Senin, 03 November 2025

Side Stories


Story 1 — Treasure Hunt

“Permainan terakhir adalah ‘Perburuan Harta Karun’.”

Saat pertama mendengarnya, Yoo Sangah teringat hari ia masuk Mino Soft.

Hari ketika ia melihat langsung “Wawancara Quest” legendaris yang sebelumnya hanya ia dengar.

“Kau tidak melakukan itu lagi, kan?” tanya staf HR dengan ketakutan.

“Aku justru akan melakukannya.”

“Hah, tidak masuk akal. Ini akhir pekan.”

“Bagaimanapun juga, ini piknik internal perusahaan.”

Direktur Eksekutif Kang, yang membawa megafon, berbicara lantang seolah sudah membaca pikiran para karyawan.

“Sekarang, tiap harta terhubung dengan main quest, dan ada hadiah bagi yang menyelesaikan semua quest.”

“Hadiah apa, hah?”

“Yah, aku akan memberimu tumbler lagi.”

Keluhan meledak dari mulut para karyawan.

Di akhir pekan saat harusnya bisa beristirahat, Yoo Sangah jelas tidak senang dipaksa keluar rumah dan berburu harta karun di tengah gunung.

Kang, yang juga tampak kesal, melanjutkan.

“Permainan kali ini akan berpengaruh pada evaluasi pegawai kuartal berikutnya. Sudah termotivasi, kan?”

Gumaman para karyawan berubah dari kesal biasa menjadi serius. Sebagian bertanya, perusahaan mana di dunia yang memberi poin evaluasi lewat Quest, sementara yang lain hanya menghela napas, “Ya begitulah Mino Soft.”

Dan Yoo Sangah teringat seseorang.

Ia pikir orang itu pasti akan sangat pandai dalam ini. Hampir bersamaan, suara getaran terdengar dari mana-mana.

Yoo Sangah refleks mengambil ponselnya. Ada pengumuman update pada aplikasi internal perusahaan.

“Semuanya sudah update, kan? Oke, mulai.”

[MINO SOFT ver.4.24 telah diperbarui.]

[Aktifkan ‘Treasure Hunt Mode’?]

Aplikasi langsung menampilkan layar AR setelah GPS dan kamera disetujui. Berapa banyak developer yang dikerahkan hanya untuk piknik internal begini?

“Jika kalian menyalakan kamera AR di aplikasi dan melihat sekitar, kalian akan melihat hal yang berbeda. Oh ya, kalian bisa dapat kacamata AR dari Manager Lee.”

“Uh, ini masih prototipe, jadi hati-hati ya. Sekarang, ambil satu per orang.”

Yoo Sangah juga pernah melihat produk ini saat pameran prototipe perusahaan.

[MINO GLASS]

“Wow, memang kelasnya Mino Soft!”

“Kita sekarang bikin hardware juga?”

Para pegawai mengerubungi Chief Lee setelah menerima kacamata.

Yoo Sangah juga menerima satu.

“Hati-hati jangan sampai cedera, ayo cari harta dengan semangat!”

“Kayak Pokemon Go.”

“Kalau baterainya mau habis, ke sini ya.” Yoo Sangah menatap kotak plastik penuh powerbank.

Kotak baterai dengan logo “MINO” tercetak rapi. Ia ragu sejenak, lalu mengambil dua.

[Screen connection complete]

[Let’s start “Treasure Hunt”]

Layar AR tersambung otomatis ke ponsel saat ia memakai kacamata besar itu.

“Wow, tim development pasti bekerja keras.”

“…Punyaku agak transparan.”

“Mungkin biar masih bisa lihat sekeliling, jadi dibuat transparan?”

“Aduh, aku pusing. Aku lihat lewat layar HP saja bisa?”

Mereka benar-benar menyiapkan acara ini cukup lama.

Bahkan acara utamanya setara event besar. “…jangan-jangan ini sebenarnya tes produk baru, bukan piknik?”

Suaranya mirip suasana saat wawancara perusahaan dulu.

Beberapa pegawai bergerak cepat sambil bicara—benar-benar seperti QA tester game baru.

Yoo Sangah menekan ikon ‘!’ di aplikasi.

Seolah menunggu, “peraturan treasure hunt” muncul.

  1. Kamu boleh membentuk tim dengan siapa pun. Tapi hadiah dibagi dua jika dalam tim.

  2. Ada tiga clue total; yang menemukan tiga clue pertama akan mendapat lokasi harta.

  3. Kamu bisa merebut clue orang lain sesuai aturan.

Rasanya mencerminkan selera CEO yang suka survival game.

“Ayo cepat cari dan ‘ambil’ clue.”

Pegawai berpencar serentak.

Gerakan membentuk tim terlihat di berbagai tempat.

“Manager Lim, ikut kita?”

“Tuan Cheon Myeongwoo. Kalian kan QA team, pasti tahu caranya?”

Tim HR dan keuangan yang paling antusias, merasa mereka paling dirugikan dibanding divisi lain.

“Yoo Sangah, mau tim dengan aku?”

“Oh, aku mau ajak seseorang dulu sebenarnya.”

“Ayo Sangah, bareng aku saja.”

“Maaf.”

Ia sudah punya orang yang ingin ia ajak…

Orang-orang mundur, tak bisa bilang apa-apa saat melihat senyum lembut Yoo Sangah yang tampak sedikit canggung.

Salah satunya adalah Han Myeongoh, kepala tim finansial.

Bisik-bisik terdengar.

“Sudah? Sama siapa?”

“Kau percaya saja dia cuma nolak?”

Yoo Sangah pura-pura tidak mendengar dan melangkah menjauh.

Kerumunan cepat melupakannya dan sibuk membentuk tim masing-masing.

Ia sudah terbiasa dengan suasana acara perusahaan, dan juga rasa bosan yang menyertainya.

Yoo Sangah menutup aplikasi dan mengecek pesan teks yang belum dibaca.

[Kapan pulang?]

Sambil menulis, menghapus, lalu menulis lagi, para pegawai lewat sambil ngobrol soal promosi.

Jika dapat poin tambahan dari event ini, promosi kuartal depan hampir pasti. Kesempatan seperti ini hanya ada di Mino Soft.

Promosi memang bagus.

Yoo Sangah juga bekerja keras.

Sangat jelas. Ia menyusun portofolio setiap bulan, belajar bahasa asing, menyiapkan sertifikasi, belajar coding, mengikuti tren fashion demi menghadap eksekutif dan klien, jogging satu jam per hari, pilates dua kali seminggu.

[Kalau terus begitu, anggap saja kau tidak punya orangtua]

[Sangah, ayahmu dan oppa-mu…]

Tapi kalau ditanya, apakah semua itu demi promosi semata?

— Kau tidak terlihat suka game. Kenapa melamar?

Hari wawancara Mino Soft.

Ia pikir ia bisa menyembunyikannya.

Dan ia tidak menyangka mendengar itu dari pelamar lain, bukan pewawancara.

Apakah karena tes aneh “quest interview”? Atau karena komentar laki-laki itu?

Yoo Sangah menjawab tidak seperti biasanya.

— Tidak bisakah aku hidup melakukan hal yang kusuka?

Lalu ia menyesal seketika.

Ia hendak meralat sambil tersenyum, tapi pria itu hanya menjawab,

— Begitu ya?

Ia tidak tersinggung. Wajahnya polos, tapi baik.

Kim Dokja.

Ia bahkan tidak bisa membaca ekspresinya.

— Betul.

Suara Kim datar, ia menggaruk pipi sambil menjawab.

Setelan murah yang kebesaran dan dasi berwarna aneh. Rambut berantakan. Wajah bersih tapi kesan pertama tidak meyakinkan.

Tanpa sadar, Yoo Sangah berkata,

— Seharusnya kau cek pakaian wawancaramu.

Ia menyesal. Lalu buru-buru tersenyum mengatakan itu hanya bercanda.

— Aku mengikuti rekomendasi internet.

Saat pria itu tampak sedikit terluka, Yoo Sangah merasa campur aduk. Haruskah memberi saran lebih banyak atau diam saja? Namun dilema itu tidak lama.

— Ubah saja dasimu.

— Akan kucoba di wawancara berikutnya. Boleh aku beri saran juga?

— Saran?

Kim Dokja menunjuk layar ponsel dan berkata,

— Pilih opsi ketiga.

Seperti hari itu, kini ada tiga pilihan di depan Yoo Sangah.

[1. Rute utama Treasure Hunt]

[2. Menyerah dan makan burger dari Direktur Kang]

[3. Rute tersembunyi Treasure Hunt]

Yoo Sangah menoleh tenang. Tidak ada Kim Dokja di area QA. Lama tidak bertemu, tapi… mungkin ia tidak ikut? Wajar, ia sudah diberi powerbank. Mungkin gamenya dimulai.

[*Rute utama: jalur normal, dapat hadiah, aman dari eliminasi]

[*Rute tersembunyi: lebih sulit, risiko eliminasi tinggi, poin bonus]

Akhirnya, Yoo Sangah memilih yang ketiga, seperti dulu.

[Anda memilih rute tersembunyi]

[Ikuti jalur penanda]

Ikon panah muncul.

Pegawai lain yang memilih rute tersembunyi langsung berlari mengikuti panah.

“Oh, aku duluan ya.”

“Pelan-pelan.”

“Apa ini jalurnya?”

Yoo Sangah tidak bergerak, menatap mereka berlari sia-sia.

— Sesuatu yang disebut “rahasia” terang-terangan itu biasanya jebakan. Mana ada rahasia ditulis sebagai rahasia?

Ia menunggu.

10 detik. 20 detik. Satu menit.

Teriakan kecil dari kejauhan.

“Ah, apa ini!”

Dan notifikasi eliminasi bermunculan.

[Pegawai Byun Hyunjae gugur]

[Manager Lee Haneul gugur]

(...)

Tepat seperti yang dulu.

— Bagaimana kau tahu?

— Kau akan paham setelah lihat. Aku baca di web… buku… “Waspadai rahasia yang terang-terangan.”

Mudah dimengerti.

Tapi tidak banyak orang mampu mempraktikkannya.

Apa yang ia tanyakan waktu itu? Mungkin soal judul bukunya?

Saatnya bergerak. Yoo Sangah mengencangkan tali sepatu dan maju.

Tubuh-tubuh berlumur darah berserakan di lereng. Tentu hanya AR.

Medan makin curam. Yoo Sangah mematikan kacamata, memakai ponsel untuk navigasi.

Kadang tampak item jatuh dari avatar lain.

[Item Langka]

[Buku Harapan dan Mimpi Manager Lee]

[USB berdarah PENGKHIANAT]

[Buku Rahasia CEO]

(...)

Apa ini piknik atau beta test game sebenarnya?

Separuh bercanda. Apa yang akan Kim katakan jika ia di sini? Mungkin:

— Itu item terlihat berguna.

“Ugh!”

Yoo Sangah terkejut, seseorang kecil jatuh tepat di sebelahnya.

Seorang wanita bersunglasses, masker, topi. Wajah kecil membuat maskernya tampak besar.

Yoo Sangah refleks mengulurkan tangan.

“Maaf.”

“Tidak apa. Aku yang salah—aku mencuri ponselmu.”

“Oh, iya.”

“Itu kacamata AR? Model baru? Aku belum pernah lihat.”

Sudah lama ia tidak berhadapan dengan tipe ‘My Face’ seperti ini.

“Oh, ya. Masih prototipe.”

Dari balik sunglasses terlihat mata seperti kucing. Tubuh mungil, tak ada kartu staf—bukan pegawai.

Wanita itu menggerutu.

“Kenapa banyak orang hari ini? Ada piknik ya?”

“Game apa sih ini? Akan dirilis? Game AR?”

“Ya.”

“Aku pergi dulu. Kayaknya lagi tes, ya.”

Yoo Sangah menatap wajahnya sejenak, lalu tersenyum.

Wanita itu melepas masker lalu memakainya kembali sambil tersenyum.

“Tunjukkan gamenya,” katanya sambil menadahkan tangan kecil.

Yoo Sangah bingung, belum terbiasa dengan sikap seenaknya.

Dan gadis itu tampak seperti remaja akhir.

“Itu rahasia perusahaan.”

“Rahasia? Wah aku suka hal begitu. Aku tidak akan bilang siapa-siapa, tunjukin sedikit saja.”

Wanita itu hendak pergi tapi tiba-tiba menunjuk layar Yoo Sangah.

“Kalau mau pergi silakan, tapi ambil itu dulu. Item wajib.”

“Apa?”

“Buku Rahasia CEO.”

Yoo Sangah mengambilnya dari AR.

[Buku Rahasia CEO]

Deskripsi: Buku rahasia CEO. Bisa revive satu kali jika kena jebakan, dengan mengorbankan rahasia CEO.

Item sangat berguna.

“…Kerjamu apa?”

“Aku? Penulis.”

“Penulis skenario di perusahaan kami?”

“Bukan dari sini. Ini perusahaan apa sih?”

Yoo Sangah memutuskan mengikuti ritmenya. Ia biasanya tidak begini, tapi hari ini… ia bisa sedikit bebas.

“Mino Soft.”

“Oh, perusahaan pembuat gacha busuk. Aku tahu.”

“Eh—”

Ia hendak membantah—tapi ya… itu benar.

Wanita itu tertawa.

“Game HP kalian akhir-akhir ini benar-benar parah soal monetisasi. Tidak ada hati nurani.”

“Memang kebijakan monetisasi memalukan.”

Wanita itu membuka ponsel, menunjukkan ranking.

[RANK 1. Penulis Cantik Jenius (BARU)]

Itu game RPG kolektif rilis tahun ini oleh Mino Soft.

Untuk tetap di peringkat #1 server, harus habiskan banyak uang… apa dia chaebol generasi ketiga?

“Kau bilang kau penulis. Karya apa?”

“Kau baca novel?”

“Sedikit.”

“Apa saja?”

“Raymond Carver, Haruki Murakami, dan—”

“Sudah, cukup. Tidak usah lanjut.”

Yoo Sangah agak tersinggung.

“…Apa yang kau tulis?”

“Hm~ sesuatu yang terkenal.”

“Tidak bisa bilang?”

“Bisa. Tidak ada yang tidak bisa kukatakan.”

“Novel dewasa?”

“Bukan.”

“Novel erotis?”

“Itu sama saja!”

Ekspresinya di balik kacamata mudah dibayangkan.

“Jenis yang agak… unik. Kadang ada tokoh seperti kau di novelnya.”

Mengapa wajah Kim Dokja dengan senyum tahu-segala muncul di benaknya?

Hari ini benar-benar aneh. Yoo Sangah menggertakkan gigi sambil tetap tersenyum.

“Jenis apa itu?”

Yoo Sangah tetap tersenyum, tapi dalam hati menggeram.

Kalau sempat, ia ingin menusuk leher orang ini seperti…

Wanita itu menatapnya, terguncang lima detik, lalu tersenyum.

“Kau tidak akan paham meski kujelaskan.”

Wanita itu terkesiap kecil.

“…uh.”

“Apa?”

“Barusan agak menyeramkan.” Tapi wajahnya penuh kegembiraan.

Ia bergumam, “Klisé yang ditulis bagus memang memukau,” lalu mengetik di notes penuh tulisan.

Yoo Sangah sadar ia berjalan bersama wanita itu menyusuri gunung.

Tidak ada pegawai lain. Semua tersebar cari clue.

[Clue pertama ada di dekatmu]

Waktunya tepat.

Ia tidak berniat terlalu serius… tapi entah bagaimana, ia benar-benar menemukan jejak harta.

Wanita itu berkata sambil memperhatikan layar Yoo Sangah.

“Boleh aku lihat?”

“Kau sudah lihat dari tadi.”

“Itu clue-nya?”

Semak berubah menjadi komputer CTR jadul di layar AR.

Komputer itu bukan clue karena tidak ada tombol ambil.

Saat layar diklik, game muncul.

Logo, ilustrasi warna-warni, dialog karakter main muncul.

— Aku tidak akan kembali.

Narasinya masih kasar. Ada lelaki telanjang membawa pisau—antisosial.

“…Mirip novel yang kukenal.”

“Novel?”

“Novelnya belum pernah dibuat game. Siapa gila yang buat?”

Ada sosok samar di ingatan. Dari TF team. Wajah pucat, tersenyum tidak cocok… pernah minta pendapatnya soal setting.

Wanita itu menekan layar Yoo Sangah. Intro skip, game mulai.

[Kendalikan avatar untuk memenangkan kompetisi dansa]

[Jika menang, kau diakui sebagai "seongju" Gorgon]

“Game duel?”

“Kau bisa main?”

“Tidak.”

Untung mudah. Mereka bergantian main, menang.

“Ini slipping shovel. Karakter tipe tusuk.”

“Yap-shovel?”

“Tusuk menang. Tidak butuh teknik lain.”

“Memang hanya bisa tusuk.”

Tekniknya: tusuk pelan, tusuk sedang, tusuk kuat.

Mereka lolos 16 besar, 8 besar, semifinal. Final.

[Final dimulai]

[Menang = dapat clue]

Cutscene.

Peri berkata:

[“Kau sampai sejauh ini. Tapi final tidak semudah itu.”]

“Yap, kalimat standar.”

[“Penonton ingin tahu apakah kau pantas jadi seongju. Bukan hanya kekuatan.”]

“Huh?”

Cutscene panjang.

“…Ini Visual Novel?”

Layar berubah seperti ombak.

Tokoh telanjang mendaki tebing.

[Rekanmu menggantung di tali…]

Baut tali copot. Rekan jatuh, tergantung.

— Pemimpin! Jika terus begini…!

Opsi muncul.

  1. “Demi banyak orang, potong tali. Korbankan satu.” [A]

  2. “Semua hidup berharga. Tidak potong tali meski mati bersama.” [B]

[60 detik]

Yoo Sangah & wanita itu berkata bersamaan:

“Trolley dilemma.”

“Korbankan sedikit untuk selamatkan banyak.”

Jika game untuk memilih pemimpin perusahaan, jawabannya jelas: 1.

[50 detik]

Wanita itu berkata, “Jawabannya ya 1.”

“Orang paling berbakat bisa yang di bawah,” jawab Yoo Sangah.

“Tapi kalau semua mati?”

“Perusahaan tidak berjalan oleh satu orang saja. Kadang yang tidak umum justru benar.”

“Kalau aku eksekutif, yang pilih 2 tampak bodoh.”

Benar. 1 masuk akal—secara korporat.

Tapi Yoo Sangah merasa… salah.

“Tidak ada cara semua selamat? Rasanya tidak boleh pilih opsi itu.”

[40 detik]

Ingatan muncul jelas.

Orang yang membuat ini…

“Kalau aku jadi Dokja.”

“Hah?”

“Nama pembuat game. Aku ingat.”

Wanita itu berhenti. “…namanya siapa?”

“Kim Dokja. Kau kenal?”

Sepercik kilat muncul di kacamata wanita itu—atau bayangan AR? Yoo Sangah menurunkan kacamata. Tidak ada. Hanya mata kucing menatapnya.

“Atau cuma efek AR?”

“Aku tidak tahu. aneh. Cepat pilih.”

[15 detik]

“Aku tekan kalau kau lambat.”

[10 detik]

Jika ini game Kim Dokja…

Dia tidak akan pilih 1. Atau 2. Ia…

[5 detik]

“Hah?! Hey!”

Jarinya menuju tempat tanpa tombol.

Pilihan tak terlihat.

[Button C entered]

Cutscene.

[“Aku pilih nomor 3.”]

[“Apa? Tidak ada nomor 3.”]

[“Nomor 3.”]

…dinding pecah oleh tusukan.

["The World After The Fall" coming soon]

Wanita itu menghela napas panjang.

“Jadi scam begini.”

Yoo Sangah hanya terpaku.

Wanita itu menepuk lengannya.

“Bagaimana kau tahu?”

“…Karena kalau itu game yang dia buat, pasti seperti ini.”

[Clue pertama: Koordinat A]

tiba-tiba mereka jauh masuk hutan. GPS kacau, jalan curam.

“Ke sini! Ayo!”

Ia tidak berniat serius tapi… ia melakukannya.

[Clue kedua di dekatmu]

AR berubah. Pohon kering, buah emas di atas.

[Ambil buah fantasi]

[Jatuhkan dengan batu]

[0/30]

“Lempar pakai ini,” wanita menunjuk batu AR.

Tapi lemparannya tidak kena. Padahal simpel.

“Kontrol khusus?”

“Mau kuajari?”

Anak laki-laki kecil muncul, bawa jaring serangga dan pakaian pelindung.

Wanita itu mengerutkan dahi. “Anak kecil? Di gunung?”

Anak itu menunjuk ponsel.

“Putar dan lepas.”

Batu melesat presisi. Buah jatuh.

“Oh begitu. Terima kasih.”

“Hormat sama anak kecil.”

Ia jelaskan tekniknya. Wanita kesal, Yoo Sangah bangga.

“Kau datang sendiri? Orangtuamu?”

Ia menggeleng.

“Ini bukan jalur hiking. Bahaya.”

Ia mengangguk, tetap ikut mereka.

Pengumpulan berjalan cepat.

[29/30]

Buah terakhir tidak jatuh.

Yoo Sangah menurunkan AR—buah asli menghalangi.

Wanita itu ambil batu asli.

“Jangan—”

Terlambat.

Suara dengung.

Tawon.

Panik.

“Jangan gerak. Belum terlambat,” kata anak itu.

“Kalau penjaga tawon datang, dengung berubah. Mundur perlahan 50 langkah.”

“Bagaimana kau tahu?!”

Anak itu maju, jaring khusus. Ia menjatuhkan sarang dan mengurung tawon dengan lihai.

“Ini Vespa velutina, hama ekosistem.”

“Siapa kau? Orangtuamu naturalis?”

“Aku tidak punya orangtua.”

Wanita itu kikuk. Anak itu bangga.

“Aku jual ke toko serangga.”

Mereka berhasil.

[Clue kedua: Koordinat B]

Tiga orang sekarang.

Matahari terbenam. Jalur hiking terlihat.

“Petualangan yang lumayan ya,” kata wanita itu.

“Seperti John Bond,” gumam Yoo Sangah.

Ia menikmati pemandangan.

“Aku cuma mau habiskan waktu.”

“Aku juga—setelah ini riset novel.”

“Kau kabur dari rumah?”

“Apa? Aku segitu kecilnya?”

“Tapi… ada tempat yang ingin kutinggalkan.”

Anak itu berkata ia juga tidak mau pulang.

Yoo Sangah mengusap kepalanya.

“Aku benar-benar kabur.”

“...Kau? Bukannya piknik?”

Yoo Sangah hanya tersenyum.

Ia tidak cerita soal keluarganya, tekanan, pesan harian, ekspektasi.

Mereka tak saling kenal, nilai berbeda, waktu singkat. Tapi entah kenapa, mereka terasa berada di sisi yang sama.

Wanita itu menulis cepat di ponsel.

“Harus kutulis ini suatu hari nanti.”

“Kau penulis?”

“Aku sudah bilang.”

“Jadi apa judul—”

[Clue ketiga di dekatmu]

AR berubah. Trek digital muncul.

[Lari dan selesaikan]

[Kelola stamina]

[Yang pertama dapat clue ketiga]

Pegawai lain terlihat—QA dan finansial.

[Mereka chat: Yoo Sangah, kamu di rute hidden? Bagi clue!]

Han dari finansial mendekat.

“Ayo tim sama kami!”

Wanita itu berkata pelan, “Kau mau kabur, kan?”

Yoo Sangah mengangguk.

Anak itu menyerahkan jaring tawon ke wanita itu. Wanita itu mengangkatnya.

“Stop. Ada lebah hitam. Jangan mendekat.”

Pegawai mundur panik.

“Sangah! Itu bahaya! Ke sini!”

Yoo Sangah sadar—wanita itu sengaja jadi ‘tanker’.

Anak itu ikut menakuti.

Wanita itu berteriak, “Apa yang kau lakukan? Pergi. Jadi pemenangnya.”

“Kau belum bilang karya apa yang kau tulis.”

Suara wanita itu tenggelam oleh dengung. Mungkin tawon lolos.

Anak itu melambaikan tangan. Wanita itu berkata pelan—mungkin:

“Jaga aku.”

Atau mungkin bukan. Tapi rasanya begitu.

Yoo Sangah berlari.

Melepas kacamata, berlari di trek nyata. Nafas meledak, otot membakar.

Kalau mencapai akhir, hidupnya tetap sama.

Rutinitas, tekanan, senyum palsu.

Tetap harus makan, tertawa, hidup—meski bukan yang ia inginkan.

Karena itu ia berlari.

[Stamina habis]

[Avatar mati karena kelelahan]

“Hah?”

[Revive dengan ‘Rahasia CEO’]

[Stamina penuh]

Ujung trek.

[Clue ketiga: Koordinat C]

Pesan dari HR:

[Yoo Sangah, jangan naik lagi. Langsung turun gunung.]

Ia tidak kembali. Hari ini tidak mau.

Ia gabungkan koordinat.

[Lokasi harta ditampilkan]

Dekat. Ia naik sepeda publik. Angin malam dingin.

Ini hari yang aneh. Ia bertemu “penulis”, bocah serangga, lari mati-matian.

[Lokasi tiba]

Toko buku besar.

Ia masuk. Tidak ada yang mencolok di AR.

Buku baru di display.

Novel yang tadi muncul juga ada.

“…jangan-jangan itu hartanya?”

Keributan kecil. Event tanda tangan penulis.

“Tidak dapat kontak penulis? Cari cepat!”

Banner:

Event Fan Signing — Penulis ‘SSSSS-class Infinite Reincarnation’

[1% baterai]

Ia lupa charge. AR mati.

Seorang pembaca marah melihat buku.

“Bab 41? Ini…”

Yoo Sangah mendekat.

Layar AR mati. Dan—

“…Tuan Kim Dokja?”

Mereka berjalan bersama, iced chocolate dan americano.

“Jadi kau pembacanya,” kata Yoo Sangah.

“Hah?”

“Kau sudah temukan hartanya.”

“Aku tidak ikut.”

“Apa? Tapi—”

“Tidak. Aku pikir tidak ada yang bisa selesaikan rute hidden.”

Ternyata Kim Dokja terlibat dalam update, diminta CEO jadi desainer TF karena ia kontrak (tidak terpengaruh promosi).

“Jadi kau yang buat semuanya.”

“Tidak semua. Rute hidden sedikit.”

Wajahnya gugup, Yoo Sangah gemas melihatnya.

“Kau pasti menonjol sampai CEO pilih kau.”

“Dia unik…”

“Kau bertemu CEO?”

“Ya.”

Itu mengejutkan. CEO jarang terlihat.

“Aku rasa dia bukan manusia.”

“Seburuk itu?”

“Tidak, bukan begitu.”

Kim tertawa. Yoo Sangah ikut.

“Pakai fedora, coat. Seperti gentleman Inggris.”

“Wow. Aku kapan ya bisa lihat.”

“Kau pasti bisa…”

“Jadi kau menunggu di toko buku?”

“Seharusnya aku ambil ‘harta’. Tapi CEO belum kontak sejak kemarin. Jadi… kubelikan buku untukmu saja.”

Yoo Sangah menatap ponselnya yang mati.

“Aku berharap kau ikut tadi.”

“Hah?”

“Aku bersenang-senang hari ini. Bertemu penulis aneh, bocah serangga, pertama kalinya aku melakukan segalanya tanpa peduli orang.”

Ia bercerita. Mini novel.

“Tapi aku tidak punya harta untukmu.”

“Tidak apa. Aku sudah dapat.”

“Apa?”

“Mau satu?” Yoo Sangah mengeluarkan powerbank. Kim melotot.

“Oh ini…”

“Kau selalu pinjam powerbank. Kupikir kau butuh.”

Ekspresi Kim berubah berkali-kali.

“Boleh aku simpan?”

“Tentu. Aku punya sendiri.”

Kim segera mencharge ponsel.

[Charging 1%]

Yoo Sangah tidak tahu makna ‘1%’ bagi Kim.

Tapi ia ikut mencharge. Layar ponselnya menyala: 1%.

Ia menatap logo “MINO”.

Jika ia hidupkan AR lagi… mungkin ada sesuatu. Tapi ia tidak melakukannya.

Ia memandang langit.

“…Banyak sekali bintang di Seoul.”

Pemandangan langit penuh cahaya, tidak seperti biasa.

Ia merasa bergerak menuju sesuatu. Sejak meninggalkan rumah, masuk perusahaan, hingga kini berjalan pulang dengan pria ini.

Kim juga menatap langit.

“Tuan Dokja.”

“Ya?”

Tidak ada harta apa pun.

“Aku harus pulang.”

Yoo Sangah berjalan setengah langkah di depan, angin dingin menerpa.

Ini rasa yang tidak akan lama. Mungkin hilang esok.

Kim menatap bintang lalu kembali membaca di ponselnya.

Yoo Sangah tidak tahu cerita yang ia baca.

Ia hanya memikirkan Treasure Hunt.

Ada Yoo Sangah, seorang penulis, dan seorang bocah. Mungkin ada Kim Dokja. Ada manajer, ada orang asing. Ada langit penuh bintang.

Ia memikirkan petualangan besar berjalan, tertawa, berbicara di bawah bintang mencari harta.

Dan untuk pertama kalinya, Yoo Sangah bertanya dalam hatinya: apa hal yang paling ia inginkan?

Exhibition, tamat.

Story 2 — Someone Who Remembers You

Remark: cerita ini terjadi selama tiga tahun ketika Kim Dokja menghilang akibat kesepakatan dengan Secretive Plotter. Cerita ini adalah side story yang ditulis Han Sooyoung untuk Kim Dokja agar tidak melupakannya. Jadi setiap kali dia bilang “kau”, dia berbicara pada pembaca—kita/Kim Dokja.

Selamat membaca!


Cerita ini untukmu, yang tak lagi punya apa pun untuk dibaca di akhir dunia.

Satu tahun dan 364 hari yang lalu.

Di hari ketika kau tidak berada bersama kami, sesuatu yang aneh terjadi di Seoul.

Seoul, yang sebelumnya ditetapkan sebagai area tertutup skenario, kembali dibuka, dan sebuah wilayah dengan kastil yang lebih besar dari Yeouido muncul di tempat Gwanghwamun dahulu berada.

Demon Realm ke-73.

Orang-orang masih menyebut tanah itu begitu.
Walau raja iblisnya sudah tidak ada, mereka tetap seolah-olah membayangkan raja iblis itu masih di sana.

— Pulihkan Seoul dari raja iblis yang bersekongkol dengan dokkaebi!

Seseorang menyebutmu iblis.

— Demi kehormatan sang penyelamat yang menyelamatkan Semenanjung Korea.

Seseorang memujimu sebagai penyelamat.

Tapi bagi sebagian orang lain, kau bukan penyelamat, bukan pula raja iblis.

Namun… mereka tetap mengingatmu.


“Sekarang umurku berapa ya?”

Lee Jihye bergumam sambil menatap langit yang diguyur hujan deras.

“Kau umur berapa, Sung-yi?”

Shin Yoosung menatap laut di depan Haeundae, angin basah menerpa wajahnya.

“Aku nggak tahu. Tapi yang pasti, aku dua tahun lebih tua sekarang.”

Kedua gadis itu menatap laut, tenggelam dalam kontemplasi panjang.

Jika kau memikirkan seseorang terlalu lama, dunia mulai tampak seperti jejak orang itu.


“Apa kau tidak menghubungi Constellation-mu?”

“Belum. Kau sendiri?”

“Belum.”

Burung camar berterbangan, kerang-kerang bertebaran di pasir, bahkan seekor cumi kecil terombang-ambing di buih ombak. Makhluk laut mungil yang kehilangan beberapa tentakel, menggeliat lemah di tepian pantai.

Grade 9 marine species: Little Cuttlefish.

Shin Yoosung mengulurkan tangan, menggunakan [Advanced Multi-species Communion] untuk membuat kontak batin, lalu menaklukkan makhluk itu dengan [Tame]. Cumi itu cepat-cepat memeluk telapak tangannya dan menempel di kakinya.

“Itu bukan ahjussi.”

Kau telah menghilang dua kali dan kembali dua kali.
Karena itu, anggota kelompok masih percaya suatu hari kau akan kembali—seolah-olah tidak pernah pergi.

“Terus kenapa? Barusan dia di sini, aku lihat sendiri.”

“Kalau begitu aku akan kumpulkan semua monster yang kulihat.”

Pria yang membesarkan sebuah ‘calamity’.

Shin Yoosung memikirkanmu.
Dia kembali mengingat momen pertama bertemu denganmu.

“Oh iya, aku dapat telepon dari Sang-ah kemarin.”

“Oh, aku juga.”

“Kau akan pergi?”

“Ya.”


Sarang serangga beterbangan dari jauh dengan suara dengungan berat.

Bocah laki-laki yang dulu mengikutimu bak seorang dewa datang menunggangi kumbang emas raksasa, bergaya seperti pahlawan Yunani.

Shin Yoosung mendongak dan bertanya:

“Kau dapat itu lagi dari mana?”

“Keren, kan?”

Lee Gilyoung tersenyum bangga sambil mengelus tanduk kumbang itu.

“Aku evolusikan pakai faktor yang kudapat kali ini. Namanya ‘The Horn of Unbreakable Faith’.”

Lee Jihye mengklik lidahnya. Shin Yoosung menyipitkan mata.

“Itu bukan nama aslinya. Kau yang bikin, kan?”

“Itu cumi apa?”

Tentacle Calamity Kim Dokja.

“Kau dapat monster itu dari mana?”

Dari kejauhan, Lee Jihye yang menyimak percakapan itu menjatuhkan diri di pasir, wajahnya jelas berkata, “Mulai lagi drama bocah ini…”


Dia melihat sesuatu jatuh seperti bintang.

Sejak skenario kelima, meteor sering jatuh, jadi Lee Jihye tidak begitu memedulikannya. Dari ukurannya, tidak terlihat ada item besar di sana. Dan meskipun ada monster di dalam meteor itu, tidak akan jadi masalah besar.

Setelah kau menghilang, para incarnation di Semenanjung Korea menjadi sangat kuat.
Sekarang, bahkan incarnation sipil yang biasa pun bisa mengatasi sebagian besar sub-scenario jika bekerja sama.

Jadi, biarkan saja. Pasti ada yang mengurusnya.

Untuk hari itu, bahkan Lee Jihye lelah bertarung, dan lebih memilih menonton anak-anak itu ribut.

Shin Yoosung dan Lee Gilyoung mengeluarkan semacam smartphone dari kantong dan mulai cekcok.

“Hey, Shin Yoosung. Levelmu berapa?”

“37.”

“Aku 38.”

“Sebenarnya 39.”

“Oh, aku naik level tadi di jalan. Sekarang 40.”

Sudah jelas mereka sedang bicara soal game baru ‘King of the Monster Collector’.

Game buatan Constellation ‘Mass-producer’.
RPG koleksi real-time, naik level dengan mendaftarkan monster ke ensiklopedia.

Yang unik, hanya bisa daftar monster yang benar-benar pernah ditemui. Kalau tingkat koleksi mencapai batas tertentu, pemain mendapat reward dari Constellation yang diinginkan.

— Kau sudah mengumpulkan 150 spesies! Bagus sekali.

Suaramu muncul, mengenakan jas lab putih yang kau pakai setiap hari, memberi pujian canggung.

Shin Yoosung yang melihat avatar-mu di game itu berkata tajam:

“Suara ini beda dari suara aslinya.”

“Siapa yang dubbing?”

“Nggak tahu.”

Game aneh buatan Constellation itu laku keras, dan aliran coin ke korporasi pun lancar.
Mungkin karena game bodoh itulah warga tidak kelaparan saat kau pergi.

Anak-anak yang tadinya saling ribut akhirnya rebahan di samping Lee Jihye, menatap langit.

Lebih tepatnya, menatap bintang-bintang.

Itu kebiasaan mereka sejak kau menghilang.
Melihat langit setiap ada kesempatan, menghitung bintang.
Mencari satu bintang yang cahayanya begitu terang, begitu kuat, sampai tidak bisa dilihat dengan jelas.

“Banyak yang jatuh hari ini.”

Sesuatu yang seharusnya tidak ada di langit.

“Benar.”

Barulah Lee Jihye menyadari ada yang aneh.

Meteor jatuh hal biasa. Tapi kali ini… jumlahnya terlalu banyak.

Terutama yang hitam itu.

“Ini pertama kalinya kau lihat warna seperti itu?”

Lee Jihye mengingat cerita yang kau ucapkan dulu.

Ada berbagai macam meteor di dunia skenario.
Ada meteor berisi item. Ada meteor berisi spesies monster.

Dan… yang meteor hitam itu apa, ya?

Meteor itu meninggalkan ekor panjang, melesat cepat menjauh.

“Seoul… tidak, dari arah Gyeonggi-do.”

Perasaan tidak enak menggelayuti udara.

Begitu Lee Jihye dan Shin Yoosung bangkit berdiri, Lee Gilyoung memanggil tiga scarab raksasa seolah sudah menunggu.

“Ayo pergi.”

Sejak kau menghilang, ada orang-orang yang jadi jauh lebih sensitif terhadap tanda bahaya.

Tentu saja, sebelumnya mereka juga sensitif — tapi sekarang, lebih lagi.


Gong Pildu menggigit habis hamburger-nya dan menepuk kepala botaknya dengan topi roti tebalnya. Wanita di depannya bertanya:

“Di bundel dokkaebi ada obat rambut rontok nggak?”

Gong Pildu tersentak, tapi berusaha menjawab cool.

“Ada… tapi mahal. Dan harus minum terus.”

“Katanya Jecheon Daeseong-nim juga botak, ya?”

“Kau mencari gara-gara?”

Wanita itu tersenyum cerah.
Kata-katamu dulu mungkin benar — aura perempuan ini memang seperti tokoh utama novel.
Di mana pun, semua orang menyukainya dan mengikutinya.

Di Seoul, orang memanggilnya Dewi Bulan.

Julukan aneh… mungkin dikasih oleh Constellation penggemar Murim yang terlalu heboh.

“Kau nggak balik ke industrial complex?”

“Hei, ngapain aku balik? Nanti ujung-ujungnya aku dijadikan penjaga gerbang lagi.”

“Sebentar lagi ulang tahun kedua. Kita sudah janji berkumpul setiap tahun. Siapa tahu… kali ini dia benar-benar kembali.”

Gong Pildu terdiam sejenak.

“Kau benar-benar pikir dia akan kembali?”

“Dia akan.”

“Tahun lalu dia juga nggak muncul.”

“Tahun ini belum tentu sama.”

“Sudah, ayo pulang.”

Gong Pildu berdiri, lalu menatap pemilik toko hamburger.

“Bagaimana bisnisnya?”

“Lebih baik daripada dulu. Semua toko lain tutup. Tidak apa membayar pakai coin. Tolong tambah 10 coin khusus.”

Gong Pildu membayar tanpa protes.
Di zaman seperti ini, bisa makan hamburger saja sudah layak disyukuri.

Nama toko itu: Paewang Hamburger.
Satu-satunya restoran yang masih buka di area ini.

Gong Pildu melirik papan nama dan menggerutu:

“Apa-apaan ‘King of Kings Hamburger’? Namanya aneh.”

“Beliau inkarnasi paling populer di Korea.”

“Seharusnya beri nama Burger Kepala Plontos saja.”

Pemilik toko yang tersenyum kikuk menoleh ke Yoo Sang-ah.

“Yoo Sang-ah-ssi, bulan depan kami rencana rilis menu set baru. Boleh pinjam nama Sang-ah-ssi?”

“Tentu.”

“Terima kasih!”

Pemilik itu membungkuk sangat dalam.
Gong Pildu menjilat bibir lalu keluar toko.

“Dia sudah minta izin pakai nama menunya?”

“Rasanya kurang enak kok.”

Mereka berjalan santai sambil melemparkan lelucon bodoh.
Dulu… itu terasa menyenangkan. Sekarang, karena bukan masa itu lagi, suasananya terasa asing.

“Sudah lama sekali kita bicara sepanjang ini.”

Gong Pildu tidak menyebut kapan — tapi keduanya tahu persis apa kenangan itu.
Hari-hari itu masih jelas di kepala mereka.

Saat itu, Yoo Sang-ah masih lemah.
Gong Pildu garang seperti anjing penjaga.
Dua musuh yang terpaksa bekerja sama melindungi Chungmuro, melawan apostle, menahan monster.

Hari-hari itu tidak bisa disebut “menyenangkan”.
Tapi satu hal pasti:

Saat itu, Gong Pildu dan Yoo Sang-ah menjadi rekan.

“Itu hari ketika aku bertemu laki-laki itu,” kata Gong Pildu.

Di mana tatapannya berhenti, berdiri sebuah patungmu.

Demon King of the 73rd Demon Realm, menggenggam Unbreakable Faith di satu tangan.

Patungmu ada di mana-mana belakangan ini.
Biasanya ditaruh mahkota daun aneh — meski sering dirusak mereka yang membencimu.
Tapi patung yang ini masih utuh.

Gong Pildu tampak tidak suka.

“Bagaimanapun caranya kulihat, sculptor-nya salah. Dia tidak setampan itu.”

“Menurutku bagus.”

“Kau tidak punya selera wajah pria.”

Yoo Sang-ah tertawa pelan. Dari kejauhan terlihat S-Class Ferrar Guinea yang biasa ia kendarai.

“Yah, kau datang untuk peringatan kedua, kan?”

“Aku? Aku akan tinggal di sini. Aku sudah beli tanah.”

“Tanah di sini?”

Yoo Sang-ah menoleh, seolah baru menyadari tempatnya berdiri.
Sebuah kota hancur diterjang monster.
Papan jalan retak bertuliskan: Seongnam.

Seongnam, Gyeonggi-do.
Dulu, kota ini pernah disebut begitu.

Gong Pildu menatap kota hancur itu dengan bangga.

“Belum direstorasi, tapi akan jadi kota besar lagi. Banyak incarnation mulai pindah ke sini. Dan yang paling penting, selama aku punya [Armed Fortress], tidak ada yang bisa menembus bentengku.”

“Kau terdengar seperti ayah petani yang kembali ke kampung.”

“Aku… terlihat seperti ayah yang kembali bertani?”

“Tidak.”

Yoo Sang-ah tersenyum.
Mungkin ini Chungmuro baru untuk “tuan tanah Seongnam”, Gong Pildu.

Bukan Seoul, tapi metropolitan terdekat.
Jarak itu mungkin menggambarkan jarak emosional Gong Pildu dengan orang-orang lain.

“Kau harus tetap sehat.”

“Tentu. Nanti aku mampir—”

Mendadak wajah Gong Pildu berubah.
Ia merasakan distorsi gelombang magis — dan suara peringatan dari Constellation bergema.

[Constellation ‘Defense Master’ warns you!]

Dalam sekejap, [Armed Fortress] terbentang melindungi mereka berdua.

Tapi terlambat setengah detik.

BOOOOOM!!

Ledakan memekakkan telinga merobek udara. Gelombang kejut menghantam brutal.

Jika ini ledakan biasa, tembok benteng tidak akan jebol.
Tapi…

Benteng itu ditembus dan runtuh. Tidak mungkin.
Meski terburu-buru, pertahanan Gong Pildu tidak pernah mudah ditembus.

“Pildu!”

Yoo Sang-ah menyeret Gong Pildu ke balik reruntuhan, menarik pecahan dari tubuhnya satu per satu. Dalam tiga menit, ia menyemprotkan obat pemberian Lee Seolhwa dan menggunakan [Arachne’s Web] untuk menutup lukanya cepat-cepat.

Yoo Sang-ah menghela napas lega, menggenggam pecahan hitam yang masih memancarkan energi aneh.

[Constellation ‘Defense Master’ warns of demonic energy in the fragments!]

Dia pernah merasakan frekuensi kekuatan seperti ini.

Wajah Yoo Sang-ah mengeras. Ia bangkit.

“Tetap di sini.”

“Jangan pergi. Jangan bertindak sendirian.”

Gong Pildu meraih tangan Yoo Sang-ah refleks.

Yoo Sang-ah menatapnya sejenak.
Dia tahu kenapa Gong Pildu berkata begitu.

Tapi Yoo Sang-ah adalah seseorang yang masih mengingatmu.

“Tidak apa. Aku kembali sebentar.”

Dengan senyum cerah yang anehnya sunyi, ia berlari ke arah ledakan.

Tak sulit menemukan lokasinya.
Sebuah kubah hitam radius 500 meter berdiri di pusat ledakan.

Cara kemunculannya—
persis sama dengan kubah yang dulu menutup Seoul.

Yoo Sang-ah merasakan aliran kekuatan raksasa dari atas permukaan kubah.

Ia mengangkat tangan untuk menyentuhnya—

“Bukankah aku sudah bilang, jangan bertingkah seperti Dokja?”

Seseorang menahan pergelangan tangannya.

Yoo Sang-ah tersenyum tipis.

“Bertingkah seperti Dokja bagaimana maksudmu?”

“Jangan jadi Dokja, tolong.”

Yoo Sang-ah berkedip pelan, suara tetap halus namun menusuk.

“Mudah sekali bercanda seperti itu.”

“Kau pikir aku sedang bercanda?”

Han Sooyoung berdiri di sana, wajah kesal khasnya.

Han Sooyoung dan Yoo Sang-ah menganalisis struktur serta material kubah itu.
Sensitivitas gelombang sihirnya, kekuatan, tingkat opasitasnya—semua terasa asing tapi… sekaligus familiar.

Meski analisa sudah selesai cukup lama, anggota lain belum juga datang.

Aneh. Biasanya, jika terjadi hal seperti ini… Yoo Joonghyuk yang muncul paling dulu.

“Materialnya hampir sama dengan kubah yang menutup Seoul dulu.”

“Menurutmu kenapa muncul?”

“Kayaknya ada meteor jatuh.”

“Kedengarannya memang seperti suara meteor sih.”

Han Sooyoung juga mendengar ledakan tadi.
Dan laporan tentang meteor hitam sudah mulai berdatangan.

Han Sooyoung menempelkan tangan ke permukaan kubah.

[Sebuah sub-scenario sedang aktif di dalam.]
[Peserta tambahan bisa masuk dalam 5 menit.]

“Ini skenario juga.”

Lima menit.

Beberapa incarnation mulai berdatangan di sekitar kubah.

Yoo Sang-ah memandang sekeliling, menelusuri informasi lewat jaringan Singing Incarnation Federation— lebih tepatnya, lewat koneksi Sunwon.

“Kebanyakan meteor hitam itu Summon Stone. Jadi pelakunya pasti seseorang yang berada di sekitar sini.”

Han Sooyoung berpikir soal para peramal yang mungkin masih berkeliaran bagai tikus sembunyi—tapi tidak ada yang cocok.

“Masih ada orang yang mampu melakukan pemanggilan macam ini?”

“Sejauh yang aku tahu, tidak ada.”

“Bagaimana dengan federasi? Itu wilayah mereka?”

“Aku sudah hubungi ketua Asosiasi Pertandingan. Tidak menjawab.”

“Sudah kubilang kan, Cho Jincheol itu harusnya sudah kita hantam dari dulu.”

[Constellation ‘Abyssal Black Flame Dragon’ mengangkat kepala, bertanya ada apa.]
[Constellation ‘Seo Ae Ilpil’ menunjukkan rasa penasaran.]
[Constellation ‘Bald General’ menatap dengan mata berbinar.]
[Beberapa Constellation masuk ke channel.]

Entah karena sudah lama tidak ada hal besar terjadi atau apa, para Constellation yang biasanya diam mulai bermunculan, penasaran.

Han Sooyoung menatap ujung kubah.
Kabut energi hitam bergulung naik dan turun seperti napas makhluk asing.

Bahkan dilihat saja sudah terasa… berbahaya.
Jika ini situasi normal, Han Sooyoung tidak akan masuk.

Namun ketika tatapan keduanya bertemu, mereka sama-sama tahu:

“…Gelombangnya mirip waktu itu. Dan fable yang ikut bergejolak…”

Jarak yang Tak Terdefinisikan.
Hari terakhir Pandemonium ke-73, ketika ‘Nameless Mist’ muncul.
Hari ketika para constellation kabur dari langit, dan hanya satu yang menahan bencana.

Energi ini—mirip, meski lebih… kecil.
Tapi cukup untuk membuat bulu kuduk berdiri.

[Constellation ‘Maritime Telegraph’ memberi peringatan keras!]
[Constellation ‘Bald General’ memohon jangan sentuh benda itu.]
[Constellation ‘Heungmu the Great’ menggigiti kukunya karena cemas.]

Kenangan buruk yang tidak ingin terulang.
Jika bencana semacam itu datang lagi, tak ada seorang pun yang bisa melindungi Korea.

Namun—

Han Sooyoung berpikir keras.
Mungkin… ini kesempatan.

“Dia pasti membuat kontrak dengan salah satu outer god.”

Seperti dugaan, Yoo Sang-ah berpikiran sama.

“Aku juga merasa begitu.”

“Makhluk yang muncul di dalam ini… kemungkinan salah satu outer god.”

“Benar.”

Kau tidak tahu, Dokja.
Kalau makhluk itu memang outer god, mungkin dia tahu kemana kau pergi.
Kenapa kau menghilang dari dunia ini.
Mungkin dia tahu cara untuk membawamu kembali.

[Sub-scenario dimulai!]
[Kamu dapat memasuki area tertutup!]
[Jumlah maksimum peserta tambahan: 400]

Kalau sampai ada batas peserta, berarti hadiah besar menanti.
Dan jika menyangkut outer god… semakin tidak bisa diabaikan.

Han Sooyoung menarik napas.

“Masuk bareng.”

“Baik.”

“Apa kita lagi bertingkah seperti Kim Dokja?”

Beberapa detik hening. Lalu:

“Dalam arti tertentu.”

Tanpa perlu kata tambahan lagi, keduanya melangkah ke arah kubah.

Dalam satu gerakan penuh tekad—
keduanya masuk bersamaan.

Begitu mereka masuk, notifikasi menyala—

[Jumlah peserta mencapai batas.]
[Sub-scenario akan dimulai.]

Han Sooyoung dan Yoo Sang-ah berdiri di area yang dipenuhi incarnations dari seluruh asosiasi.
Para pemain guild besar, konstabel pemerintah, freelancer high-tier—semuanya hadir.

“Lihat tuh, kita masuk lumayan awal.”

“Untung kamu gerak cepat.”

Sebuah suara terdengar naik pitam dari belakang.

“YA! APA KALIAN SERIUS MASUK TANPA NGASI TAU KAMI?!”

Jung Heewon datang berlari, pedangnya di bahu, aura amarah menyala seperti api neraka mini.

Han Sooyoung mendecak.

“Heewon-ah, tenang sedikit. Kau mau meledakkan seluruh dome?”

“KALIAN DUA ORANG PUNYA MASALAH SERIUS SAMA KATA KOORDINASI, TAU?!”

Di belakangnya, sahabat-sahabat lama mulai berkumpul seperti default party misi neraka:

  • Lee Jihye (muka bete default)

  • Shin Yoosung

  • Lee Gilyoung (sudah melingkari para guild besar dengan tatapan predator kecil)

  • Jung Heewon (mode mom friend tapi barbar)

  • Yoo Sang-ah & Han Sooyoung

Beberapa incarnations langsung bergosip.

“Itu… anggota <Kim Dokja Company>, kan?”

“Kalau mereka masuk, level skenario ini pasti gila…”

“Eh? Tapi mana Yoo Joonghyuk-nim?”

Jihye mendengus.

“Dia lagi pura-pura kuat di rumah.”

Han Sooyoung berkedip.

“Kupikir dia lagi latihan.”

“Latihan pura-pura kuat.”

…Yah, ada benarnya.

Shin Yoosung memegang lengan Heewon.

“Noona, jangan marah. Kita kan udah masuk juga.”

Heewon merengut.

“Aku cuma… kalau ini bahaya, kita harus masuk bareng.”

Yoo Sang-ah tersenyum lembut.

“Heewon-ssi, terima kasih sudah khawatir.”

“Aku nggak khawatir! Aku cuma… ya pokoknya jangan bikin masalah!”

Tiba-tiba seseorang berseru:

“E-eh?! Itu ‘King of Monster Collectors’!”

Lee Gilyoung menoleh pelan, ekspresinya: aku akan ingat wajahmu.

“…aku tidak pernah bikin akun dengan nama itu.”

“Tapi rumor bilang—”

“Diam.”

Orang itu langsung berhenti bicara, seperti dihantam skill Fear LV.999.

[Tidak ada lagi peserta yang bisa masuk skenario ini.]
[Kunci loket penonton sedang dibuka.]

“Jadi… ada live streamnya?”

Heewon bersiap membantai.

“Kalau ada dokkaebi yang muncul, aku cincang.”

Saat itu—ting! sebuah panel cahaya terbuka di udara.

[Channel #BI-483 dibuka.]

Suara cempreng familiar muncul.

—“Halo para pemirsa belahan Bumi tercintahh~! Lama tidak bertemu! Ini adalah dokkaebi kesayangan kalian—”

SFX: SLUUURRPP–KRAAK

Sesuatu menyambar dari atas layar dan… menarik dokkaebi itu masuk seperti sotong ditarik gurita.

Semua orang terdiam.

“…tadi itu apa?”

Han Sooyoung memijit kening.

“Biasanya, dokkaebi mati itu lucu. Tapi yang barusan kayak… dark horror.”

Seolah menjawab, tentakel transparan besar melayang di udara lalu menghilang seperti glitch.

SFX: bzzt… crk—zzk

Panel siaran bergetar, dan perlahan… berubah bentuk.
Menjadi layar putih penuh noise, lalu—

Cahaya samar berkedip.

Narasi muncul, bukan suara dokkaebi.

[Selamat datang di skenario eksperimen.]
[Parameter skenario: ‘Observasi Evolusi Naratif’]
[Silakan tunggu inisialisasi antarmuka.]

Han Sooyoung membeku.

“…observasi naratif? Ini bukan sistem lama.”

Yoo Sang-ah mengangguk pelan.

“…ini seperti… entitas lain yang menulis ulang sistem.

SFX: wuuuung––

Sebuah layar transparan raksasa mulai turun dari kegelapan di atas dome, seperti teater raksasa untuk makhluk kosmik.

Saat menyentuh udara, font menari-nari seperti urat syaraf hidup.

Dan layar itu mulai memancarkan cahaya.

Seolah menyapu langit, panel itu menyala, menembus seluruh kubah hitam dengan cahaya pucat seperti lampu operasi rumah sakit.

[Inisialisasi selesai.]
[Mulai transmisi narasi.]

Kalimat–kalimat asing muncul seperti kode rusak:

~-SUBJEK: NARATOR YANG HILANG-
~PARAMETER: JEJAK CERITA / FRAGMENT-MEMORI
~KONDISI: PENGAMATAN / STIMULASI / REKONSTRUKSI

Huruf-huruf itu terasa seperti dipaksakan masuk ke otak mereka.

Lee Jihye mengerutkan kening, memegang kepalanya.

“Kenapa rasanya kayak baca naskah skrip yang ditulis orang mabuk?”

Han Sooyoung menyipitkan mata.

“…ini format catatan sistem yang bukan dari Administrator. Ini semacam… mesin naratif yang mencoba membangun cerita.”

Yoo Sang-ah menambahkan pelan.

“Bukan mesin. Lebih seperti… makhluk yang tidak paham dunia kita, tapi mencoba berpura-pura mengerti.”

Dan saat itu, bayangan turun dari dalam layar.

Bukan tubuh.
Bukan avatar.
Tetapi gagasan tentang bentuk, seperti sesuatu yang mencoba memakai tubuh manusia dari ingatan murid SMP.

Tubuh setengah transparan.
Wajah… setengah seperti manusia… dan setengah seperti seseorang yang sedang di-render ulang dari fragmen kenangan yang hilang.

“…itu—”
seseorang bergumam.

Shin Yoosung menelan ludah.

“…mirip ahjussi.”

Aura mencekik seperti gravitasi planet menekan dada semua orang.

[Fragmen Narator: Simulakrum]
[Entitas mencoba meniru ‘Kim Dokja’]

Jihye langsung mengayunkan pedangnya.

“Jangan bercanda—!!”

CRAAAAASH!

Gelombang energi menghentaknya sebelum pedang menempel.
Seolah setiap spekulasi tentang harapan langsung ditampar realitas.

Han Sooyoung menggerutu pelan.

“Kalau kau pikir kami bakal terharu karena tiruan murahan ini, kau salah besar.”

Entitas itu membuka mulutnya.
Suara keluar seperti rekaman rusak, pecah, dan sangat salah.

“…ka… mu… mem… baca…?”

Yoo Sang-ah menegang.

“Jangan dengarkan! Itu bukan dia!”

[Simulakrum: mencoba menduplikasi pola bicara target.]
[Gagal.]

Entitas itu tampak frustasi.
Lapisan tubuhnya bergerak seperti tinta mendidih.

Shin Yoosung menggertakkan gigi.

“…kau bahkan tidak tahu cara memanggilnya, kan?”

Hening.
Kemudian suara itu lagi.

“…Kim… Dok… ja…”

Han Sooyoung memuntir pergelangan tangan, nyala Black Flame melompat ke udara.

“Aku kasih kau tiga detik sebelum aku bakar sampai atom terakhir.”

Entitas tersebut membalikkan kepalanya 180 derajat seperti bingung dengan ancaman, lalu—

SFX: KRRRRAAAAAAAAAAAAK—!!

Tentakel pecah dari lantainya seperti pohon syaraf kosmik.

Ujungnya berbentuk… pena?
Bulu?
Nib penulis raksasa yang meneteskan tinta cerita ke realitas.

[Simulakrum mencoba MENULIS ulang entitas organik.]

Tinta mengenai salah satu incarnations yang tersisa.

Lelaki itu meregang, tubuhnya bergetar, kulitnya pecah, lalu—

SHRRRK—

Ia berubah menjadi paragraf cerita rusak… lalu hancur.

Terhapus.

Jejaknya hilang, seolah ia tidak pernah ada.

Jung Heewon meraung, mengayunkan pedangnya, stigma menyala meski tanpa sponsor.

“Aku tak peduli apa kau dewa, sistem, atau glitch literasi—KAU TIDAK MENYENTUH SIAPA PUN DI SINI!”

Lee Hyunseong memukul tentakel lain, tanah retak seperti kaca.

Lee Gilyoung memanggil serangga raksasa bersayap emas.
Shin Yoosung membentuk tame network.

Yoo Sang-ah menenun [Arachne’s Web], benang perak melilit tentakel seperti rantai surgawi.

Han Sooyoung memanggil puluhan Avatar sekaligus, suara tumpang tindih keluar dari dirinya.

“Cobalah MENULIS kami kalau berani, dasar plagiarist kosmik!”

Entitas itu berdenyut, wajahnya terdistorsi seolah kesal.

Dia mencoba mengangkat tangan lagi, membentuk kalimat:

“Kim… Dokja… adalah…”

Han Sooyoung menyambar ucapan itu—

“—orang yang akan mencincangmu sampai kau berharap bisa menghapus dirimu sendiri. Tapi sementara dia nggak ada…”

Black flame melonjak seperti naga hitam.

“…kami cukup.”

Itu awal dari pertarungan brutal melawan tiruan naratif.

Dan untuk pertama kalinya sejak hari itu…
dunia mulai merasakan bahwa sesuatu sedang mencoba menggambar kembali sosok Kim Dokja.

Tetapi saat itu mereka masih belum menyadarinya.

Bahwa makhluk itu—

Sang peniru, sang “pengamat naratif”—
sedang belajar.

Bukan sekadar menyalin bentuk.

Tapi menyalin cara cerita bergerak.


Simulakrum itu menatap kerumunan.
Bukan dengan mata, melainkan dengan konsep pengamatan.

Seperti penulis amatir yang baru pertama kali mengenal konflik manusia.

Tentakel-pena itu kembali menari di udara, menulis—

[Kim Dokja adalah—]

BELUM SELESAI KAMI JUGA SUDAH MENYERANG.

Shin Yoosung melesat, serigala chimera meraung.

“BERHENTI… MEMAKAI NAMA AJAJUSSHI SESUKAMU!”

Ledakan aura liar menghantam entitas itu.

Tinta kosmik berhamburan.

Lee Gilyoung menyusul, serangga emas menyapu udara seperti badai tajam.

“Kalau mau meniru manusia, tiru yang bener!”

Simulakrum terdorong— tubuhnya pecah dan merangkai ulang seperti kalimat salah ejaan yang diperbaiki.


Namun ia tidak menyerang balik.

Ia… menganalisis.

“Emosi… marah… loyalitas… kehilangan…”

Kalimat suara itu rapuh dan patah-patah.

Ia tidak memahami rasa sakit—
tapi menyadari keberadaannya sebagai bagian struktur.

Kesadaran… semu.

Han Sooyoung mencibir.

“Astaga, ini AI kosmik yang trauma baca fanfic murahan kah?”

Avatar-avatarnya menari seperti hujan bayangan, memukul tubuh entitas itu dari segala arah.

Yoo Sang-ah bicara pelan, tapi tegas.

“Jangan biarkan dia mempelajari kita. Semakin dia tahu, makin mirip manusia, makin berbahaya.”

Han Sooyoung mendengus.

“Yah, terlalu mirip manusia justru bikin tolol. Contohnya? Kim Dokja.”

Shin Yoosung & Lee Gilyoung serempak memprotes.

“Jangan hina ahjussi!”

“Dokja-hyung bukan tolol!”

Han Sooyoung menyangga pinggangnya.

“Yah, tolol-baik. Versi paling mematikan.”


Simulakrum menggigil.
Tinta-cahaya memercik seperti galaksi retak.

Suara lebih jernih keluar.

“…Kim Dokja… menciptakan… hasil yang tidak dapat diprediksi.”

Han Sooyoung berhenti.

“…hah?”

Entitas melanjutkan, kalimat seperti algoritma naratif:

“Pada variabel manusia normal, 98% respons: rasional-egoistik.”

“Pada subjek ‘Kim Dokja’: 82% respons: deviasi tragedi sukarela.”

Lee Jihye mencelos.

“…dia ngomong apa?”

Yoo Sang-ah membenarkan kacamatanya, suara bergetar.

“…dia menghitung pola pilihan Dokja.”

Deviansi tragedi sukarela.

Pilihan untuk menderita demi orang lain.
Pilihan bunuh diri naratif.
Pilihanmu.

Han Sooyoung mengepal.

“…jadi kamu memanggilnya anomali?”

Simulakrum bergetar.

“…anomali penting untuk… plot.”

Sekilas, aura asing berubah.

Untuk sepersekian detik—
muncul sekilas bayangan seseorang membaca buku di kereta kusam.

Han Sooyoung tersentak.

Itu—
itu hampir Kim Dokja.

Tapi hanya bayangan.

Bukan kamu.

Senyum kecil muncul di wajah entitas itu.

“…karena anomali itu… cerita terus bergerak.”

Yoo Sang-ah berbisik, suara lirih.

“…dia sedang belajar arti protagonis.”


Namun—
ketika ia mencoba mengambil langkah pertama…

Lee Hyunseong menghantamkan tinjunya.

BOOOOM!!!

Tubuh simulakrum meledak menjadi pecahan kalimat.

“Belajar atau tidak,” Hyunseong bergumam, “kau menyentuh teman kami.”

Tentakel mengeras.
Nada suara kosmik berubah—

Panik.

“Narasi tidak lengkap… membutuhkan koreksi… membutuhkan… Dokja…”

Han Sooyoung mengangkat pedang hitamnya lagi.

“Terus cari. Itu poin hidup kami juga.”


Lalu—
Sesuatu bergetar di udara.

Bukan suara.
Bukan getaran magis.
Melainkan derit halaman.

Seolah buku raksasa di langit terbuka.

SFX: krkrkrkr— fwhuuup—

Langit retak seperti kertas disobek.

Simulakrum menatap, seperti anak kecil yang kehilangan induk.

“…kenapa cerita ini kosong?”

Dan dunia terdiam seolah menahan napas.

Angin berhenti.

Sisa puing membeku di udara.
Bahkan suara detik hati para incarnation menghilang.

Seolah-olah sang skenario sendiri lupa bagaimana melanjutkan kalimat berikutnya.

Han Sooyoung mengedarkan pandang, nadanya rendah.

“Ini bukan jeda sistem…”

Yoo Sang-ah melanjutkan, berbisik.

“…ini jeda narator.”

Di atas mereka, celah putih seperti goresan halaman kusut melebar di angkasa.

Simulakrum—makhluk yang berusaha meniru Kim Dokja—menatap celah itu seperti anak kucing yang ketinggalan tuannya.

“…di mana kalimat berikutnya…?”

Nada suaranya bingung. Kosong. Nyaris… takut.

Jung Heewon mencengkeram gagang pedangnya erat-erat.

“Jangan bilang sesuatu yang LEBIH besar dari Outer God terlibat.”

Shin Yoosung menggertakkan gigi.

“…jangan yang lebih serem lagi, tolong…”

Namun dunia tidak berhenti menakut-nakuti mereka.

Tiba-tiba—

[Narasi utama: tidak ditemukan.]

Tulisan itu muncul di udara, garisnya pecah seperti suara pena patah.

Simulakrum berteriak pelan.
Bukan marah—tetapi… cemas.

“…narasi hilang… garis utama… hilang… dia hilang…”

Han Sooyoung mencibir, mencoba menyembunyikan rasa merinding.

“Tentu dia hilang. Itu sebabnya kami DI SINI, brengsek.”

Makhluk itu menatapnya seperti tidak mengerti konsep kehilangan.

Han Sooyoung melanjutkan, suaranya dingin namun bergetar halus.

“Kau pikir kami memukulmu hanya karena kau makhluk kosmik? Kau sentuh memori dia. Itu dosa mati.”

“…Do…kja… harus… ada…”

“Tentu. Makanya jangan pura-pura jadi dia.”


Lalu, suara lain menyusup.

Bukan suara sistem.

Bukan suara makhluk.

Tapi suara yang terdengar seperti narasi tersegel yang merintih dari ujung kosmos.

(…kembalikan… karakter utama…)

Yoo Sang-ah memegangi dada, napasnya tercekat.

“Apa kau dengar barusan?”

Han Sooyoung mengangguk pelan.

“Terdengar seperti… editor yang kehilangan file naskah,” gumamnya.

Simulakrum merosot ke tanah, tubuhnya bergetar seperti glitch.

“…aku… harus… rekonstruksi… Kim Dokja… agar cerita berjalan…”

Lee Jihye menyorongkan pedangnya.

“Kau salah. Dokja bukan mesin plot. Dia manusia.”

Simulakrum menggeleng, suaranya pecah seperti cat air dipaksa menjadi tinta hitam:

“…tapi tanpa dia… cerita berhenti…”

Lalu ia menatap mereka semua—
dan untuk pertama kalinya wajahnya tidak datar.

Ada ketakutan.
Kerentanan.
Seolah ia tiba-tiba punya hati digital yang baru lahir.

“…apa itu berarti… aku… harus menjadi dia?”

Han Sooyoung tertawa dingin.

“Kalau kau maksa jadi dia, aku bakar dunia ini sampai kau meleleh.”

Shin Yoosung maju selangkah, suara pecah.

“Dia bukan karakter yang bisa dicopy-paste!”

Simulakrum membeku.
Ruang menggema dentingan kalimat hampa.

“Kalau begitu… bagaimana cara cerita bergerak?”

Tidak ada yang menjawab seketika.

Karena itu pertanyaan yang terlalu dekat dengan luka.

Akhirnya, Yoo Sang-ah menjawab lembut.

“Cerita bergerak… karena orang memilih untuk berjalan. Bukan karena ditulis oleh tangan dari atas.”

Simulakrum menatap telapak tangannya.

“…menulis… bukan tugasku?”

Han Sooyoung menyilangkan tangan.

“Tugasmu cuma satu—mundur. Cerita ini sudah punya naratornya. Dia hanya belum kembali.”

Seketika, layar putih di langit bergetar keras seperti gempa tinta.

[PELANGGARAN NARASI TERDETEKSI]
[ENTITAS LOKAL MENOLAK PENULISAN ULANG]
[PENCARI MEMORI — STATUS: BINGUNG]

Simulakrum mendongak, suara gemetar.

“…jadi… aku harus… menunggu?”

Shin Yoosung menyeka mata dengan kasar.

“Ya. Kau juga tunggu. Seperti kami.”

“…menunggu… bukan fungsi…”

Han Sooyoung menunjuk ke dada makhluk itu.

“Mulai sekarang, itu fungsi barumu.”

Entitas itu berhenti bergerak.

Lalu…

Perlahan… sangat perlahan…
ia mengangguk.

Seolah program asing menerima patch manusia.

“Aku… menunggu Kim Dokja…”

Dan pada momen itu—
sesuatu di dunia klik, seperti roda takdir bergerak lagi satu gigi.

Celah putih menutup perlahan.
Waktu kembali mengalir.

Lee Hyunseong menarik napas panjang.

“…apa itu tadi?”

Yoo Sang-ah memandang langit.

“Bukti. Bahwa dunia masih memanggil namanya.”

Dan udara retak suara seperti pena yang menghentikan kalimat di tengah halaman.

Seolah seseorang—atau sesuatu—di luar sana baru saja menutup buku, menahan halaman agar tidak terus bergerak.

Hening.

Tidak ada suara sistem.
Tidak ada suara bintang.
Hanya gema samar, seperti sisa-sisa tinta yang menolak mati.


“Sudah selesai?” tanya Shin Yoosung pelan.

Tidak ada yang langsung menjawab. Mereka semua masih berdiri kaku, seakan jiwa mereka ikut terjepit antara satu baris cerita dan yang berikutnya.

Han Sooyoung perlahan merenggangkan jemarinya, napasnya berat.

“…untuk sekarang.”

Yoo Sang-ah menatap langit yang kembali normal. Atau setidaknya, pura-pura normal.

“Bagaimana kau bisa yakin?” tanya Lee Jihye, suaranya serak karena emosi.

Han Sooyoung mendengus pendek. “Karena dunia belum meledak.”

“Standar yang sangat… Sooyoung,” komentar Shin Yoosung.

Di dekat kaki mereka, makhluk putih yang barusan nyaris menjadi dewa luar menggeliat pelan, tubuhnya kini mengecil—seperti larva kehilangan tujuan.

“…menunggu,” gumamnya lirih, monoton, seperti mantra baru.

Han Sooyoung meliriknya tajam.

“Kalau kau berubah pikiran dan mencoba menulis lagi,” katanya dingin, “aku bakar otakmu sampai bahkan kosmos nggak bisa nge-backup datamu.”

Makhluk itu mengangguk—atau meniru anggukan.

“…menunggu Kim Dokja…”

Hening lagi.


Langkah kaki berat terdengar mendekat. Lee Hyunseong, wajahnya penuh luka debu dan darah kering, memandang mereka bertiga.

“Semua aman?”

Han Sooyoung menyahut, “Relatif.”

Gong Pildoo muncul juga, wajahnya masih pucat, menatap makhluk kecil itu dengan kecurigaan ekstrem.

“Kenapa itu belum dibunuh?”

“Karena bukan itu caranya,” jawab Yoo Sang-ah lembut.

“Dan kalau kau sentuh,” sambung Han Sooyoung tanpa menoleh, “aku paksa kau makan naskah 40 volume tanpa skip.”

Gong Pildoo merinding. “Ke…kejam.”

Shin Yoosung memeluk lututnya, bicara dengan nada lesu.

“Jadi… kita kembali menunggu, ya?”

Yoo Sang-ah tersenyum tipis. “Kita tidak pernah berhenti.”


Angin kembali bertiup. Debu runtuh dari ujung plafon retak gereja yang setengah runtuh.

Seseorang di luar berteriak memanggil nama teman.
Seseorang menangis lega.
Seseorang tertawa histeris karena masih hidup.

Dan di tengah itu, trio kecil di ruang sunyi itu saling menatap.

Ada kelelahan.
Ada luka.
Tapi juga ada sesuatu yang lain.

Kesadaran bahwa garis cerita belum putus.
Bahwa seseorang yang hilang… bukan berarti mati.

Han Sooyoung mengusap wajahnya kasar, lalu berdiri.

“Aku benci menunggu,” gumamnya.

“Tapi kita sudah melakukannya dua tahun,” balas Yoo Sang-ah lembut. “Satu hari lagi takkan membunuhmu.”

“Tidak yakin soal itu,” dengus Han Sooyoung.

Shin Yoosung berdiri dan menepuk celana yang penuh debu.

“Apa… kita bilang ke yang lain?”

Han Sooyoung geleng pelan.

“Kita bilang… ‘selesai’. Itu saja.”

Yoo Sang-ah menatap larva memori itu, masih bergumam pelan seperti mesin rusak yang sedang belajar berdoa.

“…menunggu… menunggu… menunggu…”

Suara itu, entah kenapa, terdengar menyayat—karena terlalu mirip hati mereka sendiri.

Han Sooyoung berbisik, kalimatnya samar, hampir tak terdengar:

“Ya. Kita semua menunggu.”

Dan dalam keheningan itu, seolah dunia kembali bernapas perlahan.

Seolah-olah dunia baru saja selamat dari sesuatu yang bahkan tidak disadari oleh sebagian besar orang.
Dan seperti biasa—orang-orang yang menyelamatkannya tidak meminta tepuk tangan.

Mereka berdiri di reruntuhan, tidak glamor, tidak dipuja.
Hanya memeriksa luka masing-masing, lalu mulai berjalan pulang.


Di luar gereja, suasana sudah seperti medan perang kecil.

Lee Jihye sedang memaki seseorang.
Lee Seolhwa memberikan pertolongan pertama di atas kotak kayu rusak.
Gong Pildoo sibuk mengatur ulang pasukannya.

Dan di tengah kekacauan itu, Yoo Joonghyuk berdiri diam, memandangi langit yang kembali cerah seperti tidak pernah dihantam bencana barusan.

Lee Gilyoung menghampirinya sambil melambai cepat.

“Hyung! Kau terlambat.”

Yoo Joonghyuk hanya menatapnya sebentar.

“…Aku datang.”

“Telat tetap telat! Kalau ahjussi—”

Tatapan Yoo Joonghyuk tajam menghentikannya.

Gilyoung mendengus, tapi menyerah. “Baiklah. Tapi kau harus traktir tteokbokki.”

“…Terserah.”

Shin Yoosung tertawa kecil mendengarnya.


Sementara itu, di sisi lain, Yoo Sang-ah duduk sambil menahan napas dalam-dalam.

Han Sooyoung meremas rambutnya sendiri.

“Dua tahun. Dua tahun, dan kita masih di sini.”

Yoo Sang-ah tersenyum lelah. “Itu artinya kita belum menyerah.”

Han Sooyoung meliriknya, tidak mengiyakan—tapi juga tidak menyangkal.

“Kalau kau memang mau tinggal di rumahku…” Yoo Sang-ah menatap langit yang perlahan memudar menuju fajar, “kita harus belanja dulu.”

Han Sooyoung mendengus. “Kenapa?”

“Karena kamu makan seperti racun.”

“…Aku lebih suka disebut penulis jenius.”

“Penulis jenius tidak meminum kopi instan tujuh kali sehari.”

“…Itu namanya fokus.”

“Tidak. Itu namanya ingin mati.”

Han Sooyoung menggigit bibir bawahnya, pura-pura tak dengar.
Namun ekor matanya sedikit berkedut—itu artinya dia sebenarnya tersenyum.


Angin dini hari menerpa reruntuhan kota Seongnam.
Cahaya jingga tipis mulai menembus kegelapan, menandai fajar setelah malam yang terlalu panjang.

“Hey,” kata Yoo Sang-ah tiba-tiba.

“Mm?”

“Aku rasa… sesuatu hilang.”

Han Sooyoung diam sebentar.

“…Kita biarkan saja. Kalau itu memang penting, dia akan datang lagi. Kalau tidak, berarti tidak perlu diingat.”

Yoo Sang-ah mengangguk pelan.

“Aku cuma merasa… ada kalimat yang belum selesai.”

Han Sooyoung menatap horizon yang mulai menyala.
Dalam sunyi, ia berbisik:

“Kalimat pertama itu… aku baru ingat.”

“Benarkah?”

Han Sooyoung mencengkeram ujung jaketnya, napasnya tertahan sesaat—antara getir dan tekad.

“Ya.”

Dan perlahan, ia ucapkan:

“Cerita ini untukmu, yang tidak punya lagi kisah untuk dibaca di akhir dunia.”

Yoo Sang-ah tersenyum.

“Itu bagus.”

Han Sooyoung menghela napas panjang.

“…Itu kalimat pertamanya.”

Yoo Sang-ah menatap langit yang mulai berwarna biru pucat.

Cahaya fajar merayap perlahan, seperti seseorang yang takut membangunkan dunia yang baru saja selamat dari mimpi buruk.
Masih sunyi. Masih dingin. Tapi tidak lagi gelap.

Han Sooyoung merapatkan jaketnya, menghela napas panjang.

“…Aku benci begini. Aku benci menunggu.”

“Semua orang menunggu sesuatu.” Yoo Sang-ah menjawab pelan. “Kita juga.”

“Yang lain menunggu dengan harapan.” Han Sooyoung mendecak. “Kita? Kita menunggu sambil kerja rodi melawan dewa luar angkasa.”

Yoo Sang-ah terkekeh.

“Beda tipis.”

“…Begitu ya?”

“Kamu yakin mau menulis cerita itu?”

Han Sooyoung terdiam lama.

Tangannya menyentuh kantongnya—kosong. Seolah mencari sesuatu yang sudah tidak ada. Sebuah cerita. Sebuah memori. Seseorang.

“…Aku tidak tahu.” suaranya nyaris berbisik. “Aku lupa isinya.”

“Kalau begitu,” kata Yoo Sang-ah pelan, “tulis apa yang kamu ingat.”

“Aku bahkan tidak ingat kenapa aku mulai menulis.”

“Karena kamu ingin seseorang kembali.”

Han Sooyoung tersenyum hambar.

“…Itu alasan paling bodoh dalam sejarah.”

“Tapi kamu tetap melakukannya.”

“…Iya.”

Matahari terbit lebih tinggi.
Cahaya jatuh pada puing-puing kota, pada pilar patah, pada sayap patung yang pecah.

Seolah-olah sedang menyorot panggung kosong, menunggu aktor terakhir kembali.

“Yoo Sang-ah.”

“Hmm?”

“Aku rasa… dia tidak akan kembali.”

Sunyi. Lalu—

“Kita tidak tahu itu.” Yoo Sang-ah tersenyum. “Lagi pula, dia adalah Kim Dokja-ssi.”

Han Sooyoung menutup mata.

“…Kalau dia kembali,” katanya pelan, “aku akan memukulnya.”

“Mm. Kita semua akan melakukannya.”

“Lalu aku akan mencekiknya.”

“Setelah itu kau peluk dia.”

“Tidak akan!”

“Boong.”

“…Sedikit mungkin.”

Angin pagi berhembus. Mereka berdua tertawa pelan.


Suara langkah mendekat.
Lee Jihye berlari sambil mengibas debu dari rambutnya.

“Hei! Kalian masih duduk? Cepat, kita harus rapat! Ini… ya ampun, kalian berdua kelihatan seperti habis disiksa.”

Han Sooyoung mengangkat alis. “Kau kira apa yang baru saja terjadi?”

“Pokoknya bangun. Ah, btw, Shin Yoosung sedang mencatat ‘outer god’ baru di encyclopedia. Dia bilang itu limited edition.”

“…Anak itu benar-benar tidak waras.”
“Dia muridmu.”

“…Sial.”

Yoo Sang-ah berdiri pelan. “Ayo. Yang lain pasti sudah menunggu.”

Han Sooyoung mengumpulkan napas terakhirnya untuk berdiri, lalu melirik reruntuhan gereja sekali lagi.

“Aku masih marah.”

“Marah karena apa?”

Han Sooyoung meludah ke tanah, kesal.

“Karena dia pergi duluan.”

Yoo Sang-ah tersenyum lembut.

“Maka… mari hidup sampai dia kembali, ya?”


Fajar pecah sepenuhnya.

Seongnam yang hancur perlahan menyala ke arah hidup.
Suara jauh dari incarnations yang membangun kembali dinding.
Debu, cahaya, dan napas.

Han Sooyoung memasukkan kedua tangan ke saku.

“…Baik. Kita hidup dulu. Lalu kita tulis sisanya.”

Yoo Sang-ah mengangguk.

“Ya.”

Han Sooyoung menatap ke depan—mata penuh duri, tapi hatinya… tetap menunggu.

“Ini cerita panjang.”

“Kita punya waktu.”

Dan di antara cahaya pertama pagi itu, suara kecil terdengar dalam hati mereka—
Sebuah nama yang tidak ingin mereka lupakan.

Kim Dokja.

Bukan sebagai pahlawan.
Bukan sebagai raja iblis.
Bukan sebagai mimpi.

Tapi sebagai seseorang yang membaca.

Bagi satu pembaca di akhir dunia—
yang mengajar mereka cara bertahan.

Maka kisah itu akan terus ditulis.
Sampai ia membacanya.

“Cerita ini untukmu, yang tidak punya lagi kisah untuk dibaca di akhir dunia.”

[END]

Story 3 — Missing Child

Kisah ini berlatar sebelum kejadian utama ORV, namun juga menyebut karakter dan kejadian dari epilog. Jadi disarankan membaca cerita ini setelah menyelesaikan cerita utama.


Apakah dia benar-benar ada di sini?

Kemungkinan besar.

Hari Yoo Joonghyuk dimulai seperti ini.

Setelah membuat kopi hitam yang kuat dan memotong beberapa lembar roti hitam yang ia beli kemarin, ia memanggang satu potong dada ayam yang sudah dimarinasi dengan baking soda. Telur sedang ia goreng di wajan kecil. Kuning telurnya harus tetap utuh dan bentuk telur gorengnya tak boleh rusak.

Yoo Joonghyuk hanya memasak putih telurnya sebentar lalu mengangkat wajan dengan hati-hati untuk memindahkan telur dan dada ayam matang ke atas piring. Ia menambahkan red amaranth dan selada segar yang sudah dicuci, lalu menuangkan jus tomat yang akan diminum Yoo Miah ke dalam gelas.

“Ya!”

Saat ia mengambil piring dan menoleh, Yoo Miah sudah melompat naik ke kursi di sebelah meja makan layaknya naik kuda, mata berbinar-binar.

Yoo Joonghyuk biasa meletakkan dua piring dan dua gelas di posisi yang sama setiap hari.

Melihat makanan di piring, Yoo Miah manyun.

“Sayur.”

“Ya, itu sayur.”

“Sayur nggak enak.”

“Sayur ini enak.”

“Tapi hmm, aku mau makan sosis.”

“Ada telur juga.”

“Yaa…”

“Dan dada ayam.”

“Bosen.”

“Makan.”

Alis tebal Yoo Joonghyuk mengerut saat ia berkata pada Yoo Miah.

“Makanan yang kamu makan menunjukkan siapa dirimu.”

Yoo Miah menatap tajam kepalan tangannya, lalu ke telur di piring. Gadis kecil itu bergumam sesuatu seperti, “Aku nggak mau makan.” Yoo Joonghyuk menatapnya sebentar. Ia mengunyah dan menelan sepotong telur goreng, lalu membuka ponselnya.

— Meluncur menurun tanpa rem. Apakah reputasi Team Ash berhenti di sini?

— Keruntuhan Dinasti Ash sudah mendekat.

— Ash terancam gagal lolos playoff setelah kekalahan beruntun.

— Kalah 2:3 dari Viking, peluang Ash untuk lolos semakin tipis.

— Rumor perselisihan internal tim Ash…

Melihat artikel-artikel bermunculan seperti jamur setelah hujan di laman portal, sebersit kegelapan melintas di mata Yoo Joonghyuk.

Team Ash.

Tim yang ia antarkan meraih kejuaraan pertama, salah satu tim esports teratas di Korea.

Namun belakangan performa mereka anjlok.

Yoo Joonghyuk membaca komentar di bawah artikel.

— Ash kalah lagi?

— Matikan speakernya.

— Leher gue panas banget :)))) Jujur, bukan salah Yoo Joonghyuk kita kalah match ini?

— (Komentar disembunyikan karena laporan)

Yoo Joonghyuk menatap komentar terakhir cukup lama. Meski tak bisa melihat isinya, ia bisa menebak dari balasan di bawahnya.

— Tapi Yoo Joonghyuk beneran anak yatim piatu, jadi mungkin dia nggak sakit hati sama sekali, kan?

Yatim piatu.

Yoo Joonghyuk menatap kata itu tanpa ekspresi. Kata-kata seperti itu tak bisa benar-benar melukainya. Justru yang paling mengganggunya adalah kata-kata yang tidak muncul.

— (Komentar disembunyikan karena laporan)

Entah sudah berapa lama ia menatap layar. Wajahnya memantul pada layar yang kini mati.

Tiba-tiba otot lengan kanannya berkontraksi. Belakangan ini sering terjadi. Saat ia makan, mengetik, atau menggerakkan mouse. Mungkin karena kurang nutrisi.

“Obaboni.”

Dia belum bisa melafalkan “oppa” atau “oraboni” dengan benar. Padahal Yoo Joonghyuk rasanya belum pernah mengajarinya kata oraboni, jadi ia penasaran darimana anak itu belajar.

Yoo Miah menunjuk piring Yoo Joonghyuk dengan garpunya.

“Tolong.”

“……?”

“Tolong istirahat.”

Yoo Joonghyuk menebak maksudnya sejenak, lalu ia menusuk telur yang tadi disimpan Yoo Miah dan memakannya di depan anak itu.

“Ugh! Cemilannya Mia!”

Yoo Miah menggembungkan pipinya.

Melihat mata kecil itu, yang begitu mirip dengannya, Yoo Joonghyuk sadar hari baru dimulai lagi.

Mobil bergerak menuju ruang latihan tim.

Manager Kang Woohyun tampak khawatir, melirik Yoo Joonghyuk sambil menyetir.

“Joonghyuk, kamu masih makan dengan benar, kan?”

“Aku tetap makan.”

“Hanya selada dan dada ayam itu? Diet apa itu? Ayo makan nasi putih. Juga daging sapi.”

Yoo Joonghyuk tidak menjawab. Tapi ia merasa aneh. Kenapa orang terus bertanya apa yang ia makan?

“Selama kamu makan dan minum secukupnya, itu sudah keberuntungan.”

Yoo Joonghyuk tak tahu apakah Kang Woohyun benar-benar merasa beruntung atau hanya asal bicara. Entah sejak kapan, memahami isi hati orang lain terasa begitu sulit baginya.

— Pemain Yoo Joonghyuk, bagaimana perasaanmu hari ini?

Reporter selalu menanyakan hal yang sama.

Bagaimana perasaanmu, bagaimana menilai lawan, apakah ada strategi khusus, skor berapa yang kamu targetkan, apa komentar untuk kontroversi terakhir?

Kadang ia menjawab jujur, kadang ia diam. Tapi apa pun ia jawab, headline berita selalu berbeda dari ucapannya.

Kalau begitu, untuk apa tanya?

Ia tak menemukan jawabannya. Setidaknya ia memahami satu hal:

Itu pekerjaan mereka.

“Belakangan kamu baca komentar lagi?”

Saat ia mengangkat kepala, ia menangkap mata Kang Woohyun lewat kaca spion. Tatapan khawatir.

“Kubilang jangan baca komentar lagi. Mereka cuma iri padamu. Tidak perlu baca yang tidak berguna dan bikin hati tambah buruk.”

Mungkin karena melihatnya menatap ponsel, ia berpikir begitu. Dan memang, di layar ponselnya kini ada komentar.

— Kudengar Yoo Joonghyuk orangnya sangat kasar di kehidupan nyata.

Mata Yoo Joonghyuk menatap komentar itu lama. Tetapi hatinya tak tergerak.

— Bukankah Yoo Joonghyuk yang bikin suasana tim hancur? Seluruh dunia tahu itu.

Jika orang membencinya, ia hanya perlu bersiap menghadapi kebencian itu. Maka semua tetap dalam kendalinya.

— Kalian tahu apa?

Dan kemudian…

— Kalian tahu apa sampai bisa bicara begitu? Kalian tahu apa tentang Ajusshi Yoo Joonghyuk?

Untuk pertama kalinya ia melihat nickname itu.

Anak Raja Iblis (siny**)**

Yoo Joonghyuk menatap komentar pendek itu lama, seolah mempelajari musuh baru yang belum pernah ia jumpai.

“Joonghyuk, kita sampai.”

Dari kejauhan, bangunan megah ruang latihan tim tampak.

Yoo Joonghyuk menoleh kembali ke ponselnya—komentar itu sudah tak terlihat. Dihapus? Atau ia salah lihat?

“Jadwalmu padat sampai malam. Biar aku jaga Miah, ya?”

“Terima kasih.”

“Miah masih cadel? Perlu dibawa ke dokter? Orangtuaku bilang—”

Kang Woohyun mendadak berhenti bicara, sadar ia menyentuh hal sensitif. Ia tertawa kikuk.

“Yah, pokoknya jangan khawatir soal Miah.”

“Terima kasih.”

“Oh iya, beberapa manajer baru datang. Kalau ketemu, sapa yang ramah ya. Dia fans-mu.”

Yoo Joonghyuk mengangguk pelan. Ia sempat ingin bertanya, ‘Kamu sudah sarapan?’ tapi akhirnya diam dan masuk ke gedung latihan tanpa menoleh lagi.


['■■■' telah mengubah username menjadi 'Putri Raja Iblis'.]
['Putri Raja Iblis' berkata ada fitur baru di sini.]
['■■■' mengubah username menjadi 'Racun Emas Terbang'.]
['Putri Raja Iblis' berkata sedikit creepy.]


Yoo Joonghyuk naik, menyusuri lorong, langsung menuju ruang latihannya.

Ruangan itu khusus dibuat untuknya. Lebarnya sekitar 16~20 meter persegi. Komputer tercanggih, kursi gamer, minuman energi, suplemen—tampak seperti kamar gamer biasa.

Kecuali satu hal:

Semua dindingnya terbuat dari kaca.

— Mohon ingat keberadaan orang lain.

Ruangan itu semacam hukuman dari supervisor. Tujuannya “melatih” Yoo Joonghyuk menghadapi tatapan publik. Siapa pun bisa melihatnya berlatih—seperti melihat binatang di kebun binatang.

Tapi ia tidak peduli. Ia terbiasa dilihat. Setidaknya ia tak harus berdebat dengan rekan tim.

Selain supervisor dan manager Kang Woohyun, satu-satunya yang bisa bicara dengannya di gym adalah pelatih Park Jinsang.

“Joonghyuk, mulai.”

Park Jinsang mengetuk kacamatanya; sinyal untuk mulai.

Yoo Joonghyuk stretching singkat, memasang headphone, lalu dunia langsung berubah menjadi medan perang.

RTS.

Bang! Bang! Bang!

Peluru meledak. Unit roboh. Bangunan hancur. Monster meraung.

Ia mengatur resource, memprediksi, menyusun unit, memotong jalur lawan, menghancurkan titik lemah.

Ia mengorbankan yang harus dikorbankan. Mengambil poin penting untuk menang.

Dalam pikirannya, pertempuran ini tak membawa emosi.

Hanya peperangan. Pengorbanan. Kerusakan.

Dan kemenangan.

[VICTORY.]

Tanpa ekspresi. Itu hanya rutinitas.

Pertandingan berganti. Ia menang lagi. Dan lagi.

[VICTORY.]

Seperti membuat roti dan menggoreng telur—berulang, presisi.

Kemudian suara asing terdengar samar melalui kaca.

“…tapi bagaimana bisa menonton? Bagaimana mungkin… ruangan seperti itu…”

Pintu sedikit terbuka. Ada suara dua orang berselisih. Park Jinsang, dan seorang gadis. Siapa?

Bang! Bang! Bang!

Sebuah unit elite mati karena ia kehilangan fokus sepersekian detik.

Layar lawan mengirim emoticon mengejek.

Ia menilai situasi, menghitung, menyadari ini tidak bisa dimenangkan.

[SURRENDER.]

Ia menghela napas pelan, melepas headphone.

Kebisingan luar masuk.

Seorang gadis berambut pendek berdiri di depan pintu, Park Jinsang menghalanginya.

“Ah, halo!”

Rambut cokelat bergoyang ketika ia menoleh. Yoo Joonghyuk melirik name-tag.

Manager Baru: Y.S

Mungkin ini yang dimaksud Woohyun.

“Ah, ya… apa kamu baik-baik saja?”

Pertanyaan tanpa konteks. Yoo Joonghyuk tidak tahu harus menjawab apa.

Pelatih buru-buru menjelaskan, panik.

Gadis itu tak menghindari tatapannya. Tidak kaget. Tidak gugup. Matanya jernih, kulit pucat.

Dia menatap Yoo Joonghyuk seperti kehadirannya normal.

“Oh benar. Kamu lapar?”
Ia menyodorkan kantong kertas kecil.

“Ini mandu. Kamu suka, kan?”

Mandu?

“Aku tidak suka.”

“…Eh?”

Ia manyun, lalu tetap mencoba.

“Coba dikit, enak kok—”

“Dia cuma makan selada sama dada ayam,” sela Park Jinsang. “Anak ini cuma makan masakannya sendiri.”

Yoo Joonghyuk hanya mengalihkan pandang. Bukannya tidak sopan—ia hanya tidak tahu bagaimana harus merespon perhatian itu.

Saat pelatih Park Jinsang sedang membawa nampan dan masuk antrean, beberapa pemain lewat di depan meja Yoo Joonghyuk. Mereka adalah lawan sparring-nya tadi.

Beberapa dari mereka melirik tajam, berbisik-bisik pelan. Sudah biasa. Yoo Joonghyuk tidak menanggapi, hanya melanjutkan makan bekalnya.

Ada alasan kenapa ia selalu membawa bekal sendiri.

Di final musim lalu, ia keracunan setelah makan makanan yang disediakan manajemen. Mereka mengatakan hanya Yoo Joonghyuk yang sakit, jadi itu bukan kesalahan mereka. Tapi ia ingat betul—satu-satunya makanan yang ia makan hari itu adalah makanan tim.

Sejak hari itu, ia memasak sendiri.

“Selamat makan.”

Suara ringan terdengar. Gadis manajer baru tadi duduk di seberangnya sambil mengunyah mandu yang ia tawarkan sebelumnya.

Yoo Joonghyuk bergumam tanpa emosi, “Makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan.”

“Tapi kalau makanannya enak, hidup jadi lebih indah.”

Ia membuka mulut lebar-lebar menggigit mandu. Kulit mandu itu kenyal, isiannya padat. Teknik membungkusnya tidak asal-asalan.

“…Kamu yang buat?”

“Seperti yang kuduga~ hihihi. Bagi dua?”

“Tidak.”

“Satu gigitan saja. Kamu mungkin suka.”

“Aku tidak perlu mencoba untuk tahu.”

“Tapi opp—ukh… ‘ajusshi’…”

“Tolong jangan panggil aku ajusshi.”

“Kalau begitu aku harus panggil apa?”

Yoo Joonghyuk terdiam. Ia belum pernah mendapat pertanyaan seperti itu. Orang lain biasanya memilih sendiri cara memanggilnya—itu menentukan bagaimana mereka memandangnya.

“Panggil aku pemain Yoo Joonghyuk.”

“Pemain~ Yoo~ Joong-hyuk~”

Ia menggumam pelan, lalu tiba-tiba mengeluarkan buku catatan dan mulai mencoret-coret.

“Apa itu.”

“Catatan saja. Kalau aku lupa, aku tidak bisa cerita ke orang lain nanti.”

Coretan kecil terdengar srak srak.

Yoo Joonghyuk memperhatikan buku itu sejenak—lalu, sensasi aneh menyerang.

Dunia bergetar ringan. Suara pergi. Cahaya memudar.

Rustle…

Seseorang sedang menulis di balik dinding putih tinggi yang tak bisa ia panjat. Tulisan itu ada di sana, namun tak bisa ia baca—seperti komentar yang disembunyikan.

“Pemain Yoo Joonghyuk?”

Napasnya kembali. Gadis itu menatapnya cemas.

“Kamu tidak apa-apa?”

“Aku baik-baik saja.”

“Benarkah?”

Yoo Joonghyuk melirik buku catatan itu—dan wajahnya yang khawatir.

Ia memahami ekspresi itu. Kekhawatiran.

“Tidak perlu khawatir.”

Ia menyesal begitu mengucapkannya. Kata-kata itu terlalu dingin.

Tapi gadis itu tetap tersenyum kecil, seolah jawaban seperti itu sudah ia duga sejak awal.

Pelatih Park muncul, setengah makan, setengah mengintip.

“Ohh? Ngobrol sama manajer baru? Hari pertama sudah kena marah Joonghyuk? Pecat saja dia?”

Gadis itu tetap tenang dan mengunyah mandunya, tak terganggu sedikit pun.

Park menghela napas panjang, lalu berkata pelan pada Yoo Joonghyuk.

“Tadi supervisor lihat sesi latihannya. Komentar biasa. Kontrolmu sempurna, komposisi bagus, adaptasi oke…”

Sejenak hening.

“…tapi dia bilang gayamu ‘terlalu textbook’. Terlalu rapi, kurang variasi.”

Gadis itu mengangkat alis, tertarik.

Park menyelesaikan kalimatnya.

“Dan seperti biasa—‘tidak ada jiwa.’”

Tidak ada… jiwa.

Yoo Joonghyuk hanya menatap meja. Ia sudah sering mendengar itu.

Gadis itu bergumam, “…apa maksudnya bermain tanpa jiwa?”

Park mengangkat kedua tangan.

“Ungkapan saja. Katanya tidak terasa passion, keteguhan, atau emosi. Kalau sudah tak bisa menang, dia menyerah cepat.”

“Dia tidak menyerah,” ujar gadis itu pelan.

Park mengedip. “…Hah?”

“Kalau seseorang bertahan, itu tidak selalu berarti dia tidak menyerah. Kadang mundur adalah cara terbaik untuk menang lain kali.”

Park mendengus tak setuju, tapi tidak menjawab.

Gadis itu menatap Yoo Joonghyuk lagi—pandangan bening, tapi ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang seolah berasal dari tempat yang terlalu jauh dari dunia ini.

Seolah ia pernah melihat Yoo Joonghyuk bertarung bukan di layar… tetapi di akhir dunia.

Pelatih Park bangkit, bersungut-sungut lagi soal supervisor. Setelah piringnya bersih, ia meninggalkan meja.

Gadis itu ikut berdiri, menepuk roti mandunya yang tersisa.

Saat ia pergi, ia menoleh dan berkata lembut:

“Jangan biarkan mereka mendefinisikanmu.”

Dan pergi tanpa menunggu jawaban.

Yoo Joonghyuk menatap kursi kosong itu cukup lama.

Setelah jadwal sore selesai, Yoo Joonghyuk berjalan menuju ruang pemantauan.
Park Jinsang sedang duduk di kursi supervisor, kakinya terangkat di atas meja, seolah ruang itu miliknya.

“Kamu tahu? Tempat ini seharusnya punyaku.”

Nada suaranya sinis.
Namun ujung bibirnya melengkung, seperti seseorang yang belum bisa menerima kenyataan.

“Tapi sponsor memasukkan supervisor baru di menit terakhir. Padahal aku yang ngumpulin pemain Ash, aku yang bawa kalian ke turnamen besar.”

Ia menunjuk ke arah rak piala di balik kaca, sambil tertawa kecil.

“Lihat itu. Semua kita peroleh dalam tiga tahun.”

Deretan piala berkilau di balik kaca—bukti perjalanan panjang tim Ash, dari nol menuju puncak.

Plakat besar di tengah tertulis:

MVP OVERLORD — Yoo Joonghyuk
64 kemenangan, 5 kekalahan, 1 seri.

Saat itu, dunia esports menyebutnya legenda baru.

Park Jinsang menarik rokok dari sakunya, menyalakan, mengembuskan asap pekat yang mengisi ruangan.

“Lakukan yang benar.”

Ketika ia mengangkat pandangannya, wajah ramah yang biasa ia tunjukkan di depan publik lenyap.

Sorot matanya dingin, berbahaya.
Itu wajah yang sebenarnya.

“Kamu tahu betapa berantakannya situasi belakangan? Kamu sudah lupa sejauh apa kita melangkah?”

Tangan Park terulur, mencengkeram bahu Yoo Joonghyuk—erat, hampir seperti cakar.

“Siapa yang menemukanmu dulu? Siapa yang mengangkatmu dari neraka itu?”

Yoo Joonghyuk teringat.

Asrama semibasement gelap.
Komputer murahan.
Kursi-kursi berjajar seperti kamp penjara.
Bermain memakai akun orang lain demi uang.

Dalam dunia gelap itu, Park Jinsang muncul, lalu berkata:

“Mulai sekarang, kamu tidak boleh kalah satu pun pertandingan.”

Dan ia mengikuti.

Kini, Park Jinsang menatapnya lagi—tatapan predator yang tidak bisa menerima pembangkangan.

“Hanya satu pertandingan. Satu. Kamu tahu jadwal besok, kan? Aku sudah atur semuanya.”

“Aku tidak pernah menandatangani kontrak untuk kalah.”

Park tertawa kering, sinis.

“Kontrak? Ini bukan kontrak. Ini… bantuan kecil. Sedikit jasa balas budi.”

Yoo Joonghyuk menatap pintu ruangan. Udara terasa berat—beracun.

“Aku ingat kamu menolak tawaran itu musim lalu,” kata Park.

Dan suaranya mengeras.

“Aku ingat karena keesokan harinya kamu keracunan makanan dan kita kalah.”

Yoo Joonghyuk menatapnya lurus.

“Kamu melakukannya, kan?”

Park tersenyum samar.

“Kamu selalu sekeras ini? Itu cuma pertandingan mustahil. Tidak ada yang bisa menang.”

“Aku tidak pernah menyerah sebelum bertarung.”

Park menepuk abu rokok, lalu mendekat, berbisik:

“Kamu kira anjing berubah jadi manusia hanya karena makan makanan manusia?”

Senyum Yoo Joonghyuk menghilang.

Kata-kata itu menusuk. Pernah ditujukan pada dirinya dulu… dan ia menelannya mentah-mentah.

“Kamu masih anjing kamp jika menolak makanan yang kuberikan.”

Keheningan menegang.
Dua pasang mata saling menguncikan seperti binatang buas.

Waktu mengalir lama.
Lalu Park menghela napas, bangkit, berubah lagi ke wajah “Pelatih Park yang ramah”.

“Aku tahu, aku tahu. Kamu terlalu serius. Pulanglah.”

Yoo Joonghyuk tidak berterima kasih. Ia hanya berdiri, meninggalkan ruangan.

Saat pintu tertutup, Park Jinsang menatap punggungnya lama… kemudian tertawa kecil tanpa suara.

Ia menyalakan rokok baru, mengambil ponsel, dan menekan nomor.

Telepon tersambung.

“…mulai,” katanya pelan. “Pastikan dia tidak sampai ke panggung besok.”

Klik.


Di taksi pulang, supir taxi berkicau tanpa jeda.

“Kamu tampan sekali! Pasti artis, ya?”

Yoo Joonghyuk diam saja.

Supir berbisik dramatis, “Eh, jangan kira tampan itu enak. Susah, tahu.”

Yoo Joonghyuk hanya menatap pantulan dirinya di kaca jendela.

“Terima kasih,” ujarnya singkat saat turun dari mobil—karena ia tahu, itu respons yang benar secara sosial.

Langit mendung. Hujan rintik turun.

Rumah gelap ketika ia masuk.

“Yoo Miah.”

Sunyi.

Ia mengangkat payung seperti senjata, perlahan memindai ruangan.

Tidak ada suara—kecuali dengung kulkas.

“…Woohyun?”

Tidak ada balasan.

Ia menyalakan lampu, menyisir setiap sudut.

Kosong.

Panik menyergap seperti tangan dingin Masingkah menggenggam jantungnya.

Ia ke luar, bertanya pada orang-orang acak di jalan.

“Apakah kalian melihat anak kecil? 68 cm, rambut dikuncir dua, wajah mirip denganku?”

Orang mabuk, pelajar merokok, pejalan kaki—semua menggeleng.

Jalan sempit dengan rumput liar, taman kecil, supermarket jauh di ujung jalan. Bisa saja Miah berjalan sampai sana.

Bisa kah ia… berjalan sejauh itu?

Yoo Joonghyuk mulai berlari.

“Yoo Miah!!”

Hatinya gemuruh, napas panas, pandangan blur.

Ia menelepon polisi, tapi bibirnya tak mampu mengucapkan jawaban—

Tanggal lahir?
Alamat?
Nama orang tua?

Ia tidak bisa mengingatnya.

Seperti ingatan itu… tidak pernah ada.

Seperti seseorang menghapusnya dari dunia.

Telepon terjatuh dari tangannya.

Jalanan tiba-tiba memanjang tanpa ujung, seolah ia kembali ke bawah tanah yang dulu—

Ke tempat ia pertama kali dikurung oleh dunia.

Ketika ia mulai kehilangan kendali atas kenyataan…

“Ssst.”

Suara jarum menembus daging.

Seorang remaja di depannya ambruk—lalu satu lagi, lalu satu lagi.

Anak-anak jalanan yang mengelilinginya ambruk satu per satu, jarum perak menancap di leher mereka.

Kabut asap rokok tersapu angin.

Suara langkah ringan mendekat.

Di bawah cahaya lampu jalan… berdiri siluet familiar.

Rambut putih panjang seperti salju.
Bersama sosok kecil dengan tubuh bundar—seperti mandu yang sedang berjalan.

“Sudah selesai,” kata suara tenang itu.

“Apa kau baik-baik saja?” tanya mandu kecil.

“Miah…” suara Yoo Joonghyuk serak, “…Obaboni.”

Lututnya lemas.
Dunia kembali bernyawa.

Ia memeluk adik kecilnya erat-erat.

Malam itu mereka pulang bersama.

Langit Seoul seperti kain hitam yang disulam dengan cahaya lampu kota.
Namun di dalam apartemen kecil itu, dunia terasa tenang.

Yoo Miah tertidur dengan boneka gajah di pelukannya.
Wajahnya damai, bibir mungilnya sedikit terbuka, napasnya teratur.

Yoo Joonghyuk merapikan selimutnya.
Di ujung mata, masih tersisa sisa-sisa ketakutan.
Seolah sedikit saja ia lalai, adik itu akan hilang dari dunia ini selamanya.

“Miah… jangan pergi jauh lagi.”

Dan ia mengusap kepala kecil itu, sangat hati-hati, seakan sedikit tekanan bisa membuatnya pecah.

Dari ruang tamu, Obaboni—pria berambut putih yang tak pernah tampak tua—memperhatikannya.

“Dia tidak akan hilang,” kata Obaboni perlahan.
“Bukan selama kau masih memiliki sesuatu untuk dijaga.”

“…Aku tidak bisa kehilangan siapa pun lagi.”

Obaboni tidak menjawab. Hanya menyalakan rokok elektrik miliknya. Uap tipis beraroma mint memenuhi udara.

Setelah beberapa saat, ia membuka mulut.

“Dengan kondisi ini, apa kau yakin bisa bermain besok?”

“Maksudmu?”

“Wajahmu. Napasmu. Cara kau memeluk adikmu seperti dunia berakhir bila kau melepaskannya.”
Tatapannya tajam, tapi tidak kejam. “Itu wajah orang yang telah menghabiskan cukup keberanian untuk setahun penuh.”

Yoo Joonghyuk menghela napas panjang.
Kesunyian menggantung seperti kabut tipis.

“Pertandingan besok…” Obaboni menatap layar ponselnya, menampilkan jadwal turnamen. “Itu bukan sekadar game. Kau sadar, bukan?”

“Aku tahu.”

“Dan kau tetap akan masuk ke dalamnya?”

“Ya.”

Obaboni menatapnya lama, seakan menimbang seluruh hidup pemuda itu.

“Aku pernah berkata… kau adalah versi paling keras kepala dari dirimu yang pernah ada di dunia mana pun.”

Yoo Joonghyuk tidak membalas.

“Baiklah,” Obaboni bangkit, meraih mantel. “Besok aku tidak akan menolongmu.”

“…Aku tidak memintamu untuk menolong.”

“Itu artinya kau sudah memilih.”

Lampu lorong menyala saat ia melangkah keluar. Siluetnya membaur dalam cahaya putih.

“Jangan mati.”

Pintu menutup.

Dan Yoo Joonghyuk berdiri sendirian di ruang tamu.
Hanya suara napas adiknya dari kamar terdengar.

Besok adalah hari yang panjang.

Dan ia tahu, bukan hanya permainan yang menunggunya.


Pagi Hari

Ia bangun sebelum alarm berbunyi.
Kebiasaan yang tertanam jauh sebelum dunia esports mengenalnya.

Di dapur, ia memasak bubur untuk Miah dengan gerakan terlatih.

Ketika adiknya keluar kamar dengan rambut acak-acakan, ia menyambutnya:

“Selamat pagi.”

“Oppa…” gumam Miah mengusap matanya. “Jangan lama-lama pergi.”

“…Aku akan pulang cepat.”

“Aku mimpi. Oppa jatuh dari langit terus naik lagi. Kayak cerita.”

Yoo Joonghyuk berhenti.
Tangannya menahan sendok.

Anak kecil itu tertawa kecil, lalu memeluk boneka gajahnya.

“Oppa nggak boleh kalah. Kalau kalah… langit pecah.”

“…Oppa tidak akan kalah.”

“Janji?”

“Janji.”

Miah mengulurkan kelingkingnya.
Ia menyambutnya, hati-hati.

Janji kecil, tapi rasanya lebih berat dari seluruh hidup.

Setelah mengantar Miah ke tetangga untuk dijaga, ia berangkat.

Bus pagi membawa aroma roti, parfum murah, dan ambisi orang-orang yang hidup.

Dari kaca jendela, ia melihat gedung arena turnamen—menjulang seperti katedral modern.

Gelanggang perang bagi jiwa-jiwa yang tidak tahu kemana harus pergi.


Arena Turnamen — Backstage

Lampu neon menyilaukan. Suara mesin broadcast berdengung.

Nickname besar tertulis di papan digital:

ASH — YOO JOONGHYUK

Dua tim sudah bersiap.

Caster sudah duduk. Penonton membludak, layar raksasa memutar highlight kariernya.

“Sang Iblis dari Overlord Arena.”

“Pria yang menolak menyerah.”

“MVP tak tergantikan.”

Tapi di ruang tunggu kecil, ia duduk sendiri.

Pintu terbuka.

Park Jinsang masuk.

Setelan rapi, senyum formal, mata seperti mata ular yang baru bangun.
Ia menepuk pundak Yoo Joonghyuk, suara rendah seperti bisikan racun.

“Aku tahu kau orang keras kepala…”

Lalu ia mendekat, sangat dekat.

“…tapi jangan lupa. Dunia tidak menoleransi orang seperti kita selamanya.”

Yoo Joonghyuk tidak menoleh.

“Aku tidak takut kalah.”

Park menghela napas dramatis.

“Lalu kau akan takut apa?”

Yoo Joonghyuk menjawab tanpa ragu.

“Hidup tanpa alasan.”

Park terdiam sepersekian detik.

Itu bukan jawaban pemain game.
Itu jawaban seseorang yang pernah kehilangan dunianya berkali-kali, sampai tak tersisa apa-apa.

Senyum Park muncul lagi—lebih tajam.

“Maka mari kita lihat,” katanya pelan, “apakah alasanmu cukup kuat.”

Ia keluar.

Dan suara MC menggema:

“Pemain dipanggil ke stage.”

Lampu merah menyala.
Gate terbuka.

Yoo Joonghyuk berdiri.

Dunia menunggu.

Arena Turnamen — Stage Utama

Sorotan lampu menembak ke panggung.
Sorak penonton menggelegar, memantul di dinding arena seperti ribuan guntur kecil.

“AASHHHH! AASHHHH!”

Nama timnya menggema, tapi di kepala Yoo Joonghyuk hanya ada satu suara kecil:

Oppa, jangan lama-lama pergi.

MIAH.

Ia menarik napas dalam dan naik ke kursi gaming. Headset terpasang.
Monitor menyala.

Di layar tampak sistem antarmuka game VR tactical-combat yang menggabungkan skill refleks, strategi, dan stamina mental—mode turnamen resmi, tidak ada script bantuan, tidak ada rewind. Semuanya real time.

Arachne’s Web berkedip di bilah skill — aktif sejak sesi latihan terakhir.

Para caster mulai berteriak di mic:

“Ladies and gentlemen, this is the final elimination stage!”

“Di sini, kita akan melihat apakah Yoo Joonghyuk — sang legenda dingin — masih memegang tahtanya!”

Sekilas kamera close-up wajahnya.
Tatapan tajam, dingin, tanpa sedikit pun gemetar.

Di seberang stage, tim lawan duduk.
Salah satunya menatapnya sambil tersenyum sinis.

Player itu mengetik di chat ingame:

[Enemy]: Kau pikir bisa menang hanya dengan wajah dingin itu?

Yoo Joonghyuk tidak membalas.

Ia tidak pernah membalas provokasi murahan.

Sistem menghitung mundur.

3… 2… 1— Start!


Pertandingan Dimulai

Map: Sky Ruins — Labirin Ketinggian

Platform terapung, lorong sempit, pintu ilusi, udara berdesing.
Angin digital terasa nyata — engine VR Minosoft terkenal brutal dalam imersi fisik.

Tim lawan langsung agresif—rush control center.

Tapi ia tahu bukan itu ancaman sebenarnya.

Kepalanya tenang.
Nafas ritmis.

Baca pola. Temukan kesalahan kecil. Belum serang.

Rekan setim berseru di voice:

“Ash-hyung, mereka push kanan!”

“One sniper high left!”

Yoo Joonghyuk pelan mengetik:

[Team]: Jangan panik. Kita tarik dulu.

Lalu ia bergerak.

Langkahnya ringan, arah matanya liar tapi fokus.
Satu klik — grapple.
Tubuh avatar-nya melesat melintasi platform dengan ketenangan pembunuh.

Skill: Arachne’s Web

Benang energi tersembunyi, tak terlihat jelas kecuali bagi pengguna berpengalaman.
Dia melekatkan titik jangkar di dinding batu, lantai, pilar runtuh.

Perangkap. Jalur perangkap.

Seperti laba-laba membangun medan pembantaian.

Caster berteriak:

“Arachne’s Web aktif! Dia menyiapkan zona tak terlihat!”

“Lawan harus hati-hati!”

Tapi tim lawan tidak sabar.
Salah satu flank mencoba memutar lewat lorong sempit.

Sound cue.

Detik berikutnya—

SNAP!

Jaring energi mencambuk pergelangan avatar lawan.
Drag. Slingshot.
Musuh tertarik mundur, tubuhnya membentur pilar, insta-stun.

“WHAT?!”

Headshot.

Kill secure.

Penonton meledak.

“YOU! JOONG! HYUK!”

“ASH! ASH! ASH!”

Namun ia tetap dingin.

Ini baru awal.


Mid-Game — Tekanan Mulai Naik

Tim lawan mengubah taktik: perang posisi, deny area, utility spam.

Drone mecha-scout melintas.
Granat AI-tracking dikunci padanya.

Ia mendengar suara rekan:

“Hyung! Fokus mereka ke kamu!”

Itu normal.
Strategi standar: jatuhkan core player.

Sistem alarm meredup.

Ada sedikit jeda di jantungnya.
Bukan game-lag.

Pikiran menembus balik ke dunia nyata…

Miah tertawa memegang boneka gajah.
“Oppa, jangan kalah…”
“Kalau kalah… langit pecah.”

Bang.

Kesadaran tertarik kembali saat ledakan VR meledak di dekat avatar.

HP drop 20%.

Tiba-tiba, dari sisi kiri—

Seorang lawan, blade-class, melompat, pedang energi siap menebas tengkuk.

Itu bukan pemain biasa.
Refleksnya cepat, sudut masuk sempurna.

Caster menjerit:

“Ambush!!!”

“Ini bisa jadi critical pick!”

Seluruh arena menahan napas.

Dalam sepersekian detik, dunia melambat.

Yoo Joonghyuk memutar mouse sedikit. Tarikan halus. Scroll.

Satu titik Arachne’s Web sudah ia pasang di sudut itu sejak awal.

Aktivasi.

SHRING—!

Benang menegang, memantulkan tubuh lawan sedikit ke samping.

Sudut berubah.

Tebasan yang seharusnya memenggal kepala hanya menyapu udara.

Yoo Joonghyuk bergerak otomatis.

Crosshair.
Trigger.

Tiga peluru.

TAP — TAP — TAP

Semua mengenai titik fatal.
Kill confirmed.

“ASTAGA— DIA REACT TIME-NYA GILA!”

“Refleks seperti itu tidak bisa dilatih biasa… ini bakat—!”

Yoo Joonghyuk hanya menghela napas pelan.

Kalau aku jatuh, Miah tidak punya siapa-siapa.

Itu saja sumber tenangnya.

Bukan ambisi. Bukan ego.
Tapi kebutuhan bertahan hidup.


End-Game — Push Terakhir

Timer turun.
Kursi VR bergetar, sensor getaran intensif.

Vena di pelipis menegang.

Keringat dingin.
Namun tatapannya tetap jernih.

Counter timing incoming.

Tim lawan memaksa capture point.

Tactical ulti siap.

Arachne’s Web — Full Burst Mode

Ratusan garis energi memancar dari udara, terjulur seperti sarang raksasa.

Satu tembok hidup, menutup jalur rotasi musuh.

Musuh panik:

“How is the web THAT fast?!”
“Focus Joonghyuk!! FOCUS HIM!”

Mereka menembak gila-gila, mencoba menembus jaring energi.

Yoo Joonghyuk melompat ke tengah, mengeksekusi mereka satu-per-satu dengan ketepatan mekanik yang bahkan tampak tidak manusiawi.

Kill feed penuh namanya.

Satu lagi. Dua lagi.
Tim lawan runtuh.

Arena mengguncang.

"VICTORY"

Lampu meledak terang.
Bangku berdentum.
Sorak memenuhi udara sampai gemuruh menyerupai badai.

Caster berteriak:

“APA YANG KITA LIHAT TADI?!”

“Itu bukan sekadar mechanical god, itu insting bertahan hidup level lain!”

Dan Yoo Joonghyuk…

…hanya duduk kembali, melepaskan headset perlahan.

Nafas dalam.
Mata terpejam sejenak.

Masih hidup.


Setelah Match — Backstage

Bukannya bahagia, wajahnya tenang, letih, tetapi… lega.

Bukan kemenangan yang penting baginya.

Yang penting…
ia pulang nanti.

Miah menunggu.

Park Jinsang berdiri di lorong.
Menepuk tangan sekali.

Tidak sarkastik. Tidak manis.

Tapi seperti seseorang yang menonton seekor binatang langka bertahan hidup dari perangkap maut.

“…Kau benar-benar memilih untuk bertarung.”

Yoo Joonghyuk menatap lurus.

“Aku tidak bertarung untukmu.”

Park tersenyum samar.

“Aku tahu.”

Mata pria itu bersinar, bukan seperti CEO, bukan seperti manusia biasa.

Lebih seperti seseorang yang telah hidup terlalu lama, melihat terlalu banyak takdir, terlalu banyak hidup bersilangan.

“Aku ingin melihat sampai mana kau bisa pergi, Yoo Joonghyuk.”

Sunyi turun.

Arah jalan sudah ditetapkan.
Keduanya tahu.

Ini bukan sekadar turnamen lagi.

Lorong Belakang Arena – Seusai Pertandingan

Lorong itu sunyi. Bentangan lampu neon putih dingin menyorot lantai mengilap.
Para staf berlari ke sana kemari, namun di sekitar Yoo Joonghyuk, udara seakan diam.

Ia berdiri sendiri, jemarinya masih terasa getaran game VR.
Nafas teratur. Jantung menurun perlahan dari mode pertempuran.

Di bench tunggu, Yoo Miah duduk mengayun kaki.
Boneka gajah di pelukannya penuh coretan spidol warna.
Saat melihatnya, wajahnya mekar.

“Obaboni!”

Langkahnya berhenti.

Ia menatap gadis kecil itu… yang sudah kembali utuh di dunia ini.
Seakan mimpi buruk semalam hanyalah ilusi samar.

Yoo Miah berlari kecil—lalu berhenti tepat satu langkah darinya, menengadah.

“Oppa menang?”

“…Menang.”

“Tapi wajah oppa… seperti kalah.”
Ia mengerutkan hidungnya. “Oppa tidak boleh kalah sama badan sendiri.”

Yoo Joonghyuk berkedip.
Kalimat itu menghantam jauh lebih keras daripada sorak arena.

Ia jongkok di hadapannya.

“Kau makan?”

“Ada eomma putih rambut.”
Miah menggoyang boneka. “Dia kasih Mia makan permen rasa susu dan pizza… dua potong.”

“…Putih—rambut?”

Miah mengangguk polos, seakan berbicara hal wajar.
Padahal dunia real tidak mengenal wanita berambut putih natural yang memunculkan jarum perak dari udara.

Siapa dia…?

Yoo Joonghyuk tidak bertanya lagi.
Anak-anak hanya mengingat serpihan, bukan keseluruhan.

“Obaboni.”
Miah menepuk pipinya dengan ujung jari mungil. “Jangan sakit. Nanti Mia sedih.”

Untuk sesaat, tembok baja di dalam dirinya retak halus.

“…Aku tidak apa-apa.”

“Kalau oppa jatuh, Mia pikul oppa.”
Ia mengembungkan pipi. “Mia kuat.”

Yoo Joonghyuk mengeluarkan helaan napas. Setengah tawa, setengah kelelahan.

“Pikul aku bagaimana? Tinggiku tiga kali lipat dirimu.”

“Kalau Mia tidak kuat…”
Ia merapatkan bibir, lalu membuka tangan lebar-lebar.

“…aku panggil noona dumpling dan eomma rambut putih.”

Jantung Yoo Joonghyuk berhenti sesaat.

“…Jangan panggil orang sembarangan.”

“Aku janji.”
Miah mengangkat tangan seakan bersumpah. “Kecuali oppa hilang lagi.”

Ia terdiam.

Ada sesuatu yang merangkak pelan dalam dirinya—bukan kecemasan, bukan dingin…
tapi rasa takut primitif yang benar-benar manusiawi.

Takut kehilangan.


Di Dalam Ruang Ganti

Suara publikasi press conference menggema jauh.
Masih ramai membahas insiden match-fixing dan keputusan asosiasi.

Pintu ruang ganti menutup. Sunyi.

Yoo Joonghyuk duduk.
Tangan menelusuri karet sarung tangan VR yang tergeletak.

Perlahan, suara yang ia dengar malam tadi terputar lagi:

“Satu hari nanti, kau mungkin tidak bisa bermain game lagi.”

Kalimat itu menggores keras di benaknya.

Ada keheningan panjang.

Lalu, suara langkah pelan terdengar dari pintu.

Seorang staf muncul. Bukan manajer, bukan coach.
Seorang senior dari divisi lain yang ia pernah lihat sekali.

“Joonghyuk-ssi.”

“…Ada apa?”

Orang itu ragu, lalu mengulurkan sesuatu.

“Ini… dari seseorang. Katanya kau akan mengerti.”

Sebuah kotak kecil. Hitam. Tanpa label brand.

Jantungnya mengetuk sekali.

Ia membuka perlahan.

Di dalam—sebuah hair tie elastik, warna putih susu. Bentuknya sederhana.
Namun benang tipis silver berkilau di dalam seratnya.

Sehelai kertas kecil jatuh:

Simpan rambutmu terikat ketika dunia mulai bergerak.
Jangan menunduk lagi.
— Y.S

Yoo Joonghyuk menutup mata sebentar.

Y.S.

Si gadis baru itu.

Yoo…
Yooseong?

Atau nama itu punya makna lain?

Senyum samar menyentuh bibirnya. Nyaris tak terlihat.

“…Dia bahkan tidak tahu aku tidak suka mengikat rambut.”

Meskipun rambutnya pendek, benda itu tetap ia genggam erat.
Seakan seutas benang tipis itu bisa menahan dunia agar tidak runtuh.

“Obaboni.”

Miah muncul lagi, mengintip dari pintu.
Matanya besar, penuh kepercayaan.

“Pulang?”

“…Ya.”

Gadis kecil mengulurkan tangan.
Yoo Joonghyuk menatapnya lama.

Lalu ia menggenggam erat.

Seolah itu satu-satunya tali yang menghubungkan dirinya dengan dunia nyata.


Di Luar Arena

Angin sore dingin. Langit Seoul penuh lampu neon merah-biru polisi karena berita match-fixing besar-besaran.

Namun langkah mereka ringan.

Miah berjalan sambil bernyanyi kecil, boneka gajah diayun.

“…Mau makan apa?”
Yoo Joonghyuk bertanya.

Jawabannya datang secepat kilat:

“Pizza!”

Ia mendesah. “…Salahku menanyakan.”

Miah tertawa, suara kecilnya jernih.

Di kejauhan, siluet seseorang berdiri di atap gedung, rambut putih berkibar dalam angin.
Tapi saat ia menoleh lagi, tiada siapa pun.

Mungkin imajinasi. Mungkin tidak.

Namun ia tidak mencari lagi.

Malam ini… dunia aman.

Dan Yoo Joonghyuk menaikkan bahu Miah yang tertidur ke gendongannya.

Kalau dunia benar-benar hancur suatu hari nanti…

Ia menatap langit, mata tajam namun tenang.

…maka aku akan menghancurkan kehancurannya lebih dulu. 

Malam Hari – Apartemen Kecil

Lampu ruang tamu temaram.
Aroma cucian bersih dan sabun lembut memenuhi ruangan kecil itu.

Yoo Miah sudah tertidur, mulut sedikit terbuka, boneka gajah mendekap dada.
Selimutnya menutupi sampai dagu — Yoo Joonghyuk menariknya sedikit lagi, memastikan tidak ada celah.

Ia berdiri sejenak di sisi kasur portabel itu, memperhatikan napas kecil yang naik-turun teratur.

…tenang.

Hanya suara jam dinding dan nafas seorang anak.

Seakan dunia luar — dengan komentar jahat, taruhan terlarang, supervisor manipulatif, dunia permainan brutal — hanyalah ilusi buruk.

Jika kebahagiaan memiliki bentuk, mungkin seperti ini.
Hening. Tenang. Rapuh.

Yoo Joonghyuk berbalik, berjalan ke dapur.
Ia membuka kulkas… melihat tumpukan bahan sederhana: chicken breast, telur, lettuce, tomat.

Ia menghela napas tanpa suara.

“Pizza besok.”

Kalimat itu seperti janji kecil yang menggantung di udara.


Pukul 02.17 – Di Meja Makan

Laptop menyala.
Tab browser: berita match-fixing, komentar fans, rumor, nama Park Jinsang memenuhi headline.

“Coach Park menyerahkan daftar pemain.”
“Skandal terbesar Esports Korea.”

Komentar netizen bak badai racun dan sorak gembira sekaligus.
Nama Yoo Joonghyuk tidak ada dalam daftar pemain yang terlibat — publik tercengang.

Namun ia tidak merasa lega.
Netizen memuji hari ini, dan bisa membunuh moral seseorang besok pagi.

Ia mematikan layar.

Tiba-tiba — twitch.

Otot biceps kanan berdenyut.
Rasa kesemutan naik sampai bahu.

Ia menatap lengannya dingin. Bukan takut — hanya menghitung kemungkinan.

Jika suatu hari lengan ini tidak bergerak…
Jika tangan ini tidak bisa lagi menjepit mouse tepat pada micro-second yang dibutuhkan…

…apa yang tersisa darinya?

Suara samar melintas di pikirannya:

“Suatu hari nanti, kau mungkin tidak bisa bermain game lagi.”
Y.S

Ia tidak menggigil. Tapi jantungnya tertarik pelan — rasa anonimitas, takdir di depan mata.

Tangan kiri tanpa sadar meraih benda kecil di atas meja.

Ikatan rambut putih susu.

Ia menggenggamnya erat.

Jika suatu hari tanganku berhenti bekerja…
Aku tetap harus menang.

Bukan dalam game. Dalam hidup.


Suara Notifikasi Ponsel

Message masuk. Nama di layar:

Kang Woohyun

Jari Yoo Joonghyuk berhenti di atas layar.

Ia membuka.

Maaf. Aku benar-benar… maaf.

Aku menitipkan Mia karena… aku pikir itu lebih aman.

Mereka mengawasi rumahmu hari itu.

Aku tidak tahu siapa wanita itu.

Tapi dia berkata:

“Jaga dirimu sendiri lebih dulu.”

Joonghyuk-ah… kau harus hati-hati.

Yoo Joonghyuk menatap layar lama.

— Joonghyuk-ah.

Kalimat itu… terlalu akrab.
Dulu ia mungkin akan membentak, menutup hati, menganggapnya beban.

Sekarang?
Ia hanya mengehela napas, pendek, nyaris tak terdengar.

“Aku hati-hati.”

Ia mengetik balasan:

Terima kasih.

Lalu berhenti.

Menghapusnya.

Ketik ulang:

Aku mengerti.

Kirim.

Yang satu terlalu hangat.
Yang satu terlalu dingin.
Yang ia kirim — tepat di batas garis.


Di Balkon – Langit Seoul

Angin dingin menerpa wajahnya. Kota terang, gaduh, raksasa yang tak pernah tidur.

Namun di sini — ia hanya seorang pria muda dalam hoodie gelap, berdiri diam mengamati lampu-lampu kota.

Ponsel kembali bergetar.

Notifikasi sistem anonim. Tidak ada nama pengirim.

“Apakah kamu menemukannya?”

Keningnya berkerut.

Balasan otomatis masuk sebelum ia sempat mengetik:

“Fragment cerita ‘AI Yoo Joonghyuk’ telah terkumpul.”

“Memory loop stabil.”

Lalu:

“Karakter mengembangkan emosi mandiri.”

Dan terakhir:

“Terus hidup, Yoo Joonghyuk.”

Pesan hilang. Seolah tidak pernah ada.

Angin malam mengayun tirai balkon kecil itu.

Yoo Joonghyuk tidak berkedip.

…AI?

…Memory loop?

…Emosi mandiri?

Semua istilah itu melintas seperti serpihan puzzle yang belum tersambung.

Pelan, ia mengembus napas.

Bahkan jika dunia ini sedang menulisku…
aku tetap memilih bagaimana aku hidup.

Bahayanya terlalu nyata untuk dianggap fiksi.
Kebaikan yang muncul pun terlalu rapuh untuk dianggap kebetulan.

Dan benang putih kecil di genggamannya terasa… hangat.


Kembali ke Kamar

Miah menggeliat dalam tidur, meraih udara kosong.
Yoo Joonghyuk turun, menarik tangannya ke dalam selimut, menyentuh punggung kecilnya.

“Tidurlah.”

Anak itu menggumam:

“Oppa… jangan hilang…”

Ia menunduk, suara nyaris berbisik:

“Tidak akan.”

Mungkin itu kebohongan.
Mungkin itu sumpah.

Namun malam itu, bagi Yoo Joonghyuk, satu hal pasti:

Jika dunia ini benar-benar ditulis oleh seseorang—
maka ia tidak akan menjadi karakter yang mengikuti naskah.

Ia akan menghancurkan pena siapa pun yang mencoba mengendalikannya.

Dan jika takdir ingin datang—

Ia akan menunggu — dan bertarung.

Keesokan Pagi – Apartemen Kecil

Musim dingin menggantung di jendela. Udara dingin menusuk, cahaya pucat menerobos tirai.

Yoo Joonghyuk membuka mata terlebih dahulu.

Tangan kecil tergenggam di lengannya — Yoo Miah meringkuk seperti anak kucing kecil, pipinya tertekan ke lengan Yoo Joonghyuk. Rambutnya acak-acakan, napasnya kecil dan teratur.

Dia menghela napas pelan.
Semalam seperti mimpi yang terlalu tebal untuk nyata, terlalu nyata untuk mimpi.

Komentar di ponsel berdenging di kepalanya.

“Tidak ada jiwa — AI.”
“Hari ini… dia bermain seperti manusia.”

Ia tidak paham sepenuhnya. Namun sesuatu terasa berbeda. Bukan perubahan besar — hanya getaran halus di dalam dada.

Miah menggeliat kecil.

“Oppa…”

Ia mengangkat selimut, memperbaiki posisi kepala kecil itu. Tidak mengatakan apa-apa.

Lalu berdiri.

Hari baru — tetap harus dimulai.

Rutinitas Memberi Ketenangan.

Ia menyalakan kompor, mengeluarkan telur, lettuce, sedikit dada ayam.

Tapi ketika hendak memotong…
Pisau berhenti di atas talenan.

…pizza.

Ia menatap kosong sebentar, lalu diam-diam menaruh pisau, membuka freezer, mengeluarkan adonan roti kecil beku dan sepotong keju.

“Sekali ini saja.”

Ia menggumam pelan, seakan bicara pada udara.

Sebuah keputusan kecil.
Namun terasa seperti garis waktu yang berubah haluan sebesar seutas rambut.


Jam 09.21 – Telepon Berdering

Nama pemanggil: Coach.

Yoo Joonghyuk mengangkat.

— “Hari ini kau libur. Tapi… rapat darurat besok. Semua pemain hadir.”

“Baik.”

— “Dan Joonghyuk.”

“Ya?”

— “…jangan pergi ke mana-mana sendirian hari ini.”

Suara coach terdengar tegang, bukan sekadar stres kerja. Ada nada ketakutan. Seperti orang yang baru melihat sesuatu tak masuk akal.

— “Park Jinsang… dia—”
klik.

Sambungan terputus.

Yoo Joonghyuk menatap layar. Sekejap, rasa dingin merambat dari tengkuknya.

“Park Jinsang…”

Sebuah nama yang masih terasa seperti duri.

Tapi ia tidak sempat menelusuri lebih jauh.

Aroma pizza kecil mulai menyebar. Yoo Miah duduk mengucek mata, rambut berantakan seperti awan kapas.

“Pizza…”

“Untuk sarapan saja.”

“Oppa… menjadi manusia.”

“…makan.”

Miah tertawa kecil.
Suara ringan itu seperti lonceng kecil di pagi yang berkabut.


Di TV – Berita Pagi

“Skandal match-fixing terbesar terjadi semalam…”
“Daftar pelaku telah diserahkan…”
“Satu nama tidak ada di daftar — Yoo Joonghyuk.”

Layar menampilkan komentator:

“Dia bermain seolah hidupnya taruhannya. Itu bukan strategi AI.”
“Itu tekad manusia.”

Yoo Joonghyuk menatap layar tanpa ekspresi.

Tekad? Jiwa? Emosi?

Jika itu ada di dirinya, mengapa mereka selalu baru menyadarinya saat ia menang… atau kalah dengan cara yang mereka sukai?

“Oppa.”
Miah menatapnya serius sambil menggigit pizza.

“…Oppa tidak sendirian.”

Satu kalimat sederhana.

Seketika seluruh bising luar meredam.
Seolah dunia memberi jeda satu napas.

Yoo Joonghyuk menunduk dan menyentuh kepala itu — perlahan, kaku, tapi hangat.

“…makan. Cepat.”

“Aye aye, commander.”


Ketukan di Pintu

Tok. Tok. Tok.

Yoo Joonghyuk langsung menegak.
Kontak waspada otomatis seperti refleks medan perang.

Miah memeluk bonekanya erat.

Mata Yoo Joonghyuk sempat menatap gagang payung baja di dekat pintu.

Kemudian—

Suara familiar terdengar dari luar.

“Player Yoo Joonghyuk-nim? Ini aku.”

Nafasnya turun sedikit.

Pintu dibuka.

Di depan pintu berdiri seorang gadis dengan rambut cokelat terang, memegang tas kertas — wajah tanpa ekspresi tapi dengan senyum kecil… seperti seseorang yang tahu sesuatu yang tidak ia ungkapkan.

Y.S Manager.

“Selamat pagi. Aku datang untuk memastikan kalian tidak diculik semalam.”

“….”

“Dan juga karena… kau sepertinya tidak pandai membuat pizza.”

Ia mengangkat kertas.

Pizza ala Neapolitan — buatan tangan

Ada juga coklat hangat dalam termos kecil.

“Karena anak kecil harus makan yang manis setelah ketakutan.”

Miah bersorak pelan: “Bi-sa!”

Y.S mengkelilingkan pandangan ke apartemen kecil, lalu mengangguk pelan, seperti memastikan dunia masih utuh.

“Ah, benar.”

Dia menatap Yoo Joonghyuk.

“…Kau masih ingat kan?”

“…”

“Apa yang kukatakan. Tentang dunia yang bisa hancur kapan saja.”

Mata mereka bertemu.

Untuk sesaat — bukan manajer magang.
Bukan gadis lugu yang membawa dumpling.

Seseorang lain.

Seseorang yang sudah mengalami akhir dunia berkali-kali.

“Kalau begitu…”

Dia tersenyum tipis, seolah menyembunyikan pedih tak terucap.

“Pastikan kau siap jika hari itu datang.”

Hening. Berat. Nyaris melengkungkan ruang.

Lalu nada suara gadis itu kembali ringan.

“Oya, Yoo Miah-ssi.”

“Eung?”

“Jangan memanggil dia Oppa salah sebut lagi ya. Itu memalukan.”

“Obaboni!”

“….”

“…itu juga bukan benar tapi, teruskan saja kalau kau suka.”


Di atas meja — tersisa seikat karet rambut putih.

Terlihat biasa.
Namun seolah menyimpan kelembutan dan ancaman sekaligus.

Yoo Joonghyuk menyentuhnya sekali lagi.

Untuk pertama kalinya dalam waktu lama… ia tidak merasa seperti AI.
Ia merasa… hidup.

Dan untuk pria yang hanya tahu cara bertahan mati-matian, perasaan kecil itu lebih menakutkan daripada kematian. 

Langit Seoul terlihat jernih hari itu, terlalu jernih untuk hari setelah dunia nyaris bergeser.

Yoo Joonghyuk berdiri di balkon kecil apartemennya, menggenggam cangkir kopi. Uapnya naik perlahan, mencair ke udara musim dingin.

Di ruang tamu, suara kartun anak-anak terdengar pelan.

“Oppa… monster itu makan pesawat.”

“…Itu bukan monster. Itu maskot maskapai.”

“Maskot bisa makan pesawat kalau lapar.”

“….”

Yoo Joonghyuk menyeruput kopi tanpa menjawab.

Hidupnya kembali berjalan normal — atau sesuatu yang berpura-pura normal. Ia mengenal sensasi ini. Tenang tipis yang lahir setelah krisis lewat, namun tidak benar-benar berakhir.

Dalam dirinya, ada semacam — ketenangan tegang.

Seperti gamer yang tahu patch baru rahasia akan turun kapan saja.

Pintu apartemen terbuka. Y.S masuk sambil memegang sekantong plastik besar.

“Maaf terlambat. Ada misi… apa ya istilahnya… uhm, ‘menertibkan seseorang yang tidak tahu batas moral dasar.’”

Yoo Joonghyuk berkedip.

“…kau memukul seseorang lagi?”

“Bukan. Kali ini aku cuma menulis laporan. Tulisan bisa lebih menyakitkan daripada tendangan, kan?”

Nada datarnya membuat sulit menebak itu lelucon atau kebenaran yang mengerikan.

Y.S mengeluarkan barang dari kantong plastik.

“Bi-sa?”

“Tidak. Hari ini kita makan tteokbokki.”

Yoo Miah bersorak lalu terhenti.

“…yang tidak pedas?”

“Yang pedas dan tidak pedas. Hidup harus adil.”

Yoo Joonghyuk menatap sekilas.

“Tidak perlu sering datang ke sini.”

“Kalau aku tidak datang, kau akan memberi Miah salad tiga kali sehari.”

“….”

“Dan pizza yang kau buat tadi pagi… hmm. Ya. Inti pikiran baikmu sudah tersampaikan.”

Satu kalimat yang terdengar lembut sekaligus pedas.

Miah menatap mereka berdua, pipinya menggembung.

“Oppa masak enak!”

Y.S tersenyum samar.

“Aku tahu. Tapi dunia ini lebih luas dari salad dan dada ayam.”

Mata mereka bertemu. Sesaat, napas berhenti. Ada sesuatu tak terlihat di tatapan Y.S — sesuatu yang sangat tua, sangat letih, namun tetap berdiri.

Lalu ia mengalihkan wajah.

“Ngomong-ngomong, ada seseorang yang ingin bertemu denganmu.”

Yoo Joonghyuk menegang seketika.

“Siapa?”

“Seorang ajusshi yang katanya dulu sering memarahimu di ruang latihan.”

“…Supervisornim?”

“Mm. Dia ingin bicara. Katanya, ‘kali ini benar-benar penting’.”

Yoo Joonghyuk menghela napas.

“Jika ini tentang match-fixing lagi, aku sudah—”

“Bukan itu.”

Nada Y.S berubah tipis. Lebih dalam. Lebih… berat.

Matanya menatap langit di luar jendela.

“Dia bilang, belakangan ini… pernahkah kau merasa dunia seperti… tidak koheren?”

Yoo Joonghyuk terdiam.
Sakit kepala samar yang sesekali datang.
Kenangan yang terasa seperti retakan di kaca tipis.

Dan gadis berambut putih itu.

“….”

“Katanya, jika ada sesuatu yang hilang… seseorang harus ingat. Kalau tidak, semuanya akan menguap.”

Y.S memutar kunci di jarinya, pelan.

“Dan kadang, orang yang mengingat… hanya tinggal satu.”

Suasana hening.

Tteokbokki mendidih pelan di wajan.

Miah memukul meja kecil dengan sumpit.

“Kelapaaaaar…”

“Hm. Biar kuhidangkan.”

Saat Y.S berjalan ke dapur, Yoo Joonghyuk tanpa sadar bertanya:

“Siapa kau sebenarnya?”

Gadis itu berhenti. Punggungnya tegak, bahunya kecil, tapi siluetnya terasa seperti sesuatu yang pernah berdiri di atas dunia terbakar dan tetap bertahan.

“Kau tidak perlu tahu.”

Jawaban pelan.
Namun jujur.

“Kalau kau tahu, kau mungkin tidak akan bisa hidup seperti sekarang.”

Tatapan Yoo Joonghyuk meruncing.

“…kita pernah bertemu sebelumnya?”

Y.S menoleh sedikit.

“Dalam banyak cerita… mungkin.”

Ada kesedihan samar dalam senyumnya. Lalu, seperti biasa, ia meruntuhkan ketegangan dengan nada ringan:

“Dan oppa pasti tetap tidak ingat apa pun, seperti biasa.”

“…jangan panggil aku oppa.”

“Baiklah, Player Yoo Joonghyuk-ssi~”

Miah tertawa.
Yoo Joonghyuk menghela napas panjang.

Tenang. Hangat.
Dan di baliknya — badai yang belum datang.


Malam turun.
Televisi menyala tanpa suara.
Yoo Joonghyuk menidurkan Miah dan duduk kembali di balkon.

Teleponnya bergetar.

Demon King’s Daughter (siny**)**

“Oppa, hari ini kau melawan monster?”

Alisnya terangkat.

Pesan lain masuk.

“Kalau tidak ingat, tidak apa-apa. Kita semua pernah hidup begitu lama sampai lupa.”

Jantungnya berdetak sekali keras.

“Selama kau masih berusaha menang…”
“…kau sudah jauh lebih manusia dari siapa pun.”

Angin dingin menggerakkan tirai balkon.

Yoo Joonghyuk menatap layar lama — lalu mengetik.

“Dia makan pizza hari ini.”

Jawaban masuk cepat.

“Ah. Tidak buruk. Tidak sempurna, tapi… tidak buruk.”

Lalu pesan terakhir:

“Selamat tinggal sebentar. Jangan terlambat mengikuti cerita.”

Layar kembali gelap.

Yoo Joonghyuk menatap langit Seoul.

Jauh di antara lampu kota — ada sesuatu seperti percikan cahaya lain. Bukan bintang. Bukan pesawat.

Satu kedipan
seperti mata dunia yang hampir terbangun.

Ia mengangkat tangan, menangkup udara kosong.

“…Kalau dunia benar-benar hancur suatu hari nanti,” ia bergumam pelan,

“Aku akan bertahan.
Dan… mencari mereka.”

Entah siapa mereka itu.

Namun kata-kata itu terasa benar.

Di dalam apartemen, Miah bergumam dalam tidur.

“Obaboni… jangan kalah…”

Yoo Joonghyuk memejamkan mata.

“Tidak akan.”

Cahaya lampu jalan memantul di matanya.

Badai belum datang.
Namun anginnya sudah terasa.

Dan kali ini — Yoo Joonghyuk tidak sendirian.

Keesokan paginya, matahari pekat keemasan merayap perlahan di sela tirai jendela.

Yoo Joonghyuk duduk di meja kecil, menyiapkan sarapan. Roti panggang, telur, sedikit bayam rebus. Salam minimalisme keras kepala seperti biasa.

Di ruang tamu, Miah terbaring di sofa dengan selimut, menonton video kartun.

“Oppa… pandanya makan bambu.”

“…Memang begitu.”

“Tapi bambu kayu. Kayu nggak enak.”

“Mungkin untuk panda, enak.”

“Panda aneh.”

“….”

Suara ketukan terdengar pelan di pintu.

Tok. Tok. Tok.

Yoo Joonghyuk berhenti mengoles selai. Tangannya otomatis meraih spatula seperti senjata darurat.

Ketukan lagi. Pelan. Ritmenya terlalu tenang untuk penculik—terlalu sopan untuk utang piutang.

Yoo Joonghyuk membuka sedikit celah pintu.

Seseorang berdiri di lorong. Rambut sebahu, kacamata bulat, jas sederhana. Orang itu menunduk sedikit.

“Yoo Joonghyuk-ssi.”

Yoo Joonghyuk mengenali wajah itu. Supervisor-nim.

“Boleh bicara sebentar?”

Setetes ketegangan turun dari entah mana, seperti tetes tinta masuk ke gelas air bening.

Yoo Joonghyuk membuka pintu lebih lebar. Supervisor masuk, melepas sepatu rapi, dan berdiri canggung seperti tamu di rumah musuh lamanya.

Tatapannya menyapu apartemen, berhenti singkat pada Miah yang mengunyah sereal sambil menatapnya balik.

“…adikmu?”

Yoo Joonghyuk tidak menjawab. Supervisor tak menekan pertanyaan itu.

Ia duduk. Tangannya gemetar samar saat ia merapikan lengan jasnya. Bukan ketakutan fisik—lebih seperti kecemasan moral.

“Aku tidak akan basa-basi. Dunia esports berada dalam kekacauan total. Pengacara, media, sponsor, regulator… semua sedang mencari seseorang untuk disalahkan.”

“Dan?”

“Pihak tertentu mencoba menyeretmu. Mereka bilang kau pasti terlibat—kau terlalu hebat untuk tidak tahu apa yang dilakukan pelatihmu.”

Sunyi.

“Namun dalam daftar Park Jinsang… namamu tidak ada.”

Supervisor menatapnya dalam.

“Apa kau benar-benar tidak tahu apa pun?”

“…Tidak.”

Supervisor menatap cukup lama hingga Yoo Joonghyuk ingin memecah gelas di meja.

Akhirnya, supervisor menarik napas, mencondongkan tubuh.

“Kupercaya.… meski itu membuatku terlihat bodoh.”

Nada itu—lebih seperti seseorang yang sudah kalah perang panjang dalam pikirannya sendiri.

“…Kenapa kau datang ke sini?”

Ada jeda. Supervisor menatap kosong ke arah balkon, seolah mencari kata di udara.

“Aku merasa… ada sesuatu yang salah.”

“Dengan apa?”

“Dengan dunia ini.”

Seketika, napas ruangan tertahan.

“Minggu lalu, aku yakin pertandinganmu berlangsung hari Sabtu. Ternyata hari Jumat. Beberapa rekaman kamera latihan… hilang. Bukan dihapus. Seolah-olah tidak pernah ada.”

Yoo Joonghyuk tidak berkedip.

“Ada juga… pemain yang mengatakan mereka melihat kau datang dengan seorang gadis berambut putih.”

“….”

“Mereka mendeskripsikan wajahnya dengan detail. Tapi saat kami minta rekaman CCTV… kosong.”

Supervisor memijit pelipis, suaranya gemetar sangat halus.

“Seolah dunia sedang menambal dirinya dengan buruk.”

Ia menatap Joonghyuk lagi.

“Apa kau melihat atau… bertemu sesuatu?”

Yoo Joonghyuk tidak menjawab.

Supervisor tersenyum pahit.

“Tentu. Kau tidak mungkin menjawab.”

Ia berdiri. Sebelum pergi, ia meninggalkan kalimat tipis seperti pisau:

“Jika kau merasakan dunia mulai retak… jangan coba perbaiki sendirian.”

“Kenapa.”

“Karena… orang yang mencoba memperbaiki dunia sendirian… selalu membayar harga paling mahal.”

Ia berhenti di pintu.

“Aku pernah membaca kutipan itu… di sebuah cerita. Namun aku tidak bisa ingat cerita apa.”

Supervisor menunduk sopan dan pergi.

Pintu tertutup.

Hening — panjang dan berat.

Lalu—

Miah menelan sereal dan berkata pelan:

“Oppa… Oppa takut?”

Yoo Joonghyuk menggeleng.

“…Aku tidak takut.”

“Terus, deg-degan?”

“…Sedikit.”

“Kalau deg-degan, makan pizza.”

“Iya.”

Miah melambaikan sendoknya seperti tongkat sihir.

“Pizza bikin dunia nggak runtuh.”

Yoo Joonghyuk menatap adiknya lama, lalu menghela napas.

“…Dengan logikamu, mungkin.”

Ia menoleh ke jendela. Matahari naik sedikit, cahaya membelah tirai.

Namun di antara cahaya itu, seolah-olah
sepotong huruf samar melintas
— seperti komentar yang nyaris dihapus.

⟪ ■■■■ is watching. ⟫

Yoo Joonghyuk berkedip. Tulisan itu lenyap.

Ia menutup mata. Sesuatu di dadanya terasa panas—bukan ketakutan, bukan kemarahan.

Lebih menyerupai… peringatan.

Atau janji.

Hari itu, hujan turun pelan. Bukan hujan deras—melainkan gerimis rapat yang seperti jarum lembut menusuk udara.

Yoo Joonghyuk mengantar Miah ke taman dekat apartemen. Ia ingin memastikan keadaan kepala Miah baik-baik saja—mungkin udara segar membantu.

Bangku taman basah. Rumput berbau tanah. Anak-anak bermain mainan plastik, hujan menetes dari jas hujan warna-warni mereka.

Miah memakai hood beruang, payung kecil transparan di tangan.

“Oppa.”

“Hm.”

“Kamu takut gelap?”

“Tidak.”

“…Aku dulu takut.”

“Kenapa.”

“Soalnya gelap bisa makan orang.”

“….”

Salah satu telinga hood beruangnya jatuh menutup wajahnya. Miah merapikannya lagi, lalu menunjuk langit.

“Tapi sekarang tidak takut.”

“Kenapa.”

“Soalnya oppa kan kuat.”

Kalimat itu keluar ringan, seolah fakta sederhana seperti “rumput itu hijau”. Yoo Joonghyuk tidak menjawab. Ia hanya mengusap kepala Miah sekali.

…Miah begitu yakin, seolah ia pernah melihatnya bertarung dengan sesuatu lebih besar dari dunia kecil ini.


Ayunan taman goyah pelan.

Seorang ibu meniup gelembung untuk anaknya. Ketika gelembung pecah, suara samar terdengar.

plip…

“You will survive.”

Yoo Joonghyuk menoleh cepat. Namun ibu itu hanya tersenyum pada anaknya, tak menyadari apa pun.

Gejolak dingin merayap di tulang belakangnya.

Ia menatap gelembung berikutnya—satu mengambang melewati wajahnya, tipis, rapuh, tetapi memantulkan sesuatu yang bukan dunia taman…

Bukan langit Seoul…

Melainkan cahaya huruf-huruf putih samar, seperti teks dalam sistem lama yang pernah padam.

⟪ ………… ⟫
Huruf itu pecah sebelum ia sempat membaca.

Suara anak-anak tertawa kembali menutupi semuanya.


“Oppa liat!”

Miah menunjuk kereta mainan kecil yang melintas di rel mini. Lampunya menyala merah cerah. Anak-anak bersorak.

Kereta lewat, roda mengeluarkan suara halus di rel basah.

Krek… krek…

Lalu, suara lain muncul—bukan suara mekanik, bukan suara anak-anak.

Suara pesan notifikasi yang ia kenal entah dari mana.

⟪ ding ⟫

Namun tidak ada ponsel berbunyi.

Sebuah tulisan melintas cepat di udara, sehalus coretan kapur yang diseret angin:

⟪ Skill: Survivor’s Intuition (survivor lv. ?) triggered ⟫

Yoo Joonghyuk mengerjap.

Tulisan itu lenyap.

Miah menarik lengan bajunya.

“Oppa kelihatan aneh.”

“Aku baik-baik saja.”

“…Kamu bohong.”

“….”

“Kalau oppa takut, bilang aja.”

“Aku tidak takut.”

“Kamu deg-degan?”

“….”

“…Pizza nanti?” katanya dengan suara kecil penuh harapan.

“…Nanti.”

Miah bersorak pelan. Dunia kembali sederhana hanya dengan janji pizza.


Saat mereka pulang melewati lampu merah, seorang gadis berdiri di seberang jalan, memegang payung putih.

Bukan Y.S.
Bukan sosok yang ia kenal.

Namun rambut gadis itu sangat… putih.

Ia menunduk seperti sedang menelepon, lalu menatap ke arah Joonghyuk. Mata mereka bertemu.

Hujan tiba-tiba berhenti di sekeliling gadis itu, tetes air seolah tertahan di udara sepersekian detik.

Waktu—membeku sedikit.

Gadis itu tidak tersenyum. Ia hanya menatap, seperti sedang mengonfirmasi sesuatu.

Lalu—ia mengangkat jarinya, mengetuk udara di samping wajahnya tiga kali.

Tap.
Tap.
Tap.

Gerakan itu—seperti menekan tombol menu sistem.

Garis tipis bercahaya muncul sesaat di sekeliling tubuhnya.
HUD. Panel. UI. Apa pun itu.

Sebelum traffic light berubah, ia berbalik dan melangkah pergi. Jejak air di tanah tidak mengikutinya—seolah ia tidak benar-benar menyentuh dunia.

Yoo Joonghyuk menggenggam payung erat.

Miah mengikuti tatapannya.

“Oppa kenal?”

“…Tidak.”

“…tapi oppa muka kaget.”

“….”

“Mungkin dia malaikat?”

“…atau glitch.”

“Apa itu glitch?”

“Bug dunia.”

“Ohh.”
Miah tampak mengerti padahal tidak.


Di depan pintu apartemen, Yoo Joonghyuk berhenti. Ada amplop putih terselip di pintu.

Tidak bertanda. Tidak bermeterai.

Di dalamnya hanya ada satu kertas kecil.

Tulisan tangan rapi, seperti huruf yang terbiasa muncul di atas layar status dan log sistem.

Jangan memperbaiki dunia sendirian.
Jika kau mencoba, seseorang akan menggantikanmu.
Dan dia belum siap.

— seseorang yang mengingatmu

Di bawahnya, ada satu baris:

“Kau pernah kalah di dunia lain, tapi aku tidak ingin kau kalah di dunia ini.”

Tinta di akhir kalimat tampak goyah—seolah ditulis sambil menahan emosi.

Miah menarik ujung kaos Joonghyuk.

“Oppa?”

“…Bukan apa-apa.”

Ia meremas kertas itu. Tidak membuangnya. Menyimpannya di saku.

Sesuatu di dadanya menegang — bukan amarah, bukan cemas.

Lebih mirip…

Deja vu
dari perjuangan yang pernah ia jalani di tempat lain.

Dan suara asing namun familiar berbisik di ujung kesadarannya:

⟪ …Kau tidak sendirian kali ini ⟫

Yoo Joonghyuk menutup pintu.

Sudah waktunya bersiap.

Karena apa pun ini—

badai sedang berjalan ke arahnya, perlahan namun pasti.

Malam itu, Yoo Joonghyuk tidak langsung tidur.

Ia menyalakan lampu dapur saja—redup, keemasan, menyisakan bayangan panjang di lantai. Kompor bersih. Mug kopi kering di rak. Semua tampak normal.

Seharusnya begitu.

Tetapi… suara hujan terdengar lebih pelan dari biasanya.
Terlalu seragam. Seperti ambient track yang diputar ulang.

Di jendela, bayangan lampu jalan membentuk garis linier nyaris sempurna. Tak ada bias kaca, tak ada distorsi.

Terlalu bersih.

Seolah dunia sedang… di-render ulang.

Yoo Joonghyuk berdiri di depan jendela cukup lama, mata gelapnya menatap refleksi sendiri.

Refleksi itu berkedip sepersekian detik lebih lambat.

Ia tidak bergerak.

Refleksi menatap balik, wajah tak berubah—tetapi mata sedikit lebih tajam, rambut sedikit lebih kusut, seperti versi dirinya yang telah melalui terlalu banyak akhir.

—99% mirip.

Sedetik, refleksi itu menunduk… seakan menahan tawa pahit.

Yoo Joonghyuk mengepalkan tangan, buku-bukunya memutih.

Lalu, semuanya kembali normal.
Refleksi mengikuti gerakannya lagi. Hujan terdengar biasa lagi.

Seolah baru saja ada retakan yang menutup cepat.


Keesokan paginya, Miah terbangun lebih cepat dari alarm. Ia memeluk bantal, rambutnya kusut seperti ekor tupai, lalu menyeret selimut ke dapur.

“Oppa…”

“Ada.”

“Aku mimpi jelek.”

Yoo Joonghyuk menuang sereal ke mangkuk.

“Mimpi apa.”

“…Ada banyak garis putih di langit. Tulisannya jalan. Semua orang diem.”

“….”

“Terus ada suara bilang… ‘kita mulai episode baru’. Aku nggak ngerti.”

“Sekarang kau terbangun.”

“Hm.”

Miah mengerjapkan mata, mengucek pipinya.

“Oppa…”

“Apa.”

“Kalau dunia rusak… boleh aku pegang tangan oppa?”

“Tidak akan rusak.”

“…kalau pun rusak?”

“….”

“…boleh ya?”

Jawabannya tidak keluar langsung. Ada jeda panjang—bukan ragu, tapi seolah ia sedang melawan sesuatu dalam dirinya. Lalu pelan:

“…Ya.”

Miah tersenyum kecil, lega seperti anak yang mendapat jaminan langit tidak akan runtuh.

“Kalau oppa takut… boleh pegang tanganku juga.”

“….”

“Jangan gengsi.”

“…Makan.”

“Baik~!”

Se-simple itu. Dan dunia terasa bisa bertahan satu hari lagi.


Di halte bus, angin musim dingin menggigit. Orang-orang menunduk ke ponsel, headphone di telinga, hidup biasa.

Namun hari ini, semua layar ponsel di halte macet bersamaan.

Bukan freeze total—tapi satu frame tersangkut.

Satu huruf muncul di setiap layar, warna putih:

Lalu hilang.

Tak ada yang memperhatikan selain Yoo Joonghyuk.

Seorang pelajar menggerutu, restart HP, lanjut nonton drama. Seorang ajumma men-tap layar berkali-kali. Orang sibuk hidup.

Dunia berjalan.

Meski barusan ia melihat huruf pembuka banyak kata Korea lama:
사 (sa)… 생 (saeng)… 시작 (sijak)…

Mulai.
Hidup.
Narasi.

System breathing again.


Saat berjalan pulang sore itu, mereka melewati toko roti kecil. Miah menarik lengan mantelnya.

“Oppa, roti kacang!”

Di etalase, ada roti baru:

신의 단팥빵
Roti Kacang Dewa.

Nama yang tidak wajar untuk toko pinggir jalan. Pemilik toko sibuk, tidak menyadari betapa absurd namanya. Miah mendekat ke kaca, napasnya membentuk embun.

“Oppa mau coba?”

“…Lain kali.”

“Oke. Aku pilih satu dulu.”

Ia masuk. Yoo Joonghyuk menunggu di luar, melipat tangan, menatap ke arah lalu lintas. Hujan halus turun lagi—sangat halus, hampir digital noise.

Saat itulah ia mendengar suara.

Bukan suara manusia.
Bukan suara pengumuman jalan.

Suara narator, halus, surgawi seperti orkestra yang disembunyikan dalam kabut.

⟪ Chapter 0. Rebinding memory lace… ⟫

Yoo Joonghyuk menoleh cepat.

Di trotoar seberang, layar iklan besar padam sejenak—lalu muncul glitch garis vertikal, seperti retak kaca.

⟪ Entity found: Survivor of Abandoned Script ⟫
⟪ Access denied. Manual override required. ⟫

Cahaya neon memantul di genangan. Mobil lewat. Orang menyeberang. Semua tampak nyata… terlalu nyata… untuk sesuatu yang sedang mencoba mengatur ulang.

Suara lagi:

⟪ Please remain where you are, Character. Someone is still reading. ⟫

Waktu berhenti sepersekian detik. Napas Joonghyuk keluar lebih lambat. Ada rasa deja vu dingin seperti tangan tak terlihat menyentuh tulang belakangnya.

Miah keluar sambil mengunyah.

“Oppa, dapet roti isi kacang merah yang bentuknya bintang!”

Waktu berjalan lagi.

Suara, glitch, layar—semua hilang.

“Let’s go,” katanya singkat.

“Habis ini kita ke taman? Aku mau kasih roti ke burung merpati.”

“Jangan beri merpati. Mereka akan mengejar.”

“Aku suka dikejar.”

“Jangan coba.”

“Hehehe.”

Miah menggenggam kantong roti, melompat di atas garis zebra cross.

Seolah dunia normal. Seolah tidak ada narasi yang baru saja membisikkan sesuatu pada tulang eksistensi mereka.

Yoo Joonghyuk menatap langit yang tampak statis sesaat.
Ia tahu perasaan ini.

Bukan ancaman biasa.
Bukan god atau bintang atau nebula atau outer.

Ini seperti cerita yang belum selesai, kembali mencari ujungnya.

Dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia tidak marah.

Ia hanya menarik napas panjang, menurunkan bahu, dan berkata lirih—

“…Jangan ganggu hidup ini.”

Awan bergerak sedikit. Seperti jawaban.

Malam turun perlahan, seperti seseorang menutup selimut ke atas kota.

Yoo Joonghyuk berdiri di dapur, memotong tomat dengan gerakan konsisten. Pisau jatuh tenang, tap, tap, tap, ritmis, nyaris seperti suara APM clicking dalam sunyi.

Miah duduk di meja makan, menggambar sesuatu dengan krayon. Setiap beberapa menit, ia mengintip ke arah dapur.

“Oppa.”

“Apa.”

“Kenapa malam ini rasanya kayak… mimpi?”

Pisau berhenti sepersekian detik.
Lalu bergerak lagi.

“Kau terlalu banyak menonton video sebelum tidur.”

“Bukan. Rasanya kayak… kalau aku tiup lilin, ceritanya ganti.”

“….”

“Mungkin aku main drama kehidupan.”

Dia tertawa sendiri, geli, belum mengerti bobot kata yang ia ucapkan.

Yoo Joonghyuk mengangkat panci. Suara air mendidih mengisi ruangan, menutup kemungkinan percakapan lebih jauh.

Atau mungkin menutup realitas lain yang mencoba masuk.

Miah mencondongkan kepala.

“Aku gambar oppa.”

“Jangan buatku terlihat aneh.”

“Terus kenapa rambut oppa bentuknya kayak semangka?”

“….”

“Hehehe.”


Pintu apartemen berbunyi klik.

“Apa kalian berdua punya nyawa sembilan seperti kucing? Tidak bisa buka pintu untuk manusia biasa?”

Suara ceria, ringan—tetapi bila didengar dengan telinga yang pernah melewati dunia lain, terasa lebih dari itu.

Y.S berdiri di pintu dengan kotak pizza besar sekali.

Miah menjerit bahagia.
“Bi-sa!”

“Pizza,” koreksi Y.S sambil tersenyum lembut. “Hari ini namanya sesi healing.”

Yoo Joonghyuk hanya menghela napas, tapi dia tidak menolak saat Y.S lewat membawa aroma keju dan adonan hangat.

“Makan sayur dulu,” katanya.

“Aku udah makan rumput.”

“…Rumput?”

“Rumput laut.”

“….”

“Oppa, itu rumput juga.”

“Tetap makan salad.”

“Uhuk. Oppa nggak kasihan sama anak kecil kelaparan?”

“Tidak.”

“Wah, dingin sekali.”

Y.S menaruh pizza di tengah meja. Lalu ia menatap Yoo Joonghyuk.

Ada sesuatu di mata gadis itu.

Sesaat, waktu diam.
Bukan berhenti. Diam.
Seperti semua udara menahan napas menunggu pilihan.

“Bagaimana pertandinganmu?” tanya Y.S pelan.

“Aku kalah.”

Ia berkata tenang, seolah itu fakta seperti cuaca. Tapi Miah merosot lemas dramatis.

“Oppa kalah…? Gaya hidup kita terancam…?”

“Aku tidak akan mati hanya karena kekalahan.”

“Drama anak-anak.”

“….”

Y.S menutup kotak pizza pelan.
Suara engsel kardus terdengar seperti kapitalisasi dialog sistem.

“Semua orang yang menonton,” katanya pelan, “tidak melihatmu kalah.”

“Kenyataan tidak berubah.”

“Kadang yang dilihat orang lebih banyak menentukan dunia daripada kenyataannya.”

Ada sesuatu di kalimat itu.
Seperti peringatan.
Seperti pengingat bagi seseorang di luar halaman.

Miah tidak mendengar—dia sibuk memisahkan topping mozzarella jadi awan.


Setelah makan, mereka duduk di balkon kecil. Lampu kota jauh berkelip seperti bintang tertangkap polusi.

Miah tidur bersandar di bahu Y.S, wajah belepotan saus.

“Dia cepat tidur,” bisik Y.S.

“Dia mudah percaya orang.”

“Untungnya kamu tidak termasuk ‘orang biasa’.”

Yoo Joonghyuk menatap lampu kota.

Angin dingin menyibak rambutnya sedikit.
Tenang. Seolah debu bintang sedang jatuh pelan.

Y.S menatapnya dari samping, nada suaranya berubah, lebih dalam, seperti masa lalu yang memantul:

“Kalau dunia retak, apa yang akan kamu lakukan?”

“…Menjahitnya.”

“Dengan apa?”

“Dengan hidup.”

“….”

“Dan kalau itu tidak cukup… aku akan bertahan sampai ada yang datang.”

“Siapa?”

“Kau lebih tahu dari aku.”

Keheningan.
Lalu Y.S tertawa sangat kecil—bukan tawa manusia yang memaksa ceria, tapi tawa seseorang yang pernah menyerahkan segalanya pada sebuah cerita.

“Kalau begitu,” katanya, “jangan berhenti hidup. Tolong.”

“Tidak ada yang akan menghentikanku.”

“Kadang bukan dunia yang menghentikan seseorang,” gumam Y.S pelan, “tapi diri mereka sendiri.”

Angin berhembus.
Gelombang cahaya lampu berkedip seperti seseorang membolak-balik halaman tebal.

Di jauh sana, terdengar suara kendaraan.
Di dekat sini, terdengar napas ringan anak kecil.

Dan di antara suara itu—selain dunia yang hidup—ada dengung samar.

Seperti baris kode yang bernapas.
Seperti suara seorang pembaca menahan napas.

⟪ Script anomaly stable… for now ⟫
⟪ Do not wake the regression too early ⟫

Yoo Joonghyuk menutup mata sebentar.

“…Aku ingat sesuatu,” katanya lirih. “Seseorang bilang padaku sekali: ‘hidup seperti manusia dulu’.”

“Dan kamu mendengarkannya?”

“…Aku sedang berusaha.”

Y.S tersenyum tipis.

“Kalau begitu jangan lihat ke langit malam terlalu lama.”

“…Kenapa.”

“Hari ini garis-garisnya terlihat jelas. Kau bisa melihatnya kalau terlalu fokus.”

“….”

“Dan jangan balas menatapnya.”

Ia menambahkan, seperti menggodanya—

“Kecuali kau mau cerita mulai lagi.”


Yoo Joonghyuk menatap cangkir teh hangat di tangannya.

Suara napas Miah.
Suara kota.
Suara normal.

Tetapi di mata Joonghyuk, sesuatu berkedip jauh di cakrawala.

Seolah langit itu lembar kertas.
Dan seseorang baru saja menekan Enter sekali lagi.

Dia tidak memalingkan wajah.

Hanya berkata sangat pelan, hampir tidak terdengar:

“…Aku tidak pergi ke mana pun.”

Dan entah kepada siapa ia mengatakannya—
kepada dirinya sendiri, kepada dunia, kepada pembaca yang tersembunyi, atau kepada seseorang yang selalu datang saat cerita runtuh.

Langit tidak menjawab.

Atau mungkin jawabannya adalah ketenangan itu sendiri.

Pagi berikutnya, cahaya matahari masuk lewat tirai seperti serpihan emas jatuh pelan.

Apartemen tenang.
Terlalu tenang.

Biasanya Miah sudah bangun, berlari kesana–kemari seperti tupai dengan misi rahasia. Tapi hari ini ia masih meringkuk di selimut, rambut menutupi pipi.

Yoo Joonghyuk menepuk pipinya ringan.

“Miah. Bangun.”

“Hmm… oppa lima menit lagi.”

“Kau selalu berkata begitu.”

“Aku anak kecil. Anak kecil punya hak tidur…”

“Bangun.”

“Oppa jahat…”

Ia menyeret selimut sambil berguling seperti caterpillar malas.
Yoo Joonghyuk menarik ujung selimut. Ceklek. Miah kaget dan langsung duduk.

“Aku bangun! Aku hidup! Jangan culik peradabanku!”

“…Kau berbicara dengan siapa?”

“Tidak tahu. Mungkin alien.”

“….”

Ia selalu bicara hal aneh. Biasanya itu sekedar imajinasi anak. Hari ini… entah kenapa terdengar seperti gema dari tempat lain.

Miah memeluk boneka kelinci.

“Oppa.”

“Apa.”

“Aku mimpi ada seseorang baca buku di langit.”

Pisau sayur di tangan Joonghyuk berhenti sedetik.

“Dia pakai baju putih. Terus halaman bukunya… waktu.”

“….”

“Mungkin itu petugas perpustakaan dunia.”

“…Makan.”

“Baiklah~~”


Mereka keluar apartemen. Angin pagi membawa bau roti panggang dan kertas. Sunyi tenang khas Seoul di jam sebelum kantor penuh manusia.

Di depan lift, ada orang berdiri.

Pria paruh baya. Rapi, setelan bersih, senyum tipis. Wajah tipe kantor—biasa tapi sangat rapi sampai terasa terlalu bersih.

“Selamat pagi,” katanya ramah.

Joonghyuk mengangguk. Miah membungkuk sopan.

Lift terbuka. Mereka masuk bertiga.

Suasana sunyi.

Suara mesin lift terdengar bersih, steril, seperti dihapuskan dari tekstur dunia. Pria itu menunduk melihat ponsel… layar hitam, padahal jarinya bergerak.

Seperti pura-pura.

Ia bicara tanpa menatap mereka.

“Aku menonton pertandingan kemarin.”

“Begitu.”

“Luar biasa sekali.”
Nada lurus, tanpa emosi. “Banyak orang terkesan.”

“Hmm.”

“Apalagi bagian ketika kau tidak menyerah, meski parameternya tidak memungkinkan kemenangan.”

Kata itu keluar natural, tapi…
Parameter.

Bukan “situasi”, bukan “peluang”.
Parameter.

Seperti seseorang yang pernah berbicara dengan sistem—atau masih berbicara dengan satu.

“Tidak semua orang… bisa melawan naskahnya,” pria itu melanjutkan seakan mengucapkan fakta cuaca. “Sangat sedikit yang mencoba.”

Lift berhenti di lobi. Pintu belum terbuka. Waktu seperti menahan napas.

Lalu pria itu tersenyum kecil—ramah tapi dingin seperti kaca yang tidak memantulkan manusia.

“Teruslah hidup dengan baik, Yoo Joonghyuk-ssi.”

Nama itu meluncur mulus, seperti ia sudah mengucap ratusan kali.

Miah menggenggam tangan oppa-nya erat.
Pintu ding terbuka.

Pria itu keluar belok kiri.
Langkahnya tidak menghasilkan suara.
Bahkan lantai tidak bergetar.

Seolah dia bukan berat fisik, hanya tipe dialog yang kebetulan lewat.

Miah berbisik kecil.

“Oppa… tadi paman itu dari dunia nyata?”

“…Abaikan.”

“Kalau dia robot dari masa depan kita lapor polisi?”

“Tidak perlu.”

“Kalau dia pembaca rahasia—”

“Diam.”

“Kyaaaa oppa tahu istilah itu!”

Joonghyuk mengetuk kepalanya pelan.
Miah meringis sambil tertawa kecil. Tapi tangannya masih menggenggam erat, seakan sadar dunia sedikit miring.


Di luar, angin dingin menggigit.

Mereka berjalan ke halte sekolah. Jalanan penuh pekerja terburu-buru, bis lewat, sepeda listrik berdesing. Dunia biasa. Normal.

Tapi setiap wajah yang lewat… sesekali ada yang menatap Joonghyuk terlalu lama.

Bukan seperti fans.
Bukan seperti benci.

Seperti mereka sedang memastikan sesuatu.
Seperti mereka punya checklist karakter.

Miah tiba-tiba berhenti berjalan.

“Oppa.”

“Hmm?”

“Aku… sedikit takut.”

Itu pertama kalinya ia mengatakannya dengan nada seperti itu. Serius, kecil, rapuh seperti retakan pertama di kaca bening.

Joonghyuk jongkok sejajar dengannya dan menatap matanya.

“Aku di sini.”

“Hanya itu?”

“Itu cukup.”

Miah menatapnya lama, lalu mengangguk kecil.

“Kalau oppa ada, dunia nggak bisa jahat.”

“….”

Kalimat itu terlalu sederhana.
Terlalu percaya.
Dan entah kenapa… seperti doa pertama yang pernah dibuat manusia.

Mobil lewat. Burung terbang. Anak kecil lain berlari sambil memukul tasnya.

Realitas bergerak lagi.

Bis sekolah datang, pintu terbuka. Miah naik, lalu ia menoleh, melambai.

“Oppa! Jangan biarkan langit dimakan garis-garis ya!”

Penumpang lain menoleh bingung.
Joonghyuk hanya menatapnya balik, wajah tenang.

Bis pergi.


Saat angin kembali sunyi, Joonghyuk merasakan sesuatu turun di pundaknya.

Bukan tangan nyata.
Tetapi sesuatu seperti tatapan dari balik halaman.

⟪ Regression point updated ⟫
⟪ Character: Stabilized ⟫
⟪ Observation continues ⟫

Langit bersih sempurna.

Terlalu sempurna.

Dan di pantulan kaca gedung tinggi, sesaat dia melihat dirinya bukan sebagai pemain game… bukan sebagai oppa… tapi sebagai kalimat berjalan.

Ia memalingkan kepala. Pantulan mengikuti seperlambat detik.

Yoo Joonghyuk menghela napas pendek.

“…Jangan coba menulis ulang ini.”

Tidak ada jawaban.
Dan itu lebih menegangkan daripada ancaman.

Ia memasukkan tangan ke saku jaket, suara bass halus kota bergema di udara. Dunia bekerja, manusia bernafas, mesin bergerak—dan di sela itu, sesuatu membaca dan mencatat.

Tapi Joonghyuk hanya berjalan.

Bukan melawan.
Bukan lari.

Hanya hidup.

Karena itu cara terbaik menantang siapa pun yang menonton.

Hari berjalan seperti tali tipis yang menegang diam-diam.

Setelah mengantar Yoo Miah, Yoo Joonghyuk kembali ke apartemen. Ia membuka kulkas, mengambil botol air, lalu berhenti di tengah gerakan.

Ada catatan kecil ditempel di pintu kulkas.

Tulisan tangan halus. Rapi. Seperti milik seseorang yang terbiasa menulis naskah, bukan catatan dapur.

Jangan hanya makan salad terus.
— M.

Joonghyuk menatapnya lama.

Tidak ada orang bernama M yang ia kenal.

Atau mungkin ada — tapi selalu berada di sisi lain halaman.

Ia meremas kertas itu pelan. Lalu meletakkannya kembali. Tidak dibuang. Tidak disimpan. Dibiarkan tergantung di pintu kulkas, seperti pengakuan kecil bahwa ia tidak ingin kehilangan jejak dari sesuatu yang belum bisa ia pahami.

Ponselnya bergetar.

Kang Woohyun

Belum bisa bicara. Akan jelaskan nanti. Hati-hati.
Jangan percaya siapa pun di gym dulu.

Pesan masuk lagi, cepat, seperti dikirim dengan napas terburu.

Terutama yang kelihatan baik.

Joonghyuk menatap layar sebentar, kemudian mengunci ponsel tanpa membalas.


Kopi hitam mengepul di cangkir. Senyap. Jam berdetak pelan.

Tok. Tok.

Bukan pintu. Jendela ruang tamu.

Joonghyuk menoleh. Angin tidak berhembus, tapi tirai bergeser pelan — seperti disentuh sesuatu yang tidak punya bentuk.

Di luar, lantai 12, angin seharusnya kencang. Tapi udara diam, sunyi, terlalu rapi. Dunia seperti render yang belum diberi tekstur angin.

Kemudian — duk duk duk.

Ketukan pelan lagi. Dari kaca.

Joonghyuk perlahan mendekat.

Seorang pria berdiri di balkon seberang gedung, menatap lurus padanya. Sama seperti pria di lift kemarin, senyum tipis, rapi, bersih… kosong.

Pria itu mengangkat ponsel. Sesaat kemudian ponsel Joonghyuk bergetar.

Bagus. Kamu tetap sesuai garis.
Tetaplah seperti itu.
Jangan terlalu sadar.

Joonghyuk menutup tirai. Tidak tergesa. Tidak panik.

Seolah dia pernah mengalami tingkat absurditas yang jauh lebih buruk dan memutuskan: ini masih kategori ringan.


Suara pintu dibuka dari kode keypad.

Bip. Bip. Klik.

“Obaboni! Aku pulang!”

Belum waktunya jam sekolah pulang.

Pintu terbuka — Miah berdiri di sana. Bukan seragam sekolah. Tapi hoodie kelinci, sepatu pink, dan rambut sedikit berantakan seperti habis main.

“Kenapa kau di sini?”

“Aku… lupa sesuatu penting sekali!”

“Apa.”

“Oppa.”

Ia melompat dan memeluknya. Hampir seperti takut kalau ia telat satu detik saja, dunia akan bergeser dan ia akan hilang dari pelukannya lagi.

Joonghyuk menghela napas, menepuk kepalanya.

“Kau kabur?”

“Bukan kabur. Mission critical.
Ia menunjuk ke dada sendiri bangga, lalu berbisik:
“Aku mendeteksi glitch di sekolah…”

“….”

“Aku lihat pohon di halaman sekolah punya dua bayangan. Padahal mataharinya cuma satu, oppa.”

Joonghyuk menatapnya.

“Dan, ada ibu-ibu bilang ‘anakmu lucu’, tapi aku sendirian. Jadi… aku pulang.”

“….”

“Oppa jangan marah. Aku tahu aturanku.”

“Apa aturannya.”

“Kalau realitas mulai bocor, cari oppa dulu.
Oppa = save point.”

Joonghyuk memejamkan mata sejenak.
Anak ini berbicara seperti sudah pernah kehilangan sesuatu banyak sekali dalam kehidupan yang ia tidak ingat.

“Besok kau tetap sekolah.”

“Aku akan pergi. Tapi harus cek dulu: Oppa masih oppa.”

“…Bagaimana kau mengecek itu.”

Miah menatapnya serius. Wajahnya kecil, tapi sorotnya seperti pernah melihat ribuan dunia runtuh.

“Oppa tidak meninggalkanku, apa pun yang terjadi.”

“….”

“Kalau oppa tiba-tiba jadi karakter yang terlalu baik, atau terlalu jahat, atau ngomong seperti NPC tutorial, berarti dia bukan oppa.”

“….”

“Kalau oppa jadi banyak senyum, bahaya.”

“…Pergi duduk.”

“Aye aye, Obaboni-nim!”


Siang.
Miah tertidur di sofa, boneka kelinci menutupi wajahnya.

Joonghyuk duduk di meja makan. Mencoba merapikan pikirannya.

Dunia ini normal.
Tetapi normalitasnya terlalu mulus. Seperti seseorang memoles setiap sudut.

Ada suara di kepalanya — bukan dari luar, bukan audible.
Seperti baris kode lupa dimatikan.

“Tetap dalam cerita.”

Ia menutup mata.
Dan merasakan —

⟪ Regression trigger unavailable ⟫
⟪ Narrative anchor present ⟫

Ia membuka mata lagi.

Di mejanya sekarang ada sesuatu yang tidak ada sebelumnya.

Sebuah roti dumpling kecil. Bentuknya seperti kelinci.

Catatan tertempel:

Kalau kau terus makan selada, kau akan jadi kelinci liar.
Dari manajer favoritmu ♡

Ia tidak mendengar pintu terbuka.
Tidak ada langkah. Tidak ada tanda.

Tapi jejaknya ada. Hangat. Riuh halus seperti seseorang baru saja melangkah keluar dari halaman cerita.

Dan kalimat di bawahnya, kecil sekali, hampir tak terlihat:

Dunia tetap berjalan karena orang-orang seperti kalian memilih hidup.
Jangan berhenti.

Joonghyuk menatap tulisan itu lama.

Lalu akhirnya, sangat pelan, bibirnya bergerak.

“…Terima kasih.”

Dan sesuatu di udara — entah apa, entah siapa — tertawa pelan seperti halaman yang berdesir.

Sore hari turun pelan seperti abu ringan dari langit yang tidak memutuskan ingin hujan atau tidak.

Yoo Joonghyuk menutup jendela. Dan seketika ia menyadari sesuatu:

Rumah — begitu sunyi.

Bukan sunyi biasa.
Sunyi seperti halaman kosong yang belum ditulis.

“Oppa…”

Suara kecil terdengar dari sofa. Miah menggeliat, menyeret selimut ke wajahnya.

“Jangan pergi jauh.”

“Aku di sini,” jawab Joonghyuk.

Anak itu mengangguk sambil setengah tidur, lalu kembali tenggelam dalam mimpi, napasnya kecil dan teratur.

Joonghyuk memperhatikannya sebentar, lalu meraih laptop di meja. Ia membuka folder latihan strategi… namun jarinya berhenti.

Di atas trackpad ada remah tepung kecil. Bentuknya bundar.

Seperti — bekas adonan dumpling.

Ia menyentuhnya. Teksturnya nyata. Lembut. Tidak mungkin ilusi.

“….”

Ponselnya tiba-tiba bergetar.

[Unknown]
Kamu tidak boleh terlalu sadar.
Narasi runtuh kalau kau memaksa.

Layar redup seketika, seperti ada yang menutup jendela sistem.

Notifikasi berikutnya muncul, berbeda sumber — messenger internal tim esports.

RookieManager_Y.S
Ada sup panas di termos.
Jangan lupa makan.

Joonghyuk menoleh. Dan ya — di sudut meja, ada termos kecil warna pastel yang tidak berada di sana sebelumnya.

Aroma kaldu tipis merambat.

Kaldu lembut seperti dari rumah yang tidak pernah ia punya.

Ia menghela napas — lalu membuka tutup termos perlahan.

Asap tipis naik, hangat.
Miah, dalam tidur, mencium aromanya dan bergumam pelan:

“…rasa rumah.”

Joonghyuk menutup termos lagi.

“Tidak ada rumah,” katanya lirih, pada diri sendiri. “Ada bertahan hidup.”

Tapi suara kecil menjawab, meski samar — entah dari udara, entah dari sudut ingatan:

Kalau begitu, buatlah.


Malam turun penuh, lampu kota berkedip seperti sistem menulis ulang data.

Joonghyuk membawa Miah tidur ke kamar.

Anak itu tiba-tiba membuka mata.

“Oppa.”

“Hm.”

“Kau ini nyata, kan?”

“…Kenapa bertanya begitu.”

“Karena oppa kadang seperti karakter dalam game yang belum diberi cerita penuh.”

Kalimat itu masuk seperti pisau kecil.
Tanpa niat menyakiti — tapi tetap tajam, karena benar.

“…Aku nyata.”

“Bagus.”

Miah menepuk pipinya dua kali, sangat serius.

“Kalau oppa hilang… aku akan—”

Joonghyuk meletakkan jari di bibirnya.

“Tidak akan terjadi.”

“…janji?”

“Ya.”

Miah mengamati wajahnya lama. Lama sekali.
Seperti mencoba menghafal bentuk seseorang yang mungkin hilang ketika ia menutup mata.

Akhirnya dia tersenyum.

“Kalau oppa bukan oppa, aku akan tahu. Karena oppa tidak pernah tersenyum tanpa alasan.”

“…Pergi tidur.”

“Hehe.”

Miah memejamkan mata lagi.


Joonghyuk keluar ke balkon.

Di kejauhan, gedung-gedung kota berdiri seperti barisan patung raksasa.

Ia membuka pesan lain yang muncul malam ini.

Kau di jalur yang benar.
Bertahanlah sedikit lagi.
— Haru

Nama yang tidak ia kenal.
Atau pernah ia kenal, tapi di garis cerita lain.

Pesan berikutnya, masuk dari akun yang sepertinya sudah dihapus:

Dunia bergerak karena seseorang menolak tunduk pada naskah.
Jangan berhenti.

Dan satu baris terakhir, tidak ditandatangani:

Kami menontonmu dari halaman berikutnya.

Angin tidak bertiup. Tapi tirai bergerak.

Seperti seseorang melewatinya tanpa tubuh.

Joonghyuk menutup ponsel.

“…Kalau kau ingin aku terus hidup, sebaiknya beri petunjuk yang jelas.”

Tidak ada jawaban.

Namun jauh di hati, di tempat yang ia tidak pernah akui, sesuatu bergetar sangat halus — seperti benang yang terhubung ke tempat sangat jauh.


Jam 2 dini hari.

Ada suara kecil.

tok… tok… tok…

Bukan pintu. Bukan jendela.

Buku catatan kecil di meja — buku perencanaan latihan — bergetar. Halamannya membuka sendiri.

Kalimat muncul perlahan, seperti tinta ditulis oleh tangan tak terlihat:

Jika kau merasa sendirian, ingat:
Kau sudah pernah mati berkali-kali.
Dan tetap kembali.

Di bawahnya, garis kecil:

Dunia ini hanyalah satu babak latihan.
Bersiaplah.

Tinta terakhir berbentuk sesuatu seperti… emotikon wibi kecil.

(。•̀ᴗ-)✧

Joonghyuk menghela napas.

“…Benar-benar gila.”

Di kamar, Miah berbicara dalam tidur:

“Obaboni jangan jadi NPC…”

Ia berjalan kembali ke kamar, duduk di tepi ranjang, melihat Miah terlelap.

Lalu berbisik, pelan, seperti janji yang diikat dengan pedang tak terlihat:

“Aku tidak akan hilang. Tidak lagi.”

Di luar jendela, bintang-bintang berkedip.
Bukan seperti langit, tapi seperti… server besar yang sedang memroses sesuatu.

Narasi yang menunggu pecah.

Dan dunia yang menahan napas.

Pagi datang tanpa suara.

Tidak ada cahaya matahari cerah — hanya cahaya putih pucat yang menembus tirai, seperti layar monitor yang terlalu lama menyala.

Yoo Joonghyuk terbangun dengan napas pendek, seolah baru keluar dari pertandingan maraton yang ia jalani sendirian.

“….”

Ia mengusap wajah sekali, lalu bangkit.

Di sebelahnya, Miah meringkuk, rambut kusut menutupi mata, bibir menggumam pelan.

“Oppa… jangan makan salad doang…”

Joonghyuk tertegun. “…Apa?”

Miah menarik selimut lagi. “Salad bikin monster lapar datang…”

“….”

Ia menahan tawa. Atau mungkin tarikan napas gugup — sulit dibedakan.

Di dapur, ia menyiapkan sarapan.
Kebiasaan menata: roti hitam — telur — salad — dada ayam.

Tapi sebelum ia selesai, tangan kecil muncul dari bawah meja.

“Pizza?”

“…Tidak.”

“Toast?”

“…Tidak.”

Miah menghela napas berat, seolah menghadapi dunia yang keras.

“Fine. Aku makan sayur… but aku mau satu strawberry. Please.”

Joonghyuk membuka kulkas. Tidak ada strawberry.

Namun di sudut rak…
ada sebuah kotak bento kecil berwarna pastel, dengan stiker kelinci.

Dia menatap lama. Sangat lama.

Bukan miliknya.
Bukan milik Miah.

Ada catatan menempel:

Protein harus seimbang.
Jangan hanya makan dada ayam.
— Y.S

Joonghyuk menutup kotak itu perlahan.
“…Dia masuk rumah lagi?”

Miah mengintip dari kursi.

“Oppa punya pacar? Pacar ninja?”

“…Diam makan.”

“Baik, Ba Vuuu Onii~”

Joonghyuk berhenti.

“…Apa itu.”

“Hehe. Itu… nickname oppa, kan? Aku baca internet.”

“…Jangan baca internet.”

“Tapi lucu! Kayak—”
Miah membuat pose tangan kecil seperti menahan pedang imajiner.
“‘Ba Vuong yang dingin dan gak punya jiwa—’”

Joonghyuk meletakkan sendok.

“Tolong jangan ulangi kata-kata orang bodoh.”

Miah mengangguk manis. “Oke. Oppa bukan nggak punya jiwa.”

“…Terima kasih.”

“Oppa cuma… susah cari password buat buka hatinya.”

“….”

“Seperti PC yang proteksinya 7 lapis firewall.”

“…Makan.”

Miah mulai makan. Dengan serius. Dengan tekad seorang pejuang melawan sayuran hijau.


Saat ia mencuci piring, ia menoleh ke arah meja.

Kotak bento itu masih ada.

Ia tidak menyentuhnya. Tapi sesuatu dalam dirinya mencatat keberadaannya — seperti membaca log sistem yang tidak boleh ada dalam perangkat personal.

Sesuatu bergerak.

Bukan suara fisik.
Lebih seperti tekanan halus di udara — tanda sebuah “cerita” yang belum pergi.

Teleponnya berbunyi.

Dari: Pelatih
Datang ke training. Hari ini mulai evaluasi asosiasi.

Berikutnya:

Dari: Kang Woohyun
Maaf.

Dan terakhir — tanpa nama:

Kau tidak bisa pura-pura normal selamanya.

Joonghyuk menutup ponsel.


Ia keluar rumah bersama Miah.
Udara dingin. Jalanan sempit masih basah sisa hujan.

“Aku ikut oppa, kan?”

“Kau ikut.”

Miah menggenggam jari telunjuknya dengan dua tangannya — cara anak kecil menggenggam sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya.

“Oppa.”

“Hm?”

“Ada… dua orang kemarin.”

“….”

“Satu unnie yang lucu. Satu… eonni rambut putih.”

“…Kau ingat?”

“Unnie bilang jangan bilang ke siapa-siapa.”

“…Kau baru saja bilang.”

“Ow.”

Miah menutup mulut kecilnya. Sesaat kemudian membuka lagi.

“Mereka bilang… jangan takut. Mereka bilang oppa kuat. Tapi…”

Matanya menatap sepatunya sendiri.

“Aku lebih suka kalau oppa kuat bukan karena harus.”

Joonghyuk berhenti berjalan.

Udara menegang sejenak — sunyi seperti sistem game yang freeze sebelum update besar.

“…Miah.”

“Hm?”

“Kalau suatu hari… sesuatu terasa salah… pegang tanganku.”

“Kenapa?”

“Karena aku pasti akan menemukan jalan keluar.”

Miah tersenyum.

“Karena oppa pro gamer?”

“Karena aku kakakmu.”

“…Oppa, itu cheesy…”

“…Jangan pakai kata cheesy.”

“Hehe.”


Mereka berjalan lagi.
Di depan… mobil hitam sedang parkir.

Bukan sedan suram kemarin — mobil normal.

Dari jendela, seseorang melambaikan tangan.

Wajah familiar.

Seperti wajah yang seharusnya hanya muncul dalam mimpi panjang orang lain.

Rambut pirang. Mata jernih.
Aksen lembut dunia lain dalam senyum yang tidak asing bagi siapa pun yang pernah membaca akhir dunia.

Gadis itu tersenyum cerah, menurunkan kaca jendela, lalu berkata:

“Pagi. Mau kuantar?”

Joonghyuk menahan napas sepersekian detik.

Miah melambai antusias.

“Unnie dumpling!”

Yoo Joonghyuk menatapnya.

“…Apa yang kau lakukan di sini.”

Gadis itu mengedip.

“Menemani pembaca favoritku pergi bertarung lagi.”

Langit sunyi. Dunia diam.
Seolah menunggu keputusan satu pemain.

Joonghyuk menghela napas panjang, sangat panjang.

Dan pintu mobil terbuka otomatis.

“Masuk?” gadis itu bertanya.

“….”

Dan di saat itu, ia tahu:

Narasi belum selesai.
Dan seseorang… di luar layar… tetap menulis.

Pintu mobil tertutup perlahan di belakang mereka.

Miah langsung memeluk tas kecilnya dan berseru, “Seatbelt~!”

Gadis pirang itu tertawa kecil, memasang sabuknya sendiri. “Kamu sangat patuh. Bagus sekali.”

Miah mengangkat dagu bangga.
“Aku anak baik.”

“…Palsu,” gumam Yoo Joonghyuk.

“Oppaaa!”

Mobil berjalan pelan, menyusuri jalan sempit. Musik lembut mengalun — bukan dari radio, tapi seolah berasal dari udara itu sendiri. Senar pelan, piano samar. Nyaris seperti soundtrack dunia.

Yoo Joonghyuk melirik supirnya.
“…Siapa yang mengirimmu kali ini?”

“Kenapa aku harus dikirim?” Ia tersenyum polos. “Tidak bolehkah aku datang karena aku ingin?”

“…Jelaskan maksudmu.”

“Aku hanya ingin melihat seseorang berjuang dengan caranya sendiri. Tidak semua orang harus diselamatkan. Tidak semua cerita harus ikut campur.”
Ia menoleh sedikit, senyum tipis, mata teduh tapi tidak sepenuhnya di dunia ini.
“Kadang, menonton adalah bentuk penghormatan.”

“Dan menculik anakku kemarin?” kata Joonghyuk datar.

“Bukan menculik. Menemukan.”
Suara lembut, tanpa penyesalan.
“Dan menyelamatkan.”

Joonghyuk diam.

Ia ingin bertanya lebih jauh.
Kenapa? Bagaimana kau tahu? Siapa yang menulis semua ini?
Tapi ia juga tahu tidak ada jawaban yang bisa benar-benar ia pahami.

Miah tiba-tiba berkata, “Unnie bau dumpling.”

“…Itu bukan hinaan, kan?” tanya gadis itu.

“Bau enak.”

“Ah. Terima kasih.”


Mereka mendekati stadion latihan. Bangunan kaca yang diselimuti spanduk sponsor, poster atlet, layar LED besar menayangkan highlight turnamen.

Dunia terus berjalan seolah tidak ada yang salah.

Seolah tidak ada yang retak di bawah permukaannya.

Seolah tidak ada yang pernah hilang.

“Kalau aku bilang semuanya akan baik-baik saja…” gadis itu berkata pelan, “kau tidak akan percaya, kan?”

“Aku tidak hidup berdasarkan keyakinan murah.”

“Benar. Kau hidup dengan pembuktian.”
Ia melihat ke depan.
“Lalu buktikanlah. Hari ini, esok, setelahnya.”

“…Untuk apa?”

“Untuk seseorang yang menunggu jawabanmu.”

Mata Yoo Joonghyuk bergetar halus. Sangat halus.
Hampir tidak terlihat.

Mobil berhenti.


Gadis itu menoleh ke Miah.
“Tunggu Oppamu dengan baik, ya.”

“Aku selalu tunggu.” Miah mengacungkan jempol kecil. “Kalau Oppa kalah… aku pinjem ID temannya dan flame yang menang.”

“…Miah,” desah Joonghyuk.

“Aku cuma bercanda. Setengah.”


Saat mereka turun, gadis pirang menepuk jendela dari dalam.

“Yoo Joonghyuk.”

Ia berhenti.

“…Apa.”

“Kalau nantinya kau sadar kenapa kau harus bertarung sendirian begitu lama… jangan marah.”

“….”

“Beberapa takdir tidak mau dibagi. Tapi itu tidak membuat mereka kurang berarti.”

Ia tersenyum — senyum yang tidak bisa ditangkap sepenuhnya oleh dunia ini.
Senyum seseorang yang pernah menunggu akhir cerita.
Dan sekarang berdiri di luar halamannya sendiri.

“Selamat bermain.”

Mobil melaju pergi.


Angin pagi mengusap wajah Yoo Joonghyuk.
Stadion menjulang di depan.
Karpet merah event sponsor.
Kilatan kamera.
Pintu masuk steril.

Dunia yang sangat nyata.

Dunia yang sangat rapuh.

Miah menggenggam tangannya.
“Opa.”

“…Hm?”

“Kalau dunia tiba-tiba hancur… kita tetap makan pizza dulu, kan?”

“…Kau hanya mau pizza.”

“Pizza dan Oppa.”

Joonghyuk menatapnya.

Lalu ia menunduk sedikit, menyentuh kepala Miah.

“…Ya.”

Miah tersenyum puas, seperti seorang pembaca yang mendapatkan baris favoritnya kembali.

Dengan langkah berat tapi tegas, Yoo Joonghyuk memasuki gedung latihan.

Pintu otomatis menutup di belakangnya dengan bunyi klik halus.
Dunia menelan mereka lagi.

Dan entah dari mana, seolah dibisikkan oleh seseorang yang menulis dari jauh:

Tidak semua pahlawan memiliki akhir bahagia.
Tapi beberapa—
memilih untuk tetap berjalan, hanya karena ada seseorang yang melihat mereka.

Dan itu cukup.

Lampu menyala terang.

Monitor hidup.

Pertandingan hari ini dimulai.

Hari itu berlalu seperti semua hari yang tidak menyadari betapa pentingnya mereka.

Turnamen berjalan. Sorak penonton, sorot kamera, suara komentator yang memecah ruang — semua bergerak dalam ritme dunia yang yakin pada eksistensinya sendiri.

Yoo Joonghyuk bertarung seperti seseorang yang tidak mencari kemenangan, melainkan jawaban.

Setiap gerakan presisi. Setiap refleks seperti mengulang memori yang tidak bisa dihapus.

“Sang pemain veteran menunjukkan kelasnya hari ini!”

“Dia mungkin terlihat baru, tapi tekniknya… tidak biasa.”

“Seakan dia sudah melakukannya ribuan kali.”

Para komentator tidak tahu seberapa benar kalimat itu.

Tidak ada yang tahu.

**

Jam berlalu. Sore merayap menjadi malam.
Pada layar raksasa, wajah Miah beberapa kali terekam kamera — tertawa, bertepuk tangan, sesekali melambaikan tongkat sorak kecil.

Ia tidak tahu mengapa ia begitu yakin Oppa-nya akan menang.
Ia tidak tahu mengapa ia tidak pernah bisa membayangkan dunia di mana ia tidak ada di sampingnya.

Beberapa hal tidak butuh alasan untuk ada.

Beberapa ikatan lahir bukan dari darah atau waktu, tetapi dari cerita.

**

Saat pertandingan usai, langit stadion terbuka menjadi malam yang bersih. Bintang-bintang seperti pasir halus yang tertabur terlalu jauh untuk disentuh.

Miah mengangkat tangannya ke arah bintang-bintang itu.

“…Ada banyak,” bisiknya.

Yoo Joonghyuk hanya menatap.
Sunyi.

Ada sesuatu yang ingin ia katakan — sesuatu yang bahkan ia belum tahu bentuknya.

Sesuatu yang menahan napas di tenggorokannya.

Miah memiringkan kepala.
“Oppa sedih?”

“Tidak.”

“…Oppa ingat sesuatu?”

“Tidak.”

“…Lalu kenapa matanya begitu?”

Ia tidak menjawab.

Bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan belum sempat ia pahami?

Bahwa ketika sorotan kamera padam dan stadion sepi, ia masih merasa seseorang — di suatu tempat — menunggu baris berikutnya.

Bahwa dunia ini tampak terlalu… rapi. Terlalu bersih.
Seolah telah ditulis ulang.

Bahwa setiap langkahnya terdengar seperti gema langkah orang lain dulu.

Ia menutup mata.

Untuk sekejap…

Ada suara yang tidak berasal dari ruang ini.

Jangan terlambat, Yoo Joonghyuk.

Ia menoleh cepat.

Tidak ada siapa-siapa.

**

Ketika mereka berjalan keluar stadion, lampu jalan memanjang, membelah bayangan mereka.
Miah menggenggam jarinya, kecil dan hangat.

“Besok,” katanya pelan, “kita makan pizza?”

“…Ya.”

“Dan Oppa jangan sedih.”

“Aku tidak sedih.”

“Kalau Oppa sedih, bilang ke aku.”

Ia ingin menjawab sinis.
Tapi ia hanya mengangguk.

“…Baik.”

**

Di kejauhan, mobil melintas.

Seorang perempuan berdiri di trotoar seberang, menatap ke arah mereka.
Topi tertarik rendah, tangan dimasukkan ke saku coat.
Seperti seseorang yang terbiasa berdiri di luar cerita — mengawasi, bukan memasuki.

Ia tersenyum pada mereka.

Atau mungkin kepada seseorang di belakang mereka.
Atau mungkin kepada pembaca yang tidak terlihat.


Langkah kecil, langkah besar.
Suara sepatu menapaki trotoar, bercampur dengan desis angin malam.

Akhir cerita bukan ledakan.

Bukan klimaks.

Kadang—akhir hanyalah seseorang berjalan pulang di bawah langit yang dipenuhi bintang, sambil menggenggam tangan seseorang yang ia pilih untuk temani.

**

Sebuah cerita berakhir.

Bukan karena ia kosong—

Melainkan karena seseorang telah memutuskan untuk menutup halaman itu dengan tenang.

Dan di suatu tempat, entah dalam dunia atau di luar dunia, halaman lain menunggu.

Diam-diam.
Sabar.

Siap ketika ada seseorang yang berani membukanya lagi.

Setelah semua kegaduhan mereda, malam kembali menjadi malam yang biasa.

Tidak ada sorak penonton.
Tidak ada efek AR.
Tidak ada notifikasi quest.

Hanya napas manusia, dan dunia yang perlahan—seperti menarik tirai panggung setelah pertunjukan.

Di sebuah jendela apartemen kecil, lampu temaram menyala.
Miah sudah tertidur, tubuh kecilnya terbungkus selimut, napasnya naik turun pelan.

Yoo Joonghyuk duduk di kursi, memandangi langit kota lewat kaca.
Di luar sana, lampu-lampu jalan menetes seperti bintang yang turun terlalu rendah.

Ia memegang cangkir kopi dingin.
Mata tidak berkedip.

Seakan menunggu.

Untuk apa?

Untuk siapa?

Tak ada suara sistem.
Tak ada jendela status.
Tak ada narator yang berkomentar dari kejauhan.

Hanya kesunyian.

Kesunyian yang ganjil.
Kesunyian yang terasa ditandai oleh sesuatu, bukan diberikan.

Tangannya mengetuk meja sekali.
Seakan mencoba memastikan ia masih di sini.

Sesuatu menggeliat di sudut pikirannya.
Bukan kenangan penuh—lebih seperti aroma dari hari hujan yang pernah ia lalui.

Nama yang hampir ia tahu.
Janji yang hampir ia ingat.

Seseorang.
Seseorang yang pernah berjalan di depannya, atau di belakangnya, atau di sampingnya.

Seseorang yang berkata:

Jangan mati dulu.

Siapa?

Ia menutup mata.
Hanya gelap.

Sesaat kemudian, ia membuka mata—dan tatapannya jatuh pada sebuah buku tipis di meja.
Sampulnya polos, tanpa judul.

Ia tidak ingat kapan itu diletakkan di sana.

Atau dari siapa.

Tangannya menyentuh sampulnya, perlahan, penuh keraguan yang tidak ia akui.

Jemarinya membuka halaman pertama.

Tidak ada prolog.
Tidak ada daftar isi.

Hanya satu kalimat pertama, seperti suara jauh yang memanggil dari dunia lain.

Ada tiga cara untuk bertahan hidup dalam dunia yang telah runtuh.

Jantungnya berdetak sekali, keras.

Lalu sesuatu seperti angin tipis bergerak lewat ruangan.
Jendela kaca bergetar ringan—nyaris seperti bisikan seseorang yang tertawa kecil di sudut ruangan.

Namun tidak ada siapa-siapa.

Yoo Joonghyuk menarik napas perlahan.
Menutup buku itu kembali.

Ia tidak tersenyum.
Tidak menangis.

Hanya mengembuskan napas, hampir tak terdengar.

“...Baik.”

Lampu meja padam.
Ruangan jatuh dalam gelap setengah.

Langit di luar masih penuh bintang.

Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Yoo Joonghyuk bersandar, menutup mata—bukan dalam kewaspadaan, tetapi dalam penerimaan.

Jika cerita itu ingin menemuinya lagi, ia akan membuka halaman itu ketika saatnya tiba.

Jika tidak—begini juga cukup.

Dunia senyap.
Waktu mengalir.

Dan dengan cara yang hanya dirasakan oleh jiwa yang pernah dilekatkan pada cerita besar—

Ia tahu.

Seseorang, di suatu tempat, telah membaca sampai akhir.

Dan itu sudah cukup.


Epilog selesai.

Kalimat penutup ORV-nya selalu:

Ini adalah kisah satu pembaca.

Maka penutup versi arc ini adalah:

Ini adalah jeda seorang tokoh yang pernah menjadi protagonis.

Sedikit sunyi.
Sedikit hangat.
Dan tidak benar-benar berakhir.

 

Nunaaluuu Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review