenapa semua? Kalau tak bisa bunuh serangga, sekarang bakteri… Kalian bikin bug sistem. Pesan error, aku saja tak lihat hasilnya!]

Ini bukan rencana Biro.

Orang-orang makin gelisah.

“Apa maksudmu?! Kita tidak tahu berhasil atau tidak?!”

“Kami sudah bunuh makhluk hidup, bukan?!”

“Kuman itu makhluk hidup kan?! Jawab!”

Bihyung mengerutkan kening.

[Itu……]

Saat ia hendak bicara, percikan cahaya meledak.

[Konstelasi dari sistem ‘kebaikan absolut’ memperingatkan dokkaebi ‘Bihyung’.]

[Konstelasi dari sistem ‘kejahatan absolut’ memperingatkan dokkaebi ‘Bihyung’.]

[Konstelasi yang menyaksikan skenario tidak mengizinkan dokkaebi mengintervensi.]

Ada rasa tidak enak.

[Hmm…… kalau konstelasi bilang begitu.]

Bihyung menatap kami dingin.

[Mencari jawaban bagian dari skenario. Jadi aku tidak bisa memberi tahu. Tapi sebagai bonus, aku beri tahu konsekuensi kalau gagal.]

Saat itu aku melihat timer.

[Tersisa 10 menit.]

Sudah waktunya “itu” muncul.

Author's Note

Thank you. There is one more.

561 Episode 2. Rewrite (6)

Sebuah layar hologram raksasa muncul di tengah stasiun subway.

Orang-orang menjerit kaget.

Di layar, tampak sebuah ruang kelas.

Para siswi berseragam biru tua bergoyang ketakutan.

Sebuah adegan yang kukenal.

「 SMA Putri Daepong. 」

Para siswi di layar berusaha bersama-sama mendobrak pintu kelas.

Tentu saja, usaha mereka akan gagal—karena begitulah cerita ini.

Beep, beep, beep, beep yang ominous—

Para siswi menjerit.

[Waktu yang diberikan telah habis.]

[Penyelesaian berbayar akan dimulai.]

Dengan pengumuman itu, kepala para siswi mulai meledak satu per satu.

Aku membuka mata lebar-lebar dan menatap layar itu. Aku punya tanggung jawab untuk menyaksikan cerita hingga akhir.

Di layar, siswi terakhir mencengkeram leher temannya.

Suara tercekik.

Lalu satu-satunya yang selamat menatap sekeliling.

[#Channel Bay23515. SMA Putri Daepong, Kelas 2-B. Penyintas: Lee Jihye.]

Perkembangan persis sama seperti Omniscient Reader.

Lee Jihye yang menatap tajam layar itu lenyap, dan Bihyung tertawa.

[Bagaimana? Lucu kan?]

“B-bagaimana—”

Orang-orang membeku ketakutan.

Bahkan pria besar itu terlihat kaget, dan mata reader ahjussi—yang mungkin sudah tahu cerita ini—bergetar hebat.

Hanya aku yang tidak panik.

[Karakter ‘Lee Hyunjoo’ ketakutan!]

[Karakter ‘Yeom Baekhoon’ ketakutan!]

Pesan-pesan psikologis bermunculan dari berbagai arah.

Bihyung menyentuh titik tepat kecemasan manusia itu, lalu menghilang lagi.

“A-anak tadi. Yang selamat terakhir. Pasti dia membunuh seseorang.”

Seseorang bergumam seperti kesurupan.

Bisikan itu merambat seperti api yang menjilat minyak.

“Kita salah? Bagaimana kalau kuman bukan jawabannya?”

“Kau yakin tahu apa yang kau lakukan? Yakin kita bisa selamat?!”

Aku harus menenangkan mereka bagaimanapun caranya.

“Tunggu. Bisa tenang dulu?”

“Tenang? Sekarang?!”

Orang-orang berteriak padaku.

Reader ahjussi melangkah maju untuk meredakan situasi.

“Kita belum tahu hasilnya, kan? Orang ini juga ingin menyelamatkan kalian semua, jadi ten—”

“Masalahnya kita tidak tahu hasilnya! Kalau salah, kita tamat!”

“Kau juga sama! Kalian berdua pasti komplotan!”

“Kita semua mati karena kalian! Sekarang apa?!”

Dalam sekejap, mereka siap mengekskusi kami. Termasuk pria besar itu—berdiri di tengah kerumunan sambil tersenyum puas.

Saat pertama kali merencanakan ini, aku sudah tahu titik inilah krisisnya.

Dan aku sudah menyiapkan langkah untuk momen ini.

[Masih tersisa 9 menit.]

Tapi tiba-tiba aku lelah.

Mungkin lebih bijak kabur bersama ahjussi dan menunggu sembilan menit itu lewat.

Pikiran pengecut itu melintas. Aku menatap sekeliling, mencari tempat bersembunyi.

Saat itu—

[Karakter ‘Kim Cheolyang’ sedang melihatmu.]

[Karakter ‘Kim Cheolyang’ ingin melakukan sesuatu yang tak terduga.]

Pesan muncul di kepalaku.

[Syarat aktivasi skill eksklusif ‘■■’ terpenuhi.]

[Skill eksklusif ‘■■’ aktif.]

…■■?

[Attribute karakter ‘Kim Cheolyang’ bersiap untuk mekar.]

[Kau dapat mengintervensi proses mekar attribute karakter ‘Kim Cheolyang’.]

[Skill eksklusif ‘■■’ diaktifkan!]

Pemandangan di sekitarku kehilangan warna, gerakan orang-orang melambat drastis.

Tubuhku sendiri membeku.

Di dunia tempat waktu berhenti, hanya huruf-huruf melayang di ruang putih.

「 Lee Hyekyung berpikir, ‘Ini semua gara-gara dia.’ 」

「 Kim Haemoon berpikir, ‘Aku dihukum langit karena membunuh serangga.’ 」

「 Ji Hyungdong memang sejak awal tidak suka mata sipit itu. 」

Di atas kepalaku juga ada kalimat.

「 Dan Lee Hakhyun menyadari apa skill itu. 」

Lalu, sebuah pesan muncul di ruang putih.

[Kau memasuki ‘Snowfield’.]

[Deskripsikan aksi berikutnya dari ‘Kim Cheolyang’.]

Kebangkitan Kim Cheolyang

Cheolyang■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■

  • Pada level skill-mu saat ini, kau dapat menulis total 150 karakter tambahan.

Ruang kosong yang muncul seperti naskah tak selesai.

Tak sulit memahami apa itu.

[Kau dapat tetap di ‘Snowfield (雪源)’ selama 3 menit.]

Seperti Kim Dokja punya skill “reader”, aku punya skill “writer”.

Skill ‘■■’.

Apa yang kutulis akan menjadi nyata?

Waktu sedikit. Aku harus menulis kalimat pertamaku. Tujuannya jelas:

Gunakan Kim Cheolyang untuk menyelamatkanku dan ahjussi dari krisis.

Begitu fokus, kata-kata mengalir.

Natural.

Aku penulis Omniscient Reader.

「Saat itu, sebuah kesetiaan yang tak dikenal tumbuh dalam diri Kim Cheolyang terhadap pria bermata sipit¹. Kesetiaan itu segera membangkitkannya.]

[1] yakni Lee Hakhyun, tapi Kim Cheolyang belum tahu namanya.

[Karakter ‘Kim Cheolyang’ berevolusi menjadi ‘Judge of Destruction’.]

“Berhenti. Jangan sentuh dia.” (Total 149 karakter)」

Sempurna di atas kertas.

Dengan memanfaatkan attribute Crouching Figure, aku meng-evolve dia menjadi Judge of Destruction seperti Jung Heewon.

Double meaning yang elegan.

[Ini cerita yang konyol.]

[Tingkat keberhasilan reproduksi cerita: 1%.]

[Kau sedang kehabisan probabilitas.]

Apa?

[Lihat komentar pembaca?]

Aku mengangguk.

rlaehrwk37: turun dulu dah

Aku terdiam, lalu cepat fokus kembali. Masih belum mati waktunya.

Aku menulis lagi.

「Saat itu, Kim Cheolyang sadar bahwa ia adalah master bela diri di kehidupan sebelumnya…… (Total 147 karakter)」

[Ini mustahil.]

[Tingkat keberhasilan reproduksi: 0,1%.]

[Kau sedang kehabisan probabilitas.]

[Lihat komentar?]

rlaehrwk37: turun dulu dah

「Saat itu, Kim Cheolyang sadar ia adalah sepupu Kim Namwoon. Rasa sayang pada darah sendiri mengalir dalam dirinya…… (Total 143 karakter)」

[Cerita ini abnormal.]

[Tingkat keberhasilan: 3%.]

[Kau sedang kehabisan probabilitas.]

[Lihat komentar?]

rlaehrwk37: mau mati kau?

Beberapa kali lagi aku coba. Tidak berhasil.

Mental kena pukulan beruntun komentar pembaca—aku lelah.

[30 detik tersisa.]

Keputusasaan menekan. Tidak tahu harus tulis apa.

Aku menutup mata, detik bergerak.

Saat-saat seperti ini—kembali ke dasar.

「 ‘Author-nim.’ 」

Suara dokkaebi Ji Eunyoo terdengar di pikiranku.

「 ‘Apa yang diinginkan karakter ini?’ 」

Ah.

[20 detik tersisa.]

[Attribute eksklusif diaktifkan!]

Aku memikirkan Kim Cheolyang—karakter yang dulu hanya berupa catatan.

[15 detik tersisa.]

Siapa dia. Apa yang ia inginkan. Apa yang ia pilih.

Seperti hari aku pertama kali menulis Omniscient Reader, kalimat meluncur deras.

Aku menjadi suara Kim Cheolyang. Aku hidup sebagai Kim Cheolyang.

Saat huruf terakhir selesai—

[Waktu habis.]

[Cerita ini masuk akal.]

[Tingkat reproduksi: 90%.]

[Probabilitas mencukupi.]

[Lihat komentar pembaca?]

rlaehrwk37: oh

Tidak tahu maksud “oh” itu apa, tapi setidaknya dia kaget.

Dan dasar kurang ajar, aku ingat ID-mu.

[Skenario berhasil direproduksi.]

[Keluar dari ‘Snowfield’.]

Kekuatan mengalir pergi. Warna kembali. Waktu berjalan lagi.

Orang-orang bergerak, mengarah padaku dan ahjussi. Pria besar mendekat.

Saat itu—

“Semuanya.”

「 Saat itu, Kim Cheolyang melangkah maju. 」

Kalimat yang kutulis bangkit jadi kenyataan.

“Iman kita sedang diuji.”

「 Tak sembarang orang bisa melakukannya. Tapi saat melangkah, ia tersambar keyakinan bahwa ia dipilih Tuhan. 」

“Iman?”

「 Mungkin karena api. Aku bisa melihat api membara di balik pupil mereka. 」

Hanya itu yang kutulis. Tapi cukup.

Menurut [Character List], Kim Cheolyang melihat skenario ini sebagai ujian iman.

“Kalian pasti sadar sekarang bahwa ada yang mengawasi kita dari langit.”

[Mata beberapa konstelasi berkilat.]

Kerumunan berbisik.

Semangatnya naik. Ia melangkah maju.

“‘Dewa-dewa’ menilai apakah kita memilih keadilan atau kejahatan.”

[Evolusi karakter ‘Kim Cheolyang’ mendekati!]

[Kata-kata Kim Cheolyang menggerakkan hati orang-orang.]

“Pikirkan. Yang membunuh manusia untuk lolos—dan yang lolos tanpa membunuh siapa pun. Mana yang lebih adil? Siapa yang para dewa dukung?”

Kepala mengangguk. Ada yang berbisik, “Benar,” “Membunuh itu dosa.”

Ia melanjutkan.

“Jawabannya jelas. Kita memilih jalan benar. Kita bahkan diberi ‘utusan Tuhan’ yang tahu masa depan.”

Utusan Tuhan?

Tiba-tiba ia menunjuk ke arahku melewati nyala api.

“Kita mendengarnya, dan menemukan cara tanpa mengorbankan siapa pun. Kita sudah melewati cobaan ini.”

Itu… bukan kalimat yang kutulis?

Tatapan fanatik diarahkan padaku. Kerumunan mengikuti.

“Mungkin deacon benar. Tidak mungkin kita disuruh membunuh manusia.”

“Lihat siswi-siswi di video tadi, mereka semua mati karena mencoba saling bunuh.”

“Nyawa manusia terlalu berharga!”

Dalam situasi di ujung maut, dengan Tuhan misterius mengawasi, dan seorang penganut menyemangati—harapan berubah menjadi agama.

“Kim Cheolyang! Kim Cheolyang!”

“Kita dipilih… kita dipilih…!”

Seseorang berseru sambil menangis.

Reader ahjussi menghela napas panjang.

Berkat aksi brilian Kim Cheolyang yang ‘bangkit’, krisis kami berdua tampak selesai.

Tapi tidak berhenti di situ.

[Karakter ‘Kim Cheolyang’ membangkitkan attribute baru: ‘Cult Leader’.]

[Karakter ‘Kim Cheolyang’ memperoleh pandangan religius baru.]

[Karakter ‘Kim Cheolyang’ mengajarkan doktrin dasar ‘Ajaran Kehidupan’.]

Ajaran Kehidupan (生命敎).

Saat mendengar nama itu, kulitku merinding.

Sebuah catatan lama muncul jelas di benakku.

「 Saat itu, Lee Hakhyun ingat siapa sebenarnya ‘Kim Cheolyang’. 」

[Karakter ‘Kim Cheolyang’ menerima pandangan hidupmu.]

[Kau sangat berpengaruh terhadap terbentuknya doktrin ini.]

Aku sadar apa yang baru kulakukan.

Karakter Kim Cheolyang.

Catatan pertamaku tentangnya berbunyi:

「 Dari Sepuluh Kejahatan (十惡), Pemimpin Kehidupan Kim Cheolyang. 」

Sepuluh Kejahatan, para penjahat terburuk dalam Omniscient Reader.

Dan aku baru saja menciptakan salah satunya—dengan tanganku sendiri.

Author's Note

Thank you.

562 Episode 2. Rewrite (7)

Saat menulis Omniscient Reader, ada beberapa kali alur ceritanya hampir runtuh.

Seorang karakter tiba-tiba bicara seperti drama sejarah, atau mereka lupa skill-nya (lebih tepatnya, aku yang lupa).

Aku meminta maaf pada para pembaca dan melakukan revisi untuk menyelamatkan keadaan.

Tapi apa yang kulakukan kali ini... mustahil diperbaiki.

“Ayo pujikan para kuman yang telah berkorban besar bagi kita.”

Bukan hanya aku memengaruhi pandangan keagamaan sebuah kultus, aku juga ikut memunculkan kembali salah satu dari Sepuluh Kejahatan.

“Oh— kuman, kuman, bakteri.”

Apa yang sudah kau lakukan, Lee Hakhyun?

Reader ahjussi di sebelahku sedang menepuk tangan dengan ritme salah, sama sekali tak sadar apa yang sedang terjadi.

[Pengaruhmu dalam area skenario ini sangat besar.]

[Pandangan ‘kehidupan’ yang kau sebarkan mendominasi pandangan religius di area ini.]

Untuk sesaat aku berpikir... apa aku harus sekalian menjadi villain saja?

Tapi itu jelas bukan ide bijak.

“Oh— pengorbanan besar para kuman.”

Kalau aku bertemu Yoo Joonghyuk dalam kondisi seperti ini, kepalaku pasti dipenggal sekali tebas.

[Karakter ‘Lee Hyunjoo’ mempercayaimu.]

[Karakter ‘Im Baekhoon’ mempercayaimu.]

[Karakter ‘Yeom Youngcheol’ mempercayaimu.]

Dan tetap saja... rasanya tidak buruk ketika semua orang mempercayaiku.

Seumur hidup, belum pernah ada begitu banyak orang yang mempercayaiku.

[Kebanyakan inkarnasi di area ini tersentuh oleh kata-katamu.]

Selesai satu lagu pujian, ketegangan pun mereda. Orang-orang duduk melingkar di sekitar api unggun.

Beberapa menyeruput minuman kaleng dari vending machine, bicara pelan, berdoa.

“Ini benar membunuh kuman, kan? Lactobacillus acidophilus juga bakteri. Katanya tidak ada yang bisa sampai ke usus hidup-hidup.”

“Ahjumma mau ke mana tadinya?”

“Aku mau jemput yogurt untuk anakku. Kau sendiri?”

“Aku ada janji makan malam sama pacarku.”

“Lucu juga ya, aku tadi mau cek restoran ayam yang kubuka bareng istriku, eh malah muncul tragedi ini……”

Seseorang memberikan minuman kaleng padaku sambil berkata,

“Kuman juga makhluk hidup, baru kali ini aku sadar. Wah, anak muda zaman sekarang pintar ya.”

“Kau pasti rajin belajar. Dari universitas mana?”

Aku tidak menjawab, hanya tersenyum hambar.

Dengan ceramah Pemimpin Kehidupan Kim Cheolyang, baik yang religius maupun tidak, wajah orang-orang menjadi aneh campuran tenang dan linglung.

Kata orang, agama adalah obat untuk menghadapi kematian. Mungkin benar.

Namun tidak semua orang mabuk ketenangan itu.

“Kalian ini gila ya? Ada cara pasti untuk hidup, tapi kalian malah buang kesempatan?”

Sudah kuduga, pria besar itu. Di tangannya ada semacam pipa besi—aku tidak tahu ia menemukannya di mana.

Tadi dia menghilang sebentar; ternyata sibuk mencari senjata.

“Kalau mau mati, mati sana sendirian.”

Wajah-wajah di sekitar menegang saat pria itu maju membawa pipa.

“Tunggu, ada apa denganmu? Kau tadi juga bakar kaus kaki sendiri.”

“Kalian ini polos sekali. Masa percaya membunuh sesuatu yang bahkan tidak bisa kalian lihat atau pastikan mati?”

“Terus, lalu?”

“Kalian lupa apa yang diperlihatkan monster itu barusan? Cara paling pasti untuk keluar hidup-hidup.”

Pipa itu diarahkan pada kerumunan.

“Bunuh satu orang saja, salah satu dari kita, dan pasti kau hidup.”

[Konstelasi ‘Penguasa Remah-remah’ terkikik.]

Ah, aku paham sekarang.

Sepertinya ada konstelasi yang mendorongnya.

Aku menatap pria itu dan mengaktifkan [Character List].

[Skill eksklusif ‘Character List’ diaktifkan!]

<Character Summary>

Nama: Lee Cheoldoo
Usia: 39 tahun
Sponsor: Tidak ada (satu konstelasi saat ini menunjukkan minat)
Exclusive Attributes: Gangster (umum), Mantan napi (umum)
Exclusive Skills: [Dogfight Lv.3], [Bluff Lv.3], [Intimidation Lv.3], [Headbutting Lv.2]
Overall Stats: [Physique Lv.7], [Strength Lv.7], [Agility Lv.6], [Magic Power Lv.1]
Overall Rating: Bos dari ‘Kelompok Cheoldoo[1]’. Memiliki kepala keras, teknik serudukan yang kuat.

Bos Kelompok Cheoldoo, Lee Cheoldoo.

Baru setelah membacanya, aku sadar siapa dia.

Benar—ada Kelompok Cheoldoo di Geumho Station.

Bos Cheoldoo ini tidak muncul di ORV asli, tapi aku pernah menulis catatan latar tentangnya.

Aku maju selangkah dan berkata,

“Jangan panik. Kita banyak, dia sendirian.”

Sebanyak apa pun senjatanya, atau bahkan kalau dia bos gangster, dia takkan menang melawan dua puluh satu orang.

Tapi Lee Cheoldoo tidak mundur.

“Hooh, dengar ya. Aku tidak perlu bunuh kalian semua. Aku hanya perlu bunuh satu. Dari 27 ini…”

Tatapannya menyapu kerumunan seperti predator menilai mangsa—lalu berhenti padaku.

“Jujur saja, kalian pun takut mempercayai omongannya, kan?”

Ia menepuk pipanya, tertawa pelan.

“Sepuluh orang pertama. Gabung denganku, dan kupastikan kalian hidup.”

Dia melangkah lagi.

“Yang lain... siap-siap mati.”

Orang-orang mundur ketakutan.

Meski kalau semua melawan bersama, mereka bisa menang… tak ada yang mau jadi orang pertama.

Buru-buru ia memilih target—pria yang paling dekat dengannya.

Pria itu pucat, memohon.

“Tolong! Tolong aku!”

Tapi tidak ada yang membantu. Kerumunan mundur seperti sekumpulan kecoak terkejut.

Cheoldoo mengangkat pipanya.

[Karakter ‘Kim Haemoon’ panik!]

“A-aku ikut kau! Aku ikut kau!”

Kim Haemoon—orang yang paling goyah sejak tadi.

Cheoldoo mencibir.

“Tidak butuh kau.”

“Please! Aku bayar 100 juta begitu kita keluar! Kuberi transfer sekarang!”

Ia berpikir sejenak.

“100 juta. Oke. Kau pilih siapa yang kubunuh.”

Kim Haemoon menoleh gemetar. Pertama ke ahjumma yang punya anak.

Dia langsung mundur panik.

[Karakter ‘Lee Hyekyung’ ketakutan.]

“J-jangan lihat aku! Aku harus hidup, anakku nunggu di rumah!”

Tatapannya pindah ke pemuda yang mau makan malam dengan pacarnya.

[Karakter ‘Jeong Hancheol’ melirik sekeliling.]

Hancheol cepat tersenyum lemah ke Cheoldoo.

“Boleh aku gabung kau juga?”

Kim Haemoon buru-buru pindah pandang ke pria paruh baya yang punya restoran ayam.

[Karakter ‘Ji Hyungdong’ panik.]

Aku berjalan ke arahnya untuk menghentikan ini, tahu ini arah buruknya.

Tapi dia malah menunjukku.

“K-kalau harus ada yang mati… bunuh dia! Semua ini salah dia!”

Awalnya kupikir salah dengar, tapi bisikan setuju mulai muncul.

“Benar juga. Ini semua gara-gara dia.”

“T-tidak salah kok.”

“Y-ya, anak muda. Lawan. Kau laki-laki kan?”

Napas terasa berat. Aku seperti kecoak di genggam tangan.

Cheoldoo tersenyum puas padaku.

“Bagus. Kau yang kupilih.”

Sunyi.

Ketika kutoleh, semua menghindari tatapanku.

Bahkan tanpa Fourth Wall, jelas isi hati mereka:

「 Asal bukan aku. 」

Aku tak terkejut.

Aku tahu sifat manusia ini.

Cheoldoo mendekat. Aku menilai kekuatannya.

Fisik, kekuatan, kelincahan—semuanya 7.

Apa aku bisa menahannya?

[Masih tersisa 5 menit.]

Bertahan lima menit saja.

Aku menatap Kim Cheolyang terakhir kali. Matanya goyah hebat.

[Karakter ‘Kim Cheolyang’ sangat gelisah.]

[Karakter ‘Kim Cheolyang’ adalah sosok yang kalimatnya kau tulis sendiri.]

[Kau memahami karakter itu sangat baik.]

Walau tanpa skill [Omniscient Reader’s Viewpoint], pikirannya terdengar jelas.

「 Di tempat ini ada tiga pusat pengaruh. 」

「 Aku, pria bermata sipit, dan pria besar itu. 」

Tatapannya bolak-balik.

「 Kalau aku tidak menghentikannya, dia mati. 」

「 Tapi itu juga ancaman posisiku. 」

「 Kalau aku gagal… aku… 」

Lalu—dia bergerak.

Satu langkah menjauh dariku, lalu ia berteriak lantang:

“Semua mundur. Utusan Tuhan akan menebus dosa-dosanya untuk kita!”

Dia… mengorbankanku.

Cara memperkuat posisinya, membenarkan kematianku.

“Sekecil apa pun, hidup adalah hidup. Utusan Tuhan ini akan menebus dosa membunuh saudara kuman. Mari ucap syukur.”

Gila. Tapi mata orang-orang sudah memantulkan fanatisme.

Mereka setuju mengorbankanku demi diri sendiri.

Dua pria tadi berbisik sambil mundur:

“Kuman itu makhluk hidup, tinggal googling. Bukan hal besar.”

“Kita jangan campur, ya? Diam saja.”

Aku tetap tenang.

「 Tidak ada penulis yang terkejut oleh kata-katanya sendiri. 」

Bayangan Cheoldoo jatuh di kakiku. Langkah beratnya mendekat.

“Sudah diputuskan. Kalian minggir.”

Pipa menghantam orang di sampingnya.

“Aaaakh! Tanganku!”

“Cepat! Lari! Cukup satu yang mati!”

Kerumunan lari ke pinggir memanjang menjauhi kami.

[Masih tersisa 3 menit.]

Tinggal satu orang yang tidak lari.

Hanya satu orang yang masih berdiri di sisiku untuk menghadapi akhir ini.

Author's Note

There are two chapters today.

563 Episode 2. Rewrite (8)

Reader ahjussi yang berdiri di sebelahku menggigil, bahunya kaku, lalu berbisik pelan.

“Jangan melawan. Kita lari begitu hitungan ketiga.”

Aku tidak bisa tahu pasti, tapi dia pasti sudah membaca Omniscient Reader sampai tamat.

Aku yakin.

Tidak, bahkan kalau pun tidak, aku maafkan.

“Kau saja yang lari, ahjussi. Stat-mu aja kelihatan rendah.”

“Tidak, aku tahan dia bersamamu. Waktu tinggal sedikit. Bertahan saja sampai akhir—”

Dengan teriakan seperti babi hutan, Lee Cheoldoo menerjang, mengincar bagian belakang kepalaku.

Aku melompat sekuat mungkin—dan menubruk tubuhnya.

“Ugh.”

Pipa besi itu jatuh dari tangannya. Dia sedikit terkejut, tapi tubuhnya tidak goyah—perbedaan berat badan.

Selanjutnya, kulihat gigi emasnya berkilat saat dia menyeringai.

“Kau sok jadi pahlawan ya.”

Lee Cheoldoo menekan kedua lenganku dengan mudah lalu—bugh!—menyerudukkan kepalanya ke wajahku.

Untung aku ingat skill Headbutting dari [Character List], jadi aku sempat menarik kepalaku, namun tetap saja pandanganku berputar. Lututku goyah.

Saat sadar, dia sudah berada di atas tubuhku.

Aku menahan sakit, lalu bicara setenang mungkin.

“Lee Cheoldoo. Bos Kelompok Cheoldoo.”

Mata pria itu melebar.

“Huh? Kau kenal aku?”

“Kau mau hidup selamanya sebagai pembunuh?”

“Brengsek...”

Lee Cheoldoo tertawa lirih, lalu berbisik di telingaku.

“Lebih baik daripada mati kan.”

[Masih tersisa 2 menit.]

Alih-alih menjawab, aku menoleh menatap sekeliling. Wajah-wajah pucat menatap kejadian ini dari jauh. Ada yang menangis, ada yang berdoa.

Kim Cheolyang bernyanyi himne bersama mereka. Oh kumbang, oh serangga, oh kuman—mereka sedang merayakan kematianku.

“Kau tadi... tertawa?”

Dengan dahi berkerut, dia menggenggam leherku. Krek. Napasku terputus seketika.

Aku tiba-tiba sadar—tidak ada satu pun wajah yang kukenal dalam cerita ini.

[Masih tersisa 1 menit.]

Tidak ada Lee Hyunsung yang gagah, tidak ada Yoo Sangah yang maju membela lemah, tidak ada Lee Gilyoung yang memungut cacing. Tidak ada Jung Heewon yang menebas kejahatan, tidak ada Yoo Joonghyuk yang gila regressi, dan……

Oksigen menghilang dari otakku. Tubuhku kehilangan tenaga. Saat mataku hampir gelap—suara dunk terdengar. Lee Cheoldoo tersentak.

Di belakangnya, seseorang berdiri memegang pipa.

Seseorang yang kukenal.

Pria yang lebih biasa dari siapa pun dalam Omniscient Reader.

Seseorang yang hanya mengenal dunia lewat novel yang ia baca 10 tahun.

Tokoh utamaku sendiri—pengecut sejati, namun tetap maju saat semuanya runtuh.

「 Kim Dokja. 」

Suara bugh terdengar lagi. Cheoldoo meraung dan memukul wajahku keras.

Saat aku batuk darah, ia berbalik mengejar Kim Dokja.

Aku mengusap mataku—dan melihat punggung “Kim Dokja” itu kabur—reader ahjussi lari terbirit-birit.

[Masih tersisa 40 detik.]

Cheoldoo menangkapnya dan merebut pipanya kembali.

Aku mengusap darah di bibir dan berlari.

[Masih tersisa 20 detik.]

Begitu pipa itu terayun, aku melingkarkan tubuhku pada reader ahjussi dan berguling. Punggungku menjerit kesakitan.

Lee Cheoldoo meraung.

“Kau gila! Kubunuh kau!”

[Masih tersisa 10 detik.]

“Kau sosiopat! Karena kau, kita semua bakal mati! Semua orang—”

Aku menatapnya, lalu untuk pertama kalinya, aku tersenyum.

“Aku tidak peduli.”

Teriakannya bercampur dengan jeritan orang-orang dan jantungku yang berdentam.

[Masih tersisa 1 detik.]

Lalu.

[Waktu telah habis.]

[Penyelesaian berbayar dimulai.]

Semua suara hilang.

Dunia berputar.

Aku terengah, mengangkat kepala. Pandanganku jernih. Napas normal.

Waktu habis—dan aku tidak mati.

Ada sesuatu bergerak dalam dadaku.

Reader ahjussi bangkit, suaranya gemetar.

“K-kita… berhasil?”

Aku mengangguk. Saat ingin bicara, terdengar suara benda berat jatuh.

Tubuh besar Lee Cheoldoo tergeletak. Tanpa kepala.

Reader ahjussi menjerit lirih.

“H-huh……?”

Di balik tubuh itu, pemandangan stasiun Geumho terpampang.

Yang pertama kulihat—Pemimpin Kehidupan Kim Cheolyang.

Ia bicara padaku. Meski suaranya tak terdengar, aku tahu apa yang ia katakan.

「 Ya Tuhanku. 」

Lalu mataku beralih pada Lee Hyekyung yang ingin menjemput yogurt untuk putranya, Jeong Hancheol yang hendak bertemu pacar, Ji Hyungdong yang membuka restoran ayam bersama istrinya.

Aku ingin bertanya.

「 Apakah ada dari kalian yang tahu arti angka ‘1.863’? 」

Pop.

Kepala Kim Cheolyang hancur.

「 Tentu saja tidak ada. 」

Satu per satu, kepala meledak.

Lee Hyekyung. Jeong Hancheol. Ji Hyungdong……

Mereka menghilang bagai tak pernah ada.

Aku terhuyung menuju jasad Cheolyang. Di tempat kepala itu, kini hanya hampa. Wajahnya… sulit kuingat.

Dan aku tidak bisa.

Karena aku tidak pernah menggambarkan wajah mereka.

Mereka bukan bagian Omniscient Reader.

Mereka hanya catatan konsep—tidak pernah menjadi tokoh.

「 Cult of Life. 」

Dalam catatan awal—kultus ini hanya mengakui “hidup” yang mereka pilih, dan membantai sisanya.

Lee Hyekyung, Jeong Hancheol, Ji Hyungdong… semua sama.

「 Orang-orang di zona ini menjadi anggota Cult of Life di setiap ronde mereka bertahan. 」

Yang tidak pernah dicatat… takkan pernah dicatat.

Mereka tetap “pengaturan”—tak pernah dibaca siapa pun.

「 Hanya karena seseorang menuliskan mereka sebagai kejahatan. 」

Reader ahjussi terdiam kaku. Pemandangan Geumho memantul di matanya.

Melihatnya, aku berpikir.

Aku yang dipikirkan.

「 Aku ingin menulis novel. 」

Darah seperti tinta banjir memenuhi stasiun.

Tak ada yang tersisa—kecuali kami berdua.

Kakiku lemas. Reader ahjussi bergumam patah.

“Bagaimana bisa….”

“…….”

“Kau mencoba… menyelamatkan mereka, kan……?”

Setelah jeda, aku menjawab.

“Ya.”

Sebenarnya, rencana Kuman gagal jauh di tengah jalan.

Mana mungkin konstelasi menyukai jalan cerita begitu absurd.

Tapi aku tak biarkan mereka tahu.

Dengan begitu, Kim Cheolyang, para anggota Cult of Life, dan Lee Cheoldoo tidak pernah muncul dalam cerita.

Mungkin dunia lain berbeda… namun sejarah Geumho tetap mirip.

「 Hanya ada satu penyintas. 」

Aku menatap langit stasiun. Cahaya putih memancar, dan Bihyung menatapku. Wajahnya—sungguh kagum.

Menatap mata dokkaebi itu, aku mengutip kalimat legendaris Yoo Joonghyuk:

“Sialan kau, Star Stream.”

Aku tahu apa yang terjadi setelah ini.

Darah mengalir di kepala.

[Keinginan <Star Stream> memperhatikanmu.]

Dunia brengsek ini—yang hanya menayangkan apa yang ingin dilihat konstelasi—penuh rekayasa.

Itulah kenapa kepalaku harus meledak terakhir.

[Beberapa konstelasi menatapmu.]

[Konstelasi ‘Penguasa Remah-remah’ terhibur.]

Aku mencoba meredakan ketakutan dalam dada.

Aku tidak takut. Saat mati, bahkan rasa takut menghilang.

Aku menoleh pada ahjussi untuk terakhir kali.

“Ahjussi.”

Tangannya gemetar. Air mata jatuh.

“Oh tidak… jangan. Tolong.”

Aku ingin hidup. Setidaknya sampai bertemu Kim Dokja. Sampai melihat protagonisku sendiri.

Meski mungkin—

“Hiduplah sampai akhir.”

—mungkin aku sudah bertemu.

Aku berharap dia hidup cukup lama untuk melihat ending cerita ini.

Saat kesadaranku memudar, kegelapan putih menelan dunia.

Di detik terakhir, aku bertanya—seandainya ini novel, bagaimana adegan kematianku ditulis?

Apa reaksi pembaca?

Mereka akan bilang aku pantas mati.

Seribu alasan kenapa aku layak mati.

Karena aku tidak membunuh serangga pertama.

Karena gagal mengendalikan situasi.

Karena berbelas kasih pada karakter rekaanku sendiri.

……

Karena ini Omniscient Reader’s Viewpoint.

Dan tak peduli alasan berapa banyak—aku layak mati.

Maka aku terkejut—

Kenapa?

Aku belum mati.

rlaehrwk37: Chapter selanjutnya kutunggu.

Aku tersentak.

Darah menetes dari kepala—bekas pukulan Cheoldoo. Tidak parah.

Pikiran jernih. Napas normal.

「 Aku tidak mati. 」

Kenapa?

[Anda telah menyelesaikan skenario pertama.]

Aku menatap telapak tanganku berlumuran darah.

Aku tidak membunuh serangga.

Bakteri tidak dihitung.

Lalu… kenapa?

[Anda telah membantai total 19 makhluk hidup.]

[Catatan pembantaian: 19 manusia.]

[Anda memperoleh 1.900 coin.]

[Anda berhasil membunuh dengan metode unik yang belum pernah dicapai siapa pun.]

[Beberapa konstelasi terkagum pada strategi pembunuhanmu.]

Di sebelahku, ahjussi menangis, menggenggam tanganku.

Melihatnya, aku paham.

[<Star Stream> mengakui metode pembunuhan unikmu.]

[Kau menyesatkan orang dengan informasi palsu hingga mereka “membunuh diri sendiri.”]

.

.

.

[Biro memberimu pengakuan terbatas atas metode pembunuhan itu.]

[Metode tersebut dinamai ‘pembunuhan demagogi’.]

.

.

.

[Beberapa konstelasi mensponsorimu.]

[+4.000 coin.]

[Anda meraih prestasi tak-tercatat.]

[Anda mendapatkan achievement ‘Demagogue Killer’.]

Aku menatap pantulan diriku di pintu kaca.

Suara itu bertanya:

「 Kau benar-benar tidak menyangka? 」

Kim Cheolyang—anggota Sepuluh Kejahatan yang cuma ada di catatan—gagal hidup karena pria ini.

Kini aku tahu siapa diriku.

Dia adalah pemilik Geumho Station sebelum Kim Dokja.

Seseorang yang memprovokasi massa, membentuk kelompok tercepat di skenario.

Inkarnasi yang bertahan beberapa ronde “Ways of Survival,” lalu naik jadi Sepuluh Kejahatan.

Aku tidak pernah mengenali wajahnya.

Karena aku tak pernah menggambarkannya.

Karena karakter ini—

「 “Aku mencintai mereka semua, kecuali orang seperti……” 」

—karakter yang tidak kusukai.

Suara retak terdengar, lampu bergetar, dunia berderak.

[Main Scenario #1 — Proof of Value telah berakhir.]

Dunia yang kukenal runtuh.

[+300 coin hadiah dasar.]

[-100 coin biaya kanal.]

[Perhitungan kompensasi tambahan dimulai.]

Satu episode berakhir.

Episode berikutnya dimulai.

[Karakter yang sedang kau rasuki adalah ‘Demagogue Cheon Inho’.]

Author's Note

The side story is starting.


 

Nunaaluuu Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review